Anda di halaman 1dari 42

Imprint

Transisi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia


Studi Kasus: Kabupaten Paser dan Muara Enim

Penulis:
Anindita Hapsari
Ilham Rizqian Fahreza Surya
Julius Christian Adiatma
Martha Jesica Solomasi Mendrofa
Shahnaz Nur Firdausi

Ikhtisar untuk Pembuat Kebijakan ini disusun oleh Julius Christian Adiatma dan Martha Jesica Solomasi
Mendrofa.

Pengulas:
Fabby Tumiwa
Wira Agung Swadana

Ucapan terima kasih:

Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada para penasihat dan pengulas, Any Sulistyowati, Balada
Amor, Dr. Dian Afriyanie, Kurnya Roesad, Ph.D., Lisa Wijayani, Muntaza, dan Prof. Suraya Abdulwahab
Afiff, Ph.D., yang telah memberikan masukan dan umpan balik dalam penelitian ini.

Kepada rekan-rekan sekerja kami, Farah Vianda, Muntaza, Nasyaibachz Sila Sakti Suryadiyah Nurdin,
Pamela Simamora, dan Ronald J. Suryadi untuk dukungan yang tanpa henti dalam pengumpulan data
dan pekerjaan di lapangan.

Firmansyah, Ph.D. dan tim untuk kontribusinya dalam membangun pemodelan ekonomi.

Pekerjaan ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dari Bappedalitbang Paser dan Muara
Enim serta responden kami di Kabupaten Paser dan Muara Enim yang telah memberikan data dan
informasi yang berharga.

© COPYRIGHT

Materi-materi dalam publikasi ini memiliki hak cipta. Isi dari laporan ini dapat digunakan untuk tujuan
non-komersial dengan mencantumkan sumbernya.

Segala pertanyaan mengenai pencetakan ulang laporan ini dapat ditujukan kepada alamat berikut:

Institute for Essential Services Reform (IESR)

Jalan Tebet Timur Raya 48 B Jakarta Selatan, 12820, Indonesia www.iesr.or.id | iesr@iesr.or.id

IESR (2023). Transisi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia, Studi Kasus: Kabupaten
Paser dan Muara Enim (Ikhtisar untuk Pembuat Kebijakan). Jakarta: Institute for Essential Services
Reform (IESR)

Tanggal Publikasi: September 2023

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia ii
Kata Pengantar

Menciptakan Transisi yang Berkeadilan dan Hijau di Daerah Penghasil


Batubara

Dengan membandingkan rata-rata untuk tahun kalender hingga saat ini, dari bulan Januari hingga Juli,
suhu rata-rata global pada tahun 2023 merupakan rekor tertinggi ketiga, yaitu 0,43 °C, dibandingkan
dengan 0,49 °C pada tahun 2016 dan 0,48 °C pada tahun 2020. Semakin meningkatnya kebakaran
hutan yang disebabkan oleh perubahan iklim, gelombang panas yang parah, curah hujan ekstrem, dan
peristiwa cuaca ekstrem lainnya secara global membuat dunia tidak hanya mengalami pemanasan global
namun juga pendidihan global. Bencana-bencana tersebut dapat berdampak pada mata pencaharian
dan lingkungan hidup secara bersamaan.

Sejak tahun 1980-an, para ilmuwan telah memprediksi bahwa peristiwa-peristiwa tersebut akan terjadi
karena adanya perubahan iklim. Laporan AR-6 dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
pada tahun 2021 menyimpulkan bahwa emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia “telah
meningkatkan frekuensi dan/atau intensitas beberapa cuaca dan iklim ekstrem.”

Ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil telah mengakibatkan terjadinya pemanasan global, dan
ini sekarang menjadi pilihan dan tanggung jawab kita untuk mengendalikan pembakaran bahan bakar
fosil seiring dengan berkurangnya anggaran karbon bumi untuk menjaga suhu di bawah 2°C, jika tidak,
maka kita akan membahayakan kehidupan kita sendiri dan kehidupan generasi masa depan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, para ilmuwan telah mendesak dunia untuk mengurangi emisi global
sebesar 45% pada tahun 2030 dan mencapai net-zero pada tahun 2050. Batubara berkontribusi lebih dari
0,3°C terhadap kenaikan 1°C suhu rata-rata global. Ini juga menjadikannya penyumbang pemanasan
global terbesar. Pada tahun 2021, batubara menghasilkan 36% listrik dunia dan mengeluarkan 15
gigaton CO2. Pembakaran batubara, bahan bakar fosil yang paling kotor, harus dikurangi secara drastis
dan segera dihentikan.

Menurut skenario NZE IEA, konsumsi batubara global akan turun sebesar 90% pada tahun 2050, dan
sektor ketenagalistrikan global akan sepenuhnya bebas karbon pada tahun 2035 di negara-negara maju,
dan pada tahun 2040 secara global. Meski belum cukup, sejak COP-26, beberapa negara telah menetapkan
target untuk menghapuskan pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2050, sementara negara-
negara lainnya telah menetapkan target pada tahun 2060.

Indonesia merupakan salah satu negara yang telah berjanji untuk menghentikan penggunaan batubara
pada tahun 2050. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 112 tahun 2022, penghentian
penggunaan batubara dalam transisi energi Indonesia menjadi tidak terelakkan. Pengumuman mengenai
JETP pada tahun 2022 memungkinkan adanya percepatan penghentian penggunaan batubara sebelum
tahun 2030 jika pendanaan yang diperlukan tersedia.

Selain itu, jika Indonesia ingin memenuhi target Persetujuan Paris, Indonesia harus mulai mempercepat
penghentian operasional PLTU batubaranya lebih cepat dari yang ditargetkan dan membatalkan semua
proyek PLTU batubara baru. Menurut IESR, sekitar 9 GW PLTU batubara harus dihentikan operasinya
pada tahun 2030 dan secara bertahap dihapuskan pada tahun 2045 untuk memenuhi target 1,5°C. Hal
ini dapat mengakibatkan adanya penurunan tajam permintaan batubara dalam negeri setelah tahun
2030.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia iii
Terlebih lagi, negara-negara yang mengimpor batubara dari Indonesia telah menetapkan tujuan untuk
membatasi pertumbuhan PLTU batubara, mengidentifikasi waktu puncak emisi, dan menetapkan
jadwal penghentian penggunaan batubara. Karena 80% batubara Indonesia diproduksi untuk ekspor,
perkembangan ini menunjukkan bahwa produksi batubara dapat mencapai puncaknya paling cepat
pada tahun 2030 dan kemudian mulai mengalami penurunan.

Penghentian bertahap penggunaan batubara dapat membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia dalam
berbagai hal. Sebagai contoh, penghentian penggunaan batubara dapat mencegah 180.000 kematian
akibat polusi udara pada tahun 2040 dan menghemat US$100 miliar biaya kesehatan selama beberapa
dekade mendatang. Meski demikian, berbeda dengan manfaat besar yang diperoleh dari pengurangan
ketergantungan sektor energi terhadap batubara, penghentian bertahap penambangan batubara akan
berdampak pula pada aspek ekonomi dan sosial masyarakat yang tinggal di wilayah penghasil batubara.
Ketika industri batubara menjadi sektor ekonomi yang semakin penting dan berkontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah, guncangan terhadap produksi dan perdagangan batubara
mungkin akan menimbulkan beberapa dampak.

Pendapatan dari pertambangan batubara, yang merupakan salah satu sumber pendapatan utama
pemerintah daerah, akan berkurang jika produksi batubara menurun. Hingga saat ini, industri batubara
berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi lokal, mata pencaharian, penciptaan lapangan kerja, dan
efek penggandanya. Dampak sosial ekonomi dari industri batubara dapat bervariasi dari satu wilayah
ke wilayah lainnya, tergantung dari sejumlah variabel, yang termasuk namun tidak terbatas pada tingkat
ketergantungan, struktur ekonomi saat ini, dan ketersediaan sumber daya alam lainnya.

Untuk mencapai transisi yang berkeadilan, kami percaya bahwa kita harus mempertimbangkan tidak
hanya penghentian penggunaan batubara secara bertahap, tetapi juga dampak sosial dari kebijakan
ini. Kami percaya bahwa para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan di tingkat nasional dan
daerah serta seluruh masyarakat harus mengidentifikasi, mengakui, dan secara tepat mengatasi dampak
sosial-ekonomi yang mungkin timbul di masa depan.

Untuk memperoleh bukti empiris dari transisi batubara di daerah penghasil batubara, yaitu Paser di
Kalimantan Timur dan Muara Enim di Sumatera Selatan, kami telah melakukan penelitian sejak tahun
2021. Tujuan dari studi ini adalah untuk memahami dinamika dan memberikan strategi untuk mengatasi
dampak sosial-ekonomi dari transisi dari batubara serta memberikan usulan transformasi ekonomi untuk
wilayah yang dikaji pasca batubara untuk memastikan bahwa masyarakat dan komunitas di wilayah
tersebut tidak akan ditinggalkan dalam proses transisi yang berkeadilan. Kami berharap bahwa keluaran
dari studi ini pada akhirnya akan memfasilitasi transisi berkeadilan untuk beralih dari penggunaan
batubara di wilayah dan komunitas yang paling terdampak.

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia iv
Daftar Singkatan
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BKAD : Badan Keuangan dan Aset Daerah
BLUD : Badan Layanan Umum Daerah
BPS : Badan Pusat Statistik
CSR : Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan)
DBH : Dana Bagi Hasil
DBH-DR : Dana Bagi Hasil - Dana Reboisasi
DME : Dimethyl Ether
ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral
FGD : Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terpumpun)
GFANZ : Glasgow Financial Alliance for Net-Zero
GRK : Gas Rumah Kaca
GW : Gigawatt
IBL : Index of Backward Linkages
IDM : Indeks Desa Membangun
IEA : International Energy Agency
IESR : Institute for Essential Services Reform
IFL : Index of Forward Linkages
IKN : Ibu Kota Negara (Nusantara)
IO : Input-Output
IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change (Panel Antarnegara untuk Perubahan Iklim)
IPG : International Partners Group
IPM : Indeks Pembangunan Manusia
IPSP : International Panel on Social Progress
IRIO : Inter Regional Input Output
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
JETP : Just Energy Transition Partnership (Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan)
KITE : Kawasan Industri Tanjung Enim
LPG : Liquified Petroleum Gas
LQ : Location Quotient
MtCO2-eq : Million tonnes of CO2 equivalent (setara dengan juta ton CO2)
Musrenbang : Musyawarah Rencana Pembangunan
NGO : Non-Governmental Organization (Organisasi Non-Pemerintah)
NZE : Net-Zero Emissions (Emisi Nol Bersih)
OECD : Organization for Economic Cooperation and Development
OJK : Otoritas Jasa Keuangan

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia v
PDB : Pendapatan Domestik Bruto
PDRB : Pendapatan Domestik Regional Bruto
PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap
PT : Perseroan Terbatas
RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RUPTL : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik
SMA : Sekolah Menengah Atas
SS : Shift Share
UKM : Usaha Kecil Menengah
UMKM : Usaha Mikro Kecil Menengah
UK : United Kingdom (Inggris Raya)
UNDP : United Nations Development Programme
UNEP : United Nations Environment Programme
US : United States (Amerika Serikat)
WHO : World Health Organization

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia vi
Daftar Isi

Imprint ii

Kata Pengantar iii

Daftar Singkatan v

Daftar Isi vii

Ringkasan Eksekutif 1

Temuan Kunci 1

Rekomendasi 3

Pendahuluan 4

Metodologi 5

Peran Batubara di Daerah Penghasil Batubara 10

Kontribusi industri batubara terhadap perekonomian lokal 11

Hubungan antara industri batubara dan masyarakat setempat 14

Persepsi para pemangku kepentingan dan aspirasi dalam transisi batubara 16

Potensi Daerah Penghasil Batubara dan Hambatan dalam Transisi dari Batubara 19

Rekomendasi: Apa yang Perlu Dipersiapkan untuk Trasisi Batubara yang Berkeadilan 22

Transformasi Ekonomi 23

Mendanai Transisi 26

Mempersiapkan Sumber Dana Manusia Transisi 27

Partisipasi publik yang berarti dalam pembangunan daerah 28

Daftar Pustaka 29

Lampiran 33

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia vii
Ringkasan Eksekutif

Batubara merupakan bagian penting dari perekonomian Indonesia, terutama di beberapa daerah
penghasil batubara, karena batubara memberikan kontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto
nasional dan daerah, pendapatan pemerintah melalui pajak dan royalti, serta peluang kerja lokal. Namun,
batubara merupakan sumber energi yang sangat intensif karbon dan merupakan kontributor utama
krisis iklim. Batubara bertanggung jawab atas kenaikan suhu global sebesar 0,3°C dari 1°C sejak abad
ke-19. Seiring dengan meningkatnya komitmen iklim negara di dunia, permintaan batubara Indonesia
diperkirakan akan menurun setelah tahun 2030. Dengan permintaan batubara yang diperkirakan akan
mengalami penurunan struktural, daerah-daerah penghasil batubara di Indonesia dapat menghadapi
gangguan besar terhadap struktur sosio-ekonominya, seperti yang dialami negara-negara lain yang
pernah mengalami situasi serupa di masa lalu.

Laporan ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil
batubara di Indonesia dan memberikan rekomendasi mengenai hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam
transisi tersebut guna memitigasi dampak sosial-ekonomi. Laporan ini diawali dengan identifikasi
peran industri batubara di daerah penghasil batubara, baik dari aspek ekonomi maupun non-ekonomi,
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai peluang dan tantangan transisi dari ekonomi
berbasis batubara. Laporan ini diakhiri dengan beberapa rekomendasi untuk merencanakan transformasi
ekonomi, mengidentifikasi sumber pendanaan potensial, dan mempersiapkan sumber daya manusia.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, studi ini menggunakan pendekatan campuran dengan
memadukan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, baik dalam pengumpulan maupun analisis data.
Pendekatan ini dipilih berdasarkan kompleksitas pertanyaan penelitian, yang jawabannya melampaui
angka-angka sederhana dalam arti kuantitatif atau kata-kata dalam arti kualitatif. Selain itu, penelitian
ini juga menggunakan studi kasus yang dipilih dengan menggunakan dua parameter: 1) dimensi usaha/
industri batubara, yang diidentifikasi berdasarkan keberadaan dan jumlah produksi dan distribusi
batubara, dan 2) dimensi sosial-ekonomi, yang bertujuan untuk memilih desa-desa berdasarkan
kedekatannya dengan lokasi pertambangan untuk memahami dampak industri batubara pada tingkat
mikro. Berdasarkan dua parameter tersebut, studi ini memilih dua wilayah penghasil batubara:
Kabupaten Paser di Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim di Sumatera Selatan, serta dua desa
di masing-masing wilayah: Desa Batu Kajang dan Samurangau di Paser, serta Kelurahan Tanjung Enim
dan Desa Darmo di Muara Enim.

Temuan Kunci

• Industri pertambangan batubara menyumbang antara 50% dan 70% terhadap PDRB selama
sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser. PDRB sektor pertambangan di wilayah tersebut
mengalami pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 7,4% dan 0,6% pada tahun 2015 hingga 2022.
Namun kontribusi sektor batubara yang signifikan dan terus meningkat tidak lantas meningkatkan
kesejahteraan pekerja di Paser dan Muara Enim karena 78% dari keuntungannya dinikmati
perusahaan, sedangkan hanya sekitar 20% dari output sektoral yang dialokasikan untuk pekerja. Selain
itu, sektor-sektor lain seperti jasa, perdagangan, dan pertanian memiliki pengganda pendapatan dan
lapangan kerja yang lebih tinggi dibandingkan sektor batubara, sehingga dampak ekonominya tidak
terlalu besar. Oleh karena itu, meskipun industri pertambangan batubara di Paser dan Muara Enim
memberikan kontribusi makroekonomi yang sangat besar, tidak seluruh nilai ekonomi tersebut
diberikan kepada populasi pekerja batubara.

• Royalti pertambangan penting bagi pendapatan pemerintah daerah penghasil batubara, dan

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 1
penurunan anggaran pemerintah daerah akan memberikan dampak terbesar terhadap operasional
pemerintah. Dana bagi hasil dari royalti pertambangan batubara dan mineral menyumbang 20% dari
total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023 (Perbup Muara Enim 59/2022)
dan rata-rata sekitar 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020 (Perbup
Paser 36/2021; BKAD Paser, 2022). Anggaran belanja pemerintah di daerah penghasil batubara
sebagian besar digunakan untuk belanja operasional, yang mencakup belanja pegawai pemerintah,
barang dan jasa, serta hibah.

• Keberadaan sektor pertambangan batubara juga berkontribusi terhadap terciptanya sektor ekonomi
informal karena meningkatnya kebutuhan terhadap jasa sehari-hari pekerja batubara seperti
perumahan dan makanan. Selain itu, kehadiran sektor ekonomi informal menyebabkan peningkatan
peluang bagi warga untuk memulai usaha kecil-kecilan. Nilai ekonomi dari sektor informal jarang
tercakup dalam data makroekonomi resmi, namun pengamatan kami menunjukkan bahwa sektor
informal memang ada, meskipun sulit untuk menghitung dengan tepat ukuran dan signifikansinya.

• Penambangan batubara, baik yang memiliki izin resmi maupun tidak, dapat berdampak buruk
terhadap kualitas lingkungan dan berujung pada dampak buruk bagi kesehatan masyarakat di wilayah
penghasil batubara. Salah satu masalah yang paling nyata adalah meningkatnya polusi udara dan
air, yang menurut penduduk setempat terus memburuk secara signifikan sejak dimulainya aktivitas
pertambangan skala besar sekitar tahun 1990-an. Hal ini terkonfirmasi oleh kasus infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) yang menjadi penyakit utama di wilayah tersebut, menurunnya kualitas air
permukaan, dan buruknya kondisi air tanah.

• Industri pertambangan batubara juga berkontribusi terhadap permasalahan sosial yang lebih luas
di masyarakat lokal. Ketidaksesuaian antara keterampilan dan budaya kerja dengan kebutuhan
industri batubara menyebabkan terbatasnya akses terhadap pekerjaan batubara bagi masyarakat
lokal. Peningkatan pendapatan yang tidak disertai dengan pendidikan yang memadai mengakibatkan
meningkatnya konsumerisme atau kebiasaan belanja yang buruk. Akibat konsumerisme tersebut,
masih ada masyarakat yang belum mampu membeli rumah meski sudah bertahun-tahun bekerja
sebagai operator pertambangan batubara. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan kemampuan dalam
menabung dan mengumpulkan kekayaan dibandingkan dengan pekerja migran yang berpendidikan
lebih tinggi.

• Para pemangku kepentingan memandang transisi berkeadilan ini secara berbeda-beda. Perusahaan-
perusahaan besar umumnya menyadari risiko yang ditimbulkan oleh transisi energi terhadap bisnis
mereka. Pemerintah daerah, meskipun tidak selalu memahami risiko dalam konteks transisi energi,
sebagian besar menyadari tingginya risiko ketergantungan wilayah mereka terhadap satu komoditas
saja. Dalam hal transformasi perekonomian daerah, baik pemerintah daerah maupun perusahaan
batubara telah mengambil beberapa inisiatif. Namun, masyarakat lokal umumnya lebih skeptis
ketika ditanya mengenai transisi energi dan potensinya menurunkan produksi batubara. Hal ini
dipengaruhi oleh fakta bahwa produksi batubara telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

• Beberapa kondisi di daerah penghasil batubara saat ini berpotensi memberikan kontribusi signifikan
terhadap transisi ekonomi dari batubara, antara lain: masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi
ekonomi di masa depan, inisiatif perusahaan untuk mengembangkan bisnis di luar batubara, dan
program CSR dari perusahaan dapat menjadi sumber pendanaan pemberdayaan masyarakat.
Namun potensi-potensi tersebut belum dapat dioptimalkan karena adanya beberapa hambatan dari
berbagai aspek, antara lain kurangnya kesadaran dan penerimaan masyarakat terhadap proyek yang
ada, terbatasnya kewenangan pemerintah daerah, kurangnya kapasitas keuangan, serta kurangnya
infrastruktur kesehatan dan pendidikan.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 2
Rekomendasi

Untuk mengatasi hambatan dalam transisi dan mengoptimalkan potensi yang ada, studi ini menawarkan
beberapa rekomendasi, antara lain:

• Merencanakan diversifikasi dan transformasi ekonomi pasca penambangan batubara. Pengembangan


perekonomian baru di daerah penghasil batubara sangat penting untuk meminimalkan dampak
penurunan pendapatan dan dampak pembangunan industri batubara. Berdasarkan beberapa
analisis berbasis PDRB dan IO, sektor potensial yang akan dikembangkan di Paser adalah sektor
manufaktur, pendidikan, dan jasa keuangan, sedangkan sektor potensial di Muara Enim adalah
sektor manufaktur, akomodasi, dan jasa makanan. Namun, analisis tersebut tidak memasukkan
kegiatan ekonomi informal, yang mempunyai kontribusi besar terhadap perekonomian lokal. Selain
itu, distribusi manfaat dan kerugian yang lebih adil, peningkatan transparansi dan keterlibatan
pemangku kepentingan lokal dalam proses perencanaan, dan peningkatan partisipasi kelompok
marginal dalam perekonomian juga diperlukan untuk memastikan aspek keadilan dalam transisi.
Pemerintah daerah bekerjasama dengan masyarakat setempat wajib melakukan kajian lebih lanjut
untuk mengetahui potensi kegiatan ekonomi. Pemerintah pusat dan provinsi harus memasukkan
transformasi ekonomi di kawasan batubara ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah.

• Daerah penghasil batubara dapat memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan CSR dari
perusahaan batubara untuk mendanai proses transformasi ekonomi. Untuk meminimalkan
penggunaan DBH yang tidak efektif untuk belanja operasional pemerintah, DBH batubara dapat
dialokasikan untuk program dukungan transisi. Dana tersebut juga dapat dialokasikan untuk
membiayai proyek-proyek dan memberikan insentif untuk menarik investasi pada kegiatan ekonomi
yang lebih berkelanjutan guna mendukung diversifikasi ekonomi. Selain itu, penggunaan dana CSR
hendaknya disalurkan untuk mendukung agenda pembangunan daerah, misalnya dengan menyusun
RKPD non-APBD sebagai landasan awal agar lebih menyelaraskan CSR dengan perencanaan
pembangunan. Kolaborasi dengan beragam aktor/pemangku kepentingan, termasuk lembaga
swadaya masyarakat, juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas alokasi dana
CSR.

• Peningkatan pendidikan, termasuk pelatihan teknis, penting untuk mengatasi permasalahan individu
yang biasa terjadi di masyarakat dan mempersiapkan sumber daya manusia untuk bertransisi di
wilayah penghasil batubara. Menyelaraskan isu-isu sosial yang tercantum dalam penelitian ini dengan
konsep adaptif untuk transformasi sosial serta melakukan program pendidikan dan keterampilan
untuk meningkatkan literasi keuangan sangat direkomendasikan. Menyediakan lokakarya, seminar,
dan sumber daya di bidang pendidikan keuangan dapat membantu individu di daerah penghasil
batubara untuk memahami pentingnya penganggaran, penghematan, dan pembelanjaan yang
bertanggung jawab. Selain itu, memperkenalkan pekerjaan ramah lingkungan (green jobs) dan
energi terbarukan melalui kurikulum pendidikan formal juga sangat penting untuk mempersiapkan
masyarakat yang lebih tangguh dalam masa transisi.

• Meningkatkan akses terhadap informasi dan memungkinkan partisipasi yang berarti dalam
pengambilan keputusan juga penting untuk memastikan transisi yang adil. Melibatkan atau
secara eksplisit menyebutkan peserta masyarakat dalam forum perencanaan dan pembangunan
merupakan salah satu solusi potensial untuk mengakui adanya ketidakadilan dalam masa transisi.
Selain itu, memberikan kuota khusus pada kelompok masyarakat tertentu berdasarkan identitas,
seperti gender, etnis, usia, kelas, disabilitas, orientasi seksual, agama, kebangsaan, adat, dan lain-
lain, dapat membantu meningkatkan keterwakilan dalam proses pembangunan.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 3
Pendahuluan

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 4
Batubara telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perekonomian Indonesia. Pada tahun 2022,
batubara menyumbang sekitar 3,6% PDB nasional, 11,4% total nilai ekspor, 1,8% pendapatan negara,
dan 0,2% lapangan kerja. Produksi batubara Indonesia telah meningkat sembilan kali lipat sejak tahun
2000 dan mencapai nilai tertinggi sepanjang masa dengan jumlah 684 juta ton pada tahun 2022
(Kementerian ESDM, 2023). Namun, batubara adalah sumber energi yang paling intensif karbon, dan
untuk menghindari krisis iklim, penggunaannya pada pembangkit listrik yang berkelanjutan harus
dihentikan pada tahun 2040 (IEA, 2021). Dengan adanya komitmen iklim negara-negara di dunia saat
ini, permintaan batubara Indonesia kemungkinan akan tetap berada di atas 600 juta ton dalam jangka
pendek, namun diperkirakan akan menurun setelah tahun 2030 (IESR, 2022). Dengan adanya aksi iklim
yang lebih ambisius dan sejalan dengan Persetujuan Paris, permintaan batubara Indonesia baik untuk
keperluan domestik maupun ekspor kemungkinan akan menurun lebih cepat. Permintaan batubara
diproyeksikan akan menurun sebesar 20% pada tahun 2030, 60% pada tahun 2040, dan 90% pada tahun
2050 dibandingkan dengan nilai pada tahun 2020 (IESR, 2022).
800

600
Juta Ton

400

200

0
2020 2030 2040 2050

Industri domestik Industri hilir domestik Ketenagalistrikan domestik Ekspor

Gambar 1. Proyeksi permintaan batubara Indonesia jika negara-negara mematuhi komitmen iklim
mereka saat ini
Sumber: IESR, 2022

Sekitar 80% dari produksi batubara Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor, terutama Cina, India, dan
negara-negara Asia Tenggara lainnya. Kebijakan energi dan perdagangan dari negara-negara pengimpor
ini akan sangat mempengaruhi permintaan batubara Indonesia. Saat ini, negara-negara yang menjadi
tujuan lebih dari 80% ekspor batubara Indonesia mempunyai komitmen Net-Zero Emissions (NZE),
meskipun dengan jangka waktu dan status hukum yang berbeda (IEA, 2022). Cina telah menetapkan
target netral karbon pada tahun 2060 dengan mengurangi permintaan batubara dari 3.000 juta ton pada
tahun 2021 menjadi hanya 750 juta ton pada tahun 2050. India berencana mengurangi penggunaan
batubara dalam bauran energinya dari 72% menjadi 50% pada tahun 2031/2032 dengan permintaan
batubara impor yang tersisa sekitar 40 juta ton (Central Electricity Authority, 2022). Konsumen batubara
utama di Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia telah berjanji untuk mencapai Net-Zero
Emissions pada tahun 2050, dan jika janji tersebut dipenuhi, permintaan batubara diperkirakan akan
menurun dari sekitar 165 juta ton pada tahun 2021 menjadi hanya 110 juta ton pada tahun 2050 (IEA,
2022), ditambah lagi dengan fakta bahwa beberapa importir utama ini berupaya mengurangi impor
batubara dengan meningkatkan produksi batubara dalam negeri.

Sisanya sebesar 20% dari produksi batubara digunakan di dalam negeri, terutama sebagai bahan bakar
PLTU batubara. Peran PLTU batubara dalam sistem ketenagalistrikan di Indonesia telah meningkat
secara signifikan, dari menyumbang kurang dari 30% total listrik yang dihasilkan pada tahun 1990-an
menjadi lebih dari 60% pada tahun 2022 (IEA, n.d.). Hal ini menyebabkan adanya peningkatan konsumsi
batubara dalam negeri yang signifikan, dari 67 juta ton pada tahun 2010 menjadi 215 juta ton pada
tahun 2022 (Kementerian ESDM, 2021, 2023b). Kebijakan Energi Nasional yang ditetapkan pada tahun
2014 menyatakan bahwa batubara adalah tulang punggung sistem ketenagalistrikan Indonesia. Hal ini
diturunkan ke dalam kebijakan hilirisasi batubara, termasuk mengganti minyak bumi dan LPG dengan
bahan bakar yang dihasilkan dari batubara.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 5
Akan tetapi, dinamika kebijakan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya pergeseran
tren ini ke depan seiring dengan meningkatnya tekanan global untuk beralih dari bahan bakar fosil
ke sumber energi rendah karbon. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 mengatur larangan
proyek PLTU batubara baru di luar proyek yang sudah ada di pipa antrian yang sudah tercantum
dalam RUPTL 2021-2030. Selain itu, pada akhir tahun 2022, pemerintah bersama dengan International
Partners Group (IPG), dan Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ) telah meluncurkan Just Energy
Transition Partnership (JETP), atau Kemitraan untuk Transisi Energi Berkeadilan, yang berkomitmen untuk
mendatangkan investasi publik dan swasta sebesar US$20 miliar serta mencapai puncak emisi GRK
dari sektor ketenagalistrikan sebesar 290 MtCO2-eq dan pangsa energi terbarukan sebesar 34% dalam
pembangkitan listrik pada tahun 2030. Hal ini akan membutuhkan setidaknya 8 GW PLTU batubara
harus dihentikan operasionalnya. Semua hal ini akan menyebabkan adanya penurunan permintaan
domestik untuk batubara termal PLTU di Indonesia setelah tahun 2030.

Dengan kemungkinan menurunnya permintaan batubara internasional dan domestik setelah tahun
2030, daerah-daerah penghasil batubara di Indonesia dapat menghadapi gangguan besar terhadap
struktur sosial-ekonomi mereka yang selama ini dibangun di sekitar industri batubara. Kasus-kasus
seperti ini sudah pernah terjadi di masa lalu di seluruh dunia dan didokumentasikan dengan baik dalam
literatur. World Bank (2021) memberikan wawasan mengenai transisi batubara yang terjadi di beberapa
(bekas) produsen batubara besar, seperti Rusia, Ukraina, Polandia, Rumania, Inggris, Belanda, Cina, dan
Amerika. IESR (2020) merangkum pengalaman-pengalaman dari Jerman, Afrika Selatan, Australia, dan
Kanada, serta apa yang dapat Indonesia pelajari dari negara-negara tersebut.

Namun, walaupun terdapat banyak literatur tentang transisi batubara secara global, penelitian mengenai
dampak transisi terhadap daerah-daerah penghasil batubara di Indonesia masih terbatas. Meskipun
terdapat kesamaan antar kawasan batubara dan kita dapat belajar dari pengalaman wilayah lain dalam
mengelola transisi batubara, tetaplah penting untuk memahami konteks dan permasalahan spesifik di
daerah penghasil batubara di Indonesia agar dapat menentukan jalur yang tepat.

Laporan ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi dampak transisi energi terhadap wilayah penghasil
batubara di Indonesia. Dengan memahami dampaknya, studi ini menawarkan rekomendasi mengenai
apa yang perlu dipersiapkan dalam proses transisi untuk memitigasi dampak sosial-ekonomi. Untuk
melakukan hal tersebut, kami memilih dua kabupaten penghasil batubara utama di Kalimantan dan
Sumatera sebagai studi kasus. Dua kabupaten ini memang tidak dapat mewakili semua daerah penghasil
batubara di Indonesia, namun tetap dapat memberikan memberikan wawasan yang lebih baik mengenai
kekhususan wilayah penghasil batubara di Indonesia dibandingkan dengan wilayah lainnya. Laporan ini
diawali dengan identifikasi peran industri batubara di daerah penghasil, baik dari aspek ekonomi maupun
non-ekonomi, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai peluang dan tantangan dalam
transisi dari ekonomi berbasis batubara. Laporan ini diakhiri dengan beberapa rekomendasi mengenai
perencanaan transformasi ekonomi, pendanaan transformasi, penyiapan sumber daya manusia, dan
tata kelola proses transisi.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 6
Methodology
Metodologi

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 7
Pendekatan campuran digunakan untuk menjawab tujuan dari penelitian ini, dengan menggabungkan
metode penelitian kuantitatif dan kualitatif untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Pendekatan
ini dipilih berdasarkan kompleksitas penelitian, yang jawabannya melampaui angka-angka sederhana
dalam arti kuantitatif atau kata-kata dalam arti kualitatif. Karena masing-masing metode mempunyai
kelebihan dan kekurangannya masing-masing, maka penggabungan kedua metode tersebut diharapkan
dapat memberikan perspektif yang seimbang terhadap penelitian. Dengan demikian, penelitian ini
memiliki peluang unik untuk mendapatkan wawasan baru tentang dunia sosial dengan menggunakan
berbagai sumber informasi dan berbagai pendekatan.

Pendekatan kuantitatif menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber-sumber statistik,
seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dasar dan statistik demografi dari Badan Pusat Statistik,
Indeks Pembangunan Desa dari Kementerian Desa, dokumen profil desa dari pemerintah desa, anggaran
pemerintah daerah, data kesehatan daerah, dan data Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate
Social Responsibility (CSR)) dari pemerintah daerah. Data kuantitatif dikumpulkan dari Agustus 2022
hingga Mei 2023 dengan fokus pada data tahun berjalan tahun 2022 dan data historis sepuluh tahun
sebelumnya, jika tersedia.

Dua jenis analisis data digunakan untuk mengolah data kuantitatif, yaitu statistik deskriptif untuk
merangkum atau menggambarkan sebaran variabel dan pemodelan ekonomi yang dilakukan dengan
Matriks Input-Output (IO) dan Inter Regional Input Output (IRIO). Analisis Matriks IO memberikan informasi
mengenai dampak perubahan permintaan akhir terhadap output dari sektor perekonomian. Tabel IRIO
memberikan informasi mengenai struktur saling ketergantungan sektoral dan saling ketergantungan
regional. Tabel IO dan IRIO untuk tingkat provinsi didasarkan pada data tahun 2016 yang disediakan
oleh BPS, sedangkan tabel IO untuk tingkat kabupaten dikembangkan menggunakan analisis matematis
dan metode RAS (Miller and Blair, 2009). Selain itu, beberapa alat ekonomi juga digunakan untuk
mengidentifikasi potensi ekonomi sektor di luar sektor pertambangan batubara di daerah penghasil
batubara, antara lain Location Quotient (LQ), Shift Sharing (SS), Tipologi Klassen, Index of Backward Linkage
(IBL), dan Index of Forward Linkages (IFL). Dengan segala keterbatasannya, metode kuantitatif digunakan
sebagai pendekatan dasar untuk memahami kondisi daerah penghasil batubara di masa depan tanpa
batubara. Analisis kuantitatif dilengkapi dengan data kualitatif untuk memberikan konteks yang lebih
jelas.

Data kualitatif diperoleh dengan metode seperti tinjauan pustaka, diskusi kelompok terpumpun (focus
group discussion (FGD)), wawancara mendalam (in-depth interview), dan observasi lapangan untuk
mengumpulkan informasi mengenai perubahan lingkungan, sosial, dan ekonomi berdasarkan sudut
pandang informan, cara hidup, dan nuansa kehidupan sehari-hari di daerah penghasil batubara.
Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui survey lapangan di Kabupaten Paser pada Februari 2022,
Agustus 2022, dan Februari 2023, sementara di Kabupaten Muara Enim dilakukan pada Oktober 2022
dan Maret 2023. Data dan informasi kemudian diolah dengan metode analisis kualitatif, meliputi: 1)
triangulasi, untuk memverifikasi data yang telah dikumpulkan; dan 2) kategorisasi, untuk menemukan
pola dan keterkaitan data.

Analisis kuantitatif dan kualitatif di atas dilakukan pada dua daerah penghasil batubara sebagai studi
kasus untuk lebih memahami kondisi daerah penghasil batubara di Indonesia. Studi kasus memungkinkan
para peneliti untuk meneliti data pada level mikro. Proses seleksi dimulai dari pemilihan kabupaten dan
berlanjut ke pemilihan desa. Parameter yang digunakan dalam pemilihan lokus penelitian adalah:

1. Industri batubara dan dimensi makroekonomi. Keberadaan, tingkat produksi batubara, dan sebaran
wilayah penghasil batubara menjadi bahan pertimbangan dalam studi ini. Hingga Desember 2022,
ada tiga provinsi dengan sumber daya batubara terbesar di Indonesia, yaitu Kalimantan Timur dengan
38,27 miliar ton sumber daya batubara, atau setara dengan 41,5% dari total batubara di Indonesia;
Sumatera Selatan dengan 22,47 miliar ton sumber daya batubara; dan Kalimantan Selatan dengan

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 8
14,22 miliar ton sumber daya batubara (Kementerian ESDM, 2023b). Berdasarkan hal tersebut, kajian
ini memilih Kabupaten Paser di Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim di Sumatera Selatan
sebagai studi kasus, yang didasarkan pada tiga pertimbangan utama berikut:

• Kedua kabupaten tersebut berkontribusi menjadikan provinsi masing-masing sebagai provinsi


penghasil batubara terbesar di Indonesia.

• Kedua kabupaten tersebut masing-masing memiliki salah satu perusahaan batubara terbesar
di Indonesia, yaitu PT Kideco Jaya Agung (anak perusahaan PT Indika Energy, Tbk) di Paser and
PT Bukit Asam (Persero), Tbk di Muara Enim. Kideco memiliki konsesi pertambangan batubara
sekitar 47.500 hektar, dan pada tahun 2022 memproduksi 34,8 juta ton batubara (Indikator,
2023a). PT Bukit Asam memegang konsesi pertambangan batubara sekitar 93.962 hektar dengan
total produksi batubara sebesar 28 juta ton (Bukit Asam, 2023a).

• Batubara yang diproduksi di kabupaten-kabupaten ini memenuhi kebutuhan batubara global


dengan 66,2% penjualan ekspor dilakukan oleh PT Kideco (Indika Energy, 2023) dan 39,4%
penjualan ekspor dilakukan oleh PT Bukit Asam (Bukit Asam, 2022).

2. Dimensi sosial-ekonomi. Penelitian ini juga melengkapi pemahaman tingkat makro dengan analisis
tingkat mikro; oleh karena itu, data dan informasi dikumpulkan hingga ke wilayah administratif
terkecil, misalnya desa. Untuk memahami dampak industri batubara pada tingkat mikro, studi kasus
untuk desa dipilih berdasarkan kriteria berikut:

• Dekat atau tidaknya desa atau kelurahan dengan lokasi pertambangan, yang disebut juga
kawasan ring satu. Kedekatan ini penting karena semakin dekat suatu wilayah, maka pemahaman
terhadap dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari operasi penambangan batubara akan
semakin baik.

• Indikasi manfaat sosial ekonomi batubara bagi masyarakat umum. Indikasi ini berdasarkan data
Indeks Desa Membangun (IDM) yang dikeluarkan oleh Kementerian Desa, namun hanya tersedia
bagi desa dan tidak tersedia untuk kelurahan. Studi ini memilih desa-desa yang berstatus mandiri
atau maju, yang dianggap oleh pemerintah sebagai kelompok desa yang memiliki ketahanan
tinggi secara sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, penelitian ini memilih Desa Batu Kajang dan
Samurangau di Kabupaten Paser, serta Kelurahan Tanjung Enim dan Desa Darmo di Kabupaten Muara
Enim. Batu Kajang dikategorikan sebagai desa mandiri, sedangkan Tanjung Enim merupakan kelurahan.
Keduanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan perekonomian di kecamatan masing-
masing; oleh karena itu, desa dan kelurahan tersebut relatif lebih maju dibandingkan dengan desa-desa
lain. Selain itu, baik Tanjung Enim maupun Batu Kajang sangat dekat dengan lokasi penambangan dan
menjadi basis kantor perusahaan pertambangan batubara. Desa Darmo dan Samuranggu juga sangat
dekat dengan lokasi penambangan batubara, namun dikategorikan sebagai desa maju.

Informan untuk penelitian ini meliputi pejabat pemerintah daerah setempat, pemerintah desa atau
kecamatan, perusahaan pertambangan (level manajemen), sub-kontraktor perusahaan pertambangan,
pekerja batubara, mantan pekerja batubara, istri dari pekerja batubara, mantan pekerja seks komersial,
tenaga kesehatan di tingkat desa, guru, aktivis lokal dan organisasi massa, mantan pemberi pinjaman
uang, wartawan, pemilik usaha kecil, pekerja informal (misalnya tukang ojek), pedagang pasar, pemilik
properti, masyarakat adat, perempuan adat, pekerja tambang batubara tanpa izin, dan pengusaha
katering.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 9
Peran batubara di
daerah penghasil
batubara

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 10
Kontribusi industri batubara terhadap perekonomian lokal

Pertambangan batubara merupakan kontributor terbesar PDRB di daerah penghasil batubara. Di dua
daerah studi kasus, yaitu Muara Enim dan Paser, menurut data BPS, industri batubara menyumbang
50% dan 70% dari PDRB selama sepuluh tahun terakhir. Kontributor terbesar kedua bagi PDRB Paser
dan Muara Enim bervariasi dari sektor pertanian, perdagangan dan jasa, atau industri, dengan kontribusi
kurang dari 10%. Data ini menunjukkan bahwa daerah penghasil batubara tersebut sangat bergantung
kepada batubara. Data juga menunjukan adanya tren peningkatan total PDRB, dengan kontribusi sektor
batubara meningkat rata-rata sebesar 0,6% di Paser dan 7,4% di Muara Enim pada tahun 2015 hingga
2022. Hal yang menarik adalah meskipun PDRB meningkat selama sepuluh tahun terakhir, tingkat
kemiskinan juga terus meningkat selama lima tahun terakhir dengan peningkatan tahunan sebesar
4-9% di Paser dan 3,8-6% di Muara Enim, lebih cepat dibandingkan dengan pengeluaran per kapita.
Meningkatnya garis kemiskinan juga terkait dengan peningkatan pendapatan di daerah yang terkena
dampak pertumbuhan kegiatan ekonomi.

PDRB Kabupaten Paser (harga konstan 2010)

40 80%
Triliun Rupiah

30 60%

20 40%

10 20%

0 0%
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

Proporsi Pertambangan Lainnya Perdagangan Konstruksi


Pertanian Pertambangan Industri Manufaktur

PDRB Kabupaten Muara Enim (harga konstan 2010)

50 80%
Triliun Rupiah

40
60%

30
40%
20

20%
10

0 0%
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

Proporsi Pertambangan Lainnya Perdagangan Konstruksi


Pertanian Pertambangan Industri Manufaktur

Gambar 2. Contribution of coal mining to the GRDP of Paser and Muara Enim Regency
Sumber: Analisis IESR berdasarkan Penjabaran APBD Kabupaten Paser 2022 and Penjabaran APBD
Kabupaten Muara Enim 2023

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 11
Meskipun sektor pertambangan batubara merupakan penyumbang terbesar pendapatan daerah, hal
tersebut tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan pekerjanya karena 78% keuntungannya dinikmati
oleh perusahaan, sedangkan output sektoral yang dialokasikan untuk pekerja hanya sebesar 20%.
Selain itu, dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh sektor batubara bukanlah yang terbesar dalam hal
pengganda pendapatan dan lapangan kerja (lihat tabel 1 di bawah). Berdasarkan analisis kami, terdapat
sektor-sektor lain yang memiliki nilai pengganda pendapatan dan lapangan kerja yang lebih tinggi, seperti
sektor jasa, perdagangan, dan pertanian. Dengan kata lain, walaupun industri pertambangan batubara
di Paser dan Muara Enim memberikan kontribusi makroekonomi yang sangat besar, tidak seluruh nilai
ekonomi tersebut diberikan kepada populasi pekerja di industri batubara.

Tabel 1. Kontribusi sektor pertambangan dan bahan galian terhadap pengganda dan nilai tambah bruto di
Kabupaten Paser dan Muara Enim

Kabupaten Muara Enim Kabupaten Paser


Kontribusi sektor
Peringkat Peringkat
pertambangan dan bahan
(relatif (relatif
galian Niai Nilai
terhadap terhadap
semua sektor) semua sektor)

Pengganda output 1,4 11 dari 17 1,38 13 dari 17

Pengganda pendapatan 0,29 16 dari 17 0,19 15 dari 17

Pengganda tenaga kerja 0,002 9 dari 9 0,0004 9 dari 9

Kompensasi tenaga kerja 18,84 20,72

Surplus usaha Bruto 80,9 77,18

Selain mendukung perekonomian daerah, industri batubara juga memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pendapatan pemerintah daerah. Dana bagi hasil dari royalti pertambangan batubara dan
mineral menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Kabupaten Muara Enim pada
tahun 2023 (Perbup Muara Enim 59/2022), dan juga menyumbang rata-rata sekitar 27% dari total
pendapatan pemerintah Kabupaten Paser tahun 2013-2020 (Perbup Paser 36/2021; BKAD Paser, 2022).
Sumber penerimaan utama lain daerah penghasil batubara adalah dana alokasi umum, dana bagi hasil
migas, atau jenis penerimaan pajak lainnya, namun kontribusinya lebih kecil jika dibandingkan dengan
dana bagi hasil royalti pertambangan batubara dan mineral. Berdasarkan data terbaru tahun 2022,
belanja pemerintah di daerah penghasil batubara, serta di mayoritas pemerintah daerah di Indonesia,
sebagian besar adalah untuk biaya operasional, yang mencakup belanja pegawai pemerintah, barang
dan jasa, serta hibah. Kondisi ini menunjukkan pentingnya royalti pertambangan terhadap pendapatan
pemerintah, dan penurunan anggaran pemerintah daerah akan berdampak paling besar terhadap
operasional pemerintah.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 12
Rincian Pendapatan Daerah Kabupaten Paser dalam APBD 2022
Pendapatan Transfer Lainnya
10.3%
Pedapatan BLUD
Dana Bagi Hasil Minyak Bumi
3.6%
2.0%
Pendapatan Asli Daerah Lainnya
Dana Bagi Hasil Bumi dan Bangunan
5.9%
2.3%
Dana Alokasi Khusus untuk Bantuan
Operasional Sekolah Reguler Non-fisik
Dana Bagi Hasil Royalti Mineral
2.5%
dan Batubara
Dana Alokasi Khusus untuk Jalan Reguler
Fisik 29.8%
3.0%
Dana Alokasi Khusus untuk
Tunjangan Guru Non-fisik
3.5%
Dana Desa
6.4% Dana Alokasi Umum

Bagi Hasil Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 20.9%


9.7%
Pendapatan Lainnya Pendapatan Asli Lokal Pendapatan Transfer

Rincian Pendapatan Daerah Kabupaten Muara Enim dalam APBD 2023

Pendapatan Transfer Lainnya Pendapatan BLUD


5.4% 5.0%
Pendapatan Asli Daerah Lainnya
Bagi Hasil Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4.6%
3.1%
Dana Alokasi Khusus untuk Bantuan
Operasional Sekolah Reguler Non-fisik
3.5% Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Khusus untuk Tunjangan 24.2%
Guru Non-fisik
4.4%

Dana Desa
8.3%

Dana Bagi Hasil Bumi dan Bangunan Dana Bagi Hasil Royalti Mineral dan Batubara
17.5% 19.5%

Pendapatan Lainnya Pendapatan Daerah Pendapatan Transfer

Gambar 3. Sumber anggaran pendapatan pemerintah di Kabupaten Paser dan Muara Enim
Sumber: Analisis IESR berdasarkan Penjabaran APBD Kabupaten Paser 2022 and Penjabaran APBD
Kabupaten Muara Enim 2023

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 13
Di tingkat rumah tangga, sektor pertambangan batubara sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari
masyarakat, termasuk aspek sosial ekonominya. Dalam model bisnisnya, PT Kideco yang berbasis di
Paser bekerja sama dengan perusahaan lapis kedua dan ketiga yang disebut kontraktor (mitra lapis
kedua) dan sub-kontraktor atau vendor (mitra lapis ketiga), yang kemungkinan besar memerlukan
perekrutan lokal. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, masyarakat di sekitar lokasi penambangan
batubara pada awalnya memperoleh penghidupan dari bercocok tanam dan memanfaatkan hasil hutan,
namun seiring dengan semakin berkembangnya industri batubara, masyarakat mulai mencari alternatif
pekerjaan di perusahaan dan sedikit demi sedikit meninggalkan pekerjaan utama sebagai petani. Jumlah
pekerja di bidang pertanian berkurang hingga hampir 12% di Paser dan 65% di Muara Enim; sedangkan
jumlah pekerja pertambangan meningkat 2,7% di Paser dan 9,2% di Muara Enim selama lima belas tahun
terakhir seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja di sektor lain seperti jasa (BPS Paser dan Muara
Enim 2007-2023, 2023). Meningkatnya jumlah pekerja lokal dan pekerja migran juga menyebabkan
peningkatan permintaan terhadap layanan sehari-hari seperti perumahan dan warung makan. Oleh
karena itu, keberadaan sektor pertambangan batubara juga turut berkontribusi terhadap terciptanya
sektor ekonomi informal. Selain itu, kehadiran sektor ekonomi informal meningkatkan peluang bagi
pengusaha untuk memulai usaha kecil, meskipun menurut responden wawancara lapangan sebagian
besar pemilik usaha kecil adalah pendatang. Nilai ekonomi dari sektor informal jarang tercakup di dalam
data makroekonomi, namun pengamatan kami menunjukkan bahwa sektor informal memang ada,
meskipun sulit untuk menghitung secara pasti signifikansinya.

Masyarakat di sekitar area pertambangan belum sepenuhnya menyadari potensi lokal selain
pertambangan batubara atau industri yang terkait dengan batubara. Hal ini terbukti dalam pengamatan
dan wawancara kami, dimana sebagian besar rumah tangga di desa-desa yang berada pada zona
peringkat satu memiliki anggota keluarga yang bekerja di sektor batubara dan generasi mudanya tidak
tertarik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (misalnya gelar universitas), namun
lebih memilih bekerja di perusahaan batubara tepat setelah menyelesaikan sekolah menengah atas atau
sekolah kejuruan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat bergantung kepada batubara.
Selain itu, daerah penghasil batubara mungkin tidak hanya mempunyai perusahaan batubara yang
besar, namun terkadang juga terdapat aktivitas penambangan batubara rakyat atau penambangan
tanpa izin. Karena persyaratan pekerjaan yang lebih longgar, yang tidak membatasi persyaratan usia
atau pendidikan, penambangan rakyat menciptakan lebih banyak peluang kerja.

Hubungan antara industri batubara dan masyarakat setempat

Meskipun peran ekonomi industri batubara di masyarakat setempat terlihat jelas, industri ini juga
berdampak pada masyarakat dalam konteks sosial yang lebih luas. Kehadiran industri batubara telah
mengubah kondisi sosial dan lingkungan di wilayah tersebut.

Pertambangan batubara, baik yang berizin maupun tidak, dapat berdampak buruk pada kualitas
lingkungan dan pada akhirnya berdampak buruk juga pada kesehatan masyarakat setempat. Salah satu
permasalahan yang paling nyata adalah polusi udara dan air, yang menurut penduduk setempat, telah
memburuk secara signifikan sejak adanya aktivitas pertambangan skala besar pada tahun 1990-an. Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) telah menjadi penyakit yang paling banyak ditemukan di kedua wilayah
studi. Menurunnya kualitas air permukaan dan tidak memadainya akses terhadap utilitas air kota telah
memaksa sebagian penduduk setempat di kedua wilayah penelitian untuk bergantung pada air tanah.
Dalam banyak kasus, kondisi air tanah juga sangat buruk sehingga masyarakat harus membeli air galon
olahan yang harganya lebih mahal. Perusahaan mengatasi permasalahan ini, khususnya polusi udara,
dengan cara memberikan kompensasi kepada rumah tangga yang terkena dampak dalam bentuk uang
tunai (uang debu) atau paket susu, seringkali setelah menerima keluhan dari mereka, serta memberikan
dukungan medis melalui CSR perusahaan. Selain itu, terdapat indikasi bahwa aktivitas pertambangan
dapat berdampak negatif pada produktivitas tanaman di Paser.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 14
Pada aspek sosial, kehadiran industri batubara telah menyebabkan beralihnya kegiatan ekonomi
dominan, yaitu dari pertanian dan kehutanan ke pertambangan batubara. Tenaga kerja lokal yang ada
kadang tidak sesuai dengan keterampilan dan budaya kerja yang dibutuhkan di industri batubara; alhasil,
industri tersebut mendatangkan tenaga kerja dari daerah lain. Sebagai contoh, pekerjaan di bidang
pertambangan batubara pada umumnya mensyaratkan pelamar minimal lulusan sekolah menengah
atas, sedangkan di desa-desa di sekitar lokasi PT Kideco, hanya ada satu sekolah menengah atas.
Dalam kasus Tanjung Enim, penduduk setempat tidak tertarik untuk bekerja di pertambangan batubara
sebelum PT Bukit Asam meningkatkan produksinya pada tahun 2000-an. Hal ini menimbulkan adanya
arus pekerja migran yang seringkali, namun tidak semuanya, lebih berpendidikan dan terampil. Ada juga
pekerja migran yang berketerampilan rendah, baik dari daerah sekitar maupun dari daerah yang jauh,
yang datang untuk mencari peluang ekonomi.

Meningkatnya aktivitas perekonomian (dan pendapatan) yang tidak disertai dengan pendidikan bagi
masyarakat setempat dan masyarakat kelas menengah ke bawah, telah berdampak pada meningkatnya
konsumerisme atau kebiasaan belanja yang buruk. Masyarakat seringkali menghabiskan pendapatannya
untuk prostitusi dan narkoba, selain gaya hidup konsumtif lainnya seperti barang mewah dan perhiasan.
Akibat sifat konsumerisme tersebut, masih ada masyarakat yang belum mampu membeli rumah
meskipun sudah bertahun-tahun bekerja sebagai operator pertambangan batubara. Hal ini berujung
pada adanya ketidaksetaraan kemampuan dalam menabung dan mengumpulkan kekayaan dibandingkan
dengan pekerja migran yang berpendidikan lebih tinggi dan kurang terpapar oleh budaya tersebut.

Hasil pengamatan kami baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan menunjukkan bahwa banyak pekerja
migran senior dan berpangkat tinggi (seperti manajer) yang sering menginvestasikan pendapatannya
pada properti yang dapat disewakan, yang telah menjadi sumber utama akumulasi kekayaan mereka.
Di daerah pedesaan, kepemilikan tanah juga menjadi sumber akumulasi kekayaan, meskipun kurang
relevan bagi pekerja batubara migran. Sementara itu, sulit bagi pekerja batubara tingkat rendah atau
mereka yang memiliki pekerjaan bergaji rendah untuk berinvestasi di properti, yang berakibat pada
meningkatnya kesenjangan.

Industri batubara telah lama dipandang sebagai sapi perah penghasil uang, sehingga memicu perilaku
mencari keuntungan (pemburu rente) oleh sejumlah pelaku, termasuk pemilik usaha lokal, organisasi
massa atau aktivis, pegawai pemerintah, dan bahkan karyawan perusahaan itu sendiri. Misalnya,
organisasi lokal atau pejabat pemerintah desa telah memonopoli kesempatan kerja dengan menawarkan
akses kepada para pencari kerja ke perusahaan batubara, terkadang dengan imbalan uang. Perusahaan
terkadang menghentikan aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan cara menunjuk
pemimpin aksi protes tersebut sebagai vendor bisnisnya. Ada juga beberapa kasus dimana para birokrat
mengambil keuntungan dari para pendatang yang sedang mencari pekerjaan dengan menjual kartu
identitas lokal kepada mereka agar mereka dapat melamar pekerjaan sebagai pekerja lokal. Selain
itu, karyawan perusahaan batubara sendiri seringkali memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan
keuntungan dengan mempekerjakan atau menunjuk vendor milik kerabat atau kenalannya.

Perubahan signifikan lainnya adalah pelaksanaan CSR oleh perusahaan batubara. PT Bukit Asam dan
PT Kideco merupakan penyedia dana CSR terbesar di wilayahnya masing-masing, yang menghabiskan
lebih dari Rp40 miliar setiap tahunnya. PT Bukit Asam bahkan mengeluarkan dana sebesar lebih dari
Rp120 miliar pada tahun 2021 untuk CSR di Muara Enim. Pengeluaran CSR sejauh ini terfokus pada
“renovasi dan mempercantik” gedung-gedung publik (misalnya gedung keagamaan, gedung sekolah,
dan pusat kesehatan masyarakat), penyelenggaraan acara-acara publik (misalnya hari kemerdekaan,
acara budaya dan olahraga), pemberian hadiah (misalnya parsel Idul Fitri), dan dukungan untuk UKM
(misalnya pinjaman lunak). Aneka kegiatan tersebut dialokasikan berdasarkan proposal yang diajukan
oleh organisasi lokal dengan persetujuan pemerintah desa.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 15
Kegiatan-kegiatan CSR ini dianggap sebagai obat penghilang rasa sakit yang memberikan dampak
instan terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Banyak dari UKM yang didukung bahkan
gagal mempertahankan usahanya. Beberapa pihak, baik dari luar maupun dalam perusahaan, bahkan
menganggap CSR sebagai alat komunikasi bagi perusahaan batubara untuk mendapatkan penerimaan
publik terhadap operasionalnya. Di sisi lain, ada juga program CSR yang bisa dikatakan mempunyai tujuan
jangka panjang seperti infrastruktur dasar (misalnya pembangunan jalan, jembatan, irigasi, dan utilitas
air) dan beasiswa pendidikan. Namun, meskipun terdapat dukungan CSR, infrastruktur dasar di kedua
wilayah studi masih kurang, terutama di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kegiatan perekonomian.

PT Bukit Asam dan Pemerintah Kabupaten Muara Enim telah menginisiasi sebuah mekanisme untuk
penyaluran dana CSR untuk mendukung program pemerintah daerah. Pemerintah daerah menyusun
rencana kerja tahunan non-APBD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) non-APBD) melalui
Musrenbang tahunan, dan CSR perusahaan memutuskan kegiatan mana dalam RKPD non-APBD
yang dapat mereka dukung. Namun, penerapan hal tersebut masih menghadapi banyak tantangan,
seperti ketidaksesuaian periode fiskal antara pemerintah dan perusahaan. Selain itu, meskipun semua
program CSR seharusnya diusulkan melalui RKPD non-APBD, organisasi lokal dan masyarakat masih
mengajukan proposal terpisah secara langsung ke perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan lebih
memilih mengalokasikan dana CSR-nya untuk memenuhi usulan tersebut dibandingkan program yang
ada di RKPD.

Persepsi para pemangku kepentingan dan aspirasi dalam transisi


batubara

Para pemangku kepentingan memandang transisi secara berbeda-beda, yang disebabkan oleh adanya
perbedaan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap situasi tersebut. Perusahaan-perusahaan
besar pada umumnya menyadari risiko yang ditimbulkan oleh transisi energi terhadap bisnis mereka.
Meskipun pemerintah daerah tidak selalu memahami risiko dalam konteks transisi energi, sebagian
besar menyadari risiko akibat tingginya ketergantungan wilayah mereka terhadap satu komoditas. Hal
ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) masing-masing daerah
yang mencakup strategi untuk mengembangkan sektor ekonomi lainnya, terutama produk pertanian
(termasuk perkebunan, peternakan, dan perikanan) serta industri pengolahannya, dan pariwisata.
Sementara itu, sebagian besar masyarakat umum belum mengetahui tren transisi energi global dan
nasional dan meyakini bahwa aktivitas pertambangan batubara di daerah mereka akan bertahan lama,
meskipun sebagian besar memahami bahwa batubara adalah sumber energi tak terbarukan dan pada
akhirnya akan habis.

Perusahaan-perusahaan batubara besar, seperti PT Kideco dan PT Bukit Asam di wilayah studi kasus,
telah mempunyai rencana untuk mendiversifikasi portofolio bisnis mereka. PT Bukit Asam, misalnya,
telah menetapkan target untuk mengurangi porsi kontribusi pertambangan batubara pada total
pendapatannya menjadi hanya 50% pada tahun 2026 (Bukit Asam, 2021). PT Bukit Asam bahkan
mengirim beberapa pegawainya untuk belajar tentang energi terbarukan untuk mempersiapkan
keterlibatan mereka dalam bisnis energi terbarukan. Senada dengan hal itu, PT Indika Energy, induk
perusahaan PT Kideco, juga telah menyatakan niatnya untuk mengurangi proporsi batubara hingga
50% dari pendapatannya pada tahun 2025 (Indikator, 2021), meskipun PT Kideco sendiri belum memiliki
rencana yang jelas untuk mendiversifikasi bisnisnya. Sebagai bagian dari strategi diversifikasinya, PT
Indika Energy mendirikan Indika Nature yang beroperasi di Paser, dengan bisnis utamanya yaitu solusi
berbasis alam.

Bagi pemerintah daerah, menurunnya produksi batubara berarti menurunnya pertumbuhan ekonomi,
meningkatnya pengangguran, dan hilangnya pendapatan. Pemerintah Kabupaten Paser telah mengalami
masalah serupa ketika terjadi krisis batubara pada tahun 2016, yang menyebabkan anggaran tahunannya

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 16
dikurangi setengahnya dan banyak program yang ditunda. Oleh karena itulah Pemerintah Kabupaten
Paser tampaknya lebih bersemangat dalam melakukan diversifikasi perekonomian untuk menghindari
terulangnya tantangan serupa di masa depan.

Dalam hal transformasi perekonomian daerah, baik pemerintah daerah maupun perusahaan batubara
telah mengambil beberapa inisiatif. Selain melakukan diversifikasi kegiatan usaha, kedua perusahaan
batubara besar tersebut juga telah memulai proyek diversifikasi ekonomi di wilayah mereka. Mereka
tampaknya melihat pariwisata sebagai sektor yang potensial untuk dikembangkan. PT Bukit Asam,
bersama dengan pemerintah daerah setempat, telah menginisiasi program Kota Wisata Tanjung Enim
sejak tahun 2016. Sejak saat itu, mereka telah membangun museum batubara, kebun binatang, taman
bermain air (waterpark), dan akan segera membangun kebun raya (Bukit Asam, 2023b). Hal serupa juga
dilakukan oleh PT Kideco, yang menginisiasi pengembangan ekowisata dalam bentuk kawasan konservasi
dan ecopark (Indikator, 2023b). Namun, ada indikasi bahwa proses pengembangan pariwisata di kedua
wilayah tersebut tidak melibatkan masyarakat lokal. Bahkan keterlibatan pemerintah dalam proyek-
proyek tersebut pun terbatas, karena sebagian besar program dan dana berasal dari perusahaan. Sebagai
contoh, pada kasus Samurangau Ecopark di Paser, sebagian warga desa bahkan tidak mengetahui lokasi
taman tersebut. Pada proyek Kota Wisata Tanjung Enim, seorang aktivis setempat mengeluhkan bahwa
dirinya sama sekali tidak dilibatkan dalam proyek Kota Wisata, meski ia mengaku bahwa dirinya adalah
salah satu pengusul awal dari proyek tersebut. Ada juga kekhawatiran di antara beberapa komunitas
masyarakat adat bahwa mereka akan dimanfaatkan.

Khusus untuk Paser, agenda pemerintah pusat untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan
Timur dipandang sebagai peluang ekonomi oleh pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten maupun
desa. Pemerintah daerah mengharapkan Paser dapat menjadi pemasok produk pertanian dan tujuan
wisata bagi ibu kota baru (Ibu Kota Negara/IKN). Muara Enim memang tidak memiliki peluang seperti itu,
namun Muara Enim memiliki Kawasan Industri Tanjung Enim (KITE) yang masuk dalam Proyek Strategis
Nasional. Pembangunan KITE dipimpin oleh PT Bukit Asam karena diperkirakan akan menyerap produksi
batubara dari kawasan tersebut dan proyek coal-to-DME (pengolahan batubara menjadi DME) akan
menjadi proyek utama di zona tersebut, sedangkan keterlibatan pemerintah daerah dalam proyek KITE
masih terbatas.

Masyarakat setempat umumnya lebih skeptis ketika ditanya mengenai transisi energi dan potensinya
menurunkan produksi batubara; hal ini dipengaruhi oleh fakta bahwa produksi batubara meningkat
dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terutama terjadi pada kasus Muara Enim karena adanya proyek
hilirisasi batubara yang sedang berlangsung dan banyaknya PLTU batubara baru yang sedang dibangun.
Seorang aktivis lokal di Muara Enim menjelaskan bahwa akibat adanya peningkatan produksi batubara,
pihak operator kereta api mengumumkan frekuensi pengangkutan batubara akan meningkat tahun
depan. Kendatipun demikian, sebagian besar masyarakat memahami bahwa cadangan batubara
terbatas dan pertambangan batubara pada akhirnya akan berakhir, sehingga mereka tidak bisa hanya
mengandalkan batubara.

Bagi mereka yang tinggal tidak dekat dengan lokasi pertambangan, prospek penurunan produksi batubara
tidak menjadi kekhawatiran besar. Mereka berpendapat bahwa lapangan kerja di bidang batubara relatif
sedikit dan sebagian besar pekerja batubara adalah pekerja migran yang akan meninggalkan wilayah
tersebut setelah penambangan batubara berhenti. Beberapa pemilik UKM dan aktivis lokal di Paser,
misalnya, bahkan mengklaim bahwa fluktuasi harga minyak sawit mempunyai dampak yang lebih buruk
terhadap perekonomian lokal dibandingkan dengan batubara, karena lebih banyak orang yang bekerja
di perkebunan kelapa sawit.

Di sisi lain, masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pertambangan, termasuk mereka yang tidak bekerja
di pertambangan batubara, menyadari ketergantungan ekonomi mereka terhadap industri batubara.
Sebagai contoh, di Tanjung Enim, seorang warga berpendapat bahwa mayoritas penduduknya bekerja di

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 17
tambang batubara, dan penutupan tambang batubara akan menyebabkan peningkatan pengangguran.
Namun, tampaknya visi mereka mengenai masa depan setelah batubara masih terbatas. Dalam hal
potensi kegiatan ekonomi, banyak masyarakat di wilayah ini, termasuk kaum muda, yang ingin beralih
ke sektor pertanian (termasuk perkebunan kelapa sawit) atau mengembangkan usaha kecil (seperti
bengkel otomotif, bahan pokok, dan lain-lain) jika pertambangan batubara berakhir. Ini adalah kegiatan-
kegiatan ekonomi yang sudah ada bersama-sama dengan pertambangan batubara, yang menunjukkan
terbatasnya visi mereka mengenai peluang ekonomi alternatif.

Beberapa di antara mereka menyebutkan bahwa kurangnya lahan yang bisa digarap akan menjadi
kendala bagi kegiatan pertanian. Mereka berharap lahan bekas tambang bisa dipulihkan dan mereka
bisa punya akses untuk menggarap lahan tersebut. Mereka mengharapkan agar rehabilitasi lingkungan
juga akan mengarah pada peningkatan kualitas udara dan peningkatan keanekaragaman hayati.
Menariknya, hanya sedikit orang yang menyebut IKN di Paser atau KITE di Muara Enim, yang sepertinya
justru menjadi strategi utama pemerintah dan perusahaan. Beberapa warga Paser, termasuk para aktivis
dan pimpinan serikat pekerja, percaya bahwa proyek IKN dapat memberikan peluang ekonomi, namun
mereka khawatir bahwa sebagian besar penduduk setempat akan dikecualikan karena berbagai alasan
seperti kurangnya pendidikan. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa sebagian besar masyarakat umum
tidak melihat proyek-proyek strategis sebagai peluang ekonomi.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 18
Potensi daerah penghasil
batubara dan hambatan dalam
transisi dari batubara

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 19
Batubara sebagai industri utama di daerah penghasil batubara seperti Kabupaten Paser dan Muara
Enim telah menjadi daya tarik ekonomi utama bagi masyarakat setempat dan pengunjung. Banyak
masyarakat yang bergantung pada sektor pertambangan batubara, dan banyak pekerja, baik di
perusahaan maupun di pertambangan rakyat, yang justru ingin terus bekerja di bidang batubara sebagai
mata pencahariannya. Meskipun banyak juga yang menyadari bahwa lama-kelamaan batubara yang ada
di daerah mereka akan habis, sehingga mereka harus mencari alternatif ekonomi lain agar anak cucu
mereka bisa bertahan hidup. Selaras dengan temuan pada bab sebelumnya, penghidupan masyarakat
di sekitar batubara sangat bergantung pada sektor pertambangan batubara. Ketergantungan pada
sektor batubara, serta kemungkinan menurunnya permintaan batubara global dan semakin besarnya
komitmen transisi energi, telah mendorong berbagai pihak untuk mulai merencanakan skenario setelah
proses penghentian bertahap penggunaan batubara selesai dilakukan. Bab ini menjelaskan tentang
potensi dan hambatan yang terdapat di Paser dan Muara Enim berdasarkan temuan dan analisis yang
telah diuraikan pada bagian sebelumnya mengenai transformasi ekonomi di daerah penghasil batubara

Potensi dalam transisi dari batubara

Ada beberapa kondisi terkini di daerah penghasil batubara yang berpotensi memberikan kontribusi
signifikan terhadap transisi ekonomi dari batubara. Pertama, masyarakat mulai memiliki visi untuk
diversifikasi ekonomi masa depan. Sebagian besar masyarakat Paser dan Muara Enim menyebut
beberapa sektor seperti pertanian/perkebunan, usaha kecil, dan perkebunan kelapa sawit. Potensi-
potensi tersebut terkait dengan mata pencaharian mereka sebelumnya di bidang pertanian/kehutanan,
serta peluang yang mereka lihat dari industri yang ada di wilayah mereka selain industri batubara,
misalnya industri kelapa sawit dan UKM. Kedua, inisiatif perusahaan untuk mengembangkan bisnis
di luar batubara mempunyai potensi besar bagi daerah penghasil batubara untuk mencapai transisi
yang berkeadilan, karena perusahaan biasanya memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan
pemerintah dan masyarakat. Sebagai contoh, PT Kideco melalui perusahaan saudaranya, Indika Nature,
saat ini sedang mengerjakan beberapa proyek energi terbarukan; pada saat yang sama, PT Kideco juga
telah menginisiasi proyek pariwisata hijau seperti Samurangau Ecopark seluas 105 hektar. Ketiga, CSR
dari perusahaan-perusahaan dapat menjadi sumber pendanaan untuk pemberdayaan masyarakat
karena potensi nilai dananya yang terus berkembang dan keinginan perusahaan untuk berusaha
mencakup setiap aspek kehidupan masyarakat. Misalnya, CSR untuk pembangunan infrastruktur seperti
jalan, tempat ibadah, dan sekolah, serta pemberdayaan masyarakat seperti program pengembangan
UMKM dan beasiswa yang terdapat di Paser dan Muara Enim.

Hambatan dalam transisi dari batubara

Hingga saat ini, potensi-potensi yang diuraikan di atas masih belum dioptimalkan karena adanya
hambatan-hambatan dari berbagai aspek. Pertama, kurangnya kesadaran dan penerimaan masyarakat
terhadap proyek-proyek yang ada. Sebagai contoh, ide mengenai Kota Wisata Tanjung Enim diadvokasi
oleh tokoh masyarakat dan aktivis lokal, namun ada warga yang mengaku bahwa mereka tidak dilibatkan
dalam perencanaan dan pelaksanaan program tersebut, meski ada pula yang terlibat sebagai pemilik
toko atau petugas parkir di sekitar objek wisata. Situasi serupa juga terjadi pada pembangunan Kawasan
Industri Tanjung Enim dan Samurangau Ecopark Paser, dimana masyarakat hanya memberikan sedikit
masukan terhadap pembangunan tersebut dan menyiratkan bahwa seluruh pembangunan dan
perencanaan dilakukan oleh perusahaan dengan partisipasi sebagian dari pemerintah daerah. Sebagian
besar proyek pembangunan yang dipimpin oleh perusahaan memang mempertimbangkan manfaat
bagi masyarakat, namun masih kurang melibatkan partisipasi yang berarti dan penerimaan masyarakat
dalam perencanaannya.

Kedua, kewenangan pemerintah daerah yang terbatas. Semua kewenangan pertambangan berada di
bawah yurisdiksi pemerintah pusat, yang mana pemerintah dapat mendelegasikan sebagian tanggung
jawab kepada pemerintah provinsi. Re-sentralisasi ini telah menjadi perbincangan di kalangan pemerintah

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 20
daerah dan organisasi masyarakat seiring dengan semakin berkurangnya peran daerah-daerah,
padahal mereka adalah pihak yang terlibat langsung dalam operasional pertambangan. Pemerintah
kabupaten, baik di Paser maupun Muara Enim, menunjukkan kekhawatiran mereka karena menilai
izin pertambangan batubara yang dikeluarkan di lokasi mereka selama ini mungkin tidak sepenuhnya
bermanfaat bagi pembangunan daerah mereka. Terlebih lagi, terbatasnya kewenangan berdampak pada
tidak jelasnya arah program dan cakupan transisi yang berkeadilan di pemerintah daerah. Misalnya,
pemerintah provinsi tidak dapat memastikan bahwa program hilirisasi batubara merupakan bagian dari
agenda transisi berkeadilan di daerah, mengingat program-program tersebut memerlukan arahan yang
lebih spesifik dari pemerintah pusat.

Ketiga, karena kurangnya kemampuan finansial sehubungan dengan terbatasnya kewenangan,


pemerintah daerah di level kabupaten yang diharapkan menjadi penggagas transformasi di daerah
penghasil batubara seringkali mengalami keterbatasan dana. Sebagian besar dana rutin tahunan di
Pemerintah Daerah Paser dan Muara Enim telah digunakan untuk belanja operasional, yang sebagian
besar digunakan untuk pelayanan publik. Program terkait transformasi ekonomi di daerah penghasil
batubara pada umumnya memerlukan waktu yang lama sehingga memerlukan biaya yang lebih besar
pula. Saat ini, keuangan pemerintah daerah di daerah-daerah penghasil batubara juga bergantung
pada royalti pertambangan batubara, misalnya 40% dana bagi hasil batubara di Paser digunakan untuk
pembangunan infrastruktur (menurut Badan Keuangan dan Aset Daerah/BKAD). Ketergantungan ini
juga menunjukkan kurangnya kapasitas keuangan pemerintah daerah, yang juga menjadi salah satu
hambatan dalam mengoptimalkan potensi daerah.

Keempat, kurangnya infrastruktur kesehatan dan pendidikan. Di Muara Enim, jumlah Sekolah Menengah
Atas (SMA) di kecamatan yang lebih kecil masih terbatas, dan lokasi sekolah seringkali jauh dari
pemukiman masyarakat sehingga aksesibilitas fisiknya rendah. Terkait kesulitan kualitas hidup, OECD
(2019) menguraikan permasalahan-permasalahan di bidang kesehatan dan pendidikan, serta kurangnya
fasilitas penting lainnya, dan berpendapat bahwa peningkatan kesejahteraan di wilayah pertambangan
memerlukan kebijakan berbasis wilayah yang memenuhi persyaratan-persyaratan khusus di wilayah
tersebut.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 21
Rekomendasi:
Apa yang perlu dipersiapkan
untuk transisi batubara yang
berkeadilan

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 22
Transformasi Ekonomi

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, jika tidak diimbangi dengan pertumbuhan sektor ekonomi
lainnya, maka penurunan produksi batubara akan berdampak pada melemahnya perekonomian di
daerah penghasil batubara. Pengalaman masa lalu di wilayah penghasil batubara lainnya menunjukkan
bahwa transformasi dan diversifikasi ekonomi merupakan komponen penting dalam transisi batubara
yang berkeadilan. (Wuppertal Institut, 2022; World Bank, 2018). Ada berbagai teknik analisis yang dapat
menunjukkan sektor ekonomi mana yang mempunyai potensi pertumbuhan di suatu wilayah. Namun,
pengembangan ekonomi tidak serta merta berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti yang
ditunjukkan dalam perekonomian berbasis batubara dalam studi kasus. Untuk mencapai distribusi
manfaat ekonomi yang lebih merata kepada masyarakat setempat, transformasi dan diversifikasi
ekonomi harus memprioritaskan sektor-sektor yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang
lebih tinggi terhadap perekonomian lokal.

Untuk mengetahui sektor ekonomi mana yang perlu dikembangkan, penelitian ini menggunakan analisis
berbasis PDRB yaitu Location Quotient (LQ), Shift-share (SS), dan tipologi Klassen, serta analisis berbasis IO
yaitu Index Backward dan Forward Linkages (IBL dan IFL), pengganda pendapatan, dan pengganda lapangan
kerja. Alat analisis ini menunjukkan sektor ekonomi mana yang lebih penting dalam perekonomian lokal.
Penting untuk diketahui bahwa analisis berbasis PDRB dan IO terbatas pada kegiatan ekonomi formal;
oleh karena itu, analisis tersebut tidak mencakup banyak kegiatan informal yang memiliki peran signifikan
dalam perekonomian daerah seperti warung makan, persewaan rumah, prostitusi, dan pertambangan
tanpa izin. Selain itu, analisis makroekonomi dilakukan di tingkat kabupaten, sementara situasi di tingkat
desa mungkin berbeda. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan harus dievaluasi berdasarkan potensi
yang ada di desa-desa, yang tidak tercakup dalam laporan ini. Keterbatasan lainnya adalah analisis
berbasis IO ini didasarkan pada struktur ekonomi yang ada, yang mungkin tidak akan konstan dalam
jangka panjang.

Kabupaten Paser

Berdasarkan analisis PDRB dan IO, ada beberapa sektor yang bisa menjadi sektor potensial selain
pertambangan. Pertanian, khususnya budidaya kelapa sawit, muncul sebagai sektor potensial untuk
ekspor berdasarkan analisis LQ. Transportasi, jasa keuangan, dan pendidikan merupakan sektor-sektor
paling prospektif yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Timur, dan Paser
memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan Kalimantan Timur berdasarkan analisis Shift
Share (SS). Berdasarkan analisis tipologi Klassen yang mengecualikan sektor pertambangan, pendidikan
muncul sebagai sektor unggulan dengan kontribusi dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
Kalimantan Timur. Analisis IBL-IFL menunjukkan bahwa manufaktur menjadi sektor utama yang memiliki
keterkaitan paling besar dengan sektor ekonomi lain di wilayah tersebut. Pendidikan, jasa keuangan,
administrasi publik, serta pelayanan kesehatan dan sosial merupakan empat (dari tujuh belas) sektor
teratas dengan pengganda pendapatan tertinggi, sedangkan perdagangan dan jasa adalah dua (dari
sembilan) sektor teratas dengan pengganda lapangan kerja tertinggi.

Berdasarkan indikator-indikator perekonomian tersebut, pendidikan dan jasa keuangan tampaknya


menjadi sektor-sektor di mana Paser mempunyai keunggulan dibandingkan dengan daerah-daerah lain
di Kalimantan Timur. Sektor-sektor tersebut juga mempunyai pengganda pendapatan dan lapangan
kerja yang tinggi, yang akan mendistribusikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat dengan
lebih baik. Manufaktur juga merupakan salah satu sektor yang harus diperhatikan oleh para perencana,
karena sektor ini merupakan sektor kunci yang memiliki konektivitas tinggi dengan sektor lain, yang
berarti bahwa investasi di bidang manufaktur kemungkinan besar akan meningkatkan investasi di sektor
lain, termasuk pendidikan dan jasa keuangan.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 23
Tabel 2. Ringkasan analisis berbasis PDRB dan IO di Kabupaten Paser

Alat analisis Sektor teratas (di luar pertambangan)

LQ Pertanian

SS Transportasi, jasa keuangan, pendidikan


Klassen (tidak termasuk pertambangan) Pendidikan

IBL - IFL Manufaktur


Pendidikan, administrasi publik, jasa keuangan,
Pengganda pendapatan
pelayanan kesehatan dan sosial
Pengganda lapangan kerja Perdagangan, jasa, pertanian

Kabupaten Muara Enim

Berdasarkan analisis berbasis PDRB dan IO, terdapat beberapa sektor potensial selain pertambangan.
Akibat adanya pembangunan beberapa PLTU batubara di Muara Enim, penyediaan tenaga listrik selalu
muncul sebagai sektor potensial baik dalam analisis LQ, SS, maupun tipologi Klaassen. Namun, karena
tingginya ketergantungan sektor ini terhadap batubara, sektor ini mungkin tidak cocok sebagai kegiatan
ekonomi alternatif. Berdasarkan analisis SS, manufaktur, konstruksi, perdagangan, akomodasi dan jasa
makanan, serta perumahan (real estate) adalah sektor menjanjikan lainnya. Menurut analisis tipologi
Klaassen yang mengecualikan sektor pertambangan, pertanian, manufaktur, transportasi, dan gudang
penyimpanan muncul sebagai sektor teratas dengan kontribusi dan pertumbuhan yang lebih baik di
Muara Enim dibandingkan dengan di Sumatera Selatan secara umum. Analisis IBL-IFL menunjukkan
bahwa manufaktur menjadi sektor utama yang memiliki keterkaitan paling besar dengan sektor
ekonomi lain di wilayah tersebut. Pendidikan, administrasi publik, pelayanan kesehatan dan sosial, serta
akomodasi dan jasa makanan merupakan empat (dari tujuh belas) sektor teratas dengan pengganda
pendapatan tertinggi, sedangkan jasa dan ketenagalistrikan adalah dua (dari sembilan) sektor teratas
dengan pengganda lapangan kerja tertinggi.

Berdasarkan indikator-indikator perekonomian tersebut, manufaktur tampaknya menjadi sektor di


mana Muara Enim mempunyai keunggulan dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatera
Selatan. Sektor tersebut juga mempunyai keterkaitan yang tinggi dengan sektor-sektor lain, yang berarti
bahwa investasi di bidang manufaktur kemungkinan besar akan meningkatkan investasi di sektor-sektor
lain. Namun, sektor manufaktur memiliki pengganda pendapatan dan lapangan kerja yang rendah.
Akomodasi dan jasa makanan merupakan salah satu sektor potensial dengan pengganda pendapatan
dan lapangan kerja yang relatif tinggi, yang juga berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut karena
kinerjanya yang lebih baik dibandingkan dengan daerah sekitarnya.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 24
Table 3. Ringkasan analisis berbasis GRDP and IO di Kabupaten Muara Enim

Analysis tool Sektor teratas (di luar pertambangan)

LQ Ketenagalistrikan dan Gas


Manufaktur, ketenagalistrikan dan gas, konstruksi,
SS perdagangan, akomodasi dan jasa makanan,
perumahan (real estate)
Pertanian, manufaktur, ketenagalistrikan dan gas,
Klassen (tidak termasuk pertambangan)
transportasi dan gudang penyimpanan
IBL - IFL Manufaktur
Pendidikan, administrasi publik, pelayanan
Pengganda pendapatan kesehatan dan sosial, akomodasi dan jasa
makanan
Pengganda lapangan kerja Jasa, ketenagalistrikan, gas dan air

Meskipun analisis makro ekonomi ini dapat memberikan wawasan mengenai sektor-sektor ekonomi
mana yang berpotensi untuk tumbuh, penting untuk mempertimbangkan aspek keadilan dalam
prosesnya untuk memastikan ketidakadilan yang dialami masyarakat di daerah batubara tidak akan
terulang kembali.

• Manfaat (dan kerugian) dari kegiatan ekonomi baru harus didistribusikan secara lebih merata. Hal ini
terlihat dalam analisis IO yang menunjukkan bahwa manfaat dari beberapa kegiatan ekonomi tidak
terdistribusi dengan baik kepada masyarakat, dan hal ini terutama terjadi pada industri padat modal
seperti manufaktur. Oleh karena itu, industri manufaktur yang dikembangkan haruslah industri yang
menggunakan produk lokal sebagai inputnya seperti industri pengolahan hasil pertanian (misalnya
karet, kelapa sawit, dan kopi).

• Dari sudut pandang prosedural, penting untuk melibatkan masyarakat setempat sejak awal proses
perencanaan untuk meningkatkan penerimaan mereka. Untuk mendorong adanya keterlibatan yang
berarti, diperlukan transparansi dari industri batubara dan pemerintah mengenai rencana mereka
untuk bertransisi dari pertambangan batubara. Hal ini belum terjadi di kedua wilayah studi, karena
kesadaran masyarakat setempat mengenai masalah ini umumnya masih terbatas.

• Transisi juga harus menyadari adanya kesenjangan kesempatan bagi kelompok sosial tertentu, seperti
perempuan dan masyarakat adat, untuk berpartisipasi dalam perekonomian saat ini yang berpusat
pada batubara. Hal ini dapat diatasi ketika merancang jalur pembangunan ekonomi baru, misalnya
dengan memberikan insentif atau bahkan membuat mandat peraturan bagi dunia usaha untuk
mengadopsi kebijakan afirmatif terhadap kelompok sosial tersebut. Di samping itu, perancangan
jalur transisi dan skema dukungan harus memberikan perhatian kepada sektor informal, di mana
kelompok marginal biasanya bekerja.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 25
Mendanai Transisi Energi

Proses transformasi ekonomi memerlukan dana yang cukup besar, baik untuk dukungan sosial dan
program pelatihan, pembangunan infrastruktur pendukung, maupun pemberian insentif dan pembiayaan
untuk menarik investasi ke sektor-sektor baru. Untuk daerah penghasil batubara, terdapat beberapa
sumber dana yang dapat digunakan untuk membiayai proses transisi seperti DBH batubara dan CSR dari
perusahaan batubara. Dana tersebut tersedia terutama karena kehadiran industri batubara, namun hal
ini tidak akan berlangsung untuk selamanya. Oleh karena itu, pemanfaatannya harus dialokasikan untuk
mengurangi ketergantungan daerah terhadap batubara, namun sejauh ini belum dimanfaatkan secara
efektif untuk tujuan tersebut.

DBH memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan pemerintah di daerah penghasil
batubara. Namun, pendapatan dari batubara ini belum dialokasikan untuk tujuan yang spesifik, sehingga
sebagian besar pendapatan tersebut digunakan untuk pengeluaran rutin, misalnya gaji pegawai serta
barang dan jasa operasional. Untuk meminimalkan penggunaan DBH yang tidak efektif untuk belanja
operasional pemerintah, DBH batubara dapat disisihkan secara khusus untuk program dukungan
transisi. Dana tersebut juga dapat dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek dan memberikan
insentif untuk menarik investasi pada kegiatan ekonomi yang lebih berkelanjutan guna mendukung
diversifikasi ekonomi. Selain itu, untuk mendukung distribusi pendapatan batubara yang lebih merata
kepada kelompok sosial yang terpinggirkan, sebagian dari DBH dapat dialokasikan untuk mendukung
investasi yang memenuhi kriteria keadilan sosial tertentu, seperti bisnis yang dipimpin oleh perempuan
atau masyarakat adat daerah tersebut. Penting juga untuk menyimpan sebagian dari DBH, terutama
ketika mendapatkan windfall revenue (pendapatan yang seperti rejeki nomplok), untuk mengantisipasi
penurunan pendapatan akibat siklus boom-and-bust atau kebijakan penghapusan batubara. Meskipun
penggunaan pendapatan batubara belum dikhususkan, pengkhususan DBH bukanlah hal yang belum
pernah terjadi sebelumnya dalam sistem fiskal Indonesia. Sebagai contoh, 90% Dana Reboisasi (DBH-DR)
di tingkat provinsi dan kabupaten harus dialokasikan pada kegiatan-kegiatan prioritas, terutama yang
berkaitan dengan rehabilitasi dan perlindungan lingkungan hidup dan hutan (Fitriyani et al., 2022).

CSR adalah sumber pendanaan lain yang dapat digunakan untuk mempersiapkan transformasi ekonomi.
Sayangnya, penggunaan dana CSR dari perusahaan tambang belum efektif. Kabupaten Paser menerima
sekitar Rp40-60 miliar setiap tahunnya, sedangkan Muara Enim menerima hingga Rp140 miliar dari CSR,
namun sebagian besar pembelanjanya diarahkan untuk kegiatan amal, seperti rehabilitasi infrastruktur,
penyelenggaraan acara publik, atau pemberian hadiah. Kegiatan-kegiatan semacam ini tidak mempunyai
manfaat jangka panjang dan perlu diminimalkan. Penggunaan dana CSR hendaknya disalurkan untuk
mendukung agenda pembangunan daerah. Inisiatif Muara Enim untuk menyalurkan dana CSR ke
RKPD non-APBD dapat menjadi landasan awal untuk lebih menyelaraskan CSR dengan perencanaan
pembangunan, dan nantinya dapat memanfaatkan CSR untuk mendukung program transformasi ekonomi
pemerintah. Alokasi CSR untuk proposal dari organisasi perlu diminimalkan dengan menerapkan kriteria
penilaian yang lebih ketat terhadap proposal yang diterima untuk memastikan bahwa hanya proyek
yang memiliki manfaat transisilah yang akan didanai.

Selain transformasi ekonomi, rehabilitasi lingkungan merupakan program lain yang akan memerlukan
dana besar. Rehabilitasi lingkungan di lokasi tambang merupakan prasyarat keberhasilan transisi
menuju perekonomian pascabatubara, namun hal ini tidak selalu dilaksanakan dengan baik meskipun
diwajibkan secara hukum. Salah satu permasalahan yang sering diangkat adalah kurangnya dana yang
tersedia untuk kegiatan rehabilitasi dan pemantauan oleh regulator.

Peraturan yang berlaku telah mewajibkan perusahaan untuk menyerahkan dana jaminan reklamasi
dan pascatambang sebelum melakukan kegiatan penambangan. Namun tingkat kepatuhannya masih
rendah, karena Kementerian ESDM mencatat hanya 67% pemegang izin yang menyampaikan jaminan
reklamasi dan 33% yang menyampaikan jaminan pascatambang pada tahun 2019 (Petriella, 2020). Selain

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 26
itu, kehadiran pertambangan tanpa izin, seperti yang terjadi di Muara Enim, memperburuk tantangan
rehabilitasi lingkungan. Kurangnya pendanaan dapat diatasi dengan membentuk dana gabungan (pool
fund), di mana seluruh perusahaan pertambangan menyumbangkan dana rehabilitasi mereka, serupa
dengan Dana Rehabilitasi Pertambangan Australia (European Commission, 2020). Jika perusahaan
tambang tidak dapat memulihkan lokasi penambangan yang ditinggalkan karena kebangkrutan atau
keadaan lain yang tidak dapat dihindari, maka dana gabungan inilah yang bertanggung jawab untuk
melakukan hal tersebut. Bunga dari pengelolaan dana tersebut dapat digunakan untuk merehabilitasi
lokasi pertambangan yang sudah terbengkalai melalui monitoring dan evaluasi, penelitian untuk
rehabilitasi pascatambang, pengembangan kapasitas, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan
pascatambang. Dana gabungan untuk rehabilitasi ini bahkan bisa menggunakan retribusi penjualan
batubara yang saat ini direncanakan untuk mendukung konsumsi batubara dalam negeri.

Mempersiapkan Sumber Daya Manusia untuk Transisi

Peningkatan kualitas hidup masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan karena terus
meningkatnya kebutuhan manusia, namun bagi daerah-daerah penghasil sumber daya, permasalahan
peningkatan kualitas hidup menjadi lebih mendesak karena kualitas hidup mereka yang secara
konsisten lebih rendah dibandingkan dengan kualitas hidup rata-rata nasional dalam jangka waktu
yang lama (Kazantseva et al., 2021). Terkait kualitas hidup yang bermasalah, OECD (2019) menguraikan
permasalahan-permasalahan di bidang kesehatan dan pendidikan, serta kurangnya fasilitas penting
lainnya, dan berpendapat bahwa peningkatan kesejahteraan di wilayah pertambangan memerlukan
kebijakan berbasis wilayah yang memenuhi persyaratan-persyaratan khusus. Pendidikan bertujuan
untuk membentuk nilai-nilai, memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk berpartisipasi penuh
dalam masyarakat, serta memampukan penerapan gaya hidup yang menjamin kesejahteraan dalam
batas-batas ekologis (UNEP, 2015). Di negara-negara berkembang, akses yang lebih baik ke pendidikan
akan mengurangi kesenjangan kesempatan (UNDP, 2013), dan penyediaan kesempatan pendidikan juga
penting untuk kemajuan sosial dan penegakan keadilan (IPSP, 2016).

Oleh karena itu, peningkatan pendidikan, termasuk pelatihan teknis, penting untuk mengatasi
permasalahan individu yang biasa terjadi di masyarakat dan mempersiapkan sumber daya manusia
untuk transisi di daerah penghasil batubara. Menyelaraskan isu-isu sosial yang tercantum dalam
penelitian ini dengan konsep adaptif untuk transformasi sosial serta melakukan program pendidikan dan
keterampilan untuk meningkatkan literasi keuangan sangat disarankan, terutama untuk menghentikan
perilaku konsumerisme dan lebih berkontribusi pada peningkatan sumber daya manusia. Bahkan
pelatihan jangka pendek pun akan mampu berkontribusi untuk mengurangi perilaku materialisme dan
konsumerisme (Lekavičienė et al., 2022). Menyediakan lokakarya, seminar, dan sumber daya mengenai
pendidikan keuangan dapat membantu orang-orang di daerah penghasil batubara untuk memahami
pentingnya penganggaran, penghematan, dan pembelanjaan yang bertanggung jawab. Ada banyak
upaya pendidikan keuangan yang dapat dikembangkan, seperti: 1) keterlibatan langsung di masyarakat
dalam jangka pendek, 2) mengintegrasikan pendidikan literasi keuangan ke dalam kurikulum sekolah;
dan 3) keterlibatan jangka panjang dengan pemantauan dan pendampingan rutin. Program pendidikan
keuangan sebaiknya dikembangkan dengan menyentuh secara personal, karena hal itu akan mendorong
komitmen dan loyalitas yang lebih besar sebab informasi yang disampaikan disesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik, yang dapat dicapai dengan mengetahui saat yang tepat untuk memberikan
pendidikan, merancang alat berdasarkan isu dan bias nyata, serta menetapkan tujuan yang realistis
(OECD, 2019). Upaya literasi keuangan sebenarnya merupakan bagian dari rencana jangka menengah
OJK Indonesia (OJK, 2021), namun penguatan program tersebut di daerah penghasil batubara dengan
kolaborasi terus-menerus dengan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk restorasi sosial melalui
perubahan perilaku sumber daya manusia.

Selain pelatihan literasi keuangan yang disesuaikan untuk mengatasi permasalahan sosial, ada
beberapa rekomendasi untuk mempersiapkan sumber daya manusia dalam menghadapi transisi

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 27
yang masih terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan, namun lebih mendalam untuk jangka
panjang. Memperkenalkan pekerjaan ramah lingkungan (green jobs) dan energi terbarukan, serta terus
membentuk pemikiran kritis masyarakat melalui kurikulum pendidikan formal mulai dari sekolah dasar
hingga sekolah menengah atas sangatlah penting untuk mempersiapkan masyarakat yang lebih tangguh
dalam masa transisi.

Partisipasi publik yang berarti dalam pembangunan daerah

Meningkatkan akses kepada informasi dan memampukan partisipasi yang berarti dalam pengambilan
keputusan juga penting untuk memastikan transisi yang berkeadilan. Berdasarkan hasil dari banyak
penelitian, pemerintah memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi dan mendorong
keterlibatan masyarakat. Transformasi energi Jerman (Energiewende) adalah salah satu contoh yang
menunjukkan bagaimana partisipasi masyarakat diterapkan dalam penerapan kebijakan energi, yang
mungkin dapat berbeda dalam hal intensitas komunikasi seperti konsultasi tertulis atau dialog tatap
muka, lamanya partisipasi, dan waktu partisipasi (seperti dalam hal sebelum proses perencanaan dan
selama perencanaan), dan juga seberapa besar kekuasaan yang dibagikan kepada masyarakat untuk
mengambil keputusan bersama (Ernst, 2020).

Melibatkan atau secara eksplisit menyebutkan peserta masyarakat dalam forum perencanaan dan
pembangunan merupakan salah satu solusi potensial untuk mengakui adanya ketidakadilan dalam
masa transisi. Memberikan kuota khusus kepada kelompok masyarakat tertentu berdasarkan identitas,
seperti gender, etnis, usia, kelas, disabilitas, orientasi seksual, agama, kebangsaan, masyarakat adat,
dll., dapat membantu meningkatkan keterwakilan dalam proses pembangunan (UNDP, 2018). Sebuah
studi di Roma mengenai partisipasi masyarakat dalam kebijakan kesehatan menjelaskan bahwa
langkah pertama untuk mengatasi hambatan partisipasi masyarakat di Roma adalah adanya komitmen
eksplisit dari pemerintah, salah satunya adalah dengan menghasilkan kerangka hukum atau normatif
yang memungkinkan terjadinya partisipasi demokratis secara langsung (WHO, 2016). Daerah-daerah di
Indonesia mempunyai perencanaan partisipatif melalui forum rutin yang disebut Musyawarah Rencana
Pembangunan (Musrenbang), namun banyak penelitian sebelumnya menemukan bahwa implementasi
dari Musrenbang tersebut masih kurang; oleh karena itu, studi ini merekomendasikan pemerintah
daerah untuk memperkuat forum partisipatifnya. Di banyak wilayah pedesaan di Indonesia, Musrenbang
tidak dilaksanakan dengan baik dan mirip dengan pertemuan seremonial dengan perwakilan yang
meragukan, di mana jumlah peserta kurang dari yang diharapkan dan didominasi oleh para elit desa dan
pendukungnya (Akbar et al., 2012). Beberapa pemangku kepentingan terkait terkadang sengaja tidak
dilibatkan, khususnya kelompok marginal seperti penyandang disabilitas dan masyarakat miskin (Akbar
et al., 2012).

Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya kasus seperti itu adalah dengan merancang program CSR
yang mempertimbangkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. CSR partisipatif
menggunakan CSR sebagai metode dialog antara perusahaan dan masyarakat dan sebagai proses
membangun hubungan yang bersama-sama menciptakan nilai sosial (Lim et al., 2015). Desain yang
paling umum dilakukan adalah bekerja sama dengan beragam pemangku kepentingan, salah satunya
melalui kolaborasi dengan organisasi nonpemerintah (Non-Governmental Organization (NGO)), khususnya
NGO lokal (Sharma & Bansal, 2017). Bekerja sama dengan NGO memungkinkan perusahaan untuk
mendapatkan pijakan ketika bekerja di lingkungan yang asing dan mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang kebutuhan primer masyarakat. Dalam hal ini, NGO berperan sebagai penghubung
antara perusahaan dan masyarakat, dan NGO sendiri mempunyai peluang untuk menggunakan sumber
daya yang dimiliki oleh perusahaan untuk mencapai misi sosialnya.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 28
Daftar Pustaka
Akbar, A., Flacke, J., Martinez, J., & van Maarseveen, M. F. (2020). Participatory planning practice in rural
Indonesia: A sustainable development goals-based evaluation. Community Development, 51(3), 243-
260. https://doi.org/10.1080/15575330.2020.1765822

Badan Pusat Statistik Kabupaten Muara Enim. (n.d.). PDRB Atas Dasar Harga Konstan menurut Lapangan
Usaha (Juta Rupiah). Diakses dari https://muaraenimkab.bps.go.id/indicator/52/39/1/pdrb-atas-
dasar-harga-konstan-menurut-lapangan-usaha.html

Badan Pusat Statistik Kabupaten Muara Enim. (n.d.). Garis Kemiskinan Menurut Kab/Kota (Rp/kapita/
bulan), 2016-2022. Diakses dari https://muaraenimkab.bps.go.id/indicator/23/176/1/garis-
kemiskinan- maret-menurut-kab-kota.html

Badan Pusat Statistik Kabupaten Muara Enim. (n.d.). Jumlah Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha
dan Jenis Kelamin di Kabupaten Muara Enim. Diakses dari https://muaraenimkab.bps.go.id/
indicator/6/163/1/jumlah-tenaga-kerja-menurut-lapangan-usaha-dan-jenis-kelamin-di-kabupaten-
muara-enim.html

Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser. (n.d.). PDRB Kabupaten Paser Atas Dasar Harga Konstan menurut
Lapangan Usaha (Juta Rupiah). Diakses dari https://paserkab.bps.go.id/indicator/52/47/1/pdrb-
kabupaten-paser-atas-dasar-harga-konstan-menurut-lapangan-usaha.html

Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser. (n.d.). Garis Kemiskinan Menurut Kab/Kota (Rp/kapita/bulan),
2005- 2022. Diakses dari https://paserkab.bps.go.id/indicator/23/91/1/garis-kemiskinan.html

Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser. (2023). Kabupaten Paser dalam Angka 2023. Paser: Badan Pusat
Statistik Kabupaten Paser. Diakses dari https://paserkab.bps.go.id/publication.html

Bukit Asam. (2021). Siap Rambah Bisnis Energi di Tahun 2026, Ini Langkah dan Strategi Transformasi
Bisnis PT Bukit Asam Tbk. Diakses dari https://www.ptba.co.id/berita/siap-rambah-bisnis-energi-di-
tahun- 2026-ini-langkah-dan-strategi-transformasi-bisnis-pt-bukit-asam-tbk-1413

Bukit Asam. (2022). Sustainability Report 2022 : Sustainability Commitment Towards Net Zero Emission.
Tanjung Enim: PT Bukit Asam. Diakses dari https://www.ptba.co.id/uploads/ptba_laporan_
berkelanjutan/20230530082411-2023-05-30ptba_laporan_berkelanjutan082404.pdf

Bukit Asam. (2023a). Tentang Bisnis Batubara. Diakses dari https://www.ptba.co.id/tentang/bisnis-


batubara

Bukit Asam. (2023b). Langkah PTBA Persiapkan Tanjung Enim Menjadi Kota Wisata. Diakses dari https://
www.ptba.co.id/berita/langkah-ptba-persiapkan-tanjung-enim-menjadi-kota-wisata-1601

Central Electricity Authority. (2022). National Electricity Plan. Central Electricity Authority Government of India.
Diakses dari https://cea.nic.in/wp-content/uploads/irp/2022/09/DRAFT_NATIONAL_ELECTRICITY_
PLAN_9_SEP_2022_2-1.pdf

Ernst, A. & Shamon, H. (2020). Public participation in the German energy transformation: Examining empirically
relevant factors of participation decisions. Energy policy, 145, 111680. https://doi.org/10.1016/j.
enpol.2020.111680

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 29
European Commission. (2020). Environmental rehabilitation and repurposing toolkit. Diakses dari https://
energy.ec.europa.eu/topics/oil-gas-and-coal/eu-coal-regions/knowledge-products/environmental-
rehabilitation-and-repurposing-toolkit_en

Fitriyani, R., Gusmansyah, & Guevarrato, G. (2022). Buku Panduan Pelembagaan dan Replikasi Transfer
Fiskal Berbasis Ekologi (EFT) TAPE dan TAKE. Seknas FITRA. Diakses dari https://seknasfitra.org/
buku-panduan-pelembagaan-dan-replikasi-transfer-fiskal-berbasis-ekologi-eft-tape-dan-take/

IEA. (2021). Net Zero by 2050. IEA. https://www.iea.org/reports/net-zero-by-2050

IEA. (2022). An Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia. IEA. Diakses dari https://www.iea.
org/reports/ an-energy-sector-roadmap-to-net-zero-emissions-in-indonesia

IEA. (n.d.). Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2023 dari https://www.iea.org/countries/indonesia#data-


browser

IESR. (2020). Ensuring a Just Energy Transition: Lessons learned from country case studies. Institute for
Essential Services Reform (IESR). Diakses dari https://iesr.or.id/en/pustaka/ensuring-a-just- energy-
transition-in-indonesia-lessons-learned-from-country-case-studies-iesr-2020

IESR. (2022). Redefining Future Jobs: Implication of coal phase-out to the employment sector and economic
transformation in Indonesia’s coal region. Institute for Essential Services Reform (IESR). Diakses dari
https://iesr.or.id/en/pustaka/redefining-future-jobs

Indika Energy. (2023). Accelerating Sustainability: Sustainability Report 2022. Jakarta: PT Indika Energi
Tbk. Diakses dari https://www.indikaenergy.co.id/wp-content/uploads/2023/03/Indika-Energy-
Sustainability-Report-2022-5.pdf

Indikator. (2021). Komitmen Kurangi Emisi Karbon, Indika Energy Terus Lakukan Diversifikasi Usaha.
Diakses dari https://indikator.indikaenergy.co.id/serba-serbi/komitmen-kurangi-emisi-karbon-
indika-energy-terus-lakukan-diversifikasi-usaha/

Indikator. (2023a). Kideco Peroleh IUPK Hingga 2033. Diakses dari https://indikator.indikaenergy.co.id/
serba-serbi/kideco-peroleh-iupk-hingga-2023/

Indikator. (2023b). Kideco Samurangau Ecopark Resmi Beroperasi. Diakses dari https://indikator.
indikaenergy.co.id/serba-serbi/kideco-samurangau-eco-park-resmi-beroperasi/

IPSP (International Panel on Social Progress). (2016). Chapter 19 – How Can Education Promote Social
Progress? Diakses dari https://comment.ipsp.org/chapter/chapter-19-how-can-education-promote-
social- progress

Kazantseva, E., Chistyakova, G., & Kleshchevskiy, Y. (2021). Problems of quality of life of the population of coal-
mining regions. E3S Web of Conferences, 278, 02003. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202127802003

Kementerian ESDM. (2021). Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2020. Kementerian
ESDM

Kementerian ESDM. (2023). PNBP Lampaui Target, Menteri ESDM Sampaikan Rincian Torehan ESDM
di Tahun 2022. Diakses dari https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/pnbp-lampaui-
target-menteri- esdm-sampaikan-rincian-torehan-esdm-di-tahun-2022-

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 30
Kementerian ESDM. (2023b). Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2022. Kementerian
ESDM

Lekavičienė, R., Antinienė, D., Nikou, S., Rūtelionė, A., Šeinauskienė, B. & Vaičiukynaitė, E. (2022). Reducing
consumer materialism and compulsive buying through emotional intelligence training amongst Lithuanian
students. Front. Psychol., 13:932395. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.932395

Lim, J. S., Yang, S., & Chung, A. (2015). “Will you join us?” Use of the partake-in-our cause (PIOC) message in
light of negative news. International Journal of Strategic Communication, 9(1), 44–61. https://doi.org/
10.1080/1553118X.2014.960081

Miller, R. E., & Blair, P. D. (2009). Input–Output Analysis Foundations and Extensions. Cambridge: Cambridge
University Press. http://digamo.free.fr/io2009.pdf

OECD. (2019). Enhancing well-being in mining regions: Key issues and lessons for developing indicators. Diakses
dari https://www.oecd.org/cfe/regionaldevelopment/Wellbeing_MiningRegions_3rdOECDMeeting_
PreConference.pdf

OJK. (2021). 2021-2025 National Strategy on Indonesian Financial Literacy. OJK. Diakses dari https:// ojk.
go.id/en/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/National-Strategy-on-Indonesian-
Financial-Literacy-(SNLKI)-2021---2025/National%20Strategy%20on%20Indonesian%20Financial%20
Literacy%20(SNLKI)%202021%20–%202025.pdf

Peraturan Bupati Paser Nomor 36 Tahun 2021 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2022. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/231269/
perbup- kab-paser-no-36-tahun-2021

Peraturan Bupati Muara Enim Nomor 59 Tahun 2022 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Tahun Anggaran 2023. Diakses dari https://www.muaraenimkab.go.id/upload/
download/23de11583815616d5a9713d5364f1fbc_PERBUP%20APBD%202023.pdf

Petriella, Y. (2020, January 21). Jaminan Reklamasi dan Pascatambang IUP Masih Rendah. Bisnis.com.
Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20200121/44/1192367/jaminan-reklamasi-dan-
pascatambang-iup-masih-rendah

Sharma, G., & Bansal, P. (2017). Partners for Good : How Business and NGO Engage in the Commercial-Social
Paradox. Organization Studies, 38(3–4), 341–364. https://doi.org/10.1177/0170840616683739

UNDP. (2018). What does it mean to leave no one behind? United Nation. Diakses dari https://www.undp.

org/sites/g/files/zskgke326/files/publications/Discussion_Paper_LNOB_EN_lres.pdf

UNDP. (2013). Humanity Divided: Confronting Inequality in Developing Countries. Diakses dari https://www.
undp.org/sites/g/files/zskgke326/files/publications/HumanityDivided_Full-Report.pdf

UNEP. (2015). Sustainable Consumption Guide for Policymakers: Debunking Myths and Outlining Solutions
(Asia Edition). United Nations Environment Programme. Diakses dari https://www.iges.or.jp/en/pub/
sustainable-consumption-guide-policy-makers/en

WHO. (2016). Toolkit on social participation. Copenhagen: WHO Regional Office for Europe.

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 31
World Bank. (2018). Managing Coal Mine Closure : Achieving a Just Transition for All. World Bank Group.
Diakses dari http://documents.worldbank.org/curated/en/484541544643269894/Managing-Coal-
Mine-Closure- Achieving-a-Just-Transition-for-All

World Bank. (2021). Supporting Transition in Coal Regions: A Compendium of the World Bank’s Experience and
Guidance for Preparing and Managing Future Transitions. World Bank. Diakses dari http://hdl.handle.
net/10986/35323

Wuppertal Institut. (2022). Just Transition Toolbox for coal regions. Diakses dari https://www.coaltransitions-
toolbox. org/

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 32
Lampiran
Dokumentasi FGD dengan masyarakat di Kabupaten Paser dan Muara
Enim untuk pengumpulan data pada tahun 2022-2023

Kabupaten Muara Enim

FGD di Desa Darmo, bertujuan untuk melihat visi masyarakat untuk FGD di Kelurahan Tanjung Enim bersama masyarakat lokal, bertujuan
masa depan batubara (Maret 2023) untuk memetakan dampak industri batubara (Maret 2023)

FGD di Desa Darmo bersama masyarakat lokal, bertujuan untuk Diskusi dengan tokoh adat di Tanjung Enim untuk memperoleh
memetakan sejarah wilayah (Maret 2023) informasi mengenai sejarah dan budaya setempat (Maret 2023)

FGD di Kota Muara enim dengan Pemerintah Kabupaten, bertujuan Diskusi dengan Pemerintah Kabupaten mengenai perencanaan sektor
untuk memetakan para pemangku kepentingan (Oktober 2022) batubara dan energi terbarukan daerah (Oktober 2022)

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 33
Paser

FGD di Kabupaten Paser bersama Kelompok Tani Long Ikis, bertujuan FGD di Desa Samurangau bersama masyarakat setempat, bertujuan
untuk memetakan dampak industri batubara (Agustus 2022) untuk melihat visi masyarakat untuk masa depan batubara (Februari
2023)

FGD di Desa Batu Kajang bersama masyarakat setempat, untuk memetakan sejarah wilayah (Februari 2023)

Transisi Berkeadilan di Daerah


Penghasil Batubara di Indonesia 34
IESR
Institute for
Essential Services
Reform

Jalan Tebet Timur Raya 48 B


Jakarta Selatan, 12820, Indonesia
T: +62 21 2232 3069 | F: +62 21 8317 073

www.iesr.or.id | iesr@iesr.or.id

Anda mungkin juga menyukai