Anda di halaman 1dari 9

Jihad Kita

MANIFESTO FORUM ISLAM PROGRESIF

Pengantar Redaksi:
Awal Agustus 2020, Redaksi Islam Bergerak menerima kiriman naskah dari
kolektif keislaman Forum Islam Progresif. Naskah ini adalah dokumen
terpenting dari kolektif tersebut karena merupakan manifesto organisasi.
Naskah ini berjudul Jihad Kita.

Forum Islam Progresif dalam beberapa aspek memiliki kedekatan dengan


kami sebagai media. Beberapa awak redaksi kami, setidaknya, mengikuti
perkembangan kolektif ini sejak awal rencana pembentukannya pada
pertengahan 2016. Sebagaimana organisasi atau kolektif pengusung Islam
Progresif yang lain, Forum Islam Progresif terbilang masih muda. Malahan,
jika dibandingkan dengan organisasi/kolektif pengusung Islam Progresif
yang lain, bisa dikatakan bahwa Forum Islam Progresif adalah yang
termuda. Secara resmi, kolektif ini ‘baru’ dideklarasikan pada akhir 2018.
Masa pembentukan Forum Islam Progresif, tahun 2016-2018, adalah masa
ketika Islam, untuk pertama kalinya sejak Orde Baru dipakai sebagai
komoditas dan identitas politik dalam skala yang luar biasa signifikan. Di
masa inilah identitas dan narasi keislaman dipakai untuk menggerakkan
demonstrasi yang melibatkan ratusan ribu umat Islam dan memunculkan
kelompok-kelompok penentangnya dari tubuh komunitas Muslim sendiri.
Penjelasan soal bagaimana fenomena ini muncul beragam: ada yang
berpendapat bahwa mobilisasi itu dimungkinkan oleh kampanye anti
penghinaan terhadap Islam yang ditudingkan telah dilakukan oleh Basuki
Tjahja Purnama, Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu. Pendapat lain
menyebutkan akar yang lebih dalam: bahwa kemunculan gelombang Islam
Politik dalam bentuk yang sering dipandang lebih keras dan intoleran itu
dikondisikan oleh persoalan ketimpangan ekonomi yang disebabkan oleh
kebijakan neoliberal elit politik predatoris. Prakondisi tersebut pulalah yang
menyebabkan umat Islam, terutama dari kalangan marjinal, begitu mudah
menangkap dan menerima retorika populis yang, dalam konteks tahun 2016-
2018, anti pemerintah. Di tengah gebalau aksi-aksi politik jalanan, keriuhan
dan pertengkaran di dunia maya antar kelompok Islam, dan pertunjukan
politik anti-orang miskin, terutama di Jakarta, sebagai latar belakang itulah
Forum Islam Progresif lahir. Pada periode yang sama pulalah naskah Jihad
Kita disusun.
Jihad Kita, dalam pandangan kami, merupakan teks politik yang menarik
sekaligus penting. Meski terlahir dalam konteks yang spesifik, manifesto ini
telah berhasil melampaui jebakan untuk melakukan pembacaan yang
terlampau simplifikatif terhadap problem keislaman yang menjadi latar
belakang kemunculannya. Alih-alih, manifesto ini justru mendedah secara
tajam dan jeli problem-problem keislaman berdasarkan pembacaan dari
periode yang lebih ke belakang. Pembacaan ini kemudian melahirkan
kategorisasi kelompok-kelompok Islam di luar eskponen Islam Progresif,
yakni Liberal, Populis Kanan, Revivalis, Konformis, dan Reformis.
Seluruh kategorisasi tersebut, dalam pandangan kami, masih relevan hingga
hari ini. Malahan, kami memprediksi, kategorisasi ini akan mendapatkan
relevansinya dalam waktu yang lebih lama lagi. Ini tak lain karena manifesto
ini disusun tidak hanya berdasarkan pijakan ideologis atau teologis, tetapi
juga berdasarkan agenda ekonomi politik kelompok-kelompok Islam di
Indonesia, terutama sejak sapuan neoliberalisme di periode pertengahan
Orde Baru. Pilihan yang secara sadar menghindari kemungkinan untuk
melabelisasi kelompok keislaman tertentu tersebut membuat kelima kategori
tersebut demikian berguna untuk melihat secara jernih posisi kelompok
Islam tertentu tanpa terpengaruh oleh pergantian posisi aktor-aktor (baik
individu atau kelompok) dari satu kelompok ke kelompok lain, atau dengan
munculnya aktor-aktor baru, seturut konjungtur ekonomi-politik yang
berubah.

Dengan memakai kategorisasi tesebut, misalnya, kita bisa melihat bahwa


berpindahnya posisi Ulil Abshar Abdalla belakangan, yang belasan tahun
lalu merupakan pengecer paling rajin dari Islam Liberal ke posisi yang lebih
konformis, dan kadang-kadang reformis, juga matinya Jaringan Islam
Liberal, tidak serta merta menyingkirkan eksistensi Islam Liberal dalam
peta keislaman kiwari. Meski tidak seramai tahun 2000an, eksponen-
eksponen setia kelompok ini masih berkeliaran mengasong nosi liberalisme
di ruang-ruang publik, baik secara terorganisasi (misalnya melalui ini)
maupun tidak (contohnya ini). Dalam kasus yang lain, salah satunya
gelombang penolakan Rancangan Haluan Ideologi Pancasila, kita bisa
mengetahui bahwa konsistensi Populis Kanan secara praktik tidak terletak
pada aktor-aktor yang terlibat. Pada akhirnya, dalam pandangan kami,
Jihad Kita merupakan kompas yang jitu untuk menuntun arah perjuangan
kelompok Islam Progresif, terutama di Indonesia, di manapun mereka
berada.
Sebagai penutup, kami ingin menyatakan bahwa pemuatan naskah Jihad
Kita telah mempertimbangkan posisi naskah ini sebagai dokumen hidup
organisasi; dokumen yang sewaktu-waktu akan diperbarui mengikuti kerja-
kerja penelitian yang dilakukan oleh kelektif Forum Islam Progresif. Posisi
tersebut, menurut kami, justru membuat relevansi manifesto ini bisa
senantiasa terjaga. Apa yang perlu kami lakukan ke depan hanyalah
menyajikannya kembali kepada sidang pembaca. Akhirul kalam, selamat
membaca. Lal Salam!
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, Allah
menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)”—Ar-Rum: 41
Dengan terang-benderang dapat kita lihat berbagai kerusakan di muka bumi akibat maksiat dan
kejahilan kapitalisme. Ada kerusakan-kerusakan kasat mata yang dapat dengan mudah teraba
oleh indera kita antara lain yaitu kerusakan lingkungan dan kerusakan akibat perang atau
kerusuhan. Namun ada pula kerusakan-kerusakan yang tak kasat mata, dan seringkali tak kita
anggap sebagai bentuk-bentuk kerusakan, yaitu penderitaan kaum miskin dan kemerosotan
kemanusiaan. Baik kerusakan yang kasat mata maupun yang tak kasat mata ini merupakan akibat
dari kapitalisme, moda produksi mendunia yang menyekat umat manusia dalam kelas- kelas dan
memberhalakan keserakahan di atas segalanya.

Adagium “keserakahan itu baik” barangkali telah menjadi syahadat baru yang, dengan lantang
atau malu-malu, diterima oleh segenap manusia di seluruh dunia. Kekufuran berjamaah ini telah
melanggengkan kesenjangan yang semakin memburuk dari waktu ke waktu. Segelintir orang
dibiarkan berkuasa atas sumber daya yang melimpah ruah dengan segala kemubadzirannya,
sedang sebagian besar orang harus saling berebut untuk menadah sisanya. Di aras global,
kesenjangan ini terpola dalam berbagai pembagian. Ada yang membagi menjadi utara dan
selatan, dunia pertama dan dunia ketiga, atau yang lebih tegas: pusat dunia yang memiskinkan
dan pinggiran dunia yang dimiskinkan.

Sebagian besar umat muslim hidup di pinggiran dunia yang dimiskinkan dalam keadaan tersia-
sia dan terpecah-belah antara satu sama lain. Semangat kolektif umat telah koyak oleh agenda-
agenda neoliberal yang dijejalkan ke berbagai sendi kehidupan secara paksa oleh agen-agennya.
“Tak ada yang namanya masyarakat, hanya ada individu-individu,” begitu maklumat salah satu
agen neoliberalisme yang paling awal, Margaret Thatcher. Jika hanya ada individu-individu dan
abstraksi lebih luas dari individu disebut omong kosong, maka umat pun hanyalah abstraksi
omong kosong dalam sudut pandang neoliberal.

Umat muslim Indonesia, sebagai bagian dari pinggiran dunia yang dimiskinkan, juga terimbas
oleh mudharat dari kapitalisme bercorak neoliberal. Kondisi lingkungan di kota maupun desa
semakin memburuk dan bahkan rusak oleh berbagai bentuk eksploitasi dan residu produksi
kapitalis, kemiskinan menjadi pemandangan wajar dan di saat yang sama kesenjangan terus
memburuk, kemerosotan akhlak dan kemanusiaan terjadi di mana-mana, permusuhan horizontal
antar-umat juga semakin mencemaskan dan dapat meledak sewaktu-waktu.

Pemerintah berkuasa saat ini justru berlaku sebagai komite yang memediasi hubungan produksi
kapitalis. Tugas penting pemerintah adalah mengelola “keharmonisan” antar-kelas hanya agar
kelas pekerja dapat diperas secara berkelanjutan oleh kelas pemodal. Di hadapan forum bisnis
internasional pemerintah sibuk melumas kanal-kanal modal. Pemerintah, baik pusat maupun
daerah, bukan hanya bersikap netral di hadapan permainan yang tidak adil antar kelas pekerja
dan kelas pemodal, melainkan memilih untuk condong pada kelas pemodal yang sejak awal
berpotensi untuk menang dan menindas. Negara melalui sistem pendidikan, jejaring masyarakat
sipil dan kebijakannya juga mereproduksi pengetahuan yang mendukung atau konformis dengan
kapitalisme dan neoliberalisme. Ini menjadi basis legitimasi intelektual yang melancarkan dan
melanggengkan praktik penindasan dan eksploitasi.

Dalam keadaan melarat dan ditinggalkan oleh para pemimpinnya, kaum muslim yang sebagian
besarnya adalah kelas pekerja juga tersudut oleh “perang global terhadap teror”. “Perang” yang
dihela Amerika Serikat saat George W Bush berkuasa ini telah menimbulkan fitnah dan sentimen
yang sangat buruk, bahkan dapat disebut demonisasi, terhadap kaum muslim sedunia. Korban
yang paling rentan adalah kaum muslim di negara-negara yang sebagian besar penduduknya tak
mengenal Islam. Namun di negara-negara yang sebagian besar penduduknya muslim pun
sentimen negatif terhadap Islam ini menimbulkan rasa frustasi dan inferioritas di kalangan
muslim. Para elit yang mengatasnamakan Islam kerap memanfaatkan frustasi dan inferioritas
umat ini untuk agenda-agendanya sendiri.

Kelas pekerja muslim di seluruh dunia pun harus menyandang


setidaknya dua status yang membuatnya terasing: sebagai
pekerja dalam moda produksi kapitalis yang semakin ganas
dengan filosofi neoliberal, dan sebagai muslim dalam konteks
“perang global terhadap teror” yang menimbulkan demonisasi
terhadap Islam. Status keterasingan menjadi semakin berlapis-
lapis lagi bagi kaum perempuan, migran, kaum miskin, difabel,
etnis minoritas dan mereka yang memiliki preferensi seksualitas
di luar kaidah heteronormatif.
Di hadapan marwahnya yang terinjak-injak oleh berlapis-lapis keterasingan ini umat Islam
kocar- kacir ke berbagai arah dan bahkan saling bertikai satu sama lain. Kocar-kacir dan saling
tikai ini akibat tarik-menarik antar elit yang lebih mementingkan diri dan kelompoknya
ketimbang keutuhan umat. Situasi ini dapat dilihat baik di tataran global maupun lokal.

Dalam konteks politik Indonesia, kelompok Islam dipaksa apolitis di era Soeharto—proses ini
bisa kita lihat misalnya dengan pemberlakuan asas tunggal pada dekade 1980an. Di sisi lain,
sebagaimana dilihat pada beberapa dekade setelahnya dengan pembentukan Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia, kelompok yang sama dijadikan instrumen untuk menopang kekuasaan
rezim, pengondisian dan perlakuan ambigu Pemerintah Orde Baru tersebut pada akhirnya
melahirkan dua kecenderungan politik yang kontradiktif di dalam tubuh kelompok
Islam. Pertama, kelompok yang cenderung menopang dan/atau membela struktur kekuasaan
yang mapan. Kedua, kelompok yang memiliki kecenderungan untuk membangun blok politik
yang mandiri. Setelah reformasi, terjadi liberalisasi baik di ranah ekonomi maupun politik.
Percabangan yang terjadi di sepanjang Pemerintahan Orde Baru membawa kelompok Islam pada
respon yang berbeda-beda. Variasi respon ini diakibatkan oleh bergesernya relasi kekuasaan
pasca tumbangnya Orde Baru dari yang awalnya terpusat menjadi tersebar, sehingga membuat
percabangan di dalam kelompok Islam semakin kompleks dan bersilangan satu sama lain.
Berikut adalah pemetaan kelompok Islam Indonesia berdasarkan reaksinya terhadap liberalisasi
ekonomi-politik pasca reformasi:
1. Liberal. Kaum Liberal ini memiliki anggapan bahwa kesengsaraan, kemelaratan yang dihadapi
umat Islam tidak memiliki sangkut paut dengan neoliberalisme. Bahkan bagi kaum liberal, umat
Islam haruslah menerima liberalisme dan pasar bebas. Problem kemiskinan dan kemelaratan
dipandang sebagai kesalahan umat Islam dalam sikap mental, kreatifitas, dan teologi yang tidak
adaptif terhadap laju globalisasi, tanpa melihat problem struktural yang disebabkan oleh
neoliberalisme. Seturut dengan Fukuyama yang menyebutkan demokrasi liberal sebagai evolusi
akhir dari bentuk masyarakat, kaum Islam Liberal menganggap demokrasi liberal yang
berpasangan dengan kapitalisme sebagai bentuk akhir yang harus diterima oleh umat Islam.
Pendekatan Islam Liberal telah menegasikan problem struktural dan karenanya bermasalah dan
kontradiktif dengan agenda-agenda pembebasan umat dari penjajahan manusia atas manusia.
Pendekatan ini merupakan lawan bagi pergerakan Islam Progresif.
2. Populis Kanan. Kaum Populis Kanan menolak neoliberalisme yang dibawa dari luar identitas
Islam. Berada dibawah bayang-bayang bahwa segala kerusakan yang dihadapi oleh umat Islam
merupakan sebuah konspirasi besar yang dibuat dan dijalankan oleh liyan. Namun sejatinya mereka
hanya menolak aktor dari neoliberalisme seperti China dan Amerika, dan akan mendukung
neoliberalisme jika aktornya adalah seorang muslim dan bersimpati terhadap gerakan mereka.
Pendekatan identitas yang dibawa oleh kelompok Populis Kanan tentu menjadi problem, karena
