Anda di halaman 1dari 138

Sistem Polder & Tanggul Laut

Sistem Polder & Tanggul Laut


Penanganan banjir secara madani
di Jakarta

Sawarendro

Indonesian Land Reclamation & Water Management Institute


Sistem Polder & Tanggul Laut
Penanganan banjir secara madani di Jakarta

Penulis : Sawarendro
Editor : Sawariyanto ; Zulkifli Harahap
Diterbitkan oleh ILWI (Indonesian Land Reclamation and Water Management Institute), 2010

Jl, Rajawali II No 5, Manukan, Condong Catur


Yogyakarta, 55283
Email : ilwi@indosat.net.id

ISBN : 978-602-98077-0-7
Daftar isi

 
 
PRAKATA vi
 
1.  BANJIR: CERITA LAMA YANG BELUM KUNJUNG USAI 1
1.1. Ratusan Tahun Hikayat Banjir Jakarta 2
1.2. Catatan Hidrologi dan Karakter Cuaca, Saat Banjir Besar 9
1.3. Prakiraan Banjir Masa Datang 10
 
2. BERAGAM MASALAH DAN TANTANGAN JAKARTA 13
2.1. Fenomena yang Berulang 14
2.2. Keadaan Geografis 15
2.3. Muka Tanah Rendah, Air Sulit Bergerak 16
2.4. Kondisi Sungai di Jakarta 17
2.5. Hambatan di Sepanjang Saluran 17
2.6. Tanah Lunak, Penyedotan Air dan Amblesan 20
2.7. Kenaikan Muka Air Laut 21
2.8. Keragamaan Fungsi Jakarta 22
2.9. Kependudukan dan Urbanisasi 22
2.10. Tata Guna Lahan, Minim Ruang Terbuka Hijau 24
2.11. Terbatasnya Luas Badan Air 26
2.12. Kondisi Hidrologi 28
2.13. Kondisi Hidrogeologi 30
 
3. KONSEP KUAT, IMPLEMENTASI LEMAH 33
3.1. Konsep Studi Terdahulu 33
3.2. Sistem Tata Air 43
 

iii
4. PERUBAHAN PARADIGMA DAN LANGKAH STRATEGIS 51
4.1. Perubahan Paradigma Pengendalian Banjir 51
4.2. Partisipasi Sebagai Kunci Sukses 53
4.3. Bersandar Konsep Terdahulu 54
4.4. Selaras dengan Sistem Kini dan Rencana Mendatang 54
4.5. Penyelesaian Tepat Arah, Tepat Lokasi dan Terukur 55
 
5. UPAYA NON-TEKNIS: PERLU TEKAD DAN KESADARAN 57
5.1. Menata Ruang, Mencegah Banjir 57
5.2. Air Tanah Terbatas: Jangan Terus Disedot 59
5.3. Waduk: Tambah Jumlah Tambah Kualitas 60
5.4. Lindungi Bantaran Sungai 61
5.5. Perlu Ruang Terbuka di Kawasan Permukiman 63
5.6. Menahan Air dengan Badan Air 64
5.7. Limbah: Olah Dulu Baru Buang 65
5.8. Hindari Permukiman Menjorok ke Badan Sungai 67
5.9. Tahan Air dengan Tanaman 68
5.10. Lubang Biopori Membantu Menyerap Air 69
 
6. UPAYA TEKNIS: OPTIMALISASI KAPASITAS PENYALURAN 73
6.1. Jaga Kapasitas Saluran Makro 73
6.2. Penambahan dan Perbaikan Kapasitas Sub-Makro 84
6.3. Perbaikan Pengaliran Air pada Sistem Mikro 84
6.4. Pengembangan dan Pembuatan Sumuran/Resapan Air 85
6.5. Pembuatan Bangunan Penahan Lumpur (Kantong Lumpur) 87
6.6. Pengembangan Tampungan Setempat 88

7. DESAIN DAN TEKNIS SISTEM POLDER 91


7.1. Sejarah Sistem Polder 91
7.2. Cara Kerja Sistem Polder 92
7.3. Aspek-aspek Desain Polder 93
7.4. Polder dan Elemennya 96
 

iv
8. PENGELOLAAN DAN PEMBIAYAAN SISTEM POLDER 101
8.1. Swadana Menjamin Keberlanjutan 102
8.2. Organisasi 103
8.8. Biaya Konstruksi 105
8.9. Pembiayaan Pemeliharaan dan Operasi 106
8.10. Biaya Pemeliharaan 106
8.11. Sumber Pendapatan 108
8.12. Manfaat yang Didapat 108
8.13. Efek Sosial Ekonomi 108
 
9. REKLAMASI DAN TANGGUL LAUT BAGIAN DARI SOLUSI BANJIR 113
9.1. Kehidupan di Daerah Delta dan Tantangannya 113
9.2. Rencana Pulau Reklamasi dan Pembangunan Tanggul Laut 115
9.3. Desain Reklamasi 119
9.4. Peningkatan Manfaat Reklamasi Pantura 122
9.5. Pemantauan Pelaksanaan 125
9.6. Operasi dan Pemeliharaan yang Berkelanjutan 126
 
REFERENSI 129
 
 

v
Prakata
Banjir Jakarta dan
Perubahan Paradigma
 

Judul berita ‘Jakarta Akan Tenggelam’ dan ‘Pemindahan Ibukota Negara’ dalam beberapa media massa menarik perhatian
publik beberapa waktu belakangan ini. Ancaman banjir dan kemacetan lalu lintas menjadi pemacu dan pemicu tertariknya
publik untuk menyimak hal tersebut. Kedua ancaman ini (banjir dan kemacetan) sesungguhnya bukan berita baru lagi. Banjir
dan kemacetan seolah-olah menjadi hal yang melekat dengan kehidupan Ibukota. Lantas apakah benar Jakarta akan tenggelam
dan apakah pemindahan ibukota otomatis menyelesaikan masalah yang ada?
 
Buku ini lebih fokus membahas penyelesaian masalah banjir dan bagaimana agar Jakarta tidak ‘tenggelam’. Buku ini mengajak
pembaca untuk memahami masalah Jakarta dan kemudian menampilkan sejumlah gagasan mengenai penanganan banjir. Hal
ini karena apakah Ibukota berpindah tempat atau tidak, tetap saja kita perlu menyelesaikan masalah banjir Jakarta.
 
Menurut pandangan penulis, kekhawatiran mengenai akan tenggelamnya Jakarta merupakan kekhawatiran yang sah dan
benar. Tidak perlu bereaksi dengan ketakutan berlebihan, namun perlu serius mengantisipasinya. Kota-kota di daerah delta
dengan topografi rendah dan lapisan tanahnya yang lunak mendapatkan ancaman utama dari dampak perubahan iklim dan
penggunaan air tanah. Jakarta bersama dengan kota delta lain menghadapi permasalahan ini.
 
Sebagian wilayah Jakarta kini berada di bawah permukaan air regional (air laut dan air sungai), yang luasnya diperkirakan akan
meningkat. Mengamankan wilayah di bawah permukaan air regional ini, tentu tidak datang dengan sendirinya. Kita perlu
secara terus menerus menyediakan waktu, energi, dan dana untuk bisa bertahan. Perjuangan untuk mengamankan wilayah
yang rendah ini adalah perjuangan yang tidak henti-hentinya, never ending struggle.
Jika kita tidak melakukan sesuatu, maka kita akan terpaksa melepaskan daratan tempat kita menetap dan beraktivitas ini
menjadi lautan. Sebagian wilayah Jakarta bisa tenggelam. Kita tidak ingin demikian karena kita masih ingin tinggal, bekerja,
dan hidup di Jakarta.

Perjuangan ini meliputi upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi dalam upaya mengurangi faktor pemicu dari terjadinya perubahan
iklim dan penurunan muka tanah. Di sini, pengurangan CO2 dan gas rumah kaca lainnya, serta pengurangan dan penghentian
penggunaan air tanah menjadi penting. Di lain sisi, kita perlu memperkuat daya tahan kita untuk bisa mengelola dampak
perubahan iklim dan penggunaan air tanah. Kemampuan adaptasi perlu ditingkatkan. Sebagai bagian dari tindakan adaptasi
ini, kita perlu memberikan ruang yang lebih luas di daratan kita untuk air (ruang biru) dan untuk vegetasi (ruang hijau).
 
Masa depan yang ‘menantang’ dengan permukaan laut meningkat, permukaan tanah yang menurun, dan curah hujan dengan
intensitas yang lebih tinggi di musim basah, menuntut kita untuk mempersiapkan diri. Diperkirakan muka laut akan berada
vi
semakin lebih tinggi dari daratan dan air semakin sering datang pada waktu dan tempat yang kurang tepat. Akibatnya,
ancaman banjr dan genangan akan semakin berat dirasakan di masa depan, terutama untuk wilayah Jakarta Utara. Jika tidak
dilakukan sesuatu tindakan, maka pada sebagian kawasan di Jakarta Utara kemungkinan mulai ditinggalkan penduduknya
pada 20 – 40 tahun ke depan. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan langkah-langkah yang tegas dan fundamental agar
pengembangan Jakarta dapat dilakukan secara berkelanjutan. Perencanaan yang konseptual dan visioner harus segera dilakukan.
Pembangunan tanggul laut (sea defence) di Teluk Jakarta adalah salah satu bagian dari rencana ini. Mengintegrasikan rencana
reklamasi Pantura dengan tanggul laut dimaksudkan untuk melindungi Kota Jakarta di masa depan.
 
Rencana reklamasi Pantura perlu dikembangkan secara lebih inovatif sehingga rencana Pantura tidak sekedar dipandang
sebagai cara untuk mendapatkan lahan baru dan ekonomi. Reklamasi Pantura sesungguhnya dapat diarahkan agar tidak
semata-mata untuk tujuan ekonomi, namun merupakan bagian dari ‘penyelamatan’ kota Jakarta dari ancaman kenaikan muka
air laut dan penurunan muka tanah. Reklamasi secara inovatif juga bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas lingkungan
dan kualitas kehidupan, seperti reduksi banjir, sumber suplai air baku, menghambat intrusi air laut, mencegah abrasi pantai,
dan memberikan perlindungan mangrove, sarana rekreasi, pemanfaatan tanggul sebagai infrastruktur transportasi dan manfaat
lainnya. Pendekatan yang lebih inovatif dan pemahaman akan manfaat yang lebih luas akan dapat menurunkan resistensi
terhadap rencana reklamasi. Reklamasi dan ekologi tidak harus selalu bertentangan. Pengalaman beberapa dekade belakangan
ini menunjukkan perdebatan panjang antara kelompok ‘pro-lingkungan’ dengan ‘pro-pembangunan’ tidak menghasilkan
sesuatu yang berarti dan tidak mengarah kepada pencerahan. Kepedulian akan lingkungan hidup secara tradisional sempit
sudah semakin ditinggalkan. Suatu ideologi yang menyebutkan bahwa keuntungan, pertumbuhan, dan ekosistim yang sehat
dapat hidup beriringan telah menggantikannya.
 
Selain pada aspek teknis, solusi inovatif juga harus diimplementasikan pada sisi finansial dan institusional. Banyak persoalan,
termasuk pada masalah banjir, lebih merupakan permasalahan institusional dibandingkan permasalahan teknik, karena
penanganan air merupakan proses yang melibatkan berbagai pihak sehingga perlu dibuat jelas peran dari setiap pihak dan
aturan main di antara mereka. Peningkatan peran masyarakat dan pendekatan bottom up mewarnai perubahan paradigma dalam
pengelolaan air. Sistem polder berbasis masyarakat perlu dikembangkan karena terbukti keberhasilannya dalam menyelesaikan
masalah banjir di kawasan rendah.
 
Buku ini berusaha mengangkat latar belakang persoalan banjir di Jakarta, baik dalam segi sejarah, kondisi geografis,
kependudukan, dan sosial budaya. Langkah-langkah penanggulangan banjir yang harus diambil berdasarkan data, konsep,
dan sejarah banjir itu sendiri sehingga penanggulangan banjir bisa dilakukan secara terprogram dan tentu saja mengedepankan
peranan masyarakat secara kongkrit.
 
Semoga buku ini bisa menjadi informasi yang berguna bagi siapa pun yang punya perhatian terhadap penanggulangan banjir
di Jakarta dan bisa memberikan inspirasi pemikiran baru dalam hal penanggulangan banjir di Jakarta.
 
Jakarta, September 2010
Sawarendro

vii
Bab 1
Ratusan Tahun Hikayat Banjir Jakarta
Catatan Hidrologi dan Karakter Cuaca, Saat Banjir Besar
Prakiraan Banjir Masa Datang
BANJIR :
CERITA LAMA YANG BELUM
KUNJUNG USAI

B
agi warga Jakarta, banjir adalah kisah usang yang belum berujung.
Setiap kali musim hujan datang, warga ibukota selalu waswas. Mereka
khawatir jika sewaktu-waktu air meluap hingga menggenangi daerah
tempat tinggalnya. Bayang-bayang ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh
banjir membuat warga menjadi resah. Bertahun-tahun sudah kisah itu selalu
berulang.
 
Keresahan ini tak hanya dirasakan golongan masyarakat bawah saja, beberapa
kawasan elit pun sudah merasakan sulitnya melakukan aktivitas di kala banjir
tiba. Air tak selalu datang saat satu wilayah mengalami hujan lebat saja; dalam
cuaca mendung dan sedikit hujan sekalipun bisa saja satu daerah tiba-tiba
mengalami banjir. Ini bisa terjadi karena hujan yang terjadi di daerah hulu
menyebabkan luapan air yang bergerak ke arah daerah yang lebih rendah.
Masyarakat Jakarta menyebut ini sebagai banjir ‘kiriman’.
 
Warga Jakarta telah merasakan Letak Kota Jakarta yang berada di dataran rendah menyebabkan warga ibukota
banjir sejak ratusan tahun lalu ini tidak bisa menjauh dari masalah air. Apalagi sejarah mencatat bahwa
genangan dalam jumlah besar tak hanya terjadi dalam beberapa dekade ini
saja. Ratusan tahun lalu banjir juga sudah dirasakan warga Jakarta.
 
Warga di sekitar Sungai Ciliwung mungkin bisa dijadikan salah satu contoh
saja, sungai yang usianya ratusan tahun ini, entah sudah berapa kali meluber:
dari genangan yang hanya beberapa sentimeter hingga setinggi rumah juga
pernah dialami penduduk sekitarnya.
 
Kini tidak hanya sungai Ciliwung yang kewalahan menahan banjir di musim
hujan, dua belas sungai lainnya yang membelah kota Jakarta juga sudah
mengalami hal yang sama. Begitu air datang dalam jumlah banyak, sungai-
sungai tersebut tak lagi mampu menyalurkannya ke laut. Akibatnya, tentu saja
air menggenang di daerah-daerah yang topografinya relatif lebih rendah di
daerah sekitarnya.
 
Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai 1
Gambar 1-1: Warga mengungsi dan resah melihat tinggi muka air yang terus meningkat.

Sialnya, banyak daerah di Jakarta yang posisinya semacam ini, lebih rendah
dari permukaan air laut dan air sungai. Inilah yang membuat warga Jakarta
harus siap menghadapi banjir rutin di setiap kali musim hujan. Tak ada pilihan,
banjir yang terjadi berulang-ulang menyebabkan warga harus sadar bahwa
mereka harus selalu siap siaga untuk menghadapinya.
 
Pembangunan Banjir Kanal 1.1. Ratusan Tahun Hikayat Banjir Jakarta
Barat pada tahun 1922, langkah Sejak zaman Belanda, pemerintah yang berkuasa di Jakarta juga telah
fenomenal dari Herman van Breen dipusingkan dengan masalah banjir. Bagi sebagian orang mungkin tidak
percaya kalau bencana banjir di Jakarta ini sudah mulai ada sejak zaman
Belanda ketika jumlah penduduk Jakarta sebenarnya masih sangat sedikit
apalagi jika dibandingkan populasinya saat ini.
 
Dengan niat untuk melakukan perdagangan, orang-orang Belanda mulai
mengunjungi Jakarta di abad 16. Tergiur dengan hasil yang lumayan besar,
pemerintah kolonial pun semakin menancapkan kukunya di wilayah ini.
Akibatnya, segala aspek kehidupan benar-benar diatur oleh pemerintahan
kolonial.
 
Beberapa tahun setelah Belanda menguasai Batavia, pemerintahan kolonial
sudah merasakan rumitnya menangani banjir di wilayah ini. Banjir besar

2 Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai


pertama kali mereka rasakan pada tahun 1621, diikuti banjir pada tahun 1654
dan 1876. Beberapa tahun kemudian, banjir masih terjadi di Jakarta.
 
1.1.1. Strategi Kolonial Menghadang Banjir
Mengutak-atik Sungai Ciliwung bukan hal baru terjadi di ibukota, ini sudah
terjadi semenjak awal pemerintah kolonial mendarat di daerah ini. Tak puas
dengan kinerja sungai itu, pada tahun 1634, Jan Pieterzoon Coen, Gubernur
Jenderal Belanda yang kala itu berkuasa di Batavia, melakukan modifikasi
terhadap Ciliwung. Muara sungai tersebut diluruskan dan dilengkapi dengan
tanggul-tanggul hingga mencapai pinggiran pantai. Maksudnya, tentu saja
agar air yang mengalir bisa lancar tanpa hambatan dan tidak mudah meluap ke
sekeliling. Maklum tiga belas tahun sebelumnya, tahun 1621, daerah ini lantak
disikat banjir besar.
 
Upaya-upaya untuk memperlancar arus air agar tak tergenang di daratan terus
dilakukan oleh pemerintah kolonial, termasuk penggalian Terusan Ammanus
menuju ke arah barat ke Kali Angke, dan Terusan Ancol dari Kali Sunter ke
Kota, tahun 1647. Ironisnya, genangan besar masih saja terjadi pada tahun
1654 yang menyebabkan Batavia kembali digulung banjir.
 
 

Gambar 1‑2: Situasi Sungai Ciliwung pada abad ke-18.

Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai 3


Sejak itu beragam usaha dilakukan para Gubernur Jenderal yang berkuasa,
untuk menuntaskan masalah banjir di Batavia, seperti dengan membuat Sungai
Mookervaart sebagai alur pembuangan dari Cisadane, pembuatan muara-muara
baru sungai, perbaikan-perbaikan tanggul yang rusak dan lain-lain. Beragam
perbaikan besar sempat pula dilakukan pada tahun 1854, berbarengan dengan
didirikannya Departemen Tata Air dan Bangunan, oleh pemerintah kolonial
Belanda. Saat itu usaha-usaha untuk meredam banjir yang mungkin timbul
dilakukan dengan lebih terencana.
 
Banjir ternyata tetap tak mau menjauh dari wilayah ini. Ini terbukti pada tahun
1876 ketika warga kembali harus tunggang langgang menyelamatkan nyawa
dan hartanya dari bencana banjir. Genangan air benar-benar merepotkan
penduduk. Meski demikian, tak ada kata menyerah untuk menghadapi banjir;
tampaknya itulah prinsip yang dipegang para penguasa Batavia ketika itu.
Segala jurus jitu dikeluarkan guna mengenyahkan banjir dari Jakarta.
 
Salah satu usaha yang tergolong cukup legendaris di Kota Jakarta adalah
pembangunan Banjir Kanal Barat (BKB). Pada tahun 1922, proyek kanal
ini mulai dibangun dari Pintu Air Manggarai sampai Muara Angke yang
maksudnya untuk memotong sungai-sungai yang melintasi kawasan itu dan
membuang airnya langsung ke tepi laut. Kanal hasil rancangan Profesor
Herman van Breen ini cukup efektif untuk mengurangi risiko banjir.
 
Kendati demikian, bukan berarti persoalan banjir bisa selesai. Ruwetnya
menata kota yang semakin besar dan ramai mulai terasa. Bangunan-bangunan
yang sebelumnya dianggap mampu mengatasi luapan air tak lagi optimal
menghadapi persoalan air yang semakin menumpuk. Tak ayal, Januari 1932
lagi-lagi banjir besar melumpuhkan Kota Jakarta. Kali ini yang terkena
dampaknya adalah ratusan rumah di kawasan Jalan Sabang dan Thamrin.
Beberapa warga dan petinggi pemerintahan kolonial mulai merasakan bahwa
wilayah ini akan sulit melepaskan diri dari bencana banjir.
 
1.1.2. Meski Merdeka, Banjir Tak Surut Juga
Pada bulan Februari 1976 hujan deras turun dalam waktu yang cukup lama.
Selama tiga hari berturut-turut hujan turun hampir tanpa henti. Akibatnya
sebagian Jabodetabek terendam. Jakarta Pusat menjadi lokasi terparah dalam
banjir tersebut, lebih 200.000 jiwa diungsikan. Setahun kemudian, 19 Januari
1977, akibat hujan deras yang terus menerus Jakarta kembali dilanda banjir.
Meski tidak separah tahun sebelumnya, setidaknya 100.000 jiwa diungsikan
dalam musibah saat itu.
 
4 Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai
Di era tahun delapan puluhan, persoalan banjir terus berlanjut. Januari 1984,
sebanyak 291 Rukun Tetangga (RT) di aliran Sungai Grogol dan Sekretaris
terendam. Dampaknya terasa di Jakarta Timur, Barat dan Pusat; jumlah
korban banjir tercatat 8.596 kepala keluarga. 13 Februari 1989, giliran Sungai
Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan meluap akibat tidak mampu menampung
banjir ‘kiriman’ dari hulu; 4.400 kepala keluarga harus mengungsi.
 
Setelah itu hampir setiap tahun terjadi banjir. Bahkan, pada tahun 1994,
meluapnya Sungai Cipinang dan Sungai Sunter mengakibatkan banjir di daerah
Pulo Gadung, Jl. Perintis Kemerdekaan, Kampung Kayu Putih, Kompleks
Perhubungan Jati Rawamangun, Cipinang Jaya termasuk Jalan Panjaitan.
Bahkan perumahan Sekretaris Negara RI, Jalan Bekasi Timur dan Jatinegara
Pulo juga tergenang. Total kawasan yang terkena banjir sekitar 800 hektar.
Kedalaman genangan air antara 40 sampai 100 sentimeter.
 
Banjir pada tahun 1996, Debit air 1.1.3. Banjir Era Tahun 90’an, BKB Takmampu Menghadang
mencapai 500 – 550 m3/detik jauh Dua tahun kemudian banjir kembali menggenangi Jakarta; kali ini lebih
melampaui kapasitas BKB yang banyak lagi lahan permukiman yang terendam. Lebih dari 3.000 hektar daerah
permukiman sepanjang alur Kali Ciliwung, Banjir Kanal Barat (BKB) dan Kali
hanya 290 m3/detik.
Anak Ciliwung tergenang. Ini disebabkan oleh hujan yang tiada henti selama
dua hari di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung.
 

Gambar 1‑3: Menanti surutnya banjir.

Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai 5


Akibatnya Kali Ciliwung penuh air, mengalir ke hilir dan meluap melewati
tebing-tebing sungai. Sepertiga dari daerah genangan diperkirakan berada di
Jakarta Utara-Timur. Saat itu debit puncak Pintu Air Manggarai tercatat sebesar
500 – 550 m³/detik. Banjir Kanal Barat (BKB) yang hanya mampu menampung
debit 290 m³/detik tak mampu lagi menahan air yang melimpas. Debit banjir
yang sangat besar ini sekaligus menjadi indikasi adanya perubahan yang terjadi
pada rejim hidrologi Kali Ciliwung karena perubahan pada pemanfaatan lahan
di DAS Ciliwung.
 
Banjir yang terjadi bulan Januari itu, ternyata bukan yang terparah di tahun
itu. Sebulan berselang, 10 Februari 1996, curah hujan sebesar 250 mm selama
5 jam kembali membuat Jakarta banjir. Kali ini daerah yang tergenang lebih
banyak lagi, sekitar 5.000 hektar daerah permukiman di DKI digenangi air
setinggi 1–2 meter. Hujan satu hari itu sama dengan hujan ekstrim dengan
periode ulang 100 tahun.
 
Pelajaran yang dapat dipetik dari kedua kejadian banjir ini adalah bahwa
kondisi kurang baik di gabungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sunter–Cipinang
merupakan penyebab utama banjir di wilayah bagian timur Jakarta. Upaya
pencegahan banjir di bagian timur Jakarta harus diarahkan pada penyelesaian
masalah yang ditimbulkan oleh buruknya sistem sungai Sunter–Cipinang. Ini
menunjukkan bahwa pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) merupakan
komponen utama dalam penyelesaian masalah banjir di wilayah timur Jakarta.
 
Tahun berikutnya, 13 Januari 1997, hujan deras selama 2 hari menyebabkan
4 kelurahan di Jakarta Timur tergenang. Lagi-lagi banjir kala itu diakibatkan
oleh meluapnya Sungai Cipinang, saat itu curah hujan tahunan mencapai 924,5
mm. Selanjutnya pada Januari 1999, banjir kembali menggenangi Jakarta,
Tangerang, dan Bekasi, ribuan rumah terendam, 6 korban tewas dan 30.000
jiwa mengungsi.
 
Curah hujan tahunan 2002 1.1.4. Banjir 2002, Hulu - Hilir Diguyur Air
mencapai 2.288,9 mm, jauh Banjir tahun 2002 terjadi pada bulan basah Januari-Februari sebagaimana yang
terjadi pada banjir 1996. Perbedaan yang mendasar dari kedua banjir ini adalah
melebihi tahun 1997 yang hanya bahwa pada banjir 2002 puncak banjir disebabkan oleh banjir dari Bogor
924,5 mm ditambah dengan hujan yang turun cukup lebat di Jakarta, ini berlangsung
dalam beberapa hari. Di awal bulan Januari hujan turun selama sepuluh
hari di segitiga Bekasi, Tanjung Priok dan Halim Perdanakusuma. Hujan ini
membawa kotoran dan material yang menjadi sedimen di dasar sungai. Meski
dengan intensitas yang lebih rendah, hujan masih terus turun pada pertengahan
Januari itu hingga intensitasnya kembali meningkat tanggal 30 Januari 2002,
yang mencapai 250 mm. Akibatnya daerah-daerah yang berbatasan dengan

6 Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai


sungai langsung dibanjiri air yang melimpas. Dalam kejadian banjir ini debit di
Pintu Air Manggarai mencapai 400 m³/detik, lebih rendah dibandingkan debit
pada saat banjir 1996.
 
Curah hujan ekstrim terjadi tanggal 2 Februari 2002 yang kala itu ketinggian
Kali Ciliwung mencapai puncaknya. Sampai tanggal 4 Februari banjir
menggenangi permukiman seluas 10.000 hektar. Secara umum dampak banjir
tahun 2002 ini dua kali lipat dari banjir 1996. Kedalaman genangan pada
beberapa tempat bahkan mencapai 4 meter. NEDECO menyimpulkan bahwa
puncak banjir Kali Ciliwung disebabkan oleh hujan lebat di bagian tengah
DAS (sepanjang alur Depok-Manggarai) dan menyebabkan banjir dengan
periode ulang 20 tahun.
 
Banjir besar di Jakarta tahun 2002 juga menunjukkan bahwa curah hujan
tahunan pada masa itu cukup tinggi. Jika dilihat rata-ratanya mencapai 2.288,9
milimeter. Ini jauh lebih tinggi dari rata-rata curah hujan tahun 1997 yang hanya
924,5 milimeter; juga dibandingkan dengan curah hujan rata-rata tahun 2001.

Gambar 1‑4: Tinggi muka air Sungai Ciliwung di Depok dan Manggarai saat banjir 2002.
(Sumber: Jakarta Flood Management Project )

1.1.5. Banjir 2007, Katulampa Meluap


Genangan dalam jumlah besar kembali terjadi pada tahun 2007. Ketika itu
sekitar 60 % wilayah Jakarta mengalami banjir. Sebanyak 140.000 jiwa
mengungsi, 1379 gardu induk terganggu, dan 420.000 pelanggan listrik
tertanggu. Ironisnya korban jiwa mencapai 80 orang. Ini merupakan banjir
terbesar selama tiga abad terakhir. Banjir ini terjadi karena melimpasnya air di
daerah hilir Sungai Ciliwung dan beberapa sungai lainnya. Luapan air pertama

Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai 7


Gambar 1‑5: Sungai meluap, warga hanya bisa menyaksikan

80 orang meninggal dunia, korban kali terjadi tanggal 2 Februari 2007 disebabkan oleh hujan yang sangat lebat
banjir pada tahun 2007 paling di Jakarta. Saat itu ketinggian air di Sungai Ciliwung mencapai sekitar 9,5
banyak dalam sejarah Jakarta meter. Banjir hari itu bukan berasal dari daerah hulu, sebab ketinggian air di
Katulampa dan Depok tidak mengkhawatirkan.
 
Dua hari kemudian tanggal 4 Februari hujan lebat terjadi di daerah hulu dan
saat itu ketinggian air di Katulampa sudah menunjukkan tanda-tanda akan
meluap. Meski hujan di Jakarta tidak sebesar dua hari sebelumnya, akan
tetapi banyaknya air dari daerah hulu tidak mampu ditampung di daerah hilir
Ciliwung. Saat itu tinggi air mencapai lebih dari 10,5 meter. Banjir pada
tanggal 4 Februari 2007 tersebut lebih banyak disebabkan oleh curah hujan
yang tinggi di daerah hulu Katulampa dan Depok.

Gambar 1‑6: Tinggi muka air Sungai Ciliwung di Katulampa dan Manggarai saat banjir 2007.
(Sumber: Jakarta Flood Management Project )

8 Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai


Gambar 1‑7: Curah hujan di sembilan stasiun di Jakarta (kiri) dan curah hujan di tiga stasiun di Bogor (kanan)
(Sumber: Jakarta Flood Management Project )

Sebagai catatan, dalam beberapa kali terjadinya banjir di Jakarta tinggi muka
air Katulampa selalu dijadikan acuan. Bendung Katulampa yang berada di hulu
(Bogor) aliran sungai Ciliwung ini dibuat pada zaman Belanda sebagai sumber
air untuk saluran irigasi dan untuk penggelontoran air di kota-kota di sekitarnya.
Jika intensitas hujan tinggi, muka air di tempat ini selalu dipantau selama 24
jam penuh. Hal ini dilakukan agar petugas bisa cepat membuka pintu air di
Jakarta, jika memang diperlukan, untuk mengurangi risiko banjir di Jakarta.
 
Tinggi muka air laut belum 1.2. Catatan Hidrologi dan Karakter Cuaca, Saat Banjir Besar
berpengaruh terhadap terjadinya Dari beberapa kejadian banjir besar yang terjadi tahun 1996, 2002 dan 2007,
banjir 1996, 2002 dan 2007 ada beberapa catatan yang bisa kita ambil berkaitan dengan masalah hidrologi
maupun karakter cuaca.
1.  Bulan Januari dan Februari adalah bulan dengan curah hujan tinggi yang
berpotensi menyebabkan terjadinya banjir.
2.  Banjir di Jakarta sering disebabkan oleh hujan turun dengan kapasitas
besar terus menerus. Hujan yang hanya turun sekali biasanya tak sampai
membuat Kali Ciliwung melimpas. Masalah timbul, bila hujan besar
berikutnya datang dalam selang waktu yang tidak terlalu jauh. Ini terlihat
dalam kasus banjir tahun 2002. Curah hujan awal Januari membawa
banyak material dan menyebabkan terjadinya sedimentasi di dasar sungai.
Akibatnya ketika hujan yang sama kembali muncul tanggal 31 Januari,
banjir sulit dielakkan.
3.  Tinggi muka air laut tidak mempengaruhi banjir yang terjadi tahun 1996,
2002 dan 2007. Banjir tahun 2002 dan 2007 disebabkan oleh curah hujan
ekstrim yang turun lebih dari dua hari. Hal ini menyebabkan tinggi muka

Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai 9


air Sungai Ciliwung di daerah Manggarai mencapai puncaknya. Untuk
banjir tahun 2007, sekaligus terjadi kombinasi penyebab banjir yakni
akibat hujan di daerah hulu dan daerah hilir.
4. Setiap hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi di hulu Jakarta perlu
diwaspadai karena pergerakan air dari kawasan sekitar 1500 kilometer
persegi akan bergerak ke laut, melewati Jakarta. Jika terhambat tentu saja
akan menyebabkan banjir di Jakarta, terutama di daerah yang wilayahnya
berada di bawah permukaan laut.

Melihat kecenderungan statistik


hidrograf, amblesan dan kenaikan
muka air laut, diprediksi kejadian
banjir masih akan berulang dan
kemungkinan situasi lebih buruk
bisa terjadi

Gambar 1‑ 8: Air hujan dari kawasan seluas 1500


km² menuju ke laut melalui Jakarta.
(Sumber : Jakarta Flood Management Project)

1.3. Prakiraan Banjir Masa Datang


Jakarta, dan juga beberapa kota besar lainnya di Indonesia, berada pada dataran
rendah di daerah pantai (coastal zone). Selain itu, wilayah Jakarta juga dilalui
sungai yang mempunyai daerah tangkapan (catchment area) luas. Akibatnya,
daerah ini menjadi rentan genangan pada waktu musim hujan. Banjir yang
berulang di daerah perkotaan yang padat penduduknya menyebabkan
beragam persoalan seperti ketidaknyamanan, kemacetan, gangguan kesehatan,
kehilangan harta benda, terhambatnya kegiatan ekonomi dan sebagainya.
Akankah banjir seperti ini akan terulang kembali di masa datang?

10 Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai


Melihat kondisi yang ada serta kecenderungan statistik hidrograf, bisa
diprediksi bahwa kejadian semacam itu akan berulang. Bahkan kondisinya
bisa lebih buruk jika memperhitungkan penurunan muka tanah yang terjadi dan
kenaikan muka air laut. Seperti diketahui, setiap tahun, muka tanah di Jakarta
terus menerus mengalami penurunan. Masih ditambah lagi permasalahan laju
pertambahan penduduk, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
yang terus berlangsung. Ini tentu menyebabkan kerugian akibat banjir terus
meningkat.
 
Dengan selesainya Banjir Kanal Timur (BKT) dan diintensifkannya
pengerukan sungai, maka risiko banjir yang disebabkan oleh curah hujan di
bagian hulu akan terkurangi, namun potensi banjir masih tetap ada terutama
yang diakibatkan curah hujan yang jatuh di atas Jakarta dan masuknya air
pasang dari laut.
 
Semakin berkembangnya permukiman dan berkurangnya rasio badan air
akan dapat meningkatkan potensi banjir di DKI Jakarta. Hal ini ditambah
lagi dengan amblesnya tanah di Jakarta dan adanya pemanasan global yang
membawa dampak naiknya permukaan laut dan meningkatnya intensitas curah
hujan pada musim penghujan. Aspek-aspek tersebut di atas perlu diantisipasi
pula dalam hubungannya dengan siklus astronomi pasang tertinggi air laut
yang berulang setiap 18,6 tahun.

Banjir: Cerita Lama yang Belum Kunjung Usai 11


Bab 2
Fenomena yang Berulang
Keadaan Geografis
Muka Tanah Rendah, Air Sulit Bergerak
Kondisi Sungai di Jakarta
Hambatan di Sepanjang Saluran
Tanah Lunak, Penyedotan Air dan Amblesan
Kenaikan Muka Air Laut
Keragamaan Fungsi Jakarta
Kependudukan dan Urbanisasi
Tata Guna Lahan, Minim Ruang Terbuka Hijau
Terbatasnya Luas Badan Air
Kondisi Hidrologi
Kondisi Hidrogeologi
bEragam masalah dan
Tantangan Jakarta

Akumulasi permasalahan
menyebabkan semakin beratnya
tantangan Jakarta dalam
menghadapi banjir
J ika kita melihat dari sejarah yang sudah diuraikan di atas, banjir sudah
terjadi sejak zaman kolonial Belanda, hampir empat abad yang lalu.
Ini artinya di saat jumlah penduduk Jakarta masih sedikit, banjir pun
sudah terjadi di Jakarta. Dalam dekade terakhir, ternyata banjir semakin
sering dialami. Melihat kecenderungan banjir di Jakarta yang semakin sering
serta semakin banyak kawasan yang tergenang, memberikan indikasi bahwa
penyebab banjir semakin beragam.

Ironisnya satu dan lain penyebab saling menguatkan sehingga potensi


terjadinya genangan semakin besar. Dari mulai permasalahan urbanisasi,
pembuangan limbah, parahnya kondisi sungai, institusional hingga dampak
pemanasan global. Ini bisa dilihat dalam gambar dibawah ini.

Gambar 2-1: Banjir dan aspek terkait

Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta. 13


Mekanisme sistem mikro, sub-makro Akumulasi permasalahan dari beragam aspek membuat tantangan dalam
dan makro yang tidak memadai menghadapi banjir yang akan datang menjadi lebih berat lagi. Permasalahan
membuat air mudah meluap terus menerus bertambah sementara penyelesaian yang diambil masih
terbatas. Untuk itu sebelum melangkah lebih jauh perlu dilakukan identifikasi
permasalahan banjir tersebut. Uraian berikut akan menampilkan situasi umum
yang mengarah pada permasalahan banjir yang terjadi di Jakarta.

2.1. Fenomena yang Berulang


Melihat beberapa kali banjir di Jakarta, banjir selalu didahului oleh melubernya
air dari saluran-saluran yang ada. Secara sederhana ini bisa diartikan bahwa
fungsi saluran yang ada tidak memadai; baik itu saluran drainase yang berasal
dari perumahan maupun saluran-saluran yang lebih besar seperti sungai dan
kanal.

Secara umum banjir di Jakarta disebabkan oleh tiga mekanisme, yaitu :


• sistem makro: air dari hulu yang dibawa melalui sungai yang meluap ;
• sistem sub-makro: banjir yang disebabkan oleh tertahannya air hujan di
bagian kota yang lebih rendah, umumnya di daerah yang garis konturnya
di bawah MSL (Mean Sea Level) +6.0 m ;
• sistem mikro: banjir di jalanan kota yang diakibatkan oleh tersumbatnya
saluran/got oleh sampah yang menumpuk atau kapasitas saluran yang
tidak memadai.

Pada mekanisme banjir sistem makro, banjir disebabkan oleh meluapnya


air sungai akibat debit air melebihi kapasitas daya tampung sungai. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
• perubahan tata guna lahan ;
• tumbuhnya permukiman di bantaran dan badan sungai ;
• pembuangan limbah di sungai ;
• pengendapan sedimen di dasar sungai, terutama di mulut sungai ;
• tetumbuhan liar di pinggir sungai ;
• terdapat beberapa belokan sungai (meander) di bagian hilir.

Khusus untuk daerah utara Jakarta mekanisme banjir sistem sub-makro


terutama disebabkan oleh wilayahnya lebih rendah dari muka air laut atau
muka air sungai. Daerah seperti ini tidak dapat membuang air secara gravitasi.
Banjir/genangan pada daerah ini menjadi parah apabila hujan lebat dan pasang
tinggi datang secara bersamaan.

14 Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta.


Gambar 2-2: Fenomena genangan di Jakarta.

Meningkatnya permukaan air laut Faktor yang berpengaruh terhadap banjir/genangan di daerah ini adalah:
dan amblesan, mengakibatkan • tidak terdapatnya tanggul (dinding pelindung) yang menyekat daerah
masalah banjir rob menjadi isu rendah tersebut dari tingginya air sungai dan air laut ;
dominan di masa datang • berkurangnya tempat retensi air karena perubahan peruntukan ;
• tidak memadainya kapasitas pompa yang ada ;
• buruknya operasi dan pemeliharaan sistem polder.

Sedangkan mekanisme banjir sistem mikro terutama disebabkan kapasitas


saluran yang terbatas atau tereduksi kapasitasnya akibat beberapa hal:
• pembuangan sampah ke saluran/got ;
• kapasitas gorong-gorong yang tidak mencukupi ;
• berkurangnya tempat parkir air (detention) yang menyebabkan lonjakan
debit air yang memasuki saluran-saluran publik.

Selain itu, dengan meningkatnya permukaan air laut dan penurunan muka
tanah, maka permasalahan banjir rob tersebut diprediksi akan menjadi isu yang
semakin dominan pada masa yang akan datang.

2.2. Keadaan Geografis


Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata hampir 7 meter
di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6º121 Lintang Selatan dan 106º481
Bujur Timur. Luas wilayah Propinsi DKI Jakarta terdiri dari daratan seluas 662
km² dan lautan seluas 6.998 km². Terdapat pula sekitar 27 buah sungai/saluran/
kanal yang digunakan untuk berbagai kegiatan.

Di sebelah utara membentang pantai dari barat sampai ke timur sepanjang


kurang lebih 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2
buah kanal. Sementara di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan wilayah

Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta. 15


administrasi propinsi Jawa Barat, sebelah barat dengan wilayah Propinsi
Banten sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa.

Wilayah administrasi propinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah


Kotamadya dan satu Kabupaten Administratif yaitu Kotamadya Jakarta
Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara dan
Kabupaten Kepulauan Seribu.

Sekitar 40 % wilayah Jakarta di 2.3. Muka Tanah Rendah, Air Sulit Bergerak
bawah ketinggian permukaan Lazimnya memang permukaan air laut lebih rendah dari dataran sehingga
air laut dan/atau permukaan air yang mengalir dari hulu dengan mudah bisa dialirkan ke laut dengan
air sungai. Untuk wilayah ini mengandalkan gaya gravitasi. Jika kondisi suatu wilayah seperti ini, maka
yang harus dipikirkan adalah bagaimana air limpasan bisa langsung masuk
pembuangan air secara alamiah ke sungai dan dialirkan segera ke laut. Akan tetapi, dibeberapa daerah di
(gravitasi) tidak dimungkinkan Jakarta air sulit bergerak secara alamiah dengan mengikuti gaya gravitasi. Ini
disebabkan karena topographi Jakarta yang rendah dan datar yang sekitar 40 %
dari wilayahnya berada pada ketinggian di bawah permukaan air laut dan/atau
permukaan air sungai. Karena itu secara alamiah tidak dimungkinkan untuk
mengalirkan air secara gravitasi. Harus ada upaya lain untuk mengangkat air
sehingga bisa dibuang ke sungai atau ke laut. Oleh karenanya pembuangan air
dari kawasan rendah ini harus dibantu dengan pemompaan yang dilengkapi
dengan tempat penampungan air sementara (waduk). Di daerah semacam ini
memang perlu tambahan energi untuk mengenyahkan air dari wilayahnya.

Gambar 2-3: Limpasan air laut dan banjir rob isu dominan di masa datang.

16 Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta.


Karena berbagai hal, kemampuan 2.4. Kondisi Sungai di Jakarta
sungai hanya separuh dari Kecenderungan menunjukkan bahwa jumlah sungai dan saluran di Jakarta
kapasitas desain awalnya cenderung menurun. Hanya, intervensi yang luar biasa yang dapat menambah
jumlah saluran dengan luas yang berarti. Ini terlihat ketika rencana Banjir
Kanal Barat (BKB) dan Banjir Kanal Timur (BKT). Sejarah mencatat bahwa
akibat pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya jumlah permukiman,
perkantoran dan pusat perdagangan banyak daerah yang kehilangan anak-anak
sungai yang melintas di atasnya. Kini yang masih tersisa adalah 13 sungai,
termasuk tiga kanal buatan ; Banjir Kanal Barat (BKB), Banjir Kanal Timur
(BKT) dan Cengkareng Drain.

Sayangnya kondisi ke-13 sungai ini kini sangat memprihatinkan dengan


tingkat sedimentasi dan pengangkutan sampah yang tinggi. Akibatnya,
jika curah hujan cukup tinggi terjadi di hulu, permukaan air sungai dengan
cepat meningkat, yang pada gilirannya luapan air sungai akan mengancam
daerah rendah di Jakarta terutama daerah Jakarta Utara. Kapasitas sungai
yang telah berubah menjadi berkisar separuh dari kapasitas desain awalnya
mengakibatkan sungai tidak mampu menampung air di kala musim hujan
tiba dengan intensitas yang cukup tinggi. Apalagi jika di hulu dan hilir hujan
turun secara serentak. Perawatan sungai terutama pengerukan mulut sungai
dan pengurangan pembuangan sampah ke sungai akan membantu menjaga
kapasitas debit sungai. Kondisi sungai-sungai ini menentukan ketinggian
muka air sungai dan kemungkinan limpasannya.

2.5. Hambatan di Sepanjang Saluran


Urbanisasi di Jakarta pada dekade terakhir juga membawa berbagai macam
permasalahannya. Dari masalah sosial yang berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan hidup hingga masalah pencemaran yang mengurangi kualitas
lingkungan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, sering kali
masyarakat, dan terkadang bekerjasama dengan oknum aparat, menerabas
segala aturan yang sudah ada.

2.5.1. Kapasitas Saluran yang Tidak Memadai


Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa kapasitas dari saluran yang ada di Jakarta
sudah tidak memadai. Kapasitas yang tidak cukup umumnya bersumber pada
saluran yang kurang dalam atau kurang lebar. Ini menyebabkan air tak mampu
dialirkan secara optimal dan cenderung melimpas ke luar badan sungai. Di
samping itu keberadaan bangunan-bangunan fisik pendukung infrastruktur
lainnya sering juga malah mempersempit aliran seperti jembatan dan gorong-
gorong. Pilar-pilar penahan struktur jembatan memakan tempat sehingga harus
mengambil bagian yang seharusnya menjadi tempat untuk air mengalir. Hal

Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta. 17


yang sama juga terjadi karena adanya gorong-gorong yang menyempit, yang
menyebabkan terjadinya hambatan pada aliran yang lewat.

Rumah yang menjorok ke sungai, 2.5.2. Permukiman dan Utilitas Sepanjang Sungai
kabel telepon dan listrik, pipa Beragamnya strata ekonomi masyarakat Jakarta berdampak pula pada
air yang melintas saluran keragaman permukiman yang mereka miliki. Dari rumah mewah yang berada
mengurangi kapasitas saluran di kawasan Pondok Indah hingga rumah-rumah seadanya di pinggiran kali di
banyak sungai di Jakarta. Untuk membuat agar daerah aliran sungai bersih
dari rumah-rumah penduduk ternyata sulit untuk diupayakan. Hal ini terbukti
dengan tumbuhnya permukiman liar di sepanjang sungai. Bahkan pada
beberapa lokasi permukiman liar tersebut menjorok ke badan saluran atau
sungai. Bangunan-bangunan tersebut tentu saja mengambil jatah aliran air yang
mengalir di saluran, terutama di kala musim hujan. Banyaknya permukiman
yang ada di sekitar sungai akan menambah jumlah endapan di saluran tersebut
karena akan banyak material yang terbuang atau dibuang ke aliran sungai.
Ini tidak saja mempersempit daerah aliran sungai, tetapi juga membahayakan
warga yang tinggal di rumah tersebut. Foto pada Gambar 2-4 berikut mewakili
kasus tipikal bagaimana pemukiman yang menjorok ke badan saluran/sungai
tersebut telah menghambat aliran.

Di samping permukiman yang menjorok ke daerah aliran sungai, hambatan


lain yang mempengaruhi lancarnya arus adalah jaringan utilitas yang melintas
saluran. Jaringan utilitas yang melintasi saluran seperti kabel-kabel telepon
dan listrik, pipa dan sebagainya. Ini sangat mengganggu aliran, apalagi jika
jaringan tersebut menjadi tempat tersangkutnya material atau sampah yang ada
di aliran sungai.

Gambar 2-4: Permukiman yang menjorok di kali krukut dan kali mampang.

18 Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta.


Bertahun-tahun, jutaan warga 2.5.3. Pembuangan Limbah Padat pada Saluran
membuang sampah di saluran, Pembuangan limbah padat ke saluran drainase merupakan masalah yang serius
baik di saluran drainase dalam sistem drainase perkotaan. Sampah atau limbah padat terbawa oleh
lingkungan maupun di sungai arus, baik di permukaan atau secara melayang di tengah aliran. Sementara
itu sebagian lainnya mengendap di dasar saluran. Dalam kasus seperti ini,
kapasitas efektif saluran drainase akan berkurang.

Kebiasaan membuang sampah di saluran sudah bertahun-tahun terjadi, tidak


saja di sungai-sungai, bahkan di saluran drainase perkotaan juga dipenuhi oleh
sampah. Ironisnya, yang membuang sampah ke saluran ini tidak hanya warga
yang tidak mau direpotkan oleh masalah mengenyahkan sampahnya saja,
tetapi juga para petugas kebersihan. Beberapa petugas penyapu jalan masih
ada yang membuang tumpukan sampahnya ke dalam saluran.

Kita tidak bisa membayangkan jika jutaan masyarakat Jakarta masih saja
membuang sampahnya ke dalam saluran. Limbah padat ini terdiri dari plastik,
kertas, tekstil dan bahan-bahan organik. Memang pemerintah berusaha untuk
memindahkan dan mengangkut sampah-sampah tersebut dari saluran. Akan
tetapi proses pemindahannya dari saluran masih kalah cepat dengan limbah
padat yang datang. Akibatnya tentu saja saluran dipenuhi oleh sampah. Ketika
hujan lebat datang, sungai tidak lagi efektif mengalirkan air limpasan.

Gambar 2-5: berikut menunjukkan contoh hambatan pada aliran akibat dari
tumpukan sampah dan limbah.

Gambar 2-5: Limbah padat yang terjaring di Sudetan Grogol—Sekretaris & outlet saluran Utan Kayu

Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta. 19


Akibat amblesan diperkirakan 2.6. Tanah Lunak, Penyedotan Air dan Amblesan
dalam 20 tahun ke depan daratan Tanah yang lunak, dikombinasikan dengan penyedotan air tanah yang terus
Jakarta turun 60 – 100 cm, ini menerus mengakibatkan land subsidence (amblesan). Penurunan muka
artinya efektifitas struktur penahan tanah di Jakarta berkisar antara 3–5 cm per tahun. Di beberapa tempat ada
banjir (tanggul dan pompa) juga penurunan yang lebih besar, tetapi lebih merupakan proses konsolidasi
setempat yang terjadi akibat penambahan beban, misalnya penimbunan jalan.
akan berkurang
Dengan kecepatan penurunan (land subsidence rate) seperti ini maka tinggi
muka tanah akan menurun sebesar 60 cm – 100 cm dalam waktu 20 tahun.
Ini berarti bahwa efektifitas dari struktur penahan banjir (tanggul dan pompa)
akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Agar tetap mampu untuk
melakukan proteksi terhadap banjir maka diperlukan investasi baru lagi.
Semakin tinggi tingkat penurunan muka tanah, semakin sering frekuensi
perbaikan struktur penahan banjir harus dilakukan.

Gambar 2-6: Kontur penurunan muka tanah tahun 1978 - 1995.

Untuk mengurangi dampak penurunan muka tanah ini, salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan mengurangi penyedotan air tanah secara
bertahap dan pada akhirnya nanti harus dilarang sama sekali. Memang tidak
mudah untuk melarang masyarakat atau kalangan industri memakai air tanah
karena akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan industrinya. Akan
tetapi pembatasan penggunaan air tanah harus terus dilakukan.

20 Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta.


Kebijakan untuk meningkatkan terus tarif air tanah yang dipakai masyarakat
dan industri perlu dijalankan secara konsisten. Karena pada akhirnya nanti
orang-orang akan memperhitungkan nilai keekonomisan penggunaan air
tanah. Meski demikian pemerintah harus pula menanggung konsekuensi dari
kebijakan itu yaitu dengan memperluas distribusi penyediaan air perpipaan
dengan harga yang terjangkau. Dengan demikian prinsip insentif terhadap
pemakai air perpipaan dan disinsentif terhadap pemakai air tanah bisa benar-
benar terlaksana. Jika ini bisa dilaksanakan maka penurunan muka tanah di
Ibukota berangsur-angsur bisa berkurang.

Skenario sedang IPCC 2.7. Kenaikan Muka Air Laut


memprediksi sampai tahun 2100 Akibat pemanasan global, tinggi permukaan laut akan meningkat.
kenaikan muka air laut berkisar Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dalam prediksinya
6 mm per tahun memperkirakan bahwa kenaikan muka air laut berkisar 6 mm per tahun sampai
tahun 2100. Ini tentu juga berpengaruh pada perairan laut Indonesia. Dampak
ini lebih terasa pada daerah-daerah yang berbatasan dengan laut, seperti DKI
Jakarta.

Gambar 2-7: Perkiraan kenaikan muka air laut (skenario IPPC).

Karena sifat globalnya, penanganan masalah ini harus dilakukan secara global
dengan cara menurunkan konsentrasi CO2 dan gas rumah kaca lainnya. Semua
negara di dunia harus bersama-sama berusaha menurunkan konsentrasi CO2
dan gas rumah kaca lainnya di negaranya masing-masing. Isu ini merupakan
isu internasional yang membutuhkan kemauan bersama antar sesama negara
yang berada di permukaan bumi ini untuk mengurangi pemanasan global.

Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta. 21


Sebagai bagian dari negara yang berada di dunia ini, tentu Indonesia harus
mengantisipasi segala dampak yang mungkin terjadi akibat perubahan
iklim ini. Dampak utama yang dirasakan adalah kenaikan muka air laut dan
meningkatnya intensitas curah hujan di musim penghujan. Jakarta tentu tidak
ingin infrastruktur dan permukiman yang telah ada secara perlahan-lahan
hilang tergenang air laut.

Laju urbanisasi tinggi, Jakarta 2.8. Keragamaan Fungsi Jakarta


tak mampu mencukupi berbagai Sebagai satu kota besar yang dihuni oleh berbagai lapisan masyarakat, Ibukota
prasarana dan sarana yang memiliki fungsi yang cukup banyak seperti tempat perdagangan, pusat
memadai pemerintahan, industri dan fungsi lainnya. Fungsi yang banyak tersebut akan
memberikan potensi yang besar bagi peningkatan pendapatan propinsi. Dilihat
dari sisi ekonomis ini tentu saja bertempat tinggal di Jakarta jelas lebih dapat
memberikan pendapatan bagi warganya. Ini bisa dimaklumi karena banyak
kesempatan yang bisa diraih di kota ini.

Disisi lain, akibat berbagai macam fungsi Jakarta tersebut salah satunya ialah
memberikan daya tarik urbanisasi yang besar bagi warga luar untuk mengadu
nasib ke Ibukota. Urbanisasi yang besar tentu akan menimbulkan berbagai
macam permasalahan sosialnya. Pemerintah harus menyediakan sarana
pendidikan, kesehatan, transportasi, perumahan, air bersih dan sarana lain.
Sayangnya pemerintah tidak sanggup untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan
itu; ini akibat terlalu banyaknya masyarakat yang hijrah ke ibukota.

Ketidakcukupan penyediaan sarana dan ancaman terlampauinya daya


dukung lingkungan berdampak pada ketidakteraturan dan ketidaknyamanan.
Ketidakteraturan ini berwujud dalam kesemrawutan lalu lintas, timbulnya
banjir dan genangan, tumbuhnya permukiman di bantaran kali, kurangnya
oksigen dan udara segar serta degradasi lingkungan lainnya. Untuk itu harus ada
langkah-langkah yang harus dilakukan agar fungsi-fungsi itu tidak terpusat di
Jakarta saja. Pemerintah DKI perlu duduk bersama dengan pemerintah daerah
tetangga untuk bisa bekerjasama. Bersama mereka pemda DKI melakukan
distribusi fungsi-fungsi yang ada agar tekanan sosial dan lingkungan bisa
dikelola dengan baik.

Awal kemerdekaan penduduk 2.9. Kependudukan dan Urbanisasi


Jakarta tidak sampai 1 juta jiwa, Di zaman Belanda pertumbuhan jumlah penduduk di Batavia (sebutan Jakarta
2010 mencapai 9,6 juta jiwa ketika itu) tidak secepat seperti zaman pemerintahan Republik Indonesia
ini. Tahun 1650 jumlah penduduk hanya sekitar 12 ribu jiwa, hingga tahun
1920 penduduk Jakarta juga baru mencapai 300 ribu jiwa. Setelah zaman

22 Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta.


kemerdekaan, Jakarta yang ditetapkan sebagai ibukota negara mulai didatangi
orang dengan bermacam-macam kepentingan. Ibarat gula yang dikerubungi
semut, penduduk Jakarta meluber hingga ke pinggiran kota.

Gambar 2-8: Pertumbuhan penduduk Jakarta

Bertempat tinggal dan mencari nafkah di Jakarta memang masih menjadi daya
tarik orang untuk datang ke Jakarta. Ini terbukti dengan cepatnya pertumbuhan
penduduk di DKI Jakarta. Tahun 1948, DKI Jakarta dengan luas 661,52 km2
(66.152 ha) dihuni oleh 1,2 juta jiwa, tahun 1973 jumlah penduduknya melesat
hingga 5 juta jiwa.
 
Memasuki era tahun 80-an, pertumbuhan penduduk Jakarta masih cukup tinggi
dan mencapai sekitar 2,42 %. Sedangkan dalam dekade berikutnya 1990–2000
pertumbuhan penduduk relatif menurun hanya 0,16 %. Bahkan di wilayah
Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan terdapat kecenderungan populasi yang
menurun masing-masing sebesar –2,01 % dan –0,69 % per tahun pada kedua
periode waktu tersebut. Sebaliknya pertumbuhan penduduk terbesar terjadi di
wilayah Jakarta Timur (1,35 %). Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan
penduduk DKI Jakarta cenderung bergerak menuju ke arah timur DKI Jakarta
seperti diperlihatkan pada Tabel 2-1.
 
Memasuki tahun 2000 penduduk Jakarta terus bertambah secara signifikan,
hingga tahun 2005 penduduk Jakarta berkisar 8,9 juta jiwa, tahun 2010
diperkirakan mendekati 9,6 juta jiwa. Ini menunjukan bahwa semakin hari

Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta. 23


Jakarta semakin disesaki oleh penduduk, terutama kaum urban yang tertarik
tinggal di Ibukota ini. Urbanisasi yang cepat tanpa perbaikan prasarana
drainase juga merupakan penyebab utama terjadinya banjir di Jakarta. Di
beberapa lokasi, sistem drainase tidak mampu untuk menampung pertambahan
aliran yang disebabkan oleh pertambahan koefisien aliran permukaan (run off)
yang terutama disebabkan oleh perubahan tata guna lahan.

Tabel 2-1: Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk 1971 – 2010


 
Tahun Jumlah (Jiwa) Laju Pertumbuhan
1971 4.576.020 - 
1980 6.503.449 4,7 %
1990 8.259.266 2,7 %
2000 8.385.839 0,15 %
2006 8.600.000 7,57 %
2010 9.600.000 1,65 %

Sumber : Badan Pusat Statistik

Dijejali bangunan, ruang terbuka 2.10. Tata Guna Lahan, Minim Ruang Terbuka Hijau
hijau jumlahnya turun drastis
sejak awal tahun 70’an
Jakarta Utara
15.400,990 ha
Jakarta Selatan
14.572,980 ha

Jakarta Barat
112.614,980 ha

Jakarta Timur
18.772,990 ha

Jakarta Pusat
4.789,990 ha

Gambar 2-9: Proporsi luas wilayah kotamadya.

24 Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta.


Wilayah DKI Jakarta seluas 66.152 hektar terbagi atas lima kotamadya.
Kotamadya terluas adalah Kotamadya Jakarta Timur (18,7 ribu ha), yang
terkecil adalah Kotamadya Jakarta Pusat (4,7 ribu ha); proporsi lengkapnya
dapat dilihat pada grafik yang diberikan pada Gambar 2-9.
 
Menurut proporsinya, penggunaan lahan di DKI Jakarta adalah untuk
perumahan 64,16 % (42,44 ribu ha), industri 5,7 % (3,79 ribu ha), perkantoran
11,28 % (7,46 ribu ha), taman 1,5 % (1 ribu ha), lainnya 17,59 % (11,64 ribu
ha) sebagaimana yang terlihat pada Tabel 2-2.

Tabel 2-2: Luas Tanah dan Penggunaan per Kotamadya


  Jenis Penggunaan Lahan tahun 2006
Kotamadya
  Perumahan Industri Perkantoran & Taman Lainnya Luas Tanah
Pergudangan
Jakarta Selatan 10.428,44 236,08 1.757,50 190,91 1.960,07 14.537,00

Jakarta Timur 13.351,00 972,44 1.997,55 262,14 2.189,87 18.773,00


Jakarta Pusat 2.755,69 165,74 1.123,73 248,60 496,24 4.790,00
Jakarta Barat 7.464,16 185,44 1.228,70 189,23 3.547,47 12.615,00
Jakarta Utara 8.119,97 1.744,80 1.259,89 116,61 2.978,73 14.220,00
Kep. Seribu 321,35 275,17 92,70 0 491,78 1.181,00
Jumlah (2006) 42.440,61 3.579,67 7.460,85 1.007,49 11.664,16 66.152,00
2005 44.196,11 3.559,00 8.262,38 1.084,89 9.049,62 66.152,00
2004 43.788,57 4.417,87 7.445,85 914,69 9.584,40 66.152,00
2003 44.052,27 4.259,60 7.341,88 800,91 9.696,23 66.152,00
2002 44.414,00 3.764,98 7.174,63 1.009,56 9.788,81 66.152,00

 Sumber : Jakarta Dalam Angka 2007

Perubahan tata guna lahan di Jakarta terjadi cukup drastis dalam dekade
belakangan ini sebagaimana terlihat dalam Gambar 2-10 berikut. Dalam
gambar ini terlihat lahan hijau yang drastis mengalami penurunan dalam kurun
waktu 30 tahun.

Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta. 25


Gambar 2-10: Tata guna lahan DKI pada tahun 1972 (kiri) dan 30 tahun kemudian (kanan)

Jika mengacu pada Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun


2007, maka ruang terbuka hijau (RTH) yang disyaratkan adalah 30 % dari total
luas wilayah, dengan perincian 20 % ruang publik dan 10 % sisanya milik
perorangan atau swasta. Dari 30 % yang diminta itu hingga kini Jakarta baru
memiliki lahan RTH sebanyak 9,79 %. Untuk mencapai angka yang ditetapkan
oleh undang-undang tersebut tentu tidak mudah. Dengan melihat angka yang
tertera dalam tabel di atas, butuh kerja keras untuk bisa menambah luas RTH
di Ibukota. Apalagi jika harus berhadapan dengan kepentingan bisnis yang
dianggap lebih menarik, daripada urusan taman atau hutan kota.
 

Di Jakarta rasio badan air (waduk 2.11. Terbatasnya Luas Badan Air
dan sungai) berkisar 2,8 %, jauh Banyaknya orang yang ingin bertempat tinggal dan banyaknya institusi yang
ingin membangun perkantoran atau pusat perdagangan di wilayah ini membuat
dari kondisi ideal
perburuan terhadap tanah di Jakarta menjadi ramai. Setiap jengkal tanah
berusaha dikuasai; ini tentu saja membuat nilai ekonomis lahan-lahan yang
ada di Jakarta menjadi tinggi.
 
Lahan-lahan kosong banyak digunakan untuk mendirikan bangunan.
Kebutuhan lahan untuk penyerapan air pun tidak terpikirkan, apalagi untuk
mengalokasikannya. Akibatnya, luberan air bergerak ke sana kemari karena
terbatasnya badan air yang tersedia.

26 Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta.


Luas badan air dibandingkan dengan daerah tangkapan (waterbody ratio) di
wilayah Jakarta berkisar 2.8 % (2002). Angka ini sudah termasuk luas wilayah
untuk badan sungai dan saluran. Nilai koefisien ini sangat rendah, akibatnya,
tak perlu menunggu hujan di daerah hulu (upstream), hujan yang jatuh di
Jakarta saja sudah cukup untuk menggenangi kota ini.
 
Sebagaimana benda lainnya, air hujan membutuhkan ruang untuk ‘berdiam’.
Jika tidak diberi tempat yang cukup, maka air hujan akan menempati ruang-
ruang lain seperti menggenangi rumah, perkantoran, pusat perdagangan dan
infrastruktur lainnya. Tabel 5-1 mengidentifikasikan waterbody ratio yang
diperlukan untuk kawasan rendah. Di Jakarta tercatat sejumlah sungai/kanal
seperti yang tertera dalam Tabel 2-3.
 
Tabel 2-3: Nama panjang dan luas sungai/saluran/kanal

Sungai/Kanal Panjang (km) Luas (ha)


Ciliwung 46.200 1.155.000
Krukut 28.750 172.500
Mookervaart 7.300 233.600
Kali Angke 12.810 538.020
Kali Pesanggrahan 27.300 351.900
Sungai Grogol 23.600 165.200
Kali Cideng 17.800 284.810
Kalibaru Makmur    
Cipinang 27.350 464.950
Sunter 37.250 1.080.250
Cakung 20.700 414.000
Buaran 7.900 158.000
Kalibaru    
Cengkareng Drain 7.600 380.000
Jati Kramat 3.800 19.000
Cakung Drain 11.200 672.000
Ancol 8.300 240.700
Banjir Kanal    

Sumber : BPS, Jakarta dalam Angka 2003

Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta. 27


Selain sungai dan kanal, juga terdapat situ dan waduk yang berfungsi sebagai
tempat penampungan air sementara. Keberadaan tempat penampungan air
sementara membuat muka air di sungai/saluran tidak meningkat tajam saat
curah hujan tinggi. Dengan air yang berada di dalamnya waduk ini sangat baik
sebagai tempat penyerapan air atau menyimpan kebutuhan air saat musim
hujan berlalu.
 
2.12. Kondisi Hidrologi
Perencanaan, pelaksanaan, dan pengoperasian struktur bangunan air, baik untuk
penyediaan air baku maupun untuk pengendalian banjir, selalu didasarkan
pada data hidrologi kawasan. Data hidrologi merupakan kumpulan statistik
dari pencatatan dalam rentang waktu yang cukup panjang, yang idealnya lebih
dari 20 tahun. Data hidrologi ini meliputi data ketinggian curah hujan harian,
intensitas hujan, fluktuasi muka air/debit sungai atau saluran, di samping data
lainnya. Data hidrologi yang dikemukakan di atas tersebut berasal dari hasil
pencatatan stasiun hujan, stasiun iklim dan dari stasiun pencatat fluktuasi
muka air.
 
Pada tahap perencanaan, data hidrologi berguna untuk merencanakan dimensi
saluran baik untuk saluran pembawa (conveyance channel) atau untuk saluran
drainase (drainage channel). Dalam tahap pelaksanaan, yang perlu mendapat
perhatian ialah mengenai bulan kering, bulan basah, dan perkiraan periode
banjir di kemudian hari yang dapat membahayakan keselamatan orang
maupun struktur dan infrastruktur yang ada di lokasi pekerjaan. Di dalam tahap
operasional data hidrologi berguna untuk menentukan pola pengoperasian
buka-tutup pintu air, penggelontoran sampah kota, penggelontoran endapan
sedimen, pengaturan operasi waduk, situ dan lain sebagainya.
 
2.12.1. Genangan dan Curah Hujan
Di negara yang memiliki dua musim seperti Indonesia, curah hujan sangat
mempengaruhi jumlah air yang bisa langsung terserap oleh tanah. Jika
klasifikasi hujan tersebut ringan dan sedang biasanya bisa langsung terserap.
Meskipun harus melimpas, air tersebut masih mampu ditampung saluran yang
ada, untuk dialirkan ke laut.
 
Masalah timbul jika hujan merata turun lebat dan sangat lebat. Tak hanya
kemampuan tanah saja yang tak lagi bisa menyerap, saluran pun tak mampu
menahan limpasan air. Bahkan saluran berkapasitas besar, makro dan sub-
makro sering tak mampu menanggung beban air yang terlalu banyak.
Akibatnya, air akan menggenangi rumah-rumah penduduk yang berada di
dataran yang lebih rendah.
 
28 Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta.
Tabel 2-4: Klasifikasi curah hujan harian Jika melihat kecenderungannya, bulan Januari dan Februari adalah saatnya
  curah hujan mencapai puncaknya. Beberapa banjir besar terjadi pada kedua
Klasifikasi Curah hujan / hari
bulan tersebut seperti yang terjadi di tahun 2002 dan tahun 2007 lalu. Banjir
(24 jam) di Jakarta memang bukan semata-mata akibat curah hujan di daerah tersebut.
Air yang berasal dari hulu (selatan) lebih banyak berperan dalam mengenangi
Sangat ringan < 5 mm
Jakarta. Data statistik menunjukkan, curah hujan bulanan di daerah hulu lebih
Ringan 5 mm-20 mm tinggi dibandingkan daerah hilir (utara). Dalam diagram yang ditunjukkan
pada Gambar 2-11 bisa dilihat bahwa curah hujan di selatan selalu lebih tinggi
Sedang 21-50 mm
setiap bulannya dibandingkan hujan di utara.
Lebat 51-100 mm
Sangat lebat > 100 mm

Gambar 2-11: Curah hujan bulanan di utara dan selatan Jakarta.


(Sumber: Jakarta Flood Management Project.)

Dari studi terdahulu sudah dilakukan penghitungan hubungan intensitas hujan


dan durasi hujan untuk beberapa periode ulang (return period). Hasil yang
diperoleh dari studi tersebut banyak digunakan untuk mendukung proses
desain bangunan air. NEDECO menunjukkan hujan harian pada beberapa
periode ulang dalam Tabel 2-5.
 
Tabel 2-5: Hujan Harian (NEDECO 1973)
  
  Periode ulang
Lokasi Stasiun Pengamatan
1-10 thn (mm) 1-50 thn (mm) 1-100 thn (mm)
Tanah Abang 174 231 255
Cengkareng 167 221 244
Pasar Minggu 140 180 200
Tanjung Priok 187 248 274
1996 hujan maksimum 250 mm dalam waktu 5 jam
2002 hujan maksimum 250 mm dalam waktu 5 jam

Sumber : Studi NEDECO pada tahun 1973 dan 2002

Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta. 29


Akibat jumlah sungai berkurang, 2.12.2. Debit Sungai
debit air sungai yang ada jauh Dalam musim penghujan debit air sungai di Jakarta semakin lama semakin
diatas kapasitasnya besar. Salah satu penyebabnya adalah karena semakin berkurangnya saluran-
saluran makro yang membawa air ke laut. Sebelum abad ke-19 banyak terdapat
sungai yang mengaliri kampung-kampung di Jakarta, tapi semakin bertambah
usia ibukota sungai-sungai kecil itu sedikit demi sedikit menghilang.
Akibatnya, kota sebesar ini, kini hanya bertumpu kepada 13 sungai yang
masih ada sekarang. Dampak yang dirasakan adalah meningkatnya debit
sungai tersebut di kala musim penghujan tiba. Berdasarkan data dari beberapa
studi terdahulu (NEDECO 1973, JICA 1991, WJEMP Pusat 3-10) diperoleh
hasil penghitungan debit aliran dan hubungannya dengan periode ulang banjir
selama bulan Januari dan Februari 2002 (NEDECO 2002) sebagaimana terlihat
pada Tabel 2-6.
Tabel 2-6: Debit Aliran dan Periode Ulang
 
Sungai Debit aliran (m³/dt) Periode ulang (tahun)
Ciliwung 400 20
Pesanggrahan 150 25
Sunter 50 5
Cipinang 90 50
Krukut 60 5

Sumber : NEDECO 2002

2.12.3. Hidrograf
Kebanyakan daerah tangkapan air dari sungai-sungai yang melewati kota
Jakarta berbentuk memanjang, sehingga hidrograf banjir cenderung cepat,
tajam dan terjadi dalam waktu yang singkat. Kondisi tersebut diperburuk
dengan adanya kecenderungan perubahan penggunaan lahan di kawasan
resapan yang telah berubah menjadi kawasan permukiman dan kawasan
terbangun lainnya sehingga aliran air permukaan menjadi lebih besar.
 
2.13. Kondisi Hidrogeologi
Salah satu data atau informasi penting untuk perencanaan pengendalian
banjir dan pengembangan kota adalah data atau informasi mengenai keadaan
hidrogeologi. Peta hidrogeologi dan peta resapan wilayah DKI Jakarta, bisa
dijadikan pedoman untuk pengembangan permukiman dan juga pengembangan
waduk dan situ, sebagai tempat penampungan air sementara.
30 Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta.
Dari beberapa peta hidrogeologi diketahui bahwa muka air tanah di wilayah
Jakarta Utara cukup tinggi sehingga penerapan sumur resapan tidak akan
berfungsi pada wilayah ini. Sebaliknya, untuk wilayah selatan dapat
dikembangkan untuk permukiman dengan low-density atau open space. Hal
ini dimaksudkan agar peresapan air tanah bisa berlangsung dengan efektif
sehingga cadangan air tanah untuk penduduk DKI Jakarta bisa lebih terjamin
dan berkesinambungan (sustainable).

Beragam Masalah dan Tantangan Jakarta. 31


Bab 3

Konsep Studi Terdahulu


Sistem Tata Air
Konsep Kuat,
Implementasi Lemah

Konsep penanggulangan banjir


di Jakarta sudah ada sejak
zaman Belanda P emerintah dengan bantuan berbagai pihak, sudah sejak lama
merencanakan konsep-konsep penanggulangan banjir di ibukota.
Harapannya tentu saja agar perencanaan penanggulangan banjir ini
nantinya benar-benar bisa diterapkan dan secara signifikan bisa mengurangi
dampak banjir di kawasan ini. Akan tetapi seperti yang kita lihat sekarang,
penyelesaian genangan masih di bawah harapan publik. Padahal jika dirunut
ke belakang beragam konsep penyelesaian banjir telah dirumuskan; jika dilihat
secara teknis konsep-konsep itu cukup memadai. Ironisnya, dengan berbagai
sebab, konsep-konsep itu sering tidak jalan bahkan konsep yang hampir mirip
sering dicetuskan kembali dengan formulasi yang sedikit berbeda. Ini artinya
secara teknis, konsep terdahulu memang sudah cukup memadai.

3.1. Konsep Studi Terdahulu


Evaluasi terhadap terjadinya banjir sudah kerap dilakukan, baik oleh
pemerintah maupun konsultan asing, yang bekerjasama dengan negara-negara
tertentu. Belanda dan Jepang adalah negara yang sering memberikan bantuan
dalam studi mengenai banjir ini. Keterlibatan Belanda tentu cukup membantu
karena mereka terkait dengan sejarah panjang negeri ini. Banyaknya konsep
yang dibuat tidak lantas bisa menyelesaikan permasalahan. Implementasi
konsep-konsep tersebut sangat lemah dan cenderung lambat bergerak. Ini tentu
saja disebabkan oleh berbagai kendala yang tak mudah seperti masalah sosial,
sumber daya manusia, dana dan sebagainya.

Sebagai contoh sistem polder dan waduk yang dianggap efektif menyelesaikan
permasalahan banjir di satu kawasan ternyata sudah mulai digerakkan sejak
1965. Sayangnya hingga saat ini belum banyak kawasan yang menggunakan
sistem ini. Padahal, jika sistem ini bisa dibuat dengan baik, didukung dengan
institusi pengelola yang berkelanjutan, niscaya sistem ini mampu mengatasi
banjir, serta menghindari warga dari kerugian. Hal yang sama juga bisa dilihat
dalam implementasi pembangunan BKT; walaupun pembangunan ini telah

Konsep Kuat, Implementasi Lemah 33


diusulkan NEDECO tahun 1973 akan tetapi realisasinya baru terjadi tahun
2010.

Sistem penanggulangan banjir di 3.1.1. Konsep Profesor Van Breen


Belanda menginspirasi gagasan Sebenarnya di zaman pemerintahan Belanda telah ada banyak konsep dan
Herman van Breen upaya yang dilakukan untuk menanggulangi banjir, baik yang bersifat temporer
spasial maupun yang bersifat luas dengan memperhitungkan kegunaan dalam
jangka panjang. Jika dihitung-hitung, jutaan gulden sudah digelontorkan
pemerintahan Hindia Belanda untuk mengatasi banjir di Batavia ini. Dalam
masa pemerintah kolonial, Profesor Herman van Breen tergolong yang paling
aktif mencari solusi persoalan banjir di Jakarta. Ide-idenya cemerlang. Sebagai
orang Belanda, seringkali dia mengacu pada penyelesaian yang pernah
diterapkan di Negeri Kincir Angin tersebut. Meski meniru, konsep yang
ditawarkan bukan sekedar menjiplak begitu saja tetapi selalu disesuaikannya
dengan kondisi daerah ini.

Satu contoh adalah ketika dia merencanakan sistem tata air di Rawa Menteng
pada lembah Kali Cideng di daerah Kampung Lima dan Rawa Tanah Tinggi.
Daerah ini tergenang di kala hujan. Untuk mengeringkan daerah tersebut di
musim hujan, van Breen memilih menggunakan pompa-pompa air, mirip
seperti yang dilakukan di banyak tempat di Belanda. Padahal, sebenarnya untuk
mengeluarkan air dari tempat itu sudah cukup dengan menggunakan pintu air.
Alasan van Breen, menggunakan pompa bisa lebih cepat, dan nyamuk malaria
tak sempat berkembang biak. Masuk akal, karena diawal abad XIX daerah ini
sudah mulai banyak penduduknya.

Tahun 1918 dia kembali merencanakan satu konsep yang lebih strategis dalam
menanggulangi banjir. Konsepnya adalah berusaha mengendalikan aliran
air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Untuk itu perlu
dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan
air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor
yang dibangun itu (kini dikenal dengan nama Banjir Kanal Barat-BKB)
memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai dan bermuara di kawasan
Muara Angke. Alasan penetapan Manggarai sebagai titik awal ialah karena
pada saat itu wilayah ini merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari
gangguan banjir sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di
musim hujan. BKB ini sendiri mulai dibangun tahun 1922. Untuk mengatur
debit aliran air ke dalam kota, banjir kanal ini dilengkapi beberapa pintu air.
Dengan adanya BKB, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali.

34 Konsep Kuat, Implementasi Lemah


Karena itu, alur-alur tersebut, serta beberapa kanal yang dibangun kemudian,
dimanfaatkan sebagai sistem makro drainase kota guna mengatasi genangan
air di dalam kota.

Hingga sekarang kanal ini masih diandalkan untuk mengurangi beban banjir
di Jakarta. Setidaknya warga di sebelah barat ibukota sangat terbantu dengan
adanya saluran ini. Beberapa kali kanal ini mengalami penyempurnaan, seperti
pembuatan turap, pengerukan, pelebaran dan lain-lain.

3.1.2. Minim Konsep Masa Peralihan


Di penghujung masa penjajahan Belanda, energi pemerintahan kolonial seolah-
olah sudah habis. Resesi ekonomi dunia di tahun 1930’an dan perang dunia
Kedua membuat perhatian beralih ke lain hal sehingga tidak terlihat adanya
rencana dan aksi-aksi yang bersifat teknis dalam penanggulangan banjir di
Jakarta. Termasuk pada saat Jepang menguasai Indonesia.

Di awal pemerintahan Republik Indonesia penanggulangan banjir juga


belum banyak menjadi perhatian. Maklum kala itu penguasa lebih banyak
memberikan perhatian dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok. Jika ada
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan banjir
sifatnya hanya lokal dan bersifat spoaradis, seperti pengerukan dan perbaikan-
perbaikan kanal.

Karena jumlah penduduk masih tergolong sedikit, maka masih banyak lahan
yang bisa dipakai untuk pertanian. Pada awal tahun 50’an pemerintah masih
mengucurkan bantuannya untuk dana pembangunan saluran irigasi di Jakarta
seperti perbaikan irigasi di Kalideres sepanjang 5.500 meter.

Pada masa-masa ini yang menonjol justru aksi-aksi yang sifatnya gotong
royong warga yang dengan kesadaran sendiri masyarakat membangun saluran-
saluran di daerah sekitarnya untuk mengurangi dampak banjir di kawasan
masing-masing. Gotong royong seperti ini kerap dilakukan warga di sekitar
daerah Tanah Abang, Kebayoran Lama, Grogol, Kebon Sirih dan berbagai
wilayah lainnya yang berpotensi banjir.

3.1.3. Kopro 1965, Sistem Polder Setengah Hati


Pemerintah mulai serius menangani banjir Jakarta pada pertengahan tahun
60-an. Saat itu pemerintah meyakini bahwa penanganan banjir di Ibukota
haruslah mempunyai konsep yang jelas agar bisa dijadikan acuan dan sekaligus

Konsep Kuat, Implementasi Lemah 35


dipahami oleh masyarakat berkenaan dengan langkah apa yang akan dilakukan
pemerintah.

Pada tahun 1965 beberapa Pada 11 Februari 1965, satuan tugas khusus (satgas) dibentuk oleh Pemerintah
sistem polder dibangun, namun Pusat, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Satgas
lemahnya institusional pengelola yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 29 Tahun 1965
diberi nama Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir) DKI Jakarta
menyebabkan sistem tak berfungsi
sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Ibukota. Satgas itu
dengan baik bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah Khusus Jakarta dalam mengatasi
masalah banjir yang tertuang dalam Rencana Pengembangan untuk Jakarta Raya.
Strategi yang ditempuh Kopro Banjir ini merupakan pengembangan konsep
yang disusun oleh van Breen. Dalam implementasinya, konsep ini disesuaikan
dengan Pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta yang ada pada saat itu. Dengan
demikian, dalam pelaksanaannya, Kopro Banjir cenderung mengedepankan
sistem polder dengan waduk dan pompa sebagai elemen utamanya. Beberapa
proyek yang dilaksanakan pada saat itu meliputi pembangunan waduk, polder
dan sodetan. Pembangunan waduk meliputi Waduk Setia Budi, Waduk Pluit,
Waduk Tomang danWaduk Grogol. Untuk pembangunan polder meliputi
Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder
Setia Budi Timur. Sedangkan untuk sodetan adalah Kali Grogol dan Kali
Pesanggrahan. Di samping itu ada juga pembuatan gorong-gorong di Jalan
Sudirman dan rehabilitasi terhadap beberapa sungai di Jakarta.

Dalam perjalanannya konsep yang ditawarkan tak sepenuhnya bisa berjalan.


Sistem polder yang dibuat, terkesan tidak komprehensif dan tidak didesain
untuk dapat berjalan secara berkelanjutan. Akibatnya, hampir tak ada lagi
sistem polder yang berfungsi secara memadai.

Setelah banjir besar pada 3.1.4. NEDECO 1973: Berharap pada Kanal Timur
Tahun 1970 banjir besar melanda Jakarta Pusat, dan tidak tanggung-tanggung,
Februari 1970 bantuan teknis kawasan Monas sebagai simbol kota Jakarta terendam air. Soeharto, Presiden
diberikan oleh pemerintah RI saat itu merasa perlu untuk langsung meninjau ke lokasi banjir. Kejadian
Belanda atas permintaan ini membuat pemerintah semakin berusaha mencari jalan keluar untuk
pemerintah Indonesia mencari solusi banjir di Jakarta. Termasuk dengan bekerjasama dengan
pihak-pihak asing.

Setelah banjir besar pada Februari 1970, bantuan teknis diberikan oleh
Pemerintah Belanda atas permintaan Pemerintah Indonesia. The Master Plan
for Drainage and Flood Control of Jakarta oleh Netherlands Engineering
Consultants (NEDECO) 1973 merupakan hasil dari inisiatif tersebut.
Pengendalian banjir didefinisikan oleh NEDECO 1973 sebagai mengalihkan

36 Konsep Kuat, Implementasi Lemah


NEDECO merekomendasikan banjir dari sungai-sungai dan mencegahnya mengalir ke dalam wilayah kota.
rehabilitasi sistem drainase yang Drainase ini diartikan sebagai upaya evakuasi aliran permukaan pada saat
ada untuk penyaluran runoff hujan lebat yang terjadi di wilayah kota tersebut untuk bisa mengalir dengan
secara efisien lancar ke dalam saluran pengalihan banjir.

NEDECO 1973 merekomendasikan rehabilitasi sistem drainase yang ada


untuk penyaluran run off secara efisien, dan upaya-upaya yang spesifik untuk
mengendalikan banjir. Upaya pertama dalam pengendalian banjir adalah
usulan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT), dari sungai Cipinang ke arah
timur, sebagai penampung dan pengalih banjir dari sungai-sungai Cipinang,
Sunter, Buaran, Jatikramat dan Cakung. Selain itu direkomendasikan pelebaran
saluran Banjir Kanal Barat (BKB) pada titik belokan ke utara ke sungai Angke
di Pesing untuk menampung banjir dari sungai Grogol dan Sekretaris. Pada
daerah di antara BKB dan BKT direkomendasikan untuk dibangun sistem
polder (empolderment) untuk mengatasi masalah banjir di berbagai area
terisolasi yang mengalami proses penurunan tanah.

Berdasarkan Masterplan NEDECO 1973, Jakarta dibagi menjadi 6 zona


drainase yang sebagian besar meliputi daerah dataran rendah di Jakarta. Peta
dari pembagian zona tersebut diperlihatkan di dalam Gambar 3-1.

Gambar 3-1: Zona drainase menurut Master Plan NEDECO 1973

Konsep Kuat, Implementasi Lemah 37


Masterplan ‘Pengendalian Banjir dan Sistem Drainasi DKI Jakarta’ diharapkan
bisa selesai tahun 1985. Padahal hingga tahun 2010, yang terealisasi masih jauh
dari harapan, sekitar 50 % dari masterplan tersebut. Ini adalah salah contoh
dalam tataran realisasi yang sangat jauh dari target yang ingin didapatkan.

Sebenarnya apa yang tersurat dalam perencanaan ini sudah tergolong cukup
ideal sebagai upaya penanggulangan banjir. Di sana disebutkan ada 24.000
hektar lahan yang bisa diamankan dari banjir, termasuk oleh BKT. Kanal
itu direncanakan akan memotong sungai-sungai Cipinang, Sunter, Buaran,
Jatikramat dan Cakung.

Gambar 3-2: Pelaksanaan pembangunan BKT, sudah diusulkan sejak 1973

BKB dan BKT akan berhasil 3.1.5. JICA 1991: Perlu Pengubahan Pola Penggunaan Lahan
jika diikuti perbaikan dan Sesudah Belanda dengan NEDECO-nya, Jepang melalui Japan International
pembangunan sistem drainasi Cooperation Agency (JICA) tahun 1991 juga melakukan studi. Study on Urban
yang baik Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta – Masterplan
Study yang dilakukan JICA adalah studi mengenai drainase perkotaan. Studi
ini mengamati bahwa laju pertambahan penduduk yang sangat pesat di Jakarta
telah mengakibatkan bertambahnya beban drainase dan risiko banjir di dalam
kota. Studi ini juga menekankan bahwa proyek-proyek seperti BKB dan BKT,
yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi sungai-sungai utama Jakarta,
akan berhasil apabila perubahan pola penggunaan lahan akibat proses urbanisasi
yang sangat cepat tersebut disertai dengan pembangunan sistem drainasenya
sendiri yang layak. Oleh karena itu tujuan studi ini meliputi perumusan master

38 Konsep Kuat, Implementasi Lemah


plan drainase, sanitasi, dan pembangunan saluran limbah (sewerage) seluruh
kota untuk tahun 2010.

JICA (1991) juga mengidentifikasi kawasan banjir dan solusi untuk


mengatasinya. Seperti, jembatan dengan tinggi bebas yang tidak mencukupi,
juga diidentifikasi sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir. Disamping
itu kurang besarnya kapasitas aliran dan saluran drainase yang ada masih
menjadi penyebab utama melubernya air. Usulan pemecahan masalah banjir
telah disampaikan pada saat itu, yaitu perbaikan dan peningkatan saluran
drainase yang ada, perbaikan persilangan dengan jembatan dan pembangunan
stasiun pompa.

Berdasarkan Master Plan JICA 1991, Jakarta juga dibagi ke dalam 6 zona.
Pembagian ke dalam 6 zona dengan pertimbangan bahwa saluran yang secara
hidrolik terhubung akan dikembangkan sebagai satu sistem dan secara praktis
pembagian zona tersebut merupakan pembagian zona berdasarkan alur sungai.
Kejadian banjir 1996 menunjukkan 3.1.6. NEDECO 1996: Polder Sebagai Bagian dari Solusi Banjir
ketidakmampuan sistem drainase Pada dua bulan pertama tahun 1996, di Jakarta terjadi dua kali banjir besar.
kota mengalirkan air dengan debit Yang pertama terjadi pada bulan Januari sebagai akibat hujan lebat di daerah
puncak ke Teluk Jakarta hulu Sungai Ciliwung. Banjir kedua terjadi di bulan Februari yang diakibatkan
curah hujan yang sangat tinggi di Jakarta. Kejadian ini, terutama banjir yang
kedua, menunjukkan ketidakmampuan sistem drainase kota untuk mengalirkan
air dengan debit puncak ke Teluk Jakarta.

Pada Juni 1996, NEDECO melakukan kegiatan yang disebut Jakarta Flood
Control Advisory Mission. Pekerjaan yang dilakukan adalah perumusan rencana
tindak (action plan) untuk mitigasi bencana banjir di wilayah Jabotabek. Misi
ini menggarisbawahi cara pendekatan perlindungan banjir yang diusulkan
dalam NEDECO sebelumnya dan didasarkan pada dua hal di bawah ini:
• pengalihan banjir ke dalam saluran banjir ;
• perbaikan drainase kota dengan jalan pembersihan atau peningkatan
saluran-saluran kota dan membuat sistem drainase polder dengan
pemompaan.

Kawasan polder yang ditentukan di sini merupakan kawasan rendah yang tidak
memungkinkan air drainase mengalir secara gravitasi. Daerah polder harus
terisolasi dan dilindungi dari daerah sekitarnya dengan membangun tanggul
atau pembatas sepanjang pinggiran polder. Dalam sistem ini kelebihan air
hujan ditampung pada lokasi tertentu kemudian dipompa ke laut atau sungai

Konsep Kuat, Implementasi Lemah 39


Ciliwung-Cisadane River Flood yang terdekat. Area dengan garis kontur tanah lebih rendah +6 meter di atas
Control Project merupakan rencana permukaan air laut dipilih untuk pembentukan polder di masa datang.
dari studi JICA 1997, hingga kini
NEDECO 1996 melihat bahwa strategi proteksi banjir seperti tersebut di atas
proyek itu belum terlaksana
relevan dengan kondisi yang berlangsung selama ini. Fokus utama rekomendasi
mencakup empat (4) hal:
• membangun BKT ;
• melanjutkan pemeliharaan sungai melalui pengerukan dan penambahan
kapasitas sungai-sungai besar ;
• melanjutkan pembuatan polder di kawasan cekungan rendah yang baru
karena meningkatnya proses tanah ambles ;
• melaksanakan pembangunan secara bertahap waduk penampung Halim.

3.1.7. JICA 1997: BKB dan Cengkareng Drain Andalan di Barat


JICA 1997 merupakan studi manajemen air secara luas di wilayah Jabotabek.
Studi pengendalian banjir ini mengikuti pendekatan logis yang dirumuskan oleh
studi NEDECO (1973). Studi ini mempertimbangkan BKB dan Cengkareng
Drain sebagai bagian kunci dalam upaya menanggulangi banjir di bagian barat
Jakarta. Penyebab banjir di bagian tengah Jakarta disebabkan oleh banjir dari
sungai-sungai Ciliwung, Krukut dan Cideng.

Tujuan dari studi ini termasuk perumusan masterplan untuk pengendalian


banjir sebagai bagian dari manajemen air sungai secara keseluruhan. Studi ini
merumuskan sejumlah upaya penanganan.
1. Pembangunan saluran banjir yang terdiri dari dua lajur terowongan di
bawah Kota Bogor yang padat penduduknya, masing-masing panjangnya
sekitar 1000 meter, untuk menyalurkan air dari sungai Ciliwung ke
Cisadane.
2. Perbaikan Pintu Air Manggarai untuk menambah kapasitas menjadi 360
m3/detik. JICA 1997A terdiri dari detail desain untuk proyek drainase
perkotaan di Jakarta. Rancangan terinci ini berlandaskan pada studi
kelayakan yang dilakukan oleh JICA pada tahun 1991 untuk Cengkareng
Barat, Sepak, Bojong, dan wilayah Meruya. Proyek ini mencakup
rancangan terinci seluas 38 km² dan terdiri dari dua area sub-drainase,
yaitu Cengkareng Barat dan Meruya.

Rencana Ciliwung-Cisadane River Flood Control Project adalah merupakan


hasil dari studi JICA 1997. Proyek ini belum dilaksanakan karena belum ada
kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan semua pihak yang berkepentingan

40 Konsep Kuat, Implementasi Lemah


dalam proyek ini termasuk masyarakat dan pemerintah daerah di wilayah hilir
sungai Cisadane untuk melaksanakannya.

3.1.8. JICA 1997 A: Fokus pada Kawasan Cengkareng dan Meruya


Studi JICA (1997A) yang merupakan kelanjutan dari studi JICA (1991)
menekankan pada perubahan tata guna lahan yang terjadi akibat dari
urbanisasi yang cepat di kawasan Cengkareng bagian barat, Kali Sepak dan
kawasan Meruya. Seperti diketahui perkembangan Jakarta Barat hingga ke
arah Tangerang cukup pesat dalam tahun-tahun tersebut. Terutama setelah
dibangunnya pelabuhan udara internasional Soekarno–Hatta.

Dalam studi tersebut JICA menyelesaikan Study on Detailed Design for Urban
Drainage Project in the City of Jakarta, yang merupakan studi untuk Zona 1
(salah satu zona dalam Studi JICA 1991) yang mencakup wilayah kurang lebih
38 km². Kawasan ini termasuk dua wilayah sub-drainase yaitu Cengkareng
Barat (36,71 km²) dan kawasan Meruya (1,27 km²).

3.1.9. SAPI 2004: Tak Cukup Hanya Aspek Teknis


Special Assistance for Project Implementation (SAPI 2004) dimulai pada tahun
2003. Studi SAPI ini berfokus pada upaya untuk menjinakkan banjir di bagian
tengah kota Jakarta yang menggabungkan upaya teknis dengan aspek sosial.
Kompleksnya permasalahan banjir di DKI tidak bisa diselesaikan dengan
upaya-upaya teknis belaka. Banyaknya warga yang bertempat tinggal di Jakarta
tentu punya pengaruh yang cukup besar; ini harus dilihat aspek sosialnya.

Studi ini menekankan pada perbaikan BKB, termasuk Pintu Air Manggarai,
Kali Ciliwung Bawah, dan Bendung Pasar Baru di Kali Cisadane. Lingkup
studi ini termasuk kajian atas kapasitas saluran saat ini, persiapan dari desain
dasar dan rencana pelaksanaan, dan penyelidikan terhadap dampak pelaksanaan
proyek dan dampak sosial yang mungkin timbul.

3.1.10. WJEMP 2004: Perlu Mitigasi Teknis


Western Java Environmental Management Project (WJEMP) adalah studi yang
didanai oleh Bank Dunia untuk penanganan masalah lingkungan. Berkaitan
dengan permasalahan tata air di Jakarta ada dalam WJEMP Pusat 3–10 dan
WJEMP DKI 3–9. WJEMP Pusat 3-10 memiliki lingkup kerja untuk wilayah
Jabodetabek. Serangkaian tindakan mitigasi yang menyangkut perbaikan
sungai (dredging), situ/danau dan pembuatan OSD (On site Storm Detention)
merupakan bagian dari rekomendasi studi WJEMP Proyek Pusat 3-10 ini.
Dalam studi ini wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 8 zona drainase. Batas
zona drainase tersebut bukan alur sungai seperti pada pembagian zona menurut

Konsep Kuat, Implementasi Lemah 41


Master Plan JICA 1991 tetapi sedapat mungkin lebih mempertimbangkan
batasan daerah aliran sungai (DAS). Peta dari zona-zona ini dapat dilihat
dalam Gambar 3-3. Sedangkan ruang lingkup penelitian WJEMP DKI 3-9
hanya mencakup wilayah DKI Jakarta. Studi ini berfokus pada saluran mikro
dan sub-makro yang mengingatkan tentang perlunya melakukan mitigasi
yang bersifat teknis dalam menghadapi banjir. Beberapa rekomendasinya
adalah pengurangan genangan di 78 daerah rawan genangan di DKI, perlunya
pemetaan melalui sistem informasi geografis untuk sistem drainase di Jakarta
dan perbaikan institusi dan operasi pemeliharaan.

Gambar 3-3: Pembagian zona menurut Studi WJEMP Pusat 3-10

3.1.11. Jakarta Flood Management (2007) : Prihatinkan Drainase


Setelah banjir Jakarta pada 2007, atas permintaan pemerintah Indonesia,
pemerintah Belanda memberikan bantuan teknis. Bantuan teknis ini meliputi
pembuatan hazard/flood map dan sejumlah usulan penanggulangan non-teknis
lainnya. Studi ini menggarisbawahi permasalahan kurang terpeliharanya
drainase lingkungan dan minimnya sistem pengelolaan sampah di masyarakat.
Masyarakat diharapkan untuk lebih berperan aktif dalam penanggulangan
banjir. Ini bisa dilakukan dengan mengikutsertakan warga dalam mengelola
lingkungannya masing - masing ; misalnya mengurangi kebiasaan membuang

42 Konsep Kuat, Implementasi Lemah


sampah di kali yang akan menyebabkan kapasitas kali berkurang dan aliran
air juga terhambat. Untuk itu diperlukan sistem pengelolaan sampah tersendiri
sehingga warga tak lagi membuang sampah ke sungai.
 
Beberapa sungai besar, BKB, BKT 3.2. Sistem Tata Air
dan Cengkareng Drain menjadi Dalam sistem tata air DKI Jakarta, saluran makro yang menjadi tulang
tulang punggung untuk mengalirkan punggung dalam mengalirkan air ke laut adalah beberapa sungai dan kanal
air ke laut buatan seperti: BKB, Cengkareng Drain, dan BKT. Sungai-sungai tersebut
berasal dari kawasan Bogor dan Tangerang yaitu saluran Mookervart, Angke,
Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat
dan Cakung. Gambar 3-4 menunjukkan sungai-sungai yang melintasi Jakarta.
Sebagian sungai ini berada di bawah pengawasan Pemda DKI Jakarta dan
sebagian yang lain di bawah pengawasan Pusat (Balai Besar Wilayah Sungai
Ciliwung Cisadane) sebagaimana terlihat pada Gambar 3-5. Mookervart
sendiri merupakan saluran sodetan dari kali Cisadane ke Kali Angke sebelum
adanya Cengkareng Drain. Di samping itu masih ada saluran yang merupakan
sisa sungai dan saluran kecil lainnya, yang berfungsi untuk mengumpulkan
curah hujan.
 
Banjir Kanal Barat (BKB) atau Western Banjir Canal (WBC) sepanjang 16,5
km telah dibangun untuk mengalihkan aliran banjir 100 tahunan dari 5 sungai
(Krukut, Cideng, Kali Baru Barat, Kali Bata dan Ciliwung). Pada tahun 1983
Cengkareng Flood Way (CFW) sepanjang 7 km telah selesai dan berfungsi
untuk mengalihkan banjir 100 tahunan dari saluran Mookervart, sungai Angke,
Pesanggrahan dan kali Grogol. Di saat yang sama Cakung Drain sepanjang 10
km juga telah selesai dibangun untuk mengalihkan banjir 100 tahunan dari kali
Cakung Lama di bagian timur Jakarta.
 
Sedangkan awal tahun 2010, meski masih belum sempurna, BKT telah berhasil
menembus laut. Saluran sepanjang 23,6 km itu dibangun untuk mengalihkan
banjir 100 tahunan sungai–sungai yang berada di bagian timur Jakarta (Kali
Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat dan Cakung) menuju Teluk Jakarta.
 
Bagaimanapun juga tembusnya BKT ini merupakan terobosan besar dalam
upaya penanggulangan banjir di Ibukota. Betapa tidak, kanal yang sudah
direncanakan dari tahun 1973 dan diharapkan bisa diselesaikan tahun 1985
ini pembangunannya baru menunjukan hasil tahun 2010. Lebih dari 30
tahun sejak perencanaannya, warga Jakarta baru bisa melihat air mengalir
di kanal itu.
 

Konsep Kuat, Implementasi Lemah 43


Gambar 3-4: Sungai-sungai yang melalui Jakarta (Sumber : WJEMP Study)

Sulitnya pembangunan BKT ini disebabkan oleh besarnya dana yang harus
dialokasikan ditambah lagi pembebasan lahan yang harus dilakukan juga cukup
luas dan melibatkan banyak pemilik lahan. Dengan demikian, pelaksanaannya
terus menerus tertunda, sampai akhirnya tahun 1996, NEDECO melakukan
pra study kelayakan terhadap berbagai jenis pilihan konstruksi dan trase
rencana pembangunan BKT. Kini BKT benar-benar sudah terealisasi sebagai
bagian dari sistem tata air di Jakarta, yang dalam hal ini BKT diandalkan
bersama “saudara tuanya” BKB diandalkan untuk menjadi tulang punggung
dalam mengalirkan air langsung ke laut. Di samping tentu saja masih terdapat
beberapa sungai lain yang juga mengalirkan air langsung ke laut.
 

44 Konsep Kuat, Implementasi Lemah


Gambar 3-5: Skema sistem sungai/saluran makro
Ada kawasan yang bisa
3.2.1. Konsep Sistem Tata Air Kini
mengandalkan gaya gravitasi,
disisi lain ada pula kawasan
yang pengaliran airnya melalui
mekanisme sistem polder

Gambar 3-6: Konsep dasr pengendalian banjir Jakarta

Konsep Kuat, Implementasi Lemah 45


Gambar 3-6 memberikan gambaran konsep dasar pengendalian banjir Jakarta
yang dikenal selama ini. Meski demikian, konsep tersebut perlu diperbaharui
karena implementasi yang berupa sistim polder seyogianya tidak hanya
dilakukan pada wilayah tengah utara (lihat gambar), namun harus meliputi
wilayah yang ketinggian permukaan tanahnya sudah berada di bawah
permukaan air laut atau air sungai.
 
Menahan air sebanyak mungkin 3.2.2. Konsep Sistem Tata Air Mendatang
di Selatan (Puncak-Bogor), Konsep sistem tata air mendatang tidak hanya mengandalkan upaya teknis saja,
memperbanyak waduk di tengah upaya non teknis dan konservasi harus lebih berperan. Ini artinya pemerintah
dan membangun sistem polder di tak lagi harus menjadi ‘pemain tunggal’ dalam usaha penanggulangan masalah
utara banjir. Untuk itu konsep sistim tata air mendatang harus mengikuti beberapa
prinsip penanganan seperti yang terlihat dalam sistem hulu-ke-hilir (upstream
to downstream) yang terlihat dalam Gambar 3-7.
 
Prinsip pertama ialah air yang datang dari selatan lebih dahulu sedapat mungkin
ditahan oleh vegetasi di dataran tinggi di selatan (Puncak). Kemudian sedapat
mungkin disimpan pada waduk dan situ yang terdapat di Bogor, Depok dan
Jakarta Selatan. Jika memang masih ada air yang harus dialirkan, maka air
akan mengalir melalui BKB, BKT dan Cengkareng Drain.
 
Sayangnya kapasitas Cengkareng Drain masih belum memadai. Oleh karena
itu, selayaknya direncanakan suatu kanal baru di sebelah barat Jakarta
(Cengkareng Drain 2) yang akan mengalirkan air dari Kali Pesanggrahan
menuju ke laut dengan muara di sekitar Kali Dadap dekat Bandara Sukarno-
Hatta. Di samping itu, karena penurunan muka tanah (landsubsidence) dan
kenaikan muka air laut (sea level rise), maka wilayah Jakarta yang berada
di bawah permukaan laut dan permukaan air sungai juga akan semakin luas.
Konsekuensinya adalah implementasi sistim polder akan meluas, terutama ke
sebelah barat.
 
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana mengelola banjir yang terjadi di
Jakarta Utara yang wilayahnya hanya memiliki rasio badan air yang sangat
rendah? Dengan rasio badan air yang rendah ini akan sulit untuk ’membebaskan’
Jakarta Utara dari genangan dan banjir. Oleh karena itu, rencana pengembangan
Pantura harus diintegrasikan dengan pola penanganan banjir di Jakarta.

46 Konsep Kuat, Implementasi Lemah


Gambar 3-7: Sistem upstream to downstream

Reklamasi bisa dimanfaatkan 3.2.3. Reklamasi Kesempatan Memperbaiki Sistem Keseluruhan


untuk peningkatan rasio badan air, Di tengah masyarakat berkembang opini bahwa pengembangan reklamasi
penambahan ruang terbuka hijau, Pantai Utara (Pantura) akan berdampak negatif terhadap lingkungan, terutama
peningkatan kualitas sumber air terhadap peningkatan risiko banjir. Namun sesungguhnya pengembangan
tawar dan sebagainya Pantura justru bisa dipakai sebagai kesempatan untuk memperbaiki sistem tata
air di DKI Jakarta secara keseluruhan.
 
Kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah menjadi isu penting
saat ini dan di masa datang. Dengan demikian, perlu dilakukan penanganan
khusus terhadap Pantura karena pentingnya kawasan ini. Di samping itu,
pengembangan kawasan ini juga memberikan efek positif lainnya seperti
rasio badan air secara keseluruhan bisa meningkat dan sumber air baku yang
relatif bersih lebih mudah didapat. Untuk itu pengembangan Pantura nantinya
harus benar-benar terintegrasi dengan rencana sistem tata air yang sudah
ada di DKI Jakarta sehingga hasil yang didapat bukan membuat sistem yang
ada sekarang ini menjadi lebih buruk akan tetapi malah menjadi lebih baik.
Dengan memperhatikan pengembangan reklamasi, sistem tata air Jakarta di
masa mendatang dapat mengikuti konsep seperti Gambar 3-8.
 

Konsep Kuat, Implementasi Lemah 47


Gambar 3-8: Sistem tata air Jakarta mendatang

3.2.4. Sistem Sub-makro


Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa ancaman genangan
bersumber dari tiga sebab: pasang air laut, hujan yang jatuh di atas wilayah
Jakarta dan limpasan air hujan yang datang dari hulu (Jabodetabek).
Pengendalian banjir di wilayah Jakarta yang diakibatkan oleh penyebab
pertama dan kedua ini dilakukan dengan pengindentifikasian sub-makro sistem
(untuk pembuatan sistem polder) yang ada di wilayah Jakarta.
 
Batas-batas wilayah sub daerah tangkapan air (sub-catchtment) dari masing
masing sub-makro sistim dan arah aliran yang ada serta yang diinginkan
harus diidentifikasi. Bebarapa studi terdahulu telah mengidentifikasi beberapa
permasalahan dan situasi di sejumlah sub-makro sistem. Meskipun demikian
belum semua sub-makro sistem wilayah di DKI terpetakan secara jelas.
Berdasarkan hasil studi terdahulu dan pengalaman penulis sebagai praktisi,
pembagian sub-makro sistim wilayah DKI Jakarta dapat ditunjukkan dalam
Gambar 3-9. Pembagian sub-makro sistem dilakukan dengan mengacu dan
melakukan penyesuaian terhadap pendekatan konsep pengendalian banjir
Jakarta yang dianut selama ini dan secara konsisten mengikuti alur pikir yang
telah dikembangkan dalam Masterplan 1973.
 
48 Konsep Kuat, Implementasi Lemah
Gambar 3-9: Konsep pembagian sub-makro (sistem polder) di wilayah Jakarta

Dalam alur pikir ini, air yang berasal dari hulu akan dialirkan ke laut melalui
BKB dan BKT, sedangkan wilayah bawah di utara kedua banjir kanal ini
menjadikan sistim polder sebagai sistim pengendalian banjirnya. Namun,
dengan memperhatikan landsubsidence yang menyebabkan semakin banyak
wilayah Jakarta yang akan berada di bawah permukaan air laut dan sungai,
maka wilayah implementasi sistim polder akan menjadi lebih luas.
 
 
 

Konsep Kuat, Implementasi Lemah 49


Bab 4
Perubahan Paradigma dan Langkah Strategis
Partisipasi Sebagai Kunci Sukses
Bersandar Konsep Terdahulu
Selaras Sistem Kini dan Rencana Mendatang
Penyelesaian Tepat Arah, Tepat Lokasi dan Terukur
PERUBAHAN PARADIGMA DAN
LANGKAH STRATEGIS

M
Dalam hal anggaran, sumber engapa banjir Jakarta tidak kunjung bisa diselesaikan? Pertanyaan
daya dan organisasi, pemerintah ini sudah bertahun-tahun belum terjawab. Pemerintah bukan tanpa
kesulitan menghadapi banjir dan upaya dalam menyelesaikan permasalahan banjir. Saluran sudah
masalah banjir dikeruk, kanal-kanal baru telah dibangun, tetapi banjir tetap saja menjadi
bagian dari penderitaan yang harus dirasakan warga Jakarta, setiap kali musim
penghujan datang.

Gubernur DKI gregetan menjawab pertanyaan wartawan setiap kali ditanya


mengenai banjir, apalagi umumnya media selalu menyorot orang nomor satu
di ibukota ini menjadi orang yang paling bertanggungjawab terhadap kejadian
banjir. Tudingan itu memang tidak selalu benar karena gubernur yang sedang
menjabat sudah mendapat warisan yang berkenaan dengan kronisnya masalah
sistem tata air terutama dikaitkan dengan persoalan banjir. Jika memang
masalahnya cukup pelik dan tidak bisa diuraikan hingga saat ini, pertanyaan
selanjutnya adalah apa sudah benar langkah yang dilakukan selama ini? Perlu
ditimbang-timbang bagaimana langkah selanjutnya agar penyelesaian masalah
banjir lebih tepat sasaran, cepat, dan efisien. Karena terlihat dalam beberapa
puluh tahun belakangan ini langkah yang dilakukan terkesan kalah cepat
dibandingkan masalah yang datang.

Amblesan dan kenaikan muka air 4.1. Perubahan Paradigma Pengendalian Banjir
laut menambah berat tantangan Pengalaman selama ini di Indonesia, atau di negara lain yang mempunyai
DKI Jakarta dalam menghadapi kemiripan permasalahan banjir, menunjukkan bahwa pemerintah memiliki
banjir keterbatasan kemampuan menghadapi persoalan banjir dan pengelolaan air.
Keterbatasan ini terutama dalam wujud keterbatasan dana dan sumber daya
manusia yang dimiliki. Di sisi lain persoalan/tantangan semakin berat.

Lokasi Jakarta yang berada pada dataran rendah yang secara kontinyu
mengalami penurunan muka tanah (land subsidence) dan kenaikan permukaan

Perubahan Paradigma dan Langkah Strategis 51


air laut, yang disebabkan oleh pemanasan global, merupakan dua ancaman/
tantangan besar yang harus dihadapi saat ini dan dimasa yang akan datang.

Upaya penanggulangan banjir Di samping itu, persoalan urbanisasi yang meningkatkan jumlah penduduk,
secara struktural dengan yang otomatis juga memerlukan lahan untuk bekerja dan bertempat tinggal,
mengandalkan peran pemerintah menambah daftar tantangan yang ada. Akibatnya ruang untuk penyerapan
air semakin terbatas. Banyak di antara mereka mengambil lahan di tempat
saja, tak lagi efektif
yang sebenarnya menjadi daerah yang harus bebas dari permukiman, seperti
bantaran sungai dan waduk.

Dengan tantangan yang sedemikian dan kenyataan yang ada, upaya


penanggulangan banjir secara struktural, dengan mengandalkan peran
pemerintah saja, tak lagi efektif dilakukan karena persoalan yang muncul
dipastikan akan lebih cepat dibandingkan tindakan penyelesaian yang mungkin
bisa dilakukan. Karena itu harus ada perubahan paradigma yang dengan
paradigma ubahan ini pemerintah tak lagi menjadi satu-satunya pemain dalam
penanggulangan banjir. Komponen masyarakat dan bisnis yang memiliki
aset dan penghidupan di kawasan yang potensial terjadi banjir harus lebih
berperan dan disertakan sebagai pemangku kepentingan dalam mengelola air.
Merekalah yang secara langsung menderita kerugian jika terjadi banjir dan
secara langsung pula mendapatkan kenikmatan jika banjir bisa tertanggulangi.
Seluruh pemangku kepentingan dan beneficiaries; mereka yang mendapatkan
kenikmatan dari tertanggulanginya banjir, harus menjadi subyek dalam
penanggulangan banjir dan pengelolaan air ini.

Gambar 4-1: Banjir selalu merepotkan warga

52 Perubahan Paradigma dan Langkah Strategis


Keharusan untuk lebih melibatkan berbagai kalangan di luar pemerintah juga
senapas dengan demokratisasi dan otonomi daerah yang dalam hal ini proses
pengambilan keputusan selalu didasarkan pada aspirasi masyarakat. Dengan
ini pendekatan dari atas ke bawah (top down) yang selama ini dilakukan dalam
pengelolaan banjir harus dikurangi. Konsekuensi dari lebih mengedepankan
peran masyarakat adalah lebih mendengarkan lagi apa kemauan dan keinginan
mereka. Pendekatan yang digunakan adalah dari bawah ke atas (bottom up)
sehingga kebijakan yang diambil merupakan solusi bersama.

Penanggulangan banjir harus Dengan kemampuan yang terbatas, pemerintah seyogyanya berfungsi sebagai
fasilitator dengan memberi gagasan-gagasan dan garis besar tentang apa
merupakan langkah menuju ke
yang perlu dilakukan dan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Sedangkan
penyelesaian yang permanen masyarakat berpartisipasi di tingkat mikro dan sub-makro. Prinsipnya, warga
mengelola genangan yang mungkin terjadi di kawasan mereka. Dengan proses
seperti ini, diharapkan setiap tindakan penanggulangan banjir merupakan
langkah menuju ke penyelesaian yang permanen dan dengan pelibatan
pemangku kepentingan (stakeholders); proses semacam ini akan mendorong
tercapainya penyelesaian yang berkelanjutan (sustanaible solution). Dengan
cara seperti ini maka ketahanan kelompok-kelompok masyarakat dalam
menanggulangi banjir di daerahnya bisa terus menerus dipelihara dan
dikembangkan.

4.2. Partisipasi Sebagai Kunci Sukses


Harus ada perubahan paradigma, Secara sadar atau tidak, penduduk Jakarta telah memilih untuk tinggal di
dimana masyarakat sendirilah dataran rendah yang rawan banjir. Dalam kondisi yang demikian, ancaman
yang harus aktif mengelola banjir akan terus ada dan masyarakat bersama pemerintah harus terus berupaya
potensi banjir di wilayahnya dan berpikir dalam perjuangan tanpa henti bersama air (in a never ending
struggle with the water).

Investasi di bidang pengelolaan banjir membutuhkan dana yang besar.


Pengoperasian dan pemeliharaan yang tak memadai berkaitan erat dengan
masalah terbatasnya anggaran dan sumber daya manusia. Pembangunan
infrastruktur banjir yang tidak disertai dengan operasi dan pemeliharaan
yang jelas akan mengakibatkan infrastruktur banjir ini berumur pendek
dan tidak berfungsi efektif. Akibatnya akan mengancam keberlanjutan
penanggulangan banjir.

Masyarakat harus aktif mengelola daerahnya agar banjir lebih bisa dihindari.
Pengalaman yang ada menunjukkan bahwa persoalan pengelolaan air tak
semata-mata disebabkan oleh ketidakmampuan teknis, tetapi lebih sering

Perubahan Paradigma dan Langkah Strategis 53


disebabkan oleh tak memadainya kebijakan dan lemahnya institusi yang
bertugas untuk operasi dan pemeliharaannya.

Jika melihat penyebaran penduduk di daerah Jabodetabek, kegiatan masyarakat


justru lebih cenderung terkonsentrasi di kawasan yang potensial mengalami
banjir. Disatu sisi, hal ini memberikan dampak yang kurang menguntungkan
yakni kejadian banjir mengakibatkan kerugian dan penderitaan lebih banyak
orang. Namun pada sisi lain, dengan konsentrasi ini akan tersedia potensi yang
berupa lebih banyak orang yang dapat menanggulangi dan membiayai upaya
penanggulangan banjir ini.

Dengan paradigma ubahan 4.3. Bersandar Konsep Terdahulu


Seperti sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya, untuk menangani banjir
ini pemerintah tidak lagi
Jakarta sudah cukup banyak konsep yang dibuat. Sayangnya, usulan-usulan
menjadi pemain tunggal dalam yang telah ada tak diikuti dengan membuat acuan tindakan apa yang perlu dan
penanggulangan banjir siapa yang harus melakukan sehingga tak banyak pengaruh yang signifikan
terhadap upaya penanggulangan banjir. Akibatnya, meski beberapa ide telah
dirumuskan puluhan tahun yang lalu, hingga kini nyaris tak terlihat dampaknya
secara signifikan.

Sebagai contoh, jika merunut konsep yang sudah ada, maka usulan perlunya
pembuatan sistem polder sudah ada sejak tahun 1965 dan saat itu pula telah ada
beberapa polder yang segera dibangun. Sayangnya, hingga saat ini kebanyakan
sistem polder itu tak lagi bisa berjalan dan hanya di beberapa lokasi saja yang
sistem poldernya bisa berjalan baik.

4.4. Selaras dengan Sistem Kini dan Rencana Mendatang


Dalam bagian terdahulu sudah ditegaskan bahwa Jakarta telah memiliki
rencana sistem tata air baik untuk saat ini maupun di masa yang akan datang.
Dengan menganggap bahwa apa yang sudah direncanakan itu adalah kondisi
ideal yang mungkin dilakukan maka dalam implementasi pengembangannya
harus mengacu pada rencana sistem tata air tersebut.

Kanal-kanal buatan dan sungai-sungai yang sudah ada tetap menjadi saluran
makro utama untuk mengalirkan air ke laut. Upaya yang harus dilakukan
adalah bagaimana agar kanal dan sungai tersebut bisa berperan maksimal di
kala musim hujan dan bagaimana pula mengangkat air secara kontinyu dari
daerah yang berada di bawah permukaan saluran tersebut. Meski kelihatannya
sederhana, tentu dalam kenyataannya bukan perkara gampang.

54 Perubahan Paradigma dan Langkah Strategis


Di samping itu, memanfaatkan secara optimal infrastruktur banjir yang sudah
ada harus menjadi bagian dalam merumuskan langkah ke depan. Ada sungai,
kanal, waduk, saluran drainase kota dan sebagainya yang selama ini memang
menjadi tulang punggung Jakarta dalam mengalirkan air. Semua infrastrukstur
tersebut jangan lagi diganggu, malah harus ditingkatkan perananannya dan
sebisa mungkin menambah jumlahnya sesuai dengan kebutuhan.

Beberapa kebijakan seringkali 4.5. Penyelesaian Tepat Arah, Tepat Lokasi dan Terukur
mengikat semua wilayah, padahal Untuk efektifnya implementasi penanggulangan banjir, perencanaan yang
situasi dan kondisinya tidak selalu dilakukan haruslah tepat arah dan tepat lokasi. Kebijakan yang diambil jangan
sama sampai menjadi tidak berguna saat diimplementasikan. Sebagai contoh,
dalam membuat sumur resapan, prinsipnya adalah untuk menahan air dengan
mempermudah penyerapan oleh tanah. Dalam kenyataannya kebijakan ini
tak bisa diterapkan di daerah Jakarta Utara yang wilayahnya berada di bawah
permukaan laut. Di wilayah ini, penggalian sampai kedalaman sekitar satu
meter saja sudah menemukan muka air tanah. Ini artinya sumur resapan yang
dibuat tak efektif lagi, bahkan justru bisa mencemari air tanah. Berbeda halnya
jika aturan pembuatan sumur resapan itu dilakukan pada daerah yang berada
di selatan atau di hulu. Tentu fungsinya sebagai tempat penyerapan air benar-
benar bisa dilaksanakan.

Secara umum memang lokasi-lokasi yang berkaitan dengan pemunculan


aliran air bisa menjadi pertimbangan dalam membuat perlakuan yang tepat di
daerah tersebut. Di bagian hulu selalu bisa diusahakan sebagai tempat penahan
air hujan supaya tidak langsung mengalir ke sungai. Untuk itu strategi yang
diambil adalah berkaitan dengan usaha-usaha untuk mempermudah penahanan
air yang mengalir agar lebih banyak, jika tidak semuanya, terserap ke dalam
tanah.

Untuk bagian tengah penekanan fungsinya adalah sebagai penyimpan air


sehingga air yang disimpan selain terserap ke lapisan tanah juga diharapkan
bisa dimanfaatkan pada musim kemarau. Sedangkan pada bagian hilir, karena
di daerah ini biasanya paling banyak terjadi genangan, fungsi penanggulangan
yang dilaksanakan adalah membuang air sesegera mungkin dari daerah yang
padat penduduk ke sungai untuk seterusnya dibuang ke laut.

Untuk daerah yang paling rendah atau hilir ini perlu pula dibuat prioritas
tempat-tempat mana saja yang harus terlebih dahulu digenangi jika air yang
melimpas, seperti; waduk, lahan kosong, tempat parkir dan lainnya.

Perubahan Paradigma dan Langkah Strategis 55


Bab 5

Menata Ruang, Mencegah Banjir


Air Tanah Terbatas: Jangan Terus Disedot
Waduk: Tambah Jumlah Tambah Kualitas
Lindungi Bantaran Sungai
Perlu Ruang Terbuka di Kawasan Permukiman
Menahan Air dengan Badan Air
Limbah: Olah Dulu Baru Buang
Hindari Permukiman Menjorok ke Badan Sungai
Tahan Air dengan Tanaman
Lubang Biopori Membantu Menyerap Air
UPAYA NON TEKNIS :
PERLU TEKAD DAN
KESADARAN

S
ecara umum terdapat dua upaya pokok dalam pengendalian banjir yaitu
upaya yang bersifat teknis dan upaya non-teknis. Upaya teknis adalah
upaya yang berkaitan dengan pembangunan prasarana teknis dalam
menanggulangi banjir serta akibat yang ditimbulkannya. Di antaranya adalah
pembuatan banjir kanal, tanggul, waduk, perbaikan saluran drainase mikro
maupun makro, normalisasi sungai, pembuatan kolam tampungan setempat
(on site detention storage-OSD), pembuatan waduk penampung air banjir di
hulu (flood retention basin), dan sebagainya.

Sedangkan non-teknis lebih kepada pencegahan banjir yang ditekankan pada


mengatasi penyebab banjir. Antara lain ialah mengurangi laju banjir melalui
perbaikan kondisi lahan di bagian hulu sungai serta penyadaran masyarakat.
Termasuk dalam upaya penyadaran masyarakat adalah mengajak warga untuk
ikut memelihara kondisi sungai dan saluran dengan tidak membuang sampah
dan limbah ke badan air.

Usaha-usaha yang bersifat non-teknis ini lebih menekankan pada usulan


kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah DKI dan partisipasi aktif dari
masyarakat dalam menanggulangi banjir di daerah ini. Bentuk kerjasama
tersebut diharapkan terjalin pada bidang-bidang pengelolaan sampah dan
limbah padat, penyelesaian masalah permukiman yang menjorok ke badan
saluran/sungai dan pengembangan penampungan air setempat (on site
detention storage).

Pemecahan masalah banjir 5.1.Menata Ruang, Mencegah Banjir


haruslah merupakan bagian dari Penanganan banjir merupakan suatu pekerjaan yang kompleks yang tidak bisa
pengelolaan wilayah aliran sungai dilakukan secara terpenggal-penggal atau bagian per bagian. Pekerjaan ini
menuntut pendekatan yang integral karena menyangkut berbagai aspek. Aspek
fisik meliputi karakteristik sungai, tata guna lahan, dan tingkah laku sosial
ekonomi masyarakat di wilayah itu. Semuanya ini saling mempengaruhi dan
berdampak langsung terhadap tata air.

Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran 57


Untuk itu, pendekatan pemecahan masalah banjir haruslah merupakan bagian
dari pengelolaan wilayah aliran sungai (river basin management). Ini dilakukan
karena aliran sungai itu merupakan suatu sistem jaringan tersendiri yang
karena manfaat sungai sebagai sumber air adalah multi guna, maka potensi
konflik (conflict of interest) menjadi sangat besar. Untuk itu, penggunaan
lahan di sekitar aliran sungai harus benar-benar diatur agar tak menimbulkan
masalah di kemudian hari.

Perlakuan yang salah terhadap Dari aspek tata ruang, aliran sungai merupakan bagian atau unsur dari
sistem tata air bisa mengakibatkan ruang yang perlu mendapatkan tempat dan perlakuan yang semestinya oleh
masyarakat, sebagaimana halnya dengan jaringan infrastuktur pada umumnya
bencana
seperti jalan raya, jaringan drainase, sanitasi, dan jaringan utilitas lainnya.

Perlakuan yang salah terhadap sistem tata air bisa mengakibatkan bencana,
seperti banjir, krisis air bersih atau bahkan juga kekeringan. Pengaturan
wilayah perlu dilakukan sedemikian agar tidak timbul masalah banjir dan
sekaligus di sisi lain agar air sebagai sumber air baku dapat dimanfaatkan
seoptimal mungkin.

Dari pengaturan tata ruang, khususnya dalam konteks tata ruang wilayah
sungai yang juga mencakup kawasan perkotaan, pengendalian banjir dan
pemanfaatan air secara garis besar seyogianya mengikuti pedoman berikut.
1. Di bagian hulu, fungsinya sebagai penahan (retention) air hujan supaya air
tidak langsung mengalir ke sungai, tapi masuk sebagian ke dalam tanah,
untuk menjadi bagian air tanah. Untuk itu, pemanfaatan ruangnya bisa
sebagai hutan, perkebunan atau untuk tanaman keras/pelindung.
2. Di bagian tengah,fungsinya sebagai penyimpan air (storage), artinya air
hujan atau air sungai ditahan sementara. Ini dilakukan untuk menyimpan
air pada saat musim hujan, dan dimanfaatkan pada saat musim kemarau,
serta sekaligus juga sebagai pengisi air tanah.Untuk itu pemanfaatan
ruangnya bisa sebagai waduk, situ, empang, kolam, embung, badan sungai
dan bantaran sungai.
3. Di bagian hilir, fungsinya sebagai genangan dan memerlukan pembuang
air (drainage). Genangan air hujan yang ada di kawasan urban dialirkan
melalui saluran drainase ke badan sungai dan terus ke laut. Untuk itu
pemanfaatan ruangnya adalah sebagai saluran drainase, badan sungai,
bantaran sungai, tempat penyimpan air.

58 Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran


DKI Jakarta yang secara geografis terletak di kawasan hilir, pemanfaatan
ruang dalam rangka pengendalian banjir bisa dalam beberapa bentuk seperti
badan sungai, bantaran sungai, kolam penampung air, polder, dan sebagainya.

Meski demikian penanganan banjir di kawasan hilir perlu didukung dengan


penanganan yang memadai di kawasan tengah dan kawasan hulu sehingga
air yang mengalir ke arah hilir tidak terlalu banyak lagi. Bagaimanapun juga,
jika air yang masuk ke Jakarta sudah dalam debit yang besar, pasti akan
mempersulit daerah ini dalam menanganinya. Karena itu penataan tata ruang
di daerah hulu, di luar DKI Jakarta, juga harus menjadi perhatian.

Perlu insentif bagi pengguna air 5.2. Air Tanah Terbatas: Jangan Terus Disedot
perpipaan (PAM) dan desinsentif Seperti sudah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa tanah lunak yang
bagi pengguna air tanah dikombinasikan dengan penyedotan air tanah secara terus menerus akan
mengakibatkan land subsidence (amblesan). Penurunan muka tanah tidak
bisa dibiarkan terus menerus dan harus ada upaya pencegahan. Jika ini tidak
dilakukan akan mengakibatkan muka tanah di DKI Jakarta semakin jauh beda
tingginya di bawah muka air laut dan muka air sungai.

Usaha untuk mengurangi risiko penurunan permukaan ini adalah dengan


mengurangi penggunaan air tanah. Jika air tanah terlampau banyak disedot
maka tekanan air tanah akan menurun drastis dan tekanan antar butiran tanah
menjadi meningkat. Tanah memadat dan mengisi rongga yang ditinggalkan oleh
air yang disedot. Proses pemampatan (penciutan volume) ini mengakibatkan
tanah di atasnya mengalami penurunan.

Untuk itu, guna menghindari penurunan muka tanah ini perlu ada aturan
mengenai pembatasan penggunaan air tanah yang antara lain ialah dengan
mengenakan pajak/retribusi yang tinggi bagi masyarakat yang menggunakan air
tanah. Sementara itu bagi masyarakat yang menggunakan sumber lain, seperti
air perpipaan (PAM) justru mendapat insentif sehingga dapat mendorong warga
untuk tidak menggunakan air tanah. Untuk memaksimalkan penggunaan air
melalui pipa semacam ini, pemerintah daerah perlu mendorong agar distribusi
air bersih ini bisa terus menerus ditingkatkan sehingga masyarakat lebih mudah
dan murah mendapatkan air perpipaan dari PAM. Tak hanya masyarakat,
industri, baik yang berskala kecil maupun besar, juga harus mengurangi
penggunaan air tanah. Selama ini, kelompok ini justru menyedot air dengan
jumlah yang sangat banyak. Ini tentu sangat mengganggu kandungan air yang
berada di dalam tanah.

Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran 59


Gambar 5-1: Perlu memperbanyak waduk dan meningkatkan kualitas

5.3. Waduk : Tambah Jumlah Tambah Kualitas


Kegunaan situ atau waduk adalah untuk menahan aliran air permukaan (run
off) supaya tidak langsung masuk ke sungai-sungai. Dengan demikian, waduk
atau situ ini berfungsi untuk mengurangi besarnya luapan air dan bahaya
banjir. Di samping itu, waduk dan situ pada saat kemarau berfungsi sebagai
tempat cadangan air. Keberadaan waduk atau situ tersebut diharapkan dapat
meresapkan airnya ke dalam tanah. Ini tentu saja akan menambah cadangan
air tanah yang pada gilirannya dapat dipakai untuk kepentingan domestik
penduduk di daerah hilir.

Beberapa waduk yang ada Potensi pengembangan waduk diharapkan terjadi di kawasan Jakarta Selatan
konstruksinya sangat mengkhawatirkan dan Jakarta Timur. Namun kendalanya adalah masalah pembebasan lahan di
samping masalah pendanaan. Sedangkan di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat
lebih sedikit lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan situ dan
waduk.

Dalam pengembangan dan pemanfaatan situ perlu juga diperhatikan mitigasi


terhadap bencana yang ditimbulkannya. Kasus jebolnya Situ Gintung di
Tangerang pada 27 Maret 2009 menjadi pelajaran berharga. Dalam kejadian
tersebut setidaknya seratus orang harus kehilangan nyawa. Berdasarkan
kejadian tersebut ada dua hal penting yang harus menjadi perhatian. Pertama
pemeliharaan situ dan yang kedua adalah membebaskan daerah-daerah yang
rawan di sekitar situ/waduk.

Di samping harus memperhatikan aspek mitigasi, pembangunan waduk


sebaiknya juga dimanfaatkan secara ekonomi. Adanya waduk atau danau-
danau buatan bisa dijadikan tempat rekreasi warga. Jika ini dipandang sebagai

60 Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran


satu nilai tambah, tentu akan memberikan keuntungan yang hasilnya bisa
dijadikan pemasukan bagi pemerintah daerah setempat.

Pemanfaatan danau-danau buatan sebagai tempat rekreasi, tentu menjadi


alternatif yang bagus bagi masyarakat Jakarta dalam mencari tempat hiburan.
Menjadikannya tempat taman bermain dan rekreasi akan membuat waduk
menjadi lebih terjaga keamanannya. Karena warga setempat akan merasakan
manfaat dari keberadaan situ tersebut. Efek positifnya, masyarakat akan
merasa perlu untuk selalu memperhatikan kondisi waduk tersebut.

Gambar 5-2: Tanggul Situ Gintung sebelum dan sesudah jebol

Sebagian penghuni bantaran 5.4. Lindungi Bantaran Sungai


sungai ternyata memiliki izin Bantaran sungai bermanfaat untuk menampung luapan air pada saat permukaan
bertempat tinggal air sungai naik. Dengan adanya luapan air sungai yang naik hingga ke bantaran
sungai, maka kecepatan dan ketinggian air banjir menjadi lebih rendah sehingga
daya rusaknya menjadi berkurang pula. Di beberapa lokasi sungai, keberadaan
bantaran sungai ini perlu diamankan dalam arti dilindungi dari kemungkinan
dijadikannya bantaran sungai ini sebagai tempat pendirian perumahan atau
bangunan liar. Meski pada akhirnya nanti mereka-mereka inilah yang paling
sengsara jika kelak terjadi banjir, tetapi keberadaan bangunan liar ini juga
sangat mengancam warga lain karena bangunan mereka ini akan menahan dan
mempersempit limpasan air yang seharusnya mengalir di daerah aliran sungai
bersangkutan. Masalah yang muncul adalah sekarang ini sudah terlanjur banyak
hunian liar yang terbangun di kawasan tersebut (encroachment) sehingga pada
saat akan dibebaskan timbul masalah untuk pemindahan dan penempatan para
eks penghuni liar tersebut.

Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran 61


Permasalahan semakin kompleks ketika diketahui sebagian penduduk memiliki
izin untuk tinggal di tempat itu. Pada keadaan demikian, persoalan teknis dan
sosial berpadu dengan permasalahan hukum.

Sesungguhnya, di dalam garis sepadan sungai tidak diperbolehkan adanya


bangunan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63 Tahun 1993 bisa
dijadikan acuan dalam penetapan garis sepadan sungai.

Dalam kaitannya dengan upaya pemerintah DKI untuk memperluas


ruang terbuka di Ibukota, bantaran sungai dapat dijadikan sebagai tempat
pembangunan lapangan olahraga dan taman terbuka. Dengan dikaitkannya
upaya ini dengan kepentingan umum, penolakan dari penduduk setempat tidak
akan begitu kuat. Pun, pengawasan dan pemeliharaan akan datang dari dua pos
anggaran: taman dan olahraga. Selain itu, bantaran ini juga dapat dipinjamkan
kepada petani sayur mayur selama musim kemarau.

GS GS GS GS

Gambar 5-3: Peraturan sempadan sungai tanpa tanggul kondisi luar dan dalam kota.

GS GS GS GS

Gambar 5-4: Sempadan sungai dengan tanggul kondisi luar dan dalam kota.

62 Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran


5.5. Perlu Ruang Terbuka di Kawasan Permukiman
Kebanyakan bangunan perumahan di DKI Jakarta, terutama pada perumahan
kumuh, bentuknya lebih dominan dalam formasi horisontal atau hanya terdiri
dari satu tingkat saja. Dari segi tata ruang tentu sangat boros dalam hal
pemakaian lahan. Akibatnya ruangan terbuka yang berguna untuk aliran udara
dan resapan air hujan menjadi terbatas.

Sistem blok dapat menjadi Untuk mengatasi ini salah satunya solusi adalah dengan membangun pola
alternatif pengganti rumah perumahan dengan sistem blok bertingkat. Sebenarnya sudah ada pola
susun pembangunan rumah susun tapi kelemahannya adalah rumah susun yang ada
terlalu tinggi dan jumlah unit rumah yang kelewat banyak. Dari segi ruang,
memang menghemat penggunaan lahan, akan tetapi masalah atau dampak
sosial yang ditimbulkan dari kelompok keluarga yang menghuni rumah
susun itu cukup besar. Ada beberapa studi yang melaporkan sisi negatif dari
pembangunan rumah susun.

Karena itu alternatif lainnya adalah pembangunan rumah dengan sistem blok.
Contoh sistem blok di sini dimaksudkan adanya gabungan 3 buah rumah
disusun dua lantai, jadi dalam satu blok bangunan terdiri dari 6 buah rumah.
Dengan demikian space atau ruang terbuka menjadi lebih banyak dan lay out
bangunan bisa lebih tertata dengan baik.

Dari aspek hidrologis, pola ini juga lebih menguntungkan karena dengan
adanya ruang terbuka yang lebih luas maka kemungkinan terjadinya resapan
air menjadi lebih besar pula. Penataan ruang seperti ini bisa berpengaruh
terhadap pengurangan dampak bahaya banjir.

Gambar 5-5: Contoh perencanaan pembangunan sistem blok.

Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran 63


Gambar 5-6: Rumah tidak terlalu padat dan antara rumah ada ruang kosong.

5.6. Menahan Air dengan Badan Air


Dengan memperhatikan bahwa permukaan tanah di sebagian wilayah Jakarta
telah berada di bawah permukaan air laut dan permukaan air sungai, maka
mitigasi non-struktural (adaptasi) terhadap risiko banjir dan genangan
seyogianya diarahkan pada pemberian ruang tambahan untuk air dan
penyesuaian kehidupan yang lebih akrab dengan air. Proporsi ruang untuk air
dalam rencana kala ulang curah hujan tertentu ditampilkan dalam Tabel 5-1.

Berdasarkan Tabel ini, untuk dapat mengendalikan banjir/genangan dengan


kala ulang 5 tahun untuk saluran drainase, 25 tahun untuk waduk, dan 100
tahun untuk sungai, maka rasio badan air untuk saluran drainase, waduk, dan
sungai mencapai (2,3 % + 5,5 % + 2,1 %) = 9,9 %.

Tabel 5-1: Rasio badan air


Kala Uuang Waduk Saluran drainase Sungai Total
d=2m d = 1,5 m d=6m
T = 2 thn 2,0 % 2,0 % 0,8 % 4,8 %
T = 5 thn 3,5 % 2,3 % 0,9 % 6,7 %
T = 10 thn 4,5 % 2,4 % 1,2 % 8,1 %
T = 25 thn 5,5 % 2,9 % 1,5 % 9,9 %
T = 50 thn 6,5 % 2,9 % 1,8 % 11,2 %
T = 100 thn 7,5 % 3,0 % 2,1 % 12,6 %
d = kedalaman tampungan

64 Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran


5.7. Limbah: Olah Dulu Baru Buang
Tidak terkelolanya limbah dengan baik akan memperparah masalah banjir dan
kondisi lingkungan. Saluran-saluran drainase menjadi tersumbat dan kualitas
air di saluran menurun. Pembuangan air limbah langsung ke badan sungai akan
menambah buruk kualitas air sungai sehingga mengancam tingkat kesehatan
masyarakat yang tinggal di sekitar saluran-saluran terbuka.

Manajemen pengolahan sampah Pada saat ini, di hampir di seluruh tempat di DKI Jakarta, masyarakat
sebisa mungkin dilakukan di membuang limbah cair rumah tangga dan bahkan industrinya langsung ke
lingkungan terkecil sungai. Kegiatan ini ditambah dengan kebiasaan sebagian besar lapisan
masyarakat yang membuang sampahnya langsung ke sungai yang akan
memperburuk kualitas air sungai.

Pemecahan masalah sampah dengan hanya penempatan lokasi-lokasi


pembuangan sampah saja tidak akan memecahkan masalah ini secara tuntas.
Sampah yang dibuang tanpa diolah akan mengakibatkan sampah yang semakin
menggunung. Yang diperlukan sekarang ini adalah selain lokasi pembuangan
sampah yang aman juga manajemen pengolahan sampah sehingga lingkungan
tidak tercemar.

Gambar 5-7: Pengambilan sampah yang terlambat

Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran 65


Gambar 5-8: Tumpukan sampah di saluran drainase Pedongkelan dan Pintu Karet BKB

Pengolahan sampah menjadi kompos harus sudah bisa dilaksanakan pada skala
kawasan, bisa di tingkat desa atau kecamatan. Jika masyarakat sendiri tak bisa
mengelolanya bisa juga diserahkan kepada pihak swasta. Untuk itu pemilahan
sampah harus dilakukan di tingkat rumah tangga. Pengelompokannya
dilakukan dengan membagi sampah yang akan dijadikan kompos dan yang
akan didaur ulang.

Selain itu, untuk memperbaiki kualitas air sungai, maka setiap pembuangan
limbah baik dari rumah tangga maupun industri tidak boleh dibuang langsung
ke dalam sungai. Air kotor semacam ini harus terlebih dahulu dialirkan ke
tempat pengolahan limbah. Setelah itu barulah dibuang ke laut. Memang untuk
itu diperlukan investasi yang cukup mahal. Namun bagi Jakarta hal ini sudah
merupakan suatu keharusan. Beberapa studi pengolahan limbah untuk Jakarta
ini telah dilakukan (antara lain Studi JICA tahun 1991).

Sampah dapat dikategorikan dalam 2 jenis yaitu sampah darat dan sampah
sungai. Sampah darat adalah yang termasuk dalam limbah padat bersumber
dari masyarakat yaitu sampah yang berasal dari daerah permukiman, kawasan
komersial, pasar dan zona industri. Pengelolaan sampah darat yang kurang
memadai menimbulkan penumpukan sampah di saluran-saluran drainase
mikro/sub-makro dan akhirnya akan sampai ke alur sungai dan menjadi
‘sampah sungai’.

66 Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran


Kondisi ideal yang harus dicapai adalah tidak ada lagi sampah yang masuk
ke sungai. Keadaan ini dapat dicapai dengan cara teknis dan cara non-teknis.
Cara teknis bisa dilakukan dengan pengkondisian sungai dan bantaran sungai
yang bisa membuat masyarakat kesulitan untuk membuang sampah ke sungai.
Sedangkan cara non-teknis melalui pendidikan, penyuluhan, penegakan
peraturan.
 
Tindakan ditekankan pada pengelolaan sampah darat dan pencegahan agar
sampah tidak masuk ke badan sungai. Kaitan dengan tata ruang dalam rangka
manajemen persampahan di sini adalah penentuan atau pemilihan lokasi di tiap
kecamatan dan kotamadya yang relatif aman digunakan untuk pembuangan
serta sekaligus tempat pengolahan sampah.
 
5.8. Hindari Permukiman Menjorok ke Badan Sungai
Pendatang yang berpenghasilan Laju urbanisasi yang tinggi di kota-kota besar khususnya di DKI Jakarta
rendah cenderung menempati adalah salah satu penyebab adanya permukiman yang menjorok ke badan
hunian yang tak layak saluran/sungai. Para pendatang yang sebagian besar berpendidikan rendah dan
berpenghasilan kurang, tidak mampu menyewa atau membeli tempat hunian
yang layak di kota. Dengan demikian, mereka memakai lahan-lahan yang
seharusnya tidak untuk ditempati seperti daerah sempadan sungai, jalur kereta
api, kolong jembatan layang dan sebagainya.
 

Gambar 5-9: Permukiman yang menghambat aliran Sungai Ciliwung

Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran 67


Limbah rumah tangga yang dihasilkan oleh pemukiman yang menjorok ke badan
saluran/sungai cenderung untuk dibuang langsung ke badan air. Akumulasi dari
limbah yang dibuang ke badan air tersebut bersama-sama dengan limbah yang
datang dari hulu, akan menghambat aliran dan mempercepat pengendapan di
alur sungai dan di muara sehingga pada saat banjir air akan meluap ke kanan
kiri saluran/sungai.
 
Diperlukan peraturan yang jelas dan tegas serta penegakan hukum untuk
menertibkan pemukiman yang menjorok ke badan air, tanpa mengabaikan hak
sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di pemukiman tersebut.
 
5.9. Tahan Air dengan Tanaman
Untuk menahan air dan mengurangi koefisien air yang mengalir dipermukaan
(run off) perlu dilakukan konservasi di aliran sungai. Jika terjadi peningkatan
curah hujan hujan harus ada usaha untuk mengeleminir jumlah air yang
langsung terbuang ke sungai. Peresapan air ke dalam tanah harus dilakukan
sebaik mungkin. Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan penghijauan
dan penanaman di sekitar sungai.
 
Penanaman tepi-tepi sungai dengan pepohonan akan mengurangi jumlah air
yang langsung mengalir ke daerah aliran sungai. Akar-akar tanaman akan
terlebih dahulu menyerap air-air yang melintas di sekitar pohon yang ada
sehingga air tertahan terlebih dahulu sebelum masuk ke sungai. Di sisi lain di
saat musim kemarau, keberadaan air yang diserap oleh pohon-pohon tersebut
justru menjaga debit air sungai agar tidak turun secara drastis.
 

Gambar 5-10: Penghijauan tepi sungai

68 Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran


Usaha untuk menahan air melalui konsevasi ini sebaiknya diupayakan secara
maksimal. Salah satu caranya adalah dibuat berselang seling antara tanaman
dengan cekungan kecil untuk menahan air (tracering upstream). Dengan cara
seperti ini air yang di dalam tracing itu bisa terserap sebelum masuk ke sungai.
 
5.10. Lubang Biopori Membantu Menyerap Air

Gambar 5-11: Semakin sempit lahan untuk bisa menyerapkan air

Biopori upaya paling mudah yang Di musim hujan air harus sebanyak mungkin ditahan dan diserapkan ke tanah.
bisa dilakukan warga Tidak hanya melalui waduk, tempat parkir air dan hutan-hutan buatan saja.
Di halaman rumah-rumah penduduk air juga harus ditahan. Jika secara teknis
tidak memadai untuk dibangun sumur resapan di halaman rumah, maka dalam
skala lebih kecil membuat lubang-lubang biopori dapat dilakukan.

 
 

Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran 69


Biopori adalah lubang yang terbentuk di dalam tanah akibat organisma yang
ada di dalamnya. Lubang-lubang yang terbentuk akan berisi udara dan di kala
musim penghujan bisa menjadi tempat penyerapan air. Pembuatan lubang
biopori sangat mudah. Di halaman rumah dibuat lubang-lubang dengan
diameter sekitar 10 cm sampai 30 cm dan berbentuk silendris. Kedalamannya
bisa mencapai 1 meter, tapi bagi daerah yang air tanahnya gampang dijangkau,
kedalaman lubang biopori itu jangan mencapai muka air tanah agar air tanah
tidak tercemar.
 
Dalam setiap lubang tersebut diisi daun-daun kering (sampah organik)
sehingga lubang-lubang itu tertutup kembali. Meski sudah tertutup kembali
lubang-lubang tadi tetap akan bisa menahan air, karena di antara daun-daun
tersebut masih terdapat celah yang cukup banyak untuk menyimpan air.
 
Lubang biopori ini bisa dibuat sebanyak mungkin di halaman rumah warga,
tergantung luas halaman rumah yang tersedia. Di samping cara membuatnya
cukup mudah dampak yang ditimbulkannya juga cukup menguntungkan.
Banyak air yang tidak terbuang begitu saja, mengalir sebagai air permukaan,
melainkan tertahan dan meresap ke dalam tanah.
 

Gambar 5-12: Pembuatan biopori

70 Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran


Akan tetapi, sebelum membuat lubang biopori ini ada hal penting lain yang
perlu diperhatikan. Biasanya air talang disalurkan ke riol yang tertanam yang
kadang-kadang satu saluran dengan saluran buang air cucian di dapur. Air ini
banyak mengandung lemak yang walaupun sudah dilarutkan oleh sabun akan
tetap ada sedikit lemak yang masih bisa menempel di dalam saluran buang.
Kalau selama ini lemak ini akan digelontor oleh air hujan, tidak demikian
halnya jika air talang itu telah dialihkan ke lubang biopori.
 
Penggelontoran lemak dan kotoran lain tidak terjadi lagi yang lama kelamaan
akan membuat saluran buntu akibat penebalan timbunan lemak di permukaan
dalam saluran (mirip dengan penimbunan lemak di dalam pembuluh
darah). Kalau berencana akan menggunakan lubang biopori, antisipasilah
kemungkinan pemindahan saluran air cucian di dapur ke tempat yang terbuka
agar tidak menyulitkan ketika harus dilakukan pembongkaran saluran ini jika
terjadi kebuntuan.

Upaya Non Teknis : Perlu Tekad dan Kesadaran 71


Bab 6
Jaga Kapasitas Saluran Makro
Penambahan dan Perbaikan Kapasitas Sub-Makro
Perbaikan Pengaliran Air pada Sistem Mikro
Pengembangan dan Pembuatan Sumur Resapan
Pembuatan Bangunan Penahan Lumpur (Kantong Lumpur)
Pengembangan Tampungan Setempat
UPAYA TEKNIS :
OPTIMALISASI KAPASITAS
PENYALURAN

M
eski upaya non-teknis tak bisa dikesampingkan, yang sering menjadi
perhatian masyarakat luas justru upaya teknis dari pengendalian
banjir itu sendiri. Membangun kanal tambahan, meningkatkan
kapasitas saluran, memperbaiki sistem drainase adalah sebagian dari upaya
teknis yang sering dituntut masyarakat.

Bagi kebanyakan orang, perbaikan yang berkaitan dengan upaya teknis


diyakini bisa cepat mengurangi dampak banjir. Sejatinya, pengoptimalan
upaya pengendalian banjir adalah dengan menjalankan secara bersama-sama
upaya teknis dan upaya non-teknis sekaligus. Upaya teknis yang dimaksudkan
adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan sistem yang ada
dalam membuang air genangan yang disebabkan oleh hujan setempat maupun
air kiriman yang berasal dari hulu.

Membuang air dari satu kawasan 6.1. Jaga Kapasitas Saluran Makro
jangan sampai merugikan kawasan Jika air sudah terlanjur menggenangi sebuah kawasan dalam jumlah yang
lainnya banyak, pemikiran yang paling pragmatis adalah bagaimana membuang banjir
tersebut ke luar dari wilayah tersebut. Di beberapa tempat memang ada warga
yang berpikiran bahwa yang paling penting adalah air tidak menggenangi
wilayah mereka, jika harus menggenangi daerah lain bagi mereka tidak menjadi
masalah. Atau paling tidak daerah lain itu harus sama-sama mengalami banjir.
Tentu penyelesaian seperti ini bukan menjadi tujuan karena yang dicari adalah
menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh sehingga tak ada warga lain
yang dirugikan.

Untuk itu prinsip yang harus dilakukan adalah bagaimana mengalihkan


kelebihan air itu ke sebuah saluran yang kemudian akan membawa air itu
menuju ke laut. Ini juga bukan masalah mudah mengingat banjir di Jakarta
yang antara lain disebabkan oleh:
• lokasi DKI Jakarta yang sebagian berupa dataran rendah di sepanjang
pantai ;

Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran 73


• curah hujan harian rata-rata yang mencapai 115 mm terjadi sekali dalam
2 tahun ;
• di beberapa sungai yang melintas kawasan Jakarta aliran banjir yang
datang dari hulu terjadi dengan cepat.

Sebagai ibukota seharusnya Jakarta memenuhi syarat sebagai sebuah kota


megapolitan yang menarik bagi investor, pekerja dan wisatawan. Untuk itu
daerah permukiman, zona industri, kawasan perdagangan, tempat rekreasi,
dan lalu lintas seharusnya dibuat relatif terbebas dari banjir. Secara statistik,
genangan kecil dan dalam waktu singkat harus diupayakan hanya akan terjadi
rata-rata sekali dalam dua sampai lima tahun.

Untuk kawasan kota yang terletak pada ketinggian lebih dari +6,0 m di atas
permukaan laut persyaratan tersebut dapat dipenuhi dengan pembangunan
sistem drainase yang baik. Untuk kawasan yang lebih rendah terutama di
kawasan padat bangunan yang penduduknya cukup padat, permasalahannya
lebih rumit karena untuk menampung hujan yang turun di kawasan itu saja
drainasenya tak cukup memadai, apalagi masih ditambah banjir yang datang
dari hulu. Karena itu, pengendalian banjir untuk daerah dataran rendah di
perkotaan, di samping upaya drainase setempat, juga harus dilakukan upaya
untuk mencegah datangnya banjir dari luar. Pengendalian banjir tersebut
secara prinsip dapat dilakukan sebagai berikut:
• pembangunan waduk penampung banjir di hulu sungai sehingga dapat
menahan luapan air agar tidak bersamaan memasuki hilir sungai ;
• pembangunan tanggul penahan banjir atau tanggul (floodwall atau flood
dike) di sepanjang alur sungai yang melintas di wilayah Jakarta sampai
ke muara dan juga di sepanjang pantai. Kawasan kota Jakarta terpotong
oleh sungai-sungai dan pada saat hujan sehingga, karena elevasinya yang
rendah, daerah di antara sungai-sungai tersebut tidak dapat membuang
kelebihan air itu secara gravitasi. Untuk membuang kelebihan air tersebut
diperlukan waduk penampungan dan stasiun pompa sendiri ;
• pembangunan saluran pengalih banjir di sekeliling daerah dataran rendah.
Ini dibuat untuk membuang air banjir yang datang dari hulu langsung ke
laut.

Pembuatan saluran pengalih banjir ini tergolong efektif seperti yang


dilakukan oleh van Breen dalam membangun saluran pengalih BKB. Maksud
pembangunan kanal ini adalah untuk memotong air dari Kali Ciliwung, Kali
Baru Barat, Kali Cideng, Kali Krukut, Kali Grogol, Kali Sekretaris, Kali
Angke, dan Pesanggrahan, untuk dikumpulkan dalam satu saluran banjir

74 Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran


kanal, serta langsung dibuang ke laut. Saat baru dibangun setidaknya daerah
perkotaan dengan luas sekitar 2.500 hektar berhasil dibebaskan dari genangan
banjir. Adanya saluran pengalih banjir sepanjang 18,2 kilomter ini benar-benar
sangat terasa manfaatnya. Kini setelah sekitar 90 tahun kemudian, BKB tentu
tak mampu menahan sendirian genangan air dalam jumlah banyak di Jakarta.
Untuk itu diperlukan upaya lain untuk mengalihkan banjir di kawasan Jakarta.

Dalam studi Master Plan Pengendalian Banjir Jakarta, pada tahun 1973,
Netherland Engineering Consultant (NEDECO), mengusulkan untuk
membangun Banjir Kanal Timur (BKT). Saluran ini dimaksudkan untuk
membantu membebaskan kawasan timur Jakarta dari banjir yang datang dari
sungai-sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat dan Cakung. Harapannya,
BKT ini akan membebaskan kawasan timur dan utara Jakarta seluas kira-kira
15.401 hektar dari genangan dan banjir. Meski belum sempurna BKT telah
menembus laut di awal tahun 2010.

Desain BKB untuk melindungi 6.1.1. Profil Banjir Kanal Barat


2.500 hektar, kini ‘dipaksa’ Jika saat pertama kali dibuat BKB hanya mampu melindungi 2.500 ha kini
melindungi 7.500 hektar bebannya semakin berat, sekarang saluran ini diperkirakan bisa melindungi
kawasan pemukiman hingga seluas 7.500 hektar. Saluran pengalih banjir ini
permukiman.
sendiri dimulai dari Pintu Air Manggarai, karena itu Pintu Air Manggarai dapat
dimanfaatkan untuk menggelontor Kali Ciliwung. Di samping itu, jika Kali
Ciliwung meluap dapat pula digunakan sebagai outlet darurat untuk membuang
air limpasannya. Kapasitas air yang bisa dibuang mencapai 80 m3/detik ke hilir
(anak Kali Ciliwung).

Desain saluran Banjir Kanal Barat (BKB), pada waktu itu, didasarkan atas
prinsip-prinsip sebagai berikut:
• saluran pengalih banjir direncanakan untuk mampu mengalirkan air banjir
dengan periode ulang 100 tahun (Q100) ;
• pada prinsipnya trase memanjang BKB harus sedekat mungkin dengan
daerah dataran rendah yang tidak dapat dikeringkan secara gravitasi.
Akan tetapi karena topografi daerah tidak beraturan maka hal ini tidak
selalu bisa dipenuhi. Pada beberapa kawasan di selatan BKB terutama
pada pertemuan antara sungai dengan BKB perlu diurug agar dapat
mengalirkan air ke BKB ;
• trase vertikal dan potongan melintang ditentukan oleh beberapa
pertimbangan, dan yang terpenting adalah kapasitas pengangkutan
sedimen sepanjang alur saluran harus memadai. Apabila persyaratan ini
tidak bisa dipenuhi maka pengurangan kapasitas angkut sedimen harus

Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran 75


berlokasi pada suatu tempat yang di situ pengerukan sedimen lebih mudah,
misalnya di sekitar muara.
Karakteristik dari BKB pada awal perencanaan dapat dilihat pada Tabel 6-1.
Tabel 6-1: Karakteristik Utama Banjir Kanal Barat

Jarak *) Kemiringan Lebar dasar Kemiringan dasar Q100 Muka air


(km) saluran (m) Saluran (m) (m3/dt) (PP+)
0

1:1,5 13.5 0,00033 290 + 4.0

4,2

1:1,5 17.00 0,00033 370 + 4.0

9,89

1:1,5 17.00 0,00033 370 **)

12,1

1:2 28.00 0,00025 525 **)

18,2

Catatan : *) jarak 0 = Pintu air Manggarai **) dipengaruhi muka air laut

BKB sendiri, yang semakin lama semakin dituntut untuk bisa melaksanakan
fungsinya secara maksimal, terus menerus mengalami perbaikan. Di antaranya
adalah dengan memperkuat dinding-dinding saluran. Diharapkan dengan
adanya perkuatan dinding saluran ini, sedimentasi akibat gerusan air terhadap
dinding saluran bisa dikurangi sehingga kemampuan kanal untuk mengalirkan
air bisa lebih maksimal.

Puluhan tahun ditunggu, meski 6.1.2. Pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT)
masih jauh dari sempurna, awal Tujuan utama dari pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) adalah untuk
2010 BKT tembus ke laut juga melindungi bagian timur kawasan kota Jakarta dari banjir akibat dari meluapnya
Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat, dan Kali Cakung. Di
samping mengendalikan banjir, salah satu tujuan pembangunan BKT adalah
untuk keperluan transportasi sungai untuk mengurangi tekanan transportasi
jalan raya di daerah tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, BKT
pertama kali diusulkan oleh NEDECO (1973) melalui Study of Master Plan

76 Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran


for Drainage and Flood Control of Jakarta yang setelah itu beberapa studi lain
memperkuat usulan pembangunan BKT ini. Dalam realisasinya panjang BKT
adalah 23,575 km, ini hampir sama persis dengan rencana panjang saluran oleh
NEDECO, 1973, yaitu sekitar 23,6 km.

Gambar 6-1: BKT akhirnya tembus sampai laut awal 2010

Gambar 6-2: Banjir Kanal Timur

Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran 77


Keberadaan BKT sendiri, di samping untuk melindungi 15.401 hektar lahan
di Jakarta bagian timur dan utara, diharapkan juga di sepanjang koridor BKT
bisa dimanfaatkan sebagai kawasan industri, pergudangan, dan prasarana
konservasi air. Konservasi air sangat penting di DKI Jakarta mengingat terlalu
minimnya luas permukaan air dibandingkan dengan luas wilayah secara
keseluruhan. BKT juga mampu melayani sistem drainase dari wilayah seluas
20.700 hektar.

Proyek pembangunan BKT sendiri dibiayai oleh Pemerintah Pusat dan


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Pusat melalui Departemen
Pekerjaan Umum bertugas melaksanakan pembangunan fisik senilai Rp. 2,5
triliun sedangkan pemerintah provinsi menggelontorkan jumlah uang yang
sama dengan yang dikeluarkan Pusat untuk menebus pembebasan lahan warga.

Untuk mengurangi beban BKB 6.1.3. Sodetan BKT-BKB


perlu ada sodetan antara BKT-
BKB

Gambar 6-3: Beberapa opsi rencana sodetan Kali Ciliwung –BKT


(Sumber: BBWSCC)
78 Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran
BKB yang mulai dikerjakan tahun 1920 kini usianya telah hampir mendekati
satu abad. Dalam kurun waktu selama itu kondisi DKI Jakarta sudah jauh
berubah. Penduduk yang jauh lebih padat dan lahan yang terisi lebih banyak
bangunan menyebabkan kapasitas BKB tak mampu lagi menampung limpasan
di kala musim hujan tiba terutama pada saat bulan-bulan basah Januari dan
Februari.

Untuk ke depannya perlu bantuan dari BKT untuk mengurangi beban dari
BKB. Karena itu diperlukan adanya sodetan antara BKB dan BKT. Sodetan itu
paling cocok adalah dibuat antara Kali Ciliwung (berhubungan dengan BKB)
dan Kali Cipinang (berhubungan dengan BKT). Dengan bantuan sodetan ini
maka beban dari BKB akan banyak berkurang.

6.1.4. Perbaikan Pintu Air


Pintu air adalah bagian yang penting dalam mengontrol tinggi air di saluran
karena fungsinya menahan atau mengeluarkan air yang ada di saluran. Jika
musim hujan dan air dari hulu melimpah maka keberadaan pintu ini sangat
Ironisnya, sering sekali pintu-
krusial, apakah harus dibuka atau tetap ditutup, tergantung kebutuhan dan
pintu tak berfungsi dikala bahaya yang ditimbulkan jika air terus dibiarkan memenuhi saluran. Ironisnya,
diperlukan sering sekali pintu-pintu tak berfungsi di kala benar-benar diperlukan.
Akibatnya aliran air menjadi tidak terkontrol. Hal ini tentu saja memperbesar
kemungkinan terjadinya bencana. Karena itu perlu adanya tindakan perawatan
yang sifatnya rutin terhadap pintu-pintu air yang ada. Perawatan ini harus
dilakukan seminggu sekali.

Pertama-tama harus dipastikan bahwa bagian-bagian pintu tetap dalam kondisi


lengkap, tidak ada yang hilang atau rusak. Pintu hidrolik perlu dilihat apakah
bisa berjalan atau tidak, agar lancar maka perlu perawatan rutin. Di samping
itu, bagian bidang pintu yang mungkin mengalami karat harus dilakukan
pengecatan agar tidak mengalami korosi.

Untuk mengurangi besarnya aliran banjir dari kali Ciliwung ke kawasan


perdagangan dan perkantoran di kota Jakarta, aliran banjir tersebut dibagi ke
BKB, saluran Jalan Surabaya dan ke Kali Ciliwung Lama. Bangunan pembagi
aliran tersebut adalah Pintu Air Manggarai. Bangunan ini memiliki 3 pintu
pengontrol aliran yang 2 pintu utama mengalihkan aliran banjir ke BKB dan 1
pintu air kecil (di sebelah kanan pintu utama) mengalirkan air banjir ke saluran
di Jalan Surabaya. Di kompleks pintu air Manggarai terdapat 1 pintu lagi yang
mengalirkan air ke kali Ciliwung Lama (Ciliwung Hilir).

Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran 79


Gambar 6-4: Pintu Air Manggarai dan Karet
Pada elevasi PP +0,75 m (kondisi normal), pintu air ke Kali Ciliwung Lama
dibuka 25 cm untuk memelihara aliran di Kali Ciliwung Lama. Dua buah
pintu utama dibuka untuk menggelontor limbah padat dan sampah. Pada saat
debit air kecil, operator pintu hanya membuka 1 pintu utama dengan bukaan
terbatas dan pada saat puncak musim kemarau operator hanya membuka 1
pintu utama setinggi 30 cm saja. Pembukaan pintu air ke kali Ciliwung Lama
sampai ketinggian 1 meter menjadi tanggung jawab penjaga pintu. Pembukaan
pintu lebih dari 1 meter akan menyebabkan banjir di beberapa daerah di hilir.
Pada kasus ini keputusan membuka pintu berada ditangan Kepala Dinas PU
DKI Jakarta. Untuk membuka pintu lebih dari 1,50 meter pintu hanya boleh
dilakukan atas perintah dari Gubernur DKI Jakarta.

Gambar 6-5: Pintu Outlet ke Kali Ciliwung Lama dilihat dari hulu pintu air

80 Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran


Selain Pintu Air Manggarai, terdapat satu pintu lagi di sepanjang BKB yaitu
Pintu Air Karet, dekat instalasi penjernihan air di Pejompongan. Tujuan
pembangunan pintu air ini adalah untuk mengatur ketinggian air di sebelah
hulu pintu air pada elevasi PP +4.0 meter. Pintu Air Karet juga berfungsi
sebagai outlet untuk penggelontoran saluran BKB di sebelah hilirnya.

Pintu Air Istiqlal di Ciliwung


Pintu air di kompleks mesjid Istiqlal berada di Kali Ciliwung Lama, di sebelah
hilir Pintu Air Manggarai. Di bangunan ini terdapat 3 pintu air dengan 2 pintu
air dengan lebar masing-masing 3,30 meter mengapit 1 pintu air utama dengan
lebar 6 meter. Pengoperasian pintu air dimulai pada saat muka air mencapai PP
+3,5 meter sampai PP +4,0 meter. Pada saat muka air lebih tinggi dari PP +4,0
meter maka seluruh pintu air harus dibuka. Di dalam kompleks masjid ini, Kali
Ciliwung Lama bercabang ke barat mengalir di sepanjang Jalan Juanda, Jalan
Gajah Mada, Jalan Tangki dan Jalan Pasar Ikan. Sedangkan yang ke timur
mengalir sepanjang Jalan Pos, Jalan Gunung Sahari dan terus mengalir ke laut
melalui pintu air Marina. Kedua aliran sungai Ciliwung ini mengalir melalui
kawasan perkantoran.

Pengerukan mulut-mulut sungai 6.1.5. Pengerukan dan Pelebaran Sungai


di Jakarta belum dilakukan secara Salah satu penyebab banjir di Jakarta adalah semakin tidak memadainya
sistematis kemampuan sungai untuk mengalirkan/membuang langsung air ke laut. Tidak
saja karena jumlah sungai yang dianggap kurang dibandingkan banyaknya
air yang melimpas di kala musim penghujan tiba, akan tetapi berkurangnya
kapasitas sungai juga menambah parah dampak dari limpasan air.

Dalam 30-40 tahun terakhir ini tidak terjadi pengerukan yang sistematis di
mulut-mulut sungai di Jakarta, sedangkan proses erosi di bagian hulu (upstream)
terus berlangsung dan membawa sedimen ke laut. Tumpukan sedimen ini
menyebabkan pendangkalan yang selanjutnya menyebabkan kenaikan muka
air di sungai. Dampaknya ialah kapasitas tampung sungai berkurang sehingga
akan lebih banyak air meluap dari badan sungai yang pada gilirannya akan
menyebabkan perluasan daerah banjir dan meningkatnya permasalahan banjir.

Dengan melakukan pengerukan terhadap tumpukan sedimen ini maka


bisa diharapkan muka air di sungai akan menurun dan masalah banjir bisa
berkurang. Pada mulut-mulut sungai terdapat tumpukan sedimen setebal 3-4
meter.

Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran 81


pengerukan

Gambar 6-6: Tipikal kondisi mulut sungai dan profil memanjang dasar sungai di muara
Beberapa analisis menunjukkan bahwa pengerukan sedimen di mulut sungai
cukup efektif untuk menurunkan muka air di sungai pada saat debit air puncak.
Pengerukan sedimen setebal sekitar 3 m dapat menurunkan muka air di sungai
sampai 1 m.

Pengerukan sedimen setebal 3 Proses erosi di hulu telah terjadi pada masa lalu, kini, dan masih akan terjadi
meter bisa menurunkan muka air di masa datang. Proses sedimentasi di mulut sungai yang terjadi dalam proses
sungai sampai 1 meter yang lebih cepat dipengaruhi oleh kecepatan alir air yang rendah dan proses
flokulasi (pertemuan air tawar dan air asin yang menyebabkan bertambah
beratnya partikel sedimen). Karena proses sedimentasi masih akan terus
berlangsung, maka perawatan di mulut sungai dengan melakukan pengerukan
secara berkala merupakan suatu keharusan.
(m)

(m)

Gambar 6-7: Tipikal efek pengerukan sedimen terhadap penurunan muka air sungai

82 Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran


Perawatan secara berkala dalam periode 2-5 tahun sangat dianjurkan.
Pengerukan ini diharapkan tidak hanya dilakukan di mulut-mulut sungai
besar, namun juga pada kanal dan saluran-saluran yang kapasitas alirnya telah
mengalami penurunan akibat pengendapan lumpur.

Pemda DKI Jakarta bekerjasama dengan Pemerintah Belanda telah melakukan


proyek percontohan pelaksanaan pengerukan dengan menggunakan Floating
Bulldozer (FB) di beberapa tempat di DKI seperti Saluran Kali Mati dan Kali
Pademangan di Kelurahan Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan,
Jakarta Utara dan saluran-saluran lainnya. Alat ini terbukti bekerja cukup
efektif, terutama untuk saluran di lokasi-lokasi yang padat penduduk yang
sedimennya tidak bisa diambil dengan alat secara langsung dari pinggir saluran.
Dengan sistem ini pengerukan dapat dilakukan tanpa merusak tanaman atau
pohon yang ada di sepanjang saluran karena proses bongkar muat sedimen
dilakukan di suatu lokasi kosong atau di atas jembatan yang telah dipilih dan
disurvei sebelumnya. Pengerukan di bawah jembatan pun dapat dilakukan
asal jembatan tersebut masih mempunyai ruang bebas sekitar 50 cm di atas air
sehingga FB dan operatornya dapat bergerak di bawahnya.

Sistem pengerukan ini pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 2009 padahal
di negeri asalnya, Belanda, telah digunakan sejak 20 tahun yang lalu. Sesuai
dengan namanya floating bulldozer yang berarti buldoser terapung, alat ini
digunakan untuk mendorong material sedimen dari dasar saluran ke arah
lokasi di saluran yang terjangkau oleh excavator.

Gambar 6-8: Pembersihan sedimen dengan Floating Buldozer

Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran 83


6.2. Penambahan dan Perbaikan Kapasitas Sub-Makro
Termasuk dalam cakupan sub-makro ini adalah waduk atau situ yang ada
dalam suatu kawasan. Jumlah waduk yang ada di Jakarta memang tidak
memadai. Beberapa waduk juga sudah tak berfungsi lagi, ada yang rusak dan
bahkan ada yang dijadikan rumah penduduk atau kawasan perdagangan. Di
samping itu kapasitas waduk yang sudah ada juga terus menerus berkurang
karena banyaknya sedimen dan semakin kecilnya area tangkapan waduk.
Karena itu perlu ada perbaikan kapasitas waduk dengan cara pengerukan
maupun perluasan.

Di samping itu, hunian-hunian yang memperkecil kapasitas waduk harus


dibebaskan. Waduk-waduk yang sudah tidak aktif lagi harus kembali dibenahi
agar bisa dipergunakan lagi. DKI Jakarta tak hanya bisa mengandalkan waduk
yang telah ada, penambahan jumlah waduk juga harus dilakukan sehingga
rasio badan air bisa lebih ditingkatkan.

6.3. Perbaikan Pengaliran Air pada Sistem Mikro


Sampah dan pembangunan yang
serampangan sering menutup
aliran drainase lingkungan

Gambar 6-9: Genangan di Jalan Sudirman akibat drainase tidak lancar

84 Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran


Saluran pembuangan/drainase (sistem mikro) lingkungan termasuk yang cukup
rumit permasalahan di Ibukota. Tidak lancarnya saluran ini dalam membawa
air ke saluran sub-makro menjadi penyebab utama timbulnya genangan di satu
kawasan. Berkenaan dengan sistem mikro ini ada beberapa penyebab yang
membuat limpasan air berpotensi tertahan di satu wilayah tersebut.
 
Pertama, dalam satu daerah ada yang tidak mempunyai saluran drainase sama
sekali. Akibatnya, ketika hujan lebat air hanya mengalir di lorong-lorong di sela-
sela rumah penduduk. Biasanya ini terdapat di daerah padat penduduk dengan
banyak bangunan liar sehingga pembangunannya terkesan asal-asalan saja.
 
Kedua adalah banyaknya sistem drainase lingkungan yang tidak berfungsi
sama sekali. Saluran mikronya ada tapi dalam keadaan sudah ‘mati’, air tak
bisa lagi bergerak ke mana-mana. Hal ini biasanya terjadi, di samping karena
memang lemahnya kemauan warga dalam memelihara saluran tersebut, juga
karena ketidaktahuan masyarakat terhadap suatu drainase dilingkungannya,
terutama bagi warga baru. Bisa juga karena warga yang akan membangun
rumah tidak cermat melihat drainase yang sudah ada; akibatnya saluran
tersebut tak lagi ada gunanya.
 
Sedangkan yang ketiga, dan yang paling banyak dialami warga Jakarta, adalah
semakin kecilnya kapasitas drainase lingkungan. Ini menyebabkan kemampuan
mengalirkan air drainase tersebut sangat kecil, akibatnya jika hujan lebat turun
kemampuannya mengalirkan tak memadai. Ini akibat semakin sempitnya
saluran dan semakin tebalnya sedimen yang ada di dasarnya. Karena itu, perlu
ada perawatan rutin untuk menjaga kapasitas saluran drainase.
 

6.4. Pengembangan dan Pembuatan Sumur Resapan


Pengembangan resapan air, bukan hanya dalam bentuk waduk dan situ,
Kawasan yang mempunyai muka tapi bisa juga dalam bentuk sumur-sumur resapan yang berbentuk lubang-
air tanah dangkal tak perlu lubang sumuran kecil namun dibangun massal dalam skala kota. Misalnya
membuat sumur resapan. di lingkungan perumahan, pertokoan, jaringan drainase jalan, taman, tempat/
lapangan olah raga, dan lain-lain. Dengan adanya lubang-lubang sumuran
ini diharapkan sebagian air dapat meresap ke dalam tanah dan menambah
cadangan air tanah.
 
Ukuran sumur ini tidak perlu terlalu lebar, cukup misalnya 1 × 2 meter dengan
kedalaman 2 atau 3 meter, dengan diberi perkuatan dinding beton atau lainnya.

Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran 85


Sumuran tersebut diberi berpori dan dasarnya tetap berupa tanah dan diberi
saringan, sehingga air hujan dapat meresap ke dalam tanah dan menjadi air
tanah. Kawasan-kawasan yang bisa dikembangkan sumur resapan untuk masa
depan, antara lain adalah:
• perumahan (pada halaman rumah) ;
• halaman pertokoan, mall, supermarket ;
• tempat parkir terbuka ;
• tempat rekreasi terbuka ;
• halaman fasilitas pendidikan: SD, SMP, SMA, Universitas ;
• sepanjang tepi dan median jalan ;
• lapangan: taman, lapangan sepak bola, golf, stadion, Monas (dalam jalur
lintasan tertentu) ;
• pemerintahan: halaman kantor kelurahan, kecamatan, kotamadya.
 
Bila di seluruh wilayah DKI Jakarta bisa diterapkan kebijakan ini, maka volume
air hujan yang bisa ditahan dan meresap ke dalam tanah akan bertambah dan
akan menambah cadangan air tanah. Tapi, harus pula diingat bahwa semakin ke
utara pembuatan sumur perasapan semakin tidak disarankan karena muka air
tanah sudah semakin tinggi. Jadi buat daerah yang muka air tanahnya kurang
dari lima meter diminta untuk tidak membuat sumur resapan.
 

Gambar 6-10: Contoh lahan yang menggunakan sumur resapan.

86 Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran


Pembuatan sumur resapan ini harus dipaksakan di pembangunan pengembangan
baru dengan jalan menjadikan pembuatan sumur resapan ini sebagai bagian
dari persyaratan pemberian IMB. Terutama untuk daerah yang mendekati ke
arah hulu. Dengan demikian air lebih banyak lagi yang bisa tertahan sebelum
mengalir ke arah hilir.
 
Untuk memasyarakatkan sumur peresapan ini Jakarta bisa meniru Yogyakarta.
Di kota gudeg itu hampir semua warganya menggunakan sumur peresapan,
sehingga saluran-saluran drainase tidak begitu kewalahan menampung air
limpasan.
 
Pembuangan lumpur bisa menjadi 6.5. Pembuatan Bangunan Penahan Lumpur (Kantong Lumpur)
Sebagaimana tertera dalam berbagai laporan, tingkat pelumpuran sungai-sungai
isu sosial apabila tidak dirancang
di wilayah DKI Jakarta cukup tinggi. Proses pelumpuran ini menyebabkan
dari awal sungai menjadi semakin dangkal dan menyebabkan permukaan air sungai
menjadi cepat meninggi dan air melimpas. Untuk mencegah dan mengurangi
besarnya lumpur yang mengendap di dasar sungai perlu dibuat bangunan
penahan lumpur pada lokasi-lokasi tertentu.
 
Untuk wilayah DKI Jakarta ini perlu ada studi mengenai kemungkinan
dibangunnya tempat-tempat kantong lumpur ini, sekaligus dirancang pula
tempat pembuangan lumpurnya. Pembuangan lumpur bisa menjadi isu sosial
apabila tidak dirancang dari awal, karena lokasi pembuangan lumpur ini akan
bertambah terus secara kumulatif, dan tentunya memerlukan ruang khusus
untuk itu.

Gambar 6-11: Sedimentasi bisa ditahan sebelum masuk ke waduk atau ke sungai

Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran 87


Pembuangan lumpur ini (sediment disposal) perlu dirancang dari awal. Ada
beberapa alternatif untuk itu:
• ditimbun di tempat-tempat genangan air yang bukan merupakan tempat
parkir air ;
• dibuang ke tempat untuk reklamasi pantai dengan memperhatikan aspek
lingkungan ;
• didahului dengan treatment dapat dimanfaatkan untuk pembuatan/
peninggian infrastruktur, misalnya jalan raya.
 

OSD harus menjadi prasyarat 6.6. Pengembangan Tampungan Setempat


Ketika suatu wilayah dikembangkan maka proporsi permukaan yang kedap
dalam pembangunan satu
air seperti atap dan perkerasan beton akan bertambah. Di sisi lain, permukaan
kawasan yang dapat menyerap air dan memungkinkan adanya infiltrasi seperti lapangan
rumput dan kebun menjadi berkurang. Perubahan ini menambah kuantitas
maupun laju aliran air hujan yang mengalir.
 
Pada hampir semua keadaan, penambahan aliran air permukaan akan
mengakibatkan terlampauinya kapasitas tampung saluran drainase sehingga
terjadi genangan dan banjir yang mengganggu. Kolam penampung setempat
(on-site stormwater detention-OSD) pada wilayah yang luas dapat membatasi
pertambahan debit pada saluran drainase.
 
Studi pengendalian banjir WJEMP DKI 3-9 (2004) telah mengeluarkan laporan
berjudul ‘Kriteria Perencanaan OSD’ yang berisi pertimbangan dan kriteria
desain untuk pembangunan OSD di lingkungan perkotaan, khususnya DKI
Jakarta. Laporan ini berisi kajian ulang atas informasi, latar belakang, aspek
sipil, hidrologi, desain hidrolik dan pemeliharaan OSD. Pada tingkat strategi
pengendalian banjir di masa yang akan datang, pembuatan fasilitas OSD ini
harus menjadi prasyarat dalam pembangunan baru maupun pembangunan
kembali suatu kawasan.
 
Kelayakan sistem drainase harus Pengembang suatu daerah harus menyerahkan rencana konsep drainase air
dipenuhi pengembang hujan (Stormwater Drainage Concept Plan-SDCP). Rencana tersebut harus
menunjukkan dengan jelas kelayakan sistem drainase yang diusulkan dan
hubungannya dengan sistem sub-makro dan makro yang ada. Trase aliran air,
baik aliran bawah tanah maupun aliran permukaan, ukuran dan lokasi dari
OSD harus masuk dalam rencana tersebut.
 
OSD harus serasi dengan lingkungan yakni luas tampungan dan debit harus
sesuai dengan jenis tampungan yang dibangun. OSD tidak ditempatkan pada

88 Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran


jalur aliran sungai tetapi berada di luar aliran sungai (offstream). Sistem
tampungan penahan air ini dimaksudkan untuk mengendalikan aliran dari
suatu kawasan pengembangan dan perlu dipelihara secara teratur.
 
Pembangunan OSD harus mendapat dukungan penuh dan partisipasi dari
masyarakat karena:
• OSD terletak di tengah-tengah permukiman masyarakat sehingga
masyarakat perlu dilibatkan dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan ;
• OSD hanya diperlukan dalam kondisi musim hujan sehingga pada saat
musim kemarau OSD dapat digunakan untuk kepentingan lain oleh
masyarakat di sekitarnya, misalnya untuk tempat rekreasi ;
• OSD harus dikelola secara terpadu dengan pengelolaan banjir dan sistem
drainase yang ada di daerah tersebut.

Upaya Teknis : Optimalisasi Kapasitas Penyaluran 89


Bab 7
Sejarah Sistem Polder
Cara Kerja Sistem Polder
Aspek-aspek Desain Polder
Polder dan Elemennya
DESain DAN TEKNIS
SISTEM polder

A
Berjuang menghadapi banjir da tiga masalah utama dalam pengelolaan air, yakni air yang terlalu
tak bisa sepenuhnya diserahkan banyak, air yang terlalu sedikit, dan air bermutu buruk. Di musim
kepada pemerintah karena hujan jumlah air melimpah sehingga terjadi banjir. Di sisi lain di saat
keterbatasan kemampuan musim kemarau minimnya persedian air mengakibatkan terjadinya kekeringan.
Masalah lain, terutama di Jakarta, seandainya air ada di sungai atau waduk,
mutunya juga sangat rendah. Jangankan untuk dikonsumsi manusia, untuk
menyiram tanaman juga tak layak.

Dengan sistem polder hal tersebut bisa ditangani secara lebih terintegrasi.
Sistem polder bukanlah penghadang banjir yang semata-mata hanya menjaga
satu kawasan terbebas dari banjir. Sistem ini mengelola lingkungannya agar
bersahabat dengan air. Di musim hujan tidak tergenang sementara itu di musim
kemarau air yang tersimpan di waduk bisa mencegah penurunan drastis muka
air tanah di kawasan tersebut. Di samping, itu kualitas air yang masuk ke dalam
waduk dapat lebih mudah dikontrol sedemikian rupa sehingga risiko terjadinya
pencemaran bisa dikurangi. Secara sosial, waduk juga bisa dimanfaatkan
sebagai tempat rekreasi

Sistem polder yang baik tidak hanya membebaskan satu kawasan dari ancaman
banjir saja, akan tetapi juga menjadikannya satu daerah yang ramah lingkungan
yang konservasi air lebih terjaga, pembuangan limbah lebih terkelola, dan bisa
menjadi tempat cadangan air untuk menyiram tanaman saat musim kering.

7.1. Sejarah Sistem Polder


Polder adalah suatu daerah tertutup yang tinggi muka airnya diatur secara
secara buatan (artificial). Sistem polder ini berasal dari Negeri Belanda dan
telah memiliki riwayat panjang. Keberhasilannya juga sudah teruji; saat ini
sekitar 65 % dari Negeri Belanda akan banjir jika tidak ada sistem polder. Jika
sekarang kita melihat sistem polder ini di negeri Belanda maka kita melihat
suatu sistem yang tertata dan teratur. Tak ada yang menyangka bahwa hal ini

Desain dan Teknis Sistem Polder 91


bisa terjadi akibat pengembangan sistem lahan dan air yang berangsur-angsur
sejak seribu tahun yang lalu.

Sistem polder ini diawali ketika para petani yang selalu memberi patok
terhadap lahan gambut garapannya. Mereka mengolah tanah gambut tersebut
dengan membuat parit dan kanal. Tapi, kenyataannya sistem drainase kanal
terbuka buatan manusia tersebut ternyata memicu penurunan level tanah
(subsidens). Ini mengancam kawasan delta. Kawasan delta akan menjadi delta
yang tenggelam’ jika manusia tidak membuat pelindung banjir dan tindakan-
tindakan pengelolaan air. Agar tak terjadi banjir para petani berpikir sederhana
yaitu dengan membangun tanggul. Pertama kali bangsa Belanda mengenal
tanggul tersebut kira-kira 1000 tahun yang lalu. Sejak itu pula, tanggul dan
sistem polder disempurnakan dan diperluas penggunaannya.

Semakin lama sistem polder semakin diakui sebagai suatu solusi untuk
menghindari satu kawasan rendah dari bencana banjir. Dengan sistem ini,
suatu kawasan bisa bertahan dari bahaya banjir berkat penerapan teknologi
maju, alokasi anggaran yang memadai serta kewaspadaan organisasional yang
permanen. Pengalaman pengembangan polder yang diperoleh Negeri Belanda
mulai dimanfaatkan oleh negara-negara lain yang memiliki fitur lahan yang
sama.

Melihat kecenderungan meningkatnya muka air laut pada masa mendatang


maka banyak negara akan berusaha menyiasati hal itu. Menggunakan sistem
polder dianggap merupakan pilihan yang efektif untuk mengamankan
permukiman dan aset umum dari banjir di daerah pantai.

Mengontrol tinggi muka air 7.2. Cara Kerja Sistem Polder


waduk adalah prinsip kerja Polder adalah suatu daerah tertutup (dengan bantuan tanggul) yang tinggi
sistem polder muka airnya sengaja dikontrol dengan menggunakan pompa. Dengan
menggunakan sistem ini satu kawasan akan terjaga jumlah airnya meskipun
di musim hujan. Kondisi seperti ini sekaligus ‘membebaskan’ wilayah tersebut
dari ancaman banjir. Dengan sistem ini daerah yang muka tanahnya berada di
bawah permukaan air laut pun bisa terbebas dari banjir di saat musim hujan.
Tak hanya itu, kandungan air tanah di sekitar kawasan juga bisa terjaga di saat
musim kemarau tiba.

Bagaimana sistem polder bekerja? Sistem polder bisa dibuat untuk satu
kawasan dengan luas bervariasi dari puluhan hingga ribuan hektar. Kawasan iniiii
yang berpotensi banjir tersebut diberi batas keliling yang juga merupakan
92 Desain dan Teknis Sistem Polder
batas hidrologi. Air dari daerah lain tidak bisa masuk ke daerah polder. Meski
demikian air tak seluruhnya bisa ditahan karena ada air yang berasal dari
rembesan (seepage) dan air yang berasal dari hujan yang turun di kawasan
tersebut. Air-air ini harus dikelola secara benar agar tidak menyebabkan banjir
di dalam kawasan itu sendiri.

Dalam suatu polder muka air terbuka dapat dikendalikan sesuai dengan
keinginan dan tinggi muka air di dalam polder tidak sama dengan muka air
regional yang ada, seperti muka air laut atau muka air sungai. Apabila muka
air sebelah luar secara permanen berada di atas level polder sebelah dalam,
genangan hanya dapat dihindarkan dengan memompakan air yang berlebih
keluar dari polder bersangkutan.

Sistem polder ini harus merupakan 7.3. Aspek-aspek Desain Polder


pengelolaan tata air yang Desain elemen polder dikatakan bagus tidak hanya berkaitan dengan segi
berkelanjutan dengan basis estetis saja, akan tetapi juga harus dilihat dari segi keamanan, daya guna
partisipasi masyarakat dan dana yang dikeluarkan. Mungkin tidak sulit membuat desain polder
menjadi indah dalam segi fisik, tapi apakah bentuk yang enak dilihat itu
cukup kuat mengamankan penghuninya itulah yang menjadi pertanyaan.
Karena itu pembangunan polder dikatakan berhasil jika desainnya baik dan
tidak berdampak negatif pada lingkungan sekitar. Sebelum merencanakan
desain polder diperlukan beberapa data. Seperti data survei dan penyelidikan
hidrologis, geologis, hidrolik, dan bidang-bidang terkait lainnya. Semua data
yang masuk haruslah didasarkan survei dan penyelidikan yang benar-benar
sahih; sampel yang diambil juga harus benar-benar mewakili lokasi secara
keseluruhan. Data ini akan membentuk kondisi batas (boundary condition)
untuk desain polder tersebut. Setelah data tersebut didapat lalu dilakukan
analisis tentang bagaimana desain yang tepat untuk pembuatan polder berdasar
data tersebut. Setelah itu dilakukan evaluasi atas perencanaan desain tersebut
dengan maksud untuk mengetahui apakah perencanaan tersebut dianggap
sudah cukup memadai atau belum. Untuk sistem pengelolaan air didesain
berdasarkan pada persamaan keseimbangan air.

7.3.1. Tujuan Utama


Secara sederhana pembuatan sistem polder bertujuan untuk pengendalian
banjir. Akan tetapi, dalam mendesain sistem polder sasaran yang ingin dicapai
tidak hanya sebatas itu. Ada tiga tujuan utama yang mendasari pembuatan
desain dari sistem polder yaitu:

Desain dan Teknis Sistem Polder 93


• untuk menciptakan suatu kawasan rendah yang rawan banjir menjadi daerah
yang relatif terkontrol dari banjir dan genangan, yang akan memberikan
kenyamanan dalam mempergunakan lahan sesuai peruntukannya ;
• lebih menjamin keberlanjutan (sustainability) sistem pengelolaan tata air
dengan peran yang lebih besar diberikan pada partisipasi masyarakat ;
• untuk menciptakan kondisi lingkungan yang lebih baik, terutama
peningkatan kualitas air.
Perlindungan terhadap banjir
didesain berdasarkan standar 7.3.2. Hakikat Keselamatan
yang disesuaikan secara lokal Secara sederhana, pembuatan pertahanan banjir didasarkan pada muka air
tertinggi yang diketahui. Berdasarkan angka tersebutlah didesain pertahanan
banjir. Akan tetapi, untuk sistem polder tingkat keselamatannya tegantung pada
nilai ekonomis kawasan layanan sistem polder bersangkutan: apakah berada
di kawasan perumahan, pertokoan, industri, pertanian dan lain-lain. Tingkat
keselamatannya berdasarkan frekuensi kelebihan banjir/penggenangan dengan
periode ulang yang diketahui.

Di Negeri Belanda, desain polder ini diharuskan mampu menahan kondisi


hidrolik ekstrim, yang kemungkinan terjadinya dengan kala ulang 10.000
tahun. Karena itu standar yang diterapkan cukup tinggi. Artinya, polder yang
dibuat harus tahan terhadap kondisi terparah tersebut yang kemungkinan
kejadiannya pada periode yang panjang. Standar yang tinggi ini merupakan
hasil analisis biaya-manfaat (cost benefit) yang menyeluruh.

Selama bertahun-tahun, beberapa negara menggunakan pendekatan dan tingkat


keselamatan yang serupa dengan yang dipraktekkan di Negeri Belanda. Untuk
wilayah dengan nilai ekonomis dan risiko yang lebih rendah seperti pertanian
dan kehutanan polder didesain dengan tingkat keamanan yang lebih rendah
yaitu dengan menggunakan tingkat kejadian banjir/penggenangan yang lebih
rendah, dengan frekuensi antara 1/4.000 sampai 1/1.250 per tahun. Ini tidak
mutlak berarti bahwa periode ulang kejadian menjadi 4.000 sampai 1.250 tahun
sekali. Dalam segi ekonomis dan risiko memang dampak yang ditimbulkan
untuk kawasan pertanian ini tidak seserius wilayah yang berpenghuni padat.

Seluruh biaya dikaitkan dengan biaya pembangunan dan biaya pemeliharaan


sistem pertahanan banjir. Sedangkan manfaatnya dijabarkan dari nilai ekonomis
yang berupa mata pencaharian dan harta-benda seperti manusia, perumahan,
industri, aset umum, dan sebagainya. Dengan demikian, standar keamanan ini
merupakan tingkat optimum ekonomis dan finansial.

94 Desain dan Teknis Sistem Polder


Jika Jakarta mempunyai sistem pertahanan banjir yang baik maka kerugian
yang diakibatkan oleh banjir bisa dikurangi. Jika dihitung secara cermat
kerugian Jakarta setiap kali banjir bisa mencapai angka yang cukup besar.
Sebagai contoh, banjir pada Februari 2002 saja mengakibatkan kerugian
mencapai US$ 1,1 miliar; ini mencakup kerugian langsung maupun tidak
langsung.

Pertimbangan analisis biaya-manfaat layak dilakukan untuk mendapatkan


standar dalam pertahanan banjir. Harus diingat bahwa suatu pertahanan banjir
dibuat untuk menyediakan keselamatan menyeluruh. Karena itu pembuatan
sistem pengendalian banjir harus terkait dengan berbagai aspek, seperti
ekonomi, lingkungan dan sosial.

7.3.3. Tingkat Keselamatan untuk Polder Perkotaan di Jakarta


Standar yang berlaku di banyak negara tak harus diikuti oleh negara
lain. Di Jakarta, polder perkotaan yang berukuran sedang dan kecil dapat
diimplementasikan untuk lingkungan perumahan, gedung-gedung dan
infrastruktur. Perlindungan terhadap banjir dan genangan haruslah didesain
berdasarkan standar yang telah disesuaikan secara lokal. Kondisi batasnya
sama sekali berbeda dengan Negeri Belanda. Tinggi puncak tanggul dan
dimensi elemen-elemen strukturalnya dijabarkan dari standar-standar lokal ini.
Akan tetapi, saat ini belum tersedia standar (standar keselamatan) untuk desain
polder di Jakarta. Oleh sebab itu, tingkat keselamatan berikut dapat dijadikan
sebagai acuan untuk implementasi desain polder perkotaan.

Tabel 7-1: Tinggi Keselamatan untuk Polder Perkotaan

Elemen Polder Periode Ulang (tahun) Tinggi Jagaan (m)

Tanggul sungai/laut 25-100 0

Waduk 10-25 0,5

Stasiun Pompa Air 10-25 -

Culverts 5-10 -

Saluran 5 0,3-0,5

Desain dan Teknis Sistem Polder 95


Batas polder tidak mesti berbentuk 7.4. Polder dan Elemennya
tanggul, bisa jalan raya atau rel Polder adalah kawasan tertutup yang dibatasi oleh tanggul. Batas daerah
kereta api polder tak mesti berbentuk tanggul, namun bisa berupa jalan raya, jalan kereta
api, dan lain sebagainya. Jalur itu tidak dilalui air dan berfungsi sebagai batas
hidrologi. Tidak ada air yang masuk ke dalam polder dari luar kawasan. Hanya
air yang berasal dari hujan dan rembesan (seepage) yang masuk ke dalamnya.
Jika air sudah melebihi batas toleransi, maka air tersebut harus dialirkan ke
luar kawasan. Untuk itu polder mempunyai struktur keluar (outlet structure),
bisa berbentuk pompa atau pintu air. Ini dimaksudkan untuk mengatur tinggi
muka air di dalam waduk. Air yang memenuhi waduk dipompakan keluar, ke
laut atau ke saluran makro yang nantinya mengalir ke laut. Kontrol seperti
inilah yang menyebabkan kawasan tersebut ‘terbebas’ dari banjir.

Gambar 7-1: Elemen sistem polder

Gambar 7-2: Tipikal sistem polder

96 Desain dan Teknis Sistem Polder


Gambar 7-3: Stasiun pompa dan waduk
Untuk dapat menjalankan Sistem polder bisa menjadi solusi terhadap problem banjir/genangan di daerah
fungsinya secara efektif, polder rendah yang airnya tidak bisa dialirkan secara gravitasi ke sungai atau ke laut.
Dalam hal seperti ini, sistem polder berfungsi sebagai sistem pengendali banjir
dilengkapi dengan sejumlah
(flood control) untuk daerah perkotaan. Untuk dapat menjalankan fungsinya
elemen
secara efektif, polder dilengkapi dengan sejumlah elemen:
• tanggul/dinding penahan limpasan air ;
• sungai/kanal ;
• waduk ;
• saluran internal ;
• pompa dengan/tanpa pintu air.
Elemen-elemen ini bekerja dalam dua sistem besar, yaitu sistem perlindugan
banjir dan sistem pengelolaan air internal.

7.4.1. Perlindungan Banjir/Tanggul


Desain tanggul disesuaikan dengan kondisi muka air laut di wilayah tersebut.
Yang paling penting adalah keberadaan tanggul tersebut akan mampu
melindungi wilayah itu dari bahaya kebanjiran akibat muka air tinggi dari luar
kawasan (sungai atau laut). Penentuan tinggi tanggul harus dilakukan secara
bertanggungjawab dengan berbagai pertimbangan. Persyaratan hychodynamic
dan tuntutan ekologi harus benar-benar dipenuhi. Penentuan tinggi adalah
proses yang paling penting dalam desain tanggul.

Desain dan Teknis Sistem Polder 97


Gambar 7-3: Tanggul yang dipergunakan sebagai jalan raya
Tinggi tanggul tergantung dari kondisi air pasang, kenaikan muka air laut
yang disebabkan oleh angin (wind setup), perubahan permukaan air laut
akibat perbedaaan tekanan udara (storm surge), penurunan muka tanah (land
subsidence), kenaikan muka air laut (sea level rise) akibat perubahan iklim,
kemungkinan terjadinya tsunami dan lain-lain.

Meskipun beban angin juga sering menerpa tanggul, tetapi beban yang
disebabkan oleh air adalah yang paling banyak menyebabkan kegagalan
konstruksi. Ini yang perlu diperhatikan, termasuk dampak akibat perubahan
iklim yang menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Di samping
itu, faktor turunnya permukaan tanah yang terus berlangsung harus juga
diperhatikan. Karena itu tinggi tanggul harus diperhitungkan secara sistematis
dengan memperhatikan semua parameter tersebut.

7.4.2. Sistem Drainase


Sistem drainase suatu polder terdiri atas sistem drainase permukaan dan
drainase bawah-tanah. Sistem ini dilengkapi dengan dua waduk, yaitu waduk
penahan air (retention basin) dan waduk pemompaan (pump basin). Khusus
untuk waduk pemompaan dilengkapi pula dengan stasiun pompa.

Drainase permukaan adalah saluran yang menampung pelimpasan air hujan


yang terjadi di permukaan tanah. Di samping drainase permukaan ada juga
drainase bawah tanah (sub-surface drain). Fungsinya adalah untuk menjaga
muka air dengan menyalurkan air yang berasal dari curah hujan dan rembesan
ke dalam tanah yang masuk ke wilayah polder.

98 Desain dan Teknis Sistem Polder


Sistem drainase bawah tanah ini terdiri atas saluran ulir berpori, yang biasanya
dibalut dengan serat sintetik atau sabut kelapa sebagai filter agar tanah tak
masuk ke dalam saluran. Setelah itu ditanam dengan ditutupi (dilapisi) kerikil
untuk mengurangi hambatan aliran masuk hidroliknya. Untuk setiap jarak 300
meter harus dibuat sumuran untuk keperluan inspeksi dan pemeliharaan.

Air yang dibawa oleh saluran bawah tanah dan air yang dibawa saluran
permukaan sama-sama dialirkan ke waduk. Jika air di dalam waduk telah
mencapai ketinggian tertentu maka air yang ada di dalamnya dipompakan ke
luar.

Waduk pemompaan berfungsi untuk menyimpan sementara volume buangan


musim kemarau sebelum buangan tersebut dipompakan keluar. Saat musim
penghujan, air yang berada di waduk pemompaan akan melimpas. Limpasan
air ini akan ditampung di dalam waduk penahan air.

Kapasitas (volume) waduk penahan air ini dari segi desainnya berkorelasi
dengan kapasitas pompa. Untuk waduk penahan air ukuran kecil maka
kapasitas kemampuan stasiun pompanya harus lebih besar karena air yang
di dalam waduk lebih cepat penuh dan harus segera dipompakan ke luar.
Sedangkan jika kapasitas waduk besar maka kemampuan stasiun pompa bisa
lebih kecil karena lebih banyak volume air yang bisa ditahan dulu di dalam
waduk. Dalam gambar berikut diperlihatkan hubungan antara kapasitas pompa
dan ukuran waduk penahan air.

Gambar 7-3: Hubungan antar waduk penahan air dengan kapasitas pompa

Desain dan Teknis Sistem Polder 99


Bab 8

Swadana Menjamin Keberlanjutan


Organisasi
Biaya Konstruksi
Pembiayaan Pemeliharaan dan Operasi
Sumber Pendapatan
Manfaat yang Didapat
Efek Sosial Ekonomi
Pengelolaan DAN
PEmbiayaan sistem polder

D
Efektifitas sistem polder sangat alam menghadapi banjir ada dua pilihan bagi warga perkotaan yang
dipengaruhi oleh efektifitas berada di kawasan rendah: tetap menetap atau berpindah ke tempat
institusi pengelolanya yang lebih tinggi. Jika menetap maka harus bisa hidup bersahabat
dengan air selama bertempat tinggal di kawasan rendah itu. Untuk itu mereka
harus mengelola air tersebut secara kontinyu. Agar dapat bertahan dalam
perjuangan untuk hidup bersama air seperti ini maka dibutuhkan pengelolaan
polder yang berkelanjutan.

Masyarakat sendiri harus mengambil peran. Berjuang menghadapi banjir tak


bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah karena pemerintah mempunyai
kemampuan yang terbatas pada organisasi dan anggaran. Karena itu pilihannya
adalah memberi peran yang lebih besar kepada masyarakat. Jika paradigmanya
bahwa masyarakat harus lebih banyak berperan seperti itu, maka konsekuensi
berikut akan menyertai:
• dalam perencanaan, desain, dan implementasi pendekatan yang dilakukan
sifatnya dari bawah ke atas ;
• meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses konsultasi publik ;
• pemerintah sebatas menetapkan petunjuk dan bertindak sebagai fasilitator
saja (diusahakan peran pemerintah tak terlalu banyak) ;
• pendanaan ditanggung oleh seluruh pemangku kepentingan ;
• organisasi pengelolaan polder yang independen dan kuat.

Dengan pengelolaan polder semacam ini masyarakat bisa langsung terlibat


dan sekaligus merasakan keterlibatannya dalam pengendalian banjir di
kawasannya. Salah satu masalah penanganan banjir di Jakarta adalah orang-
orang yang menjadi korban banjir tidak memiliki akses atau pengaruh terhadap
perencanaan, penerapan, pemeliharaan dan operasional. Sehingga mereka
lebih memilih untuk pasrah saja jika banjir datang. Apatisme berlangsung
karena ketidakjelasan peran yang harus dilakukan.

Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder 101


Perjuangan menangani air secara Hal ini juga harus menjadi perhatian para pengembang yang membangun
terus menerus membutuhkan perumahan di Jakarta. Mereka juga wajib untuk membangun instutional
sumber finansial yang penanggulangan banjir di kawasan pengembangan perumahan tersebut,
berkelanjutan dimana institusional yang dibangun harus terus berlanjut meskipun para
pengembang tidak lagi membangun rumah di daerah tersebut. Dalam rencana
pengembangan perumahan keberadaan institusional pengelolaan air harus
menjadi pertimbangan oleh pemerintah daerah dalam memberi izin prinsip.
Demikian juga jika pengembang sudah meninggalkan kawasan tersebut,
keberlanjutan institusional itu, menjadi pertimbangan pemerintah daerah untuk
menilai kondite dari pengembang tersebut.

Masalah teknis sering bukan 8.1. Swadana Menjamin Keberlanjutan


persoalan utama, masalah Pengalaman menunjukkan bahwa masalah persiapan teknis bukan menjadi
utamanya sering terletak pada persoalan utama dalam pengendalian banjir, tetapi masalah utamanya sering
institusi pengelolaannya terletak pada institusi pengelolaannya. Tak memadainya institusi, dengan
kurangnya pendanaan sebagai salah satu simtonnya, menyebabkan operasi dan
pemeliharaan infrastruktur penanggulangan banjir tidak berjalan dengan baik.
Tindakan mitigasi banjir yang dibuat selalu ketinggalan dengan peningkatan
masalah banjir.

Gambar 8-1: Sketsa waduk dan stasiun pemompaan dalam sistem polder

102 Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder


Gambar 8-2: Drainase permukaan dalam sistem polder

Organisasi pengelola harus Perjuangan menangani air secara terus menerus membutuhkan sumber
sederhana dan efektif dalam finansial yang berkelanjutan. Oleh sebab itu, peran publik dibutuhkan untuk
menjalankan fungsinya terlibat dalam ikut menangani masalah pengelolaan air pada tingkatan lokal.
Pengelolaan yang diinginkan tentu harus berkelanjutan, karena itu pendekatan
dan penyelesaiannya bersifat swadana. Diharapkan peran pemerintah dapat
dikurangi pada pengelolaan di tingkat sistem tata air mikro dan sub-makro.
Jika rakyat setempat dimintai pendapat dan dilibatkan, keinginan untuk
bekerja sama dan membayar juga akan meningkat. Hal ini membuka jendela
kesempatan baru untuk menyelesaikan masalah-masalah pengelolaan air
dengan cara mulus dan mengutamakan mufakat.

8.2. Organisasi
Organisasi pengelolaan air seyogianya bukanlah organisasi yang rumit dengan
strukur organisasi yang panjang. Organisasi ini haruslah strategis dan efektif
dalam menjalankan fungsinya. Tipikal organisasi pengelolaan polder (polder
board) dapat dibedakan dalam dua tingkatan:
• perwakilan para pemangku kepentingan (tingkatan strategis) ;
• pelaksana harian.
Dalam mengawali organisasi polder, perlu diingatkan agar setiap orang harus
mengenal betul prinsip prinsip sistim polder. Organisasi pengelolaan air yang
ada dalam komunitas masyarakat (LSM) bisa menjadi cikal bakal pembentukan
organisasi pengelola polder.

Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder 103


Penerima manfaat harus Mereka yang mendapatkan manfaat dari sistem polder ikut mengelola dan
memberikan kontribusi dan membiayai operasi dan pemeliharaan infrastruktur penanggulangan banjir
berhak untuk ikut menentukan. ini. Penerima manfaat harus memberikan kontribusi dan berhak untuk ikut
menentukan. Prinsip ini dikenal dengan prinsip benefit-pay-say.
Prinsip ini dikenal dengan
prinsip benefit-pay-say Organisasi ini cukup banyak menaungi anggota yang dalam hal ini ialah
mereka yang bertempat tinggal di kawasan tersebut. Sebagai ilustrasi jika
wilayah yang mendapat manfaat di Jakarta sekitar 500 hektar, dan rata-rata
kepadatan penduduk 15.000 per 100 hektar, diperkirakan jumlah warga yang
mendiami sekitar 75.000 orang atau 20.000 rumah tangga.

Perwakilan Pemangku Kepentingan (Tingkatan Strategis)


Mereka ini adalah perwakilan organisasi pada tingkatan strategis yang dipilih
oleh setiap anggota kelompok pemangku kepentingan. Pembentukan tipikal
organisasi dan pengelolaan polder internal adalah sebagai berikut:
• perwakilan masyarakat desa/kecamatan ;
• perwakilan pemerintah daerah/instansi ;
• perwakilan komunitas bisnis/sektor swasta ;
• perwakilan pakar independen dan masyarakat madani.

Tugas-tugas organisasi tingkatan strategis biasanya terdiri atas:


• menentukan kebijakan pengelolaan air publik ;
• mengawasi kegiatan-kegiatan lapangan ;
• memilih, mencalonkan, dan menunjuk ketua/anggota resmi organisasi
pengelolaan polder ;
• menentukan kewajiban-kewajiban, hak, kaidah-kaidah dan peraturan
(berdasarkan hukum), dan lain-lain.

Tingkat Dewan Pengurus


Sedangkan dalam pelaksanaannya kegiatan harian pengelolaan polder
diarahkan oleh dewan pengurus. Anggota dewan pengurus dapat berbentuk
komposisi berikut :
• ketua/pelaksana harian ;
• bagian administrasi/keuangan ;
• bagian pompa dan waduk ;
• bagian tanggul/jalan dan saluran.

Salah satu contoh otorita polder disajikan dalam gambar berikut. Para
anggotanya dipilih dan berasal dari masyarakat setempat. Organisasi ini
bekerja sebagai satu perusahaan semi-publik sehingga laba bukanlah tujuan
akhir. Akuntabilitas dan transparansi publik dilakukan melalui penyebaran

104 Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder


rencana induk, pelaporan kegiatan dan lain-lain. Publik perlu diberitahukan
tentang segala rencana berkaitan dengan pengelolaan polder sehingga mereka
juga mengetahui peran apa yang dibutuhkan dari mereka.

Gambar 8-3: Tipikal organisasi polder

8.3. Biaya konstruksi


Sudah ditegaskan bahwa sistem polder ini adalah satu sistem penanggulangan
banjir yang dibuat untuk terus menerus membebaskan kawasan rendah dari
bahaya banjir. Karena itu, tidak hanya pembangunan konstruksinya saja
yang menuntut kualitas yang baik, operasi dan pemeliharaannya juga harus
dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.

Untuk itu, dalam memprediksi biaya yang harus dikeluarkan maka harus
diperhitungkan rencana pembiayaan yang komprehensif yang meliputi biaya
konstruksi dan biaya operasi serta pemeliharaan. Perhitungan biaya inilah yang
nantinya dijadikan pertimbangan, seberapa besar biaya yang harus dilakukan
dan manfaat yang akan didapat.

Di bawah ini ditampilkan ilustrasi pembiayaan untuk lahan seluas 500 hektar
dengan acuan harga tahun 2009. Tentu saja ilustrasi ini tidak bisa dijadikan
patokan benar karena kenyataannnya di lapangan kondisi satu daerah dengan

Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder 105


Dalam sistem polder yang daerah lain pasti berbeda. Perbedaan ini tentu juga akan mempengaruhi biaya
digunakan dalam jangka yang dikeluarkan.
panjang, membutuhkan biaya Tabel 8-1: Biaya Konstruksi
pemeliharaan dan biaya
Komponen Biaya Rp (miliar)
operasional
Stasion pompa (6 m /det)
3
30
Konstruksi dam 3
Pengerukan waduk 20
Pembebasan lahan waduk (2% area, sharing pemanfaatan ) 100
Peningkatan tanggul dan dinding penahan 10
Perbaikan drainase 10
Total biaya konstruksi 173

Dalam perhitungan di atas diasumsikan pembebasan lahan sebesar Rp.


1.000.000 per meter persegi yang menggunakan lahan publik dan sharing
pemanfaatan. Juga diasumsikan bahwa kawasan tersebut memerlukan lahan
2% dari keseluruhan daerah layanan polder, untuk dijadikan waduk.

8.4. Pembiayaan Pemeliharaan dan Operasi


Dalam satu sistem polder, yang akan digunakan dalam jangka waktu
panjang, tentu dibutuhkan biaya pemeliharaan dan biaya operasional. Biaya
pemeliharaan dikeluarkan untuk memelihara konstruksi, waduk, pompa dan
saluran darinase sedangkan biaya operasional adalah dana yang dikeluarkan
untuk menggaji para petugas yang menjalankan fungsi polder dan biaya lain
untuk operasi polder (misalnya energi untuk pompa).

Besarnya biaya pemeliharaan dan operasional ini sangat tergantung luas


kawasan polder. Tentu saja kawasan yang lebih luas lebih mahal biayanya
dibandingkan dengan kawasan yang relatif kecil karena ini berkaitan dengan
konstruksi banyak saluran drainase, luas, dan jumlah waduk serta jumlah
kapasitas pompa air yang harus dipelihara.

8.5. Biaya Pemeliharaan


Jika biaya konstruksi dikeluarkan satu kali diawal-awal pembangunan sistem
polder, maka biaya pemeliharaan dan operasional dilakukan secara rutin. Hal ini
untuk menjamin sistem bisa terus bekerja tanpa mengalami gangguan dan daerah
terus menerus terbebas dari banjir. Aspek pemeliharan dan operasional ini sering
kali diabaikan sehingga sistem tidak lagi bisa berjalan dengan sempurna.

Dengan luasan seperti ilustrasi di atas maka rata rata biaya pemeliharaan bisa
dilihat dalam tabel berikut. Biaya ditetapkan berdasarkan persentase terhadap
biaya investasi, pemeliharaan di tampilkan dalam biaya rata-rata per tahun. Di

106 Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder


dalam prakteknya biaya pemeliharaan akan kecil pada awal-awal tahun dan
menjadi lebih tinggi pada tahun berikutnya.

8.4.2. Biaya Operasional


Biaya operasional ini meliputi tenaga kerja dan biaya energi. Untuk kawasan
seluas 500 hektar, dibutuhkan sekitar 20 anggota tim pemeliharaan dengan gaji
rata-rata Rp. 2 juta per bulan. Ini termasuk para penjaga pompa dan pintu air.
Dalam setahun total gaji untuk pemeliharaan rata-rata Rp. 520 juta.

Tabel 8-2: Biaya pemeliharaan

Komponen Biaya Rp (miliar) Perawatan (%) Rp (Juta)


Stasion pompa (6 m³/s)- pek. Sipil 15 0.5 75
Stasion pompa (6 m³/s)- installasi  15  4.0  600
Konstruksi dam  3  1.0   30
Pengerukan waduk 20 0.2 40
Pembebasan lahan waduk (2 % 100 0.2 200
area, sharing pemanfaatan )      
Peningkatan tanggul dan dinding 10  1.0 100
penahan      
Perbaikan drainase 10 0.5 50 

TOTAL BIAYA     1.095

Dilihat dari angkanya biaya Biaya energi (listrik) operasional pompa, adalah biaya yang digunakan untuk
operasional dan pemeliharaan memompakan air yang berlebih (sekitar 15 juta m3 per tahun). Asumsi yang
tidak terlalu mahal diambil adalah energi yang dikeluarkan untuk memompakan air dengan
perbedaan ketinggian air sekitar 5 m.
dibandingkan kerugian yang
timbul akibat banjir Biaya konsumsi energi berkisar Rp 250 juta. Total biaya operasi dan
pemeliharaan per tahun untuk satu wilayah polder dengan daerah layanan
sekitar 500 hektar adalah Rp. 1,845 miliar.

Dilihat dari angkanya memang biaya yang dikeluarkan ini kelihatan mahal,
tetapi jika dilihat dari kerugian yang ditimbulkan dan keamanan yang
diberikan, angka itu tidak terlalu banyak. Apalagi lahan sekitar 500 hektar bisa
diisi ribuan rumah, perkantoran, pusat-pusat perdagangan dan lain-lain yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi. Jadi kalau ditanggung penghuni kawasan,
per penghuni jatuhnya menjadi kecil. Ini sesuai dengan prinsip survive: harus
sama-sama berjuang terus menerus menghadapi banjir.

Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder 107


Biaya operasi dan pemeliharaan 8.5. Sumber Pendapatan
harus ditanggung oleh mereka Seperti sudah diterangkan, untuk menjamin operasi polder yang berkelanjutan
yang menerima manfaat maka biaya untuk operasi dan pemeliharaan harus ditanggung oleh para
pemangku kepentingan yang memperoleh manfaat dari terhindarnya wilayah
mereka dari banjir dan genangan. Pemangku kepentingan berupa penduduk,
pemilik pertokoan, industri dan perusahaan.

Dengan asumsi jumlah keluarga dalam wilayah polder sekitar 20.000 keluarga
maka beban pembiayaan untuk operasi dan pemeliharaan yang dibebankan
ke setiap rumah tangga berkisar Rp 92.200 per tahun atau hanya Rp.7.700
per bulan. Sangat kecil nilainya untuk sebuah keamanan dan kenyamanan.
Bandingkan untuk satu kompleks yang terdiri atas 110 keluarga, biaya yang
dibutuhkan untuk pengangkutan sampah dapat mencapai Rp 20.000 per bulan!

Selanjutnya, kontribusi penduduk disesuaikan dengan kemampuan bayar dari


warga dan kenikmatan yang diperoleh dari tidak adanya genangan di wilayah
tersebut. Kontribusi bisa dilakukan bersamaan dengan pembayaran listrik.
Jumlah rekening listrik juga bisa dijadikan indikator kemampuan bayar dari
warga. Karena biasanya orang dengan pendapatan tinggi mengkonsumsi listrik
lebih besar.

8.6. Manfaat yang Didapat


Kesediaan berkontribusi untuk pembiayaan sistim polder sangat tergantung
dari besarnya kontribusi dan manfaat yang diperoleh. Manfaat berwujud dalam
bentuk terhindarnya kawasan dari kerugian yang diakibatkan oleh banjir dan
genangan.
Kerugian itu meliputi:
• kerugian langsung (rumah dan harta) ;
• kerugian tidak langsung (gangguan produktifitas) ;
• kerugian sosial dan kesehatan.

8.7. Efek Sosial Ekonomi


Adanya sistem polder dalam satu kawasan di DKI Jakarta akan memberikan
berbagai dampak sosial dan ekonomi secara signifikan bagi masyarakat. Efek
ini cepat atau lambat akan mengubah tatanan kehidupan sosial, budaya dan
ekonomi bagi wilayah yang terbebas dari ancaman banjir tersebut. Energi dan
harta yang hampir tiap tahun dihabiskan dan terbuang akibat banjir juga akan
jauh berkurang.

108 Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder


8.7.1. Kontribusi bagi Pertumbuhan Ekonomi
Adanya satu kawasan yang dilindungi oleh sistem polder akan mengurangi
risiko penurunan nilai aset dan pengurangan angka kemiskinan. Sebagian
wilayah Jakarta yang telah berada di bawah permukaan air laut dan permukaan
air sungai akan semakin sering mengalami genangan di masa depan jika tidak
dilakukan tindakan-tindakan penanggulangan. Penurunan muka tanah (land
subsidence) akan mengakibatkan daerah genangan meluas dan lebih dalamnya
genangan. Meluasnya kawasan banjir dan semakin banyaknya orang yang
menjadi korban banjir tentu saja akan menambah kerugian material dan
immaterial.

Satu kawasan yang dilindungi Ironisnya, sebagian wilayah genangan tersebut didiami oleh masyarakat
oleh sistem polder akan yang tergolong miskin atau rentan untuk menjadi golongan miskin. Kerugian
mengurangi risiko penurunan terhadap aset yang dimiliki akan menggiring mereka menjadi lebih miskin.
Terbebasnya kelompok masyarakat seperti ini dari bencana banjir tentu
nilai aset akibat banjir.
akan membuat mereka memiliki ruang dan waktu yang lebih banyak dalam
meningkatkan taraf ekonominya.

Di samping kerugian aset bisa dihindari, mereka juga memiliki waktu


yang lebih leluasa untuk melaksanakan kegiatannya karena waktu yang
seharusnya dihabiskan untuk mengurusi dan bersiap-siap menghadapi banjir
bisa berkurang. Di samping itu pemanfaatan ruang yang mereka miliki juga
menjadi lebih bernilai ekonomi karena terbebas dari banjir.

8.7.2. Kesehatan dan Efek Tehadap Pendapatan Masyarakat Miskin


Dengan penanganan sistim polder, kondisi kesehatan mayarakat akan menjadi
meningkat. Pada waktu banjir dan genangan terjadi, air sering terkontaminasi
dengan bakteri patogen. Banjir dan genangan akan menyebarkan penyakit
seperti diare, kolera, tiphus, hepatitis A dan penyakit kulit.

Penyakit ini terutama akan menyentuh masyarakat dengan penghasilan rendah


yang berdiam di wilayah rendah dan tidak memiliki makanan, sanitasi dan
perawatan kesehatan yang cukup. Biasanya masyarakat yang termasuk
golongan ini umumnya tidak memiliki kontrak kerja yang baik. Ini berarti
bahwa apabila mereka sakit dan tidak dapat bekerja akan mengakibatkan
penurunan pendapatan yang berarti.

8.7.3. Efek Terhadap Akses Pasar, Produktifitas dan Penyerapan


Tenaga Kerja
Masih lekat dalam ingatan kita, ketika banjir 2007 akses jalan tol ke Bandara
Soekarno-Hatta terganggu akibat banjir yang menggenangi salah satu ruasnya.
Akibatnya, pergerakan orang ke bandara mengalami gangguan yang cukup

Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder 109


parah. Warga tak bisa mencapai bandara yang paling sibuk di Indonesia ini,
kegiatan ekonomi menjadi sangat terganggu. Kerugian cukup besar akibat
jalur transportasi terendam yang mengakibatkan gangguan logistik dan
meningkatnya biaya transportasi yang harus ditanggung oleh konsumen.
Kegiatan ekonomi terganggu dan tingkat produktifitas menurun.

Inilah akibat yang ditimbulkan jika banjir sampai mengganggu transportasi,


produktifitas menurun dan otomatis penyerapan tenaga kerja berkurang. Di
sana-sini akan banyak terlihat orang yang tidak bisa melakukan apa-apa,
kecuali hanya menunggu banjir segera surut.

8.7.4. Peningkatan Kesadaran di Masyarakat


Seperti sudah ditegaskan sebelumnya bahwa penyelesaian masalah banjir tak
bisa hanya diserahkan kepada pemerintah. Kompleks dan banyaknya masalah
yang berkaitan dengan banjir membuat pemerintah daerah tidak akan sanggup
menyelesaikan permasalahan sendiri. Perlu ada keterlibatan pemangku
kepentingan lain untuk mendukung dalam menyelesaikan masalah ini.

Sistim polder yang berbasis masyarakat serta didukung pembiayaan yang


bersifat swadana akan menjadi contoh yang baik dalam rangka meningkatkan
kesadaran masyarakat. Kesadaran dan kebersamaan masyarakat menjadi
pilar penting dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang terjadi berkenaan
dengan genangan air dalam satu kawasan. Kontrol sosial dan partisipasi yang
ada akan memberikan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan
lain seperti sanitasi, persampahan, pengolahan air limbah. Jika sistem ini bisa
berjalan dengan baik pemerintah tidak perlu lagi terlalu banyak campur tangan
dalam urusan penanganan banjir dalam satu wilayah tertentu.

8.7.5. Kegiatan Usaha Kecil dan Menengah


Sebagian kegiatan investasi dan perawatan sistim polder dapat melibatkan
usaha kecil dan menengah. Banyak pekerjaan yang bisa melibatkan mereka
seperti pembangunan tanggul, drainase, pengerukan waduk dan sebagainya.
Semua bisa melibatkan para pengusaha kecil dan menengah di kawasan
tersebut. Ini mendorong kemandirian bagi para pengusaha kecil yang terlibat.
Hanya konstruksi rumah pompa dan instalasi alat pompa membutuhkan
kemampuan kontraktor besar. Dengan demikian, di dalam sistem polder ini
sendiri sudah tercipta kegiatan ekonomi yang selanjutnya akan menimbulkan
kegiatan ekonomi baru tersebut. Ini mendorong kemandirian bagi para
pengusaha kecil yang terlibat. Hanya konstruksi rumah pompa dan instalasi

110 Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder


alat pompa membutuhkan kemampuan kontraktor besar. Dengan demikian,
di dalam sistem polder ini sendiri sudah tercipta kegiatan ekonomi yang
selanjutnya akan menimbulkan kegiatan ekonomi baru.

8.7.6. Ekologi dan Kualitas Air


Efek ekologi dan kualitas air pada sistim polder ini dipengaruhi oleh sistim
tertutup dari sistim polder ini. Peningkatan kualitas air dapat dilakukan dengan
pengontrolan terhadap tingkat polutan air yang memasuki waduk retensi yang
dengan ini air limbah yang masuk ke waduk harus diolah terlebih dahulu
sehingga tidak terlalu tercemar.

Kondisi air di kawasan nantinya akan jauh berbeda dengan kondisi air di
sungai-sungai atau waduk di wilayah Jakarta lainnya. Peningkatan sanitasi
dan pengelolaan limbah akan dapat meningkatkan kualitas ekologi di wilayah
polder bersangkutan. Air waduk yang terserap ke dalam tanah juga tidak lagi
mencemarkan kualitas air tanah. Bahkan waduk tersebut bisa juga dijadikan
tempat wisata, seperti pemancingan yang akan membantu biaya operasi dan
pemeliharaan sistem polder yang bersangkutan.

Pengelolaan dan Pembiayaan Sistem Polder 111


Bab 9
Kehidupan di Daerah Delta dan Tantangannya
Rencana Pulau Reklamasi dan Pembangunan Tanggul Laut
Desain Reklamasi
Peningkatan Manfaat Reklamasi Pantura
Pemantauan Pelaksanaan
REKLAMASI DAN Tanggul
laut BAGIAN DARi Solusi
banjir

K
Diprediksi hingga tahun 2020 ebanyakan kota besar di dunia berada di garis pantai. Bertetangga
sekitar 75 % penduduk dunia dengan laut banyak memberikan keuntungan ekonomi, salah satu
tinggal di kawasan pantai penyebabnya adalah akses transportasi bisa lebih mudah dijangkau.
Perdagangan jauh lebih bergairah di dataran rendah ini. Inilah yang
menyebabkan orang jauh lebih tertarik untuk tinggal di dataran rendah daripada
di wilayah pegunungan. Diprediksi hingga tahun 2020 sekitar 75% penduduk
dunia tinggal di kawasan pantai. Kebanyakan dari mereka itu berada dari bibir
pantai sampai ke tempat yang jauhnya mencapai 60 kilometer ke daratan.
Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kecenderungan ini akan berubah.

Kecenderungan ini menghadirkan masalah lain. Keterbatasan ruang menjadi


masalah yang harus dicarikan solusinya. Warga yang semakin berjejal hidup
dikota-kota di tepi pantai dan didaerah delta ini membuat ruang untuk hidup,
bekerja, dan rekreasi semakin sempit. Sedangkan pada saat yang sama ada
kebutuhan untuk melindungi dan meningkatkan nilai lingkungan. Dengan
keterbatasan ruang ini, sesungguhnya tersedia tiga solusi yang mungkin untuk
dilaksanakan:
• optimalisasi pemanfaatan dalam tiga (3) dimensi ;
• pemanfaatan ruang ruang di daerah hulu;
• pengembangan ke arah laut.
Pilihan atas 3 solusi ini atau kombinasi diantaranya dimungkinkan.

Pengembangan ke laut diarahkan Solusi pengembangan ke arah laut diarahkan agar tercapainya fleksibilitas
agar tercapainya fleksibilitas integrasi antara daratan di laut dengan air di daratan lama dan di daratan baru
integrasi antara daratan di laut (hasil reklamasi) sembari meningkatkan beberapa nilai tambah yang lain.
dengan air di daratan lama dan
baru (hasil reklamasi) 9.1. Kehidupan di Daerah Delta dan Tantangannya
Di samping memberikan sejumlah harapan dan potensi pengembangan, tinggal
di daerah delta akan menghadapi sejumlah tantangan. Dari urbanisasi dengan

Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir 113


Disamping menjadi muara sungai- permasalahan turunannya sampai dengan permasalahan penurunan muka tanah
sungai, Kawasan Pantura juga dan kenaikan muka air laut. Mengembangkan potensi yang ada dan sekaligus
menjadi muara permasalahan mengendalikan potensi kerusakan adalah tantangan Jakarta sebagai daerah
yang tidak terselesaikan di hulu delta. Kawasan Pantura yang merupakan tempat bermuara sungai-sungai juga
menjadi muara permasalahan yang tidak terselesaikan di bagian hulu. Rencana
reklamasi, yang mengundang perhatian besar masyarakat, sesungguhnya bisa
dimanfaatkan untuk menjadi bagian dari solusi dan bukan pencipta masalah
baru.

9.1.1. Pengembangan Pantura


Jika kita mau mengoptimalkan Pantura maka potensi untuk lebih memajukan
Jakarta akan sangat memungkinkan mengingat beberapa keuntungan yang
akan diraih. Tidak hanya menguntungkan dalam konteks lokal dan regional
saja; dalam persaingan ditingkat global Jakarta pun bisa lebih berkompetisi
dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Beberapa potensi pengembangan
yang bisa diraih:

Posisi Pantura dalam konteks lokal


Reklamasi bisa menjadi bagian • akan meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat
dari solusi dan bukan pencipta Jakarta Utara secara keseluruhan melalui revitalisasi daratan yang
disubsidi kegiatan reklamasi ;
masalah baru
• mengurangi beban lalu lintas di pusat kota ;
• pengembangan ke utara akan mengurangi tekanan ke selatan Jakarta
sebagai wilayah resapan air ;
• dapat menambah luasan kawasan tertata.

Posisi Pantura dalam konteks regional


• dapat mengurangi tekanan ke daerah resapan di hulu (Depok/Bogor);
• dapat menjadi pusat pertumbuhan baru untuk mendorong ekonomi
Jabodetabekpunjur ;
• dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan air (kualitas dan
kuantitas) dan penanggulangan banjir ;
• penataan dapat menjadi salah satu solusi mengatasi bottle neck tata air di
kawasan utara untuk mengurangi banjir di kawasan.

Posisi Pantura dalam konteks global


• dapat meningkatkan daya saing Jakarta sebagai service city ;
• dapat membantu menyejajarkan posisi Jakarta dalam konteks sistem
perkotaan global.

114 Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir


Daerah pesisir tempat tanah dan 9.1.2. Pengendalian Potensi Kerusakan
laut bertemu sering menimbulkan Daerah pesisir tempat tanah dan laut bertemu sering menimbulkan masalah
masalah lingkungan yang lingkungan yang lumayan kompleks. Dalam rangka pemanfaatan dan
kompleks penciptaan lingkungan pesisir yang berkelanjutan sejumlah faktor yang
berpengaruh terhadap kondisi dan lingkungan pesisir harus dikelola secara
sistematis. Pilihan melakukan reklamasi memang harus diterima sebagai usaha
pengembangan yang juga mendukung perbaikan kualitas pesisir. Karena itu
manajemen pesisir (coastal management) perlu diterapkan dengan sungguh-
sungguh. Menejemen pesisir bertujuan untuk mengefektifkan pemanfaatan
daerah pesisir, meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, dan peningkatan
kondisi lingkungan. Potensi kerusakan yang berwujud dalam fenomena
penurunan muka air tanah dan muka tanah, perluasan daerah genangan, abrasi
dan erosi, sedimentasi, intrusi air laut, polusi air dan udara, harus menjadi
pertimbangan. Persoalan lain yang berhubungan dengan pemanfatan lahan, air
permukaan dan air tanah juga perlu diperhitungkan.

Manejemen pesisir untuk 9.2. Rencana Pulau Reklamasi dan Pembangunan Tanggul Laut
mengefektifkan pemanfaatan Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa permukaan tanah di
daerah pesisir, meningkatkan Jakarta terus mengalami penurunan (land subsidence) yang disebabkan oleh
taraf kehidupan masyarakat, dan pengambilan air tanah. Disisi lain, fenomena global juga menunjukkan bahwa
peningkatan kondisi lingkungan permukaan air laut terus meningkat sebagai akibat pemanasan global. Untuk
mengantisipasi hal ini perlu dilakukan perencanaan yang konseptual dan
visioner. Salah satu dari upaya ini adalah dengan melaksanakan reklamasi dan
pembangunan tanggul laut. Ini dilakukan untuk melindungi Kota Jakarta di
masa depan.Pelaksanaan reklamasi dan pembangunan tanggul diarahkan agar
sejalan dengan sistem tata air yang sudah ada di DKI Jakarta.

Untuk bisa melaksanakan proyek reklamasi secara benar dan tepat arah,
memang perlu dilakukan perhitungan dan pertimbangan yang cermat, baik
dalam hal ekonomi, lingkungan, sosial bahkan juga dalam segi hukum. Dengan
demikian, kebijakan yang diambil benar-benar bermanfaat, bisa memperbaiki
kondisi lingkungan yang telah ada dan secara hukum tidak melanggar aturan.

9.2.1. Lokasi dan Zona pulau Reklamasi


Jika mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) 54, Tahun 2008, tentang Tata
Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, maka reklamasi bisa dilakukan hingga
kedalaman –8 meter di bawah permukaan laut. Reklamasi Pantura dapat
dilakukan hingga mencapai jarak 200 m (untuk zona P2 dan P5) dan 300 m
(untuk zona P3) dari pantai diukur pada waktu air laut surut.

Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir 115


Bentuk pulau reklamasi harus
didesain dengan mengacu pada
aspek keamanan dan perlindungan
lingkungan

9.2.2. Bentuk Pulau Reklamasi


Bentuk pulau reklamasi harus didesain dengan mengacu pada aspek keamanan
dan perlindungan lingkungan. Pelaksanaan reklamasi dan pengembangan
tanggul harus mempertimbangkan kondisi fisik yang ada sekarang yang akan
berpengaruh pada pola reklamasi dan tanggul yang akan dibangun. Beberapa
aspek fisik itu perlu dijadikan pertimbangan dalam pelaksanaan reklamasi.
• ada 3 aliran sungai yang mempunyai debit yang cukup besar: Cengkareng
Drain, Banjir Kanal Barat, dan Banjir Kanal Timur. Menurut studi JICA
1997, Cengkareng Drain dan Banjir Kanal Barat memiliki debit lebih dari
500 m³/detik dan Banjir Kanal Timur memiliki debit 390 m³/detik untuk
kala ulang rencana 100 tahun ;
• terdapat pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Sunda Kelapa yang
menjadi tempat keluar masuknya transportasi kapal dan beberapa
infrastruktur penting lainnya, seperti PLTU Muara Karang ;
• Jakarta mengalami land subsidence dan sea level rise yang terus
belangsung. Selama ini sering disebut ada 40 % wilayah Jakarta berada
di bawah permukaan air laut dan permukaan air sungai. Akibat land
subsidance dan sea level rise maka luas lahan yang berada di bawah
permukaan air laut akan semakin besar. Diperkirakan sekitar 10–20
tahun ke depan sekitar 50 % dari daerah Jakarta akan berada di bawah
permukaan air laut dan permukaan air sungai.

116 Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir


Dengan memperhatikan amblesan 9.2.3. Opsi Tanggul Laut dan Tahapan Implementasi
dan kenaikan muka laut, sistem Dengan memperhatikan penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut,
polder akan terimplementasikan sistem polder akan terimplementasikan secara efektif dengan membangun
secara lebih efektif dengan tanggul laut di utara Jakarta. Beberapa opsi tanggul laut yang mungkin untuk
membangun tanggul laut diterapkan:
• opsi 1: Tanggul laut diintegrasikan dengan reklamasi Pantura ;
• opsi 2: Tanggul laut berada di luar wilayah reklamasi ;
• opsi 3: Tanggul laut berada di luar wilayah reklamasi kecuali Tanjung
Priok ;
• opsi 4: Tanggul laut menghubungkan antar pulau di kepulauan seribu.
Dengan beberapa pertimbangan, terutama pembiayaan, pelaksanaan tanggul
laut tersebut dapat dilakukan secara bertahap. Opsi 1 merupakan opsi yang
paling mungkin untuk dilaksanakan dalam 20 tahun ke depan menimbang
bahwa opsi ini membutuhkan pembiayaan yang relatif lebih kecil dan
pelaksanaan bisa dilakukan dengan kontribusi sektor publik dan privat. Opsi
2, 3 atau opsi 4 merupakan opsi yang dapat diimplementasikan dalam kurun
waktu yang lebih panjang dan bisa diintegrasikan dengan pembangunan
tanggul di provinsi Banten dan provinsi Jawa Barat.

Tanggul laut yang diintegrasikan Pelaksanan opsi 1 tanggul laut dapat diimplementasikan dengan memperhatikan
dengan reklamasi Pantura, dan mempertimbangkan beberapa aspek terkait. Daerah reklamasi dapat dibagi
yang paling mungkin untuk menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu kawasan sebelah barat Banjir Kanal Barat
dilaksanakan dalam 20 tahun (BKB), kawasan tengah, dan kawasan timur (Tanjung Priok ke arah timur).
Sistem tanggul dimulai dari bagian barat sampai bagian tengah kawasan
reklamasi pada kedalaman -8 m. Di Tanjung Priok dihadapi kesukaran untuk
membuat tanggul di kedalaman -8 m karena adanya transportasi kapal-kapal.
Oleh karenanya, tanggul diarahkan ke selatan menuju ke existing coast line
pada kawasan timur ( pelabuhan Tanjung Priok). Alternatif lain, bisa dibuat

Gambar 9-2: Tanggul laut diintegrasikan dengan reklamasi Pantura dan tanggul laut berada di luar wilayah reklamasi

Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir 117


Gambar 9-3: Tanggul laut berada di luar wilayah reklamasi.kecuali Tanjung Priok dan tanggul laut menghubungkan antar pulau di
Kepulauan Seribu.

tanggul yang dipasang mengelilingi Tanjung Priok dengan menggunakan lock,


yang mengatur transportasi kapal pada ketinggian air yang berbeda. Namun
dalam 20 tahun ke depan kemungkinan lebih baik dibuat ‘terbuka’ seperti
sekarang, menimbang penggunaan lock membutuhkan biaya yang lebih besar
dan proses handling kapal dapat menghadapi keterlambatan.

Dengan sistem tanggul harus diperhatikan keamanannya. Jangan sampai


keruntuhan/kegagalan fungsi tanggul di suatu tempat berakibat banjir di
wilayah yang luas. Sistem tanggul dan gate harus diletakkan sedemikian
rupa sehingga akibat kegagalan struktur suatu tanggul dapat dilokalisir. Studi
lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan sistim yang handal dan optimal.
Selain itu, perlu adanya tahapan-tahapan dengan memperhatikan beberapa hal
seperti bagaimana dengan Cengkareng Drain dan Banjir Kanal Barat (BKB)
yang kapasitas sungainya cukup besar. Pada tahap pemikiran kini, kedua
sungai tersebut sementara ini masih harus dibuka dengan opsi dapat ditutup di
kemudian hari (menggunakan gate) jika pertimbangan dan evaluasi mengarah
ke ‘penutupan’.

Keamanan tanggul laut harus Urutan implementasi perlu diperhatikan dengan benar dalam pengembangan
diperhatikan, jangan sampai Pantura:
kegagalan fungsi di suatu tempat • reklamasi dilakukan oleh pengembang dengan arahan yang jelas, terutama
berakibat banjir di wilayah yang pada desain tanggul laut di sebelah utara pada masing-masing pulau ;
• pembuatan tanggul laut di antara pulau reklamasi pada kedalaman –8
luas
meter ;
• Cengkareng Drain dan Banjir BKB masih tetap dibuka sambil menunggu
perlakuan yang tepat kepada kedua sungai tersebut ;

118 Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir


Dalam pelaksanaan reklamasi • penempatan gate ditentukan berdasarkan studi yang lebih rinci. Dengan
ada dua sistem utama, sistem pembuatan tanggul dan gate sebagian kawasan dengan demikian sudah
polder dan sistem urugan (fill) tertutup dari pengaruh air laut.
• Waduk Pluit bisa dihubungkan dan tetap menjadi bagian dari retensi atau
sebagai tempat pengolahan air limbah. Hal tersebut harus dipelajari lebih
detail lagi karena kawasannya cukup luas untuk menambah retensi (ada
sekitar 80 ha).

9.2.4. Sistem Reklamasi


Di dalam pelaksanaan reklamasi, dikenal dua sistem utama. Yang pertama
adalah dengan menggunakan sistim polder yakni sistem tertutup yang wilayah
reklamasinya dilindungi dengan sea defence atau tanggul dengan pengelolaan
air yang independen. Sedangkan yang kedua adalah sistim urugan (fill) yang
dengan ini permukaan tanah ditimbun sedemikian rupa sehingga mencapai
suatu ketinggian yang memungkinkan pengelolaan air di wilayah reklamasi
dapat dilakukan dengan cara gravitasi.

Sistim polder mensyaratkan kelengkapan beberapa elemen utamanya seperti


tanggul (laut/sungai), waduk (retention basin), stasion pompa, sistem
drainase, sub-surface drain dan sistem penggelontoran yang relatif sama
dengan penjelasan sistem polder yang ada pada bab sebelumnya. Sedangkan
pada sistem gravitasi tidak diperlukan penggunaan stasion pompa karena
pembuangan air dilakukan secara gravitasi. Penggunaan waduk juga tidak
sepenting pada penerapan sistim polder. Pilihan antara kedua sistem ini secara
umum ditentukan dengan mempertimbangkan faktor:
• ketersediaan bahan urugan ;
• dampak terhadap lingkungan (drainase, lingkungan dan morpologi) ;
• fleksibiltas (dengan memperhatikan amblesan, kenaikan muka air laut,
efek psikologis, perawatan dan biaya).

9.3. Desain Reklamasi


Dalam melakukan desain reklamasi perlu dipertimbangkan kebutuhan yang
diinginkan, kondisi lingkungan, dan biaya yang tersedia. Kebutuhannya adalah
untuk keperluan apa dilakukan reklamasi ini. Dalam hal ini tentu saja dalam
rangka berintegrasi dengan pembangunan tanggul laut dalam upaya mengurangi
risiko banjir di Jakarta terutama akibat amblesan dan kenaikan muka air laut.
Di samping itu, adanya reklamasi diharapkan akan dapat memperbaiki sistem
tata air Jakarta secara keseluruhan. Perbaikan itu bisa berupa penambahan
badan air, tersedianya pasokan air tawar yang lebih berkualitas, meningkatkan
jumlah penyerapan air ke dalam tanah dan lain-lain.

Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir 119


Pulau reklamasi seyogianya Desain yang dibuat juga harus memperhatikan kondisi lingkungan yang
didesain dengan siklus masa ada saat ini. Jangan melakukan reklamasi jika ternyata hanya menambah
layanan selama minimal 50 tahun rusak kondisi lingkungan saat ini. Sebisa mungkin dengan adanya reklamasi
lingkungan sekitar menjadi jauh lebih baik. Sedangkan yang terakhir tentu saja
masalah dana yang tersedia. Keterbatasan anggaran menjadi pertimbangan
seberapa luas reklamasi akan dilakukan.
 
9.3.1. Masa Layanan
Pulau reklamasi seyogianya didesain dengan siklus masa layanan (design life
cycle) selama minimal 50 tahun. Ini artinya setidaknya selama jangka waktu
50 tahun itu, reklamasi bisa berfungsi dengan baik. Setelah melewati tahun
tersebut maka perlu direkondisi dan dievaluasi secara menyeluruh daerah
reklamasi tersebut.
 
Bisa saja masa layanan itu lebih panjang dari 50 tahun akan tetapi biaya
investasi awal yang dikeluarkan menjadi membengkak. Meningkatnya jumlah
investasi awal bukan selalu berarti tidak ekonomis, bisa saja menjadi efektif
jika dikaitkan dengan kebutuhan dan hasil yang didapat selama waktu tersebut.
Menentukan waktu pelayanan ini sangat tergantung analisis antara biaya yang
dikeluarkan dan keuntungan yang akan didapat. Angka 50 tahun merupakan
angka yang kerap digunakan juga dalam disain infrastruktur lain (misalnya
pelabuhan).
 
9.3.2. Desain dan Tingkat Keamanan Tanggul Laut
Tanggul merupakan benteng pertahanan dalam menahan air yang akan
memasuki kawasan, karena itu kekuatan benteng ini harus benar-benar
diperhatikan. Kemungkinan air yang datang dari laut harus benar-benar mampu
dikelola. Tanggul harus benar-benar kokoh dan tidak mudah mengalami
perubahan bentuk.
 
Di negeri Belanda penggunaaan sistem tanggul ini telah berlangsung beberapa
dekade. Di negara Kincir Angin ini tingkat keamanan tanggul disesuaikan
dengan kepadatan penduduk dan nilai aset yang hendak dilindungi. Untuk
wilayah barat Negeri Belanda dengan kepadatan penduduk dan nilai aset
ekonomi yang tinggi, tingkat keamanan tanggul lautnya dilakukan dengan
mengacu pada kriteria kala ulang gelombang dan angin 1 per 10.000 tahun.
 
Sedangkan di wilayah yang semakin ke dalam (timur) yang lahannya lebih
banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian, dipersyaratkan tingkat
keamanan yang lebih rendah yakni dengan kala ulang sampai 1 per 1.250
tahun. Hal ini berhubungan dengan tingkat risiko/ konsekuensi yang muncul
jika terjadi keruntuhan /ketidak berfungsian struktur yang ada, misalnya

120 Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir


Ketinggian tanggul harus keruntuhan tanggul. Maka dari itu, untuk reklamasi Pantura, seyogianya
memperhatikan faktor air laut ditetapkan tingkat keamanan dengan kriteria yang sama, terutama untuk
pasang, wind setup, storm surge, struktur tanggul laut di sebelah utara.
 
gelombang laut, amblesan, sea
Ketinggian tanggul harus memperhatikan faktor ketinggian air laut pasang,
level rise, residual settlement dan wind setup, storm surge, gelombang laut, amblesan, kenaikan muka air laut
potensi tsunami (sea level rise), penurunan sisa (residual settlement) dan potensi tsunami.
Semua itu harus diperhitungkan secara cermat sehingga tinggi dari tanggul
tersebut mampu menahan air yang datang dari arah laut.
 
9.3.3. Limpasan
Limpasan air yang melalui tanggul diperkenankan sampai batas-batas tertentu.
Batasan air limpasan sebesar maksimal 5 liter per detik per meter panjang
tanggul mungkin bisa dijadikan acuan. Meski demikian, limpasan yang lebih
dari itu juga masih diperbolehkan sepanjang dapat ditunjukkan bahwa sistem
penanggulangan banjir (flood control) lainnya masih bisa menanggulanginya.
Sistem flood control yang dimaksud ialah seperti pompa dan kolam retensi
mempunyai kapasitas yang memadai untuk menanggulangi limpasan air yang
terjadi.
 
9.3.4. Kekuatan
Kekuatan tanggul dan perlindungan pesisir didesain dengan kala ulang tertentu
(misalnya 1,000-10,000 tahun). Kekuatan tanggul harus memperhitungkan
faktor-faktor:
• gempa dan liquefaction ;
• kestabilan makro dan mikro ;
• piping ;
• seapage (rembesan) ;
• uplift (dorongan ke atas air tanah terhadap konstruksi tanggul).
 
Pilihan konstruksi tanggul disesuaikan dengan fungsi dan mempertimbangkan
keramahan terhadap lingkungan. Pilihan hard structure (tanggul dengan
batuan) mungkin merupakan keharusan untuk proteksi tanggul di kedalaman
–8 m dan secara transisi menuju ke soft structure (tanggul tanah, pengisian
pasir atau bukit berpasir) pada bagian pantai lama yang telah terlindungi oleh
pulau reklamasi.
 
9.3.5. Risiko Banjir dan Tindakan Mitigasi
Pada prinsipnya pembangunan daerah reklamasi baru harus tidak memberikan
tambahan risiko banjir bagi daerah di hulunya. Jika terdapat potensi kenaikan

Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir 121


Pembangunan daerah reklamasi muka air di hulu sungai maka tindakan mitigasi harus dilakukan. Tindakan
baru harus tidak memberikan mitigasi dapat berupa:
tambahan risiko banjir bagi • melakukan pengerukan di mulut sungai ;
daerah di hulunya • pelebaran kanal/sungai ;
• peninggian tanggul di wilayah yang berpotensi mendapatkan kenaikan
muka air sungai.
Khusus untuk Reklamasi Pantura, maka pelaksanaannya harus
mempertimbangkan konsep sistem tata air yang berlaku di DKI Jakarta saat
ini, maupun rencana sistem tata air mendatang.
 
9.4. Peningkatan Manfaat Reklamasi Pantura
Selama ini rencana reklamasi Pantura terlalu terfokus, setidaknya yang
terdapat di media, pada penciptaan lahan baru dan ekonomi. Manfaat lainnya
kurang dikedepankan. Reklamasi Pantura sesungguhnya dapat diarahkan
agar tidak semata-mata untuk tujuan ekonomi, namun merupakan bagian dari
upaya ’penyelamatan’ kota Jakarta dari ancaman kenaikan muka air laut dan
penurunan tanah serta peningkatan kualitas lingkungan dan kualitas kehidupan,
seperti:
• mereduksi banjir ;
• suplai air baku dengan memanfaatkan kawasan retensi sebagai tempat
cadangan air permukaan ;
• menghambat intrusi air laut dengan menggunakan sistem storage dan
recovery, tekanan air tawar meningkat dan mengurangi intrusi air laut ;
• sebagai sarana rekreasi ;
• tanggul laut juga bisa dimanfaatkan sebagai sarana transportasi di utara
Jakarta, untuk mengurangi beban lalu lintas di dalam kota Jakarta.
 
Tanggul laut bisa dimanfaatkan Khusus untuk yang terakhir ini pengembangan jalan tol menjadi opsi untuk
sebagai sarana transportasi, untuk sumber pembiayaan konstruksi, operasi dan perawatan struktur tanggul laut dan
mengurangi beban lalu lintas di jalan. Jika pengembangan reklamasi berlanjut ke arah barat (Tangerang) maka
dalam kota Jakarta jalan ini bisa diteruskan ke arah barat di atas tanggul laut reklamasi Tangerang.
Demikian juga ke arah timur, ada beberapa konsep jalan yang menghubungkan
Cikarang – Tanjung Priok. Tanggul laut dapat menjadi multifungsi.
 
Jika semua ini dikedepankan, masyarakat dapat melihat manfaat yang lebih
luas dari reklamasi Pantura. Pemahaman akan manfaat yang lebih luas dari
reklamasi Pantura akan dapat menurunkan resistensi masyarakat karena
sejumlah potensi perbaikan bisa diwujudkan di kawasan Pantura.
 

122 Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir


Gambar 9-5: Jalan di atas tanggul di Belanda.

9.4.1. Tata Ruang


Pelaksanaan reklamasi di Pantura pada prinsipnya bisa dijadikan kesempatan
untuk menata ruang yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan, baik dilihat
dari ekonomis, lingkungan, maupun sosial. Penataan ruang kawasan reklamasi
ini jauh lebih mudah dibandingkan dengan memperbaiki tata ruang di daerah
lain di Jakarta. Ini disebabkan oleh daerah yang baru direklamasi merupakan
lahan kosong yang penggunaanya benar-benar bisa diatur dan direncanakan
dengan baik. Tata ruang yang baik di daerah reklamasi akan berimbas
manfaatnya ke daerah-daerah sekitar. Sebagai contoh adalah kebutuhan untuk
menyediakan badan air: dengan adanya daerah baru yang direklamasi, maka
rasio badan air di daratan bisa ditingkatkan.
 
9.4.2. Perlindungan Hutan Bakau
Pembangunan daerah reklamasi baru bisa memberikan kehidupan yang lebih
baik bagi hutan bakau dan kehidupan flora dan fauna yang hidup di kawasan
bakau. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
• perlindungan terhadap erosi dan gelombang ;
• tingkat salinity ;
• kebersihan air.
 

Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir 123


Banyaknya pertumbuhan
bangunan baru justru
mempersempit lahan-lahan
terbuka yang bisa dijadikan ruang
terbuka hijau

Gambar 9-6: Reklamasi harus dapat memberikan perlindungan terhadap bakau.

9.4.3. Akses Pantai untuk Publik


Salah satu permasalahan masyarakat di Jakarta adalah sedikitnya tempat-tempat
hiburan berbiaya murah. Di banyak daerah di Indonesia salah satu tempat hiburan
yang digolongkan bertarif murah adalah di pantai. Sayangnya banyak perumahan
dan industri yang berada di bibir pantai di Pantura Jakarta. Akibatnya warga
kesulitan mencari hiburan di tepi pantai. Dengan adanya kawasan reklamasi ini
diharapkan perencanaan terhadap keberadaan pantai untuk kepentingan publik
bisa langsung dialokasikan sehingga lebih banyak daerah pantai yang bisa
menjadi terbuka untuk umum.
 
9.4.4. Ruang Terbuka Hijau
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi dan perluasan pembangunan
dalam satu kota besar seperti Jakarta ini adalah semakin banyak bangunan
baru yang didirikan baik untuk perumahan, perkantoran, atau pusat-pusat
perdagangan. Ironisnya pesatnya pertumbuhan bangunan-bangunan baru
justru mempersempit lahan-lahan terbuka yang bisa dijadikan ruang terbuka
hijau (RTH).
 
Undang-undang Tata Ruang mengindikasikan bahwa 30 % dari luas wilayah
harus diperuntukkan bagi RTH. Untuk DKI Jakarta mendapatkan angka itu
bukan hal yang mudah, bayangkan 30 % itu berarti lebih luas dari kotamadya
yang terbesar yaitu Jakarta Timur. Pada kawasan reklamasi ini sejak dini bisa
ditetapkan luas lahan terbuka hijau secara proporsional.

124 Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir


9.4.5. Rasio Badan Air (Waterbody Ratio)
Dalam kaitan dengan penanggulangan banjir Jakarta secara keseluruhan
disyaratkan tersedianya rasio badan air yang memadai. Idealnya untuk satu
kawasan dianjurkan untuk menerapkan waterbody ratio dalam bentuk waduk
dan danau seperti yang tertera dalam Tabel 5-1. Di kawasan reklamasi, badan
air itu dapat difungsikan untuk:
• penampungan sementara ketika hujan ;
• persediaan air untuk beberapa kebutuhan harian (sumber air minum) ;
• sumber air yang mungkin untuk di kembalikan ke dalam aquifer (aquifer
storage recovery) ;
• untuk tempat hidupnya beberapa flora dan fauna ;
• rekreasi.
9.5. Pemantauan Pelaksanaan
Jika dalam penjelasan di atas sudah bisa dipahami bahwa pembangunan tanggul
laut dan reklamasi Pantura bisa dijadikan solusi untuk mengurangi potensi
bencana banjir di Jakarta secara keseluruhan, maka perlu pula diperhatikan
bagaimana pelaksanaannya agar tidak meningkatkan risiko di daratan. Dalam
pelaksanaan reklamasi dan pembuatan tanggul ada beberapa pertimbangan
yang harus diikuti dengan tertib.
 
9.5.1. Mencegah Pencemaran dan Sedimentasi
Pada masa konstruksi beberapa kemungkinan terjadinya pencemaran di
sekitar daerah reklamasi perlu diantisipasi. Pencemaran yang potensial adalah
peningkatan kekeruhan atau kandungan benda padat tersuspensi (suspended
solid). Kekeruhan ini bisa berpotensi mengganggu kehidupan flora dan fauna
dan peningkatan sedimentasi di mulut sungai. Sedimentasi ini berpotensi
menaikkan tinggi muka air di sungai dan menggenangi daerah-daerah di
sekitarnya. Jika dibiarkan terus menumpuk pada saat pelaksanaan reklamasi,
maka risiko terjadinya banjir di Jakarta akan meningkat.
 
9.5.2. Memantau Dampak Pelaksanaan Reklamasi
Pelaksanaan reklamasi membutuhkan pemantauan agar proses yang terjadi
dapat dikelola dengan baik dan kemungkinan terjadinya dampak negatif
dapat dihindari atau diminimalkan agar tujuan pengelolaan pesisir (coastal
management) bisa tercapai. Sejumlah parameter yang perlu dipantau:
• perubahan morfologi ;
• abrasi dan erosi ;
• sedimentasi ;
• tinggi muka air tanah dan tinggi muka tanah ;

Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir 125


• kuantitas pemompaan air tanah dan tata guna lahan ;
• kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Sistim pemantauan dilengkapi dengan sistim pangkalan data (data base) yang
menghimpun perkembangan/perubahan dari bermacam parameter.
 
9.5.3. Prediksi dan Tindakan Koreksi yang Cepat dan Tepat
Berdasarkan pemantauan, sejumlah kondisi daerah pesisir dan lingkungannya
dapat diprediksi. Dengan melakukan evaluasi dapat ditentukan tindakan yang
tepat yang harus dilakukan agar tujuan pengelolaan pesisir ini bisa berada
dalam jalur yang benar. Dalam kejadian tertentu, kemungkinan tindakan
koreksi bisa diambil dalam stadium yang lebih dini sehingga langkah yang
dilakukan bisa lebih cepat dan tepat sasaran. Hal ini juga dilakukan untuk
mengantisipasi dan mengurangi dampak banjir yang terjadi di daratan Jakarta.
Evaluasi dan pemutakhiran prediksi harus dilakukan secara berkala.
 
9.6. Operasi dan Pemeliharaan yang Berkelanjutan
Kawasan reklamasi dan tanggul laut harus bertahan lama sesuai umur yang
sudah direncanakan. Dalam periode itu kawasan reklamasi dan tanggul harus
benar-benar aman bagi orang-orang yang tinggal di kawasan itu, terutama aman
dari banjir dan terjangan air laut. Untuk sampai dengan target yang diinginkan
maka operasi dan pemeliharaannya harus dilakukan secara berkelanjutan.
 
9.6.1. Pengelolaan Sistem Tata Air
Pengelolaan sistim tata air dilakukan dengan menganut sistim pengelolaan
air yang berkelanjutan. Oleh karenanya operasi dan pemeliharaan harus
direncanakan dan kelembagaan mandiri yang melibatkan para pemangku
kepentingan perlu diciptakan untuk lebih menjamin keberlangsungan.
 
Dalam sistem pengelolaan tata air, pelibatan pihak-pihak yang berkepentingan
sangat penting demi keefektifan pemeliharaan dan operasi. Para pemangku
kepentingan (stakeholders) biasanya bisa cepat mengetahui permasalahan yang
timbul di kawasannya dan dapat turut serta memutuskan pengambilan tindakan
yang diperlukan. Di samping itu, semua permasalahan berkaitan dengan sistem
tata air di kawasan tersebut bisa diselesaikan langsung tanpa melalui birokrasi
yang berbelit-belit.
 
9.6.2. Air Bersih
Seperti diketahui masih banyak warga Jakarta yang mengandalkan air tanah
untuk kebutuhan air bersihnya. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan berkembang

126 Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir


secara terus menerus. Sebagaimana diketahui bahwa Jakarta tersusun
oleh lapisan tanah lunak sebagai hasil dari proses sedimentasi. Tanah yang
lunak, dikombinasikan dengan penyedotan air tanah yang terus menerus,
mengakibatkan land subsidence (amblesan). Penurunan muka tanah di Jakarta
ini berakibat semakin tingginya risiko banjir dan genangan. Selain itu, ini
berarti bahwa keefektifan struktur penahan banjir (tanggul dan pompa) akan
berkurang seiring dengan berjalannya waktu.
 
Untuk mengurangi dan kemudian menghentikan proses landsubsidence
(penurunan muka tanah ini), maka penyediaan air bersih untuk kawasan
baru reklamasi Pantura tidak diperkenankan menggunakan air bawah tanah.
Penyediaan air bersih harus dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan
dan mengarah kepada sustainable solution.
 
9.6.3. Pengelolaan Limbah dan Sampah
Seperti sudah dijelaskan dalam Subbab 5.7 yaitu tentang perlunya pengelolaan
limbah sebagai salah satu upaya non-teknis penanggulangan banjir, maka
untuk kawasan reklamasi pun upaya ini harus dilakukan sejak awal. Sebagai
satu kawasan baru tentu lebih mudah untuk membuat aturan dan membuat
infrastruktur yang berkaitan dengan pengelolaan limbah. Limbah cair yang
berasal dari rumah tangga, gedung harus terlebih dahulu diolah sebelum
dibuang ke waduk dan saluran. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa
kualitas air permukaan yang ada di waduk dan saluran tidak tercemar sehingga
jika diserap oleh tanah, air ini tidak akan mencemari air tanah. Di samping itu,
fauna yang ada di dalam waduk atau saluran tidak mati akibat keracunan.
 
9.6.4. Pengerukan Sedimentasi di Mulut Sungai
Sedimentasi di mulut sungai akan memberikan dampak kenaikan muka air di
hulu sungai. Pengembang kawasan reklamasi dan pemerintah provinsi perlu
menentukan target ketinggian (level) dari dasar sungai di mulut-mulut sungai
yang berdekatan dengan daerah reklamasi. Tindakan pengerukan dilakukan
apabila batas toleransi ketebalan sedimen telah dilewati. Batas toleransi
kenaikan level sedimen di muara sungai berkisar 1 m. Tanggungjawab
pemeliharaan (pengerukan) terhadap mulut-mulut sungai dimasukkan dalam
kesepakatan pengembang dan pemeritah.
 
 
 
 

Reklamasi dan Tanggul Laut Bagian Dari Solusi Banjir 127


REFERENSI

 
Banjir Kanal Timur Karya Anak Bangsa, Robert Adhi KSP, Grasindo, 2010
Basin Water Resources Planning - Volume III,Ciliwung-Cisadane Strategic
Management Plan , DHV, Delft Hydraulics and Witteveen & Bos ,
2003
Comprehensive Study on Water Management Plan in JABOTABEK , JICA,
1997
Detailed Design for Urban Drainage Project in the City of Jakarta, JICA,
1997a
Draft RTRW DKI Jakarta 2010 – 2030, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
2010
Drainage principles and applications. Lecture notes of the international
course on land drainage, Ritzema, H.P. (ed), ILRI Publication No.16,
Wageningen, the Netherlands, 1994
Dry and safe, how to make it, Sawarendro M.Sc and Thijs Visser M.Sc,
Witteveen Bos Engineering Consultants, the Netherlands
Dutch Assistance with non-structural measures Jakarta Flood Management,
Partner for water, 2007
Flood Survey in DKI Jakarta ,PCI February, 2002
Flood Management in Selected Basins, Study by DHV, Delft Hydraulics and
Mott Macdonald, 2005
Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa,
Restu Gunawan, Penerbit Buku Kompas, 2010
Hydrology and water management of deltaic areas, Volker, A, Dutch Ministry
of Transport, Public Works and Watermanagement, CUR-report 93-5,
Gouda, the Netherlands, 1993
JABOTABEK Water Resources Management Study (JWRMS) by IWACO,
DHV, DELFT Hydraulics and TNO Delft ,1994
Jakarta Flood Control Advisory Mission, NEDECO, JFCAM, 1996
Land Drainage, Smedema, L.K. and D.W. Rycroft, Batsford, London, UK,
1983

129
Man-made lowlands, history of water management in the Netherlands Ven,
G.P. van de, ICID, the Netherlands, 1993
Master Plan for Drainage and Flood Control, NEDECO, 1973
Polder en Dijken (in Dutch), Kley, J. van der, and H.J. Zuidweg Agon
Elsevier, Amsterdam, the Netherlands, 1969
Polderlands, Wagret, P, Methuen, London, UK, 1972
Polders In: Developments in hydraulic engineering, Volume 5 (P. Novak
ed), Luijendijk, J., E. Schultz and W.A. Segeren, Elsevier, London,
UK,1988
Polders of the World, International Symposium, ILRI, Wageningen, the
Netherlands, 1982
Quick Reconnaissance Study Flood JABODETABEK 2002, NEDECO, 2002
Special Assistance for Project Implementation for Ciliwung-Cisadane River
Flood Control Project (SAPI-2004), JICA, 2004
Study on Comprehensive Water Management Plan in Jabotabek, JICA, 1997
Success factors in self-financing local water management, NWP, the
Netherlands, 2000
The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of
Jakarta – Master Plan Study, JICA, 1991
Waterbeheersing van de Nederlandse Droogmakerijen (in Dutch), Schultz E,
PhD-thesis, Delft University of Technology, Delft, the Netherlands,
1992
 

130

Anda mungkin juga menyukai