Anda di halaman 1dari 2

Menghamba pada Ketakutan

Akan selalu sama seperti manusia pada umumnya. Ketakutan sudah menjadi niscaya, hadir untuk
siapa pun. Kegemilangan tak selamanya digenggam oleh siapa pun, pertanda-pertanda kecil tak
kasat mata pemberi tanda muncul sebagai nilai (value) yang terpisah-pisah. Akankah penghambaan
ini berhala atau tidak pun, mungkin saja tidak menjadi penghalang hadirnya ketakutan.

Waktu dan tempat sudah menjadi peristirahatan terakhir bagi siapa saja yang lelah menghabiskan
tenaganya dalam waktu sehari. Waktu bisa saja diartikan sebagai sesuatu yang membosankan
ketika hari-harinya sangat monoton. Waktu bisa juga berubah sangat cepat menjadi momen-momen
penting yang tidak akan dilupakan.

Tempat, tentunya tidak terpisahkan dari waktu. Tempat menjadi sangat istimewa kedudukannya
atas waktu. Keduanya tidak terpisahkan. Kolaborasi antara keduanya menghasilkan nilai-nilai yang
tidak terduga dan kadangkala ada yang meneteskan air matanya, entah itu karena kesedihan,
kegirangan, atau ketakutan.

Sensasi dalam setiap orang mengolah wujud nyata dari waktu dan tempat sangatlah membutuhkan
keahlian tersendiri dan saya yakin tidak semua orang berhasil mengolahnya dengan baik. Olahan
rasa sangat membutuhkan mental yang baik. Mental yang siap untuk menerima ketika sesuatu
tampak buruk nilainya.

Misalkan perpisahan yang dirasakan oleh sepasang kekasih. Mereka berpisah karena salah satunya
tidak lagi merasakan sensasi yang mengembirakan, atau tidak lagi tertarik pada pasangannya, dan
memilih untuk mengakhiri.

Bagi yang ditinggalkan, secara mental tidak akan siap menerima kenyataan bahwa perpisahan telah
terjadi.

Pada poin ini, kita sampai pada reaksi seseorang dalam memberi nilai terhadap yang terjadi dari
hasil kolaborasi antara waktu dan tempat. Siap dan tidaknya seseorang dalam menghadapi situasi
yang rumit ini tentu saja akan mengganggu mental, dan juga kesiapan mental yang harus disiapkan
haruslah matang.

Ketakutan Menjadi Begitu Menakutkan

Berangkat dari penilaian kita terhadap apapun yang terjadi, akan ada pengaruhnya pada kita ketika
reaksinya kita balas dengan aksi dalam berbagai bentuk apa pun. Sering kali ungkapan ekspresi
yang ditunjukkan membawa pengaruh buruk kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan
alam. Ini justru memperburuk keadaan ketika tindakan asosial dan amoral sebagai bentuk respons
dari ketakutan.

Akan begitu menyedihkan atau barangkali kita tidak pandai memberi nilai bagi sesuatu yang buruk
lalu memaksa ketakutan pun hadir menaungi diri kita dan dengan peran ego yang menjadi bumbu
pengawet agar kita menghamba pada ketakutan dan berperilaku buruk. Seperti yang dimaksudkan
oleh Sigmund Freud tentang ketakutan irasional, keteganganlah yang memaksa seseorang untuk
melakukan sesuatu lalu merugikan banyak pihak.
Kunci utamanya terletak pada pikiran dan hati. Untuk menghindari hal-hal yang buruk haruslah kita
mulai dari akarnya sehingga pikiranlah yang mendapat peran penting untuk mencerna lebih dahulu,
barulah kita narasikan dalam bentuk positif atau negatif, tergantung dari pikiran kita sendirilah yang
mengolahnya menjadi suatu nilai yang mempunyai makna. Apakah masih sangat mengerikan
ketakutan itu?

Kehadirannya yang sangat melekat pada sifat manusiawi kita, harus diapresiasikan sebagai salah
satu dari kekayaan rasa yang kita miliki, namun perlahan juga kita harus mempertanyakan apakah
kita siap untuk menerima ketika dengan cepat perasaan kita berubah-ubah ini?

Ketakutan akan selalu mendapatkan tempat baginya sendiri yang telah siap dan dengan cermat
mengantisipasi dalam menanggulangi dampak-dampak dari rasa takut yang berlebihan. Mungkin
kita perlu perbaikan mental, mempersiapkan mental, mengolah rasa empati kita terhadap sesuatu
dll.

Tanpa sengaja, ketakutan memberi tanda atau semacam pengingat pada kita bahwa mental kita lagi
bermasalah. Berarti ketakutan menjadi hal yang sangat positif ketika kita melihatnya dari sisi yang
positif seperti ini.

Anak-Anak Muda di Yogyakarta

Cultural shock yang akhir-akhir ini sering kita temui pada anak-anak muda yang disebabkan oleh
perubahan sosial. Gaya hidup yang makin beragam, menuntut anak-anak muda dalam pencarian
jati diri sehingga harus terlihat berbeda dengan yang lainnya. Ingin tampil beda dan ingin diakui oleh
orang-orang bahwa anak-anak muda di zaman sekarang bisa melahirkan satu varian baru yang
berbeda, akhirnya mereka dituntut dengan sendirinya bahwa harus mampu memenuhi pencarian jati
diri semasa muda mereka.

Gaya hidup konsumsi yang menjadi tawaran pada anak-anak mudalah yang menyebabkan
terjadinya pergeseran budaya. Meskipun pada kenyataannya bahwa anak-anak muda berada di
posisi yang dilematis antara adat budaya Jawa yang harus dilestarikan dan kehidupan modern yang
semakin merambah kota Yogyakarta.

“Tanpa pengendalian, alam akan menghukum manusia sesuai dengan tindakannya.” Inilah
pengendalian diri ala Mohandas Karamchand Gandhi, atau lebih dikenal dengan Gandhi.
Pengendalian yang dimaksudkan adalah pengendalian dari ‘dalam’ dengan penuh kesadaran terkait
ihwal yang diucap, dipikir, diresap, hingga ditindak. Pikiran yang ditawarkan ala Ghandi adalah apa
yang berkaitan dengan olahan rasa dari dalam bukannya pengendalian dari luar.

Anda mungkin juga menyukai