Anda di halaman 1dari 6

Rukun : Muamalah & Ibadah

Rukun ibadah berarti sesuatu yang harus dikerjakan ketika sedang melakukan ibadah. Dan
jika ditinggalkan baik dengan sengaja maupun lupa, bisa membatalkan ibadah itu.
Syarat ibadah berarti sesuatu yang harus dilakukan sebelum ibadah, agar ibadah yang
hendak dikerjakan bernilai sah.
Rukun dalam muamalah artinya adalah unsur terwujudnya akad muamalah. Sehingga, jika
rukun muamalah tidak ada maka akad mumalah itu tidak terjadi.
Syarat dalam muamalah adalah ketentuan yang harus dipenuhi dalam akad, agar transaksi
itu bernilai sah secara syariat.
Rukun Jual Beli
Rukun jual beli ada 3 :
al-Aqidan (pelaku akad), yaitu dua pihak yang melakukan akad: penjual dan pembeli.
al-Ma’qud ‘alaih (yang diakadkan), yaitu alat akad, seperti uang dan barang, atau jasa.
Shighat akad, yaitu ucapan atau isyarat dari penjual dan pembeli yang menunjukkan keinginan
mereka untuk melakukan akad secara saling ridha.

Cara mudah menghafalnya, untuk ketiga rukun jual beli di atas,


[1 ] Subjek transaksi: penjual dan pembeli (al-Aqidan)
[2] Objek transaksi: uang (alat tukar) dan barang atau jasa
[3] Shighat akad: pernyataan yang menghubungkan antar-subjek (pelaku) transaksi.
Mengenal Shighat Akad
Dalam kajian fiqh muamalah, sangat penting untuk memahami shighat akad. Mengingat shighat
akad menjadi alat ukur adanya saling ridha dalam transaksi yang dilakukan.
Shighat Akad ada 2
[1] Shighat yang disampaikan secara lisan
Misalnya, penjual mengatakan, “Saya jual barang ini...” atau pembeli mengatakan, “Saya beli
barang ini…” dan ungkapan semisal. Shighat yang disampaikan secara lisan disebut ijab qabul.
[2] Shighat dengan perbuatan atau isyarat
Artinya akad dilakukan tanpa ada ucapan maupun tulisan apapun, sehingga tidak ada ijab
qabul. Trasaksi jual beli yang dilakukan tanpa ijab qabul disebut bai’ mu’athah.
Haruskah Diucapkan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah shighat dalam jual beli,
Pertama, harus dinyatakan secara lisan, artinya harus ada ijab qabul. Ini merupakan pendapat
syafi’iyah
Alasannya, bahwa saling ridha merupakan syarat mutlak dalam jual beli. Sementara keridhaan
termasuk amal hati. Sebagai bukti keridhaan harus diucapkan secara lisan, sehingga harus ada
ijab qabul. (Mudzakirah fi Fiqh al-Muamalat, Dr. as-Syubaili, hlm. 6)
Kedua, madzhab mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Hambali dan sebagian Syafiiyah)
menyatakan bahwa dalam transaksi jual beli tidak harus diucapkan. Artinya akad sah dilakukan
dengan cara apapun, yang penting masing-masing saling paham yang menunjukkan keridhaan.
Contoh Ba’i Mu’athah
Ada banyak contoh ba’i mu’athah di sekitar kita, seperti:
[1 ] Jual beli di swalayan
Hampir tidak ada ijab qabul. Ketika konsumen membawa barang ke hadapan kasir, si kasir
hanya men-scan barcode harga barang, selanjutnya konsumen membayar.
[2] Jual beli di market-place
Konsumen di market-place dilayani oleh mesin, sehingga tidak ada komunikasi apapun dengan
pemilik barang atau penjual.
[3] Membeli minuman di mesin show-case
Di beberapa tempat umum yang menjual minuman dengan mesin, konsumen hanya
memasukkan uang, lalu dilayani oleh mesin, sehingga sama sekali tidak ada ijab qabul dengan
pemilik minuman atau penjual.

Anda mungkin juga menyukai