Anda di halaman 1dari 75

ARAHAN DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI


DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

WIDIA NUR ULFAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Arahan dan Strategi
Pengembangan Kawasan Wisata Bahari di Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Widia Nur Ulfah


NIM A156130324
RINGKASAN

WIDIA NUR ULFAH. Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan


Wisata Bahari di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh
BOEDI TJAHJONO dan FREDINAN YULIANDA.

Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu telah menjadi


daya tarik wisata bahari pada satu dekade terakhir. Gejala meningkatnya
kunjungan wisatawan ini jika tidak diiringi dengan pengelolaan yang baik maka
dapat menjadi suatu ancaman bagi kelestarian lingkungan Kepulauan Seribu.
Beberapa masalah kewilayahan yang muncul di Kepulauan Seribu adalah belum
terlihatnya keterpaduan pengelolaan kegiatan wisata bahari yang dilakukan oleh
banyak pihak, baik oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Swasta, maupun
masyarakat. Oleh karena itu perlu disusun suatu strategi pengelolaan wisata bahari
yang mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak di atas dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan pesisir di Kepulauan Seribu.
Tujuan penelitian ini adalah (1) pemetaan penutupan/penggunaan lahan
eksisting di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2014; (2)
menganalisis konsistensi pemanfaatan lahan dengan Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan zonasi Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS); (3) mengetahui hirarki wilayah Kepulauan
Seribu dilihat dari kelengkapan sarana dan prasarana; serta (4) menyusun arahan
dan strategi pengelolaan wisata bahari di Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. Analisis data yang digunakan mencakup analisis data citra pada lokasi
penelitian, overlay, analisis deskriptif, Skalogram, dan A’WOT. Metode klasifikasi
data citra untuk mendapatkan peta tutupan lahan eksisting dilakukan dengan
menggunakan teknik interpretasi visual dari data citra Landsat 8. Adapun untuk
dasar perairan dangkal dilakukan melalui klasifikasi terbimbing dan transformasi
citra menggunakan model Lyzenga. Peta tutupan lahan eksisting kemudian di
overlay dengan RDTR Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan zonasi
TNLKpS untuk mendapatkan peta konsistensi pengelolaan. Adapun analisis
Skalogram digunakan untuk menjawab tujuan ke-3 dari penelitian ini, dimana data
yang digunakan adalah data potensi desa (PODES) yang kemudian menghasilkan
hirarki wilayah di lokasi penelitian berdasarkan kelengkapan sarana dan prasarana.
Analisis A’WOT dilakukan dengan menggunakan data persepsi stakeholders yang
kemudian diolah dan dikaitkan dengan hasil dari seluruh analisis sebelumnya
untuk mendapatkan arahan dan strategi pengembangan wisata bahari di lokasi
penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat penutupan lahan sebanyak
delapan kelas untuk daratan, yaitu bangunan, dermaga, helipad, jalan, kolam,
lahan terbuka, vegetasi, dan pasir pantai, sedangkan untuk tutupan dasar perairan
dangkal terdiri dari lima kelas, yaitu pasir, rataan karang dan pasir, lamun, laguna,
dan karang. Luas pulau hasil interpretasi citra adalah seluas 11,04 km2, sedangkan
menurut Peraturan Daerah adalah 8,7 km2 sehingga terdapat penambahan luasan
daratan pulau seluas 2,34 km2. Penambahan luas daratan ini disebabkan (terutama
pada pulau-pulau permukiman) oleh kegiatan reklamasi, dimana kebijakan
reklamasi pantai dilakukan sesuai dengan salah satu tujuan penataan ruang
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yaitu terwujudnya pengembangan dan
penataan kawasan permukiman dan kawasan pemerintahan melalui reklamasi
berwawasan lingkungan serta dilengkapi dengan prasarana pada pulau
permukiman. Pulau-pulau permukiman untuk tujuan wisata di Kepulauan Seribu
memiliki tutupan lahan berupa permukiman namun jumlahnya cukup banyak
sehingga menjadi padat. Hal ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya minat
wisatawan yang berkunjung ke pulau-pulau tersebut untuk menginap sehingga
banyak bangunan baru yang didirikan masyarakat yang difungsikan sebagai
homestay. Meningkatnya jumlah wisatawan dari segi ekonomi memberikan
dampak yang positif, namun dari segi lingkungan menurunkan kualitas, karena
menurunkan tingkat kenyamanan dan daya dukung kawasan. Hasil analisis
konsistensi menunjukkan bahwa terdapat peruntukan wilayah yang tidak
konsisten dengan dokumen perencanaan, yaitu yang terjadi di sebelah utara Pulau
Bira Besar, dimana pulau ini termasuk ke dalam sub zona perdagangan dan jasa di
wilayah pulau dalam RDTR dan Peraturan Zonasi tahun 2014, namun wilayah di
sebelah utaranya sudah masuk kedalam Zona inti III TNLKpS. Selain pada pulau
Bira Besar, hasil analisis konsistensi juga menunjukkan adanya suatu ketidak
konsistenan yang terjadi di Pulau Sebaru Besar. Pulau ini direncanakan sebagai
pulau pengembangan wisata, namun pada penetapan zonasi masuk ke dalam sub
zona terbuka hijau budidaya di wilayah pulau. Hasil analisis skalogram
menunjukkan bahwa terdapat dua kelurahan yang masing-masing masuk ke dalam
hirarki I (Kelurahan Pulau Untung Jawa dan Kelurahan Pulau Panggang), II
(Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Pari), dan III (Kelurahan Pulau
Tidung dan Kelurahan Pulau Kelapa). Jumlah wisatawan terbanyak pada tahun
2013 pada masing-masing kecamatan adalah di kelurahan-kelurahan yang berada
para Hirarki I, kemudian selanjutnya di kelurahan-kelurahan pada hirarki II dan
III. Berdasarkan keseluruhan hasil analisis diatas, maka pengembangan wisata
bahari di Kepulauan Seribu sebaiknya diarahkan terutama pada objek wisata di
kelurahan yang masuk ke dalam hirarki I dari hasil analisis skalogram, yaitu
Kelurahan Pulau Untung Jawa dan Kelurahan Pulau Panggang, namun perlakuan
program pengembangan sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan zonasi
dari kedua kelurahan tersebut. Pengembangan wisata untuk Kelurahan Pulau
Panggang harus berbeda dengan pengembangan wisata untuk Kelurahan Pulau
Untung Jawa, karena Kelurahan Pulau Panggang termasuk kedalam kawasan
TNLKpS, sehingga jenis wisata bahari yang dikembangkan di Kelurahan Pulau
Penggang harus berupa ekowisata. Adapun strategi utama mencapai hal tersebut
berdasarkan hasil A’WOT yaitu melalui upaya : (1) memperkuat koordinasi antar
sektor, pengambil kebijakan, dan masyarakat; (2) zonasi harus ditetapkan secara
terintegrasi antara darat dan lautnya; (3) membatasi jumlah wisatawan sesuai
dengan daya dukung dan daya tampung serta meningkatkan kualitas pelayanan,
tidak hanya mengikuti jumlah permintaan; dan (4) membuat zonasi wisata yang
didasarkan atas jenis wisata

Kata kunci: aktivitas wisata, pesisir, pulau-pulau kecil, strategi pengembangan.


SUMMARY

WIDIA NUR ULFAH. Direction and Strategy for Marine Tourism Area
Development in Kepulauan Seribu Administrative Regency. Supervised by
BOEDI TJAHJONO and FREDINAN YULIANDA.

Coastal region and small islands in Kepulauan Seribu have become favorite
marine tourism destination over the last decade. The escalating tourism visit could
eventually become threat to coastal environment in Kepulauan Seribu unless
administered under proper management. One of major issues concerning region in
Kepulauan Seribu is lack of integration in the marine tourism management
undertaken by multiple parties namely central government, regional government,
private sector and local community. Therefore it is necessary to elaborate a set of
strategy which will not only accommodate interests of relevant stakeholders but
also maintain coastal environment conservation.
Objectives of this study were (1) to map existing land cover/use in
Kepulauan Seribu Administrative Regency in 2014; (2) to analyze consistency of
land utilization compared to both Detailed Spatial Planning Document (RDTR)
map of Kepulauan Seribu Administrative Regency and Kepulauan Seribu National
Park (TNLKpS) zoning; (3) to classify regional hierarchy of Kepulauan Seribu
according to infrastructure comprehensiveness; and (4) to devise direction and
strategy for marine tourism management in Kepulauan Seribu Administrative
Regency. Data were analyzed using image data classification, overlay, descriptive
analysis, Scalogram analysis, and A’WOT analysis. Image data classification was
performed to produce existing land cover through supervised classification
technique on Landsat 8 image data. Prior to that, image transformation for water
region was conducted using Lyzenga model and for island’s land region using
image classification by visual interpretation. The existing land cover was then
overlayed with RDTR of Kepulauan Seribu Administrative Regency and
TNLKpS zoning to produce management consistency map. Scalogram analysis
was employed to answer the third objective of this study in which the data used
was village potency data (PODES). This would generate regional hierarchy in the
site of study based on facility and infrastructure. A’WOT analysis performed
using stakeholder perception data which was then processed and fitted with the
result from entire analysis to generate direction and strategy for marine tourism
development in the site of study.
The study discovered that there were eight classes of land cover consisted of
building, dock, helipad, road, pool, terrain, vegetation and beach sand, while for
the shallow seabed cover comprising five classes i.e. sand, reef and sand flat,
seagrass, lagoon and coral reef. Total of island cover derived from image
interpretation was 11.04 km2 whereas according to local government regulation it
was 8.7 km2, in other word there was an increase of island area up to 2.34 km2.
Such increase existed because of reclamation activity (mainly at settlement island)
whose policy was implemented according to an objective of Kepulauan Seribu
spatial planning i.e. to develop and to plan settlement area and govermental area
through environmentally sounded reclamation program and the supporting
facilities in settlement island. Many settlement island areas which were designated
as tourism destination had been densely covered with housing, it might be the
effect of the rise in tourism visit to the island. Newly built houses were
established as homestay to accommodate staying tourists. The rise of tourist
number has brought positive impact in economical facet but in the other hand has
led environmental deterioration and subsequently reduced convenience level and
carrying capacity of the area. Result of consistency analysis showed there were
inconsistencies between allotment area and the planning document, for example in
the northern part of Bira Besar Island in which the island classified as the sub
zone of trade and service in the island area as indicated in RDTR and the 2014
Zoning Regulation, in fact its northern part belonged into Core Zone III of
TNLKpS. Other than Bira Besar Island, inconsistency appeared also in Sebaru
Besar Island. This island was planned to be a tourism development area, yet in the
zoning determination it was included in the sub zone of inclusive green farming in
island area. Scalogram analysis showed that there were 2 (two) villages in each of
3 hierarchies i.e. hierarchy I (Untung Jawa Island Village and Panggang Island
Village), hierarchy II (Harapan Island Village and Pari Island Village), and
hierarchy III (Tidung Island Village and Kelapa Island Village). The highest
tourist number in 2013 on each district was found in the villages classified in
Hierarchy I. Consecutively the second was in the villages in Hierarchy II and
followed by Hierarchy III. In conclusion of aforementioned analysis, marine
tourism development in Kepulauan Seribu thus is suggested to be mainly
prioritized to tourism spots in the village in Hierarcy I of Scalogram analysis i.e.
Untung Jawa Island Village and Panggang Island Village. However, the
implementation of development program should always consider the zoning status
of both villages. Development pattern of tourism in Panggang Island Village
should be performed in different manner of that in Untung Jawa Island Village
because Panggang Island Village is part of TNLKpS area, therefore the type of
marine tourism developed in Panggang Island Village is suggested to be in
ecotourism package. While the main strategies to pursue above goals based on
A’WOT analysis result are through: (1) strengthening inter-sector coordination
between the policy maker and local community; (2) enacting land and water
zoning in integrated manner; (3) controlling tourist number corresponds to
carrying capacity and spatial capacity along with continuous service improvement,
rather than entirely following demand; (4) defining tourism zoning based on the
type of tourism.

Keywords: coastal, development strategy, small islands, tourism activity.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ARAHAN DAN STRATEGI
PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI
DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

WIDIA NUR ULFAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Setia Hadi, MS.
Judul Tesis : Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Bahari di
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Nama : Widia Nur Ulfah
NIM : A156130324

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Boedi Tjahjono, MSc. Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc.


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.

Tanggal Ujian: 26 Maret 2015 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang disusun ini
berjudul “Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Bahari di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu”.
Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Bapak Dr Boedi Tjahjono, MSc. dan Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc. selaku
pembimbing atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama ini.
2. Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
masukan bagi penyempurnaan tesis ini
3. Bapak Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah atas masukannya demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
4. Kepala Pusbindiklatren BAPPENAS yang telah memberikan kesempatan dan dana
studi kepada penulis untuk menjalani studi.
5. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kepala Balai Besar
Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) yang telah memberikan ijin kepada
penulis untuk melanjutkan studi.
6. Kepala Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu beserta staf, Dinas Kelautan
dan Pertanian Prov. DKI, Dinas Tata Kota DKI Jakarta, Suku Dinas Kelautan
Perikanan, Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Adm. Kep. Seribu beserta
staf dan pihak-pihak lain yang telah meluangkan waktunya dan membantu penulis
selama pengumpulan data.
7. Suami, orang tua, adik-adik dan seluruh keluarga atas pengertian, do’a, dan kasih
sayangnya.
8. Rekan-rekan PWL 2013 dan rekan-rekan di TNTC atas persahabatan, dukungan,
dan semangatnya selama ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan, karena itu saran
dan masukan untuk tesis ini sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

Widia Nur Ulfah


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 4
Pengembangan Ekowisata Bahari 6
Pengembangan Wilayah dan Perencanaan Wisata 9
3 METODE PENELITIAN 11
Lokasi dan Waktu Penelitian 11
Bahan dan Alat 11
Jenis dan Metode Pengumpulan Data 11
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 18
Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 18
Kondisi Demografi, Sosial Budaya dan Ekonomi 19
Kondisi Potensi Bahari Kepulauan Seribu 21
Kondisi Wisata di Kepulauan Seribu 22
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu 24
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 27
Penutupan/Penggunaan Lahan dan Perairan Tahun 2014 27
Konsistensi Pemanfaatan Lahan 36
Hirarki Wilayah Berdasarkan Kelengkapan Sarana Prasarana 40
Arahan dan Strategi Pengembangan Wisata Bahari 44
6 SIMPULAN DAN SARAN 50
Simpulan 50
Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 52
LAMPIRAN 56
RIWAYAT HIDUP 59
DAFTAR TABEL
1. Kriteria stakeholder, instansi, dan jumlah responden 12
2. Tujuan penelitian, jenis, sumber/cara pengumpulan, metode analisis dan
keluaran 14
3. Pembobotan grup faktor SWOT 16
4. Matriks strategi hasil analisis SWOT 17
5. Urutan strategi SWOT 17
6. Indeks pembangunan manusia tahun 2006 – 2012 20
7. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha
tahun 2012 20
8. Jumlah pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sesuai dengan
peruntukannya 23
9. Nama pulau resort di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 23
10. Nama pulau dan potensi wisata di Kepulauan Seribu 24
11. Pembagian luas wilayah kerja SPTN Wilayah lingkup BTNLKpS 25
12. Luas tutupan lahan dan dasar perairan dangkal hasil analisis dan luasan
menurut SK Gubernur DKI Jakarta nomor 1986 tahun 2000 27
13. Estimasi daya dukung wisata dan jumlah wisatawan tahun 2013 37
14. Hasil analisis hirarki pengembangan wilayah kelurahan 41
15. Pengaruh sektor/lapangan usaha terhadap nilai PDRB 43
16. Faktor-faktor internal dan eksternal 44
17. Bobot masing-masing faktor SWOT 45
18. Hasil analisis matriks SWOT 47
19. Urutan strategi pengembangan wisata bahari 48

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran penelitian 4
2. Struktur hirarki matriks A’WOT 16
3. Diagram alir kegiatan penelitian 18
4. Peta indikasi kerawanan gangguan di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu 26
5. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (a) 28
6. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (b) 29
7. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (c) 30
8. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (d) 31
9. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (e) 32
10. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (f) 33
11. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (g) 34
12. Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (h) 35
13. Lahan reklamasi yang digunakan untuk kegiatan wisata 36
14. Peta konsistensi pengelolaan di Sekitar Pulau Sebaru Besar dan Bira Besar 39
15. Peta hirarki wilayah 42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Variabel-Variabel yang digunakan dalam Analisis Skalogram 56
2. Contoh Perhitungan A’WOT 57
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian merupakan


proses yang harus ada dan tidak dapat dipisahkan dalam setiap pengelolaan
wilayah. Seperti halnya pengelolaan kawasan daratan, pengelolaan kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil juga harus dilakukan melalui seluruh proses-proses
tersebut. Keunikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdiri dari
wilayah daratan dan perairan menyebabkan pengelolaan kawasan ini tidak bisa
dilakukan secara terpisah, melainkan harus sinergis antara pengelolaan pulau kecil
sebagai unsur daratan dan laut sebagai unsur perairan. Selain kondisi fisik
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, kondisi masyarakat, aksesibilitas,
infrastruktur dan lainnya juga memerlukan pengelolaan yang baik dan efisien.
Adrianto (2004) menyatakan bahwa pendekatan keberlanjutan dalam pengelolaan
sistem wilayah pesisir di pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan keterpaduan
antar komponen yang tidak dapat dipisahkan.
Salah satu potensi terbesar kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah
wisata bahari dimana daya tarik utamanya adalah keindahan alam kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil itu sendiri. Pengembangan wisata bahari seyogyanya
berpedoman pada program pembangunan yang tentunya telah mempertimbangkan
kondisi kemampuan dan kesesuaian kawasan tersebut.
Kepulauan Seribu merupakan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang
secara administrasi masuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,
Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Wilayah kabupaten ini terbagi
menjadi dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kebijakan pengaturan pola ruang darat dan
perairan pesisir Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu telah dituangkan
dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun
2014 tentang Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi yang
terdiri atas sembilan zona, yaitu zona terbuka hijau budidaya di wilayah pulau,
zona pemerintah daerah, zona perumahan di wilayah pulau, zona perkantoran,
perdagangan dan jasa di wilayah pulau, zona pelayanan umum dan sosial, zona
pertambangan di wilayah pulau, zona konservasi perairan dan pesisir, zona
pemanfaatan umum perairan, dan zona terbuka hijau lindung. Sebagian besar
wilayah perairan dan sebagian kecil pulau di Kepulauan Seribu Utara adalah
wilayah yang masuk ke dalam kawasan konservasi yang dikelola oleh Balai
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS). Berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen
Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang Zonasi
Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, kawasan TNLKpS tersebut
dibagi atas 4 (empat) zona, yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona
Pemanfaatan Wisata, dan Zona Pemukiman (BTNLKpS 2011a).
Perpaduan antara keindahan alam Kepulauan Seribu dan lokasinya yang
tidak terlalu jauh dari Ibu Kota Jakarta menjadikan wilayah ini ramai dikunjungi
wisatawan. Data kunjungan wisata dari tahun 2009 hingga 2013 memperlihatkan
adanya jumlah wisatawan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun (BPS
2

Kep. Seribu 2014a). Saat ini beberapa pulau telah dikembangkan menjadi resort-
resort wisata yang dikelola oleh pihak swasta. Infrastruktur seperti dermaga,
anjungan pengunjung, restoran dan pondok-pondok inap pun telah dibangun.
Gejala usaha pariwisata yang saat ini cukup berkembang adalah wisata di pulau-
pulau permukiman dimana pengelolaan wisata di wilayah ini juga dilakukan oleh
masyarakat setempat.
Fenomena pesatnya peningkatan aktivitas wisata ke Kepulauan Seribu
dewasa ini sesungguhnya cukup mengkhawatirkan jika dilihat dari sisi lain yaitu
dari kelestarian alam. Aktivitas wisata yang tidak mengindahkan kelestarian alam
akan mempengaruhi keberlanjutan wisata itu sendiri, hal ini dikarenakan
keindahan alam di wilayah Kepulauan Seribu merupakan daya tarik utama bagi
wisata bahari itu sendiri. Lebih jauh lagi sebagian besar wilayah perairan dan
sebagian kecil pulau di Kepulauan Seribu Utara merupakan bagian dari kawasan
Taman Nasional, sehingga aktivitas wisata yang ada di kawasan tersebut harus
memperhatikan benar kaidah konservasi, agar tujuan wisata dan konservasi dapat
berjalan dengan baik sesuai dengan fungsinya dan saling mendukung antara
kepentingan yang satu dengan yang lainnya.

Perumusan Masalah

Pengelolaan kegiatan wisata bahari di Kepulauan Seribu dilakukan oleh


banyak pihak antara lain oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta
maupun masyarakat. Oleh karena itu sistem pengelolaan yang dibangun di
wilayah ini harus mampu memberikan sinergi antara pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya. Sinergitas pengelolaan yang dilakukan juga harus mengutamakan
kelestarian sumberdaya yang ada karena modal utama dalam kegiatan wisata
bahari adalah keindahan dan keaslian alamnya (Dahuri et al. 2004), dengan
demikian perencanaan pengembangan wisata bahari harus dilakukan secara
menyeluruh.
Pelaksanaan wisata yang berjalan di Kepulauan Seribu hingga saat ini
tampaknya belum mempunyai pola pengembangan yang terpadu ke depan. Hal ini
dapat dilihat salah satunya dari ketidakpaduan antara program perencanaan di
darat (pulau) dengan perairan yang mengelilinginya (khususnya yang masuk di
wilayah TNLKpS). Program tersebut antara lain adalah berupa reklamasi wilayah
daratan (pulau) yang menyentuh perairan, padahal wilayah perairan tersebut
termasuk ke dalam wilayah yang harus dilindungi. Dalam prakteknya, wilayah
perairan di dalam maupun di luar kawasan TNLKpS juga seakan tidak dibedakan
dalam pemanfaatannya.
Pola pengembangan yang dibangun di kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil seperti ini seyogyanya tetap mengacu pada kaidah keberlanjutan, baik dari
aspek ekologi maupun ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat tanpa merusak lingkungan. Penetapan sebagian wilayah Kepulauan
Seribu sebagai kawasan Taman Nasional adalah sebagai salah satu upaya untuk
menjaga kelestarian sumberdaya pesisir, oleh karena itu upaya ini perlu
mendapatkan dukungan dari masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan.
Pembagian kawasan Kepulauan Seribu menjadi beberapa zona, baik itu daratan
pulaunya maupun wilayah perairannya seharusnya menjadi acuan bagi
3

pengembangan kawasan ini, namun pada kenyataannya pembagian zona tersebut


tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan baik.
Padatnya bangunan dan penduduk di beberapa pulau, khususnya pulau
permukiman secara terus menerus dapat menyebabkan ketidaknyamanan. Pulau
permukiman yang juga dimanfaatkan untuk kegiatan wisata sebaiknya dijaga
kenyamanannya karena bagaimanapun hal tersebut menjadi daya tarik wisatawan
untuk datang. Pemanfaatan ruang yang berlebihan juga dikhawatirkan
menyebabkan degradasi alam yang menjadi daya tarik wisata bahari. Oleh karena
itu, untuk wilayah ini perlu disusun suatu strategi pengelolaan wisata bahari yang
mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak di atas dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan pesisir di Kepulauan Seribu. Kawasan konservasi laut
dengan penegakan hukum yang lemah dapat berdampak buruk terhadap
sumberdaya alam, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat (McClanahan
et al. 2006).

Tujuan Penelitian

Terkait dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian


adalah sebagai berikut :
1. Pemetaan penutupan/penggunaan lahan eksisting di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2014.
2. Menganalisis konsistensi pemanfaatan lahan dengan Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
3. Mengetahui hirarki wilayah Kepulauan Seribu dilihat dari kelengkapan
sarana dan prasarana.
4. Menyusun arahan dan strategi pengelolaan pengembangan wisata bahari di
daerah penelitian.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi


pihak terkait dalam rangka pengelolaan kegiatan wisata bahari di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu.

Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan Undang-undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-undang No 1 tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang dimaksud dengan wilayah pesisir
adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan di laut. Adapun potensi wilayah pesisir sangat besar, salah
satunya adalah untuk kegiatan wisata bahari. Pemanfaatan daratan pulau dan
perairannya merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi, sedangkan
pulau-pulau kecil dapat digolongkan sebagai wilayah yang cukup sensitif terhadap
kerusakan bila tidak dikelola dengan baik, sehingga diperlukan suatu perencanaan
wilayah yang baik dan berkelanjutan untuk menjaga kelestariannya.
Indikasi terlaksananya perencanaan wilayah pulau-pulau kecil yang telah
ditetapkan dapat diketahui salah satunya melalui analisis konsistensi antara
4

penggunaan eksisting dari lahan dan perairan dengan peta RDTR Kabupaten
Kepulauan Seribu dan zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Analisis
ini dimaksudkan untuk mengetahui secara spasial sejauh mana implementasi
perencanaan dengan pemanfaatan yang ada selama ini, apakah sudah dilaksanakan
dengan baik atau sebaliknya. Selain itu, analisis mengenai hierarki wilayah juga
diperlukan karena informasinya dapat digunakan untuk dasar pengembangan
wisata ke depan terutama dalam aspek infrastruktur. Hal ini patut menjadi
pertimbangan karena fasilitas wisata adalah salah satu daya tarik wisatawan untuk
datang ke lokasi wisata.
Keterpaduan antar pengelola dan pemangku kebijakan di Kepulauan Seribu
sangatlah diperlukan untuk pengembangan wilayah, khususnya pada sektor wisata
bahari, sedangkan informasi kondisi, potensi, peranan, serta keterkaitan wisata bahari
akan dapat memberikan gambaran perkembangan wisata bahari aktual dan potensial.
Informasi antara gambaran wisata bahari yang disintesiskan dengan persepsi
stakeholder dan kebijakan pemerintah akan menghasilkan arahan pembangunan dan
pengembangan wisata bahari untuk wilayah Kepulauan Seribu.
Ujung dari semua analisis di atas akan dapat digunakan untuk membangun
arahan pengelolaan dan pengembangan pesisir secara sinergis di Kepulauan
Seribu sebagai daerah tujuan wisata bahari. Kerangka penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.

Kondisi eksisting Sistem pengelolaan Informasi pusat


spasial wisata bahari aktual pelayanan wisata

Persepsi Wisata bahari di Kepulauan Seribu


stakeholders

Arahan dan strategi pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pengelolaan berarti kegiatan yang terdiri dari perencanaan pengorganisasian,


pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Menurut Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan
Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa
pengertian pulau kecil adalah pulau yang mempunyai ukuran luas kurang dari
10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa, sedangkan
menurut Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau Terluar,
Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
5

Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-undang No 1 tahun 2014 tentang Perubahan


Atas Undang-undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, definisi pulau kecil mempunyai dimensi ukuran yang berbeda,
yaitu pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
Pengertian pengelolaan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pulau-
pulau kecil, secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi,sosial
budaya, baik secara individual maupun bersama dan secara sinergis dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan
pengelolaan, maka banyak faktor yang harus diperhatikan, seperti: pulau kecil
secara fisik memiliki sumberdaya daratan (terestrial) yang sangat terbatas,
habitatnya seringkali terisolasi dari habitat lain, area tangkapan air terbatas dan
mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi
bila dibandingkan dengan pulau kontinen, secara ekologi memiliki kondisi yang
sangat rentan, sehingga interaksi antara lahan dan perairan laut melalui proses
hidrologis dan arus laut sebagaimana pergerakan biotanya, mempunyai
karakteristik yang spesifik (Salm et al. 2000).
Menurut Adrianto (2004), dalam perspektif ekosistem wilayah pesisir,
wilayah pulau-pulau kecil dapat dibagi menjadi beberapa sub-wilayah yaitu : (1)
wilayah perairan lepas pantai (coastal offshore zone); wilayah pantai (beach
zone); (3) wilayah dataran rendah pesisir (coastal lowland zone); dan (4) wilayah
pesisir pedalaman (inland zone). Selanjutnya dalam hubungannya dengan
keterpaduan maka pendekatan berbasis keberlanjutan sistem wilayah pesisir di
pulau-pulau kecil menjadi syarat mutlak. Pengelolaan lingkungan wilayah pesisir
di pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan faktor keterpaduan antar
komponen dan tidak dapat dipisahkan antara komponen yang satu dengan yang
lainnya. Dengan demikian keberlanjutan pembangunan melalui pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan dapat dicapai.
Kaitan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, menurut
peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 20 tahun 2008 tentang
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya disebutkan bahwa pulau
dengan luas areanya ≤ 2.000 km2 kegiatan yang sesuai mencakup konservasi
sumberdaya alam, budidaya laut, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan
berkelanjutan, pendidikan dan penelitian, dan sebagainya. Cambers (1992) dalam
Adrianto (2004) menyatakan bahwa strategi pengelolaan pulau-pulau kecil harus
dapat mengkaitkan seluruh kegiatan dan pemangku kepentingan yang ada di
pulau-pulau kecil dengan sistem yang terkoordinasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa
sistem terkoordinasi yang dapat diidentifikasi di pulau-pulau kecil paling tidak
terdapat lima proses, yaitu proses alam, proses sosial, proses ekonomi, proses
perubahan iklim, dan proses pertemuan antara daratan dan laut yang masing-
masing merupakan komponen dalam sistem pulau-pulau kecil yang tidak bisa
dipisahkan antara sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut, dan sistem
aktivitas. Jika pengelolaan pembangunan pada kawasan pesisir tidak terencana
dengan baik, maka dapat mengakibatkan dampak yang besar.
Yulianda et al. (2010) menyatakan bahwa dalam pengelolaan Kawasan
Pesisir dan Laut sangat diperlukan suatu sistem zonasi yang berfungsi sebagai
penentu batas kawasan sekaligus sebagai penentu stratus kawasan tersebut. Sistem
zonasi ini bermanfaat dalam pengelolaan sebagai berikut:
6

1. Zonasi memungkinkan kontrol secara selektif terhadap berbagai


aktivitas di tempat-tempat yang berbeda, termasuk perlindungan secara
ketat dan berbagai tingkat pemanfaatan.
2. Zonasi dapat menentukan zona inti konservasi (terdapat
keanekaragaman yang sangat tinggi, habitat kritis spesies yang terancam,
dan area penelitian khusus) sebagai area perlindungan sehingga
pemanfaatan yang dapat merusak tidak diijinkan.
3. Zonasi dapat digunakan untuk memisahkan kegiatan-kegiatan rekreasi
yang tidak sesuai sehingga dapat menambah kenyamanan dan keamanan
dari berbagai tujuan yang berbeda.
4. Zonasi memungkinkan area yang rusak untuk dipisahkan kemudian
dipulihkan.

Berdasarkan zonasi tersebut maka penetapan zona rekreasi akan berfungsi


sebagai pembatas wilayah rekreasi bagi wisatawan dan dapat menentukan pintu
akses masuk/keluar wisatawan (pelabuhan/dermaga). Dengan demikian wisatawan
dapat menikmati lokasi wisata dengan optimal dan memusatkan kegiatan mereka
di daerah tersebut tanpa menggangu zona peruntukan lain (Wallace 1993).

Pengembangan Ekowisata Bahari

Wisata berkelanjutan merupakan wisata yang meminimalisir dampak negatif


terhadap alam, memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal, serta
memberikan pendidikan konservasi bagi wisatawan. Oleh karena itu, jika jumlah
wisatawan yang berkunjung melebihi kapasitas daya dukung, maka akan
berpotensi merusak kelestarian alam yang menjadi daya tarik wisata itu sendiri.
Kondisi alam yang menurun ini berpotensi menurunkan pemasukan daerah. Pada
umumnya wisatawan tertarik pada kondisi alam yang relatif terjaga. Jumlah
wisatawan yang meningkat mampu menambah pemasukan, jika pengelolaannya
baik maka pemasukan tersebut bisa diarahkan untuk biaya perbaikan lingkungan.
Fennel dan Eagles (1990) dalam Baksir (2010) menyarankan enam prinsip
penting yang harus dipenuhi oleh pengunjung dalam penyelenggaraan ekowisata,
yakni : 1) semaksimal mungkin berusaha meniadakan dampak negatif dari
kehadiran mereka terhadap lingkungan destinasi wisata dan penduduk lokal; 2)
melakukan perjalanan wisata ini dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran
dan pemahaman terhadap alam dan keunikan lokal; 3) ikut membantu
memaksimalkan partisipasi awal dan jangka panjang dari masyarakat lokal, dalam
proses pembuatan keputusan yang menyangkut penyelenggaraan ekowisata; 4)
selayaknya, pengunjung memberikan kontribusi terhadap usaha-usaha konservasi
daerah yang dilindungi; 5) memberikan keuntungan ekonomi dibandingkan
sekadar mengalihkan masyarakat setempat dari pekerjaan tradisional mereka; 6)
membuka peluang bagi mahasiswa, masyarakat lokal, dan pekerja wisata, untuk
memanfaatkan keindahan sumberdaya alam.
Konsep wisata di wilayah pesisir yang berkelanjutan merupakan bagian dari
konsep pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan yang dalam pelaksanaannya
berkaitan erat dengan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu antar
pihak yang berperan dalam wilayah pesisir tersebut (Bengen 2000). Berdasarkan
konsep-konsep di atas, dapat diketahui bahwa untuk mencapai suatu konsep
7

wisata yang berkelanjutan, dibutuhkan usaha untuk mencapai visi pembangunan


berkelanjutan. Konsep ini membutuhkan komitmen dari banyak pihak dalam
upaya meningkatkan dan mempertahankan subsektor wisata dan sebagai bagian
dari strategi penerimaan devisa.
The International Ecotourism Society (TIES) (2000) dalam Damanik dan
Weber (2006) mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan wisata alam yang
bertanggung jawab dengan cara melestarikan lingkungan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal. Dari definisi ini ekowisata dapat dilihat dari tiga
perspektif yakni (1) sebagai produk, yaitu semua atraksi yang berbasis
sumberdaya alam (2) sebagai pasar, yaitu perjalanan yang diarahkan pada upaya-
upaya pelestarian lingkungan, dan (3) sebagai pendekatan pengembangan, yaitu
sebagai metode pemanfaatan dan pengelolaan pariwisata secara ramah lingkungan.
Ekowisata meminimalkan dampak negatif terhadap mutu dan kualitas
keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh kegiatan wisata yang bersifat
massal. From (2004) dalam Damanik dan Weber (2006) menyusun tiga konsep
dasar ekowisata, yaitu :
1) Perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan.
2) Mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan
dikelola masyarakat kawasan wisata itu.
3) Menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan penghargaan terhadap
budaya lokal.
Prinsip ekowisata menurut TIES (2000) dalam Damanik dan Weber (2006)
adalah :
a) Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran
lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.
b) Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di
destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun
pelaku wisata lainnya.
c) Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun
masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan
kerjasama dalam pemeliharaan atau konservasi objek dan daya tarik
wisata.
d) Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan
konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.
e) Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat
lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai
lokal.
f) Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di
daerah tujuan wisata.
g) Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti
memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk
menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak asasi, serta tunduk pada
aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam pelaksanaan
transaksi-transaksi wisata.
8

Ekowisata mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan wisata masal


antara lain (Damanik dan Weber 2006) :
1) Aktivitas wisata berkaitan dengan konservasi lingkungan, meski
motifnya bukan untuk melestarikan lingkungan namun ada keinginan
tersebut saat melakukan kegiatan wisata.
2) Penyedia jasa wisata selain menyiapkan atraksi untuk menarik tamu juga
menawarkan peluang untuk lebih menghargai lingkungan, sehingga
keunikan objek dan daya tarik wisata dan lingkungannya tetap terpelihara
dan masyarakat lokal serta wisatawan berikutnya dapat menikmati
keunikan tersebut. Selain itu penyedia jasa wisata perlu menyediakan
kegiatan-kegiatan produktif yang langgeng agar masyarakat lokal dapat
menikmati hidup yang lebih baik secara berkelanjutan.
3) Kegiatan wisatanya berbasis alam, sehingga aset alam yang masih asli
dan terjaga menawarkan nilai tertinggi dalam kepuasan berwisata.
4) Penyedia jasa perjalanan menunjukkan tanggung jawab finansial dalam
pelestarian lingkungan yang dinikmati dan dikunjungi wisatawan, dan
wisatawan juga melakukan kegiatan yang terkait dengan konservasi.
Kegiatan wisata selain bertujuan menikmati keindahan, secara spesifik
juga mengumpulkan dana yang akan digunakan bagi pelestarian objek
wisata. Dalam hal ini terbentuk hubungan erat antara masyarakat lokal,
pelaku konservasi dan ilmuwan, serta ekowistawan melalui situasi belajar
dan pengalaman bersama.
5) Perjalanan wisata menggunakan alat transportasi dan akomodasi lokal.
6) Pendapatan dari pariwisata, selain untuk mendukung kegiatan konservasi
lokal juga dipakai untuk membantu pengembangan masyarakat setempat
secara berkelanjutan, misalnya dengan membentuk program-program
pendidikan lingkungan.
7) Perjalanan wisata menggunakan teknologi sederhana yang tersedia di
daerah tujuan wisata, terutama yang menghemat energi, menggunakan
sunberdaya lokal dan melibatkan masyarakat lokal dalam pembuatannya.
8) Kegiatan wisata berskala kecil, baik dalam arti jumlah wisatawan
maupun usaha jasa yang dikelola. Walaupun dengan cara itu
keuntungannya cenderung mengecil. Misalnya penyediaan akomodasi
dengan kapasitas maksimum 20 kamar, meskipun dari sisi luar kawasan
wisata memungkinkan penyediaaan kamar lebih dari jumlah itu.
Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan kepuasan berwisata dengan
daya dukung lingkungan (alam dan sosial budaya) serta besaran
keuntungan yang akan dinikmati oleh masyarakat lokal.

Ekowisata sesungguhnya merupakan suatu perpaduan dari berbagai


kepedulian yang tumbuh berdasarkan keprihatinan lingkungan, ekonomi dan
sosial. Akar dari ekowisata terletak pada pariwisata alam dan ruang terbuka. Jadi
dengan kata lain ekowisata menggabungkan suatu komitmen yang kuat antara
kelestarian alam dan suatu rasa tanggung jawab sosial. Dalam hubungannya
dengan ekowisata di pulau-pulau kecil, seperti telah dijelaskan di atas, wilayah
pulau-pulau kecil dikelilingi oleh wilayah laut yang lebih luas dari daratannya,
sehingga pengembangan ekowisata lebih mengarah kepada wisata bahari. Jika
9

wisata bahari merupakan wisata yang lebih banyak dikembangkan di wilayah


pulau-pulau kecil.
Secara umum perkembangan pariwisata memberikan pendapatan devisa
bagi negara yang cukup besar terutama kontribusinya terhadap perkembangan
wisata bahari di tanah air. Dalam kasus-kasus tertentu dapat saja terjadi
pendapatan masyarakat meningkat karena meningkatnya jumlah wisatawan,
namun jika orang lupa untuk memperhatikan aspek lingkungan, maka hasilnya
dapat merusak sumberdaya yang ada. Kegiatan ekowisata yang dilakukan pada
beberapa lokasi terbukti telah menambah pendapatan masyarakat dan dalam
kegiatan ini masyarakat dilibatkan langsung dalam kegiatan menjaga kelestarian
sumberdaya hayati (Yuanike 2003). Dengan demikian manfaat ekowisata bernilai
positif, sehingga pelaksanaan ekowisata harus dilakukan dengan memelihara
keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat istiadat,
kebiasaan hidup, menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna,
serta terpeliharanya lingkungan hidup. Dengan cara ini maka tercipta suatu
keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya, sehingga
wisatawan yang datang tidak semata-mata untuk menikmati alam sekitar tetapi
juga mempelajari gejala alam untuk meningkatkan pengetahuan atau pengalaman.

Pengembangan Wilayah dan Perencanaan Wisata

Pembangunan adalah kegiatan yang dilakukan secara terencana untuk


mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai proses yang
bersifat terpadu, pembangunan dilaksanakan berdasarkan potensi lokal yang
dimiliki, baik potensi sumber daya alam, manusia, buatan, maupun sumber daya
sosial. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan
untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah
bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Tujuan akhir
pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bagi. Menurut Rustiadi et al.
(2011), untuk menilai pembangunan suatu wilayah dapat digunakan beberapa
indikator sebagai berikut:
a. Indikator berbasis tujuan pembangunan: (1) produktivitas, efisiensi dan
pertumbuhan (growth); (2) pemerataan, keadilan dan keberimbangan (equity);
dan (3) keberlanjutan (sustainability).
b. Indikator pembangunan berdasarkan “kapasitas sumber daya pembangunan”,
yaitu cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan
berbagai ukuran operasional berdasarkan pemanfaatan dan kondisi sumber
daya yang meliputi sumber daya alam, manusia, buatan, dan sumber daya
sosial.
c. Indikator pembangunan berbasis proses, merupakan suatu cara mengukur
kinerja pembangunan dengan mengedepankan proses pembangunan itu
sendiri dengan melihat input, proses atau implementasi, output, outcome,
benefit, dan impact.

Menurut Rustiadi et al. (2011), pembangunan regional yang berimbang


merupakan pembangunan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk
meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka, yaitu adanya
pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu
10

wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Manfaat dari pertumbuhan ekonomi secara


keseluruhan merupakan hasil interaksi yang saling memperkuat di antara sesama
wilayah yang terlibat, sehingga dapat mengurangi ketimpangan pembangunan
antar wilayah (disparitas pembangunan regional).
Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral,
spasial, serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah.
Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar
sektor pembangunan, sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan
sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan
sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output
industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti
terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis
(Rustiadi et al. 2011).
Hal penting yang pertama perlu dilakukan dalam penataan ruang dan
pengembangan wilayah adalah memetakan struktur ruang yang mencakup
keterkaitan antar hirarki wilayah, serta alokasi infrastruktur dan jaringan.
Keterkaitan antar hirarki wilayah menjadi penting untuk dapat menentukan
wilayah-wilayah mana saja yang dapat menjadi pusat pelayanan dan wilayah-
wilayah mana saja yang akan menjadi hinterland yang akan melayani pusat-pusat.
Penempatan infrastruktur sesuai dengan hirarki wilayah diperlukan agar
pembangunan infrastruktur menjadi efisien (Widiatmaka 2013).
Selain itu, skala prioritas sangat diperlukan dalam suatu perencanaan
pembangunan karena adanya keterbatasan sumber daya yang tersedia (Rustiadi et
al. 2011). Dalam dimensi pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas
pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak
langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan
tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain); (2) setiap sektor memiliki
keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda;
dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa
sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran
sumber daya.
Menurut Sitorus (2004), berdasarkan kaitannya dengan perencanaan wilayah,
penentuan suatu lokasi rekreasi harus didasarkan pada hasil evaluasi kesesuaian
lahan. Evaluasi terhadap pengembangan sarana wisata untuk rekreasi perlu
disesuaikan dengan pilihan jenis-jenis rekreasi yang diperlukan untuk kawasan
wisata tersebut dan klasifikasi kesesuaian lahan untuk daerah rekreasi ditentukan
berdasarkan besarnya faktor penghambat. (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).
Pada dasarnya rencana pengembangan wilayah untuk kegiatan wisata
merupakan gabungan antara konsep pemilik wilayah dan perencana. Namun
perencanaan tersebut tidaklah terlepas dari berbagai faktor eksternal yang saling
berkaitan, sebagai contoh perlunya mempertimbangkan rencana pengembangan
fasilitas transportasi dan akomodasi di samping perencanaan lokasi wisata itu
sendiri. Akomodasi dan akses transportasi harus disertakan ke dalam perencanaan
wisata dengan mempertimbangkan daya dukung dan segmen pasar wisatanya
(Gunn 1994).
11

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,


Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang terbagi menjadi dua
kecamatan, dan terdiri dari enam kelurahan. Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu terletak pada 5°10’0’’ – 5°57’00’’ LS dan 106°19’30’’ – 106°44’50’’ BT.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2014.

Bahan dan Alat

Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat 8,
citra Ikonos 2010, citra dari GoogleEarth, peta zonasi TNLKpS, potensi desa
(PODES) tahun 2011, hasil kuesioner, dokumen termasuk peta Rencana Detil
Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi Provinsi DKI Jakarta tahun 2014, data
jumlah kunjungan wisata, laporan, dan dokumen-dokumen lain yang relevan.
Adapun alat yang digunakan adalah alat tulis, kamera, blanko kuesioner, dan
komputer laptop dengan software ArcGIS 10.1, ER Mapper 6.4, GoogleEarth,
Erdas Imagine 9.2, dan MS Office.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data,


analisis dan sintesis. Secara rinci tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Tahap pengumpulan data mencakup koleksi data sekunder seperti
informasi kondisi biofisik dan ekologis lokasi, data citra, data potensi desa,
dokumen perencanaan, dan permasalahan yang ada.
2. Tahap analisis citra untuk pemetaan penutupan/penggunaan lahan
eksisting.
3. Tahap analisis overlay antara peta-peta penutupan/penggunaan lahan
eksisting dengan perencanaan yang ada.
4. Tahap analisis Skalogram untuk mengetahui hirarki wilayah berdasarkan
sarana dan prasarana yang ada untuk mendukung kegiatan wisata bahari.
5. Penyusunan strategi dan arahan pengelolaan yang menghasilkan
rekomendasi pengelolaan wisata bahari melalui analisis A’WOT.

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan kuesioner kepada
beberapa responden. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan informasi
dari instansi terkait.

Data Primer
Data primer yang dikumpulkan adalah data faktor internal dan eksternal
pada analisis SWOT yang sekaligus analisis AHP (Analytical Hierarchy Process)
yang digunakan untuk mengetahui persepsi responden (analisis A’WOT).
Pengambilan data dilakukan secara langsung kepada stakeholders yang terdiri dari
penduduk lokal, pihak instansi terkait, baik dari Pemerintah Daerah, maupun dari
12

Balai TNLKpS serta masyarakat pengelola wisata. Penentuan responden


stakeholders dilakukan dengan metode purposive sampling. Metode ini dilakukan
atas dasar kebutuhan data yang diperlukan, dimana pihak yang diwawancara
selain mengetahui lokasi penelitian juga paham mengenai pengelolaan di lokasi
penelitian. Responden AHP untuk A’WOT didasarkan pada kriteria
kedudukan/jabatan, masyarakat kawasan dan pakar/akademisi. Adapun jumlah
responden stakeholder yang diambil sebanyak 12 (dua belas) orang (Tabel 1).
Tabel 1 Kriteria stakeholder, instansi, dan jumlah responden
No Kriteria Stakeholders
Asal Institusi, Lembaga, dan Bidang Jumlah
Keahlian Responden
1 Kedudukan/jabatan Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 2
Kab. Adm. Kepulauan Seribu
2 Kedudukan/jabatan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI 1
Jakarta
3 Kedudukan/jabatan Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. 2
Adm. Kepulauan Seribu
4 Kedudukan/jabatan Balai Taman Nasional Laut Kepulauan 3
Seribu
5 Pakar/Akademisi Pakar Wisata Bahari 1
6 Anggota Kelompok Sentra Penyuluh Konservasi Pedesaan 1
Masyarakat (SPKP)
7 Masyarakat Pelaku usaha wisata 2
JUMLAH 12

Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan antara lain mencakup informasi keadaan umum
lokasi, kondisi biofisik dan ekologis kawasan serta data lain berupa citra Landsat
8, citra Ikonos 2010, citra dari GoogleEarth, peta zonasi TNLKpS, potensi desa
(PODES) tahun 2011, dokumen termasuk peta Rencana Detil Tata Ruang (RDTR)
dan Peraturan Zonasi Provinsi DKI Jakarta tahun 2014, data jumlah kunjungan
wisata, laporan, dan dokumen-dokumen lain yang relevan. Secara ringkas seluruh
jenis, sumber, dan teknik pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini
dirangkum pada Tabel 2.
Metode Analisis Data

Pemetaan Penutupan Lahan dan Perairan Laut


Analisis penutupan lahan dan perairan merupakan tahap awal untuk
mengetahui kondisi eksisting wilayah pulau dan perairan Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu. Tahap pertama adalah identifikasi wilayah perairan
menggunakan citra Landsat 8 dengan menampilkan data akuisisi 13 September
2014 pada path 122 dan row 064 serta data akuisisi 20 September 2014 pada path
123 dan row 064 dengan tampilan komposit RGB 564. Adapun informasi jenis
tutupan lahan perairan dilakukan dari transformasi citra menggunakan model
transformasi Lyzenga. Model ini membangun persamaan dengan menggunakan
dua kanal sinar tampak. Proses pengolahan citra untuk tutupan lahan perairan
adalah sebagai berikut (PPJ 2005; Anggraini 2009):
13

1. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik bertujuan memperbaiki sistem proyeksi dan koordinat
dengan cara mengoreksi citra baru yang belum dikoreksi ke citra yang
sudah terkoreksi tahun 2013 pada lokasi yang sama. Koreksi geometrik
dilakukan dengan menggunakan empat titik kontrol medan (Ground
Control Point, GCP).
2. Penggabungan dan pemotongan Data Citra
Kedua scene data citra terkoreksi digabungkan, kemudian dilakukan
pemotongan data citra sesuai dengan batas administrasi Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu.
3. Penajaman Citra
Teknik penajaman citra dapat dilakukan salah satunya dengan algoritma
Lyzenga. Algoritma ini digunakan untuk mendapatkan band baru dengan
menggabungkan dua band tampak yang mampu melakukan penetrasi ke
dalam tubuh air hingga kedalaman tertentu sehingga bermanfaat untuk
mengidentifikasi objek-objek yang ada di dasar perairan. Software yang
digunakan adalah Er Mapper 6.4. Rumus Algoritma Lyzenga dalam
Kartika et al. (2011) adalah sebagai berikut :

ki
ln 1 ln 2
kj

Dimana :
Y = band baru
ki = koefisien atenuasi air pada panjang gelombang ke-i (X1)
kj = koefisien atenuasi air pada panjang gelombang ke-j (X2)

Nilai ki dan kj diperoleh melalui pendekatan berdasarkan iterasi dengan


citra pada layar komputer. Iterasi dilakukan pada citra dengan kombinasi
band 532 dengan membuat digitasi training area pada objek berwarna
cyan. Kemudian ki /kj dihitung dengan rumus :
ki
a √ a2 1)
kj

Nilai a diperoleh dengan rumus :


var 1 var 2 )
a
2 covar 1 2
4. Klasifikasi Citra
Klasifikasi citra adalah proses identifikasi piksel dari citra berdasarkan
kesamaan sifat-sifat dan mengelompokannya kedalam kelas-kelas serta
memberikan label untuk kelas-kelas tersebut. Klasifikasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah klasifikasi terbimbing. Software yang
digunakan adalah Erdas Imagine 9.2.

Tahap kedua identifikasi adalah untuk wilayah daratan pulau, menggunakan citra
Ikonos tahun 2010 untuk wilayah kepulauan seribu, dilakukan dengan interpretasi
14

visual menggunakan software ArcGIS 10.1. Prosesnya hampir mirip dengan tahap
pertama, namun pada tahap ini tidak dilakukan langkah penajaman citra dengan
menggunakan algoritma Lyzenga.

Tabel 2 Tujuan penelitian, jenis, sumber/cara pengumpulan, metode analisis dan


keluaran
Teknik
No Tujuan Jenis Data Sumber Data Analisis Keluaran
Data
1. Menyusun peta Peta BTNLKpS, Algoritma Peta tutupan
penutupan/peng- administratif, Sudin Tata Lyzenga, lahan dan dasar
gunaan lahan citra, Landsat Ruang, Klasifikasi perairan
eksisting di 8, Bappekab. terbimbing, dangkal
tahun 2014. Ikonos 2010, dan eksisting.
dan Interpretasi
GoogleEarth. visual.
2. Menganalisis Peta RDTR BTNLKpS, Overlay Peta konsistensi
konsistensi Peta Zonasi Sudin Tata dan pengelolaan.
penutupan/pengg TNLKpS, Ruang, Analisis
unaan lahan hasil keluaran Bappekab. Deskriptif
eksisting dengan 1.
RDTR.
3. Mengidentifikasi Potensi Desa BPS, Skalogram Informasi
tingkat tahun 2011, Kelurahan. hirarki wilayah.
perkembangan Laporan
wilayah Kelurahan.
pengembangan
subsektor wisata.
4. Menyusun Hasil Responden A’WOT Arahan dan
arahan dan wawancara strategi
strategi yang dan kuesioner. pengembangan
baik untuk wisata di
pengelolaan Kepulauan
pengembangan Seribu.
wisata bahari.

Analisis Konsistensi Pengelolaan


Awal tahapan ini adalah dengan melakukan overlay antara peta RDTR
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2014, Peta Zonasi Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu, dan peta penutupan/penggunaan lahan eksisting
tahun 2014. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana konsistensi antara
kondisi eksisting dengan aturan yang ada di wilayah penelitian. Hasil overlay ini
kemudian dianalisis secara deskriptif dan dijadikan bahan pertimbangan
pengelolaan kawasan di Kepulauan Seribu.

Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah


Analisis tingkat perkembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan
analisis hirarki perkembangan wilayah berdasarkan pada metode Skalogram, dari
analisis ini diperoleh hirarki untuk masing-masing wilayah (Rustiadi et al. 2011).
Dalam metode ini, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah
15

disusun dalam satu tabel. Data fasilitas umum tersebut didapatkan dari data
Potensi Desa (PODES) di 6 Kelurahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
tahun 2011 yang bersumber dari BPS (variabel yang digunakan dapat dilihat pada
Lampiran 1). Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram dilakukan sebagai
berikut (Saefulhakim 2004 dalam Tar 2010):
1. Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas di
dalam unit-unit wilayah.
2. Mengurutkan unit wilayah yang mempunyai ketersediaan fasilitas paling
lengkap hingga yang paling tidak lengkap.
3. Menjumlahkan seluruh fasilitas secara horizontal.
4. Menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal.
5. Mengurutkan wilayah yang mempunyai fasilitas terlengkap hingga yang
paling tidak lengkap.

Setelah diperoleh hasil dari penyusunan skalogram, kemudian dihitung nilai


rataan dan standar deviasi dari keseluruhan jumlah penduduk yang ada di seluruh
wilayah. Setelah itu adalah menetapkan hirarki berdasarkan pengelompokan wilayah
berdasarkan ketersediaan fasilitas penunjang wisata. Wilayah Hirarki I
mengindikasikan bahwa wilayah tersebut memiliki tingkat perkembangan yang
baik dan secara matematis ditentukan dengan rumus :
ij
ataan ( ij ) Stdev ( ij )
Wilayah Hirarki II memiliki tingkat perkembangan sedang, ditentukan dengan
rumus :
ataan ( ij ) ij
ataan ( ij ) Stdev ( ij )
Wilayah Hirarki III memiliki tingkat perkembangan yang rendah, secara
matematis ditentukan dengan rumus :
ij
ataan ( ij )
Keterangan : Kij : hasil perhitungan indeks terbobot (Panuju dan Rustiadi 2012).

Analisis Strategi Pengembangan Wisata Bahari


Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) diperlukan untuk
memperoleh pendapat para pakar yang memahami objek penelitian sehingga
diperoleh suatu arahan yang tepat berdasarkan pertimbangannya. Adapun analisis
SWOT adalah alat untuk mendukung keputusan strategis berdasarkan empat
komponen. yaitu kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), peluang
(Opportunity), dan ancaman (Threat). Tujuan menerapkan AHP dan SWOT
(A’WOT) adalah untuk mengembangkan dan mengadopsi strategi yang cocok di
antara keempat faktor tersebut, dimana SWOT memberikan kerangka dasar untuk
melakukan analisis situasi keputusan dan AHP membantu dalam menerapkan
SWOT secara lebih analitis (Kangas et al. 2001).
Muatan dari faktor-faktor tersebut didapat dengan melakukan survei di
lapangan, wawancara serta studi literatur. Keseluruhan hasil analisis AHP dan
SWOT kemudian dikombinasikan menjadi metode analisis A’WOT yang
digunakan untuk menentukan strategi pengembangan wisata bahari di Kepulauan
Seribu. Metode ini bertujuan mengurangi subjektifitas penilaian terhadap faktor-
faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman)
(Osuna dan Aranda 2007). Keempat faktor tersebut kemudian disusun menjadi
16

suatu hirarki yang menggambarkan secara grafik bagaimana setiap elemen saling
berkaitan untuk membentuk suatu sistem (Saaty 1993). erangka A’WOT
disajikan pada Gambar 2.

Pengembangan Wisata Bahari di Kepulauan Seribu

Kekuatan/ Kelemahan/ Peluang/ Ancaman/


Strengths (S) Weaknesses(W) Opportunities (W) Threats (T)

S1 S1 S1 S1

S2 S2 S2 S2

S3 S3 S3 S3

S4 S4 S4 S4

S5 S5 S5 S5

Strategi Strategi Strategi Strategi

Gambar 2 Struktur hirarki matriks A’WOT

Pembobotan masing-masing grup faktor SWOT


Masing-masing faktor kemudian diberikan bobot melalui hasil kuesioner,
kemudian dihitung jumlah bobot secara keseluruhan (Tabel 3).
Tabel 3 Pembobotan grup faktor SWOT
Unsur Bobot Bobot Hasil Analisis AHP
Kekuatan (Strengths)
S1

Sn
Kelemahan (Weaknesses)
W1

Wn
Peluang (Opportunities)
O1

On
Ancaman (Threats)
T1

Tn
17

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat)


Matriks SWOT adalah matriks yang mengintegrasikan faktor strategis internal
dan eksternal. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan
ancaman (eksternal) yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan (internal) yang dimiliki seperti yang tersaji pada Tabel 4 (Rangkuti 2009).
Tabel 4 Matriks strategi hasil analisis SWOT
Peluang (Opportunities) Ancaman (Threats)
Eksternal - -
- -
Internal … …
n n
Kekuatan (Strengths)
- (SO) - 1 (ST) - 1
- (SO) - 2 (ST) - 2
… ... …
n (SO) – n (ST) - n
Kelemahan (Weaknesses)
- (WO) - 1 (WT) - 1
- (WO) - 2 (WT) - 2
… ... ...
n (WO) – n (WT) - n

Mengurutkan strategi
Setelah dianalisis SWOT, kemudian setiap strategi diurutkan sesuai urutan dari
nilai terbesar hingga terkecil, seperti tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5 Urutan strategi SWOT
Unsur SWOT Keterkaitan Jumlah Bobot Ranking
Strategi SO
 SO1 S1, S2, S., Sn , O1, O2, On
 SO2 S1, S2, Sn, O1, O2, On
 SO3 S1, S2, S4, Sn, O1, O2, On
Strategi ST
 ST1 S1, S2, Sn, T1, T2,Tn
 ST2 S1, S2, Sn, T1, T2,Tn
 ST3 S1, S2, Sn, T1, T2,Tn
Strategi WO
 WO1 W1, W2, Wn, O1, O2, On
 WO2 W1, W2, Wn, O1, O2, On
 WO3 W1, W2, Wn, O1, O2, On
Strategi WT
 WT1 W1, W2, Wn, T1, T2, Tn
 WT2 W1, W2, Wn, T1, T2, Tn
 WT3 W1, W2, Wn, T1, T2, Tn
18

Diagram alir secara keseluruhan dari tahapan penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 3.

Citra Landsat 8 Citra Ikonos dan GooleEarth Data


sarpras
Algoritma Klasifikasi Interpretasi
Lyzenga terbimbing Visual
Analisis
Skalogram
Peta Zonasi Peta tutupan lahan Peta RDTR
TNLKpS dan perairan KpS
Hirarki
perkembangan
Peta wilayah
Analisis Konsistensi
Konsistensi Pengelolaan

Kuesioner
A’WOT Stakeholders

Arahan dan Strategi pengembangan wisata bahari

Gambar 3 Diagram alir kegiatan penelitian

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Fisik Lokasi Penelitian

Letak Geografis dan Administrasi


Secara geografis Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di
antara 5°10’0’’ hingga 5°57’00’’ LS dan 106°19’30’’ hingga 106°44’50’’ BT.
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu termasuk salah satu Kabupaten
Administratif di Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang mempunyai
ketinggian rata-rata 1 meter di atas permukaan laut. Luas daratan Kepulauan
Seribu berdasarkan SK Gubernur Nomor 171 tahun 2007 adalah 8,70 km2 dan
terdiri dari 109 pulau. Berdasarkan letaknya, Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa/ Selat Sunda; sebelah timur
dengan Laut Jawa; sebelah selatan dengan Kota Adm. Jakarta Utara, Kota Adm.
Jakarta Barat dan Kabupaten Tangerang; dan sebelah barat dengan Laut Jawa/
Selat Sunda.
Wilayah administrasi Kepulauan Seribu terbagi menjadi dua wilayah
kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan
Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara terdiri dari tiga kelurahan
19

(Pulau Kelapa, Pulau Harapan, dan Pulau Panggang), meliputi 79 (tujuh puluh
sembilan) pulau, dimana enam di antaranya adalah pulau permukiman, yaitu
Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau
Harapan, dan Pulau Sebira. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan terdiri dari tiga
kelurahan (kelurahan Pulau Tidung, Pulau Pari, dan Pulau Untung Jawa), meliputi
31 (tiga puluh satu) pulau, dimana lima diantaranya merupakan pulau
permukiman yaitu Pulau Payung, Pulau Tidung, Pulau Lancang, Pulau Pari, dan
Pulau Untung Jawa (BPS 2013).

Iklim dan Topografi


Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebagai wilayah yang
masih terpengaruh oleh laut memiliki fluktuasi suhu cukup besar. Berdasarkan
data tahun 2011 suhu udara minimum terjadi pada bulan Januari sebesar 23,2°C
dan suhu maksimum terjadi pada bulan Oktober sebesar 35.4°C. Suhu udara rata-
rata sepanjang tahun 2011 berkisar antara 27,3 – 29,2°C. Rata-rata curah hujan
bulanan pada tahun 2011 adalah 100,6 mm dengan jumlah hari hujan 11 hari,
sedangkan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 252,0 mm
dengan jumlah hari hujan tercatat 23 hari. Adapun curah hujan terendah terjadi
pada bulan September sebesar 2,8 mm dengan jumlah hari hujan tercatat sebanyak
dua hari. Berdasarkan topografi, sebagian besar wilayah Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu merupakan daerah dengan relief landai dan mempunyai
kemiringan lereng rata-rata kurang dari 16,7%.

Kondisi Demografi, Sosial Budaya dan Ekonomi

Demografi
Jumlah penduduk pada tahun 2011 adalah 21.875 jiwa yang tersebar di
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan sebanyak 8.712 jiwa, dan di Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara sebanyak 13.163 jiwa. Jumlah penduduk sedikit
meningkat pada tahun 2012, yaitu sebanyak 22.220 jiwa yang tersebar di
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan sebanyak 8.913 jiwa, dan di Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara sebanyak 13.307 jiwa.
Kepadatan Penduduk di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu menurut
data BPS Kepulauan Seribu tahun 2012 adalah sebesar 2.555 jiwa/ km2.
Kepadatan penduduk per kecamatan adalah 2.929 jiwa/km2 untuk Kecamatan
Kepulauan Seribu Selatan dan sebesar 2.354 jiwa/km2 di Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara.

Sosial Budaya
Menurut data BPS tahun 2012 mayoritas penduduk Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu beragama Islam yang memiliki 11 masjid dan 29 Musholla.
Jumlah puskesmas termasuk puskesmas kelurahan maupun keliling sebanyak 8
unit, sedangkan jumlah tenaga medis yang bertugas pada tahun 2012 sebanyak
178 orang. Terdapat 16 orang dokter (termasuk dokter gigi) dan tujuh orang bidan.
Pada tahun ajaran 2012/2013 jumlah bangunan Sekolah Dasar tercatat sebanyak
14 (empat belas) sekolah dengan jumlah murid sebanyak 2.591 siswa dan guru
sebanyak 181 orang. Selain itu terdapat tujuh bangunan sekolah tingkat Sekolah
Menengah Pertama dengan murid sebanyak 1.058 orang dan guru 79 orang.
20

Adapun untuk bangunan sekolah tingkat Sekolah Menengah Atas terdapat satu
sekolah dengan jumlah murid 421 orang dan jumlah guru 46 orang, untuk Sekolah
Menengah Kejuruan terdapat satu sekolah dan hanya memiliki 251 murid serta 29
guru. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu dari tahun 2006 hingga 2012 mengalami peningkatan, sebagaimana tersaji
pada Tabel 6.
Tabel 6 Indeks pembangunan manusia tahun 2006 – 2012
Tahun Indeks Pembangunan Manusia
2006 69,30
2007 69,76
2008 70,14
2009 70,50
2010 70,82
2011 71,16
2012 78,33
Sumber : BPS (2012)

Ekonomi
Struktur penduduk di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sesuai
dengan data distribusi usia tahun 2011 didominasi oleh usia produktif, yaitu pada
kelompok 15-59 sebesar 64,86%, sedangkan tahun 2012 sebesar 73,12% dari
jumlah penduduk. Penduduk paling banyak memiliki pekerjaan utama di bidang
jasa, kemudian di bidang pertanian/perikanan/kehutanan/perkebunan, kemudian
disusul pekerjaan lainnya. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tanpa sektor minyak dan gas (migas)
berdasarkan harga berlaku tahun 2012 adalah sebesar Rp. 452.328 juta, sedangkan
berdasarkan harga konstan adalah Rp. 187.739 juta, seperti tersaji pada Tabel 7.
Nilai PDRB non migas baik berdasar harga berlaku maupun harga konstan paling
besar adalah pada sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, sdangkan nilai PDRB
non migas paling kecil adalah pada sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih.

Tabel 7 Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan


usaha tahun 2012
Nilai PDRB (Juta Rupiah)
No Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Berdasarkan Harga
Berlaku Konstan thn 2000
1 Pertanian 133.737 38.909
2 Industri Pengolahan 15.180 6.019
3 Listrik, Gas, dan Air Bersih 2.216 764
4 Konstruksi 45.943 19.856
5 Perdagangan, Hotel, dan 177.578 83.888
Restoran
6 Pengangkutan, Komunikasi 6.995 4.882
7 Keuangan, Real Estate, dan 13.744 7.334
Jasa Perusahaan
8 Jasa-jasa 56.940 26.087
PDRB tanpa migas 452.328 187.739
21

Kondisi Potensi Bahari Kepulauan Seribu

Potensi utama Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah pulau-


pulau kecil dan perairan laut. Pengembangan wilayah Kepulauan Seribu diarahkan
terutama untuk meningkatkan kegiatan pariwisata, meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat nelayan melalui peningkatan budidaya laut, dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan konservasi ekosistem terumbu karang
dan mangrove.
Sebagai daerah administrasi di bawah Provinsi DKI Jakarta, maka kebijakan
penataan ruang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berdasarkan RTRW
Propinsi DKI Jakarta tahun 2010-2030. Salah satu kebijakan penataan ruang yang
terkait secara langsung dengan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
(TNLKpS) adalah mempertahankan kawasan cagar alam, suaka margasatwa,
hutan lindung, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu untuk perlindungan
keanekaragaman biota, ekosistem, gejala, dan keunikan alam bagi kepentingan
plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya.
Kebijakan dalam pengaturan pola ruang perairan pesisir Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detil Tata Ruang
(RDTR) dan Peraturan Zonasi terdiri atas sembilan zona dan sepuluh subzona,
yaitu:
a. Zona Terbuka Hijau Lindung
 Sub Zona Suaka dan Pelestarian Alam
 Sub Zona Inti Konservasi di Wilayah Pulau
b. Zona Terbuka Hijau Budidaya di Wilayah Pulau
 Sub Zona Terbuka Hijau Budidaya di Wilayah Pulau
c. Zona Pemerintahan Daerah
 Sub Zona Pemerintahan Daerah
d. Zona Perumahan di Wilayah Pulau
 Sub Zona Perumahan di Wilayah Pulau
e. Zona Perkantoran, Perdagangan dan Jasa di Wilayah Pulau
 Sub Zona Perdagangan dan Jasa di Wilayah Pulau
f. Zona Pelayanan Umum dan Sosial
 Sub Zona Prasarana Terminal
g. Zona Pertambangan di Wilayah Pulau
 Sub Zona Pertambangan di Wilayah Pulau
h. Zona Konservasi Perairan dan Pesisir
 Sub Zona Konservasi Perairan dan Pesisir
i. Zona Pemanfaatan Umum Perairan
 Sub Zona Pemanfaatan Umum Perairan

Kawasan pada zona konservasi perairan merupakan wilayah yang masuk ke


dalam kawasan TNLKpS dimana dalam pengaturan kebijakannya kawasan ini
diprioritaskan sebagai zona yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk
mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan. Salah satu kebijakan pemerintah daerah dalam bidang konservasi
perairan adalah dengan penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Lokasi DPL
berada dalam kawasan taman nasional, sehingga kemudian dinamakan Area
22

Pelindungan Laut (APL) sebagai areal perairan dangkal dan ekosistem terumbu
karang dengan kondisi tutupan karang hidup yang masih baik. Berdasarkan
kesepakatan bersama masyarakat setempat, APL ditetapkan sebagai areal tertutup
untuk dieksploitasi dan dilarang memasukkan biota atau material apapun ke dalam
areal tersebut dalam jangka waktu tertentu. Adapun tujuan penetapan DPL adalah
untuk mempertahankan populasi ikan dan menjaga keanekaragaman hayati
sumberdaya perairan laut dari eksploitasi manusia, sehingga kelimpahan
sumberdaya perairan laut tetap lestari secara alamiah.
Daerah perlindungan laut dikelola dan diawasi secara swadaya oleh
masyarakat setempat dan terus dikembangkan di setiap pulau permukiman dan
kawasan pemanfaatan wisata. Untuk penetapan luas APL sangat tergantung pada
kondisi keragaman biota, kelimpahan jenis, kondisi tutupan karang hidup serta
kemampuan kelompok masyarakat mengawasi areal perlindungan tersebut.
Sebagai penyangga keanekaragaman hayati dan populasi biota perairan laut, maka
APL dikelola dengan sistem zonasi, yaitu zona inti dengan luas 10.000 m2 dan
zona lindung 50.000 m2, serta dapat dimanfaatkan sebagai objek atraksi wisata
bahari, seperti; wisata selam (diving), rekreasi (snorkeling), dan wisata pancing.
Prinsip pengelolaan DPL/APL meliputi: 1) prinsip keseimbangan dan
berkelanjutan; 2) prinsip keterpaduan; 3) prinsip pengelolaan berbasis masyarakat;
4) prinsip pemberdayaan masyarakat pesisir; 5) prinsip akuntabel dan transparan;
dan 6) prinsip pengakuan terhadap kearifan tradisional masyarakat.

Kondisi Wisata di Kepulauan Seribu

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan segala potensinya


mampu menarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Beberapa pulau,
baik pulau permukiman maupun pulau resort menjadi tujuan para wisatawan.
Umumnya, wisatawan dengan tujuan pulau permukiman membayar lebih murah
dibandingkan dengan wisatawan dengan tujuan pulau resort. Sebagian besar
pengelola wisata adalah masyarakat pulau itu sendiri, meskipun ada pula yang
bekerjasama dengan pihak luar masyarakat dalam mengelola kegiatan wisata.
Pulau resort berarti terdapat resort wisata yang dibangun di pulau tersebut, jadi
wisatawan akan menginap di resort yang dimiliki oleh swasta. Adapun untuk
wisatawan yang bertujuan ke pulau permukiman berarti akan menginap di
homestay-homestay yang dimiliki dan dikelola langsung oleh penduduk setempat.
Setiap tahun jumlah wisatawan yang berkunjung ke berbagai lokasi wisata
di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu menunjukkan peningkatan. Data
BPS Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 2014 menunjukkan bahwa jumlah
kunjungan wisata tahun 2013 meningkat hingga mencapai lebih dari lima kali
lipat dari jumlah kunjungan wisata tahun 2010. Perkembangan suatu wilayah
salah satunya dilihat dari seberapa besar kontribusi sektor-sektor yang ada di
wilayah tersebut terhadap nilai PDRB secara keseluruhan. Sektor wisata juga
terkait erat dengan sub-sektor lain seperti industri tanpa migas, perdagangan besar
dan eceran, restoran, hotel, jasa hiburan, dan rekreasi (Rudita 2012).
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki tercatat 115 pulau
dengan 5 pulau di kelurahan Untung Jawa berstatus tenggelam. Tabel 8
menunjukkan jumlah pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sesuai
dengan peruntukannya. Beberapa pulau yang dibangun resort wisata dapat dilihat
23

pada Tabel 9 (SudinParBud 2013), sedangkan pengelompokan wisata di


Kepulauan Seribu menurut Razak dan Suprihardjo (2013) dapat dilihat pada Tabel
10.

Tabel 8 Jumlah pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sesuai


dengan peruntukannya
Kec. Kepulauan Seribu Kec. Kepulauan Seribu
Utara Selatan
Peruntukan Jumlah
Untung
Kelapa Harapan Panggang Tidung Pari
Jawa
Pariwisata 28 18 7 4 6 2 65
Permukiman 2 2 2 2 2 1 11
Hijau 4 10 - - 3 6 23
Khusus 4 - 4 - 1 3 12
Pemerintahan - - 1 - - - 1
Taman - - - - - 3 3
Arkeologi
Jumlah 38 30 14 6 12 15 115
Sumber : Data diolah dari Lampiran RDTR dan Peraturan Zonasi DKI Jakarta 2010-2030
Tabel 9 Nama pulau resort di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
No. Nama Pulau Resort Pengelola Kelurahan
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara1,2
1 P. Hantu Timur/Pantara (K5) PT. Pantara Wisata Jaya P. Kelapa
2 P. Macan Besar/Matahari PT. Pantara Wisata Jaya P. Kelapa
(K5)
3 P. Macan Kecil (H8) - P. Kelapa
4 P. Bira Besar (K5) PT. Pulau Seribu Paradise P. Harapan
5 P. Putri Timur (K5) PT. Buana Bintang P. Harapan
Samudera
6 P. Petondan Barat/ Pelangi - P. Harapan
(K5)
7 P. Sepa Barat/ Sepa Besar PT. Pulau Sepa Permai P. Harapan
(K5)
8 P. Kotok Besar (K5) PT. Kotok Wiethasa Jaya P. Panggang
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan2
1 Ayer Besar (K5) PT. Global Eka Buana P. Untung
Jawa
2 Bidadari (K5) PT. Seabreez Indonesia P. Untung
Jawa
Keterangan : K5 : Sub Zona Perdagangan dan Jasa di wilayah pulau
H8 : Sub Zona Terbuka Hijau Budidaya di wilayah pulau
Sumber : 1 BTNLKpS (2011b)
2
Sudinparbud (2013)
24

Tabel 10 Nama pulau dan potensi wisata di Kepulauan Seribu

No Potensi wisata Nama pulau


1. Wisata bahari di pulau pemukiman Untung Jawa
Pramuka
Tidung
Harapan
2. Wisata sejarah dan arkeologi Cipir
Onrust
Kelor
Bidadari
3. Cagar alam Rambut
Bokor
Sumber : Razak dan Suprihardjo (2013)

Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu

Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) merupakan salah satu


kawasan pelestarian alam di Indonesia yang terletak di utara Jakarta dan secara
administratif berada di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kawasan TNLKpS meliputi tiga
kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Keluahan Pulau Kelapa dan
Kelurahan Pulau Harapan yang terbentang seluas 107.489 ha (SK. Menteri
Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002). Pengelolaan Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Laut Kepulauan
Seribu (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : 03/Menhut-II/2007 tanggal 1
Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana teknis Taman
Nasional) mencakup kawasan seluas 107.489 hektar, yaitu merupakan kawasan
perairan laut sampai batas pasang tertinggi, pada posisi geografis antara 5°24' -
5°45' LS dan 106°25' - 106°40' BT, dan termasuk kawasan darat Pulau Penjaliran
Barat dan Pulau Penjaliran Timur seluas 39,50 hektar.
Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (BTNLKpS) merupakan Unit
Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan. Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu merupakan salah satu dari tujuh Taman Nasional Laut di
seluruh Indonesia dan merupakan satu-satunya Kawasan Pelestarian Alam Taman
Nasional yang terletak di ibukota negara.
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu tersusun oleh Ekosistem Pulau-
Pulau Sangat Kecil dan Perairan Laut Dangkal, yang terdiri dari Gugus Kepulauan
dengan 78 pulau sangat kecil, 86 Gosong Pulau dan hamparan laut dangkal pasir
karang pulau, terumbu karang tipe mangrove dan lamun, dan kedalaman laut
dangkal sekitar 20 – 40 m. Kawasan TNLKpS dibagi menjadi tiga Seksi
Pengelolaan Taman Nasional (SPTN), yaitu : SPTN Wilayah I Pulau Kelapa,
SPTN Wilayah II Pulau Harapan, dan SPTN Wilayah III Pulau Pramuka. Unit
terkecil pengelolaan TNLKpS adalah Resort, yaitu sebanyak 6 Resort pengelolaan.
Pembagian luas wilayah kerja SPTN Wilayah lingkup BTNLKpS disajikan pada
Tabel 11.
25

Tabel 11 Pembagian luas wilayah kerja SPTN Wilayah lingkup BTNLKpS

No. SPTN Wilayah Luas (ha) Persentase (%)


1 SPTN Wilayah I Pulau Kelapa 39.932 37,15
2 SPTN Wilayah II Pulau Harapan 45.128 41,98
3 SPTN Wilayah III Pramuka 22.429 20,87
Jumlah 107.489 100
Sumber : BTNLKpS (2011a).

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan


Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27
Januari 2004 tentang Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu,
maka kawasan TNLKpS dibagi atas 4 (empat) zona, yaitu Zona Inti, Zona
Perlindungan, Zona Pemanfaatan Wisata, dan Zona Permukiman. Kegiatan
pemanfaatan dan pengelolaan pulau, yang berada dalam TNLKpS, harus sesuai
dengan pengaturan Zonasi TNLKpS.
Kawasan TNLKpS berpotensi besar untuk pengembangan wisata bahari,
mengingat letaknya yang dekat dengan ibukota Jakarta, sehingga kawasan ini
mempunyai peluang yang baik untuk pengembangan. Sejalan dengan
perkembangan kota-kota besar yang semakin pesat, rupanya terdapat suatu
kecenderungan dimana semakin banyak orang yang menginginkan suasana hidup
kembali ke alam. Kegiatan-kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di dalam
kawasan taman nasional antara lain menyelam (scuba diving) pada beberapa spot
selam, snorkeling, memancing, wisata pendidikan (penanaman lamun, mangrove,
serta rehabilitasi karang, penyu sisik, dan elang bondol), berjemur di pantai,
berkemah, dan lain-lain. Kegiatan menyelam sebagai atraksi utama kegiatan
wisata di Kepulauan Seribu dilakukan pada titik-titik selam (diving spot) yang
telah ditentukan.
Aktivitas di kawasan TNLKpS tak jarang menimbulkan kerawanan
kerusakan lingkungan. Beberapa pulau juga terindikasi mengalami kerawanan
gangguan keamanan. Beberapa indikasi kerawanan yang ada di kawasan TNLKpS
antara lain : (1) pengambilan pasir laut; (2) penambangan terumbu karang; (3)
pengambilan biota laut; (4) perambahan kawasan (keramba); (5) pengedaman
pantai; dan (6) aktivitas wisata. Lokasi indikasi kerawanan yang biasa terjadi di
kawasan TNLKpS tersaji pada Gambar 4.
26

Gambar 4 Peta indikasi kerawanan gangguan di Taman Nasional Laut Kepulauan


Seribu (BTNLKpS 2012)
27

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penutupan/Penggunaan Lahan dan Perairan Tahun 2014

Hasil identifikasi terhadap tutupan lahan dan dasar perairan dangkal


menggunakan citra Landsat 8, Ikonos, dan GoogleEarth yang dilakukan
menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan dapat dikelompokan menjadi delapan
kelas untuk daratan, yaitu bangunan, dermaga, helipad, jalan, kolam, lahan
terbuka, vegetasi, dan pasir pantai, sedangkan untuk tutupan dasar perairan
dangkal terdiri dari lima kelas, yaitu pasir, rataan karang dan pasir, lamun, laguna,
dan karang. Peta penutupan/penggunaan lahan dan dasar perairan dangkal tersaji
pada Gambar 7 hingga 14, sedangkan luasan masing-masing kelas tutupan lahan
dan dasar perairan dangkal tersaji pada Tabel 12.
Tabel 12 Luas tutupan lahan dan dasar perairan dangkal hasil analisis dan luasan
menurut SK Gubernur DKI Jakarta nomor 1986 tahun 2000
Tutupan lahan dan dasar Luas (km2)
No
perairan dangkal Analisis Jumlah SK Gub.
1 Daratan 10,57 8,7
a. Bangunan 2,99
b. Dermaga 0,13
c. Helipad 0,02
d. Jalan 0,01
e. Kolam 0,05
f. Lahan terbuka 0,65
g. vegetasi 6,59
h. pasir pantai 0,12
2 Perairan 4.743.75 4.745,62
a. pasir 15,08
b. rataan karang dan pasir 29,99
c. lamun 0,98
d. laguna 5,15
e. karang 13,18
f. air laut 4.689,94
Jumlah keseluruhan 4.754,32 4.754,32

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa jumlah luas tutupan lahan dan
dasar perairan dangkal Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah sesuai
dengan luas berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1986 Tahun 2000
yaitu 4.754,32 km2, namun jika dilihat dari masing-masing luas daratan dan
perairan, menunjukkan luasan yang berbeda. Luasan daratan hasil interpretasi
citra adalah seluas 10,57 km2, sedangkan menurut Peraturan Daerah adalah 8,7
km2 atau terdapat penambahan luasan daratan seluas 1,87 km2. Penambahan luas
daratan ini disebabkan (terutama pada pulau-pulau permukiman) oleh kegiatan
reklamasi, dimana kebijakan reklamasi pantai dilakukan sesuai dengan salah satu
tujuan penataan ruang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yaitu
terwujudnya pengembangan dan penataan kawasan permukiman dan kawasan
pemerintahan melalui reklamasi berwawasan lingkungan serta dilengkapi dengan
28

prasarana pada pulau permukiman. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, lahan


reklamasi tersebut digunakan untuk kegiatan masyarakat setempat, salah satunya
adalah untuk penunjang kegiatan wisata (Gambar 13).

Gambar 5 Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (a)
29

Gambar 6 Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (b)
30

Gambar 7 Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (c)
31

Gambar 8 Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (d)
32

Gambar 9 Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (e)
33

Gambar 10 Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (f)
34

Gambar 11 Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (g)
35

Gambar 12 Peta tutupan lahan dan dasar perairan dangkal tahun 2014 (h)
36

Gambar 13 Lahan reklamasi yang digunakan untuk kegiatan wisata

Konsistensi Pemanfaatan Lahan

Berdasarkan hasil analisis konsistensi antara peta RDTR Kabupaten


Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2014, peta zonasi Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu, serta peta penutupan/penggunaan lahan dan perairran eksisting
tahun 2014 menunjukkan bahwa beberapa pulau yang dibangun tidak sesuai
dengan peruntukannya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan maupun dari
data citra, dapat dilihat bahwa pulau-pulau permukiman untuk tujuan wisata di
Kepulauan Seribu memiliki tutupan lahan berupa permukiman namun jumlahnya
cukup banyak sehingga menjadi padat. Hal ini mungkin disebabkan oleh
meningkatnya minat wisatawan yang berkunjung ke pulau-pulau tersebut untuk
menginap sehingga banyak bangunan baru yang didirikan masyarakat yang
difungsikan sebagai homestay. Meningkatnya jumlah wisatawan dari segi
ekonomi memberikan dampak yang positif, namun dari segi lingkungan
menurunkan kualitas, karena menurunkan tingkat kenyamanan dan daya dukung
kawasan. Wisata bahari menghadirkan dilema kebijakan karena memiliki dampak
positif maupun negatif terhadap masyarakat, yakni di satu sisi mampu
menghasilkan pemasukan yang signifikan untuk ekonomi regional dan nasional,
namun di sisi lain berdampak terhadap kerusakan sumberdaya bahari yang penting
(Adjaye dan Tapsuwan 2008).
Jumlah wisatawan yang melebihi kapasitas maksimum seperti gambaran di
atas dalam jangka panjang dapat mempengaruhi kelestarian ekosistem yang
menjadi daya tarik wisata. Oleh karena itu, perhitungan daya dukung sangat
diperlukan untuk pengembangan wisata bahari, yakni dengan memanfaatkan
potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil. Mengingat bahwa
pengembangan wisata bahari bukan bersifat mass tourism, objek wisata bersifat
mudah rusak, dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, maka suatu gambaran
penentuan daya dukung kawasan mutlak diperlukan (Yulianda 2007). Estimasi
batas daya dukung wisata dan jumlah wisatawan tahun 2013 pada beberapa pulau
tersaji pada Tabel 13.
37

Tabel 13 Estimasi daya dukung wisata dan jumlah wisatawan tahun 2013
Batas daya dukung/hari (orang) Wisata-
No Nama pulau pantai snorkeling selam penginapan sumber wan/hari
(orang)
1. Gugus Pari 2.572 2.787 1.287 - Triyono 4.212
(2013)
2. Pramuka, Yulianda 2.368
Panggang, dan
Karya, - 7.320 601 - Purwita
Gosong (2010)
Pramuka
3. Macan Besar 21-62 - - 66-590 Aziz 2
(2003)
4. Putri Barat 23-70 - - 13-110 Aziz 53
(2003)
5. Hantu Barat 26-79 - - 49-440 Aziz
(2003)
6. Hantu Timur 37-110 - - 122-1090 Aziz
(2003) 1.457
7. Kelapa,
Harapan, - - - - -
Bira Besar

Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa secara umum jumlah wisatawan


saat ini telah melebihi daya dukung wisata. Kondisi demikian harus menjadi
pertimbangan bagi pihak pengelola, agar bisa membatasi jumlah wisatawan sesuai
dengan daya dukung wisata yang telah diketahui. Wisata bahari terutama yang
dilakukan di kawasan TNLKpS harus berpedoman pula pada prinsip ekowisata.
Daya dukung ekowisata adalah tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang
dapat ditampung oleh sarana prasarana (infrastruktur) pada obyek wisata alam
yang disediakan. Jika daya tampung sarana dan prasarana tersebut dilampaui,
maka terjadi kemerosotan sumberdaya, kepuasaan pengunjung tidak terpenuhi,
dan akan memberikan dampak yang merugikan terhadap masyarakat, baik secara
ekonomi maupun budaya (Simon et al. 2004). Namun demikian, daya dukung
wisata sesungguhnya bersifat tidak tetap atau dinamis, yaitu dapat berkurang
maupun bertambah tergantung kepada perilaku manusia maupun kerusakan alam
serta pengelolaan, terutama pengelolaan lingkungan secara benar dan terencana
(Clark 1996).
Perencanaan pengembangan pulau harus berpedoman pada aturan zonasi
yang telah ditetapkan, namun untuk daerah penelitian pada kenyataannya masih
terdapat beberapa rencana yang tidak sesuai. Sebagai contoh adalah kasus yang
terjadi pada Pulau Bira Besar. Pulau ini termasuk ke dalam sub zona perdagangan
dan jasa di wilayah pulau dalam RDTR dan Peraturan Zonasi tahun 2014, namun
wilayah di sebelah utaranya sudah masuk kedalam Zona inti III (Gambar 14a).
Meskipun di bagian utara Pulau Bira Besar tersebut bukan berupa daratan (pulau),
namun bagian tersebut (perairan dangkal berupa pasir dan karang) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pulau. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Adrianto (2004) yang menyatakan bahwa dalam pengelolaan ekosistem wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan faktor keterpaduan antar
38

komponen dan tidak dapat dipisahkan antara komponen yang satu dengan yang
lainnya. Dengan demikian kelangsungan pembangunan berkelanjutan di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dicapai. Jika dilihat dari letaknya, Zona Inti III
berbatasan langsung dengan zona pemanfaatan wisata dan terdapat sebagian
karang pada pulau wisata yang masuk ke dalam zona ini. Hal ini perlu mendapat
perhatian serius, karena menurut Yulianda (2007) zona inti harus berada jauh dari
sumber kegiatan manusia. Hal ini disebabkan dampak wisatawan terhadap pulau
kecil cukup besar karena keterbatasan sumberdaya dan wilayahnya yang kecil
sehingga dengan mudah mencapai level kritis. Oleh karena dalam pengembangan
wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus disertai dengan
manajemen wilayah pesisir yang baik (Wong 1998).
Pengelolaan dalam zona inti pada TNLKpS hanya dapat dilakukan untuk :
(1) kegiatan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; (2)
membangun sarpras untuk monitoring; dan (3) kegiatan yang tidak merubah
bentang alam. Sementara itu, Pulau Bira Besar dalam RDTR masuk ke dalam sub
zona perdagangan dan jasa di wilayah pulau. Padahal dalam RDTR dan Peraturan
Zonasi tahun 2014 disebutkan bahwa pulau yang termasuk sub zona ini mencakup
seluruh areal, termasuk rataan karang sampai ke garis tubir karang untuk
mengakomodasi kebutuhan pembangunan dermaga, areal tambat labuh kapal
angkutan dan kapal nelayan, serta fasilitas yang terkait dengan budidaya laut,
perikanan, dan pariwisata. Dengan demikian, pemanfaatan rataan karang dan pasir
di Pulau Bira besar sebelah utara yang masuk ke dalam zona inti sebaiknya diatur
lebih spesifik dalam RDTR dan peraturan Zonasi sehingga pemanfaatannya tidak
berlawanan dengan aturan yang terdapat pada zona inti TNLKpS.
Selain pada pulau Bira Besar, hasil analisis konsistensi juga menunjukkan
adanya suatu ketidak konsistenan yang terjadi di Pulau Sebaru Besar (Gambar
14b). Pulau ini direncanakan sebagai pulau pengembangan wisata, namun pada
penetapan zonasi masuk ke dalam sub zona terbuka hijau budidaya di wilayah
pulau. Pengertian sub zona terbuka hijau budidaya di wilayah pulau pada
dokumen RDTR dan Peraturan Zonasi tahun 2014 adalah sub zona dengan
peruntukan sebagai ruang terbuka hijau atau berupa areal hamparan lahan yang
ditanami dengan pohon-pohon yang kompak dan rapat baik pada tanah negara
maupun tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang
berwenang. Kegiatan di seluruh sub zona terbuka hijau budidaya di wilayah pulau
adalah kegiatan diizinkan bersyarat, yaitu :
1. kegiatan taman perkemahan dengan syarat tidak merusak dan/atau mengubah
bentangan alam.
2. kegiatan reklame dengan syarat pesan atau informasi disampaikan terkait
dengan program pemerintah dan/atau pemberdayaan masyarakat atau tidak
bersifat komersial.
Apabila memperhatikan ketentuan di atas dan jika pulau ini direncanakan
untuk dikembangkan menjadi pulau pengembangan wisata menjadi kurang sesuai
dengan ketentuan aktivitas yang boleh dilakukan di pulau tersebut. Berdasarkan
hal tersebut maka peraturan ini perlu ditinjau kembali (zonasi maupun rencana
pengembangan Pulau Sebaru Besar), agar pengembangan dan pemanfaatan wisata
bahari dapat berjalan dengan baik.
39

Gambar 14 Peta konsistensi pengelolaan di Sekitar Pulau Sebaru Besar dan Bira
Besar

Dalam kaitannya dengan kawasan perairan, maka kawasan ini terbagi


menjadi dua, yaitu sub zona konservasi perairan (sub zona PP1) dan zona
pemanfaatan umum perairan (sub zona PP2). Berdasarkan Perda Prov. DKI
40

Jakarta No. 1 Tahun 2014 dinyatakan bahwa sub zona PP1 merupakan kawasan
perairan yang dilindungi, dikelola untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya
ikan dan lingkungan secara berkelanjutan, sementara sub zona PP2 merupakan
kawasan perairan yang memiliki fungsi kegiatan perairan tangkap, pariwisata
bahari dan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika
berdasarkan pernyataan tersebut maka pada sub zona PP1 tidak disebutkan secara
khusus mengenai pemanfaatannya terkait kegiatan wisata bahari, bahkan untuk
sub zona ini ditekankan pada upaya perlindungan kawasan perairan. Dengan
demikian peraturan ini menjadi kurang sejalan dengan pemanfaatannya, karena
daerah ini terutama pada perairan dangkalnya dimanfaatkan untuk objek wisata
bahari, bahkan pengaturan pada sub zona pulau-pulau yang berada di perairan sub
zona PP1 ada yang ditetapkan sebagai zona perkantoran, perdagangan dan jasa di
wilayah pulau, zona perumahan di wilayah pulau, serta zona pelayanan umum dan
sosial. Penetapan zona perairan dan pulau tampak tidak sinkron, padahal
penetapan zonasi keduanya seharusnya dapat ditetapkan secara terpadu.
Bagaimanapun pengelolaan wilayah darat dan perairan terutama di pulau-pulau
kecil haruslah berdasarkan kepada prinsip keterpaduan. Selain itu pulau-pulau
yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata tidak bisa lepas dari wilayah perairan,
karena aktivitas wisata bahari (contoh snorkeling dan menyelam) di lakukan di
wilayah perairan.

Hirarki Wilayah Berdasarkan Kelengkapan Sarana Prasarana

Pengembangan lokasi wisata biasanya dipengaruhi oleh ketersediaan sarana


dan prasarana pendukung wisata. Fasilitas wisata merupakan salah satu hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pengembangan wisata, karena aktivitas wisata
memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona
Pemanfaatan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam disebutkan bahwa areal
yang diizinkan untuk pembangunan sarana dan prasarana di kawasan wisata
hendaknya tidak merubah bentang alam agar keaslian alam masih dapat
dipertahankan.
Perkembangan wilayah yang terkait dengan kelengkapansarana dan
prasarana dapat dianalisis dengan metode skalogram. Metode ini bertujuan untuk
menentukan hirarki wilayah (Rustiadi et al. 2011), yaitu berupa pengelompokan
wilayah berdasarkan hirarki pusat-pusat kegiatan. Urutan pengelompokan hirarki
didasarkan pada nilai Indeks Perkembangan Kelurahan (IPK) dari yang terbesar
ke yang terkecil. Variabel yang digunakan untuk menentukan Indeks
Perkembangan Kelurahan (IPK) dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengelompokan
wilayah dari hasil analisis skalogram dinamakan Hirarki, dimana wilayah Hirarki
I mengindikasikan wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang baik,
sementara wilayah Hirarki II memiliki tingkat perkembangan sedang, dan wilayah
Hirarki III memiliki tingkat perkembangan yang rendah. Hasil analisis
perkembangan wilayah untuk daerah penelitian disajikan pada Tabel 14.
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa terdapat dua kelurahan yang
masing-masing masuk ke dalam hirarki I, II, dan III (Gambar 15). Kelurahan yang
tergolong ke dalam hirarki I adalah Kelurahan Pulau Panggang dan Kelurahan
Pulau Untung Jawa. Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari tiga pulau yang
41

dijadikan tujuan wisata, yaitu Pulau Pramuka (16 ha), Pulau Panggang (9 ha), dan
Pulau Kotok Tengah (20,8 ha), sedangkan untuk Kelurahan Pulau Untung Jawa
terdapat tiga pulau wisata, yaitu Pulau Untung Jawa (40,1 ha), Pulau Ayer (6,5 ha),
dan Pulau Bidadari (6 ha). Kelurahan yang tergolong ke dalam hirarki II adalah
Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Pari. Kelurahan Pulau Harapan
mempunyai tiga pulau wisata, yaitu Pulau Harapan (6,7 ha), Pulau Sepa (3,1 ha),
dan Pulau Putri (6,5 ha). Adapun Kelurahan Pulau Pari terdiri dari dua pulau
wisata yaitu Pulau Pari (41,3 ha) dan Pulau Lancang Besar (15,1 ha). Kelurahan
yang tergolong kedalam hirarki III adalah Kelurahan Pulau Tidung dan Kelurahan
Pulau Kelapa. Kelurahan Pulau Tidung terdiri dari dua pulau tujuan wisata, yaitu
Pulau Tidung Besar (50,1 ha) dan Pulau Tidung Kecil (17,4 ha), sedangkan
Kelurahan Pulau Kelapa terdiri dari tiga pulau wisata, yaitu Pulau Kelapa (13,1
ha), Pulau Kelapa Dua (1,9 ha), dan Pulau Macan (6,1 ha).
Kelurahan Pulau Panggang dan Kelurahan Untung Jawa merupakan
kelurahan dengan fasilitas sarana dan prasarana paling lengkap dibandingkan
dengan kelurahan lainnya. Berdasarkan hasil analisis tersebut juga dapat
disimpulkan bahwa kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Untung Jawa
merupakan pusat pelayanan pendukung wisata bagi kelurahan-kelurahan lainnya
di masing-masing kecamatan.
Tabel 14 Hasil analisis hirarki pengembangan wilayah kelurahan

IPK Hirarki Jumlah wisatawan Jarak ke Muara


No Kelurahan
tahun 2013 (orang)* Angke (km)**
1 Pulau Untung Jawa 38,48 I 698.980 15,8
2 Pulau Pari 31,00 II 219.030 23,0
3 Pulau Tidung 20,71 III 373.887 45,8
4 Pulau Panggang 38,65 I 125.378 44,0
5 Pulau Harapan 31,42 II 71.596 54,4
6 Pulau Kelapa 20,29 III 9.599 54,6
*
Sumber : Sudin Parbud Kab. Adm. Kep. Seribu dalam BPS Kep. Seribu (2014)
**
Sudin Perhubungan Kab. Adm. Kep. Seribu dalam BPS Kep. Seribu (2012)

Hirarki wilayah berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana wisata


tersebut jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisatawan ke masing-
masing kelurahan terlihat ada suatu hubungan, yaitu bahwa jumlah wisatawan
terbanyak pada tahun 2013 pada masing-masing kecamatan adalah di kelurahan-
kelurahan yang berada para Hirarki I, kemudian selanjutnya di kelurahan-
kelurahan pada hirarki II dan III. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 14 dimana
Kelurahan Pulau Untung Jawa yang ber-Hirarki I memiliki jumlah kunjungan
wisata yang lebih banyak dibandingkan dengan Kelurahan Pulau Pari dan
Kelurahan Pulau Tidung. Begitu pula pada Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan
dimana jumlah wisatawan terbanyak adalah di Kelurahan Pulau Panggang
kemudian di Kelurahan Pulau Harapan dan di Kelurahan Pulau Kelapa.
Tujuan utama dari tempat wisata adalah untuk menyediakan kesenangan
baik secara fisik maupun mental bagi pengunjung (Sitorus 2004). Fasilitas
akomodasi dan penunjang wisata yang terletak di pulau-pulau kecil menurut
Yulianda (2007) hendaknya dikonsentrasikan di pulau besar (main land), karena
pengembangan pulau juga harus mempertimbangkan aspek kelestarian alam.
42

Bagaimanapun jika suatu pulau tujuan wisata dilengkapi dengan beragam fasilitas,
namun daya tarik utamanya tidak dijaga, maka usaha wisata bahari tersebut akan
menurun. Hal ini sejalan dengan pendapat Jurado et al. (2011) yang menyebutkan
bahwa pertumbuhan daerah tujuan wisata yang tinggi (dalam hal penduduk,
penginapan, infrastuktur, dan fasilitas lain) tidaklah selalu positif bagi industri
wisata, karena pertumbuhan yang melampaui batas daya dukung dapat
mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan, sosial, dan ekonomi dari daerah
tujuan wisata.

Gambar 15 Peta hirarki wilayah


43

Jika dibandingkan dengan jarak dari lokasi Pelabuhan Muara Angke di


Jakarta, sebagai salah satu pelabuhan asal wisatawan menuju ke pulau-pulau di
Kepulauan Seribu (Tabel 14), maka dapat dilihat bahwa Pulau-pulau di
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan seperti Pulau Untung Jawa, Pulau Pari, dan
Pulau Tidung dikunjungi paling banyak oleh wisatawan jika dibandingkan dengan
pulau-pulau di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara (Pulau Panggang, Pulau
Harapan dan Pulau Kelapa) karena berjarak lebih dekat dengan pelabuhan Muara
Angke. Berdasarkan hal tersebut maka tampak bahwa jumlah wisatawan yang
berkunjung selain dipengaruhi oleh fasilitas juga sangat dipengaruhi oleh jarak
dari pelabuhan di ibu kota
Selain itu, perkembangan suatu wilayah juga dilihat salah satunya dari
seberapa besar kontribusi sektor-sektor yang ada di wilayah tersebut terhadap nilai
PDRB secara keseluruhan. Sektor wisata juga terkait erat dengan sub-sektor lain
seperti industri tanpa migas, perdagangan besar dan eceran, restoran, hotel, jasa
hiburan, dan rekreasi (Rudita, 2012). Sektor wisata merupakan kegiatan yang
tidak dapat berdiri sendiri dan terkait dengan sektor-sektor lainnya. Perkembangan
sektor wisata dengan kata lain juga dapat diketahui dari perkembangan sektor-
sektor yang terkait dengannya. Data yang digunakan untuk menilai ini adalah data
PDRB yang didasarkan atas harga yang berlaku menurut sektor usaha tahun 2012.
Pengaruh sektor usaha terhadap nilai PDRB untuk daerah penelitian disajikan
pada Tabel 15.
Tabel 15 Pengaruh sektor/lapangan usaha terhadap nilai PDRB
Nilai PDRB Kontribusi Terhadap
Sektor/Lapangan Usaha
(juta rupiah) nilai PDRB (%)
Pertanian 133.732 29,57
Industri Pengolahan 15.180 3,36
Listrik, Gas, dan Air Bersih 2.216 0,49
Konstruksi 45.943 10,16
Perdagangan, Hotel, dan Restoran 177.578 39,26
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 6.995 1,55
Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 13.744 3,04
Jasa-jasa 56.940 12,59
Jumlah 452.328 100
Sumber : BPS (2014), data diolah

Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa sektor-sektor yang terkait dengan


aktivitas wisata yaitu industri pengolahan; perdagangan, hotel, dan restoran; dan
jasa-jasa (Rudita, 2012) berturut-turut memiliki kontribusi sebesar 3,36%;
39,26%; dan 12,59%, bahkan untuk sektor perdagangan, hotel, dan restoran
memberikan kontribusi paling besar dari seluruh sektor yang ada. Dengan
demikian kontribusi aktivitas wisata terhadap nilai PDRB berjumlah 55,20%.
Angka persentase ini menunjukkan bahwa aktivitas wisata memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap nilai PDRB Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Berdasarkan data BPS Kep. Seribu (2014b), sektor industri pengolahan terdiri dari
subsektor makanan dan minuman, serta alat angkutan, mesin, dan peralatannya.
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor yang berhubungan
dengan fasilitas atau akomodasi dalam menunjang aktivitas wisata di Kepulauan
Seribu. Adapun sektor jasa-jasa didalamnya terdapat subsektor jasa pemerintah
44

dan swasta (sosial kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi, perorangan, dan rumah
tangga).

Arahan dan Strategi Pengembangan Wisata Bahari

Arahan Pengembangan Wisata Bahari di Kepulauan Seribu


Pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu sebaiknya diarahkan
terutama pada objek wisata di kelurahan yang masuk ke dalam hirarki I dari hasil
analisis skalogram, yaitu Kelurahan Pulau Untung Jawa dan Kelurahan Pulau
Panggang, namun perlakuan program pengembangan sebaiknya dilakukan dengan
mempertimbangkan zonasi dari kedua kelurahan tersebut. Pengembangan wisata
untuk Kelurahan Pulau Panggang harus berbeda dengan pengembangan wisata
untuk Kelurahan Pulau Untung Jawa, karena Kelurahan Pulau Panggang termasuk
kedalam kawasan TNLKpS, sehingga jenis wisata bahari yang dikembangkan di
Kelurahan Pulau Penggang harus berupa ekowisata.
Kondisi wisata Kepulauan Seribu yang saat ini cenderung bersifat wisata
masal seharusnya memperhatikan kapasitas maksimum jumlah wisatawan yang
dapat ditampung oleh lokasi wisata, sehingga untuk kepentingan ini diperlukan
suatu kajian mengenai daya dukung dan daya tampung pulau-pulau dan perairan
sekitarnya yang akan dijadikan sebagai tujuan wisata bahari. Jumlah wisatawan
yang datang juga harus disesuaikan dengan kapasitas homestay, kapasitas kapal
pengangkut, dan kapasitas sarana dan prasarana lainnya.

Strategi Pengembangan Wisata Bahari di Kepulauan Seribu


Faktor Internal dan Eksternal SWOT
Perumusan strategi pengembangan wisata bahari pada penelitian ini
mempertimbangkan faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang
terkait dengan pengembangan kegiatan wisata bahari. Hasil analisis dari keempat
faktor tersebut tersaji pada Tabel 16.
Tabel 16 Faktor-faktor internal dan eksternal

Kekuatan/ Strengths (S) Kelemahan/ Weaknesses (W)


1. Potensi keindahan SDA yang relatif 1. Sistem pengelolaan wisata yang belum
masih terjaga. terpadu.
Internal

2. Jenis objek wisata yang memiliki ciri 2. Sarana dan prasarana wisata kurang
khas. memadai.
3. Partisipasi aktif masyarakat dalam 3. Belum ada pengelolaan limbah domestik.
kegiatan wisata. 4. Daya dukung wisata pulau kecil yang
4. Keramahan masyarakat. terbatas.
5. Akomodasi dan transportasi mudah. 5. SDM masih rendah.
Peluang/ Opportunities (O) Ancaman/ Threats (T)
1. Meningkatnya minat wisatawan 1. Jumlah wisatawan yang terlalu tinggi
terhadap wisata bahari. melebihi daya dukung kawasan.
2. Peran investor dan operator wisata. 2. Pengaruh budaya luar yang negatif.
Eksternal

3. Dukungan pemerintah dalam 3. Aktivitas sebagian wisatawan yang


pengembangan wisata. kurang mendukung upaya konservasi.
4. Teknologi informasi yang semakin 4. Aktivitas di sekitar Teluk Jakarta
berkembang. penyebab degradasi lingkungan perairan.
5. Kesadaran wisatawan dalam 5. Koordinasi antar sektor dan pengambil
mendukung upaya konservasi. kebijakan masih lemah.
45

Faktor-faktor pada Tabel 16 didapat dengan melakukan survei, wawancara,


serta studi literatur. Jumlah kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman hasil
wawancara kemudian diseleksi, dan didapatkan sebanyak lima faktor. Kekuatan
dan kelemahan termasuk ke dalam faktor internal, sedangkan peluang dan
ancaman termasuk ke dalam faktor eksternal. Faktor-faktor internal dan eksternal
tersebut kemudian dianalisis dengan metode A’WOT, dimana dalam metode ini
faktor subyektifitas penilaian terhadap faktor-faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) dapat direduksi (Osuna dan
Aranda, 2007).

Bobot masing-masing faktor SWOT


Bobot didapatkan dari hasil kuesioner yang disebarkan kepada stakeholders
untuk mendapatkan penilaian terhadap masing-masing faktor internal dan
eksternal SWOT yang telah dirumuskan pada langkah-langkah sebelumnya. Hasil
keseluruhan bobot masing-masing faktor SWOT tersaji pada Tabel 17.
Tabel 17 Bobot masing-masing faktor SWOT
Prioritas Faktor SWOT Faktor Faktor
grup prioritas prioritas
dalam
grup
Kekuatan
0.27 1. Potensi Keindahan SDA yang masih relatif terjaga 0,22 0,06
2. Jenis objek wisata yang memiliki ciri khas 0,18 0,05
3. Partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan wisata 0,18 0,05
4. Keramahan masyarakat 0,20 0,05
5. Akomodasi dan transportasi mudah 0,22 0,06
Kelemahan
0.26 1. Sistem pengelolaan yang belum terpadu 0,26 0,07
2. Sarpras belum memadai 0,20 0,05
3. Pengolahan limbah domestik belum ada 0,14 0,04
4. Daya dukung pulau kecil yang terbatas 0,22 0,06
5. SDM masih rendah 0,18 0,05
Peluang
0.19 1. Meningkatnya minat wisatwan terhadap wisata bahari 0,26 0,05
2. Peran investor 0,14 0,03
3. Dukungan pemerintah dalam pengembangan wisata 0,22 0,04
4. Teknologi informasi yang semakin berkembang 0,20 0,04
5. Kesadaran wisatawan dalam mendukung upaya 0,17 0,03
konservasi wisatawan thd konservasi
Ancaman
0.28 1. Jumlah wisatawan yang terlalu tinggi melebihi daya 0,23 0,07
dukung kawasan
2. Pengaruh budaya negatif 0,14 0,04
3. Aktivitas wisatawan tdk mendukung konservasi 0,22 0,06
4. Aktivitas sekitar Teluk Jakarta menyebabkan degradasi 0,15 0,04
lingkungan
5. Koordinasi antar sektor dan pengambil kebijakan masih 0,26 0,07
lemah
46

Berdasarkan hasil perhitungan bobot menunjukkan bahwa nilai tertinggi


untuk kekuatan adalah potensi keindahan SDA yang masih relatif terjaga (0,06)
serta akomodasi dan transportasi yang cukup mudah untuk menjangkau pulau-
pulau tujuan wisata (0,06). Nilai tertinggi untuk kelemahan adalah sebesar 0,07
yaitu untuk sistem pengelolaan wisata yang belum terpadu, kemudian untuk
peluang adalah meningkatnya minat wisatawan terhadap wisata bahari sebesar
0,05. Adapun untuk ancaman adalah berupa jumlah wisatawan yang terlalu tinggi
melebihi daya dukung kawasan serta koordinasi antar sektor dan pengambil kebijakan
yang masih lemah (memiliki nilai masing-masing 0,07). Berdasarkan keseluruhan
hasil tersebut maka dapat dilihat bahwa nilai tertinggi berada pada faktor
kelemahan dan ancaman. Hal ini berarti bahwa faktor kelemahan dan ancaman
mendominasi kondisi wisata di Kepulauan Seribu.

Tahap pengambilan keputusan dengan analisis SWOT


Strategi strategi pengembangan wisata bahari pada penelitian ini disusun
berdasarkan pertimbangan dari seluruh faktor-faktor SWOT beserta bobotnya.
Strategi ini diambil juga berdasarkan atas kondisi lapangan dan berdasarkan
literatur serta hasil wawancara dan informasi yang didapat selama penelitian
dilakukan.
Berdasarkan hasil analisis SWOT didapatkan empat strategi SO (strategi
yang mempertimbangkan faktor kekuatan dan peluang), lima strategi ST (strategi
yang mempertimbangkan faktor kekuatan dan ancaman), tiga strategi WO
(mempertimbangkan faktor kelemahan dan peluang), dan tiga strategi WT
(mempertimbangkan faktor kelemahan dan ancaman). Hasil analisis SWOT secara
keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 18.
Setelah menyusun strategi dengan mempertimbangkan seluruh faktor-faktor
SWOT, maka langkah selanjutnya adalah membuat urutan strategi. Urutan strategi
disusun berdasarkan nilai bobot masing-masing strategi yang telah disusun pada
langkah sebelumnya. Bobot pada masing-masing strategi diurutkan dari yang
paling besar ke paling kecil. Hal ini dilakukan untuk menentukan strategi yang
disarankan terlebih dahulu dilaksanakan oleh pihak pengelola agar pengembangan
wisata bahari di Kepulauan Seribu dapat berjalan secara berkelanjutan. Urutan
keseluruhan strategi tersebut tersaji pada Tabel 19. Bentuk-bentuk strategi dalam
pengembangan kegiatan wisata bahari tersebut adalah melalui upaya :
1. Memperkuat koordinasi antar sektor, pengambil kebijakan, dan masyarakat.
2. Zonasi harus ditetapkan secara terintegrasi antara darat dan lautnya.
3. Membatasi jumlah wisatawan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
serta meningkatkan kualitas pelayanan, tidak hanya mengikuti jumlah
permintaan.
4. Membuat zonasi wisata yang didasarkan atas jenis wisata.
5. Mendata jumlah investor dan operator wisata serta melibatkannya dalam
pengelolaan wisata.
6. Ketegasan dalam menerapkan iuran PNBP bagi wisatawan yang masuk ke
kawasan TNLKPS dan Pemberian sanksi tegas bagi pelanggar peraturan
7. Masyarakat yang menjadi pemandu wisata mengarahkan wisatawan untuk
tidak melakukan pelanggaran.
8. Kerjasama antara pengelola wisata, pemerintah, dan investor dalam
meningkatkan kualitas sarpras dan infrastruktur
47

9. Mendorong masyarakat untuk menjadi pelaku utama wisata di daerahnya


sendiri.
10. Membangun unit pemasaran dan promosi produk lokal.
11. Membuat buku panduan/ brosur/ sejenisnya bagi wisatawan mengenai etika
dan budaya lokal ketika berwisata.
12. Mengontrol jumlah kapal yang masuk ke Kepulauan Seribu dari seluruh
dermaga pemberangkatan.
13. Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia melalui penyuluhan, pelatihan,
dan sertifikasi.
Tabel 18 Hasil analisis matriks SWOT
Internal Kekuatan/Strength (S) Kelemahan/Weakness (W)
S1, S2, S3, S4, S5 W1, W2, W3, W4, W5
Eksternal
Strategi SO Strategi WO
1. Melaksanakan program 1. Meningkatkan kapasitas SDM
pelestarian alam melalui penyuluhan, pelatihan, dan
(S1,S2,S3,O1,O2,O3,O5). sertifikasi (W5,O3).
2. Membangun unit pemasaran 2. Mendata jumlah investor dan
Peluang/ dan promosi produk lokal operator wisata serta
Opportunity (O) (souvenir, dll) melibatkannyadalam pengelolaan
(S3,O2,O3,O4) wisata (W1,W2,
O1, O2, O3, 3. Mendorong masyarakat W3,O1,O2,O4,O5).
O4, O5 untuk menjadi pelaku utama 3. Kerjasama antara pengelola wisata,
wisata di daerahnya sendiri pemerintah, dan investor dalam
(S3,S4,O3,O4) meningkakan kualitas sarpras dan
4. Ketegasan dalam infrastruktur (W1,W2, W3,O3)
menerapkan iuran PNBP 4. Membuat zonasi wisata yang
bagi wisatawan yang masuk didasarkan atas jenis wisata
ke kawasan TNLKpS (W1,W4,O1,O2,O3,O4,O5).
(S1,S2,O1,O2,O3,O5) 5. Zonasi harus ditetapkan secara
terintegrasi antara darat dan lautnya
(W1, W2, W4, W5, O1, O2, O3,
O4, O5)
Strategi ST Strategi WT
1. Membuat buku panduan/ 1. Membatasi jumlah wisatawan
brosur/ sejenisnya bagi sesuai dengan daya dukung dan
wisatawan mengenai etika daya tamping, serta meningkatkan
Ancaman/ dan budaya lokal ketika kualitas pelayanan, tidak hanya
Threat (T) berwisata (S3,S4,T2) mengikuti jumlah permintaan
2. masyarakat yang menjadi (W1,W2,W4,T1,T3,T)
T1, T2, T3, pemandu mengarahkan 2. pemberian sanksi tegas bagi
T4, T5 wisatawan untuk tidak pelanggar peraturan
melakukan pelanggaran (W2,W3,W5,T1,T3)
(S3,S4,T1,T3) 3. Memperkuat koordinasi antar
3. Mengontrol jumlah kapal sektor, pengambil kebijakan, dan
yang masuk ke Kep. Seribu masyarakat,
dari seluruh dermaga (W1,W2,W4,W5,T1,T2,T3,T4,T5)
pemberangkatan (S5,T1)
48

Tabel 19 Urutan strategi pengembangan wisata bahari


Unsur Jumlah Ranking
Keterkaitan
SWOT Bobot
Strategi SO
 SO1 S1,S2,S3,O1,O2,O3,O5 0,31 5
 SO2 S3,O2,O3,O4 0,16 10
 SO3 S3,S4,O3,O4 0,18 9
 SO4 S1,S2,O1,O2,O3,O5 0,26 6
Strategi ST
 ST1 S3,S4,T2 0,14 11
 ST2 S3,S4,T1,T3 0,23 7
 ST3 S5,T1 0,11 12
Strategi WO
 WO1 W5,O3 0,09 13
 WO2 W1,W2,W3,O1,O2,O4,O5 0,31 5
 WO3 W1,W2,W3,O3 0,20 8
 WO4 W1,W4,O1,O2,O3,O4,O5 0,32 4
 WO5 W1, W2, W4, W5, O1, O2, O3, O4, O5 0,41 2
Strategi WT
 WT1 W1,W2,W4,T1,T3,T5 0,37 3
 WT2 W2,W3,W5,T1,T3 0,26 6
 WT3 W1,W2,W4,W5,T1,T2,T3,T4,T5 0,50 1

Setelah diurutkan, kemudian dari seluruh strategi ini dipilih empat strategi
dengan urutan teratas. Pemilihan ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya
dapat dilakukan secara fokus, meskipun tidak menutup kemungkinan pula bagi
strategi-strategi dengan urutan selanjutnya untuk dilakukan. Keempat strategi
prioritas tersebut adalah :

Memperkuat koordinasi antar sektor, pengambil kebijakan, dan masyarakat


Kondisi alam merupakan modal utama kegiatan wisata yang dimiliki
Kepulauan Seribu, dimana modal ini menurut Bennett et al. (2011) terdiri dari
ketersediaan sumberdaya alam dan upaya pelestarian yang dilakukan pemerintah
bersama penduduk lokal. Beberapa kegiatan penyuluhan sesungguhnya telah lama
dilakukan baik oleh pihak BTNLKpS, Pemda Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu, Pemda Provinsi DKI Jakarta, maupun dari Lembaga Swadaya Masyarakat
terkait, namun demikian masyarakat masih perlu didorong untuk tetap menjaga
lingkungan serta menjadi pelaksana dan penyedia jasa dalam aktivitas wisata.
Kerjasama antara pemerintah dan pihak terkait, termasuk masyarakat sangat
diperlukan untuk keberlanjutan usaha wisata bahari di lokasi ini.
Terkait perbedaan pengembangan wisata yang dilakukan di kawasan
TNLKpS dan yang dilakukan di luar TNLKpS, pemerintah daerah maupun Balai
TNLKpS perlu bersama-sama melakukan penyuluhan secara berkala kepada
operator/pemandu wisata tentang prinsip ekowisata dan penerapannya terutama
bagi operator/pemandu wisata yang menjadikan kawasan TNLKpS sebagai daerah
operasi. Hal ini perlu dilakukan mengingat perbedaan status kawasan TNLKpS
yang tidak bisa secara bebas dimanfaatkan untuk wisata bahari seperti kawasan-
kawasan lainnya di luar TNLKpS.
49

Koordinasi juga perlu dilakukan melalui upaya-upaya konservasi yang dapat


dilakukan wisatawan sejalan dengan kegiatan-kegiatan wisata. Sebagai contoh,
melaui program partisipasi wisatawan dalam menjaga kelestarian alam yang
diwujudkan dengan membuat suatu aturan yang mewajibkan bagi
wisatawan/kelompok wisatawan untuk menanam sejumlah bibit mangrove atau
transplantasi karang yang diimplementasikan melaui peraturan daerah maupun
peraturan di TNLKpS. Koordinasi dalam upaya konservasi sangat diperlukan,
karena jika pelestarian ini tidak dilakukan secara bersama antar pihak, mak aada
peluang timbulnya benturan antara pemerintah sebagai regulator dengan
penduduk lokal (McClanahan et al. 2006).

Zonasi harus ditetapkan secara terintegrasi antara darat dan lautnya


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Kawasan perairan terbagi
menjadi sub zona konservasi perairan (sub zona PP1) dan zona pemanfaatan
umum perairan (sub zona PP2). Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta No. 1 Tahun 2014 untuk sub zona PP1 ditekankan sebagai
wilayah perlindungan kawasan perairan. Namun untuk pengaturan sub zona
pulau-pulau yang berada pada perairan sub zona PP1 ada yang ditetapkan sebagai
zona perkantoran, perdagangan dan jasa di wilayah pulau, zona perumahan di
wilayah pulau, serta zona pelayanan umum dan sosial.
Hal ini merupakan suatu kebijakan yang kontradiktif, sehingga perlu
ditinjau kembali dengan melakukan kesepakatan antara pemangku kebijakan yang
berwenang dalam mengelola Kepulauan Seribu, karena pengelolaan wilayah darat
dan perairan terutama di pulau-pulau kecil haruslah berdasarkan kepada prinsip
keterpaduan, sejalan dengan pernyataan Cambers (1992) dalam Adrianto (2004)
yang menyebutkan bahwa strategi pengelolaan pulau-pulau kecil harus dapat
mengkaitkan seluruh kegiatan dan pemangku kepentingan yang ada di pulau-
pulau kecil, dengan menggunakan sistem yang terkoordinasi.

Membatasi jumlah wisatawan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
serta meningkatkan kualitas pelayanan, tidak hanya mengikuti jumlah permintaan.
Wisata di Kepulauan Seribu merupakan suatu alternatif tujuan wisata yang
murah, dekat dengan kota Jakarta, transportasi mudah, dan unik karena berbeda
dengan lokasi-lokasi wisata lain di wilayah perkotaan pada umumnya. Oleh
karena itu, antusiasme masyarakat untuk berkunjung ke lokasi ini tak dapat
dihindari. Dampak positif dengan adanya kegiatan wisata ini adalah membuka
lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal, seperti sebagai pemandu wisata,
pengelola katering, penyedia sewa homestay, penyedia sewa alat-alat snorkeling,
penyedia sewa kapal, bahkan sebagai agen wisata yang mengkoordinir seluruh
kegiatan dan aktivitas wisatawan.
Dampak positif secara ekonomi cukup baik, namun seperti yang telah
dibahas pada sub bab sebelumnya bahwa secara umum jumlah wisatawan saat ini
telah melebihi daya dukung wisata. Padatnya jumlah wisatawan bisa dikatakan
tidak sejalan dengan kualitas pelayanan yang diberikan pada wisatawan. Jika daya
tampung sarana dan prasarana tersebut dilampaui, maka akan terjadi kemerosotan
sumberdaya, menurunnya kepuasaan pengunjung, dan akhirnya merugikan
terhadap masyarakat, ekonomi, dan budaya (Simon et al. 2004). Adanya
fenomena harga paket wisata yang lebih murah jika jumlah wisatawan pada satu
50

kelompok wisata lebih banyak, justru menunjukkan pelayanan yang semakin


menurun, termasuk terhadap ketersediaan air bersih, makanan, dan fasilitas wisata
lain (terbatas). Kondisi demikian harus menjadi pertimbangan bagi piha-pihak
pengelola agar jumlah wisatawan sebaiknya dibatasi sesuai dengan daya dukung
wisata, sehingga aktivitas wisata, termasuk pelayanannya ini dapat dijaga
keberlanjutannya.

Membuat zonasi wisata yang didasarkan atas jenis wisata.


Zonasi wisata perlu disusun untuk memudahkan kontrol terhadap kawasan
wisata dan juga aktivitas wisata yang berjalan di wilayah tersebut. Penetapan zona
rekreasi berfungsi sebagai pembatas wilayah rekreasi bagi wisatawan dan dapat
menentukan pintu akses masuk/keluar wisatawan (pelabuhan/dermaga). Hal
tersebut dimaksudkan agar wisatawan dapat menikmati lokasi wisata dengan
optimal dan memusatkan kegiatan mereka di daerah tersebut tanpa menggangu
zona peruntukan lain (Wallace 1993).
Zona wisata sangat perlu disusun agar pemanfaatan kawasan di dalam dan
di luar kawasan TNLKpS dapat diperlakukan secara berbeda. Sebagaimana telah
dibahas sebelumnya bahwa kegiatan wisata di kawasan TNLKpS harus
merupakan ekowisata dan tidak ada pilihan lain. Selain itu penetapan zonasi
wisata juga harus didasarkan pada kajian yang lebih dalam mengenai potensi
masing-masing pulau dan perairan di sekitarnya, misalnya untuk wisata selam,
snorkeling, wisata pantai, dan jenis wisata lainnya berada pada lokasi yang tepat
dan paling baik, sehingga dapat memuaskan wisatawan yang berkunjung.

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :


1. Hasil identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
luas daratan dan perairan eksisting dengan luas daratan dan perairan yang
tertera pada SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1986 Tahun 2000.
Penambahan luas daratan ini disebabkan (terutama pada pulau-pulau
permukiman) oleh kegiatan reklamasi, dimana kebijakan reklamasi pantai
tersebut dilakukan sesuai dengan salah satu tujuan penataan ruang Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu, yaitu terwujudnya pengembangan dan
penataan kawasan permukiman dan kawasan pemerintahan melalui reklamasi
berwawasan lingkungan serta dilengkapi dengan prasarana pada pulau
permukiman.
2. Terdapat beberapa ketidak konsistensian antara zonasi yang ditetapkan di
RDTR Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2014 dengan zonasi
yang ditetapka oleh TNLKpS, khususnya untuk wilayah-wilayah perairan.
Berdasarkan hasil perbandingan ini terlihat bahwa aturan pada RDTR tahun
2014 di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu hanya mengakomodir
zona untuk wilayah daratan pulau, sementara itu zonasi TNLKpS hanya
51

mengatur sebagian besar wilayah perairan di Kecamatan Kepulauan Seribu


Utara, dan terdapat ketidaksinkronan dalam kedua aturan tersebut. Oleh
karena itu, pengaturan zonasi untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
perlu disusun kembali secara terintegrasi antara daratan (pulau) dan
perairannya sehingga dapat dilaksanakan secara terpadu, baik itu dari segi
pengelolaannya maupun secara ekologi.
3. Berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana maka adalah Kelurahan Pulau
Panggang dan Pulau Untung Jawa, dapat dijadikan sebagai pusat pelayanan
untuk kelurahan-kelurahan lainnya di masing-masing kecamatan dalam
pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu.
4. Strategi prioritas dalam pengembangan wisata bahari di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu yang utama adalah (1) memperkuat
koordinasi antar sektor, pengambil kebijakan dan masyarakat; (2) zonasi
harus ditetapkan secara terintegrasi antara darat dan lautnya; (3) membatasi
jumlah wisatawan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung serta
meningkatkan kualitas pelayanan, tidak hanya mengikuti jumlah permintaan;
dan (4) membuat zonasi wisata yang didasarkan atas jenis wisata.

Saran

1. Batas maksimum wisatawan seharusnya diperhatikan oleh pihak pengelola,


dimana hal ini didasarkan atas kajian daya dukung wisata. Mengingat data
daya dukung belum seluruhnya ada di setiap pulau, maka perlu dilakukan
kajian lanjutan mengenai daya dukung wisata untuk semua lokasi wisata di
Kepulauan Seribu.
2. Padatnya bangunan dan jumlah penduduk yang besar pada beberapa pulau
permukiman seharusnya mendorong pengelola untuk menerapkan dengan
tegas aturan batas maksimum bangunan yang bisa dibangun di suatu pulau
dengan kondisi aktual saat ini.
3. Pengembangan kawasan baik itu darat dan laut di Kepulauan Seribu harus
didasarkan kepada zonasi dan perencanaan kawasan yang dilakukan secara
menyeluruh dan terintegrasi, sehingga perlu adanya tindakan prioritas dengan
melakukan penataan ruang yang lebih detil di daratan pulau dan kawasan
perairan laut.
52

DAFTAR PUSTAKA

Adjaye JA, Tapsuwan S. 2008. A Contingent Valuation Study of Scuba Diving


Benefits: Case study in Mu Ko Similan Marine National Park, Thailand.
Tourism Management :1122 – 1130.
Adrianto L. 2004. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang
Berkelanjutan. Bogor (ID) : PKSPL-IPB.
Anggraini D. 2009. Analisis Potensi Wisata Bahari di Kawasan Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta dengan Pendekatan
Recreation Opportunity Spectrum. [Tesis]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Aziz A. 2003. Kajian Pengembangan Pariwisata Bahari di Kelurahan Pulau
Kelapa Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. [Tesis]. Bogor (ID) :
Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Baksir A. 2010. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil untuk Pemanfaatan Wisata
Berkelanjutan di Kecamatan Morotai Selatan dan Morotai Selatan Barat
Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara. [Disertasi]. Bogor
(ID) : Institut Pertanian Bogor.
Bennett N, Lemelin RH, Koster R, Budke I. 2011. A Capital Assets Framework
for Appraising and Building Capacity for Tourism Development in
Aboriginal Protected Area Gateway Communities. Tourism Management
33: 752-766.
Bengen DG. 2000. Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir. Prosiding Pelatihan
untuk Pelatih, Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu 8 : 74-88. Bogor
(ID) : Institut Pertanian Bogor.
[BPS Kep. Seribu] Badan Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. 2012. Kepulauan Seribu Dalam Angka 2012. Jakarta (ID) : Badan
Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
[BPS Kep. Seribu] Badan Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. 2014a. Kepulauan Seribu Dalam Angka 2014. Jakarta (ID) :
Badan Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
[BPS Kep. Seribu] Badan Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. 2014b. Pendapatan Regional Bruto Kepulauan Seribu 2009-2013.
Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu.
[BTNLKpS] Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. 2011a. Profil Balai
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Jakarta (ID) : Balai Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu.
[BTNLKpS] Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. 2011b. Review
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Periode
Tahun 1999-2019 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi
DKI Jakarta. Jakarta (ID) : Balai Taman Nasional Laut Kepulauan
Seribu.
[BTNLKpS] Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. 2012. Peta Indikasi
Kerawanan Gangguan di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Jakarta (ID) : Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
53

Clark JR. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Florida (USA) : Lewis
Publisher.
Gunn CA. 1994. Tourism Planning: Basics, Concepts, Cases. Third Edition.
Washington : Taylor & Francis Publisher.
Dahuri R, Rais J, Ginting, SP, Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Edisi Revisi. Jakarta (ID) :
Pradnya Paramita.
Damanik J, Weber HF. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi.
Yogyakarta (ID) : Penerbit Andi.
Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tata Guna Lahan. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.
Jurado EN, Tejada MT, Gracia FA, Gonzalez JC, Macia RC, Pena JD, Gutierrez
FF, Fernandez GG, Gallego ML, Garcia GM, Gutierrez OM, Concha FN,
De La Rua, FR, Sinoga JR, Becerra FS. 2011. Carrying Capacity
Assessment for Tourist Destinations. Methodology for the Creation of
Synthetic Indicators Applied in a Coastal Area. Tourism Management :
1337 – 1346.
Kangas J, Pesonen M, Kurttila M, Kajanus M. 2001. A’WOT: Integrating The
AHP With SWOT Analysis. ISAHP 6th. 2001 Agustus 2-4. Berne,
Switzerland.
Kartika T, Harini S, Asriningrum W. 2011. Modul Pengolahan Data
Menggunakan ER Mapper untuk Interpretasi Mangrove dan Terumbu
Karang. Workshop Pengelolaan Wilayah Konservasi Ekosistem Pantai.
September. Jakarta (ID) : Massma Publishing.
[PPJ] Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. 2005. Penuntun Praktikum
Penginderaan Jauh Erdas Imagine. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
McClanahan TR, Marnane MJ, Cinner JE, Kiene WE. 2006. A Comparison of
Marine Protected Areas and Alternative Approaches to Coral-Reef
Management. New York (USA) : Current Biology : 1409 – 1413.
Osuna E, Aranda A. 2007. Combinating SWOT and AHP Techniques for
Strategic Planning. ISAHP : 1 – 8.
Panuju DR, Rustiadi E. 2012. Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan
Wilayah, Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pemerintah Republik Indonesia. 2005. Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2005
Tentang Pengelolaan Pulau Terluar. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik
Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang
No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik Indonesia.
54

[Pemprov DKI] Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2014.


Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1
Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
Jakarta (ID) : Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Rangkuti F. 2009. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID) :
PT Gramedia Pustaka Utama.
Razak A, Suprihardjo R. 2013. Pengembangan Kawasan Pariwisata Terpadu di
Kepulauan Seribu. Jurnal Teknik POMITS 2 (1) : C14 – C19.
Rudita IKP. 2012. Potensi Obyek Wisata dan Keterpaduannya dalam
Pengembangan Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar
Provinsi Bali. [Tesis]. Bogor (ID) : Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta (ID) : Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hierarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi yang Kompleks
(Terjemahan). Jakarta (ID) : PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Salm RV, Clark JR, Siirila E. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide
for Planners and Managers. Third Edition. Switzerland : Internasional
Union For Conservation of Nature and Natural Resources, Bland.
Simon FJG, Narangajavana Y, Marques DP. 2004. Carrying Capacity in The
Tourism Industry : A Case Study of Hengisbury Head. Spanyol : Tourism
Management 25 : 275-283.
Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung (ID) : Tarsito.
[SudinParbud] Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu. 2013. Laporan Jumlah Wisatawan di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2010-2013. Jakarta (ID) : Suku
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu.
Tar H. 2010. Arahan Pengembangan Kawasan Minapolitan Mandeh Kabupaten
Pesisir Selatan Sumatera Barat. [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.
Triono. 2013. Penilaian Ekonomi dan Daya Dukung Wisata Bahari di Pulau Pari
Kepulauan Seribu. Provinsi DKI Jakarta. [Tesis]. Bogor (ID) : Sekolah
Pasca Sarjana IPB.
Wallace GN. 1993. Pengelolaan Pengunjung: Pelajaran dari Taman Nasional
Galapagos (Terjemahan). Hal. 58-93. Ekoturisme: Petunjuk untuk
Perencana dan Pengelola. Penyunting Kreg Lindberg dan Donald. E.
Hawkins. Vermont : The Ecotourism Society.
Widiatmaka. 2013. Analisis Sumberdaya Wilayah Untuk Perencanaan Tata Guna
Lahan. Bogor (ID) : PS. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Wong PP. 1998. Coastal Tourism Development in Southeast Asia : Relevance and
Lessons for Coastal Zone Management. Ocean and Coastal
Management : 89-109.
Yuanike. 2003. Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove dan Patisipasi
Masyarakat Di Kawasan Nusa Lembongan, Bali. [Tesis]. Bogor (ID) :
Institut Pertanian Bogor.
55

Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya


Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Departemen MSP; 2007 Feb
21; Bogor, Indonesia. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Yulianda F, Fahrudin A, Adrianto L, Hutabarat A.A, Harteti S, Kusharjani, Kang
H.S. 2010. Kebijakan Konservasi Perairan Laut dan Nilai Valuasi
Ekonomi. Bogor (ID) : Pusdiklat Kehutanan, SECEM.
Yulianda F, Purwita I.H. 2010. Pendekatan Ekosistem Terumbu Karang untuk
Pengelolaan Wisata Bahari di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan
Seribu, Jakarta. Konferensi Nasional VII; 2010 Agst 4 – 6; Ambon,
Indonesia.
56

Lampiran 1 Variabel-Variabel yang digunakan dalam Analisis Skalogram

No Variabel
1 Jumlah Penduduk (jiwa)
2 Jarak ke Pelabuhan Jakarta terdekat
3 jarak ke RS terdekat (km)
4 jarak ke RS bersalin terdekat (km)
5 jarak ke poliklinik terdekat (km)
6 jarak ke praktek dokter terdekat (km)
7 jarak ke praktek bidan terdekat (km)
8 jarak ke pos kesehatan desa terdekat (km)
9 jarak ke pondok bersalin desa terdekat (km)
10 jarak ke apotek terdekat (km)
11 jarak ke kantor camat (km)
12 jarak ke kantor bupati (km)
13 jarak ke pertokoan terdekat (km)
14 jarak ke pasar terdekat (km)
15 jarak ke bank umum terdekat (km)
16 jarak ke pos polisi terdekat (km)
17 jumlah rumah sakit
18 jumlah RS bersalin
19 jumlah puskesmas
20 jumlah praktek dokter
21 jumlah pos kesehatan desa
22 jumlah posyandu
23 jumlah bidan yang menetap
24 jumlah tenaga kesehatan lainnya
25 jumlah masjid
26 jumlah surau
27 jumlah perkumpulan hobi
28 jumlah industri kecil dan mikro dari kayu
29 jumlah industri kecil dan mikro dari anyaman
30 jumlah industri kecil dan mikro dari gerabah
31 jumlah industri kecil dan mikro dari kain
32 jumlah industri kecil dan mikro dari makanan minuman
33 jumlah toko/warung kelontong
34 jumlah warung makanan
35 jumlah restoran
36 jumlah hotel
37 jumlah penginapan
38 jumlah koperasi
39 jumlah bank umum
57

Lampiran 2 Contoh Perhitungan A’WOT

Faktor Kekuatan
Tingkat rata-rata
KRITERIA Ratting
kepentingan nilai
1. Potensi Keindahan SDA 9 026 4
2. Jenis objek wisata khas 7 0,20 4
3. Partisipasi masyarakat 5 0,14 4
4. Keramahan masyarakat 6 0,17 4
5. Akomodasi dan Transportasi 8 0,23 2
JUMLAH 35 1

KRITERIA Potensi Jenis objek Partisipasi Keramahan Akomodasi


Keindahan wisata khas masyarakat masyarakat dan
SDA transportasi
1. Potensi Keindahan SDA 1,00 1,29 1,80 1,50 1,13
2. Jenis objek wisata khas 0,78 1,00 1,40 1,17 0,88
3. Partisipasi masyarakat 0,56 0,71 1,00 0,83 0,63
4. Keramahan masyarakat 0,67 0,86 1,20 1,00 0,75
5. Akomodasi dan 0,89 1,14 1,60 1,33 1,00
Transportasi
JUMLAH 3,89 5,00 7,00 5,83 4,38

tingkat kepentingan 7
Rata-rata nilai (ȳ) = = 0,20
∑ tingkat kepentingan 35

Perbandingan antar kriteria 2 dan 1 (p21) = = 0,78

Potensi Akomodasi
Jenis objek Partisipasi Keramahan
KRITERIA Keindahan dan
wisata khas masyarakat masyarakat
SDA transportasi
1. Potensi Keindahan SDA 1,00 1.23 1.27 1.11 1.03
2. Jenis objek wisata khas 0,81 1.00 1.04 0.91 0.84
3. Partisipasi masyarakat 0,79 0.97 1.00 0.87 0.81
4. Keramahan masyarakat 0,90 1.10 1.14 1.00 0.93
5. Akomodasi dan
0,97 1.19 1.24 1.08 1.00
Transportasi
JUMLAH 4,47 5.49 5.69 4.97 4.60
Rekap perbandingan antar kriteria 2 dan 1(ȳ p21 )
1
= p21-1 ) x p21-2 )x p21-3 )x...... p21-n ) n

= 0,81
Keterangan : p21-1 ) : Perbandingan antar kriteria 2 dan 1 orang ke-1
n : orang ke-n
58

Dinormalkan
Potensi Akomodasi faktor
Jenis objek Partisipasi Keramahan
KRITERIA Keindahan dan prioritas
wisata khas masyarakat masyarakat
SDA transportasi dalam grup
1. Potensi Keindahan
0.22 0.22 0.22 0.22 0.22 0.22
SDA
2. Jenis objek wisata khas 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18
3. Partisipasi masyarakat 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18
4. Keramahan masyarakat 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20
5. Akomodasi dan
0.22 0.22 0.22 0.22 0.22 0.22
Transportasi
p21 0,81
Perbandingan antar kriteria 2 dan 1 yang dinormalkan = = = 0,18
p 4,47

Faktor prioritas dalam grup = rata-rata masing-masing kriteria = 0,18

Grup Prioritas Faktor Prioritas Faktor


Faktor SWOT
SWOT Grup dalam grup Prioritas
1. Potensi Keindahan SDA 0.22 0.06
2. Jenis objek wisata khas 0.18 0.05
Kekuatan 0.27 3. Partisipasi masyarakat 0.18 0.05
4. Keramahan masyarakat 0.20 0.05
5. Akomodasi dan Transportasi 0.22 0.06
Faktor prioritas = prioritas grup x faktor prioritas dalam grup
= 0,27 x 0,18 = 0,05
59

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cimahi pada tanggal 29 Agustus 1986, sebagai anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Nang Yoyo dan Ibu Yuhaeni,
kemudian menikah pada tahun 2012 dengan Handito Prihandono. Pendidikan
formal diawali di SDN 5 Cimahi hingga lulus tahun 1998, lalu di tahun yang sama
diterima di SMPN 1 Cimahi dan menyelesaikan studi tahun 2001. Penulis
melanjutkan studi di SMAN 2 Cimahi hingga tahun 2004, kemudian diterima di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan dan lulus pada tahun 2009.
Sejak tahun 2009 hingga saat ini penulis bekerja sebagai Pengendali
Ekosistem Hutan (PEH) di Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih,
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA),
Kementerian Kehutanan (saat ini menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan). Pada tahun 2013 penulis mendapatkan beasiswa dari Pusat
Pendidikan, Pembinaan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Nasional
(Pusbindiklatren BAPPENAS) untuk melanjutkan pendidikan strata dua (S-2)
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai