Anda di halaman 1dari 7

KLIPING PPKN

DUGDERAN

NAMA: HARIS ARI MUKTI


KELAS:8A
Absen:11

SMP IBU KARTINI

DUGDERAN
Dugderan:festival khas Kota Semarang yang
menandai dimulainya ibadah puasa di bulan
suci Ramadan yang diadakan Perayaan dibuka
oleh wali kota dan dimeriahkan oleh sejumlah
mercon dan kembang api. "Dug" yang berarti
bunyi yang berasal dari bedug yang
dibunyikan saat ingin shalat Maghrib
Sementara "der-an" adalah suara dari mercon
yang dimeriahkan oleh kegiatan ini
Tradisi dugderan ini telah diadakan sejak
tahun 1882 pada masa Kebupatian Semarang
di bawah kepemimpinan Bupati R.M.
Tumenggung Ario Purbaningrat.[1] Perayaan
yang telah dimulai sejak zaman kolonial ini
dahulu dipusatkan di kawasan Masjid Agung
Semarang atau Masjid Besar Semarang
(Masjid Kauman) yang berada di pusat kota
lama Semarng dekat Pasar Johar.

Saat ini, dugderan diadakan[2] seminggu


sebelum bulan Suci Ramadan tiba dan
berlangsung selama seminggu hingga H-1
puasa pertama
Dugderan adalah suatu upacara yang
dilaksanakan tiap menjelang datangnya bulan
Ramadhan. Upacara ini merupakan cerminan
dari perpaduan tiga etnis yang mendominasi
masyarakat Semarang yakni etnis Jawa,
Tionghoa dan Arab. Nama “Dugderan” diambil
dari kata “dugder” yang berasal dari kata
“dug” (bunyi bedug yang ditabuh) dan “der”
(bunyi tembakan meriam). Bunyi “dug” dan
“der” tersebut sebagai pertanda akan
datangnya awal Ramadhan. Menurut sejarah
upacara Dugderan diperkirakan mulai
berlangsung sejak tahun 1881 di kala
Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA
Purbaningrat. Upacara ini dilatarbelakangi
oleh perbedaan pendapat dalam masyarakat
mengenai awal dimulainya puasa pada bulan
suci Ramadhan. Oleh karena itu dicapailah
suatu kesepakatan untuk menyamakan
persepsi masyarakat dalam menentukan awal
Ramadhan yakni dengan menabuh bedug di
Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman
kabupaten dan dibunyikan masing-masing tiga
kali dan dilanjutkan dengan pengumuman
awal puasa di masjid.

Perayaan multikultural ini semakin menarik


minat masyarakat Semarang dan sekitarnya
ditandai dengan makin banyaknya para
pedagang yang menjajakan dagangannya yang
beraneka ragam seperti minuman, makanan,
dan mainan anak-anak seperti perahu-
perahuan, celengan, seruling dan gangsing.
Selain itu dalam upacara dugderan terdapat
ikon berupa “warak ngendhog” berwujud
hewan berkaki empat (kambing) dengan
kepala mirip naga. Warak ngendhog
memperlihatkan adanya perpaduan kultur
Arab, Islam, Jawa, dan Tionghoa. Keberadaan
warak ngendhog tersebut memperlihatkan
adanya keterkaitan yang harmonis antar-etnis
sehingga membuka jalinan kontak budaya
yang lebih intensif sehingga memungkinkan
adanya proses akulturasi.

Anda mungkin juga menyukai