Anda di halaman 1dari 13

Pemaknaan Tadabbur Quran

Adab membaca secara batin yang paling besar ialah memperhatikan (tadabbur)
makna-makna Al-Qur’an. Arti Tadabbur ialah melihat dan memperhatikan
kesudahan segala urusan dan bagaimana akhirnya.

Tadabbur ini dekat dengan pengertian tafakkur (memikirkan). Hanya saya

tafakkur ini lebih diartikan pemusatan hati atau pikiran ke dalil, sementara
tadabbur memusatkan perhatian ke kesudahan.

Allah yang menurunkan Al-Qur’an telah menjelaskan kepada kita, bahwa Dia

tidak menurunkannya melainkan agar ayat-ayatnya diperhatikan dan makna-

maknanya dipahami. Firman-Nya,

“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah,
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran

orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shad : 29)

“Mau apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an

itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak

di dalamnya.” (An-Nisa’ : 82)


Ibnu Abdil Barr meriwayatkan di dalam Jami’ul-Ilm, dari Ali Radhiyallahu Anhu,
dia berkata, “Ketahuilah, tidak ada kebaikan dalam ibadah yang di dalamnya
tidak ada pendalaman ilmu. Tidak ada kebaikan dalam ilmu yang di dalamnya
tidak ada pemahaman. Tidak ada kebaikan di dalam bacaan yang di dalamnya

tidak ada perhatian.”

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, “Aku lebih suka membaca idza

zulzilat dan al-qari’ah sembari memperhatikan dua surat ini, daripada membaca

Al-Baqarah dan Ali Imran secara serampangan.”

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Aku lebih suka membaca

Al-Qur’an selama satu bulan daripada setengah bulan. Aku lebih suka
membacanya setengah bulan daripada membacanya selama sepuluh hari. Aku

lebih suka membacanya selama sepuluh hari daripada membacanya selama

seminggu, selagi aku bisa berhenti dan memanjatkan doa.

Sebab membaca secara berlahan-lahan lebih membuka kesempatan untuk

memperhatikan dan memperhatikan ini merupakan tujuan yang diinginkan dari


membaca.

Sebagaimana yang dikatakan seorang sastrawan Arab dan Islam, Musthafa

Shadiq Ar-Rafi’y, bahwa Al-Qur’an adalah kalam yang berasal dari cahaya, atau

cahaya dari kalam. Hal ini seperti yang digambarkan Allah sendiri,
“(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi
Mahatahu.”( Hud :1)

Sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa keajaiban-


keajabannya tidak pernah habis dan tidak dicipatkan untuk ditentang banyak
orang. Siapa yang berkata dengannya, maka dia benar, siapa yang mengadili

dengannya, maka dia akan berbuat adil, siapa yang berdoa dengannya, maka

dia akan diberi petunjuk ke jalan yang lurus.

Siapa yang memperhatikan dan mendalami Al-Qur’an tentu akan mendapatkan

kalimat-kalimat yang mengandung banyak makna, hikmah yang berharga,


simpanan ma’rifat, hakikat wujud, rahasia kehidupan, alam gaib, simpanan-

simpanan nilai, hukum-hukum yang menakjubkan, perumpamaan yang

mengagumkan, ayat-ayat yang jelas, bukti keterangan yang nyata, peringatan

yang keras dan lain sebagainya.

Maka para ulama berkata, “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ilmu


orang-orang terdahulu dan belakangan.” Ibnu Abbas berkata, “Sekiranya aku

kehilangan tali pengikat onta, tentu aku bisa mendapatkannya di dalam Kitab
Allah.” Semua masalah ini dapat diketahui jika ada perhatian yang terus

menerus dan mendalam terhadap Al-Qur’an, bukan dengan serampangan dan

tergesa-gesa.
Jika tidak memungkinkan bagi qari’ untuk memahami satu ayat kecuali dengan
mengulangnya, maka hendaklah dia mengulangnya. Begitulah yang biasa
dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, para shahabat dan orang-
orang yang shahih dari salah umat ini, yaitu dengan mengulang bacaan

sebagian ayat, agar lebih dapat memperhatikan dan agar lebih meresap.

Dari Abu Dzarr Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa

Sallam mengimami shalat bersama kami pada suatu malam. Beliau membaca

ayat satu sayat yang diulang-ulang, yaitu,

“Jika engkau menyiksa mereka,m maka sesungguhnya mereka adalah hamba-

hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya


Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Al-Maidah : 118)

Tamim Ad-Dary Radhiyallahu Anhu mendirikan shalat dan membaca satu ayat

yang diulang-ulangnya hingga mendekati waktu subuh, yaitu firman Allah.

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami


akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan

amal saleh, Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah
apa yang mereka sangka itu.” (Al-Jatsiyah : 21)
Kisah serupa tentang pengulangan pembacaan ayat ini juga diriwayatkan dari
Ibnu Mas’ud (bin Mas’ud) , dan dia memulai surat Thaha. Ketika sampai ayat
‘Rabbi zidni ilma’, (Thaha : 114), dia mengulangnya hingga tiga kali.”
(Dirawayatkan Abu Daud dengan sanad yang shahih).

Dari Urwan bin Az-Zubair, dia berkata, “Aku masuk ke tempat Asma’ binti Abu
Bakar (ibunya), yang saat itu dia sedang shalat, dan membaca ayat,

“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab
neraka.” (Ath-Thur : 27)

Aku bangkit ikut shalat. Namun ketika aku merasa dia terlalu lama shalatnya,
maka aku pun pergi ke pasar. Ketika kembali lagi, ternyata dia masih tetap di

tempatnya dengan mengulang-ulang bacaan ayat itu.” (Diriwayatkan Ahmad).

Diriwayatkan bahwa suatu malam Amir bin Abdul Qais membaca Al-Mukmin
atau yang juga dikenal dengan surat Ghafir. Ketika sampai ke ayat, “Berilah

mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati
(menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan.” (Al-Mukmin

: 18), dia harus mengulang-ulangnya hingga waktu subuh.


Hal serupa juga diriwayatkan dari sejumlah tabi’in, seperti Sa’id bin Jubair Ar-
Rabi’ bin Khutsaim dan lain-lainnya. Sebagian di antara mereka berkata, “Aku
memulai suatu surat, lalu ada sebagian ayatnya yang menghentikan aku, karena
aku harus mencurahkan perhatian padanya, hingga tiba waktu subuh.”

Sebagian yang lain berkata, “Setiap ayat yang belum kupahami dan hatiku tidak
ada di dalamnya, maka aku tidak menghitung adanya pahala disana.”

Dari Abu Sulaiman Ad-Darany, dia berkata, “Aku benar-benar membaca satu
ayat, dan aku tetap berkutat padanya selama empat malam atau lima malam.
Sekiranya aku tidak memotong pemikiran yang hanya terpusat ke ayat itu, tentu

aku tidak akan beralih ke ayat yang lain.”


5 Manfaat Tadabbur Al-Quran

Barangsiapa yang mentadaburi Al-Quran kemudian memahami makna-


maknanya, memikirkan kandungan isinya maka ia akan meraih kemuliaan yang
tinggi, keridhaan dari Allah Taala serta ia akan senantiasa diberi taufik dalam

kehidupannya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, Tidak ada hal yang lebih bermanfaat bagi

seorang hamba selain mengisi hidupnya dengan tadabur Al-Quran Al-Karim.


(Madarik As Salikin 1/450)

Pada artikel kali ini kami akan memaparkan beberapa menfaat agung yang akan
diraih oleh orang-orang yang gemar mentadaburi Al-Quran. Dan semoga kita

termasuk dari golongan mereka. Amin

1.Menambah Iman di dalam Hati


Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,

‫س َت ْنتِج‬
ْ ‫ َو ِب َه َي‬، ِ‫َت َدبُّر ِك َتاب هللاِ ِم ْف َتاح ِلل ُْعل ُْوم‬
‫ش َج َرته‬
َ ‫سخ‬
َ ‫تر‬
ْ ‫ َو‬،‫ب‬
ِ ‫ِي ا ْل َق ْل‬
ْ ‫مان ف‬
َ ‫اد ال ِْإ ْي‬
ُ ‫يز َد‬
ْ ِ‫ َو ِبه‬،‫س َت ْنتِج ِم ْن ُه ال ُْعل ُْوم‬
ْ ‫ َو َت‬،‫ل َخ ْير‬
ّ ‫ُك‬

“Mentadaburi kitabullah adalah kunci bagi berbagai ilmu, dengannya

seseorang akan meraih segala kebaikan serta meraih ilmu-ilmu (yang banyak)
dan dengannya pula akan menambah iman di dalam hati serta menguatkan
akar pohonnya.” (Taisir Al-Karim Al-Mannan hlm.189)
2. Mensucikan Hati dan Jiwa.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

ُ ‫الم ْؤ ِمن َي ُك ْون أَث َُر‬


ِ‫الق ْرآن َعل َْيه‬ ُ ‫ار ُة ا ْل َقلْب‬
َ ‫ار َط َه‬
ِ ‫ِب ِم ْق َد‬

“Pengaruh Al-Quran pada diri seorang mukmin itu berbanding lurus dengan
kadar kesucian hatinya.”
Maka mentadaburi Al-Quran adalah obat bagi hati. Jika hati bersih maka jiwa

pun akan menjadi suci. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ِ‫ْم ْوت‬
َ ‫ك ُر ال‬
ْ ‫َاو ُة ال ُْق ْرآن َو ِذ‬
َ ‫ تِل‬:‫ل‬
َ ‫ها؟ َقا‬
َ ‫ما ِجلَا ُؤ‬
َ ‫ َو‬:‫ل‬
َ ‫ ق ِْي‬،‫ْحد ِْيد‬
َ ‫ما َيصدأ ال‬
َ ‫ك‬
َ ‫ب َل َتصدأ‬
َ ‫إ ََّن ال ُْقل ُْو‬

“Hati manusia itu berkarat seperti halnya besi berkarat. “Lalu ditanyakan, apa
obatnya? Rasulullah menjawab,: membaca Al-Quran dan ingat pada

kematian”. (HR. Al Baihaqi no. 2014).

3. Khusyu’ dalam Tangisan

Allah Ta’ala berfirman,


‫ق‬ِّ ‫ْح‬ َ ِ ‫ما ُأ‬
َ ‫ن ٱل‬
َ ‫ما َع َر ُفوا۟ ِم‬
َّ ‫م ِع ِم‬
ْ ‫ن ٱل َّد‬
َ ‫ِيض ِم‬
ُ ‫م َتف‬
ْ ‫ول َت َرى أ ْع ُي َن ُه‬
ِ ‫س‬ُ ‫ٱلر‬
َّ ‫ل إِلَى‬
َ ‫نز‬ َ ۟‫س ِم ُعوا‬
َ ‫َوإِ َذا‬
‫ِين‬
َ ‫ش ِهد‬
َّ ‫م َع ٱل‬
َ ‫ك ُت ْب َنا‬
ْ ‫امنَّا َفٱ‬
َ ‫ُون َر َّب َنا َء‬
َ ‫َي ُقول‬

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul


(Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan

kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka

sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah
kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan
kenabian Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam).” (QS. Al-Maidah: 83)
Nabi shalallahualaihi wasallam bersabda,

ِ‫يل ال َّله‬
ِ ‫س ِب‬
َ ‫س فِى‬ ْ ‫ش َيةِ ال َّلهِ َو َع ْي ٌن َبا َت‬
ُ ‫ت َت ْح ُر‬ ْ ‫ن َخ‬
ْ ‫ت ِم‬
ْ ‫ك‬
َ ‫َّار َع ْي ٌن َب‬
ُ ‫ما الن‬
َ ‫س ُه‬
ُّ ‫م‬
َ ‫ان لاَ َت‬
ِ ‫َع ْي َن‬

“Dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka yaitu mata yang
menangis karena takut kepada Allah dan mata yang bermalam (begadang)

untuk berjaga-jaga (dari serangan musuh) ketika berperang di jalan Allah.”

(HR. Tirmidzi no. 1639)

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari menerangkan bahwa imam Al-

Bukhari dalam shahihnya Ketika menjelaskan Fadhail Al-Quran beliau menulis


bab khusus Menangis Ketika Membaca Al-Quran.

Imam Al-Gazali rahimahullah berkata, dianjurkan menangis Ketika membaca

Al-Quran, dan hal ini dapat diraih dengan menghadirkan rasa sedih dan takut
di dalam hati saat merenungkan ayat-ayat Al-Quran terutama saat

menjumpai ayat ancaman,peringatan, balasan, janji-janji. Kemudian ia


merenungkan akan kelalaian dirinya dalam menunaikan perintah-perintah

(dalam Al-Quran), maka akan bersedih dan kemudia menangis. (Ihya


Ulumuddin 1/219).

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

‫صالِحِ ْين‬
َّ ‫ار ال‬
ُ ‫ن َوشِ َع‬
َ ‫ارف ِْي‬
ِ ‫ْع‬
َ ‫ص َف ُة ال‬
ِ ‫اءة ال ُْق ْرآن‬
َ ‫اء عِ ْن َد ق َِر‬
ُ َ‫البك‬
ُ

“Menangis Ketika membaca Al-Quran adalah sifat orang-orang yang arif dan

syiar orang-orang yang shalih.” (Fathul Baari 9/121)


4. Meneladani Akhlak Nabi Shalallahu’alaihi wasallam.

Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang akhlah Nabi

shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata,


‫ان ُخل ُُق ُه ال ُْق ْرآن‬
َ ‫ك‬َ

“Akhlah beliau adalah Al-Quran.” (HR. Ahmad)

Ketika kita ingin meneladani akhlak Nabi shalallahu’alaihi wasallam dengan


sempurna maka hendaknya kita senantiasa berusaha untuk mengamalkan isi

Al-Quran dengan semaksimal mungkin.

5. Solusi untuk Berbagai Krisis dan Problematika Kehidupan.

Allah Ta’ala berfirman,

‫شق‬
ۡ ‫ن ِل َت‬
َ ‫ۡـق ۡرا‬
ُ ‫ك ال‬
َ ‫ماۤ اَ ۡن َزلۡـ َنا َعل َۡي‬
َ

“Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau

menjadi susah” (QS. Thaha: 2)

Contoh nyatanya adalah kisah Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah yang sangat

terkenal yang diceritakan langsung oleh muridnya sendiri yang bernama


Rabi’ bin Subaih rahimahullah, dia berkata,
“Ada seorang yang mengadu musim paceklik kepada Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullah, beliau rahimahullah berkata, ‘Istighfarlah engkau kepada Allah.’
Ada lagi yang mengadu bahwa dia miskin, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah

tetap menjawab, ‘Mintalah ampun kepada Allah.’ Lain lagi orang yang ketiga,
ia berkata, ‘Do’akanlah saya agar dikaruniai anak.’ Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullah tetap menjawab, ‘Mintalah ampunan kepada Allah.’ Kemudian

ada juga yang mengadu bahwa kebunnya kering. Al-Hasan Al-Bashri

rahimahullah tetap menjawab, ‘Mohonlah ampun kepada Allah.’

Melihat hal itu, Rabi’ bin Subaih bertanya, “Tadi orang-orang berdatangan

kepadamu mengadukan berbagai permasalahan, dan engkau


memerintahkan mereka semua agar beristighfar, mengapa demikian?’ Al-

Hasan Al-Bashri rahimahullah menjawab, ‘Aku tidak menjawab dari diriku

pribadi, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan dalam firman-

Nya,

‫ن‬
َ ‫ال َّو َبن ِۡي‬
ٍ ‫َم َو‬
ۡ ‫م ِبا‬
ۡ ‫ِد ُك‬
ۡ ‫مد‬
ۡ ‫ارا َّو ُي‬
ً ‫م ۡد َر‬
ِّ ‫م‬
ۡ ‫ما َء َعل َۡي ُك‬
َ ‫س‬
َّ ‫ارا ُّي ۡرسِ ِل ال‬ً ‫ان َغ َّف‬َ ‫ك‬ َ ‫َّه‬‫م ِإن ُۥ‬
ْ ‫ٱس َت ْغف ُِروا۟ َر َّب ُك‬
ْ ‫ْت‬ ُ ‫َف ُقل‬
‫م اَ ۡنه ًرا‬ۡ ‫ل َّلـ ُك‬
ۡ ‫م َج ّٰنتٍ َّو َي ۡج َع‬ ۡ ‫ل َّلـ ُك‬
ۡ ‫َو َي ۡج َع‬

“Maka, Aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampunan kepada Rabb-mu,

seseunnguhnya dia adalah Maha Pengampun, niscaya dia akan mengirimkan

hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu,


dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di
dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
Referensi:
At Taat Al ‘Isyrun li Tadaaburi Al Quran, karya Nashir bin Ali Al Qahthani, terbitan
Dar Al Hadharah 2017 Riyadh KSA.

Anda mungkin juga menyukai