Anda di halaman 1dari 117

VOLATILITAS HARGA PANGAN DAN PENGARUHNYA

TERHADAP INDIKATOR MAKROEKONOMI


INDONESIA

ARINI HARDJANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul:


Volatilitas Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap
Indikator Makroekonomi Indonesia
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Arini Hardjanto
NIM H353110091
RINGKASAN

ARINI HARDJANTO. Volatilitas Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap


Indikator Makroekonomi Indonesia. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan
BONAR MARULITUA SINAGA.

Pangan termasuk isu yang sensitif khususnya bagi negara miskin dan
berkembang. Sensitivitas pangan salah satunya diperlihatkan melalui harganya.
Apabila harga pangan meningkat akan menyebabkan fluktuasi harga dan inflasi.
Fluktuasi harga pangan dunia yang terjadi pada tahun 2007 hingga 2010
menyebabkan volatilitas harga pangan. Indonesia adalah salah satu negara
berkembang yang rentan terhadap volatilitas harga pangan. Hal ini dikarenakan
pangan merupakan kebutuhan pokok yang hingga saat ini sebagian masih
diimpor, sehingga apabila harga pangan dunia meningkat akan berdampak
terhadap harga dalam negeri. Jenis pangan pokok di Indonesia yang
ketersediannya sebagian dipenuhi dari impor adalah beras, jagung dan kedelai.
Volatilitas akan mempengaruhi perekonomian bukan hanya dari sisi mikro,
melainkan juga dari sisi makro seperti inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB)
sektor pertanian. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan dari penelitian ini
adalah: (1) mengestimasi tingkat volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok
(beras, kedelai, dan jagung), (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
volatilitas harga pangan, dan (3) menganalisis pengaruh volatilitas harga ketiga
komoditas pangan pokok terhadap indikator makroekonomi (inflasi dan PDB
sektor pertanian).
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Jenis data yang digunakan
adalah deret waktu (time series) dari Januari 1985 hingga Desember 2011. Model
ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model Autoregressive
Conditional Heteroscedasticity-Generalized Autoregressive Conditional
Heteroscedasticity (ARCH-GARCH) dan Error Correction Model (ECM). Model
ARCH-GARCH digunakan untuk mengestimasi volatilitas harga pangan dan
faktor-faktor yng mempengaruhi volatilitas harga pangan. Sementara itu,
pengaruh volatilitas harga pangan terhadap indikator makroekonomi akan dijawab
menggunakan ECM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga ketiga komoditas pangan
bersifat volatil. Ketiga harga pangan memperlihatkan volatilitas yang tinggi pada
tahun 1997-1999 yaitu saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Saat
krisis ekonomi harga pangan menjadi tidak terkendali sehingga harga pangan
berfluktuasi tinggi dan akibatnya volatilitas menjadi tinggi. Volatilitas harga
jagung juga tinggi pada saat tahun 2001-2002. Hal ini disebabkan tingginya
permintaan dunia akan sumber energi terbarukan yang berasal dari jagung sejak
tahun 2000-an. Tingginya permintaan terhadap energi terbarukan membuat harga
jagung domestik meningkat. Sementara itu, kedelai juga mengalami volatilitas
tinggi pada tahun 2008 selain pada tahun 1997. Pada tahun 2008 dunia sedang
mengalami krisis pangan, sehingga harga kedelai dunia menjadi tinggi dan harga
kedelai di Indonesia juga ikut naik karena kedelai adalah komoditas impor.
Volatilitas harga beras dipengaruhi oleh nilai tukar riil, suku bunga riil,
harga minyak dunia, dan produksi beras domestik. Volatilitas harga jagung
dipengaruhi oleh nilai tukar riil, suku bunga riil, produksi jagung dalam negeri,
dan harga jagung dunia. Faktor yang berpengaruh terhadap volatilitas harga
kedelai adalah nilai tukar riil, suku bunga riil, harga minyak dunia, produksi
kedelai domestik, harga kedelai dunia, dan curah hujan.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan model ECM, volatilitas harga
jagung dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya berpengaruh positif
dan signifikan terhadap inflasi. Nilai tukar riil, nilai tukar riil satu tahun
sebelumnya, suku bunga riil dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya juga
berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Harga pangan yang tinggi akan
menyebabkan inflasi menjadi tinggi. PDB sektor pertanian dipengaruhi oleh
volatilitas harga kedelai, volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya dan
volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya dengan tanda negatif. Tingginya
volatilitas harga pangan dapat menurunkan PDB sektor pertanian. Nilai tukar riil,
suku bunga riil, dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya juga berpengaruh
terhadap PDB sektor pertanian.
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, ketiga harga pangan pokok
bersifat volatil. Nilai tukar riil, suku bunga riil, harga minyak dunia, produksi
dalam negeri ketiga komoditas pangan, harga dunia ketiga komoditas pangan dan
curah hujan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap volatilitas harga
pangan. Volatilitas harga jagung dan volatilitas harga jagung satu tahun
sebelumnya mempengaruhi inflasi, sedangkan PDB sektor pertanian dipengaruhi
oleh volatilitas harga kedelai, volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya dan
volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya. Tingginya volatilitas harga tiga
komoditas pangan di Indonesia dan pengaruhnya terhadap indikator
makroekonomi memerlukan kebijakan pengelolaan harga dan produksi agar harga
dapat dikendalikan dan pertumbuhan ekonomi dapat meningkat.

Kata kunci: harga pangan, inflasi, PDB, volatilitas


SUMMARY

ARINI HARDJANTO. Food Price Volatility and Its Effect on Indonesia


Macroeconomic Indicators. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and BONAR
MARULITUA SINAGA.

Food remains a sensitive issue to poor and developing countries. Food


commodity sensitivity is shown by price. Increasing price may cause price
fluctuation and inflation. The 2007-2010 price fluctuation caused significant food
price volatility. Indonesia is a developing country vulnerable to food price
volatility as some portions of basic foodstuffs to meet the people’s needs are still
imported, so that instable global food price has significant impact to the domestic
price. Rice, maize and soybean are three food commodities which still imported.
Food price volatility have impacts on economy performance, not only on
micro but also on macro. In the macroeconomic sense, fluctuating food price have
impact on inflation and the agricultural sector of Gross Domestic Product (GDP).
Based on the above description, the objectives of this research are: (1) to estimate
the extend of food price volatility (rice, maize, and soybean), (2) to identify the
determinants of food price volatility, and (3) to analyze effect of food price
volatility on macroeconomic indicators (inflation and agricultural sector of GDP).
This research applies secondary data. The data type is time series covering
period of January 1985 to December 2011. ARCH-GARCH model are applied to
estimate price volatility of the major staple food commodities (i.e. rice, maize and
soybean) and to identify factors affecting food price volatility. Food price
volatility effect on macroeconomic indicators are analysed using Error Correction
Model (ECM).
The results show that rice, maize and soybean prices have become volatile.
Rice, maize and soybean volatility increase significantly in 1997-1999 because
Indonesia was undergoing an economic crisis that led to price rise. Such an
uncontrolled price rise during the period caused price volatility. In 2001-2002 the
world maize price also increased. It started increasing after 2000, in line with
global market’s maize price rise triggered by increase of demand of maize as raw
material to non-fossil fuel/biofuel industries. This forced domestic maize price to
follow the rise. Soybean price volatility rose quite significantly in 1997-1999 and
2008. In 2008 global food crisis broke out and price of soybean as one of global
staple food commodities rose sharply. Indonesian soybean commodity is
imported, thus the domestic soybean price is affected by global price.
Variables that have significant impacts on rice price volatility are real
exchange rate, world oil price, real interest rate, and rice production. Variables
with significant impact on maize price volatility are real exchange rate, real
interest rate, maize production, and world maize price. Variables significantly
affecting soybean price volatility are real exchange rate, world oil price, real
interest rate, world soybean price, domestic soybean production, and rainfall.
Using ECM model, maize price volatility and maize price volatility one year
previously have significant impact on inflation with positive value. This research
also indicates that real exchange rate, real exchange rate one year previously, real
interest rate, and real interest rate one year previously have significant impact on
inflation. High price leads to high inflation, so that it contributes to inflation in
general. Meanwhile, soybean price volatility, soybean price volatility one year
previously, and maize price volatility one year previously are significant and have
negative value on agricultural sector of GDP. High food price volatility lowers the
agriculture sector of GDP. Real exchange rate, real interest rate, and real interest
rate one year previously also have significant effect on agricultural sector of GDP.
Based on the research objectives and the analysis, price of the three food
commodities (rice, maize and soybean) are volatile. The factor affecting food
price volatility are real exchange rate, real interest rate, world oil price, food price
production, world food price, and rainfall. Maize price volatility and maize price
volatility one year previously significantly affects inflation in general. Meanwhile,
agricultural sector of GDP are affected by soybean price volatility, soybean price
volatility one year previously, and maize price volatility one year previously. The
policy should be made to manage food price and to increase economic growth.

Key words: food prices, GDP, inflation, volatility


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
VOLATILITAS HARGA PANGAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP INDIKATOR MAKROEKONOMI
INDONESIA

ARINI HARDJANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Harianto, MS
Staf Pengajar Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat, hidayah serta
nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Volatilitas
Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap Indikator Makroekonomi Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yusman Syaukat, MEc
dan Prof Dr Ir Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing atas arahan dan pembekalan ilmu serta wawasan selama penyusunan
tesis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Sri
Hartoyo, MS dan Ibu Dr Meti Ekayani, SHut, MSc selaku ketua dan sekretaris
program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr Ir Harianto, MS selaku penguji luar
komisi pada ujian tesis dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan
bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis berkuliah di program studi
Ilmu Ekonomi Pertanian.
Secara khusus penulis ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua
Ayahanda Hardjanto dan Ibunda Sri Sudaryanti yang selalu sabar dan mendoakan
untuk keberhasilan penulis. Teman-teman EPN angkatan 2011 untuk kebersamaan
dalam suka dan duka serta semangat selama perkuliahan. Seluruh staf di
sekretariat program studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang membantu penulis selama
perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi.
Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga karya
ilmiah ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian.
Penulis juga berharap bahwa karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
khususnya bagi penulis sebagai proses pembelajaran.

Bogor, Juli 2014

Arini Hardjanto
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 6
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Konsep Volatilitas 7
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Volatilitas Harga 7
Mengukur Dampak Volatilitas Harga 9
Volatilitas dan Inflasi 10
Volatilitas dan Pertumbuhan Ekonomi 11
Kebijakan Mengelola Volatilitas 13
Kerangka Teoritis 15
Kerangka Pemikiran Operasional 20
Hipotesis Penelitian 21

3 METODE PENELITIAN 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Pengolahan Data 23

4 ANALISIS VOLATILITAS HARGA PANGAN 35


Deskripsi Data 35
Volatilitas Harga Pangan di Indonesia 35
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Pangan 42
Indikator Makroekonomi dan Volatilitas Harga Pangan 51

5 SIMPULAN DAN SARAN 61


Simpulan 61
Implikasi Kebijakan 62
Saran Penelitian Lanjutan 63

DAFTAR PUSTAKA 65
LAMPIRAN 71
DAFTAR TABEL
1 Statistik deskriptif variabel harga beras, jagung, dan kedelai 35
2 Hasil uji akar unit harga bulanan beras, jagung, dan kedelai periode
Januari 1985-Desember 2011 36
3 Model ARMA terbaik 36
4 Identifikasi efek ARCH pada harga komoditas beras, jagung, dan
kedelai 37
5 Model ARCH-GARCH terbaik pada harga komoditas beras, jagung,
dan kedelai 37
6 Hasil uji normalitas pada model ARCH-GARCH untuk variabel harga
beras, jagung, dan kedelai 38
7 Hasil uji ARCH-LM terhadap model ARCH-GARCH untuk variabel
harga beras, jagung, dan kedelai 38
8 Model volatilitas harga beras dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya 43
9 Model volatilitas harga jagung dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya 46
10 Model volatilitas harga kedelai dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya 48
11 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk
pengaruh volatilitas harga pangan terhadap inflasi 52
12 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap
inflasi 53
13 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap inflasi 53
14 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk
pengaruh volatilitas harga pangan terhadap PDB sektor pertanian 55
15 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap
PDB sektor pertanian 56
16 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap PDB sektor
pertanian 57

DAFTAR GAMBAR
1 Harga dunia komoditas beras, jagung dan kedelai tahun 1970-2011 1
2 Harga tingkat konsumen komoditas beras, jagung, dan kedelai
Indonesia tahun 1985- 2010 3
3 Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2012 5
4 Kurva pertumbuhan Solow 16
5 Kurva pertumbuhan Endogen 17
6 Kerangka pemikiran konseptual 22
7 Volatilitas harga beras Indonesia tahun 1985-2011 39
8 Volatilitas harga jagung Indonesia tahun 1985-2011 40
9 Volatilitas harga kedelai Indonesia tahun 1985-2011 41
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pengujian akar unit semua variabel 71
2 Model Auto Regressive Moving Average (ARMA) untuk data harga
pangan 79
3 Uji heteroskedastisitas 80
4 Model Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized 82
Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH-GARCH)
5 Persamaan jangka panjang untuk model inflasi dan PDB sektor
pertanian 88
6 Uji stasioneritas terhadap residual persamaan jangka panjang 89
7 Estimasi Error Correction Model (ECM) 90
8 Korelogram untuk persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi
volatilitas harga pangan 92
9 Uji normalitas pada variabel harga pangan 93
1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Peran pangan yang begitu penting menjadikan pangan sebagai sektor yang
strategis karena pangan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia.
Meskipun permintaan maupun penawaran pangan cenderung bersifat inelastis,
tetapi bagi negara miskin dan berkembang masalah pangan tetap merupakan
masalah yang sensitif. Sensitivitas komoditas pangan salah satunya diperlihatkan
oleh variabel pasar yaitu harga.
Harga pangan dunia yang tinggi pada tahun 1970-an menyebabkan krisis
pangan dan hal tersebut berulang kembali pada tahun 2007 setelah sebelumnya
selama tiga dekade terakhir harga pangan dunia berada pada tingkat harga yang
stabil. Harga yang terus meningkat dapat menimbulkan fluktuasi harga dan
gejolak inflasi yang tinggi.
Krisis pangan internasional pada tahun 2007 hingga 2010 (Timmer 2011;
Jayasuriya et al. 2012; Minot 2012) membuat harga pangan dunia bergejolak.
Harga meningkat di tahun 2007 dan turun pada tahun 2009 lalu meningkat
kembali pada tahun 2010 (Braun dan Tadesse 2012). Fluktuasi harga yang terjadi
selama tahun 2007 hingga 2010 menimbulkan volatilitas harga pangan yang
cukup tinggi (Gilbert dan Morgan 2010). Beberapa komoditas pangan dunia yang
mengalami peningkatan diantaranya adalah daging, susu, gula, gandum, kedelai,
jagung, dan beberapa jenis serealia lainnya (Jayasuriya et al. 2012) seperti beras
yang mengalami peningkatan harga di beberapa negara Asia-Pasifik (UN-ESCAP
2011). Berdasarkan Gambar 1 pada tahun 1974 harga ketiga komoditas pangan
lebih tinggi dibandingkan tahun sebelum dan sesudahnya. Pada kurun waktu
tahun 1976 hingga 2006 harga beras, jagung, dan kedelai terlihat stabil
dibandingkan tahun 2010. Tahun 1976 dan 2007, dunia mengalami krisis pangan
yang menyebabkan harga pangan meningkat tajam dan hal ini menimbulkan
volatilitas harga pangan.

800.00
700.00
Harga (US$/MT)

600.00
500.00
400.00
300.00
200.00
100.00
0.00
1974

1992

2010
1970
1972

1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990

1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008

Tahun

Beras Jagung Kedelai

Sumber: IMF, 2014


Gambar 1 Harga dunia komoditas beras, jagung dan kedelai tahun 1970-2011
2

Volatilitas merupakan isu komplek yang berdampak terhadap berbagai


bidang diantaranya adalah ketahanan pangan, pasar finansial, dan aliran
perdagangan (Miguez dan Michelena 2011). Volatilitas hampir terjadi di seluruh
negara terutama negara berkembang dan miskin, sehingga persoalan ini menjadi
isu internasional. Dalam lingkup internasional volatilitas harga terutama untuk
sektor pangan merupakan salah satu masalah yang dibahas dalam konferensi G20
yang berlangsung di Cannes, Perancis pada tahun 2011 dan Los Cabos, Meksiko
tahun 2012. Terjadinya volatilitas harga pangan yang berlebihan di banyak negara
menyebabkan ketidakpastian yang semakin tinggi bagi pelaku ekonomi dan
rusaknya stabilitas keuangan. Hal senada juga diungkapkan oleh FAO et al.
(2011) yang menyatakan bahwa meningkatnya risiko dan ketidakpastian
menyebabkan volatilitas yang semakin tinggi. Volatilitas tinggi juga menunjukkan
situasi ketidakstabilan pangan dunia dan melemahkan sistem perdagangan pangan
dunia.
Volatilitas pada dasarnya adalah fenomena alamiah. Indonesia sebagai salah
satu negara berkembang rentan terhadap volatilitas harga pangan. Hal ini
dikarenakan sebagian kebutuhan pangan pokok masih diimpor, sehingga jika
harga pangan dunia tidak stabil akan berpengaruh terhadap kondisi harga dalam
negeri, seperti yang diungkapkan oleh Bourdon (2011) bahwa harga pangan yang
tidak stabil merupakan risiko bagi negara berkembang. Jika harga pangan
meningkat, maka inflasi akan naik dan pertumbuhan ekonomi turun yang
kemudian akan berdampak terhadap kondisi rumah tangga masyarakat terutama
penduduk miskin.
Penduduk miskin di negara berkembang seperti Indonesia relatif banyak
jumlahnya dan bila terjadi fluktuasi harga pangan yang cenderung meningkat akan
mengurangi kesejahteraan (Zheng et al. 2008). Hal ini dikarenakan sebagian besar
pendapatan yang diperoleh penduduk miskin digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan pokok. Apabila harga pangan naik maka pengeluaran terhadap
pangan pokok akan semakin besar dan membuat pendapatan riil turun (Timmer
2004, 2011; Braun dan Tadesse 2012). Tingkat kesejahteraan penduduk
ditentukan oleh kondisi perekonomian makro suatu negara. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi akan mempercepat proses pembangunan dan meningkatkan
pendapatan sehingga kesejahteraan meningkat.
Penelitian yang berkaitan dengan volatilitas harga pangan di Indonesia telah
banyak dilakukan, salah satunya dilakukan oleh Dartanto (2010). Akan tetapi,
penelitian mengenai volatilitas harga pangan di Indonesia yang dihubungkan
dengan beberapa indikator makroekonomi belum banyak dilakukan. Berdasarkan
uraian di atas, maka penelitian ini akan mengkaji pengaruh volatilitas harga tiga
komoditas pangan pokok yaitu beras, jagung, dan kedelai terhadap indikator
makroekonomi di Indonesia.

Perumusan Masalah

Komoditas pangan pokok di Indonesia adalah beras, jagung, kedelai, kacang


hijau, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar. Beras, jagung, dan kedelai merupakan
tiga jenis pangan yang akan diteliti lebih lanjut karena beberapa alasan. Pertama,
selama ini ketiga jenis pangan tersebut menjadi perhatian utama dalam sektor
tanaman pangan yang diwujudkan dalam program terbesar seperti, jagung
3

termasuk kelompok palawija dengan produksi maupun konsumsi terbesar diantara


lima jenis palawija; kedelai merupakan salah satu jenis dari 30 jenis dalam
kelompok kacang-kacangan dan umbi-umbian dengan komsumsi dan impor yang
cukup besar (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011). Kedua, beras
merupakan pangan pokok bagi masyarakat yang berdasarkan data Susenas tahun
1999, angka partisipasi konsumsi beras sebesar 97.07 persen. Ketiga, tiga jenis
pangan tersebut termasuk dalam empat jenis pangan yang mendominasi
perdagangan pangan internasional (Gilbert 2012) dan bagi Indonesia ketiga jenis
pangan tersebut selama ini masih terus diimpor, sehingga berpotensi mengalami
fluktuasi harga.
Perkembangan harga ketiga komoditas pangan Indonesia sejak tahun 1985
hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 2. Harga beras, jagung dan kedelai
Indonesia pada rentang waktu 1985-1996 relatif stabil karena pemerintah
menerapkan kebijakan stabilisasi harga. Pada saat krisis ekonomi melanda Asia
tahun 1997, harga beras meningkat tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya
karena peran Badan Urusan Logistik (BULOG) sebagai stabilisator harga
dihapuskan dan harga diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pada
awal pembentukannya tahun 1960-an, BULOG diberikan tiga mandat yaitu:
stabilisasi harga, pengendalian stok ketahanan pangan nasional, dan distribusi
beras ke pegawai militer dan sipil setiap bulan (Timmer 2004). Setelah terjadi
krisis ekonomi tugas BULOG hanya menangani masalah distribusi beras.
Harga jagung di Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 menurun yang
diperlihatkan pada Gambar 2, hal ini diduga karena produksi jagung dalam negeri
terus meningkat sejak tahun 2003, sedangkan konsumsi dan impor relatif tetap.
Dalam periode yang sama hingga tahun 2007 harga kedelai di Indonesia juga
mengalami penurunan karena produksi kedelai dunia meningkat berdasarkan data
yang didapat dari FAOSTAT (2013), sehingga harga pasar dunia menurun yang
berdampak kepada harga dalam negeri, yang merupakan salah satu negara
pengimpor komoditi tersebut.

8000
Harga Konsumen (Rp/kg)

7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
1988

1997
1985
1986
1987

1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996

1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

Tahun

Jagung Kedelai Beras

Sumber: BULOG, 2012


Gambar 2. Harga tingkat konsumen komoditas beras, jagung, dan kedelai
Indonesia tahun 1985-2010
4

Berdasarkan Gambar 2 harga beras, jagung dan kedelai tahun 2007/2008


meningkat, namun pada tahun 2009 harga turun dan tahun 2010 harga kembali
meningkat. Kenaikan harga pangan yang relatif tinggi pada tahun 2007/2008 tidak
pernah terjadi setelah dua dekade sebelumnya harga pangan stabil bahkan
cenderung menurun. Tingginya harga pangan pada tahun-tahun tersebut membuat
krisis pangan dunia tidak dapat dihindari (Gilbert dan Morgan 2010; Tothova
2011; Torero 2011; Braun dan Tadesse 2012). Harga kedelai meningkat sangat
tajam dibandingkan dua komoditas lainnya, diduga berhubungan dengan produksi
kedelai AS menurun sampai 18 persen (Naeve dan Orf 2007).
Kenaikan harga pangan tersebut dipicu antara lain oleh meningkatnya
volume produksi bahan bakar nabati dari padi-padian dan biji minyak (oilseed),
melemahnya nilai dollar Amerika dan meningkatnya harga energi (Bank Dunia
2010). Kenaikan ketiga harga pangan tersebut terutama pada tahun 2007 hingga
2010 tidak pelak menyebabkan fluktuasi harga yang dapat menimbulkan
volatilitas harga. Volatilitas adalah variasi nilai fluktuasi terhadap nilai rata-rata
pada data (misal data variabel ekonomi) yang terjadi sepanjang waktu.
Fluktuasi harga yang cepat mengakibatkan terjadinya volatilitas. Penyebab
fluktuasi harga menurut Tangermann (2011) dibedakan menjadi dua, yaitu faktor
tradisional (cuaca, stok, harga energi, pembangunan ekonomi makro, dan
pertumbuhan permintaan), dan faktor insidentil (bioenergi dan hambatan ekspor).
Menurut Miguez dan Michelena (2011) harga pangan yang berfluktuasi
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu, inflasi, cadangan, nilai tukar, suku bunga,
pendapatan per kapita, cuaca, spekulasi, dan aset finansial. Beberapa negara
anggota G20 termasuk Indonesia dan Italia menyatakan bahwa faktor utama dan
mendasar yang menjadi penyebab terjadinya volatilitas harga komoditas di pasar
global adalah dampak likuiditas yang berlebihan. Pasar keuangan secara
umum berfungsi sebagai penyedia likuiditas. Tetapi pada periode volatilitas
yang tinggi, kemampuan transfer sumber daya dan hedging menjadi terbatas,
sehingga volatilitas harga komoditas dipandang memberikan dampak negatif
yang beragam terhadap perekonomian dalam beberapa dimensi (Mboeik dan
Rakhmindyarto 2012).
Volatilitas harga pangan akan mempengaruhi kinerja ekonomi bukan hanya
dari sisi mikro namun juga makro. Secara mikro, harga yang tinggi memberikan
dampak negatif bagi rumah tangga dalam pengambilan keputusan konsumsi
pangan pokok (Timmer 2011). Secara makro, harga pangan yang berfluktuasi
akan mempengaruhi inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB). Inflasi dan PDB
sektor pertanian merupakan dua indikator makroekonomi yang akan dianalisis.
Alasan pemilihan dua indikator makroekonomi tersebut, pertama inflasi sangat
erat hubungannya dengan harga dan harga pangan saat ini menjadi penyebab
utama terjadinya inflasi. Kedua, PDB merupakan indikator makroekonomi yang
paling mudah menggambarkan pertumbuhan. Ketiga, PDB yang digunakan dalam
penelitan ini adalah PDB sektor pertanian yang berkontribusi sebesar 12.51 persen
terhadap PDB Indonesia pada tahun 2012. Sektor pertanian memberikan
kontribusi ketiga terbesar setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan,
hotel dan restoran. Kontribusi yang relatif besar terhadap PDB menjadikan sektor
pertanian memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sektor
pertanian memiliki lima sub sektor yaitu, kehutanan, peternakan, perikanan,
tanaman perkebunan dan tanaman pangan. Sub sektor tanaman pangan memiliki
5

andil sebesar 48.45 persen dalam sektor pertanian atau setara dengan 6.06 persen
terhadap PDB tahun 2012 (BPS 2013) dan merupakan penyumbang terbesar
dalam sektor pertanian.
Kontribusi tahunan setiap sektor terhadap PDB ditunjukkan oleh laju
pertumbuhannya. Laju pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2010 hingga
2012 sebesar 3.01; 3.37 dan 3.97 persen (BPS 2013). Tingginya peran sektor
pertanian terhadap laju pertumbuhan, diikuti dengan peningkatan laju
pertumbuhan pada sub sektor tanaman pangan seperti yang terdapat pada Gambar
3. Laju pertumbuhan PDB untuk sub sektor tanaman pangan berfluktuasi seperti
pada tahun 2008 dan 2009 memiliki laju pertumbuhan tertinggi dibandingkan
empat sektor lainnya, namun pada tahun tersebut laju pertumbuhannya memiliki
trend yang menurun. Sebaliknya pada tahun 2010 hingga 2012 yang menunjukkan
kecenderungan laju pertumbuhan yang meningkat walaupun besaran laju
pertumbuhan pada rentang waktu tersebut lebih rendah bila dibandingkan pada
rentang waktu 2008 dan 2009.

8
Laju Pertumbuhan (%)

6
4
2
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011* 2012**
-2
-4
Tahun

Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan


Peternakan Kehutanan
Perikanan

Sumber: BPS (2013)


Gambar 3. Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2012
Pentingnya peran pangan bagi perekonomian membuat pemerintah
melakukan berbagai kebijakan untuk mengelola volatilitas. Terdapat berbagai
macam instrumen untuk mengelola volatilitas agar tidak semakin tinggi, salah
satunya dengan kebijakan stabilisasi harga. Terdapat tiga instrumen untuk
stabilisasi harga pangan yaitu membuat cadangan pangan, mengontrol
perdagangan dan mengatur pasar finansial khususnya untuk komoditas pertanian.
Mengontrol perdagangan menurut Timmer (2011), merupakan cara yang paling
efektif dalam menstabilkan harga. Berdasarkan hasil konferensi G20, mitigasi
dampak negatif dari volatilitas harga pangan merupakan cara yang efektif untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (G20
Agriculture Minister 2011).
Berdasarkan uraian di atas, pangan merupakan kebutuhan primer dan
peranannya sangat strategis sehingga apabila terjadi volatilitas harga pangan akan
mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dampak
6

volatilitas harga pangan pokok terhadap indikator makroekonomi menjadi


pertanyaan penelitian utama. Secara spesifik pertanyaan dalam penelitian ini
adalah: (1) bagaimana tingkat volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok
(beras, jagung, dan kedelai), (2) apa saja yang mempengaruhi volatilitas harga
pangan, dan (3) bagaimana pengaruh volatilitas harga ketiga komoditas pangan
pokok terhadap indikator makroekonomi.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis dampak volatilitas harga


tiga komoditas pangan pokok terhadap pertumbuhan ekonomi. Secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengestimasi tingkat volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok (beras,
jagung, dan kedelai).
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan volatilitas harga pangan.
3. Menganalisis pengaruh volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok
terhadap indikator makroekonomi (inflasi dan PDB sektor pertanian).

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam lingkup nasional. Objek dalam penelitian ini
hanya mencakup tiga komoditas pangan yaitu beras, jagung, dan kedelai. Jenis
data yang digunakan adalah data deret waktu dengan rentang waktu dari Januari
tahun 1985 hingga Desember 2011. Data PDB yang dianalisis merupakan data
kuartalan yang dimulai dari kuartal 1 tahun 1985 sampai kuartal 4 tahun 2011.
Harga beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga beras
medium 25% broken. Harga jagung yang digunakan adalah jenis jagung pipilan
dan harga kedelai yang digunakan adalah harga rata-rata nasional. Oleh karena itu
dalam penelitian ini tidak dilakukan pembedaan komoditas pangan menurut
kualitas dan jenis, tetapi digunakan data jumlah komoditas yang diproduksi,
diminta dan diperdagangkan termasuk impor berdasar data yang tersedia.
Kebijakan perdagangan berupa tarif ekspor maupun impor tidak dijadikan
sebagai variabel penjelas dalam model penelitian ini karena data yang tidak
tersedia dalam periode bulanan. Indikator makroekonomi yang digunakan dalam
penelitian ini hanya inflasi dan PDB sektor pertanian.
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Volatilitas

Volatilitas adalah variasi dari variabel ekonomi sepanjang waktu. Variasi


harga menjadi masalah jika variasi tersebut besar dan tidak dapat diantisipasi
sehingga dapat meningkatkan risiko bagi produsen, konsumen dan pemerintah
(FAO et al. 2011). Volatilitas merupakan variasi harga pada nilai tengahnya
(Bourdon 2011). Volatilitas digunakan untuk mengukur seberapa jauh sebaran
nilai flukutasi terhadap nilai rata-rata pada data deret waktu (Asmara 2011).
Menurut Tothova (2011) volatilitas dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) volatilitas
historis, dan (2) volatilitas implisit. Volatilitas historis mengacu kepada
pergerakan harga yang terjadi pada masa lalu dan menggambarkan volatilitas pada
masa tersebut. Volatilitas implisit merupakan kebalikan dari volatilitas historis.
Volatilitas implisit bertujuan untuk mengestimasi volatilitas yang terjadi di masa
yang akan datang. Gilbert dan Morgan (2010) menyatakan volatilitas adalah
ukuran yang digunakan untuk membahas variabilitas harga atau kuantitas, yang
oleh para ekonom umumnya fokus pada standar deviasinya.
Volatilitas merupakan sebuah isu yang sangat komplek karena dapat
mempengaruhi banyak aspek seperti, ketahanan pangan, pasar finansial, dan
perdagangan (Miguez dan Michelena 2011). Volatilitas dalam ekonomi
berhubungan dengan harga suatu komoditas seperti komoditas pertanian.
Volatilitas harga yang terjadi di pasar tidak terjadi dengan sendirinya tanpa
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Volatilitas Harga

Volatilitas harga pangan pokok diduga dipengaruhi oleh hubungan antara


pasar energi dan pasar komoditas pertanian (Gilbert dan Morgan 2010;
Tangermann 2011; Hernandez 2012; Gilbert 2012;). Krisis pangan disebabkan
oleh kebutuhan energi dari sumberdaya terbarukan. Energi sumberdaya terbarukan
diperoleh melalui tanaman pangan seperti jagung dan kedelai. Tingginya
permintaan terhadap jagung dan kedelai, sedangkan penawaran tidak bertambah
menyebabkan terjadinya volatilitas harga pangan (Gilbert 2012).
Harga minyak dunia yang tinggi memicu penggunaan lebih banyak sumber
energi terbarukan yang berasal dari tanaman pangan. Harga minyak dunia yang
tinggi juga mempengaruhi harga input pertanian baik secara langsung maupun
tidak langsung serta persaingan penggunaan lahan yang digunakan untuk
konsumsi ataupun energi terbarukan (FAO et al. 2011).
Peningkatan konsumsi beberapa komoditas pangan di negara yang
permintaannya sedang tumbuh seperti China dan India menjadi penyebab lain
terjadinya volatilitas harga pangan (Tangermann 2011; dan Hernandez 2012).
Tumbuhnya konsumsi pangan di India dan China sebagai penyebab volatilitas
harga pangan masih menjadi perdebatan. Hal ini karena tumbuhnya permintaan
pangan di kedua negara tersebut terjadi sebelum krisis pangan tahun 2007 dan
konsumsi pangan kedua negara tersebut relatif stabil selama krisis pangan. Namun
terdapat dua pendekatan tidak langsung mengapa konsumsi pangan di kedua
negara tersebut mempengaruhi volatilitas harga pangan. Pertama, karena
8

pertumbuhan besar-besaran sedang terjadi di kedua negara tersebut yang menjadi


pemicu rendahnya stok pangan internasional. Kedua, adanya bencana kekeringan
di India yang menyebabkan produksi gandum India berkurang sehingga
mempengaruhi harga gandum internasional (Tangermann 2011).
Harga pangan meningkat disebabkan oleh produksi dan konsumsi pangan
yang bervariasi. Adanya guncangan produksi dan konsumsi pangan yang
disebabkan oleh elastisitas permintaan dan penawaran mengakibatkan terjadinya
volatilitas harga (Gilbert dan Morgan 2010; HLPE 2011; Torero 2011; Braun dan
Tadesse 2012). Faktor lain yang menyebabkan volatilitas harga pangan adalah
stok (Gilbert dan Morgan 2010; Tothova 2011; FAO et al. 2011). Stok pangan
dunia telah mengalami penurunan sejak sepuluh tahun lalu, namun stok bahan
pangan pokok dunia relatif terhadap penggunaan mengalami penurunan terendah
pada tahun 2006 hingga 2008. Penurunan stok pangan dunia disebabkan oleh
beberapa faktor seperti, penurunan pertumbuhan komoditas pertanian akibat
produktivitas dan harga yang rendah, selain itu perubahan kebijakan stok
pertanian yang ditetapkan oleh Uni Eropa dan China juga mempengaruhi
rendahnya stok pangan dunia (Tangermann 2011).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa selain masalah energi, faktor-faktor
yang menyebabkan volatilitas harga pangan adalah perubahan iklim dan cuaca
yang berdampak terhadap produksi dan pasar (Gilbert dan Morgan 2010; Tothova
2011; Tangermann 2011). Perubahan iklim dan cuaca menyebabkan terjadinya
beberapa bencana alam seperti kekeringan, banjir dan cuaca panas yang ekstrim,
sehingga dapat menurunkan produksi pertanian (FAO et al. 2011).
Volatilitas harga kedelai Amerika Serikat dipengaruhi oleh kebijakan
energi, nilai tukar mata uang dollar Amerika Serikat terhadap tiga nilai mata uang
negara lain yaitu Argentina; Brazil; dan China serta spekulasi kebijakan finansial
(Hernandez 2012). Spekulasi dapat memberikan dampak positif maupun negatif
terhadap volatilitas. Spekulasi dipicu oleh investasi pada pasar komoditas yang
mengambil keuntungan pada saat harga berfluktuasi. Apabila keuntungan yang
ditawarkan dari investasi semakin tinggi, maka akan meningkatkan likuiditas
sehingga volatilitas akan meningkat (Gilbert dan Morgan 2010; HLPE 2011).
Populasi dan pendapatan yang meningkat di negara berkembang serta
kebijakan pertanian yang tidak sesuai di beberapa negara mengakibatkan
volatilitas harga pangan (FAO et al. 2011). Populasi dan pendapatan yang
meningkat menyebabkan peningkatan permintaan untuk pangan. Penduduk dunia
pada tahun 2050 diramalkan akan mencapai jumlah 9 miliar orang. Tingginya
jumlah permintaan pangan membuat harga pangan akan meningkat dan pada
tahun 2019 harga pangan dunia akan lebih tinggi dibandingkan harga pangan pada
tahun 2007/2008.
Variabel makroekonomi seperti inflasi, suku bunga, dan penawaran uang
mempengaruhi perkembangan makroekonomi dunia dan merupakan salah satu
penyebab terjadinya volatilitas harga pangan (Tangermann 2011). Rendahnya
suku bunga dan meningkatnya penawaran uang di Amerika Serikat menyebabkan
perubahan investasi dari pasar finansial menjadi pasar aset fisik.
Faktor-faktor yang diduga menyebabkan volatilitas dapat dijadikan sebagai
indikasi untuk mengetahui apakah volatilitas terjadi atau tidak. Langkah
selanjutnya yang dilakukan adalah menghitung besarnya volatilitas dan faktor-
faktor yang mempengaruhi volatilitas menggunakan alat analisis yang sesuai.
9

Berbagai macam alat analisis yang ada sebagian besar menggunakan pendekatan
ekonometrika untuk mengukurnya.

Mengukur Dampak Volatilitas Harga

Volatilitas harga pangan dan identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan


volatilitas harga pangan dalam penelitian ini akan didekati menggunakan model
yang sama yaitu Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized
Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH-GARCH). Model ARCH-
GARCH merupakan salah satu model yang dapat digunakan pada data deret
waktu apabila terdapat masalah heteroskedastisitas.
Model ARCH maupun model GARCH sama-sama dapat digunakan untuk
menghitung volatilitas. Beberapa penelitian tentang volatilitas harga pangan
diukur menggunakan GARCH seperti yang telah dilakukan oleh Gilbert dan
Morgan 2010; Shiferaw 2012. Dalam penelitian ini, model ARCH merupakan
model yang digunakan untuk menghitung volatilitas harga ketiga komoditas
pangan. Selain model ARCH-GARCH, alat analisis lainnya yang dapat digunakan
untuk menghitung volatilitas adalah distribusi normal dan distribusi student-t
(Onour dan Sergi 2011) serta standard deviation of returns (Kose et al. 2005;
Minot 2012).
Penelitian menggunakan model GARCH dapat ditempuh dengan jenis
model yang berbeda-beda. Shiferaw (2012) menggunakan model GARCH (1,1);
GARCH (1,2); GARCH (2,1), sedangkan Gilbert dan Morgan (2010) hanya
menggunakan GARCH (1,1). Shiferaw (2012) bertujuan untuk menganalisis
volatilitas harga tiga komoditas pertanian di Ethiopia, yaitu kelompok sereal,
kacang-kacangan dan minyak yang dihasilkan dari tanaman pangan. Hasil yang
didapat yaitu volatilitas harga terjadi secara terus menerus pada ketiga komoditas
tersebut.
Hasil penelitian Gilbert dan Morgan (2010) menunjukkan bahwa volatilitas
harga pertanian lebih rendah dibandingkan kenaikan harga pada tahun 1970-an
dan 1980-an. Penelitian Onour dan Sergi (2011) bertujuan menganalisis volatilitas
harga pangan dunia. Hasil analisis menyatakan bahwa distribusi student-t lebih
baik dibandingkan distribusi normal. Model distribusi student-t digunakan untuk
menganalisis enam komoditas pertanian yaitu gandum, beras, gula, daging sapi,
kopi dan kacang tanah pada periode Oktober 1984 hingga September 2009.
Penelitian Minot (2012) bertujuan untuk mempelajari model serta trend
volatilitas harga yang terjadi di Afrika. Komoditas yang diteliti oleh Minot
sebanyak sepuluh bahan pangan pokok yaitu, kacang-kacangan, roti, minyak
goreng, jagung, beras, gandum, millet, sorghum, teff dan cowpeas. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa harga pangan pada rentang waktu 2007-2010
mengalami volatilitas yang tinggi, namun di wilayah Afrika volatilitas harga
pangan tidak menunjukkan peningkatan.
Volatilitas harga pangan atau komoditas yang diperdagangkan sangat erat
kaitannya dengan kinerja makroekonomi. Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk melihat hubungan antara volatilitas dengan kinerja makroekonomi dan
pertumbuhan ekonomi seperti pada penelitian Kargbo (2005); Apergis dan Rezitis
(2011); dan Choi dan Kim (2012).
10

Harga pangan yang tinggi di Afrika khususnya wilayah Afrika barat selama
lebih dari dua dekade menyebabkan volatilitas harga dan mempengaruhi kinerja
ekonomi wilayah tersebut. Penelitian Kargbo (2005) melihat dampak
meningkatnya harga pangan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
makroekonomi. Alat analisis yang digunakan adalah Vector Error Correction
Model (VECM). Penelitian Kargbo memperlihatkan bahwa guncangan harga
pangan memiliki dampak yang signifikan terhadap produksi pangan domestik dan
merupakan penyebab utama ketidakstabilan kondisi makroekonomi di wilayah
Afrika barat.
Apergis dan Rezitis (2011) menggunakan alat analisis berupa model
GARCH dan GARCH-X untuk mengestimasi volatilitas harga pangan di Yunani,
serta hubungannya dengan faktor makroekonomi dalam jangka pendek. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara volatilitas
harga dan faktor ekonomi.
Choi dan Kim (2012) menggunakan GARCH dan Vector Autoregressive
(VAR) untuk mengetahui pengaruh volatilitas harga komoditi dengan kondisi
ekonomi makro di negara-negara G20. Hubungan antara volatilitas harga pangan
dengan indikator makroekonomi di sektor pangan merupakan hal yang ingin
dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini. Salah satu indikator makroekonomi
yang ingin diestimasi adalah inflasi.

Volatilitas dan Inflasi

Kenikan harga-harga secara umum atau biasa disebut dengan inflasi bisa
disebabkan oleh berbagai faktor makroekonomi, pasar komoditas maupun pasar
energi (yang akhirnya menyebabkan kenaikan barang-barang lain). Tingginya
harga pangan seperti beras dan gandum yang menjadi makanan pokok bagi
masyarakat di negara berkembang di Asia telah menyumbang kenaikan inflasi
lebih kurang 10 persen pada Januari 2011 (ADB 2011). Inflasi yang disebabkan
oleh kenaikan harga pangan dunia harus terus menjadi perhatian utama
pemerintah di berbagai negara khususnya negara berkembang dan miskin.
Para ahli membedakan inflasi menjadi inflasi pangan dan non pangan
(Walsh 2011; Hossain dan Rafiq 2012). Inflasi pangan menurut Walsh dapat
menjadi besar jika guncangan harga pangan lebih volatil dibandingkan guncangan
harga non pangan terutama pada saat terjadi krisis pangan. Inflasi makanan secara
keseluruhan cenderung lebih tinggi dan lebih stabil dibandingkan inflasi non
makanan khususnya pada negara-negara berkembang dan miskin. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hossain dan Rafiq di
Bangladesh. Beras dan gandum sebagai pangan pokok bagi negara tersebut
mengalami peningkatan karena harga internasional yang tinggi. Harga beras
meningkat 61 persen dan gandum meningkat 30 persen pada tahun 2009-2010.
Kenaikan harga pangan berimplikasi terhadap penurunan kesejahteraan penduduk
terutama penduduk miskin karena sebagian besar pendapatan digunakan untuk
konsumsi pangan. Harga pangan yang meningkat hingga 10 persen dapat
mendorong kenaikan kemiskinan hingga 1.9 persen di negara berkembang di Asia
(ADB 2011).
Inflasi baik pangan maupun non pangan menurut penyebabnya dibedakan
menjadi dua yaitu dari sisi permintaan maupun penawaran. Berdasarkan beberapa
11

kajian, inflasi cenderung berasal dari sisi penawaran. Penelitian di Tanzania yang
dilakukan oleh Adam et al. (2012) mengemukakan bahwa inflasi makanan
bersumber dari sisi penawaran baik yang disebabkan oleh ouput pertanian
domestik maupun harga dunia untuk pangan dan energi. Transmisi inflasi yang
berasal dari harga pangan dunia akan lebih berpengaruh jika harga dunia
meningkat dibandingkan ketika harga dunia turun walaupun hubungan antara
inflasi dan harga pangan dunia cenderung lemah. Hasil penelitian Irawan (2005)
yang bertujuan untuk menganalisis gejolak harga input dan output pertanian serta
kausalitas keduanya menunjukkan bahwa inflasi sektor pertanian berasal dari sisi
penawaran (cost-push inflation) yaitu dari harga-harga material pertanian. Harga
output pertanian hanya memiliki hubungan searah dengan harga material
pertanian. Harga material pertanian memiliki hubungan dua arah dengan upah
tenaga kerja. Kebijakan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah
untuk menjaga kestabilan sektor pertanian khususnya harga input, pemerintah
dituntut untuk menjaga kestabilan harga output pertanian terlebih dahulu.
Kinerja makroekonomi, selain dapat didekati melalui inflasi juga dapat
didekati melalui pertumbuhan ekonomi (PDB). Dampak yang ditimbulkan akibat
inflasi atau pun pertumbuhan dapat berbeda. Volatilitas harga pangan cenderung
memiliki pengaruh positif terhadap inflasi, namun pada pertumbuhan ekonomi
hasil yang diperoleh dapat berbeda dengan inflasi.

Volatilitas dan Pertumbuhan Ekonomi

Hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan ekonomi memiliki pengertian


yang berbeda-beda. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa hubungan
diantara keduanya bisa negatif maupun positif. Penelitian Kose et al. (2005)
menunjukkan bahwa perdagangan dan integrasi finansial diduga mempengaruhi
hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan. Negara yang menerapkan
perdagangan bebas lebih mudah menghadapi trade-off antara pertumbuhan dan
volatilitas. Integrasi finansial merupakan faktor yang dapat memperkuat hubungan
negatif antara pertumbuhan dan volatilitas.
Harga pangan yang selalu meningkat dapat menurunkan tingkat
pertumbuhan di banyak negara (UNCTAD 2012). Negara yang menerima
keuntungan dari terms of trade adalah negara yang memiliki tingkat pertumbuhan
dan investasi yang rendah. Proses pertumbuhan di negara-negara berkembang
relatif rendah karena tidak ada keinginan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pertumbuhan itu sendiri. Negara miskin ataupun berkembang dapat
dengan mudah memulai pertumbuhan, namun sulit untuk mempertahankannya.
Pertumbuhan yang tidak stabil disebabkan oleh goncangan eksternal seperti harga
komoditas. Volatilitas harga timbul karena harga komoditas termasuk komoditas
pertanian mengalami peningkatan dan penurunan tajam. Cara yang ditawarkan
untuk mengelola volatilitas dengan mengkombinasikan berbagai kebijakan.
Kebijakan yang dapat dilakukan dengan transparansi pasar dan meminimalkan
dampak buruk dari pertumbuhan makroekonomi akibat volatilitas harga
komoditas. Varibel makroekonomi yang digunakan untuk mengukur pengaruh
makroekonomi terhadap pertumbuhan adalah inflasi dan nilai tukar.
Hubungan antara volatilitas dengan pertumbuhan adalah negatif seperti hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995);
12

Dabušinskas et al. (2012); Choi dan Kim (2012); Cavalcanti et al (2012); Safdar
et al (2012). Volatilitas yang diteliti tidak terbatas hanya volatilitas harga, namun
juga volatilitas makroekonomi dan volatilitas pertanian.
Penelitian yang dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995) memiliki
tujuan untuk membuktikan bahwa volatilitas ekonomi berhubungan dengan
pertumbuhan. Penelitian ini dilakukan di 92 negara yang termasuk dalam negara-
negara OECD dengan menggunakan data deret waktu dari tahun 1962 sampai
1985. Hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan ekonomi menurut hasil
penelitian Ramey G dan Ramey VA (1995) adalah negatif. Jika volatilitas di suatu
negara tinggi, maka pertumbuhannya akan rendah, namun apabila diasumsikan
tidak ada hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan, maka terdapat elemen
yang hilang dalam lingkaran bisnis. Adanya hubungan yang kuat antara fluktuasi
pengeluaran pemerintah dan volatilitas memperkuat bukti bahwa antara volatilitas
dan pertumbuhan memiliki hubungan negatif. Hasil penelitian ini juga
menyatakan bahwa tidak ada perubahan yang disebabkan oleh penambahan
variabel investasi terhadap hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan.
Penelitian yang dilakukan oleh Dabušinskas et al. (2012) bertujuan untuk
menghitung dampak volatilitas makroekonomi terhadap perkembangan ekonomi.
Tujuan khusus penelitian ini adalah mengestimasi volatilitas makroekonomi dan
biaya yang harus ditanggung akibat penurunan pertumbuhan. Penelitian
Dabušinskas et al ingin meneruskan sekaligus membuktikan kembali hasil
peneltian yang dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995) apakah masih
relevan dengan menggunakan data dari tahun 1980 hingga 2010 dan jumlah
negara ditambah menjadi 121 negara. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
kenaikan volatilitas akan menurunkan pertumbuhan. Apabila volatilitas meningkat
sebesar 50 persen maka pertumbuhan per kapita akan berkurang sebesar 0.4
persen. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa volatilitas memang berhubungan
negatif dengan pertumbuhan sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Ramey
G dan Ramey VA (1995). Hasil penelitian lain yang membuktikan bahwa
volatilitas berhubungan negatif dengan pertumbuhan adalah Choi dan Kim (2012).
Penelitian Choi dan Kim dilakukan terhadap ekonomi negara-negara G20,
menyimpulkan bahwa volatilitas harga komoditas energi dan non energi
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dampak volatilitas harga komoditas terms of trade terhadap tiga sumber
pertumbuhan ekonomi yaitu produktivitas faktor total, akumulasi kapital dan
tenaga kerja dianalisis oleh Cavalcanti et al. (2012). Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis dampak volatilitas terhadap tiga sumber pertumbuhan dan
mengetahui apakah volatilitas merupakan penyebab “kutukan sumberdaya”. Para
ekonom mencoba untuk menganalisis hubungan antara sumberdaya alam dengan
pertumbuhan ekonomi. Periode data yang digunakan dari tahun 1970 sampai 2007
untuk 118 negara. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa volatilitas akan
memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan yaitu menurunkan akumulasi
modal dan tenaga kerja ketika pertumbuhan komoditas terms of trade
meningkatkan output riil per kapita. Hasil yang menarik terjadi pada sumber
pertumbuhan yaitu produktivitas faktor total yang tidak berpengaruh terhadap
volatilitas. Dampak negatif dari volatilitas komoditas terms of trade dapat
diimbangi dengan dampak positif dari ledakan komoditas dan ekspor bahan
mentah dari negara yang kaya akan sumberdaya dapat meningkatkan pertumbuhan
13

ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyebab


paradoks “kutukan sumberdaya” lebih mengarah kepada volatilitas dibandingkan
dengan sumberdaya alam yang melimpah di suatu negara.
Pertanian merupakan sektor penting dalam perekonomian di negara
berkembang seperti Pakistan. Dampak volatilitas pertanian memiliki dampak
terhadap pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang diteliti oleh Safdar et al.
(2012). Pertumbuhan ekonomi dilihat dari PDB yang diduga dipengaruhi oleh
volatilitas, tenaga kerja dan produktivitas pertanian. Hasil yang diperoleh
menyatakan bahwa volatilitas pertanian memiliki dampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Volatilitas pertanian yang tinggi mengakibatkan risiko
investasi di bidang pertanian relatif besar sehingga investasi menjadi lemah yang
menyebabkan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Produktivitas pertanian dan
tenaga kerja memiliki hubungan positif terhadap pertumbuhan (PDB). Safdar et
al. (2012) memberikan beberapa implikasi kebijakan untuk menghadapi tingginya
volatilitas yaitu dengan cara mengendalikan volatilitas itu sendiri, meningkatkan
kemampuan pengetahuan dan keterampilan kepada para petani agar dapat
mengadopsi teknologi baru dan membangun infrastruktur.
Tingginya harga pangan menimbulkan berbagai masalah ekonomi baik dari
sisi mikro maupun makro. Harga pangan dunia yang bervariasi menimbulkan
dampak volatilitas harga. Berbagai kebijakan coba dirumuskan oleh para ahli
untuk mengatasi volatilitas harga pangan khususnya setelah kejadian krisis
pangan global.

Kebijakan Mengelola Volatilitas

Volatilitas harga pangan dunia tidak dapat dihindari setelah lebih dari tiga
dekade tidak pernah terjadi. Krisis pangan tahun 2007/2008 dan 2010/2011
merupakan puncak dari kenaikan harga pangan. Volatilitas harga merupakan hal
yang tidak dapat dihindari pada pasar pertanian. Volatilitas harga tidak dapat
dihilangkan, namun dapat diminimalisir dampaknya melalui berbagai kebijakan
baik lokal maupun internasional.
Menurut Timmer (2011), terdapat beberapa kebijakan yang dapat ditempuh
untuk mengatasi volatilitas harga pangan. Kebijakan stabilisasi harga dapat
menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi volatilitas, namun dalam
pelaksanaannya sering mengalami kegagalan. Kegagalan dalam stabilisasi harga
karena tidak dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Kebijakan stabilisasi
harga merupakan jenis kebijakan yang paling banyak dipilih oleh negara-negara
yang terkena dampak guncangan harga. Menurut Bank Dunia (2010) dari 56
negara yang disurvei, 23 negara memilih untuk menerapkan kebijakan stabilisasi
harga untuk menanggulangi masalah ketidaksatbilan harga walaupun terbukti
kebijakan tersebut tidak efisien. Mongolia dan Zimbabwe merupakan contoh dua
negara yang menerapkan stabilisasi harga akan tetapi menimbulkan kerugian
terhadap produsen karena produsen menjual produknya di bawah harga pasar.
Kebijakan kedua yang dikemukakan oleh Timmer adalah kebijakan jaring
pengaman sosial yang ditujukan untuk penduduk miskin. Kebijakan ini dapat
dijalankan dengan baik asalkan memiliki rencana yang matang untuk
diimplementasikan kepada masyarakat. Kebijakan jaring pengaman sosial ini juga
memiliki kelemahan yaitu memerlukan banyak biaya untuk melaksanakannya.
14

Kebijakan alternatif ketiga yaitu dengan cara mengawasi perdagangan


internasional dan pasar finansial untuk kelompok pangan. Gilbert (2012)
mengemukakan cara lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi volatilitas harga
beras yaitu dengan mendisiplinkan negara pengekspor beras dalam menetapkan
kebijakan larangan perdagangan sesuai aturan yang ditetapkan WTO.
Kebijakan untuk mengatasi volatilitas harga juga dapat dilakukan dengan
memisahkan peran pemerintah dan swasta. Pemerintah berperan untuk
menegakkan hukum dan institusi agar pihak swasta dapat mengurangi risiko
ketidakpastian harga. Kebijakan penting lainnya untuk mengurangi volatilitas
adalah keterbukaan informasi pasar dan kebijakan pembangunan pertanian yang
mengutamakan peningkatan pendapatan khususnya di perdesaan (Tangermann
2011).
Ketersediaan cadangan pangan bagi kebutuhan dalam negeri merupakan
cara lain untuk mengatasi volatilitas harga (Timmer 2011; Tangermann 2011).
Setiap negara baik eksportir maupun importir seharusnya memiliki cadangan
pangan, sehingga dapat mencegah harga meningkat dengan tajam. Cadangan
pangan dunia harus diwujudkan secara bersama-sama dan merupakan bagian dari
kerjasama internasional (Timmer 2011). Terdapat tiga tipe cadangan pangan baik
domestik maupun internasional, yaitu (1) cadangan pangan nasional yang berguna
untuk negara pengimpor apabila harga pangan sangat tinggi dan tidak
memungkinkan untuk membeli pangan, (2) cadangan pangan internasional yang
dikelola oleh organisasi internasional dan terdapat di beberapa lokasi yang
bertujuan untuk menyediakan cadangan pangan bagi negara berkembang yang
tidak siap menghadapi krisis pangan ekstrim, dan (3) lembaga internasional
seperti International Grain Clearing Arrangements (IGCA) harus dapat menjadi
penyokong cadangan pangan bagi negara-negara eksportir apabila negara-negara
tersebut gagal melakukan ekspor.
Volatilitas harga yang terjadi di berbagai negara menimbulkan kerugian
baik dari aspek perekonomian maupun aspek sosial politik karena pangan
merupakan hal pokok bagi seluruh masyarakat, sehingga pemenuhannya harus
dapat dijamin oleh negara. Indonesia juga tidak luput dari masalah volatilitas
harga pangan, terdapat empat alternatif untuk mengurangi volatilitas harga pangan
di Indonesia yang direkomendasikan oleh Bank Dunia (2010).
Kebijakan pertama yaitu dengan sistem pemantauan harga yang efektif.
Kedua adalah menilai dampak perubahan harga komoditas terhadap
perekonomian. Ketiga adalah melakukan perhitungan analisis biaya dan manfaat
untuk memberikan penilaian terhadap berbagai alternatif kebijakan yang
ditawarkan. Keempat adalah membentuk sistem pemantauan perubahan harga
agar dapat mengamati tanggapan yang diberikan masyarakat terhadap perubahan
haraga yang dilakukan dan apabila kebijakan yang diterapakan tidak cocok dapat
segera mengganti instrumen kebijakan.
Sistem pemantauan perubahan harga yang intensif dan komprehensif perlu
dikembangkan dengan mencakup unsur-unsur seperti: (1) program jaring
pengaman sosial yang lebih baik, (2) penerapan kebijakan perdagangan secara
cerdas, (3) perbaikan infrastruktur, (4) perbaikan sistem hukum, (5) pengurangan
atau penghapusan pembatasan perdagangan, (6) pertimbangan untuk mencabut
subisidi bahan bakar minyak, dan (7) pengelolaan kebijakan fiskal.
15

Kerangka Teoritis

Teori Pertumbuhan Neoklasik

Model pertumbuhan neoklasik yang dikemukakan oleh Robert Solow


merupakan model pertumbuhan yang banyak dipakai sebagai acuan hingga saat
ini. Model pertumbuhan Solow dibangun untuk mengetahui hubungan antara
pertumbuhan persediaan modal atau kapital, angkatan kerja atau tenaga kerja dan
teknologi dalam perekonomian serta pengaruhnya terhadap barang dan jasa suatu
negara secara keseluruhan (Mankiw 2002). Model Solow mengasumsikan bahwa
teknologi merupakan faktor eksogen dan digunakan untuk menjelaskan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, sehingga model Solow juga dapat
disebut sebagai model pertumbuhan eksogen. Model Solow memiliki prinsip skala
pengembalian yang terus berkurang (diminishing return to scale) apabila modal
dan tenaga kerja dianalisis secara terpisah, namun apabila dianalisis secara
bersamaan, maka asumsi yang digunakan adalah skala pengembalian konstan
(constant return to scale) (Todaro dan Smith 2006).
Penawaran barang dalam model Solow berasal dari fungsi produksi
(Mankiw 2002). Fungsi produksi dipengaruhi oleh tenaga kerja dan modal yang
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Y = F(K,L) ................................................................................................ (2.1)
Model Solow mengasumsikan skala pengembalian konstan, sehingga jika
masing-masing input dinaikkan sebesar z yang bernilai positif, maka output akan
meningkat dengan jumlah yang sama yaitu z. Oleh karena itu apabila z dimisalkan
dengan z = 1/L, maka fungsi produksi dapat dianalisis dengan membandingkan
seluruh variabel dengan jumlah angkatan kerja.
Y/L = F(K/L, 1) ........................................................................................ (2.2)
Berdasarkan persamaan (2.2) maka besarnya perekonomian tidak
mempengaruhi hubungan antara output per pekerja dan modal per pekerja. Output
per pekerja dapat disederhanakan menjadi y = Y/L dan modal per pekerja dapat
disederhanakan menjadi k = K/L.
y = f(k) ...................................................................................................... (2.3)
Permintaan barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi.
Sama seperti pada persamaan fungsi produksi untuk penawaran barang, pada
permintaan barang output per pekerja dipengaruhi oleh konsumsi per pekerja dan
investasi per pekerja.
y = c + i .................................................................................................... (2.4)
Dalam model Solow, setiap orang diasumsikan menabung s sebagian dan
mengkonsumsi sebagian (1-s) dari pendapatannya. Berdasarkan persamaan (2.5)
dapat dinyatakan bahwa tingkat tabungan merupakan bagian dari output yang
menunjukkan investasi.
y = (1-s)y + i ............................................................................................. (2.5)
i = sy ......................................................................................................... (2.6)
i = sf(k) ..................................................................................................... (2.7)
Persediaan modal dipengaruhi oleh dua faktor yaitu investasi dan depresiasi.
Investasi menyebabkan persediaan modal bertambah karena digunakan untuk
perluasan usaha dan peralatan baru. Depresiasi δ menyebabkan modal berkurang
karena dipakai untuk membiayai modal. Dampak investasi dan depresiasi
16

terhadap persediaan modal dapat dinyatakan seperti pada persamaan (2.8) dan
(2.9).
∆k = i – δk ................................................................................................. (2.8)
∆k = sf(k) – δk .......................................................................................... (2.9)
Kondisi mapan k* merupakan kondisi pada saat investasi sama dengan
depresiasi dan menunjukkan bahwa jumlah modal tidak akan berubah sepanjang
waktu. Apabila investasi melebihi depresiasi maka persediaan modal akan
tumbuh. Sebaliknya jika investasi lebih besar dibanding depresiasi maka
persediaan modal menyusut.
Teknologi merupakan faktor eksogen dalam model pertumbuhan Solow.
Apabila teknologi dimasukkan kedalam model Solow maka dapat dilambangkan
dengan E yang disebut efisiensi tenaga kerja. Bentuk kemajuan teknologi disebut
pengoptimalan tenaga kerja. Dalam persamaan (2.10) notasi E dikalikan dengan
tenaga kerja yang digunakan untuk mengukur jumlah para pekerja efektif
sehingga persamannya menjadi:
Y = F(K, L x E) ........................................................................................ (2.10)
Persamaan (2.10) dapat disederhanakan seperti pada persamaan (2.3),
dengan membagi Y, K dan L x E dengan L x E sehingga didapat hasil k yang
menyatakan modal per pekerja efektif dan y sebagai output per pekerja efektif.
Dampak perubahan modal per pekerja efektif tidak lagi hanya dipengaruhi oleh
investasi dan depresiasi, namun juga dipengaruhi oleh populasi n dan tingkat
kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja g. Persamaan dari
perubahan modal per pekerja efektif dapat dilihat pada persamaan (2.11) yang
dituliskan sebagai berikut:
∆k = sf(k) – (δ + n + g)k .......................................................................... (2.11)
Kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja pada tingkat g
dapat mempengaruhi model pertumbuhan Solow. Apabila jumlah pekerja efektif
meningkat akan menurunkan modal k. Pada kondisi mapan k* yang ditunjukkan
pada Gambar 4, investasi dapat menutupi penurunan k yang berhubungan dengan
depresiasi, populasi dan teknologi.

