Anda di halaman 1dari 37

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Peta


Peta secara umum dapat diartikan sebagai gambaran mengenai letak laut,
letak gunung dan sebagainya, pengertian peta dapat dipahami sebagai berikut6:
a. Peta mempunyai pengertian Map dalam bahasa Inggris atau dapat diartikan
sebagai gambar dari lingkungan, letak dan batas geografis suatu wilayah yang
berbentuk grafis.
b. Peta mempunyai pengertian sebagai gambaran mengenai kondisi sosial,
ekonomi, politik dan agama dalam bentuk narasi atau uraian yang didukung
oleh angka baik berbentuk tabel atau data statistik.

2.2 Pengertian dan Makna Dakwah


Secara etimologis, dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu da’a, yad’u,
da’wan, du’a yang diartikan sebagai mengajak/ menyeru, memanggil, seruan,
permohonan dan permintaan. Istilah ini sering diberi arti yang sama dengan istilah-
istilah tabligh, amr ma’ruf dan nahi munkar, mau’idzhoh hasanah, tabsyir, indzhar,
washiyah, tarbiyah, ta’lim, dan khotbah. Istilah dakwah dalam Al-Qur’an
diungkapkan dalam benyuk fi’il maupun mashdar sebanyak lebih dari seratus kata.
Al-Qur’an menggunakan kata dakwah untuk mengajak kepada kebaikan yang
disertai dengan risiko (Munir dan Wahyu, 2012: 17).
Secara semantik, dakwah berarti memanggil, mempersiahkan, memohon,
propaganda dan menyebarkan (Episto, 2001: 339), baik kearah yang baik maupun
kearah yang buruk. Dalam pengertian istilah, dakwah merupakan suatu aktifitas
untuk mengajak orang kepada ajaran Islam yang dilakukan secara damai, lembut
(QS. 35: 6), konsisten dan penuh komitmen. Cakupan dakwah lebih luas daripada
pengertian tabligh. Dakwah meliputi dakwah verbal (da’wah bil-lisan) dan dakwah

6
Ramdani, Imanudin. Peta Dakwah di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/29/jtptiain. Diakses 31 Januari 2018 pukul 08.15 WIB.

16
17

nonverbal (bil-hal). Sedangkan tabligh hanya meliputi ajakan secara verbal.


Dakwah Islam meliputi ajakan, keteladanan, dan tindakan konkrit untuk melakukan
tindakan yang baik bagi keselamatan dunia dan akhirat. Perintah untuk mengajak
orang lain ke jalan Allah secara tegas tersurat dalam surat An-Nahl ayat 125,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…”. Berlandaskan ayat tersebut,
pelaku dakwah dapat mengambil dasar-dasar untuk berdak wah dengan cara:
bijaksana (al-hikmah), yaitu perkataan yang tegas dan benar yang dapat
membedakan antara yang hak dan yang batil; pelajaran yang baik (al-mawizhah al-
hasanah); dan perdebatan yang baik. Namun, cara yang terakhir jarang
dipergunakan dalam dakwah Islam.karena perdebatan dan perbantahan akan
mengeraskan hati dan mengeruhkan keadaan sehingga membawa pada posisi yang
defensive reaktif. Oleh sebab itu, cara yang paling banyak digunakan oleh para juru
dakwah, yaitu cara bijaksana (bil-hikmah) dan perdebatan yang baik. (Bambang,
2010: 22).
Syekh Ali Mahfuz mengartikan dakwah dengan mengajak manusia kepada
kebaikan dan petunjuk Allah SWT, menyeru mereka kepada kebiasaan yang baik
dan melarang mereka dari kebiasaan buruk supaya mendapatkan keberuntungan di
dunia dan akhirat. Pengertian dakwah yang dimaksud, menurut Ali Mahfuz lebih
dari sekedar ceramah dan pidato, walaupun memang secara lisan dakwah dapat
diidentikan dengan keduanya. Lebih dari itu, dakwah juga meliputi tulisan (bi al-
qalam) da perbuatan sekaligus keteladanan. Sedangkan aSayyid Quthub (1982:
187), lebih memandang dakwah secara holistis, yaitu sebuah usaha untuk
mewujudkan system Islam dalam kehidupan nyata dari tataran yang paling kecil,
seperti keluarga, hingga yang paling besar, seperti negara atau ummah dengan
tujuan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mewujudkan sistem
tersebut, menurut M. Quraish Shihab (1992: 194) diperlukan keinsafan atau
kesadaran masyarakat untuk melakukan perubahan dari keadaan yang tidak atau
kurang baik menjadi baik (Ismail dan Hotman, 2011: 28-29).
18

Menurut Suparta (2003) Syekh Muhammad Abduh memberikan definisi al-


hikmah, yaitu ilmu yang menggerakkan kemauan untuk melakukan suatu perbuatan
yang bermanfaat. Dalam kaitannya dengan dakwah, al-hikmah berarti untuk
melakukan tindakan yang berguna dan efektif. Menurut Suparta (2003: XVII) Da’i
harus mencari titik temu tanpa harus kehilangan jati diri. Menurut Al-Qahthani
(1994: 438) dakwah bijak, yakni cara dakwah yang memerhatikan situasi dan
kondisi penerima dakwah. Orang yang memiliki hikmah berarti orang yang
memiliki kendali diri yang dapat mencegah diri dari hal-hal yang kurang bernilai
atau dapat mencegah perbuatan hina. Menurut Hasjmy (1984: 67) Al-Hikmah
merupakan kemampuan dai dalam memilih dan menyelaraskan teknik dakwah
dengan kondisi penerima dakwah, juga dalam menjelaskan ajaran Islam serta denga
realitas yang ada dengan argumentasi yang kuat dalam Bahasa yang komunikatif.
Berdakwah dengan bijak, memerhatikan keadaan audiens dan lingkunganya, setiap
pesan yang disampaikan tidak memberatkan pemikiran mereka. (Bambang, 2010:
22-23).

2.3 Pengertian Peta Dakwah


Menurut Nawari Ismail yang dikutip oleh penulis dari Jurnal PDF, bahwa
Peta dakwah adalah suatu gambaran sistematik yang terinci tentang subyek, obyek,
dan lingkungan dakwah pada satuan unit daerah. Satuan unitnya dapat meliputi RT,
RW, Kelurahan/desa, kecamatan, kabupaten bahkan propinsi. Luas dan besarnya
satuan unit yang akan diambil sangat tergantung kepada kebutuhan akan data serta
dana dan tenaga yang tersedia. Adapun gambaran petanya menurut Nawari Ismail
meliputi: 1.) Deskripsi keadaan Deskripsi ini dapat di tuangkan dalam bentuk
uraian, dan dalam bentuk tabel, grafik dan yang lainnya yang berkaitan dengan
setiap komponen. 2.) Identifikasi masalah. Hubungan Peta Dakwah dan
Perencanaan dakwah Sebuah perencanaan dakwah tidak akan mengenai sasaran
jika tanpa dilandaskan kepada data yang (bank data) yang sahih. Data yang sahih
hanya dapat diperoleh dari sebuah penelitian. Penelitian dakwah akan
menghasilkan bank data yang kemudian dituangkan dalam peta dakwah. Data yang
ada dalam peta dakwah dijadikan landasan untuk menyususn perencanaan dakwah.
19

Riset --- Bank Data --- Peta Dakwah --- Rencana Dakwah (perkiraan masa depan,
perumusan target dan tujuan, alternative program dan prioritas, penetuan metode,
waktu, dan tempat, sasaran/mad’u, dan beaya.7
Menurut Kanwil Depag Prop. Jateng yang dikutip oleh penulis dari jurnal
PDF, menjelaskan peta dakwah adalah suatu gambaran visual atau uraian yang
mengandung berbagai keterangan, informasi, dan data yang dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk menyusun suatu rencana kegiatan dakwah secara sistematis
dan terinci tentang daerah atau batasan geografis. Rangkaian pelaporan ini
merupakan produk dari manajemen dakwah. Sedangkan menurut MUI, peta
dakwah adalah informasi yang lengkap mengenai kondisi objektif unsur maupun
komponen dari sistem dakwah baik raw input, konversi, out put, feedback, maupun
environmental. Jadi, peta dakwah merupakan deskripsi suatu daerah yang memuat
potensi dari berbagai sudut pandang, digambarkan dengan simbol-simbol tertentu
sebagai garapan manajemen dakwah dalam satu sistem dakwah demi tercapainya
cita-cita dakwah secara efisien dan efektif.8

2.4 Tujuan Dakwah


Tujuan merupakan pernyataan bermakna, keinginan yang dijadikan
pedoman manajemen puncak organisasi untuk meraih hasil tertentu atas kegiatan
yang dilakukan dalam dimensi waktu tertentu. Tujuan (objective) diasumsikan
berbeda dengan sasaran (goals). Dalam tujuan memiliki target-target tertentu untuk
dicapai dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan sasaran adalah pernyataan yang
telah ditetapkan oleh manajemen puncak untuk menentukan arah organisasi dalam
jangka panjang. Sebenarnya tujuan dakwah itu adalah tujuan diturunkan ajaran
Islam bagi umat manusia itu sendiri, yaitu untuk membuat manusia memiliki
kualitas akidah, ibadah serta akhlak yang tinggi (Aziz, 2004: 60).

Tujuan utama dakwah adalah nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai atau
diperoleh oleh keseluruhan tindakan dakwah. Tujuan utama dakwah sebagaimana

7
Ibid.

8
Ibid.
20

telah memberikan pengertian tentang dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan dan


kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridlai oleh Allah SWT, sebab
merupakan suatu nilai atau hasil yang diharapkan dapat dicapai oleh keseluruhan
usaha dakwah. Ini berarti bahwa usaha dakwah, baik dalam bentuk menyeru atau
mengajak umat manusia agar bersedia menerima dan memeluk Islam, maupun
dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar (Shaleh, 1993: 21-22).

Bisri Affandi (Dalam Aziz, 2004: 60) mengatakan bahwa yang diharapkan
oleh dakwah adalah terjadinya perubahan dalam diri manusia, baik kelakuan adil
maupun aktual, baik pribadi maupun keluarga masyarakat, way of thinking atau
cara berpikirnya berubah, way of life atau cara hidupnya berubah menjadi lebih
baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud adalah nilai-nilai
agama sedangkan kualitas adalah bahwa kebaikan yang bernilai agama itu semakin
dimiliki banyak orang dalam segala situasi dan kondisi. Sedangkan menurut Amrul
Ahmad (Dalam Aziz, 2004: 60) menyinggung tujuan dakwah adalah untuk
memengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran
individual dan sosiokultural dalam rangka terwujudnya ajaran Islam dalam semua
segi kehidupan.

Kedua pendapat diatas menekankan bahwa dakwah bertujuan untuk


mengubah sikap mental dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi lebih
baik atau meningkatkan kualitas iman dan Islam seseorang secara sadar dan timbul
dari kemauannya sendiri tanpa merasa terpaksa oleh apa dan siapapun (Aziz, 2004:
60).

Salah satu tugas pokok Rasulallah adalah membawa mission sacre (amanah
suci) berupa menyempurnakan akhlak yang mu.ia bagi manusia. Dan akhlak ynag
mulia ini tidak lain adalah al-Qur’an itu sendiri sebab hanya kepada al-Qur’an-lah
setiap pribadi muslim itu akan berpedoman. Atas dasar ini tujuan dakwah secara
luas, dengan sendiriny adalah menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik
individu maupun masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu
perbuatan sesuai dengan ajaran tersebut. Adapun karakteristik tujuan dakwah itu
adalah (Aziz, 2004: 61):
21

1. Sesuai (suitable), tujuan dakwah bisa selaras dengan misi dan visi dakwah itu
sendiri.
2. Berdimensi waktu (measurable time), tujuan dakwah haruslah konkret dan bisa
diantisipasi kapan terjadinya.
3. Layak (feasible) tujuan dakwah hendaknya berupa suatu tekad yang bisa
diwujudkan (realistis).
4. Luwes (fleksibel) itu senantiasa bisa disesuaikan atau peka (sensitif) terhadap
perubahan situasi dan kodisi umat.
5. Bisa dipahami (understandable), tujuan dakwah haruslah mudah dipahami dan
dicerna.
Namun secara umum tujuan dakwah dalam al-Qur’an adalah (Aziz, 2004:
61-63):
a. Dakwah bertujuan untuk menghidupkan hati yang mati. Allah berfirman:

ُُُّّّۖ‫اُّد َعا ُك ْمُّلِ َماُّيُ ْحيِْي ُك ْم‬ َّ ِ‫ُّول‬


َ َ‫لر ُس ْو ِلُّإِذ‬ ِ ِ ِ ‫يآأَيُّهاُّالَّ ِذينُّءامنُ و‬
َ ‫اُّاستَج ْيبُواُّللَّه‬
ْ ْ َ َ َْ َ َ
Hai orang-orang yang beriman, patuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan
kepada kamu…”. (QS. Al-Anfal: 24)
b. Agar manusia mendapat ampunan dan menghindarkan azab dari Allah.

...ُّ‫اُّد َع ْوتُ ُه ْمُّلِتَ غْ ِف َرُّلَ ُه ْم‬


َ ‫َوإِنِّ ْيُّ ُكلَّ َم‬
Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar
Engkau mengampuni mereka… (QS. Nuh: 7)
c. Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.

َ ْْ َ‫ُّم ْنُّيُ ْن ُِّك ُرب‬


ُُُّّۖ‫َه‬ َ ‫اب‬ِ ‫كُُُّّّۖ َوِم َنُّاالَ ْح َز‬ َ ‫ابُّيَ ْف َر ُح ْو َنُّبِ َماُّاُنْ ِز َلُّإِلَْي‬ ِ
َ َ‫اه ُمُّالْكت‬
ِ
ُ َ‫َوالَّذيْ َنُّآتَ ْي ن‬
)۳٦(ُّ‫آب‬ ِ ‫ُّم‬ ِ ِ ِ
َ ‫ُّوالَأُ ْش ِر َكُّبِهُُّّۖإِلَْيهُّأَ ْدعُ ْوَوإِلَْيه‬ ُ ‫ُّقُ ْلُّإِنَّ َماُّاُِم ْر‬
َ ‫تُّاَ ْنُّأَ ْعبُ َدُّاللَّ َه‬
Orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka, bergenbira
dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu, dan diantara golongan-
golongan yahudi yang bersekut ada yang mengingkari sebagianya.
Katakanlah : “ sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah
Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Hanya kepada-Nya
22

aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali “. ( Q.S Ar Ra’d :
36)
d. Untuk menegakkan agama dan tidak terpecah-belah.

ُّ‫ص ْي نَاُّبِ ِهُّإِبْ َر ِاه ْي َُّم‬


َّ ‫اُّو‬
َ ‫ُّوَم‬
َ‫ك‬ َ ‫ص ٰىُّبِ ِهُّنُ ْو ًحاوالَّ ِذ ْيُّأ َْو َح ْي نَاُّإِلَْي‬
َّ ‫ُّماُّ َو‬ ُِّ ‫عُّلَ ُك ْم‬
َ ‫ُّم َنُّالدِّيْ ِن‬ َ ‫َش َر‬
ِ ِِ ُِّّ ‫سىُُُّّّۖأَ ْنُّأَقِ ْي ُم‬ ِ ‫وموسى‬
ُّ‫ُّماتَ ْدعُ ْو ُه ْم‬ َ ‫واُّالديْ َُّنُّ َوالَتَتَ َف َّرقُ ْواُّف ْيهُُُّّّۖ َكبُ َر َعلَىُّال ُْم ْش ِركُّْي َن‬ ٰ ‫ُّوع ْي‬ َ ٰ ُْ َ
...ُُّّۖ‫إِلَْي ِه‬
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah
diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadam
u dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa,
yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya…” (Q.S Asy Syura : 13)
e. Mengajak dan menuntun ke jalan yang lurus.

)۳۳(ُّ‫ُّماُّ ُك ْنتُ ْمُّتُ ْش ِرُك ْو َُّن‬ ِ


َ ‫ثُ َّمُّق ْي َلُّلَ ُه ْمُّأَيْ َن‬
Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka kejalan yang lurus.
(Q.S Al Mukmin : 73)
f. Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah
kedalam lubuk hati masyarakat.

ُّ‫ُّوالَتَ ُك ْونَ َّن ُِّم َن‬


َ‫ك‬ َ ‫ُّوا ْدعُُّإِلَ ٰى‬
َ ِّ‫ُّرب‬ َ‫ك‬ ْ َ‫تُّاللَّ ِهُّبَُّ ْْ َدإِ ْذأُنْ ِزل‬
َ ‫تُّإِلَْي‬ ِ ٰ‫ُّعنُّءاي‬
َ َْ ‫ك‬ َ َّ‫صدن‬
ُ َ‫َوالَي‬
)٧٨(‫ال ُْم ْش ِركِْي َن‬
Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari
(menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan
kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah
sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
(QS. Al-Qashshas: 87)
23

2.5 Ruang Lingkup Dakwah


Ruang lingkup dakwah adalah menyangkut masalah pembentukan sikap
mental dan pengembangan motivasi yang bersifat positif dalam segala lapangan
hidup manusia (Arifin, 2004: 4) . Menurut Supra (2003: XIV) dakwah menyentuh
berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Bila dalam kehidupan riil
dakwah belum menyentuh sampai kearah sana, itu harus dimaknai sebagai suatu
proses sejarah muslim. Namun, bisa jadi karena terdistori oleh berbagai makna
yang bersinggungan, bahkan berbenturan, dan itu aka disempurnakan oleh generasi
berikutnya. Dakwah meliputi upaya bagaimana menciptakan kehidupan yang
sejahtera, aman dan damai dengan mengembangkan potensi berpikir atau kreatifitas
individu serta masyarakat. Dengan kata lain, dakwah pada hakikatnya adalah
proses pemberdayaan (Bambang, 2010: 30).
Aktivitas dakwah dilakukan dengan mengajak, mendorong, menyeru tanpa
tekanan dan profokasi serta bukan dengan bujukan dan pemberian barang-barang
murahan. Terlalu murah bila iman harus ditukarkan dengan benda-benda dan
fasilitas duniawi meski realitas social menunjukkan kondisi itu. Guna memudahkan
langkah-langkah dakawh, sistematisasi dan metodenya, kegiatan dakwah dapat
diklasifikasikan menjadi 2 bagian: (a) dakwah bilisan ‘I-maqal (disingkat menjadi:
billisan), dan (b) dakwah bil’I-hal (disingkat: bilhal). Dakwah bil-lisan merupakan
suatu usaha yang berorientasi verbal. Dalam perspektif komunikasi dakwah, yaitu
verbal (billisan), meliputi (a) verbal vocal, dan (b) verbal nonvokal. Pada verbal
vocal berarti upaya untuk menyampaikan pesan-pesan Islam secara langsung
menggunakan lisan. Dakwah ini kita lakukan dalam rangka menyebarluaskan ilmu-
ilmu keislaman, dan informaasi untuk menumbuhkembangkan kesadaran beragama
dikalangan umat Islam. Sedangkan komunikasi dakwah verbal nonvokal dilakukan
dengan menggunakan tulisan, symbol-simbol dan gambar yang lain, misalnya
tulisan dikoran atau majalah, film animasi dan pentas seni. Tujuannya adalah
menghibur dengan hiburan yang membawa kesadaran. Sementara itu, dakwah bil-
hal merupakan kegiatan dakwah secara konkret dengan mencurahkan segenap daya
dan tenaga untuk membina, memperbaiki, lingkungan fisik, social dan pranata-
pranatanya (Bambang, 2010: 30-31).
24

Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa ruang


lingkup dakwah adalah berkaitan dengan pembentukan sikap manusia kearah yang
positif dan sesuai dengan ajaran Islam sehingga tercipta kehidupan yang sejahtera,
aman, damai dan penuh kasih sayang sesuai yang diharapkan Rasulallah SAW.

2.6 Unsur-unsur Dakwah


Menurut Munir dan Wahyu (2012: 21) unsur-unsur dakwah adalah
komponen-komponen yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah. Unsur-unsur
tersebut adalah Da’i (pelaku dakwah), mad’u (mitra dakwah), maddah (materi
dakwah), wasilah (media dakwah), thariqah (metode), dan atsar (efek dakwah).

2.6.1 Da’i (Pelaku Dakwah)

Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan,


maupun perbuatan yang dilakukan baik secara individu, kelompok, atau lewat
organisasi/ lembaga. Secara umum kata da’i ini sering disebut dengan sebutan
mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam), namun sebenarnya
sebutan ini konotasinya sangat sempit, karena masyarakat cenderung
mengartikannya sebagai orang yang meyampaikan ajaran Islam melalui lisan,
seperti ceramah agama, khatib (orang yang berkhotbah) dan sebagainya
(Munir dan Wahyu, 2012: 21-22).

Da’i atau subjek dakwah adalah orang yang aktif melaksanakan


dakwah kepada masyarakat. Da’i ini ada yang melakanakan dakwahnya
secara individu ada juga berdakwah secara kolektif melalui organisasi
(Wahidin, 2011: 8).
Da’i juga harus mengetahui cara menyampaikan dakwah tentang
Allah, alam semesta, dan kehidupan, serta apa yang dihadirkan dakwah untuk
memberikan solusi, terhadap problema yang dihadapi manusia, juga metode-
metode yang dihadirkannya untuk menjadikan agar pemikiran manusia tidak
salah dan tidak melenceng (Munir dan Wahyu, 2012: 22).
25

Islam menjelaskan perlunya sifat yang baik bagi para Da’i dalam
menjalankan dakwahnya. Dalam masyarakat muslim, Da’i diajak untuk
memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana firman Allah dalam surat Al-
Mudatstsir ayat 1-7, yaitu (Bambang, 2010: 23):
“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Tuhanmu agungkan, dan pakaianmu bersihkan, dan
perbuatan dosa ditinggalkan, dan jangan kamu memberi (dengan maksud)
memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu, bersabarlah.”
Dari ayat tersebut dapat ditarik satu pemahaman bahwa dai
seyogyanya memiliki sifat-sifat berikut (Bambang, 2010: 24):
a. Spirit yang kuat untuk menyebarluaskan agama Allah, tidak mudah
berputus asa. Meskipun aral dan rintangan selalu menghadang, ia tetap
memiliki stamina yang tinggi.
b. Selalu mengagungkan nama Allah dalam berbagai pristiwa komunikasi
dakwahnya. Dengan mengagungkan-Nya, dapat membersihkan batin dan
menjadikan hati selalu dalam kondisi yang positif.
c. Selalu memakai pakaian bersih (dan suci). pakaian bersih (dan suci) dapat
mempengaruhi kesucian batin. Ini menunjukkan bahwa Islam itu integral,
apa yang ada di luar, itu pula yang ada di dalam. Pakaian yang baik
diperoleh dari jerih payah kerjanya.
d. Menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dai perlu introspeksi diri
(almuraqabah al-dakhliyyah) dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang
belum baik, ia perbaiki, yang kurang ditambah, dan yang menjengkelkan
dijauhkan. Dai selalu berusaha untuk mengevaluasi dirinya bagi kebaikan
umat Islam.
e. Tidak pamrih duniawi. Dai memerhatikan kondisi masyarakat muslim
secara umum, dibandingkan dengan kepentingan diri pribadi. Dai tidak
vested interest yang mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan
(conflict of interest). Bila itu terjadi, akan menyurutkan suara dakwahnya.
Masayarakat diberdayakan agar mereka mandiri.
26

f. Sabar. Dalam medan dakwah selalu ada suka duka. Suka membawa
syukur; sedangkan ujian, kadang membawa keluhan. Dai harus tetap sabar
karena karena dapat melahirkan sikap optimis. Masyarakat muslim selalu
menunggu kehadiran dai yang memenuhi kriteria tersebut.
2.6.1.1 Karakteristik Da’i

Wahidin (2011: 261-262) mengatakan bahwa setiap Muslim


adalah Da’i dalam arti luas, karena setiap Muslim memiliki kewajiban
menyampaikan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia (An-Nahl
[16]: 125). Setiap Muslim yang hendak menyampaikan dakwah
khususnya Da’i seyogianya memiliki kepribadian yang baik untuk
menunjang keberhasilan dakwah, baik kepribadian yang bersifat
rohaniah (psikologis) atau kepribadian bersifat jasmaniah (fisik).
Sosok Da’i yang memiliki kepribadian sangat tinggi dan tak pernah
kering untuk digali dan diteladani adalah kepribadian Rasulallah Saw.
Karakteristik Da’i adalah kepribadian yang ada pada diri
seorang Da’i, adapun kepribadian-kepribadian tersebut adalah
(Wahidin 264-279):
1.) Lemah lembut, toleran, dan santun
Wajib bagi seorang Da’i untuk mengikuti jejak langkah
dan tuntunan Rasulallah Saw. dan sunnahnya di dalam sisi ini.
Kita melihat dalam petunjuknya, beliau selalu mengedepankan
cara-cara lembut dan menolak kekerasan, dengan cara rahmat dan
tidak dengan kekejaman, cara halus dan bukan dengan vulgarisme.
Allah berfirman: “sesungguhnya telah datang kepadamu seorang
Rasul dari kaummu sendiri, berat terasanya oleh penderitaanm,
sangat menginginkan (keimanan, dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”.
(QS. At-Taubah [9]: 128).
2.) Kemudahan dan Membuang Kesulitan
Satu hal yang penting yang mesti diingat di jalan dakwah
adalah hendaknya seorang Da’i menjadikan jalan mudah, dan
27

menyingkirkan kesulitan sebagai metodenya dalam berdakwah


kepada Allah SWT. Jangan sampai terjadi munculnya pendapat
yang menentang dank eras, sebagai pertanda bahwa dakwah yang
dia lakukan tidak mendapatkan respons. Agama ini datang dengan
mudah dan menyingkirkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi
umat ini. sebagaimana Allah berfirman: “Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu”.
(QS Al-Baqarah [2]: 1858).
3.) Memerhatikan Sunnah Tahapan
Sesungguhnya seorang Da’i tidak akan pernah sukses
dalam dakwahnya sepanjang dia tidak mengetahui siapa orang
yang didakwahnya, tahu bagaimana cara berdakwah kepada
mereka, tahu mesti didahulukan dan yang mana yang mesti
diakhirkan. Oleh sebab itu, tatkala Rasulallah Saw. mengutus
Muadz bin Jabal ke wilayah Yaman dia berkata: “Sesungguhnya
kamu mendatangi sebuah kaum dari Ahli Kitab maka hendaknya
yang pertama kali kamu serukan adalah bersaksi bahwasanya
tidak ada tuhan selain Allah dan bahwasanya adalah utusan
Allah. Jika mereka telah mematuhimu hal ini maka ajaran lima
waktu sehari semalam, jika mereka telah mentaatimu dalam hal
itu, maka beritahukanlah pada mereka bahwasanya Allah telah
mewajibkan atas mereka sedekah yang diambil dari orang-orang
kaya di antara mereka dan diberikan pada orang-orang fakir dari
kalangan mereka.” Demikian Rasulallah Saw. mengajarkan para
sahabatnya untuk melakukan dakwah secara bertahap (gradual),
yang hal ini merupakan sunnah Allah SWT. dalam kehidupan dan
dalam wujud secara keseluruhan.
4.) Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah dan Bukan Kepada
Fanatisme Mazhab
Jika seorang Da’i telah menyatakan diri menganut salah
satu mazhab maka janganlah ini menghalanginya untuk
28

berkenalan dengan dalil-dalil lain agar semakin tenang hati dan


kalbunya dan tidak ada halangan baginya untuk meninggalkan
pendapat mazhab dalam beberapa masalah di mana ia merasakan
ada kelemahan-kelemahan dalil dalam mazhab itu dan ia dapatkan
dalil yang lebih kuat pada mazhab dan pendapat yang lain. Karena
telah di riwayatkan dari imam mazhab bahwa mereka berkata “jika
ada satu hadis yang sahih, maka itulah mazhabku”.
Dan tidak boleh bagi seorang Da’i untuk meninggalkan
sebuah hadis yang jelas-jelas sahihnya, dengan alasan bahwasanya
dia terikat dengan mazhab yang dianutnya, sebagaimana kita lihat
bahwa ada beberapa khatib Jumat yang berada di atas mimbar
yang menyuruh orang-orang yang masuk ke dalam masjid untuk
duduk pada saat mereka ingin melakukan shalat Sunnah Thahiyat
Al-Masjid.
5.) Sesuaikan dengan Bahasa Mad’u
Salah satu petunjuk Al-Qur’an bagi mereka yang
menjalankan dakwah hendaknya para Da’i melakukan dakwah itu
sesuai dengan kadar kemampuan akal orang yang didakwahi
(Mad’u) dan sesuai dengan bahasa yang dipahami oleh Mad’u-
nya. Sebagaimana Allah SWT. berfirman: “Kami telah mengutus
seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang/jelas kepada mereka.
Maka Allah menyesatka kepad siapa yang Dia kehendaki. Dan
Dia-lah Tuhan yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana.” (QS.
Ibrahim [14]: 4).
6.) Memerhatikan Adab Dakwah
a. Menjaga Hak-hak Orangtua
Menjaga hak-hak kedua orangtua serta kaum kerabat
dalam melaksanakan dakwah. Tidak bagi seorang Da’i
melakukan konfrontasi dengan ayah dan ibunya atau kerabat
dekatnya dengan cara-cara yang kasar, dengan anggapan
29

bahwa mereka adalah orang-orang yang melakukan maksiat,


ahli bid’ah, atau orang-orang yang durhaka. Sesungguhnya
yang mereka lakukan itu tidak menghilangkan kewajiban dari
seorang anak untuk mengatakan perkataan yang lemah lembut
dan santun khususnya kepada kedua orangtua. Allah SWT.
berfirman: “Dan jika keduanya (orangtua) memaksamu untuk
mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada
pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya.” (QS. Luqman[31]: 15).
b. Melihat Faktor Umum
Bagi seorang Da’i hendaknya tidak menyamaratakan
setiap orang dalam berdakwah, tidak bijak bila berdakwah
kepada orang dewasa disamakan dengan berdakwah kepada
anak-anak atau remaja, walaupun pada dasarnya Islam
menganggap semua orang sama di hadapan Allah SWT.
kecuali nilai ketakwaannya. Jadi sebaiknya seorang Da’i
sanagt memerhatikan betul siapa yang menjadi Mad’unya.

2.6.2 Mad’u (Penerima Dakwah)


Mad’u, yaitu yang menjadi sasaran dakwah, atau manusia penerima
dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang
beragama Islam maupun tidak, atau dengan kata lain manusia keseluruhan.
Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan mengajak
mereka untuk mengikuti ajaran Islam, sedangkan kepada orang-orang yang
telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman, Islam
dan ihsan (Munir dan Wahyu, 2012: 23).
Mad’u atau subjek dakwah adalah masyarakat atau orang yang
didakwahi, yakni diajak ke jalan Allah agar selamat dunia dan akhirat.
Masyarakat sebagai objek dakwah sangat heteroge, misalnya ada masyarakat
sebagai petani, nelayan, pedagang, pegawai, buruh, artis, anggota legislative,
eksekutif, karyawan, dan lainnya. Bila kita melihat adri aspek geografi,
30

masyarakat itu ada yang tinggal di kota, desa, pegunungan, pesisir, bahkan
ada juga yang tinggal di pedalaman. Bila dilihat dari aspek agama, maka
mad’u ada yang Muslim/Mukmin, kafir, munafik, musyrik, dan lain
sebagainya. (Wahidin, 2011: 8).
Secara umum Al-Qur’an menjelaskan ada tiga tipe mad’u, yaitu:
mukmin, kafir dan munafik. Drai ketiga klasifikasi besar ini, mad’u kemudian
dikelompokkan lagi dalam berbagai macam pengelompokkan, misalnya,
orang mukmin dibagi menjadi tiga, yaitu: dzalim linafsih, muqtashid, dan
sabiqun bilkhairat. Kafir bisa dibagi menjadi kafir zimmi dan kafir harbi.
Mad’u terdiri dari berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu,
menggolongkan mad’u sama dengan menggolongkan manusia itu sendiri dari
aspek profesi, ekonomi, dan seterusnya. Muhammad Abduh membagi mad’u
menjadi tiga golangan, yaitu (Munir dan Wahyu, 2012: 23):
1) Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran, dapat berpikirsecara
kritis, dan cepat dapat menangkap persoalan.
2) Golongan awam, yaitu orang kebanyakan yang belum dapat berpikir
secara kritis dan mendalam, serta belum dapat menangkap pengertian-
pengertian yang tinggi.
3) Golongan yang berbeda dengan kedu golongan tersebut, mereka senang
membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas waktu tertentu saja, dan tidak
mampu membahasnya secara mendalam.

1.6.2.1 Karakteristik Objek Dakwah (Mad’u)


Sasaran dakwah (objek dakwah) meliputi masyarakat dilihat
dari berbagai segi (Wahidin, 2011: 279):
a) Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi
sosiologis berupa masyarakat tersing pedesaan, kota besar, kota
kecil, serta masyrakat di daerah marginal dari kota besar.
b) Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari sudut
struktur ke;embagaan berupa masyarakat, pemerintahan, dan
keluarga.
31

c) Sasaran yang berupa kelompok dilihat dari social cultural berupa


golongan priyayi, abangan dan santri. Klasifikasi terletak dalam
masyarakat Jawa.
d) Sasaran yang berhubungan dengan masyarakat dilihat dari segi
tingkat usia, berupa golongan anak-anak, remaja, dan orang tua.
e) Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat
dari segi okupasional (profesi atau pekerjaan) berupa golongan
petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai, negeri
(administrator).
f) Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi
tingkat hidup sosial ekonomi berupa golongan orang kaya,
menengah dan miskin.
g) Sasaran menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari jenis
kelamin berupa golongan pria dan wanita.
h) Sasaran yang berhubungan dengan golongan dilihat dari segi
khusus berupa golongan masyarakat dari tuna susil, tuna wisma,
tuna karya, narapidana.

2.6.3 Maddah (Materi) Dakwah


Maddah dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaiakan da’I
kepada mad’u . dalam hal ini sudah jelas bahwa yang menjadi maddah
dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri. Secara umum materi dakwah dapat
diklarifikasikan menjadi empat masalah pokok, yaitu (Munir dan Wahyu,
2006: 24-29) :
a. Masalah Akidah (Keimanan)
Masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah
Islamiah. Aspek akidah ini yang akan membentuk moral (akhlak)
manusia. Oleh karena itu, yang pertamakali yang dijadikan materi dalam
dakwah Islam adalah masalah akidah dan keimanan. Akidah yang
menjadi materi materi utama dakwah ini mempunyai ciri-ciri yang
32

membedakanya dengan kepercayaan agama lain, yaitu (Munir dan


Wahyu, 2006: 24-25):
1. Keterbukaan melalui persaksian (syahadat). Dengan demikian,
seorang muslim harus jelas identitasnya dan bersedia mengakui
identitas keagamaan orang lain.
2. Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa
Allah adalah Tuhan seluruh alam, bukan tuhan kelompok atau bangsa
tertentu. Dan soal kemanusiaan juga diperkenalkan kesatuan asal-usul
manusia. Kejelasan dan kesederhanaan diartikan bahwa seluruh ajaran
akidah baik soal ketuhanan, kerasulan, ataupun alam gaib sangat
mudah untuk difahami.
3. Ketahanan antara iman dan Islam atau antara iman dana mal
perbuatan. Dalam ibadah-ibadah pokok yang merupakan manifestasi
dari iman dipadukan dengan segi-segi pengembangan diri dan
kepribadian seseorang dengan kemaslahatan masyarakat yang menuju
pada kesejahteraannya. Karena akidah memiliki keterlibatan dengan
soal-soal kemasyarakatan.
b. Masalah Syari’ah
Hukum atau syari’ah sering disebut sebagai cermin peradaban
dalam pengertian bahwa ketika ia tumbuh matang dan sempurna, maka
peradaban menentukan dirinya dan hokum-hukumnya. Pelaksanaan
syari’ah merupakan sumber yang melahirkan peradaban Islam, yang
melestarikan dan melindunginya dalam sejarah. Syari’ah inilah yang akan
menjadi kekuatan peradaban dikalangan kaum muslim Materi dakwah
yang bersifat syari’ah ini sangat luas dan mengikuti seluruh umat Islam.
Ia merupakan jantung yang tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam
diberbagai penjuru dunia, dan sekaligus merupakan hal yang patut
dibanggakan. Kelebihan dari materi syari’ah Islam antara lain. Syari’ah
ini bersifat universal, yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan
nonmuslim, bahkan hak seluruh umat manusia, dengan adanya materi
syari’ah ini, maka tatanan system dunia akan teratur dan sempurna. Di
33

samping mengendung dan mencakup kemaslahatan social dan moral,


maka materi dakwah dalam bidang syari’ah ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran yang benar, pandangan yang jernih, dan kejadian
secara cermat terhadap hujjah atau dalil-dalil dalam melihat setiap
persoalan pembaruan, sehingga umat tidak terperosok ke dalam
kejelekan, karena yang diinginkan dalam dakwah adalah kebaikan.
Kesalahan dalam meletakkan posisi yang benar dan seimbang diantara
beban syariat sebagainamana yang telah diteteapkan oleh Islam, maka
akan menimbulkan suatu yang membahayakan terhadap agama dan
kehidupan (Munir dan Wahyu, 2006: 26-27).
c. Masalah Mu’amalah
Islam merupakan agama yang menekankan urusan mu’amalah
lebih besar porsinya daripada urusan ibadah Islam lebih banyak
memerhatikan aspek kehidupan social daripada aspek kehidupan ritual.
Islam adaah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat
mengabdi kepada Allah. Ibadah dalam mu’amalah di sini, diartikan
sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka
mengabdi kepada Allah SWT. Cakupan aspek mu’amalah jauh lebih luas
daripada ibadah. Statement ini dapat difahami dengan alasan (Munir dan
Wahyu, 2006: 27-28):
1. Dalam Al-Qur’an dan Hadits mencakup proporsi terbesar sumber
hukum yang berkaitan dengan urusan mu’amalah.
2. Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih
besar dibandingkan ibadah yang bersifat perorangan. Jika urusan
ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar
pantangan tertentu, maka kafarat-nya (tebusannya) adalah melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan mu’amalah. Sebaliknya, jika orang
tidak baik dalam urusan mu’amalah, maka urusan ibadah tidak dapat
menutupinya.
3. Melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapatkan
ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
34

d. Masalah Akhlak
Secara etimologis, kata akhlaq berasal dari bahasa Arab, jamak
dari “khuluqun” yang berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah laku atau
tabiat. Kalimat-kalimat tersebut memiliki segi-segi persamaan dengan
perkataan “khalqun” yang berarti kejadian, serta erat hubungnnya dengan
Khaliq yang berarti pencipta, dan “makhluq” yang berarti yang diciptakan
(Munir dan Wahyu, 2006: 28).
Sedangkan secara terminologi, permasalahan akhlak berkaitan
dengan masalah tabiat atau kondisi temperature batin yang mempengaruhi
prilaku manusia. Ilmu akhlak bagi Al-Farabi, tidak lain dari bahasan
tentang keutamaan-keutamaan yang dapat menyampaikan manusia
kepada tujuan hidupnya yang tinggi, yaitu kebahagiaan, dan tentang
berbagai kejahatan atau kekurangan yang dapat merintangi usaha
pencapaian tujuan tersebut (Munir dan Wahyu, 2006: 28-29).
2.6.4 Wasilah (Media) Dakwah
Media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti
perantara, tengah atau pengantar. Dalam bahasa Inggris media merupakan
betuk jamak dari medium yang berarti tengah, antara, rata-rata. Dari
pengertian ini ahli komunikasi mengartikan media sebagai alat yang
menghubungkan pesan komunikasi yang disampaikan oleh komunikator
kepada komunikan. Dalam bahasa Arab media sama dengan wasilah atau
dalam betuk jamak, wasail yang berarti alat atau perantara (Aziz, 2012: 403).
Wasilah (media) dakwah adalah alat yang digunakan untuk
menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada mad’u (Wahidin, 2011:
288). Dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah. Disebutkan Dedy
mulyana (Dalam Aripudin, 2011: 13) bahwa media bisa merujuk pada alat
maupun bentuk pesan, baik verbal maupun nonverbal, seperti cahaya dan
suara. Saluran juga bisa merujuk pada cara penyajian,seperti bertatap muka
(langsung) atau lewat media seperti surat kabar, majalah, radio, telepon dan
televisi.
35

Hamzah Ya’qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam,


yaitu (Munir dan Wahyu, 2012: 32):
a. Lisan adalah media dakwah yang paling sederhana yang menggunakan
lidah dan suara, dakwah dengan media ini dapat berbentuk pidato,
ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.
b. Tulisan adalah media dakwah melalui tulisan, buku, majalah, surat kabar,
surat-menyurat (korespondensi), spanduk, dan sebagainya,
c. Lukisan adalah media dakwah melalui gambar, karikatur, dan sebagainya.
d. Audiovisual adalah media dakwah yang dapat merangsang indra
pendengaran, penglihatan, atau kedua-duanya, seperti televise, film slide,
OHP, internet, dan sebagainya.
e. Akhlak, yaitu media dakwah melalui perbuatan-perbuatan nyata yang
mencerminkan ajaran Islam yang secara langsung dapat dilihat dan
didengarkan oleh mad’u.
2.6.5 Thariqah (Metode) Dakwah
Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu “meta” (melalui)
dan “hodos” (jalan, cara). Dengan demikian kita dapat artikan bahwa metode
adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber
yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodica,
artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata
methodos artinya jalan yang dalam bahasa Arab disebut thariq. Metode berarti
cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu
maksud (Munir, 2006: 6).
Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah
untuk menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting
peranannya, karena suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat
metode yang tidak benar, maka pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima
pesan (Munir dan Wahyu, 2006: 32-33).
Metode dakwah menyangkut masalah bagaimana caranya dakwah itu
harus dilaksanakan. Tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan dakwah yang
telah dirumuskan akan efektif bilamana dilaksanakan dengan
36

mempergunakan cara-cara yang tepat. Cara-cara yang tepat oleh Al-Qur’an


dirumuskan dengan istilah bil-hikmah. Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 125
menyatakan sebagai berikut (Shaleh, 1993: 72):
“Serulah (manusia) keapada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan -Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”.
Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu: bil-hikmah, mau’izatul
hasanan, dan mujadalah billati hiya ahsan. Secara garis besar ada tiga pokok
metode (thariqah) dakwah yaitu (Munir dan Wahyu, 2006: 34):
a. Bi al-Hikmah, yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan
kondisi sasaran dakwah dengan menitik beratkan pada kemampuan
mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya,
mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan.
b. Mau’izatul Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan nasihat atau
menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan rasa kasih saying, sehingga
nasihat dan ajaran Islam yang disampaikan itu dapat menyentuh hati
mereka.
c. Mujadalah Billati Hiya Ahsan, yaitu berdakwah dengan cara bertukar
pikiran dan membantah dengan cara yang sebaik-baiknya dengan tidak
memberikan tekanan-tekanan yang memberatkan pada komuitas yang
menjadi sasaran dakwah.

2.6.6 Atsar (Efek) Dakwah


Atsar (efek) sering disebut dengan feed back (umpan balik) dari proses
dakwah ini sering dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i.
kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan, maka
selesailah dakwah. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan
langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis atsar dakwah,
maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian
37

tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya, dengan menganalisis atsar


dakwah secara cermat dan tepat, maka kesalahan strategi dakwah akan segera
diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya
(corrective action). Demikian juga strategi dakwah termasuk di dalam
penentuan unsur-unsur dakwah yang dianggap baik dapat ditingkatkan
(Munir dan Wahyu, 2006: 35).
Dakwah selalu diarahkan untuk memengaruhi tiga aspek perubahan
pada diri mitra dakwah, yaitu aspek pengetahuan (knowledge), aspek
sikapnya (attitude), dan aspek perilakunya (behavioral). Menurut jalaludin
Rahmat, ketiga proses perubahan perilaku, yaitu efek kognitif berkaitan
dengan perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau diperseps
khalayak. Efek ini berkaitan dengan tranmisi pengetahuan, keterampilan,
kepercayaan atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa
yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak, yang meliputi segala yang
berhubungan dengan emosi, sikap serta nilai. Efek behavioral, yaitu yang
merujuk pada perilaku nyata yang diamati, yang meliputi pola-pola tindakan,
kegiatan, atau kebiasaan berperilaku (Aziz, 2012: 455).

2.7 Perencanaan Dakwah


2.7.1 Pengertian Perencanaan Dakwah
Rencana adalah suatu arah tindakan yang sudah ditentukan terlebih
dahulu. Dari perencanaan ini akan mengungkap tujuan-tujuan keorganisasian
dan kegiatan-kegiatan yang diperlukan guna mencapai tujuan. Secara alami,
perencanaan itu merupakan bagian dari sunnatullah, yaitu dengan melihat
bagaimana Allah SWT menciptakan alam semesta dengan hak dan
perencanaan yang matang disertai dengan tujuan yang jelas. Perencanaan atau
(takhthith) merupakan starting point dari aktivitas manajerial. Karena
bagaimanapun sempurnanya suatu aktivitas manajemen tetap membutuhkan
sebuah perencanaan. Karena perencanaan merupakan langkah awal bagi
sebuah kegiatan dalam bentuk memikirkan ha-hal yang terkait agar
memperoleh hasil yang optimal. Alasannya, bahwa tanpa adanya rencana,
38

maka tidak ada dasar untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu daam


rangka usaha mencapai tujuan, jadi, perencanaan memiliki peran yang sangat
signifikan, karena ia merupakan dasar titik tolak dari kegiatan pelaksanaan
selanjutnya. Oleh karena itu, agar proses dakwah dapat memperoleh hasil
yang maksimal, maka perencanaan itu merupakan sebuah keharusan. Segala
sesuatu itu membutuhkan rencana, sebagaimana hadits Nabi Muhammad
SAW (Munir dan Wahyu, 2006: 94-95):
“Jika engkau ingin mengarjakan suatu pekerjaan, maka pikirkanlah
akibatnya, maka jika perbuatan itu baik, ambillah dan jika perbuatan itu
jelek, maka tiggalkanlah.” (HR, Ibnu Mubarak).
Dengan perencanaan, penyelenggaraan dakwah dapat berjalan lebih
terarah dan teratur rapi. Hal ini bisa terjadi, sebab dengan pemikiran secara
masak mengenai hal-hal apa yang harus dilaksanakan dan bagaimana cara
melakukannya dalam rangka dakwah itu, maka dapatlah dipertimbangkan
kegiatan-kegiatan apa yang harus mendapatkan prioritas dan didahulukan
serta apa yang yang harus dekemudiankan. Disamping itu, perencanaan juga
memungkinkan dipilihnya tindakan-tindakan yang tepat, sesuai dengan
situasi dan kondisi yang benar-benar dihadapi pada saat dakwah (Shaleh,
1993: 48-49).
Oleh karena itu, dalam aktivitas dakwah, perencanaan dakwah
bertugas menentukan langkah dan program dalam menentukan setiap sasaran,
menentukan sarana prasarana atau media dakwah, serta personel da’i yang
akan diterjunkan. Menentukan materi yang cocok untuk sempurnanya
pelaksanaan, membuat asumsi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi yang
kadang-kadang dapat mempengaruhi cara pelaksanaan program dan cara
menghadapi serta menentukan alternatif-alternatif, yang semua itu
merupakan tugas utama dari sebuah perencanaan. Sebuah perencanaan
dikatakan baik, jika memenuhi persyaratan berikut (Munir dan Wahyu, 2006:
98-99):
39

a. Didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa apa yang dilakukan adalah


baik. Standar baik dalam Islam adalah yang sesuai dengan ajaran Al-
Qur’an dan as-Sunnah.
b. Dipastikan betul bahwa suatu yang dilakukan memiliki manfaat. Manfaat
ini bukan sekedar untuk orang yang melakukan perencanaan, tetapi juga
untuk orang lain, maka perlu memerhatikan asas maslahat untuk umat,
terlebih dalam aktivitas dakwah.
c. Didasarkan pada ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan apa yang
dilakukan. Untuk merencanakan seuah kegiatan dakwah, maka seorang
da’i harus banyak mendengar, membaca, dan memiliki ilmu pengetahuan
yang luas sehingga dapat melakukan aktivitas dakwah berdasarkan
kompetensi ilmunya.
d. Dilakukan study banding (benchmark). Benchmark adalah melakukan
studi terhadap praktik terbaik dari Lembaga atau kegiatan dakwah yang
sukses menjalankan aktivitasnya.
e. Dipikirkan dan dianalisis prosesnya, dan kelanjutan dari aktivitas yang
akan dilaksanakan.
Perencanaan juga merupakan alat manajerial yang bertujuan
mewujudkan cita-cita puncak (ghoyah). Ghoyah adalah tercapainya tujuan
yang dituntut melalui penggunaan sumber-sumber yang paling baik. Untuk
itu sebelum melakukan perencanaan dakwah ada beberapa aspek yang harus
diperhatikan, yaitu (Munir dan Wahyu, 2006: 99-100):
1. Hasil (output) dakwah yang ingin dicapai;
2. Da’I atau para juru dakwah yang ajan menjalankannya;
3. Waktu dan skala prioritas; dan
4. Dana (capital)
Berikut ini adalah unsur-unsur kerangka perencanaan dakwah dalam
bentuk langkah dan aktivitas yaitu (Munir dan Wahyu, 2006: 100):
a) Dakwah harus memiliki visi, misi, dan tujuan utama ke dapan.
b) Mengkaji realitas, dan lingkungan yang meliputi segala aspek yang
terkandung di dalamnya.
40

c) Menetapkan tujuan yang mungkin dapat direalisasikan, yakni dengan


mengikuti metode dakwah yang ada.
d) Mengusulkan berbagai bentuk washilah atau sasaran dakwah serta
menetapkan alternative pengganti.
e) Memilih sarana dan metode dakwah yang paling cocok
f) Dakwah harus bisa menjawab sasaran dalam hal ini; apa tujuan dakwah?
Di mana dakwah itu akan dilaksanakan? Kapan? Dan apa materi yang
akan disampaikan?
Setelah beberapa bentuk aktifitas tersebut telah dilaksanakan, maka
akan terbentuk unsur-unsur perencanaan yang meliputi (Munir dan Wahyu,
2006: 100-101):
1) Sasaran perencanaan
2) Waktu atau momen yang dibutuhkan untuk menyusun langkah/strategi
dakwah
3) Pada da’I yang akan diterjunkan sesuai dengan perencanaan tersebut
4) Aktivitas atau proses pelaksanaan dakwah
5) Aktivitas pengawasan, evaluasi dan penelitian
Sementara itu Rosyad Saleh (1993:54) menyatakan, bahwa
perencanaan dakwah adalah proses pemikiran dan pengambilan keputusan
yang matang dan sistematis, mengenai tindakan-tindakan yang akan
dilakukan pada masa yang akan dating dalam rangka menyelenggarakan
dakwah. Menurutnya, aktivitas dakwah akan meliputi langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Perkiraan dan perhitungan masa depan
b. Penentuan rumusan dan sasaran dalam rangka menentukan tujuan dakwah
yang telah ditetapkan sebelumnya
c. Menetapkan tindakan-tindakan dakwah serta memprioritaskan pada
pelaksanaannya.
d. Menetapkan tindakan-tindakan dakwah serta penjadwalan waktu, lokasi,
penetapan biaya, fasilitas, serta factor ainnya.
41

2.7.2 Manfaat Perencanaan


Secara umum perencanaan membantu untuk menghindari penundaan-
penundaan yang disebabkan oleh kegagalan melaksanakan suatu tindakan,
dan untuk kembali mengambil langkah tindakan sedini mungkin atas
kegagalan. Di samping itu, perencanaan juga dapat membantu dalam
mengestimasi biaya-biaya dari strategi yang diajukan, dengan demikian
memberikan kesempatan kepada seorang manajer untuk mengevaluasi apa-
apa yang harus dilakukan .Dengan demikian, maka perencanaan merupakan
proses pemantauan kemajuan dalam mengimplementasikan sebuah strategi
atau melaksanakan sebuah proyek, memudahkan pendelegasian tanggung
jawab, dan pengoordinasian. Jadi, perencanaan merupakan suatu yang sangat
urgen dan dapat memberi manfaat bagi keberhasilan aktivitas dakwah, yaitu
antara lain (Munir dan Wahyu, 2006: 104-105):
a. Dapat memberikan Batasan tujuan (sasaran dan target dakwah) sehingga
mampu mengarahkan da’i secara tepat dan maksimal.
b. Menghindari penggunaan secara sporadic sumberdaya insani dan
menghindari pula benturan di antara aktivitas dakwah yang tumpeng
tindih
c. Dapat melakukan prediksi dan antisipasi megenai berbagai problem dan
merupakan sebuah persiapan dini untuk memecahkan masalah dakwah
d. Merupakan usaha untuk menyiapkan kader da’i dan mengenal fasilitas,
potensi, dan kemampuan umat
e. Dapat melakukan pengorganisasian dan penghematan waktu dan
pengelolaannya secara baik
f. Menghemat fasilitas dan kemampuan insani serta materiil yang ada
g. Dapat dilakukan pengawasan sesuai dengan ukuran-ukuran objektif dan
tertentu
h. Merangkai dan mengurutkan tahapan-tahapan pelaksanaan sehingga akan
menghasilkan program yang terpadu dan sempurna.
Dengan perencanaan yang matang, maka dapat memantapkan aktifitas
dakwah yang terakomodasi. Perencanaan dakwah memberikan sebuah arah
42

kepada para da’i atau pelaku dakwah dalam sebuah organisasi dakwah.
Perencanaan akan mengurangi ketidak pastian dengan mendorong para da’I
untuk melihat ke depan, mengantisipasi perubahan kondisi umat,
mempertimbangkan feed back-nya yang kemudian menyusun tanggapan-
tanggapan yang tepat. Perencanaan juga memperjelas konsekwensi tindakan-
tindakan para mad’u yang kemudian dapat dengan cepat ditanggapi pleh para
pelaku dakwah. Dengan adanya perencanaan diharapkan dapat mengurangi
kegiatan-kegiatan dakwah yang tumpeng tindih dan sia-sia. Selain itu, apabila
sarana dan tujuan-tujuannya jelas, maka ketidakefisienan menjadi jelas yang
dapat dikoordinasikan dan dihilangkan (Munir dan Wahyu, 2006: 106).

2.7.3 Jenis-jenis Perencanaan Dakwah


Kalau merujuk pada ilmu manajemen, maka macam-macam rencana
dalam organisasi diukur menurut luasnya strategi (lawan operasional)
kerangka waktu (jangka pendek lawan jangka Panjang) kekususan
pengarahan lawan khusus, dan frekuensi penggunaan. Jenis-jenis
perencanaan dakwah meliputi (Munir dan Wahyu, 2006: 110-113):

a. Rencana Strategis vs Rencana Operasional


Rencana strategis merupakan rencana yang berlaku bagi seluruh
organisasi, yaitu menentukan sasaran umum organisasi dan berusaha
menenmpatkan organisasi tersebut ke dalam lingkungannya. Sedangkan
rencanan operasional adalah rencana yang menempatkan rincian tentang
cara mencapai keseluruhan tujuan organisasi. Letak perbedaan rencana
terletak pada kerangka waktu, jangkauan, dan mencantumkan rangkaian
sasaran organisasi yang telah ditentukan. Posisi dakwah dalam
perencanaan ini adalah mencakup sudut pandang yang lebih luas karena
mencakup segala aspek kehidupan. Pada akhirnya, rencana strategis
mencakup perumusan sasaran, sementara rencana operasional
merumuskan cara-cara untuk mencapai sasaran tersebut.
43

b. Rencana Jangka Pendek vs Rencana Jangka Panjang


Rencana jangka pendek adalah rencana dengan asumsi kerangka
waktu paling tidak selama satu tahun. Sedangkan rencana jangka Panjang
adalah rencana dengan keragka batas waktu tiga tahun ke atas. Untuk
jangka menengah adalah periode waktu di antara keduanya. Dalam
program organisasi dakwah, klasifikasi waktu ini bisa berlangsung sangat
fleksibel, disesuaikan dengan kebutuhan umat atau kondisi yang berlaku.
Dalam hal ini sebuah organisasi dapat merancang batas waktu berapa saja
yang diinginkan untuk tujuan-tujuan perencanaan.
c. Rencana yang Mengarahkan (directional) vs Rencana Khusu
Rencana khusus adalah sebuah rencana yang telah dirumuskan
dengan jelas serta tidak menyediakan ruang bagi interpretasi. Misalnya,
seorang manajer dakwah berusaha untuk lebih gencar menggalakkan
program dakwahnya, karena melihat kondisi masyarakat tertentu yang
mengkhawatirkan. Langkah yang harus dilakukan oleh sang manajer tadi
dalam menyusun sebuah rencana dengan menentukan prosedir-prosedur
terentu, mengalokasikan anggaran, dan menjadwalkan kegiatan-kegiatan
untuk mencapai sasaran terseut. Inilah yang dimaksud dengan rencana
secara khusus. Akan tetapi, perlu diperhatika dalam rencana-rencana
khusus ini, dibutuhkan kemampuan memprediksi tentang segala hal. Oleh
karenanya, sebuah manajemen harus fleksibel dalam menanggapi
perubahan-perubahan yang sifatnya tak terduga. Sedangkan pada
rencanan directional lebih menekankan pengidentifikasian garis-garis
pedoman umum. Rencana-rencana itu memberikan focus, tetapi tidak
mengunci para manajer ke dalam sasaran khusus atau beruparangkaian
tindakan. Jadi, rencana directional adalah rencana yang fleksibel yang
menetapkan pada pedoman umum. Namu perlu diingat sisi negative dari
rencana directional adalah hilangnya kejelasan pada rencana khuhus.
d. Rencana Sekali Pakai
Rencanan sekali pakai atau yang biasa disebut dengan “frekuensi
penggunaan” adalah rencana yang digunakan sekali saja yang secara
44

khusus dirancang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan situasi khusus


dan diciptakan sebagai respons terhadap keputusan-keputusan yang tidak
terprogram yang diambil oleh para manajer. Kebalikan dari rencanan ini
adalah rencanan tetep, yaitu rencana-rencana yang tetap ada memberikan
bimbingan bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang
dalam organisasi.

2.8 Identifikasi Permasalahan Dakwah


Dalam perjalanan panjang aktivitas pengembangan agama Islam, dakwah
Islamiyyah mengalami berbagai problematika atau permasalahan. Permasalahan
dalam pelaksanaan dakwah seringkali ditemukan baik berupa permasalahan teknis
maupun permasalahan secara umum. Jika permasalahan dakwah tidak ditangani
dan diantisipasi dengan baik, aktivitas dakwah tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Akan tetapi jika permasalahan dakwah dapat ditekan dan
diminimalisir, maka setidaknya hambatan-hambatan yang akan menjadi rintangan
dakwah akan dapat ditekan, sehingga proses dan pelaksanaan dakwah dapat
berhasil dan mendapatkan out put sebagaimana yang diharapkan. Islam sebagai
agama rahmat, salah satunya berarti bahwa konsep-konsep yang Islami mampu
menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia, Islam sebagai
pembahagia dan pemecah persoalan. Permasalahan dakwah dalam kehidupan
manusia dewasa ini menyangkut beberapa aspek kehidupan manusia yaitu aspek-
aspek social budaya, ekonomi, politik, nilai, dan sebagainya (Samsul, 2013: 290-
291).
Secara sosiologi, dakwah Islam mencandra problem umat terdapat pada
aspe-aspek yang empiris dan dapat diamati. Diantara problem umat Islam itu,
seperti problem ekonomi dan budaya (pailit/ bangkrut, kemiskinan, menjamurnya
praktik riba, daya beli rendah, dan tumbuhnya konsumerisme pada sisi lain). Pada
aspek psikologi budaya, umat Islam juga dihadapkan pada masalah-masalah,
seperti rendahnya etika kerja, rendahnya semangat berjuang/ bekerja dan
berkorban, berkurangnya nilai-nilai ketahanan dan kesabaran, serta timbulnya
mental instalitas. Problem-problem tersebut relative merata terjadi dan berkembang
45

dikalangan umat Islam dan hampir disetiap kelas sosial. Problem yang lebih krusial
lagi adalah problem kriminalitas, mungkin termasuk terorisme dan alkoholisme
yang menjamur diberbagai tempat dengan modus beragam. Pelanggaran politik
juga semakin menambah beban moral dan social dalam dakwah sehingga
problematika dakwah semakin luas sebagai tugas para da’i untuk membuktikan
sumbangannya pada perbaikan tatanan social bangsa (Aripudin, 2013:17-18).
Sementara itu pimpinan Pusat Majelis Tabligh Muhammadiyah
mengidentifikasi permasalahan-permasalahan dakwah pada umumnya di Indonesia
sebagai berikut (Samsul, 2013: 291).

a. Kecenderungan Sosial Budaya


1) Reifikasi
Reifikasi adalah kecenderungan manusia untuk menilai, menikmati
sesuatu hanya dengan ukuran-ukuran yang bersifat lahiriah semata
(pragmatis). Sesuatu dapat dikatakan baik ataupun buruk semata-mata
hanya diukur dengan indicator yang dapat diindra. Kenikmatan hidup hanya
dapat dipenuhi dengan oleh suatu yang bersifat kebendaan atau lahiriah
saja. Fenomena rutinitas-ritualitas (ritualisme) merupakan wujud reifikasi
dibidang kehidupan beragama. Fenomena ritualisme ini tercermin pada
sebagian orang Islam yangberagama hanya pada “permukaan” saja atau
bahkan secara formal saja. Agama hanya dipandang sebagai hal yang
bersifat ritual belaka, dan ini pun hanya menyangkut aspek spiritual.
Mungkin mereka melaksanakan ritual ibadah (shalat, puasa, haji, dan
sebagianya), namun ibadah mereka ‘kering’ dari makna, sehingga
ibadahnya itu tidak memancarkan akhlak yang mulia. Kenyataan semacam
ini merupakan salah satu manifestasi dari gejala pendangkalan akidah
(Samsul, 2013: 291-292).
2) Objektivikasi
Objektivikasi manusia, yaitu terperangkapnya manusia dalam
rangka sistem budaya dan teknologi sedemikian rupa sehingga dirinya
menjadi komponen yang amat tergantung pada sistem tersebut.
46

Objektivikasi manusia memang cenderung untuk terjadinya pergeseran dan


bahkan substitusi dari peran manusia sebagai ‘pencipta’ (dan semestinya
‘pengendali’) budaya dan teknologi, enjadi sub-ordinate terhadap sistem
budaya dan teknologinya tersebut (Samsul, 2013: 292(.
3) Manipulasi
Manipulasi adalah efek samping lain dari makin dipadatinya
kehidupan manusia oleh teknologi. Pada fitrahnya, teknologi memang suatu
proses manipulasi, yaitu manipulasi alam oleh manusia agar manusia dapat
memperoleh manfaat yang lebih besar. Dan dalam konteks yang demikian
memang teknologi merupakan alat vital bagi manusia untuk menunaikan
tugas kekhilafahannya di bumi. Namun, manipulasi sebagai efek samping
mempunyai pengertian lain, yaitu proses manipulasi manusia oleh manusia
lain, dengan demikian telah terjadi pergeseran makna (Samsul, 2013: 292).
4) Fragmentasi
Fragmentasi kehidupan dalam masyarakat yang makin maju
merupakan akibat tidak langsung dari iklim ‘profesionalisme’ dan
‘pembagian kerja’ yang menyertai kehidupan modern. Manusia terkotak-
kotak oleh jabatan, status atau profesinya sehingga dalam masyarakat
hubungan manusiawi (silaturahmi antar insan) sudah tidak ada lagi, dan
sebagai gantinya hubungan profesi, hubungan status, hubungan
kepentingan, dan sebagainya. Masyarakat tidak lagi sebagi kumpulan
manusia, melainkan kumpulan dari profesu, status, dan sebagainya (Samsul,
2013: 293).

b. Kecenderungan Pergeseran Nilai


1) Individualisme
Individualisme dalam makna egoisme merupakan akibat langsung
dari variable “perkembangan’ di atas. Masyarakat yang semakin maju
memamng cenderung menuntut kemampua interaksi anggotanya secara
individual. Individualism dalam makna ini bahkan dituntut untuk dapat
eksisnya seseorang dalam masyarakat. Namun, perkembangan
47

individualism pada sisi lain, yaitu kecenderungan individualistic (egoistik),


yang hanya mementingkan keuntungan (kebutuhan, keenakan, dan lain-
lain) diri sendiri saja juga efek samping yang timbul. Dalam pengertian
yang terakhir ini, individualism erat hubungannya dengan prilaku
hedonistic. Kecenderungan nilai ini amat diametral sifatnya dengan nilai-
nilai: ukhuwwah, silaturahmi, ta’awun yang dikendaki Islam (Samsul,
2013: 293).
2) Rasionalisme dan Materialisme
Rasionalisme dan materialism, akibat lanjut dari reifikasi dan
objektifikasi manusia di atas ialah terjadi kecenderungan pemikiran
rasionalistik dan materialistik. Penilaian atas baik dan buruknya yang
semata-mata disandarkan pada ukuran nalar (rasio) belaka, secara tidak
disadari telah membudaya dalam masyarakat kita, terutama masyarakat
intelektual. Sementara itu cara berfikir materialistic, penghargaan atas
segala hal yang semata-mata disandarkan pada ukuran kebendaan, dan
sekaligus dijadikan tujuan kehidupan, rupanya sudah membudaya juga
dalam masyarakat, terutama golongan menengah dan atas serta masyarakat
perkotaan. Kecenderungan tersebut pada gilirannya akan
menumbuhsuburkan paham-paham rasionalisme dan materialism (Samsul,
2013: 293-294).
3) Sekularisme
Sekularisme adalah akibat lain dari proses objektivikasi di atas, yang
pada gilirannya juga akan menumbuhkan faham sekularisme. Walaupun
ada pendapat yang membedakan keduanya, namun pendapat ini lebih
merupakan ‘atraksi retorik’ semata. Karena bagaimanapun cara berpikir
sekularistik akan melahirkan pemikiran yang apatialistik (pengotak-
kotakan) mengenai kehidupan manusia, dan ‘menyudutkan’ agama sebagai
hanya valid pada aspek spiritual saja. Tanpa mengabaikan yang lain,
rupanya kecenderungan cara berpikir sekularistik dan paham sekularisme
ini merupakan ancaman yang cukup serius bagi kehidupan religious umat
dan bangsa Indonesia. Sekularisme memang cenderung untuk meniadakan
48

peran agama,sekalipun ada kemungkinan bahwa agama diberi tempat, atau


diberi ‘kotak’, yaitu berupa proses spatialisasi (Samsul, 2013: 294).
4) Nativisme
Nativisme (spiritualisme-nativistik). Akibat proses objektifikasi,
manipulasi, dan fragmentasi kehidupan manusia. Dalam masyarakat yang
padat teknologi dan informasi memang aspek spiritual manusia tidak
tersantui. Kenyataan ini pada sisi lain akan menumbuhkan kecenderungan
makin berkembangnya pemikiran spiritualisme-nativistik. Karena pada
kodratnya manusia mempunyai kehidupan spiritual yang membutuhkan
santunan, sementara sistem masyarakat yang tidak menyantuninya maka
(sebagian) manusia mencoba memenuhi dengan kembali pada kehidupan
nativistik. Fenomena Barat dan kecenderungan ‘pertuyulan’, mistisme dan
sejenisnya adalah contoh konkret reaksi spiritualisme-nativistik tersebut.
Pada hakikatnya spiritualisme-nativistik ini memang suatu reaksi
‘melarikan diri’ (escape) manusia dari masyarakat yang makin modern
(Samsul, 2013: 295).

c. Kecenderungan Ekonomi
1) Masalah Permodalan
Masalah permodalan ini menyangkut keterbatasan sumber modal
baik dari dalam maupun dari luar negeri. Di pihak lain, daya serap investasi
juga terbatas sebagai akibat sempitnya pasaran hasil produksi, baik untuk
ekspor ataupun untuk pasaran dalam negeri. Permasalahan ini akan
diperberat dengan efisiesi pemanfaatan modal yang rendah dana rah
investasi yang kerap kali tidak disertai perencanaan yang matang (Samsul,
2013: 297).
2) Masalah Ketenagakerjaan
Melihat fenomena ketenaga kerjaan di Indonesia, seolah terdapat
semacam paradoksal, yakni di satu pihak pengangguran semakin
membengkak, tetapi di pihak lain dirasakan akan kebutuhan akan tenaga
kerja tertentu, terutama tenaga ahli. Hal ini terjadi karena jumlah tenaga
49

kerja kasar dan tidak terlatih (nonprofessional) amat banyak, sekalipun


tenaga ahli dan terlatih amat terbatas. Kerawanan tenaga kerja ini semakin
makin diperberat oleh dua hal, yaitu (1) meningkatnya perkembangan
sector-sektor ekonomi dengan teknologo tinggi (yang sebenarnya dapat
dicapai dengan teknologi yang lebih rendah), dan (2) sikap angkatan kerja
yang statis, etos kerja yang rendah, dan langkanya motivasi wiraswasta
(Samsul, 2013: 297).
3) Masalah Keadilan Ekonomi
Problematika ekonomi Indonesia yang kompleks tersebut dan
memprihatinkan selurh bangsa Indonesia terutama golongan menengah dan
bawah, sebenarnya hampir identic dengan problematika ekonomi umat
Islam. Umat Islam, di samping merupakan bagian mayoritas rakyat
Indonesia, juga hampir semuanya penduduk strata social-ekonomi
menengah dan bawah. Sector ekonomi informal terutama dilakukan oleh
umat Islam. Sebaliknya, pada sector ekonomi kuat dan menengah kuat
justru umat Islam merupakan minoritas dan tidak berperan menentukan.
Pihak yang paling berperan justru pengusaha-pengusaha nonpribumi baik
WNI maupun WNA yang senguasai mata rantai ekonomi yang tidak
terputuskan sejak dari impor sampai ke pedesaan, dan dari pedesaan sampai
ke ekspor (Samsul, 2013: 297).
Sebagai rangkuman kecenderungan ekonomi yang dihadapi umat
dan bangsa Indonesian, dapat dikemukakan bahwa permasalahan-
permasalahan ekonomi (baik variable ekonomis maupun nonekonomis)
yang dialami negeri kita memang masih mengalami keprihatinan (Samsul,
2013: 299).
Permasalahan ekonomi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a) Ketimpangan Kaya-Miskin
Tampaknya kemiskinan yang terjadi di Indonesia bukan hanya
kemiskinan natural, tetapi juga structural. Dikhawatirkan apabila
kemiskinan ini tidak mendapatkan penanganan khusus, suatu saat dapat
menimbulkan budaya kemiskinan, di mana segala pola kehidupan (cara
50

berfikir, sikap hidup, wawasan hidup) sudah diwarnai oleh kemiskinan.


Dan karenanya, masalah ini harus menjadi dan mendapat perhatian
khusus dari para perencana dakwah. Membengkaknya jurang antara
yang kaya dengan yang miskin memang makin terasa. Meminjam istilah
politik ekonomi, seolah dua lingkaran setan tetap berlangsung, yaitu
lingkaran setan kemiskinan dan lingkaran setan keberadaaan (Samsul,
2013: 300).
b) Pengangguran
Masalah sosial lain yang selalu menjadi pemikiran dalam upaya
pembinaan kesejahteraan umat manusia adalah pengangguran.
Pengangguran itu juga menjadi permasalahan bagi bangsa dan
pemerintah, dan harusnya para dai juga ikut memikirkan untuk mencari
pemecahan dalam masalah pengangguran ini. Sebab kalua
pengangguran ini tidak terpecahkan akan dapat menimbulkan berbagai
akibat buruk bagi para penganggur seperti kriminalitas, penyimpangan
tingkah laku sosial yang dapat merugikan masyarakat, dan ini dilihat
dari kacamata apa pun tidak menguntungkan. Maka dari itu, para dai
kiranya juga dapat ikut memberikan sumbangan dalam mengatasi
pengangguran ini, dengan memikirkan cara mencari jalan keluarnya
(Samsul, 2013: 301).
c) Kriminalitas dan Penyimpangan Tingkah Laku Sosial
Berbagai factor yang berkembang dalam masyarakat telah
menyebabkan timbulnya kriminalitas. Antara lain, perbedaan kaya
miskin, tekanan ekonomi yang sangat berat sementara tidak memiliki
ketahanan mental yang kuat, keinginan untuk hidup mewah seperti
orang-orang Barat, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk
memperoleh syarat-syarat secara wajar, ataupun dengan kata lain
timbulnya kriminalitas itu ialah adanya factor-faktor dari dalam diri
manusia. Factor dari diri manusia itu ialah dorongan hawa nafsu, sedang
dari luar diri manusia ialah pengaruh-pengaruh bacaan-bacaan, film,
pergaulan yang karena pengaruh informasi baik melalui media cetak
51

maupun elektronik sangat sukar sekali untuk dibendung (Samsul, 2013:


301).
Kecenderungan ekonomi ini menyadarkan pada kita bahwa
mayoritas objek dakwah yang dihadapi adalah kaum dhu’aa, mereka
yang lemah ekonominya. Di samping itu, dari kenyataan sebagian besar
kekuatan ekonomi umat adalah pada sector informal, maka upaya
pengembangan sector tersebut perlu mendapat perhatian dalam
mengembangkan dakwah bi al-hal (Samsul, 2013: 301-302).

d. Kecenderungan Sosial Politik


Dalam era baru peran politik Islam menjadi makinlemah dan dengan
makin kuatnya korporatisme tidak saja umat Islamm, tetapi juga sector sipil
pada umumnya tidak lagi mempunyai peranan dalam proses pengambilan
keputusan di Indonesia (Samsul, 2013: 303).
Kecenderungan dominasi kekuatan politik tertentu rupanya masih akan
tetap berlangsung, walaupun disadari pula bahwa adanya ketegangan internal
di dalamnya. Apa yang perlu diupayakan dalam kaitannya dengan dakwah
Islam ialah, bagaimana agar kecenderungan perkembangan politik jangan
sampai berdampak lebih negatif dengan kegiatan dakwah (Samsul, 2013: 303).
Pada saat era reformasi sekarang ini, peran politik umat Islam dapat
dimungkinkan berkembang kembali, akan tetapi dalam kenyataanya belum
berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Partai-partai politik yang ada dan
berbasis massa Islam. Misalnya: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Bulan
Bintang (PBB) dan lain-lain masih kelihatan lebih mengedepankan kepentingan
politiknya sendiri ketimbang untuk kepentingan Bersama umat Islam dan
dakwah Islamiyyah. Hal ini perlu menjadi perhatian dan catatan penting bagi
para aktivis dan penggerak dakwah Islam di Indonesia (Samsul, 2013: 303).
52

e. Masalah Deislamisasi (Pendangkalan Akidah dan Pemurtadan)


Fenomena erosi akidah yang terjadi merupakan suatu proses pasif dan
aktif. Disebut proses pasif, karena pendangkalan akidah terjadi sebagai akibat
berbagai kecenderungan di atas, terutama kecenderungan nilai dan social
budaya. Namun demikian dirasakan pula “upaya aktif” yang bertujuan
mendangkalkan akidah umat, apapunlatar belakang motifnya (Samsul, 2013:
304).
Upaya deislamisasi juga dilakukan melalui pembentukan opini
masyarakat melalui berbagai jalurr, baik media massa, forum-forum maupun
‘mekanisme khusus’ (Samsul, 2013: 304).
Sebagai akibat erosi akidah dan distorsi informasi tentang Islam ialah
makin rendah atau hilangnya kepekaan orang Islam terhadap berbagai
permasalahan umat, apakah menyangkut ‘perjuangan’ (dakwah) ataupun yang
menyangkut peran social mereka. Mereka tidak ambil pusing apa yang terjadi
di sekitarnya, apa yang mengancam agamanya, yang penting ialah bagaimana
mereka dapat hidup enak. Gejala Islam desensitif ini rupanya sudah mencapai
tingkat yang mengkhawatirkan (Samsul, 2013: 304).
1) Kristenisasi
Kristenisasi adalah tantangan lain yang dihadapi dakwah Islamiyyah
di Indonesia. Berbagai ketimpangan pelaksanaan aturan main Bersama dan
bahkan beberapa produk peraturan pemerintah, menjadikan nasranisasi
sebagai ‘ganjalan’ kerukunan umat beragama, dan bahkan persatuan
nasional itu sendiri. Susahnya, fenomena ini sering ditutupi dengan polesan
solidaritas, iklan kerukunan, dan sebagainya. Hal ini harus menjadi
pemikiran dan perhatian bagi segenap aktivis dakwah. (Samsul, 2013: 305).
2) Nativisme
Sementara nativisasi adalah konsekwensi logis dan makin
berkembangnya kecenderungan spiritualisme-nativisme di atas.
Sebagaimana telah dikemukakan, masalah nativisasi ini berkaitan dengan
permasalahan lain, baik dibidang politik, budaya, upaya deislamisasi, dan
sekularisme (Samsul, 2013: 305).

Anda mungkin juga menyukai