Anda di halaman 1dari 14

Uji Literasi Keuangan:

Seberapa Tahu Anda Soal Uang


Ada hal menarik dari hasil survei literasi keuangan yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), pada tahun 2013 yang lalu. Ternyata, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih sangat
rendah, yaitu sebesar 21,84%. Artinya, dari 100 orang Indonesia, kurang lebih hanya 21 orang saja yang
paham makna, fungsi dan pengelolaan keuangan. Lebih rinci terkait hasil survei OJK tersebut, bisa dilihat
di sini. Perlu dicatat bahwa survei tersebut dilaksanakan di 20 provinsi dengan jumlah responden total
sebanyak 8.000 orang dengan beragam latar belakang sosial, pendidikan dan ekonomi. Bagi Anda yang tidak
termasuk dalam cacah survei tersebut, mungkin timbul pertanyaan bagaimana cara mengukur tingkat literasi
keuangan Anda?
Jangan khawatir, peneliti dari Dartmouth College dan Wharton School, University of
Pennsylvania, Annamaria Lusardi and Olivia Mitchell, telah  merancang pertanyaan survei untuk menguji
tingkat literasi keuangan seseorang. Ada dua kelompok pertanyaan yang diajukan, yaitu uji literasi keuangan
dasar dan lanjutan. Jawaban dari tes literasi keuangan ini ada di akhir artikel. Selain itu, Anda juga bisa
membandingkan persentase kesuksesan jawaban Anda dengan jawaban responden di Amerika Serikat (AS)
dan Australia. Selamat mencoba!

Tes 1 – Pertanyaan  Dasar


1. Besaran nominal/tingkat bunga. Misal, Anda memiliki uang Rp1 juta  di rekening tabungan yang
memberikan bunga 2% per tahun. Setelah 5 tahun berapa jumlah uang di tabungan Anda jika Anda
tidak mengutak-atiknya?
Jawaban: a. Lebih dari Rp1,02 juta; b. Tepat Rp1,02 juta; c. kurang dari Rp1,02 juta; d. Tidak tahu
jawabannya.

2. Bunga berbunga (compound interest). Misal Anda memiliki uang Rp1juta di rekening deposito yang
memberikan bunga sebesar 20% per tahun. Jika Anda memutuskan untuk tidak menarik pokok dan
bunganya, berapa saldo uang Anda setelah 5 tahun?
Jawaban: a. Lebih dari Rp200 ribu; b. Tepat Rp200ribu; c. Kurang dari Rp200 ribu; d. Tidak Tahu.

3. Inflasi. Bayangkan bila tingkat bunga yang Anda terima dari rekening tabungan sebesar 1% per tahun
dan tingkat inflasi sebesar 2% per tahun. Setelah 1 tahun, berapa banyak barang yang bisa Anda beli
dari uang di rekening tersebut?
Jawaban: a. Lebih banyak dari hari ini; b. Sama besarnya; c. Lebih sedikit dari hari ini; d. Tidak tahu.

4. Nilai waktu uang. Asumsikan bahwa seorang teman Anda mendapatkan warisan sebesar Rp100 juta
hari ini, sementara Kakak teman Anda tersebut menerima warisan sebesar Rp100 juta, 3 tahun dari
sekarang. Dalam waktu 3 tahun, siapa yang lebih kaya karena harta warisan yang diterimanya?
Jawaban: a. Teman Saya; b. Kakak Teman Saya; c. Mereka berdua sama kayanya; d. Tidak Tahu.

5. Ilusi uang. Misalkan pada tahun 2020, Anda mendapatkan penghasilan dua kali lipat, sementara harga
semua barang juga naik 2 kali lipat. Pada tahun 2020 tersebut, berapa banyak barang yang bisa Anda
beli dengan penghasilan tersebut?
Jawaban: a. Lebih banyak dari hari ini; b. Persis sama; c. Lebih sedikit dari hari ini; d. Tidak tahu.

Tes 2 – Pertanyaan keuangan lanjutan


1. Saham. Berinvestasi saham di sebuah perusahaan, biasanya memberikan keuntungan yang lebih
terproteksi dibandingkan membeli unit reksadana di perusahaan pengelola reksadana.
Jawaban: a. Betul; b. Salah; c. Tidak Tahu.

2. Saham vs Obligasi. Saham biasanya lebih berisiko dibandingkan obligasi.


Jawaban: a. Betul; b. Salah; c. Tidak Tahu.
3. Diversifikasi. Saat seorang investor memilih untuk menyebar investasinya di beragam jenis aset,
risiko ia kehilangan investasinya  menjadi…:
Jawaban: a. Meningkat; b. Menurun; c. Tetap sama; d. Tidak Tahu

Sebagai perbandingan, tabel di bawah ini menunjukkan persentase jawaban betul dari hasil survey uji literasi
keuangan dasar di Australia dan AS.

1. 4. Nilai 5
2. Bunga 5. Ilusi
Nominal / tingkat 3. Inflasi waktu pertanyaan
berbunga uang
bunga uang betul
88,4% 71,8% 78,4% 54,9% 86,7% 36,5%
Australia

91,8% 69,0% 87,1% 73,8% 78,4% 43,8%


US

Sumber: Australia: Bateman et al (2011), AS: Lusardi & Mitchell (2009)

Jawaban:
Tes dasar: 1 – a, 2 – a, 3 – c, 4 – a, 5 – b
Tes lanjutan: 1 – b, 2 – a, 3 – b

Literasi dan Inklusi Keuangan  

Di tengah-tengah gejolak pasar keuangan global akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan
China, sejumlah pencapaian positif terus dilaporkan pemerintah. Terbaru adalah laporan Badan Pusat
Statistik (BPS) terkait tingkat kemiskinan per Maret 2018, Senin (16/07/2018). BPS mencatat persentase
kemiskinan mencapai 9,82 persen alias terendah sejak era krisis ekonomi 1998. Sebuah kabar yang tentu
menggembirakan. 

Namun, beberapa hari sebelum laporan BPS, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Anggota Dewan
Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara menyampaikan paparan soal literasi
keuangan kepada awak media, Sabtu (14/07/2018). Tirta kembali mengingatkan bahwa masyarakat yang
sudah menggunakan produk dan layanan keuangan (inklusi keuangan) telah mencapai 67,8 persen. 

Namun masyarakat yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan yang memadai mengenai
produk dan layanan keuangan (literasi keuangan) baru 29,7 persen. Padahal, ada target-target yang harus
digelar memasuki tahun 2019 atau tiga tahun setelah Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Tahun
2016. 

Berdasarkan kalkulasi OJK, literasi keuangan pada akhir tahun depan minimal harus mencapai 35 persen.
Sementara untuk inklusi keuangan per pengujung 2019 mencapai 75 persen. Maka dengan menghitung sisa
waktu yang ada, mungkinkah target-target itu tercapai? 
Pertumbuhan 

Mengutip penjelasan dalam KBBI di website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, inklusi memiliki
tiga makna, salah satunya ketercakupan. Sedangkan literasi berarti pengetahuan atau keterampilan dalam
bidang atau aktivitas tertentu. 

Dalam konteks industri jasa keuangan, inklusi dan literasi saling mengisi. Inklusi tanpa literasi mumpuni
tidak akan bermakna signifikan, terutama terhadap perekonomian. Begitupun sebaliknya. 

Sudah banyak penelitian yang menyebutkan inklusi keuangan ditopang literasi keuangan dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian
Development Bank) pernah melakukan penelitian terkait hal tersebut. 

Menurut Bank Dunia, peningkatan inklusi keuangan dengan nilai satu persen saja, maka pertumbuhan
ekonomi bertambah 0,03 persen. Belum lagi efek ikutan lain dari inklusi keuangan dalam bentuk penciptaan
lapangan pekerjaan, penurunan tingkat kemiskinan, dan menipiskan ketimpangan. 

Maka tak ayal peningkatan inklusi keuangan harus jadi isu utama, bukan isu pinggiran. 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, satu tahun jelang lengser dari kursi kepresidenan atau tepat pada 19
November 2013, meluncurkan Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI). SNLKI menjadi
bagian dari the Trilogy of Policy Instrument dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat (market
confidence) dan kesetaraan konsumen dan industri jasa keuangan (level playing field).

Namun, setelah empat tahun, SNLKI direvisi. Ada sejumlah penambahan dan perubahan terkait stratgi,
informasi mengenai indeks literasi, dan inklusi produk dan layanan jasa keuangan dan metode pendekatan
dalam pelaksanaan kegiatan untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan. Dalam revisi SNLKI juga
ditambahkan hasil survei literasi dan inklusi keuangan di sektor jasa keuangan syariah serta strategi
pengembangan ke depan (publikasi OJK). 

Secara umum, sejak kepemimpinan Muliaman D Hadad hingga Wimboh Santoso, OJK terus menggencarkan
inklusi dan literasi keuangan. Program-program inovatif pun terus diluncurkan melibatkan perbankan dan
pelaku industri jasa keuangan lain. 

Salah satu yang mencolok adalah Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan
Inklusif). Program itu bertujuan menyediakan produk-produk keuangan yang sederhana, mudah dipahami,
dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang belum dapat menjangkau layanan keuangan.

Seiring berjalan waktu, tidaklah sulit menemukan agen Laku Pandai yang terafiliasi dengan berbagai bank.
Di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, kita bisa menemukan mereka. Harus diakui peran para
agen tergolong signifikan dalam mendorong inklusi keuangan. 

Berdasarkan data OJK, sampai September 2017 jumlah agen Laku Pandai sudah mencapai 428 ribu orang
dengan persebaran di 512 kabupaten/kota di Indonesia. 

Untuk mengatasinya, OJK dan perbankan perlu meningkatkan insentif kepada para agen. Dengan demikian,
kerja-kerja mereka di lapangan dalam menjangkau masyarakat yang belum terjamah layanan keuangan lebih
agresif. Sehingga ada dua keuntungan yang diperoleh, yaitu peningkatan jumlah agen dan nasabah. 

Tidak hanya itu, OJK juga harus memberikan insentif khusus kepada perbankan yang mencapai target jumlah
agen. Dan yang tidak kalah penting adalah peningkatan kapasitas SDM para agen yang notabene juga
menjadi tanggung jawab bank. 
Keuangan digital 

Selain melalui Laku Pandai, ada cara yang berpotensi lebih besar dalam meningkatkan inklusi dan literasi
keuangan. Caranya dengan memaksimalkan teknologi informasi, khususnya internet. 

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mencatat penetrasi internet di Tanah Air mencapai 51,8
persen. Dari jumlah itu, mayoritas berada pada usia muda, yaitu 25 tahun sampai 34 tahun. Kemudian
sebanyak 47,6 persen masyarakat Indonesia pun sudah menggunakan smartphone untuk mengakses internet. 

Namun, fakta menarik tergambar dari hasil survei SNLIK tahun 2016. Menurut survei, 80,5 persen
masyarakat masih cenderung mendatangi kantor lembaga jasa keuangan dalam melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan jasa keuangan. 

Hal itu tentu menarik untuk ditelaah. Mengapa masyarakat tetap menggunakan cara-cara tradisional dalam
industri jasa keuangan? Alasannya bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah keraguan terhadap internet
banking. Belum lagi kekhawatiran-kekhawatiran dalam bentuk lain.  

Di titik ini, peran semua pihak, tidak hanya OJK, menjadi penting. Sosialisasi demi sosialisasi harus
digencarkan dalam bentuk yang mudah dipahami masyarakat. Dengan demikian, efisiensi dalam operasional
lembaga jasa keuangan dapat terwujud. Jumlah pengguna internet yang besar adalah bekal utamanya. 

Perkembangan teknologi informasi belakangan juga membuat lembaga teknologi finansial (tekfin) dapat
digandeng. Berbekal cara kerja yang inovatif, lembaga tekfin dapat diajak bekerja sama oleh OJK maupun
perbankan dalam rangka peningkatan inklusi dan literasi keuangan. 

Pada akhirnya, peningkatan inklusi dan literasi keuangan merupakan hal penting bagi perkembangan
perekonomian sebuah bangsa. Intinya, jangan terjebak pada angka demi angka yang jadi target. Karena
angka hanya patokan kerja. Inklusi dan literasi keuangan adalah keniscayaan demi mewujudkan masyarakat
adil dan sejahtera.  

Mengenal Inklusi Keuangan: Pengertian, Manfaat, dan Inovasinya untuk Negara


Inklusi keuangan pada dasarnya mengacu pada jumlah orang yang menjadi nasabah atau pengguna jasa
keuangan. Beberapa contoh jasa keungan yang dimaksud meliputi semua jenis layanan perbankan dan juga
asuransi.

Berdasarkan data Global Findex 2014, mereka yang memiliki keleluasaan akses  dengan jasa keuangan di
Indonesia terhitung hanya sebesar 36 persen saja. Sedangkan di luar itu, masih banyak masyarakat Indonesia
yang tergolong unbankable atau belum tersentuh jasa keuangan apapun.

Beberapa kepala keluarga di pelosok daerah bahkan sama sekali tidak memiliki tabungan dalam bentuk
rekening. Alasannya beragam, akan tetapi yang paling terlihat adalah minimnya sarana perbankan seperti
kantor cabang ataupun mesin ATM.

Manfaat Inklusi Keuangan

Inklusi keuangan memiliki banyak manfaat. Menurut Bank Dunia, peningkatan inklusi keuangan dengan
nilai satu persen saja, maka pertumbuhan ekonomi bertambah 0,03 persen. Belum lagi efek lain dari inklusi
keuangan dalam bentuk penciptaan lapangan pekerjaan, penurunan tingkat kemiskinan, hingga
meminimalisir kesenjangan sosial. Selain itu, inklusi keuangan juga diharapkan mampu memberi
sumbangsih lebih untuk negara, diantaranya sebagai berikut:

 Mendukung stabilitas sistem keuangan


 Meningkatkan efisiensi ekonomi
 Mengurangi shadow banking atau irresponsible finance
 Mendukung ekspansi pasar keuangan
 Menyumbangkan potensi pasar baru bagi perbankan
 Meningkatkan Human Development Index (HDI) Indonesia
 Berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional secara kontinu

Inklusi dan Literasi Keuangan, Apa Bedanya?

Berbicara mengenai perbedaan inklusi dan literasi keuangan, keduanya tentu memiliki keterkaitan satu sama
lain. Inklusi tanpa literasi mumpuni tidak akan bermakna signifikan, terutama terhadap perekonomian.

Jika inklusi berhubungan dengan jumlah pengguna jasa keuangan, literasi keuangan lebih fokus kepada 
pengelolaan uang yang dimiliki. Seseorang dengan literasi keuangan yang baik, umumnya tahu bagaimana
cara memanfaatkan uang semaksimal mungkin. Sehingga dengan demikian adanya inklusi tadi tidak sia-sia.

Ada empat tingkat literasi keuangan penduduk Indonesia berdasarkan survei OJK pada tahun 2013, yakni:

 Well literate (21,84 %): memiliki pengetahuan dan keyakinan akan berbagai lembaga jasa keuangan
serta produk jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan
jasa keuangan, serta memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan.
 Sufficient literate (75,69 %): memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan
serta produk dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk
dan jasa keuangan.
 Less literate (2,06 %): cenderung memiliki pengetahuan tentang lembaga jasa keuangan, produk dan
jasa keuangan.
 Not literate (0,41%): tidak memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap lembaga jasa keuangan
serta produk dan jasa keuangan, serta tidak memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan
jasa keuangan.

Fintech Tingkatkan Inklusi Keuangan

Di zaman yang serba canggih seperti sekarang, ada solusi baru untuk meningkatkan inklusi keuangan dalam
negeri yaitu dengan inovasi financial technology (fintech). Sesuai namanya, fintech merupakan kolaborasi
antara produk finansial dengan teknlogi internet di era digital.

Industri fintech dinilai cukup menjanjikan, pasalnya berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia, penetrasi internet di Tanah Air telah mencapai 51,8 persen.

Dari jumlah itu, mayoritas berada pada usia produktif, yaitu 25 tahun sampai 34 tahun. Kemudian sebanyak
47,6 persen masyarakat Indonesia pun sudah menggunakan smartphone untuk mengakses internet dengan
berbagai tujuan, salah satunya transaksi jual-beli.

Dengan kehadiran fintech, kebutuhan Anda akan jasa keuangan pun akan serba dimudahkan. Bahkan jika
Anda ingin membeli asuransi atau apply kartu kredit secara online, kini beberapa perusahaan finansial yang
sudah mengusung teknologi tersebut bisa membantu Anda.

Misalnya saja, CekAja.com. Berbekal cara kerja yang inovatif ini, CekAja.com pun berhasil memulai kerja
sama dengan OJK juga perusahaan asuransi dan bank dalam rangka peningkatan inklusi keuangan. Terlebih
jumlah nasabahnya sudah menembus angka lebih dari 20 juta pelanggan.

Literasi Keuangan: Mengapa Harus Dilakukan?


Pada perjalanan saya ke negara tetangga yang tersohor dengan industri finansial seperti Singapura dan
Hongkong, saya sempat merasa bingung karena jarang sekali saya melihat kendaraan tidak tergolong mewah
bagi standar Indonesia. Bahkan teman saya mengatakan bahwa guru yang mengajar di sekolahnya
mengendarai kendaraan mewah keluaran terbaru yang berasal dari Eropa.
Disana pulalah pertama kalinya saya melihat antrian yang sangat panjang untuk membeli tas berharga
puluhan hingga ratusan juta layaknya antrian panjang untuk membeli burger McD. Lalu apakah mereka
memang memiliki standar gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia? Apakah yang membuat
mereka dapat membiayai hidup dengan gaya hidup yang tinggi tersebut? 

Pertanyaan itulah yang saya ajukan kepada salah satu penduduk setempat di Hongkong. Ia pun menjawab
bahwa kemampuan konsumsi mereka didukung juga oleh pendapatan mereka yang didapat
dari investasi yang disisihkan dari pendapatan mereka setiap bulannya. Didukung pula dengan 70% dari
penduduk Hongkong dan 68% dari penduduk di Singapura yang sudah secara melek secara finansial. 

Sebelum itu, apakah itu melek finansial? 

Melek finansial ialah kemampuan untuk mengerti bagaimana uang bekerja, bagimana seseorang
mendapatkannya dan mengatur keuangan mereka, bagaimana mengivestasikannya (menghasilkan lebih
darinya) serta mendonasikannya untuk menolong orang lain. 

Lalu, bagaimanakah melek finansial dapat menjelaskan fenomena diatas?

Dengan rata-rata gaji penduduk Hongkong yakni Rp. 24.000.000, apabila mereka sudah melek secara
finansial, mereka menyisihkan misalnya 15 persen atau Rp. 3.600.000 dari pendapatan mereka untuk
investasi dengan reksadana saham setiap bulannya.  Maka dalam 10 tahun mereka akan mendapatkan Rp
1.003.166.178 dengan asumsi return sebesar 15%. Di lain pihak, jika mereka menabung dengan cara
konservatif tanpa melalui institusi finansial, maka mereka hanya akan mendapatkan Rp 432.000.000 dalam
10 tahun. Dengan kata lain, dengan melek finansial mereka tahu bagaimana uang bekerja untuk mereka.

Di Indonesia sendiri, melek finansial dibagi menjadi dua agenda utama yang sering dikumandangkan oleh-
oleh institusi keuangan publik seperti OJK atau IDX yakni memperkenalkan masyarakat bagaimana mereka
mengatur keuangan mereka sehingga tidak terkonsentrasi pada konsumsi dan memberitahu “keberadaan”
institusi dan pasar finansial.

Pengaturan dari segi finansial memang terlihat sederhana namun ternyata dalam penerapannya tidaklah
mudah. Mari coba tanyakan pada diri Anda sendiri apakah anda menabung secara rutin setiap bulannya?
Atau uang tersebut rasanya sudah lari saja ke perut untuk agenda jalan-jalan akhir minggu? Jika Anda
menjawab ya untuk pertanyaan pertama maka, selamat Anda sudah memenuhi syarat pertama untuk pola
konsumsi sehat!

Menurut data  yang dilansir World Bank, Indonesia sendiri sayangnya memiliki tren saving yang menurun
sejak 3 tahun belakangan ini. Pola konsumsi yang konsumtif kita memang menjadi pahlawan pada saat krisis
2008,  namun pada sisi lain pola konsumsi yang tidak sehat seperti low saving akan mengarah pada low
investment. Apabila tidak ada kelebihan dana yang dimiliki masyarakat maka darimanakah asalnya modal
untuk cukup untuk memenuhi negara yang haus investasi ini?

Padahal investasi merupakan kunci utama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti yang dikatakan
Robert Solow dalam teori pertumbuhannya.  Akibatnya, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, Indonesia harus membungkus diri dengan cantik untuk mempromosikan diri kepada investor luar
negeri. Hingga tahun 2013, FDI masih mendominasi dengan sumbangan 67.8% dari realisasi investasi
dimana investasi domestik hanya memenuhi 32.2 % dari realisasi investasi.

Bayangkan dampaknya jika Indonesia bergantung pada investasi asing dan krisis ekonomi melanda! Sudah
tentu Indonesia terkena efek domino karena kehilangan investasi dari negara yang terkena krisis. Gawatkah?
Sudah tentu!

Selanjutnya, kegiatan menabung akan percuma saja apabila uang tersebut hanya ditaruh dibawa kasur
ataupun ditaruh pada celengan ayam. Karena itu, dibutuhkan peran institusi finansial yang menjadi median
antara orang yang memiliki uang menganggur dengan orang yang membutuhkan dana segar untuk kegiatan
mereka.
Namun, sekali lagi literasi keuangan masyarakat Indonesia ini masih sangat rendah. Sejumlah lebih dari 75
% masyarakat Indonesia masih memiliki pengetahuan yang terbatas atas produk dan jasa finansial.  Jika anda
telah berinvestasi dalam pasar modal seperti dengan reksadana, maka anda telah menjadi salah satu dari 0.2
% masyarakat di Indonesia yang telah berinvestasi di dalamnya! Angka yang sangat kecil apabila
dibandingkan Malaysia dan Singapura yang mencapai 13% dan 30% dari populasi penduduknya.

Sayang sekali, jika mengetahui dengan menabung dan investasi secara rutin akan menghasilkan tambahan
kekayaan bagi Anda apabila Anda melakukannya dengan cerdas yakni dengan pengetahuan yang cukup. Tak
hanya itu, Indonesia pun mendapatkan keuntungan darinya yakni secara perlahan kebutuhan investasi dalam
negeri dapat disokong dari investasi domestik.

Melihat kondisi Indonesia yang memiliki literasi keuangan yang rendah dibandingkan negara-negara
tetangga, marilah kita menjadi invidu yang cerdas tentang literasi keuangan dan beraksi dalamnya
mendorong untuk kemajuan Indonesia!

10 Pertanyaan yang Sering Diajukan saat Pelatihan Keuangan untuk Keluarga dan Individu

Pertanyaan yang Diajukan saat Pelatihan Keuangan

Masalah keuangan yang semakin hari semakin pelik, akan membuat orang untuk mengikuti sebuah pelatihan
keuangan. Pelatihan keuangan ini sudah menjadi kebutuhan. Banyak orang ingin tahu apa tips dan trik dalam
menghadapi masalah keuangan yang sering mereka hadapi. Berikut merupakan 10 pertanyaan yang sering
diajukan saat pelatihan keuangan untuk keluarga dan individu, yaitu di antaranya:
#1 Manakah yang harus saya bayar terlebih dahulu, utang dengan bunga tertinggi atau utang dengan nilai
tanggungan rendah?
Menurut Dave Ramsey pada bukunya yang berjudul “The Total Money Makeover,” dari kedua utang
tersebut, yang harus dibayar terlebih dahulu adalah yang nilai tanggungannya kecil. Kenapa begitu?
Membayar utang dengan nilai tanggungan kecil dulu akan memberi efek psikologis yang baik pada
pelakunya. Mereka akan lebih mudah melakukan setiap tahap pembayaran utang tanpa merasa terbebani,
karena harus membayar utang dengan nilai bunga tinggi terlebih dahulu.
#2 Mana yang harus dipilih, asuransi seumur hidup atau asuransi berjangka?
Sebelum menentukan mana yang terbaik, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu asuransi
seumur hidup dan asuransi berjangka.

1. Asuransi seumur hidup merupakan asuransi yang memberi perlindungan kepada pemegang polis
asuransi selama seumur hidup. Asuransi jenis ini menanggung semua kebutuhan yang akan dihadapi
seumur hidup seperti dana pendidikan dan pensiun. Karena yang ditanggung adalah kebutuhan
keuangan seumur hidup, premi yang harus dibayarkan pemegang polis cukup besar. Uang
asuransinya akan dikumpulkan dan diakumulasi selama pemegang polis hidup.
2. Asuransi berjangka hanya menyediakan perlindungan dalam jangka waktu tertentu bergantung pada
kesepakatan pihak asuransi dan pemegang polis. Premi yang dibayarkan pun lebih rendah, karena
nilai tanggungannya tidak sebesar asuransi seumur hidup.

Dari kedua asuransi di atas, sebaiknya Anda memilih asuransi berjangka. Saat anak-anak dewasa dan tidak
kuliah lagi, kebutuhan asuransi kita tidak terlalu mendesak. Daripada menyimpan sejumlah uang dalam
jangka waktu panjang tetapi belum tentu kita gunakan nantinya. Lebih baik Anda memilih asuransi berjangka
yang dana tunainya tersedia dan bisa dicairkan dalam jangka waktu tertentu dan sesuai kebutuhan.
#3 Haruskah saya melunasi semua utang sebelum mulai berinvestasi?
Jawaban dari pertanyaan tersebut sangat mudah. Jika kita memiliki dana dan kesempatan untuk berinvestasi,
lakukan hal tersebut selagi kita mampu. Meskipun utang kita belum lunas, kemungkinan untuk mendapat
keuntungan dari investasi yang dilakukan dapat membantu kita melunasi utang-utang yang ada. Akan tetapi,
Anda harus tetap memprioritaskan pembayaran utang terlebih dahulu agar bunga utang tidak menjadi
semakin besar.
#4 Di manakah saya dapat menginvestasikan dana darurat?
Pertanyaan di atas banyak sekali ditanyakan orang pada pelatihan keuangan. Jawabannya sangat pasti. Dana
darurat tidak seharusnya diinvestasikan. Bagaimanapun sulitnya kondisi keuangan, dana tersebut harus
senantiasa tersedia dan bisa dicairkan dengan mudah. Karena tidak ada satu orang pun yang dapat
memprediksi nasib mereka di masa datang. Dana darurat bisa menjadi satu-satunya solusi saat kita
membutuhkan uang dalam waktu cepat.
#5 Apakah saya masih bisa berinvestasi dengan emas?
Tidak ada kata terlambat untuk berinvestasi. Selama Anda masih berpenghasilan tetap dan memiliki kondisi
keuangan yang baik, investasi dalam bentuk apapun sah-sah saja. Investasi emas tidak perlu dalam bentuk
saham atau emas batangan. Investasi tersebut bisa dalam bentuk perhiasan sederhana atau tabungan emas
yang ada di Pegadaian. Harga emas yang stabil akan meminimalisasi kerugian dan membuat investasi cukup
menguntungkan.
#6 Bagaimana cara menyimpan dana pendidikan yang tepat?
Gunakan asuransi pendidikan. Pembayaran premi asuransi pendidikan bisa disesuaikan dengan kemampuan
kita. Rentang waktu pencairan dana pendidikan juga kita yang tentukan. Asuransi ini seperti menabung.
Bedanya, jika tabungan dapat diambil sewaktu-waktu, asuransi pendidikan hanya cair dalam waktu tertentu
saja.
#7 Apakah akibatnya jika kita tidak membayar pajak atau melaporkan SPT tahunan?
Dikutip langsung dari Dirjen Pajak, berikut merupakan akibat yang harus Anda tanggung jika tidak
membayar pajak:

1. Dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan dari pajak yang terlambat disetorkan.
2. Dikenakan sanksi administrasi berupa denda Rp100 ribu untuk SPT Tahunan yang terlambat/tidak
disampaikan.
3. Jika sengaja tak menyampaikan SPT Tahunan dan mengakibatkan kerugian negara, dipidana penjara
minimal enam bulan dan maksimal enam tahun. Serta denda paling sedikit dua kali dan maksimal 4
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

#8 Berapa banyak kartu kredit yang bisa dimiliki?


Banyak atau sedikit, tergantung kebijaksanaan Anda dalam mengatur keuangan. Tapi sebelum memilih akan
membuat kartu kredit atau tidak, jawablah pertanyaan berikut ini, Apakah kartu kredit benar-benar
dibutuhkan?
#9 Berapa besar tabungan pensiun yang harus disimpan?
Idealnya, Anda harus menyisihkan 20% dari pendapatan setiap bulan untuk disimpan sebagai dana pensiun.
Jika belum mampu, Anda dapat membuat asuransi pensiun yang premi dan jangka waktu pembayarannya
bisa disesuaikan.
#10 Bagaimana cara menentukan anggaran pengeluaran setiap bulan?
Jawaban pertanyaan ini sangat mudah. Alokasikan 50% dari pendapatan Anda setiap bulan untuk kebutuhan
sehari-hari, 30% untuk tabungan, dan 20% untuk dana darurat.
Keputusan Tetap Ditangan Anda

Itulah 10 pertanyaan yang sering diajukan saat pelatihan keuangan untuk keluarga dan individu. Keputusan
tetap berada di tangan Anda. Jangan sampai memilih keputusan yang salah sehingga mengakibatkan kerugian
untuk Anda. Semoga bermanfaat.
 
5 Permasalahan Keuangan Generasi Milenial
Banyak yang beranggapan bahwa para generasi milenial memiliki tingkat literasi digital yang cukup baik,
tetapi dalam hal keuangan atau finansial tampaknya masih minim. Hal ini dibuktikan oleh survey yang
dilakukan sebuah perusahaan di Amerika Serikat tentang bagaimana mereka berdiskusi mengenai keuangan
atau finansial dengan pasangannya. Mereka membutuhkan waktu 6 bulan hingga 1 tahun untuk
membicarakan permasalah keuangan finansial dengan pasangannya baik itu seputar hutang, kredit, tabungan
maupun investasi.

Ini berbanding terbalik dengan generasi sebelumnya, padahal kita mengetahui bahwa tantangan yang
dihadapi generasi milenial lebih sulit dan pelik terhadap masalah keuangan maupun finansial. Simak
beberapa permasalahannya dibawah.

Permasalahan Utama Keuangan Generasi Milenial

 Minimnya Pengetahuan Seputar Finansial


Salah satu permasalahan utama mengapa generasi milenial masih relatif rendah dalam literasi keuangan
adalah kurangnya kesadaran untuk mempelajari cara mengelola keuangan pribadi. Walaupun sekarang info
mengenai finansial sudah banyak beredar di media apapun, tetapi karena ketertarikan mereka terhadap
finansial mereka yang masih sangat minim menjadikan mereka sendiri kurang pengetahuan mengenai
masalah ini.

Dengan semakin berkembangnya sektor finansial, generasi milenial sebenarnya akan semakin memiliki
banyak pilihan yang memudahkan pengelolaan keuangan mereka.. Oleh karena itu, jika mereka hanya
mengetahui sekedar tabungan, deposito atau kartu kredit, maka kedepannya mereka akan ketinggalan
perkembangan dari dunia finansial.

Sebagai generasi milenial, kamu harus selalu aware dengan tren finansial, bukan hanya tren fashion atau
teknologi. Jika kamu suka menggunakan media sosial kamu bisa follow akun-akun yang membahas
informasi seputar finansial agar kamu tetap mendapat ‘asupan’ informasi keuangan dan terhindar dari
masalah-masalah finansial yang ada.

 Memiliki Banyak Hutang


Bagi sebagian orang kartu kredit bisa menjadi suatu alat pembayaran yang sangat memudahkan transaksi
finansial, tak terkecuali generasi milenial. Padahal dengan memiliki kartu kredit risiko terlilit hutang semakin
tinggi, akan tetapi para milenial sangat menyukai penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayarannya.

Salah satu kesalahan utama penggunaan kartu kredit adalah menyangka bahwa kartu kredit sebagai sarana
mendapatkan uang tambahan untuk bertransaksi. Yang seringkali tidak disadari adalah besarnya bunga dan
denda apabila terlambat membayar tagihan kartu kredit. Sebaiknya porsi hutang atau cicilan tidak melebihi
30% dari pendapatan bulanan agar kamu bisa membayar hutang dengan tepat waktu.

Jadi, untuk mengurangi berbagai permasalahan keuangan kaum milenial, kamu harus lebih bijak dalam
menggunakan kartu kredit dan mengurangi hutang-hutang lainnya juga.

 Tekanan Gaya Hidup


Semakin tinggi gaya hidup, semakin tinggi pula dana yang akan dikeluarkan untuk mencukupi gaya hidup.
Adanya tekanan gaya hidup sebenarnya sering menimbulkan banyak problem bagi para milenial, terutama
mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Untuk itu kenali mana kebutuhan mana keinginan agar tak terjebak
dalam gaya hidup yang konsumtif.

Kaum milenial yang seringkali mengeluh tidak punya uang bisa saja karena mereka memiliki gaya hidup
yang tinggi, bukan karena pendapatan yang rendah. Seringkali kenaikan pendapatan diiringi dengan kenaikan
pengeluaran gaya hidup yang menyebabkan kondisi selalu kekurangan.
 Adanya Inflasi
Masalah ini harusnya lebih diperhatikan kembali oleh para milenial. Tanpa disadari Permasalahan keuangan
yang satu ini akan sangat berdampak bagi keuangan mereka. Dengan adanya inflasi yang membuat kenaikan
harga barang sekitar 4% per tahun, akan menurunkan daya beli generasi milenial yang hanya menaruh
uangnya di tabungan dengan bunga 2% per tahun. Untuk itu, rencanakan keuangan terbaik kamu dari
sekarang, salah satunya dengan berinvestasi, agar adanya inflasi tidak mempengaruhi kondisi keuanganmu.

 Konsumtif Terhadap Experience
Ini juga bisa menjadi masalah bagi kaum milenial di era sekarang. Pada era terdahulu, kebiasaannya lebih
kepada membeli suatu barang atau berinvestasi pada barang yang tak bergerak, tetapi nyatanya sekarang
generasi milenial lebih mementingkan suatu experience dibandingkan kedua hal diatas. Contohnya, banyak
sekali anak muda yang suka travelling, menghabiskan waktu di restoran dan kafe, sedangkan tabungan yang
mereka miliki sangat minim.

Dengan gaya hidup yang mereka jalani, experience menjadi sesuatu yang lebih berharga dibandingkan
menabung atau berinvestasi. Mindset seperti ini yang perlu sedikit diperbaiki karena mereka sebaiknya mulai
memikirkan masa depan mereka dengan cara berinvestasi.

Rencanakan Investasi Untuk Masa Depan Lebih Baik!


Bukan tidak mungkin permasalahan keuangan yang mendera kaum milenial sekarang akan memberikan efek
buruk yang berkepanjangan kedepannya. Karena itu, gunakan dana kamu secara bijak dengan cara
berinvestasi.

Daftar sekarang dan dapatkan imbal hasil 18%-21% per tahun di Akseleran. Akseleran memberikan saldo
awal senilai Rp 100 ribu untuk pendaftar baru dengan menggunakan kode BLOG100. Melakukan pendanaan
di Akseleran juga sangat aman kok karena lebih dari 98% nilai portofolio pinjamannya memiliki agunan.
Sehingga dapat menekan tingkat risiko yang ada. Akseleran juga sudah terdaftar resmi di Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) sehingga proses transaksi yang kamu lakukan jadi lebih aman dan terjamin.

3 Kendala Sulitnya Akses Keuangan Kepada Masyarakat

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui kalau tingkat literasi keuangan masyarakat di Indonesia hingga saat
ini masih sangat rendah. Berdasarkan survei OJK tahun 2013 saja, tingkat literasi keuangan masyarakat
Indonesia hanya berada di angka 21,8 persen. Dimana, dari 100 orang, hanya 22 orang saja yang mengetahui
tentang apa saja produk keuangan, apa manfaatnya, serta bagaimana cara menggunakan produk keuangan.
 
Kecilnya literasi keuangan masyarakat itu berbanding lurus dengan kondisi masih tertutupnya akses
keuangan bagi masyarakat. Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, terbuka atau
tertutupnya akses keuangan bagi masyarakat bukanlah persoalan hal yang sederhana.
 
Dari identifikasi yang dilakukan, Muliaman mengatakan, paling tidak ada tiga aspek yang membuat akses
keuangan masyarakat menjadi tertutup. “Tertutup atau terbukanya akses keuangan ini memang bukan soal
yang sederhana. Kita bisa mulai identifikasi,” ujarnya saat memberikan sambutan di acara peresmian
PELAKU dan peluncuran mobile application Sikapiuangmu di Jakarta, Selasa (22/12).

 
Pertama, akses keuangan tertutup bisa disebabkan karena kurangnya edukasi yang diterima oleh masyarakat.
Sebagai contoh, masyarakat yang menjadi korban penipuan investasi illegal, menurut Muliaman, pada
umumnya karena kurang paham atau kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai investasi yang benar dan
legal.
 
“Oleh karena itu edukasi menjadi penting. Karena pengetahuan bisa membuka akses yang besar,” sebutnya.
 
Kedua, akses keuangan tertutup boleh jadi karena regulasi atau business process yang ‘menghambat’ akses
masyarakat itu. Misalnya yang dialami oleh sejumlah petani saat ingin melakukan pinjaman ke lembaga
keuangan atau bank. Sebagian besar pinjaman itu terkendala karena alasan tidak memiliki jaminan sebagai
agunan kepada bank.
 
“Bagaimana bangun business process? Itu bagian dari upaya kita. Kita akan ciptakan business process yang
bisa buka akses dengan lembaga keuangan,” tuturnya.
 
Mengatasi hal itu, lanjut Muliaman, OJK berencana menggandeng pihak Kementerian Agraria serta Badan
Pertanahan Nasional terkait program sertifikasi bagi tanah pertanian. Dari rencana itu, diharapkan kendala
agunan sebagai jaminan dari resiko kredit yang mesti tercover oleh perbankan bisa diselesaikan.
 
“Tanah tanpa sertifikat dengan tanah dengan sertifikat itu beda, yang satu tidak mampu buka akses, yang satu
bisa membuka akses,” katanya.
 
Ketiga, bisa jadi akses keuangan tertutup lantaran jarak antara masyarakat dengan lembaga keuangan yang
sulit dijangkau. Muliaman mengakui memang lokasi bank lebih banyak di pusat kota sedangkan masyarakat
yang membutuhkan layanan keuangan berada di daerah. Dua tahun belakangan, OJK sebetulnya telah
mencoba meminimalisir ‘gap’ itu dengan meluncurkan program branchless banking atau layanan bank tanpa
kantor.
 
Program yang lebih dikenal dengan Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif
(Laku Pandai) ini, lanjut Muliaman, dinilai menjadi cara untuk mengurangi masalah jarak antara lembaga
keuangan dengan yang membutuhkan layanan keuangan. Bahkan hingga tahun 2015 ini, agen-agen Laku
Pandai sudah mencapai 30.000 agen dari beberapa bank pendukung program ini.
 
“Sehingga nanti jarak tidak lagi jadi isu. Karena teknologi bisa bantu. Sampai akhir ini 30.000 dari beberapa
bank dukung. Tahun depan target 300.000 agen baru dari berbagai macam bank untuk menyelesaikan
masalah distance ini,” paparnya.
 
Terlepas dari hal itu, Muliaman melihat bahwa isu inklusi serta literasi keuangan akan tetap menjadi tema
sentral OJK sepanjang 2015 dan bahkan hingga tahun 2016 nanti. Bahkan, permasalahan inklusi keuangan
tidak hanya menjadi isu Indonesia melainkan juga menjadi isu global di sektor jasa keuangan pasca dunia
dilanda krisis global pada tahun 2008.

Atas dasar itu, lanjut Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK
Kusumaningtuti S Setiono, OJK meluncurkan Pusat Edukasi, Layanan Konsumen, dan Akses Keuangan
UMKMU (PELAKU) serta Mobile ApplicationSikapiuangmu. Menurutnya, keduanya merupakan
implementasi Pilar 2 Strategi Literasi Keuangan Indonesia, yakni untuk memperkuat infrastruktur yang
mendukung peningkatan literasi dan inklusi keuangan.
 
“Hari ini diperkuat dengan diluncurkannya mobile apps Sikapiuangmu serta diresmikannya PELAKU,” ujar
wanita yang disapa Tituk ini.
 
Menurut Tituk, dua hal itu dilakukan dalam rangka memfasilitasi masyarakat untuk lebih mendekatkan diri
dengan akses dan layanan keuangan. Nantinya, program PELAKU akan diterapkan di kantor-kantor OJK
daerah sebagai pusat edukasi, pusat layanan konsumen, serta pusat akses keuangan bagi UMKM.
 
Seiring dengan itu, OJK juga akan membentuk Tim Akselerasi Akses Keuangan untuk program PELAKU ini
yang terdiri dari tim OJK daerah, Bank Indonesia, Pemerintah Daerah, wakil-wakil industri keuangan di
daerah, serta perwakilan asosiasi usaha di daerah. Sementara, untuk aplikasi mobile Sikapiuangmu dirancang
untuk masyarkat yang telah ‘melek teknologi’ agar semakin dekat dengan layanan keuangan. “Untuk
fasilitasi rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat,” pungkasnya.
Kemiskinan dan Literasi Keuangan

“…memberi orang uang tidak memecahkan masalah keuangan mereka…..hal itu akan memperpanjang
masalah dan menciptakan banyak orang miskin”
(Robert T. Kiyosaki)

Tuhan memang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, termasuk potret kehidupan yang secara
ekonomi dapat terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang beruntung. Mereka
memiliki cukup uang untuk makan, membeli pakaian yang layak bahkan mewah, kesehatan dan pendidikan
terjamin, dan aman secara finansial. Berbanding terbalik dengan kelompok kedua, mereka yang boleh
dibilang kurang beruntung. Harus berjuang keras hanya demi bertahan hidup, tingkat kesehatan dan
pendidikan rendah, dan kurang aman finansial. Kelompok kedua inilah yang masuk dalam kategori “Miskin”.
Saat masa kampanye seperti saat ini, tak luput pengentasan kemiskinan menjadi tema jitu menggaet hati
pemilih. Perubahan angka-angka statistik seolah menjadi sebuah prestasi yang membanggakan walau tak
jarang berbeda dengan yang rakyat rasakan. Artinya, secara statistik mungkin kemiskinan akan berkurang
misal lewat gelontoran dana bantuan. Faktanya, bantuan tak lantas membuat si miskin merubah nasibnya
apalagi pola pikirnya.
Hingga saat ini definisi miskin memang terus diformulasikan. Ukuran untuk dapat dikategorikan “miskin”
kian beragam dan generalisasi semakin sulit dilakukan. Apakah yang disebut miskin adalah mereka yang
setiap hari ada dijalan untuk meminta belas kasihan? Atau mereka yang tinggal didaerah kumuh? Miskin
yang dikonotasikan dan dilihat dari aspek ekonomi memang bukan ukuran final. Misalnya, disuatu daerah
warganya memang tidak memiliki uang, hal ini dikarenakan makanan, pakaian, dan rumah yang mereka
gunakan adalah hasil produksi sendiri, yang oleh Todaro dan Smith (2015) disebut sebagai subsistence
economy. Lantas sebenarnya, apakah disebut miskin itu karena tidak memiliki cukup uang?
Mendefinisikan kemiskinan dan upaya mengurangingya memang sama-sama susah. Sebenarnya kurang tepat
memberi label miskin ataupun kaya kepada individu sesuai dengan kondisinya ekonominya. Mengingat
keadilan Tuhan, maka sebenarnya tidak ada miskin atau kaya, yang ada hanya mereka yang melek keuangan
(well financial literacy) dan tidak. Tingkat literasi keuangan yang dimiliki seseorang tentu akan
mempengaruhi manajemen keuangan pribadi/keluarganya dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk tujuan
jangka panjang seperti berinvestasi, berpendidikan tinggi, persiapan usia non-produktif (masa pensiun).
Kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan keuangannya disebut dengan personal finance.
Kemampuan tersebut membantunya dalam mengalokasikan sumberdaya keuangannya secara efisien
sekaligus meningkatkan stabilitas keuangannya baik pada level mikro maupun makro.
Jika kita sepakat bahwa istilah kaya dan miskin/kemiskinan dirubah menjadi melek (literate) dan buta
(illiterate) keuangan, maka harusnya pengentasan mereka yang buta keuangan tentu bukan dengan cara
memberi uang. Alih-alih dapat menjadikan mereka sejahtera, malah menambah masalah. Karena kemampuan
mengelola keuangan mereka yang minim. Bagi mereka yang memiliki cukup modal tentu tak semua faham
harus menginvestasikan modalnya kemana. Pun mereka yang kurang modal, tentu tak semuanya faham
bagaimana memanfaatkan dan mengelola modal yang ada secara efisien. Untuk itu, peningkatan literasi
keuangan diperlukan.
Menjadikan edukasi sebagai fondasi pembangunan tentu sejalan dengan lahirnya era ekonomi baru yang
dikenal sebagai knowledge economic. Era baru perekonomian ini mengutamakan peran teknologi, sistem,
dan kecepatan informasi sebagai penggerak utama (McGrattan dan Prescott, 2007). Artinya pengelolaan
kualitas sumberdaya manusia menjadi keharusan sehingga pemanfaatan teknologi, sistem, dan informasi
menjadi maksimal. Bagi perusahaan, era baru tersebut menjadikannya harus merubah paradigma tradisional
yang hanya mengandalkan aset menjadi paradigma baru yang lebih mengutamakan pengelolaan human
capital dengan memperhatikan peningkatan intellectual capital yang mengarah pada terciptanya sustainable
competitive advance.

Bagi pemerintah, era ekonomi baru tersebut harusnya mengubah pola peningkatan kesejahteraan rakyat yang
tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik dan bantuan tunai tapi juga mengutamakan pembangungan
kualitas manusianya untuk lebih produktif.
Berdasarkan beberapa hasil telaah ilmiah, beberapa menghasilkan kesimpulan bahwa tingkat pendidikan
berkorelasi dengan tingginya tingkat literasi keuangan. Namun, anehnya semakin tinggi tingkat sekolah
seseorang justru tidak menjadi jaminan tingkat literasi keuangan yang baik. Secara umum, literasi keuangan
dapat diukur melalui 2 kategori indeks, yaitu indeks literasi keuangan dasar (Basic financial Literacy Index)
dan indeks literasi keuangan lanjutan (Advanced financial Literacy). Basic financial literacy index terdiri dari
beberapa indikator, diantaranya pengetahuan masyarakat tentang persyaratan memiliki KTP, mengetahui
jumlah minimum untuk membuka tabungan, menghitung bunga pinjaman, inflasi, diskon, time value of
money. Sedang advanced financial literacy index terdiri dari beberapa indikator, diantaranya masyarakat
mengetahui fungsi pasar modal, tingkat suku bunga, risiko obligasi dan saham, faham investasi mana yang
menghasilkan return tinggi, investasi pada satu jenis atau diversifikasi. Jika dilakukan survey terhadap
tingkat literasi keuangan masyarakat, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dikatakan memiliki literasi
keuangan rendah jika indeks menunjukkan angka 60, dikatakan moderat jika indeks berada pada angka
antara 60 – 80. Sedangkan dikatakan memiliki literasi keuangan tinggi jika indeks menunjukkan angka lebih
dari 80.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan berkat kerjasama lembaga DEFINIT, SEADI, dan OJK pada tahun
2013, tingkat literasi keuangan dasar Indonesia berbeda bergantung pada tingkat pendidikan dan pendapatan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan maka literasi keuangan dasar akan semakin baik. Untuk
literasi kuangan lanjutan, hasil survey menunjukkan bahwa Indonesia berada pada level rendah. Walaupun
indeks literasi keuangan masih berkaitan dengan perbankan, namun hasil penelitian tersebut menjadi rambu
dan warning bagi masyarakat Indonesia. Jika literasi keuangan masayarakat rendah, maka tidak heran
berapapun dana bantuan tunai yang dikucurkan akan sia-sia. Jika literasi keuangan rendah, maka tidak heran
jika banyak investasi bodong yang banyak membodohi masyarakat.
Lantas bagaimana merubahnya? Arus perubahan yang semakin cepat dan kapitalisme yang sudah mengakar
mengharuskan tidak hanya mengandalkan pemerintah dalam segala hal. Tentu otonomi daerah sudah
memberikan sinyal bahwa sentralisasi bahkan tak mampu dan harus berubah menjadi desentralisasi. Bagi
akademisi sudah saatnya membumikan ilmu dan mengaplikasikannya dikehidupan. Jangan sampai hasil
pemikiran hanya berakhir pada jurnal bereputasi yang justru dinikmati oranglain sementara tetangga kita
butuh pemikiran-pemikiran yang inovatif dan solutif. Pun tak boleh pengentasan kemiskinan hanya berakhir
diruang-ruang diskusi, seminar dan sejenisnya. Sudah saatnya bekerja sama. Bagi masyarakat, kesadaran
akan pentingnya ilmu dan terus belajar merupakan modal utama dibanding hanya mengandalkan bantuan
dana. Bagi pemerintah, pola pemberdayaan masyarakat terutama peningkatan pengetahuan pengelolaan
keuangan dirasa lebih efektif. Walau butuh waktu, namun efeknya tentu lebih boombastis dibanding sekedar
bagi-bagi uang. Kesimpulannya, bukan uang yang merubah si miskin jadi kaya, namun kemampuannya
dalam mengelola keuangannlah yang bisa merubah semuanya.

Pemerintah Petakan 6 Fokus Inklusi Keuangan Indonesia Tahun 2019


Pemerintah melalui Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) telah membahas dan menetapkan enam
fokus kegiatan inklusi keuangan di Indonesia pada tahun 2019. Penerapan itu menurut Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian, Darmin Nasution memperhatikan berbagai aspek pengembangan inklusi keuangan. 
“Kita harus lebih dalam melihat fenomena keuangan inklusif ini. Indikatornya bukan sekedar bicara tentang
berapa jumlah penduduk yang memiliki rekening di bank, tapi kita juga harus tahu seberapa aktif rekening
tersebut,” ujar Darmin Nasution saat memimpin Rapat Koordinasi DNKI, di Kantor Kemenko Bidang
Perekonomian, Jakarta, Senin (21/01/2019).

Menurut Menko Perekonomian, secara fundamental negara kita memang perlu membuat kebijakan yang bisa
menarik modal asing. Kebijakan tersebut bukan hanya untuk meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI),
melainkan juga untuk menutup defisit transaksi berjalan.

Darmin menerangkan, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pentingnya dana asing masuk ke
Indonesia. “
Pertama, karena saving kita terlalu rendah dibanding investasi. Terlalu banyak bagian dari income yang
tidak dikonsumsi dan tidak menjadi saving yang aktif. Syarat menjadi aktif adalah taruh di bank atau
instrumen keuangan,” paparnya.

Kedua, ekonomi modern memerlukan sektor keuangan untuk bisa memobilisasi dana dari masyarakat,
misalnya melalui fintech (financial technology, red). Ketiga, masyarakat cenderung melakukan savingyang
lama dalam bentuk tanah. Di sinilah pentingnya penguatan strategi nasional keuangan inklusif.

Bagi Darmin, upaya memberdayakan masyarakat juga sangat penting. Masyarakat perlu aktif secara inklusif
membangun ekosistem perekonomian yang baik untuk jangka panjang.

Adapun Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Iskandar
Simorangkir melaporkan hasil evaluasi kinerja keuangan inklusif tahun 2018.

Dari Desember 2017 hingga September 2018, jumlah agen Layanan Keuangan Digital (LKD) meningkat
80,4% menjadi 249.022 agen. Sementara jumlah agen Laku Pandai meningkat 182,2% menjadi 804.308
agen.

Kemudian jumlah unit kartu beredar meningkat 58% menjadi 142 juta unit dan jumlah uang elektronik
terdaftar di agen LKD meningkat 145% menjadi 3,5 juta unit di rentang Desember 2017 s.d September 2018.

Pemerintah juga terus mempercepat sertifikasi hak properti masyarakat yang dapat dijadikan agunan dengan
menerbitkan sertipikat bidang tanah melalui kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL).

Adapun capaian sertipikasi Hak Atas Tanah tahun 2017 adalah sebanyak 4.231.616, sedangkan capaian
sertipikasi Hak Atas Tanah sampai dengan Desember tahun 2018 sebanyak 9.400.000.

“DNKI juga mendorong peningkatan peran koperasi simpan pinjam (KSP & credit union), memperluas
layanan keuangan melalui sinergi dengan lembaga selain bank, serta meningkatkan infrastruktur yang
mendukung inklusi keuangan,” terang Iskandar.

Mengenai peningkatan kesadaran dan literasi keuangan masyarakat, Bulan Inklusi Keuangan dari Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) Indonesia yang melibatkan 557 lembaga jasa keuangan telah menghasilkan 7,5 juta
rekening baru.

Program Simpanan Pelajar (SimPel) pun telah dijalankan dengan kunjungan mobil bank ke sekolah-sekolah.
Program ini melibatkan 322.093 sekolah dan menghasilkan pembukaan rekening SimPel sebesar 16.280.353
(periode 2015-2018).

“Untuk SimPel, saya berharap hal ini dapat dikaitkan dengan hari menabung. Misal sekali di awal bulan.
Kemudian kita berikan reward pada siswa-siswa yang rajin menabung. Saya yakin itu juga akan membantu
untuk melahirkan rekening aktif,” pesan Menko Darmin.

Adapun ke enam fokus kegiatan inklusi keuangan di Indonesia untuk tahun 2019, yakni: 
1. Peningkatan Literasi Keuangan dan Perlindungan Konsumen,
2. Perluasan Pembukaan Rekening,
3. Percepatan Sertifikasi Hak Properti Masyarakat yang Dapat Dijadikan Agunan,
4. Optimalisasi dalam Layanan Agen Bank,
5. Peningkatan Layanan Keuangan Digital dan Transaksi Non Tunai, serta
6. Penguatan Monitoring dan Evaluasi Keuangan Inklusif.

Anda mungkin juga menyukai