B Jawa KLP 12
B Jawa KLP 12
(13)
merupakan acara tahunan yang dilakukan meriah oleh masyarakat Semarang. Acara ini sudah
berlangsung cukup lama dari tahun ke tahun. Tradisi ini akan ditemukan pada saat menjelang bulan
Ramadhan. Tradisi Dugderan sudah menjadi semacam pesta rakyat. Semua lapisan masyarakat dari
anak-anak hingga orang dewasa ikut memeriahkan acara ini. Pada acara ini akan ditemui urutan
sejumlah kegiatan dari awal hingga selesai. Kegiatan dugderan dilakukan oleh warga Semarang dan
didukung oleh pemerintah setempat. Hal ini menjadi kesempatan yang baik untuk para pedagang
menjual benda-benda cendramata atau makanan. Sehingga wisatawan banyak datang untuk menikmati
acara ini.
Sejarah dugderan
Asal mula tradisi dugderan diperkirakan pada masa kepemimpinan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung
Purbaningrat atau Bupati Purbaningrat pada 1881, seperti dikutip dari situs Center Of Excellence (CoE)
Budaya Jawa, perpustakaan dan informasi tentang budaya lokal Jawa Tengah (14/12/2016).Latar
belakang acara ini adalah perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai awal bulan suci
Ramadhan.Kala itu, Indonesia masih berada pada zaman kolonial Belanda, sehingga masyarakat Kota
Semarang terbagi menjadi empat golongan, yaitu pecinan (etnis Tionghoa), pakojan (etnis Arab),
kampung Melayu (warga perantauan dari luar Jawa), dan orang Jawa asli.Oleh sebab itu, pemerintahan
Bupati Purbaningrat menetapkan, untuk menyamakan persepsi penentuan awal Ramadhan dilakukan
dengan menabuh bedug di Masjid Agung Kauman serta menyalakan meriam di halaman kabupaten.Baik
bedug dan meriam dibunyikan masing-masing tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan pengumuman
awal bulan Ramadhan di masjid.
Lokasi pelaksanaan
Perayaan yang telah dimulai sejak zaman kolonial ini dahulu dipusatkan di kawasan Masjid Agung
Semarang atau Masjid Besar Semarang (Masjid Kauman) yang berada di pusat kota lama Semarng dekat
Pasar Johar.
kapan dilaksanakannya
Tujuan dilaksanakannya
Tujuan dari penyelenggaraan dugderan adalah melebur perbedaan yang terjadi antarwarga Kota
Semarang pada zaman kolonial. Secara khusus, Bupati Purbaningrat ingin menyamakan persepsi
masyarakat dalam menentukan awal bulan Ramadan
Hingga saat ini, tradisi dugderan masih menjadi alat pemersatu antarwarga Semarang. Banyak warga
turun ke jalan pada saat perayaan untuk berbaur, tegur sapa, dan saling menghormati sesama tanpa
memandang perbedaan.
Sebelum pelaksanaan dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten, telah dipersiapkan berbagai
perlengkapan berupa:
1. Bendera
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan dibunyikan.
Petugas yang harus siap agar prosesi upacara berjalan baik adalah:
1. Pembawa Acara
3. Pengrawit