Anda di halaman 1dari 43

JURNAL NASIONAL (1)

Masalah Yang Dihadapi Dunia Pendidikan


Dengan Tutorial Online: Sebuah Short
Review
Gaung Perwira Yustika

Universitas Airlangga

gaung.perwira.yustika-2019@pasca.unair.ac.id

Adam Subagyo
Universitas Airlangga

subagyo.adam@fisip.unair.ac.id
Sri Iswati
Universitas Airlangga

iswati@feb.unair.ac.id

Abstrak : Meskipun banyak keutamaan manfaat dari pembelajaran jarak jauh


secara virtual (online), di dalam perjalanannya pendidikan jarak jauh masih
memiliki banyak masalah. Para pendidik dan pengelola berusaha untuk terus
meningkatkan kualitas pengajaran dan perjuangan fasilitator kelas online untuk
meningkatkan kualitas pendidikan jarak jauh, tetapi didapatkan fakta data kelas
online bukanlah pilihan pertama pelajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
salah satu masalah dalam pendidikan online berasal dari tingkat drop
out/kegagalan siswa yang lebih banyak terjadi dalam kelas virtual dibandingkan
dengan kelas tradisional. Studi lainnya mengungkapkan beberapa faktor seperti
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan modul, kurangnya pemahaman
konteks dalam materi pelajaran, masalah dengan aksesibilitas software,
ketersediaan guru yang handal, kurangnya dukungan dari pemerintah dan alasan
lainnya dapat menciptakan penurunan motivasi dan atmosfer belajar yang
kurang kondusif. Kata kunci : Online, Jarak Jauh, Pendidikan, Kegagalan.

Pendahuluan

Pendidikan formal jarak jauh telah dipelajari oleh banyak peneliti dari
berbagai sudut pandang, terutama dari sudut pandang pedagogis. Meskipun
banyak keutamaan manfaat dari pendidikan model modern seperti ini, di dalam
perjalanannya pendidikan jarak jauh masih memiliki banyak masalah. Para
pendidik dan pengelola berusaha untuk terus meningkatkan kualitas pengajaran
dan perjuangan fasilitator kelas online untuk meningkatkan kualitas Pendidikan

jarak jauh, tetapi didapatkan fakta data kelas fully online masih bukan pilihan
pertama peserta didik. Ketika diminta untuk memilih, sebagian besar siswa
masih lebih suka mengikuti kelas konvensional (Smaldino, Albright, & Zvacek,
2008). Selain itu, angka drop out untuk pendidikan formal jarak jauh pun lebih
tinggi (Simpson, 2013). Ketidak efisiennya pembelajaran, pengajaran, dan
kemajuan pendidikan jarak jauh, berdasarkan temuan, adalah karena berbagai
kesenjangan dalam pendidikan jarak jauh, kelas online terus mengalami
masalah serius, yang perlu ditangani. Tinjauan literatur menunjukkan bahwa
berhentinya mahasiswa dari perkuliahan online disebabkan oleh beberapa faktor
seperti adanya kesenjangan yakni tidak menyambungnya komunikasi antara
siswa dan tutor. Istilah kesenjangan digunakan di sini untuk menunjukkan
hubungan di antara siswa, guru, dan fasilitator/pengurus kelas online, terputus.
Artinya, jaringan komunikasi di antara peserta maupun kepada para guru virtual
tidak terhubung dan diandalkan sebagaimana mestinya.

Berkomunikasi di lingkungan pembelajaran online adalah hal sulit.


Menghubungkan antara fakultas dengan mahasiswa atau mahasiswa dengan
mahasiswa lainnya tidak bisa dilakukan dengan cara kampus tradisional. Hal ini
penting diperhatikan dikarenakan interaksi diantara siswa untuk terlibat dalam
jenis interaksi rekan sebayanya menghasilkan konstruksi makna dan pencapaian
tujuan pembelajaran (Slagter van Tryon & Bishop, 2012), dan hal ini kurang
didapatkan pada perkuliahan jarak jauh. Swanson, Hutkin, Babb dan Howell
(2010) menyatakan siswa online menghadapi tantangan terhadap komunikasi
dan sosialisasi di kelas pembelajaran jarak jauh karena hilangnya komunikasi
tatap muka. Swanson et al. (2010) menemukan bahwa siswa tidak merasa
terhubung seutuhnya dengan fakultas mereka. Parks, Washington, dan Swanson
melihat kurangnya keterlibatan siswa, konektivitas elektronik, dan menciptakan
interaksi intensif di kelas online.

Untuk mengetahui seluk beluk permasalahan, kita harus memulainya


dengan memeriksa subjek yang menjalani perkuliahan online yakni pelajar.
Mengapa mereka enggan mengikuti perkuliahan online?, apa saja masalah yang
mereka rasakan dan hadapi selama pembelajaran?, ketika dalam zaman ini
tingkat akademis (gelar sarjana) adalah suatu hal yang penting untuk
mendapatkan pekerjaan banyak siswa yang justru drop out/berhenti mengikuti
perkuliahan, kemudian solusi apa yang dapat dilakukan untuk menghilangkan
atau mengurangi penyebab ini?. Diharapkan dari penulisan makalah ini akan
memberikan gambaran masalah apa saja yang dihadapi pada e-learning saat ini
dan bagaimana pandangan referensi terbaru dalam mengatasi dan
menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi.

Metode penelitian

Menarik untuk mengetahui terkait masalah pendidikan formal jarak jauh.


Mengingat publikasi lebih lanjut terkait dengan topik ini masih jarang.
Penulisan makalah ini adalah jenis artikel deskripsi pustaka yang didapat dari
artikel ilmiah yang relevan yang diperoleh dari mesin pustaka media pencarian
internet: proquest, researchgate, google scholar dan mesin pencari lainnya
dengan pencarian kata kunci "masalah pembelajaran jarak jauh" untuk
menemukan publikasi makalah ilmiah terkait / relevan dengan topik. Kemudian
artikel-artikel tersebut dipelajari dan kemudian materi disajikan dalam sudut
pandang penulis, yang kemudian dijelaskan dari sudut pandang penulis.
Hasil dan Diskusi

1) Masalah kegagalan siswa pada pembelajaran jarak jauh (angka


drop out tinggi)

Pembelajaran virtual di kelas online adalah tren revolusioner teknologi


pendidikan saat ini. Dengan kenaikan cepat dalam pendaftaran kursus online,
muncul kekhawatiran masalah yang menyangkut nasib orang banyak di banyak
program online. Heyman (2010) menunjukkan bahwa salah satu kekhawatiran
terbesar dalam pendidikan online berasal dari tingkat drop out yang tinggi
dalam kelas virtual fully online dibandingkan dengan kelas tradisional. Kursus
online memiliki tingkat retensi kegagalan 10% hingga 20% lebih tinggi
daripada lingkungan kelas tradisional (Herbert, 2006). Secara total, statistik
menunjukkan 40% hingga 80% siswa online drop out/mengundurkan diri dari
kelas online (Smith. B, 2010). Tinjauan literatur yang ada menunjukkan bahwa
kelas online memiliki beberapa masalah diantaranya permasalahan kurangnya
interaksi sosial, teknologi, dan rendahnya motivasi yang ada dilihat dari kedua
perspektif peserta didik dan fakultas.

Studi Willging dan Johnson (2009) menunjukkan meskipun siswa lebih


kecil kemungkinannya untuk berhenti kuliah setelah mengikuti kelas dalam
beberapa semester, tidak ada alasan yang jelas mengapa ada saja siswa yang
berhenti. Sebagian besar siswa keluar dari program karena alasan pribadi,
keluarga, pekerjaan dan terkait karakteristik sifat program. Perry et al. (2008)
menyebutkan Laporan Asosiasi Sekolah Pascasarjana Kanada tahun 2004, yang
menunjukkan bahwa pengunduran diri dari program dapat terjadi bahkan
setelah beberapa semester. Pada penelitian lain dengan penemuan yang serupa
dilakukan Jaggars (2011) mengacu pada ulasan penelitian yang menunjukkan
bahwa tingkat pengunduran diri kelas online lebih tinggi daripada kelas tatap
muka. Penelitian Levy (2007) menunjukkan siswa semester awal perguruan
tinggi berisiko lebih tinggi untuk mengundurkan diri daripada siswa semester
lebih lanjut. Siswa yang kurang berpengalaman di dalam dunia perkuliahan
online serta masih berada di semester awal program perkuliahan mereka lebih
cenderung untuk mengundurkan diri dari program. Levy menunjukkan bahwa
siswa yang berada pada tahap awal program merasa kurang siap untuk
menghadapi kekakuan akademis, kaget dengan karakteristik pembelajaran
online. Sebaliknya, siswa yang telah menghabiskan waktu lebih lama dalam
program ini lebih termotivasi menyelesaikan perkuliahan, karena mereka telah
menginvestasikan banyak waktu dan upaya untuk itu, dan sudah mendekati
kelulusan. Didapatkan bahwa kedua variabel waktu dan usaha adalah penentu
penting kapan seorang siswa lebih cenderung untuk mengundurkan diri.
Keputusan siswa untuk mengundurkan diri pada setiap tahap waktu tertentu
membuatnya menjadi variabel penting untuk diteliti penyebab dari fenomena
ini. Para peneliti pun percaya bahwa ini dapat dicapai jika semua orang yang
terlibat dalam pembelajaran online menyadari pentingnya tren baru ini dalam
industri pendidikan dan meneliti setiap aspek media pembelajaran revolusioner
ini (Stanford-Bowers, 2008).

Aspek rendah-tingginya motivasi siswa juga dapat menyebabkan


permasalahan di kelas online. Karena kelas online sangat membutuhkan
kemandirian tinggi dan mampu dipelajari sendiri, motivasi internal dapat
menjadi faktor penentu kesuksesan proses belajar. Erin Heyman (2010)
menunjukkan bahwa motivasi dan akuntabilitas berkaitan erat dengan prestasi
siswa dalam mengikuti program kelas online. Motivasi dalam mengikuti
pembelajaran dapat dikaitkan dengan desain kursus, serta bakat natural dan
sikap siswa terhadap pembelajaran dan teknologi. Studi mengungkapkan bahwa
beberapa faktor seperti waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan modul,
kurangnya pemahaman konteks dalam materi pelajaran, masalah dengan
aksesibilitas software, ketersediaan sumber daya manusia yang handal dan
sistem pendukung lainnya dapat menciptakan penurunan motivasi belajar
(Smart & Cappell, 2006), hal-hal yang disebutkan diatas dapat membuat
kelulusan belajar siswa menjadi terhambat.

2) Masalah atmosfer belajar dalam system pembelajaran jarak jauh

Kurangnya interaksi tatap muka dapat memberikan kecemasan bagi


beberapa siswa. Perbedaan disiplin, pengalaman baru dalam mengikuti
pembelajaran online dan perbedaan dalam fitur yang digunakan pembelajaran
online adalah semua merupakan hambatan untuk menciptakan hubungan
kolaboratif yang efektif di lingkungan online. Keterampilan interaktif yang kuat
dan kepercayaan diri tinggi untuk mengambil risiko-risiko tak terduga dalam
pembelajaran online adalah faktor penting pengalaman belajar yang efektif dan
bermanfaat (Watson et al., 2010). Dalam sebuah studi siswa baru yang terdaftar
untuk orientasi program master (S2) yang sepenuhnya online, siswa diharuskan
membuat profil individu dan esai visual di dalam kelas virtual untuk
membagikan profil diri dengan orang lain di kelas. Melengkapi profil dan esai
ini memungkinkan mereka untuk saling terbuka satu sama lain, saling mengenal
sehingga meningkatkan motivasi intrinsik mereka (Watson et al., 2010), bahwa
ada orang lain yang menemani dan senasib dalam mengikuti pembelajaran
online sehingga terciptalah suasana atmosfer belajar kelas virtual kondusif. Esai
visual dan membagi data profil diri di dalam kelas virtual memicu titik diskusi
awal diantara pelajar dan membantu siswa untuk mengetahui adanya siswa lain
dengan minat dan tujuan belajar yang sama. Tugas awal ini membantu siswa
untuk mempraktikkan keterampilan teknis mereka di lingkungan belajar dan
membantu mereka merasa nyaman dalam menavigasi platform. Yang paling
penting, siswa memiliki kesempatan untuk secara pribadi terhubung dan
berinteraksi kepada fasilitator maupun tutor/guru sehingga dapat terbentuknya
kepercayaan untuk pembelajaran online berkualitas. Jika teknologi membatasi
kesempatan berkomunikasi, hal itu dapat merusak peluang untuk membangun
kepercayaan. Keterbatasan komunikasi berdampak pada kemampuan (atau
ketiadaannya) untuk membangun kolaborasi melalui kerja tim. Lingkungan
belajar yang tidak nyambung, khususnya papan diskusi virtual, dapat berfungsi
sebagai titik koneksi bagi siswa yang berlokasi di berbagai tempat di dunia,
tetapi juga dapat membuat masalah unik. Ditambah lagi tidak terlihatnya
ekspresi wajah dan bahasa tubuh membuat sulit bagi penerima untuk
menafsirkan pesan secara akurat, terutama jika seorang siswa terlibat dalam
diskusi atau situasi kerja tim. Kerusakan dalam kepercayaan juga dapat terjadi
ketika siswa ditempatkan dalam tim pasif membuat kegagalan berkomunikasi
secara teratur. Ketika ini terjadi, siswa dalam kelompok tidak dapat mengetahui
komitmen dan keseriusan anggota lain terhadap hasil kerja kelompok.

Keterlibatan kolaboratif menciptakan situasi di mana siswa dapat


berkomunikasi secara teratur, menghindari konflik akibat kesalahan komunikasi
dan membangun kepercayaan di antara siswa. Siswa diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam evaluasi akhir kelas untuk mengekspresikan pengalaman
dan masalah mereka dengan bahan dan lingkungan belajar. Memberikan
kesempatan feedback membuka ruang siswa dan peneliti untuk memodifikasi
detail yang diperlukan dan memasukkan revisi yang diperlukan. Untuk
memperluas interaksi timbal balik, sistem pembelajaran jarak jauh harus
memperhitungkan tidak hanya komponen kognitif dan perilaku (Chow &
Croxton, 2017), tetapi juga faktor sosial (Keller, Ucar, & Kumtepe, 2017).

Dalam merancang kelas online, para guru perlu memahami bagaimana


pelajar online menghadapi situasi kelas online. Literatur yang tersedia
menunjukkan bahwa instruktur/guru online merasa semakin sulit untuk
mempertahankan suasana belajar yang kohesif di kelas online dibandingkan
dengan kelas tatap muka. Muirhead (2004) menunjukkan bahwa instruktur
online merasa tertantang untuk menciptakan atmosfer pembelajaran kolaboratif
yang menghasilkan pembelajaran yang benar dan bermakna. Sering kali,
perbedaan dalam persepsi menghasilkan sejumlah apatis pada sebagian guru
untuk mengenali emosi dan perasaan siswa, yang terpenting bagi mereka adalah
menyelesaikan pekerjaan dan mendapatkan upah. Tallent-Runnels et al. (2006)
menunjukkan bahwa hasil penelitian menunjukkan perlunya menciptakan lebih
banyak kelas yang sesuai dengan siswa, modul dibuat menyocokkan kebutuhan
murid. Sebagai contoh, instruktur harus lebih sadar akan aspek psikologis dari
reaksi siswa sebagaimana terungkap dalam respon siswa terhadap diskusi,
sehingga para guru harus lebih aktif lagi dalam menjawab/membalas diskusi di
kelas virtual. Mengetahui mengapa siswa bereaksi seperti yang mereka lakukan,
seperti mengapa ada sebagian siswa yang apatis di kelas diskusi?, mengetahui
reaksi pelajar dapat memberikan wawasan tentang modulasi diskusi dan jalan
kolaboratif lainnya untuk membuat kursus lebih fleksibel dan efektif masuk
dalam pemahaman siswa.

3) Masalah kesiapan tutor/guru untuk pembelajaran online

Keharusan siswa memiliki disiplin individu tinggi dalam menjalani


pembelajaran online tidak berarti pendidik tidak memiliki tanggung jawab
mengayomi, dalam lingkungan pendidikan modern, keberhasilan pembelajaran
jarak jauh sangat tergantung pada sosok sang guru. Banyak dari mereka
mempertanyakan efektivitas pendidikan online, waktu menyiapkan modul dan
masalah teknis lainnya, ditemukan pula perbedaan dalam studi tentang waktu
yang diperlukan untuk menyiapkan pengajaran online berkualitas di dalam
bentuk modul-modul (Brown, 2012). Beberapa peneliti mengindikasikan bahwa
hal itu telah menyebabkan waktu persiapan kursus untuk instruktur/tutor
meningkat (Zhang, Zhao, Zhou & Nunamaker Jr, 2004) dan instruktur harus
merancang dan merencanakan program sepenuhnya sebelum mereka mulai
mengajar (Caplan & Graham, 2008).

Sebaiknya materi pembelajaran tidak hanya diletakkan online namun


dapat pula dicetak dalam bentuk print out pada cabang perguruan tinggi
terdekat. Materi harus diatur dengan cara dan bobot yang cocok untuk semua
peserta didik. Presentasi konten harus intuitif untuk berbagai jenis siswa yang
dapat berinteraksi dengannya (Smaldino et al., 2008). Dalam pendidikan jarak
jauh, konten kursus mungkin dibungkus dalam berbagai format, seperti
multimedia, video, dan teks. Ini memberikan akses ke konten pembelajaran
yang memanfaatkan semua atribut media (Anderson, 2004). Oleh karena itu,
guru perlu mempertimbangkan elemen teknologi dan pengaruhnya terhadap
siswa. Beberapa peneliti menyarankan bahwa menciptakan kelas online
berkualitas tinggi memerlukan kerja sama antara para pakar, spesialis media dan
teknologi, dan desainer professional kelas online (Moore, 2011). Hampir
mustahil individu memiliki semua keterampilan yang diperlukan untuk
mengembangkan dan memberikan kursus pembelajaran jarak jauh, sehingga
diperlukan kolaborasi antar pihak terkait.

Selain itu, tidak hanya guru harus membiasakan diri dengan perangkat
yang digunakan untuk kelas virtual sehingga dapat menggunakannya secara
efektif dalam mengajar, mereka juga harus peduli mengetahui masalah teknis
yang sering dihadapi siswa terdahulu saat berada di kelas online (Smaldino et
al., 2 0 08 ), se hi ngga t i da k pe rl u l a gi be rt a nya t e rla l u ba ny ak k e pa
da a hl i IT . Instruktur/guru adalah orang yang akan paling sering dihubungi
peserta didik, karena accessnya yang dekat. Jika peserta didik memiliki
pertanyaan tentang konten pendidikan atau masalah teknis, instruktur biasanya
adalah orang pertama yang meminta bantuan peserta didik, lingkungan online
sering menjadi tantangan bagi instruktur (Smaldino et al., 2008). Banyak
keterampilan dan teknik yang penting dalam pengaturan tatap muka di kelas
tradisional tidak terpakai di kelas online dan beberapa guru harus mempelajari
metode pengajaran baru tidak memakai cara konvensional lagi (Caplan &
Graham, 2008).

Mahdizadeh, Biemans, dan Mulder menunjukkan bahwa kemampuan


pribadi menggunakan software komputer dan web secara signifikan
mempengaruhi kecenderungan guru dalam mengembangkan kursus online
(Holley & Oliver, 2010). Sayangnya, tidak setiap guru akrab dengan pendidikan
jarak jauh dan pengetahuan terkait. Beberapa guru percaya bahwa mereka dapat
mengatur dan menjalankan kelas online sendiri, merasa percaya diri dengan
kemampuan teknologi. Namun, menjadi akrab dengan teknologi tidaklah cukup,
dibutuhkan kreatifitas dalam penggunaan teknologi, sehingga pengajaran
menjadi lebih efektif dalam pendidikan jarak jauh (Caplan & Graham, 2008),
hal ini biasanya dimiliki oleh para pengajar muda dari generasi milenial yang
memiliki keakraban teknologi dibandingkan guruyang lebih senior.

Tidak kalah penting harus diperhitungkan pula kebutuhan dari guru


online upah pengajaran yang layak, beban kerja tidak overload, dan penilaian
berkala terhadap kualitas pendidikan online (Meyer & Barefield, 2010), perlu
adanya survei kelayakan guru dan kepantasan upah mengajar pada tiap semester
untuk menjaga kualitas pengantaran materi ajar pada siswa.

4) Masalah yang dihadapi lembaga pengelola/pengurus

Sebagian besar universitas tidak siap untuk mengajar pelajar online dalam skala
besar dari perspektif institusional, budaya, struktur dan administrasi (Xiao,
2018). Peneliti mencatat fakta bahwa wacana yang menyentuh pendidikan jarak
jauh populer, pasar e-learning memiliki banyak hambatan dari sisi
kelembagaan, diantaranya dari sisi persaingan antar kampus. Bahkan dalam
lingkungan akademik sekalipun, branding sangat penting (Drori, 2015). Oleh
karena itu, universitas besar akan memiliki keunggulan kompetitif yang lebih
besar dengan memposisikan diri sebagai ahli dalam menciptakan materi
pelatihan dengan kualitas yang diperlukan. Mereka juga akan lebih kompetitif
karena manfaat ekonomi dari jangkauan yang dicapai. Universitas di kota besar
dapat mempromosikan layanan pendidikan mereka di daerah lebih sering
dengan membuka cabang dan kantor perwakilan. Ini memaksa perguruan tinggi
yang terdapat di daerah untuk fokus pada prinsip-prinsip pembelajaran yang

lebih inovatif. Kepentingan untuk menunjukkan bahwa penerimaan institusional


e-learning yang baik tercermin oleh komitmen strategis di antara para pemimpin
kelembagaan terhadap pembelajaran online (Allen & Seaman, 2017), seperti
terbitnya surat keputusan penunjang regulasi pembelajaran online. Tujuan-
tujuan strategis ini memberikan perencanaan dan dukungan finansial yang jelas
untuk pendidikan jarak jauh (Zawacki-Richter & Anderson, 2014).

Penerimaan kelembagaan pembelajaran jarak jauh adalah penting untuk


masyarakat multi-nasional dan dalam keadaan berkembang, sehingga faktor
bahasa yang dipakai dalam kuliah online perlu diperhatikan. Misalnya, sebagian
besar materi pengajaran di Republik Kirgistan ditulis dalam bahasa Rusia.
Biaya tinggi untuk membeli bahan cetak merupakan masalah persediaan buku
(Nurakun Kyzy, Ismailova & Dündar, 2018). Pendidikan jarak jauh berkembang
melalui target yang ditetapkan untuk meningkatkan kekuatan, kecepatan, dan
aksesibilitas teknologi pengajaran (Shannon & Rice, 2017). Sayangnya, literasi
komputer masih cukup rendah di kalangan siswa dalam kemampuan mereka
menggunakan aplikasi sistem software pembelajaran online (Hatlevik,
Throndsen, Loi, & Gudmundsdottir, 2018).

Pendidikan jarak jauh terus menjadi area pertumbuhan tercepat dalam


pendidikan tinggi di universitas (Reese, 2015). Namun, masih ada beberapa
kendala kelembagaan dan keuangan untuk implementasi holistik dari kerangka
pembelajaran jarak jauh, seperti kekurangan guru terampil (Baran, Correia &
Thompson, 2011), kurangnya peralatan teknis (Rogerson-Revell, 2015) dan
pemerintahan yang kurang mendorong arah teknologi pendidikan online ini
(Piña, 2010).
Kesimpulan

Kesimpulan dari tulisan ini menunjukkan bahwa temuan penelitian


menunjukkan terdapatnya beberapa masalah dengan pembelajaran jarak jauh
mereka. Bagaimana para siswa dapat beradaptasi dengan lingkungan online ini
menjadi kunci kesuksesan proses belajar. Variabel motivasi internal untuk
mengikuti kelas online menjadi salah satu diantara faktor penunjang studi
mereka, bagaimanapun ketika sudah memilliki disiplin dan motivasi tinggi, para
pelajar akan tetap menghadapi sejumlah tantangan belajar dari kejauhan. Ini
melibatkan faktor eksternal seperti kurangnya kualitas sumber daya manusia di
pihak instruktur/guru, kurangnya interaksi yang efektif (atmosfer pembelajaran)
jelas dapat mengurangi kepercayaan mereka terhadap pengalaman belajar
online. Penelitian-penelitian yang telah dijabarkan membuktikan bahwa untuk
menjadi pembelajaran yang jarak jauh yang sangat sukses dan efektif
membutuhkan perhatian dan komitmen yang besar dari pihak
fakultas/pengelola. Peran fakultas/pengelola dimanifestasikan dalam cara
perencanaan konten kelas online yang relevan cocok dengan kebutuhan siswa,
bagaimana para siswa berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan para
guru/instruktur karena ini adalah perhatian utama untuk membentuk
pembelajaran jarak jauh yang efektif. Oleh karena itu, instruktur harus
merancang program-program berkualitas tinggi yang efektif di kelas virtual
dengan cara memaksimalkan potensi software dan kemampuan mereka dalam
membangun atmosfer pembelajaran kondusif, seperti rutin memberikan
feedback kepada pelajar. Tujuan ini dapat dicapai ketika para instruktur
diberikan pelatihan/peninjauan ekstensif tentang bagaimana memanfaatkan
teknologi baru dan mengadaptasi metode pengajaran terbaik dalam lingkungan
belajar virtual, rutinnya memantau kemajuan siswa. Harus adanya survei
lanjutan dari fakultas untuk mengidentifikasi persepsi mereka tentang masalah
pembelajaran jarak jauh. Penelitian lanjutan semacam itu akan membantu para
pemangku kepentingan dalam hal ini pengelola universitas dalam menemukan
bagaimana memaksimalkan potensi pembelajaran penuh mahasiswa dari jarak
jauh.

Ucapan terima kasih

Ucapan terima kasih ditujukan kepada mereka yang telah membantu


dalam penulisan makalah ilmiah ini, terutama kepada penulis-penulis
sebelumnya yang tercantum dalam referensi (terima kasih khususnya kepada
nama-nama peneliti dan penerbit yang terdapat dalam referensi) serta untuk
publikasi ilmiah sebelumnya yang diterbitkan dan disediakan untuk gratis (open
source), ucapan terima kasih khusus untuk afiliasi saya Sekolah Pascasarjana
Universitas Airlangga dan juga pengulas dan editor jurnal ini sehingga saya
dapat menulis dan menerbitkan makalah ilmiah ini. Semoga Allah Azza Wa
Jalla satu- satunya Tuhan yang Maha Esa merahmati kita semua.
Daftar Pustaka
Allen, I. E., & Seaman, J. (2017). Digital Compass Learning: Distance
Education Enrollment Report 2017. Babson Survey Research Group. Anderson,
T. (2004) Toward a Theory of Online Learning. In Anderson, T. & Elloumi, F.
(Ed.). The theory and practice of online learning. Athabasca
University Press. 33-60.
Baran, E., Correia, A. P., & Thompson, A. (2011). Transforming online

teaching practice: Critical analysis of the literature on the roles and


competencies of online teachers. Distance Education, 32(3), 421-439.
https://doi.org/10.1080/01587919.2011.610293.

Brown, J. L. (2012). ONLINE LEARNING: A Comparison of Web-Based and

Land-Based Courses. Quarterly Review of Distance Education, 13(1).

Caplan, D., & Graham, R. (2008). The development of online courses. In


Anderson, T. (Ed.). Theory and practice of online learning, 245-265.

Chow, A. S., & Croxton, R. A. (2017). Designing a Responsive e-Learning


Infrastructure: Systemic Change in Higher Education. American Journal of
Distance Education, 31(1), 20-42.
https://doi.org/10.1080/08923647.2017.1262733 .

Drori, G. (2015). Branding universities: Trends and strategies. International


Higher Education, (71), 3-5. https://doi.org/10.6017/ihe.2013.71.6083.

Hatlevik, O. E., Throndsen, I., Loi, M., & Gudmundsdottir, G. B. (2018).


Students’ ICT self-efficacy and computer and information literacy:
Determinants and relationships. Computers & Education, 118, 107-119.
https://doi.org/10.1016/j.compedu.2017.11.011.

Herbert, M. (2006). Staying the course: A study in online student satisfaction


and retention. Online Journal of Distance Learning Administration, 9(4).
Retrieved from http://www .westga.
edu/~distance/ojdla/winter94/herbert94.htm

Heyman, E. (2010). Overcoming student retention issues in higher education


online programs: A Delphi study (Doctoral disser-tation). Retrieved from
ProQuest Dissertations and Theses database. (ProQuest document ID:
748309429). Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/748309429?accoun tid=13360

Holley, D., & Oliver, M. (2010). Student engagement and blended learning:
Portraits of risk. Computers & Education, 54(3), 693-700.

Fathurrochman, I., Budiman, D. A., Alamsyahril, & Kristiawan, M. (2019).


Revitalization Management Of Islamic Boarding School Preventing The
Radicalism. Restaurant Business, (10), 495–505. Retrieved from
https://journals.eduindex.org/index.php/rb/article/view/9462

Jaggars, S. S. (2011, January). Online learning: Does it help low-income and


underprepared students? (CCRC Working Paper No. 26) Retrieved from
http://ccrc.tc.columbia.edu/media/k2/ attachments/online-learning- help-
students.pdf

Keller, J. M., Ucar, H., & Kumtepe, A. T. (2017). Culture and Motivation in
Globalized Open and Distance Learning Spaces. Supporting Multiculturalism in
Open and Distance Learning Spaces, 146.

Levy, Y. (2007). Comparing dropouts and persistence in e-learn-ing courses.


Computers & Education, 48, 185-204. Retrieved from
http://www.qou.edu/arabic/researchProgram/eLearnin-
gResearchs/eLDropout.pdf

Meyer, J. D., & Barefield, A. C. (2010). Infrastructure and administrative


support for online programs. Online Journal of Distance Learning
Administration, 13(3), n3.

Mohammadi, H. (2015). Investigating users’ perspectives on e-learning: An


integration of TAM and IS success model. Computers in Human Behavior, 45,
359–374. https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.07.044.

Moore, J. L., Dickson-Deane, C., & Galyen, K. (2011). e-Learning, online


learning, and distance learning environments: Are they the same?. The Internet
and Higher Education, 14(2), 129-135.

Muirhead, B. (2004). Encouraging interaction in online classes. International


Journal of Instructional Technology and Distance Learning, 1(6). Retrieved
from http://www.itdl.org/ journal/jun_04/editor.htm

Nurakun Kyzy, Z., Ismailova, R., & Dündar, H. (2018). Learning management
system implementation: a case study in the Kyrgyz Republic. Interactive
Learning Environments, 1-13. https://doi.org/10.1080/10494820.2018.1427115

Perry, B., Boman, J., Care, W. D., Edwards, M., & Park, C. (2008). Why do
students withdraw from online graduate nursing and health studies education?
The Journal of Educators Online, 5(1). Retrieved from
http://www.thejeo.com/Archives/ Volume 5 Number1/PerryetalPaper.pdf
Piña, A. A. (2010). Online diploma mills: Implications for legitimate distance
education. Distance Education, 31(1), 121-126.
https://doi.org/10.1080/01587911003725063.

Reese, S. A. (2015). Online learning environments in higher education:


Connectivism vs dissociation. Education and information technologies, 20(3),
579-588. https://doi.org/10.1007/s10639-013-9303-7.

Ristianti, D. H., Danim, S., Winarto, H., & Dharmayana, I. W. (2019). The
Development Of Group Counselling Assessment Instruments. International
Journal of Scientific & Technology Research, 8(10), 267–272. Retrieved from
http://www.ijstr.org/paper-references.php?ref=IJSTR- 1019-23814.

Rogerson-Revell, P. (2015). Constructively aligning technologies with learning


and assessment in a distance education master’s programme. Distance
Education, 36(1), 129-147. https://doi.org/10.1080/01587919.2015.1019972

Shannon, L. J. Y., & Rice, M. (2017). Scoring the Open Source Learning
Management Systems. International Journal of Information and Education
Technology, 7(6), 432-436.

Smaldino, S., Albright, M., & Zvacek, S. (2008). Teaching and learning at a
distance. M. Simonson (Ed.). Upper Saddle River, NJ: Merrill.

Smart, K. L., & Cappell, J. J. (2006). Students’ perceptions of online learning:


A comparative study. Journal of Information Technology Education, 5.
Retrieved from http://jite.org/docu-ments/Vol5/v5p201-219Smart54.pdf

Smith, B. (2010). E-learning technologies: A comparative study of adult


learners enrolled on blended and online campuses engag-ing in a virtual
classroom (Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations and
Theses database.

Stanford-Bowers, D. E. (2008). Persistence in online classes: A study of


perceptions among community college stakeholders. MERLOT Journal of

Online Learning and Teaching, 4, 37-50. Retrieved from

http://jolt.merlot.org/vol4no1/stanford-bowers0308.pdf
Slagter van Tryon, P. J., & Bishop, M. J. (2012). Evaluating social
connectedness online: The design and development of the Social Perceptions in
Learning Contexts Instrument. Distance Education, 33(3),
347-364.
Swanson, A., Hutkin, R., Babb, D., & Howell, S. (2010, Sep). Establishing the

best practices for social interaction and e-connectivity in online higher


education classes. Doctoral dissertation, University of Phoenix, Arizona.
Publication Number: 3525517. Retrieved from
http://gradworks.umi.com/3525517.pdf

Watson, K., McIntyre, S., & McArthur, I. (2010). Trust and relationship
building: Critical skills for the future of design education in online contexts.
Iridescent: Icograda Journal of Design Research, 1 (1).

Tallent-Runnels, M. K., Thomas, J. A., Lan, W. Y., Cooper, S., Ahern, T. C.,
Shaw, S. M., & Liu, X. (2006). Teaching courses online: A review of the
research. Review of Educational Research, 76, 93-135. Retrieved from
http://www.jstor.org.ezproxy.lib.pur-
due.edu/stable/pdfplus/3700584.pdf?acceptTC=true

Willging, P. A., & Johnson, S. D. (2009). Factors that influence students’


decision to dropout of online courses. Journal of Asynchronous Learning
Networks, 13(3), 115-127. Retrieved from
http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ862360.pdf

Xiao, J. (2018). On the margins or at the center? Distance education in higher


education. Distance Education, 259-274.
https://doi.org/10.1080/01587919.2018.1429213

Zawacki-Richter, O., & Anderson, T. (Eds.). (2014). Online distance education:


Towards a research agenda. Athabasca University Press.

Zhang, D., Zhao, J. L., Zhou, L., & Nunamaker Jr, J. F. (2004). “Can e- learning
replace classroom learning?. Communications of the ACM, 47(5), 75-79.
JURNAL NASIONAL (2)

Pendidikan Perguruan Tinggi Era 4.0


Dalam Pandemi Covid-19 (Refleksi
Sosiologis)
Bisyri Abdul Karim

Dosen Tetap Universitas Muslim Indonesia

bisyriabdkarim@gmail.com

Abstrak

Diskursus pendidikan Perguruan Tinggi era 4.0 mengemuka hingga akhir tahun
2019 seakan hilang ditelan Covid-19. Realitas tersebut mendorong penulisan ini
mengulas situasi pendidikan Perguruan Tinggi 4.0 dalam era pandemi Covid-
19. Berdasarkan analisis secara reflektif sosiologis dapat disimpulkan bahwa;
Pertama; pendidikan Perguruan Tinggi era 4.0 merupakan gagasan transformasi
sistem pendidikan tinggi menuju digitalisasi melalui resistematisasi kurikulum
akademik yang kompetibel dengan lapangan kerja industri yang mendorong
desain kebijakan pengembangan disiplin ilmu dan program studi menuju Cyber
University yang dapat menawarkan model pembelajaran daring distance
learning dengan dukungan sumber daya dosen yang profesional, responsif dan
mampu melakukan terobosan riset. Dan, kedua; pandemi Covid-19 telah
menjadi koreksi penting yang menunjukkan kelemahan utama gagasan besar
sistem digitalisasi kampus atau Cyber University dan sistem pembelajaran
daring distance learning karena sarana sistem jaringan telekomunikasi
Indonesia belum merata. Meskipun demikian, terdapat dinamika positif selama
pandemi yakni terciptanya ruang akademik virtual bagi dosen dan mahasiswa
melalui webinar dalam skala terbatas serta terjadi peningkatan literasi digital
yang masif di daerah dengan akses jaringan yang memadai.

Kata Kunci: Pendidikan, Perguruan Tinggi 4.0, Covid-19

1. Pendahuluan

Pendidikan formal telah menjadi kebutuhan penting manusia mencapai


kualitas hidup yang lebih baik. Dalam proses pendidikan ini, manusia
menstimulus dan mengembangkan seluruh potensi dirinya ke taraf kematangan
kualitas personal untuk mampu merespon kebutuhan di lingkungan sosialnya.
Oleh karena itu, pendidikan selain mengembangkan kualitas diri manusia secara
personal juga menentukan kualitas sosial di lingkungan masyarakat. Sehingga,
tolak ukur kualitas suatu masyarakat dapat diukur melalui pendidikannya.

Pencapaian kebutuhan akan kualitas hidup tersebut teraktualisasi melalui


jenjang lembaga pendidikan formal secara berjenjang dimulai sejak usia dini
dan sekolah dasar, ke jenjang menengah, kemudian ke jenjang perguruan tinggi
sebagai lembaga pendidikan yang tertinggi dalam sistem pendidikan suatu
negara. Secara sosiaologis terdapat dua model sistem pendidikan lainnya yakni
pendidikan nonformal dan informal, namun tidak cukup menjadi penentu
kualitas diri sehingga membutuhkan lembaga pendidikan yang lebih formal
dalam mensistematisasi pembembelajaran, salah satunya ialah Perguruan
Tinggi.

Perguruan tinggi memiliki fungsi strategis dalam menggali dan


mengembangkan potensi manusia untuk diasah dan berkembang menjadi
individu berkualitas. Saat ini perguruan tinggi tidak hanya dalam domain mesin
penghasil kelulusan yang cerdas dan siap terjun ke dunia kerja, namun
pendidikan tinggi harus mampu mencerahkan peserta didiknya memahami
esensi jati diri secara religius serta mampu berperan berdasarkan akhlak terpuji
di dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana dapat dijelaskan berdasarkan
substansi pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa pendidikan yang dilaksanakan di perguruan tinggi
menjadi usaha penyadaran bagi peserta didik secara terencana untuk
mengembangkan potensi diri serta memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pendalama diri, kepribadian dan kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan
yang diperlukan diri peserta didik, masyarakat, bangsa dan negara.

Pengembangan ke arah seluruh potensi tersebut juga merupakan tujuan


luhur pendidikan yang diselenggarakan perguruan tinggi. Tujuan luhur ini
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 bahwa Pendidikan
Tinggi bertujuan mengembangkan potensi mahasiswa agar menjadi manusia
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, mahasiswa
juga harus berakhlak mulia dan sehat serta berilmu dan cakap, kreatif, mandiri
dan terampil, berkompeten dan berbudaya.

Perguruan Tinggi juga bertujuan menghasilkan lulusan dengan


penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan nasional dan
peningkatan daya saing bangsa. Tujuan lainnnya yaitu mendorong Perguruan
Tinggi harus menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis penerapan
nilai humaniora untuk kemudian dimanfaatkan bagi kemajuan bangsa dan
peradaban kejahteraan umat manusia. Beberapa tujuan tersebut diharapkan
mendorong terwujudnya pengabdian kepada masyarakat dalam upaya
memajukan kejehateraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikemukakan bahwa Perguruan


Tinggi merupakan pendidikan tertinggi dengan tanggung jawab humanistik
untuk menyiapkan manusia Indonesia memiliki potensi unggul dan kepribadian
mulia yang ditopang dengan penguasaan ilmu dan teknologi. Secara sosiologis,
semua potensi ini diarahkan untuk pengabdian menciptakan kesejahteraan
masyarakat dan mencerdaskan bangsa. Seiring perkembangan teknologi
mutakhir saat ini, perwujudan tujuan luhur perguruan tinggi tersebut semakin
penting dicapai melalui tantangan yang kompleks. Tidak hanya mahasiswa
dituntut memiliki potensi-potensi diri sebagaimana telah dijelaskan, namun
berlaku untuk semua civitas akademik kampus yang kini telah memasuki arena
revolusi industri 4.0.

Revolusi industri 4.0 merupakan perkembangan sekalgius tantangan bagi


Perguruan Tinggi. Selama tahun 2018-2019 telah banyak dilakukan seminar
pembacaan terhadap pelbagai kemungkinan perubahan dan dampaknya terhadap
pengelolaan pendidikan di Indonesia. Beberapa tantangan diantaranya harus
mengkobinasikan teknologi cyber dan teknologi otomasi. Dengan demikian,
pendidikan Perguruan Tinggi 4.0 terarah pada tuntutan penyediaan kebutuhan
yang ditunjang dengan Internet of Things (IoT), Big Data dan Cyber Security.
Narasi sederhana yang banyak ditangkap dari diskursus perkembangan revolusi
industri 4.0 tersebut yaitu kemajuan teknologi informasi berbasis internet yang
supercepat yang dapat dijadikan sebagai penunjang Perguruan Tinggi
menyelenggarakan pendidikan.

Diskursus melalui seminar tentang tema-tema revolusi industri 4.0 yang


dikaitkan dengan Perguruan Tinggi terhenti pada akhir tahun 2019 ketika mulai
merebaknya wabah Corona Virus Disease (Covid-19). Revolusi industri 4.0
dengan seluruh disrupsinya diuji secara mengejutkan oleh Covid-19, salah
satunya melalui pembelajaran daring terkoneksi internet yang dilakukan oleh
seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Pada sisi lain, banyak industri
melakukan PHK terhadap pekerja dan operasi industri berhenti total, sistem
robot industri pengganti tenaga manusia yang menjadi ciri revolusi industri 4.0
tidak bisa diharapkan. Kenyataannya, semua kampus maupun industri ditutup
selama pandemi. Arus perubahan revolusi 4.0 dengan Covid-19 tampaknya
dapat dipandang sebagai suatu siklus sejarah yang bertalian memberikan
dampak sosiologis terhadap semua sektor kehidupan, khususnya pengelolaan
pendidikan Perguruan Tinggi di Indonesia.
Pasca pandemi Covid-19 nantinya akademisi dapat melakukan reanalisis
apakah sistem Perguruan Tinggi di Indonesia berhasil atau tidak memasuki ere
revolusi 4.0 selama masa pandemi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas,
penulis tertarik melakukan kajian dengan judul, “Pendidikan Perguruan Tinggi
Era 4.0 dalam Pandemi Covid-19 (Refleksi Sosiologis)” Penulisan ini bertujuan

mengulas situasi pendidikan Perguruan Tinggi dalam diskursus era revolusi 4.0
saat ini berada pada masa pandemi Covid-19. Berdasarkan pendahuluan di atas,
maka rumusan masalah penulisan ini adalah “Bagaimanakah gambaran
pendidikan Perguruan Tinggi era 4.0 dalam pandemi Covid-19 sebagai suatu
refleksi sosiologis?

2. Pembahasan
2.1. Hakikat Pendidikan Tinggi

Pendidikan menjadi indikator pembangunan sumber daya manusia dalam


sebuah bangsa. Oleh karena itu, kualitas manusia sebagai warga negara suatu
bangsa sangat bergantung pada kualitas pendidikan. Dengan demikian, maka
pendidikan menjadi salah satu bidang terpenting sekaligus strategis dalam
pembangunan nasional yang dapat menunjang kualitas hidup serta kesejahteraan
masyarakat.

Djumransyah (2004: 22) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan


usaha manusia menumbuhkan serta mengembangkan seluruh potensi
pembawaan jasmani maupun rohani sesuai nilai yang terdapat dalam
masyarakat dan nilai kebudayaan. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa
pendidikan menjadi proses yang tidak akan pernah berhenti dalam artian selalu
dinamis mengikuti tata nilai ideal masyarakat dan pertumbuhan kebudayaan
dari zaman ke zaman. Oleh karena itu pendidikan selalu berkembang memasuki
setiap fase perubahan mengadaptasi apa yang pendidikan hasilkan, misalnya
saat ini pendidikan memasuki fase revolusi industri 4.0.

Perubahan-perubahan besar seperti lompatan tahapan revolusi industri 4.0


tidak bisa dilepaskan dari pendidikan yang telah memberikan kontribusi besar
terhadap kelanjutan sains dan teknologi pada masa lalu hingga hari ini. Praktik
pendidikan tidak bisa dilepaspisahkan dari setiap bagian unsurnya. Triyanto
(2014: 24-26) menjelaskan unsur-unsur pendidikan meliputi beberapa unsur
sebagai beriku.

Pertama; unsur tujuan pendidikan. Tujuan ini secara sistemik termuat


dalam Undang-Undang Sisdiknas yakni mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kedua; unsur kurikulum merupakan seperangkat rencana pembelajaran
yang mencakup tujuan, isi dan bahan pelajaran. Dalam kurikulum juga
dirumuskan cara yang digunakan menjadi pedoman pelaksanaan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan terdapat di dalamnya makna
interaksi antara pendidik dan peserta didik.

Ketiga; peserta didik merupakan anggota masyarakat yang berupaya


mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada
jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Keempat; unsur pendidik, merupakan tenaga kependidikan yang


kualifikasi sebagai, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor,
instruktur, fasilitatir, dan sebutan lain yang sesuai dengan spesifikasi
partisipasinya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kelima; unsur interaksi edukatif merupakan proses interaksi peserta didik


dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Keenam; unsur isi pendidikan yaitu materi-materi pembelajaran yang


dapat digunakan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri. Lebih
lanjut dijelaskan materi-materi akan membekali peserta didik dengan kekuatan
spritual keagamaan, pengendalian diri, memiliki kepribadian dan akhlak mulia,
keserdasan dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

Ketujuh; lingkungan pendidikan yakni dijabarkan sebagai lingkungan


keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan pendidikan menjadi tempat
manusia berinteraksi timbal balik dalam pengembangan potensi diri.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan


tinggi pada hakikatnya merupakan usaha menumbuh kembangkan potensi diri
manusia sesuai tatanan nilai masyarakat dan kebudayaan. Potensi diri tersebut
mencakup potensi jasman dan rohani yang dikembangan sesuai tujuan
pendidikan yang ditunjang dengan kurikulum, pendidik, proses interaktif
edukatif menggunakan materi pelajaran. Seluruh proses ini harus ditopang
dengan lingkungan pendidikan yang baik sehingga proses pengembangan
potensi dapat dicapai sesuai tujuan pendidikan yang diharapkan.

Kedudukan pendidikan tinggi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor


12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi sebagaimana dijelaskan dalam
ketentuan umum bahwa pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah
pendidikan menegah yang mencakup program diploma, program sarjana,
program magister, program doktor, dan program profesi, serta program
spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan
bangsa Indonesia.

2.2. Perguruan Tinggi Era 4.0

Perguruan tinggi era 4.0 dikaitkan pada agenda besar perubahan arus
revolusi industri four point zero. Perkembangan ini merupakan fase keempat
revolusi industri yang dahulu dimulai pada abad ke-18. Pada tahapannya yang
paling mutakhir, revolusi industri pada babak keempat ini mengemuka dengan
krakteristik digitalisasi seluruh sektor kehidupan yang dimulai dari dunia
industri kemudian merembes ke sektor lainnya, termasuk pendidikan.

Perkembangan yang sedang berlangsung melahirkan berbagai istilah


sekaligus menawarkan pengetahuan baru berbasis teknologi digital yang kini
mewarnai nalar dan imajinasi dunia pendidikan seperti; Internet of Things
(IoT), Big Data, Argumented Reality, Cyber Security, Artifical Intelegence,
Addictive Manufacturing, Simulation, System Integeration, dan Cloud
Computing. Istilah-istilah tersebut menawarkan realitas maya berbasis teknologi
informasi yang canggih yang belum pernah dicapai sebelumnya oleh peradaban
umat manusia. Olla (2019) menjelaskan beberapa istilah tersebut sebagai
berikut.

Konsep teknologi berbasis Internet of Thing (IoT) secara konseptual


merupakan objek dengan kemampuan mentransfer data melalui jaringan. Proses
transfer ini tidak lagi memerlukan interaksi manusia. Lebih lanjut dicontohkan
jenis objek semacam ini dapat dilihat pada produk jarvis yang bisa mematikan
lampu di pagi hari.

Big Data. Istilah ini menggambarkan volume data dalam jumlah yang
sangat besar. Volume informasi ini bisa disusun, diolah, dianalisa dan disimpan
secara aman oleh pengguna. Saat ini big data telah banyak digunakan di sektor
bisnis karena dapat membantu menentukan arah bisnis. Dalam dunia perguruan
tinggi, big data dapat digunakan untuk menkombinasikan seluru data dalam
operasional pengelolaan perguruan tinggi, termasuk data-data penelitian
maupun data mahasiswa dan alumni yang telah terserap ke sektor lapangan
kerja sehingga mempermudah pelayanan informasi perguruan tinggi kepada
masyarakat.

Argumented Reality (AR) menjadi basis teknologi yang menggabungkan


benda maya dua dimensi dan ataupun tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan
nyata tiga dimensi lalu memproyeksikan benda-benda maya tersebut dalam
waktu nyata. Sebagai contoh jenis teknologi semacam ini dapat diamati pada
laporan cuaca atau simulasi siaran telivisi yang menampilkan wartawan berdiri
di atas peta cuaca yang berubah-ubah yang sebenarnya wartawan tersebut
berdiri di depan layar biru atau hijau. Proses semacam ini menggunakan teknik
chroma-keying. Teknik semacam ini juga digunakan dalam industri film
maupun olahraga seperti pada sepak bole di televisi iklan tertentu tiba-tiba jatuh
ke tengah lapangan di mana semua pemain berada merupakan pengembangan
dari Princeton Electronic Billboard.

Cyber security merupakan sistem yang menjadi upaya melindungi


informasi dari adanya cyberattack. Cyberattack dalam operasi informasi adalah
semua jenis tindakan yang sengaja dilakukan untuk mengganggu kerahasiaan
(confidentiality), integritas (integrity), dan ketersedian (availability) informasi.
Misalnya penggunaan fitur tertentu untuk melindungi data pelanggan dari
serangan hacker.

Artifical Intelegence ialah teknologi komputer dengan kecerdasan


layaknya manusia. Jenis teknologi ini bisa diatur manusia sesuai keinginan.
Fungsinya mempelajari data secara berkesinambungan. Keunggulannya terletak
pada semakin banyak data diterima dan dianalisis akan semakin baik teknologi
ini membuat prediksi.

Additive manufacturing merupakan terobosan baru industri manufaktur


yang sering dikenal menggunakan printer 3D. Dalam era digital saat ini, gambar
desain digital yang telah dibuat dapat diwujudkan menjadi benda nyata dengan
ukuran dan bentuk yang sama dengan desain sebenarnya atau dengan skala
tertentu.

Simulation. Model ini mewakili sistem, sedangkan simulasi mewakili


proses operasi dari waktu ke waktu yang dapat digunakan dalam banyak
konteks seperti penggunaan simulasi teknologi optimalisasi kinerja, simulasi
teknik keselamatan, simulasi pengujian, pelatihan dan pendidikan dan video
game.

Cloud Computing. Jenis ini disebut juga dengan istilah komputasi awan
atau teknologi yang menjadikan internet menjadi pusat pengelolaan data dan
aplikasi. Pengguna komputer diberikan hak untuk mengakses berbagai server
virtual sehingga terkonfigurasi server melalui internet. Misalnya penyediaan
server virtual yang bida digunakan penggunan membuat wesite online di user
internet.

Perkembangan teknologi tersebut merupakan capaian luar biasa dalam


kehidupan masa kini. Dengan demikian, manusia harus beradaptasi
menggunakan teknologi virtual terbarukan dalam pemenuhan kebutuhannya.
Dunia pendidikan juga tidak luput dari arus besar perkembangan teknologi
tersebut, sehingga institusi pendidikan seperti Perguruan Tinggi harus mampu
mengembangkan seluruh potensinya mengikuti arus besar perubahan melalui
revolusi industri 4.0 yang berlangsung.

Revolusi industri 4.0 menjadi tantangan positif bagi dunia Perguruan


Tinggi di Indonesia. Untuk menghandapi arus besar perubahan teknologi
tersebut, Menristekdikti (Rudianto, tth) menjelaskan lima elemen penting
mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Kelima elemen
tersebut diuraikan sebagai berikut.

Pertama; Persiapan sistem pembelajaran yang lebih inovatif di perguruan


tinggi seperti penyesuaian kurikulum pembelajaran dan meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam hal data Information Technology (IT),
Operational Technology (OT), Internet of Things (IoT), dan Big Data Analitic,
mengintegrasikan objek fisik, digital dan manusia untuk menghasilkan lulusan
perguruan tinggi yang kompetitif dan terampil terutama dalam aspek data
literacy, technological literacy and human literacy.

Kedua; Rekonstruksi kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang


adaptif dan responsif terhadap revolusi industri 4.0 dalam mengembangkan
transdisiplin ilmu dan program studi yang dibutuhkan. Selain itu, mulai
diupayakannya program Cyber University, seperti sistem perkuliahan distance
learning, sehingga mengurangi intensitas pertemuan dosen dan mahasiswa.
Cyber University ini nantinya diharapkan menjadi solusi bagi anak bangsa di
pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan tinggi yang berkualitas.

Ketiga; Persiapan sumber daya manusia khususnya dosen dan peneliti


serta perekayasa yang responsif, adaptif dan handal untuk menghadapi revolusi
industri 4.0. Selain itu, peremajaan sarana prasarana dan pembangunan
infrastruktur pendidikan, riset, dan inovasi juga perlu dilakukan untuk
menopang kualitas pendidikan, riset, dan inovasi.

Keempat: Terobosan dalam riset dan pengembangan yang mendukung


Revolusi Industri 4.0 dan ekosistem riset dan pengembangan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas riset dan pengembangan di Perguruan
Tinggi, Lembaga Litbang, LPNK, Industri, dan Masyarakat.

Kelima; Terobosan inovasi dan perkuatan sistem inovasi untuk


meningkatkan produktivitas industri dan meningkatkan perusahaan pemula
berbasis teknologi.

Sejelan dengan pendapat tersebut di atas, Iswan dan Herwina (2018: 21-
22) menjelaskan bahwa Perguruan tinggi memang dituntut mengantisipasi
pesatnya perkembangan teknologi dalam era revolusi industri 4.0. Langkah
antisipasi yang dilakukan mencakup penyesuaian kurikulum dengan iklim
bisnis yang berkembang. Semua hal terdorong untuk kompetitif mengikuti pola
perkembangan teknologi informasi. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa
perkembangan yang terjadi juga mempengaruhi karakter manusia dan dunia
kerja sehingga keterampilan yang dibutuhkan juga cepat berubah.

Penjelasan tersebut menunjukkan efek dari revolusi industri 4.0 tidak


hanya pada bentuk penemuan teknologi baru tapi juga pergeseran keterampilan
yang dibutuhkan oleh manusia. Dengan demikian, maka setiap individu harus
memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan yang ada. Perguruan tinggi
harus mampu mempersiapkan peserta didiknya menyerap perubahan yang
berlangsung dengan karakter yang kuat dan keterampilan kerja yang baik.
Sehingga lulusan yang dipersiapkan sangat berorientasi pada respon kebutuhan
dunia kerja di dunia industri maupun lulusan dengan kepeloporan baru lapangan
kerja berbasis digital.

Orientasi lapangan kerja menjadi ajang persaingan yang tidak hanya


membutuhkan skill namun juga membutuhkan karakter diri yang kuat. Sehingga
perpaduan karakter yang kuat dan keterampilan merupakan unsur penting untuk
menjawab tuntutan kebutuhan dunia kerja saat ini. Iswan dan Herwina (2018:
22) lebih lanjut menjelaskan bahwa dunia kerja saat ini merupakan integrasi
pemanfaatan internet dengan lini produksi dunia industri berbasis teknologi dan
informasi. Untuk itu pengembangan model dan konsep pendidikan berbasis
karakter secara umum dapat dikembangkan melalui konsep multiple intelligence
yang perlu diintegrasi dengan nilai-nilai religius ke dalam mata kuliah yang
ditawarkan dalam pendidikan.

Gagasan tersebut dapat menjadi solusi mengingat pendidikan tidak hanya


bertujuan membekali peserta didik dengan keterampilan teknis berbasis
teknologi semata, namun pendidikan tinggi harus mampu menjadikan peserta
didiknya menjadi manusia yang beriman dan berakhlak mulia. Sehingga, sangat
dibutuhkan integrasi antara iman dan ilmu berbasis akhlak dengan keterampilan
berbasis teknologi.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa


pendidikan Perguruan Tinggi era 4.0 merupakan konsep transformasi sistem
pendidikan tinggi menuju sistem digitalisasi yang ditunjang oleh sistem
teknologi virtual yang canggih. Dengan demikian, Perguruan Tinggi yang
adaptif terhadap perubahan ini melakukan resistematisasi kurikulumnya untuk
lebih kompetibel dengan arus revolusi industri 4.0. Dari segi kebijakan
Perguruan Tinggi juga dilakukan pengembangan disiplin ilmu dan program
studi menuju Cyber University dengan sistem perkuliahan distance learning.
Dosen merupakan sumber daya manusia penentu tranformasi Perguruan Tinggi
4.0, sehingga mereka dituntut responsif perubahan untuk profesional dan
melakukan terobosan riset dan pengembangan. Sehingga, Perguruan Tinggi
dapat menjadi basis pelbagai terobosan inovatif lain berbasis teknologi.

Ditinjau dari segi peserta didik, dalam era 4.0 ini mahasiswa perlu lebih
fokus pada pengembabangan keterampilan dan kreatifitas yang harus ditunjang
dengan kemampuan digital. Paradigma yang digunakan membedah perubahan
harus senantiasa fleksibel dan sensitif terhadap perubahan. Sosiologi perubahan
menunjukkan gejala interaksi dengan kemampuan multibahasa, artinya setiap
orang harus memiliki kemampuan bahasa yang cukup untuk berinteraksi dan
membangun jaringan.

2.3. Perguruan Tinggi dalam Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 menjadi problem kemanusiaan yang mendunia dan


tragedi akademik yang tidak diperidiksikan sebelumnya. Munculnya wabah ini
seketika menghentikan denyut eforia diskursus revolusi industri 4.0 di
Perguruan Tinggi dalam banyak seminar pendidikan dan semua civitas
akademik seolah tercengang dan mengalami kepanikan terhadap segala
ketidaksiapan sistem sarana dan prasarana perguruan tinggi yang belum
memadai di tengah pandemi Covid-19. Ketidaksiapan sistem Perguruan Tinggi
menghadapi pandemi saat ini seolah justru menjadi ketidakpastian pengelolaan
Perguruan Tinggi menawarkan pemandangan yang menarik dianalisis secara
sosiologis mencakup beberapa hal sebagai berikut.

a. Tragedi Akademik

Tragedi akademik dalam penulisan reflektif ini secara sosiologis dapat


ditunjukkan pada gugurnya mahasiswa di Sulawesi Selatan hanya untuk
mencari jaringan internet untuk memenuhi kewajiban kuliah daring. Seperti
dilansir oleh Ishak (2020) bahwa salah satu mahasiswa semester dua pada
Program Studi PGSD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar mengalami kecelakaan motor pada saat mencari
jaringan internet untuk kuliah online. Tragedi yang sama juga dialami oleh RS,
salah satu mahasiswa Universitas Hasanudin Makassar. Seperti dilansir Djaman
(2020), RS meninggal dunia usai terjatuh dari menara masjid setelah berupaya
mencari sinyal internet untuk mengerjakan tugas kuliah secara online.

Dua fakta tragedi tersebut menunjukkan bahwa program Cyber


University untuk mewujudkan sistem perkuliahan distance learning atau kuliah
daring untuk mengurangi intensitas pertemuan dosen dan mahasiswa masih jauh
dari harapan. Dua peristiwa meninggalnya mahasiswa terbaik itu harus menjadi
koreksi bahwa uji coba sistem Cyber University kedepannya akan terbatas di
kawasan kota dengan dukungan jaringan telekomunikasi yang baik.
Pembelajaran daring yang menjadi satu- satunya saluran alternatif selama
pandemi memerlukan evaluasi secara holistik karena dirasakan kurang efektif
memaksimalkan pembelajaran di Perguruan Tinggi. Meskipun demikian,
perkuliahan daring dengan distance learning haruslah dimodifikasi dengan
berbagai sarana penunjang termasuk kurikulum dan metode perkuliahan yang
sesuai dengan ruang dan waktu pembelaran daring. Sistem daring yang saat ini
digunakan harus dicanggihkan agar lebih efisien digunakan sebagai alternatif di
masa depan.

b. Budaya Dosen dan Mahasiswa

Budaya menjadi salah satu aspek pengamatan menarik di tengah


pandemi. Dosen didorong melaksanakan perkuliahan sesuai target kurikulum
yang berlaku menggunakan berbagai aplikasi seperti Zoom, Classroom, Group
Watshap dan aplikasi lainnya terkedala waktu tatap muka yang terbatas serta
memperhitungkan resiko biaya bagi mahasiswa di setiap daerah. Salah satu
masalah yang tampaknya bersifat umum terletak pada jaringan telekomunikasi
yang belum memadai sebagai pendukung pembelajaran daring yang dilakukan.
Banyak dosen beralih ke metode penugasan sebagai pengganti kehadiran
mahasiswa dalam pembelajaran daring.

Aspek budaya ini dilihat dari sudut pandang mahasiswa jauh lebih
kompleks lagi. Realitas menunjukkan banyak mahasiswa mengeluhkan biaya
aplikasi yang digunakan selama kuliah daring. Dari segi penyelesaian studi
melalui penulisan karya tulis ilmiah (skripsi) juga diusulkan untuk ditiadakan
melalui upaya petisi penghapusan skripsi dan bebas biaya kuliah di tengah
pandemi. Fenomena ini menunjukkan mentalitas peserta didik yang belum
memiliki kematangan pemecahan masalah yang baik. Padahal jika dianalisis,
tugas akhir ini bisa diselesaikan dengan beralih ke penelitian kepustakaan
(library research) pada masing-masing bidang jurusan yang dapat memperkaya
khazanah riset yang bersifat teoritik.

Keluhan utama seperti minimnya referensi cetak juga menunjukkan


mahasiswa belum memiliki budaya literasi digital yang baik. Semua jenis
referensi dapat diakses dan dikelola secara baik dari internet. Literasi digital
untuk mengakses berbagai referensi merupakan alternatif penunjang
pembelajaran daring. Hal ini sangat berguna untuk memberikan penguatan
informasi berkaitan dengan pokok bahasan perkuliahan daring yang dilakukan
dalam situasi terbatas. Mahasiswa bisa membaca dan memiliki banyak waktu
mengeksplorasi referensi di tengan pandemi. Masalah yang jauh lebih serius
lagi kesempatan pandemi hanya digunakan sebagai momentum liburan tanpa
kegiatan akademis yang berarti.

c. Konstuksi Kebijakan
Kebijakan kelembagaan Perguruan Tinggi hanya memperhitungkan
pencegahan Covid-19 melalui pengehentian aktivitas perkuliahan secara
langsung kemudian dialihkan ke perkuliahann daring. Hampir semua kampus
tidak memiliki tim gugus covid-19 untuk menentukan protokol perkuliahan
daring secara ketat kepada mahasiswa, termasuk pelarangan pulang kampung
dalam artian kampus membatasi mahasiswanya berada di kota untuk akses
jaringan sebagai penunjang utama perkuliahan daring. Kebiajakan tim gugus
covid-19 di tiap kampus juga bisa memberikan ruang kepada lembaga-lembaga
kemahasiswaan berperan aktif memonitoring mahasiswa secara virtual serta
memberikan edukasi kepada masyarakat secara digital.

c. Ruang Akademik Virtual

Ruang akademik virtual menjadi alternatif bagi agenda-agenda akademik


selama pandemi. Kegiatan pembelajaran daring yang dilakukan secara blended
learning atau gabungan tatap muka dengan e-learning menggunakan video
confrences dan forum and chats. Model pembelajaran dengan blended learning
ini digunakan semua Perguruan Tinggi untuk menjamin proses pembelajaran
dapat tetap berlangsung.

Agenda lainnya dapat diamati sebagai dinamika akademik virtual yaitu


munculnya kegiatan perbincangan pendidikan di tengah pendemik melalui
Webinar atau seminar online. Teknik seminar ini dilakukan dengan melibatkan
pembicara membagikan materi seminar melalui situs web dan tatap muka
virtual menggunakan aplikasi berbasis internet yang tergolong media baru
seperti zoom dan classroom. Pesertanya diikuti akademisi dan mahasiswa
maupun untuk umum. Ruang akademik virtual lainnya juga tumbuh melalui
prakarsa elemen mahasiswa melalui siarang langsung dialog menggunakan
aplikasi instagram.

d. Massifikasi Literasi Digital

Meskipun situasi serba terkendala jaringan telekomunikasi di setiap


daerah di Indonesia, semangat literasi digital tampaknya meningkat selama
pandemi. Literasi digital ini dalam berbagai bentuk berupa penelusuran
informasi edukatif berkaitan dengan Covid-19 maupun pemanfaatan teknologi
selama pembelajaran daring dilakukan. Dosen dan mahasiswa dituntut kritis
terhadap berbagai pemberitaan di media massa dan media sosial terkait
pencegahan Covid-19 sehingga tidak terjebak dalam hoax pemberitaan.

Literasi digital memberikan manfaat besar salah satunya mengisi ruang


kosong rutinitas civitas akademik selama pandemi. Dalam buku Materi
Pendukung Literasi Digital (Kemendikbud, 2017: 5) dijelaskan bahwa literasi
digital menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan kritis
kreatif. Dengan demikian, masyarakat tidak akan termakan isu provokatif,
korban hoax, atau korban penipuan digital sehingga kehidupan sosial dan
budaya masyarakat dapat aman dan kondusif. Dinamika literasi digital selama
pandemi menunjukkan pelibatan peran civitas akademik yang dapat menjadi
indikator pencapaian dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa


pendidikan Perguruan Tinggi era 4.0 dalam pandemi Covid-19 menunjukan
dinamika yang kompleks. Dalam konteks revolusi industri 4.0, pendidikan
Perguruan Tinggi diharapkan menjadi instrumen utama pemajuan potensi
bangsa berbasis digital mendorong sumber daya manusia Indonesia untuk
mememnuhi kualifikasi komptensi teknologis di semua bidang akademik.
Sejalan dengan itu, tantangan baru muncul disaat mewabahnya Covid-19
menjadi cobaan sekaligus instrumen ujicoba gagasan-gagasan besar sistem
teknologi yang dicanangkan istitusi pendidikan Perguruan Tinggi seperti misi
Cyber University dan model pembelajaran daring dengan distance learning.

Secara sosilologis dapat dipahami bahwa seluruh sistem pembelajaran


bebasis digital yang saat ini diandalkan memiliki banyak kelemahan yang tidak
terduga. Fakta tragedi gugurnya mahasiswa yang berjuang mencari akses
jaringan di pelosok desa untuk kuliah online menunjukkan lemahnya sistem
jaringan telekomunikasi belum merata. Sehingga konsep besar Cyber University
yang diharapkan menawarkan pembelajaran daring dengan sistem distance
learning bagi mahasiswa di pelosok-pelosok masih jauh dari kenyataan.
Kelemahan lainnya datang dari segi budaya dosen maupun mahasiswa. Banyak
dosen yang beralih ke metode penugasan sehingga pembelajaran daring yang
diharapkan mentransmisi pengetahuan sesuai kurikulum tidak maksimal. Selain
itu, budaya peserta didik (mahasiswa) juga belum memiliki mental belajar
mandiri sehingga lebih terkesan menginginkan proses pembelajaran yang
mudah.

Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, pendidikan tinggi di tengah


pademi menunjukkan beberapa dinamika positif seperti pemanfaatan teknologi
digital terbarukan. Dari proses ini menciptakan ruang akademik virtual bagi
dosen dan mahasiswa beraktualisasi melalui webinar (seminar online) dan
diskusi via instagram. Hal ini menunjukkan peningkatan literasi digital secara
masif di tengah pandemik Covid-19.

3. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan


sebagai berikut.
Pendidikan merupakan proses penyadaran secara sistemik untuk
pengembangan potensi peserta didik menjadi manusia yang memiliki iman dan
taqwa dan berilmu, kreatif, serta mandiri. Proses ini dilaksanakan berdasarkan
kurikulum yang terencana yang melibatkan peserta didik dan unsur pendidik
dalam situasi interaksi secara edukatif dalam rangka transformasi materi
pembelajaran.

Pendidikan Perguruan Tinggi era 4.0 merupakan konsep transformasi


sistem pendidikan tinggi menuju sistem digitalisasi yang ditunjang oleh sistem
teknologi virtual yang canggih. Perguruan Tinggi yang adaptif terhadap
perubahan revolusi industri 4.0 melakukan resistematisasi kurikulum akademik,
mendesain kebijakan pengembangan disiplin ilmu dan program studi menuju
Cyber University dengan dukungan sumber daya dosen yang profesional,
responsif dan mampu melakukan terobosan riset.

Pandemi Covid-19, secara sosiologis, merupakan tantangan kemanusiaan


sekaligus koreksi terhadap gagasan-gagasan besar sistem teknologi yang
dicanangkan institusi pendidikan Perguruan Tinggi seperti misi Cyber
University dan model pembelajaran daring dengan distance learning. Fakta
menunjukkan bahwa sistem pembelajaran daring bebasis digital yang
diandalkan memiliki kelemahan akases jaringan belum memadai, sehingga
konsep besar Cyber University yang diharapkan menawarkan pembelajaran
daring dengan sistem distance learning bagi mahasiswa di pelosok-pelosok
masih jauh dari kenyataan. Kelemahan lainnya datang dari segi budaya dosen
maupun mahasiswa. Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, pendidikan
tinggi di tengah pademi menunjukkan beberapa dinamika positif seperti ruang
akademik virtual bagi dosen dan mahasiswa beraktualisasi melalui webinar
(seminar online) dan diskusi via instagram serta mobilitas peningkatan literasi
digital secara masif di tengah pandemik Covid-19.

DAFTAR PUSTAKA

Djaman, Fahri. 2020. “Jatuh dari Menara Masjid, Mahasiswa Unhas Meninggal
Usai Cari Sinyal Internet untuk Kuliah Online” (Berita, 8 Mei 2020 17:25
WITA) Diakses di https://makassar.terkini.id/ pada tanggal 7 Juni 2020.

Djumransjah, M. 2004. Filasafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing.


Ishak. 2020. “Demi Kuliah Online, Nyawa Mahasiswi Unismuh Melayang”
(Berita Peristiwa, Kamis, 9 April

2020 14.45) Diakses dari https://fajar.co.id/ pada tanggal 7 Juni 2020.

Iswan dan Herwina. 2018. “Penguatan Pendidikan Karakter Perspektif Islam


dalam Era Millenial IR. 4.0” Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Era
Revolusi “Membangun Sinergitas dalam Penguatan Pendidikan Karakter pada
Era IR 4.0” Universitas Muhammadiyah Jakarta, Indonesia, 24 Maret 2018
ISSN : 2621-6477

Olla, Kevin. 2019. “Era Revolusi Industri 4.0: Semua Hal Yang Perlu Kamu
Ketahui”. Artikel. Diakses di https://www.jagoanhosting.com pada tanggal 7
Juni 2020.

Triyanto, Teguh. 2014. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.


Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Salinan. Diakses di

http://simkeu.kemdikbud.go.id/ pada tanggal 7 Juni 2020.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang


Pendidikan Tinggi. Salinan. Diakses di https://lldikti8.ristekdikti.go.id pada
tanggal 7 Juni 2020.
JURNAL INTERNASIONAL

Homeschooling: Strategi Pembelajaran


Pendidikan Nonformal 4.0
Kemajuan dalam Penelitian Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora, volume 382

Konferensi Internasional ke-5 tentang Pendidikan dan Teknologi (ICET 2019)

Imam Shofwan

Department of Nonformal Education Faculty of Science, Universitas Negeri Semarang,


Indonesia ishofwan@mail.unnes.ac.id

Liliek Desmawati

Department of Nonformal Education Faculty of Science, Universitas Negeri Semarang,


Indonesia liliek@mail.unnes.ac.id

Trijoko Raharjo

Department of Nonformal Education Faculty of Science, Universitas Negeri Semarang,


Indonesia trijokoraharjo@mail.unnes.ac.id

Irlan Widya Santosa

Department of Nonformal Education Faculty of Science, Universitas Negeri Semarang,


Indonesia irlandsantosa24@gmail.com

Abstrak:
Homeschooling merupakan pendidikan alternatif yang diselenggarakan
pada jalur pendidikan nonformal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui penerapan strategi pembelajaran Homeschooling dalam Revolusi
Industri 4.0. Metode observasi, dokumentasi, wawancara pribadi dengan Ketua,
humas, staf akademik, tutor. Penelitian ini menunjukkan (1) Strategi manajemen
pembelajaran yang sistematis: Perencanaan pembelajaran dengan kurikulum
berbasis kecakapan hidup, pelaksanaan pembelajaran dimulai dengan
memotivasi siswa, dilanjutkan dengan penyampaian materi pembelajaran dan
evaluasi pembelajaran dilakukan setiap 2 minggu sekali dalam rapat manajemen
pembelajaran kepada mengetahui perencanaan pembelajaran, pelaksanaan,
pengembangan belajar anak, metode pembelajaran dan evaluasi tutor; (2)
Strategi penyampaian pembelajaran dengan memberikan informasi atau materi
pembelajaran menggunakan metode baru Blended learning (tatap muka dan
berbasis web online) dalam strategi pembelajaran nonformal di Indonesia.
Keterbatasan penelitian ini belum menjelaskan strategi organisasi Pembelajaran
yang dijalankannya.

Kata kunci: homeschooling, strategi pembelajaran 4.0, pendidikan informal

1. PENDAHULUAN

Revolusi Industri 4.0 adalah era digitalisasi, secara singkat pengertian


Industri 4.0 adalah tren di dunia industri yang menggabungkan teknologi
otomasi dengan teknologi Cyber[1]. Era revolusi Industri 4.0 tentunya akan
membawa banyak perubahan dengan segala konsekuensinya, untuk itu dunia
pendidikan juga harus meningkat mengikutinya. Salah satu pemikiran yang
perlu dilakukan adalah menyiapkan strategi pembelajaran, teknologi, dan
infrastruktur yang mendukung atau digunakan dalam proses pembelajaran serta
kompetensi sumber daya manusia atau guru. Berkaitan dengan pembelajaran
adalah upaya mengarahkan siswa ke dalam proses pembelajaran sehingga dapat
memperoleh tujuan pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan [2].

Keberhasilan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor dalam


pelaksanaannya. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan berbagai unsur atau
komponen pendidikan, yang meliputi antara lain: pendidik, peserta didik, tujuan
pembelajaran, isi atau materi pembelajaran, sarana dan prasarana pembelajaran,
yang terbungkus dalam kurikulum. Sehubungan dengan perkembangan
kurikulum Di Indonesia telah berubah [3] dari kurikulum Rencana
Pembelajaran 1947, kurikulum Rencana Pendidikan Sekolah Dasar 1964,
kurikulum Sekolah Dasar 1968, Kurikulum Proyek Pengembangan Sekolah
Percontohan 1973, kurikulum dasar 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994,
Revisi Kurikulum 1994, Kurikulum Percontohan Berbasis Kompetensi atau
(KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KSTP) 2006, Kurikulum
2013. Perubahan kurikulum yang diterapkan di Indonesia juga akan
mempengaruhi proses pembelajaran yang dilakukan. Istilah belajar setara
dengan kata-kata dalam pengajaran bahasa Inggris, yang berarti proses
membuat orang belajar. Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan
pendidik dan sumber belajar di lingkungan belajar. Belajar adalah bantuan yang
diberikan oleh pendidik untuk proses memperoleh pengetahuan dan
pengetahuan, serta memberikan sikap dan keyakinan kepada peserta didik.
Tujuannya adalah untuk membantu orang belajar atau memanipulasi.
Lingkungan sehingga memudahkan orang yang belajar. Pembelajaran juga
mencakup peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam bahan cetak, gambar,
program radio, televisi, film, slide, atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut
[2].
Strategi pembelajaran berkaitan dengan (1) Pengorganisasian
Pembelajaran, (2) Penyampaian pembelajaran dan, (3) pengelolaan
pembelajaran yang dilakukan untuk pencapaian prestasi belajar. Strategi
pengorganisasian dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu strategi mikro dan strategi
makro. Strategi mikro mengacu pada metode untuk mengatur konten
pembelajaran yang berkisar pada satu konsep, atau prosedur atau prinsip.
Strategi makro mengacu pada metode untuk mengatur konten pembelajaran
yang melibatkan lebih dari satu konsep atau prosedur atau prinsip. Fungsi
Strategi Penyampaian pembelajaran adalah: (1) Menyampaikan isi
pembelajaran kepada siswa, dan (2) memberikan informasi atau materi yang
dibutuhkan siswa untuk menampilkan unjuk kerja. Strategi manajemen
pembelajaran dibagi menjadi tiga bagian yaitu, (1) perencanaan untuk
merancang pembelajaran yang akan dilakukan, (2) Implementasi untuk
merencanakan pembelajaran dan (3) evaluasi pembelajaran untuk menentukan
hasil pembelajaran[5]. Dalam mengelola belajar perlu dipikirkan strategi
pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Strategi pembelajaran adalah rencana yang berisi rangkaian kegiatan yang
dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Strategi pembelajaran sangat dibutuhkan dalam proses belajar mengajar,


karena dengan strategi yang baik yang dilakukan oleh guru kepada siswa
merupakan dampak dari perkembangan belajar mengajar di kelas. Adapun
strategi pembelajaran, jenisnya terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu (1)
Pengorganisasian Pembelajaran, (2) Penyampaian pembelajaran, dan (3)
pengelolaan pembelajaran. Setidaknya ada enam pilihan strategis yang berbeda
dan signifikan yang dapat dikembangkan dan diimplementasikan untuk
mencapai tujuan organisasi pembelajar. Ini adalah (1) Strategi infrastruktur
sistem informasi; (2) Strategi pengelolaan kekayaan intelektual; (3) strategi
pembelajaran individu; (4) Strategi pembelajaran organisasi; (5) Strategi
manajemen pengetahuan; (6) Strategi Inovasi [6].

Disamping itu dalam merencanakan strategi pembelajaran juga perlu


dipikirkan dari segi konsep pembelajaran, model pembelajaran, pendekatan
pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran yang akan dilakukan untuk
mewujudkan prestasi dalam pembelajaran. Homeschooling merupakan solusi
efektif di tengah kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan output yang
berkualitas [7]. Homeschooling adalah pendidikan yang secara sadar, teratur
dan terarah yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga di rumah atau tempat
lain dimana proses pembelajaran dapat berlangsung dalam suasana yang
kondusif dengan tujuan agar setiap potensi anak dapat berkembang secara
optimal.

Berbicara tentang sejarah pendidikan online, pertama kali dilakukan pada


tahun 1960 yang dilakukan di The University of Illinois di Chicago, AS yaitu
mengadakan kuliah dengan sistem terminal komputer yang terhubung dimana
mahasiswa dapat mengakses materi kuliah, serta mendengarkan ceramah yang
direkam. [9]. Selanjutnya pendidikan online dilakukan di Indonesia pada tahun
1999 yang dilakukan oleh kampus Universitas Indonesia dengan
menyelenggarakan sistem pendidikan jarak jauh yang dikenal dengan Student-
Centered e-Learning Environment atau disingkat AS SCELE[10].

Pemahaman dunia pendidikan yang selama puluhan tahun dalam


pembelajaran masih di dalam kelas dan tatap muka, kini beralih pembelajaran di
luar kelas seperti pembelajaran online yang memungkinkan siswa belajar
sendiri, berkelompok, dan berkolaborasi dengan teman sebaya untuk
Menciptakan pembelajaran Komunitas atau kelompok [11]. Pendidikan di era
Revolusi Industri 4.0 mengalami perubahan yang sangat besar dalam bidang
Pendidikan menggunakan teknologi yang digunakan dalam proses pembelajaran
dengan menggunakan pembelajaran online lebih-learning dan campuran
blended learning, dengan teknologi dan sarana dan prasarana yang digunakan
dalam proses pembelajaran di negara maju dan negara berkembang. Perubahan
yang cukup drastis dan sporadis dalam bidang pendidikan merupakan bagian
penting dalam memberikan arah kemajuan kehidupan manusia.

Berkaitan dengan penelitian yang relevan antara lain penelitian pertama


yang dilakukan oleh [13] berjudul Homeschooling: Sebuah Pendidikan
Alternatif di Indonesia dengan hasil penelitian siswa merasa tertekan, sehingga
tidak dapat menjalani program pembelajaran dengan menyenangkan,
kegembiraan, dan penuh cinta. Penelitian kedua yang dilakukan oleh Fitriani
pada tahun 2015 tentang pelaksanaan Studi Sejarah di Homeschooling pada
Pembelajaran Jarak Jauh untuk mengetahui siswa dalam menyelesaikan tugas
dan latihan yang diberikan oleh manajemen Program manajemen
homeschooling Kak Seto dengan bantuan Web dari Internet[14] .Penelitian
Ketiga, tentang Studi Banding Manajemen Pembelajaran Homeschooling
Primagama dengan Homeschooling Anugrah Bangsa. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui dan membandingkan pengelolaan pembelajaran di
homeschooling mengenai aspek perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi pembelajaran, serta faktor pendukung dan
penghambatnya[15].

Perbedaan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi blended


learning yang berbeda dengan pembelajaran konvensional. Kurikulum berbasis
kecakapan hidup digunakan untuk menemukan dan mengembangkan potensi
siswa agar pembelajaran menjadi menyenangkan dan sesuai keinginan.
Pembelajaran nonformal bukanlah pembelajaran konvensional, melainkan
pembelajaran revolusioner dengan memanfaatkan teknologi di era digital.
Sehingga pembelajaran nonformal di Homeschooling Anugrah Bangsa dapat
dijadikan sebagai acuan model pembelajaran baru di era digital yang up to date
mengikuti perkembangan zaman.

2. TINJAUAN PUSTAKA Learning Revolution 4.0

Pemahaman dunia pendidikan selama puluhan tahun pembelajaran secara tatap


muka, kini beralih ke pembelajaran di luar kelas seperti pembelajaran online
yang memungkinkan siswa belajar sendiri, berkelompok, dan berkolaborasi
dengan teman sebaya untuk berkreasi sebuah komunitas atau kelompok studi
[11]. Pendidikan Revolusi Industri 4.0 mengalami perubahan yang sangat besar
dalam pendidikan dengan menggunakan teknologi yang digunakan dalam
proses pembelajaran menggunakan pembelajaran online (e-learning) dan
campuran blended learning. Dengan teknologi menggunakan sarana dan
prasarana yang digunakan dalam proses pembelajaran baik di negara maju
maupun berkembang. Perubahan yang cukup drastis dan sporadis dalam bidang
pendidikan merupakan bagian yang krusial dalam memberikan arah kemajuan
bagi kehidupan manusia.

Berkaitan dengan sejarah pendidikan online, pertama kali dilakukan pada


tahun 1960 dilakukan di The University of Illinois di Chicago, USA yaitu
mengadakan perkuliahan dengan sistem terminal komputer yang terkoneksi
dimana mahasiswa dapat mengakses materi Kuliah, dan mendengarkan rekaman
kuliah [16]. Selanjutnya pendidikan online, yang dilakukan di Indonesia pada
tahun 1999 dilakukan oleh kampus Universitas Indonesia dengan
menyelenggarakan sistem pendidikan jarak jauh yang dikenal dengan Student-
Centered e-Learning Environment atau lebih dikenal dengan SCELE [10].
Revolusi Pembelajaran merupakan perubahan pembelajaran yang dilakukan
sesuai dengan perkembangan zaman dan pembelajaran elektronik yang dikenal
dengan e-learning telah menimbulkan efek transformasi pendidikan dari bentuk
Konvensional ke dalam bentuk digital, baik dalam konten maupun dalam
bentuk sistem[17]. E-Learning adalah proses pembelajaran yang melibatkan
penggunaan peralatan elektronik dalam menciptakan, membantu dalam
pengembangan, penyampaian, penilaian dan memfasilitasi proses pembelajaran
peserta didik sebagai pusat Interaktif kapan saja dan di mana saja.

Strategi Pembelajaran Pendidikan Nonformal Strategi

Pembelajaran di era Revolusi industri 4.0 atau yang dikenal dengan era
digital membutuhkan strategi yang berbeda untuk proses pembelajaran yang
efektif dan efisien. Peserta didik atau anak tidak lagi memiliki guru di dunia
nyata, tetapi juga memiliki guru di dunia tidak nyata. Jadi, dalam proses belajar
atau mendidik anak atau siswa juga harus memiliki strategi yang berbeda.
Contoh guru nyata adalah orang tua, guru di sekolah dan guru tidak nyata
contoh adalah internet, smartphone, tablet atau laptop. Selain itu, media juga
menjadi faktor penentu dalam pembelajaran di era Revolusi Industri 4.0. Karena
media pembelajaran sebagai salah satu perangkat pembelajaran yang berfungsi
atau berguna dalam membantu guru menyampaikan pesan dan bahan pelajaran
kepada siswa secara efektif dan efisien.

Selain itu proses pembelajaran yang harus dilakukan di era Revolusi


industri 4.0 adalah melibatkan pendidik lebih rendah atau kurang dari
keterlibatan peserta didik. Dengan kata lain, peserta didik harus aktif dalam
proses pembelajaran. Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan
yang memuat rangkaian kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Strategi pembelajaran pada hakikatnya merupakan inti dari
pembelajaran untuk memadukan pendidik dan peserta didik serta sarana dan
prasarana untuk keberhasilan pembelajaran yang disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran.

Strategi pembelajaran diperlukan dalam proses pembelajaran karena


strategi yang baik yang dilakukan guru kepada siswa merupakan dampak dari
berkembangnya proses belajar mengajar di kelas[19]. Sedangkan untuk strategi
pembelajaran, jenisnya terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu (1) Pengorganisasian
Pembelajaran, (2) Penyampaian pembelajaran, dan (3) pengelolaan
pembelajaran. Setidaknya ada enam pilihan strategis yang berbeda dan
signifikan yang dapat dikembangkan dan diterapkan untuk mencapai tujuan
organisasi pembelajar. Ini adalah (1) strategi infrastruktur sistem informasi; (2)
strategi pengelolaan kekayaan intelektual; (3) strategi pembelajaran individu;
(4) strategi pembelajaran organisasi; (5) strategi manajemen pengetahuan; (6)
strategi inovasi [6]

Homeschooling

Homeschooling telah diterapkan di seluruh dunia di lebih dari 50 negara


karena berbagai alasan dalam implementasinya[20]. Alasan memilih
homeschooling adalah karena masalah atau ketidakselarasan pendidikan formal.
Beberapa orang memutuskan untuk pindah dari pendidikan formal ke
homeschooling karena merasa tidak nyaman setelah mendapatkan layanan
pendidikan formal. Selain itu, pilihan homeschooling yang dipertimbangkan
oleh orang tua dengan alasan seperti ketidakpuasan dengan sistem sekolah,
meningkatnya kejahatan di sekolah, biaya sekolah mahal di sekolah yang terus
meningkat, keyakinan bahwa anak-anak mereka tidak mendapatkan Banyak
keuntungan dari sistem sekolah konvensional[ 21].

Homeschooling pertama kali diadakan di Amerika Serikat di negara


tersebut sekitar tahun 1970-an masih ilegal dan legal pada tahun 1980-an dan
awal 1990-an. Seorang pendidik Amerika John Holt muncul sebagai pendukung
homeschooling. Dia menantang gagasan bahwa sistem sekolah formal
menyediakan tempat terbaik bagi anak-anak untuk belajar. Lambat laun,
sekelompok kecil orang tua mulai mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah
umum[21]. Homeschooling pertama kali diadakan di Indonesia mulai terjadi
pada tahun 2005 dan kehadirannya lebih dilatarbelakangi sebagai upaya
mengantisipasi keberadaan sekolah reguler (pendidikan formal) yang tidak
merata di Setiap daerah[22]. Homeschooling merupakan sistem pendidikan
alternatif yang saat ini menjadi salah satu pilihan orang tua dan masyarakat pada
umumnya untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Salah satu akal
sehat adalah Model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk
bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya dan mendidik anak-anak
mereka menggunakan rumah sebagai basis pendidikan. [24]. Homeschooling di
Indonesia diklasifikasikan ke dalam beberapa setelan formal sesuai dengan
tujuan, kondisi, dan kebutuhan masing-masing orang tua atau keluarga. Antara
lain: Homeschooling tunggal, Homeschooling komplek, dan Komunitas
Homeschooling. Komunitas homeschooling sebagai jalur pendidikan
nonformal, dimana mengacu pada keberadaan komunitas homeschooling dalam
UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 4 disebutkan bahwa komunitas
homeschooling merupakan salah satu bentuk kelompok Belajar. Komunitas
homeschooling adalah orang baru untuk dipilih dari orang tua.

Keberadaan komunitas homeschooling harus memiliki izin berbadan


hukum yang akan menaungi kepentingan dan keberadaan komunitas
homeschooling. Bentuknya bisa berupa pusat pembelajaran masyarakat,
perjuangan tinggi atau yayasan. Sehingga anak-anak yang mengikuti
homeschooling dapat didata oleh pemerintah dan mendapatkan layanan
pendidikan dan pada akhirnya dapat mengikuti ujian kesetaraan.
Homeschooling di Indonesia dalam pelaksanaannya diatur oleh kursus
pendidikan informal dalam hukum dari sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003 pasal 27 ayat 2 (kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh
kegiatan belajar keluarga dan lingkungan berbentuk independen. Meskipun
pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan
informal, hasil pendidikan informal diakui sama oleh pendidikan formal
(sekolah umum) dan informal setelah siswa lulus ujian mengikuti standar
nasional Pendidikan).

3. METODE

Penelitian ini menggunakan studi kasus dengan kualitatif pendekatan


penelitian dengan teknik pengumpulan data menggunakan observasi partisipan,
wawancara, dan dokumentasi terbimbing gratis, untuk memperoleh data dan
informasi yang akurat dengan pengetahuan yang mendalam tentang Strategi
Pembelajaran Pendidikan Non Formal 4.0: Kasus Studi di Homeschooling
Anugrah Bangsa Semarang. Metode observasi, dokumentasi, wawancara pribadi
dengan Ketua, humas, staf akademik, tutor. Selanjutnya proses analisis data
dengan tahapan (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan
(4) penarikan kesimpulan dan verifikasi.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Homeschooling merupakan sistem pendidikan alternatif yang saat ini


menjadi salah satu pilihan orang tua dan masyarakat pada umumnya untuk
memberikan pendidikan bagi anak-anaknya [23]. Homeschooling adalah suatu
pendekatan pendidikan anak dan remaja di mana orang tua berkomitmen pada
kepribadian mengambil peran yang menentukan dan signifikan dalam
membesarkan, mendidik, bersosialisasi, dan melatih anak-anak mereka [25].
Homeschooling dengan model pendidikan dengan keluarga memilih untuk
mengambil tanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya dan mendidik anak-
anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikan [24].

Alasan memilih homeschooling antara lain adanya permasalahan atau


ketidaksesuaian penyelenggaraan pendidikan formal. Beberapa orang
memutuskan untuk pindah dari pendidikan formal ke homeschooling karena
merasa tidak nyaman setelah mendapatkan layanan pendidikan formal. Selain
itu pilihan homeschooling menjadi pertimbangan orang tua dengan alasan
seperti ketidakpuasan terhadap sistem sekolah, meningkatnya kriminalitas di
sekolah, mahalnya biaya pendidikan di sekolah yang terus meningkat,
keyakinan bahwa anak-anaknya tidak banyak diuntungkan dari sistem sekolah
konvensional[21] . Selain itu persaingan antar siswa menyebabkan sebagian
siswa mengalami stres, menganggap belajar sebagai tanggung jawab yang
menyebabkan proses belajar tidak menyenangkan.

Homeschooling telah diterapkan di seluruh dunia sekitar lebih dari 50


negara dengan berbagai alasan dalam pelaksanaannya. Homeschooling pertama
kali diadakan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an masih secara ilegal dan
legal pada tahun 1980-an dan awal 1990-an. Seorang pendidik Amerika John
Holt muncul sebagai pendukung homeschooling. Dia menantang gagasan
bahwa sistem sekolah formal menyediakan tempat terbaik bagi anak-anak untuk
belajar. Secara bertahap, sekelompok kecil orang tua mulai mengeluarkan anak-
anak mereka dari sekolah umum [26]. Homeschooling pertama kali diadakan di
Indonesia mulai marak pada tahun 2005 dan kehadirannya lebih
dilatarbelakangi untuk mengantisipasi adanya sekolah reguler (pendidikan
formal) yang tidak merata di setiap daerah.

Homeschooling di Indonesia diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk


formal sesuai dengan tujuan, kondisi, dan kebutuhan masing-masing orang tua
atau keluarga. Termasuk homeschooling tunggal, homeschooling ganda, dan
komunitas homeschooling. Komunitas Homeschooling sebagai jalur pendidikan
nonformal, dimana acuan keberadaan komunitas Homeschooling tertuang dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 26
Ayat 4 menyebutkan bahwa Komunitas Homeschooling merupakan bentuk
kelompok belajar. Komunitas Homeschooling populer akhir-akhir ini yang
dipilih orang tua.

Sejarah berdirinya Homeschooling Anugrah Bangsa berawal dari


berdirinya franchise Semarang Homeschooling Kak Seto (HSKS) di Jalan Sari I
No. 3 Pedalangan, Banyumanik Semarang. Terdapat kendala dalam masalah
ijazah yang tidak diakui oleh pemerintah daerah yaitu ijazah tidak dapat
digunakan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dan tidak dapat dibandingkan
dengan ijazah pendidikan formal. Karena masalah ini, yayasan tersebut berganti
nama menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Anugerah Bangsa. Yayasan
tersebut berganti nama agar tidak lagi sulit melaksanakan UN dan ijazahnya
bisa diakui pemerintah.

Community Learning Activity Center merupakan wadah yang


membawahi bidang pendidikan, sosial dan budaya. Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat adalah tempat atau tempat dimana masyarakat dapat mengikuti
program kegiatan Belajar. Community Learning Center sebagai Pusat
pertukaran informasi dan kegiatan Pembelajaran di seluruh [27]. Selain itu,
pengelolaan program dilakukan oleh satuan pendidikan nonformal sebagai
tempat belajar dan sumber informasi yang dibentuk dan dikelola oleh
masyarakat yang berorientasi pada pemberdayaan potensi lokal untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat di bidang
ekonomi, sosial dan budaya.

Strategi pembelajaran berbasis kecakapan hidup

Perencanaan pembelajaran Homeschooling Karunia Bangsa dilakukan


dengan mengadakan pertemuan yang melibatkan berbagai pihak (supervisi
akademik, ketua lembaga, tutor dan wali siswa) yang dilakukan pada awal tahun
ajaran baru. Dalam rencana ini, semua pihak yang terlibat mengadakan diskusi
untuk membahas pengembangan kurikulum, model pembelajaran yang
diterapkan, sumber belajar dan hasil belajar siswa. Yang membedakan
pendidikan formal adalah pendekatan pembelajaran yang berbeda karena
pembelajaran tatap muka hanya dilakukan 3 kali dalam seminggu. Selebihnya
dilakukan dengan pembelajaran mandiri dan online. Pembelajaran dilakukan
dengan mengutamakan kebutuhan siswa daripada pembelajaran yang hanya
mempersiapkan ujian. Siswa bebas belajar sesuai dengan keterampilan yang
ingin mereka persiapkan untuk masa depan mereka.

Identifikasi Kebutuhan Belajar Identifikasi


Homeschooling dilakukan dengan menganalisis calon siswa yang akan.
Siswa di homeschooling Anugerah Nation. Identifikasi berkaitan dengan
karakter calon siswa, kendala dalam belajar, latar belakang siswa. Kegiatan
identifikasi kebutuhan belajar dilakukan dengan melakukan wawancara dengan
siswa dan wali atau orang tua siswa. Kepala homeschooling dan supervisi
akademik bertugas melakukan wawancara siswa baru.

Merumuskan maksud dan tujuan program Tujuan

Pembelajaran dirumuskan sesuai dengan visi dan misi Anugrah Bangsa


Homeschooling, antara lain: (1) Menjadikan warga belajar yang cerdas,
terampil, sehat, dan berbudi luhur, (2) membekali peserta didik menjadi peserta
didik yang berkualitas dan berprestasi. manusia, (3) Menjadikan warga belajar
yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Mulia, dan (4) membekali
peserta didik untuk memiliki keterampilan teknologi informasi dan komunikasi
dan (5) mampu mengembangkan diri dalam mengolah sumber daya alam yang
ada, (6) kompetensi dan beradaptasi Lingkungan dan membekali ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk mampu bersaing dan melanjutkan ke
perguruan tinggi. Selain itu, tujuan perencanaan Program Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat Anugrah Bangsa adalah untuk (1) memanfaatkan potensi
sumber daya manusia, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan warga
Belajar, (2) meningkatkan kesejahteraan pendidikan yang sadar akan
pentingnya pendidikan.

Sehubungan dengan tujuan program homeschooling Anugrah Bangsa


ditujukan kepada: (1) seluruh masyarakat yang membutuhkan pendidikan, (2)
Mereka yang sadar akan pentingnya pendidikan, (3) dan siswa yang tidak
terlayani secara formal. sekolah atau trauma di sekolah formal.

Sumber belajar dan sumber keuangan Sumber


Belajar yang terkait digunakan dalam proses pembelajaran yaitu modul
yang dibuat oleh tutor, buku teks dari penerbit, buku teks atau buku pendukung,
model pembelajaran e-learning dan bahan pendukung lainnya. Sumber dana
hanya dari biaya sekolah yang digunakan sebagai sarana penunjang kegiatan
belajar mengajar yang memadai.

Strategi Pelaksanaan Pembelajaran

Setiap siswa memiliki keunikannya masing-masing, oleh karena itu


dalam proses pembelajaran selalu ditanamkan bahwa pemahaman bukanlah
hafalan kecuali mata pelajaran yang menuntut siswa untuk menghafal. Peserta
didik juga disarankan untuk mengetahui pelajaran yang dipelajarinya agar tidak
menelan ilmu secara langsung. Pemilihan materi pelajaran didasarkan pada
buku-buku wajib yang rutin diadakan pada setiap pertemuan. Proses
pembelajaran adalah interaksi antara guru, siswa dan sarana atau komponen
yang diperlukan dalam pembelajaran. Proses pelaksanaan pembelajaran
dilakukan dengan memadukan teori dan praktik secara seimbang. Materi
pelaksanaan kegiatan homeschooling dimulai dari hal yang paling mendasar
dengan media pembelajaran yang telah difasilitasi oleh homeschooling. Metode
pembelajaran tergantung tutor menggunakan metode ceramah atau diskusi
untuk memperjelas ketercapaian materi. PARA tutor biasanya menggunakan
alat bantu powerpoint untuk memudahkan siswa merefleksikan apa yang
disampaikan oleh tutor.

Proses pelaksanaan pembelajaran di Homeschooling Anugrah Bangsa


disesuaikan dengan rencana yang ada berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, yang meliputi
kegiatan pendahuluan, kegiatan ini, dan kegiatan penutup. Namun dalam
pelaksanaannya proses pembelajaran dibuat lebih santai dan fleksibel. Setiap
guru dalam membuka pelajaran dilakukan dengan berdoa, dilanjutkan dengan
menjelaskan materi yang telah dipelajari sebelumnya. Kemudian guru
menjelaskan materi pelajaran dalam suasana santai dan menyenangkan. Waktu
belajar mengikuti jenjang, setara SD atau Paket A dengan durasi 30 menit,
setara A SMP atau Paket B dengan durasi 40 menit dan setara SMA atau Paket
C dengan durasi 45 menit Tes per mata pelajaran. Metode pembelajaran
Ceramah, diskusi, pembelajaran di dalam kelas dan di luar kelas seperti
kandang pintar, sawah organik, ekowisata waterpark, kandang lebah, taman
pintar, dan agrowisata dan perhotelan atau tutor lebih banyak melakukan
improvisasi mengikuti kondisi siswanya. Media Pembelajaran menggunakan
media yang tersedia di sekitar homeschooling.

Pada prinsipnya, pelaksanaan pembelajaran dalam program kesetaraan


ANSA Homeschooling lebih banyak membebaskan siswa. Hal ini terlihat
dengan tidak adanya seragam sekolah selama siswa berpakaian rapi dan sopan,
waktu belajar yang fleksibel tidak mengharuskan siswa untuk pergi ke sekolah
setiap hari. Dalam proses pembelajaran, setiap siswa bebas berkreasi dengan
apa yang menjadi bakat dan minatnya. Homeschooling menyediakan program
ekstrakurikuler, bagi siswa untuk dapat mengembangkan bakat sesuai dengan
kebutuhan siswa dan lebih fokus karena jumlah siswa yang lebih sedikit
dibandingkan pendidikan formal. Homeschooling juga menyediakan tempat
yang nyaman bagi siswa untuk belajar, seperti tersedianya AC di setiap ruangan
dan ruang yang memadai bagi siswa untuk belajar.
Kelas komunitas dalam program sederajat SMP di Homeschooling
dibatasi maksimal 5 anak dalam satu kelas. Metode pembelajaran yang
digunakan pada program SMP sederajat di Homeschooling sangat tergantung
pada kecerdasan seorang tutor dalam mengembangkan metode pembelajaran
yang menarik bagi siswa karena setiap tutor memiliki cara yang unik dan bebas
untuk mengimprovisasi metode atau media pembelajaran yang menarik
sehingga pelajaran mudah dipahami oleh peserta didik. Tutor di Homeschooling
dalam proses pelaksanaan pembelajaran dilakukan di masyarakat seperti
kegiatan menanam tanaman di masyarakat, proses pembelajaran praktis seperti
melakukan kunjungan ke lokasi atau tempat yang memiliki nilai pelajaran
seperti Museum dan tempat bersejarah lainnya. Selain itu, tutor juga sering
mengajak siswa untuk belajar di taman pintar homeschooling.

Strategi Evaluasi Pembelajaran Evaluasi

Program pembelajaran pada homeschooling Anugrah Bangsa Semarang


yaitu aspek kognitif dan afektif dievaluasi oleh tutor berupa tes tertulis dan
observasi. Tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui perkembangan belajar
siswa. Bentuk evaluasinya adalah latihan soal, ulangan harian, ulangan tengah
semester, dan ulangan akhir semester. Kecerdasan siswa tidak diukur dengan
nilai (kecerdasan intelektual) tetapi sampai sejauh mana tingkat kecerdasan
emosional dan keagamaan, sehingga ada semangat kebersamaan antar siswa,
antara siswa dengan tutor dan rasa hormat siswa kepada Kepala Sekolah, orang
tua dan rasa hormat siswa kepada kepala sekolah, orang tua dan masyarakat
sekitar. Selain itu, ada pertemuan tiga bulanan antara wali siswa dengan
manajemen dan TUtor, dan kepala sekolah untuk membahas kemajuan belajar
siswanya. Dan konsultasi yang menjadi bagian dari evaluasi tidak hanya setiap
3 bulan sekali, antara siswa dengan tutor dan orang tua dengan institusi.
Konsultasi dilakukan setiap saat, untuk mengontrol perkembangan siswa
melalui kerjasama antara orang tua, Tentor dan institusi, sehingga tujuan
pembelajaran terwujud.
Strategi Penyampaian Pembelajaran

Penyediaan informasi atau materi pembelajaran menggunakan metode


blended learning (tatap muka dan berbasis website online) yang merupakan hal
baru dalam strategi pembelajaran nonformal di Indonesia. Pembelajaran
dilakukan dengan berbasis website online yang dapat diakses pada laman
http://anugrahbangsa.fresto.co/ dan juga tatap muka yang dilakukan 3 kali
dalam seminggu. Blended Learning adalah program pendidikan formal yang
memungkinkan siswa untuk belajar (setidaknya sebagian) melalui konten dan
instruksi yang disampaikan secara online dengan kontrol independen dari
waktu, tempat, urutan, dan kecepatan belajar [28]. Selanjutnya, [29]
menyatakan: "Pembelajaran campuran adalah beberapa campuran instruksi
kelas tradisional (yang dengan sendirinya sangat bervariasi) dan instruksi yang
dimediasi oleh teknologi". Dengan kata lain, pembelajaran campuran atau
Blended learning merupakan perpaduan antara pembelajaran di kelas tradisional
dengan pembelajaran berbasis teknologi.

Model Rencana Pembelajaran Berbasis Blended Learning terdiri dari 3


tahap (1) analisis terkait pemecahan masalah, identifikasi sumber dan kendala
belajar, identifikasi karakteristik siswa, (2) perancangan terkait tujuan
pembelajaran, pemilihan dan penetapan strategi pembelajaran, pengembangan
pembelajaran sumber daya, (3) evaluasi terkait dengan uji coba, revisi, dan
prototipe Desain Pembelajaran [30].

5. KESIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan (1) Strategi manajemen pembelajaran yang


sistematis: Perencanaan pembelajaran dengan kurikulum berbasis kecakapan
hidup, pelaksanaan pembelajaran dimulai dengan memotivasi siswa, dilanjutkan
dengan penyampaian materi pembelajaran dan evaluasi pembelajaran dilakukan
Setiap 2 minggu sekali dalam pengelolaan pembelajaran pertemuan untuk
mengetahui perencanaan pembelajaran, pelaksanaan, perkembangan belajar
anak, metode pembelajaran dan evaluasi tutor; (2) Strategi penyampaian
pembelajaran dengan memberikan informasi atau materi pembelajaran
menggunakan metode Blended learning (tatap muka dan berbasis website
online) yang merupakan hal baru dalam strategi pembelajaran nonformal di
Indonesia. Keterbatasan penelitian ini belum dijelaskan oleh organisasi
Pembelajaran.

Daftar Pustaka

1. [1] Viranda Tresya, “Pengertian Revolusi Industri 4.0,” 2019. .


2. [2] H. Mulyono and I. S. Wekke, Strategi Pembelajaran di Abad Digital.
Yogyakarta: Penerbit Gawe Buku, 2018.
3. [3] F. Wahyuni, “Kurikulum dari Masa ke Masa (Telaah Atas
Pentahapan Kurikulum Pendidikan di Indonesia),” Al- Adabiya, vol. 10,
no. 1–2, pp. 231–242, 2015.
4. [4] T. Imam Shofwan, Ghanis Putra, “Implementasi Pembelajaran
Nonformal pada Sekolah Dasar Quran Hanifah di Kota Semarang,” J.
Pendidik. dan Pemberdaya. Masy., vol. 6, no. 1, 2019.
5. [5] I. Shofwan and S. A. Kuntoro, “Pengelolaan Program Pembelajaran
Pendidikan Alternatif Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Di Salatiga
Jawa Tengah,” J. Pendidik. dan Pemberdaya. Masy., vol. 1, no. 1, p. 50,
2014.
6. [6] W. R. King, “Strategies for creating a learning organization,” Inf.
Syst. Manag., vol. 18, no. 1, pp. 12–20, 2006.
7. [7] A. Sadid, “Homeschooling : Pilihan Di Tengah Kegagalan Sekolah
Formal,” vol. 7, no. 2, pp. 160–172, 2012.
8. [8] L. H. Aryani Ratih, “Interaksi Sosial Remaja Yang Bersekolah di
Homeschooling Dengan Menggunakan Metode Distance Learning,” J.
Psikol., no. Vol 9, No 1 (2013): Juni 2013, pp. 40–47, 2013.

[9] M. B. Patterson, “The Forgotten 90%: Adult Nonparticipation in


Education,” Adult Educ. Q., vol. 68, no. 1, pp. 41–62, 2018.

[10] Agus Setiawan, “Sejarah Singkat E-Learning dan E- Learning di Institusi


Pendidikan di Indonesia.,” 2017. .

[11] H. Wijaya and A. Arismunandar, “Pengembangan Model Pembelajaran


Kooperatif Tipe STAD Berbasis Media Sosial,” J. Jaffray, vol. 16, no. 2, p.
175, 2018.

[12] H. W. Helaludin, “Pengembangan Kompetensi Pendidik di Perguruan


Tinggi dalam Menyongsong Revolusi Indutri 4.0,” in Ekspolrasi Sumberdaya
Alam Hayati Indonesia Berbasis Entreprnership di Era Revolusi Industri 4.0,
2019, pp. 413–418.

[13] A. Razi, “Homeschooling: an Alternative Education in Indonesia,” Int. J.


Nusant. Islam, vol. 4, no. 2, p. 75, 2017.

[14] F. Fitriani, “Implementasi Pembelajaran Sejarah di Homeschooling pada


Program Distance Learning (Studi Kasus di Homeschooling Kak
SetoTangerang Selatan 2015),” J. Pendidik. Sej., vol. 5, no. 2, p. 68, 2017.

[15] Y. K. Nengsih, “Studi Komparatif Pengelolaan Pembelajaran pada


Homeschooling Primagama dengan Homeschooling Anugrah Bangsa,” J.
Pendidik. dan Pemberdaya. Masy., vol. 4, no. 1, pp. 101–112, 2017.

[16] Peterson’s, “The history of online education,” 2019. .


[17] P. J. Sampurno, R. Maulidiyah, and H. Z. Puspitaningrum, “Implementasi
Kurikulum 2013 : MOODLE ( Modular Object Oriented Dynamic Learning
Environment ) dalam Pembelajaran Fisika melalui Lembar Kerja Siswa pada
Materi Optik di SMA,” J. Fis.

Indones., vol. XIX, no. 55, pp. 54–58, 2015.


[18] S. Dharma, “Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya,”

Strateg. Pembelajaran dan Pemilihannya, p. 57, 2008. [19] G. S. Budy,


“Strategi Pembelajaran Seni Budaya di
Sekolah Dasar dalam Era Budaya Cyber,” 2018. .
[20] B. Hernandez, “Can I Begin Homeschooling Mid-year?,”

2019. .
[21] Mahak Arora, “Homeschooling in India – Pros and

Cons,” 2018. .
[22] B. Evi Fitriana, Sugeng Utaya, “Hubungan Persepsi

Siswa Tentang Proses Pembelajaran Dengan Hasil Belajar Geografi di


Homeschooling Sekolah Dolan Kota Malang,” J. Pendidik., vol. 1, no. 4, pp.
662–667, 2016.

[23] Homeschooling Primagama, “Tentang Homeschooling Primagama,” 2014.


.

[24] Anugrah Bangsa, “Profil PKBM Anugrah Bangsa,” Website Anugrah


Bangsa, 2019. .

[25] B. D. Ray, “The Modern Homeschooling Movement,” J. Cathol. Educ.,


vol. 4, no. 3, 2001.

[26] Kyle Greenwalt, “Here’s how homeschooling is changing in America,”


2016. .

[27] T. J. Raharjo, T. Suminar, F. Ilmu, P. Universitas, and N. Semarang,


“Model Pemberdayaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Dalam Pengelolaan
Program Pendidikan Kesetaraan Berbasis Life Skills Dan,” 2003.

[28] H. Staker and M. B. Horn, “Classifying K-12 Blended Learning,”


Innosight Inst., no. May, p. 22, 2012.

[29] Ş. Çepik, K. Gönen, and M. K. Sazak, “ELT instructors’ attitudes towards
the use of Blended Learning in tertiary level English language programs,” J.
Hum. Sci., vol. 13, no. 1, p. 1715, 2016.

[30] Wasis D. Dwiyogo, No Title. Depok: Rajawali Pers, 2018.

Anda mungkin juga menyukai