Anda di halaman 1dari 3

Serangan Digital terhadap

Penyelenggaraan Diskusi Rasisme


Papua, Ancaman Nyata Demokrasi
Ulasan Pers – Serangan digital mulai menjadi persoalan serius yang harus dihadapi aktivis, jurnalis,
perempuan, dan kelompok rentan di Indonesia. Bentuk serangan digital yang telah terjadi
bermacam-macam. Mulai dari akun peniru (impersonator), mengumbar identitas (doxing), persekusi,
menggunakan hoaks sebagai senjata (weaponization of social media), peretasan, hingga penyadapan
dan pengawasan ilegal (unlawful breach and illegal surveillance).
Aktor-aktor pelaku penyerangan digital bisa berasal dari state hackers, kelompok berbahaya, hingga
individu.
Biasanya, serangan digital yang diarahkan kepada aktivis, jurnalis, perempuan, dan kelompok
rentan ini terjadi pada momentum peristiwa sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Seperti,
persoalan e-KTP, pilkada 2017, kericuhan pasca pilpres Mei 2019, penolakan Revisi UU KPK
September 2019, aksi protes pada Omnibus Law di tahun 2020, soal Stafsus Milenial April 2020,
soal #PapuanLivesMatter.

Belakangan, yang mencuat ke permukaan dan penting untuk dimitigasi adalah persoalan peretasan
digital lewat WhatsApp dan sejumlah aplikasi pesan yang digunakan aktivis, jurnalis untuk
berkoordinasi.

Kini, serangan itu ditujukan kepada penyelenggaraan Diskusi Daring bertajuk “Diskriminasi Rasial
terhadap Papua” #PapuanLivesMetter, yang seyogianya di UKPM Teknokra Universitas Lampung,
Kamis 11 Juni 2020.
Serangan dilakukan secara masif yang ditujukan kepada salah satu pembicara pada diskusi,
Tantowi Anwari, yang juga bagian dari Serikat Jurnalisme Untuk Keberagaman (SEJUK). Tantowi
pertama kali menerima ancaman berupa doxing pada 10 Juni 2020 sekitar pukul 20.06 WIB, sehari
sebelum pelaksanaan diskusi.
Saat itu, satu nomor WhatsApp misterius mengirimkan foto atau screenshot e-KTP atas nama
Tantowi Anwari. Diikuti intimidasi melalui pesan suara dan teks. Rentetan intimidasi seperti itu
berlangsung hingga pukul 21.01 WIB.
Cara ini dikenal sebagai doxing. Yaitu, upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi
seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi
online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers.
Selain doxing, pelaku juga melakukan serangan digital dengan mengakses akun Grab Tantowi
secara ilegal kemudian melakukan pemesanan fiktif Grab Food dan Grab Bike. Sekitar pukul 21.01,
pesanan Grab Food mulai berdatangan meski korban tidak pernah melakukan pemesanan.
Kemudian, pada pukul 21.40 WIB, menyusul pesanan Grab Bike.

Tidak hanya Grab, akun Gojek Tantowi juga diretas. Seluruh saldo Gopay disumbangkan ke
Dompet Dhuafa di waktu yang bersamaan.

Serangan tidak berakhir di situ. Tantowi kembali diteror melalui 3 nomor misterius berkode (021)
sejak pukul 22.16 hingga 1.39 WIB. Pada pukul 2.00 WIB, akun WA Tantowi sudah tidak dapat
diakses. Serangan juga ditujukan kepada istrinya melalui WA sejak 1.51 hingga 7.26 WIB. Istri
Tantowi mendapati bahwa saldo Gopay-nya dikuras habis. Terdapat transaksi tidak dikenal
menggunakan fitur PayLater Gojek.
Selain Tantowi, penyelenggara diskusi “Diskriminasi Rasial terhadap
Papua” #PapuanLivesMatter juga menerima serangan serupa. Dua jurnalis Teknokra Unila
mengalami teror dan peretasan akun media sosial hingga pemesanan fiktif GoFood. Akun media
sosial Teknokra juga tiba-tiba bermasalah dan sulit diakses.

Sebelum teror dan peretasan, pengurus Teknokra dipanggil pihak kampus. Pemanggilan ini terjadi
setelah seseorang yang mengaku dari BIN menanyakan perihal diskusi tentang Papua yang akan
diselenggarakan. Teknokra sempat diminta untuk menunda diskusi tersebut.

Perlu diketahui, bahwa sebelum ini, juga terdapat serangan-serangan digital kepada sejumlah
narasumber dan penyelenggara diskusi publik tentang Papua. Termasuk di antaranya pada Usman
Hamid – teror telepon dari nomor internasional; George Saa – peretasan WhatsApp; Veronika
Koman – upaya peretasan Facebook; dan dua anggota BEM UI – upaya peretasan WA.

Menyikapi serangkaian serangan digital yang makin sering terjadi pada penyelenggara dan
narasumber dari berbagai diskusi kritis terkait Omnibus Law dan #PapuanLivesMatter, kami
menyatakan:

1. Kebebasan menyampaikan pendapat adalah Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Konstitusi.
Khususnya pada Pasal 28 F yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

2. Diskusi “Diskriminasi Rasial terhadap Papua” #PapuanLivesMatter dan diskusi-diskusi kritis


lainnya merupakan perwujudan kebebasan ekspresi dan berpendapat yang lumrah di negara
demokrasi, serta merupakan hak dasar dan dilindungi konstitusi.

2. Maraknya serangan digital yang ditujukan kepada beberapa orang yang terlibat diskusi tentang
Papua memiliki kesamaan pola. Yakni, mulai dari peretasan akun media sosial dan WhatsApp,
telepon misterius menggunakan nomor internasional, pemesanan layanan ojek dan pesan antar
online yang fiktif, dll.
Dengan itu, kami:

1. Mendesak aparat kepolisian segera mengusut dugaan pelanggaran pidana doxing, peretasan


akun media sosial, hingga teror yang dilakukan terhadap penyelenggara dan narasumber diskusi!

2. Meminta seluruh pihak menghargai perbedaan pendapat dan menghormati pendapat orang lain
yang disalurkan melalui diskusi publik yang sah.

Jakarta, 11 Juni 2020

Koalisi Bersama:
LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, LBH Jakarta, KontraS, AMAR, ICW, Lokataru, AJAR, Amnesty
International Indonesia, ICJR, Papua Itu Kita

Narahubung:
Rizky Yudha (LBH Pers)

Anda mungkin juga menyukai