Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengungkapkan rincian historis dan analisis peristiwa
torture, terrorism, and genocide (untuk selanjutnya akan saya terjemahkanpenyiksaan, terorisme, dan
genosida). Pembahasan mengenai topik ini juga merupakan suatu bidang yang terlalu luas untuk bisa
dieksplorasi secara memadai dalam sebuah karya tulis. Dengan demikian, pembatasan perlu
dilakukan. Oleh karena tulisan ini menjadi bagian dari mata kuliah moral Kristiani, maka secara lebih
khusus, pandangan Gereja akan lebih mendapatkan perhatian. Saya tidak memulai segalanya dari nol
karena dengan pengalaman terlibat dan bersama orang-orang Kamboja generasi ketiga pasca
genosida untuk membangun sebuah rekonsiliasi dan perdamaian, ditambah dengan studi pustaka
mempelajari berbagai gagasan yang telah dicetuskan oleh para ahli, semoga memberikan resonansi
dan refleksi yang memadai.
Uraian dalam tulisan ini akan dibatasi dalam tiga bagian utama yang akan membahas
penyiksaan,terorisme, dan genosida, secara terpisah lebih dahulu. Dalam setiap bagian, penulis akan
menguraikan definisi lalu menunjukkanbeberapa pandangan mengenai hal ini serta apa yang
sebenarnya menjadi pokok persoalannya. Setelah itu kita akan meninjauapa yang dikatakan oleh
Kitab Suci.Lalu, pandangan Gereja yang akan kita gali dari beberapa dokumen akan dibahas untuk
menerangi pokok persoalan dan untuk melihat sejauh mana Gereja bersikap. Pada bagian terakhir
penulis mencoba memberikan beberapa tanggapan pribadi.
tulang-belulang” atau dikenal sebagai Killing Fields, sekitar 15 kilometer di luar kota Phnom Penh.
Killing fields lain yang pernah saya kunjungi antara lain di propinsi Battambang (ada dua tempat) dan
di propinsi Siem Riep (satu tempat). Dalam kasus ini, penyiksaan dipakai tidak hanya sebagai sarana
interogasi tetapi juga sebagai pemaksaan pengakuan dan pada akhirnya sebagai hukuman menuju
kematian korban.
Di Indonesia sendiri, kita mendengar bahwa kasus penyiksaanuntuk kesekian kalinya
menimpa TKI oleh majikannya, khususnya TKI yang bekerja di Timur Tengah, Malaysia, dan
Singapura. Berita ini begitu memukul rasa kemanusiaan dan harga diri bangsa kita. Penyiksaan yang
dialami mulai dari kekerasan fisik, pemerkosaan, hingga gaji tidak dibayar. Bahkan, banyak dari TKI
yang bunuh diri karena depresi. Semestinya, pemerintah Indonesia belajar dari kejadian-kejadian
sebelumnya, sehingga ada penanganan khusus bagi TKI, terutama perlindungan hukum bagi mereka.
Namun nyatanya, tidak banyak perubahan. Kepedulian pemerintah terhadap TKI sangat rendah
meskipun dengan adanya TKI di luar negeri, pemerintah diuntungkan karena banyak memperoleh
pemasukan devisa.
Mendapati kenyataan tersebut, kita tentu khawatir, penanganan proses hukum kasus
penganiayaan TKI kembali kandas, sebagaimana kasus-kasus kekerasan terhadap TKI sebelumnya.
Banyak kasus tak berakhir pada sanksi pidana terhadap majikan pelaku penyiksaan. Kita tentu
menggugat sikap pemerintah dan aparat penegak hukum di negara-negara penerima TKI, yang
tampaknya tak memiliki komitmen kuat untuk melindungi dan memproses hukum bagi para majikan
yang memperlakukan TKI secara tak adil. Penghormatan atas hak asasi manusia dan penegakan
hukum, jelas tidak pernah dirasakan para TKI. Kasus-kasus penyiksaan dibiarkan larut seiring
perjalanan waktu.
Di tempat lain yaitu di teluk Guantanamo, Kuba, kita mendengar bahwa pada tahun 2002 di
tempat ini didirikan kompleks penjara yang dimaksudkan sebagai “markas” para tersangka terorisme,
yang kebanyakan ditangkap di Afghanistan. Sepertinya, penjara milik AS ini dipakai sebagai bentuk
tindakan balasan terhadap terorisme dan justifikasi atas penyiksaan. Hingga kini terdapat sekitar 500
tahanan, termasuk mereka yang dituduh terlibat Al Qaidah dan tahanan dari perang Irak tahun 2003.
Hasil investigasi Komisi HAM PBB atas penjara Guantanamo menyarankan agar penjara itu ditutup
selamanya dalam tempo secepatnya. Selain karena adanya informasi bahwa situasi di kompleks ini
telah melanggar hukum internasional dan konvensi HAM tentang penyiksaan, komisi HAM juga
mempertanyakan status hukum dan klasifikasi tahanan yang masuk ke Guantanamo2.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 4
Cahyo Christanto _106312007
Oktober 1994. Tentu saja, pada tahun 1948, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia juga
mengatakan bahwa “tidak ada yang harus dikenai penyiksaan atau diperlakukan secara kejam,
perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman.” Konvensi Jenewa 1949 menyatakan
melarang bentuk-bentuk “penyiksaan fisik atau mental dan segala bentuk lain dari pemaksaan”
terhadap tahanan perang15.
which unites him to his Creator: in man there shines forth a reflection of God himself”(EV34).Alasan kedua,
dalam inkarnasi, Yesus Kristus menjadi satu anggota keluarga manusia. Maka semua manusia
disentuh oleh realitas inkarnasi dengan kehadiran dan penebusan Kristus. Dalam EvangeliumVitae,
Paus Yohanes Paulus II menjelaskanbahwa diri Yesus sebagai persembahan satu-satunya di kayu
salib menjadi sumber kehidupan baru bagi semua orang (EV 33).Yesus memiliki hubungan yang
unik dengan setiap orang yang memungkinkan kita untuk melihat di setiap wajah manusia ada wajah
Kristus (EV 81). Hal ini ditegaskan pula dalam Gaudium et Spes,bahwa semua orang mempunyai jiwa yang
berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal mula yang sama.
Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus
semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang (GS 29).
Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa siksaan yang memakai kekerasan fisik atau psikis
untuk memeras pengakuan, untuk menyiksa yang bersalah, untuk menakut-nakuti penentang atau untuk
memuaskan kedengkian, melawan penghormatan terhadap manusia dan martabatnya (No. 2297).Keadilan sosial
sebagai tujuan bersama dalam masyarakat hanya dapat dicapai apabila keluhuran martabat manusia
dihormati. Pribadi adalah tujuan akhir masyarakat; masyarakat diarahkan kepada pribadi-pribadi(No.
1929). Dalam konteks ini, katekismus senada dengan sebuah kalimat dari Paus Yohanes Paulus II
dalam salah satu ensiklik Sollicitudo Rei Sosialisno. 47 bahwa,… This is what is demanded by the present
moment and above all by the very dignity of the human person, the indestructible image of God the Creator, which is
identical in each one of us.Katekismus juga menambahkan bahwa penghormatan pribadi manusia
mencakup penghormatan terhadap hak-haknya, yang timbul dari martabatnya sebagai makhluk(No
1930).
Jika kita perhatikan bagaimana Katekismus Gereja Katolik menggunakan istilah rasa
“hormat” untuk membahas martabat manusia dan hak asasi manusia, maka hal ini berbicara tentang
transendensi martabat manusia. Dalam ajaran sosial Gereja Katolik, sebuah pengakuan sederhana
dari martabat manusia dalam dirinya sendiri tidak cukup.Sebaliknya, pengakuan ini memiliki
konsekuensi yang mengarahkan untuk saling menghormati dan menghargai bagi kehidupan dan hak-
hak manusia.
