ARINI HARDJANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Arini Hardjanto
NIM H353110091
RINGKASAN
Pangan termasuk isu yang sensitif khususnya bagi negara miskin dan
berkembang. Sensitivitas pangan salah satunya diperlihatkan melalui harganya.
Apabila harga pangan meningkat akan menyebabkan fluktuasi harga dan inflasi.
Fluktuasi harga pangan dunia yang terjadi pada tahun 2007 hingga 2010
menyebabkan volatilitas harga pangan. Indonesia adalah salah satu negara
berkembang yang rentan terhadap volatilitas harga pangan. Hal ini dikarenakan
pangan merupakan kebutuhan pokok yang hingga saat ini sebagian masih
diimpor, sehingga apabila harga pangan dunia meningkat akan berdampak
terhadap harga dalam negeri. Jenis pangan pokok di Indonesia yang
ketersediannya sebagian dipenuhi dari impor adalah beras, jagung dan kedelai.
Volatilitas akan mempengaruhi perekonomian bukan hanya dari sisi mikro,
melainkan juga dari sisi makro seperti inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB)
sektor pertanian. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan dari penelitian ini
adalah: (1) mengestimasi tingkat volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok
(beras, kedelai, dan jagung), (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
volatilitas harga pangan, dan (3) menganalisis pengaruh volatilitas harga ketiga
komoditas pangan pokok terhadap indikator makroekonomi (inflasi dan PDB
sektor pertanian).
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Jenis data yang digunakan
adalah deret waktu (time series) dari Januari 1985 hingga Desember 2011. Model
ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model Autoregressive
Conditional Heteroscedasticity-Generalized Autoregressive Conditional
Heteroscedasticity (ARCH-GARCH) dan Error Correction Model (ECM). Model
ARCH-GARCH digunakan untuk mengestimasi volatilitas harga pangan dan
faktor-faktor yng mempengaruhi volatilitas harga pangan. Sementara itu,
pengaruh volatilitas harga pangan terhadap indikator makroekonomi akan dijawab
menggunakan ECM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga ketiga komoditas pangan
bersifat volatil. Ketiga harga pangan memperlihatkan volatilitas yang tinggi pada
tahun 1997-1999 yaitu saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Saat
krisis ekonomi harga pangan menjadi tidak terkendali sehingga harga pangan
berfluktuasi tinggi dan akibatnya volatilitas menjadi tinggi. Volatilitas harga
jagung juga tinggi pada saat tahun 2001-2002. Hal ini disebabkan tingginya
permintaan dunia akan sumber energi terbarukan yang berasal dari jagung sejak
tahun 2000-an. Tingginya permintaan terhadap energi terbarukan membuat harga
jagung domestik meningkat. Sementara itu, kedelai juga mengalami volatilitas
tinggi pada tahun 2008 selain pada tahun 1997. Pada tahun 2008 dunia sedang
mengalami krisis pangan, sehingga harga kedelai dunia menjadi tinggi dan harga
kedelai di Indonesia juga ikut naik karena kedelai adalah komoditas impor.
Volatilitas harga beras dipengaruhi oleh nilai tukar riil, suku bunga riil,
harga minyak dunia, dan produksi beras domestik. Volatilitas harga jagung
dipengaruhi oleh nilai tukar riil, suku bunga riil, produksi jagung dalam negeri,
dan harga jagung dunia. Faktor yang berpengaruh terhadap volatilitas harga
kedelai adalah nilai tukar riil, suku bunga riil, harga minyak dunia, produksi
kedelai domestik, harga kedelai dunia, dan curah hujan.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan model ECM, volatilitas harga
jagung dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya berpengaruh positif
dan signifikan terhadap inflasi. Nilai tukar riil, nilai tukar riil satu tahun
sebelumnya, suku bunga riil dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya juga
berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Harga pangan yang tinggi akan
menyebabkan inflasi menjadi tinggi. PDB sektor pertanian dipengaruhi oleh
volatilitas harga kedelai, volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya dan
volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya dengan tanda negatif. Tingginya
volatilitas harga pangan dapat menurunkan PDB sektor pertanian. Nilai tukar riil,
suku bunga riil, dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya juga berpengaruh
terhadap PDB sektor pertanian.
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, ketiga harga pangan pokok
bersifat volatil. Nilai tukar riil, suku bunga riil, harga minyak dunia, produksi
dalam negeri ketiga komoditas pangan, harga dunia ketiga komoditas pangan dan
curah hujan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap volatilitas harga
pangan. Volatilitas harga jagung dan volatilitas harga jagung satu tahun
sebelumnya mempengaruhi inflasi, sedangkan PDB sektor pertanian dipengaruhi
oleh volatilitas harga kedelai, volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya dan
volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya. Tingginya volatilitas harga tiga
komoditas pangan di Indonesia dan pengaruhnya terhadap indikator
makroekonomi memerlukan kebijakan pengelolaan harga dan produksi agar harga
dapat dikendalikan dan pertumbuhan ekonomi dapat meningkat.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
VOLATILITAS HARGA PANGAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP INDIKATOR MAKROEKONOMI
INDONESIA
ARINI HARDJANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Harianto, MS
Staf Pengajar Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat, hidayah serta
nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Volatilitas
Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap Indikator Makroekonomi Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yusman Syaukat, MEc
dan Prof Dr Ir Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing atas arahan dan pembekalan ilmu serta wawasan selama penyusunan
tesis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Sri
Hartoyo, MS dan Ibu Dr Meti Ekayani, SHut, MSc selaku ketua dan sekretaris
program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr Ir Harianto, MS selaku penguji luar
komisi pada ujian tesis dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan
bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis berkuliah di program studi
Ilmu Ekonomi Pertanian.
Secara khusus penulis ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua
Ayahanda Hardjanto dan Ibunda Sri Sudaryanti yang selalu sabar dan mendoakan
untuk keberhasilan penulis. Teman-teman EPN angkatan 2011 untuk kebersamaan
dalam suka dan duka serta semangat selama perkuliahan. Seluruh staf di
sekretariat program studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang membantu penulis selama
perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi.
Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga karya
ilmiah ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian.
Penulis juga berharap bahwa karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
khususnya bagi penulis sebagai proses pembelajaran.
Arini Hardjanto
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 6
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Konsep Volatilitas 7
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Volatilitas Harga 7
Mengukur Dampak Volatilitas Harga 9
Volatilitas dan Inflasi 10
Volatilitas dan Pertumbuhan Ekonomi 11
Kebijakan Mengelola Volatilitas 13
Kerangka Teoritis 15
Kerangka Pemikiran Operasional 20
Hipotesis Penelitian 21
3 METODE PENELITIAN 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Pengolahan Data 23
DAFTAR PUSTAKA 65
LAMPIRAN 71
DAFTAR TABEL
1 Statistik deskriptif variabel harga beras, jagung, dan kedelai 35
2 Hasil uji akar unit harga bulanan beras, jagung, dan kedelai periode
Januari 1985-Desember 2011 36
3 Model ARMA terbaik 36
4 Identifikasi efek ARCH pada harga komoditas beras, jagung, dan
kedelai 37
5 Model ARCH-GARCH terbaik pada harga komoditas beras, jagung,
dan kedelai 37
6 Hasil uji normalitas pada model ARCH-GARCH untuk variabel harga
beras, jagung, dan kedelai 38
7 Hasil uji ARCH-LM terhadap model ARCH-GARCH untuk variabel
harga beras, jagung, dan kedelai 38
8 Model volatilitas harga beras dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya 43
9 Model volatilitas harga jagung dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya 46
10 Model volatilitas harga kedelai dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya 48
11 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk
pengaruh volatilitas harga pangan terhadap inflasi 52
12 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap
inflasi 53
13 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap inflasi 53
14 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk
pengaruh volatilitas harga pangan terhadap PDB sektor pertanian 55
15 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap
PDB sektor pertanian 56
16 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap PDB sektor
pertanian 57
DAFTAR GAMBAR
1 Harga dunia komoditas beras, jagung dan kedelai tahun 1970-2011 1
2 Harga tingkat konsumen komoditas beras, jagung, dan kedelai
Indonesia tahun 1985- 2010 3
3 Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2012 5
4 Kurva pertumbuhan Solow 16
5 Kurva pertumbuhan Endogen 17
6 Kerangka pemikiran konseptual 22
7 Volatilitas harga beras Indonesia tahun 1985-2011 39
8 Volatilitas harga jagung Indonesia tahun 1985-2011 40
9 Volatilitas harga kedelai Indonesia tahun 1985-2011 41
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pengujian akar unit semua variabel 71
2 Model Auto Regressive Moving Average (ARMA) untuk data harga
pangan 79
3 Uji heteroskedastisitas 80
4 Model Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized 82
Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH-GARCH)
5 Persamaan jangka panjang untuk model inflasi dan PDB sektor
pertanian 88
6 Uji stasioneritas terhadap residual persamaan jangka panjang 89
7 Estimasi Error Correction Model (ECM) 90
8 Korelogram untuk persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi
volatilitas harga pangan 92
9 Uji normalitas pada variabel harga pangan 93
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peran pangan yang begitu penting menjadikan pangan sebagai sektor yang
strategis karena pangan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia.
Meskipun permintaan maupun penawaran pangan cenderung bersifat inelastis,
tetapi bagi negara miskin dan berkembang masalah pangan tetap merupakan
masalah yang sensitif. Sensitivitas komoditas pangan salah satunya diperlihatkan
oleh variabel pasar yaitu harga.
Harga pangan dunia yang tinggi pada tahun 1970-an menyebabkan krisis
pangan dan hal tersebut berulang kembali pada tahun 2007 setelah sebelumnya
selama tiga dekade terakhir harga pangan dunia berada pada tingkat harga yang
stabil. Harga yang terus meningkat dapat menimbulkan fluktuasi harga dan
gejolak inflasi yang tinggi.
Krisis pangan internasional pada tahun 2007 hingga 2010 (Timmer 2011;
Jayasuriya et al. 2012; Minot 2012) membuat harga pangan dunia bergejolak.
Harga meningkat di tahun 2007 dan turun pada tahun 2009 lalu meningkat
kembali pada tahun 2010 (Braun dan Tadesse 2012). Fluktuasi harga yang terjadi
selama tahun 2007 hingga 2010 menimbulkan volatilitas harga pangan yang
cukup tinggi (Gilbert dan Morgan 2010). Beberapa komoditas pangan dunia yang
mengalami peningkatan diantaranya adalah daging, susu, gula, gandum, kedelai,
jagung, dan beberapa jenis serealia lainnya (Jayasuriya et al. 2012) seperti beras
yang mengalami peningkatan harga di beberapa negara Asia-Pasifik (UN-ESCAP
2011). Berdasarkan Gambar 1 pada tahun 1974 harga ketiga komoditas pangan
lebih tinggi dibandingkan tahun sebelum dan sesudahnya. Pada kurun waktu
tahun 1976 hingga 2006 harga beras, jagung, dan kedelai terlihat stabil
dibandingkan tahun 2010. Tahun 1976 dan 2007, dunia mengalami krisis pangan
yang menyebabkan harga pangan meningkat tajam dan hal ini menimbulkan
volatilitas harga pangan.
800.00
700.00
Harga (US$/MT)
600.00
500.00
400.00
300.00
200.00
100.00
0.00
1974
1992
2010
1970
1972
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
Tahun
Perumusan Masalah
8000
Harga Konsumen (Rp/kg)
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
1988
1997
1985
1986
1987
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
andil sebesar 48.45 persen dalam sektor pertanian atau setara dengan 6.06 persen
terhadap PDB tahun 2012 (BPS 2013) dan merupakan penyumbang terbesar
dalam sektor pertanian.
Kontribusi tahunan setiap sektor terhadap PDB ditunjukkan oleh laju
pertumbuhannya. Laju pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2010 hingga
2012 sebesar 3.01; 3.37 dan 3.97 persen (BPS 2013). Tingginya peran sektor
pertanian terhadap laju pertumbuhan, diikuti dengan peningkatan laju
pertumbuhan pada sub sektor tanaman pangan seperti yang terdapat pada Gambar
3. Laju pertumbuhan PDB untuk sub sektor tanaman pangan berfluktuasi seperti
pada tahun 2008 dan 2009 memiliki laju pertumbuhan tertinggi dibandingkan
empat sektor lainnya, namun pada tahun tersebut laju pertumbuhannya memiliki
trend yang menurun. Sebaliknya pada tahun 2010 hingga 2012 yang menunjukkan
kecenderungan laju pertumbuhan yang meningkat walaupun besaran laju
pertumbuhan pada rentang waktu tersebut lebih rendah bila dibandingkan pada
rentang waktu 2008 dan 2009.
8
Laju Pertumbuhan (%)
6
4
2
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011* 2012**
-2
-4
Tahun
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam lingkup nasional. Objek dalam penelitian ini
hanya mencakup tiga komoditas pangan yaitu beras, jagung, dan kedelai. Jenis
data yang digunakan adalah data deret waktu dengan rentang waktu dari Januari
tahun 1985 hingga Desember 2011. Data PDB yang dianalisis merupakan data
kuartalan yang dimulai dari kuartal 1 tahun 1985 sampai kuartal 4 tahun 2011.
Harga beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga beras
medium 25% broken. Harga jagung yang digunakan adalah jenis jagung pipilan
dan harga kedelai yang digunakan adalah harga rata-rata nasional. Oleh karena itu
dalam penelitian ini tidak dilakukan pembedaan komoditas pangan menurut
kualitas dan jenis, tetapi digunakan data jumlah komoditas yang diproduksi,
diminta dan diperdagangkan termasuk impor berdasar data yang tersedia.
Kebijakan perdagangan berupa tarif ekspor maupun impor tidak dijadikan
sebagai variabel penjelas dalam model penelitian ini karena data yang tidak
tersedia dalam periode bulanan. Indikator makroekonomi yang digunakan dalam
penelitian ini hanya inflasi dan PDB sektor pertanian.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Volatilitas
Berbagai macam alat analisis yang ada sebagian besar menggunakan pendekatan
ekonometrika untuk mengukurnya.
Harga pangan yang tinggi di Afrika khususnya wilayah Afrika barat selama
lebih dari dua dekade menyebabkan volatilitas harga dan mempengaruhi kinerja
ekonomi wilayah tersebut. Penelitian Kargbo (2005) melihat dampak
meningkatnya harga pangan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
makroekonomi. Alat analisis yang digunakan adalah Vector Error Correction
Model (VECM). Penelitian Kargbo memperlihatkan bahwa guncangan harga
pangan memiliki dampak yang signifikan terhadap produksi pangan domestik dan
merupakan penyebab utama ketidakstabilan kondisi makroekonomi di wilayah
Afrika barat.
Apergis dan Rezitis (2011) menggunakan alat analisis berupa model
GARCH dan GARCH-X untuk mengestimasi volatilitas harga pangan di Yunani,
serta hubungannya dengan faktor makroekonomi dalam jangka pendek. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara volatilitas
harga dan faktor ekonomi.
Choi dan Kim (2012) menggunakan GARCH dan Vector Autoregressive
(VAR) untuk mengetahui pengaruh volatilitas harga komoditi dengan kondisi
ekonomi makro di negara-negara G20. Hubungan antara volatilitas harga pangan
dengan indikator makroekonomi di sektor pangan merupakan hal yang ingin
dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini. Salah satu indikator makroekonomi
yang ingin diestimasi adalah inflasi.
Kenikan harga-harga secara umum atau biasa disebut dengan inflasi bisa
disebabkan oleh berbagai faktor makroekonomi, pasar komoditas maupun pasar
energi (yang akhirnya menyebabkan kenaikan barang-barang lain). Tingginya
harga pangan seperti beras dan gandum yang menjadi makanan pokok bagi
masyarakat di negara berkembang di Asia telah menyumbang kenaikan inflasi
lebih kurang 10 persen pada Januari 2011 (ADB 2011). Inflasi yang disebabkan
oleh kenaikan harga pangan dunia harus terus menjadi perhatian utama
pemerintah di berbagai negara khususnya negara berkembang dan miskin.
Para ahli membedakan inflasi menjadi inflasi pangan dan non pangan
(Walsh 2011; Hossain dan Rafiq 2012). Inflasi pangan menurut Walsh dapat
menjadi besar jika guncangan harga pangan lebih volatil dibandingkan guncangan
harga non pangan terutama pada saat terjadi krisis pangan. Inflasi makanan secara
keseluruhan cenderung lebih tinggi dan lebih stabil dibandingkan inflasi non
makanan khususnya pada negara-negara berkembang dan miskin. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hossain dan Rafiq di
Bangladesh. Beras dan gandum sebagai pangan pokok bagi negara tersebut
mengalami peningkatan karena harga internasional yang tinggi. Harga beras
meningkat 61 persen dan gandum meningkat 30 persen pada tahun 2009-2010.
Kenaikan harga pangan berimplikasi terhadap penurunan kesejahteraan penduduk
terutama penduduk miskin karena sebagian besar pendapatan digunakan untuk
konsumsi pangan. Harga pangan yang meningkat hingga 10 persen dapat
mendorong kenaikan kemiskinan hingga 1.9 persen di negara berkembang di Asia
(ADB 2011).
Inflasi baik pangan maupun non pangan menurut penyebabnya dibedakan
menjadi dua yaitu dari sisi permintaan maupun penawaran. Berdasarkan beberapa
11
kajian, inflasi cenderung berasal dari sisi penawaran. Penelitian di Tanzania yang
dilakukan oleh Adam et al. (2012) mengemukakan bahwa inflasi makanan
bersumber dari sisi penawaran baik yang disebabkan oleh ouput pertanian
domestik maupun harga dunia untuk pangan dan energi. Transmisi inflasi yang
berasal dari harga pangan dunia akan lebih berpengaruh jika harga dunia
meningkat dibandingkan ketika harga dunia turun walaupun hubungan antara
inflasi dan harga pangan dunia cenderung lemah. Hasil penelitian Irawan (2005)
yang bertujuan untuk menganalisis gejolak harga input dan output pertanian serta
kausalitas keduanya menunjukkan bahwa inflasi sektor pertanian berasal dari sisi
penawaran (cost-push inflation) yaitu dari harga-harga material pertanian. Harga
output pertanian hanya memiliki hubungan searah dengan harga material
pertanian. Harga material pertanian memiliki hubungan dua arah dengan upah
tenaga kerja. Kebijakan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah
untuk menjaga kestabilan sektor pertanian khususnya harga input, pemerintah
dituntut untuk menjaga kestabilan harga output pertanian terlebih dahulu.
Kinerja makroekonomi, selain dapat didekati melalui inflasi juga dapat
didekati melalui pertumbuhan ekonomi (PDB). Dampak yang ditimbulkan akibat
inflasi atau pun pertumbuhan dapat berbeda. Volatilitas harga pangan cenderung
memiliki pengaruh positif terhadap inflasi, namun pada pertumbuhan ekonomi
hasil yang diperoleh dapat berbeda dengan inflasi.
Dabušinskas et al. (2012); Choi dan Kim (2012); Cavalcanti et al (2012); Safdar
et al (2012). Volatilitas yang diteliti tidak terbatas hanya volatilitas harga, namun
juga volatilitas makroekonomi dan volatilitas pertanian.
Penelitian yang dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995) memiliki
tujuan untuk membuktikan bahwa volatilitas ekonomi berhubungan dengan
pertumbuhan. Penelitian ini dilakukan di 92 negara yang termasuk dalam negara-
negara OECD dengan menggunakan data deret waktu dari tahun 1962 sampai
1985. Hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan ekonomi menurut hasil
penelitian Ramey G dan Ramey VA (1995) adalah negatif. Jika volatilitas di suatu
negara tinggi, maka pertumbuhannya akan rendah, namun apabila diasumsikan
tidak ada hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan, maka terdapat elemen
yang hilang dalam lingkaran bisnis. Adanya hubungan yang kuat antara fluktuasi
pengeluaran pemerintah dan volatilitas memperkuat bukti bahwa antara volatilitas
dan pertumbuhan memiliki hubungan negatif. Hasil penelitian ini juga
menyatakan bahwa tidak ada perubahan yang disebabkan oleh penambahan
variabel investasi terhadap hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan.
Penelitian yang dilakukan oleh Dabušinskas et al. (2012) bertujuan untuk
menghitung dampak volatilitas makroekonomi terhadap perkembangan ekonomi.
Tujuan khusus penelitian ini adalah mengestimasi volatilitas makroekonomi dan
biaya yang harus ditanggung akibat penurunan pertumbuhan. Penelitian
Dabušinskas et al ingin meneruskan sekaligus membuktikan kembali hasil
peneltian yang dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995) apakah masih
relevan dengan menggunakan data dari tahun 1980 hingga 2010 dan jumlah
negara ditambah menjadi 121 negara. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
kenaikan volatilitas akan menurunkan pertumbuhan. Apabila volatilitas meningkat
sebesar 50 persen maka pertumbuhan per kapita akan berkurang sebesar 0.4
persen. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa volatilitas memang berhubungan
negatif dengan pertumbuhan sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Ramey
G dan Ramey VA (1995). Hasil penelitian lain yang membuktikan bahwa
volatilitas berhubungan negatif dengan pertumbuhan adalah Choi dan Kim (2012).
Penelitian Choi dan Kim dilakukan terhadap ekonomi negara-negara G20,
menyimpulkan bahwa volatilitas harga komoditas energi dan non energi
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dampak volatilitas harga komoditas terms of trade terhadap tiga sumber
pertumbuhan ekonomi yaitu produktivitas faktor total, akumulasi kapital dan
tenaga kerja dianalisis oleh Cavalcanti et al. (2012). Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis dampak volatilitas terhadap tiga sumber pertumbuhan dan
mengetahui apakah volatilitas merupakan penyebab “kutukan sumberdaya”. Para
ekonom mencoba untuk menganalisis hubungan antara sumberdaya alam dengan
pertumbuhan ekonomi. Periode data yang digunakan dari tahun 1970 sampai 2007
untuk 118 negara. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa volatilitas akan
memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan yaitu menurunkan akumulasi
modal dan tenaga kerja ketika pertumbuhan komoditas terms of trade
meningkatkan output riil per kapita. Hasil yang menarik terjadi pada sumber
pertumbuhan yaitu produktivitas faktor total yang tidak berpengaruh terhadap
volatilitas. Dampak negatif dari volatilitas komoditas terms of trade dapat
diimbangi dengan dampak positif dari ledakan komoditas dan ekspor bahan
mentah dari negara yang kaya akan sumberdaya dapat meningkatkan pertumbuhan
13
Volatilitas harga pangan dunia tidak dapat dihindari setelah lebih dari tiga
dekade tidak pernah terjadi. Krisis pangan tahun 2007/2008 dan 2010/2011
merupakan puncak dari kenaikan harga pangan. Volatilitas harga merupakan hal
yang tidak dapat dihindari pada pasar pertanian. Volatilitas harga tidak dapat
dihilangkan, namun dapat diminimalisir dampaknya melalui berbagai kebijakan
baik lokal maupun internasional.
Menurut Timmer (2011), terdapat beberapa kebijakan yang dapat ditempuh
untuk mengatasi volatilitas harga pangan. Kebijakan stabilisasi harga dapat
menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi volatilitas, namun dalam
pelaksanaannya sering mengalami kegagalan. Kegagalan dalam stabilisasi harga
karena tidak dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Kebijakan stabilisasi
harga merupakan jenis kebijakan yang paling banyak dipilih oleh negara-negara
yang terkena dampak guncangan harga. Menurut Bank Dunia (2010) dari 56
negara yang disurvei, 23 negara memilih untuk menerapkan kebijakan stabilisasi
harga untuk menanggulangi masalah ketidaksatbilan harga walaupun terbukti
kebijakan tersebut tidak efisien. Mongolia dan Zimbabwe merupakan contoh dua
negara yang menerapkan stabilisasi harga akan tetapi menimbulkan kerugian
terhadap produsen karena produsen menjual produknya di bawah harga pasar.
Kebijakan kedua yang dikemukakan oleh Timmer adalah kebijakan jaring
pengaman sosial yang ditujukan untuk penduduk miskin. Kebijakan ini dapat
dijalankan dengan baik asalkan memiliki rencana yang matang untuk
diimplementasikan kepada masyarakat. Kebijakan jaring pengaman sosial ini juga
memiliki kelemahan yaitu memerlukan banyak biaya untuk melaksanakannya.
14
Kerangka Teoritis
terhadap persediaan modal dapat dinyatakan seperti pada persamaan (2.8) dan
(2.9).
∆k = i – δk ................................................................................................. (2.8)
∆k = sf(k) – δk .......................................................................................... (2.9)
Kondisi mapan k* merupakan kondisi pada saat investasi sama dengan
depresiasi dan menunjukkan bahwa jumlah modal tidak akan berubah sepanjang
waktu. Apabila investasi melebihi depresiasi maka persediaan modal akan
tumbuh. Sebaliknya jika investasi lebih besar dibanding depresiasi maka
persediaan modal menyusut.
