Anda di halaman 1dari 48

DILEMA PETANI : KENAIKAN HARGA PANGAN NAMUN TIDAK DENGAN

KESEJAHTERAAN
Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BEM FEM IPB University 2022

PENDAHULUAN
Tahun 2022 diharapkan menjadi momentum kebangkitan perekonomian nasional
pasca gejolak pandemi Covid-19. Namun tak disangka setelah diterpa badai pandemi,
Indonesia kembali dihantui masalah yang cukup serius karena merupakan sektor paling
esensial dalam kehidupan manusia, yakni sektor pangan. Sejak awal tahun, ekonomi
pangan global menghadapi fenomena yang cukup dahsyat karena kenaikan harga pangan.
Hal ini tidak terlepas dari adanya konflik antara Rusia dan Ukraina yang membuat
lonjakan harga energi terutama gas dan minyak bumi yang dimana keduanya merupakan
penopang utama sistem logistik perdagangan internasional serta gas yang merupakan
salah satu bahan baku produksi pupuk urea yang merupakan salah satu input penting bagi
usahatani dan sistem produksi pangan( Hendra, 2022).
Di tengah kondisi geopolitik pangan, sejatinya Indonesia dikarunia kondisi
geografis dan sumber daya alam yang kaya dan melimpah. Namun Indonesia masih kerap
kali menghadapi permasalahan terkait ketahanan pangan dan impor dalam skala makro.
Pada tahun 2021 sampai dengan awal 2022 Indonesia dilanda krisis pasokan kedelai yang
menyebabkan harga bahan pangan olahan kedelai seperti tahu dan tempe melejit
(Kompas. 2022). Kemudian pada bulan Mei-Agustus Indonesia juga dihadapkan pada
kenaikan harga gandum global yang juga menyebabkan gejolak dan kekhawatiran
meningkatnya harga sejumlah komoditas turunan gandum. Pun juga kasus santer
kelangkaan minyak goreng di negeri penghasil CPO terbesar di dunia yang membuat
kepanikan di konsumen dan pasar domestik.
Grafik 1.1 Harga Komoditas Pangan
Sumber: PIHPS (2022), diolah

Tren Inflasi Pangan di Indonesia


Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbuka kecil (small open
economy). Hal ini tentu menjadi sebuah konsekuensi bahwa pergerakan global akan
berdampak pada domestik tidak terkecuali harga pangan. Harga pangan global telah
meningkat terutama sejak tahun 2000-an. Padahal, telah ada tren penurunan harga dari
tahun 1961 hingga tahun 1990-an. Fenomena ini ditunjukkan melalui tren FFPI (FAO
Food Price Index) yang dikeluarkan oleh FAO (Food and Agriculture Organization). FFPI
adalah indeks yang mengakumulasikan harga-harga pangan lima komoditas (meat, dairy,
sugar, cereals, dan vegetable oils) di tingkat internasional yang ditimbang dengan total
ekspor global di periode tertentu. Adapun grafik tren FFPI tersebut adalah sebagai
berikut.
Grafik 1.2 Tren FAO Food Price Index 1962-2022
Sumber: Food and Agriculture Organization (2022), diolah

Berdasarkan grafik sebelumnya, dapat diinterpretasikan bahwa FFPI nominal


terus mengalami peningkatan setiap tahunnya meskipun ada titik-titik penurunan. Nilai
nominal ini telah mengalami peningkatan sebesar 630 persen per Agustus 2022 relatif
terhadap tahun 1961. Di sisi lain, FFPI riil sempat mengalami tren penurunan sebesar
54,7 persen per tahun 2000 relatif pada tahun 1961 dan cenderung terus meningkat
sebesar 116 persen per Agustus 2022 terhadap tahun 2000. Hal ini mengindikasikan
bahwa terjadi peningkatan terus menerus harga pangan global meskipun sudah dideflasi
dengan Manufactures Unit Value Index atau biaya impor manufaktur di negara
berkembang khususnya semenjak tahun 2000-an. Indonesia tentu saja akan mengimpor
dampak kenaikan harga pangan global tersebut di tengah Indonesia yang mendapat
predikat negara agraris.
Kenaikan harga pangan di Indonesia dapat dilihat melalui proksi inflasi volatile
food. Selama lima tahun terakhir, bahkan satu dekade juga, inflasi umum Indonesia sangat
dipengaruhi oleh inflasi volatile food dan administered price, sedangkan inflasi intinya
relatif stabil. Berikut adalah data disagregasi inflasi Indonesia tahun 2017-2022 secara
year on year.
Grafik 1.3 Tren Disagregasi Inflasi Indonesia
Sumber: Publikasi Bulanan Bank Indonesia (2022)

Berdasarkan data sebelumnya dapat diinterpretasikan bahwa inflasi volatile food


mendominasi inflasi di Indonesia dibandingkan inflasi administered price dan inflasi inti.
Inflasi volatile food memiliki volatilitas yang besar dan cenderung lebih tinggi meskipun
ada titik-titik dimana inflasi ini lebih rendah dibanding yang lainnya. Menurut Farandy
(2020), inflasi volatile food dipengaruhi besar oleh permintaan dan penawaran yang
ditentukan oleh tingginya permintaan dan kegagalan produksi atau panen.

Urgensi Stabilitas Harga Pangan


Peran Pangan merupakan salah satu konsep penting dalam kehidupan esensial
manusia hal ini dikarenakan pangan merupakan kebutuhan primer manusia, ini
menjadikan data data yang disajikan diatas menjadi penting mengingat harga adalah salah
satu variabel inti dari bagaimana konsumen menentukan pilihan atas kebutuhan mereka.
Volatilitas adalah isu besar yang memiliki dampak besar terhadap berbagai bidang
dan salah satu nya berdampak pada bidang pangan, menurut terminologinya volatilitas
mengindikasikan kecepatan perubahan dan kuantitas yang berubah dari waktu ke waktu,
salah satunya adalah harga komoditas (FAO, 2010). Beranjak dari terminologi tersebut
dapat terlihat jelas bahwa volatilitas adalah objek yang sulit dipahami dan konsep
pengukuran yang rentan terhadap subjek sekitarnya. Namun teori ekonomi mencoba
untuk mengklasifikasikan volatilitas dalam 2 konsep yakni konsep variability yang
berupa agregasi dari pergerakan dan konsep uncertainty yang berupa pendeskripsian
perubahan yang tidak dapat diprediksi (FAO 2010).
Pada kondisi negara Indonesia, fenomena volatilitas adalah hal yang lumrah
dalam siklus ekonomi terkhusus siklus harga pangan Indonesia, jika ditelisik lebih dalam
hal ini bisa diakibatkan karena maraknya kebutuhan yang masih harus di impor, sehingga
mengakibatkan harga pangan dunia tidak stabil dan akan berpengaruh besar pada harga
dalam negeri, sesuai dengan Bourdon (2011) yang mana adanya ketidakstabilan harga
pangan merupakan salah satu konsekuensi dari negara negara berkembang, lebih dalam
lagi dapat terlihat bahwa volatilitas harga mempunyai esensi yang berfungsi untuk
menjalankan pasar terkhusus pasar yang kompetitif. Namun volatilitas ini menjadi
masalah jika harga melonjak tinggi dan tidak dapat diprediksi sehingga mengerucutkan
ketidakpastian dan akan meningkatkan risiko bagi para pelaku ekonomi baik itu produsen,
konsumen, dan juga pedagang pedagang kecil, masalah selanjutnya akan muncul jika
harga yang muncul tidak menggambarkan kinerja pasar sehingga menimbulkan
problematika baru terhadap lingkup ekonomi maupun lingkup sosial pada negara
Indonesia.
Melihat penjelasan di atas menjadikan kesimpulan bahwa stabilitas harga adalah
keharusan untuk dijaga dan juga diawasi pergerakannya, hal ini dikarenakan harga yang
stabil akan menunjukkan ekonomi yang stabil, diksi stabil yang dimaksud bukan bersifat
statis namun tetap bersifat dinamis, hanya saja perbedaan harga pada setiap periode waktu
tetap dalam kisaran yang sama dan masih dapat diajarkan oleh para pelaku ekonomi untuk
menyesuaikan dalam jangka pendek, terkhusus para petani petani kecil yang kerap
disingkirkan hanya karena pemenuhan ego kapitalisme, hal ini juga menjadi indikasi
penting bahwa petani memiliki poin penting dalam stabilitas harga, dan juga memiliki
dampak yang besar dari adanya volatilitas harga pangan.
Volatilitas harga pangan memiliki dampak yang besar bukan hanya dari segi
mikro maupun dari makro ekonomi, dari sudut pandang mikro, adanya kenaikan harga
pastinya memberikan dampak negatif pada konsumen dan rumah tangga dalam
mengambil keputusan untuk mengkonsumsi barang barang pokok (Timmer 2011).
Selanjutnya dari sudut pandang makro ekonomi adanya fluktuasi harga pangan akan
memberikan dampak pada laju inflasi dan juga perolehan PDB (Produk Domestik Bruto).
Segi inflasi dapat melihat bahwa kenaikan inflasi memiliki hubungan kuat
dengan kenaikan harga dan kenaikan harga pangan menjadi salah satu indikator volatilitas
harga pangan, hal ini dapat terlihat jelas pada bahwa pada data tingkat inflasi menurut
kelompok pengeluaran untuk komoditas bahan makanan menjadi salah satu komoditas
yang paling fluktuatif .
Segi indikator makro lainnya yakni PDB (Produk Domestik Bruto) yang jelas
menjadi indikator dalam penggambaran pertumbuhan ekonomi menunjukkan hasil
bahwasannya kontribusi PDB sektor pertanian pada tahun 2022 adalah sebesar 12,98
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 1,37 persen menjadikan sektor pertanian dan
sektor pangan secara khusus sebagai sektor penyumbang PDB terbesar Indonesia,
selanjutnya pada PDB menurut lapangan usaha triwulan 2 tahun 2022 menunjukkan
bahwa sektor pertanian mencapai 12,98 dan kontribusinya mencapai 1,37 persen,
menguat apabila dibandingkan dengan Q1 Tahun 2022 yang hanya tumbuh 1,19%, hal
ini besar terjadi karena subsektor pangan yang menguat sebesar 1,12 persen (Media
Indonesia, 2022). Sehingga dapat dijelaskan bahwa kontribusi yang besar ini
menunjukkan sektor pertanian memiliki peran yang utama dalam eskalasi pertumbuhan
ekonomi Indonesia, adapun sektor pertanian ini terdiri dari sektor kehutanan, peternakan,
perikanan, tanaman perkebunan dan tanaman pangan.
Fluktuasi harga yang telah disajikan diatas menjadi salah satu kunci bahwa
pentingnya peran pangan dan juga menjadi satu ketukan bahwa peran pemerintah mutlak
dalam menjaga stabilitas harga terutama dalam menahan volatilitas harga, hal ini bukan
hanya semata mata permasalahan alur rangkaian ekonomi, namun juga mencakup
permasalahan sosial lainnya yang mana penyelesaian mitigasi dari volatilitas harga
pangan adalah cara yang efektif dalam mengurangi kemiskinan dan juga meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (G20 Agriculture Minister, 2011).
Jika dilihat lebih lanjut adanya kenaikan harga pangan memiliki dampak terhadap
garis kemiskinan Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan bahwa adanya inflasi pangan
atau secara lebih dalam dijelaskan sebagai kenaikan harga secara berangsur-angsur
memiliki hubungan positif terhadap tingkat kemiskinan, hal ini diakibatkan kenaikan
harga akan semakin sulit untuk diterima konsumen dibuktikan juga bahwa bahan
makanan menyumbang hampir tiga perempat terhadap perhitungan distribusi dalam garis
kemiskinan, selain konsumen yang tidak dapat menyesuaikan tingkatan harga yang lebih
tinggi petani sebagai produsen juga menghadapi ancaman atas gejolak harga yang
berpotensi menimbulkan kerugian. Kondisi ini menjadi keharusan bagi pemerintah untuk
tanggap dalam mengakomodasi fluktuasi harga pangan, karena bagi masyarakat marginal
yang memiliki pendapatan rendah fluktuasi harga pangan di level pasar tradisional
menjadi lebih tinggi ketimbang fluktuasi harga global dan teoritik ekonomi yang mungkin
tidak dapat dimengerti dari kaum marginal.
Kondisi ini juga semakin diperparah dikarenakan penduduk miskin di negara
berkembang bukanlah jumlah yang kecil, dan jika terjadi fluktuasi harga pangan mereka
akan cenderung mengurangi kesejahteraannya (Zheng et al. 2008) bukan tanpa sebab hal
tersebut terjadi, adanya pendapatan yang kecil yang hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok menjadi sebuah dilema bagi masyarakat miskin.
Selanjutnya kondisi volatilitas harga pangan juga dibenturkan pada fakta dari
adanya peningkatan jumlah penduduk Indonesia, kenaikan jumlah penduduk yang tidak
dibarengi dengan pasokan pangan yang memadai akan menjadikan ketahanan pangan
negara terganggu. Pastinya hal ini tidak hanya merugikan konsumen dalam mengakses
pangan dengan harga terjangkau, namun juga para produsen merugi akibat harga yang
tinggi menjadikan konsumen mengganti pilihan mereka dalam mengkonsumsi barang.
Adanya kenaikan jumlah penduduk ini menjadi bukti bahwa konsumsi merupakan
salah satu kontribusi besar dalam Produk Domestik Bruto Indonesia, berdasarkan PDB
atas dasar harga berlaku komponen konsumsi rumah tangga menyentuh angka Rp9,24
kuadriliun pada 2021, yang berarti konsumsi masyarakat memiliki kontribusi sebesar
54,42% dari total PDB Indonesia. Adanya tingkat konsumsi tinggi ini menjadi sinyal
bahwa konsumsi terkhusus konsumsi pangan memiliki posisi besar dalam perhitungan
ekonomi negara, sehingga ketika konsumsi mengalami kontradiksi seperti adanya gejolak
harga maka secara kasar dampak yang dihasilkan adalah sebesar kontribusi konsumsi
pada perolehan PDB Indonesia.
Adanya faktor faktor diatas yang menjadikan harga pangan menjadi volatil dan
melonjak sangat tinggi, hal ini pastinya tidak sesuai dengan esensi pembuatan UU Pangan
Nomor 18 Tahun 2012 terkait pemenuhan kebutuhan pangan dalam kuantitas dan juga
terjangkau, secara lebih lanjut adanya gejolak harga dalam menunjukkan kegagalan untuk
mencapai ketahanan pangan bahwa terciptanya kondisi terpenuhinya pangan bagi
individu dan konsumen yang tercermin dari adanya pangan yang cukup, baik dari segi
mutu, aman, dan merata, hingga terjangkau.

PEMBAHASAN

Identifikasi dan Penentuan Model Terbaik


Tahap penentuan model terbaik yang digunakan terlebih dahulu melalui langkah-
langkah uji statistika yang meliputi uji stasioneritas data,penentuan model ARIMA,
pendugaan efek ARCH-GARCH dan terakhir adalah penentuan model terbaik. Model
yang ditentukan sesuai dengan kriteria Akaike information criterion (AIC) dan Schwarz
Criterion (SC) terkecil dan sejumlah kriteria lainnya.
Uji Stasioneritas
Uji stasioneritas dilakukan untuk menguji apakah data penelitian yang
digunakan telah stasioner dengan arti data tersebut tidak lagi mengandung akar
unit (unit root). Uji stasioneritas dilakukan dengan uji Augmented Dickey Fuller
(ADF). Dengan uji ini dapat ditentukan apakah data yang digunakan stasioner
pada level, derajat pertama ataupun derajat kedua. Data ekonomi pada umumnya
stasioner pada derajat pertama (first difference) namun terdapat juga data yang
stasioner pada level. Uji stasioneritas data penelitian yang digunakan disajikan
pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Hasil Uji Stasioneritas Model
Berdasarkan Tabel. 2.1 dapat diketahui bahwa variabel Harga Bawang Merah dan
Harga Bawang Putih telah stasioner pada level namun Harga Minyak Goreng dan
Harga Cabe Merah stasioner pada derajat pertama (first difference). Hal ini
merupakan hal yang wajar dalam data ekonomi.
Identifikasi Model Arima
Identifikasi model ARIMA dapat dilakukan terhadap data variabel harga
yang stasioner baik pada level maupun pada first difference. Untuk menentukan
model tentatif ARMA/ARIMA dari suatu data ekonomi maka akan digunakan uji
correlogram yang menjadi dasar penentuan orde AR (p) dan orde MA (q) dari
suatu model ARIMA (p,d,q) tentatif. Sementara itu untuk orde d ditentukan oleh
stasioneritas data. Berdasarkan hasil simulasi yang telah dilakukan terhadap
sejumlah model ARIMA tentatif dipilih satu model yang dinilai terbaik
berdasarkan kriteria yang ada. Model ARIMA terbaik yang dipilih untuk masing-
masing data harga komoditas pangan yang diteliti ditunjukkan pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Hasil Model ARIMA Terbaik Komoditas

Pemilihan model ARIMA terbaik didasarkan atas beberapa kriteria yaitu:


galat (error) bersifat acak (random), koefisien estimasinya signifikan, nilai AIC
dan SIC terkecil dibandingkan model lainnya, Standard Error of Regression relatif
kecil, Sum Square Residual relatif kecil, dan Adjusted R-Squared relatif
besar.Pemilihan model ARIMA terbaik didasarkan atas beberapa kriteria yaitu:
galat (error) bersifat acak (random), koefisien estimasinya signifikan, nilai AIC
dan SIC terkecil dibandingkan model lainnya, Standard Error of Regression relatif
kecil, Sum Square Residual relatif kecil, dan Adjusted R-Squared relatif besar.

