Anda di halaman 1dari 20

HUBUNGAN HAK KEKAYAAN

INTELEKTUAL (HKI) DI ERA


DIGITAL DAN PROBLEMATIKA
NYA
Kelompok 8
Anggota Kelompok 8

Afni Nuraida Aufa Septiara Ayu Nopitasari


E0020014
Putri E0020094
E0020088

Dhea Putri Sri Rinjani Avivah Shafa Salsa


Wahyuniarti Ayusiwi H. Sabila
E0020144 E0020383 E0020406
01
PENDAHULUAN -
p
o

t
e
h
t
e

b
i
r
c
s

e
d
n
a
c i

u
o
Y

Rumusan Masalah

01 02
Bagaimana Hukum Bagaimana Bentuk
Kekayaan Intelektual Perlindungan HKI Di
di Era Digital? Era Digital?

03 04
Faktor-faktor apa saja Bagaimana contoh kasus
yang menyebabkan Hak Kekayaan
-

problematika Hak Intelektual di era


Kekayaan Intelektual di digital?
era digital
PENDAHULUAN
Seiring berjalannya waktu, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi ini pun
mempengaruhi aktivitas manusia sehari-hari. Salah satu penemuan yang memberi
dampak yang besar ialah jaringan internet. Kemudian dengan adanya jaringan internet
inilah mulai dikenal dunia digital. Era digital tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
manusia. Produk/ciptaan digital telah secara umum diperjual-belikan dan telah
memiliki konsumen/pasarnya sendiri.

Pemanfaatan teknologi internet memberikan perubahan terhadap ciptaan yang dahulunya


hanya ada berbentuk fisik/konvensional kini dapat diubah menjadi bentuk digital.
Dibalik kemudahan tersebut terdapat risiko yang dapat terjadi. Kemudahan tersebut
justru dimafaatkan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang melakukan
penyebaran/pendistribusian oleh pihak yang tidak memiliki hak secara melawan
hukum, mudahnya suatu ciptaan dirubah, dimodifikasi, dan lain-lain. Meluasnya
internet dalam kehidupan bermasyarakat membuat semakin banyaknya pelanggaran
terhadap ciptaan, sulit melakukan identifikasi siapa saja yang melakukan pelanggaran,
menjadi bukan hal yang mudah untuk melindungi suatu ciptaan dalam bentuk digital.
Apabila pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak ditangani dapat memberikan dampak
negatif kepada industry maupun kepada pencipta.
02
Bagaimana Hukum
Kekayaan Intelektual
-

di Era Digital?
-

Bagaimana Hukum HKI Di Era Digital


-

Saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi ini pun mempengaruhi aktivitas manusia
seharihari. Salah satu penemuan yang memberi dampak yang besar ialah jaringan internet.
Dengan adanya jaringan internet inilah mulai dikenal dunia digital. Era digital dan ciptaan
yang berbentuk digital tidak dapat dihindari, karena faktanya hal tersebut telah menjadi
suatu hal yang umum yang tidak dapat lagi dipisahkan dari kehidupan.

Produk/ciptaan digital telah secara umum diperjual-belikan dan telah memiliki


konsumen/pasarnya sendiri. Apabila menghindar maka hal tersebut malah dapat
menghambat suatu pertumbuhan. Produk digital menjadi popular di kalangan masyarakat
dikarenakan memiliki keuntungan dibanding produk fisik, produk digital dinilai lebih efisien
dan lebih praktis dibandingkan dengan produk fisik yang membutuhkan ruang simpan
khusus untuk menyimpan produknya dibanding dengan produk digital yang tidak
memerlukan tempat fisik untuk disimpan, metode mendapat produk digital dengan cara di-
download juga menjadi nilai tambah karena sifatnya yang cepat dan mudah untuk
didapatkan.
-

Contoh Produk Digital


-

Ebook dalam
format pdf atau
Musik dalam Software Gambar dalam
format MP3 Atau bentuk JPEG
kindle MP4 dan PNG

-
Di era digital ini, Hak Atas Kekayaan Intelektual menjadi salah satu permasalahan
hukum yang semakin kompleks. Pada dasarnya, hakikat hukum memang
memiliki sifat yang dinamis dan akan selalu mengikuti perubahan zaman, hal itu
dapat dijadikan jawaban mengapa peraturan HAKI semakin berkembang. Kita
dapat melihat bahwa di dunia yang semakin modern ini, era digital telah
mendorong segala perubahan perilaku masyarakat di setiap aspek kehidupan.

Semua perangkat teknologi informasi yang beredar di masyarakat, telah


memberikan kemudahan dalam melakukan “tindakan duplikasi” atau “tindakan
imitasi” yang tidak terkendali terhadap karya cipta seseorang. Kita dapat
dengan mudah untuk melakukan tukar-menukar koleksi foto, music, video,
aplikasi hingga buku digital (e-book ) yang kita miliki, dengan hanya
mengaktifkan koneksi infrared, kabel data, bluetooth atau mengaktifkan WiFi
LAN yang telah terpasang dan aktif pada MP3-MP5 player, komputer dan
ponsel.
Masyarakat Indonesia sebagian besar melakukan pembajakan perangkat lunak dikarenakan mahalnya aplikasi/program
komputer yang asli yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia, dengan demikian masyarakat
berusaha mendapatkan software komputer dengan harga yang lebih murah meskipun hasil bajakan. Selain pembajakan
software, bentuk pelanggaran hak cipta lainnya yang juga marak terjadi di Indonesia saat ini adalah musik digital berupa
MPEG-1 Audio Layer 3 atau yang lebih dikenal dengan MP3. Perkembangan pembajakan musik digital di Indonesia dimulai
dari hasil kualitas suara musik atau lagu yang asli berbeda dengan kualitas lagu atau musik yang hasil bajakan, namun dengan
adanya teknologi konversi digital seperti adanya MP3, penurunan kualitas suara pada produk bajakan bisa diminimalisir,
bahkan kualitas suara produk bajakan setara dengan kualitas suara pada CD (Compact Disk) original. Hasil duplikasi yang juga
memiliki kualitas yang sama dengan aslinya juga terjadi pada e-book. Hal ini memudahkan pembajakan e-book, penggandaan
(duplikasi/copying) e-book sangat mudah dan murah. Selain itu pelanggaran terhadap ciptaan digital pun kerap terjadi di
Indonesia, contohnya belakangan ini terjadi pembajakan film.

Indonesia hingga tahun 2015 masih tercatat sebagai salah satu Negara dengan angka tertinggi dalam hal
pelanggaran kekayaan intelektual. Pada tahun 2013, Special 301 Report sebagai laporan tahunan yang dikeluarkan
oleh US Trade Center terkait penegakan dan perlindungan kekayaan intelektual yang dilakukan oleh Negara mitra
bisnis Amerika merilis Indonesia sebagai negara yang termasuk dalam priority watch list bersama dengan Algeria,
Argentina, Chili, India, China, Pakistan, Rusia, Thailand dan Venezuela. Priority Watch List dimaknai sebagai Negara
yang masih minim dalam perlindungan dan penegakan kekayaan intelektual
Hak Cipta Karya Digital
Hak cipta (Copyright) merupakan hak eksklusif yang diberikan terhadap suatu ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Seiring dengan perkembangan teknologi, ciptaan saat ini tidak
hanya berbentuk konvensional, tetapi juga termasuk ciptaan digitalisasi. Salah satu bentuk ciptaan
yang mengalami proses digitalisasi, misalnya lagu. Sebelum berkembangnya teknologi, lagu hanya
dapat dinikmati dengan kaset. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, lagu sudah tersedia
dalam bentuk mp3 sehingga dapat dengan mudah diakses dan disebarluaskan terlebih di internet
(cyberspace).

Kemudahan dalam penyebarluasan ciptaan dalam bentuk digital tentu saja akan meningkatkan
potensi pelanggaran terhadap hak cipta pada karya tersebut. Meskipun saat ini telah ada Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang mengakomodasi perlindungan terhadap hak
cipta, namun hal tersebut belum sepenuhnya dapat mengakomodir perlindungan ciptaan dalam
bentuk digital. Simon Stokes berpendapat bahwa semakin tinggi eksploitasi terhadap ciptaan dalam
bentuk digital, maka akan semakin besar pula potensi pelanggarannya (pembajakan). Pada prinsipnya,
karya cipta dalam bentuk tradisional, misalnya puisi pada secarik kertas, tidak akan kehilangan hak
ciptanya apabila diubah ke dalam bentuk digital. Namun, tidak menutup kemungkinan setelah karya
tersebut diunggah ke internet, akan terdapat banyak karya yang mirip bahkan serupa sehingga rentan
terjadi pelanggaran hak cipta.
p
o

t
e
h
t
e

b
i
r
c
s

e
d
n
a
c i

Creative Commons
o
Y

Creative Commons menjadi alternatif untuk mengurangi banyaknya pelanggaran terhadap hak cipta serta
untuk mengupayakan bentuk karya cipta yang bebas lisensi khususnya di dunia maya. Bentuk spektrum
utama yang disedaiakan oleh Creative Commons sendiri, antara lain :

01 02
Spektrum By Spektrum SA
(Atribusi) (Berbagi Serupa)

03 04
Spektrum NC Spektrum ND
(Non Komersial) (Tanpa Turunan)
-
03
Bagaimana
Problematika HKI di
-

Era Digital?
-

Bagaimana Problematika HKI Di Era Digital


-

Media digital bersifat fleksibel, sehingga memudahkan untuk memperbanyak,


memodifikasi, Dalam konteks ini juga melalui digitalisasi konten sangat mudah
untuk dilakukan manipulasi sehingga karya hasil manipulasi akan sulit dibedakan
dari karya aslinya. Internet sebagai bagian dari era digital telah memberikan
tantangan bagi HKI. Pasalnya, karya cipta manusia dapat dialihrupakan dalam
bentuk digital yang kemudian perbanyakannya sangat mudah dilakukan.
Beberapa permasalahan HKI yang berkaitan dengan internet dalam era digital di
antaranya berkaitan dengan masalah domain name, masalah tanggung jawab
ISP (Internet Service Provider). Selain itu, beberapa hal teknis dalam pembuatan
situs yang berpotensi untuk melanggar hak cipta, yakni deep linking, framing,
dan inlining.
Problematika HKI Di Era Digital
- ISP BERESIKO DIGUGAT
ISP biasanya menyediakan layanan web hosting. Karena itu, ISP memiliki resiko untuk digugat oleh pemilik hak
cipta yang merasa dilanggar haknya. Pasalnya, ada customer yang mem-posting material yang melanggar hak
cipta dalam situs yang di-hosting di server milik ISP.

- MELANGGAR PERATURAN
Sungguh sayang memang, padahal tentunya tidak ada kesengajaan dari pihak ISP untuk melakukan
pelanggaran hak cipta. Namun jika memang ada semacam disclaimer dengan customernya, jelas pihak
ISP telah memperkirakan kemungkinan adanya content situs yang di-hosting di server-nya yang
melanggar hak cipta. Screening atas isi content secara teknis memang dapat dilakukan.

- Aspek Hukum Linking


Permasalahan hukum timbul karena content halaman web merupakan suatu karya cipta manusia yang
mengandung beberapa komponen ciptaan, baik itu program komputer, lagu, seni rupa dalam segala
bentuknya, fotografi dan sebagainya. Berbagai ciptaan ini menurut ketentuan pasal 11 (1) UU No 12
Tahun 1997 tentang Hak Cipta merupakan ciptaan yang dilindungi. Sebagai suatu ciptaan yang
dilindungi, pengumuman ataupun perbanyakan ciptaan tersebut tentunya haruslah seizin pencipta atau
pemegang hak ciptanya. Pembuatan linking saja tidaklah melanggar hak cipta. Namun jika kemudian
halaman web yang dituju oleh link tersebut berisi content yang melanggar hak cipta, tentunya linking
semacam ini memberikan kontribusi tersendiri bagi pelanggaran hak cipta.
Problematika HKI Di Era Digital
- Deep Linking and inlining
Perkembangan linking lebih lanjut berupa deep linking. Pengguna internet dapat mengunjungi suatu halaman
dalam suatu situs tanpa melewati halaman depan. Hal ini telah menimbulkan berbagai permasalahan
tersendiri bagi kalangan e-business. Pasalnya, homepage bypassing seperti ini telah mengakibatkan hit
rate situs menurun karena memang sering perhitungannya didasarkan atas jumlah pengunjung yang
membuka halaman depan (homepage) situs. Penurunan hit rate pada suatu situs sama dengan
penurunan nilai situs. Pasalnya, akan mengakibatkan pihak sponsor tidak tertarik untuk memasang
banner produknya di atau homepage yang sering di-bypass. Selain itu, sama dengan penggunaan merek
sebagai link, ada kemungkinan pengunjung situs menganggap situs yang memberikan link tersebut
memiliki hubungan tertentu dengan situs yang dituju.

- Aspek hukum framing


Teknik pembuatan situs lainnya adalah framing, di mana dengan penggunaan suatu frame, memungkinkan
webmaster dapat menampilkan isi suatu situs lainnya tanpa meninggalkan situs yang memberikan frame
tersebut. Jadi seperti halnya frame pada foto-foto kita, frame tersebut akan selalu kita lihat saat
memandang foto yang ada di dalamnya. Contoh lainnya mungkin mirip dengan fasilitas "picture in
picture" pada beberapa merek televisi yang dapat menampilkan channel lainnya (dalam bentuk gambar
yang lebih kecil) tanpa meninggalkan channel tv yang sedang kita tonton.
-

Contoh Kasus Pelanggaran


HKI di Era Digital
Kasus Pelanggaran Nasional
Kasus Pembajakan Film Keluarga Cemara
Aditya Fernando Phasyah dilaporkan oleh pihak PT Visinema Pictures pada April 2020 atas
dugaan pidana pembajakan film Keluarga Cemara yang diproduksi Visinema. Diketahui, film
Keluarga Cemara dicuri, diunggah, serta ditayangkan secara ilegal di platform situs web
bernama DuniaFilm21.Film yang meraih 1,7 juta penonton bioskop pada awal 2019 itu diputar
secara utuh atau ditayangkan secara online dengan cuma-cuma bagi pengunjung situs web
tersebut. Pembajakan film ini tak hanya merugikan industri perfilman, tetapi juga merugikan
negara lantaran bisa kehilangan potensi pajaknya.Kerugian materi disebut mencapai Rp 2,8
hingga Rp 7 miliar. Sementara itu, kerugian non-materi bisa berimbas pada kelangsungan
perfilman Indonesia, khususnya nasib pekerja film.

Pengadilan Negeri Jambi memvonis Aditya Fernando Phasyah (AFP) selama 1 tahun dan 2
bulan atau 14 bulan atas kasus pembajakan film Keluarga Cemara karya Visinema Group.
Pemilik situs web DuniaFilm21 itu terbukti bersalah melakukan pembajakan film Keluarga
Cemara. Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jambi, dalam amar
putusan, Aditya Fernando Phasyah terbukti bersalah dan melanggar Pasal 113 ayat (3), juncto
Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Kasus Pelanggaran Internasional
Sejumlah studio film di Amerika Serika menggugat situs MovieTube
dengan tuduhan pelanggaran hak cipta.

Sebanyak tujuh studio film, termasuk Walt Disney Co. dan Time Warner Inc. Warner Brothers, meminta
pengadilan federal Manhattan untuk menutup MovieTube, sebuah situs layanan online penyedia film.
Para penggugat mengatakan semua konten yang tersedia di MovieTube dipilih, diagregasi, dan
diorganisir untuk dilihat oleh operator situs. Mereka juga menyebutkan bahwa MovieTube menggunakan
Twitter untuk mempromosikan situs mereka. Situs MovieTube menghasilkan uang dari sejumlah ikan
yang terpasang di website mereka. Sejumlah studio film menuduh MovieTube melanggar hak cipta dan
merek dagang.

Para tergugat kemudian meminta pengadilan mengeluarkan perintah untuk menutup situs tersebut. Mereka
juga menuntur agar nama domain MovieTube dialihkan menjadi milik mereka. Selain itu, dalam
tuntutanya, mereka menyatakan agar setiap pihak ketiga yang menyediakan layanan untuk MovieTube,
termasuk situs media sosial, harus diminta untuk berhenti dan menuntut ganti rugi senilai US$150.000
untuk setiap film yang hak ciptanya dilanggar dan US$2 juta untuk setiap pelanggaran merek dagang
oleh MovieTube. Kasus ini tercatat di Pengadilan Distrik AS, Distrik Selatan New York dengan nomor
perkara 1:. 15- cv-05819.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai