Anda di halaman 1dari 29

1

JUDUL: Identifikasi Bidang Gelincir untuk Menentukan Daerah


Rawan Longsor dengan Menggunakan Geolistrik
Tahanan Jenis .
(Studi Kasus: Bidang Gelincir di Desa Manimbahoi
Kabupaten Gowa)
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan kejadian longsoran yang terjadi pada tahun 2004 di Gunung
Bawakaraeng yang menyebabkan terkuburnya 800 ekor ternak, 12 unit rumah,
satu sekolah dasar, 160 ha tanaman persawahan, 270 ha areal perkebunan,
300.000 bibit pohon, jalan desa sepanjang 3.000 m, dan satu masjid, yang disebut
banyak orang longsoran terbesar yang terjadi di Indonesia.
Kondisi geologi dan morfologi di Desa Manimbahoi yakni kaki Gunung
Bawakaraeng berpotensi besar menimbulkan bencana gerakan tanah yang dapat
menyebabkan kerusakan pada pemukiman, lahan pertanian, sedimentasi dan
pendangkalan pada bendungan bili-bili. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian untuk menyelidiki penyebab terjadinya gerakan tanah di daerah
tersebut.
Menurut Varnes gerakan tanah adalah suatu produk dari proses gangguan
kesetimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan
ketempat atau daerah yang lebih rendah. Gerakan massa ini dapat terjadi pada
lereng-lereng yang hambat geser tanah / batuan lebih kecil dari berat massa tanah /
batuan itu sendiri (Suhendra, 2005). Gerakannya lamban pada umumnya


2

berbentuk napal kuda dengan gerakan memutar. Gerakan yang lamban ini sering
disebut rayapan tanah (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2007) .
Metode geolistrik digunakan untuk mengetahui struktur dan pelapisan tanah
bawah permukaan di Desa Manimbahoi dan sekitarnya. Informasi tentang struktur
dan pelapisan tanah tersebut digunakan untuk mengetahui batas-batas kelabilan
tanah yang dapat menjadi acuan dalam pengembangan wilayah di Desa
Manimbahoi dan sekitarnya. Penelitian geolistrik banyak digunakan dalam
eksplorasi mineral maupun dalam masalah lingkungan. Metode geolistrik tidak
merusak lingkungan, biasanya relatif murah dan mampu mendeteksi sampai
kedalaman tertentu.
Selain pengukuran geolistrik, dalam penelitian ini juga diperlukan data
lainnya seperti curah hujan, vegetasi, kemiringan lereng , tanah, dan geologi
daerah penelitian. Data-data ini juga merupakan faktor penyebab terjadinya
gerakan tanah karena sangat berpengaruh pada bertambahnya tegangan geser dan
berkurangnya tahanan geser pada lereng (Gatot M. Soedradjat, 2008). Curah
hujan, vegetasi, kemiringan lereng, tanah, dan geologi merupakan faktor yang
bersifat pasif pada gerakan tanah (Djauhari Noor, 2006).
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka dalam penelitian ini penulis
mengambil judul Identifikasi Bidang Gelincir untuk Menentukan Daerah Rawan
Longsor dengan Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis . (Studi Kasus:
Bidang Gelincir di Desa Manimbahoi Kabupaten Gowa)




3

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, timbul rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana identifikasi bidang gelincir tanah longsor
menggunakan metode geolistrik tahanan jenis di Desa Maningbahoi, Kabupaten
Gowa.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan
penampang resistivitas semu (pseudosection) berupa kontur 2-D menggunakan
metode resistivitas sebagai identifikasi bidang gelincir tanah longsor.di Desa
Maningbahoi, Kabupaten Gowa.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah
dikemukakan di atas, maka adapun manfaat penelitian yang diharapkan adalah
sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti, yaitu mencoba memberikan sumbangsih pemikiran yang dapat
bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah.
2. Bagi Pemerintah, sebagai sumber informasi tentang gerakan tanah di daerah
tersebut, dan dengan demikian pemerintah melakukan langkah-langakah
untuk mencegah gerakan tanah di daerah tersebut.
3. Bagi Masyarakat, dapat memberikan informasi mengenai gerakan tanah di
daerah tersebut.
4. Bagi penelitian selanjutnya, dapat dijadikan sebagai acuan/panduan untuk
penelitian dengan hasil yang lebih baik dan lebih sempurna.


4

5. Bagi Mahasiswa KBK Fisika Bumi, sebagai bahan pembelajaran dalam
mengaplikasikan alat dalam hal ini geolistrik tahanan jenis.

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kondisi Umum Daerah Penelitian
1. Kondisi Geografis
Kabupaten Gowa berada pada 12 38.16' Bujur Timur dari Jakarta dan 5
33.6' Bujur Timur dari Kutub Utara. Sedangkan letak wilayah administrasinya
antara 12 33.19' hingga 13 15.17' Bujur Timur dan 5 5' hingga 5 34.7' Lintang
Selatan. Adapun batas-batas administrasi Kabupaten Gowa adalah sebagai
berikut:
- Sebelah Utara : Kota Makassar dan Kabupaten Maros
- Sebelah Selatan : Kabupaten Takalar dan kabupaten Jeneponto
- Sebelah Timur : Kabupaten Sinjai, Bulukumba dan Bantaeng.
- Sebelah Barat : Kota Makassar dan Kabupaten Takalar.
Luas wilayah Kabupaten Gowa adalah 1.883,33 km
2
atau sama dengan
3,01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah Kabupaten Gowa
terbagi dalam 18 Kecamatan dengan jumlah Desa/Kelurahan definitif sebanyak
167 dan 726 Dusun/Lingkungan. Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar
berupa dataran tinggi berbukit-bukit, yaitu sekitar 72,26% yang meliputi 9
kecamatan yakni Kecamatan Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao,
Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya
27,74% berupa dataran rendah dengan topografi tanah yang datar meliputi 9


5

Kecamatan yakni Kecamatan Somba Opu, Bontomarannu, Pattallassang,
Pallangga, Barombong, Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo dan Bontonompo
Selatan.
2. Kondisi Topografi
Topografi Kabupaten Gowa sebagian besar berupa dataran tinggi berbukit-
bukit, yaitu sekitar 72,26% yang meliputi 9 kecamatan yakni Kecamatan
Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya,
Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya 27,74% berupa dataran
rendah dengan topografi tanah yang datar meliputi 9 Kecamatan yakni
Kecamatan Somba Opu, Bontomarannu, Pattallassang, Pallangga, Barombong,
Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo dan Bontonompo Selatan.Dari total luas
Kabupaten Gowa, 35,30% mempunyai kemiringan tanah di atas 40 derajat, yaitu
pada wilayah Kecamatan Parangloe, Tinggimoncong, Bungaya, Bontolempangan
dan Tompobulu.Dengan bentuk topografi wilayah yang sebahagian besar berupa
dataran tinggi, maka wilayah Kabupaten Gowa dilalui oleh 15 sungai besar dan
kecil yang sangat potensial sebagai sumber tenaga listrik dan untuk pengairan.
Salah satu diantaranya sungai terbesar di Sulawesi Selatan adalah sungai
Jeneberang dengan luas 881 km
2
dan panjang 90 km.Di atas aliran sungai
Jeneberang oleh Pemerintah Kabupaten Gowa yang bekerja sama dengan
Pemerintah Jepang, telah membangun proyek multifungsi DAM Bili-Bili dengan
luas 2.415 km
2
yang dapat menyediakan air irigasi seluas + 24.600 Ha,
Komsumsi air bersih (PAM) untuk masyarakat Kabupaten Gowa dan Makassar


6

sebanyak 35.000.000 m
3
dan untuk pembangkit tenaga listrik tenaga air yang
berkekuatan 16,30 MW.
3. Kondisi Vegetasi
Luas hutan idealnya 30 % dari luas wilayah. Luas wilayah 64 juta ha, luas
hutan di Kabupaten Gowa defisit 18,2 juta ha, pemerintah tidak menempatkan
perlindungan hutan sebagai prioritas. Hal itu terlihat dari alih fungsi lahan dan
pembalakan liar yang berlangsung selama 10 tahun belakangan. Hutan umumnya
berganti menjadi tambang dan perkebunan. Salah satu alih fungsi lahan secara
besar-besaran terjadi di areal hulu Sungai Jeneberang, Kabupaten Gowa. Kondisi
hutan di lereng Gunung Bawakaraeng kini tinggal 8.259 ha atau hanya 13,3 %
dari total luas wilayah daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang yang mencapai
61.733 ha. Saat ini DAS Jeneberang didominasi pertanian lahan kering seluas
29.334 ha (47,52 %). Adapun lahan semak belukar lebih luas dari hutan, yakni
12.530 ha (20,3 %). Ketimpangan itu menyebabkan laju erosi menuju Bendungan
Bili-bili terus meningkat setiap tahun (Departemen Kehutanan, 2006).
4. Kondisi Iklim dan Curah Hujan
Seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia, di Kabupaten Gowa hanya
dikenal dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Biasanya musim
kemarau dimulai pada Bulan Juni hingga September, sedangkan musim hujan
dimulai pada Bulan Desember hingga Maret. Keadaan seperti itu berganti setiap
setengah tahun setelah melewati masa peralihan, yaitu Bulan April-Mei dan
Oktober-Nopember.


7

Curah hujan di Kabupaten Gowa yaitu 237,75 mm dengan suhu 27,125C.
Curah hujan tertinggi yang dipantau oleh beberapa stasiun/pos pengamatan terjadi
pada Bulan Desember yang mencapai rata-rata 676 mm, sedangkan curah hujan
terendah pada Bulan Juli - September yang bisa dikatakan hampir tidak ada hujan.
5. Kondisi Tanah
Kabupaten Gowa, khususnya kaki Gunung Bawakaraeng dengan
menggunakan metoda penentuan kadar air, massa jenis tanah, warna, ukuran
butir/partikel, dan jenis tanah. Hasil uji fisik tanah menunjukan bahwa kadar air
pada daerah tersebut lebih kecil dari 50 % yaitu masing-masing dari tingkat
I,II,dan III adalah 27,23%; 15,99%; dan 25,67% dan massa jenis tanah rata-rata
2,463 gr/cm3 serta berbeda pada tiap tingkatan. Warna tanah diketahui dari
pengamatan secara langsung, yaitu coklat kehitaman, coklat kemerahan dan hitam
sedangkan ukuran butiran/partikel tanah diperoleh dari analisis saringan.
Klasifikasi tanah ditentukan berdasarkan ukuran butiran yang sesuai dengan
Klasifikasi Tanah Sistim Unified. Dari jenis tanahnya dapat diketahui bahwa
daerah ini merupakan daerah rawan longsor
B. Gerakan Tanah
Gerakan tanah adalah suatu massa tanah yang bergerak dari atas ke bawah
di sepanjang lereng. Gerakan tanah terjadi apabila gaya yang menahan (Resisting
Forces) massa tanah di lereng tersebut lebih kecil dari pada gaya yang
mendorong/meluncurkan tanah di sepanjang lereng.
Adapun gaya yang menahan masa tanah di sepanjang lereng tersebut
dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik/mekanisme tanah antara


8

lain kohesi/daya ikat (c) dan sudut dalam tahanan geser tanah () yang bekerja
disepanjang bidang luncuran.
Sedangkan gaya pendorong ini dipengaruhi diantaranya oleh kandungan air,
beban bangunan, berat masa tanah itu sendiri.
Kemantapan lereng biasanya dievaluasi dengan menghitung faktor
keamanan (FS), yaitu perbandingan antara gaya yang menahan dengan gaya yang
meluncurkan;



(2.1)
Bila gaya menahan > dari gaya peluncur, maka lereng akan mantap(stabil), nilai
FS>1. tetapi bila FS<1, maka lereng tersebut akan bergerak (tidak mantap).
Pada dasarnya setiap sesuatu perubahan yang menyebabkan berkurangnya gaya
yang menahan atau menambah gaya yang meluncurkan akan menambah
kemungkinan untuk terjadi gerakan tanah. Untuk daerah permukiman yang
dibangun yaitu (pada lereng yang terjal disarankan agar nilai FS nya >1.3)
(Gatot M. Soedradjat, 2008).
1. Jenis Gerakan Tanah
Gerakan tanah dikelompokan menjadi 6 (enam) jenis berdasarkan kepada
kecepatan gerakan tanah, yaitu :
a. Gerakan Tanah Translasi

Gambar 2.1. Gerakan tanah translasi (Gatot M. Soedradjat, 2008)


9

Gerakan tanah translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada
bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
b. Gerakan Tanah Rotasi

Gambar 2.2. Gerakan rotasi (Gatot M. Soedradjat, 2008)
Gerakan tanah rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung.
c. Longsoran Batu

Gambar 2.3. Longsoran batu (Gatot M. Soedradjat, 2008)
Longsoran batu adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang
gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok
batu.
d. Runtuhan Batu

Gambar 2.4. Runtuhan batu (Gatot M. Soedradjat, 2008)


10

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain
bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng
yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar
yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
e. Rayapan Tanah

Gambar 2.5. Rayapan tanah (Gatot M. Soedradjat, 2008)
Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak
dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa
menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
f. Aliran Bahan Rombakan

Gambar 2.7. Aliran bahan rombakan (Gatot M. Soedradjat, 2008)
Jenis gerakan tanah ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air.
Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air,
dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu
mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan


11

meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini
dapat menelan korban cukup banyak.
2. Faktor Penyebab
Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah adalah bertambahnya tegangan
geser dan berkurangnya tahanan geser pada lereng.
a. Geologi
1) Struktur geologi.
2) Sifat bawaan batuan.
3) Hilangnya perekat tanah.
4) Gempa.
b. Keairan
Curah hujan akan menyebabkan kandungan air pada lapisan tanah
meningkat dan jenuh air, yang mengakibatkan :
1) Tekanan air pori bertambah besar dan mengakibatkan kuat geser
menurun.
2) Kandungan air tanah naik dan terjadi pembuburan tanah atau
pengembangan lempung, mengakibatkan kuat geser tanah akan
menurun atau bahkan hilang, disamping itu masa tanah bertambah
yang akan mengurangi tegangan geser.
3) Lapisan tanah jenuh air.
c. Vegetasi
Peranan vegetasi dalam gerakan tanah merupakan masalah kompleks,
karena vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor termasuk iklim,


12

topografi dan sejarah kebakaran hutan yang semuanya mempengaruhi
kemantapan lereng.
d. Perbuatan Manusia
Gerakan tanah dapat diakibatkan oleh kegiatan manusia, umumnya
gerakan tanah yang diakibatkan oleh kegiatan manusia terjadi karena
mengubah/ berubahnya bentuk lereng dan atau berubahnya tata guna lahan,
kegiatan ini mengakibatkan air masuk ke dalam tanah yang mempengaruhi
bobot masa tanah yang berdampak pada kestabilan/kemantapan lereng (Gatot
M. Soedradjat, 2008).
e. Kemiringan Lereng
Menurut Van Zuidam dalam penataan ruang bab 1 (2008)
mengklasifikasi kemiringan lereng menjadi 7, yaitu :
1. 0
o
2
o
(0% - 2%) kemiringan lereng datar,
2. 2
o
4
o
(2% - 7%) kemiringan lereng landai,
3. 4
o
8
o
(7% - 15%) kemiringan lereng miring,
4. 8
o
16
o
(15% - 30%) kemiringan lereng agak curam,
5. 16
o
35
o
(30% - 70%) kemiringan lereng curam,
6. 35
o
55
o
(70% - 140%) kemiringan lereng sangat curam,
7. >55
o
(>140%) kemiringan lereng terjal.
Kemiringan lereng ini dapat dinyatakan dengan dua satuan, yaitu dengan
satuan sudut (derajat) dan satuan %.


13


Gambar 2.8 Menentukan kemiringan lereng (Nawawi, 2001)
Dimana dm adalah jarak miring, dv adalah jarak vertikal, dh adalah jarak
horizontal. Kemiringan dapat dicari dengan persamaan :

sama halnya dengan persamaan kemiringan


= tan 100%. Berdasarkan batasannya lereng 45
o
akan sama dengan
100%, karena pada lereng tersebut dv sama dengan dh dan ini dapat
dijadikan sebagai dasar konversi antara satuan besaran sudut dengan
satuan % (Nawawi, 2001).
Wilayah dengan kemiringan lereng antara 0% - 15% akan stabil
terhadap kemungkinan longsor, sedangkan di atas 15% potensi untuk
terjadi longsor pada saat kawasan rawan gempa bumi akan semakin besar
(penataan ruang bab 1, 2008).
C. Geolistrik
Metode geolistrik digunakan untuk mengukur dan menyelidiki sifat
kelistrikan yang dimiliki oleh batuan atau mineral. Mineral-mineral sulfida pada
umumnya bisa dikenali dengan metode ini dikarenakan oleh sifat fisisnya yang
mudah menghantarkan listrik yang diinjeksikan ke dalam bumi. Mineral
pembentuk batuan pada umumnya memiliki resistivitas tinggi. Resistivity batuan
dipengaruhi oleh porositas, kadar air dan mineralisasi.


14

Polarisasi adalah kemampuan batuan untuk menciptakan atau menyimpan
(sementara) energi listrik, pada umumnya lewat proses elektrokimia.
Polarisasi dibagi menjadi: (1) Self potential: efek yang muncul jika energi listrik
dihasilkan oleh batuan / bijih pada proses interaksi dengan air tanah. (2) Induced
Polarization: efek yang muncul saat batuan terinduksi oleh energi listrik yang
ditimbulkan oleh arus listrik yang melalui batuan, dan batuan itu menyimpan
induksi untuk sementara. Metode Geolistrik ini berkembang dengan pesat
belakangan ini. Banyak sekali metode-metode baru muncul sebagai
pengembangan dari prinsip tahanan jenis atau resistivity seperti: TEM, CSAMT,
AMT dan lain-lain. Metode ini sangat efisien dan tepat untuk memetakan atau
melokalisir mineral-mineral sulfida. (Nurhakim, 2006)
1. Geolistrik Metode Tahanan Jenis
Sejak awal tahun 1900-an metode geolistrik tahanan jenis telah mulai
dikembangkan. Seiring dengan perkembangan teknologi komputer, khususnya
perhitungan yang berbasiskan perhitungan numerik maka penggunaan metode
geolistrik tahanan jenis digunakan secara meluas.
Metode ini banyak digunakan untuk survei air tanah, identifikasi
geothermal dan perkembangannya dewasa ini banyak digunakan untuk monitoring
kualitas lingkungan. Metode ini juga dapat digunakan untuk keperluan bidang
teknik; identifikasi adanya rongga dalam struktur batuan, terowongan, struktur
geologi; dan juga untuk bidang arkeologi.
Metode geolistrik tahanan jenis dikategorikan sebagai metode aktif, hal ini
dikarenakan sumber buatan berupa arus listrik diinjeksikan ke bawah permukaan


15

melalui titik elektroda. Setelah arus diinjeksikan kemudian diukur respon
potensial dan listrik dari batuan yang diukur. Dengan adanya kedua variabel
tersebut maka dapat ditentukan besarnya resistivitas semu setiap titik pengukuran.
Variabel inilah yang disebut variabel fisis yang diukur dan akan digunakan untuk
interpretasi berdasarkan tujuan awal pengukuran (Sabrianto Aswad, 2011).
a. Konfigurasi Elektroda Metode Wenner Schlumberger
Metoda ini merupakan penggabungan dua metoda yaitu Wenner dan
Schlumberger. Dalam penggunaannya konfigurasi Wenner berlaku ketika n=
1. Untuk n = 2,3,4, dst; berlaku konfigurasi Schlumberger.

Gambar 2.10 Konfigurasi Wenner-Schlumberger (M. H. Loke, 2004)
Keunggulan konfigurasi Wenner-Schlumberger ini adalah diambil dari
keunggulan pada dua konfigurasi sebelumnya yakni kemampuan untuk
memetakan variasi kehomogenan secara lateral (horizontal) sekaligus
mendeteksi adanya non-homogenitas lapisan batuan pada permukaan
(vertikal), yaitu dengan membandingkan nilai resistivitas semu ketika terjadi
perubahan jarak elektroda

.



16

r
4 r
3
r
2
r
1
B N

A
M

I
V
Gambar 2.11 Bentuk umum konfigurasi elektroda (Sabrianto Aswad, 2011)







Beda potensial yang terjadi antara MN yang diakibatkan oleh injeksi
arus pada AB adalah :

[(


) (


)]
[(

) (

)]

(2.7)
dengan
|
|
|
|
.
|

\
|
+
=
BN AN BM AM
K
1 1 1 1
2t
(2.8)

Wenner-Schlumberger :
( )a n n K 1 + =t



17

Faktor geometri (K), merupakan unsur penting dalam perdugaan
geolistrik baik pendugaan vertikal maupun horizontal, karena faktor geometri
akan tetap untuk posisi AB dan MN yang tetap.
b. Resistivitas Semu
Pada kenyataannya, bumi terdiri atas lapisan-lapisan dengan yang
berbeda-beda, sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari
lapisan-lapisan tersebut. Maka harga resistivitas yang terukur bukan
merupakan harga resistivitas untuk satu lapisan saja, hal ini terutama untuk
spasi elektroda yang lebar.

(2.9)
dengan
a
resistivitas semu (Apparent Resistivity) yang bergantung pada
spasi elektroda. Untuk kasus tak homogen, bumi diasumsikan berlapis-lapis
dengan masing-masing lapisan mempunyai harga resistivitas yang berbeda.
Resistivitas semu merupakan resistivitas dari suatu medium fiktif homogen
yang ekivalen dengan medium berlapis yang ditinjau. Sebagai contoh
medium berlapis yang ditinjau misalnya terdiri dari dua lapis yang
mempunyai resistivitas berbeda.
Resistivitas semu merupakan resistivitas dari suatu medium fiktif
homogen yang ekuivalen dengan medium berlapis yang ditinjau. Sebagai
contoh medium berlapis yang ditinjau misalnya terdiri atas dua lapisan yang
mempunyai resistivitas yang berbeda (
1
&
2
) dianggap sebagai medium
satu lapis homogen yang mempunyai satu harga resistivitas yaitu resistivitas


18

semu
a
, dengan konduktansi lapisan fiktif sama dengan jumlah konduktansi
masing-masing lapisan
f
=
1
+
2
.

Gambar. 2.12 Resistivitas Semu
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Maningbahoi, Kecamatan Parigi,
Kabupaten Gowa.








Lokasi Penelitian


19

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian

B. Alat dan Bahan
1. Alat
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Peta administrasi, untuk mengetahui posisi daerah penelitian.
b. Peta geologi, untuk pembuatan peta geologi daerah penelitian agar
mengetahui stratigrafinya (struktur batuan).
c. Data curah hujan yang diperoleh dari Stasiun PSDA, untuk mengetahui
curah hujan daerah penelitian.
d. Peta tanah, untuk pembuatan peta tanah daerah penelitian agar dapat
diketahui jenis tanah di daerah penelitian.
e. Peta kemiringan lereng, untuk pembuatan peta kemiringan lereng daerah
penelitian agar dapat diketahui kemiringan lereng di daerah penelitian.
f. Software ArcGIS 9.3, untuk pembuatan peta sebaran curah hujan dan
pembuatan peta lainnya.
g. Resistivitimeter gunanya untuk memberikan harga beda potensial (V)
dan kuat arus (I).


20


Gambar 3.2 Resistivitymeter
h. Patok untuk mengetahui penempatan elektroda yang akan dipasang.
i. Palu digunakan untuk memukul elektroda potensial dan elektroda arus di
tanah.
j. Accu (elemen kering) sebagai sumber arus.
k. Elektroda (elektroda potensial dan elektroda arus)
l. Meteran digunakan untuk mengukur panjang lintasan yang akan diteliti.
m. Kabel listrik digunakan sebagai kabel penghubung.
n. Tabel data gunanya sebagai tempat menulis data hasil pengukuran.
o. Alat tulis menulis digunakan untuk menulis data dari hasil pengukuran.
p. GPS (Global Positioning System) di gunakan untuk menentukan posisi
tempat penelitian.


21



Gambar 3.3 Global position system (GPS) GARMIN
q. Software Res2Dinv digunakan untuk menampilkan gambar penampang
bawah permukaan.




C. Prosedur Penelitian
2. Pembuatan Peta Geologi Daerah Penelitian
i. Membuat peta geologi daerah penelitian dengan sumber data berupa data
sekunder yaitu peta geologi dan peta administrasi Sulawesi Selatan
dengan menggunakan software ArcGIS 9.3.
ii. Mengidentivikasi jenis batuan yang diperoleh dari peta geologi daerah
penelitian.
iii. Hasil yang diperoleh kemudian diinterpretasi.
3. Pembuatan PetaTanah Daerah Penelitian


22

i. Membuat peta tanah daerah penelitian dengan sumber data berupa data
sekunder yaitu peta tanah dan peta administrasi Sulawesi Selatan dengan
menggunakan software ArcGIS 9.3.
ii. Mengidentivikasi jenis tanah yang diperoleh dari peta tanah daerah
penelitian.
iii. Hasil yang diperoleh kemudian diinterpretasi.
4. Pembuatan Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian
i. Membuat peta kemiringan lereng daerah penelitian dengan sumber data
berupa data sekunder yaitu peta kemiringan lereng dan peta administrasi
Sulawesi Selatan dengan software ArcGIS 9.3.
ii. Mengidentivikasi peta kemiringan lereng yang diperoleh.
iii. Hasil yang diperoleh kemudian diinterpretasi
5. Pengolahan Data Curah Hujan
a. Mengumpulkan data curah hujan tiap-tiap pos penakar curah hujan yang
ada di Kabupaten Gowa beserta koordinat lintang, bujur, dan ketinggianya
yang diperoleh dari PSDA
b. Membuat peta sebaran curah hujan dengan menggunakan program
ArcGIS 9.3.
c. Melakukan interpretasi terhadap gambar peta yang dihasilkan untuk
mengetahui pola distribusi curah hujan tahunan di Kabupaten Gowa.
d. Melakukan pembahasan terhadap hasil yang diperoleh .
6. Pengolahan Data Geolistrik
Adapun desain penelitian yang telah disusun sebagai berikut:


23

a. Pra Penelitian
1) Study Literatur, yaitu mempelajari literatur-literatur atau teori-teori
yang berhubungan dengan tanah lonsor atau gerakan tanah dan jurnal-
jurnal penelitian tentang geolistrik khususnya yang berhubungan
dengan interpretasi serta teknik akuisisi data.
2) Mengurus surat izin penelitian dan melakukan survei pendahuluan
untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian.
b. Penelitian
1) Tahap Persiapan
Menyiapkan alat dan bahan yang di butuhkan dalam penelitian demi
kelancaran pelaksanaan penelitian. Kemudian melakukan pratest terhadap
alat yang akan di gunakan di lapangan supaya berada dalam kondisi siap
pakai, yang biasanya di lakukan sehari sebelum pemberangkatan ke lokasi.
Kondisi accumulator harus terisi penuh untuk pengukuran yang lama dan
akurasi data yang baik.
2) Tahap Pengukuran
a) Akuisisi data lapangan
Akuisisi data di lapangan dilakukan dengan menggunakan
konfigurasi Wenner-Schlumberger. Arah lintasan adalah dari utara ke
selatan sebanyak 2 lintasan.
Panjang lintasan tersebut adalah masing-masing 63 meter. Jumlah
patok yang digunakan adalah 22 patok lengkap dengan nomor patok
masing- masing dan jarak setiap patok adalah masing-masing 3 meter.


24

b) Teknik pengukuran disesuaikan dengan kondisi lapangan
Beberapa hal tahapan akuisisi yang dilakukan adalah :
o Memasang patok-patok yang terlebih dahulu diberi nomor (1-22),
pada lintasan pengukuran agar lebih mudah dalam pengaturan
bentangan elektroda.
o Melakukan pengambilan data posisi setiap patok atau elektroda
dengan GPS.
o Mengatur bentangan elektroda arus dan elektroda potensial untuk
jarak spasi elektroda pertama a = 3 m dan n = 1, dalam hal ini
elektroda A pada patok 1, M pada patok 2, N pada patok 3 dan B
pada patok 4.
o Melakukan pengambilan data untuk datum point pertama sesuai
dengan cara kerja alat. Data arus (I) dan beda potensial (V) yang
dicatat dalam format akuisisi.
o Setiap elektroda digeser sejauh 3 m mengikuti arah line (elektroda
A dipindahkan ke M, M pindah ke N,dan N ke B), lalu mengukur
kembali kuat arus dan beda potensial untuk datum point kedua,
dan seterusnya hingga elektroda B sampai pada patok 22.
o Mengatur bentangan elektroda arus dan elektroda potensial untuk
n = 2. elektroda digeser melawan arah line 1, dalam hal ini
elektroda B pada patok 22, N pada patok 20, M pada patok 19 dan
elektroda A pada patok 17, kemudian dilakukan pengambilan data


25

yang dicatat dalam format akuisisi. Hal yang serupa juga
dilakukan untuk n =3, n = 4,....n = 10.
o Mengulangi prosedur pada poin 1 sampai 5 untuk lintasan
selanjutnya.
3) Tahap Interpretasi
Prosesing data lapangan dengan menggunakan Res2Dinv. Dalam hal
ini pemrosesan sepenuhnya dilakukan dengan menggunakan software.
Beberapa hal yang dilakukan dalam tahap ini adalah :
a) Data berupa nilai beda potensial (V) dari hasil pengukuran dan
nilai besarnya kuat arus (I) yang diinjeksikan diolah menggunakan
program Microsoft Excel untuk mendapatkan nilai faktor geometri
(K)dan nilai resistivitas semu (
s
).
b) Data resistivitas semu (
s
) hasil perhitungan, data datum point
(dp), spasi elektroda (a), faktor pemisah elektroda (n), jumlah titik
pengukuran, beda elevasi, dan posisi patok diinput ke program
notepad dalam bentuk file dat.
c) Setelah file data lapangan sudah berada dalam bentuk file dat dan
mengikuti format data Res2Dinv, selanjutnya dilakukan inversi
untuk menampilkan gambar penampang bawah permukaan daerah
survei. Pada tahapan ini akan dilihat bagaimana sebaran variasi
nilai-nilai resistivitas bawah permukaan daerah survei dari warna
yang di berikan pada gambar penampang hasil pemrosesan.


26

Dari perbedaan nilai resistivitas inilah kita dapat menafsirkan
pelapisan bawah permukaan dari daerah survei serta kedalaman
setiap lapisan penyusun.
d) Untuk menampilkan penampang konduktivitas bawah permukaan
kita pilih display conductivity pada change display settings.


27

D. Bagan Alir Penelitian













Gambar 3.4 Diagram alir penelitian







Interpretasi

Identivikasi
kemiringan lereng

Pembuatan peta kemiringan
lereng daerah penelitian
dengan software ArcGIS 9.3

Mulai
- Peta Geologi
- Peta Administrasi

Interpretasi

Identivikasi jenis
batuan

Pembuatan peta geologi
daerah penelitian dengan
software ArcGis 9.3

Plot data dengan
bantuan
Microsoft Excel
Pengambilan data curah
hujan di PSDA
Pemetaan spasial sebaran
curah hujan tahunan
dengan ArGis 9.3
Interpretasi

Penentuan resistivitas material
bawah permukaan :



I
V
K =
Pemrosesan Data Lapangan
dengan Res2dinv
Menampilkan penampang
bawah permukaan


Interpretasi

Pengambilan data geolistrik di
lapangan:
- Posisi Patok (Lintang, Bujur,
dan Elevasi
- Arus (I)
- Tegangan (V)

- Peta Tanah
- Peta Administrasi

Interpretasi

Identivikasi jenis
tanah

Pembuatan peta tanah
daerah penelitian dengan
software ArcGis 9.3

- Peta Lereng
- Peta Administrasi

Kesimpulan


28

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Kumpulan Istilah Ilmu Tanah. Departemen Pertanian.
http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id/download/istilah.pdf, diakses pada
tanggal 25 Desember 2012

Anonim. 2007. Pengenalan Gerakan Tanah. Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral.www.esdm.go.id/publikasi/lainlain/doc_download/489-
pengenalan-gerakan-tanah-html , diakses pada tanggal 26 Desember 2012.

Anonim. 2007. Kondisi Umum dan Geografis Gowa.
http://www.damandiri.or.id/file/ettypapayunganunhasbab4.pdf
, diakses pada tanggal 25 Desember 2012.

Anonim. 2008. Penataan Ruang Bab 1. www.penataanruang.net
/taru/nspm/29/isi.pdf ,diakses pada tanggal 26 Desember 2012.

Anonim.2011. Wilayah Potensi Gerakan Tanah di Provinsi Sulawesi Selatan.
Bandung: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Anonim.2011. Administrasi, Geologi, dan Vegetasi. Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kab. Gowa. http://dishuttator.blogspot.com/2011/04
/administrasi, geologi, vegetasi.html

Aswad, Sabrianto.2011. Metode Geolistrik Tahanan Jenis (Resistivity). Makassar
: Unhas.
Nawawi, G. 2001. Modul Program Keahlian Mekanisasi Pertanian Kode Modul
SMKP2K02 03MKP (Mengukur Jarak dan Sudut).
http://125.160.17.21/speedyorari/view.php?file=pendidikan
/materikejuruan/pertanian/mekanisasi-pertanian/mengukur jarak dan
sudut.pdf ,diakses pada tanggal 25 Desember 2012.

Noor, Djauhari.2006.Geologi Lingkungan.Yogyakarta : Graha Ilmu.
Nurhakim.2006. Teknik Eksplorasi (htkk-009). Banjarbaru : Unlam.

Soedradjat, Gatot M.2008. Bencana Gerakan Tanah di Indonesia. Bandung:
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.




29

Suhendra .2005. Penyelidikan Daerah Rawan Gerakan Tanah dengan
Metode Geolistrik Tahanan Jenis (studi kasus : longsoran di desa
Cikukun). Jurnal Gradien. No.1. Vol.1. Bengkulu: Universitas Bengkulu.

Telford, W.M., L.P. Geldart, R.E. Sheriff, dan D.A. Keys. 1982. Applied
Geophysic. London : Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai