0r
: parameter intersep untuk perubahan penggunaan lahan ke-i menjadi ke-r
jr :
parameter koefisien variabel ke-j untuk perubahan penggunaan lahan
ke-i menjadi ke-r
X
j
: variabel bebas (data kategorik dan data numerik)
R
: jumlah tipe penggunaan lahan
n
: jumlah variabel bebas
exp : eksponensial
20
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Lokasi DAS Cipunagara dan Sekitarnya
DAS Cipunagara dan sekitarnya terletak di empat Kabupaten, yaitu
Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Indramayu. Secara
administratif, wilayah DAS Cipunagara mempunyai 205 desa dan 33 kecamatan.
Gambar 3. Peta Administrasi DAS Cipunagara dan Sekitarnya
4.2 Kemiringan Lereng dan Elevasi
Daerah penelitian merupakan wilayah DAS yang didominasi oleh dataran
rendah (0-25 mdpl). Peta ketinggian dikelaskan dalam interval 0-25 mdpl, 25-100
mdpl, 100-250 mdpl, 250-500 mdpl, 500-1000 mdpl, dan 1000-2000 mdpl.
Luasan untuk masing-masing kelas elevasi disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 4.
Elevasi 0-25 mdpl adalah elevasi yang paling luas yaitu 56920,27 ha
(32,78%). Elevasi terluas kedua ditemui pada elevasi 25-100 mdpl seluas
45490,27 ha (26,20%). Kemudian berturut-turut adalah elevasi 250-500 mdpl
(15,93%), elevasi 500-1000 mdpl (12,68%), elevasi 100-250 mdpl (7,63%), dan
elevasi 1000-2000 mdpl (4,78%).
21
Tabel 7. Ketinggian Tempat di Daerah Penelitian dan Luasannya
No.
Elevasi Luas
(mdpl) (Ha) (%)
1 0 - 25 56920.27 32.78
2 25 - 100 45490.27 26.20
3 100 - 250 13249.33 7.63
4 250 - 500 27666.01 15.93
5 500-1000 22018.26 12.68
6 1000-2000 8301.87 4.78
Total 173646.01 100
Sumber : Hasil Analisis peta RBI 1999 skala 1:25000, penerbit Bakosurtanal
Gambar 4. Peta Elevasi Daerah Penelitian
22
Peta lereng yang dibuat dari proses DEM dikelaskan ke dalam interval 0-
8%, 8-15%, 15-25%, 25-40%, dan >40% (Gambar 4). Luas dari masing-masing
kemiringan lereng disajikan pada Tabel 8 dan penyebaran spasialnya disajikan
pada Gambar 5.
Tabel 8. Kemiringan Lereng di Daerah Penelitian dan Luasannya
No. Kemiringan (%) Keterangan
Luas
(Ha) (%)
1 0-8 Datar 114868.60 66.15
2 8-15 Landai 15405.20 8.87
3 15-25 Agak curam 19926.46 11.48
4 25-40 Curam 10794.11 6.22
5 >40 Curamsekali 12651.64 7.29
Total 173646.01 100
Sumber: Hasil Analisis peta RBI, 1999 skala 1:25000, penerbit Bakosurtanal
Kelas lereng yang paling luas pada daerah penelitian adalah kelas
kemiringan 0-8%. Kelas lereng ini mencakup luasan 114868,60 ha atau 66,15%
dari total luas DAS. Kelas lereng agak curam (15-25%) merupakan kelas terluas
kedua dengan luasan 19926,46 ha atau 11,48%. Kemudian berturut-turut adalah
kelas lereng landai dengan luasan 15405,20 ha (8,87%), kelas lereng curam sekali
(7,29%), dan kelas lereng curam (6,22%).
23
Gambar 5. Peta Lereng Daerah Penelitian
4.3 Iklim
Daerah penelitian termasuk ke dalam iklim tropika yang dicirikan oleh
suhu dan kelembaban yang tinggi sepanjang tahun. Perhitungan curah hujan rata-
rata dilakukan dengan menggunakan metode isohyet yang diwakili oleh delapan
stasiun curah hujan. Peta penyebaran curah hujan dapat dilihat pada Gambar 6.
24
Gambar 6. Peta Curah Hujan Daerah Penelitian
4.4 Tanah
Pola sebaran dan jenis tanah pada daerah penelitian disajikan pada tabel 9.
Secara umum terdapat enam jenis tanah yang ada pada daerah penelitian. J enis
tanah yang paling luas adalah aluvial dengan luasan 58752,47 atau 33,83%. J enis
tanah terluas kedua adalah latosol dengan luasan 57839,67 ha (33,31%).
Kemudian berturut-turut Grumusol seluas 20078,38 ha (11,56%), Podsolik seluas
18676,99 ha (10,76%), Andosol seluas 9446,96 ha (5,44%), dan jenis tanah
25
dengan luasan terkecil adalah regosol sebesar 8851,55 ha (5,10%). Peta jenis
tanah daerah penelitian disajikan pada Gambar 7.
Tabel 9. J enis Tanah Daerah Penelitian dan Luasannya
No. J enis Tanah
Luas
(Ha) (%)
1 Aluvial 58752.47 33.83
2 Andosol 9446.96 5.44
3 Grumusol 20078.38 11.56
4 Latosol 57839.67 33.31
5 Podsolik 18676.99 10.76
6 Regosol 8851.55 5.10
Total 173646.01 100
Sumber : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1966
Gambar 7. Peta J enis Tanah Daerah Penelitian
26
4.5 Geologi
Daerah Penelitian didominasi oleh batu pasir tuffaan dan konglomerat
dengan luasan 31935,17 ha (18,39%) dan aluvial seluas 29304,13 ha (16,88%).
Formasi geologi yang paling kecil masing-masing adalah produk gunung api tua
seluas 228,46 ha (0,13%), breksi produk batuan gunung api tua seluas 230,69 Ha
(0,13%), dan unit lempung tufaan seluas 460,77 ha (0,27%). Adapun luas dari
masing-masing formasi geologi disajikan pada Tabel 10 dan penyebaran
spasialnya disajikan pada Gambar 8.
Tabel 10. Geologi Daerah Penelitian dan Luasannya
No. Kode Keterangan
Luas
(Ha) (%)
1 Qa Aluvial 29304.13 16.88
2 Msc Anggota Batu lempung 12813.61 7.38
3 Mss Anggota Batu pasir 813.31 0.47
4 Qav2 Batu pasir Tuffaan dan Konglomerat 31935.17 18.39
5 Qvb2 Breksi Produk Batuan Gunung api Tua 259.18 0.15
6 Qaf Endapan Dataran Banjir 17121.10 9.86
7 Qad Endapan Delta 4079.40 2.35
8 Qac Endapan Pantai 12777.17 7.36
9 Pt Formasi Cilanang 1809.38 1.04
10 Pk Formasi Kaliwangu 8006.27 4.61
11 Qc Koluvial 22063.46 12.71
12 Qyl Lava 7441.11 4.29
13 Qyu Produk Gunung api Muda 7413.36 4.27
14 Qob Produk gunung api tua 230.69 0.13
15 Qvu Produk Gunung api tua tak teruara 11777.72 6.78
16 Qyd Tufa pasiran 1325.04 0.76
17 Qyt Tuff berbatu apung 4015.15 2.31
18 Qol Unit lempung tufaan 460.77 0.27
Total 173646.01 100
Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
27
Gambar 8. Peta Geologi Daerah Penelitian
4.6 Kependudukan
Daerah penelitian mencakup Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang,
dan Kabupaten Indramayu. J umlah desa yang tercakup dalam DAS Cipunagara
adalah 205 desa, yang terdiri dari 128 desa berada di Kabupaten Subang, 56 desa
di Kabupaten Sumedang, dan 21 desa di Kabupaten Indramayu. Berdasarkan data
potensi desa tahun 2008, jumlah penduduk di daerah penelitian sebanyak
1.085.285 jiwa, dengan 539.061 jiwa penduduk laki-laki dan 546. 224 jiwa
penduduk perempuan.
28
4.7 Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk yang dominan di Kabupaten Subang yang
tercakup dalam daerah penelitian adalah pertanian (Subang Dalam Angka, 2008).
Sektor pertanian masih merupakan sektor yang paling dominan dalam menyerap
tenaga kerja. Pada tahun 2008, sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar
43,28 % dari penduduk yang bekerja. Penyebab tingginya sektor pertanian dalam
menyerap tenaga kerja ini karena lapangan pekerjaan di sektor pertanian tidak
banyak membutuhkan tenaga terdidik dan terampil.
Di Kabupaten Sumedang, sebagian besar penduduk bekerja di sekitar
pertanian yaitu sebanyak 199.694 orang (43,85%), selanjutnya bekerja di sektor
perdagangan sebanyak 89.718 orang dan sektor industri sebanyak 57.876 orang,
sedangkan jumlah tenaga kerja yang paling sedikit adalah yang bekerja di sektor
keuangan yaitu sebanyak 2406 orang atau sekitar 0,53% dari sejumlah tenaga
kerja. Sementara di sektor jasa jumlah PNS di lingkungan Kabupaten Sumedang
menunjukkan jumlah yang cukup banyak yang mencapai 12.496 orang. Demikian
juga mata pencaharian di Kebupaten Indramayu yang berada di DAS Cipunagara,
didominasi oleh pertanian tanaman pangan (BPS, 2008).
4.8 Pendidikan
J umlah SLTP umum dari 132 sekolah tahun 2008 turun menjadi 126
sekolah tahun 2008 di Kabupaten Subang (Subang Dalam Angka, 2008).
Sedangkan dari sisi jumlah siswa tahun 2009 mengalami kenaikan dari tahun
sebelumnya, yaitu dari 58.077 menjadi 59.606 siswa. Di Kabupaten Indramayu
pada tahun ajaran 2008/2009 untuk tingkat SD jumlah sekolah sebanyak 880,
SLTP sebanyak 148, SLTA sebanyak 52. Selain itu, juga banyak penduduk yang
bersekolah di sekolah madrasah seperti RA, MI, MTS, dan MA. Sebagian besar
penduduk Kabupaten Sumedang baru dapat menyelesaikan pendidikan sampai
tingkat SD (49,60 %). Sedangkan menyelasaikan pendidikan tingkat SLTP
sebesar 17,27 % dan tingkat SLTA sebesar 13,68 %.
29
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat
Berdasarkan hasil interpretasi visual citra Landsat didapatkan beberapa
kelas penggunaan lahan yaitu badan air (sungai, danau, dan laut), hutan, kebun
campuran, kebun coklat, kebun jati, kebun karet, kebun tebu, kebun teh, ladang,
mangrove, tambak, sawah, semak, dan permukiman. Kombinasi band yang
digunakan untuk memudahkan identifikasi penutupan/penggunaan lahan pada
citra Landsat adalah 421 (RGB) untuk tahun 1972, sedangkan kombinasi band
542 (RGB) untuk citra Landsat tahun 1990 dan 2008. Kombinasi band tersebut
dipilih karena memiliki kekontrasan yang tinggi sehingga memudahkan untuk
membedakan penutupan/penggunaan lahan. Kenampakan penggunaan lahan
tersebut pada citra Landsat dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan di Citra Landsat dan di
Lapang
No. Nama
Obyek
Gambar Obyek
Landsat Lapang
1
Badan air
2 Hutan
htn
ba
30
3 Kebun
campuran
4 Kebun
coklat
5 Kebun jati
6 Kebun
karet
kc
cklt
jati
krt
31
7 Kebun
tebu
8 Kebun teh
a. Kebun teh
b. Kebun teh yang telah dikonversi
menjadi kebun kelapa sawit
10 Ladang/te
galan
tbu
teh
ldg
32
11 Mangrove
diantara
galengan
tambak
12 Tambak
13 Sawah
14 Semak
mgv
tmk
swh
smk
tmk
mgv
33
15
Permuki-
man
Badan air. Badan air dalam hal ini meliputi sungai, danau/situ, dan laut.
Kenampakan tubuh air (danau dan laut) pada citra Landsat berwarna biru tua
dengan tekstur halus. Kedalaman air mempengaruhi kegelapan warna. Semakin
tinggi kedalaman air maka warnanya semakin gelap (biru tua). Di dalam citra
Landsat, badan air (sungai) mempunyai bentuk yang berkelok-kelok (meander).
Hutan adalah lahan yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan lebat sehingga
membentuk suatu komunitas kehidupan biologi alami atau ekologi tersendiri.
Hutan pada citra berwarna hijau tua hingga hijau kehitaman, sesuai dengan
kandungan klorofil pada pohon-pohon di hutan. Tekstur hutan tampak kasar
karena vegetasi pada hutan mempunyai ukuran yang bervariasi dengan pola yang
tidak teratur, ada bayangan igir-igir puncak gunung yang menunjukkan sebaran
hingga daerah yang curam, identik dengan letak di sekitar puncak gunung.
Kenampakan hutan di lapang didominasi oleh pohon besar dengan kanopi yang
rapat. Pohon yang terdapat dalam hutan beraneka ragam, namun didominasi oleh
pohon pinus karena dikelola oleh Perum Perhutani. Di Desa Cimanggu,
Kecamatan Cisalak, Subang terdapat Hutan Kota Rangga Wulung yang
didominasi oleh pohon mahoni, nangka, dan pinus.
Kebun campuran adalah kebun yang terdiri atas campuran vegetasi antara
tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman
semusim. Dibandingkan dengan hutan, kenampakan kebun campuran pada citra
Landsat lebih berwarna terang (hijau terang) dengan tekstur relatif kasar. Lokasi
kebun campuran umumnya lebih dekat dengan permukiman jika dibandingkan
dengan lokasi perkebunan (seperti jati, karet, tebu, dan teh). Di lapang,
pmk
34
penggunaan lahan kebun campuran terdiri atas pohon-pohon pisang, kelapa,
mangga, bambu, singkong, dan jambu. Pepohonan ini ditanam secara tidak
teratur, sehingga terlihat sangat rapat. Umumnya tersebar di sekitar permukiman
atau lahan kosong dekat dengan sawah dan sungai.
Kebun coklat. Kenampakan kebun coklat pada Landsat lebih terang
dibandingkan dengan kebun karet serta memiliki tekstur yang halus. Kebun
coklat di daerah penelitian dikelola oleh PTPN VIII Teh, Kina, dan Kakao yang
terletak di Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang.
Kebun jati. Kenampakan kebun jati berwarna merah cerah pada citra Landsat. Di
lapang, pohon jati mempunyai penutupan kanopi yang tidak rapat. Tinggi pohon
jati yang ada dalam wilayah penelitian berkisar antara 10-15 meter.
Kebun karet. Kenampakan kebun karet pada citra terlihat mempunyai tekstur
yang kasar. Warna yang tampak pada citra lebih gelap daripada kebun coklat
karena karet mempunyai daun yang rimbun. Kenampakan penutupan daun di
perkebunan karet sangat lebat. Lokasi kebun karet di daerah penelitian terletak di
Kecamatan Cibogo dan Cipunagara. Kebun karet yang ada di wilayah penelitian
selain dikelola oleh masyarakat juga dikelola oleh PTPN VIII.
Kebun tebu. Perkebunan tebu pada citra tampak berwarna hijau muda dan
teksturnya lebih kasar dibandingkan dengan kenampakan kebun lainnya. Kebun
tebu mempunyai luasan yang lebih besar dibandingkan dengan kebun karet. Di
daerah penelitian, kebun tebu terdapat di Kecamatan Cibogo, Haurgeulis,
Pagaden, Cipunagara, dan Compreng.
Kebun teh. Kenampakan kebun teh pada citra Landsat berwarna hijau dan kuning
terang dengan tekstur yang halus, mempunyai pola yang teratur (berpetak-petak)
yang dikelola oleh PTPN VIII. Perkebunan teh ini terletak di jalan cagak, Desa
Tambakan, Kecamatan Cisalak dan Kecamatan J alan Cagak, Kabupaten Subang.
Namun demikian, di lapang ditemukan wilayah perkebunan teh yang telah
dikonversi menjadi kelapa sawit karena teh yang dihasilkan kurang baik
kualitasnya. Konversi ini dimulai pada tahun 2008.
Ladang. Kenampakan ladang atau tegalan pada citra Landsat berwarna hijau
hingga ungu gelap, teksturnya halus, berada dekat dengan permukiman, atau
35
berada di daerah sekitar sungai, terdapat di lereng bawah sampai dengan daerah
yang berbukit-bukit dengan pola menyebar. Di lapang penggunaan lahan ladang
tampak menempati areal kosong bekas sawah, lahan kosong dekat sungai, areal
sekitar permukiman, dan di sela-sela kebun campuran. Ladang umumnya diisi
oleh tanaman jagung dan singkong.
Mangrove. Mangrove merupakan tanaman yang tumbuh di atas rawa berair
payau yang terletak pada pinggir pantai. Kenampakan mangrove pada citra
Landsat berwarna hijau dengan tekstur kasar dan berada di pinggir laut atau
tambak. Kawasan mangrove memiliki pola yang memanjang pada pinggir pantai.
Bentuk petak-petak yang tampak di Landsat dan di lapangan menunjukkan bahwa
mangrove tersebut adalah hasil budidaya, dan bukan mangrove yang tumbuh
secara alami.
Tambak. Tambak merupakan kolam buatan untuk budidaya ikan/udang.
Kenampakan tambak berwarna biru tua dengan tekstur halus. Tambak memiliki
batas yang jelas dan ukuran petakan lebih besar dari sawah. Di lapang, bentuk
tambak umumnya persegi panjang dan tiap petakan dapat meliputi areal seluas 0,5
sampai 2 ha. Tambak ikan air payau banyak dijumpai di Desa Legon Kulon,
Kabupaten Subang. Selain itu juga ditemui tambak ikan air tawar.
Sawah. Kenampakan sawah pada Landsat berwarna hijau muda dengan tekstur
halus, dan berada dekat dengan ladang atau permukiman atau berada tidak jauh
dari aliran sungai. Sawah yang digunakan secara intensif yaitu tiga kali panen
dalam setahun merupakan sawah irigasi dengan lereng yang relatif datar (0-8%).
Sawah di Subang bagian selatan umumnya merupakan sawah terasering karena
berada di daerah pegunungan dengan elevasi yang cukup tinggi (500-1000 mdpl).
Semak. Kenampakan semak berwarna hijau terang, bertekstur kasar, memiliki
pola yang tidak teratur, dan umumnya dijumpai di perbatasan antara hutan dengan
lahan budidaya (kebun campuran atau ladang). Semak yang ditemukan di lapang
umumnya terdiri dari tanaman ilalang, melastoma, tanaman perdu, dan tanaman
buah liar seperti kersen.
Permukiman merupakan tempat tinggal yang terdiri atas bangunan-bangunan
rumah dan sejenisnya. Kenampakan permukiman pada Landsat berwarna merah
36
sampai ungu dengan pola yang cenderung mengelompok. Kenampakan
permukiman di lapang dipengaruhi oleh adanya aksesibilitas. Semakin dekat
jaraknya dengan jalan-jalan utama maka luasan permukiman akan semakin besar.
Selain itu dipengaruhi oleh adanya jalan, persebaran permukiman juga
dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Hal ini berkaitan dengan mata pencaharian
umum masyarakat di lokasi penelitian di bidang pertanian, sehingga permukiman
berkembang dekat dengan lokasi persawahan. Permukiman dalam hal ini meliputi
ruang terbangun seperti : perumahan, sekolah, pasar, masjid, dan gedung layanan
masyarakat, dan bangunan lainnya.
5.2 Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1972, 1990, dan 2008
Seperti telah diuraikan di depan, penutupan/penggunaan lahan di DAS
Cipunagara dan sekitarnya meliputi 15 tipe yaitu badan air, hutan, kebun
campuran, kebun coklat, kebun jati, kebun karet, kebun tebu, kebun teh, ladang,
mangrove, tambak, sawah, semak, dan permukiman. Luas dari masing-masing
tipe penggunaan disajikan secara grafis dan mencakup tiga titik tahun yaitu 1972,
1990, dan 2008 pada Gambar 9.
Berdasarkan Gambar 9 tipe penggunaan lahan yang mendominasi pada
tiga titik tahun tesebut adalah sawah. Luas masing-masing sawah pada tahun
1972, 1990, dan 2008 adalah 36,1%, 46,5%, dan 44,6%. Adapun luasan tipe
penggunaan lahan yang paling kecil di tiga titik tahun tersebut adalah tubuh air
dengan luasan sekitar 0,2%. Tipe pengunaan lahan lainnya mempunyai luas yang
relatif bervariasi.
Pada tahun 1972, penggunaan lahan DAS Cipunagara didominasi oleh
sawah yang mencakup luasan 61561,1 ha atau 36,1% dan kebun campuran
sebesar 39206,6 ha (23,0%). Kemudian kebun jati sebesar 25727,2 ha (15,1%),
sedangkan penggunaan lahan yang lainnya masing-masing luasannya hanya
kurang dari 10% dari luas total penggunaan lahan, yaitu meliputi tambak (1,2%),
mangrove (2,6%), ladang (3,4%), semak (4,3%), hutan (9,5%), kebun tebu
(0,8%), kebun teh (0,7%), kebun coklat (0,5%), badan air (0,2%), dan kebun karet
(0,2%).
37
Gambar 9. Grafik Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1972, 1990, dan 2008
Bdn
Air
htn Kc Cklt Jti Krt Tbu Teh Ldg Mgv Pmk Swh Smk Sgi Tmk Laut
1972 367.2 16255 39206 825.7 25727 293.8 1399. 1245. 5830. 4387. 1372. 61561 7296. 1454. 1996. 1126.
% 0.2 9.5 23.0 0.5 15.1 0.2 0.8 0.7 3.4 2.6 0.8 36.1 4.3 0.9 1.2 0.7
1990 271.8 23212 9671. 802.3 18942 851.6 1282. 5452. 6377. 3875. 3642. 79818 12006 1454. 3542. 525.6
% 0.2 13.5 5.6 0.5 11.0 0.5 0.7 3.2 3.7 2.3 2.1 46.5 7.0 0.8 2.1 0.3
2008 271.8 17379 7900. 943.8 17971 787.4 2031. 5014. 7253. 3256. 12822 76521 14076 1454. 3970. 75.3
% 0.2 10.1 4.6 0.5 10.5 0.5 1.2 2.9 4.2 1.9 7.5 44.6 8.2 0.8 2.3 0.0
0.2
9.5
23.0
0.5
15.1
0.2 0.8
0.7
3.4
2.6
0.8
36.1
4.3
0.9 1.2
0.7 0.2
13.5
5.6
0.5
11.0
0.5
0.7
3.2
3.7
2.3 2.1
46.5
7.0
0.8
2.1
0.3 0.2
10.1
4.6
0.5
10.5
0.5
1.2
2.9
4.2
1.9
7.5
44.6
8.2
0.8
2.3
0.0
0.0
10000.0
20000.0
30000.0
40000.0
50000.0
60000.0
70000.0
80000.0
90000.0
L
u
a
s
(
H
a
)
Penggunaan Lahan
1972
%
1990
%
2008
%
38
Penggunaan lahan sawah pada tahun 1990 masih mendominasi luas
penggunaan lahan di daerah penelitian yang mencakup 79818,0 ha atau 46,5%
dari luas total pengunaan lahan. Kemudian hutan sebesar 23212,7 ha (13,5%), dan
kebun jati sebesar 18942 ha (11,0%), sedangkan penggunaan lahan yang lainnya
masing-masing hanya mencakup kurang dari 10% dari luas total penggunaan
lahan, meliputi semak (7,05%), kebun campuran (5,6%), ladang (3,7%), kebun teh
(5,2%), mangrove (2,3%), permukiman (2,1%), tambak (2,1%), kebun tebu
(0,7%), kebun karet (0,5%), kebun coklat (0,5%), dan badan air (0,2%).
Pada tahun 2008 penggunaan lahan di DAS Cipunagara masih didominasi
oleh sawah dengan luasan 76521,6 ha atau 44,6%. Kemudian kebun jati sebesar
17971,5 ha (10,5%), dan hutan sebesar 17379,0 ha (10,1%), sedangkan
penggunaan lahan yang lainnya masing-masing hanya mencakup kurang dari 10%
dari luas total penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang luasannya kurang dari
10% adalah semak (8,2%), permukiman (7,5%), kebun campuran (4,6%), ladang
(4,2%), kebun teh (2,9%), tambak (2,3%), mangrove (1,9%), kebun tebu sebesar
(1,2%), kebun coklat (0,5%), kebun karet (0,5%), dan badan air (0,2%). Peta
penggunaan lahan tahun 1972, 1990, dan 2008 dapat dilihat pada Gambar 10,
Gambar 11, dan Gambar 12.
5.3 Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Periode 1972-1990 dan
1990-2008
Grafik persen perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 1972-1990
dan 1990-2008 disajikan pada Gambar 13 dan 14. Berdasarkan Gambar tersebut
nampak bahwa tipe penggunaan lahan yang cenderung mengalami penambahan
luas adalah permukiman, masing-masing seluas 1,3% dan 5,3%, semak masing-
masing 2,7% dan 1,2%, ladang masing-masing 0,3% dan 0,5%, dan tambak
masing-masing 0,9% dan 0,2%. Penambahan permukiman secara dominan berasal
dari sawah (Tabel 12) diperkirakan pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke
tahun mendorong masyarakat untuk merubah penggunaan lahan yang ada untuk
dijadikan sebagai lahan permukiman. Penambahan pada kelas semak lebih
disebabkan karena kebun campuran yang dibiarkan begitu saja dalam waktu yang
lama oleh masyarakat, sehingga menjadi semak belukar. Pada umumnya semak
merupakan penggunaan lahan transisi dari penggunaan lahan satu ke penggunaan
lahan lain.
39
Gambar 10. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cipunagara Tahun 1972
40
Gambar 11. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cipunagara Tahun 1990
41
Gambar 12. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cipunagara Tahun 2008
42
Penggunaan lahan yang cenderung mengalami penurunan pada dua
periode adalah kebun campuran masing-masing 17,4% dan 0,1%, kebun jati
masing-masing 4,1% dan 0,5%, dan mangrove masing-masing 0,3% dan 0,4%.
Berdasarkan Tabel 13 dan 14 diketahui bahwa kebun campuran mengalami
penurunan luasan yang cukup signifikan karena banyak beralih fungsi menjadi
penggunaan lahan lain seperti sawah, permukiman, kebun tebu, kebun coklat,
ladang, dan beberapa penggunaan lahan lain sedangkan kebun jati sebagian besar
terkonversi menjadi sawah. Pengurangan ini terjadi karena sebagian besar
penduduk mempunyai mata pencaharian sebagai petani (Subang Dalam Angka
Tahun, 2008). Sehingga mendorong masyarakat untuk merubah penggunaan lahan
yang ada untuk dijadikan sawah. Sedangkan mangrove berubah menjadi tambak
karena penjualan hasil tambak dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Penggunaan lahan hutan, kebun karet, dan kebun teh mengalami
peningkatan luas pada periode 1972-1990 dan menurun pada periode 1990-2008.
Hutan menurun menjadi 3,4%, kebun karet menjadi 0,04%, sedangkan kebun teh
berkurang menjadi 0,3%. Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa
penggunaan lahan hutan menurun karena terkonversi menjadi semak, kebun jati,
ladang, sawah, kebun campuran, dan permukiman. Sedangkan kebun karet
terkonversi menjadi sawah, permukiman, dan ladang. Kebun teh berkurang
luasannya karena terkonversi menjadi kebun campuran, permukiman, dan sawah.
Adapun dinamika perubahan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 12.
Penggunaan lahan DAS Cipunagara di kawasan pesisir banyak
dipengaruhi oleh karakteristik fisik lahannya (dinamika perubahan garis pantai).
Untuk kawasan DAS bagian hulu lebih didominasi oleh faktor manusia.
Sedangkan untuk kawasan DAS bagian tengah relatif statis atau tidak berubah,
karena didominasi oleh dataran rendah dengan penggunaan lahan berupa sawah,
yang sebagian besar beririgasi. Grafik Persen Perubahan Penutupan/Penggunaan
Lahan 1972-1990 dan 1990-2008 disajikan pada Gambar 13 dan 14.
43
Gambar 13. Grafik Persen Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan 1972-1990
Gambar 14. Grafik Persen Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan 1990-2008
-20.0
-15.0
-10.0
-5.0
0.0
5.0
10.0
15.0
-0.1
4.0
-17.4
0.0
-4.1
0.3
-0.1
2.4
0.3
-0.3
1.3
10.3
2.7
0.0
0.9
-0.4
%
P
e
r
u
b
a
h
a
n
Penggunaan Lahan
ba htn kc cklt jti krt
tbu teh ldg mgv pmk swh
smk sgi tmk lt
-4.0
-3.0
-2.0
-1.0
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
0.0
-3.4
-1.0
0.1
-0.6
0.0
0.4
-0.3
0.5
-0.4
5.3
-1.9
1.2
0.0
0.2
-0.3
%
P
e
r
u
b
a
h
a
n
Penggunaan Lahan
ba htn kc cklt jti krt
tbu teh ldg mgv pmk swh
smk sgi tmk lt
44
Tabel 12. Arah Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan
Penggunaan
Tahun
Lahan 1972-1990 1990-2008
Badan Air (-) swh,kc,ldg (-) swh
(+) kc,ldg,smk,tbu,swh (+) ldg
Hutan (-) smk,swh,kc,jti,teh,ldg,swh,smk (-) smk,jti,ldg,swh,kc,pmk
(+) kc,jti,teh,ldg,swh,smk (+) teh,ldg
Kebun
Campuran (-) smk,htn,swh,jti,krt,tbu,teh,ldg,pmk (-) swh,pmk,tbu,cklt,ldg
(+) smk,htn,jti,cklt,tbu,swh (+) smk,jti,htn,ldg,swh,teh
Kebun Coklat (-) jti,swh,ldg,pmk.kc (-) pmk
(+) jti,kc,swh (+) jti,swh,kc,ldgldg,kc
Kebun J ati (-) htn,swh,kc,cklt,krt,teh,ldg,pmk,smk (-) swh,pmk,smk,ldg,kc,cklt,krt
(+) kc,swh,smk,htn,krt,cklt (+) htn,smk,swh,ldg
Kebun Karet (-) jti,swh (-) swh,pmk,ldg
(+) kc,jti,ldg,swh (+) swh,jti
Kebun Tebu (-) swh,kc,ldg,pmk,ba (-) pmk,ldg,swh
(+) swh,ldg,kc (+) swh,kc
Kebun Teh (-) swh,htn (-) pmk,kc,swh
(+) htn,kc,jti,ldg,smk (+) kc,smk
Ladang (-) swh,kc,smk,pmk,teh,tbu,krt,htn,ba,tmk (-) swh,pmk,kc,jti,cklt,htn,ba,tbu
(+) kc,htn,jti,mgv,swh,smk,ba (+) htn,swh,jti,kc,mgv,tbu,smk,krt,tmk
Mangrove (-) tmk,lt,ldg (-) tmk,swh,ldgldg,swh,pmk,lt
(+) ldg,swh,tmk,lt (+) tmk,lt
Permukiman (+) htn,kc,cklt,jti,tbu,ldg,swh,smk (+) swh,kc,jti,smk,ldg,teh,htn,cklt,krt,tbu
Sawah (-) kc,jti,cklt,krt,tbu,ldg,mgv,pmk,smk,tmk,lt,ba,htn (-) pmk,kc,jti,ldg,smk,cklt,krt,tbu,lt
(+) htn,kc,cklt,jti,krt,tbu,teh,ldg,swh,smk,ba (+) jti,kc,smk,htn,tmk,ba,krt,tbu,teh,ldg,mgv,lt
Semak (-) jti,htn,swh,kc,teh,ldg,pmk (-) jti,pmk,swh,kc,ldg
(+) htn,kc,jti,ldg,swh (+) htn,kc,jti,swh
Tambak (-) mgv,lt (-) mgv,lt,swh,ldg
(+) mgv,lt,ldg,swh (+) mgv,lt
Laut (-) tmk,swh,mgv (-) tmk,mgv
45
Tabel 13. Matriks Perubahan penggunaan Lahan Tahun 1972-1990
1990
1972
Badan
Hutan
Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun
Ladang Mangrove Permukiman Sawah Semak Sungai Tambak Laut
J umlah
Air Campuran Coklat J ati Karet Tebu Teh
BadanAir 244,1 0,0 21,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 17,1 0,0 0,0 84,3 0,0 0,0 0,0 0,0 367,2
Hutan 0,0 8264,8 748,7 0,0 964,7 0,0 0,0 235,8 565,8 0,0 89,3 1873,4 3513,2 0,0 0,0 0,0 16255,7
Kebun Campuran 14,4 6775,1 5687,3 161,2 3739,8 424,7 16,8 3010,6 2643,3 0,0 865,5 11589,0 4278,9 0,0 0,0 0,0 39206,6
Kebun Coklat 0,0 0,0 4,9 322,3 315,4 0,0 0,0 0,0 23,1 0,0 18,8 141,2 0,0 0,0 0,0 0,0 825,7
Kebun J ati 0,0 6202,9 158,7 193,5 10082,7 61,1 0,0 332,4 940,0 0,0 73,8 5186,2 2495,9 0,0 0,0 0,0 25727,2
Kebun Karet 0,0 0,0 0,0 0,0 103,1 92,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 98,4 0,0 0,0 0,0 0,0 293,8
Kebun Tebu 10,0 0,0 284,4 0,0 0,0 0,0 556.4 0,0 38,9 0,0 41,9 1024,5 0,0 0,0 0,0 0,0 1399,6
Kebun Teh 0,0 284,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 758,5 0,0 0,0 0,0 202,6 0,0 0,0 0,0 0,0 1245,6
Ladang 0,0 44,9 771,6 0,0 0,0 52,3 72,7 517,1 1276,9 23,2 210,3 2126,8 375,7 0,0 330,5 0,0 5830,0
Mangrove 0,0 0,0 40,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 94,3 2730,2 0,0 0,0 0,0 0,0 1380,1 143,4 4387,9
Permukiman 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1372,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1372,3
Sawah 3,3 67,2 1217,7 114,0 1086,8 187,6 606,2 0,0 436,8 29,9 1079,7 55660,9 812,4 0,0 190,5 37,6 61561,1
Semak 0,0 1491,9 472,2 0,0 2555,7 0,0 0,0 598,4 103,4 0,0 50,7 1491,2 552,0 0,0 0,0 0,0 7316,8
Sungai 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1454,1 0,0 0,0 1454,1
Tambak 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 976,6 0,0 0,0 0,0 0,0 760,7 239,5 1976,8
Laut 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 110,9 0,0 117,4 0,0 0,0 897,8 0,0 1126,1
J umlah 271,8 23131,4 9427,1 791,1 18848,2 818,0 695,7 5452,6 6139,4 3870,7 3802,3 79635,9 12028,0 1454,1 3559,6 420,5 170346,6
46
Tabel 14. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1990 2008
2008
1990
Badan Hutan Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun
Ladang Mangrove Permukiman Sawah Semak Sungai Tambak Laut
J umlah
Air Campuran Coklat J ati Karet Tebu Teh
BadanAir 233,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 38,2 0,0 0,0 0,0 0,0 271,8
Hutan 0,0 17378,8 141,1 0,0 1349,8 0,0 0,0 0,0 738,6 0,0 95,1 344,9 3164,4 0,0 0,0 0,0 23212,7
Kebun Campuran 0,0 0,0 5401,2 31,8 0,0 0,0 428,2 0,5 275,3 0,0 1088,8 1484,9 960,7 0,0 0,0 0,0 9671,3
Kebun Coklat 0,0 0,0 0,0 762,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 39,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 802,3
Kebun J ati 0,0 0,0 162,7 85,0 14378,2 3,4 0,0 0,0 381,4 0,0 723,1 2513,3 695,7 0,0 0,0 0,0 18942,8
Kebun Karet 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 708,5 0,0 0,0 4,7 0,0 28,1 110,2 0,0 0,0 0,0 0,0 851,6
Kebun Tebu 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1122,1 0,0 37,0 0,0 90,5 33,1 0,0 0,0 0,0 0,0 1282,7
Kebun Teh 0,0 0,2 127,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5013,7 2,0 0,0 302,4 7,5 0,0 0,0 0,0 0,0 5452,7
Ladang 38,2 0,1 149,7 27,7 46,3 0,0 3,3 0,0 5028,3 0,0 419,4 664,6 0,0 0,0 0,0 0,0 6377,6
Mangrove 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 108,9 2941,0 99,2 107,6 0,0 0,0 602,2 16,8 3875,7
Permukiman 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3642,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3642,8
Sawah 0,0 0,0 1815,8 36,7 293,9 75,4 477,9 0,0 653,4 0,0 5530,6 70629,5 303,7 0,0 0,9 0,1 79818,0
Semak 0,0 0,0 90,7 0,0 1903,3 0,0 0,0 0,2 16,1 0,0 675,8 368,2 8951,9 0,0 0,0 0,0 12006,2
Sungai 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1454,1 0,0 0,0 1454,1
Tambak 0,0 0,0 12,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 8,0 269,8 0,0 219,5 0,0 0,0 2975,1 58,4 3542,7
Laut 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 133,3 0,0 0,1 0,0 0,0 392,2 0,0 525,6
J umlah 271,8 17379,0 7900,3 943,8 17971,5 787,4 2031,4 5014,4 7253,6 3344,1 12735,5 76521,6 14076,3 1454,1 3970,4 75,3 171730,6
47
5.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan
Dari hasil analisis statistik dengan program Statistica 7.0, diperoleh suatu
gambaran peluang tentang nilai penaksiran (estimate) koefisien peubah yang
berpengaruh terhadap pola perubahan penggunaan lahan. Nilai penaksiran positif
menggambarkan pendugaan pengaruh peubah-peubah yang diukur bersifat
meningkatkan peluang terjadinya perubahan dari jenis penggunaan tertentu ke
penggunaan lainnya, sedangkan nilai penaksiran negatif artinya sifatnya kecil
untuk meningkatkan peluang perubahan dari jenis penggunaan lahan tertentu ke
penggunaan lain. Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis pada penelitian ini
adalah perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian dan dari
lahan pertanian menjadi permukiman.
5.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan
Menjadi Lahan Pertanian Periode 1972-2008
Dalam penelitian ini, faktor fisik yang mempengaruhi perubahan
penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian adalah kemiringan lereng, elevasi,
curah hujan, geologi dan tanah (berpengaruh nyata pada p<0,005). Tabel 15
menunjukkan bahwa nilai yang berwarna merah mempunyai pengaruh nyata yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian. Faktor
kemiringan lereng yang berpengaruh nyata adalah kelas lereng 0-8% dengan nilai
penaksiran 0,39. Hal ini disebabkan di DAS Cipunagara dan sekitarnya sebagian
besar berupa dataran rendah dengan kemiringan lereng 0-8% yang penggunaan
lahannya didominasi oleh sawah. Kondisi lahan dengan tingkat kelerengan yang
tinggi tidak efisien untuk lahan pertanian karena membutuhkan biaya dan tenaga
yang sangat besar untuk mendapatkan hasil yang optimal.
48
Tabel 15. Penaksiran Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi
Pertanian
Keterangan Effect Estimate p
Jenis Tanah Aluvial -0.64322 0.001544
Andosol 0.95591 0.000757
Latosol 0.24306 0.031648
Podsolik 1.81701 0.000000
Regosol -0.67355 0.000288
Elevasi 0-25 mdpl -1.05409 0.078100
25-100 mdpl 2.95350 0,016945
100-250 mdpl -0.52691 0.093748
250-500 mdpl 0.04041 0.892823
500-1000 mdpl 0.18333 0.558018
Lereng 0-8 % 0.39561 0.001529
8-15 % -0.11508 0.257123
15-25 % -0.10798 0.271961
25-40 % -0.03873 0.720492
Geologi Qa, Qad, Qac 1.18470 0.061855
(penyusun : alluvium)
Pk, Mss, Qav2, Pt -0.49755 0.011348
(penyusun : pasir, formasi alluvium)
Qol, Msc, Qaf 0.57670 0.019637
(penyusun : claysto, formasi sedimen)
Qyl -1.12664 0.000097
(penyusun : lava, formasi vulkanik)
Curah Hujan 76,47 mm/bulan 1.85763 0.004452
147,73 mm/bulan -0.36060 0.384545
222,62 mm/bulan 1.06669 0.068218
229,30 mm/bulan -0.70342 0.221968
261,98 mm/bulan -0.35428 0.684025
287,88 mm/bulan -0.98764 0.027666
418,74 mm/bulan -0.46588 0.261084
Faktor elevasi juga berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya
perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian. Kelas elevasi tersebut
adalah elevasi 0-25 mdpl dengan nilai penaksiran 2,95. Penggunaan lahan untuk
pertanian banyak dilakukan pada ketinggian 0-25 mdpl. Faktor curah hujan 76,47
mm/bulan dengan nilai penaksiran 1,85 juga mempengaruhi peningkatan peluang
perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian. Curah hujan tersebut
sesuai untuk penanaman padi sawah. Faktor curah hujan 287,88 mm/bulan dengan
49
nilai penaksiran -0,98 menandakan pengaruhnya bersifat kecil meningkatkan
peluang perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian.
Faktor geologi dengan formasi alluvium menunjukkan nilai penaksiran
-0,49, sedimen dengan nilai penaksiran 0,59, dan vulkanik dengan nilai
penaksiran -1,12 berpengaruh nyata terhadap peluang perubahan penggunaan
lahan dari hutan menjadi lahan pertanian. Formasi alluvium dengan bahan induk
pasir ini kurang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian karena ketersediaan
unsur hara yang rendah dan meliliki porositas tinggi sehingga tidak dapat
mengikat air. Selain itu juga dipengaruhi oleh ketersediaan air yang berada pada
daerah tersebut. Sedangkan formasi sedimen dengan penyusun claystone
tergolong subur untuk lahan pertanian. Faktor tanah yang juga berpengaruh nyata
adalah tanah aluvial, andosol, podsolik, dan regosol. Tanah berkaitan dengan
bahan induk. Tanah aluvial dan regosol tergolong subur untuk lahan pertanian,
karena didominasi oleh endapan liat, pasir, dan tuf vulkan. Sedangkan andosol
juga termasuk subur karena berkembang dari bahan induk vulkanik dengan
kandungan bahan amorf yang tinggi.
Hasil perhitungan goodness of fit yang disajikan pada Tabel 16
menunjukkan nilai scaled deviance sebesar 1,03 dan pearson chi 1,05 diartikan
bahwa hasil estimasi ini sama dengan kondisi yang ada di lapangan.
Tabel 16. Perhitungan goodness of fit Peluang Perubahan Penggunaan Lahan
Hutan Menjadi Pertanian
Stat. Df Stat. Stat/Df
Deviance 2221 2298.65 1.034961
Scaled Deviance 2221 2298.65 1.034961
Pearson Chi
2
2221 2345.83 1.056202
Scaled P. Chi
2
2221 2345.83 1.056202
Loglikelihood -1149.32
5.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan
Pertanian Menjadi Permukiman Periode 1972-2008
Salah satu perubahan penggunaan lahan pada DAS Cipunagara adalah
perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi permukiman. Hal ini
menunjukkan kebutuhan akan permukiman merupakan faktor terbesar yang
mendorong terjadinya konversi lahan tersebut. Tabel 17 menunjukkan faktor yang
50
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi permukiman
adalah kemiringan lereng, elevasi, geologi, dan tanah.
Tabel 17. Penaksiran Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi
Permukiman
Keterangan Effect Estimate p
Jenis Tanah Aluvial -0.04427 0.766709
Andosol -1.15737 0.003688
Latosol 0.00160 0.988135
Podsolik 0.31096 0.040173
Regosol -0.33743 0.065213
Elevasi 0-25 mdpl -0.82425 0.000687
25-100 mdpl 0.13738 0.547689
100-250 mdpl 0.89404 0.000020
250-500 mdpl 0.43610 0.077588
500-1000 mdpl 0.60587 0.015682
Lereng 0-8 % 1.55581 0.000000
8-15 % -0.50687 0.028482
15-25 % -0.34052 0.149356
25-40 % 0.53914 0.016945
Geologi Qa, Qad, Qac 0.62793 0.000156
(penyusun : alluvium)
Pk, Mss, Qav2, Pt -0.16839 0.219905
(penyusun : pasir, formasi alluvium)
Qol, Msc, Qaf 0.17248 0.267102
(penyusun : claysto, formasi sedimen)
Qyl -0.18881 0.363004
(penyusun : lava, penyusun vulkanik)
Curah Hujan 76,47 mm/bulan -0.30381 0.214933
147,73 mm/bulan 0.43559 0.029408
222,62 mm/bulan -0.20485 0.222376
229,30 mm/bulan 0.07023 0.618597
261,98 mm/bulan 0.10348 0.482014
287,88 mm/bulan 0.30922 0.164013
418,74 mm/bulan -0.47187 0.033874
Kemiringan lereng yang mepengaruhi perubahan penggunaan lahan lahan
dari pertanian menjadi permukiman adalah 0-8% dengan nilai penaksiran 1,55,
dan 8-15% dengan nilai penaksiran -0,50. Peluang terjadinya perubahan lahan
dengan nilai penaksiran negatif, dapat diartikan pengaruhnya kecil meningkatkan
terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi permukiman.
Seperti halnya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan
pertanian, faktor elevasi juga berpengaruh nyata terhadap probabilitas perubahan
lahan pertanian menjadi permukiman. Faktor elevasi tersebut adalah kelas elevasi
51
0-25 mdpl dengan nilai penaksiran -0,8, kelas elevasi 100-250 mdpl dengan nilai
penaksiran 0,89, dan kelas elevasi 500-1000 mdpl dengan nilai penaksiran 0,60.
Dengan demikian, semakin luas area dengan tingkat elevasi dengan nilai
penaksiran positif, maka probabilitas perubahan lahan pertanian menjadi
permukiman semakin meningkat. Pembangunan permukiman pada kelas elevasi
500-1000 mdpl menunjukkan bahwa kelas elevasi yang tinggi bukan lagi
merupakan faktor pembatas untuk membangun permukiman. Pembangunan
permukiman pada kelas elevasi yang tinggi biasanya diikuti oleh pembangunan
sarana aksesibilitas sehingga menjadi penarik untuk menuju ke lokasi
permukiman tersebut. Geologi dan jenis tanah tanah sebenarnya tidak
berhubungan dengan permukiman, tetapi lebih berhubungan dengan bentuklahan
dimana permukiman lebih banyak ditemukan pada bentuklahan yang relatif datar.
Berdasarkan hasil perhitungan goodness of fit yang disajikan pada Tabel
18 diperoleh nilai scaled deviance sebesar 0,92 dan pearson chi 1,01 yang
menunjukkan bahwa hasil penaksiran terhadap peluang perubahan ini sama
dengan kondisi di lapangan.
Tabel 18. Perhitungan goodness of fit peluang perubahan penggunaan lahan
pertanian menjadi permukiman
Stat. Df Stat. Stat/Df
Deviance 4549 4214.8 0.92653
Scaled Deviance 4549 4214.8 0.92653
Pearson Chi
2
4549 4595.6 1.01024
Scaled P. Chi
2
4549 4595.6 1.01024
Loglikelihood -2107.4
5.5 Perubahan Garis Pantai Periode 1972-2008
Gambar 15 menunjukkan bahwa perubahan garis pantai di pantai utara
Subang cukup dinamis selama periode 1972-2008. Namun demikian ada bagian
dari garis pantai yang cenderung mengalami penambahan daratan seperti yang
nampak pada Gambar (15a) di bagian barat (Kecamatan Blanakan) dan di Tanjung
Cipunagara (15c). Penambahan ini kemungkinan berasal dari sedimen yang
dibawa oleh aliran Sungai Cipunagara. Penambahan lebih cepat terjadi di muara
sungai Cipunagara, dimana terdapat suplai sedimen yang berlimpah dan laut
relatif dangkal, serta gelombang air laut yang cenderung kecil menyebabkan
gerakan air lebih lambat, sehingga material yang terbawa dari sungai terendap di
52
daerah sekitar muara sungai. Fenomena ini menyebabkan proses pengendapan
dari sungai lebih leluasa, tidak terganggu oleh gelombang. Tanjung Cipunagara
(15c) merupakan tempat bermuaranya Sungai Cipunagara.
Gambar 15. Garis Pantai Tahun 1972, 1990, dan 2008
(a) penambahan, (b) pengurangan, (c) penambahan
Pada bagian Tanjung Pamanukan dan Tanjung Pancerwetan (15b), garis
pantai cenderung mundur atau berkurang luasannya karena proses abrasi sehingga
garis pantai bergerak mundur ke arah daratan. Abrasi pada umumnya terjadi di
daerah terbuka dan berhadapan langsung dengan laut, dimana faktor gelombang
sangat berpengaruh terhadap pengikisan pantai.
Gelombang juga berpengaruh terhadap perubahan garis pantai. Arah
hempasan gelombang yang menuju pantai berbeda pada teluk dan semenanjung.
Gelombang pada teluk arahnya cenderung menyebar dan tekanan yang diperoleh
daerah pantai semakin kecil, sehingga proses sedimentasi masih mendominasi.
Untuk gelombang yang menuju ke semenanjung, arahnya cenderung memusat
pada satu titik, dimana sekitar titik ini merupakan pertemuan gelombang yang
datang dari arah laut sehingga tekanan yang terjadi pada daerah pantai semakin
53
besar. Gelombang tersebut cenderung mengganggu proses sedimentasi yang
sedang terjadi, sehingga proses pengendapan menjadi tidak leluasa.
Gambar 16. Hempasan Gelombang yang Tiba di Garis Pantai
(Sumber : Kalay, 2008)
Berdasarkan hasil interpretasi dari citra Landsat tahun 2008, pada bagian
Tanjung delta cipunagara (15c), terdapat lahan timbul akibat proses sedimentasi
dari Sungai Cipunagara. J ika proses sedimentasi ini terus-menerus terjadi di ujung
Tanjung Cipunagara dan mengarah ke barat, maka selama beberapa tahun ke
depan dapat terbentuk laguna.
Gambar 17. Garis Pantai Tahun 1972, 1990, dan 2008
54
Laguna pantai yang biasa ditemukan di kawasan pesisir Subang berbentuk
memanjang sejajar dengan pantai yang dipisahkan oleh penghalang atau lahan
timbul baru yang terbentuk seperti dari liat dan pasir. Penghalang laguna ini
dibentuk oleh gelombang dan arus laut yang terus-menerus membuat sedimen
kasar lepas pantai. J ika penghalang laguna sudah mulai terbentuk, muatan
sedimen yang lebih besar yang berasal dari sungai bisa menetap atau berhenti di
air yang relatif tenang di belakang penghalang tersebut.
Pada awalnya Sungai Cipunagara mengalir menuju Pantai Utara Subang
dengan arah utara seperti yang nampak pada Gambar 17. Namun sekitar tahun
1962 Sungai Cipunagara mengalami proses pelurusan oleh manusia dengan
memindahkan aliran sungai menuju ke arah timur (pantai). Hal ini dilakukan
untuk mengimbangi ketimpangan pertumbuhan garis pantai di wilayah muara
Sungai Cipunagara yang mengalami pergeseran relatif cepat ke arah lautan.
Gambar 17 menunjukkan bahwa daratan baru cenderung bertambah
luasannya pada tiga titik tahun. Hal ini disebabkan karena besarnya volume
material yang dibawa oleh Sungai Cipunagara dan kecilnya gelombang air laut
merupakan faktor penentu terbentuknya daratan baru yang sangat intensif. Pada
Tanjung Cipunagara, proses sedimentasi yang berasal dari pengendapan material-
material aliran Sungai Cipunagara tidak terganggu oleh hempasan gelombang
karena letaknya tertutup atau terlindungi oleh daratan disekitarnya. Sehingga
proses sedimentasi yang terjadi lebih leluasa. Faktor lainnya adalah karena
aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi suplai sedimen melalui kegiatannya
pada kawasan DAS. Kerusakan lahan melalui penebangan hutan atau terbukanya
permukaan permukaan lahan akibat longsor dapat menjadi penyebab terjadinya
erosi tanah yang menambah muatan sedimen sungai.
Tabel 19 mengilustrasikan ketidakstabilan daratan baru yang ditunjukkan
dengan dinamika perubahan penggunaan lahan di kawasan pesisir utara Subang.
Penggunaan lahan yang paling dominan di kawasan pesisir adalah mangrove.
55
Tabel 19. Penutupan/Penggunaan Lahan di Daerah Pesisir Tahun 1972,1990, dan
2008
1972 1990 2008
1972-1990 1990-2008
Ha % Ha %
Laut Laut Laut 1954.7 22.6 1998.0 23.1
Laut Laut Mangrove 0.4 0.0 93.7 1.1
Laut Laut Tambak 362.0 4.2 237.2 2.7
Laut Mangrove Mangrove 61.1 0.7 46.0 0.5
Laut Mangrove Laut 0.3 0.0 4.5 0.1
Laut Mangrove Tambak 3.6 0.0 14.7 0.2
Laut Tambak Laut 0.3 0.0 3.0 0.0
Laut Tambak Tambak 528.0 6.1 749.7 8.7
Laut Tambak Mangrove 281.0 3.2 51.4 0.6
Laut Sawah Sawah 8.7 0.1 8.7 0.1
Mangrove Mangrove Mangrove 2132.1 24.6 2075.2 23.9
Mangrove Mangrove Tambak 411.1 4.7 412.0 4.8
Mangrove Mangrove Laut 0.0 0.0 8.2 0.1
Mangrove Mangrove Ladang 43.9 0.5 65.8 0.8
Mangrove Mangrove Sawah 0.0 0.0 39.0 0.5
Mangrove Tambak Tambak 1115.8 12.9 1020.5 11.8
Mangrove Tambak Mangrove 0.0 0.0 43.6 0.5
Mangrove Tambak Laut 0.0 0.0 4.1 0.0
Mangrove Tambak Sawah 61.0 0.7 96.8 1.1
Mangrove Laut Laut 37.2 0.4 37.2 0.4
Tambak Tambak Tambak 666.2 7.7 579.2 6.7
Tambak Tambak Laut 0.0 0.0 12.6 0.1
Tambak Tambak Mangrove 0.0 0.0 74.4 0.9
Tambak Mangrove Mangrove 820.1 9.5 760.9 8.8
Tambak Mangrove Tambak 131.4 1.5 159.8 1.8
Tambak Mangrove Laut 0.3 0.0 8.3 0.1
Tambak Mangrove Sawah 0.0 0.0 15.9 0.2
Tambak Laut Laut 9.5 0.1 9.5 0.1
Sawah Tambak Tambak 30.1 0.3 20.3 0.2
Sawah Tambak Sawah 0.0 0.0 9.8 0.1
Sawah Laut Laut 0.1 0.0 0.1 0.0
Total 8658.8 100 8660.0 100
5.6 Kajian Umum Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan
Garis Pantai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang menerima air
hujan untuk kemudian mengalirkannya kembali melalui satu sungai utama menuju
ke hilir. DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS
karena selain fungsinya yang sangat penting yaitu sebagai daerah tangkapan air
(Water Catchment Area) juga adanya keterkaitan biofisik dengan daerah tengah
56
dan hilir. Segala bentuk kerusakan yang terjadi di daerah hulu pada akhirnya tidak
hanya akan membawa dampak bagi daerah hulu saja namun akhirnya juga
berdampak pada daerah tengah, dan terutama daerah hilir.
DAS Cipunagara bagian hulu merupakan daerah tangkapan air yang saat
ini telah mengalami banyak perubahan penutupan/penggunaan lahan dari hutan
dan lahan pertanian menjadi permukiman dan perkebunan. Pada tahun 2008,
penggunaan lahan hutan di DAS Cipunagara sebesar 17379,0 ha atau 10,1% dan
kebun jati sebesar 17971,5 ha atau 10,5%. Hal ini tidak sesuai dengan UU No.41
Tahun 1999 pasal 18 ayat 2 yang menyatakan bahwa luas kawasan hutan yang
harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran
sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Besarnya luas kawasan
hutan dan kebun jati yang tidak mencapai 30% ini akan berdampak pada besarnya
tingkat erosi di daerah hulu. Faktor lain yang juga cenderung meningkatkan erosi
di daerah hulu adalah akibat praktek bercocok tanam yang tidak mengikuti
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air serta aktivitas pembalakan hutan (logging)
atau deforestasi (pengurangan areal tegakan hutan).
Pengendapan akhir atau sedimentasi terjadi pada kaki bukit yang relatif
datar, sungai, dan waduk (Sarief, 1985). Demikian juga dengan erosi yang terjadi
di hulu DAS Cipunagara, dimana material hasil erosi di daerah hulu diendapkan di
Bendung Salamdarma yang membendung Sungai Cipunagara. Bendung
Salamdarma berada di lereng bagian hilir Gunung Tangkuban Perahu yang
berfungsi sebagai sarana irigasi untuk mengairi sawah di sekitarnya. Berdasarkan
fenomena di atas, nampak bahwa Dengan demikian material hasil erosi di daerah
hulu kurang berpengaruh terhadap sedimentasi yang terjadi di daerah pantai.
Sedimentasi yang terjadi di pantai utara Subang lebih dipengaruhi oleh
erosi yang terjadi di tebing-tebing sungai, terutama di Sungai Cipunagara bagian
hilir (di bawah Bendungan Salamdarma) dan sungai-sungai kecil. Erosi ini terjadi
karena adanya gerusan air sungai dan adanya longsoran tanah pada tebing sungai.
Erosi tebing sungai tersebut memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap
sedimentasi di tepi pantai, seperti nampak pada bagian barat (Kecamatan
Blanakan), Tanjung Pamanukan, Tanjung Pancerwetan, dan Tanjung Cipunagara.
57
J ika proses sedimentasi ini terus berlangsung maka akan timbul daratan baru di
bagian hilir dan akan merubah bentuk garis pantai di kawasan pesisir DAS.
Penggunaan lahan yang terdapat pada bagian hilir dari DAS relatif tetap,
yaitu sawah dengan kemiringan lereng yang datar. Sawah merupakan vegetasi
penutup tanah yang relatif rapat, sehingga dapat memperkecil besarnya aliran
permukaan yang berdampak pada erosi yang terjadi. Selain itu, lereng yang datar
juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan aliran
permukaan yang membawa material-material erosi yang akan diendapkan di
muara sungai. Hal ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap erosi yang
berdampak pada sedimentasi yang terjadi di pantai.
58
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Penutup/penggunaan lahan di DAS Cipunagara pada tahun 1972, 1990, dan
2008 didominasi oleh sawah masing-masing 36,1%, 46,5%, 44,6%, kebun
campuran masing-masing 23%, 5,6%, 4,6%, dan kebun jati masing-masing
15,1%, 11%, dan 10,5%. Penutup/penggunaan lahan yang yang bertambah
selama dua periode adalah permukiman, semak, ladang, dan tambak.
Sedangkan penurunan yang sangat besar pada dua periode terjadi pada kebun
campuran, kebun jati, dan mangrove.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari hutan
menjadi lahan pertanian adalah lereng, elevasi, geologi, tanah, dan curah
hujan. Sedangkan faktor-faktor yang paling mempengaruhi perubahan
penggunaan lahan dari pertanian menjadi permukiman adalah elevasi dan
lereng.
3. Garis pantai daerah pesisir pantai utara Subang cenderung mengalami
penambahan dan penurunan luas. Penambahan luas terjadi di bagian barat
(Kecamatan Blanakan) dan di Tanjung Cipunagara. Sedangkan penurunan
luas terjadi di Tanjung Pamanukan dan Tanjung Pancerwetan.
SARAN
Untuk mengetahui pola perubahan secara baik harus dilakukan penelitian
lanjutan agar pola perubahan garis pantai secara multi temporal dapat diketahui.
Selain itu juga untuk melihat secara langsung pengaruh penggunaan lahan
terhadap perubahan garis pantai.
59
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani. 2007. Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-
Faktor penyebabnya di Kabupaten Serang Provinsi Banten [Tesis].
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim. 2008. http:// id.wikipedia.org/wiki/Laguna (diakses 1 Maret 2011).
Aronoff, S. 1989. Geografic Information System: A Management Perspective.
WDL Publication. Ottawa, Canada.
Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Avery, T.E. 1992. Fundamental of Remote Sensing and AirPhoto Interpretation,
5
th
Ed. New J ersey: Prentice-Hall, Upper Sadle River.
Bappeda Kabupaten Sumedang. 2008. Kependudukan.
http://bappeda.sumedangkab.go.id (diakses 9 April 2011).
Barlowe, R. 1978. Land Resources Economic Third Edition. Prentice Hall Inc.
Englewood cliffs, New J ersey.
Barus, B dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi. Laboratorium
penginderaan J auh dan kartografi, J urusan Tanah, Fakultas Pertanian.
Bogor. Institut Pertanian Bogor.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2008. Data Potensi Desa J awa Barat. J akarta.
Gandasasmita, K. 2001. Analisis Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di
Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu J awa Barat [Disertasi]. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gany, A.H.A. 2002. Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya
Air Dalam Pencegahan Bencana Sedimen. Yogyakarta.
Handayani, Rattri. 2004.Pemanfaatan Data Landsat TM dan Landsat 7/ETM
Untuk Melihat Perubahan Garis Pantai Tahun 1995-2000 Di Teluk Cempi,
Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akapres. J akarta.
dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Tanah. J urusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Kalay, Degen Erasmus. 2009. Perubahan Garis Pantai di Sepanjang Pesisir Pantai
Indramayu [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lillesand, T.M., dan R.W. Kiefer. 1997. Penginderaan J auh dan Interpretasi Citra.
Gadjah Mada University press. Yogyakarta.
Lo, C.P. 1996. Penginderaan J auh Terapan. Terjemahan Bambang Purbowaseso.
Universitas Indonesia Press. J akarta.
60
Muiz, Abdul. 2009. Analisis perubahan penggunaan lahan di kabupaten
sukabumi. (Tesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Munibah, Khursatul, Asdar Iswati, dan Boedi Tjahjono. 2009. Pemetaan
Partisipatif Batas Kepemilikan Lahan Timbul/Daratan Baru yang
Diverifikasi Dengan Data Penginderaan J auh Hiperspektral. Laporan
Akhir Hibah Kompetitif Penelitian.
. 2008. Model Penggunaan Lahan Berkelanjutan di DAS Cidanau,
Kabupaten Serang, Propinsi Banten [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Murai, S. 1996. Remote Sensing Note. J apan: J apan Association on Remote
Sensing.
Pemkab Indramayu. 2009. Statistik. http://www.indramayukab.go.id/ (diakses 9
April 2011).
Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. CV.
Informatika. Bandung.
Rahim, Supli Effendi. 2009. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. PT Bumi Aksara. J akarta.
Rosnila. 2004. Perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap
keberadaan situ (studi kasus kota Depok). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sarief, Saifuddin. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana. Bandung
Soenarmo, Sri Hartati. 2003. Penginderaan J arak J auh Dan Pengenalan Sistem
Informasi Geografi Untuk Bidang Ilmu Kebumian. Catatan Kuliah. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Sutanto. 1986. Penginderaan J auh J ilid I. Gadjah Mada University Press.
Bulaksumur, Yogyakarta.
Sutanto. 1987. Penginderaan J auh J ilid II. Gadjah Mada University Press.
Bulaksumur, Yogyakarta.
Tarigan, M. Salam. 2007. Perubahan Garis Pantai Di Wilayah Pesisir Perairan
Cisadane, Provinsi Banten. Makara Sains.
Witanto, Beni Iriawan. 2004. Penerapan Penginderaan J auh Untuk Mendeteksi
Sedimentasi Pantai (Studi Kasus Pantai Utara Subang J awa Barat). Skripsi.
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
61
LAMPIRAN
62
Lampiran 1. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1972 (Kombinasi Band 421)
63
Lampiran 2. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1990 (Kombinasi Band 542)
64
Lampiran 3. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 2008 (Kombinasi Band 542)
65
Lampiran 4. Pembuatan Peta Isohyet
1. Menampilkan peta kontur daerah penelitian dan mengaktifkan extensions
Spasial Analyst
2. Setelah extensions Spasial Analyst aktif, maka akan muncul menu Analysis
dan Surface.
3. Untuk membuat garis kontur isohyet curah hujan bulanan maka langkah
selanjutnya adalah memilih menu surface dan sub menu Create Contours.
pilih ukuran grid cell yang dipakai/dihasilkan, metode konturing dan field
yang akan digunakan. Pembuatan peta ini menggunakan ukuran grid cell
50 m dan metode konruringnya adalah Spline. Penggunaan ukuran grid
cell sebesar 50 m
2
didasarkan pada garis kontur yang akan lebih halus
dimana semakin kecil ukuran grid cell maka hasil garis kontur akan
semakin halus.
4. Selanjutnya mengubah peta berbentuk polyline ke bentuk polygon,
sehingga dapat dihitung luasannya. Prosesnya adalah dengan
menggabungkan peta ini dengan peta dasar DAS Cipunagara yang
berbentuk polyline dengan bantuan extensions Xtools Extensions dengan
cara memilih menu Xtools-Merge Themes. Untuk mengubah peta ini ke
dalam bentuk polygon maka diperlukan extensions Edit Tools v3.1.
5. Menghitung curah hujan di daerah penelitian dengan persamaan sebagai
berikut :
R =
A
1
R
1
+A
2
R
2
+ .A
n
R
n
A
1
..A
n
Dimana ;
A
1
, A
2
, .. A
n
: Luas bagian-bagian antara garis-garis Isohyet
R
1
, R
2
, .. R
n
: Curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A
1
, A
2
, ... A
n
66
Lampiran 5. Formasi Geologi DAS Cipunagara
Formasi batuan yang ditemukan dalam wilayah penelitian sebanyak 18 formasi.
Adapun penjelasan singkat dari formasi geologi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Qa (Aluvial), material penyusunnya adalah sedimen klastik aluvium.
Proses sedimentasinya adalah sedimentasi melalui sungai.
2. Msc (Anggota batu lempung), material penyusunnya adalah sedimen
klastik dan batu liat. Proses sedimentasinya adalah sedimentasi litoral.
3. Mss (Anggota batu pasir), material penyusunnya adalah sedimen klastik
dan batu pasir. Proses sedimentasinya adalah sedimentasi terestrial-fluvial.
4. Qav2 (Batu pasir tufaan dan konglomerat), material penyusunnya adalah
sedimen klastik berukuran medium dan batu pasir. Proses sedimentasinya
adalah sedimentasi terestrial-fluvial.
5. Qvb2 (Breksi produk batuan gunung api tua), material penyusunnya
adalah sedimen klastik, kuarsa, dan breksi. Proses sedimentasinya adalah
vulkanisme subaerial.
6. Qaf (Endapan dataran banjir), material penyusunnya adalah sedimen
klastik berukuran halus dan batu liat. Proses sedimentasinya adalah
sedimentasi terestrial-fluvial.
7. Qad (Endapan delta), material penyusunnya adalah sedimen klastik
aluvium. Proses sedimentasinya adalah sedimentasi sungai.
8. Qac (Endapan pantai), material penyusunnya adalah sedimen klastik
aluvium. Proses sedimentasinya adalah sedimentasi sungai.
9. Pt (Formasi Cilanang), material penyusunnya adalah sedimen klastik
berukuran halus dan marl. Proses sedimentasinya adalah transisional.
10. Pk (Formasi Kaliwangu), material penyusunnya adalah sedimen klastik
berukuran medium. Proses sedimentasinya adalah transisional.
11. Qc (Koluvial), material penyusunnya adalah sedimen klastik, kuarsa, dan
breksi. Proses sedimentasinya adalah terestrial-aluvial.
12. Qyl (lava), lava menunjukkan kekar lempeng dan kekar tiang. Susunannya
basal dan sebagian besar telah terpropilitisasikan.
67
13. Qyu (Produk gunung api muda), merupakan hasil ekstrusif intermediate
dan bahan piroklastik.
14. Qob (Produk gunung api tua), material penyusunnya adalah breksi, lahar,
dan pasir tufa berlapis-lapis dengan kemiringan yang kecil.
15. Qvu (Produk gunung api tua tak teruara), merupakan hasil ekstrusif
intermediate dan bahan piroklastik. Proses sedimentasinya adalah
vulkanisme subaerial.
16. Qyd (Tufa pasiran), merupakan tufa pasir coklat yang mengandung kristal-
kristal hornblende yang kasar, lapisan lapilli, breksi, dan lahar lapuk
kemerah-merahan.
17. Qyt (Tuff berbatu apung), merupakan pasir tufaan, lapilli, bom-bom, lava
berongga dan kepingan andesit-basal yang bersudut dengan banyak
bongkahan dan pecahan batu apung yang berasal dari Gunung api
Tangkuban Perahu.
18. Qol (Unit lempung tufaan), material penyusunnya adalah sedimen klastik
berukuran halus dan batu liatl. Proses sedimentasinya adalah sedimen
terestrial-fluvial.