baik penindas ataupun tertindas dapat datang dari identitas apapun. Di sisi lain, pendekatan
identitas ini seringkali menjadi bagian dari penyelamat sistem politik-ekonomi kapitalistik dari
krisis yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
3. Revivalis. Kelompok ini pada dasarnya melihat problem umat Islam melalui kritik dan otokritik.
Bagi kaum ini, kekalahan umat Islam disebabkan oleh dirinya sendiri yang meninggalkan ajaran-
ajaran Al Qur’an, dan juga oleh luar dirinya dengan menganut paham-paham di luar Islam,
termasuk marxisme, komunisme, kapitalisme, liberalisme.
Bagi kaum revivalis, umat Islam harus kembali ke masa kejayaan Islam, memakai sistem
pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah). Kaum revivalis sendiri terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama, kelompok yang menggunakan jalur lobi terhadap pemerintahan. Strategi
ini dapat dilihat pada kelompok Islam yang bertujuan mendirikan khilafah dengan membentuk
organisasi politik, namun di saat yang sama organisasi tersebut juga menolak berpartisipasi dalam
demokrasi liberal. Kedua, kelompok insureksionis yang memakai jalan kekerasan ataupun
klandestin dalam menegakkan cita-cita pemerintahan Islam. Seperti individu ataupun kelompok
yang melakukan aksi sepihak dengan kekerasan untuk mencapai kedaulatan pemerintahan Islam.
Problem dari pendekatan ini merupakan keberadaan kondisi objektif dunia yang sudah berubah
sedemikian rupa, masalah-masalah yang semakin kompleks, dan sebabnya kembali ke masa lalu
merupakan hal romantik yang justru akan membawa kemunduran bagi peradaban umat.
4. Konformis. Kelompok ini merespon neoliberalisme dengan cara menerimanya. Kaum
konformis tidak termasuk dalam kelompok pendukung neoliberalisme namun juga tidak melakukan
resistensi dan perlawanan terhadap neolib. Kelompok konformis tidak menyetujui perlawanan yang
dilakukan oleh rakyat dan menganggap perlawanan itu merupakan sebuah pengkhianatan atas
kepemimpinan yang ada. Kaum konformis ini terbagi menjadi konformis yang memiliki
kecenderungan liberal dan konservatif di sisi lain.
Bagi kaum konformis ini, masyarakat akan selalu lebih baik dipimpin oleh pemimpin diktator,
korup lagi zalim daripada kondisi masyarakat tanpa pemimpin. Pendekatan konformis baik yang
berkecenderungan liberal pun konservatif turut memperlancar kejahatan-kejahatan yang disebabkan
oleh neoliberalisme. Dan hanya akan memperpanjang kesengsaraan umat.
5. Reformis. Kaum ini pada dasarnya menolak neoliberalisme dan kritis terhadap demokrasi liberal.
Bagi mereka, kapitalisme dan beragam variannya merupakan sumber kejahatan ekonomi- politik
yang merusak peradaban manusia. Dalam kiprahnya di tengah berbagai persoalan, kaum reformis
menaruh perhatian pada urusan keseharian umat, bukan hanya pada urusan ritual dan simbolik.
Fraksi-fraksi dari kelompok Islam Reformis turut terlibat pada upaya untuk meninjau kembali dasar
hukum dari kebijakan distribusi sumber daya alam yang merugikan umat.
Kelompok reformis ini merupakan aliansi terdekat Islam Progresif karena keberpihakannya pada
problem-problem keseharian umat, Namun kelompok ini masih memakai pendekatan lobi antar elit
serta tidak melakukan transformasi di kalangan umat tertindas. Kaum reformis juga tidak memiliki
kehendak untuk melampaui kapitalisme. Karenanya pendekatan ini tidak cukup untuk melakukan
perubahan secara radikal atas problem-problem keseharian rakyat yang disebabkan oleh
kapitalisme.
Di tengah karut-marut kelompok-kelompok Islam dengan berbagai ketidakcukupan inilah kami
mengusung jalan Islam Progresif.

Jalan Islam Progresif merupakan manifestasi radikal dari


firman Allah untuk saling tolong- menolong dalam kebaikan
dan takwa. Artinya, jalan Islam Progresif terbuka bagi siapa
pun yang hendak saling tolong-menolong dalam kebaikan. Ada
pun kebaikan merujuk pada tiadanya perusakan antara manusia
terhadap manusia lain atau pun perusakan manusia terhadap
alam. Jalan Islam Progresif bukanlah madzhab tersendiri,
sekte tertutup, atau bentuk arogansi kelompok intelektual.
Jalan Islam Progresif adalah ilmu dan amal yang tidak
mengambil jarak dari keseharian umat dan berbagai dilemanya.
Karakteristik dan pendekatan Jalan Islam Progresif dalam menjawab ketidakcukupan perspektif
kelompok-kelompok Islam yang sudah ada antara lain:

(a) Keterbukaan terhadap siapapun dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan
bangsa serta terbuka dengan beragam metode dan inspirasi untuk dapat terlibat dalam proses
penghancuran kezaliman dan penegakkan keadilan, berbeda dengan kelompok Islam yang
menutup diri bahkan bermusuhan secara horizontal dengan entitas lain.
(b) Melawan penindasan terhadap perempuan, terutama penindasan yang bersumber dari posisi
kelas sosial.
(c) Berpandangan maju dan terbuka dengan perubahan-perubahan sebagai penanda peradaban,
tidak seperti kelompok Islam yang meromantisir masa lalu dan berkehendak membawa
peradaban mundur ke belakang.
(d) Pendekatan transformatif, percaya pada potensi umat untuk melampaui sistem ekonomi-
politik mapan yang menindas menuju dunia tanpa penindasan manusia terhadap manusia dan
manusia terhadap alam.
(e) Bersedia melakukan kritik dan otokritik, berwawasan struktural serta secara radikal
berkomitmen pada problem materialitas umat dan tidak berjarak dengannya, tidak seperti
kelompok atau individu yang elitis dan merasa bahwa pembaharuan dalam ranah gagasan itu
cukup bahkan seringkali meremehkan dan melecehkan potensi umat.
(f) Terakhir tapi juga yang terpenting, membangun keberpihakan pada kaum tertindas sekaligus
bersama kaum tertindas sebagai agen untuk mengakhiri ketertindasannya. Jalan Islam Progresif
percaya bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan dan kebathilan tidak dapat ditempuh melalui
lobi-lobi antar-elit atau laku derma dari sekelompok orang yang merasa kelasnya lebih tinggi
dari khalayak banyak.
Forum Islam Progresif kemudian hadir sebagai bentuk pelembagaan, sekaligus juga upaya
untuk membangun dan menyiarkan, Jalan Islam Progresif. Forum Islam Progresif percaya bahwa
potensi untuk menghentikan kerusakan akibat kezaliman dan kejahilan kapitalisme ada pada
khalayak banyak yang paling digilas dan direntankan oleh kapitalisme, yaitu kaum pekerja.
Sedang dalam konteks ketertinggalan, perpecahan, dan permusuhan terhadap kaum muslim
dalam konteks perang global terhadap teror hanya dapat dijawab oleh kaum muslim sendiri.

Oleh karena itu, Forum Islam Progresif menyasar pengorganisasian kelas pekerja muslim untuk
menjawab konteks kezaliman kapitalisme dan permusuhan terhadap maupun sesama umat
muslim. Forum Islam Progresif juga mengupayakan terjalinnya persatuan antara komunitas iman
yang bersepakat pada nilai-nilai keadilan sosial. Persatuan ini bukan persatuan tanpa agenda,
melainkan persatuan untuk melawan kezaliman kapitalisme.

“Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan
hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi
bumi.”—Al-Qashash: 5.

Anda mungkin juga menyukai