Paus Benediktus XVI dalam nasihat apostolik tentang Ekaristi (Sacramentum Caritatis)
menyatakan, “Justru karena misteri yang kita rayakan dalamEkaristi, kita harus mengecam situasi
yang bertentangan dengan martabat manusia, karena Kristus menumpahkan darah-Nya untuk
semua”17. Hal ini tentu tidak mengherankan bahwa pemimpin Gereja Katolik berbicara tentang
penyiksaan. Mengapa? Pertama, karena penyiksaan adalah isu moral bagi Gereja. Kedua, karena
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 11
Cahyo Christanto _106312007
sebagai anggota di dalam dunia yang hidup, Gereja ingin memberikan kontribusi kepada masyarakat
dengan cara yang positif, dengan berbagi wawasan dan nilai-nilai yang berkaitan dengan hal-hal yang
paling mendesak pada zaman ini. Maka jelas bahwa posisi Gereja Katolik adalah menentang dengan
tegas hal dan praktek penyiksaan seperti yang tercantum dalam GS 27,Selain itu apa saja yang
berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku,
pengguguran, eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti
pemenggalan anggota badan, siksaan yang ditimpakan pada jiwa maupun raga, usaha-usaha paksaan psikologis;
apa pun yang melukai martabat manusia,... .
3.2. Terorisme
Pada tanggal 11 September 2001, dunia dikejutkan oleh serangan para teroris terhadap
gedung WTC Amerika Serikat. Beberapa teori mencoba menganalisis peristiwa ini: analisis pertama
mencoba menjelaskan peristiwa ini sebagai peristiwa yang telah direncanakan oleh pemerintah AS
sendiri. Pendapat ini diungkapkan Judy Wood and Morgan Reynolds (guru besar pada Texas
University, AS) yang menyatakan bahwa belum ada bangunan baja yang ambruk hanya karena
kobaran api18.Pendapat kedua, Michael Meacher (mantan Menteri Lingkungan Inggris, 1997 – 2003)
berpendapat, ”Perang melawan terorisme dijadikan tabir kebohongan guna mencapai tujuan-tujuan
strategis geopolitik AS”19.Pendapat selanjutnya, Steven E. Jones (guru besar fisika pada Birgham
Young University, USA), dalam kertas kerjanya berjudul “Why Indeed Did the WTC Buildings
Collapse?”20melakukan penelitian dari sudut teori fisika mengatakan bahwa kehancuran dahsyat
seperti yang dialami Twin Tower serta gedung WTC 7 hanya mungkin terjadi karena bom-bom yang
sudah dipasang pada bangunan-bangunan tersebut. Analisis kedua mengatakan bahwa pemerintahan
Bush tidak merencanakan tetapi mereka tahu akan terjadi dan tidak melakukan apapun untuk
mencegahnya dan pada kenyataannya telah memungkinkan hal ini terjadi, dan analisis ketiga melihat
bahwa peristiwa ini direncanakan dan dilaksanakan oleh kelompok teroris 17 (14 di antaranya dari
Arab Saudi)21. Lepas dari perdebatan teori-teori ini, teror bom yang meruntuhkan gedung WTC
Amerika telah merenggut tak kurang dari 3000 jiwa.
Di Indonesia sendiri, teror bom buku yang marak dewasa ini dan diarahkan kepada Ulil
Abshar,Japto S. Soerjosoemarno, dan Ahmad Dhani adalah rangkaian teror bom yang seakan tak
pernah selesai semenjak tragedi bom menghantam beberapa kedutaan, gedung Bursa Efek Jakarta,
beberapa kota pada malam Natal tahun 2000. Rentetan peristiwa teror bom di Indonesia sejak tahun
2000 sampai 2009 dapat kita simak secara rinci pada
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 12
Cahyo Christanto _106312007
situs:http://indocashregister.com/2009/07/18/rentetan-serangan-bom-teroris-di-indonesia-2000-
2009/.
dari perbuatan tersebut dalam keadaan khusus, bahkan juga tanpa mempertimbangkan akibat jangka
panjangnya.
Berkaitan dengan penggunaan kekerasan yang berhubungan dengan teror, secara singkat
Immanuel Kant berpendapat, “Everyone may use violent means to compel another to enter into a juridical state of
society”27.Meskipun demikian, kita mungkin setuju bahwa negara dengan ketentuan hukum yang
mewajibkan, memungkinkan kekerasan demi sebuah pertahanan atau pembelaan diri, akan
tetapi melarang penggunaan atau kemungkinan penggunaan kekerasan tentunya jauh lebih baik dan
bermanfaat jika didasarkan pada perjanjian bersama tanpa paksaan. Mereka yang setuju dengan
kemungkinan penggunaan kekerasan, tidak bisa memaksakan sistem ini kepada mereka yang tidak
bisa menerimanya.Kritik lain bagi Kant berhubungan dengan tindakan teror adalah bahwa dia
melihat usaha untuk menghindari adanya kekerasan atau teror hanyalah berdasarkan sebuah
kewajiban atau peraturan saja tanpa menggunakan kesadaran moral pribadi untuk menilai usaha-
usaha menghindari terorisme ini.
Gambaran Tuhan yang menurut kutipan-kutipan Perjanjian Lama di atas ternyata sarat
dengan teror dan kekerasan. Saya ingin mengingkari teks-teks tersebut karena tidak lagi sesuai untuk
masa kini.Gambaran Tuhan yang penuh kekerasan ini tidak mendukung hidup kebersamaan kita,
bisa saja, usaha-usaha menjalin perdamaian dan kerukunan dengan kelompok yang lain menjadi
berantakan lagi.
Pemikiran Nelson-Pallmeyer34 bisa menerangi kita untuk menjelaskan mengapa dalam teks-
teks suci agama-agama monoteis (Yudaisme, Kristianisme, dan Islam) mencantumkan kekerasan
seperti ini. Kekerasan ini lebih berakar dalam tradisi kekerasan seolah-olah Tuhan sendiri
menghendakinya dan hal ini lalu dianggap benar. Seakan-akan tradisi ini sudah tersurat di dalam inti
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 18
Cahyo Christanto _106312007
teks-teks suci agama. Terhadap pemahaman seakan ada tradisi kekerasan Tuhan ini, otoritas agama
takut mempertanyakannya karena sepertinya akan mengancam kebenaran pesan Tuhan, atau akan
menggoyahkan dasar keimanan. Bahkan sebelum menafsirkan, ruang gerak pemahaman sudah
dibatasi oleh sebuah struktur pemaknaan yang dominan, yaitu kekerasan. Dalam kekerasan agama-
agama, gambaran Tuhan yang menonjol ialah Tuhan sebagai penghukum, penganiaya, pembalas
dendam, pembantai, dan sewenang-wenang. Pemahaman Nelson-Pallmeyer ini selanjutnya akan
diperdalam pada pembahasan berikutnya, yaitu tentang genosida dalam Kitab Suci.
Paus Yohanes Paulus II mendefinisikan terorisme sebagai adanya niat untuk membunuh
orang dan menghancurkan hak milik tanpa pandang buludan untuk menciptakan kepanikan dan rasa
tidak aman, dan sering dengan melakukan sandera35. Paus melanjutkan dengan menyatakan bahwa
ideologi atau keinginan untuk membangun masyarakat, tidak pernah dapat membenarkan motivasi
teror, ini adalah tindakan yang tidak manusiawi.Terorisme bahkan secara moral sudah salah pada
dirinya (intrinsicly evil), sebab “keputusan dan tindakan seperti itu (teror), yang kadang-kadang
mengakibatkan pembantaian nyata dan penculikan orang tak bersalah yang tidak ada hubungannya
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 19
Cahyo Christanto _106312007
dengan konflik, mengklaim memiliki tujuan dan propaganda demi sebuah kemajuan. Hal ini menjadi
semakin buruk ketika tujuan akhir mereka adalah pembunuhan diri mereka sendiri.”
Dalam majalah Zenit, Paus Yohanes Paulus II berkomentar, “Tanggapan kita terhadap
terorisme juga harus melibatkan berikut ini: kesediaan orang beriman untuk terlibat dalam doa yang
tulus kepada Allah …, kesediaan untuk aktif dalam solidaritas … supaya kita selalu
memeliharakeluhuran moral demi masa depan peradaban itu sendiri. Paus mengatakan
bahwaterorisme harus dikecam dan dikutuk karena penggunaan kekerasan dalam berbagai bentuknya
tidak membuat kemungkinan yang baik bagi penyelesaian konflik atau pembentukan dasar untuk
sebuah masyarakat yang menghormati sesama anggotanya. Paus berpendapat bahwa kekerasan
terorisme menghambat semua kehidupan sosial dan mengurangi hak-hak paling mendasar dari
manusia dan masyarakat untuk mewujudkan perdamaian dan perkembangan integral”36.
pembersihan adalah kelompok keturunan Vietnam, Cina, dan Islam-Cham. Pembersihan dilakukan
dengan pengusiran atau menghukum mati39.
Ketika saya berkunjung ke penjara Tuol Sleng, Phnom Penh, kata torture, genocide, and terrorism
yang terlintas dalam pikiran seperti menyatu dan tak bisa dilepaskan satu sama lain. Betul, bahwa
ketiga kata itu bisa berdiri terpisah menunjuk pada tempat dan kepentingannya di mana historisitas
peradaban manusia pun seringkali dibaca sebagai data statistik belaka. Maka statistik bisa
menyebutkan banyak peristiwa selain genocide di Kamboja seperti sebuah repetisi di mana kita bisa
melihat hal serupa pernah terjadi terhadap orang Yahudi, orang Gipsi (Sinti dan Roma) dan
suku bangsa Yahudi oleh kaum Nazi Jerman pada Perang Dunia II, menimpa bangsa Armenia oleh
beberapa kelompok Turki pada akhir Perang Dunia I, dialami suku Hutu dan Tutsi di Rwanda pada
tahun 1994 oleh terutama kaum Hutu, dan masih banyak lagi yang secara khusus akan dibahas pada
bagian berikutnya.
Beberapa film yang berusaha menggambarkan peristiwa genocide adalah The Killling Fields yang
disutradarai Rolland Joffe (1984) dan Year Zero: The Silent Death of CambodiakaryaJohn Pilger (1979),
yang mengisahkan situasi di Kamboja tahun 1975-1978. Filmberikutnya yang cukup fenomenal
adalah Sometimes in Aprilkarya Raoul Peck (2005) dan Hotel Rwandakarya Terry George (2004), kedua
film ini memberikan kisah dan gambaran situasi yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994. Akan
tetapi, kenyataan sebenarnya yang terjadi di lapangan jauh lebih tragis dan kompleks dari apa yang
bisa kita saksikan di film. Genocide yang terjadi di manapun merupakan sebuah cerminan gagalnya
negara menjamin keamanan internal dan perlindungan bagi warga negaranya. Locus genocide menjadi
sebuah failed state yang menjadi ancaman bagi warganegaranya sendiri. Terror, torture, and genocidejuga
memiliki dampak sistemik terhadap stabilitas kawasan negara tetangga dan menyita perhatian dunia
internasional terkait dengan isu moralitas dan Hak Asasi Manusia (HAM).
3.3.1. Definisi
Kamboja adalah salah satu sejarah kelabu genosida dari sekian banyak tempat lain di dunia.
Beberapa tempat terjadinya genosida yang bisa disebutkan di sini adalah:Ukraina, Armenia, Sikh,
Yamomami, Guatemala, Kashmir, Irak, Tamil, Khojali, Bosnia, Penduduk asli Amerika, Kurdish,
Mongol, Nuba, Yahudi-Holocaust, Nanking, Rwanda, dan Darfur40.
Istilah genocide atau genosida tidak dipakai sebelum tahun 1944. Ini adalah istilah yang sangat
khusus mengacu pada kejahatan dan kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok dengan maksud
menghancurkan eksistensi kelompok. Pada tahun 1944, seorang holocaust survivor sekaligus pengacara
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 21
Cahyo Christanto _106312007
Kejahatan di Timor Leste yang terjadi selama satu dekade dengan korban sekitar 150.000
orang tewas, dari jumlah total penduduk 650.000 jiwa, dengan jelas memenuhi kriteria-kriteria
sosiologis genosida yang biasa digunakan para ahli untuk membahas fenomena tersebut dan juga
menekankan baik kelompok etnis maupun kelompok politik dapat dipandang sebagai korban
genosida47. Korban yang jatuh di Timor Leste bukan lagi sekedar “sebagian” dari “kelompok
nasional” Timor yang dihancurkan akibat perlawanan terhadap pendudukan tentara Indonesia.
Selain anggota keluarga gerakan Fretilin, kekejian itu juga diarahkan terhadap dua puluh ribu
minoritas etnis keturunan Tionghoa yang tinggal di kota-kota besar di Timor Leste. Pihak militer
Indonesia telah menjadikan kelompok-kelompok itu sebagai target penghancuran karena status etnis
kelompok Tionghoa, bukan yang lainnya. Kekerasan terhadap kelompok minoritas Tionghoa terjadi
lagi pada tragedi Mei 1998 yang menurut Ester Jusuf dkk., dalam bukunya yang berjudul “Kerusuhan
Mei 1998, Fakta, Data & Analisa”, menelan 1.339 jiwa warga Indonesia, termasuk hampir seratus
perempuan Indonesia etnis Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual dan diperkosa, lebih dari
5.723 bangunan, 1948 kendaraan dan 516 fasilitas umum dibakar di beberapa kota besar di
Indonesia48.
▪ Imamat 26:7,” Kamu akan mengejar musuhmu, dan mereka akan tewas di hadapanmu
oleh pedang.”
▪ I Sam15:3,“Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada
padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki
maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun
domba, unta maupun keledai.”
Pesan-pesan yang mengerikan kita dapatkan dari gambaran Tuhan sebagai hakim yang
pembalas dan pencemburu. Dia tidak kenal ampun.Kita mendapatkan gambaran Tuhan yang penuh
kuasa dan penuntut balas yang akan menunjukkan bahwa tidak ada Tuhan selain Yahwe, Allah
Israel. Jalan keluar termudah bagi kita untuk menjelaskan hal ini adalah dengan bersikeras
menyatakan bahwa kekerasan dalam Perjanjian Lamatidak ada hubungannya dengan Yesus dan
ajarannya kasihnya. Meskipun dalam Perjanjian Baru, Yesus beberapa kali mengutip tentang
hukuman kekal setelah kematian (Mat 18:9, 23:33). Atau kita dapat mengklaim bahwa
gambaranAllah yang lama telah digantikan oleh Yesus yang berbelas kasih.
Anjuran lain mengatakan bahwa kita tidak bisa begitu saja menafsirkan Kitab Suci secara
harafiah.Merujuk pemikiran Nelson-Pallmeyer, ia menyebutkan bahwa sebenarnya ada masalah yang
lebih mendasar lagi di balik penafsiran, yaitu bahwa kekerasan yang seakan-akan dikehendaki Tuhan
dipakai sebagai alat pembenaran kejahatan, kekerasan, penumpasan, dan balas dendam. Maka kita
bisa saja membaca bahwakekerasan ini diputuskan sendiri oleh bangsa Israel dengan mengklaim
legitimasi ilahi untuk tindakan barbar di belakangnya. Kekerasan yang seakan kehendak Tuhan ini tak
lain adalah proyeksi manusia tentang hukuman dan balas dendam untuk pembenaran kekerasan.
Kekerasan tampil menjadi bagian dari kesucian-Nya sebagai alat penegakan keadilan. Kekerasan
Tuhan tampil sebagai Avatar atau samaran dari bentuk pembebasan dan dalam rangka mengajak
pertobatan. Maka, kebengisan atau kebiadaban dengan sukses telah direduksi menjadi kekerasan
spiritual yang diterima sebagai fungsi korektif dan liberatif. Penggunaan ancaman ilahi terhadap
perilaku yang menyimpang dari hukum sudah dianggap wajar karena demi kebaikan manusia sendiri.
Teologi yang hanya memusatkan acuan pada kekerasan Tuhan seperti ini akan menumbuhkan sistem
keyakinan yang rentan konflik. Pertama, karena usaha mencari kebenaran selalu bersinggungan
dengan kekerasan di mana Tuhan menjadi dalih pembenaran. Kedua, penghancuran atau kekerasan
mendapat legitimasi Kitab Suci. Ketiga, keberhasilan dianggap sebagai anugerah Tuhan, sedangkan
kegagalan atau penderitaan diterima sebagai hukuman Tuhan. Keyakinan macam ini memunculkan
sikap eksklusif, melihat dunia sebagai hitam atau putih, kawan atau lawan, orang pilihan atau
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 24
Cahyo Christanto _106312007
pendosa. Orang lain yang berbeda, entah agama, suku atau ras, pandangan politik atau pandangan
hidupnya harus dipertobatkan, kalau menolak akan dihancurkan.
Maka Nelson-Pallmeyer, selain mengajak untuk mempertanyakan tradisi kekerasan atas nama
Tuhan yang tersurat dalam teks-teks Kitab Suci, juga mengajak untuk membebaskan imajinasi agar
berani berpikir melampaui ketentuan-ketentuan religius, lebih-lebih membebaskan diri dari asumsi
patriarkal. Pencarian jalan keluar dari tema-tema kekerasan (penyiksaan, teror, dan juga genosida) di
dunia ini seharusnya bisa menjadi perekat hidup beragama. Untuk tujuan ini dibutuhkan pemahaman
baru tentang kekuatan ilahi dan manusia49.
pertengahan tentang neraka penyiksaan. Latar belakang munculnya paham totalitarianisme yang
akan kita bahas selanjutnya, akan ditopang dengan bantuan pemikiran Levinas.
Setelah Descartes, ada kecenderungan berbahaya untuk memisahkan dua fenomena budaya:
humanisme dan rasionalitas. Kita membutuhkan bantuan pemikiran untuk menunjukkan bagaimana
lebih mengharmonisasikan dua fenomena yang disebutkan. Salah satu bantuan yang dapat kita acu
adalah filsafat humanistik Emmanuel Levinas. Pemikiran Levinas menantang tradisi filosofis
rasionalistik barat, yang dampaknya memunculkan usaha untuk meneguhkan identitas budaya baru
Eropa. Jelas hal ini menimbulkan ancaman terhadap identitas budaya asli Eropa karena pengaruh
pemikiran yang membentuk lingkungan budaya dalam keseragaman, kadang-kadang memunculkan
konsekuensi yang tidak diinginkan.
Levinas dilahirkan di Lithuania pada tahun 1902. Pada masa holocaust, ia pernah ditangkap
tahun 1940 dan menghabiskan sisa lima tahun perang di dua kamp tawanan perang. Setelah
dibebaskan, ia kembali ke Lithuania dan menemukan bahwa orangtua dan saudaranya telah dibunuh
oleh Nazi, sementara istrinya, yang telah ditinggalkan di Paris, telah selamat berkat bantuan dari
biarawati Perancis yang menyembunyikannya. Pengalaman inilah yang secara dramatis mengubah
pemikiran Levinas. Sebelum Perang Dunia II, ia hanya mengkritik unsur-unsur pemikiran Eropa
abad ke-20, kemudian ia mulai menyerang tradisi filsafat seluruh Eropa, puncaknya adalah terhadap
pemikiran Heidegger, karena apa yang dia anggap ketidakpedulian terhadap etika dan “totalizing of the
other.” Ia mengkritik ketergantungan buta pada konsep yang luas, seperti konsep “roh” Hegel, atau
“menjadi” Heidegger, yang menggabungkan individu yang tak terhitung jumlahnya untuk sebuah
proses rasional, sehingga meniadakan individualitas mereka. Usaha untuk membuat keseragaman ini
atau “totalizing of the other” diterapkan begitu saja dan menolak memandang realitas dunia dan interaksi
individu. Levinas berpendapat bahwa “tatap muka” realitas ini tidak sama dengan konsepsi abstrak
filsafat barat. Pembahasan tatap muka ini sendiri pun sudah merupakan suatu bidang etika. Maka
“yang lain atau liyan,” adalah karakteristik yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, di mana
tradisi filsafat barat telah mengabaikannya dan bahkan menegasinya sehingga memberikan kontribusi
pada dehumanisasi manusia.
Kehidupan dan pemikiran Levinas amat dipengaruhi oleh trauma genosida Nazi. Tetapi apa
yang unik tentang pemikirannya adalah bahwa ia menolak melihat peristiwa mengerikan ini sebagai
subjek utama pembahasan. Bagi Levinas, penamaan peristiwa ini hanya menjadikannya hewan
peliharaan kita. Pemikiran Levinas sebagai reaksi terhadap fakta holocausttak pernah berhenti dengan
mengajukan pertanyaan penting: Apa artinya menjadi manusia? Maka, dua kata yang tepat untuk
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 26
Cahyo Christanto _106312007
merangkum seluruh filsafat Levinas adalah “menjadi manusia.” Filosofi ini menegaskan bahwa
seluruh rasionalitas, akan menjadi ekstrim dan tidak seimbang tanpa imajinasi, perasaan, indra dan
semangat, tidak peduli dengan dimensi etika kehidupan. Semua hal ini sama saja dengan penolakan
untuk “menjadi manusia,” karena membiarkan diri menjadi sesosok monster. Akar filosofis yaitu ego
dari mana individualisme ekstrim zaman modern muncul, memberi ruang terhadap tumbuhnya
nasionalisme ekstrim. Dalam upaya ini, Levinas mengajukan pernyataan bahwa etika lebih “tua” dari
filsafat dan etika adalah “filsafat pertama,” sebelum datangnya pemikiran rasional, sebagai sesuatu
yang telah tertanam dalam diri manusia.
Pemikiran ini baru, khususnya dalam konteks orang Yahudi yang menjadi korban dalam
holocaust, refleksi filsafat harus mempertanyakan klaim keseragaman atau totalizing of the other, dengan
mengacu pada prioritas etika dan moral. Hal ini menegaskan bahwa setiap orang yang saya jumpai
perlu ditempatkan di luar kategori “total,” karena dengan kategori ini saya hanya memandangnya
sebagai aspek dari sebuah sistem rasional. Pada dasarnya, apa yang dilakukan Levinas adalah
memindahkan potensi bahaya dari kemampuan manusia untuk menyangkal kemerdekaan dan
perbedaan hakiki dari “yang lain” di mana kemampuan ini pun sanggup menghancurkan
kemanusiaan kita sendiri.
Levinas menunjukkan kepada kita cara untuk menjaga manfaat etika universal pencerahan
sambil menghindari bahayanya. Etikanya tidak didasarkan pada keseragaman semacam
universalisme, tetapi pada kebutuhan khusus dan tuntutan dari masing-masing individu yang unik,
setiap “yang lain yang saya temui dalam ruang dan waktu.” Setiap kali saya bertemu dengan yang lain,
mereka menjadi tantangan etis bagi diri saya, sebuah tantangan untuk menjadi siapakah saya sebagai
manusia.
Pendasaran ajaran ini didasari oleh martabat yang erat melekat pada pribadi manusia.
Gagasan tentang martabat manusia bersumber pada keyakinan bahwa manusia diciptakan menurut
gambar dan kesamaan dengan Allah (bdk. Kej 1:27). Fakta bahwa setiap orang adalah citra Allah
memiliki beberapa konsekuensi penting. Pertama, setiap orang memiliki martabat yang sama, yang
mengalir dari kecitraannya dengan Allah. Martabat itu semata-mata merupakan anugerah Allah.
Maka, selama ia adalah manusia yang diciptakan oleh Allah dan karenanya secitra dengan Allah, ia
punya martabat, derajat, dan hak yang sama dengan manusia lain (bdk. Compendium Ajaran Sosial
Gereja art. 111). Segala perbedaan manusia karena warna kulit, bahasa, agama, kelompok, pangkat,
posisi, identitas, dan sebagainya runtuh dan tidak bisa menjadi kriteria utama dalam menentukan
bagaimana harus bersikap terhadap orang lain.
Konsekuensi kedua, karena secitra dengan Allah, maka pribadi manusia jauh lebih penting
daripada benda dan ciptaan lain (bdk. Compendium Ajaran Sosial Gereja, art. 133). Karena itu,
manusia tidak pernah bisa dan tidak boleh diperlakukan sebagai sarana atau alat. Justru karena
sederajat dalam martabat dan hak, tidak ada manusia yang berhak memperalat manusia lain. Setiap
tindakan memperalat manusia demi kepentingan manusia lain otomatis berarti merendahkan
martabat manusia. Namun, tidak hanya berhenti di situ. Karena manusia adalah citra Allah dan
ciptaanNya yang paling sempurna, tindakan tersebut juga bermakna merendahkan Allah sendiri.
Secara positif, hal itu dapat dirumuskan sebagai “manusia adalah tujuan”.
Berangkat dari prinsip-prinsip ajaran Gereja ini, bersama dengan beberapa dokumen Gereja
yang telah dibahas pada bagian ‘penyiksaan’ dan ‘terorisme’ sebelumnya, dapat menjadi pendasaran
kembali untuk membahas permasalahan genosida sebagai permasalahan yang lebih khusus dari
kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Dokumen-dokumen Gereja yang digunakan (KGK 1929,
1930, 2297, 2298; EV 33,34, 81; GS 27, 29, SRS 47) sebagai acuan sikap dan kesadaran untuk
menumbuhkan budaya kehidupan selalu bisa digali lagi. Dengan pengandaian ini, untuk menghindari
repetisi, dokumen-dokumen sebelumnya yang sudah kita bahas, akan dipertajam dengan latar
belakang ringkas sejarah dan refleksi teologi terhadap peristiwa genosida.
Pembahasan kita tentang Gereja Katolik dan Genosida, mau tak mau melibatkan unsur
sejarah, politik, filsafat, dan teologi di dalamnya. Masalah moral tidak bisa hanya dilihat bagaimana
pandangan resmi Gereja terhadap kasus ini saja. Dinamika Gereja yang hadir dan bergerak dalam
historisitas dan situasi konkrit kemanusiaan menjadikan refleksi-refleksi tentang moral di dalamnya
tak pernah usang digali dan terus mengusik kesadaran hati nurani kita.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 28
Cahyo Christanto _106312007
Isu yang paling signifikan dalam membahas Gereja dalam konteks keprihatinan genosida
adalah perannya sebelum dan selama Holocaust. Dalam peristiwaHolocaust, Gereja berdiri di antara
pihak yang dikenakan beberapa tanggung jawab moral karenadianggap memicu anti-Semitisme
sepanjang sejarah Eropa, atau setidaknya, karena gagal untuk mengecam atau mengutuk kejahatan
atas dasar moral dan spiritual.
Banyak pihak melihat Paus Pius XII (Maria Giuseppe Giovanni Pacelli) sebagai pembela
kemerdekaan Yahudi dalam menghadapi serangan Nazi. Dia menciptakan Komisi Bantuan
Kepausan yang mandatnya adalah memberi bantuan kepada korban Perang Dunia II. Ia juga diyakini
telah membuka Tahta Suci untuk pengungsi Yahudi selama pendudukan Nazi di Roma pada bulan
September 1943.Pius XII diperkirakantelah membantu menyelamatkan sebanyak 1,5 juta pengungsi,
termasuk Yahudi, dengan memberikan mereka kewarganegaraan Vatikan. Pius XII juga bertanggung
jawab untuk melindungi para imam Yahudi saat Nazi menyerang kelompok ini. Selain itu, badan-
badan bantuan Yahudi yang memberi sumbangan besar kepada Gereja Katolik pada akhir perang
telah secara resmi mengakui peran kemanusiaan Paus ini51. Namun demikian, Paus Pius XII juga
dikritik karena gagal mencegah terjadinya genosida selama Perang Dunia II. Banyak yang
berpendapat bahwa sebagai pemimpin spiritual Gereja Katolik selama periode yang penuh gejolak, ia
memiliki kewajiban moral untuk mengadopsi posisi publik yang kuat dan secara eksplisit mengutuk
peristiwa sedang berlangsung di Eropa waktu itu52.
Pembelaan yang sering disodorkan untuk menjelaskan kurangnya pernyataan publik oleh
Vatikan selama Holocaust adalah bahwa Paus tidak menyadari skala tragedi yang sedang terjadi, ia
percaya insiden kekerasan terhadap orang-orang Yahudi yang menjadi sporadis, bukan bagian dari
kebijakan negara yang disengaja ditujukan pada pemusnahan terorganisasi dari sebuah kelompok
etnis dan agama53. Pada tahun 1942,melalui radio siaran malam Natal Paus mengakui bahwa “ratusan
ribu orang yang bukan karena kesalahan mereka sendiri, dan semata-mata karena bangsa atau ras,
telah dijatuhi hukuman mati atau kepunahan progresif,”tetapi ia tidak membuat referensi langsung
yang menyebutkanorang Yahudi sebagai korban. Pembelaan berikutnya adalah anggapan bahwa
posisi Gereja Katolik yang netral. Namun, di sisi lain ada bukti yang jelas bahwa Gereja mengecam
kekejaman yang dilakukan oleh Uni Soviet. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja toh tidak netral
dengan keputusannya.
Usaha rekonsiliasi antara Gereja Katolik dan masyarakat Yahudi juga telah dilakukan. Pada
tahun 1965, Vatikan mengeluarkan dekrit kepausan berjudul Deklarasi tentang Hubungan Gereja
dengan Agama bukan Kristiani (Nostra Aetate). Dokumen ini diumumkan oleh Paus Paulus VI pada
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 29
Cahyo Christanto _106312007
tanggal 28 Oktober 1965, deklarasi ini mengakui pemisahan yang telah ada antara Gereja Katolik dan
komunitas Yahudi sepanjang sejarah. Pada artikel 4 dinyatakan:
Meskipun para pemuka bangsa Yahudi beserta para penganut mereka mendesak kematian Kristus,
namun apa yang telah dijalankan selama Ia menderita sengsara tidak begitu saja dapat dibebankan sebagai
kesalahan pada semua orang Yahudi yang hidup ketika itu atau kepada orang Yahudi zaman sekarang. Walaupun
Gereja itu umat Allah yang baru, namun hendaknya orang-orang Yahudi jangan digambarkan seolah-olah dibuang
oleh Allah atau terkutuk, seakan-akan itu dapat disimpulkan dari Kitab suci. Maka hendaknya semua berusaha,
supaya dalam berkatekese dan mewartakan Sabda Allah jangan mengajarkan apa pun, yang tidak selaras dengan
kebenaran Injil dan semangat Kistus. Selain itu Gereja, yang mengecam segala penganiayaan terhadap siapapun
juga, mengingat pusaka warisannya bersama bangsa Yahudi. Gereja masih menyesalkan kebencian, penganiayaan,
pun juga unjuk-unjuk rasa antisemitisme terhadap bangsa Yahudi, kapan pun dan oleh siapa pun itu dijalankan,
terdorong bukan karena motivasi-motivasi politik, melainkan karena cinta kasih keagamaan menurut Injil.
Peristiwa Holocaustbagi JB. Metz adalah peristiwa krisis formatif dirinya sebagai salah seorang
teolog Jerman. Sebagai seorang remaja yang mengalami masa perang dunia II, Metz bersama para
survivor holocaust,menggugat Tuhan yang seolah-olah cuci tangan dalam penderitaan. Berdasarkan
pengalaman pribadinyaberhadapan dengan penderitaan, Metz mengkritik teologi apatis yang diam
manakala hal ini terjadi. Sebaliknya menurut Metz, kita semua didesak untuk ikut serta mengubah
sejarah kehidupan. Metz menolak pandangan Rahner dan Hans Urs von Balthasar yang melihat
inkarnasi dan penyaliban Yesus sebagai jalan rekonsiliasi penderitaan dan kasih. Tuhan menurut
mereka,telah berpartisipasi dalam penderitaan, maka hal ini juga menjadi bagian dari kondisi
kemanusiaan. Metz tidak setuju dengan teologi ini yang seolah-olah tuli dan laridari kenyataan brutal
yang menimpa orang-orang Yahudi. Metz merintis teologi naratif dengan fokus pada kritik memori
dan menempatkan kisah Yesus sebagai sumber pengharapan54.Berkaitan dengan peristiwa genosida,
teologi Metz berlawanan dengan Jurgen Moltmann. Metz meyakini bahwa kedukaan Yesus tidak
dapat dibandingkan dengan kesedihan dan penderitaan siapapun di Auschwitz, sebab Yesus dengan
kesadarannya memilih penderitaan itu, sedangkan para korban selama Holocaust adalah orang-orang
yang ditekan dan dipaksa. Narasi yang menyoroti penderitaan mengungkapkan kebenaran bahwa
sejarah kita dipenuhi dengan penindasan. Contoh kisah penderitaan yang melekat dalam tradisi iman
Yahudi dan Kristiani tidak bisa diabaikan begitu saja. Maka narasi harus pula dapat menerangkan
analisis penyebab penderitaan.
Pengenangan masa lalu demi kepentingan masa depan dalam konteks dunia yang tidak
sempurna karena cacat dan dosa dapat memunculkan bahaya sebab bagi orang Yahudi dan Kristen,
harapan bagi penebusan dapat dan seharusnya mencetuskan protes melawan penderitaan. Memori,
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 30
Cahyo Christanto _106312007
kemudian, digunakan untuk berperan sebagai fungsi pembebasan untuk narasi-narasi religius, yang
akan membantu manusia saat kini menjadi sadar akan kebebasan manusia setara dengan potensinya
dan kemampuan menentukan dirinya dalam sejarah. Narasi penderitaan dapat menjadi katalisator
dari moral shock yang mengarahkan kita menuju solidaritas bersama para korban dan protes
menentang kejahatan kepada sesama manusia55.
Dalam terang inisiatif Gereja setelah Nostra Aetate dan refleksi teologi Metz, ternyata respon
Gereja terhadap diskriminasi dan genosida yang terjadi di Rwanda tahun 1994, sungguh-sungguh
mengejutkan.Menurut imam yesuit,Jean-Pierre Karegeye, genosida itu secara moral mengerikan
daninilah bentuk kejahatan yang sungguh-sungguhmengabaikan Tuhan, dan karenanya menjadi
bentuk baru dari ateisme. Karegeye mengajukan beberapa pertanyaan penting56, “Bagaimana
mungkin orang Katolik membunuh orang Katolik lainnya? Bagaimana mungkin Orang
KatolikRwanda yang berusaha mewujudkan komitmen iman mereka, telah melakukan kekejaman
sebengis itu? Bagaimana mungkin orang-orang yang tampaknya sederhana dan sopan, memiliki hati
yang kasar dan berani melakukan kejahatan di luar batas? Apakah genosida adalah dosa yang
mengganggu hubungan antara Allah dan para pelaku dalam wacana resmi Gereja
Katolik? Bagaimana kita dapat menjelaskan situasi yang janggal ini ketika para imam yang terlibat
dalam kejahatan genosida masih bisa berjalan-jalan di paroki-paroki di negara-negara Eropa? Dan
mengapa mereka dilindungi oleh Vatikan terhadap setiap proses hukum yang diajukan? Sikap Gereja
Katolik terhadap genosida tampaknya menunjukkan bahwa hirarki nilai-nilai agama tidak sebanding
dengan hirarki standar moral”.
Di Rwanda pada umumnya, kepemimpinan gereja-gereja Kristen, terutama Gereja Katolik,
memainkan peran sentral dalam penciptaan dan kelanjutan ideologi rasis. Gereja-gereja memupuk
dan memelihara sebuah sistem yang diperkenalkan orang Eropa. Banyak blok bangunan ideologi ini,
tetapi beberapa bisa disebutkan di sini:(1) Visi rasis masyarakat Rwanda yang dibawaoleh para
misionaris dan kolonialis yaitu dengan mengembangkan tesis tentang kelompok mana yang datang
pertama dan terakhir untuk menempati negara (mitos Hamitic dan Bantu). (2) Para misionaris dan
kolonialis dengan ketat mengendalikan penelitian sejarah dan antropologi. (3) Penyusunan kembali
komposisi masyarakat Rwanda melalui manipulasi identitas etnis berdasar situasi sosio-politik
prakolonialisme identitas ini berangsur-angsur menjadi rasial. Pada akhirnya, beberapa konsep
menjadi bias, di mana demokrasi menjadi statistik saja, bukan demokrasi lagi tetapi demografis57.
Sebuah ekspresi dari filosofi Kinyarwanda “nyamwinshi rubanda”, yang secara politik berarti
“Hutu yang terbesar”, semakin mendominasi politik Rwanda setelah revolusi tahun 1959 dan
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 31
Cahyo Christanto _106312007
mengabaikan prinsip dasar demokrasi. Awal genosidayang terjadi di Rwanda sejak tahun 1959 itu
dimaksudkan untuk mempertahankan kekuasaan “mayoritas Hutu” dengan membunuh
Tutsi.Otoritas Gereja berkontribusi pada penyebaran teori rasis terutama melalui sekolah-sekolah
dan seminari. Para elit yang memerintah negeri ini pasca kemerdekaan dilatih di sekolah
tersebut.Menurut sejarawan Gereja Paulus Rutayisire58, stereotipe yang digunakan oleh pemerintah
Rwanda Hutudidominasi untuk dehumanisasi Tutsi, juga disebarkan oleh beberapa pendeta
berpengaruh, imam, danuskup sebelum dan sesudah genosida.Gereja Katolik dan kekuasaan kolonial
bersama-sama dalam mengorganisasi kelompok politik rasis seperti Partai untuk Emansipasi Hutu
(Parmehutu).
Apakah Gereja mengambil bagian dalam persiapan ideologis genosida? Jawabannya jelas
tidak. Dasar tuduhan ini adalah jelas bermuatan politik. Tuduhan utama mengenai Gereja adalah
karena mengubah dukungannya dari elit Tutsi pada penciptaan sebuah revolusi yang dipimpin Hutu,
sehingga mayoritas Hutu semakin berkuasa. Kritik sekali lagi terus menimpa Gereja karena dianggap
bertanggung jawab atas hasutan kebencian, melindungi pelaku, dan gagal melindungi mereka yang
mencari perlindungan di dalam tembok. Ada juga orang-orang yang percaya bahwa, sebagai
pemimpin spiritual mayoritas penduduk di Rwanda, Gereja secara moral bertanggung jawab karena
gagal mengambil semua langkah yang tersedia untuk mengakhiri pembunuhan.
Fakta suram historisitas Gereja berhadapan dengan Holocaust dan Rwanda, membuat teolog
Robert Schreiter gelisah dan mengajak kita semakin fokus dalam upaya rekonsiliasi. Menurut
Schreiter beberapa syarat yang amat perlu ditekankan untuk mencapai rekonsiliasi sejati adalah59:
(1).The Church must forbear to advance “cheap reconciliation” by calling on victims to merely forgive and forget.
(2).The Church must accept a mandate to concentrate on restoring the truth and revealing the root causes and
psychopolitical dynamics the led such events as the Rwandan tragedy.
(3). The Church is not to forget its origins by considering reconciliation simply as a managed human process.
Bagi Schreiter, “cheap reconciliation” adalah semacam perjanjian nominal terhadap sejarah
kekerasan yang terjadi, lalu dengan sengaja “mendiamkan” memori atau ingatan, dan melupakannya.
Mendiamkan memori tidak akan mengurangi kekerasan, tetapi hanya menunda ledakannya saja.
Rekonsiliasi tidak hanya berarti berhentinya kekerasan saja dan lebih dari sebuah desakan
pengampunan. Proses rekonsiliasi melibatkan memori, keadilan bagi korban, dan teologi yang
bersumber dari pesan Yesus sendiri. Karena memori berhubungan dengan identitas, ketidakpedulian
terhadap proses pengenangan memiliki implikasi moral yang amat serius. Menyangkal memori pada
akhirnya berarti berpihak kepada pelaku kejahatan. Melupakan begitu saja kematian korban berarti
membunuh mereka lagi.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 32
Cahyo Christanto _106312007
Rekonsiliasi juga bukan hanya berarti mediasi konflik sebagai sarana mencapai konsensus
yang toleran diantara dua pihak. Rekonsiliasi kemudian menjadi sebuah sikap daripada keahlian, yang
telah memiliki kesadaran pengandaian akan hancurnya dunia daripada menjadi sarana untuk
memperbaiki dunia yang rusak, yang memiliki orientasi luas akan terciptanya pemulihan hubungan,
pembangunan komunitas, dan perubahan masyarakat dalam harmoni dan kedamaian. Inilah yang
disebut real and not just superficial reconciliation60menurutScott Appleby.
4. Tanggapan Pribadi
Pengalaman bekerja di Kamboja bersama dengan para land mine survivors bagi saya telah
membangun sebuah atmosfer formasi diri dan komitmen sebagai pribadi “bagi dan bersama” yang
lainuntuk terus memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan rekonsiliasi. Kepekaan saya semakin
diasah dan mendapatkan tempatnya ketika persoalan dasar hidup manusia menjadi kancah aktif
keprihatinan dan keterlibatan setiap orang. Dalam formasi intelektual yang sedang saya jalani, saya
berharap agarkegelisahan, keprihatinan, dan keterlibatan tetap tersalurkan secara dinamis melalui
tulisan.Beberapa hal usulan yang saya sampaikan berikut ini bukanlah hal baru lagi. Menyebutkannya
lagi bagi saya bukanlah pengulangan yang sia-sia karena akan selalu mengingatkan saya akan
komitmen dan panggilan untuk memperjuangkan kehidupan dan martabat kemanusiaan.
Interpretasi dengan cara seperti yang dilakukan kelompok fundamentalis akan teks-teks
keagamaan mereka, secara ekstrim amat berbahaya karena memicu munculnya kebencian. Gerakan
jihad kaum fundamentalis dengan teror-teror bom yang telah menelan banyak korban tak berdosa
adalah contoh banalitas fundamentalisme. Kitab Suci Kristen sendiri (Perjanjian Pertama dan
Perjanjian Baru), harus dibaca dengan hati-hati jika dalam perikop muncul sebuah peristiwa yang
mengisahkan kebencian, konflik, penyerangan, perbudakan manusia dan subordinasi
perempuan.Teks-teks Perjanjian Lama yang mengisahkan pemusnahan kelompok harus dimengerti
lebih dahulu konteks sejarahnya.
Saya setuju dengan pendapat Nelson-Pallmeyer bahwa konteks sejarah dan budaya Kitab
Suci dan sejarah perkembangan tema-tema teologi harus selalu mengiringi proses interpretasi kita.
Tidak seluruh ucapan dalam Kitab Suci dapat diterapkan semua begitu saja, sebab Kitab Suci
kadang-kadang menggunakan sebagian saja dari situasi sejarah. Kita harus juga teliti agar perikop-
perikop deskriptif tidak diterjemahkan menjadi perikop yang preskriptif (anjuran).
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 33
Cahyo Christanto _106312007
Prinsip universal Kitab Suci adalah manusia sebagai citra Allah, umat perjanjian, Kerajaan
Allah, komunitas kasih, dan sebagainya. Tema-tema ini berkembang dan berpuncak dalam diri
Kristus. Kristus memperkenalkan dunia baru dan sebuah etika yang berlandaskan pada keadilan,
perdamaian, dan rekonsiliasi. Dalam Kristus, yang lama diganti dengan yang baru, belenggu dan
kebencian diganti dengan kebebasan dan cinta. Inilah pesan utama Kitab Suci dan landasan moral
Kristiani.
Keanggotaan dalam suatu kelompok (massa, suku, bangsa, agama, paham tertentu) juga
memiliki potensi bahaya jika dari anggota tidak pernah mempertanyakan lagi kepercayaan-
kepercayaan, nilai-nilai, kebijakan, dan tindakan-tindakan yang diyakini oleh kelompok. Setiap
anggota harus memiliki keyakinan moral sendiri dalam sebuah kelompok tanpa harus kehilangan
identitas pribadi. Dengan demikian, suatu kelompok harus memiliki pemimpin yang dapat dipercaya.
Dalam Ulangan 17:14-20 dikisahkan bahwa para pemimpin Israel berulang kali diingatkan oleh
rakyat bahwa kekuasaan mereka tidaklah absolut karena harus diletakkan di bawah Allah sebagai
sumber kebenaran hukum. Raja adalah perwakilan Allah di dunia. Menurut Paulus, pemerintah
adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. Maka, bukan
semata-mata hanya moralitas atas dasar kesadaran individu itu penting, tetapi juga moralitas inklusif
yang diterapkan sebagai standar benar atau salah kepada kelompok dari kelas, suku, atau agama yang
berbeda.
Secara moral, amat menarik untuk membaca kembali perikop Yesus menyembuhkan orang
kusta. Yesus tidak takut ketularan, Yesus berani menyentuh orang itu agar kesembuhan dialirkan
kepadanya. Ilustrasi yang lain adalah kisah orang Samaria yang baik hati sebagai teladan sebuah sikap
untuk keluar dari diri dan berani menerobos sekat atau batas yang ada betapapun situasi yang
dihadapi. Kisah-kisah ini adalah perkenalan moralitas baru yang mendalam berdasarkan kasih dan
menjangkau semua orang. Martabat manusia disentuh Yesus dengan kisah yang menginspirasikan
toleransi, perdamaian, dan rekonsiliasi. Apakah saat ini Gereja pun berani berperan penting dalam
meningkatkan toleransi diantara kelompok-kelompok yang berbeda, di tengah maraknya
fundamentalisme dan terorisme?
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 34
Cahyo Christanto _106312007
Gereja harus semakin menyadari bahwa jika iman diharapkan semakin berperan, maka
pelestarian budaya, doktrin Gereja, dan teologi haruslah semakin berakar pada sejarah dan situasi
manusia sendiri. Holocaust dan tragedi Rwanda adalah peristiwa sejarah yang menginspirasi Metz,
Schreiter, dan teolog lainnya, melihat bahwa dunia nyata adalah konteks yang harus terus dirujuk
dalam berteologi. Konteks itu adalah kehidupan manusia itu sendiri. Gereja harus selalu bersedia
mengemban mandat untuk mengajarkan penghargaan atas kehidupan. Hal ini sejalan dengan
pandangan Kitab Suci dan ajaran Paus untuk melindungi, melestarikan, dan menjaga kehidupan.
Selain itu, Gereja juga perlu selalu mendukung atmosfer bagi tumbuhnya budaya kehidupan, dengan
anjuran keterlibatan dalam proyek-proyek sosial bersama dengan kelompok yang berbeda demi
pembangunan dan kebaikan bersama. Bersama dengan yang lain, Gereja harus terbuka untuk
membangun sebuah civil society. Harapannya adalah ketika orang semakin sadar karena telah belajar
bagaimana terlibat, menolong, dan membantu yang lain, akan semakin mengurangi kecenderungan
atau potensi timbulnya pemikiran atau tindakan kekerasan yang membahayakan orang lain.
Catatan Akhir
http://www.amnestyusa.org/document.php?id=94A7AB9C08ADC26B85256
6 “Defining Torture”, http://www.irct.org/what-is-torture/defining-torture.aspx
7 “Torture”, First published Tue Feb 7, 2006; substantive revision Mon Jan 17, 2011
http://plato.stanford.edu/entries/torture/
8 J. Quiroga J. Jaranson, “Torture” dalam Reyes G, Elhai JD, Ford JD. The encyclopedia of psychological Trauma.
http://www.associatedcontent.com/article/306616/immanuel_kants_view_of_rational_free.html
11 “The City of God, 19: 6 (Of the error of human judgments when the truth is
hidden)”,http://www.rtforum.org/lt/lt119.html
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 35
Cahyo Christanto _106312007
12 “The City of God, 426 AD — Book XIX, Chapter 6. (English translation, Gerald G. Walsh, S.J., Demetrius B.
Zema, S.J., Grace Monahan, O.S.U., Daniel J. Honan.)”,http://leisureguy.wordpress.com/2009/06/15/st-
augustine-on-torture/
13 “John Donne and The Outlawing Torture”, http://www.harpers.org/archive/2007/08/hbc-90000907
14 A. Thomas, Summa Theologica, II, Burns & Oates. London 1947. 10, 8c.
15 “Torture Is A Moral Issue”, www.usccb.org/sdwp/TortureIsAMoralIssueCatholicStudyGuide.pdf. 1-7.
16 K. Eddy. OFM, Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar, Kanisius. Yogyakarta 2003. 162-180.
17
“Sacramentum
Caritatis”,http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/apost_exhortations/documents/hf_ben-
xvi_exh_20070222_sacramentum-caritatis_en.html
18 “Was a beam weapon from the star wars program used to destroy the WTC ?”
http://www.911hoax.com/Wood_Reynolds_Star_Wars_911.asp
19 “This war on terrorism is bog us”, http://www.guardian.co.uk/politics/2003/sep/06/september11.iraq
20 “Y. Professor thinks boms, not plane”, http://www.deseretnews.com/article/635160132/Y-professor-
thinks-bombs-not-planes-toppled-WTC.html
21 “The Top 11 September Conspiracies Theory”, http://www.america.gov/st/webchat-
english/2009/May/20060828133846esnamfuaK0.2676355.html
22 “Reign of Terror”, http://en.wikipedia.org/wiki/Reign_of_Terror
23 “The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, Introduction”,
http://www.jstor.org/pss/1096016
24 B.Leonardo, Fundamentalism, Terrorism and The Future of Humanity, Ashford Color Press. Great Britain
2006.47.
25 H. Virginia. How Terrorism is Wrong: Morality and Political Violence, Univ Press Oxford 2008. 16.
26 “Terorisme”,http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
27 H. Virginia. How Terrorism is Wrong: Morality and Political Violence, 137.
28 “The Theological Justification for Terror”, http://www.thomastalbott.com/terror.html
29 A. Thomas, Summa Theologica, II, 1359-1360.
30 Y.M. Robert, “Fundamentalism and Terrorism”,http://human-nature.com/rmyoung/papers/pap135h.htm
31 A. Matthew, “Terrorism: Dehumanizing People into Targets”, Journal of Dharma 32,I, (2007) 75.
32K. Charles. When Religion Becomes Evil, Harper. San Fransisco 2002. 21-155.
33M. Cherif Bassiouni,”Crimes Against Humanity”, http://www.crimesofwar.org/thebook/crimes-against-
humanity.html
34 N. Pallmeyer, Is Religion Killing Us?, terj. Hatib Rachmawan, Pustaka Kahfi.Yogyakarta 2007, 43-44.
35Yohanes Paulus II, Solicitudo Rei Socialis, 1987, art. 24.
36 “A Theologian looks for the Why of Sept 11”, http://www.zenit.org/article-2786?l=
37 B. Kiernan, The Pol Pot Regime: Race, Power, and Genocide in Cambodia under the Khmer Rouge 1975-79,
http://www.genocidewatch.org/, http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_historical_genocides
41 Raphael Lemkin and the Invention of 'Genocide, http://www.ihr.org/jhr/v02/v02p-19_Martin.html
42 “What is genocide?” http://www.skeptic.ca/American_Genocide.htm
43 L. Kuper, “The Genocidal State: An Overview”, dalam P. L. Van den Berghe (ed.), State Violence and
http://www.preventgenocide.org/law/convention/text.htm#II
45R. Clark,“Does the Genocide Convention Go Far Enough?” Ohio Northern Law Journal 321 (1981): 8; B.
Saul,“Was the Conflict in East Timor ‘Genocide’?”Melbourne Journal of International Law 2 (2001): 477–522.
46Robert Cribb, ed., The Indonesian Kilings, 1965–66 , Clayton, Australia. Monash Centre of Southeast Asian
Studies, 1990.
47L. Kuper, Genocide (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1981), 174–75, 186, 241; F. Chalk andK.
Jonassohn, History and Sociology of Genocide (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1990), 408–11; I. W.
Charny, ed., Encyclopedia of Genocide (Oxford: ABC-Clio, 1999), 191–94; James Dunn, “East Timor”, in Genocide, ed.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 36
Cahyo Christanto _106312007
kemanusiaan-mei-1998-dari-keterasingan-menjadi-karib/comment-page-1/
49
N. Pallmeyer, Is Religion Killing Us?, 43-44.
50 “Totalitarianism: The Inversion of Politics”, http://memory.loc.gov/ammem/arendthtml/essayb1.html
51 “Pope Pius XII and the Nazis” by John T. Pawlikowski, http://www.religion-
online.org/showarticle.asp?title=2017
52 “Pope Pius XII”, http://www.catholic-forum.com/saints/pope0260.htm
53 “In Defence on Pius XII”, http://www.catholicapologetics.info/apologetics/judaism/dalin.htm
54 J. Metz, “Theology as Theodicy?” dalam J. Matthew Ashley (ed.), A Passion for God: The Mystical-Political
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Aquinas, Thomas,.
1947 Summa Theologica, II, Burns & Oates, London.
Boff, Leonardo,
2006 Fundamentalism, Terrorism and The Future of Humanity, Ashford Color Press,
Great Britain.
Charny, I. W.,
1999 Encyclopedia of Genocide,ABC-Clio, Oxford.
Cribb, Robert,
1990 The Indonesian Kilings, 1965–66, Clayton, Australia. Monash Centre of
Southeast Asian Studies.
Held, Virginia.
2008 How Terrorism is Wrong: Morality and Political Violence, Univ Press, Oxford.
Hudson, C,
1984 The Killing Fields, Pan Books, London.
Kiernan, Ben,
1999 The Pol Pot Regime: Race, Power, and Genocide in Cambodia under the Khmer
Rouge 1975-79, Silkworm Books. Chiang Mai.
Kimball, Charles.
2002 When Religion Becomes Evil, Harper, San Fransisco.
Kuper, Leo,
1981 Genocide, New Haven, Conn.: Yale University Press.
Metz, Johannes,
1980 Faith in History and Society, terj. By David Smith, Seabury Press, New York.
Ponchoud, François,
1978 Cambodia: Year Zero, terj. Nancy Amphoux, Holts Rinehart and Winston, New
York.
Artikel Buku:
Attumkal, Matthew,
2007 “Terrorism: Dehumanizing People into Targets”, Journal of Dharma 32,I, 73-84.
Clark, R.,
1981 “Does the Genocide Convention Go Far Enough?” Ohio Northern Law Journal
321.
Dietrich, Donald J,
2009 “The Holocaust, Genocide, and the Catholic Church” dalam Steven Leonard
Jacobs (ed.), Confronting Genocide, Lexington Books: New York 2009, 255-265.
Dunn, James,
1994 “East Timor”, in Genocide, ed. G. Andreopoulos, University of Pennsylvania Press,
Philadelphia,171-190.
FranÇoise,H.,
1996 “Torture”, dalam Paul Barry Clarke and Andrew Linzey (eds.), Dictionary of
Ethics, Theology and Society, Routledge, London,829.
Fritz Allhoff.
2001 “Terrorism and Torture”, dalam International Journal of Applied Philosophy 17,1
U. of Calif. Santa Barbara (UCSB).
Kuper, Leo,
1990 “The Genocidal State: An Overview”, dalam P. L. Van den Berghe (ed.), State
Violence and Ethnicity, Colorado University Press, Boulder, CO.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 39
Cahyo Christanto _106312007
Metz, Johannes,
1980 “Theology as Theodicy?” dalam J. Matthew Ashley (ed.), A Passion for God: The
Metz, Johannes, Faith in History and Society, terj. By David Smith, Seabury
Press, New York.
Ponchoud, François,
1978 Cambodia: Year Zero, terj. Nancy Amphoux, Holts Rinehart and Winston, New
York.
Quiroga, J ; J. Jaranson,
2008 “Torture” dalam Reyes G, Elhai JD, Ford JD,The encyclopedia of psychological
Trauma, John Wiley & Son, Inc.
Saul,B,
2001 “Was the Conflict in East Timor ‘Genocide’?”Melbourne Journal of International
Law 2.
Dokumen Gereja:
Konsili Vatikan II
1965 Nostra Aetate: Declaration on the Relation of the Church to Non-Christian
Religion, art.4 dari
http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-
ii_decl_19651028_nostra-aetate_en.html
1993 Gaudium et Spes: Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, art.
27, 29 dalam Dokumen Konsili Vatikan II (terj. R. Hardawiryana, SJ), Dep.
Dokpen KWI, Jakarta.
1995 Evangelium Vitae: the encyclical Pope John Paul II which expresses the position
of the Catholic Church regarding the value and inviolability of human life,
art. 33,34, 81 dari
http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/encyclicals/documents/hf_jp-
ii_enc_25031995_evangelium-vitae_en.html
1997 Catechism of the Catholic Church, art. 1929, 1930, 2297, 2298 dari
http://www.vatican.va/archive/ENG0015/_INDEX.HTM
2004 Compendium of the Social Doctrine of The Church, art. 111, 133 dari
http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/justpeace/documents/rc_p
c_justpeace_doc_20060526_compendio-dott-soc_en.html
Internet:
“Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocid, art 2”,
dalamhttp://www.preventgenocide.org/law/convention/text.htm#II, diakses pada 15 Maret 2011,
pk. 20.26
“Immanuel Kant's View of Rational Free Will and Its Implications for Criminal Justice”, dalam
http://www.associatedcontent.com/article/306616/immanuel_kants_view_of_rational_free.htmldi
akses pada 16 Maret 2011, pk. 15.35
“The City of God, 19: 6 (Of the error of human judgments when the truth is hidden)”,dalam
http://www.rtforum.org/lt/lt119.html,diakses pada 20 Maret 2011, pk. 18.00
“The City of God, 426 AD — Book XIX, Chapter 6. (English translation, Gerald G. Walsh, S.J.,
Demetrius B. Zema, S.J., Grace Monahan, O.S.U., Daniel J. Honan.)”, dalam
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 42
Cahyo Christanto _106312007
“Was a beam weapon from the star wars program used to destroy the WTC ?” dalam
http://www.911hoax.com/Wood_Reynolds_Star_Wars_911.asp, diakses 23 Maret 2011, pk.
16.10
“Genocide”, dalam
http://www.genocide.org/, http://www.genocidewatch.org/,
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_historical_genocides , diakses 24 Maret 2011, pk. 17.00