MDS - Banjir Sudah Naik Seleher (LQ)
MDS - Banjir Sudah Naik Seleher (LQ)
✓. ✓ / "✓ ✓
. . ✓
...........,,- ✓
BANJIR SUDAH
NAIK SELEHER /
,:o /
MAKL.UM
I--IUJAN
T~RU6.
Banjir
sudah naik
Seleher
ekologi politis urbanisasi
das-das di semarang
i
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
ii
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
mn111
MALEH OADI SF.GOftO
IIIUU
iii
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Penulis:
Bosman Batubara
Bagas Yusuf Kausan
Eka Handriana
Syukron Salam
Umi Ma’rufah
Penyunting Ahli:
Wijanto Hadipuro
Penyunting Bahasa:
Dwi Cipta
Desain Sampul:
Gumpnhell
Penata Letak:
Tri Bagus Suryahadi
Penerbit:
Cipta Prima Nusantara (CPN)
Perum Green Village Kav. 115, Ngijo,
Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah.
Email: ciptaprimanusantara@gmail.com
ISBN: 978-623-380-072-3
Dimensi: 15,5 x 23 cm
Tebal: xx + 351 halaman
Cetakan: Pertama, Desember 2021
iv
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Wiji Thukul
v
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
vi
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
KATA PENGANTAR
Buku ini merupakan bagian dari Koalisi Maleh dadi Segoro (MDS). Menurut
Buku “Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak”
(2020: iii-iv), anggota Koalisi MDS adalah perorangan dan organisasi sebagai
berikut: 1) Abdul Ghoffar; 2) Amrizarois Ismail (Bintari); 3) Amrta Institute for
Water Literacy; 4) Bagas Yusuf Kausan; 5) Bosman Batubara (IHE-Delft); 6) DPD
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota Semarang; 7) Dr. Ir.
Nelwan Dipl. H.E.; 8) Henny Warsilah (LIPI); 9) Hotmauli Sidabalok (PMLP-Unika
Soegijapranata); 10) Ivan Wagner; 11) Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha);
12) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA); 13) Komunitas Pekakota;
14) Legal Resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-
KJHAM); 15) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang; 16) Martin Hadiwinata;
17) Mila Karmilah (Unissula); 18) Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia
(PPNI); 19) Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro); 20) Rujak Center for
Urban Studies; 21) Syukron Salam (Unnes); dan belakangan bergabung WALHI
Jawa Tengah dan beberapa orang lain.
Tim Kerja yang membuat buku ini adalah anggota yang dipercaya oleh
Koalisi MDS untuk memobilisasi dana publik dan menggunakannya untuk
penerbitan buku ini. Mobilisasi dana publik dikoordinasikan di platform on-line
Kitabisa.com. Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh donatur yang secara lengkap disajikan
dalam Bab X (Laporan). Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh
pihak yang telah berperan dalam penggarapan buku ini mulai dari awal sampai
selesai (kurang-lebih enam bulan). Selamat membaca!
Tim Kerja
vii
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
viii
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
DAFTAR ISI
II.1. Pengantar 13
II.2. Meng-ekologi-kan ketimpangan dalam PEU: Sebuah kritik
terhadap bias spasial dalam metodologi 15
II.3. Tiga perangkat konsep untuk PEU 17
II.4. Kesimpulan: Tempat memulai perubahan dan ruang
untuk belajar 30
ix
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
x
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
xi
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
xii
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
DAFTAR GAMBAR
xiii
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
xiv
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
xv
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
xvi
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
DAFTAR TABEL
xvii
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
xviii
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
DAFTAR GRAFIK
Grafik V.1: Nilai ekspor migas dan non migas Indonesia 1975-2018 112
Grafik V.2: Investasi asing di Indonesia 1980-2000 112
Grafik V.3: Gross domestik bruto Indonesia 1961-1990 113
Grafik VII.1: Trend bencana Kota Semarang 2012-2020 264
Grafik VII.2: Trend bencana di DAS Garang 2012-2020 266
xix
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
xx
BAB I
#BANJIRSEMARANG:
Netizen: Yakin karena hujan deras?
Bencana banjir yang menimpa Semarang pada Februari 2021 adalah momen
banjir paling parah yang terjadi di Semarang selama 10 tahun terakhir.
Dampak banjir menimpa berbagai sektor. Di sektor transportasi, Bandara
Ahmad Yani Semarang ditutup total pada 6 Februari. Pendaratan pesawat
Garuda GA 232 rute Jakarta-Semarang terpaksa dialihkan ke Bandara Juanda,
Surabaya. Sementara tujuh penerbangan lainnya mengalami penundaan.1
Pada 6 Februari diberitakan bahwa stasiun kereta api Poncol dan Tawang
terendam banjir, sehingga 11 perjalanan kereta api yang melalui kedua stasiun
tersebut terpaksa ditunda.2 Secara total, momen banjir 5-7 Februari terjadi di
11 kecamatan, 110 kelurahan dengan jumlah yang terdampak sebanyak
27.346 keluarga atau 101.366 jiwa, serta 5 orang meninggal dunia.3 Banjir ini
_____
1 Lihat: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210206142608-20-603122/banjir-sem
arang-bandara-ahmad-yani-tutup-total-hari-ini [diakses pada 9 Maret 2021].
2 Lihat: https://bisnis.tempo.co/read/1430339/2-stasiun-di-semarang-terendam-banjir-11-
perjalanan-kereta-tertunda/full&view=ok [diakses pada 9 Maret 2021].
3 Lihat: https://jateng.idntimes.com/news/jateng/anggun-puspitoningrum-1/banjir-semara
ng-101366-jiwa-terdampak-dan-5-orang-meninggal/3 dan https://nusantara.rmol.id/read
1
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
juga diiringi oleh tanah longsor yang terjadi di 32 lokasi. 1 Sampai saat ini (15
Maret 2021), belum terlihat ada berita tentang keterangan resmi dari
otoritas/pemerintah mengenai kerugian total akibat banjir yang menimpa Kota
Semarang pada 5-7 dan 23 Februari 2021.
Momen-momen banjir ini telah membuat permasalahan banjir di Kota
Semarang menjadi tema yang ramai didiskusikan, baik di media arus utama
maupun di media sosial. Dari pernyataan yang dirilis di media, ada kecen-
derungan pemerintah melokalisasi penyebab banjir pada faktor curah hujan
yang ekstrim dan pompa yang tidak berfungsi atau kapasitasnya kurang. Hal
ini misalnya terlihat dari keterangan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo,
pada 6 Februari 2021,2 yang diikuti oleh Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Basuki Hadimulyono, pada 8 Februari 2021.3
Penjelasan pemerintah seperti tersebut di atas adalah suatu proses
depolitisasi banjir Semarang. Depolitisasi di sini bermakna menjadikan hal
yang sebenarnya bersifat politis menjadi terlihat teknis. Momen banjir kami
lihat adalah suatu peristiwa yang politis, yaitu tercipta dari kompleksitas masa-
lah yang bukan hanya “teknis” (seperti curah hujan yang tinggi dan pompa yang
tidak berfungsi atau kurang kapasitasnya), tapi juga menyangkut proses politis
yang melibatkan, misalnya, perubahan penggunaan ruang di Daerah Aliran
Sungai (DAS) sehingga mengurangi area tangkapan dan/atau resapan air; dan
amblesan bagian tertentu kota karena ekstraksi air tanah dan pembebanan
bangunan/struktur.
Peristiwa perubahan penggunaan ruang di dalam DAS kami lihat sebagai
peristiwa politis karena menyangkut adanya satu/sekelompok orang, misal-
nya, pemilik dan/atau pengembang properti (developer) yang mendapatkan
keuntungan melalui baik itu penggunaan ataupun penjualan properti-nya, atas
ongkos atau kerugian yang dibebankan terhadap orang/kelompok lain, misal-
nya, korban banjir. Amblesan tanah kami lihat sebagai sesuatu yang politis
karena ada orang/kelompok yang mengekstraksi air tanah, menyebabkan ter-
jadinya amblesan tanah yang memperparah risiko banjir. Lebih lanjut, ini juga
berarti munculnya kerugian bagi orang/kelompok tertentu, yaitu korban ban-
_____
/2021/02/11/474574/imbas-bencana-banjir-dan-longsor-semarang-5-orang-meninggal-
dunia [keduanya diakses pada 15 Maret 2021].
1 Lihat: https://www.gatra.com/detail/news/503268/kebencanaan/ida-nurul-76-wilayah-se
marang-banjir-dan-2-longsor [diakses pada 15 Maret 2021].
2 Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=nPtKHil54HQ&t=575s [diakses pada 15 Maret
2021]. Dalam wawancara dengan KOMPAS TV, Gubernur Ganjar Pranowo [menit 4:00-
16:00], memberikan porsi penjelasan yang panjang tentang hujan lebat dan kurangnya
kemampuan pompa sebagai penyebab banjir.
3 Lihat: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5365441/ungkap-penyebab-ban
jir-semarang-basuki-curah-hujan-ekstrem [diakses pada 9 Maret 2021].
2
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
jir. Kerugian yang diderita oleh korban banjir adalah contoh dari eksternalitas
negatif yang terjadi akibat perubahan lingkungan.
Tidak hanya secara pasif membiarkan, para pengurus negara malah
secara aktif mengintervensi diskursus yang berkembang. Penjelasan peme-
rintah melalui Basuki dan Ganjar seperti yang disampaikan di atas cenderung
tidak membahas peristiwa-peristiwa politis itu, tapi hanya menekankan pada
curah hujan yang tinggi dan pompa yang tidak berfungsi atau kurang ka-
pasitasnya. Itu sebabnya kami melihatnya sebagai proses depolitisasi; yaitu:
kecenderungan melokalisasi penyebab banjir di wilayah teknis. Jadi, ini adalah
proses depolitisasi melalui teknifikasi permasalahan.
Proses depolitisasi melalui teknifikasi ini berujung pada solusi yang cen-
derung politis-teknis tapi seringkali dianggap/dicitrakan apolitis dari pemerin-
tah, yaitu normalisasi sungai seperti yang dinyatakan oleh wakil Wali Kota
Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, dan Menteri Basuki pada 6 Februari1
dan pembangunan infrastruktur raksasa dan tol-tanggul laut Semarang-
Demak (TTLSD) seperti yang disampaikan oleh Ganjar dan Wali Kota Semarang,
Hendrar Prihadi (masing-masing pada 6 dan 7 Februari). 2 Kami sebut solusi
“politis-teknis tapi seringkali dianggap/dicitrakan apolitis” karena tidak me-
nyoal atau bertaut dengan penyebab politis seperti yang kami uraikan di atas
(perubahan penggunaan ruang dalam DAS, amblesan tanah karena ekstraksi
air tanah), namun langsung meloncat pada suatu solusi infrastruktur teknis.
Persis di sini politisnya, mereduksi hal-hal yang bersifat politis menjadi teknis.
Dan lebih jauh, intervensi teknis seperti infrastruktur malah memberikan
keuntungan bagi segelintir pemilik modal. Ini misalnya dapat dilihat dalam
kasus pembangunan infrastruktur TTLSD, dimana ada kelompok yang dirugi-
kan seperti warga di daerah Sayung, Demak, yang akan semakin rentan ter-
hadap abrasi pantai, dan ada kelompok yang diuntungkan, misalnya para
pemain proyek dalam TTLSD.3
Intervensi warganet (netizen), menarik untuk ditelaah lebih jauh; karena
secara kronologis, meskipun mungkin bukan satu-satunya, tampak memenga-
ruhi apa yang dikatakan oleh para pengurus negara berkaitan dengan momen
_____
1 Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=nPtKHil54HQ&t=575s, pada menit 2:00-3:50
[diakses pada 15 Maret 2021].
2 Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=nPtKHil54HQ&t=575s [diakses pada 15 Maret
2021]. Dalam wawancara dengan KOMPAS TV yang diunggah pada 6 Februari, Gubernur
Ganjar Pranowo [menit 4:00-16:00] menjelaskan proyek infrastruktur raksasa TTLSD.
Penjelasan soal proyek TTLSD juga disampaikan Walikota Semarang pada 7 Februari
melalui wawancara dengan CNN Indonesia: https://www.youtube.com/watch?v=URyC4z1
bEJQ [diakses pada 15 Maret 2021].
3 Lebih jauh tentang proyek TTLSD, lihat: Batubara B, Warsilah H, Wagner I, and Salam Sy
(2020) Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak.
Yogyakarta: Lintas Nalar.
3
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Sumber: Laboratorium BigData Analytics UGM (2021) Ground Up: Media Analysis on Flood
in Semarang (during local election in December 2020 and during March Flood 2021) (tidak
dipublikasikan).
2 Lihat: https://twitter.com/gumpnhell/status/1358445343415799808/photo/1 [diakses
pada 11 Maret 2021]. Pemilik akun @gumpnhell sudah memberikan izin kepada kami
untuk mengutip twit-nya. Cuitan-cuitan yang lain dan status facebook, dikutip tanpa me-
minta izin kepada pemilik akun. Tapi kami memeriksa setiap akun, dan tidak menemukan
suatu pernyataan eksplisit dari pemilik masing-masing akun agar cuitan mereka tidak
dikutip. Melalui catatan kaki ini, kami meminta izin kepada para pemilik akun tersebut;
bahwa cuitan/status mereka kami kutip. Terlebih dulu kami ucapkan terima kasih untuk
itu.
4
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
menyebutkan secara tertulis “curah hujan yang tinggi” dan “pompa yang tidak
berfungsi atau kurang kapasitasnya.” Sampai 15 Maret 2021, ilustrasi ini sudah
di-retweet sebanyak 2.522 kali.
Tanggapan dari akun @iyuuunkkk pada 8 Februari 2021 terhadap ung-
gahan @gumpnhell malah lebih eksplisit menyebutkan nama/lokasi:
Kemungkinan besar “bsb” yang dimaksud dalam cuitan itu adalah Bukit
Semarang Baru, suatu kompleks perumahan modern di Kecamatan Mijen,
Semarang, di bagian kota yang agak tinggi. BSB dan Mijen memang terletak di
daerah Semarang yang agak tinggi. Posisinya yang tinggi menyebabkan dia
berfungsi sebagai daerah penyangga untuk menampung air di bagian atas,
sebelum air mengalir di permukaan menuju bagian bawah kota yang rawan
banjir.
Bagi kami, cuitan @iyuuunkkk adalah sebuah pernyataan/pertanyaan
ekonomi politik, karena, kalau dibedah dengan fokus pada kasus BSB, cuitan
itu mengandung substansi: 1) siapa (pemilik pabrik dan pembangun fasilitas
umum); 2) melakukan apa (yaitu: membangun pabrik dan fasilitas umum); 3)
kapan (pada saat pembangunan pabrik dan fasilitas umum); 4) dimana (di
lokasi dibangunnya pabrik dan fasilitas umum); 5) dengan keuntungan yang
mengalir kemana (tentu saja terutama keuntungan mengalir ke pemilik pabrik
dan pengguna fasilitas umum); dan 6) kerugian yang diderita oleh orang/
kelompok tertentu yang mengalami banjir karena peristiwa perubahan peng-
gunaan ruang itu (korban banjir, terutama di bagian yang lebih rendah dari
tempat dimana pabrik dan fasilitas umum dibangun). Cuitan itu juga secara
implisit menarik garis antara banjir dan pembangunan pabrik dan fasilitas
umum dengan menyatakan bahwa “dulu masih banyak pohon” (yang melalui:
daunnya berfungsi mengintersepsi air hujan sehingga tidak langsung jatuh ke
tanah dan masuk ke sungai; akar-akarnya membantu air hujan meresap ke
dalam tanah, tidak mengalir di permukaan dan kemudian berkumpul di sungai
dan menyebabkan banjir).
Penanganan dengan pendekatan pembangunan infrastruktur juga tak
luput dari perhatian netizen. Pada 23 Februari 2021, menanggapi berita di
Viva.co yang bertajuk “Semarang Banjir Lagi, Pusat Kota Simpang Lima Terendam”,
akun @agungpsambodo mencuit:
_____
1 Lihat: https://twitter.com/iyuuunkkk/status/1358701065550499840 [diakses pada 11
Maret 2021].
5
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Pada 3 Maret 2021, ketika berperan sebagai salah seorang pembicara kunci
pada webinar bertajuk “Menguak Tabir Banjir Semarang: Tinjauan Pengelolaan
DAS” yang diselenggarakan oleh Baliteknas (Balai Litbang dan Teknologi Penge-
lolaan Daerah Aliran Sungai), Ganjar menjelaskan lebih jauh bahwa banjir di
Semarang adalah permasalahan yang kompleks. Bukan hanya persoalan curah
hujan, namun juga persoalan rusaknya DAS akibat pembangunan-pembangu-
nan dan juga amblesan tanah. Pernyataan Ganjar pada 3 Maret 2021 ini jelas
sangat berbeda dengan pernyataannya pada 6 Februari 2021. Karena itu kami
melihat pemerintah, dalam hal ini Ganjar, dipengaruhi oleh netizen. Meski
demikian, selain masih berpegang pada solusi infrastruktur raksasa seperti
TTLSD, Ganjar juga mendorong warga untuk lebih aktif terlibat.3
Dengan mendiskusikan dua cara pandang yang sangat berbeda ini, kami
tidak sedang mengatakan bahwa curah hujan yang tinggi dan pompa yang
tidak berfungsi atau kurang kapasitasnya tidak menyebabkan banjir. Yang
ingin kami sampaikan adalah, bahwa penyebab banjir bukan hanya faktor
curah hujan yang tinggi dan pompa yang tidak berfungsi atau kurang kapasi-
tasnya. Kami percaya, para pengurus negara (seperti menteri, gubernur, dan
wali kota dan wakilnya) juga sangat memahami bahwa penyebab banjir bukan
cuma curah hujan yang tinggi dan pompa yang tidak berfungsi atau kurang
kapasitasnya.
_____
1 Lihat: https://twitter.com/agungpsambodo/status/1364194848052441093?s=19 [diakses
pada 11 Maret 2021].
2 Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=sQJ0exv4qLM [diakses pada 11 Maret 2021].
3 Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=akQdQhdsug4, waktu: 1:15-1:35; [diakses
pada 9 Maret 2021].
6
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
7
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Tentu saja bakal seru jika direspon dengan membuka arsip rencana
induk Jakarta 1965-1985, lalu master plan Jakarta 1985-2005 yang
dengan mudah akan memperlihatkan bahwa mall di simpang
Tomang itu menempati lahan RTH Hutan Kota Tomang.
Nah, semoga Mall Taman Anggrek bisa jadi kasus pertama untuk
buka-bukaan biar jelas, kenapa RTH Hutan Kota bisa berubah jadi
mall, siapa pejabat yang melakukan dan siapa yang minta dia
melakukan? Bagaimana dengan RTH Hutan Kota lainnya, seperti
Senayan, Sunter, Kapuk, dll?
_____
1 Misalnya: https://www.facebook.com/JJRizalKobam/posts/2398300676941405 [diakses
pada 11 Maret 2021].
8
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Misalnya: Sumiyadi (2017) Analisis Dampak Perubahan Tataguna Lahan Sub DAS Beringin
di Bukit Semarang Baru Terhadap Peningkatan Debit Sungai Beringin Kota Semarang.
Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan 19(1): 31-8.
9
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
penelitian ini. Bagi kami, ini adalah proses “memproduksi pengetahuan ber-
sama kritisisme netizen.”
Dengan menyebutkan demikian, bukan berarti semua proses riset dalam
proyek ini kami kerjakan dengan bergandengan tangan atau bersama-sama
dengan netizen (terutama netizen yang kami kutip dalam naskah ini). Perlu
ditegaskan, yang akan kami kerjakan adalah “memproduksi pengetahuan
bersama kritisisme netizen,” bukan “memproduksi pengetahuan bersama neti-
zen.” Jadi, yang menetap dalam semua proses riset dalam proyek ini bukan
netizen, tapi kritisisme netizen. Dengan kata lain, yang kami ambil/bawa dan
selamanya akan menjadi bagian dari semua proses dan produk riset ini adalah
kritisisme netizen yang telah memberikan energi/kemampuan bagi kami untuk
memahami permasalahan; dan sebaliknya, kami berharap produk yang di-
hasilkan dari proyek riset ini kelak dengan satu dan/atau berbagai cara akan
memberikan energi/kemampuan bagi kritisisme netizen yang lebih tajam.
Kritisisme netizen menjadi pemicu yang sangat kuat bagi penelitian ini.
Karena itu, proyek ini bertujuan untuk melakukan dokumentasi, re-
organisasi, re-interpretasi dan re-visualisasi faktor-faktor penyebab banjir Kota
Semarang dengan perhatian khusus pada urbanisasi di tingkat DAS dengan
pertanyaan induk: Bagaimana proses urbanisasi DAS di Semarang memperparah
risiko banjir, didepolitisasi, dan direpolitisasi? Pertanyaan induk tersebut akan
dipecah menjadi anak pertanyaan: 1) proses urbanisasi DAS apa saja yang
berhubungan dengan meningkatnya risiko banjir?; 2) bagaimana proses urbanisasi
itu didepolitisasi?; dan 3) bagaimana proses urbanisasi itu dapat didokumentasi-
kan; diorganisasikan, diinterpretasikan, dan divisualisasikan ulang untuk keperlu-
an repolitisasi produksi momen dan solusi terhadap banjir di kawasan Semarang
dan sekitarnya?
Buku ini mendokumentasikan; melakukan re-organisasi, re-interpretasi,
dan re-visualisasi proses urbanisasi dalam hubungannya sebagai faktor penye-
bab banjir Semarang; dan merepolitisasi lebih lanjut penyebab (dan solusi
terhadap) banjir Semarang.
Untuk menjawab pertanyaan riset, kami menggunakan teori ekologi poli-
tis urbanisasi (political ecology of urbanization/PEU), yang secara khusus akan
dijelaskan pada Bab 2. Dalam proyek ini kami menggunakan lensa teori PEU
untuk membuka relasi-relasi dalam proses urbanisasi yang telah menyebab-
kan semakin meningkatnya risiko banjir di Semarang. Kami memakai DAS yang
duduk di Semarang sebagai unit spasial untuk secara kronologis dianalisis per-
kembangan pertumbuhan kota yang duduk di dalamnya, dan dilihat kaitannya
dengan bagaimana momen banjir tercipta. DAS dipilih sebagai unit spasial
10
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
untuk dianalisis karena DAS adalah area yang membentuk pola aliran, bagai-
mana dan kemana air akan mengalir atau menggenang.12
Pada Bab 3 kami akan menjelaskan metodologi yang kami gunakan dalam
menggarap pekerjaan ini, yaitu “terkoordinasi sekaligus terpisah.” Terkoor-
dinasi di sini mengacu pada proses-proses yang kami lakukan (menyusun pro-
posal, metodologi, analisis, dan kesimpulan). Sementara terpisah mengacu
pada pendalaman masing-masing DAS oleh masing-masing periset, yang
disampaikan dalam Bab 4-8.
Bab 9 berisi percobaan-percobaan yang kami lakukan melalui media
sosial dalam melakukan re-visualisasi terhadap momen banjir Semarang. Bab
10 adalah laporan (keuangan) yang terutama kami tujukan kepada para
donatur yang telah menyumbang dana untuk terselenggaranya penelitian ini.
Peran mereka sangat vital dalam proses penyusunan buku ini. Buku ini ditutup
dengan Bab 11, kesimpulan.
_____
1 Lihat pemaparan tentang DAS, misalnya di: https://www.usgs.gov/special-topic/water-
science-school/science/watersheds-and-drainage-basins?qt-science_center_objects=0#q
t-science_center_objects [diakses pada 7 November 2021].
11
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
12
BAB II
Ekologi politis urbanisasi1
II.1. Pengantar
_____
1 Versi lain dari naskah ini: Batubara B (sedang di-review, Oktober 2021) Political Ecology of
Urbanization. International Journal of Urban and Regional Research, seksi “Intervention”.
2 “dekat-Selatan” (near-South) adalah alat untuk menyebutkan kawasan yang selama ini di-
kenal dengan Belahan Bumi Selatan (Global South), dimana imajinasi tentang pembangun-
an dibatasi oleh kondisi pembangunan Belahan Bumi Utara (Global North), dengan sebuah
kesadaran bahwa tak ada kebutuhan bagi yang pertama untuk mengikuti yang kedua
(Simone 2014).
3 Blaikie P (1985) The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries. New York:
Longman.
4 Blaikie P and Brookfield H (1987) Land Degradation and Society. New York: Methuen &
Co.Ltd.
5 Bryant RL and Bailey S (1997) Third World Political Ecology. London: Routledge.
6 Robbins P (2012) Political Ecology. Second edition. West Sussex: John Wiley & Sons.
13
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Neumann RP (2009) Political ecology: theorizing scale. Progress in Human Geography
33(3): 398-406.
2 Neumann RP (2010) Political ecology II: theorizing region. Progress in Human Geography
34(3): 368-374.
3 Neumann RP (2011) Political ecology III: Theorizing landscape. Progress in Human Geogra-
phy 35(6): 843-850.
4 Turner MD (2014) Political ecology I: An alliance with resilience? Progress in Human Geo-
graphy 38(4): 616-623.
5 Loftus A (2020) Political ecology III: Who are ‘the people’? Progress in Human Geography
44(5): 981-990.
6 Sultana F (2021) Political ecology 1: From margins to center. Progress in Human Geography
45(1): 156-165.
7 Robbins P (2012) Political Ecology. Second edition. West Sussex: John Wiley & Sons.
8 Swyngedouw E (1996) The city as a hybrid: On nature, society and cyborg urbanization.
Capitalism Nature Socialism 7: 65-80.
9 Tzaninis Y, Mandler T, Kaika M, Keil R. (2020) Moving urban political ecology beyond the
‘urbanization of nature.’ Progress in Human Geography 45(2): 229-252.
10 Heynen N (2014) Urban Political Ecology I: The urban century. Progress in Human Geogra-
phy 38(4): 598-604.
11 Heynen N (2015) Urban Political Ecology II: The abolitionist century. Progress in Human
Geography 40(6): 839-845.
12 Heynen N (2017) Urban Political Ecology III: Feminist and queer century. Progress in Hu-
man Geography 42(3): 446-452.
14
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Artikel Angelo dan Wachsmuth (2015) Urbanizing urban political ecology: A criti-
que of methodological cityism mere-urbanisasi UPE menjadi PEU, dan membuka
jalan bagi analisis yang tidak-sekadar-kota untuk menghindari analisis
sekadar-kota yang sangat berbahaya – dapat melokalisasi suatu masalah di
dalam kota. Bagi mereka UPE atau PEU harus melakukan analisis terhadap
proses urbanisasi baik sebagai momen sosioalamiah yang menandai ketakter-
pisahan manusia dan non-manusia, maupun sebagai momen sosiospasial
yang merupakan proses dimana ruang di bawah kapitalisme direkonfigurasi,
dan ini sekaligus menandai bahwa proses urbanisasi tidak memiliki batasan.
Artikel Angelo dan Wachsmuth (2015) sudah ditantang oleh Connolly (2018)2
yang menunjukkan bahwa ada elemen dari UPE yang melakukan analisis yang
tak-sekadar-kota dan memberikan perhatian pada proses urbanisasi. Selain
itu, Swyngedouw (1997: 75 dan 77)3 sendiri menggunakan UPE dan PEU secara
bergantian ketika ia secara mendalam mempelajari ekologi politis urbanisasi
air di Guayaquil, Ekuador, dan sekitarnya. Namun, tak bisa dipungkiri, proposal
Angelo dan Wachsmuth (2015) untuk menggunakan momen sosioalamiah dan
sosiospasial sebagai teori penjelas sangatlah penting untuk diperdalam.
_____
1 Angelo H and Wachsmuth D (2015) Urbanizing urban political ecology: A critique of metho-
dological cityism. Int J Urban Regional 39 (1) 16-27.
2 Connolly C (2018) Urban political ecology beyond methodological cityism. International
Journal of Urban and Regional Research 43(1): 63-75.
3 Swyngedouw E (1997) Power, nature, and the city. The conquest of water and the political
ecology of urbanization in Guayaquil, Ecuador: 1880-1990. Environment and Planning A
29: 311-332.
15
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Brenner N (ed.) (2014) Implosions/Explosions: Towards A Theory of Planetary Urbaniza-
tion. Berlin: Jovis.
2 Lefebvre H (2014[1970]). From the city to urban society. In N. Brenner (ed.), Implo-
sions/Explosions: towards a theory of planetary urbanization. Berlin: Jovis, pp. 36-51.
3 Brenner N and Schmid C (2015) Towards a new epistemology of the urban. City 19: 151-
82.
16
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Momen ketimpangan
Momen ketimpangan sudah menjadi subyek yang dipelajari oleh Marx (Marx
dan Engels, (2008[1848]3; Marx, 1982[867]4) dan Marxis (Trotsky, 19305; Smith,
_____
1 Jessop B, Brenner N and Jones M (2008) Theorizing sociospatial relations. Environment and
Planning D: Society and Space 28: 389-401.
2 Bridge G, McCharty J and Perreault T (2015) Editors' Introduction. In Perreault T, Bridge G
and McCharty J (eds.) The Routledge Handbook of Political Ecology. New York: Routledge,
pp: 3-18.
3 Marx K and Engels F (2008[1848]) The Manifesto of the Communist Party. London: Pluto
Press.
4 Marx K (1982[1867]) Capital: A Critique of Political Economy. Volume I. Great Britain:
Penguin Books Ltd.
5 Trotsky L (1930) The History of the Russian Revolution (Volume 1). Marxist Internet Archive.
Available at: https://www.marxists.org/archive/trotsky/1930/hrr/.
17
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
2008[1984]1; Harvey, 20042; 20053; Brenner, 20094). Sebagai bagian dari kelom-
pok ini, pekerjaan Neil Smith sangat layak diberi perhatian khusus karena
intervensinya melalui “teori tentang produksi skala geografis” yang membuat
percakapan di antara mereka semua menjadi masuk akal.
Urbanisasi kapitalis selalu berproses dengan timpang (pembangunan
yang timpang). “Bibit dari teori pembangunan yang timpang dan terkombinasi”
(Goonewardena, 2014: 222)5 dapat ditemukan dalam karya Marx and Engels
(2008[1848]) melalui eksplorasi mereka terhadap hubungan-hubungan kota-
desa dan kolonialisme. Dalam Capital I, Marx (1982[1867]: 472) menjelaskan
bahwa kerja kapital, yaitu “memisahkan kota dan desa,” adalah dasar dari pem-
bagian kerja secara sosial. Ia membentuk dan dibentuk oleh pembangunan
dengan karakter yang khas, yaitu pembangunan kapitalisme yang dimediasi
oleh eksploitasi terhadap buruh dan pertukaran komoditas. Marx mengakhiri
Capital I dengan diskusi tentang kolonialisme modern dimana penjajah melak-
sanakan kolonialisasi sistematis dengan cara memisahkan orang yang dijajah
dari tanah mereka dan mengubah mereka menjadi buruh. Dengan kata lain,
itu adalah sebuah aksi mengubah atau menyerap yang terjajah ke dalam moda
produksi kapitalisme yang lebih luas. Yang terjajah diproduksi untuk meme-
nuhi kebutuhan penjajah. Hubungan-hubungan kapital-buruh, kota-desa, dan
penjajah-terjajah adalah ekspresi-ekspresi ketimpangan dalam moda produksi
kapitalisme.
Trotsky (1930) merumuskan pembangunan yang timpang dan terkombi-
nasi (uneven and combined development) sebagai pertemuan antara hukum ke-
timpangan dengan hukum kombinasi pembangunan dalam sejarah pemba-
ngunan dari sebuah bangsa. Ketimpangan, menurut Trotsky, adalah ciri umum
dalam proses sejarah, dan itu paling mudah terlihat di negara yang terbela-
kang seperti Rusia apabila diukur dalam kerangka pembangunan kapitalistik.
Secara geografis, Rusia berada di antara Eropa Barat dan Asia. Di satu sisi,
pembangunan kapitalistik (di bidang militer, industri, dan bisnis) di Eropa Barat
pada sekitar Abad XVIII memaksa Rusia untuk mengikuti jalan itu. Di sisi lain,
perkembangan kapitalisme yang lebih lamban di Asia juga memengaruhi per-
_____
1 Smith N (2008[1984]) Uneven Development: Nature, Capital, and the Production of Space
(3rd edition). London: The University of Georgia Press.
2 Harvey D (2004) Spaces of neoliberalization: Towards a theory of uneven geographical
development. Műnchen: Franz Steiner Verlag.
3 Harvey D (2005) A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press: Oxford.
4 Brenner N (2009) A thousand leaves: Notes on the geographies of uneven spatial
development. In Roger Keil and Rianne Mahon (eds.) Leviathan Undone? Towards a
Political Economy of Scale. Vancouver: UBC Press, pp.27-50.
5 Goonewardena K (2014) The country and the city in the urban revolution. In Brenner N
(ed.) (2014) Implosions/Explosions: Towards A Theory of Planetary Urbanization. Berlin:
Jovis, pp. 218-235.
18
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
19
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Smith N (1992) Geography, difference and the politics of scale. In Doherty J, Graham E and
Malek M (eds.) Postmodernism and the Social Sciences. New York: St. Martin's Press,
pp.57-79.
2 Smith N (1996) The New Urban Frontier: Gentrification and the Revanchist City. London:
Routledge.
3 Smith N (1995) Remaking scale: competition and cooperation in prenational and post-
national Europe. In Batten DF, Fischer MM, Hewings GJD, Nijkamp P and Snickars F (eds.)
Advance in Spatial Science: Competitive European Peripheries. Berlin: Springer, pp.59-74.
4 Smith N (2004) Scale bending and the fate of the national. In Sheppard E and McMaster
RB (eds.) Scale and Geographic Inquiry: Nature, Society, and Method. Oxford: Blackwell
Publishing, pp.192-212.
20
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
global (Smith 2005)1. Bagi Smith, karena itu, teori produksi skala geografis
bukan hanya sebagai “kontribusi dalam hidupnya” (Jones III dkk., 2016: 138)2
terhadap perkembangan ilmu geografi, tapi juga sekaligus sebagai teori yang
memandu perjalanan karir ke-geografi-annya. Di bawah pembangunan kapi-
talistik yang timpang, skala geografis adalah “organisasi” (Smith, 2008[1984]:
181) sekaligus sebagai “hasil” (Jones III dkk., 2016: 2) dari proses. Smith (1993) 3
mengidentifikasi berbagai level skala yang dikonstruksi secara sosial: tubuh,
rumah, komunitas, kota, kawasan, bangsa, dan global. Menurut Smith (2008
[1984]) paket yang paling utama dari skala yang merupakan ciri khas dari
pembangunan yang timpang di bawah kapitalisme adalah: kota, negara-
bangsa, dan global. Kapitalisme tumbuh terutama di dalam tiga set skala
geografis ini. Skala kota diwarisi dari kota pra-kapitalis – sebagai produk dari
pembedaan/diferensiasi antara kota dan pedesaan, sebagai lokasi konsentrasi
buruh, alat produksi, dan sebagai lokasi dari sentralisasi nilai-guna/pakai di
tangan semakin sedikit kapitalis – dan ia mencapai puncak perkembangannya
di bawah pembangunan kapitalistik yang timpang. Skala negara-bangsa, lebih
politis namun tak kurang ekonomisnya. Ia merupakan produk diferensiasi
dalam pengertian internasionalisasi kapital sekaligus juga adalah nasionalisasi
kapital. Karena itu, sebagai contoh, kita mengenal kapital yang berbasis di AS
dan perusahaan Spanyol. Skala global adalah produk dari tendensi pe-
nyamaan/ekualisasi di bawah pembangunan yang timpang, dimana mulai dari
DNA sampai Bumi secara global dan bahkan ruang angkasa, diekualisasi/
disamakan menjadi komoditas.
Dengan menggunakan teori produksi skala geografis dari Smith, maka
saya sekarang bisa menjelaskan bahwa relasi timpang antara kota dan desa
yang disampaikan Marx dan Engels’s (2008[1848]) dan Marx’s (1982[1867]),
pembangunan yang timpang dan terkombinasi yang dibahas Trotsky (193),
dan relasi kota dan non-kota yang dibahas Brenner (2009), pada dasarnya
adalah ekspresi ketimpangan di dalam sebuah negara-bangsa. Cara berfikir
yang sama berlaku untuk memahami analisis tentang kolonialisme yang
disampaikan oleh Marx dan Engels (2008[1848]) dan Marx (1982[1867]), dan
analisis tentang imperialisme dan neoliberalisme yang disampaikan Harvey
(2003; 2004; 2005), adalah cara untuk mengekspresikan ketimpangan dalam
pembangunan kapitalistik pada skala global, terutama hubungan-hubungan
_____
1 Smith N (2005) The Endgame of Globalization. New York: Routledge.
2 Jones III JP, Leitner H, Marston SA and Sheppard E (2016) Neil Smith's Scale. Antipode
49(S1): 138-152.
3 Smith N (1993) Homeless/global: scaling places. In. Bird J, Curtis B, Putnam T, Robertson G
and Tickner L (eds.) Mapping the Futures: Local Cultures, Global Changes. London: Taylor
& Francis e-Library, pp.87-120.
21
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Momen sosiospasial
22
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
kian terhubungkan melalui berbagai sambungan seperti aliran air, buruh, dan
kapital-uang.
Pemahaman yang diperluas tentang perkotaan ini adalah salah satu
komponen dari “epistemologi perkotaan” yang digagas oleh Brenner dan
Schmid (2015) dimana mereka mengajukan pemahaman tentang urbanisasi
melalui momen-momen yang saling menyusun, berupa urbanisasi terkonsen-
trasi, diperluas, dan berbeda. Urbanisasi terkonsentrasi adalah momen per-
tumbuhan kota membentuk sebuah konsentrasi spasial. Urbanisasi yang di-
perluas adalah kebalikannya: kota tumbuh jauh dari batas administratifnya
dan mengoperasionalisasikan non-kota. Momen urbanisasi yang berbeda ada-
lah momen penciptaan ketimpangan, dimana kota dan non-kota secara “krea-
tif dihancurkan” dan secara “radikal dibentuk ulang” (Brenner dan Schmid,
2015: 168) sebagai bagian dari tendensi krisis yang inheren pada proses
urbanisasi.
Epistemologi dinamika sosiospasial yang disampaikan oleh Brenner dan
Schmid (2015) ini terinspirasi oleh, berakar pada, atau beresonansi dengan
kerja Manuel Castells (1976)1, Henri Lefebvre (20002 dan 20033), dan Marx dan
Engels (2008[1848]).
Dalam Urban Question, Castells (1976: 379-392) mengidentifikasi makna
yang beragam dari krisis perkotaan, yaitu krisis dalam sektor pelayanan seperti
akses terhadap air dan pendidikan, ketidakmampuan pemerintah menyedia-
kan fasilitas publik, demo oleh kelompok-kelompok miskin kota, dan dampak-
dampak dari krisis ekonomi terhadap organisasi kota dan pelayanan publik-
nya. Dia menunjuk pada proses metropolisasi, sub-urbanisasi, dan fragmen-
tasi sosial-politik sebagai artikulasi sosiospasial dari pembangunan yang
timpang dimana krisis perkotaan lahir di berbagai kota di Amerika Serikat
pasca Perang Dunia II . Metropolisasi adalah konsentrasi sosiospasial kapital
terhadap alat produksi dan buruh pada area geografi yang spesifik. Suburbani-
sasi adalah desentralisasi selektif perkembangan kota, dimana aktivitas-
aktivitas bisnis dan administrasi utama tetap berada di pusat kota, sementara
kawasan industri dan perbelanjaan berpindah ke pinggiran. Fragmentasi
sosial-politik mengacu pada bagaimana struktur kembar pusat dan pinggiran
kota diproduksi dan memproduksi struktur sosial dan politik.
Bagi Lefebvre (2000: 65-85), penaklukan kota oleh industrialisasi mem-
produksi krisis-krisis perkotaan (dia sebut sebagai “urban problematique”)
melalui proses ganda pengerutan-ledakan (implosion-explosion). Lefebvre
(2000) tidak secara jelas menyampaikan apa yang dia maksud dengan “indus-
_____
1 Castells M (1976) The Urban Question: A Marxist Approach. London: Edward Arnold.
2 Lefebvre H (2000) Writings on Cities. Massachusetts: Blackwell Publishers Inc.
3 Lefebvre H (2003) The Urban Revolution. Minneapolis: University of Minnesota Press.
23
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Marx K (1978[1885]) Capital: A Critique of Political Economy, Volume II. London: Penguin
Books and New Left Review.
24
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Momen sosio-alam
_____
1 Haraway DJ (1991) Simians, Cyborg, and Women: The Reinvention of Nature. New York:
Routledge.
25
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
26
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Gellert PK (2005) For A Sociology of ‘Socionature’: Ontology and the commodity-based
approach. In Paul S. Ciccantell, David A. Smith, and Gay Seidman (eds.) Nature, Raw
Materials and Political Economy. Amsterdam: Elsevier, pp. 46-65.
2 Loftus A (2012) Everyday Environmentalism: Creating an Urban Political Ecology.
Minneapolis: University of Minnesota Press.
3 Ranganathan M (2015) Storm drains as assemblages: The political ecology of flood risk in
post-colonial Bangalore. Antipode 47(5): 1300-1320.
4 Heynen N, Kaika M and Swyngedouw E (2006) Urban political ecology: Politicizing the
production of urban natures. In Heynen N, Kaika M and Swyngedouw E (eds.) In the Nature
of Cities: Urban Political Ecology and the Politics of Urban Metabolism. New York:
Routledge Taylor & Francis Group, pp.1-19.
27
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
sangat penting bagi percakapan teori ini karena Swyngedouw (1996) mem-
bangun konsep sosioalam dengan mengkritik pendekatan Marxis seperti kon-
sep produksi alam dari Neil Smith. Batubara (2021)1 memasuki percakapan ini
dengan menunjukkan bahwa kritik Swyngedouw (1996) tentang analisis yang
berpusat di buruh dalam teori produksi alam Neil Smith sangat relevan secara
sosioalamiah karena dia memperlebar ruang politik. Batubara (2021) menge-
valuasi konsep sosioalam Swyngedouw dengan kerangka rumus valorisasi
(penganakan) kapital dari Marx (1982[1867]) yang menjelaskan proses-proses
produksi nilai-lebih, dan menunjukkan bahwa Marx sendiri cenderung fokus
pada buruh sebagai produsen nilai-lebih.
Buku Capital I Marx (1982[1867]: 320) merumuskan valorisasi kapital
dalam pabrik melalui eksploitasi buruh. Pada waktu awal, sebut saja t0, Marx
(1982[1867]) merumuskan komposisi kapital (C) sebagai C = c + v; dimana c
adalah konstan kapital yang terdiri dari mesin-mesin, perlengkapan, dan
bahan mentah; v adalah variabel kapital atau gaji buruh. Setelah proses
produksi, sebut saja t1, kapital mengalami penganakan. Rumus valorisasi
sekarang menjadi C’ = c + v + s. C’ adalah total kapital yang sudah mengalami
penganakan; dan s adalah nilai-lebih (surplus-value). Dalam buku Capital III
Marx (1991[1863-1883]: 118) lagi-lagi menyebutkan “Bahwa kapitalis tidak
melakukan apa-apa untuk memproduksi porsi nilai komoditas yang terdiri dari
nilai-lebih, karena ongkos produksinya dibebankan pada buruh yang tak
dibayar.” Batubara (2021) mengidentifikasi bagaimana Marx sendiri terbelah
antara dua konsepsi yang berbeda dalam produksi nilai-lebih. Di satu sisi Marx
mengkonsep nilai-lebih sebagai produk dari buruh yang tak dibayar yang
dieskploitasi oleh kapitalis; tapi, di sisi lain, Marx juga menyampaikan tanda-
tanda bahwa bukanlah begitu kondisinya, bahwa kapital perlu mengambil
sesuatu dari luar eksploitasi buruh. Alasan yang paling masuk akal untuk
memahami analisis Marx (1982[1867]) yang berpusat pada buruh dalam
konsepsi produksi nilai-lebih, menurut Batubara (2021), adalah bahwa niat
Marx adalah untuk menjelaskan bagaimana kapital bekerja dengan tujuan
spesifik untuk membebaskan buruh dari eksploitasi oleh kapitalis.
Dan benar, Marxis mengamati bahwa niat Marx memang bukan untuk
menurunkan derajat non-buruh dalam produksi nilai-lebih. David Harvey,
dalam pembukaan buku The Limits to Capital (2006[1982]: 5)2 melihat kebu-
tuhan kapital untuk mengkapitalisasi non-buruh. Dia menulis “Pada basis
konsepsi Marx tentang dunia terdapat sebuah cara pandang akan perlunya
apropriasi alam oleh manusia dalam rangka menutupi keinginan dan kebutu-
_____
1 Batubara B (2021) Swyngedouw’s puzzle: Surplus-value production in socionature. Human
Geography 14(2): 292–295.
2 Harvey D (2006[1982]) The Limits to Capital. London: Verso.
28
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
29
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
membuat peranan “para murah” ini terlihat, Batubara (2021) membuka kapital
konstan dan menotasikan ulang rumus valorisasi kapital pada tn menjadi C’ =
fcs + coa + e + v + s; dimana fcs adalah “para murah” (four cheaps), coa adalah
biaya appropriasi (cost of appropriation), dan; e adalah peralatan (equipment).
Tabel II.3 menyampaikan intisari bagaimana produksi nilai-lebih dalam meta-
bolisme sosioalamiah dikonsepsikan.
Tabel II.3: Peran manusia dan non-manusia dalam produksi nilai-lebih di bawah kapita-
lisme.
Saya sudah menapaki jejak metamorfosis teori dari PE ke UPE dan kemudian
ke PEU. Pergerakan dari UPE ke PEU membuka ruang untuk memahami kota
sebagai ontologi sosiospasial yang berhubungan dengan ontologi sosiospasial
30
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
lain di luarnya. Dalam kata-kata David Harvey (1996: 38)1, itu adalah perge-
rakan dari memahami “kota” sebagai “benda” ke “urbanisasi sebagai proses.”
Kritik metodologis bias perkotaan pada dasarnya menunjukkan sisi lain dari
mata uang yang sama, yaitu kurangnya perhatian teori sosiospasial urbanisasi
terhadap momen sosioalamiah. Konsekuensinya, saya berpendapat bahwa
PEU harus diekologisasikan agar lebih eksplisit dalam bertaut dengan hubu-
ngan-hubungan sosioalamiah di bawah kapitalisme. Konsistensi dalam me-
ngonfrontasi atau merepolitisasi proses yang timpang dalam produksi ling-
kungan/ekologi adalah ciri khas dari PE, UPE, dan PEU, serta Marx dan para
Marxis. Analisis-analisis kritis yang mengonfrontasi ketimpangan ini, yang
melibatkan kondisi di luar buruh dalam produksi lingkungan/ekologi, adalah
titik berangkat sekaligus aksi untuk melebarkan ruang perubahan/revolusi.
Dengan demikian, tuntuan perubahan bukan hanya berakar pada eksploitasi
buruh oleh kapitalis, tapi juga pada komodifikasi alam seperti yang disampai-
kan oleh Neil Smith (2008[1984]) dan pada appropriasi para murah seperti
yang didiskusikan oleh Jason Moore (2015).
Ke depan, pengembangan PEU juga harus menghormati diskusi yang
kaya di sekitar teori urbanisasi level planet (planetary urbanization), sebuah
pendekatan PEU (yang Marxis) secara teoretis harus bertaut dengan diskusi
itu. Agar ini terjadi, PEU harus bertaut dengan cara lain meneorikan perkotaan
dan urbanisasi (Peake dll., 2018)2. Secara khusus, PEU dapat berefleksi dengan
bantuan sudut pandang feminisme dan pos-kolonial yang mengkritik Eropa-
sentrisme dalam produksi pengetahuan (McLean, 20183; Reddy, 20184) yang
memiliki kencederungan menurunkan derajat atau meminggirkan cara yang
berbeda dalam memahami perkotaan dan urbanisasi (Schindler, 20175; Reddy,
2018). PEU juga dapat bertaut dengan pandangan feminis tentang kesaling-
hubungan dan hibriditas (Derickson, 2018)6, dan melampaui relasi biner desa-
kota (Buckley and Strauss, 2016)7. Semuanya adalah teman bercakap-cakap
darimana PEU dapat belajar dan dengan siapa ia dapat tumbuh bersama.
_____
1 Harvey D (1996) Cities or urbanization? City: analysis of urban trends, culture, theory,
policy, action 1 (1-2): 38-61.
2 Peake L, Patrick D, Reddy RN, Tanyildiz GS, Ruddick S and Tchoukaleyska R (2018) Placing
planetary urbanization in other fields of vision. Environment and Planning D: Society and
Space 36(3): 374 – 386.
3 McLean H (2018) In praise of chaotic research pathways: A feminist response to planetary
urbanization. Environment and Planning D: Society and Space 36(3): 547 – 555.
4 Reddy RN (2018) The urban under erasure: Towards a postcolonial critique of planetary
urbanization. Environment and Planning D: Society and Space 36(3): 529 – 539.
5 Schindler S (2017) Towards a paradigm of Southern urbanism. City 21(1): 47-64.
6 Derickson K (2018) Masters of the universe. Environment and Planning D: Society and
Space 36(3): 556-562.
7 Buckley M and Strauss K (2016) With, against and beyond Lefebvre: Planetary urbanization
and epistemic plurality. Environment and Planning D: Society and Space 34(4): 617–636.
31
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
32
BAB III
Metodologi:
Terkoordinasi sekaligus terpisah
33
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
DAS Bringin. Ini kami lakukan karena memang resolusi data Digital Elevation
Model (DEM)-nya cuma memungkinkan sampai di tingkat itu.
Keterangan:
- Sungai/Aliran
C] Kota Semarang
- DASBabon
DAS Bringin
DAS Garang
DAS Karanganya1
DAS Silandak
0 4 8 16
Kilometers
34
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
(1973); (2) LANDSAT 4-5 TM, resolusi 30x30 m (1989 dan 1999); dan (3)
LANDSAT OLI 8, resolusi 30x 30 m (2013 dan 2020). Resolusi di sini menyangkut
ukuran pixel dalam sebuah foto udara. Artinya, ini menyangkut keakuratan
sebuah foto udara. Sebuah foto udara beresolusi 30 x 30 m lebih akurat dari
foto udara dengan resolusi 60 x 60 m.
Setidaknya ada tiga kelemahan dalam klasifikasi yang kami pakai.
Pertama, beberapa foto udara yang kami pakai tertutupi awan. Kami sudah
mencoba mengeliminasi kelemahan ini dengan cara memilih foto udara yang
paling sedikit mengandung awan. Kedua, foto udara yang sudah lama (misal-
nya, tahun 1973) memiliki band dan resolusi yang terbatas. Artinya, akurasinya
jelas lebih rendah dibandingkan foto udara generasi yang lebih belakangan.
Ketiga, subyektivitas operator (peneliti), karena supervised classification, pada
akhirnya mengandalkan identifikasi peneliti terhadap obyek-obyek yang
muncul dalam foto udara. Semakin telaten si peneliti, maka kemungkinan aku-
rasi dari hasil kerjanya akan semakin bagus. Dalam kasus ini, akurasi yang kami
hasilkan dari pekerjaan ini kami rasa sudah cukup untuk membantu kami me-
mahami proses evolusi penggunaan ruang di DAS-DAS yang ada di Kota
Semarang.
Hasil yang kami dapatkan dari studi awal ini memperlihatkan bahwa sejak
1973-2020, telah terjadi perubahan yang cukup terlihat dalam hal tutupan
tubuh air, vegetasi, dan area terbangun di DAS-DAS dimana Kota Semarang
berada (Gambar III.2). Tubuh air menurun dari 3,5% menjadi 1,1%; area ter-
bangun naik dari 12,5% menjadi 66,2%; dan vegetasi turun dari 84,1% menjadi
32,7%.
35
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
02.55 10 15 20 00.D !!
■ ■ Kilometers IIIUU
Sumber data:
1) Peta Digital Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wilayah didapat dari: https://tanahair.indonesia.go.id.
2) Citra Satelile LANDSAT 1-5 MSS (1973): LANDSAT 4-5 TM (1989 dan 1999) dan LANDSAT O U 8 (2013 dan 2020)
Gambar III.2: Perubahan rona di DAS-DAS dimana Kota Semarang berada. Warna biru
adalah tubuh air, warna hijau area vegetasi, dan warna kuning area
terbangun.
Kami menggunakan hasil studi awal ini untuk mengidentifikasi garis besar
evolusi perubahan penggunaan ruang di masing-masing DAS dan sebagai
pintu masuk untuk membagi wilayah administratif kota ke dalam potongan-
potongan yang kami perdalam. Dengan kata lain, DAS menjadi unit analisis
untuk diperdalam. Dari situ kami mengembangkannya agar satu DAS minimal
dijelaskan dari sisi proses urbanisasi yang spesifik dan bagaimana ia berhu-
bungan dengan banjir.
Penggarapan pendalaman DAS Silandak, yang sekarang menjadi Bab IV
dari buku ini, dilakukan dengan proses diskusi dan berbagi (dokumen dan
informasi). Pendalaman di DAS Silandak terdiri dari 3 bagian: perluasan Kawa-
36
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Wawancara tertulis dengan Cornel Gea (aktivis LBHS) tentang metode kliping LBHS, 22 Juli
2021.
37
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
dia LBHS tersebut mengandung 150 entri pemberitaan soal kasus perluasan
KIC dan relokasi Kampung Pucung pada rentang waktu 2004.
Pertimbangan bahwa LBHS mengikuti kasus, dan karena itu kemungkinan
besar kliping berita media-nya tentang kasus ini cukup lengkap, juga menjadi
justifikasi pemilihan kumpulan data yang dianalisis. Jadi, dalam hal ini,
tinimbang menyisir berita tentang perluasan KIC dan penggusuran Kampung
Pucung dari satu media (katakanlah misalnya Kompas), maka jauh lebih stra-
tegis menggunakan kliping berita media LBHS tentang kasus ini yang berasal
dari banyak media. Strategis di sini maksudnya mempertimbangkan alokasi
energi, waktu, dan kebutuhan membeli arsip dari media.
Kasus pembangunan PRPP kami perdalam dengan cara membaca putus-
an-putusan pengadilan, surat-surat dari warga dan LBHS (lembaga yang meng-
advokasi warga), dan pemberitaan tentang reklamasi Pantai Mutiara di koran
Kompas yang dibeli dari gudang data Kompas (http://www.kompasdata.id/)
melalui pencarian dengan kata kunci “Pantai Marina”. Berdasarkan pengalam-
an membaca pemberitaan soal Kampung Pucung dalam kumpulan data yang
diperoleh dari LBHS, frase “Pantai Mutiara” sering muncul dalam berita media.
Ini menjadi alasan menggunakannya sebagai kata kunci dalam pencarian entri
di gudang data Kompas. Yang diharapkan dalam pencarian dengan mengguna-
kan kata kunci seperti ini adalah, sebanyak mungkin menemukan item pem-
beritaan (coverage) di gudang data Kompas. Ketika 210 entri dengan kata kunci
“Pantai Mutiara” ditemukan, jumlah itu dirasa sudah cukup.
Kasus Graha Padma digarap melalui proses kerjasama penelitian dengan
UNDP Accelerator Lab. Kerja Lapangan (KL) dilakukan setelah kunjungan awal
ke lokasi dan setelah pertemuan offline pada 31 Mei 2021. Pertemuan tersebut
diadakan dengan tujuan untuk menyamakan persepsi (melalui diskusi) dan
merumuskan instrumen KL. Kegiatan KL dilakukan oleh tiga orang yakni Bagas,
Eka, dan Umi. Mereka bercakap-cakap dengan 10 orang warga terdampak
banjir di Kampung Tambakharjo yang terletak di tengah lahan Graha Padma.
Ada dua teknik yang dilakukan dalam KL yaitu observasi dan wawancara.
Teknik observasi dikerjakan dengan mencoba semaksimal mungkin memanfa-
atkan kemampuan indrawi: apa yang dilihat, apa yang dicium, dan apa yang
dirasakan. Teknik ini juga digunakan untuk menilai soal kelas ekonomi, kondisi
rumah, situasi lingkungan, dan lain-lain.
Teknik wawancara dilakukan dengan cara bercakap-cakap (mendengar,
bertanya) secara lebih mendalam dengan para interlokutor (teman bercakap-
cakap). Dalam proses pemilihan interlokutor, kami mempertimbangkan bebe-
rapa hal seperti (1) jenis kelamin; (2) usia; (3) status ekonomi; dan (4) kondisi
rumah.
Sejak awal, kami coba membebaskan diri dari model riset yang kaku —
bahwa riset membutuhkan ini, membutuhkan itu. Kami justru mencoba
38
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
39
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
40
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
41
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
42
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
43
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
44
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
pulan umum dari proses urbanisasi di DAS-DAS yang ada di Semarang dalam
kaitannya dengan momen banjir.
Sampai di sini, terlihat bahwa proses penulisan buku ini dilakukan secara
terpisah. Secara sadar kami melakukan “signposting,” atau “menebar jejak,”
dalam naskah ini melalui penggunaan kata-kata kunci dari teori, seperti
urbanisasi, ketimpangan, perubahan sosiospasial, dan sosioalamiah. Tujuan
utama kami melakukan ini adalah untuk menjaga kami tetap pada jalur, bahwa
kami bekerja/menulis dengan menggunakan alat analisis atau teori tertentu,
di satu sisi; di sisi lain, dengan tebaran jejak dimana-mana, kami berharap bisa
membantu pembaca untuk bertaut dengan teori yang kami pakai dan materi
yang kami bahas.
Riset yang diilhami oleh kritisisme netizen ini kami operasionalisasikan
dengan membaginya menjadi enam tahapan kerja yang saling terkait, sebagai
berikut:
3. Tahap ketiga: review; hasil dari tahap kedua di-review oleh fasilitator
dan saling review antar periset. Penajaman-penajaman dilakukan
berdasarkan titik-titik yang diidentifikasi, dapat meliputi misalnya
namun tak terbatas pada: organisasi data, narasi yang diciptakan
melalui re-interpretasi, dan visualisasi kasus yang dijelaskan. Review
oleh editor ahli kami percayakan kepada J. Wijanto Hadipuro. Pemilih-
an editor ahli ini berdasarkan pengamatan kami terhadap kerja-kerja
akademis yang bersangkutan yang dapat kami akses dan juga
pengalaman kami dalam menggarap Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-
Ekologis di Kawasan Pesisir Semarang-Demak, dimana yang bersang-
kutan juga berperan sebagai reviewer atau editor ahli.
45
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
46
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Membangung model
Meluaskan model
Review
Konsolidasi
Penerbitan
Distribusi
Rapat rutin
Untuk mewujudkan proyek ini kami melakukan mobilisasi dana publik melalui
platform Kitabisa.com (Lihat Bab X: Laporan). Bagi kami, mobiliasi dana dengan
cara seperti ini adalah satu percobaan untuk mencari/menciptakan skema
pendanaan untuk riset. Selama ini dana riset banyak diberikan oleh negara,
perusahaan, atau lembaga donor. Tema-tema besar riset biasanya sudah
ditentukan oleh lembaga-lembaga pemberi dana. Kami dalam proyek ini
mengerjakan riset yang pertanyaannya terinspirasi dari kritisisme netizen,
karena itu bagi kami sangat logis juga untuk mengharapkan donasi terbuka
dari netizen untuk membiayai proyek ini.
47
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
48
BAB IV
Urbanisasi DAS Silandak:
Produksi bencana secara timpang
49
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
2013 2020
02.75.5 11 16.5 22
■ ■ Kilometers mnn
IIIUU
Sumber data·
1) Pela Dogolal Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wolayah dodapat dan. hltps:/ltanahaor.indonesoa.go.id.
2) Crtra Satelrte LANDSAT 1-5 MSS (1973); LANDSAT 4.5 TM (1989 dan 1999) dan LANDSAT DU 8 (2013 dan 2020)
Gambar IV.1: Evolusi penggunaan ruang di DAS Silandak. Warna biru adalah tubuh
air. Warna hijau adalah area yang ditutupi vegetasi. Warna kuning
adalah area terbangun.
50
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
0 5 10 20
Kilometers
Gambar IV.2: DAS Silandak. Letak dan luasan polygon untuk KIC, Gunung Kelir (Kam-
pung Pucung di sebelah utaranya), Graha Padma, Kampung Tambak-
harjo, dan PRPP diinterpretasi dari foto udara dan teks-teks yang diacu
dalam tulisan ini, bukan luasan yang dinyatakan oleh satu dokumen
produk pemerintah.
51
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
terbuat dari kayu, dan sebesar Rp600-650 ribu/m2 untuk tanah yang di atasnya
terdapat rumah yang dibangun dari bata. Tanah yang diratakan digunakan
oleh PT IPU untuk memperluas KIC. Sementara material hasil pengeprasan
diangkut ke daerah utara Kota Semarang, dan dipakai sebagai bahan urukan
untuk proyek reklamasi Pantai Marina, yang juga dikembangkan oleh PT IPU. 1
“Puluhan truk” tanah setiap harinya diangkut dari Kampung Pucung ke Pantai
Marina.2
Sejak itu bencana merangsek dan berujung pada keharusan relokasi
Kampung Pucung. Kerusakan-kerusakan yang terjadi di Pucung adalah
ekspresi pembangunan yang timpang, dimana warga menjadi kelompok yang
paling dirugikan, antara lain: 237 dari 363 rumah warga mengalami kerusakan;
retaknya bangunan lain seperti mushola; bangunan SD yang bergeser belasan
meter, miring, dan nyaris ambruk; pemakaman yang ambles; dan jalan
kampung yang putus, bergeser hingga belasan meter. 3 Secara total, kerugian
yang terjadi di Pucung diperkirakan bernilai Rp2,5 milyar, dengan biaya
perbaikan sekitar Rp4,2 milyar. Angka perkiraan kerugian ini datang dari data
yang dikumpulkan oleh Kelompok Interaktif Masyarakat (KIM) Bambankerep.4
Solusi untuk Kampung Pucung adalah bedhol desa atau pindah massal atau
relokasi.
Untuk memberi gambaran lebih detil tentang bencana ini; SDN Ngaliyan
04 yang awalnya terdiri dari 6 lokal, pada Juli 2004 hanya tinggal 2 lokal yang
dapat digunakan, yaitu lokal untuk kelas 4 dan 6. Sementara 4 yang lain dalam
kondisi rusak, baik itu rusak berat ataupun rusak ringan. Misalnya, lokal untuk
kelas 3 dan 5, atapnya jebol di berbagai tempat, dindingnya mengalami retak-
retak, dan lantainya bergeser dari tempat semula. Pengelola sekolah memu-
tuskan bahwa kedua lokal ini termasuk ke dalam lokal yang tidak bisa dipakai
lagi. Anak-anak kelas 3 dan 5 terpaksa belajar di emperan kelas 4 dan 6. Ruang
emperan yang sempit memaksa para murid duduk berjejer rapat. Satu meja
yang lazimnya dipakai oleh dua orang, sekarang harus menampung tiga orang
siswa. Suasana di tempat terbuka itu juga mengurangi konsentrasi para murid.
Orang dan kendaraan yang lalu-lalang, misalnya kendaraan dan penjual jajan-
an, membuat para murid berkali-kali mengalihkan pandangan mereka ke ber-
bagai aktivitas yang berlangsung di jalanan.5
_____
1 Semarang Post, 25 September 2004, “Derita Warga Pucung Menunggu Kepastian”.
2 Kompas, 2 Agustus 2004, “Pemkot Tak Mampu Hentikan Pengeprasan Bukit”.
3 Wawasan, 20 Februari 2004, “Bangunan2 di Bambankerep Terancam Ambruk”.
4 Suara Merdeka, 1 Agustus 2004, “Kerugian Longsor Pucung Rp. 2,5 M”; lihat juga: Suara
Merdeka, 2 Agustus 2004, “Kronologi Pucung”; Semarang Post, 25 September 2004,
“Pucung dalam Catatan”.
5 Wawasan, 27 Juli 2004, “Menanti Relokasi, Belajar di Emperan”.
52
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Kompas, 12 Agustus 2004, “Kelas Darurat”.
2 Suara Merdeka, 2 Agustus 2004, “Siwas SD Ngaliyan 04 Pindah ke Lokal Darurat”.
3 Kompas, 11 Agustus 2004, “Makam Retak”.
4 Seputar Semarang, 3-9 Agustus 2004, “Warga Pucung Terkatung-katung”.
5 Suara Merdeka, 31 Juli 2004, “Pengeprasan di Kawasan Industri Candi Berlanjut: Makam
di Pucung Kian Ambles”.
53
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Secara lebih detil, koran yang sama memperdalam kedua penyebab yang
diidentifikasi itu. Tajuk Rencana Suara Merdeka dengan judul “Anak-anak Belajar
di Bawah Matahari,” pada 30 Juli 2004, misalnya, cenderung membuka
penyebab kedua:
_____
1 Suara Merdeka, 23 Februari 2004, “Prioritaskan Relokasi Warga Kampung Pucung”.
54
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Pada sisi lain, masih banyak pula bangunan sekolah tua yang masih
kukuh berdiri hingga sekarang. Yang unik, justru yang dibangun
pada saat pemerintahan kolonial Belanda dahulu. Kukuh berdiri dan
masih tampak bisa bertahan puluhan tahun lagi. Dua keadaan ini
dengan mudah diperbandingkan, mana bangunan yang dibangun
dengan perencanaan dan pengendalian yang sungguh-sungguh
dengan bangunan yang berdiri seadanya. Itu pun setelah melewati
tender asal-asalan dan pemotongan biaya proyek habis-habisan.
Sekali lagi, bila sekarang ambruk adalah wajar adanya. Jika sekarang
membutuhkan rehabilitasi besar-beasaran, itu memang sudah
seharusnya.”1
_____
1 Suara Merderka, 30 Juli 2004, “Anak-anak Belajar di Bawah Matahari”.
55
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
56
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Kedua Tajuk Rencana Suara Merdeka itu sengaja dikutip panjang dalam tulisan
ini karena mengandung dan merekam dengan cukup baik dua sudut pandang
yang sama sekali berbeda dalam melihat kasus Pucung. Namun, seperti yang
akan diperlihatkan pada sepanjang bagian ini, meskipun beberapa kali PT IPU
mencoba menetralisasinya, aktivitas pengeprasan bukit yang ia lakukan
dianggap sebagai penyebab, atau paling tidak sebagai pemicu, bencana yang
muncul di Kampung Pucung. Ini dapat dipahami dari diskusi/perdebatan yang
berlangsung di kalangan geolog.
Kepala Seksi Pengawasan Geologi dan Pengeboran Air Bawah Tanah
Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah, Teguh Widharto, menyampaikan
analisisnya di media bahwa berdasarkan apa yang ia pelajari di peta geologi,
di kawasan Semarang memang terdapat potensi patahan. Daerah-daerah
yang dia maksud adalah daerah Jatibarang hingga Gombel. Di Kampung
Pucung, patahan itu terletak persis di belakang wilayah industri PT IPU, yaitu
wilayah pemukiman Kampung Pucung. Menurut Teguh, patahan yang
melintasi Kampung Pucung adalah patahan aktif. Namun untuk memicu
longsor sangat tergantung pada kondisi-kondisi seperti iklim, curah hujan, dan
kemiringan lereng. Daerah patahan, tambahnya, biasanya adalah daerah
dengan batuan yang rapuh.2
Secara geologi, Teguh menjelaskan bahwa di Pucung bagian permukaan
tanah terdiri dari breksi vulkanik, konglomerat, tuva berbentuk pasir, dan pasir
kasar. Batuan-batuan tersebut adalah anggota dari Formasi Damar. Di bawah
Formasi Damar terdapat material batuan yang merupakan endapan laut
(marine), yaitu batuan lempung yang berwarna hitam dan abu-abu. Lempung
memiliki kandungan mineral seperti kaolin, bentonite, dan ilit. Mineral-mineral
ini memiliki sifat mengembang dan hancur. Ia akan mengembang apabila
terkena air dan mengkeret apabila terkena panas (airnya keluar). Bagi Teguh,
kondisi tanah di Pucung yang sudah retak-retak sangat mengkhawatirkan,
karena air masuk melalui rekahan dan mencapai lapisan lempung sehingga ia
akan hancur dan memicu terjadinya longsor. Bagi dia itu menjadi alasan
mengapa penting merelokasi Kampung Pucung sebelum musim hujan 2004
datang.3
_____
1 Suara Merdeka, 4 Agustus 2004, “Kita Bersikap Ceroboh terhadap Lingkungan”.
2 Kompas, 11 Agustus 2004, “Relokasi Pucung Harus Segera”.
3 Kompas, 11 Agustus 2004, “Relokasi Pucung Harus Segera”.
57
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
58
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
pertama kali muncul di database kliping media yang kami miliki sebagai ide dari
Pemkot Semarang pada Agustus 2004. Ide ini muncul di tengah-tengah proses
relokasi Kampung Pucung yang belum jelas.
Adalah Asisten Tata Praja Pemkot Semarang, Soemarmo, yang disebut-
kan oleh media menjelaskan bahwa penyuntikan lapisan tanah dengan semen
secara teknis dapat memperkuat tanah di Kampung Pucung yang pada saat itu
sebagian sudah ambles. Ide penyuntikan ini pada awalnya datang dari
Dwiyanto, seorang anggota lembaga penelitian geologi dari Undip. Menurut
Dwiyanto, jika warga setuju, maka penyuntikan dengan semen dapat dibiayai
oleh PT IPU. Lokasi yang bisa dijadikan sebagai ujicoba dimana Pemkot mela-
kukan penyuntikan adalah di bawah SDN 04 Ngaliyan, karena tanah di tempat
tersebut yang paling sering bergerak/ambles. Apabila setelah disuntik dengan
semen tanah tersebut tidak bergerak lagi, teknik penyutikan ini dapat dilaksa-
nakan dalam skala yang lebih luas.
Tetapi, bagi warga itu sudah terlambat karena tanah/batuan di Kampung
Pucung sudah terlanjur “rusak parah”. Jadi penyuntikan dalam kondisi
tanah/batuan yang sudah “rusak parah” hanyalah akan berujung pada kondisi
yang “sia-sia belaka.” Menurut Salam, anggota Tim Penyelamatan Kampung
Pucung (TPKP), berdasarkan pengamatan warga, sekalipun dipaku “pakai paku
bumi, toh tanahnya masih bergeser juga.” Belum lagi, biaya yang dibutuhkan
untuk penyuntikan itu cukup besar; menurut isu yang beredar, bisa mencapai
Rp500 juta.1 Seorang warga yang lain, Kasmani, yang sudah tinggal berpuluh-
puluh tahun di Kampung Pucung dan sudah hafal dengan kondisi tanah di
sana, menegaskan bahwa penyutikan dengan semen “tidak akan berhasil”
menahan gerak tanah. Ini menurut dia karena sebagian lapisan lempung yang
bersifat mengembang dan menyusut itu sudah “terbuka”.2
Sujarwanto Dwiatmojo, Seksi Kerjasama Pengurus Daerah Ikatan Ahli
Geologi Indonesia (IAGI), menyebutkan bahwa penyuntikan dengan semen
seperti itu adalah pemborosan, karena terlalu mahal dan belum tentu akan
dapat menghentikan pergerakan dan amblesan tanah. Dia tidak merinci
berapa biaya yang dibutuhkan untuk sebuah program penyuntikan dengan
semen. Namun, ia menjelaskan bahwa itu sangat tergantung pada kondisi
lahan setempat. Ia menyampaikan kembali keberadaan lapisan batuan lem-
pung yang memiliki sifat mengembang dan menyusut di bawah permukaan
Kampung Pucung. Kondisi yang sudah seperti sekarang dimana tanah sudah
retak-retak dan sudah dibuka/dipapras, menurut Sujarwanto, membuat
penyuntikan semakin tidak efektif.3
_____
1 Suara Merdeka, 13 Agustus 2004, “Pemkot Tawarkan Teknik Suntik Semen”.
2 Semarang Post, 17 Agustus 2004, “Warga Tolak Teknik Suntik”.
3 Suara Merdeka, 14 Agustus 2004, “Pemborosan, Penyuntikan Tanah di Pucung”.
59
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
60
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
tergugat adalah Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Provinsi Jawa Tengah (Tergugat 1), Kepala Dinas dan Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Semarang (Tergugat 2), PT Indo
Permata Usahatama (Tergugat 3), dan PT Matahari Multi Jaya (Tergugat 4).
Dalil gugatan yang relevan disampaikan di sini adalah dalil nomor 8. Sejak
Mei 2017, “bangunan gedung PT Helmut Zepf Indonesia (Penggugat) tersebut
dindingnya sebagian besar retak dan sejak November 2017 lantai dasarnya
mengalami penurunan (ambles) sekitar 40 cm.” Untuk itu, Penggugat me-
nyatakan mengalami kerugian dan menuntut ganti rugi sebesar sekitar Rp23
milyar.
Dalil gugatan nomor 11 melihat Tergugat 1 dan 2 “telah gagal mem-
berikan jaminan kepastian perlindungan bagi Penggugat untuk memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal di Negara
Republik Indonesia khususnya di kawasan industri candi [sic]” karena mereka
(Tergugat 1 dan 2) “tidak memberikan informasi yang terbuka mengenai
keadaan dan kondisi tanah yang sebenarnya di kawasan industri candi [sic]
khususnya di lokasi tanah tempat lokasi Penggugat mendirikan perusahan
industri.” Tergugat 3 digugat karena dia adalah, seperti yang tertulis dalam dalil
gugatan nomor 4, “pemegang ijin lokasi untuk keperluan pembangunan
kawasan industri seluas ±300 Ha yang berada di Kelurahan Purwoyoso,
Ngaliyan, Banbankerep [sic], Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang.” Sementara
Tergugat 4 digugat karena yang bersangkutan, seperti yang disampaikan
dalam dalil gugatan nomor 6, adalah “penjual” dari salah satu kapling tanah
dimana PT Helmut Zepf mendirikan bangunannya.
Namun gugatan itu ditolak oleh majelis hakim dengan mempertimbang-
kan argumen utama dari para Tergugat. Para Tergugat membangun argumen
bahwa yang paling utama bertanggung jawab terhadap apa yang dialami oleh
PT Helmut Zepf adalah instansi pusat/nasional, yaitu Badan Koordinasi
Penanaman Modal RI yang bertindak sebagai instansi pemerintah pusat yang
memberikan izin kegiatan usaha bagi penggugat. Dalam hal ini gugatan
Penggugat adalah salah alamat (error in subjecto). Alasan lain adalah, bahwa
eksepsi para tergugat melihat masalah yang dialami oleh PT Helmut Zepf
adalah masalah dalam pembangunan/konstruksi. 1
Kembali ke kasus PT IPU dan Kampung Pucung; adanya dua opini yang
beredar ini, yang menghubungkan peristiwa di Kampung Pucung dengan
kelemahan konstruksi bangunan di satu sisi dan aktivitas pengeprasan bukit
oleh PT IPU di sisi lain, membuka ruang bagi PT IPU untuk bermanuver. Sejak
awal pada Februari 2004, PT IPU, melalui Andi Widodo, Manager Pemasaran,
_____
1 Lebih detil lihat: Putusan Nomor 131/Pdt.G/2019/PN Smg; semua kutipan dalam tulisan
ini soal perkara tersebut, diambil dari putusan ini.
61
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Suara Merdeka, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Minta Direlokasi”.
2 Kompas, 29 Juli 2004, “Aktivitas PT IPU Seharusnya Berhenti Sejak Februari”.
3 Nama Alexander Wong muncul beberapa kali di media secara berbeda-beda, yaitu
Alexander Wong, Alexander Fonk, Alexander Fong, dan Alexander Funk.
4 Radar Semarang, 29 Juli 2004, “Dua Bulan Lagi, Relokasi Pucung”.
5 Suara Merdeka, 4 Agustus 2004, “Pemkot yang Tentukan Ganti Rugi Bangunan Warga
Pucung”.
6 Semarang Post, 29 Juli 2004, “PT IPU Siapkan 9 Hektare”.
7 Semarang Post, 25 September 2004, “Derita Warga Pucung Menunggu Kepastian”.
62
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Semarang Post, 23 Agustus 2004, “Ada Upaya Pembelokan Isu”.
2 Radar Semarang, 25 Februari 2004, “Warga Direlokasi ke Gunung Kelir”.
3 Kompas, 25 Februari 2004, “Meski Diminta Berhenti, PT IPU Tetap Kepras Bukit”.
4 Suara Merdeka, 6 Mei 2005, “RP 18 Miliar untuk Relokasi Warga Pucung”.
63
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Kompas, 29 Juli 2004, “Aktivitas PT IPU Seharusnya Berhenti Sejak Februari”.
2 Wawasan, 2 Agustus 2004, “Pemkot Didesak Cabut Izin PT IPU”.
3 Semarang Post, 13 Desember 2004, “Pucung Harus Diselamatkan”.
4 Suara Merdeka, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Minta Direlokasi”.
5 Radar Semarang, 25 Februari 2004, “Warga Direlokasi ke Gunung Kelir”.
64
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Kota, Asisten I, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Semarang, Kantor
Pertanahan, dan Bagian Pemerintahan Umum Kota Semarang.1 Kahono, Ketua
KIM yang menghadiri pertemuan itu, menyampaikan bahwa sebelumnya PT
IPU sudah berjanji akan membantu biaya renovasi rumah warga yang rusak
dan pembuatan terasering di belakang pemukiman warga. Namun janji itu
tidak dilaksanakan. Waktu itu warga meminta agar relokasi dilaksanakan
sebelum 1 April 2004. Menurut pertimbangan warga, kalau waktu pelaksanaan
relokasi terlalu lama, rumah-rumah warga akan hancur terlebih dahulu. Selain
waktu pelaksanaan relokasi, warga juga menuntut disediakannya berbagai
fasilitas di Gunung Kelir, lokasi yang diinginkan oleh warga. Fasilitas-fasilitas itu
meliputi tempat ibadah, tempat pendidikan, saluran air, dan berbagai fasilitas
lain yang menjadi milik warga. Fasilitas-fasilitas itu sudah harus tersedia
sebelum warga pindah ke sana.2
Dalam hal ganti rugi, warga menuntut perbandingan 1,5. Artinya, setiap
misalnya 1 m2 tanah warga di Kampung Pucung, diganti dengan tanah seluas
1,5 m2 di tempat yang baru. Sementara untuk bangunan, warga meminta ganti
rugi sebesar Rp1,250 juta/m2. Dalam pertemuan itu, perwakilan PT IPU tidak
hadir dengan alasan sedang ke Bandung. Dalam pertemuan itu, Sekda Kota
Semarang, Saman Kadarisman, mengatakan bahwa proses inventarisasi aset
warga akan dilaksanakan selama empat hari, persisnya antara 24-27 Februari
2004.3 Tiga hari setelah pertemuan di Balaikota itu, Wali Kota Semarang,
Sukawi Sutarip menyampaikan di media bahwa dia akan segera mengeluarkan
surat keputusan untuk merelokasi Pucung. Relokasi akan dilaksanakan secara
keseluruhan (bedhol desa), bukan satu-satu.4
Pada 23 Februari, dalam pertemuan di Balaikota, tercapai kesepakatan
antara warga, PT IPU, dan Pemkot, yang berisi 11 poin. Beberapa poin,
misalnya, PT IPU akan mengganti tanah warga Kampung Pucung yang retak
dan longsor dengan perbandingan 1:1. Artinya luas tanah di Kampung Pucung
akan diganti dengan luas tanah yang sama di tempat relokasi; PT IPU sepakat
akan menyediakan fasilitas umum berupa jalan, gorong-gorong, masjid,
mushola sebanyak 4, satu lapangan sepakbola, gedung SDN 04 Ngaliyan,
pelayanan air bersih, pos kamling, dan balai pertemuan; sementara, Pemkot
Semarang akan menyediakan fasilitas sambungan listrik dan sertifikat tanah;
_____
1 Suara Merdeka, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Minta Direlokasi”.
2 Radar Semarang, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Menuntut Bedol Desa.” Lihat juga:
Wawasan, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Demo di Balaikota: Tuntut bedhol desa ke
daerah sekitar”.
3 Radar Semarang, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Menuntut Bedol Desa.” Lihat juga:
Wawasan, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Demo di Balaikota: Tuntut bedhol desa ke
daerah sekitar”.
4 Kompas, 21 Februari 2004, “PT IPU Diminta Segera Relokasi Warga Kampung Pucung”.
65
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
perhitungan nilai bangunan warga yang rusak akan dilakukan secara bersama-
sama oleh warga, Pemkot, dan PT IPU; dan pada 31 Agustus 2004 rencana
pembangunan (site plan) daerah relokasi harus sudah disosialisasikan serta
pada 15 September 2004 bedhol desa sudah harus dimulai, termasuk di
dalamnya pemindahan bangunan dan pembayaran pada warga.1 Selain itu PT
IPU juga sepakat untuk menanggung segala keperluan relokasi bagi 363 kepala
keluarga Kampung Pucung. Tanah yang disiapkan di Gunung Kelir adalah
seluas 7 hektar. PT IPU berjanji akan memulai proses relokasi pada perte-
ngahan Maret 2004.2 Nilai ganti rugi tanah belum dibahas dalam kesepakatan
23 Februari.
PT IPU menawarkan nilai ganti rugi sebesar Rp250-300 ribu/m persegi
berdasarkan survei perusahaan itu pada April 2004.3 Nilai/harga yang diajukan
PT IPU tersebut sangat jauh di bawah nilai/harga yang diajukan oleh warga.
Karena itu warga menolak tawaran yang disampaikan oleh PT IPU.4
Dalam hal survei, menurut perwakilan warga, warga tidak dilibatkan
dalam survei yang dilakukan oleh perusahaan. PT IPU melakukan sendiri
perhitungan nilai bangunan. Padahal berdasarkan kesepakatan 23 Februari
2004, seharusnya perhitungan nilai ganti rugi dilakukan bersama-sama.
Namun, PT IPU keluar dari kesepakatan 23 Februari 2004. PT IPU menganggap
bahwa jika survei dilakukan bersama-sama, maka akan terjadi kerancuan, dan
TPKP (sebagai organisasi warga) dianggap oleh PT IPU tidak tahu tentang harga
bangunan. Padahal, bagi warga, justru PT IPU yang melakukan perincian harga
bangunan terlalu rendah. Misalnya saja, satu colt pasir hanya dihitung ber-
harga Rp45 ribu. Padahal, berdasarkan perincian dari Pemkot, satu colt pasir
berharga Rp75 ribu.5 Karena merasa perhitungan yang dilakukan oleh PT IPU
terlalu kecil, warga kemudian menempuh langkah lain dengan cara membuat
formulir perhitungan sendiri.6
Menanggapi sikap warga, Lurah Bambankerep, Masruri Masduki SH me-
nyebutkan bahwa semua pihak “termasuk warga” terlibat dalam proses pengo-
lahan data.7 Sementara, Wali Kota Semarang, Sukawi Sutarip, menyebutkan
agar warga tidak menggunakan momen ini sebagai momen “aji mumpung”
untuk menaikkan nilai kompensasi bagi aset mereka. 8
_____
1 Kompas, 21 Agustus 2004, “Tawaran PT IPU Belum Final”.
2 Radar Semarang, 25 Februari 2004, “Warga Direlokasi ke Gunung Kelir”.
3 Semarang Post, 22 Agustus 2004, “Warga Tetap Tolak Kompensasi IPU”. Juga: Kompas, 23
Agustus 2004, “Warga Pucung Minta Ganti Rugi Rp. 800.000/m2”.
4 Semarang Post, 22 Agustus 2004, “Warga Tetap Tolak Kompensasi IPU”.
5 Suara Merdeka, 19 Agustus 2004, “Warga Tolak Ganti Rugi PT IPU. Pemkot Dinilai Tidak
Adil”.
6 Radar Semarang, 21 Agustus 2004, “Warga Pucung Buat Perhitungan Sendiri”.
7 Radar Semarang, 21 Agustus 2004, “Warga Pucung Buat Perhitungan Sendiri”.
8 Suara Merdeka, 21 Agustus 2004, “warga Pucung Tuntut Rp. 1,250 Juta/m2”.
66
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Pada Mei 2004, relokasi belum juga dimulai. Permasalahan yang muncul
ada tiga hal. Pertama, belum adanya kesepakatan harga/nilai ganti rugi tanah
antara warga dengan PT IPU. Harga/nilai Rp1,250 juta/m2 yang pernah
disampaikan oleh warga pada Februari, belum bisa disepakati oleh PT IPU. 1
Kedua, biaya relokasi yang sangat besar, sampai Rp18 milyar. Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang, Djoko
Marsudi, meragukan kalau PT IPU akan bisa menanggung semua biaya itu.2
Keraguan Djoko sedikit terkonfirmasi ketika pada awal Agustus 2004,
Alexander menyatakan bahwa PT IPU tidak bisa menyediakan dana relokasi se-
cara langsung, dan karena itu relokasi akan dilakukan dengan cara gotong-
royong dan secara bertahap.3 Ketiga, lahan seluas 7 hektar yang disediakan PT
IPU ternyata tidak cukup untuk menampung relokasi.4
Pada Juli 2004, relokasi belum juga dimulai. Di satu sisi, PT IPU sepakat
untuk menyediakan tanah lebih luas, untuk menutupi kekurangan sebelum-
nya. PT IPU siap menyediakan tanah seluas 9,5 ha. Namun pada saat itu yang
tersedia baru 8,9 ha, dan karenanya PT IPU perlu membebaskan tanah seluas
4.500 m2 lagi. Di sisi lain, pemindahan akan dilakukan secara bertahap, misal-
nya setiap 5-10 rumah, dan secara bergotong royong.5
Berlarut-larutnya masalah relokasi membuat warga semakin kehilangan
kepercayaan terhadap bukan hanya PT IPU, namun juga Pemkot Semarang.6
Bagi warga, Pemkot mengulur-ngulur jadwal. Sebagai contoh, pengolahan data
bersama yang sudah direncanakan pada 30 Juli tidak terlaksana karena
jadwalnya diulur oleh Pemkot. Masalah-masalah teknis seperti surat undangan
pertemuan yang ternyata belum dibuat oleh Pemkot, turut menjadi penyebab
molornya pertemuan. Tentang jadwal yang molor ini, bagi Lurah Bamban-
kerep, Masruri Masduki, adalah “wajar terjadi, karena Pemkot masih harus
mempersiapkan undangan segala.”7 Sementara Wali Kota Sukawi Sutarip terus
melontarkan retorika dengan menyampaikan bahwa “masalah Pucung men-
jadi keprihatinan bersama. Wali kota juga nelangsa melihat musibah itu.” 8
Pada 23 Agustus 2004, terlihat warga mulai jenuh. Media memberitakan
bahwa warga Kampung Pucung sudah menurunkan tawarannya, menjadi
_____
1 Radar Semarang, 6 Mei 2004, “Relokasi Warga Pucung Tertunda”.
2 Suara Merdeka, 6 Mei 2004, “Rp. 18 Miliar untuk Relokasi Warga Pucung”.
3 Suara Merdeka, 4 Agustus 2004, “Pemkot yang Tentukan Ganti Rugi Bangunan Warga
Pucung”.
4 Suara Merdeka, 4 Mei 2004, “Tanah 7 Hektar yang disepakati Masih Kurang”.
5 Radar Semarang, 29 Juli 2004, “Dua Bulan Lagi Relokasi Pucung”; juga: Suara Merdeka, 29
Juli 2004, “Diperkirakan September: Relokasi Warga Pucung Dilakukan Bertahap”.
6 Seputar Semarang, 3-9 Agustus 2004, “Warga Pucung Terkatung-katung”.
7 Radar Semarang, 4 Agustus 2004, “Ganti Rugi Belum Beres”.
8 Suara Merdeka, 2 Agustus 2004, “Warga Tidak Percaya Pemkot: Dinilai Lambang Tangani
Pucung”.
67
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Rp800 ribu/m2. Menurut warga, angka itu muncul sebagai angka rata-rata dari
perhitungan yang dilakukan warga terhadap bangunannya pada 20 dan 21
Agustus 2004. Bagi warga angka Rp800 ribu/m2 adalah angka yang realistis.
Jadi, tuntutan harga yang disampaikan oleh warga Kampung Pucung bukanlah
suatu sifat aji mumpung, seperti yang pernah ditengarai oleh wali kota. Bahkan
angka itu sudah lebih kecil dari tuntutan warga sebelumnya yang Rp1.250
ribu/m2. Warga juga menyadari bahwa nilai ini lebih tinggi dari ganti rugi yang
dibayarkan oleh PT IPU pada 2002 terhadap 10 (kadang-kadang media menye-
butnya 10, kadang-kadang 11) warga, dimana ketika itu PT IPU membayar
sebesar Rp400-600 ribu/m2. Bagi warga, harga yang mereka ajukan realistis,
karena ketika nanti mereka memindahkan rumah ke Gunung Kelir, hampir
sebagian besar bahan dari rumah lama di Kampung Pucung, misalnya dinding
rumah, tidak akan bisa didaur ulang untuk dipakai di Gunung Kelir. Yang bisa
dipakai paling adalah beberapa komponen seperti kusen pintu dan jendela,
sebagian genteng, dan sebagian dari dinding.1 Artinya, warga harus menge-
luarkan biaya yang besar untuk membangun kembali rumah-rumah mereka.
Musim hujan yang mendekat membuat permasalahan relokasi menjadi
semakin penting. Kepala Seksi Pengawasan Geologi dan Pengeboran Air
Bawah Tanah Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah, Teguh Widharto,
menyampaikan bahwa musim hujan akan meningkatkan potensi longsor dan
banjir lumpur di Pucung. Mengingat relokasi belum terlaksana, maka sebaik-
nya PT IPU menyiapkan drainase kawasan tersebut, misalnya dengan mem-
buat bendungan pada aliran-aliran sungai kecil.2 Namun sepertinya bahaya
longsor dan banjir itu dikalahkan oleh kepentingan lain. Menurut Kahono,
Ketua TPKP, proses relokasi dihambat oleh Pemkot. Ini terjadi karena Pemkot
memihak kepentingan PT IPU yang butuh untuk terus mengeruk tanah di
Pucung untuk keperluan penimbunan pada proyek reklamasi di Pantai
Marina.3
Pemkot Semarang berusaha menegaskan kembali posisi dan fungsinya.
Terutama sebagai reaksi terhadap pertambahan peran Pemkot yang didorong
oleh PT IPU untuk ikut membiayai pembangunan jalan. Melalui Wali Kota
Sukawi Sutarip, Pemkot menegaskan bahwa Pemkot tidak memiliki kewajiban
untuk ikut berkontribusi dalam proses relokasi itu. Selain itu, menurut wali
kota, proses kontribusi Pemkot akan memakan waktu yang lama, sebab harus
melewati proses mendapatkan izin dari dewan atau juga perlu didukung
dengan peraturan tertentu.4 Melalui Sekda Saman Kadarisman, Pemkot
_____
1 Kompas, 23 Agustus 2004, “Warga Pucung Minta Ganti Rugi Rp800.000/m2”.
2 Kompas, 11 Agustus 2004, “Relokasi Pucung Harus Segera”.
3 Semarang Post, 10 Agustus 2004, “Relokasi Warga Pucung Lambat”.
4 Semarang Post, 18 Agustus 2004, “Warga Pucung Kecewa Lagi”.
68
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 20 Agustus 2004, “Relokasi Warga Pucung Mundur”.
2 Radar Semarang, 18 Agustus 2004, “PT IPU Ulur Waktu”.
3 Radar Semarang, 31 Agustus 2004, “Pemkot-Warga Saling Tuduh”.
4 Suara Merdeka, 30 November 2004, “Warga Pucung Tolak Pemotongan 10%”.
5 Semarang Post, 12 Desember 2004, “Warga Pucung Akhirnya Direlokasi”. Database kliping
LBH Semarang berhenti pada Desember 2004. Sehingga, kelanjutan riwayat Kampung
Pucung ini tidak bisa diikuti dari database kliping tersebut. Yang jelas, pada 9 November
2007, media memberitakan bahwa SDN 04 Ngaliyan masih belum dipindah; lihat Kompas,
9 November 2007, “Tanah SD Ngaliyan 04 Ambles, PT Indo Perkasa Usahatama Siap
Menyediakan Lahan Relokasi di Tanah Miliknya,”; pada Juli 2019, media memberitakan
bahwa kondisi SDN Ngaliyan 04 yang berada di Jalan Pucung cukup memprihatinkan.
Dalam berita disampaikan bahwa sejak lama sekolah tersebut sudah mau direlokasi.
69
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
Namun, hingga kepala sekolah sudah berganti lima kali, relokasi belum terjadi juga. Lihat:
https://semarang.ayoindonesia.com/semarang-raya/pr-77773527/Kondisi-SD-Negeri-
Ngaliyan-04-Memprihatinkan [diakses pada 7 November 2021].
1 Setyowati DL dan Sugiyanto R (2013) Dampak Pembangunan Kawasan Industri Candi pada
Perilaku Banjir Kali Silandak dan Kota Semarang. Forum Ilmu Sosial 40(2): 141-153.
70
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Pantai Marina tidak sepenuhnya berada pada DAS Silandak. Dia persis berada
di perbatasan antara DAS Silandak dengan DAS Garang (lihat peta pada
Gambar IV.2). Reklamasi Pantai Marina bermula pada 1985. Pada 26 Januari
1985, Gubernur Jawa Tengah waktu itu, Muhammad Ismail, menerbitkan Surat
Keputusan tentang Pengamanan Areal Tanah seluas lebih dari 108 Ha untuk
menyediakan lokasi bagi Pekan Raya Promosi Pembangunan (PRPP) Provinsi
Jawa Tengah. Tanah yang dimaksud oleh Surat Keputusan Gubernur Jateng ini
terletak di Kelurahan Tambakharjo, Tawangsari, Tawangrejosari, Tawangaglik
Kidul, dan Tawangaglik Lor. Semuanya terletak di Kecamatan Semarang Barat.
_____
1 Radar Semarang, 25 Februari 2004, “Warga Di Relokasi ke Gunung Kelir”.
2 Bandingkan angka ini, misalnya, dengan harga per m2 tanah di KIC seperti yang disebutkan
dalam Putusan No. 380/Pdt.G/2021/PN.Smg. sebesar Rp460 ribu (Hlm. 6 putusan terkait).
71
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Riwayat pembangunan PRPP dan pembebasan tanah dan laut disarikan dari Putusan
Pengadilan Negeri Semarang Nomor 327/Pdt.G/2014/PN Smg. Kemenangan Pemprov
Jateng dalam Peninjauan Kembali di MA dapat disimak di Putusan Nomor 790 PK/Pdt/208.
72
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Kemudian,
73
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Suara Merdeka, 5 Februari 2001, “Warga Tawang Mas Surati Presiden”.
74
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Kedua, “kawasan pantai yang menjadi hak publik dikuasai oleh pengembang.”
Ketiga,
75
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Radar Semarang, 20 April 2021, Legitimasi FPBR Dipertanyakan”.
2 Suara Merdeka, 20 April 2001, “Pencabutan FPBR Kelurahan Karangayu”.
3 Lebih lengkap simak: dari Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 327/Pdt.G/
2014/PN Smg, terutama bagian keterangan saksi-saksi, halaman 538-545.
4 Kompas Jawa Tengah, 6 April 2004, “Reklamasi Pantai Bisa Sebabkan Semarang Banjir”.
76
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Kompas Jawa Tengah, 13 April 2004. “Pemkot Harus Tegas dalam Kasus Reklamasi”.
2 Kompas Jawa Tengah, 12 Juli 2004, “Reklamasi Marina Jalan Terus”.
3 Kompas Jawa Tengah, 14 Juli 2004, “Reklamasi Marina. Wali Kota Ajak Bapedalda Cek
Lapangan”.
77
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
rumah, seperti ibu rumah tangga dan anak-anak. Mereka terkena penyakit
kulit seperti gatal-gatal.1
Masalah lain yang disorot dalam media sehubungan dengan reklamasi
Pantai Marina adalah tertutupnya akses publik ke kawasan pantai. Poin ini
muncul dari Hotmauli Sidabalok, pengajar pada Program Magister Lingkungan
dan Perkotaan (PMLP) Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Semarang.
Menurut Hotmauli, di satu sisi masyarakat tidak/kurang menyadari haknya
atas pantai yang bisa diakses secara terbuka. Di sisi lain, ketiadaan atau
kurangnya kesadaran tersebut dipergunakan oleh pengembang untuk
memprivatisasi pantai. Privatisasi pantai ini bisa berdampak banyak, misalnya,
menjadi semakin berkurangnya kontrol masyarakat terhadap kawasan pantai
dan fungsi sosial akses atau kepemilikan terhadap lahan/tanah. Kurangnya
kontrol ini misalnya bisa terlihat dari masyarakat petambak yang tidak bisa
berbuat apa-apa ketika tambaknya diuruk, meskipun ikannya belum dipanen.2
Hotmauli menyebutkan bahwa untuk masuk ke kawasan Pantai Marina,
orang harus membayar Rp3 ribu sekali masuk, dan hanya diizinkan pada
waktu-waktu tertentu.3 Proses produksi ketimpangan berjalan dengan cara di
satu sisi pengembang menguasai dan memprivatisasi Pantai Marina, di sisi lain
justru para nelayan tidak bisa lagi memakai pantai sebagai tempat beristirahat
atau membongkar ikannya ketika mereka pulang dari melaut. Sejumlah
nelayan, menurut pengamatan Hotmauli, terpaksa berlabuh di bawah
jembatan Banjir Kanal Barat.4
Secara lebih fokus, Hotmauli melihat ketimpangan atau ketidakadilan
dalam pengelolaan lingkungan. Ia memberi contoh eksklusivitas kawasan
Pantai Marina dalam hal pengaturan sampah:
_____
1 Kompas Jawa Tengah, 24 Juli 2004, “Reklamasi Marina Perparah Rob”.
2 Kompas Jawa Tengah, 3 November 2003, “Pemkot Jangan Posisikan Diri sebagai Pemilik
Kota”.
3 Pada akhir 2019, untuk memasuki kawasan Pantai Marina, pengunjung harus membayar
sebesar Rp5.000, catatan lapangan nomor #30, proyek riset Ground Up.
4 Kompas 3 November 2003, “Penguasaan Pantai di Semarang Pinggirkan Nelayan”.
78
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Budi Santosa, dari program Teknik Sipil Unika Soegijapranata, melihat bahwa
kawasan reklamasi Pantai Marina mempercepat laju penurunan tanah atau
amblesan. Pada gilirannya, amblesan ini membuat kawasan utara Kota
Semarang semakin rentan terhadap banjir rob. Menurut Budi, hal ini bisa
terjadi karena kawasan yang dikembangkan seperti di area Pantai Marina
batuannya masih bersifat lunak. Amblesan tidak bersifat lokal, tapi kawasan.
Karena itu, perumahan-perumahan di sekitar Pantai Marina, seperti Tanah
Mas, akan terkena dampak dari adanya amblesan tanah ini.2
Bagi kawasan-kawasan yang lokasinya lebih jauh, reklamasi Pantai
Marina juga menimbulkan dampak berupa abrasi pantai dan pasang air laut.
Penjelasannya, seperti yang disampaikan oleh pakar lingkungan UNDIP,
Sudharto P. Hadi, adalah terjadinya perubahan pola arus laut. Arus laut yang
seharusnya diterima pantai, membentur konstruksi reklamasi pantai. Ini
membuat arus laut terpecah ke sebelah kiri dan kanan konstruksi, dan menim-
bulkan abrasi dan pasang di sebelah kiri/kanan konstruksi reklamasi tersebut.
Ia memberikan contoh reklamasi pelabuhan Tanjung Emas Semarang yang
sudah menyebabkan terjadinya abrasi pantai di kawasan Sayung Demak, dan
reklamasi PRPP yang menyebabkan banjir pasang di daerah Tawang-
Rajegwesi.3
Berapa keuntungan yang didapatkan oleh PT IPU dari proses rekonfi-
gurasi sosiospasial dan perubahan sosioalamiah yang timpang ini? Susah
untuk mendapatkan angka pasti. Sebagai ilustrasi, tanah-tanah yang dibebas-
kan dengan biaya Rp1.500-2.500/m2, oleh PT IPU, HGB-nya dijual dengan harga
Rp1,75-2,5 juta/m2.4
IV.3. Graha Padma vs. Kampung Tambakharjo: Banjir sudah naik seleher
Hanya ada dua jalan yang bisa dilewati untuk mencapai Kampung Tambak-
harjo. Pertama, melewati gerbang besar komplek perumahan elit Graha Padma
_____
1 Sidabalok, H. 2003. Kembalikan Pantai Marina Kepada Publik. Kompas Jawa Tengah, 17
Desember 2003.
2 Kompas Jawa Tengah, 27 April 2006, “Pembangunan Infrastruktur: Tidak Menguntungkan,
MOU Reklamasi Direvisi”.
3 Kompas Jawa Tengah, 19 Maret 2008, “Kawasan Pesisir: Reklamasi Marina Bisa Timbulkan
Kerusakan Lingkungan”.
4 Informasi tentang harga jual tanah dengan HGB oleh PT IPU dapat dilihat dalam putusan
Nomor 327/Pdt.G/2014/PN Smg, halaman 107-112.
79
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Perumnas Krapyak dikembangkan oleh Perumnas (Badan Usaha Milik Negara) Regional V.
Lihat: Kusumadevi, Liza Soraya. 2002. “Studi Tingkat Keefektifan Pemanfaatan Open Space
Berdasarkan Persepsi Penghuni di Lingkungan Perumnas Tlogosari”. Tugas Akhir: Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.
2 Padma News Edisi Maret-April, 2020: 14
3 Graha Padma mendisain sistem pengairan sendiri, lihat: Padma News Edisi Mei 2019, “Tim
Teknik Graha Padma Pikirkan Masalah Banjir sejak Awal”: 12-17.
80
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar IV.3: The Club, sarana olahraga berbayar di dalam komplek perumahan Graha
Padma. Sarana olahraga ini dikelilingi pagar. Pagar belakang berbatasan
dengan Kampung Tambakharjo. Ada Pos Kamling RT 05 RW 02 dan
saluran air yang airnya nyaris penuh dengan warna hitam. Saluran air itu
merupakan salah satu saluran pembuangan limbah dari Graha Padma.
81
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
tambak. Jika diteruskan lagi Sungai Silandak yang sejajar dengan area Bandara
Ahmad Yani, akan berakhir di laut (Gambar IV.4).
Di seberang The Club sebelum portal Kampung Tambakharjo, tampak tiga
ujung pipa besar menyeruak dari pagar salah satu klaster Graha Padma,
mengarah ke Sungai Tambakharjo. Pipa-pipa itu muncul dari rumah pompa di
samping pintu air dengan angka pengukur. Itu juga merupakan bagian lain dari
desain bebas banjir di Graha Padma.
Gambar IV.4: Peta Kampung Tambakharjo dan Perumahan Graha Padma. Peta Graha
Padma dan Kampung Tambakharjo direproduksi dari peta yang disedia-
kan Graha Padma. Sumber: laman (http://maps.grahapadma.com/),
diakses pada 30 Juli 2021.
82
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Setelah sekitar 200 meter beriringan dengan sungai, kami menjumpai gedung
SMP Negeri 31 Semarang yang bersebelahan dengan Kantor Kelurahan
Tambakharjo (lihat Gambar IV.4 untuk posisi Tambakharjo dan Graha Padma).
Kampung ini tertata dalam blok-blok yang dipisahkan oleh gang-gang selebar
dua sampai empat meter. Rumah-rumah yang berukuran lebih kecil dari
rumah di kanan kiri Padma Boulevard, memadati Kampung Tambakharjo. Ada
rumah yang tampak wajar (layak), ada yang tampak beratap dan berlantai lebih
rendah dari jalan. Tanah lapang di kampung ini lebih sedikit dibanding Graha
Padma. Di antaranya ada di halaman kantor kelurahan, halaman sekolah SD
dan SMP, dan bekas tambak di tengah kampung.
Kami menghentikan kendaraan di pos ronda RT 03/RW 05 untuk menge-
rucutkan diskusi tentang siapa saja yang akan kami temui hari itu. Kami
memutuskan untuk menemui empat warga yang sedang duduk di teras rumah
kayu, tak jauh dari pos. Tampaknya mereka sedang bersantai.
Rumah kayu itu ditempati keluarga Siji (nama samaran, disingkat Mak Ji;
nama-nama interlokutor dalam bagian ini adalah nama samaran). Ia meru-
pakan perempuan berusia 50 tahun yang setiap hari bekerja sebagai pekerja
rumah tangga (pembantu) di tiga rumah di Graha Padma. Mak Ji bekerja
mencuci baju, menyeterika, menyapu, dan mengepel. Pada setiap rumah, dia
bekerja selama kurang lebih dua jam. Dia tidak menginap di tempat kerjanya,
melainkan pulang pergi setiap hari, dengan sepeda sebagai kendaraannya.
Saat kami lewat depan rumah Mak Ji, suara dari teras terdengar riuh.
Kami mengucapkan salam, memperkenalkan diri, dan memohon bergabung.
Mak Ji yang sedang duduk di sofa reyot, di bawah pakaian-pakaian yang
dijemur dengan cara digantung di atap teras yang pendek, mempersilakan
kami duduk. Saat itu Mak Ji sedang rehat pada jeda pekerjaannya di rumah
pertama, sebentar lagi dia akan melanjutkan pekerjaan di rumah kedua dan
ketiga.
Biasanya, jika merasa tidak terlalu lelah, Mak Ji akan memakai waktu
rehatnya untuk mengurus tanaman. Dia menanam pisang kapok, singkong,
pepaya, dan jambu di sempadan Sungai Tambakharjo di depan rumahnya. Jika
panen, pisang akan dijual dengan harga Rp50-70 ribu per tandan, tergantung
ukuran. Sedangkan singkong, pepaya, dan jambu akan dikonsumsi sendiri.
Tetapi karena sangat panas, siang itu Mak Ji memilih mengobrol saja dengan
Loro, suaminya, yang sedang kedatangan dua tamu bernama Telu dan seorang
yang menyebut dirinya dengan nama Papat.
Telu bukan warga Tambakharjo, melainkan warga Kampung Tapak,
Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Sedangkan Papat yang lahir di Tambakharjo
40 tahun lalu, kini sudah tidak tinggal lagi di sana. Namun keduanya kerap
bertandang ke rumah Loro seperti siang itu. Loro, Telu, dan Papat sama-sama
memelihara burung dara aduan. Jika beruntung, burung aduan bisa dibeli
83
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
penyukanya dengan harga paling murah Rp1 juta. Tapi Loro, pria 46 tahun itu,
tidak menyebut aktivitasnya sebagai pekerjaan, karena tidak mendatangkan
penghasilan tetap.
Sudah ada tiga gelas kopi di meja saat kami datang. Loro menambahkan
satu gelas lagi untuk satu di antara kami, lalu obrolan berlanjut. Lewat obrolan,
Loro menyebut informasi yang sedikit mengherankan. Kendati keluarga Mak Ji
tinggal di luar pagar komplek Graha Padma, tapi rumah keluarga itu berada di
atas tanah Graha Padma. Mak Ji menyebut, keluarga mereka nunut (menum-
pang) di sana.
Mak Ji dan Loro menempati tanah tersebut sejak 1989, tujuh tahun
sebelum komplek Graha Padma dikembangkan pada 1996. Loro sendiri
merupakan pendatang asal Surabaya. Pada masa kanak-kanak ia mengikuti
orang tuanya merantau ke Semarang. Loro membangun rumah di tempat
yang sekarang ditempati itu, karena keluarga Mak Ji kehilangan rumah yang
dijual untuk pengobatan ayahnya. Pada saat pengembangan Graha Padma
mulai mendekati rumah, Mak Ji dan Loro diminta pindah oleh pengembang,
mereka menolak.
Pihak pengembang kemudian meminta keluarga Mak Ji menempati
gudang berbahan seng dan asbes yang dipakai untuk menginap para pekerja
Graha Padma, Loro pun tetap menolak dengan argumentasi bahwa tinggal di
bedeng seng akan berisiko pada kesehatan bayinya. Kepada yang meminta
pindah, dia mengatakan bahwa akan menuntut mereka jika terjadi gangguan
kesehatan kepada anaknya.
Suatu kali, ketika Loro memperbarui rumah dengan barang lungsuran
(bekas rumah lain), dua polisi didatangkan oleh pihak pengembang Graha
Padma untuk mengawasi. Kali lain, rumah itu bahkan akan dirobohkan dengan
alat berat. Loro minta untuk tidak dirobohkan dan mengancam akan bertahan
di dalam rumah jika tetap dirobohkan. Saat ini, Loro dalam posisi telah
menandatangani kesepakatan dengan pengembang Graha Padma yang
berbunyi; keluarganya bisa tinggal di tanah itu, namun sewaktu-waktu Graha
Padma akan melakukan pembangunan di tempat itu, keluarga Loro harus
pindah.
Di rumah itu, Mak Ji dan Loro tinggal bersama bungsu lelakinya yang
masih bersekolah dasar. Sulung Mak Ji berumur 23 tahun, sudah berumah
tangga dengan satu anak dan tinggal di rumah kerabat suaminya, masih di
Kampung Tambakharjo.
Menurut Telu, keluarga pasangan Loro dan Mak Ji akan dapat terus
tinggal di tempat itu. Sepertinya, kata Telu, tidak akan ada yang tertarik
membangun di lahan memanjang sekitar rumah Loro. Namun Papat dan Loro
berpendapat lain. Selama tinggal di Tambakharjo, keduanya telah menyaksi-
kan bagaimana Graha Padma telah membeli lahan dan menguruk tambak
84
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
85
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
86
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Kata Bu Limo, dahulu tidak ada pohon mangga seperti milik tetangganya. Yang
banyak adalah pohon waru, pohon api-api, dan bakau. Bu Limo hafal betul
pohon-pohon itu karena pada masa kanak-kanak ia membantu kedua orang
tuanya mencari kayu bakar berupa ranting-ranting kering pepohonan yang
tumbuh di pinggir tambak. Kayu bakar yang terkumpul akan dibeli para pemilik
warung makan di Kelurahan Jerakah, kampung di sebelah Tambakharjo, yang
letaknya lebih dekat dengan jalan raya. Kayu menjadi andalan penjual makan-
an karena dianggap lebih efisien dibanding menggunakan kompor minyak.
Saat itu kompor berbahan bakar gas belum dikenal di perkampungan itu.
Jika Graha Padma bergerak semakin hijau dan banyak pohon, sebaliknya
dengan Tambakharjo. Saat ini di sekitar rumah Bu Limo, tidak ada pepohonan
yang diakrabinya pada masa kecil. Tambak-tambak di mana di selanya
merupakan tempat tumbuh pohon-pohon itu sudah berubah menjadi rumah-
rumah tetangga Bu Limo. Seperti Bu Limo, Mak Ji juga menyebut bahwa lambat
laun kampungnya menjadi padat rumah. Jika sudah berumah tangga, anak dari
satu keluarga akan membikin rumah di sebelah orang tuanya. Begitu terus,
hingga sawah dan tambak menyusut pelan-pelan.
Baik Mak Ji maupun Bu Limo menyaksikan penyusutan area terbuka
menjadi lebih cepat dan luas sejak semakin luasnya perumahan Graha Padma
di sebelah Kampung Tambakharjo. Mak Ji dan Bu Limo menyaksikan penguruk-
87
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
an dan pemadatan sawah dan tambak di kampung itu hingga nyaris tidak
tersisa. Tinggal ada dua sisa tambak di dalam Kampung Tambakharjo. Masih
ada sisa sawah di pinggir kampung, namun itu telah dimiliki oleh Graha Padma,
warga hanya menggarapnya saja sebelum kelak sawah itu menjadi bagian dari
pengembangan komplek Graha Padma lebih lanjut. Tambak juga masih sedikit
didapati di ujung Sungai Tambakharjo, namun kawasan itu terpisah dari
kampung oleh area komplek Graha Padma.
Ada banyak orang yang dikenal Mak Ji, yang dahulu memiliki tambak atau
bekerja di tambak seperti ayahnya, namun kemudian menganggur setelah
sawah dan tambak hampir tidak ada lagi. Laki-laki yang belakangan mengang-
gur kemudian bekerja di proyek pengembangan Graha Padma sebagai tukang
batu, kuli angkut, dan sejenisnya. Sedangkan para perempuan beralih pekerja-
an dari pertanian dan pertambakan menjadi pembantu seperti yang dilakukan
Mak Ji.
Selain tambak dan sawah yang menyusut, hubungan warga dengan
Sungai Tambakharjo pun merenggang. Siji atau Mak Ji mengenang keakraban
masa kecilnya dengan Sungai Tambakharjo yang bersih dan jernih airnya
sehingga bisa dipakai untuk bermain, mandi, dan diambil ikannya. Ada jenis
ikan sepat dan wader di sungai itu. Tetapi kini, tidak ada yang bermain, apalagi
mandi di sungai, sebab airnya kotor menghitam. Untuk kebutuhan mandi,
keluarga Mak Ji kini menggunakan air dari sumur bor yang dibuat oleh Graha
Padma dan dipakai bersama dengan keluarga lain dan juga kuli bangunan yang
ada di bedeng seng. Air sumur itu juga dipakai keluarga Mak Ji sebagai salah
satu sumber penghasilan, dengan menjualnya kepada pengunjung pantai di
hilir Sungai Silandak untuk berbilas.
Kini, Sungai Tambakharjo hanya menjadi saluran pembuangan limbah
cair dari rumah tangga di Tambakharjo—baik kampung maupun perumahan
Graha Padma. Tidak ada pula yang kini tampak memancing atau mencari ikan
di sungai itu.
Tak hanya renggang, hubungan warga Kampung Tambakharjo dengan
warga Graha Padma bahkan memiliki batas yang tegas. “Orang Graha itu
sebetulnya juga orang kelurahan Tambakharjo. Tapi apa mereka mau disebut
sebagai warga Tambakharjo? Pasti tidak mau,” ungkap Bu Limo diakhiri dengan
cibiran bibirnya.
Bu Limo mendapat kesan bahwa warga Graha Padma memisahkan diri
dari warga kampung; mengitari area tinggal dengan pagar pemisah dan menyi-
sakan satu gang saja sebagai jalan keluar masuk warga Tambakharjo menuju
jalan raya. Nahasnya, pintu gerbangnya pun tidak bebas: akan ditutup pada
pukul sepuluh malam hingga pukul lima pagi. “Orang Graha hidup di tempat
bersih, pasti tidak mau berbaur bersama-sama dengan warga Tambakharjo
yang kampungnya kumuh dan sering banjir seperti di sini,” lanjut Bu Limo.
88
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
89
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar IV.7: Area Graha Padma yang sedang dipadatkan bersebelahan dengan
rumah/warung Enem di Kampung Tambakharjo. Dari area inilah banjir
tujuh tahun lalu merobohkan tembok pembatas dan menggenangi
bagian barat Kampung Tambakharjo.
Menurut Enem pemadatan seperti yang dilakukan Graha Padma itu dapat
memicu banjir:
Polosan maksud Enem adalah tanah terbuka, tidak ada pohon atau apapun di
atasnya.
Selain membeli makan, kuli-kuli bangunan yang bekerja di Graha Padma
juga mengontrak kamar-kamar rumah di Tambakrejo dengan harga rata-rata
Rp100 ribu/kamar per bulan. Dengan itu, jika Graha Padma mengerjakan pro-
90
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar IV.8: Jalan di samping rumah Enem. Tembok pagar sebelah kiri yang pernah
jebol karena limpasan air. Di sebelah kiri pagar adalah area Graha Padma
yang dipadatkan.
91
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Pada pagi hingga siang hari, air di sungai cenderung tidak penuh. Pada
sore hari, sungai baru akan penuh karena penambahan air rob. Sewaktu kecil,
Mak Ji tidak pernah melihat sungai penuh karena air rob. Baru belakangan,
ketika sungai justru sudah dilebarkan, dia melihat air rob berbalik dari laut
memenuhi sungai. Berbeda dengan narasi global yang seringkali menandai
rob atau kenaikan permukaan air laut yang lalu merangsek ke daratan sebagai
akibat dari perubahan iklim, Mak Ji menengarai hal lain. Menurut pengamatan
Mak Ji, kenaikan volume air setiap sore di Sungai Tambakrejo terjadi sejak
rumah-rumah Graha Padma dibangun. Hal ini masuk akal, karena lokasi Graha
Padma yang tadinya adalah rawa-rawa dan bisa menampung air, sekarang
telah berada di posisi yang lebih tinggi.1 Akhirnya, rob terkonsentrasi di sungai
dan tempat yang lebih rendah.
Sejak Mei 2021, ada aktivitas pengurukan di bibir pantai dekat hilir Sungai
Silandak. Mak Ji mendengar, tempat tersebut bakal dijadikan perluasan tempat
wisata. Dia senang-senang saja, karena sulungnya bisa berjualan air bersih di
sana. Namun dia belum tahu apakah pengurukan akan memperparah kiriman
kembali rob ke Sungai Tambakharjo yang ada di depan rumahnya. “Tapi bisa
saja rob akan lebih besar masuk sungai. Semoga nggak sampai luber ke jalan,
kalau luber ya rumah saya kena,” ucap Mak Ji.
Pitu atau Bu Tu, memiliki pengalaman banjir yang berbeda dengan Mak Ji
dan Bu Limo. Bu Tu berasal dari Kabupaten Kendal dan tinggal di Tambakharjo
sejak menikah dengan paman Lima pada 1970-an. Bu Tu yang kini berumur 64
tahun, mengenang kegirangannya mengalami banjir untuk kali pertama di
Tambakharjo. Katanya, waktu itu ia merasa senang bisa bermain air di depan
rumah. Lama-lama, ketika banjir kemudian masuk ke dalam rumahnya, Bu Tu
tidak lagi merasa senang seperti dulu.
_____
1 Posisi Graha Padma yang sudah diuruk dan sekarang lebih tinggi dari area di sekitarnya,
terkonfirmasi di: Padma News Edisi Mei 2019, “Tim Teknik Graha Padma Pikirkan Masalah
Banjir sejak Awal”: 12-17.
92
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar IV.9: Kampung Tambakharjo berbatasan dengan pagar sarana olahraga The
Club. Tampak Area Graha Padma lebih tinggi dari kampung. Saluran air
di bawah pagar yang merupakan pembuangan limbah dari Graha Padma,
luber menggenangi Kampung Tambakharjo pada banjir pertengahan
Februari 2021.
93
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
94
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
95
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
96
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Semarang memetakan Kelurahan
Tambakharjo sebagai wilayah rawan banjir di Kota Semarang. Diberitakan dalam
https://jatengtoday.com/sembilan-kecamatan-dan-tujuh-daerah-di-semarang-rawan-
banjir-dan-longsor-39079 [diakses terakhir pada 11 Oktobr 2021]. Peninggian jalan
merupakan “solusi dari atas” supaya ketika banjir jalan tidak tergenang.
97
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
baikan jalan, maka jangan ditumpuk pada badan jalan yang sudah ada seka-
rang, melainkan dilakukan dengan mengambil bahan yang lama lalu menggan-
tikannya dengan yang baru.
Menurut Songo, pendapat Puluh itu masuk akal. Kata Songo, bahan jalan
yang lama bisa dipakai warga untuk meninggikan rumah-rumah. Songo per-
nah melakukan hal seperti itu, mengambil paving block dari jalan yang diper-
baiki, untuk meninggikan dapurnya yang setiap hari digenangi air. Sayangnya,
pihak kelurahan melalui pengurus RT memintanya mengembalikan bahan
jalan tersebut.
Untung saja banjir pada pertengahan Februari 2021 itu kemudian surut
dalam waktu kurang dari 24 jam. Itu karena ada pompa yang difungsikan untuk
menyedot air banjir (Gambar IV.10). Instalasi pompa penyedot banjir terletak
sekitar 10 meter dari rumah Enem. Menurut Enem, pompa itu ada karena
warga melakukan protes tujuh tahun lalu setelah Kampung Tambakharjo
mengalami banjir akibat limpasan air dari area Graha Padma yang sedang
dipadatkan.
Pompa tersebut dipasang dalam rumah pompa di perbatasan sebelah
barat Kampung Tambakharjo dengan Graha Padma. Rumah pompa terhubung
dengan saluran air Tambakharjo menuju area pemadatan yang dilakukan
Graha Padma. Berdasarkan keterangan pada papan nama, instalasi rumah
pompa dibuat oleh Pemerintah Kota Semarang. Menurut Enem, selain pompa,
protes warga tujuh tahun lalu juga menghasilkan saluran air dibuat mengitari
dan melintasi kampung, dilengkapi dengan pintu-pintu air di beberapa titik.
98
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar IV.10: Pompa dan pintu air untuk mengatasi banjir Kampung Tambakharjo.
Berdasarkan papan nama di tempat tersebut, instalasi pompa dibangun
oleh Pemerintah Kota Semarang. Tanah lapang di belakang rumah pom-
pa dan pintu air tersebut tampak lebih tinggi. Tanah lapang tersebut me-
rupakan area Graha Padma yang sedang dipadatkan. Enem menduga,
tanah lapang itu kelak akan dibangun.
Namun menurut Enem pintu air itu dibangun Graha Padma. “Itu katanya Graha
yang bikin. Jadi kalau banjir, nanti petugas dari Graha datang menyalakan
pompa. Terus, air yang sudah disedot itu dialirkan ke saluran air, dari sini ke
sana, muter terus sampai airnya habis. Nanti pintu air itu dibuka-buka,” terang
Enem sembari menunjuk ke arah saluran air. Kata Mak Ji, air dibuat memutar
dari yang tergenang menuju yang airnya sedikit, begitu terus sampai genangan
habis.
Meski begitu, air banjir Februari 2021 lalu sudah terlanjur menggenangi
seluruh rumah dan mengenai perabotan-perabotan seperti lemari, tempat
tidur, meja, kursi, sampai kulkas. Keluarga Bu Limo, Bu Wolu, Bu Tu, dan Songo
harus mengeluarkan tenaga dan tentu biaya lebih untuk membersihkan dan
mengganti perabotan mereka yang rusak terkena banjir.
Selain Songo, tetangga Bu Limo ada yang sampai membuang kasur serta
meja yang rusak terkena air. Itu disebabkan karena banjir tiba-tiba datang dan
tidak ada peringatan, sehingga tidak semua perabotan dapat sekaligus
diselamatkan.
99
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
IV.4. Kesimpulan
100
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
101
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
102
BAB V
Urbanisasi melalui industrialisasi
di DAS Babon
_____
1 Jawa Pos, 8 Februari 2021, “Banjir Genuk dan Tlogosari Terparah”.
103
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Suara Merdeka, Rabu 21 Januari 2021, “Banjir di Kaligawe Limpsan Kali Babon”.
2 Jawa Pos, 7 Februari 2021, “Jalur Pantura Lumpuh, KA Dialihkan Lewat Jogja”.
3 https://regional.kompas.com/read/2021/02/08/18412371/dampak-cuaca-ekstrem-6-
daerah-di-jateng-terendam-banjir [Diakses pada 28 September 2021].
4 https://economy.okezone.com/read/2021/02/07/320/2357999/menteri-basuki-banjir-
semarang-akibat-luapan-kali-beringin-mangkang-dan-kali-plumbon [Diakses pada 28 Sep-
tember 2021]
104
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Atas. Menurut Wiwandari, banjir yang terjadi pada 2021 bukan sekadar masa-
lah cuaca ekstrem.1
Menurut Adil, warga Trimulyo, banjir pada 2021 terjadi selain karena
cuaca ekstrem, juga terjadi karena kiriman air dari wilayah Kudu dan Pucang
Gading.2 Pandangan Adil cukup beralasan karena di Pucang Gading ada
Bendung Pucang Gading yang membagi debit air ke Kali Babon, Kali Dombo-
Sayung Demak, dan Banjir Kanal Timur (BKT). Kecamatan Genuk menjadi dae-
rah yang sering terkena dampak dari luapan dan jebolnya tanggul Kali Babon
karena merupakan kawasan hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Babon.
Kelurahan yang sering mengalami banjir di Kecamatan Genuk di antaranya
Kelurahan Banjardowo, Genuksari, Gebangsari, Gebang Anom, Genuk Indah,
dan Trimulyo. Seperti yang telah disampaikan di atas, Kampung Trimulyo me-
rupakan daerah yang paling parah terkena dampak banjir di Kecamatan
Genuk. Warga sekitar menyebut desa mereka seperti mangkuk yang menam-
pung aliran air dari wilayah-wilayah sekitar karena letaknya yang berada di
pinggir Kali Babon dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
Tulisan ini melihat banjir di Kota Semarang tidak sekadar masalah peru-
bahan kawasan resapan di DAS Babon yang terjadi karena faktor alam. Lebih
dari itu, tulisan ini juga akan memperlihatkan kekuatan-kekuatan ekonomi
politik yang membentuk ulang ruang alamiah DAS Babon. Banjir tidak lepas
dari perubahan tata guna lahan di DAS, karena DAS merupakan bagian dari
siklus hidrologi yang memiliki peran penting bagi tata kelola air di permukaan
bumi sebelum diserap makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan, menguap,
dan dialirkan ke danau, embung, atau laut. Kawasan DAS merupakan area
tangkapan air hujan yang terdiri dari kawasan hulu, tengah, dan hilir. Ketiga
kawasan ini memiliki hubungan yang sangat erat dan saling memengaruhi satu
sama lain. DAS hulu berfungsi sebagai kawasan resapan untuk menjaga debit
aliran air yang tertampung sungai. Penurunan kemampuan DAS hulu untuk
menyerap curah hujan sangat tergantung pada luas kawasan tutupan vegetasi.
Sebagai ilustrasi, semakin luas kawasan vegetasi di DAS hulu, debit air larian
ke sungai semakin kecil, yang berarti air dapat dikelola dan dimanfaatkan di
DAS hilir. Sebaliknya, ketidakmampuan DAS hulu dalam menjaga fungsi resap-
an akan menghasilkan debit air larian yang lebih besar sehingga banjir di DAS
hilir akan semakin mudah terjadi.
Peran manusia sangat penting dalam tata guna ekosistem DAS. Manusia
dapat mengubah tata guna lahan di kawasan DAS dari kawasan vegetasi
menjadi kawasan terbangun atau pun sebaliknya. Manusia juga dapat meng-
_____
1 https://tirto.id/penyebab-banjir-semarang-2021-apakah-hanya-curah-hujan-tinggi-garR
[diakses pada 17 September 2021].
2 Jawa Pos, 8 Februari 2021, “Banjir Genuk dan Tlogosari Terparah”.
105
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
106
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
drainase seperti sungai dan kanal banjir. Pembangunan kawasan industri telah
mengubah struktur ruang yang dapat memitigasi terjadinya banjir. Laut-
tambak-sawah-pemukiman merupakan struktur ruang yang telah diubah
menjadi laut-kawasan industri-pemukiman. Kondisi ini telah menjadikan per-
mukiman menjadi daerah rawan bencana, termasuk juga bagi kawasan indus-
tri itu sendiri.
Berangkat dari pola perkembangan pemukiman di hulu dan kawasan
industri di hilir, dimana yang pertama dibutuhkan untuk menampung para
buruh yang bekerja di yang kedua, yang telah menyebabkan menurunnya
fungsi DAS dan menciptakan kondisi rentan banjir, maka tulisan ini melihat
banjir sebagai produk material dari rekonfigurasi ruang di bawah sistem
kapitalisme. Rekonfigurasi ruang yang membentuk sosiospasial diciptakan
oleh hubungan sosioalamiah di mana hubungan manusia dan non-manusia di
bawah sistem kapitalisme telah mengkomodifikasi alam untuk mengejar
keuntungan. Mekanisme yang beroperasi dalam proses penciptaan daerah
rawan bencana banjir di DAS Babon diorkestrasi dalam satu proses yang
diringkas sebagai “urbanisasi melalui industrialisasi”, sebagaimana yang akan
dijelaskan pada Bab ini.
Selanjutnya, tulisan ini akan dibagi menjadi beberapa sub-bab (lihat
Gambar V.1 untuk lokasi-lokasi yang disebutkan dalam tulisan). Sub-bab per-
tama akan memberikan gambaran bagaimana proses urbanisasi secara umum
membentuk dan mengatur DAS Babon. Sub-bab berikutnya menjelaskan
peningkatan skala ekonomi yang memicu pembangunan kawasan pemukiman
baru dan kawasan industri di Kota Semarang. Sub-bab selanjutnya, menjelas-
kan proses urbanisasi dalam bentuk pembangunan kawasan pemukiman yang
mengubah tata guna lahan di hulu DAS Babon yang dimulai dengan kebijakan
pembangunan kota satelit di Meteseh, Kecamatan Tembalang, beserta kon-
sentrasi penguasan lahan yang berlangsung bersamaan dengan itu. Kebijakan
mengembangkan kota satelit telah menarik minat pemilik modal dari Jakarta
untuk menanamkan investasi di bidang pengembangan kawasan pemukiman
melalui PT Bukit Semarang Jaya Metro (BSJM). Ini berujung pada konsentrasi
penguasaan lahan. Pada sub-bab berikutnya, dijelaskan bagaimana pemba-
ngunan Kawasan Industri Terboyo (KIT) telah merekonfigurasi ruang di Kelura-
han Trimulyo karena mengalihfungsikan tambak dan sawah menjadi kawasan
terbangun. Kondisi ini diikuti dengan pembuangan limbah dari pabrik-pabrik
yang berada di sekitar Kali Babon. Hulu dan hilir kemudian disambung: kasus
pencemaran Kali Babon oleh industri diperparah oleh sedimentasi akibat
pembukaan lahan dan peningkatan kawasan terbangun di hulu DAS Babon.
Sedimentasi telah menyebabkan pendangkalan sungai yang kemudian berim-
107
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
bas pada luapan air karena tanggul penahan tidak mampu lagi menampung
debit air. Limpasan air dari tanggul sungai yang telah tercemar oleh limbah
industri telah meracuni ikan dan udang yang dimiliki oleh warga di Desa
Bedono dan Trimulyo. Akibatnya, warga dirugikan karena gagal panen. Sub-
bab berikutnya membahas sistem pengendalian banjir dengan menjabarkan
proyek-proyek teknis pengendalian banjir. Teknikalisasi masalah banjir ini
dalam kenyataanya tidak dapat membebaskan Kota Semarang dari banjir. Sub-
bab terakhir memuat kesimpulan.
0 I 2 km
-=
Skala l: 120000
SUngai
• Lokasi
DAS Babon
Peta Dasar: Google Satellite
Kali Babon memiliki panjang 17,2 km dengan hulu berada di lereng Gunung
Ungaran hingga bermuara di Laut Jawa. Aliran Kali Babon melewati tiga
kabupaten/kota, yakni Kabupaten Semarang dan Demak serta Kota Semarang.
Di bagian Hulu Sungai Babon, ada dua Sub-DAS yang terdiri dari Sub-DAS Gung
seluas 4.270 ha dan Sub-DAS Pengkol seluas 3.438 ha. Sub-DAS bagian hilir
seluas 6.712 ha, terdiri dari Sub-DAS Banjir Kanal Timur yang menjadi sodetan
108
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
dari Kali Penggaron (hulu Kali Babon) di Bendung Pucang Gading dan sungai
yang berada di antara Sungai Babon dan Banjir Kanal Timur seperti Sungai
Tenggang, Sringing, Leles, Doro, Kaidin, dan Prih.
Perkembangan kota telah banyak mengubah tata guna lahan di DAS-DAS
Kota Semarang dari kawasan resapan menjadi area terbangun. Sedangkan
area terbangun meningkat secara signifikan, tidak terkecuali di DAS Babon.
Pada 1973, DAS Babon memiliki luas 17.721 ha. Dengan rincian, 2,7 % berupa
air, 23,1 % kawasan terbangun, dan vegetasi sebesar 74,2%. Data terakhir pada
2020 menunjukkan luas area vegetasi menyusut secara drastis hingga hanya
tersisa 20,7%. Sedangkan luas area terbangun mengalami peningkatan secara
signifikan sebesar 78.4% (Gambar V.2).
2013 2020
02.55 10 15 20 mnr,a
■ ■ Kilometers ■aiuu
Sumber data:
1) Peta Digital Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wilayah didapat dari: https://tanahair.indonesia.go.id.
2) Citra Satelite LANDSAT 1-5 MSS (1973); LANDSAT 4-5 TM (1989 dan 1999) dan LANDSAT OU 8 (2013 dan 2020)
Gambar V.2: Evolusi Penggunaan Ruang di DAS Babon. Keterangan warna: biru adalah
tubuh air, kuning adalah area terbangun, dan hijau adalah tutupan
vegetasi.
109
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
110
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Lihat Majalah Tempo Edisi 17 Januari 1976. Dalam wawancara dengan Tempo, Ibnu
Sutowo (Direktur Pertamina 1957-1968) mengungkapkan utang jangka pendek Pertamina
untuk membiayai investasi di sektor lain, salah satunya Krakatau Steel. Diawali dengan
adanya janji hutang jangka panjang 20 tahun sebesar 1,3 milyar Dolar AS. Teryata utang
jangka panjang ini tak pernah ada. Ketika utang jangka pendek jatuh tempo, Pertamina
tidak dapat melunasi utang-utangnya.
2 Majalah Tempo, 17 Januari 1976, “Presiden Tentang Persoalan Pertamina”.
3 Majalah Tempo, 17 Januari 1976, “Presiden Tentang Persoalan Pertamina”.
111
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
ke Kota Semarang sebesar Rp6,787 miliar untuk investasi asing atau 5,1% dari
jumlah investasi yang masuk ke Indonesia (Grafik V.2). Sedangkan investasi
dalam negeri yang masuk ke Kota Semarang sebesar Rp26,7 miliar. 1
180000
160000
140000
120000
Juta Rp
100000
80000
60000
40000
20000
0
1975
1989
2005
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2007
2009
2011
2013
2015
2017
Tahun
Grafik V.1: Nilai ekspor migas dan non-migas Indonesia 1975-2018. Sumber: BPS
Indonesia.
8000
6000
Juta USD
4000
2000
0
1982
1989
1996
1980
1981
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1997
1998
1999
2000
-2000
-4000
-6000
Tahun
_____
1 Dalam Kelly RB (1985), Foreigh and Domestic Investment In Indonesia: A Sectoral and
Spatial Analysis (Ph.D Thesis). Harvard University, h. 149
2 https://data.worldbank.org/indicator/BX.KLT.DINV.CD.WD?locations=ID [diakses pada 6
September 2021].
112
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
18000000
16000000
14000000
12000000
Juta USD
10000000
8000000
6000000
4000000
2000000
0
1961
1963
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
Tahun
Grafik V.3: Gross Domestik Bruto (Gross Domestic Bruto) Indonesia 1961-1990.
Sumber: Bank Dunia.
_____
1 Rietveld, Ret., Vlaanderen, Niels., Kame, Daniel., Schipper, Youdi., (1994), Infrastructure
and Industrial Development: The Case of Central Java,” Bulletin of Indonesian Economic
Studies 30(2): 119–132.
2 Hal Hill, “Indonesia’s Industrial Transformation 1 Part I (1990),” Bulletin of Indonesian
Economic Studies 26(2): 79–120.
3 Anne E. Booth (1979) The Indonesian Economy: Looking Towards Repelita III. Southeast
Asian Affairs 119–133.
113
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Rietveld, Ret., Vlaanderen, Niels., Kame, Daniel., Schipper, Youdi., (1994), Infrastructure
and Industrial Development: The Case of Central Java,” Bulletin of Indonesian Economic
Studies 30(2): 119–132.
2 Kompas, 6 Februari 1985, “Presiden Resmikan Pelabuhan Tanjung Emas 23 November”.
3 Kompas, 22 Oktober 1990, “Ekspor Meningkat, Pelabuhan Tanjung Emas Perlu Diperluas”.
114
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Yaitu: 1) Desa Mangkangkulon; 2) Mangunharjo; 3) Mangkangwetan; 4) Randugarut; 5)
Karanganyar; 6) Tugurejo; 7) Jerakah; 8) Ngalian; 9) Beringin; 10) Podorejo; dan 11)
Kehutanan.
2 Yaitu: 1) Gondorio; 2) Kedungpani; 3) Wonoplembon; 4) Ngadirgo; 5) Jatibarang; 6)
Wonolopo; 7) Mijen; 8) Tambangan; 9) Purwasari; 10) Cangkiran; 11) Bubakan; 12)
Polaman; dan 13) Desa Karangmalang.
3 Beberpa desa di Gunungpati yang masuk Wilayah Kota Semarang di antaranya: 1) Desa
Jatirejo; 2) Cepoko; 3) Sedeng; 4) Sukorejo; 5) Sekaran; 6) Ngijo; 7) Nongkosawit; 8)
Sumungpati; 9) Mangunsari; 10) Pongangan; 11) Patemon; 12) Pakintelan; dan 13) Desa
Plalangan. Beberapa Kecamatan Ungaran yang masuk wilayah Kota Semarang: 1) Desa
Sumurgunung; 2) Sumurjurang; 3) Pudakpayung; 4) Banyumanik; 5) Pedalangan; 6)
Gedawang; 7) Tembalang; 8) Bulusan; 9) Kramas; 10) Jabungan; 11) Mangunharjo; 12)
Meteseh; dan 13) Desa Rowosari.
4 Yaitu: 1) Desa Tambakrejo; 2) Trimulyo; 3) Muktiharjo; 4) Gebangsari; 5) Genuksari; 6)
Karangroto; 7) Banjardowo; 8) Sambirejo; 9) Tlogosari; 10) Bangetayu; 11) Kudu; 12)
Sembungrejo; 13) Panggaron; 14) Plamongansari; dan 15) Desa Sendangmulyo.
5 Suara Merdeka, 14 Februari 1978, “Area Industri di Semg (Semarang) 1800 Hektar”.
115
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Ide kota satelit di Semarang muncul pada 1973 ketika Gubernur Jawa Tengah
dan Panglima Kodam VII Diponegoro memberikan arahan pada upacara
pelantikan Hadijanto sebagai Wali Kota Semarang. Hadijanto, sebagai Wali
Kota terpilih (1973-1980), merespon ide ini dengan menjadikan arahan
tersebut sebagai landasan kerja. Menurutnya, pembangunan kota satelit akan
dilakukan dengan menggunakan setiap kesempatan dan terbuka dengan
bantuan modal baik asing maupun nasional sepanjang tidak merugikan dae-
rah dan menguntungkan rakyat.1 Pada 1974, Badan Perencanaan Pembangu-
nan Nasional (Bappenas) menetapkan Semarang sebagai Kota Industri Estate
selain Jakarta, Cilacap, dan Surabaya. Perencanaan pembangunan kota satelit
dimulai dengan survei yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM).
Hasil survei menyebutkan bahwa “perkembangan industri di Semarang
menunjukkan masa depan yang baik. Di Kota ini, bahan makanan dan tenaga
kerja relatif murah.” 2 Survei UGM ini kemudian dilanjutkan dengan melakukan
studi kelayakan akan potensi penambahan pembangunan rumah-rumah
perorangan sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi kota.
Kabar tentang rencana pengembangan kota satelit memicu aksi spekulan
tanah. Pada 5 Mei 1974, Koran Suara Merdeka memberitakan:
_____
1 Suara Merdeka, 4 Januari 1973, “Walikota Pasti Akan Bangun Kota Satelit”.
2 Suara Merdeka, 19 Juni 1974, “Semarang Bakal Punya Kota2 Satelit”.
3 Suara Merdeka, 5 Mei 1974, “Tanah2 Kota Satelit Yang Dirahasiakan Menjadi Incaran”.
116
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 2 November 1996, “Konsep Semarang Kota Industri Akan Segera di
Susun”.
2 Suara Merdeka, 28 Juli 1990, “Kota Satelit Meteseh Untuk Menekan Urbanisasi”.
3 Wawasan, 7 April 2002, “Sedimentasi Sungai Babon Sangat Berpengaruh”.
4 Suara Merdeka, 7 Oktober 1982, “Rakyat Desa Meteseh Nyatakan “Perang” Terhadap
Kejahatan””.
5 Suara Merdeka, 24 Oktober 1982, “Penduduk Meteseh “Perang Batu” Melawan 50
Perampok”.
117
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Sebagai orang Semarang, saya sering mendengar dua istilah ini untuk menggambarkan
Kelurahan Meteseh pada kurun waktu 1980-an. Istilah ini sering disebut oleh generasi
orang tua saya.
2 Achmad Chalid Afif Alfarjin, Tribun Jateng, 3 Agusutus 2017, “Tembalang, Perbukitan Yang
Rawan Banjir”.
3 Suara Merdeka, 11 Desember 1989, “Warga Meteseh Dilarang Jual Tanah Pada Orang
Lain”.
4 Suara Merdeka, 11 Desember 1989, “Warga Meteseh Dilarang Jual Tanah Pada Orang
Lain”.
5 Suara Merdeka, 5 September 1992, “Pembangunan Kota Satelit di Meteseh Tak Pernah Di-
tunda”.
118
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 8 Januari 1993, “Pembangunan Jalan Meteseh Tembalang Sesuai Prose-
dur”.
2 Yang dimaksud dengan Pemerintah Kotamadya Semarang di sini sama dengan Pemerintah
Kota Semarang.
3 Lihat, Suara Merdeka, 8 Januari 1993, “Pembangunan Jalan Meteseh Tembalang Sesuai
Prosedur”.
4 Suara Merdeka, 26 Januari 1990, “Rp. 100 Miliar Investasi di Kota Satelit Meteseh”.
119
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Pemerintah DKI Jakarta, Profil BUMD DKI Jakarta 2019, tersedia di
https://bpbumd.jakarta.go.id/web/dokumen-bumd (diakses pada 1 Oktober 2021).
2 PT. Metropolitan Kentjana Tbk (2019), Laporan Tahunan 2019. Halaman 75.
3 Daftar Riwayat Hidup Komisaris PT. Jaya Konstruksi, tersedia di http://jayakonstruksi.com/
assets/rups/Riwayat%20Hidup%20Calon%20Komisaris%20dan%20Direksi%202017.pdf
(diakses pada 3 Oktober 2021).
4 Annisa Mu’awanah dan Nanny Yuliastuti (2014) Efektivitas Fasilitas Sosial di Perumahan
Bukit Kencana Jaya. Jurnal Teknik PWK 3(3): 371-382.
5 Website resmi BSJM, https://www.jayametro.com/profil#, (diakses pada 25 Agustus
2021).
6 Website resmi CitraGrand Semarang https://www.citragrand-semarang.com/about-us/
[diakses pada 25 Agustus 2021].
120
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 24 Agustus 1992, “Pembangunan Kota Satelit Masih Menghadapi Ken-
dala”.
2 Suara Merdeka, 24 Agustus 1992, “Pembangunan Kota Satelit Masih Menghadapi Ken-
dala”.
3 Suara Merdeka, 14 November 1992, “Kampus LPPU-Undip di Tembalang Diresmikan”.
4 Suara Merdeka, 13 Desember 1997, “Balon-balon Berhadiah Akan Dilepas”.
121
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Fakultas terakhir yang pindah adalah
Fakultas Kedokteran pada 2013.1
Menurut Samadikun (2000), keberadaan kampus Undip di Kecamatan
Tembalang ini telah menjadi generator bagi pembangunan di wilayah terse-
but.2 Kondisi ini telah meningkatkan perubahan tata guna lahan di Kecamatan
Tembalang seiring dengan meningkatnya pembangunan kawasan pemu-
kiman. Menurut Saraswati dkk. (2016), kawasan pemukiman di Kecamatan
Tembalang antara 1992 hingga 2014 telah meningkat sebesar 49,30% dari luas
total 2916,848 ha. Pada 1992, luas pemukiman sebesar 991,306 ha, meningkat
menjadi 1438,013 ha pada 2014. Riset Saraswati dkk. (2016) ini juga mem-
perlihatkan lahan-lahan yang berfungsi sebagai resapan air mengalami penu-
runan seperti ladang yang berkurang 303 ha, perkebunan 166 ha, dan sawah
124 ha.3 Penelitian tentang luasan alih fungsi lahan sawah di Kecamatan
Tembalang dilakukan oleh Yuniarti dkk. (2014) dalam kurun waktu 1974 hingga
2014. Pada kurun waktu 1972-1984, sawah di Kecamatan Tembalang mening-
kat 18,33% dari 120 ha menjadi 142 ha. Sepuluh tahun berikutnya meningkat
87,32% menjadi 266 ha. Pada periode 1994-2004 masih terjadi peningkatan
lahan sawah sebesar 388 ha. Titik balik terjadi antara 2004-2014, karena lahan
sawah berkurang dari 388 ha menjadi 268 ha. Menurut Yuniarti dkk. (2014),
konversi lahan pertanian sawah menjadi non-pertanian tanpa memperhitung-
kan hilangnya daya sangga air akan mengakibatkan banjir karena kemampuan
wilayah untuk menahan dan meresapkan air hujan berkurang.4 Perkemba-
ngan kawasan pemukiman ini menandai adanya perubahan penggunaan dari
lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun.5
Pengubahan tata guna lahan di hulu DAS Babon sebagai akibat dari
pengembangan Kota Satelit Meteseh telah menciptakan konsentrasi kepemi-
likan hak atas tanah. BSJM telah menguasai lahan 350 ha dan Grand Ciputra
menguasai 60 ha yang telah dan akan diproduksi menjadi kawasan perumah-
an. Dua perusahaan ini terhubung dengan Ir. Ciputra sebagai orang yang
_____
1 https://jateng.antaranews.com/berita/75108/kedokteran-undip-kloter-terakhir-yang-
pindah-ke-tembalang [diakses pada 03 Oktober 2021].
2 Budi Prasetyo Samadikun, (2000), Tinjauan Kondisi Bentang Lahan Kawasan Tembalang
Akibat Perubahan Tata Guna Lahan. Prespitasi 6(1): 40-46.
3 Saraswati, D., Subiyanto, S dan Wijaya, A. (2016) Analisis Perubahan Luas Dan Pola
Persebaran Permukiman (Studi Kasus : Kecamatan Tembalang, Kecamatan Banyumanik,
Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen Kota Semarang Jawa Tengah). Jurnal Geodesi
Undip 5(1): 155–163.
4 Yuniarti, Tri Retnaningsih Surpobowati, dan Jumari (2014) Dinamika Keberadaan Sawah Di
Kecamatan Tembalang Semarang Tahun 1972-2014. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Sains Dan Teknologi SNST (Semarang: Universitas Wahid Hasyim). Halaman 38–43.
5 Farisul Hanied and Santy Paulia Dewi (2014) Pengaruh Urban Sprawl Terhadap Perubahan
Bentuk Kota Semarang Ditinjau Dari Perubahan Kondisi Fisik Kelurahan Meteseh
Kecamatan Tembalang. Ruang 2(1): 41–50.
122
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 https://www.forbes.com/profile/ciputra/?sh=622e96bd1334
[diakses pada 4 Oktober 2021].
2 Data Ikhtisar Kondisi Keuangan BUMD DKI Jakarta 2012 dan 2013. Tersedia di https://
data.jakarta.go.id/dataset/data-ikhtisar-kondisi-keuangan-bumd-provinsi-dki-jakarta
[diakses pada 4 Oktober 2021].
3 https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/12/19/10-bumd-jakarta-dengan-laba-
bersih-terbesar-2018 [diakses pada 4 Oktober 2021].
4 https://bpbumd.jakarta.go.id/web/bumd/PMBJY [diakses pada 4 Oktober 2021].
5 Brosur Penawaran Terbit pada Agustus 2021 tersedia di https://www.jayametro.com/
download [diakses pada 30 September 2021].
123
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 https://www.citragrand-semarang.com/product/ [diakses pada 4 Oktober 2021].
2 Diambil dari Laporan Keuangan Konsolidasi Triwulan I PT. Ciputra Development dan Entitas
Anaknya tahun 2019, 2020 dan 2021. Tersedia di: https://www.idx.co.id/perusahaan-
tercatat/laporan-keuangan-dan-tahunan/ [diakses pada 27 Agustus 2021].
124
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
gaimana mereka harus hidup dalam kecemasan akibat tinggal di daerah rawan
bencana.
V.5. Rekonfigurasi Hilir DAS Babon: Alih fungsi lahan dan banjir
Rekonfigurasi ruang di DAS hulu Kali Babon diikuti dengan perubahan tata
guna lahan di DAS hilir Kali Babon. Ruang-ruang terbuka seperti tambak dan
sawah di DAS hilir Kali Babon yang dapat memitigasi banjir telah diubah menja-
di kawasan terbangun. Pada 1994, PT Merdeka Wirastama telah membangun
Kawasan Industri Terboyo (KIT) di DAS hilir Kali Babon. Pembangunan kawasan
industri di hilir DAS Babon telah mengambil tempat genangan air berupa tam-
bak dan sawah yang ada di sisi utara dan selatan Kali Babon. Sebelum terba-
ngunnya kawasan industri, limpasan air dari Kali Babon biasanya mengalir ke
sawah dan tambak yang elevasinya lebih rendah dari pemukiman warga. Sejak
tambak dan sawah berubah menjadi kawasan industri, air limpasan Kali Babon
mengalir ke perkampungan Trimulyo yang elevasinya lebih rendah karena
pembangunan kawasan industri dilakukan dengan menguruk sawah dan
tambak. Kondisi ini membuat kampung Trimulyo seperti mangkuk yang setiap
saat akan menerima limpasan air dari kawasan industri di sebelah barat, Kali
Babon di sebelah utara dan dari Banjardowo yang berada di sebelah selatan.
Kelurahan Trimulyo (Gambar V.3) akan menjadi sorotan khusus karena
sebagian besar kawasannya berupa tambak dan sawah sebelum berubah
menjadi kawasan industri. Desa Trimulyo terletak di Kecamatan Genuk. Desa
ini dikelilingi oleh Kali Babon, jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa, dan kawasan
industri. Sebelah selatan desa berbatasan dengan kelurahan Genuksari dan
Banjardowo, dipisahkan oleh jalur utama Pantura Jawa dan sungai di sisi Desa
Banjardowo. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sriwulan, Kecamatan
Sayung, Kabupaten Demak. Kali Babon ada di antara dua desa ini. Sementara
di sebelah barat Desa Trimulyo berbatasan dengan Kelurahan Terboyo Wetan.
Kali Sringin berada di antara perbatasan dua desa. Sebelah utara berbatasan
dengan Kali Babon yang bermuara di Laut Jawa. Mungkin lebih dari 50%
kawasan Desa Trimulyo adalah KIT. Sepertiganya merupakan kawasan
pemukiman warga. Tambak-tambak warga berada di utara (lor tanggul) dan
selatan (kidul tanggul) Kali Babon. Sebagian tambak yang berada di lor tanggul
masuk wilayah Trimulyo, sebagian lagi masuk wilayah Sriwulan, Sayung,
Demak. Tambak-tambak di kidul tanggul sudah beralih fungsi menjadi KIT.
Sedangkan di lor tanggul, tambak-tambak yang dikelola oleh warga sudah
berubah menjadi lautan. Jalan yang dahulu menghubungkan antara Desa
Trimulyo dan Sriwulan sudah hilang ditelan lautan dengan hanya menyisakan
apa yang oleh warga disebut sebagai ‘’jembatan pedot” (jembatan putus).
125
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
LautJAWA
Gambar V.3: Peta Kelurahan Trimulyo. Sumber: Open Data Kota Semarang.
_____
1 Wawancara dilakukan pada Rabu 20 September 2021. Semua nama narasumber disamarkan
126
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
tambak ditutup kembali. Ikan dan udang yang ada di tambak akan dibiarkan
selama kurun waktu 3 bulan, kemudian dipanen. Hasil panen dari model
budidaya tambak seperti ini dapat mencapai satu colt (mobil angkut bak
terbuka ukuran kecil).
Pengalaman serupa juga diceritakan oleh Babon2.1 Ia mewarisi tambak
dari mendiang orang tuanya yang mendapat warisan dari kakeknya. Ia tidak
mengelola tambak sendiri karena satu lahan tambak tidak mencukupi
kebutuhan hidupnya. Ia lebih memilih untuk menjadi pekerja pabrik kulit di
kawasan industri yang ada di sebelah Desa Trimulyo. Sembari bekerja sebagai
buruh pabrik, Babon2 mengelola tambaknya dengan dibantu orang yang mau
dibayar harian.
Babon1 menceritakan pengalaman masa kecil hingga dewasa selama
tinggal di Trimulyo. Waktu kecil, ia masih ingat kampung Trimulyo hampir tidak
pernah mengalami banjir. Bahkan jika ingin melihat banjir, ia dan temannya
pergi ke Banjardowo dan Tlogo yang berjarak satu hingga lima kilometer dari
tempat tinggalnya. Bahkan ia berangan-angan di masa kecil betapa ia meng-
inginkan kampungnya tergenang banjir, sehingga ia dapat bermain air.
Era 1980-an, kampung Trimulyo aman dari banjir meski berbatasan
langsung dengan Laut Jawa. Kali Babon dan jalan Pantura melindungi kampung
tersebut dari limpasan air banjir yang berasal dari Banjardowo. Selain itu,
kampung Trimulyo masih memiliki benteng alami berupa lahan pertanian dan
tambak. Air hujan yang mengalir ke kampung akan mengarah dan menyebar
ke tambak dan lahan pertanian di sisi barat kampung. Di masa kecilnya, kon-
figurasi ruang di kampungnya berupa laut-tambak-sawah-pemukiman. Pada
1994, sisi barat kampung Trimulyo dibangun KIT yang mengalihfungsikan tam-
bak dan sawah. Dengan demikian, untuk pertamakalinya, konfigurasi ruang di
kawasan tersebut berubah menjadi laut-kawasan industri-pemukiman. Sete-
lah era 2000-an, banjir mulai menggenangi Kampung Trimulyo. Pembangunan
kawasan industri di sisi barat kampung telah mengambil alih ruang air banjir
yang sebelumnya mengalir ke lahan pertanian dan tambak. Bahkan ia me-
nganggap Kampung Trimulyo tampak seperti mangkuk yang menerima limpa-
san air dari wilayah Banjardowo dan kawasan industri. Pun demikian dengan
jalan utama Kaligawe yang sudah tidak mampu lagi menghalau air limpasan
dari arah Banjardowo.
KIT atau nama resminya Terboyo Industrial Park Semarang (TIPS) dibangun
pada 1994. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) menyebutkan
KIT memiliki luas area pengembangan 300 ha yang meliputi wilayah adminis-
tratif Kelurahan Trimulyo, Terboyo Wetan, dan Terboyo Kulon. Lahan yang di-
_____
1 Wawancara dilakukan pada 19 September 2021.
127
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
kembangkan sebelumnya berupa tanah tambak dan sawah tadah hujan yang
dianggap kurang subur.1 Pembangunan kawasan industri ini dilakukan dengan
menguruk sawah dan tambak.
Setelah beberapa tahun dibangun, KIT banyak mendapat masalah dan
dianggap dapat merusak citra Kota Semarang sebagai kota investasi.2 Alasan-
nya, banjir sering menggenangi KIT, baik banjir karena air laut pasang maupun
banjir akibat limpasan Kali Babon yang ada di sebelah utara dan Kali Sringin di
sebelah barat KIT. Banjir yang sering merendam kawasan industri ini telah
memperburuk infrastruktur dan membuat investor enggan mengembangkan
usaha di KIT. Beberapa kasus berikut dapat menggambarkan keengganan
investor terhadap KIT. PT Port Rush, perusahaan mebel asal Amerika Serikat,
membatalkan rencana perluasan usaha karena kondisi jalan yang rusak dan
pencemaran lingkungan di KIT. Kemudian, PT Ebako Nusantara, perusahaan
mebel dari Singapura, berniat mengalihkan investasinya ke lokasi lain jika tidak
ada usaha dari pengelola dan pemerintah untuk memperbaiki kondisi di kawa-
san KIT. Calon pembeli alat-alat kesehatan yang diproduksi oleh PT Geomed
Indonesia, enggan datang ke sana karena infrastruktur yang buruk.3
Pada Februari 2014, hujan yang mengguyur wilayah Kabupaten
Semarang telah menyebabkan Kali Babon meluap. Banjir melanda Kecamatan
Genuk dan melumpuhkan jalur Pantura.4 Pemerintah bahkan meliburkan ke-
giatan sekolah di Kecamatan Genuk karena banjir. 5 Banjir juga melanda kawa-
san industri di Kecamatan Genuk. Ketinggian genangan banjir di Kawasan In-
dustri Bugangan mencapai 40-50 cm di atas permukaan jalan. Banjir di KIT
sempat mengganggu kegiatan produksi, bahkan terputus karena karyawan
tidak dapat mengakses jalan menuju pabrik.6
Banjir 2014 juga telah mengakibatkan gangguan produksi dan distribusi
barang. Kerugian yang ditimbulkan oleh banjir ini tidak hanya berupa kerugian
finansial, tetapi kredibilitas dan kepercayaan pembeli luar negeri juga tergang-
_____
1 PT. Merdeka Wirastama, Maret 1994, Rencana Pengelolaan Lingkungan Kawasan Industri
Terboyo Industrial Park Semarang.
2 Kompas, 15 September 2009, “Citra Kota Investasi Luntur, Pemkot Harus Desak Penge-
lola”.
3 Kompas, 10 September 2009, “Investor Batal Luaskan Usaha, Salah Kaprah Sejak Awal”.
4 https://www.liputan6.com/news/read/818323/sungai-babon-di-semarang-meluap-jalur-
pantura-lumpuh [diakses pada 27 September 2021].
5 https://nasional.tempo.co/read/547597/banjir-pemerintah-semarang-liburkan-
sekolah/full&view=ok [Diakses pada 27 September 2021].
6 Kompas, 7 Februari 2014, “Banjir: Sebagian Kawasan Industri Semarang Masih Terge-
nang”.
128
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
gu/berkurang. Seperti yang dialami oleh PT Ebako yang harus terkena biaya
penalti dari pembeli di Amerika sebesar 5% karena keterlambatan produksi. 1
Tiga tahun kemudian, tepatnya 26 Januari 2017, banjir kembali menerjang
Kelurahan Trimulyo. Lagi-lagi banjir terjadi karena limpasan air dari Kali Babon.
Banjir menyebabkan aktivitas warga di Kelurahan Trimulyo terganggu karena
akses jalan tergenang air dan tumpukan sampah. Meski pompa sudah bekerja
menyedot genangan banjir sejak pukul 05.00 WIB, tapi banjir masih tetap
menggenangi permukiman di Kelurahan Trimulyo hingga pukul 07.00 WIB.2
Pada awal 2021, banjir kembali terjadi akibat luberan Kali Babon. Bahkan
banjir terjadi dua kali, pada Februari dan Maret. Banjir pada 5-7 Februari terjadi
di 43 titik di Kota Semarang. Banjir di Kecamatan Genuk bahkan berlangsung
sampai 12 Februari. Banjir telah mengakibatkan sarana dan fasilitas umum
lumpuh. Jalan raya Pantura Jawa tidak dapat dilewati kendaraan. Banjir diper-
parah dengan pasang air laut. Ketinggian air di badan jalan mencapai hingga
1,4 meter. Banjir bertahan cukup lama karena hujan terus turun meskipun
dengan curah hujan yang kecil. Bandara Udara Internasional Ahmad Yani
berhenti beroperasi karena landasan pacu tergenang air.3 Perjalanan kereta
api dari stasiun Tawang dialihkan ke jalur selatan. Jalan raya Semarang-Kendal
sempat lumpuh karena ketinggian air akibat banjir mencapai selutut orang
dewasa.4
Daerah yang paling parah mengalami banjir adalah Kelurahan Trimulyo.
Ketinggian air yang menggenangi permukiman penduduk di empat RW kelu-
rahan Trimulyo mencapai setengah hingga satu setengah meter.5 Banjir pada
2021 telah membuat 120 warga di Kelurahan Trimulyo mengungsi selama
lebih dari sepekan.6 Bagi warga yang tidak mengungsi, mereka bertahan di
rumah sembari mengandalkan bantuan logistik dari luar. Seorang warga Kelu-
rahan Trimulyo, Babon3,7 menceritakan pengalamanya selama banjir 2021.
Pada waktu itu, ia tidak ikut mengungsi meski banjir menggenangi gang di
depan rumahnya setinggi satu meter lebih (pada waktu wawancara, narasum-
ber menunjuk ke arah dada untuk memperkirakan ukuran ketinggian air pada
saat itu). Banjir menggenangi perkampungannya selama hampir satu minggu.
Banjir baru benar-benar kering setelah hampir sebulan. Selama banjir, Babon3
_____
1 Kompas, 8 Februari 2014, “Industri Dipenalti Karena Telat: Presiden Perintahkan TNI Sege-
ra Perbaiki Jalan Pantura”.
2 https://jateng.tribunnews.com/2017/01/26/kali-babon-luber-aktifitas-warga-trimulya-
genuk-terganggu [diakses pada 28 September 2021].
3 Kompas, Senin 2 Februari 2021, “Pantura Semarang Lumpuh”.
4 Jawa Pos, Minggu 1 Februari 2021, “Jalur Pantura Lumpuh, KA dialihkan Lewat Yogya”.
5 Jawa Pos, Senin 8 Februari 2021, “Banjir Genuk dan Tlogosari Terparah”.
6 https://regional.kompas.com/read/2021/02/13/21485711/banjir-sepekan-di-kota-
semarang-ratusan-warga-2-rw-di-trimulyo-masih [Diakses pada 28 September 2021].
7 Wawancara dilakukan pada 19 September 2021.
129
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Wawancara dilakukan pada 19 September 2021.
130
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
berjumlah 6 orang. Suami Babon4 menunggu proyek tanggul laut yang dia
bayangkan atau harapkan akan menaikkan harga tambaknya tersebut sehing-
ga nilai ganti rugi dianggap mencukupi untuk dibagi kepada seluruh anggota
keluarga. Hingga Oktober 2021, tambak masih belum terjual dan sudah tidak
ada lagi orang yang menawar tambak tersebut.
Pada saat kami bercakap-cakap, tetangga Babon4 ikut gabung dan men-
ceritakan pengalamannya selama banjir. Tetangga Babon4 ini dulunya warga
Kelurahan Sido Gemah, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Rumahnya
terkena proyek Tol-Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) dan mendapat
ganti rugi sebesar Rp600 juta. Sebagian dari uang tersebut ia gunakan untuk
membeli rumah di Desa Trimulyo seharga Rp250 juta. Banjir 2021 membuat-
nya menyesal membeli rumah di Trimulyo. Tetangga Babon4 ini juga menyata-
kan kekecewaannya kepada Pemerintah Kota Semarang. Ia berencana menulis
surat kepada Wali Kota karena tidak mendapatkan bantuan sosial dari peme-
rintah. Ia mengklaim dirinya orang yang paling miskin di desa dan merasa
kebijakan bantuan sosial yang sedang berjalan tidak adil karena orang yang
seharusnya tidak dapat bantuan justru mendapat bantuan. Ia mencontohkan
seorang pensiunan pegawai negeri yang tetap mendapatkan bantuan sosial
sebesar Rp600 ribu/bulan. Bahkan ia bertekad untuk kritis kepada wali kota
jika tuntutannya tidak terpenuhi. Ia bahkan siap dipenjara, meski tidak jelas
(bagi penulis) mengapa kira-kira ia berfikir bahwa ia akan dipenjara.
Bagi warga Trimulyo, banjir telah banyak mengubah kondisi sosial dan
ekonomi setempat. Kekayaan berupa tambak sudah tidak lagi dapat diandal-
kan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sawah sudah tidak ada lagi. Babon2
harus berpindah dari satu kota ke kota lain sebagai buruh bangunan setelah
pabrik kulit tempat ia bekerja bangkrut dan tambaknya sudah menjadi laut.1
Babon1 saat ini membuka bengkel las di depan rumahnya. Ia mengerjakan
sendiri pesanan pelanggannya dan terkadang dibantu oleh seorang pekerja.
Babon4, di masa tuanya harus bangun dini hari untuk mempersiapkan barang
dagangannya.
V.6 Pencemaran limbah dan sedimentasi di DAS Babon: Hulu dan hilir
bertemu
Konversi lahan di hulu DAS tidak hanya merugikan masyarakat di hilir DAS
dalam bentuk munculnya banjir, tetapi juga secara tidak langsung menimbul-
kan kerugian bagi para petambak di hilir DAS Babon sebagai sumber bibit ikan
_____
1 Bosman Batubara, Henny Warsilah, Ivan Wagner, Syukron Salam, 2020, Maleh Dadi
Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak (Yogyakarta: Lintar Nalar).
131
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
dan udang. Perubahan tata guna lahan di hulu DAS Babon telah menyebabkan
erosi tanah yang menimbulkan sedimentasi Kali Babon. Perubahan kawasan
dari area vegetasi menjadi kawasan terbangun diawali dengan pembukaan
lahan. Keadaan ini akan mempermudah air membawa material tanah dari
pembukaan lahan dan membawa material tanah memenuhi badan sungai.
Akibatnya, sungai menjadi dangkal dan tanggul penahan air sungai tidak dapat
menampung debit air sehingga air melimpas ke tambak-tambak warga di
muara Kali Babon. Di samping itu, air sungai yang tercemar oleh limbah pabrik
di area DAS Babon mengakibatkan matinya ikan dan udang yang dibudidaya-
kan di tambak warga.
Beberapa studi menunjukkan tingkat potensi sedimentasi DAS Babon.
Perkiraan Departemen Kehutanan (Dephut) pada 1991 menyebutkan sedi-
mentasi Kali Babon banyak disumbang oleh material dari Sub-DAS Pengkol
sebesar 265 ton/ha/thn dan Sub-DAS Gung sekitar 630 ton/ha/thn. Masalah
utama sedimentasi Kali Babon adalah meningkatnya kawasan hunian di Sub-
DAS. Banyak tegalan yang telah beralih fungsi menjadi lahan terbangun untuk
kawasan pemukiman.1 Studi sedimentasi yang dilakukan oleh Setyawan dkk.
(2019) menyebutkan perkiraan sedimentasi Kali Babon sebesar 36,1
ton/ha/thn.2 Studi Setyawan dkk. (2019) ini hanya mengukur sedimentasi
dengan luasan DAS 16.000 ha, sementara secara total luas DAS Babon sebesar
17.721 ha. Perkiraan Dephut cukup masuk akal mengingat pada 1989, BSJM
mulai membuka lahan dan pada 1991 membangun 1.000 rumah.3 Pembukaan
lahan mempermudah air hujan membawa partikel-partikel halus tanah meng-
gelinding bersamaan dengan air larian. Sebagian partikel ini akan tertinggal di
atas tanah dan sebagian yang lain masuk ke sungai.
DAS Babon, sebagai ruang sosioalamiah, sejauh ini telah menjadi arena
persaingan antara entitas-entitas yang berada di sekelilingnya. Pemanfaatan
DAS oleh entitas-entitas yang ada cenderung merugikan petani tambak di
muara DAS. Sementara pemerintah sebagai pengawas sungai tidak selalu
konsisten dalam menjaga kelestarian lingkungan. 4 Maka ruang politik dan
_____
1 Sudibyakto, Tikidal Yunianto, Andri Kurniawan, Bambang Agus Suripti (2003) Penyusunan
Profil Lingkungan Daerah Aliran Sungai Babon, Propinsi Jawa Tengah. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Fakultas Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Halaman: 78-87
2 Dimas Jalu Setyawan, Revangga Dhanda Pratama, Budi Santosa (2019) Kajian Potensi Erosi
Di Daerah Sungai Babon Menggunakan Permodelan GeoWEPP. Jurnal G-Smart 3(2): 98-
107
3 Suara Merdeka, 26 Januari 1990, “Rp100 Miliar Investasi di Kota Satelit Meteseh”.
4 Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Semarang Nomor 660.3/992/94
tentang Pengelolaan Sungai Babon telah mengatur penggunaan sumber air untuk
keperluan air minum, air baku untuk diolah menjadi air minum dan untuk keperluan rumah
tangga, keperluan perikanan dan peternakan, pemanfaatan usaha perkotaan dan industri
listrik tenaga air. Keputusan ini juga mengatur penggunaan air sungai di bendung
132
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
hukum menjadi arena bagi para pihak di dalam ekosistem DAS Babon untuk
mengajukan kepentingan mereka masing-masing. Ekosistem di sini tidak
sekedar dalam pengertian entitas ekologis alam, akan tetapi juga dimaknai
sebagai kekuatan-kekuatan sosial ekonomi yang ada di lingkungan DAS Babon.
Secara khusus, entitas yang berada di muara DAS Babon.
Selama ini, aliran Sungai Babon telah dimanfaatkan sebagai sumber air
baku untuk kebutuhan pertanian, industri, air minum, dan kebutuhan rumah
tangga. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang menjadikan
Sungai Babon sebagai salah satu sumber air permukaan untuk melayani para
pelanggannya, selain Kali Garang dan Kalong Klambu. Kali Babon juga telah
menjadi tempat pembuangan limbah bagi industri-industri yang ada di
sekitarnya maupun tempat pembuangan limbah domestik.1
Ada beberapa kekuatan-kekuatan ekonomi utama yang bersaing dalam
memperebutkan DAS Babon, yaitu petani tambak dan industri di pinggiran Kali
Babon di bagian hilir, dan perusahaan pengembang perumahan di kawasan
hulu DAS. Kekuatan-kekuatan ini merupakan bagian dari ekosistem sosial-
ekonomi DAS Babon. Mereka memanfaatkan DAS Babon untuk kelangsungan
hidup mereka. Tambak-tambak petani berada di kawasan muara Kali Babon,
sementara industri terletak di sisi yang lebih jauh dari muara, akan tetapi ia
berada di pinggir sungai dan pinggir anak sungai yang mengalirkan airnya ke
Sungai Babon. Sedangkan pengembang perumahan berada di hulu DAS
Babon. Petambak menjadi kekuatan yang tersingkirkan oleh dua kekuatan
yang lain, karena industri mengalirkan limbah yang tidak diolah ke sungai dan
perusahaan pengembang perumahan di hulu DAS ikut menyumbang
sedimentasi Kali Babon.
Jauh sebelum kekuatan industri dan perusahaan pengembang hadir
dalam ekosistem DAS Babon, petani tambak telah memanfaatkan aliran Kali
Babon sebagai sumber bibit udang dan ikan. Aliran Kali Babon, yang bermura
di Laut Jawa, selain membawa material lumpur ke tambak warga, juga mem-
bawa bibit udang ratusan ribu ekor. Terkadang ikan siap makan juga terbawa
ke tambak-tambak warga. Menurut salah satu petani tambak bernama Aman,
ia dan rekan-rekannya ”tidak perlu memberi pakan. Udang itu bisa hidup dan
_____
Karangroto Kecamatan Genuk untuk perikanan dan peternakan. Di sepanjang aliran
Bendung Karangroto hingga muara sungai, telah berdiri beberapa industri yang
memanfaatkan aliran sungai untuk membuang limbah yang tidak diolah.
1 Ina Cahyaningtyas, Sahala Hutabarat, dan Prijadi Soedarsono (2013) Studi Analisa Plankton
Untuk Menentukan Tingkat Pencemaran Di Muara Sungai Babon Semarang. Management
of Aquatic Resources Journal (MAQUARES) 2(3): 74-84. Para peneliti mendasarkan
studinya pada pengamatan Saprobik Indeks dan Tropik Saprobik Indeks untuk mengetahui
tingkat pencemaran sungai. Kelimpahan plankton yang ada di Sungai Babon menunjukkan
bahwa muara Sungai Babon dalam kondisi tercemar sedang dan berat.
133
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Sejenis alat untuk menangkap ikan yang dibuat dari anyaman bambu.
2 Kompas, 13 Juli 1995, “Hancurnya Sumber Hidup Petani Tambak di Demak”.
3 Kompas, 13 Juli 1995, “Hancurnya Sumber Hidup Petani Tambak di Demak”.
4 Eko Sulistyo (1998) Pengalaman Advokasi Masyarakat Korban Pencemaran Industri: Kasus
Kali Babon. Jurnal Analisis Sosial 7: 49-56.
5 Kompas, 13 Juli 1995, “Hancurnya Sumber Hidup Petani Tambak di Demak”.
6 Kompas, 15 Februari 1995, “Diduga Akibat Pencemaran, Ratusan Hektar Tambak Udang
Gagal Panen”.
134
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
mencapai 400 pg/l. Menurut Boyd (1989) kadar ini dapat mengakibatkan kema-
tian bagi sebagian besar ikan-ikan laut.1
Diduga kuat, pencemaran dilakukan oleh enam industri yang ada di seki-
tar Kali Babon. Mereka adalah PT Bintang Buana, PT Condro Purnomo Aji, PT
Puspita Abadi (tiga perusahaan ini merupakan industri penyamakan kulit), PT
Puskud Mina Buana (pembekuan udang), PT Rodeo (garmen), dan PT Sumber
Baru Semarang (perusahaan kertas).2
Warga korban pencemaran terus berupaya menuntut ganti rugi melalui
jalur-jalur formal. DPRD Kabupaten Demak merasa tidak mampu untuk meme-
nuhi tuntutan warga karena industri-industri yang diduga kuat menjadi
penyebab pencemaran berada di wilayah Kota Semarang, sehingga itu menjadi
kewenangan Pemerintah Kota Semarang. DPRD Jawa Tengah akhirnya meng-
ambil alih karena masalah ini sudah antar kabupaten dan kota.
Proses mediasi dilakukan oleh DPRD Jawa Tengah dengan mempertemu-
kan semua pihak dan dinas terkait. Beberapa pertemuan dilakukan untuk
mencari solusi atas persoalan ini. Proses dengar pendapat yang diselenggara-
kan oleh Komisi C DPRD Jawa Tengah, pada 13 Februari 1995, mempertemu-
kan perwakilan dari warga, pemerintah yang diwakili oleh Biro Lingkungan
Hidup (BLH) dan Dinas Perikanan Jawa Tengah, serta perwakilan dari pengusa-
ha. Pada pertemuan pertama, belum ada titik temu dari para pihak. Semua
pihak berpegang pada pandangan dan kepentingannya masing-masing. Dinas
Perikanan Jawa Tengah tidak berpihak kepada warga. Menurutnya, kematian
udang di tambak warga disebabkan oleh penyakit. Pengusaha sendiri dengan
tegas menolak klaim warga. Sedangkan warga berpegang pada hasil penelitian
BBAP Jepara yang menyebutkan pencemaran limbah industri telah menyebab-
kan matinya udang di tambak warga.3
Pertemuan kedua pada 21-23 Februari 1995 sedikit menghasilkan titik
temu. Pengusaha akhirnya mengakui bahwa kematian udang di tambak warga
_____
1 Arief Taslihan, Purwanah, dan Coco Kokarkin (1995) Hasil Kajian Terhadap Kasus Kematian
Crustacea di Perairan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Direktorat Jendral Perikanan-
Balai Budidaya Air Payau Jepara. Sebagai ilustrasi, tubuh manusia yang keracunan Cd dapat
menyebabkan rasa sakit dan panas pada dada. Kondisi ini dapat menyebabkan penyakit
paru-paru yang akut. Jika keracunan bersifat kronis, sistem fisiologi tubuh akan mengalami
kerusakan. Bagian tubuh manusia yang dirusak akibat keracunan Cd ini biasanya sistem
respirasi atau paru-paru, sistem sirkulasi darah dan jantung. Lihat: Putri Sihol M Lubis, Evi
Naria, Risal Hasan (2015) Analisis Kandungan Cadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Formaldehid
pada Beberapa Ikan Segar di Kub (Kelompok Usaha Bersama) Belawan, Kecamatan Medan
Belawan Tahun 2015. Lingkungan dan Keselamatan Kerja 4(1): 150-158
2 Kompas, 13 Juli 1995, “Tali Asih” Bagi Petani Bukan Penyelesaian”.
3 Untuk kronologi proses mediasi lihat: Eko Sulistyo, “Pengalaman Advokasi Masyarakat
Korban Pencemaran Industri: Kasus Kali Babon.” Lihat juga Putusan Pengadilan Negeri
Semarang Nomor 42/PDT.G/1998/PN.Smg (sumber data putusan diperoleh dari LBH
Semarang)
135
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Kompas, 10 Juli 1995, “Petani Tolak “Tali Asih” Rp. 15 Juta”.
2 Kompas, 10 Juli 1995, “Petani Tolak “Tali Asih” Rp15 Juta”.
3 Kompas, 13 Juli 1994, “Tali Asih” bagi petani bukan Penyelesaian”.
136
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Kompas, 13 Juli 1994, “Tali Asih” bagi petani bukan Penyelesaian”.
2 Kompas, 15 Februari 1995, “Diduga Akibat Pencemaran, Ratusan Hektar Tambak Udang
Gagal Panen”.
3 Herman Susetyo (1995) Peran Serta Perusahaan Dalam Program Kali Bersih (PROKASIH) Di
Kotamadya Dati II Semarang (Studi Lapangan Di Sungai Babon). Laporan Hasil Penelitian.
4 Eko Sulistyo (1998) Pengalaman Advokasi Masyarakat Korban Pencemaran Industri: Kasus
Kali Babon. Jurnal Analisis Sosial 7: 49-56. Pada halaman 52, Eko menyebutkan sebelum
ada pendampingan dari pihak luar (Lembaga Swadaya Masyarakat), masyarakat belum
137
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
138
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Lihat: Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 42/PDT.G/1998/PN.Smg
139
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Kompas, 10 Agustus 2000, “Korban Pencemaran ke Pengadilan Tinggi, Putusan Banding
Tidak Diberitahukan”.
2 David Nicholson (2009) Environmental Dispute Resolution in Indonesia. Leiden: Brill. Hala-
man: 271.
3 David Nicholson (2009) Environmental Dispute Resolution in Indonesia. Leiden: Brill. Hala-
man: 288
4 Kompas, 4 Desember 2007, “Pesisir: Trimulyo Kurang Baik untuk Budidaya Ikan.”
140
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
141
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
didikan yang layak. Bersamaan dengan hilangnya tambak dan sawah mereka,
perkampungan mereka saat ini juga harus dihadapkan pada ancaman banjir
rob yang datang setiap saat tak kenal waktu. Tanpa dapat disangkal siapapun,
penderitaan yang datang bertubi-tubi ini tak terpisahkan dari proses urbani-
sasi industrial.1
_____
1 Rekonfigurasi ruang di hilir DAS Babon akibat urbanisasi industrial sebenarnya tidak hanya
menyebabkan pencemaran di Kali Babon. Ada faktor-faktor lain yang disumbang oleh
urbanisasi industrial di kawasan ini. Pembebanan tanah dari pembangunan industri di
kawasan dan pengambilan air tanah secara berlebihan oleh pelaku industri di kawasan ini
juga berperan bagi penurunan tanah. Selain itu, reklamasi Pantai Marina di pesisir Kota
Semarang dan pengerukan berkala pelabuhan Tanjung Emas Semarang juga turut
berperan dalam penurunan tanah di Kota Semarang. Semua faktor-faktor ini telah
menyebabkan banjir rob di kawasan ini. Wilayah yang terdampak parah dari banjir rob
berada di kawasan pesisir Semarang-Demak. Untuk informasi lebih lanjut terkait hal ini,
lihat: Batubara B, Warsilah H, Wagner I, and Salam S (2020), Maleh Dadi Segoro: Krisis
Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak. Yogyakarta: Penerbit Nalar.
142
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Kabupaten Semarang dan Demak. Pada 1991, ‘Central Java River Improvement
and Maintenance Project’ mengerjakan perbaikan tanggul dan sedimentasi
sungai untuk meningkatkan kapasitas aliran air yang masuk ke BKT dan Kali
Babon. Proyek ini masih belum bisa mengendalikan banjir dari DAS Dolok-
Penggaron. Banjir telah menimbulkan kerugian yang besar karena bagian
timur Kota Semarang telah berkembang menjadi kawasan industri dan pemu-
kiman.1 Karena alasan kerugian ini, pemerintah pada 2000, mengonsep ulang
pembagian banjir di Bendung Pucang Gading dengan mengurangi aliran air
yang masuk ke BKT. Proyek ini bernama “Indonesia-Semarang Flood Control”.2
Pembiayaan proyek berasal dari Bank Dunia sebesar 75 juta Dolar AS. Proyek
ini bertujuan untuk membangun saluran kanal banjir Dombo-Sayung agar
dapat mengurangi aliran air ke BKT sehingga dapat mengurangi kerugian yang
ditimbulkan akibat banjir di kawasan timur Semarang.
Pada 2009, BBWS Pamali-Juana menyusun studi tentang Sistem Sungai
Dolok-Penggaron.3 Studi ini menyebutkan bahwa kanal banjir Dombo-Sayung
belum dapat difungsikan karena belum ada bangunan pengatur banjir. Selain
itu, studi ini juga menyebut meningkatnya aliran banjir Kali Penggaron (hulu
Kali Babon) akibat perubahan tata guna lahan di DAS hulu dan tengah. Terkait
dengan pembagian kanal-kanal banjir yang terletak di Bendung Pucang
Gading, studi ini juga menyebutkan bahwa pembagian banjir di Bendung
Pucang Gading tidak benar-benar dapat dipastikan karena tingkat elevasi dan
bangunan dari masing-masing kanal sungai. Sistem pengatur banjir di
Bendung Pucang Gading terdiri dari tiga bangunan, yaitu Bendung Pucang
Gading yang mengarah ke Kali Babon, bangunan pintu air BKT, dan sistem
pengatur banjir (Bendung Gergaji) Dombo Sayung. Hanya pintu air BKT yang
memiliki sistem pengaturan debit. Sedangkan dua bangunan lain berupa
ambang bebas, artinya tinggi air di bendung sama dengan tinggi air di sungai
karena tidak adanya pintu air yang mengatur debit air.
Tingkat elevasi di Bendung Pucang Gading juga berpengaruh terhadap
debit air yang masuk ke kanal-kanal sungai. Jika salah satu kanal dimaksimal-
kan, debit air yang masuk ke dua kanal lainnya tidak benar-benar bisa sesuai
dengan rencana. Jika debit aliran air ke kanal Dombo-Sayung dimaksimalkan
sesuai dengan debit rencana sebesar 210 m3/detik, maka debit air yang masuk
_____
1 Buletin Pengawasan Nomor 47 dan 48, 2004, “Upaya Mengatasi Banjir di Kota Semarang,
diambil dari http://www.ampl.or.id/digilib/read/upaya-mengatasi-banjir-di-kota-semara
ng/20664 [akses pada 27 September 2021].
2 Indonesia - Semarang Flood Control Project (English). Washington, D.C.: World Bank
Group. http://documents.worldbank.org/curated/en/598721468771655306/Indonesia-
Semarang-Flood-Control-Project (diakses pada 9 Oktober 2021)
3 BBWS Pemali-Juana (2009), Desain Sistem Dolok-Penggaron (Banjir Kanal Timur-Dombo
Sayung),
143
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
ke Kali Babon sebesar 410 m3/detik, sehingga Kali Babon akan kelebihan debit
sebesar 164 m3/detik dari yang direncanakan sebesar 246 m3/detik. Begitupun
sebaliknya, jika debit di Kali Babon dimaksimalkan sebesar 246 m3/detik, maka
debit air ke kanal Dombo-Sayung meningkat menjadi 310 m3/detik, kelebihan
100 m3/detik. Dokumen proyek juga menyebutkan kondisi ini “harus dicarikan
solusi pengalirannya.”1
Terlepas dari masalah teknis pengendalian debit aliran ke kanal-kanal
sungai-sungai Dolok-Penggaron, meski Proyek Pengendalian Banjir pada 2000
telah selesai, banjir tetap terjadi. Pada 2002, Kali Babon tidak mampu menam-
pung air hujan yang turun. Akibatnya, Kelurahan Penggaron Lor, Penggaron
Kidul, Kudu, dan Genuk-Sayung dilanda banjir.2 Banjir ini merupakan banjir
kedua dalam kurun waktu 4 (empat) bulan terakhir setelah pada Januari banjir
melanda kawasan-kawasan tersebut. Banjir pada April lebih besar dari banjir
Januari 2002. Warga menganggap banjir terjadi karena sedimentasi sungai.
Beberapa pulau kecil yang muncul di tengah sungai menyebabkan Sungai
Babon tidak dapat menampung air secara maksimal.3 Sedimentasi memang
mengganggu kapasitas sungai menampung debit air. Ini diperparah oleh
sistem pengendalian banjir yang belum dapat mengontrol aliran ke Kali Babon.
Kombinasi keduanya berpengaruh terhadap banjir pada 2002 ini.
Sistem pengendalian banjir di kawasan hilir DAS Babon, khususnya wi-
layah Semarang bagian timur, dilakukan dengan menggunakan sistem polder
dan dam lepas pantai. Sistem ini diharapkan dapat mengatasi limpasan air laut
dan menutup aliran air laut ke daratan. Sistem polder mengandalkan tanggul
yang tinggi dan pompa air untuk mengendalikan luapan air di daratan. Tang-
gul-tanggul dibangun mengelilingi garis pantai, memisahkan laut dan daratan.
Rumah-rumah pompa dibangun dengan dilengkapi mesin-mesin pompa besar
yang akan menyedot air dari darat ke laut. Pembangunan kolam retensi juga
diperlukan untuk menampung banjir untuk sementara sebelum dialirkan ke
sungai. Secara keseluruhan, sistem polder di kawasan pantai Kota Semarang
akan dilakukan dengan membangun 12 polder, tujuh kolam retensi, sembilan
stasiun pompa, dan dua bendung. Normalisasi Kali Babon juga menjadi agen-
da pengendalian banjir dan pembuatan embung. 4
Ada dua jilid pekerjaan konstruksi Proyek Pengendalian Banjir dan Rob
Semarang-Demak. Masing-masing jilid terdiri dari dua paket pekerjaan yang
dibiayai oleh Pemerintah Pusat melalui anggaran dari Kementerian Pekerjaan
Umum. Dua paket pertama Jilid I dimulai pada 2016 dengan biaya sekitar
_____
1 BBWS Pemali-Juana (2009), halaman. 62.
2 Wawasan, 3 April 2002, “Sungai Babon Meluap Lagi”.
3 Wawasan, 3 April 2002, “Sungai Babon Meluap Lagi”.
4 Suara Merdeka, Selasa 21 Februari 2017, “12 Polder Segera Dibangun”.
144
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Rp227 milyar.1 Dua paket pekerjaan Jilid II selanjutnya dilakukan pada 2021
dengan nilai proyek sekitar sebesar Rp206 milyar.2
Paket pekerjaan I meliputi pekerjaan pembuatan kolam retensi Banjar-
dowo dengan kapasitas 30 ribu m3, normalisasi serta perbaikan parapet Kali
Sringin, dan pembangunan pintu muara dan polder Kali Sringin dengan tang-
gul dari Kali Tenggang ke Sringin. Paket II Jilid I meliputi pekerjaan pembangu-
nan tanggul rob sepanjang 2,17 km dari kampus Universitas Islam Sultan
Agung (Unissula) hingga ke KIT-Kali Sringin. Pekerjaan Paket II juga memba-
ngun kolam retensi di Kawasan Rusunawa Kaligawe dengan kapasitas tam-
pung 66 ribu m3, pembangunan pintu muara dan polder Kali Tenggang, serta
perbaikan parapet Kali Tenggang. Masing-masing polder dilengkapi dengan
rumah pompa yang dapat menyedot air untuk dibuang ke laut. Polder Kali
Tenggang memiliki pompa berkapasitas 6x2.000 m 3/detik. Sedangkan rumah
pompa Sringin dilengkapi dengan pompa dengan kapasitas 5x2.000 m 3/detik.3
Paket Pekerjaan Pengendalian Banjir Dan Rob Semarang-Demak Jilid II
dimulai pada 2021.4 Pekerjaan terdiri dari dua paket yang lokasinya berada di
wilayah Kabupaten Demak dan Kota Semarang. Sayangnya, dua paket pekerja-
an ini salah satunya dibatalkan karena adanya refocusing anggaran akibat
pandemi COVID-19. Paket pekerjaan pembangunan tanggul di Desa Sriwulan
Demak dibatalkan karena sudah ada proyek TTLSD. Sedangkan untuk paket
pekerjaan pembangunan drainase tanggul Kali Babon dan Sungai Sayung
masih tetap jalan.5 Pembangunan TTLSD rencananya akan dilengkapi dengan
pembangunan kolam retensi yang dapat menampung air sebelum dipompa ke
laut. Jadi, dalam kasus TTLSD, tol sekaligus akan menjadi tanggul yang mengita-
ri wilayah pesisir Kecamatan Genuk dan dua desa di Kecamatan Sayung.6
Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimoeljono, berharap setelah Pro-
yek Pengendalian Banjir dan Rob Semarang-Demak Jilid I selesai, proyek ini
dapat mengatasi banjir rob di jalan nasional yang selama ini “tidak pernah
_____
1 https://lpse.pu.go.id/eproc4/evaluasi/70695064/pemenang [diakses pada 4 Oktober
2021].
2 https://lpse.pu.go.id/eproc4/evaluasi/70696064/pemenangberkontrak [diakses pada 4
Oktober 2021].
3 Sumber: https://www.suara.com/bisnis/2019/02/25/054028/pompa-di-sungai-sringin-
dan-tenggang-minimalisir-banjir-rob-di-semarang?page=all [diakses pada 6 Agustus
2021].
4 https://sda.pu.go.id/balai/bbwspemalijuana/pages/posts/penandatanganan-paket-
pekerjaan-pengendalian-banjir-dan-rob-semarang-demak-paket-i-dan-paket-ii [diakses
pada 6 agustus 2021].
5 Lihat: https://radarsemarang.jawapos.com/berita/jateng/demak/2021/07/20/proyek-
pengendali-banjir-rob-di-sriwulan-batal/ [diakses pada 6 Agustus 2021].
6 Untuk lebih jelasnya, lihat: Batubara B, Warsilah H, Wagner I, and Salam S (2020) Maleh
Dadi Segoro, Krisis Sosial-Ekologis di Kawasan Pesisir Semarang Demak. Yogyakarta:
Penerbit Nalar.
145
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
kering dan sering rusak karena tergenang air dan dilalui beban”. 1 Harapan
Basuki ini ia sampaikan pada 2017, setelah meninjau pembangunan tanggul
laut di kampus Unissula.
Sedangkan pada 2018, Hendrar Prihadi, Walikota Semarang (2013-seka-
rang) yakin mampu menghilangkan mitos “Semarang Kaline Banjir” pada akhir
2020 mendatang.2 Optimisme Hendrar Prihadi muncul karena pada 2020,
Proyek Pengendalian Banjir dan Rob Semarang-Demak Jilid I akan selesai dan
dilanjutkan dengan Jilid II. Optimisme ini ia ungkapkan:
_____
1 https://jateng.tribunnews.com/2017/06/16/video-menteri-basuki-tinjau-pembangunan-
polder-di-unissula-atasi-banjir-rob [diakses pada 6 Agustus 2021].
2 Aparat Pemerintah seringkali optimis bahwa Semarang akan segera bebas banjir setelah
proyek pengendalian banjir selesai. Pada 1995, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota
Semarang, Ir. Murti Wibowo, mengatakan bahwa Semarang akan bebas banjir. Optimisme
ini muncul karena beberapa pekerjaan pengendalian banjir sedang berjalan seperti
pembersihan gorong-gorong, normalisasi sungai dan perbaikan tanggul (Suara Merdeka,
29 Februari 1995, “Kepala DPU Kodya Optimistis Semarang Bisa Bebas Banjir”). Optimisme
juga pernah disampaikan Manajer Program Perbaikan Pembuangan Air DPU pada 1990. Ia
mengatakan bahwa “Semarang sekarang aman dari banjir” karena itu limpahan air dari
Semarang Atas akan disalurkan melalui sungai kecil, Kali Babon, menuju Demak (lihat:
George Junus Aditjondro (2003) Korban-korban Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Halaman 326). Akan tetapi, optimisme-optimisme ini selalu dijawab dengan
kenyataan yang berbeda.
3 Tribun Jateng, Sabtu, 15 September 2018, “Walikota Optimis 2020 Bisa Akhiri Banjir”.
4 Tribun Jateng, 21 Januari 2021, “Rianung Sebut Pemkot Kerja Ekstra”.
5 Tribun Jateng, 21 Januar 2021, “Genangan Tiap Musim Hujan”.
146
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
147
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Kompas, 25 Februari 2003, “Perencanaan Tidak Jelas, Wajah Kota Semarang “Bubrah”,
Kebijakan Pemkot Berorientasi pada Proyek”.
2 Kompas, 2 Mei 2005, “Pembangunan Semarang untuk Siapa?”.
148
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
sasi industrial yang dihasilkan dari pengetahuan borjuis yang meyakini par-
tumbuhan ekonomi sebagai jalan pembangunan dan industrialisasi melalui
pembangunan kawasan-kawasan industri sebagai manifestasi sosiospasial-
nya. Sejauh ini, mendorong investasi di Kota Semarang untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi justru menghasilkan krisis perkotaan berupa banjir,
khususnya banjir sungai yang terjadi di kawasan hilir DAS Babon.
V.8. Kesimpulan
149
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Citra Grand Semarang, mendapat keuntungan Rp23,9 miliar pada tahun 2018.
Angka ini menurun pada masa pandemi 2020 menjadi Rp1,9 miliar.
Perubahan kawasan resapan menjadi kawasan hunian telah mengakibat-
kan berkurangnya fungsi Kecamatan Tembalang sebagai kawasan resapan
dalam siklus hidrologi DAS Babon. Padahal, kawasan resapan memiliki peran
penting dalam siklus hidrologi untuk mengurangi debit air larian. Akibatnya,
air hujan yang turun tidak dapat diserap secara maksimal sehingga meng-
akibatkan banjir di DAS hilir Kali Babon.
Rekonfigurasi ruang juga terjadi di DAS hilir Kali Babon karena pemba-
ngunan kawasan industri. Bagi warga kampung Trimulyo, era 1980-an menjadi
masa di mana mereka dapat hidup tanpa terganggu ancaman banjir. Kampung
mereka memiliki benteng alami berupa sawah dan tambak yang menjadi
tempat bagi limpasan air Kali Babon. Struktur ruang pada masa itu berupa laut-
tambak-sawah-pemukiman. Semenjak dibangunnya KIT dengan cara meng-
uruk sawah dan tambak di sisi barat, kampung mereka laksana mangkuk yang
siap menerima limpasan air dari Kali Babon di sisi timur dan KIT di sisi barat.
Rekonfigurasi ruang di DAS hulu dan hilir Kali Babon telah menciptakan
momen sosioalamiah berupa banjir. Momen sosioalamiah dalam sistem
kapitalisme terjadi dalam perubahan kawasan resapan menjadi area terba-
ngun. Dalam sistem ini, ada pihak yang diuntungkan karena perolehan keuntu-
ngan dari pengubahan kawasan resapan menjadi perumahan. Di sisi lain,
momen sosioalamiah ini telah menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat
di DAS hilir Kali Babon. Banjir telah membuat mereka hidup dalam kecemasan
setiap turun hujan. Kerugian yang ditimbulkan oleh bajir harus ditanggung
oleh mereka sendiri, tanpa ada tanggung jawab dari kekuatan sosial yang
mengubah hulu DAS Kali Babon. Seolah-olah banjir merupakan momen alami-
ah tanpa ada kekuatan-kekautan sosial yang menciptakannya. Momen sosio-
alamiah yang lain akibat pembukaan kawasan resapan menjadi kawasan
terbangun dan pembangunan KIT adalah pencemaran. Pembukaan kawasan
di DAS hulu telah menyebabkan sedimentasi sungai yang berakibat pada
penurunan kapasitas daya tampung sungai. Sedangkan industri telah mem-
buang limbah beracun ke Kali Babon. Akibatnya, petani tambak di Bedono,
Sayung, Demak mengalami gagal panen. Sebelum ada pencemaran ini, Desa
Bedono dikenal dengan desa haji karena penduduknya banyak yang berangkat
haji dari budidaya ikan dan udang di tambak. Sekarang, mereka harus bekerja
menjadi buruh di pabrik-pabrik yang ada di pinggir Kota Semarang dan bekerja
di sektor informal.
Sejauh ini, pendekatan Pemerintah dalam mengatasi banjir di Kota
Semarang masih mengandalkan rekayasa teknis dengan mengabaikan masa-
lah struktural yang telah dibahas di atas. Terbukti, proyek-proyek pengendali-
an banjir tidak mampu membendung limpahan air yang berasal dari kawasan
150
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
151
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
152
BAB VI
Banjir DAS Karanganyar karena
kombinasi polusi dan reklamasi
VI.1. Deskripsi
153
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
100
DAS Karanganyar
80 ~ Air -0-Area terbangun ~ Vegetasi
60
~
40
20
0
1973 1983 1993 2003 2013
Tahun
154
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
2013 2020
Air: 17, 1% Air: 8,1%
Area terbangun: 74,4% Area terbangun: 90,3%
Vegetasi: 8,5% Vegeta si: 1,6 %
Cl2.75.5 11 16.5 22
■ ■ Kilometers mnn
i11uu
Sumber data:
1) Peta Digital Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wilayah didapat dari: https://tanahair.indonesia.go.id.
2) Crtra Satelite LANDSAT 1-5 MSS (1973); LANDSAT 4-5 TM (1989 dan 1999) dan LANDSAT OLI 8 (2013 dan 2020)
Proses utama yang mengarahkan urbanisasi di area pesisir Semarang Barat ini
adalah pembangunan pabrik yang memakan 45% wilayah Kecamatan Tugu.
Salah satunya adalah di Kali Tapak (Gambar VI.3).
155
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VI.3: Papan nama Sungai Tapak yang terletak dekat rel kereta api sebelum
memasuki Kampung Tapak. Gambar diambil pada 9 September 2021.
Kali Tapak menjadi bagian dari sub wilayah Tugu bagian timur, bersama Kali
Tambakharjo, Jumbleng, dan Tugurejo. Luas Sub-DAS Kali Tapak sendiri men-
capai 2,80 km² dengan panjang saluran 3700 meter. 1 Kali Tapak merupakan
satu di antara beberapa sungai di Kecamatan Tugu yang hanya mengalir pada
musim hujan. Alirannya berasal dari Taman Lele dan Beji dan bermuara ke
Laut Jawa bagian utara (Lokasi Dukuh Tapak, tempat-tempat lain yang disebut-
kan dalam tulisan ini, dan DAS Karanganyar dapat dilihat dalam Gambar VI.4).
_____
1 PT. Tera Buana Manggala Jaya (2017) Laporan Akhir Penyusunan Dokumen Master Plan
Drainase Kota Semarang. H. 55. Namun, ada data berbeda yang penulis temukan di lapa-
ngan, di mana papan nama Kali Tapak menunjukkan data panjang sungai adalah 3.050 km
dan luasnya 474 ha/4,74 km². Perbedaan ini bisa dipahami. Salah satu kemungkinan
penyebab perbedaan ini adalah perbedaan data dalam menghitung panjang sungai dan
luas DAS, seperti yang dipaparkan dalam Bab III buku ini, bagian metodologi.
156
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
0,5 1 km
Skala 1:35.000
Keterangan
e Lokasl
=>SUngai
DAS Karanganyar
Peta Dasar: Google Satellite
mnl'I
MALEH OADI SEGORO
IIIUU
Dukuh Tapak terletak tepat di sisi kanan Jalan Pantura Semarang-Kendal. Pada
sisi kiri gapura Jalan Tapak Raya terlihat bangunan pos ormas Pemuda
Pancasila. Memasuki Jalan Tapak Raya terdapat bangunan-bangunan pabrik
memenuhi sisi kiri dan kanan jalan. Ada juga kantor Koramil Kecamatan Tugu
di kiri jalan tersebut. Tanda memasuki Kampung Tapak RW 4 Kelurahan
Tugurejo ialah gapura dengan jalan rel kereta api yang memanjang dari arah
timur dan barat. Sebelah kiri memanjang Sungai Tapak menuju utara. Di ping-
giran Sungai Tapak tepat sebelum rel kereta api terpampang sebuah papan
nama sungai beserta informasi panjang sungai dan luas area tangkapan. Kam-
pung ini terdiri dari enam RT yang berurutan sampai mentok ke area tambak.
Di area Dukuh Tapak ini, terjadi perubahan sosioalamiah berupa banjir dan
perubahan warna air sungai dari jernih menjadi hitam pekat disebabkan oleh
limbah pabrik yang membuat sungai di area ini tercemar, dan perubahan
sosiospasial berupa: (1) penyodetan sungai oleh perusahaan; dan (2) reklamasi
pesisir untuk perluasan kawasan industri.
157
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. Terutama pada halaman 76 [babak 1 pencemaran
di riset ini akan banyak mengutip laporan penelitian Aditjondro].
2 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang. H. 60
3 Menurut salah satu sumber, orang Tionghoa menggunakan kata itu untuk memanggil suku
bangsa mereka sendiri secara keseluruhan. Tidak hanya di Indonesia melainkan juga di
komunitas Tionghoa di luar Tiongkok, terutama mereka yang berasal dari Provinsi
Fujian dan Guangdong. Lihat: https://id.quora.com/Mengapa-etnis-Tionghoa-menyebut-
dirinya-Tenglang [diakses pada 24 September 2021].
4 Frederik A, 7 April 2017, “Politik Lingkungan: Mempertegas Kebijakan Politik dalam
Mengatasi Lingkungan”, URL: https://adolfusfrederik.blogspot.com/2017/04/politik-
lingkungan-mempertegas.html [Diakses pada 23 Juli 2021].
5 Wikipedia, URL: https://id.wikipedia.org/wiki/The_Coca-Cola_Company [Diakses pada 20
Juli 2021].
6 Tempo, 24 Maret 1979, “Dari Mitsubishi Dengan Polusi”.
158
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Pencemaran Kali Tapak oleh limbah industri terjadi sejak awal perusaha-
an kimia tersebut beroperasi yaitu pada akhir 1976. Saat itu istilah pencemar-
an belum begitu dikenal warga. Warga mengekspresikannya dengan menye-
butkan adanya perubahan aroma di air sungai mereka menjadi berbau tai
kucing.
“Tidak tahu persis ada pencemaran atau tidak. Itu istilah orang-
orang yang mengerti di dalam lingkungan universitas-universitas
itu… Kalo masyara-kat di sana tahu, kok ini bau busuk seperti tai
kucing?” kata Kusmanto, warga dan aktivis Tapak kala diwawancarai
oleh Jiway Francis Tung (2000: 36).
_____
1 Jiway Francis Tung (2000) Pembangunan yang Tidak Membangun: Kisah LSM tentang
Dampak Industrialisasi di Dukuh Tapak (Tesis). Universitas Indonesia Depok. H. 37.
2 Ada pembagian kelas untuk tambak-tambak di Dukuh Tapak. Kelas I adalah tambak yang
berbatasan langsung dengan laut hingga 1 km dari muara sungai. Tambak ini dinilai paling
subur di mana setiap musim dapat menghasilkan 3 kwintal bandeng, panen ikan rucah tiap
tiga bulan dengan penghasilan hingga Rp30.000, dan 4-5 kg udang tiap hari. Tambak kelas
II terletak antara 1-2 km dari muara. Tambak ini butuh waktu yang lebih lama untuk
membesarkan nener (anak bandeng) yaitu sekitar 7 bulan. Ikan sulit dibesarkan di tambak
ini, sementara udang masih lumayan bisa dibesarkan. Tambak kelas III dan IV lebih mirip
kolam ikan biasa. Tidak ada bandeng dan udang, yang ada adalah ikan air tawar dan ikan
penghuni lumpur seperti lele (lihat: George Yunus Aditjondro (1979: 66).
3 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 69
4 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 69
159
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 70
2 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 65
3 Kamituwo merupakan jabatan dalam sistem administrasi pemerintahan tingkat desa di
dalam tradisi Jawa, sebelum berlakunya penyeragaman istilah pemerintahan desa.
Seorang kamituwo memimpin dan mengorganisasi wilayah bagian desa yang lebih kecil
(dukuh). Istilah yang setara menurut UU Pemerintahan Desa adalah Kepala Dusun atau
Kadus. Lihat: Kamituwo - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas [diakses pada 2
September 2021].
4 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 76
5 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 76
6 Tempo, Edisi 2 Mei 2011, “Warga Tapak Setelah Pencemaran”.
160
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 71
2 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 70
3 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 74
4 Tempo, 24 Maret 1979, “Dari Mitsubishi dengan Polusi”.
5 Tempo, 24 Maret 1979, “Dari Mitsubishi dengan Polusi”.
161
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Pertemuan kembali digelar. Kali ini tidak hanya Kamituwo, tapi juga Lurah
Tugurejo, Zainal Arifin, menemui Pemda Kotamadya Semarang yang diwakili
oleh Sekda, Dinas Kesehatan Kota (DKK), dan Bappeda, beserta beberapa
tokoh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hadir pula perwakilan SDC, J.
Seodardjo SH. Pertemuan yang diadakan pada 9 Agustus 1978 itu menghasil
kan tiga kesepakatan. Pertama, SDC harus bisa mengatasi polusi air buangan-
nya dalam waktu tiga bulan. Kedua, SDC harus menyediakan air minum bersih
untuk penduduk Dukuh Tapak selama polusi belum diatasi. Ketiga, SDC harus
membayar ganti rugi sebagaimana hitungan yang akan dibuat oleh suatu pani-
tia bentukan Camat Tugu. Sayang sekali ketiga tuntutan ini akhirnya tidak
dipenuhi oleh pihak SDC. 1
Tiga bulan setelah kesepakatan itu seharusnya SDC sudah bisa mengurus
limbahnya sehingga tidak mencemari Kali Tapak. Namun, kenyataannya,
empat orang warga yang membuka pintu air untuk mengairi tambaknya
terpaksa merugi lagi lantaran 300 ekor bibit bandeng dan udangnya mabuk
dan mengambang dengan perut kembung. Artinya, racun limbah SDC belum
berhenti. Untuk kesepakatan kedua, SDC hanya mengirim air minum dengan
mobil tangki selama satu bulan pertama. Bulan selanjutnya SDC hanya
menggali sumur di pinggiran dukuh, padahal warga maunya dibuatkan sumur
artesis. Hasilnya, sama saja dengan sumur warga kebanyakan, keruh dan
berbau anyir. Tentu saja sumur ini tidak berguna bagi warga. Tuntutan ketiga
lebih parah lagi. Dalam perhitungan panitia yang dibentuk oleh Camat Tugu,
kerugian yang dialami warga akibat polusi SDC sejak Februari 1977 hingga
November 1978 adalah sebanyak Rp119.823.000. Dari angka ini, Pemda
Kotamadya menawar jumlahnya menjadi Rp96 juta. Namun dengan tanpa
malu SDC hanya mau membayar sebanyak Rp5 juta saja.2
Guna mengatasi masalah polusinya, SDC berinisiatif mendatangkan aera-
tor bekas dari gudang induk perusahaannya di Jepang. Bagi SDC, mendatang-
kan aerator bekas ini adalah sekaligus sebagai usaha mencari untung secara
relatif. Karena logikanya, aerator bekas lebih murah dari aerator baru. Namun,
aturan Departemen Perdagangan yang melarang impor peralatan bekas
menghalangi niat cari untung SDC. Mereka terpaksa membeli aerator baru dari
Amerika Serikat. Aerator ini berfungsi untuk menguraikan bahan-bahan kimia
organis dengan menyalurkan zat asam (O2) ke dalam udara, sehingga
pembersihan air kotor dapat dilakukan. Alat ini seharusnya ada sejak awal
pabrik berdiri. Tapi pabrik memilih untuk tak mengindahkannya agar bisa
_____
1 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 71
2 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 72
162
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
mengurangi biaya alat-alat pencegah pencemaran. Alat yang dipesan SDC dari
Amerika Serikat baru akan tiba setelah enam bulan. Sementara itu, ganti rugi
yang diharapkan warga tidak mereka dapatkan. Padahal selain pengeluaran
untuk kehidupan sehari-hari, mereka juga masih punya tanggungan penge-
luaran kredit Bimbingan Massal (Bimas) yang harus dibayar. 1
Keberadaan SDC pada akhirnya melahirkan ketimpangan ekonomi yang
makin tinggi antara masyarakat lokal yaitu warga Dukuh Tapak dan sekitarnya
dengan pemilik perusahaan. Akibat dari kurangnya penghasilan dari sektor
pertanian dan tambak, banyak warga yang berubah profesi menjadi buruh
padas. Satu dua orang yang agak bermodal membeli dokar dan mengusirinya
sendiri. Bahkan, perhiasan wanita banyak yang sudah dijual atau setidaknya
digadaikan tanpa harapan mampu menebusnya. Peralihan profesi itu pada
umumnya berarti pemiskinan, karena penghasilan mereka menurun dan
irama pekerjaan mereka menjadi semakin tergantung pada orang lain. Dalam
profesi sebagai buruh padas, irama pekerjaan mereka menjadi tergantung
pada bos bisnis padas. Selain harus kerja lebih berat sebagai buruh padas,
masukan gizi orang-orang Tapak pun sangat berkurang. Kalau dulunya mereka
mudah dapat makan tiga kali sehari, kini kebanyakan hanya mampu makan
dua kali sehari.”2 Persis di momen inilah kontradiksi yang dibawa oleh corak
produksi kapitalisme menghasilkan momen ketimpangan, di mana kapitalis
mengakumulasi keuntungan bagi dirinya di satu sisi dan pemiskinan bagi
warga Dukuh Tapak di sisi lain.
Di antara warga sendiri pun pada dasarnya ada ketimpangan. Awalnya
perjuangan warga dalam melawan pencemaran cukup solid karena meng-
hadapi “musuh bersama”. Baik pemilik tambak/sawah maupun buruh tani
akan mendapat kerugian jika sampai harus meninggalkan sawah atau tambak-
nya.3 Namun, begitu perbedaan kerugian antara pemilik tambak dan buruh
tambak diperjelas, persatuan agak terpecah. Pemilik tambak bisa saja beralih
profesi menjadi kusir andong atau yang lain sebab biasanya mereka masih
punya modal/sarana produksi lain selain sawah dan tambak. Sedangkan bagi
buruh tani dan tambak hanya bermodal tenaga sendiri, sehingga kemungkinan
alih profesinya adalah menjadi buruh pemecah padas yang lebih memeras
tenaga. Istri para buruh tambak juga pada umumnya tak punya simpanan
emas yang dapat digadaikan. Akhirnya, terpetakanlah yang paling nampak
berjuang adalah para pemilik tanah, sedangkan para buruh dan pengangguran
_____
1 Tempo, 24 Maret 1979, “Dari Mitsubishi dengan Polusi”.
2 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 75-76
3 Aditjondro, GJ (2003) Kebohongan-kebohongan Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. H:
306-307
163
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
hanya mendukung dari belakang. Lebih parah lagi adalah para pemilik tambak
guntai1 yang tak kedengaran suaranya dalam melawan “musuh bersama”.2
164
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 71
2 Aditjondro, GJ (2003) Kebohongan-kebohongan Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. H: 9
3 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang h. 78
4 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 72
165
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang h. 74
2 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang h. 64
3 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 75
4 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 76. Menurut sumber
lain 15 LSM itu adalah YKSB, LP2K, YLKI, YABAKA, Bintari, ESP, DASA, Sansayama, YLBHI,
YK3, YSS, WALHI, KSP, KKD (Jiway Francis Tung [2000: ]). Jika dihitung keduanya sama-sama
berjumlah 14. Namun, versi Marjanto minus DASA, dan versi Jiway (2000) kurang LBHS,
166
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Aksi ini mendapat dukungan dari Deputi I BAPEDAL Pusat. Dalam surat
kabar Kedaulatan 17 Mei 19911 disebutkan:
Dalam aksi kampanye boikot itu Walhi telah membuat surat ke lebih dari 100
LSM di seluruh Indonesia untuk meminta dukungan.3 Selain mengancam
melakukan boikot terhadap produk buatan pabrik pencemar lingkungan,
YLBHI dan LBHS juga menuntut Menteri Perindustrian, Hartarto, untuk men-
cabut izin usaha enam pabrik penyebab pencemaran, yaitu PT APTI dan PT AJ
(tekstil), PT SDC (kimia), PT SKS (kecap), PT KTL (kertas), dan PT BP (sabun).4
Karena mendapat ancaman boikot, akhirnya perusahaan pun mau meng-
ikuti proses perundingan yang memakan waktu 3 (tiga) bulan dengan total
pertemuan sebanyak 6 (enam) kali, yaitu 10 Juni 1991, 30 Juli 1991, 1, 9, 10, dan
28 Agustus 1991. Dalam seri perundingan ini pihak industri/perusahaan
mengajukan perubahan istilah dari “ganti rugi” menjadi “kontribusi”. Istilah
kontribusi dianggap lebih positif bagi perusahaan, tidak meletakkan kesalahan
melulu di pihak industri.5 Namun, di pihak warga, pengakuan siapa yang
bersalah menjadi isu tersendiri. Beberapa menganggap penting agar perusa-
haan tetap digugat karena uang kontribusi tidak berarti uang ganti rugi, se-
mentara sebagian yang lain beranggapan, “sudahlah, sudah ada niat baik dari
perusahaan untuk memberikan uang kontribusi.” Akhirnya tim menyepakati
usulan ini. Perusahaan juga mengusulkan agar pemberian kontribusi (ganti
_____
sehingga jika ditambahkan hasilnya sama yaitu 15. Sayangnya, kedua sumber itu tidak jelas
menyebutkan apa kepanjangan dari masing-masing LSM.
1 Ada dua versi. Pertama di Marjanto, WD (2005, h. 77) menyebutkan: surat kabar
Kedaulatan, 17 Mei 1991. Kedua di Jiway Francis Tung (2000, h. 95) menyebutkan
Kedaulatan Rakyat, 16 Mei 1991.
2 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 77
3 Kompas, 27 April 1991, “Kasus Pencemaran Kali Tapak: LBH Usulkan Menperin untuk Cabut
Izin Usaha Enam Pabrik”.
4 Kompas, 27 April 1991, “Kasus Pencemaran Kali Tapak: LBH Usulkan Menperin untuk Cabut
Izin Usaha Enam Pabrik”.
5 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 82.
167
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
rugi) hanya kepada petani tambak yang punya izin usaha sesuai Perda Provinsi
Jateng No. 4 Tahun 1973. Usul ini tentu saja ditolak oleh warga yang mayoritas
merupakan petani tambak tradisional, alias, kemungkinan besar tidak memiliki
izin usaha yang menjadi pembeda siapa yang akan mendapatkan kontribusi
(ganti rugi) dan siapa yang tidak.1
Tim perunding akhirnya menyepakati beberapa hal dalam dua dokumen.
Pertama, dokumen tentang pokok kesepakatan tim 10 penyelesaian kasus
Tapak mengenai kontribusi. Kedua, dokumen tentang pedoman pengelolaan
lingkungan, Koeksistensi antara pengusaha/industri – masyarakat, dan Kontribusi
di Dukuh Tapak, Kelurahan Tugurejo.2 Adapun poin-poin kesepakatan itu yakni:3
Semua pihak nampaknya merasa puas atas kesepakatan ini, terlebih pihak
pemerintah. Kampanye boikot pun dicabut. Tanpa perlu berlama-lama menja-
lani proses di meja pengadilan, kasus pencemaran akhirnya akan dapat diatasi.
Setelah menderita selama 15 tahun akhirnya warga akan bisa hidup tenang
bebas dari polusi. Namun, masih ada pekerjaan selanjutnya, yaitu memastikan
kesebelas poin tersebut terlaksana. Di sinilah letak kelemahan sistem penye-
lesaian dengan cara perundingan/mediasi. Waktu itu belum ada ketentuan
yang bisa mengikat kesepakatan di luar pengadilan sebagaimana yang diatur
kemudian hari melalui UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
_____
1 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 82.
2 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 80.
3 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 85.
168
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
“Nah kalo kita itu ngomong sama KLH, sama yang lainnya ibaratnya
ini (Menteri Hartarto) bos malingnya. Ini bosnya. Bos pencemaran.
Kalo nggak ada menteri industrinya ndak mungkin ada pabriknya,
kan?”1
Setelah peristiwa demo massa itu, keesokan harinya Dukuh Tapak dikunjungi
oleh aparat TNI AD dan polisi dari Koramil Kecamatan Tugu dan Komtabes
Semarang serta Kepala Direktorat Sospol Kotamadya Semarang. Bukan untuk
meninjau masalah pencemaran, namun untuk mencari motif politis “kelanca-
ngan” warga mengadu ke menteri. Motif politis yang dimaksud ialah yang
berkaitan dengan pemilu.2 Padahal dalam kacamata kami (penulis), tindakan
warga memang politis, bahwa pencemaran yang disebabkan oleh para pelaku
industri tidak lepas dari izin yang dikeluarkan oleh Menperind, sehingga wajar
jika mereka mengadu ke sana. Pengawasan oleh aparat ini bahkan berlang-
sung selama seminggu.
Sebelum ini, warga juga pernah mengalami intimidasi dari aparat keama-
nan yang merupakan preman bayaran pabrik. Organisasi aktivis pemuda
Tapak sempat dituduh sebagai simpatisan komunis, sebuah metode klasik
yang banyak dilaksanakan oleh pemerintah dan perusahaan untuk mendiam-
kan protes warga sejak rezim Soeharto (1965) sampai sekarang (2021). Bahkan
_____
1 Jiway Francis Tung (2000) Pembangunan yang Tidak Membangun: Kisah LSM tentang
Dampak Industrialisasi di Dukuh Tapak (Tesis). Universitas Indonesia Depok, h. 62.
2 Aditjoncro, GJ (2003) Pola-pola Gerakan Lingkungan Yogyakarta: Pustaka Pelajar. H: 183-
184.
169
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
terdapat pula warga yang disuap Rp2,5 miliar supaya menyetujui keberlangsu-
ngan bisnis perusahaan.1
Riset Jiway Francis Tung (2000) menggambarkan beberapa kejadian inti-
midasi yang diterima warga Tapak berkaitan dengan masalah pencemaran.
Pernah suatu hari diadakan pertemuan antara warga dan LBHS. Tujuan perte-
muan itu adalah untuk memperkenalkan LBHS dan Pak Tarigan selaku penga-
cara ke warga Tapak serta menandatangani kuasa hukum agar PT SDC dapat
digugat di pengadilan. Ada sekitar 109 warga yang hadir. Pertemuan yang di-
mulai jam 8 berakhir larut (jam 1 malam). Hal itu menyebabkan pihak Koramil
datang dan menggerebek tempat pertemuan itu. Selain memarahi tokoh se-
tempat yang membiarkan adanya kegiatan sampai larut tanpa izin, pihak
Koramil juga menuduh warga sebagai PKI. Begini Jiway mengutip Pak Tarigan
yang ia wawancarai,
“Maka lalu pertama dia menyebut PKI, PKI. Itu sedang ramai waktu
itu. Cara-cara PKI dulu, tandatangan dan sebagainya. Saya omong,
‘ini di sini nggak ada PKI. Jangan diapakan, saya nggak tau lagi, PKI
itu tahun berapa? Katanya sudah dibubarkan.’ Saya bilang begitu.
‘Jangan kita menyebut-nyebut PKI”.2
Selain menuduh PKI, Koramil juga mengancam Pak S, pemilik rumah yang
menjadi tempat berkumpul, dengan menempelkan pistol ke kepalanya seraya
bilang, “Tembak batu’e! (tembak jidatnya!)”. Setelah diancam, ia dan dua orang
lainnya yaitu Pak Kusmanto (motor pergerakan warga) dan Pak Tarigan akan
langsung dibawa ke Koramil. Hal itu batal setelah seorang sesepuh kampung
bernama Mbah Bun diundang untuk menjadi penengah. Mbah Bun mengakhi-
ri kunjungan mendadak Koramil dengan berjanji bertemu di kantor Koramil
pada hari berikutnya. Keesokan harinya, di kantor Koramil Pak S diinterogasi
dan ditekan supaya tidak ikut pergerakan warga sebab dirinya adalah pegawai
negeri. Tekanan tidak hanya datang dari Koramil melainkan juga dari Wali Kota.
Wali Kota menuduh Pak S korupsi sebab ia menjual materai yang lebih murah
kepada warga. Wali Kota juga mempertanyakan loyalitas Pak S sebagai
pegawai negeri. Pak S dipaksa memilih untuk menarik kuasanya di LBHS atau
status pegawai negerinya dicabut.3
_____
1 Frederik A, 7 April 2017, “Politik Lingkungan: Mempertegas Kebijakan Politik dalam Meng-
atasi Lingkungan”, URL: https://adolfusfrederik.blogspot.com/2017/04/politik-lingkung
an-mempertegas.html [Diakses pada 23 Juli 2021].
2 Jiway Francis Tung (2000) Pembangunan yang Tidak Membangun: Kisah LSM tentang
Dampak Industrialisasi di Dukuh Tapak (Tesis). Universitas Indonesia Depok, h. 69-70.
3 Jiway Francis Tung (2000) Pembangunan yang Tidak Membangun: Kisah LSM tentang
Dampak Industrialisasi di Dukuh Tapak (Tesis). Universitas Indonesia Depok, h. 70-71.
170
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Tabel VI.1: Jumlah limbar cair pabrik-pabrik di Kali Tapak pada 1993.
Sumber: Marjanto, WD (2005: 61).
Jika dirata-rata, maka per hari ada sekitar 466,5 m3 limbah yang dialirkan ke
Kali Tapak. Dengan debit air kali yang hanya 0,5 – 1 liter/detik atau 43,2 – 86,4
m3/hari, pembuangan limbah ke kali ini tentu sangat membebani dan mem-
perparah pencemaran sungai. Nilai debit limbah cair rata-rata per hari yang
sebesar 466,5 m3 lebih besar 11 atau 5,5 kali lipat dari debit sungai. Bukan
hanya pada 1993, masalah pencemaran Kali Tapak ternyata tidak selesai pasca
diadakannya mediasi dimana salah satu kesepakatannya adalah pengendalian
pencemaran limbah agar memenuhi baku mutu limbah cair. Bahkan, akhir
1991 warga kembali mengadukan masalah pencemaran ke LBHS, berharap
agar kasus ini dibawa ke meja hijau saja.1 Mari kita tengok bagaimana sebenar-
nya pelaksanaan sebelas poin kesepakatan hasil mediasi yang dilakukan pada
Agustus 1991 lalu.
Penelitian WD Marjanto (2005) mencatat bahwa poin satu dan dua kese-
pakatan yang berisi kontribusi bagi 247 warga dan pengelolaan serta penataan
_____
1 Kompas, 13 Desember 1991, “Warga Tapak akan Gugat Delapan Industri Pencemar”.
171
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 87-88.
2 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 87-88.
3 Ika, Kompas, 14 September 2002, “42 Perusahaan Terbukti Lakukan Pencemaran”.
4 Ika, Kompas, 23 September 2002, “Warga Dusun Tapak Keluhkan Pencemaran Sungai”.
172
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Tabel VI.2: Hasil pemantauan kualitas air limbah Bapedalda Kota Semarang
pada Agustus 2004. Sumber: Marjanto, WD (2005: 66).
_____
1 Kompas, 24 September 2002, “Pencemaran Sungai Tapak Bapedalda Akan Tempuh Jalur
Hukum”.
2 Kompas, 23 September 2002, “Warga Dusun Tapak Keluhkan Pencemaran”.
3 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 66.
173
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Mudah ditebak, para pemilik pabrik hanya mau enaknya saja, terus berpro-
duksi/menghasilkan dan tidak mau penghasilannya berkurang dengan meng-
alokasikan/mengeluarkan sebagian dari penghasilan itu untuk mengelola
limbah. Mereka yang memiliki tambak harus buru-buru menutup pintu air
tambaknya agar air sungai yang meluap/membesar karena hujan dan ter-
campur limbah pabrik tidak masuk ke tambak mereka. 1
Sebenarnya, begitu mengetahui pabrik masih melakukan pencemaran
setelah adanya kesepakatan untuk mengelola limbahnya dengan baik, warga
ingin menggugat lagi perusahaan tersebut. Mereka pun meminta agar LBHS
menempuh jalur hukum. Namun, rupanya terdapat hambatan di pihak YLBHI,
yaitu dari Achmad Santosa selaku direktur bidang operasional YLBHI. Jiway
sempat mendatangi kantornya di Jakarta namun ternyata orangnya sedang
berada di luar negeri.2 Bukan hanya tidak bersedia mengajukan gugatan ke
meja hukum, dari hasil wawancaranya dengan salah seorang senior LBHS dan
warga, Jiway mendapatkan kesan bahwa Santosa, yang merupakan promotor
mediasi, justru mengintimidasi LBHS agar tidak ada lagi berita soal Tapak. Pak
Tarigan menjelaskan bahwa Santosa tengah berupaya menerapkan mediasi
ala Tapak kepada kasus serupa di Surabaya. Karena itulah ia tidak ingin ada
berita soal ketidakberhasilan mediasi itu yang dapat mempengaruhi persepsi
Wali Kota tentang efektivitas mediasi.3
174
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Tribun Jateng pun berkomentar, "ya sayang sekali, kenapa dari dulu kayaknya
gak ada perubahan masalah pencemaran ini."1 Pada 19 Agustus 2021 kami me-
ninjau lokasi serta menanyai warga Tapak terkait pencemaran. Mereka menga-
ku kondisi tersebut memang tidak berubah. Pencemaran masih tetap terjadi
dan tambak warga terus merugi, atau setidaknya penghasilannya tidak sesuai
dengan yang mereka harapkan.
Belum selesai dengan pencemaran limbah cair, warga Kelurahan Tugu-
rejo juga harus menghadapi polusi udara berupa bau dan debu akibat aktivitas
pabrik di Kawasan Industri Tugu. Polusi ini khususnya dialami oleh warga di
RW 1 dan RW 3 Kelurahan Tugurejo. Padahal sebelumnya Badan Lingkungan
Hidup (BLH) Kota Semarang telah menutup tiga pabrik pemecah batubara
karena melakukan pencemaran lingkungan. Tiga pabrik itu ialah PT Bara Mulia
Abadi, PT Sinar Kasih Mandiri, dan PT Mitra Setya Jaya. Ketiganya ditutup
lantaran tidak memiliki kelengkapan dokumen lingkungan sesuai Peraturan
Daerah Kota Semarang No. 10 Tahun 1998 tentang Izin Gangguan.2 Sebenar-
nya ada lima perusahaan yang terindikasi mencemari lingkungan. Namun, dua
perusahaan lainnya, yaitu PT Mohandas Oeloeng dan PT Adhi Karya dapat
menunjukkan dokumen izin lengkap sehingga tidak dilakukan penutupan.
Namun, warga masih mengeluhkan pencemaran kendati tiga perusahaan pe-
ngolahan batubara telah ditutup. Menurut warga ada satu pabrik batubara
yang masih beroperasi, yaitu PT Mitra Setya Jaya. 3
Dibolehkannya PT Adhi Karya untuk terus beroperasi rupanya juga menyi-
sakan dampak buruk bagi lingkungan. Berdasarkan pertemuan yang diadakan
antara warga, BLH, dan lima pabrik (PT Adhi Karya, PT Mohandas Oeloeng, PT
Sami Jaya, PT Cargill Indonesia, dan PT Selo Mandiri), diketahui bahwa PT Adhi
Karya menghasilkan polusi sebab pemakaian bahan bakar bantu (CMO) yang
merupakan bahan bakar terlarang. Bahan bakar ini berasal dari ekstraksi karet
sehingga menimbulkan bau busuk yang menyengat dalam proses pembaka-
rannya.4 Dalam pertemuan itu warga dan kelima pabrik sepakat untuk mem-
bentuk forum dialog guna mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang
_____
1 Muzaki K, 20 Februari 2016, “Sungai Tapak di Tugurejo Semarang Airnya Berubah Jadi
Hitam Pekat”, URL: https://jateng.tribunnews.com/2016/02/20/sungai-tapak-di-tugurejo-
semarang-berubah-hitam-pekat [Diakses pada 23 Juli 2021].
2 Tempo.co, 7 Agustus 2009, “Cemari Lingkungan, Tiga Perusahaan di Semarang Ditutup”,
URL: https://nasional.tempo.co/read/191396/cemari-lingkungan-tiga-perusahaan-di-sem
arang-ditutup/full&view=ok [Diakses pada 23 Juli 2021].
3 Kompas, 11 September 2009, “ Warga Semarang Protes Tiga Pabrik Batu Bara”, URL:
https://nasional.kompas.com/read/2009/09/11/19102422/warga.semarang.protes.tiga.p
abrik.batu.bara?source=autonext [Diakses pada 1 Agustus 2021].
4 Kompas, 14 Juli 2010, “Pencemaran: Perusahaan di Tugu Bentuk Forum Dialog dengan
Warga”.
175
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Warga sering mengajukan uji sampel di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota
Semarang namun tanggapannya kurang baik dan tidak ada tindak lanjut.
Begitupun ketika air hujan datang warga mengirim foto dan video juga kurang
direspon. Sedangkan DLH terkadang mengambil sampel pada waktu kemarau
ketika kondisi airnya sedang bagus, sehingga hasilnya juga tidak menunjukkan
pencemaran. Menurut informasi yang diterimanya, sekarang hampir ada 13
perusahaan yang berkontribusi tehadap pencemaran.
176
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar VI.5: Plang Selamat Datang di Eco Eduwisata Mangrove Tapak. Gambar diam-
bil pada 9 September 2021.
Tak banyak penjual meskipun ia jadi tempat wisata mangrove andalan Kota
Semarang. Hanya ada satu warung yang menjual minuman. Di depannya
beberapa orang tengah berbincang. Kami pun menghampiri mereka. Ada tiga
anak muda, satu orang tua, dan dua orang cukup dewasa yang merupakan
sepasang suami istri pemilik warung. Si ibu tidak begitu paham dengan perma-
salahan yang hendak kami tanyakan: banjir, pencemaran, dan reklamasi. Atau
barangkali, cara kami menanyakannya membuat dia tidak/kurang bisa men-
jawab. Berbeda dengan sang suami yang cukup paham atau bisa menjawab
177
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Nama-nama interlokutor disamarkan demi kepentingan keamanan.
2 Suara Merdeka, 28 Januari 2010, “Banjir Bandang Terjang Kampung Tapak”, URL:
http://www.ampl.or.id/digilib/read/banjir-bandang-terjang-kampung-tapak/34227
[Diakses pada 23 Juli 2021].
3 Suara Merdeka, 28 Januari 2010, “Banjir Bandang Terjang Kampung Tapak”, URL:
http://www.ampl.or.id/digilib/read/banjir-bandang-terjang-kampung-tapak/34227
[Diakses pada 23 Juli 2021].
4 Sugiya, 12 Maret 2007, “Penanganan Bencana (1): “Semarang Kaline Banjir…” *Liputan
Khas Banjir Tiada Akhir”.
178
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
banjir di Kampung Tapak makin tinggi pasca dibelokkannya Kali Tapak oleh PT
GM. Posisi pabrik ini berada di sisi barat Kampung Tapak. Pada sekitar 1997
pabrik pembuat keramik1 ini hendak membangun pabriknya di atas lahan kali,
sehingga aliran air yang seharusnya lurus menuju ke laut dibelokkan men-
dekati pemukiman warga di sebelah timur.
Perubahan sosiospasial yang dimotori oleh PT GM bukan hanya dalam
praktik penyodetan Sungai Tapak, namun juga dalam bentuk pengurukan anak
Kali Tapak bernama Kali Manis. Akibatnya beban aliran air sungai yang seha-
rusnya ditampung oleh anak sungai tersebut ditanggung oleh Kali Tapak yang
sudah semakin sempit. Kejadian pengurukan ini rupanya tidak hanya dilaku-
kan oleh PT GM. Anak kali yang memanjang dari arah Kelurahan Tugurejo
sampai Randugarut juga diuruk oleh berbagai pembangunan pabrik di sana,
terutama pasca dibangunnya Kawasan Industri Tugu Wijayakusuma (KITWK)
pada sekitar 1990-an di Kelurahan Randugarut. Akibatnya banjir juga melanda
kelurahan tersebut. Warga Karanganyar juga pernah menggelar unjuk rasa
untuk menuntut PT KITWK bertanggungjawab atas banjir yang merendam
pemukiman dan tambak warga pada 29 Mei 2000. Menurut Subekhi Yusuf,
koordinator aksi, saluran pembuangan air tidak lagi berfungsi akibat penguru-
kan Sungai Tambak Lambau, Tanggul Kemetiran, Sungai Tawar, dan Kali Manis
menjadi pembangunan jalan dan pabrik.2
Pengurukan sungai oleh PT KITWK yang diprotes warga nampaknya bu-
kan merupakan masalah bagi pemerintah. Sebab tiga belas tahun pasca unjuk
rasa warga Karanganyar, pemerintah justru berencana mereklamasi wilayah
pesisir Tugu. Rencana ini ditandai dengan terbitnya Surat Rekomendasi Wali-
kota Semarang Nomor: 654/2306 tertanggal 3 Mei 2013. Surat rekomendasi
tersebut berisi tentang rekomendasi kepada PT Bumi Raya Perkasa Nusantara
(BRPN) untuk menjadikan Kelurahan Tugurejo dan Karanganyar sebagai kawa-
san industri, pergudangan dan jasa, serta perumahan dan wisata komersial di
Kota Semarang. Dengan adanya surat ini, PT BRPN memulai pengurukan dan
pematokan lahan pada Mei-Juli 2014. November 2015 warga kembali dikejut-
kan dengan datangnya undangan sosialisasi AMDAL untuk rencana reklamasi
jalur lingkar utara.3
Perasaan was-was akan diratakan oleh proyek reklamasi juga diungkap-
kan oleh Bu Sulastri, seorang warga Tapak. Bu Sulastri merupakan seorang
buruh tani untuk sawah milik tetangganya. Ia juga merangkap bekerja sebagai
_____
1 Berdasarkan cerita Yono, sejak sekitar Bulan Juni 2021 PT Golden Manyaran telah berhenti
memproduksi keramik dan beralih menjadi gudang Shopee sejak empat bulan yang lalu.
2 Kompas, 30 Mei 2000, “Daerah Sekilas: Semarang – Karena permukiman dan sawah terus
kena banjir, warga unjuk rasa”.
3 LBH Semarang & KIARA (2015) Membunyikan Lonceng Kematian (Catatan Akhir Tahun
2015), h. 24.
179
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
pengasuh anak. Sebagai buruh tani ia mengaku tidak tahu lagi harus bagai-
mana jika sawah-sawah nantinya diuruk. Bayangan mengenai bakal diuruknya
semua lahan sawah dan tambak ada semenjak Bu Sulastri melihat sendiri wila-
yah sebelah barat kampungnya telah rata oleh urukan. Katanya tanah-tanah
itu diuruk untuk membangun pabrik atau kawasan industri. Sama seperti di
wilayah Karanganyar, semua sudah jadi pabrik. Ia bahkan sampai berpikir bah-
wa rumahnya pun bakal mengalami nasib yang sama dengan tambak-tambak
yang diuruk. “Semuanya (tambak dan sawah) sudah dibeli Cina pemerintah
untuk bangun pabrik,” kata Bu Sulastri dengan wajah yang nampak pasrah.
Dengan keadaan demikian, Bu Sulastri hanya berharap anak cucunya masih
dapat menikmati hidup di Kampung Tapak sebagaimana dirinya sekarang.
Menurut Yono, lokasi yang ditunjuk Bu Sulastri tersebut telah dilakukan
pengurukan dengan luasan mencapai 10 hektar. Di lokasi yang sekarang telah
diuruk itu juga Yono sempat punya tambak sewaan. Sementara Jojon yang
masih memiliki tambak di wilayah tersebut memiliki sikap lebih berani. Tiga
tahun silam, ketika lahan tambak miliknya hendak diuruk, ia bersama bebera-
pa warga menghadang dan menghentikan proses pengurukan yang telah me-
makan separuh lahan tambaknya. Ia marah karena lahan tersebut masih sah
miliknya. Belum pernah ada yang membeli lahan itu, dan dia pun tak hendak
menjualnya.
Jojon merasa sudah cukup lahan tambak di wilayah Kampung Tapak yang
habis terjual. Kata Jojon, sudah 95% lahan tambak di Kampung Tapak yang
beberapa kali mengalami musibah pencemaran ini berpindah tangan ke
pengusaha. Namun, meskipun tidak lagi jadi hak milik, warga masih meng-
garap lahan tambak itu, dengan kemungkinan suatu waktu ditarik untuk ke-
pentingan pengusaha industri.
Jojon mengaku saat ini warga hanya menuntut empat hal berkaitan
dengan rencana pembangunan di wilayah pesisir: 1) sungai dilebarkan, 2) jika
akan diuruk, maka harus ada tempat untuk memindahkan tanaman mangrove,
3) sediakan air bersih untuk warga, dan 4) pekerjakan warga. Namun, diakui-
nya kalau semangat pemuda untuk memperjuangkan nasib warga tidak seting-
gi dulu ketika ia dan teman-temannya berjuang menuntut hak-haknya. Ia pesi-
mis dengan para pemuda yang sekarang memegang organisasi warisannya.
Mengenai masalah air, Yono ingat dulu air Kali Tapak sebelum pencema-
ran dapat digunakan sebagai sumber air utama, bahkan untuk air minum pun
bisa. Setelah adanya pencemaran, bahkan sumur-sumur warga saja pun sudah
tidak bisa dipakai. Antara 1976 sampai 1990 warga berjibaku mencari air hing-
ga ke sumber mata air di wilayah Beji Taman Lele. Pada 1991 warga membuat
saluran pipa air dari mata air Beji ke Kampung Tapak. Namun, itu tidak berta-
180
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
han lama karena kurangnya perawatan.1 Pada 1995 pihak industri memba-
ngun dua sumur sebagai sumber air warga. Ini pun kemudian tidak berlang-
sung lama. Sampai kemudian Yono dan kawan-kawan pemuda waktu itu me-
ngajukan Pamsimas dengan sumber air tanah sedalam kurang lebih 35-40
meter. Sumber air inilah yang sampai sekarang dipakai oleh warga.
Kasus pencemaran yang terjadi di Kampung Tapak selain berasal dari
pabrik-pabrik yang berlokasi di Kampung Tapak bagian selatan juga datang
dari pabrik-pabrik yang berlokasi di area atas, yaitu Tambakaji, dan dari pabrik
di wilayah Kelurahan Randugarut. Satu kawasan industri di Tambakaji yang
limbahnya sampai ke Kampung Tapak dikuasai oleh pengembang bernama PT
Guna Mekar Industri (GMI). PT GMI sendiri sebenarnya adalah pemilik awal
lahan-lahan tambak di pesisir Tapak dengan luas sekitar 300 hektar. Lahan ini
kemudian dibeli oleh PT BRPN yang tercatat memiliki lahan lebih luas yaitu
sekitar 400 hektar. Sedangkan pabrik di Randugarut tidak jelas apakah terma-
suk bagian dari PT KITW, namun DLH pernah mengundang beberapa pabrik di
sana ketika membicarakan masalah pencemaran Kali Tapak. Lokasi kedua
kawasan industri ini dengan Kampung Tapak memang terbilang cukup jauh.
Akan tetapi mereka terhubung melalui satu aliran DAS Karanganyar, sehingga
pabrik yang biasa membuang limbahnya ke sungai pasti sampai ke Kampung
Tapak yang berlokasi di hilir sungai (wawancara dengan Yadi pada 10/9/2021).
Mengingat 95% kawasan tambak di Kampung Tapak telah dimiliki oleh
pengusaha, maka ancaman reklamasi pun tinggal menunggu waktu. Yono
memahami betul siapa saja penguasa pesisir di Semarang Barat ini. Graha
Padma di sisi paling timur, selanjutnya adalah PT BRPN di wilayah Tapak, di
sebelah PT BRPN ada sebagian kecil milik PT Indo Perkasa Utama (IPU),
kemudian memasuki sisi timur Kelurahan Karanganyar ialah PT KITW sampai
Kelurahan Randugarut. Setelah itu ada penetapan semacam kawasan hijau
namun tidak lestari, kata Yono, karena sewaktu-waktu bisa saja berganti jadi
kawasan industri. Kemudian di ujung barat ada kawasan industri lagi, salah
satunya yaitu PT Kayu Lapis Indonesia (KLI). Menurut cerita Yono, keberadaan
PT KLI ini ada sangkut pautnya dengan hilangnya Pulau Tirang.
_____
1 Informasi ini agak berbeda dari yang penulis temukan di riset Jiway Francis Tung. Menurut
hasil penelitian tersebut, pemasangan pipa dimulai pada 1988 dengan bantuan dari LTPP
Solo dan KSB (Kaha Setia Buana). Dijelaskan juga bahwa suplai air minum ini tidak bertahan
lama bukan karena kurangnya perawatan, melainkan pada 1989 di bagian hulu mata air
tengah dilakukan penggalian tanah besar-besaran yang digunakan untuk menguruk lahan
yang akan dijadikan Arena Pekan Raya dan Promosi Pembangunan (PRPP) Semarang. Sejak
1987, proyek ini dikerjakan oleh PT Indo Perkasa Utama (PT IPU). Akibat penggalian tadi,
mata air Taman Lele jadi semakin mengering. (Lihat: Jiway Francis Tung [2000: 52]).
Informasi soal pembangunan PRPP dibahas dalam Bab IV buku ini, tentang DAS Silandak.
181
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
182
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Menurut Yadi, adanya reklamasi untuk keperluan industri itu sangat meng-
ganggu perekonomian masyarakat di wilayah pesisir sebagai petambak, nela-
yan, dan juga pegiat lingkungan. Namun, karena yang ia dan warga lainnya
hadapi adalah orang-orang besar (pengusaha/pengembang), mereka berjuang
dengan sebisa kemampuan mereka untuk mengantisipasi kerusakan lingku-
ngan. “Kenapa masalah ini tidak selesai-selesai? Ya karena yang kita hadapi
orang-orang besar,” kata Yadi.
Mengenai reklamasi, Yadi mengaku dari dulu belum menerima sosiali-
sasi.
183
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
184
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar VI.6: Reklamasi lahan tambak di sisi kiri Tapak. Sumber: Citra Satelit
(09/11/2021).
Menurut Yadi, abrasi itu pengikisan tanah oleh air laut yang menyebabkan
tanah semakin turun sementara jalan untuk air semakin ditutupi. Pinggir-
pinggirnya diuruk, direklamasi, sehingga air pasang surut cari jalan sendiri.
“Yang saya rasakan dari 2006 sampai sekarang air malah semakin
tinggi, ini musim Agustus air seharusnya sangat rendah, tapi seka-
rang hampir setiap hari meninggi terus. Kalau tanah di wilayah pe-
sisir pasti menurun, seperti di Tambaklorok dan Kaligawe, tapi kalau
dibarengi dengan reklamasi laju (penurunan)nya makin cepat.”
185
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Seperti yang telah disampaikan Yono, dulu Pulau Tirang bukanlah satu wilayah
sendiri melainkan menyatu bersama wilayah daratan Tapak yang dikelilingi
oleh tambak-tambak warga. Dalam catatan Aditjondro (1979), keberadaan
Pulau Tirang justru menjadi pelindung atau “benteng alamiah” bagi tambak
186
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
dari gempuran ombak laut. Pulau Tirang adalah hasil endapan Kali Tapak dan
Kali Tugu yang memiliki panjang 1.625 meter dan lebar kira-kira 120 meter.1
Dulu, kurang lebih pada 1977 Pemerintah Kotamadya Semarang beren-
cana menjadikan Pulau Tirang sebagai ikon Kota Semarang dan tempat re-
kreasi bagi orang kota. Rencana itu direalisasikan dengan cara membangun
jalan lurus dari pusat Desa Tugurejo ke pulau tersebut dengan memotong
kompas melalui tambak-tambak. Namun, rencana tersebut mendapat protes
dari para pemilik tambak. Akhirnya pemerintah mencoba bikin jalan mengikuti
alur Kali Tugu yang diuruk. Namun, baru dibangun 900 meter proyek itu
dihentikan lantaran pemerintah telah menemukan cara lain untuk mencapai
Pulau Tirang dengan lebih murah. Cara itu adalah membuat tanggul dari
Kampung Mangkang dan menyeberangi selat sempit itu terus menuju Pulau
Tirang.2
Mengapa Pulau Tirang disebut sebagai ikon Kota Semarang? Beberapa
blogger yang mengunjungi wilayah ecoedu wisata Mangrove Tapak bercerita,
bahwa menurut warga yang menjadi guide pengunjung, keberadaan Pulau
Tirang tidak lepas dari sejarah Kota Semarang karena kata “Rang” berasal dari
Pulau ini.3 Namun, berdasarkan suatu versi asal usul, nama Kota Semarang
berasal dari gabungan dua buah kata, yaitu asem (yang berarti asam/pohon
asem) dan arang (yang berarti jarang). Dikutip dari website mapnall.com,
penamaan “Semarang” bermula dari cerita Ki Ageng Pandanaran I yang men-
datangi sebuah pulau bernama Pulau Tirang (dekat Pelabuhan Bergota) dan
melihat pohon asam yang jarang-jarang tumbuh berdekatan.4 Versi lain me-
nyebutkan bahwa pada 1476 M Ki Ageng Pandan Arang datang ke suatu
semenanjung yang dikenal dengan sebutan Pulo Tirang. Di wilayah tersebut
Pandan Arang melaksanakan perintah Sunan Bonang untuk menyiarkan
Agama Islam. Menurut sumber tersebut, Pulo Tirang terdiri dari 10 daerah
yaitu: Derana, Wotgalih, Brintik, Gajahmungkur, Pragota, Lebuapia, Tinjomoyo,
Sejanila, Guwasela, dan Jurangsuru.5 Dengan demikian tepat jika Pulau Tirang
_____
1 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat, Jurnal Prisma: 7, LP3ES, h. 66
2 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81; h. 68
3 Lenny Lim (30 Maret 2019). “Menyusuri Mangrove Tapak Semarang”. URL: https://
www.len-diary.com/menyusuri-mangrove-tapak-semarang/ [diakses pada 11 September
2021] dan Dimas Suyatno (18 Mei 2017). “Menjelajah Mangrove Tapak Semarang”. URL:
Menjelajah Mangrove Tapak Semarang - Dimas Suyatno [diakses pada 11 September
2021].
4 “Kota Semarang”. URL: Peta - Kota Semarang (Semarang) - MAP[N]ALL.COM (mapnall.com)
[diakses pada 10 September 2021].
5 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. h. 2
187
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
menjadi ikon Kota Semarang karena nama itulah yang dulu dimiliki oleh
wilayah daratan Kota Semarang. Kini kondisi pulau itu hanya menyisakan garis
pantai yang kemudian diabadikan sebagai tempat wisata bernama Pantai
Tirang di Kelurahan Tambakharjo.1
Tidak begitu jelas kapan tepatnya pulau ini tenggelam. Catatan Dimas
Suyatno pada 2017 menjumpai Pulau Tirang dalam kondisi daratan yang masih
tersisa sedikit.2 Abdul Mughis, pewarta Jatengtoday.com, pada 28 Januari 2018
telah menyatakan bahwa Pulau Tirang hilang akibat abrasi.3 Sementara dalam
cerita seorang blogger bernama Lenny Lim yang berkunjung ke Tapak pada
Maret 2019, ia menyaksikan Pulau Tirang masih ada dengan kondisi makin
menciut dan agak terbengkalai. Luasnya tidak lebih dari luas lapangan bola.
Lenny juga diberitahu bahwa dulunya terdapat sumber mata air tawar di Pulau
Tirang tapi sudah menghilang.4 Lalu blogger lain bernama Parlindungan dalam
posting-annya pada 19 November 2019 menyatakan Pulau Tirang telah hilang
lantaran abrasi yang sangat hebat.
Berdasarkan cerita Dimas dan Lenny, yang mereka peroleh dari warga,
penyebab dari menciut dan hilangnya pulau ini adalah karena reklamasi yang
dilakukan di dekat Marina oleh PT IPU dan di Kendal oleh PT KLI. Akibatnya
segala jenis flora dan fauna yang tinggal di dalamnya lenyap tak bersisa.5
Informasi ini terkonfirmasi kembali melalui cerita yang disampaikan oleh Yono
kepada kami.
Sebagaimana diuraikan di atas, dalam menghadapi masalah pencemaran
sungai, warga telah menempuh berbagai cara protes dan mediasi. Selain itu,
warga secara bersama-sama juga melakukan upaya penghijauan kembali
dengan cara penanaman mangrove di lokasi tambak mereka. Hal ini dilakukan
selain untuk mengantisipasi beban pencemaran yang berat, juga untuk me-
nanggulangi tingkat abrasi yang cukup besar, yang mengancam keberadaan
tambak warga dan Pulau Tirang. Melalui pembentukan komunitas bernama
Perkumpulan Pemuda Cinta Lingkungan Tapak (Prenjak) pada 3 Maret 2001,
_____
1 Parlindungan (17 September 2021). “Dimana Lokasi Wisata Pantai Tirang Semarang,
Apakah Ada Sunset dan Berapa Harga Tiket Masuknya?”. URL: 10 Foto Pantai Tirang
Semarang 2021 Harga Tiket Masuk (jejakpiknik.com) [diakses pada 25 September 2021].
2 Dimas Suyatno (18 Mei 2017). “Menjelajah Mangrove Tapak Semarang”. URL: Menjelajah
Mangrove Tapak Semarang - Dimas Suyatno [diakses pada 11 September 2021].
3 Abdul Mughis (28 Januari 2018). “Pulau Tirang yang HIlang Tenggelam”. URL:
https://jatengtoday.com/pulau-tirang-yang-hilang-tenggelam-7079 [diakses pada 11 Sep-
tember 2021].
4 Lenny Lim (30 Maret 2019). “Menyusuri Mangrove Tapak Semarang”. URL: https://
www.len-diary.com/menyusuri-mangrove-tapak-semarang/ [diakses pada 11 September
2021]
5 Parlindungan (19 November 2019). “Pantai Tirang Semarang”. Diakses dari Menjelajah
Mangrove Tapak Semarang - Dimas Suyatno pada 11 September 2021.
188
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
warga mulai melakukan aksi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lewat pe-
nanaman mangrove dan pemasangan Alat Pemecah Ombak (APO). 1 Akhirnya
wilayah tambak Tapak seluas 280 hektar pun berangsur pulih menjadi hutan
mangrove.
Secara kimiawi, mangrove yang tumbuh di ujung sungai berperan penting
sebagai penampung terakhir bagi limbah dari industri di perkotaan dan per-
kampungan hulu yang terbawa aliran sungai. Limbah padat dan cair yang
terlarut dalam air sungai terbawa arus menuju muara sungai dan laut lepas.
Risikonya adalah, area hutan mangrove akan menjadi daerah penumpukan
limbah, terutama jika polutan yang masuk ke dalam lingkungan estuari melam-
paui kemampuan pemurnian alami oleh air. Secara fisik, mangrove berperan
efektif dalam melindungi pantai dari gelombang dan arus laut yang dapat
menyebabkan erosi/abrasi kawasan pantai.2
Begitu Tapak mulai kembali hijau dan lestari, pemerintah lantas datang
dengan maksud mengembangkan destinasi wisata Pulau Tirang sebagai ikon
Kota Semarang. Sejak 2015, mangrove Tapak digadang-gadang sebagai lokasi
ecoedu wisata yang memadukan konsep wisata sambil belajar melestarikan
lingkungan dengan turut melakukan penanaman mangrove. Sayangnya, kebe-
radaan Pulau Tirang tidak dapat dipertahankan hanya dengan penanaman
mangrove dan pemasangan APO. Dampak berupa abrasi yang diproduksi oleh
aktivitas reklamasi di kiri oleh PT KLI dan kanan oleh PT IPU terlalu besar untuk
dibendung. Pulau Tirang tetap tenggelam, dan dengan demikian ikon Kota
Semarang pun turut hilang.
VI.5. Kesimpulan
_____
1 Tiara KCS (2016) Adaptasi Petani Tambak Terhadap Eksistensi Tambak Akibat Rob (Tugas
Akhir). Unissula, Semarang.
2 Nana KTM dan Andin I (2014) Peranan Mangrove Sebagai Biofilter Pencemaran Air Wilayah
Tambak Bandeng Tapak Semarang. Jurnal Manusia dan Lingkungan 21 (2): 188-194.
189
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
zat kimia yang digunakan untuk minuman bersoda seperti Coca Cola dan
Fanta. Dampak yang langsung dirasakan warga Dukuh Tapak adalah matinya
ikan-ikan yang menghuni tambak-tambak mereka. Babak ini juga menyaksikan
perubahan-perubahan dalam pekerjaan warga, dari yang berbasis pertani-
an/tambak, menjadi di luar itu, misalnya menjadi buruh padas.
Babak kedua berlangsung dari 1979-1991. Babak ini ditandai dengan
munculnya berbagai pabrik yang lain, seperti, PT Sukasari (pabrik kecap), PT
Bukit Perak (pabrik sabun), PT Kemas Tugu Indah (pabrik kertas dan karton),
PT Agung Perdana Tugu Indah (pabrik tekstil), PT Sanmaru (pabrik makanan),
PT Appolo Jaya (pabrik tekstil), PT Sekar Abadi Jaya, PT Naga Mas Sakti Perkasa,
dan PT Makara Dewa Wisesa (pabrik udang beku). Kemunculan pabrik-pabrik
ini berarti semakin banyak limbah industri, dan semakin tercemarnya Kali
Tapak dan kawasan pantai/tambak.
Babak ketiga berlangsung dalam rentang 1992-2005. Babak ini menandai
semakin beratnya pencemaran eksosistem yang terjadi di Kali Tapak. Ini
misalnya terlihat dari volume limbah yang dibuang ke Kali Tapak lebih banyak
daripada debit sungai itu sendiri, sampai 5,5-11 kali lipat. Sementara proses-
proses perjuangan warga berhasil mencapai poin-poin kesepakatan. Sayang-
nya poin-poin itu tidak terlaksana dengan baik karena rendahnya komitmen
perusahaan dalam memenuhi kewajibannya dan tiadanya aturan hukum yang
mengikat pihak-pihak yang berkewajiban melaksanakan kesepakatan. Akhir-
nya, peristiwa pencemaran terus terjadi di Kali Tapak.
Babak keempat, dari 2005-sekarang, menunjukkan bahwa pencemaran
masih terus terjadi (dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan). Para
petani tambak masih terus saja merugi dengan matinya ikan-ikan di tambak
mereka, ditambah Kali Tapak yang semakin tercemar, warnanya menjadi hitam
dan berbau busuk. Permasalahan semakin berlipat-lipat karena munculnya
bentuk polusi yang lain, yaitu polusi udara berupa bau dan debu akibat
aktivitas pabrik di Kawasan Industri Tugu. Meski Badan Lingkungan Hidup
(BLH) Kota Semarang sudah menutup tiga pabrik (PT Bara Mulia Abadi, PT Sinar
Kasih Mandiri, dan PT Mitra Setya Jaya), pencemaran udara tidak kunjung juga
berhenti.
Aktivitas pabrik-pabrik ini merekonfigurasi ruang. Misalnya, penyodetan,
pengurukan sungai, dan reklamasi yang dilakukan oleh PT GM, Kawasan
Industri Tugu Wijayakusuma, dan PT Bumi Raya Perkasa Nusantara (BRPN),
telah membuat aliran sungai berbelok, hilang; dan rawa menjadi kawasan
industri. Ini membuat Dukuh Tapak semakin mudah kebanjiran. Munculnya
reklamasi di kiri oleh PT Kayu Lapis Indonesia (KLI) dan di kanan oleh PT IPU,
membuat posisi Kampung Tapak semakin terjepit. Daratan hasil endapan
sedimentasi yang dikenal dengan Pulau Tirang, pun mengalami perubahan
sosioalamiah: menghilang, terabrasi.
190
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
191
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
192
BAB VII
DAS Garang:
Mengerut, meledak, meluap
Banjir bandang pada dini hari 26 Januari 1990 merupakan banjir yang lekat di
ingatan kolektif warga Semarang, terutama yang tinggal di DAS Garang. Bagi
saya (Eka), warga pendatang di DAS Garang yang tidak mengalami sendiri
banjir bandang tersebut, kisah para buruh shift malam-pagi pada pabrik-pabrik
di Ngemplak Simongan saat itu, tidaklah asing. Ketika air bah menerjang,
buruh pabrik tekstil PT Damaitex Simongan dan pabrik kayu PT Kurnia Jati,
disebut-sebut masih berada di dalam ruang kerja yang dikunci dari luar. Kisah
itu dituturkan oleh orang-orang di sekitar saya, baik yang mengalami banjir
tersebut maupun yang tidak. Stefanus Wisnu Pranowo (50 tahun), seorang
kawan yang saat ini tinggal di Perumnas Sampangan bercerita, pascabanjir-
bandang itu banyak ditemukan perhiasan seperti kalung, cincin, dan giwang
(anting) yang diduga milik para buruh, di bangunan pabrik tersebut.1
_____
1 Percakapan pribadi sekitar awal 2006.
193
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Eko Hari Priyanto dan Nawiyanto (2014) Banjir Bandang di Kodya Semarang Tahun 1990.
Jurnal Publika Budaya 3(2): 9-17. Pada halaman 11 disebutkan bahwa siklus 10 tahunan
yang ada dalam penelitian ini didasarkan pada banjir 1980 dengan besaran air dan
kerugian yang ditimbulkan hampir sama dengan banjir 1990.
2 Warga Ngemplak Simongan dalam berita ini, Bayu Wanapati mengenal siklus 15 tahun
untuk banjir di Kali Garang. Meski dia lebih percaya pada siklus dua tahunan berdasarkan
pengamatannya sejak 2016 hingga 2021. Lihat: Iwan Arifianto (3 Maret 2021). Tribun
Jateng. “Foto Tragedi Banjir Bandang Semarang 25 Januari 1990, 194 Tewas: Banjir 2021
Tidak Ada Apa-apanya”. URL: https://jateng.tribunnews.com/2021/03/03/foto-tragedi-
banjir-bandang-semarang-25-januari-1990-194-tewas-banjir-2021-tidak-ada-apa-
apanya?page=all, [diakses pada 30 Agustus 2021].
3 Narasumber dalam berita ini, Johanes Cristiono, sebagai salah satu orang yang mengetahui
banjir tersebut, menyebutkan siklus 100 tahunan. Dia merujuk pada keterangan Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMKG). Lihat: Baskoro Septiadi (25 Januari 2021). Radar
Semarang. “Banjir bandang Menerjang saat Warga Tidur Lelap”. URL: https://
radarsemarang.jawapos.com/rubrik/cover-story/2021/01/25/banjir-bandang-menerjang-
saat-warga-tidur-lelap/ [diakses pada 30 Agustus 2021].
4 Sumber ini menyebutkan penghitungan banjir dalam periode berulang tersebut dipakai
sebagai acuan pada banyak perencanaan infrastruktur. Lihat: Caesar Akbar (7 Februari
2021). Tempo.co. “Banjir di Semarang Diduga Akibat Hujan Siklus 50 Tahunan, Apa Kata
BMKG?”. URL: https://bisnis.tempo.co/read/1430593/banjir-di-semarang-diduga-akibat-
hujan-ekstrem-siklus-50-tahunan-apa-kata-bmkg, [diakses pada 7 September 2021].
5 Suara Merdeka, 6 Februari 1990, “Belanda Pernah Buat Konsep Tangani Banjir Tahun
2000”.
194
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
(2014) menyebutkan banjir besar atau banjir bandang Kali Garang terjadi
antara lain pada 1963, 1990, 2000, 2002, dan 2008.1
Publikasi E.H Priyanto dan Nawiyanto yang diterbitkan Jurnal Publika
Budaya Universitas Jember, menyebut banjir bandang 1990 merupakan banjir
tertinggi dalam kurun 1987-2008 dengan debit 1.103,73 m³/detik.2 Banjir
terbesar didapati di area pertemuan Kali Garang dan Kali Kreo sampai ke Ben-
dungan Simongan. Banjir menjangkau kampung-kampung di sepanjang Kali
Garang di Kecamatan Semarang Barat, seperti Ringin Telu, Puspanjolo, Pon-
cowolo, Banowati dan sekitarnya. Kelurahan Sampangan tergenang air dengan
ketinggian 2-3 meter, Kelurahan Pegandan 2-2,5 meter, Kelurahan Petompon
dan Kelurahan Bendungan 0,5-1 meter, dan Kelurahan Bendan Ngisor men-
capai 0,60 meter.3
Banjir juga menggenangi wilayah Semarang Tengah, kawasan Simpang-
lima di pusat Kota Semarang. Tanah Mas yang ada di hilir DAS Garang juga
tergenang. Gedung sekolah seperti SD Pegandan (sekarang SD Sampangan 02)
di Kelurahan Sampangan dan SD Bongsari di Kelurahan Bongsari roboh. Total
ada 40 gedung sekolah TK hingga SMA yang rusak. Sekitar 50.000 murid tidak
bersekolah selama tiga minggu.4 Pasar Bulu di Kelurahan Barusari hingga
Pasar Johar di Kelurahan Kauman tergenang air; ternak-ternak hanyut, mati,
dan menggelembung; 1.042 rumah rusak dengan tingkat ringan hingga roboh
total. Kerugian materiil yang dihitung oleh Pemerintah Kota Semarang saat itu
mencapai Rp8,5 miliar.
Mantan jurnalis Harian Suara Merdeka, Johanes Christiono dalam catatan
yang dipublikasikan pada 25 Januari 2020, menyebut tidak pernah ada banjir
sedahsyat itu sebelumnya di Semarang. Belum pernah ada pula banjir sedah-
syat itu sesudahnya di Semarang, setidaknya sampai catatan tersebut ditulis. 5
Johanes bermukim di Ungaran, Kabupaten Semarang, yang merupakan hulu
DAS Garang. Dia yang pada masa itu bertugas meliput peristiwa banjir ter-
sebut, mengingat hujan berjam-jam pada 25 Januari 1990 di tempat tinggalnya.
_____
1 D. Liesnoor Setryowati dan E. Suharini (2014) DAS Garang Hulu (Tata Air, Erosi dan
Konservasi). Yogyakarta: Penerbit Ombak. Halaman 2.
2 Ahmad Cahyadi, Ardila Yananto, Muhammad Sufwandika Wijaya, dan Henky Nugraha
(2012). Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Retensi Potensial Air
Oleh Tanah Pada Kejadian Hujan Sesaat (Studi Kasus Perubahan Penggunaan Lahan di DAS
Garang Jawa Tengah). Seminar Nasional Indormatika UPN Veteran Yogyakarta, 30 Juni
2012. URL: https://media.neliti.com/media/publications/173701-ID-analisis-pengaruh-
perubahan-penggunaan-l.pdf [diakses pada 19 Agustus 2021].
3 Eko Hari Priyanto dan Nawiyanto (2014) Banjir Bandang di Kodya Semarang Tahun 1990.
Jurnal Publika Budaya 3(2): 9-17.
4 Suara Merdeka, 19 Februari 1990, “50 Ribu Murid di Daerah Banjir, Sekolah Lagi”.
5 Lihat: Publikasi ulang dari status Facebook Johanes Christiono. URL: http://miksemar.id/
2083/banjir-bandang-1990-dalam-catatan-saya/ , [diakses pada 19 Agustus 2021].
195
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Hujan dimulai sejak sore dan bertambah lebat sejak sekitar pukul 20.00 hingga
tengah malam.1
Johanes sudah menduga akan terjadi banjir di Kota Semarang, karena
biasanya memang begitu, jika Ungaran hujan lebat Semarang akan banjir.
Tetapi, dia sama sekali tidak menyangka jika akan ada banjir yang sangat besar,
yang menghancurkan rumah kawan-kawannya di Sampangan, hingga menim-
bulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Berdasarkan dokumentasi Johanes,
dalam sehari korban jiwa terdata 47 orang. Sepekan setelah peristiwa itu, Pe-
merintah Kota Semarang mengumumkan angka resmi jumlah korban tewas,
197 orang, dengan jumlah korban jiwa terbanyak berasal dari pabrik-pabrik di
Kelurahan Ngemplak Simongan.
Sebagai solusi pascabanjir 1990, pemerintah di antaranya melakukan
pelebaran sungai dengan mengeruk bantaran Kali Garang di Kelurahan Bendu-
ngan, Kecamatan Gajahmungkur. Warga yang semula tinggal di sana, dipin-
dahkan ke Dukuh Kuwasen, Kelurahan Sadeng, Kecamatan Gunungpati. Bekas
rumah mereka dijadikan jalur hijau.
Sebetulnya pada saat banjir bandang tersebut, Pemerintah Kotamadya
Semarang sudah mempersiapkan solusi banjir untuk jangka panjang dan
mencakup seluruh wilayah Semarang. Pemerintah Kotamadya Semarang telah
merampungkan proyek Drainage Improvement Programme (DRIP) yang dibiayai
dengan dana pinjaman Bank Dunia. Proyek yang berlangsung sejak 1985 itu
mencakup normalisasi sungai-sungai di pusat kota, di antaranya Kali Garang,
Kali Semarang, dan Kali Banger Timur. Normalisasi itu didahului dengan proses
pembebasan lahan (terdiri dari 700 bidang tanah dan bangunan), juga relokasi
warga di sekitar sungai ke tempat lain.2 Proyek tersebut didukung pembuatan
pintu-pintu air di hilir DAS Garang, seperti di Tanah Mas dan Darat Lasimin,
yang difungsikan sebagai pencegah masuknya air laut ke muara sungai saat
banjir, sehingga tidak menghalangi air dari sungai terbuang ke laut. Pimpinan
proyek saat itu, Ir. Soeharto, menyebutkan jika semua normalisasi sungai di
pusat kota sudah tuntas, ibu kota Jawa Tengah ini bisa bebas banjir. 3 Tetapi
upaya tersebut bisa dibilang gagal. Buktinya tahun-tahun berikutnya hingga
saat ini (2021), banjir tetap saja terjadi di DAS Garang.
Bayu Wanapati, warga Ngemplak Simongan memperkirakan kecil ke-
mungkinan banjir bandang 1990 itu akan terulang. Menurut Bayu yang bekerja
sebagai Koordinator Bendung Simongan, hal itu karena telah ada mitigasi yang
_____
1 Lihat: J Christiono (25 Januari 2021), Tragedi Banjir Bandang Semarang 1990 yang Saya
Rekam. URL: https://www.youtube.com/watch?v=RE7_bvyYQVk, [diakses pada 20 Agustus
2020].
2 Suara Merdeka, 4 Juni 1985, “Dari 700 Rumah harus Dipapras Sekarang Tinggal 25 Buah
Saja”.
3 Suara Merdeka, 2 Januari 1990, ““Semarang Kaline Banjir” Bakal Tak Relevan Lagi”.
196
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
lebih baik, serta adanya pembangunan Waduk Jatibarang. 1 Ter-lepas dari sebe-
rapa besar efektivitas waduk tersebut terhadap pengendalian banjir, dari apa
yang dibicarakan Bayu dapat diketahui bahwa banjir tidak semata-mata ber-
gantung pada siklus air. Mitigasi dan pembangunan waduk tentu saja dilaku-
kan oleh manusia dengan keputusan-keputusan dalam relasi-sosial, berdasar-
kan pengalaman manusia tersebut dalam hubungan sosioalamiah dengan air,
tanah, pepohonan, bangunan, kendaraan, dan segala sesuatu lain yang ada di
sekelilingnya.
Ada peran sosial, yang disebut Bayu berupa mitigasi dan pembangunan
waduk, yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir. Proyek DRIP sebelum
banjir bandang 1990 hingga relokasi penduduk yang tinggal di bantaran Kali
Garang setelah banjir juga merupakan proses sosial yang berlilitan dengan
banjir. Dengan mendudukkan banjir di DAS Garang dalam momen sosio-
alamiah, di mana proses-proses sosial berada di dalamnya, maka bagian selan-
jutnya dari laporan ini akan merepolitisasi momen banjir sebagai bagian dari
urbanisasi.
_____
1 Lihat: Iwan Arifianto (3 Maret 2021). Tribun Jateng. “Foto Tragedi Banjir Bandang
Semarang 25 Januari 1990, 194 Tewas: Banjir 2021 Tidak Ada Apa-apanya”. URL:
https://jateng.tribunnews.com/2021/03/03/foto-tragedi-banjir-bandang-semarang-25-
januari-1990-194-tewas-banjir-2021-tidak-ada-apa-apanya?page=all, [diakses pada 30
Agustus 2021].
2 Saratri Wilonoyudho (2014) Migrasi dan Involusi di Kota Semarang. Jurnal Manusia dan
Lingkungan. 21(1): 114-120. Penelitian ini menggunakan data migrasi BPS mulai 2007.
Berkaitan dengan arus modal yang dimaksud, tidak dijelaskan kurun waktunya, namun
ditandai dengan hilangnya kampung-kampung di pusat Kota Semarang berganti pusat
bisnis. Wilonoyudho memaparkan adanya gentrifikasi di Kota Semarang yang menggiring
perpindahan dari pusat ke pinggir kota.
197
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
sebagai kota industri yang terbentuk sejak pertengahan abad ke-19 dan
terpusat di Kota Lama di mana tembok dan parit pelindung benteng per-
mukiman orang Eropa dihancurkan1, menyedot manusia-manusia dari ping-
girannya yang kemudian terkonsentrasi memadati kota. Sebagian dapat me-
nembus sektor formal, namun kebanyakan berakhir di sektor informal. Saya
menggunakan metafora mengerut untuk menandai proses tersebut, men-
dasarkannya pada konsep Lefebvre (2003) mengenai pengerutan. Sebagai-
mana telah dituliskan dalam Bab II mengenai ekologi politis urbanisasi, penge-
rutan menurut Lefebvre, ditandai dengan konsentrasi dari orang, aktivitas,
barang-barang, objek-objek, instrumen-instrumen dan pemikiran, yang mem-
bentuk realitas perkotaan.2
Penelitian Hadi dan Sadharto (2013), mengidentifikasi perkembangan
Kota Semarang yang berkecenderungan merembetkan sifat kekotaan ke arah
pinggiran, dari terencana sesuai rencana tata ruang yang dibuat pemerintah
hingga tidak terencana.3 Perkembangan yang dimaksud dalam penelitian
tersebut adalah pertambahan luasan area terbangun. Di DAS Garang, kecen-
derungan arah perkembangan pada rentang 1992-2000 adalah dari pusat kota
menuju ke arah barat, wilayah Semarang Barat. Pada kurun 2000-2009
karakteristik kekotaan merembet ke arah selatan, Kelurahan Bendan Duwur
Kecamatan Gajahmungkur, yang berada di Sub-DAS Garang, dan Kelurahan
Sumurejo Kecamatan Gunungpati di Sub-DAS Garang hulu. Perembetan
tersebut juga terjadi di Sub-DAS Kreo yang seluruhnya berada di Kecamatan
Gunungpati, meliputi Kelurahan Gunungpati, Jatirejo, Kandri, Bubakan,
Karangmalang, Polaman, Purwosari, dan Tambangan. Perembetan kekotaan di
Sub-DAS Kripik terjadi di Kelurahan Mangunsari, Patemon dan Plalangan, yang
juga berada di Kecamatan Gunungpati.
Proses perembetan tersebut saya umpamakan sebagai momen meledak,
dengan kembali merujuk Lefebvre (2003). Lefebvre menandai ledakan dengan
proyeksi yang banyak, fragmen-fragmen yang tercecer seperti pinggiran,
kawasan suburbia, vila-vila peristirahatan, hingga kota-kota satelit.
Pengerutan atau ledakan, mana yang lebih dulu terjadi pada suatu tem-
pat tertentu? Menurut Lefebvre (2000) kedua hal tersebut tidak berdiri sendiri-
sendiri, melainkan merupakan proses ganda penaklukan kota oleh industriali-
_____
1 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. Halaman 28 sub
bab Menjadi Kota Industri.
2 Lefebvre H (2003) The Urban Revolution. Minneapolis: University of Minnesota Press.
3 Marhensa A. Hadi dan MR Djarot Sadharto W (2013) Urban Sprawl di Kota Semarang:
Karakteristik dan Evaluasinya Terhadap Perencanaan Detail Tata Ruang Kota. Jurnal Bumi
Indonesia 2(4). Diambil dari http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/560
198
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
sasi.1 Industrialisasi untuk kasus Semarang dalam hal ini saya terjemahkan
sebagai masuknya arus modal seperti yang disebut oleh Wilonoyudho (2014).
Pengerutan dan ledakan menjadi momen simultan “pengerutan-ledakan” da-
lam proses pembentukan kota (pengotaan) yang selanjutnya memproduksi
krisis-krisis perkotaan yang oleh Lefebvre (2000) disebut sebagai urban
problematique. Dalam pengamatan urbanisasi di DAS Garang ini, bentuk krisis
yang ditandai sebagai fokusnya adalah banjir dalam metafora “meluap”.
Meluap dalam hal ini mendeskripsikan sekaligus sebagai perumpamaan
tentang air yang tidak tertampung dalam wadahnya, kemudian meluber kema-
na-mana. Meluap tidak akan menjadi sesuatu yang disebut krisis jika tidak
ditautkan dengan proses mengerut-meledak di mana ada aktivitas sosial, yang
di Kota Semarang telah ditunjukkan Wilonoyudho (2014) sebagai situasi yang
dibentuk oleh arus modal, di dalamnya. Maka mengerut-meledak-meluap
akan dipakai untuk menuturkan produksi risiko banjir di DAS Garang sebagai
model urbanisasi yang tersituasi.
Telah saya tuliskan pada awal Bab ini, bahwa saya merupakan warga
pendatang dari luar Kota Semarang yang hidup di area DAS Garang. Oleh ka-
rena itu bagian selanjutnya dari laporan ini akan terus melibatkan pengetahu-
an dan pengalaman saya sebagai material empiris dalam mengamati proses
urbanisasi di DAS Garang. Tentu saja hal ini memiliki potensi perdebatan ketika
masuk ke ranah epistemologi, berkaitan dengan objektivitas dan validitas in-
formasi yang dihasilkan dalam pengamatan DAS Garang. Namun siapa
sebetulnya yang berhak disebut sebagai pemilik pengetahuan dalam penga-
matan berkaitan dengan sosial?
Untuk itu saya menyandarkannya pada pendapat Donna Haraway (1988)2
tentang pengetahuan tersituasi (situated knowledge). Pengetahuan tersituasi
membalikkan doktrin objektivitas dalam epistemologi dengan embodied
objectivity, objektivitas yang terkandung dalam pengalaman, yang mengako-
modir pengetahuan feminis yang kritis. Pengetahuan tersituasi itu sendiri me-
rupakan gagasan bahwa semua bentuk pengetahuan mencerminkan kondisi
tertentu di mana mereka diproduksi, dan pada tingkat tertentu mencerminkan
identitas sosial dan lokasi sosial produsen pengetahuan.3 Saya, manusia yang
_____
1 Lefebvre H (2000) Writings on Cities. Massachusetts: Blackwell Publishers Inc. Dalam Bab
II telah disebutkan bahwa “penaklukan kota oleh industrialisasi memproduksi krisis-krisis
perkotaan melalui proses ganda pengerutan-ledakan.”
2 Donna Haraway (1988) Situated Knowledges: The Science Question In Feminism And The
Privilege Of Partial Perspective. Feminist Studies 14(3): 575-599.
3 Alisdair Rogers, Noel Castree dan Rob Kitchin (2013) A Dictionary of Human Geography.
Oxford: Oxford University Press. Tentang frasa situated knowledge. URL: https://
www.oxfordreference.com/view/10.1093/acref/9780199599868.001.0001/acref-
9780199599868-e-1686?rskey=l17HkJ&result=1681, [diakses pada 21 Agustus 2021].
199
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
hidup dalam sosiospasial yang disituasikan oleh arus modal dengan aktivitas
sosioalamiah, merupakan bagian dari proses pengotaan di DAS Garang. Maka
pengalaman dan pengetahuan dalam situasi tersebut akan saya interogasi
untuk mengamati dan memahami secara kritis proses urbanisasi dalam me-
tafora mengerut-meledak-meluap di DAS Garang.
-_-...
- Knp1t,.
Gambar VII.1: Peta Sub-DAS dalam DAS Garang yang diolah dengan melakukan overlay
peta Sub-DAS di DAS Garang dalam Nugraha dan Cahyadi (2012) dan peta
daerah banjir Semarang yang diolah Maleh Dadi Segoro.
Bagi Kota Semarang, DAS Garang merupakan penyangga di mana kota duduk.
Aliran sungai utama di DAS ini, Kali Garang, yang bermata air di Kawasan
Gunung Ungaran Kabupaten Semarang dan bermuara di pesisir utara Kota
Semarang, berikatan dengan penduduk Kota Semarang dalam relasi sosio-
alamiah. Kali Garang menjadi salah satu sumber air baku yang digunakan
200
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Moedal Kota Semarang yang
melayani penyediaan air bersih untuk 186.726 pelanggan, mencakup kira-kira
60% wilayah Kota Semarang.1 Pada 1990, 60% sumber air baku PDAM berasal
dari Kali Garang. Ketika banjir bandang saat itu terjadi, instalasi penjernihan
PDAM Tirta Moedal di Kali Garang mati total, mesin penjernih terendam air
setinggi dua meter dan dimasuki lumpur. Pipa-pipa air minum di pinggir Kali
Garang patah, tiga pipa di hulu DAS Garang di Ungaran putus. Layanan
dihentikan hingga perbaikan selesai.2
Secara administratif DAS Garang melintasi tiga wilayah Kabupaten/Kota
di Jawa Tengah; 33,38% area berada di Kabupaten Semarang, 12,79% di
Kabupaten Kendal dan yang terbesar, 53,82%, berada di Kota Semarang bagian
selatan. Luas seluruhnya mencakup 21.277,36 hektar (Ha). Sumber lain
menyebut luas DAS Garang mencapai 20.915,91 Ha.3 Perbedaan luas ini
lumrah atau dapat dipahami dan diterima. Hal ini bisa saja terjadi karena,
misalnya, perbedaan data dasar seperti Digital Elevation Model (DEM) yang
dipakai untuk menarik batas atau luasan DAS Garang, atau juga subjektivitas
orang yang mengerjakannya (lihat bagian Metodologi di Bab III). Sedangkan,
pengamatan DAS Garang dalam penelitian ini difokuskan, namun tidak
terbatas, pada wilayah yang ada di area administrasi Kota Semarang. Hadirnya
DAS Garang di tiga wilayah kabupaten/kota, dengan sendirinya adalah sebuah
manifestasi kritik terhadap pengurusan wilayah berbasis administrasi. Bahwa,
wilayah atau unit lingkungan/ekologi seperti DAS tidak sinkron dengan
pembagian administrasi (yang entah dibagi berdasarkan apa).
Terdapat tiga Sub-DAS besar pada DAS Garang yaitu, Sub-DAS Garang,
Sub-DAS Kripik, dan Sub-DAS Kreo. Berdasarkan peta pada Gambar VII.1,
wilayah-wilayah di Kota Semarang yang berada di dalam Sub-DAS Garang
adalah: Kelurahan Sumurejo, sebagian Pudakpayung, Srondol Kulon, sebagian
Sekaran, Tinjomoyo, sebagian Sukorejo, Karangrejo, Bendan Duwur, Kaliwiru,
Gajahmungkur, Wonotingal, Sampangan, Petompon, Lempongsari, Bongsari,
Mugasari, Barusari, Bulustalan, Krobokan, Bulu Lor, Tawang Mas, Panggung
Lor, dan Kelurahan Panggung Kidul.
Sedangkan yang berada di Sub-DAS Kripik adalah: Kelurahan Plalangan,
sebagian Gunungpati, Pakintelan, Mangunsari, sebagian Nongkosawit, Ngijo,
Patemon, Kalisegoro, Pongangan, sebagian Sekaran, dan sebagian Kelurahan
Sadeng. Yang berada di DAS Kreo adalah: sebagian Kelurahan Gunungpati,
_____
1 https://www.pdamkotasmg.co.id/page/cakupan_pelayanan [diakses pada 21 Agustus
2021].
2 Suara Merdeka, 27 Januari 1990, “Banjir “Bandhang” Puruskan 3 Pipa Air Minum di Unga-
ran”.
3 http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/02/Artikel-Identifikasi-
Pengendalian-Pemanfaatan-Ruang.pdf [diakses pada 22 Juli 2021].
201
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Dewi Liesnoor Setryowati dan Erni Suharini (2014) DAS Garang Hulu (Tata Air, Erosi dan
Konservasi). Yogyakarta: Penerbit Ombak. Halaman 6.
2 Hengky Nugraha dan Ahmad Cahyadi(2012) Analisis Morfometri Menggunakan Sistem
Informasi Geografis Untuk Penentuan Sub DAS Prioritas (Studi Kasus Mitigasi Bencana
Banjir Bandang di DAS Garang Jawa Tengah. Seminar Nasional Informatika (semnasIF
2012) UPN Veteran Yogyakarta, 30 Juni 2012. URL: https://media.neliti.com/media/
publications/175276-ID-analisis-morfometri-menggunakan-sistem-i.pdf [diakses pada 19
Juli 2021].
202
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
meresapkan air semakin berkurang sehingga air tidak tertampung dan mem-
banjiri daerah hilir. 1
Lisnoor dan Suharini (2014) menyebutkan penurunan kemampuan DAS
Garang ditandai dengan terjadinya banjir di musim hujan dan kekeringan di
musim kemarau, karena tanah tidak mampu menyimpan air. Penelitian
tersebut secara sederhana mengelompokkan penyebab banjir dalam dua
komponen. Pertama adalah komponen masukan, meliputi intensitas hujan,
lama hujan, dan distribusi hujan. Kedua adalah komponen sistem DAS yang
meliputi topografi, jenis tanah, morfometri DAS, tipe penggunaan lahan, dan
sistem pengelolaan lahan. Berbeda dengan pendapat yang mengatakan
bahwa banjir di Semarang disebabkan siklus hidrologi berkala atau sering
disebut dengan cuaca atau curah hujan yang ekstrem, Lisnoor dan Suharini
(2014) secara meyakinkan menunjukkan bahwa sistem pengelolaan lahan
justru merupakan faktor utama, meski jelas bukan satu-satunya, penyebab
terjadinya banjir.
Nugraha dan Cahyadi (2012) menunjukkan analisis morfometri (analisis
matematis tentang roman bawah dan atas permukaan Bumi) di DAS Garang
yang memiliki relief bergunung-gunung, yang mana material bawah
permukaannya kedap air dan vegetasinya jarang.2 Sedangkan temuan awal
Maleh dadi Segoro (MDS) menggunakan analisis citra satelit dalam penelitian
ini, menunjukkan adanya perluasan area terbangun yang dibarengi dengan
penurunan luasan vegetasi. Momen sosiospasial tersebut tidak terjadi tiba-
tiba, melainkan berlangsung bertahun-tahun. Gambar VII.2 berikut ini
menunjukkan perubahan penggunaan lahan di DAS Garang sejak 1970-an.
_____
1 Lihat: Budi Aris (4 Maret 2021), Banjir di Semarang Terjadi Karena DAS Garang Perlu
Konservasi, Radio Idola. URL: https://www.radioidola.com/2021/banjir-di-semarang-
terjadi-karena-das-garang-perlu-konservasi/ [diakses pada 27 Juni 2021].
2 Hengky Nugraha dan Ahmad Cahyadi (2012) Analisis Morfometri Menggunakan Sistem
Informasi Geografis Untuk Penentuan Sub DAS Prioritas (Studi Kasus Mitigasi Bencana
Banjir Bandang di DAS Garang Jawa Tengah. Seminar Nasional Informatika (semnasIF
2012) UPN Veteran Yogyakarta, 30 Juni 2012. URL: https://media.neliti.com/media/
publications/175276-ID-analisis-morfometri-menggunakan-sistem-i.pdf [diakses pada 19
Juli 2021].
203
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
2013
Gambar VII.2: Evolusi penggunaan ruang di DAS Garang pada 1973-2020. Warna hijau
merupakan area vegetasi, sedangkan warna kuning merupakan area
terbangun.
Dari data citra satelit tersebut diketahui bahwa pada 1973 DAS Garang masih
didominasi oleh vegetasi, yang komposisinya mencapai 90,2%. Pada tahun itu,
area terbangun di DAS Garang masih sangat sedikit, baru 8,9%. Pada 1980-an
perubahan masif terjadi di DAS Garang yang tampak berakibat pada menurun-
nya luasan vegetasi pada 1989. Hal itu dibarengi dengan naiknya luasan area
terbangun, terutama di hulu DAS Garang sehingga mencapai 9,7%. Pemba-
ngunan di kawasan hulu DAS Garang tampak mengurangi tutupan air hingga
204
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
tinggal 0,3% saja. Pada 1999 tampak adanya peningkatan luasan area terba-
ngun yang cukup tajam, menjadi 23,7%. Tentu saja hal itu menurunkan luasan
vegetasi hingga menjadi 76,1% dan tutupan air pun terus menurun menjadi
2%.
Peta pada 2013 menunjukkan kawasan hulu DAS Garang sudah banyak
yang ditutupi bangunan. Luasan area terbangun mencapai 42,8%, sedangkan
luasan vegetasi turun menjadi 51%. Luasan vegetasi tersebut terus turun
hingga 2020 di mana komposisinya lebih rendah, sebesar 36,3%, ketimbang
area terbangun yang sudah mencapai 63,2%. Namun pada 2020, tutupan air
di DAS Garang justru bertambah menjadi 0,5%. Hal itu dikarenakan ada
pembangunan Waduk Jatibarang pada 2014-2015. Pembangunan waduk yang
meningkatkan luasan tutupan air itu mengurangi luasan vegetasi, bukan
luasan area terbangun.
Gambar VII.3: Bendungan Simongan di Banjir Kanal Barat (BKB), di hilir DAS Garang,
yang dibuat oleh Belanda pada 1873-1879. Di kejauhan, tampak Bukit
Papandayan yang padat dengan bangunan. Di belakang bukit tersebut
berdiri gedung-gedung di kompleks kampus Kelurahan Bendan Duwur.
Foto diambil dari Jembatan Lemah Gempal pada September 2021.
205
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
lahan yang tidak sesuai fungsi. Misalnya, di Kota Semarang banyak dijumpai
wilayah kantong air telah ditutup untuk pemukiman dengan mengambil tanah
galian dari bukit yang mestinya berfungsi sebagai daerah resapan air. Pemba-
ngunan bagian hilir pun menjadi semakin tidak terkendali, sehingga menjadi-
kan daerah resapan air tidak berfungsi. Kerusakan itu ditambah problem
sedimentasi Kali Garang yang menurut Dinas Permukiman dan Tata Ruang
(Distaru) Provinsi Jawa Tengah (2005) telah mencapai 20 ton/ha/tahun.
Sedimentasi di Kali Garang merupakan akibat dari proses urbanisasi berupa
pengembangan area Semarang bagian atas untuk keperluan pemukiman,
industri, penambangan, dan lain-lain. Aktivitas itu memicu erosi yang terbawa
oleh peningkatan debit sungai, sehingga menumpuk menjadi endapan di
Banjir Kanal Barat (BKB) yang merupakan hilir DAS Garang (Gambar VII.4). 1
Salah satu temuan Wilonoyudho (2014) di DAS Garang adalah terjadinya
pemindahan penduduk, atau dalam tulisan ini saya sebut sebagai momen
sosiospasial, seperti dari Jalan Seroja Kelurahan Karang Kidul Kecamatan
Semarang tengah yang berada di DAS Babon, ke Kampung Kalialang Kelurahan
Sukorejo Kecamatan Gunungpati di Sub-DAS Kripik. Ada juga pemindahan
penduduk dari Kelurahan Bongsari, Kelurahan Gisikdrono, dan dari Tanah Mas
Kelurahan Panggung Lor, yang ketiganya berada di Sub-DAS Garang, ke Kam-
pung Kalialang.
_____
1 Reza Juan Prakarsa, Ridho Anggoro, Abdul Kadir, dan Al Falah (2013) Analisis Kapasitas
Penampang Banjir Kanal Barat Kota Semarang Untuk Perencanaan Pengendalian Banjir.
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. URL: https://
ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkts/article/download/4170/4038 [diakses 21 pada
Agustus 2021.
206
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar VII.4: BKB merupakan hilir DAS Garang menuju laut. Sungai ini dibuat lurus
oleh Belanda mempercepat air masuk ke laut dan mencegahnya masuk
kota melewati hilir Kali Garang yang asli, yakni Kali Semarang yang
berkelok-kelok di dalam kota. Gambar diambil dari Jembatan Lemah-
gempal pada September 2021
Pengamatan momen ini dibagi dalam tiga bagian secara kronologis, dengan
mempertimbangkan letak pusat pengerutan dan ledakan terjadi, arah serpih-
_____
1 Suara Merdeka, 10 Januari 1985, “Untuk Kedua Kalinya, Bangunan Tanpa Izin di Tepi Kali
Seroja Dibongkar Tibum”.
207
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
an dari ledakan membentuk pengerutan baru, apa dan siapa saja yang ada
dalam momen tersebut, serta bagaimana momen terjadi. Keseluruhannya
menggunakan pendekatan-pendekatan DAS dan Sub-DAS. Lokasi-lokasi yang
disebutkan dalam tulisan, beberapa disajikan dalam peta pada Gambar VII.5.
..
'.
0
A1 2 km
-=
Skala 1:100.000
Keterangan
Sungai
e Lokasl
OAS Garang
Peta Oasar: Google Satellite
mn,.
ii'"iuu
Pengotaan di DAS Garang dimulai dari ledakan di hilir DAS Babon yang berada
di Semarang bagian utara. Pada mulanya adalah jatuhnya Semarang ke tangan
kongsi dagang Hindia Timur, VOC, setelah digadaikan oleh penguasa Mataram.
Pada 1695 VOC merencanakan pembangunan Benteng De Vijfhoek di sisi timur
Kali Semarang, saat ini berada di Kawasan Kota Lama yang menurut pem-
bagian administrasi saat ini berada di Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan
Semarang Utara. Benteng tersebut berada di dekat titik pertemuan dengan
sungai yang membujur dari barat ke timur menuju Desa Kaligawe dan Desa
Terboyo.1 Lokasi tersebut dipilih karena Kali Semarang merupakan salah satu
pusat transportasi, pintu masuk kota dari arah laut. Pembangunan benteng
_____
1 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. Halaman 84.
208
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. Halaman 57.
2 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep . Halaman 109.
3 S.R. Sari dan E.P Hendro (2020) Konservasi Kampung Pecinan Semarang sebagai Media
Integrasi yang Berdimensi Multikultiralism. Endogami (Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi)
4(1): 93-108.
4 Amen Budiman (2021) Sejarah Semarang. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. Halaman 290.
209
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Lihat: BPCB Jateng (8 Agustus 2016), Stasiun Poncol Semarang, URL: https://
kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/stasiun-poncol-semarang/ [diakses pada 1
September 2021].
210
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
211
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
212
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 8 Januari 1962, “Djantra Akan Dipindahkan ke Simongan”.
2 S.R. Sari dan E.P Hendro (2020) Konservasi Kampung Pecinan Semarang sebagai Media
Integrasi yang Berdimensi Multikultiralism. Endogami (Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi)
4(1): 93-108.
213
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
waktu tiga tahun untuk membangun pabrik baru beserta bangunan lainnya
tersebut. 1
Tahap I pembangunan pabrik Djantra yang namanya kemudian berubah
menjadi Catur Jantra Benang Tenun PT PPK dan kerap disebut sebagai PPK
(kepanjangan dari Pabrik Pemintalan Kapas) Jantra Simongan (selanjutnya
dalam tulisan ini akan disebut PT Catur Jantra), dilaksanakan oleh PT Amarta
pada rentang 1963-1969. Tahap I pemindahan yang menelan biaya Rp246 juta
dari anggaran pembangunan pemerintah RI itu menghasilkan rangka bangu-
nan yang 80% menggunakan struktur baja. Pembangunan tahap II yang
berlangsung pada 1973-1975 didanai dengan bantuan dari Inggris sebesar £
1,8 juta, pada saat itu setara dengan Rp1,951 miliar. Selain itu pendanaan
pembangunan pabrik baru PT Catur Jantra juga didanai kredit dari Bapindo
sebesar Rp549 juta. Pada pembangunan tahap II itu dilakukan upacara pe-
letakan batu pertama oleh Isriati, istri Gubernur Jawa Tengah kala itu, Mayjend
(purn) Moenadi, setelah sebelumnya diadakan penanaman kepala kerbau oleh
Bupati Semarang, Ismail, yang mewakili Wali Kotamadya Semarang.2
Pabrik PT Catur Jantra bukan pertama yang ada di Simongan. Sebelumnya
sudah ada pabrik di sana, di antaranya pabrik kaos dan pabrik obat-obatan
Phapros. Pendirian pabrik farmasi PT Phapros (Gambar VII.6) sendiri sudah
sejak 1954. Perusahaan ini merupakan pengembangan salah satu usaha
taipan Oei Tiong Ham (Oei Tiong Ham Concern) yang kantornya berpusat di
bekas Kota Benteng. Dahulu PT Phapros bernama NV Pharmaceutical Proces-
sing Industries.3
Pembangunan pabrik PT Catur Jantra di Simongan juga bukan yang
terakhir. Pada 1968, Perusahaan Negara Farmasi (PNF) Bhinneka Kimia Farma
membangun proyek pengembangan castor oil di Simongan.4 PNF Bhineka
Kimia Farma merupakan peleburan sejumlah perusahaan farmasi oleh peme-
rintah, yang salah satunya adalah Kimia Farma. Kimia Farma sendiri meru-
pakan hasil nasionalisasi 1958 terhadap perusahaan industri farmasi pertama
di Hindia Belanda NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co yang berdiri pada
1817. Pabrik castor oil di Simongan diresmikan oleh Presiden RI Soeharto pada
7 Juni 1971. Dalam pidato peresmian, Soeharto menyebutkan produksi castor
oil atau minyak jarak itu untuk ekspor. Proyeksinya, dari pasar internasional
_____
1 Suara Merdeka, 20 Februari 1962, “Pabrik Djantra Djadi akan Pindah ke Simongan”. Dalam
sumber ini, disebutkan sebagai PKK Jantra. Penulis menduga, sumber kurang tepat
menyingkat “Pabrik Pemintalan Kapas”.
2 Suara Merdeka, 26 Desember 1973, “Djantra Jadi Dipindah Simongan Semarang”.
3 Lihat: Sejarah Phapros. URL: https://www.phapros.co.id/sejarah-phapros [diakses pada 27
Agustus 2021].
4 Suara Merdeka, 19 April 1968, “BKF Sedang Bangun Projek Castor Oil di Simongan
Semarang”.
214
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
minyak jarak akan dapat mendulang devisa sebanyak USD 1,5 juta/tahun. 1 Se-
lanjutnya, sejak Agustus 1971 badan hukum PNF berubah menjadi Perseroan
Terbatas dan namanya menjadi PT Kimia Farma (Persero). Hingga saat ini
pabrik castor oil masih berproduksi (Gambar VII.7). Selain minyak jarak, pabrik
ini mengembangkan produksi edible oils dan kosmetika.
Gambar VII.6: Pabrik PT Phapros berada di Jalan Simongan Raya, di belakang Kom-
pleks Kelenteng Sam Poo Kong. Di belakang pabrik tampak rumah-
rumah berada di atas Bukit Simongan. Foto diambil pada September
2021.
Pabrik castor oil milik Kimia Farma di Simongan itu kerap diterjang banjir. Pada
19 Maret 2019, ketika melintasi pabrik tersebut dalam perjalanan pulang kerja,
saya melihat pagar pabrik roboh diterjang banjir. Halaman pabrik tampak
digenangi air yang saya perkirakan setinggi paha orang dewasa. Rekaman
peristiwa tersebut, oleh orang yang melintas, juga banyak beredar di media
sosial.2
Sosiospasial di Kelurahan Simongan terus mengerut, dibarengi momen
sosioalamiah seperti pembangunan jalan. Seiring dengan pembangunan
_____
1 Arsip nasional RI, Sekretariat Negara Seri Pidato Presiden Soeharto 1966-1998 No.768
https://tr-tr.facebook.com/ArsipNasionalRI/posts/2020773998085933 [diakses pada 25
September 2021].
2 Lihat: Sisi Media (19 maret 2019), Akibat Banjir Pagar Kimia Farma Simongan Ambruk
https://www.youtube.com/watch?v=p4uZQSZfu98 [diakses pada 7 September 2021].
215
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VII.7: Pagar biru pada Pabrik PT Kimia Farma (Persero) ini jebol diterjang
banjir pada 19 Maret 2019. Air menggenangi halaman di dalam pagar
pabrik. Dalam gambar tampak jalur pada gerbang dibuat lebih tinggi
dari halaman. Foto diambil pada September 2021.
Selain untuk memperlancar arus lalu lintas menuju Simongan, pelebaran jalan
tersebut juga bertujuan untuk mempermudah lalu lintas menuju kampus
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri di Sampangan (sekarang
Universitas Negeri Semarang/UNNES di Sekaran, Gunungpati) yang dibangun
sejak 1970-an. Pembiayaan pelebaran jalan ini bersumber dari APBD Kota
_____
1 Suara Merdeka, 8 Agustus 2021, “Perbaikan Jalan Simongan”.
2 Suara Merdeka, 7 Mei 1984, “Balai Desa Ngemplak Simongan Selesai Dibangun”.
216
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 9 November 1984, “Jalan Kaligarang Dilebarkan dari 4,5 meter Jadi 6
Meter”.
2 Suara Merdeka, 17 Januari 1985, “Jembatan Simongan Akan Segera Diganti; Dapat
Dilewati Roda 4”.
3 Suara Merdeka, 5 Desember 1986, “Jalan Simongan, Bagai Kubangan Kerbau”.
4 Suara Merdeka, 7 Februari 1987, “Pengusaha Sekitar Simongan Siap Membantu Perbaikan
Jalan Rusak”.
217
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VII.8: Bagian depan Pabrik PT Damaitex, terletak di seberang SPBU Simo-
ngan. Korban meninggal paling banyak pada banjir bandang 1990
adalah dari tempat ini. Aliran Kali Garang di belakang pabrik ini tampak
menikung. Pabrik ini telah diakuisisi oleh Duniatex milik Keluarga
Hartono yang juga pengusaha perhotelan, mal dan rumah sakit. Foto
diambil dari Jalan Simongan Raya pada September 2021.
_____
1 Para pendatang Tionghoa yang tinggal di Gedungbatu (dalam sumber ini ditulis Gedong
Batoe) membuat gula yang berbeda dengan gula yang dibuat dengan menggiling tebu
menggunakan tenaga kerbau, yang juga berbeda dengan pembuatan gula aren oleh warga
pribumi. Penggilingan gula tebu didirikan di dekat Gedungbatu, karenanya, tempat itu
kemudian disebut Desa Penggiling. Orang-orang Tionghoa menyewa tegalan dari
penduduk desa sekitar Gedungbatu untuk ditanami tebu, selain itu ada tebu yang ditanam
penduduk desa. Liem Thian Joe (1955) Riwayat Semarang (Dari Zamannya Sam Poo
Sampai Terhapusnya Kongkoan) 1416 – 1931. Semarang – Batavia: Boekandel Ho Kim Yoe.
218
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
di Surakarta pada 1974 oleh Keluarga Hartono.1 Konflik ganti rugi penggusuran
di DAS Garang saat itu juga terjadi antara penduduk di Kelurahan Wonotingal
(Sub-DAS Garang) 2 dengan Hotel Patrajasa3 dalam proyek pembangunannya.
Di kalangan penduduk Simongan terjadi perubahan pekerjaan sekaligus
pergeseran relasi sosioalamiah antara penduduk dengan lingkungan di seki-
tarnya. Pekerjaan bercocok tanam yang dahulu didapati di Simongan, berge-
ser menjadi penambang batu padas dengan risiko kematian. Bukit Simongan
dicatat telah berulang kali longsor sejak 1974. Pada April 1974 Harian Suara
Merdeka memberitakan ada enam orang meninggal terkena longsoran akibat
penambangan Bukit Simongan. Satu jasad di antaranya baru ditemukan bebe-
rapa hari kemudian. Peristiwa itu meresahkan penduduk lain yang tinggal di
sana.4 Setahun kemudian pada September 1975, bukit padas yang terletak di
antara pabrik Phapros dengan pabrik Kimia Farma runtuh. Material besar dan
berat menutup Jalan Simongan di bawahnya.5 Pada Januari 1978, dua orang
diberitakan tewas tertimbun material padas Bukit Simongan.6
Pada Juli 1980 bukit padas Simongan (Gambar VII.9) di dekat pabrik PT
Damaitex longsor dengan material padas menutup jalan Panjangan. Pada saat
itu lalu lintas tersendat, kendaraan tidak bisa lewat dan harus memutar sampai
ke Kalibanteng. Karena material longsoran terlampau berat, maka digunakan
bahan peledak untuk menyingkirkannya dari jalan.7 Februari 1984 Bukit Simo-
ngan kembali longsor, ini adalah longsor kali kedua dalam dua bulan terakhir
kala itu. Angkutan umum yang mengarah ke Kalipancur tidak dapat beroperasi
_____
1 Hartono merupakan ayah dari Sumitro Hartono yang selain mengendalikan perusahaan
tekstil juga mengembangkan bisnis mal dan perhotelan (misalnya: Bestwestern Solo Baru,
Noorman Hotel Semarang, Favehotel Solo, The Alana Hotel Solo, Hartono Trade Center,
Hartono Mal di Solo dan Yoyakarta, Hotel Marriot Yogyakarta, De Salvatore Art & Boutique
Yogyakarta, De Rivier Hotel Jakarta Barat, dan Wisma Hartono Yogyakarta), dan Rumah
Sakit Indriati di Surakarta dan Boyolali. Pada 2019, Duniatex dan usaha yang terafiliasi
dengannya mengalami gagal bayar atas utang senilai USD 260 juta. Lihat: Tim Redaksi VOI
(2 Desember 2020), Cari Duit Buat Bayar Utang Rp19 Triliun: Setelah Jual Dua Mall,
Duniatex Masih Punya rumah Sakit, URL: https://voi.id/berita/21677/cari-duit-buat-bayar-
utang-rp19-triliun-setelah-jual-dua-hartono-mall-duniatex-masih-punya-rumah-sakit
[diakses pada 27 September 2021].
2 Suara Merdeka, 31 Mei 1974, “Ganti Rugi Tanah Simongan dan Wonotingal Dalam
Pengusutan”.
3 Hotel Patrajasa dikelola oleh PT Patra Jasa, anak perusahaan PT Pertamina (persero) yang
bergerak melalui 3 pilar bisnis, yaitu Property & Development, Hotels & Resorts dan
Services. Lihat: Tata Kelola Perusahaan Patrajasa, https://patra-jasa.com/id/, [diakses
pada 4 Oktober 2021].
4 Suara Merdeka, 9 April 1974, “Djumadi Ketemu Tewas Ketimbun Tanah Simongan”.
5 Suara Merdeka, 22 September 1975, “Bukit Padas Simongan Semarang Makin Gawat”.
6 Suara Merdeka, 10 januari 1978, “Lagi 2 Tewas Tertimbun Padas di Bukit Simongan
Semarang”.
7 Suara Merdeka, 15 Juli 1980, “Bukit Simongan Longsor dan Tutup Jalan; Disingkirkan
dengan Dinamit”.
219
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VII.9: Perkampungan di bawah Bukit Simongan di tepi Jalan Simongan Raya, di
mana sepanjang tepi jalan tersebut terdapat rumah-rumah tinggal
berdinding seng, lapak kaki lima yang berjualan makanan dan minuman.
Tampak tebing bekas penambangan padas yang di atasnya terdapat
perkampungan. Foto diambil pada September 2021.
Bukit Simongan belum berhenti longsor. Pada 25 Februari 1991 lima rumah di
Simongan tertimpa longsor pada dini hari. Masing-masing adalah rumah
Karno, Saripan, Ngatinem, Sarwidi, dan Suyatmo. Suyatmo sendiri meninggal
dalam peristiwa tersebut. Komisi A (Bidang pemerintahan dan Pertahanan
Keamanan) DPRD Kota Semarang lewat ketuanya saat itu, Abdul Wahab
Djaelani, mendesak Pemerintah Kotamadya Semarang untuk membangun
tanggul-tanggul tanah di sekitar dasar bukit. Hal itu supaya kendaraan
pengangkut tanah galian tidak bisa masuk lokasi penambangan. Komisi A
menyebut penggalian tersebut sebagai pelanggaran keputusan pemerintah
kota berkaitan larangan penambangan Bukit Simongan. Komisi A meminta
_____
1 Suara Merdeka, 16 Febriari 1984, “Bukit Simongan Longsor”.
2 Suara Merdeka, 28 Juni 1985, “Lagi-Lagi Bukit Simongan Minta Korban”.
220
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 26 Februari 1991, “Pemda Kodya Diminta Tindak Tegas Penggali Tanah
Padas di Bukit Simongan”.
2 Suara Merdeka, 22 Maret 1980, “Rumah-Rumah Tak Resmi di Simongan Dibongkar”.
221
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
perebutan ruang ini. Yang mana, PT Catur Jantra-lah yang dinyatakan memiliki
lahan tersebut.1
Dengan demikian, penggusuran-penggusuran atas nama legalitas kepe-
milikan lahan terus berlanjut di Simongan. Pada Februari 1987 rumah-rumah
di Simongan dibongkar oleh Unit Ketertiban Umum karena dianggap berdiri
secara tidak sah tanpa izin pemilik tanah maupun izin Pemerintah Kotamadya
Semarang. Orang-orang yang digusur tersebut kebingungan lantaran pem-
bongkaran dilakukan saat musim penghujan.2 Tidak hanya rumah warga, pe-
dagang kaki lima di Ngemplak Simongan juga digusur. Pada 2000 sekurangnya
50 pedagang di dekat Kelenteng Sam Poo Kong Gedungbatu digusur untuk
perluasan Kawasan parkir. Sebelumnya 16 pedagang telah digusur untuk pro-
yek jalan dan Jembatan Kali Garang (Gambar VII.10). 3
Proyek jalan dan jembatan itu dilakukan dengan dana Rp16 miliar, ber-
sumber dari APBN sebesar 20% dan dana dari International Bank for Reconstruc-
tion and Development (IBRD), grup Bank Dunia yang bermarkas di Washington
D.C Amerika Serikat, sebesar 80%. Jembatan yang dibangun memiliki panjang
80,8 meter, lebar 20 meter, dan tinggi 21 meter. Tujuannya adalah untuk
mengurangi kepadatan lalu lintas di pusat kota, di mana lalu lintas dari sebelah
barat kota menuju timur kota dan sebaliknya, selalu lewat kawasan padat
kendaraan di pusat kota, seperti Jalan Jenderal Sudirman, kawasan Tugumuda,
Jalan Pandanaran, dan Jalan Ahmad Yani. Proyek pembangunan jalan dan
jembatan itu juga turut melancarkan lalulintas menuju kawasan pabrik di
Simongan. Kecelakaan terjadi pada saat pembangunan, di mana belandar
beton yang telah dipasang berjajar lima, roboh ketika pemasangan beton ke
enam. Sebelumnya, setiap malam selama pengerjaan proyek, warga sekitar
mendengar suara gemuruh seperti banjir meskipun kenyataannya tidak.4 Ke-
rugian akibat kejadian tersebut mencapai Rp1 miliar, di mana harga satu
belandar beton mencapai Rp176 juta. Kepala Cabang PT Hutama Karya VII
(kontraktor yang melaksanakan proyek bersama PT Wijaya Karya), Heru
Jatmiko, menyebut karena kejadian tersebut enam belandar yang patah akibat
roboh diganti dengan memesan dari PT Wika Beton di Cibinong, Jawa Barat.
_____
1 Suara Merdeka, 31 Maret 1983, “Tanah PKK jantra Simongan Mulai Dikapling Orang”.
2 Suara Merdeka, 18 Februari 1987, “Warga Ngemplak Simongan yang Tergusur Dapat
bantuan”.
3 Suara Merdeka, 9 Agustus 2000, “PKL Simongan Direlokasi”.
4 Suara Merdeka, 22 November 1999, “Belandar Beton Jembatan Kaligarang Ambrol”.
222
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar VII.10: Jembatan Kali Garang yang dalam pembangunannya menggusur pen-
duduk setempat ke Pongangan, Kecamatan Gunungpati. Penggusuran
tersebut menyisakan konflik di mana warga tidak diberi uang pengganti
yang sesuai dengan nilai tanah dan rumah yang dilepas. Foto diambil
pada September 2021.
Selain para pedagang, pada 2000 itu puluhan keluarga di Ngemplak Simongan
juga digusur. Rumah-rumah warga tersebut terkena kepras pembangunan
jalan dan jembatan Kali Garang. Dari Simongan, warga dipindahkan ke
Pongangan, Kecamatan Gunungpati yang ada di Sub-DAS Kripik. Warga
mengalami banyak kesulitan dalam pemindahan tersebut. Seperti diungkap-
kan Rusiyem, salah seorang warga Ngemplak Simongan yang terpaksa pindah
ke Pongangan, yang menyebut kesulitan berjualan mencari uang untuk meme-
nuhi kebutuhan hidup harian. Belum lagi, lokasi di mana warga dipindahkan
itu rawan longsor. Beberapa warga yang sudah berada di Pongangan kembali
lagi ke Simongan lantaran kesulitan hidup di tempat baru tersebut.1
Jika pemerintah “bersusah payah” membangunkan jalan menyusul pe-
mindahan pabrik pemintalan kapas Djantra, kemudian memperbaiki jembatan
hingga membangun jalan dan jembatan baru demi kelancaran lalu lintas yang
bermanfaat besar untuk pabrik-pabrik di Simongan, tidak demikian yang
dilakukan pemerintah saat memindah warga. Bahkan pemerintah tidak me-
nyediakan air bersih yang merupakan kebutuhan dasar manusia bagi warga
yang dipindah, meski sudah dijanjikan. Penggusuran tersebut dilakukan
dengan bahasa ganti rugi. Warga diberi ganti rugi atas tempat tinggal di
Ngemplak Simongan, namun besarannya jauh lebih kecil dari nilai rumah yang
_____
1 Suara Merdeka, 25 April 2000, “Wara Mengaku ‘Gela’ Lepas Tanah Untuk Proyek
Kaligarang.”
223
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Suara Merdeka, 18 Maret 2000, “Proyek Kali Garang Terhambat Pembebasan Tanah”.
2 Suara Merdeka, 22 Desember 2000, “Eks Warga Ngemplak Simongan Tagih Janji”.
3 Suara Merdeka, 28 Januari 1990, “Menko Kesra Sayangkan di Dekat Aliran Kali Garang ada
Pabrik”.
4 Hamidah Kurniawati dan Aloysius Rengga (2016) Implementasi Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Rencana tata Ruang Wilayah Kota Semarang
2011-2031 (Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Simongan). Journal of Public Policy and
Management Review 5(2): 349-364
224
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
direlokasi secara bertahap ke kawasan industri.1 Implikasi dari Perda RTRW ter-
sebut adalah rencana penataan wilayah Simongan yang merupakan campuran
antara kawasan industri dan permukiman. Tujuan rencana itu di antaranya
adalah untuk menciptakan lingkungan hidup yang sehat, dengan menjauhkan
permukiman dari polusi yang dikeluarkan pabrik, seperti asap, suara, dan lim-
bah lain. Selain itu, pemindahan dilakukan untuk mencegah pencemaran Kali
Garang, yang mengalir di sepanjang pinggir Simongan, oleh limbah industri. 2
Kurniawati (2016) menyebutkan bahwa pada 2012, mutu air Kali Garang
tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sumber air baku untuk dikonsumsi.
Berdasar parameter BOD (Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen
Demand), fecal coliform dan total coliform, air Kali Garang memiliki kecende-
rungan kriteria mutu air yang lebih rendah dari kriteria I. Sedangkan sebagai
sumber air baku PDAM Kota Semarang (Gambar VII.11), mutu air Kali Garang
sedianya berada pada kriteria air kelas I. Tampaknya itu bukanlah hal yang
baru terjadi. Pada Oktober 1989 persoalan tersebut menjadi topik yang banyak
diberitakan media. Tingkat pencemaran di Kali Garang tahun itu, terutama di
dekat pompa hisapan PDAM, sudah mendekati batas ambang. Saat itu BOD-
nya mencapai 8,4 mg/L, sementara batas ambangnya adalah 10 mg/L.
Sedangkan untuk parameter COD di Kali Garang yang mencapai 14,9 mg/L
serta pH (derajat keasaman) 6,8-7,5, menurut Asisten II Sekretaris Kotamadya
Semarang yang sekaligus Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Pencemaran
Lingkungan Hidup (TKP2LH), Tommy Sasmita Oetomo, masih bisa ditolelir.
Pada saat itu Kali Garang adalah sumber air baku utama bagi layanan air
minum PDAM Kotamadya Semarang. PDAM belum bisa mencari alternatif
sumber lain, sebab baru Kali Garang yang memiliki debit minimum 600
liter/detik. Kurang dari itu, tidak dapat mencukupi kebutuhan air bersih warga
_____
1 Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana tata Ruang
Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031, URL: http://jdih.semarangkota.go.id/ildis_v2/
public/pencarian/499/detail, [diunduh pada 22 Septerber 2021].
2 Dini Noviani (2015) Analisis Penataan Kawasan Simongan Berdasarkan Perda No.14 Tahun
2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031. Journal of
Politic and Government Studies, 4(2): 341-355. Diambil dari: https://ejournal3.undip.ac.id/
index.php/jpgs/article/view/8249. Penelitian ini memuat hasil wawancara dengan Kepala
Bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Infrastruktur Bappeda Kota Semarang
pada 17 Desember 2014) sebagai berikut (2015: 349); “…alasan yang melatar belakangi
dibentuknya Perda No. 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Semarang tahun 2011-2031 karena usia dari Perda sebelumnya sudah habis. Perda RTRW
yang sebelumnya mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang dari tahun
2000-2010, dan kemudian dilanjutkan dengan Perda yang baru. Dalam perkembangan-
nya, kawasan Simongan posisinya ada di dalam kota. Sebelum tahun 1976 posisi Simongan
ada di pinggiran kota, kalau terjadi perubahan-perubahan di kawasan Simongan itu
karena perkembangan kota itu sendiri. Sehingga secara konsepsional pasti akan merubah
tatanan keruangan di kota Semarang.”
225
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Semarang yang saat itu berjumlah 1,2 juta jiwa. Memburuknya mutu air Kali
Garang tersebut, menurut Tommy, disebabkan oleh limbah penduduk yang
hidup memadati daerah sekitar DAS.1
Gambar VII.11: Bangunan bercat biru pada foto adalah instalasi penyaringan air PDAM
Tirta Moedal Semarang di Kali Garang. Foto diambil dari belakang
pabrik PT Damaitex pada September 2021.
_____
1 Suara Merdeka, 27 Mei 1989, “Pencemaran Kaligarang Tampaknya Semakin Garang”. Pada
saat itu, bukan hanya Kali Garang yang tercemar, tapi juga sungai lain di Semarang. Kondisi
Kali Semarang, yang sungainya sudah dinormalisasi pada 1984-1985, lebih buruk. Airnya
berwarna kehitaman, BOD-nya mencapai 46 mg/L. Pada 1930-an, ketika penduduk di
sekitar Kali Semarang masih berjumlah 200 ribuan, sungai masih dipakai untuk
transportasi perahu dan drainase. Pada 1989 penduduk Semarang sudah meningkat
menjadi 800 ribuan. Menurut Asisten II Sekretaris Kotamadya Semarang, Tommy Sasmita
Oetomo, Kali Semarang tak mampu lagi menampung limbah masyarakat.
226
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar VII.12: Pagar kawat di sebelah kiri pada foto ini adalah pagar pabrik baja lapis
seng PT Semarang Makmur. Pabrik ini tepat berada di pinggir Kali
Garang. Sedangkan bangunan bercat biru di sebelah kanan adalah
instalasi penyaringan air PDAM Tirta Moedal Kota Semarang. Jalan di
tengah ber-paving-block ini menuju ke Kampung Gedungbatu Timur.
Foto diambil pada September 2021.
_____
1 Suara Merdeka, 7 Oktober 1989, “Limbah Mengandung Logam Berat Cemari Kali Garang”.
227
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
bakteri E-Coli, yang apabila jumlahnya berlebih di dalam tubuh manusia bisa
menyebabkan infeksi serius. Seorang geolog dan ahli AMDAL dari Prima Disain
Semarang, Ir Joenoes Mukti, menunjuk pusat pembuangan tinja di Tinjomoyo,
dekat wilayah Gombel Lama dan Bonbin (Kebun Binatang Kota saat itu) di
Semarang Selatan. Letak tempat tersebut berada di Sub-DAS Garang hulu,
lokasinya pun tidak jauh dari Kali Garang. Limbah tinja yang dibuang di tempat
tersebut jumlahnya sangat besar. Sebagai gambaran, hampir semua tinja dari
WC di Kotamadya Semarang, oleh perusahan penyedot limbah tinja, dibuang
ke tempat tersebut. Meskipun pembuangannya di dalam bak penampungan,
namun karakteristik tanah di tempat tersebut, menurut Joenoes Mukti,
ternyata mudah meresapkan air/cairan atau porositasnya besar.1
Sementara itu, merespon rencana implementasi Perda RTRW 2011, para
pengusaha pemilik pabrik di Simongan, mengajukan uji materiil ke Mahkamah
Agung. Pengajuan tersebut didukung oleh pemilik pabrik dan pengusaha di
luar Simongan. Sebab, berdasar keterangan yang diterima para pengusaha,
bukan hanya pabrik di Simongan yang harus pindah berdasar perda RTRW
2011, melainkan juga pabrik-pabrik di kawasan Jalan Setiabudi, Banyumanik
(berada di DAS Babon) dan Jalan Hanoman, Semarang Barat (berada di DAS
Silandak).2
Gambar VII.13: Petunjuk arah menuju pabrik PT Sinar Panca Jaya. Jalan tersebut berada
di sebelah PT Phapros. Sedangkan pada jalan menuju pabrik, terdapat
permukiman warga. Foto diambil dari Jalan Simongan Raya pada
September 2021.
_____
1 Suara Merdeka, 16 Oktober 1989, “Sungai Kaligarang Ternyata Bak Sampah Terbesar”.
2 Lihat: Rustam Aji (30 November 2014), Tribun Jateng, Puluhan Pabrik Menolak Pindah dari
Simongan, Pemkot Akan Cabut Izin, URL: https://jateng.tribunnews.com/2014/11/30/
puluhan-pabrik-menolak-pindah-dari-simongan-pemkot-akan-cabut-izin, [diakses pada 27
September 2021].
228
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Pemohonan uji materiil tersebut diajukan atas nama PT Sinar Pantja Djaja dkk.
melawan (1) Pemda Kota Semarang c.q Wali Kota Semarang dan (2) DPRD Kota
Semarang, pada 17 Desember 2012 dengan nomor perkara 52P/HUM/2012.
Pada 31 Mei 2013, Mahkamah Agung dengan majelis hakim yang diketuai
Marina Sidabutar dengan anggota H. Supandi dan Irfan Fachrudin, membaca-
kan putusan penolakan permohonan uji materiil tersebut. Salah satu amar
putusannya adalah: menolak permohonan keberatan hak uji materiil dari para
pemohon, I. PT Sinar Pantja Jaya (Gambar VII.13), II. PT Kurnia Jati Utama
Indonesia, III. PT Phapros Tbk, IV. PT Indonesia Steel Tube Works, V. PT Kimia
Farma (Persero) Tbk, VI. PT Alam Daya Sakti, VII. PT Itrasal, VIII. PT Pantjatunggal
Knitting Mill (Gambar VII.14), IX. PT ALKA, X. PT Semarang Makmur (Gambar
VII.12), XI. PT Damaitex, XII. PT Aldian Citrasetia, XIII. PT Fumira, XIV. PT Raja
Besi, XV. PT Kubota Indonesia, XVI. PT DJAGO, XVII. PT Dasa Gaya (disingkat) PT
Degepharm, XIX. PT Erlimpex, XX. Swiss Bakery, XXI. Cengkeh Rajangan Cap
Lawet. Status putusan Mahkamah Agung tersebut adalah telah berkekuatan
hukum tetap.1
Gambar VII.14: PT Pantja Tunggal Knitting Mill memiliki dua lokasi yang berhadap-
hadapan (gambar kanan dan kiri), hanya dipisahkan Jalan Simongan
Raya. Foto diambil pada September 2021.
Pada 2014, Pemerintah Kota Semarang lewat Sekretaris Dinas Tata Kota dan
Perumahan, M Irwansyah mengatakan akan bertindak tegas menjalankan
Perda RTRW 2011, yakni dengan menghentikan izin operasional industri di
_____
1 Direktori putusan Mahkamah Agung RI, URL: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/
direktori/putusan/442f7ef339479c1f1b5d3df8a1119da9.html [diakses pada 27 Septem-
ber 2021].
229
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
kawasan Simongan.1 Tapi ternyata pada September 2019, Ketua DPRD Kota
Semarang, Kadarlusman menyatakan Simongan akan tetap menjadi kawasan
industri. Pemerintah Kota Semarang dan DPRD Kota Semarang menyepakati-
nya dengan mengubah Perda No 14 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Semarang
2011-2031 tersebut dengan Perda No 5 Tahun 2021.2 Pasal 5 sampai 8 tentang
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pola Ruang yang di dalamnya mengatur
tentang kawasan lindung dan budidaya, penguasaan tanah, penyediaan ruang
terbuka, pengarahan kawasan terbangun, pembatasan pengembangan kawa-
san industri, dihapus dari Perda Nomor 5 Tahun 2021. Pasal 10 tentang Ren-
cana Pembagian Wilayah Kota yang di dalamnya tidak memasukkan BWK III, di
mana Kelurahan Ngemplak Simongan tergolong di dalamnya, sebagai kawasan
industri, juga dihapus. Soal relokasi pabrik yang tidak berada di kawasan
industri yang diatur dalam Pasal 119 pada Perda sebelumnya tidak lagi dican-
tumkan di Perda yang baru.3
Dinamika sosiospasial di Simongan tersebut terjadi di bawah pemba-
ngunan kapitalistik yang timpang, di mana ada pihak yang dimenangkan
dengan diberi fasilitas macam-macam, bahkan dibuatkan aturan yang mema-
gari kedudukan mereka secara formal. Di sisi lain, ada pihak yang dikalahkan
dengan cara digusur menggunakan aturan-aturan yang memanjakan pihak
yang dimenangkan. Sebagaimana istilah Brenner (2009) “pembangunan sosio-
spasial yang timpang,” di wilayah Simongan warga digusur dengan aturan-
aturan yang memenangkan pabrik.
Namun, warga di sini pun tidak homogen, artinya tidak setiap warga
menerima dampak yang sama dalam pembangunan yang timpang. Warga
yang bisa membeli rumah di kompleks perumahan mewah Paramount Village
(Gambar VII.15) yang ada di Kelurahan Ngemplak Simongan tentu tidak akan
digusur. Kompleks perumahan mewah Paramount Village sendiri mulai diba-
ngun oleh pengembang perumahan berskala nasional Paramount Land pada
2015. Hingga 2016 pembangunan perumahan di atas lahan seluas sembilan
hektar itu telah menyelesaikan tahap I dengan 220 unit rumah dan 41 unit
ruko. Belum selesai pembangunan tahap I, pada September 2015, 150 unit
_____
1 LIhat: Redaksi Solopos (19 September 2014), Solopos,com, Perizinan: Khusus untuk
Perumahan, Izin Operasional Industri di Simongan Disetop, URL: https://www.solopos.com
/perizinan-khusus-untuk-perumahan-izin-operasional-industri-di-simongan-disetop-
537500 [diakses pada 25 Septermber 2021].
2 Lihat: Haris Effendi (26 September 2019), Metrojateng.com, Ketua Dewan: Simongan
Tetap Jadi Kawasan Industri, URL: https://metrojateng.com/ketua-dewan-simongan-
tetap-jadi-kawasan-industri/ [diakses pada 26 September 2021].
3 Salinan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Semarang tahun 2011-2031, URL: https://jdih.semarangkota.go.id/ildis_v2/public/
pencarian/1200/detail, [diunduh pada 27 September 2021].
230
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
rumah sudah terjual. Total rumah yang dibangun di Paramount Village adalah
450 unit rumah dan 43 ruko, dengan dua tipe luas rumah, yakni 60 m² dan 72
m², dengan harga jual saat itu antara Rp600 juta hingga Rp1,5 miliar. 1 Para-
mount Land sendiri merupakan cabang perusahaan properti PT Paramount
Enterprise International (Paramount Enterprise) yang mengembangkan di antara-
nya real estate dan pergudangan.2
_____
1 Lihat: Andik Sismanto (18 September 2015), Sindonews.com, Paramount Village di
Semarang Ditarget Habis Akhir 2015, URL: https://ekbis.sindonews.com/berita/
1045950/179/paramount-village-di-semarang-ditarget-habis-akhir-2015 [diakses pada 22
September 2021].
2 Dalam laman perusahaannya, Paramount menyebut telah mengembangkan kotapraja,
lingkungan perumahan lengkap dengan fasilitas rumah sakit, area komersial, hotel,
restoran, sekolah, perguruan tinggi, angkutan umum, keamanan, olah raga dan rekreasi
serta ruang terbuka hijau di Kelurahan Gading Serpong, Tangerang. Area Gading Serpong
yang dikembangkan Paramount kini mencapai 1.200 Ha, lebih dari 53.000 orang tinggal di
sana. Selain Paramount Village, Paramount Land juga mengembangkan Paramount Hills di
Sulawesi Utara dalam proyek hunian dengan fasilitas di dalamnya seluas 20,8 Ha.
Paramount Land berencana mengembangkan beberapa kota mandiri baru di lokasi lain ke
barat dan selatan Jakarta, termasuk di Bogor dan Tangerang. Proyek Paramount Land
direncanakan terintegrasi dengan Central Business District (CBD) di Jakarta dan di
Pekanbaru, Riau. Lihat: Paramount Land - Company Profile, URL: https://www.paramount-
land.com/company-profile-2/ [diakses pada 25 September 2021].
PT Paramount Enterprise pernah dikepalai oleh Eddy Sindoro (sebagai chairman),
mantan petinggi Grup Lippo yang bersama adiknya, Billy Sindoro, terlibat kasus suap
perizinan proyek Meikarta di atas lahan 774 hektare, di mana pada Maret 2018
Pemerintah Provinsi Jawa Barat hanya mengizinkan pembangunan Meikarta di lahan
seluas 84,6 hektare. Lihat: Yuliawati (16 Oktober 2018), KATADATA.co.id, Duo Sindoro
dalam Pusaran Kasus Seret Grup Lippo di KPK, URL: https://katadata.co.id/yuliawati/
berita/5e9a55bbc371c/duo-sindoro-dalam-pusaran-kasus-seret-grup-lippo-di-kpk
[diakses pada 27 September 2021].
Paramount Group sendiri dikendalikan oleh Elizabeth Sindoro, kakak kandung Eddy
dan Billy, istri mendiang Handiman Tjokrosaputro pemilik PT Dan Liris, salah satu pabrik
tekstil dan konveksi terbesar di Indonesia. Lihat: Tina Savitri, Mimpi-Mimpi Michelle
Tjokrosaputro, PESONA.co.id URL: (https://www.pesona.co.id/read/mimpi-mimpi-michel
le-tjokrosaputro?p=1 [diakses pada 27 September 2021]). Pada 2018, Elizabeth Sindoro
masuk dalam daftar 150 orang terkaya dan lima Wanita terkaya di Indonesia versi Majalah
Globe Asia. Lihat: Ridwan (17 Mei 2020), Woow…Inilah Lima Wanita Terkaya di Indonesia,
Asetnya Triliunan Rupiah, Industry.co.id. URL: (https://www.industry.co.id/read/66573/
woowinilah-lima-wanita-terkaya-di-indonesia-asetnya-triliunan-rupiah [diakses pada 27
September 2021]).
231
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VII.15: Gerbang real estate Paramount Village menghadap ke Kali Garang.
Foto diambil dari pagar pembatas bahu Jalan Simongan dengan
sempadan Kali Garang pada September 2021.
_____
1 Lihat: M Husni Mushonifin (7 September 2021), SIGI Jateng, Satpol PP Kota Semarang
Bongkar 26 Rumah di Simongan, Sengketa Sejak 2012, URL: https://sigijateng.id/2021/
satpol-pp-kota-semarang-bongkar-26-rumah-di-simongan-sengketa-sejak-2012/ [diakses
pada 25 September 2021].
232
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Lihat: Aden W (2 April 2021), Radar Semarang, “Sengketa Lahan, Kuasa Hukum Putut
Sutopo Wadul Dewan” URL: https://radarsemarang.jawapos.com/berita/hukum-dan-
kriminal/2021/04/02/sengketa-lahan-kuasa-hukum-putut-sutopo-wadul-dewan/ [diakses
pada 25 September 2021].
2 Pada 23 September 2021, Putut Sutopo sedang mencalonkan diri sebagai ketua umum DPP
APBMI 2021-2026, bersaing dengan pimpinan Daisy Group, Juswandi Kristianto dan CEO
Tubagus Group H.M Fuadi, ketua periode sebelumnya. Lihat: Logistik News (23 September
2021), Jateng Munas ke VIII: Bursa Calon Ketum APBMI Kian Dinamis, Putut Jateng Siap
Maju, URL: https://www.logistiknews.id/2021/09/23/jelang-munas-ke-viii-bursa-calon-
ketum-apbmi-kian-dinamis-putut-jateng-siap-maju/ [diakses pada 25 September 2021].
233
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VII.16: Reruntuhan rumah warga di atas lahan yang diklaim milik Putut
Sutopo. Gambar diambil dari pintu keluar SPBU Simongan, pada Sep-
tember 2021
234
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Kali Garang tercemar logam berat dari limbah pabrik. Sementara proses
sosiospasial tidak berhenti, pengerutan diikuti ledakan berwujud penggusuran
penduduk sebagai dampak pembangunan di bawah modal. Proses ini sekali-
gus menunjukkan ketimpangan.
Pada proses-proses tersebut luapan krisis berlilitan. Berkali-kali Bukit
Simongan longsor menimpa para penambang dan rumah penduduk, hingga
sumber air baku untuk air minum di Kali Garang tercemar logam berat. Banjir
berkali-kali juga terjadi di wilayah ini. Dalam catatan di monumen banjir
Bendungan Simongan (dikenal dengan Bendungan Plered) banjir terjadi di
Simongan setidaknya pada 28 Maret 1922, 10 Januari 1963, 22 Januari 1976, 25
Januari 1990, 30 Januari 1993, dan 25 Desember 2006. Harian Suara Merdeka
memiliki catatan khusus terkait banjir di Simongan pada 1984, dalam satu
berita foto.
“Kalau ada hujan agak deras dan beberapa bagian Kota Semarang
men-jadi langganan banjir, tidak ada hal yang aneh. Tetapi banjir di
Jalan Simongan, sebelah selatan lokasi Gedungbatu di Semarang
Barat, membuat beberapa orang terheran-heran. Karena di sebelah
jalan tersebut terletak sungai Kaligarang yang sebenarnya bisa me-
nampung air tersebut. Memang antara jalan dan sungai dipisahkan
oleh tanggul. Tanggul besar tersebut dimaksudkan untuk mencegah
agar air sungai tidak meluap. Sekarang menjadi buah simalakama.
Kalau orang akan menjebol tanggul untuk mengalirkan di jalan, takut
kalau suatu kali air meluap. Tidak dijebol, tidak ada jalan keluar bagi
air yang menggenang itu. Akibatnya, cukup parah, karena genangan
air cukup dalam, banyak pengendara sepeda motor yang akan
pulang ke Manyaran tak berani melewati Simongan, tetapi berputar
dan melalui Krapyak” (Kutipan ini diambil dari keterangan foto yang
ditulis oleh Enggal Jaya. Suara Merdeka, edisi 17 November 1984,
halaman 6).
235
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Lihat: Intan Paramita (19 Juli 2021), Pingpoint.co.id, Gilo-Gilo, Gerbak jajan Serba Ada
Sejak 1930, https://pingpoint.co.id/berita/gilo-gilo-gerobak-jajan-serba-ada-sejak-1930/
[diakses 25 Agustus 2021].
2 Lihat: Jessica Celia dan Zahra Saraswati (19 Februari 2019), Gilo-Gilo Bukan Asli Semarang?
Metrosemarang.com. https://metrosemarang.com/gilo-gilo-bukan-asli-semarang-69527.
[Diakses 25 Agustus 2021].
3 Suara Merdeka, 20 Juni 1957, “123 Buah Rumah Akan Dipindahkan di Bulu”.
4 Pada Juni 1957, Presiden RI mengeluarkan Keputusan Nomor 131 Tahun 1957 tentang
Penetapan Peraturan Tentang Pemecahan Kementerian Perekonomian Menjadi Kemen-
terian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Jawatan Perekonomian merupakan
dinas yang bertugas di daerah. Lihat: Arsip Nasional Republik Indonesia, https://
anri.sikn.go.id/index.php/keputusan-presiden-nomor-131-tahun-1957-tentang-penetapa
n-peraturan-tentang-pemecahan-kementerian-perekonomian-menjadi-kementerian-perd
agangan-dan-kementerian-perindustrian;isad?sf_culture=en [diakses pada 6 Oktober
2021].
5 Suara Merdeka, 31 januari 1962, “Lebih Kurang 6.000 Korban Banjir di Semarang Perlukan
Bantuan Segera”.
236
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 20 April 1971, “Muncul lagi Gubug-Gubug di Pinggir Banjirkanal”.
2 Suara Merdeka, 3 November 1988, “64 KK Warga Kelurahan Lemahgempal Dilimpahkan
ke Kelurahan Bulustalan”.
3 Suara Merdeka, 12 Februari 1962, “Seri Laporan “Kaligarang Akhirnya Takluk” bagian I: “10
Tahun Warga Kota Semarang Tercekam dalam Kesulitan Air Minum””.
4 Ngrekasa: Bahasa Jawa yang artinya bersusah payah.
5 Ngangsu: Bahasa Jawa yang artinya mengusung air dari sumber dengan mangangkatnya
menggunakan wadah.
237
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
"'v
\ ,,. 'v
================-~f.;=~=,-==---------~----------::--~::~=:====:=.::;;.
Dalam laporan tersebut dituliskan sebab utama krisis air minum tersebut
antara lain karena tidak ada keseimbangan antara produksi air minum dengan
pesatnya perkembangan kota. Upaya memperbesar produksi air minum
dengan memperluas sumber-sumber air minum yang telah ada, gagal. Waktu
itu sumber yang digunakan salah satunya adalah sumber air Kali Doh di
Ungaran, Kabupaten Semarang, yang terletak di hulu DAS Garang, dan sumur-
sumur artetis di Kota Semarang. Sumber-sumber itu menghasilkan air minum
paling banyak 250 liter/detik, angka tersebut tidak sama dalam musim hujan
dan musim kemarau. Eksplorasi di Ungaran menemukan sumber baru,
sumber air Ancar. Instalasi perpipaan telah dibuat untuk mengalirkan air dari
Ancar ke Kali Doh. Namun dampaknya, para petani di Ungaran menjadi
kekurangan air untuk bertani. Sementara tambahan air yang dihasilkan tidak
signifikan untuk memenuhi kebutuhan, hanya 30 liter/detik.
Sementara, telah diperhitungkan bahwa kebutuhan air bersih secara
normal adalah 1 liter/detik untuk setiap 1.000 orang. Sedangkan, hasil sensus
1961 menunjukkan jumlah penduduk Kota Semarang mencapai 487.600 jiwa.
Kota juga semakin luas lewat proses-proses kerut-ledak yang berlangsung
terus-menerus. Diketahui, sejak pertengahan 1950-an muncul pembangunan
kompleks-kompleks perumahan rakyat, perkampungan-perkampungan, ge-
dung-gedung pemerintah, dan industri. Kota Semarang mengalami pertam-
bahan luas kurang lebih 10 km². Kota Semarang waktu itu kekurangan air
bersih setidaknya 238 liter/detik. Artinya, hampir separuh kebutuhan total air
bersih dalam kota.
238
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 13 Februari 1962, “Seri Laporan “Kaligarang Akhirnya Takluk” bagian II:
“Mengapa Akhirnya Terpilih Kali Garang Sebagai Objek Air Minum””.
2 Lihat: https://airkami.id/sejarah-pembangunan-instalasi-pengolahan-air-ipa-di-jakarta/2/
[diakses pada 20 September 2021].
239
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Lihat: https://www.pdam-sby.go.id/read/sejarah-status-pdam-surya-sembada-surabaya
[diakses pada 20 September 2021].
2 Lihat: https://pdampadang.co.id/hal-sejarah.html [diakses pada 20 September 2021].
3 Suara Merdeka, 13 Februari 1962, “Seri Laporan “Kaligarang Akhirnya Takluk” bagian II:
“Mengapa Akhirnya Terpilih Kali Garang Sebagai Objek Air Minum””.
4 Suara Merdeka, 1 September 1961, “Pasir Untuk Kaligarang Bukan Sembarang Pasir”.
240
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
setelah diresmikan pun belum ada air menetes dari keran rumah-rumah pen-
duduk.1
Sementara, permukiman di tepi Kali Garang terus memadat, area sema-
kin mengerut. Bukan saja di Bulu Lor, tetapi juga wilayah sekitarnya seperti
Bulustalan dan Barusari. Pada 1973 Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga
Listrik (PUTL), Ir Sutami, meresmikan 128 rumah murah di Desa Sampangan.
Ini adalah cikal bakal pembangunan Perumnas2 Sampangan (Gambar VII.18).
Ada dua tipe rumah, A dan B, yang masing-masing dijual dengan harga
Rp304.250 dan Rp285.500. Rumah-rumah tersebut berbentuk kopel (dua
rumah bergandengan), yang masing-masing terdiri dari dua kamar tidur, satu
ruang duduk, satu ruang makan, satu dapur dan kamar mandi serta WC.
Pembangunan perumahan tersebut diikuti dengan pembangunan jalan yang
mengarah padanya berbahan aspal serta jalan beton selebar becak di tengah
permukiman. Belakangan nama permukiman anyar itu disebut dengan
Sampangan Baru.3
_____
1 Suara Merdeka, 16 Februari 1962, “Proyek Penyaringan Bekerja Belum dengan Kapasiteit
Penuh”.
2 Lihat: https://perumnas.co.id/ Perumnas adalah BUMN yang seluruh sahamnya dimiliki
pemerintah, yang didirikan pada 1974. Ia menjual perumahan yang layak bagi masyarakat
menengah ke bawah. Hingga saat ini Perumnas telah membangun lebih dari 500.000 unit
rumah. Dalam laman resminya dituliskan; sebagai perintis pengembangan perkotaan,
Perumnas telah berhasil melaksanakan misi pemerintah dalam mewujudkan pemerataan
pembangunan sampai di wilayah terpencil.
3 Suara Merdeka, 4 Desember 1973, “128 Rumah Murah di Sampangan Diresmikan”.
241
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Suara Merdeka, 4 Agustus 1974, “Kamis Ini Ada Ledakan di Sampangan Semarang”.
2 Suara Merdeka, 10 April 1975, “PMI Buka Poliklinik Baru di Sampangan”.
3 Suara Merdeka, 7 Oktober 1978 “Juga Penertiban Penghuni Flat di Sampangan”. Berdasar
catatan pribadi saya yang sering beraktivitas di Sampangan, di tikungan tersebut pernah
menjadi Pasar Sampangan, sebelum dipindah ke Pasar Sampangan Baru dekat Tugu
Soeharto, kemudian hingga kini lahan di tikungan itu menjadi Taman Sampangan.
4 Suara Merdeka, 9 Januari 1979, “Berita Foto “Sumber Polusi di Sampangan”.
242
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
tergenang air hingga dua meter. Banjir tersebut adalah kali pertama menimpa
Perumnas Sampangan sejak dibangun.1
Stefanus Wisnu Pranowo (50), yang tinggal di Sampangan sejak kali per-
tama Perumnas dibangun, akrab dengan momen banjir tersebut. Bagian
belakang rumah orang tua Wisnu berimpitan dengan sungai Sampangan.
Setelah banjir 1980 tersebut, menurut Wisnu, Perumnas Sampangan kemudi-
an menjadi langganan banjir pada tahun-tahun berikutnya. “Hampir setiap
tahun kebanjiran. Sini ini ya langganan banjir,” kata Wisnu.2 Biasanya, jika
hujan deras, Wisnu diperintah oleh ayahnya yang seorang pelatih permainan
kartu bridge, untuk menutup pintu belakang menggunakan triplek supaya air
tidak masuk ke rumah. Sementara ayah Wisnu mengusung barang-barang
penting ke lantai dua. Tetangga-tetangga Wisnu yang kebanyakan adalah PNS
golongan rendah, buruh pabrik, dan pegawai swasta rendah, juga melakukan
hal sama. Bagi yang rumahnya tidak berimpitan dengan sungai, penutupan
dilakukan pada pintu depan. Bagi yang punya uang, biasanya akan memugar
rumah sekaligus meninggikan lantainya.
Banjir pada 1980 itu juga merusak instalasi PDAM (waktu itu bernama
PAM) Semarang. Bagian instalasi penyaringan atau penjernihan air mengalami
gangguan fungsi. Gubernur Jawa Tengah, Soepardjo Roestam, bersama Wali
Kota Semarang, Imam Soeparto, memberi instruksi supaya perbaikan selesai
dalam waktu dua hari, supaya layanan air minum segera berjalan kembali. 3
Sementara, pipa induk air minum yang ada di lembah Wungkalkasap,
Kelurahan Pudakpayung, Kecamatan Banyumanik di hulu DAS Garang di
Ungaran, pada banjir 1980 tersebut juga mengalami kerusakan. Jika terjadi
hujan lebat, tanah di bukit Wungkalkasap sering longsor. Kondisi Bukit
Wungkalkasap pada saat itu, pada tebing sebelah timur lembahnya, dinilai
membutuhkan lebih banyak vegetasi. Salah satu yang mengatakannya adalah
Kepala Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota (yang menangani penghijauan
jalur jalan) Herry Soeprodjo. Supaya tidak longsor, Wungkalkasap setidaknya
membutuhkan 6.591 pohon. Sayangnya saat itu, APBD Kotamadya Semarang
tidak memiliki anggaran untuk hal tersebut.4
Air bah yang tiba-tiba datang di Kali Garang rupanya tidak sekali saja
terjadi. Pada Maret 1982 tujuh siswa SMP Barunawati Tanjungmas meninggal
dunia diterjang air bah berkecepatan 2 meter/detik saat melakukan penye-
berangan di hulu Kali Garang. Menurut Kepala Seksi Pengaliran Tuntang Dinas
_____
1 Suara Merdeka, 23 Januari 1980, “Semarang Banjir Besar; Tinggi Air 2 m di Perumnas
Sampangan”.
2 Percakapan pribadi sekitar awal 2006
3 Suara Merdeka, 24 Januari 1980, “Air Minum Kali Garang Diharapkan Selesai Hari Ini”.
4 Suara Merdeka, 18 Februari 1980, “Hijaukan DAS Kali garang Perlu Bantuan Propinsi”.
243
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Tengah, Tedjo Sulanto, pada masa itu sering
ada air bah datang di Kali Garang pada Desember – April. “Aliran air yang ganas
tersebut mulai dari hulu hingga Tugu Suharto, atau sampai 15 kilometer,” kata
Tedjo. Padahal panjang Kali Garang adalah 20 kilometer. Pada masa ini terjadi
perubahan debit air di Kali Garang. Jika pada 1950-an sungai ini disebut
memiliki debit yang melimpah saat hujan dan cukup saat kemarau, maka pada
1982 Tedjo menyebut Kali Garang kritis, di mana saat musim kemarau debit
air begitu kecil namun saat musim hujan menjadi besar sekali. Pada saat itu,
untuk mengendalikan debit yang besar tersebut mulai muncul gagasan
pembangunan waduk untuk menampung aliran sungai sebelum masuk ke
BKB.1
Pada akhir November 1984 saat musim penghujan, kondisi air Kali
Garang didapati keruh dan berlumpur.2 Keadaan tersebut mengganggu kerja
mesin-mesin penyaring sehingga produksi air dari PDAM Semarang turun.
Penduduk kota pun hanya bisa mendapatkan air secara bergiliran. Memburuk-
nya kualitas air Kali Garang hingga mesin penyaring menjadi rusak tersebut
terjadi juga pada November 1979. Rupanya saat itu PDAM sedang menghadapi
persoalan karena kebutuhan air bersih Kota Semarang sudah mencapai 1.500
liter/detik sementara yang dihasilkan PDAM baru 880 liter/detik di mana 60%
sumber air bakunya mengandalkan Kali Garang, sisanya dipenuhi sumber
Ungaran. Jika Kali Garang keruh, maka 60% pasokan air baku jelas tidak ada.
Dalam kondisi normal saja, di mana PDAM bisa memproduksi 880 liter/detik,
tidak seluruh air yang dihasilkan PDAM dapat tersalurkan kepada konsumen.
PDAM kehilangan 40% air hasil produksinya karena kebocoran pipa-pipa.3
Namun, tampaknya persoalan pipa bocor itu tidak menjadi urusan serius
bagi PDAM. Perusahan milik pemerintah daerah Kota Semarang tersebut tidak
mau menanggung sendiri malasah pipa bocor tersebut, melainkan membe-
bankan solusinya kepada konsumen juga seluruh warga Kota Semarang.
Pertama, PDAM melakukan penagihan rekening pemakaian air secara masif ke
pasar-pasar seperti Pasar Bulu dan Pasar Dargo, juga di Kantor Cabangnya di
Perumnas Banyumanik. Untuk memacu pembayaran itu, PDAM mendenda
konsumen yang telat bayar hingga mengancam pemutusan layanan, padahal
layanannya sendiri tersendat-sendat. Kedua, untuk mencegah hilangnya air
minum akibat pipa bocor, pada 1984 PDAM berencana memperbaiki kebocor-
an dengan mengganti pipa sepanjang 100 kilometer menggunakan dana Rp40
_____
1 Suara Merdeka, 17 Maret 1982, “Kecepatan Air di Kaligarang Hari Minggu Dua Meter/
Detik”.
2 Suara Merdeka, 29 November 1984, “Air Kali Garang Berlumpur Konsumen Terpaksa
Digilir”.
3 Suara Merdeka, 17 November 1979 “Gangguan Mesin di Instalasi Mesin Kali Garang”..
244
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
miliar yang bersumber dari pinjaman Bank Pembangunan Asia. 1 Lantas siapa
yang akan menanggung pelunasan utang PDAM tersebut? Jika boleh saya
berspekulasi, seumpama PDAM sendiri yang akan menanggung utang itu,
tentu tekanan terhadap konsumen air, seperti penagihan dan pendendaan,
akan lebih besar. Mengingat sumber pendapatan PDAM hanyalah dari penjual-
an air minum (yang tidak bisa diminum).
Utang PDAM merupakan utang korporasi. Memang akhirnya untuk Pe-
merintah Kota/Kabupaten yang ‘sadar’ akan kondisi perusahaan daerah terse-
but, akan menyuntikkan modal tambahan.2 Meski bukan berarti utang PDAM
dibayar melalui APBD, namun sumber modal tambahan yang disuntikkan pe-
merintah daerah ke PDAM, bagaimanapun, tetap merupakan uang rakyat. Arti-
nya, beban utang PDAM menjadi tanggungan seluruh warga Kota Semarang.
Faktanya, hingga saat ini, 40 tahun lebih sejak layanan bergilir 1979 diber-
lakukan karena air baku tercemar lumpur, persoalan tersebut tidak kunjung
teratasi. Saya yang tinggal di Sub-DAS Kripik (DAS Garang) berlangganan air
PDAM untuk kebutuhan sehari-hari. Pada musim penghujan, air dari keran
PDAM sering kali keruh. Pada musim kemarau, layanan PDAM tidak setiap hari
bisa saya terima. Lebih jauh mengenai hal ini, akan saya tuliskan pada bagian
selanjutnya (bagian “Lingkaran Ketiga”). Bukan hanya lumpur yang mencemari
air baku PDAM, namun juga logam berat dan limbah tinja yang ramai diberi-
takan pada 1989, yang telah ditulis pada bagian sebelumnya (bagian “Di
Simongan…”).
_____
1 Suara Merdeka, 29 November 1984, “Air Kali Garang Berlumpur Konsumen Terpaksa
Digilir”.
2 Pengetahuan ini ditambahkan dari informasi yang diberikan oleh Wijayanto Hadipuro
sebagai editor ahli.
245
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VII.19: Gambar Atas adalah pertemuan antara Kali Kripik dan Kali Kreo di
bawah Jembatan Greenwood, Kelurahan Sukorejo. Gambar Bawah
adalah pertemuan antara gabungan aliran Kali Kripik dan Kali Kreo,
dengan Kali Garang di Tugu Soeharto, Kelurahan Bendan Duwur. Foto
diambil pada September 2021.
246
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
1. Sub-DAS Kripik, tempat bagi yang ditepikan sekaligus yang diisap modal
_____
1 Lihat: Asal-usul Kelurahan Sukorejo, URL: https://sukorejo.semarangkota.go.id/asal-usul
[diakses pada 20 September 2021].
2 Suara Merdeka, 19 Desember 1975, “Jawa Tengah, Raksasa Tergugah – Tanah Mas di
Bawah, Bukit Sari di Atas”. BKMPD Jawa Tengah pada masa itu juga mendorong
penanaman modal pembangunan real estate sebesar Rp600 juta oleh PT Bukit Sari di
Gombel, Kelurahan Ngesrep (DAS Babon), dan pembangunan real estate senilai Rp1 miliar
oleh Kamajaya Real Estate di luar sebelah barat Semarang. Pembangunan real estate
tersebut merupakan salah satu upaya pengembangan industri di Jawa Tengah secara
besar-besaran. Pada saat itu Jawa Tengah menempati urutan ke empat di Indonesia, dalam
jumlah banyaknya proyek yang dibangun berdasarkan modal investasi baik dari dalam
negeri maupun modal asing. Pemerintah Jawa Tengah kemudian berupaya menarik modal
sebanyak-banyaknya dengan memberikan fasilitas berupa kemudahan-kemudahan,
termasuk kemudahan bagi PT Tanah Mas untuk membangun perumahan di Kampung
Peres. Industri perumahan seperti yang dikembangkan PT Tanah Mas ditujukan untuk
merangsang pembelian rumah bagi keluarga yang belum memilikinya.
247
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
masuk DAS Garang, sebagian lagi DAS Babon), dalam normalisasi Kali Sema-
rang yang dilakukan oleh pemerintah pada 1981. Sebanyak 133 keluarga dari
Seroja dipindahkan ke Bangetayu yang ada di DAS Babon sebelah timur.
Sisanya dipindahkan ke Kampung Kalialang di Kelurahan Sadeng yang terletak
di Sub-DAS Kripik. Warga pindah dengan pesangon Rp40 ribu yang diserahkan
oleh Tim Normalisasi Saluran Seroja. 1 Kampung Kalialang tempat orang-orang
dari Seroja bermukim itu dinamai Kampung Kalialang Baru. Tempat baru
tersebut hingga saat ini dikenal sebagai Kampung Kalialang Baru Seroja, arti-
nya kampung yang ditempati orang-orang pindahan dari Seroja.
Sementara di Seroja, tempat yang mereka tinggalkan, disebut S. Wilono-
yudho, kemudian dibangun mal, rumah sakit, pusat bisnis, dan hotel. Diketahui
pada 1987 Pemerintah Kotamadya Semarang melakukan penataan Kawasan
Simpanglima.2 Pada 1993 pusat perbelanjaan, hotel, dan perkantoran berna-
ma Plaza Citra Semarang (sekarang Mal Ciputra) dibangun dengan lebih dulu
merobohkan bangunan GOR Jateng. Pembangunan itu telah direncanakan
sejak 1990.
Penggusuran penduduk yang kemudian dipindahkan ke Kalialang yang
ada di kawasan suburbia Kota Semarang itu terus dilakukan. Penelitian
Wilonoyudho (2014) menyebutkan pada 1989 ada 70 keluarga yang diangkut
menggunakan truk menuju Kalialang setelah didatangi pejabat, pengusaha,
dan anggota DPRD. Mereka mendapat pesangon Rp85 ribu per kepala keluar-
ga, namun tidak diajak berunding lebih dulu sebelum dipindah.3 Sementara
Suara Merdeka mencatat, pada 1989, sebanyak 140 rumah warga yang menem-
pati tanah Susteran Penyelenggara Ilahi (PI) di Bongsari, Kecamatan Semarang
Barat (berada di Sub-DAS Garang mendekati hilir) dipindahkan ke Kalialang
dan Deliksari Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati (mengarah ke Sub-
DAS Garang hulu). Pemindahan dilakukan oleh Yayasan Sosial Soegijapranata,
di mana warga yang tidak punya tempat tinggal tersebut merupakan klien yang
ditampung yayasan dengan meminjam tanah susteran PI. Dalam menempati
kavling baru, warga harus mengangsur sebesar Rp500 per hari atau Rp15 ribu
per bulan, yang hasilnya digunakan untuk penyediaan lokasi bagi warga lain
_____
1 Suara Merdeka, 24 Agustus 1981, “Warga di Tepi Saluran Seroja Terima Pesangon”.
2 Suara Merdeka, 4 Januari 1987 “Bayeman Disulap Jadi Simpanglima”.
3 ”kami merasa diusir dari tanah kami di Tanah Mas yang berada di pusat kota. Pada tahun
1989 datanglah para pejabat, pengusaha, dan anggota DPRD yang mengatakan bahwa
kami akan dipindah karena lokasi kami sekarang akan dijadikan perumahan dan jalan raya.
Tidak ada perundingan, dan kami diberi pesangon Rp.85.000,00 (delapan puluh lima ribu
rupiah) per Kepala Keluarga. Kami takut pada waktu itu, namun kami tidak ada yang
membela. Akhirnya kami diangkut truk dan ‘dilepas’ di daerah Kalialang ini dengan diberi
kapling, dan kami harus membangun sendiri...” (petikan wawancara dari penelitian
Wilonoyudho (2014: 116)).
248
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 28 Mei 1989, “140 Rumah di Bongsari Pindah ke Kalialang”.
2 Suara Merdeka, 12 Februari 1964 “Kali Semarang Akan Dikeruk Untuk Cegah Banjir”.
3 Suara Merdeka, 21 Oktober 2015, “Merawat Sendang Gayam”.
249
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
menggunakan truk tangki.1 Kabar tanah longsor pun kerap terdengar. Yang
belum lama terjadi, pada 8 Januari 2020 Jalan Kalialang Lama yang berada di
tepi Kali Kripik longsor setelah hujan lebat.2 Debit air Kali Kripik yang semakin
besar juga memutus jembatan di wilayah ini. 3 Jika pemerintah tampak ceka-
tan menyelamatkan perusahaan dan gedung-gedung pabrik, maka tidak de-
ngan jembatan yang sehari-hari dipakai warga yang dulu mereka gusur dan
pindahkan itu. Warga Kalialang bahkan iuran sendiri untuk memperbaiki jem-
batan yang menghubungkan kampung Kalialang Lama dengan Bendansari,
karena tidak mendapat tanggapan dari Pemerintah Kota Semarang.4
Kurang lebih setahun setelah pemindahan penduduk Bongsari ke Sub-
DAS Kripik yang merupakan kawasan hulu DAS Garang, terjadilah momen
banjir terbesar di Semarang yang menewaskan hampir 200 orang, banjir
bandang 26 Januari 1990. Pasca-banjir bandang tersebut, salah satu upaya
yang dianggap pemerintah akan menjadi solusi adalah, lagi-lagi, menjalankan
proyek normalisasi sungai. Proyek normalisasi kali ini dinamai Perbaikan dan
Pengamanan Sungai (PPS). Tanggung jawab pelaksanaan proyek dipegang
oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Biaya
proyek itu, untuk jangka tahap I berupa rehabilitasi tanggul yang jebol, berasal
dari APBN 1989/1990 sebesar Rp370 juta. Tanggul yang jebol saat itu berada
di dekat Kelurahan Sampangan, di belakang instalasi PDAM, dan di dekat
gedung Fakultas Olahraga IKIP (sekarang UNNES). Sedangkan untuk proyek
tahap II berupa penguatan tanggul didanai dengan APBN 1990/1991 sebesar
Rp2,25 miliar. Wakil Pimpinan Proyek PPS DPU Jawa Tengah, D Soegondo, saat
itu mengatakan banjir bandang 1990 yang menjebol tanggul tersebut merupa-
kan siklus banjir 100 tahunan, sedangkan tanggul yang sebelumnya dibangun
hanya dirancang untuk kuat menghadapi banjir dengan siklus 25 tahunan.
Maka tanggul yang akan dibangun berikutnya perlu diperkuat, supaya tidak
_____
1 Lihat: Deliksari Krisis Air Bersih, 300 KK Menunggu Dropping Air dari PDAM (6 Juli 2015),
Metrosemarang.com. URL: https://metrosemarang.com/deliksari-krisis-air-bersih-300-kk-
menunggu-dropping-dari-pdam-20388 [diakses 19 pada September 2021].
2 Lihat: BPBD Kota Semarang (14 Januari 2020), Longsor di Jalan Kalialang Baru RT 1 RW VII,
Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati. URL: http://bpbd.semarangkota.go.id/
detailpost/longsor-di-jalan-kalialang-baru-rt-1-rw-vii-kelurahan-sukorejo-kecamatan-
gunungpati [diakses pada 19 September 2021].
3 Lihat: Kristadi (18 Januari 2021), INewsJateng.id. Diterjang Banjir, Jembatan Bendosari
Semarang Rusak, URL: https://jateng.inews.id/berita/diterjang-banjir-jembatan-bendosa
ri-semarang-rusak [diakses pada 19 September 2021].
4 Lihat: Budi Arista Romadhoni (21 Mei 2021), Suara Jawa Tengah, Lama Tak Direspon
Pemerintah, Warga Semarang Iuran Bangun Jembatan Bambu. https://jateng.suara.com/
read/2021/05/21/151822/lama-tak-direspon-pemerintah-warga-semarang-iuran-
bangun-jembatan-mambu?page=all [diakses 19 September 2021].
250
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Suara Merdeka, 21 Februari 2021, “Sebanyak 328 KK Akan Dipindahkan ke Sadeng”.
2 Suara Merdeka, 23 Mei 1990, “Pembangunan Relokasi Pemukti Sadeng Sudah Capai 200
Rumah”.
3 Suara Mereka, 11 Agustsu 1990, “Pertengahan 1991 Normalisasi Kali Garang Selesai”.
251
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Suara Merdeka, 28 Februari 1990, “48 KK Warga Gumuksari Masih Tunggu Realisasi
Relokasi”.
2 Suara Merdeka, 20 November 2014, “Lahan Mati Kawasan Kampus Dihidupkan”.
3 Teguh Prihanto (2018) Perkembangan Kampus UNNES Sekaran Melalui Re-Clustering
Bidang Ilmu dan Rekonfigurasi Massa Bangunan (Masterplan 2016-2040). Seminar Ikatan
Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI).
252
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Lihat: Profil Perguruan Tinggi Universitas Negeri Semarang. URL: https://pddikti.kem
dikbud.go.id/data_pt/QTU4NTg4QTgtMEY1Mi00RDRELThBQTgtRjgzMjc4QTU2NTU5#sorts
tatus [diakses pada 19 September 2021].
2 Nuas Yuniarto (2013) Dampak Keberadaan Universitas Negeri Semarang Terhadap Harga
Lahan di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang (Skripsi). Jurusan
Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
-
3 Nurma Kumala Dewi dan Iwan Rudiarto (2013) Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan
Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat Daerah Pinggiran di Kecamatan Gunungpati Kota
Semarang. Jurnal Wilayah dan Lingkungan 1(2): 175-188.
253
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Sekaran sangat pesat pada 2001-2010. Dalam kurun waktu 16 tahun, antara
1994 di mana kampus UNNES beroperasi, hingga 2010 terjadi penurunan
luasan lahan basah (sawah) sebanyak 384,40 ha. Sedangkan penurunan lahan
kering atau tegalan dalam kurun waktu yang sama mencapai 414,41 ha.
Seluruhnya berubah menjadi bangunan.
Pada bagian sebelumnya (bagian Simongan pada Lingkaran Kedua) telah
ditulis tentang penggusuran rumah dan lapak PKL di Simongan ke kawasan
Pongangan yang menyisakan konflik. Penggusuran tersebut ternyata berlanjut
kepada penduduk yang tinggal di tepi BKB, di sepanjang Jalan Kokrosono pada
1999. Sebagaimana penggusuran di Simongan ke Pongangan, penggusuran
dari Kokrosono ke Pongangan itupun terhenti karena ketidaksepakatan nilai
ganti rugi. Kendati demikian, sebagian warga tetap pindah ke Pongangan.
Momen pengerutan dalam sosiospasial di Sekaran dan sekitarnya ter-
sebut memengaruhi relasi sosioalamiah saya serta orang-orang yang juga
tinggal di tempat yang sama. Saya tinggal di Perumahan Grand Greenwood
sejak 2011, di mana pemenuhan kebutuhan air bersihnya bergantung pada
PDAM Tirta Moedal Kota Semarang. Sejak tahun-tahun pertama tinggal hingga
saat ini, saya sering mendapati gangguan layanan PDAM. Saat musim hujan
tiba, sering kali air dari keran berwarna coklat kehitaman. Jika sudah begitu,
PDAM akan menghentikan layanannya untuk sekitar dua hingga lima hari.
Pada musim kemarau, masalah berganti, layanan PDAM sering berhenti
karena debit air baku berkurang. Tidak jarang pula, baik musim kemarau
maupun musim hujan, saya sering menerima pesan singkat atau pesan lewat
WhatsApp dari PDAM yang menerangkan bahwa pipa induk di area Gunungpati
pecah.1 Keadaan itu diawali atau ditandai dengan keruhnya air yang keluar dari
keran. Untuk memperbaikinya, maka PDAM menghentikan layanan. Yang
seperti itu seringkali terjadi. Sejauh yang dapat saya ingat, dalam satu bulan
pernah tiga kali pipa induk PDAM diameter 600 mm pecah.
Semula kami yang tinggal di perumahan ini menggunjingkan seringnya
kasus pipa pecah di Gunungpati menjadi sebab penghentian layanan. Per-
tanyaan kami, bagaimana cara PDAM melakukan perawatan terhadap instalasi
pipanya sehingga terus-menerus pecah?
Sampai suatu ketika salah satu dari kami menelepon bagian pengaduan
PDAM dan mendapat keterangan bahwa pecahnya pipa berkali-kali tersebut
tidak pada satu titik, melainkan di titik-titik yang berbeda. Hal itu disebabkan,
pertama karena umur pipa yang sudah tua. Kedua, keadaan tanah di Gunung-
_____
1 Kasus yang sama: Nanang Rendi dan Baskoro Septiadi (3 April 2020), Radar Semarang, Pipa
PDAM Berusia 34 Tahun Pecah, 10 Wilayah Terdampak. URL: https://radarsemarang.jawa
pos.com/berita/semarang/2020/04/03/pipa-pdam-berusia-34-tahun-pecah-10-wilayah-
terdampak/ [diakses pada 28 September 2021].
254
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
255
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Yang juga berada di bawah naungan Lintas Group adalah PT Lintas Persada Manunggal, CV
Lintas Reka Cipta, CV Lintas Pantura, PT Merdeka Lintas Bhagawanta, PT Kawasan
Margorejo Persada, CV Lintas Guna Transport, dan Koperasi Lintas Karya Bersama.
Koperasi Lintas pernah berkantor di Jalan Basudewo, tempat di mana saya datang berkali-
kali untuk mengangsur uang muka kredit rumah. Koperasi Lintas Karya Bersama adalah
Lembaga yang juga disebut-sebut dalam kasus korupsi pengadaan tanah tukar guling
proyek tol Semarang-Solo, di Desa Jatirunggo, Kecamatan Pringapus, Kabupaten
Semarang. Lihat: Indonesia Corruption Watch (5 Desember 2011), Mantan Pejabat Bank
mandiri Buron; Kasus Korupsi Jatirunggo. URL: https://www.antikorupsi.org/id/article/
mantan-pejabat-bank-mandiri-buron-kasus-korupsi-jatirunggo [diakses pada 28 Septem-
ber 2021].
256
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
kredit rumah saya. Alasannya, meski pihak pengembang tidak menyoal itu
(yang penting rumah yang mereka tawarkan laku terjual), tapi bank hanya
menerima keterangan gaji satu orang, bukan dua atau lebih. Singkatnya, kami
membuat surat keterangan gaji fiktif.
Tetapi dengan menuturkan hal-hal tersebut, bukan berarti hidup di kom-
pleks perumahan ini adalah hidup yang murah. Sebaliknya, seiring berjalannya
waktu, kami justru harus mengeluarkan banyak biaya untuk menebus risiko-
risiko tinggal di perumahan, sebagaimana warga Kalialang yang mengumpul-
kan dana sendiri untuk membiayai perbaikan jembatan yang putus. Blok yang
saya tempati berjarak sekitar 10 meter saja dari sempadan Kali Kripik. Dari
tetangga yang lebih dulu tinggal di sini, saya mendapat informasi bahwa tanah
di bawah rumah saya awalnya merupakan lahan yang tidak rata kemudian
direkayasa dengan pengurukan. Persoalan yang muncul belakangan kami
tinggal di permukiman tersebut adalah, dinding bangunan yang retak sampai
merekah, air yang merembes ke rumah melalui dasar dinding, buis (silinder
beton) saluran air yang berulang kali jebol pada saat hujan deras, tanah uruk
tepi sungai yang ambrol dan jatuh ke aliran sungai, hingga permukaan tanah
pada jalanan yang ambles.
Dalam melanjutkan hidup di tempat ini, kami harus mengeluarkan biaya-
biaya untuk menghadapi persoalan tersebut. Merehabilitasi rumah, jalan,
saluran air, hingga membuat talud baru. Sebagai warga penghuni, kami
terpaksa melakukannya dengan merogoh kantong pribadi masing-masing. Hal
itu karena kami tidak bisa mengakses pertanggungjawaban pemerintah, yang
sedianya berdasar Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2015
tentang Penyediaan, Penyerahan dan Pengelolaan Prasarana, Sarana dan
Utilitas Kawasan Perumahan, Kawasan Perdagangan dan Jasa serta Kawasan
Industri, menjadi pengelola Prasarana Sarana Utilitas (PSU) suatu permuki-
man.1 Sebagai pengelola, semestinya pemerintah berkewajiban merehabili-
tasi jalan hingga saluran air. Namun karena PT LSI yang belum menyerahkan
PSU kepada Pemerintah Kota Semarang, jalan kami untuk mendapatkan
pertanggungjawaban tersebut terhalang. Sementara, PT LSI sendiri sudah
meninggalkan Perumahan Grand Greenwood, ditengarai dengan kantor
pemasarannya yang terletak di dalam kompleks perumahan telah tutup,
sehingga warga Grand Greenwood pun kesulitan meminta tanggung jawab
darinya.
Rehabilitasi jalan yang longsor belum lama ini dilakukan oleh para warga
Grand Greenwood. Jalan di sebelah rumah-rumah warga yang letaknya lebih
tinggi, longsor separuh. Talud jalan tersebut ambrol tergerus oleh aliran deras
_____
1 http://satudata.semarangkota.go.id/adm/file/20170727074039Perda-6-Th-2015_legal.pdf
diakses pada 10 November 2021
257
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
air dari bukit di sebelahnya (Gambar VII.20). Untuk perbaikan tersebut, warga
terpaksa menyewa alat berat, sekaligus membayar operator dan membeli
bahan bakarnya sendiri. Dalam perbincangan antar tetangga, kerap saya
dengar ujaran, “Ini akibat pengembangnya terlalu banyak ambil untung.” Saya
kira hal itu benar. Atas biaya yang kami keluarkan, sebetulnya adalah, salah
satunya, keuntungan pengembang dari membeli lahan suburbia yang tidak
cocok untuk permukiman dengan harga yang tidak semahal lahan di pusat
kota. Ketimpangan (unevenness) terjadi di sini, di mana pihak pengembang
diberi jalan oleh pemerintah untuk mengeruk untung dari ketidakmampuan
warga dalam mengakses permukiman yang layak dan informasi yang ter-
perinci atas pemukiman tempat tinggalnya yang dikerjakan pengembang.
Sementara warga Grand Greenwood yang sudah dirugikan makin dirugikan
karena tidak bisa mendapatkan hak pengelolaan PSU oleh pemerintah
sekaligus kesulitan menuntut tanggung jawab pihak PT LSI sebagai pengem-
bang yang telah memperoleh keuntungan berlipat dari usahanya.
Keadaan yang lebih parah dari warga Perumahan Grand Greenwood diderita
oleh warga Perumahan Bukit Manyaran Permai (BMP) (Gambar VII.21). Letak
kedua kompleks perumahan tersebut sama-sama di Kelurahan Sadeng, Keca-
258
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Lihat: Longsor di Bukit Manyaran Permai Semarang Kian Parah (1 Maret 2021), Tribun
Jateng, URL: https://www.youtube.com/watch?v=gh3QlsHyVQU, [diakses 27 September
2021].
2 Kenida Ajeng Setiyaning dan Fitri Yusman (2014) Kajian Faktor Yang Mempengaruhi Warga
Tetap Tiggal di Perumahan Rawan Longsor (Studi Kasus: Perumahan Bukit Manyaran
I
Permai). Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota), 3(4), 708-718. Diambil dari:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/6730
259
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VII.21: Antrean kendaraan berjalan menanjak dan menikung pada jalan di
depan Perumahan Bukit Manyaran Permai. Rumah-rumah di sisi sebe-
lah kiri jalan ini adalah rumah-rumah Bukit Manyaran Permai. Kondisi
ini menunjukkan kemiringan yang cukup terjal. Foto diambil pada
September 2021.
_____
1 TPA Jatibarang berada di Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Ini
merupakan daerah berbukit dan bergelombang dengan kemiringan lereng sangat curam
(lebih dari 24 %). Ketinggiannya bervariasi antara 63 sampai 200 meter dari permukaan
laut. Pada bawah TPA ini mengalir Sungai Kreo yang airnya merupakan bahan baku PDAM
Kota Semarang. Luas TPA Jatibarang mencapai 46,183 Ha, terdiri dari 27,7098 Ha (60 %)
untuk lahan buang dan 18,4732 Ha (40 %) untuk infrastruktur kolam lindi. Daya tampung
tempat pembuangan ini mencapai 4,15 juta m³ sampah, setiap hari sampah yang masuk
ke TPA Jatibarang mencapai 750 – 800 ton. Lihat: http://mapgeo.id/dkp/index.php/
pembuangan/tpa [diakses pada 27 September 2021].
260
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
tempat ini karena tidak mampu membeli rumah di tempat yang aman dari
longsor1.
Dapat dikatakan tinggalnya orang-orang di tempat semacam BMP atau
Grand Greenwood, disituasikan oleh ledakan dari kerutan proses pengotaan
di Semarang. Keinginan untuk bertahan hidup dengan menjangkau tempat
tinggal yang sesuai pendapatan, justru berujung kerugian-kerugian, di mana
rumah dan lingkungan yang ditempati rusak dan kami yang menanggungnya.
Seperti PT Lintas Sentosa Investama yang saat ini sudah tidak berkantor lagi di
Grand Greenwood, PT Dian Semenko pun sudah tidak beroperasi. Artinya,
kedua pemodal tersebut agak sulit atau tidak bisa lagi dimintai pertanggung-
jawaban. Sebaliknya, mereka telah menyedot keuntungan-keuntungan.
Tingkat kerusakan lahan di DAS Kreo dan sekitarnya termasuk dalam
kriteria kritis. Menurut Setyaningsih dkk. (2018), hal itu salah satunya disebab-
kan oleh pengembangan permukiman semacam BMP.2 Perubahan pengguna-
an lahan di DAS Kreo secara umum memang berupa perluasan kawasan
permukiman, perkebunan, dan kebun campuran. Perubahan penggunaan
lahan tersebut, menurut Liesnoor Setyowati (2010), kemudian diikuti limpasan
permukaan. Akibatnya, terjadi peningkatan debit aliran Kali Kreo. Dalam kurun
1992-2007, debit air Kali Kreo mencapai maksimum pada 1993, 2001, 2003,
dan 2007.3
Selain perluasan kawasan permukiman, Setyaningsih dkk. (2018) menye-
butkan pembangunan Waduk Jatibarang berpengaruh besar terhadap keru-
sakan lahan di DAS Kreo. Waduk ini dibangun dengan cara membendung aliran
Kali Kreo. Wilayah di mana waduk yang membutuhkan area seluas 266 hektar
itu dibangun bukan merupakan area permukiman, melainkan area vegetasi
hutan, sawah, dan tegalan.
_____
1 Dalam penelitiannya, Kenida Ajeng Setiyaning (2014: 709) menuliskan: “Bencana longsor
ditinjau dari kerawanan fisik alamiah memiliki beberapa indikator yaitu memiliki
kelerengan agak curam (15-25%), karakteristik jenis tanah grumosol bertekstur lempung
yang peka terhadap longsor, curah hujan di Kelurahan Sadeng yang termasuk tinggi, dan
kawasan perumahan memiliki kerawanan akan gerakan tanah tinggi. Hal ini juga didukung
data di Buletin Cipta Karya yang menyatakan bahwa Perumahan Bukit Manyaran Permai
ini tidak layak bangun karena kondisi alamnya yang rawan bencana longsor. Selain itu,
ditinjau dari kerawanan akibat aktivitas manusia yaitu penggunaan lahan yang melebihi
daya dukung lahan kawasan. Berdasarkan data yang tercantum dalam Buletin Cipta Karya
menyatakan bahwa pengembang perumahan Bukit Manyaran Permai ini cenderung
memihak pada aspek politis yaitu desakan dari penguasa proyek untuk menyelesaikan
pembangunan tersebut.”
2 Wahyu Setyaningsih, Sriyono, Andi Irawan Bernadi (2018) Kajian Kerusakan lahan di DAS
Kreo Akibat Pembangunan Permukiman di Sekitar Waduk Jatibarang Kota Semarang.
Jurnal MKG Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial 19(2): 117-186.
3 Dewi Liesnoor Setyowati (2010) Hubungan Hujan dan Limpasan Pada Sub-DAS Kecil,
Penggunaan Lahan Hutan, Sawah, Kebun Campuran di DAS Kreo. Forum Geografi 24(1):
39.
261
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Erfandy Yoga Prarasta dan Parfi Khadiyanto (2014) Dampak Proses Pembangunan Waduk
Jatibarang Terahdap Kondisi Lingkungan di Kecamatan Mijen dan Kecamatan Gunungpati
Semarang. Jurnal Ruang 2(2): 111-120.
2 Lihat: Endot Briliantono (5 Maret 2013), Waduk Jatibarang Semarang, Oktober Ini
Pembangunan Selesai, Bisnis Indonesia. URL: https://ekonomi.bisnis.com/read/201303
05/45/2143/waduk-jatibarang-semarang-oktober-ini-pembangunan-selesai [diakses pada
27 September 2021].
262
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 LIhat: Nazarnurdin (11 Mei 2015), Kontan co.id, Bendungan Jatibarang Beroperasi, URL:
https://regional.kontan.co.id/news/bendungan-jatibarang-resmi-beroperasi
[diakses pada 27 September 2021].
2 Salah satu bagian dari megaproyek ini adalah pembangunan kolam retensi di Semarang
Utara seluas 9,23 hektar dengan nilai ganti rugi pembebasan lahan sebesar Rp 31,9 miliar
yang diberikan kepada PT Tanah Mas Bharuna selaku pengelola lahan. Lihat: Redaksi
Kompas.com (15 Oktober 2009), Megaproyek Penanganan Banjir Semarang Diresmikan,
URL: https://lifestyle.kompas.com/read/2009/10/15/21250937/megaproyek.penanganan
.banjir.semarang.diresmikan [diakses pada 30 September 2021].
3 Lihat: BBWS Pemali Juana (5 Mei 2014), Ditemani Ganjar, Menteri PU Resmikan Waduk
jatibarang Semarang, URL: https://sda.pu.go.id/balai/bbwspemalijuana/pages/posts/
ditemani-ganjar-menteri-pu-resmikan-waduk-jatibarang-semarang-1612928730 [diakses
pada 27 September 2021].
263
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Tabel VII.1: Resume Data Bencana di Kota Semarang 2012-2020 (diolah dari:
bpbd.semarangkota.go.id).
140
120
100
80
60
40
20
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Dari data (Tabel VII.1 dan Grafik VII.1) tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada
penurunan jumlah kejadian banjir yang berarti sejak Waduk Jatibarang selesai
dibangun 2014 dan resmi beroperasi tahun 2015. Kejadian longsor justru
meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2021, justru kejadian banjir meningkat.
Hingga bulan Februari 2021 saja, BPBD sudah merekam 67 kejadian banjir. Jika
264
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
dilihat lebih spesifik di DAS Garang, di mana Waduk Jatibarang berada, dalam
Tabel VII.2 dan Grafik VII.2, pun tidak tampak penurunan jumlah kejadian banjir
sejak waduk beroperasi pada 2015. Pada 2016 tidak ada catatan banjir di DAS
Garang, tetapi pada 2017 kejadian banjir justru meningkat dua kali lipat dari
kejadian banjir pada 2015. Jumlah kejadian banjir di DAS Garang menurun
pada 2018, namun kembali meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada
2020, jumlah kejadian banjir di DAS Garang melebihi kejadian pada 2015.
Sedangkan, pada Januari hingga April 2021 BPBD Kota Semarang sudah men-
catat 13 kejadian banjir di DAS Garang.
265
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
266
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Liesnoor dan Suharini (2014) memilah peran antara Kali Garang bagian hulu
dengan Kali Garang bagian hilir. Kali Garang hulu yang bukan sungai besar
berperan menampung limpasan air permukaan. Sedangkan Kali Garang hilir,
sebagaimana telah dituturkan pada bagian sebelumnya, berperan sebagai
sumber air baku PDAM Kota Semarang. Kali Garang bagian hilir telah direkaya-
sa pada zaman Hindia Belanda, dengan cara diluruskan ke arah laut berupa
BKB yang dilengkapi dengan pintu air dalam instalasi Bendungan Simongan.
Hilir Kali Garang yang asli adalah Kali Semarang,1 di mana sungai tersebut tidak
lurus, melainkan berbelok dari selatan ke arah timur kemudian berkelok-kelok
di tengah Kota Semarang. Sebelum memasuki hilir Kali Garang, air di sungai ini
terlebih dulu melewati bagian tengah. Momen sosiospasial dan sosioalamiah
pada bagian tengah ini tentu berpengaruh atau berperan terhadap aliran air
ke hilir Kali Garang.
Momen sosiospasial pada Kali Garang bagian tengah, salah satunya
adalah pengembangan area kampus di Bendan Duwur, Kelurahan Gajah
Mungkur. Pada 1980, Kawasan tersebut merupakan lahan berisi semak belu-
kar dan pepohonan, di mana belum terdapat permukiman. Perumnas Sam-
pangan saat itu masih menjadi permukiman padat terluar pada lingkaran
tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan Suara Merdeka pada November
20142, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah VI
Jawa Tengah saat itu, Profesor Sutomo, mengatakan bahwa sudah ada rumah-
rumah di sekitar Jalan Kendeng (dekat Kampus Unisbank) dan Jalan Pawiyatan
Luhur (sekitar Kampus Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata) namun
masih sangat jarang.
Tahun itu, pengurus Badan Musyarawah Perguruan Tinggi Swasta (BMTS)
di Jawa Tengah (sekarang Aptisi Wilayah VI Jawa Tengah) menemui Gubernur
Jawa Tengah, Soepardjo Roestam, membicarakan rencana pengalihan sekali-
gus pengonsentrasian kampus-kampus swasta Kota Semarang, di Kawasan
Bendan Duwur. Para pengurus tersebut adalah Drs. Hari Sumarno yang saat
itu menjabat Rektor Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, dan Drs.
Wuryanto dari BMTS Jawa Tengah. Tujuan pemusatan tersebut adalah untuk
_____
1 Dewi Liesnoor dan Erni Suharini (2014) DAS Garang Hulu, Tata Air, Erosi, dan Kosnervasi.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
2 Suara Merdeka, 2014, “Lahan Mati Kawasan Kampus Dihidupkan”.
267
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
268
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Wisata Taman Margasatwa Tinjomoyo 1 yang dikutip dalam Nugroho (2005), Di-
nas Pariwisata Kota Semarang lantas berencana memindah Bonbin Tinjomoyo
ke Mangkang (DAS Beringin). Tanah Tinjomoyo dinyatakan didominasi batuan
lempung dengan sifat merekah yang relatif besar, serta dilalui jalur-jalur sesar.
Pendek kata, tanah di Tinjomoyo labil. Hal itu menyebabkan kandang-kandang
satwa dan fasilitas bangunan yang lain rusak.2 Telah dituturkan pula pada
bagian sebelumnya (Lingkaran Pertama, Bagian “Di Simongan…”) bahwa
perusahaan-perusahaan penyedot WC di Kota Semarang membuang limbah
tinja di Tinjomoyo, di mana limbah tersebut menyebabkan pencemaran air Kali
Garang.
Tinjomoyo sendiri berada di Kecamatan Banyumanik yang sebagian
besar berada di area DAS Babon. Pengerutan DAS Babon di bagian Kecamatan
Banyumanik sejauh yang bisa ditandai, pusatnya berada di kawasan Perumnas
Banyumanik. Pengembangan permukiman ini dimulai 1974, berselang seben-
tar setelah dimulainya pembangunan Perumnas Sampangan (bagian “Dari
Bulu Sampai Sampangan, Lingkaran Kedua). Pengerutan di Perumnas Banyu-
manik itu mengalami proses meledak hingga ke Kelurahan Pudakpayung, yang
mana wilayah ini sudah dekat dengan hulu Kali Garang. Sebagaimana di
Kelurahan Jatibarang dan Kelurahan Sadeng, kawasan Pudakpayung merupa-
kan suburbia. Di dalamnya kemudian dikembangkan permukiman hingga ka-
wasan wisata.
_____
1 Laporan evaluasi Pengembangan Obyek Wisata Taman margaraya Tinjomoyo Kotamadya
Dati II Semarang disusun oleh Fakultas Teknik Universitas Diponegoro bersama Bappeda
Kotamadya Dati II Semarang pada 1996-1997.
2 Teguh Pribadi Adi Nugroho (2005) Pengembangan Hutan Wisata Tinjomoyo (Skripsi).
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
269
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VII.22: Kali Garang di bawah Jembatan Tinjomoyo. Jembatan ini berujung pada
gerbang bekas Bonbin Tinjomoyo. Foto diambil pada September 2021.
Salah satu rencana kawasan wisata mendapat protes warga pada Februari
2000 karena dilakukan dengan mengeruk tanah di bantaran Kali Garang
sepanjang 500 meter. Setiap hari, warga melihat paling sedikit ada lima truk
yang keluar masuk proyek pengerukan dengan membawa muatan tanah.
Pengerukan tersebut dilakukan di area yang semula bakal dijadikan tempat
relokasi lokalisasi Sunan Kuning (sering disebut SK) yang ada di Kelurahan
Kalibanteng (DAS Silandak). Pengerukan itu dilakukan PT Satwiga Mustika Naga
(SMN) pimpinan seorang bernama Habib Muslim. Warga yang memprotes
tergabung dalam Himpunan Masyarakat Peduli Lingkungan (HMPL) Pudak-
payung. Pengerukan tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan longsor, se-
lain itu juga dikhawatirkan menyebabkan sedimentasi di Kali Garang. 1 Selain
mempersoalkan kerusakan lingkungan, HMPL memprotes PT SMN lantaran
tanah milik dua warga di antaranya turut dikepras proyek pengerukan. Hingga
Agustus 2000, HMPL tak kunjung mendapatkan jawaban atas protes tersebut,
pengerukan masih berlangsung. HMPL sudah mengadukan perihal pengeruk-
an tersebut ke DPRD Kota Semarang, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada jawaban
apapun dari DPRD. Di sisi lain, PT SMN menegaskan pihaknya sudah mengan-
tongi izin penambangan Galian C atas pengerukan tersebut.2
_____
1 Suara Merdeka, 2 Februari 2000, “Penggalian Bantaran Kali Garang”.
2 Suara Merdeka, 23 Juni 2000, “Tagih Janji Kasus DAS Kaligarang”.
270
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
VII.4. Kesimpulan
271
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
dan pekerja lain, juga dengan penduduk. Pengusaha real estate Paramount
Village di Simongan menentukan golongan mana yang bisa tinggal di dalamnya
lewat penentuan harga rumah. Pengusaha pabrik di Simongan menyaring
siapa yang bisa menembus pekerjaan yang mereka buat, siapa yang tidak.
Pengusaha pabrik di Simongan bahkan bisa mengatur Peraturan Daerah yang
diterbitkan pemerintah untuk menentukan siapa yang bisa berada di sana.
Dominasi modal dalam rekonfigurasi sosiospasial, secara langsung mau-
pun tidak langsung menentukan siapa yang bisa tinggal di Simongan dan siapa
yang harus menyingkir dari sana. Modal, dari manapun dan dalam keadaan
apapun memiliki jalan masuk ke lingkaran sosispasial ini untuk menangguk
untung. Misalnya PT Wika Beton Cibinong, Jawa Barat yang tetap untung
kendati pembangunan Jembatan Kali Garang yang menggunakan material
darinya mengalami hambatan kecelakaan. Politik bahasa digunakan untuk
menyingkirkan penduduk keluar dari Simongan, seperti menggunakan kata
relokasi, tali asih, dan pesangon. Di sisi lain, warga digusur ke luar lingkaran
dan mengalami kesusahan hidup di sosiospasial “lingkaran ketiga”.
Pindah dan tumbuhnya pabrik-pabrik ke Simongan adalah proses mele-
dak dan mengerut. Proses tersebut kemudian diikuti proses meluap, yakni
krisis dalam relasi sosioalamiah penduduk Simongan; kematian para penam-
bang padas akibat tertimpa longsoran dari Bukit Simongan, pencemaran
logam berat dari limbah pabrik, hingga banjir bandang pada 1990.
Sosiospasial pada “lingkaran ketiga” berisi manusia (sebagai material
sosial) yang disingkirkan oleh modal secara langsung ataupun tidak langsung
dari lingkaran kedua. Lingkaran ketiga ini juga berisi manusia yang secara
sosiospasial disedot oleh modal. Industri-industri di pusat kota hingga pemba-
ngunan atas nama pengendalian banjir seperti proyek Waduk Jatibarang di
kawasan suburbia, menyedot buruh-buruh formal maupun informal. Kampus-
kampus penyedia buruh industri juga menyedot mahasiswa ke kawasan
suburbia seperti Sekaran dan Tinjomoyo di Bendan Duwur. Pengerutan
kawasan suburbia memiliki risiko meluap. Momen sosioalamiah seperti roboh-
nya rumah-rumah di Bukit Manyaran Permai, mulai keringnya Sendang Gayam
karena kepadatan area di atasnya sejak Kampus UNNES Sekaran beroperasi,
serta rusaknya daerah tangkapan air, di mana Kali Garang menjadi kritis
dengan debit yang begitu kecil saat kemarau dan berubah menjadi sangat
besar pada musim hujan, terjadi di sepanjang DAS Garang ini. Ketimpangan
(unevenness) muncul berkali-kali dalam rekonfigurasi sosiospasial lingkaran
tiga. Mulai dari modal yang ditopang pemerintah, hingga penyelamatan
pabrik-pabrik dari banjir secara cekatan oleh pemerintah. Sementara orang-
orang yang tersingkir ke kawasan suburbia terpaksa mempertahankan hidup
sendiri. Seperti warga Kalialang yang menyambung jembatan sendiri dan war-
ga Grand Greenwood yang membangun talud sendiri. (*)
272
BAB VIII
DAS Beringin:
Rekonfigurasi ruang kali,
kampung, dan kebun
273
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
Universitas Diponegoro. Tulisan ini lebih fokus pada perubahan sosiospasial di tingkat DAS,
meski dalam beberapa bagian/uraian pendekatan Sub-DAS tetap digunakan.
1 Publikasi Suryanto (2007) menganggap wilayah Sub-DAS Beringin hilir (Kecamatan Tugu)
bukan bagian dari DAS Beringin. Ia beralasan bahwa di wilayah tersebut, pada kiri dan
kanan Kali Beringin, telah dibuatkan tanggul penahan banjir. Sehingga posisi Sub-DAS
tersebut hanya sebagai penerima luapan DAS Beringin, bukan sebagai bagian dari DAS
Beringin itu sendiri. Tulisan ini melihat bahwa cara pandang tersebut justru berpotensi
melenyapkan keterkaitan biofisik antara daerah hulu dan hilir DAS. Atau, dengan kata lain,
menghilangkan kontribusi perubahan sosiospasial di hulu dalam produksi momen banjir di
hilir. Lihat: Suryanto (2007) Daya Dukung Lingkungan Daerah Aliran Sungai untuk
Pengembangan Kawasan Permukiman: Studi Kasus DAS Beringin Kota Semarang (Tesis).
Universitas Diponegoro.
2 Sudianto, Barnabas Untung (2006) Bahaya Banjir di Kawasan DAS Beringin dan Rob di
Mangunharjo. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah 4(2): 69-75; hlm. 69.
3 Suryanto (2007) Daya Dukung Lingkungan Daerah Aliran Sungai untuk Pengembangan
Kawasan Permukiman: Studi Kasus DAS Beringin Kota Semarang (Tesis). Universitas
Diponegoro, hlm. 111.
274
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
2013 2020
02.55
■ ■
10 15 20
Kilometers
mn~
IIIUU
Sumber data:
1) Peta Digital Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wilayah didapat dari: https:11·
2) Citra Satelite LANDSAT 1-5 MSS (1973); LANDSAT 4-5 TM (1989 dan 1999) d
Gambar VIII.1: Evolusi penggunaan ruang di DAS Beringin 1973-2020. Warna hijau
pada peta adalah vegetasi, biru pada peta merupakan badan air, dan
warna oren pada peta adalah area terbangun.
Belum lama ini (2021), “Koalisi Maleh dadi Segoro” telah membuat analisis
cepat terkait perubahan tata guna lahan di Semarang berbasis data citra
satelit. Salah satu yang dilihat perubahannya dalam rentang 1973-2020 ialah
DAS Beringin.1 Dalam hasil analisis citra satelit tersebut, seperti yang ditunjuk-
kan Gambar VIII.1, terlihat bahwa perubahan penggunaan ruang di DAS
Beringin sudah bermula sejak 1970-an. Misalnya, penggunaan ruang untuk
vegetasi (area terbuka hijau) pada 1973 berjumlah 93%, namun terus merosot
menjadi 86,1% (1989), 76,6% (1999), dan makin terjun menjadi 50,6% pada
2013. Sebaliknya, area terbangun terus meroket dari awalnya 4,1% pada 1973
menjadi 10,6% (1989), 19,8% (1999), dan naik drastis ke angka 36,7% pada
2013. Bahkan pada 2020, jumlah area terbangun (49,8%) telah melebihi jumlah
area vegetasi (48,4%). Lebih lengkapnya simak Gambar VIII.2 berikut ini.
_____
1 Lihat: https://www.instagram.com/p/CNmx5LaBb_0/?utm_medium=copy_link.
275
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
60
40
20
Gambar VIII.2: Grafik penggunaan ruang di DAS Beringin 1973-2020. Area vegetasi
konsisten menurun, sementara area terbangun konsisten naik.
Publikasi Prasetyo dkk. (2020) juga menunjukkan hal serupa. Prasetyo dkk.
memakai data 1995, 2005, 2015, serta dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) 2011-2031 untuk melihat perubahan tata guna lahan di DAS Beringin.
Ada lima parameter yang digunakan yakni hutan, kota, permukiman, pertani-
an, dan tambak.1 Dalam tulisan ini, untuk mempermudah dan agar sesuai
dengan kategori yang dilakukan “Koalisi Maleh dadi Segoro” sebelumnya,
kelima parameter tersebut akan dilebur menjadi dua yakni area terbangun
dan area vegetasi. Area terbangun terdiri dari parameter kota dan permuki-
man, sementara area vegetasi terdiri dari parameter hutan, pertanian, dan
tambak.
Pola yang tampak beroperasi di DAS Beringin antara versi Koalisi Maleh
dadi Segoro (2021) dengan Prasetyo dkk. (2020) masih sama: area terbangun
terus meningkat, sedangkan area vegetasi terus menyusut. Pada 1995, area
terbangun di DAS Beringin masih 12% dan area vegetasi adalah 88%. Sepuluh
tahun kemudian (2005) area vegetasi merosot menjadi 51,6% dan area ter-
bangun melonjak jadi 48,4%. Pada 2015 kondisi pun mulai berbalik, area
terbangun menjadi lebih besar yakni 59,1%, sementara area vegetasi menjadi
40,8%. Adapun alokasi yang disediakan RTRW 2011-2031 untuk area terbangun
ialah 47,1% dan untuk area vegetasi 50,3%. Dengan begitu, pada 2015 luasan
area terbangun sudah jauh melampaui alokasi untuk DAS Beringin di RTRW
2011-2031.
_____
1 Prasetyo, Wahyu, Suripin, dan Sri Sengkawati (2020) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Beringin. Jurnal Orbith 16(1): 10-15; hlm. 12.
276
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Kondisi tersebut terjadi pada 2015, empat tahun sejak RTRW tersebut
bergulir dan 16 tahun sebelum RTRW tersebut diubah kembali (jika diubah lagi
sesuai angka tahun), sekalipun RTRW sebenarnya dapat direvisi per lima tahun
sekali. Karena itu, besar kemungkinan pada tahun-tahun berikutnya luasan
area terbangun akan makin melampaui alokasi RTRW dan sekaligus makin
memakan banyak area vegetasi. Sebagai gambaran, Putri & Alfiana (2017)
membuat proyeksi bahwa pada 2029 wilayah kebun (salah satu area vegetasi)
di DAS Beringin akan merosot menjadi 4,825 km2 dari kondisi eksistingnya
pada 2013 yang berjumlah 16,596 km 2. Sedangkan permukiman (salah satu
area terbangun) yang pada 2013 berjumlah 6,725 km2, diproyeksikan akan naik
menjadi 15,107 km2 pada 2029.1
Perubahan penggunaan ruang di DAS Beringin yang berlangsung begitu
masif tidak terlepas dari bongkar pasang aturan tata ruang yang disahkan
pemerintah. Sebagai contoh, Kecamatan Mijen baru masuk administrasi Kota
Semarang pada 1976 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun
1976. Selain memuat substansi tentang perluasan wilayah, PP tersebut
menyebut pula bahwa untuk melindungi tata air Semarang, maka hutan-hutan
yang terdapat di Kecamatan Mijen akan tetap dilindungi fungsinya sebagai
hutan.2 Apalagi Kecamatan Mijen merupakan daerah paling tinggi di Kota
Semarang, sehingga daerah ini menjadi salah satu wilayah tangkapan air di
Kota Semarang. Namun akibat beberapa aturan terkait tata guna lahan,
akhirnya banyak pula area vegetasi di Kecamatan Mijen yang beralih-fungsi,
terutama setelah terbit Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 Tahun 1990.
Perda Nomor 02 Tahun 1990 mulai mengubah peruntukan Kecamatan
Mijen menjadi wilayah perkotaan berciri agraris dan sub-urban. Sebelumnya
fungsi Kecamatan Mijen ialah ruang terbuka untuk pertanian, peternakan, dan
perkebunan. Bersamaan dengan itu, wilayah DAS Beringin lainnya yaitu
Kecamatan Tugu diplot sebagai Wilayah Pengembangan II untuk kawasan
industri. Lalu terbit Perda Nomor 1 Tahun 1999 (RTRW Semarang 1995-2005),
yang kemudian disempurnakan melalui Perda Nomor 5 Tahun 2004 (RTRW
Semarang 2000-2010). Perda ini membagi wilayah Kota Semarang menjadi
beberapa Bagian Wilayah Kota (BWK). Kecamatan Ngaliyan dan Tugu
ditetapkan sebagai tempat industri, permukiman, perdagangan, jasa, tambak,
rekreasi, dan pergudangan (BWK X). Kecamatan Mijen masuk BWK IX untuk
pertanian, permukiman, konservasi, wisata/rekreasi, perdagangan dan jasa,
pendidikan, dan industri (techno park). Substansi yang paling mencolok antara
_____
1 Putri, Vania Vasti Herinta dan Alfiana Putri (2017) Kajian DAS Bringin Semarang terhadap
Perubahan Tata Guna Lahan (Skripsi). Universitas Katolik Soegijapranata.
2 Lihat: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1976 tentang Perluasan
Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang.
277
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Perda 1999 dengan 2004 ialah naiknya alokasi untuk kawasan permukiman
dari 2.223 hektar menjadi 13.992 hektar dan turunnya Ruang Terbuka Hijau
(RTH)/konservasi dari 10.770 hektar menjadi 4.155 hektar.1
Wujud awal perubahan sosiospasial dari area vegetasi ke area terbangun
di DAS Beringin dapat dilacak sejak 1970-1980-an.2 Misalnya, pada era tersebut
di sepanjang DAS Beringin, terutama di Kecamatan Ngaliyan dan Tugu, banyak
alih fungsi lahan untuk industri, peternakan, atau perumahan. Pengembangan
industri pertama di wilayah Ngaliyan adalah PT Sango, lalu muncul Kawasan
Industri Guna Mekar Indonesia (GMI) yang didirikan pengembang bernama
INA di Kecamatan Tugu. Di dalamnya ada puluhan pabrik, sebagai contoh, tiga
di antaranya adalah Indoofood, Humpus, dan Marimas. Kemudian ada
Kawasan Industri Candi (KIC) yang dikerjakan PT IPU di daerah Ngaliyan.
Pada era 1980-1990-an, pembangunan perumahan mulai menjamur di
setiap sudut Kecamatan Ngaliyan. Beberapa nama perumahan yang termasuk
paling awal berdiri ialah Pondok Beringin, Beringin Lestari, Rumah Sederhana
Beringin Asri, Perumahan Wahyu Utomo, Perumahan Permata Puri, Mangkang
Indah, dan Perum Sulanji. Hilir DAS Beringin juga tidak lepas dari perubahan
sosiospasial, terutama karena mulai merebaknya intensifikasi tambak udang
yang memicu banyaknya area mangrove berubah fungsi menjadi tambak.
Selain itu, di tepi pantai berdiri sebuah pabrik pengolahan kayu (PT Kayu Lapis
Indonesia/KLI) yang bangunannya menjorok ke laut sekitar 500 meter. Dalam
perkembangannya, PT KLI juga melakukan pembelokan mulut sungai dan
mereklamasi pesisir pantai.
Memasuki era 1990-2000-an, di sepanjang hulu Kali Beringin terdapat tak
kurang tujuh proyek perumahan skala besar dengan luas antara 50-1.000
hektar.3 Perubahan tata guna lahan besar-besaran dari area vegetasi menjadi
area terbangun terjadi di Kecamatan Mijen. Salah satu pengubah peruntukan
lahan yang paling signifikan di Mijen ialah perumahan elit Bukit Semarang Baru
(BSB). Bahkan dalam dokumen perencanaan pengembangan Kota Baru BSB,
disebutkan pula bahwa hampir seluruh (90%) lokasi BSB yang berjumlah 1.000
hektar merupakan hasil konversi dari perkebunan karet.4 Konversi status
lahan perkebunan karet (dengan klaim penguasaan dalam bentuk Hak Guna
_____
1 Lisdiyono, Edy (2008) Legislasi Penataan Ruang: Studi tentang Pergeseran Kebijakan
Hukum Tata Ruang dalam Regulasi Daerah di Kota Semarang (Disertasi). Universitas
Diponegoro; hlm. 319.
2 Substansi dalam pembahasan ini diambil dari data GroundUp 2021.
3 Kompas, 03 April 2001, “Pemerintah Kota Semarang Tak Punya Dana Atasi Banjir”, hlm.
24.
4 Santoso, Hardo Wibowo (2005) Pengaruh Keberadaan Bukit Semarang Baru terhadap
Kondisi Sosial-Ekonomi-Fisik Sekitarnya Berdasarkan Persepsi Masyarakat Lokal (Tesis).
Universitas Diponegoro, 2005, hlm. 62-63.
278
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
279
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Koran Tempo, 15 Mei 2013, “Pengembang Semarang Dinilai Abaikan Drainase”.
2 Selengkapnya lihat: Rifqi, Putra Muhammad; Dewi Liesnoor Setyawati; & Suroso. (2017)
Analisis Spasial Debit Puncak Daerah Aliran Sungai Beringin dengan Metode Rasional. Geo
Image 6(1): 1-7; hlm. 3-4.
3 Sutopo, Iqbal Gifani; Mochamad Teguh; & Pradipta N.W. “Mitigasi Risiko Banjir Sungai
Beringin Wilayah Hilir, Kabupaten Semarang Barat”. Diakses pada 10 Agustus 2021, dari
280
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Skala t:70.000
Keterangan
Lokasi •
Aliran Sungai/ Air
DAS Beringin C.:.1
Batas Administrasi
Kecamatan Mij en D
Kecamatan Ngaliyan D
Kecamatan Tugu □
Peta Dasar: Google Satellite
fflnlll
■•■'■·uu
Gambar VIII.3: Peta DAS Beringin dan berbagai perubahan sosiospasial di dalamnya.
281
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Aden W, “Waspada Lur! Sungai Beringin Meluap, Mangkang Dikepung Banjir”, diakses
pada 12 Agustus 2021 dari https://radarsemarang.jawapos.com/berita/semarang/
2021/02/06/waspada-lur-sungai-beringin-meluap-mangkang-dikepung-banjir/.
2 Cerita Zainudin disarikan dari: Thoha, Dirman. 1999. Petani Kok Nglawan Aku. Kompas, 14
Desember 1999.
282
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Zainudin, tapi juga oleh banyak warga Mangunharjo (saat itu Kelurahan
Mangunharjo dan Mangkang Wetan masih satu).
Sampai awal 1990-an, warga Mangunharjo masih cukup makmur. Mereka
masih diberkahi hasil panen tambak udang windu dan bandeng yang cukup
melimpah. Dalam setiap hektar tambak, rata-rata menghasilkan lima kuintal
udang windu dan empat kuintal bandeng. Belum lagi jika ditambah hasil panen
sampingan dari tambak udang api, mujair, blanak, atau ikan rucahan. Dari
keuntungan sebagai petambak itu pula banyak warga Mangunharjo pergi haji.
Bahkan pernah dalam suatu musim haji yang bersamaan dengan panen
tambak yang bagus, 60-an warga Mangunharjo berangkat haji secara bersama-
sama.1
Era kejayaan sebagai petambak berangsur runtuh sejak pemerintah me-
ngizinkan sebuah perusahaan kayu lapis berdiri di pesisir Kendal-Semarang.
Secara administratif, pabrik tersebut terletak di desa sebelah yang masuk
wilayah Kabupaten Kendal. Pada akhir 1980-an, saat PT Kayu Lapis Indonesia
(PT KLI) mulai berdiri, warga Mangunharjo belum merasa ada pengaruhnya.
Warga hanya mengetahui keberadaan pabrik, tapi tidak tertarik bekerja di
sana. Warga juga belum banyak yang menyadari bahwa PT KLI telah mem-
perluas area pabrik dengan cara reklamasi dan mengeruk pasir pantai.
Dalam upayanya melindungi dan sekaligus memperluas lokasi pabrik, PT
KLI juga melakukan pembelokan mulut Sungai Wakak.2 Semula mulut Sungai
Wakak langsung menghadap laut, kemudian dibelokkan sejauh 1,6 km agar
dapat menyatu dengan Sungai Plumbon. Pembelokan tersebut membuat alur
sungai bertambah panjang yang ini berpengaruh pada waktu perambatan air
pasang ke tambak-tambak warga. Akibatnya, keberadaan sungai pun menjadi
tidak lagi cukup untuk memenuhi syarat teknis sistem pengairan tambak, baik
dari segi kualitas maupun kuantitas.3 Selain itu, bangunan KLI yang menjorok
500 meter ke laut menyebabkan perkara lain yakni perubahan pola arus laut.
Belakangan bangunan PT KLI telah berkembang lagi menjadi 700-1000 meter
ke arah laut.4 Dampaknya, pelan-pelan dataran pantai di sampingnya makin
terkikis (abrasi), hingga akhirnya menenggelamkan tambak warga. Bahkan
_____
1 Kompas, 20 Maret 2003, “Tambak-tambak yang Terkoyak di Pantura”, hlm. 08.
2 Sungai Wakak acap dinamakan berbeda-beda, seperti Sungai Janrono, Sungai Slembang,
dan bahkan Sungai Plumbon. Sungai Wakak masuk ke dalam DAS Plumbon, letaknya ada
di sebelah barat Sungai Beringin, Lihat misalnya catatan kaki No. 14 di buku Wijono,
Radjimo Sastro & Tandiono Bawor Purbaya, Potret Buram Industrialisasi di Jawa: Main
Kayu Pembangunan, (Semarang: LBH Semarang; Mesiass; Fokalis. 2004), hlm. 47.
3 Arsip Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.
4 Arsip LBH Semarang.
283
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
menurut perkiraan, rusaknya kawasan pantai dan tambak ialah tiga kali lipat
dari panjangnya bangunan PT KLI yang menjorok ke laut.1
Sejak saat itu, pelan-pelan dampak aktivitas PT KLI mulai dirasakan warga
Mangungharjo. Apalagi PT KLI juga menguasai secara sepihak muara sungai
untuk tempat penumpukan kayu. Limbah pabrik juga banyak dibuang ke
sungai, sehingga menimbulkan timbunan dan membendung arus sungai.
Beberapa limbah yang sering ditemukan ialah (1) limbah padat, berupa
kulit/serabut kayu, potongan kayu, serbuk logam, dan plat; (2) limbah cair,
berupa getah kayu, air pendingin/cooling, air cucian, dan sisa oli; (3) limbah
udara, berupa aneka gas buangan yang bersifat kimiawi, suara mesin, dan
hawa panas.2
PT KLI banyak memproduksi aneka bentuk olahan kayu seperti plywood,
papan batangan, wood waste, block board, dan sawn timber. Pada 1990-an,
produksi plywood di KLI mencapai 1.440.000 m3 per hari; block board sejumlah
230.000 m3 per hari; dan sawn timber sebanyak 166.667 m3 per hari. Selain itu,
PT KLI juga tercatat memproduksi berbagai produk sampingan seperti
formaldehyde, urea formaldehyde, dan melamine formaldehyde. Beragam pro-
duk tersebut dijual ke mancanegara, seperti Hongkong, Cina, Jepang, Korea,
Amerika Serikat, dan ke berbagai negara di Eropa. 3
Produk kayu yang diolah di kilang kayu raksasa KLI di Kendal, berasal dari
paling tidak 94 konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tersebar di
Sumatera dan Papua. Pada 1998, tercatat bahwa PT KLI menguasai sejumlah
3,5 juta hektar konsesi HPH. Oleh karena PT KLI tidak memiliki konsesi sendiri
di Pulau Jawa, pabrik kayu mereka di Kendal juga menerima bahan baku dari
Perum Perhutani.4 Dalam proses distribusi hasil kayu alam dari Sumatera dan
Papua, PT KLI tidak melakukannya di Pelabuhan Semarang. PT KLI justru
melakukan bongkar muat kayu langsung di lokasi pabriknya di Kendal. Proses
ini dilakukan secara terus menerus, selama bertahun-tahun, tanpa dilengkapi
izin yang memadai dari instansi terkait.5
_____
1 Kompas, 09 Juni 2000, “Akibat Pertumbuhan Industri, Pesisir Semarang Rawan”.
2 Arsip LBH Semarang.
3 Arsip LBH Semarang.
4 Aditjondro, George Junus (2003) Pola-Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menye-
lamatkan Lingkungan dari Ekspansi Modal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 245.
5 Arsip LBH Semarang. Kondisi serupa masih terus terjadi sampai 2021. Pada September
2021 saya berkunjung ke Mangunharjo dan bertemu dengan seorang warga yang sedang
mencari kerang hijau yang menempel di tembok jalan. Dia menuturkan bahwa pada
malam hari, ia biasa melihat kapal-kapal besar bermuatan kayu berlabuh di pabrik PT KLI.
284
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar VIII.4: Sebelah kiri merupakan PT KLI diambil dari ujung daratan pesisir
Mangunharjo. Sebelah kanan merupakan kapal-kapal yang berlabuh di
sekitar pabrik PT KLI. Foto diambil pada September 2021.
_____
1 Aditjondro, George Junus (2003) Pola-Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menyela-
matkan Lingkungan dari Ekspansi Modal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; hlm. 249.
285
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Arsip LBH Semarang.
2 Arsip LBH Semarang.
3 Arsip LBH Semarang.
4 Kompas, 20 November 1999, “Perusakan Pantai Mangunharjo: PT KLI Saling Tuding dengan
Dinas Pengairan”, hlm. 19.
286
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
“Kami tidak memungkiri faktor alam seperti arus dan gelombang air
laut. Tetapi itu tidak seberapa. PT KLI mempunyai andil 70% terha-
dap kerusakan tambak kami.”2
Pada 2003, jumlah tambak yang berubah menjadi laut mencapai 31 hektar,
dari total 228 hektar tambak yang tersisa di Mangkang Wetan dan Mangun-
harjo. Nahasnya lagi, sebanyak 196 hektar dari tambak yang tersisa, sejumlah
121 hektar di antaranya dalam kondisi rusak berat. 3 Nelayan di Mangunharjo
dan Mangkang Wetan turut merasakan dampak. Setelah beroperasinya PT KLI
mereka jadi lebih sering pulang tanpa hasil. Sebab, banyak ikan menjauh
akibat adanya buangan limbah cair pabrik.
Derita warga Mangkang Wetan dan Mangunharjo tidak berhenti sampai
di situ. Selain menghadapi persoalan abrasi pantai, mereka juga berhadapan
dengan banjir kiriman, yaitu banjir yang disebabkan oleh limpasan air dari
daerah hulu. Seorang warga Mangunharjo, Sapuan, punya cerita menarik soal
itu.4 Menarik karena, menurutnya, mendapat kiriman banjir merupakan hal
biasa. Dalam satu tahun, warga Mangkang Wetan dan Mangunharjo menerima
dua sampai tiga kali banjir dari daerah yang lebih atas. Sapuan mengenang,
“Dulu juga banjir sih, tapi masih wajar, yaitu di bawah 50 sentimeter.
Nah, kalau sekarang banjir, wah, bisa mencapai 1,5 hingga 1,75
meter, itu pun butuh waktu lama untuk bisa surut kembali. Apalagi,
di RW 5, wah butuh waktu tiga hari baru banjir itu surut.”
Meski banjir acap terjadi, Sapuan yang sejak kecil tinggal di Mangunharjo mera-
sa ada perbedaan antara banjir dulu dan banjir sekarang (2000-an). Menurut-
nya, banjir sekarang makin besar akibat penggundulan hutan di wilayah sela-
tan Sungai Beringin, di perbatasan antara Kota Semarang dengan Kabupaten
_____
1 Sudianto, Barnabas Untung (2006) Bahaya Banjir di Kawasan DAS Beringin dan Rob di
Mangunharjo. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah 4(2): 69-75.
2 Kompas, 20 Maret 2003, “Tambak-tambak yang Terkoyak di Pantura”, hlm. 08.
3 Kompas, 20 Maret 2003, “Tambak-tambak yang Terkoyak di Pantura”, hlm. 08.
4 Cerita Sapuan dan Doel Wahid disarikan dari: Kompas, 23 Mei 2001, “Banjir Kiriman yang
Tak Pernah Berhenti”, hlm. 26.
287
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Kendal. “Dulu (di sana) sangat lebat ditumbuhi tanaman, namun kini telah ber-
ubah menjadi kawasan perumahan elite,” keluh Sapuan.
Kerusakan daerah hulu juga berpengaruh pada aliran sungai. Dahulu, di
Mangkang Wetan dan Mangunharjo, mengalir beberapa anak sungai (dari ba-
rat ke timur) seperti Sungai Plumbon/Irigasi, Sungai Morotiwo, Sungai Santren,
Sungai Beringin/Tawa, dan Sungai Sendari. Sebelum daerah hulu rusak,
sungai-sungai tersebut dihubungkan oleh Sungai Paluh. Pada 1970-1980-an,
keberadaan sungai masih menjadi ladang pencaharian sehari-hari warga, teru-
tama yang tidak memiliki sawah atau tambak. Dari sungai warga bisa menda-
patkan ikan dan udang, sehingga tidak perlu jauh-jauh mengambil di laut.
Aktivitas warga mencari ikan dan udang di sungai disebut nyamplok. Aktivitas
ini dilakukan 10-15 orang menggunakan alat bernama Loho pada pagi hari.
Seiring dengan rusaknya Sungai Paluh (sungai penyambung antar sungai),
banyak nelayan di Sungai Beringin mulai mengenal teknologi mesin dan jaring
othok. Pada mulanya mereka menggunakan mesin merek Kubota, kemudian
mereka pindah ke mesin buatan Tiongkok bernama dongfeng yang lebih mu-
rah.1
Warga yang berprofesi sebagai nelayan bermukim di samping kanan-kiri
Sungai Beringin (Ngebrug). Mereka punya tradisi nyadran (sedekah laut) yang
dilakukan setiap tanggal 1 Syuro. Tradisi tersebut bertujuan untuk berdoa agar
kesialan dapat terbuang dan penderitaan nelayan (akibat ulah perusahaan, PT
KLI) dapat diringankan. Mereka meminta kepada Tuhan agar muara Sungai
Beringin dan irigasi yang selama ini buntu/tertutup menjadi terbuka kembali.
Mereka pula yang termasuk punya masalah dengan banjir Kali Beringin. Selain
karena muara dan badan Sungai Beringin yang dangkal, warga di sana
menduga bahwa banjir juga disebabkan oleh pengeprasan bukit di sebelah
selatan (Mangkang Wetan dan Mangunharjo), pembabatan hutan karet untuk
pengembangan BSB, dan adanya 4 (empat) komplek perumahan di sebelah
utara-nya.2
Kendati rutin diterjang banjir, sebagian besar warga Mangkang Wetan
dan Mangunharjo tetap enggan untuk pindah rumah. Seperti yang dinyatakan
seorang warga Mangkang Wetan, Doel Wahid, bahwa ia sama sekali tak punya
niat untuk pindah ke daerah lain. “Bagaimana lagi, kalau mau pindah ke mana?
Lagi pula kita tidak sendirian di sini, banyak teman yang merasakan hal yang
sama.” Karena itu pula, banyak warga Mangkang Wetan yang membuat loteng
kayu untuk perlindungan saat banjir. Barang-barang atau perabotan penting
akan segera disimpan ke loteng kayu tersebut apabila hujan terus-menerus
terjadi.
_____
1 Arsip LBH Semarang.
2 Arsip LBH Semarang.
288
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Petani tambak lain, Chambali, juga membeberkan hal yang sama. Ia juga me-
nanggung derita karena tambaknya hancur diterjang luapan Sungai Beringin.
Chambali menambahkan
_____
1 Kompas, 18 Maret 2002, “Ratusan Hektar Tambak Berubah Jadi Lahan Tidur, Petani
Tambak Tak Punya Modal”, hlm. 25.
2 Kompas, 18 Maret 2002, “Ratusan Hektar Tambak Berubah Jadi Lahan Tidur, Petani
Tambak Tak Punya Modal”, hlm. 25.
3 Arika, Yovita. 2003. Modal Kami Sudah Habis… Kompas, 10 Maret 2003.
4 Kompas, 20 September 2003, “Tambak Mangkang Wetan dan Mangunharjo Kebanjiran”,
hlm. 18.
289
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
masuk ke tambak. Karena itu, meski sebagian ikan bandeng atau udang masih
bisa hidup, umurnya tidak akan lama. Terutama karena banjir juga membawa
serta lumpur dan limbah cair dari pabrik di sepanjang aliran DAS Beringin.
Limbah cair mengubah air sungai dari yang semula berwarna kuning,
kemudian menjadi hitam kebiruan, lalu mengeluarkan bau amis menyengat.
Keberadaan limbah cair dari pabrik tidak hanya merusak tambak, tapi
juga merusak kualitas komoditas tambak itu sendiri. Seorang penduduk
Mangunharjo, Busaeri, menyebutkan bahwa sejak pabrik-pabrik di Kecamatan
Tugu giat membuang limbah ke Kali Beringin, terjadi perubahan drastis pada
ukuran udang di tambaknya yang kemudian membuat harganya turun.
“Tanggul sungai yang jebol tahun lalu, meski sudah beberapa kali
diperbaiki, selalu jebol setiap kali turun hujan… pemerintah sudah
tahu, tetapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya.”3
Salah satu solusi pemerintah yang muncul terkait banjir di DAS Beringin ialah
proyek normalisasi hilir Sungai Beringin sepanjang 2,6 km. Namun, seperti
yang diutarakan Chambali, warga tidak setuju jika upaya yang dilakukan Pem-
kot berupa pelebaran (penampang) sungai hingga 50 meter. Ketua Lembaga
Keamanan Masyarakat Desa (LKMD) Kelurahan Mangkang Wetan, Mukhlis,
juga mengatakan “Pada prinsipnya warga setuju dengan pelebaran sungai, asal
tidak sampai 50 meter. Menurut perhitungan kami, lebar sungai 20 meter itu
_____
1 Kompas, 16 Juli 2004, “Puluhan Hektar Tambak Tercemar Limbah”, hlm. 06.
2 Kompas, 16 Juli 2004, “Puluhan Hektar Tambak Tercemar Limbah”, hlm. 06.
3 Kompas, 16 Oktober 2003, “Pemkot Diminta Segera Tangani Sungai Beringin”, hlm. 19.
290
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
_____
1 Kompas, 16 Oktober 2003, “Pemkot Diminta Segera Tangani Sungai Beringin”, hlm. 19.
2 Kompas, 10 Maret 2004, “30 Persen DAS Beringin Berubah Fungsi”, hlm. 01.
3 Kompas, 10 Maret 2004, “30 Persen DAS Beringin Berubah Fungsi”, hlm. 01.
4 Kompas, 20 September 2003, “Tambak Mangkang Wetan dan Mangunharjo Kebanjiran”,
hlm. 18.
5 Kompas, 27 Desember 2003, “Keberadaan Kawasan Industri Penyebab Bencana Banjir di
DAS Beringin”, hlm. 18.
291
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
masalah.1 Karena itu, pemerintah perlu melakukan beberapa hal lain. Misal-
nya, penghijauan lahan terutama di bagian hulu DAS Beringin seluas 14
kilometer persegi. Kemudian perlu juga pembangunan dam, atau pembuatan
waduk. Tujuannya untuk memperlambat waktu tibanya banjir, menurunkan
besarnya debit banjir, dan mengubah pola hidrograf (larian atau aliran air
dalam kerangka waktu).
Silang pendapat terkait pengendalian banjir kiriman di DAS Beringin
mencuatkan dua kutub berbeda. Kutub pertama, ada pemerintah yang teguh
dengan pilihan solusi infrastruktur keras dan teknis. Solusi pemerintah juga
hanya mencakup daerah hilir semata, alias parsial. Kutub kedua, ada warga,
akademisi, dan organisasi non-pemerintah yang menginginkan solusi yang
lebih menyeluruh, dan tidak hanya terpaku pada proyek infrastruktur.
Pilihan untuk mengendalikan banjir secara parsial di hilir juga berpotensi
membawa konsekuensi lain. Misalnya, solusi normalisasi sungai justru hanya
membuat warga Mangkang Wetan dan Mangunharjo semakin dikorbankan.
Pasalnya, mereka sudah menanggung derita kerugian akibat banjir kiriman,
mereka pula yang diminta berkorban agar sungai tidak banjir lagi. Sementara
aktor-aktor besar di hulu yang telah banyak merekonfigurasi ruang seperti PT
KAL, Ciputra Group, atau PT IPU diperlakukan seolah mereka tidak bersalah
dan tidak berkontribusi dalam hal banjir di hilir. Meski begitu, proyek normali-
sasi tetap berjalan walau mengalami beberapa perubahan.
Salah satu bentuk perubahan tersebut ialah pengurangan luasan tanah
yang harus dibebaskan guna pelebaran sungai. Oleh karena luasan tanah un-
tuk normalisasi dikurangi yang itu berarti berkurangnya ruang untuk menjadi
bagian dari badan atau aliran sungai yang berarti pula menurunnya debit air
yang bisa melaluinya, maka sebagai kompensasinya pemerintah pun melaku-
kan tindakan lain yakni menyodet Sungai Beringin lalu mengalirkannya ke
Sungai Randugarut.2 Beberapa pihak menilai bahwa proyek penanggulangan
banjir yang dilakukan pemerintah hanya ajang proyek semata. Proyek normali-
sasi sebesar Rp100.000.000 pun demikian. Dalam arti, hanya dikerjakan seada-
nya, sementara uangnya dilarikan.3
Di samping itu, kontinuitas banjir kiriman juga sering menumpuk sedi-
men di hilir, tingginya bisa mencapai 10-15 sentimeter setiap tahun.4 Tumpu-
kan sedimen kuat kaitannya dengan kerusakan hulu DAS Beringin. Namun soal
ini tampaknya tidak dihiraukan, pemerintah tetap hanya menjalankan proyek
di hilir dalam bentuk pengerukan sungai. Ironisnya, suatu kali, tanggul sungai
_____
1 Kompas, 03 Februari 2005, “DAS Beringin Perlu Ditata”, hlm. 02.
2 Kompas, 16 Oktober 2003, “Pemkot Diminta Segera Tangani Sungai Beringin”, hlm. 19.
3 Arsip LBH Semarang.
4 Kompas, 04 Desember 2004, “Tanggul Beringin Jebol, 50 Hektar Tambak Rusak”, hlm. 01.
292
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
jebol bukan hanya karena kiriman limpasan air dari hulu. Namun justru karena
adanya eskavator proyek pengerukan yang diparkir di sungai, sehingga meng-
halangi aliran air.1 Lagi-lagi, yang menjadi korban adalah warga Mangkang
Wetan dan Mangunharjo.
Gambar VIII.5: Salah satu muara Sungai Beringin di Mangkang Wetan, dipotret dari
arah utara menghadap ke selatan. Foto diambil pada September 2021.
_____
1 Kompas, 04 Desember 2004, “Tanggul Beringin Jebol, 50 Hektar Tambak Rusak”, hlm. 01.
2 Koran Tempo, 11 November 2010, “Enam Tewas Terseret Banjir Semarang”.
293
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Jawa Pos, 08 Februari 2017, “Banjir Bandang Landa Ngaliyan”. Pada bagian selanjutnya,
warga lebih lazim menyebut Sungai Pengilon tersebut dengan nama Sungai Sihingas atau
Kali Gede.
2 Jawa Pos, 08 Februari 2017, “Dua Sekolah di Mangkang Wetan Terendam”.
3 Kata “Kami” dalam tulisan tentang Perumahan Wahyu Utomo maksudnya ialah Bagas,
sementara kata “Kami” dalam tulisan tentang Kampung Desel maksudnya adalah Umi.
Meski begitu, substansi keseluruhan tulisan merupakan hasil menjahit bersama yang
dilakukan Bagas, Umi, Eka, dan Bosman.
294
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar VIII.6: Tembok warna-warni, pembatas antara Sungai Sihingas dengan Peru-
mahan Wahyu Utomo. Sebelumnya tembok tersebut lebih pendek,
namun setelah banjir menerjang, warga patungan untuk meninggikan
tembok. Foto diambil pada Mei 2021.
295
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Wahyu Utomo merupakan salah satu perumahan yang paling awal dibangun
di DAS Beringin, didirikan sekitar 1981. Beberapa interlokutor (teman ber-
cakap-cakap) bercerita bahwa di perumahan ini banyak dihuni orang-orang tua
pensiunan pegawai perusahaan atau pegawai negeri. Beberapa rumah lainnya
memang ada pula yang dijadikan kontrakan atau diwariskan pada anak-anak
pegawai yang relatif masih muda. Namun tetap saja komposisi terbesarnya
ialah para pensiunan.
Hal tersebut membuat kami agak kesulitan mencari teman bercakap-
cakap. Pasalnya, suasana perumahan pada siang hari sangat sepi. Baru terlihat
ramai menjelang sore hari, karena banyak dari warga menyapu halaman
rumah. Kami beberapa kali coba mengajak warga yang sedang menyapu untuk
bercakap-cakap, seringkali kami justru ditolak. Kami pun beberapa kali ditolak
ketika coba mengetuk pagar dan menyapa warga yang sedang duduk di kursi
depan rumahnya. Kami tidak menyerah dan lanjut berjalan sembari mencari
warga yang bersedia menjadi teman bercakap-cakap.
Pada mulanya, Perumahan Wahyu Utomo terdiri dari 10 Rukun Tetangga
(RT). Namun beberapa tahun terakhir, jumlah RT menyusut sebagai imbas dari
pembangunan jalan tol Batang-Semarang. Menurut penuturan salah seorang
warga, terdapat tiga RT yang terkena dampak pembangunan. Sejumlah dua RT
yakni RT 05 dan RT 08 kini sudah tiada dan satu RT lainnya (RT 10) kini hanya
menyisakan 10 Kepala Keluarga (KK). Di Perumahan Wahyu Utomo kami
bercakap-cakap dengan enam orang interlokutor dari RT yang berbeda-beda.1
Dalam hal pengetahuan mereka tentang banjir besar pada 2017, semua
interlokutor sangat mengerti dan bahkan ada pula yang terdampak langsung.
Meskipun, tingkat keterdampakan tersebut bisa sangat berbeda antar
interlokutor. Hal itu terkait dengan perbedaan fisik bangunan rumah, lokasi
atau posisi rumah, hingga perbedaan status ekonomi. Misalnya keluarga
Limalas. Mereka tinggal di Perumahan Wahyu Utomo sejak 1990. Menurut
mereka, dari tahun ke tahun, aliran Sungai Sihingas makin deras dan makin
besar. Saat banjir tahun 2017, air melimpas lewat tepi sungai tersebut ke area
perumahan, membawa serta pohon-pohon pisang dan ranting-ranting besar.
Namun rumah Limalas tidak terkena banjir, sebab terletak di bidang tanah
yang lebih tinggi. Walau begitu, air dan lumpur tetap menggenang di jalan
depan rumahnya.
Kondisi serupa terjadi di kediaman Pak Wolulas. Pria kelahiran 1958
tersebut merupakan seorang pensiunan Pertamina. Setelah menikah (1983),
Pak Wolulas pindah ke Perumahan Wahyu Utomo yang baru dibangun dua
tahun sebelumnya. Sehingga Pak Wolulas termasuk generasi awal pemukim di
_____
1 Semua nama interlokutor atau teman bercakap-cakap di tulisan ini telah disamarkan.
296
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
297
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VIII.7: Jembatan penyeberangan ini roboh saat banjir tahun 2017. Kini pon-
dasi jembatan sudah ditinggikan dengan struktur bangunan yang lebih
kokoh. Inilah jembatan yang biasa digunakan Tulas. Foto diambil pada
Mei 2021.
Kondisi lebih parah menimpa rumah Solas di RT 09. Rumah Solas hanya
terhalang satu rumah dari benteng pembatas jalan tol Batang-Semarang.
Letaknya agak tersembunyi, karena tertutup rumah dua tingkat berwarna
putih. Jalan depan rumahnya pun buntu dengan lebar jalan hanya cukup satu
mobil kecil. Tinggi rumah Solas juga tidak lebih dari empat meter dengan lebar
paling tidak tiga meter. Di Perumahan Wahyu Utomo, rumah Solas termasuk
satu dari sedikit sekali rumah tanpa pagar. Pembatas rumah dengan jalan
hanya satu pintu besi berwarna biru. Selain pintu besi, ada pula satu jendela
tralis besi berwarna biru. Dari situ kami dapat melihat tiga kurungan/kandang
burung tergantung di teras rumah Solas.
Pada mulanya Solas agak kebingungan. Ia bahkan sampai memberi
syarat tidak lebih dari 30 menit jika hendak bercakap-cakap. Meski pada
akhirnya syarat tersebut gagal terlaksana karena kami justru asyik berbincang
selama 1,5 jam. Ketika berbincang, sesekali Solas acap masuk ke rumah untuk
sekedar mengecek aplikasi ojek online. Namun ternyata memang belum ada
pemberitahuan bahwa ada konsumen yang memesan. “Sepi. Sampai jam
segini (jam 2 siang) saya baru narik satu pelanggan,” keluhnya.
298
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Solas lahir pada 1990 dan menjadi anak pertama dari dua bersaudara. Ia
sudah menikah dan telah memiliki dua orang anak. Bapak Solas berasal dari
Kabupaten Grobogan dan Ibunya dari Boyolali. Kedua orang tua Solas sudah
bermukim di Perumahan Wahyu Utomo sebelum perumahan tersebut berdiri.
Karena itu, kedua orang tua Solas termasuk sedikit penduduk awal daerah
yang kemudian berubah menjadi perumahan. Kini Bapak Solas sudah tidak
bekerja (serabutan lagi), sementara Ibunya masih menjadi pekerja rumah
tangga (pembantu) di salah satu rumah di Perumahan Wahyu Utomo.
Bekerja sebagai ojek online sudah Solas geluti sejak sekitar 2018.
Sebelumnya Solas pernah kuliah D-3 di salah satu kampus swasta di Semarang,
namun tidak diselesaikan karena persoalan keuangan. Dalam ingatan Solas,
banjir 2017 terjadi sekitar pukul 1 dini hari. Air datang tiba-tiba dari sungai di
sebelah tembok pembatas jalan tol. Tinggi air (banjir) mencapai lebih dari dua
meter atau setinggi pintu rumah. “Banyak banget barang yang hanyut. Banjir
datang cepat sekali, karena itu tidak sempat menyelamatkan barang,” kenang-
nya.
Di Perumahan Wahyu Utomo, keluarga Solas termasuk korban terparah
momen banjir 2017. Bahkan Solas dan keluarga sampai harus mengungsi
selama satu bulan di rumah kosong milik salah seorang tetangganya. Dalam
waktu satu bulan tersebut, Solas dan keluarga harus membereskan sisa
lumpur, mencuci pakaian kotor, memperbaiki bagian rumah yang rusak, dan
mengumpulkan barang-barang yang tersisa. Saat kami berbincang, tetangga
rumah Solas datang menghampiri. Solas mengatakan, “rumah bapak itu
(tetangga) sekarang sudah ditinggikan. Termasuk jalan di depannya. Itu terjadi
setelah banjir 2017 itu.” Sementara keluarga Solas tetap seperti sedia kala;
tidak meninggikan rumah dan tidak meninggikan jalan. Alhasil posisi rumah
keluarga Solas menjadi relatif makin di bawah, terhimpit tembok jalan tol dan
tertutup bangunan tinggi kos-kosan.
Pada dasarnya nyaris semua interlokutor tahu tentang penyebab banjir
di Perumahan Wahyu Utomo pada 2017. Waktu itu, kata Limalas misalnya,
intensitas hujan biasa saja, tidak terlalu deras. Tapi dia mendengar ada
penampungan air di belakang Rumah Sakit Permata Medika yang jebol.
Limalas menambahkan
“… baru (kali) itu banjir. Ini bukan daerah banjir, karena daerah atas.
Kayaknya ya, tapi betul atau tidak ini, ada tampungan, bendungan,
atau apa itu namanya, yang ndak mampu nampung air. Biasanya
kalau atas hujan besar, sungai di sini hanya dilewati saja.”
Hal senada juga dilontarkan Pak Wolulas. Ia bahkan sangat yakin, bahwa
sepanjang ia bermukim di sana, momen banjir memang baru terjadi pada
299
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
2017. Penyebabnya karena ada limpasan air dari daerah hulu yang membuat
talud/tanggul pembatas sungai dengan perumahan jebol. Komentar Pak
Namlas pun seakan melengkapi apa yang dilontarkan Pak Wolulas. Menurut
Pak Namlas, banjir berasal dari embung/bendungan di daerah kawasan yang
jebol. “Hujan besar, bendungan/embung di sana penuh. Karena takut banjir di
sana, air dilepas ke sini,” tambahnya. Maksud kawasan dalam perkataan Pak
Namlas ditegaskan oleh Solas. Kawasan tersebut tidak lain adalah KIC. Sejak
awal, sebenarnya Solas memang punya kecurigaan bahwa banjir kuat
kaitannya dengan jebolnya bendungan milik PT IPU di daerah KIC. Namun ia
tidak ingin banyak berkomentar, apalagi PT IPU pun tidak ada itikad sama
sekali soal itu.1
Penasaran, kami pun berkunjung ke lokasi kawasan industri yang dimak-
sud. Dari kunjungan itulah akhirnya kami bertemu dengan satu perkampung-
an di sekitar kawasan industri, yakni Kampung Desel. Banjir memang tidak
terjadi di Kampung Desel, namun apa yang dijelaskan para interlokutor di
kampung ini sangat membantu kami memahami banjir di Perumahan Wahyu
Utomo. Bahkan dari kampung ini pula kami banyak mengetahui aktivitas PT
IPU—sang pengembang KIC. Perubahan sosiospasial yang dilakukan perusa-
haan itulah yang diduga kuat telah memproduksi banjir pada 2017 silam (Lihat
Gambar VIII.3; aliran sungai dari embung PT IPU ke Perumahan Wahyu Utomo).
Kampung Desel berada di wilayah RW IX, Kelurahan Ngaliyan, Kecamatan
Ngaliyan, Kota Semarang. Jika dilihat dari arah selatan, Kampung Desel terletak
di belakang Rumah Sakit Permata Medika, dipisahkan oleh jurang dengan
sungai di dasarnya. Warga setempat menyebut sungai itu Kali Gede. Orang
pertama yang kami temui di kampung ini ialah Ibu Roluh, pemilik sebuah
warung yang lokasinya tidak jauh dari portal kawasan. Ibu Roluh telah tinggal
di Kampung Desel selama kurang lebih 20 tahun. Ibu Roluh asalnya dari Blora.
Sebelum tinggal di Kampung Desel, ia merupakan warga di kampung bawah.
Karena kampung itu digusur untuk pembangunan KIC, maka ia dan keluarga
pindah ke Kampung Desel. Ia banyak bercerita tentang pengurukan sungai di
tepi kampung oleh PT IPU. Seingat Ibu Roluh, pengurukan itu berlangsung 12
tahun lalu. Menurutnya, pengurukan yang dilakukan PT IPU membuat sungai
menyempit, sehingga meluap dan membanjiri Perumahan Wahyu Utomo.
Komentar serupa juga terucap dari Mbah Tunggal. Ia adalah warga
Kampung Desel yang sejak kecil telah tinggal di kampung tersebut, tepatnya di
area tepi jurang. Dari jalan di depan rumah Mbah Tunggal terlihat jelas
_____
1 PT IPU merupakan pengembang Kawasan Industri Candi, (reklamasi) Pantai Marina, dan
Pearl of Java (POJ) di pesisir Semarang. PT IPU sering dikaitkan dengan sosok Aciok alias
Kho Ing Tjiok alias Soedibejo. Lihat: Iswahyuni (2005); Panjaitan (2020); Hartono (2007);
atau simak pojcity.com/#about.
300
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
aktivitas dan bangunan di seberang jurang dan sungai. Salah satunya adalah
bangunan tempat pelelangan mobil PT JBA Semarang. Sementara Rumah Sakit
Permata Medika berada di sebelah barat JBA Semarang, tepatnya di tepi Jalan
Raya Ngaliyan.
Mbah Tunggal sehari-hari bertani di area tepi sungai di dasar jurang. Saat
kami bertemu dengannya, ia sedang memipil jagung kering yang habis dijemur.
Semula tanah yang digarapnya miring. Belakangan, menurut Mbah Tunggal,
PT IPU melakukan pengurukan tepian sungai, sehingga kini Mbah Tunggal
menggarap tanah datar. Katanya, ia sempat berhenti menggarap tanah yang
biasa ia tanami jagung, singkong, dan pisang saat pengurukan dilakukan.
Setelah pengurukan, ia menggeser lahannya sedikit ke arah selatan. Ia tahu,
suatu saat PT IPU bakal melarangnya menggarap lahan tersebut. Tapi selama
belum ada larangan, ia tetap menggarapnya.
Sungai di dasar jurang yang dimaksud Mbah Tunggal adalah Kali atau
Sungai Gede. Menurutnya, sungai tersebut menjadi muara dua sungai yakni
Sungai Kedungpane dan Sungai Pengilon. Lebar Sungai Gede berkisar antara
3-4 meter. Mbah Tunggal menambahkan
_____
1 Menurut Pak Kaleh, bukan hanya di wilayah Ngaliyan saja, aset Pak Acok (Aciok), pemilik
PT IPU, tapi juga di tempat lain di Semarang, meliputi Kawasan Marina, Villa daerah Gom-
bel, Perusahaan Raja Besi, dan lain-lain. PT IPU juga sering mendapat proyek pembuatan
tiang listrik, lampu jalan, dan bahkan jalan itu sendiri. Selain di Semarang, PT IPU juga
301
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
memiliki aset tambang batu putih di Rembang, tanah di Surabaya, dan tambang batubara
di Kalimantan.
302
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar VIII.8: Embung yang ada di tanah milik PT IPU. Pembuatan embung biasa
dilakukan untuk membendung sementara aliran sungai saat proses
pengerukan di sekitarnya sedang dilakukan. Setelah pengerukan,
embung akan diuruk juga. Foto diambil pada Mei 2021.
Selain bertemu Pak Kaleh, kami juga sempat bertemu dengan beberapa warga
Kampung Desel lainnya seperti Tigo, Sekawan, dan Gangsal. Kami berbincang
dengan mereka di rumah Ketua RT, Bu Tigo. Rumahnya tidak jauh dari warung
Bu Roluh. Kami hanya perlu naik sedikit ke arah barat, ke jalan menuju area
kuburan. Ketika kami sampai di rumahnya, Bu RT kebetulan sedang berada di
depan rumah bersama ibu mertuanya, Bu Sekawan. Kami pun mengambil
tempat di teras untuk berbincang-bincang.
Bu Tigo (34 tahun) dan Bu Sekawan (63 tahun) sejak kecil tinggal di Kam-
pung Desel, sehingga dapat dikatakan merupakan warga asli kampung terse-
but. Selain mereka berdua, ada pula suami Bu Tigo, Pak Gangsal (40 tahun).
Beliau juga termasuk warga asli Kampung Desel. Pak Gangsal menjelaskan
bahwa wilayah Kampung Desel awalnya merupakan alas (hutan belantara), lalu
dihuni satu keluarga yang melahirkan tujuh anak dan seterusnya beranak-
pinak, lalu membangun keluarga-keluarga. Menurut Pak Gangsal, kampung ini
disebut Desel karena dianggap ndesel/ndusel. Dalam Bahasa Indonesia,
ndesel/ndusel berarti “menempel tidak jelas.”
303
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
304
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
305
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VIII.9: Aliran sungai di tanah milik PT IPU. Foto diambil pada Mei 2021.
Dari sungai, kami melihat ke atas tebing di sisi kiri. Terpampang begitu jelas
seluruh tanah telah rata oleh proyek pembangunan kawasan industri.
Kemudian, di kejauhan, tampak seorang lelaki sedang memanggul rumput
menuju ke atas. Kami pun bergegas menyusul lelaki itu meski jalan yang kami
lalui termasuk sulit. Kami bertemu dengan si bapak di tengah tebing. Ia lantas
menanyakan sedang apa kami mblusuk-mblusuk begini. Setelah menjelaskan
maksud kami, si bapak pun mengerti. Nama si bapak Bilan, pada waktu
bertemu, usianya 60 tahun. Ia merupakan warga asli Kampung Desel. Sehari-
hari ia pergi mencari rumput pakan ternak untuk tiga ekor sapi miliknya.
Pak Bilan bercerita bahwa daerah sini dulu merupakan kebun jambu biji.
Keluarga Pak Bilan termasuk pemilik salah satu kebun. Namun begitu PT IPU
datang, ia tidak bisa menolak untuk menjual tanah tersebut. Setiap makelar
yang datang ke rumah mereka pasti berhasil membeli tanah itu. “Makelar itu
mengancam bahwa warga akan kesulitan sendiri jika masih mempertahankan
306
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
tanahnya,” kata Pak Bilan. Apalagi tanah-tanah di sekitarnya telah habis dibeli
PT IPU.
Kala itu Pak Bilan menjual tanahnya seharga Rp5.000 per meter persegi.
Sejak saat itulah ia mulai memelihara sapi untuk dijual ketika Hari Raya Idul
Adha tiba. Pak Bilan menyampaikan dengan nada serius, “tanah di sini kalau
musim hujan longsor semua. Tanah di sebelah sini (utara) milik PT IPU, di sana
(selatan sungai) yang dipapras juga milik perusahaan tapi ndak tau namanya
apa.”
Gambar VIII.10: Perataan tanah di tepi jurang dan sungai oleh PT IPU. Foto diambil pada
Mei 2021.
Sayangnya waktu berbincang kami tidak lama. Pak Bilan harus mengantar
rumput ke kandang yang terletak di lereng bawah RT 02 Kampung Desel. Kami
pun lanjut pulang ke tempat Mbah Tunggal berladang melalui area proyek
pembangunan. Kami berjalan di atas tanah berjejak roda ekskavator. Di peng-
ujung jalan, akhirnya kami sampai di tepi jurang. Di bawah jurang terlihat aliran
sungai mengular menuju Semarang bagian bawah. Namun betapa miris meli-
hat keadaan di sana. Proyek pembangunan kawasan industri persis bersebe-
lahan dengan sungai. Bahkan tidak ada tanaman apalagi pepohonan yang
307
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
mengikat tanah-tanah di tepian sungai itu. Tak heran, ketika hujan datang, ba-
nyak tanah tergerus dan kemudian terbawa arus menjadi sedimentasi di
daerah sungai yang lebih bawah.
Kami terus berjalan menyusuri area gersang proyek. Kali ini terlihat
sebuah ekskavator terpajang di sisi kanan jalan. Kemungkinan alat berat inilah
yang nantinya akan meratakan ladang Mbah Tunggal, cepat atau lambat.
Sampai di ujung proyek, kami menemukan jalan menuju ladang. Di sana Mbah
Tunggal dan Mbah Lapan masih memanen kacang hijau. Kami menghampiri
dan turut serta memanen. Setelah itu kami sama-sama beristirahat sejenak
sambil bercakap-cakap tentang sungai dan pertemuan dengan Pak Bilan.
Mbah Lapan menuturkan,
Mbah Lapan juga bercerita bahwa dulu pernah menanam sekitar 200 pohon
sengon. Namun karena PT IPU menggusur dan meratakannya, pohon-pohon
yang baru berusia tiga tahun itu terpaksa harus dijual. Dari sekitar 200 pohon
sengon, Mbah Lapan menerima uang sebanyak delapan juta rupiah. Alhasil
tanah yang tadinya miring, kini sudah rata diuruk PT IPU. Meski demikian,
sebulan setelah pengurukan, Mbah Tunggal dan Mbah Lapan kembali mena-
nami ladang tersebut. Ia tidak tahu harus melakukan apa jika tidak ada ladang
yang bisa dia gunakan untuk bercocok tanam.
Kunjungan ke Kampung Desel makin menyadarkan kami bahwa kebera-
daan kawasan industri di Ngaliyan memang banyak membawa dampak nega-
tif. Tidak hanya soal hilangnya lahan atau sungai, tapi juga soal berubahnya
cuaca. Hal ini diungkap Bu Tigo dari Kampung Desel. Menurutnya, dulu Kam-
pung Desel sejuk, dingin, dan adem. Sekarang cuacanya lebih panas. Setiap
masuk rumah harus menyalakan kipas angin. Ketika masih ada pepohonan di
tepi sungai, angin yang datang dari utara dapat terhalang, sehingga tidak
langsung menghampiri Kampung Desel. Namun, sejak diratakan oleh PT IPU,
angin langsung berhembus kencang ke perkampungan.
Pak Kaleh juga punya cerita tersendiri soal perubahan cuaca. Pak Kaleh
merasa, sejak adanya kawasan industri, udara di Kampung Desel terasa makin
panas. Padahal di Semarang, wilayah kampung ini termasuk daerah dataran
tinggi. Biasanya udara di dataran tinggi lebih dingin. Makin panasnya udara,
dalam pengamatan Pak Kaleh, merupakan akibat dari pantulan atap seng
pabrik di kawasan industri.
Proses rekonfigurasi ruang di daerah yang lebih atas berlangsung bersa-
maan dengan, atau hanya bisa terjadi dengan, ongkos perubahan lingkungan
308
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
yang dirasakan oleh warga di hilirnya, Perumahan Wahyu Utomo. Hal ini di-
sampaikan Pak Wolulas. Bahkan ketika bercakap-cakap dengan kami, ia
sampai berulang kali menekankan bahwa momen banjir 2017 ada kaitannya
dengan perubahan di daerah yang lebih atas (hulu). Namun ia tidak begitu jelas
menyebut daerah hulu mana yang dimaksud. Kami menduga, daerah hulu
yang dimaksud adalah KIC dan Perumahan BSB. Perubahan di daerah hulu itu
pula, tambah Pak Wolulas, yang membuat rumahnya makin panas.
Komentar serupa juga disampaikan Solas. Sejak kanak-kanak hingga de-
wasa dia hidup di Ngaliyan, sehingga Solas dapat merasakan betul perubahan
yang terjadi. Menurutnya, perbukitan dengan pohon-pohon di atasnya makin
banyak hilang, bangunan makin menjamur, alhasil cuaca di Ngaliyan makin
panas. Keberadaan pembangunan jalan tol juga membuat daerah sekitar
rumah Solas makin panas. Pasalnya, sebelum ada jalan tol, wilayah itu banyak
tumbuh pohoh jati yang membuat udara lebih sejuk.
Pak Namlas juga merasa bahwa bangunan di sekitar sini (Kecamatan
Ngaliyan) makin banyak. “Dulu di sana (Ngaliyan atas) itu bukit semua. Rumah
Sakit (Permata Medika) itu juga bukit. Tapi kemudian dipapras untuk bikin
Tanjung Mas,” tambahnya. Selain itu, Pak Namlas juga menjabarkan bahwa
makin maraknya pembangunan di daerah yang lebih atas (hulu) juga membuat
sungai di sini makin dangkal. Pak Namlas mengenang bahwa pada 1990-an,
Sungai Sihingas masih besar dan bersih. Masih banyak yang mencuci dan
main-main air di sungai. Saat ini kondisinya jelas banyak berubah (Gambar
VIII.11). Sungai Sihingas jadi pembuangan (limbah rumah tangga) orang-orang
di Perumahan Wahyu Utomo. Bahkan Rumah Sakit Permata Medika juga ikut
membuang limbah/sampah ke sungai itu.1
_____
1 Wawancara dengan Pak Namlas pada Juni 2021.
309
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Solas juga punya keluhan soal sungai. Ia bercerita bahwa dulu ia terbiasa
bermain di dekat sungai tersebut untuk mencari burung di antara deretan
pohon jati. Namun sekarang hal itu mustahil dilakukan, selain karena sudah
dibatasi tembok, area dekat sungai sudah tidak lagi ditanami pohon jati dan air
sungai pun sudah tidak lagi bersih. Segala limbah rumah tangga penduduk
perumahan juga dibuang ke sana. Kini sungai di dekat rumah Solas sudah
diperbesar. Hal itu dilakukan oleh pihak perusahaan jalan tol, sebagai imbas
dari banjir besar 2017 dan imbas proyek jalan tol.
Pak Wolulas juga membuang limbah rumah tangganya ke sungai. Tapi
dia, seperti halnya juga mungkin sebagian besar dari warga Semarang lainnya,
menghadapi dilema dalam hal ini. Di satu sisi, sungai adalah tempat
pembuangan limbah rumah tangganya. Infrastruktur sampah/limbah di kota
macam Semarang, terutama di tempat Pak Wolulas, belum memungkinkan
satu proses yang mencegah limbah/sampah rumah tangga tidak dibuang ke
sungai. Belum ada misalnya, sistem pemilahan dan pengumpulan sampah
reguler. Atau kalaupun ada, orang akan berpikir lagi untuk secara reguler
mengeluarkan uang untuk itu. Bisa saja orang seperti Pak Wolulas mengelola
sampah rumah tangganya secara personal agar tidak dibuang ke sungai. Na-
310
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
mun, dengan konteks kehidupan kota yang tidak dirancang untuk itu, maka
bukan hal yang aneh kalau pada ujungnya sampah-sampah rumah tangga
dibuang ke sungai. Orang punya urusan-urusan yang bagi masing-masingnya
lebih penting ketimbang tidak membuang sampah ke sungai.
Di sisi lain, sungai semakin dangkal. Kondisi dilematis yang dihadapi oleh
Pak Wolulas dapat diketahui karena pada dasarnya ia pun sangat mengeluh-
kan kondisi sungai saat ini. Menurutnya kini sungai makin dangkal (Gambar
VIII.12). Proses sedimentasi terus terjadi dan selama ini baru dilakukan satu
kali pengerukan sungai untuk memperdalam. Itu pun dilakukan pada 2018,
setelah terjadinya momen banjir. Pembangunan talud/tembok/tanggul yang
lebih tinggi juga baru dilakukan setelah momen banjir.
Gambar VIII.12: Sedimentasi di Sungai Sihingas. Sejak momen banjir 2017, menurut
penuturan para interlokutor, Sungai Sihingas baru satu kali dikeruk.
Foto diambil pada Mei 2021.
311
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
rekanan pemerintah justru lebih buruk, bahkan kini sudah banyak yang am-
brol.
“Kalau asalnya dari bantuan pemerintah, dikelola oleh rekanan me-
reka sendiri, dan tidak diawasi dengan baik, maka jadinya ya pecah
seperti di seberang (sungai) itu. Di seberang itu ambrol kira-kira 2
meteran, kan sayang. Padahal itu bantuan pemerintah untuk peng-
aman mushala. Tapi di seberang itu sudah beda kelurahan, masuk-
nya Kelurahan Beringin, kalau di sini Tambakaji,” kata Pak Limalas.
Pak Namlas juga menyoroti bahwa mumpung masuk musim kemarau, seha-
rusnya pengurus (dari level RT sampai Camat) lebih aktif mencari jalan untuk
memperbaiki sungai. “Sekarang sungai makin dangkal, berarti harus rajin
dikeruk. Tanaman liar juga banyak, sehingga harus dibersihkan. Takutnya, kalo
nanti terjadi hujan besar di atas (hulu) ini berisiko bagi warga Wahyu Utomo,”
tambahnya.
Narasi agak berlainan datang dari Solas. Menurutnya, pengerukan sungai
secara rutin untuk memperkecil risiko banjir di wilayahnya sangat tidak cukup.
“Jadi percuma mengeruk sungai kalo daerah hulu rusak, karena otomatis
potensi banjir tetap besar,” katanya. Pendapat Solas menjadi masuk akal jika
kembali mengingat cerita orang-orang di Kampung Desel. Suatu kali Bu Roluh
bahkan sempat mengatakan, “kebanyakan orang perumahan itu mengira
banjir karena luapan sungai, padahal warga di wilayahnya justru menganggap
itu karena aktivitas pengurukan yang dilakukan oleh PT IPU.”
Bersamaan dengan itu, seorang tetangga Pak Limalas, Ibu Selikur, rutin
menelfon adiknya yang tinggal di Mangkang Wetan setiap kali Sungai Sihingas
di Perumahan Wahyu Utomo terlihat penuh. Bu Selikur ingin mengingatkan si
adik untuk bersiap-siap menaikkan barang-barang ke tempat lebih tinggi untuk
menghindari banjir. Bu Selikur sangat menyadari bahwa banjir memang tidak
hanya memengaruhi Perumahan Wahyu Utomo, tapi juga sekaligus daerah
yang lebih bawah lagi, Mangkang Wetan. Dengan kata lain, antara Kampung
Desel, Perumahan Wahyu Utomo, dan Mangkang Wetan saling berelasi dalam
jejaring aliran sungai di DAS Beringin.
Oleh karena masing-masing tempat tersebut saling berelasi, maka
perubahan ruang di satu lokasi memang bakal memengaruhi lokasi lainnya.
Cerita Kampung Desel-Perumahan Wahyu Utomo-Mangkang Wetan baru me-
representasikan hubungan antara perubahan sosiospasial di hulu dan momen
sosioalamiah di hilir yang terjadi di dua kecamatan: Tugu dan Ngaliyan. Di
daerah yang lebih tinggi/atas lagi yakni Kecamatan Mijen, rekonfigurasi ruang
juga terjadi begitu masif, terutama yang dikerjakan oleh perumahan elit BSB
sejak 2000-an.
312
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Wilayah Kecamatan Mijen pernah diposisikan sebagai area hijau atau vegetasi
utama di Kota Semarang. Namun lambat laun posisi tersebut bergeser teruta-
ma sejak 1980-an. Tulisan ini menganggap pergeseran tersebut dimungkinkan
karena saat itu konsentrasi bisnis properti di pusat Kota Semarang makin
jenuh. Oleh karena itu, perlu berekspansi atau memperluasnya sampai ke dae-
rah yang lebih utara (reklamasi), barat, timur, dan selatan lagi. Dalam konteks
Kecamatan Mijen, perluasan ke selatan atau barat daya tersebut harus dila-
kukan dengan cara menebang kebun karet, mencaplok tanah-tanah subur,
dan/atau singkatnya, memakan area vegetasi. Salah satu perangkat yang
memfasilitasi perubahan sosiospasial tersebut ialah Perda Nomor 2 tahun
1990, yang memperkenankan kawasan perkebunan di Mijen beralih fungsi
menjadi permukiman.
Gayung bersambut, seorang pengusaha asal Semarang, Timotius D.
Harsono, melihat betul potensi pengembangan properti di selatan/barat daya
tersebut. Lantas pada 1996 ia pun mengajak seorang pengusaha besar di
Indonesia, Keluarga Korompis, berinvestasi di proyek pengembangan kota ba-
ru di Semarang.1 Proyek kota baru tersebut bernama Perumahan Bukit Sema-
rang Baru (BSB) yang akan dibangun di tanah seluas kurang lebih 1.000 hektar.
Sebanyak 750 hektar di antaranya merupakan areal perkebunan karet yang
masuk wilayah Kota Semarang, sisanya masuk administrasi Kabupaten
Kendal.2
Perkebunan karet yang akan dialihfungsikan tersebut punya riwayat yang
cukup panjang.3 Bermula sekitar 1920-an, saat perusahaan Inggris bernama
Pamanukan dan Tjiasem Lands (P&T Lands) membangun Perkebunan Kalimas
yang terdiri dari 5 (lima) Afdeling yakni Kalimas, Pesantren, Semak, Rember,
dan Trisobo. Total luas lahan perkebunan dengan komoditi tanaman kopi,
kakao, dan randu tersebut mencapai 1.018,79 hektar. Pada 1955 terjadi perge-
seran komoditi, perusahaan mulai aktif menanam karet. Tak lama berselang,
pada 1964, Pemerintah Indonesia menasionalisasi perkebunan P&T Lands,
kemudian menunjuk PPN Dwikora IV sebagai pengelola perkebunan tersebut.
Belum lama mengelola, pada 1971 muncul kebijakan untuk mengganti
pengelola kebun dari PPN Dwikora IV menjadi PP Subang. Satu tahun kemu-
dian, sebuah perusahaan patungan antara swasta nasional, swasta Inggris (The
_____
1 Lihat: https://dokumen.tips/documents/bsb5571f87349795991698d76ff.html, [diakses
pada 12 Agustus 2021].
2 Kompas, 15 November 1997, “Bukit Semarang Baru Gusur Kebun Karet”, hlm. 09.
3 Substansi perihal riwayat perkebunan karet disarikan dari: Indriyani (2008) Tinjauan
Yuridis Sengketa Penguasaan Lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Karyadeka Alam Lestari
oleh Masyarakat di Desa Trisobo Kabupaten Kendal (Tesis). Universitas Diponegoro.
313
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
TANA.ff MILIIC
l"T. KAJtYADUlA AL.UI LHTAIU
DILARANG KERAS
Proses alih fungsi dari perkebunan karet menjadi permukiman yang dilakukan
PT KAL bukan tanpa perkara. Misalnya, pada kasus sengketa dengan petani di
Kabupaten Kendal. Bertahun-tahun warga Desa Trisobo, Kabupaten Kendal,
jengkel karena tanah warisan leluhurnya diakuisisi oleh pendatang yakni PT
KAL. Segala upaya sudah mereka tempuh untuk menguasai (kembali) tanah
leluhurnya. Termasuk dengan cara berbondong-bondong menduduki lahan PT
KAL pada 2000. Cara tersebut ditempuh karena, seperti kata sesepuh Pagu-
yuban Petani Ngaglik Trisobo, Badawi, warga menyadari bahwa mereka
314
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
“… tidak memiliki bukti apa pun kecuali sejarah Desa Trisobo. Oleh
karena itu, dari awal kami menolak penyelesaian sengketa ini lewat
pengadilan. Kami tahu, kami akan dikalahkan. Lagipula, kami sudah
tidak percaya pada lembaga peradilan saat ini.”1
“… kontribusi PT KAL terhadap warga nyaris tidak ada. Hal ini terlihat
dari warga Trisobo yang dipekerjakan PT KAL, hanya 30 orang dari
2.300 penduduk atau sekitar 0,01 persen.”3
315
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
BPN, Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Tengah, dan Kepala Kantor Pertanahan
Kota Semarang. Pemkot hendak mengambil-alih (dengan mengajukan ke BPN)
lahan 800 hektar di Mijen bekas HGU yang habis. Namun sebelum HGU habis,
BPN justru memperpanjang dan sekaligus mengonversi lahan tersebut men-
jadi HGB PT KAL dan menerbitkan HGB baru.1 Namun PT KAL tetap menang
dan melanjutkan proses pembangunan.
Sama seperti di Kendal, alih fungsi perkebunan karet menjadi permukim-
an juga menimbulkan dampak bagi masyarakat di Semarang. Salah satunya
ialah menghilangkan sumber pekerjaan 700 penyadap karet. Namun sejak
awal Pemkot Semarang langsung membantah terkait hal ini. Seperti yang
dinyatakan Kabag Humas Pemda Kodya Semarang, Dra Hartini Trisandi, “…
Mereka akan dialihkan bekerja di kawasan kota mandiri, namun sebelumnya
mereka akan dilatih untuk penyesuaian”.2
Publikasi Santoso (2005) juga menyatakan hal serupa. Sebelumnya
banyak penduduk di sekitar lokasi BSB yang bekerja sebagai penyadap karet
(35% di Kelurahan Pesantren, 33% di Kelurahan Ngadirgo, 16% di Kelurahan
Mijen, 10% di Kelurahan Kedungpane, 4% di Kelurahan Jatibarang, dan 2% di
Kelurahan Jatisari).3 Para penderes karet inilah yang mencemaskan adanya
konversi lahan, karena menyadap karet memang pekerjaan penting bagi
mereka untuk menggantungkan hidup. Apalagi belum jelas pula penyesuaian
apa yang sebenarnya dimaksud oleh Humas Kodya Semarang.
Selain penderes karet, profesi petani juga terancam akibat pembangunan
perumahan BSB. Hal tersebut dapat disimak dari, misalnya, data Kecamatan
Mijen 1999 dan 2011. Pada 1999, mata pencaharian masyarakat Mijen
didominasi petani dengan jumlah 37%. Pada 2011 jumlahnya berkurang
menjadi 16%. Merosotnya profesi petani berjalan beriringan dengan terjadinya
perubahan lahan sebesar 30% (937 ha) dari yang semula hutan ke industri,
hutan ke permukiman, sawah ke permukiman, dan tegalan ke permukiman.4
Publikasi Santoso (2005) juga menyingkap hal menarik lain. Sama seperti
kasus warga Trisobo, sebagian besar responden penelitian (82%) Santoso juga
sempat setuju bahwa di kemudian hari pembangunan BSB akan meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat setempat.5 Namun secara bersamaan,
_____
1 Kompas, 11 Juli 2003, “Pemkot Gugat PT KAL”, hlm. 18.
2 Kompas, 15 November 1997, “Bukit Semarang Baru Gusur Kebun Karet”, hlm. 09.
3 Santoso, Hardo Wibowo., op.cit, hlm. 72.
4 Adiana, Ratri Septi dan Bitta Pigawati (2015) Kajian Perkembangan Kecamatan Mijen
sebagai Dampak Pembangunan Bukit Semarang Baru (BSB City). Jurnal Teknik PWK 4(1):
66-77; hlm. 74-75.
5 Riset ini dikerjakan pada tahun 2005, belum begitu lama sejak BSB mulai beroperasi.
Karena itu menarik jika melakukan riset serupa pada saat ini, sekitar 20 tahunan sejak
beroperasi. Selengkapnya lihat: Santoso, Hardo Wibowo., op.cit, hlm. 80.
316
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Perkataan Pak Zaenuri masuk akal. BSB terus membangun, yang terbaru ialah
pembangunan kompleks pendidikan milik Universitas Katolik (Unika) Soegija-
pranata (Lihat gambar VIII.14). Namun demikian, warga setempat tidak/kurang
terinformasikan untuk apa dan siapa pembangunan itu dikerjakan. Tidak
heran sejumlah 89,3% responden dalam publikasi Santoso (2005) juga menya-
takan bahwa pembangunan BSB kurang berpengaruh terhadap perkem-
bangan dan ketersediaan sarana prasarana.2 Bahkan hasil publikasi Sukarsa
dkk. (2014) lebih tegas menunjukkan bahwa pembangunan BSB ternyata tidak
banyak mengubah besarnya penghasilan warga setempat.3
_____
1 https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jtsp/article/downloadSuppFile/15171/2680,
[diakses pada 16 Agustus 2021].
2 Santoso, Hardo Wibowo (2005) Pengaruh Keberadaan Bukit Semarang Baru terhadap
Kondisi Sosial-Ekonomi-Fisik Sekitarnya Berdasarkan Persepsi Masyarakat Lokal (Tesis).
Universitas Diponegoro, 2005, hlm. 80.
3 Sukarsa, Rivian dan Iwan Rudiarto (2014) Pengaruh Pembangunan Bukit Semarang Baru
terhadap Sosial-Ekonomi Fisik Lingkungan Masyarakat Sekitarnya. Jurnal Teknik PWK 3(1):
209-219; hlm. 213-214.
317
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VIII.14: Perkebunan karet yang tersisa di tengah perumahan BSB akan beru-
bah fungsi menjadi kampus Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata.
Foto diambil pada September 2021.
_____
1 Santoso, Hardo Wibowo (2005) Pengaruh Keberadaan Bukit Semarang Baru terhadap
Kondisi Sosial-Ekonomi-Fisik Sekitarnya Berdasarkan Persepsi Masyarakat Lokal (Tesis).
Universitas Diponegoro, 2005, hlm. 86, 87, dan 94.
318
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
dampak pada macet dan bising; dan 9,52% mengatakan sumber air sumur ma-
kin berkurang.1
Fenomena muculnya genangan air di perkampungan dekat perumahan
baru merupakan satu hal yang semakin sering terjadi. Pola umum perumahan
baru seperti BSB adalah tidak mengintegrasikan dirinya dengan permukiman
sekitar, terutama pada aspek drainase.2 Keterpisahan inilah yang memung-
kinkan terjadinya banjir lokal dan sekaligus memicu ketimpangan. Dengan kata
lain, di satu sisi, ada perkampungan penduduk yang berkembang sudah sejak
lama namun kebanjiran. Di sisi lain ada perumahan baru yang justru tidak
kebanjiran karena memiliki sistem saluran air tertutup/privat.
Pola serupa nyaris berlaku di semua perumahan baru di DAS Beringin.
Sudah lebih dari satu dekade yang lalu Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah Jawa Tengah, Djoko Sutrisno, menyorot hal tersebut.
Menurutnya, di Kecamatan Ngaliyan saja, paling tidak ada 14 perumahan yang
tidak dilengkapi dengan penataan drainase yang baik. Sebagian besar juga
tidak menyisakan lahan untuk ruang terbuka, padahal perumahan tersebut
dibangun di daerah resapan air. Dalam perspektif Djoko Sutrisno, lahan
terbuka yang dimaksud bisa berupa sumur resapan di masing-masing rumah.3
Soal sumur resapan, ada satu model perhitungan yang ditawarkan Susilo
(2012). Menurutnya, setiap perubahan tata guna lahan seluas 1 hektar dari
lahan hijau ke permukiman, dibutuhkan paling tidak 135 sumur resapan. Lebih
detail lagi, setiap satu rumah tipe 75 memerlukan sebuah sumur resapan,
kapasitas serap 1 (satu) sumur resapan yang dimaksud ialah 0.000500
m3/detik. Sumur resapan disebut penting untuk mengontrol debit air yang
masuk ke sungai.4
Pada awal pengembangannya, perumahan BSB terbagi menjadi dua: BSB
Mijen (731 ha) dan BSB Jatisari (137 ha). 5 Jika ditotal maka dibutuhkan 870
hektar tanah yang beralih fungsi menjadi perumahan. Mengikuti logika
perhitungan Susilo (2012), maka perumahan BSB membutuhkan paling tidak
_____
1 Sukarsa, Rivian dan Iwan Rudiarto (2014) Pengaruh Pembangunan Bukit Semarang Baru
terhadap Sosial-Ekonomi Fisik Lingkungan Masyarakat Sekitarnya. Jurnal Teknik PWK 3(1):
209-219; hlm. 213-214.
2 Sukarsa, Rivian dan Iwan Rudiarto (2014) Pengaruh Pembangunan Bukit Semarang Baru
terhadap Sosial-Ekonomi Fisik Lingkungan Masyarakat Sekitarnya. Jurnal Teknik PWK 3(1):
209-219.
3 Kompas, 02 Februari 2005, “Banjir Sungai Beringin akibat Perumahan Tak Taati Aturan”,
hlm. 1.
4 Susilo, Edy dan Bambang Sudarmanto (2012) Kajian Hidrologi terhadap Perubahan
Penggunaan Lahan Pertanian dan Lahan Hijau menjadi permukiman di Kota Semarang.
Jurnal Riptek 6(1): 1-9.
5 Santoso, Hardo Wibowo (2005) Pengaruh Keberadaan Bukit Semarang Baru terhadap
Kondisi Sosial-Ekonomi-Fisik Sekitarnya Berdasarkan Persepsi Masyarakat Lokal (Tesis).
Universitas Diponegoro, 2005, hlm. 69.
319
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
117.450 titik sumur dengan kapasitas serap mencapai 58,725 m3/detik. Tentu
saja, sangat memungkinkan jika sebelum dibongkar proyek perumahan BSB,
kapasitas serap tanah di lahan 870 hektar tersebut jauh lebih besar lagi. Sekian
besar air yang harusnya terserap itulah yang pada akhirnya masuk ke sungai,
melimpas deras ke daerah yang lebih hilir, dan menjadi banjir.
Sejak awal, sebenarnya Pemkot Semarang sudah mensinyalir keberadaan
BSB sebagai salah satu penyebab banjir. Wali Kota Semarang saat itu, Sukawi
Sutarip misalnya, pernah punya niatan untuk meninjau ulang HGU PT KAL
seluas 1.100 hektar. Selain itu, Pemkot pun menilai PT KAL tidak pernah
melaporkan perkembangan pembukaan lahan dan langkah yang dilakukan
untuk mencegah banjir atau longsor.1 Namun sejak awal pula, PT KAL selalu
membantah. Seperti yang pernah dinyatakan Ketua Divisi Teknik PT KAL, Adi
Purwanto,
_____
1 Kompas, 08 Februari 2002, “Perumahan BSB Bantah Penyebab Banjir Semarang”, hlm. 26.
2 Kompas, 08 Februari 2002, “Perumahan BSB Bantah Penyebab Banjir Semarang”, hlm. 26.
3 Kompas, 08 Februari 2002, “Perumahan BSB Bantah Penyebab Banjir Semarang”, hlm. 26.
4 Kompas, 21 Februari 2004, “Campur Sari: Pengembang Bangun Markas Polres”, hlm. 18.
320
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
menjadi lebih banyak dibanding sebelumnya.1 Soal ini pun PT KAL berkelit.
Menurutnya, perubahan peruntukan wilayah di Kecamatan Mijen dari lahan
perkebunan menjadi kawasan industri dan perumahan merupakan langkah
yang tak bisa dihindari. Hal itu dimungkinkan karena berdasarkan peta zona
konservasi air, wilayah Mijen berada pada zona biru yang bukan merupakan
daerah resapan utama di wilayah Semarang.2
Akademisi lain, Dr. Robert J Kodoatie, menyebut pula bahwa kontribusi
terbesar penyebab banjir Kali Beringin adalah karena banyak lahan resapan
yang berubah fungsi. Misalnya, berubah menjadi pabrik, perumahan baru,
kampung baru, peternakan ayam, dan bangunan penjara. Bersamaan dengan
itu, pengurangan sawah, tegalan, pembabatan hutan karet, gunung dikepras,
hutan digunduli juga terjadi sangat cepat. 3 Kodoatie memang tidak menunjuk
hidung, namun mudah disisir bahwa salah satu pihak yang berkontribusi besar
dalam banjir di DAS Beringin adalah PT KAL sebagai pengembang perumahan
BSB. Meski dalam perkembangannya, PT KAL tidak berdiri sendiri dalam
mengelola tanah kurang lebih 1.000 hektar tersebut.
_____
1 Sudianto, Barnabas Untung (2006) Bahaya Banjir di Kawasan DAS Beringin dan Rob di
Mangunharjo. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah 4(2): 69-75; hlm. 69-70.
2 Lisdiyono, Edy (2008) Legislasi Penataan Ruang: Studi tentang Pergeseran Kebijakan
Hukum Tata Ruang dalam Regulasi Daerah di Kota Semarang (Disertasi). Universitas
Diponegoro.
3 Kompas, 17 Desember 2003, “Banjir Besar Bisa Terjadi di DAS Beringin”, hlm. 18.
321
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Gambar VIII.15: Danau BSB dilihat dari tempat aliran Sungai Beringin mengalir dan
kemudian dibendung. Selama pandemi, Danau BSB hanya dapat dikun-
jungi oleh penghuni perumahan BSB. Foto diambil pada September
2021.
Pada 2012, PT KAL menjalin kerjasama dengan salah satu “gurita” dalam bisnis
properti di Indonesia: Ciputra Group.1 Penandatanganan kerjasama antara PT
KAL dengan PT Ciputra Graha Mitra berlangsung di kediaman Dr. (HC). Ir.
Ciputra. Dalam acara tersebut, turut hadir orang pertama yang membawa ide
pengembangan kota baru (BSB) di Mijen, Timotius D. Harsono. Ia tampil
sebagai komisaris PT KAL, mendampingi Direktur PT KAL dari keluarga
Korompis yakni Didi Korompis. Proyek kerjasama tersebut bernama Citraland
BSB City—kawasan perumahan seluas 100 hektar berkonsep perumahan
hijau. Menurut Didi Korompis, Citraland BSB City disebut perumahan hijau
_____
1 https://www.ciputra.com/id/penandatangan-kerjasama-pt-ciputra-graha-mitra-dengan-
pt-karyadeka-alam-lestari-2/, [diakses 25 Agustus 2021].
322
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
karena “mempunyai dua buah danau yang nantinya akan berfungsi sebagai
tempat rekreasi dan juga oase dari kehidupan kota yang sibuk.”1
Pembangunan kolam retensi atau danau di dalam kompleks perumahan
BSB memang bukan ditujukkan sebagai serapan air, melainkan tempat
rekreasi. Lagi pula, seperti yang dikatakan Kepala Dinas Pekerjaan Umum
Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Jawa Tengah, Prasetyo
Budie Yuwono, dua embung atau kolam retensi sebagai pengganti serapan air
tidaklah cukup. Terutama mengingat luasan kawasan terbuka yang telah
dialihfungsikan BSB. “Sejak rencana pembangunan BSB, saya sudah meminta
membuat minimal tiga kolam retensi. Tapi realisasinya hanya satu,” tambah
Prasetyo.2
Dengan begitu, jika memang pemerintah sudah sejak lama mensinyalir
kontribusi perumahan BSB dalam momen banjir di DAS Beringin, maka kini
ada dua pihak yang perlu ditunjuk yakni PT KAL dan Ciputra. Mereka inilah
yang meraup untung dari penjualan rumah berkonsep “hijau,” di tengah
kondisi orang-orang Mangkang Wetan dan Mangunharjo yang terus dirugikan
karena nyaris setiap tahun diterjang banjir kiriman.
Suatu kali, PT KAL pernah melakukan survey ke 750 orang dengan tingkat sosial
ekonomi cukup mapan tentang urutan kawasan hunian paling ideal. Hasilnya
adalah Semarang Selatan (42%), Semarang Barat (32%), Semarang Tengah
(20%), Semarang Timur (3%), dan terakhir Semarang Utara (3%). Survey
tersebut tayang di koran Kompas dengan judul rubrik “Korporatorial”. 3 Di
dalamnya disebut pula bahwa kualitas lingkungan di Semarang Selatan dan
Barat Daya (termasuk BSB) memang lebih baik. Pasalnya, wilayah tersebut
memiliki udara lebih sejuk, kebisingan lebih rendah, bebas banjir, bebas
longsor, dan tanahnya stabil. Intinya, berbagai masalah lingkungan yang kerap
dihadapi daerah Semarang Bawah seperti banjir, rob, polusi, tidak ada di
Perumahan BSB.
_____
1 Lihat: https://www.ciputra.com/en/citraland-bsb-city-hadir-di-semarang/, [diakses 25
Agustus 2021[.
2 Dalam catatan kami, belakangan bertambah menjadi dua embung/danau. Lihat: Jawa Pos,
28 Juni 2017. “Kolam Retensi Perlu Diperbanyak”.
3 Kompas, 29 Oktober 2009, “Bukit Semarang Baru: Investasi Properti di Kota Perbukitan,
Korporatorial Properti”, hlm. 2009.
323
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Ircham Abdurrahim pernah tersangkut kasus korupsi APBD Jawa Tengah senilai Rp10,8
miliar. Lihat: Koran Tempo, Februari 2005, “Rumah Megah di Atas Bukit”.
324
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
Gambar VIII.16: Salah satu potret rumah ambles di Mangkang Wetan. Terlihat jendela
sudah sejajar dengan tanah. Sumber: Data GroundUp 2021.
325
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
_____
1 Purbaya, Angling Adhitiya, “Diguyur Hujan Lebat, Jalur Pantura Semarang Banjir”, diakses
pada 18 September 2021 dari https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5363549/
diguyur-hujan-lebat-jalur-pantura-semarang-banjir.
2 Kompas, 30 Januari 2003, “Upaya Penanggulangan Banjir di Semarang Tidak Efektif,
Kegiatan yang Dilakukan hanya Berorientasi Proyek”. Hlm. 25.
3 Kompas, 30 Januari 2003, “Upaya Penanggulangan Banjir di Semarang Tidak Efektif,
Kegiatan yang Dilakukan hanya Berorientasi Proyek”. Hlm. 25.
326
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
.........
PfHGENOA.I..IAN 8A/rlJll'I IUNGAl l!IR!HGIJrf
l ll!trW,r.U,A,POIUlbl<,~lkdJ~lrfltSl..... beo.")t..._
•~2-111no1.P01....-..n11.,,,,.._,....s~
clll'IMO.,,.,.l'lftldl,._~
lei @ jt
=
l llaltl,.. airvllr.bu•,.....UP,9 . . ddobl,~
AREA BERBAHAYA
4 6eot<)IMIUl<llFOM<hlf_,
Pada 2021 upaya yang dilakukan pemerintah pun tidak berubah. Proyek nor-
malisasi Sungai Beringin kembali mencuat ke permukaan. Dalam proyek kali
ini, Pemerintah Kota Semarang bertugas untuk membebaskan lahan pendu-
duk yang terkena proyek, luasnya mencapai 18 hektar. Sementara untuk pelak-
sana proyeknya dipegang oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-
Juana. Adapun alokasi dana yang dibutuhkan untuk proyek normalisasi Sungai
Beringin tersebut mencapai Rp450 miliar. Rencananya, setelah dinormalisasi,
lebar Kali Beringin akan mencapai 33 meter. Jumlah tersebut terdiri dari 20
meter badan sungai, sisanya untuk jalan inspeksi, dan sempadan sungai. 1
Kepala DPU Kota Semarang, Sih Rianung, dengan yakin pernah mengata-
kan bahwa, “… Solusi untuk peristiwa banjir tahunan di DAS Beringin ialah
dengan pembebasan lahan.”2 Perkaranya, pembebasan lahan untuk kepenti-
ngan proyek normalisasi pun bukan tanpa persoalan. Seorang warga Mang-
kang Wetan, Amin, mengatakan bahwa pengukuran lahan warga yang terkena
proyek sudah dilakukan. Namun sampai sekarang belum ada kejelasan soal
ganti rugi. Padahal dalam ingatan Amin, proyek normalisasi Sungai Beringin
_____
1 Lihat: (1) Jawa Pos, 07 Februari 2020, “Perlu Secepatnya Normalisasi DAS Beringin”; dan
(2) Suara Merdeka, 24 Agustus 2020, “Dewan Minta Pembebasan Lahan Dipercepat”.
2 Jawa Pos, 07 Februari 2020, “Perlu Secepatnya Normalisasi DAS Beringin”.
327
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
sudah dimulai sejak 2020. Rumah Amin rencananya akan turut tergusur untuk
kepentingan pembangunan jalan inspeksi di samping badan sungai.1
Gambar VIII.18: Salah satu sisi tanggul Sungai Beringin dalam proyek normalisasi. Foto
diambil September 2021.
Pemasangan tiang pancang untuk sisi tanggul pun sudah lama dilakukan (lihat
Gambar VIII.18), termasuk yang berada di samping rumahnya. Amin punya
cerita tersendiri soal pemasangan tiang pancang untuk tanggul sungai. Jarak
rumah Amin dengan lokasi tiang pancang hanya kurang dari dua meter. Proses
pemasangan tiang pancang selalu menimbulkan getaran yang cukup kuat.
Oleh karena dilakukan secara terus-menerus, getaran tersebut pun akhirnya
membuat salah satu bagian rumahnya miring, bahkan nyaris rubuh. Amin
tidak tinggal diam. Dia sempat memprotes kejadian tersebut kepada pihak RT,
RW, kelurahan, hingga pihak pelaksana proyek. Nahasnya, alih-alih mendapat
pertanggungjawaban yang memadai, Amin hanya diberi beberapa bambu
berukuran besar untuk menahan dinding rumahnya agar tidak roboh.
Lagi-lagi, sama seperti proyek normalisasi pada 2000-an, cerita Amin me-
nunjukkan bahwa solusi normalisasi sungai tahun 2021 yang dilakukan peme-
rintah membawa dua konsekuensi. Pertama, (solusi) pemerintah tersebut jus-
_____
1 Wawancara dengan Amin berlangsung di Mangkang Wetan pada September 2021.
328
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
tru kembali mengorbankan warga di hilir DAS Beringin. Padahal Amin dan
warga Mangkang Wetan serta Mangunharjo lainnya sudah menderita akibat
banjir kiriman. Kedua, (solusi) pemerintah tersebut justru dapat menghilang-
kan peran serta aktor-aktor yang mendulang keuntungan dari proses rekon-
figurasi ruang di DAS Beringin. Oleh karena itu, persis di sini pula hukum
pembangunan yang timpang, yang setiap hari beroperasi memproduksi atau
memperlebar ketimpangan tetap bekerja: bahwa justru orang yang menderita-
lah yang diminta berkorban untuk menanggulangi banjir di DAS Beringin.
Sementara pihak-pihak di hulu seperti PT KAL, Ciputra Group, atau PT IPU
seolah dianggap tidak berkontribusi dalam produksi momen banjir di DAS
Beringin. Padahal jelas, perubahan sosiospasial yang mereka (pengembang
perumahan, pengembang kawasan industri) lakukan di hulu berjalan beriri-
ngan dengan momen banjir (sosioalamiah) di hilir DAS Beringin.
VIII.6. Kesimpulan
329
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
330
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
331
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
332
BAB IX
Re-visualisasi
333
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
1
Bagian 1
Evolusi Penggunaan
Ruang di DAS-DAS
Semarang 1973-2020
Unduh: bit.lyIEvolusi_DAS_ di_ Semarang
334
BAB X
Laporan
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua donatur yang telah berkontri-
busi dalam mewujudkan proyek penyusunan buku ini. Penggalangan dana
untuk penyusunan buku ini dikoordinasikan di platform on-line, Kitabisa.com
(Website: https://kitabisa.com/campaign/semarangbanjir). Selain dana publik
yang dimobilisasi lewat Kitabisa.com, proyek ini mendapatkan dukungan dari
berbagai kelompok. Yaitu: Rujak Centre for Urban Studies, UNDP Accelerator
Lab, Ground Up (satu konsorsium penelitian dengan anggota: IHE-Delft
Institute for Water Education, University of Amsterdam, UGM, Undip, Koalisi
Rakyat untuk Hak atas Air/KRuHA, dan Amarta Institute for Water Literacy).
Tabel 1 berikut adalah komposisi dana yang kami galang dan penggunaannya
sampai dengan 09 Desember 2021.
335
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Tabel X.1: Pembukuan uang masuk dan uang keluar selama 2021.
Masuk Keluar
Bulan Tanggal Keterangan
[Rp] [Rp]
336
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
337
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
338
BAB XI
Kesimpulan:
Repolitisasi urbanisasi
DAS-DAS Semarang
Buku ini telah menggunakan kritisisme netizen sebagai pemicu atau pemotivasi
untuk mengerjakan riset. Sebagai praksis ekologi politis merepolitisasi banjir
Semarang (dan pertanggungjawaban kami terhadap para donatur seperti yang
dijelaskan di Bab X), Bab penutup ini menyampaikan tiga bagian. Pertama,
menjelaskan dinamika urbanisasi masing-masing DAS (bagaimana teori
spesifik dipakai, bagaimana pemakaian teori menolong penjelasan kasus, apa
mekanisme utama yang mengontrol urbanisasi masing-masing DAS, dan apa
dampak utama dari mekanisme pengontrol utama itu – alias, bagaimana risiko
banjir diproduksi). Bagian kedua menyampaikan refleksi kasus terhadap teori.
Bagian ketiga menjelaskan poin-poin umum yang muncul dari kasus-kasus.
Dalam analisis terhadap DAS Silandak di Bab 4 teori ekologi politis urbanisasi
(PEU) dipakai untuk memperlihatkan bagaimana proses rekonfigurasi sosio-
339
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
340
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
341
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
342
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
343
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Eropa di pusat Kota Lama. Daya tarik modal di Kota Lama bersama kebijakan
pemerintah (penguasa) tersebut merekonfigurasi sosiospasial di sekitar pusat
kota. Muncullah kampung-kampung sebagai perembetan kota. Seperti Kam-
pung Kemplongan, Kampung Glondong, Kampung Sayangan, Kampung Pan-
dean, Kampung Kulitan, Kampung Gandekan, Kampung Pedamaran dan lain-
nya, yang merupakan tempat tinggal para perajin batik, emas, minyak damar,
peralatan besi dan sebagainya. Fragmen-fragmen di pinggiran tersebut meno-
pang kekuatan modal di pusat kota.
Kota Lama yang telah ditaklukkan oleh modal kemudian meledak.
Fragmen-fragmennya terlempar ke kawasan suburbia DAS Garang, wilayah
Ngemplak Simongan. Konsentrasi modal di Simongan merekonfigurasi sosio-
spasial dan secara bersamaan mengubah relasi sosioalamiah di kawasan
tersebut. Simongan yang semula merupakan kawasan permukiman dan
perladangan berubah menjadi kawasan pabrik. Kembali, ekologi politis urba-
nisasi membantu melihat bagaimana ketimpangan terjadi dalam perubahan
sosiospasial dan sosioalamiah di Simongan. Ketimpangan pada lingkaran ini
cukup jelas, di mana para pemodal di Simongan mendapat dukungan dari
pemerintah berwujud fasilitas penyediaan lahan, pembangunan jalan dan
jembatan, hingga regulasi yang “mengamankan” mereka. Sedangkan warga
Simongan mengalami bermacam-macam derita akibat kapitalisme; meng-
hadapi risiko kematian saat menambang padas karena tidak lagi bisa
berladang, bergumul dengan air Kali Garang yang tercemar limbah pabrik,
hingga menghadapi banjir. Solusi yang ditempuh pemerintah atas derita
tersebut, yang merupakan penyelesaian teknikal, justru semakin meneng-
gelamkan warga pada penderitaan yang lebih dalam. Pemerintah memindah-
kan (yang pantas disebut menggusur) warga yang mengambang di sektor
informal (penambang padas, penjual makanan, penjual jasa lain) ke kawasan
suburbia. Menghadapi luapan Kali Garang, pemerintah dan pengusaha
Simongan juga menempuh macam-macam solusi teknis seperti peninggian
jalan hingga normalisasi sungai yang juga berujung pada penggusuran warga
ke Pongangan, Kuwasen, Sukorejo, Kalialang dan sekitarnya.
Pola serupa terjadi di lingkaran berikutnya. Sosiospasial kawasan tepian
tersebut kembali dipercepat perubahannya oleh masuknya modal. Ekologi
politis urbanisasi membantu melihat rekonfigurasi sosiospasial yang dibarengi
dengan perubahan sosioalamiah di lingkaran ini, sekaligus melihat ketimpang-
an yang berlilitan dengan proses tersebut. Pemerintah begitu saja memberi
izin kepada pengembang-pengembang perumahan untuk menanamkan mo-
dal di kawasan tersebut, sehingga mereka bisa menjual rumah “murah” bagi
kelas buruh yang tidak mampu menjangkau rumah layak, dengan risiko
lingkungan yang tidak layak huni (air yang tercemar, rawan banjir dan longsor).
Pada saat pengembang perumahan memanen keuntungan, saat itu pula
344
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
345
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Secara eksplisit teori ekologi politis urbanisasi yang dikonsep di Bab II me-
model bahwa non-manusia memiliki kontribusi dalam proses produksi nilai-
lebih, seperti yang dijelaskan pada bagian momen sosio-alam. Ini artinya
bahwa relasi kapitalis-buruh bukanlah hal mutlak yang mendominasi proses
prosuksi nilai-lebih, ada material lain yang memiliki agensi atau materialitas,
yaitu non-manusia. Dalam buku ini, model ini bekerja melalui, misalnya, kasus
DAS Babon yang memperlihatkan bahwa kelompok kapitalis juga mengalami
kerugian seperti banjir yang dialami oleh kawasan industri yang menyebabkan,
secara umum, macetnya proses produksi pabrik dan distribusi komoditas
produk. Baik kapitalis maupun buruh, pada titik ini harus sama-sama mene-
rima eksistensi agensi non-manusia berupa banjir.
Ketegangan dalam dua kelompok dalam kapitalisme (kapitalis dan yang
dirugikan) dimediasi oleh munculnya mekanisme-mekanisme “jembatan” yang
memetabolisme aliran material dari kedua sisi. Dalam kasus pabrik, ini bisa
dengan cepat diidentifikasi: kapitalis menghisap kerja buruh, buruh men-
dapatkan gaji (yang cenderung nge-pas) untuk reproduksi. Dalam perubahan-
perubahan lingkungan, “jembatan-jembatan” lebih susah diidientifikasi. Na-
mun dalam naskah ini ia terlihat, misalnya, dari orang kampung Tambakharjo
yang mendapatkan insentif melalui berdagang makanan dan sewa kos-kosan
346
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
bagi para buruh Graha Padma, orang Tambakharjo yang menjadi pembantu
bagi tuan-nyonya yang tinggal di Graha Padma, atau juga melalui distribusi
program-program kampung baik dari pengembang Graha Padma maupun
dari para politisi.
Peran negara tidak didiskusikan dalam kerangka teori ekologi politis
urbanisasi di Bab II. Dalam Bab I, negara hadir dalam para pejabat yang
melakukan depolitisasis. Dalam kasus-kasus DAS, negara hadir di banyak
tempat, terutama melalui proyek-proyek teknis, misalnya, solusi-solusi
terhadap banjir dan ketimpangan akses terhadap air (normalisasi, saluran
drainase, rumah pompa, sumur air tanah dalam). Normalisasi sungai muncul
di DAS Garang dan Beringin. Pembangunan saluran air muncul di DAS Garang
dan Babon. Pembangunan rumah pompa muncul di DAS Babon dan Silandak.
Pembangunan sumur air tanah dalam muncul di DAS Karanganyar. Untuk
membuat penjelasan logis, maka dalam buku ini proyek-proyek teknis berkait-
an dengan penanganan banjir itu dilihat sebagai proses urbanisasi yang
kapitalistik darimana kota tercipta. Normalisasi sungai, pembangunan saluran
air, dan ekstraksi air tanah dalam adalah proses-proses urbanisasi (air permu-
kaan dan air bawah tanah) yang secara bersama menganyam apa yang kemu-
dian menjadi kota itu sendiri. Dalam konteks ini aparat negara mengambil
beberapa peran. Pertama, negara berfungsi membuka jalan (melalui surat
perintah kerja, izin) bagi proses-proses rekonfigurasi sosiospasial yang
memproduksi longsor, banjir, abrasi pantai, dan pencemaran. Kedua, negara
berfungsi mengkonsep dan mengimplementasikan solusi-solusi infrastruktur
teknis. Ketiga, aparat negara seperti Menteri dan Gubernur melegitimasi solusi-
solusi teknis lewat depolitisasi banjir.
Poin-poin umum
Jika diamati dalam empat kasus yang memperhadapkan warga dan korporat,
ada kesamaan di mana bermacam istilah dipakai untuk mengelabui, me-
ngaburkan, bahkan menghilangkan tanggungjawab pihak pengusaha sebagai
penyebab masalah. Bermacam istilah yang seharusnya bernama “ganti rugi”
itu diubah misalnya dengan istilah “tali asih” dalam kasus DAS Babon, “kon-
tribusi” dalam kasus DAS Karanganyar, “pesangon” dalam kasus DAS Garang,
dan “ongkos pindah” dalam DAS Silandak. Dengan mengatasnamakan istilah-
istilah di atas, pengusaha memainkan akrobat penurunan nilai ganti rugi yang
seharusnya dibayarkan. Dari Rp1,250 juta/m² menjadi Rp250 ribu/m² dalam
kasus DAS Silandak, Rp120 juta menjadi Rp15 juta dalam kasus DAS Babon,
dan Rp1,9 milyar menjadi Rp225 juta dalam kasus DAS Karanganyar. Pada
kasus DAS Garang bahkan tanpa proses perundingan warga dipaksa pindah
dari tempat tinggalnya.
347
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
Menurut kami, perubahan istilah ini sangat politis. Dan ini berlangsung
dalam empat kapetor (tingkat). Pertama, ia menghilangkan tanggungjawab pe-
rusahaan terhadap kerugian yang menimpa masyarakat. Kedua, ia meninggal-
kan kesan bahwa perusahaan tidak bersalah atas masalah yang terjadi. Ketiga,
ia membungkam masyarakat karena pemberian uang dengan nilai tidak
setimpal, masyarakat diminta untuk tidak lagi menuntut perusahaan. Keempat,
pemberian uang itu seolah dianggap sebagai bentuk kebaikan pengusaha
kepada masyarakat.
Dalam hal bagaimana kehidupan bersama diurus (demokrasi), pendekat-
an yang dilakukan melalui demokrasi representatif liberal yang ada sekarang
tidak berguna banyak dalam penanganan banjir. Hal ini terlihat misalnya dari
kasus di DAS Silandak. Peran institusi lokal seperti Mbah Bayan yang berguna
sebagai early warning system untuk mengabarkan warga tentang momen
banjir, telah hilang. Penggantinya, struktur RT, tidak mampu mengerjakan
pekerjaan seperti yang dilakukan Mbah Bayan, padahal fungsi itu sangat
dibutuhkan dalam masyarakat. Lebih parah, rapat-rapat di dalam struktur RT
tidak menyerap masalah yang penting bagi masyarakat untuk dijadikan
sebagai agenda. Justru sebaliknya, tangan-tangan negara yang hadir melalui
stuktur RT menjadi alat kontrol bagi negara untuk melaksanakan agenda-
agenda yang dianggap penting bagi negara, misalnya persiapan-persiapan
untuk lomba tertentu atau juga memperingati hari-hari tertentu.
Untuk menutup buku ini; “banjir sudah naik seleher,” demikian seorang
interlokutor di Tambakharjo kami pahami dalam usahanya menjelaskan
masalah banjir. Benar bahwa interlokutor tersebut adalah anak-anak. Namun,
melihat proses urbanisasi yang timpang yang terus bekerja, ke depan mungkin
banjir akan naik seleher orang dewasa – dan toh di DAS Garang dan Beringin
banjir sudah pernah mencapai dua meter. Sebuah bencana yang diproduksi
melalui proses-proses urbanisasi yang timpang melibatkan rekonfigurasi
sosiospasial dan perubahan sosioalamiah. Dengan kata lain, banjir yang sudah
naik seleher, adalah manifestasi konkret dari “derita sudah naik seleher”
seperti yang direkam oleh puisi Wiji Thukul yang dikutip pada bagian awal buku
ini. Proses penghancuran dan produksi hidup yang berisiko ini sudah
keterlaluan. Penindasan ini, mengutip Thukul, sudah sangat “di luar batas”!
348
TIM KERJA
349
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER
350
BOSMAN BATUBARA, Dkk.
351
\
~
/ _/ /
"✓
,, "Banjir sudah naik seleher," demikian seorang interlokutor di /
, / / /
/ /
r/
✓,, ;o o, // ✓
6 //
",; D, ~ ~
/ ✓
/
/
/
...
'
o9
/
/
0 / /
ISBN 978-623-380-072-3
Cipta
II II lllll 111111111111111
Prima
Nusantara
9 786233