Standart Farmasi Klinik
Standart Farmasi Klinik
jdih.kemkes.go.id
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR
PELAYANAN KEFARMASIAN DI KLINIK.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
jdih.kemkes.go.id
-3-
jdih.kemkes.go.id
-4-
Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik bertujuan
untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi Tenaga
Kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
(patient safety).
jdih.kemkes.go.id
-5-
Pasal 3
(1) Pelayanan Kefarmasian di Klinik diselenggarakan pada
Instalasi Farmasi.
(2) Klinik yang menyelenggarakan rawat inap wajib
melaksanakan Pelayanan Kefarmasian.
(3) Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki
Apoteker sebagai penanggung jawab Pelayanan
Kefarmasian.
(4) Klinik yang menyelenggarakan rawat jalan dapat
melaksanakan Pelayanan Kefarmasian.
(5) Dalam hal Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak dapat melaksanakan Pelayanan Kefarmasian, Klinik
dapat bekerjasama dengan Klinik lain atau apotek untuk
memberikan Pelayanan Kefarmasian.
(6) Klinik yang menyelenggarakan rawat jalan yang
melaksanakan Pelayanan Kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) wajib memiliki Apoteker sebagai
penanggung jawab Pelayanan Kefarmasian.
(7) Klinik yang menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi
medis pecandu narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya wajib melaksanakan Pelayanan Kefarmasian.
(8) Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib
memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab Pelayanan
Kefarmasian.
(9) Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (6),
dan ayat (8) dapat dibantu oleh Apoteker lain, Tenaga
Teknis Kefarmasian, dan/atau asisten tenaga
kefarmasian.
(10) Dalam melaksanakan Pelayanan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (6), dan ayat
(8), Apoteker harus menerapkan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Klinik.
Pasal 4
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (10) meliputi:
jdih.kemkes.go.id
-6-
jdih.kemkes.go.id
-7-
i. administrasi.
(5) Pelayanan Farmasi Klinis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b untuk Klinik rawat inap terdiri atas:
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. pelayanan informasi Obat;
e. konseling;
f. ronde/visite pasien;
g. pemantauan terapi Obat;
h. Monitoring Efek Samping Obat
(MESO)/farmakovigilans;
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); dan/atau
j. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy
care).
(6) Pelayanan Resep pada Klinik rawat jalan yang tidak
memiliki Apoteker dilakukan di apotek atau Klinik lain
yang menyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dan Pelayanan
Farmasi Klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
(1) Pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP
pada Pelayanan Kefarmasian di Klinik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (4) berasal dari:
a. industri farmasi;
b. pedagang besar farmasi;
c. distributor Alat Kesehatan;
d. toko Alat Kesehatan; dan/atau
e. apotek.
(2) Pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP
oleh Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan
jdih.kemkes.go.id
-8-
Pasal 6
(1) Instalasi Farmasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 3
ayat (1) dapat melakukan penyerahan Obat berdasarkan
Resep maupun tanpa Resep.
(2) Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal
dari dokter Klinik yang bersangkutan, serta dapat
melayani Resep dari fasilitas kesehatan lainnya.
(3) Instalasi Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melakukan penyerahan Obat yang meliputi:
a. narkotika;
b. psikotropika;
c. Obat keras;
d. Obat bebas terbatas; dan/atau
e. Obat bebas.
(4) Penyerahan Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a sampai dengan huruf c hanya dapat dilakukan
dengan Resep.
(5) Pelayanan Resep di Klinik dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
jdih.kemkes.go.id
-9-
Pasal 7
(1) Resep sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) harus
memuat:
a. nama dokter;
b. nomor Surat Izin Praktik dokter;
c. alamat praktik dokter;
d. paraf dokter;
e. tanggal Resep;
f. nama dan usia pasien; dan
g. nama Obat, bentuk sediaan, kekuatan sediaan,
jumlah, dan aturan pakai.
(2) Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima
dalam bentuk tertulis atau elektronik.
(3) Resep wajib disimpan dan didokumentasikan oleh
Instalasi Farmasi.
Pasal 8
(1) Apoteker wajib melayani Resep sesuai dengan tanggung
jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada
kepentingan masyarakat.
(2) Apoteker dilarang mengganti Obat generik yang ditulis
dalam Resep dengan Obat merek dagang tanpa
persetujuan pasien.
(3) Apoteker dapat mengganti Obat merek dagang dengan
Obat generik yang sama komponen aktifnya atau Obat
merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau
pasien.
(4) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian terkait Resep dari hasil
pengkajian Apoteker, Apoteker harus melakukan
komunikasi dengan dokter penulis Resep.
(5) Hasil pengkajian dan komunikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) harus dicatat oleh Apoteker.
jdih.kemkes.go.id
- 10 -
Pasal 9
(1) Pasien berhak meminta salinan Resep.
(2) Salinan Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disahkan oleh Apoteker.
(3) Salinan Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
sesuai aslinya.
Pasal 10
(1) Resep bersifat rahasia.
(2) Resep harus disimpan di Instalasi Farmasi paling singkat
selama 5 (lima) tahun.
(3) Resep atau salinan Resep hanya dapat diperlihatkan
kepada dokter penulis Resep, pasien yang bersangkutan
atau yang merawat pasien, tenaga kesehatan atau petugas
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 11
(1) Apoteker di Instalasi Farmasi harus melaksanakan
pemberian informasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan BMHP secara benar, jelas, dan efektif kepada pasien.
(2) Informasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri
atas:
a. manfaat;
b. cara penggunaan;
c. aturan pakai;
d. efek samping; dan
e. cara penyimpanan.
Pasal 12
(1) Instalasi Farmasi dapat melakukan penyerahan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP secara langsung atau
dengan pengantaran kepada pasien.
jdih.kemkes.go.id
- 11 -
Pasal 13
(1) Klinik yang melaksanakan Pelayanan Kefarmasian wajib
memasang papan nama praktik Apoteker, yang memuat
paling sedikit berupa:
a. nama Apoteker;
b. nomor Surat Izin Praktik Apoteker; dan
c. jadwal praktik Apoteker.
(2) Papan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
terlihat secara jelas dan mudah terbaca.
Pasal 14
Setiap Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus bekerja
sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional,
standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, dan
mengutamakan kepentingan pasien.
jdih.kemkes.go.id
- 12 -
Pasal 15
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Klinik harus
menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
BMHP yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.
Pasal 16
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Klinik harus didukung oleh ketersediaan sumber daya
kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan
pasien.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya
kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 17
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di
Klinik, harus dilakukan evaluasi mutu Pelayanan
Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu
Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 18
Klinik wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian
secara berjenjang kepada dinas kesehatan kabupaten/kota,
dinas kesehatan provinsi, dan kementerian kesehatan.
Pasal 19
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, kepala
jdih.kemkes.go.id
- 13 -
Pasal 20
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala
dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan Sediaan
Farmasi dalam pengelolaan Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan juga
oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing.
(2) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Kepala BPOM dapat melakukan pemantauan,
pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap
pengelolaan Sediaan Farmasi di bidang pengawasan
Sediaan Farmasi.
Pasal 21
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi
dan dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) serta pengawasan yang
dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) dilaporkan secara berkala kepada
Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Pasal 22
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
jdih.kemkes.go.id
- 14 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Desember 2021
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BUDI G. SADIKIN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BENNY RIYANTO
jdih.kemkes.go.id
- 15 -
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 34 TAHUN 2021
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI
KLINIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fasilitas Pelayanan Kesehatan merupakan suatu tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang baik, diperlukan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang dapat menyediakan pelayanan kesehatan yang terjangkau
bagi seluruh lapisan masyarakat dalam rangka peningkatan kesehatan,
pemeliharaan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan.
Dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional, Klinik berperan dalam
meningkatkan akses masyarakat dalam pelayanan kesehatan yang
komprehensif, bermutu, dan merata bagi seluruh penduduk.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Klinik, berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Klinik dikategorikan
menjadi Klinik Pratama dan Klinik Utama. Klinik Pratama adalah Klinik
yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar, sedangkan Klinik Utama
adalah Klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik. Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, Klinik merupakan salah satu fasilitas Pelayanan Kefarmasian
tempat dilaksanakannya pekerjaan kefarmasian.
jdih.kemkes.go.id
- 16 -
jdih.kemkes.go.id
- 17 -
B. Ruang Lingkup
Pelayanan Kefarmasian di Klinik meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dan Pelayanan
Farmasi Klinis. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya
manusia, sarana, dan prasarana.
jdih.kemkes.go.id
- 18 -
BAB II
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN BAHAN MEDIS
HABIS PAKAI (BMHP)
A. Pemilihan
Pemilihan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP adalah suatu
proses kerja sama/kolaboratif yang mempertimbangkan baik kebutuhan
dan keselamatan pasien maupun kondisi ekonomisnya. Klinik harus
menggunakan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP
berdasarkan Formularium dan standar pengobatan, pola penyakit,
efektivitas dan keamanan, pengobatan berbasis bukti, mutu harga, dan
ketersediaan di pasaran.
Formularium Klinik merupakan daftar Obat yang ditetapkan oleh
penanggung jawab Klinik. Formularium Klinik disusun oleh tim penyusun
Formularium Klinik yang terdiri dari tenaga medis dan Apoteker. Pada tim
jdih.kemkes.go.id
- 19 -
B. Perencanaan
Klinik harus melakukan perencanaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan BMHP dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk menghindari kekosongan. Perencanaan
yang baik dapat meningkatkan pengendalian stok Sediaan Farmasi, Alat
jdih.kemkes.go.id
- 20 -
jdih.kemkes.go.id
- 21 -
jdih.kemkes.go.id
- 22 -
Rumus:
A=(B+C+D)-E
A = Rencana pengadaan
B = Pemakaian rata-rata per bulan
C = Buffer stock (tergantung dengan kelompok Pareto)
D = Lead time stock
E = Sisa stok
jdih.kemkes.go.id
- 23 -
b. Metode Morbiditas
Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan Obat
berdasarkan pola penyakit. Metode morbiditas memperkirakan
keperluan obat–obat tertentu berdasarkan dari jumlah, kejadian
penyakit dan mempertimbangkan pola standar pengobatan untuk
penyakit tertentu. Pada praktiknya, penggunaan metode
morbiditas untuk penyusunan rencana kebutuhan Obat di Klinik
jarang diterapkan karena keterbatasan data terkait pola penyakit.
Faktor yang perlu diperhatikan adalah perkembangan pola
penyakit dan lead time.
Langkah-langkah dalam metode morbiditas:
1) Mengumpulkan data yang diperlukan.
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode
morbiditas:
a) Perkiraan jumlah populasi
Komposisi demografi dari populasi yang akan
diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin untuk umur
antara:
(1) 0 s.d. 4 tahun.
jdih.kemkes.go.id
- 24 -
jdih.kemkes.go.id
- 25 -
jdih.kemkes.go.id
- 26 -
jdih.kemkes.go.id
- 27 -
jdih.kemkes.go.id
- 28 -
Contoh:
a) Sediaan Farmasi untuk pelayanan kesehatan pokok
(contoh: antidiabetes, analgesik, antikonvulsi)
b) Sediaan Farmasi untuk mengatasi penyakit penyebab
kematian terbesar.
3) Kelompok N (Non Esensial)
Merupakan Sediaan Farmasi penunjang yaitu Sediaan
Farmasi yang kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk
menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan
ringan. Contoh: suplemen.
jdih.kemkes.go.id
- 29 -
C. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang
telah direncanakan dan disetujui, melalui pembelian. Untuk menjamin
kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
jdih.kemkes.go.id
- 30 -
Kesehatan dan BMHP harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP di Klinik
dilaksanakan dengan pembelian. Pembelian merupakan suatu metode
penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga.
Apabila ada dua atau lebih pemasok, Apoteker harus mendasarkan pada
kriteria berikut: mutu produk (kualitas produk terjamin), memiliki Nomor
Izin Edar (NIE), reputasi produsen (distributor berijin dengan penanggung
jawab Apoteker dan mampu memenuhi jumlah pesanan), harga, ketepatan
waktu pengiriman (lead time cepat), mutu pelayanan pemasok, dapat
dipercaya, kebijakan tentang barang yang dikembalikan, dan pengemasan.
jdih.kemkes.go.id
- 31 -
jdih.kemkes.go.id
- 32 -
NAMA KLINIK :
NOMOR IZIN KLINIK :
ALAMAT :
NAMA APOTEKER :
NOMOR SIPA :
SURAT PESANAN
NOMOR / /
No Nama Sediaan Farmasi Jumlah Keterangan
Hormat saya
(Apoteker)
jdih.kemkes.go.id
- 33 -
Catatan:
1. Satu surat pesanan hanya berlaku untuk satu jenis Narkotika
2. Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
jdih.kemkes.go.id
- 34 -
Catatan:
Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
jdih.kemkes.go.id
- 35 -
jdih.kemkes.go.id
- 36 -
D. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan, dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Penerimaan dan
pemeriksaan merupakan salah satu kegiatan pengadaan agar Obat yang
diterima sesuai dengan jenis, jumlah, dan mutunya berdasarkan Faktur
Pembelian dan/atau Surat Pengiriman Barang yang sah.
Penerimaan Sediaan Farmasi di Klinik harus dilakukan oleh Apoteker. Bila
Apoteker berhalangan, penerimaan Sediaan Farmasi dapat didelegasikan
kepada Tenaga Kefarmasian yang ditunjuk oleh Apoteker.
jdih.kemkes.go.id
- 37 -
E. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan
cara menempatkan Sediaan Farmasi yang diterima pada tempat yang
dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak
mutu Sediaan Farmasi. Tujuan penyimpanan adalah untuk memelihara
mutu Sediaan Farmasi, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung
jawab, menjaga ketersediaan, serta memudahkan pencarian dan
pengawasan.
Aspek umum yang perlu diperhatikan:
1. Sediaan Farmasi disimpan dalam kondisi yang sesuai.
jdih.kemkes.go.id
- 38 -
jdih.kemkes.go.id
- 39 -
jdih.kemkes.go.id
- 40 -
jdih.kemkes.go.id
- 41 -
jdih.kemkes.go.id
- 42 -
Gambar 6. Contoh Obat LASA disimpan tidak berdekatan dan diberi label
“LASA”
jdih.kemkes.go.id
- 43 -
Stock opname Sediaan Farmasi, BMHP, dan Alat Kesehatan dilakukan secara
berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) bulan.
jdih.kemkes.go.id
- 44 -
KARTU STOK
a) Nama sediaan farmasi :
b) Kemasan :
c) Isi kemasan :
F. Pendistribusian
Distribusi adalah kegiatan menyalurkan Sediaan Farmasi dan BMHP di
Klinik untuk pelayanan pasien rawat inap untuk menunjang pelayanan
medis dan BMHP.
Tujuan pendistribusian adalah tersedianya Sediaan Farmasi dan BMHP di
unit-unit pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis, dan tepat jumlah.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan oleh Instalasi Farmasi Klinik
dalam menyediakan Sediaan Farmasi dan BMHP untuk pasien, yaitu:
1. Resep Perorangan
Penyiapan Sediaan Farmasi dan BMHP berdasarkan sistem Resep
individu adalah penyiapan Sediaan Farmasi dan BMHP sesuai
Resep/instruksi pengobatan yang ditulis dokter baik secara manual
maupun elektronik untuk tiap pasien dalam satu periode pengobatan
(contoh: dokter menuliskan Resep untuk 3 hari, maka Instalasi
Farmasi menyiapkan Obat yang dikemas untuk kebutuhan 3 hari).
jdih.kemkes.go.id
- 45 -
jdih.kemkes.go.id
- 46 -
2. Telah kedaluwarsa;
3. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
4. Dicabut izin edarnya.
Saat Stock Opname dilakukan pendataan sediaan yang masa
kedaluwarsanya dalam 6 bulan ke depan, kemudian dilakukan hal-hal
sebagai berikut:
1. Diberi penandaan khusus dan disimpan sesuai FEFO.
2. Untuk sediaan yang sudah ED disimpan di tempat terpisah dan diberi
keterangan “sudah kedaluwarsa”.
3. Dikembalikan ke distributor atau dimusnahkan sesuai ketentuan
waktu kedaluwarsa yaitu saat sediaan tidak dapat digunakan lagi
sampai akhir bulan tersebut.
Contoh: ED 01-2016 berarti sediaan tersebut dapat digunakan sampai
dengan 31 Januari 2016
Instalasi Farmasi harus membuat prosedur terdokumentasi untuk
mendeteksi kerusakan dan kedaluwarsa Sediaan Farmasi dan BMHP serta
penanganannya.
Tahapan pemusnahan terdiri dari:
1. Membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang akan dimusnahkan.
2. Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan.
3. Mengkoordinasikan jadwal, metode, dan tempat pemusnahan kepada
pihak terkait.
4. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk
sediaan serta peraturan yang berlaku.
Penarikan Alat Kesehatan dan BMHP dilakukan terhadap produk yang izin
edarnya dicabut oleh Menteri.
Penarikan Sediaan Farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar
berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau
berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall)
dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
jdih.kemkes.go.id
- 47 -
H. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan, dan pengeluaran. Hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan,
kekosongan, kerusakan, kedaluwarsa, kehilangan, serta pengembalian
pesanan.
Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan untuk memastikan
tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program
yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan Sediaan Farmasi di Klinik. Pengendalian
persediaan Obat terdiri dari:
1. Pengendalian ketersediaan
Kekosongan atau kekurangan Sediaan Farmasi di Klinik dapat terjadi
karena beberapa hal:
a. Perencanaan yang kurang tepat; atau
b. Perubahan kebijakan pemerintah (misalnya perubahan e-katalog,
sehingga Sediaan Farmasi yang sudah direncanakan tahun
sebelumnya tidak masuk dalam katalog Sediaan Farmasi yang
baru).
Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Apoteker untuk
mencegah/mengatasi kekurangan atau kekosongan Sediaan Farmasi:
a. Melakukan analisis perencanaan sebelum pemesanan/pembelian
Sediaan Farmasi.
b. Mengganti Obat merek dagang dengan Obat generik yang sama
komponen aktifnya atau Obat merek dagang lain atas persetujuan
dokter dan/atau pasien.
2. Pengendalian penggunaan
Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi dilakukan untuk
mengetahui jumlah penerimaan dan pemakaian Sediaan Farmasi
sehingga dapat memastikan jumlah kebutuhan Sediaan Farmasi
dalam satu periode.
Kegiatan pengendalian mencakup:
a. Memperkirakan/menghitung pemakaian rata-rata periode
tertentu. Jumlah stok ini disebut stok kerja.
jdih.kemkes.go.id
- 48 -
b. Menentukan:
1) Stok optimum adalah stok Sediaan Farmasi yang disediakan
agar tidak mengalami kekurangan/kekosongan.
2) Stok pengaman adalah jumlah stok yang disediakan untuk
mencegah terjadinya sesuatu hal yang tidak terduga,
misalnya karena keterlambatan pengiriman.
3) Menentukan waktu tunggu (lead time) adalah waktu yang
diperlukan dari mulai pemesanan sampai Sediaan Farmasi
diterima.
c. Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk
memonitor keluar dan masuknya (mutasi) Sediaan Farmasi di
Klinik. Pencatatan dapat dilakukan dalam bentuk digital atau
manual. Pencatatan dalam bentuk manual biasanya
menggunakan kartu stok.
3. Penanganan ketika terjadi kerusakan, recall, dan kedaluwarsa.
a. Pemusnahan dan penarikan Obat yang tidak dapat digunakan
harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Untuk pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota dan dibuat berita acara pemusnahan;
c. Penarikan Obat yang tidak memenuhi standar/ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar
berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall)
atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar
(voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan kepada
Kepala BPOM. Penarikan Alat Kesehatan dan BMHP dilakukan
terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri; dan
d. Pemusnahan dilakukan untuk Obat bila:
1) Produk tidak memenuhi persyaratan mutu/rusak.
2) Telah kedaluwarsa.
3) Dicabut izin edarnya.
jdih.kemkes.go.id
- 49 -
I. Administrasi
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan BMHP meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur),
penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan), dan
pencatatan lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri
dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan
pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Klinik, meliputi
keuangan, barang, dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan
pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan pelaporan lainnya.
1. Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk
memonitor transaksi Sediaan Farmasi yang keluar dan masuk di
Klinik. Adanya pencatatan akan memudahkan petugas untuk
melakukan penelusuran bila terdapat mutu Sediaan Farmasi yang
substandar dan harus ditarik dari peredaran. Pencatatan dapat
dilakukan dengan menggunakan bentuk digital maupun manual.
Kartu yang umum digunakan untuk melakukan pencatatan adalah
Kartu Stok.
Fungsi kartu stok:
a. Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi Sediaan Farmasi
(penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kedaluwarsa).
b. Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data
mutasi 1 (satu) jenis Sediaan Farmasi.
c. Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan,
perencanaan, pengadaan, distribusi, dan sebagai pembanding
terhadap keadaan fisik Sediaan Farmasi dalam tempat
penyimpanannya.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
a. Kartu stok diletakkan bersamaan/berdekatan dengan Sediaan
Farmasi bersangkutan.
b. Pencatatan dilakukan secara rutin dari hari ke hari.
c. Setiap terjadi mutasi Sediaan Farmasi (penerimaan, pengeluaran,
hilang, rusak/kedaluwarsa) langsung dicatat di dalam kartu stok.
jdih.kemkes.go.id
- 50 -
jdih.kemkes.go.id
- 51 -
2. Pelaporan
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan
administrasi Sediaan Farmasi, tenaga, dan perlengkapan kesehatan
yang disajikan kepada pihak yang berkepentingan.
Tabel 3.
jdih.kemkes.go.id
- 52 -
BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIS
jdih.kemkes.go.id
- 53 -
2. Pasien geriatrik.
3. Pasien polifarmasi.
4. Pasien dengan antibiotik.
5. Pasien penyakit kronis.
6. Pasien yang mendapatkan Obat dengan indeks terapi sempit.
7. Pasien dengan gagal organ eliminasi.
jdih.kemkes.go.id
- 54 -
jdih.kemkes.go.id
- 55 -
jdih.kemkes.go.id
- 56 -
C. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan Resep/instruksi
pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan
untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat
tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan
Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu
jdih.kemkes.go.id
- 57 -
Klinik ke Klinik lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar
dari Klinik ke fasilitas pelayanan kesehatan lain dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah:
1. Memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan
pasien;
2. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya
instruksi dokter; dan
3. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi
dokter.
Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu:
1. Pengumpulan data
Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan
digunakan pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute, Obat
mulai diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi
pasien serta efek samping Obat yang pernah terjadi. Khusus untuk
data alergi dan efek samping Obat, dicatat tanggal kejadian, Obat yang
menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek yang
terjadi, dan tingkat keparahan. Data riwayat penggunaan Obat
didapatkan dari pasien, keluarga pasien, daftar Obat pasien, Obat yang
ada pada pasien, dan rekam medik/medication record. Data Obat yang
dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya. Semua
Obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun Obat bebas
termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
2. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang pernah, sedang
dan akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah
bilamana ditemukan ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data
tersebut. Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada Obat yang hilang,
berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang
didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini dapat
bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep
maupun tidak disengaja (accidental) dimana dokter tidak tahu adanya
perbedaan pada saat menuliskan Resep.
3. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan
ketidaksesuaian dokumentasi.
Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari
jdih.kemkes.go.id
- 58 -
24 jam.
Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah:
a. Menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau
tidak disengaja;
b. Mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau
pengganti; dan
c. Memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya
rekonsilliasi Obat.
4. Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau
perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker
bertanggung jawab terhadap informasi Obat yang diberikan.
jdih.kemkes.go.id
- 59 -
jdih.kemkes.go.id
- 60 -
E. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam
penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime
questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu
dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah
memahami Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati
dan/atau ginjal, ibu hamil, dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB,
DM, AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tapering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pemberian lebih dari lima macam obat
untuk satu pasien dalam satu resep. Dalam kelompok ini juga
termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang
diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis Obat.
jdih.kemkes.go.id
- 61 -
jdih.kemkes.go.id
- 62 -
Nama Pasien :
Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Alamat :
Tanggal konseling :
Nama Dokter :
Diagnosa :
Nama obat, dosis dan cara :
pemakaian
Riwayat alergi :
Keluhan :
Pasien Apoteker
.................... .................
jdih.kemkes.go.id
- 63 -
F. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari
dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
1. Memeriksa Obat pasien.
2. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat
dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
3. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan
penggunaan Obat.
4. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan
dalam terapi pasien.
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan, pembuatan
dokumentasi, dan rekomendasi. Kegiatan visite ini terdiri dari 2 (dua) jenis,
yaitu visite mandiri dan visite bersama tim.
Kegiatan visite mandiri:
1. Untuk pasien baru
a. Apoteker memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari
kunjungan.
b. Memberikan informasi mengenai sistem pelayanan farmasi dan
jadwal pemberian Obat.
c. Menanyakan Obat yang sedang digunakan atau dibawa dari
rumah, mencatat jenisnya, dan melihat instruksi dokter pada
catatan pengobatan pasien.
d. Mengkaji terapi Obat lama dan baru untuk memperkirakan
masalah terkait Obat yang mungkin terjadi.
2. Untuk pasien lama dengan instruksi baru
a. Menjelaskan indikasi dan cara penggunaan Obat baru.
b. Mengajukan pertanyaan apakah ada keluhan setelah pemberian
Obat.
3. Untuk semua pasien
a. Memberikan keterangan pada catatan pengobatan pasien.
b. Membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian
masalah dalam satu buku yang akan digunakan dalam setiap
kunjungan.
jdih.kemkes.go.id
- 64 -
jdih.kemkes.go.id
- 65 -
jdih.kemkes.go.id
- 66 -
Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
Nomor Telepon :
Riwayat
penggunaan
obat
Riwayat alergi
........................, 20...
Apoteker
jdih.kemkes.go.id
- 67 -
jdih.kemkes.go.id
- 68 -
jdih.kemkes.go.id
- 69 -
jdih.kemkes.go.id
- 70 -
jdih.kemkes.go.id
- 71 -
jdih.kemkes.go.id
- 72 -
Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
Nomor Telepon :
..................., 20...
Apoteker
jdih.kemkes.go.id
- 73 -
BAB IV
SUMBER DAYA KEFARMASIAN
jdih.kemkes.go.id
- 74 -
jdih.kemkes.go.id
- 75 -
jdih.kemkes.go.id
- 76 -
jdih.kemkes.go.id
- 77 -
jdih.kemkes.go.id
- 78 -
BAB V
EVALUASI MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN
jdih.kemkes.go.id
- 79 -
3) Observasi
Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap seluruh proses pengelolaan Sediaan
Farmasi.
Contoh:
a) Observasi terhadap penyimpanan Obat.
b) Proses transaksi dengan distributor.
c) Ketertiban dokumentasi.
4) Survei
Untuk mengukur kepuasan pasien, dilakukan dengan angket
atau wawancara langsung dengan menggunakan Formulir 13.
jdih.kemkes.go.id
- 80 -
KUISIONER
TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI INSTALASI FARMASI KLINIK
jdih.kemkes.go.id
- 81 -
jdih.kemkes.go.id
- 82 -
HARAPAN KENYATAAN
NO DAFTAR PERTANYAAN
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Ketersediaan dokumen STR & SIP
3 tenaga kefarmasian di instalasi
farmasi
Ketersediaan dokumen mutu praktik
4 kefarmasian (SPO, Rekam Medis,
MESO, dsb)
5 Kenyamanan ruang kerja tenaga
kefarmasian
6 Kebersihan ruang kerja tenaga
kefarmasian
7 Kerapian tata letak di instalasi
farmasi
8 Ketersediaan papan nama tenaga
kefarmasian di instalasi farmasi
EMPHATY
1 Perhatian tenaga kefarmasian
terhadap keluhan konsumen
2 Pelayanan tenaga kefarmasian
terhadap semua pelanggan tanpa
membeda-bedakan status sosial
3 Keramahan tenaga kefarmasian
4 Tenaga kefarmasian paham
kebutuhan pelanggan
RELIABILITY
1 Tenaga kefarmasian klinik tidak
melakukan kesalahan
2 Tenaga kefarmasian klinik mampu
menyelesaikan keluhan pasien
3 Tenaga kefarmasian memberikan
Obat sesuai dengan resep
4 Resep dikerjakan sesuai dengan
waktu yang dijanjikan
jdih.kemkes.go.id
- 83 -
jdih.kemkes.go.id
- 84 -
jdih.kemkes.go.id
- 85 -
Nama Klinik :
Jenis Klinik : Rawat Jalan/Rawat Inap
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Laporan Bulan/Tahun :
Jumlah Apoteker :
Jumlah TTK :
jdih.kemkes.go.id
- 86 -
A. DATA KLINIK
1. Kode
2. Nama Klinik
3. Alamat
4. Kepemilikan Klinik
5. Kecamatan
6. Kabupaten/Kota
7. Provinsi
9. Nomor Faksimili
2. Klinik utama
2. Rawat Inap
Jumlah
JENIS TENAGA DAN STATUS KEPEGAWAIAN
(orang)
1 Dokter
2 Perawat
3 Apoteker
4 TTK
jdih.kemkes.go.id
- 87 -
Catatan:
• Untuk Klinik Rawat Jalan yang tidak melakukan pelayanan kefarmasian, dilanjutkan ke
tabel “PENILAIAN MUTU PENGELOLAAN OBAT DAN BMHP DARURAT MEDIS UNTUK
KLINIK YANG TIDAK MEMILIKI APOTEKER”
• Untuk Klinik yang melakukan pelayanan kefarmasian, dilanjutkan ke tabel “DATA
INSTALASI FARMASI DI KLINIK dan PENILAIAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN
UNTUK KLINIK YANG MEMILIKI APOTEKER”
PENILAIAN MUTU PENGELOLAAN OBAT DAN BMHP DARURAT MEDIS UNTUK KLINIK YANG
TIDAK MEMILIKI APOTEKER
Penilaian
jdih.kemkes.go.id
- 88 -
Jumlah
Organisasi Manajemen
2 Nomor STRA
3 Nomor SIPA
jdih.kemkes.go.id
- 89 -
I. SDM KEFARMASIAN
Penilaian
SDM Kefarmasian Ya = 1, Keterangan
Tidak = 0
Jumlah
Penilaian
jdih.kemkes.go.id
- 90 -
e. Tersedia wastafel
jdih.kemkes.go.id
- 91 -
jdih.kemkes.go.id
- 92 -
h. Lampu emergensi
i. Toilet
Jumlah
III. PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI DAN BAHAN MEDIS HABIS PAKAI (BMHP)
Penilaian
Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Keterangan
Pakai (BMHP) Ya = 1,
Tidak = 0
a. SPO Pemilihan
b. SPO Perencanaan
c. SPO Pengadaan
d. SPO Penerimaan
e. SPO Penyimpanan
g. SPO Pengendalian
jdih.kemkes.go.id
- 93 -
Tempat
f. Vaksin disimpan pada tempat dengan menyimpan
kendali suhu tertentu dan hanya vaksin
diperuntukkan khusus menyimpan vaksin berupa:
saja
..............
jdih.kemkes.go.id
- 94 -
jdih.kemkes.go.id
- 95 -
Jumlah
jdih.kemkes.go.id
- 96 -
1.
Tersedia SPO pelayanan farmasi klinis meliputi:
Diisi N/A
b. SPO Rekonsiliasi obat (Klinik Rawat Inap) untuk rawat
jalan
d. SPO Konseling
Diisi N/A
e. SPO Visite (Klinik Rawat Inap) untuk rawat
jalan
c. Tanggal etiket
d. Aturan pakai
jdih.kemkes.go.id
- 97 -
Jumlah
Penilaian
Evaluasi Mutu Pelayanan Kefarmasian Keterangan
Ya = 1,
Tidak = 0
Jumlah
jdih.kemkes.go.id
- 98 -
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
A. Pembinaan
Pembinaan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik
dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota secara berjenjang sesuai dengan
kewenangannya terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan
Pelayanan Kefarmasian di Klinik.
Pembina Pelayanan Kefarmasian di Dinas Kesehatan perlu berkoordinasi
dengan pembina pelayanan kesehatan serta berkontribusi dalam
melakukan pembinaan ke fasilitas kesehatan, mulai dari verifikasi
perizinan, pembinaan, pengawasan, dan pemberian sanksi jika diperlukan.
Pembinaan dapat dilakukan secara berkala, sebagai tindak lanjut
pengawasan, serta sebagai langkah awal tindak lanjut temuan pelanggaran,
baik yang merupakan temuan BPOM ataupun pelaporan.
Kegiatan pembinaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan meliputi Komunikasi,
Informasi, Edukasi (KIE), pemberdayaan masyarakat, advokasi, dan
sosialisasi, serta monitoring dan evaluasi.
1. Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) dan Pemberdayaan Masyarakat
KIE adalah upaya perubahan sosial yang diorganisasikan dengan baik
oleh sekelompok orang (agent of change) dalam jangka pendek maupun
panjang dengan tujuan untuk mengubah, mengganti, atau
memperkenalkan ide-ide, gagasan, kepercayaan, atau perilaku kepada
sekelompok orang (target adopter). Dalam hal pembinaan Klinik, KIE
dilakukan secara sistematis dengan cara berkomunikasi, memberikan
informasi, serta melakukan edukasi untuk memecahkan masalah yang
ada dalam penyelenggaraan Klinik.
2. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara berkala paling sedikit
1 (satu) kali dalam setahun dan dilaporkan secara berjenjang hingga
ke pusat dalam rangka pembinaan. Monitoring adalah aktivitas yang
dilakukan ketika sebuah kebijakan sedang diimplementasikan.
Monitoring diperlukan agar kesalahan awal dapat segera diketahui dan
jdih.kemkes.go.id
- 99 -
B. Pengawasan
Pengawasan dilakukan untuk menjamin kesesuaian regulasi dengan
penyelenggaraan kegiatan kefarmasian di Klinik, meningkatkan mutu
pelayanan dan keselamatan pasien, serta melindungi masyarakat terhadap
segala risiko yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan atau
merugikan masyarakat.
Pengawasan dilakukan terhadap perizinan dan pelaksanaan Standar
Pelayanan Kefarmasian. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Klinik adalah :
1. Memastikan keamanan dan mutu produk yaitu dengan cara
memeriksa produk yang dilayani adalah produk yang berasal dari
distributor resmi, memiliki Nomor Izin Edar (NIE), cara penyimpanan
Obat yang sesuai dengan standar (termasuk Obat Narkotika,
jdih.kemkes.go.id
- 100 -
jdih.kemkes.go.id
- 101 -
BAB VII
PENUTUP
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BUDI G. SADIKIN
jdih.kemkes.go.id