Anda di halaman 1dari 134

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan di Pesisir Teluk Saleh,


Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2014

The Identification of Landcover Changes in Coastal Saleh Bay,


Sumbawa Regency from 2004-2014

Yulius1*) dan Ardiansyah2


1
Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan – KKP
2
Asisten Dosen Jurusan Geografi FMIPA, Universitas Indonesia
*)
E-mail : yulius.lpsdkp@gmail.com

ABSTRAK- Teluk Saleh terletak di sebelah timur laut wilayah Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang sedang
berkembang. Kecenderungan pengembangan wilayah berdampak pada peningkatan aktifitas perekonomian yang pesat dan
diikuti oleh degradasi kualitas lingkungan. Untuk itu diperlukan suatu usaha untuk mengidentifikasi perubahan dan sebaran
penggunaan lahan di pesisir Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Penelitian ini menggunakan metode analisis data sekunder dengan
Sistem Informasi Geografis. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Data yang digunakan yaitu citra satelit (Landsat 7 tahun
2004 dan Landsat 8 tahun 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tutupan lahan yang terkecil mengalami laju perubahan
yaitu belukar rawa, hutan lahan kering primer, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, permukiman, dan tubuh air
dengan nilai laju perubahan 0 ha/tahun, sedangkan laju perubahan terbesar terjadi pada tutupan lahan pertanian lahan kering dan
semak, dengan nilai 75,846 ha/tahun. Sedangkan penambahan luasan terbesar yaitu untuk sawah sebesar 706,30 ha dan
pengurangan luasan terbesar terjadi pada semak pertanian lahan kering dan semak yaitu sebesar -758,46 ha. (2) perubahan
penggunaan lahan terjadi di Kecamatan Lape Lopok dan Kecamatan Plampang, sedangkan perubahan penggunaan lahan tidak
terjadi di Kecamatan Maronge dan Kecamatan Tarano.

Kata kunci: Teluk Saleh, perubahan tutupan lahan, Citra Landsat, SIG

ABSTRACT- Saleh Bay is a growing region located in the northeast of Sumbawa,West Nusa Tenggara. As a growing
region in mariculture, some impacts on economic activity and environment degradation were found in the bay. Therefore, it
needs an effort to identify land use changes and the distribution of land use in this region from the year of 2004 until 2014. This
research used Landsat 7 imagery in 2004 and Landsat 8 imagery in 2014. The data were analysed descriptively using geographic
informastion system. The result showed that (1) shrub swamps, primary dry forest, mangrove forests primary, secondary
mangrove forests, settlements and water bodies land cover experienced the smallest land use change between 2004 until 2014 (0
ha/yr), meanwhile, dry land agriculture and shrubs land use had the biggest change of about 75,846 ha/yr. The biggest addition
of land cover belong to field area about 706,30 hectare, and on the other hand occur on dry land agriculture and shrubs
about -758,46 hectare. (2) changes in land use occurred in the Lape Lopok and Plampang sub-district, while the land-use
change does not occur in the Maronge and Tarano sub-district.

Keywords: Saleh Bay, landcover changes, Landsat imagery, GIS

1. PENDAHULUAN
Kemajuan pembangunan suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk yang diharapkan dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup (Akhirudin, 2006). Dampak dari pembangunan
mengakibatkan terjadinya perubahan tataguna lahan yang seringkali menjadi sulit dikendalikan, kondisi
sumberdaya alam terganggu, aliran air permukaan menjadi cepat dan lebih banyak, dan sumur-sumur menjadi
kering (Akhirudin, 2006).
Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang masih dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut (Anonim, 2014). Kabupaten Sumbawa merupakan salah satu dari 10 (sepuluh)
Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dan jika dilihat dari luas wilayahnya merupakan
kabupaten terluas di Provinsi NTB. Secara administrasi dari 24 wilayah kecamatan terdapat 18 kecamatan
pesisir (memiliki wilayah pesisir) dengan panjang garis pantai 982 km, terdapat 63 pulau-pulau kecil dan 63
desa pesisir (Anonim, 2013).

-586-
Perubahan Tutupan Lahan di Pesisir Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2014 (Yulius, dkk.)

Teluk adalah estuaria tertutup yang memiliki peran strategis sebagai salah satu sumberdaya ekologi dan
layanan lingkungan (Ramdhan, 2012). Teluk Saleh terletak di sebelah timur laut wilayah Kabupaten Sumbawa
merupakan perairan semi tertutup dan berhubungan langsung dengan laut flores (Mujiyanto dan Wasilun, 2006).
Perairan Teluk Saleh memiliki sumberdaya alam pesisir dan laut yang beraneka ragam, sehingga untuk masa
yang akan datang merupakan sumber ekonomi baru bagi pertumbuhan pembangunan di propinsi NTB
(Radjawane, 2006). Teluk Saleh merupakan pusat kegiatan perekonomian laut yang dimanfaatkan sebagai lokasi
penangkapan ikan (fishing ground) masyarakat nelayan tradisional dan sebagai lahan budidaya seperti budidaya
rumput laut, budidaya ikan Kerapu keramba587jaring apung, dan budidaya kerang mutiara (Anonim, 2004).
Perairan Teluk Saleh memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi yaitu potensi ekosistem mangrove,
terumbu karang dan ikan karang (Satria dan Mujiyanto, 2011). Hal ini didukung pula dengan kondisi perairan
Teluk Saleh yang dikelilingi oleh banyak pulau-pulau kecil, seperti Pulau Dangar Rea, Pulau Liang, Pulau Ngali
dan Pulau Rak (Ismunarti dan Rochaddi, 2013).
Kecenderungan pengembangan wilayah berdampak pada peningkatan penduduk yang pesat dan akan diikuti
oleh degradasi kualitas lingkungan (Yulius dkk., 2014). Kualitas lingkungan pada perairan semi tertutup seperti
pada perairan Teluk Saleh sangat dipengaruhi oleh adanya aktivitas di daratan. Aktivitas daratan yang sangat
produktif, berpotensi untuk menurunkan kualitas perairan. Aktivitas tersebut, dapat menjadi ancaman terhadap
potensi sumberdaya hayati laut, sehingga dikhawatirkan mengganggu proses pengembangan wilayah
(Mujiyanto dan Hartati, 2009). Imbas dari pembangunan salah satunya adalah kegiatan alih fungsi lahan dari
area terbuka menjadi area terbangun. Hal ini terlihat dari adanya perubahan penggunaan lahan akhir-akhir ini
yang mengarah pada penutupan lahan (area terbangun). Perubahan terjadi akibat meningkatnya kebutuhan akan
jasa, yaitu permukiman,587industri, serta pembangunan lain untuk menunjang kehidupan manusia (Akhirudin,
2006). Perubahan tutupan lahan di lokasi penelitian memerlukan usaha pengkajian berbasis kewilayahan yang
diharapkan dapat memperoleh data dan informasi yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi
dalam pengelolaan kawasan tersebut.
Identifikasi perubahan tutupan lahan penting dilakukan untuk memantau terjadinya perubahan tutupan lahan
sehingga degradasi lahan dapat dihindari yang mana hal ini belum pernah dilakukan di daerah ini. Sistem
Informasi Geografis (SIG) mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha pemantauan perubahan
tutupan lahan. SIG dapat digunakan untuk pemasukan, analisis, pengolahan, dan penayangan dari data informasi
geografis secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi besarnya perubahan tutupan lahan, dan
sebaran perubahan penggunaan lahan di pesisir Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa tahun 2004-2014, dengan
menggunakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG).

2. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Kawasan Teluk Saleh yang meliputi; Desa Labuan Sangoro Kecamatan Maronge,
Desa Labuan Aji Kecamatan Tarano, dan Desa Teluk Santong Kecamatan Plampang serta Kecamatan Lape
Lopok, Kabupaten Sumbawa, Provinsi NTB (Gambar 1). Wilayah kajian adalah di kawasan pesisir dengan jarak
2 km dari garis pantai dengan batas koordinat (8⁰32’35,46” LS - 8⁰45’45,27” LS) dan 117⁰42’21’,394” BT -
118⁰3’21,46” BT).

2.2 Data Penelitian


Data penelitian yang digunakan yaitu citra satelit landsat 7 (tahun 2004) dan landsat 8 (tahun 2014) diunduh
pada bulan April dan September 2014 resolusi 30 meter untuk menghasilkan informasi spasial tutupan lahan.
Data luas tutupan diperoleh dari dari jumlah pixel dari masing-masing luasan, sehingga analisis dilakukan
secara visual.

-587-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 1. Lokasi penelitian

2.3 Analisis Data


Analisis data penelitian menggunakan SIG dan analisis dilakukan secara deskriptif. Analisis data tutupan
lahan dihasilkan dengan interpretasi visual citra. Selain itu, penafsiran tutupan lahan ini juga mengacu dari data
tutupan lahan yang dihasilkan oleh Badan Planologi Nasional, Kementerian Kehutanan. Data landsat dengan
resolusi 30 meter digunakan untuk mengekstraksi tutupan lahan di lokasi penelitian dikarenakan mudah untuk
diinterpretasi dan cakupan areanya memenuhi seluruh wilayah penelitian. Penelitian ini menggunakan citra
landsat dengan perbedaan waktu 10 tahun, yaitu tahun 2004 dan 2014. Alur kerja penelitian dapat dilihat pada
Gambar 2.
Data landcover dihasilkan dengan interpretasi visual dari data landsat 7 (tahun 2004) dan landsat 8 (tahun
2014). Selain itu, penafsiran landcover ini juga mengacu dari data landcover yang dihasilkan oleh Badan
Planologi Nasional, Kementerian Kehutanan. Wilayah kajian adalah di kawasan pesisir dengan jarak 2 km dari
garis pantai.

-588-
Perubahan Tutupan Lahan di Pesisir Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2014 (Yulius, dkk.)

Persiapan Data

LANDSAT-7 Peta Dishidros (2008) Landsat-8


2004 Skala 1;200.000 2014

Koreksi Geometrik

Pemotongan Citra
Data Landcover
Badan Planologi
Nasional,
Digitasi tutupan lahan
Kementerian
Kehutanan

Tumpang susun (overlay)

Perubahan Tutupan Lahan

Gambar 2. Diagram alir penelitian

2.4 Koreksi Geometrik Citra


Koreksi589geometrik citra dilakukan dengan rektifikasi citra berdasar acuan peta Dishidros skala 1:200.000.
Untuk melakukan rektifikasi minimal diperlukan 4 buah titik yang digunakan sebagai ground control point
(GCP). Penentuan titik-titik GCP diletakkan pada pojok kanan atas, pojok kiri atas, pojok kanan bawah dan
pojok kiri bawah. Hal tersebut dilakukan agar citra terektifikasi secara merata. Sistem koordinat yang digunakan
dalam proses rektifikasi adalah koordinat geografis dengan ellipsoid referensi World Geodetic System 1984.

2.5 Digitasi Tutupan Lahan


Setelah citra terkoreksi multi temporal, tahap selanjutnya adalah proses on screen digitation (digitasi pada
layar monitor). Digitasi dimaksudkan untuk mengubah format data raster ke format data vektor. Objek yang
didigitasi adalah tutupan lahan. Seluruh proses digitasi menggunakan fasilitas image analysis pada perangkat
lunak ArcGIS yang dapat menampilkan data raster dan vektor sekaligus.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penyediaan data spasial merupakan hal yang penting dalam pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan
yang tidak benar dapat menimbulkan berbagai dampak yang merugikan. Hal ini terbukti dari adanya perubahan
kondisi lingkungan di pesisir Teluk Saleh yang memiliki kandungan pH tinggi dengan nilai berkisar antara 7,85
– 8,51 (Mujiyanto dan Wasilun, 2006) di atas baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu 7 – 8. Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter
yang penting dalam memantau kestabilan lingkungan perairan. Perubahan nilai pH di suatu perairan akan
mempengaruhi kehidupan biota, karena tiap biota memiliki batasan tertentu terhadap nilai pH yang bervariasi
(Simanjuntak, 2012). Kandungan pH yang tinggi dikarenakan masuknya zat-zat pembusuk dari daratan yang
masuk ke perairan karena terbawa oleh air hujan (Mujiyanto dan Wasilun, 2006). Degradasi lahan akibat
aktivitas manusia sangat mungkin terjadi karena kurangnya pemantauan terhadap perubahan yang terjadi di
lingkungan.

3.1 Perubahan Tutupan Lahan


Perubahan tutupan lahan mengarah pada tutupan lahan pemukiman. Hal ini bertolak belakang dengan
kondisi saat ini dimana kawasan pesisir tersebut telah mengalami perubahan tutupan lahan yang mengarah dari
area hutan menjadi area pertanian. Hasil analisis spasial citra satelit menunjukkan adanya perubahan tutupan

-589-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

lahan yang terjadi di lokasi penelitian dari tahun 2004 hingga 2014. Perubahan tutupan lahan tersebut tertera
dalam Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1 menunjukkan bahwa tutupan lahan yang tidak mengalami laju perubahan tutupan lahan yaitu belukar
rawa, hutan lahan kering primer, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, permukiman, dan tubuh air
dengan nilai laju perubahan 0 ha/tahun, sedangkan laju perubahan terbesar terjadi pada tutupan lahan pertanian
lahan kering dan semak dengan nilai 75,846 ha/tahun.
Penambahan luasan tutupan lahan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2014 terjadi pada lahan pertanian
lahan kering, sawah dan tanah terbuka, dengan nilai 1,21 ha, 706,30 ha dan 287.44 ha (Tabel 1). Pengurangan
luasan tutupan lahan terjadi pada pertanian lahan kering dan semak, semak/belukar, dan tambak dengan nilai -
758,46 ha, -7.54 ha, dan -228.95 ha. Penambahan luasan terbesar yaitu untuk sawah sebesar 706,30 ha (Gambar
3) dan pengurangan luasan terbesar terjadi pada pertanian lahan kering dan semak yaitu sebesar -758,46 ha
(Gambar 4).

Tabel 1. Luasan perubahan tutupan lahan pesisir Teluk Saleh, Kab. Sumbawa tahun 2004 – 2014

Laju
luas (ha) luas (ha) selisih 2004
No Tutupan Lahan (%) (%) Perubahan
2004 2014 dan 2014 (ha)
[ha/th]
1 Belukar rawa 2.27 0.01 2.27 0.01 0 0
Hutan lahan
2 6.56 0.04 6.56 0.04 0 0
kering primer
Hutan
3 mangrove 1206.46 6.78 1206.46 6.78 0 0
primer
Hutan
4 mangrove 123.22 0.69 123.22 0.69 0 0
sekunder
5 Permukiman 13.28 0.07 13.28 0.07 0 0
Pertanian lahan
6 973.55 5.47 974.76 5.48 1.21 0.121
kering
Pertanian Lahan
7 2198.04 12.36 1439.58 8.09 -758.46 75.846
Kering + Semak
8 Sawah 521.71 2.93 1228.01 6.90 706.30 70.630
9 Semak/Belukar 9673.52 54.38 9665.98 54.34 -7.54 0.754
10 Tambak 2975.67 16.73 2746.72 15.44 -228.95 22.895
11 Tanah terbuka 76.78 0.43 364.22 2.05 287.44 28.744
12 Tubuh air 18.02 0.10 18.02 0.10 0 0
LUAS 17789.08 100 17789.08 100

Gambar 3. Grafik penambahan luas lahan sawah 2004-2014

-590-
Perubahan Tutupan Lahan di Pesisir Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2014 (Yulius, dkk.)

Gambar 4. Grafik pengurangan luas lahan pertanian lahan kering dan semak 2004-2014

Tabel 2 menunjukkan bahwa tutupan lahan yang mengalami alih fungsi lahan terbesar yaitu pertanian lahan
kering dan semak menjadi areal pesawahan dengan nilai perubahan 758,46 ha, sedangkan tutupan lahan yang
mengalami alih fungsi lahan terkecil yaitu semak/belukar menjadi areal pertanian lahan kering dengan nilai 1,21
ha.
Tabel 2. Luasan alih fungsi lahan pesisir Teluk Saleh, Kab. Sumbawa tahun 2004 – 2014

Landuse Tahun 2014 (ha)


Hutan Pertanian
Kelas Landcover Belukar lahan Hutan Hutan Permuk Pertanian Lahan Sawah Semak/ Tambak Tanah Tubuh Luas
rawa kering mangrove mangrove iman lahan kering Kering + Belukar terbuka air Total
primer primer sekunder Semak

Belukar rawa 2.27 2.27


Hutan lahan
kering primer 6.56 6.56
Hutan
mangrove
primer 1206.46 1206.46
Hutan
mangrove
sekunder 123.22 123.22
Permukiman 13.28 13.28
Landuse Pertanian lahan
Tahun kering 973.55 973.55
2004 Pertanian
(ha) Lahan Kering +
Semak 1439.58 758.46 2198.04
Sawah 469.55 33.17 18.99 521.71
Semak/ Belukar 1.21 9665.98 6.33 9673.52
Tambak 2707.22 268.45 2975.67
Tanah terbuka 76.78 76.78
Tubuh air 18.02 18.02
Luas Total 2.27 6.56 1206.46 123.22 13.28 974.76 1439.58 1228.01 9665.98 2746.71 364.22 18.02 17789.07

3.2 Sebaran Perubahan Tutupan Lahan


Hasil pengolahan data dengan SIG menunjukkan bahwa terjadi perubahan tutupan lahan yang umumnya
menjadi lahan persawahan. Perubahan menjadi lahan persawahan yang terjadi berasal dari lahan pertanian
lahan kering dan semak. Perubahan lahan persawahan yang meningkat luasannya terdapat di Kecamatan
Plampang seperti terlihat pada kotak hijau di Gambar 5 dan 6. Perubahan penggunaan lahan terjadi di
Kecamatan Lape Lopok (Tabel 3 dan 4) dan Kecamatan Plampang, sedangkan perubahan penggunaan lahan
tidak terjadi di Kecamatan Maronge dan Kecamatan Tarano seperti terlihat pada (Tabel 5 dan 6).

-591-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 5. Peta tutupan lahan pesisir Teluk Saleh, Kab. Sumbawa Tahun 2004

Gambar 6. Peta tutupan lahan pesisir Teluk Saleh, Kab. Sumbawa Tahun 2014

-592-
Perubahan Tutupan Lahan di Pesisir Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2014 (Yulius, dkk.)

Tabel 3. Luasan perubahan tutupan lahan Kecamatan Lape Lopok tahun 2004 – 2014

Landuse Tahun 2014 (ha)


Kelas Landcover Hutan Pertanian Tanah
Belukar mangrove Pertanian Lahan Kering Semak/ Belukar Tambak terbuka Luas Total
rawa sekunder lahan kering + Semak
Belukar rawa 0.672 0.672
Hutan mangrove
sekunder 39.188 39.188
Pertanian lahan
Landuse kering 104.468 104.468
Tahun Pertanian Lahan
2004 Kering + Semak 223.131 223.131
(ha) Semak/Belukar 3605.338 6.33 3611.668
Tambak 211.402 211.402
Tanah terbuka 10.64 10.64

Luas Total 0.672 39.188 104.468 223.131 3605.338 217.732 10.64 4201.169

Tabel 4. Luasan perubahan tutupan lahan Kecamatan Plampang tahun 2004 – 2014

Landuse Tahun 2014 (ha)


Hutan Hutan Pertanian Pertanian
Kelas Landcover Belukar mangrove mangrove lahan Lahan Sawah Semak/ Tambak Tanah Tubuh Luas
rawa primer sekunder kering Kering + Belukar terbuka air Total
Semak
Belukar rawa 1.597 1.597
Hutan
mangrove
primer 853.572 853.572
Hutan
mangrove
Landuse sekunder 36.533 36.533
Tahun Pertanian lahan
2004 kering 40.227 40.227
(ha) Pertanian Lahan 758.
Kering + Semak 576.867 461 1335.328
Sawah 99.029 33.165 18.994 151.188
Semak/Belukar 1.206 2542.111 2543.317
Tambak 1491.868 268.451 1760.319
Tubuh air 7.807 7.807
Luas Total 1.597 853.572 36.533 41.433 576.867 857.49 2542.111 1525.033 287.445 7.807 6729.888

Tabel 5. Luasan perubahan tutupan lahan kecamatan maronge tahun 2004 – 2014

Landuse Tahun 2014 (ha)


Hutan Pertanian Pertanian Tamba
Kelas Landcover mangrov lahan Lahan Semak/ k Luas
e primer kering Kering + Belukar Total
Semak
Hutan mangrove
primer 137.108 137.108
Pertanian lahan kering 279.505 279.505
Landuse Pertanian Lahan
Tahun Kering + Semak 260.984 260.984
2004
Semak/Belukar 96.165 96.165
(ha)
Tambak 389.275 389.275
Luas Total 137.108 279.505 260.984 96.165 389.275 1163.037

-593-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Tabel 6. Luasan perubahan tutupan lahan Kecamatan Tarano tahun 2004 – 2014

Landuse Tahun 2014 (ha)


Hutan Pertanian
Kelas Landcover lahan Hutan Hutan Pertanian Lahan
kering mangrove mangrove lahan Kering + Semak/ Tanah Tubuh Luas
primer primer sekunder Permukiman kering Semak Sawah Belukar Tambakterbuka air Total
Hutan lahan
kering primer 6.562 6.562
Hutan
mangrove
primer 215.782 215.782
Hutan
mangrove
sekunder 47.193 47.193
Permukiman 13.275 13.275
Landuse Pertanian
Tahun lahan kering 549.35 549.35
2004 Pertanian
(ha) Lahan Kering
+ Semak 378.595 378.595
Sawah 370.519 370.519
Semak/Belukar 3421.584 3421.584
614.6
Tambak 7 614.67
Tanah terbuka 66.136 66.136
Tubuh air 10.216 10.216
Luas Total 6.562 215.782 47.193 13.275 549.35 378.595 370.519 3421.584 614.67 66.136 10.216 5693.882

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian perubahan tutupan lahan dari tahun 2004-2014 yang telah dilakukan di pesisir Teluk
Saleh dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) Tutupan lahan yang terkecil mengalami laju perubahan
yaitu belukar rawa, hutan lahan kering primer, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, permukiman,
dan tubuh air dengan nilai laju perubahan 0 ha/tahun, sedangkan laju perubahan terbesar terjadi pada tutupan
lahan pertanian lahan kering dan semak, dengan nilai 75,846 ha/tahun. Sedangkan penambahan luasan terbesar
yaitu untuk sawah sebesar 706,30 ha dan pengurangan luasan terbesar terjadi pada semak pertanian lahan kering
dan semak yaitu sebesar -758,46 ha. (2) perubahan penggunaan lahan terjadi di Kecamatan Lape Lopok dan
Kecamatan Plampang, sedangkan perubahan penggunaan lahan tidak terjadi di Kecamatan Maronge dan
Kecamatan Tarano.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih diucapkan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, KKP atas
bantuan dana untuk menyelesaikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Akhirudin, N.H., dan Suharjo (2006). Identifikasi perubahan penggunaan lahan kota Surakarta tahun 1993 – 2004 dengan
aplikasi sistem infor-masi geografis (SIG). J Penelitian Sains dan Teknologi, 7(2):170-178.
Anonim (2014). Undang-Undang No. 27 tahun 2007 junto Undang-Undang No. 1 tahun 2014 tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Anonim (2013). Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sumbawa. Ditjen Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta.
Anonim (2004). Daya Dukung Kelautan dan Perikanan Selat Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh dan Teluk Ekas. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Ismunarti, D.H., dan Rochaddi, B., (2013). Kajian Pola Arus Di Perairan Nusa Tenggara Barat dan Simulasinya
Menggunakan Pendekatan Model Matematik. Buletin Oseanografi Marina, 2:1-11.
Mujiyanto, dan Hartati, S.T., (2009). Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Rakit dan Pulau Ganteng Perairan
Teluk Saleh Nusa Tenggara Barat Serta Strategi Pengelolaannya. Prosiding Forum Nasional Sumberdaya Ikan II.
Kerjasama LRPSI-PRPT, IPB, LIPI dan MII. Hal. KR-10.

-594-
Perubahan Tutupan Lahan di Pesisir Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2014 (Yulius, dkk.)

Mujiyanto, dan Wasilun (2006). Kondisi Oseanografi di Perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar
Nasional Ikan IV. Kerjasama LRPSI, LIPI, dan MII.
Ramdhan, M., (2012). Kriteria penentuan teluk menurut United Nation Conventions on the LAW of the SEA-studi kasus
wilayah Bungus Teluk Kabung kota Padang. J Ilmiah Geomatika, 18(2):37-46.
Radjawane, I.M., (2006). Sirkulasi Arus Vertikal Di Perairan Teluk Saleh Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Segara,
2(1):10-15.
Satria, H., dan Mujiyanto (2011). Struktur Komunitas Ikan Karang Di Lokasi Terumbu Karang Buatan di Perairan Teluk
Saleh, Nusa Tenggara Barat. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Stok Ikan III: Kestabilan Produksi Ikan. Kerjasama
BP2KSI, FPIK, UNPAD, LIPI dan MII.
Simanjuntak, M., (2012). Kualitas Air Laut Ditinjau Dari Aspek Zat Hara, Oksigen Terlarut Dan Ph Di Perairan Banggai,
Sulawesi Tengah. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 4(2):290-303.
Yulius, T.A., Tanto, Ramdhan, M., Putra, A., dan Salim, H.L., (2014). Perubahan Tutupan Lahan Di Pesisir Bungus Teluk
Kabung, Sumatra Barat Tahun 2003-2013 Menggunakan Sistem Informasi Geografis. J Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, 6(2):311-318.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

DAFTAR ACARA
PRESENTASI POSTER SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan Di Pesisir Teluk Saleh, Kabupaten
Sumbawa Tahun 2004-2014
Pemakalah : Yulius (KKP)
Diskusi :

Pertanyaan: Teguh Prayogo (Teknologi Kelautan, IPB):


Apakah studi ini mengkaji dan menganalisis keterkaitan/hubungan perubahan penutup lahan di kawasan pesisir
dan hulu? serta dinamika oseonografi di pantai?

Jawaban :
Dalam penelitian kami tidak mengkaji dan menganalisis keterkaitan atau hubungan antara perubahan penutupan
lahan di kawasan pesisir dan hulu serta dinamika oseanografi di pantai dikarenakan perubahannya tidak terlalu
signifikan.

-595-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Analisis Perubahan Sebaran dan Luasan Hutan Mangrove di Teluk


Gilmanuk, Taman Nasional Bali Barat pada Tahun 2006, 2011, dan 2015
Dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT 4 dan SPOT 6

Changes Detection of Mangrove Forest in Bay of Gilimanuk, West Bali Of


National Park in 2006, 2011, & 2015 Using SPOT 4 and SPOT 6 Imageries

Mafazi Rachman1*), Bambang Semedi2), Dhira K. Saputra2) ,


dan Kuncoro Teguh Setiawan3)
1
Fakultas Perikanan dan Ilmu Keluatan, Universitas Brawijaya
2
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya
3
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
*)
Email: mafazirachman@gmail.com

ABSTRAK- Teluk Gilimanuk merupakan salah satu kawasan dengan hutan mangrove yang luas, terletak di dalam Balai
Taman Nasional Bali Barat yang masuk dalam kawasan zona pemanfaatan sehingga banyak terjadi aktifitas manusia di
sekitar kawasan tersebut yang bisa mengakibatkan degradasi pada luas hutan mangrove tersebut. Salah satu upaya untuk
menjaga keberlangsungan hutan mangrove dari penurunan luasan adalah dengan melakukan pemantauan menggunakan
teknik penginderaan jauh dengan menggunakan citra satelit yang memiliki resolusi tinggi. Tujuan penelitian ini adalah:
(1) untuk mengetahui sebaran dan luasan vegetasi mangrove pada tahun 2006 dan 2011 dengan menggunakan citra satelit
SPOT 4 dan tahun 2015 mengunakan citra satelit SPOT 6; (2) untuk menganalisis perubahan luasan dan sebaran
mangrove di Teluk Gilimanuk dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2015 dengan menggunakan indeks vegetasi NDVI;
(3) untuk mengetahui kondisi hutan mangrove di Teluk Gilimanuk melalui survey lapang. Pemantauan kawasan hutan
mangrove dilakukan pada tahun 2006, 2011 dan 2015 di mana dari rentang waktu tersebut terjadi peningkatan aktifitas
yang dapat mengganggu laju pertumbuhan mangrove contohnya peningkatan jumlah wisatawan untuk pariwisata dan
faktor alam yang mengganggu pertumbuhan mangrove. Hasil dari penelitian ini menunjukan penurunan luasan hutan
mangrove berkurang sebesar 79 ha yang diakibatkan oleh faktor alam dan faktor biologis. Penurunan tersebut terjadi di
daerah Barat Teluk Gilimanuk, yaitu pada kawasan hutan mangrove yang berada di kawasan wisata Pantai Karang Sewu
dan kawasan permukiman yang berada tidak jauh dari kawasan wisata pantai tersebut.

Kata kunci: Mangrove, citra SPOT 4 dan 6, NDVI.

ABSTRACT - Bay of Gilimanuk has extensive mangrove forests, located in the West Bali National Park are included in
the area of Using zone so there are many human activities which result in the degradation of mangrove forest. One of
the efforts to maintain the sustainability of mangrove forests is monitoring using remote sensing techniques with high
resolution imagery. The purpose of this study are:(1) to determine the distribution and extent of mangrove vegetation in
2006 and 2011 using SPOT 4 and SPOT 6 satellite imagery; (2) to analyze the changes in the area and distribution of
mangroves in the Bay of Gilimanuk by using the vegetation index NDVI; (3) to determine the condition of mangrove
forests in the Bay of Gilimanuk with field survey. Monitoring of mangrove forest area was conducted in 2006, 2011 and
2015, when in the timeline, human activities that interfere growth rate of mangrove incrased, such as, increase of
tourism numbers and natural factors that disturb growth of mangroves in the Gilimanuk Bay. The results of this study
showed mangrove forest area based on SPOT 4 and SPOT 6 image processing using NDVI vegetation index, decrease
by 79 ha, damaged by natural factors and biological factors. Decrease of mangrove forest occured in the western part
of Gilimanuk Bay, located in Karang Sewu Beach and residential area that located near Karang Sewu Beach.

Keywords: Mangrove, SPOT 4 and 6 imageries, NDVI

1. PENDAHULUAN
Hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan yang memiliki ciri khas untuk hidup di sepanjang pantai
atau muara sungai. Sering kali disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau, atau hutan bakau. Luas hutan
mangrove di Indonesia sendiri diperkirakan seluas 425 juta ha atau 3.985 dari seluruh luas hutan di Indonesia
(Nontji, 2007).
Meskipun luas hutan mangrove di Indonesia sangat luas dan banyak memiliki maanfaat bagi masyarakat
dan lingkungan, akan tetapi permasalahan utama yang ada adalah penurunan luasan mangrove di berbagai
tempat di Indonesia (Wiyono, 2009). Salah satu cara untuk menjaga keberlangsungan ekosistem mangrove
dari kerusakan tersebut adalah dengan mendirikan balai – balai konservasi di berbagai daerah yang masih

-596-
Analisis Perubahan Sebaran dan Luasan Hutan Mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat pada Tahun 2006, 2011,
dan 2015 dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT 4 dan SPOT 6 (Rachman, M, dkk).

terjaga keasliannya.Taman Nasional Bali Barat merupakan salah satu balai konservasi di Indonesia yang
telah disahkan oleh Menteri Kehutanan dalam SK No. 493/Kpts-II/95 yang merupakan kawasan pelestarian
alam dengan ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dengan tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Dephut,2014).
Pemantauan kawasan hutan mangrove di Teluk Gilimanuk dilakukan pada tahun 2006, 2011 dan 2015
dengan menggunakan teknik penginderaan jauh di mana dari rentang waktu tersebut terjadi peningkatan
aktikfitas yang dapat mengganggu laju pertumbuhan mangrove contohnya peningkatan jumlah wisatawan
untuk pariwisata dan faktor alam yang menggagu pertumbuhan mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman
Nasional Bali Barat.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan citra SPOT 4 untuk tahun 2006
dan 2011 serta citra SPOT 6 tahun 2015. Citra SPOT 4 memiliki resolusi sebesar 20 m dan Citra SPOT 6
memiliki resolusi hingga 6 m (Satimagingcorp, 2105), sehingga dengan melakukan pemantauan kawasan
mangrove di Teluk Gilimanuk dengan citra SPOT 4 dan SPOT 6 akan didapatkan hasil yang lebih akurat.
Selain dengan teknik pengidraan jauh, di dalam penelitian ini dikumpulkan juga data lapang (ground chek)
untuk menunjang hasil dari penelitian ini.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sebaran dan luasan vegetasi mangrove dari hasil pengolahan citra satelit SPOT 6 dan
SPOT 4 menggunakan indeks vegetasiNDVI.
2. Untuk menganalisis perubahan luasan dan sebaran mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional
Bali Barat dalam kurun waktu 9 tahun, yaitu dari tahun 2006, 2011, dan 2015.
3. Mengetahui kondisi hutan mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat melalui survey
lapang.

2. METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Pengambilan Data
Pengambilan data lapang dilakukan pada tgl 14 sampai dengan 21 September 2015 di Teluk Gilimanuk,
Taman Nasional Bali Barat. Untuk pengambilan data akurasi citra dengan data lapang dilakukan pada
tanggal 25 sampai dengan 27 November 2015. Lokasi pengamatan data lapang dilakukan di 5 stasiun
lapang. Di antaranya Kawasan Petak Ukur Permanen, Pantai Karang Sewu, Pulau Kalong, Pantai Batu
Payung, dan Teluk Lumpur.

Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Data

-597-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Alat dan bahan


Alat dan Bahan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2. Pertama alat untuk pengolahan data penetuan luasan
mangrove dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat untuk pengolahan data

Alat Fungsi
Er Mapper 7.1 Digunakan dalam proses penggabungan koreksi geometrik, komposit
band, klasifikasi unsupervised, pengolahan NDVI, overlay hasil
unsupervised dan NDVI, dan reclassify kelas pada citra SPOT 6 dan
SPOT 4.
Quantum GIS Digunakan dalam preoses koreksi radiomatrik pada citra SPOT 6 dan
SPOT 4.
ENVI 6.4 Digunakan untuk merubah file ekstensi dari .JP2 menjadi .ers pada citra
SPOT 6 dan SPOT 4.

Kedua, untuk alat dan bahan yang dilakukan pada survey lapang (ground chek) dapat dilihat pada tabel 2 di
bawah ini.

Tabel 2. Alat dan bahan pada survey lapang

Alat Fungsi
Tali Rafia Untuk membuat transek 10m x 10m.
Patok Untuk menyangga tali raffia dalam membuat transek 10 m
x 10 m.
Kamera (Cannon SX-400) Digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan di lapang.
GPS Garmin78s Untuk menentukan titik koordinat pengambilan sampel
dan proses menentukan titik lokasi untuk pengolahan data
uji akurasi citra SPOT 6.
Meteran Untuk mengukur diameter pohon mangrove.
Bahan Fungsi
Mangrove Sebagai bahan objek yang akan diteliti.

Metode Penelitian
Di dalam penelitian ini, dilakukan 2 tahap penelitian, antara lain:
1. Survey lapangan serta pengambilan data lapang.
2. Pengolahan citra satelit SPOT 6 dan SPOT 4 serta analisis perubahan luasan dari tahun 2006, 2011,
dan 2015.

Pengambilan data di lapang dilakukan dengan menggunakan transek kuadran berukuran10m x10m
sebanyak 5 stasiun di antaranya: Kawasan Petak Ukur Permanen, Pantai Karang Sewu, Pulau Kalong, Pantai
Batu Payung, dan Teluk Lumpur, di mana penentuannya diletakan secara acak sesuai dengan jumlah sampel
yang telah ditentukan(RSNI-3,2011). Pada setiap stasiun yang telah ditentukan, diidentifikasi setiap jenis
mangrove yang ada, jumlah individu setiap jenis dan lingkar batang setiap pohon. Data-data tersebut
kemudian dicatat dan diolah lebih lanjut untuk menentukan kerapatan jenis, frekuensi, dan dominansinya
(KKP, 2013). Selanjutnya tiap transek diambil titik koordinatnya untuk pengecekan hasil interpretasi citra
dengan keadaan di lapangan. Dalam perhitungan untuk hasil keadaan di lapang, metode perhitungan data
vegetasi mangrove menggunakan rumus-rumus analisis data yang mengacu pada RSNI-3 (2011) sebagai
berikut:

Di =

-598-
Analisis Perubahan Sebaran dan Luasan Hutan Mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat pada Tahun 2006, 2011,
dan 2015 dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT 4 dan SPOT 6 (Rachman, M, dkk).

Rdi = x100

1
DBH = 4
∑Ba = 2
4

Ci =

RCi = x 100

Keterangan :

Ni = Jumlah total tegakan jenis I


∑Ni = Total tegakan seluruh jenis
Di = Kerapatan jenis I
Rdi = Kerapatan relatif jenis I
CBH = Luas lingkar batang jenis I dalam satu
Π = Suatu konstanta (3,14)
DBH = Diameter batang jenis I
BA = Basal area
A = total pengambilan area (plot) dalam m2
Ci = Luas area penutupan jenis I
∑C = Luas total area penutupan seluruh jenis
RCi = Luas penutupan relatif jenis (%)

Setelah mengetahui penutupan relatif suatu jenis mangrove dan kerapatan di dalam suatu stasiun, maka
dari hasil tersebut dapat dikriteriakan apakah jenis mangrove tersebut baik atau rusak dan lebat, sedang, atau
jarang. Dari hasil Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004, untuk kriteria baku kerusakan
mangrove dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria baku kerusakan mangrove

Kriteria Penutupan Kriteria Kerapatan (pohon/ha)

>75 Lebat >1.500


Baik
50-75 Sedang 1.000-1.500

Rusak <50 Jarang <1.000

Tahap Pengolahan Citra


Daerah yang diambil pada citra satelit ini adalah Teluk Gilimanuk pada tahun 2006, 2011, 2015. Untuk
tahun 2006 dan 2011 citra yang digunakan adalah citra SPOT 4. Sedangkan untuk tahun 2015 citra yang
digunakan adalah SPOT 6. Alur Pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 3.

-599-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 2.Alur pengolahan citra satelit


1. Konversi Data
Pengolahan data digital berupa citra satelit dimulai dengan membuat surat izin permohonan
penggunaan citra satelit SPOT 6 dan SPOT 4 kepada deputi Sub TU. Bidang PUSTEKDATA yang
berada di LAPAN. Data citra dalam format *.JP2 di-import kedalam perangkat lunak ER Mapper 7.0
kemudian dikonversi ke dalam format *.ers.
2. Pemotongan Citra
Pemotongan citra atau cropping dilakukan karena citra awal yang didapat memiliki cakupan area
yang terlalu luas. Proses ini bertujuan agar dalam pengolahan data menjadi lebih mudah dan efektif
karena area pada citra menjadi lebih kecil.
3. Pemulihan Citra
a. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik dilakukan dengan transformasi koordinat serta resampling. Untuk
transformasi koordinat dan resampling ini dilakukan dengan cara menggunakan titik control bumi
(Ground Control Points/GCPs) yang ada didalam ER Mapper 7.3 sehingga koordinat yang berada
pada citra akan sama dengan citra yang ada di bumi.
b. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki nilai piksel yang ada pada
citra karena ketidaksesuaian dengan nilai pantulan spektral objek yang sebenarnya karena
dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi di atmosfer sehingga mempengaruhi data perekaman
(Chevalda dkk., 2013). Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram
(histogram adjustment) dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi sehingga nila yang dihasilkan
minimumnya menjadi nol. Karena apabila tidak dimulai dari nol maka penambahan tersebut
dengan offset.
4. Penajaman Citra
a. Citra SPOT 6
Menurut Mannopo dkk. (2014) untuk melakukan pemilihan komposit kanal yang baik dalam
pemantauan mangrove, metode yang digunakan adalah dengan teknik OIF (Optimum Index
Factor). Teknik OIF sendiri adalah suatu metode pemilihan kombinasi 3 kanal pada citra satelit
dengan mengacu kepada nilai statistik yang dihasilkan oleh masing-masing kanal dalam
mengintepretasikan objek mangrove pada citra satelit, kemudian dari pengkombinasian beberapa

-600-
Analisis Perubahan Sebaran dan Luasan Hutan Mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat pada Tahun 2006, 2011,
dan 2015 dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT 4 dan SPOT 6 (Rachman, M, dkk).

kanal, didapat hasil OIF terbaik pada citra SPOT 6 yaitu kanal NIR+Swir+RED (kanal 4,1,3).
merah yang lebih kontras dan gelap dibandingkan vegetasi lainnya. Hasil dari komposit untuk
citra SPOT 6 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Composit band 4,1, dan 3 pada citra SPOT 6

b. Citra SPOT 4
Pada citra SPOT 4 tahun 2006 dan 2011 pada penelitian ini telah sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Suwargana (2008), di mana untuk mengetahui kenampakan kawasan
mangrove pada citra SPOT 4 penggabungan kanal yang baik dalam mendeteksi mangrove adalah
dengan menggabungkan kanal NIR+SWIR+RED (1,4,2) karena nilai kekonsentrasian pada ketiga
kanal tersebut mempunyai nilai yang tinggi. Hasil dari komposit untuk citra SPOT 6 dapat dilihat
pada Gambar 5.

(a) (b)
Gambar 4. Komposit 1,4, dan 2 pada citra SPOT 4.
(a) tahun 2006, dan (b) tahun2011

5. Klasifikasi Citra
Proses klasifikasi dalam penelitian ini menggunakan unsupervised classification (klasifikasi tak
terbimbing). Klasifikasi tidak terbimbing (Unsupervised Classification) adalah suatu metode untuk
mengklasifikasikan hasil citra menjadi objek tertentu secara mandiri yang disesuaikan oleh data spatial
dari citra satelit tersebut. Klasifikasi unsupervised dilakukan apabila dalam melakukan suatu
penelitian, tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mengenali objek yang terekam pada citra
(Fajri, 2012).
6. Analisis Indeks Vegetasi
Menurut Hafizh dkk. (2013), NDVI atau Normalized Difference Vegetation Index, adalah suatu
metode indeks vegetasi standar yang biasa digunakan untuk memperoleh seberapa besar tingkat
kehijauan pada vegatasi. Nilai vegetasi tersebut berasal dari pantulan spekral yang dihasilkan
klorofil

-601-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

yang berada di dalam vegetasi tersebut. Untuk mendapatkan nilai tersebut, NDVI
menggunakan algoritma sebagai berikut:

NDVI = Band NIR - Band Red


Band NIR + Band Red

Untuk mengetahui distribusi sebaran kerapatan mangrove di kawasan Teluk Gilimanuk pada tahun
2006, 2011, dan 2015, cara yang digunakan adalah dengan menggunakan algoritma sesuai dengan
peraturan Kementrian Kelautan Perikanan (KKP, 2013). Fungsi dari algoritma tersbut adalah untuk
mengelompakan nilai kehijauan pada vegetasi dari tiap pixel tersebut menjadi jenis kerapatan tajuk
jarang, sedang, dan lebat.
7. Overlay
Untuk mengetahui laju perubahan lahan di Teluk Gilimanuk pada tahun 2006, 2011, dan 2015
dilakukan dengan teknik overlay menggunakan indeks vegetasi NDVI yang di reclassify menggunakan
algoritma tertentu dengan hasil klasifikasi unsupervised. Overlay merupakan analisis esensial yang
mengkombinasikan 2 layer menjadi satu. Secara umum teknik ini menghasilkan data berupa data raster
atau vector (Prahasta, 2009).

Uji Akurasi
Uji akurasi pada penelitian ini dilakukan di 50 titik lokasi berbeda, diantaranya daerah mangrove, non
mangrove, darat, permukiman dan perairan. Menurut Gandharum dan Chen(2006) dalamWichaksono (2014),
dalam mengetahui seberapa akurat hasil klasifikasi citra yang telah dilakukan, maka uji akurasi dilakukan
melalui matriks kesalahan (eror matrix). Data yang dibutuhkan untuk bisa melaksanakan uji tersebut terbagi
dalam 2 data yaitu data hasil klasifikasi yang akan diuji akurasinya dan data lapang sebagai pembanding. Uji
akurasi dilakukan dengan perhitungan matriks kekeliruan (confusion matrix) di mana analisis perhitungannya
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Tabel Perhitungan overall akurasi

Hasil Reference data Total baris


klasifikasi A B C X+k
A Xkk ….. ….. …..
B ….. Xkk ….. …..
C ….. ….. Xkk …..
Total Kolom Xk+ ….. ….. N

Untuk dapat mengetahui uji ketelitian dengan presentasi dari pixel-pixel yang terlaksana dengan tepat
sesuai dengan data lapang, maka dapat dihitung dengan menentukan overall accuracy. Jika hasil dari overall
accuracy>70% maka data tersebut dapat digunakan. Untuk perhitungannya dilakukan dengan rumus sebagai
berikut:
Overall accuracy :∑
Keterangan x 100%
∑Xkk : Total sampel diagonal yang terlaksana
N : Total sampel keseluruhan

Tabel 5. Tabel perhitungan prosedure dan user accurasy

Prosedure User
Lapang Akurasi Nilai Citra Akurasi Nilai
A A
+ …. + ….
B …. …. B …. ….
C …. …. C …. ….

Prosedure accuracy adalah peluang rata-rata suatu pixel yang menunjukkan sebaran dari masing-masing
kelas yang telah diklasifikasikan di lapang, dan User accuracy merupakan peluang rata-rata suatu piksel
secara aktual yang mewakili kelas-kelas tersebut (Congalton dan Green, 2009).

-602-
Analisis Perubahan Sebaran dan Luasan Hutan Mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat pada Tahun 2006, 2011, dan
2015 dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT 4 dan SPOT 6 (Rachman, M, dkk).

Prosedure’s accuracy = +
User accuracy =
Keterangan: +
Xkk : kelas yang terlaksana
Xk+: Total kolom
X+k: Total baris

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Perhitungan Luasan Lahan

Tabel 6. Hasil pengolahan data perubahan lahan


di Teluk Gilimanuk tahun 2006, 2011, dan 2015

JenisKe Luas (ha) Perubahan (ha)


rapatan Tahun 2006 Tahun 2011 Tahun 2015 Berkurang Bertambah
Lebat 146,68 155,36 79,184 69,496 -
Sedang 123,44 79,76 112,949 10,491 -
Jarang 73,48 55,08 73,82 - 0,302
Non Mangrove 1437,96 1196,4 972,021 465,939 -
Laut 838,88 876,48 636,72 - -
Darat 229,12 354,8 410,768 181,648
Permukiman 59,84 35,24 31,818 28,022 -
Awan 15,28 59,64 221,69 - 236,97

Dari hasil perhitungan pada Tabel 6, untuk perubahan tutupan lahan terbesar yaitu terjadi pada tutupan
lahan ‘non-mangrove’ yang berkurang sebesar 465,939 ha. Hal tersebut dikarenakan terjadi pembukaan lahan
berupa sawah yang digunakan masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional, Bali Barat untuk bertani. Hal
ini sebanding dengan perubahan lahan pada tutupan lahan darat atau sawah yang bertambah sebesar 181,648
ha.

Gambar 5. Grafik perubahan luasan hutan mangrove di Teluk Gilimanuk

Berdasarkan Tabel 7, luas kawasan mangrove berdasarkan total sebaran jenis kerapatan pada tahun 2006,
2011, dan 2015 di Teluk Gilimanuk, pada tahun 2006 diperoleh luas kawasan sebesar 345,6 ha, tahun 2011
luas kawasan sebesar 290,2 ha, dan pada tahun 2015 luas kawasan sebesar 265,9 ha. Dari Tabel 12, tahun
2006 sampai dengan tahun 2011 terjadi penurunan luasan hutan mangrove sebesar 55,4 ha, dan pada tahun
2011 sampai dengan tahun 2015 terjadi penurunan kembali sebesar 24,3 ha. Berdasarkan Gambar 6,
perubahan luas kawasan mangrove di Teluk Gilimanuk cendrung terus menurun dari tahun 2006 sampai
dengan 2015 dengan total pengurangan luasan sebesar 79 ha.

-603-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Uji Akurasi

Tabel 7. Hasil Uji Akurasi Citra Satelit Dengan Data Lapang

Citra
Non- Pemukim Total
Lapang Mangrove mangrove Darat an Perairan baris

Mangrove 18 2 - - 1 21
Non-mangrove 2 10 - 2 - 14
Darat - - 9 - - 9
Permukiman - - 1 2 - 3
Perairan 1 - - - 2 3
Total Kolom 21 12 10 4 3 50

Tabel 8. Perbandingan hasil uji akurasi di lapang

Prosedure User
Lapang Akurasi Nilai Citra Akurasi Niai
Mangrove 18/21 0,86 mangrove 18/21 0,86
Non-magrove 10/12 0,83 Non-magrove 10/14 0,71
Darat 9/10 0,9 Darat 9/9 1
Permukiman 2/4 0,5 Permukiman 2/3 0,6
Perairan 2/3 0,6 Perairan 2/3 0,6
Rata – rata 0,738 Rata – rata 0,754

Total Sampel Diagonal 41


Total Sampel keseluruhan 50
Overall accuracy :41/50*100%=82%

Dari hasil dari perhitungan uji akurasi, total akurasi keseluruhan antara perbandingan data lapang dan data
citra satelit adalah 82%. Menurut Congalton dan Green (2009), jika hasil dari overall accuracy >70% maka
data tersebut dapat digunakan. Nilai 82% menunjukkan tingkat error kurang dari 18% atau hasil Overall
accuracy menunjukan lebih dari 70% sehingga untuk hasil data di lapang dan citra satelit dapat digunakan
pada penelitian ini.

Hasil DataLapang
Hasil dari pengamatan pada setiap stasiun lapang yang berada di Kawasan Petak Ukur Permanen, Pantai
Karang Sewu, Pulau Kalong, Pantai Batu Payung, dan Teluk Lumpur jenis mangrove yang memiliki tutupan
dan kerapatan jenis terbesar di kawasan Teluk Gilamanuk,Taman Nasional Bali Barat adalah jenis
Rhizopora mucronata dengan tutupan relatif pada stasiun 1sebesar 5,17%, stasiun 2 sebesar 66,76% dan
stasiun 5 sebesar 69,53%. Untuk kerapatan relatif pada stasiun 1 sebesar 2%, stasiun 2 sebesar 23%, dan
stasiun 5 sebesar 44%. Menurut Kitamura (2014), Rhizopora mucronata dapat tumbuh baik di sepanjang
muara yang memiliki substrat berlumpur dan hal ini sesuai dengan pegamatan di lapang bahwa Rhizopora
mucronata paling banyak ditemukan pada stasiun 1, 2 dan 5 yang berada di sekitar muara dan memiliki
substrat berlumpur.

-604-
Analisis Perubahan Sebaran dan Luasan Hutan Mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat pada Tahun 2006, 2011,
dan 2015 dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT 4 dan SPOT 6 (Rachman, M, dkk).

3.3. Analisis Perubahan Kawasan Mangrove

Gambar 6. Perbandingan luasan mangrove di TelukGilimanuk tahun 2006, 2011, dan2015

Pada Gambar 12 sebaran mangrove kerapatan jenis lebat terbesar dan tidak terjadi perubahan luasan yang
begitu luas terdapat pada daerah Teluk Gilimanuk sebelah timur dan hal ini sesuai dengan perhitungan data
stasiun lapang yang dilakukan bahwa sebaran mangrove kerapatan jenis lebat berada di stasiun 5 (Teluk
Lumpur) di mana jenis mangrove yang mendominasi adalah Rhizopora mucronata yang dapat tumbuh
dengan baik pada daerah tersebut. Menurut pengamatan di lapang, kawasan mangrove sebelah timur jauh
dari permukiman sehingga vegetasi di sana masih banyak yang asli dan jarang dikunjungi oleh masyarakat.
Pihak pengelola Taman Nasional Bali Barat juga melakukan penjagaan dengan baik dan teratur sehingga
distribusi sebaran vegetasi jenis lebat masih banyak ditemukan disana.
Perubahan sebaran vegetasi mangrove di Teluk Gilimanuk selama 9 tahun yang sering berubah-ubah di
bagian timur diperkirakan terjadi karena pengaruh dari musim kemarau yang membuat pohon mangrove
menjadi gugur atau mati, sehingga jika dilakukan pengamatan dengan menggunakan indeks vegetasi, band
merah yang menyerap cahaya merah dari klorofil tidak dapat mengolah nilai spektral dari klorofil jika daun
pada vegetasi tersebut gugur atau mati.
Penurunan luasan mangrove banyak terjadi di sebelah barat di Teluk Gilimanuk,Taman Nasional Bali
Barat di mana penurunan tersebut berada dekat kawasan permukiman dan daerah wisata. Faktor yang
mengakibatkan penurunan pada kawasan tersebut disebabkan oleh faktor biologis. Sebaran mangrove
kerapatan jenis sedang hingga jarang sesuai dengan perhitungan data lapang pada stasiun 2 (Pantai Karang
Sewu) di mana lokasi tersebut merupakan lokasi pariwisata dan dekat dengan kawasan permukiman. Dari
informasi yang didapat dari petugas Taman Nasional Bali Barat, gangguan manusia yang secara langsung
mempengaruhi eksistensi mangrove di Teluk Gilimanuk di antaranya pemanfaatan mangrove menjadi bahan
bangunan dengan jenis mangrove Rhyzopora apiculata serta gangguan lainnya berupa sampah, limbah
rumah tangga, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Merbawa dkk. (2014)
tentang analisis strategi pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Teluk Gilimanuk bahwa kerusakan
-605-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

hutan mangrove terjadikarena banyak aktiftas manusia yang terjadi secara langsung maupun tak langsung,
seperti aktifitas masyarakat nelayan, PLTG Gilimanuk, limbah dari permukiman, aktifitas pelabuhan dan
aktifitas pariwisata sehingga mempengaruhi perubahan luasan mangrove yang ada di kawasantersebut.

4. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Teluk Gilimanuk Taman Nasional Bali Barat didapatkan
kesimpulan sebagai berikut :
1. Luas hutan mangrove di Teluk Gilimanuk menggunakan indeks vegetasi NDVI pada tahun 2006 dengan
citra SPOT 4 adalah 345,84 ha, untuk tahun 2011 pada citra SPOT 4 adalah 290,2 dan pada tahun 2015
dengan citra SPOT 6 adalah 265,1 ha.
2. Perubahan luasan mangrove di Teluk Gilimanuk pada tahun 2006, 2011, dan 2015 mengalami penurunan
sebesar 79 ha. Penurunan luasan kawasan mangrove di Teluk Gilimanuk disebabkan oleh faktor alam
berupa musim kemarau dan faktor biologis yang banyak terjadi di kawasan wisata dan dekatpermukiman.
3. Kondisi jenis mangrove yang paling baik di Teluk Gilimanuk terdapat pada mangrove jenis Rhizopora
mucronata dengan penutupan relatif pada stasiun 1 sebesar 5,17%, stasiun 2 sebesar 66,76% dan stasiun 5
sebesar 69,53%. Untuk kerapatan relatif pada Rhizopora mucronata di stasiun 1 sebesar 2%, stasiun 2
sebesar 23%, dan stasiun 5 sebesar 44%.

Saran
Untuk pemantauan menggunakan metode penginderaan jauh di Taman Nasional Bali Barat, disarankan
pemantauan dapat dilakukan pada kawasan lain yang ada di dalam Taman Nasional Bali Barat. Seperti pada
kawasan hutan mangrove di Pulau Menjangan, Teluk Banyuwedang, dan Teluk Terima agar pemantauan
dapat dilakukan dengan menyeluruh pada seluruh kawasan hutan mangrove yang ada di Taman Nasional
Bali Barat.

DAFTAR PUSTAKA
Chevalda, Reygian, Freila, Jaya,Y.V., dan Apdillah, D., (2013). Pemetaan Mangrove dengan Teknik Image Fusion
Citra SPOT dengan Quickbird di Pulau Los Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal Jurusan Ilmu
Kelautan. Unversitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang.
Dephut.,(2014). Taman Nasional Bali Barat, diunduh pada tanggal 16 Agustus 2015 dari http://www.dephut.go.id/
INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_balibarat.htm.
Fajri.,(2012). Studi Perubahan Luasan Vegetasi Mangrove Menggunakan Citra Landsat TM dan Landsar 7 ETM+
Tahun 1998-2010 di Pesisir Kabupaten Mimika Papua. Journal of Marine Research. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Gandharum, L., dan Cen, C.F., (2006). Pemanfaatan Informasi Tekstur untuk Klasifikasi Tanaman Sawit
Menggunakan Citra FORMOSAT-2. Jakarta : Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi.
Hafizh,S.A., Cahyono,A.B, danWibowo,A., (2013). Penggunaan Algoritma NDVI dan EVI pada Citra Multispektral
untuk Analisis Pertumbuhan Padi (Studi Kasus: Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Jurnal Teknik POMITS.
Kementrian Kelautan dan Perikanan., (2013). Peraturan Direktur Jendral Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
No9/PER/DJKP3K/2013 Tentang Pedoman Tekniks Pemetaan Potensi Sumber Daya Pulau-Pulau Kecil. Jakarta.
Manoppo,A.K.S., Marini,Y., dan Anggraini,N., (2014). Riset Identifikasi Mangrove Dengan Metode Optimum Index
Factor (OIF) Pada Data SPOT 6 dan Landsat 8 di Pulau Lingayan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional(LAPAN).
Merbawa, I., Ketut, C., Astarini, Ida, A.M., dan Gede.,(2014). Analisis Vegetasi Mangrove Untuk Strategi Pengelolaan
Ekosistem Berkelanjutan di Taman Nasional Bali Barat. Jurnal Ecotrophic, 8(1), Universitas Udayana. Denpasar.
Nontji, A.,(2007). Laut Nusantara, Djambatan. Jakarta.
Prahasta, E.,(2009). Sistem Informasi Geografis: Konsep – Konsep Dasar (Prespektif Geodesi dan Geomatika).
INFORMATIKA, Bandung.
RSNI-3.,(2011). Survei dan Pemetaan Mangrove. Jakarta.
Suwargana,N.,(2006). Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Pantai Muara
Gembong, Bekasi. Jurnal Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional(LAPAN).
Satimagingcrop.,(2015). SPOT 6 Satelit Sensor, diunduh pada 2 Desember tahun 2015 dari
http://www.satimagingcorp.com/satellite-sensors/SPOT-6/.
Wiyono, M., (2009). Pengelolaan Hutan Mangrove dan Daya Tariknya Sebagai Obyek Wisata di Kota Probolinggo.
Jurnal Aplikasi Menejemen. 7(2). Universitas Negeri Malang. Malang.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

-606-
Analisis Perubahan Sebaran dan Luasan Hutan Mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat pada Tahun 2006, 2011,
dan 2015 dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT 4 dan SPOT 6 (Rachman, M, dkk).

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Dr. WikantiAsriningrum


Judul Makalah : Analisis Perubahan Sebaran dan Luasan Mangrove di Teluk Gilimanuk, Taman
Nasional Bali Barat pada Tahun 2006, 2011, dan 2015 Dengan Menggunakan Citra
Satelit SPOT 4 dan SPOT 6
Pemakalah : Mafazi Rachman (Univ. Brawijaya)
Diskusi :

Pertanyaan: Dr. Wikanti Asriningrum (LAPAN)


Hasil analisis menyebutkan terjadi penurunan hutan mangrove, jelaskan kenapa terjadi penurunan yang relatif
besar dalam kurun waktu tujuh tahun?

Jawaban:
Dari hasil analisis menunjukkan berkurang sebanyak 79 hektar. Saat dilakukan pemantauan kondisi di lapangan
mangrove yang terdapat di Teluk Gilimanuk berdekatan dengan daerah permukiman dan daerah tersebut
sangat rentan dengan aktifitas penebangan liar. Salah satu hutan mangrove di Teluk Gilimanuk terdapat di
lokasi pantai wisata yang banyak mengalami penurunan akibat aktifitas wisata

-607-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pemanfaatan Data Radar Sentinel 1 untuk Pemetaan Lahan Tambak


di Kabupaten Gresik Jawa Timur

Utilization of Sentinel 1 Radar Data for Fish Pond Mapping


in Gresik Regency, East Java

Emiyati1*), Anneke KS Manoppo1, dan Maryani Hartuti1


1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
*)
E-mail: emiyati@lapan.go.idatau emiyati@gmail.com

ABSTRAK-Penelitian ini bertujuan untuk memetakan lahan tambak di Kabupaten Gresik Jawa timur menggunakan
data radar Sentinel 1. Sentinnel 1 merupakan konstelasi satelit Sentinel1A dan Sentinel1B yang dapat dimanfaatkan
untuk pemantauan darat, pesisir dan laut. Sebagai Synthetic Aperture Radar (SAR), Sentinel 1 memiliki kemampuan
dual polarisasi, waktu perulangan yang sangat pendek dan penyediaan produk dengan cepat. Data SAR ini dapat
dimanfaatkan untuk pemetaan tambak terkait dengan kemampuannya untuk mendeteksi kelembapan permukaan bumi
tanpa terkendala awan seperti data satelit optik. Penelitian ini menggunakan data dual polarisasi VH dan VV Sentinel 1.
Metode klasifikasi yang digunakan untuk pemetaan lahan tambak yang digunakan adalah dengan menggunakan
klasifikassupervised pada citra RGB komposit dari dua citra polarisasi dan artifisialnya. Perhitungan akurasi dilakukan
pada penelitian ini adalah dengan menggunakan confusion matrix antara data hasil klasifikasi dengan data lapangan.
Hasil klasifikasi menunjukan bahwa data dual polarisasi VH dan VV Sentinel 1 dapat digunakan untuk mengidentifikasi
lahan tambak dan bukan tambak dengan baik. Pamatang dan jalan di sekitar area tambak juga dapat dibedakan. Hal
tersebut terkait dengan karakteristik backscatter VH dan VV terhadap objek air dan bukan air. Dari hasil klasifikasi
diperoleh bahwa luas tambak di Kabupaten Gresik adalah 39.681,02 Ha dengan akurasi hasil pengolahan sekitar
95,17%.

Kata kunci: Sentinel 1, data radar, SAR, pemetaan tambak, Gresik

ABSTRACT- The objective of this study is fishponds mapping in Gresik regency, East Java by using Sentinel 1 radar
data. Sentinel 1 is a constellation of satellites Sentinel1A and Sentinel1B that can be used for monitoring land, coastal
and marine. As a Synthetic Aperture Radar (SAR), Sentinel 1 have ability to dual polarization, short repetition time and
provides the data products quickly. SAR data can be used for fishponds mapping which associated with its ability to
detect moisture of earth's surface without clouds interrupted like optical satellite data. This study uses two image
polarization, VH and VV from Sentinel 1. The classification method was used for this fishponds mapping is supervised
classification on the RGB composite from two polarization image and its synthetic. The accuracy was evaluated based
on confusion matrix between the result of classification and field data. The results of classification showed that dual
polarization VH and VV from Sentinel 1 data can be used to identify fishponds and non fishponds clearly. A border of
fishponds and road around it can also be distinguished. It is related to the VH and VV backscatter characteristics of the
water and not water object. The results also showed that the fishponds areas in Gresik are 39681.02 hectares with an
accuracy of data processing approximately about 95.17%.

Keywords: Sentinel 1, Radar data 2, SAR, fishpond mapping, Gresik

1. PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi besar untuk perikanan tangkap dan budidaya
dalam menyediakan sumber pangan. Potensi perikanan di Indonesia paling tidak menghasilkan sumberdaya
ikan lebih kurang 6.17 juta ton per tahun yang berasal dari perikanan tangkap (Mulyadi,2005). Perikanan
budidaya, sebagai alternatif usaha perikanan tangkap, memanfaatkan kawasan pesisir, baik budidaya
perikanan berbasis lahan darat (land-based aquaculture) maupun di laut (marine-basedaquaculture).
Kegiatan budidaya paling umum dilakukan di kolam/empang, tambak, tangki, karamba, serta karamba
apung. Definisi tambak menurut Biggs dkk.(2005) adalah badan air yang berukuran 1 m2 hingga 2 ha yang
bersifat permanen atau musiman yang terbentuk secara alami atau buatan manusia dan terletak di pesisir.
Jenis-jenis tambak yang ada di Indonesia meliputi: tambak intensif, tambak semi intensif, tambak tradisional

-608-
Pemanfaatan Data Radar Sentinel 1 untuk Pemetaan Lahan Tambak di Kabupaten Gresik Jawa Timur (Emiyati, dkk)

dan tambak organik. Perbedaan dari ketiga jenis tambak tersebut terdapat pada teknik pengelolaan mulai dari
padat penebaran, pola pemberiaan pakan, serta sistem pengelolaan air dan lingkungan (Widigdo, 2000).
Berdasarkan data Statistik KKP (2014), rata-rata pertumbuhan produksi budidaya Indonesia dari tahun
2007-2012 adalah sebesar 25,14 % dan berada di posisi pertama dunia dengan jumlah produksi perikanan
budidaya berada di posisi kedua setelah China. Pemanfaatan budidaya tambak di Indonesia sebesar 650.509
Ha dan potensinya masih 2.964.331 Ha lagi yang dapat dimanfaatkan (Statistk KKP, 2014). Budidaya
tambak merupakan budidaya yang pemanfaatannya terbesar kedua setelah budidaya kolam di Indonesia sejak
tahun 2009-2013 (Statistk KKP, 2014).Di Indonesia, sentra produksi tambak tersebar di daerah Sumatera,
Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Sebagian besar produksi tambak berasal dari pulau Jawa terutama di
sepanjang pantai utara Jawa yang terbentang dari provinsi Banten hingga Jawa Timur. Jumlah kelompok
pembudidaya tambak perikanan terbesar adalah di Jawa timur yaitu sebesar 552 kelompok pembudidaya, dan
36 kelompok diantaranya berada di Kabupaten Gresik (Statistik KKP, 2014). Selain pembudiaya ikan, di
kabupaten Gresik juga terdapat pembudidaya tambak garam (Statistik KKP, 2014).
Pemantauan lahan tambak dengan data satelit dapat dilakukan baik dai satelit optis maupun satelit radar.
Namun kualitas informasi yang dihasilkan dari data satelit optis sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan
atmosfer (Chen, 2007). Sehingga sebagai alternatif data satelit optis dapat digunakan data satelit radar yang
dapat menembus awan dan memiliki kemampuan untuk menghasilkan citra yang berkualitas tinggi dibawah
kondisi cuaca yang kompleks. Pemanfaatan data radar untuk pemantauan lahan tambak telah banyak
dilakukan. Travaglia dkk.(2004) memetakan budidaya dan struktur perikanan pesisir dengan menggunakan
data ERS SAR di teluk Lingayen Filipina. Kai Liu et al.(2010) mengamati perubahan lahan tambak dengan
menggunakan tiga data temporal Radarsat-1C.LAPAN juga telah melakukan pemantauan lahan tambak
menggunakan data radar ALOS PALSAR di daerah Maros, Provinsi Sulawesi Selatan Indonesia (Marini et
al., 2013) pada program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
melalui riset insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) Kementrian Riset dan
Teknologi pada tahun 2012.
Perkembangan teknologi satelit radar memunculkan satelit radar Sentinel 1 sebagaimisi satelit kerjasama
European Comission (EC) dan European Space Agency (ESA) (Sentinel-1 user handbook, 2013).Sentinel1
merupakan Synthetic Aperture Radar (SAR) berdasarkan konstelasi dari Sentinel 1A dan Sentinel1B (ESA,
2014). Satelit Sentinel 1 adalah Satelit Sentinel I bekerja pada band C dan mempunyai 4 mode pencitraan
dengan berbagai resolusi spasial hingga 5 meter dan lebar cakupan sampai 400 km. Sentinel 1 memiliki
kemampuan dual polarisasi, waktu perulangan yang sangat pendek dan penyediaan produk dengan
cepat.Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan lahan tambak di Kabupaten
Gresik Jawa timur menggunakan data radar Sentinel 1.

2. METODE
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gresik, Jawa timurseperti yang terlihat pada Gambar 1. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data SAR Sentinel 1 daerah Kabupaten Gresik. Data ini adalah data
dual polarisasi VH dan VV tanggal 22 Maret 2015 yang diperoleh secara bebas dan dapat di unduh melalui
website www.sentinel.esa.int.Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah: Sentinel 1 Toolbox
danERDAS ER-Mapper2014.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Gresik, Jawa Timur


-609-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Data Sentinel 1 mempunyai format penamaan data yang terkait dengan level data, produk, instrument dan
resolusinya seperti yang terlihat pada Gambar 2. Data yang digunakan pada penelitian ini memiliki format
modus IW, yaitu Interferometric Wide Swathyang memiliki resolusi spasial 5m x 20m. Modus IW dapat
menangkap tiga sub-lintasan denagn menggunakan teknik TOPSAR (Terrain Observation with Progressive
Scans SAR). Teknologi ini memiliki kelebihan yang dapat menghasilkan kualitas Gambar yang homogen
dengan noise yang dapat diminimalisir (Signal–to-Noise Ratio hampir seragam). Karakteristik modus IW
dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 2. Format penamaan data Sentinel 1

Tabel 1. Karakteristik Utama Modus Data IW


Karakteristik Nilai
Lebar swath 250
Interval insiden angle 29.10-460
Sub swath 3
Azimuth steering angle ± 0.60
Azimuth and range looks Single
Polarisation options Dual HH+HV, VV+VH dan Single HH, VV
Maximum Noise Equivalent Sigma Zero (NESZ) -22 dB
Radiomteric stability 0.5 dθ (3σ)
Radiomteric accuracy 1 dθ (3σ)
Phase error 50

Pengolahan data Sentinel-1 dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Sentinel Box versi 1.1.0.
Proses pengolahan data diawali dengan koreksi radiometrik yaitu melalui proses kalibrasi data dan koreksi
geometri yaitu dengan menggunakan reprojection. Data Sentinel-1 yang diperoleh pada awalnya memiliki
posisi yang terbalik /cermin dan masih bernilai digital number (DN). Proses kalibrasi merubah nilai DN tadi
menjadi nilai backscatter /hambur balik dari masing-masing polarisasi VV dan VH. Sampai dengan proses
ini, tampilan citra masih berada pada posisi terbalik, sehingga perlu dilakukan koreksi geometri agar
memiliki posisi dan bentuk yang sama dengan kelengkungan bumi yang sebenarnya. Dengan menggunakan
fungsi reprojection, maka data radar Sentinel-1 memiliki posisi yang sesuai dan memiliki koordinat
sebagaimana layaknya hasil dari proses koreksi geometri. Selanjutnya data tersebut siap untuk selanjutnya di
olah dan dianalisis untuk mengidentifikasi lokasi tambak di wilayah Gresik dan sekitarnya.

-610-
Pemanfaatan Data Radar Sentinel 1 untuk Pemetaan Lahan Tambak di Kabupaten Gresik Jawa Timur (Emiyati, dkk)

Pemotongan sesuai studi area (cropping) dan penajaman (filtering) dengan menggunakan filter lee
dilakukan agar penelitian terfokus dan objek dapat teridentifikasi dengan jelas. Identifikasi tambak dilakukan
secara visual dan digital. Identifikasi visual lahan tambak dilakukan berdasarkan tampilan false color
komposit RGB dari dual data polarisasi Sentinel 1 dan artifisialnya. Kanal RGB yang digunakan adalah
Citra VV untuk kanal Red, VH untuk kanal Green dan kombinasi VV dan VH yaitu ( ) ∗ ( − )untuk
kanal Blue. Kombinasi VH dan VV ini merupakan data turunan dari dua data VH dan VV atau disebut data
artifisialnya. Sedangkan identifikasi digital lahan tambak dilakukan dengan metode klasifikasi supervised
menggunakan software ERDAS ER-Mapper 2014. Metode klasifikasi supervised dilakukan berdasarkan citra
RGB yang dihasilkan. Perhitungan akurasi pengolahan dilakukan menggunakan confusion matrix antara
hasil klasifikasi dengan data lapangan. Dengan demikian secara ringkas alur penelitian dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar3. Diagram alur penelitan

3. HASILDAN PEMBAHASAN
Hasil pengolahan data Sentinel-1 dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Sentinel Box versi
1.1.0 masih dalam posisi yang terbalik /cermin dan masih bernilai digital number (DN). Sehingga perlu
dilakukan proses kalibrasi merubah nilai DN tadi menjadi nilai backscatter/hambur balik dari masing-masing
polarisasi VV dan VH. Nilai backscatter dari masing-masing polarisasi VV dan VH ini disimpan dalam 4
byte real. Kemudian dilakukan koreksi geometrik agarcitra tersebut memiliki posisi dan bentuk yang sama
dengan kelengkungan bumi yang sebenarnya serta dicropping dengan batas administrasi Kabupaten Gresik
dan disimpan dalam format ER-Mapper. Hasil pengolahan awal ini dapat dilihat pada Gambar4.

-611-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

a. Citra VH

Citra VV
Gambar4. Citra hasil VH dan VV yang sudah terkalibrasi dan terkoreksi geometrik

Pada Gambar 4a terlihat bahwa nilai backscatter citra VH terdistribusi dari 0 sampai dengan 6
sedangankan nilai backscatterdari citra VV (Gambar 4b) terdistribusi dari 0 sampai dengan 348. Pembedaan
lahan tambak dengan tutupan lahan lainnya dapat dilakukan dengan mengamati tekstur masing-masing
tutupan lahan dari distribusi nilai backscatternya. Pengamatan tekstur dari objek pada citra VH dan VV
Sentinel 1, jelas terlihat dengan membuat garis transek untuk membedakan antara lahan tambak dan bukan
tambak seperti yang terlihat pada Gambar 4.

-612-
Pemanfaatan Data Radar Sentinel 1 untuk Pemetaan Lahan Tambak di Kabupaten Gresik Jawa Timur (Emiyati, dkk)

Citra VH

Citra VV

Gambar5. Pengamatan teksture dan nilai backscatter dari tutupan lahan tambak dan bukan tambak
padacitra VH dan VV Sentinel 1 di Kabupaten Gresik

Pada Gambar 5 terlihat bahwa secara tekstural objek tambak dan bukan tambak dari citra VH dan VV
Sentinel 1dapat dibedakan dengan mudah. Teksture objek bukan tambak terelihat lebih terang dan halus
dibandingkan dengan objek tambak yang terlihat gelap dan kasar karena tedapat garis-garis persegi yang
dapat diidentifikasi sebagai pematang tambak. Objek tambak terlihat gelap karena didominasi oleh air dan
secara teori objek air menghasilkan nilai backscatter yang rendah dibandingkan objek yang bukan
tambakseperti yang terlihat pada nilai backscatter masing-masing citra. Dengan membuat dua transek
(transek a dan b) pada masing-masing citra dapat terlihat bahwa nilai backscatter pada citra VH untuk
masing-masing objek dapat dibedakan dengan jelas namun ada overestimate untuk pematang disekitar
tambak. Karena berdasarkan transek a dan b pada citra VH, objek tambak mempunya pola backscatter khas.
Sedangkan pada citra VV pola backscatter antara objek tambak dan bukan tambak masih belum dapat
membedakan dengan jelas seperti yang terlihat pada backscatter transek a. Ambiguitas pada pola backscatter
akan menyulitkan dalam proses identifikasi secara digital. Identifikasi tambak dan bukantambak dengan
menggunakan nilai backscatter ini dilakukan untuk memudahkan proses klasifikasi.
Komposit RGB dibuat dengan menggunakan metode gradient VH dan VV menghasilkan False Colour
Composit (FCC) yang dapat membedakan objek tambak danbukan tambak seperti terlihat pada Gambar 6.
Untuk mengurangi efek spekelnoise pada citra RGB ini perlu dilakukan filter/penghapusan spekel pada
masing-masing citra VH, VH dan rasionya. Karena efek spekelnoise ini disebabkan oleh spekel noise citra
-613-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

VH dan VV dari hasil penjumlahan koheren sinyal yang dihamburkan permukaan objek dan didistribusikan
secara acak dalam setiap pixel. Spekelnoise ini perlu diminimalisir dengan menggunakan filter leesebelum
dianalisis lebih lanjut.

Gambar6. RGB data Sentinel 1 di Kabupaten Gresik berdasarkan citra VH dan VV serta kombinasinya

Seperti yang telihat pada Gambar 6, filter Lee pada citra VV dapat menajamkan objek tambak dan bukan
tambak, bahkan objek bukan tambak dapat dibedakan menjadi vegetasi dan bukan vegetasi. Namun
pematang tambak atau jalan belum dapat dibedakan secara jelas pada citra VV hasil filter ini. Filter Lee pada
citra VH dapat menajamkan obejk tambak dan bukan tambak hingga pematang tambak atau jalan dan
bangunan dari beton yang menghasilkan nilai backscatter paling tinggi. Namun identifikasi citra VH belum
dapat membedakan secara jelas antara objek vegetasi dan bukan vegetasi. Sedangkan citra artifisial hasil
kombinasi VH dan VV dapat memedakan dengan jelas objek tambak dan bukan tambak hingga sampai
identifikasi pematang tambak dan jalan. Seperti citra VH citra artfisial ini belum bisa membedakan dengan
jelas antara objek vegetasi dan bukan vegetasi. Sehingga identifikasi objek tidak cukup menggunakan satu
polarisasi melainkan dibutuhkan minimal dua polarisasi dan kombinasinya dalam bentuk RGB komposit
untuk dapat menghasilkan hasil klasifikasi yang optimal. Hal ini terlihat pada tampilan RGB yang
dihasilkan, dimana objek tambak dapat dibedakan dengan jelas hingga batas tambak dan jalan dapat
diidentifikasi dan bahkan objek yang bukan tambak juga dapat dibedakan antara vegetasi dan bukan vegetasi
(Gambar 6). Namun demikian objek sungai masih belum dapat dibedakan dari objek tambak.
Penelitian ini menggunakan klasifikasi supervisedpada citra RGB untuk membedakan lahan tambak dan
bukan tambak. Training sample yang digunakan untuk klasifikasi terdiri dari 11 training sample untuk
tambak dan 15 training sample untuk bukan tambak. Hasil klasifikasi superviseddapat dilihat pada Gambar
7. Hasil klasifikasi dapat membedakan area tambak dan bukantambak berdasarkan objek yang didominasi air
untuk area tambak dan bukan air untu area bukan tambak. Klasifikasi juga ini dapat mengidentfikasi
pematang tambak dan jalan dengan cukup baik.Namun demikian hasil klasifikasi ini belum dapat
membedakan antara tutupan lahan dengan sungai dan objek air lainnya. Hal tersebut disebabakan karena
tidak seragamnya bentuk tutupan lahan tambak di Wilayah Kebupaten Gresik. Kemudian dilakukan
perhitungan luas area dari masing-masing tutupan lahan, baik tambak dan bukan tambak berdasarkan hasil
klasifikasi yang diperoleh. Luas area tambak dan bukan tambak di Kabupaten Gresik dapat dilihat pada tabel
3. Berdasarkan hasil perhitungan terlihat bahwa area tambak yang dapat teridentfikasi sebesar 15.2% dari
total area penelitian.

-614-
Pemanfaatan Data Radar Sentinel 1 untuk Pemetaan Lahan Tambak di Kabupaten Gresik Jawa Timur (Emiyati, dkk)

Gambar7. Hasil klasifikasi berdasarkan data Sentinel 1 tanggal 22 Maret 2015 dan verifikasi lapangan
untuk tutupan lahan tambak dan bukan tambak

Tabel3. Luas area tambak dan bukan tambak di Kabupaten Gresik berdasarkan data Sentinel 1 tanggal 22 Maret 2015
Tutupan Lahan Luas Area (Ha) Persentase (%)
Bukan tambak 221.684,68 84.8
Tambak 39. 681,02 15.2

Wilayah Kabupaten Gresik mempunyai tutupan lahan yang tidak homogen, ditambah jenis dan bentuk
tambak di Kabupaten Gresik yang tidak seragam sehingga menyebabkan terjadinya mixed pixel pada saat
proses klasifikasi dan kesalahan identifikasi saat proses klasifikasi dapat terjadi. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 7 di mana tutupan lahan bukan tambak seperti sungai, kolam dan sejenisnya teridentifikasi menjadi
tambak. Selain itu mixed pixel juga terjadi pada sebagian objek jalan yang dioverestimate menjadi tambak.
Dengan membandingkan data hasil klasifkasi dan data lapangan diperoleh nilai akurasi seperti yang terlihat
pada Tabel 4. Perhitungan akurasi ini diperoleh dengan menggunakan confusion matrix, dimana akurasi hasil
klasifikasi secara kesuluran adalah 95.17% dengan Kappa statistik 0.902. Hal ini mengindikasikan bahwa
hasil klasifikasi berdasarkan data Sentinel 1 dapat mengidentifikasi lahan tambak dengan baik.

Tabel4. Akurasi hasil klasifikasi tambak dan bukan tambak berdasarkan confusion matrix
Keterangan User Akurasi Producer akurasi
Bukan tambak 93.36% 98.02%
Tambak 97.53% 91.81%
Akurasi keseluruhan 95.17%
Kappa statistic 0.902
Jumlah pengamatan 337809 piksel

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa data dual polarisasi VH dan VV Sentinel 1 dapat
digunakan untuk memetakan lahan tambak dan bukan tambak dengan baik. Kombinasi polarisasi VH, VV
dan artifisialya dalam bentuk RGB komposit dapat membedakan hingga pematang tambak dan jalan di
sekitar area tambak dengan jelas dibanding penggunaan satu citra polarisasi. Penggunaan RGB komposit
dalam klasifikasi dapat meminimalkan overestimate yang terjadi dibandingkan dengan hanya menggunakan
satu citra polarisasi. Meskipun karakteristik backscatter VH dan VV yang mempunyai ciri khusus terhadap
objek air dan bukan air. Berdasarkan hasil klasifikasi luas tambak di Kabupaten Gresik adalah 39.681,02 Ha
dengan akurasi hasil pengolahan sekitar 95,17%.Namun demikian penelitian lebih lanjut tetap perlu
dilakukan untuk dapat menghasilkan hasil klasifikasi yang lebih optimal.
-615-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Tim peneliti makalah ini mengucapkan terimakasih kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
LAPAN yang telah memfasilitasi penelitian. Selain itu ucapan terimakasih juga diberikan kepada tim radar
bidang Sumber Daya Laut Pesisir Pusfatja LAPAN 2015.

DAFTAR PUSTAKA
Biggs, J., Williams, P., Whitfield, M., Nicolet, P., dan Weatherby, A., (2005).15 Years of Pond Assessment in Britain:
Results and Lesson Learned From The Work of Pond Conservation. Journal Aquatic Conservation: Marine and
Freshwater Ecosystems, 15:693-714.
Chen, C., (2007). Signal and Image Processing for Remote Sensing. CRC.
ESA.,(2014). Sentinel-1 TOOLBOX Help Pages: Object detection. Sentinels Application Platform.
Liu, K., Ai, B., dan Wang, S., (2010). Fish-pond Change Detection Based on Short Term Time Series of RADARSAT
Images and Object-Oriented Method. 3rd International Congress on Image and Signal Processing. 5:2175-2179
Marini, Y., Emiyati, Prayogo, T., Hamzah, R., dan Hasyim, B., (2013). Fishpond Aquaculture Inventory In Maros
Regency Of SouthSulawesi Province. International Journal of Remote Sensing and Earth Science, 10(1):25-35
Mulyadi, S.,(2005). Buku: EkonomiKelautan. PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta.
Sentinel-1 User Handbook, 2013. https://sentinel.esa.int/
Statistik KKP(2014). Buku: Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014. Pusat data statistik dan Informasi
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Travaglia, C., Profeti, G., Aguilar-Manjarrez, J.,dan Lopez, N.A.,(2004). Mapping coastal aquaculture and fisheries
structures by satellite imaging radar. Case study of the Lingayen Gulf, the Philippines. FAO Fisheries Technical
Paper. No. 459. Rome, FAO.
Widigdo, B., (2000). Diperlukan Pembakuan Kriteria Ekobiologis untuk Menentukan Potensi Alami Kawasan Pesisir
untuk Budidaya Udang. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : Syarif Budhiman


Judul Makalah : Pemanfaatan Data Radar Sentinel-I untuk Pemetaan Lahan Tambak
di Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Pemakalah : Emiyati (LAPAN)
Diskusi :

Pertanyaan: Syarif Budhiman (LAPAN)


Mengapa memakai saluran VH dan VV, padahal sudah cukup terlihat objek tambak?

Jawaban:
Karena ada beberapa tambak yang belum terlihat, sehingga butuh dua kombinasi backsceatter.

Saran: Bambang S. Tedjasukmana


Untuk lebih mendalami polarisasi radar dan klasifikasi tambak, sehingga penelitian tidak hanya untuk
melihat objek tambak.

-616-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Prediksi Sebaran Salinitas


Laguna Segara Anakan

Utilization of Remote Sensing Data to Predict Spread Salinity


Laguna Segara Anakan
Anang Dwi Purwanto1*) dan Erwin Riyanto Ardli2
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) – LAPAN
2
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
*)
E-mail: anang_depe@yahoo.com

ABSTRAK- Perkembangan teknologi penginderaan jauh semakin pesat, salah satunya untuk mengestimasi tingkat
salinitas dalam suatu perairan. Keberadaan Laguna Segara Anakan, Cilacap saat ini semakin menjadi perhatian para
peneliti karena kondisinya yang sangat dinamis dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem mangrove di
kawasan tersebut. Seiring dengan semakin menyusutnya luasan laguna akibat sedimentasi, maka kondisi salinitas juga
diprediksi akan mengalami fluktuasi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan prediksi sebaran salinitas menggunakan
data penginderaan jauh. Citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat 5 akuisisi tanggal 24 Februari 1990 dan
Landsat 8 akuisisi tanggal 4 April 2016. Perhitungan tingkat salinitas dengan menggunakan algoritma penelitian
Wouthuyzena et al, 2008 dimana algoritma ini memanfaatkan kanal visible (band 1, band 2 dan band 3) untuk
menentukan tingkat atau besarnya kromatisiti biru. Pemisahan obyek daratan dan perairan dengan menggunakan rasio
band antara band NIR dan band Red. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan tingkat salinitas di Laguna
Segara Anakan dari tahun 1990 hingga 2016. Sebaran salinitas rendah didominasi pada lokasi bermuaranya sungai-
sungai besar, diantaranya sungai Citanduy, sungai Cibeureum dan sungai Cikonde.

Kata kunci: Salinitas, Landsat 5, Landsat 8, Laguna Segara Anakan, Penginderaan Jauh

ABSTRACT-The development of technology of remote sensing is increasing rapidly, one of them is to estimate the
level of salinity in the waters. The existence of the Segara Anakan Lagoon in Cilacap now getting the attention of
researchers because its condition is very dynamic and become a part of the mangrove ecosystem. Along with the
shrinking of an area of the lagoon due to sedimentation, the salinity is also predicted to fluctuate. This study aims to
estimate the distribution of salinity using Landsat 5 imagery acquisition date of February 24, 1990 and Landsat 8
imagery acquisition date of April 4, 2016. The calculation of salinity using an algorithm of Wouthuyzen Sam et al, 2008
where the algorithm utilizes the visible channel (band 1, band 2 and band 3) to determine the extent or magnitude of
blue chromaticity. Separation of land and water object by using the ratio between Red band and NIR band. The results
showed a decline in the level of salinity in the Segara Anakan from 1990 to 2016. The distribution of low salinity was
dominated in the estuary of major rivers, including Citanduy river, Cibeureum river and Cikonde river .

Keywords: Salinity, Landsat 5, Landsat 8, Segara Anakan Lagoon, Remote Sensing

1. PENDAHULUAN
Kondisi kawasan Segara Anakan, Cilacap dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan akibat aktivitas
manusia. Hal itu mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove di kawasan tersebut.
Salah satu bagian dari ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap yang cukup fenomenal adalah laguna
yang merupakan tempat bermuaranya dari sungai-sungai besar diantaranya: sungai Citanduy, sungai
Cikonde, sungai Cibeureum, sungai Palidukan dan sungai-sungai lainnya. Keberadaan Laguna Segara
Anakan, Cilacap saat ini semakin menjadi perhatian para peneliti karena kondisinya yang sangat dinamis dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem mangrove di kawasan tersebut. Masyarakat di sekitar
Laguna juga sangat bergantung dengan keberadaan laguna karena yang ditandai dengan melimpahnya hasil
perikanan pada beberapa tahun yang lalu (Purwanto, 2015).
Segara Anakan secara administratif terletak di Kecamatan Kampung laut, Kabupaten Cilacap dengan
batas sebelah utara adalah Kecamatan Patimuan, Kecamatan Bantarsari, dan Kecamatan Kawunganten;
sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cilacap Utara, Kecamatan Tengah, dan Kecamatan Cilacap
Selatan; sebelah selatan berbatasan dengan Pulau Nusakambangan dan Samudra Hindia; serta sebelah barat
berbatasan dengan Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis (Herawati, 2008).
Teknologi penginderaan jauh semakin berkembang dan memiliki peranan yang sangat penting terutama
dalam hal identifikasi parameter biogeofisik perairan. Salah satu parameter biogeofisik perairan yang dapat
-617-
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Prediksi Sebaran Salinitas Laguna Segara Anakan (Purwanto, A.D., dkk)

identifikasi salah satunya adalah tingkat salinitas perairan. Salinitas dapat digunakan sebagai salah satu
parameter fisika yang dapat mempengaruhi kualitas suatu perairan. Pengertian dari salinitas adalah jumlah
gram material terlarut dalam 1 kilo gram air laut. Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah total
dalam gram bahan-bahan terlarut dalam satu kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi oksida,
semua bromida dan yodium dirubah menjadi klorida dan semua bahan - bahan organik dioksidasi (Arief,
1984). Salinitas suatu perairan dapat memiliki kesamaan maupun perbedaan dengan perairan lainnya,
misalnya perairan darat, laut dan payau. Kisaran salinitas air laut adalah 30-35 ppt, estuari 5-35 ppt dan air
tawar 0,5-5 ppt (Nybakken, 1992). Penelitian mengenai perhitungan tingkat salinitas perairan sebelumnya
pernah dilakukan oleh Wouthuyzena, dkk tahun 2004 di perairan Teluk Jakarta dengan menggunakan citra
Landsat 7 ETM. Penelitian yang dilakukan tersebut dengan memanfaatkan korelasi antara citra Landsat 7
ETM, CDOM dan salinitas dimana kromatisiti band biru citra Landsat 7 ETM berkorelasi erat dengan
konsentrasi CDOM, kemudian konsentrasi CDOM berkorelasi terbalik kuat pula terhadap salinitas.
Menurut Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) luas Laguna Segara Anakan pada tahun
1900-an adalah 6.450 ha, namun sejak tahun 1987 luasan laguna ini semakin berkurang akibat adanya
pendangkalan akibat dari tingginya sedimetasi (Data dan Informasi Segara Anakan dari Kantor Pengelola
Sumber Daya Kawasan Segara Anakan Kabupaten Cilacap, 2009 dan Data Konservasi dan Pengendalian
Daya Rusak Laguna Segara Anakan, 2010). Seiring dengan semakin menyusutnya luasan laguna akibat
sedimentasi, maka kondisi salinitas sebagai salah satu parameter kualitas air juga diprediksi akan mengalami
fluktuasi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan prediksi sebaran salinitas menggunakan data
penginderaan jauh.

2. METODE
Penelitian ini dilakukan di kawasan Laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah
dengan batasan koordinat 7°35’51”-7°42’2” LS dan 108°45’55”-108°53’6” BT (Gambar 1).

Gambar 1. Laguna Segara Anakan (Lokasi Penelitian)

Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat 5 akuisisi tanggal 24 Februari 1990
dan Landsat 8 akuisisi tanggal 4 April 2016. Pemilihan data berdasarkan pada bulan akuisisi yang berdekatan
dan memiliki persentase tutupan awan yang paling kecil. Perhitungan tingkat salinitas dilakukan dengan
menggunakan metode yang telah dikembangkan Wouthuyzena et al, 2008 dimana algoritma ini
memanfaatkan kanal visible (band 1, band 2 dan band 3) untuk menentukan tingkat atau besarnya kromatisiti
biru dari citra setelit Landsat-7 ETM dimana parameter ini berkorelasi erat dengan konsentrasi CDOM, dan
CDOM berkorelasi terbalik kuat pula terhadap salinitas permukaan. Penelitian ini akan mencoba untuk
mengaplikasikan algoritma tersebut ke citra Landsat 5 dan Landsat 8 dimana masing-masing citra tersebut
memiliki karakteristik masing-masing. Algoritma perhitungan tingkat salinitas perairan adalah sebagai
berikut:
Salinitas = -142.72 ∗ −61.182 ∗ X3 + 79.129 ∗ X2+34.022 ∗ X + 4.885 + 32.702
dimana: X = Cahaya kromatisiti biru terkoreksi = Band1/(band1+band2+Band3)

-618-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Dalam penelitian ini, obyek darat tidak diperlukan sehingga obyek darat dan perairan dipisahkan melalui
proses masking. Masking bertujuan untuk menghilangkan nilai spektral dari daratan dan hanya menampilkan
obyek perairannya saja sehingga untuk interpretasi selanjutnya nilai daratan akan diabaikan. Pemisahan
obyek daratan dan perairan dengan menggunakan rasio band antara band NIR dan band Red.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat
tekanan akibat aktivitas manusia. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan dan kerusakan hutan di daerah
hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai yang bermuara ke laguna. Adanya sedimentasi
mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna. Penelitian ini hanya fokus pada
perubahan tingkat salinitas laguna Segara Anakan berdasarkan citra Landsat 5 akuisisi tahun 1990 dan citra
Landsat 8 akuisisi tahun 2016. Setelah melewati proses pengolahan data awal (pre processing), maka proses
selanjutnya adalah melakukan pemisahan obyek daratan dan perairan supaya analisa yang akan dilakukan
dapat lebih spesifik yaitu dengan memanfaatkan rasio band antara band NIR dan band Red pada masing-
masing citra yang digunakan. Pada Gambar 2 ditampilkan hasil pemisahan obyek daratan dengan perairan
dari lokasi kajian.

(a) Hasil pemisahan daratan dengan perairan (b) Hasil pemisahan daratan dengan perairan
berdasarkan citra Landsat 5 berdasarkan citra Landsat 8

Gambar 2. Pemisahan obyek daratan dengan perairan

Proses selanjutnya adalah melakukan proses perhitungan salinitas dengan menggunakan algoritma yang
telah dikembangkan oleh Wouthuyzena, dkk., 2008. Rentang nilai hasil perhitungan tingkat salinitas di
laguna Segara Anakan, Cilacap ditampilkan pada Gambar 3.

(a) Rentang nilai salinitas berdasarkan (b) Rentang nilai salinitas berdasarkan
citra Landsat 5 Tahun 1990 citra Landsat 8 Tahun 2016

Gambar 3. Rentang nilai salinitas laguna Segara Anakan, Cilacap

-619-
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Prediksi Sebaran Salinitas Laguna Segara Anakan (Purwanto, A.D., dkk)

Hasil perhitungan tingkat salinitas di kawasan Laguna Segara Anakan berdasarkan citra Landsat 5 tahun
1990 berada pada kisaran 13.5 - 31 ppt. Sedangkan hasil perhitungan tingkat salinitas berdasarkan citra
Landsat 8 berada pada kisaran 13.9 – 19.5 ppt. Berdasarkan definisi tingkat salinitas di kawasan estuari
adalah berada dalam kisaran 5-35 ppt (Nybakken, 1992) dan pada umumnya tumbuhan mangrove hidup dan
tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas antara 10 – 30 ppt (De Haan dalam Aksornkoae, 1993). Namun
beberapa jenis mangrove mampu hidup pada kisaran salinitas lebih tinggi juga. Jika mengacu pada
pengertian salinitas tersebut maka secara umum salinitas di laguna Segara Anakan mengindikasikan
termasuk dalam kategori estuari dan hasil perhitungan tingkat salinitas dari penelitian ini mendekati dari
definisi yang ada, terlebih kawasan Segara Anakan memiliki ekosistem mangrove yang sangat besar baik
dari sisi keanekaragaman spesies maupun luasan sebarannya. Pada Gambar 4 ditampilkan sebaran salinitas
laguna Segara Anakan,Cilacap.

(a) Sebaran salinitas berdasarkan (b) Sebaran salinitas berdasarkan


citra Landsat 5 Tahun 1990 citra Landsat 8 Tahun 2016

Gambar 4. Sebaran salinitas kawasan Laguna Segara Anakan tahun 1990 dan 2016

Berdasarkan Gambar 4(a) terlihat kondisi sebaran salinitas tinggi ( > 20 ppt) terdapat di bagian barat
Laguna. Selain itu sebaran salinitas tinggi juga terdapat di bagian timur dari lokasi kajian. Sedangkan
sebaran salinitas yang relatif lebih rendah terdapat di bagian tengah dari lokasi kajian dimana lokasi tersebut
merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai besar sehingga pasokan air tawar yang tinggi mengakibatkan
rendahnya tingkat salinitas di lokasi tersebut. Sedangkan pada Gambar 4(b) menunjukkan kondisi sebaran
salinitas di kawasan Laguna Segara Anakan relatif lebih rendah jika dibandingkan sebaran salinitas pada
tahun 1990. Pada bagian timur dari lokasi kajian sebaran salinitas berkisar antara 16 – 18 ppt. Sedangkan
pada bagian tengah dan barat dari lokasi kajian sebaran salinitas berkisar antara 14 – 16 ppt. Dari Gambar 1
tersebut juga menunjukkan kondisi laguna Segara Anakan masih terlihat sangat luas. Komponen yang
mempengaruhi kondisi salinitas di bagian barat dan bagian tengah lokasi kajian adalah pasokan air yang
berasal dari samudera hindia dan limpasan dari sungai Citanduy. Pasokan air tawar dari sungai citanduy
sangat mempengaruhi tingkat salinitas terutama di sekitar muara sungai (Holterman dkk., 2009). Sedangkan
pada bagian timur dari lokasi kajian lebih dominan dipengaruhi oleh pasokan air laut dari Samudera Hindia
sehingga mengakibatkan tingkat salinitasnya relatif lebih tinggi dan perubahannya tidak sedinamis dengan
kondisi salinitas yang berada di bagian tengah dan barat dari lokasi kajian.
Kondisi menurunnya tingkat salinitas di kawasan Laguna Segara Anakan ini seiring dengan penurunan
luasan perairan kawasan Laguna Segara Anakan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purwanto et al,
2015 diketahui luasan perairan pada kawasan Laguna Segara Anakan dari tahun 1990 sampai dengan tahun
2014 semakin berkurang. Faktor utama yang menyebabkan penyempitan area laguna salah satunya adalah
tingginya sedimentasi pada kawasan tersebut. Selain itu tingkat salinitas juga dipengaruhi oleh musim dan
pasang-surut (Hadikusumah, 2008). Kawasan segara anakan dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim hujan

-620-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

dan musim kemarau. Musim hujan terjadi pada bulan November-April, sedangkan musim kemarau dari
bulan Juli-September. Jika melihat waktu akuisisi data yang digunakan maka masing-masing data diambil
pada musim yang sama yaitu musim hujan. Selain itu kondisi pasang surut juga memberi pengaruh yang
cukup signifikan pada parameter salinitas, dimana pada saat pasang diikuti oleh naiknya nilai salinitas dan
pada saat surut diikuti oleh turunnya nilai salinitas. Jika melihat dari data prediksi pasut dengan
menggunakan aplikasi wxtide 32 maka citra satelit yang digunakan direkam saat perairan dalam kondisi
surut (sekitar jam 2 siang).

