Anda di halaman 1dari 373

✓. ✓ / "✓ ✓
. . ✓

...........,,- ✓

BANJIR SUDAH
NAIK SELEHER /

,:o /

MAKL.UM
I--IUJAN
T~RU6.
Banjir
sudah naik
Seleher
ekologi politis urbanisasi
das-das di semarang

i
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

ii
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

bosman batubara, bagas yusuf kausan,


eka handriana, syukron salam, umi ma’rufah

BANJIR SUDAH NAIK


SELEHER
ekologi politis urbanisasi das-das di semarang

mn111
MALEH OADI SF.GOftO
IIIUU

iii
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Banjir Sudah Naik Seleher:


Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS di Semarang
© Bosman Batubara, dkk., 2021

Penulis:
Bosman Batubara
Bagas Yusuf Kausan
Eka Handriana
Syukron Salam
Umi Ma’rufah

Penyunting Ahli:
Wijanto Hadipuro

Penyunting Bahasa:
Dwi Cipta

Desain Sampul:
Gumpnhell

Penata Letak:
Tri Bagus Suryahadi

Penerbit:
Cipta Prima Nusantara (CPN)
Perum Green Village Kav. 115, Ngijo,
Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah.
Email: ciptaprimanusantara@gmail.com

ISBN: 978-623-380-072-3
Dimensi: 15,5 x 23 cm
Tebal: xx + 351 halaman
Cetakan: Pertama, Desember 2021

iv
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

“derita sudah naik seleher


kau menindas
sampai di luar batas”

Wiji Thukul

v
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

vi
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

KATA PENGANTAR

Buku ini merupakan bagian dari Koalisi Maleh dadi Segoro (MDS). Menurut
Buku “Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak”
(2020: iii-iv), anggota Koalisi MDS adalah perorangan dan organisasi sebagai
berikut: 1) Abdul Ghoffar; 2) Amrizarois Ismail (Bintari); 3) Amrta Institute for
Water Literacy; 4) Bagas Yusuf Kausan; 5) Bosman Batubara (IHE-Delft); 6) DPD
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota Semarang; 7) Dr. Ir.
Nelwan Dipl. H.E.; 8) Henny Warsilah (LIPI); 9) Hotmauli Sidabalok (PMLP-Unika
Soegijapranata); 10) Ivan Wagner; 11) Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha);
12) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA); 13) Komunitas Pekakota;
14) Legal Resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-
KJHAM); 15) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang; 16) Martin Hadiwinata;
17) Mila Karmilah (Unissula); 18) Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia
(PPNI); 19) Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro); 20) Rujak Center for
Urban Studies; 21) Syukron Salam (Unnes); dan belakangan bergabung WALHI
Jawa Tengah dan beberapa orang lain.
Tim Kerja yang membuat buku ini adalah anggota yang dipercaya oleh
Koalisi MDS untuk memobilisasi dana publik dan menggunakannya untuk
penerbitan buku ini. Mobilisasi dana publik dikoordinasikan di platform on-line
Kitabisa.com. Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh donatur yang secara lengkap disajikan
dalam Bab X (Laporan). Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh
pihak yang telah berperan dalam penggarapan buku ini mulai dari awal sampai
selesai (kurang-lebih enam bulan). Selamat membaca!

Semarang, 12 November 2021

Tim Kerja

vii
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

viii
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar vii


Daftar Isi ix
Daftar Gambar xiii
Daftar Tabel xvii
Daftar Grafik xix

BAB I: #BANJIRSEMARANG: Netizen: Yakin karena hujan deras? 1

BAB II: Ekologi politis urbanisasi 13

II.1. Pengantar 13
II.2. Meng-ekologi-kan ketimpangan dalam PEU: Sebuah kritik
terhadap bias spasial dalam metodologi 15
II.3. Tiga perangkat konsep untuk PEU 17
II.4. Kesimpulan: Tempat memulai perubahan dan ruang
untuk belajar 30

BAB III: Metodologi: Terkoordinasi sekaligus terpisah 33

BAB IV: Urbanisasi DAS Silandak: Produksi bencana secara


timpang 49

IV. 1. Pemaprasan bukit oleh PT IPU menyebabkan relokasi


Kampung Pucung 51
IV. 2. Reklamasi Pantai Marina (PRPP): Dari rawa/laut menjadi
aset properti 71
IV. 3. Graha Padma vs. Kampung Tambakharjo: Banjir sudah
naik seleher 79
IV. 4. Kesimpulan 100

ix
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

BAB V: Urbanisasi melalui industrialisasi di DAS Babon 103

V.1. Benarkah cuaca ekstrem adalah penyebab banjir? 103


V.2. DAS Babon: Dibentuk dan diatur 108
V.3. Pertumbuhan ekonomi: Dari migas ke industri 111
V.4. Rekonfigurasi hulu DAS Babon: Kota satelit dan konsentrasi
penguasaan lahan 116
V.5. Rekonfigurasi hilir DAS Babon: alih fungsi lahan dan banjir 125
V.6. Pencemaran limbah dan sedimentasi di DAS Babon: Hulu
dan hilir bertemu 131
V.7. Teknikalisasi masalah sistem pengendalian banjir di hulu
dan hilir 142
V.8. Kesimpulan 149

BAB VI: Banjir DAS Karanganyar karena kombinasi polusi


dan reklamasi 153

VI.1. Deskripsi 153


VI.2. Pencemaran Kali Tapak dalam empat babak 158
VI.3. Industri memproduki banjir 177
VI.4. Semarang kehilangan ikonnya karena reklamasi 186
VI.5. Kesimpulan 189

BAB VII: DAS Garang: Mengerut, meledak, meluap 191

VII.1. Mengerut-meledak-meluap: Sebuah metafora 197


VII.2. DAS Garang 201
VII.3. Momen mengerut – meledak – meluap di DAS Garang 207
VII.4. Kesimpulan 271

BAB VIII: DAS Beringin: Rekonfigurasi ruang kali, kampung,


dan kebun 273

VIII.1. DAS Beringin “dari bawah ke atas” 273


VIII.2. Dari “bawah”, Mangkang Wetan dan Mangunharjo 282
VIII.3. Dari “tengah”, Kampung Desel dan Perumahan Wahyu Utomo 294
VIII.4. Dari “atas”, perumahan elit BSB 313
VIII.5. Ekologi-politis urbanisasi DAS Beringin 323
VIII.6. Kesimpulan 329

Bab IX: Re-visualisasi 333

x
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Bab X: Laporan 335

Bab XI: Kesimpulan: Repolitisasi urbanisasi DAS-DAS Semarang 339

Tim kerja 349

xi
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

xii
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

DAFTAR GAMBAR

Gambar III.1: Lima DAS yang diperdalam 34


Gambar III.2: Perubahan rona di DAS-DAS dimana Kota Semarang
berada 36

Gambar IV.1: Evolusi penggunaan ruang di DAS Silandak 50


Gambar IV.2: DAS Silandak 51
Gambar IV.3: The Club 81
Gambar IV.4: Peta Kampung Tambakharjo dan Perumahan Graha
Padma 82
Gambar IV.5: Sisa tambak di tengah pemukiman padat di Tambakharjo 86
Gambar IV.6: Kampung Tambakharjo RT 5 RW 2 87
Gambar IV.7: Area Graha Padma 90
Gambar IV.8: Jalan di samping rumah Enem 91
Gambar IV.9: Kampung Tambakharjo 93
Gambar IV.10: Pompa dan pintu air 99

Gambar V.1: Lokasi-lokasi dalam tulisan 108


Gambar V.2: Evolusi Penggunaan Ruang di DAS Babon 109
Gambar V.3: Peta Kelurahan Trimulyo 126

Gambar VI.1: Grafik perubahan penggunaan ruang di DAS Karangayar 154


Gambar VI.2: Perubahan penggunaan ruang di DAS Karanganyar 155
Gambar VI.3: Papan nama sungai 156
Gambar VI.4: DAS Karanganyar dan tempat-tempat dalam tulisan 157
Gambar VI.5: Plang Selamat Datang di Eco Eduwisata Mangrove Tapak 177
Gambar VI.6: Reklamasi lahan tambak di sisi kiri Tapak 185

xiii
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VII.1: Peta Sub-DAS dalam DAS Garang 199


Gambar VII.2: Evolusi penggunaan ruang di DAS Garang pada
1973-2020 204
Gambar VII.3: Bendungan Simongan 205
Gambar VII.4: BKB merupakan hilir DAS Garang menuju laut 207
Gambar VII.5: Beberapa lokasi dalam tulisan 208
Gambar VII.6: Pabrik PT Phapros 215
Gambar VII.7: Pagar biru pada Pabrik PT Kimia Farma (Persero) 216
Gambar VII.8: Bagian depan Pabrik PT Damaitex 218
Gambar VII.9: Perkampungan di bawah Bukit Simongan 220
Gambar VII.10: Jembatan Kali Garang 223
Gambar VII.11: Bangunan bercat biru pada foto adalah instalasi
penyaringan air PDAM 226
Gambar VII.12: Pagar kawat 227
Gambar VII.13: Petunjuk arah menuju pabrik PT Sinar Panca Jaya 228
Gambar VII.14: PT Pantja Tunggal Knitting Mill 1 229
Gambar VII.15: Gerbang real estate Paramount Village 232
Gambar VII.16: Reruntuhan rumah warga di atas lahan yang diklaim
milik Putut Sutopo 234
Gambar VII.17: Kampung Bulustalan 238
Gambar VII.18: Sungai Sampangan 241
Gambar VII.19: Gambar Atas adalah pertemuan antara Kali Kripik dan
Kali Kreo di bawah Jembatan Greenwood 246
Gambar VII.20: Warga RT 12 RW 07 Perumahan Grand Greenwood 258
Gambar VII.21: Antrean kendaraan berjalan menanjak 260
Gambar VII.22: Kali Garang di bawah Jembatan Tinjomoyo 270

Gambar VIII.1: Evolusi penggunaan ruang di DAS Beringin 1973-2020 275


Gambar VIII.2: Grafik penggunaan ruang di DAS Beringin 1973-2020 276
Gambar VIII.3: Peta DAS Beringin dan berbagai perubahan sosiospasial
di dalamnya 281
Gambar VIII.4: Sebelah kiri merupakan PT KLI 285
Gambar VIII.5: Salah satu muara Sungai Beringin di Mangkang Wetan 293
Gambar VIII.6: Tembok warna-warni 295
Gambar VIII.7: Jembatan penyeberangan ini roboh saat banjir tahun
2017 298
Gambar VIII.8: Embung 303
Gambar VIII.9: Aliran sungai di tanah milik PT IPU 306
Gambar VIII.10: Perataan tanah di tepi jurang dan sungai oleh PT IPU 307
Gambar VIII.11: Sungai Sihingas di seberang jembatan yang menyempit 310

xiv
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar VIII.12: Sedimentasi di Sungai Sihingas 311


Gambar VIII.13: Plang kepemilikan lahan PT KAL 314
Gambar VIII.14: Perkebunan karet 318
Gambar VIII.15: Danau BSB 322
Gambar VIII.16: Salah satu potret rumah ambles di Mangkang Wetan 325
Gambar VIII.17: Papan pemberitahuan di sekitar proyek normalisasi
Sungai Beringin 327

Gambar IX.1: Contoh revisualisasi 334

xv
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

xvi
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

DAFTAR TABEL

Tabel II.1: Ketimpangan di bawah kapitalisme 22


Tabel II.2: Dinamika-dinamika sosiospasial urbanisasi 25
Tabel II.3: Peran manusia dan non-manusia dalam produksi nilai-lebih 30
Tabel III.1: Tahapan Kerja 47
Tabel V.1: Harga produk perumahan BSJM 123
Tabel VI.1: Jumlah limbar cair pabrik-pabrik di Kali Tapak pada 1993 171
Tabel VI.2: Hasil pemantauan kualitas air limbah 173
Tabel VII.1: Resume Data Bencana di Kota Semarang 2012-2020 264
Tabel VII.2: Resume Data Bencana di DAS Garang 2012-2020 265
Tabel X.1: Pembukuan uang masuk dan uang keluar 336

xvii
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

xviii
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

DAFTAR GRAFIK

Grafik V.1: Nilai ekspor migas dan non migas Indonesia 1975-2018 112
Grafik V.2: Investasi asing di Indonesia 1980-2000 112
Grafik V.3: Gross domestik bruto Indonesia 1961-1990 113
Grafik VII.1: Trend bencana Kota Semarang 2012-2020 264
Grafik VII.2: Trend bencana di DAS Garang 2012-2020 266

xix
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

xx
BAB I
#BANJIRSEMARANG:
Netizen: Yakin karena hujan deras?

Bencana banjir yang menimpa Semarang pada Februari 2021 adalah momen
banjir paling parah yang terjadi di Semarang selama 10 tahun terakhir.
Dampak banjir menimpa berbagai sektor. Di sektor transportasi, Bandara
Ahmad Yani Semarang ditutup total pada 6 Februari. Pendaratan pesawat
Garuda GA 232 rute Jakarta-Semarang terpaksa dialihkan ke Bandara Juanda,
Surabaya. Sementara tujuh penerbangan lainnya mengalami penundaan.1
Pada 6 Februari diberitakan bahwa stasiun kereta api Poncol dan Tawang
terendam banjir, sehingga 11 perjalanan kereta api yang melalui kedua stasiun
tersebut terpaksa ditunda.2 Secara total, momen banjir 5-7 Februari terjadi di
11 kecamatan, 110 kelurahan dengan jumlah yang terdampak sebanyak
27.346 keluarga atau 101.366 jiwa, serta 5 orang meninggal dunia.3 Banjir ini
_____
1 Lihat: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210206142608-20-603122/banjir-sem
arang-bandara-ahmad-yani-tutup-total-hari-ini [diakses pada 9 Maret 2021].
2 Lihat: https://bisnis.tempo.co/read/1430339/2-stasiun-di-semarang-terendam-banjir-11-
perjalanan-kereta-tertunda/full&view=ok [diakses pada 9 Maret 2021].
3 Lihat: https://jateng.idntimes.com/news/jateng/anggun-puspitoningrum-1/banjir-semara
ng-101366-jiwa-terdampak-dan-5-orang-meninggal/3 dan https://nusantara.rmol.id/read

1
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

juga diiringi oleh tanah longsor yang terjadi di 32 lokasi. 1 Sampai saat ini (15
Maret 2021), belum terlihat ada berita tentang keterangan resmi dari
otoritas/pemerintah mengenai kerugian total akibat banjir yang menimpa Kota
Semarang pada 5-7 dan 23 Februari 2021.
Momen-momen banjir ini telah membuat permasalahan banjir di Kota
Semarang menjadi tema yang ramai didiskusikan, baik di media arus utama
maupun di media sosial. Dari pernyataan yang dirilis di media, ada kecen-
derungan pemerintah melokalisasi penyebab banjir pada faktor curah hujan
yang ekstrim dan pompa yang tidak berfungsi atau kapasitasnya kurang. Hal
ini misalnya terlihat dari keterangan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo,
pada 6 Februari 2021,2 yang diikuti oleh Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Basuki Hadimulyono, pada 8 Februari 2021.3
Penjelasan pemerintah seperti tersebut di atas adalah suatu proses
depolitisasi banjir Semarang. Depolitisasi di sini bermakna menjadikan hal
yang sebenarnya bersifat politis menjadi terlihat teknis. Momen banjir kami
lihat adalah suatu peristiwa yang politis, yaitu tercipta dari kompleksitas masa-
lah yang bukan hanya “teknis” (seperti curah hujan yang tinggi dan pompa yang
tidak berfungsi atau kurang kapasitasnya), tapi juga menyangkut proses politis
yang melibatkan, misalnya, perubahan penggunaan ruang di Daerah Aliran
Sungai (DAS) sehingga mengurangi area tangkapan dan/atau resapan air; dan
amblesan bagian tertentu kota karena ekstraksi air tanah dan pembebanan
bangunan/struktur.
Peristiwa perubahan penggunaan ruang di dalam DAS kami lihat sebagai
peristiwa politis karena menyangkut adanya satu/sekelompok orang, misal-
nya, pemilik dan/atau pengembang properti (developer) yang mendapatkan
keuntungan melalui baik itu penggunaan ataupun penjualan properti-nya, atas
ongkos atau kerugian yang dibebankan terhadap orang/kelompok lain, misal-
nya, korban banjir. Amblesan tanah kami lihat sebagai sesuatu yang politis
karena ada orang/kelompok yang mengekstraksi air tanah, menyebabkan ter-
jadinya amblesan tanah yang memperparah risiko banjir. Lebih lanjut, ini juga
berarti munculnya kerugian bagi orang/kelompok tertentu, yaitu korban ban-

_____
/2021/02/11/474574/imbas-bencana-banjir-dan-longsor-semarang-5-orang-meninggal-
dunia [keduanya diakses pada 15 Maret 2021].
1 Lihat: https://www.gatra.com/detail/news/503268/kebencanaan/ida-nurul-76-wilayah-se
marang-banjir-dan-2-longsor [diakses pada 15 Maret 2021].
2 Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=nPtKHil54HQ&t=575s [diakses pada 15 Maret
2021]. Dalam wawancara dengan KOMPAS TV, Gubernur Ganjar Pranowo [menit 4:00-
16:00], memberikan porsi penjelasan yang panjang tentang hujan lebat dan kurangnya
kemampuan pompa sebagai penyebab banjir.
3 Lihat: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5365441/ungkap-penyebab-ban
jir-semarang-basuki-curah-hujan-ekstrem [diakses pada 9 Maret 2021].

2
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

jir. Kerugian yang diderita oleh korban banjir adalah contoh dari eksternalitas
negatif yang terjadi akibat perubahan lingkungan.
Tidak hanya secara pasif membiarkan, para pengurus negara malah
secara aktif mengintervensi diskursus yang berkembang. Penjelasan peme-
rintah melalui Basuki dan Ganjar seperti yang disampaikan di atas cenderung
tidak membahas peristiwa-peristiwa politis itu, tapi hanya menekankan pada
curah hujan yang tinggi dan pompa yang tidak berfungsi atau kurang ka-
pasitasnya. Itu sebabnya kami melihatnya sebagai proses depolitisasi; yaitu:
kecenderungan melokalisasi penyebab banjir di wilayah teknis. Jadi, ini adalah
proses depolitisasi melalui teknifikasi permasalahan.
Proses depolitisasi melalui teknifikasi ini berujung pada solusi yang cen-
derung politis-teknis tapi seringkali dianggap/dicitrakan apolitis dari pemerin-
tah, yaitu normalisasi sungai seperti yang dinyatakan oleh wakil Wali Kota
Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, dan Menteri Basuki pada 6 Februari1
dan pembangunan infrastruktur raksasa dan tol-tanggul laut Semarang-
Demak (TTLSD) seperti yang disampaikan oleh Ganjar dan Wali Kota Semarang,
Hendrar Prihadi (masing-masing pada 6 dan 7 Februari). 2 Kami sebut solusi
“politis-teknis tapi seringkali dianggap/dicitrakan apolitis” karena tidak me-
nyoal atau bertaut dengan penyebab politis seperti yang kami uraikan di atas
(perubahan penggunaan ruang dalam DAS, amblesan tanah karena ekstraksi
air tanah), namun langsung meloncat pada suatu solusi infrastruktur teknis.
Persis di sini politisnya, mereduksi hal-hal yang bersifat politis menjadi teknis.
Dan lebih jauh, intervensi teknis seperti infrastruktur malah memberikan
keuntungan bagi segelintir pemilik modal. Ini misalnya dapat dilihat dalam
kasus pembangunan infrastruktur TTLSD, dimana ada kelompok yang dirugi-
kan seperti warga di daerah Sayung, Demak, yang akan semakin rentan ter-
hadap abrasi pantai, dan ada kelompok yang diuntungkan, misalnya para
pemain proyek dalam TTLSD.3
Intervensi warganet (netizen), menarik untuk ditelaah lebih jauh; karena
secara kronologis, meskipun mungkin bukan satu-satunya, tampak memenga-
ruhi apa yang dikatakan oleh para pengurus negara berkaitan dengan momen

_____
1 Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=nPtKHil54HQ&t=575s, pada menit 2:00-3:50
[diakses pada 15 Maret 2021].
2 Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=nPtKHil54HQ&t=575s [diakses pada 15 Maret
2021]. Dalam wawancara dengan KOMPAS TV yang diunggah pada 6 Februari, Gubernur
Ganjar Pranowo [menit 4:00-16:00] menjelaskan proyek infrastruktur raksasa TTLSD.
Penjelasan soal proyek TTLSD juga disampaikan Walikota Semarang pada 7 Februari
melalui wawancara dengan CNN Indonesia: https://www.youtube.com/watch?v=URyC4z1
bEJQ [diakses pada 15 Maret 2021].
3 Lebih jauh tentang proyek TTLSD, lihat: Batubara B, Warsilah H, Wagner I, and Salam Sy
(2020) Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak.
Yogyakarta: Lintas Nalar.

3
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

banjir di Semarang. Netizen mengidentifikasi faktor-faktor selain curah hujan


yang tinggi dan pompa yang tidak berfungsi atau kurang kapasitasnya yang
menyebabkan banjir di Semarang. Identifikasi ini dengan sendirinya merepo-
litisasi atau menyingkap proses depolitisasi melalui teknifikasi yang dilakukan
oleh para pengurus negara pada awal momen banjir ini. Kami menyebut
identifikasi ini “merepolitisasi” karena intervensi netizen bertaut dengan pe-
ristiwa-peristiwa politis seperti perubahan penggunaan ruang dalam DAS dan
amblesan tanah.
Untuk memberikan gambaran aktivitas netizen, pemanenan dan analisis
big data yang dilakukan oleh Laboratorium BigData Analytics Universitas Gadjah
Mada menarik untuk dicermati. Ada sebanyak 110.471 cuitan (tweet) pada
periode 1-28 Februari 2021 yang disortir melalui kata-kata kunci (banjir, gena-
ngan, rendam, ambles, sumur, pompa, hujan, kali, tanggul, dan kanal). Mayori-
tas dari cuitan itu memperlihatkan sentimen negatif (68,42%), positif (8,01%),
dan netral (23,57%). Secara total, pertautan/engagement dari semua cuitan itu
(dalam bentuk like, re-tweet, reply, dan quote) adalah sebanyak hampir 28,2 juta,
dengan puncak aktivitas netizen pada sekitar tanggal 5-9 Februari 2021. Kata
“banjir Semarang” muncul sebanyak 26.756 cuitan pada 7 Februari 2021,
35.855 pada 8 Februari, dan 13.408 cuitan pada 9 Februari 2021. Hal yang
kontradiktif, dan ini sekaligus memperlihatkan bahwa isu banjir hanya naik
pada saat banjir tapi tidak terlalu didiskusikan saat pemilu, terjadi pada sekitar
pemilihan wali kota dan wakil wali kota Semarang pada 9 Desember 2020, alias
dua bulan sebelum banjir Februari 2021. Kata “banjir” tidak termasuk dalam
29 besar kata yang paling sering dipergunakan oleh netizen.1
Ilustrasi yang diunggah oleh akun twitter @gumpnhell pada 7 Februari
2021 memperlihatkan Kota Semarang bagian atas dan bawah. Secara tertulis
ilustrasi itu menyebutkan faktor-faktor penyebab atau yang memperparah
banjir Semarang seperti kenaikan permukaan air laut, perubahan garis pantai,
drainase yang buruk, rob, intrusi air laut, penurunan muka tanah, ekstraksi air
tanah berlebih, sulit air bersih, limbah, area resapan dan penampungan air
berkurang, dan penggundulan bukit-bukit.2 Menariknya, ilustrasi itu tidak

_____
1 Sumber: Laboratorium BigData Analytics UGM (2021) Ground Up: Media Analysis on Flood
in Semarang (during local election in December 2020 and during March Flood 2021) (tidak
dipublikasikan).
2 Lihat: https://twitter.com/gumpnhell/status/1358445343415799808/photo/1 [diakses
pada 11 Maret 2021]. Pemilik akun @gumpnhell sudah memberikan izin kepada kami
untuk mengutip twit-nya. Cuitan-cuitan yang lain dan status facebook, dikutip tanpa me-
minta izin kepada pemilik akun. Tapi kami memeriksa setiap akun, dan tidak menemukan
suatu pernyataan eksplisit dari pemilik masing-masing akun agar cuitan mereka tidak
dikutip. Melalui catatan kaki ini, kami meminta izin kepada para pemilik akun tersebut;
bahwa cuitan/status mereka kami kutip. Terlebih dulu kami ucapkan terima kasih untuk
itu.

4
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

menyebutkan secara tertulis “curah hujan yang tinggi” dan “pompa yang tidak
berfungsi atau kurang kapasitasnya.” Sampai 15 Maret 2021, ilustrasi ini sudah
di-retweet sebanyak 2.522 kali.
Tanggapan dari akun @iyuuunkkk pada 8 Februari 2021 terhadap ung-
gahan @gumpnhell malah lebih eksplisit menyebutkan nama/lokasi:

“Sebagai warga Semarang atas, memang benar adanya, dulu bsb


bener” sejuk, masih banyak pohon, dingin, tapi sekarang dah digun-
dulin untuk pendirian pabrik dan fasilitas umum.” 1

Kemungkinan besar “bsb” yang dimaksud dalam cuitan itu adalah Bukit
Semarang Baru, suatu kompleks perumahan modern di Kecamatan Mijen,
Semarang, di bagian kota yang agak tinggi. BSB dan Mijen memang terletak di
daerah Semarang yang agak tinggi. Posisinya yang tinggi menyebabkan dia
berfungsi sebagai daerah penyangga untuk menampung air di bagian atas,
sebelum air mengalir di permukaan menuju bagian bawah kota yang rawan
banjir.
Bagi kami, cuitan @iyuuunkkk adalah sebuah pernyataan/pertanyaan
ekonomi politik, karena, kalau dibedah dengan fokus pada kasus BSB, cuitan
itu mengandung substansi: 1) siapa (pemilik pabrik dan pembangun fasilitas
umum); 2) melakukan apa (yaitu: membangun pabrik dan fasilitas umum); 3)
kapan (pada saat pembangunan pabrik dan fasilitas umum); 4) dimana (di
lokasi dibangunnya pabrik dan fasilitas umum); 5) dengan keuntungan yang
mengalir kemana (tentu saja terutama keuntungan mengalir ke pemilik pabrik
dan pengguna fasilitas umum); dan 6) kerugian yang diderita oleh orang/
kelompok tertentu yang mengalami banjir karena peristiwa perubahan peng-
gunaan ruang itu (korban banjir, terutama di bagian yang lebih rendah dari
tempat dimana pabrik dan fasilitas umum dibangun). Cuitan itu juga secara
implisit menarik garis antara banjir dan pembangunan pabrik dan fasilitas
umum dengan menyatakan bahwa “dulu masih banyak pohon” (yang melalui:
daunnya berfungsi mengintersepsi air hujan sehingga tidak langsung jatuh ke
tanah dan masuk ke sungai; akar-akarnya membantu air hujan meresap ke
dalam tanah, tidak mengalir di permukaan dan kemudian berkumpul di sungai
dan menyebabkan banjir).
Penanganan dengan pendekatan pembangunan infrastruktur juga tak
luput dari perhatian netizen. Pada 23 Februari 2021, menanggapi berita di
Viva.co yang bertajuk “Semarang Banjir Lagi, Pusat Kota Simpang Lima Terendam”,
akun @agungpsambodo mencuit:
_____
1 Lihat: https://twitter.com/iyuuunkkk/status/1358701065550499840 [diakses pada 11
Maret 2021].

5
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

“Saya lahir dan besar di semarang..pembangunan drainase, pompa-


nisasi dan normalisasi sungai sdh dilakukan..tp khoq sering banjir
yaaa...apa krn semarang atas, mijen, boja sdh bnyk perumahan..??”1

Dalam hal menjelaskan penyebab banjir, terlihat pemerintah terpe-ngaruh


oleh netizen. Hal ini dapat disimak dari wawancara antara KOMPAS TV dengan
Ganjar pada 25 Februari. Dalam wawancara itu didiskusikan mengapa Ganjar
mengaku salah melalui cuitannya (“Saya yang salah”). Terungkap bahwa itu
adalah reaksi Ganjar terhadap kritik-kritik dari netizen yang menurutnya selalu
mengomentari hal yang negatif:

“Ketika hampir seluruh persoalan muncul, netizen itu selalu tertarik


mengomentari dari hal yang negatif.”2

Pada 3 Maret 2021, ketika berperan sebagai salah seorang pembicara kunci
pada webinar bertajuk “Menguak Tabir Banjir Semarang: Tinjauan Pengelolaan
DAS” yang diselenggarakan oleh Baliteknas (Balai Litbang dan Teknologi Penge-
lolaan Daerah Aliran Sungai), Ganjar menjelaskan lebih jauh bahwa banjir di
Semarang adalah permasalahan yang kompleks. Bukan hanya persoalan curah
hujan, namun juga persoalan rusaknya DAS akibat pembangunan-pembangu-
nan dan juga amblesan tanah. Pernyataan Ganjar pada 3 Maret 2021 ini jelas
sangat berbeda dengan pernyataannya pada 6 Februari 2021. Karena itu kami
melihat pemerintah, dalam hal ini Ganjar, dipengaruhi oleh netizen. Meski
demikian, selain masih berpegang pada solusi infrastruktur raksasa seperti
TTLSD, Ganjar juga mendorong warga untuk lebih aktif terlibat.3
Dengan mendiskusikan dua cara pandang yang sangat berbeda ini, kami
tidak sedang mengatakan bahwa curah hujan yang tinggi dan pompa yang
tidak berfungsi atau kurang kapasitasnya tidak menyebabkan banjir. Yang
ingin kami sampaikan adalah, bahwa penyebab banjir bukan hanya faktor
curah hujan yang tinggi dan pompa yang tidak berfungsi atau kurang kapasi-
tasnya. Kami percaya, para pengurus negara (seperti menteri, gubernur, dan
wali kota dan wakilnya) juga sangat memahami bahwa penyebab banjir bukan
cuma curah hujan yang tinggi dan pompa yang tidak berfungsi atau kurang
kapasitasnya.

_____
1 Lihat: https://twitter.com/agungpsambodo/status/1364194848052441093?s=19 [diakses
pada 11 Maret 2021].
2 Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=sQJ0exv4qLM [diakses pada 11 Maret 2021].
3 Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=akQdQhdsug4, waktu: 1:15-1:35; [diakses
pada 9 Maret 2021].

6
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Faktanya adalah, kedua faktor itulah yang mendapat porsi penjelasan


besar dalam keterangan yang disampaikan para pengurus negara pada ke-
sempatan-kesempatan awal mereka menjelaskan banjir di publik setelah mo-
men banjir Semarang pada 5-7 Februari 2021. Persis di titik ini depolitisasi
melalui teknifikasi terjadi. Setiap orang tentu memiliki kemerdekaan memilih
apa yang tidak dan apa yang akan disampaikan. Pada kesempatan-kesem-
patan itu, seperti yang sudah dipaparkan di atas, para pengurus negara me-
milih menyampaikan faktor-faktor yang cenderung teknis seperti curah hujan
yang tinggi dan pompa yang tidak berfungsi atau kurang kapasitasnya. Inter-
vensi/repolitisasi dari netizen (yang dalam pandangan Ganjar dilihat sebagai
“selalu tertarik mengomentari dari hal yang negatif”), membuat cerita yang politis
semakin terucapkan.
Kemudian, jika analisis kronologi dan substansi ini diikuti, yang dimaksud
“negatif” dalam perkataan Ganjar kemungkinan besar adalah ketika orang,
atau dalam kasus ini netizen, mendiskusikan perihal ekonomi-politik dari suatu
momen bencana seperti banjir. Dengan demikian makna politis, depolitisasi,
dan repolitisasi dapat didefinisikan ulang secara lebih ringkas di sini. Politis
adalah peristiwa ekonomi-politik yang menghasilkan momen banjir; depoliti-
sasi adalah cara pandang yang menyembunyikan atau tidak menyampaikan
peristiwa-peristiwa ekonomi-politik yang menghasilkan momen banjir dan
pada saat yang bersamaan melokalisasinya di wilayah teknis yang dicitrakan
apolitis; dan repolitisasi adalah cara pandang yang mendekati permasalahan
banjir yang oleh pengurus negara dilokalisasi di wilayah teknis melalui pen-
dekatan ekonomi politik.
Kecenderungan perbedaan cara pandang antara pengurus negara
dengan netizen dalam momen banjir seperti itu bukan hal baru. Di kota lain
seperti Jakarta, debat-debat seperti itu berlangsung hampir setiap tahun ketika
banjir melanda ibukota. Otoritas dari pemerintah memiliki kecenderungan
mendepolitisasi penyebab banjir pada perbincangan di wilayah teknis seperti
pompa yang macet atau kurang kapasitasnya, sampah yang menumpuk, atau
penyempitan daya alir sungai atau daya tampung kawasan-kawasan penam-
pungan air seperti waduk. Kadang-kadang perwakilan pemerintah menyebut-
kan atau menyalahkan budaya masyarakat yang suka membuang sampah ke
sungai, dimana masyarakat sering dianggap homogen, tidak dipilah.
Di sisi lain, netizen memiliki kecenderungan melakukan repolitisasi ter-
hadap penyebab banjir melalui cara pandang ekonomi-politik. Kadang-kadang,
pertanyaan atau pernyataan netizen bukan sekadar siapa melakukan apa,
kapan, dimana, siapa yang untung atau buntung, dan bagaimana ia berhubu-
ngan dengan momen banjir; namun juga sampai kepada permasalahan status
hukum suatu proyek pembangunan properti dalam kaitannya dengan doku-
men perencanaan kota. Contohnya adalah status Facebook JJ Rizal:

7
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

“Salah satu yg dijadikan contoh Pengusaha Mall Jakarta terkait kom-


pensasi akibat banjir adalah Mall Taman Anggrek.

Tentu saja bakal seru jika direspon dengan membuka arsip rencana
induk Jakarta 1965-1985, lalu master plan Jakarta 1985-2005 yang
dengan mudah akan memperlihatkan bahwa mall di simpang
Tomang itu menempati lahan RTH Hutan Kota Tomang.

Nah, semoga Mall Taman Anggrek bisa jadi kasus pertama untuk
buka-bukaan biar jelas, kenapa RTH Hutan Kota bisa berubah jadi
mall, siapa pejabat yang melakukan dan siapa yang minta dia
melakukan? Bagaimana dengan RTH Hutan Kota lainnya, seperti
Senayan, Sunter, Kapuk, dll?

Seserius apa kita terhadap masalah banjir Jakarta, bisa dimulai


dengan seserius apa kita dengan alih fungsi lahan dan perubahan
tata ruang karena ada uang ini.” 1

Artinya, tidak seperti pengurus negara yang cenderung mengidentifikasi ma-


syarakat sebagai kelompok yang homogen, yang oleh karenanya cenderung
menyembunyikan peran kelompok yang memiliki kepentingan tertentu, cuit-
an-cuitan netizen spesifik, memilah, dan beroperasi di koridor hukum: lang-
sung menyebut aktor yang bermain dalam perubahan penggunaan ruang di
perkotaan dan bagaimana kedudukannya dalam kerangka dokumen peren-
canaan.
Kedua analisis ini memiliki konsekuensi yang berbeda dalam hal pena-
nganan banjir. Depolitisasi akan mengarahkan perbincangan mengenai pena-
nganan banjir pada wilayah “politis-teknis namun dicitrakan apolitis” seperti
normalisasi dan/atau naturalisasi, peningkatan kapasitas atau penambahan
pompa, dan pembangunan infrastruktur teknis raksasa. Proses depolitisasi ini
adalah semacam “high politics,” yang dalam konteks ini dilakukan oleh teruta-
ma pengurus negara. High politics ini membuat permasalahan banjir yang
sangat politis, dimana negara melakukan intervensi dengan cara cenderung
melokalisasi permasalahan di wilayah teknis sehingga permasalahan yang
lebih mendasar seperti peristiwa dan analisis ekonomi politik tidak muncul dan
menjadi alat penjelas terhadap peristiwa banjir yang berlangsung. Sementara
repolitisasi melalui analisis ekonomi-politik memiliki konsekuensi bahwa solusi
terhadap banjir juga sebaiknya adalah solusi politis-teknis, misalnya: meng-

_____
1 Misalnya: https://www.facebook.com/JJRizalKobam/posts/2398300676941405 [diakses
pada 11 Maret 2021].

8
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

gusur rumah-rumah/villa-villa di daerah tangkapan/resapan air yang biasanya


dimiliki oleh kelompok elit tertentu.
Dalam kasus Semarang, urbanisasi – proses-proses yang darinya kota
tercipta – seperti perubahan-perubahan ruang-ruang hijau menjadi kawasan-
kawasan terbangun (built environment) sebenarnya lumayan terdokumentasi-
kan dalam berbagai terbitan seperti artikel teknis ataupun dokumen tata
ruang.1 Hanya saja kadang-kadang dokumen-dokumen itu, selain terpencar,
juga bersifat teknis. Selain itu, informasi mengenai proses urbanisasi itu juga
tersimpan di dalam memori orang yang mengalaminya. Sifatnya yang terpen-
car dan teknis dan masih banyak tersimpan dalam memori, membuatnya
belum begitu muncul dalam perdebatan-perdebatan/diskusi-diskusi menge-
nai penyebab banjir di internet yang melibatkan netizen.
Secara lebih khusus, data urbanisasi yang menciptakan kondisi Semarang
yang semakin rentan dengan risiko banjir itu ada/banyak yang belum didoku-
mentasikan; atau belum disusun, diinterpretasikan, dan divisualisasikan ulang
agar mudah dimobilisasi dan menjadi bagian dari perdebatan publik, yang
biasanya dimotori oleh netizen, pada setiap momen banjir di Semarang.
Berangkat dari analisis tersebut, maka kami mengidentifikasi dua ma-
salah utama dalam perdebatan publik di internet mengenai penyebab banjir
di Kota Semarang: 1) depolitisasi penyebab banjir oleh pengurus negara
(menteri, gubernur, dan wali kota) dengan cara pandang yang cenderung me-
lokalisirnya di wilayah teknis, yang seringkali diikuti dengan pemaparan solusi
yang juga terlokalisasi di wilayah “politis-teknis namun dicitrakan apolitis”; dan
2) kurangnya dokumentasi, re-organisasi, re-interpretasi, dan re-visualisasi
data proses urbanisasi yang berkaitan dengan penyebab banjir, sehingga tidak
mudah diakses/dimobilisasi oleh netizen dalam proses repolitisasi.
Berbeda dengan Ganjar yang melihat netizen sebagai “selalu tertarik me-
ngomentari dari hal yang negatif”, kami secara serius menyimak “negativisme”
netizen tersebut. Secara serius maksudnya, kami melihat negativisme netizen
sebagai sudut pandang kritis dari netizen – kritisisme netizen. Secara kualitatif
kami menggunakan kritisisme netizen yang memandang bahwa banjir di ka-
wasan Semarang terjadi bukan hanya karena curah hujan yang ekstrim dan
pompa yang tidak berfungsi atau tidak cukup kapasitasnya, tapi juga karena
proses urbanisasi. Kami menggunakannya sebagai pintu masuk untuk me-
nganalisis perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat DAS di Kota Semarang.
Dengan kata lain, netizen dengan kritisismenya adalah mitra metodologis kami.
Kritisisme netizen membantu kami merumuskan pertanyaan dalam proyek

_____
1 Misalnya: Sumiyadi (2017) Analisis Dampak Perubahan Tataguna Lahan Sub DAS Beringin
di Bukit Semarang Baru Terhadap Peningkatan Debit Sungai Beringin Kota Semarang.
Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan 19(1): 31-8.

9
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

penelitian ini. Bagi kami, ini adalah proses “memproduksi pengetahuan ber-
sama kritisisme netizen.”
Dengan menyebutkan demikian, bukan berarti semua proses riset dalam
proyek ini kami kerjakan dengan bergandengan tangan atau bersama-sama
dengan netizen (terutama netizen yang kami kutip dalam naskah ini). Perlu
ditegaskan, yang akan kami kerjakan adalah “memproduksi pengetahuan
bersama kritisisme netizen,” bukan “memproduksi pengetahuan bersama neti-
zen.” Jadi, yang menetap dalam semua proses riset dalam proyek ini bukan
netizen, tapi kritisisme netizen. Dengan kata lain, yang kami ambil/bawa dan
selamanya akan menjadi bagian dari semua proses dan produk riset ini adalah
kritisisme netizen yang telah memberikan energi/kemampuan bagi kami untuk
memahami permasalahan; dan sebaliknya, kami berharap produk yang di-
hasilkan dari proyek riset ini kelak dengan satu dan/atau berbagai cara akan
memberikan energi/kemampuan bagi kritisisme netizen yang lebih tajam.
Kritisisme netizen menjadi pemicu yang sangat kuat bagi penelitian ini.
Karena itu, proyek ini bertujuan untuk melakukan dokumentasi, re-
organisasi, re-interpretasi dan re-visualisasi faktor-faktor penyebab banjir Kota
Semarang dengan perhatian khusus pada urbanisasi di tingkat DAS dengan
pertanyaan induk: Bagaimana proses urbanisasi DAS di Semarang memperparah
risiko banjir, didepolitisasi, dan direpolitisasi? Pertanyaan induk tersebut akan
dipecah menjadi anak pertanyaan: 1) proses urbanisasi DAS apa saja yang
berhubungan dengan meningkatnya risiko banjir?; 2) bagaimana proses urbanisasi
itu didepolitisasi?; dan 3) bagaimana proses urbanisasi itu dapat didokumentasi-
kan; diorganisasikan, diinterpretasikan, dan divisualisasikan ulang untuk keperlu-
an repolitisasi produksi momen dan solusi terhadap banjir di kawasan Semarang
dan sekitarnya?
Buku ini mendokumentasikan; melakukan re-organisasi, re-interpretasi,
dan re-visualisasi proses urbanisasi dalam hubungannya sebagai faktor penye-
bab banjir Semarang; dan merepolitisasi lebih lanjut penyebab (dan solusi
terhadap) banjir Semarang.
Untuk menjawab pertanyaan riset, kami menggunakan teori ekologi poli-
tis urbanisasi (political ecology of urbanization/PEU), yang secara khusus akan
dijelaskan pada Bab 2. Dalam proyek ini kami menggunakan lensa teori PEU
untuk membuka relasi-relasi dalam proses urbanisasi yang telah menyebab-
kan semakin meningkatnya risiko banjir di Semarang. Kami memakai DAS yang
duduk di Semarang sebagai unit spasial untuk secara kronologis dianalisis per-
kembangan pertumbuhan kota yang duduk di dalamnya, dan dilihat kaitannya
dengan bagaimana momen banjir tercipta. DAS dipilih sebagai unit spasial

10
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

untuk dianalisis karena DAS adalah area yang membentuk pola aliran, bagai-
mana dan kemana air akan mengalir atau menggenang.12
Pada Bab 3 kami akan menjelaskan metodologi yang kami gunakan dalam
menggarap pekerjaan ini, yaitu “terkoordinasi sekaligus terpisah.” Terkoor-
dinasi di sini mengacu pada proses-proses yang kami lakukan (menyusun pro-
posal, metodologi, analisis, dan kesimpulan). Sementara terpisah mengacu
pada pendalaman masing-masing DAS oleh masing-masing periset, yang
disampaikan dalam Bab 4-8.
Bab 9 berisi percobaan-percobaan yang kami lakukan melalui media
sosial dalam melakukan re-visualisasi terhadap momen banjir Semarang. Bab
10 adalah laporan (keuangan) yang terutama kami tujukan kepada para
donatur yang telah menyumbang dana untuk terselenggaranya penelitian ini.
Peran mereka sangat vital dalam proses penyusunan buku ini. Buku ini ditutup
dengan Bab 11, kesimpulan.

_____
1 Lihat pemaparan tentang DAS, misalnya di: https://www.usgs.gov/special-topic/water-
science-school/science/watersheds-and-drainage-basins?qt-science_center_objects=0#q
t-science_center_objects [diakses pada 7 November 2021].

11
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

12
BAB II
Ekologi politis urbanisasi1

II.1. Pengantar

Ekologi politis memulai debutnya di daerah pedesaan “dekat-Selatan”2 sebagai


pendekatan ekonomi politik untuk merepolitisasi atau mengkonfrontasi ketim-
pangan dalam produksi lingkungan (Blaikie 19853; Blaikie and Brookfield, 1987:
174; Bryant and Bailey, 19975; Robbins, 20126). Ekologi Politis sudah direnovasi
dengan pertautan yang eksplisit dengan teori-teori sosiospasial seperti skala,

_____
1 Versi lain dari naskah ini: Batubara B (sedang di-review, Oktober 2021) Political Ecology of
Urbanization. International Journal of Urban and Regional Research, seksi “Intervention”.
2 “dekat-Selatan” (near-South) adalah alat untuk menyebutkan kawasan yang selama ini di-
kenal dengan Belahan Bumi Selatan (Global South), dimana imajinasi tentang pembangun-
an dibatasi oleh kondisi pembangunan Belahan Bumi Utara (Global North), dengan sebuah
kesadaran bahwa tak ada kebutuhan bagi yang pertama untuk mengikuti yang kedua
(Simone 2014).
3 Blaikie P (1985) The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries. New York:
Longman.
4 Blaikie P and Brookfield H (1987) Land Degradation and Society. New York: Methuen &
Co.Ltd.
5 Bryant RL and Bailey S (1997) Third World Political Ecology. London: Routledge.
6 Robbins P (2012) Political Ecology. Second edition. West Sussex: John Wiley & Sons.

13
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

kawasan/region, dan bentang alam (landscape) (Neumann, 20091; 20102,


20113), dan relasi alam-manusia (Neumann 2009 and 2010; Turner 20144;
Loftus 20205), serta sudah diidentifikasi bagaimana ia mengidap ketimpangan
dalam proses produksinya, dimana sebagian besar penulis-penulis ekologi po-
litis awal adalah laki-laki dan kulit putih (Sultana 2021).6 “Hadiah dari studi
perkotaan” (Robbins, 2021: 72)7 mengurbanisasikan ekologi politis menjadi
ekologi politis perkotaan (UPE) untuk menjelaskan ketimpangan baik dalam
proses produksi maupun dalam produknya, yaitu kondisi sosioalamiah per-
kotaan (Swyngedouw, 1996).8 “Proses pengayaan teori yang saling menghor-
mati antara para ahli” (Tzaninis, dkk., 2020: 5)9 telah memperkaya UPE dengan
teori Marxist dan teori jaringan dan aktor (Actor Network Theory/ANT) (Heynen
2014)10, dan ia diproyeksikan untuk menjadi lebih praksis melalui pertautan
saling memperkaya dengan teori-teori ekologi ras (Heynen, 2015)11, feminisme
dan queer (Heynen, 2017).12 Namun UPE juga sudah dikritik karena dianggap
mengidap penyakit berbahaya yang disebut “bias metodologi perkotaan”
(methodological cityism), dimana ia memberikan perhatian yang sangat melim-
pah pada apa yang dianggap sebagai kota, namun kurang pada proses ur-
banisasi. Karena itu, ia disarankan untuk berubah/bergerak ke arah ekologi
politis urbanisasi (political ecology of urbanization, PEU), yang dilengkapi dengan

_____
1 Neumann RP (2009) Political ecology: theorizing scale. Progress in Human Geography
33(3): 398-406.
2 Neumann RP (2010) Political ecology II: theorizing region. Progress in Human Geography
34(3): 368-374.
3 Neumann RP (2011) Political ecology III: Theorizing landscape. Progress in Human Geogra-
phy 35(6): 843-850.
4 Turner MD (2014) Political ecology I: An alliance with resilience? Progress in Human Geo-
graphy 38(4): 616-623.
5 Loftus A (2020) Political ecology III: Who are ‘the people’? Progress in Human Geography
44(5): 981-990.
6 Sultana F (2021) Political ecology 1: From margins to center. Progress in Human Geography
45(1): 156-165.
7 Robbins P (2012) Political Ecology. Second edition. West Sussex: John Wiley & Sons.
8 Swyngedouw E (1996) The city as a hybrid: On nature, society and cyborg urbanization.
Capitalism Nature Socialism 7: 65-80.
9 Tzaninis Y, Mandler T, Kaika M, Keil R. (2020) Moving urban political ecology beyond the
‘urbanization of nature.’ Progress in Human Geography 45(2): 229-252.
10 Heynen N (2014) Urban Political Ecology I: The urban century. Progress in Human Geogra-
phy 38(4): 598-604.
11 Heynen N (2015) Urban Political Ecology II: The abolitionist century. Progress in Human
Geography 40(6): 839-845.
12 Heynen N (2017) Urban Political Ecology III: Feminist and queer century. Progress in Hu-
man Geography 42(3): 446-452.

14
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

alat analisis berupa momen sosiospasial dan sosioalamiah (Angelo and


Wachsmuth, 2015).1
Supaya bertaut dengan tradisi ekonomi politik dari ekologi politis, tulisan
ini memperkaya PEU dengan teori-teori Marxist. Pertama, dengan cara mendis-
kusikan lebih jauh kritik “bias teori perkotaan” dari Angelo and Wachsmuth
(2015) terhadap UPE. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kritik itu memiliki
tendensi mengabaikan momen sosioalamiah, juga untuk memasukkan secara
eksplisit blok teoretis ketimpangan ke dalam PEU. Kedua, dengan cara mema-
parkan kombinasi tiga konsep berupa momen ketimpangan, sosiospasial, dan
sosioalamiah bagi PEU. Bagian terakhir bab ini akan menyimpulkan dan men-
jelaskan bagaimana ia dipakai dalam buku ini.

II.2. Meng-ekologi-kan ketimpangan dalam PEU: Sebuah kritik terhadap


bias spasial dalam metodologi.

Artikel Angelo dan Wachsmuth (2015) Urbanizing urban political ecology: A criti-
que of methodological cityism mere-urbanisasi UPE menjadi PEU, dan membuka
jalan bagi analisis yang tidak-sekadar-kota untuk menghindari analisis
sekadar-kota yang sangat berbahaya – dapat melokalisasi suatu masalah di
dalam kota. Bagi mereka UPE atau PEU harus melakukan analisis terhadap
proses urbanisasi baik sebagai momen sosioalamiah yang menandai ketakter-
pisahan manusia dan non-manusia, maupun sebagai momen sosiospasial
yang merupakan proses dimana ruang di bawah kapitalisme direkonfigurasi,
dan ini sekaligus menandai bahwa proses urbanisasi tidak memiliki batasan.
Artikel Angelo dan Wachsmuth (2015) sudah ditantang oleh Connolly (2018)2
yang menunjukkan bahwa ada elemen dari UPE yang melakukan analisis yang
tak-sekadar-kota dan memberikan perhatian pada proses urbanisasi. Selain
itu, Swyngedouw (1997: 75 dan 77)3 sendiri menggunakan UPE dan PEU secara
bergantian ketika ia secara mendalam mempelajari ekologi politis urbanisasi
air di Guayaquil, Ekuador, dan sekitarnya. Namun, tak bisa dipungkiri, proposal
Angelo dan Wachsmuth (2015) untuk menggunakan momen sosioalamiah dan
sosiospasial sebagai teori penjelas sangatlah penting untuk diperdalam.

_____
1 Angelo H and Wachsmuth D (2015) Urbanizing urban political ecology: A critique of metho-
dological cityism. Int J Urban Regional 39 (1) 16-27.
2 Connolly C (2018) Urban political ecology beyond methodological cityism. International
Journal of Urban and Regional Research 43(1): 63-75.
3 Swyngedouw E (1997) Power, nature, and the city. The conquest of water and the political
ecology of urbanization in Guayaquil, Ecuador: 1880-1990. Environment and Planning A
29: 311-332.

15
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Dalam membuat kritik mereka, Angelo and Wachsmuth (2015) dibesarkan


dalam satu ruang pengetahuan tentang urbanisasi yang sedang tumbuh ber-
nama planetary urbanization (PU, urbanisasi di level planet), lihat volume yang
diedit oleh Neil Brenner [2014])1, dengan pemunculan kembali teori sosiospa-
sial urbanisasi sebagai visi utamanya. Itu adalah sebuah pemunculan kembali
karena penyangga utamanya adalah hipotesis lama Henri Lefebvre (2014
[1970]: 36)2 bahwa “masyarakat sudah terurbanisasi sepenuhnya.” Angelo dan
Wachsmuth (2015: 16) secara terbuka menyatakan bahwa “era baru teori
urbanisasi level planet” sebagai konteks temporal dari kritik mereka terhadap
UPE. Persis pada titik ini, saya (Bosman) memiliki pendapat yang berbeda.
Sebagai hasil dari kritik bias metodologi perkotaan, kelihatannya yang terjadi
adalah Angelo dan Wachsmuth (2015: 16) secara tidak sengaja sebenarnya
sedang menunjukkan sisi yang lain dari satu keping logam yang sama: bahwa
teori sosiospasial urbanisasi kurang bersentuhan dengan materialitas atau
agensi non-manusia. Dengan kata lain, dalam usahanya untuk menekankan
momen sosiospasial untuk menganalisis proses urbanisasi yang bekerja me-
lampaui apa yang selama ini dikenal dengan kota, mereka juga memperlihat-
kan kecenderungan teori sosiospasial urbanisasi mengabaikan momen sosio-
alamiah.
Untuk lebih meyakinkan soal poin ini, saya berpendapat bahwa para
penulis yang mengawali era kemunculan kembali teori sosiospasial urbanisasi,
seperti Brenner dan Schmid (2015)34, tidak secara eksplist menjelajahi momen
sosioalamiah dalam tulisan mereka. Tentu saja, dalam beberapa kesempatan,
Brenner dan Schmid (2015: 155 dan 169), menyebut “proses-proses ekologi”
dan “kondisi-kondisi sosial-ekologis.” Namun, dapat dikatakan bahwa inti dari
pengetahuan mereka adalah restrukturisasi/dinamika sosiospasial. Dan
memang, teori-teori sosiospasial dikonsep untuk menjelaskan bagaimana
ruang direkonfigurasi dalam berbagai relasi seperti teritori, tempat, skala, dan
jaringan dalam kerangka perkembangan kapitalisme kontemporer. Meletak-
kan mereka sebagai satu cara padang pada dasarnya adalah satu cara untuk
mengatasi cara pandang berdimensi tunggal dalam memahami rekonfigurasi
sosiospasial, yaitu: bias metodologis karena teritorialisme, tempat-, skala-, dan

_____
1 Brenner N (ed.) (2014) Implosions/Explosions: Towards A Theory of Planetary Urbaniza-
tion. Berlin: Jovis.
2 Lefebvre H (2014[1970]). From the city to urban society. In N. Brenner (ed.), Implo-
sions/Explosions: towards a theory of planetary urbanization. Berlin: Jovis, pp. 36-51.
3 Brenner N and Schmid C (2015) Towards a new epistemology of the urban. City 19: 151-
82.

16
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

jaringan-sentrisme (Jessop dkk., 2008: 391).1 Singkatnya, teori sosiospasial


urbanisasi tidak banyak mengeksplorasi momen sosioalamiah. Oleh sebab itu,
untuk membawa maju PEU, diperlukan satu langkah mundur. Gunanya untuk
mengingat kembali bahwa momen sosioalamiah selalu sentral dalam PE
(Neumann 2009 dan 2010; Turner 2014; Bridge dkk., 20152; Loftus 2020). Kon-
sekuensinya, ini menjadi alasan yang bagus untuk mengeset satu agenda
“meng-ekologi-kan PEU: sebuah kritik terhadap metodologi spasialisme.”
Mengekologikan di sini, maksudnya adalah untuk secara eksplisit menghargai
proposal Angelo dan Wachsmuth (2015), mengawinkan hubungan antara
sosiolamiah yang diperkenalkan oleh Swyngedouw (1996) dengan dinamika
sosiospasial dari Brenner dan Schmid (2015).
Yang ada pada proposal awal UPE pada dasarnya bukanlah hanya mo-
men sosioalamiah dan sosiospasial, setidaknya dalam bacaan saya. Merepoliti-
sasi atau mengkonfrontasi ketimpangan dalam produksi lingkungan adalah
motivasi utama para pemikir dalam PE (Blaikie and Brookfield, 1987; Bryant
and Bailey, 1997; Robbins, 2012; Bridge dkk., 2015). Demikian juga halnya
dengan UPE. Lapisan ketimpangan, atau “pengistimewaan dan eksklusi” dan
“partisipasi dan peminggiran” ada dalam proposal awal UPE yang diajukan oleh
Swyngedouw (1996: 65).

II.3. Tiga perangkat konsep untuk PEU

Berdasarkan metamorfosis dari PE ke UPE dan ke PEU serta kritik terhadap


metodologi spasialisme yang disampaikan di atas, dalam bagian ini saya akan
memaparkan tiga perangkat teori berupa momen ketimpangan, sosiospasial,
dan sosioalamiah untuk menjadi aparatus konsep bagi PEU.

Momen ketimpangan

Momen ketimpangan sudah menjadi subyek yang dipelajari oleh Marx (Marx
dan Engels, (2008[1848]3; Marx, 1982[867]4) dan Marxis (Trotsky, 19305; Smith,

_____
1 Jessop B, Brenner N and Jones M (2008) Theorizing sociospatial relations. Environment and
Planning D: Society and Space 28: 389-401.
2 Bridge G, McCharty J and Perreault T (2015) Editors' Introduction. In Perreault T, Bridge G
and McCharty J (eds.) The Routledge Handbook of Political Ecology. New York: Routledge,
pp: 3-18.
3 Marx K and Engels F (2008[1848]) The Manifesto of the Communist Party. London: Pluto
Press.
4 Marx K (1982[1867]) Capital: A Critique of Political Economy. Volume I. Great Britain:
Penguin Books Ltd.
5 Trotsky L (1930) The History of the Russian Revolution (Volume 1). Marxist Internet Archive.
Available at: https://www.marxists.org/archive/trotsky/1930/hrr/.

17
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

2008[1984]1; Harvey, 20042; 20053; Brenner, 20094). Sebagai bagian dari kelom-
pok ini, pekerjaan Neil Smith sangat layak diberi perhatian khusus karena
intervensinya melalui “teori tentang produksi skala geografis” yang membuat
percakapan di antara mereka semua menjadi masuk akal.
Urbanisasi kapitalis selalu berproses dengan timpang (pembangunan
yang timpang). “Bibit dari teori pembangunan yang timpang dan terkombinasi”
(Goonewardena, 2014: 222)5 dapat ditemukan dalam karya Marx and Engels
(2008[1848]) melalui eksplorasi mereka terhadap hubungan-hubungan kota-
desa dan kolonialisme. Dalam Capital I, Marx (1982[1867]: 472) menjelaskan
bahwa kerja kapital, yaitu “memisahkan kota dan desa,” adalah dasar dari pem-
bagian kerja secara sosial. Ia membentuk dan dibentuk oleh pembangunan
dengan karakter yang khas, yaitu pembangunan kapitalisme yang dimediasi
oleh eksploitasi terhadap buruh dan pertukaran komoditas. Marx mengakhiri
Capital I dengan diskusi tentang kolonialisme modern dimana penjajah melak-
sanakan kolonialisasi sistematis dengan cara memisahkan orang yang dijajah
dari tanah mereka dan mengubah mereka menjadi buruh. Dengan kata lain,
itu adalah sebuah aksi mengubah atau menyerap yang terjajah ke dalam moda
produksi kapitalisme yang lebih luas. Yang terjajah diproduksi untuk meme-
nuhi kebutuhan penjajah. Hubungan-hubungan kapital-buruh, kota-desa, dan
penjajah-terjajah adalah ekspresi-ekspresi ketimpangan dalam moda produksi
kapitalisme.
Trotsky (1930) merumuskan pembangunan yang timpang dan terkombi-
nasi (uneven and combined development) sebagai pertemuan antara hukum ke-
timpangan dengan hukum kombinasi pembangunan dalam sejarah pemba-
ngunan dari sebuah bangsa. Ketimpangan, menurut Trotsky, adalah ciri umum
dalam proses sejarah, dan itu paling mudah terlihat di negara yang terbela-
kang seperti Rusia apabila diukur dalam kerangka pembangunan kapitalistik.
Secara geografis, Rusia berada di antara Eropa Barat dan Asia. Di satu sisi,
pembangunan kapitalistik (di bidang militer, industri, dan bisnis) di Eropa Barat
pada sekitar Abad XVIII memaksa Rusia untuk mengikuti jalan itu. Di sisi lain,
perkembangan kapitalisme yang lebih lamban di Asia juga memengaruhi per-

_____
1 Smith N (2008[1984]) Uneven Development: Nature, Capital, and the Production of Space
(3rd edition). London: The University of Georgia Press.
2 Harvey D (2004) Spaces of neoliberalization: Towards a theory of uneven geographical
development. Műnchen: Franz Steiner Verlag.
3 Harvey D (2005) A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press: Oxford.
4 Brenner N (2009) A thousand leaves: Notes on the geographies of uneven spatial
development. In Roger Keil and Rianne Mahon (eds.) Leviathan Undone? Towards a
Political Economy of Scale. Vancouver: UBC Press, pp.27-50.
5 Goonewardena K (2014) The country and the city in the urban revolution. In Brenner N
(ed.) (2014) Implosions/Explosions: Towards A Theory of Planetary Urbanization. Berlin:
Jovis, pp. 218-235.

18
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

kembangan di Rusia. Sebagai contoh, perkembangan sektor pertanian di Rusia


dipengaruhi oleh modernisasi di Eropa Barat, dan di sisi lain, juga oleh karakter
nomaden di Asia. Tidak seperti di Eropa Barat yang perkembangan kapitalis-
menya didominasi oleh industrialisasi yang menciptakan perubahan populasi
menjadi proletariat dan ruang menjadi konsentrasi kapital, di Rusia perkemba-
ngan kapitalisme terhalangi oleh tradisi nomaden yang hidup dalam bagian-
bagian tertentu populasi. Ketimpangan sejarah di Rusia, dengan demikian,
dicirikan oleh kombinasi ini: pergerakan yang intensif dan lamban ke arah
pembangunan kapitalistik. Hukum pembangunan yang timpang dan terkom-
binasi berarti, meminjam kata-kata Trotsky (1930: 37), adalah “percampuran
yang khusus antara elemen keterbelakangan dengan faktor-faktor yang paling
modern” dalam perkembangan kapitalisme.
Smith (2008[1984]) menggunakan istilah “ketimpangan” (uneven) untuk
menyusun teori “pembangunan yang timpang” (uneven development). Bagi
Smith (2008[1984]) pembangunan yang timpang adalah manifestasi dari
bagaimana akumulasi kapital bergerak melalui produksi alam/ruang di bawah
kapitalisme, dengan juga melibatkan tendensi-tendensi yang saling meme-
ngaruhi secara mutual antara diferensiasi (pembedaan) dan ekualisasi (penya-
maan) yang melintasi berbagai skala geografis. Bagi Smith, corak produksi
kapitalisme selalu bergerak dengan memproduksi ketimpangan. Ini dapat
dipahami dari proses yang bekerja yang menimbulkan kontradiksi internal
dalam kapitalisme. Pembangunan yang timpang di bawah kapitalisme ber-
gerak dengan hukum-hukum konsentrasi dan sentralisasi kapital untuk babak-
babak tanpa ujung akumulasi kapital. Hukum konsentrasi kapital bekerja seca-
ra spasial mengkonsentrasikan buruh, alat produksi, dan uang-kapital pada
suatu area geografi tertentu. Hukum sentralisasi kapital bekerja dengan me-
musatkan nilai-guna/pakai di tangan semakin sedikit kapitalis.1 Sebagai contoh
adalah pemusatan kepemilikan atau kontrol terhadap tanah/lahan di tangan
semakin sedikit kapitalis. Keduanya, hukum konsentrasi dan sentralisasi kapi-
tal, secara dinamis bekerja untuk akumulasi kapital. Akumulasi kapital di satu
sisi, berarti juga adalah kekurangan kapital di sisi yang lain. Inilah wajah kronis
dari pembangunan yang timpang di bawah kapitalisme menurut Smith
(2008[1984]).
David Harvey menggunakan istilah “uneven” dalam teori “pembangunan
geografis yang timpang” (uneven geographical development). Dia menjelaskan-
_____
1 Menurut Marx (1982[1867]), nilai-guna/pakai berarti kegunaan sesuatu. Misalnya, sebuah
meja berguna untuk tempat makan atau menulis. Nilai-tukar adalah kemampuan sesuatu
untuk dipertukarkan yang dinyatakan dalam nilai yang ditentukan. Nilai-lebih adalah
obyektivikasi kerja-lebih buruh di dalam komoditas. Dalam pabrik, nilai-lebih dieksploitasi
oleh kapitalis dari waktu kerja-lebih buruh dalam proses produksi. Sebuah contoh adalah
meja di pasar, yang sekaligus dapat mengandung nilai-guna/pakai, -tukar, dan -lebih.

19
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

nya dalam kerangka perbedaan kemakmuran, ketimpangan geografis dan


sosial, dan distribusi yang timpang dalam hal penurunan kualitas lingkungan
dan penggusuran. Analisis Harvey dalam teori pembangunan geografis yang
timpang berjangkar pada perbedaan-perbedaan antar negara-bangsa. Dia
memotret pembangunan geografis yang timpang sebagai dampak dari neo-
imperialisme (Harvey 2004) dan neoliberalisme (Harvey 2005).
Brenner (2009) merumuskan istilah “pembangunan sosiospasial yang
timpang” (uneven sociospatial development) untuk menjelaskan dinamika sosio-
spasial di bawah pembangunan kapitalistik yang timpang. Dalam kesempatan
ini, sudah cukup untuk menyatakan bahwa dinamika-dinamika sosiospasial
yang dimaksud oleh Brenner (2009) mengacu pada momen-momen sosio-
spasial dengan pertautan yang spesifik dengan teori Neil Smith tentang pem-
bangunan yang timpang.
Pembedaan yang dilakukan oleh Marx dan Engels (2008[1848]) dan Marx
(1982[1867]) antara kapitalis dan buruh, antara kota dan desa, antara terjajah
dan penjajah; pembedaan melalui teori pembangunan yang timpang dan ter-
kombinasi oleh Trotsky (1930); teori pembangunan yang timpang oleh Smith;
teori pembangunan geografis yang timpang oleh David Harvey; dan teori
pembangunan sosiospasial yang timpang oleh Brenner, memiliki kesamaan
dalam hal mesin utama yang memproduksi ketimpangan, yaitu corak produksi
kapitalisme.
Karena pekerjaan yang sistematik dan kuat dalam menyusun teori pem-
bangunan yang timpang, maka perhatian khusus sangat layak dialamatkan
pada Smith (1984[2008]). Hal yang membuat teori Smith (1984[2008]) tentang
pembangunan kapitalistik yang timpang berbeda dari yang lain adalah inter-
vensinya melalui teori skala geografis yang membantu untuk memahami dan
merekonstruksi percakapan antara berbagai skala ketimpangan. “Teori pro-
duksi skala geografis” muncul pertama kali sebagai “skala spasial” dalam
Uneven Development (Smith 1984[2008]: 175-205), diracik pertama sebagai
“teori produksi skala geografis” (Smith 1992: 72)1, dan berikutnya didetilkan ke
dalam skala kota (Smith 1996)2, bangsa/nasional (Smith 19953 dan 20044), dan

_____
1 Smith N (1992) Geography, difference and the politics of scale. In Doherty J, Graham E and
Malek M (eds.) Postmodernism and the Social Sciences. New York: St. Martin's Press,
pp.57-79.
2 Smith N (1996) The New Urban Frontier: Gentrification and the Revanchist City. London:
Routledge.
3 Smith N (1995) Remaking scale: competition and cooperation in prenational and post-
national Europe. In Batten DF, Fischer MM, Hewings GJD, Nijkamp P and Snickars F (eds.)
Advance in Spatial Science: Competitive European Peripheries. Berlin: Springer, pp.59-74.
4 Smith N (2004) Scale bending and the fate of the national. In Sheppard E and McMaster
RB (eds.) Scale and Geographic Inquiry: Nature, Society, and Method. Oxford: Blackwell
Publishing, pp.192-212.

20
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

global (Smith 2005)1. Bagi Smith, karena itu, teori produksi skala geografis
bukan hanya sebagai “kontribusi dalam hidupnya” (Jones III dkk., 2016: 138)2
terhadap perkembangan ilmu geografi, tapi juga sekaligus sebagai teori yang
memandu perjalanan karir ke-geografi-annya. Di bawah pembangunan kapi-
talistik yang timpang, skala geografis adalah “organisasi” (Smith, 2008[1984]:
181) sekaligus sebagai “hasil” (Jones III dkk., 2016: 2) dari proses. Smith (1993) 3
mengidentifikasi berbagai level skala yang dikonstruksi secara sosial: tubuh,
rumah, komunitas, kota, kawasan, bangsa, dan global. Menurut Smith (2008
[1984]) paket yang paling utama dari skala yang merupakan ciri khas dari
pembangunan yang timpang di bawah kapitalisme adalah: kota, negara-
bangsa, dan global. Kapitalisme tumbuh terutama di dalam tiga set skala
geografis ini. Skala kota diwarisi dari kota pra-kapitalis – sebagai produk dari
pembedaan/diferensiasi antara kota dan pedesaan, sebagai lokasi konsentrasi
buruh, alat produksi, dan sebagai lokasi dari sentralisasi nilai-guna/pakai di
tangan semakin sedikit kapitalis – dan ia mencapai puncak perkembangannya
di bawah pembangunan kapitalistik yang timpang. Skala negara-bangsa, lebih
politis namun tak kurang ekonomisnya. Ia merupakan produk diferensiasi
dalam pengertian internasionalisasi kapital sekaligus juga adalah nasionalisasi
kapital. Karena itu, sebagai contoh, kita mengenal kapital yang berbasis di AS
dan perusahaan Spanyol. Skala global adalah produk dari tendensi pe-
nyamaan/ekualisasi di bawah pembangunan yang timpang, dimana mulai dari
DNA sampai Bumi secara global dan bahkan ruang angkasa, diekualisasi/
disamakan menjadi komoditas.
Dengan menggunakan teori produksi skala geografis dari Smith, maka
saya sekarang bisa menjelaskan bahwa relasi timpang antara kota dan desa
yang disampaikan Marx dan Engels’s (2008[1848]) dan Marx’s (1982[1867]),
pembangunan yang timpang dan terkombinasi yang dibahas Trotsky (193),
dan relasi kota dan non-kota yang dibahas Brenner (2009), pada dasarnya
adalah ekspresi ketimpangan di dalam sebuah negara-bangsa. Cara berfikir
yang sama berlaku untuk memahami analisis tentang kolonialisme yang
disampaikan oleh Marx dan Engels (2008[1848]) dan Marx (1982[1867]), dan
analisis tentang imperialisme dan neoliberalisme yang disampaikan Harvey
(2003; 2004; 2005), adalah cara untuk mengekspresikan ketimpangan dalam
pembangunan kapitalistik pada skala global, terutama hubungan-hubungan

_____
1 Smith N (2005) The Endgame of Globalization. New York: Routledge.
2 Jones III JP, Leitner H, Marston SA and Sheppard E (2016) Neil Smith's Scale. Antipode
49(S1): 138-152.
3 Smith N (1993) Homeless/global: scaling places. In. Bird J, Curtis B, Putnam T, Robertson G
and Tickner L (eds.) Mapping the Futures: Local Cultures, Global Changes. London: Taylor
& Francis e-Library, pp.87-120.

21
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

antara negara-bangsa. Kontradiksi antara buruh dan kapital dapat bergerak


dalam atau melewati kota dan negara-bangsa.
Dalam kasus banjir di Semarang, seperti yang akan diperlihatkan dalam
bab-bab buku ini, ketimpangan termanifestasikan secara cukup nyata. Orang/
kelompok yang mengontrol perubahan lingkungan seperti para pengembang
justru adalah orang yang mendapatkan keuntungan. Yang menjadi korban
banjir terutama adalah warga kebanyakan (yang bukan pengembang). Tabel
II.1 menyarikan bagaimana mereka menjelaskan ketimpangan di bawah kapi-
talisme.

Tabel II.1: Ketimpangan di bawah kapitalisme.

Ketimpang- Marx dan Trotsky (1930) Smith Harvey (2004; Brenner


an di bawah Engels (1984[2008]) 2005) (2009; dan
kapitalisme (2008[1848]) 2014)
dan Marx
(1867[1982])
Teori Kapital Pembangunan Pembangunan Pembangunan Pembangunan
yang timpang yang timpang geografis yang spasial yang
dan terkombi- timpang timpang
nasi
Pemikiran Kontradiksi Ketimpangan Produksi Kesejahteraan Belakangan
kunci kapital dan sebagi ciri alam/ruang dikembangkan
Degradasi
buruh kesejarahan menjadi
Dialektika lingkungan
epistemologi
Hubungan Perkembang- differensiasi/e
Penggusuran urbanisasi
yang timpang an kapitalisme kualisasi
sosial yang terkon-
antara kota yang cepat
Skala sentrasi,
dan pedesaan dan lambat Neo-imperial-
geografis diperluas, dan
isme dan neo- berbeda
Kolonialisme
liberalisme

Momen sosiospasial

Momen sosiospasial berperan kunci dalam teori urbanisasi Marxis. Brenner


dan Schmid (2015) mengidentifikasi bahwa pemahaman yang mapan tentang
apa yang disebut perkotaan (urban) tak lebih dari sebuah ruang yang dibatasi.
Menurut mereka, cara memahami perkotaan seperti ini jauh dari cukup karena
proses-proses pengkotaan tidaklah dibatasi oleh batas-batas kota. Mereka
mengajukan cara lain untuk memahami perkotaan bukan sebagai kota berupa
ruang yang dianggap sudah permanen atau pasti, tapi melalui proses
urbanisasi yang memproduksi sebuah kota. Kota dan non-kota dengan demi-

22
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

kian terhubungkan melalui berbagai sambungan seperti aliran air, buruh, dan
kapital-uang.
Pemahaman yang diperluas tentang perkotaan ini adalah salah satu
komponen dari “epistemologi perkotaan” yang digagas oleh Brenner dan
Schmid (2015) dimana mereka mengajukan pemahaman tentang urbanisasi
melalui momen-momen yang saling menyusun, berupa urbanisasi terkonsen-
trasi, diperluas, dan berbeda. Urbanisasi terkonsentrasi adalah momen per-
tumbuhan kota membentuk sebuah konsentrasi spasial. Urbanisasi yang di-
perluas adalah kebalikannya: kota tumbuh jauh dari batas administratifnya
dan mengoperasionalisasikan non-kota. Momen urbanisasi yang berbeda ada-
lah momen penciptaan ketimpangan, dimana kota dan non-kota secara “krea-
tif dihancurkan” dan secara “radikal dibentuk ulang” (Brenner dan Schmid,
2015: 168) sebagai bagian dari tendensi krisis yang inheren pada proses
urbanisasi.
Epistemologi dinamika sosiospasial yang disampaikan oleh Brenner dan
Schmid (2015) ini terinspirasi oleh, berakar pada, atau beresonansi dengan
kerja Manuel Castells (1976)1, Henri Lefebvre (20002 dan 20033), dan Marx dan
Engels (2008[1848]).
Dalam Urban Question, Castells (1976: 379-392) mengidentifikasi makna
yang beragam dari krisis perkotaan, yaitu krisis dalam sektor pelayanan seperti
akses terhadap air dan pendidikan, ketidakmampuan pemerintah menyedia-
kan fasilitas publik, demo oleh kelompok-kelompok miskin kota, dan dampak-
dampak dari krisis ekonomi terhadap organisasi kota dan pelayanan publik-
nya. Dia menunjuk pada proses metropolisasi, sub-urbanisasi, dan fragmen-
tasi sosial-politik sebagai artikulasi sosiospasial dari pembangunan yang
timpang dimana krisis perkotaan lahir di berbagai kota di Amerika Serikat
pasca Perang Dunia II . Metropolisasi adalah konsentrasi sosiospasial kapital
terhadap alat produksi dan buruh pada area geografi yang spesifik. Suburbani-
sasi adalah desentralisasi selektif perkembangan kota, dimana aktivitas-
aktivitas bisnis dan administrasi utama tetap berada di pusat kota, sementara
kawasan industri dan perbelanjaan berpindah ke pinggiran. Fragmentasi
sosial-politik mengacu pada bagaimana struktur kembar pusat dan pinggiran
kota diproduksi dan memproduksi struktur sosial dan politik.
Bagi Lefebvre (2000: 65-85), penaklukan kota oleh industrialisasi mem-
produksi krisis-krisis perkotaan (dia sebut sebagai “urban problematique”)
melalui proses ganda pengerutan-ledakan (implosion-explosion). Lefebvre
(2000) tidak secara jelas menyampaikan apa yang dia maksud dengan “indus-

_____
1 Castells M (1976) The Urban Question: A Marxist Approach. London: Edward Arnold.
2 Lefebvre H (2000) Writings on Cities. Massachusetts: Blackwell Publishers Inc.
3 Lefebvre H (2003) The Urban Revolution. Minneapolis: University of Minnesota Press.

23
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

trialisasi”. Oleh karena itu saya menghubungkan industrialisasi ke pendapat


Marx (1978[1885]: 109-179)1 yang mengonsep “kapital industri” sebagai proses
penganakan kapital yang melibatkan sirkulasi kapital-uang, kapital-produktif,
dan kapital-komoditas. Uang menjadi kapital ketika ia ditanamkan pada proses
produksi kapital, untuk membeli alat produksi (energi, mesin, bahan mentah)
dan untuk membayar buruh. Jika Anda menyimpan uang di bawah bantal,
maka itu bukan kapital-uang dalam industri. Kapital-produktif adalah uang
yang dikonsumsi untuk proses produksi, misalnya semua uang yang dipakai
untuk membeli alat produksi dan membayar upah buruh. Komoditas menjadi
kapital ketika ia dijual untuk merealisasikannya ke dalam bentuk uang. Mengi-
kuti penjelasan Marx tentang kapital industri, maka industrialisasi dapat dipa-
hami sebagai proses menciptakan kondisi darimana kapital-industri tumbuh.
Bersamaan dengan proses industrialisasi, menurut Lefebvre (2000: 65-
85), kapitalisme mempertajam perubahan kota dari produk artistik, yang dia
sebut ouvre, ke kota industrial; dari yang diatur oleh nilai-guna/pakai, ke yang
diatur oleh nilai-tukar dan nilai-lebih. Jadi, ouvre-nya Lefebvre menandai bukan
hanya kehidupan sehari-hari sebagai “kerja kesenian” dan kota sebagai “pro-
duk kreativitas,” tapi juga kondisi kota yang belum terkomodifikasi, kondisi
kota yang diatur oleh nilai-guna/pakai. Dalam proses perubahan dari ouvre
menjadi kota industri, cara pandang borjuis menaklukkan ouvre, menggantikan
hubungan sosial yang ada (peranan nilai-guna/pakai, ikatan yang kuat antar
komunitas, penghargaan yang layak/besar pada kerja kesenian) dengan paket
pengetahuan borjuis (pertumbuhan ekonomi/kapital, instrumen untuk me-
nyuburkan pertumbuhan ekonomi, dan peranan nilai-lebih dan nilai-tukar),
dan mengganti orang-orangnya dari misalnya pelukis dan penulis menjadi
kapitalis/entrepreneur. Pengerutan ditandai dengan “konsentrasi maha dah-
syat (dari orang, aktivitas, barang-barang, objek-objek, instrumen-instrumen,
dan pemikiran) realitas perkotaan,” sementara ledakan ditandai oleh “frag-
men-fragmen yang tercecer (pinggiran, kawasan suburbia, villa tetirah, kota-
kota satelit)” (Lefebvre 2003: 14).
Dimensi triad dari teori sosiospasial urbanisasi, yaitu urbanisasi terkon-
sentrasi, diperluas, dan berbeda dari Brenner dan Schmid (2015); metropoli-
sasi, suburbanisasi, dan fragmentasi sosial politik dari Castells (1976); pe-
ngerutan-ledakan dan urban problematique dari Lefebvre (2000), saya lihat
berakar pada atau memiliki perhatian yang sama dengan analisis Marx dan
Engels (2008[1848]: 39-42) tentang bagaimana kawasan pedesaan tersub-
ordinasi oleh kepentingan kota. Di bawah pembangunan kapitalistik, pedesaan

_____
1 Marx K (1978[1885]) Capital: A Critique of Political Economy, Volume II. London: Penguin
Books and New Left Review.

24
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

diperlakukan sebagai ruang operasional yang ditujukan untuk memenuhi


kebutuhan kota dalam hal buruh dan bahan mentah. Dengan kata lain, kota
diekstensi sampai pedesaan. Dengan adanya dominasi borjuis, pembangunan
kapitalistik telah memproduksi kota, yang memiliki “aglomerasi populasi,” “alat
produksi tersentral,” dan “konsentrasi properti di tangan sedikit orang” (Marx
dan Engels, 2008[1848]: 40). Aglomerasi dan ekstensi spasial ini pada akhirnya
berujung pada krisis overproduksi kapitalisme karena di kota sekarang “terlalu
banyak peradaban, terlalu banyak cara bertahan hidup, terlalu banyak
industri, [dan] terlalu banyak aktivitas komersial” (Marx and Engels,
2008[1848]: 42). Tabel II.2 menyarikan dimensi-dimensi dinamika sosiospasial
dalam hal bagaimana urbanisasi dijelaskan.

Tabel II.2: Dinamika-dinamika sosiospasial urbanisasi.

Dimensi-dimensi Marx dan


Lefebvre (2000 Brenner dan
dinamika Engels Castells (1976)
dan 2003) Schmid (2015)
sosiospasial (2008[1848])
Urbanisasi
Konsentrasi Kota Pengerutan Metropolisasi
terkonsentrasi
Pedesaan di
Urbanisasi yang
Ekspansi bawah Ledakan Suburbanisasi
diperluas
kontrol kota
Urban
problematique Krisis pelayanan Urbanisasi yang
Krisis Overproduksi
pada kota perkotaan berbeda/timpang
industri

Momen sosio-alam

Pendapat utama yang berkembang dalam kelompok Marxis tentang hubungan


manusia-alam adalah bahwa masyarakat (manusia) dan alam (non-manusia)
terpilin dalam produksi kapitalis. Erik Swyngedouw (1996) memperkenalkan
istilah “sosioalam” (socionature) untuk mengekspresikan kemenyatuan ini. Sa-
lah satu sumber idenya adalah penjelasan Donna Haraway (1991: 1)1 tentang
“cyborg” sebagai perpaduan mesin dan organisme. Sangat besar kemungkinan
bahwa istilah “sosioalam” yang diperkenalkan oleh Swyngedouw (1996) juga
mendapat inspirasi dari istilah yang dipakai Marx (1982[1867]: 164-5) “sosio-
alamiah” (socio-natural), yang menjelaskan bagaimana produk dari buruh,

_____
1 Haraway DJ (1991) Simians, Cyborg, and Women: The Reinvention of Nature. New York:
Routledge.

25
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

komoditas, “merefleksikan karakter sosial dari tenaga buruh.” Swyngedouw


(1996) menunjukkan bahwa kota modern seperti New York bukanlah kutub
yang berseberangan dari apa yang disebut alam. Kota adalah suatu bentuk
percampuran atau hibridisasi antara yang sosial dan yang alami-ah, menjadi
sosioalamiah.
Swyngedouw (1996) meneorikan sosioalam melalui persinggungan men-
dalam dengan konsep Marx tentang metabolisme. Dia bermaksud untuk mem-
bangun suatu fondasi dimana alam dan sosial saling-silang melalui proses
metabolisme. Dia melengkapi pekerjaannya dengan teori Neil Smith (2008
[1984]) “produksi alam” untuk menjelaskan bagaimana alam adalah proses
historis-geografis, yang diproduksi di bawah kapitalisme. Konsepsi Marx ten-
tang metabolisme, dalam pembacaan Swyngedouw (1996), memiliki ambisi
untuk mengkritik cara pandang borjuis yang memperlakukan alam terpisah
dari manusia, dan ini membuka jalan bagi manusia untuk mendominasi alam
(non-manusia). Namun, pendekatan Marxis seperti teori produksi alam dari
Neil Smith, demikian penjelasan Swyngedouw (1996), sangat berisiko terpe-
rangkap dalam analisis yang berpusat pada buruh, dan karena itu, sangat
berisiko untuk memperkuat cara pandang borjuis yang memperlakukan alam
terpisah dari manusia, dan manusia terpisah dari alam. Teori Neil Smith ten-
tang produksi alam, menurut Swyngedouw (1996: 6) mengandung:

“sebuah paradoks yang menarik. Yang bertahan dalam “produksi-


sosial alam” adalah “determinasi yang kadang tidak dikatakan” dari
hubungan sosial dalam proses produksi; karenanya sangat mudah
terjerembab kembali dalam meletakkan proses-alam di bawah do-
minasi cara pandang yang melihat alam secara eksklusif diproduksi
dan dikontrol secara sosial.”

Swyngedouw (1996) mendorong pengembangan istilah/bahasa untuk melam-


paui konsepsi biner manusia dan alam. Dengan konsep metabolisme sebagai
salah satu sumber inspirasinya, dia menjelajahi proses percampuran/hibridi-
sasi alam dan manusia, dan perubahan praktik budaya melalui konstruksi pe-
mikiran dan bahasa dalam merumuskan representasi praktik, dimana proses
hibridisasi ditangkap melalui kata/bahasa. Dia menjelaskan proses hibridisasi
melalui kombinasi dari pertukaran material dalam hubungan bio-kimia dan
sosial, atau metabolisme sosioalamiah. Baginya, urbanisasi air atau kota
adalah contoh-contoh produksi sosioalam, yang melibatkan banyak tahapan
proses sosio-ekologis, melarutkan yang lokal ke dalam yang global, melalui
gelombang-gelombang jaringan. Swyngedouw (1996: 70) berpendapat bahwa
“ekologi politis” adalah perangkat teoretis untuk menangkap “proses produksi

26
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

jaringan,” dan “sosioalam” adalah istilah untuk “mengacu pada produknya,


yang merupakan percampuran itu.”
Setelah dikonsep oleh Swyngedouw (1996), konsep sosioalam telah di-
gunakan secara luas. Bukan maksud dari Bab ini untuk melakukan survei
dimana, bagaimana, dan melalui siapa ide/konsep sosioalam sudah berkelana.
Pada awal 2021, Google Scholar memperlihatkan bahwa artikel Swyngedouw
(1996) sudah dikutip 530 kali. Ada baiknya untuk menyebutkan beberapa di
sini, sebagai contoh. Gellert (2005)1 mengeset fondasi sosiologis dan ontologis
bagi sosioalam dengan membangun dialog antara teori jaringan dan aktor
(ANT, actor network theory) dengan pertukaran ekologis yang timpang (unequal
ecological exchange), untuk menunjukkan beberapa hal, misalnya, peranan
non-manusia dalam pertukaran yang timpang antara pusat dan pinggiran du-
nia. Loftus (2012)2 menggunakan sosioalam untuk secara lebih jauh mengem-
bangkan program awal Swyngedouw (1996): UPE. Angelo dan Wachsmuth
(2015) menggunakan sosioalam untuk menjelaskan proses sosio-ekologis da-
lam metabolisme urbanisasi. Ranganathan (2015: 1301)3 menggunakan istilah
hubungan-hubungan sosioalamiah untuk menjelaskan “aliran” dan “keber-
diaman” (flow and fixity) dalam produksi anyaman sosioalam saluran banjir di
Bangalore. Hubungan-hubungan sosioalamiah bagi Ranganathan menjelaskan
ketegangan antara aliran dan keberdiaman. Di satu sisi, “aliran dari kapital
global di bidang real estate yang spekulatif” sangat penting dalam produksi
saluran-saluran air banjir di Bangalore. Di sisi lain, keberdiaman kawasan-
kawasan informal di kawasan rawa telah menyebabkan air banjir juga berdiam
di sana. Ini menyebabkan munculnya kondisi yang rawan banjir, sebuah
“sosioalam kota yang berisiko” (Ranganathan 2015: 1301), di kawasan rawa.
Konsep sosioalam Swyngedouw, betapapun berharganya dia, tidak men-
jelaskan peranan non-manusia dalam produksi nilai-lebih di bawah kapitalis-
me dalam perbandingannya dengan peran buruh (manusia). Fokusnya adalah
metabolisme manusia dan alam. Sepuluh pokok manifesto UPE (Heynen dkk.,
2006: 11-2)4 juga tidak menjelaskan itu. Saya berpendapat bahwa pertautan
dengan peran non-manusia dalam produksi nilai-lebih di bawah kapitalisme

_____
1 Gellert PK (2005) For A Sociology of ‘Socionature’: Ontology and the commodity-based
approach. In Paul S. Ciccantell, David A. Smith, and Gay Seidman (eds.) Nature, Raw
Materials and Political Economy. Amsterdam: Elsevier, pp. 46-65.
2 Loftus A (2012) Everyday Environmentalism: Creating an Urban Political Ecology.
Minneapolis: University of Minnesota Press.
3 Ranganathan M (2015) Storm drains as assemblages: The political ecology of flood risk in
post-colonial Bangalore. Antipode 47(5): 1300-1320.
4 Heynen N, Kaika M and Swyngedouw E (2006) Urban political ecology: Politicizing the
production of urban natures. In Heynen N, Kaika M and Swyngedouw E (eds.) In the Nature
of Cities: Urban Political Ecology and the Politics of Urban Metabolism. New York:
Routledge Taylor & Francis Group, pp.1-19.

27
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

sangat penting bagi percakapan teori ini karena Swyngedouw (1996) mem-
bangun konsep sosioalam dengan mengkritik pendekatan Marxis seperti kon-
sep produksi alam dari Neil Smith. Batubara (2021)1 memasuki percakapan ini
dengan menunjukkan bahwa kritik Swyngedouw (1996) tentang analisis yang
berpusat di buruh dalam teori produksi alam Neil Smith sangat relevan secara
sosioalamiah karena dia memperlebar ruang politik. Batubara (2021) menge-
valuasi konsep sosioalam Swyngedouw dengan kerangka rumus valorisasi
(penganakan) kapital dari Marx (1982[1867]) yang menjelaskan proses-proses
produksi nilai-lebih, dan menunjukkan bahwa Marx sendiri cenderung fokus
pada buruh sebagai produsen nilai-lebih.
Buku Capital I Marx (1982[1867]: 320) merumuskan valorisasi kapital
dalam pabrik melalui eksploitasi buruh. Pada waktu awal, sebut saja t0, Marx
(1982[1867]) merumuskan komposisi kapital (C) sebagai C = c + v; dimana c
adalah konstan kapital yang terdiri dari mesin-mesin, perlengkapan, dan
bahan mentah; v adalah variabel kapital atau gaji buruh. Setelah proses
produksi, sebut saja t1, kapital mengalami penganakan. Rumus valorisasi
sekarang menjadi C’ = c + v + s. C’ adalah total kapital yang sudah mengalami
penganakan; dan s adalah nilai-lebih (surplus-value). Dalam buku Capital III
Marx (1991[1863-1883]: 118) lagi-lagi menyebutkan “Bahwa kapitalis tidak
melakukan apa-apa untuk memproduksi porsi nilai komoditas yang terdiri dari
nilai-lebih, karena ongkos produksinya dibebankan pada buruh yang tak
dibayar.” Batubara (2021) mengidentifikasi bagaimana Marx sendiri terbelah
antara dua konsepsi yang berbeda dalam produksi nilai-lebih. Di satu sisi Marx
mengkonsep nilai-lebih sebagai produk dari buruh yang tak dibayar yang
dieskploitasi oleh kapitalis; tapi, di sisi lain, Marx juga menyampaikan tanda-
tanda bahwa bukanlah begitu kondisinya, bahwa kapital perlu mengambil
sesuatu dari luar eksploitasi buruh. Alasan yang paling masuk akal untuk
memahami analisis Marx (1982[1867]) yang berpusat pada buruh dalam
konsepsi produksi nilai-lebih, menurut Batubara (2021), adalah bahwa niat
Marx adalah untuk menjelaskan bagaimana kapital bekerja dengan tujuan
spesifik untuk membebaskan buruh dari eksploitasi oleh kapitalis.
Dan benar, Marxis mengamati bahwa niat Marx memang bukan untuk
menurunkan derajat non-buruh dalam produksi nilai-lebih. David Harvey,
dalam pembukaan buku The Limits to Capital (2006[1982]: 5)2 melihat kebu-
tuhan kapital untuk mengkapitalisasi non-buruh. Dia menulis “Pada basis
konsepsi Marx tentang dunia terdapat sebuah cara pandang akan perlunya
apropriasi alam oleh manusia dalam rangka menutupi keinginan dan kebutu-

_____
1 Batubara B (2021) Swyngedouw’s puzzle: Surplus-value production in socionature. Human
Geography 14(2): 292–295.
2 Harvey D (2006[1982]) The Limits to Capital. London: Verso.

28
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

hannya.” Melalui penelaahan karya-karya Marx, Burkett (1999)1 menunjukkan


bahwa Marx tidaklah mengabaikan peranan non-buruh dalam produksi nilai-
lebih. Dia merekap: “bagi Marx, produksi manusia adalah bagian dari meta-
bolisme material antara orang dan alam” (Burkett 1999: 53). Bellamy Foster
(2000: 141-177)2 mengidentifikasi perbedaan antara pedesaan dan perkotaan
di bawah kapitalisme. Metabolisme sosioalamiah (perubahan non-manusia
oleh subyektivitas manusia, baik manusia secara umum maupun manusia
dalam relasi-kapital atau buruh) bekerja melalui, atau paling terlihat pada,
degradasi lingkungan pada tanah-tanah pedesaan karena aktivitas pertanian.
Di kota, metabolisme sosial (pertukaran komoditas) bekerja melalui, atau
paling terlihat pada, eksploitasi kelas buruh, yang populasinya meledak dan
memang dibutuhkan oleh kapitalis untuk keberlanjutannya, untuk memasok
tenaga buruh. Dengan kata lain, manusia dan tanah secara bersama mem-
produksi pedesaan dan perkotaan.
Konsep produksi alam Neil Smith juga memiliki gol politik untuk melebar-
kan ruang pertarungan sampai ke luar kontradiksi antara kapital dan buruh.
Dia bermaksud untuk mengkonfrontasi komodifikasi alam – pergerakan dari
relasi manusia dengan non-manusia yang diatur oleh nilai-guna ke yang diatur
oleh nilai-tukar dan nilai-lebih; atau pergerakan dari produksi secara umum ke
produksi untuk pertukaran dan produksi kapitalis – yang diproduksi di bawah
kapitalisme. Asal dari kritik Swyngedouw ke teori produksi alam Neil Smith,
dengan demikian, seperti yang dijelaskan oleh Batubara (2021), adalah absen-
nya identifikasi penjelasan tentang peran non-buruh, atau non-manusia secara
lebih spesifik, dalam proses produksi nilai-lebih di bawah kapitalisme, baik dari
sisi Swyngedouw (1996) maupun dari sisi Neil Smith (1984 [2008]). Batubara
(2021) menyebut ini sebagai “teka-teki Swyngedouw”.
Batubara (2021) memecahkan teka-teki Swyngedouw dengan cara mem-
bangun sambungan dengan konseptualisasi “relasi-nilai” oleh Jason Moore
(2015).3 Relasi-nilai dijelaskan oleh Jason Moore (2015) dengan membagi pro-
ses produksi nilai-lebih ke dalam dua blok: eksploitasi dan appropriasi. Yang
pertama mengacu pada eksploitasi buruh, rumusan Marx terhadap valorisasi
kapital. Yang kedua mengacu pada bagaimana kapitalis mengapropriasi de-
ngan murah non-buruh, makanan, energi, dan bahan mentah. Mereka disebut
“murah” karena kapitalis tidak ikut membuat mereka. “Para murah” ini diapro-
priasi dan dimasukkan ke dalam baik itu kapital konstan dan variabel. Untuk
_____
1 Burkett P (1999) Marx and Nature: A Red and Green Perspective. New York: Palgrave
Macmillan.
2 Foster JB (2000) Marx’s Ecology: Materialism and Nature. New York: Monthly Review
Press.
3 Moore JW (2015) Capitalism in the Web of Life. London: Verso.

29
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

membuat peranan “para murah” ini terlihat, Batubara (2021) membuka kapital
konstan dan menotasikan ulang rumus valorisasi kapital pada tn menjadi C’ =
fcs + coa + e + v + s; dimana fcs adalah “para murah” (four cheaps), coa adalah
biaya appropriasi (cost of appropriation), dan; e adalah peralatan (equipment).
Tabel II.3 menyampaikan intisari bagaimana produksi nilai-lebih dalam meta-
bolisme sosioalamiah dikonsepsikan.

Tabel II.3: Peran manusia dan non-manusia dalam produksi nilai-lebih di bawah kapita-
lisme.

Hubungan Marx Neil Smith Swyngedouw Moore (2015)


manusia dan (1867[1982]) (2008[1984]) (1996)
non-manusia
di bawah
kapitalisme

Hibridisasi Menyatu Menyatu Menyatu Menyatu

Cenderung Cenderung Manusia dan non- Manusia dan


Produsen analisis yang analisis yang manusia non-manusia
nilai-lebih berpusat pada berpusat pada
buruh buruh

Eksploitasi Eksploitasi Metabolisme Eksploitasi


buruh buruh sosioalamiah buruh
Konsepsi Produksi alam
Apropriasi para
murah

C' = c + v + s - - C' = fcs + coa +


e+v+s
Notasi (dinotasikan
matematis oleh Batubara
[2021])

II.4. Kesimpulan: Tempat memulai perubahan dan ruang untuk belajar

Saya sudah menapaki jejak metamorfosis teori dari PE ke UPE dan kemudian
ke PEU. Pergerakan dari UPE ke PEU membuka ruang untuk memahami kota
sebagai ontologi sosiospasial yang berhubungan dengan ontologi sosiospasial

30
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

lain di luarnya. Dalam kata-kata David Harvey (1996: 38)1, itu adalah perge-
rakan dari memahami “kota” sebagai “benda” ke “urbanisasi sebagai proses.”
Kritik metodologis bias perkotaan pada dasarnya menunjukkan sisi lain dari
mata uang yang sama, yaitu kurangnya perhatian teori sosiospasial urbanisasi
terhadap momen sosioalamiah. Konsekuensinya, saya berpendapat bahwa
PEU harus diekologisasikan agar lebih eksplisit dalam bertaut dengan hubu-
ngan-hubungan sosioalamiah di bawah kapitalisme. Konsistensi dalam me-
ngonfrontasi atau merepolitisasi proses yang timpang dalam produksi ling-
kungan/ekologi adalah ciri khas dari PE, UPE, dan PEU, serta Marx dan para
Marxis. Analisis-analisis kritis yang mengonfrontasi ketimpangan ini, yang
melibatkan kondisi di luar buruh dalam produksi lingkungan/ekologi, adalah
titik berangkat sekaligus aksi untuk melebarkan ruang perubahan/revolusi.
Dengan demikian, tuntuan perubahan bukan hanya berakar pada eksploitasi
buruh oleh kapitalis, tapi juga pada komodifikasi alam seperti yang disampai-
kan oleh Neil Smith (2008[1984]) dan pada appropriasi para murah seperti
yang didiskusikan oleh Jason Moore (2015).
Ke depan, pengembangan PEU juga harus menghormati diskusi yang
kaya di sekitar teori urbanisasi level planet (planetary urbanization), sebuah
pendekatan PEU (yang Marxis) secara teoretis harus bertaut dengan diskusi
itu. Agar ini terjadi, PEU harus bertaut dengan cara lain meneorikan perkotaan
dan urbanisasi (Peake dll., 2018)2. Secara khusus, PEU dapat berefleksi dengan
bantuan sudut pandang feminisme dan pos-kolonial yang mengkritik Eropa-
sentrisme dalam produksi pengetahuan (McLean, 20183; Reddy, 20184) yang
memiliki kencederungan menurunkan derajat atau meminggirkan cara yang
berbeda dalam memahami perkotaan dan urbanisasi (Schindler, 20175; Reddy,
2018). PEU juga dapat bertaut dengan pandangan feminis tentang kesaling-
hubungan dan hibriditas (Derickson, 2018)6, dan melampaui relasi biner desa-
kota (Buckley and Strauss, 2016)7. Semuanya adalah teman bercakap-cakap
darimana PEU dapat belajar dan dengan siapa ia dapat tumbuh bersama.
_____
1 Harvey D (1996) Cities or urbanization? City: analysis of urban trends, culture, theory,
policy, action 1 (1-2): 38-61.
2 Peake L, Patrick D, Reddy RN, Tanyildiz GS, Ruddick S and Tchoukaleyska R (2018) Placing
planetary urbanization in other fields of vision. Environment and Planning D: Society and
Space 36(3): 374 – 386.
3 McLean H (2018) In praise of chaotic research pathways: A feminist response to planetary
urbanization. Environment and Planning D: Society and Space 36(3): 547 – 555.
4 Reddy RN (2018) The urban under erasure: Towards a postcolonial critique of planetary
urbanization. Environment and Planning D: Society and Space 36(3): 529 – 539.
5 Schindler S (2017) Towards a paradigm of Southern urbanism. City 21(1): 47-64.
6 Derickson K (2018) Masters of the universe. Environment and Planning D: Society and
Space 36(3): 556-562.
7 Buckley M and Strauss K (2016) With, against and beyond Lefebvre: Planetary urbanization
and epistemic plurality. Environment and Planning D: Society and Space 34(4): 617–636.

31
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Ketiga perangkat teori ekologi politis urbanisasi yang diuraikan dalam


Bab ini, momen ketimpangan, sosiospasial, dan sosioalamiah, menjadi alat
penjelas yang dipakai dalam buku ini. Penelaahan teoritis yang mendudukkan
bagaimana momen-momen itu berakar pada analisis ekonomi politik, dengan
demikian, adalah usaha tersendiri dalam buku ini untuk melakukan repolitisasi
terhadap momen banjir Semarang. Jadi repolitisasi dilakukan bukan hanya
penjelasan kasus dengan menggunakan perangkat teori tertentu, tapi juga
pada bagaimana perangkat teori itu digodog.
Bab 4 memperlihatkan bagaimana urbanisasi DAS Silandak melalui re-
konfigurasi sosiospasial pemaprasan bukit, reklamasi sungai, rawa, dan pantai,
dan pembangunan perumahan elit – dimana pola pembangunan yang timpang
beroperasi – berlangsung bersamaan dengan transformasi sosioalam dalam
bentuk tanah longsor, banjir, dan rob. Bab 5 menyampaikan proses rekonfigu-
rasi ruang di DAS Babon melalui pembangunan kota satelit dan kawasan
industri memproduksi ekosistem yang semakin rentan terhadap banjir dan
pada saat yang bersamaan, di hulu, meminggirkan warga lokal pemilik tanah
yang dipaksa menjual tanahnya kepada pengembang, dan di hilir, memiskin-
kan para petani tambak. Bab 6 menyampaikan bagaimana perubahan sosio-
spasial (dalam bentuk reklamasi) dan sosioalamiah (dalam bentuk pencema-
ran sungai dan banjir) berpilin, memproduksi ketimpangan ekonomi di DAS
Karangnyar. Bab 7, dengan cara pandang yang tersituasi yang didapatkan
dengan pertautan dengan teori feminisme, menelaah proses urbanisasi di DAS
Garang dengan menggunakan metafora proses mengerut-meledak-meluap.
Bab 8 memperlihatkan bagaimana rekonfigurasi ruang 3K (kali, kampung, dan
kebun) memfasilitasi dan difasilitasi oleh beroperasinya hukum pembangunan
yang timpang sembari memproduksi perubahan sosioalamiah (banjir) di DAS
Beringin.

32
BAB III
Metodologi:
Terkoordinasi sekaligus terpisah

Pekerjaan ini dilakukan dengan cara terkoordinasi, tapi sekaligus terpisah.


Maksud terkoordinasi, kami mengawali pekerjaan ini dari titik yang sama me-
lalui perumusan proposal yang di dalamnya ada pertanyaan penelitian, men-
diskusikan teori yang akan dipakai, membuat analisis foto udara, dan dalam
beberapa kesempatan melakukan proses kerja lapangan secara bersama-
sama. Kami menghabiskan banyak sekali waktu untuk rapat/koordinasi sepan-
jang 2021 untuk mendiskusikan proyek ini. Namun, pada ujungnya, pendalam-
an proses urbanisasi di masing-masing DAS dilakukan secara terpisah-pisah.
Secara terkoordinasi; sebagai langkah awal untuk memahami urbanisasi
di DAS-DAS yang bertampalan (tumpang tindih) dengan Kota Semarang, kami
mendekatinya dengan cara mengidentifikasi DAS-DAS yang ada di Semarang.
Identifikasi ini dilakukan dengan membaca publikasi-publikasi yang sudah
terbit tentang DAS-DAS di Semarang, termasuk ke dalamnya dokumen-
dokumen kebijakan/proyek dari pemerintah. Di Semarang, biasanya orang
mengidentifikasi ada enam DAS. Batas-batas DAS tersebut ditarik dengan
menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Namun dalam kesempatan ini kami
hanya mengidentifikasi lima DAS (Gambar III.1). Satu DAS digabung ke dalam

33
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

DAS Bringin. Ini kami lakukan karena memang resolusi data Digital Elevation
Model (DEM)-nya cuma memungkinkan sampai di tingkat itu.

Keterangan:
- Sungai/Aliran
C] Kota Semarang
- DASBabon
DAS Bringin
DAS Garang
DAS Karanganya1
DAS Silandak

Luas DAS [Ha]·


Babon: 17721 1
Bnngin: 5965.568
~ arang: 20915.91
aranganyar· 19
S1landak: 2615.013.91

0 4 8 16
Kilometers

Gambar III.1: Lima DAS yang diperdalam.

Klasifikasi penggunaan lahan memakai “supervised classification”, yaitu meng-


ambil pixel-pixel tertentu dalam foto udara sebagai contoh, dan kemudian
diekstrapolasi dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Dalam hal ini
kami menggunakan tiga klasifikasi penggunaan lahan: tubuh air, area terba-
ngun, dan vegetasi. Ketiga kelas ini dipilih mengingat hubungannya dengan
banjir. Tutupan lahan berupa air dalam peta biasanya merupakan area penam-
pungan air seperti rawa, embung, atau bendungan atau juga area tempat air
mengalir, seperti sungai dan kanal. Area terbangun biasanya mengurangi
kemampuan bentang alam (landscape) untuk meresapkan dan/atau menahan
air. Vegetasi biasanya memiliki kemampuan mengintersepsi dan menahan air.
Ada dua jenis data yang kami gunakan untuk membangun klasifikasi ini.
Pertama adalah data DEM dan peta per wilayah yang kami unduh pada 26
Maret 2021 dari laman https://tanahair.indonesia.go.id. Kedua, untuk foto
udara, kami menggunakan: (1) citra satelit LANDSAT 1-5 MSS, resolusi 60x60 m

34
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

(1973); (2) LANDSAT 4-5 TM, resolusi 30x30 m (1989 dan 1999); dan (3)
LANDSAT OLI 8, resolusi 30x 30 m (2013 dan 2020). Resolusi di sini menyangkut
ukuran pixel dalam sebuah foto udara. Artinya, ini menyangkut keakuratan
sebuah foto udara. Sebuah foto udara beresolusi 30 x 30 m lebih akurat dari
foto udara dengan resolusi 60 x 60 m.
Setidaknya ada tiga kelemahan dalam klasifikasi yang kami pakai.
Pertama, beberapa foto udara yang kami pakai tertutupi awan. Kami sudah
mencoba mengeliminasi kelemahan ini dengan cara memilih foto udara yang
paling sedikit mengandung awan. Kedua, foto udara yang sudah lama (misal-
nya, tahun 1973) memiliki band dan resolusi yang terbatas. Artinya, akurasinya
jelas lebih rendah dibandingkan foto udara generasi yang lebih belakangan.
Ketiga, subyektivitas operator (peneliti), karena supervised classification, pada
akhirnya mengandalkan identifikasi peneliti terhadap obyek-obyek yang
muncul dalam foto udara. Semakin telaten si peneliti, maka kemungkinan aku-
rasi dari hasil kerjanya akan semakin bagus. Dalam kasus ini, akurasi yang kami
hasilkan dari pekerjaan ini kami rasa sudah cukup untuk membantu kami me-
mahami proses evolusi penggunaan ruang di DAS-DAS yang ada di Kota
Semarang.
Hasil yang kami dapatkan dari studi awal ini memperlihatkan bahwa sejak
1973-2020, telah terjadi perubahan yang cukup terlihat dalam hal tutupan
tubuh air, vegetasi, dan area terbangun di DAS-DAS dimana Kota Semarang
berada (Gambar III.2). Tubuh air menurun dari 3,5% menjadi 1,1%; area ter-
bangun naik dari 12,5% menjadi 66,2%; dan vegetasi turun dari 84,1% menjadi
32,7%.

35
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Air: 3,5% 1973 Air: 2,8% Air: 2,7% 1999


Area terbangun: 12,5% Area terbangun: 16,3% Area terbangun: 30,7%
Vegetasi: 84,1% Vegetasi: 80,9% Vegetasi: 66,6%

Air: 1,7% Air:1,1 %


Area terbangun: 66,2%
2020
Area terbangun: 53,3%
Vegetasi: 45% Vegetasi: 32,7%

02.55 10 15 20 00.D !!
■ ■ Kilometers IIIUU

Sumber data:
1) Peta Digital Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wilayah didapat dari: https://tanahair.indonesia.go.id.
2) Citra Satelile LANDSAT 1-5 MSS (1973): LANDSAT 4-5 TM (1989 dan 1999) dan LANDSAT O U 8 (2013 dan 2020)

Gambar III.2: Perubahan rona di DAS-DAS dimana Kota Semarang berada. Warna biru
adalah tubuh air, warna hijau area vegetasi, dan warna kuning area
terbangun.

Kami menggunakan hasil studi awal ini untuk mengidentifikasi garis besar
evolusi perubahan penggunaan ruang di masing-masing DAS dan sebagai
pintu masuk untuk membagi wilayah administratif kota ke dalam potongan-
potongan yang kami perdalam. Dengan kata lain, DAS menjadi unit analisis
untuk diperdalam. Dari situ kami mengembangkannya agar satu DAS minimal
dijelaskan dari sisi proses urbanisasi yang spesifik dan bagaimana ia berhu-
bungan dengan banjir.
Penggarapan pendalaman DAS Silandak, yang sekarang menjadi Bab IV
dari buku ini, dilakukan dengan proses diskusi dan berbagi (dokumen dan
informasi). Pendalaman di DAS Silandak terdiri dari 3 bagian: perluasan Kawa-

36
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

san Industri Candi (KIC), pembangunan Pekan Raya Promosi Pembangunan


(PRPP) dimana di dalamnya ada reklamasi Pantai Marina, dan kasus perumah-
an Graha Padma dan Kampung Tambakharjo. Secara terpisah, Bosman meng-
garap dua kasus pertama, sementara Eka, Umi, dan Bagas menggarap kasus
terakhir.
Perluasan KIC digarap dengan mengandalkan data yang didapatkan dari
putusan pengadilan dan kliping pemberitaan yang diakses dari database yang
dimiliki oleh LBH Semarang (LBHS). Putusan pengadilan bisa diunduh di laman
direktori putusan Mahkamah Agung. Kliping berita LBHS diarsip dalam bentuk
fisik koran dan disimpan di salah satu ruangan di Kantor LBHS. Pekerjaan
pertama dengan demikian adalah memasuki gudang penyimpanan itu, me-
milih kliping media yang relevan, dan mendigitalisasinya (memindai atau me-
scan-nya).
Seperti yang dapat disimak dalam pemberitaan-pemberitaan di kliping
media itu, beberapa aktivis LBHS dikutip oleh media. Artinya mereka mengikuti
kasus ini, dan sampai titik tertentu melakukan advokasi kepada warga Kam-
pung Pucung yang terpaksa direlokasi akibat perluasan KIC. Dengan kata lain,
kemungkinan besar gudang data kliping berita media LBHS soal kasus perluas-
an KIC di awal 2000-an itu cukup lengkap. Tandiono Bawor Purbaya (aktivis
LBHS era 2000-an awal), membantu kami melalui diskusi-diskusi (obrolan) on-
line.
Selain keterlibatan mereka dalam kasus itu yang membuat kami berani
membangun dugaan bahwa kliping LBHS lengkap, adalah tradisi yang cukup
kuat dalam hal menganalisis kliping berita media yang ada di LBHS. Aktivitas
itu memiliki petugas, koran yang dibaca, dan metodenya sendiri. Setiap hari
Jumat biasanya disusun jadwal petugas piket kliping berita media selama satu
minggu. Tugasnya banyak, yang relevan disebutkan di sini adalah mengkliping
dan menyusun analisis terhadap kliping. Koran yang dibaca terutama adalah
koran yang terbit di Jawa Tengah seperti Suara Merdeka, Solo Pos, Tribun Jateng,
Jateng Pos, dan Kompas. Pekerjaan mengkliping dilakukan dengan cara petugas
piket membaca cepat koran-koran tersebut, mencari berita yang berhubungan
dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), menggunting dan (kalau seka-
rang) memindainya, menganalisisnya, dan membuat tabel klasifikasi (nama
dan kasus, sumber, posisi kasus, lokasi kejadian, para pihak, dan jumlah kor-
ban). Metode ini adalah metode pada 2021. Untuk masa sebelum itu, kemung-
kinan besar secara garis besar metodenya sama. Yang paling membedakan
adalah proses digitalisasi dan munculnya media online.1 Database kliping me-

_____
1 Wawancara tertulis dengan Cornel Gea (aktivis LBHS) tentang metode kliping LBHS, 22 Juli
2021.

37
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

dia LBHS tersebut mengandung 150 entri pemberitaan soal kasus perluasan
KIC dan relokasi Kampung Pucung pada rentang waktu 2004.
Pertimbangan bahwa LBHS mengikuti kasus, dan karena itu kemungkinan
besar kliping berita media-nya tentang kasus ini cukup lengkap, juga menjadi
justifikasi pemilihan kumpulan data yang dianalisis. Jadi, dalam hal ini,
tinimbang menyisir berita tentang perluasan KIC dan penggusuran Kampung
Pucung dari satu media (katakanlah misalnya Kompas), maka jauh lebih stra-
tegis menggunakan kliping berita media LBHS tentang kasus ini yang berasal
dari banyak media. Strategis di sini maksudnya mempertimbangkan alokasi
energi, waktu, dan kebutuhan membeli arsip dari media.
Kasus pembangunan PRPP kami perdalam dengan cara membaca putus-
an-putusan pengadilan, surat-surat dari warga dan LBHS (lembaga yang meng-
advokasi warga), dan pemberitaan tentang reklamasi Pantai Mutiara di koran
Kompas yang dibeli dari gudang data Kompas (http://www.kompasdata.id/)
melalui pencarian dengan kata kunci “Pantai Marina”. Berdasarkan pengalam-
an membaca pemberitaan soal Kampung Pucung dalam kumpulan data yang
diperoleh dari LBHS, frase “Pantai Mutiara” sering muncul dalam berita media.
Ini menjadi alasan menggunakannya sebagai kata kunci dalam pencarian entri
di gudang data Kompas. Yang diharapkan dalam pencarian dengan mengguna-
kan kata kunci seperti ini adalah, sebanyak mungkin menemukan item pem-
beritaan (coverage) di gudang data Kompas. Ketika 210 entri dengan kata kunci
“Pantai Mutiara” ditemukan, jumlah itu dirasa sudah cukup.
Kasus Graha Padma digarap melalui proses kerjasama penelitian dengan
UNDP Accelerator Lab. Kerja Lapangan (KL) dilakukan setelah kunjungan awal
ke lokasi dan setelah pertemuan offline pada 31 Mei 2021. Pertemuan tersebut
diadakan dengan tujuan untuk menyamakan persepsi (melalui diskusi) dan
merumuskan instrumen KL. Kegiatan KL dilakukan oleh tiga orang yakni Bagas,
Eka, dan Umi. Mereka bercakap-cakap dengan 10 orang warga terdampak
banjir di Kampung Tambakharjo yang terletak di tengah lahan Graha Padma.
Ada dua teknik yang dilakukan dalam KL yaitu observasi dan wawancara.
Teknik observasi dikerjakan dengan mencoba semaksimal mungkin memanfa-
atkan kemampuan indrawi: apa yang dilihat, apa yang dicium, dan apa yang
dirasakan. Teknik ini juga digunakan untuk menilai soal kelas ekonomi, kondisi
rumah, situasi lingkungan, dan lain-lain.
Teknik wawancara dilakukan dengan cara bercakap-cakap (mendengar,
bertanya) secara lebih mendalam dengan para interlokutor (teman bercakap-
cakap). Dalam proses pemilihan interlokutor, kami mempertimbangkan bebe-
rapa hal seperti (1) jenis kelamin; (2) usia; (3) status ekonomi; dan (4) kondisi
rumah.
Sejak awal, kami coba membebaskan diri dari model riset yang kaku —
bahwa riset membutuhkan ini, membutuhkan itu. Kami justru mencoba

38
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

meletakkannya sebagai percakapan atau perjumpaan sehari-hari. Karena bagi


kami, perjumpaan sehari-hari seperti inilah yang membuat proses bercakap-
cakap menjadi lebih santai dan kena. Pada proses bercakap-cakap, kami ber-
sepakat untuk tidak merekam dan mencatat di hadapan para interlokutor.
Bab V dalam buku ini merupakan pendalaman atas proses urbanisasi
yang berkaitan dengan banjir di DAS Babon. Misalnya, pada proses penelusu-
ran banjir di wilayah Kecamatan Genuk, yang dilakukan oleh Syukron sebagai
peneliti ialah dengan melacak jejak perubahan ruang di wilayah DAS hulu dan
hilir Kali Babon. Ada dua peristiwa awal yang mendorong pengubahan ruang
di DAS Babon tersebut. Pertama, berkaitan dengan penunjukan Kelurahan
Meteseh sebagai kota satelit pada 1973. Kemudian muncul percepatan peru-
bahan ruang yang terjadi pada saat kampus Universitas Diponegoro (Undip)
pindah dari Pleburan ke Tembalang. Perkembangan ini telah meningkatkan
area terbangun dan menurunkan kawasan resapan di DAS hulu Kali Babon.
Kedua, pengubahan ruang di DAS hilir Kali Babon yang terjadi karena pem-
bangunan Kawasan Industri Terboyo di Kecamatan Genuk. Pembangunan ini
telah mengalihfungsikan sawah dan tambak menjadi area terbangun dan
menghilangkan fungsi sawah dan tambak sebagai bagian dari ekosistem DAS.
Penelusuran Meteseh sebagai kota satelit dan pemindahan kampus
Undip dilakukan dengan mengandalkan berita dari media cetak maupun
online. Untuk media cetak, penelusuran kata kunci dalam perubahan ruang
DAS Babon dilakukan dengan mengandalkan informasi awal mengenai daerah
cakupan DAS, khususnya hulu DAS Babon. Kata kunci “Meteseh” dipilih untuk
menelusuri perubahan ruang di daerah tersebut karena Meteseh merupakan
wilayah yang paling cepat berkembang menjadi area pemukiman. Ada 28 item
berita yang tersedia di Depo Arsip Suara Merdeka dengan kata kunci “Meteseh”.
Penelusuran kata kunci “Meteseh” di Depo Arsip Suara Merdeka menuntun
penulis menemukan kata kunci lain: “kota satelit”. Berangkat dari kata kunci
ini, banyak berita yang menginformasikan kebijakan “kota satelit” dari waktu
ke waktu yang memiliki peran signifikan dalam perubahan tata ruang di
kawasan hulu DAS Babon, khususnya Kelurahan Meteseh. Kebijakan kota
satelit di Meteseh telah memicu kebijakan lainnya berupa rencana pemindah-
an kampus Undip yang mempercepat perluasan kota di kawasan Kecamatan
Tembalang. Sebagian besar kawasan hulu DAS Babon berada di Kecamatan
Tembalang, selain di Kecamatan Banyumanik yang sebenarnya juga mengala-
mi percepatan area terbangunnya. Keterbatasan waktu penelitian tidak me-
mungkinkan untuk mengkaji kecamatan lain seperti Kecamatan Banyumanik
dan perubahan tata guna lahan di kawasan Kabupaten Semarang yang men-
jadi area cakupan DAS. Hal yang sama juga dilakukan di arsip berita media
online untuk kasus ini. Akan tetapi tidak banyak informasi yang diperoleh dari
media online terkait kasus ini. Informasi yang digali dari media online dalam

39
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

kasus ini hanya berupa pemindahan secara berangsur-angsur kampus Undip


dari Pleburan ke Tembalang yang terjadi pada kurun waktu setelah 2000.
Penelusuran data dari media online dilakukan untuk menggali informasi
tentang banjir yang terjadi di kawasan hilir DAS Babon akibat luapan Sungai
Babon dari waktu ke waktu. Penelusuran ini dilakukan dengan dengan mema-
sukkan berbagai kata-kata kunci, seperti “banjir di kelurahan/desa Kecamatan
Genuk,” dan “sungai dan kali Babon”. Penelusuran ini dilakukan dengan meng-
gunakan perangkat google search engine yang dapat diatur untuk menggali
informasi banjir dalam rentang waktu tertentu. Penelusuran data tentang
banjir akibat limpasan Sungai Babon juga dilakukan di Depo Arsip Suara
Merdeka dengan memasukkan kata kunci “babon”. Penelusuran ini meng-
hasilkan arsip berita tentang banjir yang pernah terjadi di kawasan hilir DAS
Babon, khususnya di Kecamatan Genuk dan Kelurahan Trimulyo.
Penelusuran literatur jurnal menggunakan kata kunci “babon” dilakukan
untuk menggali penelitian yang pernah dilakukan di kawasan DAS Babon.
Berangkat dari sini, penulis mengumpulkan jurnal-jurnal ilmiah yang mengkaji
perubahan tata guna lahan di DAS Babon. Penelusuran literatur jurnal selan-
jutnya dilakukan dengan mengandalkan catatan kaki atau sumber rujukan dari
jurnal yang telah diperoleh untuk memperdalam informasi terkait dengan
perubahan tata guna lahan di DAS Babon dan pencemaran Sungai Babon. Ter-
kait dengan perubahan tata guna lahan di kawasan hulu DAS Babon, pemilah-
an literatur jurnal dilakukan untuk mengetahui perubahan kawasan vegetasi
menjadi kawasan terbangun dari waktu ke waktu, khususnya di Kecamatan
Tembalang dan Kelurahan Meteseh yang menjadi fokus kajian. Pemilahan
literatur jurnal juga dilakukan dengan menggunakan literatur yang melakukan
overlay peta dari waktu ke waktu. Misalnya Saraswati dkk. (2016) – mereka
menggunakan data Peta RBI tahun 1992, Citra SPOT 6 tahun 2014 dan Citra
Quickbird untuk mengetahui perubahan kawasan non-permukiman menjadi
kawasan permukiman di Kecamatan Tembalang.
Data tentang pengembangan kawasan permukiman yang dikerjakan PT
Bukit Semarang Jaya Metro (BSJM), didapat dengan cara mengunjungi situs
resmi BSJM dan mengunduh brosur penawaran yang memberikan data harga
rumah dan produk-produk perumahan yang telah dan/atau sedang dikem-
bangkan. Begitu juga dengan data perumahan Citra Grand Semarang, kami
memperolehnya dari situs resminya.
Pengumpulan data tentang pendapatan perusahaan (terutama untuk
perusahaan terbuka) diperoleh dari laporan tahunan yang dapat diunduh dari
situs resmi bursa efek. Sedangkan untuk perusahaan milik daerah diperoleh
dari data terbuka yang tersedia di situs resmi pemerintah daerah. Data tentang
pembangunan kawasan industri di Kecamatan Genuk dan banjir di Kelurahan
Trimulyo diperoleh dengan menggali pemberitaan media, dokumen RKL pem-

40
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

bangunan Kawasan Industri Terboyo, serta produk hukum tentang perencana-


an tata ruang Kota Semarang.
Data kasus pencemaran diperoleh dari arsip LBHS. Dokumen yang ter-
simpan di LBHS berupa hasil kajian penelitian pencemaran Balai Budidaya Air
Payau Jepara, Putusan Pengadilan Negeri Semarang, dan draft gugatan.
Putusan Mahkamah Agung (MA) tentang pencemaran diperoleh dari situs
direktori putusan MA. Kronologi peristiwa diperoleh dari pemberitaan media,
khususnya Kompas yang cukup mengikuti perkembangan kasus ini dan catatan
advokasi dari Direktur Penelitian dan Pengembangan Gita Pertiwi yang mela-
kukan pendampingan terhadap warga. Kronologi kasus juga diperkuat dengan
data dari putusan pengadilan.
Pengumpulan data tentang proyek pengendalian banjir diperoleh dengan
membaca dokumen-dokumen proyek yang tersebar di situs resmi kemen-
terian dan pemerintah daerah. Termasuk dari pemberitaan media, khususnya
media online, untuk menjelaskan proyek pengendalian banjir di DAS hilir Kali
Babon. Sedangkan untuk sistem pengendalian banjir di DAS hulu, kami
mendapatkan data dari ringkasan proyek Dolok-Penggaron.
Kami juga melakukan wawancara, terutama untuk menelusuri perkem-
bangan perubahan tata guna lahan di Kelurahan Trimulyo dari cerita warga
Trimulyo yang telah tinggal di sana sejak kecil hingga dewasa. Wawancara
dilakukan dengan bercakap-cakap tentang kenangan setiap orang dalam
menghadapi banjir dan tindakan yang dilakukan setiap orang untuk meng-
hindari dan bertahan dari banjir. Pemilihan narasumber berangkat dari penga-
laman salah seorang dari kami, Syukron, yang pernah tinggal di Banjardowo,
desa sebelah Trimulyo. Kami memilih narasumber yang dulu berasal dari
keluarga cukup kaya, sekarang hidup sederhana. Dari narasumber ini, kami
diarahkan untuk bertanya ke narasumber yang lain.
Data tentang rumah pompa diperoleh dari hasil wawancara dengan
penjaganya. Sedangkan observasi dilakukan untuk mengetahui perubahan
tata guna lahan di Kelurahan Trimulyo dan perkembangan area terbangun di
kawasan ini. Di Kawasan Industri Terboyo, misalnya, masih terdapat sisa
tambak yang belum terbangun. Sayangnya, pada saat observasi di muara Kali
Babon, kami tidak dapat melihat secara langsung tanggul sungai. Pasalnya,
ketika kami ke sana, sedang ada pengerjaan proyek normalisasi Kali Babon
yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Selain pekerja proyek, orang lain tidak diperkenankan masuk ke area proyek.
Proses pendalaman DAS Karanganyar (Bab VI) dilakukan oleh Umi.
Pengerjaannya dimulai dari informasi yang diperoleh dari seorang warga yang
kebetulan kami temui sewaktu fieldwork di Tambakharjo. Warga itu bercerita
tentang daerahnya yakni Dukuh Tapak di Kelurahan Tugurejo, yang sering
dilanda pencemaran dan rob. Pencarian informasi dilanjutkan dengan pene-

41
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

lusuran di internet. Dari informasi berbagai media online, diketahui bahwa


Dukuh Tapak memang sering mengalami pencemaran sejak 1970-an akibat
adanya industri. Oleh karena itu, fokus di DAS Karanganyar kemudian
mengarah pada proses urbanisasi di Dukuh Tapak yang memperparah banjir
di wilayah pesisir barat Kota Semarang.
Kami tidak hanya mengandalkan sumber yang dapat diakses secara gratis
di internet, namun juga memanfaatkan sumber berbayar dari arsip koran dan
majalah Tempo dan arsip koran Kompas. Selain itu, kami juga melakukan
pemilahan arsip di LBHS — baik itu yang berupa kliping koran, maupun yang
berupa catatan proses advokasi yang dulu pernah dilakukan LBHS. Melalui
LBHS pula kami dapat terhubung dengan warga Dukuh Tapak yang sampai
saat ini (2021) masih berjuang melawan pencemaran dan reklamasi yang
sewaktu-waktu dapat terjadi. Awalnya permohonan wawancara dilakukan
secara daring, namun interlokutor lebih senang jika kami dapat berkunjung
langsung ke lokasi dan berbincang lebih banyak. Maka dari itu, kami pun
melakukan fieldwork ke Dukuh Tapak pada 19-20 Agustus 2021. Dalam
fieldwork tersebut, kami menemui tiga orang warga yang merasakan dampak
perubahan lingkungan akibat industrialisasi dan rencana reklamasi terhadap
kehidupannya, terutama selaku petani tambak. Kemudian atas permintaan
interlokutor, nama mereka kami samarkan demi menjaga keamanan.
Artikel di jurnal Prisma yang terbit pada 1979 juga menjadi referensi kami
mengenai pencemaran di Tapak. Riset yang dilakukan oleh George Junus
Aditjondro (GJA) dalam kurun 1976-1979 berkontribusi banyak dalam
membangun cerita awal mula polusi masuk dan menjadi mimpi buruk warga
Tapak. Informasi adanya penelitian GJA dalam jurnal ini diperoleh melalui
sebuah artikel di blog yang mengambil referensinya dari sana. Kemudian kami
membeli jurnal tersebut dalam kondisi bekas melalui toko online. Sumber
tulisan DAS Tapak ini juga banyak mengutip dari dua riset tesis tentang Tapak
yang diterbitkan oleh UI dan Undip.
Masuk ke Bab VII, pengamatan urbanisasi yang terjadi di DAS Garang
dilakukan oleh Eka dengan cara, pertama-tama, mengikuti pembagian DAS
dalam tiga Sub-DAS utama. Pembagian tersebut telah dilakukan para peneliti
sebelumnya, mengingat cakupan DAS Garang yang cukup luas. Pembagian ke
dalam Sub-DAS memudahkan kami untuk menelusuri dokumen-dokumen
tentang momen sosioalamiah, sosiospasial, dan ketimpangan pada ketiga Sub-
DAS tersebut secara lebih spesifik.
Kedua, penelusuran dokumen dilakukan menggunakan penelitian ter-
dahulu yang berfokus pada perubahan penggunaan lahan, arah pengotaan
secara spasial, penurunan daya dukung lingkungan di DAS Garang, hingga
aktivitas ekonomi politik yang terjadi. Fokus tersebut juga digunakan dalam
penelusuran arsip media massa lokal dan tertua yang masih ada di Semarang.

42
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Pertimbangan lokalitas media massa dipakai untuk mendapatkan kedekatan


data yang didokumentasikan media dengan momen-momen lokal yang terjadi
di Kota Semarang. Pertimbangan usia media massa dipakai untuk menelusuri
dokumen terdahulu sejauh yang dapat diakses. Dokumen tambahan berupa
artikel-artikel dipakai untuk mendukung dan memperkuat hasil penelusuran.
Ketiga, pola perubahan (urbanisasi) di DAS Garang dilihat dengan cara
mempercakapkan hasil penelusuran dengan teori-teori yang telah dituliskan
dalam BAB II. Urbanisasi di DAS Garang diawali ledakan dari konsentrasi modal
dan orang di pusat kota. Serpihan dari ledakan tersebut kemudian mengerut
dalam konsentrasi-konsentrasi baru, yang berlanjut menjadi ledakan baru lagi.
Momen sosiospasial itu disertai dan dibentuk dengan ketimpangan-ketimpa-
ngan, yang pada akhirnya berujung pada krisis seperti pencemaran air sungai,
kerusakan lahan, kerusakan lingkungan tempat tinggal, konflik kepemilikan
lahan, pendangkalan, yang seluruhnya diikat oleh momen sosioalamiah
meluapnya sungai menjadi banjir.
Pola tersebut kemudian dipakai sebagai sistematika dalam penulisan
laporan. Penulisan lebih dulu diawali dengan momen sosioalamiah yang dapat
dijadikan penanda paling kuat di DAS Garang, dalam hal ini adalah “banjir
bandang 1990”, supaya penulisan selanjutnya lebih mudah mendapatkan kon-
teksnya. Penulisan selanjutnya menggunakan pembagian berdasarkan urutan
waktu (kronologi) pengotaan, serta berdasar pembagian area sepanjang DAS
Garang di Kota Semarang. Lingkaran I, merupakan awal pengotaan di hilir DAS
Garang. Lingkaran II, menuturkan pengotaan di hilir DAS Garang menuju hulu.
Lingkaran III, menunjukkan pengotaan di hulu DAS Garang.
Bab VIII merupakan pendalaman DAS yang terakhir, DAS Beringin. Proses
ini dilakukan oleh Bagas dengan cara memilah kasus DAS Beringin menjadi tiga
bagian: pembangunan perumahan elit BSB, pengembangan Kawasan Industri
Candi di sekitar Kampung Desel, dan pembangunan pabrik pengolahan kayu
di pesisir Semarang-Demak. Ketiga bagian tersebut juga dipilah dari tiga
kecamatan tempat DAS Beringin berada yaitu (1) Kecamatan Mijen (kasus BSB);
(2) Kecamatan Ngaliyan (kasus Kampung Desel dan Perumahan Wahyu
Utomo); dan (3) Kecamatan Tugu (kasus Mangkang Wetan dan Mangunharjo).
Proses pendalaman DAS Beringin dilakukan dengan tiga cara. Pertama,
melakukan kerja lapangan berupa observasi dan wawancara dengan beberapa
warga yang memiliki memori terkait momen banjir di DAS Beringin. Cara
pertama ini dilakukan di Perumahan Wahyu Utomo dan Kampung Desel
sebagai bagian dari proses kerjasama penelitian dengan UNDP Accelerator Lab
pada Mei 2021. Kerja Lapangan juga dilakukan pada September 2021 di
Kecamatan Tugu dan Mijen. Namun fokus kerja lapangan terakhir sudah tidak
lagi pada pencarian informasi dengan cara bercakap-cakap bersama warga,
namun lebih fokus untuk mengambil gambar (foto). Walau demikian, proses

43
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

bercakap-cakap dengan warga tetap dilakukan meski tidak se-intens seperti


kerja lapangan Mei 2021.
Cara kedua, melakukan penelusuran digital terhadap aneka publikasi
seperti artikel, jurnal, tesis, disertasi, dan pemberitaan media yang relevan
dengan topik DAS Beringin. Publikasi ilmiah didapat dari laman resmi kampus
atau laman penyedia jurnal. Sementara pemberitaan media (koran) didapat-
kan dari hasil menelusuri laman arsip (digital) Kompas, Tempo, dan hasil
menelusuri arsip LBHS. Seluruh arsip koran yang dipakai sudah dalam bentuk
digital. Kenyataan tersebut cukup menguntungkan kami, apalagi kini masih
dalam kondisi Pandemi COVID-19 yang sedikit banyak cukup berpengaruh
dalam proses pendalaman DAS Beringin. Kerja-kerja lapangan memang masih
memungkinkan untuk dilakukan, namun sebenarnya itu cukup berisiko.
Akhirnya yang menjadi sumber utama dalam proses penulisan DAS Beringin
ialah pemberitaan media (koran) yang dapat diakses secara daring.
Bab IX merupakan upaya percobaan kami dalam merevisualisasi proses-
proses urbanisasi tingkat DAS di Semarang dalam hubungannya sebagai faktor
penyebab banjir. Percobaan revisualisasi tersebut kami hasilkan melalui
beberapa cara. Pertama, dengan cara membuat infografis dari apa yang sudah
dan/atau sedang kami kerjakan. Kedua, dengan cara menyodorkan ulang
informasi atau dokumentasi dari beberapa sumber yang relevan dengan
pekerjaan kami. Misalnya, menampilkan beberapa substansi penting terkait
banjir dari buku Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir
Semarang-Demak (2020) atau dari Siaran Pers Konsorsium GroundUp tentang
“Faktor-Faktor yang Potensial Memengaruhi Keparahan Banjir Semarang.”
Percobaan revisualisasi tersebut kami distribusikan melalui dua kanal
media sosial yakni platform Instagram (@banjir_semarang) dan Twitter
(@banjir_semarang). Dua kanal tersebut dipilih karena pada awal pengerjaan
riset ini, kami menduga dua kanal itulah yang cukup banyak digunakan. Karena
cukup banyak digunakan, maka diharapkan cukup banyak pula yang mengikuti
kanal tersebut yang itu berarti, upaya revisualisasi melalui infografis pun dapat
tersampaikan. Dalam infografis tersebut, kami acap menyusupkan dan/atau
menyitir konten-konten yang sedang ramai dibicarakan seperti figure artis K-
POP, meme lucu, atau bahasa yang sedang popular di kanal media sosial
tertentu. Tentu saja, hal itu dilakukan dalam rangka mengupayakan agar dapat
menarik sebanyak mungkin orang untuk membaca infografis yang kami buat.
Bab X adalah laporan. Pada Bab XI, kesimpulan, kami kerjakan secara
terkoordinasi sekaligus terpisah. Maksudnya, terpisah karena masing-masing
orang membuat kesimpulan sementara atas DAS yang sedang didalami.
Terkoordinasi, karena masing-masing kesimpulan sementara tersebut kemu-
dian dijahit menjadi satu tulisan utuh di Bab XI ini. Hasil simpulan tersebut juga
didiskusikan bersama-sama, sehingga memungkinkan untuk menarik sim-

44
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

pulan umum dari proses urbanisasi di DAS-DAS yang ada di Semarang dalam
kaitannya dengan momen banjir.
Sampai di sini, terlihat bahwa proses penulisan buku ini dilakukan secara
terpisah. Secara sadar kami melakukan “signposting,” atau “menebar jejak,”
dalam naskah ini melalui penggunaan kata-kata kunci dari teori, seperti
urbanisasi, ketimpangan, perubahan sosiospasial, dan sosioalamiah. Tujuan
utama kami melakukan ini adalah untuk menjaga kami tetap pada jalur, bahwa
kami bekerja/menulis dengan menggunakan alat analisis atau teori tertentu,
di satu sisi; di sisi lain, dengan tebaran jejak dimana-mana, kami berharap bisa
membantu pembaca untuk bertaut dengan teori yang kami pakai dan materi
yang kami bahas.
Riset yang diilhami oleh kritisisme netizen ini kami operasionalisasikan
dengan membaginya menjadi enam tahapan kerja yang saling terkait, sebagai
berikut:

1. Tahap pertama: membangun model; kami membangun satu model


pendekatan terhadap DAS dengan memakai teori ekologi politis urba-
nisasi. Bagian ini adalah Bab IV (DAS Silandak) yang dikerjakan secara
bersama-sama antara fasilitator dengan periset untuk menemukan
satu cara yang bisa direplikasi dalam kasus DAS yang lain.

2. Tahap kedua: meluaskan model; model yang sudah dibangun pada


tahapan pertama, oleh masing-masing periset dipakai untuk mema-
hami DAS yang lain. Secara simultan dalam tahapan ini proses pe-
nulisan dilakukan bersamaan dengan proses investigasi.

3. Tahap ketiga: review; hasil dari tahap kedua di-review oleh fasilitator
dan saling review antar periset. Penajaman-penajaman dilakukan
berdasarkan titik-titik yang diidentifikasi, dapat meliputi misalnya
namun tak terbatas pada: organisasi data, narasi yang diciptakan
melalui re-interpretasi, dan visualisasi kasus yang dijelaskan. Review
oleh editor ahli kami percayakan kepada J. Wijanto Hadipuro. Pemilih-
an editor ahli ini berdasarkan pengamatan kami terhadap kerja-kerja
akademis yang bersangkutan yang dapat kami akses dan juga
pengalaman kami dalam menggarap Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-
Ekologis di Kawasan Pesisir Semarang-Demak, dimana yang bersang-
kutan juga berperan sebagai reviewer atau editor ahli.

4. Tahap keempat: konsolidasi; menyiapkan semua studi-studi urbani-


sasi DAS yang terpisah untuk dikonsolidasikan sebagai satu ter-
bitan/buku. Termasuk ke dalam tahapan ini adalah memperbaiki ke-
seluruhan naskah berdasarkan masukan dari editor ahli. Dalam
memperbaiki naskah sebagai reaksi para penulis kepada komentar-

45
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

komentar dan masukan-masukan dari editor ahli, kami menggunakan


pengalaman fasilitator (Bosman) dalam menulis dan menanggapi
ulasan-ulasan dari para reviewer terhadap naskah yang dikirimkan ke
Journal of Peasant Studies dengan rentang waktu lebih dari satu tahun
sejak dikirimkan (15 Juli 2020) hingga dinyatakan diterima (11 Oktober
2021) sebagai bahan belajar melakukan proses review akademis.
Beberapa masukan dari editor ahli, J. Wijanto Hadipuro, layak
disebutkan secara eksplisit di sini untuk menghormati kontribusi
akademis yang bersangkutan dalam penyusunan buku ini. Masukan-
masukan itu, antara lain, dalam hal latar belakang, yaitu perlunya
memperkaya Bab 1 dengan analisis terhadap “big data”; menyangkut
perangkat teori terutama tentang perlunya menjelaskan peran negara
dalam urbanisasi DAS-DAS yang diteliti; dalam hal metodologi untuk
lebih menjustifikasi pilihan-pilihan data yang dianalisis dan kata-kata
kunci yang digunakan dalam pencarian berita media; dalam hal
pembahasan agar lebih secara sistematis menggunakan ketiga pe-
rangkat teori dalam ekologi politis urbanisasi (perubahan sosio-
alamiah, sosiospasial, dan ketimpangan); dalam hal struktur naskah
tentang perlunya masing-masing bab dilengkapi dengan kesimpulan;
dan dalam hal kesimpulan, bagaimana kasus yang diperiksa bercakap
balik terhadap teori. Penting juga untuk disampaikan, tidak semua
masukan dari editor ahli dapat kami penuhi/ikuti, hal ini terutama
mengingat bahwa kalau itu dilakukan, waktu yang lebih panjang pasti
dibutuhkan. Secara umum dapat kami sebutkan bahwa masukan-
masukan dari editor ahli telah sangat membantu memperbaiki naskah
ini secara keseluruhan.

5. Tahap kelima: penerbitan buku; meliputi: pengeditan bahasa, copy-


editing, menata letak, mencetak, dan sebagainya.

6. Tahap keenam: distribusi; terutama melalui mekanisme pre-order (PO)


bagi yang tertarik untuk memiliki hard copy buku. Sementara untuk
versi PDF/ebook, kami akan membuatnya dapat diakses oleh publik
secara gratis.

Tahapan-tahapan di atas dikontrol melalui rapat rutin yang diadakan minimal


sekali sebulan, seperti disajikan dalam Tabel III.1 di bawah ini.

46
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Tabel III.1: Tahapan Kerja.

Waktu [bulan dalam tahun 2021]


Tahapan Kerja
Jul Agu Sep Okt Nov Des

Membangung model

Meluaskan model

Review

Konsolidasi

Penerbitan

Distribusi

Rapat rutin

Untuk mewujudkan proyek ini kami melakukan mobilisasi dana publik melalui
platform Kitabisa.com (Lihat Bab X: Laporan). Bagi kami, mobiliasi dana dengan
cara seperti ini adalah satu percobaan untuk mencari/menciptakan skema
pendanaan untuk riset. Selama ini dana riset banyak diberikan oleh negara,
perusahaan, atau lembaga donor. Tema-tema besar riset biasanya sudah
ditentukan oleh lembaga-lembaga pemberi dana. Kami dalam proyek ini
mengerjakan riset yang pertanyaannya terinspirasi dari kritisisme netizen,
karena itu bagi kami sangat logis juga untuk mengharapkan donasi terbuka
dari netizen untuk membiayai proyek ini.

47
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

48
BAB IV
Urbanisasi DAS Silandak:
Produksi bencana secara timpang

DAS Silandak terletak di bagian tengah-utara Kota Semarang. Secara adminis-


tratif beberapa kelurahan yang termasuk ke dalam DAS Silandak yang akan
dibahas dalam bagian ini adalah, di bagian selatan, Kelurahan Bambankerep
dan Ngaliyan; di bagian utara, Kelurahan Tawangmas, Tambakharjo, Tawang-
sari, Krobokan dan Karangayu. Secara total, DAS Silandak memiliki luas
2.615,04 hektar (ha). Dalam analisis citra satelit yang dilakukan untuk peneliti-
an ini seperti yang disampaikan pada Bab III, DAS Silandak mengalami peru-
bahan penggunaan lahan sejak 1970-an. Pada 1973, area yang berada di DAS
Silandak memiliki daerah yang merupakan tubuh air (rawa-rawa dan laut)
sebesar 27,6%, menurun menjadi 24% pada 1989, sedikit naik pada 1999
menjadi 29,5%, menurun drastis menjadi 11,6% pada 2013, dan semakin me-
nurun menjadi hanya 5% pada 2020. Secara umum area terbangun melebihi
kawasan hijau pada pertengahan 1980-an. Evolusi perubahan penggunaan
ruang di DAS Silandak sejak 1973-2020 disajikan dalam ilustrasi pada infografis
di Gambar IV.1.

49
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

1973 1989 1999

Air: 27.6% Aor 24%


Area terbangun 9,9% Area terbangun. 37,8% Air 29,5%
Vegelas,. 62.5% Vegetasi· 38.2% Area terbangun 57.1%
Vegetas,. 22,4%

2013 2020

Aor. 11.6% Air: 5%


Area lerbangun: 84,3% Area terbangun: 93%
Vegetas, 4.1% Vegetasi: 2%

02.75.5 11 16.5 22
■ ■ Kilometers mnn
IIIUU
Sumber data·
1) Pela Dogolal Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wolayah dodapat dan. hltps:/ltanahaor.indonesoa.go.id.
2) Crtra Satelrte LANDSAT 1-5 MSS (1973); LANDSAT 4.5 TM (1989 dan 1999) dan LANDSAT DU 8 (2013 dan 2020)

Gambar IV.1: Evolusi penggunaan ruang di DAS Silandak. Warna biru adalah tubuh
air. Warna hijau adalah area yang ditutupi vegetasi. Warna kuning
adalah area terbangun.

Bab ini menjelaskan proses-proses urbanisasi di DAS Silandak yang dikendali-


kan oleh beraneka ragam pembangunan. Di hulu proses rekonfigurasi sosio-
spasial melalui pembangunan Kawasan Industri Candi (KIC), sebuah proses
yang melaluinya relasi sosioalamiah – manusia (pengembang KIC) dengan non-
manusia (tanah dan air) – dimediasi, berujung pada keharusan bedhol desa
bagi warga Kampung Pucung ke Gunung Kelir yang berada di sebelah selatan-
nya. Tanah yang dikepras di Kampung Pucung diangkut ke hilir untuk kepenti-
ngan proyek reklamasi kompleks Pantai Marina, sebuah proses rekonfigurasi
sosiospasial yang lain dimana di dalamnya terdapat berbagai proses urbani-
sasi seperti pembangunan Pekan Raya Promosi Pembangunan (PRPP) Jawa
Tengah yang secara timpang memproduksi banjir (sungai dan rob) bagi warga.
Selain itu, proses produksi banjir (spiral negatif) bagi kampung Tambakharjo
(lihat peta pada Gambar IV.2), secara timpang tidak terpisahkan dari spiral
positif pembangunan perumahan elit yang didesain modern, Graha Padma.

50
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

0 5 10 20
Kilometers

Gambar IV.2: DAS Silandak. Letak dan luasan polygon untuk KIC, Gunung Kelir (Kam-
pung Pucung di sebelah utaranya), Graha Padma, Kampung Tambak-
harjo, dan PRPP diinterpretasi dari foto udara dan teks-teks yang diacu
dalam tulisan ini, bukan luasan yang dinyatakan oleh satu dokumen
produk pemerintah.

IV.1. Pemaprasan bukit oleh PT IPU menyebabkan relokasi Kampung


Pucung

Kampung Pucung, Kelurahan Bambankerep, Kecamatan Semarang Barat, ter-


letak di bagian hulu DAS Silandak (lihat Gambar IV-2, bagian Gunung Kelir), di
lokasi yang sekarang menjadi KIC. Tidak semua KIC termasuk ke dalam DAS
Silandak. Bagian selatan-barat dari KIC termasuk ke dalam DAS Bringin. Kasus
Kampung Pucung bermula pada awal 2000-an. Nama Pucung mulai semakin
dikenal di Semarang pada 2002, beriringan dengan terjadinya perubahan
sosiospasial di sana – ketika tanah dari 10 orang warganya dibeli oleh PT Indo
Perkasa Usahatama (IPU) karena tanah-tanah warga tersebut berdekatan
dengan Bukit Ngaliyan yang akan dikeruk oleh PT IPU. Harga pembelian yang
dilakukan oleh PT IPU termasuk fantastis untuk ukuran waktu itu. Yaitu,
sebesar Rp450 ribu/m2 untuk tanah dimana di atasnya ada rumah yang

51
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

terbuat dari kayu, dan sebesar Rp600-650 ribu/m2 untuk tanah yang di atasnya
terdapat rumah yang dibangun dari bata. Tanah yang diratakan digunakan
oleh PT IPU untuk memperluas KIC. Sementara material hasil pengeprasan
diangkut ke daerah utara Kota Semarang, dan dipakai sebagai bahan urukan
untuk proyek reklamasi Pantai Marina, yang juga dikembangkan oleh PT IPU. 1
“Puluhan truk” tanah setiap harinya diangkut dari Kampung Pucung ke Pantai
Marina.2
Sejak itu bencana merangsek dan berujung pada keharusan relokasi
Kampung Pucung. Kerusakan-kerusakan yang terjadi di Pucung adalah
ekspresi pembangunan yang timpang, dimana warga menjadi kelompok yang
paling dirugikan, antara lain: 237 dari 363 rumah warga mengalami kerusakan;
retaknya bangunan lain seperti mushola; bangunan SD yang bergeser belasan
meter, miring, dan nyaris ambruk; pemakaman yang ambles; dan jalan
kampung yang putus, bergeser hingga belasan meter. 3 Secara total, kerugian
yang terjadi di Pucung diperkirakan bernilai Rp2,5 milyar, dengan biaya
perbaikan sekitar Rp4,2 milyar. Angka perkiraan kerugian ini datang dari data
yang dikumpulkan oleh Kelompok Interaktif Masyarakat (KIM) Bambankerep.4
Solusi untuk Kampung Pucung adalah bedhol desa atau pindah massal atau
relokasi.
Untuk memberi gambaran lebih detil tentang bencana ini; SDN Ngaliyan
04 yang awalnya terdiri dari 6 lokal, pada Juli 2004 hanya tinggal 2 lokal yang
dapat digunakan, yaitu lokal untuk kelas 4 dan 6. Sementara 4 yang lain dalam
kondisi rusak, baik itu rusak berat ataupun rusak ringan. Misalnya, lokal untuk
kelas 3 dan 5, atapnya jebol di berbagai tempat, dindingnya mengalami retak-
retak, dan lantainya bergeser dari tempat semula. Pengelola sekolah memu-
tuskan bahwa kedua lokal ini termasuk ke dalam lokal yang tidak bisa dipakai
lagi. Anak-anak kelas 3 dan 5 terpaksa belajar di emperan kelas 4 dan 6. Ruang
emperan yang sempit memaksa para murid duduk berjejer rapat. Satu meja
yang lazimnya dipakai oleh dua orang, sekarang harus menampung tiga orang
siswa. Suasana di tempat terbuka itu juga mengurangi konsentrasi para murid.
Orang dan kendaraan yang lalu-lalang, misalnya kendaraan dan penjual jajan-
an, membuat para murid berkali-kali mengalihkan pandangan mereka ke ber-
bagai aktivitas yang berlangsung di jalanan.5

_____
1 Semarang Post, 25 September 2004, “Derita Warga Pucung Menunggu Kepastian”.
2 Kompas, 2 Agustus 2004, “Pemkot Tak Mampu Hentikan Pengeprasan Bukit”.
3 Wawasan, 20 Februari 2004, “Bangunan2 di Bambankerep Terancam Ambruk”.
4 Suara Merdeka, 1 Agustus 2004, “Kerugian Longsor Pucung Rp. 2,5 M”; lihat juga: Suara
Merdeka, 2 Agustus 2004, “Kronologi Pucung”; Semarang Post, 25 September 2004,
“Pucung dalam Catatan”.
5 Wawasan, 27 Juli 2004, “Menanti Relokasi, Belajar di Emperan”.

52
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Menghadapi situasi ini, dua lokal darurat dari kayu/papan kemudian


dibangun.1 Kedua lokal darurat ini diperuntukkan bagi kelas 3 dan 5. Lokal
darurat itu, seperti yang disampaikan oleh Kepala Sekolah, Katiyani, masih
“jauh dari standar kelayakan sebagai tempat pembelajaran.” Terutama karena
kecilnya ukuran lokal. Satu lokal luasnya adalah 3 x 7,2 meter. Di dalam ruang-
an sesempit itulah, misalnya, 22 orang murid kelas 3 harus berdesakan. Dana
pembangunan kedua lokal itu didapatkan dari bantuan Pemkot Semarang
yang turun setelah warga Pucung berdemonstrasi ke Balaikota dan kondisi
SDN 04 Ngaliyan diliput oleh berbagai media. Total bantuan untuk memba-
ngun lokal-lokal darurat yang dikucurkan oleh pihak Pemkot adalah sebesar
Rp10 juta. Sebanyak Rp6,5 juta dari dana tersebut digunakan untuk mem-
bangun dua lokal darurat tersebut, sementara sisanya digunakan untuk me-
mindahkan WC dan kamar mandi. Agar dana itu mencukupi, pihak sekolah
menggunakan bahan-bahan bekas yang didapatkan dari sisa pembongkaran
gedung sekolah lama yang sudah tidak bisa dipakai lagi. Untuk kelas 1 dan 2,
pihak sekolah berencana untuk merehab ruang kepala sekolah dan ruang guru
untuk dijadikan sebagai ruang kelas.2
Kawasan pemakaman adalah lokasi lain yang rusak di Pucung. Tanah di
kawasan pemakaman retak-retak menghasilkan jurang menganga dimana
orang dewasa bisa masuk.3 Selain retak, tanah pemakaman itu juga ambles
sampai sekitar 3 meter. Proses retakan dan amblesan ini berlangsung cepat,
hanya dalam hitungan hari. Retakan dan amblesan membuat banyak kijing
(makam yang disemen) pecah-pecah. Menurut keterangan salah seorang
warga, kalau ada warga yang meninggal maka tak perlu lagi menggali kubur,
“Tinggal jenazahnya dimasukkan di lubang saja, lalu ditimbun tanah.”4
Bagi warga, retak dan amblesnya pemakaman ini adalah masalah yang
sangat krusial karena di tempat itu, selain warga biasa, terdapat juga makam
para leluhur warga Kampung Pucung. Sebagian warga berharap kelak kalau
relokasi kampung terjadi, maka makam-makam itu juga dipindahkan. Namun
ada juga warga yang menghendaki agar pemakaman itu tetap di situ, dan tidak
diganggu oleh proses perluasan KIC. Kalau dipindahkan, warga melihat harus
diadakan ritual khusus untuk pemindahan makam. 5
Pendapat tentang apa penyebab bencana-bencana itu, secara kasar/
umum terbelah menjadi dua. Tajuk Rencana harian/koran Suara Merdeka yang

_____
1 Kompas, 12 Agustus 2004, “Kelas Darurat”.
2 Suara Merdeka, 2 Agustus 2004, “Siwas SD Ngaliyan 04 Pindah ke Lokal Darurat”.
3 Kompas, 11 Agustus 2004, “Makam Retak”.
4 Seputar Semarang, 3-9 Agustus 2004, “Warga Pucung Terkatung-katung”.
5 Suara Merdeka, 31 Juli 2004, “Pengeprasan di Kawasan Industri Candi Berlanjut: Makam
di Pucung Kian Ambles”.

53
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

berjudul “Prioritaskan Relokasi Warga Kampung Pucung” pada Februari 2004,


memetakannya sebagai berikut:

“Pertama, pendapat bahwa longsor terjadi akibat pengeprasan bukit


yang dilakukan PT Indo Perkasa Usahatama (IPU) dalam pengem-
bangan Kawasan Industri Candi. Sebelum pengembangan proyek,
kondisi Kampung Pucung tidak seperti sekarang. Pendapat kedua,
kerusakan bukan sebagai akibat aktivitas PT IPU karena Pucung jauh
dari lokasi pengeprasan.”1

Secara lebih detil, koran yang sama memperdalam kedua penyebab yang
diidentifikasi itu. Tajuk Rencana Suara Merdeka dengan judul “Anak-anak Belajar
di Bawah Matahari,” pada 30 Juli 2004, misalnya, cenderung membuka
penyebab kedua:

“Bangunan fisik rapuh. Itulah keadaan sekolah-sekolah kita saat ini.


Anak-anak terpaksa harus mengungsi kala belajar. Tidak lagi berada
di gedung yang benar tetapi menempel di rumah-rumah sebelah
sekolah, tenda-tenda darurat, atau di lapangan sekalipun seperti
yang terjadi di SD Ngaliyan 04, Kelurahan Bambankerep, Semarang.
Sangat mungkin bangunan yang rusak berat itu terlalu tua umurnya.
Akan tetapi juga sangat mungkin masih terlalu muda untuk ambruk.
Kenapa? Semua berpulang dari proses berdirinya bangunan itu.
Dan, rasanya masyarakat kita tak ada yang tidak tahu bagaimana
proses berdirinya gedung-gedung sekolah kita dulu. Setidaknya,
sekolah-sekolah yang dibangun dengan model instruksi presiden
pada 1970-an.

Bangunan fisik sekolah dengan model SD Inpres 1970-an dahulu


dibangun untuk menampung ledakan jumlah anak yang masuk SD.
Tak mengherankan, manakala dalam satu desa setidaknya ada satu
atau dua SD Inpres. Dibangun dengan kecepatan tinggi, bahkan
sering mengabaikan unsur-unsur standar berdirinya bangunan
besar. Sebagian besar bangunan tembok berkualitas rendah,
sehingga 10 tahun kemudian bangunan itu membutuhkan sentuhan
rehabilitasi. Jika sebagian dari bangunan itu sekarang ambruk,
memang semestinya terjadi. Bahkan, mungkin sebagian yang lain
sudah tidak ada muridnya lagi. Ditinggalkan begitu saja dalam

_____
1 Suara Merdeka, 23 Februari 2004, “Prioritaskan Relokasi Warga Kampung Pucung”.

54
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

keadaan awut-awutan. Keadaan seperti ini dengan mudah kita


temukan di berbagai daerah, bahkan desa kita atau desa tetangga.

Pada sisi lain, masih banyak pula bangunan sekolah tua yang masih
kukuh berdiri hingga sekarang. Yang unik, justru yang dibangun
pada saat pemerintahan kolonial Belanda dahulu. Kukuh berdiri dan
masih tampak bisa bertahan puluhan tahun lagi. Dua keadaan ini
dengan mudah diperbandingkan, mana bangunan yang dibangun
dengan perencanaan dan pengendalian yang sungguh-sungguh
dengan bangunan yang berdiri seadanya. Itu pun setelah melewati
tender asal-asalan dan pemotongan biaya proyek habis-habisan.
Sekali lagi, bila sekarang ambruk adalah wajar adanya. Jika sekarang
membutuhkan rehabilitasi besar-beasaran, itu memang sudah
seharusnya.”1

Melalui Tajuk Rencana berjudul “Kita Bersikap Ceroboh terhadap Lingkungan”


pada 4 Agustus 2004 Suara Merdeka membuka penyebab pertama:

“Untuk kali kesekian, kita dihadapkan pada kenyataan – tindakan


pencegahan jauh lebih penting ketimbang penanganan – ketika
suatu peristiwa kerusakan lingkungan sudah terlanjur terjadi. Suatu
tindakan setelah terjadi akibat, membawa jangkauan permasalahan
yang makin meluas, baik secara psikologis, sosiologis, maupun
yuridis. Untuk kembali dari nol adalah tidak mungkin, sedangkan
meneruskan langkah dengan gagah tanpa memedulikan akibat-
akibat yang telah terjadi juga memasabodohkan fakta. Kondisi
semacam itu, kurang lebihnya dihadapi banyak pihak yang berkait
dengan persoalan warga Kampung Pucung, Kelurahan Bamban-
kerep, Ngaliyan, Kota Semarang. Sebuah contoh persoalan ling-
kungan serius, ceroboh, dan boleh disimpulkan sama sekali tidak
visioner.

Bagaimana tidak disebut sebagai persoalan lingkungan serius? Sejak


pertengahan tahun lalu, warga sudah melaporkan, sebanyak 263
rumah mengalamai kerusakan berat. Begitu juga jalan, SD 4
Ngaliyan, madrasah, masjid, dan musala. Kondisi itu ditengarai
sebagai akibat pengeprasan bukit di Kawasan Industri Candi,
sebelah utara Kampung Pucung, yang dilakukan oleh PT Indo
Perkasa Usahatama (IPU). Ironisnya, tanah hasil pengeprasan itu

_____
1 Suara Merderka, 30 Juli 2004, “Anak-anak Belajar di Bawah Matahari”.

55
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

digunakan untuk reklamasi pantai perusahaan yang sama. Pada


2003 sudah diadakan rapat koordinasi antara warga dan PT IPU,
difasilitasi Pemkot Semarang. Keputusannya, perusahaan diminta
segera memperbaiki kerusakan rumah dan fasilitas sosial, dengan
alternatif tindakan bedhol desa yang tanahnya disediakan PT IPU.

Bagaimana disebut visioner, ketika tanah-tanah bongkaran dari


kawasan industri itu dialihkan sebagai material reklamasi Pantai
Marina? Kita tahu, reklamasi pantai itu juga membawa akibat-akibat
dan permasalahan tersendiri. Jadi ibaratnya, meninggalkan persoal-
an di daerah atas, dan membangun persoalan baru di kota bawah.
Yang patut dilihat ke belakang adalah bagaimana pertimbangan
pemberian izin, termasuk menyangkut Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (Amdal) atas proyek-proyek tersebut. Derita warga
Pucung adalah akibat nyata yang tidak bisa ditutup-tutupi. Semen-
tara itu terhadap reklamasi, Wali Kota Sukawi Sutarip mengakui sulit
dilakukan penghentian total aktivitas proyek, walaupun dimungkin-
kan untuk melakukan peninjauan ulang.

Dalam jangka pendek ini, warga Pucung membutuhkan jawaban


konkret dari Pemkot Semarang. Taruhannya jelas, warga bisa tidak
lagi memercayai Pemerintah yang seharusnya menjadi fasilitator
adil dalam persoalan lingkungan tersebut. Ketua Tim Penyelamat
Warga Pucung, Kahono meminta Pemkot konsisten memfasilitasi
proses relokasi, mengingat pada Februari lalu disepakati bahwa
bedhol desa ke Gunung Kelir akan dilaksanakan paling lambat akhir
April 2004. Pengolahan data yang dijadwalkan pada 30 Juli lalu, juga
terbukti tidak dapat dilaksanakan. Apakah itu karena adanya
kelambanan birokrasi Pemkot, bukti dominasi para pelaku ekonomi
kuat yang mampu mengontrol peraturan, atau ada hambatan-
hambatan teknis tetapi kurang tersosialisasikan?

Tragedi kerusakan lingkungan yang dihadapi warga Pucung, meru-


pakan contoh terabaikannya fungsi sosial tanah dan lingkungan oleh
kepentingan-kepentingan ekonomi-industri. Bukankah kita baru
saja disentakkan oleh tragedi pencemaran Teluk Buyat, yang dari
segi apa pun ujung-ujungnya mendera rakyat juga? Berbagai
persoalan lingkungan, juga selalu menempatkan rakyat dalam posisi
represif, bukan dilindungi melalui langkah-langkah preventif. Bahwa
warga Pucung sudah bersedia untuk direlokasi, apa pun itu harus
dilihat sebagai bentuk akibat. Mari, kita secara jernih berfikir ke
belakang, bagaimana sebenarnya proses penilaian terhadap proses

56
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

perizinan suatu proyek, bagaimana pula meloloskan Amdal yang


benar-benar jujur, adil, dan konsisten?”1

Kedua Tajuk Rencana Suara Merdeka itu sengaja dikutip panjang dalam tulisan
ini karena mengandung dan merekam dengan cukup baik dua sudut pandang
yang sama sekali berbeda dalam melihat kasus Pucung. Namun, seperti yang
akan diperlihatkan pada sepanjang bagian ini, meskipun beberapa kali PT IPU
mencoba menetralisasinya, aktivitas pengeprasan bukit yang ia lakukan
dianggap sebagai penyebab, atau paling tidak sebagai pemicu, bencana yang
muncul di Kampung Pucung. Ini dapat dipahami dari diskusi/perdebatan yang
berlangsung di kalangan geolog.
Kepala Seksi Pengawasan Geologi dan Pengeboran Air Bawah Tanah
Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah, Teguh Widharto, menyampaikan
analisisnya di media bahwa berdasarkan apa yang ia pelajari di peta geologi,
di kawasan Semarang memang terdapat potensi patahan. Daerah-daerah
yang dia maksud adalah daerah Jatibarang hingga Gombel. Di Kampung
Pucung, patahan itu terletak persis di belakang wilayah industri PT IPU, yaitu
wilayah pemukiman Kampung Pucung. Menurut Teguh, patahan yang
melintasi Kampung Pucung adalah patahan aktif. Namun untuk memicu
longsor sangat tergantung pada kondisi-kondisi seperti iklim, curah hujan, dan
kemiringan lereng. Daerah patahan, tambahnya, biasanya adalah daerah
dengan batuan yang rapuh.2
Secara geologi, Teguh menjelaskan bahwa di Pucung bagian permukaan
tanah terdiri dari breksi vulkanik, konglomerat, tuva berbentuk pasir, dan pasir
kasar. Batuan-batuan tersebut adalah anggota dari Formasi Damar. Di bawah
Formasi Damar terdapat material batuan yang merupakan endapan laut
(marine), yaitu batuan lempung yang berwarna hitam dan abu-abu. Lempung
memiliki kandungan mineral seperti kaolin, bentonite, dan ilit. Mineral-mineral
ini memiliki sifat mengembang dan hancur. Ia akan mengembang apabila
terkena air dan mengkeret apabila terkena panas (airnya keluar). Bagi Teguh,
kondisi tanah di Pucung yang sudah retak-retak sangat mengkhawatirkan,
karena air masuk melalui rekahan dan mencapai lapisan lempung sehingga ia
akan hancur dan memicu terjadinya longsor. Bagi dia itu menjadi alasan
mengapa penting merelokasi Kampung Pucung sebelum musim hujan 2004
datang.3

_____
1 Suara Merdeka, 4 Agustus 2004, “Kita Bersikap Ceroboh terhadap Lingkungan”.
2 Kompas, 11 Agustus 2004, “Relokasi Pucung Harus Segera”.
3 Kompas, 11 Agustus 2004, “Relokasi Pucung Harus Segera”.

57
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Penjelasan Teguh menemukan resonansinya melalui uraian yang disam-


paikan oleh Robert J. Kodoatie, Ketua Tim Universitas Diponegoro (Undip)
dalam melakukan kajian relokasi Kampung Pucung ke Gunung Kelir. Menurut
Kodoatie, sebelum ada aktivitas pembukaan lahan untuk kawasan industri,
tanah di Gunung Kelir dan Kampung Pucung adalah tanah yang memiliki
potensi untuk bergerak. Kondisi mudah bergerak ini terjadi karena adanya
lapisan lempung di bawah permukaan. Lapisan lempung ini bisa mengembang
dan menyusut. Berdasarkan hasil kajian dengan menggunakan metode
geolistrik oleh Tim Undip yang dilakukan oleh Kodoatie dengan Henarno dan
Muhrozy di lima titik di sekitar kawasan itu, mereka menjelaskan variasi batuan
yang ada di bawah permukaan. Lapisan pertama adalah breksi vulkanik
dengan ketebalan berkisar 5,2-10 meter, disusul dengan batuan jenis pasir
lempungan dengan ketebalan 9-18 m, kembali lagi breksi vulkanik dengan
ketebalan 34-68 m, dan setelah itu, di bawahnya terdapat lapisan lempung.
Lapisan lempung ini terdapat pada kedalaman 70-75 meter. Aktivitas PT IPU
yang membuka bagian permukaan, demikian keterangan dari Kodoatie,
membuat lapisan lempung yang memiliki sifat mudah mengembang dan
menyusut itu terbuka. Pada saat ada air di permukaan, misalnya pada saat
hujan, air langsung bersentuhan dan masuk ke lapisan lempung sehingga
lapisan itu mengembang. Mudah ditebak, pada saat kena panas matahari, air
dalam lempung akan menguap sehingga batuan lempung mengkeret. Inilah
yang membuat tanah/batuan bergerak atau juga ambles, dan ekspresinya di
permukaan adalah bangunan atau infrastruktur yang juga ikut bergerak dan
kadang-kadang ambles.1
Penjelasan-penjelasan dari pakar geologi ini bersambung dengan ketera-
ngan dari warga. Seorang warga yang dikutip media, Sapari, menyebutkan
bahwa sebelum PT IPU datang ke Kampung Pucung, kehidupan mereka baik-
baik saja. Ia menyadari bahwa tanah di daerah mereka tergolong labil, namun
tidak ada bangunan seperti rumah yang bergeser ataupun tanah yang longsor.
Namun, hal-hal yang semula baik-baik saja itu berubah ketika PT IPU muncul
dengan alat-alat berat seperti buldoser dan mengepras tanah-tanah yang ada
di sana.2 Dengan kata lain, perubahan sosiospasial berupa perluasan KIC di
permukaan berjalan beriringan dengan berlangsungnya perubahan sosio-
alamiah di bawah dan atas permukaan (menyusut dan mengembangnya lapi-
san lempung dan bergerak dan amblesnya tanah).
Dengan latar belakang seperti itu, menjadi masuk akal ketika wacana un-
tuk menyuntik tanah/batuan di sekitar Kampung Pucung dengan semen mun-
cul, ditolak oleh warga. Wacana penyuntikan tanah/batuan dengan semen,
_____
1 Suara Merdeka, 28 Juli 2004, “Kawasan Gunung Kelir Terancam Longsor”.
2 Seputar Semarang, 3-9 Agustus 2004, “Warga Pucung Terkatung-katung”.

58
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

pertama kali muncul di database kliping media yang kami miliki sebagai ide dari
Pemkot Semarang pada Agustus 2004. Ide ini muncul di tengah-tengah proses
relokasi Kampung Pucung yang belum jelas.
Adalah Asisten Tata Praja Pemkot Semarang, Soemarmo, yang disebut-
kan oleh media menjelaskan bahwa penyuntikan lapisan tanah dengan semen
secara teknis dapat memperkuat tanah di Kampung Pucung yang pada saat itu
sebagian sudah ambles. Ide penyuntikan ini pada awalnya datang dari
Dwiyanto, seorang anggota lembaga penelitian geologi dari Undip. Menurut
Dwiyanto, jika warga setuju, maka penyuntikan dengan semen dapat dibiayai
oleh PT IPU. Lokasi yang bisa dijadikan sebagai ujicoba dimana Pemkot mela-
kukan penyuntikan adalah di bawah SDN 04 Ngaliyan, karena tanah di tempat
tersebut yang paling sering bergerak/ambles. Apabila setelah disuntik dengan
semen tanah tersebut tidak bergerak lagi, teknik penyutikan ini dapat dilaksa-
nakan dalam skala yang lebih luas.
Tetapi, bagi warga itu sudah terlambat karena tanah/batuan di Kampung
Pucung sudah terlanjur “rusak parah”. Jadi penyuntikan dalam kondisi
tanah/batuan yang sudah “rusak parah” hanyalah akan berujung pada kondisi
yang “sia-sia belaka.” Menurut Salam, anggota Tim Penyelamatan Kampung
Pucung (TPKP), berdasarkan pengamatan warga, sekalipun dipaku “pakai paku
bumi, toh tanahnya masih bergeser juga.” Belum lagi, biaya yang dibutuhkan
untuk penyuntikan itu cukup besar; menurut isu yang beredar, bisa mencapai
Rp500 juta.1 Seorang warga yang lain, Kasmani, yang sudah tinggal berpuluh-
puluh tahun di Kampung Pucung dan sudah hafal dengan kondisi tanah di
sana, menegaskan bahwa penyutikan dengan semen “tidak akan berhasil”
menahan gerak tanah. Ini menurut dia karena sebagian lapisan lempung yang
bersifat mengembang dan menyusut itu sudah “terbuka”.2
Sujarwanto Dwiatmojo, Seksi Kerjasama Pengurus Daerah Ikatan Ahli
Geologi Indonesia (IAGI), menyebutkan bahwa penyuntikan dengan semen
seperti itu adalah pemborosan, karena terlalu mahal dan belum tentu akan
dapat menghentikan pergerakan dan amblesan tanah. Dia tidak merinci
berapa biaya yang dibutuhkan untuk sebuah program penyuntikan dengan
semen. Namun, ia menjelaskan bahwa itu sangat tergantung pada kondisi
lahan setempat. Ia menyampaikan kembali keberadaan lapisan batuan lem-
pung yang memiliki sifat mengembang dan menyusut di bawah permukaan
Kampung Pucung. Kondisi yang sudah seperti sekarang dimana tanah sudah
retak-retak dan sudah dibuka/dipapras, menurut Sujarwanto, membuat
penyuntikan semakin tidak efektif.3

_____
1 Suara Merdeka, 13 Agustus 2004, “Pemkot Tawarkan Teknik Suntik Semen”.
2 Semarang Post, 17 Agustus 2004, “Warga Tolak Teknik Suntik”.
3 Suara Merdeka, 14 Agustus 2004, “Pemborosan, Penyuntikan Tanah di Pucung”.

59
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Senada dengan Sujarwanto, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Jawa


Tengah, Edi Haryono, menyampaikan pendapatnya tentang tidak efektifnya
penyuntikan dengan semen di Kampung Pucung, mengingat tanah di Pucung
sudah bergerak. Pendapat itu disampaikan di sela-sela diskusi “Pengelolaan
Sumberdaya Air Bawah Tanah secara Berkelanjutan di Jawa Tengah”. Menurut
Edi, program seperti penyuntikan memerlukan kajian mendalam, termasuk ke
dalamnya perhitungan soal biaya dan jumlah semen yang dibutuhkan. Hadir
dalam diskusi yang sama, Robert J. Kodoatie (kali ini sebagai pakar hidrologi
dari Undip), menyebutkan bahwa penyuntikan dengan semen yang secara
prinsip adalah untuk memperkuat batuan, dalam kasus Pucung dimana
tanah/batuannya terdiri atas lempung dengan sifat yang mengembang,
mudah longsor karena posisinya miring, dan dalam kondisi sudah dipapras
sehingga semakin rawan longsor, tidak akan efektif. 1
Bagi warga, ide penyuntikan dengan semen dari Pemkot menimbulkan
kesan bahwa Pemkot sedang “menutupi masalah yang sebenarnya,” yaitu
program relokasi kampung atau bedhol desa yang tidak berjalan. Dalam
pandangan warga, Pemkot tidak memiliki niat untuk menjalankan program
relokasi Kampung Pucung ke Gunung Kelir. Dan untuk menutupi niat yang
tidak sungguh-sungguh itu, program penyuntikan dengan semen dimunculkan
sebagai wacana.2
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang,
Abdul Syukur Ghanny malah lebih esktrim; ia melihat bahwa wacana
penyuntikan dengan semen “hanya untuk mengulur-ngulur waktu relokasi
saja.” Padahal, bagi Ghanny, “rakyat jelas-jelas dirugikan dengan aktivitas PT
IPU di Pucung.” Ia menilai bahwa “ada permainan dalam kasus” Pucung, karena
di satu sisi disebutkan dimana-mana bahwa rakyat dirugikan, namun di sisi
lain, relokasi tidak dikerjakan juga.3
Permasalahan struktur geologi (lokasi patahan) dan jenis batuan (adanya
mineral-mineral lempung) ini, tampaknya, adalah permasalahan yang
‘berulang’ di KIC. Hal ini saya ketahui dari pemberitaan media tentang tuntutan
PT Helmut Zepf, sebuah perusahaan di bidang produksi peralatan kedokteran
dan kedokteran gigi, dan perlengkapan bedah tulang dan tubuh, terhadap
pemerintah.4 Saya kemudian membaca putusan pengadilan tentang perkara
ini. Pada 2019, PT Helmut Zepf bertindak sebagai Penggugat dalam perkara
yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Semarang. Yang menjadi
_____
1 Kompas, 14 Agustus 2004, “Suntik Semen di Pucung-Bambankerep Tak Efektif.” Lihat juga:
Suara Merdeka, 16 Agustus 2004, “Warga Pucung Tolak Suntik Semen”.
2 Semarang Post, 17 Agustus 2004, “Warga Tolak Teknik Suntik”.
3 Semarang Post, 16 Agustus 2004, “Hanya Mengulur Waktu Relokasi”.
4 Berita media tentang hal ini: https://jateng.tribunnews.com/2019/07/28/perusahaanasal-
jerman-yang-gugat-gubernur-jateng-dinilai-salahalamat [diakses pada 7 November 2021].

60
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

tergugat adalah Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Provinsi Jawa Tengah (Tergugat 1), Kepala Dinas dan Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Semarang (Tergugat 2), PT Indo
Permata Usahatama (Tergugat 3), dan PT Matahari Multi Jaya (Tergugat 4).
Dalil gugatan yang relevan disampaikan di sini adalah dalil nomor 8. Sejak
Mei 2017, “bangunan gedung PT Helmut Zepf Indonesia (Penggugat) tersebut
dindingnya sebagian besar retak dan sejak November 2017 lantai dasarnya
mengalami penurunan (ambles) sekitar 40 cm.” Untuk itu, Penggugat me-
nyatakan mengalami kerugian dan menuntut ganti rugi sebesar sekitar Rp23
milyar.
Dalil gugatan nomor 11 melihat Tergugat 1 dan 2 “telah gagal mem-
berikan jaminan kepastian perlindungan bagi Penggugat untuk memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal di Negara
Republik Indonesia khususnya di kawasan industri candi [sic]” karena mereka
(Tergugat 1 dan 2) “tidak memberikan informasi yang terbuka mengenai
keadaan dan kondisi tanah yang sebenarnya di kawasan industri candi [sic]
khususnya di lokasi tanah tempat lokasi Penggugat mendirikan perusahan
industri.” Tergugat 3 digugat karena dia adalah, seperti yang tertulis dalam dalil
gugatan nomor 4, “pemegang ijin lokasi untuk keperluan pembangunan
kawasan industri seluas ±300 Ha yang berada di Kelurahan Purwoyoso,
Ngaliyan, Banbankerep [sic], Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang.” Sementara
Tergugat 4 digugat karena yang bersangkutan, seperti yang disampaikan
dalam dalil gugatan nomor 6, adalah “penjual” dari salah satu kapling tanah
dimana PT Helmut Zepf mendirikan bangunannya.
Namun gugatan itu ditolak oleh majelis hakim dengan mempertimbang-
kan argumen utama dari para Tergugat. Para Tergugat membangun argumen
bahwa yang paling utama bertanggung jawab terhadap apa yang dialami oleh
PT Helmut Zepf adalah instansi pusat/nasional, yaitu Badan Koordinasi
Penanaman Modal RI yang bertindak sebagai instansi pemerintah pusat yang
memberikan izin kegiatan usaha bagi penggugat. Dalam hal ini gugatan
Penggugat adalah salah alamat (error in subjecto). Alasan lain adalah, bahwa
eksepsi para tergugat melihat masalah yang dialami oleh PT Helmut Zepf
adalah masalah dalam pembangunan/konstruksi. 1
Kembali ke kasus PT IPU dan Kampung Pucung; adanya dua opini yang
beredar ini, yang menghubungkan peristiwa di Kampung Pucung dengan
kelemahan konstruksi bangunan di satu sisi dan aktivitas pengeprasan bukit
oleh PT IPU di sisi lain, membuka ruang bagi PT IPU untuk bermanuver. Sejak
awal pada Februari 2004, PT IPU, melalui Andi Widodo, Manager Pemasaran,
_____
1 Lebih detil lihat: Putusan Nomor 131/Pdt.G/2019/PN Smg; semua kutipan dalam tulisan
ini soal perkara tersebut, diambil dari putusan ini.

61
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

menyampaikan bahwa “pergerakan tanah di Pucung sudah terjadi sebelum


ada Kawasan Industri Candi.”1 Pada Juli 2004, poin ini kembali diperkuat
melalui Manager Perencanaan PT IPU, Heru Sidarta, yang menyatakan bahwa
kerusakan yang terjadi di Kampung Pucung tidak sepenuhnya dapat
ditimpakan sebagai kesalahan PT IPU. Karena, tanah di Kampung Pucung
menurut Heru sudah sejak dulu dimasukkan ke dalam golongan “tanah gerak
yang labil,” dan memang “tanah gerak dan patahan.” Karena itu, bagi PT IPU
menurut Heru, “Retak-retak itu bukan hanya akibat pekerjaan PT IPU.”2
Bagi PT IPU, dengan demikian, permasalahan di Kampung Pucung adalah
permasalahan “sosial.” Permasalahan sosial dalam hal ini, seperti yang
disampaikan oleh Direktur Personalia PT IPU, Alexander Wong,3 bahwa kasus
ini “berbeda dengan ruislag,” (catatan: ruislag adalah tukar-menukar barang
milik instansi negara seperti BUMN/D dengan pihak non-negara) tapi “masalah
sosial murni.”4 Karena itu pula, PT IPU tidak mau kalau proses itu disebut
sebagai pembayaran “ganti rugi.” Dan hendaknya, demikian PT IPU melalui
Alexander Wong, relokasi dilakukan secara “gotong-royong.”5 Sebagai masalah
sosial, dalam pemikiran Alexander, masalah di Pucung harus diselesaikan
“secara bersama-sama, baik oleh pihak Pemkot, PT IPU, maupun warga
sendiri.”6 Alexander menolak kesalahan ditimpakan sepenuhnya kepada PT
IPU. Menurut Alexander, kerusakan di Pucung sudah terjadi sejak 1984. Ia
bahkan mengaku sakit hati ketika kerusakan yang terjadi di Pucung dibeban-
kan sebagai akibat dari pengeprasan bukit oleh PT IPU. Karena itu, meskipun
PT IPU sepakat untuk memberikan uang kepada warga Kampung Pucung,
maka istilah yang dipakai PT IPU bukanlah ganti rugi, tetapi “ongkos pindah.” 7
Analisis yang lebih mendasar muncul dari staf Divisi Nelayan, Masyarakat
Pesisir, dan Lingkungan Hidup LBH Semarang, Tandyono Bawor. Ia menilai
bahwa perbincangan tentang ganti rugi telah menyedot nyaris semua per-
hatian; dan itu, demikian Bawor, adalah salah satu bentuk “pembelokan isu.”
Pada dasarnya apa yang dilakukan PT IPU adalah sebuah tindakan peng-
rusakan lingkungan yang berdampak bukan hanya bagi warga Pucung, tapi
warga Semarang secara keseluruhan. Bawor khawatir jika diskusi mengenai
masalah Pucung terkunci pada wilayah ganti rugi, maka begitu urusan ganti

_____
1 Suara Merdeka, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Minta Direlokasi”.
2 Kompas, 29 Juli 2004, “Aktivitas PT IPU Seharusnya Berhenti Sejak Februari”.
3 Nama Alexander Wong muncul beberapa kali di media secara berbeda-beda, yaitu
Alexander Wong, Alexander Fonk, Alexander Fong, dan Alexander Funk.
4 Radar Semarang, 29 Juli 2004, “Dua Bulan Lagi, Relokasi Pucung”.
5 Suara Merdeka, 4 Agustus 2004, “Pemkot yang Tentukan Ganti Rugi Bangunan Warga
Pucung”.
6 Semarang Post, 29 Juli 2004, “PT IPU Siapkan 9 Hektare”.
7 Semarang Post, 25 September 2004, “Derita Warga Pucung Menunggu Kepastian”.

62
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

rugi selesai, akan timbul anggapan bahwa permasalahan telah selesai.


Padahal, baginya tidak demikian adanya. Bagi Bawor, PT IPU telah melanggar
UU Nomor 23/1997 tentang Lingkungan Hidup.1
Sementara di lapangan, PT IPU terus menjalankan aktivitas pengeprasan
bukit, meskipun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dimiliki
oleh perusahaan itu sudah tidak berlaku dan belum diperbarui lagi. Pada
Februari 2004, seperti yang terekam dalam pemberitaan, Kasi Kerusakan
Lingkungan Bapedalda, Kaharman, menyatakan bahwa PT IPU belum memiliki
Amdal untuk mengerjakan KIC seluas 300 hektar. Amdal lama yang dimiliki
oleh PT IPU sudah diminta untuk direvisi oleh dewan sejak 2003. Sampai
Februari 2004, permintaan tersebut belum dipenuhi oleh PT IPU. Sebaliknya,
melalui Alexander, PT IPU menyebutkan bahwa pihaknya sudah mengantongi
izin pengeprasan bukit sejak Desember 2003. Alexander menyatakan tidak
mengetahui perihal Amdal KIC.2
Permasalahan Amdal ini terungkap kembali melalui Kepala Dinas Tata
Kota dan Permukiman Kota Semarang, Tata Pradana, dalam rapat kerja
dengan Komisi D DPRD Kota Semarang. Menurut Tata untuk melakukan galian
harus ada izin. Sementara izin itu sendiri bisa keluar kalau ada Amdal. Karena
itu Pemkot Semarang sudah meminta PT IPU untuk menghentikan aktivitas
pengeprasan bukit. Namun perusahaan tersebut mengabaikan permintaan
Pemkot.3
Aktivitas pengeprasan terus berlanjut. Pada Mei 2004, media kembali
merekam masalah ini. Deni Setifani, aktivis LSM Pergerakan Anak Bangsa yang
selama ini sering menyuarakan warga Pucung, meminta agar PT IPU
menghentikan aktivitasnya sementara waktu. Alasan Deni menyangkut
kepentingan warga. Sejauh ini relokasi warga belum terwujud. Apabila PT IPU
meneruskan aktivitasnya mengepras bukit, sementara warga tetap ada di
sana, Deni khawatir aktivitas itu akan semakin merugikan warga. Kerugian itu
dapat berupa rasa was was, ataupun risiko bencana yang sewaktu-waktu bisa
muncul.4
Pada Juli 2004, pengeprasan masih terus berlanjut meskipun permasa-
lahan izin dan Amdal belum juga terselesaikan. Kepala Bidang Analisis Pence-
gahan Dampak Lingkungan Bapedalda Kota Semarang, Suharno, menyatakan
kepada media bahwa seharusnya pengeprasan itu sudah berhenti karena
Amdal PT IPU bermasalah. Pihaknya sudah menyatakan Amdal itu sudah tidak
berlaku lagi sejak Februari 2004. Dia juga mengaku bahwa pihaknya sudah

_____
1 Semarang Post, 23 Agustus 2004, “Ada Upaya Pembelokan Isu”.
2 Radar Semarang, 25 Februari 2004, “Warga Direlokasi ke Gunung Kelir”.
3 Kompas, 25 Februari 2004, “Meski Diminta Berhenti, PT IPU Tetap Kepras Bukit”.
4 Suara Merdeka, 6 Mei 2005, “RP 18 Miliar untuk Relokasi Warga Pucung”.

63
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

menghimbau PT IPU berkali-kali untuk menghentikan aktivitas pengeprasan


bukit. Seharusnya, sejak pencabutan Amdal itu, PT IPU sudah harus merevisi
Amdalnya dalam 3 bulan, atau pada sekitar Maret-Mei 2004. Di lapangan
aktivitas pengeprasan bukit harus dihentikan dulu. Secara legal baru bisa
kembali dikerjakan kalau permasalahan Amdal dan izin sudah selesai. Namun
itu tak terjadi. Yang ada adalah PT IPU terus mengepras bukit. Suharno, lazim-
nya pejabat, lepas tangan atau memunculkan bola liar dengan menyatakan
bahwa aktivitas pengeprasan yang terus berlangsung itu sudah “bukan wewe-
nang” nya. Dia dan lembaganya “tidak bisa berbuat apa-apa.”1
Persis seperti orang yang main ping-pong, bola dari Suharno mendapat-
kan sambutan. Ketika instansi Pemkot Semarang menyatakan tidak bisa
berbuat apa-apa, instansi yang lebih tinggi justru memukul kembali perma-
salahan kepada mereka. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa
Tengah, Eddy Haryono, mendesak agar Pemkot Semarang mengkaji ulang
perizinan beroperasi PT IPU. Menurut Eddy, instansinya belum mengeluarkan
izin bagi PT IPU. Ditambah lagi, demikian Eddy, PT IPU juga tidak memiliki
Amdal sehubungan dengan pengembangan wilayah tersebut.2
Apa yang terjadi dengan ganti rugi dan relokasi bagi warga Pucung?
Berbagai teknik dikerjakan oleh PT IPU untuk menunda-nunda proses relokasi
Kampung Pucung atau juga untuk mengurangi uang, atau setidaknya meng-
hindari mengeluarkan uang banyak pada saat yang bersamaan, yang harus
mereka keluarkan dalam melaksanakan relokasi. Masalah relokasi yang terus
molor dan kesepakatan soal ganti rugi yang terus berubah, menurut aktivis
LBHS, Eko Rosanto F, adalah langkah dari Pemkot (dan PT IPU) untuk
“membuat masyarakat jenuh.”3 Kalau masyarakat jenuh, demikian kalau jalan
pikiran aktivis LBHS itu diikuti, maka pilihan-pilihan yang disediakan oleh
perusahaan akan mereka ambil. Sekalipun misalnya pilihan-pilihan itu jauh
dari apa yang mereka suarakan. Kondisi ini yang terjadi dalam kasus relokasi.
Ide relokasi datang dari warga. Ide ini disepakati melalui rapat warga di
Masjid Baiturrahman, Pucung, pada 17 Februari 2004. 4 Menurut Kahono,
Ketua KIM Bambankerep, berdasarkan petunjuk dari sesepuh Kampung, war-
ga sepakat untuk relokasi ke Gunung Kelir.5 Tuntutan relokasi atau bedhol desa
ini kemudian dibawa oleh sekitar 50 orang warga yang menghadiri pertemuan
di Balaikota Semarang pada keesokan harinya (18/2/2004). Selain oleh warga,
pertemuan itu sendiri dihadiri oleh Sekda Kota Semarang yang mewakili Wali

_____
1 Kompas, 29 Juli 2004, “Aktivitas PT IPU Seharusnya Berhenti Sejak Februari”.
2 Wawasan, 2 Agustus 2004, “Pemkot Didesak Cabut Izin PT IPU”.
3 Semarang Post, 13 Desember 2004, “Pucung Harus Diselamatkan”.
4 Suara Merdeka, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Minta Direlokasi”.
5 Radar Semarang, 25 Februari 2004, “Warga Direlokasi ke Gunung Kelir”.

64
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Kota, Asisten I, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Semarang, Kantor
Pertanahan, dan Bagian Pemerintahan Umum Kota Semarang.1 Kahono, Ketua
KIM yang menghadiri pertemuan itu, menyampaikan bahwa sebelumnya PT
IPU sudah berjanji akan membantu biaya renovasi rumah warga yang rusak
dan pembuatan terasering di belakang pemukiman warga. Namun janji itu
tidak dilaksanakan. Waktu itu warga meminta agar relokasi dilaksanakan
sebelum 1 April 2004. Menurut pertimbangan warga, kalau waktu pelaksanaan
relokasi terlalu lama, rumah-rumah warga akan hancur terlebih dahulu. Selain
waktu pelaksanaan relokasi, warga juga menuntut disediakannya berbagai
fasilitas di Gunung Kelir, lokasi yang diinginkan oleh warga. Fasilitas-fasilitas itu
meliputi tempat ibadah, tempat pendidikan, saluran air, dan berbagai fasilitas
lain yang menjadi milik warga. Fasilitas-fasilitas itu sudah harus tersedia
sebelum warga pindah ke sana.2
Dalam hal ganti rugi, warga menuntut perbandingan 1,5. Artinya, setiap
misalnya 1 m2 tanah warga di Kampung Pucung, diganti dengan tanah seluas
1,5 m2 di tempat yang baru. Sementara untuk bangunan, warga meminta ganti
rugi sebesar Rp1,250 juta/m2. Dalam pertemuan itu, perwakilan PT IPU tidak
hadir dengan alasan sedang ke Bandung. Dalam pertemuan itu, Sekda Kota
Semarang, Saman Kadarisman, mengatakan bahwa proses inventarisasi aset
warga akan dilaksanakan selama empat hari, persisnya antara 24-27 Februari
2004.3 Tiga hari setelah pertemuan di Balaikota itu, Wali Kota Semarang,
Sukawi Sutarip menyampaikan di media bahwa dia akan segera mengeluarkan
surat keputusan untuk merelokasi Pucung. Relokasi akan dilaksanakan secara
keseluruhan (bedhol desa), bukan satu-satu.4
Pada 23 Februari, dalam pertemuan di Balaikota, tercapai kesepakatan
antara warga, PT IPU, dan Pemkot, yang berisi 11 poin. Beberapa poin,
misalnya, PT IPU akan mengganti tanah warga Kampung Pucung yang retak
dan longsor dengan perbandingan 1:1. Artinya luas tanah di Kampung Pucung
akan diganti dengan luas tanah yang sama di tempat relokasi; PT IPU sepakat
akan menyediakan fasilitas umum berupa jalan, gorong-gorong, masjid,
mushola sebanyak 4, satu lapangan sepakbola, gedung SDN 04 Ngaliyan,
pelayanan air bersih, pos kamling, dan balai pertemuan; sementara, Pemkot
Semarang akan menyediakan fasilitas sambungan listrik dan sertifikat tanah;

_____
1 Suara Merdeka, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Minta Direlokasi”.
2 Radar Semarang, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Menuntut Bedol Desa.” Lihat juga:
Wawasan, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Demo di Balaikota: Tuntut bedhol desa ke
daerah sekitar”.
3 Radar Semarang, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Menuntut Bedol Desa.” Lihat juga:
Wawasan, 19 Februari 2004, “Warga Pucung Demo di Balaikota: Tuntut bedhol desa ke
daerah sekitar”.
4 Kompas, 21 Februari 2004, “PT IPU Diminta Segera Relokasi Warga Kampung Pucung”.

65
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

perhitungan nilai bangunan warga yang rusak akan dilakukan secara bersama-
sama oleh warga, Pemkot, dan PT IPU; dan pada 31 Agustus 2004 rencana
pembangunan (site plan) daerah relokasi harus sudah disosialisasikan serta
pada 15 September 2004 bedhol desa sudah harus dimulai, termasuk di
dalamnya pemindahan bangunan dan pembayaran pada warga.1 Selain itu PT
IPU juga sepakat untuk menanggung segala keperluan relokasi bagi 363 kepala
keluarga Kampung Pucung. Tanah yang disiapkan di Gunung Kelir adalah
seluas 7 hektar. PT IPU berjanji akan memulai proses relokasi pada perte-
ngahan Maret 2004.2 Nilai ganti rugi tanah belum dibahas dalam kesepakatan
23 Februari.
PT IPU menawarkan nilai ganti rugi sebesar Rp250-300 ribu/m persegi
berdasarkan survei perusahaan itu pada April 2004.3 Nilai/harga yang diajukan
PT IPU tersebut sangat jauh di bawah nilai/harga yang diajukan oleh warga.
Karena itu warga menolak tawaran yang disampaikan oleh PT IPU.4
Dalam hal survei, menurut perwakilan warga, warga tidak dilibatkan
dalam survei yang dilakukan oleh perusahaan. PT IPU melakukan sendiri
perhitungan nilai bangunan. Padahal berdasarkan kesepakatan 23 Februari
2004, seharusnya perhitungan nilai ganti rugi dilakukan bersama-sama.
Namun, PT IPU keluar dari kesepakatan 23 Februari 2004. PT IPU menganggap
bahwa jika survei dilakukan bersama-sama, maka akan terjadi kerancuan, dan
TPKP (sebagai organisasi warga) dianggap oleh PT IPU tidak tahu tentang harga
bangunan. Padahal, bagi warga, justru PT IPU yang melakukan perincian harga
bangunan terlalu rendah. Misalnya saja, satu colt pasir hanya dihitung ber-
harga Rp45 ribu. Padahal, berdasarkan perincian dari Pemkot, satu colt pasir
berharga Rp75 ribu.5 Karena merasa perhitungan yang dilakukan oleh PT IPU
terlalu kecil, warga kemudian menempuh langkah lain dengan cara membuat
formulir perhitungan sendiri.6
Menanggapi sikap warga, Lurah Bambankerep, Masruri Masduki SH me-
nyebutkan bahwa semua pihak “termasuk warga” terlibat dalam proses pengo-
lahan data.7 Sementara, Wali Kota Semarang, Sukawi Sutarip, menyebutkan
agar warga tidak menggunakan momen ini sebagai momen “aji mumpung”
untuk menaikkan nilai kompensasi bagi aset mereka. 8
_____
1 Kompas, 21 Agustus 2004, “Tawaran PT IPU Belum Final”.
2 Radar Semarang, 25 Februari 2004, “Warga Direlokasi ke Gunung Kelir”.
3 Semarang Post, 22 Agustus 2004, “Warga Tetap Tolak Kompensasi IPU”. Juga: Kompas, 23
Agustus 2004, “Warga Pucung Minta Ganti Rugi Rp. 800.000/m2”.
4 Semarang Post, 22 Agustus 2004, “Warga Tetap Tolak Kompensasi IPU”.
5 Suara Merdeka, 19 Agustus 2004, “Warga Tolak Ganti Rugi PT IPU. Pemkot Dinilai Tidak
Adil”.
6 Radar Semarang, 21 Agustus 2004, “Warga Pucung Buat Perhitungan Sendiri”.
7 Radar Semarang, 21 Agustus 2004, “Warga Pucung Buat Perhitungan Sendiri”.
8 Suara Merdeka, 21 Agustus 2004, “warga Pucung Tuntut Rp. 1,250 Juta/m2”.

66
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Pada Mei 2004, relokasi belum juga dimulai. Permasalahan yang muncul
ada tiga hal. Pertama, belum adanya kesepakatan harga/nilai ganti rugi tanah
antara warga dengan PT IPU. Harga/nilai Rp1,250 juta/m2 yang pernah
disampaikan oleh warga pada Februari, belum bisa disepakati oleh PT IPU. 1
Kedua, biaya relokasi yang sangat besar, sampai Rp18 milyar. Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang, Djoko
Marsudi, meragukan kalau PT IPU akan bisa menanggung semua biaya itu.2
Keraguan Djoko sedikit terkonfirmasi ketika pada awal Agustus 2004,
Alexander menyatakan bahwa PT IPU tidak bisa menyediakan dana relokasi se-
cara langsung, dan karena itu relokasi akan dilakukan dengan cara gotong-
royong dan secara bertahap.3 Ketiga, lahan seluas 7 hektar yang disediakan PT
IPU ternyata tidak cukup untuk menampung relokasi.4
Pada Juli 2004, relokasi belum juga dimulai. Di satu sisi, PT IPU sepakat
untuk menyediakan tanah lebih luas, untuk menutupi kekurangan sebelum-
nya. PT IPU siap menyediakan tanah seluas 9,5 ha. Namun pada saat itu yang
tersedia baru 8,9 ha, dan karenanya PT IPU perlu membebaskan tanah seluas
4.500 m2 lagi. Di sisi lain, pemindahan akan dilakukan secara bertahap, misal-
nya setiap 5-10 rumah, dan secara bergotong royong.5
Berlarut-larutnya masalah relokasi membuat warga semakin kehilangan
kepercayaan terhadap bukan hanya PT IPU, namun juga Pemkot Semarang.6
Bagi warga, Pemkot mengulur-ngulur jadwal. Sebagai contoh, pengolahan data
bersama yang sudah direncanakan pada 30 Juli tidak terlaksana karena
jadwalnya diulur oleh Pemkot. Masalah-masalah teknis seperti surat undangan
pertemuan yang ternyata belum dibuat oleh Pemkot, turut menjadi penyebab
molornya pertemuan. Tentang jadwal yang molor ini, bagi Lurah Bamban-
kerep, Masruri Masduki, adalah “wajar terjadi, karena Pemkot masih harus
mempersiapkan undangan segala.”7 Sementara Wali Kota Sukawi Sutarip terus
melontarkan retorika dengan menyampaikan bahwa “masalah Pucung men-
jadi keprihatinan bersama. Wali kota juga nelangsa melihat musibah itu.” 8
Pada 23 Agustus 2004, terlihat warga mulai jenuh. Media memberitakan
bahwa warga Kampung Pucung sudah menurunkan tawarannya, menjadi

_____
1 Radar Semarang, 6 Mei 2004, “Relokasi Warga Pucung Tertunda”.
2 Suara Merdeka, 6 Mei 2004, “Rp. 18 Miliar untuk Relokasi Warga Pucung”.
3 Suara Merdeka, 4 Agustus 2004, “Pemkot yang Tentukan Ganti Rugi Bangunan Warga
Pucung”.
4 Suara Merdeka, 4 Mei 2004, “Tanah 7 Hektar yang disepakati Masih Kurang”.
5 Radar Semarang, 29 Juli 2004, “Dua Bulan Lagi Relokasi Pucung”; juga: Suara Merdeka, 29
Juli 2004, “Diperkirakan September: Relokasi Warga Pucung Dilakukan Bertahap”.
6 Seputar Semarang, 3-9 Agustus 2004, “Warga Pucung Terkatung-katung”.
7 Radar Semarang, 4 Agustus 2004, “Ganti Rugi Belum Beres”.
8 Suara Merdeka, 2 Agustus 2004, “Warga Tidak Percaya Pemkot: Dinilai Lambang Tangani
Pucung”.

67
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Rp800 ribu/m2. Menurut warga, angka itu muncul sebagai angka rata-rata dari
perhitungan yang dilakukan warga terhadap bangunannya pada 20 dan 21
Agustus 2004. Bagi warga angka Rp800 ribu/m2 adalah angka yang realistis.
Jadi, tuntutan harga yang disampaikan oleh warga Kampung Pucung bukanlah
suatu sifat aji mumpung, seperti yang pernah ditengarai oleh wali kota. Bahkan
angka itu sudah lebih kecil dari tuntutan warga sebelumnya yang Rp1.250
ribu/m2. Warga juga menyadari bahwa nilai ini lebih tinggi dari ganti rugi yang
dibayarkan oleh PT IPU pada 2002 terhadap 10 (kadang-kadang media menye-
butnya 10, kadang-kadang 11) warga, dimana ketika itu PT IPU membayar
sebesar Rp400-600 ribu/m2. Bagi warga, harga yang mereka ajukan realistis,
karena ketika nanti mereka memindahkan rumah ke Gunung Kelir, hampir
sebagian besar bahan dari rumah lama di Kampung Pucung, misalnya dinding
rumah, tidak akan bisa didaur ulang untuk dipakai di Gunung Kelir. Yang bisa
dipakai paling adalah beberapa komponen seperti kusen pintu dan jendela,
sebagian genteng, dan sebagian dari dinding.1 Artinya, warga harus menge-
luarkan biaya yang besar untuk membangun kembali rumah-rumah mereka.
Musim hujan yang mendekat membuat permasalahan relokasi menjadi
semakin penting. Kepala Seksi Pengawasan Geologi dan Pengeboran Air
Bawah Tanah Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah, Teguh Widharto,
menyampaikan bahwa musim hujan akan meningkatkan potensi longsor dan
banjir lumpur di Pucung. Mengingat relokasi belum terlaksana, maka sebaik-
nya PT IPU menyiapkan drainase kawasan tersebut, misalnya dengan mem-
buat bendungan pada aliran-aliran sungai kecil.2 Namun sepertinya bahaya
longsor dan banjir itu dikalahkan oleh kepentingan lain. Menurut Kahono,
Ketua TPKP, proses relokasi dihambat oleh Pemkot. Ini terjadi karena Pemkot
memihak kepentingan PT IPU yang butuh untuk terus mengeruk tanah di
Pucung untuk keperluan penimbunan pada proyek reklamasi di Pantai
Marina.3
Pemkot Semarang berusaha menegaskan kembali posisi dan fungsinya.
Terutama sebagai reaksi terhadap pertambahan peran Pemkot yang didorong
oleh PT IPU untuk ikut membiayai pembangunan jalan. Melalui Wali Kota
Sukawi Sutarip, Pemkot menegaskan bahwa Pemkot tidak memiliki kewajiban
untuk ikut berkontribusi dalam proses relokasi itu. Selain itu, menurut wali
kota, proses kontribusi Pemkot akan memakan waktu yang lama, sebab harus
melewati proses mendapatkan izin dari dewan atau juga perlu didukung
dengan peraturan tertentu.4 Melalui Sekda Saman Kadarisman, Pemkot

_____
1 Kompas, 23 Agustus 2004, “Warga Pucung Minta Ganti Rugi Rp800.000/m2”.
2 Kompas, 11 Agustus 2004, “Relokasi Pucung Harus Segera”.
3 Semarang Post, 10 Agustus 2004, “Relokasi Warga Pucung Lambat”.
4 Semarang Post, 18 Agustus 2004, “Warga Pucung Kecewa Lagi”.

68
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

menyatakan kalau soal membantu menyediakan prasarana seperti jalan,


Pemkot masih bisa ikut berperan, tapi tidak bisa menanggung semua.1 Dan
untuk menekan PT IPU, wali kota sendiri sekarang melihat bahwa PT IPU
mengulur-ulur proses relokasi.2
Pada akhir Agustus 2004, sebuah pertemuan yang sedianya digelar pada
tanggal 30 antara warga, PT IPU, dan pemerintah, batal. Dari sisi Pemkot,
melalui Kepala Bagian Pemerintahan Umum, Kuncoro Himawan, batalnya
pertemuan tersebut terjadi karena tahap pengolahan yang dilakukan PT IPU
dan Pemkot belum final. Ini terjadi karena warga belum menyerahkan data
yang dibutuhkan. Menurut Himawan, memang perhitungan itu cukup rumit,
sehingga keterlambatan bisa dipahami. Sementara dari sisi warga, mereka
merasa sudah menyerahkan data yang dimaksud kepada Pemkot tiga hari
sebelumnya, yaitu pada 27 Agustus. Jadi dalam pandangan warga, justru
Pemkotlah yang belum menyelesaikan perhitungannya.3
Menjelang akhir 2004, tampaknya warga Pucung sudah semakin jenuh
dan was-was karena musim hujan membuat rumah yang rusak semakin
banyak. Media tidak menyebutkan adanya perubahan harga/nilai ganti rugi
terhadap tanah. Namun diberitakan bahwa kesepakatan sudah dicapai.
Sementara itu, masa depan terlihat semakin kejam/mahal bagi warga. Bahan
material seperti semen dalam unit/satuan tertentu misalnya, dalam
perhitungan ganti rugi cuma dihargai Rp18-23 ribu, sementara di pasaran
Rp27 ribu. Artinya kebutuhan relokasi akan semakin besar. Di sisi lain, setelah
warga menandatangani persetujuan bermaterai, PT IPU berniat memotong
ganti rugi warga sebesar 10% dengan alasan yang tidak pernah dijelaskan. Niat
itu batal setelah mendapat penolakan kencang dari warga. 4 Pada Desember
2014, diberitakan bahwa pada akhirnya warga Kampung Pucung mulai
direlokasi ke Gunung Kelir. PT IPU sepakat memberikan ganti rugi, dan Pemkot
sepakat untuk memberikan bantuan pembangunan fasilitas umum dan fasili-
tas sosial. Total dana untuk pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial
dianggarkan dari APBD, sebesar RP1,75 milyar.5

_____
1 Suara Merdeka, 20 Agustus 2004, “Relokasi Warga Pucung Mundur”.
2 Radar Semarang, 18 Agustus 2004, “PT IPU Ulur Waktu”.
3 Radar Semarang, 31 Agustus 2004, “Pemkot-Warga Saling Tuduh”.
4 Suara Merdeka, 30 November 2004, “Warga Pucung Tolak Pemotongan 10%”.
5 Semarang Post, 12 Desember 2004, “Warga Pucung Akhirnya Direlokasi”. Database kliping
LBH Semarang berhenti pada Desember 2004. Sehingga, kelanjutan riwayat Kampung
Pucung ini tidak bisa diikuti dari database kliping tersebut. Yang jelas, pada 9 November
2007, media memberitakan bahwa SDN 04 Ngaliyan masih belum dipindah; lihat Kompas,
9 November 2007, “Tanah SD Ngaliyan 04 Ambles, PT Indo Perkasa Usahatama Siap
Menyediakan Lahan Relokasi di Tanah Miliknya,”; pada Juli 2019, media memberitakan
bahwa kondisi SDN Ngaliyan 04 yang berada di Jalan Pucung cukup memprihatinkan.
Dalam berita disampaikan bahwa sejak lama sekolah tersebut sudah mau direlokasi.

69
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Rekonfigurasi sosiospasial, perubahan sosioalamiah, dan produksi ketim-


pangan seperti yang disampaikan di bagian teori di Bab II bekerja dalam kasus
ini. Rekonfigurasi sosiospasial berlangsung melalui perluasan KIC, pemapra-
san bukit oleh PT IPU, dan relokasi Kampung Pucung yang berjalanan beri-
ringan dengan perubahan sosioalamiah, yaitu relasi antara manusia dengan
non-manusia (tanah dan air) yang berlangsung dalam dua arah secara bolak-
balik. Arah pertama, manusia membentuk non-manusia. Pemaprasan bukit
untuk perluasan KIC (oleh manusia) telah mengubah dinamika air-soil/tanah
(non-manusia), yaitu menyebabkan persentuhan yang makin intens antara air
dengan lempung yang memiliki sifat mengembang dan menyusut. Ini yang
menjadi salah satu penyebab munculnya longsor di Kampung Pucung. Arah
kedua, sebaliknya pada gilirannya, perubahan non-manusia membentuk bagai-
mana manusia hidup. Seperti yang dipaparkan di atas, Kampung Pucung
dimana manusia hidup berujung pada keharusan relokasi karena pengaruh
non-manusia dalam bentuk tanah longsor.
Pergerakan di arah kedua ini, bagaimana non-manusia memengaruhi
manusia, lebih jauh/mendalam apabila kita mencermatinya secara kumulatif.
Perubahan sosioalamiah yang bersifat lebih kumulatif, dalam arti melibatkan
peran (materialitas) area DAS yang lebih luas, terekam dalam bentuk
perubahan debit sungai dan banjir di DAS Silandak. Perubahan sosiospasial
dalam bentuk perluasan KIC dari sekitar 16 Ha menjadi sekitar 319 Ha dari
1994 ke 2010 berkontribusi terhadap peningkatan debit puncak sungai dan
proses produksi banjir di DAS Silandak. Perluasan KIC adalah salah satu
penyebab yang telah diidentifikasi bagi terjadinya perubahan sosioalamiah
berupa naiknya debit puncak aliran Kali Silandak dengan intensitas hujan yang
relatif sama dari 1,47 m3/detik pada 1994 menjadi 7,23 m3/detik pada 2010.
Setyowati DL dan Sugiyanto R (2013: 147) menjelaskan hubungan ini, bahwa
“Kenaikan nilai debit puncak tersebut dipengaruhi oleh perubahan pengguna-
an lahan yang sangat didominasi perubahan penggunaan menjadi pemukiman
dan kawasan industri pada wilayah hulu DAS Silandak yaitu adanya pembangu-
nan KIC.” Yang mengalami dampak dari peningkatan debit puncak ini adalah
manusia yang hidup di kawasan seperti Kelurahan Krapyak, Tambakharjo,
Jerakah dan Tugurejo yang menjadi tergenang lebih lama ketika banjir datang.1
Selain warga yang tinggal di kelurahan-kelurahan tersebut, banjir di DAS
Silandak juga menimbulkan masalah bagi infrastruktur transportasi seperti

_____
Namun, hingga kepala sekolah sudah berganti lima kali, relokasi belum terjadi juga. Lihat:
https://semarang.ayoindonesia.com/semarang-raya/pr-77773527/Kondisi-SD-Negeri-
Ngaliyan-04-Memprihatinkan [diakses pada 7 November 2021].
1 Setyowati DL dan Sugiyanto R (2013) Dampak Pembangunan Kawasan Industri Candi pada
Perilaku Banjir Kali Silandak dan Kota Semarang. Forum Ilmu Sosial 40(2): 141-153.

70
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Bandara Ahmad Yani. Menurut Kasubdin Pengairan Dinas Pekerjaan Umum


Kota Semarang, Prasetyo Kuncoro, salah satu daerah yang menjadi rawan
banjir sebagai akibat perluasan KIC (dimana Kampung Pucung termasuk ke
dalam skema perluasan KIC) di lokasi tangkapan air di hulu DAS Silandak
adalah Bandara Ahmad Yani, dimana momen banjir membuat tidak berfungsi-
nya bandara tersebut.1
Siapa yang mendapatkan untung dari proses-proses pembangunan yang
timpang ini, dimana ada kelompok yang mengalami kerugian-kerugian (warga
Kampung Pucung yang mengalami bencana susul menyusul dan keharusan
bedhol desa, kelurahan-kelurahan yang lama genangannya naik, dan infra-
struktur transportasi publik yang bisa tidak berfungsi)?
PT IPU adalah kelompok pertama yang paling bisa teridentifikasi. Agak
susah mengetahui berapa keuntungan total yang didapatkan oleh PT IPU
sebagai pengembang KIC. Putusan Pengadilan Negeri Semarang terhadap
gugatan PT Helmut Zepf Indonesia yang disinggung di atas dapat menjadi
ilustrasi tentang ini. PT Helmut Zepf Indonesia menuntut ganti rugi sebesar
sekitar Rp23 milyar. Sebesar sekitar Rp10,5 milyar dari ganti rugi itu adalah
harga untuk mendapatkan Hak Guna Bangunan pada tanah seluas 4.478 m2.
Artinya, harga 1 m2 adalah sekitar Rp335 ribu.2 Untuk sekitar 300 hektar KIC
maka, secara kasar, PT IPU dapat mengkapitalisasinya sebesar lebih dari Rp1
trilyun. Ini belum termasuk dari harga menjual tanah di Pantai Marina yang
ditimbun dengan, salah satunya, menggunakan tanah yang dipapras dari
Kampung Pucung/KIC.

IV.2. Reklamasi Pantai Marina (PRPP): Dari rawa/laut menjadi aset


properti

Pantai Marina tidak sepenuhnya berada pada DAS Silandak. Dia persis berada
di perbatasan antara DAS Silandak dengan DAS Garang (lihat peta pada
Gambar IV.2). Reklamasi Pantai Marina bermula pada 1985. Pada 26 Januari
1985, Gubernur Jawa Tengah waktu itu, Muhammad Ismail, menerbitkan Surat
Keputusan tentang Pengamanan Areal Tanah seluas lebih dari 108 Ha untuk
menyediakan lokasi bagi Pekan Raya Promosi Pembangunan (PRPP) Provinsi
Jawa Tengah. Tanah yang dimaksud oleh Surat Keputusan Gubernur Jateng ini
terletak di Kelurahan Tambakharjo, Tawangsari, Tawangrejosari, Tawangaglik
Kidul, dan Tawangaglik Lor. Semuanya terletak di Kecamatan Semarang Barat.

_____
1 Radar Semarang, 25 Februari 2004, “Warga Di Relokasi ke Gunung Kelir”.
2 Bandingkan angka ini, misalnya, dengan harga per m2 tanah di KIC seperti yang disebutkan
dalam Putusan No. 380/Pdt.G/2021/PN.Smg. sebesar Rp460 ribu (Hlm. 6 putusan terkait).

71
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Sebagai tindak lanjut dari Surat Keputusan Gubernur tersebut, maka


dibentuklah Yayasan PRPP sebagai “pengelola dan pendaya guna” tanah seluas
lebih dari 108 Ha tersebut. Pada tanggal yang sama (26 Januari 1985) Gubernur
Jateng juga mengeluarkan Surat Perintah Kerja kepada Yayasan PRPP untuk
melakukan kerjasama dengan PT Uber Vista Indah (Surat Perintah Kerja
Nomor: 510.1/02442 Thn. 1985). Yayasan PRPP bertugas melakukan pembe-
basan tanah dengan perincian ± 5 Ha untuk Pelataran Semarang (Semarang
Square), ± 5 Ha untuk PRPP, dan mengurus izin lokasi PRPP seluas ± 60 Ha.
Sedangkan PT Uber Vista Indah bertugas untuk membuat gambar rencana
keseluruhan proyek PRPP di atas tanah seluas ± 108 Ha, menjadi kontraktor
pembangunan Semarang Square, dan investor untuk pelaksanaan pembangu-
nan PRPP.
Ternyata PT Uber Vista Indah hanya mampu melaksanakan pemba-
ngunan Semarang Square Tahap I yang pembangunannya diresmikan oleh
Presiden Soeharto pada 1986. Karena itu, Gubernur Jawa Tengah mencari
investor baru yang bisa menggantikan peran PT Uber Vista Indah. Sang
Gubernur meminta bantuan pemilik PT Puri Sakti untuk bersedia berinvestasi
melanjutkan proyek PRPP. Pemilik PT Puri Sakti Indah kemudian mendirikan
PT Indo Perkasa Usahatama, sekarang PT Indo Permata Usahatama (IPU),
untuk keperluan tersebut. Kerjasama Pemprov Jateng dengan PT Uber Vista
Indah secara legal berakhir.
PT IPU segera melakukan pembebasan tanah, bersama dengan Gubernur
Jateng membuat desain “Rencana Induk Taman Mini Jawa Tengah” dan PRPP
Jawa Tengah, dan menyiapkan penyelenggaraan PRPP 1987. Total tanah yang
dibebaskan (± 108 Ha), ditambah dengan pengurukan tanah yang masih
berupa laut yang dikerjakan oleh PT IPU. Total area yang berada di bawah
payung proyek PRPP ini adalah ± 237 Ha. Area ini kemudian disemati Hak
Pengelolaan (HPL) atas nama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
PT IPU membangun kawasan ini dan berhasil menjual 1.759 plot Hak
Guna Bangunan (HGB) kepada pihak ketiga. Masalah muncul antara peme-
rintah (dalam hal ini Pemprov Jateng) dengan PT IPU ketika mereka ber-
sengketa tentang siapa sebenarnya yang memiliki lahan luas di kawasan utara
Kota Semarang tersebut. Antara HPL atas nama Pemprov Jateng dengan HGB
yang diecer oleh PT IPU. Tulisan ini tidak akan masuk lebih dalam ke detil-detil
masalah perkara antara Pemprov Jawa Tengah dan PT IPU. Singkat kata, pada
2018, Pemprov Jateng memenangkan Peninjauan Kembali (PK) kasus ini di
Mahkamah Agung. 1

_____
1 Riwayat pembangunan PRPP dan pembebasan tanah dan laut disarikan dari Putusan
Pengadilan Negeri Semarang Nomor 327/Pdt.G/2014/PN Smg. Kemenangan Pemprov
Jateng dalam Peninjauan Kembali di MA dapat disimak di Putusan Nomor 790 PK/Pdt/208.

72
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Tanah-tanah yang luas tersebut ketika dibebaskan bukanlah tanah


kosong, tapi ada penghuninya. Hal ini, misalnya, dapat disimak dari “Surat
Forum Komunikasi Masyarakat Tawang Mas (FKMTM) pada 5 Juni 2002 kepada
Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia”. Surat tersebut membuat
kronologi kasus Tawang Mas menjadi: 1) sebelum ada kasus; 2) saat terjadinya
kasus; 3) pasca kasus; dan 4) upaya penyelesaian kasus.
Sebelum kasus, daerah ini terdiri dari 5 (lima) kelurahan, yaitu Kelurahan
Tawang Rejosari, Rajekwesi, Aglik Lor, Aglik Kidul, dan Tawang Sari. Pada 1990-
an, pemerintah menjadikannya dua kelurahan, yaitu Kelurahan Tawang Sari
dan Kelurahan Tawang Mas. Kelurahan Tawang Mas terdiri dari 4 (empat) yang
pertama.
Pada waktu itu, demikian surat FKMTM tersebut:

“Kelurahan Tawang Mas ini merupakan desa swasembada dengan


kondisi alamnya yang subur, disamping bermata pencaharian seba-
gai petani, sebagian besar penduduk bermata pencaharian nelayan.
Dan ibu-ibu nelayan menjadi pengrajin trasi hingga daerah ini
dikenal dengan sebutan TAWANG TRASI. Kesejahteraan penduduk
sangat terjamin berkat adanya sungai Tawang Mas yang menjadi
urat nadi atau alur lalu lintas nelayan, bahkan berkat sungai ini pula
Tawang Mas melahirkan atlit [sic] dayung dan memboyong piala
pada tingkat PON dan ASEAN GAMES.”

Kasus bermula dengan adanya pembebasan lahan untuk kepentingan pem-


bangunan PRPP, yang menurut surat FKMTM tersebut dilakukan dengan:

“paksa pada areal tanah tambak yang jelas legalistasnya (berleter


C/D bahkan ada yang bersertifikat) dan anehnya pihak agraria
mengatakan tanah tambak itu merupakan hak pemerintah.
Pengembang ketika itu yaitu pada tahun 80-an adalah IPU (Indo
Perkasa Usahatama) bekerjasama dengan birokrasi mengintimidasi
masyarakat bahwa bagi warga yang tidak mau melepaskan tanah-
nya dikatakan PKI. Ketika itu melepaskan atau tidak melepaskan,
mau menerima ganti rugi atau tidak mau menerima ganti rugi,
pengurugan terus berjalan. Ganti rugi itu sangat minim yaitu antara
Rp. 1.500,- s/d Rp. 2.500,- [per m2].”

Kemudian,

“pada tahun 1987, PT IPU melakukan penutupan alur sungai dengan


dalih meminjam paling lama 3 bulan untuk lalu lalang armada

73
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

pengurugan dengan memberi kompensasi Rp. 7.000,- tiap nelayan


dan tidak jelas untuk apa. Tindakan ini sangat arogan karena jelas
mematikan hak hidup nelayan, dan janji membuka kembali alur
sungai tidak pernah diwujudkan, bahkan sejak tahun penutupan itu
bekas sungai yang berukuran ± lebar sungai 10 m sepanjang 1,5 km
sengaja dibangun gedung-gedung dan sisa tanahnya dijual kemana
atau masih menjadi milik siapa, yang jelas terjadi manipulasi
perampasan hak publik.”

Untuk membangun PPRP, PT IPU membelokkan Sungai Tawang Mas ke arah


timur. Air dari Sungai Tawang Mas kemudian tidak mengalir ke laut, tapi ke
Banjir Kanal Barat. Nada yang sama tentang duduk perkara ini dapat dilacak
dari surat permohonan audiensi yang dikirimkan oleh “Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Semarang kepada Gubernur Jawa Tengah,” pada 15 Agustus
2001. Dalam surat permohonan audiensi tersebut dituliskan bahwa “Pada
1980-an Sungai Tawang Mas ditutup untuk kepentingan proyek PRPP yang
hingga kini keberadaan sungai tersebut telah dihilangkan.” Pada waktu itu
masyarakat Tawang Mas dijanjikan bahwa sungai itu dipindahkan hanya untuk
waktu selama tiga bulan. Pada kenyataannya Sungai Tawang Mas ditutup
permanen. Surat permohonan audiensi dengan niat yang sama juga
dikirimkan oleh “LBH Semarang kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Nabiel Makarim,” pada 10 September 2001.
FKMTM juga telah menyampaikan hal ini kepada DPRD Kota Semarang
pada Februari 2000. Dari penyampaian tersebut dihasilkan kesepakatan untuk
meluruskan alur Sungai Tawang Mas. Namun sampai pada saat itu (2001),
pelurusan Sungai Tawang Mas itu belum juga dilaksanakan. Melalui FMKTM
warga juga mengirimkan surat pada 22 November 2000 kepada Presiden
Abdurrahman Wahid sebagai tindak lanjut dialog antara Presiden dengan
warga pada 19 Januari 2000, sewaktu presiden berada di Masjid Baiturrahman,
Semarang. Surat itu disusul dengan surat yang bernada sama kepada Komnas
HAM pada 21 November 2000.1
Bagi warga Tawang Mas, penutupan Sungai Tawang Mas adalah masalah
besar. Setidaknya, seperti yang terungkap dalam surat “FMKTM kepada Duta
Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia” yang disebutkan di atas. Ada empat
masalah utama yang timbul bagi warga Tawang Mas sehubungan dengan
penutupan sungai itu, atau yang oleh surat kepada Kedutaan Belanda itu
disebut kondisi “pasca-kasus”.
Pertama, bahwa penutupan sungai itu

_____
1 Suara Merdeka, 5 Februari 2001, “Warga Tawang Mas Surati Presiden”.

74
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

“betul-betul mematikan hak hidup nelayan hingga social [sic]


ekonomi atau kesejahteraan penduduk menurun drastic [sic]
sampai dibawah [sic] garis kemiskinan. Nelayan tidak bisa melaut
karena perahu-perahu mereka banyak yang sengaja ditimbun
bersamaan dengan pengurugan tanah dan beberapa terdampar
rusak.”

Kedua, “kawasan pantai yang menjadi hak publik dikuasai oleh pengembang.”
Ketiga,

“sistem drainase yang dibangun hingga sekarang sangat fatal,


karena sungai Ronggolawe yang menuju sungai Tawang Sari,
dimana sungai itu dahulu lurus dan mengakses ke laut sama dengan
sungai Tawang Mas, justru sungai Ronggolawe ini dibelokkan ke
sungai Tawang Mas dan diteruskan pembelokannya ke sungai Banjir
Kanal Barat.”

Keempat, karena pembelokan sungai-sungai itu, sekarang

“setiap saat [warga] selalu was-was dengan musibah banjir,


mengapa? Karena kondisi sungai Banjir Kanal Barat sekarang sudah
dangkal dan daya tampungnya sudah berkurang, bila [ruang Kanal
untuk menampung] air kiriman dari selatan tidak memadai maka
[air] meluap ke Sungai Tawang Mas. Kondisi sungai Tawang Mas
sendiri pun juga dangkal ditambah dengan masukan limbah dari
sungai Ronggolawe dan dari pasar Karang Ayu, sehingga luapan air
masuk ke wilayah pemukiman.”
Adapun surat itu ditujukan oleh FMKTM kepada Duta Besar Kerajaan Belanda
untuk Indonesia karena warga mengidentifikasi bahwa perancang Banjir Kanal
Barat Semarang dan sistem irigasi di kawasan itu adalah para ahli Belanda. Jadi
warga mengharapkan, demikian pikiran itu berjalan, agar pemerintah Belanda
memberikan perhatian kepada infrastruktur yang dirancang oleh ahli-ahli
mereka. Berikirim surat ke banyak pihak ini adalah bagian dari upaya
penyelesaian yang ditempuh oleh FKMTM.
Sebagai reaksi terhadap aktivitas yang diadakan oleh FMKTM, PT IPU
bukannya melaksanakan pelurusan sungai, tapi justru mendorong pemben-
tukan organisasi warga yang memiliki pandangan berseberangan dengan
FMKTM. Organisasi tersebut, Forum Peduli Rob dan Banjir (FPRB), mengklaim
mewakili warga kelurahan Karangayu, Tawang Sari dan Krobokan, dan
menyatakan sikap menolak pelurusan Sungai Tawang Mas.

75
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Namun pernyataan FPRB ini dibantah sendiri oleh Warga Krobokan.


Melalui rapat warga pada 18 April 2001, warga Krobokan mempersilakan
pelurusan Sungai Tawang Mas asalkan tidak menimbulkan rob. Selain itu,
warga Krobokan minta dibuatkan pintu air dan pompa di tempat strategis
untuk mengantisipasi terjadinya rob dan banjir. Pada dasarnya, klaim yang
dilakukan oleh FPRB sebagai mewakili warga Krobokan tidak bisa diterima.
Karena warga Krobokan berjumlah sekitar 4 ribu orang. Sementara penan-
datangan penolakan pelurusan Sungai Tawang Mas itu hanya 254 orang.1
Legitimasi FPRB semakin longsor ketika pada 20 April 2001 harian Suara
Merdeka memuat surat seorang warga Karangayu bernama Susatiyo. Susatiyo
mengirimkan surat tersebut karena namanya tercantum dalam selebaran
yang diedarkan oleh FPRB dan ditujukan kepada wali kota tentang penolakan
pelurusan Sungai Tawang Mas. Namanya disebutkan sebagai perwakilan
Kelurahan Karangayu. Karena itu suratnya di Suara Merdeka berfungsi untuk
mengklarisifikasi/mencabut pencantuman namanya dalam selebaran itu.
Adapun poin-poin dalam surat Susatiyo adalah: “1) Saya ikut FPRB, namun
surat tidak saya baca lengkap, jadi tidak tahu betul; 2) Pada waktu ke Wali Kota
saya tidak ikut, karena bekerja; 3) Selama ini saya tidak pernah diajak
musyawarah dalam pertemuan resmi FPRB; 4) Pencabutan atas nama
perwakilan Kelurahan Karangayu, yang dimaksud adalah saya.”2
Bahwa kawasan PRPP, dimana reklamasi Pantai Marina berada, bukanlah
tanah kosong ketika dibebaskan, juga terlihat dalam kesaksian di persidangan
antara PT IPU dengan Pemprov Jawa Tengah. Keterangan saksi-saksi yang
dihadirkan PT IPU, seperti, Hj. Sofiatun, Suwarno, Bonawi, dan Ahmad Sholeh
menunjukkan adanya proses pembayaran ganti rugi tanah terhadap pen-
duduk yang tinggal di kawasan itu.3
Reklamasi Pantai Marina sendiri bermasalah dalam hal Amdal. Hal ini,
misalnya, terungkap dalam rapat koordinasi antara Badan Pertanahan Nasio-
nal, Badan Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal),
Kodam IV Diponegoro, Dinas Pertambangan, dan Pemkot Semarang pada April
2004. Kepala Badan Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa
Tengah, Joko Sutrisno, menyampaikan bahwa proses reklamasi Pantai Marina
“belum mendapat izin karena belum lolos studi amdal.” 4 Karena itu, dalam
pandangan Joko, Pemkot seharusnya bertindak tegas dalam menyelesaikan
persoalan reklamasi di Pantai Marina. Salah satu bentuk tidakan tegas,

_____
1 Radar Semarang, 20 April 2021, Legitimasi FPBR Dipertanyakan”.
2 Suara Merdeka, 20 April 2001, “Pencabutan FPBR Kelurahan Karangayu”.
3 Lebih lengkap simak: dari Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 327/Pdt.G/
2014/PN Smg, terutama bagian keterangan saksi-saksi, halaman 538-545.
4 Kompas Jawa Tengah, 6 April 2004, “Reklamasi Pantai Bisa Sebabkan Semarang Banjir”.

76
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

misalnya, adalah dengan menghentikan proses fisik reklamasi dan meminta


hasil studi Amdal kepada pengembang.1
PT IPU memiliki argumentasi dalam membenarkan proses reklamasi
Pantai Marina. Menurut Manajer Perencanaan PT IPU, Heru Sidarta, bagi
perusahaan itu reklamasi Pantai Marina harus tetap dijalankan karena kalau
tidak, maka abrasi bisa terjadi sampai di tengah Kota Semarang. Selain itu,
menurut Heru, PT IPU sudah menjalankan reklamasi di Pantai Marina sejak
1987 dengan luas area sekitar 250 hektar. Pada waktu itu belum ada peraturan
yang menuntut adanya Amdal. Pada 1987 itu, PT IPU mulai melaksanakan
reklamasi seluas 20 hektar di kawasan Pantai Marina dengan tinggi penguru-
kan mencapai 1 meter di atas permukaan air laut. Dalam kesempatan itu, Heru
juga membenarkan kalau material penguruk didapatkan PT IPU dari Kampung
Pucung.2
Terlepas dari permasalahan Amdal yang belum jelas, PT IPU terus
melakukan reklamasi. Hal ini terekam lagi dalam pemberitaan media, misalnya
pada Juli 2004. Wali Kota Semarang, Sukawi Sutarip berjanji akan melakukan
pengecekan langsung di lapangan. Keinginan wali kota untuk melakukan pe-
ngecekan langsung di lapangan mendapatkan sambutan baik dari Kepala
Bapedalda Kota Semarang, Sri Wurni. Menurut Sri, Amdal menjadi sangat
dibutuhkan untuk mengetahui dampak dari satu proyek pembangunan. Dalam
kasus reklamasi Pantai Marina, karena absennya Amdal tersebut, maka
dampak dari proyek itu juga menjadi tidak bisa diketahui secara lebih jelas. 3
Sementara, dampak dari proses reklamasi itu sendiri sudah dirasakan
oleh warga. Proses reklamasi adalah salah satu penyebab lain dari rob, selain
banjir karena pembelokan Sungai Tawang Mas seperti yang disebut di atas.
Pada dasarnya pembangunan Puri Anjasmoro, Perumahan Semarang Indah,
PRPP, dan tentu saja Pantai Marina, dilakukan dengan cara menguruk, atau
mereklamasi kawasan pantai. Masalah yang dihadapi oleh warga ini terungkap
dari pengaduan Kepala Seksi Pemberdayaan Perempuan FMKTM, Syarifah, ke
LBH Semarang. Menurut Syarifah, banjir rob semakin tinggi, kadang-kadang
sampai setengah meter dengan air yang hitam pekat karena sampah dan
lumpur. Rumah mereka kebanjiran dan kotor. Karena itu, warga harus secara
lebih teratur mengeluarkan enerji ekstra untuk membersihkan rumahnya.
Yang paling merasakan dampaknya adalah orang yang sehari-hari ada di

_____
1 Kompas Jawa Tengah, 13 April 2004. “Pemkot Harus Tegas dalam Kasus Reklamasi”.
2 Kompas Jawa Tengah, 12 Juli 2004, “Reklamasi Marina Jalan Terus”.
3 Kompas Jawa Tengah, 14 Juli 2004, “Reklamasi Marina. Wali Kota Ajak Bapedalda Cek
Lapangan”.

77
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

rumah, seperti ibu rumah tangga dan anak-anak. Mereka terkena penyakit
kulit seperti gatal-gatal.1
Masalah lain yang disorot dalam media sehubungan dengan reklamasi
Pantai Marina adalah tertutupnya akses publik ke kawasan pantai. Poin ini
muncul dari Hotmauli Sidabalok, pengajar pada Program Magister Lingkungan
dan Perkotaan (PMLP) Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Semarang.
Menurut Hotmauli, di satu sisi masyarakat tidak/kurang menyadari haknya
atas pantai yang bisa diakses secara terbuka. Di sisi lain, ketiadaan atau
kurangnya kesadaran tersebut dipergunakan oleh pengembang untuk
memprivatisasi pantai. Privatisasi pantai ini bisa berdampak banyak, misalnya,
menjadi semakin berkurangnya kontrol masyarakat terhadap kawasan pantai
dan fungsi sosial akses atau kepemilikan terhadap lahan/tanah. Kurangnya
kontrol ini misalnya bisa terlihat dari masyarakat petambak yang tidak bisa
berbuat apa-apa ketika tambaknya diuruk, meskipun ikannya belum dipanen.2
Hotmauli menyebutkan bahwa untuk masuk ke kawasan Pantai Marina,
orang harus membayar Rp3 ribu sekali masuk, dan hanya diizinkan pada
waktu-waktu tertentu.3 Proses produksi ketimpangan berjalan dengan cara di
satu sisi pengembang menguasai dan memprivatisasi Pantai Marina, di sisi lain
justru para nelayan tidak bisa lagi memakai pantai sebagai tempat beristirahat
atau membongkar ikannya ketika mereka pulang dari melaut. Sejumlah
nelayan, menurut pengamatan Hotmauli, terpaksa berlabuh di bawah
jembatan Banjir Kanal Barat.4
Secara lebih fokus, Hotmauli melihat ketimpangan atau ketidakadilan
dalam pengelolaan lingkungan. Ia memberi contoh eksklusivitas kawasan
Pantai Marina dalam hal pengaturan sampah:

“Secara ironis, kawasan Marina memang apik dan bersih, tetapi


tempat lain yang berdekatan, seperti di muara Banjir Kanal Barat,
terjadi sebaliknya. Jika biaya masuk Pantai Marina ditujukan untuk
pengelolaan dan pemeliharaan lokasi, apakah lokasi yang perlu
dipelihara hanya yang berbatasan sejauh 100 meter saja, tanpa
mempertimbangkan akibat yang akan terjadi dengan melalaikan
pemeliharaan di luar jarak itu? Tentu kenyataan ini berakibat secara

_____
1 Kompas Jawa Tengah, 24 Juli 2004, “Reklamasi Marina Perparah Rob”.
2 Kompas Jawa Tengah, 3 November 2003, “Pemkot Jangan Posisikan Diri sebagai Pemilik
Kota”.
3 Pada akhir 2019, untuk memasuki kawasan Pantai Marina, pengunjung harus membayar
sebesar Rp5.000, catatan lapangan nomor #30, proyek riset Ground Up.
4 Kompas 3 November 2003, “Penguasaan Pantai di Semarang Pinggirkan Nelayan”.

78
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

langsung maupun tidak langsung pada masyarakat sekitar yang


mencerminkan adanya ketidakadilan lingkungan.” 1

Budi Santosa, dari program Teknik Sipil Unika Soegijapranata, melihat bahwa
kawasan reklamasi Pantai Marina mempercepat laju penurunan tanah atau
amblesan. Pada gilirannya, amblesan ini membuat kawasan utara Kota
Semarang semakin rentan terhadap banjir rob. Menurut Budi, hal ini bisa
terjadi karena kawasan yang dikembangkan seperti di area Pantai Marina
batuannya masih bersifat lunak. Amblesan tidak bersifat lokal, tapi kawasan.
Karena itu, perumahan-perumahan di sekitar Pantai Marina, seperti Tanah
Mas, akan terkena dampak dari adanya amblesan tanah ini.2
Bagi kawasan-kawasan yang lokasinya lebih jauh, reklamasi Pantai
Marina juga menimbulkan dampak berupa abrasi pantai dan pasang air laut.
Penjelasannya, seperti yang disampaikan oleh pakar lingkungan UNDIP,
Sudharto P. Hadi, adalah terjadinya perubahan pola arus laut. Arus laut yang
seharusnya diterima pantai, membentur konstruksi reklamasi pantai. Ini
membuat arus laut terpecah ke sebelah kiri dan kanan konstruksi, dan menim-
bulkan abrasi dan pasang di sebelah kiri/kanan konstruksi reklamasi tersebut.
Ia memberikan contoh reklamasi pelabuhan Tanjung Emas Semarang yang
sudah menyebabkan terjadinya abrasi pantai di kawasan Sayung Demak, dan
reklamasi PRPP yang menyebabkan banjir pasang di daerah Tawang-
Rajegwesi.3
Berapa keuntungan yang didapatkan oleh PT IPU dari proses rekonfi-
gurasi sosiospasial dan perubahan sosioalamiah yang timpang ini? Susah
untuk mendapatkan angka pasti. Sebagai ilustrasi, tanah-tanah yang dibebas-
kan dengan biaya Rp1.500-2.500/m2, oleh PT IPU, HGB-nya dijual dengan harga
Rp1,75-2,5 juta/m2.4

IV.3. Graha Padma vs. Kampung Tambakharjo: Banjir sudah naik seleher

Hanya ada dua jalan yang bisa dilewati untuk mencapai Kampung Tambak-
harjo. Pertama, melewati gerbang besar komplek perumahan elit Graha Padma

_____
1 Sidabalok, H. 2003. Kembalikan Pantai Marina Kepada Publik. Kompas Jawa Tengah, 17
Desember 2003.
2 Kompas Jawa Tengah, 27 April 2006, “Pembangunan Infrastruktur: Tidak Menguntungkan,
MOU Reklamasi Direvisi”.
3 Kompas Jawa Tengah, 19 Maret 2008, “Kawasan Pesisir: Reklamasi Marina Bisa Timbulkan
Kerusakan Lingkungan”.
4 Informasi tentang harga jual tanah dengan HGB oleh PT IPU dapat dilihat dalam putusan
Nomor 327/Pdt.G/2014/PN Smg, halaman 107-112.

79
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

di Jalan Hanoman, dilanjutkan dengan jalan di dalam komplek sepanjang


kurang lebih satu kilometer. Kedua, lewat jalan kecil di Kampung Jerakah,
menembus Jalan Sugriwo di dalam Perumnas Krapyak dan satu pintu
perlintasan kereta api Jerakah.1 Pada Selasa, 2 Juni 2021, cuaca cukup panas
meski belum tengah hari. Kami menuju Kampung Tambakharjo lewat jalan
pertama, komplek Graha Padma. Komplek ini dikembangkan oleh PT Graha
Padma Internusa, perusahaan pengembang milik bos perusahaan rokok
Djarum.2 Tak heran, di fasilitas dalam Graha Padma, seperti The Club (Gambar
IV.3), dengan mudah ditemukan aksesoris Djarum, mulai dari tempat ngecas
sampai asbak.
Komplek Graha Padma yang termasuk dalam wilayah administrasi
Kelurahan Tambakharjo ini tertata rapi. Setelah melewati gerbang komplek
yang dijaga satpam, ada jalan menanjak melompati sawah, rawa-rawa,
perkampungan, dan rel kereta api. Pengembang Graha Padma menyebutnya
flyover, yang tersambung dengan jalan utama perumahan, Padma Boulevard.
Terdapat taman hijau di sepanjang tengah jalan utama tersebut. Di kanan kiri
jalan utama, klaster-klaster perumahan tampak hijau, banyak pohon, taman,
dan tanah-tanah lapang berumput lain. Tampaknya, tanah lapang dan taman-
taman itu merupakan area resapan, bagian dari desain bebas banjir di
perumahan Graha Padma.3

_____
1 Perumnas Krapyak dikembangkan oleh Perumnas (Badan Usaha Milik Negara) Regional V.
Lihat: Kusumadevi, Liza Soraya. 2002. “Studi Tingkat Keefektifan Pemanfaatan Open Space
Berdasarkan Persepsi Penghuni di Lingkungan Perumnas Tlogosari”. Tugas Akhir: Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.
2 Padma News Edisi Maret-April, 2020: 14
3 Graha Padma mendisain sistem pengairan sendiri, lihat: Padma News Edisi Mei 2019, “Tim
Teknik Graha Padma Pikirkan Masalah Banjir sejak Awal”: 12-17.

80
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar IV.3: The Club, sarana olahraga berbayar di dalam komplek perumahan Graha
Padma. Sarana olahraga ini dikelilingi pagar. Pagar belakang berbatasan
dengan Kampung Tambakharjo. Ada Pos Kamling RT 05 RW 02 dan
saluran air yang airnya nyaris penuh dengan warna hitam. Saluran air itu
merupakan salah satu saluran pembuangan limbah dari Graha Padma.

Sampai di bundaran kedua Padma Boulevard, kami menemukan petunjuk


arah menuju SMP Negeri 31 Semarang yang berada di sebelah kiri. Petunjuk
itu sejak awal menjadi acuan kami untuk menuju Kampung Tambakharjo.
Alasannya, berdasar peta di internet, gedung sekolah tersebut digambarkan
berada di dalam Kampung Tambakharjo. Bagi kami, itulah patokan yang paling
gampang.
Pada salah satu sisi bundaran tersebut terdapat gedung dan sarana olah-
raga bagi warga perumahan, The Club Graha Padma (Gambar IV.3). Tapi The
Club juga boleh dipakai oleh orang non-perumahan dengan cara membayar.
Misalnya, untuk bermain tenis, orang non-perumahan harus membayar mulai
dari Rp50-100 ribu/jam; bayaran paling mahal pada saat ramai pengunjung,
misalnya waktu pagi di hari libur. Di ujung ruas jalan di sisi The Club itulah
terdapat portal keluar-masuk bagi warga Kampung Tambakharjo. Portal itu
dibuka pada siang hari dan ditutup pada malam hari.
Memasuki Kampung Tambakharjo, dari The Club, kami diiringi sungai yang
berair hitam (contoh saluran air berwarna hitam, lihat Gambar IV.9). Dari
papan nama di tepi sungai, diketahui nama sungai tersebut adalah Sungai
Tambakharjo yang panjangnya kurang lebih dua kilometer. Jika disusuri dari
Kampung Tambakharjo menembus Graha Padma, sungai ini akan berakhir
dalam satu kilometer di titik pertemuannya dengan Sungai Silandak di area

81
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

tambak. Jika diteruskan lagi Sungai Silandak yang sejajar dengan area Bandara
Ahmad Yani, akan berakhir di laut (Gambar IV.4).
Di seberang The Club sebelum portal Kampung Tambakharjo, tampak tiga
ujung pipa besar menyeruak dari pagar salah satu klaster Graha Padma,
mengarah ke Sungai Tambakharjo. Pipa-pipa itu muncul dari rumah pompa di
samping pintu air dengan angka pengukur. Itu juga merupakan bagian lain dari
desain bebas banjir di Graha Padma.

Gambar IV.4: Peta Kampung Tambakharjo dan Perumahan Graha Padma. Peta Graha
Padma dan Kampung Tambakharjo direproduksi dari peta yang disedia-
kan Graha Padma. Sumber: laman (http://maps.grahapadma.com/),
diakses pada 30 Juli 2021.

82
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Setelah sekitar 200 meter beriringan dengan sungai, kami menjumpai gedung
SMP Negeri 31 Semarang yang bersebelahan dengan Kantor Kelurahan
Tambakharjo (lihat Gambar IV.4 untuk posisi Tambakharjo dan Graha Padma).
Kampung ini tertata dalam blok-blok yang dipisahkan oleh gang-gang selebar
dua sampai empat meter. Rumah-rumah yang berukuran lebih kecil dari
rumah di kanan kiri Padma Boulevard, memadati Kampung Tambakharjo. Ada
rumah yang tampak wajar (layak), ada yang tampak beratap dan berlantai lebih
rendah dari jalan. Tanah lapang di kampung ini lebih sedikit dibanding Graha
Padma. Di antaranya ada di halaman kantor kelurahan, halaman sekolah SD
dan SMP, dan bekas tambak di tengah kampung.
Kami menghentikan kendaraan di pos ronda RT 03/RW 05 untuk menge-
rucutkan diskusi tentang siapa saja yang akan kami temui hari itu. Kami
memutuskan untuk menemui empat warga yang sedang duduk di teras rumah
kayu, tak jauh dari pos. Tampaknya mereka sedang bersantai.
Rumah kayu itu ditempati keluarga Siji (nama samaran, disingkat Mak Ji;
nama-nama interlokutor dalam bagian ini adalah nama samaran). Ia meru-
pakan perempuan berusia 50 tahun yang setiap hari bekerja sebagai pekerja
rumah tangga (pembantu) di tiga rumah di Graha Padma. Mak Ji bekerja
mencuci baju, menyeterika, menyapu, dan mengepel. Pada setiap rumah, dia
bekerja selama kurang lebih dua jam. Dia tidak menginap di tempat kerjanya,
melainkan pulang pergi setiap hari, dengan sepeda sebagai kendaraannya.
Saat kami lewat depan rumah Mak Ji, suara dari teras terdengar riuh.
Kami mengucapkan salam, memperkenalkan diri, dan memohon bergabung.
Mak Ji yang sedang duduk di sofa reyot, di bawah pakaian-pakaian yang
dijemur dengan cara digantung di atap teras yang pendek, mempersilakan
kami duduk. Saat itu Mak Ji sedang rehat pada jeda pekerjaannya di rumah
pertama, sebentar lagi dia akan melanjutkan pekerjaan di rumah kedua dan
ketiga.
Biasanya, jika merasa tidak terlalu lelah, Mak Ji akan memakai waktu
rehatnya untuk mengurus tanaman. Dia menanam pisang kapok, singkong,
pepaya, dan jambu di sempadan Sungai Tambakharjo di depan rumahnya. Jika
panen, pisang akan dijual dengan harga Rp50-70 ribu per tandan, tergantung
ukuran. Sedangkan singkong, pepaya, dan jambu akan dikonsumsi sendiri.
Tetapi karena sangat panas, siang itu Mak Ji memilih mengobrol saja dengan
Loro, suaminya, yang sedang kedatangan dua tamu bernama Telu dan seorang
yang menyebut dirinya dengan nama Papat.
Telu bukan warga Tambakharjo, melainkan warga Kampung Tapak,
Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Sedangkan Papat yang lahir di Tambakharjo
40 tahun lalu, kini sudah tidak tinggal lagi di sana. Namun keduanya kerap
bertandang ke rumah Loro seperti siang itu. Loro, Telu, dan Papat sama-sama
memelihara burung dara aduan. Jika beruntung, burung aduan bisa dibeli

83
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

penyukanya dengan harga paling murah Rp1 juta. Tapi Loro, pria 46 tahun itu,
tidak menyebut aktivitasnya sebagai pekerjaan, karena tidak mendatangkan
penghasilan tetap.
Sudah ada tiga gelas kopi di meja saat kami datang. Loro menambahkan
satu gelas lagi untuk satu di antara kami, lalu obrolan berlanjut. Lewat obrolan,
Loro menyebut informasi yang sedikit mengherankan. Kendati keluarga Mak Ji
tinggal di luar pagar komplek Graha Padma, tapi rumah keluarga itu berada di
atas tanah Graha Padma. Mak Ji menyebut, keluarga mereka nunut (menum-
pang) di sana.
Mak Ji dan Loro menempati tanah tersebut sejak 1989, tujuh tahun
sebelum komplek Graha Padma dikembangkan pada 1996. Loro sendiri
merupakan pendatang asal Surabaya. Pada masa kanak-kanak ia mengikuti
orang tuanya merantau ke Semarang. Loro membangun rumah di tempat
yang sekarang ditempati itu, karena keluarga Mak Ji kehilangan rumah yang
dijual untuk pengobatan ayahnya. Pada saat pengembangan Graha Padma
mulai mendekati rumah, Mak Ji dan Loro diminta pindah oleh pengembang,
mereka menolak.
Pihak pengembang kemudian meminta keluarga Mak Ji menempati
gudang berbahan seng dan asbes yang dipakai untuk menginap para pekerja
Graha Padma, Loro pun tetap menolak dengan argumentasi bahwa tinggal di
bedeng seng akan berisiko pada kesehatan bayinya. Kepada yang meminta
pindah, dia mengatakan bahwa akan menuntut mereka jika terjadi gangguan
kesehatan kepada anaknya.
Suatu kali, ketika Loro memperbarui rumah dengan barang lungsuran
(bekas rumah lain), dua polisi didatangkan oleh pihak pengembang Graha
Padma untuk mengawasi. Kali lain, rumah itu bahkan akan dirobohkan dengan
alat berat. Loro minta untuk tidak dirobohkan dan mengancam akan bertahan
di dalam rumah jika tetap dirobohkan. Saat ini, Loro dalam posisi telah
menandatangani kesepakatan dengan pengembang Graha Padma yang
berbunyi; keluarganya bisa tinggal di tanah itu, namun sewaktu-waktu Graha
Padma akan melakukan pembangunan di tempat itu, keluarga Loro harus
pindah.
Di rumah itu, Mak Ji dan Loro tinggal bersama bungsu lelakinya yang
masih bersekolah dasar. Sulung Mak Ji berumur 23 tahun, sudah berumah
tangga dengan satu anak dan tinggal di rumah kerabat suaminya, masih di
Kampung Tambakharjo.
Menurut Telu, keluarga pasangan Loro dan Mak Ji akan dapat terus
tinggal di tempat itu. Sepertinya, kata Telu, tidak akan ada yang tertarik
membangun di lahan memanjang sekitar rumah Loro. Namun Papat dan Loro
berpendapat lain. Selama tinggal di Tambakharjo, keduanya telah menyaksi-
kan bagaimana Graha Padma telah membeli lahan dan menguruk tambak

84
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

serta sawah di sekeliling kampung, sehingga Kampung Tambakharjo kini dike-


pung tanah aset Graha Padma (lihat Gambar IV.4). Maka bukan tidak mungkin
pembangunan akan dilakukan dan menggusur rumah Loro, bahkan meng-
gusur seluruh kampung.
“Ya pintar Graha Padma itu memutari dulu kampung ini, nanti suatu saat
kampung ini tinggal diambil,” kata Telu, suaranya tinggi, tangannya menunjuk-
nunjuk penjuru kampung. Melihat rencana pengembangan dalam laman
Grahapadma.com, di mana Graha Padma akan dikembangkan menjadi Central
Business District (CBD) dengan tambahan mal, hotel bintang lima, bioskop,
kawasan perdagangan, dan perkantoran, tampaknya penggusuran rumah
Loro tinggal menunggu waktu saja.
Papat mendengar bahwa ada beberapa warga yang sudah pernah dita-
wari untuk direlokasi dan dibangunkan tempat tinggal dengan keadaan yang
sama, namun warga menolak. Loro juga mendengar penolakan yang sama,
terutama dari pemilik tambak tersisa di Tambakharjo yang akan meminta har-
ga sangat tinggi jika sampai dipindahkan. Mendengar Loro dan Papat, Telu
berkesimpulan bahwa sangat sulit pada saat ini bagi warga untuk memiliki
tempat tinggal barang sepetak—sekalipun itu hanya untuk tidur saja. Telu me-
ngumpamakan, “harus mandi keringat dulu untuk mendapatkan itu.” Sedang-
kan pihak bermodal seperti pengembang Graha Padma sangat mudah me-
nguasai lahan yang luas.
Jika suatu saat harus pindah, keluarga Loro tidak sendiri. Dahulu Loro
sempat mengajak orang-orang Tambakharjo yang tidak punya rumah untuk
membuat rumah di tempat tersebut, karena tanah dalam keadaan kosong.
Tapi tidak ada yang mengikuti Loro, hanya dia yang membabat dan membakar
ilalang di sana lalu membangun rumah. Pada waktu itu, belum ada akses jalan
ke tempat Loro. Jalan masih berupa tanah lumpur yang jika diinjak ambles.
Tapi saat ini ada beberapa keluarga lain yang juga tinggal di tempat tersebut.
Keadaan jalan sudah berubah menjadi jalan keras dengan paving block.
Ada perubahan-perubahan lain yang terjadi di Tambakharjo. Mak Ji lahir
dan tumbuh di Tambakharjo. Dahulu ayahnya bekerja di tambak yang ada di
kampung itu, sementara ibunya bertani. Menurut Mak Ji, sewaktu ia kecil,
hanya ada sedikit rumah di kampung itu, sisanya adalah sawah basah tadah
hujan dan tambak bandeng serta udang jenis besar dan kecil (Gambar IV.5 dan
IV.6).

85
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar IV.5: Sisa tambak di tengah pemukiman padat di Tambakharjo. Tambak-


tambak di kampung itu hilang berganti rumah warga kampung dan
diuruk oleh pengembang Graha Padma, menjadi perumahan mewah
yang bebas banjir.

Mak Ji berkawan dengan Bu Limo yang lahir di Kampung Tambakharjo pada


1971. Keduanya sama-sama tumbuh dan menyaksikan perubahan di kampung
mereka. Pada Jumat, 4 Juni 2021, secara kebetulan kami berjumpa kembali
dengan Mak Ji saat sedang duduk dan membeli minuman di Warung Bu Limo.
Jumat siang, saat para lelaki keluar dari mushola Kampung Tambakharjo
setelah salat Jumat, Bu Limo menata dagangannya di teras rumah. Dia
menyiapkan kompor dan wajan pemanggang untuk membakar sosis, kornet,
dan nugget kualitas rendah yang sudah dijejer di meja. Rentengan kemasan
sachet minuman instan juga dia gantung di meja. Es batu disiapkan di dalam
tremos di bawah meja. Sesaat setelah itu anak-anak berdatangan membeli
jualan di Warung Bu Limo.
Siang itu anak-anak bermain di jalan depan rumah Bu Limo. Cuaca terasa
panas, mereka berteduh di bawah pohon mangga yang batangnya muncul dari
halaman samping rumah tetangga Bu Limo. Seperti yang juga diungkapkan
Mak Ji, Bu Limo pun merasakan hawa yang panas siang itu. Katanya, itu karena
pohon di kampungnya semakin sedikit.

86
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar IV.6: Kampung Tambakharjo RT 5 RW 2. Masih terdapat tong bekas pengemas


ikan. Dahulu warga Kampung Tambakharjo kebanyakan bekerja di
tambak dan bertani di sawah. Setelah tambak hilang, beberapa warga
bekerja menjadi kuli bangunan dan pembantu di Graha Padma.

Kata Bu Limo, dahulu tidak ada pohon mangga seperti milik tetangganya. Yang
banyak adalah pohon waru, pohon api-api, dan bakau. Bu Limo hafal betul
pohon-pohon itu karena pada masa kanak-kanak ia membantu kedua orang
tuanya mencari kayu bakar berupa ranting-ranting kering pepohonan yang
tumbuh di pinggir tambak. Kayu bakar yang terkumpul akan dibeli para pemilik
warung makan di Kelurahan Jerakah, kampung di sebelah Tambakharjo, yang
letaknya lebih dekat dengan jalan raya. Kayu menjadi andalan penjual makan-
an karena dianggap lebih efisien dibanding menggunakan kompor minyak.
Saat itu kompor berbahan bakar gas belum dikenal di perkampungan itu.
Jika Graha Padma bergerak semakin hijau dan banyak pohon, sebaliknya
dengan Tambakharjo. Saat ini di sekitar rumah Bu Limo, tidak ada pepohonan
yang diakrabinya pada masa kecil. Tambak-tambak di mana di selanya
merupakan tempat tumbuh pohon-pohon itu sudah berubah menjadi rumah-
rumah tetangga Bu Limo. Seperti Bu Limo, Mak Ji juga menyebut bahwa lambat
laun kampungnya menjadi padat rumah. Jika sudah berumah tangga, anak dari
satu keluarga akan membikin rumah di sebelah orang tuanya. Begitu terus,
hingga sawah dan tambak menyusut pelan-pelan.
Baik Mak Ji maupun Bu Limo menyaksikan penyusutan area terbuka
menjadi lebih cepat dan luas sejak semakin luasnya perumahan Graha Padma
di sebelah Kampung Tambakharjo. Mak Ji dan Bu Limo menyaksikan penguruk-

87
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

an dan pemadatan sawah dan tambak di kampung itu hingga nyaris tidak
tersisa. Tinggal ada dua sisa tambak di dalam Kampung Tambakharjo. Masih
ada sisa sawah di pinggir kampung, namun itu telah dimiliki oleh Graha Padma,
warga hanya menggarapnya saja sebelum kelak sawah itu menjadi bagian dari
pengembangan komplek Graha Padma lebih lanjut. Tambak juga masih sedikit
didapati di ujung Sungai Tambakharjo, namun kawasan itu terpisah dari
kampung oleh area komplek Graha Padma.
Ada banyak orang yang dikenal Mak Ji, yang dahulu memiliki tambak atau
bekerja di tambak seperti ayahnya, namun kemudian menganggur setelah
sawah dan tambak hampir tidak ada lagi. Laki-laki yang belakangan mengang-
gur kemudian bekerja di proyek pengembangan Graha Padma sebagai tukang
batu, kuli angkut, dan sejenisnya. Sedangkan para perempuan beralih pekerja-
an dari pertanian dan pertambakan menjadi pembantu seperti yang dilakukan
Mak Ji.
Selain tambak dan sawah yang menyusut, hubungan warga dengan
Sungai Tambakharjo pun merenggang. Siji atau Mak Ji mengenang keakraban
masa kecilnya dengan Sungai Tambakharjo yang bersih dan jernih airnya
sehingga bisa dipakai untuk bermain, mandi, dan diambil ikannya. Ada jenis
ikan sepat dan wader di sungai itu. Tetapi kini, tidak ada yang bermain, apalagi
mandi di sungai, sebab airnya kotor menghitam. Untuk kebutuhan mandi,
keluarga Mak Ji kini menggunakan air dari sumur bor yang dibuat oleh Graha
Padma dan dipakai bersama dengan keluarga lain dan juga kuli bangunan yang
ada di bedeng seng. Air sumur itu juga dipakai keluarga Mak Ji sebagai salah
satu sumber penghasilan, dengan menjualnya kepada pengunjung pantai di
hilir Sungai Silandak untuk berbilas.
Kini, Sungai Tambakharjo hanya menjadi saluran pembuangan limbah
cair dari rumah tangga di Tambakharjo—baik kampung maupun perumahan
Graha Padma. Tidak ada pula yang kini tampak memancing atau mencari ikan
di sungai itu.
Tak hanya renggang, hubungan warga Kampung Tambakharjo dengan
warga Graha Padma bahkan memiliki batas yang tegas. “Orang Graha itu
sebetulnya juga orang kelurahan Tambakharjo. Tapi apa mereka mau disebut
sebagai warga Tambakharjo? Pasti tidak mau,” ungkap Bu Limo diakhiri dengan
cibiran bibirnya.
Bu Limo mendapat kesan bahwa warga Graha Padma memisahkan diri
dari warga kampung; mengitari area tinggal dengan pagar pemisah dan menyi-
sakan satu gang saja sebagai jalan keluar masuk warga Tambakharjo menuju
jalan raya. Nahasnya, pintu gerbangnya pun tidak bebas: akan ditutup pada
pukul sepuluh malam hingga pukul lima pagi. “Orang Graha hidup di tempat
bersih, pasti tidak mau berbaur bersama-sama dengan warga Tambakharjo
yang kampungnya kumuh dan sering banjir seperti di sini,” lanjut Bu Limo.

88
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Setidaknya sekali setahun selama hidupnya, Bu Limo menjumpai banjir.


Banjir terbaru yang merepotkan dia terjadi pada pertengahan Februari 2021.
Ketika azan subuh berkumandang, tiba-tiba air banjir masuk ke rumah Bu
Limo. Air datang dari selokan yang ada di antara teras rumah Bu Limo dan jalan
kampung, juga dari air yang menggenangi jalan kampung. Itu disebabkan oleh
lantai teras dan lantai di dalam rumah Bu Limo yang lebih rendah dari jalan
kampung. Dibutuhkan waktu berhari-hari bagi Bu Limo untuk membersihkan
rumahnya.
Mak Ji menandai banjir pada pertengahan Februari 2021 itu sebagai satu
di antara dua banjir paling besar yang pernah dia jumpai di Tambakharjo.
Banjir besar yang pertama dialami Mak Ji ketika belum ada pengembangan
Graha Padma. Banjir besar kedua, pada pertengahan Februari 2021 itu,
menggenangi rumah keluarga Mak Ji hingga setinggi betisnya. Kasur dan buku-
buku rusak terkena air. Padahal posisi rumah Mak Ji, kendati beratap rendah,
berada di dataran yang lumayan tinggi. Namun rumahnya tetap dimasuki air.
Di Tambakharjo, ada rumah warga yang berada di dataran lebih rendah
dari rumah Mak Ji. Selain perbedaan ketinggian dataran dan jalan, rumah-
rumah di Kampung Tambakharjo juga berbeda-beda tinggi lantainya. Ada
rumah yang ditinggikan lantai beserta atapnya. Ada yang hanya ditinggikan
lantainya saja. Ada yang sama sekali tidak diapa-apakan sehingga lantainya
setara, bahkan ada yang sudah kalah tinggi dengan jalan, seperti rumah Bu
Limo.
Karena itu, cerita Mak Ji dan Bu Limo berbeda dengan cerita Enem.
Rumah Enem berjarak kira-kira 400 meter dari rumah Mak Ji. Keduanya sama-
sama berada di tepi kampung dan berbatasan langsung dengan area Graha
Padma. Bedanya, rumah Mak Ji berada di tepi timur, di mana telah ada rumah-
rumah di balik pagar pembatas Graha Padma. Sedangkan rumah Enem berada
di tepi sebelah barat, yang di balik pagar pembatasnya belum ada bangunan.
Pada banjir Februari 2021 lalu, rumah Enem yang berada di dataran yang
lebih rendah dari rumah Mak Ji justru sama sekali tidak tergenangi air, sebab
lantai rumah telah ditinggikan. Air hanya menggenang di jalan depan rumah-
nya saja. Kendati begitu, Enem tetap saja kaget setelah salat subuh mendengar
suara anak kecil ramai bermain air di depan rumahnya. Tapi Enem memiliki
pengalaman banjir lain yang tidak dialami Mak Ji dan Bu Limo.
Kami bertemu Enem pada 27 Mei 2021 di rumahnya. Enem membuka
warung soto di halaman rumahnya yang tidak luas. Kami bercakap-cakap
sembari Enem membuatkan pesanan soto. Enem menceritakan bagaimana air
melimpas deras dari area Graha Padma di sebelah barat rumah Enem yang
masih dalam proses pemadatan (Gambar IV.7). Tujuh tahun lalu, pada saat
hujan deras, air melimpas dari area pemadatan membanjiri lingkungan sekitar
rumah Enem. Saking derasnya, limpasan air itu sampai merobohkan tembok

89
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

pembatas antara Kampung Tambakharjo dengan Graha Padma. Peristiwa itu


memicu protes warga ke pihak pengembang Perumahan Graha Padma.

Gambar IV.7: Area Graha Padma yang sedang dipadatkan bersebelahan dengan
rumah/warung Enem di Kampung Tambakharjo. Dari area inilah banjir
tujuh tahun lalu merobohkan tembok pembatas dan menggenangi
bagian barat Kampung Tambakharjo.

Menurut Enem pemadatan seperti yang dilakukan Graha Padma itu dapat
memicu banjir:

“Dulu di samping ini sawah dan tambak, terus sama Graha


diuruk, dipadatkan. Mereka kalau memadatkan kan lama, butuh
lebih dari lima tahun. Itu kata tukang-tukang Graha yang makan
di sini, waktu ada pembangunan Sekolah Karangturi yang luas-
nya hampir seluas Tambakharjo itu, sekolah mahal, anaknya bos-
bos yang sekolah di situ. Pemadatan itu kan butuh waktu cukup
lama. Pada saat pemadatan begitu kan tanahnya polosan, kalau
kena air hujan nggak bisa nahan, gampang larut.”

Polosan maksud Enem adalah tanah terbuka, tidak ada pohon atau apapun di
atasnya.
Selain membeli makan, kuli-kuli bangunan yang bekerja di Graha Padma
juga mengontrak kamar-kamar rumah di Tambakrejo dengan harga rata-rata
Rp100 ribu/kamar per bulan. Dengan itu, jika Graha Padma mengerjakan pro-

90
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

yek pembangunan, maka Enem akan mendulang pendapatan. Karena akan


ada kuli bangunan yang makan di warung soto Enem, juga menyewa kamar di
rumah Enem. Belakangan Enem mendengar, area yang dipadatkan di sebelah
rumahnya itu akan segera dibangun. “Dulu waktu Sekolah Karangturi diba-
ngun, saya bisa mremo (kebanjiran pendapatan), bisa ninggikan rumah. Banyak
tukangnya, sampai seribuan. Moga-moga sebelah ini nanti segera dibangun,”
kata Enem.

Gambar IV.8: Jalan di samping rumah Enem. Tembok pagar sebelah kiri yang pernah
jebol karena limpasan air. Di sebelah kiri pagar adalah area Graha Padma
yang dipadatkan.

Terhitung sejak menikah sampai sekarang, Enem sudah 22 tahun tinggal di


Tambakharjo. Dia pindah dari Kampung Kalibanteng, masih satu kecamatan
dengan Tambakharjo, Kecamatan Semarang Barat. Selama tinggal di Tambak-
harjo, selain banjir karena luapan saluran air dan limpasan dari Graha Padma,
Enem juga menjumpai banjir rob, kendati juga tidak sampai menggenangi
rumahnya (Gambar IV.8). Rob juga merupakan banjir yang diceritakan oleh
Mak Ji.
Dulu hampir setiap sore, rob yang memenuhi Sungai Tambakharjo me-
limpas ke jalan depan rumah Mak Ji. Keadaan itu membuat aspal jalan rusak.
Jika bertambah dengan hujan, rob bisa masuk ke rumah. Meski sudah ada
perbaikan berupa pengerukan dan pelebaran sungai, Mak Ji tetap masih me-
nandai adanya rob di Sungai Tambakharjo.

91
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Pada pagi hingga siang hari, air di sungai cenderung tidak penuh. Pada
sore hari, sungai baru akan penuh karena penambahan air rob. Sewaktu kecil,
Mak Ji tidak pernah melihat sungai penuh karena air rob. Baru belakangan,
ketika sungai justru sudah dilebarkan, dia melihat air rob berbalik dari laut
memenuhi sungai. Berbeda dengan narasi global yang seringkali menandai
rob atau kenaikan permukaan air laut yang lalu merangsek ke daratan sebagai
akibat dari perubahan iklim, Mak Ji menengarai hal lain. Menurut pengamatan
Mak Ji, kenaikan volume air setiap sore di Sungai Tambakrejo terjadi sejak
rumah-rumah Graha Padma dibangun. Hal ini masuk akal, karena lokasi Graha
Padma yang tadinya adalah rawa-rawa dan bisa menampung air, sekarang
telah berada di posisi yang lebih tinggi.1 Akhirnya, rob terkonsentrasi di sungai
dan tempat yang lebih rendah.
Sejak Mei 2021, ada aktivitas pengurukan di bibir pantai dekat hilir Sungai
Silandak. Mak Ji mendengar, tempat tersebut bakal dijadikan perluasan tempat
wisata. Dia senang-senang saja, karena sulungnya bisa berjualan air bersih di
sana. Namun dia belum tahu apakah pengurukan akan memperparah kiriman
kembali rob ke Sungai Tambakharjo yang ada di depan rumahnya. “Tapi bisa
saja rob akan lebih besar masuk sungai. Semoga nggak sampai luber ke jalan,
kalau luber ya rumah saya kena,” ucap Mak Ji.
Pitu atau Bu Tu, memiliki pengalaman banjir yang berbeda dengan Mak Ji
dan Bu Limo. Bu Tu berasal dari Kabupaten Kendal dan tinggal di Tambakharjo
sejak menikah dengan paman Lima pada 1970-an. Bu Tu yang kini berumur 64
tahun, mengenang kegirangannya mengalami banjir untuk kali pertama di
Tambakharjo. Katanya, waktu itu ia merasa senang bisa bermain air di depan
rumah. Lama-lama, ketika banjir kemudian masuk ke dalam rumahnya, Bu Tu
tidak lagi merasa senang seperti dulu.

_____
1 Posisi Graha Padma yang sudah diuruk dan sekarang lebih tinggi dari area di sekitarnya,
terkonfirmasi di: Padma News Edisi Mei 2019, “Tim Teknik Graha Padma Pikirkan Masalah
Banjir sejak Awal”: 12-17.

92
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar IV.9: Kampung Tambakharjo berbatasan dengan pagar sarana olahraga The
Club. Tampak Area Graha Padma lebih tinggi dari kampung. Saluran air
di bawah pagar yang merupakan pembuangan limbah dari Graha Padma,
luber menggenangi Kampung Tambakharjo pada banjir pertengahan
Februari 2021.

Banjir Februari 2021 lalu juga membikin Bu Tu repot. Rumah Bu Tu berada di


tengah kampung. Berjarak sekitar 200 meter sebelah kiri dari rumahnya
adalah sungai/saluran air di depan Kantor Kelurahan Tambakharjo. Saluran itu
bermuara di Sungai Tambakharjo. Sedangkan, sekitar 50 meter di sebelah
kanan rumahnya adalah saluran air yang dibuat oleh pengembang Perumahan
Graha Padma. Ini adalah saluran di luar pagar pembatas, di belakang The Club
Graha Padma (Gambar IV.9).
Kedua saluran air tersebut meluap pada saat hujan deras pertengahan
Februari 2021. Luapan dari keduanya mengarah ke area sekitar rumah Bu Tu.
Alhasil rumah Bu Tu tergenang air. Bagi Bu Tu luapan air dari saluran itu
menyusahkan karena, katanya, rumah menjadi bau dan kotor. Dibutuhkan
waktu berhari-hari bagi Bu Tu untuk membersihkannya. Bu Tu mengeluhkan
saluran air di belakang The Club yang sering penuh. Hujan sedikit saja, air dari
saluran itu bisa meluber ke jalan. “Itu kan salurannya Graha, harusnya ada di
dalam Graha. Kalau di sini, ya warga kampung yang kena,” kata Bu Tu yang
berbicara pelan dengan suara yang tidak begitu kencang.
Sebagai pendatang di Kampung Tambakharjo, pengalaman Bu Wolu tak
jauh berbeda dengan Bu Tu. Bu Wolu yang kini berusia 61 tahun baru men-
jumpai dan kesusahan menghadapi banjir saat telah berkeluarga. Bu Wolu
datang ke Tambakharjo pada 1988, mengikuti suaminya yang bertugas sebagai

93
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

guru di SD Tambakharjo. Dia dan sang suami berasal dari Gunungkidul,


Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum tinggal di Semarang, suami Bu
Wolu pernah ditugaskan di Jepara dan Rembang. Di sana, Bu Wolu tidak
pernah bertemu banjir.
Ketika ditugaskan di SD Tambakharjo, Bu Wolu tidak langsung bertempat
tinggal di Kampung Tambakharjo. Bu Wolu dan sang suami lebih dulu mengon-
trak rumah di Jerakah, perkampungan di sebelah Tambakharjo. Keluarga Bu
Wolu kemudian memutuskan untuk membeli tanah dan membangun rumah
di Tambakharjo lantaran harganya lebih murah daripada di Jerakah, sehingga
dapat dijangkau mereka.
Namun berbeda dengan di Jerakah, di Tambakharjo Bu Wolu harus
menghadapi banjir. Sebetulnya Bu Wolu sudah mengetahui risiko banjir saat
memilih menetap di Tambakharjo, tapi apa boleh buat, hanya tempat itu yang
bisa dijangkau oleh keuangan keluarganya. Maka untuk mengantisipasi banjir
tersebut, Bu Wolu dan suami memutuskan untuk membangun rumah lebih
tinggi dari jalan.
Pada awal kepindahannya ke Tambakharjo, Bu Wolu tidak begitu direpot-
kan oleh banjir. Bahkan tidak ada genangan di teras maupun di dalam rumah.
Namun setelah beberapa tahun, dia turut repot seperti warga lain, sebab
akhirnya banjir masuk juga ke rumahnya. Ia menceritakan salah satu kere-
potannya, yakni saat harus naik ke atas meja ketika memasak lantaran dapur-
nya terendam air.
Menurut Bu Wolu, banjir akan terasa lebih merepotkan bagi orang yang
harus mengurus bayi atau anak kecil. Siang, 4 Juni 2021, Bu Wolu sedang
menggendong cucunya, orang tua si cucu sedang bekerja. Orang-orang di
Kampung Tambakharjo biasa mengasuh bayi di luar rumah. Selain Bu Wolu,
ada Songo dan Puluh yang siang itu mengasuh balita mereka bersama Bu Wolu
di salah satu jalan gang Kampung Tambakharjo.
Songo menceritakan kesulitan mengendalikan balitanya yang aktif berge-
rak supaya tidak sampai bermain air di jalan. Dia takut anaknya terperosok ke
selokan yang dalam. Hal yang sama dikatakan oleh Puluh. Kesulitannya adalah
mencegah supaya anaknya tidak minta turun dari gendongan. Pada banjir
Februari 2021 lalu, Puluh harus menggendong balitanya seharian, lantaran ia
melihat jalan di depan rumahnya tergenang air yang keruh, sehingga batas
antara jalan dengan selokan tidak terlihat. Menurutnya, itu membahayakan
bagi anak-anak.
Puluh adalah ibu muda dengan satu balita, saat ini usianya 28 tahun.
Banjir bukanlah pengalaman baru bagi Puluh yang lahir dan besar di RW 07
Kelurahan Tambakharjo. Puluh pernah bersekolah di SMP Negeri 31 Semarang
yang letaknya di sebelah Kelurahan Tambakharjo. Selama tiga tahun ber-

94
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

sekolah di sana, setidaknya sekali dalam setahun Puluh menjumpai banjir di


sekolah.
Setiap banjir, Puluh tetap harus pergi ke sekolah karena sekolah tidak
diliburkan. Tidak semua bagian dari area sekolah itu kebanjiran. Kata Puluh,
hanya bagian depan sekolah saja, yang merupakan bangunan lama, yang
kebanjiran. Sedangkan bagian belakang sekolah, yang dibangun belakangan
dan lebih tinggi, tidak kebanjiran.
Ruang kelas yang pernah diduduki Puluh berada di bagian belakang
sekolah. Meski tidak kebanjiran, Puluh tetap harus mencopot sepatunya
karena harus berjalan melintasi genangan di bagian depan sekolah, untuk
mencapai kelasnya. Itu dilakukan oleh hampir semua teman-teman Puluh kala
itu. Gurunya sering bilang jika murid-murid di sekolah itu lebih sayang sepatu
ketimbang kaki mereka. Tapi bagi Puluh dan teman-temannya, mereka merasa
sayang jika harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli sepatu yang rusak
karena terkena air selama di sekolah.
Berbeda dengan Puluh, Songo yang juga lahir di Tambakharjo 37 tahun
lalu, tidak merasa khawatir sepatu sekolahnya rusak karena banjir. Sejak SD,
Songo tinggal dan bersekolah di area Kecamatan Banyumanik. Ini adalah
kawasan Semarang bagian Selatan. Orang Semarang akrab dengan sebutan
Semarang Atas, untuk menyebut kawasan ini. Sebutan itu identik dengan letak
kawasan yang lebih tinggi dari kawasan Semarang Bawah, jika dilihat dari
posisi relatifnya terhadap permukaan air laut. Ketika menyebut Semarang
Atas, persepsi orang Semarang akan mengarah pada kawasan bebas banjir.
Hal yang berlawanan, ketika menyebut Semarang Bawah, persepsi orang
Semarang akan mengarah pada kawasan yang rawan banjir.
Songo sendiri kembali ke Tambakharjo ketika telah lulus SMA, pada 2001.
Sejak itu ia mulai kerap menjumpai dan berurusan dengan banjir. Banjir
membuatnya kerap kehilangan perabotan rumah. Selama tinggal di Tambak-
harjo, sudah empat kali Songo mengganti lemari pakaian karena rusak terkena
banjir. Yang ia sayangkan adalah meja nakas pemberian majikannya di Graha
Padma, akhirnya ambrol terkena banjir Februari 2021 lalu.
Anak-anak terlihat sedang bermain di pos ronda, tempat kami memarkir
sepeda motor. Siang, sekembali dari Rumah Mak Ji, pada 2 Juni 2021, kami
duduk di tepi pos. Sementara, anak-anak itu berlari dan bermain di atas meja
yang terdampar di pos itu. Karena mereka nampak keheranan dengan orang
asing yang tiba-tiba berada di dekat mereka, kami pun berusaha mendekati
dan mengajak bicara keempat anak bernama Welas, Rolas, Telulas, dan Patlas.
Welas dan Rolas seumuran, mereka sama-sama duduk di bangku TK B,
sedangkan Telulas sudah kelas 1 SD, dan Patlas belum bersekolah. Mereka
tampaknya antusias dengan kedatangan kami, beberapa kali kami diajak
bicara dan bermain uang-uangan.

95
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Di sela-sela bermain, kami membuka obrolan seputar banjir. Welas dan


Rolas bercerita kalau kampung mereka, Tambakharjo, pernah kebanjiran. Soal
waktu, mereka tidak menyampaikannya dengan jelas. “Kemarin, kemarin,
kemarinnya lagi,” kata mereka. Kami menduga yang dimaksud mereka adalah
Februari 2021 lalu. Mereka menceritakan kejadian banjir dengan biasa saja.
Kata Rolas, banjir waktu itu sampai setinggi pinggangnya. Namun, Welas justru
mengatakan kalau banjir sudah naik seleher, sambil meletakkan kedua tangan-
nya di leher. Barangkali memang tinggi air yang mereka dapati di rumah mere-
ka berbeda.
Welas dan Rolas mengaku senang dengan adanya banjir. Kata mereka,
karena ada banjir mereka bisa berenang dan main air. Setiap kali selesai hujan
dan sungai mengalirkan air, mereka suka bermain di sungai yang membentang
di depan SMP Negeri 31 dan Kantor Kelurahan sampai ke utara. Apakah banjir
membuat mereka sakit? Mereka tidak begitu peduli. Tapi Welas mengaku kalau
dia sempat batuk-batuk pada saat banjir. Telulas memiliki jawaban berbeda
dari Welas dan Rolas. Dia tidak dibolehkan bermain air oleh ibunya karena
takut sakit. Sepertinya Telulas tidak menikmati kejadian banjir yang dia alami.
Siang hari, 2 Juni 2021 saat memasuki Kampung Tambakharjo, kami
disambut dua proyek pengerasan saluran air di dekat pintu masuk kampung
dan di depan kantor kelurahan. Pengerasan dilakukan dengan menambahkan
pelapis buis beton pada saluran air. Tujuannya supaya saluran air tidak mudah
mengalami pendangkalan oleh endapan lumpur.
Menurut Songo, soal pemasangan buis pernah dibahas pada saat
Kampung Tambakharjo didatangi tim penilai lomba sanitasi PKK tingkat
kecamatan. Meskipun pembahasan soal perbaikan dan pengerasan saluran air
itu tidak terlalu membahas permasalahan banjir.
Songo sendiri adalah pengurus PKK RT 3, dia bertugas sebagai sekretaris.
Tapi hal-hal tentang banjir yang dia hadapi dan menjadi uneg-uneg itu tidak
pernah bisa menjadi pembahasan di forum PKK, baik tingkat RT maupun RW
yang Songo ikuti. Memang kerap ada pembahasan tentang lingkungan di
forum PKK mengingat salah satu butir program pokok organisasi tersebut
menyoal tentang lingkungan.
Tetapi, kata Songo, tidak ada persoalan lingkungan lokal seperti banjir di
Tambakharjo yang dibahas eksplisit di forum. Hal-hal soal lingkungan, atau
program lain, yang dibahas dalam forum PKK RT maupun RW, biasanya telah
ditentukan dari PKK tingkat kelurahan dan itu berkaitan dengan kebutuhan
perlombaan, seperti soal jamban sehat dan ODF (Open Defecation Free), serta
soal pengelolaan sampah. Songo menduga, bahasan itu juga sudah ditentukan
dari tingkat kecamatan hingga tingkat kota. Sebab, lomba-lomba terkait lingku-
ngan itu, juga dilakukan secara berjenjang dari tingkat RT hingga nasional.

96
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Sebetulnya Songo memiliki beberapa pendapat, salah satunya soal jalan


yang ditinggikan terus sedangkan rumah tidak. Itu justru membuat banjir
semakin parah. Seperti dikatakan Bu Limo, belakangan banjir yang terjadi
hampir selalu memasuki rumahnya. Hal itu terjadi karena, sejak pertama kali
dibangun, rumah Bu Limo belum pernah ditinggikan. Begitu pula dengan
rumah Songo, Bu Wolu, dan Bu Tu. Ini berbeda dengan rumah yang ditempati
Puluh di RW 7 dan rumah Enem yang sudah pernah direnovasi dan ditinggikan
lantainya.
Mengapa tidak ditinggikan? Hal itu karena biaya peninggian rumah tidak
terjangkau oleh mereka. Rumah mereka sekarang menjadi sama rata atau
bahkan kalah tinggi dengan jalan. Jalan di gang-gang Kampung Tambakharjo
sendiri menjadi tinggi karena kerap kali ada bantuan peninggian jalan ke
Kampung Tambakharjo.
Selama Bu Limo tinggal di rumahnya yang ia tempati hingga saat ini, telah
ada sekurangnya empat kali peninggian jalan. Kini, rumah Bu Limo yang dulu
dibangun setengah meter lebih tinggi dari jalan, menjadi sedikit lebih rendah
dari jalan. Yang didengar Bu Limo, bantuan-bantuan peninggian jalan itu
datang dari pemerintah, juga dari partai-partai politik.1
Peninggian jalan seperti itu juga disaksikan oleh Loro, suami Mak Ji, di
depan rumah mereka. Waktu itu, untuk mengatasi pendangkalan Sungai
Tambakharjo, dilakukan pengerukan. Hasil kerukan sedimentasi ditumpuk di
atas jalan aspal yang sudah rusak, jalan kemudian dikeraskan dengan paving
block. Penambahan talud di bagian pinggir sempadan sungai dilakukan. “Habis
itu, rob tidak luber ke jalan,” kata Loro. Dengan kata lain, rumahnya tidak
berpotensi kebanjiran rob.
Telu, tamu Mak Ji yang tinggal di Kampung Tapak, Kecamatan Tugu,
menimpali Loro. Telu berbagi pengalamannya tinggal di kampung tepi laut
yang masih banyak tambak. Menurut Telu, seharusnya tambak tidak diuruk.
Dampak buruk jika tambak diuruk adalah air laut akan naik dan memperparah
rob. Di Tapak, kampung Telu, ada tantangan selain rob, yakni abrasi. Warga
kampungnya, dengan pendampingan organisasi non-pemerintah, menanami
mangrove untuk mencegah abrasi makin parah.
Menurut Bu Limo, seharusnya bukan jalan-jalan yang dibantu peninggian-
nya, tetapi rumah-rumah warga Tambakharjo. Puluh sependapat dengan Bu
Limo. Menurut Puluh, jika memang dana bantuan dialokasikan untuk per-

_____
1 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Semarang memetakan Kelurahan
Tambakharjo sebagai wilayah rawan banjir di Kota Semarang. Diberitakan dalam
https://jatengtoday.com/sembilan-kecamatan-dan-tujuh-daerah-di-semarang-rawan-
banjir-dan-longsor-39079 [diakses terakhir pada 11 Oktobr 2021]. Peninggian jalan
merupakan “solusi dari atas” supaya ketika banjir jalan tidak tergenang.

97
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

baikan jalan, maka jangan ditumpuk pada badan jalan yang sudah ada seka-
rang, melainkan dilakukan dengan mengambil bahan yang lama lalu menggan-
tikannya dengan yang baru.
Menurut Songo, pendapat Puluh itu masuk akal. Kata Songo, bahan jalan
yang lama bisa dipakai warga untuk meninggikan rumah-rumah. Songo per-
nah melakukan hal seperti itu, mengambil paving block dari jalan yang diper-
baiki, untuk meninggikan dapurnya yang setiap hari digenangi air. Sayangnya,
pihak kelurahan melalui pengurus RT memintanya mengembalikan bahan
jalan tersebut.
Untung saja banjir pada pertengahan Februari 2021 itu kemudian surut
dalam waktu kurang dari 24 jam. Itu karena ada pompa yang difungsikan untuk
menyedot air banjir (Gambar IV.10). Instalasi pompa penyedot banjir terletak
sekitar 10 meter dari rumah Enem. Menurut Enem, pompa itu ada karena
warga melakukan protes tujuh tahun lalu setelah Kampung Tambakharjo
mengalami banjir akibat limpasan air dari area Graha Padma yang sedang
dipadatkan.
Pompa tersebut dipasang dalam rumah pompa di perbatasan sebelah
barat Kampung Tambakharjo dengan Graha Padma. Rumah pompa terhubung
dengan saluran air Tambakharjo menuju area pemadatan yang dilakukan
Graha Padma. Berdasarkan keterangan pada papan nama, instalasi rumah
pompa dibuat oleh Pemerintah Kota Semarang. Menurut Enem, selain pompa,
protes warga tujuh tahun lalu juga menghasilkan saluran air dibuat mengitari
dan melintasi kampung, dilengkapi dengan pintu-pintu air di beberapa titik.

98
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar IV.10: Pompa dan pintu air untuk mengatasi banjir Kampung Tambakharjo.
Berdasarkan papan nama di tempat tersebut, instalasi pompa dibangun
oleh Pemerintah Kota Semarang. Tanah lapang di belakang rumah pom-
pa dan pintu air tersebut tampak lebih tinggi. Tanah lapang tersebut me-
rupakan area Graha Padma yang sedang dipadatkan. Enem menduga,
tanah lapang itu kelak akan dibangun.

Namun menurut Enem pintu air itu dibangun Graha Padma. “Itu katanya Graha
yang bikin. Jadi kalau banjir, nanti petugas dari Graha datang menyalakan
pompa. Terus, air yang sudah disedot itu dialirkan ke saluran air, dari sini ke
sana, muter terus sampai airnya habis. Nanti pintu air itu dibuka-buka,” terang
Enem sembari menunjuk ke arah saluran air. Kata Mak Ji, air dibuat memutar
dari yang tergenang menuju yang airnya sedikit, begitu terus sampai genangan
habis.
Meski begitu, air banjir Februari 2021 lalu sudah terlanjur menggenangi
seluruh rumah dan mengenai perabotan-perabotan seperti lemari, tempat
tidur, meja, kursi, sampai kulkas. Keluarga Bu Limo, Bu Wolu, Bu Tu, dan Songo
harus mengeluarkan tenaga dan tentu biaya lebih untuk membersihkan dan
mengganti perabotan mereka yang rusak terkena banjir.
Selain Songo, tetangga Bu Limo ada yang sampai membuang kasur serta
meja yang rusak terkena air. Itu disebabkan karena banjir tiba-tiba datang dan
tidak ada peringatan, sehingga tidak semua perabotan dapat sekaligus
diselamatkan.

99
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Dahulu di kampung Tambakharjo ada seorang dengan panggilan Mbah


Bayan, yang befungsi dan bertugas seperti kepala dusun dalam struktur
masyarakat perdesaan. Mbah Bayan akan memukul tiang listrik kencang-
kencang dan terus-menerus memperingatkan warga jika banjir mulai datang.
Warga Tambakharjo, seperti Bu Limo, akan bersiap-siap membendung jalan
masuk ke terasnya dengan papan kayu atau benda lain, sehingga rumah tidak
kebanjiran. Atau jika rumah tetap kebanjiran, setidaknya ada waktu untuk
menyelamatkan perabotan.
Sekarang, orang seperti Mbah Bayan atau yang melakukan hal seperti
Mbah Bayan (memberi peringatan-dini banjir) tidak ada lagi. Menurut Bu Wolu,
tugas seperti yang dilakukan Mbah Bayan itu sebetulnya sudah beralih ke
Ketua RT masing-masing. Namun warga tidak merasakan fungsi tersebut.
Ketua RT di tempat Bu Wolu tinggal, sebenarnya sudah sempat mengelilingi
wilayah RT. Bu Wolu menduga maksud Ketua RT itu untuk memberi peringatan
banjir. Namun baginya sudah terlambat. Sama halnya di tempat Bu Limo dan
Songo (RT 3), Bu Tu (RT 4) dan Puluh (RW 7), tidak ada peringatan. Jika
peringatan semacam yang dilakukan Mbah Bayan itu ada, tentu mereka
merasa sangat terbantu. Setidaknya, air tidak sampai merusak perabotan.

IV.4. Kesimpulan

Urbanisasi DAS Silandak berlangsung secara timpang, melibatkan proses-


proses rekonfigurasi sosiospasial dan perubahan sosioalamiah. Dalam kasus
perluasan KIC, ketimpangan yang paling mudah dilihat adalah ketimpangan
sosiospasial di mana yang diuntungkan dari proses urbanisasi adalah PT IPU
sebagai pengembang kawasan melalui penjualan tanah/lahan di dalam KIC.
Sementara kelompok yang dirugikan adalah warga Kampung Pucung yang
harus direlokasi.
Dalam hal perubahan sosioalamiah, pengeprasan bukit di KIC telah me-
nimbulkan perubahan dalam stabilitas batuan yang menyebabkan bangunan-
bangunan dan tanah di Kampung Pucung retak-retak dan ambles. Perubahan
sosioalamiah kemudian melebar berupa peningkatan lama genangan di be-
berapa kelurahan pada sepanjang DAS Silandak dan interupsi terhadap
infrastruktur transportasi publik, Bandara Ahmad Yani, yang semakin rentan
dengan bencana banjir sebagai akibat berkurangnya fungsi area tangkapan air
di hulu DAS Silandak karena perluasan KIC.
Rekonfigurasi sosiospasial berlanjut ke arah utara, ke pembangunan
PRPP di mana di dalamnya terdapat reklamasi Pantai Marina. Tanah hasil
memapras bukit di Kampung Pucung diangkut untuk menguruk rawa-rawa
dan laut di bagian utara Kota Semarang. Dalam hal ini berbagai proses

100
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

sosiospasial seperti perpindahan dan sentralisasi penguasaan/kepemilikan


lahan dan perubahan bentang alam terjadi. Lahan yang tadinya adalah milik
warga (banyak orang) pindah menjadi milik Pemprov Jateng dan/atau PT IPU.
Bersamaan dengan itu, terjadi pula perubahan sosioalamiah berupa
meningkatnya risiko banjir dan amblesan di sekitar hingga jauh dari kawasan
PRPP. Kawasan yang paling dekat dan yang menjadi rawan banjir adalah
kawasan sekitar Sungai Tawang Mas dan Sungai Ronggolawe yang dibelokkan
dan bekas alirannya ditimbun untuk kemudian ditanami bangunan-bangunan.
Warga di kawasan sekitar ini menjadi semakin rentan terhadap rob dan banjir
karena ruang bagi air sudah diganti menjadi ruang bagi bangunan. Perubahan
sosioalamiah yang lebih jauh adalah munculnya perubahan arus laut yang
menyebabkan meningkatnya pasang laut, atau lebih jauh, abrasi pantai bagi
kawasan-kawasan tertentu di luar Pantai Marina.
Rekonfigurasi sosiospasial melalui pembangunan perumahan Graha Pad-
ma telah memindahkan kepemilikan lahan dari warga ke tangan pengembang
dan kemudian ke tangan orang yang mampu membeli properti dari pengem-
bang. Bersamaan dengan itu, rawa-rawa dan sawah ditinggikan/diuruk, dan
diubah menjadi perumahan. Kali berubah menjadi got/comberan pembuang-
an sampah.
Pengembang adalah pihak yang paling diuntungkan dari proses ini,
melalui penjualan properti di Perumahan Graha Padma. Sementara warga
Tambakharjo adalah pihak yang merugi melalui meningkatnya risiko rob dan
banjir di kampung mereka. Proses rekonfigurasi sosiospasial dan perubahan
sosioslamiah ini juga berbarengan dengan perubahan struktur sosial yang
baru yang ditandai dengan munculnya pekerjaan yang baru.
Pekerjaan baru yang menjadi penanda relasi sosial yang baru, misalnya,
munculnya hubungan sosial yang baru antara warga Tambakharjo dengan
warga Graha Padma dalam bentuk tuan dan pembantu – hal yang tentu saja
tidak ada sebelum Graha Padma ada. Pekerjaan orang-orang di Tambakharjo
berubah, dari petani tambak atau sawah menjadi kuli bagi pekerjaan kon-
struksi. Bagi yang sedikit terampil/beruntung, maka berubah menjadi peda-
gang kecil. Perubahan-perubahan ini menimbulkan segregasi sosial yang baru,
di mana batas tegas antara “orang perumahan” (yang kaya, rumahnya bagus
dan bersih, lokasinya lebih tinggi, tidak banjir) dengan “orang kampung” (yang
miskin, rumahnya jelek dan kumuh, seringkali lokasinya lebih rendah, dan
sangat rawan banjir) telah terbangun. Di tengah segregasi sosial ini muncul
orang seperti Enem dari Tambakharjo yang mengambil keuntungan dari
proyek pembangunan Graha Padma (melalui jualan makanan, sewa kos-
kosan).
Dalam semua kasus (KIC, PRPP, dan Graha Padma), protes/demo/advoka-
si adalah mekanisme yang dimiliki oleh “orang kampung” untuk menawar atau

101
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

menantang atau melawan proses urbanisasi yang timpang dalam bentuk


rekonfigurasi sosiospasial dan perubahan sosialamiah yang mendera mereka.

102
BAB V
Urbanisasi melalui industrialisasi
di DAS Babon

V.1. Benarkah cuaca ekstrem adalah penyebab banjir?

Repolitisasi banjir di kawasan DAS Babon dilakukan dengan menjelaskan


proses alih fungsi lahan di kawasan DAS tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan yang lebih mendalam tentang banjir yang cenderung
hanya dipahami secara sederhana sebagai akibat dari cuaca yang ekstem atau
karena tidak maksimalnya kerja infrastruktur pengendali banjir seperti pompa
air dan sebagainya. Kawasan DAS Babon tidak luput dari banjir yang mener-
jang kota Semarang pada awal 2021. Wilayah DAS hilir Kali Babon yang paling
parah tergenang banjir adalah Kecamatan Genuk. Di Kecamatan Genuk, banjir
paling parah terjadi di Kelurahan Trimulyo. Ketinggian air mencapai hingga 1,5
meter.1 Media menulis bahwa banjir pada 2021 terjadi karena curah hujan
yang ekstrem. Suara Merdeka menulis banjir terjadi karena intensitas curah
hujan tinggi di beberapa daerah, termasuk hujan deras yang mengguyur

_____
1 Jawa Pos, 8 Februari 2021, “Banjir Genuk dan Tlogosari Terparah”.

103
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

daerah di luar Kota Semarang seperti di Kabupaten Semarang dan Kendal.


Intensitas curah hujan yang tinggi ini membuat debit air di Sungai Babon tidak
tertampung. Akibatnya, air melimpas ke permukiman warga dan sarana
transportasi.1 Sedangkan Jawa Pos menulis “intensitas curah hujan yang tinggi
sejak Jumat malam mengakibatkan sepuluh kecamatan di Kota Semarang
terendam banjir.”2
Anggapan bahwa banjir terjadi karena cuaca ekstrem ini juga disampai-
kan oleh para pejabat publik. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menilai
banjir yang terjadi pada Februari 2021 karena curah hujan yang ekstrem. 3
Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimuljono, mengemukakan hal yang
sama. Menurut Basuki, banjir terjadi karena cuaca ekstrem yang sudah dipre-
diksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BKMG). Pendapat ini
ia sampaikan pada saat meninjau banjir yang terjadi di Kota Semarang pada
2021.4 Tampaknya, Basuki meninjau langsung banjir yang terjadi di Kota
Semarang karena pada 2020 proyek pengendalian banjir dan rob yang diker-
jakan oleh Kementerian PU sudah selesai. Ia mungkin penasaran, mengapa
banjir masih tetap terjadi meski pengerjaan proyek pengendalian banjir Kota
Semarang sudah rampung.
Pandangan yang menganggap banjir di Kota Semarang pada 2021 terjadi
karena cuaca ekstrem perlu dipertanyakan. Beberapa pandangan yang
berbeda mengemuka untuk menjelaskan banjir yang terjadi pada awal 2021 di
Kota Semarang. Dosen Kajian Lingkungan Unika Soegijapranata, Benediktus
Danang Setianto, mengemukakan banjir terjadi karena banyak faktor. Cuaca
ekstrem hanyalah salah satu dari banyak faktor, seperti kondisi drainase,
polder, dan pompa air yang memiliki peran besar terhadap pengelolaan air
dari hulu ke hilir. Benediktus juga menuturkan, wilayah resapan air di
Semarang bawah berkurang karena pembangunan. Sedangkan Wiwandari
Handayani, Dosen Perencanaan Wilayah Kota Undip, menyoroti masalah
urbanisasi di Kota Semarang yang membuat kota rentan terhadap banjir.
Penggundulan hutan yang terjadi terus-menerus untuk pemukiman dan
bangunan lain berperan mengurangi area resapan air di kawasan Semarang

_____
1 Suara Merdeka, Rabu 21 Januari 2021, “Banjir di Kaligawe Limpsan Kali Babon”.
2 Jawa Pos, 7 Februari 2021, “Jalur Pantura Lumpuh, KA Dialihkan Lewat Jogja”.
3 https://regional.kompas.com/read/2021/02/08/18412371/dampak-cuaca-ekstrem-6-
daerah-di-jateng-terendam-banjir [Diakses pada 28 September 2021].
4 https://economy.okezone.com/read/2021/02/07/320/2357999/menteri-basuki-banjir-
semarang-akibat-luapan-kali-beringin-mangkang-dan-kali-plumbon [Diakses pada 28 Sep-
tember 2021]

104
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Atas. Menurut Wiwandari, banjir yang terjadi pada 2021 bukan sekadar masa-
lah cuaca ekstrem.1
Menurut Adil, warga Trimulyo, banjir pada 2021 terjadi selain karena
cuaca ekstrem, juga terjadi karena kiriman air dari wilayah Kudu dan Pucang
Gading.2 Pandangan Adil cukup beralasan karena di Pucang Gading ada
Bendung Pucang Gading yang membagi debit air ke Kali Babon, Kali Dombo-
Sayung Demak, dan Banjir Kanal Timur (BKT). Kecamatan Genuk menjadi dae-
rah yang sering terkena dampak dari luapan dan jebolnya tanggul Kali Babon
karena merupakan kawasan hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Babon.
Kelurahan yang sering mengalami banjir di Kecamatan Genuk di antaranya
Kelurahan Banjardowo, Genuksari, Gebangsari, Gebang Anom, Genuk Indah,
dan Trimulyo. Seperti yang telah disampaikan di atas, Kampung Trimulyo me-
rupakan daerah yang paling parah terkena dampak banjir di Kecamatan
Genuk. Warga sekitar menyebut desa mereka seperti mangkuk yang menam-
pung aliran air dari wilayah-wilayah sekitar karena letaknya yang berada di
pinggir Kali Babon dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
Tulisan ini melihat banjir di Kota Semarang tidak sekadar masalah peru-
bahan kawasan resapan di DAS Babon yang terjadi karena faktor alam. Lebih
dari itu, tulisan ini juga akan memperlihatkan kekuatan-kekuatan ekonomi
politik yang membentuk ulang ruang alamiah DAS Babon. Banjir tidak lepas
dari perubahan tata guna lahan di DAS, karena DAS merupakan bagian dari
siklus hidrologi yang memiliki peran penting bagi tata kelola air di permukaan
bumi sebelum diserap makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan, menguap,
dan dialirkan ke danau, embung, atau laut. Kawasan DAS merupakan area
tangkapan air hujan yang terdiri dari kawasan hulu, tengah, dan hilir. Ketiga
kawasan ini memiliki hubungan yang sangat erat dan saling memengaruhi satu
sama lain. DAS hulu berfungsi sebagai kawasan resapan untuk menjaga debit
aliran air yang tertampung sungai. Penurunan kemampuan DAS hulu untuk
menyerap curah hujan sangat tergantung pada luas kawasan tutupan vegetasi.
Sebagai ilustrasi, semakin luas kawasan vegetasi di DAS hulu, debit air larian
ke sungai semakin kecil, yang berarti air dapat dikelola dan dimanfaatkan di
DAS hilir. Sebaliknya, ketidakmampuan DAS hulu dalam menjaga fungsi resap-
an akan menghasilkan debit air larian yang lebih besar sehingga banjir di DAS
hilir akan semakin mudah terjadi.
Peran manusia sangat penting dalam tata guna ekosistem DAS. Manusia
dapat mengubah tata guna lahan di kawasan DAS dari kawasan vegetasi
menjadi kawasan terbangun atau pun sebaliknya. Manusia juga dapat meng-

_____
1 https://tirto.id/penyebab-banjir-semarang-2021-apakah-hanya-curah-hujan-tinggi-garR
[diakses pada 17 September 2021].
2 Jawa Pos, 8 Februari 2021, “Banjir Genuk dan Tlogosari Terparah”.

105
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

ubah kemiringan lereng dengan melakukan pengeprasan bukit. Hubungan


manusia dengan non-manusia terjadi dalam proses kerja, dimana manusia
mengubah alam (non-manusia) sebagai sarana penghidupan dan/atau akumu-
lasi kapital. Pada era modern, seiring dengan tumbuhnya kota-kota baru di
negara “berkembang”, hubungan manusia dengan non-manusia semakin ter-
penjara di bawah sistem kapitalisme yang disandarkan pada proses akumulasi
kekayaan yang tak pernah berhenti.
Banjir yang terjadi di DAS hilir Kali Babon tidak lepas dari perubahan tata
guna lahan di DAS hulu Kali Babon. Tulisan ini berpandangan bahwa peru-
bahan signifikan DAS Kali Babon merupakan produk dari rekonfigurasi ruang
yang dihasilkan dari momen-momen sosioalamiah. Perubahan tata guna lahan
di DAS Babon berbarengan dengan perluasan kawasan Kota Semarang karena
peningkatan skala ekonomi. Peningkatan ini telah menjadikan ruang-ruang
alamiah di DAS Kali Babon sebagai zona industri di DAS hilir, dan kota satelit di
DAS hulu Kali Babon. Dua hal ini merupakan prasyarat bagi pembentukan
urbanisasi industrial Kota Semarang agar proses produksi dapat berjalan
dengan lancar.
Dengan demikian, ada dua momen sosioalamiah yang memiliki peran
dominan dalam merekonfigurasi ruang DAS Babon. Pertama, terkait dengan
pengembangan, yaitu perubahan atau alih fungsi kawasan resapan menjadi
kota satelit dengan menjadikan lahan tutupan vegetasi di DAS hulu Kali Babon
menjadi kawasan terbangun. Daerah-daerah yang ditunjuk sebagai kota satelit
merupakan kawasan resapan DAS, seperti di Kelurahan Meteseh, Kecamatan
Tembalang yang merupakan bagian dari DAS hulu Kali Babon. Diubahnya
daerah resapan menjadi Kota Satelit Meteseh oleh perusahaan pengembang
perumahan telah menginterupsi siklus hidrologi dan menurunkan fungsi DAS
hulu Kali Babon. Rekonfigurasi Kota Satelit Meteseh dari kawasan resapan
menjadi kawasan terbangun telah mengabaikan fungsi ruang tersebut dalam
daur hidrologi. Dampak dari hilangnya atau menyusutnya kawasan resapan
berakibat pada peningkatan debit air larian yang harus ditampung oleh sungai.
Dampak selanjutnya, intensitas banjir di DAS hilir Kali Babon meningkat seiring
dengan perubahan tata guna lahan di DAS hulu, khususnya di Kecamatan
Tembalang. Sedangkan sungai memiliki keterbatasan dalam menampung
semua debit air yang harus dialirkan ke laut. Keterbatasan kapasitas sungai
dalam menampung debit air larian akan menyebabkan banjir di daerah yang
lebih rendah.
Kedua, pembangunan kawasan industri di Kecamatan Genuk telah
mengalihfungsikan lahan persawahan dan tambak yang semula berfungsi
sebagai tempat bagi persebaran air larian yang tidak tertampung dalam sistem

106
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

drainase seperti sungai dan kanal banjir. Pembangunan kawasan industri telah
mengubah struktur ruang yang dapat memitigasi terjadinya banjir. Laut-
tambak-sawah-pemukiman merupakan struktur ruang yang telah diubah
menjadi laut-kawasan industri-pemukiman. Kondisi ini telah menjadikan per-
mukiman menjadi daerah rawan bencana, termasuk juga bagi kawasan indus-
tri itu sendiri.
Berangkat dari pola perkembangan pemukiman di hulu dan kawasan
industri di hilir, dimana yang pertama dibutuhkan untuk menampung para
buruh yang bekerja di yang kedua, yang telah menyebabkan menurunnya
fungsi DAS dan menciptakan kondisi rentan banjir, maka tulisan ini melihat
banjir sebagai produk material dari rekonfigurasi ruang di bawah sistem
kapitalisme. Rekonfigurasi ruang yang membentuk sosiospasial diciptakan
oleh hubungan sosioalamiah di mana hubungan manusia dan non-manusia di
bawah sistem kapitalisme telah mengkomodifikasi alam untuk mengejar
keuntungan. Mekanisme yang beroperasi dalam proses penciptaan daerah
rawan bencana banjir di DAS Babon diorkestrasi dalam satu proses yang
diringkas sebagai “urbanisasi melalui industrialisasi”, sebagaimana yang akan
dijelaskan pada Bab ini.
Selanjutnya, tulisan ini akan dibagi menjadi beberapa sub-bab (lihat
Gambar V.1 untuk lokasi-lokasi yang disebutkan dalam tulisan). Sub-bab per-
tama akan memberikan gambaran bagaimana proses urbanisasi secara umum
membentuk dan mengatur DAS Babon. Sub-bab berikutnya menjelaskan
peningkatan skala ekonomi yang memicu pembangunan kawasan pemukiman
baru dan kawasan industri di Kota Semarang. Sub-bab selanjutnya, menjelas-
kan proses urbanisasi dalam bentuk pembangunan kawasan pemukiman yang
mengubah tata guna lahan di hulu DAS Babon yang dimulai dengan kebijakan
pembangunan kota satelit di Meteseh, Kecamatan Tembalang, beserta kon-
sentrasi penguasan lahan yang berlangsung bersamaan dengan itu. Kebijakan
mengembangkan kota satelit telah menarik minat pemilik modal dari Jakarta
untuk menanamkan investasi di bidang pengembangan kawasan pemukiman
melalui PT Bukit Semarang Jaya Metro (BSJM). Ini berujung pada konsentrasi
penguasaan lahan. Pada sub-bab berikutnya, dijelaskan bagaimana pemba-
ngunan Kawasan Industri Terboyo (KIT) telah merekonfigurasi ruang di Kelura-
han Trimulyo karena mengalihfungsikan tambak dan sawah menjadi kawasan
terbangun. Kondisi ini diikuti dengan pembuangan limbah dari pabrik-pabrik
yang berada di sekitar Kali Babon. Hulu dan hilir kemudian disambung: kasus
pencemaran Kali Babon oleh industri diperparah oleh sedimentasi akibat
pembukaan lahan dan peningkatan kawasan terbangun di hulu DAS Babon.
Sedimentasi telah menyebabkan pendangkalan sungai yang kemudian berim-

107
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

bas pada luapan air karena tanggul penahan tidak mampu lagi menampung
debit air. Limpasan air dari tanggul sungai yang telah tercemar oleh limbah
industri telah meracuni ikan dan udang yang dimiliki oleh warga di Desa
Bedono dan Trimulyo. Akibatnya, warga dirugikan karena gagal panen. Sub-
bab berikutnya membahas sistem pengendalian banjir dengan menjabarkan
proyek-proyek teknis pengendalian banjir. Teknikalisasi masalah banjir ini
dalam kenyataanya tidak dapat membebaskan Kota Semarang dari banjir. Sub-
bab terakhir memuat kesimpulan.

0 I 2 km
-=
Skala l: 120000

SUngai
• Lokasi
DAS Babon
Peta Dasar: Google Satellite

Gambar V.1: Lokasi-lokasi dalam tulisan.

V.2. DAS Babon: Dibentuk dan diatur

Kali Babon memiliki panjang 17,2 km dengan hulu berada di lereng Gunung
Ungaran hingga bermuara di Laut Jawa. Aliran Kali Babon melewati tiga
kabupaten/kota, yakni Kabupaten Semarang dan Demak serta Kota Semarang.
Di bagian Hulu Sungai Babon, ada dua Sub-DAS yang terdiri dari Sub-DAS Gung
seluas 4.270 ha dan Sub-DAS Pengkol seluas 3.438 ha. Sub-DAS bagian hilir
seluas 6.712 ha, terdiri dari Sub-DAS Banjir Kanal Timur yang menjadi sodetan

108
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

dari Kali Penggaron (hulu Kali Babon) di Bendung Pucang Gading dan sungai
yang berada di antara Sungai Babon dan Banjir Kanal Timur seperti Sungai
Tenggang, Sringing, Leles, Doro, Kaidin, dan Prih.
Perkembangan kota telah banyak mengubah tata guna lahan di DAS-DAS
Kota Semarang dari kawasan resapan menjadi area terbangun. Sedangkan
area terbangun meningkat secara signifikan, tidak terkecuali di DAS Babon.
Pada 1973, DAS Babon memiliki luas 17.721 ha. Dengan rincian, 2,7 % berupa
air, 23,1 % kawasan terbangun, dan vegetasi sebesar 74,2%. Data terakhir pada
2020 menunjukkan luas area vegetasi menyusut secara drastis hingga hanya
tersisa 20,7%. Sedangkan luas area terbangun mengalami peningkatan secara
signifikan sebesar 78.4% (Gambar V.2).

Air: 2,74% Air: 1,7% Air: 1,4%


Area terbangun: 23, 14% Area terbangun: 27 ,7% Area terbangun: 46,9%
Vegetasi: 74,1 2% Vegetasi: 70,6% Vegetasi: 51.7%

1973 1989 1999

Air:1% Air: 0,9%


Area terbangun: 73 ,5% Area terbangun: 78,4%
Vegetasi: 25,5% Vegetasi: 20,7%

2013 2020

02.55 10 15 20 mnr,a
■ ■ Kilometers ■aiuu
Sumber data:
1) Peta Digital Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wilayah didapat dari: https://tanahair.indonesia.go.id.
2) Citra Satelite LANDSAT 1-5 MSS (1973); LANDSAT 4-5 TM (1989 dan 1999) dan LANDSAT OU 8 (2013 dan 2020)

Gambar V.2: Evolusi Penggunaan Ruang di DAS Babon. Keterangan warna: biru adalah
tubuh air, kuning adalah area terbangun, dan hijau adalah tutupan
vegetasi.

109
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Nyaris pasti, perubahan-perubahan ini menjadi salah satu dasar pemikiran di


balik dibekukannya manajemen air yang termanifestasikan dalam Peraturan
Daerah Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Rencana Induk Sistem Drainase Kota
Semarang Tahun 2011-2031 yang menempatkan Kali Babon untuk diatur se-
bagai bagian dari Sistem Drainase Kota Semarang Bagian Timur. Sistem ini
akan mengalirkan air dari area tangkapan air yang berasal dari 21 Kelurahan
yang ada di Kecamatan Tembalang, Banyumanik, Genuk, dan Pedurungan.
Area tangkapan air DAS Babon di Kecamatan Tembalang berasal dari Kelura-
han Meteseh, Rowosari, Bulusan, Sendangmulyo, dan Kramas.1 Kecamatan
Tembalang sengaja disoroti di sini karena menjadi hulu DAS Babon yang akan
sangat berpengaruh terhadap produksi banjir di hilir DAS Babon. Namun,
pengendali sesungguhnya dari perubahan-perubahan ini, pertumbuhan eko-
nomi, masihlah harus diekskavasi.

V.3. Pertumbuhan ekonomi: Dari migas ke industri

Sub-bab ini menjelaskan momen sosiospasial dari urbanisasi Kota Semarang


yang dipicu oleh sirkulasi kapital dalam bentuk investasi di sektor industri.
Sebagaimana telah disebut dalam Bab II, industrialisasi telah memproduksi
krisis perkotaan. Ini terjadi karena urbanisasi industrial di Kota Semarang telah
membentuk ulang Kota Semarang untuk memfasilitasi industrialisasi dengan
menciptakan kawasan industri sebagai pusat-pusat kapital-industri. Sementa-
ra itu, peningkatan kegiatan industri telah menciptakan urbanisasi di Kota
Semarang sehingga memberi tekanan pada kebutuhan tempat tinggal bagi
para buruh industri. Ruang-ruang alamiah baru dibentuk ulang dengan meng-
ubah kawasan resapan menjadi area pemukiman bagi para buruh industri.
Dengan demikian, urbanisasi untuk memfasilitasi industrialisasi ini telah
menciptakan krisis perkotaan dalam bentuk banjir. Krisis ini terjadi karena
pembentukan ulang ruang-ruang alamiah telah mengabaikan siklus ekologi,
dalam hal ini siklus hidrologi DAS Babon. Daerah-daerah tangkapan air telah
dialihfungsikan menjadi kawasan terbangun, baik dalam bentuk kawasan
industri maupun kawasan pemukiman yang diperuntukkan bagi tenaga kerja
industri. Terlihat dalam penjelasan-penjelasan berikutnya, bagaimana inves-
tasi di sektor industri dan pemukiman memberi tekanan pada ruang-ruang
alamiah di DAS Babon.
Perubahan-perubahan bentang alam di DAS Babon berlangsung secara
beriringan dengan peningkatan skala ekonomi akibat dari pergeseran kebija-
_____
1 Lihat Pasal 20 ayat 2 Point (d) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2014
Tentang Rencana Induk Sistem Drainase Kota Semarang Tahun 2011-2031.

110
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

kan negara dalam pembangunan ekonomi. Era sebelum 1970-an, pembiayaan


ekonomi Indonesia sangat mengandalkan pendapatan dari ekspor komoditas
minyak bumi dengan menjadikan Pertamina sebagai tulang punggung pro-
duksi dan distribusi minyak bumi. Era booming energi berakhir dengan harga
komoditas minyak bumi yang stagnan dan gagal bayar utang Pertamina.
Kondisi ini menyebabkan Indonesia harus meninggalkan pendapatan dari
penjualan minyak bumi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penuru-
nan pendapatan dari minyak bumi juga telah membuka borok yang terjadi di
Pertamina. Pertamina menanggung utang yang cukup besar karena berinves-
tasi dengan menggunakan pinjaman jangka pendek.1 Sebagai perusahaan
milik negara, pemerintah terpaksa menanggung utang Pertamina. Pemerintah
mulai membuka masuknya investasi asing secara besar-besaran untuk me-
nutup utang Pertamina serta mencari alternatif pembiayaan pembangunan
selain mengandalkan komoditas minyak dan gas (migas).
Pada Pidato RAPBN 1976/1977, Presiden merencanakan utang sebesar
Rp1 miliar Dolar Amerika Serikat (AS) untuk meningkatkan cadangan devisa. 2
Pidato Presiden Soeharto ini menyoroti masalah yang terjadi di Pertamina dan
dampaknya secara luas bagi pembangunan.

“Adapun rangkaian akibat-akibat tersebut berlangsung melalui pe-


ngaruhnya terhadap penerimaan negara, cadangan devisa, pinjam-
an luar negeri, dan perkreditan dalam negeri. Sebagaimana dimak-
lumi penerimaan negara yang berasal dari sektor minyak bumi
memegang peranan yang sangat penting. Penerimaan negara dari
minyak bumi ini untuk bagian terbesar berasal dari produksi kontrak
karya untuk sebagian kecil berasal dari produksi Pertamina sendiri.” 3

Era sebelum 1980-an hingga pertengahan 1980-an, migas mendominasi eks-


por Indonesia (lihat Grafik V.1). Pada 1985, ekspor non-migas mulai meningkat
hingga sekarang. Pergeseran ini berbarengan dengan meningkatnya investasi
asing yang masuk ke Indonesia (lihat Grafik V.2). Pada 1982 nilai investasi asing
yang masuk ke Indonesia sebesar 225 juta Dolar AS. Data Badan Pusat Statistik
(BPS), pada tahun yang sama, menunjukkan jumlah nilai investasi yang masuk

_____
1 Lihat Majalah Tempo Edisi 17 Januari 1976. Dalam wawancara dengan Tempo, Ibnu
Sutowo (Direktur Pertamina 1957-1968) mengungkapkan utang jangka pendek Pertamina
untuk membiayai investasi di sektor lain, salah satunya Krakatau Steel. Diawali dengan
adanya janji hutang jangka panjang 20 tahun sebesar 1,3 milyar Dolar AS. Teryata utang
jangka panjang ini tak pernah ada. Ketika utang jangka pendek jatuh tempo, Pertamina
tidak dapat melunasi utang-utangnya.
2 Majalah Tempo, 17 Januari 1976, “Presiden Tentang Persoalan Pertamina”.
3 Majalah Tempo, 17 Januari 1976, “Presiden Tentang Persoalan Pertamina”.

111
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

ke Kota Semarang sebesar Rp6,787 miliar untuk investasi asing atau 5,1% dari
jumlah investasi yang masuk ke Indonesia (Grafik V.2). Sedangkan investasi
dalam negeri yang masuk ke Kota Semarang sebesar Rp26,7 miliar. 1

180000
160000
140000
120000
Juta Rp

100000
80000
60000
40000
20000
0
1975

1989

2005
1977
1979
1981
1983
1985
1987

1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003

2007
2009
2011
2013
2015
2017
Tahun

■ Migas ■ Non Migas

Grafik V.1: Nilai ekspor migas dan non-migas Indonesia 1975-2018. Sumber: BPS
Indonesia.

8000
6000
Juta USD

4000
2000
0
1982

1989

1996
1980
1981

1983
1984
1985
1986
1987
1988

1990
1991
1992
1993
1994
1995

1997
1998
1999
2000

-2000
-4000
-6000
Tahun

Grafik V.2: Investasi asing di Indonesia 1980-2000. Sumber: World Bank.2

_____
1 Dalam Kelly RB (1985), Foreigh and Domestic Investment In Indonesia: A Sectoral and
Spatial Analysis (Ph.D Thesis). Harvard University, h. 149
2 https://data.worldbank.org/indicator/BX.KLT.DINV.CD.WD?locations=ID [diakses pada 6
September 2021].

112
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Pasca ditinggalkannya migas sebagai komoditas andalan ekspor, industri


manufaktur memainkan peran pengganti dan penting bagi capaian pertum-
buhan ekonomi.1 Bahkan dalam catatan Bank Dunia, sebenarnya antara 1973
hingga 1983, pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia telah mengha-
silkan output tertinggi dibanding dengan all middle income countries seperti
Korea, Thailand, dan Singapura.2
Pertumbuhan ekonomi pada pertengahan 1980 memperlihatkan tren
kenaikan yang cukup signifikan (lihat Grafik V.3). Ada pergeseran yang cukup
fundamental dan berpengaruh dalam perkembangan pertumbuhan ekonomi.
Sektor manufaktur mulai meningkat, sedangkan sektor agrikultur mulai
menurun.3 Kondisi ini nantinya tak bisa dilepaskan dari alih fungsi lahan-lahan
pertanian menjadi kawasan-kawasan pemukiman dan industri, khususnya di
wilayah pesisir Pulau Jawa. Keduanya saling mempengaruhi. Di satu sisi, alih
fungsi lahan menunjang pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pertumbuhan
ekonomi mempercepat alih fungsi lahan.

18000000
16000000
14000000
12000000
Juta USD

10000000
8000000
6000000
4000000
2000000
0
1961

1963

1965

1967

1969

1971

1973

1975

1977

1979

1981

1983

1985

1987

1989

Tahun

Grafik V.3: Gross Domestik Bruto (Gross Domestic Bruto) Indonesia 1961-1990.
Sumber: Bank Dunia.

_____
1 Rietveld, Ret., Vlaanderen, Niels., Kame, Daniel., Schipper, Youdi., (1994), Infrastructure
and Industrial Development: The Case of Central Java,” Bulletin of Indonesian Economic
Studies 30(2): 119–132.
2 Hal Hill, “Indonesia’s Industrial Transformation 1 Part I (1990),” Bulletin of Indonesian
Economic Studies 26(2): 79–120.
3 Anne E. Booth (1979) The Indonesian Economy: Looking Towards Repelita III. Southeast
Asian Affairs 119–133.

113
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Pertumbuhan ekonomi nasional yang dimotori oleh sektor manufaktur sejak


1970-an ini, menimbulkan tekanan yang cukup kuat bagi Semarang dan
sekitarnya. Menurut Rietveld dkk. (1994) kesiapan infrastruktur sangat penting
dalam mendukung kegiatan industri.1 Letak Kota Semarang sudah dirancang
jauh-jauh hari sejak zaman kolonial agar strategis bagi pengembangan
kawasan industri. Kota ini dilalui/dilewati oleh jalur transportasi utama kolonial
di Pulau Jawa yang menghubungkan ujung barat dengan ujung timur Pulau
Jawa. Untuk meningkatkan arti strategis itu, pada 23 November 1985, Presiden
Soeharto meresmikan Pelabuhan Samudera Tanjung Emas.2 Lima tahun
kemudian, pelabuhan Tanjung Emas diperluas karena meningkatnya ekspor
non-migas dari Jawa Tengah.3 Pelabuhan Tanjung Emas, sebagai pelabuhan
kapal barang, semakin menguntungkan bagi aliran rantai pasok produk yang
dihasilkan di kawasan ini. Kota Semarang juga memiliki bandara udara Ahmad
Yani dan dua stasiun kereta api besar, Tawang dan Poncol. Ketersediaan dan
kesiapan infrastruktur yang ada di Kota Semarang sangat penting untuk
menekan biaya produksi.
Dalam proses industrialisasi, sepaket dengan arti penting infrastruktur
adalah lahan, baik untuk memenuhi kebutuhan pemukiman para buruh
maupun untuk lokasi pabrik (kawasan industri). Dari yang pertama muncul
istilah ‘kota satelit’. Kawasan hulu DAS Babon adalah lokasi yang direkon-
figurasi untuk kebutuhan kota satelit ini. Yang kedua menggunakan istilah
kawasan industri sebagai pusat pengembangan industri dan pusat pertum-
buhan ekonomi. Kawasan industri terletak di hilir DAS Babon, sehingga DAS
Babon mengalami rekonfigurasi sosiospasial untuk memenuhi kebutuhan
lahan untuk pembangunan pabrik.
Kebijakan yang diambil sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi
adalah perluasan kawasan Kota Semarang dengan mengambil alih wilayah-
wilayah kabupaten lain yang berbatasan langsung dengan Kota Semarang.
Pada 1976, beberapa Kecamatan di Kabupaten Demak, Semarang, dan Kendal
menjadi bagian dari wilayah administrasi Kota Semarang. Dengan mengatas-
namakan pembangunan, hukum menjadi instrumen imperatif yang memfasili-
tasi proses pencaplokan wilayah atau daerah lain tersebut. Peraturan Peme-
rintah Nomor 16 tahun 1976 Tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II

_____
1 Rietveld, Ret., Vlaanderen, Niels., Kame, Daniel., Schipper, Youdi., (1994), Infrastructure
and Industrial Development: The Case of Central Java,” Bulletin of Indonesian Economic
Studies 30(2): 119–132.
2 Kompas, 6 Februari 1985, “Presiden Resmikan Pelabuhan Tanjung Emas 23 November”.
3 Kompas, 22 Oktober 1990, “Ekspor Meningkat, Pelabuhan Tanjung Emas Perlu Diperluas”.

114
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Semarang telah mengatur jalannya pencaplokan wilayah-wilayah kabupaten


lain yang berbatasan langsung dengan Kota Semarang.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1976 Tentang Perluasan Kota-
madya Daerah Tingkat II Semarang memuat secara detail desa-desa yang
dicaplok oleh Kota Semarang. Kabupaten Kendal menyerahkan dua kecama-
tan ke pangkuan Kota Semarang sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah, yaitu
Kecamatan Tugu dan Kecamatan Mijen. Kecamatan Tugu sendiri terdiri dari 11
Desa.1 Sedangkan Kecamatan Mijen terdiri dari 13 Desa.2 Kabupaten
Semarang menyerahkan sebagian Kecamatan Gunungpati dan Kecamatan
Ungaran.3 Terakhir Kabupaten Demak harus menyerahkan Kecamatan Genuk
yang terdiri dari 15 Desa.4
Pencaplokan wilayah ini telah menggeser garis batas kota dan siap untuk
dijadikan wilayah perluasan kota. Dulu, sisi timur Kota Semarang dahulu
dibatasi oleh Banjir Kanal Timur (BKT). Sungai besar ini adalah pemisah antara
daerah administrasi Kota Semarang dengan Kabupaten Demak. Sekarang ini,
dua Kabupaten dan Kota ini dipisahkan oleh Sungai Babon di sebelah timur
yang membentang dari hulunya di Kabupaten Semarang hingga hilirnya di Laut
Jawa.
Setelah mencaplok wilayah-wilayah dari kabupaten lain, pada 1978, Pe-
merintah Kota Semarang merencanakan area industri seluas 1.800 hektar.5
Wilayah-wilayah yang dicaplok tersebut akan diubah menjadi kawasan-kawas-
an pertumbuhan ekonomi, khususnya kawasan-kawasan industri. Perda Kota
Semarang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Rencana Induk Kota telah mengaloka-
sikan Kecamatan Genuk sebagai kawasan industri. Sejak itu, ada beberapa
kawasan industri muncul di sebelah timur BKT, yaitu Kawasan Industri
Bugangan dan KIT, Kawasan Industri Banjardowo, dan beberapa pabrik yang

_____
1 Yaitu: 1) Desa Mangkangkulon; 2) Mangunharjo; 3) Mangkangwetan; 4) Randugarut; 5)
Karanganyar; 6) Tugurejo; 7) Jerakah; 8) Ngalian; 9) Beringin; 10) Podorejo; dan 11)
Kehutanan.
2 Yaitu: 1) Gondorio; 2) Kedungpani; 3) Wonoplembon; 4) Ngadirgo; 5) Jatibarang; 6)
Wonolopo; 7) Mijen; 8) Tambangan; 9) Purwasari; 10) Cangkiran; 11) Bubakan; 12)
Polaman; dan 13) Desa Karangmalang.
3 Beberpa desa di Gunungpati yang masuk Wilayah Kota Semarang di antaranya: 1) Desa
Jatirejo; 2) Cepoko; 3) Sedeng; 4) Sukorejo; 5) Sekaran; 6) Ngijo; 7) Nongkosawit; 8)
Sumungpati; 9) Mangunsari; 10) Pongangan; 11) Patemon; 12) Pakintelan; dan 13) Desa
Plalangan. Beberapa Kecamatan Ungaran yang masuk wilayah Kota Semarang: 1) Desa
Sumurgunung; 2) Sumurjurang; 3) Pudakpayung; 4) Banyumanik; 5) Pedalangan; 6)
Gedawang; 7) Tembalang; 8) Bulusan; 9) Kramas; 10) Jabungan; 11) Mangunharjo; 12)
Meteseh; dan 13) Desa Rowosari.
4 Yaitu: 1) Desa Tambakrejo; 2) Trimulyo; 3) Muktiharjo; 4) Gebangsari; 5) Genuksari; 6)
Karangroto; 7) Banjardowo; 8) Sambirejo; 9) Tlogosari; 10) Bangetayu; 11) Kudu; 12)
Sembungrejo; 13) Panggaron; 14) Plamongansari; dan 15) Desa Sendangmulyo.
5 Suara Merdeka, 14 Februari 1978, “Area Industri di Semg (Semarang) 1800 Hektar”.

115
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

dibangun di sisi kanan dan kiri jalan Semarang-Demak. Area-area untuk


kawasan industri ini berada di bagian hilir DAS Babon. Sementara area untuk
pemukiman, berada di bagian hulu.

V.4. Rekonfigurasi Hulu DAS Babon: Kota satelit dan konsentrasi


penguasaan lahan

Ide kota satelit di Semarang muncul pada 1973 ketika Gubernur Jawa Tengah
dan Panglima Kodam VII Diponegoro memberikan arahan pada upacara
pelantikan Hadijanto sebagai Wali Kota Semarang. Hadijanto, sebagai Wali
Kota terpilih (1973-1980), merespon ide ini dengan menjadikan arahan
tersebut sebagai landasan kerja. Menurutnya, pembangunan kota satelit akan
dilakukan dengan menggunakan setiap kesempatan dan terbuka dengan
bantuan modal baik asing maupun nasional sepanjang tidak merugikan dae-
rah dan menguntungkan rakyat.1 Pada 1974, Badan Perencanaan Pembangu-
nan Nasional (Bappenas) menetapkan Semarang sebagai Kota Industri Estate
selain Jakarta, Cilacap, dan Surabaya. Perencanaan pembangunan kota satelit
dimulai dengan survei yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM).
Hasil survei menyebutkan bahwa “perkembangan industri di Semarang
menunjukkan masa depan yang baik. Di Kota ini, bahan makanan dan tenaga
kerja relatif murah.” 2 Survei UGM ini kemudian dilanjutkan dengan melakukan
studi kelayakan akan potensi penambahan pembangunan rumah-rumah
perorangan sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi kota.
Kabar tentang rencana pengembangan kota satelit memicu aksi spekulan
tanah. Pada 5 Mei 1974, Koran Suara Merdeka memberitakan:

“Sejak tersiarnya berita tentang rencana pemerintah daerah


Kotamadya Semarang yang akan membangun Kota2 Satelit dan
penyebaran pusat2 perbelanjaan yang lokasinya oleh Wali Kota
masih dirahasiakan itu, kini hampir setiap sore banyak para pemilik
modal kuat dengan mobilnya pada “dolan2” didaerah Kecamatan
Semarang Barat dan Selatan. Mereka berusaha mendapatkan tanah
untuk dibeli didaerah Sampangan, Simongan dllnya. Akibatnya
tanah2 didaerah tsb harganya melonjak” [sic]. 3

_____
1 Suara Merdeka, 4 Januari 1973, “Walikota Pasti Akan Bangun Kota Satelit”.
2 Suara Merdeka, 19 Juni 1974, “Semarang Bakal Punya Kota2 Satelit”.
3 Suara Merdeka, 5 Mei 1974, “Tanah2 Kota Satelit Yang Dirahasiakan Menjadi Incaran”.

116
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Perkembangan Kota Semarang semakin mengukuhkan dirinya sebagai kota


industri.1 Perkembangan ini dibarengi dengan kebutuhan akan tenaga kerja
untuk mengisi lowongan pekerjaan yang dibutuhkan. Prediksi pada 1990
memperkirakan bahwa hingga 2000, Kota Semarang membutuhkan 400 ribu
tenaga kerja yang akan diserap oleh pusat-pusat industri yang ada. Pemerintah
mempersiapkan Kelurahan Meteseh di Kecamatan Tembalang, serta dua keca-
matan lain yakni Mijen dan Gunungpati sebagai kota satelit untuk memenuhi
kebutuhan tempat tinggal bagi para tenaga kerja. 2 Yang paling relevan
diperdalam dalam tulisan ini adalah yang terletak di DAS Babon: Kelurahan
Meteseh, Kecamatan Tembalang.
Sejauh ini, penelusuran tentang lanskap Kelurahan Meteseh belum
memperoleh data yang pasti. Cerita Jumari yang dikutip Koran Wawasan
memberikan gambaran tentang kondisi Meteseh pada 1960, ketika masih
menjadi wilayah administratif Kabupaten Semarang. Menurut Jumari, Kawasan
DAS Babon sepanjang Kecamatan Tembalang adalah hutan jati yang rimbun
dan luas. Ayah Jumari dulu mendapatkan penghasilan dari menebang pohon
jati di hutan tersebut.3
Saya menggunakan indikasi untuk menilai lanskap Kelurahan Meteseh
sebelum menjadi kawasan pengembangan perumahan. Indikasi sosial untuk
menggambarkan kondisi Kelurahan Meteseh di masa lalu digunakan dengan
melihat tingkat kriminalitas dan istilah-istilah yang disematkan warga Sema-
rang terhadap Kelurahan Meteseh. Tingginya tingkat kriminalitas mengindi-
kasikan suatu daerah masih jarang penduduknya dan kemungkinan relatif
terisolir karena wilayahnya masih berupa area terbuka seperti rawa, hutan,
dan perladangan. Kondisi sosial Kelurahan Meteseh pada 1980-an diwarnai
dengan tingkat kejahatan yang tinggi. Pada Oktober 1982, warga Meteseh
menyatakan “perang terhadap kejahatan” karena dalam kurun waktu 1 bulan,
yaitu selama Juli 1982, telah terjadi 15 kali kejahatan kekerasan.4 Bahkan pada
September 1982, warga Meteseh “Perang Batu” melawan 50 perampok yang
gagal melakukan perampokan.5
Selain itu, istilah-istilah yang disematkan seringkali merujuk Kelurahan
Meteseh sebagai daerah yang sepi dan jarang terjamah oleh kegiatan manusia.
Bagi warga Semarang pada sekitar 1980-an, ada beberapa istilah yang sering

_____
1 Suara Merdeka, 2 November 1996, “Konsep Semarang Kota Industri Akan Segera di
Susun”.
2 Suara Merdeka, 28 Juli 1990, “Kota Satelit Meteseh Untuk Menekan Urbanisasi”.
3 Wawasan, 7 April 2002, “Sedimentasi Sungai Babon Sangat Berpengaruh”.
4 Suara Merdeka, 7 Oktober 1982, “Rakyat Desa Meteseh Nyatakan “Perang” Terhadap
Kejahatan””.
5 Suara Merdeka, 24 Oktober 1982, “Penduduk Meteseh “Perang Batu” Melawan 50
Perampok”.

117
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

disematkan ke Kelurahan Meteseh untuk menunjukkan betapa masih sepinya


daerah tersebut. Biasanya wilayah tersebut sering disebut “tempat buang anak
jin”. Ada juga yang menyebut “tempat buang mayat” karena adanya beberapa
kejadian pembuangan mayat di daerah tersebut. 1 Alfajrin, dalam opininya di
Tribun Jawa Tengah pada 2017, menyebut Tembalang dulu merupakan daerah
yang selalu berkabut tiap pagi.2 Artinya, kemungkinan besar daerah itu masih
sepi, udaranya masih sejuk, karena itu dia berkabut.
Penunjukan Kelurahan Meteseh Kecamatan Tembalang sebagai kota
satelit dibarengi dengan praktik monopoli pembelian tanah. Warga Kelurahan
Meteseh dilarang menjual tanahnya kepada sembarang orang. Mereka harus
menjual tanahnya kepada “seorang calo tanah kelas kakap untuk kepentingan
pembangunan wilayah pengembangan Kota di kelurahan setempat atau pro-
yek ‘Kota Satelit’ yang ditangani sebuah PT dari Jakarta”.3 Warga yang menjual
tanahnya selain kepada calo tanah kelas kakap tersebut akan dipersulit dalam
urusan administrasi. Pihak kelurahan tidak akan mengeluarkan surat jual beli
atas tanah karena sudah di-wanti-wanti untuk tidak menjual tanahnya kepada
orang lain. Monopoli penjualan ini membuat warga Meteseh dirugikan. Harga
tanah tegalan di pasaran pada 1989 berkisar antara Rp2.500/meter. Semen-
tara jika dijual kepada PT dari Jakarta, harganya hanya Rp1.750/meter. Warga
terpaksa melepas tanahnya kepada PT dari Jakarta karena jika tidak dilepas-
kan, tanah itu tidak bisa dijual kepada orang lain. 4 Kewajiban menjual tanah
kepada perusahaan dari Jakarta itu terkonfirmasi melalui General Manager
BSJM, perusahaan dari Jakarta, Bachtiar Baringbing. Ia mengakui bahwa para
spekulan tanah atau calo yang beroperasi di Meteseh bukan menjadi ham-
batan utama bagi pembangunan proyek Kota Satelit Meteseh. 5
Masih sekitar masalah tanah, BSJM sebagai perusahaan pengembang
kawasan Kota Satelit Meteseh banyak diterpa isu negatif. BSJM diduga
mencaplok tanah milik penduduk dalam proses pembangunan jalan tembus
Tembalang-Meteseh. Dugaan ini muncul karena beberapa pihak menganggap
pembangunan jalan tersebut merupakan tanggung jawab dari BSJM. Bachtiar
Baringbing, membantah hal tersebut; ia menyebutkan “perusahaan kami

_____
1 Sebagai orang Semarang, saya sering mendengar dua istilah ini untuk menggambarkan
Kelurahan Meteseh pada kurun waktu 1980-an. Istilah ini sering disebut oleh generasi
orang tua saya.
2 Achmad Chalid Afif Alfarjin, Tribun Jateng, 3 Agusutus 2017, “Tembalang, Perbukitan Yang
Rawan Banjir”.
3 Suara Merdeka, 11 Desember 1989, “Warga Meteseh Dilarang Jual Tanah Pada Orang
Lain”.
4 Suara Merdeka, 11 Desember 1989, “Warga Meteseh Dilarang Jual Tanah Pada Orang
Lain”.
5 Suara Merdeka, 5 September 1992, “Pembangunan Kota Satelit di Meteseh Tak Pernah Di-
tunda”.

118
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

memang membangun di Meteseh, namun bukan berarti juga mengerjakan


proyek lain di kawasan itu. Kami tidak punya wewenang membangun jalan
tembus.”1 Sedangkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kotamadya (Kodya)
Semarang,2 Murti Wibowo, menegaskan bahwa tanah yang diduga dicaplok
dalam pembangunan jalan tembus merupakan tanah Kodam (Komando
Daerah Militer) yang selama ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk berkebun.
Pemerintah Kota Semarang telah memberikan ganti rugi untuk tanaman yang
ada di atas tanah tersebut. Ia juga menambahkan, pembangunan jalan tembus
merupakan proyek Pemerintah Kodya Semarang untuk meningkatkan sarana
transportasi di wilayah itu.3
Pada 26 Januari 1990, Suara Merdeka memberitakan konglomerat dari
Jakarta masing-masing Sudwikatmono, Ir. Ciputra, dan Ir. Soekrisman akan
mengembangkan bisnis properti di Kota Semarang. Gabungan tiga pengusaha
ini akan berinvestasi sebesar Rp100 Miliar. Proses pengembangan bisnis
properti ini akan menggusur Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Muktiharjo.
Pasalnya, TPA tersebut akan dijadikan sebagai pintu gerbang menuju kawasan
pemukiman yang dikembangkan di Kedungmundu. Penggantian lahan dan
pembangunan TPA pengganti akan dilakukan oleh BSJM. Menurut pimpinan
proyek BSJM, Ir. Wahyu Pramono, mereka akan mencari lahan pengganti dan
membiayai pemindahan TPA Muktiharjo. Pada 1990, BSJM baru membangun
79 rumah tipe 21. BSJM setahun lagi (1991) akan membangun 1.000 unit rumah
dan “10 tahun lagi semua proyek sudah selesai tuntas termasuk penggunaan
cadangan lahan 1.500 ha 500 ha di antaranya untuk sarana umum dan
rekreasi.” Selain pembangunan pemukiman, proyek ini juga akan membangun
stadion terbuka, lapangan golf, gelanggang pacuan kuda, hotel dan cottage,
gedung serba guna, pasar swalayan, gelanggang mahasiswa, sejumlah per-
guruan tinggi, rekreasi air, dan balai pertemuan.4
BSJM merupakan salah satu pengembang perumahan di kawasan
Tembalang yang telah dan sedang membangun beberapa kluster perumahan
di Kelurahan Meteseh. Struktur kepemilikan saham BSJM pada 2021 menye-
butkan 40% saham dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 52,37% dimiliki
secara pribadi atau perorangan, dan Yayasan Marga Jaya memiliki 7.63%

_____
1 Suara Merdeka, 8 Januari 1993, “Pembangunan Jalan Meteseh Tembalang Sesuai Prose-
dur”.
2 Yang dimaksud dengan Pemerintah Kotamadya Semarang di sini sama dengan Pemerintah
Kota Semarang.
3 Lihat, Suara Merdeka, 8 Januari 1993, “Pembangunan Jalan Meteseh Tembalang Sesuai
Prosedur”.
4 Suara Merdeka, 26 Januari 1990, “Rp. 100 Miliar Investasi di Kota Satelit Meteseh”.

119
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

saham.1 Nama Ir. Ciputra pernah tercatat sebagai Komisaris PT Pembangunan


Jaya (PTPJ) pada 1995-2019, induk usaha dari BSJM.2 Sedangkan Ir. Soekrisman
pernah menjabat sebagai Komisaris BSJM pada 2005 dan PTPJ pada 1996.3
BSJM telah mengembangkan perumahan di Tembalang sejak 1987
dimulai dari Perumahan Bukit Kencana Jaya. Ada 1.766 unit rumah yang di-
bangun di kawasan perumahan ini.4 Pada 2000 sampai sekarang, perusahaan
ini semakin memperluas wilayah pengembangan perumahan di Meteseh,
Tembalang. Beberapa produk kawasan perumahan yang ditawarkan di antara-
nya Bukit Emerald Jaya (dikembangkan pada 2007), Pandanaran Hills tahap I,
II, dan III (dikembangkan pada 2008 sampai dengan (s.d.) sekarang), Bukit
Mutiara Jaya (pada 2009), Bukit Violan Jaya (2014 s.d. sekarang), serta
Pandanaran Village (pada April 2015). Secara keseluruhan, BSJM mengklaim
telah mengembangkan area pemukiman seluas kurang lebih 350 hektar di
Kecamatan Tembalang. Alasannya, area tersebut merupakan kawasan bebas
banjir yang sangat ideal untuk dikembangkan sebagai kawasan perumahan
bagi kelas menengah, menengah ke bawah, dan kelas bawah.5
Selain perumahan yang dikembangkan oleh BSJM, masih ada puluhan
kawasan pemukiman yang telah dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan
lokal. Peta Google Map pada 2021 memperlihatkan setidaknya ada 29 kawasan
perumahan di Kecamatan Tembalang. Salah satu perusahaan lokal tersebut
adalah PT Ajisaka yang mengembangkan kawasan pemukiman Puri Dinar Asri
Meteseh.
Perusahaan properti skala nasional juga telah mengembangkan peru-
mahan di Kecamatan Tembalang. Citra Grand Semarang membangun kawa-
san perumahan elit di Kelurahan Bulusan. Masterplan pengembangan ini se-
luas 60 hektar dengan kontur kawasan berbukit yang menawarkan hunian
dengan “udara yang bersih, hawa pegunungan yang sejuk, dan lingkungan
yang alami.”6 Citra Grand Semarang merupakan bisnis properti yang dikem-
bangkan oleh Ciputra Development melalui anak usahanya Ciputra Karya

_____
1 Pemerintah DKI Jakarta, Profil BUMD DKI Jakarta 2019, tersedia di
https://bpbumd.jakarta.go.id/web/dokumen-bumd (diakses pada 1 Oktober 2021).
2 PT. Metropolitan Kentjana Tbk (2019), Laporan Tahunan 2019. Halaman 75.
3 Daftar Riwayat Hidup Komisaris PT. Jaya Konstruksi, tersedia di http://jayakonstruksi.com/
assets/rups/Riwayat%20Hidup%20Calon%20Komisaris%20dan%20Direksi%202017.pdf
(diakses pada 3 Oktober 2021).
4 Annisa Mu’awanah dan Nanny Yuliastuti (2014) Efektivitas Fasilitas Sosial di Perumahan
Bukit Kencana Jaya. Jurnal Teknik PWK 3(3): 371-382.
5 Website resmi BSJM, https://www.jayametro.com/profil#, (diakses pada 25 Agustus
2021).
6 Website resmi CitraGrand Semarang https://www.citragrand-semarang.com/about-us/
[diakses pada 25 Agustus 2021].

120
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Utama. Perusahaan Ciputra Karya Utama ini merupakan perusahaan patu-


ngan antara PT Ciputra Inti Pratama dan PT Karya Utama Bumi.
Perkembangan kota satelit di Kecamatan Tembalang semakin pesat de-
ngan dibangunnya Kampus Undip. Hal ini tidak lepas dari peran Wali Kota
periode 1990-2000, Soetrisno Suharto, yang ingin menyeimbangkan kepada-
tan penduduk yang tidak merata. Pada 23 Agustus 1992, ia bertemu dengan
Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah. Pada perte-
muan tersebut, Soetrisno Suharto menyampaikan bahwa “pembangunan di
daerah perluasan, memang masih belum seimbang dengan wilayah perkota-
an.” Namun, menurut Soetrisno Suharto, pihaknya “telah memperbaiki sarana
perhubungan ke wilayah perluasan.”1 Wali Kota juga menyinggung peran
perguruan tinggi bagi pengembangan kota satelit sebagai daerah perluasan
Kota Semarang:

“khusus tentang kota pendidikan dijelaskan, kawasan perguruan


tinggi masih tetap dipertahankan seperti sekarang ini. Maksudnya,
Unissula dibiarkan berkembang di daerah timur, IAIN di bagian
barat, IKIP dan PTS di daerah Sampangan/Bendan dan Undip akan
dipindah ke Tembalang Semarang Selatan.

Hanya akademi yang dipertahankan di pusat kota. Sedangkan kam-


pus Undip di Pleburan dikembangkan menjadi pusat penelitian dan
pelatihan yang langsung dapat disumbangkan untuk pembangu-
nan.”2

Undip sendiri telah menganggarkan pembebasan lahan pada tahun anggaran


1979/1980. Akan tetapi percepatan pembangunan terjadi pada 1990-an. Pada
1992, Undip membangun kampus Lembaga Politeknik Pekerjaan Umum
(LPPU) di atas tanah seluas 10 ha.3 Selanjutnya pada 1997, Wardiman Djojo-
negoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, meresmikan Gedung Widya
Puraya yang menjadi gedung rektorat Undip sampai sekarang.4 Proses pemin-
dahan semua kegiatan perkuliahan yang ada di kampus Pleburan terjadi pada
2000-an secara bertahap. Pada 2010, empat fakultas pindah ke kampus
Tembalang, yaitu: Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomi,

_____
1 Suara Merdeka, 24 Agustus 1992, “Pembangunan Kota Satelit Masih Menghadapi Ken-
dala”.
2 Suara Merdeka, 24 Agustus 1992, “Pembangunan Kota Satelit Masih Menghadapi Ken-
dala”.
3 Suara Merdeka, 14 November 1992, “Kampus LPPU-Undip di Tembalang Diresmikan”.
4 Suara Merdeka, 13 Desember 1997, “Balon-balon Berhadiah Akan Dilepas”.

121
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Fakultas terakhir yang pindah adalah
Fakultas Kedokteran pada 2013.1
Menurut Samadikun (2000), keberadaan kampus Undip di Kecamatan
Tembalang ini telah menjadi generator bagi pembangunan di wilayah terse-
but.2 Kondisi ini telah meningkatkan perubahan tata guna lahan di Kecamatan
Tembalang seiring dengan meningkatnya pembangunan kawasan pemu-
kiman. Menurut Saraswati dkk. (2016), kawasan pemukiman di Kecamatan
Tembalang antara 1992 hingga 2014 telah meningkat sebesar 49,30% dari luas
total 2916,848 ha. Pada 1992, luas pemukiman sebesar 991,306 ha, meningkat
menjadi 1438,013 ha pada 2014. Riset Saraswati dkk. (2016) ini juga mem-
perlihatkan lahan-lahan yang berfungsi sebagai resapan air mengalami penu-
runan seperti ladang yang berkurang 303 ha, perkebunan 166 ha, dan sawah
124 ha.3 Penelitian tentang luasan alih fungsi lahan sawah di Kecamatan
Tembalang dilakukan oleh Yuniarti dkk. (2014) dalam kurun waktu 1974 hingga
2014. Pada kurun waktu 1972-1984, sawah di Kecamatan Tembalang mening-
kat 18,33% dari 120 ha menjadi 142 ha. Sepuluh tahun berikutnya meningkat
87,32% menjadi 266 ha. Pada periode 1994-2004 masih terjadi peningkatan
lahan sawah sebesar 388 ha. Titik balik terjadi antara 2004-2014, karena lahan
sawah berkurang dari 388 ha menjadi 268 ha. Menurut Yuniarti dkk. (2014),
konversi lahan pertanian sawah menjadi non-pertanian tanpa memperhitung-
kan hilangnya daya sangga air akan mengakibatkan banjir karena kemampuan
wilayah untuk menahan dan meresapkan air hujan berkurang.4 Perkemba-
ngan kawasan pemukiman ini menandai adanya perubahan penggunaan dari
lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun.5
Pengubahan tata guna lahan di hulu DAS Babon sebagai akibat dari
pengembangan Kota Satelit Meteseh telah menciptakan konsentrasi kepemi-
likan hak atas tanah. BSJM telah menguasai lahan 350 ha dan Grand Ciputra
menguasai 60 ha yang telah dan akan diproduksi menjadi kawasan perumah-
an. Dua perusahaan ini terhubung dengan Ir. Ciputra sebagai orang yang
_____
1 https://jateng.antaranews.com/berita/75108/kedokteran-undip-kloter-terakhir-yang-
pindah-ke-tembalang [diakses pada 03 Oktober 2021].
2 Budi Prasetyo Samadikun, (2000), Tinjauan Kondisi Bentang Lahan Kawasan Tembalang
Akibat Perubahan Tata Guna Lahan. Prespitasi 6(1): 40-46.
3 Saraswati, D., Subiyanto, S dan Wijaya, A. (2016) Analisis Perubahan Luas Dan Pola
Persebaran Permukiman (Studi Kasus : Kecamatan Tembalang, Kecamatan Banyumanik,
Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen Kota Semarang Jawa Tengah). Jurnal Geodesi
Undip 5(1): 155–163.
4 Yuniarti, Tri Retnaningsih Surpobowati, dan Jumari (2014) Dinamika Keberadaan Sawah Di
Kecamatan Tembalang Semarang Tahun 1972-2014. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Sains Dan Teknologi SNST (Semarang: Universitas Wahid Hasyim). Halaman 38–43.
5 Farisul Hanied and Santy Paulia Dewi (2014) Pengaruh Urban Sprawl Terhadap Perubahan
Bentuk Kota Semarang Ditinjau Dari Perubahan Kondisi Fisik Kelurahan Meteseh
Kecamatan Tembalang. Ruang 2(1): 41–50.

122
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

menginvestasikan uangnya untuk mengembangkan kawasan di Tembalang.


Konsentrasi kepemilikan/penguasaan atas tanah ini telah ikut berkontribusi
menciptakan kekayaan bagi pemilik perusahaan yang mengembangkan kawa-
san tersebut. Menurut Forbes, kekayaan Ciputra dan keluarga sebesar Rp1,5
miliar Dolar AS 1 atau setara dengan Rp21,4 triliun (kurs: 1 Dolar AS sama den-
gan Rp14.270). Sedangkan PTPJ, induk usaha BSJM, pada 2012 membukukan
laba bersih sebesar Rp844,3 miliar, dan pada 2013 sebesar Rp833,3 miliar.2
Pada 2017, laba bersih PTPJ mencapai Rp1,49 triliun dan pada 2018 meningkat
lagi menjadi Rp1,5 triliun. 3 Bahkan pada masa pandemi 2020, PTPJ masih
membukukan laba bersih sebesar Rp1 triliun. 4
Perolehan sebagian kekayaan dan keuntungan ini berasal dari penguba-
han kawasan resapan DAS Babon menjadi komoditas perumahan. Pada 2021,
BSJM menawarkan produk perumahan paling murah sebesar Rp301.776.973,
dengan tipe rumah 30/60 yang terletak di Perumahan Bukit Kencana Jaya.
Sedangkan harga termahal di Pandanaran Height dengan bandrol
Rp2.444.238.672 (lihat Tabel V.1).5

Tabel V.1: Harga Produk Perumahan BSJM.

Perumahan Unit Rumah Stok Rumah Harga (Rp) Ukuran (LB/LT)


Pandanaran Hill 475 1.049.000.000 50/113
Pandanaran Hill 17 1.199.000.000 69/120
Pandanaran Hill 799.000.000 45/84
Bukit Violan 102 669.000.000 53/132
Jaya
Bukit Mutiara 339.000.000 22/108
Jaya
Bukit Kencana 1766 301.776.973 30/60
Jaya 1.091.078.307 36/352

_____
1 https://www.forbes.com/profile/ciputra/?sh=622e96bd1334
[diakses pada 4 Oktober 2021].
2 Data Ikhtisar Kondisi Keuangan BUMD DKI Jakarta 2012 dan 2013. Tersedia di https://
data.jakarta.go.id/dataset/data-ikhtisar-kondisi-keuangan-bumd-provinsi-dki-jakarta
[diakses pada 4 Oktober 2021].
3 https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/12/19/10-bumd-jakarta-dengan-laba-
bersih-terbesar-2018 [diakses pada 4 Oktober 2021].
4 https://bpbumd.jakarta.go.id/web/bumd/PMBJY [diakses pada 4 Oktober 2021].
5 Brosur Penawaran Terbit pada Agustus 2021 tersedia di https://www.jayametro.com/
download [diakses pada 30 September 2021].

123
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Perumahan Unit Rumah Stok Rumah Harga (Rp) Ukuran (LB/LT)


Pandanaran 100 987.139.038 56/105
Village 1.805.068.650 150/135
Pandanaran 833.662.500 45/84
Height 2.444.238.672 105/248
Emerald 123 4 545.906.208 36/72
Garden
Siranda View 60 11 495.000.000 38/72
Siranda Hill 1.319.658.656 80/200

Keterangan: LB: Luas Bangunan, LT: Luas Tanah.

Sedangkan Ciputra, yang mengembangkan kawasan perumahan di Kelurahan


Bulusan, Kecamatan Tembalang, telah menawarkan produk perumahan paling
murah sebesar Rp800-an juta hingga Rp2 miliar.1 Laporan Tahunan Ciputra
Karya Utama menyebutkan total aset perusahaan sebesar Rp200,7 miliar.
Liabilitas perusahaan untuk 2019 sebesar Rp128 Miliar. Sementara penda-
patan bersih pada 2019 sebesar Rp10,9 miliar. Pada tahun yang sama, perusa-
haan masih membukukan keuntungan bersih sebesar Rp2,6 miliar. Penda-
patan usaha pada 2020 meningkat sebesar Rp181,128 miliar jika dibandingkan
tahun sebelumnya, dan laba bersih sebesar Rp56,017.9 miliar. Pada masa
pandemi Maret 2021, perusahaan masih mencatat laba bersih sebesar Rp1,9
miliar.2
Di sisi lain, rekonfigurasi ruang di hulu DAS Babon yang mengubah kawa-
san resapan menjadi kawasan terbangun telah menciptakan ruang yang lain
menjadi daerah rawan bencana, khususnya di hilir DAS Babon. Ini karena alih
fungsi lahan di hulu DAS telah mengganggu siklus hidrologi DAS Babon sehing-
ga berpotensi meningkatkan debit air larian yang harus ditampung kanal-kanal
sungai. Terlihat dalam sub-bab selanjutnya bagaimana hilir DAS Babon harus
menerima limpasan air Kali Babon akibat tanggul sungai tidak mampu lagi
menampung debit air yang berlimpah. Sistem pengendalian banjir yang
dibangun oleh negara tidak mampu mengatasi limpahan air dari hulu DAS.
Dengan demikian, banjir merupakan produk dari rekonfigurasi ruang
menimbulkan kerugian bagi warga di hilir DAS Babon. Terlihat nanti ba-

_____
1 https://www.citragrand-semarang.com/product/ [diakses pada 4 Oktober 2021].
2 Diambil dari Laporan Keuangan Konsolidasi Triwulan I PT. Ciputra Development dan Entitas
Anaknya tahun 2019, 2020 dan 2021. Tersedia di: https://www.idx.co.id/perusahaan-
tercatat/laporan-keuangan-dan-tahunan/ [diakses pada 27 Agustus 2021].

124
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

gaimana mereka harus hidup dalam kecemasan akibat tinggal di daerah rawan
bencana.

V.5. Rekonfigurasi Hilir DAS Babon: Alih fungsi lahan dan banjir

Rekonfigurasi ruang di DAS hulu Kali Babon diikuti dengan perubahan tata
guna lahan di DAS hilir Kali Babon. Ruang-ruang terbuka seperti tambak dan
sawah di DAS hilir Kali Babon yang dapat memitigasi banjir telah diubah menja-
di kawasan terbangun. Pada 1994, PT Merdeka Wirastama telah membangun
Kawasan Industri Terboyo (KIT) di DAS hilir Kali Babon. Pembangunan kawasan
industri di hilir DAS Babon telah mengambil tempat genangan air berupa tam-
bak dan sawah yang ada di sisi utara dan selatan Kali Babon. Sebelum terba-
ngunnya kawasan industri, limpasan air dari Kali Babon biasanya mengalir ke
sawah dan tambak yang elevasinya lebih rendah dari pemukiman warga. Sejak
tambak dan sawah berubah menjadi kawasan industri, air limpasan Kali Babon
mengalir ke perkampungan Trimulyo yang elevasinya lebih rendah karena
pembangunan kawasan industri dilakukan dengan menguruk sawah dan
tambak. Kondisi ini membuat kampung Trimulyo seperti mangkuk yang setiap
saat akan menerima limpasan air dari kawasan industri di sebelah barat, Kali
Babon di sebelah utara dan dari Banjardowo yang berada di sebelah selatan.
Kelurahan Trimulyo (Gambar V.3) akan menjadi sorotan khusus karena
sebagian besar kawasannya berupa tambak dan sawah sebelum berubah
menjadi kawasan industri. Desa Trimulyo terletak di Kecamatan Genuk. Desa
ini dikelilingi oleh Kali Babon, jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa, dan kawasan
industri. Sebelah selatan desa berbatasan dengan kelurahan Genuksari dan
Banjardowo, dipisahkan oleh jalur utama Pantura Jawa dan sungai di sisi Desa
Banjardowo. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sriwulan, Kecamatan
Sayung, Kabupaten Demak. Kali Babon ada di antara dua desa ini. Sementara
di sebelah barat Desa Trimulyo berbatasan dengan Kelurahan Terboyo Wetan.
Kali Sringin berada di antara perbatasan dua desa. Sebelah utara berbatasan
dengan Kali Babon yang bermuara di Laut Jawa. Mungkin lebih dari 50%
kawasan Desa Trimulyo adalah KIT. Sepertiganya merupakan kawasan
pemukiman warga. Tambak-tambak warga berada di utara (lor tanggul) dan
selatan (kidul tanggul) Kali Babon. Sebagian tambak yang berada di lor tanggul
masuk wilayah Trimulyo, sebagian lagi masuk wilayah Sriwulan, Sayung,
Demak. Tambak-tambak di kidul tanggul sudah beralih fungsi menjadi KIT.
Sedangkan di lor tanggul, tambak-tambak yang dikelola oleh warga sudah
berubah menjadi lautan. Jalan yang dahulu menghubungkan antara Desa
Trimulyo dan Sriwulan sudah hilang ditelan lautan dengan hanya menyisakan
apa yang oleh warga disebut sebagai ‘’jembatan pedot” (jembatan putus).

125
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

LautJAWA

Gambar V.3: Peta Kelurahan Trimulyo. Sumber: Open Data Kota Semarang.

Penduduk Trimulyo dua generasi sebelumnya telah memanfaatkan lahan


persawahan dan tambak sebagai mata pencaharian. Babon1 (nama samaran),
warga Desa Trimulyo, menceritakan ayahnya dulu mengelola tambak yang
berasal dari peninggalan kakeknya. Ayah Babon1 memiliki dua lahan tambak
yang berada di lor tanggul Kali Babon dan beberapa ladang pekarangan yang
sekarang menjadi tempat tinggalnya dan saudara-saudarinya. Pada 1995,
ayahnya menjual salah satu tambak seharga Rp150 juta. Uang tersebut cukup
untuk membayar ongkos ibadah haji untuk seluruh anggota keluarga yang
berjumlah 8 orang. Pada saat itu, ongkos naik haji sebesar 7-8 juta rupiah.1
Lahan tambak menjadi basis ekonomi penghidupan keluarga Babon1.
Tambak memberikan kelimpahan akan ikan dan udang yang terseret arus
sungai dan bersemayam di tambak-tambak warga. Pasca musim panen, warga
biasanya melakukan bedengan, yaitu membuka saluran air yang bersumber
dari laut agar air laut masuk dan memenuhi tambak selama beberapa hari.
Bersamaan dengan masuknya air laut ke tambak, ikan dan udang muara akan
memasuki tambak dan terjebak di dalamnya sebelum akhirnya saluran

_____
1 Wawancara dilakukan pada Rabu 20 September 2021. Semua nama narasumber disamarkan

126
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

tambak ditutup kembali. Ikan dan udang yang ada di tambak akan dibiarkan
selama kurun waktu 3 bulan, kemudian dipanen. Hasil panen dari model
budidaya tambak seperti ini dapat mencapai satu colt (mobil angkut bak
terbuka ukuran kecil).
Pengalaman serupa juga diceritakan oleh Babon2.1 Ia mewarisi tambak
dari mendiang orang tuanya yang mendapat warisan dari kakeknya. Ia tidak
mengelola tambak sendiri karena satu lahan tambak tidak mencukupi
kebutuhan hidupnya. Ia lebih memilih untuk menjadi pekerja pabrik kulit di
kawasan industri yang ada di sebelah Desa Trimulyo. Sembari bekerja sebagai
buruh pabrik, Babon2 mengelola tambaknya dengan dibantu orang yang mau
dibayar harian.
Babon1 menceritakan pengalaman masa kecil hingga dewasa selama
tinggal di Trimulyo. Waktu kecil, ia masih ingat kampung Trimulyo hampir tidak
pernah mengalami banjir. Bahkan jika ingin melihat banjir, ia dan temannya
pergi ke Banjardowo dan Tlogo yang berjarak satu hingga lima kilometer dari
tempat tinggalnya. Bahkan ia berangan-angan di masa kecil betapa ia meng-
inginkan kampungnya tergenang banjir, sehingga ia dapat bermain air.
Era 1980-an, kampung Trimulyo aman dari banjir meski berbatasan
langsung dengan Laut Jawa. Kali Babon dan jalan Pantura melindungi kampung
tersebut dari limpasan air banjir yang berasal dari Banjardowo. Selain itu,
kampung Trimulyo masih memiliki benteng alami berupa lahan pertanian dan
tambak. Air hujan yang mengalir ke kampung akan mengarah dan menyebar
ke tambak dan lahan pertanian di sisi barat kampung. Di masa kecilnya, kon-
figurasi ruang di kampungnya berupa laut-tambak-sawah-pemukiman. Pada
1994, sisi barat kampung Trimulyo dibangun KIT yang mengalihfungsikan tam-
bak dan sawah. Dengan demikian, untuk pertamakalinya, konfigurasi ruang di
kawasan tersebut berubah menjadi laut-kawasan industri-pemukiman. Sete-
lah era 2000-an, banjir mulai menggenangi Kampung Trimulyo. Pembangunan
kawasan industri di sisi barat kampung telah mengambil alih ruang air banjir
yang sebelumnya mengalir ke lahan pertanian dan tambak. Bahkan ia me-
nganggap Kampung Trimulyo tampak seperti mangkuk yang menerima limpa-
san air dari wilayah Banjardowo dan kawasan industri. Pun demikian dengan
jalan utama Kaligawe yang sudah tidak mampu lagi menghalau air limpasan
dari arah Banjardowo.
KIT atau nama resminya Terboyo Industrial Park Semarang (TIPS) dibangun
pada 1994. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) menyebutkan
KIT memiliki luas area pengembangan 300 ha yang meliputi wilayah adminis-
tratif Kelurahan Trimulyo, Terboyo Wetan, dan Terboyo Kulon. Lahan yang di-

_____
1 Wawancara dilakukan pada 19 September 2021.

127
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

kembangkan sebelumnya berupa tanah tambak dan sawah tadah hujan yang
dianggap kurang subur.1 Pembangunan kawasan industri ini dilakukan dengan
menguruk sawah dan tambak.
Setelah beberapa tahun dibangun, KIT banyak mendapat masalah dan
dianggap dapat merusak citra Kota Semarang sebagai kota investasi.2 Alasan-
nya, banjir sering menggenangi KIT, baik banjir karena air laut pasang maupun
banjir akibat limpasan Kali Babon yang ada di sebelah utara dan Kali Sringin di
sebelah barat KIT. Banjir yang sering merendam kawasan industri ini telah
memperburuk infrastruktur dan membuat investor enggan mengembangkan
usaha di KIT. Beberapa kasus berikut dapat menggambarkan keengganan
investor terhadap KIT. PT Port Rush, perusahaan mebel asal Amerika Serikat,
membatalkan rencana perluasan usaha karena kondisi jalan yang rusak dan
pencemaran lingkungan di KIT. Kemudian, PT Ebako Nusantara, perusahaan
mebel dari Singapura, berniat mengalihkan investasinya ke lokasi lain jika tidak
ada usaha dari pengelola dan pemerintah untuk memperbaiki kondisi di kawa-
san KIT. Calon pembeli alat-alat kesehatan yang diproduksi oleh PT Geomed
Indonesia, enggan datang ke sana karena infrastruktur yang buruk.3
Pada Februari 2014, hujan yang mengguyur wilayah Kabupaten
Semarang telah menyebabkan Kali Babon meluap. Banjir melanda Kecamatan
Genuk dan melumpuhkan jalur Pantura.4 Pemerintah bahkan meliburkan ke-
giatan sekolah di Kecamatan Genuk karena banjir. 5 Banjir juga melanda kawa-
san industri di Kecamatan Genuk. Ketinggian genangan banjir di Kawasan In-
dustri Bugangan mencapai 40-50 cm di atas permukaan jalan. Banjir di KIT
sempat mengganggu kegiatan produksi, bahkan terputus karena karyawan
tidak dapat mengakses jalan menuju pabrik.6
Banjir 2014 juga telah mengakibatkan gangguan produksi dan distribusi
barang. Kerugian yang ditimbulkan oleh banjir ini tidak hanya berupa kerugian
finansial, tetapi kredibilitas dan kepercayaan pembeli luar negeri juga tergang-

_____
1 PT. Merdeka Wirastama, Maret 1994, Rencana Pengelolaan Lingkungan Kawasan Industri
Terboyo Industrial Park Semarang.
2 Kompas, 15 September 2009, “Citra Kota Investasi Luntur, Pemkot Harus Desak Penge-
lola”.
3 Kompas, 10 September 2009, “Investor Batal Luaskan Usaha, Salah Kaprah Sejak Awal”.
4 https://www.liputan6.com/news/read/818323/sungai-babon-di-semarang-meluap-jalur-
pantura-lumpuh [diakses pada 27 September 2021].
5 https://nasional.tempo.co/read/547597/banjir-pemerintah-semarang-liburkan-
sekolah/full&view=ok [Diakses pada 27 September 2021].
6 Kompas, 7 Februari 2014, “Banjir: Sebagian Kawasan Industri Semarang Masih Terge-
nang”.

128
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

gu/berkurang. Seperti yang dialami oleh PT Ebako yang harus terkena biaya
penalti dari pembeli di Amerika sebesar 5% karena keterlambatan produksi. 1
Tiga tahun kemudian, tepatnya 26 Januari 2017, banjir kembali menerjang
Kelurahan Trimulyo. Lagi-lagi banjir terjadi karena limpasan air dari Kali Babon.
Banjir menyebabkan aktivitas warga di Kelurahan Trimulyo terganggu karena
akses jalan tergenang air dan tumpukan sampah. Meski pompa sudah bekerja
menyedot genangan banjir sejak pukul 05.00 WIB, tapi banjir masih tetap
menggenangi permukiman di Kelurahan Trimulyo hingga pukul 07.00 WIB.2
Pada awal 2021, banjir kembali terjadi akibat luberan Kali Babon. Bahkan
banjir terjadi dua kali, pada Februari dan Maret. Banjir pada 5-7 Februari terjadi
di 43 titik di Kota Semarang. Banjir di Kecamatan Genuk bahkan berlangsung
sampai 12 Februari. Banjir telah mengakibatkan sarana dan fasilitas umum
lumpuh. Jalan raya Pantura Jawa tidak dapat dilewati kendaraan. Banjir diper-
parah dengan pasang air laut. Ketinggian air di badan jalan mencapai hingga
1,4 meter. Banjir bertahan cukup lama karena hujan terus turun meskipun
dengan curah hujan yang kecil. Bandara Udara Internasional Ahmad Yani
berhenti beroperasi karena landasan pacu tergenang air.3 Perjalanan kereta
api dari stasiun Tawang dialihkan ke jalur selatan. Jalan raya Semarang-Kendal
sempat lumpuh karena ketinggian air akibat banjir mencapai selutut orang
dewasa.4
Daerah yang paling parah mengalami banjir adalah Kelurahan Trimulyo.
Ketinggian air yang menggenangi permukiman penduduk di empat RW kelu-
rahan Trimulyo mencapai setengah hingga satu setengah meter.5 Banjir pada
2021 telah membuat 120 warga di Kelurahan Trimulyo mengungsi selama
lebih dari sepekan.6 Bagi warga yang tidak mengungsi, mereka bertahan di
rumah sembari mengandalkan bantuan logistik dari luar. Seorang warga Kelu-
rahan Trimulyo, Babon3,7 menceritakan pengalamanya selama banjir 2021.
Pada waktu itu, ia tidak ikut mengungsi meski banjir menggenangi gang di
depan rumahnya setinggi satu meter lebih (pada waktu wawancara, narasum-
ber menunjuk ke arah dada untuk memperkirakan ukuran ketinggian air pada
saat itu). Banjir menggenangi perkampungannya selama hampir satu minggu.
Banjir baru benar-benar kering setelah hampir sebulan. Selama banjir, Babon3
_____
1 Kompas, 8 Februari 2014, “Industri Dipenalti Karena Telat: Presiden Perintahkan TNI Sege-
ra Perbaiki Jalan Pantura”.
2 https://jateng.tribunnews.com/2017/01/26/kali-babon-luber-aktifitas-warga-trimulya-
genuk-terganggu [diakses pada 28 September 2021].
3 Kompas, Senin 2 Februari 2021, “Pantura Semarang Lumpuh”.
4 Jawa Pos, Minggu 1 Februari 2021, “Jalur Pantura Lumpuh, KA dialihkan Lewat Yogya”.
5 Jawa Pos, Senin 8 Februari 2021, “Banjir Genuk dan Tlogosari Terparah”.
6 https://regional.kompas.com/read/2021/02/13/21485711/banjir-sepekan-di-kota-
semarang-ratusan-warga-2-rw-di-trimulyo-masih [Diakses pada 28 September 2021].
7 Wawancara dilakukan pada 19 September 2021.

129
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

tetap tinggal di rumah. Ia bersama dua anak dan menantunya menempati


rumah yang tergenang sekitar semata kaki. Jika perahu bantuan lewat, air dari
banjir tersebut melimpas hingga ke kamar tidur yang posisinya sedikit lebih
tinggi dari lantai rumah. Babon3 mengandalkan kebutuhan makan dan minum
dari bantuan pemerintah dan dermawan yang membagikan makanan
menggunakan perahu karet. Bantuan makanan datang tiga kali sehari. Di
samping itu, Babon3 tetap memasak untuk menjaga selera makan karena nasi
bungkus yang dibagikan terkadang tidak sesuai dengan seleranya. Babon3
menceritakan banjir terjadi karena ‘bedahan’ (luapan air yang berasal dari
tanggul) dari daerah Pedurungan. Mungkin yang dimaksud oleh Babon3
dengan bedahan adalah pembagian debit banjir dari Bendung Pucang Gading
(akan dibahas dalam sub-bab berikutnya).
Pengalaman yang sama diceritakan oleh Babon4,1 seorang penjual
makanan di Desa Trimulyo. Warungnya berada di atas saluran air berbantal
kayu. Ia tidak ikut mengungsi dan bertahan hampir satu bulan di dalam rumah
hingga banjir mereda. Banjir menggenangi nyaris seluruh rumahnya hampir
setinggi satu meter dengan hanya menyisakan dua kamar yang kebetulan baru
ditinggikan. Selama hampir 1 bulan, ia bertahan di dalam kamar bersama
keluarganya yang berjumlah tujuh orang. Ada dua kamar yang menjadi tempat
bertahan selama banjir. Satu kamar ia pergunakan bersama dengan dua
anaknya yang belum berkeluarga. Satu kamar lagi dipergunakan oleh anak dan
menantunya bersama dua anaknya. Selama banjir, ia tidak dapat berjualan
seperti biasa karena tidak ada tempat yang bisa digunakan untuk memasak.
Perabotan di rumahnya banyak yang rusak. Lemari pakaian roboh karena
tergenang air. Kulkas, yang menjadi sarana penghidupan karena ia pakai untuk
membuat es batu, juga terendam air. Beruntung kulkas tersebut masih dapat
diperbaiki sehingga ia masih bisa membuat es batu untuk melengkapi barang
dagangannya.
Suami Babon4 sudah meninggal satu tahun yang lalu. Ia terpaksa harus
menanggung kebutuhan rumah tangga. Terkadang ia harus meminta bantuan
dari anaknya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Suami Babon4 dulu
merupakan anak dari orang yang cukup kaya di Desa Trimulyo. Kekayaan
orang Trimulyo berasal dari tambak dan sawah yang ada di sisi barat dan sisi
utara desa. Kini sisi barat sudah menjadi KIT, sedangkan sisi utara sudah
menjadi laut akibat abrasi. Setahun sebelum suaminya meninggal, dua area
tambak warisan kakek dari suaminya pernah ditawar orang Rp1 miliar. Suami
Babon4 tidak melepaskan tambak tersebut dengan pertimbangan uang Rp1
miliar tidak cukup signifikan jika harus dibagi dengan saudara-saudarinya yang

_____
1 Wawancara dilakukan pada 19 September 2021.

130
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

berjumlah 6 orang. Suami Babon4 menunggu proyek tanggul laut yang dia
bayangkan atau harapkan akan menaikkan harga tambaknya tersebut sehing-
ga nilai ganti rugi dianggap mencukupi untuk dibagi kepada seluruh anggota
keluarga. Hingga Oktober 2021, tambak masih belum terjual dan sudah tidak
ada lagi orang yang menawar tambak tersebut.
Pada saat kami bercakap-cakap, tetangga Babon4 ikut gabung dan men-
ceritakan pengalamannya selama banjir. Tetangga Babon4 ini dulunya warga
Kelurahan Sido Gemah, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Rumahnya
terkena proyek Tol-Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) dan mendapat
ganti rugi sebesar Rp600 juta. Sebagian dari uang tersebut ia gunakan untuk
membeli rumah di Desa Trimulyo seharga Rp250 juta. Banjir 2021 membuat-
nya menyesal membeli rumah di Trimulyo. Tetangga Babon4 ini juga menyata-
kan kekecewaannya kepada Pemerintah Kota Semarang. Ia berencana menulis
surat kepada Wali Kota karena tidak mendapatkan bantuan sosial dari peme-
rintah. Ia mengklaim dirinya orang yang paling miskin di desa dan merasa
kebijakan bantuan sosial yang sedang berjalan tidak adil karena orang yang
seharusnya tidak dapat bantuan justru mendapat bantuan. Ia mencontohkan
seorang pensiunan pegawai negeri yang tetap mendapatkan bantuan sosial
sebesar Rp600 ribu/bulan. Bahkan ia bertekad untuk kritis kepada wali kota
jika tuntutannya tidak terpenuhi. Ia bahkan siap dipenjara, meski tidak jelas
(bagi penulis) mengapa kira-kira ia berfikir bahwa ia akan dipenjara.
Bagi warga Trimulyo, banjir telah banyak mengubah kondisi sosial dan
ekonomi setempat. Kekayaan berupa tambak sudah tidak lagi dapat diandal-
kan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sawah sudah tidak ada lagi. Babon2
harus berpindah dari satu kota ke kota lain sebagai buruh bangunan setelah
pabrik kulit tempat ia bekerja bangkrut dan tambaknya sudah menjadi laut.1
Babon1 saat ini membuka bengkel las di depan rumahnya. Ia mengerjakan
sendiri pesanan pelanggannya dan terkadang dibantu oleh seorang pekerja.
Babon4, di masa tuanya harus bangun dini hari untuk mempersiapkan barang
dagangannya.

V.6 Pencemaran limbah dan sedimentasi di DAS Babon: Hulu dan hilir
bertemu

Konversi lahan di hulu DAS tidak hanya merugikan masyarakat di hilir DAS
dalam bentuk munculnya banjir, tetapi juga secara tidak langsung menimbul-
kan kerugian bagi para petambak di hilir DAS Babon sebagai sumber bibit ikan
_____
1 Bosman Batubara, Henny Warsilah, Ivan Wagner, Syukron Salam, 2020, Maleh Dadi
Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak (Yogyakarta: Lintar Nalar).

131
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

dan udang. Perubahan tata guna lahan di hulu DAS Babon telah menyebabkan
erosi tanah yang menimbulkan sedimentasi Kali Babon. Perubahan kawasan
dari area vegetasi menjadi kawasan terbangun diawali dengan pembukaan
lahan. Keadaan ini akan mempermudah air membawa material tanah dari
pembukaan lahan dan membawa material tanah memenuhi badan sungai.
Akibatnya, sungai menjadi dangkal dan tanggul penahan air sungai tidak dapat
menampung debit air sehingga air melimpas ke tambak-tambak warga di
muara Kali Babon. Di samping itu, air sungai yang tercemar oleh limbah pabrik
di area DAS Babon mengakibatkan matinya ikan dan udang yang dibudidaya-
kan di tambak warga.
Beberapa studi menunjukkan tingkat potensi sedimentasi DAS Babon.
Perkiraan Departemen Kehutanan (Dephut) pada 1991 menyebutkan sedi-
mentasi Kali Babon banyak disumbang oleh material dari Sub-DAS Pengkol
sebesar 265 ton/ha/thn dan Sub-DAS Gung sekitar 630 ton/ha/thn. Masalah
utama sedimentasi Kali Babon adalah meningkatnya kawasan hunian di Sub-
DAS. Banyak tegalan yang telah beralih fungsi menjadi lahan terbangun untuk
kawasan pemukiman.1 Studi sedimentasi yang dilakukan oleh Setyawan dkk.
(2019) menyebutkan perkiraan sedimentasi Kali Babon sebesar 36,1
ton/ha/thn.2 Studi Setyawan dkk. (2019) ini hanya mengukur sedimentasi
dengan luasan DAS 16.000 ha, sementara secara total luas DAS Babon sebesar
17.721 ha. Perkiraan Dephut cukup masuk akal mengingat pada 1989, BSJM
mulai membuka lahan dan pada 1991 membangun 1.000 rumah.3 Pembukaan
lahan mempermudah air hujan membawa partikel-partikel halus tanah meng-
gelinding bersamaan dengan air larian. Sebagian partikel ini akan tertinggal di
atas tanah dan sebagian yang lain masuk ke sungai.
DAS Babon, sebagai ruang sosioalamiah, sejauh ini telah menjadi arena
persaingan antara entitas-entitas yang berada di sekelilingnya. Pemanfaatan
DAS oleh entitas-entitas yang ada cenderung merugikan petani tambak di
muara DAS. Sementara pemerintah sebagai pengawas sungai tidak selalu
konsisten dalam menjaga kelestarian lingkungan. 4 Maka ruang politik dan

_____
1 Sudibyakto, Tikidal Yunianto, Andri Kurniawan, Bambang Agus Suripti (2003) Penyusunan
Profil Lingkungan Daerah Aliran Sungai Babon, Propinsi Jawa Tengah. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Fakultas Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Halaman: 78-87
2 Dimas Jalu Setyawan, Revangga Dhanda Pratama, Budi Santosa (2019) Kajian Potensi Erosi
Di Daerah Sungai Babon Menggunakan Permodelan GeoWEPP. Jurnal G-Smart 3(2): 98-
107
3 Suara Merdeka, 26 Januari 1990, “Rp100 Miliar Investasi di Kota Satelit Meteseh”.
4 Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Semarang Nomor 660.3/992/94
tentang Pengelolaan Sungai Babon telah mengatur penggunaan sumber air untuk
keperluan air minum, air baku untuk diolah menjadi air minum dan untuk keperluan rumah
tangga, keperluan perikanan dan peternakan, pemanfaatan usaha perkotaan dan industri
listrik tenaga air. Keputusan ini juga mengatur penggunaan air sungai di bendung

132
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

hukum menjadi arena bagi para pihak di dalam ekosistem DAS Babon untuk
mengajukan kepentingan mereka masing-masing. Ekosistem di sini tidak
sekedar dalam pengertian entitas ekologis alam, akan tetapi juga dimaknai
sebagai kekuatan-kekuatan sosial ekonomi yang ada di lingkungan DAS Babon.
Secara khusus, entitas yang berada di muara DAS Babon.
Selama ini, aliran Sungai Babon telah dimanfaatkan sebagai sumber air
baku untuk kebutuhan pertanian, industri, air minum, dan kebutuhan rumah
tangga. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang menjadikan
Sungai Babon sebagai salah satu sumber air permukaan untuk melayani para
pelanggannya, selain Kali Garang dan Kalong Klambu. Kali Babon juga telah
menjadi tempat pembuangan limbah bagi industri-industri yang ada di
sekitarnya maupun tempat pembuangan limbah domestik.1
Ada beberapa kekuatan-kekuatan ekonomi utama yang bersaing dalam
memperebutkan DAS Babon, yaitu petani tambak dan industri di pinggiran Kali
Babon di bagian hilir, dan perusahaan pengembang perumahan di kawasan
hulu DAS. Kekuatan-kekuatan ini merupakan bagian dari ekosistem sosial-
ekonomi DAS Babon. Mereka memanfaatkan DAS Babon untuk kelangsungan
hidup mereka. Tambak-tambak petani berada di kawasan muara Kali Babon,
sementara industri terletak di sisi yang lebih jauh dari muara, akan tetapi ia
berada di pinggir sungai dan pinggir anak sungai yang mengalirkan airnya ke
Sungai Babon. Sedangkan pengembang perumahan berada di hulu DAS
Babon. Petambak menjadi kekuatan yang tersingkirkan oleh dua kekuatan
yang lain, karena industri mengalirkan limbah yang tidak diolah ke sungai dan
perusahaan pengembang perumahan di hulu DAS ikut menyumbang
sedimentasi Kali Babon.
Jauh sebelum kekuatan industri dan perusahaan pengembang hadir
dalam ekosistem DAS Babon, petani tambak telah memanfaatkan aliran Kali
Babon sebagai sumber bibit udang dan ikan. Aliran Kali Babon, yang bermura
di Laut Jawa, selain membawa material lumpur ke tambak warga, juga mem-
bawa bibit udang ratusan ribu ekor. Terkadang ikan siap makan juga terbawa
ke tambak-tambak warga. Menurut salah satu petani tambak bernama Aman,
ia dan rekan-rekannya ”tidak perlu memberi pakan. Udang itu bisa hidup dan

_____
Karangroto Kecamatan Genuk untuk perikanan dan peternakan. Di sepanjang aliran
Bendung Karangroto hingga muara sungai, telah berdiri beberapa industri yang
memanfaatkan aliran sungai untuk membuang limbah yang tidak diolah.
1 Ina Cahyaningtyas, Sahala Hutabarat, dan Prijadi Soedarsono (2013) Studi Analisa Plankton
Untuk Menentukan Tingkat Pencemaran Di Muara Sungai Babon Semarang. Management
of Aquatic Resources Journal (MAQUARES) 2(3): 74-84. Para peneliti mendasarkan
studinya pada pengamatan Saprobik Indeks dan Tropik Saprobik Indeks untuk mengetahui
tingkat pencemaran sungai. Kelimpahan plankton yang ada di Sungai Babon menunjukkan
bahwa muara Sungai Babon dalam kondisi tercemar sedang dan berat.

133
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

berkembang dengan sendirinya. Kecuali setiap hari memperoleh dari kuwu,1


kami juga memperoleh udang laut dari dalam tambak setiap 35 hari”.2 Berita
Kompas pada 13 Juli 1995 ini juga menyebutkan rata-rata petani tambak bisa
mendapatkan udang putih 1-2 kg setiap hari, bahkan bisa mencapai 10 kg/hari
jika alam sedang “murah hati”. Harga satu kilo gram udang putih berkisar
Rp12.500. Pendapatan rata-rata per hari petani tambak antara Rp5.000-50.000
setiap hektarnya.3 Aliran Sungai Babon juga menentukan kualitas air tambak.
Keberlangsungan budidaya udang dan ikan bandeng sangat tergantung pada
kadar oksigen dalam tambak.
Pada 1995, warga di Desa Sriwulan dan Bedono dikagetkan dengan
matinya udang yang dibudidayakan di tambak mereka. Masyarakat awalnya
tidak menyadari kalau matinya udang di tambak mereka terjadi karena limbah
yang berasal dari Kali Babon. Mereka mengira udang-udang di tambak mereka
mati karena stres. Baru belakangan mereka sadar bahwa matinya udang-
udang mereka terjadi karena pencemaran limbah yang dilakukan oleh enam
industri yang berada di sekitar Kali Babon.4 Menurut warga, pencemaran itu
sendiri sudah berlangsung sejak 1994. Dampak dari pencemaran tersebut,
pendapatan warga dari tambak turun drastis. Bahkan untuk membeli lauk-
pauk saja, pendapatan warga tidak mencukupi. 5 Seorang petani tambak
menyebutkan kerugian yang ia alami akibat pencemaran tersebut sebesar
Rp10 Juta. Biaya tersebut merupakan modal awal untuk membeli benih udang
windu dan obat-obatan.6
Berdasarkan informasi dari pemberitaan media tentang pencemaran Kali
Babon, warga bergerak untuk menuntut ganti rugi atas pencemaran yang me-
nyebabkan kematian udang di tambak mereka. Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kabupaten Demak, sebagai wakil rakyat, menjadi sasaran
warga untuk menyuarakan tuntutan mereka. Pada 21 Desember 1994, warga
bertemu dengan DPRD Kabupaten Demak. Hasil pertemuan ditindaklanjuti de-
ngan meminta Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Jepara untuk melakukan pene-
litian. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kematian udang dan kepiting bu-
kan disebabkan oleh serangan organisme patogen, tetapi karena faktor lingku-
ngan. Kadar Cadmium (cd) yang terdapat di muara Kali Babon cukup tinggi,

_____
1 Sejenis alat untuk menangkap ikan yang dibuat dari anyaman bambu.
2 Kompas, 13 Juli 1995, “Hancurnya Sumber Hidup Petani Tambak di Demak”.
3 Kompas, 13 Juli 1995, “Hancurnya Sumber Hidup Petani Tambak di Demak”.
4 Eko Sulistyo (1998) Pengalaman Advokasi Masyarakat Korban Pencemaran Industri: Kasus
Kali Babon. Jurnal Analisis Sosial 7: 49-56.
5 Kompas, 13 Juli 1995, “Hancurnya Sumber Hidup Petani Tambak di Demak”.
6 Kompas, 15 Februari 1995, “Diduga Akibat Pencemaran, Ratusan Hektar Tambak Udang
Gagal Panen”.

134
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

mencapai 400 pg/l. Menurut Boyd (1989) kadar ini dapat mengakibatkan kema-
tian bagi sebagian besar ikan-ikan laut.1
Diduga kuat, pencemaran dilakukan oleh enam industri yang ada di seki-
tar Kali Babon. Mereka adalah PT Bintang Buana, PT Condro Purnomo Aji, PT
Puspita Abadi (tiga perusahaan ini merupakan industri penyamakan kulit), PT
Puskud Mina Buana (pembekuan udang), PT Rodeo (garmen), dan PT Sumber
Baru Semarang (perusahaan kertas).2
Warga korban pencemaran terus berupaya menuntut ganti rugi melalui
jalur-jalur formal. DPRD Kabupaten Demak merasa tidak mampu untuk meme-
nuhi tuntutan warga karena industri-industri yang diduga kuat menjadi
penyebab pencemaran berada di wilayah Kota Semarang, sehingga itu menjadi
kewenangan Pemerintah Kota Semarang. DPRD Jawa Tengah akhirnya meng-
ambil alih karena masalah ini sudah antar kabupaten dan kota.
Proses mediasi dilakukan oleh DPRD Jawa Tengah dengan mempertemu-
kan semua pihak dan dinas terkait. Beberapa pertemuan dilakukan untuk
mencari solusi atas persoalan ini. Proses dengar pendapat yang diselenggara-
kan oleh Komisi C DPRD Jawa Tengah, pada 13 Februari 1995, mempertemu-
kan perwakilan dari warga, pemerintah yang diwakili oleh Biro Lingkungan
Hidup (BLH) dan Dinas Perikanan Jawa Tengah, serta perwakilan dari pengusa-
ha. Pada pertemuan pertama, belum ada titik temu dari para pihak. Semua
pihak berpegang pada pandangan dan kepentingannya masing-masing. Dinas
Perikanan Jawa Tengah tidak berpihak kepada warga. Menurutnya, kematian
udang di tambak warga disebabkan oleh penyakit. Pengusaha sendiri dengan
tegas menolak klaim warga. Sedangkan warga berpegang pada hasil penelitian
BBAP Jepara yang menyebutkan pencemaran limbah industri telah menyebab-
kan matinya udang di tambak warga.3
Pertemuan kedua pada 21-23 Februari 1995 sedikit menghasilkan titik
temu. Pengusaha akhirnya mengakui bahwa kematian udang di tambak warga

_____
1 Arief Taslihan, Purwanah, dan Coco Kokarkin (1995) Hasil Kajian Terhadap Kasus Kematian
Crustacea di Perairan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Direktorat Jendral Perikanan-
Balai Budidaya Air Payau Jepara. Sebagai ilustrasi, tubuh manusia yang keracunan Cd dapat
menyebabkan rasa sakit dan panas pada dada. Kondisi ini dapat menyebabkan penyakit
paru-paru yang akut. Jika keracunan bersifat kronis, sistem fisiologi tubuh akan mengalami
kerusakan. Bagian tubuh manusia yang dirusak akibat keracunan Cd ini biasanya sistem
respirasi atau paru-paru, sistem sirkulasi darah dan jantung. Lihat: Putri Sihol M Lubis, Evi
Naria, Risal Hasan (2015) Analisis Kandungan Cadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Formaldehid
pada Beberapa Ikan Segar di Kub (Kelompok Usaha Bersama) Belawan, Kecamatan Medan
Belawan Tahun 2015. Lingkungan dan Keselamatan Kerja 4(1): 150-158
2 Kompas, 13 Juli 1995, “Tali Asih” Bagi Petani Bukan Penyelesaian”.
3 Untuk kronologi proses mediasi lihat: Eko Sulistyo, “Pengalaman Advokasi Masyarakat
Korban Pencemaran Industri: Kasus Kali Babon.” Lihat juga Putusan Pengadilan Negeri
Semarang Nomor 42/PDT.G/1998/PN.Smg (sumber data putusan diperoleh dari LBH
Semarang)

135
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

terjadi karena limbah pabrik sebagaimana hasil penelitian BBAP Jepara.


Pengakuan ini memberi kesempatan kepada warga untuk menuntut ganti rugi
kepada pengusaha dan pemerintah. Anggota dewan mengusulkan agar ada
bantuan “tali asih” dari pengusaha kepada warga.
Besaran uang “tali asih” yang dijanjikan oleh pengusaha sebesar Rp15
juta. Masing-masing petani rata-rata akan mendapatkan uang sebesar
Rp25.000. Angka ini dinilai sangat kecil, tidak sebanding dengan pendapatan
yang hilang akibat pencemaran tersebut. Sementara petani menuntut uang
ganti rugi sebesar Rp120 juta, mengingat luas tambak yang tercemar tidak
kurang dari 300 hektar yang dikelola oleh 615 warga. Jika tuntutan uang ganti
rugi ini terpenuhi, setidaknya masing-masing petani tambak akan mendapat-
kan uang ganti rugi sebesar Rp400.000 per orang. Oleh karenanya, petani
menolak uang “tali asih” tersebut, karena tidak sebanding dengan jumlah
pendapatan yang dapat mereka peroleh setiap hari jika tidak ada pencemaran
yang dilakukan industri.1
Penolakan warga mendapat dukungan dari Thoyfoer Mc, Ketua Fraksi
Persatuan Pembangunan (F-PP) DPRD I Jawa Tengah (periode 1992-1997).
Menurutnya, “tali asih” sebesar Rp15 Juta itu tidak rasional. Thoyfoer juga
menyarankan agar dibentuk tim terpadu yang berisi unsur-unsur netral untuk
menilai besaran ganti rugi yang rasional bagi para petani petambak. Sedang-
kan Kalangan DPRD II Demak cukup tegas dalam menyikapi pencemaran Kali
Babon yang merugikan petani tambak. Kalangan DPRD II Demak menyatakan
bahwa perusahaan yang menyebabkan pencemaran Kali Babon harus ditindak
tegas dengan memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan tersebut
dan memberikan ganti rugi yang setimpal kepada petani. Mereka juga menam-
bahkan pembentukan tim terpadu yang diusulkan oleh Ketua F-PP DPRD I Jawa
Tengah, perlu diberi tenggat waktu, “sehingga petani tidak merasa “diping-
pong” kesana kemari.”2
Sementara dari pihak perusahaan, uang “tali asih” sebesar Rp15 juta me-
rupakan upaya mereka untuk membantu meringankan beban petani tambak.
Hal ini disampaikan oleh Medi, Manajer Puskud Mina Baruna. Ia menganggap
uang “tali asih” merupakan kewajiban bagi setiap pengusaha untuk membantu
mereka yang tidak mampu. Bahkan istilah “tali asih” atau ganti rugi, demikian
menurut Medi, itu tidak tepat untuk disematkan pada pemberian uang Rp15
juta tersebut.3
Pemerintah Kabupaten Demak cenderung bersikap pasif. Bupati Demak,
Soekarlan, lebih memilih untuk menunggu hasil koordinasi dengan Pemerin-

_____
1 Kompas, 10 Juli 1995, “Petani Tolak “Tali Asih” Rp. 15 Juta”.
2 Kompas, 10 Juli 1995, “Petani Tolak “Tali Asih” Rp15 Juta”.
3 Kompas, 13 Juli 1994, “Tali Asih” bagi petani bukan Penyelesaian”.

136
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

tah Kota Semarang. Sedangkan Dinas Perikanan Kabupaten Demak memilih


bersikap netral dan lebih memperlihatkan sikap memitigasi dampak dari
pencemaran. Kepala Dinas Perikanan Demak, Ir. Ashar Mochamad, meminta
warga untuk tidak menebar bibit udang terlebih dahulu agar tidak mati karena
masih tercemarnya Kali Babon.1 Bahkan pada masa-masa awal munculnya
permasalahan ini, aparat desa setempat meminta agar petani yang gagal
panen udang untuk tidak mengajukan tuntutan ganti rugi.2 Sedangkan Peme-
rintah Kota Semarang merespon masalah pencemaran ini dengan mengeluar-
kan Surat Keputusan Wali Kota Nomor 660.2/993/94 tentang perusahaan/in-
dustri yang menjadi prioritas Program Kali Bersih (Prokasih) di Kali Babon.
Enam perusahaan yang diduga kuat menjadi penyebab pencemaran Kali
Babon menjadi perusahaan yang diprioritaskan dalam program ini. Nama
enam perusahaan ini tercantum dalam lampiran Keputusan Wali Kota ter-
sebut.3
Catatan Advokasi Eko Sulistyo, Direktur Penelitian dan Pengembangan
Informasi Lembaga Gita Pertiwi, organisasi kemasyarakatan yang bergerak di
bidang lingkungan yang memberikan pendampingan terhadap warga, menye-
but adanya usaha untuk melemahkan gerakan warga menuntut ganti rugi yang
dilakukan oleh Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) dan Lurah
Bedono. Keduanya memaksa warga untuk menerima uang “tali asih” yang
sebelumnya ditolak. Menurut Eko Sulistyo, peran Muspika cukup dominan
untuk menerima uang “tali asih” tersebut. Warga dikumpulkan di Kelurahan
agar mau menerima uang tali asih. Muspika juga melibatkan warga yang
awalnya tidak ikut menuntut ganti rugi. Bagi warga ini, uang “tali asih” dianggap
sebagai “rejeki nomplok”. Eko menambahkan, perpecahan di kalangan warga
yang mau menerima uang “tali asih” dengan warga yang masih tetap menolak
uang tersebut telah melemahkan gerakan warga.
Pelibatan warga yang tidak mengikuti proses gugatan sejak awal ini
mengakibatkan melemahnya semangat warga yang semula menuntut dan
menyebabkan bengkaknya warga yang mengklaim diri ikut menggugat dan
menuntut haknya. Sehingga uang Rp15.000.000 kemudian dibagi untuk dua
Desa, dengan rincian 693 orang dengan luas tambak 693 hektar. Uang ini
akhirnya dipakai membangun sarana jalan di Desa Sriwulan dan Bedono. 4

_____
1 Kompas, 13 Juli 1994, “Tali Asih” bagi petani bukan Penyelesaian”.
2 Kompas, 15 Februari 1995, “Diduga Akibat Pencemaran, Ratusan Hektar Tambak Udang
Gagal Panen”.
3 Herman Susetyo (1995) Peran Serta Perusahaan Dalam Program Kali Bersih (PROKASIH) Di
Kotamadya Dati II Semarang (Studi Lapangan Di Sungai Babon). Laporan Hasil Penelitian.
4 Eko Sulistyo (1998) Pengalaman Advokasi Masyarakat Korban Pencemaran Industri: Kasus
Kali Babon. Jurnal Analisis Sosial 7: 49-56. Pada halaman 52, Eko menyebutkan sebelum
ada pendampingan dari pihak luar (Lembaga Swadaya Masyarakat), masyarakat belum

137
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Meskipun demikian, warga merasa tidak puas dengan penyelesaian me-


lalui jalur non-litigasi tersebut. Mereka terus membawa kasus pencemaran ini
ke ranah litigasi. Gugatan pun diajukan oleh warga kepada enam perusahaan
dan Pemerintah Kota Semarang ke Pengadilan Negeri (PN) Semarang.
Gugatan awalnya diajukan dengan menggunakan mekanisme class action,
akan tetapi karena pada waktu itu belum memadainya peraturan tentang class
action, warga dan penasehat hukumnya mengurungkan niat untuk mengguna-
kan jalur gugatan class action.1 Gugatan selanjutnya menggunakan mekanisme
perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Sederhananya, gugatan perbuatan melawan hukum diajukan
karena adanya kerugian yang timbul sebagai akibat dari berbuat atau tidak
berbuatnya seseorang. Ada hubungan antara berbuat atau tidak berbuat
dengan kerugian yang diderita oleh korban.
Warga mendapat pendampingan hukum dari Gita Pertiwi. Gita Pertiwi
berperan dalam melakukan riset untuk mengumpulkan bukti adanya pence-
maran sungai oleh enam industri yang digugat. Pada 31 Maret dan 8 Desember
1997, Gita Pertiwi melakukan pengambilan sampel air di Kali Babon dan
tambak. Selanjutnya pemeriksaan air tersebut dilakukan di Laboratorium Balai
Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Yogyakarta. Hasil penelitian menunjuk-
kan adanya unsur kimia terlarut yang melebihi standar baku mutu.2
Gugatan diajukan oleh sembilan warga yang berasal dari Desa Bedono.
Sementara tergugat adalah enam perusahaan yang diduga melakukan pence-
maran sungai Babon: PT Condro Purnomo Cipto, PT Puspita Abadi, PT Rodeo,
PT Bintang Buana, CV Sumber Baru, dan Puskud Mina Baruna. Gugatan juga
meletakkan Wali Kota Semarang sebagai turut tergugat karena kelalaiannya
dalam melakukan pengawasan lingkungan di wilayah administrasinya. Per-
kembangan selanjutnya, penggugat dan kuasa hukumnya mengeluarkan Pe-
merintah Kota Semarang sebagai tergugat karena Pemerintah Kota Semarang
berjanji akan memfasilitasi usaha warga untuk mendapatkan bukti-bukti pen-
cemaran yang dilakukan oleh enam industri yang digugat.
Gugatan warga akhirnya hanya menuntut ganti rugi atas pencemaran
yang dilakukan oleh enam perusahaan. Menurut hitungan warga, kerugian
_____
terorganisir dengan baik. Proses pengambilan keputusan dalam rapat bersama belum
pernah dilakukan. Padahal menurut Eko, hal ini sangat penting untuk membangun
kekompakan dan sikap bersama dalam menilai perkara yang mendera masyarakat sendiri.
1 David Nicholson (2009) Environmental Dispute Resolution in Indonesia. Leiden: Brill.
Halaman: 117–149.
2 Eko Sulistyo (1998: 55); Eko Sulistyo menyebut oksigen terlarut yang mencemari sungai
sebesar 4 ppm. Menurut penelitian BTKL, DO sebesar itu dapat mengganggu perkem-
bangan biota perairan. NH3 (Amoniak) juga ditemukan dengan kadar melebihi baku mutu
sebesar 0,115 ppm. Selain itu juga, beberapa unsur kimia seperti Cd dan Pb dalam jumlah
cukup besar telah menyebabkan tingkat toxisitas air.

138
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

akibat pencemaran tersebut sebesar Rp180.180.000, terdiri dari hilangnya


hasil panen udang dan ikan dalam kurun September hingga Desember 1994.1
Sementara dari sisi tergugat, ada akrobat hukum yang dimainkan untuk
menghindari gugatan ganti rugi tersebut. Puskud Mina Baruna telah mengalih-
kan seluruh asetnya kepada PT Dwi Karya Minatama, sehingga gugatan warga
terhadap Puskud Mina Baruna, sebagai salah satu tergugat, dianggap salah
sasaran. Akrobat hukum ini bertujuan untuk melemahkan prasyarat formil
agar gugatan dinyatakan tidak dapat diterima karena kurang pihak atau salah
sasaran. PN Semarang, dalam putusannya Nomor 42/Pdt.G/1998/PN.Smg,
mengabulkan sebagian gugatan warga. Pengadilan hanya memerintahkan
para tergugat PT Puspita Abadi, PT Rodeo, PT Bintang Buana, dan CV Sumber
Baru untuk membayar ganti rugi. Tidak semua tuntutan ganti rugi warga
dikabulkan oleh pengadilan, para tergugat hanya diwajibkan untuk membayar
ganti rugi sebesar Rp4.400.000.
Para tergugat yang diputus bersalah oleh PN Semarang mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Semarang. Dalam putusan Nomor
329/Pdt/1999/PT.Smg, PT Semarang mengabulkan permohonan banding para
tergugat untuk seluruhnya dan membatalkan putusan PN Semarang. Putusan
PT Semarang ini menuai kontroversi, karena selain telah menolak gugatan
warga, putusan PT baru dikirim ke PN Semarang dan ditembuskan ke Penase-
hat Hukum para penggugat setahun setelah putusan dijatuhkan. Putusan baru
dikirim ke PN Semarang pada 5 Juli 2000. Warga merasa tidak puas atas
putusan dari PT Semarang karena telah memenangkan perusahaan-perusaha-
an yang telah dinyatakan kalah oleh PN Semarang. Lamanya pengiriman
putusan banding ke PN Semarang menimbulkan kecurigaan warga atas
putusan pengadilan banding ini. Pada 9 Agustus 2000, warga yang didampingi
aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah melakukan unjuk rasa
ke PT Semarang. Mereka merasa kecewa dengan apa yang telah diputuskan
oleh pengadilan banding. Pada saat pertemuan dengan warga, Kepala Humas
PT Semarang tidak bisa menjelaskan alasan mengapa pengiriman putusan ke
PN Semarang memakan waktu yang lama. Sementara majelis hakim yang telah
memutuskan perkara sudah pensiun dan satu orang lagi sudah dipindahtugas-
kan. Salah satu warga mengungkapkan:

“sebagai rakyat kecil, kami cuma minta keadilan. Kenapa di pengadil-


an negeri kami menang, justru PT memenangkan pihak pengusaha.
Ada apa sebenarnya? Kami sangat kecewa, karena ternyata hakim

_____
1 Lihat: Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 42/PDT.G/1998/PN.Smg

139
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

PT lebih memihak perusahaan yang jelas-jelas membuat kami


menderita”.1

Upaya terakhir dilakukan oleh warga dengan mengajukan Kasasi ke Mahka-


mah Agung (MA). Hasilnya, MA membatalkan putusan PT Semarang karena
menganggap uang “tali asih” tidak ada kaitannya dengan kerugian para Peng-
gugat. Majelis Kasasi juga membenarkan PN Semarang yang dianggap sudah
benar dalam mempertimbangkan besaran ganti rugi yang dibebankan kepada
para tergugat. Oleh karena itu, Putusan MA Nomor 1807 K/Pdt/2001 menyata-
kan mengabulkan sebagian gugatan dan menyatakan para tergugat bersalah
telah melakukan pencemaran. Selanjutnya, majelis Kasasi menghukum para
tergugat untuk membayar ganti rugi sesuai dengan jumlah yang telah diputus-
kan oleh PN Semarang.
David Nicholson yang menjadikan kasus pencemaran Kali Babon sebagai
salah satu objek penelitian memberi komentar atas putusan pengadilan ini.
Menurutnya, kehadiran masyarakat dalam proses persidangan memengaruhi
putusan hakim.2 Proses persidangan di tingkat pertama bersifat terbuka,
sehingga warga dapat menghadiri proses persidangan dan mendengarkan
jalannya pemeriksaan perkara. Sementara dalam tingkat banding, masyarakat
tidak dapat mengawasi proses persidangan karena pemeriksaan tingkat ban-
ding hanya memeriksa berkas perkara tanpa persidangan yang terbuka. Selain
itu, Nicholson juga menganggap pengadilan telah gagal dalam mendorong
masalah manajemen lingkungan yang lebih baik ke depannya.3 Dalam kasus
pencemaran Kali Babon ini, pengadilan lebih menitikberatkan pada aspek
penggantian kerugian bagi para penggugat dibandingkan mendorong pola
manajemen lingkungan yang lebih baik.
Pasca putusan pengadilan ini, pencemaran Sungai Babon oleh industri-
industri yang berada di sekitarnya masih tetap berlangsung. Penelitian Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Semarang pada 2005, misalnya, menyebutkan
rata-rata kecerahan air, yang mengekspresikan intensitas sinar matahari yang
masuk ke perairan, di Kelurahan Trimulyo, pada waktu itu adalah 1,8 meter.
Kondisi itu jauh di bawah standar baku Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004, yaitu 5 meter.4

_____
1 Kompas, 10 Agustus 2000, “Korban Pencemaran ke Pengadilan Tinggi, Putusan Banding
Tidak Diberitahukan”.
2 David Nicholson (2009) Environmental Dispute Resolution in Indonesia. Leiden: Brill. Hala-
man: 271.
3 David Nicholson (2009) Environmental Dispute Resolution in Indonesia. Leiden: Brill. Hala-
man: 288
4 Kompas, 4 Desember 2007, “Pesisir: Trimulyo Kurang Baik untuk Budidaya Ikan.”

140
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Belakangan, beberapa studi telah mengkonfirmasi pencemaran Kali


Babon. Budiastuti dkk. (2016) menyebutkan badan Kali Babon telah tercemar
oleh logam berat timbal yang dihasilkan dari KIT. Beberapa industri penghasil
produk percetakan, garmen, penyamakan kulit, tekstil, dan industri batako
merupakan sumber pencemaran logam berat seperti timbal (Pb).1 Suparjo
(2009) menunjukkan bahwa Kali Babon memiliki kualitas air yang buruk karena
tercemar biological oxigen demand (BOD) di semua stasiun (yang ia teliti).
Sementara pencemaran paling parah terjadi di stasiun II yang tercemar NO2,
BOD5, dan COD. Penyebabnya karena stasiun II merupakan daerah pembuang-
an limbah dari industri yang ada di sekitar Sungai Babon. Secara keseluruhan,
semua stasiun penelitiannya di Sungai Babon mengalami pencemaran karena
“lokasi tersebut sarat aktivitas manusia dan menjadi tempat bagi pembuangan
limbah industri.”2
Pencemaran Sungai Babon oleh industri pada masa sekarang ini sudah
tidak lagi menimbulkan konflik antara warga dan perusahaan. Tambak-tambak
warga sudah tidak lagi menjadi sarana produksi akibat pencemaran yang su-
dah sedemikian parah dan berlangsung terus-menerus. Selain itu juga karena
abrasi pantai yang diakibatkan oleh reklamasi Pantai Marina dan Pelabuhan
Tanjung Emas telah menenggelamkan tambak-tambak warga.3 Dengan demi-
kian, industri-industri di sekitar DAS Sungai Babon menjadi satu-satunya pe-
main ekonomi-politik utama dalam ekosistem hilir DAS Babon.
Warga Bedono yang kalah dalam persaingan memperebutkan ruang-
bersama DAS Babon harus rela terlempar menjadi buruh industri atau bekerja
di sektor-sektor informal (sektor yang pendapatannya tidak dihitung dalam
neraca ekonomi negara) seperti nelayan, pedagang kaki lima, dan buruh
bangunan.4 Kejayaan hasil tambak yang membuat desa mereka populer
sebagai desa haji sudah hilang bersamaan dengan pencemaran dan abrasi
laut.5 Generasi sekarang terpaksa menerima kenyataan yang ada di hadapan
mereka sebagai buruh tidak terampil karena tidak mendapatkan akses pen-
_____
1 Putri Budiastuti, Mursid Raharjo, Nikie Astorina Yunita Dewanti (2016) Analisa Pence-
maran Logam Berat Timbal Di Badan Sungai Babon Kecamatan Genuk. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 4(5): 119-125.
2 Mustofa Niti Suparjo (2009) Pollution Level at Babon River Semarang. Saintek Perikanan
4(2): 38–45. Stasiun I berada di Kelurahan Kudu, Stasiun II Kelurahan Trimulyo, dan Stasiun
III muara Kali Babon.
3 Lihat: https://nasional.kompas.com/read/2010/10/18/13182629/reklamasi.merugikan.
masyarakat [diakses pada 5 Agustus 2021].
4 Akhmad Asrofi, Su Rito Hardoyo, and Danang Sri Hadmoko (2017) Strategi Adaptasi
Masyarakat Pesisir Dalam Penanganan Bencana Banjir Rob Dan Implikasinya Terhadap
Ketahanan Wilayah (Studi Di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa
Tengah). Jurnal Ketahanan Nasional 23(2): 125-144.
5 https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/162339/nasib-desa-bendono-di-demak-yang-
tenggelam-akibat-banjir-rob [diakses pada 3 Oktober 2021].

141
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

didikan yang layak. Bersamaan dengan hilangnya tambak dan sawah mereka,
perkampungan mereka saat ini juga harus dihadapkan pada ancaman banjir
rob yang datang setiap saat tak kenal waktu. Tanpa dapat disangkal siapapun,
penderitaan yang datang bertubi-tubi ini tak terpisahkan dari proses urbani-
sasi industrial.1

V.7. Teknikalisasi masalah sistem pengendalian banjir di hulu dan hilir

Pemerintah sejauh ini masih memperlakukan permasalahan banjir di DAS


Babon sebagai faktor alamiah yang dapat diatasi dengan melakukan rekayasa
teknis. Pemerintah sebenarnya menyadari bahwa penurunan kawasan vegeta-
si di DAS Babon terjadi karena kebijakan perencanaan masa lalu yang kurang
mempertimbangkan fungsi kawasan. Akibatnya, karena susah bagi pemerin-
tah (atau karena tidak mau?) mengoreksi kesalahan masa lalu, penanganan
banjir hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur teknis.
DAS Babon merupakan bagian dari Sistem Pengendalian Banjir Dolok-
Penggaron. Sistem ini mencakup DAS dan Sub-DAS yang berada di Kota
Semarang bagian timur. Sistem Pengendalian Banjir Dolok-Penggaron Kota
Semarang meliputi Bendung Pucang Gading sebagai bangunan pembagi banjir
dan intake irigasi, dua sungai di kawasan hulu dan tiga sungai di kawasan hilir.
Kali Penggaron dan Kali Dolok ada di kawasan hulu. Aliran Kali Penggaron
berakhir di Bendung Pucang Gading dan terusannya merupakan Kali Babon
yang mengalirkan air ke kawasan hilir di Kecamatan Genuk. Dua sungai di
kawasan hilir selain Kali Babon adalah BKT yang mengarah ke Semarang bagi-
an timur dan Kali Dombo-Sayung yang mengarah ke Kabupaten Demak.
BKT dibangun pada 1920 oleh penjajah Belanda sebagai sodetan untuk
mengurangi banjir di Kali Penggaron. Pada awalnya, BKT berada di pinggir Kota
Semarang. Sekarang ini posisi BKT berada di tengah Kota Semarang setelah
Kecamatan Genuk masuk menjadi bagian dari Kota Semarang. Perkembangan
ini telah menyebabkan Kota Semarang harus menerima aliran air dari

_____
1 Rekonfigurasi ruang di hilir DAS Babon akibat urbanisasi industrial sebenarnya tidak hanya
menyebabkan pencemaran di Kali Babon. Ada faktor-faktor lain yang disumbang oleh
urbanisasi industrial di kawasan ini. Pembebanan tanah dari pembangunan industri di
kawasan dan pengambilan air tanah secara berlebihan oleh pelaku industri di kawasan ini
juga berperan bagi penurunan tanah. Selain itu, reklamasi Pantai Marina di pesisir Kota
Semarang dan pengerukan berkala pelabuhan Tanjung Emas Semarang juga turut
berperan dalam penurunan tanah di Kota Semarang. Semua faktor-faktor ini telah
menyebabkan banjir rob di kawasan ini. Wilayah yang terdampak parah dari banjir rob
berada di kawasan pesisir Semarang-Demak. Untuk informasi lebih lanjut terkait hal ini,
lihat: Batubara B, Warsilah H, Wagner I, and Salam S (2020), Maleh Dadi Segoro: Krisis
Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak. Yogyakarta: Penerbit Nalar.

142
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Kabupaten Semarang dan Demak. Pada 1991, ‘Central Java River Improvement
and Maintenance Project’ mengerjakan perbaikan tanggul dan sedimentasi
sungai untuk meningkatkan kapasitas aliran air yang masuk ke BKT dan Kali
Babon. Proyek ini masih belum bisa mengendalikan banjir dari DAS Dolok-
Penggaron. Banjir telah menimbulkan kerugian yang besar karena bagian
timur Kota Semarang telah berkembang menjadi kawasan industri dan pemu-
kiman.1 Karena alasan kerugian ini, pemerintah pada 2000, mengonsep ulang
pembagian banjir di Bendung Pucang Gading dengan mengurangi aliran air
yang masuk ke BKT. Proyek ini bernama “Indonesia-Semarang Flood Control”.2
Pembiayaan proyek berasal dari Bank Dunia sebesar 75 juta Dolar AS. Proyek
ini bertujuan untuk membangun saluran kanal banjir Dombo-Sayung agar
dapat mengurangi aliran air ke BKT sehingga dapat mengurangi kerugian yang
ditimbulkan akibat banjir di kawasan timur Semarang.
Pada 2009, BBWS Pamali-Juana menyusun studi tentang Sistem Sungai
Dolok-Penggaron.3 Studi ini menyebutkan bahwa kanal banjir Dombo-Sayung
belum dapat difungsikan karena belum ada bangunan pengatur banjir. Selain
itu, studi ini juga menyebut meningkatnya aliran banjir Kali Penggaron (hulu
Kali Babon) akibat perubahan tata guna lahan di DAS hulu dan tengah. Terkait
dengan pembagian kanal-kanal banjir yang terletak di Bendung Pucang
Gading, studi ini juga menyebutkan bahwa pembagian banjir di Bendung
Pucang Gading tidak benar-benar dapat dipastikan karena tingkat elevasi dan
bangunan dari masing-masing kanal sungai. Sistem pengatur banjir di
Bendung Pucang Gading terdiri dari tiga bangunan, yaitu Bendung Pucang
Gading yang mengarah ke Kali Babon, bangunan pintu air BKT, dan sistem
pengatur banjir (Bendung Gergaji) Dombo Sayung. Hanya pintu air BKT yang
memiliki sistem pengaturan debit. Sedangkan dua bangunan lain berupa
ambang bebas, artinya tinggi air di bendung sama dengan tinggi air di sungai
karena tidak adanya pintu air yang mengatur debit air.
Tingkat elevasi di Bendung Pucang Gading juga berpengaruh terhadap
debit air yang masuk ke kanal-kanal sungai. Jika salah satu kanal dimaksimal-
kan, debit air yang masuk ke dua kanal lainnya tidak benar-benar bisa sesuai
dengan rencana. Jika debit aliran air ke kanal Dombo-Sayung dimaksimalkan
sesuai dengan debit rencana sebesar 210 m3/detik, maka debit air yang masuk

_____
1 Buletin Pengawasan Nomor 47 dan 48, 2004, “Upaya Mengatasi Banjir di Kota Semarang,
diambil dari http://www.ampl.or.id/digilib/read/upaya-mengatasi-banjir-di-kota-semara
ng/20664 [akses pada 27 September 2021].
2 Indonesia - Semarang Flood Control Project (English). Washington, D.C.: World Bank
Group. http://documents.worldbank.org/curated/en/598721468771655306/Indonesia-
Semarang-Flood-Control-Project (diakses pada 9 Oktober 2021)
3 BBWS Pemali-Juana (2009), Desain Sistem Dolok-Penggaron (Banjir Kanal Timur-Dombo
Sayung),

143
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

ke Kali Babon sebesar 410 m3/detik, sehingga Kali Babon akan kelebihan debit
sebesar 164 m3/detik dari yang direncanakan sebesar 246 m3/detik. Begitupun
sebaliknya, jika debit di Kali Babon dimaksimalkan sebesar 246 m3/detik, maka
debit air ke kanal Dombo-Sayung meningkat menjadi 310 m3/detik, kelebihan
100 m3/detik. Dokumen proyek juga menyebutkan kondisi ini “harus dicarikan
solusi pengalirannya.”1
Terlepas dari masalah teknis pengendalian debit aliran ke kanal-kanal
sungai-sungai Dolok-Penggaron, meski Proyek Pengendalian Banjir pada 2000
telah selesai, banjir tetap terjadi. Pada 2002, Kali Babon tidak mampu menam-
pung air hujan yang turun. Akibatnya, Kelurahan Penggaron Lor, Penggaron
Kidul, Kudu, dan Genuk-Sayung dilanda banjir.2 Banjir ini merupakan banjir
kedua dalam kurun waktu 4 (empat) bulan terakhir setelah pada Januari banjir
melanda kawasan-kawasan tersebut. Banjir pada April lebih besar dari banjir
Januari 2002. Warga menganggap banjir terjadi karena sedimentasi sungai.
Beberapa pulau kecil yang muncul di tengah sungai menyebabkan Sungai
Babon tidak dapat menampung air secara maksimal.3 Sedimentasi memang
mengganggu kapasitas sungai menampung debit air. Ini diperparah oleh
sistem pengendalian banjir yang belum dapat mengontrol aliran ke Kali Babon.
Kombinasi keduanya berpengaruh terhadap banjir pada 2002 ini.
Sistem pengendalian banjir di kawasan hilir DAS Babon, khususnya wi-
layah Semarang bagian timur, dilakukan dengan menggunakan sistem polder
dan dam lepas pantai. Sistem ini diharapkan dapat mengatasi limpasan air laut
dan menutup aliran air laut ke daratan. Sistem polder mengandalkan tanggul
yang tinggi dan pompa air untuk mengendalikan luapan air di daratan. Tang-
gul-tanggul dibangun mengelilingi garis pantai, memisahkan laut dan daratan.
Rumah-rumah pompa dibangun dengan dilengkapi mesin-mesin pompa besar
yang akan menyedot air dari darat ke laut. Pembangunan kolam retensi juga
diperlukan untuk menampung banjir untuk sementara sebelum dialirkan ke
sungai. Secara keseluruhan, sistem polder di kawasan pantai Kota Semarang
akan dilakukan dengan membangun 12 polder, tujuh kolam retensi, sembilan
stasiun pompa, dan dua bendung. Normalisasi Kali Babon juga menjadi agen-
da pengendalian banjir dan pembuatan embung. 4
Ada dua jilid pekerjaan konstruksi Proyek Pengendalian Banjir dan Rob
Semarang-Demak. Masing-masing jilid terdiri dari dua paket pekerjaan yang
dibiayai oleh Pemerintah Pusat melalui anggaran dari Kementerian Pekerjaan
Umum. Dua paket pertama Jilid I dimulai pada 2016 dengan biaya sekitar

_____
1 BBWS Pemali-Juana (2009), halaman. 62.
2 Wawasan, 3 April 2002, “Sungai Babon Meluap Lagi”.
3 Wawasan, 3 April 2002, “Sungai Babon Meluap Lagi”.
4 Suara Merdeka, Selasa 21 Februari 2017, “12 Polder Segera Dibangun”.

144
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Rp227 milyar.1 Dua paket pekerjaan Jilid II selanjutnya dilakukan pada 2021
dengan nilai proyek sekitar sebesar Rp206 milyar.2
Paket pekerjaan I meliputi pekerjaan pembuatan kolam retensi Banjar-
dowo dengan kapasitas 30 ribu m3, normalisasi serta perbaikan parapet Kali
Sringin, dan pembangunan pintu muara dan polder Kali Sringin dengan tang-
gul dari Kali Tenggang ke Sringin. Paket II Jilid I meliputi pekerjaan pembangu-
nan tanggul rob sepanjang 2,17 km dari kampus Universitas Islam Sultan
Agung (Unissula) hingga ke KIT-Kali Sringin. Pekerjaan Paket II juga memba-
ngun kolam retensi di Kawasan Rusunawa Kaligawe dengan kapasitas tam-
pung 66 ribu m3, pembangunan pintu muara dan polder Kali Tenggang, serta
perbaikan parapet Kali Tenggang. Masing-masing polder dilengkapi dengan
rumah pompa yang dapat menyedot air untuk dibuang ke laut. Polder Kali
Tenggang memiliki pompa berkapasitas 6x2.000 m 3/detik. Sedangkan rumah
pompa Sringin dilengkapi dengan pompa dengan kapasitas 5x2.000 m 3/detik.3
Paket Pekerjaan Pengendalian Banjir Dan Rob Semarang-Demak Jilid II
dimulai pada 2021.4 Pekerjaan terdiri dari dua paket yang lokasinya berada di
wilayah Kabupaten Demak dan Kota Semarang. Sayangnya, dua paket pekerja-
an ini salah satunya dibatalkan karena adanya refocusing anggaran akibat
pandemi COVID-19. Paket pekerjaan pembangunan tanggul di Desa Sriwulan
Demak dibatalkan karena sudah ada proyek TTLSD. Sedangkan untuk paket
pekerjaan pembangunan drainase tanggul Kali Babon dan Sungai Sayung
masih tetap jalan.5 Pembangunan TTLSD rencananya akan dilengkapi dengan
pembangunan kolam retensi yang dapat menampung air sebelum dipompa ke
laut. Jadi, dalam kasus TTLSD, tol sekaligus akan menjadi tanggul yang mengita-
ri wilayah pesisir Kecamatan Genuk dan dua desa di Kecamatan Sayung.6
Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimoeljono, berharap setelah Pro-
yek Pengendalian Banjir dan Rob Semarang-Demak Jilid I selesai, proyek ini
dapat mengatasi banjir rob di jalan nasional yang selama ini “tidak pernah

_____
1 https://lpse.pu.go.id/eproc4/evaluasi/70695064/pemenang [diakses pada 4 Oktober
2021].
2 https://lpse.pu.go.id/eproc4/evaluasi/70696064/pemenangberkontrak [diakses pada 4
Oktober 2021].
3 Sumber: https://www.suara.com/bisnis/2019/02/25/054028/pompa-di-sungai-sringin-
dan-tenggang-minimalisir-banjir-rob-di-semarang?page=all [diakses pada 6 Agustus
2021].
4 https://sda.pu.go.id/balai/bbwspemalijuana/pages/posts/penandatanganan-paket-
pekerjaan-pengendalian-banjir-dan-rob-semarang-demak-paket-i-dan-paket-ii [diakses
pada 6 agustus 2021].
5 Lihat: https://radarsemarang.jawapos.com/berita/jateng/demak/2021/07/20/proyek-
pengendali-banjir-rob-di-sriwulan-batal/ [diakses pada 6 Agustus 2021].
6 Untuk lebih jelasnya, lihat: Batubara B, Warsilah H, Wagner I, and Salam S (2020) Maleh
Dadi Segoro, Krisis Sosial-Ekologis di Kawasan Pesisir Semarang Demak. Yogyakarta:
Penerbit Nalar.

145
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

kering dan sering rusak karena tergenang air dan dilalui beban”. 1 Harapan
Basuki ini ia sampaikan pada 2017, setelah meninjau pembangunan tanggul
laut di kampus Unissula.
Sedangkan pada 2018, Hendrar Prihadi, Walikota Semarang (2013-seka-
rang) yakin mampu menghilangkan mitos “Semarang Kaline Banjir” pada akhir
2020 mendatang.2 Optimisme Hendrar Prihadi muncul karena pada 2020,
Proyek Pengendalian Banjir dan Rob Semarang-Demak Jilid I akan selesai dan
dilanjutkan dengan Jilid II. Optimisme ini ia ungkapkan:

“saat ini, sungai Banjir Kanal Timur dinormalisasi. Sungai Tenggang


dinormalisasi, Sungai Sringin dinormalisasi, Sungai Babon juga
dinormalisasi dan nanti ditutup Tanggul Laut, Tol Semarang-Demak.
Jadi Insya Allah, wilayah timur (Kota Semarang) tidak banjir, tengah
tidak banjir, dan nanti barat pun dua tahun lagi tidak banjir.”3

Optimisme Hendrar Prihadi tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan. Banjir


pada 2021 membuat ambyar optimismenya. Sistem Polder yang telah terpa-
sang dalam Proyek Pengendalian Banjir dan Rob Semarang-Demak Jilid I tidak
mampu mengatasi banjir yang sedang terjadi. Pemerintah berusaha untuk
memaksimalkan kerja pompa yang ada di beberapa wilayah seperti pompa di
Desa Banjardowo dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Jratunseluna (sing-
katan dari nama sungai: Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juana), yang mem-
bawahi Kali Babon, dan berusaha memaksimalkan kerja pompa di Kali Sringin
untuk menyedot luapan banjir.4 Akan tetapi, banjir masih tetap menggenangi
beberapa kawasan di Kecamatan Genuk.5

_____
1 https://jateng.tribunnews.com/2017/06/16/video-menteri-basuki-tinjau-pembangunan-
polder-di-unissula-atasi-banjir-rob [diakses pada 6 Agustus 2021].
2 Aparat Pemerintah seringkali optimis bahwa Semarang akan segera bebas banjir setelah
proyek pengendalian banjir selesai. Pada 1995, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota
Semarang, Ir. Murti Wibowo, mengatakan bahwa Semarang akan bebas banjir. Optimisme
ini muncul karena beberapa pekerjaan pengendalian banjir sedang berjalan seperti
pembersihan gorong-gorong, normalisasi sungai dan perbaikan tanggul (Suara Merdeka,
29 Februari 1995, “Kepala DPU Kodya Optimistis Semarang Bisa Bebas Banjir”). Optimisme
juga pernah disampaikan Manajer Program Perbaikan Pembuangan Air DPU pada 1990. Ia
mengatakan bahwa “Semarang sekarang aman dari banjir” karena itu limpahan air dari
Semarang Atas akan disalurkan melalui sungai kecil, Kali Babon, menuju Demak (lihat:
George Junus Aditjondro (2003) Korban-korban Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Halaman 326). Akan tetapi, optimisme-optimisme ini selalu dijawab dengan
kenyataan yang berbeda.
3 Tribun Jateng, Sabtu, 15 September 2018, “Walikota Optimis 2020 Bisa Akhiri Banjir”.
4 Tribun Jateng, 21 Januari 2021, “Rianung Sebut Pemkot Kerja Ekstra”.
5 Tribun Jateng, 21 Januar 2021, “Genangan Tiap Musim Hujan”.

146
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Para pejabat menjadikan permasalahan teknis pengendalian banjir seba-


gai alasan dalam usaha mereka menjelaskan terjadinya banjir kepada publik.
Banjir pada 2021 juga mempermasalahkan teknis dari kerja pompa dalam
mengendalikan banjir di kawasan Kecamatan Genuk yang dianggap tidak be-
kerja secara maksimal. Menurut Ali Muhtar, Camat Genuk, air dari daerah sela-
tan menumpuk di Kecamatan Genuk. Sungai Sringin tidak mampu menam-
pung air yang berasal dari kawasan ini sehingga meluap membanjiri kawasan-
kawasan Genuk. Sementara kerja pompa untuk menyedot air dari sungai ke
laut tidak bekerja secara maksimal. Langkah yang ditempuh pihak kecamatan
hanya meringankan beban korban banjir dengan membuka dapur umum. 1
Sedangkan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, menyampaikan bahwa kerja
pompa tidak maksimal karena Kali Sringin baru mempekerjakan satu pompa
dengan kapasitas 2.000 liter/detik. Rencananya rumah pompa Kali Sringin akan
mengoperasikan 5 (lima) pompa dengan total kapasitas 10.000 liter/detik. 2
Cakupan wilayah tangkapan Kali Sringin, menurut kepala BBWS Jratunseluna,
Ruhban Ruzziyatno, seluas 15 km. Setidaknya dibutuhkan pompa dengan
kapasitas 10.000 liter/detik atau 10 m3/detik.3
Penjaga pompa di Kali Sringin memberikan keterangan yang berbeda.4
Menurutnya, lima pompa yang ada di rumah pompa Sringin sudah bekerja
secara maksimal. Bahkan ia tidak sempat pulang ke rumah selama hampir
seminggu saat banjir 2021 karena harus siaga mengoperasikan mesin pompa.
Genangan banjir di kawasan Genuk bertahan cukup lama karena mesin pompa
masih bekerja untuk menyedot limpasan air Kali Babon yang menggenangi KIT.
Selama satu minggu, pompa masih menyedot air limpasan Kali Babon yang
mengalir dari KIT. Setelah air limpasan Kali Babon surut, air dari kawasan
Genuk baru dapat disedot ke laut. Kerja lima pompa masih dibantu dengan
dua pintu air yang dibuka untuk mengalirkan air dari Sungai Sringin ke laut.
Elevasi air sungai waktu itu masih lebih tinggi daripada air laut.
Sejauh ini, pendekatan rekayasa teknis dalam pengendalian banjir di Kota
Semarang belum sepenuhnya dapat menyelesaikan persoalan banjir. Proyek
pengendalian banjir di hulu DAS Babon masih memiliki banyak permasalahan
yang mesti dicari solusinya. Pada 2003, Sudharto P. Hadi, Pakar Lingkungan
_____
1 Ali Muchtar, Antara Jateng, 5 Desember 2018, Sumber: https://jateng.antaranews.com/
berita/206141/banjir-genuk-semarang-tambah-parah-camat-dirikan-dapur-umum
[diakses pada 6 Agustus 2021].
2 Hendar Prihadi, web resmi Pemerintah Kota Semarang, 07 Desember 2018. Sumber:
http://semarangkota.go.id/p/366/hendi_turun_tangani_banjir_kaligawe,_rumah_pompa
_sringin_mulai_aktifkan_1_p [diakses pada 10 Agustus 2021].
3 Rubhan Ruzziyanto, Kumparan, 10 Desember 2018, sumber: https://kumparan.com/
kumparannews/atasi-banjir-di-semarang-pompa-air-kali-sringin-segera-dioperasikan-
1544448745025816413 [diakses pada 10 Agustus 2021].
4 Wawancara dilakukan pada 19 September 2021

147
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Undip, sudah menyatakan bahwa perencanaan tara ruang di Kota Semarang


cenderung mengesahkan perubahan lahan demi kepentingan ekonomi. Ia
menyatakan:

“Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang gagal merencanakan pemba-


ngunan karena tidak mampu mengeliminasi permasalahan sosial
dan lingkungan. Justru dari tahun ke tahun, permasalahan sosial dan
lingkungan semakin parah. Hal ini tidak lepas dari kebijakan Pemkot
yang berorientasi pada proyek fisik (project oriented) dan didominasi
kepentingan pasar (market driven).”1

Sukarman, aktivis masalah perkotaan dari LBHS, menyampaikan bahwa masa-


lah pembangunan di Kota Semarang cenderung parsial dan pro pemilik modal.
Ia menyoroti masalah pembangunan zona-zona industri yang ada di pesisir
pantai Kota Semarang sejak 15 tahun terakhir yang memperlihatkan pola
penghancuran perekonomian masyarakat pesisir.2
Apa yang disampaikan oleh Sudharto dan Sukarman sampai hari ini
masih relevan dalam memahami banjir dan penanganan terhadapnya dalam
bentuk pembangunan infrastruktur pengendalian banjir di Kota Semarang.
Pemerintah cenderung mengandalkan rekayasa teknis untuk mengendalikan
banjir yang terjadi di Kota Semarang. Pembangunan infrastruktur banjir yang
telah memakan banyak anggaran publik tidak benar-benar dapat bekerja
secara maksimal membebaskan masyarakat dari ancaman bencana banjir.
Pemerintah cenderung menghabiskan banyak anggaran publik untuk pemba-
ngunan infrastruktur yang berusia pendek. Sementara masalah struktural
seperti rekonfigurasi ruang di DAS Babon cenderung diabaikan, atau bahkan
disembunyikan. Atau setidaknya tidak diangkat ke permukaan. Kondisi ini
telah melestarikan ketimpangan ruang yang memberikan rasa tidak aman bagi
masyarakat yang tinggal di hilir DAS Babon.
Sebagaimana telah disampaikan dalam Bab I, teknikalisasi masalah banjir
menjadi strategi pemerintah dalam mendepolitisasi banjir. Terlihat dalam
kajian ini, teknikalisasi penyelesaian banjir ini bukan menjadi satu-satunya
masalah dalam penanganan banjir di Kecamatan Genuk. Meski kerja pompa
telah dimaksimalkan, banjir masih tetap terjadi karena besarnya debit air yang
meluap dari sungai Babon. Teknikalisasi masalah ini duduk dalam satu cerita
pembangunan yang lebih besar: urbanisasi industrial. Oleh karena itu, perma-
salahan banjir di Kota Semarang perlu dilihat/dipahami dari kebijakan urbani-

_____
1 Kompas, 25 Februari 2003, “Perencanaan Tidak Jelas, Wajah Kota Semarang “Bubrah”,
Kebijakan Pemkot Berorientasi pada Proyek”.
2 Kompas, 2 Mei 2005, “Pembangunan Semarang untuk Siapa?”.

148
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

sasi industrial yang dihasilkan dari pengetahuan borjuis yang meyakini par-
tumbuhan ekonomi sebagai jalan pembangunan dan industrialisasi melalui
pembangunan kawasan-kawasan industri sebagai manifestasi sosiospasial-
nya. Sejauh ini, mendorong investasi di Kota Semarang untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi justru menghasilkan krisis perkotaan berupa banjir,
khususnya banjir sungai yang terjadi di kawasan hilir DAS Babon.

V.8. Kesimpulan

Urbanisasi Kota Semarang telah mengakibatkan rekonfigurasi sosio-spasial di


DAS Babon. Kebutuhan perluasan kota dilakukan oleh Pemerintah Kota Sema-
rang dengan mencaplok kawasan kabupaten lain untuk dijadikan kawasan
industri dan kota satelit. Kecamatan Genuk yang semula bagian dari Kabupa-
ten Demak menjadi zona kawasan industri, sedangkan Kelurahan Meteseh
Kecamatan Tembalang menjadi kota satelit. Pengembangan kota satelit di
Meteseh Kecamatan Tembalang telah mengalihfungsikan kawasan resapan
DAS Babon menjadi kawasan terbangun. Kebijakan kota satelit telah menarik
minat investasi di bidang properti yang akan mengkomodifikasi kawasan
resapan DAS Babon menjadi nilai yang dapat digunakan dan dipertukarkan.
Sudwikatmono, Ciputra dan Soekrisman, ketiganya patungan untuk mengem-
bangkan atau mangalihfungsikan kawasan resapan DAS Babon menjadi kawa-
san hunian yang menawarkan produk perumahan bebas banjir dan berhawa
pegunungan. Ada Rp100 miliar yang ditanamkan untuk mengubah kawasan
resapan menjadi kawasan terbangun. Melalui bendera PT Bukit Semarang Jaya
Metro (BSJM), pengubahan kawasan pemukiman telah mengalihfungsikan 350
ha lahan perladangan dan sawah menjadi kawasan terbangun berupa peru-
mahan. Sedangkan Ciputra Development melalui anak usaha Ciputra Karya
Utama, mengembangkan kawasan hunian seluas 60 ha.
Alih fungsi lahan resapan DAS Babon dalam kebijakan kota satelit yang
dicanangkan oleh Pemerintah Kota Semarang telah menciptakan konsentrasi
penguasaan hak atas tanah di tangan orang-orang yang menanamkan modal-
nya di DAS hulu Kali Babon. Konsentrasi penguasaan hak atas tanah di DAS
Babon ini turut berkontribusi pada terkonsentrasinya keuntungan atas pe-
manfaatan tanah di tangan para industrialis tersebut, dan pada akhirnya ber-
kontribusi pada pertambahan kekayaan mereka. Nama Ciputra yang terkait
dengan BSJM dan Ciputra Karya Utama, tercatat memiliki kekayaan Rp21,4
triliun. Sedangkan PT Pembangunan Jaya, yang menjadi perusahaan induk
BSJM, laba bersihnya meningkat dari Rp833,3 miliar pada 2013, menjadi Rp1,5
triliun pada 2018. Ciputra Karya Utama, yang mengembangkan pemukiman

149
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Citra Grand Semarang, mendapat keuntungan Rp23,9 miliar pada tahun 2018.
Angka ini menurun pada masa pandemi 2020 menjadi Rp1,9 miliar.
Perubahan kawasan resapan menjadi kawasan hunian telah mengakibat-
kan berkurangnya fungsi Kecamatan Tembalang sebagai kawasan resapan
dalam siklus hidrologi DAS Babon. Padahal, kawasan resapan memiliki peran
penting dalam siklus hidrologi untuk mengurangi debit air larian. Akibatnya,
air hujan yang turun tidak dapat diserap secara maksimal sehingga meng-
akibatkan banjir di DAS hilir Kali Babon.
Rekonfigurasi ruang juga terjadi di DAS hilir Kali Babon karena pemba-
ngunan kawasan industri. Bagi warga kampung Trimulyo, era 1980-an menjadi
masa di mana mereka dapat hidup tanpa terganggu ancaman banjir. Kampung
mereka memiliki benteng alami berupa sawah dan tambak yang menjadi
tempat bagi limpasan air Kali Babon. Struktur ruang pada masa itu berupa laut-
tambak-sawah-pemukiman. Semenjak dibangunnya KIT dengan cara meng-
uruk sawah dan tambak di sisi barat, kampung mereka laksana mangkuk yang
siap menerima limpasan air dari Kali Babon di sisi timur dan KIT di sisi barat.
Rekonfigurasi ruang di DAS hulu dan hilir Kali Babon telah menciptakan
momen sosioalamiah berupa banjir. Momen sosioalamiah dalam sistem
kapitalisme terjadi dalam perubahan kawasan resapan menjadi area terba-
ngun. Dalam sistem ini, ada pihak yang diuntungkan karena perolehan keuntu-
ngan dari pengubahan kawasan resapan menjadi perumahan. Di sisi lain,
momen sosioalamiah ini telah menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat
di DAS hilir Kali Babon. Banjir telah membuat mereka hidup dalam kecemasan
setiap turun hujan. Kerugian yang ditimbulkan oleh bajir harus ditanggung
oleh mereka sendiri, tanpa ada tanggung jawab dari kekuatan sosial yang
mengubah hulu DAS Kali Babon. Seolah-olah banjir merupakan momen alami-
ah tanpa ada kekuatan-kekautan sosial yang menciptakannya. Momen sosio-
alamiah yang lain akibat pembukaan kawasan resapan menjadi kawasan
terbangun dan pembangunan KIT adalah pencemaran. Pembukaan kawasan
di DAS hulu telah menyebabkan sedimentasi sungai yang berakibat pada
penurunan kapasitas daya tampung sungai. Sedangkan industri telah mem-
buang limbah beracun ke Kali Babon. Akibatnya, petani tambak di Bedono,
Sayung, Demak mengalami gagal panen. Sebelum ada pencemaran ini, Desa
Bedono dikenal dengan desa haji karena penduduknya banyak yang berangkat
haji dari budidaya ikan dan udang di tambak. Sekarang, mereka harus bekerja
menjadi buruh di pabrik-pabrik yang ada di pinggir Kota Semarang dan bekerja
di sektor informal.
Sejauh ini, pendekatan Pemerintah dalam mengatasi banjir di Kota
Semarang masih mengandalkan rekayasa teknis dengan mengabaikan masa-
lah struktural yang telah dibahas di atas. Terbukti, proyek-proyek pengendali-
an banjir tidak mampu membendung limpahan air yang berasal dari kawasan

150
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Semarang Atas. Banjir pada 2021 memberikan contoh bagaimana intensitas


curah hujan yang kecil mampu membuat kawasan DAS hilir Kali Babon
mengalami banjir meski proyek pengendalian banjir telah selesai dikerjakan.

151
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

152
BAB VI
Banjir DAS Karanganyar karena
kombinasi polusi dan reklamasi

VI.1. Deskripsi

Dibanding DAS lain di Kota Semarang, DAS Karanganyar merupakan DAS


terkecil dengan luas 1943,91 hektar. Adapun cakupan wilayahnya meliputi be-
berapa kelurahan di Kecamatan Tugu dan Kecamatan Ngaliyan. Di Kecamatan
Tugu, DAS ini mencakup Kelurahan Tugurejo, Karanganyar, Randugarut, dan
Mangkang Wetan, sedangkan di Kecamatan Ngaliyan meliputi sebagian kelu-
rahan Tambakaji dan Wonosari. DAS Karanganyar bersinggungan dengan DAS
Beringin di bagian selatan dan barat. Di bagian timur, DAS ini bertemu dengan
DAS Silandak (lihat Gambar III.1 Bab III, Metodologi).
Berdasarkan pemantauan citra satelit, perubahan tutupan di kawasan
DAS Karanganyar secara masif dimulai pada 1970-an. Dapat dilihat melalui
ilustrasi peta di bawah ini, dimana persentase tutupan area terbangun me-
lebihi area vegetasi terjadi pada awal 1980-an (Gambar VI.1), yaitu 48% : 32%.

153
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Persentase tutupan area terbangun terus meningkat hingga 2020 menjadi


90,3%. Sebaliknya, area vegetasi terus menurun drastis hingga hanya tersisa
1,6% di 2020. Perubahan ini sangat signifikan jika dibanding 47 tahun sebe-
lumnya di mana area vegetasi masih ada sebanyak 55,8%. Kondisi tutupan air
secara umum juga mengalami penurunan. Pada 2013 tutupan air di DAS
Karanganyar ada sebanyak 17,1%, lalu turun drastis sebanyak 9 % di 2020
menjadi 8,1% (Gambar VI.2).

100
DAS Karanganyar
80 ~ Air -0-Area terbangun ~ Vegetasi

60
~
40

20

0
1973 1983 1993 2003 2013
Tahun

Gambar VI.1: Grafik perubahan penggunaan ruang di DAS Karanganyar.

154
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

1973 1989 1999


Air: 24% Air: 22%
Area terbangun: 20 ,2% Area terbangun: 46% Air: 28,5%
Vegetasi: 55,8% Vegetasi: 32% Area terbangun: 53%
Vegetasi: 18,5%

2013 2020
Air: 17, 1% Air: 8,1%
Area terbangun: 74,4% Area terbangun: 90,3%
Vegetasi: 8,5% Vegeta si: 1,6 %

Cl2.75.5 11 16.5 22
■ ■ Kilometers mnn
i11uu
Sumber data:
1) Peta Digital Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wilayah didapat dari: https://tanahair.indonesia.go.id.
2) Crtra Satelite LANDSAT 1-5 MSS (1973); LANDSAT 4-5 TM (1989 dan 1999) dan LANDSAT OLI 8 (2013 dan 2020)

Gambar VI.2: Perubahan penggunaan ruang di DAS Karanganyar. Keterangan warna:


hijau: tutupan area vegetasi; kuning: tutupan area terbangun; biru: tutup-
an area air.

Proses utama yang mengarahkan urbanisasi di area pesisir Semarang Barat ini
adalah pembangunan pabrik yang memakan 45% wilayah Kecamatan Tugu.
Salah satunya adalah di Kali Tapak (Gambar VI.3).

155
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Pf:MER INTAH l(OTA SEMAltA NG

I DINAS PEKERJAAN UMUM


t(OTA S EMARA NG

Nama Sung.11 · r,,pak


ranjang Sungai ; 3,050 (Knl)
cufchmenl Art<•: 474 Ha

Gambar VI.3: Papan nama Sungai Tapak yang terletak dekat rel kereta api sebelum
memasuki Kampung Tapak. Gambar diambil pada 9 September 2021.

Kali Tapak menjadi bagian dari sub wilayah Tugu bagian timur, bersama Kali
Tambakharjo, Jumbleng, dan Tugurejo. Luas Sub-DAS Kali Tapak sendiri men-
capai 2,80 km² dengan panjang saluran 3700 meter. 1 Kali Tapak merupakan
satu di antara beberapa sungai di Kecamatan Tugu yang hanya mengalir pada
musim hujan. Alirannya berasal dari Taman Lele dan Beji dan bermuara ke
Laut Jawa bagian utara (Lokasi Dukuh Tapak, tempat-tempat lain yang disebut-
kan dalam tulisan ini, dan DAS Karanganyar dapat dilihat dalam Gambar VI.4).

_____
1 PT. Tera Buana Manggala Jaya (2017) Laporan Akhir Penyusunan Dokumen Master Plan
Drainase Kota Semarang. H. 55. Namun, ada data berbeda yang penulis temukan di lapa-
ngan, di mana papan nama Kali Tapak menunjukkan data panjang sungai adalah 3.050 km
dan luasnya 474 ha/4,74 km². Perbedaan ini bisa dipahami. Salah satu kemungkinan
penyebab perbedaan ini adalah perbedaan data dalam menghitung panjang sungai dan
luas DAS, seperti yang dipaparkan dalam Bab III buku ini, bagian metodologi.

156
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

0,5 1 km

Skala 1:35.000

Keterangan
e Lokasl
=>SUngai
DAS Karanganyar
Peta Dasar: Google Satellite

mnl'I
MALEH OADI SEGORO
IIIUU

Gambar VI.4: DAS Karanganyar dan tempat-tempat dalam tulisan.

Dukuh Tapak terletak tepat di sisi kanan Jalan Pantura Semarang-Kendal. Pada
sisi kiri gapura Jalan Tapak Raya terlihat bangunan pos ormas Pemuda
Pancasila. Memasuki Jalan Tapak Raya terdapat bangunan-bangunan pabrik
memenuhi sisi kiri dan kanan jalan. Ada juga kantor Koramil Kecamatan Tugu
di kiri jalan tersebut. Tanda memasuki Kampung Tapak RW 4 Kelurahan
Tugurejo ialah gapura dengan jalan rel kereta api yang memanjang dari arah
timur dan barat. Sebelah kiri memanjang Sungai Tapak menuju utara. Di ping-
giran Sungai Tapak tepat sebelum rel kereta api terpampang sebuah papan
nama sungai beserta informasi panjang sungai dan luas area tangkapan. Kam-
pung ini terdiri dari enam RT yang berurutan sampai mentok ke area tambak.
Di area Dukuh Tapak ini, terjadi perubahan sosioalamiah berupa banjir dan
perubahan warna air sungai dari jernih menjadi hitam pekat disebabkan oleh
limbah pabrik yang membuat sungai di area ini tercemar, dan perubahan
sosiospasial berupa: (1) penyodetan sungai oleh perusahaan; dan (2) reklamasi
pesisir untuk perluasan kawasan industri.

157
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

VI.2. Pencemaran Kali Tapak dalam empat babak

Babak 1: Nanti, sesudah polusi SDC dapat diatasi,


kami bisa hidup makmur lagi (1976-1979)

16 Mei 1976 merupakan tanggal pemekaran Kotamadya Semarang yang dite-


tapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 16/1976.1 Akibat dari pemekaran ini,
Kecamatan Tugu yang sebelumnya secara administratif menjadi bagian dari
Kabupaten Kendal kemudian masuk sebagai wilayah Kotamadya Semarang.
Wilayah Dukuh Tapak, Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu pun kemudian
ditetapkan sebagai bagian dari salah satu pusat pertumbuhan industri setelah
ditetapkannya Rencana Induk Kota (RIK) Semarang sebagaimana diatur dalam
Peraturan Daerah Kotamadya Dati II Semarang Nomor 5 Tahun 1981, yang
kemudian diubah menjadi Peraturan Daerah Kotamadya Dati II Semarang
Nomor 2 tahun 1990 tentang Rencana Induk Kota Semarang dari tahun 1975 –
2000. Peraturan ini menetapkan wilayah Kecamatan Tugu sebagai zona indus-
tri, pariwisata, dan pemukiman berkepadatan sedang.2
Tak lama setelah Kecamatan Tugu resmi menjadi bagian dari wilayah Kota
Semarang pada 1976, sebuah pabrik bernama PT Semarang Diamond Chemi-
cal (SDC) berdiri di wilayah Kelurahan Randugarut, tak jauh dari Kelurahan
Tugurejo. Pabrik yang digunakan untuk memproses kalsium sitrat ini didirikan
oleh seorang pengusaha Tenglang3 bernama Budiarso (Bhe Hok Djwan).4
Kalsium sitrat ialah sebuah zat kimia yang digunakan dalam minuman bersoda
seperti Coca Cola dan Fanta. Disinyalir pembangunan pabrik ini untuk meme-
nuhi kebutuhan pabrik Coca Cola di Kota Semarang yang telah berdiri sejak
1976.5 PT SDC didirikan atas kerjasama antara Showa Chemicals (Jepang),
Mitsubishi (Jepang), dan PT Bintraco Dharma.6

_____
1 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. Terutama pada halaman 76 [babak 1 pencemaran
di riset ini akan banyak mengutip laporan penelitian Aditjondro].
2 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang. H. 60
3 Menurut salah satu sumber, orang Tionghoa menggunakan kata itu untuk memanggil suku
bangsa mereka sendiri secara keseluruhan. Tidak hanya di Indonesia melainkan juga di
komunitas Tionghoa di luar Tiongkok, terutama mereka yang berasal dari Provinsi
Fujian dan Guangdong. Lihat: https://id.quora.com/Mengapa-etnis-Tionghoa-menyebut-
dirinya-Tenglang [diakses pada 24 September 2021].
4 Frederik A, 7 April 2017, “Politik Lingkungan: Mempertegas Kebijakan Politik dalam
Mengatasi Lingkungan”, URL: https://adolfusfrederik.blogspot.com/2017/04/politik-
lingkungan-mempertegas.html [Diakses pada 23 Juli 2021].
5 Wikipedia, URL: https://id.wikipedia.org/wiki/The_Coca-Cola_Company [Diakses pada 20
Juli 2021].
6 Tempo, 24 Maret 1979, “Dari Mitsubishi Dengan Polusi”.

158
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Pencemaran Kali Tapak oleh limbah industri terjadi sejak awal perusaha-
an kimia tersebut beroperasi yaitu pada akhir 1976. Saat itu istilah pencemar-
an belum begitu dikenal warga. Warga mengekspresikannya dengan menye-
butkan adanya perubahan aroma di air sungai mereka menjadi berbau tai
kucing.

“Tidak tahu persis ada pencemaran atau tidak. Itu istilah orang-
orang yang mengerti di dalam lingkungan universitas-universitas
itu… Kalo masyara-kat di sana tahu, kok ini bau busuk seperti tai
kucing?” kata Kusmanto, warga dan aktivis Tapak kala diwawancarai
oleh Jiway Francis Tung (2000: 36).

Menurut Kusmanto, sebelum ada pabrik SDC kehidupan di Tapak tenteram.


Sebagian besar warga dukuh Tapak menyandarkan kehidupan sehari-harinya
pada budidaya ikan dan udang di tambak mereka. Tahun-tahun setelah
adanya pabrik itu pendapatan dari pertambakan mulai menurun dan air
berbau tidak enak, seperti tai kucing tadi itu.1 Warga Dukuh Tapak yang biasa
menggunakan Kali Tapak untuk mengairi sawah dan sebagian besar tambak
bandeng dan udang pun menanggung akibat dari pencemaran. Awal Februari
1977, Lurah Tugurejo, Zainal Arifin menerima laporan tentang 18,5 hektar
tambak kelas I2 milik sembilan orang penduduk Dukuh Tapak tercemar limbah
buangan SDC.3 Adapun total luas tambak di Dukuh Tapak ada sekitar 90-100
hektar.
Begitu mengetahui kematian di tambak kelas I, warga lain pun langsung
menutup pintu airnya. Sembilan warga ini pun mengajukan tuntutan ke PT
SDC. Namun, mereka hanya mendapat uang ganti rugi dengan total Rp30 ribu
dari SDC.4 Padahal jika dihitung untuk sekali panen (6 bulan), satu hektar
tambak kelas I bisa menghasilkan ikan bandeng sebanyak 150 kilogram yang

_____
1 Jiway Francis Tung (2000) Pembangunan yang Tidak Membangun: Kisah LSM tentang
Dampak Industrialisasi di Dukuh Tapak (Tesis). Universitas Indonesia Depok. H. 37.
2 Ada pembagian kelas untuk tambak-tambak di Dukuh Tapak. Kelas I adalah tambak yang
berbatasan langsung dengan laut hingga 1 km dari muara sungai. Tambak ini dinilai paling
subur di mana setiap musim dapat menghasilkan 3 kwintal bandeng, panen ikan rucah tiap
tiga bulan dengan penghasilan hingga Rp30.000, dan 4-5 kg udang tiap hari. Tambak kelas
II terletak antara 1-2 km dari muara. Tambak ini butuh waktu yang lebih lama untuk
membesarkan nener (anak bandeng) yaitu sekitar 7 bulan. Ikan sulit dibesarkan di tambak
ini, sementara udang masih lumayan bisa dibesarkan. Tambak kelas III dan IV lebih mirip
kolam ikan biasa. Tidak ada bandeng dan udang, yang ada adalah ikan air tawar dan ikan
penghuni lumpur seperti lele (lihat: George Yunus Aditjondro (1979: 66).
3 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 69
4 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 69

159
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

harga seluruhnya mencapai Rp45 ribu. Adanya pencemaran yang disebabkan


oleh limbah pabrik SDC dibuktikan dengan hasil laboratorium Kesehatan
Departemen Kesehatan di Semarang. Laporan itu menunjukkan bahwa air
tambak mengandung 1 – 6 ppm (part per million, per sejuta) NH4 (amonium)
bebas, 70 – 100 mg/liter H2S (asal belerang). “Amonium dan H2S meracuni
lingkungan air, dan terutama bisa memabukkan ikan.”1
Di tengah situasi genting menghadapi pencemaran SDC, berdasarkan
informasi yang diperoleh Aditjondro, terdengar pula desas-desus bahwa war-
ga Kecamatan Tugu akan disingkirkan dari kampung halamannya. Alasannya,
wilayah Kecamatan Tugu di utara jalan raya Semarang-Kendal itu secara sepi-
hak telah ditetapkan menjadi kawasan industri seluas 800 hektar oleh Peme-
rintah Daerah Kotamadya Semarang dan Provinsi Jawa Tengah.2 Kawasan Tugu
diproyeksikan menjadi lokasi pabrik-pabrik yang limbahnya dapat dibuang
bebas ke laut. Sontak warga pun menolak hal tersebut. Penolakan ini direkam
oleh Aditjondro: “Sejak kecil kami biasa hidup di pantai, mengolah sawah dan
tambak. Kami akan mengalami kesulitan bila dipindahkan ke daerah daratan
seperti transmigran,” kata Achmad Sueb, Kamituwo3 Dukuh Tapak waktu itu.4
Pendapat lain justru lebih menohok dalam menjelaskan hubungan bencana,
penyebab, dan dampak, “Polusi SDC kan bukan bencana alam, melainkan
bikinan manusia. Lalu kenapa kami yang harus pindah, padahal ini kampung
halaman kami sendiri,”5 gugat seorang warga bernama Slamet, menegaskan
bahwa seharusnya yang pindah adalah PT SDC, bukan warga. “Nanti setelah
polusi SDC dapat diatasi, kami kan bisa hidup makmur lagi,” begitu pendapat
dari Sukarno, satu-satunya mantri dan lulusan perguruan tinggi pada waktu itu
di Dukuh Tapak.6
Rencana relokasi warga memang nampaknya batal dilakukan, namun
polusi SDC tak kunjung berakhir. Harapan Sukarno untuk bisa hidup makmur
lagi pun pupus. Kejadian ikan mabuk dan mati mengambang semakin sering

_____
1 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 70
2 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 65
3 Kamituwo merupakan jabatan dalam sistem administrasi pemerintahan tingkat desa di
dalam tradisi Jawa, sebelum berlakunya penyeragaman istilah pemerintahan desa.
Seorang kamituwo memimpin dan mengorganisasi wilayah bagian desa yang lebih kecil
(dukuh). Istilah yang setara menurut UU Pemerintahan Desa adalah Kepala Dusun atau
Kadus. Lihat: Kamituwo - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas [diakses pada 2
September 2021].
4 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 76
5 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 76
6 Tempo, Edisi 2 Mei 2011, “Warga Tapak Setelah Pencemaran”.

160
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

terjadi. Demi menyelesaikan masalah pencemaran itu, dibuatlah pertemuan


antara Kepala Dinas Kesehatan Kotamadya dengan Kamituwo Tapak. Pertemu-
an yang diadakan pada akhir September 1977 itu menghasilkan keputusan
bahwa Wali Kotamadya Semarang akan menyurati SDC. Dalam surat berno-
mor Sek. 11/44/10/Um yang menyusul pertemuan itu, Wali Kotamadya Sema-
rang memerintahkan SDC untuk membuat bak penampungan, pengendapan,
dan penyaringan air buangannya.1
Langkah Wali Kotamadya ini juga tak mengatasi apapun. Limbah SDC
tetap meracuni ikan-ikan di tambak warga. Aditjondro mencatat beberapa kali
warga mendapati ikan di tambak mati. 8 Juli 1978, Sukardi menengok tambak-
nya dan menemukan ikannya mati setelah kemasukan air Kali Tapak. Se-
minggu kemudian, tambak milik Asrif, Sarmadi, Supaat, Sukardi, Slamet, dan
Susman gagal panen karena 14 kilogram bandeng, 39 ¼ kilogram udang, dan
12 kilogram ikan rucah ditemukan mabuk setelah tambak itu kemasukan air
sungai. Pak Camat Tugu pun mengakui jika sore hari sebelumnya SDC mem-
buang air limbah dari bak pengendap darurat yang telah dibangunnya, sesuai
dengan mandat Wali Kotamadya Semarang sebelumnya, ke sungai.2
Endapan padat yang dibawa oleh air buangan pabrik PT SDC dan
kemudian masuk ke area sawah melalui parit irigasi Kali Tapak telah setinggi
lutut orang dewasa. Kotoran pabrik membuat kaki mereka gatal. Tapi yang
lebih merisaukan, luku (bajak) dan kerbau tidak dapat membantu pekerjaan
membajak sawah karena binatang itu bisa amblas bila menginjak lumpur itu. 3
Dampaknya, mereka harus keluar ongkos dua kali lipat untuk membayar tena-
ga manusia. Di sisi lain, hasil yang didapat juga belum pasti. Seorang pemuda
penggarap sawah bernama Mukri mengaku telah empat musim gagal panen.
Ini disebabkan batang padi terlampau subur akibat kebanyakan NH4 (amoni-
um) dan asam belerang (H2S) dari ampas organis pabrik SDC. Setelah agak
besar, daun dan batang padi menjadi kering kemerah-merahan kemudian
mati sebelum berbuah. Rerumputan tumbuh sangat subur sehingga petani
harus menyianginya dua kali lipat dari sebelumnya. 4 Ditambah lagi, air sumur
yang menjadi sumber air warga rupanya juga ikut tercemar limbah.5 Berlipat
gandalah masalah warga Dukuh Tapak.

_____
1 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 71
2 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 70
3 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 74
4 Tempo, 24 Maret 1979, “Dari Mitsubishi dengan Polusi”.
5 Tempo, 24 Maret 1979, “Dari Mitsubishi dengan Polusi”.

161
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Pertemuan kembali digelar. Kali ini tidak hanya Kamituwo, tapi juga Lurah
Tugurejo, Zainal Arifin, menemui Pemda Kotamadya Semarang yang diwakili
oleh Sekda, Dinas Kesehatan Kota (DKK), dan Bappeda, beserta beberapa
tokoh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hadir pula perwakilan SDC, J.
Seodardjo SH. Pertemuan yang diadakan pada 9 Agustus 1978 itu menghasil
kan tiga kesepakatan. Pertama, SDC harus bisa mengatasi polusi air buangan-
nya dalam waktu tiga bulan. Kedua, SDC harus menyediakan air minum bersih
untuk penduduk Dukuh Tapak selama polusi belum diatasi. Ketiga, SDC harus
membayar ganti rugi sebagaimana hitungan yang akan dibuat oleh suatu pani-
tia bentukan Camat Tugu. Sayang sekali ketiga tuntutan ini akhirnya tidak
dipenuhi oleh pihak SDC. 1
Tiga bulan setelah kesepakatan itu seharusnya SDC sudah bisa mengurus
limbahnya sehingga tidak mencemari Kali Tapak. Namun, kenyataannya,
empat orang warga yang membuka pintu air untuk mengairi tambaknya
terpaksa merugi lagi lantaran 300 ekor bibit bandeng dan udangnya mabuk
dan mengambang dengan perut kembung. Artinya, racun limbah SDC belum
berhenti. Untuk kesepakatan kedua, SDC hanya mengirim air minum dengan
mobil tangki selama satu bulan pertama. Bulan selanjutnya SDC hanya
menggali sumur di pinggiran dukuh, padahal warga maunya dibuatkan sumur
artesis. Hasilnya, sama saja dengan sumur warga kebanyakan, keruh dan
berbau anyir. Tentu saja sumur ini tidak berguna bagi warga. Tuntutan ketiga
lebih parah lagi. Dalam perhitungan panitia yang dibentuk oleh Camat Tugu,
kerugian yang dialami warga akibat polusi SDC sejak Februari 1977 hingga
November 1978 adalah sebanyak Rp119.823.000. Dari angka ini, Pemda
Kotamadya menawar jumlahnya menjadi Rp96 juta. Namun dengan tanpa
malu SDC hanya mau membayar sebanyak Rp5 juta saja.2
Guna mengatasi masalah polusinya, SDC berinisiatif mendatangkan aera-
tor bekas dari gudang induk perusahaannya di Jepang. Bagi SDC, mendatang-
kan aerator bekas ini adalah sekaligus sebagai usaha mencari untung secara
relatif. Karena logikanya, aerator bekas lebih murah dari aerator baru. Namun,
aturan Departemen Perdagangan yang melarang impor peralatan bekas
menghalangi niat cari untung SDC. Mereka terpaksa membeli aerator baru dari
Amerika Serikat. Aerator ini berfungsi untuk menguraikan bahan-bahan kimia
organis dengan menyalurkan zat asam (O2) ke dalam udara, sehingga
pembersihan air kotor dapat dilakukan. Alat ini seharusnya ada sejak awal
pabrik berdiri. Tapi pabrik memilih untuk tak mengindahkannya agar bisa

_____
1 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 71
2 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 72

162
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

mengurangi biaya alat-alat pencegah pencemaran. Alat yang dipesan SDC dari
Amerika Serikat baru akan tiba setelah enam bulan. Sementara itu, ganti rugi
yang diharapkan warga tidak mereka dapatkan. Padahal selain pengeluaran
untuk kehidupan sehari-hari, mereka juga masih punya tanggungan penge-
luaran kredit Bimbingan Massal (Bimas) yang harus dibayar. 1
Keberadaan SDC pada akhirnya melahirkan ketimpangan ekonomi yang
makin tinggi antara masyarakat lokal yaitu warga Dukuh Tapak dan sekitarnya
dengan pemilik perusahaan. Akibat dari kurangnya penghasilan dari sektor
pertanian dan tambak, banyak warga yang berubah profesi menjadi buruh
padas. Satu dua orang yang agak bermodal membeli dokar dan mengusirinya
sendiri. Bahkan, perhiasan wanita banyak yang sudah dijual atau setidaknya
digadaikan tanpa harapan mampu menebusnya. Peralihan profesi itu pada
umumnya berarti pemiskinan, karena penghasilan mereka menurun dan
irama pekerjaan mereka menjadi semakin tergantung pada orang lain. Dalam
profesi sebagai buruh padas, irama pekerjaan mereka menjadi tergantung
pada bos bisnis padas. Selain harus kerja lebih berat sebagai buruh padas,
masukan gizi orang-orang Tapak pun sangat berkurang. Kalau dulunya mereka
mudah dapat makan tiga kali sehari, kini kebanyakan hanya mampu makan
dua kali sehari.”2 Persis di momen inilah kontradiksi yang dibawa oleh corak
produksi kapitalisme menghasilkan momen ketimpangan, di mana kapitalis
mengakumulasi keuntungan bagi dirinya di satu sisi dan pemiskinan bagi
warga Dukuh Tapak di sisi lain.
Di antara warga sendiri pun pada dasarnya ada ketimpangan. Awalnya
perjuangan warga dalam melawan pencemaran cukup solid karena meng-
hadapi “musuh bersama”. Baik pemilik tambak/sawah maupun buruh tani
akan mendapat kerugian jika sampai harus meninggalkan sawah atau tambak-
nya.3 Namun, begitu perbedaan kerugian antara pemilik tambak dan buruh
tambak diperjelas, persatuan agak terpecah. Pemilik tambak bisa saja beralih
profesi menjadi kusir andong atau yang lain sebab biasanya mereka masih
punya modal/sarana produksi lain selain sawah dan tambak. Sedangkan bagi
buruh tani dan tambak hanya bermodal tenaga sendiri, sehingga kemungkinan
alih profesinya adalah menjadi buruh pemecah padas yang lebih memeras
tenaga. Istri para buruh tambak juga pada umumnya tak punya simpanan
emas yang dapat digadaikan. Akhirnya, terpetakanlah yang paling nampak
berjuang adalah para pemilik tanah, sedangkan para buruh dan pengangguran

_____
1 Tempo, 24 Maret 1979, “Dari Mitsubishi dengan Polusi”.
2 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81. H. 75-76
3 Aditjondro, GJ (2003) Kebohongan-kebohongan Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. H:
306-307

163
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

hanya mendukung dari belakang. Lebih parah lagi adalah para pemilik tambak
guntai1 yang tak kedengaran suaranya dalam melawan “musuh bersama”.2

Babak 2: Setelah menderita selama hampir 15 tahun (1979-1991)

Bertahun-tahun pencemaran di Kali Tapak terus terjadi. Berkali-kali pula warga


melaporkan kematian ribuan ekor nener (bibit bandeng) yang ditabur di tam-
bak dan udang yang menyelusup masuk ke tambak dari laut, sehingga jumlah
panen bandeng dan udang mereka berkurang. Warga pun tak berhenti menge-
luh dan protes. Beberapa kali perwakilan pemerintah dan anggota DPRD me-
ninjau lokasi, beberapa kali pula pertemuan dilakukan, namun tak kunjung
membuahkan hasil yang memuaskan bagi warga. Pencemaran kian bertam-
bah seiring bertambahnya jumlah pabrik yang beroperasi di sekitar Dukuh
Tapak. Setelah PT SDC, muncul sembilan pabrik lain seperti PT Sukasari (pabrik
kecap), PT Bukit Perak (pabrik sabun), PT Kemas Tugu Indah (pabrik kertas dan
karton), PT Agung Perdana Tugu Indah (pabrik tekstil), PT Sanmaru (pabrik
makanan), PT Appolo Jaya (pabrik tekstil), PT Sekar Abadi Jaya, PT Naga Mas
Sakti Perkasa, dan PT Makara Dewa Wisesa (pabrik udang beku). Kecuali PT
Sekar Abadi Jaya dan PT Naga Mas Sakti Perkasa, delapan pabrik lainnya di
kemudian hari digugat oleh warga sebagai sumber utama pencemaran Kali
Tapak.3
Pada Juli 1985, warga Dukuh Tapak kembali melaporkan kejadian pence-
maran tambak ikan dan udang kepada Lurah dan Camat untuk disampaikan
kepada Pemerintah Kotamadya Semarang, namun belum ada tanggapan.
Karena itulah, sejumlah 20 orang warga RW IV Dukuh Tapak mendatangi
kantor Lembaga Bantuan Hukum Semarang (LBHS) guna meminta bantuan
untuk menyelesaikan masalah pencemaran tersebut. Selain ke LBHS, warga
juga mengadukan masalah ini ke Menteri Perindustrian, Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH), Ketua DPRD Kotamadya, serta
Kotak Pos 5000 dimana yang terakhir ini adalah metode pengaduan masyara-
kat kepada pemerintah yang diinisiasi pada zaman Presiden Soeharto.4
Barulah lima tahun kemudian, tepatnya pada 7 Juni 1990, Walikota mem-
bentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup
(TKP2LH) yang ditugaskan untuk melakukan penelitian di Kali Tapak. Hasilnya,
_____
1 Tanah/tambak yang pemiliknya bukan penduduk di daerah yang bersangkutan.
2 Aditjondro, GJ (2003) Kebohongan-kebohongan Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. H:
306-307
3 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 60.
4 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 71 [babak 2 dan 3
pencemaran di riset ini akan banyak mengutip laporan penelitian Marjanto].

164
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

tak berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Walikota pun mendesak


para pelaku industri di Dukuh Tapak untuk menyempurnakan Instalasi Peng-
olah Air Limbah (IPAL). Soal ganti rugi pencemaran malah tidak dibahas sama
sekali.1
Selain memesan aerator seperti yang telah dijanjikan, PT SDC juga me-
lakukan pemantauan limbah menggunakan ikan mujair untuk menguji mutu
air limbah setelah limbah itu diendapkan dan melewati alat-alat pengocokan
asam atau aerator tadi. Namun, apa artinya satu pabrik yang membersihkan
air limbahnya sementara pabrik-pabrik lain yang membuang limbahnya di Kali
Tapak tidak juga menyediakan instalasi untuk membersihkan limbah mereka?
Seperti pabrik printing tekstil PT Agung Perdana, sebagaimana yang dikutip
Aditjondro (2003) dari Suara Merdeka (3 November 1989), hanya menyaring air
limbah pencelupan yang mengandung sisa-sisa obat pewarna lalu membuang
air limbahnya begitu saja ke kali.2
Sebagai kuasa hukum warga, LBHS tidak lantas membawa kasus ini ke
ranah pengadilan. LBHS memilih jalan perundingan atau non-litigasi. Menurut
LBHS, jika kasus ini dibawa ke pengadilan maka tidak akan menguntungkan
masyarakat karena kendala-kendala teknis hukum terutama mengenai pem-
buktian. Belum lagi kemungkinan terjadinya suap-menyuap antara pihak peng-
adilan dengan perusahaan. Karena itulah di meja hijau pengadilan posisi peru-
sahaan dianggap lebih kuat daripada masyarakat.3
Pada 29 Januari 1991, LBHS meminta diadakan forum pertemuan antara
pihaknya dengan para pengusaha dan warga Dukuh Tapak dengan difasilitasi
oleh DPRD Kotamadya Semarang. Dalam pertemuan itu warga menuntut: 1)
Pengusaha membayar ganti rugi akibat pencemaran air/lingkungan terhadap
warga Tapak sebesar Rp1,9 milyar; 2) Pengusaha harus melakukan pengadaan
air bersih; 3) Normalisasi Kali Tapak; dan 4) Merehabilitasi lingkungan.4
Selanjutnya, pada 6 Juni 1991 dibentuk tim gabungan (Tim 10 dan Tim
Satgas) oleh Wali Kotamadya Semarang untuk menyelesaikan kasus Kali Tapak.
Anggota tim 10 yaitu: Kepala Dinas Perikanan, Kepala Bagian Hukum Setkodya
Tingkat II Semarang (Soedarmadji, SH, CN) selaku koordinator, Bapedal Pusat
(2 orang), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) (2 orang), LSM
(2 orang yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Forum
Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Forda WALHI)), 2 orang perwa-

_____
1 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 71
2 Aditjondro, GJ (2003) Kebohongan-kebohongan Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. H: 9
3 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang h. 78
4 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 72

165
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

kilan pengusaha. Tim 10 bertugas untuk: 1) melakukan pendataan kepemilikan


lahan sawah dan tambak yang tercemar; 2) memperkirakan besaran kerusa-
kan dan nilai kontribusi yang akan diberikan kepada warga Tapak; dan 3) me-
ngajukan saran dan pertimbangan tentang penyempurnaan Unit Pengolahan
Limbah (UPL) yang memenuhi persyaratan. Kemudian dibentuk juga Tim
Satgas untuk menindaklanjuti hasil keputusan Tim 10. Tim Satgas ditetapkan
melalui SK. Nomor 660.3.05/1802/1991 tanggal 10 September 1991 dengan
masa kerja selama dua tahun. Anggotanya terdiri dari para mantan anggota
Tim 10 ditambah unsur-unsur tokoh masyarakat di Kelurahan Tugurejo.1
Perlu diketahui, dampak pencemaran Kali Tapak pada 1991 telah meng-
akibatkan: 1) produksi bandeng turun sebesar 64,29% dari 700 kg menjadi 250
kg per hari; 2) hasil tangkapan udang dan ikan kecil di perairan tambak turun
sebesar 66,67%, dari 1,5 ton menjadi 0,5 ton per hektar per hari; 3) sumur-
sumur dangkal milik penduduk tercemar; dan 4) hasil panen padi milik petani
turun (tidak disebutkan seberapa besar penurunan hasil panen).2 Rupanya
setelah lima belas tahun berjibaku dengan polusi SDC, ternyata warga Dukuh
Tapak masih juga mengalami keempat hal tersebut, bahkan bisa diprediksi
semakin parah karena semakin banyaknya jumlah pabrik di wilayah itu.
Dalam pertemuan sebelumnya permintaan ganti rugi warga sebesar
Rp1,9 milyar ditolak oleh pengusaha. Mereka hanya mau memberi bantuan
dalam bentuk bukan uang seperti pengadaan air bersih dan penghijauan. 3
Warga Dukuh Tapak bersama LBHS pun menolaknya. Mereka akhirnya me-
lakukan taktik menekan pengusaha dan pemerintah untuk mau merespon dan
menyetujui permintaan warga. Taktik itu berupa aksi boikot terhadap produk-
produk yang dihasilkan oleh kedelapan perusahaan yang dianggap sebagai
penghasil limbah pencemar Kali Tapak. Aksi boikot dilakukan secara bersama-
sama oleh 15 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu: YKSB, LP2K, YLKI,
YABAKA, ESP, LBHS, YLBHI, Bintari, Sansayana, YK3, YSS, KSP, KKD, dan Walhi
yang selanjutnya akan disebarluaskan ke media pers dan LSM-LSM di luar
negeri.4

_____
1 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang h. 74
2 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang h. 64
3 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 75
4 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 76. Menurut sumber
lain 15 LSM itu adalah YKSB, LP2K, YLKI, YABAKA, Bintari, ESP, DASA, Sansayama, YLBHI,
YK3, YSS, WALHI, KSP, KKD (Jiway Francis Tung [2000: ]). Jika dihitung keduanya sama-sama
berjumlah 14. Namun, versi Marjanto minus DASA, dan versi Jiway (2000) kurang LBHS,

166
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Aksi ini mendapat dukungan dari Deputi I BAPEDAL Pusat. Dalam surat
kabar Kedaulatan 17 Mei 19911 disebutkan:

“Para pengusaha jangan berlindung di balik nama-nama para peker-


ja, sebab dengan mengeluarkan dana sebesar tiga persen saja dari
biaya produksi, pencemaran yang diakibatkan oleh limbah perusa-
haan tersebut sudah bisa ditanggulangi. Selain diambil dari keuntu-
ngan perusahaan, biaya penanggulangan pencemaran sebesar tiga
persen itu masih dapat dibebankan ke konsumen melalui harga jual
produk yang dihasilkan”.2

Dalam aksi kampanye boikot itu Walhi telah membuat surat ke lebih dari 100
LSM di seluruh Indonesia untuk meminta dukungan.3 Selain mengancam
melakukan boikot terhadap produk buatan pabrik pencemar lingkungan,
YLBHI dan LBHS juga menuntut Menteri Perindustrian, Hartarto, untuk men-
cabut izin usaha enam pabrik penyebab pencemaran, yaitu PT APTI dan PT AJ
(tekstil), PT SDC (kimia), PT SKS (kecap), PT KTL (kertas), dan PT BP (sabun).4
Karena mendapat ancaman boikot, akhirnya perusahaan pun mau meng-
ikuti proses perundingan yang memakan waktu 3 (tiga) bulan dengan total
pertemuan sebanyak 6 (enam) kali, yaitu 10 Juni 1991, 30 Juli 1991, 1, 9, 10, dan
28 Agustus 1991. Dalam seri perundingan ini pihak industri/perusahaan
mengajukan perubahan istilah dari “ganti rugi” menjadi “kontribusi”. Istilah
kontribusi dianggap lebih positif bagi perusahaan, tidak meletakkan kesalahan
melulu di pihak industri.5 Namun, di pihak warga, pengakuan siapa yang
bersalah menjadi isu tersendiri. Beberapa menganggap penting agar perusa-
haan tetap digugat karena uang kontribusi tidak berarti uang ganti rugi, se-
mentara sebagian yang lain beranggapan, “sudahlah, sudah ada niat baik dari
perusahaan untuk memberikan uang kontribusi.” Akhirnya tim menyepakati
usulan ini. Perusahaan juga mengusulkan agar pemberian kontribusi (ganti

_____
sehingga jika ditambahkan hasilnya sama yaitu 15. Sayangnya, kedua sumber itu tidak jelas
menyebutkan apa kepanjangan dari masing-masing LSM.
1 Ada dua versi. Pertama di Marjanto, WD (2005, h. 77) menyebutkan: surat kabar
Kedaulatan, 17 Mei 1991. Kedua di Jiway Francis Tung (2000, h. 95) menyebutkan
Kedaulatan Rakyat, 16 Mei 1991.
2 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 77
3 Kompas, 27 April 1991, “Kasus Pencemaran Kali Tapak: LBH Usulkan Menperin untuk Cabut
Izin Usaha Enam Pabrik”.
4 Kompas, 27 April 1991, “Kasus Pencemaran Kali Tapak: LBH Usulkan Menperin untuk Cabut
Izin Usaha Enam Pabrik”.
5 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 82.

167
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

rugi) hanya kepada petani tambak yang punya izin usaha sesuai Perda Provinsi
Jateng No. 4 Tahun 1973. Usul ini tentu saja ditolak oleh warga yang mayoritas
merupakan petani tambak tradisional, alias, kemungkinan besar tidak memiliki
izin usaha yang menjadi pembeda siapa yang akan mendapatkan kontribusi
(ganti rugi) dan siapa yang tidak.1
Tim perunding akhirnya menyepakati beberapa hal dalam dua dokumen.
Pertama, dokumen tentang pokok kesepakatan tim 10 penyelesaian kasus
Tapak mengenai kontribusi. Kedua, dokumen tentang pedoman pengelolaan
lingkungan, Koeksistensi antara pengusaha/industri – masyarakat, dan Kontribusi
di Dukuh Tapak, Kelurahan Tugurejo.2 Adapun poin-poin kesepakatan itu yakni:3

1. Pemberian kontribusi bagi 247 orang warga Dukuh Tapak sejumlah


Rp225 juta.
2. Kontribusi pengelolaan dan penataan lingkungan (pos kamling, pena-
taan saluran air, dan perbaikan tanggul di sekitar permukiman) sebe-
sar Rp185 juta.
3. Penyediaan air bersih berupa sumur artesis sebanyak dua unit.
4. Pembuatan talud di sepanjang bantaran Kali Tapak.
5. Penghijauan bantaran sungai sampai perbatasan tambak.
6. Pembangunan masjid dan sarana olahraga.
7. Pemanfaatan tenaga kerja dari warga.
8. Pelatihan keterampilan otomotif.
9. Pelatihan wiraswasta.
10. Pengendalian pencemaran air limbah.
11. Pemantauan kualitas air Kali Tapak.

Semua pihak nampaknya merasa puas atas kesepakatan ini, terlebih pihak
pemerintah. Kampanye boikot pun dicabut. Tanpa perlu berlama-lama menja-
lani proses di meja pengadilan, kasus pencemaran akhirnya akan dapat diatasi.
Setelah menderita selama 15 tahun akhirnya warga akan bisa hidup tenang
bebas dari polusi. Namun, masih ada pekerjaan selanjutnya, yaitu memastikan
kesebelas poin tersebut terlaksana. Di sinilah letak kelemahan sistem penye-
lesaian dengan cara perundingan/mediasi. Waktu itu belum ada ketentuan
yang bisa mengikat kesepakatan di luar pengadilan sebagaimana yang diatur
kemudian hari melalui UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
_____
1 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 82.
2 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 80.
3 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 85.

168
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Alternatif Penyelesaian Sengketa dan PP Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lem-


baga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di
Luar Pengadilan. Akibatnya kesepakatan tersebut cenderung tidak memiliki ke-
kuatan hukum pemaksa. Andaikata sudah adapun ketentuan yang bisa meng-
ikat kesepakatan di luar pengadilan, kesepakatan ini belum tentu mengun-
tungkan warga. Sebab, kesepakatan di atas kertas adalah satu hal, pelaksana-
annya di lapangan adalah hal yang lain lagi.
Bukan perjuangan yang mudah bagi warga untuk menjaga lingkungan
mereka, termasuk untuk sampai pada pelaksanaan mediasi ini. Sebelumnya,
pada 12 Mei 1990 warga Dukuh Tapak mendemo Menteri Perindustrian
(Menperind) Hartarto di kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
Kusmanto, motor pergerakan warga, mendapat informasi soal kedatangan
Menperind dari George Junus Aditjondro yang kala itu menjadi dosen UKSW.
Menurut Kusmanto Menteri Perindustrian Hartarto adalah sasaran utama
sebab,

“Nah kalo kita itu ngomong sama KLH, sama yang lainnya ibaratnya
ini (Menteri Hartarto) bos malingnya. Ini bosnya. Bos pencemaran.
Kalo nggak ada menteri industrinya ndak mungkin ada pabriknya,
kan?”1

Setelah peristiwa demo massa itu, keesokan harinya Dukuh Tapak dikunjungi
oleh aparat TNI AD dan polisi dari Koramil Kecamatan Tugu dan Komtabes
Semarang serta Kepala Direktorat Sospol Kotamadya Semarang. Bukan untuk
meninjau masalah pencemaran, namun untuk mencari motif politis “kelanca-
ngan” warga mengadu ke menteri. Motif politis yang dimaksud ialah yang
berkaitan dengan pemilu.2 Padahal dalam kacamata kami (penulis), tindakan
warga memang politis, bahwa pencemaran yang disebabkan oleh para pelaku
industri tidak lepas dari izin yang dikeluarkan oleh Menperind, sehingga wajar
jika mereka mengadu ke sana. Pengawasan oleh aparat ini bahkan berlang-
sung selama seminggu.
Sebelum ini, warga juga pernah mengalami intimidasi dari aparat keama-
nan yang merupakan preman bayaran pabrik. Organisasi aktivis pemuda
Tapak sempat dituduh sebagai simpatisan komunis, sebuah metode klasik
yang banyak dilaksanakan oleh pemerintah dan perusahaan untuk mendiam-
kan protes warga sejak rezim Soeharto (1965) sampai sekarang (2021). Bahkan

_____
1 Jiway Francis Tung (2000) Pembangunan yang Tidak Membangun: Kisah LSM tentang
Dampak Industrialisasi di Dukuh Tapak (Tesis). Universitas Indonesia Depok, h. 62.
2 Aditjoncro, GJ (2003) Pola-pola Gerakan Lingkungan Yogyakarta: Pustaka Pelajar. H: 183-
184.

169
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

terdapat pula warga yang disuap Rp2,5 miliar supaya menyetujui keberlangsu-
ngan bisnis perusahaan.1
Riset Jiway Francis Tung (2000) menggambarkan beberapa kejadian inti-
midasi yang diterima warga Tapak berkaitan dengan masalah pencemaran.
Pernah suatu hari diadakan pertemuan antara warga dan LBHS. Tujuan perte-
muan itu adalah untuk memperkenalkan LBHS dan Pak Tarigan selaku penga-
cara ke warga Tapak serta menandatangani kuasa hukum agar PT SDC dapat
digugat di pengadilan. Ada sekitar 109 warga yang hadir. Pertemuan yang di-
mulai jam 8 berakhir larut (jam 1 malam). Hal itu menyebabkan pihak Koramil
datang dan menggerebek tempat pertemuan itu. Selain memarahi tokoh se-
tempat yang membiarkan adanya kegiatan sampai larut tanpa izin, pihak
Koramil juga menuduh warga sebagai PKI. Begini Jiway mengutip Pak Tarigan
yang ia wawancarai,

“Maka lalu pertama dia menyebut PKI, PKI. Itu sedang ramai waktu
itu. Cara-cara PKI dulu, tandatangan dan sebagainya. Saya omong,
‘ini di sini nggak ada PKI. Jangan diapakan, saya nggak tau lagi, PKI
itu tahun berapa? Katanya sudah dibubarkan.’ Saya bilang begitu.
‘Jangan kita menyebut-nyebut PKI”.2

Selain menuduh PKI, Koramil juga mengancam Pak S, pemilik rumah yang
menjadi tempat berkumpul, dengan menempelkan pistol ke kepalanya seraya
bilang, “Tembak batu’e! (tembak jidatnya!)”. Setelah diancam, ia dan dua orang
lainnya yaitu Pak Kusmanto (motor pergerakan warga) dan Pak Tarigan akan
langsung dibawa ke Koramil. Hal itu batal setelah seorang sesepuh kampung
bernama Mbah Bun diundang untuk menjadi penengah. Mbah Bun mengakhi-
ri kunjungan mendadak Koramil dengan berjanji bertemu di kantor Koramil
pada hari berikutnya. Keesokan harinya, di kantor Koramil Pak S diinterogasi
dan ditekan supaya tidak ikut pergerakan warga sebab dirinya adalah pegawai
negeri. Tekanan tidak hanya datang dari Koramil melainkan juga dari Wali Kota.
Wali Kota menuduh Pak S korupsi sebab ia menjual materai yang lebih murah
kepada warga. Wali Kota juga mempertanyakan loyalitas Pak S sebagai
pegawai negeri. Pak S dipaksa memilih untuk menarik kuasanya di LBHS atau
status pegawai negerinya dicabut.3

_____
1 Frederik A, 7 April 2017, “Politik Lingkungan: Mempertegas Kebijakan Politik dalam Meng-
atasi Lingkungan”, URL: https://adolfusfrederik.blogspot.com/2017/04/politik-lingkung
an-mempertegas.html [Diakses pada 23 Juli 2021].
2 Jiway Francis Tung (2000) Pembangunan yang Tidak Membangun: Kisah LSM tentang
Dampak Industrialisasi di Dukuh Tapak (Tesis). Universitas Indonesia Depok, h. 69-70.
3 Jiway Francis Tung (2000) Pembangunan yang Tidak Membangun: Kisah LSM tentang
Dampak Industrialisasi di Dukuh Tapak (Tesis). Universitas Indonesia Depok, h. 70-71.

170
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Babak 3: Kualitas limbah masih melampaui baku mutu limbah cair


(1992-2005)

Keberadaan pabrik-pabrik yang makin banyak menambah makin beratnya


beban pencemaran ekosistem di Kali Tapak. Hasil penelitian Badan Penelitian
dan Pengembangan Industri (BPPI) Semarang bersama dengan Bapedalda
Kota Semarang pada 1993 yang dikutip Marjanto (2005: 61), menunjukkan
jumlah limbah cair industri yang dibuang ke Kali Tapak adalah sebagai berikut:

Tabel VI.1: Jumlah limbar cair pabrik-pabrik di Kali Tapak pada 1993.
Sumber: Marjanto, WD (2005: 61).

No. Nama Perusahaan Jumlah limbah cair (m³/hari)


1. PT. Sekar Abadi Jaya 50 – 75 1
2. PT. Naga Mas Sakti Perkasa 50 – 75 2
3. PT. Makara Dewa Wisesa 50 – 70 3
4. PT. Kemas Tugu Indah Sakti 5–8 4
5. PT. Bukit Perak 100 – 150 5
6. PT. Agung Perdana Tugu Indah 150 6
Jumlah 405 – 528

Jika dirata-rata, maka per hari ada sekitar 466,5 m3 limbah yang dialirkan ke
Kali Tapak. Dengan debit air kali yang hanya 0,5 – 1 liter/detik atau 43,2 – 86,4
m3/hari, pembuangan limbah ke kali ini tentu sangat membebani dan mem-
perparah pencemaran sungai. Nilai debit limbah cair rata-rata per hari yang
sebesar 466,5 m3 lebih besar 11 atau 5,5 kali lipat dari debit sungai. Bukan
hanya pada 1993, masalah pencemaran Kali Tapak ternyata tidak selesai pasca
diadakannya mediasi dimana salah satu kesepakatannya adalah pengendalian
pencemaran limbah agar memenuhi baku mutu limbah cair. Bahkan, akhir
1991 warga kembali mengadukan masalah pencemaran ke LBHS, berharap
agar kasus ini dibawa ke meja hijau saja.1 Mari kita tengok bagaimana sebenar-
nya pelaksanaan sebelas poin kesepakatan hasil mediasi yang dilakukan pada
Agustus 1991 lalu.
Penelitian WD Marjanto (2005) mencatat bahwa poin satu dan dua kese-
pakatan yang berisi kontribusi bagi 247 warga dan pengelolaan serta penataan

_____
1 Kompas, 13 Desember 1991, “Warga Tapak akan Gugat Delapan Industri Pencemar”.

171
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

lingkungan telah dipenuhi oleh pihak perusahaan. Begitupun dengan penga-


daan air bersih juga telah dipenuhi dengan dibangunnya dua unit sumur
artesis. Komitmen lain yang terpenuhi 100% adalah pembangunan masjid dan
sarana olahraga (lapangan voli). Selain keempat poin itu, pelaksanaan kesepa-
katan yang terpenuhi yaitu pemantauan kualitas air Kali Tapak yang dilakukan
rutin oleh Bapedalda.1
Adapun kesepakatan yang lain sebagian kecil terlaksana dan ada pula
yang tidak dipenuhi sama sekali. Sebagian kecil yang terlaksana yaitu pem-
buatan talud di sepanjang bantaran kali hanya terbangun ± 20 meter. Menurut
perhitungan, ini barulah 10% dari total bantaran kali. Tiga macam pelatihan
keterampilan sempat dilakukan, yaitu pelatihan otomotif, menjahit, dan pem-
buatan pelet. Namun, ketiganya tidak ada tindak lanjut. Dua tanggungjawab
pengusaha yang lain, yaitu penghijauan bantaran kali perkampungan sampai
daerah tambak dan tentu saja yang paling utama, pengendalian pencemaran
air limbah, juga tidak dilaksanakan sepenuhnya.2
Bahkan sampai 2002 unit pengolahan limbah masih belum dibenahi.
Akibatnya pencemaran pun terus terjadi. Nurweni, Kepala Bidang Pemantauan
dan Pemulihan Bapedalda Kota Semarang, mengatakan ada sembilan perusa-
haan yang membuang limbah cair ke Sungai Tapak. Di antaranya ialah perusa-
haan sabun, galpanis (pelapisan logam), farmasi, pengolahan sayur yang di-
ekspor ke Jepang, kecap, dan juga perusahaan mebel. 3 Sayangnya begitu
mengetahui ini, lagi-lagi Bapedalda hanya memberikan surat teguran kepada
perusahaan agar mempunyai unit pengolahan limbah yang memadai. Suratno,
Kepala Subbidang Perencanaan Bapedalda Kota Semarang juga menegaskan
apabila perusahaan masih tidak mengindahkan peringatan itu, maka anca-
mannya adalah penutupan perusahaan. Namun, itu tidak pernah dilaksanakan
dengan alasan nasib para buruh yang akan kehilangan pekerjaan kalau peru-
sahaan ditutup.4 Maka tidak heran jika kemudian hari pencemaran tetap saja
terjadi.
24 September 2002, Bapedalda Kota Semarang mengancam akan me-
nempuh jalur hukum apabila pemilik pabrik yang mencemari Kali Tapak tidak
segera memperbaiki IPAL mereka. Hal ini mengingat sudah berkali-kali
Bapedalda memberi teguran namun tetap saja limbah pabrik mencemari ling-

_____
1 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 87-88.
2 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 87-88.
3 Ika, Kompas, 14 September 2002, “42 Perusahaan Terbukti Lakukan Pencemaran”.
4 Ika, Kompas, 23 September 2002, “Warga Dusun Tapak Keluhkan Pencemaran Sungai”.

172
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

kungan.1 Sehari sebelumnya, Kompas juga memberitakan bahwa warga me-


ngeluhkan pencemaran di Sungai Tapak yang membuat sungai itu keruh dan
berbusa. Bukan hanya itu, “bahkan air sumur kami berwarna kekuningan dan
jika dipakai untuk mandi badan gatal-gatal,” demikian pengakuan Rofiq, salah
satu warga Dukuh Tapak kepada Kompas.2
Hingga 2004, kualitas limbah cair dari beberapa pabrik di Dukuh Tapak
masih melebihi baku mutu air yang berlaku. Dalam Tabel 2 berikut ini disajikan
hasil pemantauan kualitas air limbah Bapedalda Kota Semarang pada Agustus
2004.3

Tabel VI.2: Hasil pemantauan kualitas air limbah Bapedalda Kota Semarang
pada Agustus 2004. Sumber: Marjanto, WD (2005: 66).

Parameter air yang melebihi Jumlah


No. Keterangan
baku mutu industri
1. pH 2 PT. Cerah Sempurna 1
PT. Bukit Perak
2. COD (Chemical Oxygen Demand) 4 PT. Bukit Perak 2
PT. Fhisindo
PT. Leo Agung Raya
PT. Indosentra Pelangi
3. BOD (Biologycal Oxygen 8 PT. Bukit Perak 3
Demand) PT. Fhisindo
PT. Leo Agung Raya
PT. Indosentra Pelangi
PT. Kem Farm
Indonesia
PT. Karya Nyata Wisesa
PT. Kharisma Klasik
PT. S&D Food (sudah
tidak beroperasi lagi)

Kondisi ini membuktikan bahwa pabrik-pabrik tersebut belum mengelola


limbahnya sesuai peraturan yang berlaku. Bahkan seorang warga mengaku
bahwa pabrik sengaja membuang limbahnya tanpa diolah ketika hujan datang.

_____
1 Kompas, 24 September 2002, “Pencemaran Sungai Tapak Bapedalda Akan Tempuh Jalur
Hukum”.
2 Kompas, 23 September 2002, “Warga Dusun Tapak Keluhkan Pencemaran”.
3 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 66.

173
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Mudah ditebak, para pemilik pabrik hanya mau enaknya saja, terus berpro-
duksi/menghasilkan dan tidak mau penghasilannya berkurang dengan meng-
alokasikan/mengeluarkan sebagian dari penghasilan itu untuk mengelola
limbah. Mereka yang memiliki tambak harus buru-buru menutup pintu air
tambaknya agar air sungai yang meluap/membesar karena hujan dan ter-
campur limbah pabrik tidak masuk ke tambak mereka. 1
Sebenarnya, begitu mengetahui pabrik masih melakukan pencemaran
setelah adanya kesepakatan untuk mengelola limbahnya dengan baik, warga
ingin menggugat lagi perusahaan tersebut. Mereka pun meminta agar LBHS
menempuh jalur hukum. Namun, rupanya terdapat hambatan di pihak YLBHI,
yaitu dari Achmad Santosa selaku direktur bidang operasional YLBHI. Jiway
sempat mendatangi kantornya di Jakarta namun ternyata orangnya sedang
berada di luar negeri.2 Bukan hanya tidak bersedia mengajukan gugatan ke
meja hukum, dari hasil wawancaranya dengan salah seorang senior LBHS dan
warga, Jiway mendapatkan kesan bahwa Santosa, yang merupakan promotor
mediasi, justru mengintimidasi LBHS agar tidak ada lagi berita soal Tapak. Pak
Tarigan menjelaskan bahwa Santosa tengah berupaya menerapkan mediasi
ala Tapak kepada kasus serupa di Surabaya. Karena itulah ia tidak ingin ada
berita soal ketidakberhasilan mediasi itu yang dapat mempengaruhi persepsi
Wali Kota tentang efektivitas mediasi.3

Babak 4: Dari dulu gak ada perubahan (2005-sekarang)

23 Mei 2006, petani tambak di Kelurahan Tugurejo kembali melaporkan


kejadian matinya ikan bandeng di tambak yang diduga akibat dari pencemaran
limbah pabrik. Asrori, salah satu petambak mengaku ikan bandengnya yang
tinggal panen sebanyak dua kuintal mati karena air tambaknya tercemar
limbah pabrik di Sungai Tapak.4 Sepuluh tahun kemudian, 20 Februari 2016,
Kali Tapak terlihat berwarna hitam pekat. Selain itu, sungai dengan lebar
sekitar 2 meter ini juga mengeluarkan bau busuk yang menyengat jika didekati.
Salah seorang pemancing bernama Suryono ketika ditanya oleh pewarta
_____
1 Marjanto, WD (2005) Evaluasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kali
Tapak Kota Semarang) (Tesis). Universitas Diponegoro Semarang, h. 67.
2 Jiway Francis Tung (2000) Pembangunan yang Tidak Membangun: Kisah LSM tentang
Dampak Industrialisasi di Dukuh Tapak (Tesis). Universitas Indonesia Depok, h. 103.
3 Jiway Francis Tung (2000) Pembangunan yang Tidak Membangun: Kisah LSM tentang
Dampak Industrialisasi di Dukuh Tapak (Tesis). Universitas Indonesia Depok, h. 104. Selain
berkepentingan menerapkan mediasi di Surabaya, Achmad Santosa juga telah berhasil
“menjual” mediasi Tapak ke luar negeri setelah menulis buku mediasi berjudul
“Mendayagunakan Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan (MAPS) di
Indonesia”, serta mendirikan LSM baru bernama Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL).
4 Kompas, 24 Mei 2006, “Lingkungan Hidup: Petani Tambak ke Bapedalda”.

174
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Tribun Jateng pun berkomentar, "ya sayang sekali, kenapa dari dulu kayaknya
gak ada perubahan masalah pencemaran ini."1 Pada 19 Agustus 2021 kami me-
ninjau lokasi serta menanyai warga Tapak terkait pencemaran. Mereka menga-
ku kondisi tersebut memang tidak berubah. Pencemaran masih tetap terjadi
dan tambak warga terus merugi, atau setidaknya penghasilannya tidak sesuai
dengan yang mereka harapkan.
Belum selesai dengan pencemaran limbah cair, warga Kelurahan Tugu-
rejo juga harus menghadapi polusi udara berupa bau dan debu akibat aktivitas
pabrik di Kawasan Industri Tugu. Polusi ini khususnya dialami oleh warga di
RW 1 dan RW 3 Kelurahan Tugurejo. Padahal sebelumnya Badan Lingkungan
Hidup (BLH) Kota Semarang telah menutup tiga pabrik pemecah batubara
karena melakukan pencemaran lingkungan. Tiga pabrik itu ialah PT Bara Mulia
Abadi, PT Sinar Kasih Mandiri, dan PT Mitra Setya Jaya. Ketiganya ditutup
lantaran tidak memiliki kelengkapan dokumen lingkungan sesuai Peraturan
Daerah Kota Semarang No. 10 Tahun 1998 tentang Izin Gangguan.2 Sebenar-
nya ada lima perusahaan yang terindikasi mencemari lingkungan. Namun, dua
perusahaan lainnya, yaitu PT Mohandas Oeloeng dan PT Adhi Karya dapat
menunjukkan dokumen izin lengkap sehingga tidak dilakukan penutupan.
Namun, warga masih mengeluhkan pencemaran kendati tiga perusahaan pe-
ngolahan batubara telah ditutup. Menurut warga ada satu pabrik batubara
yang masih beroperasi, yaitu PT Mitra Setya Jaya. 3
Dibolehkannya PT Adhi Karya untuk terus beroperasi rupanya juga menyi-
sakan dampak buruk bagi lingkungan. Berdasarkan pertemuan yang diadakan
antara warga, BLH, dan lima pabrik (PT Adhi Karya, PT Mohandas Oeloeng, PT
Sami Jaya, PT Cargill Indonesia, dan PT Selo Mandiri), diketahui bahwa PT Adhi
Karya menghasilkan polusi sebab pemakaian bahan bakar bantu (CMO) yang
merupakan bahan bakar terlarang. Bahan bakar ini berasal dari ekstraksi karet
sehingga menimbulkan bau busuk yang menyengat dalam proses pembaka-
rannya.4 Dalam pertemuan itu warga dan kelima pabrik sepakat untuk mem-
bentuk forum dialog guna mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang

_____
1 Muzaki K, 20 Februari 2016, “Sungai Tapak di Tugurejo Semarang Airnya Berubah Jadi
Hitam Pekat”, URL: https://jateng.tribunnews.com/2016/02/20/sungai-tapak-di-tugurejo-
semarang-berubah-hitam-pekat [Diakses pada 23 Juli 2021].
2 Tempo.co, 7 Agustus 2009, “Cemari Lingkungan, Tiga Perusahaan di Semarang Ditutup”,
URL: https://nasional.tempo.co/read/191396/cemari-lingkungan-tiga-perusahaan-di-sem
arang-ditutup/full&view=ok [Diakses pada 23 Juli 2021].
3 Kompas, 11 September 2009, “ Warga Semarang Protes Tiga Pabrik Batu Bara”, URL:
https://nasional.kompas.com/read/2009/09/11/19102422/warga.semarang.protes.tiga.p
abrik.batu.bara?source=autonext [Diakses pada 1 Agustus 2021].
4 Kompas, 14 Juli 2010, “Pencemaran: Perusahaan di Tugu Bentuk Forum Dialog dengan
Warga”.

175
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

diproduksi oleh pabrik-pabrik di Kawasan Industri Tugu.1 Namun, nampaknya


forum itu tidak banyak berguna sebab pencemaran tidak kunjung selesai.
Sampai sekarang pencemaran limbah yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik
yang beroperasi di sekitar DAS Karanganyar dan Tapak masih terus terjadi.
Selain pencemaran, seorang warga yang kami temui, Yadi, juga mencemaskan
masalah sampah. Dukuh Tapak yang berada di hilir selalu menerima sampah
yang berasal dari hulu. Sampah-sampah tersebut turut hanyut di sungai dan
akhirnya menumpuk di laut, bahkan memenuhi sepanjang sungai. Itulah, salah
satunya, yang menyebabkan setiap musim hujan Dukuh Tapak hampir banjir
terus. Menurut Yadi, sampah rumah tangga tidak begitu besar pengaruhnya
terhadap banjir, tapi justru limbah dari perusahaan sangat banyak berpenga-
ruh.

”Yang paling belum terselesaikan itu masalah limbah, karena ada


banyak perusahaan besar, yang katanya (limbah itu) sudah dine-
tralisir tapi ternyata ketika hujan turun sedikit saja (sungai) sudah
banjir. Dan banjirnya itu tidak air banjir biasa tapi hitam merah, itu
jelas limbah dan masuk ke tambak, akhirnya ikan-ikan dan udang
pada mati,” (wawancara pada 10/9/2021).

Warga sering mengajukan uji sampel di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota
Semarang namun tanggapannya kurang baik dan tidak ada tindak lanjut.
Begitupun ketika air hujan datang warga mengirim foto dan video juga kurang
direspon. Sedangkan DLH terkadang mengambil sampel pada waktu kemarau
ketika kondisi airnya sedang bagus, sehingga hasilnya juga tidak menunjukkan
pencemaran. Menurut informasi yang diterimanya, sekarang hampir ada 13
perusahaan yang berkontribusi tehadap pencemaran.

“Mengeluh tidak mengeluh, pasalnya sekarang petambak pada


bingung. Kalau kran air tambak tidak ditutup pasti (ikan-ikan) mati,
dari dulu seperti itu. Dari dulu juga nuntut ganti rugi tapi ya ndak
ada respon. Sebenarnya kalau musim penghujan banjir terus
sampai kampung dan masuk rumah. Bahkan ada drainase kurang
baik. Kalau dari keluarga berada bisa meninggikan rumah, kalau
tidak ya menguruk saja,” kata Yadi, (wawancara pada 10/9/2021).

VI.3. Industri memproduksi banjir


_____
1 Kompas, 14 Juli 2010, “Pencemaran: Perusahaan di Tugu Bentuk Forum Dialog dengan
Warga”.

176
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Pada 9 September 2021 kami berkunjung ke Kampung Tapak untuk menemui


seorang warga yang dikenalkan oleh salah satu staf LBHS. Hari itu kami sengaja
mengendarai sepeda motor sampai di sisi paling ujung di mana sepeda motor
bisa masuk untuk melihat situasi tambak dan pesisir Tapak. Setelah memarkir
kendaraan, kami mengamati keadaan seraya mencari orang yang sekiranya
dapat kami ajak berbincang. Di depan tertambat beberapa perahu beserta
sang pemilik. Terdapat sebuah plang bertuliskan: “Dilarang Berburu dan
Menebang Pohon di Kawasan Mangrove Tapak”. Di arah berlawanan, sebuah
banner memanjang tertulis: “Selamat Datang di Eco-Eduwisata Mangrove Tapak
Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu Kota Semarang” (Gambar VI.5).

Gambar VI.5: Plang Selamat Datang di Eco Eduwisata Mangrove Tapak. Gambar diam-
bil pada 9 September 2021.

Tak banyak penjual meskipun ia jadi tempat wisata mangrove andalan Kota
Semarang. Hanya ada satu warung yang menjual minuman. Di depannya
beberapa orang tengah berbincang. Kami pun menghampiri mereka. Ada tiga
anak muda, satu orang tua, dan dua orang cukup dewasa yang merupakan
sepasang suami istri pemilik warung. Si ibu tidak begitu paham dengan perma-
salahan yang hendak kami tanyakan: banjir, pencemaran, dan reklamasi. Atau
barangkali, cara kami menanyakannya membuat dia tidak/kurang bisa men-
jawab. Berbeda dengan sang suami yang cukup paham atau bisa menjawab

177
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan. Jojon, bukan nama sebenarnya,1


bercerita bahwa sudah lama tambak di daerah Tapak mengalami kasus pen-
cemaran. Tiap kali hujan datang terutama di wilayah selatan pasti Kali Tapak
teraliri limbah pabrik. Memang sudah menjadi kebiasaan pabrik membuang
limbah ketika hujan, sebab akan mudah mengalirkannya menuju laut. Hal ini
juga diakui oleh Yono, warga RT 04 RW 04 Kampung Tapak. Menurut Yono,
aliran limbah itu turut menambah volume/debit air sungai, sehingga membuat
risiko banjir di daerah ini semakin tinggi.
Pada 6-7 Februari 2021 lalu Dukuh Tapak juga mengalami bencana banjir,
di mana saat itu banjir memang tengah melanda berbagai wilayah di Kota
Semarang. RT 6 mengalami dampak paling parah. Rumah-rumah kemasukan
air dan tambak-tambak gagal panen. Bu Sulastri, warga RT 5, bercerita sewaktu
banjir Februari lalu tinggi air yang masuk ke rumahnya telah mencapai lutut.
Memang dibanding bangunan rumah di kanan kirinya, rumah Bu Sulastri
termasuk paling rendah.
Banjir yang terjadi pada awal 2021 bukanlah yang pertama dan satu-
satunya. Pada Rabu 27 Januari 2010 sore, banjir bandang menerjang Kali
Tapak. Air dengan ketinggian sekitar 80 cm hingga satu meter itu merendam
enam rumah warga di Kampung Tapak. Tambak warga seluas 3 hektar yang
turut tenggelam oleh banjir juga menghanyutkan ikan bandeng dan udang
bago/udang windu. Selain itu, pagar pondasi pabrik milik PT Golden Manyaran
(GM), sebuah pabrik yang memproduksi keramik, roboh. Meski tak
menimbulkan korban jiwa, kerugian akibat banjir ini ditaksir mencapai Rp20
juta.2
Menurut berita yang diangkat harian Suara Merdeka itu, banjir disebabkan
oleh penyodetan sungai yang dilakukan oleh PT GM. Kali Tapak yang semula
memiliki alur lurus dan dapat membuang air hujan langsung ke laut sekarang
berubah menjadi berbelok-belok.3 Tiga tahun sebelumnya, Bawor Purbaya,
Direktur LBH Semarang telah menyampaikan hal yang sama. "Air yang seha-
rusnya bisa lari ke laut menjadi tersumbat," katanya kepada media Kompas.4
Itulah yang menyebabkan Kampung Tapak mengalami momen sosioalamiah
berupa banjir. Informasi ini juga dibenarkan oleh Yono. Menurut dia, risiko

_____
1 Nama-nama interlokutor disamarkan demi kepentingan keamanan.
2 Suara Merdeka, 28 Januari 2010, “Banjir Bandang Terjang Kampung Tapak”, URL:
http://www.ampl.or.id/digilib/read/banjir-bandang-terjang-kampung-tapak/34227
[Diakses pada 23 Juli 2021].
3 Suara Merdeka, 28 Januari 2010, “Banjir Bandang Terjang Kampung Tapak”, URL:
http://www.ampl.or.id/digilib/read/banjir-bandang-terjang-kampung-tapak/34227
[Diakses pada 23 Juli 2021].
4 Sugiya, 12 Maret 2007, “Penanganan Bencana (1): “Semarang Kaline Banjir…” *Liputan
Khas Banjir Tiada Akhir”.

178
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

banjir di Kampung Tapak makin tinggi pasca dibelokkannya Kali Tapak oleh PT
GM. Posisi pabrik ini berada di sisi barat Kampung Tapak. Pada sekitar 1997
pabrik pembuat keramik1 ini hendak membangun pabriknya di atas lahan kali,
sehingga aliran air yang seharusnya lurus menuju ke laut dibelokkan men-
dekati pemukiman warga di sebelah timur.
Perubahan sosiospasial yang dimotori oleh PT GM bukan hanya dalam
praktik penyodetan Sungai Tapak, namun juga dalam bentuk pengurukan anak
Kali Tapak bernama Kali Manis. Akibatnya beban aliran air sungai yang seha-
rusnya ditampung oleh anak sungai tersebut ditanggung oleh Kali Tapak yang
sudah semakin sempit. Kejadian pengurukan ini rupanya tidak hanya dilaku-
kan oleh PT GM. Anak kali yang memanjang dari arah Kelurahan Tugurejo
sampai Randugarut juga diuruk oleh berbagai pembangunan pabrik di sana,
terutama pasca dibangunnya Kawasan Industri Tugu Wijayakusuma (KITWK)
pada sekitar 1990-an di Kelurahan Randugarut. Akibatnya banjir juga melanda
kelurahan tersebut. Warga Karanganyar juga pernah menggelar unjuk rasa
untuk menuntut PT KITWK bertanggungjawab atas banjir yang merendam
pemukiman dan tambak warga pada 29 Mei 2000. Menurut Subekhi Yusuf,
koordinator aksi, saluran pembuangan air tidak lagi berfungsi akibat penguru-
kan Sungai Tambak Lambau, Tanggul Kemetiran, Sungai Tawar, dan Kali Manis
menjadi pembangunan jalan dan pabrik.2
Pengurukan sungai oleh PT KITWK yang diprotes warga nampaknya bu-
kan merupakan masalah bagi pemerintah. Sebab tiga belas tahun pasca unjuk
rasa warga Karanganyar, pemerintah justru berencana mereklamasi wilayah
pesisir Tugu. Rencana ini ditandai dengan terbitnya Surat Rekomendasi Wali-
kota Semarang Nomor: 654/2306 tertanggal 3 Mei 2013. Surat rekomendasi
tersebut berisi tentang rekomendasi kepada PT Bumi Raya Perkasa Nusantara
(BRPN) untuk menjadikan Kelurahan Tugurejo dan Karanganyar sebagai kawa-
san industri, pergudangan dan jasa, serta perumahan dan wisata komersial di
Kota Semarang. Dengan adanya surat ini, PT BRPN memulai pengurukan dan
pematokan lahan pada Mei-Juli 2014. November 2015 warga kembali dikejut-
kan dengan datangnya undangan sosialisasi AMDAL untuk rencana reklamasi
jalur lingkar utara.3
Perasaan was-was akan diratakan oleh proyek reklamasi juga diungkap-
kan oleh Bu Sulastri, seorang warga Tapak. Bu Sulastri merupakan seorang
buruh tani untuk sawah milik tetangganya. Ia juga merangkap bekerja sebagai
_____
1 Berdasarkan cerita Yono, sejak sekitar Bulan Juni 2021 PT Golden Manyaran telah berhenti
memproduksi keramik dan beralih menjadi gudang Shopee sejak empat bulan yang lalu.
2 Kompas, 30 Mei 2000, “Daerah Sekilas: Semarang – Karena permukiman dan sawah terus
kena banjir, warga unjuk rasa”.
3 LBH Semarang & KIARA (2015) Membunyikan Lonceng Kematian (Catatan Akhir Tahun
2015), h. 24.

179
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

pengasuh anak. Sebagai buruh tani ia mengaku tidak tahu lagi harus bagai-
mana jika sawah-sawah nantinya diuruk. Bayangan mengenai bakal diuruknya
semua lahan sawah dan tambak ada semenjak Bu Sulastri melihat sendiri wila-
yah sebelah barat kampungnya telah rata oleh urukan. Katanya tanah-tanah
itu diuruk untuk membangun pabrik atau kawasan industri. Sama seperti di
wilayah Karanganyar, semua sudah jadi pabrik. Ia bahkan sampai berpikir bah-
wa rumahnya pun bakal mengalami nasib yang sama dengan tambak-tambak
yang diuruk. “Semuanya (tambak dan sawah) sudah dibeli Cina pemerintah
untuk bangun pabrik,” kata Bu Sulastri dengan wajah yang nampak pasrah.
Dengan keadaan demikian, Bu Sulastri hanya berharap anak cucunya masih
dapat menikmati hidup di Kampung Tapak sebagaimana dirinya sekarang.
Menurut Yono, lokasi yang ditunjuk Bu Sulastri tersebut telah dilakukan
pengurukan dengan luasan mencapai 10 hektar. Di lokasi yang sekarang telah
diuruk itu juga Yono sempat punya tambak sewaan. Sementara Jojon yang
masih memiliki tambak di wilayah tersebut memiliki sikap lebih berani. Tiga
tahun silam, ketika lahan tambak miliknya hendak diuruk, ia bersama bebera-
pa warga menghadang dan menghentikan proses pengurukan yang telah me-
makan separuh lahan tambaknya. Ia marah karena lahan tersebut masih sah
miliknya. Belum pernah ada yang membeli lahan itu, dan dia pun tak hendak
menjualnya.
Jojon merasa sudah cukup lahan tambak di wilayah Kampung Tapak yang
habis terjual. Kata Jojon, sudah 95% lahan tambak di Kampung Tapak yang
beberapa kali mengalami musibah pencemaran ini berpindah tangan ke
pengusaha. Namun, meskipun tidak lagi jadi hak milik, warga masih meng-
garap lahan tambak itu, dengan kemungkinan suatu waktu ditarik untuk ke-
pentingan pengusaha industri.
Jojon mengaku saat ini warga hanya menuntut empat hal berkaitan
dengan rencana pembangunan di wilayah pesisir: 1) sungai dilebarkan, 2) jika
akan diuruk, maka harus ada tempat untuk memindahkan tanaman mangrove,
3) sediakan air bersih untuk warga, dan 4) pekerjakan warga. Namun, diakui-
nya kalau semangat pemuda untuk memperjuangkan nasib warga tidak seting-
gi dulu ketika ia dan teman-temannya berjuang menuntut hak-haknya. Ia pesi-
mis dengan para pemuda yang sekarang memegang organisasi warisannya.
Mengenai masalah air, Yono ingat dulu air Kali Tapak sebelum pencema-
ran dapat digunakan sebagai sumber air utama, bahkan untuk air minum pun
bisa. Setelah adanya pencemaran, bahkan sumur-sumur warga saja pun sudah
tidak bisa dipakai. Antara 1976 sampai 1990 warga berjibaku mencari air hing-
ga ke sumber mata air di wilayah Beji Taman Lele. Pada 1991 warga membuat
saluran pipa air dari mata air Beji ke Kampung Tapak. Namun, itu tidak berta-

180
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

han lama karena kurangnya perawatan.1 Pada 1995 pihak industri memba-
ngun dua sumur sebagai sumber air warga. Ini pun kemudian tidak berlang-
sung lama. Sampai kemudian Yono dan kawan-kawan pemuda waktu itu me-
ngajukan Pamsimas dengan sumber air tanah sedalam kurang lebih 35-40
meter. Sumber air inilah yang sampai sekarang dipakai oleh warga.
Kasus pencemaran yang terjadi di Kampung Tapak selain berasal dari
pabrik-pabrik yang berlokasi di Kampung Tapak bagian selatan juga datang
dari pabrik-pabrik yang berlokasi di area atas, yaitu Tambakaji, dan dari pabrik
di wilayah Kelurahan Randugarut. Satu kawasan industri di Tambakaji yang
limbahnya sampai ke Kampung Tapak dikuasai oleh pengembang bernama PT
Guna Mekar Industri (GMI). PT GMI sendiri sebenarnya adalah pemilik awal
lahan-lahan tambak di pesisir Tapak dengan luas sekitar 300 hektar. Lahan ini
kemudian dibeli oleh PT BRPN yang tercatat memiliki lahan lebih luas yaitu
sekitar 400 hektar. Sedangkan pabrik di Randugarut tidak jelas apakah terma-
suk bagian dari PT KITW, namun DLH pernah mengundang beberapa pabrik di
sana ketika membicarakan masalah pencemaran Kali Tapak. Lokasi kedua
kawasan industri ini dengan Kampung Tapak memang terbilang cukup jauh.
Akan tetapi mereka terhubung melalui satu aliran DAS Karanganyar, sehingga
pabrik yang biasa membuang limbahnya ke sungai pasti sampai ke Kampung
Tapak yang berlokasi di hilir sungai (wawancara dengan Yadi pada 10/9/2021).
Mengingat 95% kawasan tambak di Kampung Tapak telah dimiliki oleh
pengusaha, maka ancaman reklamasi pun tinggal menunggu waktu. Yono
memahami betul siapa saja penguasa pesisir di Semarang Barat ini. Graha
Padma di sisi paling timur, selanjutnya adalah PT BRPN di wilayah Tapak, di
sebelah PT BRPN ada sebagian kecil milik PT Indo Perkasa Utama (IPU),
kemudian memasuki sisi timur Kelurahan Karanganyar ialah PT KITW sampai
Kelurahan Randugarut. Setelah itu ada penetapan semacam kawasan hijau
namun tidak lestari, kata Yono, karena sewaktu-waktu bisa saja berganti jadi
kawasan industri. Kemudian di ujung barat ada kawasan industri lagi, salah
satunya yaitu PT Kayu Lapis Indonesia (KLI). Menurut cerita Yono, keberadaan
PT KLI ini ada sangkut pautnya dengan hilangnya Pulau Tirang.

_____
1 Informasi ini agak berbeda dari yang penulis temukan di riset Jiway Francis Tung. Menurut
hasil penelitian tersebut, pemasangan pipa dimulai pada 1988 dengan bantuan dari LTPP
Solo dan KSB (Kaha Setia Buana). Dijelaskan juga bahwa suplai air minum ini tidak bertahan
lama bukan karena kurangnya perawatan, melainkan pada 1989 di bagian hulu mata air
tengah dilakukan penggalian tanah besar-besaran yang digunakan untuk menguruk lahan
yang akan dijadikan Arena Pekan Raya dan Promosi Pembangunan (PRPP) Semarang. Sejak
1987, proyek ini dikerjakan oleh PT Indo Perkasa Utama (PT IPU). Akibat penggalian tadi,
mata air Taman Lele jadi semakin mengering. (Lihat: Jiway Francis Tung [2000: 52]).
Informasi soal pembangunan PRPP dibahas dalam Bab IV buku ini, tentang DAS Silandak.

181
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Dulu Pulau Tirang bukanlah pulau tersendiri melainkan masih menyatu


dengan wilayah tambak dan daratan Kampung Tapak sehingga orang masih
bisa menjangkau wilayah itu hanya dengan jalan kaki. Tambak milik ayah Yono
berada di area tersebut, sebelum area itu menjadi Pulau Tirang. Pada 1992,
tambak keluarga mereka dibeli oleh PT IPU. Tiga tahun kemudian, abrasi besar-
besaran menerjang kawasan pesisir Semarang Barat. Ternyata peristiwa abrasi
yang terjadi pada 1995 itu disebabkan oleh aktivitas PT KLI yang melakukan
reklamasi dan mengeruk pasir pantai sebagai lokasi penumpukan logging
(silakan baca Bab VIII buku ini tentang DAS Beringin untuk penjelasan lebih
jauh tentang PT KLI). Tidak dibutuhkan waktu lama bagi tambak ayah Yono
yang telah dibeli PT IPU itu untuk hilang terbenam air laut. Akibat dari abrasi
itulah kemudian terbentuk Pulau Tirang. Sayangnya pulau itu pun kini sudah
lenyap akibat terjangan abrasi yang terus-menerus terjadi.
Terkait kepemilikan lahan, sebelum diketahui bahwa lahan tambak akan
dialihkan ke tangan PT BRPN, Yono pernah dimintai tolong oleh saudaranya
yang tinggal di sisi timur Tugurejo untuk menjualkan lahan sawahnya ke Graha
Padma. Yono pun pergi menemui sales Graha Padma. Ternyata lahan itu tidak
bisa dibeli oleh Graha Padma lantaran sudah menjadi wilayah yang dikuasai
oleh PT BRPN. Yono juga bercerita bahwa kemungkinan besar 200 hingga 300
meter setelah area tambak di Tapak adalah milik PT IPU yang jika ditarik ke
arah timur akan bertemu dengan proyek Pearl of Java City (POJC), sebuah
proyek pembangunan kawasan elit yang dikembangkan oleh PT IPU. Apalagi
dulu memang pernah ada lahan tambak milik ayahnya yang dibeli oleh PT IPU.
Selain akibat dari aktivitas PT KLI, kerusakan lingkungan di pesisir
Kampung Tapak juga diperparah dengan tindakan masyarakat untuk
menyewakan lahan-lahan tambaknya ke pengusaha Cina untuk budidaya
udang secara modern. Uang dari menyewakan lahan ini begitu menggoda. Jadi,
proses menyewakan tetap berjalan meskipun budidaya udang modern itu
dilakukan dengan cara menebangi pohon-pohon mangrove. Dengan jangka
waktu sewa hingga kurang lebih 10 tahun, warga terpaksa harus mendapati
lahan tambak mereka dalam keadaan rusak. Saat itulah warga berinisiatif
untuk menghidupkan kembali kawasan hutan mangrove di pesisir Tapak.
Ada satu cerita menarik lain dari Yono terkait kegagapan warga. Dulu
ketika masih ada pabrik SDC, warga berbondong-bondong mengambil bahkan
membeli limbah padat SDC yang bentuknya menyerupai kapur tapi berwarna
biru. Warga memakai limbah ini untuk menguruk dan meninggikan rumahnya.
Tanpa mereka sadari ternyata sampah yang mereka ambil dari SDC mudah
menyusut, sehingga rumah yang mereka bangun di atas sampah yang
ditumpuk dengan ubin/tegel dalam jangka waktu satu sampai dua tahun
kembali turun. Di sisi lain, warga tentu dibodohi oleh SDC, di mana limbah yang
seharusnya dikelola oleh perusahaan dengan mengerahkan sejumlah biaya,

182
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

dalam kasus ini justru perusahaan dimudahkan bahkan diuntungkan dengan


tindakan/kemauan warga untuk mengangkutinya ke rumah-rumah.
Dari Yono, kami menemui Suyadi. Yadi, sapaannya, tengah berada di
tempat kerjanya yang terletak di Dukuh Tapak bagian selatan, depan kantor
Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. Yadi merupakan warga asli RT 1 RW
4 Dukuh Tapak Kelurahan Tugurejo. Menurut Yadi, yang berpengaruh paling
besar terhadap banjir pada awal 2021 itu adalah keberadaan sungai utama,
Sungai Tapak. Sungai Tapak itu kecil akan tetapi menjadi titik penampungan
air dari atas. Bahkan sekarang sungainya makin menyempit, disesaki sedimen
dan sampah yang perlu dikeruk. Sungai Tapak sekarang tidak lurus seperti
dulu, dibelok-belokkan karena adanya perusahaan PT GM. Badan sungai yang
berbelok-belok membuat air tidak mengalir lancar ke laut sekaligus menjadi
tempat pengendapan sedimen dan sampah. Menurut Yadi, sedimentasi itu
berasal dari lumpur-lumpur di atas yang baunya kurang enak. Air hujan di Tugu
dan Tambakaji Ngaliyan turut serta membawa pasir/tanah sehingga beban
Sungai Tapak semakin tinggi.
Yadi mengakui bahwa sejak lama masalah reklamasi, banjir, dan limbah
merupakan masalah pokok di pesisir yang sampai sekarang belum
terselesaikan. Ia juga meyakini bahwa pengikisan lahan terjadi karena abrasi
dan adanya pengurukan atau reklamasi.

“Sampai kami menggalakkan penanaman mangrove terus karena


adanya abrasi. Dibandingkan wilayah Demak, Tambakharjo maupun
pesisir Semarang lainnya, di Tapak tidak terlalu parah. Karena di sini
kami memantau masih banyak tumbuhan mangrove khususnya di
pesisir untuk membentengi atau menjadi sabuk pantai sehingga
dapat mengurangi abrasi,” tutur Yadi (wawancara 10/9/2021).

Menurut Yadi, adanya reklamasi untuk keperluan industri itu sangat meng-
ganggu perekonomian masyarakat di wilayah pesisir sebagai petambak, nela-
yan, dan juga pegiat lingkungan. Namun, karena yang ia dan warga lainnya
hadapi adalah orang-orang besar (pengusaha/pengembang), mereka berjuang
dengan sebisa kemampuan mereka untuk mengantisipasi kerusakan lingku-
ngan. “Kenapa masalah ini tidak selesai-selesai? Ya karena yang kita hadapi
orang-orang besar,” kata Yadi.
Mengenai reklamasi, Yadi mengaku dari dulu belum menerima sosiali-
sasi.

“Sampai sekarang belum pernah dengar. Kalau di Kecamatan Tugu


itu setahu saya bukan sosialisasi, tapi seakan-akan semua sudah
menyetujui. Seluruh masyarakat belum dikumpulkan. Kan namanya

183
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

sosialisasi, ini wilayah akan direklamasi, min plusnya disampaikan,


setahu saya belum.”

Meskipun belum menerima sosialisasi, apalagi konsultasi atau partisipasi


tentang akan dijadikan apa ruang di lingkungan mereka, faktanya proses
reklamasi telah dimulai (Gambar VI.6). Dampaknya sudah dirasakan oleh
warga. Mereka yang lahan tambaknya menjadi objek reklamasi sudah tidak
bisa menggarap tambak. Tentu saja hal itu mempengaruhi ekonomi masyara-
kat. Yadi merupakan salah satunya. Di Karanganyar dia memiliki sebidang
lahan tambak yang ia sewa dari seseorang. Namun, sudah sejak 7 tahunan
yang lalu tambak tersebut dijual oleh si pemilik dan sekarang telah rata oleh
reklamasi. Sampai sekarang masih belum dibangun apa-apa. Yadi masih
mengerjakan tambak dengan cara menyewa lagi di pesisir paling utara yang
sekarang sedang terkena abrasi. Selain itu keterbatasan dana membuat Yadi
belum bisa menggarap lagi lahan tersebut.

184
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar VI.6: Reklamasi lahan tambak di sisi kiri Tapak. Sumber: Citra Satelit
(09/11/2021).

Menurut Yadi, abrasi itu pengikisan tanah oleh air laut yang menyebabkan
tanah semakin turun sementara jalan untuk air semakin ditutupi. Pinggir-
pinggirnya diuruk, direklamasi, sehingga air pasang surut cari jalan sendiri.

“Yang saya rasakan dari 2006 sampai sekarang air malah semakin
tinggi, ini musim Agustus air seharusnya sangat rendah, tapi seka-
rang hampir setiap hari meninggi terus. Kalau tanah di wilayah pe-
sisir pasti menurun, seperti di Tambaklorok dan Kaligawe, tapi kalau
dibarengi dengan reklamasi laju (penurunan)nya makin cepat.”

185
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Abrasi memang belum sampai ke pemukiman, hanya sampai dari tambak ke


tambak. Petani tambak sudah sangat merasakan dampaknya. Orang-orang
mengira rob masuk kampungnya masih lama. Tapi Yadi sebagai anak muda
sadar harus mengantisipasi itu. Ia mencontohkan akibat abrasi adalah hilang-
nya Pulau Tirang. Karena itulah ia dan teman-teman pemuda lainnya berinisia-
tif melakukan penanaman mangrove di wilayah sabuk pantainya. Yadi men-
jelaskan, “pertama, itu kita kasih APO (Alat Pemecah Ombak) kemudian kita
kasih sedimen. Nah di dalam sedimen itu kita kasih tumbuhan mangrove.”
Terkait reklamasi Yadi mengungkapkan bahwa sesungguhnya warga
ingin melawan,

“Sebenarnya dalam hati para petani tambak mau melawan, tapi


karena lahan tambak tersebut bukan milik pribadi lagi, karena
orangtua dulu sudah menjualnya, saya cuma menggarap, sehingga
kalau mau diuruk ya silahkan karena ini sudah milik perusahaan.”

Namun, berdasarkan pengamatannya, ada juga petani yang berpendapat


katanya tidak jadi diuruk karena ini lahan hijau menurut tata ruang. Kabar
terakhir yang diketahui Yadi, sebelah Karanganyar atau barat kali itu jadi
kawasan industri, namun yang sebelah timur jadi perumahan Graha Padma.
Dan untuk di pesisir Tapak yang dikuasai PT Bumi Raya Perkasa Nusantara
kabarnya jadi kawasan/area industri.
Yadi juga sedikit menyinggung masalah rencana pembangunan Semarang
Outer Ring Road (SORR) di bibir pantai. Ia sudah mendengar kabar beritanya,
tapi kapan pelaksanaannya, ia pun belum mengetahuinya.

“Kalau nanti pembangunannya tidak jembatan layang, hancur ini


kampung karena tidak ada lagi [jalur] pasang surut air laut. Bahkan
petani tambak dan nelayan tidak bisa apa-apa. Namun, kalau masih
ada jembatan/flyover malah masih ada keluar masuk air laut. Ya
terserah pemerintah seperti apa,” kata Yadi dengan nada pasrah.

VI.4. Semarang kehilangan ikonnya karena reklamasi

Seperti yang telah disampaikan Yono, dulu Pulau Tirang bukanlah satu wilayah
sendiri melainkan menyatu bersama wilayah daratan Tapak yang dikelilingi
oleh tambak-tambak warga. Dalam catatan Aditjondro (1979), keberadaan
Pulau Tirang justru menjadi pelindung atau “benteng alamiah” bagi tambak

186
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

dari gempuran ombak laut. Pulau Tirang adalah hasil endapan Kali Tapak dan
Kali Tugu yang memiliki panjang 1.625 meter dan lebar kira-kira 120 meter.1
Dulu, kurang lebih pada 1977 Pemerintah Kotamadya Semarang beren-
cana menjadikan Pulau Tirang sebagai ikon Kota Semarang dan tempat re-
kreasi bagi orang kota. Rencana itu direalisasikan dengan cara membangun
jalan lurus dari pusat Desa Tugurejo ke pulau tersebut dengan memotong
kompas melalui tambak-tambak. Namun, rencana tersebut mendapat protes
dari para pemilik tambak. Akhirnya pemerintah mencoba bikin jalan mengikuti
alur Kali Tugu yang diuruk. Namun, baru dibangun 900 meter proyek itu
dihentikan lantaran pemerintah telah menemukan cara lain untuk mencapai
Pulau Tirang dengan lebih murah. Cara itu adalah membuat tanggul dari
Kampung Mangkang dan menyeberangi selat sempit itu terus menuju Pulau
Tirang.2
Mengapa Pulau Tirang disebut sebagai ikon Kota Semarang? Beberapa
blogger yang mengunjungi wilayah ecoedu wisata Mangrove Tapak bercerita,
bahwa menurut warga yang menjadi guide pengunjung, keberadaan Pulau
Tirang tidak lepas dari sejarah Kota Semarang karena kata “Rang” berasal dari
Pulau ini.3 Namun, berdasarkan suatu versi asal usul, nama Kota Semarang
berasal dari gabungan dua buah kata, yaitu asem (yang berarti asam/pohon
asem) dan arang (yang berarti jarang). Dikutip dari website mapnall.com,
penamaan “Semarang” bermula dari cerita Ki Ageng Pandanaran I yang men-
datangi sebuah pulau bernama Pulau Tirang (dekat Pelabuhan Bergota) dan
melihat pohon asam yang jarang-jarang tumbuh berdekatan.4 Versi lain me-
nyebutkan bahwa pada 1476 M Ki Ageng Pandan Arang datang ke suatu
semenanjung yang dikenal dengan sebutan Pulo Tirang. Di wilayah tersebut
Pandan Arang melaksanakan perintah Sunan Bonang untuk menyiarkan
Agama Islam. Menurut sumber tersebut, Pulo Tirang terdiri dari 10 daerah
yaitu: Derana, Wotgalih, Brintik, Gajahmungkur, Pragota, Lebuapia, Tinjomoyo,
Sejanila, Guwasela, dan Jurangsuru.5 Dengan demikian tepat jika Pulau Tirang

_____
1 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat, Jurnal Prisma: 7, LP3ES, h. 66
2 Aditjondro, GY (1979) Industriawan dan Petani Tambak: Kisah Polusi di Dukuh Tapak,
Semarang Barat. Jurnal Prisma 7: 65-81; h. 68
3 Lenny Lim (30 Maret 2019). “Menyusuri Mangrove Tapak Semarang”. URL: https://
www.len-diary.com/menyusuri-mangrove-tapak-semarang/ [diakses pada 11 September
2021] dan Dimas Suyatno (18 Mei 2017). “Menjelajah Mangrove Tapak Semarang”. URL:
Menjelajah Mangrove Tapak Semarang - Dimas Suyatno [diakses pada 11 September
2021].
4 “Kota Semarang”. URL: Peta - Kota Semarang (Semarang) - MAP[N]ALL.COM (mapnall.com)
[diakses pada 10 September 2021].
5 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. h. 2

187
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

menjadi ikon Kota Semarang karena nama itulah yang dulu dimiliki oleh
wilayah daratan Kota Semarang. Kini kondisi pulau itu hanya menyisakan garis
pantai yang kemudian diabadikan sebagai tempat wisata bernama Pantai
Tirang di Kelurahan Tambakharjo.1
Tidak begitu jelas kapan tepatnya pulau ini tenggelam. Catatan Dimas
Suyatno pada 2017 menjumpai Pulau Tirang dalam kondisi daratan yang masih
tersisa sedikit.2 Abdul Mughis, pewarta Jatengtoday.com, pada 28 Januari 2018
telah menyatakan bahwa Pulau Tirang hilang akibat abrasi.3 Sementara dalam
cerita seorang blogger bernama Lenny Lim yang berkunjung ke Tapak pada
Maret 2019, ia menyaksikan Pulau Tirang masih ada dengan kondisi makin
menciut dan agak terbengkalai. Luasnya tidak lebih dari luas lapangan bola.
Lenny juga diberitahu bahwa dulunya terdapat sumber mata air tawar di Pulau
Tirang tapi sudah menghilang.4 Lalu blogger lain bernama Parlindungan dalam
posting-annya pada 19 November 2019 menyatakan Pulau Tirang telah hilang
lantaran abrasi yang sangat hebat.
Berdasarkan cerita Dimas dan Lenny, yang mereka peroleh dari warga,
penyebab dari menciut dan hilangnya pulau ini adalah karena reklamasi yang
dilakukan di dekat Marina oleh PT IPU dan di Kendal oleh PT KLI. Akibatnya
segala jenis flora dan fauna yang tinggal di dalamnya lenyap tak bersisa.5
Informasi ini terkonfirmasi kembali melalui cerita yang disampaikan oleh Yono
kepada kami.
Sebagaimana diuraikan di atas, dalam menghadapi masalah pencemaran
sungai, warga telah menempuh berbagai cara protes dan mediasi. Selain itu,
warga secara bersama-sama juga melakukan upaya penghijauan kembali
dengan cara penanaman mangrove di lokasi tambak mereka. Hal ini dilakukan
selain untuk mengantisipasi beban pencemaran yang berat, juga untuk me-
nanggulangi tingkat abrasi yang cukup besar, yang mengancam keberadaan
tambak warga dan Pulau Tirang. Melalui pembentukan komunitas bernama
Perkumpulan Pemuda Cinta Lingkungan Tapak (Prenjak) pada 3 Maret 2001,

_____
1 Parlindungan (17 September 2021). “Dimana Lokasi Wisata Pantai Tirang Semarang,
Apakah Ada Sunset dan Berapa Harga Tiket Masuknya?”. URL: 10 Foto Pantai Tirang
Semarang 2021 Harga Tiket Masuk (jejakpiknik.com) [diakses pada 25 September 2021].
2 Dimas Suyatno (18 Mei 2017). “Menjelajah Mangrove Tapak Semarang”. URL: Menjelajah
Mangrove Tapak Semarang - Dimas Suyatno [diakses pada 11 September 2021].
3 Abdul Mughis (28 Januari 2018). “Pulau Tirang yang HIlang Tenggelam”. URL:
https://jatengtoday.com/pulau-tirang-yang-hilang-tenggelam-7079 [diakses pada 11 Sep-
tember 2021].
4 Lenny Lim (30 Maret 2019). “Menyusuri Mangrove Tapak Semarang”. URL: https://
www.len-diary.com/menyusuri-mangrove-tapak-semarang/ [diakses pada 11 September
2021]
5 Parlindungan (19 November 2019). “Pantai Tirang Semarang”. Diakses dari Menjelajah
Mangrove Tapak Semarang - Dimas Suyatno pada 11 September 2021.

188
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

warga mulai melakukan aksi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lewat pe-
nanaman mangrove dan pemasangan Alat Pemecah Ombak (APO). 1 Akhirnya
wilayah tambak Tapak seluas 280 hektar pun berangsur pulih menjadi hutan
mangrove.
Secara kimiawi, mangrove yang tumbuh di ujung sungai berperan penting
sebagai penampung terakhir bagi limbah dari industri di perkotaan dan per-
kampungan hulu yang terbawa aliran sungai. Limbah padat dan cair yang
terlarut dalam air sungai terbawa arus menuju muara sungai dan laut lepas.
Risikonya adalah, area hutan mangrove akan menjadi daerah penumpukan
limbah, terutama jika polutan yang masuk ke dalam lingkungan estuari melam-
paui kemampuan pemurnian alami oleh air. Secara fisik, mangrove berperan
efektif dalam melindungi pantai dari gelombang dan arus laut yang dapat
menyebabkan erosi/abrasi kawasan pantai.2
Begitu Tapak mulai kembali hijau dan lestari, pemerintah lantas datang
dengan maksud mengembangkan destinasi wisata Pulau Tirang sebagai ikon
Kota Semarang. Sejak 2015, mangrove Tapak digadang-gadang sebagai lokasi
ecoedu wisata yang memadukan konsep wisata sambil belajar melestarikan
lingkungan dengan turut melakukan penanaman mangrove. Sayangnya, kebe-
radaan Pulau Tirang tidak dapat dipertahankan hanya dengan penanaman
mangrove dan pemasangan APO. Dampak berupa abrasi yang diproduksi oleh
aktivitas reklamasi di kiri oleh PT KLI dan kanan oleh PT IPU terlalu besar untuk
dibendung. Pulau Tirang tetap tenggelam, dan dengan demikian ikon Kota
Semarang pun turut hilang.

VI.5. Kesimpulan

Pencemaran sebagai salah satu bentuk sosioalamiah yang terjadi di sub-DAS


Tapak di DAS Karanganyar dijelaskan ke dalam empat babak. Babak pertama
pencemaran Kali Tapak berlangsung dari 1976-1979. Babak itu diawali dengan
masuknya Kecamatan Tugu, di mana Kali Tapak dan Dukuh Tapak berada,
menjadi bagian dari Kotamadya Semarang. Pengintegrasian Kecamatan Tugu
ke Kota Semarang ini adalah satu langkah awal untuk memudahkan rekonfi-
gurasi kawasan ini menjadi kawasan industri. Munculnya pabrik-pabrik beru-
jung pada pencemaran Kali Tapak, yang diawali dengan pendirian pabrik ber-
nama PT Semarang Diamond Chemical (SDC) yang memproses kalsium sitrat,

_____
1 Tiara KCS (2016) Adaptasi Petani Tambak Terhadap Eksistensi Tambak Akibat Rob (Tugas
Akhir). Unissula, Semarang.
2 Nana KTM dan Andin I (2014) Peranan Mangrove Sebagai Biofilter Pencemaran Air Wilayah
Tambak Bandeng Tapak Semarang. Jurnal Manusia dan Lingkungan 21 (2): 188-194.

189
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

zat kimia yang digunakan untuk minuman bersoda seperti Coca Cola dan
Fanta. Dampak yang langsung dirasakan warga Dukuh Tapak adalah matinya
ikan-ikan yang menghuni tambak-tambak mereka. Babak ini juga menyaksikan
perubahan-perubahan dalam pekerjaan warga, dari yang berbasis pertani-
an/tambak, menjadi di luar itu, misalnya menjadi buruh padas.
Babak kedua berlangsung dari 1979-1991. Babak ini ditandai dengan
munculnya berbagai pabrik yang lain, seperti, PT Sukasari (pabrik kecap), PT
Bukit Perak (pabrik sabun), PT Kemas Tugu Indah (pabrik kertas dan karton),
PT Agung Perdana Tugu Indah (pabrik tekstil), PT Sanmaru (pabrik makanan),
PT Appolo Jaya (pabrik tekstil), PT Sekar Abadi Jaya, PT Naga Mas Sakti Perkasa,
dan PT Makara Dewa Wisesa (pabrik udang beku). Kemunculan pabrik-pabrik
ini berarti semakin banyak limbah industri, dan semakin tercemarnya Kali
Tapak dan kawasan pantai/tambak.
Babak ketiga berlangsung dalam rentang 1992-2005. Babak ini menandai
semakin beratnya pencemaran eksosistem yang terjadi di Kali Tapak. Ini
misalnya terlihat dari volume limbah yang dibuang ke Kali Tapak lebih banyak
daripada debit sungai itu sendiri, sampai 5,5-11 kali lipat. Sementara proses-
proses perjuangan warga berhasil mencapai poin-poin kesepakatan. Sayang-
nya poin-poin itu tidak terlaksana dengan baik karena rendahnya komitmen
perusahaan dalam memenuhi kewajibannya dan tiadanya aturan hukum yang
mengikat pihak-pihak yang berkewajiban melaksanakan kesepakatan. Akhir-
nya, peristiwa pencemaran terus terjadi di Kali Tapak.
Babak keempat, dari 2005-sekarang, menunjukkan bahwa pencemaran
masih terus terjadi (dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan). Para
petani tambak masih terus saja merugi dengan matinya ikan-ikan di tambak
mereka, ditambah Kali Tapak yang semakin tercemar, warnanya menjadi hitam
dan berbau busuk. Permasalahan semakin berlipat-lipat karena munculnya
bentuk polusi yang lain, yaitu polusi udara berupa bau dan debu akibat
aktivitas pabrik di Kawasan Industri Tugu. Meski Badan Lingkungan Hidup
(BLH) Kota Semarang sudah menutup tiga pabrik (PT Bara Mulia Abadi, PT Sinar
Kasih Mandiri, dan PT Mitra Setya Jaya), pencemaran udara tidak kunjung juga
berhenti.
Aktivitas pabrik-pabrik ini merekonfigurasi ruang. Misalnya, penyodetan,
pengurukan sungai, dan reklamasi yang dilakukan oleh PT GM, Kawasan
Industri Tugu Wijayakusuma, dan PT Bumi Raya Perkasa Nusantara (BRPN),
telah membuat aliran sungai berbelok, hilang; dan rawa menjadi kawasan
industri. Ini membuat Dukuh Tapak semakin mudah kebanjiran. Munculnya
reklamasi di kiri oleh PT Kayu Lapis Indonesia (KLI) dan di kanan oleh PT IPU,
membuat posisi Kampung Tapak semakin terjepit. Daratan hasil endapan
sedimentasi yang dikenal dengan Pulau Tirang, pun mengalami perubahan
sosioalamiah: menghilang, terabrasi.

190
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Urbanisasi di DAS Karangnyar diarahkan oleh proses pembangunan


kawasan industri dan reklamasi. Proses ini jelas timpang. Di satu sisi, yang
menangguk keuntungan adalah, misalnya, pemilik pabrik-pabrik dan penge-
lola kawasan industri. Sementara warga dirugikan melalui berbagai proses
seperti kehilangan tanah (sawah dan tambak), berubahnya mata pencaharian,
dan bencana (pencemaran dan banjir). Perlawanan-perlawanan dilakukan
warga (konsolidasi, mediasi, demonstrasi) termasuk mengadukan masalah ini
ke LSM agar menuntut pemerintah untuk menyelesaikan masalah pencema-
ran. Salah satu strategi yang diambil para LSM yaitu memunculkan kampanye
boikot produk pabrik pencemar lingkungan yang kemudian melahirkan me-
diasi antara warga yang didampingi LSM dengan pihak perusahaan dan peme-
rintah. Mediasi itu menghasilkan beberapa poin kesepakatan, namun ternyata
tidak juga berhasil mengatasi pencemaran yang berlangsung sampai sekarang.
Pemerintah pun terkesan selesai dengan tanggungjawabnya pasca dilaksana-
kannya mediasi tersebut dengan membiarkan perusahaan tetap mencemari
sungai Tapak. Bahkan upaya perlawanan warga dalam menuntut tanggung-
jawab pemerintah dan pengusaha justru kerap mendapat intimidasi dan krimi-
nalisasi melalui aparat keamanan. Menghadapi ini, beberapa orang warga pun
melaksanakan strategi lain dengan cara mengambil tindakan sendiri dengan
cara menggiatkan konservasi mangrove sebagai sabuk pelindung bagi Dukuh
Tapak.

191
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

192
BAB VII
DAS Garang:
Mengerut, meledak, meluap

Banjir bandang pada dini hari 26 Januari 1990 merupakan banjir yang lekat di
ingatan kolektif warga Semarang, terutama yang tinggal di DAS Garang. Bagi
saya (Eka), warga pendatang di DAS Garang yang tidak mengalami sendiri
banjir bandang tersebut, kisah para buruh shift malam-pagi pada pabrik-pabrik
di Ngemplak Simongan saat itu, tidaklah asing. Ketika air bah menerjang,
buruh pabrik tekstil PT Damaitex Simongan dan pabrik kayu PT Kurnia Jati,
disebut-sebut masih berada di dalam ruang kerja yang dikunci dari luar. Kisah
itu dituturkan oleh orang-orang di sekitar saya, baik yang mengalami banjir
tersebut maupun yang tidak. Stefanus Wisnu Pranowo (50 tahun), seorang
kawan yang saat ini tinggal di Perumnas Sampangan bercerita, pascabanjir-
bandang itu banyak ditemukan perhiasan seperti kalung, cincin, dan giwang
(anting) yang diduga milik para buruh, di bangunan pabrik tersebut.1

_____
1 Percakapan pribadi sekitar awal 2006.

193
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Menurut beberapa sumber, banjir bandang 1990 merupakan siklus berkala.


Ada yang menyebut siklus 10 tahunan1, siklus 15 tahunan2, hingga siklus 100
tahunan3. Cara pandang seperti itu dipakai juga oleh pemerintah dalam
melihat banjir besar mutakhir di Semarang pada 6 Februari 2021. Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengatakan bahwa banjir Semarang pada
6 Februari 2021 itu terjadi akibat siklus hujan 50 tahunan.4 Hal tersebut seolah-
olah meletakkan banjir sebagai peristiwa yang bergantung pada siklus air
semata, tanpa melihat perubahan-perubahan sosial dan alam pada DAS dalam
rentang siklus tersebut. Dengan kata lain, momen banjir didepolitisasi, dengan
tidak dilihat sebagai momen sosioalamiah di mana ada peristiwa atau relasi
sosial yang berkelindan di dalam siklus air (‘alam’).
Sejarawan Amen Budiman5 tidak percaya pada siklus banjir 100 tahunan
tersebut karena tidak ada dasar data yang kuat. Amen Budiman mencatat
banjir besar yang menggenangi Hotel Dibyapuri (zaman Hindia Belanda
bernama Du Pavillion) dan Gedung Papak (sekarang Gedung Keuangan Negara)
pada 1911 terjadi dalam kondisi Kali Semarang di bawah Jembatan Berok
mengalir lancar. Namun tidak diketahui pasti apakah pada 1890 ada banjir
sebesar banjir 1990. Sedangkan Suhandini (2011) dalam Liesnoor dan Suharini

_____
1 Eko Hari Priyanto dan Nawiyanto (2014) Banjir Bandang di Kodya Semarang Tahun 1990.
Jurnal Publika Budaya 3(2): 9-17. Pada halaman 11 disebutkan bahwa siklus 10 tahunan
yang ada dalam penelitian ini didasarkan pada banjir 1980 dengan besaran air dan
kerugian yang ditimbulkan hampir sama dengan banjir 1990.
2 Warga Ngemplak Simongan dalam berita ini, Bayu Wanapati mengenal siklus 15 tahun
untuk banjir di Kali Garang. Meski dia lebih percaya pada siklus dua tahunan berdasarkan
pengamatannya sejak 2016 hingga 2021. Lihat: Iwan Arifianto (3 Maret 2021). Tribun
Jateng. “Foto Tragedi Banjir Bandang Semarang 25 Januari 1990, 194 Tewas: Banjir 2021
Tidak Ada Apa-apanya”. URL: https://jateng.tribunnews.com/2021/03/03/foto-tragedi-
banjir-bandang-semarang-25-januari-1990-194-tewas-banjir-2021-tidak-ada-apa-
apanya?page=all, [diakses pada 30 Agustus 2021].
3 Narasumber dalam berita ini, Johanes Cristiono, sebagai salah satu orang yang mengetahui
banjir tersebut, menyebutkan siklus 100 tahunan. Dia merujuk pada keterangan Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMKG). Lihat: Baskoro Septiadi (25 Januari 2021). Radar
Semarang. “Banjir bandang Menerjang saat Warga Tidur Lelap”. URL: https://
radarsemarang.jawapos.com/rubrik/cover-story/2021/01/25/banjir-bandang-menerjang-
saat-warga-tidur-lelap/ [diakses pada 30 Agustus 2021].
4 Sumber ini menyebutkan penghitungan banjir dalam periode berulang tersebut dipakai
sebagai acuan pada banyak perencanaan infrastruktur. Lihat: Caesar Akbar (7 Februari
2021). Tempo.co. “Banjir di Semarang Diduga Akibat Hujan Siklus 50 Tahunan, Apa Kata
BMKG?”. URL: https://bisnis.tempo.co/read/1430593/banjir-di-semarang-diduga-akibat-
hujan-ekstrem-siklus-50-tahunan-apa-kata-bmkg, [diakses pada 7 September 2021].
5 Suara Merdeka, 6 Februari 1990, “Belanda Pernah Buat Konsep Tangani Banjir Tahun
2000”.

194
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

(2014) menyebutkan banjir besar atau banjir bandang Kali Garang terjadi
antara lain pada 1963, 1990, 2000, 2002, dan 2008.1
Publikasi E.H Priyanto dan Nawiyanto yang diterbitkan Jurnal Publika
Budaya Universitas Jember, menyebut banjir bandang 1990 merupakan banjir
tertinggi dalam kurun 1987-2008 dengan debit 1.103,73 m³/detik.2 Banjir
terbesar didapati di area pertemuan Kali Garang dan Kali Kreo sampai ke Ben-
dungan Simongan. Banjir menjangkau kampung-kampung di sepanjang Kali
Garang di Kecamatan Semarang Barat, seperti Ringin Telu, Puspanjolo, Pon-
cowolo, Banowati dan sekitarnya. Kelurahan Sampangan tergenang air dengan
ketinggian 2-3 meter, Kelurahan Pegandan 2-2,5 meter, Kelurahan Petompon
dan Kelurahan Bendungan 0,5-1 meter, dan Kelurahan Bendan Ngisor men-
capai 0,60 meter.3
Banjir juga menggenangi wilayah Semarang Tengah, kawasan Simpang-
lima di pusat Kota Semarang. Tanah Mas yang ada di hilir DAS Garang juga
tergenang. Gedung sekolah seperti SD Pegandan (sekarang SD Sampangan 02)
di Kelurahan Sampangan dan SD Bongsari di Kelurahan Bongsari roboh. Total
ada 40 gedung sekolah TK hingga SMA yang rusak. Sekitar 50.000 murid tidak
bersekolah selama tiga minggu.4 Pasar Bulu di Kelurahan Barusari hingga
Pasar Johar di Kelurahan Kauman tergenang air; ternak-ternak hanyut, mati,
dan menggelembung; 1.042 rumah rusak dengan tingkat ringan hingga roboh
total. Kerugian materiil yang dihitung oleh Pemerintah Kota Semarang saat itu
mencapai Rp8,5 miliar.
Mantan jurnalis Harian Suara Merdeka, Johanes Christiono dalam catatan
yang dipublikasikan pada 25 Januari 2020, menyebut tidak pernah ada banjir
sedahsyat itu sebelumnya di Semarang. Belum pernah ada pula banjir sedah-
syat itu sesudahnya di Semarang, setidaknya sampai catatan tersebut ditulis. 5
Johanes bermukim di Ungaran, Kabupaten Semarang, yang merupakan hulu
DAS Garang. Dia yang pada masa itu bertugas meliput peristiwa banjir ter-
sebut, mengingat hujan berjam-jam pada 25 Januari 1990 di tempat tinggalnya.

_____
1 D. Liesnoor Setryowati dan E. Suharini (2014) DAS Garang Hulu (Tata Air, Erosi dan
Konservasi). Yogyakarta: Penerbit Ombak. Halaman 2.
2 Ahmad Cahyadi, Ardila Yananto, Muhammad Sufwandika Wijaya, dan Henky Nugraha
(2012). Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Retensi Potensial Air
Oleh Tanah Pada Kejadian Hujan Sesaat (Studi Kasus Perubahan Penggunaan Lahan di DAS
Garang Jawa Tengah). Seminar Nasional Indormatika UPN Veteran Yogyakarta, 30 Juni
2012. URL: https://media.neliti.com/media/publications/173701-ID-analisis-pengaruh-
perubahan-penggunaan-l.pdf [diakses pada 19 Agustus 2021].
3 Eko Hari Priyanto dan Nawiyanto (2014) Banjir Bandang di Kodya Semarang Tahun 1990.
Jurnal Publika Budaya 3(2): 9-17.
4 Suara Merdeka, 19 Februari 1990, “50 Ribu Murid di Daerah Banjir, Sekolah Lagi”.
5 Lihat: Publikasi ulang dari status Facebook Johanes Christiono. URL: http://miksemar.id/
2083/banjir-bandang-1990-dalam-catatan-saya/ , [diakses pada 19 Agustus 2021].

195
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Hujan dimulai sejak sore dan bertambah lebat sejak sekitar pukul 20.00 hingga
tengah malam.1
Johanes sudah menduga akan terjadi banjir di Kota Semarang, karena
biasanya memang begitu, jika Ungaran hujan lebat Semarang akan banjir.
Tetapi, dia sama sekali tidak menyangka jika akan ada banjir yang sangat besar,
yang menghancurkan rumah kawan-kawannya di Sampangan, hingga menim-
bulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Berdasarkan dokumentasi Johanes,
dalam sehari korban jiwa terdata 47 orang. Sepekan setelah peristiwa itu, Pe-
merintah Kota Semarang mengumumkan angka resmi jumlah korban tewas,
197 orang, dengan jumlah korban jiwa terbanyak berasal dari pabrik-pabrik di
Kelurahan Ngemplak Simongan.
Sebagai solusi pascabanjir 1990, pemerintah di antaranya melakukan
pelebaran sungai dengan mengeruk bantaran Kali Garang di Kelurahan Bendu-
ngan, Kecamatan Gajahmungkur. Warga yang semula tinggal di sana, dipin-
dahkan ke Dukuh Kuwasen, Kelurahan Sadeng, Kecamatan Gunungpati. Bekas
rumah mereka dijadikan jalur hijau.
Sebetulnya pada saat banjir bandang tersebut, Pemerintah Kotamadya
Semarang sudah mempersiapkan solusi banjir untuk jangka panjang dan
mencakup seluruh wilayah Semarang. Pemerintah Kotamadya Semarang telah
merampungkan proyek Drainage Improvement Programme (DRIP) yang dibiayai
dengan dana pinjaman Bank Dunia. Proyek yang berlangsung sejak 1985 itu
mencakup normalisasi sungai-sungai di pusat kota, di antaranya Kali Garang,
Kali Semarang, dan Kali Banger Timur. Normalisasi itu didahului dengan proses
pembebasan lahan (terdiri dari 700 bidang tanah dan bangunan), juga relokasi
warga di sekitar sungai ke tempat lain.2 Proyek tersebut didukung pembuatan
pintu-pintu air di hilir DAS Garang, seperti di Tanah Mas dan Darat Lasimin,
yang difungsikan sebagai pencegah masuknya air laut ke muara sungai saat
banjir, sehingga tidak menghalangi air dari sungai terbuang ke laut. Pimpinan
proyek saat itu, Ir. Soeharto, menyebutkan jika semua normalisasi sungai di
pusat kota sudah tuntas, ibu kota Jawa Tengah ini bisa bebas banjir. 3 Tetapi
upaya tersebut bisa dibilang gagal. Buktinya tahun-tahun berikutnya hingga
saat ini (2021), banjir tetap saja terjadi di DAS Garang.
Bayu Wanapati, warga Ngemplak Simongan memperkirakan kecil ke-
mungkinan banjir bandang 1990 itu akan terulang. Menurut Bayu yang bekerja
sebagai Koordinator Bendung Simongan, hal itu karena telah ada mitigasi yang
_____
1 Lihat: J Christiono (25 Januari 2021), Tragedi Banjir Bandang Semarang 1990 yang Saya
Rekam. URL: https://www.youtube.com/watch?v=RE7_bvyYQVk, [diakses pada 20 Agustus
2020].
2 Suara Merdeka, 4 Juni 1985, “Dari 700 Rumah harus Dipapras Sekarang Tinggal 25 Buah
Saja”.
3 Suara Merdeka, 2 Januari 1990, ““Semarang Kaline Banjir” Bakal Tak Relevan Lagi”.

196
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

lebih baik, serta adanya pembangunan Waduk Jatibarang. 1 Ter-lepas dari sebe-
rapa besar efektivitas waduk tersebut terhadap pengendalian banjir, dari apa
yang dibicarakan Bayu dapat diketahui bahwa banjir tidak semata-mata ber-
gantung pada siklus air. Mitigasi dan pembangunan waduk tentu saja dilaku-
kan oleh manusia dengan keputusan-keputusan dalam relasi-sosial, berdasar-
kan pengalaman manusia tersebut dalam hubungan sosioalamiah dengan air,
tanah, pepohonan, bangunan, kendaraan, dan segala sesuatu lain yang ada di
sekelilingnya.
Ada peran sosial, yang disebut Bayu berupa mitigasi dan pembangunan
waduk, yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir. Proyek DRIP sebelum
banjir bandang 1990 hingga relokasi penduduk yang tinggal di bantaran Kali
Garang setelah banjir juga merupakan proses sosial yang berlilitan dengan
banjir. Dengan mendudukkan banjir di DAS Garang dalam momen sosio-
alamiah, di mana proses-proses sosial berada di dalamnya, maka bagian selan-
jutnya dari laporan ini akan merepolitisasi momen banjir sebagai bagian dari
urbanisasi.

VII.1. Mengerut-meledak-meluap: Sebuah metafora

Wilonoyudho (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Migrasi dan Involusi


Kota Semarang menandai proses urbanisasi di Kota Semarang dan dinamika
migrasi di dalammya. Menurut Wilonoyudho, proses tersebut dimulai sejak
masuknya modal besar untuk membangun aktivitas bisnis yang diikuti tum-
buhnya sektor informal yang pesat di sekelilingnya.2 Dengan kata lain, arus
modal membentuk/membangun sosiospasial di Kota Semarang. Penelitian
Wilonoyudho menunjukkan determinan utama migrasi masuk ke Kota Sema-
rang adalah gabungan simultan antara tekanan perdesaan dan daya tarik kota
yang tampak dapat menyediakan lapangan kerja.
Dapat dikatakan bahwa daya tarik Kota Semarang disituasikan oleh arus
modal yang masuk dan terkonsentrasi di pusat kota. Daya tarik Kota Semarang

_____
1 Lihat: Iwan Arifianto (3 Maret 2021). Tribun Jateng. “Foto Tragedi Banjir Bandang
Semarang 25 Januari 1990, 194 Tewas: Banjir 2021 Tidak Ada Apa-apanya”. URL:
https://jateng.tribunnews.com/2021/03/03/foto-tragedi-banjir-bandang-semarang-25-
januari-1990-194-tewas-banjir-2021-tidak-ada-apa-apanya?page=all, [diakses pada 30
Agustus 2021].
2 Saratri Wilonoyudho (2014) Migrasi dan Involusi di Kota Semarang. Jurnal Manusia dan
Lingkungan. 21(1): 114-120. Penelitian ini menggunakan data migrasi BPS mulai 2007.
Berkaitan dengan arus modal yang dimaksud, tidak dijelaskan kurun waktunya, namun
ditandai dengan hilangnya kampung-kampung di pusat Kota Semarang berganti pusat
bisnis. Wilonoyudho memaparkan adanya gentrifikasi di Kota Semarang yang menggiring
perpindahan dari pusat ke pinggir kota.

197
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

sebagai kota industri yang terbentuk sejak pertengahan abad ke-19 dan
terpusat di Kota Lama di mana tembok dan parit pelindung benteng per-
mukiman orang Eropa dihancurkan1, menyedot manusia-manusia dari ping-
girannya yang kemudian terkonsentrasi memadati kota. Sebagian dapat me-
nembus sektor formal, namun kebanyakan berakhir di sektor informal. Saya
menggunakan metafora mengerut untuk menandai proses tersebut, men-
dasarkannya pada konsep Lefebvre (2003) mengenai pengerutan. Sebagai-
mana telah dituliskan dalam Bab II mengenai ekologi politis urbanisasi, penge-
rutan menurut Lefebvre, ditandai dengan konsentrasi dari orang, aktivitas,
barang-barang, objek-objek, instrumen-instrumen dan pemikiran, yang mem-
bentuk realitas perkotaan.2
Penelitian Hadi dan Sadharto (2013), mengidentifikasi perkembangan
Kota Semarang yang berkecenderungan merembetkan sifat kekotaan ke arah
pinggiran, dari terencana sesuai rencana tata ruang yang dibuat pemerintah
hingga tidak terencana.3 Perkembangan yang dimaksud dalam penelitian
tersebut adalah pertambahan luasan area terbangun. Di DAS Garang, kecen-
derungan arah perkembangan pada rentang 1992-2000 adalah dari pusat kota
menuju ke arah barat, wilayah Semarang Barat. Pada kurun 2000-2009
karakteristik kekotaan merembet ke arah selatan, Kelurahan Bendan Duwur
Kecamatan Gajahmungkur, yang berada di Sub-DAS Garang, dan Kelurahan
Sumurejo Kecamatan Gunungpati di Sub-DAS Garang hulu. Perembetan
tersebut juga terjadi di Sub-DAS Kreo yang seluruhnya berada di Kecamatan
Gunungpati, meliputi Kelurahan Gunungpati, Jatirejo, Kandri, Bubakan,
Karangmalang, Polaman, Purwosari, dan Tambangan. Perembetan kekotaan di
Sub-DAS Kripik terjadi di Kelurahan Mangunsari, Patemon dan Plalangan, yang
juga berada di Kecamatan Gunungpati.
Proses perembetan tersebut saya umpamakan sebagai momen meledak,
dengan kembali merujuk Lefebvre (2003). Lefebvre menandai ledakan dengan
proyeksi yang banyak, fragmen-fragmen yang tercecer seperti pinggiran,
kawasan suburbia, vila-vila peristirahatan, hingga kota-kota satelit.
Pengerutan atau ledakan, mana yang lebih dulu terjadi pada suatu tem-
pat tertentu? Menurut Lefebvre (2000) kedua hal tersebut tidak berdiri sendiri-
sendiri, melainkan merupakan proses ganda penaklukan kota oleh industriali-

_____
1 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. Halaman 28 sub
bab Menjadi Kota Industri.
2 Lefebvre H (2003) The Urban Revolution. Minneapolis: University of Minnesota Press.
3 Marhensa A. Hadi dan MR Djarot Sadharto W (2013) Urban Sprawl di Kota Semarang:
Karakteristik dan Evaluasinya Terhadap Perencanaan Detail Tata Ruang Kota. Jurnal Bumi
Indonesia 2(4). Diambil dari http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/560

198
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

sasi.1 Industrialisasi untuk kasus Semarang dalam hal ini saya terjemahkan
sebagai masuknya arus modal seperti yang disebut oleh Wilonoyudho (2014).
Pengerutan dan ledakan menjadi momen simultan “pengerutan-ledakan” da-
lam proses pembentukan kota (pengotaan) yang selanjutnya memproduksi
krisis-krisis perkotaan yang oleh Lefebvre (2000) disebut sebagai urban
problematique. Dalam pengamatan urbanisasi di DAS Garang ini, bentuk krisis
yang ditandai sebagai fokusnya adalah banjir dalam metafora “meluap”.
Meluap dalam hal ini mendeskripsikan sekaligus sebagai perumpamaan
tentang air yang tidak tertampung dalam wadahnya, kemudian meluber kema-
na-mana. Meluap tidak akan menjadi sesuatu yang disebut krisis jika tidak
ditautkan dengan proses mengerut-meledak di mana ada aktivitas sosial, yang
di Kota Semarang telah ditunjukkan Wilonoyudho (2014) sebagai situasi yang
dibentuk oleh arus modal, di dalamnya. Maka mengerut-meledak-meluap
akan dipakai untuk menuturkan produksi risiko banjir di DAS Garang sebagai
model urbanisasi yang tersituasi.
Telah saya tuliskan pada awal Bab ini, bahwa saya merupakan warga
pendatang dari luar Kota Semarang yang hidup di area DAS Garang. Oleh ka-
rena itu bagian selanjutnya dari laporan ini akan terus melibatkan pengetahu-
an dan pengalaman saya sebagai material empiris dalam mengamati proses
urbanisasi di DAS Garang. Tentu saja hal ini memiliki potensi perdebatan ketika
masuk ke ranah epistemologi, berkaitan dengan objektivitas dan validitas in-
formasi yang dihasilkan dalam pengamatan DAS Garang. Namun siapa
sebetulnya yang berhak disebut sebagai pemilik pengetahuan dalam penga-
matan berkaitan dengan sosial?
Untuk itu saya menyandarkannya pada pendapat Donna Haraway (1988)2
tentang pengetahuan tersituasi (situated knowledge). Pengetahuan tersituasi
membalikkan doktrin objektivitas dalam epistemologi dengan embodied
objectivity, objektivitas yang terkandung dalam pengalaman, yang mengako-
modir pengetahuan feminis yang kritis. Pengetahuan tersituasi itu sendiri me-
rupakan gagasan bahwa semua bentuk pengetahuan mencerminkan kondisi
tertentu di mana mereka diproduksi, dan pada tingkat tertentu mencerminkan
identitas sosial dan lokasi sosial produsen pengetahuan.3 Saya, manusia yang

_____
1 Lefebvre H (2000) Writings on Cities. Massachusetts: Blackwell Publishers Inc. Dalam Bab
II telah disebutkan bahwa “penaklukan kota oleh industrialisasi memproduksi krisis-krisis
perkotaan melalui proses ganda pengerutan-ledakan.”
2 Donna Haraway (1988) Situated Knowledges: The Science Question In Feminism And The
Privilege Of Partial Perspective. Feminist Studies 14(3): 575-599.
3 Alisdair Rogers, Noel Castree dan Rob Kitchin (2013) A Dictionary of Human Geography.
Oxford: Oxford University Press. Tentang frasa situated knowledge. URL: https://
www.oxfordreference.com/view/10.1093/acref/9780199599868.001.0001/acref-
9780199599868-e-1686?rskey=l17HkJ&result=1681, [diakses pada 21 Agustus 2021].

199
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

hidup dalam sosiospasial yang disituasikan oleh arus modal dengan aktivitas
sosioalamiah, merupakan bagian dari proses pengotaan di DAS Garang. Maka
pengalaman dan pengetahuan dalam situasi tersebut akan saya interogasi
untuk mengamati dan memahami secara kritis proses urbanisasi dalam me-
tafora mengerut-meledak-meluap di DAS Garang.

-_-...
- Knp1t,.

Gambar VII.1: Peta Sub-DAS dalam DAS Garang yang diolah dengan melakukan overlay
peta Sub-DAS di DAS Garang dalam Nugraha dan Cahyadi (2012) dan peta
daerah banjir Semarang yang diolah Maleh Dadi Segoro.

VII.2. DAS Garang

Bagi Kota Semarang, DAS Garang merupakan penyangga di mana kota duduk.
Aliran sungai utama di DAS ini, Kali Garang, yang bermata air di Kawasan
Gunung Ungaran Kabupaten Semarang dan bermuara di pesisir utara Kota
Semarang, berikatan dengan penduduk Kota Semarang dalam relasi sosio-
alamiah. Kali Garang menjadi salah satu sumber air baku yang digunakan

200
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Moedal Kota Semarang yang
melayani penyediaan air bersih untuk 186.726 pelanggan, mencakup kira-kira
60% wilayah Kota Semarang.1 Pada 1990, 60% sumber air baku PDAM berasal
dari Kali Garang. Ketika banjir bandang saat itu terjadi, instalasi penjernihan
PDAM Tirta Moedal di Kali Garang mati total, mesin penjernih terendam air
setinggi dua meter dan dimasuki lumpur. Pipa-pipa air minum di pinggir Kali
Garang patah, tiga pipa di hulu DAS Garang di Ungaran putus. Layanan
dihentikan hingga perbaikan selesai.2
Secara administratif DAS Garang melintasi tiga wilayah Kabupaten/Kota
di Jawa Tengah; 33,38% area berada di Kabupaten Semarang, 12,79% di
Kabupaten Kendal dan yang terbesar, 53,82%, berada di Kota Semarang bagian
selatan. Luas seluruhnya mencakup 21.277,36 hektar (Ha). Sumber lain
menyebut luas DAS Garang mencapai 20.915,91 Ha.3 Perbedaan luas ini
lumrah atau dapat dipahami dan diterima. Hal ini bisa saja terjadi karena,
misalnya, perbedaan data dasar seperti Digital Elevation Model (DEM) yang
dipakai untuk menarik batas atau luasan DAS Garang, atau juga subjektivitas
orang yang mengerjakannya (lihat bagian Metodologi di Bab III). Sedangkan,
pengamatan DAS Garang dalam penelitian ini difokuskan, namun tidak
terbatas, pada wilayah yang ada di area administrasi Kota Semarang. Hadirnya
DAS Garang di tiga wilayah kabupaten/kota, dengan sendirinya adalah sebuah
manifestasi kritik terhadap pengurusan wilayah berbasis administrasi. Bahwa,
wilayah atau unit lingkungan/ekologi seperti DAS tidak sinkron dengan
pembagian administrasi (yang entah dibagi berdasarkan apa).
Terdapat tiga Sub-DAS besar pada DAS Garang yaitu, Sub-DAS Garang,
Sub-DAS Kripik, dan Sub-DAS Kreo. Berdasarkan peta pada Gambar VII.1,
wilayah-wilayah di Kota Semarang yang berada di dalam Sub-DAS Garang
adalah: Kelurahan Sumurejo, sebagian Pudakpayung, Srondol Kulon, sebagian
Sekaran, Tinjomoyo, sebagian Sukorejo, Karangrejo, Bendan Duwur, Kaliwiru,
Gajahmungkur, Wonotingal, Sampangan, Petompon, Lempongsari, Bongsari,
Mugasari, Barusari, Bulustalan, Krobokan, Bulu Lor, Tawang Mas, Panggung
Lor, dan Kelurahan Panggung Kidul.
Sedangkan yang berada di Sub-DAS Kripik adalah: Kelurahan Plalangan,
sebagian Gunungpati, Pakintelan, Mangunsari, sebagian Nongkosawit, Ngijo,
Patemon, Kalisegoro, Pongangan, sebagian Sekaran, dan sebagian Kelurahan
Sadeng. Yang berada di DAS Kreo adalah: sebagian Kelurahan Gunungpati,
_____
1 https://www.pdamkotasmg.co.id/page/cakupan_pelayanan [diakses pada 21 Agustus
2021].
2 Suara Merdeka, 27 Januari 1990, “Banjir “Bandhang” Puruskan 3 Pipa Air Minum di Unga-
ran”.
3 http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/02/Artikel-Identifikasi-
Pengendalian-Pemanfaatan-Ruang.pdf [diakses pada 22 Juli 2021].

201
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Cepoko, Karangmalang, Bubakan, Polaman, Tambangan, Purwosari, Jatirejo,


sebagian Nongkosawit, Kandri, sebagian Kedungpane, dan sebagian Kelura-
han Sadeng (lebih detil lihat Gambar VII.1).
Aliran yang berasal dari Kali Kreo, Kali Kripik, dan Kali Garang bagian hulu,
menyatu di Kali Garang bagian hilir. Karakteristik aliran DAS Garang menye-
rupai botol yang menyempit di bagian leher atau ujungnya. Sehingga terjadi
akumulasi air yang sangat besar pada pertemuan tiga sungai itu. Sedangkan
kondisi fisik DAS Garang adalah sebagai berikut, memiliki kelerengan yang
cukup tajam; bagian hulunya didominasi lahan bergelombang hingga curam;
dan bagian hilirnya berupa dataran, di mana perubahan morfologis lahan
bergelombang menjadi datar itu tepat berada di titik bertemunya tiga anak
sungai.1 Berdasarkan Gambar VII.1, pertemuan ketiga anak sungai itu ada di
Kelurahan Bendanduwur.
DAS Garang yang melintasi pemukiman padat di Kota Semarang mem-
buat bagian-bagian tertentu dari Kota Semarang memiliki risiko sosioalamiah
berupa banjir bandang yang tinggi.2 Setidaknya dua kali dalam setahun hingga
saat ini (2021), setelah lebih dari 30 tahun momen banjir bandang 1990 itu
berselang, air dari sungai-sungai di DAS Garang tetap meluap. Cahyadi dkk.
(2012), menyebut bahwa banjir yang juga berdampak luas di Semarang yang
tercatat sebelum 1990, terjadi pada 1973 dan 1988. Masih berdasarkan
Cahyadi dkk. (2012), dalam kurun 1987-2008 terjadi 40 kali banjir di DAS
Garang yang diklasifikasikan sebagai kejadian banjir bandang. Pada 1987-1997
terjadi 24 kali banjir, sedangkan 1998-2008 terjadi 16 kali banjir. Momen banjir
besar mutakhir yang dialami warga Kota Semarang adalah yang terjadi pada 6
Februari 2021, seperti telah ditulis pada Bab I.
Ahli Peneliti Utama Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Daerah
Aliran Sungai (BPPTDAS), Irfan Pramono, dalam diskusi yang digelar secara
daring pada 3 Maret 2021 menyebut salah satu faktor penyebab terjadinya
banjir besar di Kota Semarang pada 6 Februari 2021 adalah DAS Garang yang
semakin menyempit. Menurutnya, kemampuan tanah di DAS Garang untuk

_____
1 Dewi Liesnoor Setryowati dan Erni Suharini (2014) DAS Garang Hulu (Tata Air, Erosi dan
Konservasi). Yogyakarta: Penerbit Ombak. Halaman 6.
2 Hengky Nugraha dan Ahmad Cahyadi(2012) Analisis Morfometri Menggunakan Sistem
Informasi Geografis Untuk Penentuan Sub DAS Prioritas (Studi Kasus Mitigasi Bencana
Banjir Bandang di DAS Garang Jawa Tengah. Seminar Nasional Informatika (semnasIF
2012) UPN Veteran Yogyakarta, 30 Juni 2012. URL: https://media.neliti.com/media/
publications/175276-ID-analisis-morfometri-menggunakan-sistem-i.pdf [diakses pada 19
Juli 2021].

202
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

meresapkan air semakin berkurang sehingga air tidak tertampung dan mem-
banjiri daerah hilir. 1
Lisnoor dan Suharini (2014) menyebutkan penurunan kemampuan DAS
Garang ditandai dengan terjadinya banjir di musim hujan dan kekeringan di
musim kemarau, karena tanah tidak mampu menyimpan air. Penelitian
tersebut secara sederhana mengelompokkan penyebab banjir dalam dua
komponen. Pertama adalah komponen masukan, meliputi intensitas hujan,
lama hujan, dan distribusi hujan. Kedua adalah komponen sistem DAS yang
meliputi topografi, jenis tanah, morfometri DAS, tipe penggunaan lahan, dan
sistem pengelolaan lahan. Berbeda dengan pendapat yang mengatakan
bahwa banjir di Semarang disebabkan siklus hidrologi berkala atau sering
disebut dengan cuaca atau curah hujan yang ekstrem, Lisnoor dan Suharini
(2014) secara meyakinkan menunjukkan bahwa sistem pengelolaan lahan
justru merupakan faktor utama, meski jelas bukan satu-satunya, penyebab
terjadinya banjir.
Nugraha dan Cahyadi (2012) menunjukkan analisis morfometri (analisis
matematis tentang roman bawah dan atas permukaan Bumi) di DAS Garang
yang memiliki relief bergunung-gunung, yang mana material bawah
permukaannya kedap air dan vegetasinya jarang.2 Sedangkan temuan awal
Maleh dadi Segoro (MDS) menggunakan analisis citra satelit dalam penelitian
ini, menunjukkan adanya perluasan area terbangun yang dibarengi dengan
penurunan luasan vegetasi. Momen sosiospasial tersebut tidak terjadi tiba-
tiba, melainkan berlangsung bertahun-tahun. Gambar VII.2 berikut ini
menunjukkan perubahan penggunaan lahan di DAS Garang sejak 1970-an.

_____
1 Lihat: Budi Aris (4 Maret 2021), Banjir di Semarang Terjadi Karena DAS Garang Perlu
Konservasi, Radio Idola. URL: https://www.radioidola.com/2021/banjir-di-semarang-
terjadi-karena-das-garang-perlu-konservasi/ [diakses pada 27 Juni 2021].
2 Hengky Nugraha dan Ahmad Cahyadi (2012) Analisis Morfometri Menggunakan Sistem
Informasi Geografis Untuk Penentuan Sub DAS Prioritas (Studi Kasus Mitigasi Bencana
Banjir Bandang di DAS Garang Jawa Tengah. Seminar Nasional Informatika (semnasIF
2012) UPN Veteran Yogyakarta, 30 Juni 2012. URL: https://media.neliti.com/media/
publications/175276-ID-analisis-morfometri-menggunakan-sistem-i.pdf [diakses pada 19
Juli 2021].

203
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Air: 0,3% Air: 0,2%


Air: 0,9% Area terbangun: 9,7% Area terbangun: 23,7%
Area terbangun: 8,9% Vegetasi: 90% Vegetasi: 76,1%
Vegetasi: 90,2%

2013

Air: 0,2% Air: 0,5%


Area terbangun: 42,8% Area terbangun: 63,2%
Vegetasi: 57% Vegetasi: 36,3%

02.75.5 11 16.5 22 ~ mn11


■ ■ Kilometers \lp ■i ■uu
Sumber data:
1) Peta Digital Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wilayah didapat dari: https://tanahair.indonesia.go.id .
2) Citra Satelite LANDSAT 1-5 MSS (1973); LANDSAT 4-5 TM (1989 dan 1999) dan LANDSAT OLI 8 (2013 dan 2020)

Gambar VII.2: Evolusi penggunaan ruang di DAS Garang pada 1973-2020. Warna hijau
merupakan area vegetasi, sedangkan warna kuning merupakan area
terbangun.

Dari data citra satelit tersebut diketahui bahwa pada 1973 DAS Garang masih
didominasi oleh vegetasi, yang komposisinya mencapai 90,2%. Pada tahun itu,
area terbangun di DAS Garang masih sangat sedikit, baru 8,9%. Pada 1980-an
perubahan masif terjadi di DAS Garang yang tampak berakibat pada menurun-
nya luasan vegetasi pada 1989. Hal itu dibarengi dengan naiknya luasan area
terbangun, terutama di hulu DAS Garang sehingga mencapai 9,7%. Pemba-
ngunan di kawasan hulu DAS Garang tampak mengurangi tutupan air hingga

204
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

tinggal 0,3% saja. Pada 1999 tampak adanya peningkatan luasan area terba-
ngun yang cukup tajam, menjadi 23,7%. Tentu saja hal itu menurunkan luasan
vegetasi hingga menjadi 76,1% dan tutupan air pun terus menurun menjadi
2%.
Peta pada 2013 menunjukkan kawasan hulu DAS Garang sudah banyak
yang ditutupi bangunan. Luasan area terbangun mencapai 42,8%, sedangkan
luasan vegetasi turun menjadi 51%. Luasan vegetasi tersebut terus turun
hingga 2020 di mana komposisinya lebih rendah, sebesar 36,3%, ketimbang
area terbangun yang sudah mencapai 63,2%. Namun pada 2020, tutupan air
di DAS Garang justru bertambah menjadi 0,5%. Hal itu dikarenakan ada
pembangunan Waduk Jatibarang pada 2014-2015. Pembangunan waduk yang
meningkatkan luasan tutupan air itu mengurangi luasan vegetasi, bukan
luasan area terbangun.

Gambar VII.3: Bendungan Simongan di Banjir Kanal Barat (BKB), di hilir DAS Garang,
yang dibuat oleh Belanda pada 1873-1879. Di kejauhan, tampak Bukit
Papandayan yang padat dengan bangunan. Di belakang bukit tersebut
berdiri gedung-gedung di kompleks kampus Kelurahan Bendan Duwur.
Foto diambil dari Jembatan Lemah Gempal pada September 2021.

Liesnoor dan Suharini (2014) menunjukkan perubahan terutama di Kawasan


DAS Garang Hulu yang secara hidrologis merupakan daerah resapan. Indeks
Kesesuaian Penggunaan Lahan (IKPL) di DAS Garang hulu mencapai 60%.
Angka indeks tersebut tidaklah bagus, memperlihatkan banyak peruntukan

205
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

lahan yang tidak sesuai fungsi. Misalnya, di Kota Semarang banyak dijumpai
wilayah kantong air telah ditutup untuk pemukiman dengan mengambil tanah
galian dari bukit yang mestinya berfungsi sebagai daerah resapan air. Pemba-
ngunan bagian hilir pun menjadi semakin tidak terkendali, sehingga menjadi-
kan daerah resapan air tidak berfungsi. Kerusakan itu ditambah problem
sedimentasi Kali Garang yang menurut Dinas Permukiman dan Tata Ruang
(Distaru) Provinsi Jawa Tengah (2005) telah mencapai 20 ton/ha/tahun.
Sedimentasi di Kali Garang merupakan akibat dari proses urbanisasi berupa
pengembangan area Semarang bagian atas untuk keperluan pemukiman,
industri, penambangan, dan lain-lain. Aktivitas itu memicu erosi yang terbawa
oleh peningkatan debit sungai, sehingga menumpuk menjadi endapan di
Banjir Kanal Barat (BKB) yang merupakan hilir DAS Garang (Gambar VII.4). 1
Salah satu temuan Wilonoyudho (2014) di DAS Garang adalah terjadinya
pemindahan penduduk, atau dalam tulisan ini saya sebut sebagai momen
sosiospasial, seperti dari Jalan Seroja Kelurahan Karang Kidul Kecamatan
Semarang tengah yang berada di DAS Babon, ke Kampung Kalialang Kelurahan
Sukorejo Kecamatan Gunungpati di Sub-DAS Kripik. Ada juga pemindahan
penduduk dari Kelurahan Bongsari, Kelurahan Gisikdrono, dan dari Tanah Mas
Kelurahan Panggung Lor, yang ketiganya berada di Sub-DAS Garang, ke Kam-
pung Kalialang.

_____
1 Reza Juan Prakarsa, Ridho Anggoro, Abdul Kadir, dan Al Falah (2013) Analisis Kapasitas
Penampang Banjir Kanal Barat Kota Semarang Untuk Perencanaan Pengendalian Banjir.
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. URL: https://
ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkts/article/download/4170/4038 [diakses 21 pada
Agustus 2021.

206
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar VII.4: BKB merupakan hilir DAS Garang menuju laut. Sungai ini dibuat lurus
oleh Belanda mempercepat air masuk ke laut dan mencegahnya masuk
kota melewati hilir Kali Garang yang asli, yakni Kali Semarang yang
berkelok-kelok di dalam kota. Gambar diambil dari Jembatan Lemah-
gempal pada September 2021

Pemindahan tersebut diinisiasi oleh pemerintah, swasta, hingga yayasan sosi-


al. Rumah-rumah yang dipindah adalah rumah yang menurut bahasa konstitu-
si adalah ilegal. Sedangkan penduduknya dalam keseharian bergerak di sektor
informal. Misalnya, rumah-rumah di Jalan Seroja yang dibongkar adalah rumah
di pinggir kali1 dengan aktivitas warganya, antara lain berjualan makanan,
membuka bengkel, dan jasa pangkas rambut. Warga Bongsari yang dipindah
adalah orang-orang yang semula tidak punya tempat tinggal, lalu ditampung
oleh Yayasan Sosial Soegijapranata.
Setelah pemindahan, dibangunlah pusat bisnis, jalan raya, hotel, hingga
perumahan elit di kawasan yang telah kosong. Bersamaan dengan itu, para
penduduk yang dipindahkan ke tempat baru beraktivitas membentuk ruang
sosiospasial yang kemudian juga menjadi konsentrasi atau pemadatan baru.

VII.3. Momen mengerut – meledak – meluap di DAS Garang

Pengamatan momen ini dibagi dalam tiga bagian secara kronologis, dengan
mempertimbangkan letak pusat pengerutan dan ledakan terjadi, arah serpih-

_____
1 Suara Merdeka, 10 Januari 1985, “Untuk Kedua Kalinya, Bangunan Tanpa Izin di Tepi Kali
Seroja Dibongkar Tibum”.

207
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

an dari ledakan membentuk pengerutan baru, apa dan siapa saja yang ada
dalam momen tersebut, serta bagaimana momen terjadi. Keseluruhannya
menggunakan pendekatan-pendekatan DAS dan Sub-DAS. Lokasi-lokasi yang
disebutkan dalam tulisan, beberapa disajikan dalam peta pada Gambar VII.5.

..
'.

0
A1 2 km
-=
Skala 1:100.000

Keterangan
Sungai
e Lokasl
OAS Garang
Peta Oasar: Google Satellite

mn,.
ii'"iuu

Gambar VII.5: Beberapa lokasi dalam tulisan.

Lingkaran pertama: Kerut-ledak permukiman orang Eropa

Pengotaan di DAS Garang dimulai dari ledakan di hilir DAS Babon yang berada
di Semarang bagian utara. Pada mulanya adalah jatuhnya Semarang ke tangan
kongsi dagang Hindia Timur, VOC, setelah digadaikan oleh penguasa Mataram.
Pada 1695 VOC merencanakan pembangunan Benteng De Vijfhoek di sisi timur
Kali Semarang, saat ini berada di Kawasan Kota Lama yang menurut pem-
bagian administrasi saat ini berada di Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan
Semarang Utara. Benteng tersebut berada di dekat titik pertemuan dengan
sungai yang membujur dari barat ke timur menuju Desa Kaligawe dan Desa
Terboyo.1 Lokasi tersebut dipilih karena Kali Semarang merupakan salah satu
pusat transportasi, pintu masuk kota dari arah laut. Pembangunan benteng

_____
1 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. Halaman 84.

208
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

sendiri ditujukan sebagai pemusatan kekuasaan dan administrasi perdaga-


ngan di wilayah Pantai Utara-Timur Jawa.
Penghuni Benteng semula adalah gubernur, pimpinan dan serdadu
perang, pendeta, juru bedah, pejabat VOC, juru tulis, dan pengrajin. Jumlah
penghuni kemudian meningkat drastis ketika Perang Semarang (bagian dari
Geger Pacinan, buntut pembantaian orang Tionghoa di Batavia) terjadi pada
1741. Pemerintah pusat di Batavia pada masa itu mengirimkan pasukan untuk
membebaskan Benteng Vijfhoek dari kepungan pasukan koalisi Tionghoa-
Jawa.1 Akibat perang tersebut, benteng hancur dan diganti dengan pertahanan
baru berupa parit, tembok keliling yang lebih besar dengan pos-pos pen-
jagaan. Seluruhnya mengelilingi permukiman Eropa (Europeesche buurt).2 Per-
mukiman Eropa yang diperluas itu dilengkapi fasilitas pendukung pereko-
nomian dan perdagangan, seperti kantor dagang dan gudang-gudang. Kawa-
san tersebut kemudian berkembang menjadi pusat industri dan perdagangan.
Setelah perang, Pemerintah Hindia Belanda melakukan pemusatan seka-
ligus segregasi sosial berbasis ras di Kota Benteng dan sekitarnya. Tujuan
pemusatan itu, antara lain untuk memudahkan pengawasan oleh penguasa
Hindia-Belanda. Yang berada di pusat kota adalah orang-orang Eropa. Yang di
luarnya adalah orang-orang Tiongkok dan Timur Asing (selain Tionghoa dan
Arab). Tionghoa hidup di Kampung Pecinan, Arab di Kampung Kauman, dan
Timur Asing seperti orang Koja dari India hidup di Kampung Pekojan.
Keberadaan orang-orang Cina dan Timur Asing menjadi perantara perdagang-
an antara pribumi dan orang Eropa.3 Yang tinggal di pinggiran adalah ras
mayoritas, yakni orang-orang pribumi. Orang pribumi tinggal di kampung-
kampung sekitar jalan besar di Jomblang, Karangsari, Karangturi, Sayangan,
Plampitan, Darat, Karangbidara, dan Randusari. Pribumi dari seberang (Bugis,
Makasar, dan Bawean) tinggal di Kampung Melayu, Jalan Layur. Pribumi yang
tinggal di Bojong dan Poncol, kemudian tergusur oleh orang Eropa setelah
tembok benteng dirobohkan.4
Kota Benteng mengalami pemadatan dan mengerut hingga pada 1824
tembok keliling benteng Semarang beserta parit pertahanannya dibongkar.
Saat itulah ledakan kota kolonial di Semarang terjadi, dengan pecahannya
mengarah ke selatan, menjauhi pelabuhan dan garis pantai, mendekati DAS

_____
1 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. Halaman 57.
2 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep . Halaman 109.
3 S.R. Sari dan E.P Hendro (2020) Konservasi Kampung Pecinan Semarang sebagai Media
Integrasi yang Berdimensi Multikultiralism. Endogami (Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi)
4(1): 93-108.
4 Amen Budiman (2021) Sejarah Semarang. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. Halaman 290.

209
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Garang. Yuliati dkk. (2020) menyebutnya sebagai peristiwa yang meneguhkan


proses pemekaran kota kolonial di Semarang. (Selanjutnya, seluruh data
tentang aktivitas Kota Lama dalam Sub-Bab ini, disarikan dari Yuliati dkk. (2020)
dalam Riwayat Kota Lama).
Seiring terbukanya Kota Benteng, fungsi pertahanan orang Eropa ke-
mudian bergeser ke Kawasan Poncol. Poncol saat ini berada di Kelurahan
Purwosari yang separuh wilayahnya berada di DAS Babon dan separuhnya lagi
di DAS Garang. Pergeseran pertahanan Eropa ke Poncol itu menjadi momen
sosiospasial baru. Poncol pada masa itu berada di pinggir barat Kota Sema-
rang, di mana sekitar 2 km di sisi utaranya masih berupa rawa-rawa. Permuki-
man Eropa di Poncol lantas merembet ke Pendrikan. Sedangkan orang-orang
Eropa yang semula hidup dalam benteng membangun permukiman di Jalan
Bojong (sekarang masuk wilayah Kelurahan Sekayu) dan ruas jalan lain (seka-
rang di antaranya masuk wilayah kelurahan Bangunharjo dan Purwosari).
Aktivitas perekonomian dan perdagangan di luar bekas benteng ke-
mudian meningkat. Pada 1897 perusahaan transportasi Semarang-Chirebon
Stoomtram Maatschappij (SCS) membangun stasiun sementara berbahan kayu,
hanya seluas 18 x 3 m². Stasiun ini juga berfungsi sebagai stasiun utama bagi
perusahaan transportasi Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) karena
Stasiun Jurnatan (sekarang termasuk lokasi di Kawasan Kota Lama) yang
diproyeksikan menjadi stasiun bersama bagi SCS dan SJS, baru berfungsi pada
1908. Pada 6 Agustus 1914 diresmikanlah Stasiun Semarang-West di Kawasan
Poncol (dengan pelindung besi berukuran 139x16 m²) sebagai pengganti Stasi-
un Pendrikan.1
Pembangunan stasiun tersebut menyusul pengoperasian Stasiun Sema-
rang oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada 1867. Stasi-
un yang berada di Kemijen, dekat pelabuhan Semarang, ini merupakan stasiun
kereta api pertama di Indonesia. Letaknya berada di timur laut bekas Kota
Benteng, termasuk di dalam area DAS Babon. Stasiun tersebut dominan
melayani angkutan barang seperti gula, kopi, tembakau, kapuk, hingga kelapa
dari daerah-daerah sekitar Semarang, seperti Cepiring, Ambarawa, dan Jepara
menuju pelabuhan Semarang untuk diekspor.
Momen sosiospasial ini terjadi secara simultan, peningkatan aktivitas
perdagangan yang mengonsentrasikan orang di luar bekas Kota Benteng,
seperti di wilayah Poncol, juga di tempat-tempat sekitar Stasiun Semarang
hingga pelabuhan Semarang. Sementara itu, bekas Kota Benteng pun terus
memadat. Kota Lama menjadi pusat kendali ekspor-impor yang berlangsung

_____
1 Lihat: BPCB Jateng (8 Agustus 2016), Stasiun Poncol Semarang, URL: https://
kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/stasiun-poncol-semarang/ [diakses pada 1
September 2021].

210
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

di Pelabuhan Semarang sebagai penghubung dengan perdagangan internasio-


nal. Dalam perkembangannya, selain kantor dagang dan gudang, bekas Kota
Benteng itu kemudian dipadati juga dengan pabrik, toko, penyedia layanan
jasa, dan tempat bisnis lain.
Industri manufaktur barang setengah jadi seperti pabrik minyak biji-bijian
Van Dogen Industrieele Maatschappij hingga manufaktur barang konsumsi
seperti NV Mineraalwaterfabriek Hygeia v/h R. Klaasesz & Co yang merupakan
pabrik air mineral pertama di Hindia Belanda, limun dan sirup terbesar di
Hindia Belanda, ada di bekas Kota Benteng itu sejak akhir abad ke-19 hingga
awal abad ke-20. Begitu pula dengan industri percetakan seperti Drukkerij en
Boekhandel H.A Benjamins yang mencetak literatur-literatur Jawa hingga pener-
bitan surat kabar seperti Selompret Melajoe, De Locomotief dan Suara Merdeka.
Industri jasa telekomunikasi (pos, telegraf, telefon), perbankan dan asuransi,
makelar, transportasi, hotel dan tempat hiburan, pengacara dan notaris,
terkonsentrasi dalam kerutan Kota Lama Semarang. Pada paruh kedua abad
ke-19 hingga perempat pertama abad ke-20, Kota Lama Semarang menjadi
kota tersibuk di Hindia Timur.
Konsentrasi yang terjadi di Kota Lama tersebut menyedot dukungan
ekonomi dari kampung-kampung penopang di sekitarnya. Yuliati dkk. (2020)
dalam Riwayat Kota Lama menulis, mata pencaharian sebagian besar pen-
duduk Semarang adalah nelayan dan sebagian kecil pedagang. Sumber ini juga
menyebutkan adanya aktivitas sosioalamiah budidaya tanaman padi di aliran
anak sungai Kaligarang, lokasi yang pada masa kemudian disebut Kawasan
Bojong. Pada masa kini wilayah itu menjadi Kelurahan Bojong Salaman di
dekat Sungai Kaligarang, Kecamatan Semarang Barat. Perubahan-perubahan
yang terjadi di Kota Lama kemudian menarik penduduk dari pedalaman dan
berkelompok di tempat-tempat tertentu di sekitarnya. Ruang-ruang di sekitar
Kota Lama mengalami rekonfigurasi sosiospasial sehingga muncul kampung-
kampung di sekitar Kota Lama dengan nama yang sesuai dengan pekerjaan
penduduknya.
Kampung Kemplongan yang ditinggali buruh-buruh yang bekerja mele-
maskan kain batik dengan kemplong (landasan rata dan pemukul ganden ber-
bahan kayu, dipakai untuk memukul kain sebelum dibatik). Kampung Glon-
dong tempat tinggal pedagang kayu gelondongan. Kampung Sayangan tempat
perajin tembaga, Pandean tempat para pandai besi, Kulitan tempat tinggal
perajin kulit, Gandingan tempat perajin gamelan, Pederesan tempat tinggal
buruh penderes getah karet dan nira aren, Petudungan tempat tinggal perajin
caping, Jagalan tempat pemotongan hewan, Gandekan tempat tinggal perajin
emas dan Pedamaran tempat tinggal pedagang minyak damar. Hingga awal
abad ke-20, industri-industri tersebut masih dapat dijumpai.

211
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Namun momen rekonfigurasi sosiospasial di sekitar Kota Lama sebetul-


nya telah dimulai sejak sebelum bangsa Eropa datang. Kampung-kampung
tersebut sedianya telah ada cikal-bakalnya sebelum semakin padat oleh sebab
daya tarik Kota Lama. Yuliati dkk. (2020) menyebutkan, sebelum orang-orang
Belanda datang ke Semarang, orang-orang Jawa, pendatang dari Tiongkok,
Koja, dan Arab (Hadramaut) telah hidup berkelompok-kelompok di tepi Kali
Semarang. Meningkatnya aktivitas di tepian Kali Semarang dengan berkem-
bangnya perkampungan-perkampungan tersebut, membawa endapan lum-
pur ke muara kali. Keadaan sosioalamiah tersebut dianggap memperburuk
layanan pelabuhan Semarang. Endapan lumpur di muara kali menyulitkan
masuknya kapal besar untuk melakukan aktivitas bongkar muat barang. Solusi
yang ditempuh kemudian adalah pembangunan Kali Baru pada 1873-1875.
Dengan itu, aktivitas perdagangan meningkat, kapal-kapal melakukan
bongkar muat di Jembatan Berok yang merupakan pusat Kota Lama (bekas
Kota Benteng), lewat saluran Kali Baru. Pada awal abad ke-20 terjadi pening-
katan jumlah kapal berlabuh yang pesat di Semarang, dari 804 kapal pada 1904
menjadi 2.070 pada 1930. Momen banjir awal di DAS Garang terjadi pada
masa-masa ini. Sebagaimana telah dituliskan pada bagian sebelumnya, bahwa
banjir awal DAS Garang dalam catatan sejarawan Amen Budiman terjadi pada
1911, justru setelah saluran Kali Baru dibuat.
Puncak aktivitas di pelabuhan pada 1930 tersebut tidak lama. Tahun itu
pula menjadi masa titik balik aktivitas ekonomi di Kota Lama, imbas dari Great
Depression.1 Ini merupakan proses meluap (krisis) dalam bentuk lain, yang
dilihat dari sudut pandang perputaran modal. Salah satu dampak krisis
tersebut adalah ekspor impor yang menurun hingga 15% per tahun sampai
1940; pengadilan menyatakan 181 perusahaan pailit. Hingga setelah Perang
Dunia II, di mana hampir semua perusahaan dagang Belanda tak lagi berniaga
di pasar internasional, dinasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia
(RI).2
Setelah nasionaliasi, kegiatan perdagangan melalui Pelabuhan Semarang
tetap berjalan, meski tidak seramai semasa VOC dan Hindia Belanda. Kali Baru
dan Jembatan Berok sudah tidak digunakan. Pemerintah kemudian merenca-
_____
1 Great Depression merupakan sejarah bencana keuangan dan ekonomi terburuk pada abad
ke-20. Ini adalah krisis ekonomi global yang berlangsung selama sekitar 10 tahun. Krisis ini
dimulai dengan kejatuhan pasar saham di Amerika Serikat pada 24 Oktober 1929. Saat itu,
terjadi pelepasan saham secara masif, hampir 13 juta lembar saham berpindah tangan
dalam sehari. Lihat: Thea Fathanah Arbar (16 April 2020) Mengenal Great Depression,
Krisis Malaise yang Ditakutkan IMF, CNBC Indonesia. URL: https://www.cnbcindonesia
.com/news/20200416130755-4-152381/mengenal-great-depression-krisis-malaise-yang-
ditakutkan-imf [diakses pada 25 Agustus 2021].
2 Dewi Yuliati, Endang Susilowari, dan Titiek Suliyati (2020) Riwayat Kota Lama dan
Keunggulannya Sebagai Warisan Dunia. Semarang: Penerbit Sinar Hidoep. Halaman 289

212
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

nakan perluasan pelabuhan pada 1962, untuk meningkatkan layanan terha-


dap perdagangan ekspor-impor. Dalam rangka perluasan pelabuhan tersebut,
pabrik yang ada di dalam lingkungan pelabuhan harus pindah. Pada saat itu
titik pindah adalah Simongan. Simongan yang juga sering disebut Gedungbatu,
secara administratif berada di Kelurahan Ngemplak Simongan. Berdasarkan
peta DAS, wilayah ini berada dalam Sub-DAS Garang. Departemen Perindustri-
an Rakyat RI saat itu menyetujui Simongan, di antara usulan tempat lain, yakni
Ungaran dan Setjang (Secang, Kabupaten Magelang), karena menganggap
Simongan memenuhi syarat sebagai tempat pemindahan pabrik. 1 Dahulu
wilayah Gedungbatu merupakan sosiospasial yang dibentuk para pendatang
Tionghoa. Dipilihnya tempat di dekat Kali Garang karena dinilai strategis untuk
kegiatan transportasi perdagangan. Orang-orang Tionghoa kemudian mening-
galkan tempat tersebut karena kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang
mewajibkan mereka tinggal di Pecinan yang berada di luar namun dekat Kota
Benteng, untuk mempermudah pengawasan pasca pemberontakan Tionghoa-
Jawa dalam Perang Semarang 1741.2

Lingkaran kedua: Kerut-ledak di serpihan Kota Benteng

Bagian ini menuturkan perubahan sosiospasial yang berlilitan dengan momen


sosioalamiah, di Kali Garang bagian hilir. Letak area tersebut ada di sepanjang
tepian Kali Garang, menuju Bendungan Simongan, sampai di titik pertemuan
antara Kali Kripik bersama Kali Kreo, dengan Kali Garang, di Tugu Soeharto,
Kelurahan Bendan Duwur.

1. Di Simongan, pengusaha dimanjakan, penduduk disingkirkan

Pabrik yang pada 1962 direncanakan pemindahannya ke Simongan adalah


Pabrik Pemintalan Kapas Djantra. Selain pembangunan pabrik baru, pemin-
dahan Djantra sekaligus dibarengi pembangunan instalasi lain yang berhubu-
ngan dengan pabrik, lengkap dengan perumahan bagi para pegawainya. Ke-
seluruhannya waktu itu membutuhkan dana hingga Rp300 juta. Pemerintah
Kota Semarang menyediakan lahan seluas 30 Ha untuk keperluan tersebut.
Pemerintah juga mengupayakan agar proses pemindahan tidak sampai
menghentikan kerja mesin pabrik. Sebab saat itu diperkirakan dibutuhkan

_____
1 Suara Merdeka, 8 Januari 1962, “Djantra Akan Dipindahkan ke Simongan”.
2 S.R. Sari dan E.P Hendro (2020) Konservasi Kampung Pecinan Semarang sebagai Media
Integrasi yang Berdimensi Multikultiralism. Endogami (Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi)
4(1): 93-108.

213
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

waktu tiga tahun untuk membangun pabrik baru beserta bangunan lainnya
tersebut. 1
Tahap I pembangunan pabrik Djantra yang namanya kemudian berubah
menjadi Catur Jantra Benang Tenun PT PPK dan kerap disebut sebagai PPK
(kepanjangan dari Pabrik Pemintalan Kapas) Jantra Simongan (selanjutnya
dalam tulisan ini akan disebut PT Catur Jantra), dilaksanakan oleh PT Amarta
pada rentang 1963-1969. Tahap I pemindahan yang menelan biaya Rp246 juta
dari anggaran pembangunan pemerintah RI itu menghasilkan rangka bangu-
nan yang 80% menggunakan struktur baja. Pembangunan tahap II yang
berlangsung pada 1973-1975 didanai dengan bantuan dari Inggris sebesar £
1,8 juta, pada saat itu setara dengan Rp1,951 miliar. Selain itu pendanaan
pembangunan pabrik baru PT Catur Jantra juga didanai kredit dari Bapindo
sebesar Rp549 juta. Pada pembangunan tahap II itu dilakukan upacara pe-
letakan batu pertama oleh Isriati, istri Gubernur Jawa Tengah kala itu, Mayjend
(purn) Moenadi, setelah sebelumnya diadakan penanaman kepala kerbau oleh
Bupati Semarang, Ismail, yang mewakili Wali Kotamadya Semarang.2
Pabrik PT Catur Jantra bukan pertama yang ada di Simongan. Sebelumnya
sudah ada pabrik di sana, di antaranya pabrik kaos dan pabrik obat-obatan
Phapros. Pendirian pabrik farmasi PT Phapros (Gambar VII.6) sendiri sudah
sejak 1954. Perusahaan ini merupakan pengembangan salah satu usaha
taipan Oei Tiong Ham (Oei Tiong Ham Concern) yang kantornya berpusat di
bekas Kota Benteng. Dahulu PT Phapros bernama NV Pharmaceutical Proces-
sing Industries.3
Pembangunan pabrik PT Catur Jantra di Simongan juga bukan yang
terakhir. Pada 1968, Perusahaan Negara Farmasi (PNF) Bhinneka Kimia Farma
membangun proyek pengembangan castor oil di Simongan.4 PNF Bhineka
Kimia Farma merupakan peleburan sejumlah perusahaan farmasi oleh peme-
rintah, yang salah satunya adalah Kimia Farma. Kimia Farma sendiri meru-
pakan hasil nasionalisasi 1958 terhadap perusahaan industri farmasi pertama
di Hindia Belanda NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co yang berdiri pada
1817. Pabrik castor oil di Simongan diresmikan oleh Presiden RI Soeharto pada
7 Juni 1971. Dalam pidato peresmian, Soeharto menyebutkan produksi castor
oil atau minyak jarak itu untuk ekspor. Proyeksinya, dari pasar internasional

_____
1 Suara Merdeka, 20 Februari 1962, “Pabrik Djantra Djadi akan Pindah ke Simongan”. Dalam
sumber ini, disebutkan sebagai PKK Jantra. Penulis menduga, sumber kurang tepat
menyingkat “Pabrik Pemintalan Kapas”.
2 Suara Merdeka, 26 Desember 1973, “Djantra Jadi Dipindah Simongan Semarang”.
3 Lihat: Sejarah Phapros. URL: https://www.phapros.co.id/sejarah-phapros [diakses pada 27
Agustus 2021].
4 Suara Merdeka, 19 April 1968, “BKF Sedang Bangun Projek Castor Oil di Simongan
Semarang”.

214
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

minyak jarak akan dapat mendulang devisa sebanyak USD 1,5 juta/tahun. 1 Se-
lanjutnya, sejak Agustus 1971 badan hukum PNF berubah menjadi Perseroan
Terbatas dan namanya menjadi PT Kimia Farma (Persero). Hingga saat ini
pabrik castor oil masih berproduksi (Gambar VII.7). Selain minyak jarak, pabrik
ini mengembangkan produksi edible oils dan kosmetika.

Gambar VII.6: Pabrik PT Phapros berada di Jalan Simongan Raya, di belakang Kom-
pleks Kelenteng Sam Poo Kong. Di belakang pabrik tampak rumah-
rumah berada di atas Bukit Simongan. Foto diambil pada September
2021.

Pabrik castor oil milik Kimia Farma di Simongan itu kerap diterjang banjir. Pada
19 Maret 2019, ketika melintasi pabrik tersebut dalam perjalanan pulang kerja,
saya melihat pagar pabrik roboh diterjang banjir. Halaman pabrik tampak
digenangi air yang saya perkirakan setinggi paha orang dewasa. Rekaman
peristiwa tersebut, oleh orang yang melintas, juga banyak beredar di media
sosial.2
Sosiospasial di Kelurahan Simongan terus mengerut, dibarengi momen
sosioalamiah seperti pembangunan jalan. Seiring dengan pembangunan

_____
1 Arsip nasional RI, Sekretariat Negara Seri Pidato Presiden Soeharto 1966-1998 No.768
https://tr-tr.facebook.com/ArsipNasionalRI/posts/2020773998085933 [diakses pada 25
September 2021].
2 Lihat: Sisi Media (19 maret 2019), Akibat Banjir Pagar Kimia Farma Simongan Ambruk
https://www.youtube.com/watch?v=p4uZQSZfu98 [diakses pada 7 September 2021].

215
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

pabrik-pabrik di Simongan, dilakukan pengaspalan jalan di kawasan tersebut.


Pada 1969 pihak Kecamatan Semarang Barat melakukan pengaspalan jalan
dari Jembatan BKB hingga daerah Panjangan, dengan bantuan aspal dari
Pemerintah Kotamadya Semarang, dan bantuan material lainnya dari pabrik-
pabrik yang ada di Simongan.1 Pengaspalan jalan di ruas lain sepanjang Jalan
Simongan terus dilakukan. Pada 1984, warga Desa Ngemplak Simongan
melakukan pengerasan jalan dengan sumber dana murni dari swadaya
masyarakat.2 Pada tahun itu pula, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kotamadya
Semarang memperlebar Jalan Kaligarang, dari pertigaan Jalan dr Sutomo
depan RS dr Kariadi ke Jalan S. Parman, hingga jalan di depan SD Petompon
menjelang Jembatan Kaligarang. Lebar jalan yang semula 4,5 meter diperbesar
menjadi 6 meter, panjangnya sekitar 800 meter.

Gambar VII.7: Pagar biru pada Pabrik PT Kimia Farma (Persero) ini jebol diterjang
banjir pada 19 Maret 2019. Air menggenangi halaman di dalam pagar
pabrik. Dalam gambar tampak jalur pada gerbang dibuat lebih tinggi
dari halaman. Foto diambil pada September 2021.

Selain untuk memperlancar arus lalu lintas menuju Simongan, pelebaran jalan
tersebut juga bertujuan untuk mempermudah lalu lintas menuju kampus
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri di Sampangan (sekarang
Universitas Negeri Semarang/UNNES di Sekaran, Gunungpati) yang dibangun
sejak 1970-an. Pembiayaan pelebaran jalan ini bersumber dari APBD Kota

_____
1 Suara Merdeka, 8 Agustus 2021, “Perbaikan Jalan Simongan”.
2 Suara Merdeka, 7 Mei 1984, “Balai Desa Ngemplak Simongan Selesai Dibangun”.

216
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Semarang tahun anggaran 1984-1985 sebesar Rp14 juta.1 Tahun berikutnya


DPU Kotamadya Semarang mengganti Jembatan Simongan yang terbuat dari
kayu yang menghubungkan wilayah Lemah Gempal dengan Bongsari (seka-
rang dikenal dengan Jembatan Lemah Gempal), dengan struktur besi sehingga
bisa dilewati kendaraan roda empat. Tujuan penggantian jembatan tersebut
adalah untuk memperluas fungsi transportasi Jembatan Kali Garang bagi
kendaraan menuju Simongan.2
Lalu lintas di Jalan Simongan yang semakin padat berdampak pada rusak-
nya jalan di Simongan, hingga menjadi berlubang-lubang besar dan digenangi
air. Pada masa itu terjadi perdebatan tentang penyebab kerusakan Jalan
Simongan, antara penggunaan jalan yang meningkat dengan buruknya kua-
litas jalan yang dikerjakan oleh kontraktor.3 Pada saat itu, DPU Kotamadya
Semarang menyatakan tidak memiliki dana untuk perbaikan jalan. Kepala DPU
saat itu, Ir Soemadji, mengatakan bahwa anggaran DPU saat itu sudah habis
untuk mengatasi banjir dan pembangunan jalan arteri yang dia sebut sebagai
urban transport project. DPU lantas meminta perusahaan-perusahaan di
Simongan untuk ambil bagian dalam perbaikan jalan. Perusahaan-perusahaan
tersebut tidak menolak, karena mereka juga memiliki kepentingan bagi ke-
lancaran sirkulasi barang-barang sebelum dan sesudah produksi. PT Phapros
kemudian mengetuai perbaikan jalan dengan total kebutuhan mencapai
Rp20.125.000 itu. Jalan Simongan yang diperbaiki dibuat selebar delapan
meter dan setinggi 40 cm.4
Di Simongan, pemerintah terkesan memanjakan para pengusaha pabrik
(sebagian pabrik adalah milik perusahaan negara). Hal itu tampak dengan
penyediaan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan pabrik. Mulai dari menyediakan
lahan yang luas untuk pemindahan pabrik; mengupayakan agar produksi tidak
berhenti saat pemindahan; menggelar seremonial peresmian-peresmian;
mendoakan dengan simbol-simbol setempat (penanaman kepala kerbau);
membuatkan jalan utama hingga pendukungnya untuk sirkulasi barang pa-
brik; bahkan melakukan perbaikan ketika jalan tersebut rusak. Namun per-
lakuan pemerintah terhadap warga setempat timpang.

_____
1 Suara Merdeka, 9 November 1984, “Jalan Kaligarang Dilebarkan dari 4,5 meter Jadi 6
Meter”.
2 Suara Merdeka, 17 Januari 1985, “Jembatan Simongan Akan Segera Diganti; Dapat
Dilewati Roda 4”.
3 Suara Merdeka, 5 Desember 1986, “Jalan Simongan, Bagai Kubangan Kerbau”.
4 Suara Merdeka, 7 Februari 1987, “Pengusaha Sekitar Simongan Siap Membantu Perbaikan
Jalan Rusak”.

217
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VII.8: Bagian depan Pabrik PT Damaitex, terletak di seberang SPBU Simo-
ngan. Korban meninggal paling banyak pada banjir bandang 1990
adalah dari tempat ini. Aliran Kali Garang di belakang pabrik ini tampak
menikung. Pabrik ini telah diakuisisi oleh Duniatex milik Keluarga
Hartono yang juga pengusaha perhotelan, mal dan rumah sakit. Foto
diambil dari Jalan Simongan Raya pada September 2021.

Pada saat ditinggalkan oleh orang-orang Tionghoa karena dikonsentrasikan


oleh Pemerintah Belanda di Pecinan, Simongan tidak lantas kosong melom-
pong, masih ada penduduk desa yang pada mulanya sudah hidup di sana de-
ngan menggarap lahan (tegalan).1 Penggarapan lahan dengan bercocok tanam
masih terus berlangsung bahkan sampai pabrik-pabrik mulai didirikan di
Simongan. Pendirian pabrik-pabrik tersebut menggusur penduduk setempat
dari tanah garapannya. Harian Suara Merdeka pada 1974 mencatat adanya
konflik ganti rugi tanah garapan penduduk di Simongan yang salah satunya
dipakai untuk mendirikan pabrik teksil PT Damaitex (Gambar VII.8).
Pada awal bab ini disebutkan, salah satu bangunan pabrik Damaitex
dihantam banjir bandang 1990 dan menewaskan buruh-buruhnya yang
sedang bekerja dalam ruangan yang dikunci dari luar. Pada 1992 PT Damaitex
diambilalih oleh Duniatex (PT Delta Merlin Dunia Textile) untuk difungsikan
dalam proses pemutihan (bleaching), tahap akhir produksi tekstil. Duniatex
merupakan salah satu grup usaha tekstil terbesar di Indonesia yang didirikan

_____
1 Para pendatang Tionghoa yang tinggal di Gedungbatu (dalam sumber ini ditulis Gedong
Batoe) membuat gula yang berbeda dengan gula yang dibuat dengan menggiling tebu
menggunakan tenaga kerbau, yang juga berbeda dengan pembuatan gula aren oleh warga
pribumi. Penggilingan gula tebu didirikan di dekat Gedungbatu, karenanya, tempat itu
kemudian disebut Desa Penggiling. Orang-orang Tionghoa menyewa tegalan dari
penduduk desa sekitar Gedungbatu untuk ditanami tebu, selain itu ada tebu yang ditanam
penduduk desa. Liem Thian Joe (1955) Riwayat Semarang (Dari Zamannya Sam Poo
Sampai Terhapusnya Kongkoan) 1416 – 1931. Semarang – Batavia: Boekandel Ho Kim Yoe.

218
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

di Surakarta pada 1974 oleh Keluarga Hartono.1 Konflik ganti rugi penggusuran
di DAS Garang saat itu juga terjadi antara penduduk di Kelurahan Wonotingal
(Sub-DAS Garang) 2 dengan Hotel Patrajasa3 dalam proyek pembangunannya.
Di kalangan penduduk Simongan terjadi perubahan pekerjaan sekaligus
pergeseran relasi sosioalamiah antara penduduk dengan lingkungan di seki-
tarnya. Pekerjaan bercocok tanam yang dahulu didapati di Simongan, berge-
ser menjadi penambang batu padas dengan risiko kematian. Bukit Simongan
dicatat telah berulang kali longsor sejak 1974. Pada April 1974 Harian Suara
Merdeka memberitakan ada enam orang meninggal terkena longsoran akibat
penambangan Bukit Simongan. Satu jasad di antaranya baru ditemukan bebe-
rapa hari kemudian. Peristiwa itu meresahkan penduduk lain yang tinggal di
sana.4 Setahun kemudian pada September 1975, bukit padas yang terletak di
antara pabrik Phapros dengan pabrik Kimia Farma runtuh. Material besar dan
berat menutup Jalan Simongan di bawahnya.5 Pada Januari 1978, dua orang
diberitakan tewas tertimbun material padas Bukit Simongan.6
Pada Juli 1980 bukit padas Simongan (Gambar VII.9) di dekat pabrik PT
Damaitex longsor dengan material padas menutup jalan Panjangan. Pada saat
itu lalu lintas tersendat, kendaraan tidak bisa lewat dan harus memutar sampai
ke Kalibanteng. Karena material longsoran terlampau berat, maka digunakan
bahan peledak untuk menyingkirkannya dari jalan.7 Februari 1984 Bukit Simo-
ngan kembali longsor, ini adalah longsor kali kedua dalam dua bulan terakhir
kala itu. Angkutan umum yang mengarah ke Kalipancur tidak dapat beroperasi

_____
1 Hartono merupakan ayah dari Sumitro Hartono yang selain mengendalikan perusahaan
tekstil juga mengembangkan bisnis mal dan perhotelan (misalnya: Bestwestern Solo Baru,
Noorman Hotel Semarang, Favehotel Solo, The Alana Hotel Solo, Hartono Trade Center,
Hartono Mal di Solo dan Yoyakarta, Hotel Marriot Yogyakarta, De Salvatore Art & Boutique
Yogyakarta, De Rivier Hotel Jakarta Barat, dan Wisma Hartono Yogyakarta), dan Rumah
Sakit Indriati di Surakarta dan Boyolali. Pada 2019, Duniatex dan usaha yang terafiliasi
dengannya mengalami gagal bayar atas utang senilai USD 260 juta. Lihat: Tim Redaksi VOI
(2 Desember 2020), Cari Duit Buat Bayar Utang Rp19 Triliun: Setelah Jual Dua Mall,
Duniatex Masih Punya rumah Sakit, URL: https://voi.id/berita/21677/cari-duit-buat-bayar-
utang-rp19-triliun-setelah-jual-dua-hartono-mall-duniatex-masih-punya-rumah-sakit
[diakses pada 27 September 2021].
2 Suara Merdeka, 31 Mei 1974, “Ganti Rugi Tanah Simongan dan Wonotingal Dalam
Pengusutan”.
3 Hotel Patrajasa dikelola oleh PT Patra Jasa, anak perusahaan PT Pertamina (persero) yang
bergerak melalui 3 pilar bisnis, yaitu Property & Development, Hotels & Resorts dan
Services. Lihat: Tata Kelola Perusahaan Patrajasa, https://patra-jasa.com/id/, [diakses
pada 4 Oktober 2021].
4 Suara Merdeka, 9 April 1974, “Djumadi Ketemu Tewas Ketimbun Tanah Simongan”.
5 Suara Merdeka, 22 September 1975, “Bukit Padas Simongan Semarang Makin Gawat”.
6 Suara Merdeka, 10 januari 1978, “Lagi 2 Tewas Tertimbun Padas di Bukit Simongan
Semarang”.
7 Suara Merdeka, 15 Juli 1980, “Bukit Simongan Longsor dan Tutup Jalan; Disingkirkan
dengan Dinamit”.

219
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

lantaran jalan tertutup material longsoran. Sejumlah siswa, di antaranya siswa


SMA Negeri 7 Semarang, tidak dapat bersekolah.1 Pada Juni 1985, Sunarto (45
tahun) yang sedang bekerja bersama anak dan menantunya menggali padas
di Bukit Simongan tertimpa gumpalan padas dari ketinggian 1,5 meter, helm
pengaman yang dipakainya pecah terhantam padas. Sunarto yang tinggal
bersama keluarganya di Ngemplak Simongan adalah penggali padas ketiga
yang meninggal pada tahun tersebut.2

Gambar VII.9: Perkampungan di bawah Bukit Simongan di tepi Jalan Simongan Raya, di
mana sepanjang tepi jalan tersebut terdapat rumah-rumah tinggal
berdinding seng, lapak kaki lima yang berjualan makanan dan minuman.
Tampak tebing bekas penambangan padas yang di atasnya terdapat
perkampungan. Foto diambil pada September 2021.

Bukit Simongan belum berhenti longsor. Pada 25 Februari 1991 lima rumah di
Simongan tertimpa longsor pada dini hari. Masing-masing adalah rumah
Karno, Saripan, Ngatinem, Sarwidi, dan Suyatmo. Suyatmo sendiri meninggal
dalam peristiwa tersebut. Komisi A (Bidang pemerintahan dan Pertahanan
Keamanan) DPRD Kota Semarang lewat ketuanya saat itu, Abdul Wahab
Djaelani, mendesak Pemerintah Kotamadya Semarang untuk membangun
tanggul-tanggul tanah di sekitar dasar bukit. Hal itu supaya kendaraan
pengangkut tanah galian tidak bisa masuk lokasi penambangan. Komisi A
menyebut penggalian tersebut sebagai pelanggaran keputusan pemerintah
kota berkaitan larangan penambangan Bukit Simongan. Komisi A meminta
_____
1 Suara Merdeka, 16 Febriari 1984, “Bukit Simongan Longsor”.
2 Suara Merdeka, 28 Juni 1985, “Lagi-Lagi Bukit Simongan Minta Korban”.

220
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Pemerintah Kotamadya Semarang menindak tegas pelanggaran tersebut,


dengan salah satunya mengetatkan patroli Tibum (Unit Ketertiban Umum) dan
muspika (musyawarah pimpinan kecamatan, terdiri dari Camat, Kepala
Kepolisian Sektor, dan Komandan Rayon Militer). Pemerintah sendiri, lewat
Humas Pemerintah Kotamadya Semarang, Moegiono, waktu itu mengatakan
tidak mudah memenuhi desakan dan permintaan Komisi A tersebut. Sebab,
menurut pemerintah, mereka memikirkan kehidupan para penggali padas
tersebut yang semata menggantungkan hidup dari menambang.1
Di sisi lain, keberadaan pabrik-pabrik di Simongan tersebut mengonsen-
trasikan orang-orang dari luar wilayah Simongan. Menurut Kepala Desa
Ngemplak Simongan saat itu, T Widodo, di wilayah Simongan bertumbuh
rumah-rumah tidak resmi yang kebanyakan adalah rumah yang dibuat oleh
para pekerja pabrik dan pekerja lainnya. Pertumbuhan rumah-rumah tersebut
meningkat pesat pada Februari 1980. Widodo menyebutkan, sebagian orang
yang membangun rumah-rumah tersebut telah mendaftar dan menjadi warga
Ngemplak Simongan. Namun Widodo menolak sebagian besar permohonan
pendaftaran warga, sebab status tanah yang dihuni bukan milik para pekerja
tersebut. Pada 10 Maret 1980, sebanyak 20 rumah yang disebut tidak resmi
oleh pemerintah dibongkar oleh Unit Ketertiban Umum.2
Lahan di Simongan menjadi ruang yang diperebutkan antara pemodal di
mana negara ada di dalamnya dalam wujud perusahaan negara seperti Kimia
Farma dan PT Catur Jantra, para pekerja pabrik dan pekerja lain, dan penduduk
setempat. Pada Maret 1983, lahan di belakang pabrik PT Catur Jantra dipasangi
puluhan patok besi di atas pondasi semen. Patok-patok bambu bercat merah
juga didapati di sana sini di tempat tersebut. Patok-patok tersebut membatasi
luasan-luasan tanah yang masing-masing berukuran sekitar 15x20 meter.
Sebagian patok berada di dataran rendah, sebagian lagi di lereng-lereng bukit.
Lahan yang dipatok sebagian telah rata, sebagian masih terdapat tanaman
singkong dan tanaman lain di atasnya. Pada patok-patok tersebut tertulis
nama-nama orang. Menurut data yang dicatat oleh Harian Suara Merdeka,
nama-nama tersebut adalah nama warga setempat. Ada dua nama yang
diketahui adalah pengurus salah satu RT di Simongan. Sementara para
karyawan pabrik PT Catur Jantra juga meminati lahan tersebut untuk
ditempati. Mereka berharap PT Catur Jantra mengumumkan jika akan menjual
lahan tersebut. Tampaknya sudah jelas siapa yang akan tetap menang dalam

_____
1 Suara Merdeka, 26 Februari 1991, “Pemda Kodya Diminta Tindak Tegas Penggali Tanah
Padas di Bukit Simongan”.
2 Suara Merdeka, 22 Maret 1980, “Rumah-Rumah Tak Resmi di Simongan Dibongkar”.

221
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

perebutan ruang ini. Yang mana, PT Catur Jantra-lah yang dinyatakan memiliki
lahan tersebut.1
Dengan demikian, penggusuran-penggusuran atas nama legalitas kepe-
milikan lahan terus berlanjut di Simongan. Pada Februari 1987 rumah-rumah
di Simongan dibongkar oleh Unit Ketertiban Umum karena dianggap berdiri
secara tidak sah tanpa izin pemilik tanah maupun izin Pemerintah Kotamadya
Semarang. Orang-orang yang digusur tersebut kebingungan lantaran pem-
bongkaran dilakukan saat musim penghujan.2 Tidak hanya rumah warga, pe-
dagang kaki lima di Ngemplak Simongan juga digusur. Pada 2000 sekurangnya
50 pedagang di dekat Kelenteng Sam Poo Kong Gedungbatu digusur untuk
perluasan Kawasan parkir. Sebelumnya 16 pedagang telah digusur untuk pro-
yek jalan dan Jembatan Kali Garang (Gambar VII.10). 3
Proyek jalan dan jembatan itu dilakukan dengan dana Rp16 miliar, ber-
sumber dari APBN sebesar 20% dan dana dari International Bank for Reconstruc-
tion and Development (IBRD), grup Bank Dunia yang bermarkas di Washington
D.C Amerika Serikat, sebesar 80%. Jembatan yang dibangun memiliki panjang
80,8 meter, lebar 20 meter, dan tinggi 21 meter. Tujuannya adalah untuk
mengurangi kepadatan lalu lintas di pusat kota, di mana lalu lintas dari sebelah
barat kota menuju timur kota dan sebaliknya, selalu lewat kawasan padat
kendaraan di pusat kota, seperti Jalan Jenderal Sudirman, kawasan Tugumuda,
Jalan Pandanaran, dan Jalan Ahmad Yani. Proyek pembangunan jalan dan
jembatan itu juga turut melancarkan lalulintas menuju kawasan pabrik di
Simongan. Kecelakaan terjadi pada saat pembangunan, di mana belandar
beton yang telah dipasang berjajar lima, roboh ketika pemasangan beton ke
enam. Sebelumnya, setiap malam selama pengerjaan proyek, warga sekitar
mendengar suara gemuruh seperti banjir meskipun kenyataannya tidak.4 Ke-
rugian akibat kejadian tersebut mencapai Rp1 miliar, di mana harga satu
belandar beton mencapai Rp176 juta. Kepala Cabang PT Hutama Karya VII
(kontraktor yang melaksanakan proyek bersama PT Wijaya Karya), Heru
Jatmiko, menyebut karena kejadian tersebut enam belandar yang patah akibat
roboh diganti dengan memesan dari PT Wika Beton di Cibinong, Jawa Barat.

_____
1 Suara Merdeka, 31 Maret 1983, “Tanah PKK jantra Simongan Mulai Dikapling Orang”.
2 Suara Merdeka, 18 Februari 1987, “Warga Ngemplak Simongan yang Tergusur Dapat
bantuan”.
3 Suara Merdeka, 9 Agustus 2000, “PKL Simongan Direlokasi”.
4 Suara Merdeka, 22 November 1999, “Belandar Beton Jembatan Kaligarang Ambrol”.

222
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar VII.10: Jembatan Kali Garang yang dalam pembangunannya menggusur pen-
duduk setempat ke Pongangan, Kecamatan Gunungpati. Penggusuran
tersebut menyisakan konflik di mana warga tidak diberi uang pengganti
yang sesuai dengan nilai tanah dan rumah yang dilepas. Foto diambil
pada September 2021.

Selain para pedagang, pada 2000 itu puluhan keluarga di Ngemplak Simongan
juga digusur. Rumah-rumah warga tersebut terkena kepras pembangunan
jalan dan jembatan Kali Garang. Dari Simongan, warga dipindahkan ke
Pongangan, Kecamatan Gunungpati yang ada di Sub-DAS Kripik. Warga
mengalami banyak kesulitan dalam pemindahan tersebut. Seperti diungkap-
kan Rusiyem, salah seorang warga Ngemplak Simongan yang terpaksa pindah
ke Pongangan, yang menyebut kesulitan berjualan mencari uang untuk meme-
nuhi kebutuhan hidup harian. Belum lagi, lokasi di mana warga dipindahkan
itu rawan longsor. Beberapa warga yang sudah berada di Pongangan kembali
lagi ke Simongan lantaran kesulitan hidup di tempat baru tersebut.1
Jika pemerintah “bersusah payah” membangunkan jalan menyusul pe-
mindahan pabrik pemintalan kapas Djantra, kemudian memperbaiki jembatan
hingga membangun jalan dan jembatan baru demi kelancaran lalu lintas yang
bermanfaat besar untuk pabrik-pabrik di Simongan, tidak demikian yang
dilakukan pemerintah saat memindah warga. Bahkan pemerintah tidak me-
nyediakan air bersih yang merupakan kebutuhan dasar manusia bagi warga
yang dipindah, meski sudah dijanjikan. Penggusuran tersebut dilakukan
dengan bahasa ganti rugi. Warga diberi ganti rugi atas tempat tinggal di
Ngemplak Simongan, namun besarannya jauh lebih kecil dari nilai rumah yang

_____
1 Suara Merdeka, 25 April 2000, “Wara Mengaku ‘Gela’ Lepas Tanah Untuk Proyek
Kaligarang.”

223
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

dulu ditempati berdasarkan harga pasaran. Pemerintah hanya memberi ganti


rugi sebesar Rp6.000/m², sedangkan harga pasaran saat itu mencapai
Rp50.000 – Rp60.000/m². Seorang warga menyebut bangunan rumahnya
hanya dihargai Rp2,5 juta. Dia kesulitan karena uang ganti rugi sama sekali
tidak menggantikan kerugian mereka, karena tidak dapat dipakai untuk mem-
beli atau membuat rumah lagi.1 Kesulitan warga itu masih ditambah-tambah
lagi. Pada waktu itu warga yang dipaksa pindah diminta menandatangani
blangko ganti rugi yang sebagian lembarnya kosong. Tidak ada sertifikat bukti
kepemilikan lahan di Pongangan, dan parahnya pengadaan tanah pengganti di
Pongangan itu dibebankan kepada warga. Pada Desember 2000, warga yang
digusur tersebut dengan didampingi seseorang bernama Mulhat, memprotes
aturan soal pembebanan tanah pengganti ke Balai Kota Semarang.2
Padahal sebenarnya, Pemerintah Kota Semarang dalam Rencana Induk
Kota Semarang tahun 1975 menyebutkan Ngemplak Simongan sebagai Kawa-
san Pemukiman, bukan kawasan industri. Pada 1990 pascabanjir-bandang,
Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat yang juga mantan Gubernur
Jawa Tengah 1972-1982, Soepardjo Roestam, mengungkap data lama di mana
daerah hilir Kali Garang seperti Bongsari hingga ke Simongan tidak diperuntuk-
kan bagi lokasi industri maupun permukiman, melainkan daerah penampung-
an air. Gubernur Jawa Tengah saat itu, Ismail, mempertanyakan mengapa di
Bongsari dan Simongan bisa berdiri sejumlah pabrik. Seperti pabrik Damaitex
yang berada di tikungan Kali Garang. Dia pun menyayangkan pembangunan
kampus IKIP Semarang di daerah rawan (saat itu kampus IKIP Semarang
berada di Sampangan). Ismail dan Soepardjo Roestam berpendapat bahwa
sepanjang aliran Kali Garang seharusnya dijadikan jalur hijau.3 Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor
14 tahun 2011 pun menyebutnya demikian.4 Bahwa Kelurahan Ngemplak
Simongan berada dalam Pembagian Wilayah Kota (BWK) III. Pasal 10, Perda
Nomor 14 Tahun 2011 tidak memasukkan BWK III dalam zona pengembangan
industri. Pasal 119 ayat (7) huruf (h) yang mengatur zonasi kawasan industri,
menyebut kegiatan industri yang masih berada di luar kawasan industri akan

_____
1 Suara Merdeka, 18 Maret 2000, “Proyek Kali Garang Terhambat Pembebasan Tanah”.
2 Suara Merdeka, 22 Desember 2000, “Eks Warga Ngemplak Simongan Tagih Janji”.
3 Suara Merdeka, 28 Januari 1990, “Menko Kesra Sayangkan di Dekat Aliran Kali Garang ada
Pabrik”.
4 Hamidah Kurniawati dan Aloysius Rengga (2016) Implementasi Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Rencana tata Ruang Wilayah Kota Semarang
2011-2031 (Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Simongan). Journal of Public Policy and
Management Review 5(2): 349-364

224
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

direlokasi secara bertahap ke kawasan industri.1 Implikasi dari Perda RTRW ter-
sebut adalah rencana penataan wilayah Simongan yang merupakan campuran
antara kawasan industri dan permukiman. Tujuan rencana itu di antaranya
adalah untuk menciptakan lingkungan hidup yang sehat, dengan menjauhkan
permukiman dari polusi yang dikeluarkan pabrik, seperti asap, suara, dan lim-
bah lain. Selain itu, pemindahan dilakukan untuk mencegah pencemaran Kali
Garang, yang mengalir di sepanjang pinggir Simongan, oleh limbah industri. 2
Kurniawati (2016) menyebutkan bahwa pada 2012, mutu air Kali Garang
tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sumber air baku untuk dikonsumsi.
Berdasar parameter BOD (Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen
Demand), fecal coliform dan total coliform, air Kali Garang memiliki kecende-
rungan kriteria mutu air yang lebih rendah dari kriteria I. Sedangkan sebagai
sumber air baku PDAM Kota Semarang (Gambar VII.11), mutu air Kali Garang
sedianya berada pada kriteria air kelas I. Tampaknya itu bukanlah hal yang
baru terjadi. Pada Oktober 1989 persoalan tersebut menjadi topik yang banyak
diberitakan media. Tingkat pencemaran di Kali Garang tahun itu, terutama di
dekat pompa hisapan PDAM, sudah mendekati batas ambang. Saat itu BOD-
nya mencapai 8,4 mg/L, sementara batas ambangnya adalah 10 mg/L.
Sedangkan untuk parameter COD di Kali Garang yang mencapai 14,9 mg/L
serta pH (derajat keasaman) 6,8-7,5, menurut Asisten II Sekretaris Kotamadya
Semarang yang sekaligus Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Pencemaran
Lingkungan Hidup (TKP2LH), Tommy Sasmita Oetomo, masih bisa ditolelir.
Pada saat itu Kali Garang adalah sumber air baku utama bagi layanan air
minum PDAM Kotamadya Semarang. PDAM belum bisa mencari alternatif
sumber lain, sebab baru Kali Garang yang memiliki debit minimum 600
liter/detik. Kurang dari itu, tidak dapat mencukupi kebutuhan air bersih warga

_____
1 Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana tata Ruang
Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031, URL: http://jdih.semarangkota.go.id/ildis_v2/
public/pencarian/499/detail, [diunduh pada 22 Septerber 2021].
2 Dini Noviani (2015) Analisis Penataan Kawasan Simongan Berdasarkan Perda No.14 Tahun
2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031. Journal of
Politic and Government Studies, 4(2): 341-355. Diambil dari: https://ejournal3.undip.ac.id/
index.php/jpgs/article/view/8249. Penelitian ini memuat hasil wawancara dengan Kepala
Bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Infrastruktur Bappeda Kota Semarang
pada 17 Desember 2014) sebagai berikut (2015: 349); “…alasan yang melatar belakangi
dibentuknya Perda No. 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Semarang tahun 2011-2031 karena usia dari Perda sebelumnya sudah habis. Perda RTRW
yang sebelumnya mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang dari tahun
2000-2010, dan kemudian dilanjutkan dengan Perda yang baru. Dalam perkembangan-
nya, kawasan Simongan posisinya ada di dalam kota. Sebelum tahun 1976 posisi Simongan
ada di pinggiran kota, kalau terjadi perubahan-perubahan di kawasan Simongan itu
karena perkembangan kota itu sendiri. Sehingga secara konsepsional pasti akan merubah
tatanan keruangan di kota Semarang.”

225
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Semarang yang saat itu berjumlah 1,2 juta jiwa. Memburuknya mutu air Kali
Garang tersebut, menurut Tommy, disebabkan oleh limbah penduduk yang
hidup memadati daerah sekitar DAS.1

Gambar VII.11: Bangunan bercat biru pada foto adalah instalasi penyaringan air PDAM
Tirta Moedal Semarang di Kali Garang. Foto diambil dari belakang
pabrik PT Damaitex pada September 2021.

_____
1 Suara Merdeka, 27 Mei 1989, “Pencemaran Kaligarang Tampaknya Semakin Garang”. Pada
saat itu, bukan hanya Kali Garang yang tercemar, tapi juga sungai lain di Semarang. Kondisi
Kali Semarang, yang sungainya sudah dinormalisasi pada 1984-1985, lebih buruk. Airnya
berwarna kehitaman, BOD-nya mencapai 46 mg/L. Pada 1930-an, ketika penduduk di
sekitar Kali Semarang masih berjumlah 200 ribuan, sungai masih dipakai untuk
transportasi perahu dan drainase. Pada 1989 penduduk Semarang sudah meningkat
menjadi 800 ribuan. Menurut Asisten II Sekretaris Kotamadya Semarang, Tommy Sasmita
Oetomo, Kali Semarang tak mampu lagi menampung limbah masyarakat.

226
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar VII.12: Pagar kawat di sebelah kiri pada foto ini adalah pagar pabrik baja lapis
seng PT Semarang Makmur. Pabrik ini tepat berada di pinggir Kali
Garang. Sedangkan bangunan bercat biru di sebelah kanan adalah
instalasi penyaringan air PDAM Tirta Moedal Kota Semarang. Jalan di
tengah ber-paving-block ini menuju ke Kampung Gedungbatu Timur.
Foto diambil pada September 2021.

Namun pernyataan pemerintah tentang limbah penduduk itu tidak sepenuh-


nya benar. Seorang pakar Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari
Prima Disain Semarang, Ir Arie Nuryanto, melakukan penelitian pada Maret
1989. Hasilnya menunjukkan dari sembilan pabrik di kawasan Kali Garang,
semuanya membuang limbah ke sungai. Setidaknya ada dua pabrik yang
setiap hari membuang limbah dengan kandungan logam berat, seperti Ni, Hg,
Ca dan Mg, dengan COD 7.812 mg/L. Jika versi pemerintah menyebut COD air
Kali Garang di angka 14,9 mg/L dan menganggapnya masih bisa ditolerir dari
batas ambang, penelitian Arie Nuryanto menunjukkan hal yang jauh berbeda,
di mana COD air Kali Garang dengan pembuangan limbah industri ke dalam-
nya itu, adalah sebesar 30-40 mg/L. Sedangkan untuk bahan baku air minum,
standar angka COD tidak boleh lebih dari 10 mg/L.1 Tingkat pencemaran Kali
Garang saat itu dikemukakan dan menjadi perhatian Menteri Kependudukan
dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, selain pencemaran sungai lainnya seperti
Bengawan Solo. Selain parameter-parameter tersebut di atas, yang harus
diwaspadai menurut Menteri Emil, untuk Kali Garang, adalah pencemaran

_____
1 Suara Merdeka, 7 Oktober 1989, “Limbah Mengandung Logam Berat Cemari Kali Garang”.

227
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

bakteri E-Coli, yang apabila jumlahnya berlebih di dalam tubuh manusia bisa
menyebabkan infeksi serius. Seorang geolog dan ahli AMDAL dari Prima Disain
Semarang, Ir Joenoes Mukti, menunjuk pusat pembuangan tinja di Tinjomoyo,
dekat wilayah Gombel Lama dan Bonbin (Kebun Binatang Kota saat itu) di
Semarang Selatan. Letak tempat tersebut berada di Sub-DAS Garang hulu,
lokasinya pun tidak jauh dari Kali Garang. Limbah tinja yang dibuang di tempat
tersebut jumlahnya sangat besar. Sebagai gambaran, hampir semua tinja dari
WC di Kotamadya Semarang, oleh perusahan penyedot limbah tinja, dibuang
ke tempat tersebut. Meskipun pembuangannya di dalam bak penampungan,
namun karakteristik tanah di tempat tersebut, menurut Joenoes Mukti,
ternyata mudah meresapkan air/cairan atau porositasnya besar.1
Sementara itu, merespon rencana implementasi Perda RTRW 2011, para
pengusaha pemilik pabrik di Simongan, mengajukan uji materiil ke Mahkamah
Agung. Pengajuan tersebut didukung oleh pemilik pabrik dan pengusaha di
luar Simongan. Sebab, berdasar keterangan yang diterima para pengusaha,
bukan hanya pabrik di Simongan yang harus pindah berdasar perda RTRW
2011, melainkan juga pabrik-pabrik di kawasan Jalan Setiabudi, Banyumanik
(berada di DAS Babon) dan Jalan Hanoman, Semarang Barat (berada di DAS
Silandak).2

Gambar VII.13: Petunjuk arah menuju pabrik PT Sinar Panca Jaya. Jalan tersebut berada
di sebelah PT Phapros. Sedangkan pada jalan menuju pabrik, terdapat
permukiman warga. Foto diambil dari Jalan Simongan Raya pada
September 2021.

_____
1 Suara Merdeka, 16 Oktober 1989, “Sungai Kaligarang Ternyata Bak Sampah Terbesar”.
2 Lihat: Rustam Aji (30 November 2014), Tribun Jateng, Puluhan Pabrik Menolak Pindah dari
Simongan, Pemkot Akan Cabut Izin, URL: https://jateng.tribunnews.com/2014/11/30/
puluhan-pabrik-menolak-pindah-dari-simongan-pemkot-akan-cabut-izin, [diakses pada 27
September 2021].

228
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Pemohonan uji materiil tersebut diajukan atas nama PT Sinar Pantja Djaja dkk.
melawan (1) Pemda Kota Semarang c.q Wali Kota Semarang dan (2) DPRD Kota
Semarang, pada 17 Desember 2012 dengan nomor perkara 52P/HUM/2012.
Pada 31 Mei 2013, Mahkamah Agung dengan majelis hakim yang diketuai
Marina Sidabutar dengan anggota H. Supandi dan Irfan Fachrudin, membaca-
kan putusan penolakan permohonan uji materiil tersebut. Salah satu amar
putusannya adalah: menolak permohonan keberatan hak uji materiil dari para
pemohon, I. PT Sinar Pantja Jaya (Gambar VII.13), II. PT Kurnia Jati Utama
Indonesia, III. PT Phapros Tbk, IV. PT Indonesia Steel Tube Works, V. PT Kimia
Farma (Persero) Tbk, VI. PT Alam Daya Sakti, VII. PT Itrasal, VIII. PT Pantjatunggal
Knitting Mill (Gambar VII.14), IX. PT ALKA, X. PT Semarang Makmur (Gambar
VII.12), XI. PT Damaitex, XII. PT Aldian Citrasetia, XIII. PT Fumira, XIV. PT Raja
Besi, XV. PT Kubota Indonesia, XVI. PT DJAGO, XVII. PT Dasa Gaya (disingkat) PT
Degepharm, XIX. PT Erlimpex, XX. Swiss Bakery, XXI. Cengkeh Rajangan Cap
Lawet. Status putusan Mahkamah Agung tersebut adalah telah berkekuatan
hukum tetap.1

Gambar VII.14: PT Pantja Tunggal Knitting Mill memiliki dua lokasi yang berhadap-
hadapan (gambar kanan dan kiri), hanya dipisahkan Jalan Simongan
Raya. Foto diambil pada September 2021.

Pada 2014, Pemerintah Kota Semarang lewat Sekretaris Dinas Tata Kota dan
Perumahan, M Irwansyah mengatakan akan bertindak tegas menjalankan
Perda RTRW 2011, yakni dengan menghentikan izin operasional industri di

_____
1 Direktori putusan Mahkamah Agung RI, URL: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/
direktori/putusan/442f7ef339479c1f1b5d3df8a1119da9.html [diakses pada 27 Septem-
ber 2021].

229
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

kawasan Simongan.1 Tapi ternyata pada September 2019, Ketua DPRD Kota
Semarang, Kadarlusman menyatakan Simongan akan tetap menjadi kawasan
industri. Pemerintah Kota Semarang dan DPRD Kota Semarang menyepakati-
nya dengan mengubah Perda No 14 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Semarang
2011-2031 tersebut dengan Perda No 5 Tahun 2021.2 Pasal 5 sampai 8 tentang
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pola Ruang yang di dalamnya mengatur
tentang kawasan lindung dan budidaya, penguasaan tanah, penyediaan ruang
terbuka, pengarahan kawasan terbangun, pembatasan pengembangan kawa-
san industri, dihapus dari Perda Nomor 5 Tahun 2021. Pasal 10 tentang Ren-
cana Pembagian Wilayah Kota yang di dalamnya tidak memasukkan BWK III, di
mana Kelurahan Ngemplak Simongan tergolong di dalamnya, sebagai kawasan
industri, juga dihapus. Soal relokasi pabrik yang tidak berada di kawasan
industri yang diatur dalam Pasal 119 pada Perda sebelumnya tidak lagi dican-
tumkan di Perda yang baru.3
Dinamika sosiospasial di Simongan tersebut terjadi di bawah pemba-
ngunan kapitalistik yang timpang, di mana ada pihak yang dimenangkan
dengan diberi fasilitas macam-macam, bahkan dibuatkan aturan yang mema-
gari kedudukan mereka secara formal. Di sisi lain, ada pihak yang dikalahkan
dengan cara digusur menggunakan aturan-aturan yang memanjakan pihak
yang dimenangkan. Sebagaimana istilah Brenner (2009) “pembangunan sosio-
spasial yang timpang,” di wilayah Simongan warga digusur dengan aturan-
aturan yang memenangkan pabrik.
Namun, warga di sini pun tidak homogen, artinya tidak setiap warga
menerima dampak yang sama dalam pembangunan yang timpang. Warga
yang bisa membeli rumah di kompleks perumahan mewah Paramount Village
(Gambar VII.15) yang ada di Kelurahan Ngemplak Simongan tentu tidak akan
digusur. Kompleks perumahan mewah Paramount Village sendiri mulai diba-
ngun oleh pengembang perumahan berskala nasional Paramount Land pada
2015. Hingga 2016 pembangunan perumahan di atas lahan seluas sembilan
hektar itu telah menyelesaikan tahap I dengan 220 unit rumah dan 41 unit
ruko. Belum selesai pembangunan tahap I, pada September 2015, 150 unit

_____
1 LIhat: Redaksi Solopos (19 September 2014), Solopos,com, Perizinan: Khusus untuk
Perumahan, Izin Operasional Industri di Simongan Disetop, URL: https://www.solopos.com
/perizinan-khusus-untuk-perumahan-izin-operasional-industri-di-simongan-disetop-
537500 [diakses pada 25 Septermber 2021].
2 Lihat: Haris Effendi (26 September 2019), Metrojateng.com, Ketua Dewan: Simongan
Tetap Jadi Kawasan Industri, URL: https://metrojateng.com/ketua-dewan-simongan-
tetap-jadi-kawasan-industri/ [diakses pada 26 September 2021].
3 Salinan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Semarang tahun 2011-2031, URL: https://jdih.semarangkota.go.id/ildis_v2/public/
pencarian/1200/detail, [diunduh pada 27 September 2021].

230
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

rumah sudah terjual. Total rumah yang dibangun di Paramount Village adalah
450 unit rumah dan 43 ruko, dengan dua tipe luas rumah, yakni 60 m² dan 72
m², dengan harga jual saat itu antara Rp600 juta hingga Rp1,5 miliar. 1 Para-
mount Land sendiri merupakan cabang perusahaan properti PT Paramount
Enterprise International (Paramount Enterprise) yang mengembangkan di antara-
nya real estate dan pergudangan.2

_____
1 Lihat: Andik Sismanto (18 September 2015), Sindonews.com, Paramount Village di
Semarang Ditarget Habis Akhir 2015, URL: https://ekbis.sindonews.com/berita/
1045950/179/paramount-village-di-semarang-ditarget-habis-akhir-2015 [diakses pada 22
September 2021].
2 Dalam laman perusahaannya, Paramount menyebut telah mengembangkan kotapraja,
lingkungan perumahan lengkap dengan fasilitas rumah sakit, area komersial, hotel,
restoran, sekolah, perguruan tinggi, angkutan umum, keamanan, olah raga dan rekreasi
serta ruang terbuka hijau di Kelurahan Gading Serpong, Tangerang. Area Gading Serpong
yang dikembangkan Paramount kini mencapai 1.200 Ha, lebih dari 53.000 orang tinggal di
sana. Selain Paramount Village, Paramount Land juga mengembangkan Paramount Hills di
Sulawesi Utara dalam proyek hunian dengan fasilitas di dalamnya seluas 20,8 Ha.
Paramount Land berencana mengembangkan beberapa kota mandiri baru di lokasi lain ke
barat dan selatan Jakarta, termasuk di Bogor dan Tangerang. Proyek Paramount Land
direncanakan terintegrasi dengan Central Business District (CBD) di Jakarta dan di
Pekanbaru, Riau. Lihat: Paramount Land - Company Profile, URL: https://www.paramount-
land.com/company-profile-2/ [diakses pada 25 September 2021].
PT Paramount Enterprise pernah dikepalai oleh Eddy Sindoro (sebagai chairman),
mantan petinggi Grup Lippo yang bersama adiknya, Billy Sindoro, terlibat kasus suap
perizinan proyek Meikarta di atas lahan 774 hektare, di mana pada Maret 2018
Pemerintah Provinsi Jawa Barat hanya mengizinkan pembangunan Meikarta di lahan
seluas 84,6 hektare. Lihat: Yuliawati (16 Oktober 2018), KATADATA.co.id, Duo Sindoro
dalam Pusaran Kasus Seret Grup Lippo di KPK, URL: https://katadata.co.id/yuliawati/
berita/5e9a55bbc371c/duo-sindoro-dalam-pusaran-kasus-seret-grup-lippo-di-kpk
[diakses pada 27 September 2021].
Paramount Group sendiri dikendalikan oleh Elizabeth Sindoro, kakak kandung Eddy
dan Billy, istri mendiang Handiman Tjokrosaputro pemilik PT Dan Liris, salah satu pabrik
tekstil dan konveksi terbesar di Indonesia. Lihat: Tina Savitri, Mimpi-Mimpi Michelle
Tjokrosaputro, PESONA.co.id URL: (https://www.pesona.co.id/read/mimpi-mimpi-michel
le-tjokrosaputro?p=1 [diakses pada 27 September 2021]). Pada 2018, Elizabeth Sindoro
masuk dalam daftar 150 orang terkaya dan lima Wanita terkaya di Indonesia versi Majalah
Globe Asia. Lihat: Ridwan (17 Mei 2020), Woow…Inilah Lima Wanita Terkaya di Indonesia,
Asetnya Triliunan Rupiah, Industry.co.id. URL: (https://www.industry.co.id/read/66573/
woowinilah-lima-wanita-terkaya-di-indonesia-asetnya-triliunan-rupiah [diakses pada 27
September 2021]).

231
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VII.15: Gerbang real estate Paramount Village menghadap ke Kali Garang.
Foto diambil dari pagar pembatas bahu Jalan Simongan dengan
sempadan Kali Garang pada September 2021.

Sementara, pada 7 September 2021, warga lain di Simongan tetap digusur


tanpa pemberitahuan atau pemberian kesempatan untuk mencari tempat
baru terlebih dahulu. Sebanyak 26 rumah warga di Kampung Karangjangkang,
Kelurahan Ngemplak Simongan dibongkar oleh Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP). Saat pembongkaran, warga menghalangi dan bersitegang dengan
Satpol PP, meminta penundaan supaya bisa mengeluarkan barang-barang dari
rumah. Namun upaya tersebut gagal. Sebelumnya sudah ada 24 lapak PKL
yang dibongkar, ditambah 11 rumah tinggal. Total rumah tinggal yang akan
dibongkar adalah 74 rumah, termasuk rumah yang berada di atas tebing Bukit
Simongan.1
Lahan yang di atasnya berdiri rumah tinggal warga tersebut luasnya 8.200
meter, merupakan lahan sengketa yang diperebutkan sejak 2012. Mulanya
lahan tersebut dalam penguasaan PT Perusahaan Dagang dan Perindustrian
dengan status Hak Guna Bangunan (HGB), yang berakhir 10 November 1995.

_____
1 Lihat: M Husni Mushonifin (7 September 2021), SIGI Jateng, Satpol PP Kota Semarang
Bongkar 26 Rumah di Simongan, Sengketa Sejak 2012, URL: https://sigijateng.id/2021/
satpol-pp-kota-semarang-bongkar-26-rumah-di-simongan-sengketa-sejak-2012/ [diakses
pada 25 September 2021].

232
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Perpanjangan HGB lantas diikuti oleh penjualan kepada seorang bernama


Tjahjadi pada 1997. Lahan kemudian dijual kepada PT Pantja Tunggal pada
2009. Warga sendiri mulai menempati lahan tersebut sejak 1998. Belakangan
muncul nama Putut Sutopo dengan klaim memegang bukti kepemilikan lahan
tersebut beserta akta jual beli yang diterbitkan notaris, serta peta bidang yang
diterbitkan BPN Kota Semarang (Gambar VII.16).1
Putut Sutopo adalah seorang pengusaha bidang bongkar muat barang di
pelabuhan. Saat ini (September 2021) dia merupakan Penasihat Dewan Pe-
ngurus Wilayah Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI).2 Putut
Sutopo tersebutlah yang meminta warga meninggalkan rumah dengan mem-
beri uang dalam bahasa “tali asih”, dengan besaran yang berbeda berkisar
antara Rp15 juta hingga Rp40 juta untuk pemilik lapak PKL dan pemilik
bangunan rumah sejak 2011. Sebagian warga menerima uang tersebut, seba-
gian lagi menolak dan mengajukan gugatan kepemilikan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Semarang, terdaftar dengan nomor 50/G/2021/PTUN.
Pada 26 Juli 2021, PTUN Semarang menolak gugatan warga. Atas dasar
tersebut, Putut Sutopo mengajukan permohonan kepada Dinas Tata Ruang
Kota Semarang untuk melakukan penertiban, yang kemudian dilaksanakan
oleh Satpol PP.

_____
1 Lihat: Aden W (2 April 2021), Radar Semarang, “Sengketa Lahan, Kuasa Hukum Putut
Sutopo Wadul Dewan” URL: https://radarsemarang.jawapos.com/berita/hukum-dan-
kriminal/2021/04/02/sengketa-lahan-kuasa-hukum-putut-sutopo-wadul-dewan/ [diakses
pada 25 September 2021].
2 Pada 23 September 2021, Putut Sutopo sedang mencalonkan diri sebagai ketua umum DPP
APBMI 2021-2026, bersaing dengan pimpinan Daisy Group, Juswandi Kristianto dan CEO
Tubagus Group H.M Fuadi, ketua periode sebelumnya. Lihat: Logistik News (23 September
2021), Jateng Munas ke VIII: Bursa Calon Ketum APBMI Kian Dinamis, Putut Jateng Siap
Maju, URL: https://www.logistiknews.id/2021/09/23/jelang-munas-ke-viii-bursa-calon-
ketum-apbmi-kian-dinamis-putut-jateng-siap-maju/ [diakses pada 25 September 2021].

233
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VII.16: Reruntuhan rumah warga di atas lahan yang diklaim milik Putut
Sutopo. Gambar diambil dari pintu keluar SPBU Simongan, pada Sep-
tember 2021

Proses pengotaan di Simongan (Kelurahan Ngemplak Simongan) terjadi sejak


arus modal masuk ke kawasan tersebut. Pertama, pada saat pendatang
Tionghoa yang bermukim di Gedungbatu memproduksi gula dan memperbe-
sar skalanya dengan menyewa lahan penduduk untuk menanam tebu dan
membeli tebu yang ditanam penduduk setempat. Pengerutan pada tahap
sosiospasial tersebut tidak begitu pesat prosesnya, jika dibandingkan pada
tahap berikutnya. Hal itu, salah satunya, karena kebijakan konsentrasi yang
memindahkan orang-orang Tionghoa dari Simongan ke tepi permukiman
Eropa oleh Belanda, untuk mempermudah pengawasan dan memecah koalisi
Tionghoa-Jawa.
Proses pengotaan yang kedua terjadi ketika arus modal berwujud pabrik
masuk ke Simongan, sebagai dampak ledakan dari pengerutan di wilayah
Pelabuhan Semarang. Pendirian pabrik PT Phapros, disusul pemindahan pa-
brik Djantra (PT Catur Jantra), pembangunan pabrik minyak jarak PT Kimia
Farma (persero), dan pabrik-pabrik lain merupakan momen sosiospasial yang
berlangsung pesat. Banyak pendatang masuk ke Simongan yang secara formal
menjadi buruh pabrik-pabrik tersebut. Di sisi lain banyak pula pendatang yang
kemudian menjadi penjual dan penyedia jasa lain di sektor informal. Pengeru-
tan tersebut memengaruhi situasi sosioalamiah di Simongan. Generasi pendu-
duk yang pendahulunya bertani kemudian menjadi penambang padas. Pabrik-
pabrik membuang limbah ke Kali Garang yang menjadi sumber air baku untuk
layanan penyediaan air minum PDAM ke penduduk Kota Semarang. Akibatnya,

234
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Kali Garang tercemar logam berat dari limbah pabrik. Sementara proses
sosiospasial tidak berhenti, pengerutan diikuti ledakan berwujud penggusuran
penduduk sebagai dampak pembangunan di bawah modal. Proses ini sekali-
gus menunjukkan ketimpangan.
Pada proses-proses tersebut luapan krisis berlilitan. Berkali-kali Bukit
Simongan longsor menimpa para penambang dan rumah penduduk, hingga
sumber air baku untuk air minum di Kali Garang tercemar logam berat. Banjir
berkali-kali juga terjadi di wilayah ini. Dalam catatan di monumen banjir
Bendungan Simongan (dikenal dengan Bendungan Plered) banjir terjadi di
Simongan setidaknya pada 28 Maret 1922, 10 Januari 1963, 22 Januari 1976, 25
Januari 1990, 30 Januari 1993, dan 25 Desember 2006. Harian Suara Merdeka
memiliki catatan khusus terkait banjir di Simongan pada 1984, dalam satu
berita foto.

“Kalau ada hujan agak deras dan beberapa bagian Kota Semarang
men-jadi langganan banjir, tidak ada hal yang aneh. Tetapi banjir di
Jalan Simongan, sebelah selatan lokasi Gedungbatu di Semarang
Barat, membuat beberapa orang terheran-heran. Karena di sebelah
jalan tersebut terletak sungai Kaligarang yang sebenarnya bisa me-
nampung air tersebut. Memang antara jalan dan sungai dipisahkan
oleh tanggul. Tanggul besar tersebut dimaksudkan untuk mencegah
agar air sungai tidak meluap. Sekarang menjadi buah simalakama.
Kalau orang akan menjebol tanggul untuk mengalirkan di jalan, takut
kalau suatu kali air meluap. Tidak dijebol, tidak ada jalan keluar bagi
air yang menggenang itu. Akibatnya, cukup parah, karena genangan
air cukup dalam, banyak pengendara sepeda motor yang akan
pulang ke Manyaran tak berani melewati Simongan, tetapi berputar
dan melalui Krapyak” (Kutipan ini diambil dari keterangan foto yang
ditulis oleh Enggal Jaya. Suara Merdeka, edisi 17 November 1984,
halaman 6).

2. Dari Bulu sampai Sampangan

Kota Lama yang meredup sejak 1930-an, tidak menghentikan konsentrasi di


lingkaran luarnya. Orang-orang dari luar Semarang berdatangan, mengisi
sektor-sektor informal. Pada 1930-an, misalnya, tercatat orang-orang dari
Kabupaten Klaten datang ke Semarang. Mereka bermukim di kampung-kam-
pung sekitar Kota Lama seperti Kulitan, Gabahan, dan Gandekan, dan berjual-

235
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

an gilo-gilo, aneka makanan yang dijajakan keliling di Semarang.1 Pada 1980-


an orang-orang dari Purwodadi Kabupaten Grobogan, di antaranya petani,
juga mendatangi Semarang berjualan gilo-gilo.2 Pengerutan terjadi di lingkaran
luar bekas Kota Benteng yang kemudian menjadi ruang perebutan. Bukan
hanya penduduk kota atau pendatang yang bergerak di sektor informal,
melainkan juga pihak pemerintah dan swasta yang berada di sektor formal.
Sebagaimana ketimpangan yang terjadi di Simongan, orang-orang yang
berada di sektor informal di lingkaran ini dikalahkan.
Misalnya pada Juni 1957, pemerintah membongkar ratusan bangunan di
Jalan Gajahmada, Kelurahan Bangunharjo yang berada di DAS Babon, dengan
dalih perizinan bangunan. Pada masa Hindia-Belanda, wilayah ini merupakan
pecahan dari pengerutan konsentrasi di Kota Benteng atau Kota Lama
Semarang. Sebanyak 123 bangunan di antaranya dipindahkan ke Kelurahan
Bulu (sekarang Bulu Lor) di tepi Banjir Kanal Barat yang merupakan muara Kali
Garang, tepatnya di sebelah timur sungai dan utara rel kereta api. 3 Pemindah-
an tersebut dilakukan karena di Jalan Gajahmada akan dibangun gedung yang
telah direncanakan oleh Jawatan Perekonomian.4
Permukiman di tepi Kali Garang, Semarang Barat, menjadi semakin pa-
dat. Pada momen banjir Semarang awal 1962, di mana 6.000 jiwa harus diung-
sikan, yang paling banyak adalah korban dari tepi Kali Garang, seperti dari
Bulu, Krobokan sampai ke Karangayu, hingga Panggung. Sebanyak 2.000 orang
mengungsi di sebuah gudang di dekat Karangayu.5 M. Purwanto, seorang
jurnalis Suara Merdeka memotret muncul dan tumbuhnya gubug-gubug di tepi
Kali Garang pada April 1971. Dalam salah satu foto Purwanto yang diterbitkan
koran ini, disebutkan bahwa kemunculan gubug-gubug saat itu bukan yang
pertama. Sebelumnya sudah pernah ada, lalu menghilang setelah operasi

_____
1 Lihat: Intan Paramita (19 Juli 2021), Pingpoint.co.id, Gilo-Gilo, Gerbak jajan Serba Ada
Sejak 1930, https://pingpoint.co.id/berita/gilo-gilo-gerobak-jajan-serba-ada-sejak-1930/
[diakses 25 Agustus 2021].
2 Lihat: Jessica Celia dan Zahra Saraswati (19 Februari 2019), Gilo-Gilo Bukan Asli Semarang?
Metrosemarang.com. https://metrosemarang.com/gilo-gilo-bukan-asli-semarang-69527.
[Diakses 25 Agustus 2021].
3 Suara Merdeka, 20 Juni 1957, “123 Buah Rumah Akan Dipindahkan di Bulu”.
4 Pada Juni 1957, Presiden RI mengeluarkan Keputusan Nomor 131 Tahun 1957 tentang
Penetapan Peraturan Tentang Pemecahan Kementerian Perekonomian Menjadi Kemen-
terian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Jawatan Perekonomian merupakan
dinas yang bertugas di daerah. Lihat: Arsip Nasional Republik Indonesia, https://
anri.sikn.go.id/index.php/keputusan-presiden-nomor-131-tahun-1957-tentang-penetapa
n-peraturan-tentang-pemecahan-kementerian-perekonomian-menjadi-kementerian-perd
agangan-dan-kementerian-perindustrian;isad?sf_culture=en [diakses pada 6 Oktober
2021].
5 Suara Merdeka, 31 januari 1962, “Lebih Kurang 6.000 Korban Banjir di Semarang Perlukan
Bantuan Segera”.

236
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

penertiban oleh aparat, tapi kemudian muncul kembali. 1 Pengerutan di tepi


Kali Garang tidak terhindarkan.
Menghadapi kondisi tepi Kali Garang yang semakin padat, pada 1988 Wali
Kotamadya Semarang mengeluarkan instruksi penertiban batas wilayah
dengan pertimbangan kepadatan penduduk. Sebanyak 288 jiwa dari Kelurah-
an Lemahgempal dilimpahkan ke Kelurahan Bulustalan (Gambar VII.17),
sementara 192 jiwa dilimpahkan ke Kelurahan Barusari. Selanjutnya Kelurahan
Lemahgempal menerima sebagian wilayah berikut warga Kelurahan Bendu-
ngan yang mulai memadat saat itu.2 Wilayah-wilayah tersebut secara adminis-
tratif mengalami perluasan. Wilayah Kelurahan Bulustalan bertambah 7.500
m² sepanjang Jalan Lemahgempal I bagian utara jalan, mulai dari Jalan
Suyudana (batas timur) hingga ke barat Jalan Basudewa. Secara sosiospasial,
pengerutan dan ledakan terjadi secara simultan.
Momen sosiospasial di pinggir Kali Garang tersebut sekaligus dibarengi
momen sosioalamiah, di mana pada tahun itu Pemerintah Kotamadya Sema-
rang membuka proyek penyaringan air di Kali Garang. Laporan Harian Suara
Merdeka3 menyebutkan, proyek penyaringan air Kali Garang diharapkan dapat
mengakhiri krisis air minum bagi penduduk Kota Semarang yang berlangsung
sejak awal 1950-an. Krisis air ini merupakan momen luapan dalam metafora
mengerut-meledak-meluap.

“Kira-kira sepuluh tahun sudah warga Kota Semarang tercekam oleh


kesulitan air minum. Waktu yang cukup lama tetapi berlalu dengan
tidak terasa. Karena orang rupanya sudah biasa setiap hari harus
‘ngrekasa’ 4 dulu untuk memperoleh air itu. Harus ‘ngangsu’ 5 dari
keran meteran depan rumah, tiap malam. Bahkan ada sementara
daerah yang pipanya sama sekali tidak mengeluarkan air.” (Seri
Laporan “Kaligarang Akhirnya Takluk” bagian I: “10 Tahun Warga
Kota Semarang Tercekam dalam Kesulitan Air Minum”, Suara
Merdeka edisi Senin, 12 Februari 1962, halaman 2).

_____
1 Suara Merdeka, 20 April 1971, “Muncul lagi Gubug-Gubug di Pinggir Banjirkanal”.
2 Suara Merdeka, 3 November 1988, “64 KK Warga Kelurahan Lemahgempal Dilimpahkan
ke Kelurahan Bulustalan”.
3 Suara Merdeka, 12 Februari 1962, “Seri Laporan “Kaligarang Akhirnya Takluk” bagian I: “10
Tahun Warga Kota Semarang Tercekam dalam Kesulitan Air Minum””.
4 Ngrekasa: Bahasa Jawa yang artinya bersusah payah.
5 Ngangsu: Bahasa Jawa yang artinya mengusung air dari sumber dengan mangangkatnya
menggunakan wadah.

237
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

"'v
\ ,,. 'v

================-~f.;=~=,-==---------~----------::--~::~=:====:=.::;;.

Gambar VII.17: Kampung Bulustalan berhadap-hadapan langsung dengan hilir Kali


Garang. Foto diambil pada September 2021.

Dalam laporan tersebut dituliskan sebab utama krisis air minum tersebut
antara lain karena tidak ada keseimbangan antara produksi air minum dengan
pesatnya perkembangan kota. Upaya memperbesar produksi air minum
dengan memperluas sumber-sumber air minum yang telah ada, gagal. Waktu
itu sumber yang digunakan salah satunya adalah sumber air Kali Doh di
Ungaran, Kabupaten Semarang, yang terletak di hulu DAS Garang, dan sumur-
sumur artetis di Kota Semarang. Sumber-sumber itu menghasilkan air minum
paling banyak 250 liter/detik, angka tersebut tidak sama dalam musim hujan
dan musim kemarau. Eksplorasi di Ungaran menemukan sumber baru,
sumber air Ancar. Instalasi perpipaan telah dibuat untuk mengalirkan air dari
Ancar ke Kali Doh. Namun dampaknya, para petani di Ungaran menjadi
kekurangan air untuk bertani. Sementara tambahan air yang dihasilkan tidak
signifikan untuk memenuhi kebutuhan, hanya 30 liter/detik.
Sementara, telah diperhitungkan bahwa kebutuhan air bersih secara
normal adalah 1 liter/detik untuk setiap 1.000 orang. Sedangkan, hasil sensus
1961 menunjukkan jumlah penduduk Kota Semarang mencapai 487.600 jiwa.
Kota juga semakin luas lewat proses-proses kerut-ledak yang berlangsung
terus-menerus. Diketahui, sejak pertengahan 1950-an muncul pembangunan
kompleks-kompleks perumahan rakyat, perkampungan-perkampungan, ge-
dung-gedung pemerintah, dan industri. Kota Semarang mengalami pertam-
bahan luas kurang lebih 10 km². Kota Semarang waktu itu kekurangan air
bersih setidaknya 238 liter/detik. Artinya, hampir separuh kebutuhan total air
bersih dalam kota.

238
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Selain dirasakan penduduk, dampak krisis air minum juga memengaruhi


pembangunan industri dan sosial ekonomi. Namun dampak krisis yang
dirasakan oleh ratusan ribu jiwa di Kota Semarang itu tidaklah sama. Terlebih
antara yang dirasakan penduduk dengan yang dirasakan oleh pihak pengem-
bang industri, ini berbeda. Masih berdasar laporan Suara Merdeka, pada masa
krisis tersebut, bagi yang punya uang bisa membeli air atau membayar orang
untuk me-ngangsu-kan. Namun bagi yang uangnya pas-pasan setiap sore atau
malam harus ngangsu dari sumber air atau sumur-sumur umum terdekat. Bagi
yang dari kerannya masih sedikit meneteskan air, menyiasatinya dengan
membuat bak penampung air di bawah keran meteran, atau menyambung
keran tersebut dengan pipa karet untuk dialirkan ke tempat lain yang lebih
rendah.
Eksplorasi untuk menemukan sumber air bersih yang baru mengalami
kebuntuan. Kementerian Kesehatan RI pada 1954 menyatakan bahwa tidak
mungkin menemukan sumber air baru untuk mencukupi kebutuhan pendu-
duk dan perkembangan kota.1 Gagasan penyaringan atau penjernihan air
keruh dengan proses kimia (waterzuivering) kemudian muncul, dan dianggap
sebagai satu-satunya cara untuk memperluas penyediaan air minum. Objek
eksplorasi kemudian beralih ke Kali Garang.
Kali Garang dianggap cocok menjadi sumber air dalam proyek penyari-
ngan karena memiliki debit air yang cukup, berlimpah saat musim hujan dan
berdebit tidak kurang dari 1.300 liter/detik pada musim kemarau. Dengan itu,
Kali Garang diproyeksikan dapat menghasilkan tambahan air minum sebanyak
250 liter/detik. Kualitas air Kali Garang pada waktu itu dinilai baik berdasarkan
syarat kesehatan di mana air yang bersumber dari Gunung Ungaran mengalir
langsung ke Kota Semarang, melewati (pada saat itu) perdesaan dan persa-
wahan, bukan perkotaan dengan risiko tercemar kotoran dari perusahaan-
perusahaan dan pabrik-pabrik. Kendati air Kali Garang pada musim kemarau
berwarna kehijauan dan pada musim hujan berwarna kekuningan, mutunya
masih dianggap baik berdasar uji laboratorium.
Pada 11 Oktober 1957 proyek penyaringan air Kali Garang dimulai, ditan-
dai dengan penandatanganan kontrak antara Pemerintah Pusat dengan F.A
Degremont dari Perancis. Degremont merupakan perusahaan yang fokus para
produksi air minum serta pengolahan limbah dan lumpur. Pembangunan
Instalasi Pengolahan Air (IPA) di Jakarta2, instalasi pengolahan air di PDAM

_____
1 Suara Merdeka, 13 Februari 1962, “Seri Laporan “Kaligarang Akhirnya Takluk” bagian II:
“Mengapa Akhirnya Terpilih Kali Garang Sebagai Objek Air Minum””.
2 Lihat: https://airkami.id/sejarah-pembangunan-instalasi-pengolahan-air-ipa-di-jakarta/2/
[diakses pada 20 September 2021].

239
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Surabaya1, hingga PDAM Padang2 juga dilakukan oleh Degremont. Upacara


peletakan batu pertamanya dilakukan beberapa hari setelahnya oleh Menteri
Dalam Negeri, Sanusi Hardjadinata, di Karangkumpul Jalan Gajahmungkur.
Proyek yang ditargetkan selesai dalam dua tahun tersebut menelan biaya Rp60
juta untuk tahap I. Degremont mendatangkan mesin-mesin penyaring berikut
pipa-pipanya yang dibutuhkan dari Perancis.3
Cara kerja penyaringan air Kali Garang itu adalah menggunakan pasir
khusus yang tahan terhadap bahan kimia terlarut dalam air untuk sekurang-
nya 40 tahun, tahan terhadap kecepatan air 40 meter/jam, butirannya tidak
bulat sehingga tidak menimbulkan rongga ketika disatukan, besar butiran
terkecil 0,9 mm dan yang terbesar 1,4 mm. Pasir penyaring tersebut dida-
tangkan dari Bangka sejumlah kurang lebih 250 m³. Selain pasir penyaring,
proyek tersebut membutuhkan listrik berkekuatan 1.500 KVA yang diambil dari
stasiun listrik PLN di Kalisari yang berjarak 3,5 km dari stasiun pompa gardu
PLN paling dekat dengan instalasi penyaringan.4
Pembangunan tahap I molor dengan alasan bahan-bahan dan peralatan
yang harus didatangkan dari luar daerah dan luar negeri. Belum selesai
pembangunan tahap I, sudah ada rencana untuk memperluas sistem penyari-
ngan. Kota yang semakin padat penduduk menjadi alasan rencana tersebut.
Awal 1960-an diketahui terjadi pengerutan (pemadatan) di wilayah Pleburan di
mana muncul kompleks perumahan dan gedung-gedung pemerintah, juga di
Atmodirono dan sekitarnya. Kedua tempat tersebut berada di Wilayah DAS
Babon. Di DAS Garang, pengerutan sekaligus ledakan saat itu terjadi di kam-
pung-kampung; Panggung, Peres (kampung yang kelak berdiri Perumahan
Tanah Mas), Bojongsalaman, Tawang, Karangayu, Gisikdrono, Tambakkromo,
Jambusari dan Karangsuko. Area sawah dan ladang seluas kurang lebih 10 km²
di kampung-kampung tersebut berubah menjadi perkampungan yang padat.
Dengan alasan itu pembangunan perluasan penyaringan pun disetujui dengan
dana Rp75 juta. Sehingga total produksi air minum yang diproyeksikan dari
kedua pembangunan tersebut sebesar 500 liter/detik.
Akhirnya pada 1962, tahap I proyek pembangunan instalasi penyaringan
air Kali Garang itu selesai. Pada 14 Februari 1962, Menteri Pekerjaan Umum
Dipokusumo meresmikan proyek penyaringan air itu. Meski demikian, pen-
duduk Semarang saat itu tidak lantas bebas dari krisis air minum, sebab sore

_____
1 Lihat: https://www.pdam-sby.go.id/read/sejarah-status-pdam-surya-sembada-surabaya
[diakses pada 20 September 2021].
2 Lihat: https://pdampadang.co.id/hal-sejarah.html [diakses pada 20 September 2021].
3 Suara Merdeka, 13 Februari 1962, “Seri Laporan “Kaligarang Akhirnya Takluk” bagian II:
“Mengapa Akhirnya Terpilih Kali Garang Sebagai Objek Air Minum””.
4 Suara Merdeka, 1 September 1961, “Pasir Untuk Kaligarang Bukan Sembarang Pasir”.

240
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

setelah diresmikan pun belum ada air menetes dari keran rumah-rumah pen-
duduk.1
Sementara, permukiman di tepi Kali Garang terus memadat, area sema-
kin mengerut. Bukan saja di Bulu Lor, tetapi juga wilayah sekitarnya seperti
Bulustalan dan Barusari. Pada 1973 Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga
Listrik (PUTL), Ir Sutami, meresmikan 128 rumah murah di Desa Sampangan.
Ini adalah cikal bakal pembangunan Perumnas2 Sampangan (Gambar VII.18).
Ada dua tipe rumah, A dan B, yang masing-masing dijual dengan harga
Rp304.250 dan Rp285.500. Rumah-rumah tersebut berbentuk kopel (dua
rumah bergandengan), yang masing-masing terdiri dari dua kamar tidur, satu
ruang duduk, satu ruang makan, satu dapur dan kamar mandi serta WC.
Pembangunan perumahan tersebut diikuti dengan pembangunan jalan yang
mengarah padanya berbahan aspal serta jalan beton selebar becak di tengah
permukiman. Belakangan nama permukiman anyar itu disebut dengan
Sampangan Baru.3

Gambar VII.18: Sungai Sampangan di belakang rumah-rumah di Perumnas Sampa-


ngan. Sungai ini bermuara di Kali Garang, jika hujan air seringkali
meluap. Gambar diambil pada September 2021.

_____
1 Suara Merdeka, 16 Februari 1962, “Proyek Penyaringan Bekerja Belum dengan Kapasiteit
Penuh”.
2 Lihat: https://perumnas.co.id/ Perumnas adalah BUMN yang seluruh sahamnya dimiliki
pemerintah, yang didirikan pada 1974. Ia menjual perumahan yang layak bagi masyarakat
menengah ke bawah. Hingga saat ini Perumnas telah membangun lebih dari 500.000 unit
rumah. Dalam laman resminya dituliskan; sebagai perintis pengembangan perkotaan,
Perumnas telah berhasil melaksanakan misi pemerintah dalam mewujudkan pemerataan
pembangunan sampai di wilayah terpencil.
3 Suara Merdeka, 4 Desember 1973, “128 Rumah Murah di Sampangan Diresmikan”.

241
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Ini merupakan pembentukan sosiospasial, di mana warga yang semakin


banyak di Sampangan Baru diikuti dengan masuknya fasilitas-fasilitas. Seperti
pembangunan PLTU di Sampangan yang dilakukan oleh PT Hutama Karya
Cabang XV Jawa Tengah.1 Poliklinik PMI Cabang Sampangan kemudian diba-
ngun pula di Sampangan Baru (Perumnas Sampangan). Poliklinik ini merupa-
kan percabangan dari Poliklinik PMI di Jalan MGR Sugiyopranoto di kawasan
Bulu.2 Di sisi lain, pembangunan rumah murah di Sampangan itu mengundang
orang-orang yang punya uang untuk membelinya, meski mereka telah memi-
liki rumah. Pada 1978 ketika dilakukan penertiban oleh petugas Perumnas,
terdapat 99 rumah yang dimiliki oleh orang yang sudah memiliki rumah
sebelumnya. Ketimpangan terjadi di sini. Ketika orang yang membutuhkan
rumah justru tidak dapat memilikinya lantaran sudah lebih dulu dibeli orang
berduit banyak. Kepala Proyek Perumnas saat itu, Oemarhadi mengungkapkan
bahwa mereka yang membeli rumah itu merupakan pencari keuntungan
pribadi yang akan seenaknya saja mengontrakkan rumah flat Perumnas ke
pihak lain.3
Sosiospasial Perumnas Sampangan makin mengerut dengan semakin
banyak penghuni di sana yang masing-masing memiliki relasi sosioalamiah
dengan lingkungan di sekelilingnya. Persoalan yang merupakan proses
meluap, kemudian mengikuti pengerutan tersebut. Pada 1979, Harian Suara
Merdeka mempublikasikan foto tikungan tepi jalan menuju Jalan Menoreh
Raya, arah Tugu Soeharto (Kelurahan Bendan Duwur tempat bertemunya Sub-
DAS Garang dengan aliran Sub-DAS Kripik dan Sub-DAS Kreo yang menyatu).
Terdapat sebuah kubangan besar yang dipenuhi sampah di sana. Kubangan
sampah tersebut berada di sempadan sungai Sampangan yang bermuara di
Kali Garang. Lalat dan bau busuk dikeluhkan penduduk di perkampungan dan
lingkungan Perumnas Sampangan yang berada di sekeliling kubangan sampah
itu.4 Momen meluap lain di Sampangan adalah banjir. Pada 22 Januari 1980,
banjir besar mendadak terjadi pada pukul 01.00 WIB dini hari. Banjir ini
menggenangi wilayah Semarang yang berdekatan dengan BKB yang meng-
akibatkan ribuan penduduk mengungsi. Kompleks Perumnas Sampangan

_____
1 Suara Merdeka, 4 Agustus 1974, “Kamis Ini Ada Ledakan di Sampangan Semarang”.
2 Suara Merdeka, 10 April 1975, “PMI Buka Poliklinik Baru di Sampangan”.
3 Suara Merdeka, 7 Oktober 1978 “Juga Penertiban Penghuni Flat di Sampangan”. Berdasar
catatan pribadi saya yang sering beraktivitas di Sampangan, di tikungan tersebut pernah
menjadi Pasar Sampangan, sebelum dipindah ke Pasar Sampangan Baru dekat Tugu
Soeharto, kemudian hingga kini lahan di tikungan itu menjadi Taman Sampangan.
4 Suara Merdeka, 9 Januari 1979, “Berita Foto “Sumber Polusi di Sampangan”.

242
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

tergenang air hingga dua meter. Banjir tersebut adalah kali pertama menimpa
Perumnas Sampangan sejak dibangun.1
Stefanus Wisnu Pranowo (50), yang tinggal di Sampangan sejak kali per-
tama Perumnas dibangun, akrab dengan momen banjir tersebut. Bagian
belakang rumah orang tua Wisnu berimpitan dengan sungai Sampangan.
Setelah banjir 1980 tersebut, menurut Wisnu, Perumnas Sampangan kemudi-
an menjadi langganan banjir pada tahun-tahun berikutnya. “Hampir setiap
tahun kebanjiran. Sini ini ya langganan banjir,” kata Wisnu.2 Biasanya, jika
hujan deras, Wisnu diperintah oleh ayahnya yang seorang pelatih permainan
kartu bridge, untuk menutup pintu belakang menggunakan triplek supaya air
tidak masuk ke rumah. Sementara ayah Wisnu mengusung barang-barang
penting ke lantai dua. Tetangga-tetangga Wisnu yang kebanyakan adalah PNS
golongan rendah, buruh pabrik, dan pegawai swasta rendah, juga melakukan
hal sama. Bagi yang rumahnya tidak berimpitan dengan sungai, penutupan
dilakukan pada pintu depan. Bagi yang punya uang, biasanya akan memugar
rumah sekaligus meninggikan lantainya.
Banjir pada 1980 itu juga merusak instalasi PDAM (waktu itu bernama
PAM) Semarang. Bagian instalasi penyaringan atau penjernihan air mengalami
gangguan fungsi. Gubernur Jawa Tengah, Soepardjo Roestam, bersama Wali
Kota Semarang, Imam Soeparto, memberi instruksi supaya perbaikan selesai
dalam waktu dua hari, supaya layanan air minum segera berjalan kembali. 3
Sementara, pipa induk air minum yang ada di lembah Wungkalkasap,
Kelurahan Pudakpayung, Kecamatan Banyumanik di hulu DAS Garang di
Ungaran, pada banjir 1980 tersebut juga mengalami kerusakan. Jika terjadi
hujan lebat, tanah di bukit Wungkalkasap sering longsor. Kondisi Bukit
Wungkalkasap pada saat itu, pada tebing sebelah timur lembahnya, dinilai
membutuhkan lebih banyak vegetasi. Salah satu yang mengatakannya adalah
Kepala Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota (yang menangani penghijauan
jalur jalan) Herry Soeprodjo. Supaya tidak longsor, Wungkalkasap setidaknya
membutuhkan 6.591 pohon. Sayangnya saat itu, APBD Kotamadya Semarang
tidak memiliki anggaran untuk hal tersebut.4
Air bah yang tiba-tiba datang di Kali Garang rupanya tidak sekali saja
terjadi. Pada Maret 1982 tujuh siswa SMP Barunawati Tanjungmas meninggal
dunia diterjang air bah berkecepatan 2 meter/detik saat melakukan penye-
berangan di hulu Kali Garang. Menurut Kepala Seksi Pengaliran Tuntang Dinas

_____
1 Suara Merdeka, 23 Januari 1980, “Semarang Banjir Besar; Tinggi Air 2 m di Perumnas
Sampangan”.
2 Percakapan pribadi sekitar awal 2006
3 Suara Merdeka, 24 Januari 1980, “Air Minum Kali Garang Diharapkan Selesai Hari Ini”.
4 Suara Merdeka, 18 Februari 1980, “Hijaukan DAS Kali garang Perlu Bantuan Propinsi”.

243
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Tengah, Tedjo Sulanto, pada masa itu sering
ada air bah datang di Kali Garang pada Desember – April. “Aliran air yang ganas
tersebut mulai dari hulu hingga Tugu Suharto, atau sampai 15 kilometer,” kata
Tedjo. Padahal panjang Kali Garang adalah 20 kilometer. Pada masa ini terjadi
perubahan debit air di Kali Garang. Jika pada 1950-an sungai ini disebut
memiliki debit yang melimpah saat hujan dan cukup saat kemarau, maka pada
1982 Tedjo menyebut Kali Garang kritis, di mana saat musim kemarau debit
air begitu kecil namun saat musim hujan menjadi besar sekali. Pada saat itu,
untuk mengendalikan debit yang besar tersebut mulai muncul gagasan
pembangunan waduk untuk menampung aliran sungai sebelum masuk ke
BKB.1
Pada akhir November 1984 saat musim penghujan, kondisi air Kali
Garang didapati keruh dan berlumpur.2 Keadaan tersebut mengganggu kerja
mesin-mesin penyaring sehingga produksi air dari PDAM Semarang turun.
Penduduk kota pun hanya bisa mendapatkan air secara bergiliran. Memburuk-
nya kualitas air Kali Garang hingga mesin penyaring menjadi rusak tersebut
terjadi juga pada November 1979. Rupanya saat itu PDAM sedang menghadapi
persoalan karena kebutuhan air bersih Kota Semarang sudah mencapai 1.500
liter/detik sementara yang dihasilkan PDAM baru 880 liter/detik di mana 60%
sumber air bakunya mengandalkan Kali Garang, sisanya dipenuhi sumber
Ungaran. Jika Kali Garang keruh, maka 60% pasokan air baku jelas tidak ada.
Dalam kondisi normal saja, di mana PDAM bisa memproduksi 880 liter/detik,
tidak seluruh air yang dihasilkan PDAM dapat tersalurkan kepada konsumen.
PDAM kehilangan 40% air hasil produksinya karena kebocoran pipa-pipa.3
Namun, tampaknya persoalan pipa bocor itu tidak menjadi urusan serius
bagi PDAM. Perusahan milik pemerintah daerah Kota Semarang tersebut tidak
mau menanggung sendiri malasah pipa bocor tersebut, melainkan membe-
bankan solusinya kepada konsumen juga seluruh warga Kota Semarang.
Pertama, PDAM melakukan penagihan rekening pemakaian air secara masif ke
pasar-pasar seperti Pasar Bulu dan Pasar Dargo, juga di Kantor Cabangnya di
Perumnas Banyumanik. Untuk memacu pembayaran itu, PDAM mendenda
konsumen yang telat bayar hingga mengancam pemutusan layanan, padahal
layanannya sendiri tersendat-sendat. Kedua, untuk mencegah hilangnya air
minum akibat pipa bocor, pada 1984 PDAM berencana memperbaiki kebocor-
an dengan mengganti pipa sepanjang 100 kilometer menggunakan dana Rp40

_____
1 Suara Merdeka, 17 Maret 1982, “Kecepatan Air di Kaligarang Hari Minggu Dua Meter/
Detik”.
2 Suara Merdeka, 29 November 1984, “Air Kali Garang Berlumpur Konsumen Terpaksa
Digilir”.
3 Suara Merdeka, 17 November 1979 “Gangguan Mesin di Instalasi Mesin Kali Garang”..

244
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

miliar yang bersumber dari pinjaman Bank Pembangunan Asia. 1 Lantas siapa
yang akan menanggung pelunasan utang PDAM tersebut? Jika boleh saya
berspekulasi, seumpama PDAM sendiri yang akan menanggung utang itu,
tentu tekanan terhadap konsumen air, seperti penagihan dan pendendaan,
akan lebih besar. Mengingat sumber pendapatan PDAM hanyalah dari penjual-
an air minum (yang tidak bisa diminum).
Utang PDAM merupakan utang korporasi. Memang akhirnya untuk Pe-
merintah Kota/Kabupaten yang ‘sadar’ akan kondisi perusahaan daerah terse-
but, akan menyuntikkan modal tambahan.2 Meski bukan berarti utang PDAM
dibayar melalui APBD, namun sumber modal tambahan yang disuntikkan pe-
merintah daerah ke PDAM, bagaimanapun, tetap merupakan uang rakyat. Arti-
nya, beban utang PDAM menjadi tanggungan seluruh warga Kota Semarang.
Faktanya, hingga saat ini, 40 tahun lebih sejak layanan bergilir 1979 diber-
lakukan karena air baku tercemar lumpur, persoalan tersebut tidak kunjung
teratasi. Saya yang tinggal di Sub-DAS Kripik (DAS Garang) berlangganan air
PDAM untuk kebutuhan sehari-hari. Pada musim penghujan, air dari keran
PDAM sering kali keruh. Pada musim kemarau, layanan PDAM tidak setiap hari
bisa saya terima. Lebih jauh mengenai hal ini, akan saya tuliskan pada bagian
selanjutnya (bagian “Lingkaran Ketiga”). Bukan hanya lumpur yang mencemari
air baku PDAM, namun juga logam berat dan limbah tinja yang ramai diberi-
takan pada 1989, yang telah ditulis pada bagian sebelumnya (bagian “Di
Simongan…”).

Lingkaran ketiga: Ledakan sampai ke hulu

Pengetahuan tentang momen sosioalamiah banjir bandang 1990 yang dimiliki


penduduk DAS Garang, baik yang hidup di hulu seperti Johanes Christiono
maupun yang hidup di hilir seperti Bayu Wanapati dan Stephanus Wisnu,
adalah bahwa air bah datang dari Gunungpati dan Ungaran. Wilayah admi-
nistratif Kecamatan Gunungpati sendiri sebagian berada dalam Sub-DAS Kripik
di mana Kali Kripik berada, sebagian lagi dalam Sub-DAS Kreo di mana Kali Kreo
berada. Aliran Kali Kreo bertemu dengan aliran Kali Kripik di Jembatan
Greenwood, Kelurahan Sukorejo (Gambar VII.19). Gabungan aliran tersebut
bertemu dengan aliran dari hulu Kali Garang di Tugu Soeharto Kelurahan
Bendan Duwur.

_____
1 Suara Merdeka, 29 November 1984, “Air Kali Garang Berlumpur Konsumen Terpaksa
Digilir”.
2 Pengetahuan ini ditambahkan dari informasi yang diberikan oleh Wijayanto Hadipuro
sebagai editor ahli.

245
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VII.19: Gambar Atas adalah pertemuan antara Kali Kripik dan Kali Kreo di
bawah Jembatan Greenwood, Kelurahan Sukorejo. Gambar Bawah
adalah pertemuan antara gabungan aliran Kali Kripik dan Kali Kreo,
dengan Kali Garang di Tugu Soeharto, Kelurahan Bendan Duwur. Foto
diambil pada September 2021.

Sementara, Ungaran yang ada di Kabupaten Semarang adalah hulu Sub-DAS


Garang di mana ada hulu Kali Garang paling atas yang airnya masuk ke Kota
Semarang melewati Kali Garang yang ada di Bendan Duwur, Tinjomoyo,
Jatingaleh, Banyumanik, hingga Pudak Payung, yang saya sebut sebagai Kali
Garang Bagian Tengah. Sosiospasial yang terjadi di ketiga sub-DAS ini berbeda-
beda, yang di dalamnya berlilitan dengan ketimpangan-ketimpangan, baik
dalam produksi luapan maupun dampak luapan.

246
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

1. Sub-DAS Kripik, tempat bagi yang ditepikan sekaligus yang diisap modal

Pengerutan dalam momen sosiospasial di Sub-DAS Kripik dimulai dari Kam-


pung Kalialang. Kampung Kalialang sendiri bukan permukiman yang benar-
benar baru. Puluhan tahun sebelumnya Kalialang yang saat itu disebut sebagai
Dukuh Kalialang telah ada. Pemerintah Kota Semarang dalam laman resminya
mencatat pada 1930-an seorang bernama Karto Dikromo berembug dengan
lima tokoh dari Dukuh Kalialang, Dukuh Bangsewu, Dukuh Dungwadas, Dukuh
Delik, dan Dukuh Kradenan untuk menyepakati nama Desa Sukorejo, di mana
Karto Dikromo menjadi lurah pertamanya. Dipilihnya nama tersebut adalah
demi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat di lima dukuh
tersebut.1 Ini menandakan bahwa dahulu Kalialang masuk dalam Desa
Sukorejo. Pengerutan di Kalialang menggeser wilayah tersebut secara adminis-
tratif masuk ke wilayah Kelurahan Sadeng.
Momen pengerutan awal yang sejauh ini bisa saya telusuri terjadi saat
rumah-rumah di Kampung Peres di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Sema-
rang Utara, dibongkar. Pada 1975 dengan dorongan Badan Koordinator Pena-
naman Modal Daerah (BKMPD) Jawa Tengah, PT Tanah Mas menanamkan
modal di Kampung Peres, Semarang Utara, sebesar Rp2,5 miliar untuk mem-
bangun real estate. Harga rumah yang ditawarkan saat itu antara Rp2 juta
hingga Rp12 juta dengan sistem indent. Iming-imingnya adalah, penggunaan
“Terra Firma” buatan Australia untuk melapisi tanah sebelum diaspal, sehingga
area bekas rawa-rawa itu tidak ambles dan kuat menahan beban hingga 10
ton.2 Sebelum PT Tanah Mas datang, Kampung Peres bukan tempat kosong. Ia
disebut kampung karena memang tempat tersebut dipakai untuk bermukim.
Penggusuran penduduk dari Kampung Peres ke Kalialang disusul oleh
penggusuran penduduk dari pinggir Kali Seroja yang ada di Kelurahan
Karangkidul (di DAS Babon) hingga Kelurahan Pekunden (sebagian wilayahnya

_____
1 Lihat: Asal-usul Kelurahan Sukorejo, URL: https://sukorejo.semarangkota.go.id/asal-usul
[diakses pada 20 September 2021].
2 Suara Merdeka, 19 Desember 1975, “Jawa Tengah, Raksasa Tergugah – Tanah Mas di
Bawah, Bukit Sari di Atas”. BKMPD Jawa Tengah pada masa itu juga mendorong
penanaman modal pembangunan real estate sebesar Rp600 juta oleh PT Bukit Sari di
Gombel, Kelurahan Ngesrep (DAS Babon), dan pembangunan real estate senilai Rp1 miliar
oleh Kamajaya Real Estate di luar sebelah barat Semarang. Pembangunan real estate
tersebut merupakan salah satu upaya pengembangan industri di Jawa Tengah secara
besar-besaran. Pada saat itu Jawa Tengah menempati urutan ke empat di Indonesia, dalam
jumlah banyaknya proyek yang dibangun berdasarkan modal investasi baik dari dalam
negeri maupun modal asing. Pemerintah Jawa Tengah kemudian berupaya menarik modal
sebanyak-banyaknya dengan memberikan fasilitas berupa kemudahan-kemudahan,
termasuk kemudahan bagi PT Tanah Mas untuk membangun perumahan di Kampung
Peres. Industri perumahan seperti yang dikembangkan PT Tanah Mas ditujukan untuk
merangsang pembelian rumah bagi keluarga yang belum memilikinya.

247
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

masuk DAS Garang, sebagian lagi DAS Babon), dalam normalisasi Kali Sema-
rang yang dilakukan oleh pemerintah pada 1981. Sebanyak 133 keluarga dari
Seroja dipindahkan ke Bangetayu yang ada di DAS Babon sebelah timur.
Sisanya dipindahkan ke Kampung Kalialang di Kelurahan Sadeng yang terletak
di Sub-DAS Kripik. Warga pindah dengan pesangon Rp40 ribu yang diserahkan
oleh Tim Normalisasi Saluran Seroja. 1 Kampung Kalialang tempat orang-orang
dari Seroja bermukim itu dinamai Kampung Kalialang Baru. Tempat baru
tersebut hingga saat ini dikenal sebagai Kampung Kalialang Baru Seroja, arti-
nya kampung yang ditempati orang-orang pindahan dari Seroja.
Sementara di Seroja, tempat yang mereka tinggalkan, disebut S. Wilono-
yudho, kemudian dibangun mal, rumah sakit, pusat bisnis, dan hotel. Diketahui
pada 1987 Pemerintah Kotamadya Semarang melakukan penataan Kawasan
Simpanglima.2 Pada 1993 pusat perbelanjaan, hotel, dan perkantoran berna-
ma Plaza Citra Semarang (sekarang Mal Ciputra) dibangun dengan lebih dulu
merobohkan bangunan GOR Jateng. Pembangunan itu telah direncanakan
sejak 1990.
Penggusuran penduduk yang kemudian dipindahkan ke Kalialang yang
ada di kawasan suburbia Kota Semarang itu terus dilakukan. Penelitian
Wilonoyudho (2014) menyebutkan pada 1989 ada 70 keluarga yang diangkut
menggunakan truk menuju Kalialang setelah didatangi pejabat, pengusaha,
dan anggota DPRD. Mereka mendapat pesangon Rp85 ribu per kepala keluar-
ga, namun tidak diajak berunding lebih dulu sebelum dipindah.3 Sementara
Suara Merdeka mencatat, pada 1989, sebanyak 140 rumah warga yang menem-
pati tanah Susteran Penyelenggara Ilahi (PI) di Bongsari, Kecamatan Semarang
Barat (berada di Sub-DAS Garang mendekati hilir) dipindahkan ke Kalialang
dan Deliksari Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati (mengarah ke Sub-
DAS Garang hulu). Pemindahan dilakukan oleh Yayasan Sosial Soegijapranata,
di mana warga yang tidak punya tempat tinggal tersebut merupakan klien yang
ditampung yayasan dengan meminjam tanah susteran PI. Dalam menempati
kavling baru, warga harus mengangsur sebesar Rp500 per hari atau Rp15 ribu
per bulan, yang hasilnya digunakan untuk penyediaan lokasi bagi warga lain

_____
1 Suara Merdeka, 24 Agustus 1981, “Warga di Tepi Saluran Seroja Terima Pesangon”.
2 Suara Merdeka, 4 Januari 1987 “Bayeman Disulap Jadi Simpanglima”.
3 ”kami merasa diusir dari tanah kami di Tanah Mas yang berada di pusat kota. Pada tahun
1989 datanglah para pejabat, pengusaha, dan anggota DPRD yang mengatakan bahwa
kami akan dipindah karena lokasi kami sekarang akan dijadikan perumahan dan jalan raya.
Tidak ada perundingan, dan kami diberi pesangon Rp.85.000,00 (delapan puluh lima ribu
rupiah) per Kepala Keluarga. Kami takut pada waktu itu, namun kami tidak ada yang
membela. Akhirnya kami diangkut truk dan ‘dilepas’ di daerah Kalialang ini dengan diberi
kapling, dan kami harus membangun sendiri...” (petikan wawancara dari penelitian
Wilonoyudho (2014: 116)).

248
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

yang membutuhkan permukiman.1 Setelah pemindahan tersebut, ada pemba-


ngunan jalan dan permukiman elit di Bongsari.
Pengerutan-pengerutan tersebut terjadi di bawah kuasa modal, seperti
investasi pembangunan rumah mewah, dan proyek normalisasi Kali Sema-
rang. Mengenai proyek normalisasi sungai seperti Kali Semarang ini, seolah-
olah jauh dari motif mencari keuntungan dan semata-mata sebagai solusi
supaya bebas banjir. Namun mari kita lihat sedikit lebih dalam.
Proyek normalisasi tersebut bukan pertama dan satu-satunya di Sema-
rang. Pada 1964, tercatat pemesanan kapal keruk oleh Pemerintah Kotapraja
Semarang kepada N.V Sadono untuk mengangkat lumpur dari Kali Semarang.
Kapal yang dipesan berkemampuan mengeruk lumpur sebanyak 20 m²/jam
dengan kedalaman kerukan mencapai dua meter. Harga pemesanan pada saat
itu mencapai Rp1.259.800, yang uangnya akan dipenuhi dari anggaran pe-
merintah. Pemesanan tersebut masih ditambah pula dengan empat kapal
pengangkut lumpur dengan harga saat itu masing-masing Rp100.000. Seorang
anggota legislatif Kotapraja Semarang, Dardjono, mengatakan pengerukan
tersebut akan menyelamatkan bangunan-bangunan, perusahaan-perusahaan,
dan gedung-gedung pabrik yang ada di sepanjang Kali Semarang.2 Faktanya,
solusi normalisasi tersebut tidak juga mengakhiri banjir, sedangkan penyedia
peralatan keruk dan pelaksana proyek pengerukan tentu saja sudah menang-
guk untung dari sana. Tahun-tahun setelah itu pun masih terjadi banjir bahkan
sampai sekarang.
Di sini, ketimpangan terjadi di pinggir Kali Semarang. Di satu sisi, ada
pemodal (pemilik perusahaan dan pabrik-pabrik) yang diselamatkan dari
banjir lewat normalisasi yang dibiayai anggaran pemerintah. Sebaliknya di sisi
lain ada orang-orang yang digusur hingga mengalami kesulitan hidup, atas
nama proyek normalisasi sungai.
Kampung Kalialang di mana orang-orang yang digusur dipindahkan,
berada di dekat Kali Kripik. Secara geografis, lokasi tersebut merupakan
daerah kering yang berbukit-bukit. Sebagian warga mencoba membuat sumur
hingga kedalaman 30 meter, namun sumur tersebut hampir selalu kering jika
kemarau tiba. Mata air Sendang Gayam, yang dulu diandalkan warga, semakin
menyusut dari waktu ke waktu seiring memadatnya Kelurahan Sekaran de-
ngan perumahan-perumahan baru sejak Kampus UNNES beroperasi. 3 Setiap
musim kemarau tiba, hampir selalu tersiar kabar bahwa warga kampung
Kalialang kekurangan air bersih. Layanan PDAM belum menjangkau lokasi
tersebut, sehingga pasokan air bersih pada saat musim kemarau harus dikirim

_____
1 Suara Merdeka, 28 Mei 1989, “140 Rumah di Bongsari Pindah ke Kalialang”.
2 Suara Merdeka, 12 Februari 1964 “Kali Semarang Akan Dikeruk Untuk Cegah Banjir”.
3 Suara Merdeka, 21 Oktober 2015, “Merawat Sendang Gayam”.

249
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

menggunakan truk tangki.1 Kabar tanah longsor pun kerap terdengar. Yang
belum lama terjadi, pada 8 Januari 2020 Jalan Kalialang Lama yang berada di
tepi Kali Kripik longsor setelah hujan lebat.2 Debit air Kali Kripik yang semakin
besar juga memutus jembatan di wilayah ini. 3 Jika pemerintah tampak ceka-
tan menyelamatkan perusahaan dan gedung-gedung pabrik, maka tidak de-
ngan jembatan yang sehari-hari dipakai warga yang dulu mereka gusur dan
pindahkan itu. Warga Kalialang bahkan iuran sendiri untuk memperbaiki jem-
batan yang menghubungkan kampung Kalialang Lama dengan Bendansari,
karena tidak mendapat tanggapan dari Pemerintah Kota Semarang.4
Kurang lebih setahun setelah pemindahan penduduk Bongsari ke Sub-
DAS Kripik yang merupakan kawasan hulu DAS Garang, terjadilah momen
banjir terbesar di Semarang yang menewaskan hampir 200 orang, banjir
bandang 26 Januari 1990. Pasca-banjir bandang tersebut, salah satu upaya
yang dianggap pemerintah akan menjadi solusi adalah, lagi-lagi, menjalankan
proyek normalisasi sungai. Proyek normalisasi kali ini dinamai Perbaikan dan
Pengamanan Sungai (PPS). Tanggung jawab pelaksanaan proyek dipegang
oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Biaya
proyek itu, untuk jangka tahap I berupa rehabilitasi tanggul yang jebol, berasal
dari APBN 1989/1990 sebesar Rp370 juta. Tanggul yang jebol saat itu berada
di dekat Kelurahan Sampangan, di belakang instalasi PDAM, dan di dekat
gedung Fakultas Olahraga IKIP (sekarang UNNES). Sedangkan untuk proyek
tahap II berupa penguatan tanggul didanai dengan APBN 1990/1991 sebesar
Rp2,25 miliar. Wakil Pimpinan Proyek PPS DPU Jawa Tengah, D Soegondo, saat
itu mengatakan banjir bandang 1990 yang menjebol tanggul tersebut merupa-
kan siklus banjir 100 tahunan, sedangkan tanggul yang sebelumnya dibangun
hanya dirancang untuk kuat menghadapi banjir dengan siklus 25 tahunan.
Maka tanggul yang akan dibangun berikutnya perlu diperkuat, supaya tidak

_____
1 Lihat: Deliksari Krisis Air Bersih, 300 KK Menunggu Dropping Air dari PDAM (6 Juli 2015),
Metrosemarang.com. URL: https://metrosemarang.com/deliksari-krisis-air-bersih-300-kk-
menunggu-dropping-dari-pdam-20388 [diakses 19 pada September 2021].
2 Lihat: BPBD Kota Semarang (14 Januari 2020), Longsor di Jalan Kalialang Baru RT 1 RW VII,
Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati. URL: http://bpbd.semarangkota.go.id/
detailpost/longsor-di-jalan-kalialang-baru-rt-1-rw-vii-kelurahan-sukorejo-kecamatan-
gunungpati [diakses pada 19 September 2021].
3 Lihat: Kristadi (18 Januari 2021), INewsJateng.id. Diterjang Banjir, Jembatan Bendosari
Semarang Rusak, URL: https://jateng.inews.id/berita/diterjang-banjir-jembatan-bendosa
ri-semarang-rusak [diakses pada 19 September 2021].
4 Lihat: Budi Arista Romadhoni (21 Mei 2021), Suara Jawa Tengah, Lama Tak Direspon
Pemerintah, Warga Semarang Iuran Bangun Jembatan Bambu. https://jateng.suara.com/
read/2021/05/21/151822/lama-tak-direspon-pemerintah-warga-semarang-iuran-
bangun-jembatan-mambu?page=all [diakses 19 September 2021].

250
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

jebol. Sekurangnya 328 keluarga yang tinggal di bantaran sungai, kemudian


dipindahkan ke Kelurahan Sadeng.1
Sebelumnya sudah ada keluarga korban banjir bandang tersebut yang
dipindahkan ke Dukuh Kuwasen, Kelurahan Sadeng, yaitu di lokasi yang
disebut Pemukiman Pengganti (Pemukti). Selain di Kelurahan Sadeng, korban
banjir juga dipindahkan ke Kelurahan Sukorejo yang ada di Sub-DAS Garang
dan Kelurahan Tugu, Kecamatan Ngaliyan di DAS Beringin. Pada Pemukti di
Dukuh Kuwasen seluas 4,5 hektare dibangun 250 unit rumah kopel, masing-
masing berukuran 21 m² di tanah seluas 60 m². Pemukti dilengkapi jalan utama
sepanjang 300 meter selebar 10 meter, jalan penghubung sepanjang 375
meter selebar tujuh meter, dan jalan lingkungan sepanjang 1.330 meter sele-
bar lima meter. 2
Direktur PT Tanah Mas, Djamin Ceha yang pernah memindah penduduk
Kampung Peres ke Kalialang, Kelurahan Sadeng, lewat sebuah kesempatan
mengomentari langkah pemerintah itu. Menurutnya relokasi korban banjir
adalah upaya berbiaya mahal, sedangkan yang harus dipikirkan juga adalah
bagaimana membuat aliran Kali Garang lurus, sehingga tidak menjebol tang-
gul. Sebagai catatan, dalam bagian sebelumnya telah dituliskan bahwa pabrik
PT Damaitex berada di tikungan sungai.
Ada dua pabrik di Simongan yang sebetulnya terkena jalur normalisasi,
namun pemerintah tidak langsung memindahkan pabrik tersebut, melainkan
akan membicarakannya lebih dulu. Lagi-lagi, ketimpangan muncul di sini.
Selain menggusur warga di hilir sungai, normalisasi sepanjang 1.500 meter
dengan lebar 25 meter dari hulu ke hilir Kali Garang itu, merugikan petani di
Ungaran. Tanpa ada musyawarah terlebih dulu, sawah garapan petani setem-
pat dikepras begitu saja dengan dalih kepemilikan. Dikatakan pihak DPU,
sawah tersebut bukan milik para petani penggarap. Sementara tahap III proyek
PPS yakni pemeliharaan dan penelitian, melibatkan jajaran DPU, Pemerintah
Daerah, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dan Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Pembahasan soal pembangunan waduk untuk menampung
air dari hulu DAS Garang sebelum masuk ke Simongan, kembali muncul pada
tahap III proyek PPS tersebut.3
Total keluarga yang dipindahkan dari tepi Kali Garang ke Dukuh Kuwasen,
Kelurahan Sadeng mencapai 315, terdiri dari korban banjir dan korban gusur-
an normalisasi sungai. Tambahan 65 rumah dibangun pada tahap berikutnya.
Para warga ini berasal dari Kelurahan Bendungan, Kelurahan Bongsari, Kelu-

_____
1 Suara Merdeka, 21 Februari 2021, “Sebanyak 328 KK Akan Dipindahkan ke Sadeng”.
2 Suara Merdeka, 23 Mei 1990, “Pembangunan Relokasi Pemukti Sadeng Sudah Capai 200
Rumah”.
3 Suara Mereka, 11 Agustsu 1990, “Pertengahan 1991 Normalisasi Kali Garang Selesai”.

251
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

rahan Sampangan, Kelurahan Panjangan dan Kelurahan Sukorejo. Warga


menempati rumah dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) dan dilarang
menjualnya.1 Dengan pemindahan korban banjir dan penggusuran atas nama
proyek normalisasi sungai itu, Sub-DAS Kripik menjadi semakin padat.
Tidak cuma penduduk yang pindah dari kerutan hilir DAS Garang, IKIP
Semarang juga pindah mendekati hulu DAS Garang melalui Sub-DAS Kripik.
Pada 1990, IKIP Semarang membeli lahan 120 hektare di Kelurahan Sekaran.
Ketika itu Rektor Unnes dijabat oleh Profesor Retmono (1985-1994). Pembelian
lahan tersebut salah satunya didorong faktor terus bertambahnya jumlah
mahasiswa IKIP Semarang yang datang dari berbagai daerah. Sedangkan
untuk memperluas kampus IKIP di Jalan Kelud Sampangan (berdekatan
dengan kantor PDAM Kota Semarang dan instalasi penyaringan air Kali Ga-
rang) sudah tidak memungkinkan, sebab kawasan tersebut sudah padat.
Usai pembelian lahan, perguruan tinggi tersebut membangun gedung-
gedung di antaranya untuk Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Fakultas Ilmu Keolahragaan, dan Fakultas Bahasa. Dalam wawancaranya
dengan Suara Merdeka pada November 2014, Rektor Unnes (1994-2002)
Profesor Rasdi Eko Siswoyo menceritakan bahwa jalan di seberang jembatan
yang oleh warga setempat dijuluki kreteg wesi, pada tahun itu masih berupa
jalan setapak. “…itu dulunya jalan setapak. Kalau hujan seperti sungai,” kata
Profesor Rasdi. Jembatan itu sendiri pun masih berupa panel bailey, jembatan
darurat yang biasanya dipasang tentara. Permukiman penduduk telah ada di
Sekaran pada masa itu, namun tidak teratur, letaknya menyebar, dan tidak
terlalu banyak.
Setelah gedung-gedung selesai dibangun, sejak 1994 pemindahan dilaku-
kan secara bertahap. Profesor Rasdi adalah rektor yang menjabat saat pemin-
dahan dilakukan. Hingga pada 2000, saat IKIP Semarang berubah menjadi
Universitas Negeri Semarang (UNNES), jumlah mahasiswa aktif di dalamnya
sudah mencapai 12 ribu, aktivitas UNNES sebagian besar sudah berada di
Sekaran. Mengikuti jumlah gedung yang lebih banyak, jumlah mahasiswa pun
terus bertambah. Pada 2014, mahasiswa aktif UNNES sudah lebih dari 32 ribu. 2
Pada 2015 dengan mahasiswa baru mencapai 7.500 dan total mahasiswa aktif
mencapai 35 ribu, UNNES dengan dana pinjaman dari Islamic Development
Bank (IDB) kembali menambah gedung-gedung.3 Hingga saat ini, jumlah

_____
1 Suara Merdeka, 28 Februari 1990, “48 KK Warga Gumuksari Masih Tunggu Realisasi
Relokasi”.
2 Suara Merdeka, 20 November 2014, “Lahan Mati Kawasan Kampus Dihidupkan”.
3 Teguh Prihanto (2018) Perkembangan Kampus UNNES Sekaran Melalui Re-Clustering
Bidang Ilmu dan Rekonfigurasi Massa Bangunan (Masterplan 2016-2040). Seminar Ikatan
Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI).

252
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

mahasiswa aktif UNNES yang terus bertambah tersebut mencapai 38.365.1


Keberadaan kampus UNNES di Kelurahan Sekaran itu mengonsentrasikan
puluhan ribu mahasiswa dari berbagai tempat di Semarang, dari luar Kota
Semarang, hingga luar Pulau Jawa. Konsentrasi orang (mahasiswa) ini dalam
sistem masyarakat kapitalistik merupakan pasar, tempat berbagai komoditi
bisa dijajakan untuk mendapatkan keuntungan. Berbagai usaha mulai dari
kamar sewa, makanan dan minuman, jasa fotocopy, jasa cuci sepatu, kendara-
an, bengkel, pendidikan itu sendiri, dan banyak lagi lainnya bermunculan di
sekitar kampus UNNES.
Yang terjadi selanjutnya adalah melonjaknya harga lahan. Harga lahan di
Kelurahan Sekaran yang pada 1989, sebelum UNNES masuk Sekaran, berkisar
antara Rp500/m² hingga Rp1500/m², pada 1994, saat Kampus UNNES Sekaran
mulai beroperasi, naik menjadi antara Rp4.200/m² hingga Rp17 ribu/m², ter-
gantung pada jaraknya dengan kampus UNNES dan kemudahan akses. Pada
2012, harga lahan di UNNES mengalami kenaikan menjadi antara
Rp4.804.000/m² sampai Rp6.000.000/m². Pola kenaikan harga tersebut meng-
ikuti jalan utama di sekitar UNNES, yakni Jalan Taman Siswa. Semakin dekat
dengan jalan, harganya semakin mahal. Pola kenaikan harga lahan tersebut,
dari tahun ke tahun diikuti perluasan. Kawasan di sekitar Sekaran, seperti
Kalisegoro, Ngijo, Patemon, Nongkosawit, Pakintelan, Plalangan, dan Mangun-
sari turut mengalami kenaikan harga lahan sekaligus menjadi padat. 2
Kenaikan harga tersebut kemudian memengaruhi keadaan sosial eko-
nomi di Kelurahan Sekaran dan sekitarnya. Harga lahan yang terus naik men-
dorong para pemilik lahan menjual tanahnya, atau beralih pekerjaan dari yang
semula mengolah lahan kemudian menjadi pedagang atau lainnya. Terjadi
perubahan pekerjaan dari petani menjadi bukan petani. Dewi dan Rudiarto
(2013), menyebut terjadi peralihan nyata berkaitan sumber mata pencaharian
penduduk asli Kecamatan Gunungpati, dari petani menjadi bukan petani. 3
Petani yang memiliki modal dan keterampilan lain membuka usaha berdagang
(warung, toko, tempat kos), sedangkan yang tidak memiliki modal dan
keterampilan lain akan menjadi buruh serabutan, atau tetap mengolah lahan
namun sebagai buruh tani. Perkembangan permukiman di sekitar UNNES

_____
1 Lihat: Profil Perguruan Tinggi Universitas Negeri Semarang. URL: https://pddikti.kem
dikbud.go.id/data_pt/QTU4NTg4QTgtMEY1Mi00RDRELThBQTgtRjgzMjc4QTU2NTU5#sorts
tatus [diakses pada 19 September 2021].
2 Nuas Yuniarto (2013) Dampak Keberadaan Universitas Negeri Semarang Terhadap Harga
Lahan di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang (Skripsi). Jurusan
Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

-
3 Nurma Kumala Dewi dan Iwan Rudiarto (2013) Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan
Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat Daerah Pinggiran di Kecamatan Gunungpati Kota
Semarang. Jurnal Wilayah dan Lingkungan 1(2): 175-188.

253
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Sekaran sangat pesat pada 2001-2010. Dalam kurun waktu 16 tahun, antara
1994 di mana kampus UNNES beroperasi, hingga 2010 terjadi penurunan
luasan lahan basah (sawah) sebanyak 384,40 ha. Sedangkan penurunan lahan
kering atau tegalan dalam kurun waktu yang sama mencapai 414,41 ha.
Seluruhnya berubah menjadi bangunan.
Pada bagian sebelumnya (bagian Simongan pada Lingkaran Kedua) telah
ditulis tentang penggusuran rumah dan lapak PKL di Simongan ke kawasan
Pongangan yang menyisakan konflik. Penggusuran tersebut ternyata berlanjut
kepada penduduk yang tinggal di tepi BKB, di sepanjang Jalan Kokrosono pada
1999. Sebagaimana penggusuran di Simongan ke Pongangan, penggusuran
dari Kokrosono ke Pongangan itupun terhenti karena ketidaksepakatan nilai
ganti rugi. Kendati demikian, sebagian warga tetap pindah ke Pongangan.
Momen pengerutan dalam sosiospasial di Sekaran dan sekitarnya ter-
sebut memengaruhi relasi sosioalamiah saya serta orang-orang yang juga
tinggal di tempat yang sama. Saya tinggal di Perumahan Grand Greenwood
sejak 2011, di mana pemenuhan kebutuhan air bersihnya bergantung pada
PDAM Tirta Moedal Kota Semarang. Sejak tahun-tahun pertama tinggal hingga
saat ini, saya sering mendapati gangguan layanan PDAM. Saat musim hujan
tiba, sering kali air dari keran berwarna coklat kehitaman. Jika sudah begitu,
PDAM akan menghentikan layanannya untuk sekitar dua hingga lima hari.
Pada musim kemarau, masalah berganti, layanan PDAM sering berhenti
karena debit air baku berkurang. Tidak jarang pula, baik musim kemarau
maupun musim hujan, saya sering menerima pesan singkat atau pesan lewat
WhatsApp dari PDAM yang menerangkan bahwa pipa induk di area Gunungpati
pecah.1 Keadaan itu diawali atau ditandai dengan keruhnya air yang keluar dari
keran. Untuk memperbaikinya, maka PDAM menghentikan layanan. Yang
seperti itu seringkali terjadi. Sejauh yang dapat saya ingat, dalam satu bulan
pernah tiga kali pipa induk PDAM diameter 600 mm pecah.
Semula kami yang tinggal di perumahan ini menggunjingkan seringnya
kasus pipa pecah di Gunungpati menjadi sebab penghentian layanan. Per-
tanyaan kami, bagaimana cara PDAM melakukan perawatan terhadap instalasi
pipanya sehingga terus-menerus pecah?
Sampai suatu ketika salah satu dari kami menelepon bagian pengaduan
PDAM dan mendapat keterangan bahwa pecahnya pipa berkali-kali tersebut
tidak pada satu titik, melainkan di titik-titik yang berbeda. Hal itu disebabkan,
pertama karena umur pipa yang sudah tua. Kedua, keadaan tanah di Gunung-

_____
1 Kasus yang sama: Nanang Rendi dan Baskoro Septiadi (3 April 2020), Radar Semarang, Pipa
PDAM Berusia 34 Tahun Pecah, 10 Wilayah Terdampak. URL: https://radarsemarang.jawa
pos.com/berita/semarang/2020/04/03/pipa-pdam-berusia-34-tahun-pecah-10-wilayah-
terdampak/ [diakses pada 28 September 2021].

254
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

pati yang rawan pergerakan. Penelitian Fajarulloh dkk. (2020) menunjukkan


40% wilayah Sekaran dan sekitarnya memiliki potensi longsor dengan inten-
sitas tinggi sampai sangat tinggi. Daerah rawan longsor berada di sebelah
timur dan barat laut Sekaran, bagian utara Kalisegoro, dan bagian timur
Patemon. Keadaan tersebut, selain dipengaruhi oleh kondisi fisik tanah serta
derajat kelerengan, juga dipengaruhi oleh tingkat vegetasi yang rendah sampai
sedang, dan penggunaan lahan yang melibatkan manusia. Semakin banyak
pembebanan dari aktivitas manusia dan daerah terbangun, tanah akan
semakin tidak stabil. Akibatnya potensi kelongsoran dan pergerakan tanah
dalam bentuk lain semakin tinggi. Penelitian itu menyebutkan pembangunan
di Sekaran dan sekitarnya perlu dibatasi. 1
Dengan kata lain, mengerutnya kawasan Sekaran dan sekitarnya, yang
berasal dari ledakan kawasan Sampangan dan Simongan menimbulkan gang-
guan penyediaan air bersih di Perumahan Grand Greenwood dan sekitarnya.
Tidak berlebihan jika saya menyebut ini sebagai proses meluap atau krisis.
Sebab untuk menghadapi layanan PDAM yang tidak lancar tersebut, kami mau
tidak mau, harus dan tidak bisa tidak, menyediakan tandon. PDAM memang
siap mengirimkan air pengganti menggunakan truk tangki, namun untuk
menampung air tersebut, tetap saja harus ada tandon yang tersedia. Biaya
penyediaan tandon, perawatan dan penggantian jika rusak, merupakan beban
kami sebagai penduduk di sini. Salah seorang di antara kami berkelakar,
“Sudah bayar. Telat bayar didenda, diancam diputus layanan. Masih ditambah
harus sediakan tandon. Sebenarnya PDAM yang melayani pelanggan, atau
pelanggan seperti kita yang melayani PDAM?”.2
Kompleks Perumahan Grand Greenwood sendiri berada di kawasan
suburbia Kota Semarang. Sosiospasial Grand Greenwood terbentuk oleh
serpihan dari ledakan pusat kota yang mengarah ke barat daya. Ia dibangun di
atas lahan seluas 18,8 hektar, melanjutkan proyek sebelumnya; Kampung
Hollywood yang dibangun pada 2008 dan proyek Greenwood Estate yang
dikembangkan sejak 1997 sebagai perumahan mewah.
Diketahui, proyek 2010 kompleks Grand Greenwood itu dikerjakan oleh
PT Lintas Sentosa Investama (LSI) di atas lahan yang sebelumnya dikuasai oleh
PT Bhumi Manyaran Permai. Sebelumnya PT Bhumi Manyaran Permai juga
mengembangkan Kampoeng Hollywood 2008 yang berada pada satu kawasan
di Grand Greenwood.3 PT LSI itu sendiri berada di bawah naungan Lintas
_____
1 Ahmad Syihab Fajarulloh (2020) Analisa Gerakan Tanah di Daerah Sekaran dan Sekitarnya
Beserta Rekomendasi Penanggulangannya. Paradigma (Jurnal Multidisipliner Mahasiswa
Pascasarjana) 1(1): 1-10.
2 Seorang teman yang lain yang tinggal di Meteseh menyebutkan bahwa air PDAM
mengandung cacing (komuniksi personal, November 2021).
3 Lihat: http://grandgreenwood.blogspot.com/ [diakses 27 September 2021].

255
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Group1, pimpinan Anis Nugroho Widharto, pengusaha sekaligus politisi yang


pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Wali Kota Semarang periode 2010-
2015 berpasangan dengan mantan Wakil Wali Kota Semarang Mahfud Ali.
Berbeda dengan proyek Greenwood Estate yang merupakan perumahan
mewah, pembeli yang disasar oleh proyek Grand Greenwood adalah orang-
orang dengan pendapatan menengah hingga rendah. Letak perumahan ini
berada di tepi Kali Kripik, berseberangan dan berbatas sungai dengan Kam-
pung Kalialang lama. Risiko longsor dan pergerakan tanah seperti di Kampung
Kalialang, juga dihadapi penghuni Perumahan Grand Greenwood. Aliran air
dalam arus deras dari bukit-bukit di sekitar perumahan ke jalan-jalan di
perumahan, merupakan salah satu relasi sosioalamiah warga yang bertempat
tinggal di rumah yang persis menghadap sungai seperti saya.
Saya membeli rumah tersebut pada 2010 dengan skema Kredit Pemilikan
Rumah (KPR), tanpa sebelumnya mengetahui kondisi tersebut. Rasionalisasi
saya adalah, jika kompleks perumahan tersebut telah dibangun, artinya
Pemerintah Kota Semarang telah memberikan izin pembangunan yang sudah
tentu memenuhi syarat-syarat pembangunan. Pertimbangan utama saya saat
itu adalah biaya uang muka pembelian rumah yang bisa dijangkau dengan cara
diangsur. Pada saat itu saya merupakan buruh industri media dengan gaji di
bawah Upah Minimum Kota (UMK) Semarang yang sudah enam tahun
berpindah-pindah rumah sewa dengan biaya yang besar. Keadaan tersebut
membuat saya tidak memiliki kemampuan membeli rumah, bahkan mem-
bayar uang muka kreditnya saja, dalam satu kali bayar. Dengan kata lain, orang
seperti saya tidak punya banyak pilihan menentukan tempat tinggal. Keluarga
saya sering berkelakar, “Kalau punya uang, ya tidak akan tinggal di sini.”
Saking tidak adanya pilihan dan adanya keharusan bertahan hidup, saya
berupaya agar pengajuan kredit saya disetujui oleh bank dimana salah satu
caranya adalah menggabungkan gaji saya dengan pendapatan anggota keluar-
ga lain dalam satu surat keterangan atas gaji satu orang. Hal itu disarankan
oleh tenaga pemasaran perumahan yang “mendampingi” proses pembelian

_____
1 Yang juga berada di bawah naungan Lintas Group adalah PT Lintas Persada Manunggal, CV
Lintas Reka Cipta, CV Lintas Pantura, PT Merdeka Lintas Bhagawanta, PT Kawasan
Margorejo Persada, CV Lintas Guna Transport, dan Koperasi Lintas Karya Bersama.
Koperasi Lintas pernah berkantor di Jalan Basudewo, tempat di mana saya datang berkali-
kali untuk mengangsur uang muka kredit rumah. Koperasi Lintas Karya Bersama adalah
Lembaga yang juga disebut-sebut dalam kasus korupsi pengadaan tanah tukar guling
proyek tol Semarang-Solo, di Desa Jatirunggo, Kecamatan Pringapus, Kabupaten
Semarang. Lihat: Indonesia Corruption Watch (5 Desember 2011), Mantan Pejabat Bank
mandiri Buron; Kasus Korupsi Jatirunggo. URL: https://www.antikorupsi.org/id/article/
mantan-pejabat-bank-mandiri-buron-kasus-korupsi-jatirunggo [diakses pada 28 Septem-
ber 2021].

256
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

kredit rumah saya. Alasannya, meski pihak pengembang tidak menyoal itu
(yang penting rumah yang mereka tawarkan laku terjual), tapi bank hanya
menerima keterangan gaji satu orang, bukan dua atau lebih. Singkatnya, kami
membuat surat keterangan gaji fiktif.
Tetapi dengan menuturkan hal-hal tersebut, bukan berarti hidup di kom-
pleks perumahan ini adalah hidup yang murah. Sebaliknya, seiring berjalannya
waktu, kami justru harus mengeluarkan banyak biaya untuk menebus risiko-
risiko tinggal di perumahan, sebagaimana warga Kalialang yang mengumpul-
kan dana sendiri untuk membiayai perbaikan jembatan yang putus. Blok yang
saya tempati berjarak sekitar 10 meter saja dari sempadan Kali Kripik. Dari
tetangga yang lebih dulu tinggal di sini, saya mendapat informasi bahwa tanah
di bawah rumah saya awalnya merupakan lahan yang tidak rata kemudian
direkayasa dengan pengurukan. Persoalan yang muncul belakangan kami
tinggal di permukiman tersebut adalah, dinding bangunan yang retak sampai
merekah, air yang merembes ke rumah melalui dasar dinding, buis (silinder
beton) saluran air yang berulang kali jebol pada saat hujan deras, tanah uruk
tepi sungai yang ambrol dan jatuh ke aliran sungai, hingga permukaan tanah
pada jalanan yang ambles.
Dalam melanjutkan hidup di tempat ini, kami harus mengeluarkan biaya-
biaya untuk menghadapi persoalan tersebut. Merehabilitasi rumah, jalan,
saluran air, hingga membuat talud baru. Sebagai warga penghuni, kami
terpaksa melakukannya dengan merogoh kantong pribadi masing-masing. Hal
itu karena kami tidak bisa mengakses pertanggungjawaban pemerintah, yang
sedianya berdasar Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2015
tentang Penyediaan, Penyerahan dan Pengelolaan Prasarana, Sarana dan
Utilitas Kawasan Perumahan, Kawasan Perdagangan dan Jasa serta Kawasan
Industri, menjadi pengelola Prasarana Sarana Utilitas (PSU) suatu permuki-
man.1 Sebagai pengelola, semestinya pemerintah berkewajiban merehabili-
tasi jalan hingga saluran air. Namun karena PT LSI yang belum menyerahkan
PSU kepada Pemerintah Kota Semarang, jalan kami untuk mendapatkan
pertanggungjawaban tersebut terhalang. Sementara, PT LSI sendiri sudah
meninggalkan Perumahan Grand Greenwood, ditengarai dengan kantor
pemasarannya yang terletak di dalam kompleks perumahan telah tutup,
sehingga warga Grand Greenwood pun kesulitan meminta tanggung jawab
darinya.
Rehabilitasi jalan yang longsor belum lama ini dilakukan oleh para warga
Grand Greenwood. Jalan di sebelah rumah-rumah warga yang letaknya lebih
tinggi, longsor separuh. Talud jalan tersebut ambrol tergerus oleh aliran deras
_____
1 http://satudata.semarangkota.go.id/adm/file/20170727074039Perda-6-Th-2015_legal.pdf
diakses pada 10 November 2021

257
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

air dari bukit di sebelahnya (Gambar VII.20). Untuk perbaikan tersebut, warga
terpaksa menyewa alat berat, sekaligus membayar operator dan membeli
bahan bakarnya sendiri. Dalam perbincangan antar tetangga, kerap saya
dengar ujaran, “Ini akibat pengembangnya terlalu banyak ambil untung.” Saya
kira hal itu benar. Atas biaya yang kami keluarkan, sebetulnya adalah, salah
satunya, keuntungan pengembang dari membeli lahan suburbia yang tidak
cocok untuk permukiman dengan harga yang tidak semahal lahan di pusat
kota. Ketimpangan (unevenness) terjadi di sini, di mana pihak pengembang
diberi jalan oleh pemerintah untuk mengeruk untung dari ketidakmampuan
warga dalam mengakses permukiman yang layak dan informasi yang ter-
perinci atas pemukiman tempat tinggalnya yang dikerjakan pengembang.
Sementara warga Grand Greenwood yang sudah dirugikan makin dirugikan
karena tidak bisa mendapatkan hak pengelolaan PSU oleh pemerintah
sekaligus kesulitan menuntut tanggung jawab pihak PT LSI sebagai pengem-
bang yang telah memperoleh keuntungan berlipat dari usahanya.

Gambar VII.20: Warga RT 12 RW 07 Perumahan Grand Greenwood membuat talud


setelah longsor yang menggerus separuh badan jalan. Biaya perbaikan
berasal dari iuran warga. Foto diambil pada September 2021.

2. Pembangunan Sia-Sia di Sub-DAS Kreo

Keadaan yang lebih parah dari warga Perumahan Grand Greenwood diderita
oleh warga Perumahan Bukit Manyaran Permai (BMP) (Gambar VII.21). Letak
kedua kompleks perumahan tersebut sama-sama di Kelurahan Sadeng, Keca-

258
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

matan Gunungpati. Jarak antara keduanya tidak jauh, masing-masing gerbang


perumahan terpaut jarak kurang lebih 500 meter. Pada 1 Maret 2021 lalu,
setelah hujan, delapan rumah roboh, 10 rumah rusak berat, dan belasan
rumah lain mengalami kerusakan, akibat tanah di bawah rumah-rumah ter-
sebut longsor. Kejadian tersebut tidak terjadi tiba-tiba. Beberapa bulan hingga
satu tahun sebelumnya, tanah di perumahan yang berada di dekat Kali Kreo
itu sudah longsor.1
Longsornya tanah di perumahan ini pun bukan hal baru, namun sudah
terjadi sejak 1986, bahkan ketika Perumahan BMP baru dua tahun beroperasi.
Perumahan seluas 83.691 m² ini dibangun pada 1983 oleh perusahaan pe-
ngembang perumahan PT Dian Semenko. Perumahan ini mulai ditempati para
pembeli pada 1984. Pada kejadian kali pertama longsor itu, beberapa rumah
yang belum ditempati warga roboh, sebagian ambles. Longsor kemudian ter-
jadi hampir setiap tahun, menyebabkan kerusakan lantai dan dinding bangun-
an, hingga kerusakan jalan dan saluran air. Akibatnya sebagian warga memilih
pindah, perumahan yang dahulu dihuni oleh 400-an keluarga, hingga 2014 lalu
tinggal 250-an keluarga.2

_____
1 Lihat: Longsor di Bukit Manyaran Permai Semarang Kian Parah (1 Maret 2021), Tribun
Jateng, URL: https://www.youtube.com/watch?v=gh3QlsHyVQU, [diakses 27 September
2021].
2 Kenida Ajeng Setiyaning dan Fitri Yusman (2014) Kajian Faktor Yang Mempengaruhi Warga
Tetap Tiggal di Perumahan Rawan Longsor (Studi Kasus: Perumahan Bukit Manyaran
I
Permai). Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota), 3(4), 708-718. Diambil dari:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/6730

259
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VII.21: Antrean kendaraan berjalan menanjak dan menikung pada jalan di
depan Perumahan Bukit Manyaran Permai. Rumah-rumah di sisi sebe-
lah kiri jalan ini adalah rumah-rumah Bukit Manyaran Permai. Kondisi
ini menunjukkan kemiringan yang cukup terjal. Foto diambil pada
September 2021.

Umumnya kawasan suburbia dipandang memberi keuntungan tersendiri bagi


penghuninya, di mana udara dan airnya lebih bersih dibanding dengan pusat
kota. Lingkungan suburbia biasanya juga dianggap memberi ketenangan kare-
na tidak sebising pusat kota. Namun untuk kasus BMP, hal itu perlu ditilik lebih
dalam, mengingat letak perumahan ini tidak jauh dari Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Jatibarang1. TPA Jatibarang, biasanya setelah gerimis atau hujan,
kerap menguarkan bau sampah yang sangat menyengat dan tercium hingga
area BMP, bahkan sampai area Grand Greenwood.
Perumahan BMP juga rawan longsor. Sehingga penting untuk dilihat lebih
jauh apakah perumahan ini merupakan pilihan utama bagi penghuninya saat
menentukan tempat tinggal. Ataukah penghuninya yang terpaksa memilih

_____
1 TPA Jatibarang berada di Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Ini
merupakan daerah berbukit dan bergelombang dengan kemiringan lereng sangat curam
(lebih dari 24 %). Ketinggiannya bervariasi antara 63 sampai 200 meter dari permukaan
laut. Pada bawah TPA ini mengalir Sungai Kreo yang airnya merupakan bahan baku PDAM
Kota Semarang. Luas TPA Jatibarang mencapai 46,183 Ha, terdiri dari 27,7098 Ha (60 %)
untuk lahan buang dan 18,4732 Ha (40 %) untuk infrastruktur kolam lindi. Daya tampung
tempat pembuangan ini mencapai 4,15 juta m³ sampah, setiap hari sampah yang masuk
ke TPA Jatibarang mencapai 750 – 800 ton. Lihat: http://mapgeo.id/dkp/index.php/
pembuangan/tpa [diakses pada 27 September 2021].

260
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

tempat ini karena tidak mampu membeli rumah di tempat yang aman dari
longsor1.
Dapat dikatakan tinggalnya orang-orang di tempat semacam BMP atau
Grand Greenwood, disituasikan oleh ledakan dari kerutan proses pengotaan
di Semarang. Keinginan untuk bertahan hidup dengan menjangkau tempat
tinggal yang sesuai pendapatan, justru berujung kerugian-kerugian, di mana
rumah dan lingkungan yang ditempati rusak dan kami yang menanggungnya.
Seperti PT Lintas Sentosa Investama yang saat ini sudah tidak berkantor lagi di
Grand Greenwood, PT Dian Semenko pun sudah tidak beroperasi. Artinya,
kedua pemodal tersebut agak sulit atau tidak bisa lagi dimintai pertanggung-
jawaban. Sebaliknya, mereka telah menyedot keuntungan-keuntungan.
Tingkat kerusakan lahan di DAS Kreo dan sekitarnya termasuk dalam
kriteria kritis. Menurut Setyaningsih dkk. (2018), hal itu salah satunya disebab-
kan oleh pengembangan permukiman semacam BMP.2 Perubahan pengguna-
an lahan di DAS Kreo secara umum memang berupa perluasan kawasan
permukiman, perkebunan, dan kebun campuran. Perubahan penggunaan
lahan tersebut, menurut Liesnoor Setyowati (2010), kemudian diikuti limpasan
permukaan. Akibatnya, terjadi peningkatan debit aliran Kali Kreo. Dalam kurun
1992-2007, debit air Kali Kreo mencapai maksimum pada 1993, 2001, 2003,
dan 2007.3
Selain perluasan kawasan permukiman, Setyaningsih dkk. (2018) menye-
butkan pembangunan Waduk Jatibarang berpengaruh besar terhadap keru-
sakan lahan di DAS Kreo. Waduk ini dibangun dengan cara membendung aliran
Kali Kreo. Wilayah di mana waduk yang membutuhkan area seluas 266 hektar
itu dibangun bukan merupakan area permukiman, melainkan area vegetasi
hutan, sawah, dan tegalan.
_____
1 Dalam penelitiannya, Kenida Ajeng Setiyaning (2014: 709) menuliskan: “Bencana longsor
ditinjau dari kerawanan fisik alamiah memiliki beberapa indikator yaitu memiliki
kelerengan agak curam (15-25%), karakteristik jenis tanah grumosol bertekstur lempung
yang peka terhadap longsor, curah hujan di Kelurahan Sadeng yang termasuk tinggi, dan
kawasan perumahan memiliki kerawanan akan gerakan tanah tinggi. Hal ini juga didukung
data di Buletin Cipta Karya yang menyatakan bahwa Perumahan Bukit Manyaran Permai
ini tidak layak bangun karena kondisi alamnya yang rawan bencana longsor. Selain itu,
ditinjau dari kerawanan akibat aktivitas manusia yaitu penggunaan lahan yang melebihi
daya dukung lahan kawasan. Berdasarkan data yang tercantum dalam Buletin Cipta Karya
menyatakan bahwa pengembang perumahan Bukit Manyaran Permai ini cenderung
memihak pada aspek politis yaitu desakan dari penguasa proyek untuk menyelesaikan
pembangunan tersebut.”
2 Wahyu Setyaningsih, Sriyono, Andi Irawan Bernadi (2018) Kajian Kerusakan lahan di DAS
Kreo Akibat Pembangunan Permukiman di Sekitar Waduk Jatibarang Kota Semarang.
Jurnal MKG Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial 19(2): 117-186.
3 Dewi Liesnoor Setyowati (2010) Hubungan Hujan dan Limpasan Pada Sub-DAS Kecil,
Penggunaan Lahan Hutan, Sawah, Kebun Campuran di DAS Kreo. Forum Geografi 24(1):
39.

261
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Ide pembangunan waduk untuk menghambat aliran air di hulu DAS


Garang, sebelum mencapai hilir, sudah muncul sejak 1982 di mana Kali Garang
dinyatakan kritis (meluap saat hujan, debit sangat kecil saat kemarau, se-
dimentasi tinggi). Tapi hal itu tidak ditindaklanjuti. Gagasan itu kembali muncul
pasca-banjir bandang 1990. Kali ini gagasan ditindaklanjuti dengan pembuatan
masterplan bendungan pada 1992-1993. Tetapi pembangunan Waduk Jati-
barang sendiri baru dilaksanakan pada 2009.
Seperti biasa, proyek pembangunan infrastruktur selalu dimulai dengan
pembebasan lahan, kali ini pada empat kelurahan; Jatibarang, Jatirejo,
Kedungpane, dan Kandri, yang berada dalam dua kecamatan, yakni Mijen dan
Gunungpati. Memang tidak ada pemindahan penduduk, namun perubahan
sawah dan tegalan memengaruhi keadaan ekonomi sosial di sekitar Waduk.
Dalam kurun 2005-2011, terjadi penurunan pelan-pelan jumlah petani dan
buruh tani di keempat kelurahan tersebut, namun terjadi peningkatan drastis
jumlah buruh bangunan. Hal itu disebabkan perekrutan buruh bangunan
dalam jumlah besar untuk pembangunan waduk. Penduduk asli di sekitar area
waduk yang semula petani dan buruh tani, kemudian bekerja menjadi buruh
bangunan. Sedangkan, ada penambahan jumlah penduduk pendatang di
empat kelurahan tersebut yang bekerja sebagai buruh bangunan lewat pere-
krutan pekerja proyek waduk. Untuk Kelurahan Jatirejo, selain peningkatan
buruh bangunan, terjadi peningkatan jumlah buruh pada pabrik-pabrik yang
ada di wilayah tersebut.1
Proyek Waduk Jatibarang dibiayai dengan dana pinjaman dari Japan
International Cooperation Agency (JICA) sebesar Rp599,95 miliar. Seluruh pe-
ngerjaan proyek waduk digarap oleh konsorsium Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), PT Wijaya Karya Tbk, PT Waskita Karya, dan PT Brantas Abripraya.
Proyek itu sempat mengalami kendala pembebasan lahan, di mana pemilik
sekitar 12 hektar lahan di sana menawarkan harga lebih tinggi dari perhitung-
an pemerintah. Proyek tersebut juga terkendala hujan, di mana untuk penge-
rasan timbunan tanah penyokong bendungan harus dilakukan pada musim
panas. Tidak seluruh air dari Kali Kreo dibendung, bagian yang dielakkan dialir-
kan lewat terowongan elak (diversion tunnel) berdiameter 5,6 meter yang diba-
ngun sepanjang 441 meter.2

_____
1 Erfandy Yoga Prarasta dan Parfi Khadiyanto (2014) Dampak Proses Pembangunan Waduk
Jatibarang Terahdap Kondisi Lingkungan di Kecamatan Mijen dan Kecamatan Gunungpati
Semarang. Jurnal Ruang 2(2): 111-120.
2 Lihat: Endot Briliantono (5 Maret 2013), Waduk Jatibarang Semarang, Oktober Ini
Pembangunan Selesai, Bisnis Indonesia. URL: https://ekonomi.bisnis.com/read/201303
05/45/2143/waduk-jatibarang-semarang-oktober-ini-pembangunan-selesai [diakses pada
27 September 2021].

262
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Pembangunan waduk selesai ditandai dengan peresmian pada 5 Mei


2014 oleh Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Djoko Kirmanto. Waduk Jati-
barang digadang-gadang dapat berfungsi sebagai pengendali banjir Semarang
selama 100 tahun. Pada saat peresmian tersebut Direktur Direktorat Sumber
Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Mujadi, me-
ngatakan bahwa Waduk Jatibarang merupakan bendungan pertama yang
beroperasi pada era Kabinet Kerja Predisen Joko Widodo. “… sesuai ‘nawa cita,’
kita nanti akan bangun 49 waduk baru, yang 16 waduk di antaranya sudah
dikerjakan,” demikian kalimat Mujadi dalam peresmian.1
Tidak berhenti di situ, proyek pembangunan Waduk Jatibarang diikuti
dengan normalisasi Kali Garang atau BKB. Kedua proyek tersebut memang
berada dalam satu paket mega-proyek penanganan banjir Semarang, untuk
menangani banjir dan rob di tujuh kecamatan di Kota Semarang. Selain dua
proyek tersebut ada pula proyek peningkatan sistem drainase di Kali
Semarang, Kali Asin, dan Kali Baru.2 Proyek normalisasi Kali Garang, menurut
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juwana yang mengetuai pelaksana-
an pengerjaan proyek bendungan, Imam Santosa, membutuhkan biaya Rp316
miliar, ditambah biaya rehabilitasi Bendungan Simongan sebesar Rp38 miliar.
CTI Engineering International Co.Ltd in Asociation mengerjakan proyek ini dalam
1.670 hari, hampir lima tahun.3
Apakah keberadaan mega-proyek tersebut mengurangi banjir di Kota
Semarang? Mari kita lihat data bencana alam yang dihimpun oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang berikut ini:

_____
1 LIhat: Nazarnurdin (11 Mei 2015), Kontan co.id, Bendungan Jatibarang Beroperasi, URL:
https://regional.kontan.co.id/news/bendungan-jatibarang-resmi-beroperasi
[diakses pada 27 September 2021].
2 Salah satu bagian dari megaproyek ini adalah pembangunan kolam retensi di Semarang
Utara seluas 9,23 hektar dengan nilai ganti rugi pembebasan lahan sebesar Rp 31,9 miliar
yang diberikan kepada PT Tanah Mas Bharuna selaku pengelola lahan. Lihat: Redaksi
Kompas.com (15 Oktober 2009), Megaproyek Penanganan Banjir Semarang Diresmikan,
URL: https://lifestyle.kompas.com/read/2009/10/15/21250937/megaproyek.penanganan
.banjir.semarang.diresmikan [diakses pada 30 September 2021].
3 Lihat: BBWS Pemali Juana (5 Mei 2014), Ditemani Ganjar, Menteri PU Resmikan Waduk
jatibarang Semarang, URL: https://sda.pu.go.id/balai/bbwspemalijuana/pages/posts/
ditemani-ganjar-menteri-pu-resmikan-waduk-jatibarang-semarang-1612928730 [diakses
pada 27 September 2021].

263
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Tabel VII.1: Resume Data Bencana di Kota Semarang 2012-2020 (diolah dari:
bpbd.semarangkota.go.id).

Rob Tanah Puting Rumah Pohon


Tahun Banjir Kebakaran
Banjir Longsor Belitung Roboh Tumbang
2012 8 0 38 5 10 55 13
2013 69 0 44 6 4 60 16
2014 26 0 123 5 20 57 6
2015 48 0 30 0 11 84 12
2016 30 0 52 1 14 44 11
2017 36 0 82 5 31 69 45
2018 34 38 87 1 47 103 36
2019 19 4 89 21 53 108 61
2020 21 0 124 4 22 25 11

140
120
100
80
60
40
20
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

■ Banjir ■ Rob Banjir ■ Tanah Longsor ■ Puting Belitung

■ Rumah Roboh ■ Kebakaran ■ Pohon Tumbang

Grafik VII.1: Trend Bencana Kota Semarang 2012-2020 (diolah dari:


bpbd.semarangkota.go.id).

Dari data (Tabel VII.1 dan Grafik VII.1) tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada
penurunan jumlah kejadian banjir yang berarti sejak Waduk Jatibarang selesai
dibangun 2014 dan resmi beroperasi tahun 2015. Kejadian longsor justru
meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2021, justru kejadian banjir meningkat.
Hingga bulan Februari 2021 saja, BPBD sudah merekam 67 kejadian banjir. Jika

264
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

dilihat lebih spesifik di DAS Garang, di mana Waduk Jatibarang berada, dalam
Tabel VII.2 dan Grafik VII.2, pun tidak tampak penurunan jumlah kejadian banjir
sejak waduk beroperasi pada 2015. Pada 2016 tidak ada catatan banjir di DAS
Garang, tetapi pada 2017 kejadian banjir justru meningkat dua kali lipat dari
kejadian banjir pada 2015. Jumlah kejadian banjir di DAS Garang menurun
pada 2018, namun kembali meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada
2020, jumlah kejadian banjir di DAS Garang melebihi kejadian pada 2015.
Sedangkan, pada Januari hingga April 2021 BPBD Kota Semarang sudah men-
catat 13 kejadian banjir di DAS Garang.

Tabel VII.2: Resume Data Bencana di DAS Garang 2012-2020


(diolah dari: bpbd.semarangkota.go.id).

Tanah Puting Rumah Pohon


Tahun Banjir Kebakaran
Longsor Beliung Roboh Tumbang
2012 0 7 0 3 5 4
2013 1 5 0 1 6 0
2014 2 50 2 9 9 2
2015 4 13 0 1 12 1
2016 0 5 7 2 3 0
2017 9 28 2 11 15 6
2018 2 1 40 0 16 20
2019 3 0 38 3 8 19
2020 5 0 75 0 15 7

265
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

80
70
60
50
40
30
20
10
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

■ Banjir ■ Tanah Longsor ■ Puting Beliung

■ Rumah Roboh ■ Kebakaran ■ Pohon Tumbang

Grafik VII.2: Trend Bencana di DAS Garang 2012-2020 (diolah dari:


bpbd.semarangkota.go.id).

Soal efektivitas Waduk Jatibarang sebetulnya telah disinggung oleh pakar


hidrologi Universitas Diponegoro, Robert J Kodoatie pada 2007 sebelum
proyek pembangunan dimulai. Kodoatie saat itu menyebut rencana Pem-
bangunan Waduk Jatibarang dinilai kurang efektif dan tidak akan menye-
lesaikan masalah. Sebab kontribusi banjir dari Kali Kreo hanyalah 27%. Waduk
Jatibarang tidak akan mengatasi sumber banjir dari Sungai Plumbon, Silandak,
dan Beringin. Menurut Kodoatie, sumber persoalan banjir Kota Semarang
bukan air kiriman dari Ungaran, Kabupaten Semarang, melainkan dari Kota
Semarang itu sendiri. Sebab, sekitar 90% banjir berada di Kota Semarang.
Kodoatie mengatakan tata guna lahan sekitar DAS justru yang harus
diperhatikan. Dia memaparkan data sosiospasial, perubahan tata guna lahan
dari hutan menjadi permukiman dapat menambah debit air sungai 5-20 kali
lipat. Sementara momen sosioalamiah seperti langkah pembersihan sedimen-
tasi dan pelebaran sungai oleh Pemkot (Pemerintah Kota Semarang) hanya
menampung 2-4 kali debit air. “Selebihnya sudah pasti akan meluap ke mana-
mana dan langkah Pemkot hanya akan sia-sia,” kata Robert J. Kodoatie. Senada
dengan analisis Kodoatie, Direktur LBHS saat itu Tandiono Bawor Purbaya
mengatakan penyebab utama banjir Kota Semarang adalah tidak konsistennya
pemerintah dalam mengatur tata guna lahan.1 Yang dinyatakan Tandiono
Bawor tersebut persis sebagaimana telah dituliskan pada “Bagian Simongan,
_____
1 Kompas, 14 Maret 2007, “Bermimpi Semarang Tidak Banjir dan Rob lagi”.

266
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Lingkaran Pertama”, di mana pemerintah dengan gampang merevisi Perda


RTRW karena penolakan para pengusaha, tidak peduli bahwa keputusan
Mahkamah Agung justru menolak keberatan para pengusaha tersebut.

3. Kali Garang bagian tengah

Liesnoor dan Suharini (2014) memilah peran antara Kali Garang bagian hulu
dengan Kali Garang bagian hilir. Kali Garang hulu yang bukan sungai besar
berperan menampung limpasan air permukaan. Sedangkan Kali Garang hilir,
sebagaimana telah dituturkan pada bagian sebelumnya, berperan sebagai
sumber air baku PDAM Kota Semarang. Kali Garang bagian hilir telah direkaya-
sa pada zaman Hindia Belanda, dengan cara diluruskan ke arah laut berupa
BKB yang dilengkapi dengan pintu air dalam instalasi Bendungan Simongan.
Hilir Kali Garang yang asli adalah Kali Semarang,1 di mana sungai tersebut tidak
lurus, melainkan berbelok dari selatan ke arah timur kemudian berkelok-kelok
di tengah Kota Semarang. Sebelum memasuki hilir Kali Garang, air di sungai ini
terlebih dulu melewati bagian tengah. Momen sosiospasial dan sosioalamiah
pada bagian tengah ini tentu berpengaruh atau berperan terhadap aliran air
ke hilir Kali Garang.
Momen sosiospasial pada Kali Garang bagian tengah, salah satunya
adalah pengembangan area kampus di Bendan Duwur, Kelurahan Gajah
Mungkur. Pada 1980, Kawasan tersebut merupakan lahan berisi semak belu-
kar dan pepohonan, di mana belum terdapat permukiman. Perumnas Sam-
pangan saat itu masih menjadi permukiman padat terluar pada lingkaran
tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan Suara Merdeka pada November
20142, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah VI
Jawa Tengah saat itu, Profesor Sutomo, mengatakan bahwa sudah ada rumah-
rumah di sekitar Jalan Kendeng (dekat Kampus Unisbank) dan Jalan Pawiyatan
Luhur (sekitar Kampus Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata) namun
masih sangat jarang.
Tahun itu, pengurus Badan Musyarawah Perguruan Tinggi Swasta (BMTS)
di Jawa Tengah (sekarang Aptisi Wilayah VI Jawa Tengah) menemui Gubernur
Jawa Tengah, Soepardjo Roestam, membicarakan rencana pengalihan sekali-
gus pengonsentrasian kampus-kampus swasta Kota Semarang, di Kawasan
Bendan Duwur. Para pengurus tersebut adalah Drs. Hari Sumarno yang saat
itu menjabat Rektor Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, dan Drs.
Wuryanto dari BMTS Jawa Tengah. Tujuan pemusatan tersebut adalah untuk

_____
1 Dewi Liesnoor dan Erni Suharini (2014) DAS Garang Hulu, Tata Air, Erosi, dan Kosnervasi.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
2 Suara Merdeka, 2014, “Lahan Mati Kawasan Kampus Dihidupkan”.

267
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

mempermudah pengembangan kampus karena saat itu tidak mungkin lagi


memperluas area kampus di pusat kota yang sudah padat. Selain itu, menurut
Sutomo, rencana pemusatan kampus-kampus swasta tersebut adalah untuk
mempermudah pembinaan dan melancarkan komunikasi serta koordinasi
antar kampus.
Gubernur Soepardjo Roestam menyetujui rencana tersebut. Dikatakan
Sutomo, mereka lantas diberi hak pengelolaan lahan seluas 45 hektar, yang
semula dikuasai TNI dan Kepolisian, dengan lebih dahulu membayar uang
pengganti atas lahan tersebut kepada negara. Tanah tersebut kemudian dibagi
antara Aptisi dengan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Kopertis,
saat ini (2021) bernama Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah
VI Jawa Tengah dan berkantor di Jalan Kendeng. Kampus-kampus swasta
kemudian membangun gedung-gedung di Kawasan tersebut pada masa yang
hampir bersamaan, yakni pada 1981. Di antaranya adalah Untag Semarang,
Unika Soegijapranata, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Veteran,
Sekolah Tinggi Farming, Akademi Pelayaran Niaga (Akpelni) Semarang, Akade-
mi Teknologi Semarang (ATS), Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIK), Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) AKA Semarang (sekarang Institut Teknologi dan
Bisnis/ ITB Semarang), dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata Indonesia
(STIEPARI) Semarang. Peletakan batu pertama atas pembangunan gedung-
gedung di Bendan Duwur itu dilakukan di area Untag Semarang oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Daoed Joesoef. Pembangunan gedung
kampus Universitas Stikubank (Unisbank) baru dilakukan pada 1983.
Sejak itu, kawasan Bendan Duwur mengalami pengerutan. Jalan Kendeng
menjadi padat. Ribuan mahasiswa yang tersedot oleh konsentrasi kampus-
kampus tersebut memunculkan usaha seperti tempat kos, toko-toko, warung
makan, jasa fotocopy, dan jasa persewaan komputer di Jalan Pawiyatan Luhur.
Dari Pawiyatan Luhur, pengerutan kemudian merembet semakin mendekati
Kali Garang, ke arah Tinjomoyo. Bersamaan dengan itu pada Februari 1991
dibukalah Kawasan Margasatwa dan Kebun Raya (Margaraya) Tinjomoyo yang
terkenal dengan sebutan Kebun Binatang (Bonbin) Tinjomoyo. Pembukaan ini
untuk merelokasi Kebun Binatang Tegalwareng yang ada di pusat kota, yang
semula berdekatan dengan Taman Hiburan Rakyat. Saat ini (2021) bekas
Kebun Binatang Tegalwareng tersebut berada di kawasan Taman Budaya
Raden Saleh (TBRS) Semarang (berada di DAS Babon).
Dengan adanya kawasan wisata di Tinjomoyo (Gambar VII.22), pengerut-
an berlanjut. Namun tidak lama kemudian terjadi proses meledak yang dipicu
oleh proses meluap, di mana berdasar Laporan Evaluasi Pengembangan Obyek

268
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Wisata Taman Margasatwa Tinjomoyo 1 yang dikutip dalam Nugroho (2005), Di-
nas Pariwisata Kota Semarang lantas berencana memindah Bonbin Tinjomoyo
ke Mangkang (DAS Beringin). Tanah Tinjomoyo dinyatakan didominasi batuan
lempung dengan sifat merekah yang relatif besar, serta dilalui jalur-jalur sesar.
Pendek kata, tanah di Tinjomoyo labil. Hal itu menyebabkan kandang-kandang
satwa dan fasilitas bangunan yang lain rusak.2 Telah dituturkan pula pada
bagian sebelumnya (Lingkaran Pertama, Bagian “Di Simongan…”) bahwa
perusahaan-perusahaan penyedot WC di Kota Semarang membuang limbah
tinja di Tinjomoyo, di mana limbah tersebut menyebabkan pencemaran air Kali
Garang.
Tinjomoyo sendiri berada di Kecamatan Banyumanik yang sebagian
besar berada di area DAS Babon. Pengerutan DAS Babon di bagian Kecamatan
Banyumanik sejauh yang bisa ditandai, pusatnya berada di kawasan Perumnas
Banyumanik. Pengembangan permukiman ini dimulai 1974, berselang seben-
tar setelah dimulainya pembangunan Perumnas Sampangan (bagian “Dari
Bulu Sampai Sampangan, Lingkaran Kedua). Pengerutan di Perumnas Banyu-
manik itu mengalami proses meledak hingga ke Kelurahan Pudakpayung, yang
mana wilayah ini sudah dekat dengan hulu Kali Garang. Sebagaimana di
Kelurahan Jatibarang dan Kelurahan Sadeng, kawasan Pudakpayung merupa-
kan suburbia. Di dalamnya kemudian dikembangkan permukiman hingga ka-
wasan wisata.

_____
1 Laporan evaluasi Pengembangan Obyek Wisata Taman margaraya Tinjomoyo Kotamadya
Dati II Semarang disusun oleh Fakultas Teknik Universitas Diponegoro bersama Bappeda
Kotamadya Dati II Semarang pada 1996-1997.
2 Teguh Pribadi Adi Nugroho (2005) Pengembangan Hutan Wisata Tinjomoyo (Skripsi).
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

269
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VII.22: Kali Garang di bawah Jembatan Tinjomoyo. Jembatan ini berujung pada
gerbang bekas Bonbin Tinjomoyo. Foto diambil pada September 2021.

Salah satu rencana kawasan wisata mendapat protes warga pada Februari
2000 karena dilakukan dengan mengeruk tanah di bantaran Kali Garang
sepanjang 500 meter. Setiap hari, warga melihat paling sedikit ada lima truk
yang keluar masuk proyek pengerukan dengan membawa muatan tanah.
Pengerukan tersebut dilakukan di area yang semula bakal dijadikan tempat
relokasi lokalisasi Sunan Kuning (sering disebut SK) yang ada di Kelurahan
Kalibanteng (DAS Silandak). Pengerukan itu dilakukan PT Satwiga Mustika Naga
(SMN) pimpinan seorang bernama Habib Muslim. Warga yang memprotes
tergabung dalam Himpunan Masyarakat Peduli Lingkungan (HMPL) Pudak-
payung. Pengerukan tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan longsor, se-
lain itu juga dikhawatirkan menyebabkan sedimentasi di Kali Garang. 1 Selain
mempersoalkan kerusakan lingkungan, HMPL memprotes PT SMN lantaran
tanah milik dua warga di antaranya turut dikepras proyek pengerukan. Hingga
Agustus 2000, HMPL tak kunjung mendapatkan jawaban atas protes tersebut,
pengerukan masih berlangsung. HMPL sudah mengadukan perihal pengeruk-
an tersebut ke DPRD Kota Semarang, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada jawaban
apapun dari DPRD. Di sisi lain, PT SMN menegaskan pihaknya sudah mengan-
tongi izin penambangan Galian C atas pengerukan tersebut.2

_____
1 Suara Merdeka, 2 Februari 2000, “Penggalian Bantaran Kali Garang”.
2 Suara Merdeka, 23 Juni 2000, “Tagih Janji Kasus DAS Kaligarang”.

270
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Terdapat relasi sosioalamiah masing-masing golongan penduduk pada


sosiospasial di Pudakpayung yang pada saat itu dikhawatirkan warga karena
berpotensi menjadi luapan, yakni potensi krisis berupa longsor hingga sedi-
mentasi sungai. Beberapa tahun setelahnya, potensi tersebut menjadi nyata.
Sebagaimana telah dipaparkan dalam deskripsi keadaan DAS Garang pada
bagian sebelumnya, bahwa pada 2005 Distaru Jawa Tengah mengeluarkan
angka sedimentasi di Kali Garang yang mencapai 20 ton/ha/tahun. Menurut
Prakarsa dkk. (2013), salah satu penyebab sedimentasi Kali Garang adalah
penambangan area Semarang bagian atas. Aktivitas penambangan di sekitar
Kali Garang bagian tengah hingga ke atas, memicu erosi yang terbawa oleh
peningkatan debit sungai, yang kemudian mengendap di hilir Kali Garang.
Merujuk penelitian Liesnoor dan Suharini (2014), area yang ditambang PT SMN
tersebut merupakan daerah resapan, sebab berada sekitar hulu sungai. Dalam
penelitian mereka, Liesnoor dan Suharini (2014) menegaskan bahwa pengam-
bilan tanah galian dari bukit yang ada di sekitar hulu Kali Garang merupakan
ketidaksesuaian penggunaan lahan yang berperan pada bagian-bagian DAS
Garang.

VII.4. Kesimpulan

Urbanisasi di DAS Garang diamati menggunakan metafora proses mengerut-


meledak-meluap. Proses tersebut tidak terjadi sendiri-sendiri ataupun beru-
rutan, melainkan saling berpilin dan simultan. Proses meledak di mana kota
meluas bisa memproduksi luapan atau pun diproduksi oleh luapan. Semen-
tara proses mengerut bisa terjadi sebelum atau setelah proses meledak.
Keseluruhannya tidak lepas dari peran pemerintah yang bertaut dengan peran
modal swasta.
Pemerintah, dalam perubahan sosiospasial pada “lingkaran pertama”, se-
telah berakhirnya Perang Dunia II, mengambil alih modal dengan cara
melakukan nasionalisasi perusahaan milik elit Eropa yang mulai bangkrut pada
1940. Dengan demikian modal tidak tenggelam. Di bawah kendali pemerintah,
serpihan modal di pinggiran Kota Lama seperti kawasan pelabuhan, Poncol,
dan Bojong, mengerut. Aktivitas perdagangan bertambah padat di tempat-
tempat tersebut, hingga terjadi ledakan yang serpihannya mengubah sosio-
spasial pada “lingkaran kedua”.
Perubahan sosiospasial pada “lingkaran kedua” sarat dengan penggusur-
an atas nama pembangunan yang diinisiasi pemerintah, perusahaan swasta,
hingga yayasan sosial. Perebutan ruang secara timpang terjadi antara pe-
modal, termasuk pemerintah dalam wujud badan usaha milik negara seperti
PT Phapros, PT Kimia Farma, dan PT Catur Jantra, dengan para pekerja pabrik

271
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

dan pekerja lain, juga dengan penduduk. Pengusaha real estate Paramount
Village di Simongan menentukan golongan mana yang bisa tinggal di dalamnya
lewat penentuan harga rumah. Pengusaha pabrik di Simongan menyaring
siapa yang bisa menembus pekerjaan yang mereka buat, siapa yang tidak.
Pengusaha pabrik di Simongan bahkan bisa mengatur Peraturan Daerah yang
diterbitkan pemerintah untuk menentukan siapa yang bisa berada di sana.
Dominasi modal dalam rekonfigurasi sosiospasial, secara langsung mau-
pun tidak langsung menentukan siapa yang bisa tinggal di Simongan dan siapa
yang harus menyingkir dari sana. Modal, dari manapun dan dalam keadaan
apapun memiliki jalan masuk ke lingkaran sosispasial ini untuk menangguk
untung. Misalnya PT Wika Beton Cibinong, Jawa Barat yang tetap untung
kendati pembangunan Jembatan Kali Garang yang menggunakan material
darinya mengalami hambatan kecelakaan. Politik bahasa digunakan untuk
menyingkirkan penduduk keluar dari Simongan, seperti menggunakan kata
relokasi, tali asih, dan pesangon. Di sisi lain, warga digusur ke luar lingkaran
dan mengalami kesusahan hidup di sosiospasial “lingkaran ketiga”.
Pindah dan tumbuhnya pabrik-pabrik ke Simongan adalah proses mele-
dak dan mengerut. Proses tersebut kemudian diikuti proses meluap, yakni
krisis dalam relasi sosioalamiah penduduk Simongan; kematian para penam-
bang padas akibat tertimpa longsoran dari Bukit Simongan, pencemaran
logam berat dari limbah pabrik, hingga banjir bandang pada 1990.
Sosiospasial pada “lingkaran ketiga” berisi manusia (sebagai material
sosial) yang disingkirkan oleh modal secara langsung ataupun tidak langsung
dari lingkaran kedua. Lingkaran ketiga ini juga berisi manusia yang secara
sosiospasial disedot oleh modal. Industri-industri di pusat kota hingga pemba-
ngunan atas nama pengendalian banjir seperti proyek Waduk Jatibarang di
kawasan suburbia, menyedot buruh-buruh formal maupun informal. Kampus-
kampus penyedia buruh industri juga menyedot mahasiswa ke kawasan
suburbia seperti Sekaran dan Tinjomoyo di Bendan Duwur. Pengerutan
kawasan suburbia memiliki risiko meluap. Momen sosioalamiah seperti roboh-
nya rumah-rumah di Bukit Manyaran Permai, mulai keringnya Sendang Gayam
karena kepadatan area di atasnya sejak Kampus UNNES Sekaran beroperasi,
serta rusaknya daerah tangkapan air, di mana Kali Garang menjadi kritis
dengan debit yang begitu kecil saat kemarau dan berubah menjadi sangat
besar pada musim hujan, terjadi di sepanjang DAS Garang ini. Ketimpangan
(unevenness) muncul berkali-kali dalam rekonfigurasi sosiospasial lingkaran
tiga. Mulai dari modal yang ditopang pemerintah, hingga penyelamatan
pabrik-pabrik dari banjir secara cekatan oleh pemerintah. Sementara orang-
orang yang tersingkir ke kawasan suburbia terpaksa mempertahankan hidup
sendiri. Seperti warga Kalialang yang menyambung jembatan sendiri dan war-
ga Grand Greenwood yang membangun talud sendiri. (*)

272
BAB VIII
DAS Beringin:
Rekonfigurasi ruang kali,
kampung, dan kebun

VIII.1. DAS Beringin “dari bawah ke atas”

Dalam kerangka wilayah administratif Kota Semarang, DAS Beringin terletak


paling barat, berbatasan dengan DAS Plumbon di Kabupaten Kendal. Sebelah
timur DAS Beringin adalah DAS Garang yang masuk Kota Semarang. Ada tiga
kecamatan yang masuk DAS Beringin yaitu Kecamatan Tugu, Ngaliyan, dan
Mijen (lihat Gambar VIII.3). Luas DAS Beringin kurang lebih 32 km 2, yang terdiri
dari lima Sub-DAS meliputi Sub-DAS Demangan, Tikung, Gondoriyo, Dondong,
dan Beringin Hilir. 1 Hulu DAS Beringin berada di Kelurahan Mijen (Kecamatan
_____
1 Rifqi, Putra Muhammad; Dewi Liesnoor Setyawati; & Suroso. (2017) Analisis Spasial Debit
Puncak Daerah Aliran Sungai Beringin dengan Metode Rasional. Geo Image 6(1): 1-7. Studi
lain membagi DAS Beringin menjadi 24 Sub-DAS, lihat: Mudiono, Benny. 2008. Peran Serta
Masyarakat pada Penyusunan Rencana Pengelolaan Daya Rusak Sumber Daya Air (Tesis).

273
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Mijen) dan hilirnya bermuara di Kelurahan Mangkang Wetan dan Kelurahan


Mangunharjo (Kecamatan Tugu).1 Karakter sungai yang dominan di DAS
Beringin berada di daerah perbukitan dengan alur kemiringan terjal ke sangat
terjal, terutama yang berada di Kecamatan Mijen dan Ngaliyan.2 Wilayah DAS
Beringin mempunyai beberapa anak sungai seperti Kali Beringin, Seguwo,
Tikung, Gondang, dan Gondoriyo.3 Panjang sungai utama di DAS Beringin
mencapai 15,5 km.

_____
Universitas Diponegoro. Tulisan ini lebih fokus pada perubahan sosiospasial di tingkat DAS,
meski dalam beberapa bagian/uraian pendekatan Sub-DAS tetap digunakan.
1 Publikasi Suryanto (2007) menganggap wilayah Sub-DAS Beringin hilir (Kecamatan Tugu)
bukan bagian dari DAS Beringin. Ia beralasan bahwa di wilayah tersebut, pada kiri dan
kanan Kali Beringin, telah dibuatkan tanggul penahan banjir. Sehingga posisi Sub-DAS
tersebut hanya sebagai penerima luapan DAS Beringin, bukan sebagai bagian dari DAS
Beringin itu sendiri. Tulisan ini melihat bahwa cara pandang tersebut justru berpotensi
melenyapkan keterkaitan biofisik antara daerah hulu dan hilir DAS. Atau, dengan kata lain,
menghilangkan kontribusi perubahan sosiospasial di hulu dalam produksi momen banjir di
hilir. Lihat: Suryanto (2007) Daya Dukung Lingkungan Daerah Aliran Sungai untuk
Pengembangan Kawasan Permukiman: Studi Kasus DAS Beringin Kota Semarang (Tesis).
Universitas Diponegoro.
2 Sudianto, Barnabas Untung (2006) Bahaya Banjir di Kawasan DAS Beringin dan Rob di
Mangunharjo. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah 4(2): 69-75; hlm. 69.
3 Suryanto (2007) Daya Dukung Lingkungan Daerah Aliran Sungai untuk Pengembangan
Kawasan Permukiman: Studi Kasus DAS Beringin Kota Semarang (Tesis). Universitas
Diponegoro, hlm. 111.

274
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

1989 1989 1999

Air: 2,9% Air: 3,3% Air: 3,4%


Area terbangun: 4 ,1% Area terbangun: 10,6% Area terbangun: 19,8%
Vegetasi: 93% Vegetasi: 86,1% Vegetasi: 76,8%

2013 2020

Air: 2,7% Air: 1,8%


Area terbangun: 36,7% Area terbangun: 49,8%
Vegetasi: 50,6% Vegetasi: 48,4%

02.55
■ ■
10 15 20
Kilometers
mn~
IIIUU

Sumber data:
1) Peta Digital Elevation Model (DEM) dan Peta Per Wilayah didapat dari: https:11·
2) Citra Satelite LANDSAT 1-5 MSS (1973); LANDSAT 4-5 TM (1989 dan 1999) d

Gambar VIII.1: Evolusi penggunaan ruang di DAS Beringin 1973-2020. Warna hijau
pada peta adalah vegetasi, biru pada peta merupakan badan air, dan
warna oren pada peta adalah area terbangun.

Belum lama ini (2021), “Koalisi Maleh dadi Segoro” telah membuat analisis
cepat terkait perubahan tata guna lahan di Semarang berbasis data citra
satelit. Salah satu yang dilihat perubahannya dalam rentang 1973-2020 ialah
DAS Beringin.1 Dalam hasil analisis citra satelit tersebut, seperti yang ditunjuk-
kan Gambar VIII.1, terlihat bahwa perubahan penggunaan ruang di DAS
Beringin sudah bermula sejak 1970-an. Misalnya, penggunaan ruang untuk
vegetasi (area terbuka hijau) pada 1973 berjumlah 93%, namun terus merosot
menjadi 86,1% (1989), 76,6% (1999), dan makin terjun menjadi 50,6% pada
2013. Sebaliknya, area terbangun terus meroket dari awalnya 4,1% pada 1973
menjadi 10,6% (1989), 19,8% (1999), dan naik drastis ke angka 36,7% pada
2013. Bahkan pada 2020, jumlah area terbangun (49,8%) telah melebihi jumlah
area vegetasi (48,4%). Lebih lengkapnya simak Gambar VIII.2 berikut ini.

_____
1 Lihat: https://www.instagram.com/p/CNmx5LaBb_0/?utm_medium=copy_link.

275
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

-e-Air - 0 - Area terbangun - e - Vegetasi DAS Beringin


100
80 - - - - -. . __ _ __

60

40

20

0 ~====~~=---- ---t.-- - --e-- -.


OaO

1973 1983 1993 2003 2013 Tahun

Gambar VIII.2: Grafik penggunaan ruang di DAS Beringin 1973-2020. Area vegetasi
konsisten menurun, sementara area terbangun konsisten naik.

Publikasi Prasetyo dkk. (2020) juga menunjukkan hal serupa. Prasetyo dkk.
memakai data 1995, 2005, 2015, serta dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) 2011-2031 untuk melihat perubahan tata guna lahan di DAS Beringin.
Ada lima parameter yang digunakan yakni hutan, kota, permukiman, pertani-
an, dan tambak.1 Dalam tulisan ini, untuk mempermudah dan agar sesuai
dengan kategori yang dilakukan “Koalisi Maleh dadi Segoro” sebelumnya,
kelima parameter tersebut akan dilebur menjadi dua yakni area terbangun
dan area vegetasi. Area terbangun terdiri dari parameter kota dan permuki-
man, sementara area vegetasi terdiri dari parameter hutan, pertanian, dan
tambak.
Pola yang tampak beroperasi di DAS Beringin antara versi Koalisi Maleh
dadi Segoro (2021) dengan Prasetyo dkk. (2020) masih sama: area terbangun
terus meningkat, sedangkan area vegetasi terus menyusut. Pada 1995, area
terbangun di DAS Beringin masih 12% dan area vegetasi adalah 88%. Sepuluh
tahun kemudian (2005) area vegetasi merosot menjadi 51,6% dan area ter-
bangun melonjak jadi 48,4%. Pada 2015 kondisi pun mulai berbalik, area
terbangun menjadi lebih besar yakni 59,1%, sementara area vegetasi menjadi
40,8%. Adapun alokasi yang disediakan RTRW 2011-2031 untuk area terbangun
ialah 47,1% dan untuk area vegetasi 50,3%. Dengan begitu, pada 2015 luasan
area terbangun sudah jauh melampaui alokasi untuk DAS Beringin di RTRW
2011-2031.

_____
1 Prasetyo, Wahyu, Suripin, dan Sri Sengkawati (2020) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Beringin. Jurnal Orbith 16(1): 10-15; hlm. 12.

276
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Kondisi tersebut terjadi pada 2015, empat tahun sejak RTRW tersebut
bergulir dan 16 tahun sebelum RTRW tersebut diubah kembali (jika diubah lagi
sesuai angka tahun), sekalipun RTRW sebenarnya dapat direvisi per lima tahun
sekali. Karena itu, besar kemungkinan pada tahun-tahun berikutnya luasan
area terbangun akan makin melampaui alokasi RTRW dan sekaligus makin
memakan banyak area vegetasi. Sebagai gambaran, Putri & Alfiana (2017)
membuat proyeksi bahwa pada 2029 wilayah kebun (salah satu area vegetasi)
di DAS Beringin akan merosot menjadi 4,825 km2 dari kondisi eksistingnya
pada 2013 yang berjumlah 16,596 km 2. Sedangkan permukiman (salah satu
area terbangun) yang pada 2013 berjumlah 6,725 km2, diproyeksikan akan naik
menjadi 15,107 km2 pada 2029.1
Perubahan penggunaan ruang di DAS Beringin yang berlangsung begitu
masif tidak terlepas dari bongkar pasang aturan tata ruang yang disahkan
pemerintah. Sebagai contoh, Kecamatan Mijen baru masuk administrasi Kota
Semarang pada 1976 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun
1976. Selain memuat substansi tentang perluasan wilayah, PP tersebut
menyebut pula bahwa untuk melindungi tata air Semarang, maka hutan-hutan
yang terdapat di Kecamatan Mijen akan tetap dilindungi fungsinya sebagai
hutan.2 Apalagi Kecamatan Mijen merupakan daerah paling tinggi di Kota
Semarang, sehingga daerah ini menjadi salah satu wilayah tangkapan air di
Kota Semarang. Namun akibat beberapa aturan terkait tata guna lahan,
akhirnya banyak pula area vegetasi di Kecamatan Mijen yang beralih-fungsi,
terutama setelah terbit Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 Tahun 1990.
Perda Nomor 02 Tahun 1990 mulai mengubah peruntukan Kecamatan
Mijen menjadi wilayah perkotaan berciri agraris dan sub-urban. Sebelumnya
fungsi Kecamatan Mijen ialah ruang terbuka untuk pertanian, peternakan, dan
perkebunan. Bersamaan dengan itu, wilayah DAS Beringin lainnya yaitu
Kecamatan Tugu diplot sebagai Wilayah Pengembangan II untuk kawasan
industri. Lalu terbit Perda Nomor 1 Tahun 1999 (RTRW Semarang 1995-2005),
yang kemudian disempurnakan melalui Perda Nomor 5 Tahun 2004 (RTRW
Semarang 2000-2010). Perda ini membagi wilayah Kota Semarang menjadi
beberapa Bagian Wilayah Kota (BWK). Kecamatan Ngaliyan dan Tugu
ditetapkan sebagai tempat industri, permukiman, perdagangan, jasa, tambak,
rekreasi, dan pergudangan (BWK X). Kecamatan Mijen masuk BWK IX untuk
pertanian, permukiman, konservasi, wisata/rekreasi, perdagangan dan jasa,
pendidikan, dan industri (techno park). Substansi yang paling mencolok antara

_____
1 Putri, Vania Vasti Herinta dan Alfiana Putri (2017) Kajian DAS Bringin Semarang terhadap
Perubahan Tata Guna Lahan (Skripsi). Universitas Katolik Soegijapranata.
2 Lihat: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1976 tentang Perluasan
Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang.

277
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Perda 1999 dengan 2004 ialah naiknya alokasi untuk kawasan permukiman
dari 2.223 hektar menjadi 13.992 hektar dan turunnya Ruang Terbuka Hijau
(RTH)/konservasi dari 10.770 hektar menjadi 4.155 hektar.1
Wujud awal perubahan sosiospasial dari area vegetasi ke area terbangun
di DAS Beringin dapat dilacak sejak 1970-1980-an.2 Misalnya, pada era tersebut
di sepanjang DAS Beringin, terutama di Kecamatan Ngaliyan dan Tugu, banyak
alih fungsi lahan untuk industri, peternakan, atau perumahan. Pengembangan
industri pertama di wilayah Ngaliyan adalah PT Sango, lalu muncul Kawasan
Industri Guna Mekar Indonesia (GMI) yang didirikan pengembang bernama
INA di Kecamatan Tugu. Di dalamnya ada puluhan pabrik, sebagai contoh, tiga
di antaranya adalah Indoofood, Humpus, dan Marimas. Kemudian ada
Kawasan Industri Candi (KIC) yang dikerjakan PT IPU di daerah Ngaliyan.
Pada era 1980-1990-an, pembangunan perumahan mulai menjamur di
setiap sudut Kecamatan Ngaliyan. Beberapa nama perumahan yang termasuk
paling awal berdiri ialah Pondok Beringin, Beringin Lestari, Rumah Sederhana
Beringin Asri, Perumahan Wahyu Utomo, Perumahan Permata Puri, Mangkang
Indah, dan Perum Sulanji. Hilir DAS Beringin juga tidak lepas dari perubahan
sosiospasial, terutama karena mulai merebaknya intensifikasi tambak udang
yang memicu banyaknya area mangrove berubah fungsi menjadi tambak.
Selain itu, di tepi pantai berdiri sebuah pabrik pengolahan kayu (PT Kayu Lapis
Indonesia/KLI) yang bangunannya menjorok ke laut sekitar 500 meter. Dalam
perkembangannya, PT KLI juga melakukan pembelokan mulut sungai dan
mereklamasi pesisir pantai.
Memasuki era 1990-2000-an, di sepanjang hulu Kali Beringin terdapat tak
kurang tujuh proyek perumahan skala besar dengan luas antara 50-1.000
hektar.3 Perubahan tata guna lahan besar-besaran dari area vegetasi menjadi
area terbangun terjadi di Kecamatan Mijen. Salah satu pengubah peruntukan
lahan yang paling signifikan di Mijen ialah perumahan elit Bukit Semarang Baru
(BSB). Bahkan dalam dokumen perencanaan pengembangan Kota Baru BSB,
disebutkan pula bahwa hampir seluruh (90%) lokasi BSB yang berjumlah 1.000
hektar merupakan hasil konversi dari perkebunan karet.4 Konversi status
lahan perkebunan karet (dengan klaim penguasaan dalam bentuk Hak Guna

_____
1 Lisdiyono, Edy (2008) Legislasi Penataan Ruang: Studi tentang Pergeseran Kebijakan
Hukum Tata Ruang dalam Regulasi Daerah di Kota Semarang (Disertasi). Universitas
Diponegoro; hlm. 319.
2 Substansi dalam pembahasan ini diambil dari data GroundUp 2021.
3 Kompas, 03 April 2001, “Pemerintah Kota Semarang Tak Punya Dana Atasi Banjir”, hlm.
24.
4 Santoso, Hardo Wibowo (2005) Pengaruh Keberadaan Bukit Semarang Baru terhadap
Kondisi Sosial-Ekonomi-Fisik Sekitarnya Berdasarkan Persepsi Masyarakat Lokal (Tesis).
Universitas Diponegoro, 2005, hlm. 62-63.

278
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Usaha/HGU) menjadi perumahan (dengan klaim penguasaan dalam bentuk


Hak Guna Bangunan/HGB) difasilitasi oleh adanya Perda No. 5 tahun 1985 dan
Perda No. 2 tahun 1990 yang telah menetapkan Mijen sebagai salah satu pusat
pertumbuhan ekonomi.
Perubahan sosiospasial dari perkebunan (area vegetasi) menjadi permu-
kiman (area terbangun) punya dampak serius terhadap lingkungan. Pasalnya,
air yang sebelumnya meresap di tanah kebun atau hutan di daerah hulu men-
jadi tidak bisa lagi meresap. Apalagi jika permukaan tanah tersebut berubah,
diperkeras, menjadi aspal, beton, atau paving untuk permukiman. Seorang
akademisi, Kodoatie, menjelaskan hal ini dengan cukup baik. Menurutnya,
anggap saja lahan hutan asli memiliki debit air permukaan sebanyak 10
m3/detik (meter kubik per detik). Apabila lahan itu diubah menjadi sawah, debit
air permukaan naik menjadi 90 m3/detik. Jika diubah menjadi permukiman,
debit air permukaan naik sekitar 200 kali lebih besar dari debit awal. Sedang-
kan jika diubah menjadi beton/aspal, debit air permukaan naik 350 kali lebih
besar dari debit awal.1
Tak ayal, apabila turun hujan maka air hujan akan langsung masuk ke
saluran drainase dan potensial mengakibatkan tiga momen sosioalamiah se-
kaligus: (1) amblesan tanah, karena tidak ada lagi atau berkurangnya pengisian
air tanah sementara ia disedot terus melalui sumur-sumur; (2) genangan,
terutama ketika saluran-saluran dan/atau cekungan-cekungan air tidak mam-
pu lagi menampung kapasitas air hujan; dan (3) banjir di daerah hilir, karena
limpasan air dari hulu langsung melaju ke daerah yang lebih rendah.2 Apalagi,
meski pengembang tersebut telah mengubah lingkungan, sejak awal pem-
bangunan hampir semua pengembang di hulu Sungai Beringin tidak membuat
sistem pembuangan air yang baik. Malahan, pernah diketahui bahwa satu
perumahan yang dibangun PT Pembangunan Perumahan (PT PP) belum
memiliki saluran air, padahal di sekitarnya sudah dibangun banyak rumah.3
Akibatnya mudah ditebak, air hujan benar-benar langsung membanjir ke
daerah yang lebih rendah.
Bertahun-tahun kemudian kondisi tersebut belum banyak berubah.
Ketua Panitia Khusus Rancangan Peraturan Daerah Sistem Induk Drainase
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, Agung Budi
Margono, pernah pula melaporkan hal serupa. Ia menyoroti dua lokasi yakni
KIC dan Perumahan BSB sebagai kawasan yang mengabaikan drainase. Kedua
_____
1 Sinombor, Sonya Hellen; Henni S, dan Vincentia. 2001. Semarang, Kota yang Abaikan Tata
Guna Lahan dan Lingkungan. Kompas, 23 Mei 2001.
2 Kamila, Nisaul; Irawan Wisnu Wardhana; & Endro Sutrisno. (2016) Perencanaan Sistem
Drainase Berwawasan Lingkungan (Ecodrainage) di Kelurahan Jatisari, Kecamatan Mijen,
Kota Semarang”. Jurnal Teknik Lingkungan 22(2): 67-72; hlm. 64.
3 Kompas, 07 Maret 2003, “Pengembang Punya Andil Besar Terjadinya Banjir”, hlm. 18.

279
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

kawasan tersebut masih belum juga menyediakan penampungan air, sehingga


air langsung dibuang begitu saja ke sungai. Hal ini potensial membuat bencana
banjir, apalagi kedua kawasan tersebut sebelumnya merupakan daerah
resapan.1
Terkait momen sosioalamiah ketiga yakni banjir di hilir, publikasi Rifqi
dkk. (2017) cukup jelas menyingkap hubungan antara perubahan tata guna
lahan dengan meningkatnya debit air limpasan. 2 Dalam analisisnya, Rifqi dkk.
(2017) menggunakan pendekatan Sub-DAS sebagai unit analisis. Secara
singkat, publikasi tersebut menghitung debit puncak di lima Sub-DAS Beringin
dengan cara menumpang-tindihkan (overlay) peta intensitas hujan, data koe-
fisien aliran permukaan, dan peta batas Sub-DAS. Tujuannya untuk mengeta-
hui total debit air di suatu DAS dalam kurun waktu tertentu (2016). Singkatnya,
semakin besar nilai debit puncak suatu Sub-DAS, maka ia berkontribusi besar
terhadap total debit puncak DAS Beringin.
Hasil publikasi tersebut menunjukkan bahwa Sub-DAS Demangan meng-
hasilkan debit puncak sebesar 10,8 m3/detik. Debit di Sub-DAS Demangan
paling tinggi di antara Sub-DAS lainnya. Salah satu faktor yang menyebabkan
tingginya debit di Sub-DAS Demangan ialah keberadaan area terbangun
berupa pabrik, kawasan industri, dan BSB di Kelurahan Jatibarang seluas 118,8
hektar. Sub-DAS Demangan menyumbang 42,3% total debit air di DAS Beri-
ngin. Posisi selanjutnya ada Sub-DAS Tikung dengan debit puncak sebesar 9,5
m3/detik. Penyebabnya secara fisik karena luas Sub-DAS ini paling besar
areanya. Selain itu, banyak penggunaan lahan yang memiliki permukaan yang
kedap air seperti untuk Perumahan BSB, Pondok Beringin Permai, Bukit
Beringin Lestari, dan lain-lain. Adapun Sub-DAS dengan nilai debit puncak
terkecil ialah Gondoriyo. Dua faktor penyebabnya terkait luas Sub-DAS yang
memang paling kecil areanya dan penggunaan lahan yang masih didominasi
area hutan jati milik Perhutani.
Meningkatnya debit limpasan air dari hulu DAS Beringin inilah yang
membuat daerah hilirnya makin rentan terhadap banjir. Dua publikasi mem-
buat pemodelan luas genangan banjir di hilir Beringin. Misalnya, ada yang
memproyeksikan luas genangan atau banjir di DAS Beringin terjadi di Kelura-
han Wonosari (luas banjir sekitar 14 hektar), Mangunharjo (sekitar 232 hektar),
dan Mangkang Wetan (175 hektar).3 Ada pula yang memproyeksikan daerah

_____
1 Koran Tempo, 15 Mei 2013, “Pengembang Semarang Dinilai Abaikan Drainase”.
2 Selengkapnya lihat: Rifqi, Putra Muhammad; Dewi Liesnoor Setyawati; & Suroso. (2017)
Analisis Spasial Debit Puncak Daerah Aliran Sungai Beringin dengan Metode Rasional. Geo
Image 6(1): 1-7; hlm. 3-4.
3 Sutopo, Iqbal Gifani; Mochamad Teguh; & Pradipta N.W. “Mitigasi Risiko Banjir Sungai
Beringin Wilayah Hilir, Kabupaten Semarang Barat”. Diakses pada 10 Agustus 2021, dari

280
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

genangan banjir terjadi di Kelurahan Podorejo (174 hektar), Mangkang Wetan


(323 hektar), Tambakaji (4 hektar), Wonosari (28 hektar), dan Mangunharjo
(28,80 hektar).1 Dua kelurahan yang selalu disebut dalam dua pemodelan
tersebut ialah Mangkang Wetan dan Mangunharjo.

Skala t:70.000

Keterangan
Lokasi •
Aliran Sungai/ Air
DAS Beringin C.:.1
Batas Administrasi
Kecamatan Mij en D
Kecamatan Ngaliyan D
Kecamatan Tugu □
Peta Dasar: Google Satellite

fflnlll
■•■'■·uu

Gambar VIII.3: Peta DAS Beringin dan berbagai perubahan sosiospasial di dalamnya.

Banjir di Mangkang Wetan dan Mangunharjo nyaris terus berulang setiap


tahun. Seperti yang telah sedikit dijabarkan sebelumnya, ada banyak proses
urbanisasi—proses yang darinya kota tercipta—di DAS Beringin. Proses urba-
nisasi yang dimaksud di sini ialah perubahan sosiospasial dari area vegetasi
menjadi area terbangun yang telah memperparah risiko banjir di hilir DAS
Beringin. Tulisan ini akan mengulas hal tersebut dengan kerangka “dari bawah
ke atas” (Lihat Gambar VIII.3). Bagian pertama, membahas momen sosio-
alamiah (banjir) di daerah paling hilir yakni Kelurahan Mangkang Wetan dan
Mangunharjo, Kecamatan Tugu. Bagian kedua, naik sedikit ke Kecamatan
_____
https://docplayer.info/169668288-Mitigasi-risiko-banjir-sungai-bringin-wilayah-hilir-
kabupaten-semarang-barat-indonesia.html.
1 Rifqi, Putra Muhammad; Dewi Liesnoor Setyawati; & Suroso. (2017) Analisis Spasial Debit
Puncak Daerah Aliran Sungai Beringin dengan Metode Rasional. Geo Image 6(1): 1-7.

281
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Ngaliyan yakni di Perumahan Wahyu Utomo dan Kampung Desel. Di Peru-


mahan Wahyu Utomo pernah ada satu momen banjir yang juga kuat kaitannya
dengan rekonfigurasi ruang. Bagian ketiga, lebih atas lagi, tulisan ini akan
membahas perubahan tata guna lahan di Kecamatan Mijen yang diproduksi
oleh perumahan elit BSB. Dan terakhir, bagian keempat, menjahit kerangka
“dari bawah ke atas” tersebut dalam percakapan tentang ekologi-politis
urbanisasi di DAS Beringin.

VIII.2. Dari “bawah”, Mangkang Wetan dan Mangunharjo

“… poro sederek, Sungai Beringin meluap, Banjir… Banjir … Banjir”.1

Pengumuman tersebut diucapkan takmir Masjid Jami Assyafilah melalui pe-


ngeras suara, persis sebelum azan subuh berkumandang. Sekitar pukul 04.00
pagi pada 06 Februari 2021, banjir karena luapan Sungai Beringin menerjang
dua kelurahan di Kecamatan Tugu yaitu Kelurahan Mangkang Wetan dan
Mangunharjo. Takmir masjid berupaya mengingatkan warga agar bersiap, na-
mun banjir datang lebih cepat. Beberapa warga dapat mengamankan barang-
barang terlebih dahulu, sebagian lagi mungkin tidak.
Banjir sebagai salah satu momen sosioalamiah (perubahan relasi manu-
sia dengan non-manusia, air) di Mangunharjo dan Mangkang Wetan bukan
satu dua kali terjadi. Paling terbaru memang pada Februari 2021, namun
riwayatnya dapat diurut paling tidak sejak 1980-1990-an. Selain banjir, ada dua
momen sosioalamiah lain yakni pencemaran sungai dan abrasi pantai. Saya
mulai dari cerita seorang warga Mangunharjo bernama Zainudin.2
Sekitar 1970-an, Zainudin kecil sering dibawa ayahnya untuk melihat
tambak mereka di pesisir utara Semarang. Dari tambak seluas 3,4 hekar,
keluarga Zainudin termasuk keluarga berkecukupan. Rumah mereka bagus,
arsitekturnya berupa dinding papan dan berlantai tegel berwarna. Semua
didapat dari hasil panen bandeng setiap tiga bulan yang mencapai 700-800 kg,
dengan harga Rp7.000-Rp8.000 per kilogram. Belum lagi dari hasil panen
udang, yang dipungut tiap hari, tanpa bersusah payah memelihara. Pada era
tersebut, kesuksesan hidup sebagai petambak tidak hanya dirasakan keluarga

_____
1 Aden W, “Waspada Lur! Sungai Beringin Meluap, Mangkang Dikepung Banjir”, diakses
pada 12 Agustus 2021 dari https://radarsemarang.jawapos.com/berita/semarang/
2021/02/06/waspada-lur-sungai-beringin-meluap-mangkang-dikepung-banjir/.
2 Cerita Zainudin disarikan dari: Thoha, Dirman. 1999. Petani Kok Nglawan Aku. Kompas, 14
Desember 1999.

282
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Zainudin, tapi juga oleh banyak warga Mangunharjo (saat itu Kelurahan
Mangunharjo dan Mangkang Wetan masih satu).
Sampai awal 1990-an, warga Mangunharjo masih cukup makmur. Mereka
masih diberkahi hasil panen tambak udang windu dan bandeng yang cukup
melimpah. Dalam setiap hektar tambak, rata-rata menghasilkan lima kuintal
udang windu dan empat kuintal bandeng. Belum lagi jika ditambah hasil panen
sampingan dari tambak udang api, mujair, blanak, atau ikan rucahan. Dari
keuntungan sebagai petambak itu pula banyak warga Mangunharjo pergi haji.
Bahkan pernah dalam suatu musim haji yang bersamaan dengan panen
tambak yang bagus, 60-an warga Mangunharjo berangkat haji secara bersama-
sama.1
Era kejayaan sebagai petambak berangsur runtuh sejak pemerintah me-
ngizinkan sebuah perusahaan kayu lapis berdiri di pesisir Kendal-Semarang.
Secara administratif, pabrik tersebut terletak di desa sebelah yang masuk
wilayah Kabupaten Kendal. Pada akhir 1980-an, saat PT Kayu Lapis Indonesia
(PT KLI) mulai berdiri, warga Mangunharjo belum merasa ada pengaruhnya.
Warga hanya mengetahui keberadaan pabrik, tapi tidak tertarik bekerja di
sana. Warga juga belum banyak yang menyadari bahwa PT KLI telah mem-
perluas area pabrik dengan cara reklamasi dan mengeruk pasir pantai.
Dalam upayanya melindungi dan sekaligus memperluas lokasi pabrik, PT
KLI juga melakukan pembelokan mulut Sungai Wakak.2 Semula mulut Sungai
Wakak langsung menghadap laut, kemudian dibelokkan sejauh 1,6 km agar
dapat menyatu dengan Sungai Plumbon. Pembelokan tersebut membuat alur
sungai bertambah panjang yang ini berpengaruh pada waktu perambatan air
pasang ke tambak-tambak warga. Akibatnya, keberadaan sungai pun menjadi
tidak lagi cukup untuk memenuhi syarat teknis sistem pengairan tambak, baik
dari segi kualitas maupun kuantitas.3 Selain itu, bangunan KLI yang menjorok
500 meter ke laut menyebabkan perkara lain yakni perubahan pola arus laut.
Belakangan bangunan PT KLI telah berkembang lagi menjadi 700-1000 meter
ke arah laut.4 Dampaknya, pelan-pelan dataran pantai di sampingnya makin
terkikis (abrasi), hingga akhirnya menenggelamkan tambak warga. Bahkan

_____
1 Kompas, 20 Maret 2003, “Tambak-tambak yang Terkoyak di Pantura”, hlm. 08.
2 Sungai Wakak acap dinamakan berbeda-beda, seperti Sungai Janrono, Sungai Slembang,
dan bahkan Sungai Plumbon. Sungai Wakak masuk ke dalam DAS Plumbon, letaknya ada
di sebelah barat Sungai Beringin, Lihat misalnya catatan kaki No. 14 di buku Wijono,
Radjimo Sastro & Tandiono Bawor Purbaya, Potret Buram Industrialisasi di Jawa: Main
Kayu Pembangunan, (Semarang: LBH Semarang; Mesiass; Fokalis. 2004), hlm. 47.
3 Arsip Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.
4 Arsip LBH Semarang.

283
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

menurut perkiraan, rusaknya kawasan pantai dan tambak ialah tiga kali lipat
dari panjangnya bangunan PT KLI yang menjorok ke laut.1
Sejak saat itu, pelan-pelan dampak aktivitas PT KLI mulai dirasakan warga
Mangungharjo. Apalagi PT KLI juga menguasai secara sepihak muara sungai
untuk tempat penumpukan kayu. Limbah pabrik juga banyak dibuang ke
sungai, sehingga menimbulkan timbunan dan membendung arus sungai.
Beberapa limbah yang sering ditemukan ialah (1) limbah padat, berupa
kulit/serabut kayu, potongan kayu, serbuk logam, dan plat; (2) limbah cair,
berupa getah kayu, air pendingin/cooling, air cucian, dan sisa oli; (3) limbah
udara, berupa aneka gas buangan yang bersifat kimiawi, suara mesin, dan
hawa panas.2
PT KLI banyak memproduksi aneka bentuk olahan kayu seperti plywood,
papan batangan, wood waste, block board, dan sawn timber. Pada 1990-an,
produksi plywood di KLI mencapai 1.440.000 m3 per hari; block board sejumlah
230.000 m3 per hari; dan sawn timber sebanyak 166.667 m3 per hari. Selain itu,
PT KLI juga tercatat memproduksi berbagai produk sampingan seperti
formaldehyde, urea formaldehyde, dan melamine formaldehyde. Beragam pro-
duk tersebut dijual ke mancanegara, seperti Hongkong, Cina, Jepang, Korea,
Amerika Serikat, dan ke berbagai negara di Eropa. 3
Produk kayu yang diolah di kilang kayu raksasa KLI di Kendal, berasal dari
paling tidak 94 konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tersebar di
Sumatera dan Papua. Pada 1998, tercatat bahwa PT KLI menguasai sejumlah
3,5 juta hektar konsesi HPH. Oleh karena PT KLI tidak memiliki konsesi sendiri
di Pulau Jawa, pabrik kayu mereka di Kendal juga menerima bahan baku dari
Perum Perhutani.4 Dalam proses distribusi hasil kayu alam dari Sumatera dan
Papua, PT KLI tidak melakukannya di Pelabuhan Semarang. PT KLI justru
melakukan bongkar muat kayu langsung di lokasi pabriknya di Kendal. Proses
ini dilakukan secara terus menerus, selama bertahun-tahun, tanpa dilengkapi
izin yang memadai dari instansi terkait.5

_____
1 Kompas, 09 Juni 2000, “Akibat Pertumbuhan Industri, Pesisir Semarang Rawan”.
2 Arsip LBH Semarang.
3 Arsip LBH Semarang.
4 Aditjondro, George Junus (2003) Pola-Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menye-
lamatkan Lingkungan dari Ekspansi Modal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 245.
5 Arsip LBH Semarang. Kondisi serupa masih terus terjadi sampai 2021. Pada September
2021 saya berkunjung ke Mangunharjo dan bertemu dengan seorang warga yang sedang
mencari kerang hijau yang menempel di tembok jalan. Dia menuturkan bahwa pada
malam hari, ia biasa melihat kapal-kapal besar bermuatan kayu berlabuh di pabrik PT KLI.

284
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar VIII.4: Sebelah kiri merupakan PT KLI diambil dari ujung daratan pesisir
Mangunharjo. Sebelah kanan merupakan kapal-kapal yang berlabuh di
sekitar pabrik PT KLI. Foto diambil pada September 2021.

Pihak yang diuntungkan dari proses perubahan sosial di pesisir Mangunharjo


ialah Keluarga Gunawan Sutanto alias Tan Siong Bun sebagai pemilik PT KLI.
Setelah Gunawan meninggal, kekayaan tersebut dikelola kedua anak
Gunawan, Agus dan Andi Sutanto.1 Mereka mendulang kekayaan karena dapat
menjual kayu keluar negeri sembari merekonfigurasi fungsi pantai dan tam-
bak. Sementara pihak yang dirugikan tentu saja ialah warga Mangunharjo,
terutama para pemilik tambak dekat lokasi pabrik dan di tepi pantai. Warga
pesisir yang tambaknya ditenggelamkan PT KLI pun tidak tinggal diam. Mereka
membentuk organisasi perjuangan, namanya Kelompok Masyarakat Peduli
Lingkungan (KMPL) Mangunharjo.
Beragam cara protes sudah ditempuh KMPL dan warga Mangunharjo
lainnya. Misalnya, pada 1999 KMPL berhasil mendesak Wakil Gubernur III Jawa
Tengah saat itu, Mulyadi, untuk menggelar rapat audiensi. Rapat tersebut turut
dihadiri LBHS, Asisten Ketataprajaan Setda Jateng, Kanwil Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Provinsi Jateng, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Pengair-
an Provinsi Jawa Tengah, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Daerah (Bapedalda) Jawa Tengah, Camat Mangkang Kota Semarang, Kepala
Bapedalda Kota Semarang, Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Jawa Tengah,

_____
1 Aditjondro, George Junus (2003) Pola-Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menyela-
matkan Lingkungan dari Ekspansi Modal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; hlm. 249.

285
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

dan Asisten Administrasi Pembangunan Setda Jawa Tengah. Namun, PT KLI


tidak menghadiri undangan.1
Pada pertemuan tersebut, pihak DPU Pengairan Provinsi sempat berujar
bahwa sebenarnya mereka sudah berusaha untuk mencegah pembelokan su-
ngai. Namun PT KLI secara semena-mena tetap melakukan hal tersebut. Pada-
hal pembelokan dan/atau penyatuan Sungai Wakak atau Sungai Plumbon telah
merugikan para nelayan, karena akan mendangkalkan sungai dan mengurangi
pasokan air asin ke tambak.2
Komentar semacam itu, saya duga hanya mungkin muncul karena tidak
ada pihak dari PT KLI yang hadir dalam pertemuan. Lain hal jika pada pertemu-
an tersebut ada perwakilan PT KLI. Pasalnya, pembiaran pemerintah (Kendal,
Semarang, atau Provinsi Jawa Tengah) atas aktivitas PT KLI yang merusak ling-
kungan warga pesisir Kendal-Semarang sudah berlangsung selama bertahun-
tahun. Lagi pula, tanpa izin yang diterbitkan pemerintah, tentu saja PT KLI tidak
akan leluasa beraktivitas. Dengan kata lain, aktivitas PT KLI yang merusak tidak
bisa dilepaskan dari peran serta pemerintah dalam memfasilitasi kerusakan
tersebut. Karena itu pula, komentar pihak DPU Pengairan yang seolah menya-
yangkan kelakuan PT KLI merupakan bentuk cuci tangan, bentuk penyamaran
agar peran pemerintah dalam kerusakan tampak samar-samar.
Sebelumnya, KMPL juga mendesak berbagai intansi untuk melakukan
penelitian langsung ke lapangan. Alhasil Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
(PPLH) Undip pun menugaskan Pujiono (Ahli Kelautan Undip) untuk meninjau
langsung ke lapangan (29 September 1999) dan membuat sebuah laporan
penelitian. Hasilnya disebutkan bahwa kerusakan Pantai Mangunharjo me-
mang disebabkan oleh (a) perluasan industri (PT KLI) berupa reklamasi; (b)
pembelokan 90 derajat Sungai Wakak sejauh 1,6 km; dan (c) penambangan
pasir.3
Pada November 1999, KMPL berhasil memaksa Komisi D DPRD Jawa
Tengah untuk menggelar rapat dengar pendapat bersama PT KLI dan instansi
terkait. Namun warga kecewa, karena di dalam rapat, PT KLI dan DPU Jateng
justru hanya saling tuding, saling merasa tidak terlibat. PT KLI dan DPU Jateng
sama-sama angkat tangan dalam kasus tenggelamnya tambak rakyat, seiring
makin rusaknya pantai di Mangunharjo. Pendapat warga juga tidak digubris PT
KLI, bahkan suatu kali, wakil perusahaan pernah berujar, “Petani kok nglawan
aku.”4

_____
1 Arsip LBH Semarang.
2 Arsip LBH Semarang.
3 Arsip LBH Semarang.
4 Kompas, 20 November 1999, “Perusakan Pantai Mangunharjo: PT KLI Saling Tuding dengan
Dinas Pengairan”, hlm. 19.

286
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Warga Mangunharjo dan Mangkang Wetan sangat yakin aktivitas PT KLI


menjadi penyebab kerusakan tambak milik petani, abrasi, dan rob.1 Walau
demikian, warga juga tidak menutup pemikiran mereka pada faktor lain.
Seperti yang coba dinyatakan oleh seorang warga Mangkang Wetan, Masnun
Said,

“Kami tidak memungkiri faktor alam seperti arus dan gelombang air
laut. Tetapi itu tidak seberapa. PT KLI mempunyai andil 70% terha-
dap kerusakan tambak kami.”2

Pada 2003, jumlah tambak yang berubah menjadi laut mencapai 31 hektar,
dari total 228 hektar tambak yang tersisa di Mangkang Wetan dan Mangun-
harjo. Nahasnya lagi, sebanyak 196 hektar dari tambak yang tersisa, sejumlah
121 hektar di antaranya dalam kondisi rusak berat. 3 Nelayan di Mangunharjo
dan Mangkang Wetan turut merasakan dampak. Setelah beroperasinya PT KLI
mereka jadi lebih sering pulang tanpa hasil. Sebab, banyak ikan menjauh
akibat adanya buangan limbah cair pabrik.
Derita warga Mangkang Wetan dan Mangunharjo tidak berhenti sampai
di situ. Selain menghadapi persoalan abrasi pantai, mereka juga berhadapan
dengan banjir kiriman, yaitu banjir yang disebabkan oleh limpasan air dari
daerah hulu. Seorang warga Mangunharjo, Sapuan, punya cerita menarik soal
itu.4 Menarik karena, menurutnya, mendapat kiriman banjir merupakan hal
biasa. Dalam satu tahun, warga Mangkang Wetan dan Mangunharjo menerima
dua sampai tiga kali banjir dari daerah yang lebih atas. Sapuan mengenang,

“Dulu juga banjir sih, tapi masih wajar, yaitu di bawah 50 sentimeter.
Nah, kalau sekarang banjir, wah, bisa mencapai 1,5 hingga 1,75
meter, itu pun butuh waktu lama untuk bisa surut kembali. Apalagi,
di RW 5, wah butuh waktu tiga hari baru banjir itu surut.”

Meski banjir acap terjadi, Sapuan yang sejak kecil tinggal di Mangunharjo mera-
sa ada perbedaan antara banjir dulu dan banjir sekarang (2000-an). Menurut-
nya, banjir sekarang makin besar akibat penggundulan hutan di wilayah sela-
tan Sungai Beringin, di perbatasan antara Kota Semarang dengan Kabupaten

_____
1 Sudianto, Barnabas Untung (2006) Bahaya Banjir di Kawasan DAS Beringin dan Rob di
Mangunharjo. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah 4(2): 69-75.
2 Kompas, 20 Maret 2003, “Tambak-tambak yang Terkoyak di Pantura”, hlm. 08.
3 Kompas, 20 Maret 2003, “Tambak-tambak yang Terkoyak di Pantura”, hlm. 08.
4 Cerita Sapuan dan Doel Wahid disarikan dari: Kompas, 23 Mei 2001, “Banjir Kiriman yang
Tak Pernah Berhenti”, hlm. 26.

287
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Kendal. “Dulu (di sana) sangat lebat ditumbuhi tanaman, namun kini telah ber-
ubah menjadi kawasan perumahan elite,” keluh Sapuan.
Kerusakan daerah hulu juga berpengaruh pada aliran sungai. Dahulu, di
Mangkang Wetan dan Mangunharjo, mengalir beberapa anak sungai (dari ba-
rat ke timur) seperti Sungai Plumbon/Irigasi, Sungai Morotiwo, Sungai Santren,
Sungai Beringin/Tawa, dan Sungai Sendari. Sebelum daerah hulu rusak,
sungai-sungai tersebut dihubungkan oleh Sungai Paluh. Pada 1970-1980-an,
keberadaan sungai masih menjadi ladang pencaharian sehari-hari warga, teru-
tama yang tidak memiliki sawah atau tambak. Dari sungai warga bisa menda-
patkan ikan dan udang, sehingga tidak perlu jauh-jauh mengambil di laut.
Aktivitas warga mencari ikan dan udang di sungai disebut nyamplok. Aktivitas
ini dilakukan 10-15 orang menggunakan alat bernama Loho pada pagi hari.
Seiring dengan rusaknya Sungai Paluh (sungai penyambung antar sungai),
banyak nelayan di Sungai Beringin mulai mengenal teknologi mesin dan jaring
othok. Pada mulanya mereka menggunakan mesin merek Kubota, kemudian
mereka pindah ke mesin buatan Tiongkok bernama dongfeng yang lebih mu-
rah.1
Warga yang berprofesi sebagai nelayan bermukim di samping kanan-kiri
Sungai Beringin (Ngebrug). Mereka punya tradisi nyadran (sedekah laut) yang
dilakukan setiap tanggal 1 Syuro. Tradisi tersebut bertujuan untuk berdoa agar
kesialan dapat terbuang dan penderitaan nelayan (akibat ulah perusahaan, PT
KLI) dapat diringankan. Mereka meminta kepada Tuhan agar muara Sungai
Beringin dan irigasi yang selama ini buntu/tertutup menjadi terbuka kembali.
Mereka pula yang termasuk punya masalah dengan banjir Kali Beringin. Selain
karena muara dan badan Sungai Beringin yang dangkal, warga di sana
menduga bahwa banjir juga disebabkan oleh pengeprasan bukit di sebelah
selatan (Mangkang Wetan dan Mangunharjo), pembabatan hutan karet untuk
pengembangan BSB, dan adanya 4 (empat) komplek perumahan di sebelah
utara-nya.2
Kendati rutin diterjang banjir, sebagian besar warga Mangkang Wetan
dan Mangunharjo tetap enggan untuk pindah rumah. Seperti yang dinyatakan
seorang warga Mangkang Wetan, Doel Wahid, bahwa ia sama sekali tak punya
niat untuk pindah ke daerah lain. “Bagaimana lagi, kalau mau pindah ke mana?
Lagi pula kita tidak sendirian di sini, banyak teman yang merasakan hal yang
sama.” Karena itu pula, banyak warga Mangkang Wetan yang membuat loteng
kayu untuk perlindungan saat banjir. Barang-barang atau perabotan penting
akan segera disimpan ke loteng kayu tersebut apabila hujan terus-menerus
terjadi.
_____
1 Arsip LBH Semarang.
2 Arsip LBH Semarang.

288
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Banjir kiriman tidak hanya menerjang permukiman warga, tapi juga


menghancurkan tambak-tambak rakyat. Apalagi jika banjir kiriman tersebut
membawa serta lumpur dan limbah pabrik. Pada momen banjir kiriman awal
2000-an, para petani tambak di Mangunharjo merugi hingga ratusan juta
rupiah. Sementara di Mangkang Wetan, kerugiannya ditaksir mencapai Rp176
juta. Seorang petani tambak, Ali Imron, mengatakan bahwa “Kerugian satu
petak tambak dengan luas setengah atau satu hektar mencapai Rp 50 juta.
Saat itu, udang sudah berumur sekitar dua hingga tiga bulan, dan siap panen.”1
Akibatnya, setelah banjir mereda, banyak ditemukan tambak-tambak
yang menjadi lahan tidur. Penyebabnya, para petani sudah tidak punya modal
lagi untuk mengerjakannya. Selain itu, faktor pencemaran air juga menjadi
salah satu pertimbangan. Terlebih jika momen banjir kiriman tersebut terjadi
bersamaan dengan momen kenaikan air laut (pasang). Seperti yang dikatakan
Ali,

“Setiap kali pasang, obat pengawet kayu yang disemprotkan PT KLI


terbawa arus dan memasuki tambak. Belum lagi, limbah dari pabrik
yang berada di kawasan atas yang dibuang saat banjir (kiriman)
datang.”2

Petani tambak lain, Chambali, juga membeberkan hal yang sama. Ia juga me-
nanggung derita karena tambaknya hancur diterjang luapan Sungai Beringin.
Chambali menambahkan

“… benar-benar enggak ada yang bisa dimanfaatkan. lkan bandeng


dan udang windunya hanyut, udang tambak yang biasa kami panen
setiap hari juga hanyut. Kalau pun masih ada yang tersisa, mati
karena keracunan akibat banjir. Tidak ada lagi yang bisa diandalkan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Semua habis terkena
banjir."3

Kondisi sedikit berbeda, dirasakan oleh warga Mangunharjo yang memiliki


tambak di Mangkang Wetan, Hamir.4 Tambak Hamir tidak rusak, tetapi airnya
berubah menjadi kecoklatan, karena air sungai yang mengandung lumpur

_____
1 Kompas, 18 Maret 2002, “Ratusan Hektar Tambak Berubah Jadi Lahan Tidur, Petani
Tambak Tak Punya Modal”, hlm. 25.
2 Kompas, 18 Maret 2002, “Ratusan Hektar Tambak Berubah Jadi Lahan Tidur, Petani
Tambak Tak Punya Modal”, hlm. 25.
3 Arika, Yovita. 2003. Modal Kami Sudah Habis… Kompas, 10 Maret 2003.
4 Kompas, 20 September 2003, “Tambak Mangkang Wetan dan Mangunharjo Kebanjiran”,
hlm. 18.

289
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

masuk ke tambak. Karena itu, meski sebagian ikan bandeng atau udang masih
bisa hidup, umurnya tidak akan lama. Terutama karena banjir juga membawa
serta lumpur dan limbah cair dari pabrik di sepanjang aliran DAS Beringin.
Limbah cair mengubah air sungai dari yang semula berwarna kuning,
kemudian menjadi hitam kebiruan, lalu mengeluarkan bau amis menyengat.
Keberadaan limbah cair dari pabrik tidak hanya merusak tambak, tapi
juga merusak kualitas komoditas tambak itu sendiri. Seorang penduduk
Mangunharjo, Busaeri, menyebutkan bahwa sejak pabrik-pabrik di Kecamatan
Tugu giat membuang limbah ke Kali Beringin, terjadi perubahan drastis pada
ukuran udang di tambaknya yang kemudian membuat harganya turun.

“Sekarang, udang yang didapat sedikit dan kecil-kecil. Kalau dijual


paling 10.000 per kilogram. Padahal, dahulu yang didapat udang
besar-besar yang harganya bisa mencapai Rp25.000 per kilogram,”
kata Busaeri.1

Warga Mangunharjo dan Mangkang Wetan sudah berulang kali menyampai-


kan persoalan banjir kiriman dan pencemaran air sungai kepada pemerintah.
Begitu mendapati tambak-tambak rusak akibat limbah pabrik, warga
berinisiatif melapor ke pihak pemerintah terkait. Namun instansi tersebut
selalu lambat merespon.2 Begitu pula untuk kasus banjir kiriman. Salah satu
hal krusial dalam momen banjir kiriman ialah seringnya tanggul sungai jebol.
Bahkan, seperti kata warga Mangkang Wetan, Chambali

“Tanggul sungai yang jebol tahun lalu, meski sudah beberapa kali
diperbaiki, selalu jebol setiap kali turun hujan… pemerintah sudah
tahu, tetapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya.”3

Salah satu solusi pemerintah yang muncul terkait banjir di DAS Beringin ialah
proyek normalisasi hilir Sungai Beringin sepanjang 2,6 km. Namun, seperti
yang diutarakan Chambali, warga tidak setuju jika upaya yang dilakukan Pem-
kot berupa pelebaran (penampang) sungai hingga 50 meter. Ketua Lembaga
Keamanan Masyarakat Desa (LKMD) Kelurahan Mangkang Wetan, Mukhlis,
juga mengatakan “Pada prinsipnya warga setuju dengan pelebaran sungai, asal
tidak sampai 50 meter. Menurut perhitungan kami, lebar sungai 20 meter itu

_____
1 Kompas, 16 Juli 2004, “Puluhan Hektar Tambak Tercemar Limbah”, hlm. 06.
2 Kompas, 16 Juli 2004, “Puluhan Hektar Tambak Tercemar Limbah”, hlm. 06.
3 Kompas, 16 Oktober 2003, “Pemkot Diminta Segera Tangani Sungai Beringin”, hlm. 19.

290
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

sudah cukup.”1 Dalam perkembangannya, rencana pelebaran sungai tersebut


berakhir pada angka 32 meter.2
Pelebaran sungai berkaitan dengan pembebasan lahan penduduk. Pada
saat itu, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di daerah tersebut ialah Rp15.000 per
meter persegi. Pemerintah menawarnya dengan harga Rp4.000-Rp5.000 per
meter persegi. Warga menolak dan mengajukan Rp50.000 per meter persegi.3
Beberapa warga lain justru tidak menyorot soal harga, tapi soal proyek
normalisasi itu sendiri. Misalnya, seperti yang dikatakan Hamir,4

“… pengertian normalisasi bukan pelebaran atau memperdalam su-


ngai, tetapi membenahi daerah aliran sungai, terutama di daerah
hulu, menyusul banyaknya kawasan permukiman yang dibangun di
sana.”

Karena itu, Hamir menambahkan, sebenarnya

“Bahasa pemkot dan Bahasa warga tentang normalisasi ini berbeda.


Warga itu inginnya fungsi Sungai Beringin dikembalikan seperti
semula, sebagai saluran irigasi, bukan sebagai saluran pembuangan
(drainase) seperti sekarang ini. Sempitnya muara sungai kan karena
sedimentasinya tinggi, dan sedimentasi itu berasal dari atas.”

Pendapat senada juga dinyatakan sebuah organisasi non-pemerintah, LBHS.


Mereka menolak anggapan Pemkot Semarang bahwa satu-satunya cara
mengatasi banjir di DAS Beringin adalah dengan menormalisasi sungai. Menu-
rut LBHS, anggapan seperti itu justru menimbulkan konsekuensi penggusuran
lahan petani, petani tambak, dan nelayan di hilir untuk pelebaran sungai. Ka-
rena itu, LBHS menuntut Pemkot mengembalikan kawasan atas (daerah
resapan) menjadi daerah resapan air yang efektif bagi pengendalian banjir. 5
Ketua tim penyusun laporan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA)
Jawa Tengah, Robert J. Kodoatie, ikut pula memberi tanggapan. Menurutnya,
penambahan dan pembenahan tanggul jebol, normalisasi sungai, pelebaran
sungai, hanyalah penanggulangan darurat yang tidak akan menyelesaikan

_____
1 Kompas, 16 Oktober 2003, “Pemkot Diminta Segera Tangani Sungai Beringin”, hlm. 19.
2 Kompas, 10 Maret 2004, “30 Persen DAS Beringin Berubah Fungsi”, hlm. 01.
3 Kompas, 10 Maret 2004, “30 Persen DAS Beringin Berubah Fungsi”, hlm. 01.
4 Kompas, 20 September 2003, “Tambak Mangkang Wetan dan Mangunharjo Kebanjiran”,
hlm. 18.
5 Kompas, 27 Desember 2003, “Keberadaan Kawasan Industri Penyebab Bencana Banjir di
DAS Beringin”, hlm. 18.

291
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

masalah.1 Karena itu, pemerintah perlu melakukan beberapa hal lain. Misal-
nya, penghijauan lahan terutama di bagian hulu DAS Beringin seluas 14
kilometer persegi. Kemudian perlu juga pembangunan dam, atau pembuatan
waduk. Tujuannya untuk memperlambat waktu tibanya banjir, menurunkan
besarnya debit banjir, dan mengubah pola hidrograf (larian atau aliran air
dalam kerangka waktu).
Silang pendapat terkait pengendalian banjir kiriman di DAS Beringin
mencuatkan dua kutub berbeda. Kutub pertama, ada pemerintah yang teguh
dengan pilihan solusi infrastruktur keras dan teknis. Solusi pemerintah juga
hanya mencakup daerah hilir semata, alias parsial. Kutub kedua, ada warga,
akademisi, dan organisasi non-pemerintah yang menginginkan solusi yang
lebih menyeluruh, dan tidak hanya terpaku pada proyek infrastruktur.
Pilihan untuk mengendalikan banjir secara parsial di hilir juga berpotensi
membawa konsekuensi lain. Misalnya, solusi normalisasi sungai justru hanya
membuat warga Mangkang Wetan dan Mangunharjo semakin dikorbankan.
Pasalnya, mereka sudah menanggung derita kerugian akibat banjir kiriman,
mereka pula yang diminta berkorban agar sungai tidak banjir lagi. Sementara
aktor-aktor besar di hulu yang telah banyak merekonfigurasi ruang seperti PT
KAL, Ciputra Group, atau PT IPU diperlakukan seolah mereka tidak bersalah
dan tidak berkontribusi dalam hal banjir di hilir. Meski begitu, proyek normali-
sasi tetap berjalan walau mengalami beberapa perubahan.
Salah satu bentuk perubahan tersebut ialah pengurangan luasan tanah
yang harus dibebaskan guna pelebaran sungai. Oleh karena luasan tanah un-
tuk normalisasi dikurangi yang itu berarti berkurangnya ruang untuk menjadi
bagian dari badan atau aliran sungai yang berarti pula menurunnya debit air
yang bisa melaluinya, maka sebagai kompensasinya pemerintah pun melaku-
kan tindakan lain yakni menyodet Sungai Beringin lalu mengalirkannya ke
Sungai Randugarut.2 Beberapa pihak menilai bahwa proyek penanggulangan
banjir yang dilakukan pemerintah hanya ajang proyek semata. Proyek normali-
sasi sebesar Rp100.000.000 pun demikian. Dalam arti, hanya dikerjakan seada-
nya, sementara uangnya dilarikan.3
Di samping itu, kontinuitas banjir kiriman juga sering menumpuk sedi-
men di hilir, tingginya bisa mencapai 10-15 sentimeter setiap tahun.4 Tumpu-
kan sedimen kuat kaitannya dengan kerusakan hulu DAS Beringin. Namun soal
ini tampaknya tidak dihiraukan, pemerintah tetap hanya menjalankan proyek
di hilir dalam bentuk pengerukan sungai. Ironisnya, suatu kali, tanggul sungai

_____
1 Kompas, 03 Februari 2005, “DAS Beringin Perlu Ditata”, hlm. 02.
2 Kompas, 16 Oktober 2003, “Pemkot Diminta Segera Tangani Sungai Beringin”, hlm. 19.
3 Arsip LBH Semarang.
4 Kompas, 04 Desember 2004, “Tanggul Beringin Jebol, 50 Hektar Tambak Rusak”, hlm. 01.

292
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

jebol bukan hanya karena kiriman limpasan air dari hulu. Namun justru karena
adanya eskavator proyek pengerukan yang diparkir di sungai, sehingga meng-
halangi aliran air.1 Lagi-lagi, yang menjadi korban adalah warga Mangkang
Wetan dan Mangunharjo.

Gambar VIII.5: Salah satu muara Sungai Beringin di Mangkang Wetan, dipotret dari
arah utara menghadap ke selatan. Foto diambil pada September 2021.

Dalam rentang 2006-2021, banjir di DAS Beringin, terutama di Mangkang


Wetan dan Mangunharjo masih tetap terjadi. Bahkan mungkin lebih parah lagi.
Dua momen banjir di DAS Beringin yang cukup terekam liputan media dan
dikenang warga pada rentang waktu tersebut ialah banjir pada 2010 dan 2017.
Banjir 2010 menewaskan enam orang, merendam ratusan rumah, dan men-
jebol sekian banyak tanggul. Saat itu, rata-rata tinggi genangan di Mangkang
Wetan dan Mangunharjo ialah 2 meter. 2 Pada momen banjir 2017, dikabarkan
bahwa banjir bandang mirip tsunami telah menerjang lima RT di Perumahan
Wahyu Utomo, Kecamatan Ngaliyan. Selama lebih dari satu jam, air banjir

_____
1 Kompas, 04 Desember 2004, “Tanggul Beringin Jebol, 50 Hektar Tambak Rusak”, hlm. 01.
2 Koran Tempo, 11 November 2010, “Enam Tewas Terseret Banjir Semarang”.

293
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

mengobrak-abrik sebagian permukiman warga, terutama yang berada di dekat


Sungai Pengilon.1
Pada momen banjir 2017, dikabarkan pula bahwa sebuah mobil Suzuki
Carry milik warga bernama Effendy ikut hanyut bersama banjir. Mobil tersebut
kemudian ditemukan di daerah Mangkang, beberapa kilometer dari Perumah-
an Wahyu Utomo. Warga Perumahan Wahyu Utomo, Haryono, mengatakan
bahwa “pendangkalan Sungai Pengilon sudah cukup parah. Sebelumnya
sungai tersebut memiliki kedalaman 3-4 meter, namun kini sudah kurang dari
2 meter.”2
Perumahan Wahyu Utomo merupakan satu dari sekian perumahan yang
berdiri paling awal di Kecamatan Ngaliyan. Perumahan ini disinyalir turut pula
melakukan rekonfigurasi ruang di sepanjang Sungai Pengilon/Sungai Sihingas.
Perumahan ini terletak lebih selatan/tinggi dari dua wilayah yang menjadi
muara Sungai Sihingas/Pengilon yang masuk DAS Beringin yakni Mangunharjo
dan Mangkang Wetan.

VIII.3. Dari “tengah”, Kampung Desel dan Perumahan Wahyu Utomo

Perumahan Wahyu Utomo, Tambakaji, Ngaliyan, Semarang diterjang banjir


pada Februari 2017. Kami coba menelusuri dan menggali kembali ingatan
tentang momen banjir tersebut dengan membaca aneka terbitan media dan
mengunjungi langsung lokasi banjir. 3 Namun kami tidak hanya berhenti di
Perumahan Wahyu Utomo, kami pun mengunjungi daerah yang lebih atas
yakni Kampung Desel. Di sana kami juga menggali ingatan masyarakat tentang
momen banjir 2017, terutama mengenai perubahan sosiospasial apa saja yang
terjadi di hulu yang memungkinkan banjir dapat terjadi.
Kami sejak awal memang melihat bahwa Perumahan Wahyu Utomo dan
Kampung Desel, meski terletak di daerah yang berbeda, saling berelasi secara
sosial-ekologis. Salah satunya karena difasilitasi jaringan sungai/kali di satu
unit sosiospasial bernama DAS Beringin. Dengan melihatnya demikian, maka
rekonfigurasi ruang di tempat satu berpengaruh di tempat lain. Ruang atau
space dalam pandangan ini relasional. Atau dengan kata lain, kerusakan sosial-

_____
1 Jawa Pos, 08 Februari 2017, “Banjir Bandang Landa Ngaliyan”. Pada bagian selanjutnya,
warga lebih lazim menyebut Sungai Pengilon tersebut dengan nama Sungai Sihingas atau
Kali Gede.
2 Jawa Pos, 08 Februari 2017, “Dua Sekolah di Mangkang Wetan Terendam”.
3 Kata “Kami” dalam tulisan tentang Perumahan Wahyu Utomo maksudnya ialah Bagas,
sementara kata “Kami” dalam tulisan tentang Kampung Desel maksudnya adalah Umi.
Meski begitu, substansi keseluruhan tulisan merupakan hasil menjahit bersama yang
dilakukan Bagas, Umi, Eka, dan Bosman.

294
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

ekologis di sekitar Kampung Desel akan memengaruhi daerah di bawahnya


seperti, misalnya, Perumahan Wahyu Utomo.
Sejak mewabahnya pandemi COVID-19, Perumahan Wahyu Utomo hanya
dapat diakses dari pintu masuk di daerah Ngaliyan. Sementara pintu masuk
dari daerah Beringin nyaris sudah satu tahun ditutup. Praktis hanya ada satu
akses keluar-masuk perumahan, dan akses itu pula yang kami gunakan saat
berkunjung ke Perumahan Wahyu Utomo.
Kami hanya beberapa kali berkunjung ke Perumahan Wahyu Utomo.
Setiap berkunjung situasi di Perumahan Wahyu Utomo nyaris selalu tampak
lengang. Biasanya kami memulai penelusuran dengan berjalan menyusuri
jalan aspal perumahan. Di sebelah kanan berjejer rumah-rumah penduduk
yang tampak begitu sepi: pagar tertutup dan nyaris tidak ada aktivitas manusia
di teras rumah. Sementara di sebelah kiri, terbentang Sungai Sihingas di balik
tembok warna-warni (Lihat gambar VIII.6).

Gambar VIII.6: Tembok warna-warni, pembatas antara Sungai Sihingas dengan Peru-
mahan Wahyu Utomo. Sebelumnya tembok tersebut lebih pendek,
namun setelah banjir menerjang, warga patungan untuk meninggikan
tembok. Foto diambil pada Mei 2021.

295
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Wahyu Utomo merupakan salah satu perumahan yang paling awal dibangun
di DAS Beringin, didirikan sekitar 1981. Beberapa interlokutor (teman ber-
cakap-cakap) bercerita bahwa di perumahan ini banyak dihuni orang-orang tua
pensiunan pegawai perusahaan atau pegawai negeri. Beberapa rumah lainnya
memang ada pula yang dijadikan kontrakan atau diwariskan pada anak-anak
pegawai yang relatif masih muda. Namun tetap saja komposisi terbesarnya
ialah para pensiunan.
Hal tersebut membuat kami agak kesulitan mencari teman bercakap-
cakap. Pasalnya, suasana perumahan pada siang hari sangat sepi. Baru terlihat
ramai menjelang sore hari, karena banyak dari warga menyapu halaman
rumah. Kami beberapa kali coba mengajak warga yang sedang menyapu untuk
bercakap-cakap, seringkali kami justru ditolak. Kami pun beberapa kali ditolak
ketika coba mengetuk pagar dan menyapa warga yang sedang duduk di kursi
depan rumahnya. Kami tidak menyerah dan lanjut berjalan sembari mencari
warga yang bersedia menjadi teman bercakap-cakap.
Pada mulanya, Perumahan Wahyu Utomo terdiri dari 10 Rukun Tetangga
(RT). Namun beberapa tahun terakhir, jumlah RT menyusut sebagai imbas dari
pembangunan jalan tol Batang-Semarang. Menurut penuturan salah seorang
warga, terdapat tiga RT yang terkena dampak pembangunan. Sejumlah dua RT
yakni RT 05 dan RT 08 kini sudah tiada dan satu RT lainnya (RT 10) kini hanya
menyisakan 10 Kepala Keluarga (KK). Di Perumahan Wahyu Utomo kami
bercakap-cakap dengan enam orang interlokutor dari RT yang berbeda-beda.1
Dalam hal pengetahuan mereka tentang banjir besar pada 2017, semua
interlokutor sangat mengerti dan bahkan ada pula yang terdampak langsung.
Meskipun, tingkat keterdampakan tersebut bisa sangat berbeda antar
interlokutor. Hal itu terkait dengan perbedaan fisik bangunan rumah, lokasi
atau posisi rumah, hingga perbedaan status ekonomi. Misalnya keluarga
Limalas. Mereka tinggal di Perumahan Wahyu Utomo sejak 1990. Menurut
mereka, dari tahun ke tahun, aliran Sungai Sihingas makin deras dan makin
besar. Saat banjir tahun 2017, air melimpas lewat tepi sungai tersebut ke area
perumahan, membawa serta pohon-pohon pisang dan ranting-ranting besar.
Namun rumah Limalas tidak terkena banjir, sebab terletak di bidang tanah
yang lebih tinggi. Walau begitu, air dan lumpur tetap menggenang di jalan
depan rumahnya.
Kondisi serupa terjadi di kediaman Pak Wolulas. Pria kelahiran 1958
tersebut merupakan seorang pensiunan Pertamina. Setelah menikah (1983),
Pak Wolulas pindah ke Perumahan Wahyu Utomo yang baru dibangun dua
tahun sebelumnya. Sehingga Pak Wolulas termasuk generasi awal pemukim di

_____
1 Semua nama interlokutor atau teman bercakap-cakap di tulisan ini telah disamarkan.

296
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

perumahan tersebut. Rumah Pak Wolulas terletak persis di depan sungai.


Namun karena rumahnya terletak di bidang tanah yang cukup tinggi, sehingga
meski air banjir tetap masuk ke dalam rumah, ketinggiannya tidak lebih dari
20 cm.
Kediaman Pak Namlas bahkan lebih aman lagi. Saat kami berkunjung, Pak
Namlas sedang duduk sembari menyesap rokok di kursi depan rumah. Pak
Namlas merupakan seorang pensiunan perusahaan minuman kemasan. Pak
Namlas baru Pindah ke Wahyu Utomo pada 1986. Terkait banjir tahun 2017,
Pak Namlas bercerita, “Wah waktu itu kan malam-malam. Orang-orang (warga
yang dekat sungai) pada lari sambil teriak. Suara air sungai juga kedengeran
bergemuruh sampai sini.” Rumah Pak Namlas terletak di medan tanah yang
lebih tinggi. Bahkan dari sungai pun terbilang cukup jauh, sehingga ketika
momen banjir 2017 rumahnya tidak ikut terdampak.
Dua orang interlokutor yang termasuk korban langsung banjir 2017
adalah Tulas dan Solas. Tulas lahir dan besar di RT 09 Perumahan Wahyu
Utomo. Kini di rumah Tulas hanya ada ibu dan seorang kakaknya. Ibu Tulas
merupakan guru di salah satu SMA di Kota Semarang. Ibunya besar di
Perumahan Wahyu Utomo, tepatnya di rumah kakek dan nenek Tulas di RT 03.
Di rumah nenek dan kakek itulah Tulas memiliki memori tentang banjir 2017.
Saat itu Tulas masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Banjir
terjadi tengah malam, ketika Tulas sedang menemani nenek dan kakek di
rumah. “Waktu itu kayaknya hujan deras, terus tiba-tiba ada suara gemuruh,”
ingatnya.
Rumah nenek dan kakek Tulas ada di RT 3, di bidang tanah yang sedikit
rendah dibanding, misalnya, rumah keluarga Limalas. Posisinya persis di
seberang sungai dan di samping masjid besar. Saat banjir 2017, tanggul sungai
seberang rumah jebol dan air pun menerjang rumah nenek dan kakek Tulas
dengan cepat. Nenek dan kakek Tulas sudah lama membuka warung dan
ketika banjir terjadi nyaris semua dagangan hanyut. Satu unit Playstasion (PS)
milik Tulas juga ikut hanyut dan jembatan depan rumah nenek dan kakeknya
rusak. Padahal jembatan tersebut menjadi akses Tulas pulang ke rumah
Ibunya dengan berjalan kaki (Gambar VIII.7). Dalam ingatan Tulas banjir tidak
begitu lama menggenang. Beberapa jam kemudian air memang surut, namun
lumpur dan sampah berserak di mana-mana.

297
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VIII.7: Jembatan penyeberangan ini roboh saat banjir tahun 2017. Kini pon-
dasi jembatan sudah ditinggikan dengan struktur bangunan yang lebih
kokoh. Inilah jembatan yang biasa digunakan Tulas. Foto diambil pada
Mei 2021.

Kondisi lebih parah menimpa rumah Solas di RT 09. Rumah Solas hanya
terhalang satu rumah dari benteng pembatas jalan tol Batang-Semarang.
Letaknya agak tersembunyi, karena tertutup rumah dua tingkat berwarna
putih. Jalan depan rumahnya pun buntu dengan lebar jalan hanya cukup satu
mobil kecil. Tinggi rumah Solas juga tidak lebih dari empat meter dengan lebar
paling tidak tiga meter. Di Perumahan Wahyu Utomo, rumah Solas termasuk
satu dari sedikit sekali rumah tanpa pagar. Pembatas rumah dengan jalan
hanya satu pintu besi berwarna biru. Selain pintu besi, ada pula satu jendela
tralis besi berwarna biru. Dari situ kami dapat melihat tiga kurungan/kandang
burung tergantung di teras rumah Solas.
Pada mulanya Solas agak kebingungan. Ia bahkan sampai memberi
syarat tidak lebih dari 30 menit jika hendak bercakap-cakap. Meski pada
akhirnya syarat tersebut gagal terlaksana karena kami justru asyik berbincang
selama 1,5 jam. Ketika berbincang, sesekali Solas acap masuk ke rumah untuk
sekedar mengecek aplikasi ojek online. Namun ternyata memang belum ada
pemberitahuan bahwa ada konsumen yang memesan. “Sepi. Sampai jam
segini (jam 2 siang) saya baru narik satu pelanggan,” keluhnya.

298
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Solas lahir pada 1990 dan menjadi anak pertama dari dua bersaudara. Ia
sudah menikah dan telah memiliki dua orang anak. Bapak Solas berasal dari
Kabupaten Grobogan dan Ibunya dari Boyolali. Kedua orang tua Solas sudah
bermukim di Perumahan Wahyu Utomo sebelum perumahan tersebut berdiri.
Karena itu, kedua orang tua Solas termasuk sedikit penduduk awal daerah
yang kemudian berubah menjadi perumahan. Kini Bapak Solas sudah tidak
bekerja (serabutan lagi), sementara Ibunya masih menjadi pekerja rumah
tangga (pembantu) di salah satu rumah di Perumahan Wahyu Utomo.
Bekerja sebagai ojek online sudah Solas geluti sejak sekitar 2018.
Sebelumnya Solas pernah kuliah D-3 di salah satu kampus swasta di Semarang,
namun tidak diselesaikan karena persoalan keuangan. Dalam ingatan Solas,
banjir 2017 terjadi sekitar pukul 1 dini hari. Air datang tiba-tiba dari sungai di
sebelah tembok pembatas jalan tol. Tinggi air (banjir) mencapai lebih dari dua
meter atau setinggi pintu rumah. “Banyak banget barang yang hanyut. Banjir
datang cepat sekali, karena itu tidak sempat menyelamatkan barang,” kenang-
nya.
Di Perumahan Wahyu Utomo, keluarga Solas termasuk korban terparah
momen banjir 2017. Bahkan Solas dan keluarga sampai harus mengungsi
selama satu bulan di rumah kosong milik salah seorang tetangganya. Dalam
waktu satu bulan tersebut, Solas dan keluarga harus membereskan sisa
lumpur, mencuci pakaian kotor, memperbaiki bagian rumah yang rusak, dan
mengumpulkan barang-barang yang tersisa. Saat kami berbincang, tetangga
rumah Solas datang menghampiri. Solas mengatakan, “rumah bapak itu
(tetangga) sekarang sudah ditinggikan. Termasuk jalan di depannya. Itu terjadi
setelah banjir 2017 itu.” Sementara keluarga Solas tetap seperti sedia kala;
tidak meninggikan rumah dan tidak meninggikan jalan. Alhasil posisi rumah
keluarga Solas menjadi relatif makin di bawah, terhimpit tembok jalan tol dan
tertutup bangunan tinggi kos-kosan.
Pada dasarnya nyaris semua interlokutor tahu tentang penyebab banjir
di Perumahan Wahyu Utomo pada 2017. Waktu itu, kata Limalas misalnya,
intensitas hujan biasa saja, tidak terlalu deras. Tapi dia mendengar ada
penampungan air di belakang Rumah Sakit Permata Medika yang jebol.
Limalas menambahkan

“… baru (kali) itu banjir. Ini bukan daerah banjir, karena daerah atas.
Kayaknya ya, tapi betul atau tidak ini, ada tampungan, bendungan,
atau apa itu namanya, yang ndak mampu nampung air. Biasanya
kalau atas hujan besar, sungai di sini hanya dilewati saja.”

Hal senada juga dilontarkan Pak Wolulas. Ia bahkan sangat yakin, bahwa
sepanjang ia bermukim di sana, momen banjir memang baru terjadi pada

299
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

2017. Penyebabnya karena ada limpasan air dari daerah hulu yang membuat
talud/tanggul pembatas sungai dengan perumahan jebol. Komentar Pak
Namlas pun seakan melengkapi apa yang dilontarkan Pak Wolulas. Menurut
Pak Namlas, banjir berasal dari embung/bendungan di daerah kawasan yang
jebol. “Hujan besar, bendungan/embung di sana penuh. Karena takut banjir di
sana, air dilepas ke sini,” tambahnya. Maksud kawasan dalam perkataan Pak
Namlas ditegaskan oleh Solas. Kawasan tersebut tidak lain adalah KIC. Sejak
awal, sebenarnya Solas memang punya kecurigaan bahwa banjir kuat
kaitannya dengan jebolnya bendungan milik PT IPU di daerah KIC. Namun ia
tidak ingin banyak berkomentar, apalagi PT IPU pun tidak ada itikad sama
sekali soal itu.1
Penasaran, kami pun berkunjung ke lokasi kawasan industri yang dimak-
sud. Dari kunjungan itulah akhirnya kami bertemu dengan satu perkampung-
an di sekitar kawasan industri, yakni Kampung Desel. Banjir memang tidak
terjadi di Kampung Desel, namun apa yang dijelaskan para interlokutor di
kampung ini sangat membantu kami memahami banjir di Perumahan Wahyu
Utomo. Bahkan dari kampung ini pula kami banyak mengetahui aktivitas PT
IPU—sang pengembang KIC. Perubahan sosiospasial yang dilakukan perusa-
haan itulah yang diduga kuat telah memproduksi banjir pada 2017 silam (Lihat
Gambar VIII.3; aliran sungai dari embung PT IPU ke Perumahan Wahyu Utomo).
Kampung Desel berada di wilayah RW IX, Kelurahan Ngaliyan, Kecamatan
Ngaliyan, Kota Semarang. Jika dilihat dari arah selatan, Kampung Desel terletak
di belakang Rumah Sakit Permata Medika, dipisahkan oleh jurang dengan
sungai di dasarnya. Warga setempat menyebut sungai itu Kali Gede. Orang
pertama yang kami temui di kampung ini ialah Ibu Roluh, pemilik sebuah
warung yang lokasinya tidak jauh dari portal kawasan. Ibu Roluh telah tinggal
di Kampung Desel selama kurang lebih 20 tahun. Ibu Roluh asalnya dari Blora.
Sebelum tinggal di Kampung Desel, ia merupakan warga di kampung bawah.
Karena kampung itu digusur untuk pembangunan KIC, maka ia dan keluarga
pindah ke Kampung Desel. Ia banyak bercerita tentang pengurukan sungai di
tepi kampung oleh PT IPU. Seingat Ibu Roluh, pengurukan itu berlangsung 12
tahun lalu. Menurutnya, pengurukan yang dilakukan PT IPU membuat sungai
menyempit, sehingga meluap dan membanjiri Perumahan Wahyu Utomo.
Komentar serupa juga terucap dari Mbah Tunggal. Ia adalah warga
Kampung Desel yang sejak kecil telah tinggal di kampung tersebut, tepatnya di
area tepi jurang. Dari jalan di depan rumah Mbah Tunggal terlihat jelas

_____
1 PT IPU merupakan pengembang Kawasan Industri Candi, (reklamasi) Pantai Marina, dan
Pearl of Java (POJ) di pesisir Semarang. PT IPU sering dikaitkan dengan sosok Aciok alias
Kho Ing Tjiok alias Soedibejo. Lihat: Iswahyuni (2005); Panjaitan (2020); Hartono (2007);
atau simak pojcity.com/#about.

300
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

aktivitas dan bangunan di seberang jurang dan sungai. Salah satunya adalah
bangunan tempat pelelangan mobil PT JBA Semarang. Sementara Rumah Sakit
Permata Medika berada di sebelah barat JBA Semarang, tepatnya di tepi Jalan
Raya Ngaliyan.
Mbah Tunggal sehari-hari bertani di area tepi sungai di dasar jurang. Saat
kami bertemu dengannya, ia sedang memipil jagung kering yang habis dijemur.
Semula tanah yang digarapnya miring. Belakangan, menurut Mbah Tunggal,
PT IPU melakukan pengurukan tepian sungai, sehingga kini Mbah Tunggal
menggarap tanah datar. Katanya, ia sempat berhenti menggarap tanah yang
biasa ia tanami jagung, singkong, dan pisang saat pengurukan dilakukan.
Setelah pengurukan, ia menggeser lahannya sedikit ke arah selatan. Ia tahu,
suatu saat PT IPU bakal melarangnya menggarap lahan tersebut. Tapi selama
belum ada larangan, ia tetap menggarapnya.
Sungai di dasar jurang yang dimaksud Mbah Tunggal adalah Kali atau
Sungai Gede. Menurutnya, sungai tersebut menjadi muara dua sungai yakni
Sungai Kedungpane dan Sungai Pengilon. Lebar Sungai Gede berkisar antara
3-4 meter. Mbah Tunggal menambahkan

“… dulu sebelum PT IPU menguruk tepian sungai, alirah sungai tidak


sederas sekarang. Karena masih ada rerumputan di tepi sungai yang
menahan aliran. Sekarang ini aliran lebih deras.”

Semakin derasnya arus Kali Gede setelah pengurukan bahkan sempat


memakan korban jiwa. Beberapa tahun lalu, keponakan Mbah Tunggal sempat
terbawa arus ketika sedang menyeberang sungai dalam keadaan kaki cedera
dan ditemukan tewas di dekat jembatan Sungai Sihingas. Ketika ditanya soal
banjir, Mbah Tunggal pun langsung menyebut soal Perumahan Wahyu Utomo.
Di Kampung Desel kami juga bertemu dengan Pak Kaleh. Sehari-hari Pak
Kaleh bekerja untuk PT IPU. Pak Kaleh mulai tinggal di Kampung Desel sejak
dirinya berusia 12 tahun. Saat itu kampung ini masih dipenuhi dengan kebun
jambu kluthuk (jambu biji). Jumlah rumah pun baru sekitar 28. Saat itu,
bapaknya bekerja sebagai peternak sapi. Pak Kaleh mulai bekerja untuk PT IPU
sejak sekitar 1999. Karena sudah bekerja sampai 20 tahun lebih, tak ayal Pak
Kaleh pun punya banyak cerita tentang PT IPU.
Berdasarkan penuturan Pak Kaleh, PT IPU memiliki hampir seluruh
wilayah di KIC dan sekitarnya.1 Sampai saat ini, PT IPU masih melakukan perlu-

_____
1 Menurut Pak Kaleh, bukan hanya di wilayah Ngaliyan saja, aset Pak Acok (Aciok), pemilik
PT IPU, tapi juga di tempat lain di Semarang, meliputi Kawasan Marina, Villa daerah Gom-
bel, Perusahaan Raja Besi, dan lain-lain. PT IPU juga sering mendapat proyek pembuatan
tiang listrik, lampu jalan, dan bahkan jalan itu sendiri. Selain di Semarang, PT IPU juga

301
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

asan wilayah KIC dengan melakukan pengurukan di sekitar sungai. Dalam


ingatan Pak Kaleh, Kampung Desel memang tidak pernah mengalami banjir
atau longsor. “Kalau daerah (atas) sini banjir atau longsor ya habis Semarang
bawah,” tutur Pak Kaleh. Meski begitu, Pak Kaleh tahu pasti bahwa banjir
pernah terjadi di belokan portal (menuju area kawasan industri) dan longsor
di dekat ndano (danau/embung) buatan PT IPU.
Menurut ceritanya, embung tersebut sengaja dibuat oleh PT IPU supaya
pengurukan di area bawahnya tidak tergerus oleh arus sungai (Lihat Gambar
VIII.8). Pada 2017, karena embung tersebut tidak kuat menampung air sungai
yang deras, maka air pun melimpas ke bawah dan menerjang Perumahan
Wahyu Utomo. Bahkan akibat banjir tersebut, “satu mobil yang di dalamnya
masih ada orang sampai tersangkut di pohon bambu di sekitar Perumahan
Wahyu Utomo,” ucapnya mengkonfirmasi berita yang dimuat di media seperti
yang dikutip pada bagian sebelumnya. Cerita tersebut diperoleh Pak Kaleh dari
tetangganya yang merupakan saudara dari korban banjir. Beruntung saat itu
tidak ada korban jiwa. Pak Kaleh menambahkan

“Pembuatan embung memang biasa dilakukan PT IPU ketika hendak


melakukan pengurukan. Dulu di sini waktu awal membangun gu-
dang-gudang juga banyak embung, setelah selesai, embung itu
diuruk juga.”

_____
memiliki aset tambang batu putih di Rembang, tanah di Surabaya, dan tambang batubara
di Kalimantan.

302
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar VIII.8: Embung yang ada di tanah milik PT IPU. Pembuatan embung biasa
dilakukan untuk membendung sementara aliran sungai saat proses
pengerukan di sekitarnya sedang dilakukan. Setelah pengerukan,
embung akan diuruk juga. Foto diambil pada Mei 2021.

Selain bertemu Pak Kaleh, kami juga sempat bertemu dengan beberapa warga
Kampung Desel lainnya seperti Tigo, Sekawan, dan Gangsal. Kami berbincang
dengan mereka di rumah Ketua RT, Bu Tigo. Rumahnya tidak jauh dari warung
Bu Roluh. Kami hanya perlu naik sedikit ke arah barat, ke jalan menuju area
kuburan. Ketika kami sampai di rumahnya, Bu RT kebetulan sedang berada di
depan rumah bersama ibu mertuanya, Bu Sekawan. Kami pun mengambil
tempat di teras untuk berbincang-bincang.
Bu Tigo (34 tahun) dan Bu Sekawan (63 tahun) sejak kecil tinggal di Kam-
pung Desel, sehingga dapat dikatakan merupakan warga asli kampung terse-
but. Selain mereka berdua, ada pula suami Bu Tigo, Pak Gangsal (40 tahun).
Beliau juga termasuk warga asli Kampung Desel. Pak Gangsal menjelaskan
bahwa wilayah Kampung Desel awalnya merupakan alas (hutan belantara), lalu
dihuni satu keluarga yang melahirkan tujuh anak dan seterusnya beranak-
pinak, lalu membangun keluarga-keluarga. Menurut Pak Gangsal, kampung ini
disebut Desel karena dianggap ndesel/ndusel. Dalam Bahasa Indonesia,
ndesel/ndusel berarti “menempel tidak jelas.”

303
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Bu Tigo bercerita bahwa dahulu kampung ini dikenal sebagai kampung


penghasil jambu biji. Selain tanaman jambu, ada juga pohon sengon dan
berbagai tanaman pangan seperti ketela, jagung, dan kacang-kacangan. Sam-
pai kemudian datang PT IPU untuk membangun kawasan industri. Dalam
ingatan Pak Gangsal, PT IPU pertama kali membeli tanah-tanah di sana pada
1985. Setelah dibeli, tanah itu tidak langsung dipakai. Oleh karena itulah warga
yang sebelumnya menanam di sana masih terus melanjutkan penanaman
sampai kemudian tanah-tanah itu mulai dikerjakan PT IPU. Peristiwa tersebut
terjadi baru pada 2000-an. Mulai sejak itu PT IPU melakukan rekonfigurasi
ruang dengan membongkar dan meratakan tanah untuk membangun kawa-
san industri. Sejak saat itu pula warga berangsur-angsur mulai meninggalkan
kegiatan berkebun. Apalagi perusahaan acap menguruk begitu saja area
kebun yang baru saja ditanami atau area kebun dengan tanaman yang baru
trubus (tumbuh tunas).
Beberapa warga Kampung Desel memang biasa berkebun di tanah
nganggur milik perusahaan meski mereka sadar akan kemungkinan diuruk lagi
oleh PT IPU. Terkadang kalau pekerja/pengendara buldozer baik, ia akan mem-
beri tahu pemilik kebun sekitar dua minggu sebelumnya kalau tanah tersebut
akan diuruk. Sekarang, tambah Bu Tigo, hanya tersisa Bu Tunggal yang masih
setia menanam secara berpindah-pindah. Mungkin sampai habis tanah PT IPU
ditanami gedung/bangunan.
Perubahan di area sungai yang saat ini sedang diuruk PT IPU memang
tidak memengaruhi kehidupan warga Desel. Pasalnya, selama ini sungai terse-
but memang hanya berfungsi sebagai pengairan sawah dan ladang. Tetapi,
perubahan ruang yang dilakukan PT IPU memengaruhi sumber air warga.
Sebelum ada PT IPU, warga Desel biasa menggunakan sumber air yang ada di
sisi selatan kampung untuk kebutuhan sehari-hari. Sumber itu berupa air yang
diam, bukan sungai yang mengalir. Karena area sumber itu kemudian dimiliki
oleh PT IPU, maka sekarang sumber air itu sudah tidak ada lagi dan berganti
menjadi bangunan gudang. Sejak saat itu warga mulai mengandalkan air
sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air.
Bahkan tidak hanya itu, PT IPU juga sempat menggeser Sungai Gede
sekitar tiga meter ke utara. Tujuannya untuk perluasan lahan KIC. Penggeseran
sungai diikuti dengan penggerusan tebing yang membuat wilayah tersebut
rawan longsor. Karena itu pula arus sungai menjadi lebih deras. Menurut cerita
Bu Tigo, sekitar 2016 pernah ada seorang warga terbawa arus saat sedang
memanen daun pisang. Akhirnya setelah dilakukan pencarian selama bebera-
pa jam, warga yang hanyut berhasil ditemukan dalam kondisi tergeletak di
dekat jembatan Sungai Sihingas—dekat Perumahan Wahyu Utomo.
Bu Sekawan juga menambahkan, PT IPU sering menutup atau memben-
dung aliran sungai dan membuat kedung (sebutan lain dari embung). Kedung

304
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

tersebut pernah jebol dan membanjiri daerah Ngaliyan bawah. Baik Bu


Sekawan atau Bu Tigo tidak begitu paham apa fungsi embung itu. Yang jelas,
setiap kali pengurukan, PT IPU selalu membuat embung dan kemudian ditutup
lagi setelah proses pengurukan selesai. Bu Tigo menambahkan,

“… keberadaan embung itu bahaya. Bahkan tidak boleh didekati ka-


rena cukup dalam dan bentuknya mengerucut. Anak-anak yang
sering bermain di embung sering diwanti-wanti, apalagi pernah ada
kejadian anak tercebur di embung.”

Penasaran dengan keberadaan embung yang dimaksud, kami pun memutus-


kan untuk berkunjung. Sesampai di lokasi, sejauh mata memandang tidak ada
orang sama sekali. Kami pun berjalan mendekati area yang dibendung.
Rupanya, di sana ada celah selebar kurang lebih dua meter sebagai jalan air.
Berjalan ke sisi berikutnya, di samping gundukan tanah, ada beberapa tabung
beton. Kami menduga tabung-tabung beton itu mungkin nantinya akan dipakai
sebagai jalan aliran sungai, sehingga di atasnya dapat diuruk dan dibebani
bangunan.
Beberapa hari kemudian kami kembali ke Kampung Desel. Kali ini kami
datang sangat pagi, bahkan saat matahari belum terbit sempurna dari timur.
Sesampainya di sana, kami mengetuk rumah Mbah Tunggal. Ia membukakan
pintu dengan paras khas orang baru bangun tidur. Mbah Tunggal sempat
mengira kami tidak akan datang, sehingga hari ini ia tidak berniat gogoh (pergi
ke ladang). Namun karena ternyata kami datang sesuai janji, maka Mbah
Tunggal pun kembali semangat untuk gogoh.
Setiap ke ladang Mbah Tunggal membawa bakul, arit, karung, serta
perbekalan makanan dan minuman. Untuk menuju ke ladang, kami harus
menuruni tebing dengan ketinggian kurang lebih 200 meter. Di area tebing itu,
terdapat tanaman pisang dan pohon sengon milik Mbah Kaleh. Di ladang Mbah
Tunggal, berbagai tanaman berupa kacang hijau, ketela pohon, jagung, kacang
tanah, dan beberapa biji pohon sengon tumbuh subur. Hari ini Mbah Tunggal
dan Mbah Lapan bermaksud memanen kacang hijau.
Ladang Mbah Tunggal berada tepat di tepi sungai di sisi utara. Kawasan
industri yang sedang dikerjakan ada di sebelah barat. Karena penasaran
dengan kondisi sungai, kami coba pergi menuju ke sana. Air sungai tampak
jernih (Gambar VIII.9). Gemercik air yang mengalir, ditambah suara binatang
serangga di balik pepohonan dan semak-semak, membuat suasana pagi itu
begitu asri. Arus air sungai pada musim kemarau seperti ini cukup kecil. Rata-
rata tinggi air setara mata kaki dan paling dalam tingginya masih di bawah
lutut.

305
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VIII.9: Aliran sungai di tanah milik PT IPU. Foto diambil pada Mei 2021.

Dari sungai, kami melihat ke atas tebing di sisi kiri. Terpampang begitu jelas
seluruh tanah telah rata oleh proyek pembangunan kawasan industri.
Kemudian, di kejauhan, tampak seorang lelaki sedang memanggul rumput
menuju ke atas. Kami pun bergegas menyusul lelaki itu meski jalan yang kami
lalui termasuk sulit. Kami bertemu dengan si bapak di tengah tebing. Ia lantas
menanyakan sedang apa kami mblusuk-mblusuk begini. Setelah menjelaskan
maksud kami, si bapak pun mengerti. Nama si bapak Bilan, pada waktu
bertemu, usianya 60 tahun. Ia merupakan warga asli Kampung Desel. Sehari-
hari ia pergi mencari rumput pakan ternak untuk tiga ekor sapi miliknya.
Pak Bilan bercerita bahwa daerah sini dulu merupakan kebun jambu biji.
Keluarga Pak Bilan termasuk pemilik salah satu kebun. Namun begitu PT IPU
datang, ia tidak bisa menolak untuk menjual tanah tersebut. Setiap makelar
yang datang ke rumah mereka pasti berhasil membeli tanah itu. “Makelar itu
mengancam bahwa warga akan kesulitan sendiri jika masih mempertahankan

306
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

tanahnya,” kata Pak Bilan. Apalagi tanah-tanah di sekitarnya telah habis dibeli
PT IPU.
Kala itu Pak Bilan menjual tanahnya seharga Rp5.000 per meter persegi.
Sejak saat itulah ia mulai memelihara sapi untuk dijual ketika Hari Raya Idul
Adha tiba. Pak Bilan menyampaikan dengan nada serius, “tanah di sini kalau
musim hujan longsor semua. Tanah di sebelah sini (utara) milik PT IPU, di sana
(selatan sungai) yang dipapras juga milik perusahaan tapi ndak tau namanya
apa.”

Gambar VIII.10: Perataan tanah di tepi jurang dan sungai oleh PT IPU. Foto diambil pada
Mei 2021.

Sayangnya waktu berbincang kami tidak lama. Pak Bilan harus mengantar
rumput ke kandang yang terletak di lereng bawah RT 02 Kampung Desel. Kami
pun lanjut pulang ke tempat Mbah Tunggal berladang melalui area proyek
pembangunan. Kami berjalan di atas tanah berjejak roda ekskavator. Di peng-
ujung jalan, akhirnya kami sampai di tepi jurang. Di bawah jurang terlihat aliran
sungai mengular menuju Semarang bagian bawah. Namun betapa miris meli-
hat keadaan di sana. Proyek pembangunan kawasan industri persis bersebe-
lahan dengan sungai. Bahkan tidak ada tanaman apalagi pepohonan yang

307
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

mengikat tanah-tanah di tepian sungai itu. Tak heran, ketika hujan datang, ba-
nyak tanah tergerus dan kemudian terbawa arus menjadi sedimentasi di
daerah sungai yang lebih bawah.
Kami terus berjalan menyusuri area gersang proyek. Kali ini terlihat
sebuah ekskavator terpajang di sisi kanan jalan. Kemungkinan alat berat inilah
yang nantinya akan meratakan ladang Mbah Tunggal, cepat atau lambat.
Sampai di ujung proyek, kami menemukan jalan menuju ladang. Di sana Mbah
Tunggal dan Mbah Lapan masih memanen kacang hijau. Kami menghampiri
dan turut serta memanen. Setelah itu kami sama-sama beristirahat sejenak
sambil bercakap-cakap tentang sungai dan pertemuan dengan Pak Bilan.
Mbah Lapan menuturkan,

“… tanah di sini milik PT IPU, bukit sebelah sana (selatan) punya


Suara Merdeka. Sementara di situ (timur) milik pengusaha mobil (PT
JBA Semarang). Jadi sudah habis semua buat usaha dagang.”

Mbah Lapan juga bercerita bahwa dulu pernah menanam sekitar 200 pohon
sengon. Namun karena PT IPU menggusur dan meratakannya, pohon-pohon
yang baru berusia tiga tahun itu terpaksa harus dijual. Dari sekitar 200 pohon
sengon, Mbah Lapan menerima uang sebanyak delapan juta rupiah. Alhasil
tanah yang tadinya miring, kini sudah rata diuruk PT IPU. Meski demikian,
sebulan setelah pengurukan, Mbah Tunggal dan Mbah Lapan kembali mena-
nami ladang tersebut. Ia tidak tahu harus melakukan apa jika tidak ada ladang
yang bisa dia gunakan untuk bercocok tanam.
Kunjungan ke Kampung Desel makin menyadarkan kami bahwa kebera-
daan kawasan industri di Ngaliyan memang banyak membawa dampak nega-
tif. Tidak hanya soal hilangnya lahan atau sungai, tapi juga soal berubahnya
cuaca. Hal ini diungkap Bu Tigo dari Kampung Desel. Menurutnya, dulu Kam-
pung Desel sejuk, dingin, dan adem. Sekarang cuacanya lebih panas. Setiap
masuk rumah harus menyalakan kipas angin. Ketika masih ada pepohonan di
tepi sungai, angin yang datang dari utara dapat terhalang, sehingga tidak
langsung menghampiri Kampung Desel. Namun, sejak diratakan oleh PT IPU,
angin langsung berhembus kencang ke perkampungan.
Pak Kaleh juga punya cerita tersendiri soal perubahan cuaca. Pak Kaleh
merasa, sejak adanya kawasan industri, udara di Kampung Desel terasa makin
panas. Padahal di Semarang, wilayah kampung ini termasuk daerah dataran
tinggi. Biasanya udara di dataran tinggi lebih dingin. Makin panasnya udara,
dalam pengamatan Pak Kaleh, merupakan akibat dari pantulan atap seng
pabrik di kawasan industri.
Proses rekonfigurasi ruang di daerah yang lebih atas berlangsung bersa-
maan dengan, atau hanya bisa terjadi dengan, ongkos perubahan lingkungan

308
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

yang dirasakan oleh warga di hilirnya, Perumahan Wahyu Utomo. Hal ini di-
sampaikan Pak Wolulas. Bahkan ketika bercakap-cakap dengan kami, ia
sampai berulang kali menekankan bahwa momen banjir 2017 ada kaitannya
dengan perubahan di daerah yang lebih atas (hulu). Namun ia tidak begitu jelas
menyebut daerah hulu mana yang dimaksud. Kami menduga, daerah hulu
yang dimaksud adalah KIC dan Perumahan BSB. Perubahan di daerah hulu itu
pula, tambah Pak Wolulas, yang membuat rumahnya makin panas.
Komentar serupa juga disampaikan Solas. Sejak kanak-kanak hingga de-
wasa dia hidup di Ngaliyan, sehingga Solas dapat merasakan betul perubahan
yang terjadi. Menurutnya, perbukitan dengan pohon-pohon di atasnya makin
banyak hilang, bangunan makin menjamur, alhasil cuaca di Ngaliyan makin
panas. Keberadaan pembangunan jalan tol juga membuat daerah sekitar
rumah Solas makin panas. Pasalnya, sebelum ada jalan tol, wilayah itu banyak
tumbuh pohoh jati yang membuat udara lebih sejuk.
Pak Namlas juga merasa bahwa bangunan di sekitar sini (Kecamatan
Ngaliyan) makin banyak. “Dulu di sana (Ngaliyan atas) itu bukit semua. Rumah
Sakit (Permata Medika) itu juga bukit. Tapi kemudian dipapras untuk bikin
Tanjung Mas,” tambahnya. Selain itu, Pak Namlas juga menjabarkan bahwa
makin maraknya pembangunan di daerah yang lebih atas (hulu) juga membuat
sungai di sini makin dangkal. Pak Namlas mengenang bahwa pada 1990-an,
Sungai Sihingas masih besar dan bersih. Masih banyak yang mencuci dan
main-main air di sungai. Saat ini kondisinya jelas banyak berubah (Gambar
VIII.11). Sungai Sihingas jadi pembuangan (limbah rumah tangga) orang-orang
di Perumahan Wahyu Utomo. Bahkan Rumah Sakit Permata Medika juga ikut
membuang limbah/sampah ke sungai itu.1

_____
1 Wawancara dengan Pak Namlas pada Juni 2021.

309
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VIII.11: Sungai Sihingas di seberang jembatan yang menyempit. Endapan


tanah merah yang tampak di bagian pinggir sungai tersebut berasal
dari bagian hulu sungai, termasuk yang ada di sebelah ladang Mbah
Tunggal. Menurut Mbah Tunggal, Sungai Sihingas yang dia sebut
sebagai Kali Gede itu dahulu lebarnya sekitar enam meter. Saat ini, ia
memperkirakan lebarnya tinggal tiga meter. Foto diambil pada Mei
2021.

Solas juga punya keluhan soal sungai. Ia bercerita bahwa dulu ia terbiasa
bermain di dekat sungai tersebut untuk mencari burung di antara deretan
pohon jati. Namun sekarang hal itu mustahil dilakukan, selain karena sudah
dibatasi tembok, area dekat sungai sudah tidak lagi ditanami pohon jati dan air
sungai pun sudah tidak lagi bersih. Segala limbah rumah tangga penduduk
perumahan juga dibuang ke sana. Kini sungai di dekat rumah Solas sudah
diperbesar. Hal itu dilakukan oleh pihak perusahaan jalan tol, sebagai imbas
dari banjir besar 2017 dan imbas proyek jalan tol.
Pak Wolulas juga membuang limbah rumah tangganya ke sungai. Tapi
dia, seperti halnya juga mungkin sebagian besar dari warga Semarang lainnya,
menghadapi dilema dalam hal ini. Di satu sisi, sungai adalah tempat
pembuangan limbah rumah tangganya. Infrastruktur sampah/limbah di kota
macam Semarang, terutama di tempat Pak Wolulas, belum memungkinkan
satu proses yang mencegah limbah/sampah rumah tangga tidak dibuang ke
sungai. Belum ada misalnya, sistem pemilahan dan pengumpulan sampah
reguler. Atau kalaupun ada, orang akan berpikir lagi untuk secara reguler
mengeluarkan uang untuk itu. Bisa saja orang seperti Pak Wolulas mengelola
sampah rumah tangganya secara personal agar tidak dibuang ke sungai. Na-

310
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

mun, dengan konteks kehidupan kota yang tidak dirancang untuk itu, maka
bukan hal yang aneh kalau pada ujungnya sampah-sampah rumah tangga
dibuang ke sungai. Orang punya urusan-urusan yang bagi masing-masingnya
lebih penting ketimbang tidak membuang sampah ke sungai.
Di sisi lain, sungai semakin dangkal. Kondisi dilematis yang dihadapi oleh
Pak Wolulas dapat diketahui karena pada dasarnya ia pun sangat mengeluh-
kan kondisi sungai saat ini. Menurutnya kini sungai makin dangkal (Gambar
VIII.12). Proses sedimentasi terus terjadi dan selama ini baru dilakukan satu
kali pengerukan sungai untuk memperdalam. Itu pun dilakukan pada 2018,
setelah terjadinya momen banjir. Pembangunan talud/tembok/tanggul yang
lebih tinggi juga baru dilakukan setelah momen banjir.

Gambar VIII.12: Sedimentasi di Sungai Sihingas. Sejak momen banjir 2017, menurut
penuturan para interlokutor, Sungai Sihingas baru satu kali dikeruk.
Foto diambil pada Mei 2021.

Pembangunan talud juga dilakukan setelah banjir besar. Pengelolaannya


dilakukan sendiri oleh warga. Talud dibangun mengikuti kemiringan lereng
sungai. Kemudian warga pula yang merawat dengan cara membersihkan
sampah dan rumput liar di dasar talud. Pak Limalas membandingkan juga
talud buatan rekanan pemerintah di seberang sungai. Menurutnya, talud hasil

311
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

rekanan pemerintah justru lebih buruk, bahkan kini sudah banyak yang am-
brol.
“Kalau asalnya dari bantuan pemerintah, dikelola oleh rekanan me-
reka sendiri, dan tidak diawasi dengan baik, maka jadinya ya pecah
seperti di seberang (sungai) itu. Di seberang itu ambrol kira-kira 2
meteran, kan sayang. Padahal itu bantuan pemerintah untuk peng-
aman mushala. Tapi di seberang itu sudah beda kelurahan, masuk-
nya Kelurahan Beringin, kalau di sini Tambakaji,” kata Pak Limalas.

Pak Namlas juga menyoroti bahwa mumpung masuk musim kemarau, seha-
rusnya pengurus (dari level RT sampai Camat) lebih aktif mencari jalan untuk
memperbaiki sungai. “Sekarang sungai makin dangkal, berarti harus rajin
dikeruk. Tanaman liar juga banyak, sehingga harus dibersihkan. Takutnya, kalo
nanti terjadi hujan besar di atas (hulu) ini berisiko bagi warga Wahyu Utomo,”
tambahnya.
Narasi agak berlainan datang dari Solas. Menurutnya, pengerukan sungai
secara rutin untuk memperkecil risiko banjir di wilayahnya sangat tidak cukup.
“Jadi percuma mengeruk sungai kalo daerah hulu rusak, karena otomatis
potensi banjir tetap besar,” katanya. Pendapat Solas menjadi masuk akal jika
kembali mengingat cerita orang-orang di Kampung Desel. Suatu kali Bu Roluh
bahkan sempat mengatakan, “kebanyakan orang perumahan itu mengira
banjir karena luapan sungai, padahal warga di wilayahnya justru menganggap
itu karena aktivitas pengurukan yang dilakukan oleh PT IPU.”
Bersamaan dengan itu, seorang tetangga Pak Limalas, Ibu Selikur, rutin
menelfon adiknya yang tinggal di Mangkang Wetan setiap kali Sungai Sihingas
di Perumahan Wahyu Utomo terlihat penuh. Bu Selikur ingin mengingatkan si
adik untuk bersiap-siap menaikkan barang-barang ke tempat lebih tinggi untuk
menghindari banjir. Bu Selikur sangat menyadari bahwa banjir memang tidak
hanya memengaruhi Perumahan Wahyu Utomo, tapi juga sekaligus daerah
yang lebih bawah lagi, Mangkang Wetan. Dengan kata lain, antara Kampung
Desel, Perumahan Wahyu Utomo, dan Mangkang Wetan saling berelasi dalam
jejaring aliran sungai di DAS Beringin.
Oleh karena masing-masing tempat tersebut saling berelasi, maka
perubahan ruang di satu lokasi memang bakal memengaruhi lokasi lainnya.
Cerita Kampung Desel-Perumahan Wahyu Utomo-Mangkang Wetan baru me-
representasikan hubungan antara perubahan sosiospasial di hulu dan momen
sosioalamiah di hilir yang terjadi di dua kecamatan: Tugu dan Ngaliyan. Di
daerah yang lebih tinggi/atas lagi yakni Kecamatan Mijen, rekonfigurasi ruang
juga terjadi begitu masif, terutama yang dikerjakan oleh perumahan elit BSB
sejak 2000-an.

312
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

VIII.4. Dari “atas”, perumahan elit BSB

Wilayah Kecamatan Mijen pernah diposisikan sebagai area hijau atau vegetasi
utama di Kota Semarang. Namun lambat laun posisi tersebut bergeser teruta-
ma sejak 1980-an. Tulisan ini menganggap pergeseran tersebut dimungkinkan
karena saat itu konsentrasi bisnis properti di pusat Kota Semarang makin
jenuh. Oleh karena itu, perlu berekspansi atau memperluasnya sampai ke dae-
rah yang lebih utara (reklamasi), barat, timur, dan selatan lagi. Dalam konteks
Kecamatan Mijen, perluasan ke selatan atau barat daya tersebut harus dila-
kukan dengan cara menebang kebun karet, mencaplok tanah-tanah subur,
dan/atau singkatnya, memakan area vegetasi. Salah satu perangkat yang
memfasilitasi perubahan sosiospasial tersebut ialah Perda Nomor 2 tahun
1990, yang memperkenankan kawasan perkebunan di Mijen beralih fungsi
menjadi permukiman.
Gayung bersambut, seorang pengusaha asal Semarang, Timotius D.
Harsono, melihat betul potensi pengembangan properti di selatan/barat daya
tersebut. Lantas pada 1996 ia pun mengajak seorang pengusaha besar di
Indonesia, Keluarga Korompis, berinvestasi di proyek pengembangan kota ba-
ru di Semarang.1 Proyek kota baru tersebut bernama Perumahan Bukit Sema-
rang Baru (BSB) yang akan dibangun di tanah seluas kurang lebih 1.000 hektar.
Sebanyak 750 hektar di antaranya merupakan areal perkebunan karet yang
masuk wilayah Kota Semarang, sisanya masuk administrasi Kabupaten
Kendal.2
Perkebunan karet yang akan dialihfungsikan tersebut punya riwayat yang
cukup panjang.3 Bermula sekitar 1920-an, saat perusahaan Inggris bernama
Pamanukan dan Tjiasem Lands (P&T Lands) membangun Perkebunan Kalimas
yang terdiri dari 5 (lima) Afdeling yakni Kalimas, Pesantren, Semak, Rember,
dan Trisobo. Total luas lahan perkebunan dengan komoditi tanaman kopi,
kakao, dan randu tersebut mencapai 1.018,79 hektar. Pada 1955 terjadi perge-
seran komoditi, perusahaan mulai aktif menanam karet. Tak lama berselang,
pada 1964, Pemerintah Indonesia menasionalisasi perkebunan P&T Lands,
kemudian menunjuk PPN Dwikora IV sebagai pengelola perkebunan tersebut.
Belum lama mengelola, pada 1971 muncul kebijakan untuk mengganti
pengelola kebun dari PPN Dwikora IV menjadi PP Subang. Satu tahun kemu-
dian, sebuah perusahaan patungan antara swasta nasional, swasta Inggris (The
_____
1 Lihat: https://dokumen.tips/documents/bsb5571f87349795991698d76ff.html, [diakses
pada 12 Agustus 2021].
2 Kompas, 15 November 1997, “Bukit Semarang Baru Gusur Kebun Karet”, hlm. 09.
3 Substansi perihal riwayat perkebunan karet disarikan dari: Indriyani (2008) Tinjauan
Yuridis Sengketa Penguasaan Lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Karyadeka Alam Lestari
oleh Masyarakat di Desa Trisobo Kabupaten Kendal (Tesis). Universitas Diponegoro.

313
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Anglo Indonesia Plantation), dan Pemerintah RI bernama PT Tatar Anyar Indo-


nesia mengakuisisi PP Subang, terhitung sejak 1972 sampai dengan 2002. Pada
1996, PT Tatar Anyar Indonesia dibeli oleh PT Greenvalley Indah Estate (GIE).
Sebelumnya pemegang saham terbesar GIE adalah Greenvalley Holding PLC &
General Investment PLC. Kepemilikan saham GIE kemudian diakuisisi oleh
perusahaan milik keluarga Korompis yakni PT Karyadeka Griya Semesta dan
PT Karyadeka Panca Murni. Selang satu tahun, PT Greenvalley Indah Estate pun
mengubah namanya menjadi PT Karyadeka Alam Lestari (PT KAL).

TANA.ff MILIIC
l"T. KAJtYADUlA AL.UI LHTAIU

DILARANG KERAS

Gambar VIII.13: Plang kepemilikan lahan PT KAL di dekat permukiman penduduk di


Desa Ngadirgo. Foto diambil pada September 2021.

Proses alih fungsi dari perkebunan karet menjadi permukiman yang dilakukan
PT KAL bukan tanpa perkara. Misalnya, pada kasus sengketa dengan petani di
Kabupaten Kendal. Bertahun-tahun warga Desa Trisobo, Kabupaten Kendal,
jengkel karena tanah warisan leluhurnya diakuisisi oleh pendatang yakni PT
KAL. Segala upaya sudah mereka tempuh untuk menguasai (kembali) tanah
leluhurnya. Termasuk dengan cara berbondong-bondong menduduki lahan PT
KAL pada 2000. Cara tersebut ditempuh karena, seperti kata sesepuh Pagu-
yuban Petani Ngaglik Trisobo, Badawi, warga menyadari bahwa mereka

314
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

“… tidak memiliki bukti apa pun kecuali sejarah Desa Trisobo. Oleh
karena itu, dari awal kami menolak penyelesaian sengketa ini lewat
pengadilan. Kami tahu, kami akan dikalahkan. Lagipula, kami sudah
tidak percaya pada lembaga peradilan saat ini.”1

Warga berkeyakinan, tanah tersebut secara turun-temurun memang milik


leluhur mereka. Kemudian disewakan Kepala Desa Trisobo bernama Roeslan
kepada Belanda dengan nilai sewa Rp500. Perusahaan Belanda tersebut ber-
nama N Tjiasem Land (PNT) dengan komoditas-komoditas utama perkebunan
kopi, cokelat, kakao, dan randu.2 Tanah yang dicaplok PT KAL tersebut memang
hanya sebagian kecil dari 1.000 hektar tanah yang dikuasai. Namun bagi warga
tanah tersebut tetap berharga, apalagi di situ pula warga menggarap per-
sawahan mereka.
Semula warga sempat berharap desa mereka bisa keluar dari keteriso-
lasian dan dapat meningkatkan perekonomian warga seiring dengan pemba-
ngunan perumahan elit BSB. Namun dalam realisasinya PT KAL mangkir dari
janji tersebut. Djarmaji, Kepala Desa Trisobo, menegaskan,

“… kontribusi PT KAL terhadap warga nyaris tidak ada. Hal ini terlihat
dari warga Trisobo yang dipekerjakan PT KAL, hanya 30 orang dari
2.300 penduduk atau sekitar 0,01 persen.”3

Perjuangan petani Trisobo dalam merebut kembali tanahnya sempat men-


dapat angin segar. Pemprov Jawa Tengah berjanji akan melakukan pengukur-
an ulang lahan yang sekarang diklaim dalam HGU PT KAL seluas 151 hektar. 4
Janji Pemrov tersebut tidak jelas berakhir seperti apa. Yang pasti, alih-alih angin
berhembus lebih segar, sang Kepala Desa Trisobo, Djarmaji, justru menuai
kepahitan karena sempat divonis 1,5 tahun atas tuduhan pencurian kayu.
Kasus bermula ketika Djarmaji menjabat sebagai Kepala Desa Trisobo dan
mengeluarkan surat pernyataan pengamanan empat batang kayu oleh desa.
Batang kayu tersebut dianggap bukan milik PT KAL, karena perkara itulah
Djarmaji dilaporkan ke polisi. Djarmaji ditahan sejak Desember 2008, sebelum
akhirnya MA memutuskan Djarmaji tidak bersalah pada September 2009.5
Sengketa juga berlaku di tanah PT KAL yang masuk wilayah administrasi
Kota Semarang. Bahkan Pemkot Semarang pernah menggugat PT KAL, Kepala
_____
1 Kompas, 11 Maret 2002, “Sejarah Melawan Selembar Kertas di Trisobo”, hlm. 25.
2 Kompas, 15 Juli 2002, “Warga Trisobo Datangi Gubernur, Minta HGU PT KAL Tak
Diperpanjang”, hlm. 25.
3 Kompas, 11 Maret 2002, “Sejarah Melawan Selembar Kertas di Trisobo”, hlm. 25.
4 Kompas, 08 November 2002, “Campur Sari: Pengembalian Tanah Trisobo”, hlm. 38.
5 Kompas, 17 Oktober 2009, “MA Nyatakan Petani Trisobo Tidak Bersalah”, hlm. 01.

315
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

BPN, Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Tengah, dan Kepala Kantor Pertanahan
Kota Semarang. Pemkot hendak mengambil-alih (dengan mengajukan ke BPN)
lahan 800 hektar di Mijen bekas HGU yang habis. Namun sebelum HGU habis,
BPN justru memperpanjang dan sekaligus mengonversi lahan tersebut men-
jadi HGB PT KAL dan menerbitkan HGB baru.1 Namun PT KAL tetap menang
dan melanjutkan proses pembangunan.
Sama seperti di Kendal, alih fungsi perkebunan karet menjadi permukim-
an juga menimbulkan dampak bagi masyarakat di Semarang. Salah satunya
ialah menghilangkan sumber pekerjaan 700 penyadap karet. Namun sejak
awal Pemkot Semarang langsung membantah terkait hal ini. Seperti yang
dinyatakan Kabag Humas Pemda Kodya Semarang, Dra Hartini Trisandi, “…
Mereka akan dialihkan bekerja di kawasan kota mandiri, namun sebelumnya
mereka akan dilatih untuk penyesuaian”.2
Publikasi Santoso (2005) juga menyatakan hal serupa. Sebelumnya
banyak penduduk di sekitar lokasi BSB yang bekerja sebagai penyadap karet
(35% di Kelurahan Pesantren, 33% di Kelurahan Ngadirgo, 16% di Kelurahan
Mijen, 10% di Kelurahan Kedungpane, 4% di Kelurahan Jatibarang, dan 2% di
Kelurahan Jatisari).3 Para penderes karet inilah yang mencemaskan adanya
konversi lahan, karena menyadap karet memang pekerjaan penting bagi
mereka untuk menggantungkan hidup. Apalagi belum jelas pula penyesuaian
apa yang sebenarnya dimaksud oleh Humas Kodya Semarang.
Selain penderes karet, profesi petani juga terancam akibat pembangunan
perumahan BSB. Hal tersebut dapat disimak dari, misalnya, data Kecamatan
Mijen 1999 dan 2011. Pada 1999, mata pencaharian masyarakat Mijen
didominasi petani dengan jumlah 37%. Pada 2011 jumlahnya berkurang
menjadi 16%. Merosotnya profesi petani berjalan beriringan dengan terjadinya
perubahan lahan sebesar 30% (937 ha) dari yang semula hutan ke industri,
hutan ke permukiman, sawah ke permukiman, dan tegalan ke permukiman.4
Publikasi Santoso (2005) juga menyingkap hal menarik lain. Sama seperti
kasus warga Trisobo, sebagian besar responden penelitian (82%) Santoso juga
sempat setuju bahwa di kemudian hari pembangunan BSB akan meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat setempat.5 Namun secara bersamaan,

_____
1 Kompas, 11 Juli 2003, “Pemkot Gugat PT KAL”, hlm. 18.
2 Kompas, 15 November 1997, “Bukit Semarang Baru Gusur Kebun Karet”, hlm. 09.
3 Santoso, Hardo Wibowo., op.cit, hlm. 72.
4 Adiana, Ratri Septi dan Bitta Pigawati (2015) Kajian Perkembangan Kecamatan Mijen
sebagai Dampak Pembangunan Bukit Semarang Baru (BSB City). Jurnal Teknik PWK 4(1):
66-77; hlm. 74-75.
5 Riset ini dikerjakan pada tahun 2005, belum begitu lama sejak BSB mulai beroperasi.
Karena itu menarik jika melakukan riset serupa pada saat ini, sekitar 20 tahunan sejak
beroperasi. Selengkapnya lihat: Santoso, Hardo Wibowo., op.cit, hlm. 80.

316
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

sebagian besar (82,1%) responden Santoso juga menyatakan bahwa ia/mereka


tidak mengetahui rencana dan tujuan pembangunan BSB. Dalam hal ini, besar
kemungkinan bahwa dalam proses pembangunannya perumahan BSB minim
melakukan sosialisasi atau bahkan memang tidak melibatkan warga setempat.
Pasalnya, keluhan serupa juga muncul dari warga Kelurahan Wonolopo, Pak
Zaenuri. Ia mengatakan

“… perlu adanya sosialisasi dari pihak BSB sendiri kepada masyara-


kat di sekitar Mijen mengenai rencana pembangunan jangka pan-
jang mereka terhadap pembangunan di sekitar Mijen.” 1

Perkataan Pak Zaenuri masuk akal. BSB terus membangun, yang terbaru ialah
pembangunan kompleks pendidikan milik Universitas Katolik (Unika) Soegija-
pranata (Lihat gambar VIII.14). Namun demikian, warga setempat tidak/kurang
terinformasikan untuk apa dan siapa pembangunan itu dikerjakan. Tidak
heran sejumlah 89,3% responden dalam publikasi Santoso (2005) juga menya-
takan bahwa pembangunan BSB kurang berpengaruh terhadap perkem-
bangan dan ketersediaan sarana prasarana.2 Bahkan hasil publikasi Sukarsa
dkk. (2014) lebih tegas menunjukkan bahwa pembangunan BSB ternyata tidak
banyak mengubah besarnya penghasilan warga setempat.3

_____
1 https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jtsp/article/downloadSuppFile/15171/2680,
[diakses pada 16 Agustus 2021].
2 Santoso, Hardo Wibowo (2005) Pengaruh Keberadaan Bukit Semarang Baru terhadap
Kondisi Sosial-Ekonomi-Fisik Sekitarnya Berdasarkan Persepsi Masyarakat Lokal (Tesis).
Universitas Diponegoro, 2005, hlm. 80.
3 Sukarsa, Rivian dan Iwan Rudiarto (2014) Pengaruh Pembangunan Bukit Semarang Baru
terhadap Sosial-Ekonomi Fisik Lingkungan Masyarakat Sekitarnya. Jurnal Teknik PWK 3(1):
209-219; hlm. 213-214.

317
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Gambar VIII.14: Perkebunan karet yang tersisa di tengah perumahan BSB akan beru-
bah fungsi menjadi kampus Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata.
Foto diambil pada September 2021.

Minimnya pengaruh positif bagi warga setempat akibat pembangunan BSB,


berbanding terbalik dengan pengaruh negatif. Sejumlah 65% responden di
publikasi Santoso sepakat bahwa alih fungsi lahan dari kebun karet menjadi
hunian telah mengurangi kenyamanan lingkungan tempat tinggal masyarakat.
Dua dampak yang dirasakan masyarakat ialah bertambah panasnya suhu
udara dan menurunnya air tanah pada sebagian tempat yang berdekatan
dengan lokasi BSB. Di Jatisari misalnya, penduduk merasakan air tanah
berkurang setelah adanya sumur artesis di perumahan BSB. Selain itu, jika
musim penghujan, kadang-kadang di sekitar permukiman warga juga muncul
genangan air.1 Hasil wawancara dengan warga Dukuh Sidodadi, Mijen, juga
demikian. Sejumlah 57,14% penduduk mengatakan bahwa pembangunan BSB
City berdampak pada udara yang semakin panas; 42,86% mengatakan ber-

_____
1 Santoso, Hardo Wibowo (2005) Pengaruh Keberadaan Bukit Semarang Baru terhadap
Kondisi Sosial-Ekonomi-Fisik Sekitarnya Berdasarkan Persepsi Masyarakat Lokal (Tesis).
Universitas Diponegoro, 2005, hlm. 86, 87, dan 94.

318
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

dampak pada macet dan bising; dan 9,52% mengatakan sumber air sumur ma-
kin berkurang.1
Fenomena muculnya genangan air di perkampungan dekat perumahan
baru merupakan satu hal yang semakin sering terjadi. Pola umum perumahan
baru seperti BSB adalah tidak mengintegrasikan dirinya dengan permukiman
sekitar, terutama pada aspek drainase.2 Keterpisahan inilah yang memung-
kinkan terjadinya banjir lokal dan sekaligus memicu ketimpangan. Dengan kata
lain, di satu sisi, ada perkampungan penduduk yang berkembang sudah sejak
lama namun kebanjiran. Di sisi lain ada perumahan baru yang justru tidak
kebanjiran karena memiliki sistem saluran air tertutup/privat.
Pola serupa nyaris berlaku di semua perumahan baru di DAS Beringin.
Sudah lebih dari satu dekade yang lalu Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah Jawa Tengah, Djoko Sutrisno, menyorot hal tersebut.
Menurutnya, di Kecamatan Ngaliyan saja, paling tidak ada 14 perumahan yang
tidak dilengkapi dengan penataan drainase yang baik. Sebagian besar juga
tidak menyisakan lahan untuk ruang terbuka, padahal perumahan tersebut
dibangun di daerah resapan air. Dalam perspektif Djoko Sutrisno, lahan
terbuka yang dimaksud bisa berupa sumur resapan di masing-masing rumah.3
Soal sumur resapan, ada satu model perhitungan yang ditawarkan Susilo
(2012). Menurutnya, setiap perubahan tata guna lahan seluas 1 hektar dari
lahan hijau ke permukiman, dibutuhkan paling tidak 135 sumur resapan. Lebih
detail lagi, setiap satu rumah tipe 75 memerlukan sebuah sumur resapan,
kapasitas serap 1 (satu) sumur resapan yang dimaksud ialah 0.000500
m3/detik. Sumur resapan disebut penting untuk mengontrol debit air yang
masuk ke sungai.4
Pada awal pengembangannya, perumahan BSB terbagi menjadi dua: BSB
Mijen (731 ha) dan BSB Jatisari (137 ha). 5 Jika ditotal maka dibutuhkan 870
hektar tanah yang beralih fungsi menjadi perumahan. Mengikuti logika
perhitungan Susilo (2012), maka perumahan BSB membutuhkan paling tidak
_____
1 Sukarsa, Rivian dan Iwan Rudiarto (2014) Pengaruh Pembangunan Bukit Semarang Baru
terhadap Sosial-Ekonomi Fisik Lingkungan Masyarakat Sekitarnya. Jurnal Teknik PWK 3(1):
209-219; hlm. 213-214.
2 Sukarsa, Rivian dan Iwan Rudiarto (2014) Pengaruh Pembangunan Bukit Semarang Baru
terhadap Sosial-Ekonomi Fisik Lingkungan Masyarakat Sekitarnya. Jurnal Teknik PWK 3(1):
209-219.
3 Kompas, 02 Februari 2005, “Banjir Sungai Beringin akibat Perumahan Tak Taati Aturan”,
hlm. 1.
4 Susilo, Edy dan Bambang Sudarmanto (2012) Kajian Hidrologi terhadap Perubahan
Penggunaan Lahan Pertanian dan Lahan Hijau menjadi permukiman di Kota Semarang.
Jurnal Riptek 6(1): 1-9.
5 Santoso, Hardo Wibowo (2005) Pengaruh Keberadaan Bukit Semarang Baru terhadap
Kondisi Sosial-Ekonomi-Fisik Sekitarnya Berdasarkan Persepsi Masyarakat Lokal (Tesis).
Universitas Diponegoro, 2005, hlm. 69.

319
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

117.450 titik sumur dengan kapasitas serap mencapai 58,725 m3/detik. Tentu
saja, sangat memungkinkan jika sebelum dibongkar proyek perumahan BSB,
kapasitas serap tanah di lahan 870 hektar tersebut jauh lebih besar lagi. Sekian
besar air yang harusnya terserap itulah yang pada akhirnya masuk ke sungai,
melimpas deras ke daerah yang lebih hilir, dan menjadi banjir.
Sejak awal, sebenarnya Pemkot Semarang sudah mensinyalir keberadaan
BSB sebagai salah satu penyebab banjir. Wali Kota Semarang saat itu, Sukawi
Sutarip misalnya, pernah punya niatan untuk meninjau ulang HGU PT KAL
seluas 1.100 hektar. Selain itu, Pemkot pun menilai PT KAL tidak pernah
melaporkan perkembangan pembukaan lahan dan langkah yang dilakukan
untuk mencegah banjir atau longsor.1 Namun sejak awal pula, PT KAL selalu
membantah. Seperti yang pernah dinyatakan Ketua Divisi Teknik PT KAL, Adi
Purwanto,

“… sebelum BSB dibangun, Kelurahan Mangkang sudah tertimpa


banjir seperti yang terjadi pada 1990. Mengenai banjir lumpur
kemarin, mungkin kita juga ikut bersalah, tapi kesalahan bukan
semata-semata berada di pihak kita.”2

Di lain kesempatan, mereka bahkan pernah tidak hanya menyangkal, namun


berusaha mengelak atau lari dengan mengatakan telah membangun sistem
penanggulangan banjir dan longsor, salah satunya dengan membangun danau
resapan seluas 6,2 hektar.3 Karena membangun danau, mereka merasa
tanggungjawabnya soal perubahan lingkungan selesai. Dalam rangka menam-
bah situasi keamanan di Mijen, BSB juga menghibahkan 1 hektar lahan untuk
pihak kepolisian. Menurut Direktur Utama PT KAL, Didi F Korompis, bangunan
tersebut merupakan bagian dari fasilitas umum BSB. Diperkirakan, pem-
bangunan tersebut akan menghabiskan dana Rp3 miliar. 4 Karena membangun
fasilitas umum, mereka pun merasa selesai dengan tanggungjawab sosialnya.
Sudah sejak lama pula para akademisi melihat bahwa banjir di sepanjang
DAS Beringin kuat kaitannya dengan pembangunan perumahan di kawasan
Ngaliyan dan Mijen. Dalam hal ini, termasuk BSB yang punya areal terluas di
antara perumahan-perumahan di sekitarnya. Pembangunan BSB telah meng-
ubah lahan-lahan yang semula merupakan kawasan tangkapan air. Oleh ka-
rena kawasan tangkapan air tersebut hilang, akhirnya limpasan air ke DAS

_____
1 Kompas, 08 Februari 2002, “Perumahan BSB Bantah Penyebab Banjir Semarang”, hlm. 26.
2 Kompas, 08 Februari 2002, “Perumahan BSB Bantah Penyebab Banjir Semarang”, hlm. 26.
3 Kompas, 08 Februari 2002, “Perumahan BSB Bantah Penyebab Banjir Semarang”, hlm. 26.
4 Kompas, 21 Februari 2004, “Campur Sari: Pengembang Bangun Markas Polres”, hlm. 18.

320
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

menjadi lebih banyak dibanding sebelumnya.1 Soal ini pun PT KAL berkelit.
Menurutnya, perubahan peruntukan wilayah di Kecamatan Mijen dari lahan
perkebunan menjadi kawasan industri dan perumahan merupakan langkah
yang tak bisa dihindari. Hal itu dimungkinkan karena berdasarkan peta zona
konservasi air, wilayah Mijen berada pada zona biru yang bukan merupakan
daerah resapan utama di wilayah Semarang.2
Akademisi lain, Dr. Robert J Kodoatie, menyebut pula bahwa kontribusi
terbesar penyebab banjir Kali Beringin adalah karena banyak lahan resapan
yang berubah fungsi. Misalnya, berubah menjadi pabrik, perumahan baru,
kampung baru, peternakan ayam, dan bangunan penjara. Bersamaan dengan
itu, pengurangan sawah, tegalan, pembabatan hutan karet, gunung dikepras,
hutan digunduli juga terjadi sangat cepat. 3 Kodoatie memang tidak menunjuk
hidung, namun mudah disisir bahwa salah satu pihak yang berkontribusi besar
dalam banjir di DAS Beringin adalah PT KAL sebagai pengembang perumahan
BSB. Meski dalam perkembangannya, PT KAL tidak berdiri sendiri dalam
mengelola tanah kurang lebih 1.000 hektar tersebut.

_____
1 Sudianto, Barnabas Untung (2006) Bahaya Banjir di Kawasan DAS Beringin dan Rob di
Mangunharjo. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah 4(2): 69-75; hlm. 69-70.
2 Lisdiyono, Edy (2008) Legislasi Penataan Ruang: Studi tentang Pergeseran Kebijakan
Hukum Tata Ruang dalam Regulasi Daerah di Kota Semarang (Disertasi). Universitas
Diponegoro.
3 Kompas, 17 Desember 2003, “Banjir Besar Bisa Terjadi di DAS Beringin”, hlm. 18.

321
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Danau di Peruma han BSB

Gambar VIII.15: Danau BSB dilihat dari tempat aliran Sungai Beringin mengalir dan
kemudian dibendung. Selama pandemi, Danau BSB hanya dapat dikun-
jungi oleh penghuni perumahan BSB. Foto diambil pada September
2021.

Pada 2012, PT KAL menjalin kerjasama dengan salah satu “gurita” dalam bisnis
properti di Indonesia: Ciputra Group.1 Penandatanganan kerjasama antara PT
KAL dengan PT Ciputra Graha Mitra berlangsung di kediaman Dr. (HC). Ir.
Ciputra. Dalam acara tersebut, turut hadir orang pertama yang membawa ide
pengembangan kota baru (BSB) di Mijen, Timotius D. Harsono. Ia tampil
sebagai komisaris PT KAL, mendampingi Direktur PT KAL dari keluarga
Korompis yakni Didi Korompis. Proyek kerjasama tersebut bernama Citraland
BSB City—kawasan perumahan seluas 100 hektar berkonsep perumahan
hijau. Menurut Didi Korompis, Citraland BSB City disebut perumahan hijau

_____
1 https://www.ciputra.com/id/penandatangan-kerjasama-pt-ciputra-graha-mitra-dengan-
pt-karyadeka-alam-lestari-2/, [diakses 25 Agustus 2021].

322
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

karena “mempunyai dua buah danau yang nantinya akan berfungsi sebagai
tempat rekreasi dan juga oase dari kehidupan kota yang sibuk.”1
Pembangunan kolam retensi atau danau di dalam kompleks perumahan
BSB memang bukan ditujukkan sebagai serapan air, melainkan tempat
rekreasi. Lagi pula, seperti yang dikatakan Kepala Dinas Pekerjaan Umum
Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Jawa Tengah, Prasetyo
Budie Yuwono, dua embung atau kolam retensi sebagai pengganti serapan air
tidaklah cukup. Terutama mengingat luasan kawasan terbuka yang telah
dialihfungsikan BSB. “Sejak rencana pembangunan BSB, saya sudah meminta
membuat minimal tiga kolam retensi. Tapi realisasinya hanya satu,” tambah
Prasetyo.2
Dengan begitu, jika memang pemerintah sudah sejak lama mensinyalir
kontribusi perumahan BSB dalam momen banjir di DAS Beringin, maka kini
ada dua pihak yang perlu ditunjuk yakni PT KAL dan Ciputra. Mereka inilah
yang meraup untung dari penjualan rumah berkonsep “hijau,” di tengah
kondisi orang-orang Mangkang Wetan dan Mangunharjo yang terus dirugikan
karena nyaris setiap tahun diterjang banjir kiriman.

VIII.5. Ekologi-politis urbanisasi DAS Beringin

Suatu kali, PT KAL pernah melakukan survey ke 750 orang dengan tingkat sosial
ekonomi cukup mapan tentang urutan kawasan hunian paling ideal. Hasilnya
adalah Semarang Selatan (42%), Semarang Barat (32%), Semarang Tengah
(20%), Semarang Timur (3%), dan terakhir Semarang Utara (3%). Survey
tersebut tayang di koran Kompas dengan judul rubrik “Korporatorial”. 3 Di
dalamnya disebut pula bahwa kualitas lingkungan di Semarang Selatan dan
Barat Daya (termasuk BSB) memang lebih baik. Pasalnya, wilayah tersebut
memiliki udara lebih sejuk, kebisingan lebih rendah, bebas banjir, bebas
longsor, dan tanahnya stabil. Intinya, berbagai masalah lingkungan yang kerap
dihadapi daerah Semarang Bawah seperti banjir, rob, polusi, tidak ada di
Perumahan BSB.

_____
1 Lihat: https://www.ciputra.com/en/citraland-bsb-city-hadir-di-semarang/, [diakses 25
Agustus 2021[.
2 Dalam catatan kami, belakangan bertambah menjadi dua embung/danau. Lihat: Jawa Pos,
28 Juni 2017. “Kolam Retensi Perlu Diperbanyak”.
3 Kompas, 29 Oktober 2009, “Bukit Semarang Baru: Investasi Properti di Kota Perbukitan,
Korporatorial Properti”, hlm. 2009.

323
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Kondisi rumah-rumah di BSB tercermin dari, misalnya, rumah mantan


Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Ircham Abdurrahim. 1 Rumah megah Ircham
bercorak Eropa-Jawa, terletak di Blok A Nomor 12 A, Bukit Semarang Baru Puri
Arga Golf. Rumah mewah seharga Rp2 miliar itu berdiri di atas tanah 1.100
meter persegi. Tidak sembarang orang bisa masuk ke komplek rumahnya,
semua harus melalui pemeriksaan ketat terlebih dahulu. Halaman rumahnya
yang luas dihiasi rumput Jepang yang terhampar bak permadani, dilengkapi
dengan aneka tanaman hias, dan dua buah sangkar besar tempat mengurung
dua ekor ayam bekisar.
Gambaran rumah di BSB tersebut timpang dengan kondisi rumah di
Perumahan Wahyu Utomo. Meski sama-sama perumahan dan karena itu
bukan perkampungan yang tumbuh sendiri tanpa perencanaan modern,
rumah-rumah di Wahyu Utomo relatif lebih kecil. Bahkan di Perumahan Wahyu
Utomo, seperti yang diwakilkan rumah Solas misalnya, masih ditemukan
rumah yang tingginya tidak lebih dari empat meter. Luas rumah Solas tidak
besar, pun tidak ada rumput-rumput Jepang sebagai penghias halaman dan
teras. Rumah Solas justru tanpa pagar dan terletak di bidang tanah yang relatif
rendah, sehingga risiko banjir pun tergolong tinggi.
Walau demikian, kondisi rumah-rumah di Perumahan Wahyu Utomo
sebenarnya masih lebih baik dibanding rumah-rumah di Mangkang Wetan dan
Mangunharjo. Sebagian besar (tidak semua) rumah-rumah di Mangkang
Wetan dan Mangunharjo, terutama yang makin dekat dengan laut, kini
kondisinya makin memprihatinkan. Banyak rumah yang ambles, tanpa pagar,
dan tanpa teras rerumputan hijau (Lihat Gambar VIII.16). Bagi warga dengan
ekonomi lumayan, mereka dapat meninggikan dan memperkuat pondasi
rumah mereka ketika tanah di rumahnya makin amblas. Namun bagi warga
yang untuk mencukupi kehidupan sehari-hari saja sudah sulit, upaya untuk
meninggikan rumah hanya menjadi angan-angan belaka.

_____
1 Ircham Abdurrahim pernah tersangkut kasus korupsi APBD Jawa Tengah senilai Rp10,8
miliar. Lihat: Koran Tempo, Februari 2005, “Rumah Megah di Atas Bukit”.

324
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Gambar VIII.16: Salah satu potret rumah ambles di Mangkang Wetan. Terlihat jendela
sudah sejajar dengan tanah. Sumber: Data GroundUp 2021.

Dengan kondisi demikian, rumah-rumah (tidak semua) di Perumahan Wahyu


Utomo mungkin masih termasuk “hunian ideal” dalam kerangka survey yang
dilakukan PT KAL. Apalagi posisi perumahan ini memang terletak di Semarang
bagian selatan dan relatif jarang punya masalah lingkungan seperti banjir. Tapi
lain lagi dengan rumah-rumah di Mangkang Wetan dan Mangunharjo. Kedua
daerah ini terletak di Semarang bagian utara dan bahkan sangat sering
mengalami dua momen sosioalamiah sekaligus: abrasi dan banjir kiriman.
Persoalannya, momen sosioalamiah tersebut tidak dapat dilepaskan dari kon-
teks momen sosiospasial yang terjadi di DAS Beringin dalam kurun waktu lebih
dari 30 tahun terakhir.
Momen sosiospasial tersebut ditandai dengan beberapa hal. Pertama,
rekonfigurasi ruang besar-besaran di DAS Beringin paling atas, Mijen, berupa
pembabatan perkebunan karet untuk dijadikan permukiman elit BSB. Kedua,
perubahan peruntukan lahan di DAS Beringin bagian tengah, Ngaliyan, berupa
pengeprasan bukit dan pengurukan sungai di sekitar Kampung Desel untuk ke-
pentingan pembangunan KIC. Ketiga, masih di DAS Beringin bagian tengah,
terjadi rekonfigurasi ruang cukup masif dari lahan terbuka menjadi peru-
mahan pada rentang 1970-1990-an, di antaranya Perumahan Wahyu Utomo.

325
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Keempat, perubahan ruang di DAS Beringin bagian bawah berupa pemba-


ngunan industri di Kecamatan Tugu, reklamasi, dan pengurukan pesisir pantai
Kendal-Semarang untuk pembangunan pabrik pengolahan kayu.
Keempat momen sosiospasial itu telah merekonfigurasi ruang di DAS
Beringin hingga berwujud seperti saat ini. Perubahan sosiospasial di DAS
Beringin tersebut berjalan beriringan dan/atau memicu terjadinya perubahan
relasi manusia dengan air (relasi sosioalamiah)—yang dalam hal ini berupa
banjir kiriman dan abrasi. Contohnya, khusus momen sosiospasial kedua, hal
itu terjadi beriringan dengan terjadinya momen banjir di Perumahan Wahyu
Utomo pada 2017. Sementara untuk momen sosiospasial pertama, kedua,
ketiga, dan keempat, berjalan beriringan dengan naiknya limpasan air ke Sungai
Beringin; pencemaran sungai; dan abrasi pantai. Meningkatnya debit Sungai
Beringin berarti banjir di daerah yang lebih hilirnya yakni Mangkang Wetan dan
Mangunharjo.
Banjir di DAS Beringin, terutama yang menimpa daerah Mangkang Wetan
dan Mangunharjo, nyaris terus berulang setiap tahun. Momen banjir terakhir
terjadi pada Februari 2021.1 Upaya penanggulangan banjir di DAS Beringin pun
tidak banyak berubah, bahkan seolah hanya mengulang kesalahan pada masa
lalu. Sebab, pada 2000-an, pemerintah sudah mencoba untuk menanggulangi
banjir dengan cara normalisasi Sungai Beringin. Sejak awal, seperti yang
dinyatakan Bawor Tandiono dari LBH Semarang, “… Normalisasi … di Sungai
Beringin, Semarang, hanya menjadi ajang proyek dari berbagai instansi.”2
Bawor menambahkan, proyek semacam itu (normalisasi) acap kali hanya
cepat dilakukan di daerah-daerah yang menjadi tempat tinggal pejabat ter-
tentu. Kasus di Mangkang Selatan misalnya. Pada awal 2002, daerah tersebut
dilanda banjir akibat luapan Sungai Beringin. Di Mangkang Selatan terdapat
kediaman seorang wakil ketua DPRD Kota Semarang. Alhasil kejadian banjir di
sana langsung mendapat respon. Proyek normalisasi dan pembangunan dam
segera dilakukan. Namun tahun berikutnya, daerah tersebut tetap banjir. 3

_____
1 Purbaya, Angling Adhitiya, “Diguyur Hujan Lebat, Jalur Pantura Semarang Banjir”, diakses
pada 18 September 2021 dari https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5363549/
diguyur-hujan-lebat-jalur-pantura-semarang-banjir.
2 Kompas, 30 Januari 2003, “Upaya Penanggulangan Banjir di Semarang Tidak Efektif,
Kegiatan yang Dilakukan hanya Berorientasi Proyek”. Hlm. 25.
3 Kompas, 30 Januari 2003, “Upaya Penanggulangan Banjir di Semarang Tidak Efektif,
Kegiatan yang Dilakukan hanya Berorientasi Proyek”. Hlm. 25.

326
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

.........
PfHGENOA.I..IAN 8A/rlJll'I IUNGAl l!IR!HGIJrf

l ll!trW,r.U,A,POIUlbl<,~lkdJ~lrfltSl..... beo.")t..._
•~2-111no1.P01....-..n11.,,,,.._,....s~
clll'IMO.,,.,.l'lftldl,._~
lei @ jt

=
l llaltl,.. airvllr.bu•,.....UP,9 . . ddobl,~
AREA BERBAHAYA
4 6eot<)IMIUl<llFOM<hlf_,

YANG TlDAK BERKEPENTINGAN


DILARANG MASUK

Gambar VIII.17: Papan pemberitahuan di sekitar proyek normalisasi Sungai Beringin di


daerah Mangkang Wetan. Foto diambil pada September 2021.

Pada 2021 upaya yang dilakukan pemerintah pun tidak berubah. Proyek nor-
malisasi Sungai Beringin kembali mencuat ke permukaan. Dalam proyek kali
ini, Pemerintah Kota Semarang bertugas untuk membebaskan lahan pendu-
duk yang terkena proyek, luasnya mencapai 18 hektar. Sementara untuk pelak-
sana proyeknya dipegang oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-
Juana. Adapun alokasi dana yang dibutuhkan untuk proyek normalisasi Sungai
Beringin tersebut mencapai Rp450 miliar. Rencananya, setelah dinormalisasi,
lebar Kali Beringin akan mencapai 33 meter. Jumlah tersebut terdiri dari 20
meter badan sungai, sisanya untuk jalan inspeksi, dan sempadan sungai. 1
Kepala DPU Kota Semarang, Sih Rianung, dengan yakin pernah mengata-
kan bahwa, “… Solusi untuk peristiwa banjir tahunan di DAS Beringin ialah
dengan pembebasan lahan.”2 Perkaranya, pembebasan lahan untuk kepenti-
ngan proyek normalisasi pun bukan tanpa persoalan. Seorang warga Mang-
kang Wetan, Amin, mengatakan bahwa pengukuran lahan warga yang terkena
proyek sudah dilakukan. Namun sampai sekarang belum ada kejelasan soal
ganti rugi. Padahal dalam ingatan Amin, proyek normalisasi Sungai Beringin
_____
1 Lihat: (1) Jawa Pos, 07 Februari 2020, “Perlu Secepatnya Normalisasi DAS Beringin”; dan
(2) Suara Merdeka, 24 Agustus 2020, “Dewan Minta Pembebasan Lahan Dipercepat”.
2 Jawa Pos, 07 Februari 2020, “Perlu Secepatnya Normalisasi DAS Beringin”.

327
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

sudah dimulai sejak 2020. Rumah Amin rencananya akan turut tergusur untuk
kepentingan pembangunan jalan inspeksi di samping badan sungai.1

Gambar VIII.18: Salah satu sisi tanggul Sungai Beringin dalam proyek normalisasi. Foto
diambil September 2021.

Pemasangan tiang pancang untuk sisi tanggul pun sudah lama dilakukan (lihat
Gambar VIII.18), termasuk yang berada di samping rumahnya. Amin punya
cerita tersendiri soal pemasangan tiang pancang untuk tanggul sungai. Jarak
rumah Amin dengan lokasi tiang pancang hanya kurang dari dua meter. Proses
pemasangan tiang pancang selalu menimbulkan getaran yang cukup kuat.
Oleh karena dilakukan secara terus-menerus, getaran tersebut pun akhirnya
membuat salah satu bagian rumahnya miring, bahkan nyaris rubuh. Amin
tidak tinggal diam. Dia sempat memprotes kejadian tersebut kepada pihak RT,
RW, kelurahan, hingga pihak pelaksana proyek. Nahasnya, alih-alih mendapat
pertanggungjawaban yang memadai, Amin hanya diberi beberapa bambu
berukuran besar untuk menahan dinding rumahnya agar tidak roboh.
Lagi-lagi, sama seperti proyek normalisasi pada 2000-an, cerita Amin me-
nunjukkan bahwa solusi normalisasi sungai tahun 2021 yang dilakukan peme-
rintah membawa dua konsekuensi. Pertama, (solusi) pemerintah tersebut jus-

_____
1 Wawancara dengan Amin berlangsung di Mangkang Wetan pada September 2021.

328
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

tru kembali mengorbankan warga di hilir DAS Beringin. Padahal Amin dan
warga Mangkang Wetan serta Mangunharjo lainnya sudah menderita akibat
banjir kiriman. Kedua, (solusi) pemerintah tersebut justru dapat menghilang-
kan peran serta aktor-aktor yang mendulang keuntungan dari proses rekon-
figurasi ruang di DAS Beringin. Oleh karena itu, persis di sini pula hukum
pembangunan yang timpang, yang setiap hari beroperasi memproduksi atau
memperlebar ketimpangan tetap bekerja: bahwa justru orang yang menderita-
lah yang diminta berkorban untuk menanggulangi banjir di DAS Beringin.
Sementara pihak-pihak di hulu seperti PT KAL, Ciputra Group, atau PT IPU
seolah dianggap tidak berkontribusi dalam produksi momen banjir di DAS
Beringin. Padahal jelas, perubahan sosiospasial yang mereka (pengembang
perumahan, pengembang kawasan industri) lakukan di hulu berjalan beriri-
ngan dengan momen banjir (sosioalamiah) di hilir DAS Beringin.

VIII.6. Kesimpulan

Momen sosiospasial, sosioalamiah, dan ketimpangan terjadi begitu gamblang


di DAS Beringin. Di DAS Beringin bagian “atas”, terjadi perubahan sosiospasial
dalam bentuk pembabatan perkebunan karet untuk kepentingan pembangun-
an perumahan elit BSB seluas 1.000 hektar. Bersamaan dengan itu, limpasan
air ke sungai-sungai di DAS Beringin juga makin meningkat yang pada akhirnya
menjadi banjir (momen sosioalamiah) di Mangkang Wetan dan Mangunharjo.
Momen sosiospasial yang berpilin dengan momen sosioalamiah di “atas” DAS
Beringin tersebut berlangsung secara timpang. Di satu sisi ada PT KAL (Keluar-
ga Korompis) dan Ciputra Group (Ciputra) yang meraup untung dari penjualan
rumah-rumah mewah di BSB. Di sisi lain, ada banyak pihak yang dirugikan
seperti (1) petani Trisobo yang lahan turun-temurunnya dicaplok PT KAL untuk
perumahan BSB; dan (2) penyadap karet di Mijen yang kehilangan mata pen-
cahariannya akibat alihfungsi perkebunan karet menjadi permukiman. Belaka-
ngan, pengembang BSB juga meraup untung dengan cara menyediakan lahan
cukup luas untuk pembangunan kampus Unika Soegijapranata Semarang.1
Bergeser ke DAS Beringin bagian “tengah”, ada rekonfigurasi ruang yang
dilakukan PT IPU berupa pemaprasan bukit, pembendungan aliran sungai,
serta pengurukan untuk kepentingan perluasan Kawasan Industri Candi di
_____
1 Sebenarnya tren keberadaan kampus di lahan-lahan yang semula merupakan daerah
resapan merupakan topik menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Buku ini mencatat paling
tidak tiga nama kampus yang sudah dan/atau akan melakukan hal itu yakni Universitas
Negeri Semarang (DAS Garang), Universitas Diponegoro (DAS Babon), dan Unika
Soegijapranata (DAS Beringin). Paparan dari tiga DAS dalam buku ini dapat menjadi umpan
awal mengenai topik riset tersebut.

329
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

sekitar Kampung Desel. Proses rekonfigurasi tersebut terjadi beriringan de-


ngan momen banjir di Perumahan Wahyu Utomo pada 2017 silam. Karena itu,
rekonfigurasi ruang yang dilakukan PT IPU di “tengah” DAS Beringin juga
berlangsung secara timpang. PT IPU untung karena dapat terus memperluas
kawasan industri yang itu berarti memperluas ceruk keuntungan dari bisnis
penyewaan/jual-beli lahan untuk pabrik. Sementara sebagian warga Kampung
Desel merugi karena lahan garapannya terancam diuruk PT IPU. Begitupula
dengan warga Perumahan Wahyu Utomo, mereka justru rugi karena jadi
mengalami banjir bandang yang diakibatkan jebolnya embung milik PT IPU.
Sementara di DAS Beringin bagian “bawah”, sebuah perusahaan (PT KLI)
mengubah ruang di pesisir Semarang-Kendal dengan cara menguruk laut
(reklamasi) dan membelokan sungai untuk kepentingan pembangunan pabrik
pengolahan kayu. Perubahan ruang tersebut menimbulkan perubahan arus
laut yang pada ujungnya menyebabkan abrasi (momen sosioalamiah) di sisi
kiri dan kanan pabrik tersebut. Pada mulanya abrasi menenggelamkan pantai,
lambat laun makin berkembang hingga menenggelamkan tambak-tambak
milik warga Mangunharjo dan Mangkang Wetan. Rekonfigurasi ruang di bagian
“bawah” DAS Beringin juga timpang. Di satu sisi ada keluarga Sutanto (PT KLI)
yang untung karena dapat menjual aneka olahan kayu dari pabrik yang
dibangun dengan cara reklamasi. Di sisi lain ada petambak dan nelayan
Mangunharjo dan Mangkang Wetan yang dirugikan karena aktivitas pabrik
telah merusak dan kemudian menenggelamkan tambak-tambak mereka.
Yang paling diuntungkan dari proses urbanisasi di DAS Beringin tentu saja
para pemodal besar (PT KAL, Ciputra Group, PT IPU, PT KLI). Pasalnya, dari
rekonfigurasi ruang itulah mereka dapat mendulang kekayaan. Sementara
yang paling dirugikan tetap saja rakyat kebanyakan di Mangkang Wetan dan
Mangunharjo. Rekonfigurasi ruang di DAS Beringin bagian “atas” dan “tengah”
telah memperbesar debit air yang masuk ke sungai. Membesarnya debit air
sungai, bagi warga Mangkang Wetan dan Mangunharjo, berarti makin intens
dan makin membesarnya banjir di permukiman mereka. Bersamaan dengan
itu, rekonfigurasi ruang di DAS Beringin bagian “bawah” juga jelas berisiko
menenggelamkan wilayah mereka. Dengan kata lain, warga Mangkang Wetan
dan Mangunharjo dijepit proses urbanisasi di DAS Beringin: dari atas dihajar
banjir, dari bawah dihajar abrasi.
Nahasnya, derita warga Mangkang Wetan dan Mangunharjo tidak
berhenti sampai di situ. Dalam rangka menanggulangi banjir di DAS Beringin,
pilihan solusi yang ditempuh pemerintah lagi-lagi hanya berkutat pada hal-hal
teknis seperti pembuatan infrastruktur skala besar berupa pelebaran sungai
(normalisasi). Padahal momen sosioalamiah di DAS Beringin berupa banjir di
hilir, tidak mungkin terjadi tanpa berhubungan dengan proses perubahan
sosiospasial di hulu. Tapi tetap saja, solusi pemerintah yang muncul adalah

330
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

solusi yang memaksa orang-orang Mangkang Wetan dan Mangunharjo untuk


berkorban tanah, rumah, demi kelancaran proyek normalisasi Sungai Beringin.
Itu berarti, derita warga Mangkang Wetan dan Mangunharjo memang berlipat-
lipat, karena sudah terjepit, mereka masih saja diminta untuk berkorban.
Kondisi demikian makin memperjelas posisi pemerintah dalam proses
urbanisasi di DAS Beringin. Pemerintah (kota dan provinsi) tidak pernah tidak
hadir, mereka bahkan mungkin selalu hadir, berkontribusi, dalam bentuk,
misalnya, penyediaan instrumen hukum dan pembiaran atas kerusakan yang
terjadi. Dengan kata lain, pemerintah ikut memfasilitasi proses perubahan
sosiospasial (kali, kampung, kebun) di DAS Beringin; pemerintah ikut berkon-
tribusi memproduksi perubahan sosioalamiah seperti banjir; dan karena itu,
sebenarnya pemerintah ikut pula memfasilitasi beroperasinya ketimpangan.

331
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

332
BAB IX
Re-visualisasi

Kami melakukan berbagai percobaan re-visualisasi data urbanisasi-banjir di


Semarang melalui infografis. Didistribusikan terutama melalui 3 paltform
media sosial (twitter, Instagram, dan whatsapp). Kami tidak akan menampilkan-
nya secara lengkap di sini. Yang di bawah ini adalah satu contoh dari lembaran-
sampul salah satu serial infografis itu. Kumpulan revisualisasi itu dapat disimak
di akun Instagram: @banjirsemarang21. Bagi siapa saja yang mau mengguna-
kan materi-materi yang ada dalam buku ini untuk bahan visualisasi, kami per-
silakan, sepanjang sumbernya disebutkan.

333
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

1
Bagian 1
Evolusi Penggunaan
Ruang di DAS-DAS
Semarang 1973-2020
Unduh: bit.lyIEvolusi_DAS_ di_ Semarang

C)@banJlr..semarang @) @banJlrsematw1g • bltly/llenjlrSefflll'lll!ILur

Gambar IX.1: Contoh revisualisasi.

334
BAB X
Laporan

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua donatur yang telah berkontri-
busi dalam mewujudkan proyek penyusunan buku ini. Penggalangan dana
untuk penyusunan buku ini dikoordinasikan di platform on-line, Kitabisa.com
(Website: https://kitabisa.com/campaign/semarangbanjir). Selain dana publik
yang dimobilisasi lewat Kitabisa.com, proyek ini mendapatkan dukungan dari
berbagai kelompok. Yaitu: Rujak Centre for Urban Studies, UNDP Accelerator
Lab, Ground Up (satu konsorsium penelitian dengan anggota: IHE-Delft
Institute for Water Education, University of Amsterdam, UGM, Undip, Koalisi
Rakyat untuk Hak atas Air/KRuHA, dan Amarta Institute for Water Literacy).
Tabel 1 berikut adalah komposisi dana yang kami galang dan penggunaannya
sampai dengan 09 Desember 2021.

335
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Tabel X.1: Pembukuan uang masuk dan uang keluar selama 2021.

Masuk Keluar
Bulan Tanggal Keterangan
[Rp] [Rp]

Juli 1 6,497,500 Kitabisa


5 10,000,000 Rujak Centre for Urban
Studies
5 12,000,000 Honorarium 1 bulan untuk
4 orang periset
5 19,500 Biaya transfer
5 20,987 Beli Prisma 1
5 60,300 Beli Prisma 2
5 54,200 Beli buku DAS Garang Hulu
5 2,000,000 Arsip KOMPAS
Agustus 3 32,993,500 Ground Up I
3 24,000,000 Honorarium 2 bulan untuk
4 orang periset
3 19,500 biaya transfer
12 895,500 Kitabisa
September 14 194,400 Beli buku di Tokopedia
25 141,600 Beli buku di Tokopedia
Oktober 1 12,000,000 Honorarium 1 bulan untuk
4 orang periset
1 19,500 Biaya transfer
1 500,000 Sisa honorarium dari UNDP
(via Bagas)
14 33,000,000 Ground Up II
22 1,000,000 Sisa honorarium dari UNDP
(via Bagas)
November 3 24,000,000 Honorarium 2 bulan untuk
4 orang periset
3 19,500 biaya transfer
3 245,000 Arsip Suara Merdeka (Eka)
3 6,500 Biaya transfer
3 229,000 Arsip Suara Merdeka
(Sukron)
3 6,500 Biaya transfer

336
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

7 5,000,000 Honorarium Editor Ahli


(Wijanto H)
7 6,500 Biaya transfer
7 2,945,487 Reimbursement dari UvA
(Bosman)
12 14,650,000 Ground Up III
16 1,000,000 Honorarium disainer
sampul (Errik Irwan)
17 6,500 Biaya transfer
17 59,000 Fieldwork (Bagas) -
Konsumsi 1
17 4,000 Fieldwork (Bagas) -
Konsumsi 2
17 75,000 Fieldwork (Bagas) - Pulsa
17 180,000 Fieldwork (Bagas) - Tiket
Bandung-Semarang, 10
September 2021
17 6,500 Biaya transfer
17 137,500 Fieldwork (Umi) - Internet
17 20,000 Fieldwork (Umi) - Konsumsi
1
17 40,000 Fieldwork (Umi) - Konsumsi
2
17 200,374 Fieldwork (Umi) - Tiket 1
Jakarta-Semarang, 16
Agustus 2021
17 200,113 Fieldwork (Umi) - Tiket 2
Semarang-Jakarta, 24
Agustus 2021
17 200,688 Fieldwork (Umi) - Tiket 3
Jakarta-Semarang, 13
September 2021
17 193,307 Fieldwork (Umi) - Tiket 4
Semarang-Jakarta, 23
September 2021
17 79,500 Fieldwork (Eka) - Konsumsi
1
17 29,400 Fieldwork (Eka) - Konsumsi
2
17 25,000 Fieldwork (Eka) - Konsumsi
3
17 3,500 Fieldwork (Eka) -
Transportasi

337
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

17 100,000 Fieldwork (Eka) - Pulsa


17 6,500 Biaya transfer
17 2,000,000 Bagas - Produksi - promosi,
penjualan, pengiriman
17 6,500 Biaya transfer
17 500,000 Umi – Biaya launching
19 500,000 Dwi Cipta - Editor Bahasa
26 3,500,000 Dwi Cipta - Editor Bahasa
Desember 4 1,000,000 Penata letak (Tri Bagus
Suryahadi)
4 2,000,000 Persiapan launching -
honorarium pembicara dan
moderator
4 1,200,000 Untuk persiapan cetak
Total [Rp] 102,481,987 93,316,369 9,165,618

338
BAB XI
Kesimpulan:
Repolitisasi urbanisasi
DAS-DAS Semarang

Buku ini telah menggunakan kritisisme netizen sebagai pemicu atau pemotivasi
untuk mengerjakan riset. Sebagai praksis ekologi politis merepolitisasi banjir
Semarang (dan pertanggungjawaban kami terhadap para donatur seperti yang
dijelaskan di Bab X), Bab penutup ini menyampaikan tiga bagian. Pertama,
menjelaskan dinamika urbanisasi masing-masing DAS (bagaimana teori
spesifik dipakai, bagaimana pemakaian teori menolong penjelasan kasus, apa
mekanisme utama yang mengontrol urbanisasi masing-masing DAS, dan apa
dampak utama dari mekanisme pengontrol utama itu – alias, bagaimana risiko
banjir diproduksi). Bagian kedua menyampaikan refleksi kasus terhadap teori.
Bagian ketiga menjelaskan poin-poin umum yang muncul dari kasus-kasus.

Dinamika DAS dan PEU

Dalam analisis terhadap DAS Silandak di Bab 4 teori ekologi politis urbanisasi
(PEU) dipakai untuk memperlihatkan bagaimana proses rekonfigurasi sosio-

339
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

spasial (pengeprasan bukit untuk perluasan KIC) memproduksi kondisi sosio-


alamiah yang berisiko berupa tanah longsor berujung pada keharusan bedhol
desa bagi Kampung Pucung. Ketimpangan dalam proses ini nyata: pengem-
bang menangguk untung, Kampung Pucung berujung pada keharusan relo-
kasi, sungai menjadi lebih tinggi debit puncaknya, dan kawasan tertentu lebih
lama genangan banjirnya. Momen sosiospasial pengeprasan bukit bersam-
bung dengan momen sosiospasial reklamasi karena tanah hasil pengeprasan
bukit dipakai untuk menguruk sungai, rawa, dan laut. Meski dilakukan pe-
ngembang yang berbeda, pembangunan perumahan Graha Padma pada
dasarnya juga melakukan pengurukan rawa. Pengurukan sungai, rawa, dan
laut ini tak terpisahkan dari perubahan sosioalamiah yang muncul berupa
meningkatnya risiko banjir sungai (untuk kawasan Marina/PPRP) dan rob
(untuk kawasan Pantai Marina/PPRP dan Graha Padma) di sekitar lokasi
urukan, serta abrasi pantai di tempat yang lebih jauh (untuk kawasan Pantai
Marina/PPRP).
Penjelasan dengan menggunakan lensa teori ekologi politis urbanisasi
membantu untuk membuat lebih tampak proses pembangunan kota yang
timpang. Bahwa proses-proses perubahan lingkungan (rekonfigurasi sosio-
spasial dan perubahan sosioalamiah) secara simultan bekerja dengan mem-
berikan keuntungan pada sisi kelompok tertentu dan kerugian pada sisi kelom-
pok lain.
Dari pemakaian teori ekologi politis urbanisasi, maka terlihat bahwa
mekanisme utama yang mengontrol proses urbanisasi di DAS Silandak dalam
hubungannya dengan produksi risiko banjir adalah ekspansi kapitalisme.
Ekspansi kapitalisme ini hadir dalam dua bentuk: perluasan kawasan industri
dan pengurukan sungai, rawa, dan laut untuk kepentingan sektor properti.
Secara umum, dengan demikian, dapat disebutkan bahwa proses-proses
urbanisasi di DAS Silandak ini memproduksi bencana berupa tanah longsor,
banjir (sungai dan rob), dan abrasi pantai.
Bab 5; sirkulasi kapital, dalam bentuk investasi asing dan dalam negeri,
dan akumulasi kapital, dalam bentuk pertumbuhan ekonomi, telah memicu
perubahan sosiospasial dalam proses urbanisasi Kota Semarang. Perubahan
sosiospasial ini terwujud dalam perubahan sosioalamiah dimana ruang-ruang
alamiah diubah menjadi kawasan industri dan kawasan permukiman. Secara
khusus, ruang-ruang alamiah yang diubah dalam perubahan sosiospasial ini
adalah area tangkapan air DAS Babon. Perubahan ini telah menimbulkan
tekanan pada siklus hidrologi di DAS Babon karena menurunnya kawasan
vegetasi menjadi kawasan terbangun. Pembangunan kawasan industri di hilir
DAS Babon, dengan mengubah kawasan tambak dan sawah, telah mengurangi
area tangkapan/penampungan air dan menghilangkan fungsi tambak dan
sawah sebagai area pemanfaatan air sungai. Sementara di hulu DAS Babon,

340
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

perubahan kawasan tegalan dan sawah menjadi kawasan pemukiman telah


mengurangi fungsi kawasan resapan menjadi kawasan terbangun.
Di sisi lain, perubahan sosiospasial di bentang alam DAS Babon berlang-
sung tak terpisahkan dari produksi ketimpangan dalam konsentrasi penguasa-
an lahan dan sentralisasi kapital di tangan segelintir orang. Pemilik modal me-
nginvestasikan modalnya dalam bentuk penguasaan tanah untuk dijadikan
sebagai komoditas kapling industri dalam kasus pembangunan kawasan in-
dustri dan komoditas tempat tinggal dalam kasus pembangunan kawasan pe-
mukiman. Konsentrasi kapital atas lahan telah mendorong sentralisasi kapital
di tangan segelintir orang.
Perubahan sosiospasial ini telah menghasilkan momen sosioalamiah be-
rupa daerah rentan bencana banjir di kawasan hilir DAS Babon. Momen ini
telah memperjelas relasi timpang antara kekuatan kapital dan masyarakat
yang tinggal di kawasan hilir DAS Babon. Bagi pemilik modal, perubahan
sosiospasial telah meningkatkan kekayaan mereka. Sementara bagi masyara-
kat, banjir telah menimbulkan kerugian dan kecemasan. Masyarakat mengala-
mi kerugian karena ia harus tetap bertahan di daerah rawan banjir dengan
terus merenovasi rumah dalam kurun waktu beberapa tahun. Masyarakat
yang tinggal di daerah rentan banjir ini juga hidup dalam kecemasan karena
banjir sewaktu-waktu dapat terjadi.
Penggunaan teori ekologi politis urbanisasi cukup bekerja dalam pene-
litian ini. Pertama, ia sebagai kerangka kerja untuk menguji setiap variabel-
variabel yang disarankan, dalam hal ini momen sosiospasial, sosioalamiah, dan
ketimpangan. Kedua, ia bekerja sebagai kerangka analisis untuk menjelaskan
banjir sebagai momen sosioalamiah yang muncul bersamaan dengan peru-
bahan sosiospasial. Dalam struktur moda produksi kapital, perubahan-peru-
bahan ini telah menimbulkan ketimpangan dalam bentuk konsentrasi sarana
produksi dan sentralisasi kapital di tangan segelintir orang, sedangkan ma-
syarakat yang lebih luas harus menanggung kerugian dan hidup dalam kece-
masan.
Fakta menarik yang terjadi dalam kasus DAS Babon, kekuatan kapital
yang bekerja mengeksploitasi kawasan DAS Babon juga telah menimbulkan
kerugian bagi kekuatan kapital yang lain. Banjir yang diproduksi dari eks-
ploitasi kawasan resapan hulu DAS Babon telah menggenangi kawasan
industri di hilir DAS. Hal ini mengakibatkan penurunan aset komoditas kapling
kawasan industri, sehingga pengembang kawasan industri mengalami kerugi-
an. Sedangkan bagi kapital industri yang menempatkan pabriknya di kawasan
industri tersebut, mereka mengalami kerugian akibat produksi yang tertunda
dan macetnya distribusi komoditas. Secara eksplisit ini menunjukkan bahwa
relasi sosial dalam sistem kapitalisme bukan hanya hubungan biner antara
buruh dan majikan, tapi juga antara para majikan.

341
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Secara umum, urbanisasi Kota Semarang terjadi melalui perluasan skala


geografis dengan mencaplok wilayah Kabupaten Semarang, Demak dan Ken-
dal. Perluasan ini dimaksudkan untuk menjadikan kawasan-kawasan pinggiran
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan kawasan industri
di Kecamatan Genuk (dulunya Demak) dan Mangkang (dulunya Kendal) dan
pusat pemukiman penduduk melalui kebijakan kota satelit di Kelurahan
Meteseh Kecamatan Tembalang dan Kecamatan Mijen. Kecamatan Gunung-
pati, meskipun tidak secara eksplisit direncanakan sebagai kota satelit, akan
tetapi dalam perkembangannya telah dijadikan sebagai kawasan permukiman.
Kawasan yang menjadi pusat pengembangan industri terletak di wilayah hilir
DAS, seperti di Kecamatan Genuk yang menjadi hilir DAS Babon, Kecamatan
Mangkang yang terletak di hilir DAS Beringin dan Kelurahan Simongan yang
menjadi bagian hilir DAS Garang. Perubahan tata ruang telah menghapus
kawasan Simongan sebagai area industri karena kawasan ini telah menjadi
pusat kota. Akan tetapi hingga hari ini, masih ada beberapa pabrik yang tetap
beroperasi di kawasan tersebut.
Sedangkan kawasan yang direncanakan sebagai kawasan permukiman
terletak di kawasan hulu DAS. Kota Satelit Meteseh terletak di hulu DAS Babon,
Kecamatan Mijen yang merupakan hulu DAS Beringin, dan Kecamatan
Gunungpati yang menjadi hulu DAS Garang. Percepatan persebaran penduduk
di wilayah pemukiman baru ini dilakukan dengan merelokasi perguruan tinggi
ke wilayah pengembangan baru ini. Undip yang awalnya terletak di Pleburan,
direlokasi ke kawasan Tembalang. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Semarang, yang sekarang menjadi Unnes, pindah dari Sampangan ke
Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati. Sedangkan Institute Agama Islam
Negeri (IAIN) Walisongo, sekarang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)
Walisongo, tetap dipertahankan di Ngaliyan. Kecamatan Mijen, selain sebagai
area pemukiman, juga dijadikan sebagai area kawasan industri untuk menam-
pung industri-industri yang dulunya berada di pusat kota seperti di Simongan
dan Setiabudi Banyumanik.
Urbanisasi DAS Karanganyar (Bab 6) yang dipotret melalui peristiwa
pencemaran pabrik dan reklamasi di kawasan sub-DAS Tapak berlangsung
sejak pengintegrasian wilayah Kecamatan Tugu ke dalam administrasi Kota-
madya Semarang pada 1976. Tak lama setelahnya wilayah Tugu ditetapkan
sebagai kawasan industri dan diikuti dengan berdirinya pabrik kimia bernama
PT SDC.
Teori ekologi politis urbanisasi membantu menjelaskan proses terjadinya
urbanisasi di DAS Karanganyar sejak berdirinya pabrik tersebut dan pabrik-
pabrik lainnya sampai sekarang melalui alat analisis momen ketimpangan,
sosiospasial, dan sosioalamiah. Pertama, momen ketimpangan terlihat men-
colok pasca beroperasinya pabrik SDC (beserta pabrik-pabrik lain setelahnya).

342
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Di pihak pemilik pabrik, ia memperoleh keuntungan berlipat, selain dari hasil


penjualan komoditasnya dimana terkandung nilai-lebih para buruhnya, juga
dari pengurangan modal untuk menyediakan alat untuk mengurangi/meng-
hilangkan beban pencemaran. Sementara di pihak masyarakat, mereka harus
menanggung kerugian dari matinya ikan-ikan dan udang di tambak akibat
pencemaran oleh SDC. Akibatnya, warga harus bekerja lebih keras dengan
menjadi buruh padas atau pekerjaan kasar lainnya. Bahkan dalam keadaan
terdesak, mereka terpaksa menjual lahan tambak mereka ke pengusaha
karena penghasilan yang makin menurun. Di sinilah praktik kolonialisme
modern, di mana kapitalis memisahkan orang yang dijajah dari tanah mereka
dan mengubah mereka menjadi buruh terjadi (Marx, 1982[1867]: 472).
Ketimpangan yang terjadi di Dukuh Tapak makin diperparah dengan
rusaknya sumber air warga. Semula warga dapat mengandalkan air sungai
untuk pemenuhan kebutuhan hidup secara gratis. Karena limbah yang
dihasilkan pabrik telah mencemari sungai, mereka terpaksa harus beralih ke
sumur air tanah berbayar. Air tanah menjadi pilihan terakhir setelah sebelum-
nya melalui usaha penyaluran mata air di Taman Lele tidak dapat berlanjut
karena mengering akibat adanya pengeprasan bukit di wilayah atas.
Kedua, terjadinya momen sosiospasial berupa penyodetan dan penguruk-
an sungai oleh PT GM telah merekonfigurasi ruang yang membuat aliran
sungai berbelok dan hilang. Begitupun dengan momen sosiospasial berupa
proyek reklamasi yang diorkestrasi oleh PT KLI, PT BRPN, dan PT IPU, tidak
hanya menggeser sumber ekonomi masyarakat sebagai petambak, namun
juga membuat risiko bencana abrasi dan banjir makin tinggi. Kedua peristiwa
itu (abrasi dan banjir) ialah bentuk momen sosioalamiah yang diproduksi oleh
kepentingan ekspansi kapitalisme. Karenanya, bukan tidak mungkin Kampung
Tapak juga akan hilang tenggelam seperti nasib Pulau Tirang atau berganti
menjadi kawasan industri dengan reklamasinya.
Proses urbanisasi di DAS Garang disituasikan oleh arus modal. Rekonfigu-
rasi sosiospasial DAS Garang terbentuk sejak modal masuk dan terkonsentrasi
di pusat kota (Kota Lama Semarang) pada pertengahan abad ke-19. Konsen-
trasi tersebut menyedot manusia-manusia dari pinggir memadati pusat kota.
Teori ekologi politis urbanisasi membantu menjelaskan hal ini, dimana rekonfi-
gurasi sosiospasial dalam wujud pengerutan ditandai dengan konsentrasi
orang, aktivitas, barang-barang, objek-objek, instrumen-instrumen dan pemi-
kiran, yang membentuk realitas perkotaan. Namun prosesnya tidak berhenti
di situ. Pada saat yang bersamaan terjadi proses perembetan kota yang
dikonseptualisasikan dengan teori ekologi politis urbanisasi sebagai fragmen-
fragmen yang tercecer di pinggiran, termasuk kawasan suburbia. Pada
lingkaran ini VOC hingga pemerintah Hindia-Belanda berperan melakukan
segregasi penduduk kota berdasarkan ras, di mana hal itu menguntungkan elit

343
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Eropa di pusat Kota Lama. Daya tarik modal di Kota Lama bersama kebijakan
pemerintah (penguasa) tersebut merekonfigurasi sosiospasial di sekitar pusat
kota. Muncullah kampung-kampung sebagai perembetan kota. Seperti Kam-
pung Kemplongan, Kampung Glondong, Kampung Sayangan, Kampung Pan-
dean, Kampung Kulitan, Kampung Gandekan, Kampung Pedamaran dan lain-
nya, yang merupakan tempat tinggal para perajin batik, emas, minyak damar,
peralatan besi dan sebagainya. Fragmen-fragmen di pinggiran tersebut meno-
pang kekuatan modal di pusat kota.
Kota Lama yang telah ditaklukkan oleh modal kemudian meledak.
Fragmen-fragmennya terlempar ke kawasan suburbia DAS Garang, wilayah
Ngemplak Simongan. Konsentrasi modal di Simongan merekonfigurasi sosio-
spasial dan secara bersamaan mengubah relasi sosioalamiah di kawasan
tersebut. Simongan yang semula merupakan kawasan permukiman dan
perladangan berubah menjadi kawasan pabrik. Kembali, ekologi politis urba-
nisasi membantu melihat bagaimana ketimpangan terjadi dalam perubahan
sosiospasial dan sosioalamiah di Simongan. Ketimpangan pada lingkaran ini
cukup jelas, di mana para pemodal di Simongan mendapat dukungan dari
pemerintah berwujud fasilitas penyediaan lahan, pembangunan jalan dan
jembatan, hingga regulasi yang “mengamankan” mereka. Sedangkan warga
Simongan mengalami bermacam-macam derita akibat kapitalisme; meng-
hadapi risiko kematian saat menambang padas karena tidak lagi bisa
berladang, bergumul dengan air Kali Garang yang tercemar limbah pabrik,
hingga menghadapi banjir. Solusi yang ditempuh pemerintah atas derita
tersebut, yang merupakan penyelesaian teknikal, justru semakin meneng-
gelamkan warga pada penderitaan yang lebih dalam. Pemerintah memindah-
kan (yang pantas disebut menggusur) warga yang mengambang di sektor
informal (penambang padas, penjual makanan, penjual jasa lain) ke kawasan
suburbia. Menghadapi luapan Kali Garang, pemerintah dan pengusaha
Simongan juga menempuh macam-macam solusi teknis seperti peninggian
jalan hingga normalisasi sungai yang juga berujung pada penggusuran warga
ke Pongangan, Kuwasen, Sukorejo, Kalialang dan sekitarnya.
Pola serupa terjadi di lingkaran berikutnya. Sosiospasial kawasan tepian
tersebut kembali dipercepat perubahannya oleh masuknya modal. Ekologi
politis urbanisasi membantu melihat rekonfigurasi sosiospasial yang dibarengi
dengan perubahan sosioalamiah di lingkaran ini, sekaligus melihat ketimpang-
an yang berlilitan dengan proses tersebut. Pemerintah begitu saja memberi
izin kepada pengembang-pengembang perumahan untuk menanamkan mo-
dal di kawasan tersebut, sehingga mereka bisa menjual rumah “murah” bagi
kelas buruh yang tidak mampu menjangkau rumah layak, dengan risiko
lingkungan yang tidak layak huni (air yang tercemar, rawan banjir dan longsor).
Pada saat pengembang perumahan memanen keuntungan, saat itu pula

344
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

penghuni perumahan yang disediakan para pengembang tersebut terpaksa


menjalani kehidupan berbiaya tinggi. Munculnya kampus-kampus di lingkaran
ini memicu modal untuk semakin memperluas kekuatannya. Perubahan
sosiospasial dan sosioalamiah terjadi di sekitar kampus berwujud munculnya
tempat kos dan berbagai macam jasa menggantikan sawah, ladang serta
vegetasi perbukitan. Perubahan ini mempengaruhi kualitas daerah tangkapan
air, membuatnya semakin rusak. Kali Garang semakin kritis, nyaris kering saat
kemarau, dan meluber membanjiri DAS Garang saat hujan.
Bab 8 menganalisis proses urbanisasi di DAS Beringin dalam lingkup
waktu yang cukup lama, paling tidak sejak 1970-an. Karena menganalisis
proses sejarah yang panjang, teori ekologi-politis urbanisasi menjadi sangat
membantu. Teori tersebut digunakan untuk memahami dan menunjukkan
proses panjang perubahan (rekonfigurasi) sosiospasial yang terjadi di DAS
Beringin. Mulanya berlangsung pada 1970-1980-an, saat pengembang ber-
modal besar mulai banyak merekonfigurasi ruang di Kecamatan Tugu dan
Ngaliyan. Di pesisir, PT KLI mereklamasi dan membelokkan sungai untuk ke-
pentingan ativitas produksi kayu mereka. Lebih ke selatan, pabrik dan kawasan
industri mulai menjamur, salah satunya ialah PT IPU yang mengepras bukit
untuk mengembangkan KIC. Pada 1980-an, makin banyaknya pabrik dan
kawasan industri merangsang pula perubahan sosiospasial lain, misalnya, dari
area tangkapan air menjadi Perumahan Wahyu Utomo di Ngaliyan. Memasuki
era 1990-an, cakupan rekonfigurasi ruang di DAS Beringin makin meledak,
melebar, sampai ke daerah Mijen. Salah satu pihak yang secara signifikan
mengubah (merekonfigurasi) kebun, hutan, sawah di Mijen menjadi peru-
mahan elit ialah PT KAL dan Ciputra Group.
Teori ekologi-politis urbanisasi membantu pula dalam melihat bagaimana
proses-proses rekonfigurasi sosiospasial tersebut sebenarnya sangat berpilin
dengan terjadinya momen sosioalamiah. Misalnya, perubahan ruang yang
dilakukan PT KLI di pesisir ikut memproduksi momen sosioalamiah seperti
abrasi dan pencemaran sungai. Pengeprasan bukit dan pengurukan sungai
oleh PT IPU telah memproduksi momen sosioalamiah banjir di Perumahan
Wahyu Utomo. Sementara rekonfigurasi besar-besaran area tangkapan air di
Mijen untuk perumahan elit BSB berkontribusi menaikkan debit puncak sungai
yang pada gilirannya menjadi momen sosioalamiah berupa banjir. Selain itu,
teori ekologi-politis urbanisasi berguna pula untuk memperjelas bahwa setiap
momen rekonfigurasi ruang yang berpilin dengan momen sosioalamiah selalu
memfasilitasi dan difasilitasi oleh hukum pembangunan yang timpang. Pada
kasus DAS Beringin hal tersebut terlihat begitu terang: ada pembangunan di
hulu berarti ada kehancuran (karena banjir menahun) di hilir; dan ada pemodal
besar yang meraup untung (PT KLI, PT IPU, Ciputra Group, PT KAL) berarti ada

345
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

warga kebanyakan yang buntung, merugi, bahkan terjepit seperti warga


Mangkang Wetan dan Mangunharjo.
Dengan demikian, tiga kata kunci dalam teori ekologi-politis urbanisasi
(sosiospasial, sosioalamiah, dan ketimpangan) membantu banyak dalam me-
mahami proses urbanisasi—proses yang darinya kota tercipta—di DAS
Beringin sejak 1970-an. Tanpa teori ekologi-politis urbanisasi, setiap perubah-
an yang terjadi potensial untuk dilihat tidak saling memengaruhi dan dipenga-
ruhi, atau singkatnya tidak saling berkaitan. Pada kasus momen sosioalamiah
seperti banjir misalnya. Dengan berbekal pemahaman teori, makin jelas
terlihat bahwa banjir yang terjadi di DAS Beringin sampai hari ini memang
bukan semata perkara curah hujan. Momen banjir di DAS Beringin diproduksi
oleh perjalanan panjang ekspansi kapitalisme di DAS Beringin yang mewujud
dalam bentuk pengurukan sungai, pemamprasan bukit, penghancuran kebun,
sawah, dan hutan untuk kepentingan kapitalis properti (PT IPU, PT KAL, Ciputra
Group). Begitu pula untuk momen sosioalamiah seperti abrasi. Hal tersebut
tidak semata dipengaruhi oleh perubahan iklim dunia (yang juga kapitalistik),
tapi dapat dilihat sebagai buah dari ekspansi kapitalisme di pesisir Semarang
yang mewujud dalam bentuk reklamasi untuk keperluan pabrik pengolahan
kayu PT KLI.

Respon balik: Kasus terhadap teori

Secara eksplisit teori ekologi politis urbanisasi yang dikonsep di Bab II me-
model bahwa non-manusia memiliki kontribusi dalam proses produksi nilai-
lebih, seperti yang dijelaskan pada bagian momen sosio-alam. Ini artinya
bahwa relasi kapitalis-buruh bukanlah hal mutlak yang mendominasi proses
prosuksi nilai-lebih, ada material lain yang memiliki agensi atau materialitas,
yaitu non-manusia. Dalam buku ini, model ini bekerja melalui, misalnya, kasus
DAS Babon yang memperlihatkan bahwa kelompok kapitalis juga mengalami
kerugian seperti banjir yang dialami oleh kawasan industri yang menyebabkan,
secara umum, macetnya proses produksi pabrik dan distribusi komoditas
produk. Baik kapitalis maupun buruh, pada titik ini harus sama-sama mene-
rima eksistensi agensi non-manusia berupa banjir.
Ketegangan dalam dua kelompok dalam kapitalisme (kapitalis dan yang
dirugikan) dimediasi oleh munculnya mekanisme-mekanisme “jembatan” yang
memetabolisme aliran material dari kedua sisi. Dalam kasus pabrik, ini bisa
dengan cepat diidentifikasi: kapitalis menghisap kerja buruh, buruh men-
dapatkan gaji (yang cenderung nge-pas) untuk reproduksi. Dalam perubahan-
perubahan lingkungan, “jembatan-jembatan” lebih susah diidientifikasi. Na-
mun dalam naskah ini ia terlihat, misalnya, dari orang kampung Tambakharjo
yang mendapatkan insentif melalui berdagang makanan dan sewa kos-kosan

346
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

bagi para buruh Graha Padma, orang Tambakharjo yang menjadi pembantu
bagi tuan-nyonya yang tinggal di Graha Padma, atau juga melalui distribusi
program-program kampung baik dari pengembang Graha Padma maupun
dari para politisi.
Peran negara tidak didiskusikan dalam kerangka teori ekologi politis
urbanisasi di Bab II. Dalam Bab I, negara hadir dalam para pejabat yang
melakukan depolitisasis. Dalam kasus-kasus DAS, negara hadir di banyak
tempat, terutama melalui proyek-proyek teknis, misalnya, solusi-solusi
terhadap banjir dan ketimpangan akses terhadap air (normalisasi, saluran
drainase, rumah pompa, sumur air tanah dalam). Normalisasi sungai muncul
di DAS Garang dan Beringin. Pembangunan saluran air muncul di DAS Garang
dan Babon. Pembangunan rumah pompa muncul di DAS Babon dan Silandak.
Pembangunan sumur air tanah dalam muncul di DAS Karanganyar. Untuk
membuat penjelasan logis, maka dalam buku ini proyek-proyek teknis berkait-
an dengan penanganan banjir itu dilihat sebagai proses urbanisasi yang
kapitalistik darimana kota tercipta. Normalisasi sungai, pembangunan saluran
air, dan ekstraksi air tanah dalam adalah proses-proses urbanisasi (air permu-
kaan dan air bawah tanah) yang secara bersama menganyam apa yang kemu-
dian menjadi kota itu sendiri. Dalam konteks ini aparat negara mengambil
beberapa peran. Pertama, negara berfungsi membuka jalan (melalui surat
perintah kerja, izin) bagi proses-proses rekonfigurasi sosiospasial yang
memproduksi longsor, banjir, abrasi pantai, dan pencemaran. Kedua, negara
berfungsi mengkonsep dan mengimplementasikan solusi-solusi infrastruktur
teknis. Ketiga, aparat negara seperti Menteri dan Gubernur melegitimasi solusi-
solusi teknis lewat depolitisasi banjir.

Poin-poin umum

Jika diamati dalam empat kasus yang memperhadapkan warga dan korporat,
ada kesamaan di mana bermacam istilah dipakai untuk mengelabui, me-
ngaburkan, bahkan menghilangkan tanggungjawab pihak pengusaha sebagai
penyebab masalah. Bermacam istilah yang seharusnya bernama “ganti rugi”
itu diubah misalnya dengan istilah “tali asih” dalam kasus DAS Babon, “kon-
tribusi” dalam kasus DAS Karanganyar, “pesangon” dalam kasus DAS Garang,
dan “ongkos pindah” dalam DAS Silandak. Dengan mengatasnamakan istilah-
istilah di atas, pengusaha memainkan akrobat penurunan nilai ganti rugi yang
seharusnya dibayarkan. Dari Rp1,250 juta/m² menjadi Rp250 ribu/m² dalam
kasus DAS Silandak, Rp120 juta menjadi Rp15 juta dalam kasus DAS Babon,
dan Rp1,9 milyar menjadi Rp225 juta dalam kasus DAS Karanganyar. Pada
kasus DAS Garang bahkan tanpa proses perundingan warga dipaksa pindah
dari tempat tinggalnya.

347
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Menurut kami, perubahan istilah ini sangat politis. Dan ini berlangsung
dalam empat kapetor (tingkat). Pertama, ia menghilangkan tanggungjawab pe-
rusahaan terhadap kerugian yang menimpa masyarakat. Kedua, ia meninggal-
kan kesan bahwa perusahaan tidak bersalah atas masalah yang terjadi. Ketiga,
ia membungkam masyarakat karena pemberian uang dengan nilai tidak
setimpal, masyarakat diminta untuk tidak lagi menuntut perusahaan. Keempat,
pemberian uang itu seolah dianggap sebagai bentuk kebaikan pengusaha
kepada masyarakat.
Dalam hal bagaimana kehidupan bersama diurus (demokrasi), pendekat-
an yang dilakukan melalui demokrasi representatif liberal yang ada sekarang
tidak berguna banyak dalam penanganan banjir. Hal ini terlihat misalnya dari
kasus di DAS Silandak. Peran institusi lokal seperti Mbah Bayan yang berguna
sebagai early warning system untuk mengabarkan warga tentang momen
banjir, telah hilang. Penggantinya, struktur RT, tidak mampu mengerjakan
pekerjaan seperti yang dilakukan Mbah Bayan, padahal fungsi itu sangat
dibutuhkan dalam masyarakat. Lebih parah, rapat-rapat di dalam struktur RT
tidak menyerap masalah yang penting bagi masyarakat untuk dijadikan
sebagai agenda. Justru sebaliknya, tangan-tangan negara yang hadir melalui
stuktur RT menjadi alat kontrol bagi negara untuk melaksanakan agenda-
agenda yang dianggap penting bagi negara, misalnya persiapan-persiapan
untuk lomba tertentu atau juga memperingati hari-hari tertentu.
Untuk menutup buku ini; “banjir sudah naik seleher,” demikian seorang
interlokutor di Tambakharjo kami pahami dalam usahanya menjelaskan
masalah banjir. Benar bahwa interlokutor tersebut adalah anak-anak. Namun,
melihat proses urbanisasi yang timpang yang terus bekerja, ke depan mungkin
banjir akan naik seleher orang dewasa – dan toh di DAS Garang dan Beringin
banjir sudah pernah mencapai dua meter. Sebuah bencana yang diproduksi
melalui proses-proses urbanisasi yang timpang melibatkan rekonfigurasi
sosiospasial dan perubahan sosioalamiah. Dengan kata lain, banjir yang sudah
naik seleher, adalah manifestasi konkret dari “derita sudah naik seleher”
seperti yang direkam oleh puisi Wiji Thukul yang dikutip pada bagian awal buku
ini. Proses penghancuran dan produksi hidup yang berisiko ini sudah
keterlaluan. Penindasan ini, mengutip Thukul, sudah sangat “di luar batas”!

348
TIM KERJA

Bosman Batubara; e: bosman.batubara@gmail.com; w: https://www.un-


ihe.org/bosman-batubara; t: @AekMaguling. Menyelesaikan S-1 di Jurusan
Teknik Geologi UGM (2005); S-2 di Interuniversity Programme in Water
Resources Engineering, KU Leuven dan VU Brussels (2012). Saat ini adalah
mahasiswa PhD paroh waktu di Jurusan Water Governance, IHE-Delft Institute
for Water Education dan Jurusan Human Geography, Planning, and
International Development, University of Amsterdam. Separoh waktunya yang
lain digunakan untuk bekerja sebagai periset di jurusan yang sama di
University of Amsterdam tentang tata kelola air tanah di Semarang. Sejauh ini
sudah terlibat dalam beberapa proses ko-produksi pengetahuan seperti: (1)
Batubara B (2020) Teman Rebahan: Kapitalisme dan Covid-19. Yogyakarta:
Penerbit Gading; (2) Batubara B, Warsilah H, Wagner I, dan Salam Sy
(2020) Maleh dadi Segoro: Krisis sosial-ekologis kawasan pesisir Semarang-Demak.
Yogyakarta: Lintas Nalar; (3) Anna Mariana dan Bosman Batubara (penyunting)
(2015) Seni dan Sastra untuk Kedaulatan Petani Urutsewu: Etnografi Wilayah
Konflik Agraria di Kebumen. Literasi Press: Yogyakarta; (4) kontributor dalam
Dwicipta dan Hendra Try Ardianto (editor) (2015) #Rembang Melawan:
Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng. Literasi
Press: Yogyakarta; (5) kontributor dalam Anton Novenanto (penyunting) (2013)
Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo (Sebuah
Bunga Rampai). Kanisius dan MediaLink: Yogyakarta; (6) Bosman Batubara dan
Paring Waluyo Utomo (2012) Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri
Pengeboran Migas di Sidoarjo. Yogyakarta: INSISTPress; (7) Heru Prasetia dan
Bosman Batubara (editor dan kontributor) (2010) Bencana Industri: Relasi
Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil. Depok: Yayasan Desantara; menulis
artikel di beberapa jurnal seperti Wiley Interdisciplinary Reviews: Water, Bhumi,

349
BANJIR SUDAH NAIK SELEHER

Wacana, Prisma, Antipode, Human Geography, Journal of Peasant Studies (segera


terbit), dan Agrarian South: Journal of Political Economy (segera terbit), dan
majalah daring Inside Indonesia dan südostasien. Bosman adalah anggota Koalisi
MDS.

Bagas Yusuf Kausan; e: bagasyusufkausan@gmail.com; t: @bagasyusuf.


Alumnus Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Semarang (2019). Bagas merupakan
anggota Koalisi MDS dan media Kalamkopi.id. Bagas pernah menulis dan
menjadi kontributor dalam beberapa publikasi seperti (1) kontributor dalam
Putri, Famega Syavira (Penyunting) (2020) Merekam Kota dalam Pandemi:
Resiliensi, Harapan, dan Kemungkinan. Jakarta: Rujak Center for Urban Studies;
(2) Sembiring, Boy Jerry Even; Tanti Budi Suryani; dan Bagas Yusuf Kausan
(2021) Ekonomi Nusantara: Tawaran Solusi Pulihkan Indonesia. Jakarta: Eksekutif
Nasional WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia); (3) Rakhman, Edo; Umi
Marufah; Ardi; Bagas Yusuf Kausan; dan Boy Jerry Even Sembiring (2021)
Analisis Pengaruh Rencana Pembangunan Major Project Jalan Trans Papua
terhadap Aspek Sosial-Ekologis Papua. Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI (Waha-
na Lingkungan Hidup Indonesia); (4) Rakhman, Edo; Umi Marufah; Ardi; dan
Bagas Yusuf Kausan (2021) Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus
Intan jaya. Jakarta: #BersihkanIndonesia; dan (5) pada 2019 dan 2020 menulis
artikel di Journal of Indonesian History (JIH) dan Jurnal Analisa Sosiologi. Tulisan
lainnya diarsipkan di laman https://independent.academia.edu/BKausan.

Eka Handriana; e: handrianae@gmail.com; t: @ekahand. Alumnus Sosial


Ekonomi Pertanian, Universitas Brawijaya. Pernah bekerja sebagai reporter
tetap untuk harian Jateng Pos (Jawa Pos Group) dan harian Suara Merdeka.
Pernah menjadi kontributor untuk Rappler Indonesia dan Panajournal.
Berkontribusi dalam (1) Tim AJI Indonesia (2016) Tumbuh di Era Digital
(kompilasi liputan tentang anak), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; (2)
Tim AJI Indonesia (2016) Menoreh Jejak di Jalan Terjal (kompilasi liputan
perburuhan dan serikat pekerja), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; (3)
Tim AJI Indonesia (2017), Menjaga Pangan Merawat Masa Depan (kompilasi
liputan keadilan pangan), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; (4)
Penelitian Etnografi Banjir bersama Rujak Center for Urban Studies dan UNDP
(2021); (5) Menulis artikel berjudul Tatapan Laki-Laki dan Kendali Kapital dalam
Berita Atlet Perempuan (Remotivi.or.id/31/8/21); dan (6) Bersama Bosman
Batubara menulis artikel berjudul Dari Krisis Sosial-Ekologi ke Ekologi Sosial:
Kasus Suburbia Semarang diterbitkan Prisma (Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi)
edisi Transformasi Ruang Kota: Mencari Keadilan Sosial Ekologi (2021).

350
BOSMAN BATUBARA, Dkk.

Syukron Salam; e: sysalam@mail.unnes.ac.id. t:@sysalam. Saat ini sedang


menyelesaikan studi doktoralnya di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Indonesia. Sehari-hari bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang bidang Hukum dan Masyarakat. Beberapa kajian
yang pernah dilakukan di antaranya kontributor dalam Soepomo, Pergulatan
Tafsir Negara Integralistik dan Adat (2012). Menulis bersama Hasan Muazis, Unu
Herlambang dan Ryan A. Prabowo dalam Mendobrak Pendidikan Tinggi Hukum
tahun 2015. salah satu peneliti dalam Pembeli Beritikad Baik Dalam Sengketa
Perdata Berobyek Tanah (2016), bersama Widodo C Putra, A. Zuhairi dan
Elizabet T. Lubis dan diterbitkan LeIP-JSSP. Tahun 2020 terlibat dalam
penelitian potensi dampak pembangunan Tanggul dan Tol Laut Semarang-
Demak bersama Bosman Batubara, Henny Warsilan dan Ivan Wagner (serta
seluruh anggota dan Koalisi Pesisir Semarang Demak/KPSD) yang diterbitkan
dalam buku berjudul Maleh dadi Segoro: Krisis sosial-ekologis kawasan pesisir
Semarang-Demak. Yogyakarta: Lintas Nalar, 2020.

Umi Ma’rufah; e: marufahumi13@gmail.com; t: @Umi_Lanisti13. Salah satu


periset muda di WALHI Nasional sejak Agustus 2020. Saat ini menjadi relawan
di WALHI DKI Jakarta. Lulus dari UIN Walisongo jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir pada 2019. Aktif di Komite Nasional Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan
Sumber Daya Alam (FNKSDA) dan komunitas literasi Minerva.id. Pernah
menulis artikel berjudul Bencana Alam dalam Perspektif Islam (fnksda.or.id
/6/2/21) dan Demak Akan Semakin Tenggelam (Tribun Jateng/16/2/21). Pernah
menjadi kontributor di website islami.co sebagai penulis lepas pada 2020.
Selanjutnya turut menjadi penulis dalam penelitian 1) Rakhman, Edo; Umi
Marufah; Ardi; Bagas Yusuf Kausan; dan Boy Jerry Even Sembiring (2021)
Analisis Pengaruh Rencana Pembangunan Major Project Jalan Trans Papua
terhadap Aspek Sosial-Ekologis Papua. Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI
(Wahana Lingkungan Hidup Indonesia); 2) Rakhman, Edo; Umi Marufah; Ardi;
dan Bagas Yusuf Kausan (2021) Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua:
Kasus Intan jaya. Jakarta: #BersihkanIndonesia; 3) Penelitian Etnografi Banjir
bersama Rujak Center for Urban Studies dan UNDP (2021), serta kontributor
dalam penerbitan buku Andi Misbahul Pratiwi (editor) (2021) Narasi Perempuan
& Interseksionalitas: Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Odise
Books Publishing. Mengelola blog pribadi: umilanisti.blogspot.com.

351
\

~
/ _/ /

"✓
,, "Banjir sudah naik seleher," demikian seorang interlokutor di /

/ " Tambakharjo kami pahami dalam usahanya menjelaskan masalah


r/ banjir. Benar bahwa interlokutor tersebut adalah anak-anak. Namun, .,,
/ melihat proses urbanisasi yang timpang yang terus bekerja, ke depan
,, mungkin banjir akan naik seleher orang dewasa - dan toh di DAS /
/

Garang banjir sudah pernah mencapai dua meter. Sebuah bencana /


/
/ yang diproduksi melalui proses-proses urbanisasi yang timpang
melibatkan rekonfigurasi sosiospasial dan perubahan sosioalamiah.
,, / Dengan kata lain, banjir yang sudah naik seleher, adalah manifestasi /
/
konkret dari "derita sudah naik seleher" seperti yang direkam oleh
fl
puisi Wiji Thukul yang dikutip pada bagian awal buku ini. Proses
r/✓
/

penghancuran dan produksi hidup yang berisiko ini sudah keterlaluan. /


/
Penindasan ini, mengutip Thukul, sudah sangat "di luar batas" !
, /
r, /✓ r,

11' ✓
/
/
D / / /

, / / /
/ /

r/
✓,, ;o o, // ✓
6 //

",; D, ~ ~
/ ✓
/
/
/

...
'

o9
/
/

0 / /

''{)&RITA 51./0A# 5&/..&#&R


KAI./
M&N/NOAS
SAMPAI
()/ /.././AR BArAS"
,
/
/
/
/ ./
/
WI.:JI THUKUL. )
/ /
/ / / /
/ /
./ /
/
/
/
/ /
./ ./
/

ISBN 978-623-380-072-3

Cipta
II II lllll 111111111111111
Prima
Nusantara
9 786233

Anda mungkin juga menyukai