Identifikasi dan Penentuan Model ARCH-GARCH


Aplikasi model ARCH-GARCH dilakukan terhadap model
ARMA/ARIMA terbaik apabila terdapat efek ARCH pada model
ARMA/ARIMA tersebut. Pengujian terhadap efek ARCH tersebut dilakukan
dengan mengamati Correlogram Squared Residuals. Hasil estimasi model mean
equation dikatakan tidak mengandung unsur ARCH/ GARCH apabila nilai Q-
statistik tidak signifikan serta nilai ACF dan PACF tidak berbeda nyata dari nol
pada seluruh lag. Namun hasil estimasi tersebut dikatakan mengandung efek
ARCH/ GARCH apabila minimal ada salah satu nilai Q-statistik yang signifikan
serta nilai ACF dan PACF ada yang berbeda nyata dari nol pada lag tertentu.
Selain menggunakan Correlogram Squared Residuals penguji efek ARCH/
GARCH juga dilakukan dengan uji ARCH-LM. Hasil pengujian efek ARCH-
GARCH pada model tentatif ARIMA disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2.3 Hasil ARCH/GARCH Komoditas

Adanya efek ARCH pada data harga pangan yang dianalisis menunjukkan
bahwa volatilitas dari komoditas tersebut bervariasi antar waktu, yang dapat
dilihat dari nilai obs*R-squared dari pengujian dengan LM test. Oleh karena itu,
analisis variabel harga pangan tersebut akan dilanjutkan dengan mengaplikasikan
model ARCH-GARCH.
Gejolak Harga Beberapa Komoditas di Indonesia
Beberapa komoditas memiliki andil yang besar terhadap inflasi volatile food di
Indonesia. Berdasarkan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Nasional), terdapat
sepuluh komoditas yang menyumbang angka inflasi pangan tertinggi. Komoditas-
komoditas ini meliputi beras, bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit,
daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, dan minyak goreng. Pada
Semester I tahun 2022, Bank Indonesia mencatat komoditas dengan penyumbang inflasi
pangan terbesar yaitu minyak goreng, bawang merah, bawang putih, dan cabai merah.

Grafik 2.1 Kontribusi Komoditas Pangan Strategis Terhadap Inflasi Semester I 2022
Sumber: Publikasi Bank Indonesia (2022)
Komoditas Cabai Merah
Cabai merah, sebagai salah satu komoditas pangan strategis, mengalami gejolak
harga yang cukup tinggi. Berdasarkan perhitungan dengan analisis cv, nilai coefficient
variance dari harga cabai merah adalah 23,35 %. Angka ini lebih tinggi dari dua tahun
sebelumnya namun tidak lebih tinggi dari tahun 2019. Hal ini dapat diinterpretasikan
bahwa fluktuasi harga pada tahun 2022 relatif lebih tinggi.

Grafik 2.2. Tren Harga dan Nilai CV Cabai Merah 2019-2022


Sumber: PIHPS (2022), diolah

Harga cabai merah juga mencapai titik tertingginya pada periode Juli 2022 selama
empat tahun terakhir. Sebagai komoditas pangan strategis, cabai merah memiliki andil
yang besar pada inflasi. Menurut data Bank Indonesia, cabai merah menjadi penyumbang
inflasi gejolak makanan terbesar kedua setelah minyak goreng pada Semester I tahun
2022. Adapun volatilitas harga cabai merah dapat ditunjukkan melalui hasil analisis
ARCH/GARCH pada grafik sebagai berikut.
Grafik 2.3. Volatilitas Harga Cabai Merah
Sumber: PIHPS (2022), diolah

Berdasarkan grafik sebelumnya, harga cabai merah memiliki volatilitas yang beragam.
Volatilitas harga cabai merah melonjak di atas rata-ratanya pada sekitar bulan Desember-
Februari pada peralihan tahun baru 2021, Juni-Agustus 2019, Desember-Februari
peralihan tahun baru 2020, dan Desember-April peralihan tahun baru 2018. Volatilitas
harga di bawah rata-rata pada saat April-Oktober 2021 dan April-November 2020. Hal
ini menunjukkan adanya pola musiman (seasonal) dimana ada titik-titik tertentu dalam
satu tahun yang pola volatilitasnya sama. Akan tetapi, terdapat beberapa anomali di
periode tertentu. Pada Semester I tahun 2022, volatilitas konsisten berada di atas rata-rata.
Fenomena ini mengindikasikan adanya peningkatan volatilitas pada tahun 2022.
Harga cabai merah dibentuk melalui mekanisme permintaan dan penawaran
(Anwarudin dkk., 2015). Dari sisi penawaran, Indonesia mengalami tren kenaikan tingkat
produksi setiap tahunnya. Peningkatan produksi menunjukkan adanya upaya setiap tahun
dalam mendorong produktivitas cabai merah. Di sisi lain, dari sisi permintaan, konsumsi
cabai merah cukup stabil setiap tahunnya. Kestabilan permintaan tiap tahunnya disertai
dengan peningkatan produksi cabai merah mampu menekan angka impor cabai merah.
Angka impor terus menurun selama satu dekade terakhir.
Tabel 2.4 Produksi, Konsumsi, dan Neraca Dagang Cabai Merah

Sumber: BPS, diolah *Kode HS 0709601000 **Kode HS 070960

Pola distribusi merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi harga selain
dari mekanisme permintaan dan penawaran. Biaya distribusi turut berkontribusi dalam
pembentukan harga ditingkat konsumen khususnya dan memiliki pengaruh terbesar
(Kustiari dkk., 2018). Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (2020), pola utama
distribusi cabai merah meliputi petani, pedagang pengepul, pedagang eceran, dan
konsumen. Besarnya biaya distribusi dapat ditunjukkan melalui nilai MPP (Margin
Perdagangan dan Pengangkutan). Nilai MPP cabai merah tahun 2018 sampai 2020
mengalami fluktuasi, tetapi cenderung meningkat di tahun 2020.
Tabel 2.5 Nilai Margin Perdagangan dan Pengangkutan Cabai Merah

Sumber: BPS (diolah)

Biaya input produksi adalah komponen penting pembentuk harga di tingkat


produsen khususnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015), dimana ini adalah
data terbaru, biaya input pupuk berada di urutan kedua dengan porsi terbesar dalam biaya
input produksi setelah tenaga kerja. Biaya pupuk memiliki porsi 17,15 persen, sedangkan
biaya tenaga kerja memiliki porsi 47,74 persen. Kebutuhan pupuk dapat dipenuhi petani
melalui mekanisme subsidi dan mekanisme pasar. Akan tetapi, kebijakan terbaru dipilih
untuk mengurangi alokasi subsidi pupuk menyisakan urea dan NPK. Di tengah gejolak
ekonomi global, khususnya konflik geopolitik, menyebabkan harga-harga energi naik.
Hal ini berdampak pula pada kenaikan harga pupuk. Peningkatan biaya input produksi
akan mendorong harga di tingkat produsen naik karena harga yang dibayarkan petani
lebih tinggi.
Gejolak harga cabai merah, yang sejatinya bermula dari mekanisme pasar,
menunjukkan bahwa ketersediaan suplai belum menjamin kestabilan harga. Surplus
produksi secara tahunan belum tentu akan sama kondisinya apabila dibedah menjadi satu
periode tahun fiskal. Volatilitas harga cabai merah pada dasarnya dikarenakan faktor
karakteristik komoditas itu sendiri sebagai komoditas pertanian. Sisi penawaran
cenderung lebih mengambil peran dibandingkan dengan sisi permintaan yang relatif stabil
atau naik secara gradual mengikuti pertumbuhan penduduk dan naik di musim-musim
tertentu saja. Selain itu, karakteristik inelastis pada komoditas ini menyebabkan harga
volatil atau terjadi sebuah kondisi prosiklikal. Kondisi ini menyebabkan harga akan
bergerak terus ke atas ketika harga naik karena permintaan yang tidak peka atau relatif
stabil. Di sisi lain, harga akan terus bergerak ke bawah ketika terjadi penurunan harga
karena permintaan yang tidak peka juga. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk
meredam (meskipun tidak akan menghilangkan karakteristik volatilitas komoditas) dari
gejolak harga untuk melindungi konsumen maupun produsen yaitu petani.
Volatilitas pada cabai merah dalam periode satu tahun fiskal terjadi fenomena
seasonal. Volatilitas akan cenderung tinggi di periode peralihan tahun hingga awal tahun
dan rendah di pertengahan tahun. Hal ini disebabkan oleh pola tanam dari cabai merah
yang terdiri atas dua musim tanam. Musim pertama adalah tanam raya pada Desember-
Januari dan tanam sedikit pada Juli-Agustus. Pola tanam ini menyebabkan pada musim
tanam, tanam raya khususnya, jumlah produksi akan turun. Penurunan produksi akan
menyebabkan kenaikan harga dan volatilitas di musim tersebut. Di sisi lain, produksi akan
melimpah di pertengahan tahun sehingga harga dan volatilitas akan relatif lebih stabil
dibandingkan pada saat awal dan akhir tahun. Akan tetapi, ada titik-titik dimana
volatilitas dan harga di pertengahan tahun dapat terkerek naik karena pengaruh Hari Raya.
Selain adanya pengaruh pola tanam dan preferensi konsumen, kondisi musiman juga
dapat bergeser atau ada anomali karena pergeseran musim atau cuaca. Pada tahun 2022,
volatilitas yang cenderung di atas rata-ratanya dapat disebabkan oleh cuaca yang lebih
didominasi oleh musim penghujan dan Hari Raya yang lebih dekat ke awal tahun. Musim
penghujan yang lebih dominan membuat cabai menjadi lebih rentan penyakit. Menurut
Asosiasi Champion Cabai Indonesia (ACCI) dalam katadata.co.id, melambungnya harga
cabai pada Semester I tahun 2022 disebabkan oleh penyakit antraknosa yang mengurangi
suplai cabai itu sendiri.
Upaya pemerintah untuk meredam volatilitas harga perlu dilakukan. Bukan hanya
konsumen, petani pun ikut merasakan dampak dari gejolak harga. Oleh karena itu, sudah
seharusnya upaya kebijakan dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan semua pelaku
pasar, baik konsumen maupun petani sebagai produsen. Pertama, kebijakan untuk
menekan dan efisiensi rantai pasok perlu dilakukan. Hal ini didukung oleh kenaikan nilai
MPP pada bagian sebelumnya yang menunjukkan adanya inefisiensi. Nilai MPP yang
tinggi, menyebabkan disparitas harga konsumen dan produsen tinggi. Konsumen akan
merasa dirugikan karena menerima harga yang jauh lebih tinggi, sedangkan produsen
merasa tidak diuntungkan atas kenaikan harga tersebut. Rantai tengah jalur perdagangan
yang membuat harga tinggi mengindikasikan adanya dua hal yaitu kekuatan pasar yang
tinggi dan infrastruktur. Kebijakan pembangunan infrastruktur mobilitas dan pengawasan
kekuatan pasar penting untuk menekan MPP. Berikut adalah perbandingan harga cabai
merah di tingkat produsen, pedagang besar, dan pedagang eceran.

Grafik 2.4 Perbandingan Harga Produsen, Grosir, dan Ritel Cabai Merah
Sumber: PIHPS (2022), diolah

Kedua, kebijakan teknis untuk mengatur permintaan dan penawaran antar musim
dan antar daerah. Mekanisme masa tanam di luar musim akan menekan gejolak suplai
dan harga. Hanya saja kebijakan ini perlu disertai dengan adanya RnD karena tantangan
yang dihadapi petani akan lebih tinggi. Upaya mendorong sentra cabai baru di luar
kawasan sentra saat ini juga akan membantu menekan gejolak dan disparitas harga antar
daerah. Sentra produksi cabai besar termasuk cabai merah adalah Jawa Timur, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara yang secara kumulatif telah memberikan kontribusi
60,07 persen terhadap total produksi (BPS, 2021). Dalam data ini ditunjukkan bahwa
sentra produksi cabai merah masih terfokus pada Indonesia bagian barat. Di sisi timur,
Sulawesi Selatan menjadi daerah dengan produksi terbesar. Berikut adalah data disparitas
harga rata-rata cabai merah selama 2019-2022 (per September) yang menunjukkan bahwa
harga rata-rata di Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, hampir seluruh provinsi di
Kalimantan, dan Kepulauan Papua (Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat)
berada di atas harga rata-rata seluruh provinsi.
.
Grafik 2.5 Disparitas Harga Rata-Rata Cabai Merah 34 Provinsi Periode 2019-2022
Sumber: PIHPS (2022), diolah

Ketiga, upaya transformasi preferensi konsumen domestik terhadap produk


substitusi. Saat ini, masyarakat masih memiliki preferensi yang besar terhadap cabai
merah segar. Apabila preferensi ini dapat ditransformasi dengan penyediaan berbagai
produk substitusi, misalkan bubuk atau cabai kering, maka permintaan barang itu akan
semakin elastis. Dengan demikian, volatilitas harga dapat ditekan. Keempat, upaya
menekan ongkos produksi petani. Kebijakan pemerintah terbaru menyisakan urea dan
NPK sebagai pupuk bersubsidi, sedangkan jenis pupuk lainnya dicabut. Kebijakan ini
dilatarbelakangi oleh inefisiensi subsidi. Inefisiensi tersebut menurut Alta dkk. (2021)
adalah subsidi pupuk tidak meningkatkan produktivitas, membuat efek psikologis petani
menjadi berorientasi pada harga input termurah bukannya input terbaik dan paling sesuai,
adanya distorsi pasar, dan peluang korupsi karena birokrasi yang panjang. Akan tetapi,
pengambilan kebijakan ini harus dikompensasi dengan kebijakan lain yang lebih efisien
untuk menekan ongkos produksi petani seperti misalnya bantuan transfer langsung dan
realokasi subsidi menjadi dana infrastruktur pertanian. Berdasarkan penelitian Sativa
(2017), peningkatan harga pupuk sebesar 10 persen dapat menurunkan produksi cabai
merah sebesar 14 persen, ceteris paribus.Oleh karena itu, kebijakan subsidi pupuk harus
dikelola hati-hati. Jangan sampai kebijakan pencabutan subsidi malah menaikkan ongkos
produksi yang dapat merugikan petani di tengah daya beli masyarakat yang terbatas.
Komoditas Bawang Merah
Salah satu produk pertanian yang memiliki fluktuasi harga yang tinggi adalah
bawang merah, jika melihat pada grafik 2.6 terkait coefficient variance dapat dilihat
bahwa pada tahun 2022 angka CV menyentuh pada titik 23,70% hal ini jauh lebih tinggi
dari beberapa tahun sebelumnya, sehingga memberikan kesimpulan bahwa volatilitas
harga bawang merah cenderung meningkat hingga pada tahun 2022. Adanya fluktuasi
harga komoditas bawang merah ini menjadi salah satu faktor besar pada inflasi Indonesia,
tercatat bawang merah termasuk pada komoditas penyumbang inflasi paling tinggi pada
rentang tahun 2022 Januari sampai Juli.
Lonjakan harga komoditas pangan strategis memberi dampak pada kenaikan
inflasi juni sebesar 0,61 persen secara bulanan dan 4,35 persen secara tahunan, komoditas
bawang merah juga berhasil menyentuh Rp 51,79 ribu per kilogram dan memiliki
persentase inflasi sebesar 0,08% terhadap inflasi Juni 2022.

Grafik 2.6 Tren Harga dan Nilai CV Bawang Merah 2019-2022


Sumber: PIHPS (2022), diolah

Adanya fluktuasi bawang merah yang tinggi setiap tahunnya membuat komoditas
ini memiliki tren sendiri, kemendag mencatat bahwa pada september hingga desember
harga bawang merah menyentuh titik terendah nya, yakni pada bulan november 2021.
Fluktuasi harga bawang merah tersebut mengindikasikan bahwa bawang merah adalah
komoditas yang volatil. Jika dilihat lebih lanjut pada Grafik 2.6 terkait tren harga bawang
merah menunjukkan bahwa fenomena volatilitas kerap terjadi pada rentang tahun 2018
sampai 2022 sekarang. Dapat dilihat dalam grafik yang disajikan melalui pemodelan
ARCH/GARCH menunjukkan gejolak yang cukup beragam, volatilitas harga bawang
merah mencapai titik tertingginya pada juli 2020 dan Juli 2021, dan dapat dilihat bahwa
bawang merah memiliki tren gejolak yang sama yakni pada rentang mei sampai juli pada
tiap tahunnya selalu menunjukkan adanya kenaikan harga, hal ini menunjukkan bukti
bahwa bawang merah memiliki gejolak harga yang cukup beragam.

Grafik 2.7 Volatilitas Bawang Merah


Sumber: PIHPS (2022), diolah

Fenomena tersebut pasti besar pengaruhnya oleh permainan tangan-tangan


ekonomi, baik itu dari petani hingga pada para pedagang, Adanya pengawasan yang
lemah menjadikan petani merugi karena harga yang diterima tidak sebanding dengan
input yang dikeluarkan. Hal tersebut menjadikan adanya perbandingan yang besar antara
harga di tingkat produsen sampai harga yang diterima oleh konsumen, bisa dilihat pada
grafik 2.7 bahwasannya harga yang diterima produsen dalam rentang tahun 2017 sampai
dengan 2022 relatif berada pada angka 15.000 rupiah sampai dengan 40.000 rupiah
sedangkan harga yang diterima konsumen bisa menyentuh di angka tertinggi yakni pada
kisaran 70.000 rupiah.
Grafik 2.8 Perbandingan Harga Produsen, Grosir, dan Ritel Bawang Merah
Sumber: PIHPS (2022), diolah

Hal ini justru menjadi tanda tanya besar adanya tren volatilitas harga dan
disparitas harga antara petani dan penjual ternyata berbanding terbalik jika dilihat dari
sisi perkembangan produksi bawang merah. Pasalnya produksi bawang merah yang dapat
dilihat pada grafik 2.9 memiliki tren yang meningkat pada rentang waktu 2015 hingga
tahun 2021, angka tersebut relatif lebih baik karena dapat menutupi permintaan dalam
negeri hal ini juga dibuktikan bahwa sejak tahun 2016 pemerintah berhasil menghentikan
impor bawang merah, dan sampai saat ini tetap mencatatkan diri sebagai pengekspor
bawang merah, hal ini justru membuka lembar pertanyaan terkait faktor pelaku besar dari
adanya fluktuasi harga bawang merah di Indonesia.

Grafik 2 9 Produksi Bawang Merah


Sumber: BPS (2022), diolah
Namun jika menelaah pasokan bawang merah pada tahun ini berdasarkan data
dari Kemendag dan BPS, pasokan saat ini Juni 2022 berada pada kisaran 470,31 ton per
hari dan dari pasokan normal berada pada posisi 605,5 ton per hari, sehingga terdapat
defisit sebesar 22,33 persen dari pasokan normal.
Adanya disparitas harga pada tingkat petani dan harga pada konsumen juga
menunjukkan fenomena yang sama pada disparitas ataupun perbedaan harga pada tiap
tiap daerah di Indonesia, berdasarkan Grafik 2.10 dapat dilihat bahwa harga bawang
merah pada tingkat antar provinsi cenderung tidak seragam, dapat dilihat bahwa provinsi
Bangkai Belitung, DKI Jakarta, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Provinsi Papua Barat memiliki nilai
harga yang lebih tinggi daripada rata rata harga antar provinsi.

Grafik 2 10 Disparitas Harga Bawang Merah di Tiap Daerah


Sumber: PIHPS (2022), diolah

Perbedaan harga pada tiap tiap daerah berkaitan erat dengan kondisi fisik
Indonesia, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kelemahan terhadap distribusi
pangan yang meluas. Adanya perbedaan jarak antara pasar konsumen dengan daerah
produksinya menyebabkan ongkos produksi dari distribusi semakin membesar ditambah
lagi jika ada perbedaan dari produksi dan juga jumlah konsumsi yang membuat tingginya
biaya perdagangan dan menurunnya integrasi komoditas pangan.
Volatilitas harga bawang merah pasti berkaitan erat dengan dengan penentuan
harga melalui permintaan konsumen dan juga ketersedian barang atau yang sering dikenal
dengan penawaran. Sukimo (2005) menyatakan bahwa harga produk pertanian
menunjukkan adanya fluktuasi dari musim ke musim, ketidakstabilan ini disebabkan oleh
fluktuasi penawaran dan permintaan. Jika dilihat pada tabel volatilitas harga bawang
merah bahwa fluktuasi kerap terjadi pada bulan april sampai juni hal ini biasanya pada
bulan bulan menjelang Idul Fitri dimana akan terjadi defisit pasokan dan juga perkiraan
yang menjadi tidak pasti.
Adapun faktor lain yang mempengaruhi gejolak harga bawang merah yakni
dimulai dari ketersediaan yang terbatas terkait input produksi seperti bibit, hal ini bisa
dilihat pada kejadian yang terjadi pada juni 2022 dimana bawang merah menyentuk pada
angka Rp 50 ribu dimana angka yang drastis ini didukung oleh adanya kelangkaan bibit
pada petani dan harga bibit yang melejit di angkat Rp 65 ribu per kilogram. Bibit bawang
merah menjadi penting karena berhubungan langsung pada produksi, mutu bibit yang
baik pastinya akan meningkatkan kualitas produksi dan juga kuantitas produk dari
bawang merah tersebut (Syam’um elkawakib, 2017).
selanjutnya faktor cuaca yang tidak menentu dan adanya pergeseran musim
berakibat pada banyaknya petani yang merubah lahan komoditas bawang menjadi ke
komoditas lain seperti komoditas padi. Adanya pergeseran alih fungsi lahan antar
komoditas menyebabkan lahan tanam budidaya bawang merah berkurang dari tahun 2019
menuju tahun 2022 dan menuju pada penurunan produktivitas dalam negeri, hal ini juga
masih berhubungan erat dengan kelangkaan bibit tadi, seperti yang dikutip dari
financedetik.com petani bawang merah di Brebes beralih ke komoditas lain akibat
kelangkaan bibit sejak April dan ketersediaan lahan yang berkurang akibat musim hujan
yang tidak menentu, akhirnya banyak petani mengalihfungsikan lahan mereka pada
komoditas yang lebih terjangkau.
faktor besar lainnya dalam fenomena ini adalah karakteristik dari petani, harga
komoditas yang tinggi menjadikan petani sebagai produsen tidak menyisihkan hasil
panennya untuk benih sehingga semua hasil panen habis untuk dijual, hal ini
mengakibatkan adanya kelangkaan benih pada kelompok petani ditambah lagi sejak 2014
pemerintah telah berhenti untuk impor kebutuhan benih bawang merah, hal ini akhirnya
bermuara pada kelangkaan benih, dan harga benih relatif mahal di pasaran.
Faktor faktor diatas dapat dirangkum pada konsep umum penawaran bawang
merah dan juga permintaan dari konsumen, harga yang cenderung stabil atau lebih murah
terjadi karena adanya kelebihan ataupun excess padan penawaran, ketersediaan yang
melebihi permintaan domestik menyebabkan para pedagang merespon dengan
menurunkan harga agar menuju keseimbangan pasar. Keseimgangan ini terjadi karena
harga naik dan berdampak pada kenaikan permintaan dan menuju keseimbangan yang
sama dengan jumlah penawaran, keadaan surplus ini dapat dialokasikan pada
penambahan devisa akibat kapabilitas dalam mengekspor bawang merah. Sedang
kenaikan harga bawang merah dapat terjadi karena adanya kelebihan permintaan, namun
penawaran tidak merespon hal yang sama hal ini kerap terjadi karena adanya penurunan
luas panen, jumlah penawaran lebih kecil dari permintaan, sehingga mendorong harga
naik menuju keseimbangan.
Adanya kenaikan harga pada tingkat konsumen bukan semata mata memberikan
keuntungan pada para petani atau produsen, adanya permainan oleh pedagang sering kali
terjadi yang menyebabkan petani tertindas, rantai pasok yang panjang dan tidak efisien
menjadi faktor besar dalam kenaikan harga konsumen, sehingga kenaikan harga
konsumen tidak diikuti pada kenaikan keuntungan pada para petani, penelitian dari
Maghfiroh, dkk (2017) membuktikan bawah fluktuasi tinggi harga pada tingkat
konsumen tidak sebanding pada harga di tingkat produsen yang relatif stabil.
Perbedaan margin pemasaran juga jelas menguntungkan para pedagang namun
hasil yang didapatkan petani relatif stabil akibat keterbatasan informasi pasar yang
didapat petani, nasib petani juga semakin buruk akibat posisi petani yang bersifat
penerima harga atau price taker dari para pelaku pasar.
Volatilitas komoditas bawang merah menjadi tanggung jawab besar bagi
pemerintah selaku pemangku jabatan dan produsen dari produk produk hukum yang
mengarah pada kesejahteraan bersama, pemerintah perlu dan harus melakukan stok
penyangga dalam mengatur pola tanam komoditas pangan pokok hal ini agar membantu
dalam penyimpanan komoditas komoditas strategis Indonesia, agar komoditas yang
sudah ada dapat disimpan dan tidak terpengaruh dari gonjang ganjing cuaca Indonesia.
Produksi besar bawang merah juga bukan menjadi satu pencapaian mutlak dalam hal ini,
adanya surplus ketersedian tidak menjamin harga dapat stabil baik dari segi konsumen
dan juga dari petani, pemerintah harus selalu melihat fenomena dari adanya excess
permintaan yang menyebabkan harga berangsur naik, adanya kenaikan harga ini juga
menjadi fokus pemerintah akibat terdapat perbedaan antara harga ditingkat konsumen
yang lebih tinggi dari harga di tingkat produsen, menyebabkan petani petani kecil tersiksa
dalam memenuhi pasokan bawang merah Indonesia.
Komoditas Minyak Goreng
Sebagai negara penghasil crude palm oil (CPO) terbesar di Dunia, Indonesia juga
masih harus berkutat dengan volatilitas harga minyak goreng beberapa waktu belakangan.
Mengacu pada grafik coefficient variance dapat dilihat bahwa pada tahun 2021 dan tahun
2022 angka CV meningkat drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang masih
berada di bawah 2% namun meningkat drastis hampir menyentuh angka 10% pada dua
tahun berikutnya. Hal ini tentu berkaitan dengan fenomena krisis minyak goreng di dalam
negeri yang terjadi pada tahun 2021 sampai dengan awal 2022. Fluktuasi harga minyak
goreng ini menjadi penyumbang angka inflasi volatile food terbesar Indonesia tahun 2022
Semester I.
Grafik 2.11 Tren Harga dan Nilai CV Minyak Goreng 2019-2022
Sumber: PIHPS (2022), diolah

Tingginya permintaan dan turunnya penawaran minyak goreng mengakibatkan


kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di sebagian besar daerah di Indonesia.
Sementara itu, minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang paling dibutuhkan
oleh masyarakat setiap harinya untuk mencukupi kebutuhan pangan. Oleh sebab itu,
kelangkaan minyak goreng sangat meresahkan masyarakat Indonesia terutama untuk
masyarakat dari kelas menengah ke bawah.( Andriessa,2022)
Terhitung sejak awal September 2021, harga minyak goreng di pasar naik secara
signifikan. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga
minyak goreng mencapai Rp16.050 per kilogramnya yang sebelumnya masih konstan
berada di rentang harga Rp13.000-14.000. Beberapa bulan berikutnya yakni antara bulan
Oktober 2021 sampai dengan Januari 2022, harga minyak goreng juga memiliki trend
peningkatan bahkan menyentuh angka Rp20.150 pada awal tahun 2022. Pada Februari
2022 harga minyak goreng sempat turun sekitar 7 persen namun 3 bulan berikutnya harga
minyak goreng kembali melambung dan menyentuh level harga tertinggi sepanjang
sejarah pada bulan april 2022 yakni Rp24.400 per kilogram.Berdasarkan hasil pengujian
model yang dilakukan dapat dilihat bahwa nilai volatilitas harga minyak goreng dalam
rentang tahun 2017 sampai dengan pertengahan tahun 2021 masih berada dibawah mean.
Namun terjadi lonjakan nilai volatilitas yang cukup ekstrim sejak bulan september 2021.
Hal ini dikarenakan adanya peningkatan harga CPO internasional yang menyebabkan
kenaikan harga minyak goreng.
Grafik 2.12 Volatilitas Minyak Goreng
Sumber: PIHPS (2022), diolah

Menurut Abdulah dkk. (2022), dalam policy brief INDEF (Institute for
Development of Economics and Finance), penyebab kenaikan harga CPO dikarenakan
empat hal. Pertama, penurunan produksi CPO oleh produsen besar dunia seperti Malaysia
dan Indonesia. Indonesia mengalami penurunan produksi sebesar 0,31 persen pada tahun
2021 secara year on year. Kedua, kenaikan permintaan baik pasar domestik maupun pasar
ekspor. Pasar domestik mengalami peningkatan permintaan sebesar 6 persen pada tahun
2021 secara year on year sedangkan pasar ekspor disebabkan oleh penurunan tarif impor
oleh negara mitra.

Grafik 2.13 Perkembangan Harga CPO Internasional


Ketiga, peningkatan harga energi fosil yang merupakan barang substitusi dari
energi biofuel menyebabkan transisi permintaan yang cukup signifikan. Keempat, CPO
menjadi salah satu komoditas supercycle setelah Krisis Pandemi Covid-19 mereda.
Berdasarkan penyebab-penyebab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor
eksternal dan pandemi menjadi penyebab utama kenaikan harga CPO internasional.
Selain kenaikan harga internasional, gejolak harga minyak goreng juga
disebabkan oleh berkurangnya angka minyak sawit dalam negeri. Berdasarkan data
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam katada,total produksi
minyak sawit dalam negeri pada Oktober 2021 adalah sebesar 4,41 juta ton, turun dari
bulan sebelumnya sebesar 3,1 persen.

Grafik 2.14 Tren Produksi Minyak Sawit Indonesia


Sumber: GAPKI (2022), diolah

Pada bulan Februari 2022 juga terjadi penurunan yang cukup drastis dari bulan
sebelumnya yakni sebesar 9 persen. Memasuki Mei 2022 tercatat produksi sebesar 3,4
juta ton. Jumlah itu turun 19,7% dari 4,2 juta ton pada April 2022. Rinciannya, produksi
crude palm oil (CPO) pada Mei 2022 sebesar 3,1 juta ton, turun 19,8% dari bulan
sebelumnya yang sebesar 3,8 juta ton
Selain faktor supply dan demand ternyata ada faktor lain yang menyebabkan krisis
minyak goreng di dalam negeri, yakni mafia dan permainan pasar yang tidak sehat.
Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi menyebut ada mafia-mafia yang mengambil
keuntungan pribadi sehingga berbagai kebijakan yang dilakukan Kementerian
Perdagangan tidak bisa menurunkan harga minyak goreng di pasaran. Kementerian
perdagangan mengaku memiliki keterbatasan wewenang dalam undang-undang untuk
mengusut tuntas masalah mafia dan spekulan minyak goreng.
Pemerintah pun melakukan serangkaian langkah untuk mengatasi krisis minyak
goreng, salah satunya adalah dengan penetapan harga eceran tertinggi (HET). Per tanggal
19 Januari 2022, Kementerian Perdagangan Indonesia telah menetapkan kebijakan yang
mewajibkan perusahaan ritel dan pedagang sembako untuk menjual minyak goreng
dengan HET sebesar Rp.14.000,-. per liter. Pembelian minyak goreng dengan harga
spesial ini dibarengi dengan ketentuan lainnya, yakni setiap orang hanya dapat membeli
minyak goreng kemasan satu liter sebanyak dua bungkus dengan total sebanyak dua liter
per orang. Namun ternyata kebijakan ini belum mampu mengatasi masalah secara optimal
karena justru setelah diterapkannya kebijakan ini, stok minyak goreng tetaplah
langka.Sebaliknya setelah kebijakan ini dicabut, minyak goreng mulai nampak kembali
di pasar dan ritel (CNBC, 2022)
Selain kebijakan HET, Pemerintah juga menetapkan larangan ekspor CPO namun
sama seperti kebijakan HET, larangan ini tidak bertahan lama karena larangan ekspor ini
berpengaruh negatif terhadap sektor hulu sawit. Petani sawit mengalami kerugian besar
dengan anjloknya harga jual tandan buah segar (TBS) sawit di bawah harga pokok
produksi. Penurunan harga TBS sawit petani mencapai 40-70% dari harga penetapan
Dinas Perkebunan di sejumlah daerah penghasil sawit. Di Riau, penetapan harga TBS
sawit periode 11-18 Mei 2022 turun sebesar Rp972,29/kg menjadi Rp2.947,58/ kg untuk
sawit umur 10-20 tahun. Sebelumnya, periode 27 April-10 Mei 2022, harga TBS sawit
ditetapkan sebesar Rp3.919,87/kg. Di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, harga TBS
sawit petani pada 13-14 Mei 2022 turun sebesar ±Rp150,00/kg. Sehari sebelumnya harga
turun Rp100,00- 400,00/kg (jppn.com, 2022). Di Kabupaten Simeulue, Kalimantan Barat,
harga TBS sawit petani sebesar Rp1.100,00/kg, sebelumnya Rp2.700,00/kg
(Suarakalbar.id2022).Sebagai respon dari turunnya harga TBS sawit, ±25% dari 1.118
pabrik sawit menghentikan pembelian TBS sawit petani (Bisnis.com 2022)

Grafik 2.15 Disparitas Harga Rata-Rata Minyak Goreng 34 Provinsi Periode


2019-2022
Sumber: PIHPS (2022), diolah
Komoditas Bawang Putih
Produk pertanian lainnya yang memiliki fluktuasi harga yang cukup tinggi adalah
bawang putih. Apabila mengacu pada grafik 2.16, volatilitas harga bawang putih selama
satu setengah tahun terakhir memang tidak terlalu tinggi, hal ini dilihat dari nilai CV yang
berada pada rentang angka 2,3% pada tahun 2021 dan 4,81 persen pada tahun 2022.
Namun pada tahun sebelumnya harga bawang putih sangatlah fluktuatif, pada tahun 2019
dan 2020 nilai CV bawang putih berada pada 21,7% pada 2019 dan 26,7% pada tahun
2020.

Grafik 2.16 Tren Harga dan Nilai CV Bawang Putih 2019-2022


Sumber: PIHPS (2022), diolah

Volatilitas harga bawang putih beberapa bulan belakangan memang tidak terlalu
tinggi, bahkan sejak bulan Juni-Agustus 2022, harga bawang putih relatif stabil dan
berada dibawah mean. Hal ini dikarenakan adanya jaminan stok bawang putih yang telah
diamankan oleh pemerintah serta periode tanam yang sudah memasuki masa panen di
sejumlah wilayah sentra bawang putih di dalam negeri (DataIndonesia.id, 2022). Namun
pada triwulan awal 2019 harga bawang putih sempat bergejolak dikarenakan
keterlambatan masuknya impor bawang putih dari China(Finance.Detik,2019).
Sementara pada semester awal 2020 harga bawang putih kembali meroket dan
volatilitasnya jauh berada diatas mean, hal ini disinyalir karena adanya pembatasan impor
dari China terkait dengan merebaknya kasus pandemi Covid-19 (CNN, 2020).
Grafik 2.17 Volatilitas Bawang Putih

Stok komoditas bawang putih di dalam negeri mayoritas masih disupply melalui
impor karena keterbatasan produksi dalam negeri yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan setiap tahunnya. Pada tahun 2017 bahkan produksi dalam negeri hanya mampu
memenuhi 3,4% kebutuhan nasional, angka produksi mulai meningkat di tahun 2018
dimana Indonesia mampu memproduksi bawang putih sebanyak 39.302 ton dan kembali
meningkat 225% di tahun 2019 yakni sebanyak 88.816 ton, namun di tahun 2020 jumlah
produksi dalam negeri kembali menurun ke angka 81.805 ton dan kemudian di tahun 2021
merosot lebih tajam lagi ke angka 45,091 ton dengan nilai penurunan produksi sebesar
45% (BPS, 2022). Pemerintah kerap kali menggalakkan program swasembada bawang
putih melalui serangkaian program yang dilakukan, namun nampaknya program tersebut
masih belum mampu mendongkrak produksi bawang putih dalam negeri.
Grafik 2.18 Produksi dan Impor Bawang Putih
Peningkatan produksi bawang putih menjadi salah satu hal yang perlu
diperhatikan, apabila Indonesia ingin mencapai swasembada. Salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah dengan mempelajari kesuksesan negara lain yang telah mampu
mencapai swasembada bawang putih, seperti China. Saat ini, China merupakan salah satu
negara pengekspor bawang putih terbesar untuk pasar dunia dengan pangsa produksi pada
tahun 2021 sebesar 73.83 persen (Tridge, 2022). Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan produksi bawang putih di China tinggi. Pertama, China berhasil berinovasi
dengan menghasilkan bawang putih yang mampu memproduksi biji untuk budidayanya.
Sedangkan kondisi yang berbeda terjadi di Indonesia, dimana budidaya bawang putih
masih menggunakan umbi yang lebih rentan terkena penyakit, sehingga masih sulit untuk
mendapatkan varietas unggul baru secara generatif.
Kedua, pemerintah China menyediakan infrastruktur jalan yang memadai untuk
mempermudah pengangkutan hasil panen bawang putih. Ketiga, pemerintah China juga
telah menyediakan coldstorages modern yang mampu membuat bawang putih China
tetap segar selama dua tahun. Sedangkan di Indonesia, penyimpanan masih dilakukan
secara tradisional. Keempat, terdapat program asuransi bersubsidi bagi petani bawang
putih untuk selalu menjaga keberlanjutan budidaya bawang putih di China. Hal-hal
tersebut, yang mampu menjadikan China sebagai produsen bawang putih terbesar di
dunia.( Ayuningtyas, 2021).
Grafik 2.19 Disparitas Harga Rata-Rata Bawang Putih 34 Provinsi Periode
2019-2022
Sumber: PIHPS, diolah

Komoditas bawang putih Indonesia rentan fluktuasi, karena produksi nasional


tidak seimbang dengan kebutuhan. Saat ini budidaya bawang putih bukan hanya untuk
kebutuhan konsumsi, tapi juga untuk pembibitan, sehingga tidak semua hasil bisa
dikonsumsi. Karena itu, mendongkrak produksi dalam negeri dan mengatur impor harus
dilakukan. Hal lain yang membuat komoditas bawang putih menjadi rentan fluktuasi
adalah kenyataan biaya produksi dalam negeri masih tinggi, sementara harga bawang
putih impor relatif lebih rendah. (Kompas, 2022).

Grafik 2.20 Perbandingan Harga Produsen, Grosir, dan Ritel Bawang Putih
Sumber: PHIPS (2022), diolah
Dilema Kesejahteraan Petani
Petani sebagai tonggak terpenting dalam pemenuhan kebutuhan pangan orang
banyak seharusnya menjadi sebuah marwah atas jasa dan pemenuhan hal esensial dalam
kebutuhan manusia yakni pangan, namun dalam permasalahan gonjang ganjing pangan
kerap kali petani yang dirugikan yakni dengan pendapatan mereka yang kecil. Adapun
permasalahan kenaikan harga pangan bukan menjadi penentu bahwa petani mendapatkan
untung lebih dari kenaikan harga pangan namun petani malah merugi karena harga yang
harus dibayar melebihi harga yang diterima oleh petani.
Adanya perbandingan antara nilai yang diterima oleh petani dan nilai yang
dibayarkan oleh petani petani dapat dirangkum dalam Indeks Nilai Tukar Petani (NTP)
Indeks ini adalah perbandingan antara harga yang diterima petani (IT) dan harga yang
dibayarkan petani (IB) dan disajikan dalam bentuk persentase, indeks ini juga secara
langsung dapat melihat kesejahteraan dan kemampuan daya beli petani (Badan Pusat
Statistik 2011).
Menurut Ruauw (2010) ada tiga pengertian dalam nilai tukar petani, yang pertama
jika NTP lebih besar dari 100 dapat diidentifikasi bahwa petani berada pada kondisi
surplus, harga produksi lebih besar dari konsumsinya dengan begitu tingkat kesejahteraan
petani dapat dikatakan lebih baik dari sebelumnya, kedua jika nilai NTP sebesar 100 maka
terjadi kondisi titik impas yang mana adanya kenaikan maupun penurunan harga barang
produksi memiliki persentase yang sama terhadap konsumsinya, dan yang terakhir ketika
NTP lebih kecil dari 100 mengindikasikan petani mengalami defisit yang mana kenaikan
harga barang produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan harga barang
konsumsinya.

Grafik 2.21 Tren Nilai Tukar Petani


Sumber: BPS (2022), diolah
Jika melihat pada grafik 2.21 terkait perubahan nilai tukar petani dari rentang
waktu Januari 2019 hingga Juli 2022 dapat dilihat bahwa NTP relatif menurun dari tahun
ke tahun bahkan pada periode Januari 2022 sampai dengan Juli 2022 memiliki tren
penurunan yang cukup signifikan, selanjutnya jika melihat kumulatif tren nilai tukar
petani dalam rentang tahun 2019 sampai dengan 2022 dapat terlihat bahwa mayoritas
angka NTP berada pada bawah rataan NTP, dalam hal ini dapat terlihat bahwa selama
jangka waktu tersebut petani lebih sering merasakan defisit ketimbang meraup untung
dari usaha tani yang dijalaninya, adanya penurunan nilai tukar petani ini menjadi tanda
bahwa petani tetap tidak mengalami kesejahteraan walaupun harga harga pangan tetap
mengalami kenaikan, secara spesifik adanya tren NTP yang berada kurang dari angka 100
menunjukkan bahwasannya harga yang diterima petani lebih kecil daripada harga yang
harus dibayarkan petani, hal ini menjadikan petani mengalami kerugian karena harga
yang harus mereka bayar mengalami kenaikan yang lebih elastis ketimbang harga yang
mereka terima (BPS, 2020).
Tren Nilai Tukar Petani (NTP) ini menjadi catatan merah bagi dilema
kesejahteraan pertanian Indonesia, dengan proyeksi pengembangan pertanian yang lebih
maju kedepan maka dibutuhkan pembangunan terhadap kesejahteraan petani agar
meningkatkan pelaksanaan pembangunan pertanian selanjutnya (Indraningsih, dkk.,
2003) . Walaupun pada dasarnya indek kesejahteraan pertanian adalah hal yang unik dan
tidak ada yang praktis seperti yang dikemukakan oleh Simatupang dan Maulana (2008)
dan NTP bahwasanya adalah pilihan satu satunya dalam melihat kesejahteraan petani,
dengan NTP yang semakin relatif meningkat maka kesejahteraan petani semakin
meningkat (Mashyuri, 2007).
Hari tani 2022 menjadi sebuah teguran besar bagi pemerintah Indonesia untuk
mulai memperhatikan lebih kesejahteraan petani, melihat dari eskalasi dan interpretasi
data diatas menjadikan bahwa pertanian mempunyai peranan penting dalam kebutuhan
khalayak ramai, namun dalam kenyataan petani malah menjadi kaum yang menerima
kerugian dalam hal fluktuasi pangan, dari beberapa komoditas yang sudah dijabarkan
dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan perlu menjadi evaluasi dan harus diperhatikan
terkhusus kelancaran rantai pasok agar harga yang diterima petani sebanding dengan
kenaikan harga pangan hal ini.
Sedihnya jika melihat kenyataan bahwa mayoritas petani adalah masyarakat
pendapatan kebawah menambah keterpurukan dalam rantai besar permasalahan
kesejahteraan petani, sehingga perlu diperhatikan hal hal yang berpengaruh besar
terhadap produksi pertanian seperti input produksi, ketersediaan pupuk, dan juga produk
hukum terkait stabilisasi harga, serta pengelolaan lahan yang kadang kerap dikelola oleh
kaum oligarki negara Indonesia.
Sekarang, 24 September sudah menjadi Hari Tani Nasional sebuah momentum
nasional pertanian Indonesia, lantas hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kita, apakah
momen ini sudah menjadi titik pembebasan kesengsaraan petani atau malah menjadi
momen huru-hara kita sebagai masyarakat dan juga pemerintah Indonesia.
KESIMPULAN
Pangan merupakan salah satu konsep penting dalam kehidupan esensial manusia
hal ini dikarenakan pangan merupakan kebutuhan primer manusia. Gejolak harga pangan
bukan hanya terjadi diakibatkan oleh mekanisme supply and demand saja namun juga
terdapat sejumlah faktor lain yang juga membuat harga pangan kian volatil. Kenaikan
dan gejolak harga yang terjadi pada komoditas pangan akan menurunkan kesejahteraan
rakyat, terutama rakyat yang berpenghasilan rendah dan juga memicu kenaikan laju
inflasi. Saat ini gejolak harga pangan dan krisis global kian menghantui Indonesia, Angka
inflasi volatile food bahkan menyentuh angka 2 digit dengan komoditas penyumbang
tingkat inflasi terbesarnya yakni ; cabai merah, bawang merah, bawang putih dan minyak
goreng.
Apabila dilihat dari kacamata lain,ternyata terdapat tren penurunan indeks nilai
tukar petani yang menunjukkan bahwa kesejahteraan dan kemampuan daya beli petani
semakin menurun. Hal ini tentu cukup kontradiktif karena adanya kenaikan harga pangan,
seharusnya petani selaku produsen diharapkan dapat memperoleh pendapatan yang
meningkat juga.
Pemerintah mempunyai tugas pokok untuk mengendalikan komoditas pangan
dalam jumlah yang cukup dan dengan harga yang terjangkau di seluruh wilayah Indonesia
dengan tetap memperhatikan kesejahteraan petani sebagai tonggak terpenting dalam
pemenuhan kebutuhan pangan.
REKOMENDASI KEBIJAKAN

1. Pada komoditas bawang merah perlu dilakukan langkah teknis dengan penyediaan
benih yang sesuai terhadap perubahan musim, pemerintah perlu mengatur regulasi
terhadap penyisihan terhadap benih bawang merah dan bawang merah yang siap
dijual.
2. Penyediaan teknologi penyimpanan yang sesuai terhadap pasokan bawang merah
dan bawang putih sehingga komoditas bawang merah dapat relevan terhadap
pergantian musim dan tidak menimbulkan gejolak harga.
3. Pemerintah perlu mengawasi rantai pemasaran terutama alur dari produsen
menuju pasar induk, penguatan sektor distribusi dinilai mutlak untuk dievaluasi
dan dikaji agar petani tetap mengalami keuntungan pada saat kenaikan harga.
4. Untuk komoditas minyak goreng, pemerintah perlu mempertegas peraturan
Domestic Market Obligation dan melakukan pengawasan yang ketat untuk
mencegah kembali terulangnya krisis minyak goreng.
5. Untuk mengurangi ketergantungan pada impor bawang putih, Indonesia harus
membuat strategi tentang perencanaan produksi yang disesuaikan dengan
kebutuhan di pasar dan kondisi geografi, serta merancang skema distribusi/tata
niaga bawang putih dengan baik dan jelas.
REFERENSI

Zheng Y, Kinnucan HW, Thompson H. 2008. News and volatility of food prices. Appl. Econ.
40(13–15)(1629-1635.). doi:https://doi.org/10.1080/00036840600892910.

Andriessa R. 2022. Minyak Goreng Langka? Inilah Penyebabnya. CWTS UGM. [diakses
2022 Sep 18]. Tersedia di https://cwts.ugm.ac.id/2022/03/05/minyak-goreng-
langka-ternyata-inilah-penyebabnya/

Abdulah R, Ahmad T, Talattov APG, Fahmid MM. 2022. Menakar efektivitas


kebijakan subsidi vs DMO-DPO minyak goreng. INDEF Policy Brief. 2 :
Institute for Development of Economics and Finance [diakses pada 20 april 2022]
tersedia di https://s.id/IndefPolicyBrief

Anwarudin MJ, Sayekti L, Aditia MK, Yusdar. 2015. Dinamika produksi dan volatilitas harga
cabai: antisipasi, strategi, dan kebijakan pengembangan. Pengembangan inovasi
pertanian. 8 (1): 33-42.

Anonimus. 2022. Harga TBS Sawit Anjlok Lagi Aduh Bingung. Jpnn.com [diakses pada 19
September 2022]. Tersedia di https://www.jpnn.com/news/harga-tbs-sawit-
anjlok-lagi-cpo-tak-dilelang-aduh-biyung

Anonimus. 2022. Larangan Ekspor Sawit Mulai Berdampak kepada Petani, Harga TBS
Turun Drastis. Suarakalbar.id [diakses pada 19 September 2022]. Tersedia di
https://www.suarakalbar.co.id/2022/05/larangan-ekspor-sawit-mulai-
berdampak-kepada-petani-harga-tbs-turun-drastis/

Anonimus. 2022. Wabah Corona Bikin Harga Bawang Putih Impor Meroket.
Cnnindonesia.com [diakses pada 20 September 2022]. Tersedia di
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200207081826-92-472488/wabah-
virus-corona-buat-harga-bawang-putih-impor-meroket

Akhmad A. 2022. Dampak Kebijakan CPO, Petani Sawit Ungkap 25 Persen Pabrik Setop
Beli TBS. Tempo.co [diakses pada 19 September 2022]. Tersedia di
htttps://bisnis.tempo.co/read/1592114/dampak-kebijakan-cpo-petani-sawit-
ungkap-25-persen-pabrik-setop-beli-tbs

Arwana G. 2022. Terus Turun Harga Bawang Makin Murah. Datainonesia.id [diakses pada
20 September 2022]. Tersedia di htttps://dataindonesia.id/bursa-
keuangan/detail/terus-turun-harga-bawang-makin-murah-24-agustus-2022

Bourdon MH. 2011. Agricultural Commodity Price Volatility: An Overview. OECD Food,
Agric. Fish. Work. Pap.(52):137–185.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Nilai Produksi dan Biaya Produksi per Hektar Usaha
Bawang Merah dan Cabai Merah. Jakarta (ID): BPS.

[BI] Bank Indonesia. 2022. Analisis Inflasi Juli 2022 Tim Pengendalian Inflasi Pusat Bank
Indonesia. Jakarta (ID): BI.

[CIPS] Center for Indonesian Policy Studies. 2021. Beyond fertilizer and seed subsidies: re
thinking support to incentivize productivity and drive competition in the
agricultur- al input market. Policy Paper No. 43. Jakarta (ID): CIPS.

Cut D. 2022. Sebulan Aturan HET Minyak Goreng Dihapus Harga Belum Turun.
Cnbcindonesia.com [diakses 16 September 2022]. Tersedia di
https://www.cnbcindonesia.com/news/20220518005839-4-339664/sebulan-
aturan-het-minyak-goreng-dihapus-harga-belum-turun

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2022. World Food Situation. Roma (IT): FAO.

FAO. 2010. Food Outlook Global Market Analysis. Food Agric. Organ. [diunduh 2022 Sep
18]. Tersedia pada: https://www.fao.org/3/ai466e/ai466e00.htm

Farandy AR. 2020. Analyzing factors affecting Indonesian food inflation. Jurnal Ekonomi
dan Pembangunan. 28 (1): 65-76.

[GAPKI] GAPKI.2022. Konsumsi Minyak Sawit RI menurut Jenis Produk dan


Penggunaannya (2021). Dalam KataData.co.id. 65% Minyak Sawit RI untuk
Ekspor, Sisanya Konsumsi Lokal. [diakses pada 17 September 2022] tersedia di
:https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/04/25/65-minyak-sawit-ri-
untuk-ekspor-sisanya-konsumsi-lokal

Hendra S. 2022. Dampak Perang Rusia-Ukraina Terhadap Perekonomian Indonesia. Jurnal


Kajian Terhadap Isu Aktual dan Strategis. 26 (5).

Jauhara. 2022 Sept 1. Apa Penyebab Harga Kedelai Naik. Kompas.com. [diakses 2022 Sep
18]. Tersedia di https://www.kompas.com/food/read/2022/09/01/123600875/apa-
penyebab-harga-kedelai-naik-

Kustiari R,Sejati WK, Yulmahera R. 2018. Integrasi pasar dan pembentukan harga cabai me
rah di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. 36 (1): 39-53.

Media Indonesia. 2022. BPS: Tiga Besar Penyumbang PDB Nasional, Pertanian
Berkontribusi 12,98%. Media Indones. [diunduh 2022 Sep 18]. Tersedia pada:
https://mediaindonesia.com/ekonomi/512517/bps-tiga-besar-penyumbang-pdb-
nasional-pertanian-berkontribusi-1298

Sativa M. 2017. Analisis disparitas dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pergerakan
harga cabai merah di Indonesia [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ruauw E. 2010. Nilai tukar petani sebagai indikator kesejahteraan petani. J. Penelit. ASE.
6(2):1–8.

Simatupang, Maulana. 2008. Kaji Ulang Konsep dan Pengembangan Nilai Tukar Petani 2003-
2006. J. Ekon. dan Pembang. LIPI.

Timmer C. 2012. Center on Food Security and the Environment and the Prospects for
Agriculture. Stanford Symp. Ser. Glob. Food Policy Food Secur. 21st Century.:1–
39.

Zheng Y, Kinnucan HW, Thompson H. 2008. News and volatility of food prices. Appl. Econ.
40(13–15)(1629-1635.). doi:https://doi.org/10.1080/00036840600892910.
LAMPIRAN

Lampiran 1 Uji Stasioner untuk Model


● Bawang Merah

● Bawang Putih
● Cabai Merah

● Minyak Goreng
Lampiran 2 Uji Korelogram
● Bawang Merah
● Bawang Putih

● Cabai Merah
● Minyak Goreng
Lampiran 3 Model Arima Terbaik

● Bawang Merah
ARIMA (4,0,2)
● Bawang Putih
ARIMA (2,0,0)
● Cabai Merah
ARIMA (2,1,2)
● Minyak Goreng
ARIMA (2,1,0)

Lampiran 4 Uji Efek Garch


● Bawang Merah

● Bawang Putih
● Cabai Merah

● Minyak Goreng

Anda mungkin juga menyukai