Investasi, Investasi pulang pokok , (δ + n +g )k


Investasi
Pulang
pokok

k* Modal per pekerja efektif k


Kondisi mapan
Sumber: Mankiw (2002)
Gambar 4 Kurva pertumbuhan Solow
17

Teori Pertumbuhan Endogen

Teori pertumbuhan endogen lahir karena terdapat ketidakpuasan pada teori


pertumbuhan neoklasik (Dornbusch et al. 2008). Teori pertumbuhan neoklasik
tidak dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
teknologi pada jangka panjang dan teknologi dianggap sebagai faktor eksogen.
Dalam teori pertumbuhan endogen menekankan pada pertumbuhan yang berbeda
antara modal fisik dan modal pengetahuan. Pada model pertumbuhan neoklasik
mengasumsikan bahwa modal fisik memiliki skala hasil yang semakin menurun
(diminishing marginal returns), namun pada model pertumbuhan endogen
pandangan tersebut dirubah menjadi skala hasil konstan. Teori pertumbuhan
endogen mengasumsikan bahwa modal pengetahuan termasuk salah satu jenis
modal, maka dengan skala hasil konstan (constant return to scale), pengetahuan
dan teknologi yang kian meningkat akan membuat pertumbuhan ekonomi
semakin meningkat pula pada jangka panjang.
Tabungan dan investasi pada pertumbuhan neoklasik jika dianalisis secara
parsial memiliki skala hasil yang berkurang seperti pada Gambar 4, namun pada
pertumbuhan endogen asumsi tersebut telah berubah yang ditunjukkan pada
Gambar 5. Tabungan dan investasi memiliki kurva yang tidak lagi melengkung
dan cenderung untuk menurun namun lurus dan berslope positif. Bentuk kurva
seperti itu membuat tabungan selalu lebih besar dibandingkan investasi yang
dibutuhkan. Semakin besar tabungan, maka kesenjangan antara tabungan dan
investasi semakin besar yang membuat pertumbuhan akan semakin cepat.

y (a)
f(k)

sf(k)

(n + d)k

k
Modal per orang
(b)
Sumber: Dornbusch et al. (2008)
Gambar 5 Kurva pertumbuhan endogen

Volatilitas dan Pertumbuhan

Teori pertumbuhan modern ditandai dengan lahirnya teori pertumbuhan


endogen yang memiliki fungsi Y = aK. Dalam persamaan tersebut, output Y
berhubungan positif dengan modal (K) dan marginal product of capital (a).
Apabila tabungan diasumsikan konstan, maka tingkat pertumbuhan akan
berpengaruh positif terhadap tabungan. Tingkat tabungan dipengaruhi oleh
volatilitas makroekonomi. Hubungan volatilitas makroekonomi dengan
18

pertumbuhan menghasilkan kesimpulan yang saling bertolak belakang (Aghion


dan Banerjee 2005). Pertama, jika volatilitas makroekonomi meningkat maka
masyarakat akan menyimpan lebih banyak uang untuk berjaga-jaga dalam bentuk
tabungan, sehingga tingkat keseimbangan tabungan menjadi naik dan
pertumbuhan meningkat. Kedua, jika volatilitas makroekonomi tinggi akan
mengurangi konsumsi untuk pengeluaran investasi, sehingga mengurangi
tabungan yang mengakibatkan pertumbuhan menurun. Kedua hubungan tersebut
bergantung kepada elastisitas substitusi individu terhadap konsumsi setiap waktu.

Teori ARCH-GARCH

Volatilitas merupakan kondisi yang tidak stabil, bervariasi dan sulit


diperkirakan. Volatilitas tinggi sering terjadi pada data deret waktu seperti, data
indeks harga saham, tingkat bunga, nilai tukar, inflasi dan sebagainya. Model
Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) dan Generalized
Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH) digunakan untuk
mengestimasi data yang memiliki volatilitas tinggi. Penelitian menggunakan
GARCH telah dilakukan oleh Gilbert dan Morgan (2010); Apergis dan Rezitis
(2011); Shiferaw (2012). Dampak dari data yang memiliki volatilitas tinggi adalah
variance dan error tidak konstan atau sering disebut heteroskedastisitas.
Heteroskedastisitas merupakan salah satu pelanggaran asumsi pada metode
Ordinary Least Square (OLS). Apabila terjadi heteroskedastisitas dugaan
parameter regresi tidak bias dan masih konsisten, namun standard error dan
interval keyakinan menjadi terlalu besar sehingga pengambilan keputusan dapat
menyesatkan (Juanda dan Junaidi, 2012).
Model ARCH pertama kali diperkenalkan oleh Engle (1982) yang
menganalisis adanya masalah ragam residual dalam data deret waktu. Ragam
residual yang berubah-ubah terjadi karena ragam residual tidak hanya fungsi dari
peubah bebas, tetapi juga tergantung pada residual di masa lalu. Proses
pembentukan model ARCH misalnya dengan membangun model regresi linier
dengan persamaan berikut:
Yt = β0 + β1Xt + et .................................................................................... (2.12)
Model ARCH digunakan untuk mengestimasi data yang memiliki volatilitas
tinggi. Volatilitas tinggi artinya data pada suatu periode memiliki fluktuasi dan
residual yang tinggi dan pada periode berikutnya fluktuasi serta residualnya
rendah, sehingga ragam residual akan sangat bergantung pada ragam residual
periode sebelumnya. Persamaan ragam residual dalam model ARCH adalah
sebagai berikut:
σ 2t = α0 + α1e2t-1 ....................................................................................... (2.13)
Persamaan (2.13) terdiri dari ragam residual (σ 2t) yang memiliki unsur
konstanta (α0) dan kuadrat residual periode yang lalu (e2t-1). Model dari residual et
adalah conditional heteroscedasticity pada residual e2t-1. Persamaan (2.13)
merupakan model ARCH (1) karena ragam dari residual et hanya dari fluktuasi
residual kuadrat satu periode sebelumnya. Jika ragam residual tergantung dari
fluktuasi residual kuadrat beberapa periode sebelumnya (lag p), maka model
ARCH dapat disimbolkan dengan ARCH (p) yang persamaannya dapat dituliskan
sebagai berikut:
σ 2t = α0 + α1e2t-1 + α1e2t-2 + α1e2t-3 + ... + αpe2t-p........................................(2.14)
19

Bollerslev (1986) merupakan orang yang pertama kali mengemukakan


model GARCH. Menurut Bollerslev ragam residual tidak hanya tergantung dari
residual periode yang lalu, tetapi juga tergantung dari ragam residual periode
sebelumnya. Pembentukan model GARCH sama seperti pada model ARCH
dengan membangun model regresi linier sederhana. Perbedaan kedua model
terletak pada ragam residual periode lalu yang tidak terdapat pada model ARCH.
Persamaan model GARCH dapat dituliskan sebagai berikut:
Yt = β0 + β1Xt + et .................................................................................. (2.15)
σ 2t = α0 + α1e2t-1 + λ1 σ 2t-1 ...................................................................... (2.16)
Persamaan (2.16) disebut sebagai GARCH (1,1) karena ragam residual
hanya dipengaruhi oleh residual satu periode sebelumnya dan ragam residual satu
periode sebelumnya. Jika ragam residual tergantung dari fluktuasi residual kuadrat
beberapa periode sebelumnya (lag p unsur ARCH) dan ragam residual beberapa
periode sebelumnya (lag q unsur GARCH), maka model GARCH dapat
disimbolkan dengan GARCH (p,q) seperti pada persamaan berikut:
σ 2t = α0 + α1e2t-1 + ... + α1e2t-p + λ1 σ 2t-1 + ... + λq σ 2t-q ..........................(2.17)
Model ARCH dan GARCH merupakan model non linear sehingga tidak
dapat diestimasi menggunakan OLS. Persamaan-persamaan dari model ARCH
dan GARCH hanya dapat diestimasi menggunakan metode Maximum Likelihood
(ML). Metode ML diharapkan dapat menghasilkan nilai yang lebih efisien
dibandingkan metode OLS.

Teori Error Correction Model (ECM)

Data deret waktu adalah data yang dikumpulkan berdasarkan periode waku
tertentu seperti harian, mingguan, bulanan, kuartalan atau tahunan. Persoalan
dalam data deret waktu adalah banyak yang tidak stasioner. Data yang tidak
stasioner akan menimbulkan masalah heteroskedastisitas atau autokorelasi. Data
deret waktu yang tidak stasioner juga dapat menimbulkan regresi semu (spurious
regression). Akibat dari data deret waktu yang tidak stasioner adalah hasil regresi
akan menyesatkan (Juanda dan Junaidi 2012).
Regresi semu adalah regresi antar dua peubah, dependen dan independen,
yang keduanya tidak memiliki keterkaitan secara teori, namun memiliki koefisien
determinasi yang besar, sehingga seolah-olah kedua variabel tersebut memiliki
hubungan yang erat. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi regresi semu dan
masalah non-stasioner pada data deret waktu dengan menggunakan Error
Correction Model (ECM) (Thomas 1997).
ECM merupakan model yang memasukkan penyesuaian (adjusment) untuk
mengoreksi keseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang.
Penyesuaian timbul karena model biasanya seimbang pada jangka panjang, namun
pada jangka pendek mungkin tidak mencapai keseimbangan, sehingga perlu suatu
penyesuaian (Juanda dan Junaidi 2012). Suatu model data deret waktu dikatakan
seimbang dalam jangka panjang jika terkointegrasi. Regresi yang terkointegrasi
artinya bergerak dalam panjang gelombang yang sama.
Berdasarkan Thomas (1997), model ECM dapat dibentuk dengan terlebih
dahulu membuat persamaan pada saat terjadi disequilibrium yang mengakibatkan
timbulnya lag seperti pada persamaan 2.18.
, dimana 0 < µ < 1……..................…(2.18)
20

Persamaan 2.18 diduga tidak stasioner, sehingga digunakan cara klasik


untuk menghapuskan regresi semu. Cara yang digunakan yaitu dengan
mengurangi dengan yt-1 di setiap sisi persamaan.
µ ...........................(2.19)
Tambahkan dan kurangi pada bagian sebelah kanan, sehingga diperoleh:
µ (2.20)
jika disederhanakan , persamaan 2.20 menjadi:
λ ..................................(2.21)
Ketika λ = 1-μ, maka persamaan 2.21 dapat diparameterisasi menjadi persamaan
2.22.
λ β ............................................ (2.22)
Setelah persamaan 2.22 diparameterisasi lebih jauh, maka persamaan ECM adalah
sebagai berikut:
λ β β ,..……………….................(2.23)
dimana: λ = 1-µ ; β = / λ ; β = ( /λ
Model ECM merupakan model yang digunakan untuk mengoreksi
kesalahan menuju keseimbangan jangka panjang. Berdasarkan persamaan 2.23,
model ECM akan mencapai keseimbangan dalam jangka panjang dimana λ
menunjukkan kecepatan dalam mencapai keseimbangan dan β
β menunjukkan kombinasi linier. Kombinasi linier ini disebut error yang
bersama λ membentuk mekanisme dalam mengoreksi kesalahan untuk mencapai
kondisi ekuilibrium dalam jangka panjang. Persamaan β β
juga dapat disebut sebagai error correction. Mekanisme koreksi ini terjadi dengan
syarat setiap variabel harus terintegrasi dalam tingkat diferensiasi yang sama. Jika
kondisi ekuilibrium ditunjukkan oleh β β maka apabila:
β β ; error < 0, dikoreksi oleh –λ sehingga naik ke arah
ekuilibrium.
β β ; error > 0, dikoreksi oleh –λ sehingga turun ke arah
ekuilibrium.

Kerangka Pemikiran Operasional

Pangan merupakan bagian dari sektor pertanian dan berperan sebagai


kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu harga pangan yang bergejolak akan
menimbulkan fluktuasi harga. Fluktuasi harga yang terus menerus terjadi dapat
memunculkan persoalan volatilitas. Beras, jagung dan kedelai termasuk kedalam
kelompok pangan pokok di Indonesia dan harga ketiga komoditas tersebut
berfluktuasi diduga karena faktor internal seperti perubahan arah kebijakan politik
maupun faktor eksternal seperti krisis pangan. Krisis pangan membuat harga
pangan menjadi tidak stabil terutama untuk komoditas yang diperdagangkan
seperti beras, jagung dan kedelai. Jagung dan kedelai diperdagangkan secara
internasional dalam jumlah yang besar, namun beras hanya diperdagangkan dalam
jumlah yang relatif kecil sehingga pasar beras sering disebut pasar yang tipis (thin
market). Hal ini disebabkan produsen dan konsumen beras terbesar berada di
Asia, sehingga produksi beras dalam negeri lebih banyak digunakan untuk
kebutuhan domestik. Walaupun beras relatif sedikit diperdagangkan di tingkat
21

internasional, namun harga beras juga sangat berfluktuasi tidak terkecuali di


Indonesia. Harga beras mulai berfluktuasi secara tidak terkendali pada saat awal
krisis moneter tahun 1997 dan perubahan situasi politik menuju era reformasi.
Pada saat itu harga beras tidak lagi dikontrol oleh pemerintah melalui BULOG,
melainkan diserahkan kepada mekanisme pasar. Jagung dan kedelai yang banyak
diperdagangkan secara internasional besaran harga dalam negerinya akan lebih
banyak dipengaruhi oleh harga dunia. Oleh karena itu dalam penelitian ini harga
ketiga komoditas pangan akan dianalisis untuk mengidentifikasi apakah bersifat
volatile atau tidak, dengan menggunakan model ARCH-GARCH.
Perekonomian nasional maupun global mengalami berbagai kejadian yang
dapat mengubah arah kebijakan sektor mikro maupun makro. Harga pangan dunia
yang mengalami peningkatan pada periode 2007/2008 dan 2010, namun menurun
pada tahun 2009 merupakan salah satu contoh kejadian yang merubah paradigma
perekonomian. Harga pangan yang bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti, harga minyak dunia, stok, produksi, iklim, nilai tukar, dan suku bunga riil.
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi variasi harga dalam penelitian ini
dianalisis menggunakan model ARCH-GARCH. Analisis mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi volatilitas harga dapat digunakan sebagai acuan untuk
mengetahui ada tidaknya fenomena volatilitas pada suatu pasar komoditas
khususnya komoditas pangan pokok.
Volatilitas harga pangan yang tinggi dapat mempengaruhi indikator
makroekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, uang yang beredar, inflasi dan lain
sebagainya. Apabila kinerja perekonomian berjalan dengan baik akan membuat
kondisi harga khususnya pangan menjadi lebih stabil, sehingga volatilitas dapat
ditekan. Indikator makroekonomi yang banyak digunakan untuk mengukur kinerja
perekonomian adalah inflasi dan PDB. Pengukuran hubungan antara volatilitas
harga pangan dengan indikator makroekonomi diestimasi menggunakan model
ECM. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat menjadi rekomendasi
kebijakan bagi para pengambil keputusan di sektor pertanian dan perekonomian
Indonesia.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan studi literatur dan penelitian terdahulu, maka hipotesis


penelitian dapat dituliskan sebagai berikut:
1. Tingginya tingkat volatilitas harga pangan pokok menjadi isu penting di seluruh
dunia khususnya bagi negara miskin dan berkembang. Indonesia sebagai
negara berkembang, berupaya untuk meminimalisir dampak volatilitas karena
harga beras, jagung dan kedelai yang merupakan pangan pokok merupakan
variabel ekonomi yang bersifat volatile.
2. Harga pangan pokok berkaitan dengan dinamika pasar komoditas, pasar energi,
kebijakan stok, faktor produksi dan kondisi makroekonomi, sehingga volatilitas
harga pangan pokok disebabkan oleh harga minyak dunia, stok pangan,
produksi, iklim, nilai tukar dan tingkat suku bunga riil.
3. Volatilitas harga pangan yang tinggi akan mempengaruhi indikator
makroekonomi khususnya inflasi dan PDB sektor pertanian. Volatilitas harga
pangan diduga akan berpengaruh positif terhadap inflasi, sedangkan terhadap
PDB sektor pertanian diduga akan berpengaruh negatif.
22

Sektor Pertanian

Sub sektor Sub sektor Sub sektor


Perkebunan Tanaman Hortikultura
Pangan

Metode Analisis:
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga pangan ARCH-GARCH

Harga Harga Produksi Iklim/Cuaca Nilai Tukar Suku Bunga


Minyak Komoditas
Dunia Dunia

Harga Uang Beredar Inflasi Trade Volatilitas Metode Analisis:


Komoditas Openness Harga Pangan ARCH-GARCH

Pengaruh volatilitas harga pangan


terhadap indikator makroekonomi

Rekomendasi Kebijakan untuk Sektor Pertanian


dan Perekonomian Indonesia

Gambar 6 Kerangka pemikiran konseptual

= Tidak termasuk objek penelitian


23

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
bersumber dari berbagai instansi dan lembaga pemerintah yang terkait. Jenis data
yang digunakan adalah data deret waktu (time series) dengan periode waktu dari
bulan Januari 1985 hingga Desember 2011. Dalam estimasi volatilitas harga yang
merupakan tujuan pertama, data yang digunakan adalah harga komoditi beras,
jagung dan kedelai di tingkat konsumen. Sumber ketiga data tersebut berasal dari
BULOG. Sumber data untuk tujuan kedua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi
volatilitas harga pangan berasal dari International Financial Statistics (IFS),
Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), Kementerian Pertanian, World
Development Indicator (WDI), dan lembaga nasional maupun internasional lainya
yang terkait. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi volatilitas harga pangan
adalah: harga minyak dunia, harga beras; jagung; dan kedelai dunia, produksi,
iklim atau cuaca, nilai tukar dan suku bunga. Faktor iklim atau cuaca akan
didekati dengan variabel curah hujan.
Data yang digunakan untuk menjawab tujuan ketiga yaitu analisis pengaruh
volatilitas terhadap indikator makroekonomi dibagi menjadi dua yaitu untuk
menganalisis inflasi dan PDB sektor pertanian. Data yang digunakan pada bagian
inflasi adalah data inflasi, volatilitas harga ketiga komoditas, suku bunga, nilai
tukar dengan jenis data bulanan. Khusus untuk analisis PDB sektor pertanian
periode waktu yang dipakai berupa data kuartalan dikarenakan rentang waktu
terkecil dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam bentuk kuartal dimulai dari
kuartal satu tahun 1985 higga kuartal empat tahun 2011. Variabel yang digunakan
untuk menganalisis dampak PDB pertanian adalah volatilitas harga ketiga
komoditas, suku bunga, nilai tukar, investasi dalam negeri, dan investasi luar
negeri sektor pertanian. Data tersebut bersumber dari BPS, BI dan IFS serta
lembaga internasional dan nasional lainnya. Penentuan inflasi dan pertumbuhan
ekonomi diharapkan dapat merepresentasikan indikator makroekonomi khususnya
di Indonesia.

Metode Pengolahan Data

Estimasi Volatilitas Harga Pangan

Model ARCH-GARCH digunakan untuk menghitung besaran volatilitas


harga pangan pokok yaitu beras, jagung, dan kedelai. Harga pangan pokok dinilai
mengalami peningkatan dan penurunan tajam, sehingga perlu dilakukan
perhitungan nilai volatilitas. Volatilitas terjadi karena varians residual tidak
konstan sehingga homoskedastisitas tidak dapat dipenuhi.
Model ARCH digunakan untuk mengestimasi data yang memiliki volatilitas
tinggi. Volatilitas tinggi artinya data pada suatu periode memiliki fluktuasi dan
residual yang tinggi dan pada periode berikutnya fluktuasi serta residualnya
rendah, sehingga ragam residual akan sangat bergantung pada ragam residual
periode sebelumnya. Model ARCH pertama kali diperkenalkan oleh Engle (1982)
yang menganalisis adanya masalah ragam residual dalam data deret waktu. Ragam
24

residual yang berubah-ubah terjadi karena ragam residual tidak hanya fungsi dari
peubah bebas, tetapi juga tergantung pada residual di masa lalu. Persamaan dalam
model ARCH adalah sebagai berikut:
σ 2t = α0 + α1e2t-1 ....................................................................................... (3.1)
Persamaan (3.1) terdiri dari ragam residual (σ 2t) yang memiliki unsur
konstanta (α0) dan kuadrat residual periode yang lalu (e2t-1). Model dari residual et
adalah conditional heteroscedasticity pada residual e2t-1. Persamaan (3.1)
merupakan model ARCH (1) karena ragam dari residual et hanya dari fluktuasi
residual kuadrat satu periode sebelumnya. Jika ragam residual tergantung dari
fluktuasi residual kuadrat beberapa periode sebelumnya (lag p), maka model
ARCH dapat disimbolkan dengan ARCH (p) yang persamaannya dapat dituliskan
sebagai berikut:
σ 2t = α0 + α1e2t-1 + α1e2t-2 + α1e2t-3 + ... + αpe2t-p...........................................(3.2)
Model ARCH mengalami perkembangan dengan adanya generalisasi model
menjadi GARCH yang diperkenalkan oleh Bollerslev (1986). Model GARCH
menyatakan bahwa ragam residual tidak hanya tergantung dari residual periode
sebelumnya, namun juga tergantung pada ragam residual periode sebelumnya.
Berdasarkan Bollerslev (1986) model GARCH dapat dirumuskan sebagai berikut:
................... (3.3)
Analisis grafik dengan plot time series dilakukan terlebih dahulu yang
bertujuan untuk melihat kecenderungan data variabel harga pangan. Terdapat
beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam menghitung volatilitas
menggunakan model ARCH-GARCH:

Tahap Identifikasi
Identifikasi digunakan untuk mengetahui apakah data yang akan dianalisis
mengandung unsur heteroskedastisitas atau tidak. Langkah identifikasi yang harus
dilakukan adalah membentuk model deret waktu dengan metode Box-Jenkin.
Berdasarkan model Box-Jenkin yang telah dibangun, dapat dideteksi ada tidaknya
efek ARCH pada residualnya. Dua metode yang digunakan untuk menguji efek
ARCH ( Juanda dan Junaidi 2012) yaitu:
(1) Pola Residual Kuadrat melalui Korelogram
Ada atau tidaknya unsur ARCH dalam model dapat diketahui dari koefisien
autokorelasi (ACF) dan autokorelasi parsial (PACF). Kedua koefisien tersebut
memiliki unsur ARCH apabila keduanya signifikan secara statistik. Kedua
koefisien tersebut didapat dari korelogram residual kuadrat dan perhitungan Ljung
Box Q statistics sampai lag tertentu.
(2) Uji ARCH-LM
Terdapat beberapa tahapan dalam uji ARCH-LM, yaitu:
a) Esimasi persamaan Yt = β0 + β1Xt + et menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS) untuk memperoleh nilai residual dan residual kuadrat.
b) Regresikan residual kuadrat dengan lag residual kuadrat seperti pada
persamaan σ 2t = α0 + α1e2t-1 + α1e2t-2 + α1e2t-3 + ... + αpe2t-p.
c) Persamaan pada tahap (b) akan mengikuti distribusi chi-square dengan
derajat bebas p dengan syarat sampel yang digunakan adalah sampel besar
25

, jika χ2 hitung lebih besar dibandingkan nilai kritis χ2 pada


selang kepercayaan tertentu, maka tolak H0. Tolak H0 menunjukkan bahwa
model memiliki unsur ARCH.

Tahap Estimasi
Estimasi dan simulasi beberapa model persamaan ragam yang telah
dibentuk dari persamaan awal. Pilih model terbaik dengan memperhatikan
signifikansi parameter estimasi menggunakan goodness of fit karena
menggunakan metode Maximum Likelihood (ML). Goodness of fit yang dilihat
berdasarkan nilai Log Likelihood dan kriteria Akaike Information Criterion (AIC)
dan Schwartz Criterion (SC) terkecil.
(1) Akaike Information Criterion (AIC)
AIC = ln (MSE) + 2 x K/N .................................................................... (3.4)
(2) Schwartz Criterion (SC)
SC = ln (MSE) + [K x log (N)/N] .......................................................... (3.5)
dimana:
MSE = Mean Square Error
K = banyaknya parameter
N = banyaknya data pengamatan

Tahap Evaluasi
Beberapa uji yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi model yang telah
didapat dengan menggunakan beberapa pengujian, yaitu (1) pengujian normalitas
error, (2) pengujian keacakan residual, dan (3) pengujian efek ARCH. Uji Jarque
Bera (JB) digunakan untuk menguji normalitas residual baku model. Uji JB
menguji antara kemenjuluran (skewness) dan keruncingan (kurtosis) data dari
sebaran normal dan memasukkan ukuran keragaman. Hipotesis yang dibangun
adalah:
H0: residual baku menyebar normal
H1: residual baku tidak menyebar normal
Tolak H0 jika JB > χ22 (α) atau jika P (χ22 > JB) kurang dari α. Persamaan Uji JB
sebagai berikut:
...................................................................... (3.6)
dimana:
S = kemenjuluran
K = keruncingan
k = banyaknya koefisien penduga
N = banyaknya data pengamatan
Model ARCH-GARCH dianggap baik jika dapat menghilangkan
autokorelasi yaitu bila residual baku merupakan proses white noise. Cara yang
digunakan untuk memeriksa koefisien autokorelasi residual baku dengan uji
statistik Ljung-Box. Uji Ljung-Box (Q*) merupakan pengujian kebebasan residual
baku. Persamaan Ljung-Box dengan menggunakan data deret waktu dapat
dituliskan sebagai berikut:
......................................................................... (3.7)
26

dimana:
r1 (εt) = autokorelasi contoh pada lag 1
k = maksimum lag yang diinginkan
Jika nilai Q* lebih besar dibandingkan nilai χ22 (α) dengan derajat bebas k-p-q
atau jika P (χ2(k-p-q) > Q*) lebih kecil dari taraf nyata maka model tersebut
dianggap tidak layak.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Pangan

Faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga pangan akan dianalisis


menggunakan model ekonometrika. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
volatilitas harga pangan adalah harga minyak dunia, harga dunia untuk ketiga
komoditas pangan, produksi ketiga jenis pangan, nilai tukar, suku bunga dan iklim
atau cuaca. Kenaikan harga minyak dunia berdampak terhadap produksi pertanian.
Tingginya harga minyak dunia menyebabkan harga input pertanian juga
meningkat seperti pupuk. Meningkatnya harga minyak dunia menyebabkan
permintaan energi terbarukan (bio-energi) yang berasal dari komoditas pertanian
meningkat (Tangermann 2011). Meningkatnya harga minyak dunia diduga akan
meningkatkan volatilitas harga pangan.
Harga dunia untuk ketiga komoditas pangan diduga memiliki pengaruh
positif terhadap volatilitas harga pangan. Apabila harga pangan dunia meningkat,
maka volatilitas harga pangan akan ikut naik. Harga pangan dunia akan
berdampak terhadap harga domestik. Tingginya harga pangan dunia akan
membuat harga pangan dalam negeri juga meningkat. Hal ini diperkuat apabila
sebagian besar kebutuhan pangan domestik diimpor.
Produksi pangan yang bervariasi disebabkan oleh variasi lahan yang
digunakan untuk menanam dan perbedaan hasil panen karena pengaruh cuaca.
Guncangan terhadap produksi yang mengakibatkan volatilitas harga disebabkan
oleh elastisitas permintaan dan penawaran. Elastisitas penawaran dan permintaan
memperlihatkan respon dari produsen maupun konsumen terhadap perubahan
harga (Gilbert dan Morgan 2010). Produksi pangan yang tinggi diharapkan dapat
menurunkan volatilitas harga beras.
Nilai tukar dan suku bunga riil merupakan variabel makroekonomi yang
dapat mempengaruhi harga pangan. Rendahnya suku bunga menyebabkan
investasi bergeser dari investasi di bidang aset keuangan menjadi investasi di
bidang aset fisik (Tangermann 2011). Nilai tukar mata uang suatu negara banyak
bergantung terhadap dollar Amerika, sehigga harga komoditas dipengaruhi oleh
nilai tukar terhadap dollar Amerika (Helbling et al. 2008). Apabila nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika rendah diduga akan meningkatkan volatilitas
harga pangan. Apabila suku bunga riil meningkat diduga akan menurunkan
volatilitas harga pangan.
Cuaca adalah faktor yang paling sering mempengaruhi kenaikan harga
pangan terutama pada tahun 2006 hingga 2008. Pada tahun 2008, Australia
sebagai eksportir utama gandum di dunia mengalami musim kemarau panjang.
Pada tahun 2006 dan 2007, Kanada yang juga berperan sebagai eksportir gandum
dunia mengalami penurunan produksi yang disebabkan oleh faktor cuaca
(Tangermann 2011). Cuaca yang ekstrim membuat produksi output menjadi
bervariasi sehingga harga juga bervariasi yang menyebabkan volatilitas.
27

Banyaknya bencana alam seperti kemarau panjang dan banjir akibat cuaca yang
ekstrim diduga akan meningkatkan volatilitas harga pangan.
Model ekonometrika yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi volatilitas harga pangan adalah ARCH-GARCH. Model ini
digunakan untuk menghilangkan permasalahan asumsi klasik dalam model regresi
yaitu heteroskedastisitas. Model ARCH-GARCH selain berguna untuk
menghilangkan heteroskedastisitas, juga dapat digunakan untuk menghilangkan
masalah autokorelasi. Masalah autokorelasi dapat dihilangkan dengan
menambahkan variabel auto regressive pada variabel bebasnya atau
mendiferensiasikan variabel terikat dan variabel bebasnya. Suatu persamaan
dalam model ARCH-GARCH dikatakan telah terbebas dari autokorelasi dengan
melihat hasil korelogram atau melalui uji akar unit.
Model ARCH-GARCH telah dituliskan dalam persamaan 3.1 sampai 3.3.
Dalam perkembangannya, model ini memiliki banyak variasi diantaranya model
ARCH in mean (ARCH-M), Treshold ARCH (TARCH), Eksponensial
ARCH/GARCH (EGARCH), Simple asymmetric (SAARCH) dan masih banyak
lagi. Pada penelitian ini, selain model ARCH-GARCH secara umum yang sudah
dituliskan dalam bentuk persamaan, model lainnya yang akan dibahas adalah
TARCH. Persamaan model TARCH sebagai berikut (Nachrowi dan Usman
2006):

Setelah mendapatkan model ARCH-GARCH yang sesuai, model harus diuji


dahulu menggunakan uji-F maupun uji-t, uji akar unit (unit root) untuk memeriksa
kestasioneran data, dan uji asumsi klasik.

Uji-F
Uji-F bertujuan untuk menguji model secara keseluruhan. Tahapan dalam
uji-F adalah sebagai berikut (Juanda 2007):
Hipotesis statistik:
Ho: = (atau ≤ ) atau (β2= β3=0)
H1: > (atau / >1) atau (β2 atau β3≠0)
Statistik uji yang digunakan adalah Fhit = KTR/KTS ~ F(dbr, dbe), secara matematis
dapat dituliskan sebagai berikut:
F(K-1, N-K) = ................................................................................ (3.9)
dbr = banyaknya peubah bebas X = (k-1)
dbe = n-k
Kriteria keputusan dalam uji-F adalah:
Jika Fhit > F α(dbr,dbe) maka terima H1
Jika Fhit < F α(dbr,dbe) maka terima H0
Uji-t
Uji-t berfungsi untuk menguji apakah koefisien slope βk nyata secara
statistik (βk≠0). Hipotesis yang digunakan untuk melakukan uji-t yaitu (Juanda
2007):
Ho: βj = 0
H1: βj ≠ 0
28

Secara matematis, uji-t dapat dituliskan sebagai berikut:


thit = ............................................... (3.10)

Kriteria penarikan kesimpulan untuk uji-t adalah:


Jika thit > tα/2,dbe=n-k atau P-value < α maka tolak H0
Jika thit < tα/2,dbe=n-k atau P-value > α maka terima H0

Uji Stasioneritas Data


Data deret waktu dikatakan stasioner jika nilai tengah dan ragamnya
konstan dari waktu ke waktu dan peragam (covariance) antara dua data deret
waktu hanya tergantung dari lag antara dua periode waktu terebut. Cara yang
dilakukan untuk mengatasi data yang tidak stasioner pada nilai tengah
menggunakan proses diferensiasi terhadap deret data asli. Data yang tidak
stasioner pada ragamnya dapat diatasi dengan mengubah bentuk data asli menjadi
bentuk logaritma natural (ln). Apabila data tidak stasioner pada ragam dan nilai
tengah dapat dilakukan proses diferensiasi dan transformasi ln atau akar kuadrat.
Pengujian stasioneritas data dilakukan dengan menguji akar-akar unit.
Pengujian akar unit dapat dilakukan dengan dua metode yaitu: (a) Dickey Fuller
Test (DF) dan (b) Augmented Dickey Fuller Test (ADF).

a. Dickey Fuller Test (DF)


Dickey dan Fuller membangun tiga persamaan regresi yang dapat digunakan
untuk menguji akar unit (Enders 1995) yaitu:
Model Random Walk: ..................................................... (3.11)
Model Random Walk dengan intersep: ................. (3.12)
Model Random Walk dengan intersep dan trend:
.................................................................. (3.13)
Uji Dickey Fuller dilakukan dengan menghitung nilai τ statistik dengan
rumus:
................................................................................................ (3.14)
Hipotesis yang dibangun untuk pengujian Dickey Fuller adalah:
H0: γ = 0 (yt tidak stasioner)
H1: γ < 0 (yt stasioner)
Nilai τ statistik yang diperoleh dari hasil perhitungan dibandingkan dengan τ
McKinnon Critical Values. Data dikatakan stasioner jika τ statistik > τ McKinnon
Critical Values, sehingga tolak H0.

b. Augmented Dickey Fuller Test (ADF)


Pengujian Augmented Dickey Fuller dapat dilakukan dengan menambahkan
trend dan intersep. Kriteria penerimaan hipotesis sama seperti pengujian DF
dengan membandingkan antara τ statistik dengan τ McKinnon Critical Values.
Persamaan Augmented Dickey Fuller Test menurut Enders (1995) dapat dituliskan
sebagai berikut:
29

Uji Asumsi Klasik


Uji asumsi klasik diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran
dalam model yang dibangun. Terdapat empat macam uji asumsi klasik yaitu, uji
multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas.
Masing-masing dari setiap uji akan dijelaskan sebgai berikut:

a. Uji terhadap Multikolinearitas


Multikolinearitas adalah salah satu pelanggaran asumsi klasik dalam analisis
regresi. Semakin tinggi korelasi antar dua atau lebih variabel-variabel independen
dalam sebuah model yang benar, semakin sulit memperkirakan secara akurat
koefisien-koefisien pada model yang benar Sarwoko (2005). Ada tidaknya
multikolinearitas dapat dilihat dengan memeriksa koefisien-koefisien korelasi
sederhana antar variabel-variabel penjelas. Apabila r adalah tinggi nilai
absolutnya, maka diketahui bahwa ada dua variabel penjelas tertentu berkorelasi
dan masalah multikolinearitas ada di dalam persamaan tersebut.
Cara lain yang dapat ditempuh untuk mendeteksi adanya multikolinearitas
menurut Sarwoko (2005) dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF).
VIF merupakan cara untuk mendeteksi multikolinearitas dengan melihat sejauh
mana sebuah variabel penjelas dapat diterangkan oleh semua variabel penjelas
lainnya. Semakin tinggi VIF suatu variabel tertentu, semakin tinggi varian
koefisien estimasi pada variabel tersebut. Pada umumnya multikolinearitas
dikatakan berat apabila angka VIF dari suatu variabel melebihi 10.

b. Uji terhadap Autokorelasi


Pelanggaran asumsi klasik lainnya adalah autokorelasi. Autokorelasi dapat
terjadi jika dalam pengamatan-pengamatan yang berbeda tidak terdapat korelasi
antar error term. Uji d Durbin-Watson merupakan salah satu cara untuk
mendeteksi adanya autokorelasi. Beberapa tahapan untuk melakukan uji Durbin-
Watson adalah sebagai berikut (Sarwoko 2005):
i. Cari nilai residu dengan OLS dari persamaan yang akan diuji dan hitung
statistik d dengan menggunakan persamaan: d = .................. (3.16)
ii. Tentukan ukuran sampel dan jumlah variabel independen, kemudian lihat tabel
statistik Durbin-Watson untuk mendapatkan nilai kritis d yaitu nilai Durbin-
Watson Upper dU dan nilai Durbin-Watson Lower dL.
iii. Susun hipotesis Ho dan H1 seperti:
Ho : ρ ≤ 0 (tidak ada autokorelasi positif)
H1 : ρ > 0 (ada autokorelasi positif)
Kriteria keputusan dalam autokorelasi:
Tolak Ho, jika d < dL
Terima H1, jika d > dU
Tidak disimpulkan, jika dL ≤ d ≤ dU
Pada keadaan tertentu untuk menguji persamaan beda pertama, uji d dua sisi
akan lebih tepat. Langkah-langkah 1 dan 2 tetap dilakukan, sedangkan langkah
3 adalah menyusun hipotesis nol bahwa tidak ada autokorelasi.
Ho : ρ = 0
H1 : ρ ≠ 0
Kriteria keputusan dalam autokorelasi:
30

Tolak Ho, jika d < dL


Tolak H0, jika d > 4 – dL
Terima H1, jika 4 – dU > d > dU
Selain tiga hal diatas maka tidak ada kesimpulan

c. Uji terhadap Heteroskedastisitas


Heteroskedastisitas adalah pelanggaran asumsi klasik lainnya dalam analisis
regresi. Pada analisis regresi seharusnya varian residual bersifat homoskedastik
atau bersifat konstan, namun apabila terjadi pelanggaran asumsi klasik, maka
varian residual tidak lagi bersifat konstan atau disebut heteroskedastisitas.
Terdapat banyak cara untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model
menurut Sarwoko (2005) diantaranya adalah, metode grafik nilai residu, uji
Goldfeld-Quandt, Uji Glestjer dan uji Park. Pada output komputer dapat
menggunakan berbagai macam pilihan uji-uji yang ada sesuai dengan kebutuhan
penelitian.

d. Uji Normalitas
Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah suatu data yang
dianalisis menyebar normal atau tidak. Asumsi distribusi normal merupakan
asumsi tambahan yang bersifat pilihan bagi variabel disturbance. Pelanggaran
asumsi kenormalan terjadi ketika galat (εi) tidak menyebar normal dengan nilai
tengah nol dan ragam σ2. Hal ini dapat dilihat dari plot (εt) dengan yang masih
berpola. Menurut Sarwoko (2005) untuk menguji hipotesis atau untuk menghitung
probabilitas distribusi diperlukan standar distribusi normal. Standar distribusi
normal suatu variabel random, Z memiliki nilai rata-rata, u = 0 dan standar
deviasi, σ = 1, dapat ditulis Z ~ N(0,12).

Analisis Pengaruh Volatilitas Harga Pangan terhadap Indikator


Makroekonomi

Dampak volatilitas harga pangan terhadap indikator makroekonomi


dianalisis menggunakan error correction model (ECM). ECM adalah model
alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah non stasioner dari data
deret waktu dan spurious correlation (Thomas 1997). Selain itu, tujuan umum
digunakan model ECM untuk mengoreksi perbedaan hasil antara jangka panjang
dengan jangka pendek. Manfaat menggunakan ECM adalah informasi yang
diperoleh sempurna karena menggabungkan informasi dari jangka pendek
maupun jangka panjang. Model ECM dapat digunakan apabila salah satu
variabelnya tidak stasioner, tetapi jika semua variabel stasioner maka cukup
menggunakan model regresi biasa. Oleh karena itu sebelum memutuskan
menggunakan ECM, semua variabel harus diuji kestasioneran datanya terlebih
dahulu. Uji stasioneritas data dapat menggunakan uji DF ataupun ADF seperti
yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Setelah melakukan uji
stasioneritas data, selanjutnya dilakukan uji kointegrasi.

Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi bertujuan untuk menunjukkan bahwa persamaan yang
dibangun bukan merupakan regresi semu (spurious regression). Apabila model
31

yang dibangun terkointegrasi, maka model dikatakan memiliki hubungan jangka


panjang. Menurut Thomas (1997), apabila dua peubah dalam data deret waktu
tidak stasioner namun kombinasi linier keduanya stasioner, maka kedua peubah
tersebut adalah terkointegrasi. Jika bentuk kombinasi tersebut adalah persamaan,
maka dapat dikatakan bahwa persamaan tersebut terkointegrasi dan peubah-
peubahnya mencerminkan hubungan jangka panjang.
Uji kointegrasi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode seperti,
Engle-Granger Cointegration Test, dan Cointegration Regression Durbin-Watson
Test. Metode yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah metode Engle-
Granger Cointegration Test. Metode ini dikerjakan melalui dua tahap yaitu,
pertama menguji kestasioneran data masing-masing peubah yang ada pada model.
Kedua adalah meregresikan peubah dependen dengan peubah penjelas dan
kemudian melakukan pengujian terhadap residual dari persamaan regresi tersebut
yang dituliskan sebagai berikut:

u t   1u t 1   c j u t    et …………………………………………...... (3.17)
j 1

dimana :
ui = residual
 = lag optimal dari peubah dependen
et = error term
Setelah didapatkan hasil pengujian terhadap residual dari persamaan regresi
kemudian hasil uji residual tersebut dibandingkan dengan nilai kritis τ McKinnon
dengan hipotesis yang dipakai adalah H0 apabila tidak terkointegrasi dan H1
apabila terkointegrasi. Jika hasil uji yang didapat adalah tolak H0 maka ui
stasioner dan peubah yang ada pada model terkointegrasi dan regresi antara
peubah dependen dan peubah penjelas disebut sebagai regesi yang terkointegrasi.
Terdapat dua syarat dalam regresi yang terkointegrasi yaitu syarat perlu dan syarat
cukup. Syarat perlu dalam hubungan tersebut adalah peubah yang ada dalam
model minimal satu peubah stasioner pada ordo satu (first difference) dan syarat
cukup pada hubungan regresi adalah residual harus stasioner (Juanda dan Junaidi
2012). Oleh karena itu peubah-peubah yang ada dalam moodel memiliki
hubungan jangka panjang dan dapat dikatakan dalam keadaan long run
equilibrium. Persamaan jangka panjang dapat dituliskan sebagai berikut:
Y = α + β1X1t+ β2X2t + β3X3t+ ... + βnXnt + et........................................ (3.18)
dimana:
α = konstanta
β = koefisien
Y = peubah dependen
X = peubah penjelas
e = residual
Model jangka panjang yang diestimasi dalam penelitian ini terdiri dari dua
yaitu model inflasi dan model PDB sektor pertanian. Model inflasi dalam jangka
panjang adalah:
INFt = α + β1VOLTBt + β2VOLTJt + β3VOLTKt + β4EXCt + β5INTt +
et....................................................................................................... (3.19)
32

dengan β1> 0, β2> 0, β3> 0, β4 < 0 dan β5 > 0


dimana:
INF = inflasi
α = konstanta
β1-5 = koefisien
VOLTBt = volatilitas harga beras pada periode t
VOLTJt = volatilitas harga jagung pada periode t
VOLTKt = volatilitas harga kedelai pada periode t
EXCt = nilai tukar riil pada periode t
INTt = suku bunga riil pada periode t
et = residual
Model PDB sektor pertanian dalam jangka panjang dapat dituliskan sebagai
berikut:
PDB_Pt = α + β1VOLTBt + β2VOLTJt + β3VOLTKt + β4INV_DNt + β5INV_LNt +
β6INTt + β7EXCt + et..................................................................... (3.20)
dengan β1>0, β2<0, β3<0, β4<0, β5<0, β6<0, β7>0
dimana:
PDB_P = PDB sektor pertanian
α = konstanta
β 1-7 = koefisien
VOLTBt = volatilitas harga beras pada periode t
VOLTJt = volatilitas harga jagung pada periode t
VOLTKt = volatilitas harga kedelai pada periode t
INV_DNt = investasi dalam negeri sektor pertanian pada periode t
INV_LNt = investasi luar negeri sektor pertanian pada periode t
INTt = suku bunga riil pada periode t
EXCt = nilai tukar riil pada periode t
et = residual
Error Correction Model (ECM)
Model ECM memiliki kelebihan yaitu dapat menggabungkan antara jangka
panjang dan jangka pendek, sehingga model ini banyak digunakan dalam
penelitian-penelitian. Model ECM dapat dibangun dari pembentukan fungsi awal
sebagai berikut:
Y = f(X1, X2, X3).......................................................................................(3.21)
Apabila persamaan 3.21 dirubah ke dalam model linier, maka persamaan baru
dapat ditulis sebagai berikut :
Y = b0+ b1X1+ b2X2 + b3X3 + u ................................................................(3.22)
Persamaan 3.22 akan dibentuk persamaannya menjadi persamaan dinamis yang
mengikutsertakan lag atau kelambanan. Persamaan tersebut sering disebut sebagai
Error Correction Model yang dijabarkan sebagai berikut:
DY= b0+ b1DX1+ b2DX2 + b3DX3+ b4BX1 + b5BX2 + b6BX3 +
b7ECT..............................................................................................(3.23)
dimana :
D = First Difference
B = Kelambanan kebelakang (backward lag operator)
33

ECT = Error Correction Term


Persamann 3.23 dapat dijabarkan sebagai berikut:
DYt = b0+ b1DX1t+ b2DX2t + b3DX3t+ b4X1t-1 + b5X2t-1 + b6X3t-1 +
b7ECT...........................................................................................(3.24)

Indikator makroekonomi yang digunakan adalah inflasi dan PDB sektor


pertanian, sehingga model ECM yang dibentuk dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua, yaitu model ECM untuk inflasi dan model ECM untuk PDB sektor
pertanian. Masing-masing model ECM untuk dua indikator makroekonomi yaitu
inflasi dan PDB sektor pertanian akan dijelaskan pada bagian berikut.

a. Model Inflasi
Inflasi berhubungan sangat dekat dengan harga. Apabila harga naik, maka
akan terjadi inflasi. Begitu pula halnya dengan komoditas pangan yang hargamya
relatif cepat berubah-ubah tergantung pada situasi politik, kebijakan yang diambil
pemerintah atau pun situasi perekonomian dunia.
Faktor-faktor yang diduga akan menimbulkan dampak terhadap inflasi
adalah volatilitas harga ketiga komoditas pangan, nilai tukar dan suku bunga.
Mekanisme hubungan antara inflasi dan volatilitas harga tiga komoditas pangan
yaitu volatilitas harga beras, jagung dan kedelai diduga akan berpengaruh positif
terhadap inflasi. Hal ini disebabkan harga komoditas yang tinggi akan membuat
semakin volatil dan inflasi akan semakin tinggi. Sementara itu, nilai tukar riil
diduga akan berpengaruh positif. Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang tinggi
artinya rupiah terdepresiasi. Rupiah yang terdeprisiasi menyebabkan harga
barang-barang semakin tinggi. Tingginya harga barang mengakibatkan inflasi
meningkat. Suku bunga riil diduga berpengaruh positif terhadap inflasi. Suku
bunga tinggi akan memicu terjadinya inflasi yang tinggi pula.
Model ECM secara keseluruhan untuk indikator makroekomi bagian
inflasi ditunjukkan pada persamaan 3.25. Sebelum diestimasi menggunakan
model ECM, semua variabel independen dalam model ini telah dirubah ke dalam
bentuk logaritma natural.
INFt = α + β1DVOLTBt + β2DVOLTJt + β3DVOLTKt + β4DEXCt + β5DINTt +
β6VOLTBt-1 + β7VOLTJt-1 + β8VOLTKt-1 + β9EXCt-1 +
β10INTt-1 ......................................................................................... (3.25)
dengan β1>0, β2>0, β3>0, β4>0, β5<0, β6>0, β7>0, β8>0, β9>0 dan β10<0
dimana:
α = konstanta
β1-10 = koefisien
D = perbedaan pertama (first difference)
INF = inflasi pada periode t
VOLTB = volatilitas harga beras pada periode t
VOLTJ = volatilitas harga jagung pada periode t
VOLTK = volatilitas harga kedelai pada periode t
EXC = nilai tukar riil pada periode t
INT = suku bunga riil pada periode t
34

b. Model PDB sektor pertanian


Pertumbuhan ekonomi tercermin dari PDB. Berdasarkan tujuan penelitian
ini sektor pertanian merupakan sektor utama yang digunakan, sehingga PDB
sektor pertanian merupakan variabel yang dipakai untuk menganalisis
pertumbuhan ekonomi. Variabel yang diduga akan berdampak terhadap PDB
sektor pertanian adalah volatilitas harga komoditas, investasi dalam dan luar
negeri, suku bunga serta nilai tukar.
Volatilitas harga beras, jagung dan kedelai diduga berpengaruh negatif
terhadap PDB sektor pertanian. Harga komoditas pangan yang tinggi
menyebabkan konsumsi masyarakat berkurang sehingga PDB sektor pertanian
akan turun. Investasi dalam dan luar negeri diduga berpengaruh positif terhadap
PDB sektor pertanian. Hubungan ini didasari teori makroekonomi yang
menyatakan bahwa pertumbuhan atau PDB dipengaruhi oleh investasi, konsumsi,
pengeluaran pemerintah dan ekspor bersih dengan hubungan yang searah. Suku
bunga diduga berpengaruh negatif terhadap PDB sektor pertanian karena suku
bunga tinggi menyebabkan investasi relatif rendah, sehingga PDB sektor
pertanian akan ikut turun. Nilai tukar rupiah terhadap dollar diduga berpengaruh
negatif terhadap PDB sektor pertanian. Nilai tukar rupiah yang tinggi terhadap
dollar berarti rupiah terdepresiasi yang menyebabkan harga barang-barang
menjadi tinggi. Harga barang tinggi membuat masyarakt mengurangi konsumsi,
sehingga PDB sektor pertanian menurun. Semua variabel yang diduga akan
berdampak terhadap PDB sektor pertanian telah dirubah ke dalam bentuk
logaritma natural. Model ECM secara keseluruhan untuk PDB sektor pertanian
diperlihatkan melalui persamaan di bawah ini:
PDB_Pt = α + β1DVOLTBt + β2DVOLTJt + β3DVOLTKt + β4DINV_DNt +
β5DINV_LNt + β6DINTt + β7DEXCt + β8VOLTBt-1 + β9VOLTJt-1 +
β10VOLTKt-1 + β11INV_DNt-1 + β12INV_LNt-1 + β13INTt-1 +
β14EXCt-1..................................................................................... (3.26)
dengan β1>0, β2<0, β3<0, β4<0, β5<0, β6<0, β7>0, β8>0, β9<0, β10<0, β11<0, β12>0,
β13<0, dan β14>0
dimana:
α = konstanta
β 1-14 = koefisien
D = perbedaan pertama (first difference)
PDB_P = PDB sektor pertanian pada periode t
VOLTB = volatilitas harga beras pada periode t
VOLTJ = volatilitas harga jagung pada periode t
VOLTK = volatilitas harga kedelai pada periode t
INV_DN = investasi dalam negeri sektor pertanian pada periode t
INV_LN = investasi luar negeri sektor pertanian pada periode t
INT = suku bunga riil pada periode t
EXC = nilai tukar riil pada periode t
35

4 ANALISIS VOLATILITAS HARGA PANGAN


Deskripsi Data

Data yang dianalisis dalam volatilitas harga pangan adalah data harga beras,
jagung, dan kedelai. Perkembangan data harga ketiga komoditas pangan tersebut
dijelaskan secara deskriptif melalui Tabel 1 berikut. Data harga pangan memiliki
variasi yang cukup beragam seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Statistik deskriptif variabel harga beras, jagung, dan kedelai


Variabel Mean Std. Skewness Kurtosis Max Min
Deviasi
Harga
Beras 0.010094 0.029084 2.213539 13.82839 0.203988 -0.0992
Harga
Jagung 0.009221 0.029895 1.366879 12.46960 0.196433 -0.1415
Harga
Kedelai 0.008503 0.026186 3.101195 19.13294 0.187251 -0.0596

Berdasarkan Tabel 1, nilai kurtosis untuk ketiga variabel bernilai lebih dari
tiga. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa data yang dianalisis memiliki masalah
heteroskedastisitas. Nilai kurtosis lebih dari tiga berarti bahwa distribusi variabel
ekonomi yang dianalisis memiliki ekor yang lebih padat dibandingkan distribusi
normal. Nilai kemenjuluran (skewness) dari semua data harga pangan adalah lebih
besar dari nol. Hal tersebut bermakna bahwa distribusi data yang ada memiliki
distribusi data yang miring ke kanan yang berarti data cenderung menumpuk pada
nilai yang rendah. Nilai maksimum yang terbesar terdapat pada harga beras dan
nilai minimum yang terkecil terdapat pada harga kedelai. Data harga pangan yang
diestimasi merupakan data return karena dihitung berdasarkan rasio harga saat ini
dan masa lalu menggunakan logaritma natural.

Volatilitas Harga Pangan di Indonesia

Model ARCH-GARCH

Model ARCH-GARCH dapat dibangun setelah melalui beberapa tahapan


estimasi. Pertama adalah melakukan uji stasioneritas terhadap data yang akan
dianalisis. Kedua melakukan identifikasi model Box-Jenkins (AR, MA, ARMA
dan ARIMA) dengan memperhatikan hasil uji stasioneritas. Ketiga adalah
melakukan uji efek ARCH dari model Box-Jenkins yang telah dipilih. Uji efek
ARCH akan menentukan apakah model yang dipilih dapat dianalisis lebih lanjut
menggunakan model ARCH-GARCH. Keempat adalah estimasi model ARCH-
GARCH dengan memilih model terbaik. Terakhir adalah evaluasi model
menggunakan uji normalitas dan melakukan uji ARCH-LM untuk mengetahui
model ARCH-GARCH yang dipilih sudah terbebas dari efek ARCH. Apabila
diinginkan dapat dilakukan peramalan terhadap model ARCH-GARCH agar dapat
menentukan kebijakan yang akan diambil untuk langkah selanjutnya.
36

Data harga pangan yang akan diestimasi nilai volatilitasnya terlebih dahulu
diuji kestasioneran datanya. Uji stasioneritas dapat dilakukan dengan melihat
grafik, korelogram ataupun melakukan uji akar unit. Uji akar unit dapat
menggunakan banyak alat uji, salah satunya adalah Augmented Dickey Fuller Test
(ADF). Uji stasioneritas penting dilakukan pada data runtut waktu agar data yang
dihasilkan mudah diduga dan tidak bias. Uji stasioneritas dapat dilakukan pada
tingkat level, first difference dan second difference. Berdasarkan Tabel 2 terlihat
bahwa variabel harga beras, jagung, dan kedelai stasioner pada level. Hal ini
dikarenakan nilai t-statistik ADF lebih kecil dibandingkan nilai kritis MacKinnon
pada tingkat 5 persen. Hasil uji ADF Test secara lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 3.

Tabel 2 Hasil uji akar unit harga bulanan beras, jagung dan kedelai periode
Januari 1985-Desember 2011
Variabel ADF t-statistic Nilai Kritis MacKinnon
Harga Beras -11.44791 -2.870302
Harga Jagung -12.42866 -1.941811
Harga Kedelai -8.663466 -1.941811
Sumber: Lampiran 1
Model Box-Jenkins ditentukan setelah dilakukan uji stasioneritas. Beberapa
model Box-Jenkins yaitu Auto Regressive (AR), Moving Average (MA), Auto
Regressive Moving Average (ARMA) dan Auto Regressive Integrated Moving
Average (ARIMA). Apabila data stasioner pada level, maka pendugaan model
menggunakan ARMA, akan tetapi jika data stasioner pada first difference
menggunakan ARIMA. Hasil pendugaan model ARMA terbaik untuk data harga
beras, jagung dan kedelai dapat dilihat pada Tabel 3. Model terbaik dipilih setelah
melakukan beberapa simulasi model ARMA. Kriteria pemilihan model ARMA
berdasarkan pada koefisien estimasi yang signifikan, memiliki R-Squared dan
adjusted R-Squared terbesar, nilai AIC dan SIC terkecil, serta nilai Standard
Error of Regression dan Sum Square Residual yang relatif kecil.

Tabel 3 Model ARMA terbaik


Variabel Model ARMA Terbaik
Harga Beras ARMA (1,2)
Harga Jagung MA (4)
Harga Kedelai ARMA (1,1)
Sumber: Lampiran 2
Model ARCH-GARCH dapat digunakan untuk menghitung volatilitas jika
terdapat efek ARCH pada model ARMA yang telah dipilih. Pengujian efek
ARCH dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya masalah heteroskedastisitas
pada ketiga variabel harga. Hasil pengujian efek ARCH pada Tabel 4
menunjukkan bahwa semua variabel harga komoditas pangan memiliki masalah
heteroskedastisitas karena efek ARCH ditemukan pada setiap model. Efek ARCH
yang ditemukan pada setiap model terbaik mengindikasikan bahwa volatilitas
yang dihitung bervariasi antar waktu. Ada atau tidaknya efek ARCH ditunjukkan
dari nilai probabilitas pada setiap variabel harga pangan. Probabilitas setiap harga
37

pangan bernilai kurang dari taraf nyata 5 persen, sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat masalah heteroskedastisitas pada setiap variabel harga pangan.
Masalah heteroskedastisitas dapat diselesaikan menggunakan model ARCH-
GARCH.
Tabel 4 Identifikasi efek ARCH pada harga komoditas beras, jagung, dan kedelai
Variabel Model ARIMA F-Statistik Probabilitas
Terbaik
Harga Beras ARMA (1,2) 7.510126 0.0065
Harga Jagung MA (4) 46.24538 0.0000
Harga Kedelai ARMA (1,1) 31.95259 0.0000
Sumber: Lampiran 3
Ada tidaknya efek ARCH dalam model ARMA akan menentukan model
tersebut untuk analisis selanjutnya menggunakan ARCH-GARCH. Berdasarkan
Tabel 4, semua harga komoditas pangan memiliki efek ARCH, sehingga dapat
dilakukan analisis volatilitas menggunakan ARCH-GARCH. Model ARCH-
GARCH terbaik dipilih berdasarkan kriteria yaitu, semua koefisien signifikan
dalam persamaan ragam, memiliki nilai Log-Likelihood terbesar, nilai AIC serta
SIC terkecil, dan memiliki nilai yang positif untuk semua koefisien pada
persamaan ragam. Berdasarkan kriteria yang ada, maka model ARCH-GARCH
yang dipilih untuk masing-masing variabel harga pangan diperlihatkan pada Tabel
5.

Tabel 5 Model ARCH-GARCH terbaik pada harga komoditas beras, jagung, dan
kedelai
Variabel Model ARCH/GARCH Terbaik
Harga Beras ARCH (1)
Harga Jagung ARCH (2)
Harga Kedelai ARCH (2)
Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan Tabel 5, model ARCH merupakan model terbaik bagi ketiga
komoditas pangan yang diteliti. Setelah memilih model ARCH-GARCH terbaik,
hal selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan evaluasi terhadap model
tersebut. Evaluasi model dapat dilakukan melalui uji normalitas dengan
memperhatikan nilai statistik Jarque-Bera. Hasil uji statistik Jarque-Bera dapat
dilihat pada Tabel 6. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa nilai Jarque-Bera
signifikan secara statistik yang berarti error model terdistribusi tidak normal.
Semua model ARCH-GARCH pada masing-masing variabel diuji normalitasnya
dan menunjukkan bahwa error pada semua model ARCH-GARCH terdistribusi
tidak normal, sehingga model ARCH-GARCH yang ditampilkan pada Tabel 5
masih menjadi model terbaik. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi
ketidaknormalan error dengan menggunakan metode Heteroscedasticity
Consistant Covariance Boolerslev-Wooldrige.
38

Tabel 6 Hasil uji normalitas pada model ARCH-GARCH untuk variabel harga
beras, jagung, dan kedelai
Variabel Jarque Bera Probabilitas
Harga Beras 352.658 0.000000
Harga Jagung 1157.433 0.000000
Harga Kedelai 1219.849 0.000000
Sumber: Lampiran 9
Langkah selanjutnya yang dilakukan untuk mengevaluasi model ARCH-
GARCH yang didapatkan dengan melakukan uji ARCH-LM. Uji ARCH-LM
bertujuan untuk mengetahui bahwa model yang dipilih sudah terbebas dari efek
ARCH. Tabel 7 memperlihatkan hasil dari uji ARCH-LM. Berdasarkan Tabel 7
diketahui bahwa nilai probabilitas lebih besar dari tingkat kepercayaan (α) 5
persen, sehingga model sudah terbebas dari efek ARCH.

Tabel 7 Hasil uji ARCH-LM terhadap model ARCH-GARCH untuk variabel


harga beras, jagung, dan kedelai
Variabel Probabilitas F
Harga Beras 0.2595
Harga Jagung 0.2532
Harga Kedelai 0.3741
Sumber: Lampiran 3
Volatilitas Harga

Berdasarkan hasil estimasi model ARCH-GARCH yang telah dilakukan,


dapat disimpulkan bahwa ketiga komoditas pangan dapat dianalisis volatilitasnya.
Hal ini dikarenakan ketiga model ARCH-GARCH yang dibangun memiliki efek
ARCH. Nilai volatilitas yang didapatkan dari ketiga komoditas tersebut
bervariasi. Penyajian hasil estimasi nilai volatilitas harga pangan ditampilkan
dalam bentuk grafis.

Volatilitas Harga Beras

Volatilitas harga beras pada Gambar 7 dimulai pada Januari 1985 hingga
Desember 2011. Volatilitas harga beras selalu bergerak di atas rataannya kecuali
pada tahun 1989 hingga 1994, tahun 2001 serta tahun 2003 hingga 2004.
Volatilitas harga beras Indonesia mencapai puncaknya antara tahun 1998 hingga
1999. Pada rentang waktu tersebut volatilitas harga beras mencapai lebih dari
empat standar deviasi. Setelah periode tersebut, volatilitas mulai menurun hingga
akhir tahun 2001. Pada tahun 2002, volatilitas kembali meningkat dengan nilai
mencapai dua standar deviasi, namun kembali turun sampai tahun 2004.
Volatilitas mencapai empat standar deviasi terjadi pada tahun 2005. Pada tahun
berikutnya volatilitas kembali turun dengan nilai kurang dari dua standar deviasi
walaupun berada tetap diatas nilai rataannya.
Volatilitas harga beras tertinggi terjadi pada tahun 1998 hingga 1999, hal ini
karena Indonesia mengalami krisis perekonomian yang menyebabkan kenaikan
harga terutama pada bahan pangan meningkat signifikan. Peningkatan harga yang
39

tidak terkendali pada periode tersebut disebabkan adanya risiko dan


ketidakpastian, sehingga baik konsumen maupun produsen berusaha untuk
menyimpan stok bahan pangan yang mengakibatkan kelangkaan barang di
pasaran. Kelangkaan tersebut menyebabkan harga menjadi tidak terkendali,
sehingga timbul volatilitas harga. Krisis ekonomi menyebabkan harga pangan
diserahkan pada pasar, sehingga selalu terjadi volatilitas harga.
Krisis pangan dunia terjadi antara tahun 2007 hingga 2008 dan
menimbulkan volatilitas harga pangan internasional, namun komoditas beras
relatif tidak berpengaruh. Hal ini disebabkan konsumsi dan produksi beras
terbesar terdapat di Asia, sehingga perdagangan beras internasioanl hanya terjadi
dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan bahan pangan lainnya seperti
gandum. Indonesia merupakan negara yang tidak menerima pengaruh krisis
pangan untuk komoditas beras, hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya
volatilitas harga beras Indonesia yang kurang dari dua standar deviasi seperti yang
terdapat pada Gambar 7.

0.04
0.035
0.03
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
0
2000M01
1985M01
1986M01
1987M01
1988M01
1989M01
1990M01
1991M01
1992M01
1993M01
1994M01
1995M01
1996M01
1997M01
1998M01
1999M01

2001M01
2002M01
2003M01
2004M01
2005M01
2006M01
2007M01
2008M01
2009M01
2010M01
2011M01

Volatilitas Mean (+) 2Stdev (+) 4Stdev

Gambar 7 Volatilitas harga beras Indonesia tahun 1985-2011

Volatilitas Harga Jagung

Volatilitas harga jagung Indonesia tahun 1985 hingga 2011 ditunjukkan


pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8, nilai volatilitas harga jagung bergerak
dibawah nilai rataannya kecuali pada tahun 1987 hingga 1989, 1997 hingga 1999,
dan 2002. Beberapa periode berikutnya yaitu Januari 1990 hingga Desember
2011, nilai volatilitas berada dibawah dua standar deviasi kecuali pada Januari
1997 hingga 1999 dan Januari 2002. Pada tahun 2002, volatilitas harga jagung
mencapai puncaknya dengan nilai melebihi empat standar deviasi. Dua periode
sebelumnya yaitu tahun 1997 hingga 1999, nilai volatilitas relatif tinggi yaitu
melebihi dua standar deviasi, bahkan pada Januari 1999 nilai volatilitas jagung
lebih dari empat standar deviasi.
Volatilitas harga jagung mengalami dua kali peningkatan yang signifikan
pada tahun 1997 hingga 1999 dan tahun 2002. Kondisi ini sedikit berbeda apabila
dibandingkan dengan yang terjadi pada volatilitas harga beras yang mengalami
40

peningkatan relatif tinggi hanya pada saat krisis ekonomi tahun 1998 hingga 1999.
Volatilitas harga jagung juga meningkat saat krisis ekonomi tahun 1997 hingga
1999. Kondisi ini terjadi karena ketidakstabilan ekonomi dan politik, sehingga
pasar memberikan respon negatif yang menyebabkan harga berfluktuasi tinggi.
Pada tahun 2001 hingga 2002 harga internasional komoditas jagung mengalami
peningkatan, harga jagung mulai meningkat setelah tahun 2000, sejalan dengan
peningkatan harga jagung di pasar dunia yang dipacu oleh peningkatan
permintaan jagung sebagai bahan baku untuk industri bahan bakar nonmigas atau
nabati (Kasryno et al. 2010) sehingga harga jagung domestik juga ikut meningkat
yang menyebabkan permintaan jagung turun. Pada tahun 2001-2002, ekspor
jagung dari Amerika Serikat turun, sehingga mempengaruhi harga dunia, dan
impor jagung Indonesia berasal dari Amerika Serikat (USDA 2013).

0.025

0.02

0.015

0.01

0.005

0
1994M01
1985M01
1986M01
1987M01
1988M01
1989M01
1990M01
1991M01
1992M01
1993M01

1995M01
1996M01
1997M01
1998M01
1999M01
2000M01
2001M01
2002M01
2003M01
2004M01
2005M01
2006M01
2007M01
2008M01
2009M01
2010M01
2011M01
Volatilitas Mean (+) 2Stdev (+) 4Stdev

Gambar 8 Volatilitas harga jagung Indonesia tahun 1985-2011

Volatilitas Harga Kedelai

Pergerakan volatilitas harga kedelai ditunjukkan pada Gambar 9. Volatilitas


harga kedelai mengalami peningkatan yang cukup siginifikan pada tahun 1998
hingga 1999 dan tahun 2008. Pada awal tahun 1985 hingga 1997, volatilitas harga
kedelai relatif kecil dan cenderung stabil, walaupun pada periode tersebut
volatilitas bergerak pada nilai rataannya. Volatilitas yang cenderung stabil
disebabkan semua harga komoditas pangan dikendalikan oleh pemerintah.
Nilai volatilitas pada tahun 1985 sampai 1997 kurang dari dua standar
deviasi, namun pada tahun 1998 hingga 1999 dan 2008 nilai volatilitas melebihi
empat standar deviasi. Pada periode setelah tahun 1999 dan 2008 nilai volatilitas
kembali berada di bawah dua standar deviasi.
Pada Gambar 9, nilai volatilitas yang relatif tinggi terjadi pada dua periode
yaitu tahun 1998 dan tahun 2008. Pada tahun 1998 Indonesia sedang mengalami
krisis ekonomi dan sebagian besar komoditas pangan mengalami volatilitas harga
yang relatif tinggi pada tahun tersebut. Pada tahun 2008 dunia internasional
sedang mengalami krisis pangan dan kedelai sebagai salah satu pangan pokok
dunia mengalami peningkatan harga yang tinggi. Krisis pangan internasional juga
41

berdampak terhadap harga dalam negeri yang ikut mengalami kenaikan.


Komoditas kedelai di Indonesia merupakan komoditas impor, sehingga harga
dalam negeri dipengaruhi oleh harga internasional. Produksi kedelai Indonesia
yang relatif sedikit tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri yang tinggi,
sehingga kedelai harus diimpor dari luar negeri dengan negara eksportir utama
adalah Amerika Serikat. Konsumsi kedelai di Indonesia dalam setahun mencapai
2,25 juta ton, sementara jumlah produksi nasional mampu memasok kebutuhan
kedelai hanya sekitar 779 ribu ton. Kekurangan pasokan sekitar 1,4 juta ton,
ditutup dengan kedelai impor dari Amerika Serikat (Nugrayasa 2013). Produksi
kedelai dalam negeri ternyata belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan
domestik dalam setahun, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut setiap
tahun Indonesia mengimpor kedelai dari Amerika Serikat (AS) dan Brazil yang
mencapai 70-80% dari total kebutuhan.

0.016
0.014
0.012
0.01
0.008
0.006
0.004
0.002
0
1988M04

1995M11
1985M01
1986M02
1987M03

1989M05
1990M06
1991M07
1992M08
1993M09
1994M10

1996M12
1998M01
1999M02
2000M03
2001M04
2002M05
2003M06
2004M07
2005M08
2006M09
2007M10
2008M11
2009M12
2011M01
Volatilitas Mean (+) 2Stdev (+) 4Stdev

Gambar 9 Volatilitas harga kedelai Indonesia tahun 1985-2011

Ketiga harga komoditas memiliki volatilitas yang beragam, hal ini berarti
mengindikasikan bahwa harga ketiga bahan pangan pokok tersebut memiliki
risiko serta ketidakpastian yang relatif tinggi baik bagi produsen maupun
konsumen. Dalam dunia internasional, volatilitas harga pangan telah terjadi sejak
beberapa tahun dan berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan dalam penelitian
ini menyatakan bahwa harga pangan pokok di Indonesia juga mengalami
volatilitas. Volatilitas harga yang cukup tinggi terjadi pada saat krisis ekonomi
untuk ketiga komoditas pangan pokok. Hal ini wajar karena inflasi yang tinggi,
nilai tukar rupiah terhadap dollar yang rendah dan timbulnya kondisi politik yang
tidak stabil membuat harga pangan pokok menjadi tidak terkendali. Volatilitas
harga pangan pokok yang tinggi juga terjadi pada saat krisis pangan internasional
terutama pada komoditas kedelai.

Perbandingan Volatilitas Tiga Komoditas Pangan

Volatilitas harga beras, jagung dan kedelai dihitung menggunakan model


ARCH-GARCH dengan ukuran yang dipakai adalah standar deviasi. Ukuran
42

volatilitas yang semakin tinggi menunjukkan bahwa komoditas tersebut lebih


tidak stabil harganya. Ketidak stabilan harga komoditas dipengaruhi oleh
permintaan dan penawarannya serta kebijakan yang diterapkan. Ketiga komoditas
dalam penelitian ini merupakan kelompok makanan pokok, sehingga sangat
penting untuk diketahui perbandingan volitilitas ketiganya.
Hasil perhitungan volatilitas dari ketiga komoditas pangan ini akan
dibandingkan berdasarkan periode waktu. Periode waktu yang digunakan
dibedakan menjadi dua yaitu masa sebelum krisis dan setelah krisis ekonomi. Hal
ini dikarenakan adanya perbedaan situasi ekonomi dan politik yang menyebabkan
perubahan arah kebijakan. Periode sebelum krisis dimulai dari tahun 1985 hingga
1997, sedangkan periode setelah krisis dimulai dari tahun 1998 sampai 2011.
Pada periode sebelum krisis, volatilitas harga ketiga komoditas berada di
bawah dua standar deviasi hingga tahun 1997, kecuali volatilitas harga jagung
yang nilainya melebihi dua standar deviasi (Gambar 7, 8 dan 9). Volatilitas harga
ketiga komoditas dalam periode sebelum krisis relatif rendah hal ini disebabkan
oleh adanya kebijakan stabilisasi harga untuk beras (Timmer 2009), kondisi harga
jagung yang stabil (Kasryno et al. 2010), dan harga kedelai yang juga stabil
karena masih dalam kendali BULOG (Amang et al. 1996).
Volatilitas yang relatif tinggi terjadi pada periode setelah krisis ekonomi.
Krisis ekonomi di Indonesia dimulai pada tahun 1998 sehingga pada periode ini
harga-harga pangan melonjak dan menjadi tidak terkendali. Harga pangan
diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar karena pemerintah sudah tidak
mampu untuk mengelola pasar. Akibat yang ditimbulkan dari pengelolaan harga
oleh pasar adalah harga pangan yang berfluktuasi yang dapat menimbulkan
volatilitas. Volatilitas ketiga harga pangan pada tahun 1998-1999 melebihi empat
standar deviasi, namun beras merupakan komoditas yang memiliki volatilitas
harga tertinggi. Pada tahun 2002, volatilitas harga jagung melebihi empat standar
deviasi dan menjadi komoditas dengan volatilitas tertinggi pada tahun tersebut
dibanding dua komoditas lainnya. Pada tahun 2008, volatilitas harga kedelai
merupakan yang tertinggi karena nilainya berada di atas empat standar deviasi,
sedangkan dua komoditas lainnya yaitu beras dan jagung memiliki nilai di bawah
dua standar deviasi (Gambar7, 8 dan 9). Berdasarkan keterangan di atas, maka
volatilitas harga komoditas yang tertinggi pada masa sebelum krisis adalah
jagung, sedangkan masa setelah krisis berbeda-beda untuk tiga tahun yang
berbeda.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Pangan

Volatilitas Harga Beras

Hasil perhitungan untuk volatilitas harga beras terhadap nilai tukar riil,
harga minyak dunia, suku bunga riil, produksi beras domestik, harga beras dunia
dan iklim ditunjukkan pada Tabel 8. Variabel iklim didekati menggunakan
variabel curah hujan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan curah
hujan dapat menggambarkan perubahan iklim yang terjadi saat ini. Dua unsur
utama iklim adalah suhu dan curah hujan. Indonesia sebagai daerah tropis
ekuatorial mempunyai variasi suhu yang kecil, sementara variasi curah hujannya
cukup besar. Oleh karena itu curah hujan merupakan unsur iklim yang paling
43

sering diamati dibandingkan dengan suhu (Hermawan 2010). Beberapa peneliti


yang mengkaji iklim Indonesia berdasarkan curuh hujan rata-rata bulanan wilayah
Indonesia menurut Aldrian (2000) adalah Braak (1921); Depperman (1941);
Preedy (1966).
Model ARCH-GARCH yang dipilih untuk menjawab faktor-faktor yang
mempengaruhi volatilitas harga beras adalah GARCH (1,2). Model ini telah
terbebas dari multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Model
volatilitas harga beras dan faktor-faktornya memiliki nilai R-Square sebesar 0.19
yang artinya model volatilitas harga beras dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya dapat dijelaskan oleh variabel nilai tukar riil (EXC), harga
minyak dunia (OIL), suku bunga riil (INT), produksi beras (PRODB) dan curah
hujan (WTH) sebesar 19 persen dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain.
Berdasarkan Tabel 8, variabel yang berpengaruh signifikan pada tingkat
kepercayaan 5 persen adalah variabel nilai tukar riil, harga minyak dunia, suku
bunga riil, dan produksi beras. Koefisien nilai tukar riil bertanda positif yang
berarti apabila nilai tukar riil naik sebesar 1 persen maka volatilitas harga beras
akan naik sebesar 0.51 persen. Nilai tukar riil memiliki elastisitas yang bernilai
kurang dari satu, sehingga nilai tukar riil bersifat inelastis dalam merespon adanya
perubahan dari volatilitas harga beras.

Tabel 8 Model volatilitas harga beras dengan faktor-faktor yang


mempengaruhinya
Variabel Koefisien Probabilitas
C 1.972619 0.7073
EXC 0.516912 0.0061
OIL 0.601176 0.0001
INT -0.020255 0.0026
WORLDB 0.223926 0.3833
PRODB -0.978705 0.0140
WTH -0.032853 0.1874
R-Squared = 0.194538
Adjusted R-Squared = 0.168639
Sumber: Lampiran 4
Hubungan antara nilai tukar riil dan volatilitas harga beras adalah positif
berdasarkan penelitian ini dan sejalan dengan penelitian Roache (2010); Wilson
(2012); Braun dan Tadesse (2012). Roache menyatakan bahwa kenaikan
volatilitas nilai tukar dollar Amerika Serikat berdampak positif terhadap variasi
harga pangan. Menurut Wilson, nilai tukar berjalan menunjukkan pengaruh positif
terhadap harga pangan, tetapi berpengaruh negatif untuk nilai tukar yang lalu.
Hubungan positif hanya terjadi pada jangka pendek menurut Braun dan Tadesse.
Berdasarkan Braun dan Tadesse, nilai tukar memiliki peran penting dalam
perdagangan internasional negara-negara berkembang. Alasan yang mendasari hal
ini karena melalui perdagangan komoditas pertanian, negara-negara berkembang
akan mendapatkan sumber devisa yang besar. Oleh karena itu dalam jangka
pendek, nilai tukar berpengaruh positif terhadap harga komoditas karena harga
komoditas dunia yang tinggi akan meningkatkan devisa negara. Kenaikan harga
komoditas pada jangka pendek tidak akan memberikan hasil yang lebih baik lagi
44

jika berlangsung dalam waktu lama karena dapat menimbulkan spekulasi.


Spekulasi mengakibatkan harga menjadi berfluktuasi begitu pula dengan investasi
pada produk pertanian, sehingga pada jangka panjang nilai tukar dapat mengalami
volatilitas.
Sebagian besar perdagangan internasional komoditas pertanian
menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat (AS). Nilai mata uang dollar AS
mengalami depresiasi terutama pada tahun 2006 hingga 2008. Depresiasi mata
uang dollar AS tersebut mengakibatkan harga produk pertanian meningkat )Abbot
et al. 2008; Mitchell 2008; Timmer 2009; Gilbert 2010; Tangermann 2011).
Menurut Abbot et al. (2008), pada kurun waktu 2002-2007, dollar AS
terdepresiasi 22 persen, sehingga ekspor biji-bijian meningkat dengan nilai ekspor
meningkat sebesar 54 persen, dan harga komoditas di AS meningkat. Menurut
Timmer (2009), terdepresiasinya mata uang dollar AS, mengakibatkan terjadinya
kenaikan spekulasi keuangan di pasar komoditas. Hal ini langsung terkait dengan
harga komoditas, sehingga harga berpotensi menjadi lebih volatil, namun untuk
kasus beras menurut Timmer, dalam jangka pendek sulit dijelaskan.
Berbagai hasil penelitian tentang hubungan nilai tukar dan volatilitas harga
tersebut menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan nilai tukar dan volatilitas harga pangan bersifat kasus per kasus dimana
masing-masing dalam kondisi yang spesifik, sehingga tidak dapat diambil
kesimpulan yang berlaku umum. Miguez dan Michelena (2011) menjelaskan
bahwa volatilitas enam komoditi pangan di Argentina yang diteliti tidak dapat
dijelaskan dengan faktor yang sama. Selain itu, volatilitas harga adalah suatu
fenomena komplek yang penyebabnya tidak dapat ditentukan oleh satu variabel.
Pasar beras dunia merupakan pasar yang “tipis” sehingga transaksi beras di
pasar dunia lebih bersifat kontrak, bukan pasar bebas, Gilbert dan Morgan (2010)
menyebutnya sebagai pasar yang terpisah dengan jenis pangan lainnya, artinya
perubahan harga beras dangan jenis pangan lain relatif kecil ditransmisikan, vice
versa. Atas dasar sifat beras tersebut, maka bagi negara konsumen beras utama,
beras lebih menjadi isu politik dibanding isu ekonomi, sehingga bagaimanapun
volatilitas harga beras terus diupayakan kestabilannya (Timmer 2009).
Harga minyak dunia bertanda positif dengan nilai koefisien sebesar 0.60
yang berarti jika harga minyak dunia meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas
harga beras akan naik 0.60 persen. Elastisitas harga minyak dunia kurang dari
satu, sehingga harga minyak dunia tidak elastis dalam merespon adanya
perubahan dari volatilitas harga beras.
Minyak merupakan sumber energi terbanyak yang digunakan oleh seluruh
negara. Peningkatan harga minyak dunia merupakan penyebab utama krisis
pangan yang terjadi pada tahun 1970-an dan 2006-2008. Hal ini disebabkan oleh
dua faktor (Tangerman 2011) yaitu, pertama minyak dunia berhubungan erat
dengan biaya produksi pertanian. Minyak dunia merupakan bahan baku
pembuatan pupuk, sehingga jika harga minyak dunia meningkat maka harga
pupuk akan ikut meningkat dan mengakibatkan biaya produksi untuk pertanian
ikut meningkat. Biaya produksi pertanian yang tinggi menyebabkan harga produk
pertanian menjadi tinggi pula, sehingga volatilitas harga pangan tidak dapat
dihindarkan.
Kedua, harga minyak dunia yang semakin tinggi membuat para pelaku
kebijakan beralih menggunakan energi terbarukan (bio-energi) yang berasal dari
45

tanaman pangan (Harri et al. 2009). Permintaan yang meningkat terhadap bio-
energi menjadikan tanaman pangan diproduksi untuk menyediakan kebutuhan
bagi energi terbarukan tersebut dibandingkan konsumsi rumah tangga. Oleh
karena itu, penawaran terhadap tanaman pangan untuk konsumsi berkurang
sedangkan permintaan tetap, sehingga harga pangan meningkat dan membuat
harga berfluktuasi.
Suku bunga memiliki tanda negatif dengan koefisien bernilai 0.02.
Koefisien yang negatif berarti memiliki hubungan terbalik antara variabel
dependen dan independen. Jika suku bunga turun sebesar 1 persen, maka
volatilitas harga beras akan naik sebesar 0.02 persen. Elastisitas suku bunga
cenderung tidak elastis karena memiliki nilai kurang dari satu.
Suku bunga memiliki pengaruh negatif terhadap volatilitas berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Roache (2010). Suku bunga rendah
menjadikan investor beralih untuk menginvestasikan dananya kedalam bentuk
investasi fisik dibandingkan bentuk liquid (Tangermann 2011; Miguez dan
Michelena 2011) seperti investasi di bidang pertanian. Investasi ini menyebabkan
produksi pertanian meningkat, sehingga dari sisi penawaran harga produk
pertanian akan meningkat. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Irawan
(2005) yang menyatakan bahwa investasi dalam jangka panjang akan
meningkatkan harga output.
Produksi beras memiliki tanda koefisien yang berbeda dibandingkan dengan
nilai tukar riil dan harga minyak dunia. Koefisien produksi beras bertanda negatif
dengan nilai 0.97 yang menunjukkan bahwa jika produksi beras naik 1 persen,
maka volatilitas harga beras akan turun sebesar 0.97 persen. Nilai elastisitas
produksi beras adalah kurang dari satu yang berarti produksi beras bersifat
inelastis dalam merespon perubahan volatilitas harga beras.
Produksi beras yang tinggi menyebabkan ketersediaan beras cukup banyak
di pasaran. Melimpahnya persediaan beras membuat harga beras akan turun jika
tambahan produksi lebih besar dibandingkan tambahan permintaan, sehingga
volatilitas relatif kecil. Produksi beras yang cenderung stabil akan membuat harga
beras stabil, sehingga pada musim paceklik pemerintah mengupayakan impor
beras untuk menjaga kestabilan produksi beras agar harga beras tetap stabil.
Sebaliknya pada musim panen pemerintah akan menyimpan beras agar dapat
digunakan saat musim paceklik. Oleh karena itu untuk mengelola volatilitas harga
beras, peranan manajemen stok sangat penting, seperti yang dikemukakan oleh
Timmer (1996).

Volatilitas Harga Jagung

Jagung adalah salah satu bahan pangan pokok alternatif selain beras bagi
masyarakat Indonesia khususnya di wilayah Madura dan Indonesia Timur.
Kebutuhan jagung di Indonesia sebagian masih bergantung pada impor dan
sisanya merupakan produksi dalam negeri. Jagung selain digunakan untuk
konsumsi juga untuk makanan ternak serta biofuel.
Model volatilitas harga jagung dengan menggunakan model ARCH-
GARCH terdapat pada Tabel 9. Model ARCH-GARCH yang dipilih untuk
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga jagung adalah
model TARCH dengan memasukkan logaritma GARCH sebagai variabel bebas
46

dan menambahkan harga jagung dunia kedalam model varian error-nya. Model
TARCH yang dipilih sudah terbebas dari masalah heteroskedastisitas,
autokorelasi dan, multikolinearitas.
Nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.59 yang artinya model
volatilitas harga jagung dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat
dijelaskan oleh variabel nilai tukar riil (EXC), harga minyak dunia (OIL), suku
bunga riil (INT), harga jagung dunia (WORLDJ) produksi jagung domestik
(PRODJ) dan curah hujan (WTH) sebesar 59 persen dan sisanya dijelaskan oleh
faktor lain. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap volatilitas harga
jagung pada taraf nyata 5 persen yaitu nilai tukar riil, suku bunga riil dan produksi
jagung. Variabel yang memiliki pengaruh signifikan pada taraf nyata 10 persen
adalah harga jagung dunia.
Nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat. Nilai tukar riil memiliki koefisien sebesar 0.42 dengan
parameter bertanda positif. Apabila nilai tukar riil meningkat sebesar 1 persen,
maka volatilitas harga jagung meningkat sebesar 0.42 persen. Koefisien dalam
persamaan jangka panjang menjelaskan tentang elastisitas. Elastisitas nilai tukar
rupiah bernilai kurang dari satu, artinya nilai tukar riil bersifat inelastis dalam
merespon adanya perubahan dari volatilitas harga jagung.

Tabel 9 Model volatilitas harga jagung dengan faktor-faktor yang


mempengaruhinya
Variabel Koefisien Probabilitas
LOG(GARCH) 0.723448 0.0000
C -5.314110 0.0011
EXC 0.421632 0.0052
OIL 0.096857 0.5185
INT -0.019169 0.0000
WORLDJ 0.943353 0.0582
PRODJ -0.337454 0.0048
WTH -0.030831 0.2303
R-Squared = 0.592381
Adjusted R-Squared = 0.576602
Sumber: Lampiran 4
Mata uang dollar Amerika Serikat merupakan alat utama yang banyak
digunakan dalam transaksi perdagangan internasional termasuk pertanian. Nilai
mata uang dollar Amerika Serikat terhadap beberapa mata uang domestik seperti
rupiah mengalami depresiasi pada tahun 2006. Depresiasi dollar Amerika Serikat
menyebabkan harga meningkat bagi produsen maupun konsumen di Amerika,
namun penurunan harga untuk pelaku ekonomi diluar pengguna mata uang dollar
Amerika Serikat. Depresiasi suatu mata uang juga menyebabkan perubahan daya
beli konsumen (Gilbert dan Morgan 2010).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai tukar riil berpengaruh
signifikan terhadap volatilitas harga jagung dengan tanda positif. Nilai tukar
rupiah yang tinggi terhadap dollar Amerika menyebabkan harga jagung di dalam
negeri ikut meningkat karena sebagian besar jagung untuk konsumsi dalam negeri
masih impor. Hasil penelitian ini senada dengan Kariyasa dan Sinaga (2004) yang
47

menyatakan bahwa nilai tukar rupiah merupakan peubah utama yang berpengaruh
terhadap volume impor jagung Indonesia. Atas dasar hal tersebut secara teoritis
jika rupiah terdepresiasi terhadap dollar Amerika, maka permintaan impor jagung
akan berkurang, dan sebaliknya. Hal ini berarti fluktuasi harga jagung yang
menggambarkan volatilitas harganya dipengaruhi oleh nilai tukar.
Suku bunga riil berpengaruh negatif dan memiliki nilai koefisien sebesar
0.01. Arti dari koefisien yang bertanda negatif yaitu jika suku bunga riil
meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga jagung akan turun sebesar 0.01
persen. Elastisitas yang dimiliki oleh suku bunga riil adalah inelastis karena
bernilai kurang dari satu.
Suku bunga tinggi mengakibatkan peningkatan penawaran atau menurunkan
permintaan barang yang dapat disimpan. Berdasarkan Frankel (2006) adanya
kontraksi moneter menyebabkan meningkatnya suku bunga. Harga riil komoditas
turun hingga dinyatakan tidak mempunyai nilai kembali. Arti dari tidak
bernilainya suatu barang apabila terjadi apresiasi nilai suatu barang di masa depan
yang dapat mengimbangi turunnya suku bunga.
Harga jagung dunia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap volatilitas
harga jagung pada tingkat kepercayaan sebesar 10 persen. Koefisien harga jagung
dunia bertanda positif dengan nilai sebesar 0.94. Arti dari koefisien sebesar 0.94
adalah jika harga jagung dunia meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga
jagung dunia meningkat sebesar 0.94 persen. Nilai koefisien harga jagung dunia
yang bernilai kurang dari satu menunjukkan bahwa harga jagung dunia bersifat
inelastis dalam merespon adanya perubahan pada volatilitas harga jagung.
Harga jagung dunia yang meningkat terutama pada saat terjadinya krisis
pangan menyebabkan harga jagung dalam negeri ikut terpengaruh. Harga jagung
domestik juga meningkat karena sebagian besar kebutuhan jagung dalam negeri
masih dipenuhi dari impor, sehingga volatilitas relatif tinggi.
Koefisien produksi jagung sebesar 0.33 dan bertanda negatif yang artinya
jika produksi jagung meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga jagung
akan turun sebesar 0.33 persen. Elastisitas yang dihasilkan menunjukkan bahwa
produksi jagung tidak elastis terhadap perubahan volatilitas haga jagung karena
elastisitas yang bernilai kurang dari satu.
Produksi jagung yang tinggi membuat jagung banyak tersedia di pasaran
sehingga harga jagung akan turun. Turunnya harga jagung menyebabkan
volatilitas harga jagung menjadi kecil. Kebutuhan jagung Indonesia sebagian
besar diperoleh dari impor dibandingkan dengan produksi domestik. Hal ini
disebabkan keadaan iklim di Indonesia yang tidak cocok untuk menanam jagung
kecuali untuk daerah-daerah tertentu, sehingga bila produksi domestik dapat
meningkat akan berdampak pada menurunnya harga jagung domestik.
Menurut Kasryno et al. (2010) diperkirakan lebih dari 55 persen kebutuhan
jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan
hanya sekitar 30 persen, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan
bibit. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai
bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan. Permintaan jagung untuk
industri, terutama industri pakan, telah mendorong peningkatan harga jagung di
dalam negeri maupun di pasar internasional. Harga jagung di pasar dunia pada
tahun 2004 -2007 terus berfluktuasi. Harga jagung diperkirakan akan terus
meningkat karena meningkatnya permintaan untuk industri ethanol sebagai bahan
48

bakar nabati (BBN). Pergeseran jagung menjadi bahan baku industri menjadikan
kebijakan untuk mengelola volatilitas harganya harus memperhitungkan banyak
faktor, antara lain kebijakan di sektor pakan (ternak) dan biofuel.

Volatilitas Harga Kedelai

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia


tetapi ketergantungan terhadap impor cukup besar. Oleh karena itu berpotensi
menyebabkan ketidakstabilan harga kedelai di pasar domestik. Dengan demikian
diperlukan kebijakan ekonomi yang tepat guna menjaga kestabilan harga dan
ekonomi kedelai secara keseluruhan di Indonesia.
Model volatilitas harga kedelai dan faktor-faktor yang mempengaruhi
terdapat pada Tabel 10. Model tersebut diestimasi menggunakan model ARCH-
GARCH. Model ARCH-GARCH yang dipilih adalah GARCH (1,1) dengan
menambahkan unsur AR(1) pada variabel bebasnya dan variabel produksi kedelai
di persamaan error-nya. Penambahan kedua variabel tersebut berguna untuk
menghilangkan efek heteroskedastisitas dan autokorelasi. Model yang dipilih
sudah terbebas dari efek heteroskedastisitas berdasarkan uji ARCH-LM dan
terbebas dari autokorelasi berdasarkan korelogram dan nilai statistik Durbin
Watson.
Nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.49 yang artinya model
volatilitas harga jagung dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat
dijelaskan oleh variabel nilai tukar riil (EXC), harga minyak dunia (OIL), suku
bunga riil (INT), harga kedelai dunia (WORLDK), produksi kedelai domestik
(PRODK) dan curah hujan (WTH) sebesar 49 persen dan sisanya dijelaskan oleh
faktor lain. Tabel 10 menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara
signifikan terhadap volatilitas harga kedelai pada taraf nyata 5 persen adalah
adalah variabel nilai tukar riil, harga minyak dunia, dan suku bunga riil,
sedangkan variabel harga kedelai dunia dan produksi kedelai domestik signifikan
pada taraf nyata 10 persen. Curah hujan signifikan pada taraf nyata 15 persen.

Tabel 10 Model volatilitas harga kedelai dengan faktor-faktor yang


mempengaruhinya
Variabel Koefisien Probabilitas
C -19.05459 0.0000
EXC 0.607132 0.0028
OIL 0.478212 0.0323
INT -0.019674 0.0040
WORLDK -0.935678 0.0805
PRODK 0.463191 0.0813
WTH 0.057833 0.1376
AR(1) 0.491788 0.0000
R-Squared = 0.495938
Adjusted R-Squared = 0.477994
Sumber: Lampiran 4
Variabel nilai tukar riil memiliki pengaruh positif terhadap volatilitas harga
kedelai. Koefisien nilai tukar riil sebesar 0.60 yang bermakna jika nilai tukar riil
49

meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga kedelai akan naik sebesar 0.60
persen. Elastisitas yang dimiliki oleh nilai tukar riil ditunjukkan melalui nilai
koefisiennya. Elastisitas nilai tukar riil bernilai kurang dari satu yang berarti
bersifat inelastis terhadap volatilitas harga kedelai.
Indonesia adalah negara pengimpor kedelai yang cukup besar relatif
terhadap kebutuhannya, yaitu lebih kurang sebesar 70 persen. Ketergantungan
terhadap impor yang cukup besar menunjukkan rawannya perubahan harga
kedelai di dalam negeri akibat perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika. Jika nilai tukar dollar terhadap rupiah semakin tinggi (artinya rupiah
terdepresiasi) maka akan meningkatkan harga kedelai dan sebaliknya, hal ini
berarti volatilitas harga kedelai berkorelasi positif dengan perubahan nilai tukar.
Kerawanan ini tidak hanya ditinjau secara ekonomi, tetapi juga berpotensi
menjadi isu sosial-politik, karena kedelai merupakan bahan baku konsumsi
makanan seperti, tahu, tempe dan jenis makanan lainnya. Oleh karena itu upaya
untuk menstabilkan harga kedelai penting untuk dilakukan. Dalam jangka pendek,
impor diharapkan mampu menjaga stabilitas harga kedelai dan membatasi
munculnya spekulan. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah melalui Perum Bulog
melakukan impor kedelai dengan mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 23
tahun 2013.
Harga minyak dunia mempunyai tanda koefisien positif dengan nilai sebesar
0.47 yang bermakna bila harga minyak naik 1 persen, maka volatilitas harga
kedelai akan meningkat sebesar 0.47 persen. Nilai koefisien yang kurang dari satu
membuat elastisitas harga minyak dunia menjadi tidak elastis, sehingga tidak
dapat merespon perubahan volatilitas harga kedelai. Pengaruh volatilitas harga
minyak dunia terhadap volatitilitas harga pangan telah dilakukan oleh beberapa
peneliti yaitu, Guidry (2006); Braun dan Torero (2008); Harri et al. (2009);
Roache (2010). Dengan demikian penelitian ini sejalan dengan beberapa peneliti
tersebut.
Suku bunga riil bertanda negatif dan memiliki nilai koefisien 0.01 yang
berarti apabila suku bunga riil meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga
kedelai akan turun sebesar 0.01 persen. Elastisitas suku bunga kurang dari satu
yang menandakan bahwa suku bunga riil tidak elastis sehingga tidak dapat
merespon adanya perubahan pada volatilitas harga kedelai. Pengaruh suku bunga
terhadap volatilitas harga pangan seperti kedelai dapat dihubungkan melalui
investasi. Secara teori, suku bunga berkorelasi negatif dengan investasi, artinya
jika suku bunga rendah, investasi cenderung meningkat. Indonesia terus berupaya
untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai, untuk keperluan tersebut
maka diperlukan investasi, baik untuk keperluan intensifikasi maupun
ekstensifikasi. Dengan demikian bila suku bunga naik atau turun maka investasi
cenderung menurun atau meningkat, berarti akan mempengaruhi produksi, dan
selanjutnya akan mempengaruhi pasar kedelai yang pada akhirnya akan
mempengaruhi volatilitas harga kedelai. Suku bunga juga dapat mempengaruhi
spekulasi finansial di pasar komoditas, yang akan mempengaruhi harga dan
volatilitas harga komoditas.
Variabel harga kedelai dunia diduga berpengaruh terhadap volatilitas harga
kedelai. Berdasarkan Tabel 10, harga kedelai dunia berpengaruh pada taraf nyata
10 persen dengan nilai koefisien sebesar 0.93 dengan tanda negatif. Arti dari tanda
negatif adalah jika harga kedelai dunia meningkat sebesar 1 persen, maka
50

volatilitas harga kedelai turun sebesar 0.93 persen. Elastisitas harga kedelai dunia
yang tercermin dari nilai koefisien mempunyai nilai kurang dari satu, sehingga
bersifat inelastis dalam merespon perubahan volatilitas harga kedelai.
Harga kedelai dunia yang meningkat menyebabkan harga impor kedelai
naik. Naiknya harga impor membuat pemerintah giat untuk meningkatkan
produksi kedelai domestik sehingga harga kedelai domestik tidak akan terganggu
dengan naiknya harga dunia. Stabilnya harga kedelai domestik menyebabkan
volatilitas harga pangan dapat ditekan. Hal tersebut dapat terjadi jika kebijakan
yang diambil oleh pemerintah adalah swasembada pangan, namun apabila
kebijakan yang diambil tetap berorientasi impor maka akan menyebabkan
fluktuasi harga kedelai dalam negeri yang membuat volatilitas harga kedelai tidak
dapat dihindari.
Nilai koefisien produksi kedelai sebesar 0.46 dan bertanda positif yang
bermakna jika produksi kedelai meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas
harga kedelai akan naik sebesar 0.46 persen. Elastisitas produksi kedelai bernilai
kurang dari satu sehingga produksi kedelai tidak elastis dalam merespon
perubahan volatilitas harga kedelai. Hingga saat ini kedelai yang ada di pasaran
sebagian besar merupakan kedelai impor, sehingga terdapat keinginan untuk
mengembangkan produksi kedelai dalam negeri, namun menurut Amang et al.
(1996) laju produksi dan produktivitas kedelai Indonesia masih rendah. Hal ini
juga ditunjukkan dengan jenis kedelai yang ditanam adalah kedelai konvensional,
produktivitasnya masih rendah, yaitu kedelai Non GMO (genetic modified
organism). Atas dasar kondisi tersebut maka peningkatan jumlah produksi dalam
negeri nampaknya tidak mempengaruhi pasar kedelai domestik. Pasar kedelai
masih dominan ditentukan kedelai impor dengan struktur pasar oligopoli.
Variabel cuaca yang didekati dengan curah hujan berpengaruh positif
dengan nilai koefisien sebesar 0.05 yang berarti apabila curah hujan meningkat
sebesar 1 persen, maka volatilitas harga kedelai meningkat sebesar 0.05 persen.
Elastisitas curah hujan yaitu inelastis karena nilai koefisien yang kurang dari satu.
Semua variabel yang berpengaruh signifikan memiliki elastisitas yang inelastis,
sehingga semua variabel tidak dapat merespon adanya perubahan pada volatilitas
harga kedelai.
Cuaca ekstrim yang banyak terjadi di dunia seperti El Nino dan La Nina
menyebabkan perubahan pada produksi pangan (Roache 2010). Cuaca ekstrim
juga dapat merubah pola panen beberapa komoditas, sehingga ketersediaan
pangan di pasaran domestik maupun internasional dapat terganggu. Perubahan
ketersediaan pangan di pasaran membuat harga pangan berfluktuasi sehingga
volatilitas harga pangan tidak dapat dihindarkan. Akibat adanya cuaca ekstrim
membuat produksi pangan dapat melimpah maupun sebaliknya.
Cuaca yang didekati dengan variabel curah hujan pada penelitian ini
bertanda positif yang berarti jika curah hujan tinggi, maka volatilitas harga kedelai
akan tinggi. Kedelai merupakan tanaman pangan yang sebagian besar
ketersediannya masih diimpor dan hanya sedikit daerah di Indonesia yang dapat
ditanami kedelai. Kedelai menurut Aak (2002) adalah tanaman yang hidup di
daerah kering, apabila terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi akan
menurunkan produksi kedelai karena terjadi gagal panen. Produksi kedelai yang
turun menyebabkan harga kedelai melonjak naik. Harga kedelai yang meningkat
dapat menimbulkan volatilitas.
51

Indikator Makroekonomi dan Volatilitas Harga Pangan

Inflasi dan produk domestik bruto (PDB) merupakan bagian dari indikator
makroekonomi. Inflasi dipilih menjadi salah satu variabel untuk kinerja
makroekonomi karena inflasi merupakan salah satu masalah perekonomian yang
dapat mempengaruhi sektor riil maupun moneter (Glahe 1977). Pada sektor riil,
inflasi mempengaruhi belanja pemerintah dan pajak. Pada sektor moneter inflasi
dapat mempengaruhi suku bunga dan jumlah uang beredar. Sektor riil dan
moneter merupakan dua sektor utama dalam perekonomian dan bila terjadi inflasi
dampak yang ditimbulkan akan menyebar pada berbagai pelaku ekonomi seperti
pemerintah, rumah tangga dan perusahaan. Data inflasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah inflasi harga umum.
Output nasional atau PDB adalah alat yang biasa digunakan untuk
mengukur aktivitas makroekonomi (Glahe 1977). PDB merupakan nilai dari
seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara selama satu tahun.
Nilai barang dan jasa PDB merupakan nilai final produk tersebut. Barang dan jasa
dihitung secara menyeluruh baik yang digunakan oleh konsumen dan produsen,
sehingga PDB dapat dijadikan sebagai salah satu indikator makroekonomi. Dalam
output nasional terdapat sembilan sektor yang dihitung yaitu, sektor pertanian
dalam arti luas, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik; gas;
dan air bersih, konstruksi, perdagangan; hotel dan restoran, pengangkutan dan
komunikasi, keuangan; real estat; dan jasa perusahaan, terakhir adalah jasa-jasa.
PDB yang dibahas dalam penelitian ini merupakan PDB sektor pertanian secara
umum. Pemilihan PDB sektor pertanian dikarenakan volatilitas harga yang
diestimasi adalah harga komoditas pangan.

Pengaruh Volatilitas Harga Pangan terhadap Inflasi

Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi. Inflasi adalah


kenaikan harga rata-rata secara umum. Kenaikan harga pangan dunia pada tahun
2008 menyebabkan inflasi cukup tinggi bagi negara-negara berkembang (Hossain
dan Rafiq 2012). Inflasi pangan lebih berpengaruh terhadap keseluruhan
perekonomian pada jangka panjang dibandingkan inflasi non pangan jika nilai
rata-rata inflasi pangan lebih besar dibandingkan non pangan. Inflasi juga akan
berpengaruh apabila guncangan harga pangan lebih volatil dibandingkan harga
non pangan (Walsh 2011). Pada kasus Indonesia, inflasi di sektor pertanian
dipengaruhi oleh harga material. Harga material itu sendiri dipengaruhi oleh harga
output, sehingga untuk mengatasi inflasi di sektor pertanian dapat dilakukan
dengan menstabilkan harga komoditas pertanian (Irawan 2005). Berdasarkan hal
tersebut, volatilitas harga komoditas akan diuji untuk menjelaskan hubungan
antara inflasi dan harga komoditas.

Uji Stasioneritas Data

Uji akar unit digunakan untuk mengetahui kestasioneran data rentet waktu.
Data dikatakan stasioner apabila nilai t-statistik ADF lebih kecil dibandingkan
nilai kritis MacKinnon. Nilai kritis MacKinnon dibedakan menjadi tiga yaitu pada
taraf nyata 1, 5 dan 10 persen, namun pada penelitian ini digunakan nilai kritis
52

MacKinnon pada taraf nyata 5 persen. Data dapat stasioner pada tingkat level, first
difference maupun second difference. Berdasarkan Tabel 11, semua data stasioner
pada level kecuali data nilai tukar. Hal ini dikarenakan nilai tukar stasioner pada
first difference. Nilai tukar memiliki nilai ADF t-statistik lebih besar
dibandingkan nilai kritis MacKinnon sehingga data memiliki akar unit pada
tingkat level, maka dari itu data nilai tukar tidak stasioner pada level.
Hasil uji akar unit yang ditunjukkan pada Tabel 11 telah memenuhi kriteria
untuk diestimasi menggunakan metode ECM. Hal ini dikarenakan terdapat satu
variabel yaitu nila tukar tidak stasioner pada level. ECM dapat dipakai jika
minimal terdapat satu variabel dalam model yang tidak stasioner pada level. Taraf
nyata yang digunakan pada penelitian ini tercermin dari nilai kritis MacKinnon.
Nilai kritis MacKinnon yang dipilih sebesar 5 persen baik pada tingkat level
maupun first difference.
Tabel 11 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk pengaruh
volatilitas harga pangan terhadap inflasi
Level First Difference
Variabel t-statistic Nilai Kritis t-statistic Nilai Kritis
MacKinnon MacKinnon
INF -9.361856 -2.870359 -14.04963 -2.870473
VOLTB -8.661589 -2.870387 -14.21619 -2.870473
VOLTJ -6.221011 -2.870416 -13.19029 -2.870473
VOLTK -7.954252 -2.870359 -13.69309 -2.870473
EXC -2.618243 -3.424155 -6.48831 -3.424155
INT -3.946736 -2.870359 -16.80786 -2.870387
Sumber: Lampiran 1
Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka


panjang antar variabel. Variabel terkointegrasi jika kombinasi linier diantara
variabel-variabelnya dan residual dari kombinasi linier tersebut stasioner. Uji
kointegrasi pada penelitian ini menggunakan uji kointegrasi Engle-Granger. Uji
kointegrasi Engle-Granger dilakukan untuk mengestimasi hubungan jangka
panjang antara inflasi dengan volatilitas harga beras (VOLTB), volatilitas harga
jagung (VOLTJ), volatilitas harga kedelai (VOLTK), suku bunga riil (INT), dan
nilai tukar riil (EXC).
Uji kointegrasi Engle-Granger dilakukan dengan meregresikan persamaan
antara variabel dependen dan variabel independen. Setelah meregresikan
persamaan tersebut didapatkan residual yang kemudian diuji kestasioneran
datanya. Apabila residual statsioner pada level atau I(0), maka persamaan
dikatakan terkointegrasi dan memiliki hubungan jangka panjang. Metode ECM
untuk model inflasi terkointegrasi pada jangka panjang seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 12. Pada Tabel 12 diketahui bahwa nilai ADF t-statistik lebih kecil
dibandingkan nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5 persen, sehingga residual
dari persamaan regresi stasioner pada tingkat level. Jika nilai ADF t-statistik lebih
besar dari nilai kritis MacKinnon, maka residual tidak stasioner dan tidak dapat
menggunakan model ECM.
53

Tabel 12 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap
inflasi
Variabel ADF Nilai Kritis MacKinnon Prob Keterangan
t-statistics 5% 10 %
UT -11.74569 -2.870359 -2.571538 0.0000 Stasioner
Sumber: Lampiran 6

Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM)

Dampak volatilitas harga pangan terhadap inflasi ditunjukkan pada Tabel


13. Variabel yang berpengaruh signifikan berdasarkan Tabel 13 adalah volatilitas
harga jagung (VOLTB), volatilitas harga jagung periode satu tahun sebelumnya
(VOLTB(-1)), nilai tukar riil (EXC), nilai tukar riil periode satu tahun sebelumnya
(EXC(-1)), suku bunga riil (INT) dan suku bunga riil periode satu tahun
sebelumnya (INT(-1)). Nilai koefisien determinasi pada model tersebut adalah
0.34 yang artinya sebesar 34 persen model dampak inflasi terhadap volatilitas
harga pangan dapat dijelaskan oleh variabel volatilitas harga beras, volatilitas
harga beras periode satu tahun sebelumnya, volatilitas harga jagung, volatilitas
harga jagung periode satu tahun sebelumnya, volatilitas harga kedelai, volatilitas
harga kedelai periode satu tahun sebelumnya, nilai tukar riil, nilai tukar riil
periode satu tahun sebelumnya, suku bunga riil, dan suku bunga riil periode satu
tahun sebelumnya sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Nilai koefisien
determinasi yang relatif kecil menjelaskan bahwa banyak variabel lain yang masih
dapat menjelaskan tentang inflasi selain lima variabel yang digunakan.
Tabel 13 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap inflasi
Variabel Koefisien Probabilitas
C -0.187908 0.9479
D(VOLTB) 0.066052 0.4320
D(VOLTJ) 0.603552 0.0000
D(VOLTK) 0.167156 0.1627
D(EXC) 3.797230 0.0010
D(INT) -0.060305 0.0004
VOLTB(-1) -0.069175 0.5383
VOLTJ(-1) 0.382587 0.0003
VOLTK(-1) 0.112292 0.3407
EXC(-1) 0.508051 0.0598
INT(-1) -0.049144 0.0000
R-Squared = 0.341952
Adjusted R-Squared = 0.320656
Sumber: Lampiran 7
Volatilitas harga jagung berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen
dan mempunyai tanda positif. Nilai koefisien yang dimiliki oleh volatilitas harga
jagung adalah 0.6 yang berarti jika volatilitas harga jagung meningkat sebesar 1
persen, maka inflasi akan meningkat sebesar 0.6 persen ceteris paribus. Jagung
bukan lagi menjadi komoditas pangan untuk konsumsi, melainkan sudah beralih
54

menjadi komoditas industri pakan (ternak) serta bahan bakar nabati. Dengan
demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku
industri dibanding sebagai bahan pangan. Tingginya permintaan terhadap jagung
untuk kebutuhan industri pakan dan bahan bakar nabati membuat harga jagung
dunia terus mengalami peningkatan sejak tahun 2000-an. Laju pertumbuhan
produksi jagung selama ini sekitar 3 persen per tahun,sementara laju permintaan
jagung untuk industri pakan sekitar 5 persen per tahun, maka Indonesia akan tetap
mengimpor jagung sebesar 1.2-2.0 MT per tahun. (Kasryno et al. 2010).
Kebutuhan jagung untuk industri pakan tiap tahun terus meningkat sejalan dengan
perkembangan industri peternakan. Berdasarkan analisis proyeksi, pada tahun
2020 diprediksi kebutuhan jagung pada pabrik pakan sekitar 28.52 persen diatas
kebutuhan sesuai pendekatan populasi (Swastika et al. 2011).
Volatilitas harga jagung periode satu tahun sebelumnya berpengaruh
signifikan pada taraf nyata 5 persen dan mempunyai tanda positif pada jangka
pendek. Nilai koefisien yang dimiliki oleh volatilitas harga jagung periode satu
tahun sebelumnya adalah 0.38 yang berarti jika volatilitas harga jagung periode
satu tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen, maka inflasi akan meningkat
sebesar 0.38 persen ceteris paribus.
Harga jagung dunia yang mengalami kenaikan tajam sejak tahun 2005
menyebabkan harga jagung dalam negeri juga meningkat. Hal ini disebabkan
Indonesia menjadi net importer jagung sejak tahun 1992 (Kasryno et al. 2010).
Harga yang tinggi membuat inflasi menjadi tinggi sehingga memiliki andil
terhadap inflasi secara umum. Disamping itu kenaikan harga jagung akan
mempengaruhi inflasi sektor lain yang menggunakan jagung sebagai bahan baku
khususnya industri pakan (ternak) dan industri lainnya.
Variabel nilai tukar riil memiliki tanda positif dan signifikan pada taraf
nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 3.79. Tanda koefisien positif berarti
kedua variabel baik variabel dependen dan independen memiliki hubungan yang
searah. Apabila dikaitkan dengan nilai tukar riil dapat diartikan bahwa apabila
nilai tukar riil meningkat 1 persen, inflasi akan naik sebesar 3.79 persen ceteris
paribus. Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang meningkat menyebabkan harga-
harga komoditas meningkat terutama komoditas impor, sehingga inflasi menjadi
tinggi. Ketiga jenis komoditas pangan dalam penelitian ini belum dapat bebas dari
impor, dengan demikian nilai tukar akan mempengaruhi inflasi melalui
mekanisme harga ketiga komoditas tersebut. Variabel nilai tukar riil periode satu
tahun sebelumnya signifikan pada taraf nyata 10 persen dengan nilai koefisien
sebesar 0.5 dan bertanda positif yang berarti jika variabel nilai tukar riil periode
satu tahun sebelumnya naik sebesar 1 persen, maka inflasi akan naik sebesar 0.5
persen.
Suku bunga riil mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi
dengan tanda yang berbeda dari variabel volatilitas harga jagung serta nilai tukar
riil yaitu bertanda negatif. Koefisien suku bunga riil memiliki nilai sebesar 0.06
yang bermakna bila suku bunga riil meningkat sebesar 1 persen, maka inflasi akan
turun sebanyak 0.06 persen ceteris paribus. Suku bunga periode satu tahun
sebelumnya signifikan pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien 0.04
dan bertanda negatif sama seperti suku bunga riil. Artinya jika suku bunga riil
periode satu tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen, maka inflasi akan
turun sebesar 0.04 persen ceteris paribus. Suku bunga tinggi membuat para
55

investor tidak berminat untuk berinvestasi, sehingga produksi agregat yang dapat
disediakan (Aggregate Supply) tetap, padahal permintaan (Aggregat Demand)
terus bertambah seiring dengan pertambahan penduduk, maka dari itu
menyebabkan inflasi dari sisi permintaan. Inflasi secara umum dapat didekati dari
sisi permintaan dan penawaran. Demand pull inflation adalah jenis inflasi yang
terjadi dari sisi permintaan. Cost push inflation adalah inflasi dari sisi penawaran
yang dapat disebabkan naiknya biaya produksi sehingga penawaran menjadi
terbatas dan mengakibatkan terjadi inflasi.

Pengaruh Volatilitas Harga Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian

Pada tahun 2010 hingga 2011 laju pertumbuhan PDB pertanian meningkat
dari 3.01 menjadi 3.37 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap total PDB
pada tahun 2012 sebesar 12.51 persen. Hal ini membuktikan bahwa sektor
pertanian masih memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Sektor pertanian berada di urutan ketiga terbesar dalam menyumbang
terhadap PDB secara keseluruhan. Oleh karena itu variabel-variabel yang
dianggap mempengaruhi terhadap pertumbuhan sektor pertanian penting untuk
diketahui.
Kinerja makroekonomi melalui PDB sektor pertanian yang dipengaruhi oleh
volatilitas harga pangan dan faktor lain ditunjukkan pada Tabel 16. PDB yang
digunakan dalam penelitian ini adalah PDB sektor pertanian secara umum
termasuk didalamnya adalah sub sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan,
peternakan, perikanan dan kehutanan.

Uji Stasioneritas Data

Salah satu syarat untuk menggunakan metode ECM adalah data harus
stasioner pada ordo tertentu. Uji akar unit merupakan cara untuk mengetahui
kestasioneran data. ADF test merupakan alat yang dapat digunakan untuk
memeriksa ada tidaknya akar unit pada suatu data sehingga dapat diketahui
kestasioneran datanya. Hasil uji akar unit untuk model pertumbuhan diperlihatkan
pada Tabel 14.
Tabel 14 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk pengaruh
volatilitas harga pangan terhadap PDB sektor pertanian
Level First Difference
Variabel t-statistic Nilai Kritis t-statistic Nilai Kritis
MacKinnon MacKinnon
PDB_P -1.747594 -3.453601 -47.10709 -3.453601
VOLTB -7.536695 -2.888669 -11.66113 -2.889200
VOLTJ -6.379636 -2.888669 -13.64912 -2.888932
VOLTK -6.105862 -2.888669 -11.42455 -2.889200
EXC -2.160003 -3.453601 -6.42611 -3.453601
INT -4.638954 -2.888932 -9.25535 -2.889753
INV_DN -9.692637 -2.890327 -11.56788 -2.892536
INV_LN -5.952357 -2.892536 -8.71175 -2.896346
Sumber: Lampiran 1
56

Berdasarkan Tabel 14, variabel volatilitas harga beras; jagung dan kedelai,
suku bunga riil, investasi dalam negeri, investasi luar negeri stasioner pada level
karena nilai ADF t-statistik lebih kecil dibandingkan dengan nilai kritis
MacKinnon pada taraf nyata 5 persen. Variabel nilai tukar riil dan PDB sektor
pertanian stasioner pada first difference karena nilai ADF t-statistik lebih besar
dibandingkan dengan nilai kritis MacKinnon pada tingkat level. Nilai kritis
MacKinnon yang digunakan berada pada taraf nyata 5 persen.

Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka
panjang diantara variabel-variabel yang diteliti. Terdapat berbagai macam uji
kointegrasi diantaranya adalah Engle-Granger Cointegration. Penelitian ini akan
menggunakan Engle-Granger Cointegration untuk menguji kointegrasi variabel-
variabel yang diamati. Uji kointegrasi merupakan uji residual dari persamaan
yang telah diregresi. Uji kointegrasi digunakan untuk mengestimasi hubungan
jangka panjang diantara variabel PDB sektor pertanian (PDB_P) dengan
volatilitas harga beras (VOLTB), volatilitas harga jagung (VOLTJ), volatilitas
harga kedelai (VOLTK), suku bunga riil (INT), dan nilai tukar riil (EXC),
investasi dalam negeri (INV_DN), dan investasi luar negeri (INV_LN). Hasil dari
uji kointegrasi diperlihatkan pada Tabel 15. Nilai residual yaitu UT memiliki nilai
ADF t-statistik lebih kecil dibandingkan nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5
persen pada level. Hal ini diartikan bahwa diantara variabel-variabel yang diteliti
terdapat kointegrasi, sehingga terdapat hubungan jangka panjang.
Tabel 15 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap
PDB sektor pertanian
Variabel ADF Nilai Kritis MacKinnon Prob Keterangan
t-statistics 5% 10 %
UT -6.545941 -1.944364 -1.614441 0.0000 Stasioner
Sumber: Lampiran 6

Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM)


Berdasarkan Tabel 16, empat belas variabel diduga berpengaruh terhadap
PDB sektor pertanian, namun hanya enam variabel yang berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan ekonomi. Keenam variabel tersebut adalah, volatilitas
harga kedelai (VOLTK), suku bunga riil (INT), nilai tukar riil (EXC), volatilitas
harga jagung satu tahun sebelumnya (VOLTJ(-1)), volatilitas harga kedelai satu
tahun sebelumnya (VOLTK(-1)), dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya
(INT(-1)). Suku bunga riil, suku bunga riil satu tahun sebelumnya, dan volatilitas
harga jagung satu tahun sebelumnya signifikan pada tingkat kepercayaan 5
persen. Volatilitas harga kedelai dan nilai tukar riil signifikan pada tingkat
kepercayaan 10 persen. Volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya signifikan
pada taraf nyata 15 persen. Nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.43 yang
berarti sebanyak 43 persen model dampak pertumbuhan ekonomi terhadap
volatilitas harga pangan dapat dijelaskan oleh variabel volatilitas harga beras,
volatilitas harga beras satu tahun sebelumnya, volatilitas harga jagung, volatilitas
harga jagung satu tahun sebelumnya, volatilitas harga kedelai, volatilitas harga
57

kedelai satu tahun sebelumnya, investasi dalam negeri sektor pertanian, investasi
dalam negeri sektor pertanian satu tahun sebelumnya, investasi luar negeri sektor
pertanian, investasi luar negeri sektor pertanian satu tahun sebelumnya, suku
bunga riil, suku bunga riil satu tahun sebelumnya, nilai tukar riil, nilai tukar riil
satu tahun sebelumnya dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain.
Tabel 16 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap PDB sektor
pertanian
Variabel Koefisien Probabilitas
C 9.101386 0.0000
D(VOLTB) 0.029107 0.3058
D(VOLTJ) -0.049156 0.1889
D(VOLTK) -0.057204 0.0878
D(INT) -0.010603 0.0028
D(EXC) -0.375456 0.0928
D(INV_DN) -0.008282 0.6100
D(INV_LN) 0.006492 0.5345
VOLTB(-1) 0.038797 0.3308
VOLTJ(-1) -0.184376 0.0000
VOLTK(-1) -0.066778 0.1097
INT(-1) -0.015391 0.0000
EXC(-1) 0.035120 0.7126
INV_DN(-1) -0.004836 0.8190
INV_LN(-1) 0.013526 0.2198
R-Squared = 0.437976
Adjusted R-Squared = 0.335790
Sumber: Lampiran 7
Volatilitas harga kedelai memiliki tanda negatif dengan nilai koefisien
sebesar 0.05. Nilai koefisien tersebut memiliki arti jika volatilitas harga kedelai
meningkat 1 persen, maka PDB sektor pertanian akan menurun sebesar 0.05
persen ceteris paribus. Tanda yang sama juga berlaku pada variabel volatilitas
harga kedelai satu tahun sebelumnya yang signifikan dengan nilai koefisien
sebesar 0.06. Arti dari nilai koefisien tersebut adalah jika volatilitas harga kedelai
naik sebesar 1 persen, maka PDB sektor pertanian akan turun sebesar 0.06 persen
ceteris paribus.
Kedelai merupakan komoditas impor pangan dengan jumlah yang cukup
tinggi. Ketergantungan masyarakat Indonesia yang besar terhadap kedelai
membuat pemerintah terus melakukan impor bahkan pada tahun 2012 (Peraturan
Menteri Keuangan nomor 011 tahun 2012) membebaskan tarif impor. Harga
kedelai impor yang relatif murah bila dibandingkan dengan kedelai dalam negeri,
membuat harga kedelai domestik menjadi berfluktuasi (Purwanti dan Hayati
2008), sehingga volatilitas harga kedelai dalam negeri tidak dapat dihindarkan.
Persoalan krisis pangan yang melanda dunia pada tahun 2008 ikut
mempengaruhi harga kedelai dalam negeri. Setelah krisis pangan usai harga turun,
namun meningkat kembali pada tahun 2010 (ADB 2011). Perubahan harga yang
cepat menyebabkan terjadi fluktuasi harga yang berakibat harga kedelai menjadi
volatil. Volatilitas harga komoditas terhadap pertumbuhan memiliki hubungan
58

negatif menurut UNCTAD (2012). Tingginya harga komoditas menyebabkan


pertumbuhan suatu negara menjadi rendah karena pangan merupakan sumber
pengeluaran terbesar bagi negara miskin dan berkembang. Harga pangan yang
tinggi menyebabkan semakin banyak penduduk yang tidak dapat mengakses
pangan sehingga jumlah penduduk miskin semakin banyak yang mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi turun.
Berdasarkan teori makroekonomi melalui pendekatan pengeluaran untuk
mengukur PDB, volatilitas harga berdampak secara tidak langsung terhadap
pertumbuhan melalui konsumsi. Pendekatan pengeluaran dinyatakan sebagai
output agregat dipengaruhi oleh konsumsi, pengeluaran pemerintah, net ekspor
dan investasi dengan arah yang positif (Mankiw 2002). Semakin tinggi harga
pangan, masyarakat cenderung akan mengurangi daya beli yang berdampak pada
penurunan konsumsi terhadap komoditas tersebut sehingga pertumbuhan akan
turun.
Volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya signifikan dengan tanda
negatif dan memiliki nilai koefisien sebesar 0.18. Nilai koefisien sebesar 0.18
mencerminkan bahwa jika nilai volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya
meningkat sebesar 1 persen, maka nilai PDB sektor pertanian akan turun sebesar
0.18 persen ceteris paribus. Dengan demikian dibutuhkan lag waktu satu tahun
untuk PDB sektor pertanian merespon terjadinya perubahan pada volatilitas harga
jagung.
Jagung merupakan salah satu pangan pokok sama seperti kedelai dan beras,
namun saat ini penggunaan jagung telah mengalami pergeseran menjadi sumber
pakan ternak dan kebutuhan untuk industri. Penggunaan jagung sebagai makanan
pokok telah mengalami penurunan. Tingginya permintaan jagung untuk pakan dan
industri menyebabkan peningkatan harga jagung. Harga jagung yang tinggi rentan
terhadap volatilitas. Apabila volatilitas harga jagung tinggi akan menyebabkan
konsumsi jagung turun sehingga PDB sektor pertanian menjadi turun. Hal ini
dikarenakan hubungan positif antara konsumsi dengan PDB, sehingga jika
konsumsi turun maka PDB akan ikut turun.
Variabel suku bunga bertanda negatif dengan nilai koefisien sebesar 0.01
pada jangka pendek. Koefisien dengan tanda negatif menunjukkan bahwa antara
suku bunga dan PDB sektor pertanian memiliki hubungan terbalik yaitu bila suku
bunga meningkat 1 persen, maka PDB sektor pertanian berkurang sebesar 0.01
persen ceteris paribus. Suku bunga berhubungan dengan investasi yang kemudian
akan mempengaruhi pertumbuhan. Apabila suku bunga meningkat, maka investasi
akan menurun karena rendahnya minat investor untuk menanamkan modalnya,
sehingga produksi akan turun yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan.
Variabel suku bunga riil satu tahun sebelumnya berpengaruh signifikan
terhadap PDB sektor pertanian dengan nilai koefisien sebesar 0.01. Tanda
koefisien pada suku bunga riil satu tahun sebelumnya adalah negatif yang berarti
jika suku bunga riil satu tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen, maka
nilai PDB sektor pertanian akan turun sebesar 0.01 persen ceteris paribus. Tanda
variabel suku bunga riil satu tahun sebelumnya sama dengan variabel suku bunga
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat merupakan salah satu
peubah bebas yang signifikan dan berpengaruh nyata dengan tanda koefisien
negatif pada jangka pendek. Arti koefisien nilai tukar sebesar 0.37 yaitu jika nilai
59

tukar naik sebesar 1 persen, maka PDB sektor pertanian akan naik sebesar 0.37
persen ceteris paribus. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang
meningkat artinya rupiah terdepresiasi. Rendahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar menyebabkan harga barang meningkat. Harga barang yang meningkat
membuat daya beli konsumen terhadap produk pertanian menjadi berkurang.
Berkurangnya daya beli berarti konsumsi akan turun dan mengakibatkan PDB
sektor pertanian juga turun karena hubungan searah diantara konsumsi dan PDB.
Dampak nilai tukar terhadap pertumbuhan merupakan dampak tidak langsung
karena melalui variabel konsumsi.
61

5 SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

1. Ketiga harga komoditas pangan yaitu beras, jagung dan kedelai bersifat
volatil. Umumnya volatilitas ketiga harga komoditas tersebut tinggi pada saat
terjadi krisis ekonomi tahun 1997 hingga 1999. Saat krisis ekonomi terjadi
kebijakan harga pangan mengalami perubahan dari harga yang dikendalikan
oleh pemerintah menjadi harga diserahkan sepenuhnya pada pasar. Hal ini
membuat harga pangan menjadi tidak terkendali sehingga harga menjadi
berfluktuasi relatif tinggi dan akibatnya volatilitas juga tinggi.
2. Volatilitas harga beras hanya mengalami peningkatan tajam pada saat terjadi
krisis ekonomi. Periode setelahnya harga beras lebih stabil dan terjaga. Hal
ini disebabkan komoditas beras merupakan makanan pokok penduduk
Indonesia dan menjadi komoditas yang bersifat politis, sehingga kestabilan
harga beras relatif lebih terjaga dibandingkan komoditas pangan lain.
3. Volatilitas harga jagung dan kedelai lebih bervariasi dibandingkan beras.
Volatilitas harga jagung kembali meningkat pada tahun 2002 dengan tingkat
yang lebih tinggi dibandingkan pada saat krisis ekonomi. Harga jagung
Indonesia dipengaruhi oleh harga dunia karena jagung adalah komoditas
impor. Maka dari itu jika harga jagung dunia meningkat, harga jagung dalam
negeri akan meningkat pula. Tahun 2002 pemerintah Amerika Serikat sebagai
eksportir utama jagung menggalakkan kebijakan bahan bakar nabati, sehingga
harga jagung dunia meningkat karena jagung merupakan sumber utama bahan
bakar nabati.
4. Volatilitas harga kedelai juga mengalami peningkatan setelah periode krisis
ekonomi yaitu tahun 2008. Volatilitas yang terjadi tahun 2008 lebih tinggi
dibandingkan tahun 1998-1999. Sama seperti jagung, kedelai juga salah satu
komoditas impor pangan utama Indonesia. Pada tahun 2008 dunia mengalami
krisis pangan internasional dan kedelai yang merupakan salah satu komoditas
pangan utama dunia mengalami peningkatan harga yang tajam, sehingga
berpengaruh terhadap harga kedelai domestik.
5. Terdapat empat faktor yang signifikan dan nyata mempengaruhi volatilitas
harga beras yaitu, nilai tukar riil, harga minyak dunia, suku bunga riil, dan
produksi beras domestik. Produksi beras domestik signifikan dan bertanda
negatif yang berarti jika produksi beras dalam negeri melimpah maka harga
beras akan turun karena tingginya penawaran. Tiga faktor lainnya yang juga
signifikan merupakan faktor yang banyak berlaku di berbagai negara.
6. Faktor yang berpengaruh nyata dan signifikan terhadap volatilitas harga
jagung adalah nilai tukar riil, suku bunga riil, harga jagung dunia, dan
produksi jagung dalam negeri. Nilai tukar dan suku bunga adalah faktor
umum penyebab volatilitas harga, sedangkan produksi jagung dan harga
jagung dunia merupakan dua faktor yang saling berkaitan. Jika produksi
dalam negeri meningkat, maka volatilitas harga jagung akan turun karena
keduanya memiliki hubungan negatif. Sebaliknya harga jagung dunia
berpengaruh positif terhadap volatilitas harga jagung. Maka dari itu jika harga
jagung dunia meningkat dapat diatasi dengan meningkatkan produksi dalam
negeri.
62

7. Volatilitas harga kedelai signifikan terhadap keenam faktor yang diduga


berpengaruh terhadap volatilitas harga kedelai. Arti dari signifikannya semua
faktor adalah harga kedelai rawan terhadap perubahan faktor-faktor tersebut.
Kerawanan tersebut tidak hanya ditinjau dari sisi ekonomi melainkan dari sisi
politik juga karena kedelai merupakan bahan baku makanan seperti tahu,
tempe dan jenis makanan lainnya.
8. Volatilitas harga jagung dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya
berpengaruh signifikan terhadap inflasi umum dengan tanda positif, akan
tetapi dua komoditas lainnya tidak berpengaruh. Kenaikan harga pangan yang
tinggi dapat menjadi penyebab utama terjadinya inflasi, maka perlu
mendapatkan perhatian karena pangan merupakan salah satu kebutuhan
primer manusia. Selain dua faktor diatas, nilai tukar riil, nilai tukar riil satu
tahun sebelumnya, suku bunga riil, dan suku bunga riil satu tahun
sebelumnya juga berpengaruh terhadap inflasi.
9. Pertumbuhan sektor pertanian dipengaruhi oleh volatilitas harga kedelai,
volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya dan volatilitas harga jagung
satu tahun sebelumnya dengan tanda negatif. Jika volatilitas harga jagung dan
kedelai tinggi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sektor pertanian. Oleh
sebab itu, harga kedua komoditas tersebut perlu dikelola agar dapat
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan (PDB) sektor pertanian. Suku
bunga riil, suku bunga riil satu tahun sebelumnya, dan nilai tukar riil juga
berpengaruh terhadap PDB sektor pertanian.

Implikasi Kebijakan

1. Kebijakan untuk mengelola harga pangan agar volatilitas harga dapat


diminimalisir harus terus dilakukan. Akan tetapi kebijakan yang diterapkan
harus berpihak kepada produsen maupun konsumen, karena keduanya
merupakan pelaku konsumsi disamping sebagai pihak yang menghasilkan
komoditas.
2. Kebijakan perberasan sebelum krisis dan setelah krisis cukup berbeda, namun
hingga saat ini harga beras relatif lebih stabil dibandingkan harga pangan
lainnya. Hal ini karena beras merupakan makanan pokok penduduk
Indonesia. Stabilnya harga beras juga diperlihatkan dari hasil analisis grafik
volatilitas. Beras hanya mengalami peningkatan harga pada saat krisis
ekonomi, selebihnya relatif terjaga. Kebijakan pengelolaan harga beras juga
perlu memperhatikan petani yang bertindak selain sebagai produsen juga
sebagai konsumen.
3. Jagung sebagai salah satu komoditas pangan telah mengalami pergeseran
fungsi bukan lagi sebagai bahan konsumsi pangan utama bagi manusia,
namun penggunaannya lebih banyak untuk sektor industri pakan dan bahan
bakar nabati (biofuel). Bergesernya pemanfaatan jagung menyebabkan
kebijakan pada sektor ini tidak lagi hanya pada sektor pertanian, melainkan
pada sektor lainnya.
4. Kedelai merupakan bahan pangan yang tidak saja penting, tetapi sudah
menjadi budaya karena makanan olahannya seperti tahu dan tempe sudah
menjadi lauk wajib bagi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu kebijakan
63

untuk kedelai tidak hanya sebatas kepada pengelolaan harga, melainkan


kebijakan di bidang produksi menjadi sangat penting.
5. Intervensi pemerintah untuk mengelola ketiga komoditas pangan ini masih
diperlukan terutama dalam bidang perdagangan dan produksi. Kebijakan yang
diambil sebaiknya tetap berpihak kepada petani tanpa meninggalkan keadilan
terhadap konsumen. Pemerintah dapat mengurangi perannya dalam
mengelola kebijakan pangan apabila petani telah mencapai keunggulan
komparatif dan konsumen dapat menikmati hasil dari keunggulan tersebut.

Saran Penelitian Lanjutan

1. Komoditas pangan yang dianalisis dalam penelitian ini hanya tiga jenis,
sesungguhnya masih banyak komoditas pangan lainnya menurut Kementerian
Pertanian.
2. Variabel yang digunakan dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi volatilitas harga pangan masih dapat ditambahkan seperti stok
pangan dan variabel makroekonomi lainnya.
3. Kebijakan dalam mengelola harga pangan belum dianalisis secara lebih
mendalam, pada penelitian selanjutnya dapat dikaji mengenai kebijakan yang
cocok diterapkan untuk mengelola volatilitas harga pangan.
65

DAFTAR PUSTAKA

Abbot PC, Hurt C, Tyner WE. 2008. What’s Driving Food Prices?. Farm
Foundation Issue Report.

Aak. 2002. Kedelai. Cetakan ke limabelas. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Adam C, Kwimbere D, Mbowe W, O’Connell S . 2012. Food Prices and Inflation


in Tanzania. Working Paper 12/0459. International Growth Centre.

[ADB] Asian Development Bank. 2011. Global Food Price Inflation and
Developing Asia. Manila (PH): ADB.

Aghion P, Banerjee A. 2005. Volatility and Growth. New York (US): Oxford
University Press.

Aldrian E. 2000. Pola Hujan Rata-Rata Bulanan Wilayah Indonesia: Tinjauan


Hasil Kontur Data Penakar Dengan Resolusi Echam T-42. J Sains dan
Teknologi Modifikasi Cuaca. 1(2):113-123.

Amang B, Sawit M.H, Rachman A.1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor


(ID): IPB Pr.

Apergis N, Rezitis A. 2011. Food Price Volatility and Macroeconomic Factors:


Evidence from GARCH and GARCH-X Estimates. JAAE. 43(1): 95–110.

Asmara A. 2011. Dampak Volatilitas Variabel Ekonomi terhadap Kinerja Sektor


Industri Pengolahan dan Makroekonomi Indonesia [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto
atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Persen), 2004-
2012. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.

Bank Dunia. 2010. Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas:


Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia. Laporan Pengembangan
Sektor Perdagangan. Jakarta (ID): Bank Dunia.

Bollerslev T. 1986. Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity.


J of Econometrics. 31: 307-327.

Bourdon MH. 2011. Agricultural Commodity Price Volatility. OECD Food,


Agriculture and Fisheries Papers No. 52.

Braun J von, Torero M. 2008. Physical and Virtual Global Food Reserves to
Protect The Poor and Prevent Market Failure. Policy Briefs 4. Washington
DC (US): International Food Policy Research Institute (IFPRI).
66

Braun J von, Tadesse G. 2012. Global Food Price Volatility and Spikes: An
Overview of Costs, Causes, and Solutions. ZEF-Discussion Papers on
Development Policy No. 161.

Cavalcanti T VdeV, Mohaddes K, Raissi M. 2012. Commodity Price Volatility


and the Sources of Growth. Working Paper. International Monetary Fund
(IMF) Middle East and Central Asia Department.

Choi K, Kim DH. 2012. The Analysis on the Effect of Commodity Price
Volatility on G-20 Economies. Paper dipresentasikan pada Seminar
International Monetary System, Energy and Sustainable Development.

Dabušinskas A, Kulikov D, Randveer M. 2012. The Impact of Volatility on


Economic Growth. Working Paper Series 7/2012.

Dartanto T. 2010. Volatility of World Rice Price, Import Tariff and Poverty in
Indonesia: a CGE Microsimulation Analysis. International Conference On
Applied Economics (ICOAE).

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2011. Pedoman Pelaksanaan Program


Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Pangan untuk
Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian.

Dornbusch R, Fishcer S, Startz R. 2008. Macroeconomics. New York (US):


McGraw-Hill Companies Inc.

Enders W. 1995. Applied Econometrics Time Series. New York (US): John Wiley
and Sons.

Engle RF. 1982. Autoregressive Conditional Heteroscedasticity with Estimates of


the Variance of United Kingdom Inflation. Econometrica. 50: 987-1007.

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2013. FAOSTAT [Internet]. [diunduh


2013 April 29]. Tersedia pada http://www.fao.org.

FAO, IFAD, IMF,OECD, UNCTAD, WFP, the World Bank, the WTO, IFPRI,
the UN HLTF. 2011. Price Volatility in Food and Agricultural Markets:
Policy Responses.

Frankel JA. 2006. The Effect of Monetary Policy on Real Commodity Prices.
NBER Working Paper No. 12713.

G-20 Agriculture Ministers. 2011. Action Plan on Food Price Volatility and
Agriculture. Paris (FR): Ministerial Declaration.

Gilbert CL. 2010. Speculative Influences on Commodity Futures Prices 2006–


2008. Discussion Papers. UNCTAD/OSG/DP/2010/1.
67

Gilbert CL. 2012. International Agreements to Manage Food Price Volatility.


Global Food Security. 134–142.

Gilbert CL, Morgan CW. 2010. Food Price Volatility. Philosophical Transactions
of The Royal. Society.B 365. 3023–3034. doi:10.1098/rstb.2010.0139.

Glahe. 1977. Macroeconomics Theory and Policy. 2nd ed. Colorado (US):
Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Guidry KM. Fall 2006. Prospects for Profitability in Louisiana’s Feed Grain
Industry. Louisianna Agriculture. 49 (4).

Harri A. Nalley L, Hudson D, 2009. The Relationship between Oil, Exchange


Rates, and Commodity Prices. JAAE. 41(2):501–510.

Helbling T, Mercer‐Blackman V, Cheng K. 2008. Commodities Boom: Riding a


Wave. Finance and Development. 45(1): 10–15.

Hermawan E. 2010. Pengelompokkan Pola Curah Hujan yang Terjadi di Beberapa


Kawasan Pulau Sumatera Berbasis Hasil Analisis Teknik Spektral.
J Meteorologi dan Geofisika. 11(2): 75 – 84.

Hernandez DJG. 2012. Factors Influencing Price Volatility on Soybeans Futures


Prices [tesis]. Louisiana (US): Louisiana State University.

[HLPE] High Level Panel of Expert. 2011. Price Volatility and Food Security.
Roma (IT): High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition of
the Committee on World Food Security.

Hossain M, Rafiq F. 2012. Global Commodity Price Volatility and Domestic


Inflation: Impact on the Performance of the Financial Sector in Bangladesh.
MPRA Paper No. 52167.

Irawan A. 2005. Analisis Keterkaitan Ekonomi Makro, Perdagangan Internasional


dan Pertanian di Indonesia: Aplikasi Vector Error Correction Model
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Jayasuriya S, Mudbhary P, Broca SS. 2012. Food Price Spikes, Increasing


Volatility and Global Economic Shocks: Coping with Challenges to Food
Security in Asia: A Comparative Regional Study of the Experiences of Ten
Asian Economies. Bangkok (TH): Food and Agricultural Organization
(FAO) of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific
(RAP).

Juanda B. 2007. Modul Kuliah Ekonometrika I. Bogor (ID): Departemen Ilmu


Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
68

Juanda B, Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi. Bogor
(ID): IPB Pr.

Kargbo. 2005. Impacts of Monetary and Macroeconomic Factors on Food Prices


in West Africa. Agrekon. 44 (2): 205-224.

Kariyasa K, Sinaga BM. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pasar


Jagung Indonesia. J Agro Ekonomi. 22(3):167-194.

Kasryno F, Pasandaran E, Suyamto, Adnyana MO. 2010. Gambaran Umum


Ekonomi Jagung Indonesia dalam Litbang Pertanian. 2010. Jagung: Teknik
Produksi dan Pengembangan. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. hlm 474-496.

Kose AS, Prasad ES, Terrones ME. 2005. Growth and Volatility in an Era of
Globalization. IMF Staff Papers Vol. 52 Special Issue.

Mankiw NG. 2002. Macroeconomics. 5th ed. Manhattan (US): Worth Publisher.

Mboeik RP, Rakhmindyarto. 2012. Pengaruh Kebijakan Makroekoomi terhadap


Volatilitas Harga Komoditas dalam Perspektif G20.

Miguez ID, Michelena G. 2011. Commodity Price Volatility: The Case of


Agricultural Products. CEI Journal: Foreign Trade and Integration.

Minot N. 2012. Food Price Volatility in Africa Has It Really Increased.


International Food Policy Research (IFPRI) Discussion Papers 01239.

Mitchell D. 2008. A Note on Rising Food Prices. The World Bank. Policy
Research Working Paper. 4682

Nachrowi DN, Usman H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika


untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Naeve SL, Orf JH. 2007. Quality of the United States Soybean Crop.

Nugrayasa O. 2013. Problematika Harga Kedelai di Indonesia [Internet]. [diunduh


2013 Des 5]. Tersedia pada setkab.go.id/artikel-10045-.html‎.

Onour I, Sergi B. 2011. Global Food and Energy Markets: Volatility Transmission
and Impulse Response Effects. MPRA Paper No. 34079.

Purwanti, Hayati. 2008. Analisis Struktur Pasar Kedelai sebagai Alternatif


Peningkatan Posisi Tawar Petani. Dinamika Pembangunan. 5 (2): 57-72.

Ramey G, Ramey VA.1995. Link Between Volatility and Growth. The American
Economic Review. 85 (5): 1138-1151.
69

Roache SK. 2010. What Explains the Rise in Food Price Volatility. International
Monetary Fund Working Paper.

Safdar H, Maqsood S, Ullah S. 2012. Impact of Agriculture Volatility on


Economic Growth: A Case Study of Pakistan. J Asian Dev Stud. 1 (2): 24-
34.

Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Yogyakarta (ID): ANDI.

Shiferaw YA. 2012. Modeling Volatility of Price of Some Selected Agricultural


Products in Ethiopia: ARIMA-GARCH Applications [Internet]. [diunduh
2013 April 4]. Tersedia pada http://ssrn.com/abstract=2125712.

Swastika DKS, Agsutian A, Sudaryanto T. 2011. Analisis Senjang Penawaran dan


Permintaan Jagung Pakan dengan Pendekatan Sinkronisasi Sentra Produksi,
Pabrik Pakan dan Populasi Ternak di Indonesia. Informatika Pertanian. 20
(2): 65-75

Tangermann S. 2011. Policy Solutions to Agricultural Market Volatility: A


Synthesis. International Centre for Trade and Sustainable Development.
Issue Paper No.33.

Thomas RL. 1997. Modern Econometrics. Harlow (GB): Addison Wesley.

Timmer CP. 1996. Does BULOG Stabilize Rice Prices in Indonesia? Should It
Try?. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32(2):45-74.

Timmer CP. 2004. Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long
Run Outlook. Working Paper No. 48. Center for Global Development.

Timmer CP. 2009. Rice Price Formation in the Short Run and the Long Run: The
Role of Market Structure in Explaining Volatility. The Center for Global
Development Working Paper Number 172.

Timmer CP. 2011. Managing Price Volatility: Approaches at the Global, National,
and Household Levels. Stanford Symposium Series on Global Food Policy
and Food Security in the 21st Century.

Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed Ke-9. Munandar H,


penerjemah; Barnadi D, Saat S, Hardani W, editor. Jakarta (ID): Penerbit
Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development. 9th Edition.

Torero M. 2011. Alternative Mechanisms to Reduce Food Price Volatility and


Price Spikes. Science review: SR 21. Foresight Project on Global Food and
Farming Futures.
70

Tothova M. 2011. Methods to Analyse Agricultural Commodity Price Volatility:


Main Challenges of Price Volatility in Agricultural Commodity Markets. I.
Piot-Lepetit, R. M’Barek (eds.): 13-29.

[UNCTAD] United Nations Conference on Trade and Development. 2012.


Excessive Commodity Price Volatility: Macroeconomic Effects on Growth
and Policy Options. Contribution from the UNCTAD to the G20
Commodity Markets Working Group.

[UN-ESCAP] United Nations Economic and Social Comission for Asia and the
Pacific. 2011. Rising Food Prices and Inflation in the Asia Pacific Region:
Causes, Impact and Policy Response. Macroeconomic Policy and
Development Division No.7 Policy Briefs.

[USDA] United States Department of Agriculture. 2013. Foreign Agricultural


Service, Production, Supply and Distribution (PS&D) Database.

Walsh JP. 2011. Reconsidering the Role of Food Prices in Inflation. International
Monetary Fund Working Paper.

Wilson N. 2012. Discussion: Causes of Agricultural and Food Price Inflation and
Volatility. JAAE. 44(3):423–425.

Zheng Y, Kinnucan HW, Thompson H. 2008. News and Volatility of Food Prices.
Applied Economics. 40(13-15): 1629-1635.
LAMPIRAN
71

Lampiran 1 Hasil pengujian akar unit semua variabel

1 Harga beras
Null Hypothesis: LN_BERASNOM has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.44791 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450474
5% level -2.870302
10% level -2.571508

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

2 Harga jagung
Null Hypothesis: LN_JAGUNGNOM has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -12.42866 0.0000


Test critical values: 1% level -2.572163
5% level -1.941811
10% level -1.616040

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

3 Harga kedelai
Null Hypothesis: LN_KEDELENOM has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.663466 0.0000


Test critical values: 1% level -2.572163
5% level -1.941811
10% level -1.616040

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


72

4 Nilai tukar bulanan


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: EXC has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.618243 0.2725


Test critical values: 1% level -3.987460
5% level -3.424155
10% level -3.135099

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(EXC) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.488318 0.0000


Test critical values: 1% level -3.987460
5% level -3.424155
10% level -3.135099

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

5 Suku bunga bulanan


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: INT has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.946736 0.0019


Test critical values: 1% level -3.450617
5% level -2.870359
10% level -2.571538

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(INT) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -16.80786 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450682
5% level -2.870387
10% level -2.571554

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


73

6 Volatilitas harga beras bulanan


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: VOLTB has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.661589 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450682
5% level -2.870387
10% level -2.571554

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(VOLTB) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -14.21619 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450878
5% level -2.870473
10% level -2.571600

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

7 Volatilitas harga jagung bulanan


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: VOLTJ has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.221011 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450747
5% level -2.870416
10% level -2.571569

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(VOLTJ) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.19029 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450878
5% level -2.870473
10% level -2.571600

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


74

8 Volatilitas harga kedelai bulanan


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: VOLTK has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.954252 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450617
5% level -2.870359
10% level -2.571538

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(VOLTK) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.69309 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450878
5% level -2.870473
10% level -2.571600

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

9 Inflasi
a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: INF has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.361856 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450617
5% level -2.870359
10% level -2.571538

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(INF) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -14.04963 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450878
5% level -2.870473
10% level -2.571600

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


75

10 PDB pertanian
a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: PDB_P has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.747594 0.7228


Test critical values: 1% level -4.048682
5% level -3.453601
10% level -3.152400

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(PDB_P) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -47.10709 0.0001


Test critical values: 1% level -4.048682
5% level -3.453601
10% level -3.152400

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

11 Suku bunga kuartalan


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: INT has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.638954 0.0002


Test critical values: 1% level -3.493129
5% level -2.888932
10% level -2.581453

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(INT) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.255356 0.0000


Test critical values: 1% level -3.495021
5% level -2.889753
10% level -2.581890

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


76

12 Nilai tukar kuartalan


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: EXC has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.160003 0.5063


Test critical values: 1% level -4.048682
5% level -3.453601
10% level -3.152400

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(EXC) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.426110 0.0000


Test critical values: 1% level -4.048682
5% level -3.453601
10% level -3.152400

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

13 Investasi dalam negeri


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: INV_DN has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.692637 0.0000


Test critical values: 1% level -3.496346
5% level -2.890327
10% level -2.582196

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(INV_DN) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.56788 0.0001


Test critical values: 1% level -3.501445
5% level -2.892536
10% level -2.583371

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


77

14 Investasi luar negeri


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: INV_LN has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.952357 0.0000


Test critical values: 1% level -3.501445
5% level -2.892536
10% level -2.583371

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(INV_LN) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.711750 0.0000


Test critical values: 1% level -3.510259
5% level -2.896346
10% level -2.585396

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

15 Volatilitas harga beras kuartalan


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: VOLTB has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.536695 0.0000


Test critical values: 1% level -3.492523
5% level -2.888669
10% level -2.581313

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(VOLTB) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.66113 0.0000


Test critical values: 1% level -3.493747
5% level -2.889200
10% level -2.581596

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


78

16 Volatilitas harga jagung kuartalan


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: VOLTJ has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.379636 0.0000


Test critical values: 1% level -3.492523
5% level -2.888669
10% level -2.581313

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(VOLTJ) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.64912 0.0000


Test critical values: 1% level -3.493129
5% level -2.888932
10% level -2.581453

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

17 Volatilitas harga kedelai kuartalan


a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: VOLTK has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.105862 0.0000


Test critical values: 1% level -3.492523
5% level -2.888669
10% level -2.581313

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

b) Uji akar unit pada first difference


Null Hypothesis: D(VOLTK) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.42455 0.0000


Test critical values: 1% level -3.493747
5% level -2.889200
10% level -2.581596

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


79

Lampiran 2 Model Auto Regressive Moving Average (ARMA) untuk data harga
pangan

1 Harga beras
Dependent Variable: LN_BERASNOM
Method: Least Squares
Date: 08/21/13 Time: 17:23
Sample (adjusted): 1985M03 2011M12
Included observations: 322 after adjustments
Convergence achieved after 12 iterations
MA Backcast: 1985M01 1985M02

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.010580 0.002846 3.718016 0.0002


AR(1) 0.799961 0.173382 4.613854 0.0000
MA(1) -0.334801 0.189337 -1.768281 0.0780
MA(2) -0.281032 0.110688 -2.538963 0.0116

R-squared 0.192120 Mean dependent var 0.010185


Adjusted R-squared 0.184499 S.D. dependent var 0.029083
S.E. of regression 0.026263 Akaike info criterion -4.428945
Sum squared resid 0.219344 Schwarz criterion -4.382057
Log likelihood 717.0602 Hannan-Quinn criter. -4.410226
F-statistic 25.20767 Durbin-Watson stat 2.026761
Prob(F-statistic) 0.000000

Inverted AR Roots .80


Inverted MA Roots .72 -.39

2 Harga jagung
Dependent Variable: LN_JAGUNGNOM
Method: Least Squares
Date: 08/22/13 Time: 11:09
Sample (adjusted): 1985M02 2011M12
Included observations: 323 after adjustments
Convergence achieved after 6 iterations
MA Backcast: 1984M12 1985M01

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.009201 0.002236 4.115269 0.0000


MA(1) 0.279426 0.055450 5.039211 0.0000
MA(2) 0.123756 0.055464 2.231308 0.0264

R-squared 0.086307 Mean dependent var 0.009221


Adjusted R-squared 0.080597 S.D. dependent var 0.029895
S.E. of regression 0.028665 Akaike info criterion -4.257060
Sum squared resid 0.262932 Schwarz criterion -4.221974
Log likelihood 690.5152 Hannan-Quinn criter. -4.243054
F-statistic 15.11361 Durbin-Watson stat 1.996156
Prob(F-statistic) 0.000001

Inverted MA Roots -.14+.32i -.14-.32i


80

3 Harga kedelai

Dependent Variable: LN_KEDELENOM


Method: Least Squares
Date: 08/22/13 Time: 14:56
Sample (adjusted): 1985M03 2011M12
Included observations: 322 after adjustments
Convergence achieved after 6 iterations
MA Backcast: 1985M02

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.008532 0.003179 2.683982 0.0077


AR(1) 0.685664 0.069018 9.934633 0.0000
MA(1) -0.159512 0.093630 -1.703629 0.0894

R-squared 0.343161 Mean dependent var 0.008518


Adjusted R-squared 0.339042 S.D. dependent var 0.026225
S.E. of regression 0.021321 Akaike info criterion -4.848991
Sum squared resid 0.145010 Schwarz criterion -4.813824
Log likelihood 783.6875 Hannan-Quinn criter. -4.834951
F-statistic 83.32952 Durbin-Watson stat 2.001486
Prob(F-statistic) 0.000000

Inverted AR Roots .69


Inverted MA Roots .16

Lampiran 3 Uji heteroskedastisitas

1 Uji heteroskedastisitas untuk data harga beras

Heteroskedasticity Test: ARCH

F-statistic 7.510126 Prob. F(1,319) 0.0065


Obs*R-squared 7.383387 Prob. Chi-Square(1) 0.0066

2 Uji heteroskedastisitas untuk data harga jagung

Heteroskedasticity Test: ARCH

F-statistic 46.24538 Prob. F(1,320) 0.0000


Obs*R-squared 40.65857 Prob. Chi-Square(1) 0.0000

3 Uji heteroskedastisitas untuk data harga kedelai

Heteroskedasticity Test: ARCH

F-statistic 31.95259 Prob. F(1,319) 0.0000


Obs*R-squared 29.22554 Prob. Chi-Square(1) 0.0000
81

4 Uji heteroskedastisitas untuk model faktor-faktor yang mempengaruhi


volatilitas harga beras
Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 2.077380 Prob. F(26,295) 0.0020


Obs*R-squared 49.83162 Prob. Chi-Square(26) 0.0033
Scaled explained SS 120.7241 Prob. Chi-Square(26) 0.0000

5 Uji heteroskedastisitas untuk model faktor-faktor yang mempengaruhi


volatilitas harga jagung
Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 2.824549 Prob. F(27,295) 0.0000


Obs*R-squared 66.34894 Prob. Chi-Square(27) 0.0000
Scaled explained SS 255.3718 Prob. Chi-Square(27) 0.0000

6 Uji heteroskedastisitas untuk model faktor-faktor yang mempengaruhi


volatilitas harga kedelai
Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 4.509025 Prob. F(27,294) 0.0000


Obs*R-squared 94.29238 Prob. Chi-Square(27) 0.0000
Scaled explained SS 405.3599 Prob. Chi-Square(27) 0.0000

7 Uji heteroskedastisitas (uji ARCH-LM) terhadap model ARCH-GARCH untuk


harga beras
Heteroskedasticity Test: ARCH

F-statistic 1.275788 Prob. F(1,319) 0.2595


Obs*R-squared 1.278673 Prob. Chi-Square(1) 0.2581

8 Uji heteroskedastisitas (uji ARCH-LM) terhadap model ARCH-GARCH untuk


harga jagung
Heteroskedasticity Test: ARCH

F-statistic 1.310362 Prob. F(1,320) 0.2532


Obs*R-squared 1.313174 Prob. Chi-Square(1) 0.2518

9 Uji heteroskedastisitas (uji ARCH-LM) terhadap model ARCH-GARCH untuk


harga kedelai
Heteroskedasticity Test: ARCH

F-statistic 0.792350 Prob. F(1,319) 0.3741


Obs*R-squared 0.795342 Prob. Chi-Square(1) 0.3725
82

Lampiran 4 Model Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized


Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH-GARCH)

1 Model ARCH-GARCH untuk data harga beras

Dependent Variable: LN_BERASNOM


Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution
Date: 08/21/13 Time: 17:37
Sample (adjusted): 1985M03 2011M12
Included observations: 322 after adjustments
Convergence achieved after 52 iterations
MA Backcast: 1985M01 1985M02
Presample variance: backcast (parameter = 0.7)
GARCH = C(5) + C(6)*RESID(-1)^2

Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.

C 0.004209 0.001774 2.372577 0.0177


AR(1) 0.607224 0.275792 2.201749 0.0277
MA(1) -0.332983 0.266842 -1.247865 0.2121
MA(2) -0.119489 0.111829 -1.068498 0.2853

Variance Equation

C 0.000291 1.83E-05 15.85404 0.0000


RESID(-1)^2 0.980646 0.126532 7.750194 0.0000

R-squared 0.137938 Mean dependent var 0.010185


Adjusted R-squared 0.124297 S.D. dependent var 0.029083
S.E. of regression 0.027215 Akaike info criterion -4.681709
Sum squared resid 0.234055 Schwarz criterion -4.611376
Log likelihood 759.7552 Hannan-Quinn criter. -4.653630
F-statistic 10.11256 Durbin-Watson stat 1.614125
Prob(F-statistic) 0.000000

Inverted AR Roots .61


Inverted MA Roots .55 -.22
83

2 Model ARCH-GARCH untuk data harga jagung

Dependent Variable: LN_JAGUNGNOM


Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution
Date: 08/22/13 Time: 11:41
Sample (adjusted): 1985M02 2011M12
Included observations: 323 after adjustments
Convergence achieved after 56 iterations
MA Backcast: 1984M12 1985M01
Presample variance: backcast (parameter = 0.7)
GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*RESID(-2)^2

Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.

C 0.008370 0.001825 4.586940 0.0000


MA(1) 0.317118 0.065229 4.861593 0.0000
MA(2) 0.151339 0.064002 2.364595 0.0180

Variance Equation

C 0.000307 3.22E-05 9.533540 0.0000


RESID(-1)^2 0.282488 0.068348 4.133076 0.0000
RESID(-2)^2 0.444197 0.093468 4.752412 0.0000

R-squared 0.084226 Mean dependent var 0.009221


Adjusted R-squared 0.069781 S.D. dependent var 0.029895
S.E. of regression 0.028833 Akaike info criterion -4.602268
Sum squared resid 0.263531 Schwarz criterion -4.532095
Log likelihood 749.2663 Hannan-Quinn criter. -4.574256
F-statistic 5.831028 Durbin-Watson stat 2.070861
Prob(F-statistic) 0.000036

Inverted MA Roots -.16+.36i -.16-.36i


84

3 Model ARCH-GARCH untuk data harga kedelai

Dependent Variable: LN_KEDELENOM


Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution
Date: 08/22/13 Time: 15:19
Sample (adjusted): 1985M03 2011M12
Included observations: 322 after adjustments
Convergence achieved after 63 iterations
MA Backcast: 1985M02
Presample variance: backcast (parameter = 0.7)
GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*RESID(-2)^2

Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.

C 0.005242 0.001307 4.011968 0.0001


AR(1) 0.560864 0.163852 3.422980 0.0006
MA(1) -0.352217 0.205257 -1.715985 0.0862

Variance Equation

C 0.000173 6.87E-06 25.23285 0.0000


RESID(-1)^2 0.537462 0.096744 5.555486 0.0000
RESID(-2)^2 0.090786 0.051204 1.773039 0.0762

R-squared 0.235719 Mean dependent var 0.008518


Adjusted R-squared 0.223626 S.D. dependent var 0.026225
S.E. of regression 0.023107 Akaike info criterion -5.239615
Sum squared resid 0.168730 Schwarz criterion -5.169282
Log likelihood 849.5780 Hannan-Quinn criter. -5.211536
F-statistic 19.49209 Durbin-Watson stat 1.281840
Prob(F-statistic) 0.000000

Inverted AR Roots .56


Inverted MA Roots .35
85

4 Model ARCH-GARCH untuk faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas


harga beras

Dependent Variable: VOLTB


Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution
Date: 01/25/14 Time: 14:04
Sample (adjusted): 1985M03 2011M12
Included observations: 322 after adjustments
Convergence achieved after 134 iterations
Presample variance: backcast (parameter = 0.7)
GARCH = C(8) + C(9)*RESID(-1)^2 + C(10)*GARCH(-1) + C(11)*GARCH(-2)

Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.

C 1.972619 5.252958 0.375525 0.7073


EXC 0.516912 0.188558 2.741394 0.0061
OIL 0.601176 0.154991 3.878769 0.0001
INT -0.020255 0.006724 -3.012399 0.0026
WORLDB 0.223926 0.256824 0.871903 0.3833
PRODB -0.978705 0.398236 -2.457600 0.0140
WTH -0.032853 0.024918 -1.318432 0.1874

Variance Equation

C 0.010446 0.001186 8.811241 0.0000


RESID(-1)^2 0.009919 0.003533 2.807149 0.0050
GARCH(-1) 1.888506 0.029672 63.64576 0.0000
GARCH(-2) -0.917502 0.027751 -33.06243 0.0000

R-squared 0.194538 Mean dependent var -7.556859


Adjusted R-squared 0.168639 S.D. dependent var 0.822605
S.E. of regression 0.750043 Akaike info criterion 2.186770
Sum squared resid 174.9576 Schwarz criterion 2.315714
Log likelihood -341.0700 Hannan-Quinn criter. 2.238249
F-statistic 7.511403 Durbin-Watson stat 1.736655
Prob(F-statistic) 0.000000
86

5 Model ARCH-GARCH untuk faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas


harga jagung

Dependent Variable: VOLTJ


Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution
Date: 01/26/14 Time: 12:16
Sample (adjusted): 1985M02 2011M12
Included observations: 323 after adjustments
Convergence achieved after 115 iterations
Presample variance: backcast (parameter = 0.7)
GARCH = C(9) + C(10)*RESID(-1)^2 + C(11)*RESID(-1)^2*(RESID(-1)<0) +
C(12)*GARCH(-1) + C(13)*WORLDJ

Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.

LOG(GARCH) 0.723448 0.127530 5.672756 0.0000


C -5.314110 1.632376 -3.255445 0.0011
EXC 0.421632 0.150817 2.795647 0.0052
OIL 0.096857 0.150020 0.645626 0.5185
INT -0.019169 0.003601 -5.323043 0.0000
WORLDJ 0.943353 0.498036 1.894147 0.0582
PRODJ -0.337454 0.119723 -2.818620 0.0048
WTH -0.030831 0.025701 -1.199596 0.2303

Variance Equation

C 0.121711 0.009372 12.98601 0.0000


RESID(-1)^2 0.776167 0.221341 3.506664 0.0005
RESID(-1)^2*(RESID(-1)<0) -0.848346 0.230945 -3.673366 0.0002
GARCH(-1) 0.174093 0.039228 4.437962 0.0000
WORLDJ -0.135849 0.033999 -3.995704 0.0001

R-squared 0.592381 Mean dependent var -7.477282


Adjusted R-squared 0.576602 S.D. dependent var 0.713053
S.E. of regression 0.463977 Akaike info criterion 1.140697
Sum squared resid 66.73510 Schwarz criterion 1.292739
Log likelihood -171.2226 Hannan-Quinn criter. 1.201390
F-statistic 37.54286 Durbin-Watson stat 1.766166
Prob(F-statistic) 0.000000
87

6 Model ARCH-GARCH untuk faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas


harga kedelai

Dependent Variable: VOLTK


Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution
Date: 01/26/14 Time: 22:52
Sample (adjusted): 1985M04 2011M12
Included observations: 321 after adjustments
Convergence achieved after 80 iterations
Presample variance: backcast (parameter = 0.7)
GARCH = C(9) + C(10)*RESID(-1)^2 + C(11)*GARCH(-1) + C(12)*PRODK

Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.

C -19.05459 3.990355 -4.775161 0.0000


EXC 0.607132 0.203085 2.989548 0.0028
OIL 0.478212 0.223414 2.140474 0.0323
INT -0.019674 0.006835 -2.878580 0.0040
WORLDK -0.935678 0.535410 -1.747592 0.0805
PRODK 0.463191 0.265735 1.743059 0.0813
WTH 0.057833 0.038947 1.484926 0.1376
AR(1) 0.491788 0.068455 7.184124 0.0000

Variance Equation

C 0.372923 0.172720 2.159124 0.0308


RESID(-1)^2 0.059677 0.028332 2.106364 0.0352
GARCH(-1) 0.792059 0.073873 10.72191 0.0000
PRODK -0.029307 0.014275 -2.053008 0.0401

R-squared 0.495938 Mean dependent var -8.114688


Adjusted R-squared 0.477994 S.D. dependent var 0.714274
S.E. of regression 0.516062 Akaike info criterion 1.480649
Sum squared resid 82.29303 Schwarz criterion 1.621637
Log likelihood -225.6442 Hannan-Quinn criter. 1.536942
F-statistic 27.63820 Durbin-Watson stat 1.828115
Prob(F-statistic) 0.000000

Inverted AR Roots .49


88

Lampiran 5 Persamaan jangka panjang untuk model inflasi dan PDB sektor
pertanian

1 Model inflasi

Dependent Variable: INF


Method: Least Squares
Date: 07/10/14 Time: 07:02
Sample (adjusted): 1985M03 2011M11
Included observations: 321 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.817597 2.841391 0.287745 0.7737


VOLTB 0.035284 0.085209 0.414082 0.6791
VOLTJ 0.405110 0.095534 4.240470 0.0000
VOLTK 0.113879 0.104135 1.093571 0.2750
EXC 0.502216 0.271102 1.852500 0.0649
INT -0.044852 0.009166 -4.893195 0.0000

R-squared 0.291716 Mean dependent var 0.801931


Adjusted R-squared 0.280474 S.D. dependent var 1.294824
S.E. of regression 1.098333 Akaike info criterion 3.043979
Sum squared resid 379.9957 Schwarz criterion 3.114473
Log likelihood -482.5586 Hannan-Quinn criter. 3.072126
F-statistic 25.94740 Durbin-Watson stat 1.181137
Prob(F-statistic) 0.000000

2 Model PDB sektor pertanian

Dependent Variable: PDB_P


Method: Least Squares
Date: 03/17/14 Time: 14:06
Sample: 1985Q1 2011Q4
Included observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

VOLTB 0.029769 0.028605 1.040699 0.3007


VOLTJ -0.132078 0.032554 -4.057157 0.0001
VOLTK -0.058297 0.033161 -1.758005 0.0821
EXC 0.141567 0.084806 1.669307 0.0985
INT -0.010873 0.002987 -3.640034 0.0005
INV_DN -0.006801 0.013527 -0.502824 0.6163
INV_LN 0.013890 0.009399 1.477810 0.1429
C 8.522149 0.939592 9.070049 0.0000

R-squared 0.336580 Mean dependent var 10.92566


Adjusted R-squared 0.286102 S.D. dependent var 0.207481
S.E. of regression 0.175306 Akaike info criterion -0.567953
Sum squared resid 2.827352 Schwarz criterion -0.359539
Log likelihood 36.39763 Hannan-Quinn criter. -0.483604
F-statistic 6.667902 Durbin-Watson stat 1.169156
Prob(F-statistic) 0.000002
89

Lampiran 6 Uji stasioneritas terhadap residual persamaan jangka panjang

1 Model inflasi

Null Hypothesis: UT has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.74569 0.0000


Test critical values: 1% level -3.450617
5% level -2.870359
10% level -2.571538

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

2 Model PDB sektor pertanian

Null Hypothesis: UT has a unit root


Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.545941 0.0000


Test critical values: 1% level -2.590340
5% level -1.944364
10% level -1.614441

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


90

Lampiran 7 Estimasi Error Correction Model (ECM)


1 Model inflasi
Dependent Variable: INF
Method: Least Squares
Date: 07/10/14 Time: 07:12
Sample (adjusted): 1985M04 2011M11
Included observations: 320 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.187908 2.875641 -0.065345 0.9479


D(VOLTB) 0.066052 0.083948 0.786819 0.4320
D(VOLTJ) 0.603552 0.122316 4.934364 0.0000
D(VOLTK) 0.167156 0.119457 1.399302 0.1627
D(EXC) 3.797230 1.144428 3.318017 0.0010
D(INT) -0.060305 0.016909 -3.566543 0.0004
VOLTB(-1) -0.069175 0.112290 -0.616037 0.5383
VOLTJ(-1) 0.382587 0.104090 3.675525 0.0003
VOLTK(-1) 0.112292 0.117678 0.954228 0.3407
INT(-1) -0.049144 0.009528 -5.157996 0.0000
EXC(-1) 0.508051 0.268948 1.889027 0.0598

R-squared 0.341952 Mean dependent var 0.796625


Adjusted R-squared 0.320656 S.D. dependent var 1.293351
S.E. of regression 1.066010 Akaike info criterion 2.999493
Sum squared resid 351.1408 Schwarz criterion 3.129029
Log likelihood -468.9189 Hannan-Quinn criter. 3.051220
F-statistic 16.05705 Durbin-Watson stat 1.356477
Prob(F-statistic) 0.000000
91

2 Model PDB sektor pertanian


Dependent Variable: PDB_P
Method: Least Squares
Date: 03/17/14 Time: 14:20
Sample (adjusted): 1986Q1 2011Q4
Included observations: 92 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 9.101386 1.125175 8.088865 0.0000


D(VOLTB) 0.029107 0.028234 1.030919 0.3058
D(VOLTJ) -0.049156 0.037083 -1.325576 0.1889
D(VOLTK) -0.057204 0.033081 -1.729193 0.0878
D(INT) -0.010603 0.003431 -3.090189 0.0028
D(EXC) -0.375456 0.220611 -1.701894 0.0928
D(INV_DN) -0.008282 0.016170 -0.512200 0.6100
D(INV_LN) 0.006492 0.010406 0.623898 0.5345
VOLTB(-1) 0.038797 0.039639 0.978752 0.3308
VOLTJ(-1) -0.184376 0.037304 -4.942476 0.0000
VOLTK(-1) -0.066778 0.041266 -1.618234 0.1097
INT(-1) -0.015391 0.003445 -4.467771 0.0000
EXC(-1) 0.035120 0.094987 0.369736 0.7126
INV_DN(-1) -0.004836 0.021061 -0.229623 0.8190
INV_LN(-1) 0.013526 0.010933 1.237126 0.2198

R-squared 0.437976 Mean dependent var 10.94378


Adjusted R-squared 0.335790 S.D. dependent var 0.195682
S.E. of regression 0.159479 Akaike info criterion -0.685707
Sum squared resid 1.958380 Schwarz criterion -0.274546
Log likelihood 46.54252 Hannan-Quinn criter. -0.519759
F-statistic 4.286061 Durbin-Watson stat 1.306335
Prob(F-statistic) 0.000015
92

Lampiran 8 Korelogram untuk persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi


volatilitas harga pangan

1 Volatilitas harga beras

2 Volatilitas harga jagung


93

3 Volatilitas harga kedelai

Lampiran 9 Uji normalitas pada variabel harga pangan

1 Harga beras

70
Series: Standardized Residuals
60 Sample 1985M03 2011M12
Observations 322
50
Mean 0.175181
Median 0.049191
40
Maximum 4.744584
Minimum -3.434079
30 Std. Dev. 0.986072
Skewness 1.206162
20 Kurtosis 7.523911

10 Jarque-Bera 352.6581
Probability 0.000000
0
-2.50 -1.25 0.00 1.25 2.50 3.75
94

2 Harga jagung

100
Series: Standardized Residuals
Sample 1985M02 2011M12
80 Observations 323

Mean 0.015741
60 Median -0.100126
Maximum 7.129202
Minimum -2.844599
40 Std. Dev. 1.001420
Skewness 1.614311
Kurtosis 11.69352
20
Jarque-Bera 1157.433
Probability 0.000000
0
-2 0 2 4 6

3 Harga kedelai

90
Series: Standardized Residuals
80 Sample 1985M03 2011M12
Observations 322
70

60 Mean 0.059378
Median -0.050375
50 Maximum 7.299033
Minimum -2.967327
40
Std. Dev. 0.999764
30 Skewness 1.581062
Kurtosis 11.99563
20
Jarque-Bera 1219.849
10 Probability 0.000000
0
-2 0 2 4 6
95

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Maret 1988 dari pasangan


Hardjanto dan Sri Sudaryanti. Pada tahun 2006, penulis lulus dari SMA Negeri 1
Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui program Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan sebagai program studi yang
dijalankan. Pada tahun 2010 penulis menyelesaikan program pendidikan sarjana.
Pada tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi
Pascasarjana di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen
(FEM), IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Bakrie Centre
Foundation (BCF).
Karya ilmiah yang berjudul Volatility of Food Prices and Its Influencing
Factors in Indonesia telah disajikan pada Malaysia-Indonesia International
Conference on Economics, Management and Accounting (MIICEMA) pada bulan
Oktober 2013. Sebuah artikel akan diterbitkan pada Asean Journal of Economics,
Management and Accounting pada tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai