Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Bali sampai saat ini masih menggunakan Bahasa Bali, sebagai

media komunikasi antar etnis penutur Bahasa Bali, baik dalam situasi formal

maupun, tidak formal. Bahasa Bali mempunyai fungsi yang sangat penting

sebagai sarana penghubung berkomunikasi masyarakat Bali, sebagai identitas

daerah masyarakat Bali, sebagai pendukung budaya daerah dan sastra Indonesia,

serta budaya nasional. Bahasa Bali tidak hanya sebagai alat komunikasi saja,

tetapi sebagai sarana untuk melakukan abstraksi pemikiran dalam bidang yang

sangat luas. Potensi dan abstraksi yang dimiliki Bahasa Bali harus tetap terjaga

dan digunakan untuk menterjemahkan dan membahasakan kemajuan jaman. Bila

mungkin Bahasa Bali harus dijadikan sebagai Bahasa ilmu pengetahuan

(Suardiana, 2019, hal.3)

Bahasa Bali merupakan kearifan lokal budaya Bali. Bahasa Bali mengandung

nilai, norma, etika, dan moralitas adiluhung sebagai bagian tak terpisahkan dari

budaya Bali. Bahasa Bali sebagai bagian budaya Bali perlu adanya upaya

pemeliharaan berupa perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan

potensi bahasa sesuai dengan yang tercantum didalam peraturan Gubernur

(PERGUB) Bali nomor 80 tahun 2018 tentang bahasa, aksara, dan sastra Bali

serta penyelenggaraan bulan Bahasa Bali. Sejumlah implementasi dari PERGUB

tersebut diantaranya penggunaan bahasa Bali dan pakaian adat Bali setiap hari

1
Kamis, penggunaan aksara Bali pada papan nama instansi. Sebulan penuh Bali

merayakan suka cita dalam balutan bahasa Ibu, yaitu mulai dari tanggal 1 pebruari

hingga 28 pebruari 2019 telah digelar bulan bahasa Bali, festival yang lekat

dengan budaya dan penguatan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu di tanah Bali

(kompasiana, 2019).

Penetapan peraturan daerah (PERDA) Provinsi Bali nomor 1 tahun 2018 dan

peraturan Gubernur Bali nomor 20 tahun 2013 menjadi payung hukum pengajaran

bahasa Bali sebagai muatan lokal wajib di SD, SMP dan SMA. Muatan lokal

memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan perilaku kepada siswa agar

mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan

kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di daerahnya.

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi menyatakan bahwa

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) selain memuat beberapa mata

pelajaran pokok, juga terdapat mata pelajaran muatan lokal yang wajib diberikan

pada semua tingkat satuan pendidikan. Mata pelajaran muatan lokal harus memuat

karakteristik budaya lokal, keterampilan, nilai-nilai luhur budaya setempat, dan

mengangkat permasalahan sosial dan lingkungan (Depdiknas, 2004, 2006, 2007).

Pengajaran bahasa Bali di sekolah merupakan bagian inegral dari kegiatan

pembinaan dan pengembangan bahasa Bali. Jika dikelola dengan baik sesuai

prinsip-prinsip pembelajaran bahasa, pembelajaran bahasa Bali dapat memberikan

kontribusi yang sangat signifikan bagi 'pelahiran' penutur-penutur aktif bahasa

Bali. 'Kelahiran' penutur aktif bahasa Bali menjadi salah satu indikator

kebertahanan bahasa Bali di daerah kelahirannya.

2
Mata pelajaran bahasa daerah di tingkat sekolah dasar (SD) sangat penting

dalam tingkat awal pengenalan bahasa daerah sebagai budaya bangsa pada

pendidikan formal sekaligus dapat menjadi sarana dalam kehidupan

bermasyarakat yaitu untuk komunikasi dan etika sopan santun dalam

bermasyarakat. Secara luas bahasa daerah sebagai budaya bangsa dapat menjadi

identitas diri pada era globalisasi sehingga dapat menyaring budaya asing yang

masuk ke Indonesia. Sebab, bahasa daerah dikenalkan sejak dini dalam dunia

pendidikan dapat membuat insan-insan terdidik menjadi sadar tentang toleransi

dan kebhinekaan (kompasiana,2019).

Dalam permasalahan perbedaan budaya dalam proses pendidikan bahasa

daerah pada siswa tingkat SD yang cenderung mengikuti bahasa daerah tempat dia

bersekolah maka guru seharusnya dapat memahami dan mengerti latarbelakang

budaya si anak sehingga dapat dilakukan pendidikan dengan pendekatan

multikultural untuk memudahkan siswa dalam proses pembelajarannya sehingga

siswa lebih tertarik terhadap materi bahasa daerah yang diberikan. Pembelajaran

berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan

rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk

bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau

rasnya secara langsung (Ngalimun, 2017, hal. 205).

Perkembangan teknologi merupakan hal yang tidak bisa dihindari karena ini

adalah hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan secara global. Perkembangan

teknologi informasi saat ini memungkinkan generasi muda mengakses berbagai

informasi baik yang positif maupun negatif. Bagi generasi muda, termasuk anak-

3
anak dan remaja, keterbukaan informasi sangat bermanfaat dalam proses

pembelajaran. Melalui keterbukan informasi ini, banyak informasi buruk atau

negatif pun disajikan, misalnya informasi tentang pornografi, game online yang

tidak edukatif, konsumersime, dan sebagainya. Perkembangan teknologi yang

semakin pesat tidak diimbangi dengan tetap menjaga karakter diri dan bangsa

maka semakin banyak terjadi hal-hal yang merusak karakter itu.

Salah satu isu utama yang muncul beberapa tahun belakangan dalam bidang

pendidikan adalah terkait pendidikan karakter. Disebabkan krisis moralitas yang

masih menjadi persoalan serius bangsa Indonesia. Berbagai berita, baik yang

dirilis media cetak maupun elektronik, mewartakan semakin merosotnya karakter

anak bangsa. Hal ini dapat dibuktikan dengan maraknya perkelahian antar pelajar,

tidak sopannya murid terhadap guru, dan kekerasan seksual yang melibatkan

murid bahkan oknum guru.

Lembaga sekolah saat ini menjadi tumpuan yang sangat besar dalam

menguatkan pendidikan karakter melalui berbagai macam strategi, termasuk

diantaranya adalah kurikukum, penegakan disiplin, manajemen kelas, baik melalui

progam progam sekolah yang sudah dicanangkan (Isbadrianingtyas, Hasanah, &

Mudiono, 2016). Strategi sendiri adalah cara cara yang digunakan untuk mencapai

tujuan. Menurut (Andiarini & Nurabadi, 2018) pada dasarnya dari sekolahlah

karakter peserta didik dapat dibentuk dengan melaksanakan program-program

yang telah dibuat sekolah untuk penguatan pendidikan karakter pada peserta didik.

Pembentukan karakter pada anak sekolah dasar dapat dibentuk dengan cara

menanamkan pedidikan karakter secara konsisten baik dari keluarga, dari sekolah

4
maupun dari lingkungan masyarakat sekitar (Kurniawan, 2015, hal.41-49).

Sekolah harus mempunyai strategi untuk mengatasi krisis karakter melalui

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK ini harus mengembangkan lima nilai

karakter termasuk diantaranya adalah religius, nasionalisme, kemandirian, gotong

royong, dan integritas.

Pendidikan karakter seharusnya berbasis kearifan lokal atau budaya sendiri,

yaitu berupa penggalian nilai-nilai budaya luhur yang ada dalam kearifan lokal.

Penggalian nilai-nilai kearifan lokal sebagai basis pendidikan karakter ini, juga

sejalan dengan rekomendasi UNESCO tahun 2009. Menurut UNESCO,

penggalian kearifan lokal sebagai dasar pendidikan karakter dan pendidikan pada

umumnya, akan mendorong timbulnya sikap saling menghormati antaretnis, suku,

bangsa dan agama, sehingga keberagaman terjaga dengan baik (Agus Wibowo,

2015, hal. 15).

Di Bali, khususnya, pendidikan karakter diperkenalkan bersamaan dengan

pengenalan budaya Bali salah satunya bahasa Bali. Bahasa Bali diperkenalkan

tidak hanya di sekolah berstatus negeri tetapi juga di sekolah swasta,

salahsatunya di MI AL-AZHAR. MI AL-AZHAR saat ini sedang menggiatkan

pembelajaran muatan lokal bahasa Bali, dimana peserta didiknya non-penutur

asli bahasa Bali. Tujuan pelaksanaan muatan lokal bahasa Bali di MI AL-

AZHAR adalah agar siswa dapat berkomunikasi bahasa Bali dengan baik, guru

dapat melaksanakan pembelajaran dengan sistematis dan efektif, siswa dapat

mengapresiasi kesusasteraan Bali baik tradisional, maupun modern, serta siswa

dapat menghargai dan memiliki kearifan budaya lokal itu sendiri.

5
Berdasarkan studi awal peneliti di MI AL-AZHAR diperoleh fakta bahwa

sebelumnya guru yang mengajar bahasa Bali bukanlah berkualifikasi pendidikan

bahasa Bali. Guru-guru yang mengajar bahasa Bali terdahulu merupakan guru di

bidang agama. Fakta lapangan lainnya yang peneliti temukan juga dari siswa MI

AL-AZHAR, bahasa Bali bukanlah bahasa ibu mereka. Mereka di rumah

menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Jawa bahkan ada yang berbahasa

Madura juga. Bahasa Bali sering mereka dengar di lingkungan mereka, tapi

mereka sendiri tidak menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari. Selain itu

pada prakteknya di lapangan, MI AL-AZHAR belum ikut mendukung

penggunaan bahasa Bali dalam interaksi sehari-hari. Siswa merasa sulit untuk

menerapkan bahasa Bali dan prestise bahasa Bali masih kurang baik

dibandingkan dengan bahasa Arab atau bahasa Inggris.

Dalam hal belajar bahasa yaitu bahasa sasaran, kelompok usia anak-anak

memiliki motivasi belajar yang berbeda dengan kelompok usia remaja dan

dewasa. Anak-anak memiliki sifat ingin tahu yang tinggi dan sifat inilah yang

menjadi motivasi belajar mereka. Akan tetapi, durasi perhatian dan konsentrasi

mereka kurang dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak umumnya,

senantiasa berusaha mencari perhatian dan persetujuan guru. Perhatian dan

penghargaan guru terhadap apa yang mereka lakukan sangatlah penting bagi

mereka. Mereka membutuhkan perubahan aktivitas yang konstan, mereka

membutuhkan aktivitas yang sangat menyenangkan dan yang mampu memancing

keingintahuan mereka. Mereka butuh dilibatkan dalam kegiatan aktif dan dihargai

6
oleh guru, orang yang merupakan figur penting bagi mereka. Sikap dan perilaku

guru adalah segalanya bagi mereka (Harmer,1983).

Memperhatikan uraian tersebut, maka perlu mengupayakan metode

pembelajaran yang sesuai dengan ciri keanak-anakannya bagi siswa sekolah dasar.

Apalagi dalam pembelajaran bahasa Bali yang peserta didiknya siswa non-penutur

asli bahasa Bali, dipandang perlu menggagas proses pembelajaran yang rekreatif.

Berdasarkan kutipan dari UNESCO (2010) definisi pembelajaran rekreatif adalah

pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan diri, rekreasi, dan

kesenangan, yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup. Strategi

pembelajaran rekreatif terdiri dari beberapa bentuk, diantaranya belajar sambil

bernyanyi, belajar sambil bermain, pemberian kuis dan karya wisata.

Berdasarkan uraian di atas penulis merasa penting untuk mengangkat

penelitian tentang “Strategi Pembelajaran Bahasa Bali Dalam Upaya Penguatan

Karakter Berbasis Kearifan Lokal di MI AL-AZHAR”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana strategi pembelajaran bahasa Bali berbasis kearifan lokal pada

siswa MI AL-AZHAR?

2. Bagaimana fungsi pembelajaran bahasa Bali berbasis kearifan lokal terhadap

penguatan karakter siswa MI-AL-AZHAR?

3. Bagaimana implikasi pembelajaran bahasa Bali berbasis kearifan lokal

terhadap penguatan karakter siswa MI AL-AZHAR?

7
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui strategi

pembelajaran bahasa Bali dalam upaya penguatan karakter berbasis kearifan lokal

pada siswa di MI AL-AZHAR.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Mengetahui strategi pembelajaran bahasa Bali berbasis kearifan lokal pada

siswa MI AL-AZHAR.

2. Mengetahui fungsi pembelajaran bahasa Bali berbasis kearifan lokal terhadap

penguatan karakter siswa MI-AL-AZHAR.

3. Mengetahui implikasi pembelajaran bahasa Bali berbasis kearifan lokal

terhadap penguatan karakter siswa MI AL-AZHAR.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Memberikan pembelajaran bahasa Bali berbasis kearifan lokal sesuai dengan

strategi pembelajaran yang telah dilaksanakan dalam upaya penguatan karakter

siswa di MI AL-AZHAR.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan acuan dalam pembelajaran

bahasa Bali sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib, kepada kepala

8
Madrasah sebagai pengambil kebijakan terhadap pelaksanaan pembelajaran

bahasa Bali di MI AL-AZHAR.

2. Siswa yang mengikuti pembelajaran bahasa Bali di MI AL-AZHAR.

3. Memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan khasanah ilmu

Pendidikan khususnya Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Bali di

Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar.

9
BAB II

KAJIAN PUSTAKA. KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan deretan dari daftar referensi keseluruhan jenis dari

referensi yang sudah diambil seperti pada: buku, mengutip dari jurnal, artikel,

maupun dari disertasi, tesis, skripsi, hand outs, laboratory manuals, atau kutipan

dari karya ilmiah lain yang kemudian dikumpulkan dalam penulisan suatu

proposal. Kajian Pustaka dengan penelitian dapat memberikan gambaran umum

tentang penelitian yang telah dilakukan sebagai bandingan atas penelitian yang

akan dilakukan.

Pengakuan terhadap pustaka memiliki peran yang sangat penting sebagai

sumber pembelajaran dalam proses menyalurkan pesan atau isi penelitian untuk

membantu proses belajar yang aktif dan berkelanjutan. Tanjung (2005:60) juga

menjelaskan selain merupakan penelaahan terhadap penelitian mutahir

sebelumnya, kajian pustaka juga teori konsep, atau yang baru ditanyakan tentang

penelitian yang dilakukan.

Mengingat dengan kajian pustaka, seorang yang akan melakukan penelitian

mendapatkan pengetahuan dalam mempertegas penelitiannya. Kajian pustaka

dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkaji pustaka-pustaka dalam penelitian

yang relevan dengan masalah yang sedang ditanyakan guna membantu kajian

pustaka dalam penelitian ini, berdasarkan dugaan studi kepustakaan itu maka

perdebatan yang dikemukakan akan semakin jelas arah dan bentuknya, di samping

10
mendukung untuk mencari dukungan terhadap informasi yang berkaitan masalah

yang sedang dibahas.

Dalam tulisan ini ada beberapa hasil penelitian sebelumnya yang terkait,

sebagai bahan perbandingan dalam penyusunan proposal tesis ini yakni sebagai

berikut.

1. Jurnal Pendidikan Hamidulloh Ibda, dalam wahana Akademika Volume 5

Nomor 2, Oktober 2018 dengan judul “Penguatan Karakter Toleran dalam

Pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis Whole Language di Madrasah

Ibtidaiyah” Hasil penelitian ini Toleransi harus dibangun, dikuatkan, dan

digerakkan dari ruang kelas. Madrasah Ibtidaiyah sebagai lembaga

pendidikan formal wajib bersumbangsih menguatkan karakter toleran melalui

pembelajaran Bahasa Indonesia dengan pendekatan whole language.

Pendekatan ini menekankan pemahaman bahasa utuh, menyeluruh yang

sangat terkait bahasa, budaya, dan kultur manusia Indonesia. Sebagai alat

pemersatu, Bahasa Indonesia menjadi alat pembentuk karakter toleran yang

melekat di dalamnya.

Persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini adalah sama-sama

mengembangkan strategi pembelajaran bahasa dengan pendekatan Whole

Language di Madrasah Ibtidaiyah (MI), dengan menekankan bahwa pembelajaran

bahasa akan bermakna bila disajikan secara utuh dan sesuai dengan kebutuhan dan

perkembangan anak-anak dan berkaitan dengan penguatan karakter siswa.

Sedangkan perbedaannya penelitian ini mengenai pembelajaran bahasa Bali

berbasis kearifan lokal.

11
2. Karya Agus Wibowo dan Gunawan, yang berjudul Pendidikan Karakter

Berbasis Kearifan Lokal di Sekolah. Tulisan ini memuat konsep pendidikan

mestinya berbasis kepada budaya sendiri, yaitu berupa penggalian nilai-nilai

luhur yang ada dalam kearifan lokal. Penggalian nilai-nilai kearifan lokal

sebagai basis pendidikan karakter ini, juga sejalan dengan rekomendasi

UNESCO tahun 2009. Menurut UNESCO, penggalian kearifan lokal sebagai

dasar pendidikan karakter dan pendidikan pada umumnya, akan mendorong

timbulnya sikap saling menghormati antar etnis, suku, bangsa dan agama,

sehingga keberagaman terjadi.

Kontribusi yang dapat diperoleh dari tulisan ini adalah nilai-nilai karakter

dapat diambil dari dari nilai-nilai luhur dari masing-masing kearifan lokal. Seperti

kita ketahui, setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal.

3. Hasil studi Ilham Nur Sujatmiko yang berjudul Penguatan Pendidikan

Karakter di SD. Hasil studi ini menyatakan bahawa, strategi dan

implementasi penguatan pendidikan karakter berbasis budaya sekolah

contohnya baik di SD Muhammadiyah 08 Dau maupun di MI Miftahul Ulum

Sudimoro terimplementasi kedalam beberapa program baik sasarannya untuk

peserta didik maupun untuk guru. Keberhasilan SD Muhammadiyah 08 Dau

maupun di MI Miftahul Ulum Sudimoro tentunya memiliki faktor pendukung

dan penghambat dalam penguatan pendidikan karakter dimana masing

masing faktor memiliki dua komponen yaitu faktor internal dan eksternal.

Semua program yang teraplikasi yang sebelumnya dirancang tentunya

12
mempertimbangkan atau dilandasi dengan lima nilai karakter yaitu religius,

nasionalis, intregritas, mandiri dan juga gotong royong.

Kontribusi yang diperoleh dari penelitian ini adalah penguatan pendidikan

karakter di sekolah dasar dilandasi dengan lima karakter yaitu religius, nasionalis,

integritas, mandiri, dan gotong royong.

2.2 Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep berarti; pengertian,

gambaran mental dari objek, proses, pendapat (paham), rancangan (cita-cita) yang

telah dipikirkan.  Agar segala kegiatan berjalan dengan sistematis dan lancar,

dibutuhkan suatu perencanaan yang mudah dipahami dan dimengerti. Perencanaan

yang matang menambah kualitas dari kegiatan tersebut. Di dalam perencanaan

kegiatan yang matang tersebut terdapat suatu gagasan atau ide yang akan

dilaksanakan atau dilakukan oleh kelompok maupun individu tertentu,

perencanaan tadi bisa berbentuk ke dalam sebuah peta konsep.

Menurut Singarimbun dan Effendi (dalam Mudjia Rahardjo, 2018), konsep

disebut sebagai inferensi, yakni tingkat abstraksi yang lebih tinggi dari kejadian-

kejadian yang konkrit, sehingga tidak mudah menghubungkannya dengan

kejadian, obyek atau individu tertentu. Selanjutnya konsep yang abstrak tersebut

disebut konstruk (construct), karena dikonstruksikan dari konsep yang lebih

rendah tingkatan abstraksinya. Semakin besar jarak antara konsep atau konstruk

ini dengan fakta empirik atau aktivitas yang ingin digambarkannya, semakin besar

pula kemungkinan terjadinya salah pengertian dan salah penggunaan.

13
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam arti yang lebih

luas konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena atau peristiwa yang

dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakterisktik kejadian, keadaan,

kelompok, atau individu tertentu.

2.2.1 Strategi Pembelajaran

1. Pengertian Strategi Pembelajaran

Strategi secara umum mempunyai pengertian sebagai suatu garis besar acuan

dalam melakukan tindakan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Kalau

dikaitkan dengan pembelajaran atau belajar mengajar maka strategi bisa diartikan

sebagai pola umum kegiatan antara guru dan murid dalam suatu kegiatan belajar

mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan (Ngalimun, 2017).

Adapun istilah pendekatan (approach) dalam belajar menurut Sanjaya (dalam

Ngalimun, 2017, hal.11) memiliki kemiripan dengan strategi. Pendekatan dapat

diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran.

2. Komponen Strategi Pembelajaran

Pembelajaran merupakan suatu system instruksional yang mengacu pada

seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai

tujuan. Selaku suatu sistem, pembelajaran meliputi suatu komponen, antara lain

tujuan, bahan, peserta didik, guru, metode, situasi, dan evaluasi. Agar tujuan

tercapai, semua komponen yang ada harus diorganisasikan sehingga antarsesama

komponen terjadi kerjasama. Oleh karena itu, guru tidak boleh hanya

memperhatikan komponen-komponen tertentu saja, misalnya metode, bahan, dan

14
evaluasi saja, tetapi ia harus mempertimbangkan komponen secara keseluruhan

(Ngalimun, 2017, hal.17).

a. Guru

Menurut Ngalimun (2017) guru adalah pelaku pembelajaran, sehingga dalam

hal ini guru merupakan faktor yang terpenting. Di tangan gurulah sebenarnya

letak keberhasilan pembelajaran. Komponen guru tidak dapata dimanipulasi atau

direkayasa oleh komponen lain, dan sebaliknya guru mampu memanipulasi atau

merekayasa komponen lain menjadi bervariasi. Sedangkan komponen lain tidak

dapat mengubah guru menjadi bervariasi. Tujuan rekayasa pembelajaran oleh

guru adalah membentuk lingkungan peserta didik supaya sesuai dengan

lingkungan yang diharapkan dari psoes belajar peserta didik, yang pada akhirnya

peserta didik memperoleh hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu,

dalam merekayasa pembelajaran guru harus berdasarkan kurikulum yang berlaku.

b. Peserta didik

Menurut Ngalimun (2017), peserta didik merupakan komponen yang

melakukan kegiatan belajar untuk mengembangkan potensi kemampuan menjadi

nyata untuk mencapai tujuan belajar. Komponen peserta ini dapat dimodifikasi

oleh guru.

c. Tujuan

Tujuan merupakan dasar yang dijadikan landasan untuk menentukan strategi,

materi, media, dan evaluasi pembelajaran. Untuk itu, dalam strategi pembelajaran,

penentuan tujuan merupakan komponen yang pertama kali harus dipilih oleh

15
seorang guru, karena tujuan pembelajaran merupakan target yang ingin dicapai

dalam kegiatan pembelajaran (Ngalimun, 2017, hal.18).

d. Bahan Pembelajaran

Bahan pelajaran merupakan medium untuk mencapai tujuan pembelajaran

yang berupa materi yang tersusun secara sistematis dan dinamis sesuai dengan

arah tujuan dan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan tuntutan

masyarakat. Menurut Suharsini (dalam Ngalimun, 2017, hal.19) bahan ajar

merupakan komponen inti yang terdapat dalam kegiatan pembelajaran.

e. Kegiatan Pembelajaran

Agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal, maka dalam

menentukan strategi pembelajaran perlu dirumuskan komponen kegiatan

pembelajaran yang sesuai dengan standar proses pembelajaran

f. Metode

Metode adalah satu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan

pembelajaran yang telah ditetapkan. Penentuan metode yang akan digunakan oleh

guru dalam proses pembelajaran akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya

pembelajaran yang berlangsung (Ngalimun, 2017, hal.19).

g. Alat

Menurut Ngalimun (2017), alat yang dipergunakan dalam pembelajaran

merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan

pembelajaran. Dalam proses pembelajaran alat memiliki fungsi sebagai pelengkap

untuk mencapai tujuan. Alat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu alat verbal dan

alat bantu nonverbal. Alat verbal dapat berupa suruhan, perintah, larangan dan

16
lain-lain, sedangkan yang nonverbal dapat berupa globe, peta, papan tulis, slide

dan lain-lain.

h. Sumber Pembelajaran

Sumber pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai

tempat atau rujukan dimana bahan pembelajaran bisa diperoleh. Sehingga sumber

belajar dapat berasal dari masyarakat, lingkungan, dan kebudayaannya, misalnya,

manusia, buku, media masa, lingkungan, museum, dan lain-lain (Ngalimun, 2017,

hal.20).

2.2.2 Pendekatan Whole Language dalam Pembelajaran Bahasa Bali

1. Hakikat Pendekatan Whole Language

Pembelajaran bahasa Bali di Sekolah Dasar perlu dirancang sealamiah

mungkin seperti anak-anak menggunakannya dalam aktivitas sehari-hari mereka.

Salah satu strategi pembelajaran bahasa Bali yang dapat dikembangkan dengan

berpijak pada pendekatan whole language.

Istilah whole language digunakan untuk memberikan gambaran bahwa

pengajaran bahasa dilakukan secara utuh, tidak terpisah-pisah antarkomponen

bahasa. Para ahli pembelajaran bahasa seperti Routman (dalam Nengah Arnawa,

2015, hal.265) berkeyakinan bahwa pengajaran keterampilan berbahasa dan

komponen-komponen kebahasaan, seperti kosa kata dan tata bahasa akan lebih

bermakna jika disajikan secara utuh. Penataan materi ajar bahasa dengan

pendekatan whole language diyakini lebih dapat menggambarkan situasi nyata

penggunaan bahasa yang dipelajari anak-anak. Penyajian utuh dan terpadu aspek

keterampilan dengan aspek kosa kata dan ketatabahasaan dapat menghindarkan

17
pembelajaran bahasa dai cognitive oriented yang menekankan pada aspek ingatan

dan pengetahuan kebahasaan semata. Pengajaran bahasa dengan pendekatan

whole language mewajibkan pengintegerasian keterampilan reseptif-produktif

(menyimak dan membaca) dengan keterampilan aktif-produktif (berbicara dan

menulis) melalui penciptaan iklim dan lingkungan belajar bahasa sealamiah

mungkin yang dapat diusahakan guru.

Dikaitkan dengan pandangan Joyce dan Weil (dalam Nengah Arnawa, 2015,

hal.265) tentang model-model pembelajaran, pendekatan whole language lebih

dominan pada model pemrosesan informasi, yakni menggambarkan proses

pembelajaran dengan menekankan pada respons pembelajar bahasa atas stimulasi

yang diberikan oleh lingkungan (termasuk guru dan siswa yang lain). Respon

tersebut dapat berwujud mengorganisasi data, mengelola dan memecahkan

masalah, membangun konsep serta mengungkapkannya secara verbal maupun

nonverbal.

2. Komponen Pendekakatan Whole Language

Mengikuti pandangan Anthony (dalam Parera, 1987) bahwa pendekatan

merupakan seperangkat aksioma yang melandasi proses pembelajaran. Pendekan

whole language berasumsi bahwa pembelajaran bahasa akan bermakna bila

disajikan secara utuh dan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangal anak-anak.

Hal ini juga sejalan dengan aliran psikologi gestalt yang menyatakan bahwa

totalitas (keseluruhan) lebih bermakna dari bagian-bagian, Pendekatan whole

language terdiri dari delapan komponen. Penerapan komponen whole language

dilakukan secara hirarkis. Artinya, jika komponen awal sudah dikuasai dapat

18
dilanjutkan ke komponen berikutnya; sama sakali tidak disarankan dilaksanakan

secara serentak, terutama pada kelas-kelas awal. Untuk itu perlu dipahami bagian-

bagian whole language, seperti berikut ini.

a. Membaca bersuara (reading aloud): Guru (atau siswa) membaca teks dengan

suara keras dan jelas. Kegiatan ini meningkatkan keterampilan menyimak

anak-anak. Hal ini dilakukan setiap memulai pelajaran.

b. Menulis jurnal (iournal writing): Siswa diberi kebebasan menuliskan

perasaan dan pengalaman, serta kejadian yang dialami. Hasil karya siswa ini

dibacakan guru di depan para siswa lainnya serta diberi tanggapan yang

dibutuhkan. Jika Whole language diterapkan pada kelas awal, yang pada

umumlya anak-anak belum lancar menulis, kegiatan ini dapat dimodifrkasi

dengan bercerita.

c. Membaca dalam hati (sustained silent reading): Siswa diberikan kebebasan

memilih dan mebaca buku atau teks yang sesuai dengan kemampuan dan

minatnya. Guru memberi contoh teknik membaca dalam hati yang baik.

d. Membaca bersama (shared reading): Guru dan siswa membaca bersama-

sama. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan: (1) guru membaca dan diikuti

para siswa, (2) guru membaca sedangkan siswa menyimak sambil melihat tek

yang dibaca, dan (3) siswa membaca secara bergilir.

e. Membaca terbimbing (guided reading): guru sebagai pengamat dalam

kegiatan membaca. Guru mengajukan pertanyaan.

19
f. Menulis terbimbing (guided writing): murid menulis dengan bimbingan guru.

Tugas guru sebagai fasilitator dalam menemukan tema tulisan dan bagaimana

cara penulisannya.

g. Membaca bebas (independent reading): siswa menentukan sendiri bahan

yang akan dibaca. Guru sebagai pemrakarsa.

h. Menulis bebas (independen writing): Siswa diberi kesempatan menulis tanpa

intervensi guru. Murid bertanggung jawab secara penuh atas karya tulisnya.

3. Penerapan Pendekatan Whole Language dalam Pembelajaran Bahasa

Bali di Sekolah Dasar

Prinsip dasar pembelajaran adalah mengaktifkan para siswa di dalam kelas

yang didukung oleh kondisi sosio-psikologis yang menyenangkan. Dalam

berbagai literatur, dijelaskan bahwa tidak ada proses pembelajaran efektif yang

berlangsung dalam situasi psikologis yang tegang, cemas, dan ketakutan. Oleh

karena itu diperlukan 'keterampilan' guru mengelola suasana belajar' " Oleh

kebanyakan siswa, pelajaran bahasa Bali dirasakan kurang menarik,

membosankan, bahkan dianggap tidak bermakna. Pelajaran bahasa Bali dirasakan

sebagai beban karena lebih banyak ditekankan pada aspek kognitif. Kepada siswa

kelas I SD, misalnya, diajarkan anggah-ungguhing kruna'tingkatan kata' padahal

berdasarkan hasil penelitian, anak usia 4-5 tahun belum memiliki kompetensi di

bidang itu. Anak-anak siswa SD kelas I diyakini dapat menghafal anggah-

ungguhing kruna tetapi mereka tidak dapat menggunakannya untuk kepentingan

komunikasi (Arnawa, 2005). Untuk itu pembelajaran bahasa Bali perlu dikemas

secara lebih alamiah, seperti pada proses pemerolehan bahasa pertama.

20
Pembelajaran bahasa Bali secara alami menekankan pada pemahaman

sebagai dasar pengembangan keterampilan. Seperti dikatakan Maksan dan Tantra

(dalam I Nengah Arnawa, 2015, hal.267) bahwa aspek semantik dan pemahaman

lebih awal dikuasai anak-anak daripada aspek produksinya. Oleh karena itu, ada

baiknya pengembangan keterampilan aktif-produktif dalam berbahasa Bali

'ditunda', yang didahulukan adalah aspek aktif-reseptinya, seperti mendengarkan

cerita dari guru melalui komponen reading aloud (membaca bersuara).

perencangan pembelajaran bahasa Bali seperti ini diharapkan berimplikasi kepada

hal-hal berikut ini.

1. Siswa mendapat input bahasa Bali yang menyeluruh. Hal ini sangat penting

karena kualitas dan kuantitas input bahasa Bali menentukan kinerja LAD

siswa dalam penguasaan bahasa.

2. Menghasilkan keuntungan psikologis, yakni mengurangi kegelisahan,

ketegangan, dan kecemasan siswa dalam mengikuti pelajaran bahasa Bali.

3. Memberikan peluang kepada siswa untuk 'menggunakan modal' bahasa Bali

yang dimilikinya dalam proses pembelajaran.

Untuk mewujudkan pembelajaran bahasa Bali yang alamiah dengan berpijak

pada pendekatan whole language, guru dapat melakukan langkah-langkah

(sintaks) pembelajaran seperti berikut ini.

3. Langkah Persiapan, yaitu:

a. Guru mengenali dan menginventarisasi keterampilan berbahasa Bali para

siswa.

21
b. Guru menetapkan tujuan pembelajaran atau keterampilan berbahasa Bali yang

ingin dicapai/dikembangkan.

c. Guru melakukan seleksi materi ajar (teks) yang sesuai dengan kebutuhan

pembelajaran bahasa Bali.

d. Guru menyiapkan bahan-bahan (teks) pendukung lairurya (termasuk media

pembelajaran).

e. Guru merancang durasi (waktu) dan tahap-tahap kegiatan.

f. Guru mendesain ruang kelas yang memungkinkan interaksi 'terbuka'

antarsiswa dan guru.

4. Langkah Pelaksanaan yaitu:

a. Guru melakukan apersepsi untuk mengetahui kompetensi linguistik,

keterampilan berbahasa Bali, dan membangun kaitan pengetahuan baru (tema

yang akan disajikan) dengan pengetahuan lama yang telah diketahui anak-

anak. Apersepsi ini dapat dilakukan dengan menerapkan teknik bertanya

dasar dan lanjut.

b. Guru membacakan teks atau bercerita (misalnya: Siap Badeng, I Bawang

teken I Kesuna, I Tuwung Kuning, dan lain-lain). Teks atau cerita dipilih

berdasarkan relevansi dengan tingkat kelas dan tema pembelajarat Pada

kegiatan ini, guru perlu memperhatikan kecepatan, intonasi, dan lafal. Jika

guru memilih teknik bercerita, perlu dipilih diksi yang sesuai dengan

pengetahuan anak-anak (sering diucapkan atau didengar), upayakan kalimat-

kalimat yang digunakan pendek (antara 4-5 kata). Berikan jeda (silent

22
periode) untuk memberi kesempatan kognitif siswa memproses informasi

baru yang diperoleh.

c. Guru melakukan diskusi (tanya jawab) secara terbuka dengan seluruh siswa

yang memungkinkan terjadinya komunikasi edukatif multiarah. Upayakan

varian bahasa Bali yang digunakan sealamiah mungkin. Hal yang perlu

diingat bahwa anak-anak kelas awal SD belum menguasai anggah-ungguhing

basa Bali (Arnawa, 2005). Oleh karena itu varian bahasa Bali alus digunakan

secara sangat terbatas.

d. Guru dapat membuat kelompok-kelompok produktif di kelas untuk

memberikan kesempatan yang lebih terbuka akan penggunaan bahasa Bali.

Anak-anak bercerita pada kelompok masing-masing. Mereka saling koreksi

(self assesment). Suasana kelas menjadi riuh. Guru berperan sebagai

fasilitator.

e. Guru meminta siswa bercerita di depan kelas secara bergantian.

f. Pada akhirnya, guru memberikan simpulan.

Prosedur Evaluasi Evaluasi dilakukan dengan dua sasaran pokok, yaitu

perbaikan proses dan peningkatan hasil belajar. Oleh karena itu, evaluasi

dilakukan pada proses dan hasil belajar. Evaluasi proses ditekankan pada respons

dan tingkat keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Evaluasi proses

dilakukan dengan teknik observasi. Skala penilaian dapat dilakukan dengan pola

Likert: sangat kreatif (skor 5), kreatif (skor 4), cukup kreatif (skor 3), kurang

kreatif (skor 2), dan tidak kreatif (skor 1). Indikator yang digunakan tingkat

keterlibatan, frekuensi, kelancaran berbahasa Bali. Evaluasi hasil dilakukan

23
dengan teknik tes untuk memperoleh gambaran daya serap para siswa. Hasil

evaluasi dijadikan rujukan untuk melakukan refleksi terhadap proses

pembelajaran bahasa Bali secara keseluruhan pada kelas yang bersangkutan.

2.2.3 Bahasa Bali

Bahasa Bali sebagai salah satu bahasa dan perekam budaya Bali sangat

penting untuk dipelihara. Pemeliharaan bahasa Bali juga diharapkan untuk

mempertahankan taksu Bali. Di Bali ada tingkatan (anggah-ungguhin basa)

berbahasa yang menyebabkan terdapatnya klasifikasi sosial dalam masyarakat

Bali. Tingkatan bahasa Bali dibagi menjadi 4 tingkatan bahasa yaitu: (Medra, dkk.

2003)

1. Basa Alus

Basa alus adalah bahasa yang dibangunoleh kruna mider, alus singgih, alus

sor, krunamider dan kruna andap.

2. Basa Madia

Basa alus madia dibangun oleh krunaalus madia, kruna alus mider dan kruna

andap.

3. Basa Andap

Basa andap adalah dibangun oleh krunaandap, dan kruna mider.

4. Basa Kasar

Basa kasar adalah bahasa yang di bangunoleh kruna andap, kruna mider, dan

kruna kasar.

Pembelajaran tembang Bali meliputi tembang Bali tradisional dan tembang

Balimodern. Tembang Bali tradisional meliputi gegendingan (gending raré,

24
gending jangér, gending sangiang), sekar macapat atau sekar alit seperti pupuh-

pupuh, sekar madia atau tembang tengahan seperti kidung, dan sekar agung atau

tembang gedé seperti wirama. Selanjutnya, tembang Bali modern adalah lagu-

lagu pop Bali. Sekar rare merupakan bagian dari gegendingan, yaitu jenis tembang

Bali yang bahasanya sederhana dan diperuntukkan bagi anak-anak usia dini

sampai pada tingkat sekolah dasar.

Pupuh Ginanti adalah salah satu dari sepuluh pupuh dalam kesusastraan

tembang Bali tradisional. Pupuh-pupuh ini merupakan bait-bait puisi yang disusun

sesuai ketentuan pola atau struktur tembangnya masing-masing dan biasanya

digunakan untuk membangun sebuah karya sastra puisi naratif yang disebut

geguritan.

Pupuh Ginada juga salah satu dari sepuluh pupuh dalam kesusastraan

tembang Bali tradisional, yang berbeda hanya padalingsa dan tembang di

dalmnya. Padalingsa adalah jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata pada

masing-masing baris, dan suara (vokal) akhir masing-masing bait. Dengan

sendirinya, tembang atau lagunya juga berbeda. Pupuh-pupuh Ginada juga

merupakan bait-bait puisi yang biasa digunakan untuk membangun sebuah karya

sastra puisi naratif yang disebut geguritan.

Pupuh Sinom merupakan jenis pupuh yang paling panjang, terdiriatas 10 bait.

Pupuh Sinom yang hampir terdapat di berbagai geguritan di Bali memiliki watak

romantis yang dapat dipakai memberikan nasihat, dipakai berdialog dan

sebagainya. Hampir setiap geguritan yang menggunakan multi pupuh memakai

Pupuh Sinom. Pupuh Sinom banyak digemari oleh para pecinta tembang Bali

25
karena memiliki banyak jenis irama (tembang). Pupuh Sinom juga banyak dipakai

dalam pembelajaran tembang Bali di sekolah-sekolah.

Cerita rakyat di Bali disebut dengan istilah satua. Satua pada dasarnya

merupakan alat untuk mendidik perilaku santun bagi anak-anak pada masa

lampau. Banyak kalangan yang mempercayai bahwa ketika dunia hiburan untuk

anak-anak tidak marak seperti sekarang, satua-satua itu cukup ampuh untuk

mentransfer nilainilai kehidupan. Di Bali cukup banyak satua yang sampai saat ini

masih digunakan sebagai salah satu materi pembelajaran bahasa daerah Bali.

Paribasa Bali merupakan jenis-jenis ungkapan berbahasa Bali yang sengaja

sering digunakan oleh penutur bahasa Bali dengan tujuan untukmenambah greget

atau menambah manisnya penampilan seseorang dalam pembicaraannya. Jadi,

dapat dikatakan materi pelajaran ini sering dipakai membumbui pembicaraan yang

sedikit terselubung maknanya, tetapi cukup mudah dipahami. Jenis-jenis

ungkapan ini cukup banyak tergolong wacana kearifan lokal yang dirasakan

mengandung nilai-nilai sindiran, cemoohan, pujian, dan sejenisnya sehingga dapat

dirasakan mengandung nuansa pendidikan karakter bangsa yang patut diketahui

oleh para guru. Jika guru memahami dengan baik makna ungkapan-ungkapan

tersebut, maka setiap saat dapat dipakai untuk menyampaikan ajaran etika dan

moral demi kebaikan.

Sasonggan adalah salah satu jenis ungkapan tradisional Bali yang dipakai

mengungkap keadaan atau tingkah laku manusia dengan perbandingan binatang

atau barang. Hal ini mirip dengan pepatah dalam bahasa Indonesia.

26
2.2.4 Penguatan Pendidikan Karakter

Kata karakter diambil dari bahasa Inggris character, yang juga berasal dari

bahasa Yunani charaissein yang artinya ‘mengukir’ (Munir, 2010). Sifat utama

ukiran adalah melekat kuat diatas benda yang diukir. Tidak mudah usang tertelan

waktu dan aus terkena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan

menghilangkan benda yang di ukir itu. Karakter identik dengan kepribadian atau

akhlak. Kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang

yang bersumber dari bentukan- bentukan yang diterima dari lingkungan, seperti

keluarga dari masa kecil dan bawaan sejak lahir (Mu’in, 2013). Adapun

pendidikan karakter merupakan usaha yang disengaja untuk membantu seseorang

memahami segala sifat-sifat kejiwaan, akhlak, watak yang mampu menjadikan

seseorang sebagai manusia yang berkarakter (Megawangi, 2007).

Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) selain merupakan kelanjutan

dan kesinambungan dari Gerakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa Tahun

2010 juga merupakan bagian integral Nawacita. Dalam hal ini butir 8 Nawacita:

Revolusi Karakter Bangsa dan Gerakan Revolusi Mental dalam pendidikan yang

hendak mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk mengadakan perubahan

paradigma, yaitu perubahan pola pikir dan cara bertindak, dalam mengelola

sekolah. Untuk itu, Gerakan PPK menempatkan nilai karakter sebagai dimensi

terdalam pendidikan yang membudayakan dan memberadabkan para pelaku

pendidikan. Ada lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk

jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas Gerakan PPK. Kelima

nilai utama karakter bangsa yang dimaksud adalah sebagai berikut:

27
1. Religius

Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang

Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan

kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap

toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun

dan damai dengan pemeluk agama lain. Subnilai religius antara lain cinta damai,

toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian,

percaya diri, kerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan, antibuli dan

kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai

lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih.

Ciri khas dari local genius diIndonesia sangat terkait dengan sistem

kepercayaan terhadap sangpencipta Wasilah dkk (2009:51). Pancasila merupakan

dasar negara dan pancangan hidup bangsa yang setiap silanya bersal dari diri

bangsa Indonesia. Sila pertama dalam Pancasila menggambarkan bahwa

masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan terhadap tuhan.

Banyak sekali nilai-nilai religi di dalam kearifan lokal setiap daerah di Indonesia.

2. Nasionalis

Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang

menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap

bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa,

menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan

kelompoknya. Subnilai nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri,

menjaga kekayaan budaya bangsa,rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta

28
tanah air, menjaga lingkungan,taat hukum, disiplin, menghormati keragaman

budaya, suku,dan agama.

3. Mandiri

Nilai karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada

orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk

merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Subnilai mandiri antara lain etos

kerja (kerja keras), tangguh tahan banting, daya juang, profesional, kreatif,

keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.

4. Gotong Royong

Nilai karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat

kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin

komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/ pertolongan pada orangorang

yang membutuhkan. Subnilai gotong royong antara lain menghargai, kerja sama,

inklusif, komitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat,

tolongmenolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap

kerelawanan.

5. Integritas

Nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang

didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat

dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan

kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Karakter

integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat

dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang

29
berdasarkan kebenaran. Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada

kebenaran, setia, komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggungjawab,

keteladanan, dan menghargai martabat individu (terutama penyandang disabilitas).

Kelima nilai utama karakter bukanlah nilai yang berdiri dan berkembang sendiri-

sendiri melainkan nilai yang berinteraksi satu sama lain, yang berkembang secara

dinamis dan membentuk keutuhan pribadi. Nilai religius sebagai cerminan dari

iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan secara utuh dalam

bentuk ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing dan dalam

bentuk kehidupan antarmanusia sebagai kelompok, masyarakat, maupun bangsa.

Dalam kehidupan sebagai masyarakat dan bangsa nilai-nilai religius dimaksud

melandasi dan melebur di dalam nilai-nilai utama nasionalisme, kemandirian,

gotong royong, dan integritas.

2.2.5 Kearifan Lokal

Masyarakat Bali sebagai satu kesatuan geografis, suku, ras, agama memiliki

kearifan lokal yang telah teruji dan terbukti daya jelajah sosialnya dalam

mengatasi berbagai problematika kehidupan sosial. Nilai kearifan lokal yang

berkembang dan diyakini sebagai perekat sosial yang kerap menjadi acuan dalam

menata hubungan dan kerukunan antar sesama umat beragama di Provinsi Bali.

Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan

setempat (localwisdom) atau kecerdasan setempat (local genius). Istilah local

genius dilontarkan pertamakali oleh Quatritch Wales. Pemberian makna kepada

local genius menunjuk pada sejumlah ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh

suatu masyarakat sebagai akibat pengalamannya pada masa lalu (Soejono dalam

30
Rahayu, 2017). Secara umum, local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami

sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,

bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan

lokal juga dapat dikatakan sebagai usaha manusia yang menggunakan akal

budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang

terjadi dalam ruang tertentu. Berbicara tentang kearifan lokal juga membicarakan

warisan ajaran hidup yang disampaikan oleh para pendahulu suatu suku atau

bangsa bagi penerusnya. Warisan ajaran hidup itu melalui berbagai karya

(Koestoro dalam Rahayu,2017).Di antara karya tersebut berbentuk tertulis, karya

seni tulis, seni lantun, dan sebagainya (Rahayu, 2017).

Menurut Putri Racmadayanti (2017) kearifan lokal adalah segala bentuk

kebijaksanaan yang didasari oleh nilai–nilai kebaikan yang dipercaya, diterapkan

dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama

(secara turun-temurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah

tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Kearifan lokal memiliki hubungan

yang erat dengan kebudayaan tradisional pada suatu tempat, dalam kearifan lokal

tersebut banyak mengandung suatu pandangan maupun aturan agar masyarakat

lebih memiliki pijakan dalam menentukan suatu tindakan seperti perilaku

masyarakat sehari-hari. Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung

dalam kearifan lokal diajarkan turun-temurun, diwariskan dari generasi ke

generasi melalui sastra lisan dan manuskrip. Kearifan lokal yang diajarkan turun

temurun tersebut merupakan kebudayaan yang patut dijaga, masing-masing

wilayah memiliki kebudayaan sebagai ciri khasnya dan terdapat kearifan lokal

31
yang terkandung di dalamnya. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari suku-

suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia.

Simbolisasi tersebut dapat digambarkan melalui lagu daerah, kerajinan tangan,

tarian, rumah adat, dan potensi pariwisata daerah. Kekayaan budaya tersebut harus

terus dilestarikan sebagai jalan menjadi bangsa yang berkarakter.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti dapat mengambil benang

merah bahwa kearifan lokal merupakan gagasan yang timbul dan berkembang

secara terus-menerus di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata

aturan/norma, budaya, bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari.

2.3 Teori Penelitian

Setiap penelitian selalu menggunakan teori, seperti dinyatakan oleh Neuman

(dalam Sugiyono, 2020, hal.77) “researchers use theory differently in various

types of research, but some type of theory is present in most social research”. Para

peneliti menggunakan teori secara berbeda pada setiap jenis penelitian sosial.

Sumadi Suryabrata menyatakan (dalam Sugiyono, 2020, hal. 77) bahwa kajian

teori perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, dan

bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error). Pendapat lain mengatakan

bahwa teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang tersusun

secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan

fenomena (Cooper, Schindler, & Sun, 2006). Dari pendapat di atas dapat

dijelaskan bahwa teori dapat berupa konsep, defisini, proposisi tentang suatu

variabel yang dapat dikaji, dikembangkan oleh peneliti. Dalam penelitian

32
kualitatif studi literatur atau teori hanya digunakan untuk menjelaskan masalah

dan tujuan penelitian (sugiyono, 2020).

2.3.1 Teori kontruktivisme (contructivism)

Teori konstruktivisme merupakan teori yang sudah tidak asing lagi bagi

dunia pendidikan. Konstruktivisme merupakan sebuah teori yang sifatnya

membangun, membangun dari segi kemampuan, pemahaman, dalam proses

pembelajaran. Sebab dengan memiliki sifat membangun maka dapat diharapkan

keaktifan dari pada siswa akan meningkat kecerdasannya (Agus N Cahyo, 2013,

hal.33). Konsturktivisme merupakan bagaimana mengaktifkan siswa dengan cara

memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk memahami apa yang mereka telah

pelajari dengan cara menerpakan konsep-konsep yang di ketahuinya kemudian

mempaktikkannya ke dalam kehidupan sehari-harinya.

Teori ini menekankan bahwa dalam proses pembelajaran, termasuk belajar

bahasa Bali, anak-anak membangun sendiri pengetahuan 'kebahasaannya' melalui

peran aktifnya dalam penggunaan bahasa. Anak-anak akan merasa termotivasi

belajar bahasa Bali jika yang dipelajari itu diperlukan (bermakna) bagi mereka.

Oleh karena itu, guru sebagai pencipta lingkungan belajar bahaasa Bali

berkewajiban memajankan varian bahasa Bali dengan berbagai konstruksinya

secara utuh (whole) di dalam kelas.

33
2.4 Model Penelitian

Model Penelitian

Strategi Pembelajaran

Kearifan Lokal

Rumusan Rumusan Rumusan Masalah


Masalah 1 Masalah 2 3

Fungsi Implikasi

Siswa Mampu Menerapkan


Pendidikan Karakter

34
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode memiliki peranan penting di dalam penelitian. Tanpa metode

penelitian tersebut secara ilmiah diragukan. Tujuan penelitian yang dirumuskan

tidak akan mungkin tercapai apabila metode penelitian tidak digunakan. Menurut

Sugiyono (2012:2) metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan

data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Dengan demikian metode sangat

penting dalam penulisan suatu karya ilmiah, karena metode merupakan suatu cara

untuk mendapatkan data dan untuk menganalisa data yang akan disusun dalam

bentuk suatu karya ilmiah. Penggunaan metode yang tepat akan menentukan

dalam pencapaian tujuan yang maksimal. Penelitian kualitatif adalah penelitian

yang menekankan pada hal yang terpenting berupa kejadian/fenomena/gejala

sosial (djam’an satori dan aan komariah, 2020).

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian dengan judul strategi pembelajaran Bahasa Bali dalam upaya

penguatan karakter berbasis kearifan lokal di MI AL-AZHAR menggunakan

metode penelitian deskriptif kualitatif. Peneliti menggunakan penelitian kualitatif

karena dalam proses penelitian ini banyak dilakukan di lapangan dan pengamatan

langsung. Pada penelitian kualitatif ini, data yang dikumpulkan umumnya bentuk

kata-kata, gambaran-gambaran, dan kebanyakan bukan angka-angka.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan

pada filsafat post positivism atau enterpretif, digunakan untuk meneliti pada

35
obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan observasi, wawancara,

dokumentasi). Analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian

kualitatif bersifat untuk memahami makna dan tidak melakukan generalisasi tetapi

lebih menekankan pada kedalaman informasi (Sugiyono, 2020).

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif, yaitu suatu metode

penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga

mampu mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan. Metode kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati (LexyJ.Moelyong,

2006).

3.2 Instrumen Penelitian

Pada penelitian lapangan yang menggunakan penelitian kualitatif, peneliti

bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data. Instrumen selain peneliti

sendiri yakni pedoman wawancara dan pedoman observasi.Tetapi fungsinya

berbatas sebagai pendukung tugas peneliti sebagai instrumen, oleh karena itu

kehadiran peneliti adalah mutlak.

Peranan peneliti sebagai instrumen utama dalam proses pengumpulan data,

peneliti realisasikan dengan mengamati dan berdialog secara langsung dengan

beberapa pihak dan elemen yang berkaitan. Namun, kehadiran peneliti tidak

hanya mengamati saja, akan tetapi peneliti disini memiliki catatan lapangan yang

menceritakan hal-hal yang diamati oleh peneliti secara berurutan dan sesuai

dengan keadaan yang diteliti.

36
3.3 Lokasi Penelitian

Penelitianinidilakukan di MI AL-AZHAR yang beralamat di jalan Airport

Ngurah Rai, kampung Bugis, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta,Bali. Peneliti

tertarik memilih sekolahan ini karena peneliti terlibat langsung dalam proses

pembelajaran bahasa Bali di MI AL-AZHAR.

3.4 Data dan Sumber Data

Adapun sumber data yang peneliti gunakan sebagai berikut.

1. Sumber Primer

Sumber primer yang merupakan sumber utama dalam penelitian ini adalah

perolehan data tersebut dilakukan peneliti dengan cara mengidentifikasi data

sesuai dengan arah permasalahan. Data Primer dapat diperoleh dengan melakukan

observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam penelitian ini dilakukan

wawancara oleh peneliti pada informan yaitu Kepala Sekolah dan wawancara

tersebut mengenai pembelajaran bahasa Bali berbasis kearifan-lokal penting bagi

siswa di MI AL-AZHAR.

2. Sumber Sekunder

Sumber sekunder merupakan sumber kedua dari hasil penggunaan sumber-

sumber lainnya yang tidak terkait secara langsung tetapi sangatlah membantu

dalam penggalian materi penelitian. Peneliti mendapatkan data sekunder dengan

melalui internet, profil sekolah, foto, dokumentasi dalam menunjang penelitian.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi partisipatif

(pengamatan), interview (wawancara), dan dokumentasi.

37
1. Observasi Partisipatif

Dalam observasi di lapangan, peneliti terlibat langsung dengan kegiatan

pembelajaran bahasa Bali siswa di MI AL-AZHAR, sehingga peneliti bisa

mengetahui kondisi real strategi pembelajaran bahasa Bali berbasis kearifan lokal

yang digunakan dalam upaya penguatan karakter siswa di MI AL-AZHAR.

Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh

sumber data.

Dengan observasi partisipan ini, maka data yang diperoleh akan lebih

lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku

yang nampak (Sugiyono, 2020).

2. Wawancara Semi terstruktur

Wawancara yang dilakukan di MI AL-AZHAR ditujukan kepada Kepala

Sekolah dengan memberikan beberapa pertanyaan, sehingga peneliti mendapatkan

data yang akan menjadi bahan dalam proses selanjutnya.

Wawancara semi terstruktur bertujuan untuk menemukan permasalahan

secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan

ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara

teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh infroman (Sugiyono, 2020).

3. Dokumentasi

Dokumentasi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah poto tentang

kegiatan proses pembelajaran bahasa Bali di MI AL AL-AZHAR.

Dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data yang menghasilkan

catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sehingga

38
akan diperoleh data secara lengkap. Hasil penelitian dari observasi dan

wawancara, akan lebih kredibel dapat dipercaya kalau didukung oleh poto yang

telah ada (Sugiyono, 2020).

3.6 Analisis Data

Analisis penelitian dengan tiga tahapan sebagai berikut.

1. Analisis data selama di lapangan. Dalam penelitian ini tidak dikerjakan

setelah pengumpulan data selesai, melainkan selama pengumpulan data

berlangsung data dikerjakan terus menerus hingga penyusunan laporan

penelitian selesai.

2 Analisis data setelah terkumpul atau data yang baru diperoleh dianalisis

dengan cara membandingkan dengan data terdahulu.

3 Setelah proses pengumpulan data terkumpul, maka peneliti membuat

laporan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu jenis

penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran mengenai situasi-situasi

atau kejadian-kejadian.

3.7 Prosedur Penelitian

Tahapan penelitian sebagai berikut.

1. Tahap Pra-Lapangan

Pada tahap Pra-lapangan kegiatan yang dilakukan peneliti antara lain :

a. Melakukan observasi sekaligus menjajaki atau melakukan pengenalan

tempat yang digunakan untuk penelitian yang mana tempatnya di MI AL-

AZHAR.

39
b. Menyusun rancangan penelitian yang berupa proposal penelitian dan

instrument penelitian.

c. Memilih tempa tpenelitian, yang sebelumnya dilakukan observasi awal

sebelum membuat proposal tesis.

d. Mengurus surat-surat perizinan yang berkaitan dengan kegiatan penelitian

yang dilakukan.

e. Menentukan siapa saja yang menjadi nara sumber dalam penelitian dimana

peneliti sendiri sebagai observasi partisipan dan kepala sekolah

diwawancarai untuk data penelitian.

f. Menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan saat penelitian nanti, misalnya

alat tulis, kamera, handphone.

2. Tahap Pengerjaan Lapangan

Pada tahap pengerjaan lapangan, kegiatan yang dilaksanakan peneliti adalah

terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pengamatan dan pengumpulan data

yang berkaitan dengan topik penelitian sebanyak-banyaknya.

3. Tahap Analisis Data

Tahapan analisis data dilakukan untuk mengecek atau memeriksa keabsahan

data fenomena yang ada, dan dokumentasi untuk keabsahan data. Setelah data

terkumpul dilakukan analisis untuk mengungkapkan hal-hal yang perlu digali

lebih dalam lagi. Setelah melakukan penelitian lapangan, hasil penelitian

dianalisis sesuai dengan metode yang digunakan. Setelah itu peneliti menyusun

hasil laporan penelitian.

40
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Munir, 2010, Pendidikan Karakter Membangun Karakter Anak Sejak


dari Rumah, Yogyakarta: Pedagogia.

Agus N Cahyo, 2013, Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual


Dan Terpopuler, Jogjakarta, Divapres: 2013.

Agus Wibowo dan Gunawan, 2015, Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan


Lokal di Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasinya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Andiarini, S. E., &Nurabadi, A.2018, Implementasi ProgramPenguatan


Pendidikan Karakter melalui Kegiatan Pembiasaan Dalam Peningkatan
Mutu Sekolah. JAMP: Jurnal Administrasi dan Manajemen Pendidikan,
1(2), 238–244.

, 2019, Bulan Bahasa Bali, Penguatan Bahasa Ibu dan Ajegnya


Pendidikan, (online), available :
https://www.kompasiana.com/komang_ayu/5c913ef03ba7f77b4b60691
6/bulan-bahasa-bali-penguatan-bahasa-ibu-dan-ajegnya-pendidikan?
page=1 (20 Maret 2019)

Depdiknas, 2004, Peningkatan Kualitas Pembelajaran, Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas, 2007, Model Pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal, Jakarta:


Depdiknas.

Effendy, Muhadjir, 2016, Arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir


Effendy dalam Pelatihan Pengembangan Kapasitas untuk Penguatan
Pendidikan Karakter di Hotel Santika, Jakarta, 27 September 2016.
(transkrip rekaman Kemdikbud).

41
Fatchul, Mu’in, 2013, Pendidikan Karakter Kontruksi Teoretik & Praktik, Jakarta:
Ar-Ruzz Media.

Harmer, Jeremy, 1983, The Practice of English Language Teaching., London and
New York: Longman.

Ilham Nur Sujatmiko, 2019, “Penguatan Pendidikan Karakter di SD”, Jurnal


Pendidikan: Teori, Penelitian, dan PengembanganVolume: 4 Nomor: 8
Bulan Agustus, Halaman:1113—1119.

Isbadrianingtyas, N., Hasanah, M., & Mudiono, A., 2016, Pengelolaan Kelas
dalam Pembelajaran Tematik di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan: Teori,
Penelitian, dan Pengembangan, 1(5), 901–904.

Kurniawan, M. I., 2015. Tri Pusat Pendidikan sebagai Sarana Pendidikan


Karakter Anak Sekolah Dasar.Journal Pedagogia, 4(1), 41–49.

Medra, I Nengah dkk., 2003, Imba Mebebaosan Ngangge Bahasa Bali, Denpasar:
Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Moelyong, Lexy J., 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Mudjia Rahardjo, 2018, Antara Konsep, Proposisi, Teori, Variabel dan Hipotesis
dalam Penelitian (online), available:
http://repository.uin-malang.ac.id/2410/2/2410.pdf , diakses tanggal 27
Desember 2020.

Ngalimun, 2017, Strategi Pembelajaran, Yogyakarta: Parama Ilmu.

Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus


Besar Bahasa Indonesia (Jakrta: Balai Pustaka, 1994), h. 520.

Rachmadyanti, P., 2017, Penguatan Pendidikan Karakter bagi Siswa Sekolah


dasar melalui kearifan lokal, Universitas Negeri Surabaya.

Rahayu, Sri., 2018, Penanaman Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Pembentukan


Anak Usia Dini di Kecamatan Morioriwawo Kabupaten Soppeng (online),

42
available : http://eprints.unm.ac.id/10892/1/JURNAL%20TERBARU
%20AYU.pdf, diakses tanggal 17 Desember 2020.

Ratna, Megawangi, 2007, Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk


Membangun Bangsa, Cetakan Kedua. Jakarta: Indonesia Heritage
Foundation.

Sugiyono, 2020, Metode Penelitian Kualitatif untuk penelitian yang bersifat:


eksploratif, enterpretif,interaktif, dan konstruktif, Bandung: Alvabeta,CV.

UNESCO, 2010, Recreational Learning (online), available :


https://unevoc.unesco.org/home/TVETipedia+Glossary/filt=all/id=582,
diakses tanggal 17 Desember 2020.

Wasilah, dkk. (2009). Etnopedagogis, Bandung, Kiblat.

43
OUTLINE PENELITIAN

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI

PERNYATAAN

MOTTO

KATA PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR

ABSTRAK

DAFTAR ISI

DAFTAR BAGAN

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

1.3.2 Tujuan Khusus

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1.4.2 Manfaat Praktis

44
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.2 Konsep

2.2.1 Strategi Pembelajaran

2.2.2 Pendekatan Whole Language dalam Pembelajaran Bahasa Bali

2.2.3 Bahasa Bali

2.2.4 Penguatan Pendidikan Karakter

2.2.5 Kearifan Lokal

2.3 Teori Penelitian

2.3.1 Teori Konstruktivisme

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

3.2 Instrumen Penelitian

3.3 Lokasi Penelitian

3.4 Data dan Sumber Data

3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.6 Analisis Data

3.7 Prosedur Penelitian

45

Anda mungkin juga menyukai