APLINDO
DAFTAR ISI
1. Pengantar Redaksi 2
1
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Pengantar Redaksi
Pada edisi 43/2015 ini, membahas mengenai pembatalan Kenaikan Tarif Tenaga Listrik
(TTL) yang telah dikukuhkan berdasarkan landasan Peraturan Menteri ESDM Nomor 31
Tahun 2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Perusahaan Listrik Negara oleh Menteri ESDM Sudirman Said. Keputusan ini ,
sesuai dengan permintaan Presiden Joko Widodo untuk menunda kenaikan TDL, disebabkan
adanya penurunan harga minyak dunia.
Fenomena usulan penurunan harga terkait dengan harga minyak, terjadi pula pada harga
gas bumi domestik, dimana harga gas bumi domestik mencapai harga 9,2 USD/MMBTU dan
LNG sebesar 17-18 USD/MMBTU dan kondisi industri domestik saat ini terhimpit oleh banyak
tekanan antara lain persaingan global dan kawasan yang sudah dimulai seperti Masyarakat
Ekonomi ASEAN, naiknya upah minimum regional, terdepresiasinya nilai rupiah terhadap
dollar, biaya logistik di Indonesia dan rencana kenaikan tarif tenaga listrik dengan demikian,
bisa dipastikan biaya produksi industri di Indonesia tinggi dan menjadikan produk-produk
Indonesia tidak memiliki daya saing di pasar internasional dan kurang kompetitif dalam hal
harga. Oleh sebab itu industri yang menggunakan gas meminta untuk adanya penurunan
harga gas dalam negeri agar industri akan mampu bersaing dan telah direspon oleh
Kementerian Perindustrian dengan menyiapkan beberapa skenario penurunan harga gas
dengan keuntungan dan kerugiannya.
Dalam edisi kini dimuat sensus produk casting di dunia yang mengambarkan perkembangan
dan pertumbuhan produk casting dari 31 negara dan data kendaraan bermotor di Indonesia
dan ASEAN.
Selanjutnya kami mengharapkan agar buletin ini menjadi media antar anggota maupun
antar industri pengecoran didalam negeri dan diluar negeri. Harapan kami, seluruh anggota
dapat mengisi buletin ini menjadi kenyataan.
2
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Dari 12 golongan tersebut, empat di antaranya sudah diberlakukan tariff adjustment sejak
Mei 2014, yaitu rumah tangga R-3/TR daya 6.600 VA ke atas, bisnis B-2/TR daya 6.600 VA
sampai 200 kVA, bisnis B-3/tegangan menengah (TM) daya di atas 200 kVA, dan kantor
pemerintah P-1/TR daya 6.600 VA sampai 200 kVA.
PT PLN (Persero) akhirnya membatalkan kenaikan tarif dasar listrik untuk 12 golongan yang
sedianya akan dilakukan per 1 Januari 2015.
3
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Dengan pembatalan kenaikan tarif dasar listrik ini maka tarif dasar listrik di tahun 2015 ini
tetap menggunakan harga penyesuaian pada 1 November 2014, berikut adalah kenaikan
yang sempat terjadi di tahun 2014 :
1. Untuk golongan I-3, tarif semula Rp 864 per kWh akan naik menjadi Rp 964 per
kWh. Pada 1 September 2014, tarif akan naik lagi menjadi Rp 1.075 per kWh, dan
per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.200/kWh.
2. Untuk golongan R-2 dengan 3.500 VA hingga 5.500 VA, tarif semula Rp 1.145 per
kWh akan naik menjadi Rp 1.210 per kWh. Per 1 September 2014 tarif ini akan naik
lagi menjadi Rp 1.279/kWh, dan per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp
1.352/kWh.
3. Untuk golongan R-1 dengan kapasitas 2.200 VA, tarif semula Rp 1.004 per kWh
akan naik menjadi Rp 1.109/kWh. Lalu, per 1 September 2014 naik lagi menjadi Rp
1.224/kWh, dan per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.353/kWh.
4. Untuk golongan R-1 dengan kapasitas 1.300 VA, tarif semula Rp 997 per kWh akan
naik menjadi Rp 1.090/kWh. Per 1 September 2014, tarif ini naik lagi menjadi Rp
1.214/kWh, dan kembali naik pada 1 November 2014 menjadi Rp 1.352/kWh.
5. Untuk golongan P-3, dari Rp 864 per kWh naik menjadi Rp 1.104/kWh. Per 1
September 2014 naik lagi menjadi Rp 1.221/kWh, lalu per 1 November 2014 kembali
naik menjadi Rp 1.352/kWh.
6. Untuk golongan P-2 dengan kapasitas di atas 200 kVA, tarif semula Rp 1.062 per
kWh naik menjadi Rp 1.081/kWh. Per 1 September 2014 naik lagi menjadi Rp 1.139
per kWh, lalu per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.200 per kWh.
Demikianlah daftar kenaikan tarif dasar listrik yang berlaku efektif mulai 1 januari 2015,
untuk golongan rumah tangga dengan daya 450va dan 900va tidak mengalami kenaikan
karena masih banyak golongan tidak mampu yang menggunakan daya tersebut.
4
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Upaya Kementerian Perindustrian untuk meningkatkan ekspor dan kinerja industri Indonesia
terancam gagal dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2014 yang mengatur
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Dalam PP itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
mengkategorikan limbah pasir foundry di industri pengecoran logam, slag di industri
peleburan logam, Fly ash (FA) dan Bottom ash (BA) di Industri petrokimia dan lain-lain
sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Pasir foundry merupakan bahan yang digunakan dalam membuat cetakan untuk industri
pengecoran logam ferro maupun non ferro dan dapat digunakan beberapa kali hingga tidak
dapat digunakan kembali. Masuknya pasir foundry dalam daftar limbah B3 membuat industri
pengecoran logam terhambat, merugikan perusahaan dan menimbulkan biaya tinggi
sehingga tidak memiliki daya saing.
Penerapan PP tersebut akan memberikan pengaruh besar pada sektor industri terutama
industri pengecoran logam sudah dipastikan akan mendapatkan rapor merah atau hitam
untuk audit proper oleh Kementerian LHK dan industri wajib menyediakan lahan untuk
daerah penampungan, padahal pasir foundry sudah diteliti dan bisa dimanfaatkan untuk
bahan konstruksi dan lanskap.
Di negara-negara lain seperti di ASEAN, bahkan Amerika Serikat sebagai negara maju yang
dikenal dengan peraturan yang sangat ketat dalam hal lingkungan hidup tidak
memberlakukan pasir foundry sebagai limbah B3 dan melalui lembaga lingkungannya yaitu
Environmental Protection Agency/EP (lihat halaman 6 dan 7) mengeluarkan pernyataan
bahwa pasir foundry yang dihasilkan oleh industri pengecoran logam dari membuat cetakan
tidak berbahaya, aman dan ekonomis.
5
BULETIN - APLINDO No.43/2015
6
BULETIN - APLINDO No.43/2015
7
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Basel Convention menyatakan agar memantau perpindahan lintas batas antar negara
limbah B3 dapat diawasi.
Walaupun Indonesia meratifikasi Basel Convention , Indonesia masih menerbitkan UU no.23
tahun 1997 dan dalam pelaksanaannya pada PP no.19 tahun 1994 tercantum bahwa proses
foundry termasuk kegiatan dikategorikan limbah B3.
Kemudian PP no. 19 disempurnakan menjadi PP no.18 pada awal tahun 1999 yang
disempurnakan kembali menjadi PP no.85 diakhir tahun 1999.
Sementara itu UU no.23 tahun 1997 direvisi dengan terbitnya UU no.32 tahun 2009
walaupun dalam keadaan recess.
Draft PP, pelaksana dari UU no.32 tahun 2009 masih dicantumkan bahwa pasir foundry
merupakan limbah B3. Dengan tercantum pasir foundry sebagai limbah B3 maka
penangannan, penimbunan, pengangkutan pasir foundry harus mendapatkan ijin dari LH
sehingga menambah biaya dari pengecoran logam Indonesia yang mana industri ini adalah
industri hulu dari logam.
Industri besi baja prosesnya ada 3 macam :
1. Rolling mills, yang menghasilkan plat atau lembaran
2. Extrusion, yang menghasilkan profil dan besi beton
3. Pengecoran dan forging, yang langsung membuat barang dengan bentuk canggih.
Sementara PP ini belum keluar, pada tanggal 28 Januari 2015 Menteri Lingkungan Hidup
dan dan Kehutanan menyatakan no. 32 tahun 2009 akan direvisi, oleh karena itu APLINDO
mohon kepada Menteri Perindustrian agar APLINDO dapat di ikut sertakan pada
perancangan PP tersebut dan memberi kesempatan yang lain untuk mengungkapkan
permasalah yang dihadapi industri pengecoran saat ini, antara lain :
Pasir foundry adalah pasir yang digunakan dalam membuat cetakan dan dapat
digunakan beberapa kali. Di Indonesia pasir foundry masuk sebagai limbah B3
sedangkan di negara-negara lain bukan limbah B3 bahkan Amerika Serikat sebagai
negara maju melalui Environmental Protection Agency (EPA) menyatakan bahwa pasir
foundry yang dihasilkan oleh industri pengecoran logam dari membuat cetakan tidak
berbahaya, aman dan ekonomis.
Masuknya pasir foundry dalam daftar limbah B3 membuat industri pengecoran logam
terhambat, merugikan perusahaan dan menimbulkan biaya tinggi sehingga tidak
memiliki daya saing.
Saat ini Indonesia telah memiliki industri pengolahan/recycle pasir foundry (PT Tochu
Silika Indonesia) yang menghasilkan RCA (Resin Coated Sand) namun terkendala ijin
8
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Dalam pertemuan ini, Menteri Perindustrian didampingi oleh Dirjen BIM, Bapak Harjanto
yang memberikan penjelasan secara gamblang bahwa :
9
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Masuknya pasir foundry sebagai limbah B3 juga dialami oleh industri peleburan baja
yaitu slag baja yang dihasilkan industri peleburan logam sebagai limbah B3.
Terjadi kelangkaan bahan baku skrap akibat banyak kontainer scrap impor tertahan di
pelabuhan mencapai lebih dari 1.000 kontainar yang dinyatakan oleh LH terkontaminasi
B3. Padahal, banyak industri peleburan dan pengecoran yang bahan bakunya
tergantung pada scrap impor.
Dengan adanya peraturan ini diindikasikan ada modus operandi dari instansi lain untuk
mencari keuntungan dan ajang pemerasan terhadap industri.
Kondisi ini akan menyebabkan terhambatnya target pertumbuhan industri sebesar
6,1%.
Untuk memenuhi kebutuhan skrap yang terus meningkat di dalam negeri, dibutuhkan
kebijakan untuk menghambatnya dengan mengenaikan Bea Keluar untuk scrap.
Setelah Menteri Perindustrian mendengarkan penjelasan dari Dirjen BIM dan dari APLINDO,
Menteri Perindustrian berjanji akan bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan membahas permasalahan pasir foundry dan permasalahan lainnya yang
menghambat industri berkaitan dengan limbah B3.
Adanya pasal 191 Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2014 mengenai Pengecualian
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun, Kementerian Lingkungan Hidup tengah menyiapkan
rancangan Peraturan Menteri yang mengatur mekanisme pengecualian limbah B3 yang
digunakan untuk industri sebagai pembuktian bahwa pengelolaan limbahnya tidak tergolong
B3, namun dalam pengurusan perizinan pengecualian B3 tersebut dibuat per-perusahaan
bukan per-kelompok.
Permen ini tersebut akan mengatur tata cara sampling limbah, kewajiban analisis, tata cara
laboraturium hingga pengontrolan tata cara penangganan limbah.
10
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Gas bumi sebetulnya merupakan salah satu energi potensial di Indonesia. Per 1 Januari
2013, Jumlah cadangan gas alam mencapai 150,39 trilun kaki kubik (TCF) yang terdiri atas
cadangan terbukti 101,54 TCF dan cadangan potensial 48,85 TCF. Dari jumlah cadangan
itu, produksinya baru mencapai 2,98 TCF. Fakta ini dapat dipahami karena selama ini
pemerintah dan kontraktor migas lebih banyak melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak
ketimbang gas. Pemerintah tidak mempunyai peta jalan (road map) dalam jangka panjang
untuk menggantikan porsi minyak bumi dengan energi lain termasuk
gas sehingga ketergantungan minyak bumi dalam bauran energi masih tinggi.
11
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Namun, situasi ini kemungkinan akan berubah karena proyek hulu migas di tahun-tahun
mendatang akan didominasi oleh proyek gas dan berada di wilayah offshore. Hanya saja,
pemerintah dan SKK Migas harus menjaga agar investasi tetap kondusif, salah satunya
dengan memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi investasi. Selama ini, pemerintah
dan SKK Migas cenderung buang badan ketika KKKS menghadapi masalah hukum, padahal
semua rencana kerja dan kontrak-kontrak yang dilakukan KKKS sudah atas sepengetahuan
dan persetujuan pemerintah dan SKK Migas.
Dari sedikit gas bumi yang telah dieksplorasi kemudian dimanfaatkan untuk berbagai macam
kebutuhan. Dari perkiraan pemanfaatan gas bumi Indonesia sebesar 7.890 milliar british
thermal unit (BBTUD) pada 2013, sebesar 36% diekspor dalam bentuk LNG, 13% diekspor
melalui pipa, industri sebesar 18%, listrik 14%, LPG 4%, pupuk 8%, LNG domestik 2%, dan
sedikit untuk jaringan gas kota. Adanya ketimpangan alokasi gas ini, dimana sebagian
Sumber : SKK-MIGAS
besar gas untuk memenuhi pasar internasional, menyebabkan pasokan di dalam negeri –
seperti yang dialami kalangan industri – dalam jangka pendek maupun jangka panjang tidak
terjamin.
Selama ini, industri memperoleh pasokan gas bumi berasal PT Perusahaan Gas Negara
(PGN) Tbk sebagai penyalur. Dalam eksekusi melalui lelang, besarnya volume gas tersebut
sepenuhnya berada dalam wewenang SKK Migas dan kontraktor migas. Praktiknya, pasokan
gas ke PGN selalu lebih sedikit dari kebutuhan sehingga PGN pun lebih selektif menyalurkan
gas tersebut. Rata-rata industri nasional hanya memperoleh pasokan gas bumi sebesar
50% dari kebutuhan riilnya. Akibatnya, sulit bagi industri melakukan ekspansi bisnis karena
pasokan gas menjadi penentu keberhasilan proses produksi.
12
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Padahal ada karakter industri yang sensitif terhadap pasokan gas bumi. Misalnya, industri
keramik yang memerlukan gas sebagai pembakar. Kesinambungan pasokan energi gas tidak
hanya berfungsi sebagai bahan bakar pembangkit, namun penentu kualitas hasil akhir
produk keramik. Sebagai solusinya industri terpaksa membeli solar sebagai sumber energi
50%-60% lebih mahal dari gas karena bagi pengusaha industri harus lebih terus berjalan,
meski biaya operasi jadi lebih tinggi dan daya saing produknya melemah.
Pemerintah harus segera mengantisipasi persoalan tersebut. Apalagi, kebutuhan gas bumi
untuk dalam negeri bakal terus bertambah. Kebutuhan industri, misalnya, jika pada 2014
kebutuhan gas untuk bahan baku industri hanya mencapai 1.068,22 MMSCFD, pada 2020
diproyeksikan melonjak mencapai 1.736,22 MMSCFD. Kebutuhan gas bumi untuk bahan
bakar untuk periode yang sama bertambah dari 1.132,54 MMSCFD menjadi 1.257,01
MMSCFD.
Ketimpangan alokasi gas bumi untuk domestik dan ekspor tidak akan pernah terselesaikan
apabila infrastruktur gas terus terbengkalai. Indonesia tidak memiliki kilang pengolahan
yang mencukupi sementara jaringan pipa gas sangat terbatas. Kita berharap proyek-proyek
infrastruktur seperti Floating Storage Regasification (FSRU) segera rampung; dan jaringan
pipa transmisi Trans Java, Kalimantan – Jawa (Kalija) I dan II dapat diselesaikan tepat
waktu. Penuntasan jaringan pipa distribusi sepanjang tidak kurang dari 3.900 kilometer juga
sangat dinantikan agar gas alam makin dapat dinikmati oleh masyarakat. Jaringan pipa
sepanjang ini akan dapat melayani 88.134 pelanggan industri, komersial, UMKM, dan rumah
tangga.
Pembangunan infrastruktur gas bumi tersebut tidak akan dapat dilakukan apabila semuanya
mengandalkan pendanaan pemerintah meskipun pemerintah pada saat ini memiliki sedikit
dana segar hasil penghematan subsidi bahan bakar. Pemerintah telah menyiapkan dana
sebesar Rp 3,4 triliun guna membangun infrastruktur gas bumi nasional. Namun, perbaikan
infrstruktur ini untuk mempercepat program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan
bakar gas (BBG). Pemerintah rencananya akan menambah panjang jaringan pipa, kilang
dan terminal regasifikasi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG), SPBG, hingga jaringan
gas untuk rumah tangga.
Artinya, berbagai pihak harus terlibat dalam pembangunan infrastruktur ini. Pemerintah
harus mewajibkan bahkan memaksa perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha niaga
gas bumi ikut berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur gas bumi. Anehnya, pada
13
BULETIN - APLINDO No.43/2015
saat ini perusahaan yang telah mendapatkan izim usaha niaga gas faktanya tidak memiliki
fasilitas jaringan distribusi kemudian dijual lagi kepada PGN. Mereka bertindak
sebagai trader atau pemburu rente belaka.
Ketiadaan infrastruktur gas ini juga menyebabkan harga gas untuk industri di Tanah Air
masih lebih mahal ketimbang Singapura, meskipun negara pulau itu tidak memiliki ladang
gas sendiri, atau Malaysia. Harga gas untuk industri di Singapura berkisari US$3,06-US$3,87
per MMBTU sementara harga gas di Indonesia di kisaran US$7,90 per MMBTU. Adapun
harga gas di Malaysia untuk industri hanya US$2,87-US$3,58 per MMBTU dan untuk
perusahaan listrik US$3,56. Harga gas di Indonesia menjadi mahal karena dalam pengiriman
gas dalam bentuk gas alam menjadi cair (LNG). Perubahan tersebut membutuhkan biaya.
Singapura mengimpor gas dari Sumatera Selatan melalui pipa milik PT Trans Gas Indonesia
(TGI).
Dengan akan diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir tahun ini, mahalnya
harga gas ini akan tidak menguntungkan bagi kalangan industri karena diyakini tidak
mampu bersaing dengan produk impor. Apalagi, beban operasional perusahaan makin
meningkat akibat berbagai komponen seperti upah buruh dan tarif dasar listrik yang terus
naik. Para pengusaha di dalam negeri pada saat ini juga tertekan akibat penurunan nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS.
Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) mengusulkan kepada pemerintah baru di
bawah pimpinan Presiden Joko Widodo adanya kebijakan agar energi, khususnya migas,
diberlakukan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan tidak dianggap sebagai
komoditi pemungut revenue. Dengan kebijakan ini diharapkan kontribusi industri
manufaktur non-migas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) akan meningkat, menarik
investor ke dalam industri manufaktur non-migas secara langsung atau tidak langsung,
meningkatkan penyerapan tenaga kerja, serta meningkatkan daya saing produk industri
manufaktur non-migas. Setidaknya, daya saing produk industri kita harus ditingkatkan
setara dengan Malaysia dan Singapura.(*)
14
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Fenomena menarik tentang harga minyak dan gas dunia yang turus menurun membuat
semakin yakin bahwa harga minyak dunia bukan sesuatu yang ditentukan secara murni oleh
mekanisme pasar dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa segala sesuatu itu berkaitan
dan harga minyak bumi yang terus turun pasti berdampak pada Indonesia.
Melihat kondisi harga minyak yang terjun bebas ini yaitu harga terus turun di bawah 50
USD/barel, Indonesia mulai memberikan respon bahwa defisit neraca Anggaran dikarenakan
oleh import BBM yang besar sehingga perlu untuk melakukan penghematan, konversi ke
bahan bakar lain atau analisis perlunya segera mencabut subsidi BBM untuk memberi ruang
gerak pertumbuhan ekonomi, sehingga dilakukan kenaikan BBM di bulan November 2014
dari Rp 6.500,- menjadi Rp. 8.500,- per liter dan fenomena „terjun bebas‟ harga minyak,
pemerintah memberikan respon dengan bentuk menurunkan harga BBM menjadi Rp 7.600,-
dan dievaluasi secara berkala tiap 2 minggu dengan memperhatikan perkembangan pasar..
Perkembangan harga gas dunia juga mengalami penurunan yang dipicu dengan penemuan
energi baru yakni shale gas dan shale oil oleh Amerika Serikat yang diperkirakan terdapat
sekitar 1.000 triliun kaki kubik shale gas yang cukup untuk memasok gas alam untuk USA
selama 50 tahun atau lebih dengan tikat harga berada pada kisaran 3-4 USD/MMBTU.
Sementara harga gas bumi ke Jepang yang semula mencapai harga 17 USD/MMBTU kini
turun mencapai 7 USD/MMBTU (sumber : World LNG : estimate landed March price 2015).
Di Indonesia harga gas bumi mencapai harga 9,2 USD/MMBTU dan LNG sebesar 17-18
USD/MMBTU. Untuk harga gas di Indonesia saat ini ditentukan oleh negara. Harga beli di
hulu ditetapkan oleh Menteri atas rekomendasi dari SKK Migas, kemudian penentuan harga
di hilir ditambahkan biaya pengangkutan gas (toll fee) untuk pipa transmisi yang ditetapkan
oleh BPH Migas sehingga bila terjadi kenaikan harga gas domestik indonesia (warna biru)
semua disebabkan oleh kenaikan harga gas di hulu yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dengan fenomena menurunnya harga terutama yang terkait dengan harga minyak dan gas
dunia, akan berimbas pada harga gas bumi di Indonesia. Hal ini terjadi akibat kondisi
industri di Indonesia tengah terhimpit oleh banyak tekanan antara lain persaingan global
dan kawasan yang sudah dimulai seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN, naiknya upah
15
BULETIN - APLINDO No.43/2015
minimum regional, terdepresiasinya nilai rupiah terhadap dollar, biaya logistik di Indonesia
yang masih sangat tinggi menyebabkan beban yang ditanggung pengusaha makin tinggi
dan rencana kenaikan tarif tenaga listrik semakin memperberat kondisi. Saat ini harga gas
di Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara ASEAN lain seperti di Malaysia yang hanya
3 USD/MMBTU dan Singapura sebesar 3,8 USD/MMBTU, dengan demikian, bisa dipastikan
biaya produksi industri di sana lebih rendah dan produk yang mereka hasilkan bisa terserap
pasar karena harganya lebih murah.
Hal itu menjadikan produk-produk Indonesia tidak memiliki daya saing di pasar internasional
dan kurang kompetitif dalam hal harga. Oleh sebab itu industri yang menggunakan gas
meminta untuk adanya penurunan harga gas dalam negeri sehingga industri akan mampu
bersaing.
Melihat kondisi yang dihadapi oleh industri di Indonesia saat ini, FIPGB (Forum Industri
Pengguna Gas Bumi) mengusulkan kepada Pemerintah agar menurunkan harga gas dalam
makalahnya yang berjudul : :
16
BULETIN - APLINDO No.43/2015
17
BULETIN - APLINDO No.43/2015
18
BULETIN - APLINDO No.43/2015
19
BULETIN - APLINDO No.43/2015
20
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Ketua FIPGB, Achmad Safiun yang juga menjabat sebagai ketua APLINDO
merekomendasikan agar harga gas bumi dipatok di angka US 5 per MMBTU dengan
pertimbangan kondisi industri yang tengah terhimpit akibat melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap USD, upah buruh, biaya logistik yang tinggi, Tarif Tenaga Listrik serta
perbandingan harga gas bumi di Indonesia dengan negara tetangga, Malaysia saja harganya
hanya USD 3,69 per MMBTU, Singapura yang mendapatkan gasnya dari Indonesia dengan
harga 16 USD per MMBTU menjual gasnya ke industri seharga USD 3,94 per MMBTU.
Makalah FIPGN tersebut diatas telah disampaikan ke Dirjen Basis Industri Manufaktur
(Bapak Harjanto), Deputi III Kemenko Deputi Bidang Koordinasi Energi dan Sumber Daya
Mineral (Montty Giriana) dan Dewan Pertimbangan Presiden (Sidarto Danusubroto)
yang secara garis besar setuju terhadap usulan tersebut.
Bahkan Kementerian Perindustrian melalui Dirjen BIM telah menyiapkan beberapa skenario
penurunan harga gas (lihat guntingan Koran : harga gas diusulkan turun) masing-masing
industri dengan keuntungan dan kerugiannya. Skenario dengan nilai terkecil adalah
penurunan gas bumi sebesar USD 1.05 per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU),
atau sebesar 10 persen sehingga harga gas menjadi USD 9,5 per MMBTU. Dengan kondisi
ini, Kemenperin menilai bahwa negara memang akan mengalami kekurangan penerimaan
sebesar Rp 8,15 triliun namun total benefit yang masuk ke perhitungan PDB bisa mencapai
Rp 72,4 triliun. Sedangkan skenario penurunan harga bahan baku gas bumi terbesar adalah
sebesar USD 4,20 per MMBTU, atau sebesar 40 persen sehingga harga gas bisa menjadi
USD 6,3 per MMBTU. Kemenperin melihat bahwa hal ini bisa berpotensi mengurangi
penerimaan negara sebesar Rp 32,6 triliun, namun bisa berdampak pada total PDB
Indonesia sebesar Rp 289,7 triliun.
Usulan ini pun telah masuk ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan berjanji akan
membahas secara serius usulan Kementerian Perindustrian mengenai empat skenario
penurunan harga gas untuk industri. Apabila mulus, salah satu dari empat skenario sudah
bisa di eksekusi pada tahun 2016, dengan alasan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara
(APBN) 2015 telah disetujui DPR, sehingga bila ada perubahan postur akibat pengurangan
mata penerimaan baru bisa dilakukan dalam pengajuan APBN tahun 2016.
Bila penurunan harga gas ini baru terealisasi tahun 2016, kondisi industri saat ini tengah
lesu (lihat grafik ekpor impor, hal.20-21) tentunya tidak akan menolong industri untuk
tumbuh, hal ini terjadi pada industri logam, petrokimia, keramik dan kaca yang telah
menurunkan produksi hingga 30%- 50% bahkan sebagian industri baja telah melakukan
pengurangan ribuan tenaga kerja.
21
BULETIN - APLINDO No.43/2015
In 2013, global production increased to more than 103 million metric tons, an increase of
3.4% when compared to the previous year, according to this year’s MODERN CASTING
Census of World Casting Production. The 103.2 million metric tons of metal castings
produced in 2013 represents an increase of 3.43 million tons. This rate of growth is a slight
bump up from 2012’s 2.4% boost.
Of the 31 countries that provided data
for the past two years, 18 reported a
contraction in annual volumes when
comparing 2013 to 2012. Poland
increased its production by 18%, with
gains across the board in terms of
alloys. On the red side of the ledger,
Pakistan saw the largest decline in
production, with its metal casting
industry contracting by 23.2%. Among
the top-10 countries in total output, Brazil had the highest boost in 2013 with an increase of
6.9% in production. The rebound came a year after South America’s only entry in the global
survey saw a 16.9% decrease in total production.
China increased its total production by two million metric tons to a total of 44.5 million. That
boost represents a large majority of the overall increase in global production, meaning China
continued to increase its share of the global market. Meanwhile, the U.S., the world’s second
largest producer, saw its tonnage increase by 3.9% to 12.25 million metric tons. While the top
two producing nations saw increases, other top metal casting countries had production headed
south in 2013. France, Germany and Russia reported 3% to 5% decreases.
India remained No. 3 in total production at 9.81 million tons. Spots 4 through 10 remained
unchanged, with Japan producing 5.54 million metric tons, Germany 5.19 million, Russia 4.1
million, Brazil 3.07 million, Korea 2.56 million, Italy 1.97 million and France 1.75 million.
The top-10 nations produced 88% of the world’s castings, a figure that remains unchanged
from 2012.
22
BULETIN - APLINDO No.43/2015
The U.S. saw a 4.4% increase in its productivity per site, with its 2,001 metal casting
facilities averaging 6,122 metric tons. Germany, the world leader in per plant production at
8,659, experienced a negligible increase of 41 metric tons per plant.
China and India, the two countries with the greatest number of facilities, report gains
of4,73% and 2,7. Productivity is calculated as total tonnage divided by the number of plants
reported
Total production of iron increase with gray iron
growing 4,6% and ductile iron expanding by 1,3%
while malleable iron fell 27,1% steel output
dropped by 0,1% while aluminum production
jumped by 9,9%
The data reported in the 48th census of world
casting production is supplied by each nation’s
metal casting association or similar representatives,
countries that did not participate this year were
Denmark, Mexico, Serbia, Slovakia and south
Africa. These countries remain listed according to the last year they participated, Mongolia,
which has not submitted data since 2009, has been removed from the list. Thailand retuned
to the census after an extended absence, reporting 316,400 metric ton.
Mexico, Ukraina and Turkey remain just outside the top 10 countries in total production.
Depending on economic condition in the next few years, however, the three countries could
threaten to unseat one or more of the more established metal casting countries like France
and Italy.
23
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Due to its generous hydraulic basins, more than 90% of electricity in Quebec, Canada, is
produced by water turbines. However, numerous sites cannot be economically, technically or
environmentally developed using conventional hydropower technologies (i.e., hydroelectric
dams). Novel low power water turbines are sought to suit shallow, high flow rivers; they
would be particularly effective in remote areas where they could replace fuel powered
generators.
Fig. 1. The 20.2-lb. (9.1 kg) aluminum A356 water turbine blade is 36.6 in. (930 mm) long, with thickness ranging from
1.7 in. (44 mm) to 0.5 in. (13 mm).
Each propeller for a 15kW water turbine uses five cast aluminum blades fixed to its axle. The
Centre de Métallurgie du Québec, Trois-Rivières, Québec, Canada, was tasked with
providing the technology to produce cast blades, meeting stringent conditions on as-cast
surface finish (≤250 rms) and geometry (±2 mm [0.08 in.]) of the theoretical envelope (Fig.
1). Plus, 140MPa minimum yield strength and 2% elongation were required in the highest
stressed parts of the blade.
Aluminum alloy A356 (AlSi7Mg04) was selected for its availability and excellent castability.
It also exhibits good corrosion resistance when immersed in fresh river water. As for the
casting process, the Centre de Métallurgie du Québec examined two methods for
production—sand casting using traditional gating and sand casting with the direct pour
method. If the metallurgical properties were found to be similar for the two filling
procedures, direct pour technology would make the molding much easier in a smaller flask
while increasing the yield and eliminating finishing costs.
In their study, the researchers compared the optimal operational parameters, such as pouring
temperature and pouring time, for both methods. Metallurgical properties, including dendrite
fineness (secondary dentrite arm spacing) and microporosity along with tensile properties,
were measured at 13 locations.
24
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Setelah dicanangkan melalui Peraturan Presiden no.97 tahun 2014 pada bulan September
2014, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) atau One Stop Service Perizinan di Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tanggal 26 Januari 2015 akhirnya diresmikan
oleh Presiden RI. Joko Widodo
PTSP ini akan menjadi sentral pengurusan perizinan sehingga investor tidak perlu keluar
masuk Kementerian/Lembaga untuk mengurus izin, dan telah tercatat 22
Kementerian/Lembaga yang telah mendelegasikan wewenang penerbitan izin kepada Kepala
BKPM sekaligus menugaskan pejabatnya pada PTSP Pusat.
Untuk memperlancar PTSP di BKPM, Presiden Joko Widodo pada 16 Maret 2015 telah
menandatangani Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan PTSP
Pusat di BKPM, yang mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.
Instruksi ini ditujukan kepada :
1. Menteri Keuangan; 2. Menteri Perindustrian;
3. Menteri Perdagangan; 4. Menteri ESDM;
5. Menteri PU dan Perumahan Rakyat; 6. Menteri Perhubungan;
7. Menteri Komunikasi dan Informatika; 8. Menteri Pertanian;
9. Menteri Kesehatan; 10. Menteri Pariwisata;
11. Menteri LH dan Kehutanan, 12. Menteri Hukum dan HAM;
13. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; 14. Menteri Kelautan dan Perikanan;
15. Menteri Ketenagakerjaan; 16. Menteri Pertahanan;
17. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional;
18. Menteri BUMN; 19. Kepala Kapolri;
20. Kepala BKPM; 21. Kepada BPOM
22. Kepala Badan Standardisasi Nasional; 23. Kepala Lembaga Sandi Negara.
25
BULETIN - APLINDO No.43/2015
26
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Produksi (Unit)
No. Bulan
2010 2011 2012 2013 2014
1 Indonesia 702.508 837.948 1.065.557 1.208.211 1.298.523
2 Malaysia 567.715 533.515 569.620 601.407 596.418
3 Philipina 80.477 64.906 75.413 79.169 88.845
4 Thailand 1.645.304 1.457.795 2.453.717 2.457.057 1.880.007
5 Vietnam 106.166 100.465 73.673 93.630 121.084
Total 3.102.170 2.994.629 4.237.980 4.439.474 3.984.877
sumber : AAF Diolah
27
BULETIN - APLINDO No.43/2015
Produksi (Unit)
No. Bulan
2010 2011 2012 2013 2014
1 Indonesia 7,415,390 8,006,293 7.079.721 7.780.295 7.926.104
2 Malaysia 467.941 498.076 543.088 549.244 439.907
3 Philipina 813.361 762.947 588.292 729.480 755.184
4 Thailand 2.024.599 2.043.039 2.606.161 2.218.625 1.842.708
Total 10.701.291 11.310.355 10.817.262 11.277.644 10.963.903
sumber : AAF Diolah
28
BULETIN - APLINDO No.43/2015
2. 13 Jun 2015
WFO Technical Forum
Hall 13, Messe Dusseldorf, Germany
Held during GIFA 2015, the WFO Technical Forum will include eight papers presented
by key industry personnel in a drop-in session format. There is no need to pre-book
and there is no charge to attend.
www.thewfo.com
3. 16 – 18 June 2015
16th Guangzhou international Tube & Pipe Industry Exhibition
hina Import and Export Fair Pazhou Complex B Area First Floor - Guangzhou,
Guangdong Province, China Organizado por: Julang Exhibition Design CO.,LTD
5. 29 – 30 June 2015
Die Disegn Workshop ,Jakarta – Indonesia
29
BULETIN - APLINDO No.43/2015
6. 4 – 7 August 2015
MTT Expo 2015, Indonesia
The 7th specialised Exhibition on Machine Tools, Metalworking & Precision,
automotive Engineering and Related Manufacturing Technologies for Indonesia
30
BULETIN - APLINDO No.43/2015
ingot, Billet, Bucket tooth, Casting parts ,Sculpture, Export, Companies Presentation
31
BULETIN - APLINDO No.43/2015
32
BULETIN - APLINDO No.43/2015
33
BULETIN - APLINDO No.43/2015
34