BAB21414322034
BAB21414322034
LANDASAN TEORI
6
Ramdani, Imanudin. Peta Dakwah di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/29/jtptiain. Diakses 31 Januari 2018 pukul 08.15 WIB.
16
17
Riset --- Bank Data --- Peta Dakwah --- Rencana Dakwah (perkiraan masa depan,
perumusan target dan tujuan, alternative program dan prioritas, penetuan metode,
waktu, dan tempat, sasaran/mad’u, dan beaya.7
Menurut Kanwil Depag Prop. Jateng yang dikutip oleh penulis dari jurnal
PDF, menjelaskan peta dakwah adalah suatu gambaran visual atau uraian yang
mengandung berbagai keterangan, informasi, dan data yang dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk menyusun suatu rencana kegiatan dakwah secara sistematis
dan terinci tentang daerah atau batasan geografis. Rangkaian pelaporan ini
merupakan produk dari manajemen dakwah. Sedangkan menurut MUI, peta
dakwah adalah informasi yang lengkap mengenai kondisi objektif unsur maupun
komponen dari sistem dakwah baik raw input, konversi, out put, feedback, maupun
environmental. Jadi, peta dakwah merupakan deskripsi suatu daerah yang memuat
potensi dari berbagai sudut pandang, digambarkan dengan simbol-simbol tertentu
sebagai garapan manajemen dakwah dalam satu sistem dakwah demi tercapainya
cita-cita dakwah secara efisien dan efektif.8
Tujuan utama dakwah adalah nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai atau
diperoleh oleh keseluruhan tindakan dakwah. Tujuan utama dakwah sebagaimana
7
Ibid.
8
Ibid.
20
Bisri Affandi (Dalam Aziz, 2004: 60) mengatakan bahwa yang diharapkan
oleh dakwah adalah terjadinya perubahan dalam diri manusia, baik kelakuan adil
maupun aktual, baik pribadi maupun keluarga masyarakat, way of thinking atau
cara berpikirnya berubah, way of life atau cara hidupnya berubah menjadi lebih
baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud adalah nilai-nilai
agama sedangkan kualitas adalah bahwa kebaikan yang bernilai agama itu semakin
dimiliki banyak orang dalam segala situasi dan kondisi. Sedangkan menurut Amrul
Ahmad (Dalam Aziz, 2004: 60) menyinggung tujuan dakwah adalah untuk
memengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran
individual dan sosiokultural dalam rangka terwujudnya ajaran Islam dalam semua
segi kehidupan.
Salah satu tugas pokok Rasulallah adalah membawa mission sacre (amanah
suci) berupa menyempurnakan akhlak yang mu.ia bagi manusia. Dan akhlak ynag
mulia ini tidak lain adalah al-Qur’an itu sendiri sebab hanya kepada al-Qur’an-lah
setiap pribadi muslim itu akan berpedoman. Atas dasar ini tujuan dakwah secara
luas, dengan sendiriny adalah menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik
individu maupun masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu
perbuatan sesuai dengan ajaran tersebut. Adapun karakteristik tujuan dakwah itu
adalah (Aziz, 2004: 61):
21
1. Sesuai (suitable), tujuan dakwah bisa selaras dengan misi dan visi dakwah itu
sendiri.
2. Berdimensi waktu (measurable time), tujuan dakwah haruslah konkret dan bisa
diantisipasi kapan terjadinya.
3. Layak (feasible) tujuan dakwah hendaknya berupa suatu tekad yang bisa
diwujudkan (realistis).
4. Luwes (fleksibel) itu senantiasa bisa disesuaikan atau peka (sensitif) terhadap
perubahan situasi dan kodisi umat.
5. Bisa dipahami (understandable), tujuan dakwah haruslah mudah dipahami dan
dicerna.
Namun secara umum tujuan dakwah dalam al-Qur’an adalah (Aziz, 2004:
61-63):
a. Dakwah bertujuan untuk menghidupkan hati yang mati. Allah berfirman:
aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali “. ( Q.S Ar Ra’d :
36)
d. Untuk menegakkan agama dan tidak terpecah-belah.
Islam menjelaskan perlunya sifat yang baik bagi para Da’i dalam
menjalankan dakwahnya. Dalam masyarakat muslim, Da’i diajak untuk
memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana firman Allah dalam surat Al-
Mudatstsir ayat 1-7, yaitu (Bambang, 2010: 23):
“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Tuhanmu agungkan, dan pakaianmu bersihkan, dan
perbuatan dosa ditinggalkan, dan jangan kamu memberi (dengan maksud)
memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu, bersabarlah.”
Dari ayat tersebut dapat ditarik satu pemahaman bahwa dai
seyogyanya memiliki sifat-sifat berikut (Bambang, 2010: 24):
a. Spirit yang kuat untuk menyebarluaskan agama Allah, tidak mudah
berputus asa. Meskipun aral dan rintangan selalu menghadang, ia tetap
memiliki stamina yang tinggi.
b. Selalu mengagungkan nama Allah dalam berbagai pristiwa komunikasi
dakwahnya. Dengan mengagungkan-Nya, dapat membersihkan batin dan
menjadikan hati selalu dalam kondisi yang positif.
c. Selalu memakai pakaian bersih (dan suci). pakaian bersih (dan suci) dapat
mempengaruhi kesucian batin. Ini menunjukkan bahwa Islam itu integral,
apa yang ada di luar, itu pula yang ada di dalam. Pakaian yang baik
diperoleh dari jerih payah kerjanya.
d. Menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dai perlu introspeksi diri
(almuraqabah al-dakhliyyah) dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang
belum baik, ia perbaiki, yang kurang ditambah, dan yang menjengkelkan
dijauhkan. Dai selalu berusaha untuk mengevaluasi dirinya bagi kebaikan
umat Islam.
e. Tidak pamrih duniawi. Dai memerhatikan kondisi masyarakat muslim
secara umum, dibandingkan dengan kepentingan diri pribadi. Dai tidak
vested interest yang mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan
(conflict of interest). Bila itu terjadi, akan menyurutkan suara dakwahnya.
Masayarakat diberdayakan agar mereka mandiri.
26
f. Sabar. Dalam medan dakwah selalu ada suka duka. Suka membawa
syukur; sedangkan ujian, kadang membawa keluhan. Dai harus tetap sabar
karena karena dapat melahirkan sikap optimis. Masyarakat muslim selalu
menunggu kehadiran dai yang memenuhi kriteria tersebut.
2.6.1.1 Karakteristik Da’i
masyarakat itu ada yang tinggal di kota, desa, pegunungan, pesisir, bahkan
ada juga yang tinggal di pedalaman. Bila dilihat dari aspek agama, maka
mad’u ada yang Muslim/Mukmin, kafir, munafik, musyrik, dan lain
sebagainya. (Wahidin, 2011: 8).
Secara umum Al-Qur’an menjelaskan ada tiga tipe mad’u, yaitu:
mukmin, kafir dan munafik. Drai ketiga klasifikasi besar ini, mad’u kemudian
dikelompokkan lagi dalam berbagai macam pengelompokkan, misalnya,
orang mukmin dibagi menjadi tiga, yaitu: dzalim linafsih, muqtashid, dan
sabiqun bilkhairat. Kafir bisa dibagi menjadi kafir zimmi dan kafir harbi.
Mad’u terdiri dari berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu,
menggolongkan mad’u sama dengan menggolongkan manusia itu sendiri dari
aspek profesi, ekonomi, dan seterusnya. Muhammad Abduh membagi mad’u
menjadi tiga golangan, yaitu (Munir dan Wahyu, 2012: 23):
1) Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran, dapat berpikirsecara
kritis, dan cepat dapat menangkap persoalan.
2) Golongan awam, yaitu orang kebanyakan yang belum dapat berpikir
secara kritis dan mendalam, serta belum dapat menangkap pengertian-
pengertian yang tinggi.
3) Golongan yang berbeda dengan kedu golongan tersebut, mereka senang
membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas waktu tertentu saja, dan tidak
mampu membahasnya secara mendalam.
d. Masalah Akhlak
Secara etimologis, kata akhlaq berasal dari bahasa Arab, jamak
dari “khuluqun” yang berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah laku atau
tabiat. Kalimat-kalimat tersebut memiliki segi-segi persamaan dengan
perkataan “khalqun” yang berarti kejadian, serta erat hubungnnya dengan
Khaliq yang berarti pencipta, dan “makhluq” yang berarti yang diciptakan
(Munir dan Wahyu, 2006: 28).
Sedangkan secara terminologi, permasalahan akhlak berkaitan
dengan masalah tabiat atau kondisi temperature batin yang mempengaruhi
prilaku manusia. Ilmu akhlak bagi Al-Farabi, tidak lain dari bahasan
tentang keutamaan-keutamaan yang dapat menyampaikan manusia
kepada tujuan hidupnya yang tinggi, yaitu kebahagiaan, dan tentang
berbagai kejahatan atau kekurangan yang dapat merintangi usaha
pencapaian tujuan tersebut (Munir dan Wahyu, 2006: 28-29).
2.6.4 Wasilah (Media) Dakwah
Media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti
perantara, tengah atau pengantar. Dalam bahasa Inggris media merupakan
betuk jamak dari medium yang berarti tengah, antara, rata-rata. Dari
pengertian ini ahli komunikasi mengartikan media sebagai alat yang
menghubungkan pesan komunikasi yang disampaikan oleh komunikator
kepada komunikan. Dalam bahasa Arab media sama dengan wasilah atau
dalam betuk jamak, wasail yang berarti alat atau perantara (Aziz, 2012: 403).
Wasilah (media) dakwah adalah alat yang digunakan untuk
menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada mad’u (Wahidin, 2011:
288). Dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah. Disebutkan Dedy
mulyana (Dalam Aripudin, 2011: 13) bahwa media bisa merujuk pada alat
maupun bentuk pesan, baik verbal maupun nonverbal, seperti cahaya dan
suara. Saluran juga bisa merujuk pada cara penyajian,seperti bertatap muka
(langsung) atau lewat media seperti surat kabar, majalah, radio, telepon dan
televisi.
35
kepada para da’i atau pelaku dakwah dalam sebuah organisasi dakwah.
Perencanaan akan mengurangi ketidak pastian dengan mendorong para da’I
untuk melihat ke depan, mengantisipasi perubahan kondisi umat,
mempertimbangkan feed back-nya yang kemudian menyusun tanggapan-
tanggapan yang tepat. Perencanaan juga memperjelas konsekwensi tindakan-
tindakan para mad’u yang kemudian dapat dengan cepat ditanggapi pleh para
pelaku dakwah. Dengan adanya perencanaan diharapkan dapat mengurangi
kegiatan-kegiatan dakwah yang tumpeng tindih dan sia-sia. Selain itu, apabila
sarana dan tujuan-tujuannya jelas, maka ketidakefisienan menjadi jelas yang
dapat dikoordinasikan dan dihilangkan (Munir dan Wahyu, 2006: 106).
dikalangan umat Islam dan hampir disetiap kelas sosial. Problem yang lebih krusial
lagi adalah problem kriminalitas, mungkin termasuk terorisme dan alkoholisme
yang menjamur diberbagai tempat dengan modus beragam. Pelanggaran politik
juga semakin menambah beban moral dan social dalam dakwah sehingga
problematika dakwah semakin luas sebagai tugas para da’i untuk membuktikan
sumbangannya pada perbaikan tatanan social bangsa (Aripudin, 2013:17-18).
Sementara itu pimpinan Pusat Majelis Tabligh Muhammadiyah
mengidentifikasi permasalahan-permasalahan dakwah pada umumnya di Indonesia
sebagai berikut (Samsul, 2013: 291).
c. Kecenderungan Ekonomi
1) Masalah Permodalan
Masalah permodalan ini menyangkut keterbatasan sumber modal
baik dari dalam maupun dari luar negeri. Di pihak lain, daya serap investasi
juga terbatas sebagai akibat sempitnya pasaran hasil produksi, baik untuk
ekspor ataupun untuk pasaran dalam negeri. Permasalahan ini akan
diperberat dengan efisiesi pemanfaatan modal yang rendah dana rah
investasi yang kerap kali tidak disertai perencanaan yang matang (Samsul,
2013: 297).
2) Masalah Ketenagakerjaan
Melihat fenomena ketenaga kerjaan di Indonesia, seolah terdapat
semacam paradoksal, yakni di satu pihak pengangguran semakin
membengkak, tetapi di pihak lain dirasakan akan kebutuhan akan tenaga
kerja tertentu, terutama tenaga ahli. Hal ini terjadi karena jumlah tenaga
49