Anda di halaman 1dari 24

I.

IDENTIFIKASI ISTILAH
1. Kontrasepsi IUD
2. Pemeriksaan Inspekulo
3. Pemeriksaan Vaginal Toucher
4. Fluxus

I. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apakah pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien
ini?
2. Apakah dugaan diagnosis pada pasien tersebut?
3. Etiologi dan Definisi
4. Faktor Resiko
5. Patogenesis
6. Diagnosis Banding
7. Tata Laksana
8. Epidemiologi
9. Komplikasi
10. Prognosis
11. Pencegahan
12. Patofisiologi

III. ANALISA MASALAH


1. Pemeriksaan Penunjang Bakterial Vaginosis
1. Pemeriksaan preparat basah
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada sekret vagina diatas
objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik
menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel
vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan
preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial
vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial vaginosis.
Cara pemeriksaannya :
Pemeriksaan preparat basah dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl
0,9% pada sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan
dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat
clue cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama
Gardnerella vaginalis).Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas
98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial vaginosis, >
20% pada preparat basah atau pewarnaan Gram.
Skoring jumlah bakteri yang normal pada vagina atau vaginosis bakterial dengan pewarnaan
Gram :
Tabel.2 Skoring jumlah pada vagina

1 Whiff test
Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi
dengan penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul sebagai akibat
pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff test positif
menunjukkan bakterial vaginosis.
2 Tes lakmus untuk Ph
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas dibandingkan dengan
warna standar. pH vagina normal 3,8 - 4,2. Pada 80- 90% bakterial vaginosis ditemukan pH >
4,5.
3 Pewarnaan gram sekret vagina
derajat 1: normal, di dominasi oleh Lactobacillus
derajat 2: intermediate, jumlah Lactobacillus berkurang
derajat 3: abnormal, tidak ditemukan Lactobacillus atau hanya ditemukan beberapa kuman
tersebut, disertai dengan bertambahnya jumlah
Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan Lactobacillus
sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella vaginalis dan atau
Mobilincus sp. dan bakteri anaerob lainnya.
4 Kultur vagina
Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial vaginosis. Kultur
vagina positif untuk G. vaginalis pada bakterial vaginosis tanpa grjala klinis tidak perlu
mendapat pengobatan.
5 Uji H2O2
Pemberian setetes H2O2 (hidrogen peroksida) pada sekret vagina
diatas gelas objek akan segera membentuk gelembung busa ( foaming bubbles) karena
adanya sel darah putih yang karakteristik untuk trikomoniasis atau pada vaginitis
deskuamatif, sedangkan pada vaginosis bakterialis atau kandidiasis vulvovaginal tidak
bereaksi.

2. Diagnosis
“BAKTERIAL VAGINOSIS
Diagnosis bakterial vaginosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
mikroskopis. Anamnesis menggambarkan riwayat sekresi vagina terus-menerus dengan bau
yang tidak sedap. Kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai disuria/dispareunia,
atau nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisik relatif tidak banyak ditemukan apa-apa, kecuali
hanya sedikit inflamasi dapat
juga ditemukan sekret vagina yang berwarna putih atau abu-abu yang melekat pada dinding
vagina.
Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis, oleh sebab itu
didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang sering disebut sebagai kriteria Amsel
(1983) yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat gejala, yaitu :
1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding vagina dan
abnormal.
2. pH vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis
sebelum atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).
4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh
epitel)
Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan Fisik
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling sering pada
bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama setelah melakukan
hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy
odour).
Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa.
Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya pada
protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang khas. Walaupun beberapa wanita
mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar wanita dapat asimptomatik. Iritasi
daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), kalau ditemukan lebih ringan
daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau Candida albicans. Sepertiga
penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul kemerahan dan edema pada
vulva. Nyeri abdomen, disuria, atau nyeri waktu kencing jarang terjadi, dan kalau ada karena
penyakit lain.
Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering berwarna putih
atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang berbusa. Sekret tersebut
melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis atau kelainan yang difus.
Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret vagina normal, lebih tebal dan terdiri
atas kumpulan sel epitel vagina yang memberikan gambaran bergerombol.
Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada vagina dan vulva.
Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital bawah seperti trikomoniasis
dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital yang tidak spesifik.15

Diagnosis dibuat atas dasar ditemukannya Clue Cell, pH vagina diatas 4,5, tes aminpositif,
dan adanya Gardnerella Vaginalis sebagai flora utama menggantikan lactobacillus (Mansjoer,
2001). Diagnosa klinik dari Bacterial Vaginosis (BV) didasarkan pada gejala yang ditemukan
yaitu cairan vagina tipis berwarna putih keruh dengan bau amis saat dilakukan test amin,
perdarahan abnormal dari uterus dan vagina terutama terjadi saat melakukan hubungan
sexual, PH vagina lebih dari 4.7, ditemukan clue sel pada pemeriksaan mikroskopik
menggunakan saline preparation (Lindau, et al.2009). Selain hal tersebut, penentuan diagnosa
Bacterial vaginosis (BV) juga didasarkan pada anamnessa kepada penderita tentang kondisi
keputihan, frekwensi, warna, bau, personal hygien terutama vulva hygiene, dll ( Bhalla, et al.
2007).

Diagnosis
2.7.1 Kultur
Usap vagina dikultur baik anaerob maupun aerobik pada permukaan brain heart infusion plate
agar dilengkapi dengan vitamin K (0,5mg/l) dan Haemin (5mg / l), agar darah dan agar
coklat. Sebagai tambahan Bacteroides Bile Esculin agar,Neomycin Vancomycin Chocolate
agar diinokulasi untuk kultur anaerob. Setiap media diperiksa setelah 48 jam, 96 jam dan 7
hari,hasil kultur yang telah diisolasi diidentifikasi dengan menggunakan teknik mikrobiologi
yang telah distadarisasi.17
Kultur merupakanmetode yang menjadi gold standard untuk diagnosis sebagian
besarpenyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun, kultur tidak bisa menjadi gold
standarduntuk diagnosis vaginosis bakteri. Hal ini dikarenakan organismeyang terlibat dalam
infeksi BV tidak dapat dipisahkan dengan mudah dan bakteri–bakteri yang berperan dalam
terjadinya infeksi BV tetap ada dengan jumlah yang sedikit pada kondisi normal sehingga
pada hasil kultur akan selalu terdiagnosis sebagai infeksi BV.4Bakteri Gardnerella vaginalis
ditemukan sebanyak 60% pada kultur vagina normal18
2.7.2 Kriteria Spiegel
Metode pemeriksaan Spiegel merupakan penilaian yang berdasar pada jumlah kuman
Lactobacillus, Gardnerella dan flora campuran dalam menegakkan diagnosis apakah
seseorang terdiagnosis BV atau tidak. Kriteria Spiegel bersifat lebih tegas karena hanya
terdapat 2 kriteria aja, yaitu normal dan BV positif,sehingga lebih memudahkan dalam
menentukan perlu atau tidaknya dilakukan terapi.19
Jika pada pengecatanGram menunjukkan predominasi (3+ - 4+) Lactobacillus, dengan atau
tanpamorfotipe Gardnerella, diinterpretasikan normal. Jika pada pengecatan
Grammenunjukkan flora campuran meliputi bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif,atau
bakteri Gram variabel dan morfotipe Lactobacillus menurun atau tidak ada (0-2+),
diinterpretasikan infeksi BV. Setiap morfotipe bakteri diamati pada pemeriksaan dibawah
mikroskop dengan pembesaran objektif 100 kali kemudian dijumlahkan (darirerata 10
lapangan pandang). Skoring untuk morfotipe kuman terdiri atas 4 kelas,yaitu 1+ jika
ditemukan sebanyak < 1 per lapangan pandang; 2+ jika ditemukansebanyak 1-5 per lapangan
pandang; 3+ jika ditemukan sebanyak 6-30 per lapanganpandang; dan 4+ jika ditemukan
sebanyak >30 per lapangan pandang.4,19
2.7.3 Kriteria Nugent
Kriteria Nugent atau juga dikenal sebagai skor Nugent merupakan metode diagnosis infeksi
BV dengan pendekatan berdasarkan jumlah bakteri yang ada sekret vagina. Kriteria Nugent
merupakan modifikasi dari metode Spiegel dalam penghitungan jumlah kuman pada preparat
basah sekret vagina.
Kriteria Nugent dinilai dengan adanya gambaran Lactobacillus, Gardnerella vaginalis
danMobiluncus spp. (skor dari 0 sampai 4 tergantung pada ada atau tidaknya pada preparat).
Kuman batang Gram negatif/Gram variable kecil (Garnerella vaginalis) jika lebih dari 30
bakteri per lapangan minyak imersi (oif) diberi skor 4; 6-30 bakteri per oif diberi skor 3; 1-5
bakteri per oif diberi skor 2; kurang dari 1 per oif diberi skor 1; dan jika tidak ada diberi skor
0.Kuman batang Gram-positif besar (Lactobacillus) skor terbalik, jika tidak ditemukan
kuman tersebut pada preparat diberi skor 4; kurang dari 1 per oif diberi skor 3; 1-5 per oif
diberi skor 2; 6-30 per oif diberi skor 1; dan lebih dari 30 per oif diberi skor 0. Kuman batang
Gram berlekuk-variabel (Mobiluncus sp.) , jika terdapat lima atau lebih bakteri diberi skor 2 ,
kurang dari 5 diberi skor 1 , dan jika tidak adanya bakteri diberi skor 0. Semua skor
dijumlahkan hingga nantinya menghasilkan nilai akhir dari 0 sampai 7 atau lebih. Kriteria
untuk infeksi BV adalah nilai 7 atau lebih tinggi; skor 4-6 dianggap sebagai intermediate, dan
skor 0-3 dianggap normal.4,8
2.7.4 Kriteria Amsel
Kriteria Amsel dalam penegakan diagnosis BV harus terpenuhi 3 dari 4 kriteria berikut:
a. Adanya peningkatan jumlah cairan vagina yang bersifat homogen. Keluhan yang sering
ditemukan pada wanita dengan BV adalah adanya gejala cairan vagina yang
berlebihan,berwarna putih yang berbau amis dan menjadi lebih banyak setelah melakukan
hubungan seksual. Pada pemeriksaan spekulum didapatkan cairan vagina yang encer,
homogen, dan melekat pada dinding vagina namun mudah dibersihkan. Pada beberapa kasus,
cairan vagina terlihat berbusa yang mana gejala hampir mirip dengan infeksi trikomoniasis
sehingga kadang sering keliru dalam menegakan diagnosis.1
b. pH cairan vagina yang lebih dari 4,5
pH vagina ditentukan dengan pemerikasaan sekret vagina yang diambil dari dinding lateral
vagina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada kertas strip pH.(2,5,7). Pemeriksaan ini
cukup sensitif, 90% dari penderita BV mempunyai pH cairan vagina lebih dari 5; tetapi
spesitifitas tidak tinggi karena PH juga dapat meningkat akibat pencucian vagina, menstruasi
atau adanya sperma. pH yang meningkat akan meningkatkan pertumbuhan flora vagina yang
abnormal.1
c. Whiff test Positif
Whiff test diuji dengan cara meneteskan KOH 10% pada sekret vagina, pemeriksaan
dinyatakan positif jika setelah penentesan tercium bau amis.1,4,20Diduga meningkat pH
vagina menyebabkan asam amino mudah terurai dan menegeluarkan putresin serta kadaverin
yang berbau amis khas. Bau amis ini mudah tercium pada saat melakukan pemeriksaan
spekulum, dan ditambah bila cairan vagina tersebut kita tetesi KOH 10% . Cara ini juga
memberikan hasil yang positif terhadap infeksi trikomoniasis.1
d. Ditemukan clue cells pada pemeriksaan mikroskopis
Menemukan clue cells di dalam sekret vagina merupakan hal yang sangat esensial pada
kriteria Amsel. Clue cells merupakan sel-sel epitel vagina yang dikelilingi oleh bakteri Gram
variabel coccobasilli sehingga yang pada keadaan normal sel epitel vagina yang ujung-
ujungnya tajam, perbatasanya menjadi tidak jelas atau berbintik. Clue cells dapat ditemukan
dengan pengecatan gram sekret vagina dengan pemeriksaan laboratorium sederhana dibawah
mikroskop cahaya. Jika ditemukan paling sedikit 20% dari lapangan pandang.8
2.7.5 GasLiquid Chromatography(GLC)
GLC merupakan salah satu metode diagnosis infeksi BV secara tidak
langsung, yaitu dengan cara mendeteksi adanya hasil metabolisme mikro organisme sekret
vagina. Pada infeksi BV salah satu gejala yang menjadi karakteristik yang khas yaitu
didapatkan bau amis pada sekret vagina. Bau ini berhubungan dengan adanya hasil
matabolisme bakteri yaitu diamin, putresin dan kadaverin.
Pada infeksi BV juga didapatkan tingginya konsentrasi asam suksinat yang merupakan hasil
metabolisme dari bakteri anaerob. Laktobasilus juga merupakan flora dominan pada kondisi
normal yang menghasilkan asam laktat. Spiegel, dkk melaporkan bahwa rasio suksinat dan
laktat yang lebih besar dari 0,4 pada analisis GLC cairan vagina mempunyai korelasi dengan
diagnosis klinik vaginosis bakterial. Namun cara diagnosis ini tidak dikerjakan secara luas
pada pusat pelayanan kesehatan di Indonesia.1

Diagnosis dibuat atas dasar ditemukannya Clue Cell, pH vagina diatas 4,5, tes amin positif,
dan adanya G. Vaginalis sebagai flora utama menggantikan lactobacillus (Arif Mansjoer,
2001: 149). Dokter membuat diagnosis Bacterial Vaginosis dengan melihat cairan dari vagina
menggunakan alat swab untuk mendapatkan sampel cairan. Sampel inilah yang kemudian
akan dites (Philip E. Hay, 2006).
Deteksi adanya BV dapat dilakukan dengan pewarnaan Gram. Karena pewarnaan Gram
mudah dilakukan dan murah maka deteksi BV dapat dilakukan sebagai preskrining adanya
klamida dan gonore terutama pada wanita hamil yang asimptomatik (Endy Muhardin
Moegni, 2001).
WHO (1980) menjelaskan bahwa diagnosis dibuat atas dasar ditemukannya clue cells, pH
vagina lebih besar 4,5, tes amin positif dan adanya G. Vaginalis sebagai flora vagina utama
menggantikan Lactobacillus. Balckwell (1982) menegakkan diagnosis berdasarkan adanya
cairan vagina yang barbau amis dan ditemukannya clue cells tanpa T. Vaginalis. Tes amin
yang positif serta pH vagina yang tinggi akan memperkuat diagnosis. Dengan hanya
mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis, oleh sebab itu didapatkan
kriteria klinis untuk Bacterial Vaginosis yang sering disebut sebagai kriteria Amsel (1983)
yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat gejala, yaitu :
1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding vagina dan
abnormal 2. pH vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis sebelum atau setelah
penambahan KOH 10% (Whiff test)
4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)
Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. 1) Cara pemeriksaan laboratorium
Bakterial Vaginosis : Cara pengambilan sampel :
a. Menyiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam pengambilan sampel dan alat harus
steril.
b. Penderita ditidurkan dikursi dengan posisi kaki dilekukkan.
c. Masukkan pekulum yang digunakan untuk membuka lubang vagina.
d. Bagian dalam vagina diterangi dengan lampu senter agar terlihat lendir yang ada
didalamnya.
e. Dengan memakai handscoon, bersihkan servik dan sekitarnya dengan swab.
f. Masukkan swab yang kedua ke dalam canalis servikalis untuk mendapatkan
spesimen yang cukup adekuat.
g. Swab dikeluarkan dengan hati-hati sehingga tidak menyentuh dinding mukosa
vagina.
Sekret vagina dapat langsung diperiksa untuk mengetahui adanya Bacterial
Vaginosis. Menyatakan bahwa diagnosis pasti Bacterial Vaginosis ditegakkan apabila
menemukan Bacterial Vaginosis pada penderita.

3. Etiologi dan Definisi


Definisi
 Bakterial vaginosis merupakan suatu infeksi yang disebabkan ketidakseimbangan
jumlah flora normal vagina dan bakteri lain yang ada di vagina. Perlu diingat bahwa
vagina bukan organ steril karena banyak bakteri yang terdapat disekitarnya. Pada
keadaan ini tidak akan menjadi suatu infeksi bila flora normal yang ada di vagina
berada dalam jumlah yang seimbang.
 Bakterial vaginosis (BV) merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan 4 kriteria
Amsel berikut : tampak keputihan yang abnormal, pH vagina >4,5, keputihan seperti
bau ikan (fishy odour), dan terlihat clue cell. Clue cell merupakan sel epitel vagina
yang dikelilingi oleh bakteri. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua wanita
yang menderita BV menyadari kelainan yang mereka miliki, oleh karena hal tersebut
banyak penderita yang tidak memeriksakan diri ke dokter.

 Bacterial vaginosis (BV) merupakan penyebab keputihan yang sering terjadi pada
wanita usia subur (WUS) yang ditandai dengan peningkatan pH (asam basa
keseimbangan) vagina dan pergeseran keseimbangan flora normal vagina dimana
dominasi Lactobacillus digantikan oleh bakteri anaerob dan Gardnerella vaginalis
(Bhalla, et al. 2007).
 Bacterial vaginosis (BV) ditandai dengan adanya perubahan karakteristik dari lendir
vagina diantaranya keputihan yang tipis dan berbau namun wanita yang mengidap
Bacterial vaginosis (BV) kadang–kadang tidak menunjukkan gejala. (Koumans et al,
2007).
 Bacterial Vaginosis adalah vaginitis yang diakibatkan oleh pertumbuhan yang
berlebihan dari bakteria anaerob dan Gardnerella vaginalis (sebelumnya dikenal
dengan Haemophilus vaginalis) disebut sebagai vaginosis bakterial. G. vaginalis dan
kuman- kuman anaerob merupakan bagian yang normal dari flora vagina, tetapi
pertumbuhan yang berlebihan dapat mengakibatkan sekret vagina. Sebab atau sebab-
sebab dari pertumbuhan yang berlebihan ini tidak diketahui (Sylvia Anderson Price,
1995: 1169).
 Bacterial Vaginosis adalah sindrom klinik akibat pergantian Lactobasillus Spp
penghasil H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri anaerob dalam
konsentrasi tinggi (contoh: Bacteroides Spp, Mobiluncus Spp), Gardnerella vaginalis,
dan Mycoplasma hominis (Zainuddin Maskur dan Harry L. Makalew, 2001: 79).
 Pengertian lain dari BV adalah salah satu penyakit yang sangat umum dengan gejala
klinik yang ditandai dengan adanya cairan vagina yang berlebihan dan berbau. Pada
keadaan ini flora normal vagina yang berisi Lactobacillus akan diganti dengan bakteri
anaerob (misalnya Bacteroides spp., Mobiluncus spp.), Gardnerella vaginalis dan
Mycoplasma hominis (Endy Muhardin Moegni, 2001).

Etiologi
Bakterial vaginosis disebabkan oleh ketidakseimbangan pH pada vagina, berkurangnya
Lactobascilus sp. sebagai flora normal vagina, atau pertumbuhan yang berlebihan bakteri lain
seperti Gardnerella vaginalis,
Mobiluncus, Prevotella, Bacteroides, dan Mycoplasma sp.11 Pada pemeriksaan BV maka
akan ditemukan kenaikan jumlah Gardnerella vaginalis dan beberapa kontaminan anaerob
lain yang biasa disebut Bakteroides.10 Kuman-kuman tersebut juga dapat ditemukan pada
wanita sehat atau tanpa BV, hal ini disebabkan karena vagina merupakan tempat yang tidak
steril sehingga dapat ditemui beberapa kuman kontaminan. Pada wanita dengan jumlah flora
normal dan pH vagina dalam batas normal, kuman-kuman ini tidak akan menyebakan suatu
penyakit atau keluhan yang berarti. Ini disebabkan oleh kemampuan tubuh untuk melawan
tiap kontaminan.
Pada saat wanita mengalami pubertas, epitel vagina menjadi aktif dalam bekerja. Oleh
bantuan hormon estrogen, glikogen sampai pada epitel vagina dan nantinya akan diubah
menjadi glukosa. Oleh Lactobasillus sp. yang bertindak sebagai flora normal yang
melindungi vagina, glukosa ini akan diubah menjadi asam laktat. Keberadaan asam laktat
inilah yang menyebabkan pH vagina bersifat asam. Selain memproduksi asam laktat,
sebagian Lactobasillus sp. memproduksi hidrogen perokside yang bersifat toksik untuk
mikroorganisme lain.12
Seperti sudah dijelaskan, kejadian BV bukan hanya disebabkan oleh satu jenis bakteri.
Bakterial vaginosis lebih sering dikaitkan oleh jumlah bakteri kontaminan yang ada di vagina
dan tidak dapat dibunuh oleh Lactobasillus sp. yang bertindak sebagai flora normal vagina.
Berikut tabel yang berisikan bakteri-bakteri yang berada di vagina13 :

Menurut Muvunyi dan Hernandez (2009), bakteri penyebab terjadinya Bacterial vaginosis
(BV) antara lain; Gardnella vaginalis, Ureaplasma urealythicum, Mycoplasma hominis,
Mobilunces spp, Prevotella bivia, Peptostreptoccocus, Ureaplasma urealyticum. Bakteri
tersebut akan senang tumbuh apabila keadaan vulva mempunyai kelembaban yang tinggi
yang bersifat menekan pertumbuhan Lactobacillus yang berperan untuk keseimbangan flora
normal vagina.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan normal flora vagina
diantaranya adalah: 1) Teknik cebok yang salah yaitu cebok dari arah belakang ke depan. ;2)
Kurang menjaga kebersihan vagina pada saat menstruasi ; 3)Penggunaan serta frekwensi
ganti celana dalam sehari. ;4) Kebersihan vulva setelah melakukan hubungan sexual; 5)
Penggunaan deodoran yang dapat merusak kelembaban vagina; 6) Penggunaan larutan kimia
pembersih vagina yang terlalu sering untuk cebok (Bahram, et al.2009).

Ekosistem vagina normal adalah sangat kompleks. lacobacillus


merupakan spesies bakteri yang dominan (flora normal) pada vagina perempuan vanita subur
tapi ada juga bakteri – bakteri lain yang bakteri aerob dan anaerob. Pada saat bakerial
vaginosis muncul, terdapat pertumbuhan yang berlebihan dari beberapa spesies bakteri yang
ditemukan, dimana dalam dimana dalam keadaan normal ada dalam konsentrasi rendah.
Diketahui, ada 4 kategori dari bakteri vagina yang berhubungan dengan vaginosis bakterial
yaitu : 1. gardnerella vaginalis, 2. mycoplasma hominis, 3. bakteri anaerob: mobiluncus spp
dan bakteroides spp.
a. Gardnerellavaginalis
Berbagai literatur selama 30 tahun terakhir membuktikan bahwa G.vaginalis berhubungan
dengan vaginosis bakterial. bagaimanapun, dengan media kultur yang lebih sensitif
G.vaginalis dapat diisolasi dengan konsentrasi yang tinggi pada perempuan tanpa tanda-tanda
infeksi vagina. dengan media seletif tanpa G.vaginalis 40-50% pada semua perempuan usia
subur. gardnerella vaginalis diisolasi sekitar 90% pada perempuan dengan vaginosis
bakterial. saat ini dipercaya bahwa G.vaginalis berinteraksi dengan bakteri anaerob dan
M.hominis menyebabkan vaginosis bakterial.
b. Mycoplasmagenital
Ditemukan mycoplasma hominis sebanyak 63% pada vaginosis
bakterial dan 10% pada perempuan normal. ditemukan mycoplasma hominis dan G.vaginalis
dalam cairan vagina pada vagiinosis bakterial. pertumbuhan mycoplasma hominis mungkin
distimulasi oleh putrecine, sau dari amin yang kosentrasinya meningkat pada vaginosis
bakterial.
Konsentrasi normal bakteri dalam vagina biasanya 105 organisme/ml cairan vagina dan
meningkat menjadi 108-9 orgnisme/ml pada vaginosis bakterial. terjadi peningkatan
konsentrasi G.vaginalis dan bakteri anaerob termasuk bacteroides, peptosterpococcus dan
mobilincus spp sebesar 100- 1000 kali lipat.
c. Bakteri anaerob
Bakteriodes spp (provetella dan prophyromonas) di isolasi sekitar 76% dan peptococcus
(preptostreptococcus) 36% dari penderita vaginosis bakterial dan pada perempuan normal
kedua tipe anaerob secara bermakna lebih jarang ditemukan. penemuan spesies anaerob
dihubungkan secara langsung dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat
pada cairan vagina. setelah terapi metronidazol, bacteriodes dan peptostreptococcus tidak
ditemukan lagi dan laktat menjadi asam organik predominan dalam cairan vagina. bakteri
anaerob berinteraksi dengan G.vaginalis menyebabkan vaginosis bakterial. peneliti lain
memoerkuat adanya adanya hubungan bakteri anaerob dengan vaginosis bakterial. menurut
pengalaman, bacteriodes Spp paling sering dihubungkan dengan vaginosis bakterial.
Mikroorganisme bakterial lainnya mobilincus Spp, merupakan batang anaerob lengkung
ditemukan pada vaginosis bakterial. dalam vagina, mobilincus spp, selalu ditemukan dengan
organisme lainnya yang menyebabkan vaginosis bakterial.

Ekosistem vagina normal adalah sangat kompleks. Lactobacillus merupakan spesies bakteri
yang dominan (flora normal) pada vagina wanita usia subur, tetapi ada juga bakteri lainnya
yaitu bakteri aerob dan anaerob. Pada saat Bacterial Vaginosis muncul, terdapat pertumbuhan
berlebihan dari beberapa species bakteri yang ditemukan, dimana dalam keadaan normal ada
dalam konsentrasi rendah.
Penyebab Bacterial Vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis dari data flora
vagina memperlihatkan bahwa ada 4 kategori dari bakteri vagina yang berhubungan dengan
bakterial vaginosis yaitu: Gardnerella Vaginalis, Bacteroides Spp, Mobiluncus Spp,
Mycoplasma Hominis (Zainuddin Maskur dan Harry L. Makalew, 2001).
Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi Gardner dan Dukes
bahwa Gardnerella Vaginalis sangat erat hubungannya dengan Bacterial Vaginosis.
Organisme ini mula-mula dikenal sebagai H. Vaginosis kemudian diubah menjadi genus
Gardnerella atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam dioksi-ribonukleat. Tidak
mempunyai kapsul, tidak bergerak dan berbentuk batang gram negatif atau variabel gram.
Dengan media kultur yang lebih sensitif G. Vaginosis dapat diisolasi dalam konsentrasi yang
tinggi pada wanita tanpa tanda-tanda infeksi vagina. Saat ini dipercaya bahwa G. Vaginosis
berinteraksi dengan bakteri anaerob dan hominis menyebabkan Bacterial Vaginosis (Jubianto
Judanarso, 2004: 384-387).

Manifestasi Klinis
Bakterial Vaginosis (BV) adalah suatu kondisi abnormal perubahan ekologi vagina yang
ditandai dengan pergeseran keseimbangan flora vagina dimana dominasi Lactobacillus
digantikan oleh bakteri-bakteri anaerob, diantaranya Gardnerella vaginalis, Mobiluncus,
Prevotella, Bacteroides, dan Mycoplasma sp. ( Morris et al ,2001:197). Infeksi bakteri ini
disebabkan oleh ketidak seimbangan bakteri dalam vagina perempuan, yang mengarah ke
faktor mengacaukan keseimbangan pH (asam- basa keseimbangan) di dalam vagina
(Donders, 2010).
Bacterial vaginosis (BV) terkadang tidak bergejala namun apabila terdapat gejala biasanya
ditandai dengan keputihan yang mengeluarkan bau tidak sedap, rasa terbakar pada vulva, dan
terasa gatal pada vagina ( Koumans, et al. 2007). Jumlah cairan keputihan yang dikeluarkan
pada Bacterial vaginosis (BV) dapat normal atau berlebihan sehingga keputihan yang terjadi
pada seorang wanita harus diperiksa lebih lanjut. Cairan vagina pada Bacterial vaginosis
(BV) biasanya encer berbau amis serta berwarna keabu-abuan dan umumnya keluar pasca
senggama. Bacterial vaginosis (BV) juga ditandai dengan peningkatan PH (asam basa
keseimbangan) yang lebih dari 4,5 yang dapat menyebabkan penurunan jumlah Lactobacillus
(Bhalla, et al. 2007).

Dalam studi cross sectional pasien klinik, BV dengan kriteria Gram-stain secara bermakna
dikaitkan dengan gejala malodor vagina (49% pasien dengan BV dan 20% tanpa BV) dan
vaginal discharge (50% dengan BV dan 37% tanpa BV) dan dengan keluhan sekret putih
kental homogen, (69% dengan BV dan 3% tanpa BV).9,10
Eschenbach DA, dkk, Dari 293 wanita dengan vaginosis bakteri yang didiagnosis
menggunakan pengecatan gram sederhana, 65% memiliki gejala peningkatan keputihan
dan/atau bau tak sedap pada vagina, sedangkan 74% memiliki tanda-tanda keputihan
karakteristik homogen atau bau seperti amina. Peningkatan pH vagina merupakan tanda
paling spesifik dan bau seperti amina menjadi tanda yang paling sensitif pada vaginosis
bakteri.13
Pratiwi dkk menemukan dari 41 orang wanita hamil yang memeriksakan diri ke Poliklinik
Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad subjek yang diteliti didapatkan sebanyak 17
penderita BV dengan persentase 41,5%. Karakteristik Penderita BV terbanyak berada pada
kelompok umur 20-34 (82,4%) dengan umur kehamilan 28-40 minggu (64,7%). Sebagian
besar memiliki tingkat pendidikan tinggi (64,7%) dan tidak bekerja (70,6%). Ditemukan
riwayat graviditas 2-3 (52,9%), paritas 0 (41,2%) dan 1 (41,2%), riwayat prematur (11,8%),
riwayat BBLR (23,5%), riwayat keputihan (64,7%) dan tidak ditemukan adanya riwayat
douching dan riwayat penggunaan IUD.2

Hampir separuh dari perempuan dengan vaginosis bakterial tidak menunjukkan gejala. gejala
vaginosis bakterial adalah adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis (bau ikan). bau
tersebut disebabkan adanya amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa . Cairan
femina (pH 7,2) menyebabkan pelepasan amin dari ikatannya amin yang menguap yang
menimbulkan bau yang khas.
Dapat terjadi peningkatan jumlah cairan vagina, gatal pada vulva, irtasi vulva, dan disuri.
Pada pemeriksaan merupakan sekret vagina tipis, cair dan homogen. Sebaliknya sekret
vagina normal lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang memberikan
gambaran bergerombol sekret yang vaginosis bakteriall sering berwarna putih atau abu-abu.
sekret yang berwarna kuning atau hijau purulen erat hubungannya dengan trikomoniasis atau
servsitis tetapi tidak demikian pada vaginosis bakterial.
Penderita vaginosis bakterial tidak menampakkan inflamasi vulva atau vagina. vaginosis
bakterial dapat tumbuh bersama trikomoniasis atau servisitis, oleh karena itu dapat ditemukan
gambaran infeksi tersebut dengan gambaran vaginosis bakterial.
Gejala vaginosis bakterial yang rekuren pada dasarnya sama dengan waktu pertama kali
menderita vaginosis bakterial. penderita vaginosis bakterial yang rekuren juga dapat tanpa
gejala atau mempunya bau vagina seperti bau yang khas dan baunya meningkat waktu
berhubungan seksual. (Wardhiana, 2012)

4. Faktor Resiko
Bakterial vaginosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh ketidakseimbangan pH
dan jumlah flora normal vagina. Keadaan ini tidak terjadi begitu saja, namun disebabkan oleh
beberapa faktor seperti penggunaan pembersih kewanitaan yang tidak tepat, keadaan
lingkungan yang lembab, penggunaan celana ketat, tidak mengganti celana dalam, kurang
kekebalan tubuh, merokok, penggunaan kontrasepsi, dan lain sebagainya.
Dapat dilihat dari faktor-faktor tersebut sebagian besar disebabkan oleh pola hidup wanita
yang kurang sehat. Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dapat menyebabkan terjadinya
pergeseran pH vagina, berkurangnya Lactobascilus sp. sebagai flora normal vagina, atau
pertumbuhan berlebih dari kuman-kuman normal yang ada di vagina.
Selain faktor tersebut diatas, perlu diingat bahwa Indonesia memiliki iklim tropis sehingga
menyebabkan keadaan tubuh menjadi lebih lembab bila dibandingkan dengan negara-negara
lain. Hal ini tentunya perlu disadari oleh wanita Indonesia agar menjadi lebih waspada akan
kebersihan tubuh terutama organ kewanitaan. Kebiasaan sederhana seperti
mengganti celana dalam bila terasa lembab, mengganti pembalut minimal empat jam sekali,
dan mengelap vagina setelah buang air kecil dan besar dengan handuk atau tissu kering tanpa
pewangi tentunya dapat mengurangi risiko terjadinya BV.

Gonzalez dkk,2004. 968 pasien dengan kehidupan seksual aktif yang tidak menerima
antibiotik selama minimal 15 hari sebelum studi dan yang tidak menstruasi pada saat
mengambil swab, 859 diantaranya memiliki diagnosis cervico-vaginitis dan 109 tidak
memiliki gejala apapun. Kriteria Amsel digunakan untuk membuat diagnosis vaginosis
bakteri. Didapatkan 32,9% prevalensi infeksi BV dari populasi. Ada hubungan yang
signifikan secara statistik dengan faktor-faktor seperti usia, mulai dari kehidupan seksual
yang aktif, jumlah hubungan seksual per minggu, jumlah pasangan seksual, dan kehamilan.14
Octaviany, dkk melakukan penelitian pada 492 perempuan yang berusia 15- 50 tahun.
Prevalensi infeksi BV pada penelitian ini adalah 30,7% sesuai dengan skor Nugent. Usia >40
tahun dan pasangan yang tidak disirkumsisi merupakan faktor determinan yang secara
signifikan berpengaruh terhadap kejadian BV.15
Wanita seksual aktif merupakan karier Gardnerella vaginalis lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita yang belum pernah berhubungan seks sebelumnya. Data lain menunjukan
pada wanita heterokseksual faktor predisposisi infeksi BV meliputi frekuensi hubungan
seksual yang tinggi, jumlah pasangan seks pria yang banyak, serta penggunaan UID,
kontrasepsi hormonal dan kontrasepsi.9,10

5. Patogenesis
Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang terdiri dari unsur-
unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah satu komponen lengkap dari ekosistem
vagina adalah mikroflora vagina endogen, yang terdiri dari gram positif dan gram negatif
aerobik, bakteri fakultatif dan obligat anaerobik. Aksi sinergetik dan antagonistik antara
mikroflora vagina endogen bersama dengan komponen lain, mengakibatkan tetap stabilnya
sistem ekologi yang mengarah pada kesehatan ekosistem vagina.
Beberapa faktor / kondisi yang menghasilkan perubahan keseimbangan menyebabkan
ketidakseimbangan dalam ekosistem vagina dan perubahan pada mikroflora vagina. Dalam
keseimbangannya, ekosistem vagina didominasi oleh bakteri Lactobacillus sp. yang
menghasilkan asam organik seperti asam laktat, hidrogen peroksida (H2O2), dan bakteriosin.
Asam laktat seperti organic acid lanilla yang dihasilkan oleh Lactobacillus sp., memegang
peranan yang penting dalam memelihara pH tetap di bawah 4,5 (antara 3,8 - 4,2), dimana
merupakan tempat yang tidak sesuai bagi pertumbuhan bakteri khususnya mikroorganisme
yang patogen bagi vagina.
Kemampuan memproduksi H2O2 adalah mekanisme lain yang menyebabkan Lactobacillus
sp. hidup dominan daripada bakteri obligat anaerob yang kekurangan enzim katalase.
Hidrogen peroksida dominan terdapat pada ekosistem vagina normal tetapi tidak pada
bakterial vaginosis. Mekanisme ketiga pertahanan yang diproduksi oleh Lactobacillus sp
adalah bakteriosin yang merupakan suatu protein dengan berat molekul rendah yang
menghambat pertumbuhan banyak bakteri khususnya Gardnerella vaginalis.
Gardnella vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang variabel gram yang
mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina dari yang tadinya
bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi akibat berkurangnya jumlah
Lactobacillus sp. yang menghasilkan hidrogen peroksida. Lactobacillus sp. sendiri
merupakan bakteri anaerob batang besar yang membantu menjaga keasaman vagina dan
menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk tumbuh di vagina.
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia produktif. Dalam
kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar,
bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolini.
Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari tubuh untuk
membersihkan diri, sebagai pelicin, dan pertahanan dari berbagai infeksi.
Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau berwarna
kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel
epitel yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur, Trichomonas, tanpa clue cell.
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara Gardnella vaginalis sebagai
pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina yang
mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina sampai suasana
yang sesuai bagi pertumbuhan Gardnella vaginalis. Beberapa amin diketahui menyebabkan
iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh tubuh berbau tidak
sedap yang keluar dari vagina. Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial vaginosis
diantaranya Bacteroides bivins, B. capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari
infeksi genitalia.
Gardnella vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan
deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina.
Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan
sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis.
Timbulnya bakterial vaginosis ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah
menderita infeksi Trichomonas.
Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
tentang faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini. Walaupun alasan sering
rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4 kemungkinan yang dapat menjelaskan
yaitu :

1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab bakterial
vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi Gardnella vaginalis mengandung
Gardnella vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra tetapi tidak menyebabkan
uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga wanita yang telah mengalami pengobatan
bakterial vaginosis cenderung untuk kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak
menggunakan pelindung.
2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang hanya dihambat
pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sp. sebagai flora
normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya pada penderita,
membuatnya rentan terhadap kekambuhan.

Bacterial vaginosis (BV) disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah lingkungan asam
normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong pertumbuhan berlebihan bakteri-
bakteri penghasil basa. Ketika konsentrasi Lactobacilli yang merupakan flora normal vagina
jumlahnya menurun, bakteri ini jumlahnya dapat meningkat berlebihan sehingga menjadi
spesies dominan di lingkungan vagina yang dapat bersifat patogenik(Ilse Truter dan Michael
Graz, 2013). Faktor-faktor yang dapat mengubah pH (asam basa keseimbangan) melalui efek
alkalinisasi antara lain adalah mucus serviks, semen, darah haid, mencuci vagina (douching),
pemakaian antibiotik, dan perubahan hormon saat hamil dan menopause. Faktor-faktor ini
memungkinkan terjadinya peningkatan pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mucoplasma
hominis, dan bakteri anaerob. faktor risiko lain yang telah dikaitkan dengan Bacterial
Vaginosis (BV) termasuk memiliki beberapa pasangan seks, pasangan seks pria baru, seks
dengan sesama jenis, hubungan seksual pertama pada usia dini , sering douching vagina,
Penggunaan benda asing vagina atau sabun wangi, merokok dan kurangnya vagina
lactobacilli (Cherpes, etal. 2008).

Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria, keputihan, dan gatal
pada vagina. Pada wanita yang beberapa kali melakukan douching, dilaporkan terjadi
perubahan pH (asam basa keseimbangan) vagina dan berkurangnya konsentrasi mikroflora
normal sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri pathogen yang oportunistik
(Vandepitte, et al.2011).

Flora vagina wanita tanpa Bacterial Vaginosis (BV) biasanya terdiri dari kuman gram-batang
positif, dengan dominasi oleh Lactobacillus crispalus, Lactobacillus jensenii dan
Lactobacillus iners ( Johnson dalam Truter dan Graz 2013). Menurut Sobel ( 2000, dalam
Hodiwala dan Koli, 2015 ) Pada Bacterial vaginosis (BV) dapat terjadi simbiosis antara
Gardnerella vaginalis sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri
fakultatif dalam vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH
sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan Gardnerella vaginalis. Beberapa
amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan
menyebabkan cairan yang keluar dari vagina berbau tidak sedap, bakteri anaerob yang
menyertaiBacterial vaginosis (BV) diantaranya Bacteroides bivins, Bacteroides Capilosus
dan Bacteroides disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi genitalia. Gardenella vaginalis
melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan deskuamasi sel epitel
vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak
invasif dan respon inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah
leukosit dalam sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya Bakterial
Vaginosis (BV) ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi
Trichomonas. (Vandepitte, etal.2011).

Vaginosis bakterial terjadi akibat pergantian pergantian flora vagina normal (lactobacillus)
dengan flora campuran terdiri dari G.vaginalis, bakteri anaerob dan M.hominis.Lactobacillus
Spp dapat membantu perempuan normal bertahan dari infeksi vagina dan serviks.
Lactobacillus vagina menghambat G.vaginalis, mobilincus dan bakteriodes spesies in vitro.
lactobacillus penghasil H2O2 lebih sering menetap di vagina perempuan normal
dibandingankan perempuan dengan bakteri vaginosis. Lebih jauh perempuan dengan
lactobacili positif H2O2 jarang berkembang menjadi vaginosis bakterial daripada perempuan
dengan perempuan lactobacili negatif H2O2

Flora vagina normal yang didominasi lactobacillus memilih pH yag rendah < 4,5 disebabkan
oleh produksi laktat. pada vaginosis bakterial, pH biasanya meningkat >4,7 sebagai akibat
dari dominasi G.vaginalis dan bakteri anaerob. antara G.vaginalis dan bakteri anaerob dapat
terjadi simbiosis, dimana G.vaginalis dan bakteri anaerob dapat terjadi simbiosis, dimana
G.vaginalis menghasilkan asam amino, sedangkan kuman anaerob mengubah asam amino
tersebut menjadi senyawa amin sehingga menaikkan pH yang merupakan tempat
menyenangkan bagi pertumbuhan G.vaginalis. Metabolisme dari organisme tersebut juga
meyebabkan produksi amin yang mneyebabkan bau amis (khas ikan) pada cairan vagina.
Flora ini juga menyebabkan rendahnya potensial oksidasi reduksi oksigen (Eh) level Eh
dibawah 100 mol biasa ditemukan pada vaginosis bakterial. Pada level tersebut tersedia
sedikit 02 untuk metabolisme bakteri aerob.

Mengapa pada vaginosis bakterial sering terjadi rekuren aau ketidakmampuan mencegah
vaginosis bakterial disebabkan karena kurangnya atau etiologi dari penyakit ini. walaupun
alasan sering rekurannya belum sepenuhnya dipahami, namun ada alasan sering rekurennya
belum belum sepenuhnya dipahami, namun ada 4 kemungkinan yang dapat menjelaskan,
yaitu : a) infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab vaginosis
bakterial, laki-laki yang mitra seksual perempuannya terinfeksi G.vaginalis, mengandung
G.Vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra tapi tidak menyebabkan uretritis atau
pada laki-laki asimptomatik, sehingga perempuan yang telah menjalani pengobatan vaginosis
bakterial cenderung untuk kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan
pelindung. b) kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme dari vaginosis bakterial yang
hanya dihambat selama pengobatan tetapitidak dibunuh. c) kegagalan selama pengobatan
untuk mengembalikan lactobacillus sebagai flora normal yang berfungsi sebagai protektor
dalam vagina. d). menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor host-nya
pada penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.

Patogenesis masih belum jelas. G. Vaginosis termasuk flora normal dalam vagina melekat
pada dinding. Beberapa peneliti menyatakan terdapat hubungan yang erat antara kuman ini
dengan bakteri anaerob pada patogenesis penyakit bakterial vaginosis (BV). Pada pria dapat
terjadi prostatitis ringan sampai sedang, dengan atau tanpa uretritis. Gejalanya berupa priuria,
hematuria, disuria, polakisuria, dan nokturia (Arif Mansjoer, 2001: 149).
Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang terdiri dari unsur-
unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah satu komponen lengkap dari ekosistem
vagina adalah mikroflora vagina endogen, yang terdiri dari gram positif dan gram negatif
aerobik, bakteri fakultatif dan obligat anaerobik. Beberapa faktor atau kondisi yang
menghasilkan perubahan keseimbangan menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem
vagina dan perubahan pada mikroflora vagina. Dalam keseimbangannya, ekosistem vagina
didominasi oleh bakteri Lactobacillus yang menghasilkan asam organik seperti asam laktat,
hidrogen peroksida (H2O2) dan bakteriosin. Asam laktat seperti organic acid lanilla yang
dihasilkan oleh Lactobacillus, memegang peranan yang penting dalam memelihara pH tetap
di bawah 4,5 (antara 3,8 - 4,2), dimana merupakan tempat yang tidak sesuai bagi
pertumbuhan bakteri khususnya mikroorganisme yang patogen bagi vagina. Kemampuan
memproduksi H2O2 adalah mekanisme lain yang menyebabkan Lactobacillus hidup dominan
daripada bakteri obligat anaerob yang kekurangan enzim katalase. Hidrogen peroksida
dominan terdapat pada ekosistem vagina normal tetapi tidak pada Bacterial Vaginosis.
Mekanisme ketiga pertahanan yang diproduksi oleh Lactobacillus adalah bakteriosin yang
merupakan suatu protein dengan berat molekul rendah yang menghambat pertumbuhan
banyak bakteri khususnya Gardnerella Vaginalis. G. Vaginalis sendiri juga merupakan
bakteri anaerob batang variabel gram yang mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan
flora normal vagina dari yang tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini
terjadi akibat berkurangnya jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen peroksida.
Lactobacillus sendiri merupakan bakteri anaerob batang besar yang membantu menjaga
keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk tumbuh di vagina.
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia produktif. Dalam
kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar,
bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolini.
Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari tubuh untuk
membersihkan diri, sebagai pelicin, dan pertahanan dari berbagai infeksi. Dalam kondisi
normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau berwarna kekuningan ketika
mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel epitel yang matur,
sejumlah normal leukosit, tanpa jamur, Trichomonas, Clue Cell.
Pada Bacterial Vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.Vaginalis sebagai pembentuk asam
amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina yang mengubah asam
amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi
pertumbuhan G. Vaginalis. Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan
menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh tubuh berbau tidak sedap yang keluar
dari vagina. Basil-basil anaerob yang menyertai Bacterial Vaginosis diantaranya Bacteroides
Bivins, B. Capilosus dan B. Disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi genitalia. G.
Vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan deskuamasi sel
epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak
invasif dan respon inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah
leukosit dalam sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya Bacterial
Vaginosis ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi
Trichomonas. Bacterial Vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan tentang faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini. Walaupun
alasan sering rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4 kemungkinan yang dapat
menjelaskan yaitu :
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab Bacterial
Vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G. Vaginalis mengandung G.
Vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra tetapi tidak menyebabkan uretritis pada
laki-laki (asimptomatik) sehingga wanita yang telah mengalami pengobatan Bacterial
Vaginosis cenderung untuk kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak
menggunakan pelindung.
2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme Bacterial Vaginosis yang hanya dihambat
pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora normal
yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya pada
penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.
Pengaruh buruk dari ibu yang menderita BV terhadap janin bisa bermacam-macam
mulai dari abortus, partus permaturus, cacat bawaan sampai kematian janin. Abortus spontan
dapat terjadi pada trimester pertama (15%), sedangkan kematian janin dapat berupa stillbirth
(kematian janin sesudah 20 minggu), kematian neonatal (kematian antara kelahiran sampai 28
hari), dan kematian perinatal (kematian antara 28 hari sampai satu tahun). Banyak penelitian
juga menemukan hubungan antara bakterial vaginosis (BV) dengan partus prematurus
terutama partus prematurus dini, ketuban pecah dini, khorioamnionitis, endometritis pasca
persalinan dan pasca seksio sesaria (Endy Muhardin Moegni, 2001).
Terbukti bahwa BV erat kaitannya dengan peningkatan komplikasi kehamilan, misalnya
persalinan sebelum waktunya premature rupture of the membrane, dan kelahiran bayi dengan
berat badan rendah. Wanita hamil yang menunjukkan simptom BV tertentu agar dilakukan
pengobatan, dan pada mereka yang menunjukkan riwayat persalinan sebelum waktunya agar
diperiksa akan adanya infeksi yang bersifat asimptomatik. Wanita hamil dengan keluhan
yang berulang agar diberi pengobatan ulangan (Departemen Kesehatan RI, 2004: 65).

6. Diagnosis Banding
Ada beberapa penyakit yang menggambarkan keadaan klinik yang mirip dengan bakterial
vaginosis, antara lain :
1. Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Trichomonas
vaginalis. Biasanya penyakit ini tidak bergejala tapi pada beberapa keadaan trikomoniasis
akan menunjukkan gejala. Terdapat duh tubuh vagina berwarna kuning kehijauan, berbusa
dan
berbau. Eritem dan edem pada vulva, juga vagina dan serviks pada beberapa perempuan.
Serta pruritos, disuria, dan dispareunia.
Pemeriksaan apusan vagina Trikomoniasis sering sangat menyerupai penampakan
pemeriksaan apusan bakterial vaginosis. Tapi Mobilincus sp. dan clue cell tidak perbah
ditemukan pada Trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopoik tampak peningkatan sel
polimorfonuklear dan dengan pemeriksaan preparat basah ditemukan protozoa untuk
diagnosis. Whiff test dapat positif pada trikomoniasis dan pH vagina 5 pada trikomoniasis. 2.
Kandidiasis
Kandidiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans atau kadang
Candida sp. yang lain. Gejala yang awalnya muncul pada kandidiasis adalah pruritus akut dan
keputihan. Keputihan seringkali tidak ada dan hanya sedikit. Kadang dijumpai gambaran
khas berupa vaginal thrush yaitu bercak putih yang terdiri dari gumpalan jamur, jaringan
nekrosis epitel yang menempel pada vagina. Dapat juga disertai rasa sakit pada vagina iritasi,
rasa panas dan sakit saat berkemih.
Pada pemeriksaan mikroskopik, sekret vagina ditambah KOH 10% berguna untuk
mendeteksi hifa dan spora Candida. Keluhan yang paling sering pada kandidiasis adalah gatal
dan iritasi vagina. Sekret vagina biasanya putih dan tebal, tanpa bau dan pH normal.16
7. Tata Laksana
Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak ditemukan dengan
gambaran klinis ringan tanpa komplikasi.
Sekitar 1 dari 4 wanita akan sembuh dengan sendirinya, hal ini diakibatkan karena organisme
Lactobacillus vagina kembali meningkat ke level normal, dan bakteri lain mengalami
penurunan jumlah. Namun pada beberapa wanita, bila bakterial vaginosis tidak diberi
pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih parah. Oleh karena itu perlu
mendapatkan pengobatan, dimana jenis obat yang digunakan hendaknya tidak
membahayakan dan sedikit efek sampingnya.
Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan pengobatan, termasuk
wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial vaginosis dengan wanita hamil
dengan prematuritas atau endometritis pasca partus, maka penting untuk mencari obat-obat
yang efektif yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan
antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial vaginosis.
a. Terapi sistemik
1. Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan
yang memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2 x 400 mg atau
500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini gagal, maka diberikan ampisilin oral
(atau amoksisilin) yang merupakan pilihan kedua dari pengobatan keberhasilan penyembuhan
sekitar 66%).
2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan metronidazol untuk
pengobatan bakterial vaginosis dengan angka kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita
hamil. Sejumlah kecil klindamisin dapat menembus ASI, oleh karena itu sebaiknya
menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.
3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari selama 7 hari.
Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap metronidazol.
4. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari. 5. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5
hari. 6. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari. 7. Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama
7 hari.
b. Terapi Topikal
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5
hari.
2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
4. Triple sulfonamide cream(Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7% dan Sulfatiazol
3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan angka penyembuhannya
hanya 15 – 45 %.17

Dasar pengobatan ialah memperbaiki keadaan vagina dengan membersihkan mukosa vagina
dan menggunakan obat-obat per os dan lokal. Pada saat ini metronidazol merupakan obat
yang efektif untuk pengobatan Bacterial Vaginosis, baik untuk pria maupun wanita. Dosis per
os 2 x 250 mg sehari selama 5-7 hari untuk suami maupun istri. Dosis Lokal untuk wanita
adalah 500 mg metronidazol dalam bentuk tablet vagina sekali selama 5-7 hari (Srisasi
Gandahusada, dkk, 2000:135).
Jika infeksi tidak segera diobati, bakteri akan bergerak naik kedalam uterus atau tubafallopi
dan menyebabkan infeksi yang lebih serius. Mengobati Bacterial Vaginosis akan menurunkan
resiko ini. Pengobatan menjadi sangat penting dalam wanita yang sedang hamil (Philip E.
Hay, 2006).
Menurut Sjaiful Fahmi Daili (1999: 359), pengobatan dapat diberikan secara topikal atau
sistemik.
Secara topikal, dapat berupa :
1. Bahan cairan berupa irigasi, misalnya hidrogen peroksida 1-2% dan
larutan asam laktat 4%
2. Bahan berupa supositoria, bubuk yang bersifat trikomoniasidal.
3. Jel dan krim, yang berisi zat trikomoniasidal.
Secara sistemik (oral) yaitu obat yang sering digunakan tergolong derivat nitromidazol
seperti :
1. Metronidazol : dosis tunggal 2 gram atau 3x500mg per hari selama 7 hari
2. Nimorazol : dosis tunggal 2 gram
3. Secnidazol : dosis tunggal 2 gram
4. Tinidazol : dosis tunggal 2 gram
5. Ornidazol : dosis tunggal 1,5 gram.
Pada waktu pengobatan perlu beberapa anjuran pada penderita :
1. Pemeriksaan dan pengobatan terhadap pasangan seksual untuk
mencegah jangan terjadi infeksi ”pingpong”.
2. Jangan melakukan hubungan seksual selama pengobatan dan sebelum
dinyatakan sembuh.
3. Hindari pemakaian barang-barang yang mudah menimbulkan transmisi.

8. Epidemiologi
Penyakit bakterial vaginosis lebih sering ditemukan pada wanita yang memeriksakan
kesehatannya daripada vaginitis jenis lainnya. Frekuensi bergantung pada tingkatan sosial
ekonomi penduduk pernah disebutkan bahwa 50 % wanita aktif seksual terkena infeksi
Gardnella vaginalis, tetapi hanya sedikit yang menyebabkan gejala sekitar 50 % ditemukan
pada pemakai AKDR dan 86 % bersama-sama dengan infeksi Trichomonas.
Gardnerella vaginalis dapat diisolasi dari 15 % wanita prapubertas yang masih perawan,
sehingga organisme ini tidak mutlak ditularkan lewat kontak seksual. Meskipun kasus
bakterial vaginosis dilaporkan lebih tinggi pada klinik PMS, tetapi peranan penularan secara
seksual tidak jelas.
Bakterial vaginosis yang rekuren dapat meningkat pada wanita yang mulai aktivitas
seksualnya sejak umur muda, lebih sering juga terjadi pada wanita berkulit hitam yang
menggunakan kontrasepsi dan merokok. Bakterial vaginosis yang rekuren prevalensinya juga
tinggi pada pasangan- pasangan lesbi, yang mungkin berkembang karena wanita tersebut
berganti-ganti pasangan seksualnya ataupun yang sering menggunakan pembersih vagina.3

Infeksi BV adalah penyebab paling umum dari gejala-gejala yang terjadi pada vagina wanita,
namun sampai saat ini belum jelas bagaimana peran aktivitas diperkembangan infeksi BV.
Prevalensi di Amerika Serikat diperkirakan 21,2 juta (29,2%) diantara wanita usia 14-49
tahun, didasarkan pada sampel perwakilan nasional dari wanita yang berpartisipasi dalam
NHANES 2001-2004. Sebagian besar wanita denganinfeksi BV (84%) melaporkan tidak
merasakan adanya gejala. Wanita yang belum melakukan hubungan seks vaginal, oral, atau
anal masih bisa terinfeksi BV (18,8%), demikian pula pada wanita hamil (25%), dan wanita
yang sudah pernah hamil (31,7%). Prevalensi infeksi BV meningkat berdasarkan jumlah
pasangan seksual seumur hidup. Perempuan bukan kulit putih memiliki prevalensi yang lebih
tinggi (Afrika-Amerika 51%, Amerika Meksiko 32%) daripada wanita kulit putih (23%).11
Dari beberapa penelitian, 13.747 wanita hamil pada 23 hingga 26 minggu kehamilan
menjalani evaluasi untuk infeksi BV dengan menggunakan kriteria pengecatan gram sekret
vagina. Walaupun 16,3% wanita memiliki infeksi BV, prevalensi terjadinya infeksi
BVbervariasi luas dari segi etnis, 6,1% pada wanita Asia, 8,8% dariwanita Kaukasia, 15,9%
Hispanik, dan 22,7% dari wanita keturunan Afrika-Amerika. Studi-studi lain telah
menemukan prevalensi infeksi BV antenatal dari wanita dengan gejala yang asimtomatik, 5%
di Italia, 12% Helshinki, 21% di London, 14% di Jepang, 16% di Thailand, dan 17% di
Jakarta9. Aggarawati dalam penelitiannya mendapatkan prevalensi infeksi BV pada ibu hamil
sebesar 43,3% dari 60 wanita hamil yang memenuhi kriteria inklusi.

Menentukan prevalensi vaginosis bakterial sulit oleh karena 1⁄3 - 3⁄5perempuan yang
terinfeksi adalah asimptomatik. vaginosis bakterial adalah infeksi yang paling sering pada
perempuan yang aktif melakukan seksual. penyakit ini dialami pada 15% permpuan yang
mendatangi klinik ginekolgi, 10-15% wanita hamil dan 33-37% perempuan yang mendatangi
kllinik PMS.
Gardnerella vaginalis dapat diisolasi dari 15% anak perempuan prapubertas yang masih
perawan, sehingga organisme ini tidak mutlak ditularkan lewat kontak seksual. meskipun
kasus vaginosis bakterial dilaporkan lebih tinggi pada klinik PMS, tapi peranan penularan
tidak jelas. Penelitian menunjukkan bahwa pengobatan pasangan seks laki-laki dari penderita
vaginosis bakterial tidak menguntungkan dan bahkan perempuan yang tidak melakukan
seksual secara aktif dapat terinfeksi. faktor resiko tambahan adalah penggunaan alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan kehamilan.
Dilaporkan oleh Kandou RT et al, vaginosis bakterial pada pemakai AKDR di RS Pelamonia,
makassar yang dilaksanakan sejak oktober 1994 sampai januari 1995 menunjukkan terdapat
hubungan bermakna antara pemakaian AKDR dengan vaginosis bakterial (Selastri, Sjahril
and Soraya, 2016)
Vaginosis bakterial rekuren dapat meningkat pada perempuan yang mulai aktivitas
seksualnya sejak umur muda, lebih sering juga terjadi pada perempuan berkulit hitam yang
menggunakan kontrasepsi dan yang suka merokok.
Vaginosis bakterial rekuren prevalensinya juga tinggi pada pasanagn pasangan lesbi yang
mungkin berkembang karena perempuan tersebut berganti ganti pasangan seksualnya ataupun
yang sering melakukan penyemprotan vagina.

Penyakit Bacterial Vaginosis lebih sering ditemukan pada wanita yang memeriksakan
kesehatannya daripada vaginitis yang lainnya. Frekuensi bergantung pada tingkatan sosial
ekonomi penduduk pernah disebutkan bahwa 50 % wanita aktif seksual terkena infeksi G.
Vaginalis, tetapi hanya sedikit yang menyebabkan gejala sekitar 50 % ditemukan pada
pemakai AKDR dan 86 % bersama-sama dengan infeksi Trichomonas. Gardnerella Vaginalis
dapat diisolasi dari 15 % anak wanita prapubertas yang masih perawan, sehingga organisme
ini tidak mutlak ditularkan lewat kontak seksual. Meskipun kasus Bacterial Vaginosis
dilaporkan lebih tinggi pada klinik IMS, tetapi peranan penularan secara seksual tidak jelas.
Bacterial Vaginosis yang rekuren dapat meningkat pada wanita yang mulai aktivitas
seksualnya sejak umur muda, lebih sering juga terjadi pada wanita yang menggunakan
kontrasepsi dan merokok. Bacterial Vaginosis yang rekuren prevalensinya juga tinggi pada
pasangan-pasangan lesbi, yang mungkin berkembang karena wanita tersebut berganti-ganti
pasangan seksualnya ataupun yang sering melakukan penyemprotan pada vagina. Hanpir 90
% laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi Gardnerella vaginalis, mengandung G.
vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra, tetapi tidak menyebabkan uretritis
(Jubianto Judanarso, 2005: 384).
Menentukan angka prevalensi Bacterial Vaginosis adalah sulit karena sepertiga sampai dua
pertiga kasus pada perempuan yang terkena tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Selain
itu, angka prevalensi yang dilaporkan bervariasi menurut populasi. Bacterial Vaginosis
ditemukan pada 15-19% pasien-pasien rawat inap bagian kandungan, 10-30% ibu hamil dan
24-40% pada klinik kelamin. Walaupun angka prevalensi BV lebih tinggi pada klinik-klinik
kelamin dan pada perempuan yang memiliki pasangan seks lebih dari satu, peran dari
penularan secara seksual masih belum jelas. Berbagai penelitian membuktikan bahwa
mengobati pasangan dari perempuan yang menderita Bacterial Vaginosis tidak memberi
keuntungan apapun dan bahkan perempuan yang belum seksual aktif juga dapat terkena
infeksi ini. Faktor risiko tambahan untuk terjadinya Bacterial Vaginosis termasuk pemakaian
IUD, douching dan kehamilan (Mari E. Egan, M.D., and Martin S. Lipsky, M.D, 2004).
Pada wanita dengan BV, keluhan berupa adanya sekret tubuh vagina ringan, melekat pada
dinding vagina, dan berbau amis. Bau lebih menusuk setelah senggama dan darah menstruasi
berbau abnormal. Dapat timbul rasa gatal dan terbakar akibat iritasi pada vagina dan
sekitarnya, serta kemerahan dan edema pada vulva. Terdapat 50% kasus bersifat
asimptomatik. Pada pemeriksaan terlihat adanya duh tubuh vagina bertambah, warna abu-abu
homogen, berbau dan jarang berbusa. Gejala peradangan umum tidak ada (Arif Mansjoer,
dkk, 2001: 149).
Pada wanita hamil BV dihubungkan dengan kejadian partus prematurus, ketuban pecah dini,
khorioamnionitis, endometritis pasca persalinan dan pasca seksio sesaria.
Deteksi adanya BV dapat dilakukan dengan pewarnaan Gram. Karena pewarnaan Gram
mudah dilakukan dan murah maka deteksi BV dapat dilakukan sebagai preskrining adanya
klamida dan gonore terutama pada wanita hamil yang asimptomatik (Endy Muhardin
Moegni, 2001).

9. Komplikasi
Pada kebanyakan kasus, bakterial vaginosis tidak menimbulkan komplikasi setelah
pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi komplikasi yang berat. Bakterial
vaginosis sering dikaitkan dengan penyakit radang panggul (Pelvic Inflamatory Disease/PID),
dimana angka kejadian bakterial vaginosis tinggi pada penderita PID.
Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan komplikasi antara
lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir rendah, dan endometritis post
partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan agar semua wanita hamil yang
sebelumnya melahirkan bayi prematur agar memeriksakan diri untuk screening vaginosis
bakterial, walaupun tidak menunjukkan gejala sama sekali. Bakterial vaginosis disertai
peningkatan resiko infeksi traktus urinarius.
Prinsip bahwa konsentrasi tinggi bakteri pada suatu tempat meningkatkan frekuensi di tempat
yang berdekatan. Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis atas berhubungan dengan
bakterial vaginosis. Lebih mudah terjadi infeksi Gonorrhoea dan Klamidia. Meningkatkan
kerentanan terhadap HIV dan infeksi penyakit menular seksual lainnya.18

Banyak komplikasi yang ditimbulkan oleh Bacterial Vaginosis (BV), Bacterial Vaginosis
(BV) diantaranya adalah peningkatan resiko terhadap infeksi saluran genitalia termasuk
infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, HSV-1 and -2
dan peningkatan terhadap resiko penularan human immunodeficiency virus (HIV) dan
kelahiran premature (Geva et al., 2006).

Menurut Rungpao (2008), komplikasi yang dapat timbul pada Bakterial Vaginosis (BV)
antara lain menyebabkan infeksi dan ruptur membran amnion pada kehamilan, kelahiran
prematur, endometritis, komplikasi setelah melahirkan, Nongonococcal pelvic inflamantory
desease, kemandulan, dan dapat meningkatkan resiko penularan human immunodeficiency
virus (HIV)/ Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) .Alsworth dan Peiperth (2009)
menyatakan Bacterial Vaginosis (BV) dapat meningkatkan resiko terjadinya Sexual
Transmited Desease (STD), human immunodeficiency virus (HIV), dan penyakit kelamin
yang lain.

Adanya penyakit menular seksual bisa meningkatkan resiko Bakterial Vaginosis (BV).
Pemakaian douching vagina yang merupakan produk untuk menjaga higiene wanita (vaginal
spray atau vaginal wipes dan buble baths bisa menyebabkan terjadinya Bakterial Vaginosis
(BV). Hubungan seksual tanpa menggunakan kondom dapat juga menyebabkan Bakterial
Vaginosis (BV). (Soepraptie & Lumintang, 2008).

Infeksi BV yang tidak mendapat penanganan yang baik dapat menyebabkan komplikasi,
antara lain, endometritis, penyakit radang panggul, sepsis paskaaborsi, infeksi paskabedah,
infeksi paskahisterektomi, peningkatan risiko penularan HIV dan IMS lain. Infeksi BV
merupakan faktor risiko potensial untuk penularan HIV karena pH vagina meningkat dan
faktor biokimia lain yang diduga merusak mekanisme pertahanan host. Penelitian dari seluruh
dunia mengenai BV langsung tertuju kepada sejumlah komplikasi obstetrik yaitu keguguran,
lahir mati, perdarahan, kelahiran prematur, persalinan prematur, ketuban pecah dini, infeksi
cairan ketuban, endometritis paskapersalinan dan kejadian infeksi daerah operasi (IDO).16

10. Prognosis
Bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita walaupun tidak menunjukkan
gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama dapat dipakai. Prognosis bakterial
vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan
spontan pada lebih dari 1/3 kasus. Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin
memberi angka kesembuhan yang tinggi (84-96%).16

11. Pencegahan
Menurut Bahram, et al. (2009) ada tiga kriteria dalam pencegahan terjadinya Bakterial
Vaginosis (BV) yaitu:
1. Menjaga kebersihan saat menstruasi seperti selalu menggunaan pembalut yang bersih,
selalu menganti pembalut setelah buang air kecil dan tidak melakukan hubungan seksual
selama menstruasi.
2. Menjaga kebersihan vagina dengan tindakan selalu menggunakan celana dalam yang tidak
ketat dan kering, selalu menggunakan teknik cebok dari depan ke belakang, mengeringkan
vagina setelah cebok, selalu menggunakan peralatan mandi (sabun dan handuk) pribadi,
selalu membersihkan kloset sebelum digunakan, selalu mengeringkan peralatan mandi
(handuk) dibawah terik matahari secara langsung.
3. Menjaga kebersihan pada saat melakukan hubungan sexual dengan cara membersihkan alat
genitalia sebelum dan sesudah melakukan hubungan suami istri, dan melakukan hubungan
sexual dengan frekwensi kurang dari tujuh kali dalam seminggu.

Pencegahan yang bisa dilakukan terhadap Bacterial Vaginosis antara lain dengan :
1. Memperhatikan higiene perorangan
2. Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah
3. Tidak berganti-ganti pasangan
4. Mencari dan mengobati penderita pria yang menjadi sumber infeksi
5. Tidak berhubungan seks selama masa pengobatan atau jika terpaksa berhubungan
seks gunakan kondom.
6. Hindari pembersih daerah kewanitaan dan celana dalam ketat untuk menurunkan
risiko infeksi vaginal
7. Hindari pakaian dalam dari bahan sintesis, untuk mencegah infeksi jamur.
8. Mengobati penderita.

Pencegahan untuk menjaga kesehatan vagina:


1. Obat antiseptik
Jangan membersihkan vagina dengan obat-obatan antiseptik setiap hari atau
sebentar-sebentar dicuci. Bila hendak membersihkan dengan menggunakan obat-obatan
cukup dilakukan dua minggu sekali, yaitu di pertengahan siklus menstruasi.
2. Harus steril
Penggunaan tisu basah atau produk panty liner harus betul-betul steril. Bahkan, kemasannya
pun harus diperhatikan. Jangan sampai menyimpan sembarangan, misalnya tanpa kemasan
ditaruh dalam tas bercampur dengan barang lainnya. Karena bila dalam keadaan terbuka, bisa
saja panty liner atau tisu basah tersebut sudah terkontaminasi.
3. Tidak lembab
Perhatikan kebersihan setelah buang air besar atau kecil. Setelah bersih, jangan lupa
untuk mengelapnya dengan tisu kering atau handuk khusus. Jangan dibiarkan dalam
keadaan lembab.
4. Kebersihan air
Bila buang air kecil di tempat umum, perhatikan kebersihan airnya. Bila ragu, sebaiknya
dilap saja dengan tisu.
5. Gunakan bahan katun
Jangan sekali-kali menggunakan celana yang berbahan nilon. Bahan katun lebih
baik karena menyerap keringat.
6. Tak perlu dibedaki
Jangan memberi bedak/talk pada daerah vagina. Karena bisa menimbulkan keganasan
(kanker) di indung telur.
7. Berkaitan dengan sanggama
Bila melakukan senggama, usahakan sebelum dan sesudahnya baik isteri maupun
suami, menjaga kebersihan alat kelaminnya (kumpulan artikel kebidanan akbid Mardi
Rahayu).

12. Patofisiologi

Sekelompok kuman harus bekerja secara sinergistik untuk menimbulkan kejadian vaginosis.
Flora campuran kuman anaerob dapat tumbuh secara berlebihan sebagai akibat adanya
peningkatan substrat, peningkatan pH, dan hilangnya dominasi flora normal laktobasili yang
menghambat pertumbuhan kuman lain. Pada wanita normal dijumpai kolonisasi strain
Laktobasili yang mampu memproduksi H2O2, sedangkan pada penderita vaginosis terjadi
penurunan jumlah populasi laktobasili secara menyeluruh, sementara populasi yang tersisa
tidak mampu menghasilkan H2O2. Diketahui bahwa H2O2 dapat menghambat pertumbuhan
kuman-kuman yang terlibat dalam vaginosis, yaitu oleh terbentuknya H2O-halida karena
pengaruh peroksidase alamiah yang berasal dari serviks. Dengan meningkatnya pertumbuhan
kuman, produksi senyawa amin oleh kuman anaerob juga bertambah, yaitu berkat adanya
dekarboksilase mikrobial. Senyawa amin yang terdapat pada cairan vagina yaitu putresin,
kadaverin, metilamin, isobutilamin, fenetilamin, histamin, dan tiramin. 6,7
Bakteri anaerob dan enzim yang bukan diproduksi oleh Gardnerella dalam suasana pH vagina
yang meningkat akan mudah menguap dan menimbulkan bau amis, bau serupa juga dapat
tercium jika pada sekret vagina yang diteteskan KOH 10%. Senyawa amin aromatik yang
berkaitan yang berkaitan dengan timbulnya bau amis tersebut adalah trimetilamin, suatu
senyawa amin abnormal yang dominan pada BV. Bakteri anaerob akan memproduksi
aminopeptida yang akan memecah protein menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi
proses dekarboksilasi yang akan mengubah asam amino dan senyawa lain menjadi amin,
yaitu dekarboksilasi ornitin (metabolit arginin) akan menghasilkan putresin, dekarboksilasi
lisin akan menghasilkan kadaverin dan dekarboksilasi betain (metabolit kolin) akan
menghasilkan trimetilamin. Poliamin asal bakteri ini bersamaan dengan asam organik yang
terdapat dalam vagina penderita infeksi BV, yaitu asam asetat dan suksinat, bersifat sitotoksik
dan menyebabkan eksfoliasi epitel vagina. Hasil eksfoliasi yang terkumpul membentuk sekret
vagina. Dalam pH yang alkalis Gardnerella vaginalis melekat erat pada sel epitel vagina yang
lepas dan membentuk clue cells. Secara mikroskopik clue cellsnampak sebagai sel epitel
yang sarat dengan kuman, terlihat granular dengan pinggiran sel yang hampir tidak
tampak.1,6,7

Anda mungkin juga menyukai