Teknologi merupakan faktor eksogen dalam model pertumbuhan Solow.
Apabila teknologi dimasukkan kedalam model Solow maka dapat dilambangkan
dengan E yang disebut efisiensi tenaga kerja. Bentuk kemajuan teknologi disebut
pengoptimalan tenaga kerja. Dalam persamaan (2.10) notasi E dikalikan dengan
tenaga kerja yang digunakan untuk mengukur jumlah para pekerja efektif
sehingga persamannya menjadi:
Y = F(K, L x E) ........................................................................................ (2.10)
Persamaan (2.10) dapat disederhanakan seperti pada persamaan (2.3),
dengan membagi Y, K dan L x E dengan L x E sehingga didapat hasil k yang
menyatakan modal per pekerja efektif dan y sebagai output per pekerja efektif.
Dampak perubahan modal per pekerja efektif tidak lagi hanya dipengaruhi oleh
investasi dan depresiasi, namun juga dipengaruhi oleh populasi n dan tingkat
kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja g. Persamaan dari
perubahan modal per pekerja efektif dapat dilihat pada persamaan (2.11) yang
dituliskan sebagai berikut:
∆k = sf(k) – (δ + n + g)k .......................................................................... (2.11)
Kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja pada tingkat g
dapat mempengaruhi model pertumbuhan Solow. Apabila jumlah pekerja efektif
meningkat akan menurunkan modal k. Pada kondisi mapan k* yang ditunjukkan
pada Gambar 4, investasi dapat menutupi penurunan k yang berhubungan dengan
depresiasi, populasi dan teknologi.
y (a)
f(k)
sf(k)
(n + d)k
k
Modal per orang
(b)
Sumber: Dornbusch et al. (2008)
Gambar 5 Kurva pertumbuhan endogen
Teori ARCH-GARCH
Data deret waktu adalah data yang dikumpulkan berdasarkan periode waku
tertentu seperti harian, mingguan, bulanan, kuartalan atau tahunan. Persoalan
dalam data deret waktu adalah banyak yang tidak stasioner. Data yang tidak
stasioner akan menimbulkan masalah heteroskedastisitas atau autokorelasi. Data
deret waktu yang tidak stasioner juga dapat menimbulkan regresi semu (spurious
regression). Akibat dari data deret waktu yang tidak stasioner adalah hasil regresi
akan menyesatkan (Juanda dan Junaidi 2012).
Regresi semu adalah regresi antar dua peubah, dependen dan independen,
yang keduanya tidak memiliki keterkaitan secara teori, namun memiliki koefisien
determinasi yang besar, sehingga seolah-olah kedua variabel tersebut memiliki
hubungan yang erat. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi regresi semu dan
masalah non-stasioner pada data deret waktu dengan menggunakan Error
Correction Model (ECM) (Thomas 1997).
ECM merupakan model yang memasukkan penyesuaian (adjusment) untuk
mengoreksi keseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang.
Penyesuaian timbul karena model biasanya seimbang pada jangka panjang, namun
pada jangka pendek mungkin tidak mencapai keseimbangan, sehingga perlu suatu
penyesuaian (Juanda dan Junaidi 2012). Suatu model data deret waktu dikatakan
seimbang dalam jangka panjang jika terkointegrasi. Regresi yang terkointegrasi
artinya bergerak dalam panjang gelombang yang sama.
Berdasarkan Thomas (1997), model ECM dapat dibentuk dengan terlebih
dahulu membuat persamaan pada saat terjadi disequilibrium yang mengakibatkan
timbulnya lag seperti pada persamaan 2.18.
, dimana 0 < µ < 1……..................…(2.18)
20
Hipotesis Penelitian
Sektor Pertanian
Metode Analisis:
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga pangan ARCH-GARCH
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
bersumber dari berbagai instansi dan lembaga pemerintah yang terkait. Jenis data
yang digunakan adalah data deret waktu (time series) dengan periode waktu dari
bulan Januari 1985 hingga Desember 2011. Dalam estimasi volatilitas harga yang
merupakan tujuan pertama, data yang digunakan adalah harga komoditi beras,
jagung dan kedelai di tingkat konsumen. Sumber ketiga data tersebut berasal dari
BULOG. Sumber data untuk tujuan kedua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi
volatilitas harga pangan berasal dari International Financial Statistics (IFS),
Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), Kementerian Pertanian, World
Development Indicator (WDI), dan lembaga nasional maupun internasional lainya
yang terkait. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi volatilitas harga pangan
adalah: harga minyak dunia, harga beras; jagung; dan kedelai dunia, produksi,
iklim atau cuaca, nilai tukar dan suku bunga. Faktor iklim atau cuaca akan
didekati dengan variabel curah hujan.
Data yang digunakan untuk menjawab tujuan ketiga yaitu analisis pengaruh
volatilitas terhadap indikator makroekonomi dibagi menjadi dua yaitu untuk
menganalisis inflasi dan PDB sektor pertanian. Data yang digunakan pada bagian
inflasi adalah data inflasi, volatilitas harga ketiga komoditas, suku bunga, nilai
tukar dengan jenis data bulanan. Khusus untuk analisis PDB sektor pertanian
periode waktu yang dipakai berupa data kuartalan dikarenakan rentang waktu
terkecil dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam bentuk kuartal dimulai dari
kuartal satu tahun 1985 higga kuartal empat tahun 2011. Variabel yang digunakan
untuk menganalisis dampak PDB pertanian adalah volatilitas harga ketiga
komoditas, suku bunga, nilai tukar, investasi dalam negeri, dan investasi luar
negeri sektor pertanian. Data tersebut bersumber dari BPS, BI dan IFS serta
lembaga internasional dan nasional lainnya. Penentuan inflasi dan pertumbuhan
ekonomi diharapkan dapat merepresentasikan indikator makroekonomi khususnya
di Indonesia.
residual yang berubah-ubah terjadi karena ragam residual tidak hanya fungsi dari
peubah bebas, tetapi juga tergantung pada residual di masa lalu. Persamaan dalam
model ARCH adalah sebagai berikut:
σ 2t = α0 + α1e2t-1 ....................................................................................... (3.1)
Persamaan (3.1) terdiri dari ragam residual (σ 2t) yang memiliki unsur
konstanta (α0) dan kuadrat residual periode yang lalu (e2t-1). Model dari residual et
adalah conditional heteroscedasticity pada residual e2t-1. Persamaan (3.1)
merupakan model ARCH (1) karena ragam dari residual et hanya dari fluktuasi
residual kuadrat satu periode sebelumnya. Jika ragam residual tergantung dari
fluktuasi residual kuadrat beberapa periode sebelumnya (lag p), maka model
ARCH dapat disimbolkan dengan ARCH (p) yang persamaannya dapat dituliskan
sebagai berikut:
σ 2t = α0 + α1e2t-1 + α1e2t-2 + α1e2t-3 + ... + αpe2t-p...........................................(3.2)
Model ARCH mengalami perkembangan dengan adanya generalisasi model
menjadi GARCH yang diperkenalkan oleh Bollerslev (1986). Model GARCH
menyatakan bahwa ragam residual tidak hanya tergantung dari residual periode
sebelumnya, namun juga tergantung pada ragam residual periode sebelumnya.
Berdasarkan Bollerslev (1986) model GARCH dapat dirumuskan sebagai berikut:
................... (3.3)
Analisis grafik dengan plot time series dilakukan terlebih dahulu yang
bertujuan untuk melihat kecenderungan data variabel harga pangan. Terdapat
beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam menghitung volatilitas
menggunakan model ARCH-GARCH:
Tahap Identifikasi
Identifikasi digunakan untuk mengetahui apakah data yang akan dianalisis
mengandung unsur heteroskedastisitas atau tidak. Langkah identifikasi yang harus
dilakukan adalah membentuk model deret waktu dengan metode Box-Jenkin.
Berdasarkan model Box-Jenkin yang telah dibangun, dapat dideteksi ada tidaknya
efek ARCH pada residualnya. Dua metode yang digunakan untuk menguji efek
ARCH ( Juanda dan Junaidi 2012) yaitu:
(1) Pola Residual Kuadrat melalui Korelogram
Ada atau tidaknya unsur ARCH dalam model dapat diketahui dari koefisien
autokorelasi (ACF) dan autokorelasi parsial (PACF). Kedua koefisien tersebut
memiliki unsur ARCH apabila keduanya signifikan secara statistik. Kedua
koefisien tersebut didapat dari korelogram residual kuadrat dan perhitungan Ljung
Box Q statistics sampai lag tertentu.
(2) Uji ARCH-LM
Terdapat beberapa tahapan dalam uji ARCH-LM, yaitu:
a) Esimasi persamaan Yt = β0 + β1Xt + et menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS) untuk memperoleh nilai residual dan residual kuadrat.
b) Regresikan residual kuadrat dengan lag residual kuadrat seperti pada
persamaan σ 2t = α0 + α1e2t-1 + α1e2t-2 + α1e2t-3 + ... + αpe2t-p.
c) Persamaan pada tahap (b) akan mengikuti distribusi chi-square dengan
derajat bebas p dengan syarat sampel yang digunakan adalah sampel besar
25
Tahap Estimasi
Estimasi dan simulasi beberapa model persamaan ragam yang telah
dibentuk dari persamaan awal. Pilih model terbaik dengan memperhatikan
signifikansi parameter estimasi menggunakan goodness of fit karena
menggunakan metode Maximum Likelihood (ML). Goodness of fit yang dilihat
berdasarkan nilai Log Likelihood dan kriteria Akaike Information Criterion (AIC)
dan Schwartz Criterion (SC) terkecil.
(1) Akaike Information Criterion (AIC)
AIC = ln (MSE) + 2 x K/N .................................................................... (3.4)
(2) Schwartz Criterion (SC)
SC = ln (MSE) + [K x log (N)/N] .......................................................... (3.5)
dimana:
MSE = Mean Square Error
K = banyaknya parameter
N = banyaknya data pengamatan
Tahap Evaluasi
Beberapa uji yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi model yang telah
didapat dengan menggunakan beberapa pengujian, yaitu (1) pengujian normalitas
error, (2) pengujian keacakan residual, dan (3) pengujian efek ARCH. Uji Jarque
Bera (JB) digunakan untuk menguji normalitas residual baku model. Uji JB
menguji antara kemenjuluran (skewness) dan keruncingan (kurtosis) data dari
sebaran normal dan memasukkan ukuran keragaman. Hipotesis yang dibangun
adalah:
H0: residual baku menyebar normal
H1: residual baku tidak menyebar normal
Tolak H0 jika JB > χ22 (α) atau jika P (χ22 > JB) kurang dari α. Persamaan Uji JB
sebagai berikut:
...................................................................... (3.6)
dimana:
S = kemenjuluran
K = keruncingan
k = banyaknya koefisien penduga
N = banyaknya data pengamatan
Model ARCH-GARCH dianggap baik jika dapat menghilangkan
autokorelasi yaitu bila residual baku merupakan proses white noise. Cara yang
digunakan untuk memeriksa koefisien autokorelasi residual baku dengan uji
statistik Ljung-Box. Uji Ljung-Box (Q*) merupakan pengujian kebebasan residual
baku. Persamaan Ljung-Box dengan menggunakan data deret waktu dapat
dituliskan sebagai berikut:
......................................................................... (3.7)
26
dimana:
r1 (εt) = autokorelasi contoh pada lag 1
k = maksimum lag yang diinginkan
Jika nilai Q* lebih besar dibandingkan nilai χ22 (α) dengan derajat bebas k-p-q
atau jika P (χ2(k-p-q) > Q*) lebih kecil dari taraf nyata maka model tersebut
dianggap tidak layak.
Banyaknya bencana alam seperti kemarau panjang dan banjir akibat cuaca yang
ekstrim diduga akan meningkatkan volatilitas harga pangan.
Model ekonometrika yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi volatilitas harga pangan adalah ARCH-GARCH. Model ini
digunakan untuk menghilangkan permasalahan asumsi klasik dalam model regresi
yaitu heteroskedastisitas. Model ARCH-GARCH selain berguna untuk
menghilangkan heteroskedastisitas, juga dapat digunakan untuk menghilangkan
masalah autokorelasi. Masalah autokorelasi dapat dihilangkan dengan
menambahkan variabel auto regressive pada variabel bebasnya atau
mendiferensiasikan variabel terikat dan variabel bebasnya. Suatu persamaan
dalam model ARCH-GARCH dikatakan telah terbebas dari autokorelasi dengan
melihat hasil korelogram atau melalui uji akar unit.
Model ARCH-GARCH telah dituliskan dalam persamaan 3.1 sampai 3.3.
Dalam perkembangannya, model ini memiliki banyak variasi diantaranya model
ARCH in mean (ARCH-M), Treshold ARCH (TARCH), Eksponensial
ARCH/GARCH (EGARCH), Simple asymmetric (SAARCH) dan masih banyak
lagi. Pada penelitian ini, selain model ARCH-GARCH secara umum yang sudah
dituliskan dalam bentuk persamaan, model lainnya yang akan dibahas adalah
TARCH. Persamaan model TARCH sebagai berikut (Nachrowi dan Usman
2006):
Uji-F
Uji-F bertujuan untuk menguji model secara keseluruhan. Tahapan dalam
uji-F adalah sebagai berikut (Juanda 2007):
Hipotesis statistik:
Ho: = (atau ≤ ) atau (β2= β3=0)
H1: > (atau / >1) atau (β2 atau β3≠0)
Statistik uji yang digunakan adalah Fhit = KTR/KTS ~ F(dbr, dbe), secara matematis
dapat dituliskan sebagai berikut:
F(K-1, N-K) = ................................................................................ (3.9)
dbr = banyaknya peubah bebas X = (k-1)
dbe = n-k
Kriteria keputusan dalam uji-F adalah:
Jika Fhit > F α(dbr,dbe) maka terima H1
Jika Fhit < F α(dbr,dbe) maka terima H0
Uji-t
Uji-t berfungsi untuk menguji apakah koefisien slope βk nyata secara
statistik (βk≠0). Hipotesis yang digunakan untuk melakukan uji-t yaitu (Juanda
2007):
Ho: βj = 0
H1: βj ≠ 0
28
d. Uji Normalitas
Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah suatu data yang
dianalisis menyebar normal atau tidak. Asumsi distribusi normal merupakan
asumsi tambahan yang bersifat pilihan bagi variabel disturbance. Pelanggaran
asumsi kenormalan terjadi ketika galat (εi) tidak menyebar normal dengan nilai
tengah nol dan ragam σ2. Hal ini dapat dilihat dari plot (εt) dengan yang masih
berpola. Menurut Sarwoko (2005) untuk menguji hipotesis atau untuk menghitung
probabilitas distribusi diperlukan standar distribusi normal. Standar distribusi
normal suatu variabel random, Z memiliki nilai rata-rata, u = 0 dan standar
deviasi, σ = 1, dapat ditulis Z ~ N(0,12).
Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi bertujuan untuk menunjukkan bahwa persamaan yang
dibangun bukan merupakan regresi semu (spurious regression). Apabila model
31
dimana :
ui = residual
= lag optimal dari peubah dependen
et = error term
Setelah didapatkan hasil pengujian terhadap residual dari persamaan regresi
kemudian hasil uji residual tersebut dibandingkan dengan nilai kritis τ McKinnon
dengan hipotesis yang dipakai adalah H0 apabila tidak terkointegrasi dan H1
apabila terkointegrasi. Jika hasil uji yang didapat adalah tolak H0 maka ui
stasioner dan peubah yang ada pada model terkointegrasi dan regresi antara
peubah dependen dan peubah penjelas disebut sebagai regesi yang terkointegrasi.
Terdapat dua syarat dalam regresi yang terkointegrasi yaitu syarat perlu dan syarat
cukup. Syarat perlu dalam hubungan tersebut adalah peubah yang ada dalam
model minimal satu peubah stasioner pada ordo satu (first difference) dan syarat
cukup pada hubungan regresi adalah residual harus stasioner (Juanda dan Junaidi
2012). Oleh karena itu peubah-peubah yang ada dalam moodel memiliki
hubungan jangka panjang dan dapat dikatakan dalam keadaan long run
equilibrium. Persamaan jangka panjang dapat dituliskan sebagai berikut:
Y = α + β1X1t+ β2X2t + β3X3t+ ... + βnXnt + et........................................ (3.18)
dimana:
α = konstanta
β = koefisien
Y = peubah dependen
X = peubah penjelas
e = residual
Model jangka panjang yang diestimasi dalam penelitian ini terdiri dari dua
yaitu model inflasi dan model PDB sektor pertanian. Model inflasi dalam jangka
panjang adalah:
INFt = α + β1VOLTBt + β2VOLTJt + β3VOLTKt + β4EXCt + β5INTt +
et....................................................................................................... (3.19)
32
a. Model Inflasi
Inflasi berhubungan sangat dekat dengan harga. Apabila harga naik, maka
akan terjadi inflasi. Begitu pula halnya dengan komoditas pangan yang hargamya
relatif cepat berubah-ubah tergantung pada situasi politik, kebijakan yang diambil
pemerintah atau pun situasi perekonomian dunia.
Faktor-faktor yang diduga akan menimbulkan dampak terhadap inflasi
adalah volatilitas harga ketiga komoditas pangan, nilai tukar dan suku bunga.
Mekanisme hubungan antara inflasi dan volatilitas harga tiga komoditas pangan
yaitu volatilitas harga beras, jagung dan kedelai diduga akan berpengaruh positif
terhadap inflasi. Hal ini disebabkan harga komoditas yang tinggi akan membuat
semakin volatil dan inflasi akan semakin tinggi. Sementara itu, nilai tukar riil
diduga akan berpengaruh positif. Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang tinggi
artinya rupiah terdepresiasi. Rupiah yang terdeprisiasi menyebabkan harga
barang-barang semakin tinggi. Tingginya harga barang mengakibatkan inflasi
meningkat. Suku bunga riil diduga berpengaruh positif terhadap inflasi. Suku
bunga tinggi akan memicu terjadinya inflasi yang tinggi pula.
Model ECM secara keseluruhan untuk indikator makroekomi bagian
inflasi ditunjukkan pada persamaan 3.25. Sebelum diestimasi menggunakan
model ECM, semua variabel independen dalam model ini telah dirubah ke dalam
bentuk logaritma natural.
INFt = α + β1DVOLTBt + β2DVOLTJt + β3DVOLTKt + β4DEXCt + β5DINTt +
β6VOLTBt-1 + β7VOLTJt-1 + β8VOLTKt-1 + β9EXCt-1 +
β10INTt-1 ......................................................................................... (3.25)
dengan β1>0, β2>0, β3>0, β4>0, β5<0, β6>0, β7>0, β8>0, β9>0 dan β10<0
dimana:
α = konstanta
β1-10 = koefisien
D = perbedaan pertama (first difference)
INF = inflasi pada periode t
VOLTB = volatilitas harga beras pada periode t
VOLTJ = volatilitas harga jagung pada periode t
VOLTK = volatilitas harga kedelai pada periode t
EXC = nilai tukar riil pada periode t
INT = suku bunga riil pada periode t
34
Data yang dianalisis dalam volatilitas harga pangan adalah data harga beras,
jagung, dan kedelai. Perkembangan data harga ketiga komoditas pangan tersebut
dijelaskan secara deskriptif melalui Tabel 1 berikut. Data harga pangan memiliki
variasi yang cukup beragam seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, nilai kurtosis untuk ketiga variabel bernilai lebih dari
tiga. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa data yang dianalisis memiliki masalah
heteroskedastisitas. Nilai kurtosis lebih dari tiga berarti bahwa distribusi variabel
ekonomi yang dianalisis memiliki ekor yang lebih padat dibandingkan distribusi
normal. Nilai kemenjuluran (skewness) dari semua data harga pangan adalah lebih
besar dari nol. Hal tersebut bermakna bahwa distribusi data yang ada memiliki
distribusi data yang miring ke kanan yang berarti data cenderung menumpuk pada
nilai yang rendah. Nilai maksimum yang terbesar terdapat pada harga beras dan
nilai minimum yang terkecil terdapat pada harga kedelai. Data harga pangan yang
diestimasi merupakan data return karena dihitung berdasarkan rasio harga saat ini
dan masa lalu menggunakan logaritma natural.
Model ARCH-GARCH
Data harga pangan yang akan diestimasi nilai volatilitasnya terlebih dahulu
diuji kestasioneran datanya. Uji stasioneritas dapat dilakukan dengan melihat
grafik, korelogram ataupun melakukan uji akar unit. Uji akar unit dapat
menggunakan banyak alat uji, salah satunya adalah Augmented Dickey Fuller Test
(ADF). Uji stasioneritas penting dilakukan pada data runtut waktu agar data yang
dihasilkan mudah diduga dan tidak bias. Uji stasioneritas dapat dilakukan pada
tingkat level, first difference dan second difference. Berdasarkan Tabel 2 terlihat
bahwa variabel harga beras, jagung, dan kedelai stasioner pada level. Hal ini
dikarenakan nilai t-statistik ADF lebih kecil dibandingkan nilai kritis MacKinnon
pada tingkat 5 persen. Hasil uji ADF Test secara lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Tabel 2 Hasil uji akar unit harga bulanan beras, jagung dan kedelai periode
Januari 1985-Desember 2011
Variabel ADF t-statistic Nilai Kritis MacKinnon
Harga Beras -11.44791 -2.870302
Harga Jagung -12.42866 -1.941811
Harga Kedelai -8.663466 -1.941811
Sumber: Lampiran 1
Model Box-Jenkins ditentukan setelah dilakukan uji stasioneritas. Beberapa
model Box-Jenkins yaitu Auto Regressive (AR), Moving Average (MA), Auto
Regressive Moving Average (ARMA) dan Auto Regressive Integrated Moving
Average (ARIMA). Apabila data stasioner pada level, maka pendugaan model
menggunakan ARMA, akan tetapi jika data stasioner pada first difference
menggunakan ARIMA. Hasil pendugaan model ARMA terbaik untuk data harga
beras, jagung dan kedelai dapat dilihat pada Tabel 3. Model terbaik dipilih setelah
melakukan beberapa simulasi model ARMA. Kriteria pemilihan model ARMA
berdasarkan pada koefisien estimasi yang signifikan, memiliki R-Squared dan
adjusted R-Squared terbesar, nilai AIC dan SIC terkecil, serta nilai Standard
Error of Regression dan Sum Square Residual yang relatif kecil.
pangan bernilai kurang dari taraf nyata 5 persen, sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat masalah heteroskedastisitas pada setiap variabel harga pangan.
Masalah heteroskedastisitas dapat diselesaikan menggunakan model ARCH-
GARCH.
Tabel 4 Identifikasi efek ARCH pada harga komoditas beras, jagung, dan kedelai
Variabel Model ARIMA F-Statistik Probabilitas
Terbaik
Harga Beras ARMA (1,2) 7.510126 0.0065
Harga Jagung MA (4) 46.24538 0.0000
Harga Kedelai ARMA (1,1) 31.95259 0.0000
Sumber: Lampiran 3
Ada tidaknya efek ARCH dalam model ARMA akan menentukan model
tersebut untuk analisis selanjutnya menggunakan ARCH-GARCH. Berdasarkan
Tabel 4, semua harga komoditas pangan memiliki efek ARCH, sehingga dapat
dilakukan analisis volatilitas menggunakan ARCH-GARCH. Model ARCH-
GARCH terbaik dipilih berdasarkan kriteria yaitu, semua koefisien signifikan
dalam persamaan ragam, memiliki nilai Log-Likelihood terbesar, nilai AIC serta
SIC terkecil, dan memiliki nilai yang positif untuk semua koefisien pada
persamaan ragam. Berdasarkan kriteria yang ada, maka model ARCH-GARCH
yang dipilih untuk masing-masing variabel harga pangan diperlihatkan pada Tabel
5.
Tabel 5 Model ARCH-GARCH terbaik pada harga komoditas beras, jagung, dan
kedelai
Variabel Model ARCH/GARCH Terbaik
Harga Beras ARCH (1)
Harga Jagung ARCH (2)
Harga Kedelai ARCH (2)
Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan Tabel 5, model ARCH merupakan model terbaik bagi ketiga
komoditas pangan yang diteliti. Setelah memilih model ARCH-GARCH terbaik,
hal selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan evaluasi terhadap model
tersebut. Evaluasi model dapat dilakukan melalui uji normalitas dengan
memperhatikan nilai statistik Jarque-Bera. Hasil uji statistik Jarque-Bera dapat
dilihat pada Tabel 6. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa nilai Jarque-Bera
signifikan secara statistik yang berarti error model terdistribusi tidak normal.
Semua model ARCH-GARCH pada masing-masing variabel diuji normalitasnya
dan menunjukkan bahwa error pada semua model ARCH-GARCH terdistribusi
tidak normal, sehingga model ARCH-GARCH yang ditampilkan pada Tabel 5
masih menjadi model terbaik. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi
ketidaknormalan error dengan menggunakan metode Heteroscedasticity
Consistant Covariance Boolerslev-Wooldrige.
38
Tabel 6 Hasil uji normalitas pada model ARCH-GARCH untuk variabel harga
beras, jagung, dan kedelai
Variabel Jarque Bera Probabilitas
Harga Beras 352.658 0.000000
Harga Jagung 1157.433 0.000000
Harga Kedelai 1219.849 0.000000
Sumber: Lampiran 9
Langkah selanjutnya yang dilakukan untuk mengevaluasi model ARCH-
GARCH yang didapatkan dengan melakukan uji ARCH-LM. Uji ARCH-LM
bertujuan untuk mengetahui bahwa model yang dipilih sudah terbebas dari efek
ARCH. Tabel 7 memperlihatkan hasil dari uji ARCH-LM. Berdasarkan Tabel 7
diketahui bahwa nilai probabilitas lebih besar dari tingkat kepercayaan (α) 5
persen, sehingga model sudah terbebas dari efek ARCH.
Volatilitas harga beras pada Gambar 7 dimulai pada Januari 1985 hingga
Desember 2011. Volatilitas harga beras selalu bergerak di atas rataannya kecuali
pada tahun 1989 hingga 1994, tahun 2001 serta tahun 2003 hingga 2004.
Volatilitas harga beras Indonesia mencapai puncaknya antara tahun 1998 hingga
1999. Pada rentang waktu tersebut volatilitas harga beras mencapai lebih dari
empat standar deviasi. Setelah periode tersebut, volatilitas mulai menurun hingga
akhir tahun 2001. Pada tahun 2002, volatilitas kembali meningkat dengan nilai
mencapai dua standar deviasi, namun kembali turun sampai tahun 2004.
Volatilitas mencapai empat standar deviasi terjadi pada tahun 2005. Pada tahun
berikutnya volatilitas kembali turun dengan nilai kurang dari dua standar deviasi
walaupun berada tetap diatas nilai rataannya.
Volatilitas harga beras tertinggi terjadi pada tahun 1998 hingga 1999, hal ini
karena Indonesia mengalami krisis perekonomian yang menyebabkan kenaikan
harga terutama pada bahan pangan meningkat signifikan. Peningkatan harga yang
39
0.04
0.035
0.03
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
0
2000M01
1985M01
1986M01
1987M01
1988M01
1989M01
1990M01
1991M01
1992M01
1993M01
1994M01
1995M01
1996M01
1997M01
1998M01
1999M01
2001M01
2002M01
2003M01
2004M01
2005M01
2006M01
2007M01
2008M01
2009M01
2010M01
2011M01
peningkatan relatif tinggi hanya pada saat krisis ekonomi tahun 1998 hingga 1999.
Volatilitas harga jagung juga meningkat saat krisis ekonomi tahun 1997 hingga
1999. Kondisi ini terjadi karena ketidakstabilan ekonomi dan politik, sehingga
pasar memberikan respon negatif yang menyebabkan harga berfluktuasi tinggi.
Pada tahun 2001 hingga 2002 harga internasional komoditas jagung mengalami
peningkatan, harga jagung mulai meningkat setelah tahun 2000, sejalan dengan
peningkatan harga jagung di pasar dunia yang dipacu oleh peningkatan
permintaan jagung sebagai bahan baku untuk industri bahan bakar nonmigas atau
nabati (Kasryno et al. 2010) sehingga harga jagung domestik juga ikut meningkat
yang menyebabkan permintaan jagung turun. Pada tahun 2001-2002, ekspor
jagung dari Amerika Serikat turun, sehingga mempengaruhi harga dunia, dan
impor jagung Indonesia berasal dari Amerika Serikat (USDA 2013).
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
0
1994M01
1985M01
1986M01
1987M01
1988M01
1989M01
1990M01
1991M01
1992M01
1993M01
1995M01
1996M01
1997M01
1998M01
1999M01
2000M01
2001M01
2002M01
2003M01
2004M01
2005M01
2006M01
2007M01
2008M01
2009M01
2010M01
2011M01
Volatilitas Mean (+) 2Stdev (+) 4Stdev
0.016
0.014
0.012
0.01
0.008
0.006
0.004
0.002
0
1988M04
1995M11
1985M01
1986M02
1987M03
1989M05
1990M06
1991M07
1992M08
1993M09
1994M10
1996M12
1998M01
1999M02
2000M03
2001M04
2002M05
2003M06
2004M07
2005M08
2006M09
2007M10
2008M11
2009M12
2011M01
Volatilitas Mean (+) 2Stdev (+) 4Stdev
Ketiga harga komoditas memiliki volatilitas yang beragam, hal ini berarti
mengindikasikan bahwa harga ketiga bahan pangan pokok tersebut memiliki
risiko serta ketidakpastian yang relatif tinggi baik bagi produsen maupun
konsumen. Dalam dunia internasional, volatilitas harga pangan telah terjadi sejak
beberapa tahun dan berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan dalam penelitian
ini menyatakan bahwa harga pangan pokok di Indonesia juga mengalami
volatilitas. Volatilitas harga yang cukup tinggi terjadi pada saat krisis ekonomi
untuk ketiga komoditas pangan pokok. Hal ini wajar karena inflasi yang tinggi,
nilai tukar rupiah terhadap dollar yang rendah dan timbulnya kondisi politik yang
tidak stabil membuat harga pangan pokok menjadi tidak terkendali. Volatilitas
harga pangan pokok yang tinggi juga terjadi pada saat krisis pangan internasional
terutama pada komoditas kedelai.
Hasil perhitungan untuk volatilitas harga beras terhadap nilai tukar riil,
harga minyak dunia, suku bunga riil, produksi beras domestik, harga beras dunia
dan iklim ditunjukkan pada Tabel 8. Variabel iklim didekati menggunakan
variabel curah hujan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan curah
hujan dapat menggambarkan perubahan iklim yang terjadi saat ini. Dua unsur
utama iklim adalah suhu dan curah hujan. Indonesia sebagai daerah tropis
ekuatorial mempunyai variasi suhu yang kecil, sementara variasi curah hujannya
cukup besar. Oleh karena itu curah hujan merupakan unsur iklim yang paling
43
tanaman pangan (Harri et al. 2009). Permintaan yang meningkat terhadap bio-
energi menjadikan tanaman pangan diproduksi untuk menyediakan kebutuhan
bagi energi terbarukan tersebut dibandingkan konsumsi rumah tangga. Oleh
karena itu, penawaran terhadap tanaman pangan untuk konsumsi berkurang
sedangkan permintaan tetap, sehingga harga pangan meningkat dan membuat
harga berfluktuasi.
Suku bunga memiliki tanda negatif dengan koefisien bernilai 0.02.
Koefisien yang negatif berarti memiliki hubungan terbalik antara variabel
dependen dan independen. Jika suku bunga turun sebesar 1 persen, maka
volatilitas harga beras akan naik sebesar 0.02 persen. Elastisitas suku bunga
cenderung tidak elastis karena memiliki nilai kurang dari satu.
Suku bunga memiliki pengaruh negatif terhadap volatilitas berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Roache (2010). Suku bunga rendah
menjadikan investor beralih untuk menginvestasikan dananya kedalam bentuk
investasi fisik dibandingkan bentuk liquid (Tangermann 2011; Miguez dan
Michelena 2011) seperti investasi di bidang pertanian. Investasi ini menyebabkan
produksi pertanian meningkat, sehingga dari sisi penawaran harga produk
pertanian akan meningkat. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Irawan
(2005) yang menyatakan bahwa investasi dalam jangka panjang akan
meningkatkan harga output.
Produksi beras memiliki tanda koefisien yang berbeda dibandingkan dengan
nilai tukar riil dan harga minyak dunia. Koefisien produksi beras bertanda negatif
dengan nilai 0.97 yang menunjukkan bahwa jika produksi beras naik 1 persen,
maka volatilitas harga beras akan turun sebesar 0.97 persen. Nilai elastisitas
produksi beras adalah kurang dari satu yang berarti produksi beras bersifat
inelastis dalam merespon perubahan volatilitas harga beras.
Produksi beras yang tinggi menyebabkan ketersediaan beras cukup banyak
di pasaran. Melimpahnya persediaan beras membuat harga beras akan turun jika
tambahan produksi lebih besar dibandingkan tambahan permintaan, sehingga
volatilitas relatif kecil. Produksi beras yang cenderung stabil akan membuat harga
beras stabil, sehingga pada musim paceklik pemerintah mengupayakan impor
beras untuk menjaga kestabilan produksi beras agar harga beras tetap stabil.
Sebaliknya pada musim panen pemerintah akan menyimpan beras agar dapat
digunakan saat musim paceklik. Oleh karena itu untuk mengelola volatilitas harga
beras, peranan manajemen stok sangat penting, seperti yang dikemukakan oleh
Timmer (1996).
Jagung adalah salah satu bahan pangan pokok alternatif selain beras bagi
masyarakat Indonesia khususnya di wilayah Madura dan Indonesia Timur.
Kebutuhan jagung di Indonesia sebagian masih bergantung pada impor dan
sisanya merupakan produksi dalam negeri. Jagung selain digunakan untuk
konsumsi juga untuk makanan ternak serta biofuel.
Model volatilitas harga jagung dengan menggunakan model ARCH-
GARCH terdapat pada Tabel 9. Model ARCH-GARCH yang dipilih untuk
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga jagung adalah
model TARCH dengan memasukkan logaritma GARCH sebagai variabel bebas
46
dan menambahkan harga jagung dunia kedalam model varian error-nya. Model
TARCH yang dipilih sudah terbebas dari masalah heteroskedastisitas,
autokorelasi dan, multikolinearitas.
Nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.59 yang artinya model
volatilitas harga jagung dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat
dijelaskan oleh variabel nilai tukar riil (EXC), harga minyak dunia (OIL), suku
bunga riil (INT), harga jagung dunia (WORLDJ) produksi jagung domestik
(PRODJ) dan curah hujan (WTH) sebesar 59 persen dan sisanya dijelaskan oleh
faktor lain. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap volatilitas harga
jagung pada taraf nyata 5 persen yaitu nilai tukar riil, suku bunga riil dan produksi
jagung. Variabel yang memiliki pengaruh signifikan pada taraf nyata 10 persen
adalah harga jagung dunia.
Nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat. Nilai tukar riil memiliki koefisien sebesar 0.42 dengan
parameter bertanda positif. Apabila nilai tukar riil meningkat sebesar 1 persen,
maka volatilitas harga jagung meningkat sebesar 0.42 persen. Koefisien dalam
persamaan jangka panjang menjelaskan tentang elastisitas. Elastisitas nilai tukar
rupiah bernilai kurang dari satu, artinya nilai tukar riil bersifat inelastis dalam
merespon adanya perubahan dari volatilitas harga jagung.
menyatakan bahwa nilai tukar rupiah merupakan peubah utama yang berpengaruh
terhadap volume impor jagung Indonesia. Atas dasar hal tersebut secara teoritis
jika rupiah terdepresiasi terhadap dollar Amerika, maka permintaan impor jagung
akan berkurang, dan sebaliknya. Hal ini berarti fluktuasi harga jagung yang
menggambarkan volatilitas harganya dipengaruhi oleh nilai tukar.
Suku bunga riil berpengaruh negatif dan memiliki nilai koefisien sebesar
0.01. Arti dari koefisien yang bertanda negatif yaitu jika suku bunga riil
meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga jagung akan turun sebesar 0.01
persen. Elastisitas yang dimiliki oleh suku bunga riil adalah inelastis karena
bernilai kurang dari satu.
Suku bunga tinggi mengakibatkan peningkatan penawaran atau menurunkan
permintaan barang yang dapat disimpan. Berdasarkan Frankel (2006) adanya
kontraksi moneter menyebabkan meningkatnya suku bunga. Harga riil komoditas
turun hingga dinyatakan tidak mempunyai nilai kembali. Arti dari tidak
bernilainya suatu barang apabila terjadi apresiasi nilai suatu barang di masa depan
yang dapat mengimbangi turunnya suku bunga.
Harga jagung dunia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap volatilitas
harga jagung pada tingkat kepercayaan sebesar 10 persen. Koefisien harga jagung
dunia bertanda positif dengan nilai sebesar 0.94. Arti dari koefisien sebesar 0.94
adalah jika harga jagung dunia meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga
jagung dunia meningkat sebesar 0.94 persen. Nilai koefisien harga jagung dunia
yang bernilai kurang dari satu menunjukkan bahwa harga jagung dunia bersifat
inelastis dalam merespon adanya perubahan pada volatilitas harga jagung.
Harga jagung dunia yang meningkat terutama pada saat terjadinya krisis
pangan menyebabkan harga jagung dalam negeri ikut terpengaruh. Harga jagung
domestik juga meningkat karena sebagian besar kebutuhan jagung dalam negeri
masih dipenuhi dari impor, sehingga volatilitas relatif tinggi.
Koefisien produksi jagung sebesar 0.33 dan bertanda negatif yang artinya
jika produksi jagung meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga jagung
akan turun sebesar 0.33 persen. Elastisitas yang dihasilkan menunjukkan bahwa
produksi jagung tidak elastis terhadap perubahan volatilitas haga jagung karena
elastisitas yang bernilai kurang dari satu.
Produksi jagung yang tinggi membuat jagung banyak tersedia di pasaran
sehingga harga jagung akan turun. Turunnya harga jagung menyebabkan
volatilitas harga jagung menjadi kecil. Kebutuhan jagung Indonesia sebagian
besar diperoleh dari impor dibandingkan dengan produksi domestik. Hal ini
disebabkan keadaan iklim di Indonesia yang tidak cocok untuk menanam jagung
kecuali untuk daerah-daerah tertentu, sehingga bila produksi domestik dapat
meningkat akan berdampak pada menurunnya harga jagung domestik.
Menurut Kasryno et al. (2010) diperkirakan lebih dari 55 persen kebutuhan
jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan
hanya sekitar 30 persen, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan
bibit. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai
bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan. Permintaan jagung untuk
industri, terutama industri pakan, telah mendorong peningkatan harga jagung di
dalam negeri maupun di pasar internasional. Harga jagung di pasar dunia pada
tahun 2004 -2007 terus berfluktuasi. Harga jagung diperkirakan akan terus
meningkat karena meningkatnya permintaan untuk industri ethanol sebagai bahan
48
bakar nabati (BBN). Pergeseran jagung menjadi bahan baku industri menjadikan
kebijakan untuk mengelola volatilitas harganya harus memperhitungkan banyak
faktor, antara lain kebijakan di sektor pakan (ternak) dan biofuel.
meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga kedelai akan naik sebesar 0.60
persen. Elastisitas yang dimiliki oleh nilai tukar riil ditunjukkan melalui nilai
koefisiennya. Elastisitas nilai tukar riil bernilai kurang dari satu yang berarti
bersifat inelastis terhadap volatilitas harga kedelai.
Indonesia adalah negara pengimpor kedelai yang cukup besar relatif
terhadap kebutuhannya, yaitu lebih kurang sebesar 70 persen. Ketergantungan
terhadap impor yang cukup besar menunjukkan rawannya perubahan harga
kedelai di dalam negeri akibat perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika. Jika nilai tukar dollar terhadap rupiah semakin tinggi (artinya rupiah
terdepresiasi) maka akan meningkatkan harga kedelai dan sebaliknya, hal ini
berarti volatilitas harga kedelai berkorelasi positif dengan perubahan nilai tukar.
Kerawanan ini tidak hanya ditinjau secara ekonomi, tetapi juga berpotensi
menjadi isu sosial-politik, karena kedelai merupakan bahan baku konsumsi
makanan seperti, tahu, tempe dan jenis makanan lainnya. Oleh karena itu upaya
untuk menstabilkan harga kedelai penting untuk dilakukan. Dalam jangka pendek,
impor diharapkan mampu menjaga stabilitas harga kedelai dan membatasi
munculnya spekulan. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah melalui Perum Bulog
melakukan impor kedelai dengan mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 23
tahun 2013.
Harga minyak dunia mempunyai tanda koefisien positif dengan nilai sebesar
0.47 yang bermakna bila harga minyak naik 1 persen, maka volatilitas harga
kedelai akan meningkat sebesar 0.47 persen. Nilai koefisien yang kurang dari satu
membuat elastisitas harga minyak dunia menjadi tidak elastis, sehingga tidak
dapat merespon perubahan volatilitas harga kedelai. Pengaruh volatilitas harga
minyak dunia terhadap volatitilitas harga pangan telah dilakukan oleh beberapa
peneliti yaitu, Guidry (2006); Braun dan Torero (2008); Harri et al. (2009);
Roache (2010). Dengan demikian penelitian ini sejalan dengan beberapa peneliti
tersebut.
Suku bunga riil bertanda negatif dan memiliki nilai koefisien 0.01 yang
berarti apabila suku bunga riil meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas harga
kedelai akan turun sebesar 0.01 persen. Elastisitas suku bunga kurang dari satu
yang menandakan bahwa suku bunga riil tidak elastis sehingga tidak dapat
merespon adanya perubahan pada volatilitas harga kedelai. Pengaruh suku bunga
terhadap volatilitas harga pangan seperti kedelai dapat dihubungkan melalui
investasi. Secara teori, suku bunga berkorelasi negatif dengan investasi, artinya
jika suku bunga rendah, investasi cenderung meningkat. Indonesia terus berupaya
untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai, untuk keperluan tersebut
maka diperlukan investasi, baik untuk keperluan intensifikasi maupun
ekstensifikasi. Dengan demikian bila suku bunga naik atau turun maka investasi
cenderung menurun atau meningkat, berarti akan mempengaruhi produksi, dan
selanjutnya akan mempengaruhi pasar kedelai yang pada akhirnya akan
mempengaruhi volatilitas harga kedelai. Suku bunga juga dapat mempengaruhi
spekulasi finansial di pasar komoditas, yang akan mempengaruhi harga dan
volatilitas harga komoditas.
Variabel harga kedelai dunia diduga berpengaruh terhadap volatilitas harga
kedelai. Berdasarkan Tabel 10, harga kedelai dunia berpengaruh pada taraf nyata
10 persen dengan nilai koefisien sebesar 0.93 dengan tanda negatif. Arti dari tanda
negatif adalah jika harga kedelai dunia meningkat sebesar 1 persen, maka
50
volatilitas harga kedelai turun sebesar 0.93 persen. Elastisitas harga kedelai dunia
yang tercermin dari nilai koefisien mempunyai nilai kurang dari satu, sehingga
bersifat inelastis dalam merespon perubahan volatilitas harga kedelai.
Harga kedelai dunia yang meningkat menyebabkan harga impor kedelai
naik. Naiknya harga impor membuat pemerintah giat untuk meningkatkan
produksi kedelai domestik sehingga harga kedelai domestik tidak akan terganggu
dengan naiknya harga dunia. Stabilnya harga kedelai domestik menyebabkan
volatilitas harga pangan dapat ditekan. Hal tersebut dapat terjadi jika kebijakan
yang diambil oleh pemerintah adalah swasembada pangan, namun apabila
kebijakan yang diambil tetap berorientasi impor maka akan menyebabkan
fluktuasi harga kedelai dalam negeri yang membuat volatilitas harga kedelai tidak
dapat dihindari.
Nilai koefisien produksi kedelai sebesar 0.46 dan bertanda positif yang
bermakna jika produksi kedelai meningkat sebesar 1 persen, maka volatilitas
harga kedelai akan naik sebesar 0.46 persen. Elastisitas produksi kedelai bernilai
kurang dari satu sehingga produksi kedelai tidak elastis dalam merespon
perubahan volatilitas harga kedelai. Hingga saat ini kedelai yang ada di pasaran
sebagian besar merupakan kedelai impor, sehingga terdapat keinginan untuk
mengembangkan produksi kedelai dalam negeri, namun menurut Amang et al.
(1996) laju produksi dan produktivitas kedelai Indonesia masih rendah. Hal ini
juga ditunjukkan dengan jenis kedelai yang ditanam adalah kedelai konvensional,
produktivitasnya masih rendah, yaitu kedelai Non GMO (genetic modified
organism). Atas dasar kondisi tersebut maka peningkatan jumlah produksi dalam
negeri nampaknya tidak mempengaruhi pasar kedelai domestik. Pasar kedelai
masih dominan ditentukan kedelai impor dengan struktur pasar oligopoli.
Variabel cuaca yang didekati dengan curah hujan berpengaruh positif
dengan nilai koefisien sebesar 0.05 yang berarti apabila curah hujan meningkat
sebesar 1 persen, maka volatilitas harga kedelai meningkat sebesar 0.05 persen.
Elastisitas curah hujan yaitu inelastis karena nilai koefisien yang kurang dari satu.
Semua variabel yang berpengaruh signifikan memiliki elastisitas yang inelastis,
sehingga semua variabel tidak dapat merespon adanya perubahan pada volatilitas
harga kedelai.
Cuaca ekstrim yang banyak terjadi di dunia seperti El Nino dan La Nina
menyebabkan perubahan pada produksi pangan (Roache 2010). Cuaca ekstrim
juga dapat merubah pola panen beberapa komoditas, sehingga ketersediaan
pangan di pasaran domestik maupun internasional dapat terganggu. Perubahan
ketersediaan pangan di pasaran membuat harga pangan berfluktuasi sehingga
volatilitas harga pangan tidak dapat dihindarkan. Akibat adanya cuaca ekstrim
membuat produksi pangan dapat melimpah maupun sebaliknya.
Cuaca yang didekati dengan variabel curah hujan pada penelitian ini
bertanda positif yang berarti jika curah hujan tinggi, maka volatilitas harga kedelai
akan tinggi. Kedelai merupakan tanaman pangan yang sebagian besar
ketersediannya masih diimpor dan hanya sedikit daerah di Indonesia yang dapat
ditanami kedelai. Kedelai menurut Aak (2002) adalah tanaman yang hidup di
daerah kering, apabila terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi akan
menurunkan produksi kedelai karena terjadi gagal panen. Produksi kedelai yang
turun menyebabkan harga kedelai melonjak naik. Harga kedelai yang meningkat
dapat menimbulkan volatilitas.
51
Inflasi dan produk domestik bruto (PDB) merupakan bagian dari indikator
makroekonomi. Inflasi dipilih menjadi salah satu variabel untuk kinerja
makroekonomi karena inflasi merupakan salah satu masalah perekonomian yang
dapat mempengaruhi sektor riil maupun moneter (Glahe 1977). Pada sektor riil,
inflasi mempengaruhi belanja pemerintah dan pajak. Pada sektor moneter inflasi
dapat mempengaruhi suku bunga dan jumlah uang beredar. Sektor riil dan
moneter merupakan dua sektor utama dalam perekonomian dan bila terjadi inflasi
dampak yang ditimbulkan akan menyebar pada berbagai pelaku ekonomi seperti
pemerintah, rumah tangga dan perusahaan. Data inflasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah inflasi harga umum.
Output nasional atau PDB adalah alat yang biasa digunakan untuk
mengukur aktivitas makroekonomi (Glahe 1977). PDB merupakan nilai dari
seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara selama satu tahun.
Nilai barang dan jasa PDB merupakan nilai final produk tersebut. Barang dan jasa
dihitung secara menyeluruh baik yang digunakan oleh konsumen dan produsen,
sehingga PDB dapat dijadikan sebagai salah satu indikator makroekonomi. Dalam
output nasional terdapat sembilan sektor yang dihitung yaitu, sektor pertanian
dalam arti luas, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik; gas;
dan air bersih, konstruksi, perdagangan; hotel dan restoran, pengangkutan dan
komunikasi, keuangan; real estat; dan jasa perusahaan, terakhir adalah jasa-jasa.
PDB yang dibahas dalam penelitian ini merupakan PDB sektor pertanian secara
umum. Pemilihan PDB sektor pertanian dikarenakan volatilitas harga yang
diestimasi adalah harga komoditas pangan.
Uji akar unit digunakan untuk mengetahui kestasioneran data rentet waktu.
Data dikatakan stasioner apabila nilai t-statistik ADF lebih kecil dibandingkan
nilai kritis MacKinnon. Nilai kritis MacKinnon dibedakan menjadi tiga yaitu pada
taraf nyata 1, 5 dan 10 persen, namun pada penelitian ini digunakan nilai kritis
52
MacKinnon pada taraf nyata 5 persen. Data dapat stasioner pada tingkat level, first
difference maupun second difference. Berdasarkan Tabel 11, semua data stasioner
pada level kecuali data nilai tukar. Hal ini dikarenakan nilai tukar stasioner pada
first difference. Nilai tukar memiliki nilai ADF t-statistik lebih besar
dibandingkan nilai kritis MacKinnon sehingga data memiliki akar unit pada
tingkat level, maka dari itu data nilai tukar tidak stasioner pada level.
Hasil uji akar unit yang ditunjukkan pada Tabel 11 telah memenuhi kriteria
untuk diestimasi menggunakan metode ECM. Hal ini dikarenakan terdapat satu
variabel yaitu nila tukar tidak stasioner pada level. ECM dapat dipakai jika
minimal terdapat satu variabel dalam model yang tidak stasioner pada level. Taraf
nyata yang digunakan pada penelitian ini tercermin dari nilai kritis MacKinnon.
Nilai kritis MacKinnon yang dipilih sebesar 5 persen baik pada tingkat level
maupun first difference.
Tabel 11 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk pengaruh
volatilitas harga pangan terhadap inflasi
Level First Difference
Variabel t-statistic Nilai Kritis t-statistic Nilai Kritis
MacKinnon MacKinnon
INF -9.361856 -2.870359 -14.04963 -2.870473
VOLTB -8.661589 -2.870387 -14.21619 -2.870473
VOLTJ -6.221011 -2.870416 -13.19029 -2.870473
VOLTK -7.954252 -2.870359 -13.69309 -2.870473
EXC -2.618243 -3.424155 -6.48831 -3.424155
INT -3.946736 -2.870359 -16.80786 -2.870387
Sumber: Lampiran 1
Uji Kointegrasi
Tabel 12 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap
inflasi
Variabel ADF Nilai Kritis MacKinnon Prob Keterangan
t-statistics 5% 10 %
UT -11.74569 -2.870359 -2.571538 0.0000 Stasioner
Sumber: Lampiran 6
menjadi komoditas industri pakan (ternak) serta bahan bakar nabati. Dengan
demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku
industri dibanding sebagai bahan pangan. Tingginya permintaan terhadap jagung
untuk kebutuhan industri pakan dan bahan bakar nabati membuat harga jagung
dunia terus mengalami peningkatan sejak tahun 2000-an. Laju pertumbuhan
produksi jagung selama ini sekitar 3 persen per tahun,sementara laju permintaan
jagung untuk industri pakan sekitar 5 persen per tahun, maka Indonesia akan tetap
mengimpor jagung sebesar 1.2-2.0 MT per tahun. (Kasryno et al. 2010).
Kebutuhan jagung untuk industri pakan tiap tahun terus meningkat sejalan dengan
perkembangan industri peternakan. Berdasarkan analisis proyeksi, pada tahun
2020 diprediksi kebutuhan jagung pada pabrik pakan sekitar 28.52 persen diatas
kebutuhan sesuai pendekatan populasi (Swastika et al. 2011).
Volatilitas harga jagung periode satu tahun sebelumnya berpengaruh
signifikan pada taraf nyata 5 persen dan mempunyai tanda positif pada jangka
pendek. Nilai koefisien yang dimiliki oleh volatilitas harga jagung periode satu
tahun sebelumnya adalah 0.38 yang berarti jika volatilitas harga jagung periode
satu tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen, maka inflasi akan meningkat
sebesar 0.38 persen ceteris paribus.
Harga jagung dunia yang mengalami kenaikan tajam sejak tahun 2005
menyebabkan harga jagung dalam negeri juga meningkat. Hal ini disebabkan
Indonesia menjadi net importer jagung sejak tahun 1992 (Kasryno et al. 2010).
Harga yang tinggi membuat inflasi menjadi tinggi sehingga memiliki andil
terhadap inflasi secara umum. Disamping itu kenaikan harga jagung akan
mempengaruhi inflasi sektor lain yang menggunakan jagung sebagai bahan baku
khususnya industri pakan (ternak) dan industri lainnya.
Variabel nilai tukar riil memiliki tanda positif dan signifikan pada taraf
nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 3.79. Tanda koefisien positif berarti
kedua variabel baik variabel dependen dan independen memiliki hubungan yang
searah. Apabila dikaitkan dengan nilai tukar riil dapat diartikan bahwa apabila
nilai tukar riil meningkat 1 persen, inflasi akan naik sebesar 3.79 persen ceteris
paribus. Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang meningkat menyebabkan harga-
harga komoditas meningkat terutama komoditas impor, sehingga inflasi menjadi
tinggi. Ketiga jenis komoditas pangan dalam penelitian ini belum dapat bebas dari
impor, dengan demikian nilai tukar akan mempengaruhi inflasi melalui
mekanisme harga ketiga komoditas tersebut. Variabel nilai tukar riil periode satu
tahun sebelumnya signifikan pada taraf nyata 10 persen dengan nilai koefisien
sebesar 0.5 dan bertanda positif yang berarti jika variabel nilai tukar riil periode
satu tahun sebelumnya naik sebesar 1 persen, maka inflasi akan naik sebesar 0.5
persen.
Suku bunga riil mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi
dengan tanda yang berbeda dari variabel volatilitas harga jagung serta nilai tukar
riil yaitu bertanda negatif. Koefisien suku bunga riil memiliki nilai sebesar 0.06
yang bermakna bila suku bunga riil meningkat sebesar 1 persen, maka inflasi akan
turun sebanyak 0.06 persen ceteris paribus. Suku bunga periode satu tahun
sebelumnya signifikan pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien 0.04
dan bertanda negatif sama seperti suku bunga riil. Artinya jika suku bunga riil
periode satu tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen, maka inflasi akan
turun sebesar 0.04 persen ceteris paribus. Suku bunga tinggi membuat para
55
investor tidak berminat untuk berinvestasi, sehingga produksi agregat yang dapat
disediakan (Aggregate Supply) tetap, padahal permintaan (Aggregat Demand)
terus bertambah seiring dengan pertambahan penduduk, maka dari itu
menyebabkan inflasi dari sisi permintaan. Inflasi secara umum dapat didekati dari
sisi permintaan dan penawaran. Demand pull inflation adalah jenis inflasi yang
terjadi dari sisi permintaan. Cost push inflation adalah inflasi dari sisi penawaran
yang dapat disebabkan naiknya biaya produksi sehingga penawaran menjadi
terbatas dan mengakibatkan terjadi inflasi.
Pada tahun 2010 hingga 2011 laju pertumbuhan PDB pertanian meningkat
dari 3.01 menjadi 3.37 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap total PDB
pada tahun 2012 sebesar 12.51 persen. Hal ini membuktikan bahwa sektor
pertanian masih memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Sektor pertanian berada di urutan ketiga terbesar dalam menyumbang
terhadap PDB secara keseluruhan. Oleh karena itu variabel-variabel yang
dianggap mempengaruhi terhadap pertumbuhan sektor pertanian penting untuk
diketahui.
Kinerja makroekonomi melalui PDB sektor pertanian yang dipengaruhi oleh
volatilitas harga pangan dan faktor lain ditunjukkan pada Tabel 16. PDB yang
digunakan dalam penelitian ini adalah PDB sektor pertanian secara umum
termasuk didalamnya adalah sub sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan,
peternakan, perikanan dan kehutanan.
Salah satu syarat untuk menggunakan metode ECM adalah data harus
stasioner pada ordo tertentu. Uji akar unit merupakan cara untuk mengetahui
kestasioneran data. ADF test merupakan alat yang dapat digunakan untuk
memeriksa ada tidaknya akar unit pada suatu data sehingga dapat diketahui
kestasioneran datanya. Hasil uji akar unit untuk model pertumbuhan diperlihatkan
pada Tabel 14.
Tabel 14 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk pengaruh
volatilitas harga pangan terhadap PDB sektor pertanian
Level First Difference
Variabel t-statistic Nilai Kritis t-statistic Nilai Kritis
MacKinnon MacKinnon
PDB_P -1.747594 -3.453601 -47.10709 -3.453601
VOLTB -7.536695 -2.888669 -11.66113 -2.889200
VOLTJ -6.379636 -2.888669 -13.64912 -2.888932
VOLTK -6.105862 -2.888669 -11.42455 -2.889200
EXC -2.160003 -3.453601 -6.42611 -3.453601
INT -4.638954 -2.888932 -9.25535 -2.889753
INV_DN -9.692637 -2.890327 -11.56788 -2.892536
INV_LN -5.952357 -2.892536 -8.71175 -2.896346
Sumber: Lampiran 1
56
Berdasarkan Tabel 14, variabel volatilitas harga beras; jagung dan kedelai,
suku bunga riil, investasi dalam negeri, investasi luar negeri stasioner pada level
karena nilai ADF t-statistik lebih kecil dibandingkan dengan nilai kritis
MacKinnon pada taraf nyata 5 persen. Variabel nilai tukar riil dan PDB sektor
pertanian stasioner pada first difference karena nilai ADF t-statistik lebih besar
dibandingkan dengan nilai kritis MacKinnon pada tingkat level. Nilai kritis
MacKinnon yang digunakan berada pada taraf nyata 5 persen.
Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka
panjang diantara variabel-variabel yang diteliti. Terdapat berbagai macam uji
kointegrasi diantaranya adalah Engle-Granger Cointegration. Penelitian ini akan
menggunakan Engle-Granger Cointegration untuk menguji kointegrasi variabel-
variabel yang diamati. Uji kointegrasi merupakan uji residual dari persamaan
yang telah diregresi. Uji kointegrasi digunakan untuk mengestimasi hubungan
jangka panjang diantara variabel PDB sektor pertanian (PDB_P) dengan
volatilitas harga beras (VOLTB), volatilitas harga jagung (VOLTJ), volatilitas
harga kedelai (VOLTK), suku bunga riil (INT), dan nilai tukar riil (EXC),
investasi dalam negeri (INV_DN), dan investasi luar negeri (INV_LN). Hasil dari
uji kointegrasi diperlihatkan pada Tabel 15. Nilai residual yaitu UT memiliki nilai
ADF t-statistik lebih kecil dibandingkan nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5
persen pada level. Hal ini diartikan bahwa diantara variabel-variabel yang diteliti
terdapat kointegrasi, sehingga terdapat hubungan jangka panjang.
Tabel 15 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap
PDB sektor pertanian
Variabel ADF Nilai Kritis MacKinnon Prob Keterangan
t-statistics 5% 10 %
UT -6.545941 -1.944364 -1.614441 0.0000 Stasioner
Sumber: Lampiran 6
kedelai satu tahun sebelumnya, investasi dalam negeri sektor pertanian, investasi
dalam negeri sektor pertanian satu tahun sebelumnya, investasi luar negeri sektor
pertanian, investasi luar negeri sektor pertanian satu tahun sebelumnya, suku
bunga riil, suku bunga riil satu tahun sebelumnya, nilai tukar riil, nilai tukar riil
satu tahun sebelumnya dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain.
Tabel 16 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap PDB sektor
pertanian
Variabel Koefisien Probabilitas
C 9.101386 0.0000
D(VOLTB) 0.029107 0.3058
D(VOLTJ) -0.049156 0.1889
D(VOLTK) -0.057204 0.0878
D(INT) -0.010603 0.0028
D(EXC) -0.375456 0.0928
D(INV_DN) -0.008282 0.6100
D(INV_LN) 0.006492 0.5345
VOLTB(-1) 0.038797 0.3308
VOLTJ(-1) -0.184376 0.0000
VOLTK(-1) -0.066778 0.1097
INT(-1) -0.015391 0.0000
EXC(-1) 0.035120 0.7126
INV_DN(-1) -0.004836 0.8190
INV_LN(-1) 0.013526 0.2198
R-Squared = 0.437976
Adjusted R-Squared = 0.335790
Sumber: Lampiran 7
Volatilitas harga kedelai memiliki tanda negatif dengan nilai koefisien
sebesar 0.05. Nilai koefisien tersebut memiliki arti jika volatilitas harga kedelai
meningkat 1 persen, maka PDB sektor pertanian akan menurun sebesar 0.05
persen ceteris paribus. Tanda yang sama juga berlaku pada variabel volatilitas
harga kedelai satu tahun sebelumnya yang signifikan dengan nilai koefisien
sebesar 0.06. Arti dari nilai koefisien tersebut adalah jika volatilitas harga kedelai
naik sebesar 1 persen, maka PDB sektor pertanian akan turun sebesar 0.06 persen
ceteris paribus.
Kedelai merupakan komoditas impor pangan dengan jumlah yang cukup
tinggi. Ketergantungan masyarakat Indonesia yang besar terhadap kedelai
membuat pemerintah terus melakukan impor bahkan pada tahun 2012 (Peraturan
Menteri Keuangan nomor 011 tahun 2012) membebaskan tarif impor. Harga
kedelai impor yang relatif murah bila dibandingkan dengan kedelai dalam negeri,
membuat harga kedelai domestik menjadi berfluktuasi (Purwanti dan Hayati
2008), sehingga volatilitas harga kedelai dalam negeri tidak dapat dihindarkan.
Persoalan krisis pangan yang melanda dunia pada tahun 2008 ikut
mempengaruhi harga kedelai dalam negeri. Setelah krisis pangan usai harga turun,
namun meningkat kembali pada tahun 2010 (ADB 2011). Perubahan harga yang
cepat menyebabkan terjadi fluktuasi harga yang berakibat harga kedelai menjadi
volatil. Volatilitas harga komoditas terhadap pertumbuhan memiliki hubungan
58
tukar naik sebesar 1 persen, maka PDB sektor pertanian akan naik sebesar 0.37
persen ceteris paribus. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang
meningkat artinya rupiah terdepresiasi. Rendahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar menyebabkan harga barang meningkat. Harga barang yang meningkat
membuat daya beli konsumen terhadap produk pertanian menjadi berkurang.
Berkurangnya daya beli berarti konsumsi akan turun dan mengakibatkan PDB
sektor pertanian juga turun karena hubungan searah diantara konsumsi dan PDB.
Dampak nilai tukar terhadap pertumbuhan merupakan dampak tidak langsung
karena melalui variabel konsumsi.
61
1. Ketiga harga komoditas pangan yaitu beras, jagung dan kedelai bersifat
volatil. Umumnya volatilitas ketiga harga komoditas tersebut tinggi pada saat
terjadi krisis ekonomi tahun 1997 hingga 1999. Saat krisis ekonomi terjadi
kebijakan harga pangan mengalami perubahan dari harga yang dikendalikan
oleh pemerintah menjadi harga diserahkan sepenuhnya pada pasar. Hal ini
membuat harga pangan menjadi tidak terkendali sehingga harga menjadi
berfluktuasi relatif tinggi dan akibatnya volatilitas juga tinggi.
2. Volatilitas harga beras hanya mengalami peningkatan tajam pada saat terjadi
krisis ekonomi. Periode setelahnya harga beras lebih stabil dan terjaga. Hal
ini disebabkan komoditas beras merupakan makanan pokok penduduk
Indonesia dan menjadi komoditas yang bersifat politis, sehingga kestabilan
harga beras relatif lebih terjaga dibandingkan komoditas pangan lain.
3. Volatilitas harga jagung dan kedelai lebih bervariasi dibandingkan beras.
Volatilitas harga jagung kembali meningkat pada tahun 2002 dengan tingkat
yang lebih tinggi dibandingkan pada saat krisis ekonomi. Harga jagung
Indonesia dipengaruhi oleh harga dunia karena jagung adalah komoditas
impor. Maka dari itu jika harga jagung dunia meningkat, harga jagung dalam
negeri akan meningkat pula. Tahun 2002 pemerintah Amerika Serikat sebagai
eksportir utama jagung menggalakkan kebijakan bahan bakar nabati, sehingga
harga jagung dunia meningkat karena jagung merupakan sumber utama bahan
bakar nabati.
4. Volatilitas harga kedelai juga mengalami peningkatan setelah periode krisis
ekonomi yaitu tahun 2008. Volatilitas yang terjadi tahun 2008 lebih tinggi
dibandingkan tahun 1998-1999. Sama seperti jagung, kedelai juga salah satu
komoditas impor pangan utama Indonesia. Pada tahun 2008 dunia mengalami
krisis pangan internasional dan kedelai yang merupakan salah satu komoditas
pangan utama dunia mengalami peningkatan harga yang tajam, sehingga
berpengaruh terhadap harga kedelai domestik.
5. Terdapat empat faktor yang signifikan dan nyata mempengaruhi volatilitas
harga beras yaitu, nilai tukar riil, harga minyak dunia, suku bunga riil, dan
produksi beras domestik. Produksi beras domestik signifikan dan bertanda
negatif yang berarti jika produksi beras dalam negeri melimpah maka harga
beras akan turun karena tingginya penawaran. Tiga faktor lainnya yang juga
signifikan merupakan faktor yang banyak berlaku di berbagai negara.
6. Faktor yang berpengaruh nyata dan signifikan terhadap volatilitas harga
jagung adalah nilai tukar riil, suku bunga riil, harga jagung dunia, dan
produksi jagung dalam negeri. Nilai tukar dan suku bunga adalah faktor
umum penyebab volatilitas harga, sedangkan produksi jagung dan harga
jagung dunia merupakan dua faktor yang saling berkaitan. Jika produksi
dalam negeri meningkat, maka volatilitas harga jagung akan turun karena
keduanya memiliki hubungan negatif. Sebaliknya harga jagung dunia
berpengaruh positif terhadap volatilitas harga jagung. Maka dari itu jika harga
jagung dunia meningkat dapat diatasi dengan meningkatkan produksi dalam
negeri.
62
Implikasi Kebijakan
1. Komoditas pangan yang dianalisis dalam penelitian ini hanya tiga jenis,
sesungguhnya masih banyak komoditas pangan lainnya menurut Kementerian
Pertanian.
2. Variabel yang digunakan dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi volatilitas harga pangan masih dapat ditambahkan seperti stok
pangan dan variabel makroekonomi lainnya.
3. Kebijakan dalam mengelola harga pangan belum dianalisis secara lebih
mendalam, pada penelitian selanjutnya dapat dikaji mengenai kebijakan yang
cocok diterapkan untuk mengelola volatilitas harga pangan.
65
DAFTAR PUSTAKA
Abbot PC, Hurt C, Tyner WE. 2008. What’s Driving Food Prices?. Farm
Foundation Issue Report.
[ADB] Asian Development Bank. 2011. Global Food Price Inflation and
Developing Asia. Manila (PH): ADB.
Aghion P, Banerjee A. 2005. Volatility and Growth. New York (US): Oxford
University Press.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto
atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Persen), 2004-
2012. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.
Braun J von, Torero M. 2008. Physical and Virtual Global Food Reserves to
Protect The Poor and Prevent Market Failure. Policy Briefs 4. Washington
DC (US): International Food Policy Research Institute (IFPRI).
66
Braun J von, Tadesse G. 2012. Global Food Price Volatility and Spikes: An
Overview of Costs, Causes, and Solutions. ZEF-Discussion Papers on
Development Policy No. 161.
Choi K, Kim DH. 2012. The Analysis on the Effect of Commodity Price
Volatility on G-20 Economies. Paper dipresentasikan pada Seminar
International Monetary System, Energy and Sustainable Development.
Dartanto T. 2010. Volatility of World Rice Price, Import Tariff and Poverty in
Indonesia: a CGE Microsimulation Analysis. International Conference On
Applied Economics (ICOAE).
Enders W. 1995. Applied Econometrics Time Series. New York (US): John Wiley
and Sons.
FAO, IFAD, IMF,OECD, UNCTAD, WFP, the World Bank, the WTO, IFPRI,
the UN HLTF. 2011. Price Volatility in Food and Agricultural Markets:
Policy Responses.
Frankel JA. 2006. The Effect of Monetary Policy on Real Commodity Prices.
NBER Working Paper No. 12713.
G-20 Agriculture Ministers. 2011. Action Plan on Food Price Volatility and
Agriculture. Paris (FR): Ministerial Declaration.
Gilbert CL, Morgan CW. 2010. Food Price Volatility. Philosophical Transactions
of The Royal. Society.B 365. 3023–3034. doi:10.1098/rstb.2010.0139.
Glahe. 1977. Macroeconomics Theory and Policy. 2nd ed. Colorado (US):
Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Guidry KM. Fall 2006. Prospects for Profitability in Louisiana’s Feed Grain
Industry. Louisianna Agriculture. 49 (4).
[HLPE] High Level Panel of Expert. 2011. Price Volatility and Food Security.
Roma (IT): High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition of
the Committee on World Food Security.
Juanda B, Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi. Bogor
(ID): IPB Pr.
Kose AS, Prasad ES, Terrones ME. 2005. Growth and Volatility in an Era of
Globalization. IMF Staff Papers Vol. 52 Special Issue.
Mankiw NG. 2002. Macroeconomics. 5th ed. Manhattan (US): Worth Publisher.
Mitchell D. 2008. A Note on Rising Food Prices. The World Bank. Policy
Research Working Paper. 4682
Naeve SL, Orf JH. 2007. Quality of the United States Soybean Crop.
Onour I, Sergi B. 2011. Global Food and Energy Markets: Volatility Transmission
and Impulse Response Effects. MPRA Paper No. 34079.
Ramey G, Ramey VA.1995. Link Between Volatility and Growth. The American
Economic Review. 85 (5): 1138-1151.
69
Roache SK. 2010. What Explains the Rise in Food Price Volatility. International
Monetary Fund Working Paper.
Timmer CP. 1996. Does BULOG Stabilize Rice Prices in Indonesia? Should It
Try?. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32(2):45-74.
Timmer CP. 2004. Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long
Run Outlook. Working Paper No. 48. Center for Global Development.
Timmer CP. 2009. Rice Price Formation in the Short Run and the Long Run: The
Role of Market Structure in Explaining Volatility. The Center for Global
Development Working Paper Number 172.
Timmer CP. 2011. Managing Price Volatility: Approaches at the Global, National,
and Household Levels. Stanford Symposium Series on Global Food Policy
and Food Security in the 21st Century.
[UN-ESCAP] United Nations Economic and Social Comission for Asia and the
Pacific. 2011. Rising Food Prices and Inflation in the Asia Pacific Region:
Causes, Impact and Policy Response. Macroeconomic Policy and
Development Division No.7 Policy Briefs.
Walsh JP. 2011. Reconsidering the Role of Food Prices in Inflation. International
Monetary Fund Working Paper.
Wilson N. 2012. Discussion: Causes of Agricultural and Food Price Inflation and
Volatility. JAAE. 44(3):423–425.
Zheng Y, Kinnucan HW, Thompson H. 2008. News and Volatility of Food Prices.
Applied Economics. 40(13-15): 1629-1635.
LAMPIRAN
71
1 Harga beras
Null Hypothesis: LN_BERASNOM has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)
t-Statistic Prob.*
2 Harga jagung
Null Hypothesis: LN_JAGUNGNOM has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)
t-Statistic Prob.*
3 Harga kedelai
Null Hypothesis: LN_KEDELENOM has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
9 Inflasi
a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: INF has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=16)
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
10 PDB pertanian
a) Uji akar unit pada level
Null Hypothesis: PDB_P has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
Lampiran 2 Model Auto Regressive Moving Average (ARMA) untuk data harga
pangan
1 Harga beras
Dependent Variable: LN_BERASNOM
Method: Least Squares
Date: 08/21/13 Time: 17:23
Sample (adjusted): 1985M03 2011M12
Included observations: 322 after adjustments
Convergence achieved after 12 iterations
MA Backcast: 1985M01 1985M02
2 Harga jagung
Dependent Variable: LN_JAGUNGNOM
Method: Least Squares
Date: 08/22/13 Time: 11:09
Sample (adjusted): 1985M02 2011M12
Included observations: 323 after adjustments
Convergence achieved after 6 iterations
MA Backcast: 1984M12 1985M01
3 Harga kedelai
Variance Equation
Variance Equation
Variance Equation
Variance Equation
Variance Equation
Variance Equation
Lampiran 5 Persamaan jangka panjang untuk model inflasi dan PDB sektor
pertanian
1 Model inflasi
1 Model inflasi
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
1 Harga beras
70
Series: Standardized Residuals
60 Sample 1985M03 2011M12
Observations 322
50
Mean 0.175181
Median 0.049191
40
Maximum 4.744584
Minimum -3.434079
30 Std. Dev. 0.986072
Skewness 1.206162
20 Kurtosis 7.523911
10 Jarque-Bera 352.6581
Probability 0.000000
0
-2.50 -1.25 0.00 1.25 2.50 3.75
94
2 Harga jagung
100
Series: Standardized Residuals
Sample 1985M02 2011M12
80 Observations 323
Mean 0.015741
60 Median -0.100126
Maximum 7.129202
Minimum -2.844599
40 Std. Dev. 1.001420
Skewness 1.614311
Kurtosis 11.69352
20
Jarque-Bera 1157.433
Probability 0.000000
0
-2 0 2 4 6
3 Harga kedelai
90
Series: Standardized Residuals
80 Sample 1985M03 2011M12
Observations 322
70
60 Mean 0.059378
Median -0.050375
50 Maximum 7.299033
Minimum -2.967327
40
Std. Dev. 0.999764
30 Skewness 1.581062
Kurtosis 11.99563
20
Jarque-Bera 1219.849
10 Probability 0.000000
0
-2 0 2 4 6
95
RIWAYAT HIDUP