Anda di halaman 1dari 6

TREND BARU DUNIA DAN PELUANG NARASI KITA

Pengetahuan kita seperti membuat bola kecil dengan tanah


liat. Setiap datang pengetahuan baru saat itulah kita
menempelkan tanah liat ke bola tersebut untuk
memperbesarnya. Begitulah pengetahuan akumatif manusia
membesar seperti bola tersebut.

Era digital abad 21 ini membuat ukuran bola pengetahuan itu


membengkak luar biasa. Arus informasi membuat kita
mengetahui apa yang ada di kutub dengan instan atau orang
di pegunungan Tibet bisa mengetahui kemacetan saat kita
mudik dengan seketika. Rahasia-rahaisa pun terkuak,
dokumen-dokumen resmi tersembunyi kian banyak diakses
publik. Organisasi-organisasi sejenis Wikileaks berjamuran,
dan kunci-kunci kekuatan insitusi-insitusi besar semakin
mudah diakses para pengejar informasi yang bersedia
dibayar beberapa dolar oleh pihak yang berkepentingan.

Di bagian ini saya ingin berbagi tentang paradigma-


paradigma baru pergerakan dan penyusunan kekuatan.

NEGARA BANGSA KE JARINGAN STRATEGIS

Peace of Westphalia adalah perjanjian damai di tahun 1648


setelah 80 tahun perang antara Spanyol, Belanda dan
Jerman. Pengaruh penting perjanjian ini bagi kehidupan antar
bangsa adalah kejelasan wilayah otoritas setiap kerajaan
yang kemudian diadopsi menjadi doktrin Westphalian
Sovereignity. Hal inilah yang menjadi cikal bakal
pembentukan negara modern di Eropa dengan berbagai basis
teori sosialnya.
Berdirinya negara-negara modern Eropa menandai
pemusatan kekuatan pada institusi negara. Di abad
pertengahan keluarga-keluarga kaya Eropa seperti Medici,
Rotschild menghegemoni kekuasaan sebuah negeri, dengan
mendompleng raja dalam sistem aristokrasi. Namun dalam
nation-state segala unsur keuatan dihegemoni negara,
terutama legitimasi penggunaaan kekerasan seperti definisi
negara-nya Max Weber.

Pasca keruntuhan daulah Ustmaniyyah, negeri-negeri muslim


berjuang memerdekakan diri untuk menjadi negara bangsa
yang mandiri. Sedang di Eropa terjadi dua perang besar, yaitu
PD-1 dan 2. Periode 1910-1945, setiap negara sedang
mengarah menjadi ultranasionalis.

Dalam konteks seperti itulah Imam Hasan al-Banna


merumuskan narasi besarnya sebagai respon atas tantangan
zaman. Yaitu narasi yang bisa dirangkum dengan tujuh
tahapan:

1. Pembinaan pribadi muslim

2. Membangun keluarga islami

3. Membimbing Keluarga

4. Memperbaiki pemerintahan

5. Mengembalikan Kekhilafahan

6. Merealisasikan kepemimpinan global

7. Mendeklarasikan Islam sebagai guru peradaban


Hasan al-Banna sendiri belum mencapai tahapan keempat
dengan optimal karena peluru lebih mendului syahidnya.
Maka tidak ada warisan fiqh politik yang memadai dalam
literature pergerakan Islam IM, bahkan juga pergerakan-
pergerakan lain.

Poin yang ingin saya bedah terlebih pada konteks negara


bangsa yang meliputi pandangan perjuangan Hasan al-banna
di masanya.

Negara bangsa adalah unsur kekuatan terpenting dalam


perkumpulan manusia saat itu. Oleh karena itu Hasan al-
Banna sangat menaruh perhatian besar pada pengusaan
negara. Point nomor empat adalah inti perjuangan gerakan
Islam yang terinspirasi IM di berbagai negara. Point 1, 2, 3
hanyalah supporting sistem untuk memastikan aktivis Islam
menguasasi peran penting dalam pemerintahan. Dan bagi al-
Banna point 5,6,7 adalah agenda yang mutlak hanya bisa
dilakukan jika negara sudah dipegang.

Namun hari ini negara-bangsa sebagai entitas terkuat


perkumpulan manusia diperdebatkan, khususnya di kalangan
pengkaji International Relations. Global Governance adalah
salah satu kajian penting dalam tema International Relations.

Pembahasan Global Governance atau pemerintahan global


memberikan kita kesadaran bahwa hari ini terjadi power
shifting. Beberapa negara tetap merupakan pemain global
yang sangat berpengaruh. Terutama negara-negara raksasa
seperti US, Russia, China, atau Indonesia. Tapi negara tidak
selalu menjadi entitas terkuat. Karena ada aktor-aktor lain
yang terkadang mempunyai pengaruh jauh lebih besar
dibanding negara. Misalnya, multinational corporation seperti
Apple yang mempunyai penghasilan 53 milyar dolar, lebih
besar dari pendapatan perkapita Lebanon, Tunisia, Jordan,
Bahrain, Paraguay ataupun Bolivia. Ada actor-aktor besar
UN, aliansi strategis BRICs (Brazil, Rusia, India dan Cina).
Ada NGO-NGO internasional, lembaga-lembaga Think Tanks
dan Global Policy Network dan Private Military dan Security
Company.

Para aktor global itu mempunyai sistem, aset kekuatan dan


agenda sendiri. Yang selama ini tidak mendapat perhatian
sebesar perhatian gerakan Islam pada institusi negara.

TNC (Trans National Corporation) atau perusahaan


multinasional adalah imperium lama yang transparansi
kekayaannya diketahui publik hari ini. Berbeda dengan bisnis-
bisnis kaya abad 15-18 yang bisnisnya tertutup dan tidak
akuntabel. East India Company milik Inggeris dan VOC
Belanda adalah contoh dari TNC yang bisnisnya tidak
akuntabel, dari segi administrasi ataupun etika. Terutama era
kolonialisasi adalah era dimana TNC menjadi kekuatan utama
ekonomi negara.

Tapi TNC hari ini bisa dibaca publik. Potensi yang mereka
punya bisa menghancurkan negara tertentu jika mereka mau.
Perusahaan-perusahaan minyak terbesar dunia, ataupun
perusahaan-perusahaan energi pada dasarnya tidak akan
peduli dengan nasib lingkungan sebuah negara ataupun
nasib generasi mendatang negara tersebut. Hegemoni
perusahaan-perusahaan minyak di negara-negara
petromonarki seperti Kuwait, Uni Emirates, Saudi Arabia,
sangat mencengkram. Maka jika, misalnya seorang pemikir
mencoba merumuskan narasi besar untuk kawasan teluk,
maka sudah saatnya mereka berfikir bahwa prioritas aktivis
dakwah adalah mendirikan perusahaan minyak milik aktivis
Islam yang selevel dengan Saudi Aramco, Total, Royal Dutch
Shell, atau Exxon Mobil.

Loyalitas TNC adalah uang, atau apapun yang diinginkan


pemiliknya. Maka bisa jadi aktivis Islam berhasil mem-‘futuh’-
kan dakwah sebuah negara seperti Saudi atau Qatar dengan
mengisi pos-pos penting pemerintahan. Lalu apa yang akan
mereka lakukan terhadap minyak yang mereka punya jika
memang kapasitas aktivis gerakan Islam belum mampu
membangun sebuah imperium perusahaan minyak? Apakah
betul konflik-konflik horizontal yang ada di kawasan
petromonarki karena alasan ideologis ataupun madzhab?
Ataukah ada kepentingan minyak disana? Apakah betul
berkembangnya salafi di Saudi murni karena kekuatan
dakwah salafi ataukah ada kepentingan minyak hasil riset
mendalam tentang sosio-kultural masyarakat Saudi? Maka
narasi dakwah disana perlu perenungan mendalam dan
pemikiran yang luas berbasis fakta realita kontemporer.
Dimanakah letak medan yang perlu diperebutkan?

Perusahaan minyak hanyalah salah satu contoh, diantara


contoh yang terlalu banyak tentang real power yang dikuasai
TNC, seperti Apple, Samsung yang menguasasi alat
komunikasi kita, atau Google yang merekam semua aktvitas
online kita, atau provider email (yahoo, outlook) yang
mengarsipkan semua korespondensi kita, dari yang personal
hingga aktivitas super rahasia yang strategis dalam dakwah.
Atau Unilever yang mengendalikan nutrisi kita.

Paradigma ini perlu melengkapi manhaj dakwah pergerakan


Islam. Memang ide Hasan al-Banna adalah state oriented,
tapi tidak harus paradigma ini menjadi titik tolak perumusan
narasi nasional gerakan dakwah hari ini. Karena Imam Syahid
menghadapi konsteks yang sama sekali berbeda. Justru
kewajiban umat Islam khususnya aktivis pergerakan untuk
selalu memetakan kerumitan konstelasi global dan nasional
dengan jeli agar ktia berebut pos-pos yang lebih strategis
sesuai dengan konteks geopolitik masing-masing.

Masih banyak aktor-aktor lain yang lebih dahsyat dari TNC


dalam mengendalikan hidup kita disadari ataupun tidak, yang
akan saya bahas di tulisan berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai