Anda di halaman 1dari 6

Kisah Ashabus Sabti, Orang-

orang yang Melanggar


Larangan Hari Sabtu

Sepenggal kisah perjalanan bangsa Yahudi yang terkenal dengan tipu


muslihat dan makarnya. Mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kaum
muslimin.

Negeri Aylah1
Kota yang terletak di tepi laut antara negeri Mesir dan Makkah. Ibnu Katsir
rahimahullahu dalam Al-Bidayah wan Nihayah menambahkan, antara
Madyan dan Thur. Negeri yang subur dengan kurma dan hasil laut berupa
ikan yang berlimpah. Kota ini merupakan batas pertama wilayah Hijaz.
Penduduknya terdiri dari berbagai ras. Kota ini termasuk batas kerajaan
Romawi zaman dahulu. Negeri ini pula yang diisyaratkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
‫ون فِي ال َّس ْب ِ ْأ‬
َ ‫شرَّ عً ا َو َي ْو َم الَ َيسْ ِب ُت‬
‫ون‬ ِ ‫ت ِإ ْذ َت ت‬
ُ ‫ِيه ْم حِي َتا ُن ُه ْم َي ْو َم َس ْبت ِِه ْم‬ َ ‫ت َحاضِ َر َة ْال َبحْ ِر ِإ ْذ َيعْ ُد‬
ْ ‫َواسْ َأ ْل ُه ْم َع ِن ْال َقرْ َي ِة الَّتِي َكا َن‬
َ ُ‫ِيه ْم َك َذل َِك َن ْبلُو ُه ْم ِب َما َكا ُنوا َي ْف ُسق‬ ‫ْأ‬
‫ون‬ ِ ‫الَ َت ت‬
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat
laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang
kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di
permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang
kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka
berlaku fasik.” (Al-A’raf 163)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan Nabi-Nya menanyai
orang-orang Yahudi di Madinah, tentang saudara-saudara mereka yang
dahulu menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga mereka
diterpa azab tiba-tiba karena perbuatan dan tipu muslihat (hiyal) mereka
dalam menyelisihi, serta men-tahdzir mereka agar jangan menyembunyikan
sifat-sifat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tercantum dalam kitab
mereka, agar mereka tidak terkena apa yang telah dialami oleh para
pendahulu mereka.
Mereka adalah penduduk Aylah. Demikian uraian Ibnu Katsir rahimahullahu
dalam Tafsir-nya.
Dahulu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka mencurahkan
tenaga, pikiran dan waktu untuk hari Jum’at. Tapi mereka mengatakan: “Kami
akan berusaha untuk hari Sabtu, karena Allah selesai mencipta pada hari
Sabtu.”
Akhirnya ditetapkanlah bagi mereka hari Sabtu.
Konon, mereka masih berpegang dengan ajaran Taurat dalam menghormati
hari Sabtu di masa itu. Waktu itu, mereka diharamkan melakukan usaha
dalam bentuk apapun. Sementara ikan-ikan banyak berenang dari laut ke
tempat mereka dengan tenang dan aman tanpa diganggu sedikitpun. Tapi
pada selain hari Sabtu, ikan-ikan itu tidak pernah datang lagi.
Melihat hal ini, merekapun melakukan tipu muslihat agar dapat menangkap
ikan-ikan tersebut. Mereka memasang tali, jaring dan perangkap serta
menggali lubang ke arah tempat air yang sudah mereka buat untuk
menampung ikan-ikan yang dihanyutkan oleh air laut. Sehingga kalau ikan-
ikan itu sudah berada di dalam lubang itu, mereka tidak dapat keluar lagi
untuk kembali ke laut.
Mereka pun memasangnya pada hari Jum’at. Ketika ikan-ikan datang dan
terperangkap pada hari Sabtu, mereka menutup jalur menuju laut sehingga
ikan-ikan itu terperangkap. Setelah lewat hari Sabtu, mereka mengambil
ikan-ikan tersebut.
Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala murka dan melaknat mereka karena
perbuatan yang mereka lakukan untuk melanggar perintah-Nya serta apa
yang diharamkan-Nya dengan sebuah tipu muslihat (hiyal). Secara kasat
mata, seolah-olah mereka tidak berbuat apa-apa, padahal mereka telah
melakukannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengisahkan kejadian tersebut: ‫ﮫ‬ (Dan
tanyakanlah kepada mereka), yakni Bani Israil,  ‫ت َحاضِ َر َة‬ ْ ‫َع ِن ْال َقرْ َي ِة الَّتِي َكا َن‬
ْ
‫ال َبحْ ِر‬ (tentang negeri yang terletak di dekat laut); di tepi pantai, tentang
pelanggaran yang mereka lakukan serta hukuman Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang ditimpakan atas mereka, ‫ت‬ َ ‫ِإ ْذ َيعْ ُد‬ (ketika mereka melanggar
ِ ‫ون فِي ال َّس ْب‬
aturan pada hari Sabtu), padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memerintahkan mereka agar mengagungkan dan menghormati hari
tersebut dan jangan berburu apapun juga. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala
uji mereka dengan datangnya ikan-ikan kepada mereka  ‫َي ْو َم َس ْبت ِِه ْم‬
‫شرَّ ًعا‬ ُ  (terapung-apung di permukaan air di hari Sabtu itu), demikian
berlimpah, terapung di permukaan laut. ‫ون ﯠ‬ َ ‫ َو َي ْو َم الَ َيسْ ِب ُت‬ (dan di hari-hari yang
‫ْأ‬
bukan Sabtu), ‫ِيه ْم ﯣ‬ ِ ‫الَ َت ت‬ (ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka), mereka
berenang di dalam laut hingga tidak terlihat seekor ikanpun.  ‫َك َذل َِك َنبْلُو ُه ْم ِب َما َكا ُنوا‬
‫ون‬َ ُ‫ َي ْف ُسق‬ (Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik).
Jadi, kefasikan merekalah yang menyebabkan mereka diuji Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Seandainya mereka tidak melanggar ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala maafkan mereka,
tidak menghadapkan mereka kepada bala dan kejelekan.
Akhirnya, mereka melakukan tipu muslihat untuk menangkapnya.
Setelah ada sebagian dari mereka menangkap ikan-ikan tersebut,
terpecahlah mereka menjadi tiga; sebagian melakukannya, sebagian lagi
mengingkari perbuatan mereka itu, dan yang lain tidak mengerjakan, tidak
pula mencegah, tapi mereka mengingkari perbuatan tersebut. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka:
‫ون َق ْومًا هللا ُ ُم ْهلِ ُك ُه ْم َأ ْو ُم َع ِّذ ُب ُه ْم َع َذابًا َشدِي ًدا‬ ُ ‫ت ُأم ٌَّة ِم ْن ُه ْم لِ َم َتع‬
َ ‫ِظ‬ ْ َ‫َوِإ ْذ َقال‬
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu
menasihati kaum yang Allah akan membinasakan atau mengazab mereka
dengan azab yang amat keras?” (Al-A’raf: 164)
Seolah-olah mereka hendak menyampaikan kepada orang-orang yang
mencegah itu: “Apa gunanya nasihat/peringatan buat orang yang melanggar
apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mau
memerhatikan (nasihat) orang yang memberi nasihat? Bahkan terus-
menerus dalam pelanggaran serta sikap melampaui batasnya, karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala tentu mengazab mereka, apakah dengan
membinasakan mereka atau dengan siksaan yang berat.”
Orang-orang yang mencegah perbuatan tersebut berkata: “Kami menasihati
dan melarang mereka itu:
َ ُ‫َمعْ ذ َِر ًة ِإلَى َر ِّب ُك ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َي َّتق‬
‫ون‬
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb
kamu.” (Al-A’raf: 164)
Yaitu terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada kami dalam ber-amar
ma’ruf dan nahi munkar, karena takut akan azab-Nya. ‫ون‬ َ ُ‫ َولَ َعلَّ ُه ْم َي َّتق‬ (Dan supaya
mereka bertakwa), yakni agar mereka mau meninggalkan kemaksiatan yang
mereka lakukan tersebut sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi
mereka dari azab-Nya dan memaafkan mereka kalau mereka bertaubat,
serta menunjuki mereka lalu beramal sesuai dengan perintah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫َفلَمَّا َنسُوا َما ُذ ِّكرُوا ِب ِه‬
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka.”
(Al-A’raf: 165)
Yakni tatkala mereka tidak mau memerhatikan orang-orang yang melarang
mereka dari perbuatan buruk tersebut, bahkan terus menerus tenggelam
dalam penyelewengan dan pelanggaran,
‫ِين َي ْن َه ْو َن َع ِن السُّو ِء‬ َ ‫َأ ْن َج ْي َنا الَّذ‬
“Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat.” (Al-
A’raf: 165)
Yaitu orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar; Kami
selamatkan dari azab. Demikianlah ketetapan (sunnah) Allah Subhanahu wa
Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya; apabila siksaan itu turun, selamatlah
orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫ِين َظلَمُوا‬ َ ‫َوَأ َخ ْذ َنا الَّذ‬
“Dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim.” Yaitu mereka yang
melakukan pelanggaran di hari Sabtu tersebut.
‫ِئيس‬
ٍ ‫ب َب‬ ٍ ‫ِب َع َذا‬
“Siksaan yang keras,” yang menyakitkan.
‫ون‬ َ ُ‫ِب َما َكا ُنوا َي ْف ُسق‬
“Disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan azab yang ditimpakan
kepada mereka itu dengan firman-Nya:
‫ِئين‬َ ِ‫َفلَمَّا َع َت ْوا َعنْ َما ُنهُوا َع ْن ُه قُ ْل َنا لَ ُه ْم ُكو ُنوا ق َِر َد ًة َخاس‬
“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang
mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: ‘Jadilah kamu kera yang hina’.”
(Al-A’raf: 166)
Adapun kelompok lain yang menegur orang-orang yang mencegah/melarang
perbuatan itu sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
‫ون َق ْومًا هللا ُ ُم ْهلِ ُك ُه ْم‬ َ ‫ِظ‬ ُ ‫ت ُأم ٌَّة ِم ْن ُه ْم لِ َم َتع‬
ْ َ‫َوِإ ْذ َقال‬
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: ‘Mengapa kamu
menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka?’.”
Para ulama berbeda pendapat tentang kelompok ini, apakah mereka
selamat atau juga ikut binasa. Ada yang mengatakan mereka termasuk yang
selamat dari azab Allah Subhanahu wa Ta’ala, adapula yang mengatakan
mereka juga menerima azab. Secara lahiriah, mereka selamat. Karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala khususkan kebinasaan itu hanya menimpa orang-
orang yang zalim, dan Dia tidak menyatakan bahwa mereka adalah orang-
orang yang zalim. Sehingga ini menegaskan bahwa hukuman itu hanya
khusus menimpa orang-orang yang melanggar larangan di hari Sabtu. Di
samping itu, karena amar ma’ruf nahi munkar hukumnya fardhu kifayah; jika
sudah ada yang menjalankan maka gugurlah dari yang lain. Jadi, mereka
mencukupkan diri karena sudah adanya peringatan dan nasihat dari yang
lain. Bahkan ternyata, mereka juga mengingkari perbuatan tersebut, melalui
ucapan mereka dalam ayat ini:
‫ون َق ْومًا هللا ُ ُم ْهلِ ُك ُه ْم َأ ْو ُم َع ِّذ ُب ُه ْم َع َذابًا َشدِي ًدا‬ ُ ‫لِ َم َتع‬
َ ‫ِظ‬
“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka
atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?”
Mereka tampakkan kemarahan terhadap para pelaku maksiat itu, di mana
sikap ini menegaskan betapa besar kebencian mereka terhadap perbuatan
orang-orang itu, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghukum
mereka dengan hukuman yang sangat berat.
Demikian pula menurut Ibnu Katsir rahimahullahu, yang benar adalah
pendapat pertama, bahwa kelompok yang hanya mengingkari saja, juga
selamat. Kepada pendapat inilah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma rujuk,
setelah dia berdiskusi dengan maula-nya, ‘Ikrimah rahimahullahu.
Ceritanya, ketika ‘Ikrimah menemui Ibnu ‘Abbas, dia melihat Ibnu ‘Abbas
sedang menangis. Lalu dia bertanya apa yang menyebabkannya menangis.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menunjukkan ayat-ayat ini kepadanya
seraya berkata: “Tahukah engkau negeri Aylah?”
“Ya,”kata ‘Ikrimah.
Kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Ada segolongan Yahudi di sana,
datang kepada mereka ikan yang banyak pada hari Sabtu, gemuk-gemuk.
Tapi di luar hari Sabtu, mereka tidak mampu menangkapnya kecuali dengan
susah payah. Ketika mereka dalam keadaan demikian, setan membisikkan
bahwa mereka dilarang memakannya hanya pada hari Sabtu, maka
tangkaplah pada hari itu dan makanlah di hari yang lain.”
Akhirnya, satu kelompok berpendapat seperti ini, dan yang lain melarang
dan mencegah: “Kalian itu dilarang untuk menangkap dan memakannya
pada hari Sabtu.”
Setelah itu Ibnu Katsir rahimahullahu menguraikan kisah seputar tipu
muslihat yang mereka lakukan lalu berkata: “Kemudian Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhumamembaca ayat ini:
‫ِئيس‬
ٍ ‫ب َب‬ َ ‫ِين َي ْن َه ْو َن َع ِن السُّو ِء َوَأ َخ ْذ َنا الَّذ‬
ٍ ‫ِين َظلَمُوا ِب َع َذا‬ َ ‫َفلَمَّا َنسُوا َما ُذ ِّكرُوا ِب ِه َأ ْن َج ْي َنا الَّذ‬
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka,
Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami
timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras.” (Al-A’raf: 165)
Lalu beliau radhiyallahu ‘anhumaberkata: “Saya lihat, orang-orang yang
melarang itu selamat, tapi saya tidak melihat yang lain disebut-sebut.
Sementara kita juga melihat banyak hal yang kita ingkari dan tidak
mengatakan apa-apa.”
Sayapun berkata: “Semoga Allah jadikan aku tebusanmu. Tidakkah engkau
lihat bahwa mereka juga membenci dan menyelisihi apa yang dilakukan
orang-orang yang melanggar tersebut? Bahkan mereka mengatakan
(sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut):
‫ون َق ْومًا هللا ُ ُم ْهلِ ُك ُه ْم‬ ُ ‫لِ َم َتع‬
َ ‫ِظ‬
“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka?”
Kemudian, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumamemberinya dua helai kain
tebal. Demikian pula riwayat Mujahid dari beliau. Sekian uraian Ibnu Katsir
rahimahullahu.
(Bersambung, insya Allah)

1 Inilah yang masyhur, meskipun sebagian ulama ada yang tidak memastikan
bahwa nama negeri itu adalah Aylah. Yang jelas, dia adalah sebuah kota
pantai (di Laut Merah). Sekarang lebih dikenal dengan nama Teluk Aqabah.
Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai