Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PRODUKSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah Studi Ayat dan Hadits Ekonomi
Dosen Pengampu: Muhammad Aqim Adlan, M.E.I

Disusun oleh
Kelompok 3:

1. Muhammad Efendi A. (1860401222071)


2. Kiki Melinda (1860401222072)
3. Nadim Rifki (1860401222073)
4. Aulia Mirza Ardhita (1860401222074)
5. Fatmawati Irma Zukesi (1860401222075)
6. Ahmad Kharriza Al Ghifary (1860401222076)

PS2B
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
FEBRUARI 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi.
Kegiatan produksilah yang menghasilkan barang dan jasa, kemudian
dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi, maka kegiatan ekonomi
akan berhenti, demikian pula sebaliknya. Produksi merupakan kebutuhan
dasar yang pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga
keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Produksi sendiri sudah ada
sejak manusia menghuni bumi ini.
Dalam Islam, definisi produksi adalah dimana barang yang ingin
diproduksi dan proses produksi serta proses distribusi harus sesuai dengan
nilai-nilai syariah dalam artian harus dalam kerangka halal. Produksi lahir dari
proses penyatuan antara manusia dan alam semesta. Allah SWT telah
menetapkan manusia sebagai khalifah (orang yang dipercaya dan diberi
tanggungjawab) di muka bumi. Bumi adalah medan dan lahan untuk
beraktivitas, sedangkan manusia adalah pengelolanya. Tanpa ada produksi
niscaya tidak akan pernah ada kegiatan perekonomian.
Dalam agama Islam juga mengajarkan bahwa semua kegiatan bisnis
haruslah dijalankan dalam bidang yang benar yaitu barang dan jasanya tidak
boleh yang diharamkan dan prosesnya harus dijalankan menurut norma dari
agama. Produksi dapat menjadi haram jika barang yang dihasilkan ternyata
hanya akan mendatangkan dampak yang membahayakan masyarakat
mengingat adanya pihak-pihak yang dirugikan dari hadirnya produk-produk,
baik berupa barang maupun jasa.
Oleh karena itu dalam makalah yang berjudul “Produksi Dalam Perspektif
Islam” ini akan dijelaskan secara rinci tentang pengertian produksi, faktor
produksi, tujuan produksi, kaidah-kaidah syariah dalam produksi, nilai-nilai
Islam dalam produksi, prinsip produksi dalam Islam serta hadits yang

1
berkaitan dengan produksi. Makalah ini dibuat dengan tujuan agar pembaca
mengetahui tentang produksi dalam perspektif Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan produksi?
2. Apa saja faktor produksi?
3. Apa saja tujuan produksi.
4. Apa saja kaidah-kaidah syariah dalam produksi?
5. Bagaimana nilai-nilai islam dalam produksi?
6. Bagaimana prinsip produksi dalam islam?
7. Bagaimana teks-teks hadist tentang produksi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan produksi.
2. Untuk mengetahui apa saja faktor produksi.
3. Untuk mengetahui apa saja tujuan produksi.
4. Untuk mengetahui apa saja kaidah-kaidah syariah dalam produksi.
5. Untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai Islam dalam produksi.
6. Utuk mengetahui bagaimana prinsip produksi dalam islam.
7. Untuk mengetahui bagaimana teks-teks hadits tentang produksi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Produksi
Sejak manusia berada di muka bumi, produksi ikut juga menyertainya.
Produksi sangat penting bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia
dan bumi. Menurut Adiwarman Karim, sesungguhnya produksi lahir dan
tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam. Dalam bahasa Arab, arti
produksi adalah al-intaj dari akar kata nataja, yang berarti mewujudkan atau
mengadakan sesuatu, atau pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya
bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu
yang terbatas.
Produksi adalah menciptakan manfaat atas sesuatu benda. Secara
terminologi, kata produksi berarti menciptakan dan menambah kegunaan
(nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila
memberikan manfaat baru atau lebih dari semula. Secara umum, produksi
adalah penciptaan guna (utility) yang berarti kemampuan suatu barang atau
jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi tertentu.1
Tri Pracoyo dan Antyo Pracoyo (2006) mendefinisikan bahwa produksi
sebagai suatu proses mengubah kombinasi berbagai input menjadi output.
Pengertian produksi tidak hanya terbatas sebagai proses pembuatan saja tetapi
juga sebagai penyimpanan, distribusi, pengangkutan, pengemasan kembali dan
pemasarannya. Istilah produksi berlaku untuk barang maupun jasa. Setiap
produsen dalam melakukan kegiatan produksi diasumsikan dengan tujuan
memaksimumkan keuntungan. Masalah pokok yang dihadapi produsen dalam
melakukan kegiatan produksi adalah berapa output yang harus produksikan
dan bagaimanakah mengombinasikan berbagai input (faktor produksi) agar
dapat menghasilkan output secara efisien.

1
Idri, Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, (Jakarta: Kencana, 2017),
hlm. 60 ̶ 61

3
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa produksi adalah
kegiatan yang tidak hanya berorientasi pada barang dan jasa tetapi suatu
proses mengubah kombinasi input menjadi output, yang menitikberatkan pada
pencapaian maksimum keuntungan. Produksi tidak berarti menciptakan secara
fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan
benda. Dalam pengertian ahli ekonomi, yang dapat dikerjakan manusia adalah
membuat barang-barang menjadi berguna.2

B. Faktor Produksi
1. Modal
Modal menduduki tempat yang spesifik. Dalam masalah modal,
ekonomi Islam memandang modal harus bebas dari bunga. M.A. Mannan
berpendapat, bahwa modal adalah sarana produksi yang menghasilkan. bukan
sebagai faktor produksi pokok, melainkan sebagai sarana untuk mengadakan
tanah dan tenaga kerja. Semua benda yang menghasilkan pendapatan selain
tanah harus dianggap sebagai modal termasuk barang- barang milik umum.
Islam mengatur pengelolaan modal sedemikian rupa dengan seadil-adilnya,
melindungi kepentingan orang miskin, dan orang yang kekurangan, dengan
aturan bahwa modal tidak dibenarkan hanya untuk segelintir orang kaya
semata (QS Al-Hasyr [59]: 7). Bentuk keadilan menumpuk yang diajarkan
Islam dalam persoalan modal ini dengan cara mensyariatkan zakat, dan akad
mudharabah serta musyarakah.
Yang dimaksud dengan modal adalah barang-barang atau peralatan
yang dapat digunakan untuk melakukan proses produksi. Modal menurut
pengertian ekonomi adalah barang atau hasil produksi yang digunakan untuk
menghasilkan produk lebih lanjut. Misalkan, orang membuat jala untuk
mencari ikan. Dalam hal ini jala merupakan barang modal, karena jala
merupakan hasil produksi yang digunakan untuk menghasilkan produk lain

2
Dewan Pengurus Nasional FORDEBI & ADESI, Ekonomi dan Bisnis Islam, (Depok:
Rajawali Pers, 2017), hlm. 249 ̶ 250

4
(ikan). Modal dapat digolongkan berdasarkan sumbernya, bentuknya.
berdasarkan kepemilikan, serta berdasarkan sifatnya.
a. Berdasarkan sumbernya, modal dapat dibagi menjadi dua: modal
sendiri dan modal asing. Modal sendiri adalah modal yang berasal dari
dalam perusahaan sendiri. Misalnya, setoran dari pemilik perusahaan.
Sementara itu, modal asing adalah modal yang bersumber dari luar
perusahaan. Misalnya, modal yang berupa pinjaman bank.
b. Berdasarkan bentuknya, modal dibagi menjadi modal konkret dan
modal abstrak. Modal konkret adalah modal yang dapat dilihat secara
nyata dalam proses produksi. Misalnya, mesin, gedung, mobil, dan
peralatan. Sedangkan yang dimaksud dengan modal abstrak adalah
modal yang tidak memiliki bentuk nyata, tetapi mempunyai nilai bagi
perusahaan. Misalnya, hak paten, nama baik, dan hak merek.
c. Berdasarkan kepemilikannya, modal dibagi menjadi modal individu
dan modal masyarakat. Modal individu adalah modal yang sumbernya
dari perorangan dan hasilnya menjadi sumber pendapatan bagi
pemiliknya Contohnya adalah rumah pribadi yang disewakan.
Sedangkan yang dimaksud dengan modal masyarakat adalah modal
yang dimiliki oleh pemerintah dan digunakan untuk kepentingan
umum dalam proses produksi. Contohnya adalah rumah sakit umum
milik pemerintah jalan, jembatan, atau pelabuhan.
d. Modal dibagi berdasarkan sifatnya: modal tetap dan modal lancar.
Modal tetap adalah jenis modal yang dapat digunakan secara berulang-
ulang. Misalnya mesin-mesin dan bangunan pabrik. Sementara itu,
yang dimaksud dengan modal lancar adalah modal yang habis
digunakan dalam satu kali proses produksi. Misalnya, bahan-bahan
baku produksi.3

3
Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2016), hlm. 113 ̶ 114

5
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja manusia adalah segala kegiatan manusia baik jasmani
maupun rohani yang dicurahkan dalam proses produksi untuk
menghasilkan barang dan jasa maupun faedah suatu barang. Tenaga kerja
merupakan faktor produksi yang diakui oleh setiap sistem ekonomi baik
ekonomi Islam, kapitalis, dan sosialis. Walaupun demikian, sifat faktor
produksi ini dalam Islam berbeda. Perburuhan sangat tergantung pada
kerangka moral dan etika. Hubungan buruh dan majikan dilakukan
berdasarkan ketentuan syariat. Sehingga tenaga kerja sebagai faktor
produksi dalam Islam tidak dilepaskan dari unsur moral dan sosial.
Ekonomi sosialis memang mengakui, bahwa faktor tenaga kerja
merupakan faktor penting dalam produksi. Namun, sistem ekonomi ini
tidak memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap hak milik
individu sehingga faktor tenaga kerja hanya sekadar pekerja saja. Sistem
ekonomi kapitalis memandang modal sebagai unsur yang penting.
Sementara itu, para pemilik modal menduduki tempat yang strategis dalam
kegiatan ekonomi. Mereka menempatkan pemilik modal pada posisi yang
lebih penting dari pekerja. Keuntungan adalah hak mutlak pemilik modal
sedangkan pekerja hanya alat untuk memperoleh keuntungan, sehingga
pekerja hanya mendapatkan pendapatan berdasarkan kemauan dan
kepentingan pemodal.
Tenaga kerja manusia dapat diklasifikasikan menurut tingkatannya
(kualitasnya) yang terbagi atas:
a. Tenaga kerja terdidik (skilled labour), adalah tenaga kerja yang
memperoleh pendidikan baik formal maupun non formal, seperti guru,
dokter, pengacara, akuntan, psikologi, peneliti.
b. Tenaga kerja terlatih (trained labour), adalah tenaga kerja yang
memperoleh keahlian berdasarkan latihan dan pengalaman. Misalnya,
montir, tukang kayu, tukang ukir, sopir, teknisi.

6
c. Tenaga kerja tak terdidik dan tak terlatih (unskilled and untrained
labour), adalah tenaga kerja yang mengandalkan kekuatan jasmani dari
pada rohani, seperti tenaga kuli pikul, tukang sapu, pemulung, buruh
tani.4

3. Tanah
Tanah adalah faktor produksi yang penting mencakup semua
sumber daya alam yang digunakan dalam proses produksi. Ekonomi Islam
mengakui tanah sebagai faktor ekonomi untuk dimanfaatkan secara
maksimal demi mencapai kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan
memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Al-Qur'an dan Sunnah
dalam hal ini banyak menekankan pada pemberdayaan tanah secara baik.
Dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dapat habis, Islam menekan
agar generasi hari ini dapat menyeimbangkan pemanfaatannya untuk
generasi yang datang. Berdasarkan pengertian tersebut, pemanfaatan
sumber daya alam tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dan
dapat membahayakan generasi yang akan datang.5

4. Kewirausahaan
Faktor kewirausahaan adalah keahlian atau keterampilan yang
digunakan seseorang dalam mengkoordinir faktor-faktor produk. Sumber
daya pengusaha yang disebut juga kewirausahaan. Berperan mengatur dan
mengkombinasikan faktor-faktor produksi dalam meningkatkan kegunaan
barang atau jasa secara efektif dan efisien. Pengusaha berkaitan dengan
managemen. Sebagai pemicu proses produksi, pengusaha perlu memiliki
kemampuan yang dapat diandalkan. Untuk mengatur dan
mengkombinasikan faktor-faktor produksi, pengusaha harus mempunyai
kemampuan merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan dan
mengendalikan usaha.

4
Ibid
5
Ibid., hlm. 115 ̶ 116

7
Organisasi sebagai faktor produkasi dalam ekonomi Islam berbeda
dengan konsep organisasi dalam ekonomi konvensional. Dalam sistem
ekonomi Islam, organisasi sebagai faktor produksi yang mempunyai ciri-
ciri yaitu pertama, dalam ekonomi Islam produksi lebih didasarkan pada
equity based (kekayaan) daripada loan based (pinjaman). Para manajer
cenderung mengelola perusahaan dengan prinsip membagi deviden di
kalangan pemegang saham atau berbagi hasil dengan mitra usaha. Sifat
motivasi organsiasi cenderung dilakukan dalam bentuk investasi
mudharabah dan musyarakah dan bentuk lainnya.
Kedua sebagai akibatnya, pengertian kuntungan biasanya
mempunyai arti yang luas dalam kerangka ekonomi karena dalam sistem
ekonomi Islam tidak mengenal bunga. Pemodal dan pengusaha menjadi
bagian terpadu dalam organisasi dan keuntungan menjadi urusan bersama.
Perilaku mengutamakan kepentingan orang lain begitu dipentingkan dalam
organisasi perusahaan. Ketiga, karena sifat terpadu organisasi inilah
tuntutan akan integritas moral, ketepatan dan kejujuran dalam accounting
jauh lebih diperlukan daripada organisasi konvensional di mana para
pemodal tidak menjadi bagian dari manajemen. Islam menekankan
kejujuran, ketepatan, dan kesungguhan dalam perdagangan karena hal itu
bisa mengurangi biaya supervisi atau pengawasan. Keempat, faktor
manusia dalam produksi dan strategi usaha mempunyai signifikasi lebih
diakui dibandingkan manajemen lainnya yang didasarkan pada
pemaksimalan keuntungan atau penjualan.6

C. Tujuan Produksi
Produksi dalam Islam tidak semata-mata hanya ingin memaksimalisasi
keuntungan dunia, akan tetapi yang lebih penting adalah memaksimalisasi
keuntungan di akhirat. Menurut Nejatullah, tujuan produksi dalam Islam yaitu
memenuhi kebutuhan diri secara wajar, memenuhi kebutuhan masyarakat,
keperluan masa depan, keperluan generasi akan datang, dan pelayanan

6
Ibid., hlm. 116 ̶ 117

8
terhadap masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah
bertindak adil dan membawa kebajikan bagi masyarakat maka produsen telah
bertindak islami.
Tujuan ini didasarkan pada beberapa hadis Nabi SAW, di antaranya:

‫ف فَقَا َل التي صلى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن‬ ِ ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل َكانُوا يَ ْز َرعُونَهَا بِالثُّل‬
ِ ْ‫ث َوال َّرب ِْع َوالبَص‬ ِ ‫ع َْن َجابِ ٍر َر‬
َ ْ‫َت لَهُ َأرْ ضُ فَ ْليَرْ َر ْعهَا َأوْ لِيَ ْمن ُحهَا فَِإن لَّ ْم يَ ْف َعلْ فَ ْليُ ْم ِس ْك َأر‬
ُ‫ضه‬ ْ ‫َكان‬

"Dari Jabir r.a. berkata: 'Dahulu orang-orang mempraktikkan pemanfaatan


tanah ladang dengan upah sepertiga, seperempat, atau setengah, maka Nabi
SAW bersabda: 'Siapa yang memiliki tanah ladang hendaklah dia garap untuk
bercocok tanam atau dia hibahkan. Jika dia tidak lakukan, maka hendaklah dia
biarkan tanahnya." (HR. Bukhari).
Produksi barang dan jasa yang dilakukan seorang Muslim untuk
memperbaiki apa yang dimilikinya, baik berupa sumber daya alam maupun
harta, dan dipersiapkan untuk dimanfaatkan oleh pelakunya sendiri atau oleh
umat Islam. Hadis tersebut selain menunjuk kan hubungan erat antara kegiatan
produksi dan manfaat yang terdapat di dalamnya, juga mengajarkan bahwa
dalam rangka mengelola sumber daya untuk tujuan produksi, maka dianjurkan
untuk bekerja sama dengan orang yang memiliki keahlian di bidang tersebut.
Semua sistem ekonomi sepakat bahwa produksi merupakan poros aktivitas
ekonomi, di mana kegiatan konsumsi maupun distribusi tidak mungkin
dilakukan tanpa melalui proses produksi. Begitu pentingnya sehingga Umar
bin Khattab menilai kegiatan produksi sebagai salah satu bentuk jihad
fisabilillah.

Dalam hal ini Beliau mengatakan:


"Tidaklah Allah Swt. menciptakan kematian yang aku meninggal
dengannya setelah terbunuh dalam jihad fisabilillah yang lebih aku cintai
daripada aku meninggal di antara dua kaki untaku ketika berjalan di muka
bumi dalam mencari sebagian karunia Allah Swt."

9
Umar bin Khattab mengimbau kaum muslimin untuk memperbaiki
ekonomi mereka dengan melakukan kegiatan yang produktif. Di antara
riwayat yang berkaitan dengan hal ini, bahwa ketika Abu Dzibyan Al-Asadi
datang dari Irak, Umar berkata kepadanya tentang gajinya. Ketika Umar
diberitahunya, maka Umar mengimbaunya agar sebagian dari gajinya
diinvestasikan sebagai aktivitas yang produktif, dan berkata kepadanya:
"Nasihatku kepadamu, dan kamu berada di sisiku, adalah seperti nasihatku
terhadap orang yang di tempat terjauh dari wilayah kaum Muslimin. Jika
keluar gajimu, maka sebagiannya agar kau belikan kambing, lalu jadikanlah di
daerahmu. Dan, jika keluar gajimu yang selanjutnya, belilah satu atau dua
ekor, lalu jadikanlah sebagai harta pokok."
Maksud dari riwayat ini agar seseorang menjadikan sebagian hartanya
untuk modal tetap dalam ekonomi yang produktif. Jika Umar menganggap
berproduksi adalah bagian dari jihad fisabilillah, segala usaha yang dihasilkan
dari produksi dalam Islam juga dinilai sebagai sedekah.

ْ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يَ ْغ ِرسُ غَرْ سًا َأو‬َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ِ ‫ك َر‬ ٍ ِ‫َس ب ِْن َمال‬ِ ‫ع َْن َأن‬
ٌ‫ص َدقَة‬ َ ُ‫ع زَ رْ عًا فَيَْأ ُك ُل ِم ْنه‬
َ ‫ط ْي ٌر َأوْ ِإ ْن َسانُ َأوْ بَقِي َمةٌ ِإاَّل َكانَ لَهُ بِ ِه‬ ُ ‫يَ ْز َر‬

"Dari Anas bin Malik ra berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah


seorang Muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman lalu
tanaman itu dimakan oleh burung atau manusia atau hewan melainkan itu
menjadi sedekah baginya."

Produksi di dalam Islam tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan


materi saja. Hadits di atas misalnya menjelaskan bahwa seseorang yang
melakukan kegiatan produksi di bidang pertanian bukan hanya memperoleh
manfaat berupa hasil pertanian namun juga memberi manfaat bagi orang lain
dengan menyediakan bahan makanan untuk mereka, bahkan makhluk seperti
hewan herbivora, karnivora, dan pengurai pun mendapat manfaat dari aktivitas

10
pertanian yang dilakukan petani. Dengan demikian, produksi tidak hanya
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup produsen secara pribadi namun
juga memenuhi kebutuhan masyarakat.
Selain untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan masyarakat, sesungguhnya
Islam juga mengakomodasi motif untuk meraih keuntungan dari kegiatan
produksi. Umar bin Khattab misalnya mengatakan:
"Barangsiapa yang memperdagangkan sesuatu sebanyak tiga kali, namun
tidak mendapatkan sesuatu pun di dalamnya, maka hendaklah beralih darinya
kepada yang lain."7

D. Kaidah-Kaidah Syariah dalam Produksi


Dalam ekonomi konvensional, seseorang diberikan hak untuk
memproduksi segala sesuatu yang dapat mengalirkan keuntungan kepadanya,
meskipun hal itu kontradiksi dengan kemashalatan material dan moral
masyarakat.8 Adapun dalam ekonomi Islam, seorang produsen muslim harus
komitmen dengan kaidah-kaidah syariah untuk mengatur kegiatan
ekonominya. Dimana tujuan pengaturan ini adalah dalam rangka keserasian
antara kegiatan ekonomi dan berbagai kegiatan yang lain dalam kehidupan
untuk merealisasikan tujuan umum syariah, mewujudkan bentuk-bentuk
kemaslahatan, dan menangkal bentuk-bentuk kerusakan. Dalam fikih ekonomi
Umar Radhiyallahu Annu dapat ditemukan kaidah-kaidah produksi tepatnya
dalam kaidah syariah yang bisa kami dijelaskan. Yang dimaksudkan dengan
kaidah syariah di sini bukan dari sisi halal dan haram saja, namun lebih luas
lagi yang mencakup tiga sisi, yaitu: akidah, ilmu, dan amal.
1. Akidah
Demikian itu adalah dengan keyakinan seseorang muslim bahwa
aktivitasnya dalam bidang perekonomian merupakan bagian dari peranannya

7
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi islam, Ekonomi Islam, (Depok:
PT.RAJA GRAFINDO PERSADA, 2013), Hlm.231—238
8
Asmuni Sholihan Zamakhasyari, Fiqih Ekonomi Umar Bin Al Khatab, (Jakarta,
Pustaka-Al kautsar,2006), Hlm. 63—64

11
dalam kehidupan, yang jika dilaksanakan dengan ikhlas dan cermat akan
menjadi ibadah baginya. Ini yang pertama.
Pada sisi lain, bahwa produsen muslim berkeyakinan bahwa hasil
usahanya, keuntungan yang diraihnya, dan rizki yang didapatkannya
adalah semata-mata karena pertolongan Allah dan takdir-Nya. Sebab,
boleh jadi dia telah mengerahkan upaya kerasnya dan menggunakan sarana
yang semestinya, namun hasilnya tidak seperti yang dia harapan, maka dia
akan menghadapi demikian itu dengan sikap ridha dan tentram terhadap
qadha' dan takdir Allah; karena rizki di tangan Allah, yang diberikan-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, dan ditahan-
Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya.
2. Ilmu
Seorang muslim wajib mempelajari hukum-hukum syariah yang
berkaitan aktivitas perekonomiannya, sehingga dia mengetahui apa yang
benar dan yang salah di dalamnya, agar muamalahnya benar, usahanya
lancar, dan hasilnya halal.9
Sesungguhnya ketidaktahuan tentang hukum-hukum syariah untuk
aktivitas perekonomian akan menjatuhkan ke dalam yang haram dan bila
seorang muslim jatuh ke dalam haram, terhapuslah keberkahan
aktivitasnya dan tercampakkan ke dalam murka Allah, sehingga dia rugi di
dunianya dan akhiratnya.10 Sungguh Umar mengerti dampak-dampak
negatif dikarenakan tidak mengetahui hukum-hukum syariah bagi aktivitas
perekonomian. Karena itu, mengetahui hukum-hukum tersebut lebih
dicintai Umar daripada dunia dan seisinya; karena tiada nilai bagi dunia
tanpa mengetahui halal dan haramnya. Maka bila saja kaum muslimin
pada hari ini peduli dalam mempelajari hukum-hukum muamalah ekonomi
sebelum melakukannya, sehingga hilang dari mereka kegelisahan, dan
mampu bangkit dalam mengikis segala fenomena kemiskinan dan sikap
ikut-ikutan di tengah mereka.

9
Ibid., Hlm. 65
10
Ibid., Hlm. 66-67

12
3. Amal
Sisi ini merupakan hasil aplikasi terhadap sisi akidah dan sisi
ilmiah, yang dampaknya nampak dalam kualitas produksi yang dihasilkan
oleh seorang muslim dan dilemparkannya ke pasar.11
Sesungguhnya kualitas produksi dalam ekonomi konvensional
berkaitan dengan kondisi permintaan riil yang didukung dengan daya beli.
Maka, segala hal yang memenuni keinginan manusia yang disertai
kemampuan finansial, lebih laik diproduksi, dan masuk dalam kategori
produk yang dilemparkan di pasar."
Sedangkan dalam ekonomi Islam, kualitas produksi tunduk
terhadap hukum syariah yang ditetapkan Pencipta alam semesta. Karena
itu, apa yang diperbolehkan syariah laik diproduksi dan dilemparkan ke
pasar, sedangkan yang diharamkan syariah, seorang muslim tidak boleh
maju untuk memproduksinya. Di mana Umar Radhiallahu Anhu
mengungkapkan makna tersebut dengan perkataannya, "Allah melaknat
Fulan! Sebab, dia orang pertama yang mengizinkan penjualan khamar.
Dan, sungguh tidak halal berdagang melainkan dalam sesuatu yang halal
dimakan dan diminum." Dalam riwayat lain disebutkan, "Sebab,
sesungguhnya tidak laik berdagang dalam sesuatu yang tidak halal
dimakan dan diminum”. Sesungguhnya Umar Radhiyallahu Anhu sangat
antusias atas kehalalan produksi, dan menghimbau kaum muslimin agar
menjauhi aktivitas yang haram dan syubhat.

E. Nilai-nilai Islam dalam Produksi


Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat
terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai Islam Dengan kata
lain, seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan

11
Ibid., Hlm. 67

13
teknikal yang Islami, sebagaimana dalam kegiatan konsumsi.12 Sejak dari
kegiatan mengorganisasi faktor produksi, proses produksi hingga
pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya diharapkan
mengikuti moralitas dan aturan teknis yang dibenarkan oleh Islam
Metwally (1992) mengatakan, "perbedaan dari perusahaan-perusahaan non
Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan kebijakan
ekonomi dan strategi pasarnya.”
Nilai-nilai Islam yang relevan dengan produksi dikembangkan dan tiga
nilai utama dalam ekonomi Islam, yaitu: khilafah, adil dan takaful Secara
lebih rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi:
1. Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi kepada tujuan
akhirat;
2. Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau
eksternal;
3. Memenuhi takaran, ketepatan, kelugasan, dan kebenaran;
4. Berpegang teguh pada kedisiplinan & dinamis;
5. Memuliakan prestasi/produktivitas;
6. Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi;
7. Menghormati hak milik individu;
8. Mengikuti syarat sah & rukun akad/transaksi;
9. Adil dalam bertransaksi;
10. Memiliki wawasan sosial;
11. Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam
Islam.
Penerapan nilai-nilai di atas dalam produksi tidak saja akan
mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi sekaligus mendatangkan
berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah yang diperoleh oleh produsen
merupakan satu mashlahah yang akan memberi kontribusi bagi

12
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi islam, Ekonomi Islam,
(Depok:PT.RAJA GRAFINDO PERSADA, 2013), Hlm.252—253

14
tercapainya falah. Dengan cara ini, maka produsen akan memperoleh
kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga di
akhirat.

F. Prinsip Produksi dalam Islam


1. Motivasi berdasarkan keimanan
Aktivitas produksi yang dijalankan seorang pengusaha muslim terikat
dengan motivasi keimanan atau keyakinan positif, yaitu semata-mata untuk
mendapatkan ridha Allah SWT, dan balasan di negeri akhirat. Sehingga
dengan motivasi atau keyakinan positif tersebut maka prinsip kejujuran,
amanah, dan kebersamaan akan dijunjung tinggi. Prinsip-prinsip tersebut
menolak prinsip individualisme (mementingkan diri sendiri), curang, khianat
yang sering dipakai oleh pengusaha yang tidak memiliki motivasi atau
keyakinan positif. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Az Zukhruf
ayat 32, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami Telah
menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia,
dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang
lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Hal ini menunjukkan bahwa tujuan seorang pengusaha muslim tidak
semata-mata mencari keuntungan maksimum, tetapi puas terhadap
pencapaian tingkat keuntungan yang wajar (layak). Tingkat keuntungan
dalam berproduksi bukan lahir dari aktivitas yang curang, tetapi keuntungan
tersebut sudah merupakan ketentuan dari Allah SWT sehingga keuntungan
seorang pengusaha muslim di dalam berproduksi dicapai dengan
menggunakan atau mengamalkan prinsip-prinsip Islam, sehingga Allah SWT
ridha terhadap aktivitasnya.

2. Berproduksi berdasarkan azas manfaat dan Maslahat


Seorang muslim dalam menjalankan proses produksinya tidak semata
mencari keuntungan maksimum untuk menumpuk aset kekayaan.

15
Berproduksi bukan semata-mata karena profit ekonomis yang diperolehnya,
tetapi juga seberapa penting manfaat keuntungan tersebut untuk kemaslahatan
masyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam surat Az Zariyat ayat 19: “Dan
pada harta- harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian”. Juga terdapat dalam surat Al
Ma’arij ayat 24-25: “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu “Bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai
apa-apa (yang tidak mau meminta)”. Pemilik dan manajer perusahaan Islami
juga menjadikan objek utama proses produksi sebagai “memperbesar
sedekah”. Tentang objek ini tidak perlu harus memiliki arti ekonomi seperti
dalam sistem ekonomi pasar bebas. Perusahaan yang Islami percaya bahwa
pengeluaran untuk sedekah merupakan sarana untuk memuaskan keinginan
Tuhan, dari akan mendatangkan keberuntungan terhadap perusahaan, seperti
meningkatnya permintaan atas produksinya.

3. Mengoptimalkan kemampuan akalnya


Seorang muslim harus menggunakan kemampuan akalnya
(kecerdasannya), Serta profesionalitas dalam mengelola sumber daya. Karena
faktor produksi yang Digunakan untuk menyelenggarakan proses produksi
sifatnya tidak terbatas, Manusia perlu berusaha mengoptimalkan kemampuan
yang telah Allah berikan. Sebagaiman firman Allah SWT dalam Al Qur’an
surat Ar-Rahman ayat 33: “Hai Jin dan manusia, jika kamu sanggup
menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak
dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”. Beberapa ahli tafsir
menafsirkan “kekuatan dengan akal pikiran. Demikian pula ketika
berproduksi, seorang pengusaha muslim tidak perlu pesimis bahwa Allah
SWT tidak akan memberikan rezeki kepadanya, karena bagi orang yang
beriman maka Allah-lah penjamin rezekinya. Sebagaimana firman Allah
dalam surat Fushilat ayat 31: “Kamilah pelindung-pelindung dalam
kehidupan dunia dan akhirat, di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu
inginkan dan memperoleh pula di dalamnya apa yang kamu minta”. Dalam

16
surat Fathir ayat 1, Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit
dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus
berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang)
dua, tiga, dan empat Allah menambahkan pada ciptaannya apa yang
dikehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
4. Adanya sikap tawazun (keberimbangan)
Produksi dalam Islam juga mensyaratkan adanya sikap tawazun
(keberimbangan antara dua kepentingan, yakni kepentingan umum dan
kepentingan khusus (Abdullah Abdul Husein, 2004). Keduanya tidak dapat
dianalisis secara hierarkis, melainkan harus sebagai satu kesatuan. Produksi
dapat menjadi haram jika barang yang dihasilkan ternyata hanya akan
membahayakan masyarakat mengingat adanya pihak-pihak yang dirugikan
dari kehadiran produk, baik berupa barang maupun jasa produk-produk dalam
kategori ini hanya memberikan dampak tidak seimbangan dan kegoncangan
bagi aktivitas ekonomi secara umum. Akibatnya, misi rahmatan lil ‘alamiin
ekonomi Islam tidak tercapai.

5. Harus optimis
Seorang produsen muslim yakin bahwa apa pun yang diusahakannya
sesuai dengan ajaran Islam tidak membuat hidupnya menjadi kesulitan. Allah
SWT telah menjamin rezekinya dan telah menyediakan keperluan hidup
seluruh mahlukNya termasuk manusia. Sebagaimana firman Allah dalam
surat Al Mulk ayat 15: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu,
maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-
Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.
Demikian juga firman Allah SWT dalam surat Al Hijr ayat 19-20: “Dan kami
telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami
menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi
rezeki kepadanya”. Juga dalam surat Huud ayat 6: “Dan tidak ada suatu
binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat

17
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh
mahfudz)”.
6. Menghindari praktik produksi yang haram
Seorang produsen muslim menghindari praktik produksi yang
mengandung unsur haram atau riba, pasar gelap, dan spekulasi sebagaimana
firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 90: “Hai orang-orang beriman,
sesungguhnya khamar, judi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib
dengan anak panah adalah perbuatan keji (termasuk perbuatan setan). Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Dalam
surat Ali Imron 130, Allah SWT berfirman tentang larangan riba: “Hai orang-
orang yang beriman janganlah kamu makan riba yang berlipat ganda, dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu berbahagia”.13

G. Teks-Teks Hadist tentang Produksi


1. Hadist tentang pentingnya produksi

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا هللاَ َوَأجْ ِملُوا في‬
َ ِ ‫ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ِ َ‫ق ِر ْزقَهَا َوِإ ْن َأبْطَأ َع ْنهَا فَاتَّقُوا هَّللا َ َوَأجْ ِملُوا فِي الطَّل‬
‫ب ُخ ُذوا‬ ِ ْ‫ب فَِإ َّن نَ ْفسًا لَ ْن تَ ُموتَ َحتَّى تَ ْستَو‬
ِ ‫الطل‬
‫َما َح َّر َو َدعُوا َما َحم‬

"Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah SAW


bersabda: Wahai umat manusia, bertakwalah kepada Allah dan
sederhanakanlah dalam mencari rezeki. Sesungguhnya seseorang tidak
akan meninggal sebelum rezekinya lengkap sekalipun Allah
melambatkan Bertakwalah kepada Allah dan sederhanakanlah dalam
mencari rezeki. Ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram."(HR.
Ibnu Majah)

13
Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012),
hlm. 72─75

18
ِ ‫يج قَا َل قِي َل يَا َرسُو َل هَّللا ِ َأيُّ ْال َك ْس‬
‫ب‬ ٍ ‫ع َْن َعبَايَةَ ْب ِن ِرفَا َعةَ ب ِْن َرافِ ِع ْب ِن خَ ِد‬
ٍ ‫يج ع َْن َج ِّد ِه َرافِ ِع ب ِْن َخ ِد‬
ْ ‫َأ‬
‫طيَبُ قَا َل َع َم ُل ال َّر ُج ِل بِيَ ِد ِه َو ُك ٌّل بَي ِْع مبرور‬

"Dari Wa'il Abu Bakr dari Abayah bin Rifa'ah bin Rafi' bin Khadij
dari kakeknya Rafi' bin Khadij dia berkata, Dikatakan, 'Wahai
Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik? Beliau
bersabda: 'Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan
setiap jual beli yang mabrur."

ُّ َ‫ط َعا ًما ق‬


‫ط خَ ْيرًا‬ َ ‫ال ما َأ َك َل َأ َح ٌد‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ ِ ‫ضي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن َرسُو ِل هَّللا‬ ِ ‫ع َْن ْال ِم ْقد َِام َر‬
ِ‫ي هَّللا ِ دَا ُو َد َعلَ ْي ِه ال َّساَل م َكانَ يَْأ ُك ُل ِم ْن َع َم ِل يَ ِده‬
َّ َ‫ِم ْن َأ ْن يَْأ ُك َل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه َوِإ َّن ن‬

"(Bukhari-1930): Dari al-Miqdam ra," dari Rasulullah SAW bersabda:


“Tidak ada seorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik
dari makanan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi
Allah Daud a.s. memakan makanan dari hasil usahanya sendiri."

2. Hadis tentang tujuan produksi

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬


َ ‫ف فَقَا َل النَّبِ ُّي‬
ِ ْ‫ث َوالرُّ ب ُِع َوالنِّص‬ ِ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل َكانُوا يَ ْز َرعُونَهَا بِالثُّ ْل‬ ِ ‫ع َْن َجابِ ٍر َر‬
َ ْ‫ك َأر‬
‫ض ُه‬ ُ ‫َت لَهُ َأرْ ضٌ فَ ْليَرْ َر ْعهَا َأوْ لِتِ ْمتَحْ هَا فَِإ ْن لَ ْم يَ ْف َعلْ فَ ْليُ ْم ِس‬
ْ ‫َو َسلَّ َم َم ْن َكان‬

"Dari Jabir r.a. berkata: 'Dahulu orang-orang mempraktekkan


pemanfaatan tanah ladang dengan upah sepertiga, seperempat, atau
setengah, maka Nabi SAW bersabda: 'Siapa yang memiliki tanah
ladang hendaklah dia garap untuk bercocok tanam atau dia hibahkan.
Jika dia tidak lakukan, maka hendaklah dia biarkan tanahnya." (HR.
Bukhari)

ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يَ ْغ ِرس‬


َ ِ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ‫ك َر‬ ِ ‫ع َْن َأن‬
ٍ ِ‫َس ب ِْن َمال‬
َ ‫ع زَ رْ عًا فَيَْأ ُك ُل ِم ْنهُ طَ ْي ٌر أو ِإ ْن َسانُ َأو بهيمةٌ ِإاَّل َكانَ له بِ ِه‬
ٌ‫ص َدقَة‬ ُ ‫غَرْ سًا َأوْ يَ ْز َر‬

19
"Dari Anas bin Malik ra berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah
seorang Muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu
tanaman lalu tanaman itu dimakan oleh burung atau manusia atau
hewan melainkan itu menjadi sedekah baginya."14

3. Hadits Pemanfaatan Faktor Produksi Berupa Tanah


ِ ‫وس¬ى َأ ْخبَ َرنَ¬¬ا اَأْلوْ زَا ِع ُّي ع َْن َعطَ¬¬ا ٍء ع َْن َج¬ ابِ ٍر َر‬
‫ض¬ َي هَّللا ُ َع ْن¬هُ قَ¬ا َل َك¬¬انُوا‬ َ ‫َح¬ َّدثَنَا ُعبَ ْي¬ ُد هَّللا ِ بْنُ ُم‬
‫ض‬َ ْ‫َت لَ ¬هُ َأر‬ ْ ‫ص ¬لَّى هللاُ َعلَ ْي ¬ ِه َو َس ¬لَّ َم َم ْن َك¬¬ان‬
َ ‫ف فَقَ¬¬ا َل النَّبِ ُّي‬
ِ ¬‫ص‬ ْ َّ‫¬ع َوالن‬ ِ ¬‫ت َوالرُّ ْب‬ ِ ‫يَ ْز َرعُونَهَ¬¬ا بِ¬¬الثُّ ْل‬
ٌ‫اويَ¬ة‬
ِ ‫ال ال َّربِي ُع بْنُ نَافِع أب¬¬و تَوْ بَ¬ةَ َح¬ َّدثَنَا ُم َع‬ َ َ‫ضهُ َوق‬ َ ْ‫ك َأر‬ َ ‫فَ ْليَ ْز َر ُعهَا َأوْ لِيَ ْمنَحْ هَا فَِإ ْن لَ ْم يَ ْف َعلْ فَ ْليُ ْم ِس‬
‫ص¬لَّى هَّللا ُ َعلَيْ¬ ِه‬ َ َ‫ض¬ َي هللاُ َع ْن¬هُ ق‬
َ ِ‫¬ال قَ¬ا َل َر ُس¬و ُل هللا‬ ِ ‫ْ¬رةَ َر‬ َ ‫ع َْن يَحْ يَى ع َْن َأبِي َسلَ َمةَ ع َْن َأبِي هُ َري‬
‫ضهُ رواه البخاري‬ َ ْ‫ض فَ ْليَز َر َعهَا َأوْ لِيَ ْمنَحْ هَا َأ َخاهُ فَِإ ْن أبَى فَ ْليُ ْم ِس ْك َأر‬
َ ْ‫َت لَهُ َأر‬
ْ ‫)و َسلَّ َم َم ْن َكان‬
َ

"Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Musa telah


mengabarkan kepada kami Al Awza'iy dari 'Atha' dari Jabir berkata:
"Dahulu orang-orang mempraktekkan pemanfaatan tanah ladang
dengan upah sepertiga, seperempat atau setengah maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang memiliki tanah
ladang hendaklah dia garap untuk bercocok tanam atau dia hibahkan.
Jika dia tidak lakukan maka hendaklah dia biarkan tanahnya". Dan
berkata, Ar-Rabi' bin Nafi' Abu Taubah telah menceritakan kepada
kami Mu'awiyah dari Yahya dari Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a
berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Siapa yang memiliki tanah ladang
hendaklah dia garap untuk bercocok tanam atau dia berikan kepada
saudaranya (untuk digarap). Jika dia tidak lakukan maka hendaklah
dia biarkan tanahnya". (HR Bukhari 217).

4. Hadits Pekerjaan Dengan Menggunakan Tangan Sendiri

14
Isnaina Harahap, dkk., Hadis-Hadis Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 51─57

20
‫يج ع َْن‬
ٍ ‫¬ع ْب ِن َخ¬ ِد‬ ٍ ¬‫َح َّدثَنَا يَ ِزي ُد َح َّدثَنَا ْال َم ْس¬عُو ِديُّ ع َْن َواِئ ِل َأبِي بَ ْك‬
ِ ¬ِ‫¬ر ع َْن َعبَايَ¬ةَ ب ِْن ِرفَا َع¬ ةَ ْب ِن َراف‬
ْ ‫ب َأ‬
ِ ¬‫ول هَّللا ِ َأيُّ ْال َك ْس‬
ِ ¬‫¬ل بِيَ¬ ِد ِه َو ُك¬¬لُّ بَ ْي‬
‫¬ع‬ ِ ¬‫طيَبُ قَ¬¬ا َل َع َم¬ ُل ال َّر ُج‬ َ ¬‫يج قَا َل قِي َل يَا َر ُس‬
ٍ ‫َج ِّد ِه َرافِ ِع ْب ِن خَ ِد‬
‫ُور رواه احمد‬ ٍ ‫َم ْبر‬

"Telah menceritakan kepada kami Yazid telah menceritakan kepada


kami Al Mas'udi dari Wa`il Abu Bakr dari Abayah bin Rifa'ah bin
Rafi' bin Khadij dari kakeknya Rafi' bin Khadij dia berkata,
"Dikatakan, "Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling
baik?" beliau bersabda: "Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya
sendiri dan setiap jual beli yang mabrur". (HR Ahmad 16628).

5. Hadits Produksi Untuk Menciptakan Kemaslahatan Atau


Kesejahteraan Individu.

‫س ع َْن ثَ¬¬وْ ٍر ع َْن َخالِ¬ ِد ب ِْن َم ْع¬ دَانَ ع َْن ْال ِم ْق¬د َِام‬ َ ُ‫يس¬ى بْنُ يُ¬¬ون‬َ ‫وس¬ى َأ ْخبَ َرنَ¬¬ا ِع‬ َ ‫َح َّدثَنَا ِإ ْب َرا ِهي ُم بْنُ ُم‬
‫¬ل َأ َح¬ ٌد‬ َ ِ‫ض َي خَ ْيرًا ِم ْن َأ ْن يَْأ ُك َل ِم ْن هللاُ َع ْن¬هُ ع َْن َر ُس¬و ِل هللا‬
َ ¬‫ص¬لَّى هللاُ َعلَ ْي¬ ِه َو َس¬لَّ َم قَ¬ا َل َم¬¬ا َأ َك‬ ِ ‫َر‬
‫ي هللاِ دَا ُو َد َعلَ ْي ِه السَّالم َكانَ يَْأ ُكلْ ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه رواه البخاري‬
َّ ِ‫طَ َعا ًما قَط َع َمل يَ ِد ِه َوِإ َّن نَب‬

"Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa telah


mengabarkan kepada kami 'Isa bin Yunus dari Tsaur dari Khalid hin
Ma'dan dari Al Miadam ra dari Rasulullah Saw bersabda: "Tidak ada
seorang yang memakan satu makananpun yang lebih baik dari
makanan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah
Daud a.s memakan makanan dari hasil usahanya sendiri". (HR.
Bukhari 1930).

6. Hadits Tenaga Kerja Merupakan Faktor Produksi Yang Diakui Di


Setiap Sistem Ekonomi

‫يل ْب ِن ُأ َميَّةَ ع َْن َس ِعي ِد ب ِْن َأبِي َس ¬ ِعي ٍد ع َْن‬ ٍ ‫َح َّدثَنِي بِ ْش ُر بْنُ َمرْ ح‬
ِ ‫ُوم َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ ُسلَي ٍْم ع َْن ِإ ْس َم‬
َ ‫اع‬
ْ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل قَ¬¬ا َل هَّللا ُ ثَاَل ثَ¬ةٌ َأنَ¬¬ا خ‬
‫ص¬ ُمهُ ْم يَ¬¬وْ َم‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي‬
ِ ‫أبي هُ َري َْرةَ َر‬

21
ْ َ‫ْالقِيَا َم ِة َر ُج ٌل َأ ْعطَى بِى ثُ َّم َغ َد َر َو َر ُج ٌل بَا َع ُح ًّرا فََأ َك َل ثَ َمنَهُ َو َر ُج ٌل ا ْستَْأ َج َر َأ ِجيرًا ف‬
ُ‫اس¬تَوْ فَى ِم ْن¬ه‬
‫ْط َأجْ َرهُ رواه البخاري‬
ِ ‫َولَ ْم يُع‬

"Telah menceritakan kepada saya Bisyir bin Marhum telah


menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim dari Isma'il bin
Umayyah dari Sa'id bin Abi Sa'id dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw
bersabda: Allah Swt berfirman: "Ada tiga jenis orang yang aku
menjadi musuh mereka pada hari qiyamat, seseorang yang bersumpah
atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual orang yang
telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yang
mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan
pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya.” (HR. Bukhari 2075)15

15
Muhammad Sauqi, Hadits-hadits Ekonomi Syariah, (Banyumas: CV. Pena Persada, 2021), hlm.
20─22

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas, penulis mengambil beberapa
kesimpulan yang dapat dijadikan poin penting, diantaranya:
1. Produksi sangat penting bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban
manusia, produksi sudah ada sejak manusia berada di muka bumi, kata
produksi berarti menciptakan dan menambah kegunaan atau nilai guna
dari suatu barang sehingga memberikan manfaat baru. Produksi sendiri
tidak hanya berorientasi pada barang dan jasa, tetapi suatu proses
mengubah kombinasi input menjadi output yang menitikberatkan pada
pencapaian maksimum keuntungan.
2. Faktor produksi dibagi menjadi 4 yaitu modal yang meliputi semua
barang atau peralatan yang dapat digunakan untuk melakukan proses
produksi, tenaga kerja yang meliputi segala kegiatan manusia dalam
proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa maupun manfaat
suatu barang, tanah yang merupakan faktor produksi yang penting
mencakup semua sumber daya alam yang digunakan dalam proses
produksi, dan kewirausahaan yang merupakan keahlian atau
keterampilan yang digunakan seseorang dalam mengkoordinir faktor-
faktor produk.
3. Dalam Islam, produksi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan diri
secara wajar, memenuhi kebutuhan masyarakat, keperluan masa depan,
keperluan generasi akan datang, dan pelayanan terhadap masyarakat.
Produksi di dalam Islam tidak semata-mata berorientasi pada
keuntungan materi saja, produksi tidak hanya bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup produsen secara pribadi namun juga
memenuhi kebutuhan masyarakat.

23
4. Untuk mengatur kegiatan ekonomi, maka seorang produsen muslim
harus berkomitmen dengan kaidah kaidah syariah yang mencakup
akidah, ilmu, dan amal. Akidah adalah keyakinan bahwa aktivitasnya
dalam perekonomian merupakan bagian dari perannya dalam
kehidupan yang jika dilaksanakan dengan ikhlas dan cermat akan
menjadi ibadah baginya. Ilmu adalah kegiatan mempelajari hukum
hukum syariah yang berkaitan dengan aktivitas perekonomian,
sehingga dia mengetahui apa yang benar dan salah agar muamalahnya
benar, usahanya lancar dan hasilnya halal. Amal merupakan hasil dari
akidah dan ilmu yang berdampak pada kualitas produksi yang
dihasilkan.
5. Seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal
yang islami sebagaimana dalam kegiatan konsumsi. Penerapan nilai-
nilai Islam tidak hanya akan mendatangkan keuntungan tetapi juga
mendatangkan berkah. Nilai-nilai Islam yang relevan dengan produksi
dikembangkan dan dibagi menjadi tiga nilai utama dalam ekonomi
Islam, yaitu khilafah, adil dan takaful.
6. Dalam produksi terdapat prinsip prinsip yang terikat seperti motivasi
berdasarkan keimanan atau keyakinan positif, berproduksi berdasarkan
azas manfaat dan maslahat yang tidak hanya mencari keuntungan
sendiri tetapi juga untuk masyarakat, menggunakan kemampuan akal
serta profesionalitas dalam mengelola sumber daya, mempunyai sikap
keberimbangan antara dua kepentingan yakni umum dan khusus, harus
optimis dan menghindari praktik produksi yang haram.
7. Adapun hadits hadits tentang produksi dan tujuan produksi yang berisi
tentang perintah menyederhanakan dalam mencari rezeki, ambillah
yang halal dan tinggalkan yang haram dan juga bersedekah.

B. Saran
Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis sadar bahwasannya kepenulisan dan penyusunan makalah ini

24
masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu pemakalah
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dalam
pembuatan makalah berikutnya dapat menjadi lebih baik lagi.

DAFTAR RUJUKAN

Dewan Pengurus Nasional FORDEBI & ADESI. 2017. Ekonomi dan Bisnis
Islam. (Depok: Rajawali Pers).
Harahap, Isnaina, dkk. 2017. Hadis-Hadis Ekonomi. (Jakarta: Kencana)
Idri. 2017. Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi. (Jakarta:
Kencana).
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. 2013. Ekonomi Islam.
(Depok: PT. Raja Grafindo Persada).
Rozalinda. 2016. Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas
EkonomI. (Jakarta: Rajawali Pers).
Sauqi, Muhammad. 2021. Hadits-hadits Ekonomi Syariah. (Banyumas: CV.
Pena Persada).
Zamakhasyari, Asmuni Sholihan. 2006. Fiqih Ekonomi Umar Bin Al
Khatab. (Jakarta: Pustaka-Al kautsar).

25

Anda mungkin juga menyukai