Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehamilan dan persalinan merupakan suatu proses alamiah yang
terjadi pada wanita. Walaupun proses tersebut alami, masih terdapat
kemungkinan untuk berkembang menjadi patologis. Untuk itu perlu
perhatian lebih oleh ibu, keluarga dan tenaga kesehatan.
Menurut laporan WHO tahun 2008, kematian perinatal sebesar 400
per 10.000 orang atau sekitar 200.000 orang pertahun. Ini berarti terjadi
kematian perinatal setiap 1,2-1,5 menit. Hampir seluruh kematian perinatal
tersebut adalah bayi lahir mati atau bayi meninggal di dalam rahim (Intra
Uterine Fetal Death). Menurut hasil riset kesehatan yang dilakukan Depkes
tahun 2009, kematian bayi disebabkan oleh karena IUFD (Intra Uterine
Fetal Death) 28,9%, asfiksia 12,2%, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
20,4%, cacat bawaan 4,8%, sepsis 8,9% dan lain-lain 24,5%. Dari beberapa
penyebab tersebut yang bisa dilakukan pemantauan dengan menggunakan
partograf adalah kejadian dari asfiksia bayi baru lahir dan IUFD sehingga
bisa menurunkan angka kematian bayi.
Pada lebih dari 50% kasus, etiologi kematian janin antepartum tidak
dikenal atau tidak dapat ditentukan. Penyebab yang berkaitan mencakup
penyakit hipertensi dalam kehamilan, diabetes melitus, eritroblastosis
fetalis, kecelakaan tali pusat, anomali janin bawaan, infeksi janin atau ibu,
perdarahan fetomaternal atau antibodi antifosfolipid.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan mengenai obstetri genetika
klinik, ilmu kesehatan anak dan ibu, dan patologi perinatal, maka banyak
kematian anak yang dulu belum diketahui sekarang sudah dapat
diterangkan. Dengan demikian, maka manajemen obstetri perinatal
selanjutnya menjadi lebih mudah.
Dibanding masalah klinis, masalah utama yang dihadapi ibu biasanya
lebih pada proses penerimaan psikologisnya terhadap kematian janinnya.
Penerimaan ini bergantung pada seberapa besar harapan ibu dan keluarga
terhadap kelahiran bayinya ini. Menyadari hal ini maka penulis membuat
tulisan ini sebagai bahan acuan dalam melakukan manajemen asuhan
kebidanan pada ibu bersalin dengan IUFD.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas masalah yang timbul adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana asuhan kebidanan persalinan pada Ny. “R” usia 42 tahun
GIP0000 dengan IUFD di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan Asuhan Kebidanan pada
klien dengan IUFD menggunakan pola pikir ilmiah melalui pendekatan
manajemen Kebidanan menurut Varney dan mendokumentasikannya
dalam bentuk catatan SOAP.
2. Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu:
a. Menjelaskan konsep dasar teori tentang ibu dengan IUFD.
b. Menjelaskan konsep dasar manajemen kebidanan pada ibu dengan
IUFD
c. Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu dengan IUFD dengan
pendekatan Varney yang terdiri dari :
1) Melakukan pengkajian pada ibu dengan IUFD
2) Menginterpretasikan data dasar
3) Mengidentifikasikan diagnosa dan masalah potensial pada ibu
dengan IUFD
4) Mengidentifikasikan kebutuhan segera pada ibu dengan IUFD
5) Merancang intervensi pada ibu dengan IUFD
6) Melakukan implementasi pada ibu dengan IUFD
7) Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan yang telah diberikan
d. Mendokumentasikan asuhan dalam bentuk catatan SOAP.
e. Melakukan pembahasan pada kasus ibu dengan IUFD melalui
pendekatan 7 langkah Varney.
D. Manfaat
1. Bagi Penulis
Dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta dapat
mengaplikasikan ilmu dalam penerapan manajemen asuhan kebidanan
dengan pendokumentasian Varney dalam penanganan IUFD.
2. Bagi Institusi
a. Insitusi Pendidikan
Diharapkan berguna sebagai bahan referensi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan selanjutnya khususnya dalam proses
pembelajaran mahasiswa Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Kaltim dalam memberikan asuhan kebidanan pada ibu
dengan IUFD.
b. Institusi Pelayanan
Sebagai bahan masukan untuk upaya peningkatan mutu pelayanan
asuhan kebidanan dalam penanganan kasus IUFD.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Dasar Teori Asuhan Kebidanan Persalinan dengan IUFD


A. Definisi Persalinan
Persalinan adalah suatu proses terdiri dari kontraksi uterus yang
efektif dan teratur sehingga menyebabkan pendaftaran dan pembukaan
serviks. Dari proses ini akan menyebabkan pengeluaran hasil konsepsi
berupa janin dan plasenta dari uterus secara pervaginam (DeCherney AH et
al, 2007)
Persalinan normal adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin)
yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar secara
spontan tanpa bantuan alat dan tidak melukai ibu dan janin yang
berlangsung sekitar 18-24 jam, dengan letak janin belakang kepala
(Varneys, 2003)

B. Fisiologi Persalinan Normal


Tanda-tanda masuknya persalinan (in partu) adalah timbulnya rasa
sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering, dan teratur, keluar
lendir bercampur darah (bloody show) yang lebih banyak karena robekan-
robekan kecil pada serviks, kadang-kadang ketuban pecah dengan
sendirinya dan pada pemeriksaan dalam : serviks mendatar dan pembukaan
telah ada.
Terdapat empat kala persalinan :
1. Kala I (Kala Pembukaan) : Telah tercapainya kontraksi uterus dengan
frekuensi, intensitas dan durasi yang cukup untuk menghasilkan dilatasi
serviks yang cukup untuk menghasilkan dilatasi serviks yang progresif.
Kala satu persalinan selesai ketika serviks sudah membuka lengkap
(sekitar 10 cm) sehingga memungkinkan kepala janin lewat
(Prawirohardjo, 2008)
Kala I dibagi menjadi dua fase :
a. Fase laten : fase yang diawali dengan mulai timbulnya kontraksi
uterus yang teratur yang menghasilkan perubahan pada serviks dan
meluas sampai permulaan fase aktif persalina (dilatasi serviks 3-4
cm). Pada ibu yang belum pernah melahirkan (nulipara) fase laten
biasanya kurang dari 20 jam dan pada ibu yang beberapa kali
melahirkan (multipara) fase laten kurang dari 14 jam.
b. Fase Aktif : Fase aktif ditandai dengan dilatasi serviks yang terus
menerus sampai serviks terdilatasi penuh. Pada nulipara dilatasi
serviks sampai 2 cm setiap jam dan multipara 1,5 cm setiap jam
2. Kala II (Kala Pengeluaran Janin) : dimulai ketika dilatasi serviks sudah
lengkap dan berakhir ketika janin sudah lahir. Proses ini biasanya
berlangsung 2 jam pada ibu yang pertama kali melahirkan (primipara)
dan 1 jam pada ibu yang beberapa kali melahirkan (multipara). Pada
proses ini his terkoordinir, kuat, cepat, dan lebih lama, kira-kira 2-3
menit sekali. Kepala janin telah turun masuk ruang panggul sehingga
terjadi tekanan pada otot-otot dasar panggul sehingga terjadi tekanan
pada otot-oto dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa
mengedan. Karena tekanan pada rektum, ibu merasa seperti ingin buang
air besar, dengan tanda anus terbuka. Pada waktu his, kepala janin
mulai kelihatan, vulva membuka, dan perineum meregang. Dengan his
mengedan yang terpimpin akan melahirkan kepala, diikuti oleh seruh
badan janin. Setelah istirahat sebentar, his mulai lagi untuk
mengeluarkan anggota badan bayi secara lengkap.
3. Kala III (Kala Pengeluaran Uri) : Dimulai segera setelah janin lahir dan
berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban janin
(Prawirohardjo, 2008). Waktu untuk pelepasan dan pengeluaran uri
dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang
berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Setelah bayi lahir, kontraksi
rahim istirahat sebentar. Uterus teraba keras dengan fundus uteri
setinggi pusat, dan berisi plasenta yang menjadi tebal 2 kali
sebelumnya. Dalam waktu 5-10 menit seluruh plasenta terlepas,
terdorong ke dalam vagina dan akan lahir spontan atau dengan sedikit
dorongan dari atas simfisis atau fundus uteri. Pada saat plasenta lahir
pada umumnya otot-otot uterus berkontraksi, pembuluh-pembuluh
darah akan terjepit dan perdarahan akan segera berhenti. Seluruh
prosesn biasanya berlangsung 5-30 menit setelah bayi lahir.
Pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran darah kira-kira 100-
200 cc (Mochtar R,1998 & Wiknjosastro H dkk, 2007)
4. Kala IV (Kala Pengawasan) : Mulai dari lahirnya uri selama 1-2 jam
dimana dilakukan pengamatan keadaan ibu terutama terhadap bahay
perdarahan post partum. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada
kala IV ini adalah : kontraksi uterus harus baik, tidak ada perdarahan
dari vagina atau alat genital lainnya, plasenta dan selaput ketuban harus
telah lahir lengkap, kandung kemih harus kosong, luka-luka pada
perineum terawat dengan baik, bayi dalam keadaan baik, dan ibu dalam
keadaan baik ((Mochtar R,1998 & Wiknjosastro H dkk, 2007)

C. Definisi Intra Uterine Fetal Death (IUFD)


Intra Uterine fetal death (IUFD) menurut ICD 10 – International
Statistical Classification of Disease and Related Health Problems adalah
kematian fetal atau janin pada usia gestasional ≥ 22 minggu (Petersson,
2002). IUFD adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat 500 gram atau
lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih
(Petersson, 2003; Winknjosastro, 2008).
Ketiadaan janin pada berbagai tahap merupakan kematian janin.
Berdasarkan revisi tahun 2003 dari Prosedur Pengkodean Penyebab dari
Kematian Janin Berdasarkan ICD-10, Pusat Statistik Kesehatan Nasional
mendefinisikan kematian janin sebagai ´kematian yang terutama berkaitan
dengan ekspulsi komplet atau ekstraksi hasil konsepsi dari Ibu, pada durasi
yang tidak dapatdiperkirakan di dalam masa kehamilan, dan merupakan
terminasi kehamilan yang tidak diinduksi´.
Kematian janin diindikasikan oleh adanya fakta setelah terjadi
ekspulsi atau ekstraksi, janin tidak bernafas atau menunjukkan tanda-tanda
laindari kehidupan seperti detak jantung, pulsasi umbilical cord, atau
gerakan yang berarti dari otot-otot volunter. Detak jantung tidak termasuk
kontraksi transiendari jantung, respirasi tidak termasuk pernafasan yang
sangat cepat atau gasping. Pengertian ini kemudian diklasifikasikan sebagai
kematian awal (<20minggu kehamilan), pertengahan (20-27 minggu
kehamilan) dan lambat (>28minggu kehamilan).
IUFD (Intra Uterine Fetal Demise) merupakan kematian janin yang
terjadi tanpa sebab yang jelas, yang mengakibatkan kehamilan tidak
sempurna (Uncomplicated Pregnancy). Kematian janin terjadi kira-kira pada
1% kehamilan dan dianggap sebagai kematian janin jika terjadi pada janin
yang telah berusia 20 minggu atau lebih, dan bila terjadi pada usia di bawah usia 20
minggu disebut abortus.
Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan,
WHO dan American College of Obstetricians and Gynaecologists telah
merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD termasuk di dalamnya
hanya kematian janin intrauterine dimana berat janin 500 gr atau lebih,
dengan usia kehamilan 22 minggu atau lebih. Tapi tidak semua negara
menggunakan pengertian ini, masing-masing negara berhak menetapkan
batasan dari pengertian IUFD.

D. Etiologi
Pada 25-30% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian
janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelainan patologik
plasenta.
(Sarwono. 2009 dan Manuaba IBG. 2007)
a. Faktor Maternal (5-10%)
1) Post term (>42 minggu)/ Prolonged Pregnancy
Jika kehamilan telah lewat waktu, plasenta akan mengalami
penuaan sehingga fungsinya akan berkurang. Janin akan
kekurangan asupan nutrisi dan oksigen. Cairan ketuban
bisa berubah menjadi sangat kental dan hijau, akibatnya cairan
dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru janin. Hal ini bisa
dievaluasi melalui USG dengan color doppler sehingga bisa dilihat
arus arteri umbilikalis jantung ke janin. Jika demikian, maka
kehamilan harus segera dihentikan dengan cara diinduksi. Itulah
perlunya taksiran kehamilan pada awal kehamilan dan akhir
kehamilan.
2) Diabetes Melitus tidak terkontrol
3) Sistemik Lupus Eritematosus
Antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus dilaporkan
menyebabkan vaskulopati desidua, infark plasenta, hambatan
pertumbuhan janin, abortus rekuren dan kematian janin.
4) Infeksi
Ibu hamil sebaiknya menghindari berbagai infeksi seperti bakteri
maupun virus. Bahkan demam tinggi pada ibu hamil (lebih dari
103º F) dapat menyebabkan janin tidak tahan dengan tubuh ibunya.
5) Hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan kekurangan O2 pada janin yang
disebabkan oleh  berkurangnya suplai darah dari ibu ke plasenta
yang disebabkan oleh spasme dan kadang-kadang trombosis dari
pembuluh darah ibu.
6) Preeklamsia/ Elkamsia
7) Hemoglobinopati
8) Umur ibu tua (>40tahun)
Selepas usia menjangkau 35 tahun ke atas setiap wanita akan
mengalami penurunan dalam kualitas telur yang dihasilkan oleh
ovarium. Umur berkaitan pula dengan perubahan hormone.
9) Penyakit Rhesus
Akan timbul masalah bila ibu memiliki Rh negatif, sementara ayah
Rh positif, sehingga janin akan mengikuti yang lebih dominan yaitu
Rh positif, yang berakibat antara ibu dan janin akan mengalami
ketidakcocokan Rhesus. Ketidakcocokan ini akan mempengaruhi
kondisi janin tersebut. Misalnya dapat terjadi kondisi Hidrops
fetalis, yaitu suatu reaksi imunologis yang menimbulkan gambaran klinis
pada janin antaralain berupa pembengkakan pada perut akibat
terbentuknya cairan yang berlebihan pada rongga perut (asites),
pembengkakan kulit janin penumpukan cairan di rongga dada atau
rongga jantung, dan lain-lain. Akibat dari penimbunan cairan-
cairan yang berlebihan tersebut, tubuh janin akan membengkak
yang dapat berakibat pula darahnya bercampur dengan air. Jika
kondisi demikian terjadi, biasanya janin tidak akan tertolong lagi.
10) Ruptura Uteri
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang
terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa,
solusio plasenta, dan gangguan pembekuan darah. Batasan
perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan pada
kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan,
sedangkan perdarahan pada persalinana dalah perdarahan
intrapartum sebelum kelahiran.
11) Antifosfolopid Syndrom
12) Hipotensi akut
13) Kematian ibu
Jika terjadi kematian ibu, sudah jelas janin juga akan
mengalamikematian, dikarenakan fungsi tubuh yang seharusnya
menopang pertumbuhan janin, tidak lagi ada.
b. Faktor Fetal
Hingga 25-40% kasus lahir mati disebabkan oleh faktor janin
1) Hamil kembar
2) Kehamilan kongenital
Kelainan genetik bisa juga disebut penyakit bawaan, misalnya
kelainan genetik berat (trisomi). Kematian janin akibat kelainan
genetik biasanya baru terdeteksi pada saat kematian sudah terjadi,
yaitu dari hasil otopsi janin. Hal ini disebabkan karena pemeriksaan
kromosom saat janin masih dalam kandungan beresiko tinggi dan
memakan biaya banyak.
3) Infeksi
Sebagian besar didiagnosis sebagai “korioamnionitis”, ditandai
dengan sebukan leukosit mononuklear dan polimorfonuklear pada
korion, dan sebagian lagi sebagai “sepsis janin atau intrauterus”.
c. Faktor Plasental (25-35%)
1) Kelainan tali pusat
2) Lepasnya plasenta/ Solusio plasenta
Terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum janin lahir
menyebabkan terjadinya perdarahan. Intensitasnya bervariasi
bergantung pada seberapa cepat ibu mendapat pertolongan. Apabila
tertunda, kecenderungan pemisahan luas akan meningkat pesat dan
menyebabkan kematian janin.
3) Ketuban pecah dini
4) Vasaprevia

Untuk diagnosis pasti penyebab kematian janin sebaiknya dilakukan


otopsi janin dan pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi
secara komprehensif untuk mencari penyebab kematian janin termasuk
analisis kromosom dan kemungkinan terpapar infeksi untuk mengantisipasi
kehamilan selanjutnya.
Pengelolaan kehamilan selanjutnya bergantung pada penyebab
kematian janin. Meskipun kematian janin berulang jarang terjadi, demi
keselamatan keluarga, pada kehamilan berikut perlu pengelolaan yang lebih
ketat tentang kesejahteraan janin.
E. Faktor Predisposisi
1. Status sosial ekonomi rendah.
2. Tingkat pendidikan ibu yang rendah.
3. Usia ibu >30 tahun atau <20 tahun.
4. Partias pertama dan partias kelima atau lebih.
5. Kehamilan tanpa pengawasan antenatal.
6. Kehamilan tanpa riwayat pengawasan kesehatan ibu yang inadekuat.
7. Riwayat kehamilan dengan komplikasi medik atau obstetric.
(Mochtar R. 1998)

F. Patologi
Kalau janin mati pada kehamilan yang telah lanjut terjadilah
perubahan-perubahan sebagai berikut;
1. Rigor Mostis (tegang mati)
Berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian lemas kembali.
2. Stadium Maserasi I
Timbul lepuh-lepuh pada kulit, mula-mula terisi cairan jernih tapi
kemudian menjadi merah. Stadium ini berlangsung sampai 48 jam
setelah anak mati.
3. Stadium Maserasi II
Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat,
terjadi setelah 48 jam anak mati.
4. Stadium Maserasi III
Terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat lemas,
hubungan antara tulang-tulang sangat longgar dan terdapat oedem
dibawah kulit. (Sastrowinata, 2005)

G. Diagnosis dan Manefastasi Klinis


Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat terbatas nilainya dalam
membuat diagnosis kematian janin. Umumnya penderita hanya mengeluh
gerakan janin berkurang. Pada pemeriksaan fisik tidak terdengar denyut
jantung janin. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasound
dimana tidak tampak adanya gerakan jantung janin.
1. Anamnesa
a. Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari atau
gerakan janin dalam rahim sangat berkurang.
b. Ibu merasakan perutnya bertambah besar, bahkan bertambah kecil
atau kehamilan tidak seperti biasanya.
c. Ibu belakangan ini merasa perutnya sering menjadi keras dan
merasakan sakit seperti mau melahirkan.
d. Penurunan berat badan.
e. Perubahan pada payudara atau perubahan nafsu makan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
1) Penurunan atau terhentinya peningkatan bobot berat badan ibu.
2) Terhentinya perubahan payudara.
b. Palpasi
1) Tinggi fundus uteri lebih rendah atau lebih kecil dari usia
kehamilan.
2) Tidak teraba gerakan-gerakan janin.
3) Dengan palpasi yang teliti dapat teraba krepitasi pada tulang
kepala janin.
c. Auskultasi
1) Baik dengan stetoskop monoral maupun doppler tidak
terdengar denyut jantung janin.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Reaksi biologis negatif setelah 10 hari janin mati.
2) Hipofibrinogenemia (defisiensi fibrinogen <100mg%) setelah
4-5 minggu janin mati.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) USG
a) Gerakan janin tidak ada.
b) Denyut jantung janin tidak ada.
c) Tampak bekuan darah pada ruang jantung janin.
2) X-Ray
a) Spalding Sign (+) : tulang-tulang tengkorak janin saling
tumpang tindih, pencairan otak dapat menyebabkan
overlapping tulang tengkorak.
b) Nanjouk's Sign (+) : tulang punggung janin sangat
melengkung/ hiperfleksi.
c) Robert's Sign (+) : tampak gelembung-gelembung gas
pada pembuluh darah besar. Tanda ini ada pada kematian
janin di bawah 12 jam.
d) Adanya akumulasi gas dalam jantung janin dan pembuluh
darah besarnya.

H. Diagnosis Banding
Tabel 1. Diagnosis Banding IUFD
Gejala dan Tanda Gejala dan Tanda Kemungkinan
Yang Selalu Ada Yang Kadang Ada Diagnosis
Gerakan janin berkurang Syok, uterus tegang/kaku, Solusio
atau hilang, nyeri perut gawat janin atau denyut Plasenta
hilang timbul atau jantung janin tidak terdengar.
menetap, perdarahan
pervaginam setelah uk 22
minggu.
Gerakan janin dan DJJ Syok, perut kembung/cairan Ruptur Uteri
tidak ada, perdarahan dan bebas intraabdominal, kontur
nyeri hebat. uterus abnormal, abdomen
nyeri, bagian-bagian janin
teraba lebih jelas, denyut nadi
ibu cepat.
Gerakan janin berkurang Cairan ketuban bercampur Gawat Janin
atau hilang, DJJ mekoneum.
abnormal (<100x/mnt
atau >180x/mnt).
Gerakan janin dan DJJ Tanda-tanda kehamilan Intrauterine
hilang. terhenti. Fetal Death

I. Penanganan Klinis
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkkan, penderita segera
diberi informasi. Diskusikan kemungkinan penyebab serta rencana
penatalaksanaannya. Rekomendasikan untuk segera diintervensi.
Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu, kadar fibrinogen akan
menurun dengan kecenderungan koagulopati. Masalah menjadi rumit bila
kematian janin terjadi pada salah satu janin kembar (Norwitz, 2008).
1. Penanganan Umum
Berikut hal-hal yang perlu dilakukan sesaat setelah diagnosis kematian
janin telah ditegakkan;
a) Pemeriksaan Tanda-tanda Vital ibu.
b) Pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan dan gula darah.
c) KIE kepada ibu dan keluarga tentang kemungkinan penyebab
kematian janin.
d) Rencana tindakan untuk terminasi kehamilan, utamakan
pervaginam.
e) Dukungan mental emosional kepada ibu dan keluarga.
2. Penanganan Khusus
a) Jika pemeriksaan radiologik tersedia, konfirmasi kematian janin
setelah 5 hari.
b) USG merupakan sarana penunjang diagnostik yang baik untuk
memastikan kematian janin dimana gambarannya menunjukkan
janin tanpa tanda-tanda kehidupan.
c) Dukungan mental emosional perlu diberikan kepada pasien.
Sebaiknya psien selalu didampingi oleh orang terdekatnya.
d) Pilihan cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun
espektatif, perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya
sebelum keputusan diambil.
e) Bila pilihan penanganan adalah espektatif;
1) Tunggu persalinan spontan hingga 2 minggu.
2) Yakinkan bahwa 90% persalinan spontan akan terjadi tanpa
komplikasi.
f) Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan,
lakukan penanganan aktif.
g) Jika penanganan aktif akan dilakukan, nilai serviks dengan skor
bishop.
1) Jika serviks matang, lakukan induksi persalinan dengan
oksitosin atau prostaglandin.
Cat : Hati-hati pada induksi dengan uterus pasca seksio sesarea
maupun miomektomi, bahaya ruptur uteri.
2) Jika serviks belum matang, lekukan pematangan serviks
dengan prostaglandin atau kateter foley.
Cat : Jangan lakukan amniotomi karena beresiko infeksi.
3) Persalinan dengan seksio sesarea merupakan alternatif terakhir.
h) Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit
menurun dan serviks belum matang, matangkan serviks dengan
misoprostol.
1) Tempatkan misoprostol 25 mcg di puncak vagina. Dapat
diulangi setelah 6 jam.
2) Jika tidak terjadi respon setelah 2x25 mcg misoprostol,
naikkan dosis menjadi 50 mcg setiap 6 jam.
3) Pada kematian janin 24-48 minggu dapat digunakan
misoprostol 50-100 mcg tiap 4-6 jam dan induksi oksitosin.
Pada kehamilan diatas 28 minggu dosis misoprostol 25 mcg
pervaginam tiap 6 jam.
i) Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika untuk metritis.
j) Jika tes pembekuan darah sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan
mudah pecah, waspada koagulopati.
k) Setelah bayi lahir, beri kesempatan pada ibu dan keluarganya untuk
melihat dan melakukan berbagai kegiatan ritual keagamaan
merawat mayat janin yang meninggal tersebut.
l) Pemeriksaan patologi plasenta adalah untuk mengungkapkan
adanya patologi plasenta dan infeksi.
(Sarwono, 2009)

J. Dukungan Kusus
Dalam praktek dukungan emosional bagi ibu yang tengah mengalami
kegawatdaruratan obstetrik dan jika terjadi kematian janin atau bayi lahir
abnormal, beberapa faktor spesifik perlu dipertimbangkan.
Banyak faktor yang mempengaruhi reaksi seorang ibu terhadap
kematian bayinya, seperti;
1. Riwayat obstetrik sebelumnya serta riwayat hidup ibu tersebut.
2. Sampai sejauh mana ia menginginkan bayi tersebut.
3. Kejadian sekitar proses kelahiran dan penyebab kematian.
4. Pengalaman kematian sebelumnya.

SAAT TERJADI
1. Hindarkan penggunaan sedatif dalam membantu ibu menghadapi
peristiwa tersebut. Sedatif akan menunda keikhlasan menerima fakta
kematian dan merasakan terkenang kembali nantinya –merupakan
bagian dari proses penyembuhan emosi- menjadi lebih sulit.
2. Biarkan ibu melihat usaha yang dilakukan tenaga medis dalam
menolong si bayi.
3. Biarkan ibu atau suaminya untuk melihat atau memeluk bayinya dalam
mencurahkan rasa duka, kecuali ibu tidak tega melihat bayinya.
4. Siapkan orang tua untuk kemungkinan adanya keadaan yang
mengganggu atau sesuatu yang tidak diharapkan dari bayinya (merah,
keribut, kulit terkelupas). Bila mungkin, selimuti bayi tersebut sehingga
tampak normal pada pandangan pertama.
5. Jangan pisahkan ibu dengan bayinya terlalu cepat (sebelum dia siap)
karena hal ini dapat mengganggu dan memperpanjang proses duka.

SETELAH TERJADI
1. Biarkan ibu dan keluarganya bersama bayi. Orang tua dari bayi yang
meninggal masih perlu mengenali bayinya.
2. Orang berduka dengan cara yang berbeda-beda, tapi untuk banyak
orang, kenangan adalah yang terpenting. Tawarkan pada ibu dan
keluarganya barang-barang kenangan seperti potongan rambut atau
tanda nama bayi.
3. Biarkan ibu dan keluarganya menyiapkan bayi untuk pemakaman jika
dikehendaki.
4. Anjurkan acara pemakaman sesuai dengan adat kebiasaan setempat dan
pastikan tindakan medis (seperti otopsi) tidak mengganggu mereka.
5. Atur diskusi denngan ibu dan suaminya untuk membicarakan kejadian
ini dan pencegahan yang perlu dilakukan dimasa mendatang.
(Sarwono, 2009)

Anda mungkin juga menyukai