Makalah Studi Kasus Etika Profesi, Eko Saputra, S.Ars
Makalah Studi Kasus Etika Profesi, Eko Saputra, S.Ars
Profesi arsitek tidak dipungkiri merupakan salah satu profesi yang cukup populer terutama
di era milenials hingga era zillenials sekarang ini, fakta pembangunan baik berupa pengembangan
kota, pembangunan permukiman, perumahan, bangunan, dan lain sebagainya kini tidak lepas dari
sentuhan style arsitektur yang sudah terlihat dimana-mana dari skala besar hingga skala kecil, baik
di perkotaan hingga kepelosok pedesaan. Sebagai seorang yang berkecimpung dan telah
melihat perkembangan arsitektur dewasa ini yang dimana peminat dan penggiatnya semakin hari
semakin banyak, ini juga menjadi salah satu tanda bahwasanya masyarakat kita terutama di dua
generasi milenials hingga zillenials ini hampir kesemuanya sudah ‘melek’ arsitek.
untuk para penggiat arsitektur untuk bisa ‘hidup’ dan memperoleh keuntungan dari bidang ini baik
secara moril ataupun moral, sehingga muali banyak bermunculan promosi penggiat arsitektur baik
melalui media-media cetak maupun melalui media sosial, mulai dari orang-orang yang memang
menempuh pendidikan formal asitektur hingga orang-orang yang tidak pernah sedikitpun
menempuh pendidikan formal arsitektur bahkan yang hanya menempuh pendidikan tingkat
sekolah menengah kejuruan (SMK) bisa dengan leluasa bermunculan, sehingga mengakibatkan
begitu bebasnya orang-orang mengklaim dirinya sebagai arsitek dan dengan bebas pula bersaing
di ‘pasar’ arsitek. Hal ini tentunya merugikan orang-orang yang sudah sejak awal menempuh
arsitektur yang telah menempuh berbagai pendidikan formal arsitektur dipaksa masuk kedalam
pasar seperti yang telah dijelaskan diatas, dan sedikit demi sedikit mengakibatkan hilangnya
perbedaan mendasar diantara keduanya, belum lagi era teknologi seperti sekarang ini membuat
semua kalangan dapat mengakses ilmu dengan begitu mudahnya, begitu pula dengan ilmu
arsitektur, bahkan tidak perlu belajar tentang arsitekturpun orang-orang sudah dengan mudahnya
dapat membuat suatu karya desain hanya dengan berselancar di internet, modeling dengan tools
applikasi yang juga sudah sangat mudah dalam mengaksesnya atau hanya sekedar memodifikasi
karya orang lain atau tindakan-tindakan lainnya seperti sekedar ‘mencomot’ berbagai karya dari
internet kemudian diterapkan begitu saja tanpa adanya study lebih lanjut.
Belakangan ini hangat menjadi perbincangan adalah seorang ahli dibidang kesenian yang
tiba-tiba muncul dengan karyanya yang fenomenal dan dijadikan pemenang pembangunan gedung
utama yang sekaligus icon suatu negara, semakin membuat kita berpikir tentang tidak adanya
perbedaan antara ahli arsitektur dengan bidang keilmuan lainnya, semua orang bisa dengan leluasa
Sedikit lebih fokus lagi kepada pembahasan ini, untuk sekelas bangunan nomor satu di
suatu negara saja bisa di desain oleh orang yang bukan arsitek, atau bukan seseorang yang
menempuh pendidikan formal arsitektur bisa dilakukan dan bahkan mendapatkan dukungan atau
kelonggaran dalam aturan pemerintah, bagaimana dengan bangunan-bangunan skala kecil?, hal-
hal seperti inilah yang semakin menghilangkan perbedaan arsitek dengan seorang non arsitek,
lebih dilemanya lagi adalah hilangnya atau kaburnya standar-standar suatu profesi khususnya
arsitek, mengakibatkan semua orang dengan leluasa mengklaim dirinya sebagai arsitek.
Disamping itu, penerapan aturan-aturan yang belum dilaksanakan atau mungkin masih
belum maksimal juga membuat semakin kuatnya kesan ‘remeh’ terhadap profesi arsitek ini,
berdasarkan beberapa pengalaman pribadi dilapangan untuk pengurusan ijin mendirikan bangunan
(IMB) saja dapat diajukan orang-orang yang bukan arsitek, padahal pengurusan IMB ini yang
seharusnya menjadi benteng utama aturan penyeleksian karya, yang mana yang dikerjakan oleh
arsitek dan yang bukan hasil kerja arsitek. Bisa dibayangkan akan bahayanya ketika suatu
bangunan dirancang oleh orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan arsitektur, sama
halnya jika orang yang tidak memiliki latar belakang atau keahlian di bidang kedokteran
Selain dari pada itu, mengingat banyaknya pelatihan-pelatihan baik secara offline ataupun
melalui tutorial online seperti halnya youtube juga membuat semua orang memiliki kemampuan
dalam membuat karya arsitektur secara visual, bahkan (maaf) secara visual banyak sekali kita
saksikan karya-karya non arsitek yang malah lebih bagus dalam penyajiannya dibandingkan para
arsitek sendiri, sekalipun jika kita menganalisa dengan baik tentu tidak sedikit pula karya-karya
non arsitek ini yang bukannya menjadi solusi malah menjadi masalah baru baik terhadap
lingkungan, social, budaya dan aspek-aspek lainnya yang dalam proses pembuatan karyanya tidak
Atas dasar berbagai kemudahan inilah yang mau tidak mau juga sangat berpengaruh
terhadap nilai jual suatu karya arsitektur. Orang-orang yang tidak menempuh pendidikan formal
dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit tentu saja akan dengan sangat mudah memberikan nilai
yang begitu rendah terhadap karyanya, belum lagi kondisi ‘client’ yang juga tidak terlalu peduli
terhadap karya arsitektur sebagai alat penyelesaian masalah tentu saja hanya akan melihat karya
arsitektur itu hanya sebatas tampilan ‘view’, sehingga tidak terbangunnya kesadaran akan betapa
tingginya nilai sebuah karya arsitektur. Dari kondisi seperti inilah yang membuat para arsitek mau
tidak mau harus mengikuti harga ‘pasar’ yang telah terbangun dari berbagai rentetan kejadian yang
arsitektur ini, menjadi suatu dilema disaat kita ingin menjadikan arsitektur ini sebagai alat untuk
mengatasi permasalahan dengan analisa dan data-data yang dalam proses megerjakannya tidak
mudah, malah dinilai dengan harga yang rendah. Sedangkan dalam kondisi ini arsitek juga tidak
memiliki ‘power’ untuk menetapkan harga, karena tentu saja ‘client’ akan lebih mencari penggiat
arsitek yang mau dibayar dengan harga murah, disamping itu juga orang-orang yang bergelut
dibidang arsitekturpun begitu banyak yang dengan seenaknya menetapkan harga dengan serendah-
rendahnya untuk mendapatkan ‘project’. Maka tidak mengherankan jika stigma yang terbangun
Suatu hal yang memprihatinkan ketika keluar ke dunia kerja dimana perusahaan-
perusahaan yang bergerak dibidang desain dan kontruksi arsitektur juga masih menetapkan standar
gaji untuk arsitek yang disamakan dengan standar upah minimum regional (UMR) untuk bidang
pekerjaan lainnya. Bahkan tidak sedikit kita dapati di perusahaan yang bergerak dibidang
konstruksi, penghasilan seorang arsitek jauh lebih rendah dibandingkan dengan penghasilan
mandor proyek.
Maka kesejahteraan arsitek akan begitu sulit digapai jika tidak adanya keseriusan dan
korelasi dari pemerintah dengan pihak-pihak terkait lainnya untuk benar-benar menerapkan aturan
tentang kepropesian arsitek ini, sekurang-kurangnya tidak memberikan ijin mendirikan bangunan
arsitek dalam memposisikan dirinya dan menetapkan nilai suatu karya desain terhadap masyarakat
luas, dalam hal ini ingin kami fokuskan kepada masyarakat berpenghasilan rendah.
Arsitektur seharusnya hadir sebagai solusi akan segala aspek permasalahan baik itu tingkat
kota, permukiman, atau sekedar rumah huni. Sedangkan dalam kenyataannya, begitu banyak juga
masyarakat yang jangankan menginginkan permukiman atau rumah layak huni, untuk sekedar
memenuhi kebutuhan hidup sehari-haripun begitu sulitnya, sehingga masyarakat seperti ini begitu
jauh terhadap manfaat arsitektur dan juga begitu jarang diperhatikan oleh arsitek, dan jikapun ada
program-program dari penggiat arsitektur atau pemerintah hanya terbatas pada basis proyek yang
tidak melalui pendalaman masalah ditingkatan masyarakat yang sekali lagi bukannya menjadi
Untuk menjawab permasalahan tersebut maka perlu diadakan analisa lebih mendalam
kaitannya terhadap etika profesi arsitek, apakah pembahasan terkait etika profesi arsitek ini hanya
akan membahas sebatas pada legalisasi profesi, kemudian pembahasan mengenai pelanggaran
etika dalam promosi atau iklan, standar harga suatu karya arsitektur dan lain sebagainya. Lantas
dari segimana dalam pembahasan etika profesi ini untuk membahas khusus akan manfaatnya