Anda di halaman 1dari 6

KEARIFAN LOKAL KOTA SEMARANG

DUGDERAN

MAKALAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal

Dosen Pengampu: Drs. Sukarjo,M.Pd

Disusun Oleh :

Latifa Putri Ridhaningtyas (1401418066)

Rombel B/2

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2020
A. PENDAHULUAN

A.1 LATAR BELAKANG

Sudah sejak lama umat Islam berbeda pendapat dalam menentukan hari dimulainya bulan
Puasa, masing-masing pihak biasanya ingin mempertahankan kebenarannya sendiri-sendiri, hal
tersebut sering mendapat perhatian dari berbagai pihak. Hal ini terjadi pada tahun 1881 dibawah
Pemerintah Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat. Beliaulah yang pertama kali memberanikan
diri menentukan mulainya hari puasa, yaitu setelah Bedug Masjid Agung dan Meriam di halaman
Kabupaten dibunyikan, upacara membunyikan suara bedug (Dug..dug..dug) sebagai puncak
"awal bulan puasa" sebanyak 17 (tujuh belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam
(der..der..der...) sebanyak 7 kali. Dari perpaduan antara bunyi dug dan der itulah yang kemudian
menjadikan tradisi atau kesenian yang digagas oleh Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo
Purboningrat itu diberi nama "dugderan". Dalam tradisi ini ada beberapa kegiatan yang biasanya
dilakukan oleh warga Semarang. Salah satunya yaitu Pawai Dugderan  Pawai Dugderan,
merupakan puncak acara menyambut datangnya bulan Puasa.

A.2 RUMUSAN MASALAH

1)      Bagaimana prosesi acara kirab budaya dugderan?


2)      Apa makna dugderan?
3)      Apakah acara dugderan itu begitu penting bagi masyarakat Semarang sekarang ini?

A.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui prosesi acara kirab budaya dugderan


2. Untuk mengetahui makna dari dugderan yang sebenarnya bagi masyarakat Semarang
3. Untuk mengetahui seberapa penting acara dugderan tersebut diadakan bagi masyarakat
Semarang
B. PEMBAHASAN

B.1 Prosesi acara kirab budaya dugderan

Secara empiris, “ Dugderan “ merupakan upacara tradisional Kota Semarang yang sudah
dilakukan sejak jaman dahulu, yang dilaksanakan setiap sebelum bulan Ramadhan. Kegiatan ini
biasanya diawali dengan adanya pasar rakyat yang dimulai seminggu sebelum dugderan, dan
biasanya diramaikan dengan banyaknya pedagang dari berbagai daerah yang menggelar barang
daganganya, seperti ; bermacam-macam makanan, minuman, mainan anak-anak, celengan,
gerabah.
Selain itu ada pula karnaval yang diikuti mobil-mobil hias dengan berbagai tema, diantaranya
: pakaian adat yang mencerminkan bhinneka tunggal ika, kesenian khas Kota Semarang, cerita
tradisional Kota Semarang, drum band, dan yang menjadi ciri khas dari karnaval ini, “ Warak
Ngendok “. Warak Ngendok adalah sejenis binatang khayalan berkepala naga namun bertubuh
kambing yang berjalan beriringan keliling Kota Semarang. Sebelum karnaval dimulai biasanya
telah banyak warga yang berkumpul ditepi jalan – jalan besar seperti jalan Pahlawan, jalan
Pandanaran, sampai jalan Pemuda. Bagi anak – anak kecil karnaval ini dapat menjadi
pengalaman tersendiri yang menyenangkan karena banyaknya kendaraan hias yang
menarik. Sebelum pelaksanaan pawai “dugderan”  dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten,
sebelumnya telah dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :
1. Bendera.
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan dibunyikan.
3. Obat inggris (mesiu) dan kertas Koran yang merupakan penyelenggaraan meriam.
4. Gamelan disiapkan di pendopo kabupaten.
Adapun petugas yang harus siap ditempat:
a. Pembawa bendera
b. Petugas yang membunyikan meriam dan bedug
c. Niaga ( pengrawit )
d. Pemimpin upacara
Upacara Dugderan dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa tepat pukul 15.30 WIB.
Pimpinan Upacara berpidato menetapkan hari dimulainya puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon
keselamatan. Kemudian Bedug di Masjid dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu gamelan
Kabupaten dibunyikan.

B.2 Makna dugderan

Dari dasar empiris dan data literature yang ada, makna simbolik dari upacara ini mulai dapat
diterjemahkan secara operasional, data literature yang diperoleh diasumsikan sudah dapat
mewakili sebuah sumber yang terpercaya karena diterbitkan oleh pemerintah Kota Semarang
sebagai referensi pariwisata Kota Semarang. Terbentuknya sebuah pola kegiatan upacara
tradisional dengan segala tahapan dan pendukungnya ternyata sudah ada sejak lama ( berdasar
literatur : sejak tahun 1881 ). Tahapan ini diakhiri dengan pemukulan bedug dan membunyikan
meriam sebagai tanda bagi umat muslim bahwa esok hari kegiatan puasa di bulan Ramadhan
sudah dapat mulai dilaksanakan.
Tahapan pemukulan bedug dan membunyikan meriam ini dapat dikatakan sebagai inti dari
kegiatan upacara tradisional ini yaitu sebagai tanda dimulainya puasa bulan Ramadhan. Namun,
upacara adat ini juga dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menjalin tali silaturahmi antara
sesama warga Kota Semarang maupun dengan warga kota lain, atau bahkan negara lain yang
datang untuk menyaksikan kegiatan ini, serta dengan Pemerintah Kota. Selain itu, pada masa
sekarang, upacara adat ini juga digunakan sebagai sarana promosi Kota Semarang karena sudah
dijadikan salah satu aset pariwisata budaya Kota Semarang.
Jadi, upacara tradisional yang pada awalnya hanya bermakna sebagai tanda awal bulan
puasa / Ramadhan, kini memiliki makna lain yang tidak menghilangkan makna awal, yakni
sebagai sarana silaturahmi, wisata budaya, dan sarana promosi Kota Semarang.

B.3 Pentingnya dugderan

Kini jaman telah berubah dan berkembang, namun upacara tradisional ini masih tetap
dilestarikan. Dengan adanya berbagai makna yang ” ternyata ” sangat berguna pada masa
sekarang, tahapan dan pola upacara tradisional yang terjadi pada masa lalu dijadikan sebuah ide
untuk melakukan kegiatan yang sama di masa sekarang. Namun pada masa sekarang, upacara
tradisional khas Kota Semarang ini tidak dilaksanakan persis layaknya pada awal upacara ini
dilaksanakan. Walaupun demikian, makna dan inti dari upacara tradisional Dugderan ini tetap
tidak berubah, dari sinilah dapat terlihat sebuah realitas ide.
Perbedaan ini terjadi pada lokasi pelaksanaan upacara tradisional karena kini pusat
pemerintahan pindah ke Balaikota di Jl. Pemuda. Upacara ini pada masa sekarang dilaksanakan
di halaman Balaikota pada waktu yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Ramadhan dan
dipimpin oleh Walikota Semarang yang menggantikan peran sebagai Adipati pada masa lalu.
Namun upacara tradisional ini juga masih tetap dilaksanakan sama seperti ketika awal pertama
kali dilaksanakan, dengan diringi arak-arakan maskot hewan khas dugderan warak ngendok dan
beberapa orang yang bergaya prajurit pada masa lalu. Walikota dan istri yang memerankan tokoh
Bupati berjalan menuju Masjid Besar Kauman dimana letak pusat pemerintahan pada masa itu.
Setelah tiba di Masjid Besar Kauman, imam masjid sudah siap untuk menyambut Walikota yang
selanjutnya berjalan menemui ulama – ulama yang sebelumnya sudah menentukan awal puasa,
lalu beberapa saat kemudian Walikota mengumumkan hasil penentuan awal puasa dengan
bahasa Jawa.
Pada awalnya, upacara tradisional ini ” hanya ” mengandung nilai keagamaan, dan
kebudayaan. Nilai keagamaan dapat terlihat pada makna dan tujuan awal upacara tradisional ini,
yakni sebagai penanda awal bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci umat muslim,
sedangkan nilai kebudayaan terlihat dari pengiring upacara berupa budaya dan kesenian jawa
seperti gamelan . Namun pada masa sekarang, seiring dengan kemajuan pola pikir manusia,
upacara tradisional ini memiliki nilai yang lebih, diantaranya nilai sosial, sebagai sarana
silaturahmi antar warga, dan warga dengan Pemerintah, nilai ekonomi, pasar rakyat dapat
digunakan warga ( pedagang ) untuk mengais rezeki, sebagai ajang promosi Kota Semarang.
C. PENUTUP

C.1 Kesimpulan

Meski dugderan sudah menjadi semacam pesta rakyat dan sudah menjadi tradisi yang cukup
kuat dengan adanya perlombaan, karnaval,dan tarian. Tetap saja dugderan tidak lepas dari
puncak ritualnya berupa tabuh bedug dan kholaqoh yang menjadi akhir dari tradisi yang sudah
bertahan seabad lebih itu. Karena itu, puncak ritual ini bukan semata-mata sekedar sebagai
tradisi (kesenian rakyat). Namun salah satu budaya Islam Semarang yang punya pesan. Pertama,
salah satu pesan yang cukup kuat digelarnya tradisi (atau budaya) dugderan ini adalah
pengumunan dimulainya bulan suci Ramadhan. Pengumunan itu dilambangkan dengan
ditabuhnya bedug yang menjadi satu “tetenger”. Juga, pemukulan bedug itu jadi konsensus yang
meneguhkan atau memberikan justifikasi ketetapan jatuhnya tanggal 1 bulan Ramadhan pada
esok hari, apalagi umat Islam tidak hanya di Semarang. Sehingga kerapkali memiliki perbedaan
dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
C.2 Saran

Masyarakat harus mampu mempertahankan tradisi dugderan agar tradisi ini tetap bertahan
dari waktu  ke waktu. Sehingga menjadi warisan budaya yang patut dijaga dan dilestarikan.
Sebagai warga Negara yang baik seharusnya kita ikut melestarikan budaya dugderan yang
menjadi asset penting bagi Negara.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.pajak.go.id/content/news/dugderan-tradisi-kota-semarang-menyambut-bulan-puasa.
22 mei 2013
http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/20/tradisi-dugderan-sambut-ramadhan-di-semarang-
478449.html. 22 mei 2013

http://semarangcityheritage.wordpress.com/warag-ngendog/. 23 mei 2013

Anda mungkin juga menyukai