Anda di halaman 1dari 4

1.

Mahasiswa dipersilahkan membuat analisis berkenaan dengan pasal-pasal yang harus direvisi
dalam Undang undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dengan mengikuti perkembangan saat ini.
a. Pasal 69 ayat (1) huruf (h)
UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan secara jelas
bahwa adanya larangan dalam melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Hal
tersebut tertuang dalam Pasal 69 ayat (1) huruf (h) UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Tetapi, ayat 2 di pasal yang sama berbunyi kebalikannya.
Dalam ayat 2 dinyatakan bahwa ketentuan terkait ayat 1 (h) itu memperhatikan
dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Kearifan lokal yang
dimaksud dalam ketentuan ini yang berkaitan dengan penjelasan pasal tersebut
menyatakan bahwa maksimal dua hektare per kepala keluarga dalam melakukan
pembakaran lahan dengan luas lahan untuk ditanami tanaman dan ada penyekat bakar
sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Sehingga, yang tertuang dalam ayat 2 UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup itu terdapat kesempatan bagi sejumlah pemerintah daerah dengan
syarat-syarat tertentu untuk menyetujui pembukaan lahan dengan pembakaran melalui
peraturan gubernur dan izinnya diserahkan kepada pejabata daerah seperti lurah, camat
hingga ketua rukun tetangga.
b. Pasal 10 ayat (3) UU PPLH
Pasal 10 ayat (3) huruf a UU PPLH ini untuk menetapkan peraturan pemerintah
tentang RPPLH nasional yang diberikan amanat terhadap Pemerintah Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) yang akan menjadi dasar hukum bagi
pengusulan RPPLH provinsi/kabupaten/kota. Tetapi karena belum ditetapkannya
Peraturan Pemerintah tentang RPPLH nasional ini berakibat kepada belum dapat
dilaksanakannya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) UU PPLH dan belum dapat diaturnya
RPPLH provinsi yang diserahkan kepada RPPLH kabupaten/kota, serta melalui peraturan
daerah berdasarkan amanat Pasal 10 ayat (3) huruf b dan huruf c UU PPLH belum dapat
dilaksanakannya pengaturan RPPLH provinsi dan kabupaten/kota.
c. Pasal 12 ayat (1) UU PPLH
Sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (3) huruf a UU PPLH belum ditetapkannya
Peraturan Pemerintah tentang RPPLH nasional baik oleh pemerintah maupun pemerintah
daerah belum berdasarkan pada RPPLH yang menjadikan pemanfaatan sumber daya alam
yang selama ini dilakukan oleh pemerintah tersbut.
d. Pasal 48 UU PPLH
Salah satu penyebab lemahnya penerapan sanksi administrasi berdasarkan naskah
akademik UU PPLH adalah kurangnya Pemerintah dalam memberikan sanksi audit
lingkungan. Maka dari itu, pemerintah daerah juga dapat diberikan wewenang tersebut
yang seharusnya kewenangan tersebut tidak hanya menjadi kewenangan pemerintah.
Dengan mendasarkan pada “asas otonomi daerah” dapat dilakukan penambahan
wewenang pemerintah daerah dalam Pasal 48 UU PPLH sebagaimana diatur dalam Pasal
2 huruf n UU PPLH.
2. Mahasiswa dipersilahkan untuk membuat analisis berkenaan dengan pasal-pasal lingkungan
yang ada dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 menghapus dan/atau mengubah serta
menggabungkan beberapa undang-undang yang berlaku ke dalam satu undang-undang.
Munculnya pasal-pasal yang berkontroversi, termasuk isu lingkungan hidup. Pada
kenyatannya UU Ciptaker tidak ramah lingkungan dan tidak menjamin kelestarian alam yang
dipandang oleh masyarakat dan para aktivis yang selama ini peduli dengan masalah
lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatur UU Cipta Kerja menghapus,
mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan. Isu yang kini menjadi sorotan
adalah ketentuan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal).
Isu terkait ketentuan Amdal yang diubah ada 4 dalam UU Cipta Kerja, yaitu:
Pertama, kegunaan Amdal. Amdal yang dibuat oleh pemrakarsa yang bersertifikat
(penyusun Amdal) dalam UU Ciptaker mengani penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan
yang dijadikan sebagai dasar uji kelayakan lingkungan. Sebuah tim yang dibentuk oleh
lembaga uji kelayakan lingkungan hidup pemerintah pusat menguji kelayakan lingkungan
tersebut. Tim tersebut terdiri atas usur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli
bersertifikat. Rekomendasi mengenai kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan merupakan
output yang dihasilkan dari uji kelayakan itu. Berdasarkan rekomendasi tersebut,
ditetapkannya kelayakan lingkungan dan ditetapkannya keputusan tentang kelayakan
lingkungan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai persyaratan penerbitan
perizinan berusaha. Amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan tertuang dalam UU PPLH yang tentunya hal ini
berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya. Terlebih dahulu Amdal dijadikan dasar
penetapan dan dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota dokumen Amdal sebagaimana diatur dalam UU PPLH sesuai kewenangan.
Perizinan lingkungan tak akan terbit, jika tidak ada rekomendasi Amdal.
Kedua, UU Ciptaker mengubah ketentuan Pasal 25 huruf c tentang berkas yang harus ada
dalam dokumen Amdal. Mengenai saran masukan serta tanggapan dari masyarakat yaitu
salah satu syarat dokumen yang diubah. Salah satu dokumen Amdal yang diatur dalam UU
PPLH harus terdapat saran masukan dan tanggapan masyarakat yang mengalami dampak
langsung an teradap rencana usaha/kegiatan, sedangkan dalam UU Ciptaker hanya memuat
saran masukan serta tangapan dari masyarakat.
Ketiga, dalam proses penyusunan Amdal, baik UU Ciptaker maupun UU PPLH sama-
sama mengatur mengenai keterlibatan masyarakat. Namun, ketentuan dalam UU Ciptaker
mempersempit definisi masyarakat. Masyarakat yang dimaksud dalam UU PPLH adalah
masyarakat yang terkena dampak; pemerhati lingkungan hidup; dan/atau yang terpengaruh
atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal, sedangkan dalam UU Ciptaker,
masyarakat yang dimaksud adalah hanya masyarakat yang terkena dampak langsung.
Keempat, perubahan mekanisme keberatan atas Amdal. Dalam UU Ciptaker tidak diatur
mengenai mekanisme keberatan atas Amdal dan untuk dapat mengajukan keberatan atau
upaya hukum UU PPLH menyediakan bagi masyarakat yang keberatan dengan dokumen
Amdal. UU Ciptaker menghapus ketentuan mengenai mekanisme keberatan tersebut, yaitu
dengan menghapus Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 UU PPLH yang mengatur ketentuan
mengenai komisi penilai Amdal. Mekanisme ini dianggap sangat penting untuk memastikan
kelestarian lingkungan dan jika mekanisme keberatan ini ditiadakan akan memicu perdebatan
di masyarakat, terutama untuk menjaga agar dokumen Amdal yang tidak dibuat asal-asalan
atau sekedar formalitas.
3. Dalam pembuatan analisisnya, mahasiswa diminta untuk membuat ringkasan dengan
mengambil poin-poin penting berkenaan dengan pasal-pasal yang akan dianalisis lebih lanjut
Poin penting berkenaan dengan pasal-pasal:
a. Pasal 69 ayat (1) huruf (h) yang dimana ayat (2) nya menyatakan sebaliknya yaitu syarat-
syarat tertentu yang memperbolehkan pembukaan lahan dengan pembakaran dengan
perizininan.
b. Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah tentang RPPLH nasional ini berimplikasi pada
belum dapat dilaksanakannya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) UU PPLH.
c. Pasal 12 ayat (1) yang dimana belum ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang
RPPLH nasional sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (3) huruf a UU PPLH
d. Pasal 48 yang dimana kurangnya Pemerintah dalam memberikan sanksi audit lingkungan
e. UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengenai ketentuan analisis mengenai dampak
lingkungan hidup (Amdal).

Anda mungkin juga menyukai