Saturday 1990-02-24
Sunrise 5:48 AM SEAST, Sunset 6:05 PM SEAST Monday 2016-04-04
Moonrise 4:35 AM SEAST, Moonset 5:16 PM SEAST Sunrise 5:46 AM SEAST, Sunset 5:47 PM SEAST
Low Tide: 1:46 AM SEAST 0.3 Moonrise 2:30 AM SEAST, Moonset 3:07 PM SEAST
High Tide: 8:04 AM SEAST 1.8 High Tide: 6:15 AM SEAST 1.6
Low Tide: 1:54 PM SEAST 0.5 Low Tide: 12:18 PM SEAST 0.6
High Tide: 7:52 PM SEAST 1.9 High Tide: 6:15 PM SEAST 1.7

(a) Data pasut harian tanggal 24 Februari 1990 (b) Data pasut harian tanggal 4 April 2016

Gambar 5. Pola pasang-surut harian kawasan Segara Anakan, Cilacap

Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini direkam pada tanggal 24 februari 1990 jam 14.15
(Landsat 5) dan tanggal 4 april 2016 jam 14.53 (Landsat 8). Konsentrasi salinitas di Laguna Segara Anakan
dipengaruhi oleh sirkulasi massa air yang datang dari Samudera Hindia dan pasokan air tawar dari sungai-
sungai besar yang bermuara di laguna. Pada tahun 1990 laguna Segara Anakan memiliki masa air yang jauh
lebih banyak dari pada tahun 2016, kondisi tersebut dengan melihat kondisi pasang surut yang terjadi
(Gambar 5) maka masa air laut hasil pasang beberapa jam sebelumnya masih berada di dalam laguna. Hal
tersebut yang menyebabkan salinitas air laut pada tahun 1990 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tahun
2016. Sedangkan pada tahun 2016, kondisi laguna sudah sangat sempit dan dangkal, sehingga air laut yang
masuk ke laguna akan segera kembali ke laut pada saat surut.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa dan pembahasan dapat diperoleh kesimpulan bahwa algoritma Wouthuyzena dapat
diaplikasikan untuk mengetahui tingkat salinitas di Laguna Segara Anakan, Cilacap. Secara umum kondisi
salinitas di laguna Segara Anakan termasuk dalam kategori estuari. Selanjutnya hasil perhitungan
menunjukkan adanya penurunan tingkat salinitas di Laguna Segara Anakan dari tahun 1990 hingga 2016.
Sebaran salinitas rendah didominasi pada lokasi bermuaranya sungai-sungai besar, diantaranya sungai
Citanduy, sungai Cibeureum dan sungai Cikonde. Sedangkan sebaran salinitas lebih tinggi didominasi pada
lokasi yang letaknya menjauhi tempat bermuaranya sungai-sungai besar (bagian barat dan timur lokasi
kajian). Untuk penelitian selanjutnya hendaknya dapat dimasukkan informasi tentang hasil pengolahan
CDOM dari citra yang digunakan agar dapat melengkapi hasil penelitian yang ada dan memperkuat terkait
metode yang digunakan.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih saya sampaikan kepada Dr. Ety Parwati, Dr. Wikanti Asriningrum, dan Syarif Budhiman,
M.Sc yang telah memberikan bimbingan, ide dan gagasan dalam menganalisa distribusi spasial mangrove
dan kualitas air berdasarkan citra satelit penginderaan jauh. Dan kami juga tak lupa mengucapkan terima
kasih kepada Kuncoro Teguh Setiawan, M.Si, Teguh Prayogo, M.Si dan Gathot Winarso, M.Sc serta teman-
teman lainnya yang telah membantu dalam penyusunan tulisan ini.

-621-
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Prediksi Sebaran Salinitas Laguna Segara Anakan (Purwanto, A.D., dkk)

DAFTAR PUSTAKA
Arief, D., (1984). Keberadaan Laguna Segara Anakan di kabupaten Cilacap, Jawa Tengah mempunyai fungsi dan peran
yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Oseana, IX(1:3), Jakarta, Indonesia.
Balai Data dan Informasi SDA Dinas PSDA Propinsi Jawa Barat, Konservasi dan Pengendalian Daya Rusak Laguna
Segara Anakan, Balai Data dan Informasi SDA Dinas PSDA Propinsi Jawa Barat. 2010. Konservasi dan
Pengendalian Daya Rusak Laguna Segara Anakan. Bandung.
Effendi, H., (2003). Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.
Yogyakarta.
Hadikusumah (2008). Variabilitas suhu dan salinitas di Perairan Cisadane. Makara Sains, 12(2):82-88.
Herawati, V.E., (2008). Analisis Kesesuaian Perairan Segara Anakan Kabupaten Cilacap sebagai Lahan Budidaya
Kerang Totok (Polymesoda erosa) Ditinjau dari Aspek Produktifitas Primer Menggunakan Penginderaan Jauh.
Thesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Holterman, P., Burchard, H., Jennerjahn., T., (2009). Hydrodynamics of the Segara Anakan lagoon. Springer.
Hutabarat, E., (2001). Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Nybakken, J.W., (1992). Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia. Jakarta.
Purwanto, A.D, dan Asriningrum, W., (2015). Analisis Kondisi Laguna Segara Anakan menggunakan Citra Landsat
Multitemporal. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh LAPAN 2015.
Wouthuyzena, S., Tarigan, S., Supriyadia, H.I., Sediadi, A., Sugarin, Siregar, V.P., dan Ishizaka, J., (2008). Pengukuran
Salinitas Permukaan Teluk Jakarta Melalui Penginderaan Warna Laut Menggunakan Data Multi-temporal Citra
Satelit Landsat-7 ETM+. MAPIN. Bandung.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : Dr. Wikanti Asriningrum


Judul Makalah : Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Prediksi Sebaran Salinitas Laguna
Segara Anakan
Pemakalah : Anang Dwi Purwanto (LAPAN )
Diskusi :

Pertanyaan: Teguh Prayogo (LAPAN):


1. Dalam metode penelitian data diturunkan dua level dari data satelit dengan mengkaitkan dengan CDOM
kemudian ke salinitas. Apakah hubungan seperti itu secara ilmiah akan merepresentasikan salinitas itu?
2. Mengenai data, mengapa digunakan data tahun 1990 dan 2016? Apakah tidak sebaiknya digunakan data
yang sama bulannya ? Karena pada akuisisi yang sama kondisi musim dan pasang surutnya hampir sama

Jawaban:
1. Metode yang dipelajari dari Wouthuyzena, untuk penelitian selanjutnya akan dipelajari metode yang lain.
2. Data yang bebas awan di daerah Segara Anakan sulit untuk didapatkan.

Pertanyaan: Syarif Budhiman (LAPAN):


Secara teori, informasi CDOM adalah inverse dari salinitas.

Jawaban:
Penulis akan mempelajari lagi tentang CDOM

-622-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pendugaan Intrusi Air Asin Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 di


Muara Sungai Jajar, Kabupaten Demak, Jawa Tengah

Estimation of Salt Water Intrusion using ALOS AVNIR-2


in the Jajar River Estuary, Demak Regency, Central Java
Vina Nurul Husna1*)
1
Departemen Ilmu dan TeknologiKelautan, InstitutPertanian Bogor
*)
E-mail: vinahusna@gmail.com

ABSTRAK-Muara sungai atau estuari mempunyai sifat yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi fisik yang
berasal dari laut maupun dari daratan atau aliran sungai itu sendiri. Salah satu perubahan yang terjadi pada estuari
adalah intrusi air asin. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui intrusi menggunakan data penginderaan jauh dan
mengetahui keefektifan data tersebut untuk mendeteksi indikator adanya intrusi. Data penginderaan jauh yang
digunakan yakni citra ALOS AVNIR-2 dengan perekaman tanggal 8 Agustus 2010. Informasi intrusi diperoleh
menggunakan pendekatan yellow substance dan pendekatan spektral citra penginderaan jauh. Deteksi yellow substance
memanfaatkan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan pendekatan spektral memanfaatkan transformasi
Lyzenga. Analisis statistik korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan nilai NDVI dengan nilai salinitas. Nilai
hubungan tersebut ditunjukkan dengan nilai korelasi r sebesar -0,65, yang memiliki arti bahwa jika nilai NDVI semakin
tinggi maka nilai salinitas air semakin rendah, dan begitu juga sebaliknya. Untuk uji akurasi yang dilakukan dengan
pendekatan transformasi Lyzenga, perbandingan hasil transformasi Lyzenga dengan sampel di lapangan digunakan
untuk melakukan validasi model yang telah dibuat sebelumnya dan dihasilkan bahwa model yang telah dibuat akurat
90% untuk derajat kepercayaan 91%. Dengan demikian bahwa data penginderaan jauh (ALOS AVNIR-2) dapat
digunakan untuk mendeteksi paramater adanya intrusi air asin melalui pendekatan kandungan yellow substance dengan
memanfaatkan indeks vegetasi NDVI. Pemanfaatan penginderaan jauh dan pengukuran lapangan yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa di Sungai Jajar sudah terjadi intrusi air asin sepanjang kurang lebih 6,7 km dari muara sungai pada
musim kemarau.

Kata kunci:intrusi air asin, muara sungai, ALOS, yellow substance, Lyzenga

ABSTRACT -Mouth of the river or estuary characteristics are highly vulnerable to changes from the sea and from the
mainland or the flow of the river itself. One of the changes that occur in the estuary is a salt water intrusion. The
purpose of this research was to determine the intrusion using remote sensing data and determine the effectiveness of the
data to detect indicators of intrusion. The remote sensing data used ALOS AVNIR-2 withan acquisition date August 8,
2010. Intrusion information obtained using yellow substance approach and spectral approach from remote sensing
imagery. Detection of yellow substance utilizing the Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) and the spectral
approach utilizing Lyzenga transformation. Statistical analysis was used to determine the correlation of NDVI values
relationship with salinity values. The value of the relationship showed with correlation of equal to -0.65, which means
that if the NDVI is higher than the salinity of the water is lower, and vice versa. For accuracy conducted by Lyzenga
transformation approach, comparison of the results with samples Lyzenga transformation in the field is used to validate
the model previously created and produced that model that has made accurate 90% to 91% confidence level. Thus the
remote sensing data (ALOS AVNIR-2) can be used to detect the parameters of the salt water intrusion through the
yellow substance content approach by utilizing NDVI. Utilization of remote sensing and field measurements have shown
that in the River Jajar saltwater intrusion has occurred along approximately 6.7 km from the mouth of the river in the
dry season.

Keywords: salt water intrusion, estuary, ALOS, Yellow Substance, Lyzenga

1. PENDAHULUAN
Muara sungai atau estuari mempunyai sifat yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi fisik yang
berasal dari laut maupun dari daratan atau aliran sungai itu sendiri (Salamun, 2008). Perubahan kondisi fisik
tersebut dapat bersumber dari sungai itu sendiri seperti substansi yang dibawa oleh aliran sungai,
pencemaran, limbah yang dibawa oleh aliran sungai, perubahan penggunaan lahan; atau dapat juga
bersumber dari laut seperti gelombang pasang surut dan gelombang laut. Perubahan kondisi fisik di muara
sungai yang disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya
akan memberikan pengaruh berupa dampak buruk bagi lingkungan muara sungai. Terutama perubahan
-623-
Pendugaan Intrusi Air Asin Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 di Muara Sungai Jajar (Husna, V.N.)

ekosistem mangrove menjadi lahan tambak yang dapat mengubah variabel bio-fisik di kawasan tersebut
(Fawzi, 2016; Dutrieux, dkk., 2014).
Salah satu fenomena alam yang terjadi pada muara sungai adalah intrusi air asin atau air laut. Sungai dan
air tanah yang sudah mengalami intrusi air asin menyebabkan air tersebut sudah tidak dapat dikonsumsi
karena mempunyai tingkat salinitas yang lebih tinggi dari air normal atau air tawar. Intrusi air asin di
muara sungai terjadi karena beberapa faktor antara lain debit sungai, adanya pasang surut air laut dan
kedalaman sungai. Oleh karena itu intrusi air asin sangat dipengaruhi oleh musim. Ketika musim
penghujan intrusi air asin dapat berkurang karena debit sungai yang lebih besar sehingga mampu
mendorong air asin menuju ke laut. sebaliknya jika musim kemarau, intrusi air asin dapat terjadi karena debit
sungai yang berkurang sehingga dapat lebih mudah menyusup menuju ke arah hulu. Faktor terakhir yang
mempengaruhi yaitu kedalaman sungai. Kedalaman sungai mempengaruhi intrusi air asin karena berkaitan
dengan berat jenis air asin. Air asin mempunyai berat jenis yang lebih besar yaitu 1,25 N/m3 dibandingkan
dengan berat jenis air tawar yaitu 1 N/m3. Perbedaan berat jenis menimbulkan air asin akan selalu berada di
bawah air tawar sehingga semakin dalam sungai maka akan semakin jauh air asin dapat menyusup ke air
tawar.
Informasi mengenai intrusi air asin pada muara sungai masih sangat minim. Hal tersebut dikarenakan
penelitian tentang intrusi membutuhkan biaya dan waktu yang banyak. Adanya teknologi penginderaan jauh
yang sedang berkembang saat ini diharapkan dapat membantu penelitian mengenai intrusi air asin dengan
biaya dan waktu yang lebih efisien (Kalcic, dkk., 2009). Citra penginderaan jauh tidak dapat secara langsung
mengetahui informasi intrusi air asin tetapi harus dengan menggunakan pendekatan mengingat indikator
adanya intrusi air asin adalah salinitas yang bercampur dengan air dan tidak dapat dilihat secara kasat mata
(Barbarella, dkk., 2015). Pendekatan yang digunakan yaitu kandungan yellow substance merupakan bagian
dari colour dissolved organic matter (CDOM) yang biasanya diperoleh dari aliran permukaan yang
mengandung zat-zat sisa tumbuhan yang sudah membusuk. Intrusi air laut yang diukur dengan kandungan
salinitas air, berhubungan kuat negatif dengan kandungan yellow substance (Højerslev dan Aas, 2001).
Selain itu pendekatan yang digunakan untuk mengekstraksi informasi intrusi air asin yaitu transformasi
Lyzenga melalui nilai spektral citra tersebut (Lyzenga, 1981).
Adanya teknologi penginderaan jauh untuk pendugaan intrusi air asin memudahkan dalam penelitian
karena informasi mengenai daerah mana saja yang mengalami intrusi air asin sudah diketahui pada tahap
pralapangan. Keakuratan pendugaan tersebut dibuktikan dengan dilakukannya pengukuran langsung di
lapangan dan mengukur jarak sejauh mana intrusi air asin di Sungai Jajar dihitung dari muara sungai ke arah
hulu. Pemanfaatan citra penginderaan jauh untuk penelitian ini sangat membantu dalam memperkirakan
intrusi air asin yang telah terjadi (Fang, dkk., 2009). Penelitian mengenai intrusi air asin dapat menggunakan
citra penginderaan jauh dengan resolusi tinggi hingga sedang seperti ALOS AVNIR-2 pada penelitian ini
yang memiliki resolusi spasial 10 meter. Citra ALOS AVNIR-2 dipilih dalam penelitian ini karena dianggap
dapat digunakan untuk mengektraksi parameter intrusi air asin. Keakuratan pendugaan tersebut dibuktikan
dengan dilakukannya pengukuran langsung di lapangan untuk validasi dan pengukuran jarak intrusi air asin
di sungai jajar dihitung dari muara sungai ke arah hulu.

2. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian
Daerah kajian untuk penelitian ini yaitu Sungai Jajar, Kabupaten Demak. Sungai Jajar merupakan bagian
dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Jratunseluna (Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juana). Sungai Jajar
merupakan sungai utama dari DAS Jajar. DAS Jajar mempunyai luas 312,44 km2 dengan panjang sungai 64
km. DAS Jajar bagian barat berbatasan dengan DAS Tuntang Lama, bagian timur berbatasan dengan DAS
Jebor/Gejoyo dan bagian selatan berbatasan dengan DAS Lobener. DAS Jajar mempunyai 10 sub-DAS
antara lain sub-DAS Welingan, Jajar, Klambu, Totog, Kepoh, Wedoro, Pengkol, Kramat, Landean dan
Lengkong. DAS Jajar memiliki muara atau hilir sungai langsung ke Laut Jawa. Bagian hilir atau muara
Sungai Jajar inilah yang digunakan sebagai daerah kajian penelitian.
Secara hidrologis debit air Sungai Jajar di musim penghujan cukup tinggi dan di musim kemarau masih
terdapat aliran air tetapi dengan jumlah yang sedikit. Debit air yang tinggi ketika musim penghujan dan
bagian hilir yang sempit sering kali menyebabkan banjir di bagian hilir. Banjir juga tidak hanya disebabkan
oleh aliran sungai saja tetapi juga dapat berasal dari aliran balik pada saat pasang laut. Aliran balik pasang
laut tersebut dapat merambat melalui Sungai Jajar dan secara terus menerus ketika banjir pasang laut atau
rob terjadi sehingga pada kurun waktu yang lama akan menyebabkan intrusi air asin di Sungai Jajar.

-624-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2.2 Data Penginderaan Jauh


Citra penginderaan jauh yang digunakan yakni citra ALOS AVNIR-2 dengan perekaman tanggal 8
Agustus 2010. Survei dilakukan pada tahun awal bulan September 2013. Lokasi penelitian dan citra ALOS yang
digunakanditunjukan pada Gambar 1. Adanya perbedaan tahun tersebut perlu dilakukan asumsi mengenai
keadaan secara fisik di kedua tahun tersebut kurang lebih dianggap sama sehingga penelitian ini dapat
bersifat valid. Asumsi yang digunakan berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi intrusi air asin yaitu
debit sungai, pasang surut dan kedalaman sungai. Pada tahun 2010 durasi musim penghujan lebih panjang
daripada musim kemarau yang berarti debit air di Sungai Jajar akan cenderung lebih tinggi dan hal tersebut
juga terjadi di tahun 2013 di mana memiliki musim penghujan yang lebih lama dari pada musim kemarau
sehingga debit air yang dihasilkan kurang lebih sama. Faktor kedalaman sungai digunakan sebagai dasar
pengambilan sampel pada kedalaman tertentu mengingat adanya perbedaan berat jenis air asin dengan air
tawar. Sedangkan faktor pasang surut tidak terlalu diperhatikan di dalam penelitian ini. Pada saat dilakukan
lapangan hanya mempertimbangkan pasang surut tertinggi di rentang satu minggu penelitian yaitu di minggu
pertama bulan September 2013.

Gambar 1. Lokasi penelitian dan citra ALOS yang digunakan

2.3 Tahapan Penelitian


2.3.1 Pengolahan Citra
Tahap pengolahan citra digital antara lain koreksi geometrik dan radiometrik. Koreksi geometrik
merupakan transformasi citra yang digunakan untuk meletakkan piksel sesuai dengan kondisi di lapangan
(Danoedoro, 2012). Sedangkan koreksi radiometrik merupakan pengubahan nilai citra digital yang masih
dalam bentuk nilai kecerahan menjadi nilai energi pantulan sehingga nilai citra akan sesuai dengan nilai
pantulan objek di lapangan. Koreksi radiometrik dilakukan secara bertahap mulai dari konversi nilai piksel
menjadi nilai radian dan menjadi nilai reflektan. Tahap pengolahan citra digital ini penting dilakukan agar
citra dapat digunakan untuk proses selanjutnya dengan nilai piksel yang sesuai dengan pantulan obyek di
lapangan.

2.3.2 Ekstraksi Informasi Salinitas


Tahap ekstraksi informasi merupakan tahap pengolahan citra dengan transformasi citra tertentu untuk
mendapatkan informasi baru. Informasi baru yang akan diperoleh dalam tahap ini yaitu nilai salinitas air di
Sungai Jajar. Nilai salinitas tidak dapat diperoleh langsung dari citra penginderaan jauh tetapi dengan
menggunakan pendekatan yellow substance yang mempunyai hubungan kuat negatif dengan salinitas.
Semakin tinggi salinitas maka kandungan yellow substance akan semakin rendah. Sesuai dengan sifat
vegetasi bahwa adanya vegetasi menandakan bahwa salinitas di area tersebut rendah atau tawar (Barbarella,
dkk., 2015).

-625-
Pendugaan Intrusi Air Asin Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 di Muara Sungai Jajar (Husna, V.N.)

Adanya kandungan vegetasi dalam yellow substance maka transformasi yang digunakan adalah
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI merupakan suatu transformasi citra yang digunakan
untuk memperoleh informasi kerapatan vegetasi dan dapat diperoleh dengan persamaan (Rouse, 1973):

= ....................................................................... (1)

Tahap analisis parameter merupakan tahap lebih lanjut dari transformasi NDVI. Transformasi NDVI akan
menghasilkan nilai dengan rentang -1 sampai dengan 1. NDVI yang bernilai -1 merupakan area bukan
vegetasi atau tubuh air, nilai 0 merupakan lahan terbuka dan nilai positif merupakan area dengan kerapatan
vegetasi yang semakin tinggi mendekati nilai 1. Informasi tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan
nilai salinitas secara kualitatif. Nilai hasil transformasi NDVI hanya akan diambil di area sungai saja sebagai
area kajian. Nilai -1 hingga 0 di area sungai menandakan area tersebut tidak terdapat vegetasi atau dengan
kata lain air dengan nilai salinitas yang tinggi dan kandungan yellow substance rendah sedangkan nilai +1 di
area sungai menandakan adanya kandungan vegetasi atau salinitas rendah dan kandungan yellow substance
tinggi.
Informasi tersebut sudah dapat diperoleh area mana saja yang terjadi intrusi air asin (salinitas tinggi) dan
area mana saja yang belum terjadi intrusi air asin (salinitas rendah). Agar memudahkan dalam pemetaan area
mana saja yang sudah dan belum terjadi intrusi dilakukan proses density slice untuk mengelompokkan citra
NDVI yang bernilai -1 sampai 0 dan nilai 0 sampai +1. Hasil dari tahap ini berwujud peta tentatif intrusi air
asin dengan informasi nilai salinitas secara kualitatif.

2.3.3 Survei Lapangan dan Uji Akurasi


Untuk mengubah nilai salinitas kualitatif menjadi kuantitatif diperlukan tahap survey lapangan. Survei
lapangan dilakukan dengan cara mengambil sampel air di sungai kajian. Pengambilan sampel dilakukan
dengan metode stratified sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara membuat garis tegak lurus
dengan sungai di setiap ±200 meter dari muara sungai. Di setiap garis tersebut akan dibuat 1 sampai 2 titik
sampel. Pengambilan sampel air di setiap titik dilakukan dengan cara mengambil air di 0,6 dan 0,8 dari
kedalaman sungai. Pengambilan sampel di kedalaman tertentu dikarenakan berat jenis air asin lebih besar
dari air normal sehingga dimungkinkan di permukaan sungai masih berair tawar namun di kedalaman
tertentu sudah terdapat air asin.
Hasil dari survei lapangan tersebut kemudian digunakan untuk tahap analisis data lapangan. Hasil
pengambilan sampel di lapangan dilakukan uji laboratorium untuk mengetahui nilai salinitas sampel air.
Salinitas tersebut kemudian dilakukan perbandingan dengan nilai salinitas air dalam kondisi normal atau air
tawar yang biasanya memiliki nilai salinitas sebesar 0 - 5‰. Ketika salinitas sampel air lebih tinggi dari
salinitas air tawar maka dapat dikatakan area di sampel tersebut sudah terjadi intrusi air asin, dan begitu juga
sebaliknya. Jika salinitas sampel lebih rendah atau sama dengan salinitas air tawar maka area di sampel
tersebut belum terjadi intrusi air asin.
Klasifikasi nilai salinitas yang telah diperoleh direpresentasikan dalam peta tentatif. Uji akurasi dilakukan
untuk mengetahui seberapa akurat peta tentatif yang sudah dihasilkan dengan metode transformasi NDVI.
Dalam penelitian ini sampel yang diambil tidak cukup representatif untuk validasi model, oleh karena itu ada
penambahan metode yaitu transformasi Lyzenga. Transformasi Lyzenga terdiri dari dua tahap yaitu
penurunan algoritma Lyzenga dan penentuan koefisien atenuasi air. Penurunan algoritma Lyzenga
menggunakan regresi persamaan Lyzenga dengan persamaan berikut.

( )
= .......................................................................................................... (2)
( )

Di mana a adalah persamaan regresi Lyzenga; var 1 adalah variansi band yang lebih pendek; var 2 adalah
variansi band yang lebih panjang; dan covar 12 adalah covariansi kedua band tersebut.
Penentuan koefisien atenuasi air diperoleh melalui proses iterasi citra pada komputer dengan cara
penentuan training area yang homogen. Koefisien atenuasi air tersebut akan menghasilkan citra baru dengan
informasi yang baru sesuai dengan masing-masing rasio band yang digunakan. Koefisien atenuasi air dapat
diperoleh dengan menggunakan rumus berikut.

= + ( +1) .............................................................................................. (3)

-626-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

dimana adalah koefisien atenuasi air untuk band lebih pendek dan band lebih panjang; dan adalah
persamaan regresi Lyzenga dari kedua band tersebut.
Nilai hasil transformasi Lyzenga tersebut akan dilakukan uji korelasi dengan nilai salinitas yang telah
diambil di lapangan. Uji korelasi yang dilakukan dengan menguji nilai salinitas dengan nilai piksel hasil
transformasi Lyzenga pada masing-masing rasio band yang telah dihasilkan pada transformasi tersebut.
Koefisien korelasi (r) paling besar maka rasio band tersebut yang akan digunakan untuk uji validasi model
selanjutnya. Rasio band yang memiliki koefisien korelasi paling besar digunakan untuk melakukan uji
validasi model dengan sampel yang tersisa dari uji korelasi. Uji validasi tersebut dengan menggunakan
interval confidency yang memiliki derajat kepercayaan tertentu. Derajat kepercayaan tersebut akan
mempunyai nilai koefisien confidency yang berbeda-beda. Koefisien confidency tersebut akan digunakan
sebagai interval estimasi yang diterapkan pada masing-masing sampel. Dari interval estimasi tersebut dapat
diketahui sampel mana saja yang valid untuk derajat kepercayaan tertentu.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Perolehan NDVI dan Yellow Subtance
Transformasi NDVI digunakan untuk mengetahui informasi kerapatan vegetasi. Hasil dari transformasi
NDVI tersebut akan menunjukkan area yang bervegetasi dengan kerapatan tertentu, lahan terbuka dan tubuh
air atau non vegetasi. Transformasi NDVI diterapkan dalam penelitian ini karena digunakan untuk
mendeteksi adanya yellow substance yang menjadi indikator ada tidaknya intrusi air asin. Hasil transformasi
NDVItersebut menghasilkan nilai -1 sampai 0,996846. Nilai negatif menunjukkan area non vegetasi atau
tubuh air, nilai 0 menunjukkan lahan terbuka dan nilai positif menunjukkan adanya vegetasi dengan
kerapatan yang semakin tinggi jika mendekati 1.
Untuk klasifikasi tahap awal, dilakukan pemilahan spektral atau dencity slicing pada citra NDVI yang
telah dihasilkan. Proses density slicing yang dilakukan yaitu dengan cara pengelompokan nilai piksel ke
dalam kelompok nilai-nilai tertentu sehingga dihasilkan kelompok yang berisi nilai yang diinginkan. Density
slicing yang dilakukan dalam penelitian ini akan mengelompokkan nilai piksel hasil dari pengolahan NDVI
ke dalam dua kelompok besar yaitu kelompok dengan nilai negatif sampai dengan 0 dan kelompok dengan
nilai positif. Nilai negatif dan positif tersebut dikarenakan NDVI menghasilkan nilai dengan range -1 sampai
+1, namun dalam pengolahan data yang dilakukan dihasilkan nilai NDVI dengan range -1 sampai dengan
0,996846. Generalisasi menjadi dua kelompok tersebut dimaksudkan untuk membedakan area sungai mana
saja yang mempunyai kandungan vegetasi yang memiliki nilai positif dan area mana saja yang tidak terdapat
vegetasi yang memiliki nilai negatif hingga 0.
Pada Gambar 2ditunjukkan bahwa density slicing dilakukan untuk menghasilkan dua kelompok utama
yaitu kelompok pertama dengan range nilai -1 sampai 0,0000 yang ditunjukkan dengan simbol warna cyan
dan kelompok kedua dengan range nilai 0,0000 sampai 0,9954 atau nilai maksimal yang dihasilkan dari
pengolahan NDVI yang ditunjukkan dengan simbol warna coral. Kelompok pertama dengan nilai negatif
sampai 0 tersebut merupakan area yang tidak memiliki kandungan vegetasi atau memiliki salinitas air yang
tinggi atau terdapat intrusi air asin karena vegetasi tidak dapat hidup di air yang memiliki salinitas yang
tinggi begitu juga dengan yellow substance yang masih memiliki kandungan vegetasi. Kelompok kedua
dengan nilai positif merupakan area yang memiliki kandungan vegetasi atau memiliki salinitas yang rendah
atau mendekati normal dan tidak terjadi intrusi air asin. Dari pengolahan density slicing tersebut dapat
dihasilkan pendugaan area mana saja yang sudah mengalami intrusi air asin.

-627-
Pendugaan Intrusi Air Asin Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 di Muara Sungai Jajar (Husna, V.N.)

(a) (b)
Gambar 2. (a) Peta NDVI pada Sungai Jajar dan (b) citra hasil density slicing pada seluruh area

3.2 Analisis Hasil Pengukuran Lapangan


Pengukuran lapangan yang telah dilakukan menghasilkan nilai salinitas secara kuantitatif, berbeda dengan
nilai salinitas hasil pengolahan citra digital sebelumnya yang mempunyai nilai kualitatif. Peta intrusi air asin
yang dihasilkan memberikan informasi mengenai sebaran salinitas air asin di muara Sungai Jajar. Peta intrusi
air asin tersebut menunjukkan adanya gradasi nilai salinitas air sungai. Namun gradasi salinitas air tersebut
tidak terbentuk secara teratur atau semakin tinggi nilai salinitas semakin ke arah hilir.
Nilai NDVI yang menunjukkan kandungan yellow substance tersebut memiliki arti bahwa semakin ke
arah hulu kandungan yellow substance semakin tinggi atau dengan kata lain nilai salinitas air semakin
rendah. Pada peta nilai hasil NDVI terlihat di tepi sungai cenderung memiliki nilai NDVI yang lebih tinggi,
hal ini disebabkan adanya vegetasi seperti rerumputan yang panjang di sekitar sungai yang menjuntai ke arah
badan sungai sehingga nilai piksel yang dihasilkan menjadi nilai vegetasi tersebut. Hasil transformasi
NDVIyang dijadikan sebagai peta tentatif menunjukkan bahwa adanya tutupan vegetasi mulai koordinat X:
456,111.565; Y: 9,244,344.847. Adanya tutupan vegetasi tersebut mengindikasikan area tersebut sudah tidak
terjadi intrusi air asin, berbeda dengan area yang berada di bagian utaranya yang berbatasan dengan laut.
Model yang telah dibuat sebelumnya dengan menggunakan transformasi Lyzenga dilakukan uji akurasi
dengan menggunakan interval confidency. Transformasi Lyzenga diterapkan pada citra untuk menghasilkan
citra baru yang menonjolkan informasi yang berada di dasar perairan. Transformasi Lyzenga tersebut akan
menghasilkan masing-masing citra dengan rasio band yang digunakan. Band yang digunakan untuk
transformasi ini yaitu band tampak(band 1, 2, dan 3), sehingga akan dihasilkan rasio band 1 dan 2, rasio
band 1 dan 3, dan rasio band 2 dan 3 seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Masing-masing nilai piksel hasil
rasio band tersebut dilakukan uji korelasi dengan sebagian sampel yang diambil di lapangan. Koefisien
korelasi (r) yang terbesar akan dijadikan sebagai dasar untuk proses validasi selanjutnya. Koefisien korelasi
terbesar dihasilkan pada rasio band 1 dan 3, sebesar 0,8. Band rasio 1 dan 3 selanjutnya digunakan untuk
proses validasi dengan sampel yang tersisa dari uji korelasi sebelumnya. Hasil uji korelasi antara nilai piksel
masing-masing band rasio dengan nilai salinitas dapat dilihat pada Gambar 3.
Koefisien korelasi (r) terbesar dihasilkan pada band rasio 1 dan 3 dengan nilai r 0,81. Nilai piksel pada
band rasio 1 dan 3 tersebut akan digunakan untuk proses validasi model dengan sampel yang tersisa dari uji
korelasi tersebut. Total sampel yang diambil di lapangan sebanyak 40, sudah digunakan untuk uji korelasi
sebanyak 23 sehingga 17 sampel selanjutnya digunakan untuk validasi model. Untuk melakukan uji validasi
pada model dotentukan terlebih dahulu koefisien confidency yang akan digunakan untuk uji. Koefisien
confidency yang dihasilkan untuk derajat kepercayaan 91% sebesar ±5,09. Angka tersebut digunakan untuk
menentukan estimasi interval yang diterapkan pada nilai piksel hasi rasio band 1 dan 3. Pada tabel 1 berikut
akan ditampilkan hasil uji validasi dengan menggunakan rasio band 1 dan 3.

-628-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 3. Grafik dan Nilai Korelasi dari Masing-Masing Rasio Band hasil pengolahan citra

(a) (b)

(c)

Gambar 4. Peta Citra Hasil Transformasi Lyzenga. (a) Rasio Band Biru dan Merah,
(b) Rasio Band Hijau dan Merah, dan (c) Rasio Band Biru dan Hijau

Fungsi dari confidency dalam uji validasi yaitu untuk memberikan estimasi interval yang diterapkan pada
masing-masing sampel sehingga dapat diketahui jumlah sampel yang masuk atau diterima dalam interval
tersebut. Pada tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa dari 17 sampel hanya terdapat 1 sampel yang tidak masuk
atau ditolak dalam interval confidency tersebut. Uji validasi yang telah dilakukan tersebut berfungsi sebagai

-629-
Pendugaan Intrusi Air Asin Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 di Muara Sungai Jajar (Husna, V.N.)

seberapa akurat model yang telah dibuat dengan derajat kepercayaan tertentu. Uji validasi tersebut
menunjukkan bahwa model yang telah dibuat akurat 90% untuk derajat kepercayaan 91% karena hanya 1
sampel yang tidak ditolak dalam interval estimasi tersebut dari total 17 sampel.

3.3 Peta Intrusi Air Asin


Peta citra sebaran salinitas air di Muara Sungai Jajarseperti ditunjukkan pada Gambar 5 memperlihatkan
salinitas tertinggi dengan nilai 34,98 ‰ terdapat di area muara sungai yang sudah mendekati laut dan
beberapa terdapat di bagian tengah sungai dengan jarak sekitar 2 km dari muara sungai. Salinitas paling
rendah bernilai 2‰ terdapat di titik sampel terakhir yang berjarak sekitar 7 km dari muara sungai. Perbedaan
yang mencolok terjadi di sekitar area dengan koordinat X: 455,99091 Y: 9,244,464.85. Salinitas air sungai di
sebelah bagian utara area tersebut memiliki salinitas air berkisar 27,9‰ sedangkan bagian selatan area
tersebut memiliki salinitas berkisar 2‰.
Informasi yang dihasilkan dari peta tersebut hanya menampilkan informasi salinitas air sungai. Informasi
mengenai terjadinya intrusi air asin diperoleh dengan cara membandingkan nilai salinitas air sungai tersebut
dengan salinitas air sungai normal atau tawar. Ketika air sungai memiliki nilai salinitas yang lebih tinggi dari
nilai salinitas kondisi air normal maka dapat air tersebut sudah terdampak intrusi air asin. Namun ketika air
sungai mempunyai salinitas yang sama atau lebih rendah dari salinitas air dalam kondisi normal maka air
tersebut belum terdampak intrusi air asin. Air tawar memiliki nilai salinitas 0-5‰, air payau memiliki
salinitas 6-29‰, sedangkan air asin memiliki salinitas 30-35‰.

Gambar 5. Peta Citra Sebaran Salinitas Air di Muara Sungai Jajar

Jika dilihat dari salinitas sampel air yang sudah diketahui dari uji laboratorium, hampir seluruh sampel
memiliki nilai salinitas di atas nilai salinitas air normal atau tawar yaitu berkisar antara 27‰ hingga 35‰.
Hal ini mengindikasikan bahwa area sepanjang sungai yang memiliki nilai salinitas dengan rentang tersebut
sudah terdampak intrusi air asin dan hanya 3 sampel terakhir yang tidak mengindikasikan adanya intrusi air
asin. Dari uji laboratorium tersebut menunjukkan bahwa intrusi air asin di Sungai Jajar sudah terjadi
sepanjang ±6,7 km dari muara sungai.

-630-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

3.4 Analisis Nilai Korelasi


Analisis korelasi yang akan dilakukan digunakan untuk menghasilkan nilai yang menunjukkan hubungan
antara nilai NDVI dengan nilai salinitas air di muara Sungai Jajar. Besarnya hubungan yang terjadi diantara
kedua variabel tersebut ditunjukkan dengan nilai r. Semakin mendekati 1 maka hubungan diantara kedua
variabel tersebut semakin kuat. Analisis korelasi yang telah dilakukan dari data yang diperoleh dari
pengukuran lapangan, dihasilkan nilai r sebesar -0,65. Nilai r yang telah dihasilkan sebesar -0,65
menunjukkan hubungan yang kuat untuk variabel nilai NDVI dengan nilai salinitas air di muara Sungai Jajar.
Nilai negatif tersebut menunjukkan adanya nilai hubungan yang berbeda arah diantara kedua variabel. Nilai
negatif tersebut memiliki arti bahwa adanya perubahan variabel yang saling berlawanan. Ketika nilai NDVI
bertambah maka nilai salinitas air juga akan berkurang, dan begitu juga sebaliknya.

3.5 Diskusi
Pada dasarnya intrusi kuantitas intrusi air laut pada muara sungai ditentukan oleh debit sungai itu sendiri
(Zhang, dkk., 2010). Dan pada debit air yang rendah, tingkat intrusi dapat mencapai 74% dari panjang muara
sungai (Uncles, dkk., 2015). Intrusi yang terjadi pada sungai Jajar yang mencapai ±6,7 km dari muara sungai
adalah merupakan intrusi yang cukup berpengaruh. Walaupun intrusi merupakan hal normal pada muara
sungai, yang diidentifikasi pada banyaknya tambak pada sekitar muara sungai. Akan tetapi, dengan jarak
intrusi yang cukup jauh, dapat mengganggu kualitas hidrologis di daratan dan berdampak pada penduduk
pada akhirnya.
Perolehan informasi dengan penginderaan jauh, dihasilkan akurasi sebesar 90%. Nilai akurasi tersebut
adalah nilai yang sangat baik. Untuk hubungan CDOM yang direpresentasikan melalui nilai NDVI dengan
nilai salinitas, dihasilkan korelasi sebesar 0,65. Nilai ini menunjukkan hubungan yang kuat untuk variabel
nilai NDVI dengan nilai salinitas air di muara Sungai Jajar. Hal serupa dilakukan oleh Fang, dkk (2009) yang
menganalisa hubungan antara CDOM dan salinitas, menghasilkan nilai korelasi R2 sebesar 0,77. Dengan kata
lain, penggunaan penginderaan jauh untuk pemetaan pendugaan intrusi air asin pada muara sungai memiliki
kualitas yang cukup baik. Perbaikan metode-metode di masa yang akan datang tentu akan menghasilkan
hasil pemetaan yang lebih baik dari ini. Untuk evaluasi lebih lanjut, dalam penelitian berikutnya lebih baik
untuk disajikan pula data-data analisis pasang surut yang mempengaruhi nilai salinitas.

4. KESIMPULAN
Nilai hasil transformasi NDVI mempunyai hubungan yang kuat negatif dengan nilai salinitas air di muara
sungai. Nilai hubungan tersebut ditunjukkan dengan nilai korelasi r sebesar -0,65. Nilai tersebut memiliki arti
bahwa jika nilai NDVI semakin tinggi maka nilai salinitas air semakin rendah, dan begitu juga sebaliknya,
jika nilai NDVI semakin rendah maka nilai salinitas air semakin tinggi. Untuk uji akurasi yang dilakukan
dengan pendekatan transformasi Lyzenga, perbandingan hasil transformasi Lyzenga dengan sampel di
lapangan digunakan untuk melakukan validasi model yang telah dibuat sebelumnya dan dihasilkan bahwa
model yang telah dibuat akurat 90% untuk derajat kepercayaan 91%. Dengan demikian bahwa data
penginderaan jauh (ALOS AVNIR-2) dapat digunakan untuk mendeteksi paramater adanya intrusi air asin
melalui pendekatan kandungan yellow substance dengan memanfaatkan indeks vegetasi NDVI.
Pemanfaatan penginderaan jauh dan pengukuran lapangan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa di
Sungai Jajar sudah terjadi intrusi air asin sepanjang kurang lebih 6,7 km dari muara sungai pada musim
kemarau.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih ditujukan kepada Dr. Nurul Khakhim, M.Si, Dr. Sigit Heru Murti BS., S.Si., M.Si
dan Dr. Sudaryatno,M.Si sebagai senior lecturer Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada yang telah
memberikan banyak masukan berharga dalam penyempurnaan penelitian ini. Nurul Ihsan Fawzi, M.Sc dan
teman-teman Fakultas Geografi UGM yang telah membantu menyelesaikan penelitian terutama dalam hal
pengerjaan data.

DAFTAR PUSTAKA
Barbarella, M., Giglio, M., dan Greggio, N., (2015). Effects of saltwater intrusion on pinewood vegetation using
satellite ASTER data: the case study of Ravenna (Italy). Environ Monit Assess, 187(166):1-19.
Danoedoro, P., (2012). Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Dutrieux, E., Creocean, Proisy, C., Fromard, F., dan Walcker, R., (2014). Mangrove restoration in the vicinity of oil and
gas facilities: Lessons learned from a large scale project. Long Beach, United States of America. SPE International
Conference on Health, Safety, and Environment.

-631-
Pendugaan Intrusi Air Asin Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 di Muara Sungai Jajar (Husna, V.N.)

Fang, L.G., Chen, S.S., Li, D., dan Li, H.L., (2009). Use of reflectance ratios as a proxy for coastal water constituent
monitoring in the Pearl River estuari. Sensors, 9:656-673. doi:10.3390/s90100656.
Fawzi, N.I. (2016). Evaluasi Perubahan dan Fragmentasi Hutan Mangrove di Delta Mahakam, Kalimantan Timur
untuk Pengelolaan Kawasan Pesisir. Yogyakarta: Tesis. Universitas Gadjah Mada.
Højerslev, N., dan Aas, E., (2001). Spectral light absorption by yellow subtance in the Kattegat-Skagerrak area.
Ocanologia, 43(1):39 - 60.
Kalcic, M., Hall, C., Russell, J., dan Fletcher, R., (2009). Monitoring coastal marshes for persistent saltwater intrusion.
Biloxi, MS: MTS/IEEE Biloxi - Marine Technology for Our Future: Global and Local Challenges.
Lyzenga, D., (1981). Remote sensing of bottom reflectance and water attenuation parameters in shallow water using
aircraft and Landsat data. International Journal of Remote Sensing, 2:71-82.
Rouse, J.W., (1973). Monitoring the Vernal Adcancement and Retrogradion (Green Wave Effect) of Natural
Vegetation. Greenbelt, Maryland, USA.
Salamun., (2008). Intrusi air laut sungai Gangsa. Berkala Ilmiah Teknik Keairan, 14(1):21 - 34.
Uncles, R., Stephens, J., dan Harris, C., (2015). Estuaries of southwest England: Salinity, suspended particulate matter,
loss-on-ignition and morphology. Progress in Oceanography, 137:385 - 408.
Zhang, Z., Cui, B., Zhao, H., Fan, X., dan Zhang, H. (2010). Discharge-salinity relationshipsin Modaomen waterway,
Pearl River estuari. Procedia Environmental Sciences, 2:1235–1245.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Dr. WikantiAsriningrum


JudulMakalah : Pendugaan Intrusi Air Asin Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 di Muara Sungai
Jajar, Kabupaten Demak, Jawa Tengah
Pemakalah : Vina Nurul Husna (IPB)
Diskusi :

Pertanyaan: Syarif Budhiman (LAPAN)


1. Ini sangat menarik, tapi kenapa menggunakan NDVI? NDVI itu lebih ke arah pantulan tertinggi pada
klorofil sedangkan CDOM adalah absorb bandnya serapan klorofil tertinggi terhadap band itu.
2. Mengapa menggunakan transformasiLyzenga? Transformasi Lyzenga mengukur atenuasi cahaya yang
berubah secara eksponensial karena perbedaan kedalaman, sementara data yang diteliti ada di
permukaan.

Pertanyaan: Teguh Prayogo (LAPAN)


3. Terkait pengukuran kedalaman 0,6 dan 0,8 apakah salinitas itu kaitannya dengan Lyzenga? Bagaimana
hubungan salinitas yang ada di permukaan dan yang ada di dalam air? Di sungai apakah sama kondisinya
dengan daerah perairan dangkal karena di sungai keruh. Bagaimana menghubungkan antara Lyzenga,
kedalaman salinitasnya dan salinitas yang dideteksi dari CDOM.

Jawaban :
1. Karena CDOM membawa zat sisa vegetasi yang sudah membusuk.
2. Mencobaapakah menggunakan transformasi Lyzenga memberikan perubahan pada hasil. Terkait dengan
transformasi Liyzenga dan kaitannya dengan CDOM saya belum memahami secara detil.
3. Citra hanya mengekstraksi informasi yang ada di permukaan walaupun air asin juga ada yang di dalam.
Penggunaan transformasi Lyzenga hanya untuk mengetahui apakah transformasi Lyzenga tersebut
memberikan pengaruh.

-632-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Identifikasi Lamun


di Perairan Pulau Tidung Kepulauan Seribu DKI Jakarta

The Use of Landsat 8 Image for Seagrass Identification


on Tidung Island of Seribu Island Jakarta
Kuncoro Teguh Setiawan1,*), Yennie Marini1) , dan Yuke Constina2)
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN
2
Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau
.
*)
E-mail: kunteguhs@gmail.com

ABSTRAK-Lamun merupakan tempat hidup ikan, bertelur, dan juga menyediakan makanan tidak hanya untuk ikan,
namun juga untuk kura-kura, dugong, dan bahkan burung laut, sehingga vegetasi lamun juga menjadi indeks kesehatan
ekosistem pesisir. Sekarang ini teknologi satelit memegang peranan penting dalam pemantauan vegetasi lamun,
sehingga penginderaan jauh menjadi suatu metode yang bermanfaat untuk mendeteksi keberadaan vegetasi lamun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi vegetasi lamun di Pulau Tidung Kepulauan Seribu DKI Jakarta
menggunakan citra satelit Landsat 8. Metode yang digunakan adalah klasifikasi unsupervised dengan menggunakan
band 4, 3, dan 2. Pemilihan band ini didasarkan pada penggunaan citra komposit RGB 432 yang dapat menampilkan
vegetasi lamun secara lebih jelas. Luasan lamun berdasarkan hasil klasifkasi di Pulau Tidung adalah 83.518 m 2.

Kata kunci:lamun, Pulau Tidung, Landsat 8

ABSTRACT-Seagrass can provide shelter for fish living and laying eggs, and also provide food not only for fish but
also a tortoise, dungeon and even for seabird, therefore now seagrass as one of the healthy indexes for coastal
ecosystem. Nowadays, technology satellite technology has played a vital role in seagrass monitoring, so that remote
sensing into a useful method for detecting the presence of seagrass vegetation. The aim of this study is to map the
seagrass vegetation on Tidung Island of Seribu Island Jakarta using Landsat 8 image. The method used was the
unsupervised classification using bands 4, 3 and 2. The selection of this band is based on the use of composite image of
RGB 432 that can show more clearly the seagrass vegetation. Seagrass extents based on the classification results in
Tidung Island are 83.518 m2.

Keywords: seagrass, Tidung island, Landsat 8

1. PENDAHULUAN
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan laut dangkal (Wood
dkk., 1969). Pengertian tersebut disempurnakan oleh Kiswara dan Hutomo (1985) menjadi tumbuhan
berbunga (Angiospermae) yang terdiri atas 2 famili, 12 genus dan 48 species yang hidup dan berkembang
baik pada lingkungan perairan laut dangkal, estuarine yang mempunyai kadar garam tinggi, daerah yang
selalu mendapat genangan air ataupun terbuka saat air surut, pada substrat pasir, pasir berlumpur, lumpur
lunak dan karang.
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif, selain sebagai sumber
produktifitas primer di perairan juga memiliki arti penting bagi hewan yang hidup di area padang lamun,
diantaranya menyediakan daerah perawatan (nursery area) bagi banyak spesies yang menyokong perikanan
laut lepas, dan untuk habitat lainnya, seperti rawa payau, terumbu karang, dan hutan mangrove (Short dan
Coles, 2003 dalam Maabuat, 2012).
Penelitian tentang jenis lamun telah dilaksanakan di beberapa wilayh perairan di Indonesia seperti di
wilayah Propinsi Sulawesi Utara seperti di pesisir Tongkaina oleh Peuru (2005) menemukan lima jenis
kemudian di Selat Lembeh Susetiono (2004) menemukan delapan jenis lamun (Maabuat, 2012). Lamun
biasanya membentuk padang di laut yang terdiri dari satu spesies atau lebih yang disebut padang lamun
(Azkab, 2007). Padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi
yang dominan (Wimbaningrum, 2003). Peranan padang lamun secara fisik di perairan laut dangkal adalah
membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus, menyaring sedimen yang terlarut dalam air, dan
menstabilkan dasar perairan (Fonseca dkk.., 1982 dalam Kiswara dan Winardi, 1997).
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh telah berkembang dengan pesat di Indonesia untuk berbagai
bidang pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam.Teknik Penginderaan jauh telah berhasil

-633-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Identifikasi Lamun di Perairan Pulau Tidung Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T.,
dkk.)

dimanfaatkan untuk mengekstrak substrat di perairan, seperti terumbu karang lamun di perairan dangkal
yang jernih. Lebih dari dua abad, band sinar tampak dari satelit Landsat TM dan band multispektral SPOT
telah banyak digunakan untuk mengkaji terumbu karang dan lamun, teknik yang digunakan dapat
dikategorikan menjadi tiga kelompok umum, yaitu (i) menggunakan spectral tranform, (ii) teknik rasio, (iii)
berdasarkan model radiative. (Hashim dkk., 2001).

Tabel 1. Spesifikasi Band Landsat 8 (Sumber: NASA, 2008)

LDCM OLI/TIRS Band


Band Spesifikasi
Band1 Coastal/Aerosol, (0.433 – 0.453 µm), 30 m
Band2 Blue, (0.450 – 0.515 µm), 30 m
Band3 Green, (0.525 – 0.600 µm), 30 m
Band4 Red, (0.630 – 0.680 µm), 30 m
Band5 Near-Infrared, (0.845 – 0.885 µm), 30 m
Band6 SWIR 1, (1.560 – 1.660 µm), 30 m
Band7 SWIR 2, (2.100 – 2.300 µm), 30 m
Band8 Pan, (0.500 – 0.680 µm), 15 m
Band9 Cirrus, (1.360 – 1.390 µm), 30 m
Band10 LWIR 1, (10.3 – 11.3 µm), 100 m
Band11 LWIR 2, (11.5 – 12.5 µm), 100 m

Citra satelit yang digunakan pada penelitian ini adalah citra LANDSAT 8. Satelit ini memiliki
karakteristik yang mirip dengan citra Landsat 7 (ETM+) baik resolusinya (spasial, temporal, spektral),
metode koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yang dibawa karena Landsat 8 melanjutkan
misi satelit Landsat sebelumnya (Purwanto, 2013). Nilai spektral yang digunakan untuk ekstraksi obyek
lamun pada kisaran spektrum tampak dan inframerah - dekat. Spesifikasi band pada Landsat 8 dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan obyek lamun di Pulau Tidung Kepulauan Seribu DKI
Jakarta dengan menggunakan citra satelit Landsat 8. Pemilihan lokasi di Pulau Tidung Kepulauan Seribu
Jakarta karena pulau tersebut memiliki area lamun yang cukup banyak dan luas yang juga merupakan salah
satu daerah kawasan wisata bahari di Kepulauan Seribu yang banyak diminati oleh wisatawan (Sudin
Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Adm. Kepulauan Seribu). Sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk mendukung wisata bahari di Kepulauan Seribu DKI Jakarta khususnya untuk pelestarian
obyek lamun di Pulau Tidung.

2. METODE
Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Tidung, Kepulauan Seribu DKI Jakarta yang secara geografis
berada pada koordinat 5º44’38.21”– 5º49’46.73” LS dan 106º25’4.36” – 106º34’11.47” BT (Gambar 1).
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Landsat 8 akuisisi tanggal 25 Juli 2014., Dengan
menggunakan 3 kanal dari 11 kanal yang dimiliki Landsat 8, yaitu kanal-kanal pada panjang gelombang
visible (kanal 2, 3, dan 4). Pemilihan ke-3 kanal tersebut didasarkan pada kemampuan masing-masing kanal
visible tersebut untuk ekstraksi obyek yang berada di perairan dangkal (Lyzenga, 1978).

-634-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membuat citra komposit (RGB) 432 untuk
mengidentifikasi obyek lamun secara visual (Setiawan et.al, 2015). Citra komposit tersebut juga digunakan
untuk penajaman objek lamun suntuk menghasilkan hasil klasifikasi lamun yang optimal. Klasifikasi yang
digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi unsupervised. Tahapan penelitian yang dilakukan terangkum
dalam diagram alir pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

3. HASILDAN PEMBAHASAN
Kegiatan pengolahan data diawali dengan koreksi atmosferik dan radiometrik. Metode koreksi atmosferik
yang digunakan adalah metode dark pixel. Koreksi atmosferik dilakukan untuk menghilangkan atau
mengurangi efek atmosfer terhadap data yang dihasilkan oleh sensor Landsat, sehingga data tersebut
merupakan hasil pantulan dari masing-masing obyek, sedangkan koreksi radiometrik dilakukan untuk
memberikan kestabilan nilai pantulan dari masing-masing obyek. Proses radiometrik dilakukan dengan cara
mengkonversi nilai digital number dari setiap kanal menjadi nilai reflektan. Proses konversi nilai digital
number masing-masing kanal menjadi nilai reflektansinya menggunakan persamaan di bawah ini:

ρλ'= MρQcal + Aρ.............................................................................................................................................(1)

dimana:
ρλ' = Nilai reflektansi sebelum koreksi sudut matahari
Mρ = REFLECTANCE_MULT_BAND_x, dari setiap band

-635-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Identifikasi Lamun di Perairan Pulau Tidung Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T.,
dkk.)

Aρ = REFLECTANCE_ADD_BAND_x, dari setiap band


Qcal = Digital Number dari setiap band

= = …...........................................................................................................................(2)
( ) ( )

ρλ = Nilai reflektansi setelah koreksi sudut matahari


θSE = Sudut elevasi matahari
θSZ = Sudut Zenit (θSZ = 90° - θSE)

Metode identifikasi obyek lamun secara visual dengan membuat komposit kanal 432 (RGB) dari citra
Landsat 8. Kemudian dilakukan penajaman untuk memperjelas kenampakan pada citra terutama pada obyek
lamun. Hasil dari penajaman citra Landsat 8 RGB 432 memperlihatkan bahwa obyek lamun teridentifikasi
dengan jenis tutupan lahan warna hijau kecoklatan dan berada menyebar di daerah berpasir dan pinggiran
pantai yang ditunjukkan pada Gambar 3 yang tersebar dalam beberapa tempat. Identifikasi sebaran obyek
non lamun di perlihatkan dengan dominasi warna putih dan dan cyan yang mendominasi disekitar pantai
serta warna hijau disekitar laut dalam. Yang termasuk dalam obyek non lamun adalah campuran pasir dan
pecahan karang (B) serta terumbu karang (A) seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 3. Sebaran Obyek Lamun

Hasil klasifikasi unsupervised pada Gambar 5 memperlihatkan bahwa proses klasifikasi bisa
membedakan antara objek lamun dengan non lamun dari nilai spektral, selain itu juga mampu membedakan
gambaran obyek pada daerah perairan dengan daratan dari pantulan spektralnya. Pada gambar 5 terlihat
lamun menyebar merata di sekitar P. Tidung. Hasil perhitungan luasan berdasarkan data Landsat 8 tanggal
25 Juli 2015 adalah 83.518 m2, sedangkan luas non lamun dan daratan adalah 88.340 m2 dan 36.587 m2.
Pada penelitian ini dipilih menggunakan metode unsupervised karena pada metode ini tidak dibutuhkan
informasi awal yang detil terkait daerah penelitian yang akan kita lakukan klasifikasi serta pada metode ini
kita dapat menghindari kesalahan yang dibuat oleh operator (human error) dari klasifikasi awal yang
dihasilkan. Metode klasifikasi lainnya ada namun perlu dukungan khusus dalam menggunakan metode
tersebut.
Hasil Klasifikasi sudah di validasi namun validasi yang dilakukan belum secara rinci atau detil, sehingga
kita belum bisa memberikan nilai akurasi dari hasil klasifikasi yang sudah dihasilkan, ini menjadi motivasi
kami untuk terus melanjutkan penelitian ini hingga bisa menghasilkan metode identifikasi lamun dengan
akurasi yang baik. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan, namun pada peneltian saat ini metode
unsupervised kita pilih untuk digunakan karena tidak adanya informasi awal yang kita miliki, terkait
-636-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

permasalahan deliniasi yang terjadi dari hasil klasifikasi menjadi perhatian khusus ketika kita melakukan
reclass terhadap hasil klasifikasi awal kita.

Gambar 4. Sebaran Obyek Non Lamun

Gambar 5. Informasi Sebaran Padang Lamun di Perairan Pulau Tidung Kep. Seribu DKI Jakarta

4. KESIMPULAN
Hasil klasifikasi unsupervised menggunakan kanal 2, 3 dan 4 data Landsat 8 untuk pemetaan lamun P.
Tidung di Kepulauan Seribu, Jakarta, mampu membedakan antara objek lamun, non lamun, serta darat. Yang
termasuk dalam obyek non lamun adalah campuran pasir dan pecahan karang serta terumbu karang. Hasil
perhitungan luasan berdasarkan data Landsat 8 tanggal 25 Juli 2015 adalah 83.518 m2, sedangkan luas non
lamun dan daratan adalah 88.340 m2 dan 36.587 m2.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional untuk fasilitas penelitian.

-637-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 untuk Identifikasi Lamun di Perairan Pulau Tidung Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Setiawan, K.T.,
dkk.)

DAFTAR PUSTAKA
Azkab, G.M..(2007). Status sumberdaya padang lamun di Teluk Gilimanuk, Tanam Nasional Bali Barat. Publikasi
Ilmiah Status Sumberdaya Laut Teluk Gilimanuk Taman Nasional Bali Barat. LIPI, Jakarta.
Fonseca, M.S., Fisher, J.S., Zieman, J.C. dan Thayer, G.W.,(1982). Influence of the seagrass, Zostera marina L., on
current flow. Estuarine.Coastal and Shelf Science, 15:351–364.
Hashim, M., Rahman, A.R., Muhammad, M., dan Rashib, A.W.,(2001). Spectral Characterhistic of Seagrass with
Landsat TM in Nothren Sabah Coastline, Malaysia. The-22nd Asian Conference on Remote Sensing, CRISP.
National University of Singapore.
Kiswara, W., dan Hutomo,M.,(1985). Habitat dan Sebaran Geografik Lamun. Oseana X No.1.
Kiswara, W., dan Winardi. (1997). Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok. Dalam : Dinamika
komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok, Indonesia. Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta.
Lyzenga, D.R.,(1978). Passive Remote Sensing Techniques for Mapping Water Depth and Bottom Feature. Applied
Optics, 17(3):379-383.
Maabuat, P.V., Sampekalo. J., dan Simbala, H.E.I.,(2012). Keanekaragaman Lamun di Pesisir Pantai Molas, Kecamatan
Bunaken Kota Manado. Jurnal Bioslogos, 2(1)
Peuru, G.,(2005). Studi morfologi lamun (seagrass) di pesisir perairan Semenanjung Minahasa dan sekitarnya. Jurnal
Bioslogos, 2(1).
Purwanto, A.D.,(2014). Analisis Sebaran Dan Kerapatan Mangrove Menggunakan Citra Landsat 8 Di Segara Anakan,
Cilacap. Makalah disampaikan pada Prosiding Sinas Inderaja, LAPAN.
Setiawan, T.K., Marini, Y., dan Supriyono, A.,(2015). Bedah Tuntas Data Citra Landsat 8 untuk Wilayah Pesisir dan
Laut. Media Dirgantara. LAPAN.
Short, F.T., dan Rcoles(2003). Global seagrass research method. Elsevier Science,Amsterdam.
Susetiono(2004). Fauna padang lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Edisi 1. Pusat Penelitian Oseanografi–LIPI.
Jakarta.
Wimbaningrum, R.,(2003). Komunitas Lamun di Rataan Terumbu, Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.
Jurnal Ilmu Dasar,4:25–32.
Wood, E.J. F., Odum,W.E.,dan Zieman, J.C.,(1969). Influence of The Seagrasses on The Productivity of Coastal
Lagoons, Laguna Costeras. Un Simposio Mem. Simp. Intern. U.N.A.M.-UNESCO.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Pemanfaatan Citra Landsat 8 Untuk Identifikasi Lamun Di Perairan Pulau Tidung
Kepulauan Seribu Dki Jakarta
Pemakalah : Kuncoro Teguh Setiawan
Diskusi :

Pertanyaan: Teguh P. (Teknologi Kelautan, IPB)


1. Mengapa hanya metode unsupervised yang dipilih? Apakah tidak ada metode lain yang lebih baik?
2. Apakah hasil ini sudah di verifikasi lapangan?

Jawaban:
1. Kita memilih menggunakan metode unsupervised karena pada metode ini tidak dibutuhkan informasi
awal yang detil terkait daerah penelitian yang akan kita lakukan klasifikasi serta pada metode ini kita
dapat menghindari kesalahan yang dibuat oleh operator (human error) dari klasifikasi awal yang
dihasilkan. Metode klasifikasi lainnya ada namun perlu dukungan khusus dalam menggunakan metode
tersebut.
2. Hasil Klasifikasi sudah di validasi namun validasi yang dilakukan belum secara rinci atau detil,
sehingga kita belum bisa memberikan nilai akurasi dari hasil klasifikasi yang sudah dihasilkan, ini
menjadi motivasi kami untuk terus melanjutkan penelitian ini hingga bisa menghasilkan metode
identifikasi lamun dengan akurasi yang baik.

Pertanyaan: Esthi (Bappeda Jabar):


Metode unsupervised classification sangat terkendala dengan hasil deliniasi yang kurang smoth bagaimana
mengatasinya?

-638-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Jawaban:
Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan, namun pada peneltian saat ini metode unsupervised kita
pilih untuk digunakan karena tidak adanya informasi awal yang kita miliki, terkait permasalahan deliniasi
yang terjadi dari hasil klasifikasi menjadi perhatian khusus ketika kita melakukan reclass terhadap hasil
klasifikasi awal kita.

-639-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pemetaan Habitat Dasar Terumbu Karang Menggunakan Citra Spot-6


dengan Perbandingan Metode Koreksi Kolom Air Lyzenga dan Koreksi
Atmosferik di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat
Benthic Coral Reef Mapping Using Spot-6 Image Satellite Data with Lyzenga
Water Column Correction and Atmospheric Correction Comparison in
Menjangan Island, West Bali National Park
Netro Handarui, Bambang Semedi1, Kuncoro Teguh Setiawan2, danM.A. Zainul Fuad1
1)
Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya
2)
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

Email: netrohandaru@gmail.com

ABSTRAK-Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang erat kaitannya dengan pengelolaan habitat dasar
perairan lingkungan laut. Salah satu ekosistem terumbu karang yang cukup terkenal berada di Taman Nasional Bali
Barat berada di kawasan Pulau Menjangan, selain perairannya yang jernih Pulau Menjangan memiliki keanekaragaman
karang yang cukup kompleks yaitu dengan 45 jenis karang. Informasi mengenai habitat perairan dasar dapat diketahui
salah satunya dengan Penginderaan jauh. Penginderaan Jauh (Inderaja) berkembang melalui kehadiran berbagai sistem
satelit. Citra SPOT 6 dipilih karena merupakan generasi satelit SPOT yang mempunyai resolusi spasial tertinggi saat ini
dan merupakan satelit SPOT pertama yang mempunyai kanal spektral warna biru. Berbagai metode pengolahan peta
habitat dasar perairan dilakukan, salah satu proses pengolahan citra yaitu dengan proses koreksi atmosferik dark pixel
dan penajaman citra dengan koreksi kolom air Lyzenga 1978 dan Lyzenga 2006. Hasil pengolahan citra SPOT-6 ini
diperoleh akurasi citra sebesar 34.54% hingga yang tertinggi 72.72%.

Kata Kunci : Terumbu Karang, SPOT-6, Koreksi Atmosferik Dark Pixel, Lyzenga 1978, Lyzenga 2006

ABSTRACT-Coral reefs are one of the ecosystems closely associated with the sea bottom habitat management of the
marine environment. One reef ecosystems are quite well known in the West Bali National Park is located on the
Menjangan Island, besides clear waters of Menjangan Island has coral diversity is fairly complex with 45 species of
coral. Information on benthic habitats can be determined either by remote sensing. Remote Sensing evolved through the
presence of various satellite systems. SPOT-6 imagery selected because the generation of SPOT satellites that have the
highest spatial resolution today and is the first SPOT to have a satellite blue channel spectral. Various methods of sea
bottom habitat map processing are done, one of the image processing is the process of dark pixel atmospheric
correction and image enhancement with the correction of water column Lyzenga 1978 and 2006. The results of image
processing SPOT-6 imagery were obtained accuracy of 34.54% to highest 72.72%.

Keywords: Coral Reef, SPOT-6, Dark Pixel Atmospheric Correction, Lyzenga 1978, Lyzenga 2006

1. PENDAHULUAN
Terumbu karang merupakan sekumpulan hewan karang atau polip yang bersimbiosis dengan tumbuhan
alga yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang adalah endapan masif batu kapur yang membentuk
kalsium karbonat (CaCO3), sedangkan karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam
filum Coelanterata (hewan berongga) atau Cnidaria yang mampu mensekresi kalsium karbonat (CaCO3)
(Nontji, 2002).
Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan salah satu Kawasan Pelestarian Alam (KPA) di
Indonesia, dengan luas kawasan 19.002,89 Ha yang terdiri dari 15.587,89 Ha berupa wilayah daratan dan
3.413 Ha berupa perairan. Salah satu ekosistem terumbu karang di Taman Nasional Bali Barat berada di
kawasan Pulau Menjangan (TNBB, 2013). Pulau Menjangan adalah sebuah pulau yang terletak di Desa
Labuan Lalang Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali yang merupakan bagian dari Taman Nasional Bali Barat
memiliki kondisi perairan yang jernih (Sidabutar, 2000). Pulau Menjangan juga memiliki biota laut yang
cukup kompleks, yakni; terdiri dari 45 jenis karang, 32 jenis ikan, 9 jenis molusca laut (Dephut, 2014).
Pembelajaran mengenai terumbu karang dapat dilakukan salah satunya dengan penginderaan jauh
terumbu karang. Ilmu atau teknologi guna memperoleh informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu
-640-
Pemetaan Habitat Dasar Terumbu Karang Menggunakan Citra Spot-6 dengan Perbandingan Metode Koreksi Kolom Air Lyzenga
dan Koreksi Atmosferik di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat (Handaru, N., dkk)

data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang dikaji disebut dengan
penginderaan jauh. Seiring berkembangnya teknologi, Penginderaan Jauh (Inderaja) berkembang melalui
kehadiran berbagai sistem satelit dengan berbagai misi dan teknologi sensor (Wahyunto et al, 2004).
Ada beberapa citra satelit yang digunakan guna memperoleh hasil sebaran terumbu karang, salah satunya
adalah citra satelit SPOT-6 (Systeme Probatoire de I’Observation de la Terre). dengan resolusi spasial yang
lebih tinggi dibandingkan sensor SPOT-4 dan SPOT-5 yang beroperasi sebelumnya, SPOT 6 merupakan
generasi satelit mempunyai resolusi spasial tertinggi saat ini dari seri satelit SPOT, selain itu SPOT-6 juga
merupakan satelit generasi SPOT pertama yang mempunyai kanal spektral warna biru. Sebagaimana
diketahui bahwa kanal spektral biru berpotensi mempertegas batas tepi pantai, sedimentasi laut dan
mendeteksi terumbu karang yang sulit dideteksi oleh kanal multispektral lainnya (LAPAN, 2014).
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah dengan melakukan pengolahan peta terumbu karang di
wilayah Pulau Menjangan dengan menggunakan citra SPOT-6 dengan klasifikasi terbimbing (supervised)
serta pengambilan data lapang secara langsung yang mana data lapang tersebut akan berguna untuk
mengukur presentase tutupan karang dan keakuratan citra SPOT-6.
Dari hasil penginderaan jauh dan akurasi data lapang, dapat dibandingkan keakuratan tiap proses metode
dalam pengolahan peta terumbu karang yakni pada proses yang menggunakan koreksi atmosferik dark pixel
dengan yang tidak menggunakan atmosferik dark pixel, serta perbedaan dari hasil metode koreksi kolom air
(Lyzenga 1978 dengan Lyzenga 2006) dan diperoleh hasil terbaik dari tiap proses metode yang berbeda.

2. METODOLOGI
Lokasi penelitian berada di Pulau Menjangan, secara geografis Pulau Menjangan berada pada kordinat
antara 114o 29' 00" - 114o 32' 00" Bujur Timur dan 08 o 05' 00" - 08o 06' 30" Lintang Selatan (Setiawan et al,
2014). Titik daerah lokasi yang diambil di Pulau Menjangan berada di daerah Pos 1, Mangrove Point di
bagian selatan, Eel Garden di sebelah barat, serta Dream Wall, Coral Garden dan Temple Wall di bagian
utara Pulau Menjangan. Untuk Pengolahan citra SPOT-6 dilakukan di LAPAN PUSFATJA, Jakarta Timur
pada tanggal 2 Oktober 2015 hingga 20 November 2015. Sedangkan untuk pengambilan data lapang atau
data akurasi citra dilaksankan pada 25 Desember 2015.

Gambar 1. Peta Titik Lokasi Pengambilan Data Lapang.

Penelitian ini menggunakan data utama yaitu citra satelit SPOT-6 yang diakuisisi tanggal 9 Februari 2015
yang telah tersedia di LAPAN. yang akan diolah menjadi perbandingan hasil koreksi kolom air dengan
koreksi atmosferik pada habitat dasar perairan di Pulau Menjangan. Sedangkan untuk pendukung data lapang
digunakan roll meter, SCUBA set, kamera underwater, GPS, serta sabak dan pensil.
Dalam metode penelitian ini, dilakukan 2 tahap penelitian, antara lain:
1. Pengolahaan citra satelit SPOT-6 dan analisa perbandingan hasil transformasi Lyzenga 1978 dan 2006.
2. Survey lapangan serta pengambilan data lapang.
Pada lokasi pengambilan data lapang di Pulau Menjangan dipilih 6 lokasi, 3 lokasi di bagian utara, 1
lokasi di bagian barat, dan 2 lokasi di bagian selatan. Untuk lokasi di bagian utara antara lain; Dream Wall,
Coral Garden, dan Temple Wall. Lokasi di bagian barat adalah Eel Garden, dan untuk lokasi di bagian
-641-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

selatan yaitu; Pos 1 dan Mangrove Point. Adapun proses pengolahan citra dapat dilihat pada Gambar 2
sebagai berikut :

Citra SPOT 6

Composite Band

KoreksiRadiometrik

MenggunakanKoreksiAt TanpaKoreksiAtmosferi
mosferikPikselGelap kPikselGelap (Dark
(Dark Pixel) Pixel)
Cropping

Nilaikoefisienatenua

Penajaman Citra Penajaman Citra


dengankoreksikolomair dengankoreksikolom air
Lyzenga 1978 Lyzenga 2006
Supervised
Classification

Reclassify

Pada proses
HasilPerbandinganT koreksiradiometrikmenggunakans
oftware: Quantum GIS 2.10.1 dan
ampilantiaphasilAlgo ENVI 4.5
ritma

Layoutingpeta

Petasebaran habitat
dasarPulauMenjangan

Pada proses
layoutingmenggunakansoft
ware: Arc GIS 9.3

Gambar 2. Diagram Pengolahan Data.

Pada proses pengolahan data citra terdapat beberapa langkah untuk mengetahui sebaran habitat perairan
dasar di Pulau Menjangan (Gambar 2), yaitu antara lain; Mempersiapkan Data citra, Composite Band,
Cropping, Koreksi Radiometrik, Koreksi Atmosferik Dark Pixel, Mencari nilai Ki/Kj, Penajaman citra
dengan algoritma Lyzenga, Klasifikasi Supervised, Reclassify dan Editing, serta Presentase ketelitian citra,
dan Layouting peta, hingga menjadi Peta sebaran habitat perairan dasar di Pulau Menjangan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam penelitian ini menggunakan citra SPOT-6 dimana masing-masing band memiliki resolusi spasial
sebesar 6 meter. Masing-masing band tersebut terdiri dari band biru, hijau, merah dan near Infrared.
Digunakan band near infrared dan band biru ditujukan untuk membedakan batas laut dan darat, dimana band
biru digunakan untuk memperjelas daerah perairan dan band near infrared digunakan untuk mempertegas
batas darat dan laut. Band near infrared memiliki kecenderungan merekam obyek gambar dengan suhu atau
temperatur yang terdapat pada obyek tersebut, sehingga terlihat jika obyek gambar berwarna terang maka
suhu pada obyek tersebut adalah panas, jika obyek gambar berwarna gelap maka suhu pada obyek tersebut
adalah dingin (Soemarno, 2009).
Pengolahan data citra SPOT-6 dilakukan dengan 2 proses yang berbeda, yaitu dengan menggunakan
koreksi atmosferik dark pixel dan tanpa menggunakan koreksi atmosferik dark pixel. Selain itu penggunaan
koreksi kolom air juga menggunakan 2 algoritma yang berbeda, yaitu; Lyzenga 1978 dan Lyzenga 2006.
Penelitian ini menggunaan 3 (Biru, Hijau dan Merah) band untuk citra yang menggunakan koreksi kolom air
-642-
Pemetaan Habitat Dasar Terumbu Karang Menggunakan Citra Spot-6 dengan Perbandingan Metode Koreksi Kolom Air Lyzenga
dan Koreksi Atmosferik di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat (Handaru, N., dkk)

Lyzenga 1978 dan 4 (Biru, Hijau, Merah dan NIR) band untuk citra yang menggunakan koreksi kolom air
Lyzenga 2006.
Koreksi atmosferik dilakukan karena pengaruh atmosfer yang dapat meminimalkan atau mengurangi
informasi dari data penginderaan jauh atau dalam kata lain mengurangi kemampuan menstransmisikan atau
memindahkan energy (Green et al, 2000). Selain itu dilakukan koreksi kolom air karena koreksi kolom air
mempengaruhi proses ekstraksi informasi substrat dasar perairan dengan menggunakan data penginderaan
jauh (Lyzenga, 1978).
Adapun formula koreksi atmosferik dark pixel yang digunakan adalah sebagai berikut :

Dark Pixel = (Mean-(2*Standart Deviasi).………………………………………..……………………………(1)

Tabel 1. Nilai koreksi atmosferik dark pixel di tiap bandnya


Band biru Band Hijau Band Merah NIR
37.02920163 14.21262857 20.54698776 9.885216327

Untuk menampilkan sebaran habitat dasar pada citra perlu dilakukan koreksi kolom air Lyzenga. Sebelum
masuk pada koreksi kolom air Lyzenga, dilakukan pencarian nilai Ki/Kj atau sering disebut dengan koefisien
atenuasi. Pada penelitian ini diperoleh nilai Ki/Kj pada citra yang menggunkaan koreksi atmosferik dark
pixel sebesar 1.093397, sedangkan untuk citra yang tidak menggunakan koreksi atmosferik dark pixel
sebesar 0.832315987.
Koreksi kolom air Lyzenga yang digunakan ada 2 macam, yakni Lyzenga 1978 dan Lyzenga 2006.
Adapun formula yang digunakan untuk memperoleh sebaran habitat dasar untuk Lyzenga 1978 dapat dilihat
pada nomor Rumus 2 sedangkan untuk Lyzenga 2006 dapat dilhat pada nomor Rumus 3:

(λ) = log ( (λ) - (λ ∞ ))………………………………………………………………….………………(2)

Dimana:
λ : Radians (µm)
( λ ∞ ) : kedalaman air rata cahaya di Band i

(λ) = log ( (λ) -α (λ) 0-α (λ) 1∙ 1 - ...- α (λ ∙) )………………………………..(3)

Dimana:
λ : Radians (µm)
: Ukuran cahaya pada band NIR
α (λ) i0 dan α (λ) iNIRn : Koefisien antara cahaya terlihat dan NIR dari piksel air dalam

Setelah dilakukan proses pengolahan formula koreksi atmosferik dark pixel dan koreksi kolom air
Lyzenga 1978 dan Lyzenga 2006 seperti pada rumus yang ditampilkan diatas maka akan diperoleh hasil
tampilan peta sebagai berikut :

-643-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 3. Koreksi Kolom Air Lyzenga 1978 Menggunakan Koreksi Atmosferik Dark Pixel.

Gambar 4.Koreksi Kolom Air Lyzenga 2006 Menggunakan Koreksi Atmosferik Dark Pixel.

Peta menggunakan koreksi kolom air Lyzenga 1978 dengan koreksi atmosferik sebelum terklasifikasi
(Gambar 3), sangat terlihat batas air darat dan laut kurang begitu terlihat pada peta yang menggunakan
proses ini. Selain itu piksel area terumbu karang, pasir dan rubble kurang begitu terlihat perbedaannya pada
proses ini. Sehingga tampilan obyek peta sangat terlihat menyebar dan cenderung berwarna sama.
Peta menggunakan koreksi kolom air Lyzenga 2006 dengan koreksi atmosferik (Gambar 4). Batas darat
dan laut sangat terlihat jelas pada peta ini, untuk piksel area terumbu karang sudah nampak jelas terjadi
perbedaan dibandingkan nilai piksel area yang lain meskipun tidak untuk keseluruhan area, melainkan hanya
beberapa area yang memang merupakan terumbu karang. Untuk nilai piksel selain terumbu karang masih
cenderung sama, sehingga untuk nilai area pasir dan pasir masih belum terlihat perbedaannya. Selain itu pada
peta ini terlihat banyaknya nilai piksel yang hilang disebelah timur pulau.

-644-
Pemetaan Habitat Dasar Terumbu Karang Menggunakan Citra Spot-6 dengan Perbandingan Metode Koreksi Kolom Air Lyzenga
dan Koreksi Atmosferik di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat (Handaru, N., dkk)

Gambar 5. Koreksi Kolom Air Lyzenga 1978 tanpa Menggunakan Koreksi Atmosferik Dark Pixel.

Gambar 6. Koreksi Kolom Air Lyzenga 2006 tanpa Menggunakan Koreksi Atmosferik Dark Pixel.

Peta menggunakan koreksi kolom air Lyzenga 1978 tanpa koreksi atmosferik (Gambar 5) sudah dapat
terlihat perbedaan warna piksel yang cukup jelas pada setiap area, dengan perbedaan gradasi warna pada tiap
areanya. Tampilan ini terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan tampilan awal peta dengan koreksi kolom
air Lyzenga 1978 dan 2006 dengan menggunakan koreksi atmosferik dark pixel. Namun masih ada beberapa
yang kurang sesuai dengan kenampakan di lapang, seperti area yang sebenarnya adalah area rubble / alga
serta karang hidup yang terbaca sebagai karang mati.
Peta menggunakan koreksi kolom air Lyzenga 2006 tanpa koreksi atmosferik (Gambar 6), sangat terlihat
bahwa area memiliki gradasi warna yang berbeda dan memiliki batas area klasifikasi yang jelas, hal ini
sudah pasti akan memudahkan peneliti untuk memberikan warna pada setiap area klasifikasi. Sama seperti
koreksi kolom air Lyzenga 2006 dengan koreksi atmosferik dark pixel, tampilan awal peta terlihat jelas batas
darat dan laut nya namun tidak seperti yang menggunakan koreksi atmosferik dark pixel, nilai piksel pada
peta ini tidak ada yang hilang.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenampakan perairan dasar, seperti disebutkan yang oleh Xu
dan Dongzhi (2014) yakni komposisi nilai spektral citra terumbu karang, kedalaman perairan, kenampakan
penglihatan (kejernihan) terhadap suatu perairan yang dapat dikarenakan oleh sedimentasi, dan gelombang
permukaan laut merupakan hal yang utama untuk mendapatkan kenampakan obyek di perairan dasar.
Pada penelitian ini didapatkan 5 kelas klasifikasi, diantaranya adalah karang hidup, karang mati, alga atau
rubble, pasir, dan lamun. Kelas ini dipilih karena sesuai dengan kenampakan lapang yang ada saat
pengambilan data lapang. Klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini menggunakan klasifikasi
Supervised Maximum Likelihood.

-645-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 7. Peta Hasil Klasifikasi dengan Koreksi Kolom Air Lyzenga1978 Menggunakan
Koreksi Atmosferik Dark Pixel.

Gambar 8. Peta Hasil Klasifikasi dengan Koreksi Kolom Air Lyzenga 2006 Menggunakan
Koreksi Atmosferik Dark Pixel.

Gambar 9. Peta Hasil Klasifikasi dengan Koreksi Kolom Air Lyzenga1978 tanpa Menggunakan
Koreksi Atmosferik Dark Pixel (kiri).

-646-
Pemetaan Habitat Dasar Terumbu Karang Menggunakan Citra Spot-6 dengan Perbandingan Metode Koreksi Kolom Air Lyzenga
dan Koreksi Atmosferik di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat (Handaru, N., dkk)

Gambar 10.Peta Hasil Klasifikasi dengan Koreksi Kolom Air Lyzenga2006 tanpa Menggunakan
Koreksi Atmosferik Dark Pixel (kanan).

Klasifikasi Supervised Maximum Likelihood merupakan klasifikasi yang dilakukan berdasarkan


penentuan operator terhadap nilai spektral tiap sampel yang berada pada training area, yang tentunya sampel
pada tiap area ini telah diketahui terlebih dahulu klasifikasinya, agar komputer dapat mengenali
kecenderungan nilai spektralnya (Danoedoro, 2012).
Adapun tampilan peta hasil klasifikasi pada 4 proses pengolahan peta yang berbeda dapat dilihat pada
Gambar 7 hingga Gambar 10. Dapat dilihat pada tiap peta hasil klasifikasi memiliki hasil tampilan yang
berbeda beda hal ini dapat dilihat pada awal pengolahan, yaitu pada Gambar 3 hingga Gambar 6. Seperti
yang terlihat pada peta hasil klasifikasi, peta dengan koreksi kolom air Lyzenga2006 tanpa menggunakan
koreksi atmosferik dark pixel memiliki tampilan yang sesuai dengan kenampakan lapang dibandingkan 3
peta yang lainnya.
Menurut hasil interpretasi citra dengan keakuratan tertinggi pada penelitian ini yaitu dengan koreksi
kolom air Lyzenga 2006 tanpa koreksi atmosferik dark pixel (Gambar 8), didapatkan hasil luasan karang
hidup sebesar 270.192 m2 atau sebesar 27 ha. Terumbu karang hidup dominan di bagian selatan Pulau
Menjangan serta di area Dream Wall dan Temple Wall di bagian utara Pulau Menjangan.
Untuk terumbu karang mati memiliki luas 62.749 m2 atau sebesar 6.2 ha, pada klasifikasi terumbu karang
mati ini tidak semua merupakan terumbu karang mati melainkan batu yang merupakan tempat tumbuhnya
karang, alga dan soft coral. Pecahan terumbu karang yang diselimuti alga atau rubble memiliki luasan
sebesar 271.345 m2 atau 27 ha, dominasi rubble terjadi pada area Eel Garden atau di bagian barat Pulau
Menjangan.

Tabel 1. Luasan dan Presentase Tutupan Habitat Dasar Perairan dengan Citra SPOT-6.
Luasan Presentase
Klasifikasi
(ha) Tutupan (%)
Karang Hidup 27 31%
Karang Mati 6.2 7%
Lamun 2.1 2%
Rubble / Alga 27 31%
Pasir 25 29%

Untuk klasifikasi pasir memiliki luasan 258.279 m2 atau 25 ha, sama seperti dominasi rubble, dominasi
pasir berada pada area Eel Garden, selain itu pasir juga terdapat di wilayah utara pesisir Pulau Menjangan.
Pada klasifikasi lamun memiliki luasan sebesar 21.258 m2 atau 2.1 ha, padang lamun jarang sekali terlihat di
daerah Pulau Menjangan, namun terdapat beberapa tempat yang merupakan tempat dominasi lamun yaitu di
area Eel Garden dan Mangrove Point, namun jumlahnya pun kurang begitu banyak.

-647-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pada penelitian ini dilakukan pengambilan data uji akurasi dilakukan dengan menggunakan metode
stratified random sampling). Stratified random sampling merupakan metode yang dirancang untuk
menentukan area sampling menurut kondisi yang ada untuk menentukan area sampling guna mendapatkan
nilai akurasi citra atau biasa dikenal dengan accuracy accessment (Goodman, 2013). Dimana titik akurasi
yang digunakan adalah 55 titik yang menyebar di lokasi pengambilan data lapang (Gambar 12)

Gambar 11. Tampilan Stratified Random Sampling.

Gambar 12. Peta Lokasi Titik Akurasi.

Pada uji akurasi dengan metode matrix confusion. Dilakukan uji akurasi agar didapatkan hasil akurasi
secara menyeluruh di tiap citra dengan proses yang berbeda. Sehingga diperoleh hasil akurasi tiap peta
adalah sebagai berikut;
Tabel 2. Tabel Nilai Akurasi seluruh Peta.
Peta Menggunakan koreksi kolom air Lyzenga 1978 dengan
56.36%
koreksi atomosferik dark pixel
Peta Menggunakan koreksi kolom air Lyzenga 2006 dengan
34.54%
koreksi atomosferik dark pixel

Peta Menggunakan koreksi kolom air Lyzenga 1978 tanpa


63.63%
koreksi atomosferik dark pixel
Peta Menggunakan koreksi kolom air Lyzenga 2006 tanpa
72.72%
koreksi atomosferik dark pixel

4. KESIMPULAN
Penggunaan koreksi atmosferik dark pixel dan koreksi kolom air Lyzenga memiliki pengaruh pada
proses pengolahan citra satelit untuk pemetaan terumbu karang, namun penggunaan ini tergantung pada
-648-
Pemetaan Habitat Dasar Terumbu Karang Menggunakan Citra Spot-6 dengan Perbandingan Metode Koreksi Kolom Air Lyzenga
dan Koreksi Atmosferik di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat (Handaru, N., dkk)

kondisi perairan lapang. Jika perairan jernih maka disarankan untuk tidak menggunakan koreksi atmosferik,
namun jika perairan keruh maka dapat digunakan. Jika kita membandingkan diantara 4 peta tersebut
diperoleh hasil akurasi tertinggi yakni 72.72% pada peta Menggunakan koreksi kolom air Lyzenga 2006
tanpa koreksi atomosferik dark pixel. Sehingga pengolahan peta untuk habitat dasar terumbu karang
menggunakan koreksi kolom air Lyzenga 2006 tanpa menggunakan koreksi atmosferik dark pixel sangat
disarankan untuk perairan di Pulau Menjangan.

DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro, P.,(2012). Pengantar Pengideraan Jauh Digital. Penerbit ANDI. Yogyakarta
Dephut (a). (2014). Taman Nasional Bali Barat. Diakses pada tanggal 29 April 2015 dari
www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO/ENGLISH/tn_balibarat.
Goodman, J.A., Samuel, J.P., dan Stuart, R.P.,(2013). Coral Reef Remote Sensing A Guide for Mapping, Monitoring
and Management. Springer Science Business Media Dordrecht
Green, E.P., Peter, J.M., Alasdair, J., Edwards dan Christopher, D.C. (2000). Remote Sensing Handbook for Tropical
Coastal Management. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Paris
LAPAN. (2014). Spesifikasi Data SPOT-6 dan SPOT-7. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2015 dari
http://pustekdata.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2014/2631/Spesifikasi-Data-Spot-6-dan-Spot-7/litbang-
pengolahan-data
Lyzenga, D.R. (1978). Passive remote sensing techniques for mapping water depth and bottom features. Appl. Opt.
17:379–383.
Lyzenga, D.R. (1981). Remote Sensing Of Bottom Reflectance And Water Attenuation Parameters In Shallow Water
Using Aircraft And Landsat Data. International Journal Remote Sensing. 2(1):71-82.
Lyzenga, D.R., Malinas, N.P.,dan Tanis, F.J., (2006). Multispectral bathymetry using a simple physically based
algorithm. IEEE Trans. Geosci. Remote Sens,44:2251–2259.
Nontji, A.,(2002). Laut Nusantara. Jakarta. Djambatan
Setiawan, K., Takohiro, O.I., dan Wayan, N.,(2014). Aplikasi Algoritma Van Hengel Dan Spitzer Untuk Ekstraksi
Informasi Batimetri Menggunakan Data Landsat. Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014
Sidabutar, H.M.,(2000). Pemetaan Terumbu Karang dengan Citra Satelit-TM Daerah Pulau Menjangan, Bali Barat.
Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soenarmo, S.H.,(2009). Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis untuk Bidang Ilmu Kebumian.
Penerbit ITB. Bandung
TNBB. 2013. Data Statistik Balai Taman Nasional Bali Barat 2013
Wahyunto, Sri R.M., dan Sofyan, R.,(2004). Jurnal Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh Dan Uji Validasinya Untuk
Deteksi Penyebaran Lahan Sawah Dan Penggunaan/Penutupan Lahan. Jurnal Informatika Pertanian.
Xu, J., dan Dongzhi, Z., (2014). Review Of Coral Reef Ecosystem Remote Sensing. Journal of Acta Ecologica Sinica,
34:19-25.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Dr. Wikanti Asriningrum


JudulMakalah : Pemetaan Habitat Dasar Perairan Menggunakan Citra Spot-6 Dengan Perbandingan
Metode Koreksi Kolom Air Lyzenga Dan Koreksi Atmosferik Di Pulau Menjangan,
Taman Nasional Bali Barat
Pemakalah : Netro Handaru (Univ. Brawijaya)
Diskusi:

Pertanyaan: Syarif Budhiman (LAPAN)


1. Umumnya data SPOT lebih cocok digunakan untuk pemanfaatan penginderaan jauh di darat karena nilai
gain dan offset-nya disesuaikan dengan daerah darat (terlalu tinggi untuk penelitian di perairan). Oleh
karena itu kalau digunakan di air harus ada permintaan data SPOT.
2. Data yang harusnya digunakan untuk darat akan bermasalah ketika digunakan untuk laut. Kenapa
kesimpulan dalam penelitian tanpa koreksi atmosferik hasilnya lebih baik? Apakah hal ini dipengaruhi
oleh gain dan offset tersebut?Tanpa koreksi atmosferik data menjadi lebih baik itu konsept eori

-649-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Jawaban
1. Untuk metode yang baru dipelajari bersumber dari Wouthuyen, langsung dituangkan dalam penelitian
dan tulisan ini, untuk selanjutnya akan dipelajari metode yang lain.Data yang bebas awan di daerah
SegaraAnakan sulit untuk didapatkan. Dalam satu tahun mungkin hanya satu atau dua kali yang benar-
benar bebas awan. Informasi CDOM invers dari informasi salinitas. Jadi kalau CDOM tinggi maka
salinitas menurun. Belum ditampilkan informasi CDOM dari Landsat sepertiapa, kemudiandari CDOM
tadi dikonversi menjadi salinitas hasilnya seperti apa itu yang menarik
2. Menurut referensi yang dibaca, koreksi atmosferik tidak harus selalu dilakukan karena perairan tidak
terlalu dalam berkisar antara 1 sampai 2 meter sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh permukaan

Pertanyaan: Dr. Erna Sri Adiningsih (LAPAN)


Apakah metode tersebut bisa direkomendasikan untuk menjadi metode standar?
Jawaban:
Meskipun tingkat akurasi yang diperoleh cukup tinggi, namun hasil akan sangat tergantung pada kondisi
perairan

-650-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Analisis Suhu Permukaan Laut Air Bahang PLTU Tanjung Jati B


di Perairan Jepara dari Data Landsat 8
Menggunakan Algoritma Split Window

Analysis of Sea Surface Temperature of PLTU Tanjung Jati B


Water Discharge in Jepara from Landsat 8 Data
Using Split Window Algorithm

Maryani Hartuti1*), Anneke K. S. Manoppo1, dan Emiyati1


1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
*)
E-mail: maryani.hartuti@lapan.go.id

ABSTRAK- Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) banyak terdapat di pesisir utara Pulau Jawa. Air bahang yang
dikeluarkan dari PLTU dialirkan ke laut sehingga mengakibatkan suhu perairan yang lebih tinggi dari suhu laut rata-
rata. Pada penelitian ini dilakukan kajian sebaran termal perairan akibat air bahang PLTU Tanjung Jati B di Jepara.
Data yang digunakan adalah data Landsat 8 TIRS, tahun 2013 - 2014. Metoda penentuan suhu permukaan laut
menggunakan Algoritma Split Window, yaitu menggunakan kombinasi suhu kecerahan kanal 10 dan kanal 11 Landsat
8. Sebaran suhu permukaan laut air bahang menunjukkan nilai suhu yang lebih tinggi dari suhu permukaan laut yang
tidak dipengaruhi oleh air bahang. Analisis sebaran suhu permukaan laut secara musiman menunjukkan adanya arah
pergerakan aliran yang berbeda pada musim barat dan musim timur.

Kata kunci:suhu permukaan laut, Landsat 8, PLTU Tanjung Jati B Jepara, algoritma split window

ABSTRACT - Most of Thermal Power Plant are located in the northern coast of Java Island. Heat water that is
discharged from the power plant to the sea increased sea surface temperature higher than average temperature.This
study assessed thermal dispersion from heat water of PLTU Tanjung Jati B in Jepara. This study used Landsat 8 TIRS
data from 2013 to 2014. Sea surface temperature is estimated using Split Window Algorithm, which used a combination
of brightness temperature channel 10 and 11. Sea surface temperature from Landsat 8 showed higher temperature
around the discharge area than average sea surface temperature that was not affected by discharging water. Analysis
of seasonal sea surface temperature indicated the different flow direction between west monsoon and east monsoon.

Keywords:sea surface temperature, Landsat 8, PLTU Tanjung Jati B Jepara, split window algorithm

1. PENDAHULUAN
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) banyak terdapat di pesisir utara Pulau Jawa. Air bahang yang
dikeluarkan dari PLTU dialirkan ke laut sehingga mengakibatkan suhu perairan yang lebih tinggi dari suhu
laut rata-rata. Untuk pemantauan sebaran suhu permukaan laut dapat digunakan data satelit dengan sensor
infra merah termal. Satelit seri Landsat mempunyai sensor infra termal termal yang dapat dimanfaatkan
untuk memantau suhu permukaan laut (SPL).
Penelitian tentang penentuan SPL dari data Landsat telah dilakukan antara lain oleh Trisakti dkk. (2004)
dengan melakukan regresi antara suhu kecerahan Landsat dengan SPL dari data Terra/Aqua MODIS.
Informasi SPL dari data Landsat juga telah digunakan sebagai masukan dalam penentuan lokasi yang sesuai
untuk budidaya laut, yang dilakukan antara lain oleh Sulma dkk (2007), Hasyim dkk (2013), dan Hartuti dkk
(2014). Algoritma split window telah banyak digunakan dalam penentuan SPL dari data satelit seperti
NOAA AVHRR dan Terra/Aqua MODIS, antara lain dibahas oleh Mc Millin and Crosby (1984) dan Brown
and Minnet (1999).
Beberapa penelitian pemanfaatan data Landsat untuk analisis sebaran air bahang dari PLTU antara lain
oleh Ismayanti dkk. (2013), Angga dkk. (2015), dan Saptarini dkk. (2015). Ismayanti dkk. (2013)
menggunakan data Landsat 7 ETM+ untuk melakukan kajian spasial SPL akibat air bahang PLTU Paiton di
Pantai Bhinor Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Angga dkk. (2015) memanfaatkan data Landsat 8 TIRS
untuk analisis sebaran SPL akibat air bahang PLTU Tanjung Jati B di perairan Jepara. Saptarini dkk. (2015)
menggunakan data Landsat 8 TIRS untuk monitoring SPL guna mendeteksi perubahan suhu perairan dari
kegiatan industri listrik PLTU Paiton.

-651-
Analisis Suhu Permukaan Laut Air Bahang PLTU Tanjung Jati B di Perairan Jepara dari Data Landsat 8 Menggunakan Algoritma
Split Window (Hartuti, M., dkk.)

Pada penelitian ini dilakukan kajian sebaran termal perairan akibat air bahang PLTU Tanjung Jati B di
Jepara menggunakan data Landsat 8. Angga dkk. (2015) menggunakan kanal 10 untuk mendeteksi SPL di
perairan Jepara. Saptarini dkk, (2015) menggunakan Algoritma Split Window (ASW) dan membandingkan
dengan penggunaan kanal 10 untuk menentukan SPL di perairan Paiton, diperoleh bahwa SPL di perairan
Paiton pada bulan April 2013, April 2014, Maret 2014, dan Desember 2014 hasil dari ASW lebih mendekati
nilai in situ dibandingkan dengan penggunaan kanal 10 saja. Pada penelitian ini digunakan ASW untuk
menentukan SPL sehingga akan diperoleh nilai SPL yang lebih sesuai dengan kondisi lapangan, serta
dilakukan pemantauan sebaran suhu secara musiman.

2. METODE
Penelitian dilakukan di perairan Jepara di sekitar PLTU Tanjung Jati B, pada lokasi 6o19' LS - 6o30' LS
dan 110o39' BT - 110o53' BT (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi studi area di sekitar PLTU Tanjung Jati B, Jepara

Data yang digunakan adalah data Landsat 8 Level 1T tahun 2013 dan 2014. Satelit Landsat 8 mempunyai
sensor TIRS yang bekerja pada panjang gelombang infra merah termal. TIRS mempunyai dua kanal, yaitu
kanal 11 pada panjang gelombang 10,60 - 11,19 μm dan kanal 12 pada 11,50 - 12,51 μm, dengan resolusi
spasial 100 m (USGS, 2016).
Tahapan pengolahan data terdiri dari konversi nilai digital menjadi radiansi, perhitungan suhu kecerahan
(brightness temperature), penentuan SPL, pembuatan kontur SPL.
Tahap pertama adalah konversi nilai digital menjadi radiansi. Nilai digital integer 16 bit pada produk data
Level 1 diubah menjadi nilai radiansi spektral menggunakan faktor skala yang terdapat pada file metadata,
dengan persamaan sebagai berikut (USGS, 2016):

Lλ = ML*Qcal + AL.......................................................................................................................................... (1)

di mana:
Lλ= nilai radiansi spektral (W/(m2 * sr * μm))
ML = faktor skala pengali radiance tiap kanal (RADIANCE_MULT_BAND_n dari metadata)
AL = faktor skala penambah radiansi tiap kanal (RADIANCE_ADD_BAND_n dari metadata).
Qcal = nilai digital tiap kanal

Selanjutnya adalah konversi nilai radiansi spektral kanal 10 dan 11 menjadi suhu kecerahan TOA
menggunakan persamaan sebagai berikut (USGS, 2016):

T = K2 ln( K1 Lλ + 1) ..................................................................................................................................... (2)

di mana:
T = suhu kecerahan TOA, in Kelvin
Lλ = radiansi spektral (Watts/(m2 * sr * μm))
K1 = konstanta konversi termal tiap kanal (K1_CONSTANT_BAND_n dari metadata)
K2 = konstanta konversi termal tiap kanal (K2_CONSTANT_BAND_n dari metadata)

-652-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Nilai suhu kecerahan TOA adalah dalam Kelvin. Untuk mengubah menjadi derajat Celsius digunakan
persamaan sebagai berikut:

T (oC) = T (K) - 273.15 ................................................................................................................................. (3)

di mana:
T (oC) = suhu kecerahan dalam Celsius
T (K) = suhu kecerahan dalam Kelvin

Tahapan selanjutnya adalah menghitung SPL menggunakan algoritma Split Window (ASW). Algoritma
ini diturunkan dari pasangan data in situ dengan suhu kecerahan Landsat 8 di perairan Lombok (Hartuti,
2015). ASW merupakan kombinasi suhu kecerahan kanal 10 dan kanal 11 dengan persamaan sebagai
berikut:

SPL = T10 + 2,8292 (T10 - T11) + 0,4034 .................................................................................................... (4)

di mana:
SPL = suhu permukaan laut
T10 = suhu kecerahan kanal 10
T11 = suhu kecerahan kanal 11

3. HASILDAN PEMBAHASAN
Sebaran suhu permukaan laut ditampilkan pada Gambar 2, yang terdiri dari tanggal 23 Mei 2013, 26 Juni
2013, 28 September 2013, 7 Maret 2014, 14 Agustus 2014, dan 2 Oktober 2014.
Suhu di sekitar outfall air bahang berkisar sekitar 34oC. Pada citra SPL tanggal 23 Mei 2013 pola
penyebaran air bahang tidak begitu terlihat. Kemungkinan adanya awan di sisi timur dan barat
mempengaruhi kondisi atmosfer sehingga pola SPL tidak terlihat. Pada citra SPL tanggal 7 Maret 2014
sebaran air bahang ke arah timur laut.
Pada citra SPL tanggal 26 Juni 2013 aliran air bahang menyebar, sedangkan pada citra tanggal 14
Agustus 2014 menyebar dominan ke utara.
Pada citra SPL 28 September 2013 dan 2 Oktober 2014, SPL dengan suhu tinggi menyebar sepanjang
pantai dengan arah dominan ke timur.
Pola aliran yang terlihat jelas adalah pada bulan Maret 2014 mengarah ke timur laut, pada bulan Agustus
2014 dominan ke utara, dan pada September 2013 dan Oktober 2014 menyebar sepanjang pantai dominan ke
timur. Adanya perbedaan pola aliran kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan arus adveksi dan difusi yang
mendorong penyebaran dan percampuran air bahang dengan air laut. Perlu studi lebih lanjut untuk
mengetahui pola arus dan kaitannya dengan pola sebaran air bahang.

(a) 23 Mei 2013 (d) 7 Maret 2014

-653-
Analisis Suhu Permukaan Laut Air Bahang PLTU Tanjung Jati B di Perairan Jepara dari Data Landsat 8 Menggunakan Algoritma
Split Window (Hartuti, M., dkk.)

(b) 26 Juni 2013 (e) 14 Agustus 2014

(c) 28 September 2013 (f) 2 Oktober 2014

Gambar 2. Sebaran suhu permukaan laut perairan Jepara dari data Landsat 8

4. KESIMPULAN
Landsat 8 dengan sensor TIRS dapat digunakan untuk memantau sebaran termal di perairan, khususnya
hasil pembuangan air proses pendinginan PLTU yang dialirkan ke laut. Algoritma split window untuk
menentukan suhu permukaan laut dari Landsat 8 TIRS menghasilkan nilai yang lebih mendekati nilai
sebenarnya dibandingkan hanya menggunakan satu kanal termal. Sebaran suhu permukaan air bahang
menunjukkan nilai suhu yang lebih tinggi dari suhu permukaan laut yang tidak dipengaruhi air bahang.
Analisis sebaran suhu permukaan laut secara musiman menunjukkan adanya pergerakan aliran yang berbeda
pada musim barat dan musim timur. Perlu studi lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh pola arus terhadap
sebaran air bahang.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN atas fasilitas
pengolahan data dan Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN atas penyediaan data Landsat 8.

DAFTAR PUSTAKA
Angga, B.R.D, Rochaddi, B., dan Satriadi, A. (2015). Analisa Sebaran Suhu Permukaan Laut Akibat Air Bahang PLTU
Tanjung Jati B di Perairan Jepara. Jurnal Oseanografi, Vol. 4 No. 2, 393-399.
Brown, O.B dan P.J, Minnet. (1999). Modis Infared Sea Surface Temperature Algorithm, Algorithm Teoritical
BasisDocument (ATBD) 25 Version 2.0.University of Miami.
Hartuti, M., Emiyati, Manoppo, A.K.S, Putranto, H.E., Budhiman, S., Hasyim, B., dan Sitanggang, G. (2014).
Pengembangan Model Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Ektraksi Informasi Muatan Padatan Tersuspensi
(MPT) dan Suhu Permukaan Laut dari Data Landsat 8 untuk Penentuan Lokasi Budidaya Laut
-654-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Hartuti, M., Emiyati, Manoppo, A.K.S., dan Budhiman, S., (2015). Derivation of Landsat 8 Sea Surface Temperature
Algorithm Using Split Window Function (A Case Study in Lombok Coastal Water, Indonesia). Paper presented at
International Conference of Indonesian Society for Remote Sensing - ICOIRS 2015, Surabaya, Indonesia.
Hasyim, B., Sitanggang, G., Budhiman, S., Emiyati, Manoppo, A.K.S., dan Setiawan, K.T. (2013). Laporan
AkhirPengembangan Model Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Penentuan Lokasi Budidaya Rumput Laut.
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN.
Ismayati, Q., Helmi, M., dan Rochaddi, B. (2013). Kajian Spasial Suhu Permukaan Laut Akibat Air Bahang PLTU
Paiton Menggunakan Saluran Termal Satelit Landsat 7/ETM+ di Pantai Bhinor Kabupaten Probolinggo Jawa Timur.
Jurnal Oseanografi, Vol. 2 No. 1, 49-56.
McMillin, L.M., dan Crosby, D.S. (1984). Theory and Validation of the Multiple Window Sea Surface Temperature
Technique. Journal of Geophysical Research 89.
Saptarini, D., Cahyono, A.B., dan Pribadi, C.B., (2015). Monitoring Suhu Permukaan Laut (SPL) Guna Mendeteksi
Perubahan Suhu Perairan dari Kegiatan Industri Listrik. Paper presented at Prosiding Seminar Nasional
Penginderaan jauh 2015, Bogor, Indonesia.
Sulma, S., Manoppo, A.K.S., dan Indarto, J. (2007). Laporan Akhir Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Kajian
Potensi Budidaya Perikanan Laut. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN.
Trisakti, B., Sulma, S., dan Budhiman, S. (2004). Study of Sea Surface Temperature (SST) Using Landsat 7/ETM (in
Comparison with Sea Surface Temperature of NOAA-12 AVHRR). Proceedings the Thirteenth Workshop of
OMISAR (WOM-13) on Validation and Application of Satellite Data for Marine Resources Conservation.
Denpasar.
USGS (2016). Landsat 8 (L8) Data User Handbook Version 2.0. Department of Interior.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuaidengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Analisis Suhu Permukaan Laut Air Bahang PLTU Tanjung Jati B Di
Perairan Jepara Dari Data Landsat 8 Menggunakan Algoritma Split
Window
Nama Pemakalah : Maryani Hartuti (LAPAN)
Diskusi :

Pertanyaan: Teguh Prayogo (LAPAN)


1. Mengapa citra bukan Mei 2013 suhunya sangat tinggi?
2. Tampilan citra memperlihatkan “Stripping”, mungkin data diperbaiki dengan metode “de stripping” (de
stripping citra satelit NPRVIIRS)
3. Sangat baik untuk dilanjutkan studi untuk operasional peraturan kondisi dari resolusi spasial sangat
tinggi

Jawaban:
1. Citra bulan Mei 2013 suhunya sangat tinggi, karena adanya liputan awan di sebagian besar lokasi studi.
Perairan yang berada dekat awan mempunyai nilai SPL yang tinggi dideteksi dari satelit. Perbandingan
citra SPL dan komposit RGB tanggal 7 Maret 2014 dan 23 Mei 2013 ditampilkan

-655-
Analisis Suhu Permukaan Laut Air Bahang PLTU Tanjung Jati B di Perairan Jepara dari Data Landsat 8 Menggunakan Algoritma
Split Window (Hartuti, M., dkk.)

2. Stripping pada citra SPL terjadi karena adanya “banding” dan “stray light” pada sensor TIRS yang
mengakibatkan stripping. Beberapa penelitian antara lain oleh Montanaro, dkk. (2014) dan dari
Landsat 8 Data User Handbook menjelaskan adanya stripping pada data Landsat 8. Stripping paling
jelas terlihat pada kanal infra merah termal (kanal 10 dan dan kanal 11).
3. Terima kasih masukannya

-656-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng


Yogyakarta Berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri

Assessment of Sea Level Rise on Coastal Fishing Port Sadeng Yogyakarta


Based Multi Satellite altimetry data
Isna Uswatun Khasanah1*), Leni S. Heliani2, dan Abdul Basith2
1
Dosen Teknik Geodesi, Institut Teknologi Padang (ITP), Padang
2
Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta
*)
E-mail: ikhasanah31@gmail.com

ABSTRAK – Pantai Sadeng atau biasa dikenal Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng merupakan satu-satunya
pelabuhan perikanan yang berada di Yogyakarta. Kajian kenaikan muka air laut atau sea level rise (SLR) di PPP Sadeng
menjadi penting untuk dilakukan. PPP Sadeng dilewati lintasan satelit altimetri dan terdapat stasiun pasut milik Badan
Informasi Geospasial (BIG). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan kajian dan evaluasi nilai SLR serta perbandingan
pola permukaan laut dari data satelit altimetri dan pasut. Satelit altimetri yang digunakan adalah Topex/Poseidon, Jason-
1 dan Jason-2, karena ketiga satelit tersebut mempunyai visi yang sama. Data multi satelit altimetri diambil dari tahun
1995 sampai dengan 2014. Data multi satelit altimetri yang digunakan adalah data grid yang luasannya berbentuk
lingkaran dengan radius 5 km dari titik cycle acuan. Data tersebut dikoreksi dari kesalahan outlier, geofisik (post-
processing) dan direferensikan terhadap EGM96. Data pasut yang digunakan adalah data pasut dari Badan Informasi
Geospasial (BIG) yang telah terkoreksi. Identifikasi perubahan muka air laut dilakukan dengan analisis regresi linier.
Hasil penelitian menunjukkan jarak posisi data permukaan dari satelit altimetri dan stasiun pasut adalah 36,78 km. Nilai
rata-rata kenaikan muka air laut dari data multi satelit altimetri adalah 3,68 mm/tahun, sedangkan dari data pasut adalah
3,04 mm/tahun. Perbedaan nilai SLR dapat disebabkan karena posisi relatif kedua data yang berbeda, selain itu dapat
mengindikasikan adanya pergerakan tanah secara vertikal. Nilai korelasi pola permukaan laut dari kedua data adalah
0,49. Kedua data tersebut berkorelasi positif, hal tersebut menunjukkan ketika pola permukaan laut dari data satelit
altimetri naik atau turun maka data pasut pun menunjukan peristiwa yang sama.

Kata kunci: kenaikan muka air laut, multi satelit altimetri, data pasut

ABSTRACT -Sadeng or commonly known as Sadeng Beach Fishing Port (Pelabuhan Perikanan Pantai - PPP) is the
only fishing ports in Yogyakarta. Study of sea level rise (SLR) in PPP Sadeng becomes important to do. PPP Sadeng is
crossed by altimetry satellite track and there is a tide station. Therefore, study and evaluation of sea level rise value
and comparison pattern of sea level from altimetry satellite and tide gauge data was done. Altimetry satellites used are
Topex / Poseidon, Jason-1 and Jason-2, because those t satellites have the same vision. Multi-satellite altimetry data
taken from 1994 until 2014, then the data were gridded with radius 5 km from reference point cycle. Multi-satellite
altimetry data were corrected from outliers data using global test and geophysical error using post-processing, then
referenced in EGM96. The tide gauges data taken from Badan Informasi Geospasial (BIG), which has been corrected.
Identification of changes in sea level rise was done by linear regression analysis. The results from this research show
that distance positioning from satellite altimetry data and tidal station is 36.78 km. Mean sea level rise value from
multi-satellite altimetry data is 3.68 mm / year and 3.04 mm / year from tide gauges data. The difference sea level rise
value from two data related to relative position, otherwise can indicate the land vertical movement. The correlation
value of sea surface pattern from multi-satellite altimetry and tide gauges data is 0.49. The correlation value is positive,
it means that when sea level pattern of altimetry satellite data increased or decreased, the sea level from tidal data is
also showing the same events.

Keywords: sea level rise, multi satellite altimetry, tide gauges data

1. PENDAHULUAN
Kenaikan muka air laut atau biasa disebut Sea level rise (SLR) merupakan salah satu permasalahan
penting yang dihadapi oleh negara-negara pantai atau negara kepulauan di dunia. Fenomena alam ini perlu
diperhitungkan dalam semua kegiatan pengelolaan wilayah pesisir. Salah satunya di Pantai Sadeng atau biasa
dikenal Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng. PPP Sadeng merupakan satu-satunya pelabuhan
perikanan yang berada di Yogyakarta. Kajian kenaikan muka air laut atau sea level rise (SLR) di PPP
Sadeng menjadi penting untuk dilakukan.
-657-
Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta Berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri
(Khasanah, I.U.., dkk.)

Kajian kenaikan muka air laut menjadi topik hangat yang dibahas dalam beberapa kurun waktu terakhir.
Secara global, kenaikan muka air laut di dunia kurang lebih 3.38 mm/tahun (http://www.aviso.altimetry.fr/).
Beberapa peneliti juga mengkaji tentang perubahan muka laut di Indonesia. Perairan laut Indonesia sejak
tahun 1993 sampai dengan 2011 mengalami kenaikan dengan rata-rata 4 mm/tahun (Fenoglio-Marc dkk.,
2012). Pada kenyataannya, kenaikan muka air laut bervariasi seiring waktu dan posisi.
Perkembangan teknologi akuisisi data semakin meningkat dan maju. Saat ini, data permukaan laut dapat
diperoleh dalam periode panjang. Salah satu teknologi yang dapat menyajikan data permukaan laut periode
panjang adalah satelit altimetri. Satelit altimetri didesain dengan tiga misi utama yaitu mengamati sirkulasi
lautan global, mengamati volume es di kutub dan mengamati perubahan tinggi muka laut global (Abidin,
2007). Mengingat kegunaan dan kontribusi yang sangat signifikan dari data satelit altimetri dalam studi
kelautan, maka satelit altimetri dirancang untuk memiliki misi yang berkelanjutan. Salah satu misi satelit
altimetri yang berkelanjutan adalah satelit Topex/Poseidon yang diluncurkan pada tahun 1992 kemudian
dilanjutkan dengan satelit Jason-1 yang diluncurkan tahun 2002 dan satelit Jason-2 yang diluncurkan tahun
2008 sampai sekarang. Ketiga satelit altimetri tersebut memiliki misi yang sama yaitu pemantauan dinamika
air laut. Oleh karena itu, pada penelitian ini menggunakan ketiga satelit tersebut yang selanjutnya disebut
dengan multi satelit altimetri.
Permasalahan muncul ketika berhadapan dengan data periode panjang, termasuk data satelit altimetri.
Kesalahan pada data multi satelit altimetri antara lain data yang masuk daratan, data kosong, data outlier,
referensi data multi satelit yang berbeda, dan kesalahan karena faktor geofisik. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penanganan khusus terhadap satelit altimetri seperti post-processing. Selain itu, untuk mengetahui
kenaikan muka air laut di perairan PPP Sadeng berdasarkan data multi satelit altimetri maka menggunakan
data satelit altimetri yang telah dikelompokan dan letaknya dekat dengan posisi stasiun pasut.
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kenaikan muka air laut dari data multi satelit altimetri yang
terletak paling dekat dengan posisi stasiun pasut. Selanjutnya diidentifikasi jarak antara posisi data satelit
altimetri dan stasiun pasut Sadeng serta mengetahui hubungan pola permukaan laut dari data satelit dan data
pasut.

2. METODE
2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah perairan disekitar Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, dengan posisi
pengambilan data multisatelit altimetri terletak pada rata-rata lintang 8.335 LS dan 111.097 BT dan posisi
stasiun pasut Sadeng adalah 8.19 LS dan 110.80 BT. Area penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

2.2. Data
Data yang digunakan untuk kajian kenaikan muka air laut meliputi:

2.2.1. Data Multi Satelit Altimetri


Data satelit altimetri yang digunakan adalah data tinggi muka laut atau biasa disebut Sea Surface Height
(SSH) yaitu ketinggian muka air laut di atas elipsoid. Satelit altimetri yang digunakan meliputi satelit
Topex/Poseidon, Jason-1, Jason-2. Data SSH diperoleh dari data Geophisical Data Record (GDR) setiap
cycle dengan nomor track/pass yang melewati perairan PPP Sadeng adalah nomor 127. Data masing-masing
satelit dapat diunduh secara gratis melalui situs resmi sebagai berikut:
1) Topex/Poseidon : ftp://podaac-ftp.jpl.nasa.gov/allData/topex/L2/mgdrb
2) Jason-1 : ftp://podaac-ftp.jpl.nasa.gov/allData/jason1/L2/gdr_netcdf_c/
3) Jason-2 : ftp://data.nodc.noaa.gov/pub/data.nodc/jason2/gdr/gdr/

-658-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 1. Lokasi Penelitian (Sumber: Google Earth)

Data SSH multi satelit altimetri kemudian direferensikan terhadap geoid. Geoid yang dipakai adalah
Model Geopotensial Global (MGG) EGM 96.Data EGM96 digunakan untuk menghitung nilai undulasi geoid
di wilayah penelitian. Data dapat diunduh melalui situs http://earth-info.nga.mil/GandG/wgs84/
gravitymod/egm96/binary/binarygeoid.html. Data SSH yang telah direferensikan terhadap Geoid selanjutnya
disebut dengan Sea Level Anomaly (SLA).

2.2.2. Data Pasut


Data pasang surut stasiun pasut Sadeng diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Perekaman
kondisi muka laut (pasut) di stasiun pasut Sadeng secara otomatis dimulai tahun 2001, sehingga data pasut
Sadeng yang tersedia di BIG adalah tahun 2001 sampai dengan 2014. Data pasut digunakan sebagai acuan
data satelit altimetri.

2.3. Pengolahan Data


Secara umum, tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2,
dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.3.1. Pengolahan data multi satelit altimetri


Data multi satelit altimetri yang di-download adalah data format Biner. Oleh karena itu, perlu diekstrak
dan dikonversi menjadi format ASCII. Data yang diekstrak adalah data Sea Surface Height (SSH) atau data
ketinggian muka air laut. Software yang digunakan untuk ekstrak data SSH adalah BRAT v3.1. Proses
ekstraksi SSH dilakukan dengan post-processing untuk menghilangkan kesalahan geofisik. Persamaan yang
digunakan untuk mengekstrak SSH yang terkoreksi ditunjukkan pada Persamaan (1) (Seeber, 2003).
................................................................................................................. …. (1)
Dimana,

…… (2)
Dalam hal ini:
ρcor : jarak satelit terhadap muka air laut terkoreksi
Δhdry : koreksi troposfer kering
Δhwet : koreksi troposfer basah
Δhiono : koreksi ionosfer
Δhssb : koreksi sea-state- bias
Δhinv_bar : koreksi inverse barometer
Δhocean_tide : koreksi pasang surut laut
Δhearth_tide : koreksi pasang surut Bumi
Δhpole_tide : koreksi pasang surut kutub
-659-
Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta Berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri
(Khasanah, I.U.., dkk.)

Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian

Data SSH terkoreksi geofisik kemudian diperiksa dan dikoreksi dari data yang masuk daratan dan data
kosong. Selanjutnya data SSH terkoreksi dikurangkan dengan nilai undulasi EGM96 untuk menghasilkan
nilai SLA. Data yang telah terkoreksi kemudian diplot untuk mengetahui kondisi data. Apabila masih
mengandung data outlier (data yang menyimpang dari kebanyakan data), maka harus dibuang. Proses
koreksi outlier dapat dilakukan dengan mengelompokkan data SLA setiap track terhadap titik cycle acuan.
Cycle acuan adalah cycle yang memiliki jumlah perekaman titik terbanyak (Basith, 2001). Data SSH
dikelompokkan dengan luasan berbentuk lingkaran diameter 5 km dan titik acuan sebagai pusat lingkaran.
Panjang diameter 5 km dipilih karena jarak antara titik-titik footprint dalam satu pass/track kurang lebih 5
km. Seharusnya footprint SLA kembali ke posisi yang sama, namun footprint SLA tidak kembali pada posisi
yang sama persis karena adanya gangguan–gangguan ketika proses akuisisi data. Selanjutnya, melakukan uji
global data pada setiap data SLA yang telah dikelompokkan sesuai cycle acuan. Tingkat kepercayaan data
yang digunakan adalah 99% atau 3 sigma.

-660-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2.3.2. Identifikasi kenaikan muka air laut


Kenaikan muka air laut diidentifikasi menggunakan metode regresi linier untuk mengetahui
kecenderungan serta tingkat kenaikan tinggi muka air laut berdasarkan data satelit altimeti. Persamaan
matematis regresi linierditunjukkan pada Persamaan (3) (Nawari, 2010; Ebdon, 1985 dalam Putra 2013 dan
Bapennas 2010).
………………………………………………………………………………………………………………………………. (3)
Dimana,
y : tinggi muka air laut
x : waktu dalam bulan
a : nilai offset
b : tingkat kenaikan (slope, trend)

Nilai a dan b merupakan konstanta regresi linier. Konstanta a biasanya disebut dengan intersep. Intersep
yaitu jarak titik asal atau titik acuan dengan titik potong garis regresi dengan sumbu Y. konstanta b
dinamakan slope, yang menunjukkan kemiringan atau kecondongan garis regresi terhadap sumbu X. Nilai
kontanta regresi dapat dihitung menggunakan Persamaan (4) dan (5) (Nawari, 2010; Ebdon, 1985 dalam
Putra, 2013).

……………………………………………………………………………………………………………….…….. (4)

……………………………………………………………………………………………………………………….. (5)
Dalam hal ini:
X : rata-rata variabel x
Y : rata-rata variabel y

2.3.3. Perbandingan pola permukaan laut dari data multi satelit altimetri dan data pasut
Perbandingan pola permukaan laut dari data satelit altimetri dan pasang surut diidentifikasi berdasarkan
uji korelasi. Hal ini dilakukan untuk melihat pola perubahan naik turunnya muka air laut antara satelit
altimetri dan pasut. Korelasi menyatakan derajat hubungan antara dua variabel tanpa meperhatikan variabel
mana yang menjadi peubah. Rumus korelasi ditunjukkan pada Persamaan (6) (Nurgiyantoro dkk., 2009;
Sudijono, 2012 dalam Putra, 2013).

……………………………………………………………………………………………….(6)

Dalam hal ini:


: hubungan variabel x dengan variabel y
x : nilai variabel x (nilai SLA altimetri)
y : nilai variabel y (nilai MSL pasut)
n : jumlah data

Nilai korelasi berkisar antara -1 < rxy < +1. Jika r = 0, artinya tidak ada hubungan antara kedua variabel. Jika
rxy = -1, maka hubungan antar data sangat kuat dan bersifat tidak searah, yaitu apabila variabel 1 naik, maka
variable 2 turun, dan sebaliknya. Jika rxy = +1 maka hubungan antar data sangat kuat dan bersifat searah.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Posisi data satelit altimetri
Posisi data satelit altimetri yang digunakan untuk identifikasi kenaikan muka air laut di perairan Pantai
Sadeng adalah posisi terdekat hasil pengelompokan data SSH satelit altimetri terhadap titik cycle acuan,
dimana luasan data berbentuk lingkaran dengan diameter 5 km. Posisi data satelit altimetri yang digunakan
dapat dilihat pada Gambar 3. Jarak antara posisi stasiun pasut dan kelompok data multi satelit altimetri
kurang lebih 36.78 km.

-661-
Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta Berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri
(Khasanah, I.U.., dkk.)

Gambar 3. Visualisasi posisi data satelit altimetri dan data pasut stasiun pasut Sadeng

3.2. Pola Permukaan Laut Perairan Sadeng


Berdasarkan data multi satelit altimetri yang telah terkoreksi, maka dibuatlah grafik pola permukaan laut
di PPP Sadeng. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui pola naik turunnya muka air laut yang dapat di
rekam dari data multi satelit altimetri. Selanjutnya, dibandingkan dengan pola permukaan laut dari data pasut
di stasiun pasut Sadeng. Gambar 4 menunjukan perbandingan pola permukaan laut perairan Pantai Sadeng
yang terekam dari data multi satelit altimetri dan data pasut.

Gambar 4. Perbandingan pola permukaan laut perairan Sadeng berdasarkan data pasut (baris 1) dan multi satelit
altimetri (baris 2), shifting antara data pasut dan data multi satelit altimetri (baris 3)
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa secara umum pola permukaan laut PPP Sadeng dari data
pasut maupun multi satelit altimetri adalah sama, seperti contoh pola muka air laut yang ditandai dengan
-662-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

lingkaran merah. Nilai korelasi antara kedua data permukaan laut satelit altimetri dan data pasut adalah 0.49.
Nilai korelasi antara dua data adalah positif. Hal ini menunjukan bahwa ketika pola permukaan laut dari data
pasut mengalami kenaikan, maka pola permukaan laut dari data satelit altimetri juga naik. Hanya saja
periode terjadinya kenaikan atau penurunan muka air laut tersebut berbeda. Hal tersebut terjadi karena
adanya perbedaan fase gelombang, dimana posisi data permukaan laut dari satelit altimetri adalah di laut
dalam, sedangkan posisi data permukaan laut dari stasiun pasut adalah di perairan dangkal.

3.3. Kenaikan Muka Air Laut Perairan Sadeng


Nilai kenaikan muka air laut Perairan Sadeng dihitung berdasarkan analisis regresi linear dari data
permukaan laut multi satelit altimetri. Grafik dari data permukaan laut multi satelit altimetri dapat dilihat
pada Gambar 5.

Gambar 5. Visualisasi data permukaan laut perairan Sadeng berdasarkan data multi satelit altimetri

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa persamaan trend linier dari grafik SLA satelit altimetri
adalah y= 1.83083 + 0.00016 x. Perubahan muka air laut di perairan Sadeng dari tahun 1995 sampai dengan
2014 adalah 73.728 mm dengan rata-rata kenaikan muka air laut pertahun adalah 3.68 mm/tahun.
Selanjutnya nilai rata-rata kenaikan muka air laut dari data satelit altimetri dibandingkan dengan hasil
hitungan dari data pasut. Grafik nilai MSL stasiun pasut Sadeng dapat dilihat pada Gambar 6. Nilai
perubahan kenaikan muka air laut perairan Sadeng berdasarkan data pasut tahun 2001 sampai dengan 2014
adalah 39.554 mm atau 3.04 mm/tahun. Selisih rata-rata nilai kenaikan muka air laut pertahun di perairan
Sadeng antara data multi satelit altimetri dan pasut adalah 0.64 mm/tahun. Hal ini dapat disebabkan karena
periode data dan posisi kedua data permukaan laut yang digunakan tidak sama.

Gambar 6. Visualisasi data permukaan laut perairan Sadeng berdasarkan data pasut Stasiun Pasut Sadeng

Secara umum, nilai rata-rata kenaikan muka air laut di perairan pantai Sadeng dari data multi satelit
altimetri dan data pasut lebih kecil daripada nilai kenaikan muka air laut di perairan Indonesia yaitu 4
mm/tahun (Fenoglio-Marc dkk, 2012). Akan tetapi, rata-rata nilai kenaikan muka air lautnya lebih besar jika
-663-
Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta Berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri
(Khasanah, I.U.., dkk.)

dibandingkan dengan kenaikan muka air laut global. Dimana per tanggal 11 Juni 2016 nilai rata-rata
kenaikan muka air laut global adalah 3.38 mm/tahun (http://www.aviso.altimetry.fr/).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan muka air laut diantaranya adalah pergerakan lempeng,
penurunan muka tanah dan gempa (Senjyu dkk, 1999; Fenoglio-Marc dkk, 2012; Marcos dkk, 2012). Senjyu
dkk (1999) mengatakan peristiwa land subsidence (penurunan tanah) disebabkan pemompaan secara berlebih
air tanah. Kenaikan muka laut di perairan Pulau Jawa diduga dipengaruhi oleh pergerakan lempeng karena
wilayah Indonesia terletak pada seismik aktif, selain itu dipengaruhi juga oleh penurunan tanah. Demikian
juga fenomena kenaikan muka air laut di perairan Sadeng diduga dipengaruhi oleh pergerakan tanah.
Fenoglio-Marc dkk (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dari data GPS tahun 2007 sampai
dengan 2009 ditemukan pergerakan vertikal di Sadeng dengan nilai rata-rata 3,6 dan simpangan baku +/-0,6
mm/tahun.

4. KESIMPULAN
Nilai rata-rata kenaikan muka air laut di perairan Pantai Sadeng berdasarkan data multi satelit
altimetri dari tahun 1995 sampai dengan 2014 adalah 3.68 mm/tahun. Sedangkan dari data pasut di stasiun
pasut Sadeng nilai rata-rata kenaikan muka air lautnya adalah 3.04 mm/tahun. Pola perubahan naik turunnya
muka air laut di perairan Pantai Sadeng dari data multi satelit altimetri dan pasut menunjukan pola yang
sama dengan nilai korelasi 0.49.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada web penyedia data satelit altimetri aviso + dan podaac-
ftp.jpl.nasa.gov dan Badan Informasi Geospasial sebagai Badan pengelola dan penyedia data pasut.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, A., (2007).Modul-9: Satelit Altimetri. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Bapennas., (2010). Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR Basis Saintifik: Analisis dan Proyeksi
Kenaikan Muka Air Laut dan Cuaca Ekstrim.Indonesia.
Fenoglio-Marc, Schone, L., Illigner, T., Becker, J., Manurung, M., dan Khafid, P., (2012) Sea Level Change and
Vertical Motion from Satellite Altimetry, Tide Gauge and GPS in the Indonesian Region.Marine Geodesy, 137 –
150.
Handbook Topex/Poseidon., (1996). AVISO User Handbook Merged Topex/Poseidon Product (Gdr Ms). Edisi 3.0.
Handbook Jason-1., (2012). AVISO and PODAAC User Handbook IGDR and GDR Jason Product. Edisi 4.2.
Handbook Jason-2., (2011). OSTM/Jason-2 Product Handbook. Edisi 1.8.
Marcos, M., Tsimplis, M.N., dan Calafat, F.M., (2012). Inter-Annual and Decadal Sea Level Variations in the North -
Western Pacific Marginal Sea.” Progress in Oceanography, 105:4-21.
Putra, I.W.K.E., (2013). Evaluasi Hasil Post-Processing Data satelit Altimetri Envisat sebagai Data Prediksi ancaman
Peningkatan Muka Air Laut untuk Pemetaan Genangan Wilayah Pesisir.Tesis, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Seeber, G., (2003). Satellite Geodesy, 2nd Edition. Walter de Gruyter, German.
Senjyu, T., Matsuyama, M., dan Matsubara, N., (1999). Inter-annual and Decadal Sea-Level Variations along the
Japanese Coast, 55:619–633.
ftp://podaac-ftp.jpl.nasa.gov/
ftp://data.nodc.noaa.gov/
http://www.aviso.altimetry.fr/

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Maryani Hartuti


Judul Makalah : Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng
Pemakalah : Isna Khasanah (Institut Teknologi Padang)

Diskusi :

-664-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pertanyaan : Dr. Erna Sri Adiningsih (LAPAN)


Penelitian yang menarik, karena data satelit divalidasi dengan data lapangan, tapi korelasinya 0.49 secara
scientific hal ini kurang bisa diterima karena < 50% dari data itu bisa menjelaskan fenomena yang terjadi di
lapangan. Mungkin juga ada kaitannya dengan data satelit ada pertimbangan masalah resolusi dan
sebagainya, mohon bisa dijelaskan dan juga masalah akurasinya, sehingga hal ini bisa dioperasionalkan.

Jawaban :
Mengapa hasil korelasinya hanya 0.49 hal ini dikarenakan data pasut dari satelit altimetri yang digunakan
merekam data tiap 10 menit sedangkan data pasut merekam perjam, pada saat perhitungan sudah disesuaikan
periodenya, mungkin karena perbedaan fase, satelit altimetry merekam mulai dari posisinya berbeda,
mungkin ketika merekam gelombang sedang naik, dan ketika gelombangnya hingga ke ujung tepat di stasiun
pasut yang berada di ujung pantai, mungkin ini yang menyebabkan korelasinya hanya 0.49. Untuk satelit
altimetri bisa direkomendasikan untuk pengukuran kenaikan muka air secara global, bila ingin yang lebih
detail bisa menggunakan data pasutnya.

Saran : Maryani Hartuti (LAPAN)


Korelasi yang 0.49 mungkin ada kaitannya dengan data yang digunakan mempunyai range yang berbeda,
mungkin bisa juga dicoba data dengan data range yang sama, bisa dilihat juga dari regresinya. Kelemahan
dari data altimeter tidak bisa mencapai pantai, sehingga pasti ada perbedaan, apakah data yang digunakan
sudah terkoreksi untuk coastal atau untuk data yang terdekat dengan daratnya efek kedalamannya masih bisa
diterima sebagai data altimetry atau perlu ada koreksi coastal altimetrinya.

-665-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pemanfaatan Data Satelit Altimetri Sebagai Indikator Fenomena Global

Utilization of Satellite Altimetry Data as Indicators Global Phenomenon

Sartono Marpaung1*), Rossi Hamzah1, Yennie Marini1,


Anneke K.S. Manoppo1, dan Nanin Anggraini1
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN
*)
Email: tono_lapan@yahoo.com

ABSTRAK-Fenomena global yang dibahas dalam penelitian ini adalah kenaikan tinggi muka laut dan kejadian El
Nino/La Nina. Kenaikan tinggi muka laut disebabkan oleh pemanasan global dan fenomena El Niño/La Niña akibat
penyimpangan suhu muka laut di zona nino Samudera Pasifik. Dalam penelitian ini dilakukan kajian tentang kenaikan
tinggi muka laut dan fenomena El Niño/La Niña berdasarkan data satelit altimetri. Parameter yang digunakan untuk
mengkaji kedua fenomena tersebut adalah tinggi muka laut dan anomalinya. Dari analisis tinggi muka laut secara
temporal dapat diketahui kecenderungannya berdasarkan deret waktu. Kondisi terkini menunjukkan rata-rata global
kenaikan tinggi muka laut adalah 3,39 mm pertahun. Kenaikan tinggi muka laut untuk wilayah Indonesia bervariasi
antara 2,5 sampai 7,5 mm pertahun. Kenaikan tertinggi terdapat di wilayah laut Indonesia bagian timur dan ke arah
barat semakin menurun. Hal ini akibat pengaruh dari Samudera Pasifik bagian barat wilayah laut dengan kenaikan
tertinggi yang berbatasan langsung dengan laut di Indonesia bagian timur. Pengaruh dari Samudera Hindia tidak
signifikan terlihat terkait dengan kenaikan tinggi muka laut di wilayah laut Indonesia bagian barat. Indikator kejadian El
Niño 2015 sudah tampak pada bulan Februaridengan meningkatnya anomali tinggi muka laut mencapai 10 cm di zona
niño 3.4 Samudera Pasifik. Nilai anomali semakin meningkat sampai bulan Oktober dan puncak fenomena El Niño
pada bulan November. Terlihat dari anomali tinggi muka laut di zona niño 3.4 mencapai ketinggian 25 cm dan
penurunan anomali di Samudera Pasifik bagian barat mencapai -25 cm dengan cakupan yang semakin luas. Indikator
awal kejadian La Niña tahun 2016, bulan April dan Mei penurunan anomali semakin kuat di zona niño 3.4 dan di
bagian barat Samudera Pasifik anomali semakin menguat. Hal ini menunjukan bahwa indikator di Samudera Hindia
memberikan sinyal awal kemungkinan akan terjadi fenomena La Niña tahun 2016.

Kata kunci:Satelit altimetri, pemanasan global, tinggi muka laut, kecenderungan dan El Nino/La Nina.

ABSTRACT- The global phenomenon that is discussed in this research are sea level rise and the occurrence of El
Nino/La Nina. Sea level rise caused by global warming and the El Niño/La Niña phenomena due to anomaly of sea
surface temperatures in the Pacific Ocean nino zone. In this research conducted studies sea level rise and El Niño/La
Niña phenomena based on data from satellite altimetry. The parameters used to assess these two phenomena are sea
service height and the anomaly. From the temporally analysis of sea levelsurface height can be determined based on the
tendency of time series. Current conditions show the global average sea level rise was 3,39 mm per year. Sea level rise
for the Indonesian region vary between 2,5 to 7,5 mm per year. The highest increase was found in the sea area of
eastern Indonesia and westward decreased. This is due to the influence of the western Pacific Ocean sea area with the
highest increase directly adjacent to the sea in eastern Indonesia. The influence of the Indian Ocean is not being
attributable to the significant rise in sea levels in the sea area in western Indonesia. Indicators 2015 El Niño events
have been seen in February with rising sea surface height anomaly reaches 10 cm in niño 3.4 of the Pacific Ocean. The
anomalous values increased until October and the peak of the El Niño phenomenon in November. Seen from sea level
anomalies in the niño 3.4 reaches a height of 25 cm and a decrease anomalies in the western Pacific Ocean reached -
25 cm with more comprehensive coverage. An early indicator La Niña events in 2016, in April and May decline the
stronger anomalies in niño 3.4 and in the western Pacific Ocean anomaly intensified. This shows that the indicators in
the Indian Ocean provide early signals to occur phenomenon of La Niña in 2016.

Keywords: Satellite altimetry, global warming, sea surface height, trend and El Nino / La Nina.

1. PENDAHULUAN
Kenaikan tinggi muka air laut merupakan peningkatan volume air laut yang disebabkan oleh faktor-faktor
yang kompleks. Sejak 3.000 tahun yang lalu hingga awal abad 19, tinggi muka air laut hampir tetap hanya
bertambah 0,1 hingga 0,2 mm pertahun, kemudian dari tahun 1900 permukaan laut naik 1 hingga 3 mm
pertahun dan tahun 1992 satelit altimetri TOPEX/Poseidon mengindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar
3 mm pertahun. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 sampai 25 cm selama abad 20. Salah
satu penyebab terbesar kenaikan tinggi muka laut adalah peningkatan suhu air laut akibat pemanasan
global(Ristianto, 2011). Hal itu disebabkan suhu di setiap kedalaman laut berubah secara perlahan sehingga
peningkatan suhu akan terus berlangsung dalam jangka waktu lama/beberapa abad masa mendatang
-666-
Pemanfaatan Data Satelit Altimetri Sebagai Indikator Fenomena Global (Marpaung S., dkk.)

meskipun konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil. Mencairnya glasier pegunungan dan tutupan es
diperkirakan menjadi penyebab utama kenaikan tinggi muka laut. Apabila separuh es di Greenland dan
Antartika mencair maka terjadi kenaikan tinggi muka laut di dunia rata-rata setinggi 6-7 meter. Kenaikan
tinggi muka laut setinggi satu meter dapat mengakibatkan tenggelamnya banyak pulau di wilayah Indonesia.
Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global diduga sebagai penyebab utama mencairnya es
dikutub dan mengembangnya volume air laut sehingga berimplikasi terjadinya kenaikan tinggi muka laut.
Dampak dari pemanasan global dalam 50 tahun terakhir telah melanda hampir seluruh permukaan bumi
(Kohl dan Stammer, 2008). Sebenarnya kenaikan tinggi muka laut disebabkan oleh beberapa faktor baik
skala global, regional maupun lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Samudera Pasifik bagian barat
merupakan salah satu wilayah dengan laju kenaikan muka laut mencapai tiga kali lebih besar dari laju rata-
rata kenaikan muka laut global (Ablain dkk., 2009). Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa Samudera
Pasifik bagian barat dan Samudera Hindia bagian timur memiliki nilai terbesar dalam kenaikan muka laut.
Penyebab utama dari besarnya nilai kenaikan muka laut di Samudera Pasifik bagian barat adalah ekspansi
thermal (Hartanto dkk., 2013). Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi tinggi muka laut relatif yaitu
: laju peningkatan tinggi muka laut global, faktor meteo oseanografi regional dan pergerakan tanah (IPCC,
2007). Ketiga faktor tersebut tidak melibatkan faktor gelombang laut dan pasang surut dalam menentukan
kenaikan tinggi muka laut. Wilayah yang sangat rentan dengan dampak kenaikan muka laut adalah wilayah
pantai dan pesisir (Dwi, 2010).
Selain fenomena pemanasan global, fenomena yang menjadi sorotan dunia adalah fenomena El Niño dan
La Niña. El Niño ditandai dengan anomali suhu muka laut positif dan La Niña diawali dengan anomali suhu
muka laut negatif pada zona niño di daerah ekuator Samudera Pasifik (Irkhos, 2007). Fenomena tersebut
mempunyai dampak yang besar dan dashyat meskipun kejadiannya dalam waktu yang lebih singkat(Fadholi,
2013). Terutama untuk wilayah Indonesia yang berada di ekuator sangat rentan dengan dampak dari
fenomena tersebut. Indikator yang digunakan sebagai penanda akan terjadinya fenomena tersebut adalah
perubahan suhu muka laut di Samudera Pasifik tepatnya di wilayah ekuator bagian tengah sampai timur yang
disebut dengan zona niño. Lebih jelasnya ditampilkan dalam Gambar 1. berikut.

Gambar 1. Zona niño di Samudera Pasifik sebagai indikator El Niño/La Niña

Gambar 1. memperlihatkan zona niño 1+2, niño 3, niño 3.4 dan niño 4 sebagai zona indikator kejadian El
Niño dan La Niña dengan mengamati penyimpangan suhu muka laut pada zona tersebut. Niño 3.4
merupakan zona yang mempunyai pengaruh paling kuat terhadap wilayah Indonesia.Pada umumnya data
yang digunakan dalam mengamati penyimpangan suhu muka laut pada zona niño adalah hasil rekaman
satelit optis yang mempunyai banyak kendala seperti : tutupan awan, kabut asap dan hujan badai. Untuk
mengatasi masalah tersebut digunakan satelit yang menggunakan teknologi radar yaitu satelit altimetri.
Satelit altimetri mempunyai misi utama untuk mengobservasi permukaan laut terutama tinggi muka laut
(Marpaung dkk., 2015). Instrumen yang digunakan oleh satelit altimetri adalah sensor aktif altimeter yang
dapat beroperasi tanpa terkendala oleh faktor lingkungan karena menggunakan pulsa radar.Parameter dari
satelit altimetri yang digunakan untuk mendeteksi atau memantau fenomena El Niño/La Niña adalah tinggi
muka laut (Marpaung dan Harsanugraha, 2014). Penyimpangan tinggi muka laut dari kondisi normalnya di
zona niño Samudera Pasifik merupakan indikator fenomena tersebut.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, data satelit altimetri dapat dimanfaatkan untuk
memantau atau mendeteksi fenomena skala global. Dalam penelitian ini dilakukan analisis tentang
pemanfaatan data satelit altimetri untuk memantau kenaikan tinggi muka laut terkait dengan fenomena
pemanasan global. Tujuannya untuk mengetahui perubahan tinggi muka laut secara temporal dan spasial.
-667-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Selain itu dilakukan juga analisis data satelit altimetri untuk mendeteksi atau memantau fenomena El
Niño/La Niña. Dengan demikian dapat diketahui sinyal awal dan kondisi fenomenaEl Niño/La Niña.

2. METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tinggi muka laut dan anomali tinggi muka laut hasil
pengamatan dari multi satelit altimetri. Resolusi spasial data adalah 0,25o x 0,25o dan resolusi temporal
harian. Periode data yang digunakan dari Januari 1993 sampai April 2016 untuk variabel tinggi muka laut.
Sedangkan untuk anomali tinggi muka laut data yang digunakan dari Januari 2015 sampai Mei 2016. Data-
data yang digunakan tersebut merupakan gabungan dari beberapa satelit atau multi satelit. Multi satelit
altimetri adalah gabungan dari beberapa satelit altimetri yang saling berkomplemen untuk menghasilkan data
dengan cakupan global, dalam hal ini terdiri dari satelit : Topex Poseidon, Jason-1, Jason-2, Saral, Cryosat-2
dan Hai Yang-2. Sumber data ftp://ftp.aviso.oceanobs.com.Data tersebut telah dikalibrasi dengan data
permukaan (Leuliette dkk, 2006).Wilayah kajian untuk perubahan tinggi muka laut cakupannya global,
sedangkan untuk fenomena El Niño/La Niñalokasi kajiannya zona niño 3.4 di Samudera Pasifik. Untuk
mengetahui kecenderungan dari tinggi muka laut dihitung rata-rata global berdasarkan deret waktu dari tahun
1993 sampai 2016. Dari data-data tersebut diperoleh nilai gradien atau koefisienregresi linier. Nilai
keofisienmerupakan nilai kecenderungan tinggi muka laut. Nilai kecenderungan positif menyatakan terjadi
kenaikan dan negatif terjadi penurunan tinggi muka laut. Untuk mengetahui nilai kecenderungan secara
spasial, dihitung nilai koefisien regresi untuk tiap piksel berdasarkan data pengamatan yang digunakan. Nilai
koefisien regresi dari semua pikselpada lokasi kajian menunjukkan kecenderungan tinggi muka laut secara
spasial. Untuk mendeteksi kejadian El Niño/La Niña dilakukan analisis terhadapanomali tinggi muka laut
pada zona niño3.4. Seiring dengan meningkatnya suhu muka laut di zona niño 3.4 Samudera Pasifik saat
kejadian El Niño maka tinggi muka laut akan mengalami peningkatan. Sebaliknya saat kejadian La Niña
suhu muka laut mengalami penurunan maka tinggi muka laut akan menurun. Indikator kejadian El Niño/La
Niña berdasarkan anomali tinggi muka laut di zona niño 3.4 seperti ditampilkan pada Gambar 2. berikut.

Gambar 2. Deret waktu anomali tinggi muka laut Niño 3.4 sebagai indikator El Niño/La Niña
(Sumber : http://www.aviso.altimetry.fr/en/data/products/ocean-indicators-products/, 2016)

Gambar 2. menunjukkan anomali tinggi muka laut di zona niño 3.4 dari November 1992 s/d Januari 2016.
Indikator kejadian El Niño nilai anomali tinggi muka laut lebih besar dari 2,5 cm, sedangkan kejadian La Niña nilai
anomali kurang dari -2,5 cm.Untuk kajian dalam penelitian ini dilakukan analisis anomali tinggi muka laut
saat kejadian El Niñotahun 2015 dan kejadian La Niñatahun 2016.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

-668-
Pemanfaatan Data Satelit Altimetri Sebagai Indikator Fenomena Global (Marpaung S., dkk.)

Hasil yang diperoleh berdasarkan pengolahan data tinggi muka laut dari satelit altimetri sebagai indikator
perubahan iklim melalui kenaikan tinggi muka laut, diperlihatkan dalam Gambar 3. berikut :

Gambar 3. Deret waktu rata-rata global tinggi muka laut dari Januari 1993 sampai April2016
(Sumber : http://www.aviso.altimetry.fr/fileadmin/images/data/Products/, 2016)

Gambar 3. memperlihatkan rata-rata global kenaikan tinggi muka laut secara temporal dari Januari 1993
sampai April 2016. Hasil ini menunjukkan bahwa tinggi muka laut secara kontinu terus mengalami
peningkatan dari tahun 1993 sampai 2016. Tinggi muka laut mempunyai nilai gradien atau kecenderungan
sebesar 3,39. Hal ini menggambarkan bahwatinggi muka laut mengalami kenaikan sebesar 3,39mm
pertahun. Dalam kurun waktu hampir 24 tahun (1993-2016), secara rata-rata global tinggi muka laut
mengalami kenaikan sebesar 81mm. Hasil tersebut masih sangat umum karena didasarkan pada rata-rata
global. Secara spasial kenaikan tinggi muka laut tidak sama atau memiliki variabilitas karena dipengaruhi
banyak faktor lokal maupun regional. Untuk mengetahui kenaikan tinggi muka laut secara spasial, ditentukan
nilai kecenderungan untuk semua piksel dalam wilayah kajian seperti ditunjukkan dalam Gambar 4. berikut.

Gambar 4. Sebaran spasial nilai tren atau kecenderungan tinggi muka laut
(http://www.aviso.altimetry.fr/fileadmin/images/data/Products/, 2016)

Dalam Gambar 4. diperlihatkan sebaran spasial nilai kecenderungantinggi muka laut berdasarkan data
pengamatan dari tahun 1993 sampai 2015 (23 tahun). Nilai perubahan berkisar antara -10sampai 10
mm/tahun. Hampir seluruh wilayah laut global mengalami kenaikan tinggi muka laut (nilai positif) dan
sebagian kecil mengalami penurunan(nilai negatif). Wilayah laut yang mengalami penurunan terdapat di
lintang tinggi atau dekat kutub. Hasil menujukkan bahwa kenaikan tinggi muka laut yang tinggi antara 5
-669-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

sampai 10 mm/tahun terdapat di Samudera Pasifik bagian barat. Dalam hal ini wilayah Indonesia dan
Filipina merupakan negara yang rentan dengan kenaikan tinggi muka laut. Untuk wilayah laut Indonesia dan
sekitarnya kenaikan tinggi muka laut bervariasi antara 2,5 sampai 7,5 mm pertahun. Hasil tersebut
menggambarkan bahwa selama kurun waktu 23 tahun wilayah laut Indonesia mengalami kenaikan tinggi
muka laut antara 6 sampai 16 cm. Secara spasial kenaikan tinggi muka laut untuk wilayah Indonesia
bervariasi. Kenaikan tertinggi terdapat di wilayah laut Indonesia bagian timur dan ke arah barat semakin
menurun. Hal ini akibat pengaruh dari Samudera Pasifik bagian barat sebagai wilayah kenaikan tertinggi
yang berbatasan langsung dengan laut Indonesia timur. Sedangkan pengaruh dari Samudera Hindia tidak
signifikan terlihat terkait dengan kenaikan tinggi muka laut di wilayah laut Indonesia bagian barat. Hasil ini
menggambarkan bahwa wilayah pesisir laut di Indonesia bagian timur memiliki kerentanan yang lebih tinggi
dibandingkan wilayah pesisir laut di Indonesia bagian tengah dan barat. Untuk itu perlu dikaji dan
dipertimbangkan langkah-langkah konkrit sebagai upaya mitigasi dan adaptasi dalam mengantisipasi
kenaikan tinggi muka laut.
Untuk mengetahui atau mendeteksi kejadian El Niño/La Niña pada umumnya dianalisis dari data suhu
permukaan laut yang dihasikan satelit optis. Analisis didasarkan pada penyimpangan atau anomali suhu
muka laut pada zona niño di ekuator Samudera Pasifik. Selain parameter suhu muka laut, data penginderaan
jauh dari multi satelit altimetri berbasis teknologi radar yaitu tinggi muka laut dapat digunakan sebagai
indikator.Penyimpangan yang terjadi dari kondisi rata-ratanya atau anomali tinggi muka laut menjadi acuan
untuk mendeteksi kejadian El Niño atau La Niña. Pada umumnya pola anomali suhu muka laut hampir sama
dengan pola anomali tinggi muka laut di zona niño Samudera Pasifik (Salim dkk., 2012) Saat suhu muka
laut semakin meningkat maka tinggi muka laut akan mengalami kenaikan. Untuk menunjukkan kondisi
anomali tinggi muka laut sebagai indikator fenomenaEl Niño dan La Niña, dalam karya tulis ini diamati
kejadian El Niño tahun 2015 dan kemungkinan kejadian La Niña 2016. Gambar 5. berikut ini adalah kondisi
anomali tinggi muka laut bulanan di zona niño 3.4 Samudera Pasifik saat kejadian El Niño 2015.

-670-
Pemanfaatan Data Satelit Altimetri Sebagai Indikator Fenomena Global (Marpaung S., dkk.)

Gambar 5. Anomali tinggi muka laut bulanan di Samudera Pasifik dan sekitarnya tahun 2015.
(Sumber : http://www.aviso.altimetry.fr/fileadmin/images/data/Products/, 2016)

Pada Gambar 5. diperlihatkan sebaran anomali tinggi muka laut bulanan untuk tahun 2015 diSamudera
Pasifik dan sekitarnya. Nilai anomali antara -25 cm sampai 25 cm. Hasil menunjukkan bahwa bulan Februari
2015 sudah tampak indikator kejadian El Niñodengan mulai meningkatnya anomali tinggi muka laut
mencapai 10 cm di zona niño 3.4(kotak dengan garis putus-putus warna hitam).Sebaliknya di Samudera
Pasifik bagian barat, dekat wilayah Indonesia anomali semakin menurun mencapai -10 cm. Hal ini
merupakan indikator awal akan terjadi fenomena El Niño. Bulan Februari sampai bulan Juli peningkatan
anomali semakin menguat di zona niño3.4 mencapai 15 cm dan dibagian barat penurunan tinggi muka laut
menguat dengan nilai mencapai -25 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa fenomena El Niño semakin
menguat. Bulan Agustus sampai Oktober fenomena El Niño semakin kuat dan mencapai puncaknya pada
bulan November. Hal ini dapat dilihat dari anomali yang semakin kuatdi zona niño 3.4 mencapai ketinggian
25 cm. Pada bulan Desember kekuatan El Niñosedikit berkurang atau mulai mengalami pelemahan, tampak
dari anomali yang tinggi di zona niño3.4 semakin menurun.

-671-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 6. Anomali tinggi muka laut bulanan di Samudera Pasifik dan sekitarnya tahun 2016.
(Sumber : http://www.aviso.altimetry.fr/fileadmin/images/data/Products/, 2016)

Gambar 6. memperlihatkan anomali tinggi muka laut bulan Januari sampai Mei tahun 2016, nilai anomali
berkisar -25 cm sampai 25 cm. Bulan Januari dan Februari, pola anomali masih mirip dengan pola tahun
2015. Anomali di zona niño 3.4 masih tinggi dan di Samudera Pasifik bagian barat masih rendah. Hal
tersebut menggambarkan bahwa dampak dari fenomena El Niño 2015 masih berlanjut di tahun 2016
meskipun kekuatannya semakin melemah. Pada bulan Maret tampak terjadi penurunan anomali yang
membentuk sabuk di zona niño 3.4 dengan nilai anomali5 cm. Bulan April dan Mei penurunan anomali
semakin kuat mencapai nilai negatif sekitar -5 cm. Sedangkan di Samudera Pasifik bagian barat anomali
semakin menguat, wilayah dengan anomali rendah saat El Niño tidak tampak lagi. Kondisi ini menjadi
indikator awal atau sinyal kemungkinan besar akan terjadi fenomena La Niña tahun 2016.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan menunjukkan bahwa satelit altimetri merupakan komplemen
dari satelit optis. Satelit altimetri mempunyai peranan penting dalam mendeteksi atau memantau kejadian
fenomena global. Dari data-data hasil rekaman satelit altimetri dapat diketahui kenaikan tinggi muka laut
secara global (spasial dan temporal). Kenaikan tinggi muka laut yang disebabkan oleh pemanasan global
menjadi topik yang banyak dibahas dan dikaji oleh dunia internasional. Dengan mengetahui besar kenaikan
tinggi muka laut dan karakteristik untuk masing-masing wilayah, dapat disiapkan langkah-langkah antisipasi
dalam bentuk mitigasi dan adaptasi oleh para pengambil keputusan. Selain itu perencanaan pembangunan
wilayah pesisir perlu mempertimbangkan faktor kenaikan tinggi muka laut untuk masa mendatang. Selain
memantau kenaikan tinggi muka laut, data-data dari satelit altimetri dapat digunakan untuk mendeteksi atau
memantau kejadian El Niño/La Niña. Deteksi dilakukan dengan mengamati anomali tinggi muka laut di zona
niño Samudera Pasifik.

4. KESIMPULAN
Rata-rata global kenaikan tinggi muka laut adalah 3,39 mm pertahun. Besarnya kenaikan tinggi muka laut
untuk wilayah Indonesia bervariasi antara 2,5 sampai 7,5 mm pertahun. Kenaikan tertinggi terdapat di
wilayah laut Indonesia bagian timur dan ke arah barat semakin menurun. Hal ini akibat pengaruh dari
Samudera Pasifik bagian barat wilayah laut dengan kenaikan tertinggi yang berbatasan langsung dengan laut
di Indonesia bagian timur. Pengaruh dari Samudera Hindia tidak signifikan terlihat terkait dengan kenaikan
tinggi muka laut di wilayah laut Indonesia bagian barat. Indikator kejadian El Niño 2015 sudah tampak pada
bulan Februaridengan meningkatnya anomali tinggi muka laut mencapai 10 cm di zona niño 3.4 Samudera
Pasifik.Nilai anomali semakin meningkat sampai bulan Oktober dan puncak fenomena El Niño pada bulan
November. Terlihat dari anomali tinggi muka laut di zona niño 3.4 mencapai ketinggian 25 cm dan
-672-
Pemanfaatan Data Satelit Altimetri Sebagai Indikator Fenomena Global (Marpaung S., dkk.)

penurunan anomali di Samudera Pasifik bagian barat mencapai -25 cm dengan cakupan yang semakin luas.
Indikator awal kejadian La Niña tahun 2016, bulan April dan Mei penurunan anomali semakin kuat di zona
niño 3.4 dan di bagian barat Samudera Pasifik anomali semakin menguat. Hal ini menunjukan bahwa
indikator di Samudera Hindia memberikan sinyal awal kemungkinan akan terjadi fenomena La Niña tahun
2016.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Bapak Dr. Muchlisin Arief atas saran dan masukan yang diberikan dalam menyusun
karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ablain, M., Cazenave,A., Valladeau,G., dan Guinehut, S., (2009). A New Assessment of the Error Budget of Global
Mean Sea Level Rate Estimated by Satellite Altimetry over 1993–2008. Ocean Sci., 5:193–201.
Dwi,B.D., (2010). Penilaian Dampak Kenaikan Muka Air Laut Pada Wilayah Pantai, Studi Kasus Kabupaten
Indramayu. Hidrosfer Indonesia, 5(2):43-53.
Fadholi,A., (2013). Studi Dampak El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) Terhadap Curah Hujan di Pangkalpinang.
Ilmu Lingkungan, 11(1):43-50.
Hartanto,P., Lestari, S.N., dan Prijatna, K., (2013). Kontribusi Efek Eustatik dan Sterik Terhadap Perubahan Muka Air
Laut Berdasarkan Data Satelit Altimetri, Data Argo,dan Data Satelit Grace Pada Periode 1992-2012.Wilayah Studi:
Samudera Pasifik Bagian Barat. Indonesian Journal of Geospatial, 1(2):1-16.
Irkhos (2007). Pengaruh Suhu Muka Laut Samudera Pasifik Zona Nino-3 Terhadap Curah Hujan Wilayah Sumatera.
Gradien, 3(1):196-199.
Kohl,A., dan Stammer,D.,(2008). Decadal Sea Level Changes in the 50-year GECCO Ocean Synthesis. J Climate,
21:1876–1890.
Leuliette,E.W., Nerem, R.S., dan Mitchum,G.T. (2006). Calibration of TOPEX/Poseidon and Jason Altimeter Data to
Construct a Continuous Record of Mean Sea Level Change. Marine Geodesy, 27:79–94.
doi:10.1080/01490410490465193.
Marpaung,S., Prayogo,T., dan Hamzah,R., (2015). Analisis Pengelompokan Tinggi Muka Laut di Sekitar Pulau Jawa
Berbasis Data Multi Satelit Altimetri.Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Wilayah Pesisir dan Laut (pp.
135-151). Penerbit IPB Press, Bogor.
Marpaung,S.,dan Harsanugraha,W.K., (2014). KarakteristikSebaran Anomali Tinggi Muka Laut di Perairan Bagian
Selatan dan Utara Pulau Jawa. Prosiding Seminar Nasinal Penginderaan Jauh 2014, Bogor.
Ristianto(2011). Kerentanan Wilayah Pesisir Terhadap Kenaikan Muka Laut, Studi Kasus Wilayah Pesisir Jawa Barat.
(Magister SainsMasterThesis), UI (University of Indonesia), Depok.

______________________________________________________________________________________________
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : Dr. Ety Parwati


JudulMakalah : Pemanfaatan Data Satelit Altimetri Sebagai Indikator Fenomena Global
Pemakalah : Sartono Marpaung (LAPAN)

Diskusi :

Pertanyaan : Dr. Erna Sri Adiningsih (LAPAN)


Apa yang dipaparkan merupakan aplikasi yang lebih lanjut dari pengolahan data berbasis satelit khususnya
untuk tinggi muka laut. Terkait dengan indikator El nino atau La nina yang selama ini sudah establish.
Pertanyaannya adalah seberapa akurat parameter ini menjadi indikator dari El Nino dan La Nina, mungkin
harus dilihat juga ke belakangnya. Kemudian bagaimana teknik penentuan akurasinya agar metode ini bisa
menjadi suatu indikator yang kemudian diperkenalkan secara luas, sudah melalui uji scientific yang
memadai. Dan bagaimana ketersedian datanya, apakah data yang digunakan merupakan data analisis atau
data asli?

Jawaban :
Untuk menentukan akurasinya, pola anomali tinggi muka laut dibandingkan atau dikomparasi dengan
anomali suhu muka laut di nino 3.4. saat kejadian El Nino dan La Nina. Hasil yang diperoleh menunjukkan

-673-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

bahwa saat kejadian El Nino dan La Nina, pola dari kedua parameter oseanografi tersebut memiliki pola
yang hampir sama atau korelasinya kuat. Saat El Nino anomali suhu muka laut meningkat dan anomali tinggi
muka laut juga meningkat dan saat kejadian La Nina hal sebaliknya juga terjadi. Data yang digunakan
merupakan data analisis dengan cakupan global dan data tersebut tersedia di ftp://ftp.aviso.oceanobs.com.

-674-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pengaruh Monsun Terhadap Variabilitas Temperatur Muka Laut dan


Klorofil-a di Laut Selatan Jawa Berbasis Data Model dan Satelit

Effect of Monsoon on Sea Surface Temperature and Chlorophyll-a


Variabilities in Southern Java Sea Based on Model and Satellite Data
Dadang Subarna1*)
1
Kelompok Penelitian Atmosfer Maritim
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN Bandung 40173 Indonesia
*)
Email:dadang.subarna@gmail.com

ABSTRAK-Angin berperan dalam pembangkitan arus, gelombang dan distribusi TML (Temperatur Muka Laut)
melalui tekanan angin (wind stress) pada permukaan laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh monsun
terhadap variabilitasTML danklorofil-a yang merupakan sumber rantaipakan bagi ikan tangkap di Laut Selatan
Jawa.Lokasi penelitian berada di (6,5o LS-15o LS dan 105oBT – 117o BT). Data yang digunakan adalah data angin dari
ASCAT, TML, klorofil-a dari MODIS dan TML dan arus dari Model Laut HYCOM periode 2011-2012. Metode yang
digunakan adalah analisis spasial dan profil secara deskriptif. Hasil menunjukkan bahwa distribusi klorofil-a pada saat
monsun Australia relatif lebih tinggi di sekitar pantai selatan laut Jawa dibandingkan pada saat monsun Asia. Analisis
TML menunjukkan di zona tersebut terdapat kolam air yang lebih dingin dengan temperatur 25,3 oC relatif dari
temperatur sekitarnya sebesar 26,32oC. Angin monsun Autralia pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) memberikan
tekanan (wind stress)pada permukaan laut sehingga terjadi transport Ekman air permukaan laut menjauhi pantai,
sehingga kekosongan masa air di sekitar pantai di isi oleh masa air dari bawah (Coastal Upwelling) yang kaya dengan
zat hara. Fenomena ini didukung juga oleh produksi ikan tangkap di salahsatuzona penangkapan ikan tersebut (PPI
Sadeng Yogyakarta) meningkat pada bulan JJA dibandingkan pada saat monsun Asia pada bulan Desember-Januari-
Februari (DJF).

Kata kunci: monsun, variabilitas, klorofil-a, temperatur muka laut, upwelling

ABSTRACT-Wind is important role to generate current, wave and SST (Sea Surface Temperature) distribution
through wind stress on the sea surface. The purpose of this research is to know monsoon’seffect on SST and
chlorophyll-a variability which is source of the marine food chain for fish catchs in the southern Java Sea. The
research area is in the range of 6.5oS-15oS and 105oE- 117oE. The data usedare wind data from ASCAT, SST
andchlorophyll-a from MODIS,SST and current from output of HYCOMmodelin 2011-2012 period. The Method
applied is spatial, temporal and profile analysis descriptively.The resultsshowedthe chlorophyll-a distribution during
AustralianMonsoon higher than during Asia Monsoon relativelyinsouthern Java sea. SSTanalysis showed in the area
existthe cooler water pool of 25.3oC surrounded by about 26.32oC SST. Australian monsoon wind peak in June-July-
August (JJA) gives the pressure on sea surface by wind stress so theEkman transport occur that causesthe sea surface
currents away from the coast, thena moving surface water mass away the coast was replaced by subsurface cool mass
water (Coastal Upwelling) which bring the rich nutrients. This phenomena supported also by increasing the prodution
of fish catchs in one of the fishing areas(fish landing ports at Sadeng Yogyakarta) in JJA compared to in Desember-
January-February ( DJF) at the Asian monsoon wind peak .

Keywords: monsoon, variability, chlorophyll-a, sea surface temperature, upwelling

1. PENDAHULUAN
Variasi yang sangat umum dalam iklim adalah siklus tahunan. Perubahan musiman yang dihubungkan
dengan siklus tahunan adalah monsun. Istilah monsun berasal dari bahasa Arab ‘mausam’ atau ‘mausim’
yang berarti musim. Istilah tersebut telah meluas, tidak hanya digunakan untuk perubahan parameter iklim
secara musiman di daerah kontras darat-laut tetapi telah meluas ke daerah-daerah yang menunjukkan kontras
perubahan parameter iklim secara musiman. Parameter iklim yang banyak dijadikan acuan untuk
menunjukkan suatu daerah termasuk ke dalam kategori daerah monsun adalah angin dan curah hujan.
Beberapa daerah tropis dan subtropis mengalami musim hujan dan musim kemarau serta pembalikan arah
angin seperti daerah India, Asia timur dan Indonesia. Penggerak utama dari perubahan musiman parameter
iklim adalah perubahan distribusi panas permukaan Bumi karena posisi relatif Matahari dari ekuator antara
23,5 LU dan 23,5 LS. Menurut Ramage (1971) bahwa suatu daerah masuk dalam kategori daerah monsun
apabila: 1) pergeseran arah angin utama sedikitnya 120o antara Januari dan Juli, 2) arah angin utama

-675-
Pengaruh Monsun Terhadap Variabilitas Temperatur Muka Laut dan Klorofil-a di Laut Selatan Jawa Berbasis Data Model dan
Satelit (Subarna, D.)

persisten sedikitnya 40% dari waktu di bulan Januari dan Juli, 3) laju angin rata-rata melebihi 3 m/s pada
bulan Januari atau Juli, 4) lebih sedikit dari perubahan satu siklon-antisiklon setiap 2 tahun pada Januari atau
Juli.
Monsun adalah pembalikan pola angin musiman yang diakibatkan oleh gradien temperatur antara
daratan dan lautan (Slingo, 2003). Letak Indonesia yang diapit oleh dua semudera dan dua benua
mengakibatkan wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI) sangat terpengaruh oleh monsun. Angin monsun
sangat berperan dalam pembangkitan arus, gelombang dan distribusi temperatur muka laut (TML). Oleh
karena posisi yang unik, maka pulau-pulau di BMI mengalami respon yang kuat terhadap fenomena iklim
monsun. Monsun dan lautan serta fenomena yang saling mempengaruhi antar keduanya, kemungkinan
dipengaruhi oleh proses pertukaran laut-atmosfer dan pertukaran antar laut di Indonesia. Selama monsun
Australia maka angin tenggara dan timur dari Australia membangkitkan upwelling sepanjang pantai Jawa
(Susanto et al., 2006). Kondisi terbalik terjadi selama monsun Asia. Pemahaman evoluasi upwelling secara
spasial dan temporal adalah faktor yang penting dalam perikanan pantai.
Semua organisme seperti tumbuhan mikroskopik yang hidup di lapisan permukaan yang teriluminasi di
lautan disebut fitoplankton (Alvain., et al 2011). Keberadaan fitoplankton sangat menarik karena
fitoplankton membentuk basis jaring-jaring makanan akuatik, menyediakan fungsi ekologi yang penting
untuk semua kehidupan akuatik. Fitoplankton juga memainkan peranan penting dalam pemompaan karbon
secara biologi dan penyerapan CO2. Selama proses fotosintesis maka fitoplankton menyerap CO2 yang
terlarut dan merubahnya ke dalam senyawa organik dengan menggunakan energi Matahari. Klorofil-a
adalah pigmen yang terkandung dalam fitoplankton yang sangat dipengaruhi oleh temperatur air laut.
Distribusi temperatur air laut terutama temperatur muka laut (TML) sangat dipengaruhi oleh angin
permukaan laut. Angin berperan dalam pembangkitan arus, gelombang dan distribusi TML melalui tekanan
angin (wind stress) pada permukaan laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh monsun
terhadap variabilitas TML dan klorofil-a di Laut Selatan Jawa.

2. DATA DAN METODE


Satelit Aqua yang mempunyai sensor MODIS mengukur TML dan warna laut. Data MODIS
diperoleh dari LAPAN (http://bisma.sains.lapan.go.id/). Data tersebut dapat diproses dengan
menggunakan skript Phyton atau dengan menggunakan perangkat SeaDAS yang dapat diperoleh
dari http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/seadas/. Sensor MODIS mendeteksi radians yang diemisikan
dan direfleksikan dalam 36 kanal yang menyapu spektrum tampak sampai infra merah. Informasi
lebih lanjut tentang instrumen tersebut dapat diperoleh di NASA MODIS di alamat web
http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php. Algoritma klorofil-a MODIS standar (OC3;
O’Reilly et al., 2000) bergantung pada rasio refklektansi pada kanal 443, 448 dan 551 nm. Data
TML yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari bagian spektrum infra merah antara 11 dan 12
μm. Radiasi elektromagnetik yang diemisikan dari permukaan laut dapat dikonversi dengan
menggunakan Hukum Planck untuk mendapatkan temperatur muka laut. Untuk aplikasi inderaja
jendela spektral 11-12 μm sering digunakan oleh karena sensibilitas rendah terhadap atmosfer
Bumi. Data angin diperoleh dari sensor ASCAT (Advanced Scatterometer) di satelit METOP-A dan
dapat diunduh dari http://manati.star.nesdis.noaa.gov/ datasets/ASCATData.php/. Sedangkan data
model laut diperoleh dari HYCOM+NCODE, dapat diunduh di
http://tds.hycom.org/thredds/catalog.xml dan diolah dengan perangkat Grads. Lokasi penelitian
berada di (6,5o LS-15o LS dan 105oBT – 117o BT), seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Laut selatan
Jawa dengan keunikan lokasi geografi, kedalalaman bathimetri dan geometri pantai yang kompleks
merupakan jalur komunikasi di lintang rendah dua lautan besar yaitu lautan Pasifik dan lautan India
atau yang dikenal Arlindo atau Indonesia Through Flow.

-676-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 1. Lokasi penelitian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Karena pengaruh geografi pantai dan variasi topografi bawah laut di selatan Jawa maka variabilitas
dalam Arlindo dapat diduga terkait dengan variabilitas TML dan warna laut (klorofil). Disamping dari
Arlindo maka TML dan warna lautan di laut Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem monsun Asia-
Australia yaitu monsun tenggara dan barat laut. Monsun tenggara (Juni-Juli-Agustus) terkait dengan angin
Timuran dari Autralia yang membawa udara hangat dan kering di atas wilayah Indonesia. Sedangkan
Monsun Asia berhubungan dengan monsun angin Baratan yang disertai udara lembab dan banyak uap air
yang membawa curah hujan tinggi di wilayah Indonesia. Angin monsun dapat beriteraksi dengan permukaan
laut melalui pembangkitkan arus, gelombang dan distribusi TML melalui kekuatan tekanan angin (wind
stress). Angin monsun Australia pada bulan JJA dari arah tenggara berinteraksi dengan permukaan air laut
melalui tekanan angin akan membangkitkan transport Ekman. Oleh karena lokasi laut selatan Jawa berada di
selatan Ekuator maka arah transport Ekman akan menjauhi pantai Jawa menuju laut lepas. Mekanisme
tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme angin Tenggara dari Australia berinterkasi dengan permukaan laut menghasilkan fenomena
transport Ekman

Karena transport Ekman tersebut maka terjadi kekosongan massa air di sekitar pantai. Kekosongan
massa air tersebut diisi oleh massa air yang datang dari lapisan lebih dalam dengan temperatur yang lebih
dingin sebesar 25,3o C daripada TML di sekitarnya sebesar 26,32o C. Proses pengisian massa air tersebut
disebut dengan coastal upwelling. Disamping temperatur yang lebih dingin dari TML di sekitarnya, massa
air ini pula kaya dengan nutrient atau zat hara yang dibutuhkan oleh ikan-ikan kecil yang membentuk rantai
makanan akuatik.
-677-
Pengaruh Monsun Terhadap Variabilitas Temperatur Muka Laut dan Klorofil-a di Laut Selatan Jawa Berbasis Data Model dan
Satelit (Subarna, D.)

Upwelling sepanjang pantai di laut selatan Jawa adalah sebuah respon terhadap angin regional
yang berhubungan dengan iklim monsun. Pusat upwelling berawal di pantai selatan Bali dengan
temperatur permukaan rendah bermigrasi ke arah barat dan menuju pantai selatan Jawa Barat
selama monsun Australia (Juni-Juli-Agustus) seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Lintasan migrasi
bergantung pada evolusi musim angin sepanjang pantai dan perubahan lintang dalam parameter
koriolis. Upwelling berakhir disebabkan oleh pembalikan angin yang berhubungan dengan
munculnya monsun Asia (Desember-Januari-Februari) dan tubrukan gelombang Kelvin ekuator
laut India. Variabilitas antar tahunan yang penting dari upwelling di Laut Selatan Jawa dikaitkan
dengan ENSO melalui Arlindo oleh anomali angin timuran. Selama episode El nino Upwelling
Jawa-Sumatera meluas sampai mendekati ekuator dan makin lama sampai November. Selama El
nino (La nina) Arlindo membawa kedalam termoklin air lebih dingin (lebih panas) mendangkal
(mendalam) dan meningkatkan (menurunkan) kekuatan upwelling (Susanto et al., 2001; Susanto
dan Marra, 2005).

Gambar 3. Perbandingan pola distribusi TML dari MODIS dan streamline dari ASCAT pada saat monsun Australia
(JJA) dan monsun Australia dan monsun Asia (DJF)

Semakin kuat angin monsun Australia (JJA) maka semakin kuat pula proses upwelling terjadi. Telah
disebutkan bahwa massa air dari bawah permukaan laut yang diangkat ke permukaan melalui proses
upwelling sangat kaya dengan nutrient atau zat hara. Indikasi tersebut ditunjukkan dengan kandungan
klorofil-a seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

-678-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 4 . Perbandingan pola distribusi klorofil-a dari MODIS dan angin dari ASCAT pada saat monsun Australia
(JJA) dan monsun Asia (DJF)

Kondisi sebaliknya terjadi saat monsun Asia (DJF). Nilai klorofil-a di selatan laut Jawa sangat rendah
yang memungkinkan rendah pula hasil perikanan tangkap. Di samping itu, bila dilihat streamline angin
(Lihat Gambar 3) dan arus permukaan laut (Lihat Gambar 7) maka arah angin banyak menuju pantai dan
saling bertabrakan membentuk vorteks. Di permukaan laut banyak bermunculan arus eddi sehingga
membahayakan kondisi melaut.
Bila kita tampilkan fluktuasi TML dan kolorofil-a bersama-sama maka akan terlihat variabilitas keduanya
yang mengikuti variabilitas monsun, seperti ditunjukkan Gambar 5. Puncak TML rendah hasil proses
upwelling berbarengan dengan melimpahnya klorofil-a yang terjadi saat monsun Australia (JJA). Begitu pula
kondisi TML relatif tinggi maka kandungan klorofil-a relatif rendah.

Gambar 5. Fluktuasi TML dan klorofil-a di lokasi (8,2 LS dan 110 BT) mengikuti ritme variabilitas monsun

Dari aspek pemodelan digunakan model HYCOM+NCODA (HYbrid Coordinate Ocean Model)+(Navy
Coupled Ocean Data Assimilation) untuk mengetahui proses upwelling dari lapisan bawah permukaan laut.
Disamping itu pula ingin diketahui kenerja model tersebut dalam menangkap fenomena yang sebernarnya
terjadi. Model HYCOM adalah model laut global dengan resolusi spasial 1/12 derajat dan resolusi temporal

-679-
Pengaruh Monsun Terhadap Variabilitas Temperatur Muka Laut dan Klorofil-a di Laut Selatan Jawa Berbasis Data Model dan
Satelit (Subarna, D.)

harian. HYCOM adalah model sirkulasi umum persamaan primitif yang isopycnal ke dalam lautan terbuka
dan terstratifikasi tetapi menggunakan persamaan kontinuitas berlapis agar dinamis pada transisi halus ke
terrain mengikuti kordinat di daerah pantai yang dangkal (Halliwell, 2004). Model ini dijalankan dengan
komputer super dengan bantuan program data asimilasi NCODA. Dari versi 1.0 sampai versi 2.2 model
HYCOM telah mengalami berbagai penyempurnaan dan perbaikan sebagai hasil kerjasama antara University
of Miami, the Los Alamos National Laboratory, and the Naval Research Laboratory (NRL). Pengguna
HYCOM dapat memberi kontrol pada penyiapan domain model, menghasilkan medan forcing dan
memasukan data klimatologi dari simulasi model lain sebagai syarat batas. Model dapat dijalankan secara
paralel dan dirancang protable berbasis sistem UNIX (Wallcraft, 2003)
Hasil pengolahan data model HYCOM ini dapat ditunjukkan pada Gambar 6 dan Gambar 7 masing-
masing untuk kondisi monsun Australia (JJA) dan Monsun Asia (DJF) berikut dengan penampang melintang
dari garis pantai sekitar Sadeng Yogyakarta ke lepas pantai sejauh 780 km ( ditunjukkan dengan garis +------
------ ) pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Pada bulan Juni model tidak mampu menangkap fenomena upwelling bila dibandingkan dengan hasil
pengamatan satelit. Dengan demikian pada bulan Juni tidak terlihat kemunculan kolam massa air dingin di
permukaan dan penampang melintang menunjukkan bahwa lapisan termoklin berada pada kedalaman rata-
rata 60 m di sekitar pantai. Namun pada bulan Juli dan Agustus, hasil dari keluaran model menunjukkan
kemunculan kolam massa air dingin yang bermula di sekitar selatan Bali menyebar ke arah Barat menuju
selat Sunda. Bila kita perhatikan penampang melintangnya maka dapat dilihat bahwa lapisan termoklin
bergerak ke atas mendekati permukaan laut. Sehingga proses coastal upwelling dapat dikonfirmasi dari hasil
model laut untuk memperkuat dugaan terdahulu bahwa terjadinya kenaikan massa air dingin dan
melimpahnya klorofil-a di sekitar pantai selatan laut Jawa adalah akibat dari proses coastal upwelling yang
dikendalikan oleh angin monsun Australia.

-680-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 6. Pola distribusi TML, arus permukaan dari model HYCOM dan penampang melintang (cross-section)
temperatur laut dari garis memotong pantai (0) sampai 780 km ke lepas pantai
saat monsun Australia (JJA)

Pada saat monsun Asia TML relatif tinggi (> 26,3oC) dan lapisan termoklin relatif dalam sekitar 60 m seperti
ditunjukkan pada Gambar 7.

-681-
Pengaruh Monsun Terhadap Variabilitas Temperatur Muka Laut dan Klorofil-a di Laut Selatan Jawa Berbasis Data Model dan
Satelit (Subarna, D.)

Gambar 7. (a) Pola distribusi TML dan arus permukaan (b) Profil temperatur rata-rata bulan Desember 2011, Januari,
Februari 2012 saat monsun Asia.

4. KESIMPULAN
Telah dilakukan kajian mengenai pengaruh monsun Asia dan Australia terhadap pola distribusi TML,
klorofil-a dengan pendekatan data satelit dan keluaran model di Laut Selatan Jawa. Hasil menunjukkan
bahwa pada saat monsun Australia yang berlangsung pada bulan Juni-Juli-Agustus TML sekitar pantai relatif
rendah sebesar 25,3 oC dibandingkan dengan TML disekitarnya sebesar 26,32 oC, apalagi dibandingkan
dengan TML pada saat monsun Asia yang tinggi. Nilai klorofil-a pada saat monsun Australia relatif tinggi
dibandingkan dengan kondisi monsun Asia. Kejadian ini adalah sebagai akibat dari proses coastal upwelling
yang diakibatkan oleh proses transport Ekman dan dipicu oleh angin melalui tekanan angin (wind stress).

5. UCAPAN TERIMA KASIH


The author would like to thank to the LAPAN, NASA JPL, NOAA and NOAA ESRL for providing
access to the data that enabled this research.

DAFTAR PUSTAKA
Alvain, S., Gaurier, L.D., dan Loisel, H., (2011). Handbook Of Satellite Remote Sensing Image Interpretation:
Applications Marine for Living Resources Conservation and Management.
Halliwell, G., (2004). Evaluation of Vertical Coordinate and Vertical Mixing Algorithms In The Hybrid Coordinate
Ocean Model (Hycom). Ocean Modelling, 7:285-322.
Slingo, J., (2003). Overview Dynamical Theory Enso–Monsoon Interactions Prediction.
Susanto, R.D, Gordon, A.L, dan Zheng, Q., (2001), Upwelling Along The Coasts of Java and Sumatra and Its Relation
to Enso. Geophysical Research Letters, 28(8):1599-1602

-682-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Susanto, R.D., MooreIi, T.S., dan Marra, J., (2006), Ocean Color Variability In The Indonesian Seas During The
Seawifs Era, Geochem. Geophys. Geosyst., Doi:10.1029/2005gc001009.
Susanto, R.D., dan Marra, J., (2005). Effect of The 1997/98 El Niño On Chlorophyll A Variability Along The Southern
Coasts of Java And Sumatra, Oceanography, 18(4)
Ramage, C. (1971). Monsoon Meteorology. International Geophysics Series, San Diego, Ca: Academic Press.
Ramage, C. S., (1971): Monsoon Meteorology. Academic Press, 296 Pp
Wallcraft, A., (2003) Hybrid Coordinate Ocean Model (Hycom): User’s Guide,
Http://Panoramix.Rsmas.Miami.Edu/Hycom/Documentation.Html

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

DAFTAR ACARA
PRESENTASI POSTER SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Pengaruh Monsun Terhadap Variabilitas Temperatur Muka Laut dan
Klorofil-a di Laut Selatan Jawa Berbasis Data Model dan Satelit
Pemakalah : Dadang Subarna (LAPAN)
Diskusi :

Pertanyaan : Eko Susilo (KKP)


1. Terkait dengan topik upwelling di pantai selatan ini sangat menarik, disarankan untuk
penambahan pergerakan secara vertical, jadi bila dipotong melintang dari utara selatan dari
model Hycom sendiri ada tiga dimensi dari permukaan sampai kedalaman tertentu. Sehingga
selain secara spasial pergerakan utara selatan barat timur kita juga bisa melihat seberapa besar
massa air yang dipindahkan itu dan perubahan lapisan termoklinenya sendiri seperti apa.

Pertanyaan : Maryani Hartuti (LAPAN)


2. Untuk klorofil dan spl, 2 parameter tersebut tidak bisa langsung dihubungkan, misalnya bila
terjadi redtide, mungkin ada proses delay. Mungkin itu juga yang termasuk yang perlu
diperhatikan.

Jawaban :
1. Sebenarnya kami ingin mengeluarkan vektor w tapi ternyata Hycom tidak mengeluarkan vektor
w. Sebenarnya jika ada unsur w itu kita bisa menganalisa lebih jauh.
2. Untuk mengetahui pengaruh monsoon terutama pada puncaknya, jadi bila monsoon Australia,
bulan juni-agustus, monsoon asia bulan des – februari, dibuat rata-rata bulanan sehingga bisa
dilihat pada saat puncak monsoon Australia terjadi airnya menjadi dingin dan klorofil menjadi
meningkat. Kami menggunakan model untuk mengetahui proses yang ada di benua Australia,
ternyata dari model itu pada bulan-bulan tersebut ada kenaikkan massa air yang cukup luas di
benua australia, angin yang bertiup dari Australia memberikan windstress sehingga massa air
menjauh dari equator.

-683-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Analisis Tinggi Gelombang Signifikan di Perairan Laut Indonesia Saat


Musim Hujan dan Kemarau

Analysis of Significant Wave Height in Indonesian Waters during Rainy


Season and Dry Season

Sartono Marpaung1*)
1
Pusat Pemanfaatan PenginderaanJauh – LAPAN
*)
E-mail : tono_lapan@yahoo.com

ABSTRAK-Faktor alam yang berpengaruh kuat terhadap kegiatan di sektor kelautan adalah gelombang laut.
Gelombang laut dengan tinggi yang ekstrem dapat mengancam keselamatan dan menimbulkan kerugian. Gelombang
laut digolongkan berdasarkan gaya pembangkit terjadinya gelombang tersebut yaitu : gelombang angin, gelombang
pasang surut, gelombang tsunami dan gelombang yang disebabkan oleh pergerakan kapal. Gelombang laut yang terjadi
setiap hari adalah gelombang yang disebabkanolehtiupan angin dan pasang surut. Pada penelitian ini dilakukan analisis
gelombang laut menggunakan data tinggi gelombang signifikan dari satelit altimetri (Jason-2, Cryosat-2 dan Saral).
Tujuannya untuk mengetahui variabilitas tinggi gelombang laut saat musim hujan bulan Desember-Januari-Februari
(DJF) dan musim kemarau bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Wilayah kajian penelitian mencakup perairan laut Indonesia
dan sekitarnya. Dalam analisis dilakukan perata-rataan untuk menentukan rata-rata bulanan dan rata-rata bulanan antar
lintang saat musim hujan dan kemarau. Berdasarkan analisis yang dilakukan, hasil yang diperoleh menggambarkan
bahwa tinggi gelombang signifikan di perairan laut Indonesia dan sekitar pada musim hujan adalah 0 sampai 2 meter
dan saat musim kemarau sekitar 0 sampai 2,5 meter. Gelombang yang tinggi dominan terjadi di Samudera Hindia, Laut
Cina Selatan dan Samudera Pasifik saat musim hujan dan saat musim kemarau dominan terjadi di Samudera Hindia.
Saat musim hujan pengaruh dinamika Samudera Pasifik sedikit lebih kuat dibandingkan Samudera Hindia. Pada musim
kemarau pengaruh Samudera Hindia jauh lebih kuat dibandingkan Samudera Pasifik. Angin monsun Asia yang bertiup
saat musim hujan bulan DJF sangat kuat pengaruhnya dalam membangkitkan gelombang laut di Samudera Pasifik dan
Laut Cina Selatan. Saat musim kemarau bulan JJA angin monsun Australia mempunyai pengaruh yang kuat dalam
menggerakkan gelombang laut di Samudera Hindia.

Kata kunci: variabilitas, gelombang laut, tinggi gelombang signifikan, musim dan satelit altimetri

ABSTRACT-Natural factors that strongly influence the activities in the marine sector are ocean waves. The ocean
waves with extreme height may threaten the safety and result in losses. The ocean waves are classified by forces to the
wave generator, that is wind wave, tidal waves, tsunami waves and waves caused by the movement of the ship. Ocean
waves that occur each day are the waves caused by winds and tides. In this research, ocean wave analysis was carried
out using the significant wave height data from altimetry satellites (Jason-2, Cryosat-2 and Saral). The goal is to find
out the high variability of ocean waves during the rainy season December-January-February (DJF) and the dry season
June-July-August (JJA). The research study area includes the waters of Indonesia and surrounding areas. In the
analysis performed averaging to determine the monthly average and monthly average in every latitudes during the
rainy season and the dry season. Based on the analysis performed, the results illustrate that the significant wave height
in the sea waters around Indonesia during the rainy season is 0 to 2 meters and during the dry season around 0 to 2.5
meters. High waves were dominant in the Indian Ocean, South China Sea and the Pacific Ocean during the rainy
season and the dry season occurs predominantly in the Indian Ocean. During the rainy season the influence of the
dynamics of the Pacific Ocean is a little stronger than the Indian Ocean. In the dry season the influence of the Indian
Ocean is far more powerful than the Pacific Ocean. Asian monsoon winds that blew during the rainy season months of
DJF is very powerful in evoking the sea waves in the Pacific Ocean and the South China Sea. During the dry season
months JJA monsoon Australia has a strong influence in moving sea waves in the Indian Ocean.

Keywords: variability, ocean wave, significant wave height, season and satellite altimetry

-684-
Analisis Tinggi Gelombang Signinikan di Perairan Laut Indonesia Saat Musim Hujan dan Kemarau (Marpaung, S)

1. PENDAHULUAN
Salah satu faktor alam yang sangat memengaruhi kegiatan di sektor kelautan adalah gelombang laut.
Gelombang laut dengan tinggi yang ekstrem dapat mengancam keselamatan dan menimbulkan kerugian
material yang cukup besar. Pelayanan informasi meteorologi kelautan (marine meteorological services)
selain memuat informasi cuaca laut, harus memuat informasi tentang gelombang sebagai bagian informasi
terpenting untuk kelautan. Dampak dari kejadian gelombang tinggi dilaut dapat dicegah atau dikurangi
dengan memahami karakteristik gelombang tersebut baik secara spasial maupun temporal. Gelombang yang
terjadi di laut digolongkan berdasarkan gaya pembangkitnya atau gaya penyebab terjadinya gelombang
tersebut. Gelombang laut terjadi karena dibangkitkan oleh beberapa faktor yaitu : angin menghasilkan
gelombang angin, gaya tarik menarik bumi-bulan-matahari menghasilkan gelombang pasang surut atau tidal,
gempa vulkanik atau tektonik di dasar laut menghasilkan gelombang tsunami dan gelombang yang
disebabkan oleh pergerakan kapal (Kurniawan, 2012). Gelombang laut yang terjadi setiap hari pada
umumnya adalah gelombang yang disebabkan oleh angin dan pasang surut. Tinggi gelombang laut adalah
jarak antara puncak dan lembah secara tegak lurus, setelah dihilangkan efek dari pasang surut (Ningsing,
2012). Tinggi gelombang angin sangat dipengaruhi oleh kondisi angin yang bertiup, jika angin makin cepat
bertiup maka gelombangnya semakin tinggi. Selain pengaruh kecepatan angin, persistensi arah tiupan juga
sangat berpengaruh terhadap kondisi gelombang laut. Arah tiupan angin yang seragam di suatu wilayah laut
akan menyebabkan gelombang laut yang terjadi semakin besar. Arah tiupan angin yang sama akan
mengakibatkan terbentuknya gelombang konstruktif yang saling menguatkan sehingga energi yang
dibangkitkan oleh tiupan angin semakin besar. Kondisi ini sering terjadi saat angin monsun Asia pada musim
hujan dan angin monsun Australia pada musim kemarau. Istilah yang sering digunakan untuk menyatakan
tinggi gelombang laut adalah tinggi gelombang signifikan. Berdasarkan hasil rekaman data, tinggi
gelombang signifikan didefinisikan sebagai tinggi rata-rata sepertiga dari gelombang-gelombang tertinggi
yang nilainya setara dengan tinggi gelombang hasil observasi secara visual (Peter dkk, 2010). Tinggi
gelombang signifikan disimbolkan dengan H 1/3 atau Hs. Dalam kerentanan pesisir tinggi gelombang
signifikan suatu parameter oseanografi berkaitan dengan bahaya penggenangan pesisir. Minimnya data
gelombang laut dari hasil pengukuran in situ sehingga diperlukan data gelombang laut hasil pengamatan
satelit dengan cakupan yang luas.
Wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di ekuator pada umumnya mengalami dua
musim yang berbeda dalam setahun yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim tersebut
dipengaruhi oleh angin monsun yang berbeda yaitu monsun Asia pada saat musim hujan dan monsun
Australia pada saat musim kemarau. Musim hujan terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari dan musim
kemarau pada bulan Juni-Juli-Agustus (Bayong, 2008). Saat musim hujan angin bertiup dari benua Asia
dengan kandungan uap air yang tinggi menuju ekuator sehingga wilayah Indonesia memiliki curah hujan
yang tinggi. Pada musim kemarau angin yang bertiup adalah udara kering (kandungan uap air rendah) dari
benua Australia menuju ekuator menyebabkan kemarau di Indonesia (Aldrian, 2008). Selain itu dikenal juga
masa pancaroba dari musim hujan ke kemarau pada bulan Maret-April-Mei dan masa pancaroba dari musim
kemarau ke hujan pada bulan September-Oktober-November. Saat masa pancaroba angin yang bertiup tidak
menentu atau sering berganti arah.Saat musim hujan dan kemarau, gelombang laut yang terjadi di perairan
laut Indonesia memiliki ketinggian yang bervariasi. Perubahan musim mengakibatkan perubahan tinggi
gelombang laut sesuai dengan waktu dan wilayah perairan laut (Yuningsih dan Masduki, 2011). Variabilitas
yang terjadi disebabkan oleh faktor pembangkit yang mempunyai pengaruh kuat terhadap gelombang laut
seperti faktor angin. Karakteristik gelombang laut di perairan laut Indonesia mempunyai pola yang
berasosiasi dengan siklus angin monsunal/musim baik secara spasial maupun temporal (Bayong, 2008).
Untuk mengkaji variabilitas dari gelombang laut secara temporal dan spasial diperlukan data satelit
penginderaan jauh.
Satelitaltimetri adalah bagian dari teknologi penginderaan jauh yang mempunyai misi untuk
mengobservasi permukaan laut (Limantara dkk, 2013). Satelit tersebut menggunakan teknologi radar atau
sensor aktif yaitu altimeter. Prinsip dasar pengukuran satelit altimetri adalah sensor altimeter
menghamburkan gelombang radar dan menerima hamburan balik dari permukaan laut. Satelit tersebut dapat
melakukan perekaman data setiap waktu tanpa kendala. Hal ini merupakan keunggulan dari satelit altimetri
yang menggunakan sensor aktif dibandingkan dengan satelitoptis yang sering terkendala oleh tutupan awan.
Satelit altimetri yang aktif beroperasi saat ini adalah: Sentinel-3, Jason-3, Jason-2, Cryosat-2, Saral dan Hai
Yang-2. Data yang dihasilkan dari perekaman satelit tersebut adalah: tinggi muka laut, arus geostropik,
tinggi gelombang signifikan, kecepatan angina permukaan laut dan tutupan es di kutub. Untuk memenuhi
kebutuhan data yang diperlukan oleh pengguna di berbagai sektor, data-data hasil rekaman beberapa satelit
altimetri digabung (merged) untuk menghasilkan data dengan cakupan global dan resolusi temporal harian.
-685-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Tim yang mempunyai otoritas dalam pengolahan dan distribusi data dari satelit altimetri adalah AVISO
(Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic data).
Pemanfaatan data satelit altimetri terkait dengan gelombang laut telah dilakukan kajian menggunakan
data tinggi gelombang signifikan untuk mengetahui frekuensi kejadian gelombang ekstrem di perairan laut
Indonesia dan sekitarnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa jumlah kejadian gelombang ekstrem sekitar
1 sampai 12 kejadian pertahun dan total kejadian gelombang ekstrem pada wilayah kajian mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun (Marpaung dkk, 2015). Kejadian gelombang ekstrem lebih dominan terjadi
di perairan laut bagian selatan dibandingkan bagian utara, diduga akibat pengaruh dari Samudera Hindia.
Sesuai dengan ketersediaan data satelit serta dalam rangka pemanfaatan data satelit altimetri untuk sektor
kelautan, dalam penelitian ini dilakukan kajian tentang analisis gelombang laut berdasarkan parameter
oseanografi tinggi gelombang signifikan. Tujuannya untuk mengetahui variabilitas tinggi gelombang
signifikan pada musim hujan dan kemarau di perairanlaut Indonesia dan sekitarnya, saat arah angin sebagai
pembangkit gelombang laut dalam kondisi arah yang berbeda/berlawanan.

2. METODE
Untuk bahan analisis dalam penelitianinidigunakan data tinggi gelombangsignifikanhasil perekaman
dari satelitaltimetri (Jason-2, Cryosat-2 dan Saral). Data yang digunakan mulai dari 1 Januari 2011 sampai31
Desember 2015 (5 tahun). Data tersebutmemilikiresolusispasialberdasarkan bujur dan lintang sebesar 1o x 1o
dan resolusi temporalharian. Sumber data ftp://ftp.aviso.altimetry.fr/pub/oceano/AVISO/wind-
wave/nrt/mswh/merged/. Wilayahpenelitianmencakup perairanlautInonesia dan sekitarnya, batasnya 93o s/d.
141o bujur timur, 11o lintang selatan s/d. 8o lintang utara, seperti diperlihatkan dalam Gambar 1. berikut.

Gambar 1. Wilayah Kajian Penelitian MencakupPerairanLautIndonesiadan Sekitarnya

Dalam menganalisis data satelit altimetri yang digunakan dalam penelitin ini, dilakukan perata-rataan data
tinggi gelombang signifikan untuk menentukan rata-rata bulanan pada musim hujan dan musim kemarau
selama periode pengamatan dari tahun 2011 sampai 2015. Pergeseran gelombang laut berfluktuasi dengan
musim yang berlangsung selama tiga bulanan (Primadona, 2014). Untuk musim hujan ditentukan rata-rata
bulanan pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dan musim kemarau pada bulan Juni-Juli-Agustus
(JJA). Dilakukan analisis untuk bulan DJF dan JJA untuk mengetahui variabilitas tinggi gelombang
signifikan pada musim hujan dan musimkemarau, saat angin yang memengaruhi gelombang tersebut dalam
kondisi berlawanan arah. Analisis selanjutnya adalah perata-rataan tinggi gelombang signifikan antar lintang
pada wilayah kajian. Rata-rata antar lintang ditujukan untuk mengetahui variasi tinggi gelombang signifikan
antar bujur pada wilayah kajian. Dari variasi tersebut dapat diketahui pengaruhdari dua samudera luas yang
mengapit wilayah Indonesia, Samudera Hindia di bagian barat dan Samudera Pasifik di bagian timur pada
saat musim hujan dan musim kemarau.

3. HASILDAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berdasarkan pengolahan data tinggi gelombang signifikan yang
telah dilakukan seperti ditunjukkan pada Gambar 2. dan Gambar 3. berikut ini.

-686-
Analisis Tinggi Gelombang Signinikan di Perairan Laut Indonesia Saat Musim Hujan dan Kemarau (Marpaung, S)

Gambar 2. Rata-Rata Bulanan Tinggi Gelombang Signifikan Saat Musim Hujan DJF

Gambar 2 menunjukkan rata-rata bulanan tinggi gelombang signifikan saat musim hujan bulan DJF dari
tahun 2011 sampai 2015 di perairan laut Indonesia dan sekitarnya. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata
bulanan tinggi gelombang signifikan memiliki ketinggian yang bervariasi antara 0 sampai 2 meter. Bulan
Desember gelombang dengan ketinggian 1,5 sampai 2 meter terdapat di sebelah barat Pulau Sumatera atau
sebelah selatan Pulau Jawa (Samudera Hindia), Laut Cina Selatan dan sebelah utara Papua (Samudera
Pasifik). Gelombang yang rendah terdapat di perairan laut antar pulau. Bulan Januari gelombang yang tinggi
terdapat di wilayah yang sama dengan bulan Januari dan terjadi sedikit peningkatan ketinggian gelombang.
Gelombang yang rendah cakupannya semakin berkurang, terdapat di perairan laut sekitar Pulau Sulawesi.
Bulan Februari sebaran spasial gelombang hampir sama dengan bulan Januari tetapi tinggi gelombang
semakin berkurang atau melemah. Ketinggian gelombang mencapai puncaknya pada bulan Januari. Secara
umum pada musim hujan DJF gelombang laut terendah terdapat di perairan laut sekitar Pulau Sulawesi. Hal
ini disebabkan oleh faktor topografi/kedalaman laut, laut di wilayah tersebut memiliki kedalam yang lebih
besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya ketinggian gelombang di perairan laut antar
pulau lebih rendah dibandingkan wilayah kajian lainnya. Gelombang yang tinggi dengan ketinggian 1,5
sampai 2 meter dominan terjadi di sebelah barat Pulau Sumatera atau sebelah selatan Pulau Jawa (Samudera
Hindia), sebelah utara Papua (Samudera Pasifik) dan Laut Cina Selatan. Kemungkinan akibat pengaruh
angin baratan yang bertiup dari benua Asia menuju Indonesia dominan terjadi saat musim hujan pada bulan
DJF. Ditinjau dari ketinggian gelombang yang terjadi secara temporal dari Desember ke Januari semakin
menguat dan dari Januari ke bulan Februari semakin berkurang atau melemah. Gelombang yang terjadi
dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di lautan luas yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

-687-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 3. Rata-rata Bulanan Tinggi Gelombang Signifikan Saat Musim Kemarau Bulan JJA

Rata-rata bulanan tinggi gelombang signifikan pada musim kemarau JJA tahun 2011 sampai 2015
diperlihatkan pada Gambar 3. Variasi tinggi gelombang berkisar antara 0 sampai 2,5 meter. Pada musim
kemarau gelombang yang rendah dominan terjadi di perairan antar pulau, hampir sama dengan kondisi pada
saat musim hujan. Ketinggian gelombang selama bulan JJA diperairan antar pulau relatif stabil. Gelombang
yang tinggi dominan terjadi di Samudera Hindia sedangkan di bagian tengah dan timur wilayah kajian tidak
tampak. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh dari dua laut luas yaitu Samudera Pasifik dan Laut Cina
Selatan tidak tampak saat musim kemarau. Hal ini akibat pengaruh angin timur yang dominan bertiup saat
musim kemarau dari benua Australia melewati Samudera Hindia menuju ekuator. Berdasarkan ketinggian
gelombang laut yang terjadi dari bulan Juni sampai Agustus sedikit melemah terutama di Samudera Hindia.
Analisis-analisis selanjutnya dilakukan perata-rataan secara horizontal antar lintang untuk memperoleh
rata-rata meridian l saat musim hujan bulan DJF dan musim kemarau bulan JJA, seperti diperlihatkan pada
Gambar 4. Berikut ini.

-688-
Analisis Tinggi Gelombang Signinikan di Perairan Laut Indonesia Saat Musim Hujan dan Kemarau (Marpaung, S)

Gambar 4. Rata-rata Bulanan Antar Lintang Tinggi Gelombang Signifikan Bulan DJF dan JJA

Gambar 4 menunjukkan rata-rata bulananantarlintangtinggi gelombang signifikan saatmusim hujan bulan


DJF dan musimkemarau bulan JJA. Saat musim hujan pada bulan Desember dan Januari, hasil berdasarkan
deretanbujur menunjukkan bahwa nilai rata-rata di wilayah kajian bagian barat hampir sama dengan di
bagian timur. Sedangkan bulan Februari dibagian barat mengalami peningkataan dan di bagian timur sedikit
menurun. Hal ini menunjukkan bahwa Samudera Hindia dan Samudera Pasifik merupakan dua samudera
yang berpengaruhnya terhadap gelombang laut di perairan laut Indonesia. Saat musim kemarau bulan JJA
hasil menunjukkan bahwa rata-rata di bagian barat lebih tinggi di bandingkan bagian timur lokasi kajian. Ini
menggambarkan bahwa pengaruh Samudera Hindia lebih kuat dibandingkan Samudera Pasifik saat musim
kemarau.
Hasil analisis keseluruhan menggambarkan bahwa pengaruh dari Samudera Hindiat ampak nyata saat
musim hujan dan kemarau. Berdasarkan ketinggian gelombang laut yang terjadi pengaruh Samudera Hindia
saat musim kemarau lebih kuat dibandingkan saat musim hujan. Hal ini disebabkan pengaruh angin monsun
yang bertiup dari benua Australia melewati Samudera Hindia menuju ekuator. Pengaruh dari Samudera
Pasifik dan Laut Cina Selatan terlihat nyata saat musim hujan, sedangkan saat musim kemarau pengaruh dari
kedua laut luas tersebut tidak signifikan. Hal tersebut akibat gaya pembangkit angin yang bertiup saat musim
hujan adalah angin monsun Asia yang bertiup dari benua Asia melewati Laut Cina Selatan dan Samudera
Pasifik bagian barat menuju ekuator wilayah Indonesia.

4. KESIMPULAN
Tinggi gelombang signifikan di perairan laut Indonesia dan sekitarnya pada musim hujan adalah 0 sampai
2 meter dan saat musim kemarau sekitar 0 sampai 2,5 meter. Pada umumnya di perairan laut antar pulau
tinggi gelombang signifikan lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya. Gelombang terendah terdapat di
perairan laut sekitar Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan. Hal ini disebabkan oleh faktor kedalaman laut di
wilayah tersebut memiliki kedalam yang lebih dalam.Gelombang yang tinggi dominan terjadi di Samudera
Hindia, Laut Cina Selatan dan Samudera Pasifik saat musim hujan dan saat musim kemarau dominan terjadi
di Samudera Hindia. Saat musim hujan pengaruh dinamika Samudera Pasifik sedikit lebih kuat dibandingkan
Samudera Hindia. Pada musim kemarau pengaruh Samudera Hindia jauh lebih kuat dibandingkan Samudera
Pasifik. Angin monsun Asia yang bertiup saat musim hujan bulan DJF sangat kuat pengaruhnya dalam
membangkitkan gelombang laut di Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan. Saat musim kemarau bulan JJA

-689-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

angin monsun Australia mempunyai pengaruh yang kuat dalam menggerakkan gelombang laut di Samudera
Hindia.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Syarif Budhiman, M.Sc. yang telah memberikan saran dan
arahan yang signifikan dalam menyusun karya tulis ini.

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., (2008). Meteorologi Laut Indonesia : Penerbit Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
Arief, M., Prayogo, T., Winarso, G., dan Hartuti, M., (2015). Aplikasi Data Penginderaan Jauh untuk Menentukan
Indeks Kerentanan Pantai terhadap Kenaikan Air Laut, Studi Kasus: Kota Semarang.Pemanfaatan Data
Penginderaan Jauh untuk Wilayah Pesisir dan Laut,Penerbit IPB Press, Bogor.
Bayong, Tj. H.K., (2008). Sains Atmosfer : Penerbit Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
Limantara, Y., Sudarsono, B., dan Sasmito, B., (2013). Analisis Sea Level Rise Menggunakan Data Satelit Altimetri
Jason-2 Periode 2008-1012: Studi Kasus Laut Utara Jawa dan Laut Selatan Jawa. Jurnal Geodesi UNDIP, 2(4):182-
193.
Kurniawan, R.,(2012). Karakteristik Gelombang Laut dan Daerah Rawan Gelombang Tinggi di Perairan Indonesia.
(Magister Sains Master Thesis), Ilmu Kelautan, UI (University of Indonesia), Depok.
Marpaung, S., Anggraini, N., dan Hartuti, M., (2015). Identifikasi Kejadian Gelombang Ekstrem di Perairan Laut
Indonesia Menggunakan Data Multi Satelit Altimetri, Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Wilayah Pesisir
dan Laut.Penerbit IPB Press, Bogor.
Ningsing, B.S., (2012). Penentuan Komponen-Komponen Pasang Surut dari Data Satelit Altimetri dengan Metode
Analisis Kuadran Terkecil. (Skripsi), Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Peter, C., Galanis, G., dan Kuo, Y., (2010). Statistical Structure of Global Significant Wave Heights. Proceedings of
20th Conference on Probability and Statistics in Atmospheric Sciences, Atlanta.
Primadona, N.P., (2014). Variabilitas Angin dan Gelombang Laut sebagai Energi Terbarukan di Pantai Selatan Jawa
Barat.Akuatika, 4(1):8-15.
Yuningsih, A.,dan Masduki, A., (2011). Potensi Energi Arus Laut untuk Pembangkit Tenaga Listrik di Kawasan Pesisir
Flores Timur NTT.Ilmu Kelautan dan Teknologi Tropis, 3:1-12.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

JudulMakalah : Analisis Tinggi Gelombang Signifikan di Perairan Laut Indonesia saat Musim
Kemarau dan Hujan
NamaPemakalah : SartonoMarpaung (LAPAN)
Diskusi :

Pertanyaan: Ratih Dewanti (LAPAN)


Mengacu tugas dan fungsi LAPAN, terutama Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, mohon klarifikasi dan
penjelasan lebih lanjut, di bagian mana Penginderaan Jauh LAPAN secara spesifik berperan dan
berkontribusi dalam penyediaan informasi ini, terutama bila dibanding dengan informasi dari BMKG, KKP,
Dishidros-AL? Adakah kekhasan tersebut? Mohon penjelasan, terima kasih.

Jawaban:
Dalam penelitian ini digunakan data tinggi gelombang signifikan dari satelit altimetri yang merupakan
bagian dari penginderaan jauh. Data tersebut diperoleh dari situs resmi dan bukan disediakan oleh LAPAN.
Informasi dari data tinggi gelombang signifikan digunakan sebagai informasi pendukung untuk zona potensi
penangkapan ikan (ZPPI) dan menjadi satu paket informasi yang terintegrasi. Informasi tersebut sangat
sangat penting dan diperlukan oleh pengguna/nelayan untuk meningkatkan savety di laut saat melakukan
kegiatan operasi penangkapan ikan.

-690-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Distribusi Sebaran Kapal Ikan dan Kaitannya dengan Daerah Potensial


Penangkapan Ikan Berdasarkan Citra Satelit di WPP-NRI 711

The Distribution of Fishing Vessel and Its Relationship with Potential


Fishing Ground Based on Satellite Imagery in Indonesian FMA 711
Amandangi Wahyuning Hastuti1*), Komang Iwan Suniada1, Eko Susilo1, dan Aldino Jusach Saputra1
1
Balai Penelitian dan Observasi Laut, Perancak - Bali
*)
E-mail: amandangi.wahyuning@gmail.com

ABSTRAK-Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)-NRI 711 merupakan daerah penangkapan ikan yang penting bagi
perikanan pelagis di Indonesia. WPP-NRI 711 berada pada batas terluar dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan
berbatasan dengan Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi daerah
potensial penangkapan ikan bulanan sepanjang tahun 2015 di WPP-NRI 711 serta tingkat kesesuaiannya dengan
informasi sebaran kapal ikan. Daerah potensial penangkapan ikan disusun berdasarkan parameter thermal front dan
konsentrasi klorofil-a yang bersumber dari satelit Terra/Aqua MODIS. Sedangkan informasi sebaran kapal ikan
diperoleh daricitra Radarsat-2 yang diterima oleh INBA radar ground station Perancak – Bali. Hasil analisis echo citra
Radarsat-2 memperlihatkan aktivitas penangkapan ikan terjadi sepanjang tahun dan senantiasa mengalami pergeseran
menyesuaikan perubahan kondisi perairan.Hasil tumpang susun memperlihatkan sebaran kapal mempunyai konsentrasi
yang tinggi di daerah potensi penangkapan ikan (40.97%). Tingkat kesesuaian data sebaran kapal ikan tertinggi terjadi
di bulan Mei (86.74%) dan yang terendah pada bulan Januari (13.02%).Tingkat kesesuaian yang tinggi
mengindikasikan bahwa informasi daerah potensi penangkapan ikan yang disusun dan disampaikan oleh Balai
Penelitian dan Observasi Laut telah menggambarkan kondisi penangkapan di lapangan.

Kata kunci:WPP-NRI 711, daerah potensial penangkapan ikan, Terra/Aqua MODIS, sebaran kapalikan, Radarsat-2

ABSTRACT-Indonesian Fisheries Management Area (FMA) 711 is an important area for pelagic fishing in Indonesia.
FMA-711 is one of the outermost regions of the Exclusive Economic Zone (EEZ) and is bordered by Malaysia,
Singapore, and Vietnam. This FMA-711 covering South China Sea, Natuna Sea and Strait of Karimata. Potential
fishing areas can be predicted using thermal front indicator and chlorophyll-a concentration. The aim of this study is to
determinethe monthly variation of potential fishing areas at FMA-711 in 2015 derived from Terra/Aqua MODIS
satellite imagery and its relationship with fishing vessel distribution analyzed from Radarsat-2 data. To find out the
relationship, monthly potential fishing areas, thenoverlaid with the fishing vessel distribution. The monthly overlay
result shows that fishing vessel distribution area mostly located aroundthe potential fishing area, with the highest
accuration occurs in May (86.74%) and the lowest accuration occur in January (13.02%).

Keywords: Indonesian Fisheries Management Area 711, potential fishing ground, Terra/Aqua MODIS, fishingvessel
distribution, Radarsat-2

1. PENDAHULUAN
Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) merupakan inovasi teknologi yang dikembangkan oleh
Balai Penelitian dan Observasi Laut sejak tahun 2000. PPDPI memberikan informasi tematik tentang sebaran
spasial dan temporal prediksi daerah potensial penangkapan ikan di perairan Indonesia. Penyusunan dan
penyebar luasan PPDPI ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat nelayan dalam melakukan
kegiatan penangkapan ikan. Berbekal informasi PPDPI, nelayan dapat mengetahui dan menuju daerah
penangkapan (fishing ground) dengan lebih cepat dan tepat. Pada akhirnya dapat meningkatkan efektivitas
dan efesiensi kegiatan penangkapan ikan, khususnya dalam hal penggunaan bahan bakar minyak (BBM).
Informasi yang terkandung dalam PPDPI berupa koordinat lintang bujur yang menunjukkan posisi daerah
penangkapan ikan atau daerah berpotensi penangkapan ikan. Penentuan daerah potensial penangkapan ikan
disusun menggunakan data satelit penginderaan jauh. Selain itu, ditampilkan juga informasi prediksi arah
angin dan tinggi gelombang sehingga nelayan dapat memperkirakan kondisi cuaca di sekitar lokasi
penangkapan ikan.
Penelitian dan pengembangan PPDPI meliputi tiga aspek yaitu metode prediksi, akurasi informasi dan
frekuensi penerbitan (Susilo dkk., 2015). Aspek akurasi informasi PPDPI menjadi salah fokus kajian karena
keberadaan ikan yang dinamis mengikuti variasi lingkungan. Selain itu, informasi tingkat akurasi menjadi
tolak ukur untuk perbaikan metode prediksi yang digunakan. Sejak tahun 2010-an dilakukan berbagai kajian

-691-
Distribusi Sebaran Kapal Ikan dan Kaitannya dengan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Berdasarkan Citra Satelit di WPP-NRI
711 (Hastuti, A.W., dkk.)

dan penelitian untuk mengukur tingkat akurasi informasi PPDPI melalui berbagai pendekatan. Hasil tumpang
susun data penangkapan ikan dan lokasi PPDPI mengindikasikan bahwa kecenderungan hasil tangkapan ikan
akan meningkat seiring dengan semakin dekatnya aktivitas penangkapan dengan lokasi PPDPI (Yunanto dan
Suniada, 2008). Sementara Pertami dan Suniada (2014), mendapatkan tingkat akurasi PPDPI perairan Selat
Bali tahun 2013 mencapai 41.80%. Tingkat akurasi tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 69.57%.
Nilai ini dirasa sangat signifikan jika dibandingkan dengan data-data penangkapan ikan lemuru di Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) pengembangan pada periode tahun yang sama. Selain menggunakan data
penangkapan ikan, tingkat akurasi PPDPI juga dapat dikaji berdasarkan data kelimpahan mikronekton
(Susilo dan Suniada, 2015). Sebaran spasial daerah penangkapan ikan di Selat Karimata dan Laut Natuna
bulan Juni tahun 2014 berkorelasi dengan tingginya kelimpahan biomassa mikronekton (> 1 g/m2). Terdapat
jeda waktu 2-3 hari antara waktu prediksi dengan peningkatan biomassa mikronekton.
Dalam kerangka kegiatan Insfrastructure Development of Space Oceanography (INDESO Project) telah
dikelola sejumlah data satelit Radarsat-2 di wilayah perairan Indonesia. Salah satu pemanfaatan data satelit
tersebut untuk mengidentifikasi kapal di perairan Indonesia yang diduga melakukan kegiatan penangkapan
ikan ilegal dan tak diatur (IUU Fishing), khususnyadi perairanSelat Malaka, Laut Natuna, Laut Sulawesi,
dan Laut Arafura. Namun disisi lain, ketersediaan data sebaran spasial dan temporal kapal ikan ini dapat
digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk menguji tingkat akurasi PPDPI. Hal ini didasari pemahaman
bahwa sebaran kapal penangkap ikan akan terkosentrasi di daerah-daerah penangkapan ikan (fishing ground)
yang kaya akan sumber daya ikan. Keberadaan kapal dapat juga memberikan informasi mengenai adanya
aktifitas penangkapan pada daerah tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuivariasi daerah
potensial penangkapan ikan bulanan sepanjang tahun 2015 di WPP-NRI 711 serta tingkat kesesuaiannya
dengan informasi sebaran kapal ikan.

2. METODE
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia711 (Gambar 1),
yang selanjutnya disingkat WPP-NRI 711. Wilayah perairan merupakan salah satu wilayah pengelolaan
perikanan untuk penangkapan ikan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial,
zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. WPP-NRI 711 meliputi perairan Selat Karimata,
Laut Natuna, dan Laut China Selatan dan berbatasan dengan beberapa negara di Asia Tenggara (Malaysia,
Singapura, dan Vietnam). Potensi perikanan di wilayah perairan ini cukup melimpah baik ikan pelagis besar,
ikan pelagis kecil, ikan demersal maupun ikan karang.Perikanan pelagis kecil menjadi sektor andalan dengan
potensi mencapai 621.5 ribu ton per tahun. Namun lokasinya yang berada di wilayah perbatasan menjadikan
wilayah perairan ini rawan kegiatan penangkapan ikan ilegal dan tak diatur (IUU Fishing).

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

-692-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2.2 Data
2.2.1 Distribusi Kapal Ikan
Distribusi spasial dan temporal kapal ikan di lokasi penelitian berdasarkan analisis echo data satelit
Radarsat-2 selama periode tahun 2015. Database informasi sebaran kapal ikan tersebut dikelola oleh
INDESO (www.indeso.web.id). Adapun proses identifikasi objek kapal dilakukan secara otomatis
menggunakan SARTool Software (INDESO, 2015) yang meliputi 4 tahapan sebagai berikut:
1. Pre-processing, berupa koreksi geometrik dan radiometrik untuk mempermudah proses analisis Radar
Cross Section (RCS).
2. Land masking, bertujuan untuk memberikan batasan darat.
3. Pre-screening, menjalankan prosedur CFAR (Constant False Alarm Rate) untuk identifikasi echo
kapal untuk dianalisis lebih lanjut.
4. Discrimination, penentuan echo kapal dan parameternya (ukuran dan arah).
Selanjutnya echo dan parameter kapal hasil identifikasi SARTool Software divalidasi secara manual.
Kapal ikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini yaitu kapal yang berukuran kurang dari 50 meter, dengan
asumsi panjang kapal tersebut merupakan jenis kapal penangkap ikan.

2.2.2 Distribusi Daerah Potensial Penangkapan Ikan


Distribusi spasial dan temporal daerah potensial penangkapan ikan di lokasi penelitian berdasarkan peta
prakiraan daerah penangkapan ikan (PPDPI) wilayah Kalimantan dan sekitarnya tahun 2015. Data tersebut
diunduh melalui website Balai Penelitian dan Observasi Laut (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id/).
Penentuan informasi PPDPI berdasarkan parameter suhu permukaanlaut dan konsentrasi klorofil-a hasil
perekaman sensor MODIS pada satelit Terra/Aqua dengan resolusi spasial 4 km (Jatisworo dan
Murdimanto, 2013; Cayula dan Cornillon, 1992). Nilai frekuensi daerah potensial penangkapan ikan dihitung
berdasarkan komposit bulanan kemunculan daerah potensi penangkapan ikan dan daerah penangkapan ikan
pada PPDPI dengan ukuran grid 0.5° ×0.5°.

2.3 Analisis data


Kesesuaian daerah potensial penangkapan ikan diketahui dengan meng-overlay informasi daerah
potensial penangkapan ikan dan sebaran kapal ikan menggunakan perangkat lunak GIS. Informasi jumlah
kapal ikan yang saling bertampalan dengan daerah potensial penangkapan ikan digunakan untuk menghitung
tingkat akurasi informasi PPDPI. Penghitungan akurasi dilakukan dengan menggunakan persamaan
sederhana, yaitu:

= × %............................................................................................................................... (1)

dimana TK adalah tingkat kesesuaian; JKS adalah jumlah kapal yang berada disekitar daerah prediksi; JKT
adalah jumlah kapal total.
Informasi langkah kerja pengolahan data kesesuaian PPDPI dengan sebaran kapal disajikan pada
Gambar 2.

Gambar 2.Diagram Alir Motode Penelitian Kesesuaian PPDPI dengan Sebaran Kapal Ikan

-693-
Distribusi Sebaran Kapal Ikan dan Kaitannya dengan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Berdasarkan Citra Satelit di WPP-NRI
711 (Hastuti, A.W., dkk.)

3. HASILDAN PEMBAHASAN
Distribusi spasial daerah potensial penangkapan ikan bulan Januari 2015banyak terdapat di bagian utara
(Laut Cina Selatan) dan bagian timur Sumatera (Laut Natuna). Sedangkan kapal penangkap ikan tersebar di
bagian utara baik di dalam maupun di luar batas perairan Indonesia dan tidak ada di bagian timur Sumatera
(Gambar 3). Adanya kapal yang terdeteksi di luar ZEE Indonesia diduga sebagai kapal asing yang ikut
menangkap ikan di perairan Indonesia. Sebanyak 315 kapal penangkap ikan hanya 41 kapal yang posisinya
sesuai dengan PPDPI. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat akurasi PPDPI untuk bulan Januari adalah
13.02%.
Jumlah kapal yang terdeteksi pada bulan Februari hanya 56 kapal saja dengan posisi kapal yang sesuai
dengan daerah potensial penangkapan ikan hanya 8 kapal atau dengan tingkat akurasi 14.29% (Gambar 3).
Salah satu penyebab sedikitnya kapal yang terdeteksi pada bulan Februari diduga karena keadaan cuaca yang
tidak mendukung seperti ombak besar ataupun angin kencang yang dapat membahayakan keselamatan.Pada
periode monsun Asia yaitu di bulan Desember – Februari, perairan Laut Natuna dan Selat Karimata rawan
gelombang tinggi (Kurniawan dkk., 2012) dengan tinggi gelombang signifikan diatas 30 cm dengan periode
sekitar 5 det (Pigawati, 2005). Hal senada juga dikemukakan oleh Wudji dan Suwarso (2014), bahwa jumlah
hari laut dan jumlah unit kapal yang melakukan aktivitas penangkapan ikan mengalami penurunan akibat
dari kondisi dan fakor alam.

(a) (b)
Gambar 3. Distribusi Daerah Potensi Penangkapan Ikan dan Kapal Ikan(a) Januari, dan (b) Februari

Daerah potensial penangkapan ikan di bulan Maret 2015 tersebar di seluruh perairan WPP-NRI 711
(Gambar 4). Namun, sebaran kapal penangkap ikan yang terdeteksi banyak terdapat di bagian utara dan tidak
adanya kapal yang terdapat di perairan Selat Karimata. Jumlah kapal yang terdeteksi pada bulan Maret
sebanyak 301 kapal dan beberapa kapal tampak berada di luar batas perairan Indonesia. Dari 301 kapal yang
terdeteksi tersebut 116 kapal diantaranya berada sesuai dengan area yang diprediksi sebagai daerah potensi
penangkapan atau tingkat akurasi peta tersebut pada bulan Maret adalah 38.54%.
Daerah potensial penangkapan ikan di bulan April 2015 terkonsentrasi di bagian tengah (Laut Natuna)
dan sedikit menyebar di Laut Cina Selatan (Gambar 4). Pada bulan April ini, baik daerah potensial
penangkapan ikan dan sebaran kapal tidak terdapat di Selat Karimata. Jumlah kapal yang terdeteksi pada
bulan April adalah sebanyak 379 kapal, dimana 283 kapal berada pada posisi yang sesuai dengan peta
prediksi sehingga dapat dikatakan bahwa akurasi peta tersebut untuk bulan April 2015 adalah 74.67%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wudji dan Suwarso (2014) mengenai tangkapan tuna di perairan
Laut Cina Selatan, kapal jaring insang beroparasi dengan pola menyebar pada musim peralihan I (Maret –
Mei) dimana lokasi penangkapan berada di perairan Kepulauan Natuna, Natuna Besar dan Anambas.

-694-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

(a) (b)
Gambar 4. Distribusi Daerah Potensi Penangkapan Ikan dan Kapal Ikan (a) Maret, dan (b) April

Kapal yang terdeteksi dari citra satelit Radarsat-2 pada bulan Mei sebanyak 264 kapal dengan 3 titik
konsentrasi sebaran kapal yang berada ditengah WPP-NRI 711.Sebaran kapal terbanyak terdapat di Laut
Natuna. Kapal-kapal yang sebelumnya berada diluar perbatasan perairan Indonesia tidak terlihat lagi pada
bulan Mei (Gambar 5). Hal ini diduga karena seriusnya pemerintah Indonesia memerangi illegal fishing
(Bendar, 2015).Dari 264 kapal yang terdeteksi tersebut, 229 diantaranya berada pada daerah prediksi
penangkapan ikan atau dengan tingkat akurasi sebesar 86.74%. Jumlah kapal yang banyak bertampalan
dengan daerah potensial penangkapan ikan terdapat di Laut Natuna. Pada lokasi ini, jumlah frekuensi
kejadian daerah potensial penangkapan ikan lebih dari 1.
Jumlah kapal yang terdeteksi pada bulan Juni adalah 120 kapal dan 38 diantaranya sesuai dengan prediksi
atau akurasinya 31.67% (Gambar 5). Jumlah kapal maupun titik daerah potensial penangkapan ikan di bulan
Juni lebih sedikit jika dibandingkan bulan Mei.Pada bulan Juni, terdapat beberapa kapal yang berada di dekat
bahkan diluar batas zona perairan Indonesia. Pada bulan ini juga, titik daerah potensial penangkapan ikan
lebih sedikit dibandingkan dengan bulan lainnya akibat dari rendahnya nilai klorofil-a pada musim timur
(Nababan dan Simamora, 2012).

(a) (b)
Gambar 5. Distribusi Daerah Potensi Penangkapan Ikan dan Kapal Ikan (a) Mei, dan (b) Juni

-695-
Distribusi Sebaran Kapal Ikan dan Kaitannya dengan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Berdasarkan Citra Satelit di WPP-NRI
711 (Hastuti, A.W., dkk.)

Daerah potensial penangkapan ikan di bulan Juli 2015 tersebar mulai dari Laut Cina Selatan sampai Selat
Karimata (Gambar 6). Daerah potensial penangkapan ikan banyak terdapat disekitar pesisir barat Kalimantan
hal ini dikarenakan tingginya konsentrasi klorofil-a akibat dari aliran air sungai dan hutan mangrove yang
kaya akan bahan organik dan anorganik yang dapat memacu pertumbuhan plankton (Hendiarti dkk., 2004).
Pada bulan Juli 2015 tidak tidak tersedia data Radarsat 2 di WPP-NRI 711.

(a) (b)
Gambar 6. Distribusi Daerah Potensi Penangkapan Ikan dan Kapal Ikan(a) Juli, dan (b) Agustus

Sama halnya dengan bulan Juli, daerah potensial penangkapan ikan di bulan Agustus 2015 tersebar mulai
dari Laut Cina Selatan sampai Selat Karimata (Gambar 6), namun titik-titik potensial penangkapan ikan di
bulan Agustus lebih banyak dibandingkan dengan bulan Juli. Kapal yang terdeteksi pada bulan Agustus ada
sebanyak 301 kapal, 51 diantaranya berada pada posisi yang sesuai dengan peta prediksi (akurasi 16.94%).
Sebaran kapal di bulan Agustus terkonsentrasi di bagian utara dan tengah Laut Natuna. Tidak ditemukannya
sebaran kapal di periaran Selat Karimata. Pada musim timur (Juni – Agustus) armada kapal banyak
beroperasi di sekitar perairan Kepulauan Natuna Besar (Wudji dan Suwarso, 2014).

(a) (b)
Gambar 7. Distribusi Daerah Potensi Penangkapan Ikan dan Kapal Ikan(a) September, dan (b) Oktober

Bulan September terdapat 3 titik konsentrasi sebaran kapal yang berlokasi di perairan Natuna Besar,
peraiaran bagian selatan dan utara Kepulauan Anambas (Gambar 7). Terdapat 200 kapal dengan hanya 64
-696-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

kapal berada sesuai dengan titik prediksi atau akurasinya 32,00%. Tidak ditemukannya sebaran kapal di
perairan dekat dengan Selat Karimata.
Pada bulan Oktober terdeteksi sebanyak 112 kapal namun hanya 18 kapal saja yang berada sesuai dengan
daerah prediksi (akurasi 16.07%) (Gambar 7). Jumlah sebaran kapal yang sedikit ini kemungkinan
disebabkan oleh kondisi perairan laut Natuna pada bulan September dan Oktober rawan akan gelombang
tinggi (Kurniawan dkk., 2012). Menurut Wudji dan Suwarso (2014), pada musim peralihan II (September –
November) kapal jaring insang beroperasi di perairan Natuna Besar, Kep. Anambas dan Pulau Lingga.
Namun, berdasarkan data Radarsat-2, tidak ditemukannya kapal di sekitar Pulau Lingga (berada di selatan
Singapura).

(a) (b)
Gambar 8. Distribusi Daerah Potensi Penangkapan Ikan dan Kapal Ikan(a) Nopember, dan (b) Desember

Daerah potensial penangkapan ikan di bulan November 2015 menyebar di Laut Cina Selatan, Laut
Natuna maupun Selat Karimata (Gambar 8). Namun sebaran kapal hanya ditemukan di bagian Laut Cina
Selatan saja sebanyak 168 kapal yang terdeteksi, 60 diantaranya berada sesuai dengan daerah potensial
penangkapan ikan (35.71%).
Pada bulan Desember daerah potensial penangkapan ikan banyak terdapat di bagian selatan (Selat
Karimata) dan dekat dengan pesisir. Prasetyo dkk., (2014) menyatakan bahwa karakteristik suhu permukaan
laut di Selat Karimata lebih tinggi pada musim barat, dan sebaliknya klorofil-a tinggi pada musim timur.
Pengaruh musiman ini terjadi karena adanya massa air laut yang masuk dari arah utara di sekitar Selat
Karimata dan Laut Jawa. Data sebaran kapal dari Radarsat-2 tidak tersedia pada bulan Desember 2015.

Gambar 9.Tingkat Kesesuaian Daerah Potensi Penangkapan Ikan Tahun 2015

-697-
Distribusi Sebaran Kapal Ikan dan Kaitannya dengan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Berdasarkan Citra Satelit di WPP-NRI
711 (Hastuti, A.W., dkk.)

Usaha penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca atau musim penangkapan. Musim
penangkapan ikan pada setiap daerah relatif berbeda baik dalam hal bulan maupun durasi musim
penangkapan (Koeshendrajana dkk., 2012). Menurut Hendiarti dkk., (2005) puncak penangkapan ikan
pelagis di sekitar perairan Laut Natuna adalah pada saat musim tenggara (Mei – Agustus). Titik daerah
potensial penangkapan ikan di WPP-NRI 711 berbeda setiap bulannya, begitu pula dengan sebaran kapal
penangkap ikan. Jumlah sebaran kapal terbanyak ditemui pada musim peralihan I (Maret – Mei). Presentase
tingkat kesesuaian sebaran daerah potensi penangkapan ikan selama tahun 2015 disajikan pada Gambar 9.
Tingkat kesesuaian daerah potensi penangkapan ikan dan sebaran kapal ikan tahun 2015 di WPP-NRI 711
sebesar 40.97%.
Berdasarkan informasi sebaran kapal hasil analisis data citra satelit Radarsat-2, terlihat bahwa sepanjang
tahun terdapat sejumlah kapal yang beroperasi di sekitar WPP-NRI 711. Hal ini menandakan bahwa kegiatan
penangkapan pada WPP-NRI 711 tersebut dilakukan sepanjang tahun. Walaupun demikian, tetap diperlukan
adanya aturan dalam menerapkan kegiatan penangkapan yang ramah lingkungan sehingga sumberdaya ikan
yang ada di sekitar Laut Natuna diantaranya adalah spesies manyung (Ariidae spp.), banyar (Rastrelliger
kanagurta), kembung (Rastrelliger brachysoma), dan layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus
roselii) (Kementerian Lingkungan Hidup, 2013) dapat tetap lestari.

4. KESIMPULAN
Kegiatan penangkapan ikan di perairan WPP-NRI 711 terjadi sepanjang tahun. Hal ini terlihat dari hasil
analisis echo citra Radarsat-2. Namun daerah penangkapan senantiasa mengalami pergeseran menyesuaikan
perubahan kondisi perairan.Tingkat kesesuaian daerah potensi penangkapan ikan dan sebaran kapal ikan
tahun 2015 di WPP-NRI 711 sebesar 40.97%.Tingkat kesesuaian terendah terjadi pada bulan Januari
(13.02%) dan tertinggi pada bulan Mei (86.74%). Tingkat kesesuaian yang tinggi mengindikasikan bahwa
informasi daerah potensi penangkapan ikan yang disusun dan disampaikan oleh Balai Penelitian dan
Observasi Laut telah menggambarkan kondisi penangkapan di lapangan. Harapannya informasi PPDPI dapat
dijadikan sebagai salah satu acuan bagi nelayan dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan berasaskan
kelestarian sumberdaya yang ada.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada tim operasional PPDPI, Balai Penelitian dan Observasi Laut
yang telah menyediakan data PPDPI tahun 2015. Radar Image Analyst Team – INDESO yang telah
menyediakan data sebaran kapal ikan di WPP-NRI 711.Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada
segenap dewan penyunting, editor, redaktur, dan panitia penyelanggara Seminar Nasional Penginderaan Jauh
tahun 2016.

DAFTAR PUSTAKA
Bendar, A., (2015). Illegal Fishing Sebagai Ancaman Kedaulan Bangsa. Perspektif Hukum, 15(1), 1-26.
Cayula, J.F., dan Cornillon, P., (1992). Edge Detection Algorithm for SST Images. Journal of Atmospheric and Oceanic
Technology, 9(1):67-80.
Hendiarti, N., Siegel, H., dan Ohde, T., (2004). Investigation of Different Coastal Processes in Indonesian Water
UsingSeaWiFS Data. Deep Sea Research Part II: Tropical Studies in Oceanography, 51(1-3):85-97.
Hendiarti, N., Suwarso, A.E., Amri, K., Andiastuti, R., Suhendar, I.S., dan Ikhsan, B.W., (2005). Seasonal Variation of
Pelagic Fish Catch Around Java. The Indonesian Seas: Oceanography, 18(4).
INDESO., (2015). Product User Manual – Vessel detection, diunduh 20 Juni 2016
darihttp://www.indeso.web.id/indeso_wp/index.php/products-handbooks
Jatisworo, D., dan Murdimanto, A., (2013). Identifikasi thermal front di Selat Makassar dan Laut Banda. Makalah
dipaparkan pada Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi – III 2013, Yogjakarta, Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup.,(2013). Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup,
Deputi Tata Lingkungan. Jakarta. Indonesia.
Koeshendrajana, S., Apriliani, T., dan Firdaus, M., (2012). Peningkatan Efektifitas dan Efisiensi Usaha Peningkatan
Tangkap Laut Skala Kecil Melalui FasilitasPeta Perkiraan ’fishing ground’. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan, 2(1):77-88.
Kurniawan, R., Habibie, M.N., dan Permana, D.S., (2012). Kajian Daerah Rawan Gelombang Tinggi di Perairan
Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 13(3):201-212.
Nababan, B., dan Simamora, K., (2012). Variabilitas Konsentrasi Korofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Perairan
Natuna. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(1):121-134.

-698-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pertami, N.D., dan Suniada, K.I., (2014). Utilization of satellite remote sensing data for the determination of potential
fishing areas and its validation in the Strait of Bali. Paper presented at the Proceedings of 12th Biennial Conference
of Pan Ocean Remote Sensing Conference (PORSEC), Bali, Indonesia.
Pigawati, R., (2005). Identifikasi Potensi dan Pemetaan Sumberdaya Pesisir Pulau-Pulau Kecil dan Laut Kabupaten
Natuna – Provinsi Kepulauan Riau. Ilmu Kelautan, 10(4):229-236.
Prasetyo, B.A., Hutabarat, S., dan Hartoko, A., (2014). Sebaran Spasial Cumi-Cumi (Loligo spp.) dengan Variabel Suhu
Permukaan Laut dan Klorofil-a Data Satelit MODIS Aqua di Selat Karimata Hingga Laut Jawa. Diponegoro
Journal of Maquares (Management of Aquatic Resources), 3(1):51-60.
Susilo, E., Wibawa, T.A., Jatisworo, J., Suniada, K.I., dan Wijaya, A., (2015). Pengembangan metode prediksi daerah
penangkapan ikan berdasarkan kondisi oseanografi perairan. Dalam F. Sidik (Ed.), Bunga Rampai Operasional
Oseanografi di Indonesia (pp.90-101). Bali: Balai Penelitian dan Observasi Laut.
Susilo, E., dan Suniada, K.I., (2015). The suitability of the predicted fishing grounds maps (PPDPI) and micronekton
biomass. Paper presented at the Proceedings of 1st International Symposium for Marine and Fisheries Research,
Yogjakarta, Indonesia.
Wudji, A., dan Suwarso. (2014). Fluktuasi dan Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Tuna Neritik Tertangkap Jaring Insang
di Perairan Laut Cina Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 20(4), 207-214.
Yunanto, A., dan Suniada, K.I., (2008). Korelasi antara hasil tangkapan ikan dan jarak lokasi penangkapan dengan
fishing ground peta PPDPI terdekat. Studi Kasus: Data respon balik hasil tangkapan ikan KM. Sumber Rejeki di
PPN Pemangkat. Makalah dipaparkan pada Prosiding Bali Scientific Meeting, Bali, Indonesia.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Maryani Hartuti


Judul Makalah : Distribusi Sebaran Kapal Ikan dan Kaitannya dengan Daerah Potensial
Penangkapan Ikan Berdasarkan Citra Satelit di WPP-NRI 711
Pemakalah : Amandangi Wahyuning H (KKP)
Diskusi:

Pertanyaan: Teguh Prayogo (LAPAN)


Data kapal dari radarsat, bagaimana cara memisahkan antara kapal nelayan dan yang bukan dari data radarsat
tersebut. Konsentrasi kapal di akhir tahun relative sedikit mungkin terkait dengan kondisi musim yang
terjadi, bagaimana dengan musim-musim yang lain dari sisi hubungan kesesuaian antara daerah tangkapan
ikan dengan data tangkapannya. Dari jumlah tangkapannya yang diidentifikasi, bagaimana hubungan hasil
tangkapan dengan yang berkorelasi tinggi antara jumlah kapal dengandaeraht angkapannya, hal ini mungkin
bias menjadi kajian yang lebih lanjut.

Jawaban :
Untuk memisahkan antara kapal penangkapan dengan yang bukan, diasumsikan bahwa kapal-kapal yang di
bawah 50 GT merupakan kapal penangkapan ikan.Untuk detail pemisahannya yang mengerjakan adalah
operator indeso, lebih detailnya bias ditanyakan langsung.Untuk mengkaji antara hasil tangkapan dengan
jumlah kapal dan daerah tangkapannya merupakan usul yang baik namun untuk data tangkapan perlu
berkoordinasi dengan dinas terkait, semoga kedepannya bisa kami lakukan.

Informasi Tambahan : Kepala Indeso Project


Operator menjalankan software untuk mengukur panjang kapal dan melakukan pemisahan kapal
penangkapan ikan atau bukan. Kebanyakan kapal yang terdeteksi adalah kapal-kapal besar

-699-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Variasi Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan NPP pada Lokasi


Daerah Penangkapan Ikan (Studi Kasus: WPP 714, 716 dan 718)

Sea Surface Temperature, Chlorophyll-a and NPP Variation


In Fishing Ground Area (Case Study: WPP 714, 716 and 718)

Rizki Hanintyo1*), Aldino Jusach1, Fikrul Islamy1, R M Putra Mahardhika1, dan Sri Hadianti1
1
Balai Penelitian dan Observasi Laut, Balitbang KP
Kementerian Kelautan dan Perikanan
*)
E-mail: rizki.hanintyo@yahoo.com

ABSTRAK - Peta Potensi Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) telah di produksi oleh Balai Penelitian dan Observasi
Laut secara harian. Terdapat 2 jenis PPDPI yaitu PPDPI Nasional dan Pelabuhan. Penelitian ini menggunakan PPDPI
Nasional. Pada PPDPI Nasional, terdapat daerah potensi ikan dan daerah penangkapan ikan, yang menunjukkan tingkat
probabilitas tingkat tangkapan. variasi suhu permukaan laut, klorofil - a dan NPP pada daerah Wilayah Pengelolaan
perikanan / WPP 714, 716 dan 718 cukup bervariasi. Dilakukan match-up data antara data hasil deteksi PPDPI dalam
mozaik bulanan dengan data bulanan suhu permukaan laut dan klorofil yang didapatkan dari Aqua dan Terra Modis
serta data NPP dengan model Vertically Generalized Production Model / VGPM oleh Oregon State University. Tulisan
ini ingin mengetahui variasi nilai dari suhu permukaan laut, klorofil - a dan NPP pada PPDPI di 2 musim.

Kata kunci: PPDPI, WPP 714, WPP 716, WPP 718, SST, Klorofil-a, NPP

ABSTRACT - In daily basis, Map of Potential Fishing Ground (MPFG) has been produced by Institute for Marine
Research and Observation. There's 2 types of MPFG, MPFG in national scale and MPFG in ship port scale. This
research uses MPFG in national scale. In MPFG in national scale, there is fish potential area and fish catchment area,
which showed probability of fish catchment by fisherman. Fisheries Management Area 714, 716 and 718 has a huge
variation of Sea Surface Temperature, Chlorophyll-a and NPP. Matchup data were composed between MPFG detection
in monthly mozaic with monthly data of SST and Chlorophyll-a derived from Aqua and Terra MODIS and also NPP
data derived from Vertically Generalized Production Model by Oregon State University. This study assessed the range
of SST, Chl-a and NPP for MPFG in 2 type of monsoon.

Keywords: MPFG, FMA 714, FMA 716, FMA 718, SST, Chlorophyll-a, NPP

1. PENDAHULUAN
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), perairan nusantara dibagi menjadi 11 wilayah
pengelolaan. Secara administratif WPP-RI 714 merupakan salah satu WPP yang berada di sekitar Laut
Banda dan Laut Flores sedangkan WPP-RI 718 dan WPP-RI 716 terletak pada batas terluar dari ZEE yaitu di
Laut Arafura untuk WPP-RI 718 dan Laut Sulawesi untuk WPP-RI 716 serta berbatasan dengan negara-
negara lain seperti Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam pada WPP-RI 716 sedangkan pada WPP-RI
718 berbatasan dengan Australia dan Papua Nugini. Ketiga WPP tersebut memiliki kelimpahan stok ikan
yang cukup banyak. Sumber daya ikan di WPP 714, 716 dan 718 meliputi ikan pelagis kecil dan besar, ikan
demersal, udang, ikan karang dan moluska.
Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) merupakan salah satu produk dari Balai Penelitian dan
Observasi Laut (BPOL) yang disusun dengan maksud membantu nelayan dalam menentukan arah dan tujuan
untuk kegiatan penangkapan ikan, sehingga kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan dengan lebih efektif
dan efisien (Suniada dan Susilo, 2015) yang mencakup seluruh area WPP di Indonesia. Daerah prediksi
disusun berdasarkan data satelit penginderaan jauh untuk mendeteksi kondisi perairan seperti thermal front
((Cayula dan Cornillon, 1992); Jatisworo dan Murdimanto, 2013) dan konsentrasi klorofil ((Polovina,
Howell, Kobayashi, dan Seki, 2001); (Munadi dan Adria, 2010)) yang merupakan salah satu indikator
kesuburan perairan dan tempat gerombolan ikan sering berada.
PPDPI disusun dengan memanfaatkan data suhu permukaan laut untuk dianalisis sebaran thermal front-
nya serta dikombinasikan dengan data sebaran konsentrasi klorofil yang merupakan salah satu indikator
kesuburan perairan. Data tersebut diperoleh dari website Ocean Color (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/),

-700-
Variasi Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan NPP Pada Lokasi Daerah Penangkapan Ikan (Studi Kasus: WPP 714, 716 dan 718)
(Hanintyo, R., dkk)

merupakan data penginderaan jauh yang bersumber dari satelit Terra atau Aqua-MODIS (Suniada dan
Susilo, 2015).
Produktivitas primer di laut adalah salah satu parameter fundamental untuk mengukur kapasitas laut
dalam mengkonversi karbon dioksida menjadi Particulate Organic Carbon (POC) dalam dasar rantai
makanan (Eppley, 1979 dalam Everett dan Doblin, 2015). Salah satu metode pengukuran produktivitas
primer di laut adalah menggunakan metode Vertically Generalized Production Model (VGPM) dalam
(Behrenfeld dan Falkowski, 1997). (Pauly dan Christensen, 1995) dalam Sukresno, 2008 menyatakan bahwa
ada hubungan yang sangat tinggi antara produktivitas primer dan total potensi perikanan. Dengan dapat
diduganya potensi perikanan maka akan memudahkan untuk pengawasan demi kelestarian sumberdaya
perikanan yang ada.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi dari nilai-nilai suhu permukaan laut, klorofil - a
dan NPP yang berada di WPP-RI 714, 716 dan 718 pada produk PPDPI BPOL di musim barat dan musim
timur.

2. METODE
2.1 Data
Terdapat 3 data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
 Data titik PPDPI
Titik lokasi PPDPI yang digunakan pada penelitian ini adalah titik potensi dan penangkapan ikan
pada daerah WPP 714, 716, dan 718 pada bulan januari-november 2015. Lokasi titik penangkapan
adalah lokasi yang direkomendasikan untuk menangkap ikan karena di daerah tersebut lokasi
kemungkinan terdapat kelimpahan ikan. Sedangkan lokasi titik potensi adalah lokasi yang
berpotensi adanya ikan namun kemungkinan kelimpahan ikan tidak sebanyak di lokasi penangkapan
ikan, atau dengan kata lain titik potensi adalah pilihan kedua. Gambar 1 adalah contoh sebaran titik
PPDPI di WPP 714, 716 dan 718 pada bulan januari 2015.

Gambar 1. Sebaran titik PPDPI bulan januari 2015 di WPP 714, 716 dan 718

 Data citra Aqua-Terra MODIS


Citra Aqua-Terra MODIS yang digunakan adalah citra level 3 bulanan untuk parameter suhu
permukaan laut (SST) dan klorofil-a (chl-a) dengan resolusi spasial 4 km untuk 3 WPP tersebut.
-701-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Citra diunduh melalui situs OceanColor di http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov. Gambar 2 adalah


tampilan citra level 3 bulanan parameter klorofil-a (kiri) dan Suhu permukaan laut (kanan) pada 3
daerah wpp kajian.

CHL : 1 CHL : 0
SST : 30.40 SST : 26,69

Gambar 2. Citra sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut pada WPP 714, 716 dan 718

 Data Produktivitas Primer


Data Produktivitas Primer yang dimaksud adalah data model produktivitas primer VGPM. Model
digunakan untuk menghitung produktivitas primer dari permukaan hingga ke kedalaman euphotic
(kedalaman yang hanya menerima 1% energi matahari) (Sukresno dan Suniada, 2008).
Persamaan yang digunakan dalam (Behrenfeld dan Falkowski, 1997) untuk mendeteksi
produktivitas primer adalah sebagai berikut :

..................................................(1)
Dimana :
PPeu : Daily Carbon Fixation integrated from the surface to Zeu (mg C m-2)
PBopt : Opt Rate of daily carbon fixation within water column [mg C(mg Chl) -1h-1]
E0 : sea surface daily PAR (mol quanta/m2/d)
Csat : satellite surface chlorophyll concentration as derived from measurement of water leaving
radiance (mg Chl m-3)
Zeu : physical depth (m) of the euphotic zone defined as the penetration depth of 1% surface
irradiance based on the Beer-Lambert law. Zeu is calculated from Csat

Model VGPM yang dihasilkan (Behrenfeld & Falkowski, 1997), diunduh melalui situs
OceanProductiviy dari Oregon State University (http://orca.science.oregonstate.edu/
1080.by.2160.monthly.hdf.vgpm.m.chl.m.sst.php). Model yang dihasilkan memiliki resolusi 1/60
atau 18 km dengan resolusi temporal 1 bulanan. Contoh tampilan model produktivitas primer
VGPM ada di gambar 3. Gambar 3 merupakan model VGPM bulan januari 2015. Nilai maksimum
NPP adalah 12192 mg C m2 dan minimum 0 mg C m-2.

-702-
Variasi Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan NPP Pada Lokasi Daerah Penangkapan Ikan (Studi Kasus: WPP 714, 716 dan 718)
(Hanintyo, R., dkk)

12191 0

Gambar 3. Model NPP VGPM WPP 714, 716 dan 718 bulan januari 2015

2.2 Metode Penelitian


Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan melakukan matchup dan ekstraksi titik koordinat
penangkapan dan potensi PPDPI pada data Suhu permukaan laut, klorofil-a dan NPP VGPM. Ekstraksi dilakukan
dengan tools extraction multi value to points. Dari hasil ekstraksi, akan dilihat bagaimana sebaran nilai suhu permukaan
laut, klorofil-a dan NPP VGPM pada titik potensi dan penangkapan ikan pada masing masing musim. Bulan januari dan
februari adalah musim barat, bulan maret hingga mei adalah musim peralihan 1, bulan juni hingga agustus adalah
musim timur dan bulan september hingga november adalah musim peralihan 2.

3. HASILDAN PEMBAHASAN
3.1 WPP 714
Daerah Wilayah Pengelolaan Perikanan / WPP 714 berada di daerah sekitar perairan laut banda. Gambar
4 menunjukkan grafik suhu permukaan laut di WPP 714. Pada WPP 714, suhu permukaan laut baik untuk
data PPDPI Penangkapan dan Potensi memiliki pola yang sama, dimana pada barat dan peralihan 1
cenderung tinggi, sedangkan semakin ke arah musim timur dan peralihan 2, suhu permukaan laut semakin
menurun. Kisaran suhu permukaan laut untuk data penangkapan dan potensi di WPP 714 antara 24 0C sampai
320C.

Gambar 4. Grafik SST daerah penangkapan dan potensi WPP 714 tahun 2015

Untuk parameter Klorofil-a dan NPP, memiliki pola yang sama baik untuk daerah penangkapan ataupun potensi.
Gambar 5 menunjukkan grafik klorofil-a dan NPP daerah penangkapan dan potensi di WPP 714. Pada musim barat,
klorofil dan NPP memiliki konsentrasi yang rendah. Klorofil antara 0.07 - 5.66 mg/m3 dan NPP antara 217-2620 mg C
m-2. Data klorofil dan NPP untuk data potensi pada WPP 714 memiliki rentang yang lebih lebar di bandingkan dengan
data penangkapan.

-703-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 5. Grafik NPP dan Klorofil-a daerah penangkapan dan potensi WPP 714 tahun 2015

3.2 WPP 716


WPP 716 berada di bagian utara sulawesi hingga utara kepulauan halmahera. Gambar 6 adalah grafik
suhu permukaan laut daerah penangkapan dan potensi di WPP 716. Suhu permukaan laut di wpp 716 pada
daerah penangkapan memiliki trend yang mirip dengan daerah WPP 714. Daerah penangkapan WPP 716
memiliki dua kali puncak suhu tertinggi, yaitu di bulan april (p1) hingga juni (t), dan bulan agustus (t) hingga
september (p2). Rentang nilai suhu permukaan lau untuk daerah penangkapan di wpp 716 antara 25-300C.
Jika dibandingkan dengan daerah potensi di wpp 716, tidak terdapat anomali suhu permukaan laut yang
besar dimana suhu permukaan laut cenderung stabil pada semua musim yaitu di suhu 28-300C.

Gambar 6. Grafik SST daerah penangkapan dan potensi WPP 716 tahun 2015

Daerah WPP 716 untuk parameter NPP dan Klorofil-a juga memiliki perbedaan dengan daerah WPP 714.
Nilai NPP dan klorofil-a untuk daerah penangkapan dan potensi memiliki nilai yang berfluktuasi dari musim
ke musim. Fluktuasi nilai tersebut dapat dilihat pada gambar 7 yang menampilkan grafik NPP dan Klorofil-a
di WPP 716. Meskipun NPP dan klorofil-a memiliki nilai yang berfluktuasi, terlihat terdapat pola yang sama
dari NPP dan Klorofil-a. Ketika terdapat kenaikan nilai klorofil-a antar bulan, terjadi hal yang sama di nilai
NPP. Hal tersebut terjadi karena salah satu inputan dari NPP adalah klorofil-a. Rentang nilai NPP di WPP
716 adalah 159-3611 mg C m-2. Sedangkan klorofi-a dari 0.018 - 13.192 mg/m3. Rentang nilai klorofil-a dan
NPP di WPP 716 untuk daerah potensi memiliki rentang yang lebih lebar di bandingkan daerah
penangkapan, sama halnya dengan WPP 714.

-704-
Variasi Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan NPP Pada Lokasi Daerah Penangkapan Ikan (Studi Kasus: WPP 714, 716 dan 718)
(Hanintyo, R., dkk)

Gambar 7. Grafik NPP dan Klorofil-a daerah penangkapan dan potensi WPP 716 tahun 2015

3.3 WPP 718


WPP 718 meliputi perairan samudera pasifik dan termasuk di daerah laut arafura. Gambar 8 menunjukkan
grafik suhu permukaan laut di WPP 718 daerah penangkapan dan potensi ikan. Dari parameter suhu
permukaan laut, daerah WPP 718 lebih hangat dibandingkan WPP 714 dan 716 baik untuk daerah
penangkapan maupun daerah potensi. Suhu permukaan laut untuk daerah penangkapan antara 24-340C
sedangkan untuk daerah potensi antara 24-320C. Pada daerah WPP 718, memiliki pola yang serupa dengan
wpp 714, dimana terjadi pergeseran titik suhu tertinggi di bulan april atau musim peralihan 1, dan suhu
terrendah di bulan agustus atau musim timur.

Gambar 8. Grafik SST daerah penangkapan dan potensi WPP 718 tahun 2015

Dilihat dari nilai NPP dan klorofil-a, daerah WPP 718 juga memiliki nilai rentang yang jauh lebih tinggi di
bandingkan. Gambar 9 menunjukkan grafik NPP dan klorofil-a di WPP 718 daerah penangkapan dan potensi ikan.
Rentang nilai NPP untuk daerah penangkapan di WPP 718 adalah 350-4728 mg C m-2, atau 97% lebih tinggi dari NPP
penangkapan di WPP 714 dan 116% lebih tinggi dari NPP penangkapan di WPP 716. Sedangkan untuk daerah potensi
di WPP 718 adalah 236-5682 mg C m-2, atau 162% lebih tinggi di bandingkan NPP potensi di WPP 714 dan 346%
lebih tinggi di bandingkan NPP potensi di WPP 716. Selain itu, WPP 718 juga memiliki rentang NPP dan CHL yang
cukup lebar di daerah potensi di bandingkan daerah penangkapan.

-705-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 9. Grafik NPP dan Klorofil-a daerah penangkapan dan potensi WPP 718 tahun 2015

Jika diperhatikan lebih lanjut dari 3 WPP untuk parameter NPP dan klorofil-a pada WPP 714, 716 dan 718 di tahun
2015 untuk daerah penangkapan dan potensi, terlihat memiliki pola musiman yang sama. Gambar 10 menunjukkan
grafik korelasi hubungan antara NPP dan Klorofil-a pada daerah penangkapan dan potensi ikan. Terdapat hubungan
yang kuat antara klorofil-a dan NPP dengan nilai r = 0.833 (R2=0.695). Jika dihubungkan juga dengan daerah
penangkapan dan potensi, peta PPDPI juga memiliki hubungan yang erat dengan NPP.

Gambar 10. Grafik hubungan antara NPP dan Klorofil-a


pada daerah penangkapan dan potensi ikan

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variabilitias SST, Klorofil-a dan NPP untuk daerah penangkapan
dan potensi PPDPI pada daerah WPP lainnya. Diharapkan dengan adanya penelitian sejenis pada daerah lain, dapat
diketahui nilai akurasi PPDPI yang jelas sesuai parameter oseanografi

4. KESIMPULAN
 Suhu permukaan laut di WPP 714 memiliki pola sesuai musim, dimana musim barat cenderung hangat dan musim
timur cenderung dingin. Sedangkan pada WPP 716 dan 718 memiliki pola yang berbeda.
 Rentang nilai NPP dan Klorofil-a di WPP 714, 716 dan 718 pada daerah potensi ikan lebih lebar di bandingkan
dengan daerah penangkapan ikan.
 Terdapat hubungan yang erat antara NPP dan Klorofil-a di WPP 714, 716 dan 718 di daerah penangkapan dan
potensi ikan PPDPI

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Tulisan ini di support oleh kegiatan operasional Lab. Penginderaan Jauh Kelautan, Balai Penelitian dan
Observasi Laut. Penulis memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Bp. Bambang Sukresno selaku
kepala BPOL, Bp. Komang Iwan Suniada selaku kepala kelompok penelitian dan Bp. Eko Susilo atas
masukan dalam tulisan ini
-706-
Variasi Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan NPP Pada Lokasi Daerah Penangkapan Ikan (Studi Kasus: WPP 714, 716 dan 718)
(Hanintyo, R., dkk)

DAFTAR PUSTAKA
Behrenfeld, M.J., dan Falkowski, P.G., (1997). Photosynthetic rates derived from satellite-based chlorophyll
concentration. Limnology and Oceanography, 42(1):1–20. http://doi.org/10.4319/lo.1997.42.1.0001
Cayula, J.F., dan Cornillon, P., (1992). Edge detection algorithm for SST images. Journal of Atmospheric and Oceanic
Technology. http://doi.org/10.1175/1520-0426(1992)009<0067:edafsi>2.0.co;2
Everett, J.D., dan Doblin, M.A., (2015). Characterising primary productivity measurements across a dynamic western
boundary current region. Deep-Sea Research Part I: Oceanographic Research Papers, 100:105–116.
http://doi.org/10.1016/j.dsr.2015.02.010
Munadi, K., dan Adria, F., (2010). Satellite Imagery and In-situ Data Overlay Approach for Fishery Zonation.
TELKOMNIKA Indonesian Journal of Electrical …, 217–224. Retrieved from
http://idci.dikti.go.id/pdf/JURNAL/JURNAL TELKOMNIKA/VOL 8 No.3 DESEMBER 2010/8.3.12.10.03.pdf
Pauly, D., dan Christensen, V., (1995). Primary production required to sustain global fisheries. Nature, 374(6519), 255–
257. http://doi.org/10.1038/374255a0
Polovina, J.J., Howell, E., Kobayashi, D.R., dan Seki, M.P., (2001). The transition zone chlorophyll front, a dynamic
global feature defining migration and forage habitat for marine resources. Progress in Oceanography, 49(1-4),
469–483. http://doi.org/10.1016/S0079-6611(01)00036-2
Sukresno, B., dan Suniada, K.I., (2008). Observasi Pengaruh ENSO terhadap Produktivitas Primer dan Potensi
Perikanan Dengan Menggunakan Data Satelit di Laut Banda.
Jatisworo, D., dan Murdimanto, A., (2013). Identifikasi Thermal Front Di Selat Makassar dan Laut Banda.Simposium
Nasional Sains Geoinformasi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Variasi Suhu Permukaan Laut, Klorofil - A Dan NPP Pada Lokasi Daerah
Penangkapan Ikan (Studi Kasus : WPP 714, 716 Dan 718)
Pemakalah : Rizki Hanintyo (KKP)
Diskusi :

Pertanyaan: Ratih Dewanti (LAPAN)


Apa saja perbedaan antara Informasi Potensi Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) keluaran Balai Penelitian
dan Observasi Laut dengan Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) keluaran Pusfatja LAPAN? Mohon
dijelaskan dari aspek:
- Frekuensi infomrasi yang dihasilkan
- Parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan
- Cakupan wilayah kajian
- Tingkat ketelitian informasi yang dihasilkan
- Pengguna
- Cara melakukan diseminasi informasi
Sebagai ilustrasi:
Produksi informasi ZPPI dari Sistem Pemantauan Bumi Nasional (SPBN) yang dihasilkan Pusfatja
LAPANsebagaimanatertuangdalamwebsite: http://pusfatja.lapan.go.id/upload/profil/02_SPBN.pdf sebagai
berikut: Produksi informasi ZPPI dilakukan secara harian dengan menghasilkan informasi Suhu Permukaan
Laut(SPL), klorofil-a dan ZPPI yang dibagi menjadi 24 project area. Informasi SPL harian, klorofil-a harian
dan ZPPI bulanan di upload di website resmi Pusfatja, sedangkan informasi ZPPI harian diseminasikan
melalui email secara langsung kepada pengguna seperti Nelayan dan juragan kapal, Dinas Perikanan
Kabupaten/Kota, Guskamla(Gugus Kemanan Laut) dan Dispamal (Dinas Pengamanan Angkatan Laut) TNI
AL serta Bakorkamla (Badan Koordinasi Kemanan Laut). Informasi ZPPI selanjutnya digunakan oleh
nelayan dalam menentukan daerah penangkapan ikan di laut. Pemanfaatan informasi ini bertujuan untuk
membantu meningkatkan hasil produksi tangkapan serta meningkatkan efektifitas dan efisiensi (dapat
mengurangi waktu dan biaya operasional penangkapan ikan) operasi penangkapan ikan. Selain dirasakan
oleh nelayan di beberapa wilayah di Indonesia, pemanfaatan informasi ZPPI ini juga sangat membantu dalam
operasi pengamanan sumber daya ikan dan penegakkan hukum di laut dari kegiatan illegal fishing. Informasi
ZPPI dijadikan sebagai masukkan dan acuan dalam memantau keberadaan dan pergerakan kapal-kapal
penagkap ikan local dan asing, seperti yang telah diterapkan oleh MRCC (Maritime Regional Control
Center) dan RCC (Regional Control Center) Bakorkamla.

-707-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Jawaban:
1. Frekuensi : kami publikasikan setiap hari (untuk skala pelabuhan) dan 3 kali seminggu (skala nasional
2. Parameter yang digunakan : SST, SSC, SSH, angin dan gelombang
3. Cakupan wilayah : seluruh indonesia
4. Tingkat ketelitian : berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di laut jawa, akurasi berkisar 50-60%
5. Pengguna : pemerintah daerah, peneliti, mahasiswa, masyarakat dan nelayan.
6. Disseminasi informasi : melalui web, sms dan aplikasi mobile.

-708-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Aplikasi Citra NOAA untuk Pendugaan Potensi Titik Sebaran Ikan


Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari
Kota Tegal, Jawa Tengah
Application of NOAA Imagery to Predict the Fish Distribution Point
Case Study: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari,
Tegal, Center of Java
Dwi Sri Wahyuningsih1*), Theresia Retno Wulan1,2,3, Farid Ibrahim1,Edwin Maulana1,4
1
Parangtritis Geomaritime Science Park
2
Badan Informasi Geospasial
3
Program Doktoral Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
4
Magister Manajemen Bencana, Universitas Gadjah Mada
*)
E-mail: geografi_dwi@yahoo.com

ABSTRAK–Citra NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) memiliki berbagai macam fungsi,
seperti untuk pendugaan suhu permukaan air laut, pendugaan klorofil dan perkiraan distribusi sebaran ikan. Paper ini
disusun untuk menganalisis potensi titik sebaran ikan di kawasan PPP Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Analisis
yang digunakan adalah analisis spasial dengan teknik penginderaan jauh. Analisis spasial dilakukan untuk mengetahui
kondisi suhu permukaan air laut dari Citra NOAA. Suhu permukaan air laut memiliki korelasi dengan sebaran titik ikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi ikan di Kota Tegal sangat tinggi. Fakta tersebut ditunjang oleh bukti
empirik dengan banyaknya pabrik pengolahan ikan di kawasan Pelabuhan Tegalsari.

Kata kunci:NOAA, Suhu Permukaan Air Laut, Distribusi Ikan, Tegal

ABSTRACT -NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) has a variety of functions, such as for
estimating sea surface temperature, chlorophyll estimation and forecast the pattern of fish distribution. This paper
conducted to analyze the potential of fish distribution point in Tegalsari fishery port, Tegal, Central Java. Spatial
analysis was conducted to determine the condition of sea surface temperature from NOAA image. The surface
temperature of the sea water has a correlation with fish distribution spots. The results showed that the potential of fish
in Tegal is very high. The fact is supported by the empirical evidence with a number of fish processing plant in the Port
area Tegalsari.

Keywords: NOAA, Sea Surface Temperature, Fish Distribution, Tegal

1. PENDAHULUAN
Data satelit telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pengamatan dan pemantauan lingkungan dan
iklim global (Karlsson, dkk., 2015). Data penginderaan jauh yang bersumber dari data satelit sangat
diperlukan untuk permodelan spasial pada skala regional (Verstraeten, dkk., 2005) karena survei terestris
membutuhkan biaya yang besar untuk permodelan spasial pada skala regional. Lebih lanjut, Chuvieco dkk.,
1999 mengemukakan bahwa data satelit memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah dapat
menghemat biaya dan waktu serta dapat digunakan untuk analitik spesifik pada suatu tujuan tertentu (yang
berbasis spasial). Data satelit yang digunakan untuk pemantauan maupun permodelan pada skala regional
saat ini sudah banyak tersedia dan dapat diunduh secara gratis. Beberapa jenis satelit dengan resolusi rendah
yang dapat digunakan untuk pemantauan pada skala regional diantaranya adalah data Terra MODIS
(Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), Aqua MODIS, dan NOAA (National Ocean and
Atmospheric Administration) AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer).
Satelit NOAA merupakan satelit milik Amerika Serikat yang diluncurkan pertama kali pada tahun 1970-
an. Satelit NOAA merupakan seri satelit meteorologi generasi ketiga setelah TIROS (Television Infrared
Observation Satellite) (1960-1965) dan ITOS (Improved TIROS Operational Satellite) (1970-1976)
(Wahyuningsih dan Wulan, 2015). Data satelit NOAA merupakan salah satu satelit resolusi rendah yang
memiliki banyak fungsi. Beberapa fungsi satelit NOAA adalah untuk monitoring bencana kebakaran hutan
dan banjir, monitoring bencana hidro-klimatologi, mendeteksi suhu permukaan laut, analisis ketersediaan
klorofil, analisis NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan masih banyak fungsi yang lain. Satelit

-709-
Aplikasi Citra NOAA untuk Pendugaan Potensi Sebaran Ikan Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari Kota
Tegal, Jawa Tengah (Wahyuningsih, D.S., dkk)

NOAA AVHRR memiliki lima kanal dan memiliki resolusi 1,1 km (Domenikiotis, dkk., 2002). Karakteristik
satelit NOAA AVHRR dapat dilihat pada Tabel 1. Salah satu contoh kenampakan data mentah satelit NOAA
AVHRR dan data yang sudah diekstraksi dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1. Karakteristik AVHRR

Kanal Panjang Gelombang (μm) Spektrum Resolusi (km)


1 0.55–0.9 Visible (VIS) 1,1
2 0.725–1.0 Near Infrared (NIR) 1,1
3 3.55–3.93 Middle Infrared (MIR) 1,1
4 10.3–11.3 Thermal Infrared (TIR) 1,1
5 11.5–12.5 Thermal Infrared (TIR) 1,1
1 0.55–0.9 Visible (VIS) 1,1
Sumber: Domenikiotis, dkk., 2002

A B

Gambar 1. Salah satu contoh kenampakan citra dari Satelit NOAA, (a) sebelum diolah; (b) setelah diolah
Sumber: NOAA, 2012

Salah satu fungsi NOAA yang dapat diaplikasikan di Indonesia adalah untuk penentuan titik-titik
potensi sebaran ikan. Titik-titik potensi sebaran ikan sangat dibutuhkan oleh nelayan untuk memaksimalkan
pendapatan ikan dan menghemat biaya operasional untuk melaut. Salah satu pelabuhan di Pulau Jawa yang
memiliki potensi untuk dikembangkan adalah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari yang terletak di
Kota Tegal, Jawa Tengah. PPP Tegalsari merupakan hasil kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dengan
Asian Development Bank (ADB) dalam bentuk proyek community development and fisheries resources
management project (cofish project). Beberapa tahun terakhir perkembangan PPP Tegalsari berjalan dengan
sangat pesat sehingga banyak didirikan pabrik pengolahan ikan dengan tujuan untuk ekspor. Potret aktivitas
nelayan di Pelabuhan Tegalsari, Kota Tegal dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Aktivitas nelayan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal
Sumber: Maulana, 2016

-710-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Salah satu upaya untuk meningkatkan efektivitas nelayan untuk menangkap ikan di laut lepas adalah
melakukan analisis titik-titik potensi sebaran ikan dengan data satelit NOAA. Data satelit NOAA,khususnya
AVHRR 19 sangat bermanfaat untuk penentuan titik potensi sebaran ikan karena periode untuk sekali orbit
satelit NOAA adalah 102 menit, sehingga setiap hari mengasilkan kurang lebih 14,1 orbit. Berdasarkan latar
belakang tersebut di atas, maka penelitian ini mengambil tema aplikasi NOAA untuk pendugaan titik potensi
sebaran ikan dengan studi kasus Kota Tegal.

2. METODE
Penelitian ini dilakukan di perairan Laut Jawa dengan lokasi penangkapan ikan berada di antara 4oLS–
7o LS dan 106oBT– 115o BT. Wilayah tersebut dipilih karena merupakan kawasan tangkap ikan oleh
masyarakat nelayan di PPP Tegalsari. Laut Jawa merupakan perairan dangkal. Morfologi perairan dasar Laut
Jawa membentuk lereng yang menurun ke arah timur. Kedalaman rata-rata mencapai 30 meter di bagian
baratnya dan 90 meter di bagian tengah. Kondisi tersebut menjadikan perairan Laut Jawa seperti daratan
yang terendam air. Adapun gambaran umum lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Lokasi Penelitian, Sumber: NOAA, 2012

Data yang digunakan dalampenelitian merupakan citra satelit NOAA-18 dan 19 pada perekaman tahun
2007, 2008, 2011 dan 2012. Citra NOAA sebagai citra resolusi rendah memiliki liputan yang luas. Citra
yang digunakan meliputi wilayah Pulau Jawa, Samudra Hindia, dan Laut Jawa. Pengolahan data yang
dilakukan dalam penelitian adalah dengan menurunkan nilai piksel menjadi nilai radian. Nilai radian
merupakan nilai yang didapatkan dari energi radiasi yang dipantulkan oleh objek di muka bumi, baik itu di
daratan maupun di perairan. Hubungan antara nilai piksel dan nilai radian adalah nilai radian tersimpan
dalam bentuk nilai piksel (digital number). Teknik penyimpanan sensor satelit dalam bentuk nilai piksel
tersebut menjadi dasar ekstraksi suhu permukaan dengan mengembalikan nilai radian dari nilai piksel.
Penelitian ini menggunakan perangkat lunak Er Mapper 7.1 untuk mengekstraksi suhu permukaan
dengan algoritma Mc Millin dan Crosby (1984). Algoritma tersebut menggunakan multi kanal, dengan
menggabungkan beberapa kanal untuk mendapatkan nilai temperatur. Formula yang diterapkan Mc Millin
dan Crosby adalah Tb4 + 2.702 (Tb4-Tb5)- 0,582 – 273.0. Algoritma ini menggunakan kanal 4, kanal 5
untuk mendapatkan SPL dalam satuan derajat celcius. Secara sederhana, diagram alir penelitian dapat dilihat
pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir penelitian, Sumber: Analisis, 2016

-711-
Aplikasi Citra NOAA untuk Pendugaan Potensi Sebaran Ikan Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari Kota
Tegal, Jawa Tengah (Wahyuningsih, D.S., dkk)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Kondisi Eksisting Pelabuhan dan Aktivitas Nelayan di PPP Tegalsari
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari terletak di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat,
Kota Tegal. Secara astronomis, PPP Tegalsari terletak pada koordinat 109°10'0" BT dan 07°01' 0"
LS.Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari merupakan pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Tegalsari yang dibangun mulai tahun 2000 melalui kegiatan Coastal Community Develpment and Fisheries
Resources Managemen Project (Cofish Project). Proyek Cofish Projectdidanai oleh Asian Development
Bank (ADB) yang tertuang dalam Naskah Perjanjian Luar Negeri Loan Nos.1570/1571 (SF) INO tanggal 2
Februari 1998.Pada tanggal 4 Juli tahun 2004, PPP Tegalsari diresmikan operasionalnya oleh Presiden
Republik Indonesia pada masa itu, yaitu Presiden Megawati Soekarnoputri. PPP Tegalsari termasuk dalam
pelabuhan Tipe C atau Kelas III. Lokasi PPP Tegalsari dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Lokasi PPP Tegalsari, Kota Tegal, Sumber: Maulana, 2016

PPP Tegalsari memiliki fasilitas yang lengkap sehingga dapat mendukung aktivitas perdagangan nelayan
di Kabupaten Tegal. Beberapa fasilitas yang terdapat di PPP Tegalsari diantaranya adalah breakwater,
revetment, training jetty, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), tempat pengepakan, dermaga bongkar, dermaga
labuh, kolam labuh, kolam perbekalan, alur masuk pelabuhan, jalan penghubung, fasilitas navigasi
pelayaran, dan komunikasi. Berdasarkan hasil in-depth interview, permasalahan yang terdapat pada PPP
Tegalsari adalah permasalahan pengolahan sampah, penyediaan air bersih dan kapasitas pelabuhan yang
tidak dapat menampung jumlah kapal yang bersandar di PPP Tegalsari. Foto udara PPP Tegalsari dapat
dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Foto Udara PPP Tegalsari, Kota Tegal


Sumber: Maulana, 2016

-712-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Aktivitas nelayan pada PPP Tegalsari sangat ramai setiap hari. Ratusan kapal silih berganti singgah di
PPP Tegalsari setiap hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dila, et.al. (2015), komoditas perikanan
laut di Kota Tegal terdiri dari (1) Komoditas prima (layang, bawal, selar, tembang, tongkol, dan lemuru); (2)
Komoditas potensial terdiri dari kembung dan tengiri; (3) Komoditas berkembang terdiri dari udang, teri,
layur, tigawaja, ekor kuning, petek, manyung, pari, cumi dan beloso dan (4) Komoditas terbelakang terdiri
dari rebon, srinding, talang dan larak. Lebih lanjut, berdasarkan hasil in-depth interview dengan key-
informan yang dilakukan pada bulan Maret 2016, potensi utama di PPP Tegalsari adalah ikan kuniran,
peprek, swangi, dan pari. Dokumentasi in-depth interview dengan key-informan dapat dilihat pada Gambar 7.

a b

Gambar 7. Proses in-depth interview dengan key-informan (a) Enumerator mewawancari responden
(b) Responden memberikan penjelasan mengenai Nelayan di Kota Tegal
Sumber: Maulana, 2016

Usaha perikanan tangkap (UPT) di Kota Tegal dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan besarnya ukuran
muatan kapal, yaitu (1) nelayan dengan kapal kecil atau tradisional (ukuran 1-10 Gross Tonnage); (2)
nelayan dengan kapal sedang (ukuran 11-30 Gross Tonnage); dan nelayan besar (ukuran muatan di atas 30
Gross Tonnage) (Utami, et.al., 2013). Durasi waktu untuk menangkap ikan di laut tiap jenis kapal berbeda
antara yang satu dengan yang lain. Kapal tradisional melaut selama 1-6 hari, kapal sedang melaut selama
satu bulan, dan kapal besar melaut selama tiga sampai enam bulan. Tingkat penghasilan nelayan sangat
bergantung pada kondisi cuaca di perairan lepas. Kondisi TPI di PPP Tegalsari dapat dilihat pada Gambar 8.

a b

Gambar 8. Aktivitas Nelayan di PPP Tegalsari, Kota Tegal (a) Pengemasan ikan hasil tangkapan ke dalam plastik (b)
Pengemasan ikan hasil tangkapan ke dalam kotak plastik
Sumber: Maulana, 2016

3.2. Pemrosesan Data NOAA


Pemrosesan data citra satelit NOAA membutuhkan beberapa langkah-langkah sebelum akhirnya menjadi
titik potensi ikan. Perolehan data mentah citra satelit NOAA didapatkan dengan mengunduh data tersebut
menggunakan receiver NOAA. Receiver NOAA terdiri dari seperangkat alat penerima data NOAA
dilengkapi dengan parabola. Data mentah citra NOAA yang didapatkan memiliki format data hrp. Citra
NOAA memiliki lima kanal, dimana setiap kanal tersebut dilakukan ekstraksi terlebih dahulu sebelum
dilakukan pengolahan. Adapun proses pengunduhan citra dapat dilihat di dalam Gambar 9, dimana receiver

-713-
Aplikasi Citra NOAA untuk Pendugaan Potensi Sebaran Ikan Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari Kota
Tegal, Jawa Tengah (Wahyuningsih, D.S., dkk)

NOAA berada di dalam gedung kantor, sedangkan parabola berada diletakkan di luar gedung kantor. Jadwal
penerimaan citra satelit NOAA selalu dilakukan perbaruan untuk memastikan jadwal receiver NOAA dengan
satelit NOAA yang beredar sama.Perbaruan jadwal dapat dilakukan setiap hari atau seminggu sekali.

a b

Gambar 9. Proses mengunduhcitra NOAA dari Receiver NOAA (a) Pengunduhan Citra NOAA di dalam gedung
(b) Akuisisi Parabola Receiver NOAA di luar gedung
Sumber: LGPP, 2011

Koreksi yang dilakukan di dalam pengolahan citra NOAA adalah koreksi radiometrik dan geometrik.
Koreksi radiometrik diperlukan untuk memperbaiki kualitas visual citra. Perbaikan yang dilakukan
disesuaikan dengan nilai pantulan spektral objek yang sebenarnya. Koreksi selanjutnya yang dilakukan
adalah koreksi geometrik. Koreksi geometrik dilakukan untuk mendapatkan posisi sebenarnya di bumi.
Penentuan titik koordinat ini dinilai penting karena akan berkaitan dengan posisi titik potensi ikan. Proses
koreksi dilakukan dengan RMS (Root Mean Square) Errorminimal sebesar0,5.

a b

Gambar 10. Koreksi Geometrik citra satelit NOAA (a) Jendela Citra NOAA yang akan dikoreksi, dan
(b) Jendela Acuan Koordinat Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sumber: Analisis, 2016

Proses selanjutnya yang dilakukan adalah proses penentuan suhu permukaan laut menggunakan rumus
Mc Millin dan Crosby. Penentuan suhu permukaan laut menggunakan rumus sebagai berikut: SPL=
Tb4+2.702(Tb4-Tb5)-0.582-273.0, di mana Tb4 dan Tb 5 merupakan nilai radiasi yang tersimpan pada suhu
kecerahan kanal 4 dan kanal 5. Formula yang dikembangkan oleh Mc Millin dan Crosbymengekstraksi nilai
kecerahan sebagai hasil pantulan radiasi suatu objek permukaan bumi. Setiap objek memiliki radiansi yang
terekam pada sensor, termasuk dalam hal ini tubuh air.Formula yang digunakan ini akan meningkatkan
kontras kenampakan citra. Gradasi kecerahan yang dihasilkan oleh formula diperoleh dari nilai radian hasil
penggubahan nilai piksel pada saluran 4 dan saluran 5 Citra NOAA.
Perubahan histogram dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni linear transform, autoclip transform,
level-slice transform, histogram match, histogram equalize, Gaussian Equalize, default logarithmic, dan
Exponential. Penelitian ini menggunakan salah satu metode histogram yakni linear transform atau
transformasi linear. Citra yang tampak setelah dilakukan pemasukan rumus akan menjadi kurang tajam
sehingga diperlukan penajaman dengan memberikan rentang nilai histogramnya. Pemilihan histogram linear

-714-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

merupakan upaya untuk menajamkan hasil pengolahan citra dengan cara memasukkan nilai piksel sesuai
dengan kebutuhan yang ada.
Hasil yang diperoleh dari rumus tersebut akan terlihat perbedaan antara tutupan awan, suhu permukaan
laut, dan suhu permukaan daratan. Melalui histogram, tingkat kecerahan suhu diatur sedemikian rupa supaya
tampak perbedaan warna antara suhu permukaan laut yang satu dengan yang lainnya. Suhu permukaan laut
akan menunjukkan titik-titik persebaran ikan dengan jenis yang berbeda-beda. Suhu permukaan laut juga
dapat menunjukkan ketersediaan nutrisi yang diperlukan ikan saat berada di laut. Proses pengolahan suhu
permukaan laut dan pengaturan histogram dapat dilihat pada Gambar 11.

a b

Gambar 11. Proses Pengolahan Suhu Permukaan Laut (a) Suhu Permukaan Laut setelah dimasukkan rumus Mc Millin
dan Crosby (b) Histogram Suhu Permukaan Laut
Sumber: Analisis, 2016

Setiap piksel yang terdapat di dalam penentuan suhu permukaan laut memiliki nilai yang berbeda-beda.
Nilai setiap piksel menggambarkan nilai suhu permukaan laut. Setiap satu piksel di dalam citra NOAA
memiliki nilai resolusi sebesar 1, 1 km, sehingga jarak yang disarankan dalam pencarian ikan minimal sejauh
empat mil dari daratan. Penajaman warna citra menentukan di dalam proses penentuan suhu permukaan laut.

3.3. Penentuan Potensi Titik Sebaran Ikan


Penentuan potensi titik sebaran ikan menggunakan pendekatan suhu permukaan laut. Beberapa data yang
berhasil dikumpulkan meliputi tahun 2007, 2008, 2011, dan 2012. Kondisi tutupan awan menjadi kendala
dalam penentuan titik potensi ikan. Beberapa citra susah dianalisis karena adanya tutupan awan. Melihat
karakteristik dari setiap citra NOAA yang ada, analisis dilakukan pada bulan-bulan kering atau pada saat
musim kemarau, yakni pada bulan Mei dan Juni. Suhu yang dapat diketahui dari analisis citra NOAA pada
tanggal 24 Mei 2007, jam 13.42 WIB menunjukkan bahwa titik-titik potensi ikan berada pada suhu
permukaan laut berkisar antara 27oC -28oC. Jarak jangkau kapal nelayan untuk menjangkau ikan berada pada
jarak 30 mil sampai 50 mil. Mengingat kapal-kapal yang berada di PPP Tegalsari merupakan kapal-kapal
besar dengan ukuran muatan di atas 30 Gross Tonnage, disarankan berada pada lokasi penangkapan sejauh
60 mil. Peta Suhu Permukaan Laut pada tanggal 24 Mei 2007, jam 13.42 WIB beserta lokasi potensi ikan
terlihat pada Gambar 12.

a b

Gambar 12. (a) Peta Suhu Permukaan Laut 24 Mei 2007 jam 13.42 WIB
dan (b)Titik Potensi Ikan 24 Mei 2007 jam 13.42 WIB, Sumber: Analisis 2016
Peta suhu permukaan laut yang dihasilkan pada tanggal 25 Januari 2008, jam 13.10 WIB menunjukkan
banyak tutupan awan. Bulan Januari memiliki kelemahan dalam hal tutupan awan sehingga suhu yang
-715-
Aplikasi Citra NOAA untuk Pendugaan Potensi Sebaran Ikan Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari Kota
Tegal, Jawa Tengah (Wahyuningsih, D.S., dkk)

dihasilkan berkisar antara 30oC-31oC. Kenaikan suhu permukaan antara bulan Mei ke bulan Januari naik
secara signifikan. Kenaikan suhu disebabkan karena banyak awan yang menutup kawasan tersebut sehingga
suhu permukaan menjadi terpengaruh oleh adanya tutupan awan. Kenampakan kondisi suhu permukaan laut
dan titik potensi penangkapan ikan terlihat pada Gambar 13. Penangkapan ikan disarankan dilakukan pada
jarak 30 mil sampai 55 mil karena pada jarak tersebut akan meminimalkan faktor pencemar dari daratan.
Suhu permukaan pada saat berada di dekat daratan lebih banyak memiliki gangguan dibandingkan berada
jarak yang jauh dari daratan.

a b

Gambar 13. (a) Suhu Permukaan Laut tanggal 25 Januari 2008, jam 13.10 WIB
dan (b) Peta Titik Potensi Ikan 25 Januari 2008, jam 13.10 WIB, Sumber: Analisis 2016

Suhu permukaan laut yang dapat terlihat pada citra NOAA pada tanggal 1 Juni 2011, pada jam 13.50
WIB mencapai 29oC -30oC. Suhu permukaan laut pada kisaran suhu tersebut sedikit terpengaruh oleh
tutupan awan sehingga menghasilkan suhu permukaan laut yang tinggi. Titik potensi ikan pada tanggal 1
Juni 2011 diperkirakan berada pada jarak 30 mil sampai 50 mil, dimana kisaran suhu tersebut mampu
menangkap ikan pelagis besar, seperti layang, bawal, selar, tembang, tongkol, dan lemuru.Kondisi tersebut
dibuktikan dengan hasil tangkapan ikan oleh nelayan di PPP Tegalsari. Kapal penagkap ikan dalam melaut
kurang lebih selama tiga sampai enam bulan.

a b

Gambar 14.(a) Suhu Permukaan Laut pada tanggal 1 Juni 2011, jam 13.50 WIB
dan (b) Peta Titik Potensi Ikan 25 Januari 2008, Sumber: Analisis 2016

-716-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

a b

Gambar 15.(a) Suhu Permukaan Laut pada tanggal 4 Juni 2012, jam 12.38 WIB
dan (b) Peta Titik Potensi Ikan pada tanggal 4 Juni 2012, jam 12.38 WIB
Sumber: Analisis 2016

Suhu permukaan laut pada tanggal 4 Juni 2012, jam 12.38 WIB berkisar antara 28 oC-29oC. Kondisi
tutupan awan pada bulan Juni terlihat lebih cerah, dimana tutupan awan terlihat sedikit. Kondisi tersebut
memungkinkan nelayan dalam mencari ikan dapat dilakukan pada jangkauan 30-40 mil. Kondisi perairan
pada bulan tersebut baik sehingga ikan yang dihasilkan lumayan meningkat. Jumlah ikan yang dihasilkan di
Kota Tegal pada tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 16.

7000

6000

5000
Jumlah (ton)

4000

3000

2000

1000

0
2009 2010 2011 2012 2013
Tahun

Layang Bawal Tongkol Lemuru

Gambar 16. Grafik Jumlah Ikan yang dihasilkan di Kota Tegal Tahun 2009-2013
Sumber: Produk Domestik Bruto Kota Tegal Tahun 2013

Jenis ikan laut yang dihasilkan di Kota Tegal sebagai contohnya adalah ikan Layang, Bawal, Tongkol,
dan Lemuru. Jenis ikan layang dan lemuru mengalami peningkatan jumlah tangkapannya. Penurunan hanya
terjadi pada jenis ikan tongkol dan bawal, tetapi masih dalam kisaran jumlah yang tidak terlalu signifikan.
Jenis-jenis ikan tersebut merupakan bagian dari jenis ikan prima yang dihasilkan di Kota Tegal. Pemanfaatan
citra satelit NOAA berkorelasi positif terhadap penangkapan ikan yang dilakukan di Kota Tegal, PPP
Tegalsari.

-717-
Aplikasi Citra NOAA untuk Pendugaan Potensi Sebaran Ikan Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari Kota
Tegal, Jawa Tengah (Wahyuningsih, D.S., dkk)

4. KESIMPULAN
Pemanfaatan citra satelit NOAA merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas
penangkapan ikan. Pemilihan citra NOAA dinilai tepat karena dapat menghasilkan liputan yang luas pada
hampir sepertiga wilayah di Indonesia. Pendetailan pada setiap perairan dapat dilakukan dengan melakukan
uji lapangan ke daerah perairan secara langsung. Kelemahan citra satelit NOAA terlihat pada banyaknya
tutupan awan, terutama pada perairan Indonesia. Analisis citra satelit NOAA paling efektif dilakukan pada
saat musim kemarau, dimana kondisi cuaca relatif baik dengan tutupan awan yang tidak terlalu banyak.
Kondisi tersebut memungkinkan dalam mendapatkan titik potensi ikan yang lebih akurat. Salah satu upaya
untuk meminimalisasi gangguan di wilayah daratan dengan melakukan penangkapan ikan pada kisaran jarak
30-60 mil. Diharapkan dengan adanya data penginderaan jauh dapat menjadi salah upaya untuk
meningkatkan produktivitas perikanan di Indoensia.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada penyedia data NOAA sehingga penelitian ini dapat berjalan
secara lancar. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada I Wayan Wisnu Yoga
Mahendra dan Aries Dwi Wahyu Rahmadana yang membantu penulis selama proses survei lapangan.
Penghargaan sebesar-besarnya juga diberikan kepada Prof. Dr.rer.nat. Junun Sartohadi dan Syamsul Bachri,
P.Hd. yang selalu memberikan bimbingan kepada penulis. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
rekan-rekan Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) dan Badan Informasi Geospasial (BIG) yang
selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada para narasumber di PPP Tegalsari.

DAFTAR PUSTAKA
________. (2013). Produk Domestik Regional Bruto Kota Tegal. Kota Tegal: Badan Pusat Statistika
Chuvieco, E., Deshayes, M., Stach, N., Cocero, D., dan Rian˜o, D. (1999). Short-term fire risk: foliage moisture content
estimation from satellite data. In E. Chuvieco (Ed.), Remote sensing of large wildfires in the European
Mediterranean Basin. Berlin7 Springer-Verlag.
Dila, I.Z.N., Darsono, Setyowati, (2015). Analisis Pemetaan dan Pengembangan Kapasitas Tangkap Komoditas
Perikanan Laut Unggulan Di Kota Tegal, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Domenikiotis, C., Loukas, A., dan Dalezios, N.R.(2002). The use of NOAA/AVHRR satellite data for monitoring and
assessment of forest fires and floods. Natural Hazards and Earth System Sciences, 3:115–128.
Karlsson, K.G., Johansson, E., dan Devasthale, A.,(2015). Advancing the uncertainty characterisation of cloud masking
in passive satellite imagery: Probabilistic formulations for NOAA AVHRR data. Remote Sensing of
Environment,158:126–139.
Utami, K.S., Darsono, dan Wibowo, A., (2013). Pengaruh Pemberian Kredit KUD Karya Mina Terhadap Pendapatan
Nelayan Tradisional di Kota Tegal. Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Verstraetena, W.W., Veroustraetea, F., dan Feyen, J., (2005) Estimating evapotranspiration of European forests from
NOAA-imagery at satellite overpass time: Towards an operational processing chain for integrated optical and
thermal sensor data products. Remote Sensing of Environment,96:256 – 276.
Wahyuningsih, D.S., dan Wulan, T.R., (2015).Kajian Pemanfaatan Citra NOAA untuk Pendugaan Potensi Ikan di WPP
573.Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam
Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional. ISBN: 978-602-73620-0-0.
_____________________________________________________________________________________________
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

DAFTAR ACARA
PRESENTASI POSTER SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Aplikasi Citra NOAA Untuk Pendugaan Potensi Titik Sebaran Ikan
Di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah
Pemakalah : Dwi Wahyuningsih
Diskusi :

Pertanyaan: Dr. RahmatArif (LAPAN)


1. Bagaimana menentukan area potensi titiksebaran ikan dari suhu permukaan laut (SPL) dan suhu berapa
yang mengindikasikan terdapat jumlah ikan yang banyak di area tersebut? Dan pakah SPL dapat
membedakan masing-masing jenis ikan?
-718-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2. Seberapa tinggi akurasi ketelitian geometris informasi area potensi sebaran ikan dengan realita di
lapangan? Dan factor apa saja yang mempengaruhi akur asitersebut?

Jawaban :
1. Penentuan area potensi ikan didasarkan dari suhu yang berikisar antara 28-29oC. Data suhu tersebut
didapatkan dari analisis suhu permukaan yang telah kita dapatkan dari citra satelit NOAA. Mengenai
jenis ikan sejauh penelitian ini belum sampai kepada jenis-jenis ikan yang akan ditangkap oleh
nelayan. Jangkauan daerah penangkapan ikan yang dilakukan pemantauan adalah sejauh 3 sampai 12
mil. Jenis ikan pada jangkauan tersebut merupakan jenis-jenis ikan perairan laut lepas yaitu layang,
bawal, tongkol, dan lemuru.
2. Akurasi geometris berbeda dengan akurasi hasil penelitian. Akurasi geometris tergantung pada sumber
data yang diacu, dan dalam penelitian ini kita mengoreksi geometrik dengan data RBI. Lebih lanjut
mengenai akurasi geometric dapat dilihat pada Perka BIG. Akurasi titik sebaran ikan atau akurasi hasil
bergantung padajenis data yang digunakan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satelit
NOAA memiliki resolusi sebesar 1,1 km, sehingga akurasi hasil tidak terlalu tinggi. Terdapatnya
tutupan awan dari citra juga dapat mempengaruhi keakuratan hasil yang kita dapatkan. Semakin banyak
tutupan awan akan menyebabkan semakin biasnya suhu permukaan. Selain tutupan awan, suhu
permukaan yang dekat dengan daratan dapat mempengaruhi hasil data yang kita peroleh. Tingkat
kesalahan dapat diminimalisasi dengan cara membatasi jangakuan daerah tangkapan nelayan sejauh 3-
12 mil dari daratan.

-719-

Anda mungkin juga menyukai