Anda di halaman 1dari 2

Gizi dan indeks manusia

Gizi berkaitan erat dengan kualitas hidup manusia yang diketahui melalui ukuran Human
Development Index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (IPM). Kaitan faktor gizi dengan IPM
ditentukan melalui 3 bidang pembangunan yaitu: (1) bidang kesehatan, yang mana gizi menentukan
usia harapan hidup penduduk, (2) bidang ekonomi, yang mana gizi menentukan produktivitas
masyarakat, dan (3) bidang pendidikan, yang mana gizi membentuk fisik dan kecerdasan manusia.
Indonesia termasuk Negara yang masih rendah diukur dari IPM. Menurut laporan tahunan program
perserikatan bangsa-bangsa (United Nation Organization,2006), menunjukan bahwa selama satu
dekade Indonesia berada ditingkat ke-110, terburuk di asia tenggara setelah kamboja.
Posisi Indonesia dikhawatirkan akan menurun dengan meningkatnya angka kemiskinan dari
15,97% (2005) menjadi 17,75 (2006). Senada dengan keadaan tersebut, laporan milennium
development Goal Asia (MDGs) tahun 2006, juga menempatkan Indonesia pada peringkat terburuk
Negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama banglades,laos,
Mongolia, Myanmar, Pakistan, papua niugini dan Filipina. Rendahnya alokasi pembelanjaan produk
domestic bruto untuk sector pendidikan dan kesehatan sebagai alasan, menyebabkan Indonesia
gagal menyehatkan anak balita yang gagal mencapai berat normal. Demikian pula, Indonesia
dianggap cenderung gagal meningkatkan proporsi anak sekolah masuk kelas I SD dan bertahan
bersekolah pada kelas V.
undang-undang nomor 17 tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional
(RPJPN) tahun 2005-2025, juga menyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya asing, maka kesehatan bersama sama dengan
pendidikan dan peningkatan daya beli keluarga (sebagai tiga pilar utama) untuk meningkatkan
kualitas SDM dan IPM Indonesia. SDM yang berkualitas merupakan subjek sekaligus objek
pembangunan. Kualitas SDM semakin baik antara lain ditandai dengan meningkatnya nilai IPM
Indonesia dari 0,586 pada tahun 2000 atau peringkat ke-112 175 negara, menjadi 0,728 pada tahun
2007 pada peringkat ke107 dari 177 negara.
Departemen kesehatan melalui rencana aksi nasional (RAN) pencegahan dan
penanggulangan gizi buruk 2005-2009, juga mengakui bahwa pencapaian pembangunan manusia
diukur dengan IPM di Indonesia memang belum menggembirakan. Pada tahun 2003, IPM Indonesia
sangat rendah , berada diperingkat 112 dari 174 negara. Rendahnya IPM Indonesia sangat
dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk. Hal ini terlihat dengan masih
tingginya angka kematian bayi, angka kematian balitaserta angka kematian ibu.
disamping dampak langsung terhadap kesakitan dan kematian, gizi kurang juga berdampak
terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas. Anak yang kekurangan gizi
pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karna tumbuh kembang otak 80%
terjadi pada masa dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Diperkirakan bahwa Indonesia kehilangan
220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi. Dampak lain dari keadaan gizi kurang adalah menurunkan
produktivitas yang diperkirakan antara 20-30%.
untuk menanggulangi masalah gizi, sejak tahu 1960-an pemerintah mulai mengembangkan
usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK). UPGK adalah kegiatan yang berintikan penyuluhan /
pendidikan gizi melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat yang didukung oleh kegiatan lintas
sektoral. Pada tahun 1985 kegiatan utama UPGK diintegrasikan dalam kegiatan posyandu yang pada
tahun 2000 diperkirakan ada 240.000 posyandu dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Sejak
tahun 1997 dengan adanya krisis ekonomi, kegiatan posyandu mulai menurun, yang mana jumlah
kunjungan jumlah balita yang diperkirakan mencapai 60-70% menurun menjadi 30-40% melalui
instruksi presiden (inpres) nomor 8 tahun 1999, pemerintah mencanangkan gerakan
penanggulangan masalah pangan dan gizi. Sejalan dengan gerakan tersebut, undang-undang nomor
25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional (Propenas), dan Visi Indonesia sehat 2010,
ditetapkan bahwa 80% keluarga menjadi keluarga mandiri sadar gizi (kadarzi). Meskipun demikian,
keadaan gizi anak-anak masih sangat memprihatinkan yang merata diseluruh Indonesia serta
kecenderungan meningkatnya jumlah penderita gizi kurang dan gizi buruk dari tahun ke tahun.
Semakin meningkatnya anak balita yang menderita gizi buruk juga dikemukakan dalam
rencana Strategis (Renstra) departemen kesehatan tahun 2005-2009, yang mana meskipun
sebelumnya prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5% (1989) menjadi 24,6% (2000). Tetapi
meningkat lagi menjadi 31% (2001). Saat ini kasus gizi buruk (busung lapar) sedikit merebak, karena
lemahnya system kewaspadaan pangan dan gizi, serta menurunnya perhatian pemerintah terhadap
gizi dan kesehatan masyarakat. selanjutnya dalam rencana strategis kementerian kesehatan 2010-
2014 yang merujuk hasil Riskesdas (2007), menyatakan bahwa terjadinya perbaikan status gizi anak
balita, prevalensi kekurangan gizi pada anak balita sebesar 18,4% yang terdiri dari gizi kurang 13%
dan gizi buruk 5,4%.
Keadaan gizi pada ibu hamil, bayi dan anak balita harus perlu terus ditingkatkan karena
masih tingginya bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) sebesar 11,5%, dan tingginya
prevalensi anak balita yang pendek (stunting) akibat kekurangan gizi dalam jangka waktu lama
(kronis) yaitu 36,8% disparitas status gizi juga cukup lebar antar wilayah dan antar tingkat social
ekonomi. Kedepan perbaikan gizi perlu difokuskan pada kelompok sasaran ibu hamil dan dan anak
sampai usia dua tahun mengingat dampaknya terhadap tingkat pertumbuhan fisik,kecerdasan, dan
produktivitas generasi yang akan dating.

Anda mungkin juga menyukai