Sawarendro
Penulis : Sawarendro
Editor : Sawariyanto ; Zulkifli Harahap
Diterbitkan oleh ILWI (Indonesian Land Reclamation and Water Management Institute), 2010
ISBN : 978-602-98077-0-7
Daftar isi
PRAKATA vi
1. BANJIR: CERITA LAMA YANG BELUM KUNJUNG USAI 1
1.1. Ratusan Tahun Hikayat Banjir Jakarta 2
1.2. Catatan Hidrologi dan Karakter Cuaca, Saat Banjir Besar 9
1.3. Prakiraan Banjir Masa Datang 10
2. BERAGAM MASALAH DAN TANTANGAN JAKARTA 13
2.1. Fenomena yang Berulang 14
2.2. Keadaan Geografis 15
2.3. Muka Tanah Rendah, Air Sulit Bergerak 16
2.4. Kondisi Sungai di Jakarta 17
2.5. Hambatan di Sepanjang Saluran 17
2.6. Tanah Lunak, Penyedotan Air dan Amblesan 20
2.7. Kenaikan Muka Air Laut 21
2.8. Keragamaan Fungsi Jakarta 22
2.9. Kependudukan dan Urbanisasi 22
2.10. Tata Guna Lahan, Minim Ruang Terbuka Hijau 24
2.11. Terbatasnya Luas Badan Air 26
2.12. Kondisi Hidrologi 28
2.13. Kondisi Hidrogeologi 30
3. KONSEP KUAT, IMPLEMENTASI LEMAH 33
3.1. Konsep Studi Terdahulu 33
3.2. Sistem Tata Air 43
iii
4. PERUBAHAN PARADIGMA DAN LANGKAH STRATEGIS 51
4.1. Perubahan Paradigma Pengendalian Banjir 51
4.2. Partisipasi Sebagai Kunci Sukses 53
4.3. Bersandar Konsep Terdahulu 54
4.4. Selaras dengan Sistem Kini dan Rencana Mendatang 54
4.5. Penyelesaian Tepat Arah, Tepat Lokasi dan Terukur 55
5. UPAYA NON-TEKNIS: PERLU TEKAD DAN KESADARAN 57
5.1. Menata Ruang, Mencegah Banjir 57
5.2. Air Tanah Terbatas: Jangan Terus Disedot 59
5.3. Waduk: Tambah Jumlah Tambah Kualitas 60
5.4. Lindungi Bantaran Sungai 61
5.5. Perlu Ruang Terbuka di Kawasan Permukiman 63
5.6. Menahan Air dengan Badan Air 64
5.7. Limbah: Olah Dulu Baru Buang 65
5.8. Hindari Permukiman Menjorok ke Badan Sungai 67
5.9. Tahan Air dengan Tanaman 68
5.10. Lubang Biopori Membantu Menyerap Air 69
6. UPAYA TEKNIS: OPTIMALISASI KAPASITAS PENYALURAN 73
6.1. Jaga Kapasitas Saluran Makro 73
6.2. Penambahan dan Perbaikan Kapasitas Sub-Makro 84
6.3. Perbaikan Pengaliran Air pada Sistem Mikro 84
6.4. Pengembangan dan Pembuatan Sumuran/Resapan Air 85
6.5. Pembuatan Bangunan Penahan Lumpur (Kantong Lumpur) 87
6.6. Pengembangan Tampungan Setempat 88
iv
8. PENGELOLAAN DAN PEMBIAYAAN SISTEM POLDER 101
8.1. Swadana Menjamin Keberlanjutan 102
8.2. Organisasi 103
8.8. Biaya Konstruksi 105
8.9. Pembiayaan Pemeliharaan dan Operasi 106
8.10. Biaya Pemeliharaan 106
8.11. Sumber Pendapatan 108
8.12. Manfaat yang Didapat 108
8.13. Efek Sosial Ekonomi 108
9. REKLAMASI DAN TANGGUL LAUT BAGIAN DARI SOLUSI BANJIR 113
9.1. Kehidupan di Daerah Delta dan Tantangannya 113
9.2. Rencana Pulau Reklamasi dan Pembangunan Tanggul Laut 115
9.3. Desain Reklamasi 119
9.4. Peningkatan Manfaat Reklamasi Pantura 122
9.5. Pemantauan Pelaksanaan 125
9.6. Operasi dan Pemeliharaan yang Berkelanjutan 126
REFERENSI 129
v
Prakata
Banjir Jakarta dan
Perubahan Paradigma
Judul berita ‘Jakarta Akan Tenggelam’ dan ‘Pemindahan Ibukota Negara’ dalam beberapa media massa menarik perhatian
publik beberapa waktu belakangan ini. Ancaman banjir dan kemacetan lalu lintas menjadi pemacu dan pemicu tertariknya
publik untuk menyimak hal tersebut. Kedua ancaman ini (banjir dan kemacetan) sesungguhnya bukan berita baru lagi. Banjir
dan kemacetan seolah-olah menjadi hal yang melekat dengan kehidupan Ibukota. Lantas apakah benar Jakarta akan tenggelam
dan apakah pemindahan ibukota otomatis menyelesaikan masalah yang ada?
Buku ini lebih fokus membahas penyelesaian masalah banjir dan bagaimana agar Jakarta tidak ‘tenggelam’. Buku ini mengajak
pembaca untuk memahami masalah Jakarta dan kemudian menampilkan sejumlah gagasan mengenai penanganan banjir. Hal
ini karena apakah Ibukota berpindah tempat atau tidak, tetap saja kita perlu menyelesaikan masalah banjir Jakarta.
Menurut pandangan penulis, kekhawatiran mengenai akan tenggelamnya Jakarta merupakan kekhawatiran yang sah dan
benar. Tidak perlu bereaksi dengan ketakutan berlebihan, namun perlu serius mengantisipasinya. Kota-kota di daerah delta
dengan topografi rendah dan lapisan tanahnya yang lunak mendapatkan ancaman utama dari dampak perubahan iklim dan
penggunaan air tanah. Jakarta bersama dengan kota delta lain menghadapi permasalahan ini.
Sebagian wilayah Jakarta kini berada di bawah permukaan air regional (air laut dan air sungai), yang luasnya diperkirakan akan
meningkat. Mengamankan wilayah di bawah permukaan air regional ini, tentu tidak datang dengan sendirinya. Kita perlu
secara terus menerus menyediakan waktu, energi, dan dana untuk bisa bertahan. Perjuangan untuk mengamankan wilayah
yang rendah ini adalah perjuangan yang tidak henti-hentinya, never ending struggle.
Jika kita tidak melakukan sesuatu, maka kita akan terpaksa melepaskan daratan tempat kita menetap dan beraktivitas ini
menjadi lautan. Sebagian wilayah Jakarta bisa tenggelam. Kita tidak ingin demikian karena kita masih ingin tinggal, bekerja,
dan hidup di Jakarta.
Perjuangan ini meliputi upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi dalam upaya mengurangi faktor pemicu dari terjadinya perubahan
iklim dan penurunan muka tanah. Di sini, pengurangan CO2 dan gas rumah kaca lainnya, serta pengurangan dan penghentian
penggunaan air tanah menjadi penting. Di lain sisi, kita perlu memperkuat daya tahan kita untuk bisa mengelola dampak
perubahan iklim dan penggunaan air tanah. Kemampuan adaptasi perlu ditingkatkan. Sebagai bagian dari tindakan adaptasi
ini, kita perlu memberikan ruang yang lebih luas di daratan kita untuk air (ruang biru) dan untuk vegetasi (ruang hijau).
Masa depan yang ‘menantang’ dengan permukaan laut meningkat, permukaan tanah yang menurun, dan curah hujan dengan
intensitas yang lebih tinggi di musim basah, menuntut kita untuk mempersiapkan diri. Diperkirakan muka laut akan berada
vi
semakin lebih tinggi dari daratan dan air semakin sering datang pada waktu dan tempat yang kurang tepat. Akibatnya,
ancaman banjr dan genangan akan semakin berat dirasakan di masa depan, terutama untuk wilayah Jakarta Utara. Jika tidak
dilakukan sesuatu tindakan, maka pada sebagian kawasan di Jakarta Utara kemungkinan mulai ditinggalkan penduduknya
pada 20 – 40 tahun ke depan. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan langkah-langkah yang tegas dan fundamental agar
pengembangan Jakarta dapat dilakukan secara berkelanjutan. Perencanaan yang konseptual dan visioner harus segera dilakukan.
Pembangunan tanggul laut (sea defence) di Teluk Jakarta adalah salah satu bagian dari rencana ini. Mengintegrasikan rencana
reklamasi Pantura dengan tanggul laut dimaksudkan untuk melindungi Kota Jakarta di masa depan.
Rencana reklamasi Pantura perlu dikembangkan secara lebih inovatif sehingga rencana Pantura tidak sekedar dipandang
sebagai cara untuk mendapatkan lahan baru dan ekonomi. Reklamasi Pantura sesungguhnya dapat diarahkan agar tidak
semata-mata untuk tujuan ekonomi, namun merupakan bagian dari ‘penyelamatan’ kota Jakarta dari ancaman kenaikan muka
air laut dan penurunan muka tanah. Reklamasi secara inovatif juga bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas lingkungan
dan kualitas kehidupan, seperti reduksi banjir, sumber suplai air baku, menghambat intrusi air laut, mencegah abrasi pantai,
dan memberikan perlindungan mangrove, sarana rekreasi, pemanfaatan tanggul sebagai infrastruktur transportasi dan manfaat
lainnya. Pendekatan yang lebih inovatif dan pemahaman akan manfaat yang lebih luas akan dapat menurunkan resistensi
terhadap rencana reklamasi. Reklamasi dan ekologi tidak harus selalu bertentangan. Pengalaman beberapa dekade belakangan
ini menunjukkan perdebatan panjang antara kelompok ‘pro-lingkungan’ dengan ‘pro-pembangunan’ tidak menghasilkan
sesuatu yang berarti dan tidak mengarah kepada pencerahan. Kepedulian akan lingkungan hidup secara tradisional sempit
sudah semakin ditinggalkan. Suatu ideologi yang menyebutkan bahwa keuntungan, pertumbuhan, dan ekosistim yang sehat
dapat hidup beriringan telah menggantikannya.
Selain pada aspek teknis, solusi inovatif juga harus diimplementasikan pada sisi finansial dan institusional. Banyak persoalan,
termasuk pada masalah banjir, lebih merupakan permasalahan institusional dibandingkan permasalahan teknik, karena
penanganan air merupakan proses yang melibatkan berbagai pihak sehingga perlu dibuat jelas peran dari setiap pihak dan
aturan main di antara mereka. Peningkatan peran masyarakat dan pendekatan bottom up mewarnai perubahan paradigma dalam
pengelolaan air. Sistem polder berbasis masyarakat perlu dikembangkan karena terbukti keberhasilannya dalam menyelesaikan
masalah banjir di kawasan rendah.
Buku ini berusaha mengangkat latar belakang persoalan banjir di Jakarta, baik dalam segi sejarah, kondisi geografis,
kependudukan, dan sosial budaya. Langkah-langkah penanggulangan banjir yang harus diambil berdasarkan data, konsep,
dan sejarah banjir itu sendiri sehingga penanggulangan banjir bisa dilakukan secara terprogram dan tentu saja mengedepankan
peranan masyarakat secara kongkrit.
Semoga buku ini bisa menjadi informasi yang berguna bagi siapa pun yang punya perhatian terhadap penanggulangan banjir
di Jakarta dan bisa memberikan inspirasi pemikiran baru dalam hal penanggulangan banjir di Jakarta.
Jakarta, September 2010
Sawarendro
vii
Bab 1
Ratusan Tahun Hikayat Banjir Jakarta
Catatan Hidrologi dan Karakter Cuaca, Saat Banjir Besar
Prakiraan Banjir Masa Datang
BANJIR :
CERITA LAMA YANG BELUM
KUNJUNG USAI
B
agi warga Jakarta, banjir adalah kisah usang yang belum berujung.
Setiap kali musim hujan datang, warga ibukota selalu waswas. Mereka
khawatir jika sewaktu-waktu air meluap hingga menggenangi daerah
tempat tinggalnya. Bayang-bayang ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh
banjir membuat warga menjadi resah. Bertahun-tahun sudah kisah itu selalu
berulang.
Keresahan ini tak hanya dirasakan golongan masyarakat bawah saja, beberapa
kawasan elit pun sudah merasakan sulitnya melakukan aktivitas di kala banjir
tiba. Air tak selalu datang saat satu wilayah mengalami hujan lebat saja; dalam
cuaca mendung dan sedikit hujan sekalipun bisa saja satu daerah tiba-tiba
mengalami banjir. Ini bisa terjadi karena hujan yang terjadi di daerah hulu
menyebabkan luapan air yang bergerak ke arah daerah yang lebih rendah.
Masyarakat Jakarta menyebut ini sebagai banjir ‘kiriman’.
Warga Jakarta telah merasakan Letak Kota Jakarta yang berada di dataran rendah menyebabkan warga ibukota
banjir sejak ratusan tahun lalu ini tidak bisa menjauh dari masalah air. Apalagi sejarah mencatat bahwa
genangan dalam jumlah besar tak hanya terjadi dalam beberapa dekade ini
saja. Ratusan tahun lalu banjir juga sudah dirasakan warga Jakarta.
Warga di sekitar Sungai Ciliwung mungkin bisa dijadikan salah satu contoh
saja, sungai yang usianya ratusan tahun ini, entah sudah berapa kali meluber:
dari genangan yang hanya beberapa sentimeter hingga setinggi rumah juga
pernah dialami penduduk sekitarnya.
Kini tidak hanya sungai Ciliwung yang kewalahan menahan banjir di musim
hujan, dua belas sungai lainnya yang membelah kota Jakarta juga sudah
mengalami hal yang sama. Begitu air datang dalam jumlah banyak, sungai-
sungai tersebut tak lagi mampu menyalurkannya ke laut. Akibatnya, tentu saja
air menggenang di daerah-daerah yang topografinya relatif lebih rendah di
daerah sekitarnya.
Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai 1
Gambar 1-1: Warga mengungsi dan resah melihat tinggi muka air yang terus meningkat.
Sialnya, banyak daerah di Jakarta yang posisinya semacam ini, lebih rendah
dari permukaan air laut dan air sungai. Inilah yang membuat warga Jakarta
harus siap menghadapi banjir rutin di setiap kali musim hujan. Tak ada pilihan,
banjir yang terjadi berulang-ulang menyebabkan warga harus sadar bahwa
mereka harus selalu siap siaga untuk menghadapinya.
Pembangunan Banjir Kanal 1.1. Ratusan Tahun Hikayat Banjir Jakarta
Barat pada tahun 1922, langkah Sejak zaman Belanda, pemerintah yang berkuasa di Jakarta juga telah
fenomenal dari Herman van Breen dipusingkan dengan masalah banjir. Bagi sebagian orang mungkin tidak
percaya kalau bencana banjir di Jakarta ini sudah mulai ada sejak zaman
Belanda ketika jumlah penduduk Jakarta sebenarnya masih sangat sedikit
apalagi jika dibandingkan populasinya saat ini.
Dengan niat untuk melakukan perdagangan, orang-orang Belanda mulai
mengunjungi Jakarta di abad 16. Tergiur dengan hasil yang lumayan besar,
pemerintah kolonial pun semakin menancapkan kukunya di wilayah ini.
Akibatnya, segala aspek kehidupan benar-benar diatur oleh pemerintahan
kolonial.
Beberapa tahun setelah Belanda menguasai Batavia, pemerintahan kolonial
sudah merasakan rumitnya menangani banjir di wilayah ini. Banjir besar
Gambar 1‑4: Tinggi muka air Sungai Ciliwung di Depok dan Manggarai saat banjir 2002.
(Sumber: Jakarta Flood Management Project )
80 orang meninggal dunia, korban kali terjadi tanggal 2 Februari 2007 disebabkan oleh hujan yang sangat lebat
banjir pada tahun 2007 paling di Jakarta. Saat itu ketinggian air di Sungai Ciliwung mencapai sekitar 9,5
banyak dalam sejarah Jakarta meter. Banjir hari itu bukan berasal dari daerah hulu, sebab ketinggian air di
Katulampa dan Depok tidak mengkhawatirkan.
Dua hari kemudian tanggal 4 Februari hujan lebat terjadi di daerah hulu dan
saat itu ketinggian air di Katulampa sudah menunjukkan tanda-tanda akan
meluap. Meski hujan di Jakarta tidak sebesar dua hari sebelumnya, akan
tetapi banyaknya air dari daerah hulu tidak mampu ditampung di daerah hilir
Ciliwung. Saat itu tinggi air mencapai lebih dari 10,5 meter. Banjir pada
tanggal 4 Februari 2007 tersebut lebih banyak disebabkan oleh curah hujan
yang tinggi di daerah hulu Katulampa dan Depok.
Gambar 1‑6: Tinggi muka air Sungai Ciliwung di Katulampa dan Manggarai saat banjir 2007.
(Sumber: Jakarta Flood Management Project )
Sebagai catatan, dalam beberapa kali terjadinya banjir di Jakarta tinggi muka
air Katulampa selalu dijadikan acuan. Bendung Katulampa yang berada di hulu
(Bogor) aliran sungai Ciliwung ini dibuat pada zaman Belanda sebagai sumber
air untuk saluran irigasi dan untuk penggelontoran air di kota-kota di sekitarnya.
Jika intensitas hujan tinggi, muka air di tempat ini selalu dipantau selama 24
jam penuh. Hal ini dilakukan agar petugas bisa cepat membuka pintu air di
Jakarta, jika memang diperlukan, untuk mengurangi risiko banjir di Jakarta.
Tinggi muka air laut belum 1.2. Catatan Hidrologi dan Karakter Cuaca, Saat Banjir Besar
berpengaruh terhadap terjadinya Dari beberapa kejadian banjir besar yang terjadi tahun 1996, 2002 dan 2007,
banjir 1996, 2002 dan 2007 ada beberapa catatan yang bisa kita ambil berkaitan dengan masalah hidrologi
maupun karakter cuaca.
1. Bulan Januari dan Februari adalah bulan dengan curah hujan tinggi yang
berpotensi menyebabkan terjadinya banjir.
2. Banjir di Jakarta sering disebabkan oleh hujan turun dengan kapasitas
besar terus menerus. Hujan yang hanya turun sekali biasanya tak sampai
membuat Kali Ciliwung melimpas. Masalah timbul, bila hujan besar
berikutnya datang dalam selang waktu yang tidak terlalu jauh. Ini terlihat
dalam kasus banjir tahun 2002. Curah hujan awal Januari membawa
banyak material dan menyebabkan terjadinya sedimentasi di dasar sungai.
Akibatnya ketika hujan yang sama kembali muncul tanggal 31 Januari,
banjir sulit dielakkan.
3. Tinggi muka air laut tidak mempengaruhi banjir yang terjadi tahun 1996,
2002 dan 2007. Banjir tahun 2002 dan 2007 disebabkan oleh curah hujan
ekstrim yang turun lebih dari dua hari. Hal ini menyebabkan tinggi muka
Akumulasi permasalahan
menyebabkan semakin beratnya
tantangan Jakarta dalam
menghadapi banjir
J ika kita melihat dari sejarah yang sudah diuraikan di atas, banjir sudah
terjadi sejak zaman kolonial Belanda, hampir empat abad yang lalu.
Ini artinya di saat jumlah penduduk Jakarta masih sedikit, banjir pun
sudah terjadi di Jakarta. Dalam dekade terakhir, ternyata banjir semakin
sering dialami. Melihat kecenderungan banjir di Jakarta yang semakin sering
serta semakin banyak kawasan yang tergenang, memberikan indikasi bahwa
penyebab banjir semakin beragam.
Meningkatnya permukaan air laut Faktor yang berpengaruh terhadap banjir/genangan di daerah ini adalah:
dan amblesan, mengakibatkan • tidak terdapatnya tanggul (dinding pelindung) yang menyekat daerah
masalah banjir rob menjadi isu rendah tersebut dari tingginya air sungai dan air laut ;
dominan di masa datang • berkurangnya tempat retensi air karena perubahan peruntukan ;
• tidak memadainya kapasitas pompa yang ada ;
• buruknya operasi dan pemeliharaan sistem polder.
Selain itu, dengan meningkatnya permukaan air laut dan penurunan muka
tanah, maka permasalahan banjir rob tersebut diprediksi akan menjadi isu yang
semakin dominan pada masa yang akan datang.
Sekitar 40 % wilayah Jakarta di 2.3. Muka Tanah Rendah, Air Sulit Bergerak
bawah ketinggian permukaan Lazimnya memang permukaan air laut lebih rendah dari dataran sehingga
air laut dan/atau permukaan air yang mengalir dari hulu dengan mudah bisa dialirkan ke laut dengan
air sungai. Untuk wilayah ini mengandalkan gaya gravitasi. Jika kondisi suatu wilayah seperti ini, maka
yang harus dipikirkan adalah bagaimana air limpasan bisa langsung masuk
pembuangan air secara alamiah ke sungai dan dialirkan segera ke laut. Akan tetapi, dibeberapa daerah di
(gravitasi) tidak dimungkinkan Jakarta air sulit bergerak secara alamiah dengan mengikuti gaya gravitasi. Ini
disebabkan karena topographi Jakarta yang rendah dan datar yang sekitar 40 %
dari wilayahnya berada pada ketinggian di bawah permukaan air laut dan/atau
permukaan air sungai. Karena itu secara alamiah tidak dimungkinkan untuk
mengalirkan air secara gravitasi. Harus ada upaya lain untuk mengangkat air
sehingga bisa dibuang ke sungai atau ke laut. Oleh karenanya pembuangan air
dari kawasan rendah ini harus dibantu dengan pemompaan yang dilengkapi
dengan tempat penampungan air sementara (waduk). Di daerah semacam ini
memang perlu tambahan energi untuk mengenyahkan air dari wilayahnya.
Gambar 2-3: Limpasan air laut dan banjir rob isu dominan di masa datang.
Rumah yang menjorok ke sungai, 2.5.2. Permukiman dan Utilitas Sepanjang Sungai
kabel telepon dan listrik, pipa Beragamnya strata ekonomi masyarakat Jakarta berdampak pula pada
air yang melintas saluran keragaman permukiman yang mereka miliki. Dari rumah mewah yang berada
mengurangi kapasitas saluran di kawasan Pondok Indah hingga rumah-rumah seadanya di pinggiran kali di
banyak sungai di Jakarta. Untuk membuat agar daerah aliran sungai bersih
dari rumah-rumah penduduk ternyata sulit untuk diupayakan. Hal ini terbukti
dengan tumbuhnya permukiman liar di sepanjang sungai. Bahkan pada
beberapa lokasi permukiman liar tersebut menjorok ke badan saluran atau
sungai. Bangunan-bangunan tersebut tentu saja mengambil jatah aliran air yang
mengalir di saluran, terutama di kala musim hujan. Banyaknya permukiman
yang ada di sekitar sungai akan menambah jumlah endapan di saluran tersebut
karena akan banyak material yang terbuang atau dibuang ke aliran sungai.
Ini tidak saja mempersempit daerah aliran sungai, tetapi juga membahayakan
warga yang tinggal di rumah tersebut. Foto pada Gambar 2-4 berikut mewakili
kasus tipikal bagaimana pemukiman yang menjorok ke badan saluran/sungai
tersebut telah menghambat aliran.
Gambar 2-4: Permukiman yang menjorok di kali krukut dan kali mampang.
Kita tidak bisa membayangkan jika jutaan masyarakat Jakarta masih saja
membuang sampahnya ke dalam saluran. Limbah padat ini terdiri dari plastik,
kertas, tekstil dan bahan-bahan organik. Memang pemerintah berusaha untuk
memindahkan dan mengangkut sampah-sampah tersebut dari saluran. Akan
tetapi proses pemindahannya dari saluran masih kalah cepat dengan limbah
padat yang datang. Akibatnya tentu saja saluran dipenuhi oleh sampah. Ketika
hujan lebat datang, sungai tidak lagi efektif mengalirkan air limpasan.
Gambar 2-5: berikut menunjukkan contoh hambatan pada aliran akibat dari
tumpukan sampah dan limbah.
Gambar 2-5: Limbah padat yang terjaring di Sudetan Grogol—Sekretaris & outlet saluran Utan Kayu
Untuk mengurangi dampak penurunan muka tanah ini, salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan mengurangi penyedotan air tanah secara
bertahap dan pada akhirnya nanti harus dilarang sama sekali. Memang tidak
mudah untuk melarang masyarakat atau kalangan industri memakai air tanah
karena akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan industrinya. Akan
tetapi pembatasan penggunaan air tanah harus terus dilakukan.
Karena sifat globalnya, penanganan masalah ini harus dilakukan secara global
dengan cara menurunkan konsentrasi CO2 dan gas rumah kaca lainnya. Semua
negara di dunia harus bersama-sama berusaha menurunkan konsentrasi CO2
dan gas rumah kaca lainnya di negaranya masing-masing. Isu ini merupakan
isu internasional yang membutuhkan kemauan bersama antar sesama negara
yang berada di permukaan bumi ini untuk mengurangi pemanasan global.
Disisi lain, akibat berbagai macam fungsi Jakarta tersebut salah satunya ialah
memberikan daya tarik urbanisasi yang besar bagi warga luar untuk mengadu
nasib ke Ibukota. Urbanisasi yang besar tentu akan menimbulkan berbagai
macam permasalahan sosialnya. Pemerintah harus menyediakan sarana
pendidikan, kesehatan, transportasi, perumahan, air bersih dan sarana lain.
Sayangnya pemerintah tidak sanggup untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan
itu; ini akibat terlalu banyaknya masyarakat yang hijrah ke ibukota.
Bertempat tinggal dan mencari nafkah di Jakarta memang masih menjadi daya
tarik orang untuk datang ke Jakarta. Ini terbukti dengan cepatnya pertumbuhan
penduduk di DKI Jakarta. Tahun 1948, DKI Jakarta dengan luas 661,52 km2
(66.152 ha) dihuni oleh 1,2 juta jiwa, tahun 1973 jumlah penduduknya melesat
hingga 5 juta jiwa.
Memasuki era tahun 80-an, pertumbuhan penduduk Jakarta masih cukup tinggi
dan mencapai sekitar 2,42 %. Sedangkan dalam dekade berikutnya 1990–2000
pertumbuhan penduduk relatif menurun hanya 0,16 %. Bahkan di wilayah
Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan terdapat kecenderungan populasi yang
menurun masing-masing sebesar –2,01 % dan –0,69 % per tahun pada kedua
periode waktu tersebut. Sebaliknya pertumbuhan penduduk terbesar terjadi di
wilayah Jakarta Timur (1,35 %). Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan
penduduk DKI Jakarta cenderung bergerak menuju ke arah timur DKI Jakarta
seperti diperlihatkan pada Tabel 2-1.
Memasuki tahun 2000 penduduk Jakarta terus bertambah secara signifikan,
hingga tahun 2005 penduduk Jakarta berkisar 8,9 juta jiwa, tahun 2010
diperkirakan mendekati 9,6 juta jiwa. Ini menunjukan bahwa semakin hari
Dijejali bangunan, ruang terbuka 2.10. Tata Guna Lahan, Minim Ruang Terbuka Hijau
hijau jumlahnya turun drastis
sejak awal tahun 70’an
Jakarta Utara
15.400,990 ha
Jakarta Selatan
14.572,980 ha
Jakarta Barat
112.614,980 ha
Jakarta Timur
18.772,990 ha
Jakarta Pusat
4.789,990 ha
Perubahan tata guna lahan di Jakarta terjadi cukup drastis dalam dekade
belakangan ini sebagaimana terlihat dalam Gambar 2-10 berikut. Dalam
gambar ini terlihat lahan hijau yang drastis mengalami penurunan dalam kurun
waktu 30 tahun.
Di Jakarta rasio badan air (waduk 2.11. Terbatasnya Luas Badan Air
dan sungai) berkisar 2,8 %, jauh Banyaknya orang yang ingin bertempat tinggal dan banyaknya institusi yang
ingin membangun perkantoran atau pusat perdagangan di wilayah ini membuat
dari kondisi ideal
perburuan terhadap tanah di Jakarta menjadi ramai. Setiap jengkal tanah
berusaha dikuasai; ini tentu saja membuat nilai ekonomis lahan-lahan yang
ada di Jakarta menjadi tinggi.
Lahan-lahan kosong banyak digunakan untuk mendirikan bangunan.
Kebutuhan lahan untuk penyerapan air pun tidak terpikirkan, apalagi untuk
mengalokasikannya. Akibatnya, luberan air bergerak ke sana kemari karena
terbatasnya badan air yang tersedia.
2.12.3. Hidrograf
Kebanyakan daerah tangkapan air dari sungai-sungai yang melewati kota
Jakarta berbentuk memanjang, sehingga hidrograf banjir cenderung cepat,
tajam dan terjadi dalam waktu yang singkat. Kondisi tersebut diperburuk
dengan adanya kecenderungan perubahan penggunaan lahan di kawasan
resapan yang telah berubah menjadi kawasan permukiman dan kawasan
terbangun lainnya sehingga aliran air permukaan menjadi lebih besar.
2.13. Kondisi Hidrogeologi
Salah satu data atau informasi penting untuk perencanaan pengendalian
banjir dan pengembangan kota adalah data atau informasi mengenai keadaan
hidrogeologi. Peta hidrogeologi dan peta resapan wilayah DKI Jakarta, bisa
dijadikan pedoman untuk pengembangan permukiman dan juga pengembangan
waduk dan situ, sebagai tempat penampungan air sementara.
30 Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta.
Dari beberapa peta hidrogeologi diketahui bahwa muka air tanah di wilayah
Jakarta Utara cukup tinggi sehingga penerapan sumur resapan tidak akan
berfungsi pada wilayah ini. Sebaliknya, untuk wilayah selatan dapat
dikembangkan untuk permukiman dengan low-density atau open space. Hal
ini dimaksudkan agar peresapan air tanah bisa berlangsung dengan efektif
sehingga cadangan air tanah untuk penduduk DKI Jakarta bisa lebih terjamin
dan berkesinambungan (sustainable).
Sebagai contoh sistem polder dan waduk yang dianggap efektif menyelesaikan
permasalahan banjir di satu kawasan ternyata sudah mulai digerakkan sejak
1965. Sayangnya hingga saat ini belum banyak kawasan yang menggunakan
sistem ini. Padahal, jika sistem ini bisa dibuat dengan baik, didukung dengan
institusi pengelola yang berkelanjutan, niscaya sistem ini mampu mengatasi
banjir, serta menghindari warga dari kerugian. Hal yang sama juga bisa dilihat
dalam implementasi pembangunan BKT; walaupun pembangunan ini telah
Satu contoh adalah ketika dia merencanakan sistem tata air di Rawa Menteng
pada lembah Kali Cideng di daerah Kampung Lima dan Rawa Tanah Tinggi.
Daerah ini tergenang di kala hujan. Untuk mengeringkan daerah tersebut di
musim hujan, van Breen memilih menggunakan pompa-pompa air, mirip
seperti yang dilakukan di banyak tempat di Belanda. Padahal, sebenarnya untuk
mengeluarkan air dari tempat itu sudah cukup dengan menggunakan pintu air.
Alasan van Breen, menggunakan pompa bisa lebih cepat, dan nyamuk malaria
tak sempat berkembang biak. Masuk akal, karena diawal abad XIX daerah ini
sudah mulai banyak penduduknya.
Tahun 1918 dia kembali merencanakan satu konsep yang lebih strategis dalam
menanggulangi banjir. Konsepnya adalah berusaha mengendalikan aliran
air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Untuk itu perlu
dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan
air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor
yang dibangun itu (kini dikenal dengan nama Banjir Kanal Barat-BKB)
memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai dan bermuara di kawasan
Muara Angke. Alasan penetapan Manggarai sebagai titik awal ialah karena
pada saat itu wilayah ini merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari
gangguan banjir sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di
musim hujan. BKB ini sendiri mulai dibangun tahun 1922. Untuk mengatur
debit aliran air ke dalam kota, banjir kanal ini dilengkapi beberapa pintu air.
Dengan adanya BKB, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali.
Hingga sekarang kanal ini masih diandalkan untuk mengurangi beban banjir
di Jakarta. Setidaknya warga di sebelah barat ibukota sangat terbantu dengan
adanya saluran ini. Beberapa kali kanal ini mengalami penyempurnaan, seperti
pembuatan turap, pengerukan, pelebaran dan lain-lain.
Karena jumlah penduduk masih tergolong sedikit, maka masih banyak lahan
yang bisa dipakai untuk pertanian. Pada awal tahun 50’an pemerintah masih
mengucurkan bantuannya untuk dana pembangunan saluran irigasi di Jakarta
seperti perbaikan irigasi di Kalideres sepanjang 5.500 meter.
Pada masa-masa ini yang menonjol justru aksi-aksi yang sifatnya gotong
royong warga yang dengan kesadaran sendiri masyarakat membangun saluran-
saluran di daerah sekitarnya untuk mengurangi dampak banjir di kawasan
masing-masing. Gotong royong seperti ini kerap dilakukan warga di sekitar
daerah Tanah Abang, Kebayoran Lama, Grogol, Kebon Sirih dan berbagai
wilayah lainnya yang berpotensi banjir.
Pada tahun 1965 beberapa Pada 11 Februari 1965, satuan tugas khusus (satgas) dibentuk oleh Pemerintah
sistem polder dibangun, namun Pusat, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Satgas
lemahnya institusional pengelola yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 29 Tahun 1965
diberi nama Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir) DKI Jakarta
menyebabkan sistem tak berfungsi
sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Ibukota. Satgas itu
dengan baik bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah Khusus Jakarta dalam mengatasi
masalah banjir yang tertuang dalam Rencana Pengembangan untuk Jakarta Raya.
Strategi yang ditempuh Kopro Banjir ini merupakan pengembangan konsep
yang disusun oleh van Breen. Dalam implementasinya, konsep ini disesuaikan
dengan Pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta yang ada pada saat itu. Dengan
demikian, dalam pelaksanaannya, Kopro Banjir cenderung mengedepankan
sistem polder dengan waduk dan pompa sebagai elemen utamanya. Beberapa
proyek yang dilaksanakan pada saat itu meliputi pembangunan waduk, polder
dan sodetan. Pembangunan waduk meliputi Waduk Setia Budi, Waduk Pluit,
Waduk Tomang danWaduk Grogol. Untuk pembangunan polder meliputi
Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder
Setia Budi Timur. Sedangkan untuk sodetan adalah Kali Grogol dan Kali
Pesanggrahan. Di samping itu ada juga pembuatan gorong-gorong di Jalan
Sudirman dan rehabilitasi terhadap beberapa sungai di Jakarta.
Setelah banjir besar pada 3.1.4. NEDECO 1973: Berharap pada Kanal Timur
Tahun 1970 banjir besar melanda Jakarta Pusat, dan tidak tanggung-tanggung,
Februari 1970 bantuan teknis kawasan Monas sebagai simbol kota Jakarta terendam air. Soeharto, Presiden
diberikan oleh pemerintah RI saat itu merasa perlu untuk langsung meninjau ke lokasi banjir. Kejadian
Belanda atas permintaan ini membuat pemerintah semakin berusaha mencari jalan keluar untuk
pemerintah Indonesia mencari solusi banjir di Jakarta. Termasuk dengan bekerjasama dengan
pihak-pihak asing.
Setelah banjir besar pada Februari 1970, bantuan teknis diberikan oleh
Pemerintah Belanda atas permintaan Pemerintah Indonesia. The Master Plan
for Drainage and Flood Control of Jakarta oleh Netherlands Engineering
Consultants (NEDECO) 1973 merupakan hasil dari inisiatif tersebut.
Pengendalian banjir didefinisikan oleh NEDECO 1973 sebagai mengalihkan
Sebenarnya apa yang tersurat dalam perencanaan ini sudah tergolong cukup
ideal sebagai upaya penanggulangan banjir. Di sana disebutkan ada 24.000
hektar lahan yang bisa diamankan dari banjir, termasuk oleh BKT. Kanal
itu direncanakan akan memotong sungai-sungai Cipinang, Sunter, Buaran,
Jatikramat dan Cakung.
BKB dan BKT akan berhasil 3.1.5. JICA 1991: Perlu Pengubahan Pola Penggunaan Lahan
jika diikuti perbaikan dan Sesudah Belanda dengan NEDECO-nya, Jepang melalui Japan International
pembangunan sistem drainasi Cooperation Agency (JICA) tahun 1991 juga melakukan studi. Study on Urban
yang baik Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta – Masterplan
Study yang dilakukan JICA adalah studi mengenai drainase perkotaan. Studi
ini mengamati bahwa laju pertambahan penduduk yang sangat pesat di Jakarta
telah mengakibatkan bertambahnya beban drainase dan risiko banjir di dalam
kota. Studi ini juga menekankan bahwa proyek-proyek seperti BKB dan BKT,
yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi sungai-sungai utama Jakarta,
akan berhasil apabila perubahan pola penggunaan lahan akibat proses urbanisasi
yang sangat cepat tersebut disertai dengan pembangunan sistem drainasenya
sendiri yang layak. Oleh karena itu tujuan studi ini meliputi perumusan master
Berdasarkan Master Plan JICA 1991, Jakarta juga dibagi ke dalam 6 zona.
Pembagian ke dalam 6 zona dengan pertimbangan bahwa saluran yang secara
hidrolik terhubung akan dikembangkan sebagai satu sistem dan secara praktis
pembagian zona tersebut merupakan pembagian zona berdasarkan alur sungai.
Kejadian banjir 1996 menunjukkan 3.1.6. NEDECO 1996: Polder Sebagai Bagian dari Solusi Banjir
ketidakmampuan sistem drainase Pada dua bulan pertama tahun 1996, di Jakarta terjadi dua kali banjir besar.
kota mengalirkan air dengan debit Yang pertama terjadi pada bulan Januari sebagai akibat hujan lebat di daerah
puncak ke Teluk Jakarta hulu Sungai Ciliwung. Banjir kedua terjadi di bulan Februari yang diakibatkan
curah hujan yang sangat tinggi di Jakarta. Kejadian ini, terutama banjir yang
kedua, menunjukkan ketidakmampuan sistem drainase kota untuk mengalirkan
air dengan debit puncak ke Teluk Jakarta.
Pada Juni 1996, NEDECO melakukan kegiatan yang disebut Jakarta Flood
Control Advisory Mission. Pekerjaan yang dilakukan adalah perumusan rencana
tindak (action plan) untuk mitigasi bencana banjir di wilayah Jabotabek. Misi
ini menggarisbawahi cara pendekatan perlindungan banjir yang diusulkan
dalam NEDECO sebelumnya dan didasarkan pada dua hal di bawah ini:
• pengalihan banjir ke dalam saluran banjir ;
• perbaikan drainase kota dengan jalan pembersihan atau peningkatan
saluran-saluran kota dan membuat sistem drainase polder dengan
pemompaan.
Kawasan polder yang ditentukan di sini merupakan kawasan rendah yang tidak
memungkinkan air drainase mengalir secara gravitasi. Daerah polder harus
terisolasi dan dilindungi dari daerah sekitarnya dengan membangun tanggul
atau pembatas sepanjang pinggiran polder. Dalam sistem ini kelebihan air
hujan ditampung pada lokasi tertentu kemudian dipompa ke laut atau sungai
Dalam studi tersebut JICA menyelesaikan Study on Detailed Design for Urban
Drainage Project in the City of Jakarta, yang merupakan studi untuk Zona 1
(salah satu zona dalam Studi JICA 1991) yang mencakup wilayah kurang lebih
38 km². Kawasan ini termasuk dua wilayah sub-drainase yaitu Cengkareng
Barat (36,71 km²) dan kawasan Meruya (1,27 km²).
Studi ini menekankan pada perbaikan BKB, termasuk Pintu Air Manggarai,
Kali Ciliwung Bawah, dan Bendung Pasar Baru di Kali Cisadane. Lingkup
studi ini termasuk kajian atas kapasitas saluran saat ini, persiapan dari desain
dasar dan rencana pelaksanaan, dan penyelidikan terhadap dampak pelaksanaan
proyek dan dampak sosial yang mungkin timbul.
Sulitnya pembangunan BKT ini disebabkan oleh besarnya dana yang harus
dialokasikan ditambah lagi pembebasan lahan yang harus dilakukan juga cukup
luas dan melibatkan banyak pemilik lahan. Dengan demikian, pelaksanaannya
terus menerus tertunda, sampai akhirnya tahun 1996, NEDECO melakukan
pra study kelayakan terhadap berbagai jenis pilihan konstruksi dan trase
rencana pembangunan BKT. Kini BKT benar-benar sudah terealisasi sebagai
bagian dari sistem tata air di Jakarta, yang dalam hal ini BKT diandalkan
bersama “saudara tuanya” BKB diandalkan untuk menjadi tulang punggung
dalam mengalirkan air langsung ke laut. Di samping tentu saja masih terdapat
beberapa sungai lain yang juga mengalirkan air langsung ke laut.
Dalam alur pikir ini, air yang berasal dari hulu akan dialirkan ke laut melalui
BKB dan BKT, sedangkan wilayah bawah di utara kedua banjir kanal ini
menjadikan sistim polder sebagai sistim pengendalian banjirnya. Namun,
dengan memperhatikan landsubsidence yang menyebabkan semakin banyak
wilayah Jakarta yang akan berada di bawah permukaan air laut dan sungai,
maka wilayah implementasi sistim polder akan menjadi lebih luas.
M
Dalam hal anggaran, sumber engapa banjir Jakarta tidak kunjung bisa diselesaikan? Pertanyaan
daya dan organisasi, pemerintah ini sudah bertahun-tahun belum terjawab. Pemerintah bukan tanpa
kesulitan menghadapi banjir dan upaya dalam menyelesaikan permasalahan banjir. Saluran sudah
masalah banjir dikeruk, kanal-kanal baru telah dibangun, tetapi banjir tetap saja menjadi
bagian dari penderitaan yang harus dirasakan warga Jakarta, setiap kali musim
penghujan datang.
Amblesan dan kenaikan muka air 4.1. Perubahan Paradigma Pengendalian Banjir
laut menambah berat tantangan Pengalaman selama ini di Indonesia, atau di negara lain yang mempunyai
DKI Jakarta dalam menghadapi kemiripan permasalahan banjir, menunjukkan bahwa pemerintah memiliki
banjir keterbatasan kemampuan menghadapi persoalan banjir dan pengelolaan air.
Keterbatasan ini terutama dalam wujud keterbatasan dana dan sumber daya
manusia yang dimiliki. Di sisi lain persoalan/tantangan semakin berat.
Lokasi Jakarta yang berada pada dataran rendah yang secara kontinyu
mengalami penurunan muka tanah (land subsidence) dan kenaikan permukaan
Upaya penanggulangan banjir Di samping itu, persoalan urbanisasi yang meningkatkan jumlah penduduk,
secara struktural dengan yang otomatis juga memerlukan lahan untuk bekerja dan bertempat tinggal,
mengandalkan peran pemerintah menambah daftar tantangan yang ada. Akibatnya ruang untuk penyerapan
air semakin terbatas. Banyak di antara mereka mengambil lahan di tempat
saja, tak lagi efektif
yang sebenarnya menjadi daerah yang harus bebas dari permukiman, seperti
bantaran sungai dan waduk.
Penanggulangan banjir harus Dengan kemampuan yang terbatas, pemerintah seyogyanya berfungsi sebagai
fasilitator dengan memberi gagasan-gagasan dan garis besar tentang apa
merupakan langkah menuju ke
yang perlu dilakukan dan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Sedangkan
penyelesaian yang permanen masyarakat berpartisipasi di tingkat mikro dan sub-makro. Prinsipnya, warga
mengelola genangan yang mungkin terjadi di kawasan mereka. Dengan proses
seperti ini, diharapkan setiap tindakan penanggulangan banjir merupakan
langkah menuju ke penyelesaian yang permanen dan dengan pelibatan
pemangku kepentingan (stakeholders); proses semacam ini akan mendorong
tercapainya penyelesaian yang berkelanjutan (sustanaible solution). Dengan
cara seperti ini maka ketahanan kelompok-kelompok masyarakat dalam
menanggulangi banjir di daerahnya bisa terus menerus dipelihara dan
dikembangkan.
Masyarakat harus aktif mengelola daerahnya agar banjir lebih bisa dihindari.
Pengalaman yang ada menunjukkan bahwa persoalan pengelolaan air tak
semata-mata disebabkan oleh ketidakmampuan teknis, tetapi lebih sering
Sebagai contoh, jika merunut konsep yang sudah ada, maka usulan perlunya
pembuatan sistem polder sudah ada sejak tahun 1965 dan saat itu pula telah ada
beberapa polder yang segera dibangun. Sayangnya, hingga saat ini kebanyakan
sistem polder itu tak lagi bisa berjalan dan hanya di beberapa lokasi saja yang
sistem poldernya bisa berjalan baik.
Kanal-kanal buatan dan sungai-sungai yang sudah ada tetap menjadi saluran
makro utama untuk mengalirkan air ke laut. Upaya yang harus dilakukan
adalah bagaimana agar kanal dan sungai tersebut bisa berperan maksimal di
kala musim hujan dan bagaimana pula mengangkat air secara kontinyu dari
daerah yang berada di bawah permukaan saluran tersebut. Meski kelihatannya
sederhana, tentu dalam kenyataannya bukan perkara gampang.
Beberapa kebijakan seringkali 4.5. Penyelesaian Tepat Arah, Tepat Lokasi dan Terukur
mengikat semua wilayah, padahal Untuk efektifnya implementasi penanggulangan banjir, perencanaan yang
situasi dan kondisinya tidak selalu dilakukan haruslah tepat arah dan tepat lokasi. Kebijakan yang diambil jangan
sama sampai menjadi tidak berguna saat diimplementasikan. Sebagai contoh,
dalam membuat sumur resapan, prinsipnya adalah untuk menahan air dengan
mempermudah penyerapan oleh tanah. Dalam kenyataannya kebijakan ini
tak bisa diterapkan di daerah Jakarta Utara yang wilayahnya berada di bawah
permukaan laut. Di wilayah ini, penggalian sampai kedalaman sekitar satu
meter saja sudah menemukan muka air tanah. Ini artinya sumur resapan yang
dibuat tak efektif lagi, bahkan justru bisa mencemari air tanah. Berbeda halnya
jika aturan pembuatan sumur resapan itu dilakukan pada daerah yang berada
di selatan atau di hulu. Tentu fungsinya sebagai tempat penyerapan air benar-
benar bisa dilaksanakan.
Untuk daerah yang paling rendah atau hilir ini perlu pula dibuat prioritas
tempat-tempat mana saja yang harus terlebih dahulu digenangi jika air yang
melimpas, seperti; waduk, lahan kosong, tempat parkir dan lainnya.
S
ecara umum terdapat dua upaya pokok dalam pengendalian banjir yaitu
upaya yang bersifat teknis dan upaya non-teknis. Upaya teknis adalah
upaya yang berkaitan dengan pembangunan prasarana teknis dalam
menanggulangi banjir serta akibat yang ditimbulkannya. Di antaranya adalah
pembuatan banjir kanal, tanggul, waduk, perbaikan saluran drainase mikro
maupun makro, normalisasi sungai, pembuatan kolam tampungan setempat
(on site detention storage-OSD), pembuatan waduk penampung air banjir di
hulu (flood retention basin), dan sebagainya.
Perlakuan yang salah terhadap Dari aspek tata ruang, aliran sungai merupakan bagian atau unsur dari
sistem tata air bisa mengakibatkan ruang yang perlu mendapatkan tempat dan perlakuan yang semestinya oleh
masyarakat, sebagaimana halnya dengan jaringan infrastuktur pada umumnya
bencana
seperti jalan raya, jaringan drainase, sanitasi, dan jaringan utilitas lainnya.
Perlakuan yang salah terhadap sistem tata air bisa mengakibatkan bencana,
seperti banjir, krisis air bersih atau bahkan juga kekeringan. Pengaturan
wilayah perlu dilakukan sedemikian agar tidak timbul masalah banjir dan
sekaligus di sisi lain agar air sebagai sumber air baku dapat dimanfaatkan
seoptimal mungkin.
Dari pengaturan tata ruang, khususnya dalam konteks tata ruang wilayah
sungai yang juga mencakup kawasan perkotaan, pengendalian banjir dan
pemanfaatan air secara garis besar seyogianya mengikuti pedoman berikut.
1. Di bagian hulu, fungsinya sebagai penahan (retention) air hujan supaya air
tidak langsung mengalir ke sungai, tapi masuk sebagian ke dalam tanah,
untuk menjadi bagian air tanah. Untuk itu, pemanfaatan ruangnya bisa
sebagai hutan, perkebunan atau untuk tanaman keras/pelindung.
2. Di bagian tengah,fungsinya sebagai penyimpan air (storage), artinya air
hujan atau air sungai ditahan sementara. Ini dilakukan untuk menyimpan
air pada saat musim hujan, dan dimanfaatkan pada saat musim kemarau,
serta sekaligus juga sebagai pengisi air tanah.Untuk itu pemanfaatan
ruangnya bisa sebagai waduk, situ, empang, kolam, embung, badan sungai
dan bantaran sungai.
3. Di bagian hilir, fungsinya sebagai genangan dan memerlukan pembuang
air (drainage). Genangan air hujan yang ada di kawasan urban dialirkan
melalui saluran drainase ke badan sungai dan terus ke laut. Untuk itu
pemanfaatan ruangnya adalah sebagai saluran drainase, badan sungai,
bantaran sungai, tempat penyimpan air.
Perlu insentif bagi pengguna air 5.2. Air Tanah Terbatas: Jangan Terus Disedot
perpipaan (PAM) dan desinsentif Seperti sudah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa tanah lunak yang
bagi pengguna air tanah dikombinasikan dengan penyedotan air tanah secara terus menerus akan
mengakibatkan land subsidence (amblesan). Penurunan muka tanah tidak
bisa dibiarkan terus menerus dan harus ada upaya pencegahan. Jika ini tidak
dilakukan akan mengakibatkan muka tanah di DKI Jakarta semakin jauh beda
tingginya di bawah muka air laut dan muka air sungai.
Untuk itu, guna menghindari penurunan muka tanah ini perlu ada aturan
mengenai pembatasan penggunaan air tanah yang antara lain ialah dengan
mengenakan pajak/retribusi yang tinggi bagi masyarakat yang menggunakan air
tanah. Sementara itu bagi masyarakat yang menggunakan sumber lain, seperti
air perpipaan (PAM) justru mendapat insentif sehingga dapat mendorong warga
untuk tidak menggunakan air tanah. Untuk memaksimalkan penggunaan air
melalui pipa semacam ini, pemerintah daerah perlu mendorong agar distribusi
air bersih ini bisa terus menerus ditingkatkan sehingga masyarakat lebih mudah
dan murah mendapatkan air perpipaan dari PAM. Tak hanya masyarakat,
industri, baik yang berskala kecil maupun besar, juga harus mengurangi
penggunaan air tanah. Selama ini, kelompok ini justru menyedot air dengan
jumlah yang sangat banyak. Ini tentu sangat mengganggu kandungan air yang
berada di dalam tanah.
Beberapa waduk yang ada Potensi pengembangan waduk diharapkan terjadi di kawasan Jakarta Selatan
konstruksinya sangat mengkhawatirkan dan Jakarta Timur. Namun kendalanya adalah masalah pembebasan lahan di
samping masalah pendanaan. Sedangkan di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat
lebih sedikit lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan situ dan
waduk.
GS GS GS GS
Gambar 5-3: Peraturan sempadan sungai tanpa tanggul kondisi luar dan dalam kota.
GS GS GS GS
Gambar 5-4: Sempadan sungai dengan tanggul kondisi luar dan dalam kota.
Sistem blok dapat menjadi Untuk mengatasi ini salah satunya solusi adalah dengan membangun pola
alternatif pengganti rumah perumahan dengan sistem blok bertingkat. Sebenarnya sudah ada pola
susun pembangunan rumah susun tapi kelemahannya adalah rumah susun yang ada
terlalu tinggi dan jumlah unit rumah yang kelewat banyak. Dari segi ruang,
memang menghemat penggunaan lahan, akan tetapi masalah atau dampak
sosial yang ditimbulkan dari kelompok keluarga yang menghuni rumah
susun itu cukup besar. Ada beberapa studi yang melaporkan sisi negatif dari
pembangunan rumah susun.
Karena itu alternatif lainnya adalah pembangunan rumah dengan sistem blok.
Contoh sistem blok di sini dimaksudkan adanya gabungan 3 buah rumah
disusun dua lantai, jadi dalam satu blok bangunan terdiri dari 6 buah rumah.
Dengan demikian space atau ruang terbuka menjadi lebih banyak dan lay out
bangunan bisa lebih tertata dengan baik.
Dari aspek hidrologis, pola ini juga lebih menguntungkan karena dengan
adanya ruang terbuka yang lebih luas maka kemungkinan terjadinya resapan
air menjadi lebih besar pula. Penataan ruang seperti ini bisa berpengaruh
terhadap pengurangan dampak bahaya banjir.
Manajemen pengolahan sampah Pada saat ini, di hampir di seluruh tempat di DKI Jakarta, masyarakat
sebisa mungkin dilakukan di membuang limbah cair rumah tangga dan bahkan industrinya langsung ke
lingkungan terkecil sungai. Kegiatan ini ditambah dengan kebiasaan sebagian besar lapisan
masyarakat yang membuang sampahnya langsung ke sungai yang akan
memperburuk kualitas air sungai.
Pengolahan sampah menjadi kompos harus sudah bisa dilaksanakan pada skala
kawasan, bisa di tingkat desa atau kecamatan. Jika masyarakat sendiri tak bisa
mengelolanya bisa juga diserahkan kepada pihak swasta. Untuk itu pemilahan
sampah harus dilakukan di tingkat rumah tangga. Pengelompokannya
dilakukan dengan membagi sampah yang akan dijadikan kompos dan yang
akan didaur ulang.
Selain itu, untuk memperbaiki kualitas air sungai, maka setiap pembuangan
limbah baik dari rumah tangga maupun industri tidak boleh dibuang langsung
ke dalam sungai. Air kotor semacam ini harus terlebih dahulu dialirkan ke
tempat pengolahan limbah. Setelah itu barulah dibuang ke laut. Memang untuk
itu diperlukan investasi yang cukup mahal. Namun bagi Jakarta hal ini sudah
merupakan suatu keharusan. Beberapa studi pengolahan limbah untuk Jakarta
ini telah dilakukan (antara lain Studi JICA tahun 1991).
Sampah dapat dikategorikan dalam 2 jenis yaitu sampah darat dan sampah
sungai. Sampah darat adalah yang termasuk dalam limbah padat bersumber
dari masyarakat yaitu sampah yang berasal dari daerah permukiman, kawasan
komersial, pasar dan zona industri. Pengelolaan sampah darat yang kurang
memadai menimbulkan penumpukan sampah di saluran-saluran drainase
mikro/sub-makro dan akhirnya akan sampai ke alur sungai dan menjadi
‘sampah sungai’.
Biopori upaya paling mudah yang Di musim hujan air harus sebanyak mungkin ditahan dan diserapkan ke tanah.
bisa dilakukan warga Tidak hanya melalui waduk, tempat parkir air dan hutan-hutan buatan saja.
Di halaman rumah-rumah penduduk air juga harus ditahan. Jika secara teknis
tidak memadai untuk dibangun sumur resapan di halaman rumah, maka dalam
skala lebih kecil membuat lubang-lubang biopori dapat dilakukan.
M
eski upaya non-teknis tak bisa dikesampingkan, yang sering menjadi
perhatian masyarakat luas justru upaya teknis dari pengendalian
banjir itu sendiri. Membangun kanal tambahan, meningkatkan
kapasitas saluran, memperbaiki sistem drainase adalah sebagian dari upaya
teknis yang sering dituntut masyarakat.
Membuang air dari satu kawasan 6.1. Jaga Kapasitas Saluran Makro
jangan sampai merugikan kawasan Jika air sudah terlanjur menggenangi sebuah kawasan dalam jumlah yang
lainnya banyak, pemikiran yang paling pragmatis adalah bagaimana membuang banjir
tersebut ke luar dari wilayah tersebut. Di beberapa tempat memang ada warga
yang berpikiran bahwa yang paling penting adalah air tidak menggenangi
wilayah mereka, jika harus menggenangi daerah lain bagi mereka tidak menjadi
masalah. Atau paling tidak daerah lain itu harus sama-sama mengalami banjir.
Tentu penyelesaian seperti ini bukan menjadi tujuan karena yang dicari adalah
menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh sehingga tak ada warga lain
yang dirugikan.
Untuk kawasan kota yang terletak pada ketinggian lebih dari +6,0 m di atas
permukaan laut persyaratan tersebut dapat dipenuhi dengan pembangunan
sistem drainase yang baik. Untuk kawasan yang lebih rendah terutama di
kawasan padat bangunan yang penduduknya cukup padat, permasalahannya
lebih rumit karena untuk menampung hujan yang turun di kawasan itu saja
drainasenya tak cukup memadai, apalagi masih ditambah banjir yang datang
dari hulu. Karena itu, pengendalian banjir untuk daerah dataran rendah di
perkotaan, di samping upaya drainase setempat, juga harus dilakukan upaya
untuk mencegah datangnya banjir dari luar. Pengendalian banjir tersebut
secara prinsip dapat dilakukan sebagai berikut:
• pembangunan waduk penampung banjir di hulu sungai sehingga dapat
menahan luapan air agar tidak bersamaan memasuki hilir sungai ;
• pembangunan tanggul penahan banjir atau tanggul (floodwall atau flood
dike) di sepanjang alur sungai yang melintas di wilayah Jakarta sampai
ke muara dan juga di sepanjang pantai. Kawasan kota Jakarta terpotong
oleh sungai-sungai dan pada saat hujan sehingga, karena elevasinya yang
rendah, daerah di antara sungai-sungai tersebut tidak dapat membuang
kelebihan air itu secara gravitasi. Untuk membuang kelebihan air tersebut
diperlukan waduk penampungan dan stasiun pompa sendiri ;
• pembangunan saluran pengalih banjir di sekeliling daerah dataran rendah.
Ini dibuat untuk membuang air banjir yang datang dari hulu langsung ke
laut.
Dalam studi Master Plan Pengendalian Banjir Jakarta, pada tahun 1973,
Netherland Engineering Consultant (NEDECO), mengusulkan untuk
membangun Banjir Kanal Timur (BKT). Saluran ini dimaksudkan untuk
membantu membebaskan kawasan timur Jakarta dari banjir yang datang dari
sungai-sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat dan Cakung. Harapannya,
BKT ini akan membebaskan kawasan timur dan utara Jakarta seluas kira-kira
15.401 hektar dari genangan dan banjir. Meski belum sempurna BKT telah
menembus laut di awal tahun 2010.
Desain saluran Banjir Kanal Barat (BKB), pada waktu itu, didasarkan atas
prinsip-prinsip sebagai berikut:
• saluran pengalih banjir direncanakan untuk mampu mengalirkan air banjir
dengan periode ulang 100 tahun (Q100) ;
• pada prinsipnya trase memanjang BKB harus sedekat mungkin dengan
daerah dataran rendah yang tidak dapat dikeringkan secara gravitasi.
Akan tetapi karena topografi daerah tidak beraturan maka hal ini tidak
selalu bisa dipenuhi. Pada beberapa kawasan di selatan BKB terutama
pada pertemuan antara sungai dengan BKB perlu diurug agar dapat
mengalirkan air ke BKB ;
• trase vertikal dan potongan melintang ditentukan oleh beberapa
pertimbangan, dan yang terpenting adalah kapasitas pengangkutan
sedimen sepanjang alur saluran harus memadai. Apabila persyaratan ini
tidak bisa dipenuhi maka pengurangan kapasitas angkut sedimen harus
4,2
9,89
12,1
18,2
Catatan : *) jarak 0 = Pintu air Manggarai **) dipengaruhi muka air laut
BKB sendiri, yang semakin lama semakin dituntut untuk bisa melaksanakan
fungsinya secara maksimal, terus menerus mengalami perbaikan. Di antaranya
adalah dengan memperkuat dinding-dinding saluran. Diharapkan dengan
adanya perkuatan dinding saluran ini, sedimentasi akibat gerusan air terhadap
dinding saluran bisa dikurangi sehingga kemampuan kanal untuk mengalirkan
air bisa lebih maksimal.
Puluhan tahun ditunggu, meski 6.1.2. Pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT)
masih jauh dari sempurna, awal Tujuan utama dari pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) adalah untuk
2010 BKT tembus ke laut juga melindungi bagian timur kawasan kota Jakarta dari banjir akibat dari meluapnya
Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat, dan Kali Cakung. Di
samping mengendalikan banjir, salah satu tujuan pembangunan BKT adalah
untuk keperluan transportasi sungai untuk mengurangi tekanan transportasi
jalan raya di daerah tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, BKT
pertama kali diusulkan oleh NEDECO (1973) melalui Study of Master Plan
Untuk ke depannya perlu bantuan dari BKT untuk mengurangi beban dari
BKB. Karena itu diperlukan adanya sodetan antara BKB dan BKT. Sodetan itu
paling cocok adalah dibuat antara Kali Ciliwung (berhubungan dengan BKB)
dan Kali Cipinang (berhubungan dengan BKT). Dengan bantuan sodetan ini
maka beban dari BKB akan banyak berkurang.
Gambar 6-5: Pintu Outlet ke Kali Ciliwung Lama dilihat dari hulu pintu air
Dalam 30-40 tahun terakhir ini tidak terjadi pengerukan yang sistematis di
mulut-mulut sungai di Jakarta, sedangkan proses erosi di bagian hulu (upstream)
terus berlangsung dan membawa sedimen ke laut. Tumpukan sedimen ini
menyebabkan pendangkalan yang selanjutnya menyebabkan kenaikan muka
air di sungai. Dampaknya ialah kapasitas tampung sungai berkurang sehingga
akan lebih banyak air meluap dari badan sungai yang pada gilirannya akan
menyebabkan perluasan daerah banjir dan meningkatnya permasalahan banjir.
Gambar 6-6: Tipikal kondisi mulut sungai dan profil memanjang dasar sungai di muara
Beberapa analisis menunjukkan bahwa pengerukan sedimen di mulut sungai
cukup efektif untuk menurunkan muka air di sungai pada saat debit air puncak.
Pengerukan sedimen setebal sekitar 3 m dapat menurunkan muka air di sungai
sampai 1 m.
Pengerukan sedimen setebal 3 Proses erosi di hulu telah terjadi pada masa lalu, kini, dan masih akan terjadi
meter bisa menurunkan muka air di masa datang. Proses sedimentasi di mulut sungai yang terjadi dalam proses
sungai sampai 1 meter yang lebih cepat dipengaruhi oleh kecepatan alir air yang rendah dan proses
flokulasi (pertemuan air tawar dan air asin yang menyebabkan bertambah
beratnya partikel sedimen). Karena proses sedimentasi masih akan terus
berlangsung, maka perawatan di mulut sungai dengan melakukan pengerukan
secara berkala merupakan suatu keharusan.
(m)
(m)
Gambar 6-7: Tipikal efek pengerukan sedimen terhadap penurunan muka air sungai
Sistem pengerukan ini pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 2009 padahal
di negeri asalnya, Belanda, telah digunakan sejak 20 tahun yang lalu. Sesuai
dengan namanya floating bulldozer yang berarti buldoser terapung, alat ini
digunakan untuk mendorong material sedimen dari dasar saluran ke arah
lokasi di saluran yang terjangkau oleh excavator.
Gambar 6-11: Sedimentasi bisa ditahan sebelum masuk ke waduk atau ke sungai
A
Berjuang menghadapi banjir da tiga masalah utama dalam pengelolaan air, yakni air yang terlalu
tak bisa sepenuhnya diserahkan banyak, air yang terlalu sedikit, dan air bermutu buruk. Di musim
kepada pemerintah karena hujan jumlah air melimpah sehingga terjadi banjir. Di sisi lain di saat
keterbatasan kemampuan musim kemarau minimnya persedian air mengakibatkan terjadinya kekeringan.
Masalah lain, terutama di Jakarta, seandainya air ada di sungai atau waduk,
mutunya juga sangat rendah. Jangankan untuk dikonsumsi manusia, untuk
menyiram tanaman juga tak layak.
Dengan sistem polder hal tersebut bisa ditangani secara lebih terintegrasi.
Sistem polder bukanlah penghadang banjir yang semata-mata hanya menjaga
satu kawasan terbebas dari banjir. Sistem ini mengelola lingkungannya agar
bersahabat dengan air. Di musim hujan tidak tergenang sementara itu di musim
kemarau air yang tersimpan di waduk bisa mencegah penurunan drastis muka
air tanah di kawasan tersebut. Di samping, itu kualitas air yang masuk ke dalam
waduk dapat lebih mudah dikontrol sedemikian rupa sehingga risiko terjadinya
pencemaran bisa dikurangi. Secara sosial, waduk juga bisa dimanfaatkan
sebagai tempat rekreasi
Sistem polder yang baik tidak hanya membebaskan satu kawasan dari ancaman
banjir saja, akan tetapi juga menjadikannya satu daerah yang ramah lingkungan
yang konservasi air lebih terjaga, pembuangan limbah lebih terkelola, dan bisa
menjadi tempat cadangan air untuk menyiram tanaman saat musim kering.
Sistem polder ini diawali ketika para petani yang selalu memberi patok
terhadap lahan gambut garapannya. Mereka mengolah tanah gambut tersebut
dengan membuat parit dan kanal. Tapi, kenyataannya sistem drainase kanal
terbuka buatan manusia tersebut ternyata memicu penurunan level tanah
(subsidens). Ini mengancam kawasan delta. Kawasan delta akan menjadi delta
yang tenggelam’ jika manusia tidak membuat pelindung banjir dan tindakan-
tindakan pengelolaan air. Agar tak terjadi banjir para petani berpikir sederhana
yaitu dengan membangun tanggul. Pertama kali bangsa Belanda mengenal
tanggul tersebut kira-kira 1000 tahun yang lalu. Sejak itu pula, tanggul dan
sistem polder disempurnakan dan diperluas penggunaannya.
Semakin lama sistem polder semakin diakui sebagai suatu solusi untuk
menghindari satu kawasan rendah dari bencana banjir. Dengan sistem ini,
suatu kawasan bisa bertahan dari bahaya banjir berkat penerapan teknologi
maju, alokasi anggaran yang memadai serta kewaspadaan organisasional yang
permanen. Pengalaman pengembangan polder yang diperoleh Negeri Belanda
mulai dimanfaatkan oleh negara-negara lain yang memiliki fitur lahan yang
sama.
Bagaimana sistem polder bekerja? Sistem polder bisa dibuat untuk satu
kawasan dengan luas bervariasi dari puluhan hingga ribuan hektar. Kawasan iniiii
yang berpotensi banjir tersebut diberi batas keliling yang juga merupakan
92 Desain dan Teknis Sistem Polder
batas hidrologi. Air dari daerah lain tidak bisa masuk ke daerah polder. Meski
demikian air tak seluruhnya bisa ditahan karena ada air yang berasal dari
rembesan (seepage) dan air yang berasal dari hujan yang turun di kawasan
tersebut. Air-air ini harus dikelola secara benar agar tidak menyebabkan banjir
di dalam kawasan itu sendiri.
Dalam suatu polder muka air terbuka dapat dikendalikan sesuai dengan
keinginan dan tinggi muka air di dalam polder tidak sama dengan muka air
regional yang ada, seperti muka air laut atau muka air sungai. Apabila muka
air sebelah luar secara permanen berada di atas level polder sebelah dalam,
genangan hanya dapat dihindarkan dengan memompakan air yang berlebih
keluar dari polder bersangkutan.
Culverts 5-10 -
Saluran 5 0,3-0,5
Meskipun beban angin juga sering menerpa tanggul, tetapi beban yang
disebabkan oleh air adalah yang paling banyak menyebabkan kegagalan
konstruksi. Ini yang perlu diperhatikan, termasuk dampak akibat perubahan
iklim yang menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Di samping
itu, faktor turunnya permukaan tanah yang terus berlangsung harus juga
diperhatikan. Karena itu tinggi tanggul harus diperhitungkan secara sistematis
dengan memperhatikan semua parameter tersebut.
Air yang dibawa oleh saluran bawah tanah dan air yang dibawa saluran
permukaan sama-sama dialirkan ke waduk. Jika air di dalam waduk telah
mencapai ketinggian tertentu maka air yang ada di dalamnya dipompakan ke
luar.
Kapasitas (volume) waduk penahan air ini dari segi desainnya berkorelasi
dengan kapasitas pompa. Untuk waduk penahan air ukuran kecil maka
kapasitas kemampuan stasiun pompanya harus lebih besar karena air yang
di dalam waduk lebih cepat penuh dan harus segera dipompakan ke luar.
Sedangkan jika kapasitas waduk besar maka kemampuan stasiun pompa bisa
lebih kecil karena lebih banyak volume air yang bisa ditahan dulu di dalam
waduk. Dalam gambar berikut diperlihatkan hubungan antara kapasitas pompa
dan ukuran waduk penahan air.
Gambar 7-3: Hubungan antar waduk penahan air dengan kapasitas pompa
D
Efektifitas sistem polder sangat alam menghadapi banjir ada dua pilihan bagi warga perkotaan yang
dipengaruhi oleh efektifitas berada di kawasan rendah: tetap menetap atau berpindah ke tempat
institusi pengelolanya yang lebih tinggi. Jika menetap maka harus bisa hidup bersahabat
dengan air selama bertempat tinggal di kawasan rendah itu. Untuk itu mereka
harus mengelola air tersebut secara kontinyu. Agar dapat bertahan dalam
perjuangan untuk hidup bersama air seperti ini maka dibutuhkan pengelolaan
polder yang berkelanjutan.
Gambar 8-1: Sketsa waduk dan stasiun pemompaan dalam sistem polder
Organisasi pengelola harus Perjuangan menangani air secara terus menerus membutuhkan sumber
sederhana dan efektif dalam finansial yang berkelanjutan. Oleh sebab itu, peran publik dibutuhkan untuk
menjalankan fungsinya terlibat dalam ikut menangani masalah pengelolaan air pada tingkatan lokal.
Pengelolaan yang diinginkan tentu harus berkelanjutan, karena itu pendekatan
dan penyelesaiannya bersifat swadana. Diharapkan peran pemerintah dapat
dikurangi pada pengelolaan di tingkat sistem tata air mikro dan sub-makro.
Jika rakyat setempat dimintai pendapat dan dilibatkan, keinginan untuk
bekerja sama dan membayar juga akan meningkat. Hal ini membuka jendela
kesempatan baru untuk menyelesaikan masalah-masalah pengelolaan air
dengan cara mulus dan mengutamakan mufakat.
8.2. Organisasi
Organisasi pengelolaan air seyogianya bukanlah organisasi yang rumit dengan
strukur organisasi yang panjang. Organisasi ini haruslah strategis dan efektif
dalam menjalankan fungsinya. Tipikal organisasi pengelolaan polder (polder
board) dapat dibedakan dalam dua tingkatan:
• perwakilan para pemangku kepentingan (tingkatan strategis) ;
• pelaksana harian.
Dalam mengawali organisasi polder, perlu diingatkan agar setiap orang harus
mengenal betul prinsip prinsip sistim polder. Organisasi pengelolaan air yang
ada dalam komunitas masyarakat (LSM) bisa menjadi cikal bakal pembentukan
organisasi pengelola polder.
Salah satu contoh otorita polder disajikan dalam gambar berikut. Para
anggotanya dipilih dan berasal dari masyarakat setempat. Organisasi ini
bekerja sebagai satu perusahaan semi-publik sehingga laba bukanlah tujuan
akhir. Akuntabilitas dan transparansi publik dilakukan melalui penyebaran
Untuk itu, dalam memprediksi biaya yang harus dikeluarkan maka harus
diperhitungkan rencana pembiayaan yang komprehensif yang meliputi biaya
konstruksi dan biaya operasi serta pemeliharaan. Perhitungan biaya inilah yang
nantinya dijadikan pertimbangan, seberapa besar biaya yang harus dilakukan
dan manfaat yang akan didapat.
Di bawah ini ditampilkan ilustrasi pembiayaan untuk lahan seluas 500 hektar
dengan acuan harga tahun 2009. Tentu saja ilustrasi ini tidak bisa dijadikan
patokan benar karena kenyataannnya di lapangan kondisi satu daerah dengan
Dengan luasan seperti ilustrasi di atas maka rata rata biaya pemeliharaan bisa
dilihat dalam tabel berikut. Biaya ditetapkan berdasarkan persentase terhadap
biaya investasi, pemeliharaan di tampilkan dalam biaya rata-rata per tahun. Di
Dilihat dari angkanya biaya Biaya energi (listrik) operasional pompa, adalah biaya yang digunakan untuk
operasional dan pemeliharaan memompakan air yang berlebih (sekitar 15 juta m3 per tahun). Asumsi yang
tidak terlalu mahal diambil adalah energi yang dikeluarkan untuk memompakan air dengan
perbedaan ketinggian air sekitar 5 m.
dibandingkan kerugian yang
timbul akibat banjir Biaya konsumsi energi berkisar Rp 250 juta. Total biaya operasi dan
pemeliharaan per tahun untuk satu wilayah polder dengan daerah layanan
sekitar 500 hektar adalah Rp. 1,845 miliar.
Dilihat dari angkanya memang biaya yang dikeluarkan ini kelihatan mahal,
tetapi jika dilihat dari kerugian yang ditimbulkan dan keamanan yang
diberikan, angka itu tidak terlalu banyak. Apalagi lahan sekitar 500 hektar bisa
diisi ribuan rumah, perkantoran, pusat-pusat perdagangan dan lain-lain yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi. Jadi kalau ditanggung penghuni kawasan,
per penghuni jatuhnya menjadi kecil. Ini sesuai dengan prinsip survive: harus
sama-sama berjuang terus menerus menghadapi banjir.
Dengan asumsi jumlah keluarga dalam wilayah polder sekitar 20.000 keluarga
maka beban pembiayaan untuk operasi dan pemeliharaan yang dibebankan
ke setiap rumah tangga berkisar Rp 92.200 per tahun atau hanya Rp.7.700
per bulan. Sangat kecil nilainya untuk sebuah keamanan dan kenyamanan.
Bandingkan untuk satu kompleks yang terdiri atas 110 keluarga, biaya yang
dibutuhkan untuk pengangkutan sampah dapat mencapai Rp 20.000 per bulan!
Satu kawasan yang dilindungi Ironisnya, sebagian wilayah genangan tersebut didiami oleh masyarakat
oleh sistem polder akan yang tergolong miskin atau rentan untuk menjadi golongan miskin. Kerugian
mengurangi risiko penurunan terhadap aset yang dimiliki akan menggiring mereka menjadi lebih miskin.
Terbebasnya kelompok masyarakat seperti ini dari bencana banjir tentu
nilai aset akibat banjir.
akan membuat mereka memiliki ruang dan waktu yang lebih banyak dalam
meningkatkan taraf ekonominya.
Kondisi air di kawasan nantinya akan jauh berbeda dengan kondisi air di
sungai-sungai atau waduk di wilayah Jakarta lainnya. Peningkatan sanitasi
dan pengelolaan limbah akan dapat meningkatkan kualitas ekologi di wilayah
polder bersangkutan. Air waduk yang terserap ke dalam tanah juga tidak lagi
mencemarkan kualitas air tanah. Bahkan waduk tersebut bisa juga dijadikan
tempat wisata, seperti pemancingan yang akan membantu biaya operasi dan
pemeliharaan sistem polder yang bersangkutan.
K
Diprediksi hingga tahun 2020 ebanyakan kota besar di dunia berada di garis pantai. Bertetangga
sekitar 75 % penduduk dunia dengan laut banyak memberikan keuntungan ekonomi, salah satu
tinggal di kawasan pantai penyebabnya adalah akses transportasi bisa lebih mudah dijangkau.
Perdagangan jauh lebih bergairah di dataran rendah ini. Inilah yang
menyebabkan orang jauh lebih tertarik untuk tinggal di dataran rendah daripada
di wilayah pegunungan. Diprediksi hingga tahun 2020 sekitar 75% penduduk
dunia tinggal di kawasan pantai. Kebanyakan dari mereka itu berada dari bibir
pantai sampai ke tempat yang jauhnya mencapai 60 kilometer ke daratan.
Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kecenderungan ini akan berubah.
Pengembangan ke laut diarahkan Solusi pengembangan ke arah laut diarahkan agar tercapainya fleksibilitas
agar tercapainya fleksibilitas integrasi antara daratan di laut dengan air di daratan lama dan di daratan baru
integrasi antara daratan di laut (hasil reklamasi) sembari meningkatkan beberapa nilai tambah yang lain.
dengan air di daratan lama dan
baru (hasil reklamasi) 9.1. Kehidupan di Daerah Delta dan Tantangannya
Di samping memberikan sejumlah harapan dan potensi pengembangan, tinggal
di daerah delta akan menghadapi sejumlah tantangan. Dari urbanisasi dengan
Manejemen pesisir untuk 9.2. Rencana Pulau Reklamasi dan Pembangunan Tanggul Laut
mengefektifkan pemanfaatan Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa permukaan tanah di
daerah pesisir, meningkatkan Jakarta terus mengalami penurunan (land subsidence) yang disebabkan oleh
taraf kehidupan masyarakat, dan pengambilan air tanah. Disisi lain, fenomena global juga menunjukkan bahwa
peningkatan kondisi lingkungan permukaan air laut terus meningkat sebagai akibat pemanasan global. Untuk
mengantisipasi hal ini perlu dilakukan perencanaan yang konseptual dan
visioner. Salah satu dari upaya ini adalah dengan melaksanakan reklamasi dan
pembangunan tanggul laut. Ini dilakukan untuk melindungi Kota Jakarta di
masa depan.Pelaksanaan reklamasi dan pembangunan tanggul diarahkan agar
sejalan dengan sistem tata air yang sudah ada di DKI Jakarta.
Untuk bisa melaksanakan proyek reklamasi secara benar dan tepat arah,
memang perlu dilakukan perhitungan dan pertimbangan yang cermat, baik
dalam hal ekonomi, lingkungan, sosial bahkan juga dalam segi hukum. Dengan
demikian, kebijakan yang diambil benar-benar bermanfaat, bisa memperbaiki
kondisi lingkungan yang telah ada dan secara hukum tidak melanggar aturan.
Tanggul laut yang diintegrasikan Pelaksanan opsi 1 tanggul laut dapat diimplementasikan dengan memperhatikan
dengan reklamasi Pantura, dan mempertimbangkan beberapa aspek terkait. Daerah reklamasi dapat dibagi
yang paling mungkin untuk menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu kawasan sebelah barat Banjir Kanal Barat
dilaksanakan dalam 20 tahun (BKB), kawasan tengah, dan kawasan timur (Tanjung Priok ke arah timur).
Sistem tanggul dimulai dari bagian barat sampai bagian tengah kawasan
reklamasi pada kedalaman -8 m. Di Tanjung Priok dihadapi kesukaran untuk
membuat tanggul di kedalaman -8 m karena adanya transportasi kapal-kapal.
Oleh karenanya, tanggul diarahkan ke selatan menuju ke existing coast line
pada kawasan timur ( pelabuhan Tanjung Priok). Alternatif lain, bisa dibuat
Gambar 9-2: Tanggul laut diintegrasikan dengan reklamasi Pantura dan tanggul laut berada di luar wilayah reklamasi
Keamanan tanggul laut harus Urutan implementasi perlu diperhatikan dengan benar dalam pengembangan
diperhatikan, jangan sampai Pantura:
kegagalan fungsi di suatu tempat • reklamasi dilakukan oleh pengembang dengan arahan yang jelas, terutama
berakibat banjir di wilayah yang pada desain tanggul laut di sebelah utara pada masing-masing pulau ;
• pembuatan tanggul laut di antara pulau reklamasi pada kedalaman –8
luas
meter ;
• Cengkareng Drain dan Banjir BKB masih tetap dibuka sambil menunggu
perlakuan yang tepat kepada kedua sungai tersebut ;
Banjir Kanal Timur Karya Anak Bangsa, Robert Adhi KSP, Grasindo, 2010
Basin Water Resources Planning - Volume III,Ciliwung-Cisadane Strategic
Management Plan , DHV, Delft Hydraulics and Witteveen & Bos ,
2003
Comprehensive Study on Water Management Plan in JABOTABEK , JICA,
1997
Detailed Design for Urban Drainage Project in the City of Jakarta, JICA,
1997a
Draft RTRW DKI Jakarta 2010 – 2030, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
2010
Drainage principles and applications. Lecture notes of the international
course on land drainage, Ritzema, H.P. (ed), ILRI Publication No.16,
Wageningen, the Netherlands, 1994
Dry and safe, how to make it, Sawarendro M.Sc and Thijs Visser M.Sc,
Witteveen Bos Engineering Consultants, the Netherlands
Dutch Assistance with non-structural measures Jakarta Flood Management,
Partner for water, 2007
Flood Survey in DKI Jakarta ,PCI February, 2002
Flood Management in Selected Basins, Study by DHV, Delft Hydraulics and
Mott Macdonald, 2005
Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa,
Restu Gunawan, Penerbit Buku Kompas, 2010
Hydrology and water management of deltaic areas, Volker, A, Dutch Ministry
of Transport, Public Works and Watermanagement, CUR-report 93-5,
Gouda, the Netherlands, 1993
JABOTABEK Water Resources Management Study (JWRMS) by IWACO,
DHV, DELFT Hydraulics and TNO Delft ,1994
Jakarta Flood Control Advisory Mission, NEDECO, JFCAM, 1996
Land Drainage, Smedema, L.K. and D.W. Rycroft, Batsford, London, UK,
1983
129
Man-made lowlands, history of water management in the Netherlands Ven,
G.P. van de, ICID, the Netherlands, 1993
Master Plan for Drainage and Flood Control, NEDECO, 1973
Polder en Dijken (in Dutch), Kley, J. van der, and H.J. Zuidweg Agon
Elsevier, Amsterdam, the Netherlands, 1969
Polderlands, Wagret, P, Methuen, London, UK, 1972
Polders In: Developments in hydraulic engineering, Volume 5 (P. Novak
ed), Luijendijk, J., E. Schultz and W.A. Segeren, Elsevier, London,
UK,1988
Polders of the World, International Symposium, ILRI, Wageningen, the
Netherlands, 1982
Quick Reconnaissance Study Flood JABODETABEK 2002, NEDECO, 2002
Special Assistance for Project Implementation for Ciliwung-Cisadane River
Flood Control Project (SAPI-2004), JICA, 2004
Study on Comprehensive Water Management Plan in Jabotabek, JICA, 1997
Success factors in self-financing local water management, NWP, the
Netherlands, 2000
The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of
Jakarta – Master Plan Study, JICA, 1991
Waterbeheersing van de Nederlandse Droogmakerijen (in Dutch), Schultz E,
PhD-thesis, Delft University of Technology, Delft, the Netherlands,
1992
130