Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Ika S. (2008) kejadian alam yang patut diwaspadai adalah sebuah kondisi
dimana tanah tidak memiliki cadangan air yang cukup sehingga memungkinkan
terjadinya kekeringan. Usaha yang penting yang dapat dilakukan untuk
mengantisipasi kekeringan adalah memahami karakteristik ilkim wilayah dengan
baik sehingga dapat digunakan sebagai referensi kebijakan pengelolaan areal
pertanian, sehingga ilkim ekstrem tidak akan menyebabkan kerugian yang terlalu
besar.

Untuk mengetahui kekeringan secara kasat mata dapat dilihat dari aliran sungai
yang mulai mengering. Debit aliran sungai salah satunya didapat dari hujan. Oleh
karena itu hujan dapat digunakan sebagai indeks untuk mengukur kekeringan
(Zahroni, 2013).

Kekeringan diawali dengan berkurangnya jumlah curah hujan dibawah normal


pada satu musim, yang disebut kekeringan meteorologis yang merupakan tahap
awal dari terjadinya kekeringan. Tahapan selanjutnya mulai berkurangnya
pasokan air permukaan dan air tanah yang ditandai menurunnya muka air sungai
maupun tampungan seperti danau yang kemudian disebut kekeringan hidrologis
(Amiluddin & Wahyuningsih, 2015).

Evapotranspirasi acuan (ETo) adalah besarnya evapotranspirasi dari tanaman


hipotetik (teoritis) yaitu dengan ciri ketinggian 12 cm, tahanan dedaunan yang
ditetapkan sebesar 70 det/m dan albedo (pantulan radiasi) sebesar 0,23, mirip
dengan evapotranspirasi dari tanaman rumput hijau yang luas dengan ketinggian
seragam, tumbuh subur, menutup tanah seluruhnya dan tidak kekurangan air
(Smith, 1991).

Nilai ETo dapat dihitung dari data meteorologi. Perlu diperhatikan, bahwa
perkiraan ETo rata-rata untuk DAS lebih kompleks, karena ragam kondisi dalam

5
6

suatu DAS dapat jauh berbeda. Rumus yang menjelaskan evapotranspirasi acuan
secara teliti adalah rumus Penman-Monteith, yang pada tahun 1990 oleh FAO
dimodifikasi dan dikembangkan menjadi rumus FAO Penman-Monteith
(Hatmoko, 2012).

Norman H. memperkenalkan sebuah metode bernama NRECA pada tahun 1985.


Model ini merupakan model konsepsi yang bersifat determenistik. Disebut
konsepsi karena didasarkan pada teori, sedangkan untuk mengiterpretasikannya
digunakan persamaan semi empiris (Avicenna, A.K., dkk, 2015).

Pemilihan threshold pada probabilitas tertentu atau berdasarkan karakteristik


stastistik tertentu adalah tergantung pada kebutuhan (Tallaksen, et al, 1997;
Tallaksen, 2006). Pemilihan threshold (ambang batas) pada probabilitas 50 dan
karakteristik statistik menggunakan distribusi gamma.

Kriteria kekeringan dapat ditentukan berdasarkan data debit normal sama dengan
Q50 dengan kriteria (Hadiani,2009) :

1. Disebut kering (K) apabila Q80 < Q < Q50,


2. Disebut sangat kering (SK) apabila (71 – 100%) Q80,
3. Disebut amat sangat kering (ASK) apabila Q < (70%) Q80.

Kriteria kering lainnya berdasarkan durasi kering mengacu pada Oldeman


(Hadiani,2009) dapat dianalogikan sebagai berikut :

1. Disebut kering (K) zone 3 bila durasi lebih kecil atau sama dengan 7 bulan,
2. Disebut kering (K) zone 2 bila durasi kering 9 bulan,
3. Disebut kering (K) zone 1 bila durasi kering lebih besar dari 9 bulan.
7

Tabel 2. 1 Novelty Penelitian mengenai Indeks Kekeringan


No Peneliti, Tahun Judul Penelitian Lokasi Metode Variabel Parameter Hasil
1 Fajar Dwi Hastono, Identifikasi Daerah DAS Metode Skoring dan Peta jenis Tinggi hujan, Peta daerah resapan air di
dkk. 2002 Resapan Air Dengan Keduang, tumpeng susun tanah, peta Evapotranspira DAS Keduang, Kabupaten
Sistem Informasi Kabupaten (Overlay) tata guna si, Debit Wonogiri
Geografis (Studi Kasus: Wonogiri lahan, peta bulanan
Sub DAS Keduang) curah hujan,
peta
kemiringan
lereng

2 Lena M. Tallaksen On The definition and Denmark Threshold Level Debit, Luas Frequensi Diagram durasi dan deficit
dkk, 2009 modelling of streamflow Method,moving DAS, Kejadian kekeringan
drought duration and average procedure, klimatologi Debit, Durasi,
deficit volume sequent peak Besar Debit
algoritm, annual yang terjadi
maximum series,
partial duration
series

3 Nurul Setia Pertiwi dan Analisis Variabilitas Base DAS Metode smooth Base flow, Tata guna Kontribusi base flow DAS
Arief Sudrajat, 2012 Flow DAS Citarum Hulu Citarum minima, Base Flow Debit lahan, Citarum Hulu terhadap total
Menggunakan Data Debit Hulu, Index (BFI), Uji pelepasan air aliran sungai
Stasiun Hidrometri Kabupaten korelasi Spearman- tanah
Nanjung Bandung Conley (groundwater
discharge),air
limpasan
permukaan
(surface run
off)
8

No Peneliti, Tahun Judul Penelitian Lokasi Metode Variabel Parameter Hasil


4 Waluyo Hatmoko, Indeks Kekeringan Bandung SPI (Standardization Debit, Suhu, Debit hujan Besar Kekeringan di tiap
2012 Hidrologi untuk Alokasi Precipitation Index) Klimatologi (Q), daerah
Air di Indonesia evapotranspira
si, suhu,
kelembaban

5 Akhmad Yusron, 2013 Analisis Indeks Wilayah Metode Ambang Debit, Luas Frequensi Intensitas kejadian
Kekeringan pada 15 DAS Jawa Timur Batas (Threshold DAS Kejadian kekeringan di setiap DAS
di Wilayah Jawa timur Level Method), FDC Debit, Durasi,
menggunakan Metode long term Besar Debit
Ambang Batas yang terjadi
(Threshold Level Method)

6 Nyayu Fatimah Karakteristik Kekeringan DAS Metode Ambang Debit, Luas Frequensi Ambang batas Q80 , volume
Zahroh, 2013 Hidrologi di beberapa Ciujung, Batas (Threshold DAS Kejadian defisit maksimum
Daerah Aliran Sungai di Brantas, Level Method), Flow Debit, Durasi,
Pulau Jawa Bengawan Duration Curve Besar Debit
Solo (FDC) yang terjadi

7 Pipit Putri Aji, 2014 Karakteristik Kekeringan Kalimantan Metode Ambang Curah hujan, Frequensi Kekeringan hidrologi,
Hidrologi pada Wilayah Bagian Barat Batas bervariasi suhu, Kejadian frekuensi kejadian kering,
Kalimantan bagian Barat Bulanan (monthly Klimatologi Debit, durasi kering di tiap tipe
varying threshold), Evapotranspira tanah
metode Thornthwaite si, kelembaban
tanah, jenis
lahan

8 Andi Khalifa Indeks Kekeringan DAS Poligon Tiessen Data Curah Debit bulanan, Mengetahui nilai Indeks
Avicenna, dkk, 2015 Hidrologi di DAS Keduang, FAO Penman Hujan, evapotranspira Kekeringan Hidrologi
9

No Peneliti, Tahun Judul Penelitian Lokasi Metode Variabel Parameter Hasil


Keduang Berdasarkan Kabupaten Monteith Klimatologi si, (IKH) di DAS Keduang
Metode Flow Duration Wonogiri NRECA temperature,
Curve (FDC) Flow Duration kelembaban
Curve (FDC) udara

9 Sri Wahyuningsih, Studi Pendahuluan Provinsi Metode Ambang Data Curah Debit bulanan, Peta Persebaran
2015 Tentang Analisis Jawa Timur bertingkat, Hujan, evapotranspira Kekeringan di Provinsi
Kekeringan Hidrologi Di Threshold Level Klimatologi si, Jawa Timur
Jawa Timur : Aplikasi Method (TLM), temperature,
Metode Ambang ranking kelembaban
Bertingkat udara

10 Agus Wuyanta, Analisis Spasial Tekanan Sub DAS Analisis Spasial Jumlah Tata Guna Tekanan penduduk (TP) di
Pranatasari Dyah Penduduk terhadap Lahan Keduang, Tekanan Penduduk penduduk, Lahan Sub DAS Keduang
Susanti, 2015 Pertanian di Sub DAS Kabupaten Rumus Soemarwoto jumlah Penduduk
Keduang, Kabupaten Wonogiri (1985) petani, tata
Wonogiri, Jawa Tengah Sistim Informasi guna lahan
Geografis (SIG)

11 Afif Amiluddin, Studi tentang Kekeringan Kediri, Metode Ambang Debit, Luas Durasi, Intensitas kejadian
Indarto Sri Hidrologi menggunakan Surabaya, Batas (Threshold DAS Volume, Besar kekeringan di setiap DAS
Wahyuningsih, 2015 Metode Ambang Batas dan Level Method), Flow Debit
(Threshold Level Method) Pamekasan Duration Curve
Studi Kaus UPT PSDA di (FDC), Water
Kediri, Surabaya, dan Deficit,
Pamekasan

12 Ahmad Faruq K, 2015 Analisis Kejadian Banjir Wilayah Metode Ambang Debit, Luas Durasi, Ambang batas terbesar dan
di Wilayah UPT PSDA UPT PSDA Batas (Threshold DAS Volume, Besar terkecil serta Intensitas
10

No Peneliti, Tahun Judul Penelitian Lokasi Metode Variabel Parameter Hasil


Malang, Madiun, dan Malang, Level Method), Debit kejadian kekeringan di
Bojonegoro menggunakan Madiun, dan Circularity Ratio, setiap DAS
Metode Ambang Batas Bojonegoro time series
(Threshold Level Method)

13 Jan Hyun Sung dan Development of Seoul, South Threshold Level Tinggi hujan, Lama Peta Persebaran
Eun Sung Chung, 2015 Steamflow Drought Korea Method, Flow suhu, Konsenrasi, Kekeringan, Grafik durasi
Severity-Duration- Duration Curve, Klimatologi evapotranspira kering, grafik deficit
Frequency Curve Using Sreamflow Drought, si, temperatur kekeringan
Threshold Level Method Frequncy Analysis

14 Holid Bin Walid, 2015 Analisis Defisit Debit Malang, Threshold Level Tinggi hujan, Frequensi Didapat Grafik Frekuensi
DAS Menggunakan Madiun, Method, Flow suhu, Kejadian kekringan, grafik durasi
Metode Ambang Batas Bojonegoro Duration Curve klimatologi Debit, Besar kekeringan, grafik besar
(Threshold Level Method) Debit yang volume kekeringan
studi kasus UPT PSDA terjadi,
Malang, Madiun, evapotranspira
Bojonegoro si

15 Prasittia Tsabit Qolbi, Studi Pendahuluan DAS di Jawa Threshold Level Tinggi hujan, Lama Grafik Frekuensi Kejadian
2015 Penerapan Metode Timur Method, Percentile suhu, Konsenrasi, Debit pada tiap DAS
Ambang Batas Untuk Klimatologi evapotrasnpira
Analisis Potensi Banjir di si, suhu,
Wilayah Jawa Timur kelembaban

16 Bagas Dwi Analisis Kekeringan DAS Metode Ambang Data Curah Debit hujan 15 - Mendapat nilai debit
Purwantoro, 2018 Hidrologi Berdasarkan Keduang Batas (Threshold Hujan, harian (Q), berdasar metode NRECA
11

No Peneliti, Tahun Judul Penelitian Lokasi Metode Variabel Parameter Hasil


(Rencana) Metode Ambang Batas Level Method), Klimatologi Evapotranspira - Mendapat indeks
(Threshold Level Method) Poligon Tiessen, si, kekeringan berdasar
di DAS Keduang NRECA, Penman temperature, Metode Ambang Batas
Kabupaten Wonogiri Mauntith kelembaban - Mendapat hubungan
indeks kekeringan
hidrologi dengan debit
- Mendapat peta persebaran
kekeringan
- Mendapatkan grafik
hubungan indeks
kekeringan dengan debit
- Sketsa warna peta
kriteria kering yang dapat
dilihat pada Gambar 2.2
12

2.2 Dasar Teori

2.2.1 Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data yang didapat dari pengamatan secara langsung,
observasi, ataupun wawancara di lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan
data yang didapat dari survey instansional. Kegiatan yang dilakukan pada tahap
ini adalah : pengumpulan peta, pengumpulan data hidrologi, pengumpulan data
klimatologi yang terdiri dari data hujan, debit dan suhu. Penelitian ini
menggunakan data sekunder atau data yang sudah ada yang berasal dari instansi
terkait.
.
2.2.2 DAS (Daerah Aliran Sungai)

Chay Asdak (2004) mendefinisikan daerah aliran sungai atau DAS merupakan
suatu wilayah daratan yang dibatasi punggung gunung yang dapat menampung
dan menyimpan air hujan dan kemudian dialirkan melalui sungai utama menuju
ke laut. Wilayah daratan tersebut disebut daerah tangkapan air (DTA atau
catchment area) merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari sumber daya alam
tanah, air, dan vegetasi) dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat sumber
daya alam.

2.2.3 Data Klimatologi

Data klimatologi diambil dari stasiun meteorologi terdekat yaitu di Waduk


Ngancar, data yang digunakan yaitu :
1. Suhu udara bulanan rata – rata (°C),
2. Kelembaban udara relative bulanan rata – rata (%),
3. Kecepatan angin bulanan rata – rata (m/dt),
4. Penyinaran matahari bulanan rata – rata (%).

2.2.4 Kelengkapan Data


13

Data yang ideal adalah data yang disajikan secara lengkap, tetapi dalam
pelaksanaannya sering dijumpai missing record atau incomplete record. Data
hujan yang berasal dari stasiun pengamat hujan harian kadang tidak tersedia
secara lengkap dikarenakan alat yang bekerja kurang baik, kelalaian petugas, data
hilang, atau data tidak terbaca. Sehingga, data hujan yang hilang tersebut dapat
diisi dengan menggunakan bantuan data perkiraaan yang tersedia di 3 pos stasiun
terdekat di sekitar stasiun yang kehilangan data tersebut. Data yang hilang juga
dapat dicari menggunakan metode dibawah ini, antara lain sebagai berikut:

1. Metode perbandingan normal (Normal Ratio Method)


Data hujan yang hilang dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan (2.1).

=
(
P x 1 P 1 P2 P 3
+ + +…+
N x n N1 N2 N 3
Pn
Nn ) (2.1)

Dengan:
Px : Hujan yang hilang di stasiun x,
P1 , P2 , P n : Data hujan di stasiun sekitarnya pada periode yang sama,
Nx : Hujan tahunan di stasiun x,
N1 , N 2, Nn : Hujan tahunan di sekitar stasiun x,
n : Jumlah stasiun hujan disekitar x.

2. Reciprocal Method
Perhitungan data hujan yang hilang menggunakan metode ini lebih baik karena
memperhitungkan jarak antar stasiun. Cara perhitungannya mengikuti persamaan
(2.2).

∑ LiPi2
P x = i=1
n (2.2)
1
∑ Li 2
i=1

Dengan :
Li : Jarak antar stasiun
(Bambang Triatmodjo, 2009)

Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk mengisi data curah hujan
adalah metode recriprocal method.
14

2.2.5 Analisis Konsistensi atau Kepanggahan Data dengan metode RAPS

Data hujan dilakukan analisis kepanggahan untuk memastikan panggah atau


tidaknya sesuai akibat dari kesalahan pencatatan dan gangguan alat pencatatan
perlu dikoreksi dan data yang hilang atau kosong diisi dengan menggunakan data
pembandingan pos hujan sekitar yang terdekat dan dianggap punya karakteristik
yang sama (Sri Harto, 1993).
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui kepanggahan suatu
data antara lain RAPS dan kurva massa ganda. Dalam penelitian ini digunakan
metode RAPS.
Metode RAPS berdasarkan data curah hujan setempat, dimana data curah hujan
yang tersedia di sekitar lokasi sangat terbatas. Data dinyatakan panggah apabila
Q/√ n yang didapat lebih kecil dari nilai kritik untuk tahun dan confidence level
yang sesuai (Sri Harto, 1993).
Uji kepanggahan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (2.3) – (2.6).

k
Sk =∑ ( Y 1−Y ¿ ) , dengan nilai k =1,2,3 ,… ,n
¿
(2.3)
i=1
¿
Sk =0 (2.4)
¿
¿ Sk
Sk = dengan nilai k =0,1,2,3 , … , n (2.5)
Dy
2
n
( Y 1−Y ¿ )
Sk =∑
¿
, dengan nilai k =1,2,3 , … ,n (2.6)
i=1 n

Dengan:
¿
Y 1=data hujan ke i
Y ¿ =data hujan rerata−i
D y =deviasi standard
n= jumlah data

Untuk uji kepanggahan digunakan cara statistic mengikuti persamaan (2.7) –


(2.8).

Q=maks¿ (2.7)
¿∗¿,dengan0 ≤ k≤ n ¿
¿∗¿−minimum S ¿
R=maksimum S k k
(2.8)

Nilai kritik Q dan R ditunjukan dalam Tabel 2.2.


15

Tabel 2. 2 Nilai kritik Q dan R


Q R
n √n √n
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38
20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,60
30 1,12 1,24 1,46 1,40 1,50 1,70
40 1,13 1,26 1,50 1,42 1,53 1,74
50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78
100 1,17 1,29 1,55 1,50 1,62 1,86
∞ 1,22 1,36 1,63 1,62 1,75 2,00
Sumber : Sri Harto, 1993
2.2.6 Analisis Hujan Titik Menjadi Hujan Wilayah

Stasiun penakar hujan hanya memberi hujan titik di mana stasiun tersebut berada,
sehingga hujan pada suattu luasan tertentu harus diperkirakan dari titik tersebut.
Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari satu stasiun pengukuran yang
ditempatkan terpencar, hujan yang tercatat di masing-masing stasiun tidak sama
dalam hidrologi diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut,
yang dapat dilakukan dengan beberapa metode antar lain metode rerata aritmatik,
metode polygon Thiessen, dan metode isohyet (Triatmojo, 2010). Pada penelitian
ini digunakan metode polygon Thiessen.
Pembentukan polygon adalah sebagai berikut (Triatmojo, 2010):
1. Stasiun hujan diplotkan ke dalam peta DAS yang ditinjau.
2. Stasiun – stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus hingga membentuk
segitiga.
3. Dibuat garis berat pada sisi – sisi segitiga.
4. Garis berat tersebut membentuk polygon. Tiap stasiun mewakili luasan yang
dibentuk oleh polygon. Untuk stasiun yang ada di dekat batas DAS, garis
batas DAS membentuk batas tertutup dari polygon tersebut.
5. Luas tiap polygon di ukur dan kemudian di kalikan dengan kedalaman hujan
di stasiun yang ada di dalam polygon.
6. Jumlah hitungan pada poin 5 untuk semu stasiun dibagi dengan luas daerah
yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, mengikuti
persamaan (2.9).
16

A 1 p 1+ A 2 p2 + A3 p 3+ …+ An pn
prerata= (2.9)
A1 + A2 +…+ A 3

Dengan :
prerata : hujan rerata kawasan,
p1,p2,p3 : hujan pada stasiun 1,2, … , n
A1,A2,A3 : luas daerah yang mewakili stasiun 1,2, … , n

2.2.7 Evapotranspirasi Potensial

Evapotranspirasi adalah evaporasi dari permukaan lahan yang ditumbhi tanaman.


Berkaitan dengan tanaman, evaporanspirasi sama dengan kebutuhan air konsumtif
yang didefinisikan sebagai penguapan total dari lahan dan air yang diperlukan
oleh tanaman. Jika air yang tersedia cukup banyak maka evapotranspirasi ini
disebut evapotranspirasi potensial (Triatmojo, 2010).
Evapotranspirasi adalah banyaknya air yang dipergunakan untuk proses
pertumbuhan tanaman (transpirasi) dan evaporasi dari tanah/ air sebagai tempat
tumbuhnya tanaman tersebut (SNI 7745 : 2012). Evapotranspirasi dapat dihitung
dengan beberapa metode antara lain Penman (1948), Penman Mountith, Penman
Modifikasi, Blaney – Criddle, Thornthwaite, Turc – Langbein (1949) – Wundt,
dan Hargaves. Dalam penelitian ini digunakan metode Penman Monteith.
Rumus yang menjelaskan evapotranspirasi acuan secara teliti adalah rumus
Penman-Monteith, yang pada tahun 1990 oleh FAO dimodifikasi dan
dikembangkan menjadi rumus FAO Penman-Monteith yang diuraikan dalam
persamaan (2.10).

900
0. 408 Δ ( Rn−G )+ γ u ( e −e )
T +273 2 s a
Δ+ γ ( 1+0 . 34 u2 )
ETo = (2.10)

Dengan :
ETo = Evapotranspirasi acuan(mm/hari),
Rn = Radiasi netto pada permukaan tanaman (MJ/m2/hari),
G = Kerapatan panas terus-menerus pada tanah (MJ/m2/hari),
T = Temperatur harian rata-rata pada ketinggian 2 m (oC),
u2 = Kecepatan angin pada ketinggian 2 m (m/s),
es = Tekanan uap jenuh (kPa),
ea = Tekanan uap aktual (kPa),
17

Δ = Kurva kemiringan tekanan uap (kPa/oC),


γ = Konstanta psychrometric (kPa/oC).

Perhitungan evapotranspirasi potensial (ET0) pada penelitian ini menggunakan


software CROPWAT 8.0 yang mana mengacu pada metode Penman – Monteith.

2.2.8 Potensi Ketersediaan Air dengan Metode NRECA

Untuk menghitung berapa ketersediaan air dapat dilakukan dengan beberapa cara
atau metode antara lain dengan metode FJ Mock, NRECA, dan GR2M.
Sedangkan yang dalam penelitian ini digunakan metode NRECA.
Menurut Kriteria Perencanaan Irigasi (2010), cara perhitungan NRECA sesuai
untuk daerah cekungan yang setelah hujan berhenti masih ada aliran air sungai
selama beberapa hari. Kondisi ini terjadi bila tangkapan hujan cukup luas.
Analisis ketersediaan air dengan metode NRECA dengan menggunakan
persamaan (2.11) –(2.20).

Q = DF + GWF (2.11)
DF = EM – GWS (2.12)
GWF = P2 × GWS (2.13)
GWS = P1 × EM (2.14)
S = WB – EM (2.15)
EM = EMR × WB (2.16)
WB = Rb – AET (2.17)
AET
AET = × PET (2.18)
PET
Wo
Wi= (2.19)
N
N = 100 + 0,20 Ra (2.20)

Dengan :
Q : Debit aliran rerata,
DF : Aliran langsung,
GWF : Aliran air tanah,
EM : Kelebihan kelengasan,
GWS : Tampungan kelengasan,
P1 : Parameter yang menggambarkan karakteristik tanah permukaan,
P2 : Parameter yang menggambarkan karakteristik tanah bagian dalam,
WB : Keseimbangan air,
18

EMR : Rasio kelebihan kelengasan,


Rb : Curah hujan,
AET : Evapotranspirasi actual,
PET : Evapotraasnpirasi potensial (Eto),
Wi : Tampungan kelengasan tanah,
Wo : Tampungan kelengasan awal,
N : Normal,
Ra : Curah hujan tahunan.

2.2.9 Penentuan Threshold Debit Andalan (Q80) dan Debit Normal (Q50)

Untuk aliran sungai yang memiliki data pengukuran, ketersediaan airnya dapat
ditentukan peluang terjadinya atau terlampauinya yang dapat dihitung dengan
metode statistika. Peluang terjadinya atau terlampauinya suatu besaran debit atau
yang dalam literature dinyatakan dengan debit andalan.
Debit tersebut digunakan sebagai patokan ketersediaan debit yang masuk ke
waduk pada saat pengoperasiannya. Untuk menghitung debit andalan tersebut,
dihitung peluang 50% dan 80% dari debit inflow sumber air pada pencatatan debit
pada periode tertentu.
Berdasarkan kriteria data debit maka perlu dilakukan perhitungan debit andalan
(Q80) dan debit normal (Q50) dengan menggunakan Distribusi Gamma.
Eksperimen probabilitas yang hasilnya menunjukkan suatu bentuk distribusi
yang mempunyai variasi ukuran kemencengan yang cukup signifikan
dapat diselesaikan dengan distribusi Gamma (Hatmoko,2011).

a. Fungsi Gamma r () mengikuti persamaan (2.21).



α 1 x
r () = x
0
e dx , untuk  > 0 (2.21)

Sifat-sifat penting fungsi Gamma adalah :

1. Untuk sebuah bilangan bulat positif n,  (n) = (n – 1) !

2. Didefinisikan =  (1/2) = π
b. Distribusi Gamma
Peubah acak kontinu x berdistribusi Gamma dengan parameter  dan ,
bila padatnya diberikan persamaan (2.22).
19

(2.22)

= 0 untuk x lainnya
Bila  > 0 dan  > 0

c. Distribusi Gamma Standard


Jika parameter skala sebuah distribusi Gamma  = 1 diperoleh
suatu distribusi
Gamma standar menurut Persamaan (2.23) dan (2.24).

(2.23)

(2.24)
d. Nilai mean dari distribusi Gamma mengikuti Persamaan (2.25).
 =  
e. Nilai variansi dari distribusi Gamma mengikuti persamaan (2.26).
2 2
 =  (2.26)
Perhitungan threshold Q50 dan Q80 pada penelitian ini selanjutnya menggunakan
software Minitab 16.

2.2.10 Perhitungan Defisit dengan Metode Ambang Batas (Threshold Level


Method)

Salah satu metode yang digunakan untuk penentuan batasan debit yaitu metode
Threshold Level Method (TLM). Prinsip dari metode TLM adalah melihat kondisi
debit di sungai untuk memperhitungkan defisit debit sungai. Perhitungan Q80
digunakan untuk memperoleh nilai ambang batas. Nilai defisit yang dianalisis
dapat digunakan sebagai dasar pemetaan wilayah yang dianggap rawan
mengalami defisit debit sungai (Walid, Wahyuningsih, Ahmad, & Indarto, 2015).
Metode ini merupakan metode untuk menentukan ambang batas deficit air dan
untuk mengakumulasikan total kejadian defisit air. Analisis defisit debit dengan
20

metode ini digambarkan dalam grafik besarnya debit terhadap waktu, pada grafik
tersebut dibuat suatu Batasan debit yang terjadi pada periode waktu tertentu. Nilai
batasan debit disesuaikan dengan kriteria. Debit yang berada di bawah ambang
batas dapat dikatakan mengalami defisit air. Metode ini juga dapat digunakan
untuk menduga kejadian awal dan akhir kekeringan (Tallaksen, 2004).
Metode ini sangat penting digunakan untuk menetukan kondisi awal dan akhir
musim kemarau. Nilai ambang batas dapat diatur dalam waktu yang tetap
sepanjang tahun atau konstan, musiman yaitu 1 – 4 musim, bulanan, N-hari dan
setiap hari.
Dalam menganalisis defisit debit menggunakan Threshold Level Method dapat
dilakukan perhitungan untuk analisis waktu seri defisit. Selain itu, metode ini
digunakan untuk menganalisis nilai minimum dan juga maksimumnya.

(Sumber: Tallaksen, 2004)


Gambar 2. 1 Threshold Level Method

Salah satu kelebihan metode ini adalah menggunakan metode kuantitatif. Metoed
ambang batas ini relevan utnuk manajemen penyimpanan air dalam suatu DAS
dan menghasilkan desain hidrologi dan operasi penyimpanan dan siklus hidrologi
sehingga metode ini paling sering diguanakan untuk menentukan kondisi awal dan
akhir kekeringan.
Ambang batas mungkin tetap atau bervariasi naik turun selama setahun.
Pendekatan nilai ambang batas disesuaikan untuk mendeteksi penyimpanan debit
sungai selama arus tinggi dan rendah di musim tersebut. Penentuan nilai ambang
batas dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan aloasi air di setiap DAS.
Manajemen pembagian air yang baik pada suatu DAS dapat mengurangi resiko
21

terjadinya defisit debit sungai yang dapat berujung pada terjadinya kekeringan
(Walid et al., 2015).

(Sumber: Tallaksen, 2004)


Gambar 2. 2 Ilustrasi cara kerja metode TLM
Garis merah pada gambar 2.2 menunjukkan debit ambang yang
ditentukan. Selanjutnya, sepanjang periode rekaman, debit yang ada diidentifikasi
secara statistik nilai debit yang berada di bawah ambang batas tersebut. Periode
rekaman dimana debit berada di bawah ambang batas disebut sebagai deficit air
yang berpotensi menghasilkan kekeringan. Debit harian yang berada di bawah
ambang-batas, dinyatakan sebagai kondisi kekurangan debit (deficit discharge).
Kekurangan debit dapat mengakibatkan kejadian kekeringan (drought event) saat
periode kekurangan airnya berlangsung cukup lama.
Nilai ambang batas dapat diatur dalam waktu yang tetap sepanjang tahun
(konstan), musiman (1-4 musim), bulanan, N-hari dan setiap hari (gambar 2.3).
Pada kasus nilai ambang yang konstan, Threshold atau nilai ambang batas untuk
menyatakan kekeringan dapat ditentukan menggunakan nilai persentil dari input
data debit.
22

(Sumber: Tallaksen, 2004)


Gambar 2. 3 Variasi Interval Waktu
Metode TLM sangat penting digunakan untuk menentukan kondisi awal dan akhir
musim kemarau. Metode TLM sangat efektif dalam operasi penyimpanan air pada
suatu DAS. Penyimpanan air dimaksudkan sebagai upaya alokasi air yang sesuai
dengan kebutuhan dan menghindari kejadian defisit air untuk periode waktu
tertentu pada suatu DAS. Adanya ambang-batas debit, maka nilai debit harian
pada suatu DAS dapat dikondisikan agar tidak sampai berada di bawah nilai
ambang-batas tersebut (Gregor, 2010).

2.2.11 Kriteria Kering

Kriteria kekeringan dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain Kriteria
kering berdasarkan data debit normal sama dengan Q50 dengan kriteria
(Hadiani,2009) :
1. Disebut kering (K) apabila Q80<Q<Q50
23

2. Disebut sangat kering (SK) apabila (71 – 100%) Q80


3. Disebut amat sangat kering (ASK) apabila Q<(70%) Q80
Dimana :
Q80 = debit andalan,
Q50 = debit normal,
Q = debit deficit.

2.2.12 Grafik Hubungan Debit dengan Indeks Kekeringan berdasarkan


Metode Ambang Batas (Threshold Level Method)

Setelah didapat semua hasil, maka selanjutnya membuat grafik yang dapat
menunjukan hubungan antara debit dari NRECA dengan indeks kekeringan yang
terjadi sehingga dapat dilihat dan dicermati bagaimana pola kekeringan yang
terjadi selama ini di DAS Keduang guna mengambil tindakan lebih lanjut apa
yang bias diambil.

2.2.13 Pemetaan Tingkat Kekeringan

Setelah didapat indeks kriteria kekeringan maka dibuat layering di ArcGIS yang
dapat menampilkan persebaran kekeringan di DAS Keduang Kabupaten
Wonogiri.

Daftar Pustaka

Amiluddin, A., & Wahyuningsih, I. S. (2015). Studi Tentang Kekeringan

Hidrologi Menggunakan Metode Ambang Batas (Threshold Level

Method) Studi Kasus UPT PSDA di Kediri, Surabaya, dan Pamekasan.

Universitas Jember : Jember.

Hatmoko, W. (2012). Indeks Kekeringan Hidrologi untuk Alokasi Air di

Indonesia.

Tallaksen, M. L. (2004). On The definition and modelling of streamflow drought

duration and deficit volume. Hydrologiccal Science Journal.


24

Walid, H. B., Wahyuningsih, S., Ahmad, H., & Indarto. (2015). Analisis Defisit

Debit DAS Menggunakan Metode Ambang Batas (Threshold Level

Method). Universitas Jember : Jember.

Zahroni, N. F. (2013). Karakteristik Kekeringan Hidrologi di Beberapa Daerah

Aliran Sungai di Pulau Jawa. Institut Pertanian Bogor : Bogor.

Ika Suryati.2008. Analisis Hubungan Antara Sebaran Kekeringan


Menggunakan Indeks Palmer Dengan Karakteristik Kekeringan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wahyu Hatmoko.2011. Distribusi Gamma sebagai Penentu Lama Baterai dapat


digunakan. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.

Keith, E.S., Arno, T.L. 1967. Antecedent Retention Indexes Predict Soil
Moisture. Proceedings of the Americam Society of Civil Engineers.
America.

Avicenna, A. K., Rintis H., Solichin. 2015. Indeks Kekeringan Hidrologi di DAS
Keduang Berdasarkan Metode Flow Duration Curve (FDC).
Universitas Sebelas Maret : Surakarta.

Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.

Bambang Triatmojo. 2010. Hidrologi Terapan. Beta Offset. Yogyakarta.

BR, Sri Harto. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
SNI 7745 : 2012. Badan Standardisasi Nasional. Tata Cara Perhitungan
Evapotranspirasi Tanaman Acuan dengan Metode Penman - Monteith
Kriteria Perencaan Irigasi. 2010

Greggor Bousfield. 2008. Peakflow Predicting Using An Antecedent


Precipitation Index In Small Forested Watersheds Of The Northern
California Coast Range. (Thesis) Humboldt State University.
25

Daftar Isi

BAB 2................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI.............................................................5
2.1 Tinjauan Pustaka.............................................................................................5
2.2 Dasar Teori.....................................................................................................12
2.2.1 Data.........................................................................................................12
2.2.2 DAS (Daerah Aliran Sungai).................................................................12
2.2.3 Data Klimatologi.....................................................................................12
2.2.4 Kelengkapan Data..................................................................................12
2.2.5 Analisis Konsistensi atau Kepanggahan Data dengan metode RAPS.13
2.2.6 Analisis Hujan Titik Menjadi Hujan Wilayah.....................................15
2.2.7 Evapotranspirasi Potensial....................................................................15
2.2.8 Potensi Ketersediaan Air dengan Metode NRECA..............................16
2.2.9 Penentuan Threshold Debit Andalan (Q80) dan Debit Normal (Q50) 17
2.2.10 Perhitungan Defisit dengan Metode Ambang Batas (Threshold Level
Method) 19
2.2.11 Kriteria Kering.......................................................................................22
2.2.12 Grafik Hubungan Debit dengan Indeks Kekeringan berdasarkan
Metode Ambang Batas (Threshold Level Method)...............................................22
2.2.13 Pemetaan Tingkat Kekeringan..............................................................22

Gambar 2. 3 Threshold Level Method..........................................................................20


Gambar 2. 4 Ilustrasi cara kerja metode TLM............................................................20
Gambar 2. 5 Variasi Interval Waktu............................................................................21
26

Tabel 2. 1 Novelty Penelitian mengenai Indeks Kekeringan.........................................7


Tabel 2. 2 Nilai kritik Q dan R......................................................................................14

Anda mungkin juga menyukai