Anda di halaman 1dari 3

Spiral

Hari baru bagi Luke, remaja 15 tahun di sekolah publik Ibu Kota Taxi yang ia tumpangi akhirnya
berhenti. Dengan hatinya yang terus berdegup kencang, ia menapakkan kaki keluar itu. Taxi kuning
in Luke memerhatikan sekelilingnya. Terlihat anak-anak lain yang juga beranjak dari kendaraan
tumpangannya masing- masing. Pikiran Luke tak henti-hentinya berputar di belakang kepalanya,
salah satunya berkata, Lihatlah, bahkan yang lain bisa turun dan Taxinya masing-masing dengan
terlihat, entahlah, keren?. la menggelengkan kepalanya. "Pikiran konyol macam apa itu, aneh". Balas
suara lain dalam pikirannya.

Luke melewati tangga sekolah, berjalan terus, seakan akan semua suara di pikirannya itu tidak
pernah ada. Bagaimana jika kau tiba-tiba tersandung salah satu anak tangga ini dan terjatuh? Dukun
tawa anak-anak, dan hidupmu akan berakhir di sini? Membayangkan semua suara tawa itu, Luke
menggigit ujung bibirnya. Ia menampakkan kakinya hati-hati, satu demi satu anak tangga ia lewati
hingga akhirnya sampai di koridor depan sekolah.

Suara ocehan siswa memenuhi seisi koridor, suara tapak kaki di sana-sini tak henti-hentinya juga
mengisi ruangan. Luke beralih ke pinggir koridor, berjalan pelan, berbaur dengan dinding tinggi di
sampingnya. Ia terus menyusuri koridor yang seakan tak ada habisnya itu. Suara-suara di dalam
kepalanya menempel kebisingan yang ada. Satu suara seakan sedang menyetel musik keras satu lagi
sedang membisikkan semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi hari ini, ada juga yang sedang
menyetel ulang adegan-adegan dari film Star Wars secara acak. Tak ada hentinya, semuanya terus
berputar.

Luke terhenti, ia menemukan bangku di pinggir koridor. "35 menit lagi" pikirnya sambil menatap jam
di lengan kanannya. Luke memperhatikan sekitar dan akhirnya memutuskan untuk duduk. "Hei apa
betul tak apa duduk di sini?" Ujar suara di kepalanya. "Kau mungkin mau mengecek celanamu, selalu
ada kemungkinan ada yang meninggalkan bekas permen karetnya disini." Sahut suara lainnya.
"Cepat keluarkan handphonemu, kau tak ingin terlihat seperti tak punya apa-apa untuk dilakukan."
Celetuk lainnya. Luke mengikuti suara terakhir itu, ia membuka handphonenya.

Satu pesan baru dari Ibu, tulisan itu terpampang di layar handphone yang digenggamnya. Luke
mengetuknya, "Hai, anak favorit Ibu!" dokumen desa tersenyum ia telah memiliki saudara satupun ia
lanjut membaca pesan Tuhan hari baru anak hebat ibu keren ibu mendengar cerita dari psikolog
mah tenang ibu percaya.

Semua akan baik-baik saja." Luke terus tersenyum tipis, membaca lanjutan pesan. Ibu hanya ingin
mengingatkan bahwa Ibu akan selalu menyayangi dan mendukungmu, tak peduli apa yang terjadi.
"Salam sayang, Ibu." Luke menutup pesan itu. Menggeser tas sekolahnya dan mendesah pelan.
Jadi kau remaja 15 tahun yang masih berbicara dengan Ibunya? Sedikit memalukan. Kata salah satu
suara dari kepalanya. "Tak peduli apa yang terjadi, katanya? Dari mana kau bisa yakin tentang hal itu
Luke?, Ujar suara lainnya. Sudahlah Luke, kau hanya anak dengan masalah-masalah konyol yang
akan tinggal bersama Ibunya hingga akhir hayat. Pada akhirnya, kau juga akan mati sebagai orang
yang membosankan." suara kainnya lagi ikut beruja. Luke mengepalkan tangannya, menunduk.

Ia tak pernah suka dengan semua suara-suara berisik itu, yang memberitahu Luke bahwa semua
akan hancur berantakan, mengingatkannya tentang semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi,
yang mengeluarkan asumsi-asumsi yang cukup mengganggu. Suara-suara itu seperti spiral, lingkaran
yang tak adi habisnya, terus menerus berputar. Luke muak, tapi tidak seperti semua suara, suara itu
bisa hilang dalam hitungan detik juga. Ia sudah mendatangi sejumlah psikolog, suara-suara di
kepalanya bisa dibilang mereda, tapi mereka juga bukan penyihir yang bisa menghilangkan masalah
Luke dalam sekejap.

Luke menengadahkan kepalanya, menatap atap-atap "Kita tetap menjalankan rencana A itu. Ujar
seorang perempuan yang terlihat beberapa tahun lebih tua dari Luke, ia nampaknya ketua dari suatu
organisasi. Ia terus memberi arahan dari salah satu pojok koridor, beberapa siswa lain mengikutinya.
Luke menoleh ke arah mereka, memperhatikan situasi yang terjadi. Segerombolan anak-anak itu pun
memasuki salah satu ruangan yang ada, sekali lagi, arahan dari perempuan itu. Luke mengalihkan
pandangannya ke dinding foto para guru, foto kepala sekolah yang berwibawa terpampang di
barisan paling atas. Tak jauh di sampingnya, ia lihat barisan semut yang cukup panjang, sesuatu yang
tak pernah ia alami terjadi, ia dapat melihat ujung dari barisan semut itu, ada sana yang seakan
memimpin di bagian paling depannya.

Luke termenung, "Semua memiliki pemimpin, semua punya pengarah, pengendali." Pikirnya. Kali ini,
suara itu datang dari dirinya sendiri. Aku tak akan membiarkan seluruh suara di kepalaku itu
mengambil alih terus toh? Spiral itu akan sadar tentang kehadiranku. Lanjutnya, berpikir. "Apa yang
kau katakan Luke? Sudahlah, bukan seperti kau pemah menang dalam argumen apapun, kau juga—"
Suara di pikirannya itu keluar lagi, namun terpotong oleh gelengan Luke.

Luke masih terus terdiam, teringat wajah orang-orang dalam hidupnya. Tuan Lee, psikolog favoritnya
yang ia temui setiap Selasa, wajah Ibu yang selalu tersenyum, menyebarkan kehangatan ke seluruh
ruangan, lalu Ayah yang setiap akhir pekan memenuhi hari Luke dengan seluruh canda tawa
khasnya. Luke terpikir, tidak ada yang meninggalkannya, semua masih disini, menetap Mendukung
dirinya untuk berdamai dengan segala suara di pikirannya itu. Luke menekankan pemyataan yang ia
lontarkan tadi di dalam kepalanya, meyakinkan suara, spiral, atau apapun itu di dalam pikirannya
mendengar. "Para spiral itu bukan pengendali Mereka bukan pengatur di dalam tubuhku. Mereka
tidak memimpin, dan tidak akan berubah hingga kapanpun." Pikir Luke Aku pemegang kendali
terbesar di tubuhku. Suara-suara itu akan sadar. "Aku tidak dikendalikan oleh para spiral itu, dan
akan tetap begitu." Lanjutnya, dengan tanpa sadar, menggigit pinggir bibirnya.
"Back to The Future?" Luke menoleh. "Luke, kau mungkin mau pergi, kau bukan yang terbaik dalam
percakapan dengan orang asing seperti ini." Ujar salah satu suara di pikirannya, Luke menepisnya.

"Oh, maaf?" Balas Luke.

"Case Handphonemu. Kau akan terkejut mengetahui betapa banyak anak di sekolah ini yang tidak
mengenal film itu." Lanjut anak seumuran Luke itu, tertawa kecil. Luke tersenyum tipis. mengiyakan.

"Omong-omong, aku Kahl." Anak lelaki berambut coklat gelap itu mengulurkan tangannya. "Oh
tidak, Luke, kau tak suka interaksi fisik. Tapi kau masih punya kesempatan untuk kabur, kau tahu itu
—" Sekali lagi, Luke berusaha menepis suara yang tak henti- hentinya muncul di dalam kepalanya itu.
"Oh, ya. Aku.." Spiral?" Remaja membosankan yang dipenuhi masalah-masalah konyol yang tak ada
habisnya? Tubuh yang terkontrol oleh, entahlah apa ini? Atau—

"Aku Luke."

Anda mungkin juga menyukai