Anda di halaman 1dari 12

BAB III

ILUSTRASI KASUS

Di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA), terdapat siswa laki-laki yang berinisial “S”
yang berumur 17 tahun, ia duduk dibangku kelas 11. S ini memiliki beberapa masalah yang
terjadi di sekolahnya, yaitu sering bolos masuk kelas, diketahui ia membolos ke kantin, atau
rooftop sekolah atau juga pergi membolos keluar sekolah. Di dalam kelas juga ia tidak aktif,
sepanjang pembelajaran berlangsung, ia terkadang tidur atau bermain handphone dibandingkan
mendengarkan pelajaran dari guru. Ia juga dikenal jarang bicara dengan teman-teman sekelasnya
maupun seangkatannya.

Di SMA ini terdapat beberapa peraturan yang ketat dan disiplin, seperti tidak boleh
terlambat lebih dari jam 07.00, lalu baju seragam di masukkan ke dalam dan celana dibawah
mata kaki, tidak memakai aksesoris untuk laki-laki maupun perempuan, sepatu warna hitam, dan
sebagainya. S ini tidak menaati peraturan sekolah, ia memakai celana di atas mata kaki, baju
seragam dikeluarkan, dan memakai aksesoris. Sekolah juga mendapat laporan dari murid-murid
bahwa ia juga sering pergi ke tempat balap liar untuk balapan motor dan sering terlibat dalam
tawuran antar geng motor.

Terdapat beberapa factor yang melatarbelakangi permasalahan-permasalahan I ini, yaitu


dari factor keluarga yang broken home. Ayah dan ibunya bercerai sejak ia masih kecil, awalnya
ia tinggal dengan ibunya namun karena ibunya menikah lagi, ia memilih tinggal bersama
neneknya. Ayah nya sudah menikah lebih dulu. Setelah S masuk SMA, ia memutuskan untuk
tinggal sendiri di rumah yang dekat dengan sekolahnya. Adapun factor lingkungan pergaulan, ia
bergaul dengan anggota geng motor yang sebagian adalah anak jalanan dan sebagian lagi anak
sekolah yang sangat nakal. Pergaulan yang dilakukan di lingkungannya itu seperti, balap motor,
nongkrong, minum alcohol. Pengaruh pergaulan itulah yang membuat S ini semakin ingin
melanggar aturan dan semakin menjadi murid yang nakal.

Tindakan yang sudah dilakukan oleh sekolah yaitu mendatangi kediaman rumah
neneknya S, respon dari bibinya sangat baik dan terbuka dengan kedatangan pihak sekolah serta
neneknya sendiri mengatakan bahwa ia juga tidak tahu harus bagaimana mengatasi kehidupan
cucunya itu. Neneknya sudah mendidik dan mengajarkan hal yang kepada S selama ini apalagi
umur neneknya sudah tidak lagi muda dan sering sakit-sakitan sehingga ia tidak bias merawat S
sepenuhnya.

Berdasarkan hasil penelusuran guru pembimbing disekolahnya S ini tidak suka masuk
sekolah karena ia sibuk balap motor. Diketahui selanjutnya, bahwa S ini dari kecil ingin sekali
menjadi seorang pembalap nasional. Tetapi ia sama sekali tidak menceritakannya karena takut
dilarang oleh neneknya. Akhir-akhir ini, ia serius berlatih dan diperkenalkan ke lembaga khusus
yang menaungi kompetisi balap motor nasional. Ia pun mendapat juara ke-3 tingkat Nasional.
BAB IV

PROGNOSIS

A. Alternatif Tindakan Bantuan


Dari kasus yang terjadi maka alternative yang bias digunakan untuk membantu peserta
didik dalam penggunaan strategi pengelolaan diri yaitu Teori Behavioral. Salah satu teknik
yang bias digunakan pada teori behavioral adalah teknik konseling Cognitive Behaviour
Theraphy (CBT).
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah psikoterapi yang mengintegrasikan dua
pendekatan yakni terapi kognitif dan terapi perilaku atau behavior. CBT adalah bentuk
perawatan psikologis yang paling banyak digunakan para praktisi serta diteliti oleh berbagai
pihak.
Terapi kognitif sendiri merupakan terapi yang bertujuan untuk mengubah cara berpikir
individu yang keliru dan menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan. Sebagai contoh,
pemikiran yang tidak tepat tersebut seperti berfikir bahwa seseorang tidak dihargai oleh
kelompok tertentu sehingga membuat individu tersebut menjauhi kelompok yang belum tentu
benar-benar tidak menghargainya.
Dengan memberikan terapi kognitif, diharapkan klien mampu merespon pemikiran yang
kurang tepat tersebut dengan lebih rasional, sehingga pemikiran dan perilaku mereka lebih
efektif. Apabila terapi kognitif lebih menyasar pada cara berfikir, maka lain halnya dengan
terapi perilaku atau behavioral therapy. Terapi ini memiliki tujuan untuk mengajarkan
individu mengubah perilakunya, seperti mengubah cara berperilaku yang dirasa kurang tepat
sehingga individu yang bersangkutan dapat lebih nyaman dalam menjalani kesehariannya.
Manfaat CBT dalam proses terapi diharapkan dapat mampu memperbaiki pemikiran yang
tidak tepat serta mengubah perilaku yang salah pada individu tersebut (Gazzaniga dkk., 2011).
Dalam penerapan terapi perilaku kognitif, pertama-tama diharapkan gejala yang dialami
klien dapat membaik dan lebih jauh lagi, diharapkan keberfungsian klien tersebut dapat
membaik dari waktu ke waktu (Gaudiano, 2008).
Sebagai psikoterapi yang berakar dari integrasi terapi kognitif dan keperilakuan, CBT
tetap menggunakan dasar-dasar atau model kognitif dalam praktiknya. Seperti yang
disebutkan Chand dkk. (2021) bahwa terdapat tiga aspek kognisi yang mendasari cognitive
behavioral therapy yaitu:
1. Pemikiran-penikiran otomatis
Aspek ini menjelaskan proses berpikir otomatis sebagai bentuk interpretasi kejadian yang
muncul secara tiba-tiba dan mampu mempengaruhi emosi serta perilaku individu sebagai
bentuk respon terhadap kondisi tersebut.
Misalnya saja saat seorang teman tidak menghadiri undangan kita tanpa alasan, kita
mungkin memiliki pemikiran otomatis seperti “ia tidak mau bertemu karena tidak suka
dengan aku” yang mana akan mempengaruhi emosi dan perilaku kita saat dikemudian hari
berhubungan lagi dengan yang bersangkutan.
Akan tetapi, ada pemikiran lain yang dapat muncul misalnya “mungkin dia lupa atau
memiliki hal lain yang lebih penting” yang kecil keungkinannya untuk menimbulkan dampak
negatif di kemudian hari.
2. Distorsi kognitif
Distorsi kognitif merupakan suatu kondisi yang mana individu mengalami eror dalam
mengambil kesimpulan. Adanya kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan dapat
menimbulkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Underlying beliefs or schemes
Aspek ini menjelaskan di mana skema atau keyakinan dasar individu mampu mengubah
interpretasi dan persepsi mereka terhadap kejadian yang terjadi dalam hidup mereka.
Belief atau keyaninan tersebut terbagi menjadi dua, yakni core belief yang dijabarkan sebagai
ide utama tentang diri dan dunia, paling mendasar, kaku dan terlalu general, seperti adanya
keyakinan “saya tidak berharga”. Keyakinan yang kedua yakni intermediate beliefs,
keyakinan yang berisi asumsi, sikap dan aturan yang dipengaruhi oleh core belief individu,
misalnya “agar aku bisa dihargai, aku harus bisa melakukan semua yang diminta”.
Terapi kognitif perilaku digunakan untuk membantu penderita gangguan kesehatan mental
mengubah sudut pandang akan permasalahan atau situasi menantang dalam hidupnya,
sekaligus cara ia bereaksi terhadap permasalahan tersebut.

Selain itu, terapi kognitif perilaku juga bisa dilakukan untuk membantu penderita mencari
pendekatan dan solusi masalah yang terjadi secara mandiri. Selain gangguan kecemasan dan
depresi, terapi kognitif perilaku juga terbukti efektif dalam menangani gangguan kesehatan
mental lainnya, seperti:
1. Fobia
2. Gangguan pola makan
3. Gangguan tidur
4. Penyalahgunaan alkohol
5. Gangguan panik
6. Gangguan seksual
7. Gangguan bipolar
8. Skizofrenia
9. Obsessive compulsive disorder (OCD)
10. Post-traumatic stress disorder (PTSD)
Selain gangguan kesehatan mental, penyakit fisik yang terkait dengan tingkat stres atau
kondisi psikologis, seperti irritable bowel syndrome (IBS), juga bisa menggunakan terapi
kognitif perilaku sebagai salah satu metode pengobatannya.

Cara Kerja Terapi Kognitif Perilaku


Konsep dari terapi kognitif perilaku adalah bahwa pikiran, perasaan, sensasi fisik, dan
tindakan Anda saling berkaitan dan memengaruhi satu dengan lainnya. Pikiran dan perasaan
negatif dapat membuat Anda terjebak dalam “lingkaran setan” permasalahan yang terasa
semakin berat.
Hal ini kemudian dapat mengubah cara Anda berpikir, berperilaku, dan bahkan
menyebabkan keluhan fisik. Terapi kognitif perilaku bisa membantu Anda mengolah pikiran
dan perasaan negatif tersebut. Pada terapi ini, Anda akan dibantu untuk:
1. Mengidentifikasi masalah
Langkah pertama yang paling penting dalam terapi perilaku kognitif adalah menyadari
dan menerima bahwa Anda memiliki masalah. Terapis akan membantu Anda untuk
mengidentifikasi masalah, sekaligus akar permasalahan tersebut.
Masalah dalam kehidupan seseorang bisa disebabkan oleh masalah lain yang bahkan
tidak disadari oleh dirinya sendiri. Terapis juga akan membantu Anda mencari penyebab
paling dasar dari perasaan negatif atau pola destruktif yang terjadi.
2. Fokus pada pencarian solusi.
Terapi kognitif perilaku membantu Anda memecahkan masalah yang besar menjadi
masalah-masalah kecil yang bisa dihadapi satu per satu dan perlahan-lahan, sehingga terasa
ringan.

3. Mencari cara praktis yang bisa memperbaiki cara pikir Anda setiap harinya

Setelah membantu menyederhanakan masalah Anda, terapis akan mulai menggiring Anda
untuk belajar melihat kaitan antara satu masalah dengan masalah lainnya, serta efek dari masing-
masing masalah tersebut pada diri Anda.

Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengubah cara Anda memandang dan menanggapi
sebuah masalah. Meski sederhana, ini bisa sangat berpengaruh terhadap kemampuan Anda dalam
menyelesaikan masalah dan membuat Anda memiliki sifat yang lebih positif. Selain itu, Anda
juga akan dibantu untuk fokus pada masalah yang ada sekarang, bukan yang ada di masa lalu
ataupun yang mungkin ada di masa depan.

4. Mendorong Anda melatih dan mempraktikkan kebiasaan positif

Jika Anda sudah mampu menyadari, menerima, menyederhanakan, dan memahami masalah
Anda secara menyeluruh, tahap selanjutnya adalah menghilangkan cara lama Anda yang
destruktif dalam merespons masalah tersebut. Terapis akan membantu Anda mempelajari dan
mempraktikkan langkah dalam merespons suatu masalah dengan positif dan tidak membebani
diri Anda.

Setelah beberapa sesi, terapis akan membahas kembali langkah-langkah yang telah dilakukan
dalam terapi kognitif perilaku. Tujuannya adalah untuk melihat apakah metode yang telah
dijalankan bisa memberikan manfaat bagi Anda. Hal ini dilakukan untuk menemukan cara
terbaik yang bisa diaplikasikan dalam hidup Anda.

Terapi kognitif perilaku memang bisa digunakan untuk mengelola masalah yang berhubungan
dengan pikiran, perasaan, dan tindakan Anda. Namun, terapi ini belum tentu cocok untuk semua
orang. Selain itu, terapi ini memerlukan kerja sama yang bagus dengan terapis dan komitmen
yang kuat dari penderita untuk bisa mencapai hasil terbaik. Jika ini terjaga, periode terapi bisa
lebih singkat.

B. Strategi Interaktif Layanan Bimbingan Pendekatan Konseling CBT

Meskipun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau permasalahan konseli,


tentunya konselor harus memahami prinsip-prinsip yang mendasari CBT. Pemahaman terhadap
prinsipprinsip ini diharapkan dapat mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi
dalam merencanakan proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-teknik CBT.

Berikut adalah prinsip-prinsip dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan oleh Aron T
Beck13 :

1) Prinsip 1: Cognitive Behavior Therapy berdasarkan pada formulasi yang terus berkembang
dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli. Formulasi konseling terus
diperbaiki seiring dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada momen yang
strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan konseptualisasi kognitif konseli
yang menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian
antara berfikir, merasa dan bertindak.

2) Prinsip 2: Cognitive Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama antara
konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Melalui situasi konseling
yang penuh dengan kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap permasalahan
konseli akan membuat pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang dihadapi konseli.
Kondisi tersebut akan menunjukan sebuah keberhasilan dari konseling.

3) Prinsip 3: Cognitive Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi aktif.


Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling maka keputusan konseling merupakan
keputusan yang disepakati dengan konseli. Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi
konseling, karena konseli mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.

4) Prinsip 4: Cognitive Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus pada
permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat
pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-
pikiran yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus pada permasalahan konseli.

5) Prinsip 5: Cognitive Behavior Therapy berfokus pada kejadian saat ini. Konseling dimulai dari
menganalisis permasalahan konseli pada saat ini dan di sini (here and now). Perhatian konseling
beralih pada dua keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam
melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses berfikir yang menyimpang
dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang berpotensi merubah kepercayaan dan tingkahlaku ke
arah yang lebih baik.

6) Prinsip 6: Cognitive Behavior Therapy merupakan edukasi, bertujuan mengajarkan konseli


untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan menekankan pada pencegahan. Sesi pertama CBT
mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya termasuk
proses konseling cognitive-behavior serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa
pikiran mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan konseli,
mengidentifikasi dan mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemudian
merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.

7) Prinsip 7: Cognitive Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas. Pada kasus-
kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses
konseling tidak membutuhkan waktu yang panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat
membantu dan melatih konseli untuk melakukan self-help.

8) Prinsip 8: Sesi Cognitive Behavior Therapy yang terstruktur. Struktur ini terdiri dari tiga
bagian konseling. Bagian awal, menganalisis perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian
yang terjadi dalam satu minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi
konseling.

9) Prinsip 9: Cognitive Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi,


mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari
konseli memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi
suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor membantu konseli dalam
mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi realita serta perspektif adaptif
yang mengarahkan konseli untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan
mengurangi kondisi psikologis negatif.

10) Prinsip 10: Cognitive Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik untuk merubah
pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Pertanyaan-pertanyaan yang berbentuk sokratik
memudahkan konselor dalam melakukan konseling cognitive-behavior. Pertanyaan dalam bentuk
sokratik merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam proses konseling, CBT
tidak mempermasalahkan konselor menggunakan teknik-teknik dalam konseling lain seperti
kenik Gestalt, Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses konseling
yang lebih saingkat dan memudahkan konselor dalam membantu konseli. Jenis teknik yang
dipilih akan dipengaruhi oleh konseptualisasi konselor tehadap konseli, masalah yang sedang
ditangani, dan tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut.
BAB V

PEMBAHASAN

A. Peran Lingkungan terhadap Anak

B. Pengelolaan Diri

Penanganan ini dilakukan melalui perantara bimbingan dan konseling yang nantinya
dapat memberikan solusi yang tepat dalam mengurangi tingkat kenakalan remaja korban broken.
home. Strategi yang sesuai untuk diterapkan adalah strategi pengelolaan diri (self management).
Strategi pengelolaan diri (Self management) merupakan suatu strategi dimana konseli
mengarahkan perilakunya sendiri. Menurut Cormier & Cormier (1985:519), “Self Management
is a process which client direct their own behaviour change with any one therapeutic strategy or a
combination of a strategy” Yang berarti bahwa Pengelolaan Diri (Self Management) adalah suatu
proses dimana konseli mengarahkan tingkah lakunya sendiri dengan menggunakan satu strategi
atau kombinasi strategi.

Seperti yang dikemukakan Mahoney dan Thoresen (dalam Cormier, 1985), prosedur
pengelolaan diri (Self management) dapat meningkatkan kemampuan individu untuk
mengendalikan perilakunya. Stewart, dkk mengatakan bahwa “strategi ini merupakan suatu prosedur
baru dalam lapangan konseling dan kadang-kadang disebut behavioral selfcontrol, menunjuk pada
kemampuan individu untuk mengarahkan perilakunya.
Strategi ini seesuai dengan teori Skinner tentang operan conditioning yang menjelaskan
bahwa perilaku individu terbentuk atau dipertahankan sangat ditentukan oleh konsekuensi yang
menyertainya (Latipun, 2008:132). Atas prinsip belajar perilaku operan dapat dipahami bahwa
perilaku destruktif dapat terjadi dan dipertahankan oleh individu diantaranya karena memperoleh
ganjaran dari lingkungannya.

Strategi Pengelolaan Diri (Self Management) merupakan teknik yang berakar pada teori
pengkondisian operan. Pengelolaan Diri (Self Management) sering disebut konseli membuat
perubahan dengan cara menumbuhkan kemampuan mereka untuk memodifikasi aspek-aspek
lingkungan dan memanipulasi atau mengadministrasikan sendiri konsekuensi yang diinginkan
(Eko Darminto, 2007:135).

Tujuan dari strategi Pengelolaan Diri (Self Management) ini adalah agar individu secara
teliti dapat menempatkan diri dalam situasi-situasi yang menghambat tingkah laku yang mereka
hendak hilangkan dan belajar untuk mencegah timbulnya perilaku atau masalah yang tidak
dikehendaki. Bentuk pelaksananaannya meliputi self monitoring (pemantauan diri), stimulus
control (pengendalian diri), serta self reward (penghargaan diri sendiri).

C. Teknik Cognitive Behavior (CBT)

CBT adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh konselor untuk membantu
individu ke arah yang positif. Berbagai variasi teknik perubahan kognisi, emosi dan tingkah laku
menjadi bagian yang terpenting dalam Cognitive Behavior Therapy. Metode ini berkembang
sesuai dengan kebutuhan konseli, di mana konselor. bersifat aktif, direktif, terbatas waktu,
berstruktur, dan berpusat pada konseli.

Konselor atau terapis Cognitive Behavior biasanya menggunakan berbagai teknik


intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik yang biasa
dipergunakan oleh para ahli dalam Cognitive Behavior Therapy CBT yaitu:

1) Menata keyakinan irasional.


2) Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik
ketimbang sesuatu yang menakutkan.

3) Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan
konselor.

4) Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril.

5) Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang dialami pada
saat ini dengan skala 0-100.

6) Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentika pikiran negatif dan


mengubahnya menjadi pikiran positif.

7) Desensitization systematic. Digantinya respons takut dan cemas dengan respon


relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan secara berulang-ulang dan berurutan dari
respon takut terberat sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional konseli.

8) Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan dirinya


dengan lingkungan sosialnya.

9) Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa bertindak tegas.

10) Penugasan rumah. Memperaktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara sesi
konseling.

11) In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki
situasi tersebut.

12) Covert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan menekankan kepada


proses psikologis yang terjadi di dalam diri individu. Peranannya di dalam mengontrol perilaku
berdasarkan kepada imajinasi, perasaan dan persepsi.

Anda mungkin juga menyukai