Anda di halaman 1dari 18

0

USULAN PENELITIAN

STRATEGI PENGEMBANGAN
DESA WISATA LUMBUNG KAUH
SEBAGAI BAGIAN KAWASAN NIKOSAKE

Oleh
I Made Gede Darma Susila
NIM 1981011002

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perkembangan pariwisata, destinasi wisata di Kabupaten Tabanan

menawarkan sejumlah daya tarik wisata yang menarik untuk dikunjungi

wisatawan mancanegara. Beberapa daya tarik tersebut yang mendapat kunjungan

tertinggi oleh wisatawan mancanegara seperti daya tarik wisata Tanah Lot, Pura

Ulun Danu, dan Jati Luwih (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2018). Peran sektor

pariwisata dalam suatu destinasi dapat meningkatkan PAD (Pendapatan Asli

Daerah) di Kabupaten Tabanan. Dalam rangka pemerataan pembangunan di

Kabupaten Tabanan, telah mulai dikembangkan kawasan Nikosake yang

ditetapkan dalam surat keputusan Bupati Nomor 180/178/02/HK&HAM/2018

tentang lokasi pengembangan agribisnis terintegrasi berbasis kearifan lokal dan

pariwisata kawasan Nikosake (dikutip dari

https://www.balipuspanews.com/tabanan-launching-modul-transfomasi-database-

di-desa-wisata-kawasan-nikosake.html diakses pada 3 desember 2019 online)

Kawasan Nikosake ini merupakan akronim dari Nila, Kopi, Salak dan

Kelapa yang akan dikembangkan sebagai pilot project dengan masing-masing

produk unggulan yang dimiliki desanya. Kawasan Nikosake termasuk dalam

Kawasan Prioritas Pembangunan Nasional dimana dari 23 desa yang ada, baru 5

desa saja yang dikembangkan. Berdasarkan Rancangan Peraturan Bupati Tabanan

Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Action Plan Tourism Models Dalam


2

Pengembangan AgribisnisTerintegrasi Berbasis Kearifan Lokal dan Pariwisata di

Kawasan Nikosake, terdapat lima desa yang tergabung didalam kawasan ini

yakni; Desa Belimbing, Desa Sanda, Desa Munduktemu, Desa Wanagiri dan Desa

Lumbung Kauh yang mempunyai potensi unggulan pertanian.

Desa Lumbung Kauh terletak di Kecamatan Selemadeg Barat, yang

memiliki luas 730, 67 hektar yang memiliki potensi perkebunan kelapa sebagai

bagian dari Kawasan Nikosake. Potensi lainnya yang terdapat di desa ini seperti

kopi, cengkeh dan hasil buah-buahan lainnya. Desa Lumbung Kauh ini ditetapkan

melalui SK BUPATI TABANAN NO.180/314/03/HK & HAM/2018 menjadi

Desa Wisata. Selain itu, Keseriusan Pemerintah Kabupaten Tabanan dalam

menggarap Kawasan Nikosake ini ditunjukkan dengan mengimplementasikan

konsepnya pertama kali di Desa Lumbung Kauh dengan melakukan Launching

dan Focus Group Discussion (FGD) (dikutip dari https://news.okezone.com

diakses pada 3 desember 2019). Dalam acara tersebut, dilakukan pemberdayaan

masyarakat berbasis pengolahan kelapa (coconut industries tourism) di Balai

Banjar Delod Ceking, Selemadeg Barat. Dari kegiatan tersebut diharapkan

masyakat dapat memproduksi produk kelapa dan disalurkan ke BUMDA.

Setelah berjalan selama setahun sejak diresmikan menjadi Desa Wisata,

kelompok sadar wisata (POKDARWIS) tidak memiliki progress untuk melangkah

ketahap pengembangan selanjutnya. Sehingga terjadi pengelolaan pariwisata yang

ingin diwujudkan menjadi terhenti atau stagnan. Perlu diadakannya suatu studi

terkait dengan strategi pengembangan Desa Wisata melalui identifikasi SWOT

(strengths, weakness, opportunities, threats) untuk mengetahui potensi desa yang


3

dikembangkan sebagai aktivitas wisata sehingga dapat menarik wisatawan untuk

berkunjung. Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukanlah penelitian yakni

“Strategi Pengembangan Desa Wisata Lumbung Kauh Sebagai Bagian Kawasan

Nikosake.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan dalam penelitian ini akan

difokuskan pada strategi pengembangan yang akan dilakukan di Desa Wisata

Lumbung Kauh, Kabupaten Tabanan. Permasalahan tersebut akan dijelaskan

dengan menjawab pertanyaan penelitian yang diformulasikan sebagai berikut.

1. Apa saja potensi wisata yang dimiliki oleh Desa Lumbung Kauh ditinjau

dari segi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman?

2. Bagaimana strategi yang tepat dalam pengembangan desa wisata di Desa

Lumbung Kauh, Kabupaten Tabanan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan atas rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian

ini dapat dibedakan menjadi tujuan umum dan khusus sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan kajian mengenai strategi

pengembangan Desa Wisata Lumbung Kauh dilihat dari potensi internal dan

eksternalnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusu penelitian ini bertujuan untuk :


4

1. Untuk mengetahui potensi wisata yang dimiliki Desa Lumbung Kauh ditinjau

dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamannya.

2. Untuk mengetahui strategi pengembangan desa wisata yang tepat di Desa

Lumbung Kauh, Kabupaten Tabanan.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

diantaranya manfaat akademik dan manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut

adalah sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

ilmu kepariwisataan, khususnya menambah referensi mengenai kajian strategi

pengembangan desa wisata. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber

informasi dan inspirasi bagi para peneliti untuk melakukan kajian yang lebih luas

dan mendalam terkait dengan strategi pengembangan desa wisata.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang

positif dalam hal masukan sebagai rujukan dan bahan pertimbangan bagi pihak

desa serta pemangku kepentingan di bidang kepariwisataan lainnya sebagai

informasi awal dalam merancang strategi pengembangan di Desa Wisata

Lumbung Kauh, Kabupaten Tabanan merupakan salah satu kawasan terintegrasi

agrowisata bernama Nikosake.


5

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Penelitian Terdahulu

Tinjauan pustaka ataupun penelitian terkait adalah hasil laporan ilmiah yang

memiliki kesamaan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya. Secara umum penelitian mengenai strategi pengembangan

desa wisata sudah banyak dilakukan. Penelitian ini menggunakan beberapa

penelitian terkait antara lain sebagai berikut.

Penelitian pertama yaitu artikel jurnal dari Dharmawan dkk. (2014) yang

berjudul “Strategi Pengembangan Desa Wisata Di Desa Belimbing, Kecamatan

Pupuan, Kabupaten Tabanan”. Tujuan penelitian ini adalah untuk melaksanakan

potensi Desa Belimbing yang ada dilihat dari empat aspek yaitu kekuatan,

kelemahan, peluang, dan ancaman, dan juga untuk mengetahui strategi

pengembangan pariwisata pedesaan di Desa Belimbing. Dalam penelitian ini

menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif langsung dari

pengamatan dan wawancara dengan kuesioner, di samping data pendukung yang

berasal dari sumber perpustakaan.

Berdasarkan hasil analisis, faktor internal (a) kekuatan : keindahan dan

pelestarian alam adalah pengaruh paling signifikan terhadap pengembangan

pariwisata pedesaan di Desa Belimbing, (b) Kelemahan: Desa Belimbing belum

siap menerima kunjungan wisatawan, karena kurangnya kualitas kebersihan

lingkungan. Faktor Eksternal (a) peluang: faktor terpenting dari peluang adalah
6

nilai dari orang-orang yang selalu menjaga dan melestarikan tradisional budaya,

(b) Ancaman: ancaman paling penting adalah ancaman persaingan dengan orang

lain daerah dalam pengembangan pariwisata pedesaan. Berdasarkan analisis

SWOT diperoleh strategi pengembangan seperti berikut; (a) Strategi S-O adalah

pengembangan pariwisata pedesaan dalam rangka mempertahankan daya tarik dan

promosi di Desa Belimbing. (b) Strategi W-O adalah meningkatkan fasilitas dan

infrastruktur, (c) strategi S-T tersebut menjangkau masyarakat lokal, untuk

meningkatkan keamanan dan mempertahankan budayanya, (d) W-T strategi

adalah strategi administrasi dan manajemen Desa Belimbing sebagai pelatihan

bahasa dan pemandu wisata untuk masyarakat setempat. Karena itu, prioritas yang

dapat dilakukan dalam mengembangkan pariwisata pedesaan dan untuk

mempertahankan daya tariknya oleh menyediakan paket wisata atau peta

pelacakan dan juga untuk memesan lokal dengan benar.

2.2 Landasan Teori & Konsep

2.2.1 Pariwisata

Dalam pasal 1 ayat 3 Undang – Undang No. 10 tahun 2009 tentang

kepariwisataan, dikemukakan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan

wisata yang didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh

masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Pariwisata menurut

Yoeti (dalam Gunardi, 2010) pariwisata berasal dari dua kata, yaitu Pari, yang

berarti banyak, berkali-kali datang dan Wisata, yang berarti perjalanan, bepergian

yang dalam hal ini sinonim dengan kata “travel” dalam bahasa inggris.
7

Prof. Salah Wahab dalam Oka A Yoeti (1996:116) memberikan pendapat

mengenai pariwisata bahwa pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang

mampu mempercepat ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan

penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya.

Selanjutnya, sebagai sektor yang komplek, pariwisata juga merealisasi industri-

industri klasik seperti industri kerajinan tangan dan cinderamata, penginapan dan

transportasi.

2.2.2 Destinasi Pariwisata

Menurut UU No. 10 Tahun 2009 tentang keperiwisataan menyebutkan

bahwa “daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut destinasi pariwisata

adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif

yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata,

aksesibilitas,serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya

kepariwisataan”.

Cooper et all (1993) juga mengatakan bahwa terdapat empat komponen

yang harus dimiliki oleh sebuah destinasi pariwisata, yaitu: 1) Atraksi (Attraction)

seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang menawan, dan seni

pertunjukan; 2) Aksesibilitas (accessibilities) seperti tranportasi lokal dan adanya

terminal; 3) Amenitas atau fasilitas (amenities) seperti tersedianya akomodasi,

rumah makan, dan agen perjalanan; 4) ancillary service yaitu organisasi

kepariwisataan yang dibutuhkan untuk pelayanan wisatawan seperti organisasi

manajemen, pemasaran, biro iklan, kompensional dan pengunjung.


8

2.2.3 Desa Wisata

Menurut I Nyoman Darma Putra, dan I Gde Pitana (2010) dalam Pertiwi

(2016) memberikan definisi tentang desa wisata bahwa pengembangan desa

menjadi desa wisata dilakukan dengan sistem pengelolaan yang bersifat dari, oleh,

dan untuk masyarakat. Dalam konsep desa wisata, peran aktif pembangunan dan

pengelolaan desa wisata berada di tangan masyarakat desa, entah melalui lembaga

koperasi, atau yayasan, pro aktif mengelola daya tarik wisata di daerahnya dengan

mengundang wisatawan untuk datang sekaligus untuk bermalam karena desa

wisata juga menawarkan pelayanan akomodasi.

Dalam Permenbudpar No. PM. 26/UM.001/MKP/2010 tahun 2010, Desa

wisata didefinisikan sebagai suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan

fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat

yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Menurut Darma Putra dan Pitana (2010:71) dalam desa wisata, peran

masyarakat lebih menonjol, mereka menjadi subjek pengelola kunjungan

wisatawan ke desa mereka. Dalam hal ini masyarakat desa tidak menjadi

penonton tetapi pemain yang aktif mengelola daya tarik wisata di desanya

sehingga pada akhirnya keuntungan ekonomi didapatkan dari aktivitas tersebut.

Latar belakang mengembangkan desa wisata adalah kombinasi antara potensi

daya alam dan budaya yang ada serta kesadaran masyarakatnya untuk

memanfaatkan potensi itu untuk pelestariaan lingkungan, budaya, dan juga

mendapatkan manfaat ekonomi.


9

Istilah desa wisata sendiri mulai diperkenalkan awal tahun 1990-an. Dalam

peninjauan kembali terhadap Rencana Induk Pariwisata Bali yang dibiayai oleh

UNDP, dikembangkan sebuah konsep pengembangan pariwisata yang terintegrasi

dengan desa dan suasana pedesaan, yang disebut Desa Wisata (Pitana, 1999).

Konsep ini kemudian diperkenalkan dalam konferensi Internasional tentang

Kebudayaan dan Pariwisata (The International Conference on Culture and

Tourism) di Yogyakarta pada tahun 1992. Pada saat itu Gubernur Ida Bagus Oka

(1988-1998) lewat makalah berjudul “A Sub-System of Cultural Tourism in Bali”

memperkenalkan konsep pariwisata pedesaan (village tourism). Beliau

menyebutkan bahwa desa wisata bukanlah desa yang diciptakan untuk turis tetapi

desa yang menyajikan kebudayaannya yang unik dan menarik, sehingga menarik

pula bagi wisatwan.

2.2.4 Pariwisata Berbasis Masyarakat

Dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan, pemberdayaan

masyarakat merupakan salah satu prasyarat dalam pembangunan berbasis

masyarakat (Community Based Development atau disingkat CBD). Di mana

masyarakat merupakan salah satu faktor penentu keberlanjutan sebuah pariwisata.

Suansri (2003) menyebutkan terdapat 10 prinsip dasar yang dapat dijadikan

sebagai tumpuan dalam  pengembangan Community Based Tourism (CBT) yaitu:

a. Mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam

industri pariwisata,  

b. Mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek tahapan

pengembangan kepariwisataan,
10

c. Mengembangkan kebanggaan komunitas,

d. Meningkatkan kualitas hidup komunitas,

e. Menjamin kelestarian lingkungan kepariwisataan,

f. Mempertahankan keunikan karakter dan budaya di destinasi wisata,

g. Membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran  budaya pada

komunitas setempat,

h. Menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia,

i. Mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas di destinasi,

j. Berperan aktif dalam menentukan persentase pendapatan (pendistribusian

pendapatan yang adil) dari setiap kegiatan kepariwisataan yang terkait dengan

komunitas setempat.

Selain kesepuluh prinsip tersebut, Suansri (2003) CBT juga harus

meliputi 5 dimensi pengembangan yang merupakan aspek utama pembangunan

kepariwisataan sebagai berikut :

a. Dimensi Ekonomi; dengan indikator berupa adanya dana untuk

pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di sektor

pariwisata, berkembangnya pendapatan masyarakat lokal dari sektor

pariwisata;

b. Dimensi Sosial; dengan indikator meningkatnya kualitas hidup,  peningkatan

kebanggaan komunitas, pembagian peran gender yang adil antara laki-laki dan

perempuan, generasi muda dan tua, serta memperkuat organisasi komunitas;

c. Dimensi Budaya; dengan indikator berupa mendorong masyarakat untuk

menghormati nilai budaya yang berbeda, membantu berkembangnya


11

pertukaran buaya, berkembangnya nilai budaya  pembangunan yang melekat

erat dalam kebudayaan setempat;

d. Dimensi Lingkungan; dengan indikator terjaganya daya dukung lingkungan,

adanya sistem pengelolaan sampah yang baik, meningkatnya kepedulian akan

perlunya konservasi dan preservasi lingkungan;

e. Dimensi Politik; dengan indikator meningkatkan partisipasi dari  penduduk

lokal, peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas, dan adanya jaminan

hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan SDA. Dengan adanya konsep

serta prinsip dari Community Based Tourism (CBT), maka dapat dijadikan

dasar dalam pengembangan  pariwisata berbasis masyarakat.

Dengan mengacu pada prinsip dasar CBT yaitu memberdayakan

masyarakat dalam pengembangan pariwisata maka diharapkan masyarakat

berperan tidak hanya sebagai penonton melainkan pelaku pariwisata di

daerahnya. Di Indonesia konsep ini relevan digunakan untuk meningkatkan peran

masyarakat dalam bidang pariwisata yang merupakan sektor unggulan

perekonomian.

2.2.5 Masyarakat Lokal

Masyarakat merupakan kelompok atau kolektivitas manusia yang

melakukan antar hubungan, sedikit banyak bersifat kekal, berlandaskan perhatian

dan tujuan bersama, serta telah melakukan jalinan secara berkesinambungan

dalam waktu yang relatif lama (Setiadi dkk, 2006).

Masyarakat lokal dapat disebut juga sebagai masyarakat setempat atau

community yang merupakan bagian kelompok dari masyarakat (society) dalam


12

lingkup yang lebih kecil, serta mereka lebih terikat oleh tempat (territorial).

(Fairchild dkk dalam Setiadi dkk, 2006:84). Disimpulkan bahwa masyarakat lokal

(local community) adalah suatu kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat

hubungan sosial yang tertentu. Dasar-dasar dari masyarakat setempat adalah

lokalitas dan perasaan masyarakat setempat yang disebut community statement

yang memiliki unsur: (a) Seperasaan; (b) Sepenanggungan; dan (c) saling

memerlukan.

Sehingga dapat diartikan bahwa masyarakat lokal terdiri dari kata

masyarakat dan lokal dimana Lokal bermakna sesuatu yang berasal dari daerah

sendiri. Terkait dengan masyarakat lokal, berarti masyarakat yang berasal dari

darah sendiri, atau daerah kelahiran. Masyarakat lokal di Desa Lumbung Kauh

berarti kelompok masyarakat yang berasal dari Desa Lumbung Kauh, yang

menjalankan tata kehidupan dan kebiasaan sehari-hari yang berlaku umum sudah

diterima oleh masyarakatnya. Terkait dengan pembangunan kepariwisataan yang

melibatkan masyarakat yaitu sebuah pembangunan yang ditentukan oleh

masyarakat lokal itu sendiri kesuksesan atau ketidaksuksesan pembangunan

tersebut tergantung pada peran masyarakat atau partisipasi masyarakat lokal

tersebut dalam pengembangan, penyelenggaraan dan pengevaluasiaanya terhadap

pembangunan, karena masyarakat lokal itu sendiri menjadi sebuah sentral dari

pembangunan yang mendiami wilayahnya ketika terdapat wisatawan yang

berkunjung.
13

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan yang dilakukan adalah deskriptif

kualitatif. Hal ini dilakukan untuk mengetahui potensi yang dimiliki desa wisata

sehingga dapat merumuskan strategi yang tepat dalam pengembangan

pariwisatanya.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi Desa Wisata Lumbung Kauh yang dimaksud dalam penelitian ini

terletak di Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan, Bali.


14

Gambar 3.1 Desa Lumbung Kauh


Sumber : google.com

3.3 Jenis dan Sumber Data

3.3.1 Jenis data

a. Data Kualitatif

Data yang termasuk data kualitatif dalam penelitian ini, terdiri dari

gambaran umum objek penelitian meliputi sejarah desa, letak geografis,

visi dan misi, struktur organisasi, keadaan sarana dan prasarana, kondisi

social ekonomi masyarakat di Desa Wisata Lumbung Kauh.

b. Data Kuantitatif

Data kuantitatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data

kependudukan serta data-data lainnya yang terkait dengan Desa Wisata

Lumbung Kauh

3.3.2 Sumber data

a. Data primer

Dalam penelitian ini, data primer yang dimaksud adalah hasil observasi

lapangan serta wawancara dengan para stakeholder di Desa Wisata

Lumbung Kauh dalam merumuskan strategi pengembangan pariwisatanya.

3.4 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, instrument yang digunakan yaitu panduan

wawancara. Hal ini dilakukan dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan terkait

dengan strategi pengembangan yang akan diterapkan di Desa Wisata Lumbung

Kauh.

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data


15

Dalam penelitian ini, metode dan teknik pengumpulan data yang akan

digunakan yaitu :

a. Observasi

Untuk melihat kondisi Desa Wisata Lumbung Kauh saat ini, yang akan

digunakan sebagai data tambahan pada gambaran umum serta data

penunjang lainnya terkait dengan penelitian.

b. Wawancara

Hal ini dilakukan sebagai pencaharian awal informasi terkait lokasi

penelitian. Selanjutnya, mencari informasi terkait dengan strategi

pengembangan Desa Wisata Lumbung Kauh menggunakan teknik

wawancara mendalam (indept interview) dengan pemangku kepentingan.

Pemangku kepentingan yang diwawancarai seperti Bendesa Adat, Ketua

POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata) dan pihak-pihak yang terlibat

dalam penyusunan Kawasan Desa Wisata terintegrasi di Kabupaten

Tabanan yang disebut dengan Kawasan Nikosake

c. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan menggunakan kamera pribadi sebagai

tambahan data kondisi dilapangan.

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, digunakan teknik analisis deskriptif kualitatif yaitu

dengan memberikan ulasan atau interpretasi terhadap data yang diperoleh

sehingga menjadi lebih jelas dan bermakna dibandingkan dengan sekedar angka-

angka. Langkah-langkahnya adalah reduksi data, penyajian data dengan bagan dan
16

teks, kemudian penarikan simpulan. Temuan ini terkait dengan strategi

pengembangan yang akan di lakukan di Desa Wisata Lumbung Kauh dengan cara

menganalisis SWOT lalu merumuskan strategi pengembangan menggunakan

IFAS dan EFAS.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sesuai dengan analisis

deskriptif kualitatif (Sugiyono, 2014):

a. Reduksi data, yaitu merangkum, memilih dan memfokuskan hal-hal yang

penting kemudian dicari tema dan polanya. Sehingga data yang sudah

direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti

untuk melakukan pengumpulan data.

b. Penyajian data, dilakukan dengan membangun kembali data yang telah

direduksi dan disajikan dalam bentuk teks naratif.

c. Penarikan simpulan, dilakukan setelah melakukan penyajian data dan

merupakan temuan baru berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang

masih belum jelas.


17

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2018. Dinas Pariwisata Provinsi Bali.


Anonim. https://www.balipuspanews.com/tabanan-launching-modul-transfomasi-
database-di-desa-wisata-kawasan-nikosake.html diakses pada 3
desember 2019 (online).
Anonim. https://news.okezone.com diakses pada 3 desember 2019 (online).
Anonim. 2014. Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2014.
Anonim. 2009. Undang-Undang Nomoe 10 Tahun 2009
Darma Putra, I.N., & Pitana, I.G. Pariwisata Pro-Rakyat. Jakarta: Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata.
Gunardi, G. 2010. Identifikasi Potensi Kawasan Wisata Kali Pasir, Kota
Tangerang. Jurnal PLANESATM1(1).
Suansri. 2003. Community based tourism handbook.
Setiadi, Elly M, dkk.2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.Ed. 2, Cet. 2. Jakarta:
Kencana.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualiratif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Yoeti, Oka A. . 1996. Pemasaran Pariwisata. Ed.1. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai