Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

MANAJEMEN TERUMBU KARANG SUMATERA BARAT DI TENGAH


PERUBAHAN IKLIM

Disusun Oleh :

Ruth Grace Sophie

NIM : 21/477045/PN/17192

PRODI S1 MANAJEMEN SUMBERDAYA AKUATIK

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Metode Pengumpulan Data 2
C. Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Lokasi Kajian 3
B. Kondisi Terumbu Karang Sumatera Barat dan Manajemennya 4
C. Alternatif Manajemen Wilayah Terumbu Karang Sumatera Barat 6

BAB III 10
A. Kesimpulan 13

DAFTAR PUSTAKA 11

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terumbu karang (coral reefs) merupakan salah satu ekosistem utama perairan laut
yang penyusun dominannya adalah biota laut penghasil kapur seperti jenis-jenis karang
batu dan alga berkapur. Kawasan terumbu karang menutupi lebih dari 75.000 km2 wilayah
laut Indonesia dan merupakan luasan sebesar 14% dari luas total terumbu karang dunia
(Irawati dan Ariani, 2017) Selain berperan dalam fungsi ekologis sebagai tempat mencari
makanan (feeding ground), tempat asuhan (nursery ground), dan tempat pemijahan
(spawning ground) bagi berbagai biota laut, ekosistem ini juga berkontribusi dalam
melindungi pantai dari erosi, banjir rob, dan bencana lain yang disebabkan oleh fenomena
air laut. Kawasan terumbu karang juga dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata yang
dapat menarik wisatawan dan mendatangkan keuntungan bagi warga setempat apabila
dikelola dengan baik. Kondisi terumbu karang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Sehingga, ekosistem ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi
(Ghufran dan Kordi, 2010). Salah satu bentuk perubahan lingkungan itu adalah perubahan
iklim.
Sumatera Barat merupakan wilayah provinsi di Indonesia yang kawasan terumbu
karangnya terdampak peningkatan suhu akibat perubahan iklim. Dalam kurun waktu
2015-2016 lalu, terjadi pemutihan karang (coral bleaching) massal yang menyebabkan
rusaknya banyak kawasan terumbu karang (Taufina et al., 2018). Terumbu karang mampu
bertahan pada kondisi thermal threshold dengan toleransi 1-2oC. Bleaching terjadi ketika
suhu perairan naik 1-2oC selama 5-10 minggu yang dapat menyebabkan stress dan disease
pada terumbu karang (Buchheim, 1998). Berdasarkan data pada tahun 2018, dapat
diketahui bahwa dari total tujuh kabupaten/kota di Sumatera Barat yang memiliki kawasan
terumbu karang, dua diantaranya berada pada tingkatan ‘sangat rusak’, empat berada pada
tingkatan ‘rusak’, dan satu berada pada tingkatan ‘sedikit rusak’ (DKP Provinsi Sumatera
Barat, 2018).
Dengan demikian, strategi manajemen kawasan terumbu karang yang tepat sangat
diperlukan. Perlu dipelajari upaya manajemen seperti apa yang paling tepat untuk
menghadapi kerusakan terumbu karang. Selain menghadapi penyebab lokal seperti
pencemaran dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, strategi manajemen

1
terkini juga perlu memperhatikan aspek perubahan iklim yang dampaknya kian terasa
beberapa tahun terakhir ini. Sehingga, dapat diputuskan metode manajemen yang dapat
mempertahankan ekosistem terumbu karang agar tetap bertahan di tengah perubahan iklim
dan dapat dirasakan manfaatnya oleh generasi mendatang.

B. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menyusun makalah ini adalah
melalui studi pustaka dari artikel, jurnal, skripsi, dan buku yang dicari melalui laman
pencari Google. Selain itu, digunakan perangkat lunak Publish or Perish 8 untuk
mengumpulkan pustaka terkait. Beberapa kata kunci yang digunakan dalam pencarian
pustaka adalah terumbu karang, perubahan iklim, Sumatera Barat, kerusakan, coral reef,
management, strategies, scenario, climate change.

C. Tujuan
1. Mengetahui kondisi wilayah terumbu karang Sumatera Barat
2. Menganalisis alternatif manajemen terumbu karang di tengah perubahan
iklim yang paling sesuai untuk wilayah Sumatera Barat

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lokasi Kajian

Gambar 1. Wilayah kabupaten di Sumatera Barat

Gambar 2. Lokasi Provinsi Sumatera Barat

3
Provinsi Sumatera Barat memiliki total luas wilayah sekitar 42.297,30 km2 yang
terdiri dari ± 391 pulau besar dan kecil. Berdasarkan letak geografisnya, Provinsi Sumatera
Barat berada di 1° 54' Lintang Utara dan 3° 30' Lintang Selatan serta 98° 36' dan 101° 53'
Bujur Timur. Gunung Tertinggi di Provinsi Sumatera Barat adalah Gunung Talamau
dengan ketinggian 2.913 meter dari permukaan laut. Luas wilayah Provinsi Sumatera Barat
adalah 42.012,89 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 5.383.988 jiwa. Secara
administratif, wilayah Provinsi Sumatera Barat sebelah utara berbatasan dengan Provinsi
Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan dengan dengan Provinsi Bengkulu, sebelah
timur berbatasan dengan Provinsi Riau dan Jambi, dan sebelah barat dengan Samudera
Hindia. Provinsi ini terbagi kedalam 12 kabupaten dan 7 kota, yaitu Kabupaten Kepulauan
Mentawai, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan,
Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten
Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Pasaman,
Kabupaten Pasaman Barat, Kota Padang, Kota Solok, Kota Sawahlunto, Kota Padang
Panjang, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh, dan Kota Pariaman (sumbar.kemenag.go.id)
Provinsi Sumatera Barat memiliki daerah perairan laut yang cukup luas di
sepanjang tepi barat pulau Sumatera dengan berbagai sumberdaya seperti mangrove,
terumbu karang, dan padang lamun. Terdapat kepulauan Mentawai yang menjadi perisai
penahan gelombang Lautan Hindia yang cukup besar. Provinsi Sumatera Barat memiliki
luas laut mencapai 186.500 km2 dengan panjang garis pantai lebih kurang 2.312,71 km
(Octavian et al.,2022)

Tabel 1. Data Umum Kelautan Provinsi Sumatera Barat

Sumber : DKP Provinsi Sumatera Barat Tahun 2018 dalam Octavian et al. (2022)

B. Kondisi Terumbu Karang Sumatera Barat dan Manajemennya


Beberapa waktu belakangan dampak perubahan iklim mulai terasa di seluruh
bagian dunia, tanpa terkecuali di Sumatera Barat. Perubahan iklim ini memicu perubahan
suhu dan peningkatan keasaman air laut sehingga dapat memicu pemutihan terumbu

4
karang. Pemutihan terumbu karang sudah terjadi dalam rentang 2008 dan 2016 akibat
kenaikan suhu air laut. Kebakaran lahan yang dipicu perubahan iklim menghasilkan kabut
asap yang juga menyebabkan terganggunya keberlangsungan hidup terumbu karang. Asap
akibat kebakaran lahan yang terserap ke dalam perairan laut dapat menghambat fotosintesis
dan memicu perkembangan alga merah sehingga banyak terjadi pemutihan terumbu karang
dan matinya padang lamun (Octavian et al., 2022)
Terumbu karang Sumatera Barat berada dalam kondisi kritis. Wilayah total tutupan
terumbu karang seluas 21.486.989 Ha berkurang sebesar 75% atau menjadi 16115,23
Ha pada tahun 2017 (Sari dan Febriandi, 2020). Berdasarkan data pada Tabel 3. dapat
diketahui bahwa tiap tahunnya terjadi peningkatan kerusakan terumbu karang yang cukup
signifikan. Pada tahun 2015, luas wilayah kerusakan terumbu karang sebesar 13759,34
Ha. Kemudian pada tahun 2016 jumlah tersebut meningkat menjadi 15225,75 Ha dan
mencapai angka 16115,23 Ha pada tahun 2017.

Tabel 2. Data Luas Terumbu Karang di Perairan Sumatera Barat Tahun 2017

No Kota/Kabupaten Luas wilayah (Ha)

1 Padang 1124,73

2 Pariaman 10,95

3 Agam 26,07

4 Kepulauan Mentawai 17,589,61

5 Pasaman Barat 1360

6 Pesisir Selatan 10032,14

7 Padang Pariaman 343,489

Total 21.485,989

Sumber : DKP Provinsi Sumatera Barat Tahun 2018 dalam Ravindo (2019)

5
Tabel 3. Data Perkiraan Peningkatan Kerusakan Terumbu Karang di perairan Sumatera
Barat tahun 2015-2017

No. Tahun Luas Wilayah Kerusakan (Ha) Persentase

1 2015 13759,34 66%

2 2016 15225,75 71%

3 2017 16115,23 75%

Sumber : DKP Provinsi Sumatera Barat Tahun 2018 dalam Ravindo (2019)

Meskipun kondisi terumbu karang Sumatera Barat berada dalam kondisi yang
mengkhawatirkan, landasan hukum zonasi dan perlindungan sumber daya laut dalam
Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Tentang Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sumatera Barat belum juga memasukkan dampak
perubahan iklim sebagai aspek yang dipertimbangkanan dalam pembuatan peraturan dan
kebijakan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan sumber daya kelautan di Sumatera
Barat. Absennya aspek perubahan iklim berpeluang menjadikan program-program
Pemerintah Daerah Sumatera Barat dalam upaya melindungi pesisir dan pulau-pulau kecil
dan sumber daya alam yang tersedia di dalamnya ditengah gempuran perubahan iklim
menjadi tidak relevan. Kesalahan estimasi kondisi alam akibat mengabaikan aspek baru
yang terjadi saat ini dapat menyebabkan pengelolaan terumbu karang tidak efektif dalam
jangka panjang (Octavian et al., 2022)

C. Alternatif Manajemen Wilayah Terumbu Karang


Berkaca pada kondisi lingkungan yang terus berubah sebagai dampak perubahan
iklim yang terus meningkat, perlu dilakukan kajian mengenai beberapa alternatif
manajemen terumbu karang. Menurut Harvey et al. (2017), saat ini terdapat beberapa
metode manajemen kawasan terumbu karang di tengah perubahan iklim. Metode-metode
tersebut adalah ecosystem-based management (EBM), minimalisasi stressor lokal
antropogenik, marine protected areas (MPAs), pendekatan manajemen aktif, dan marine
spatial planning (MSP)
Ecosystem-based management (EBM) merupakan konsep pengelolaan sumberdaya
yang berupaya untuk menyeimbangkan kepentingan sosial ekonomi dan ekosistem beserta

6
seluruh komponen biotik dan abiotiknya dengan menerapkan manajemen pengelolaan yang
terpadu dan berkelanjutan untuk mempertahankan fungsi dan layanan ekosistem. Metode
ini merupakan alternatif dari metode pengelolaan yang berupaya untuk mewujudkan tujuan
tradisional konservasi terumbu karang, yaitu mengembalikan ekosistem ke kondisi aslinya
dengan menutup akses pemanfaatannya. Hal ini tidak sesuai mengingat banyak orang
bergantung pada terumbu karang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Metode ini lebih
sesuai di tengah peningkatan tren pemanfaatan sumberdaya kelautan. Jika dibandingkan
dengan salah satu metode yang banyak digunakan saat ini yaitu Marine Protected Areas
(MPAs), Ecosystem-based management dinilai lebih realistis. Meskipun Marine Protected
Areas (MPAs) membutuhkan biaya yang lebih sedikit dalam penerapannya, metode ini
tidak efektif dan tidak representatif karena tidak dapat mewujudkan perlindungan terhadap
kawasan terumbu karang yang paling terancam dan mengatasi masalah sosial kaitannya
dengan layanan ekosistem (Sale et al., 2014). Dalam perkembangannya, konsep ketahanan
(resilience) dianjurkan untuk dipadukan dengan metode ini untuk mendukung desain dan
implementasi EBM (Hughes et al., 2017). Ketahanan ekologis adalah kemampuan suatu
ekosistem untuk mempertahankan struktur dan fungsinya dalam lingkungan yang berubah.
Minimalisasi stressor lokal antropogenik dapat meningkatkan ketahanan terumbu
karang terhadap perubahan iklim dan memberi waktu bagi spesies terumbu karang untuk
beradaptasi. Berdasarkan studi jangka panjang skala besar oleh Mellin et al. (2016), dapat
diketahui bahwa pengurangan pengaruh antropogenik dapat membuat terumbu karang
lebih tahan terhadap berbagai perubahan kondisi lingkungan. Selain itu, pengelolaan
kualitas air, penangkapan ikan yang dibatasi, dan meminimalkan sedimentasi dan
pengayaan nutrisi dapat memperbaiki keadaan terumbu karang dalam skenario perubahan
iklim dan meningkatkan kesehatan ekosistemnya (Gurney et al., 2013 ; Fabricius et al.,
2005)
Efektifitas Marine Protected Areas (MPAs) saat ini masih diperdebatkan. Metode
ini dapat berhasil hanya jika memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti adanya kepatuhan
tinggi terhadap peraturan MPA (Cinner et al., 2016) dan diterapkan pada lingkungan yang
mendukung, misalnya kawasan dengan tutupan makroalga rendah. Namun, secara
keseluruhan belum ada studi yang dapat menunjukkan dampak positif terukur yang
dihasilkan metode ini. Selain itu, MPAs tidak dapat dijadikan metode pengelolaan untuk
semua konservasi terumbu karang karena tidak dapat mengantisipasi dampak eksternal
seperti sedimentasi dari limpasan tanah dan hanya efektif jika diterapkan di kawasan

7
terumbu karang dengan kompleksitas struktural yang tinggi. Sehingga, ketika
kompleksitas struktural hilang, terumbu karang dalam kondisi kritis, pengaruh perubahan
iklim tidak dapat diprediksi konsep manajemen MPAs perlu dipadukan dengan pendekatan
pengelolaan lainnya (Abelson et al., 2016)
Pendekatan manajemen aktif dilakukan dengan restorasi terumbu karang untuk
memulihkan ekosistem yang rusak dan mempertahankan ekosistem yang sehat agar lebih
tahan terhadap perubahan iklim. Meskipun hanya efektif dalam skala lokal, metode ini
berhasil meningkatan reproduksi dan penyebaran larva karang. Disamping itu, transplantasi
terumbu karang terkadang menggunakan karang yang telah dimodifikasi secara genetik
sehingga toleran terhadap stressor dan pada akhirnya resisten terhadap perubahan
lingkungan seperti pemanasan dan pengasaman. Tetapi, apabila transplantasi tidak
dilakukan dengan memperhitungkan kondisi ekologis, monopoli spesies-spesies resisten
dapat menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati (Anthony, 2016)
Marine spatial planning (MSP) merupakan konsep manajemen perpaduan MPAs
dan zonasi yang diterapkan dengan memisahkan penggunaan sumber daya laut yang saling
berlawanan untuk mendukung jasa ekosistem utama. Sebagai contoh, suatu wilayah pesisir
dibagi-bagi untuk bidang kegiatan yang berbeda, seperti konservasi, ketahanan pangan dan
mata pencaharian. Metode manajemen ini mengkompensasi banyak kekurangan dari
metode MPAs karena wilayah pengelolaan yang digabung ke dalam suatu sistem
pengelolaan yang lebih luas (Agardy et al., 2011) Adanya tujuan prioritas tujuan pada
skala nasional dan regional, penyertaan jasa ekosistem, dan perencanaan konservasi yang
luas dan terkoordinasi sangat penting untuk melindungi terumbu karang. Dibutuhkan
adaptasi terhadap kebutuhan lokal dan tata kelola, partisipasi masyarakat dan pemangku
kepentingan, motivasi di tingkat nasional dan internasional, dan dukungan dari LSM dan
mitra pembangunan internasional untuk mewujudkan MSP yang berhasil ( Harvey et al.,
2017)
Setelah mempelajari beberapa metode manajemen kawasan terumbu karang di
tengah perubahan iklim menurut Harvey et al., (2017) dan mengkaji situasi lingkungan
terkini, metode yang menurut penulis sesuai untuk provinsi Sumatera Barat adalah
Ecosystem-based management yang regulasinya memuat perubahan iklim sebagai aspek
yang perlu diperhatikan. Pengelolaan berbasis ekosistem tepat untuk diterapkan karena
konsep ini menyeimbangkan kebutuhan eksosistem dengan kebutuhan manusia. Dengan
dikelolanya suatu ekosistem tanpa menutup pemanfaatannya, manusia akan terus

8
bergantung pada ekosistem tersebut. Apabila terjadi gangguan yang menyebabkan
menurunnya jasa ekosistem, kehidupan manusia juga dapat terdampak. Dengan demikian,
untuk mencapai pemanfaatan yang berkelanjutan, diperlukan pengelolaan dimana jasa
ekosistem dapat dirasakan manfaatnya tanpa menghancurkan ekosistem tersebut. Selain
itu, regulasi yang mendasari strategi manajemen ini harus memuat aspek perubahan iklim.
Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi
sebagai dampak dari perubahan iklim yang semakin nyata. Konsekuensinya, perizinan
terkait pemanfaatan sumber daya alam terumbu karang perlu diperketat
mempertimbangkan studi kelayakan dengan memperhatikan aspek prediksi dampak
perubahan iklim (Octavian et al.,2022)

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Wilayah terumbu karang Provinsi Sumatera Barat berada dalam kondisi kritis.
Peningkatan luasan wilayah terumbu karang yang mengalami kerusakan dari tahun
ke tahun menjadi bukti nyata kurang sesuainya metode manajemen yang diterapkan
saat ini dan semakin nyatanya dampak perubahan iklim.
2. Beberapa metode manajemen kawasan terumbu karang di tengah perubahan iklim
yang dapat diterapkan menurut Harvey et al. (2017) adalah ecosystem-based
management (EBM), minimalisasi stressor lokal antropogenik, marine protected
areas (MPAs), pendekatan manajemen aktif, dan marine spatial planning (MSP).
Metode yang paling sesuai untuk diterapkan di Provinsi Sumatera Barat adalah
Ecosystem-based management yang regulasinya memuat perubahan iklim sebagai
aspek yang perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan metode ini memungkikan
dilakukannya penyeimbangan kebutuhan ekosistem dan kebutuhan manusia dengan
tetap berpegang pada prinsip keberlanjutan. Aspek perubahan iklim menjadi
perhatian karena pengaruhnya yang dapat menimbulkan dampak-dampak yang
tidak selalu dapat diprediksi oleh manusia.

10
DAFTAR PUSTAKA
Abelson, A., Nelson, P. A., Edgar, G. J., Shashar, N., Reed, D. C., Belmaker, J., … Gaines,
S. D. (2016). Expanding marine-protected areas to include degraded coral
reefs. Conservation Biology, 30, 1182–1191.
Anthony, K. R. N. 2016. Coral reefs under climate change and ocean acidification:
challenges and opportunities for management and policy. Annual
Review of Environment and Resources, 41, 59–81.
Buchheim J., 1998. Coral reef bleaching. Marine Biology Learning Center Publications.
http://www.marinebiology.org/coralbleaching.htm Diakses pada tanggal 29 Maret
2023.
Cinner, J. E., Huchery, C., MacNeil, M. A., Graham, N. A., McClanahan, T. R., Maina, J.,
… Mouillot, D. (2016). Bright spots among the world’s coral reefs.
Nature, 535, 416–419.
Fabricius, K. E., De’ath, G., McCook, L., Turak, E., & Williams, D. M. 2005.
Changes in algal, coral and fish assemblages along water quality
gradients on the inshore Great Barrier Reef.
Marine Pollution Bulletin, 51,384–398.
Gurney, G. G., Melbourne-Thomas, J., Geronimo, R. C., Alino, P. M., & Johnson,
C. R. 2013. Modelling coral reef futures to inform man-agement:
Can reducing local-scale stressors conserve reefs under
climate change? PLoS ONE
Harvey, B.J., K.L. Nash, J.L. Blanchard, and D.P. Edwards. 2017. Ecosystem-based
management of coral reefs under climate change. Ecology and Evolution.
8 : 6354– 6368.
Hughes, T. P., Barnes, M. L., Bellwood, D. R., Cinner, J. E., Cumming, G. S., Jackson, J.
B., … Palumbi, S. R. (2017). Coral reefs in the Anthropocene. Nature,
546, 82–90
IPCC. 2014. Summary for policymakers. In: Climate Change 2014: Impacts, Adaptation,
and Vulnerability, Part A: Global and Sectoral Aspects. Contribution of
Working Group II to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel
on Climate Change.

11
Octavian, A., Marsetio, M., Hilmawan, A., dan Rahman, R. (2022). Upaya Perlindungan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dari
Ancaman Abrasi dan Perubahan Iklim. Jurnal Ilmu Lingkungan, 22(2), 302-315
Ravindo. 2019. Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 3 Tahun 2009
Tentang Pengelolaan Terumbu Karang. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas. Skripsi
Sale, P. F., Agardy, T., Ainsworth, C. H., Feist, B. E., Bell, J. D., Christie, P., …
Sheppard, C. R. C. 2014. Transforming management of tropical coastal seas
to cope with the challenges of the 21st cen-tur y. Marine
Pollution Bulletin, 85, 8–23
Taufina, Faisal, dan S.M. Lova. 2018. Rehabilitasi Terumbu Karang Melalui Kolaborasi
Terumbu Buatan Dan Transplantasi Karang di Kecamatan Bungus Teluk Kabung
Kota Padang: Kajian Deskriptif Pelaksanaan Corporate Social Responsibility(Csr)
Pt. Pertamina (Persero) Marketing Operation Region(Mor) I – Terminal Bahan
Bakar Minyak (Tbbm) Teluk Kabung. 24(2) : 730-739

12

Anda mungkin juga menyukai