Anda di halaman 1dari 43

P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 1

Cahyo Christanto _106312007

Penyiksaan, Terorisme, dan Genosida


1. Pengantar
Lima tahun lalu, yaitu tahun 2006, saya tidak pernah bermimpi untuk mendapatkan
perutusan misi ke Kamboja. Keberangkatan saya jelas mencemaskan beberapa teman dan keluarga
akan ranjau darat dan bahayanya di Kamboja. Sampai tahun ini, Kamboja memiliki jumlah tertinggi
kecelakaan akibat ranjau darat di seluruh dunia, sekitar 2-3 ledakan setiap hari1. Landmine atau ranjau
darat pada dasarnya adalah senjatayang dirancang untuk meledak bila terpicu oleh tekanan atau
sentuhan yang mengenainya. Secara tragis, ranjau darat baik anti-personnel maupun anti-tank memiliki
konsekuensi yang tidak disengaja pada periode setelah konflik, pertempuran, atau bahkan ketika
perang keseluruhan telah berakhir. Seiring waktu, lokasi ranjau darat yang sering dilupakan, bahkan
oleh mereka yang menanamnya sendiri, selama beberapa dekade terus menelan korban, membuat
cacat tubuh atau bahkan kematian. Perutusan saya di dalam lembaga Jesuit Service Cambodia adalah
untuk membantu masyarakat menuju ke arah rekonsiliasi, perdamaian, keadilan, dan pembangunan
manusia yang telah terluka oleh perang saudara.

2. Topik, Batasan, dan Pandangan Gereja


Masih saya ingat betapa ngerinya berita pada hari Minggu, 6 Februari 2011 ketika kelompok
Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang diserang oleh kelompok
massa berjumlah 500-an orang tak dikenal dan berakhir dengan tiga orang tewas dari kelompok
Ahmadiyah. Rasa ngeri saya bertambah ketika media memfasilitasi pemirsa dengan mengunggah juga
video penyiksaan anggota Ahmadiyah itu di salah satu situs internet. Saya pikir, ancaman genocide pun
membayangi kelompok Ahmadiyah yang tegar bersikukuh bernaung di bawah nama Islam.
Baru sehari kekerasan ini terjadi, meletus lagi kekerasan di Temanggung. Kekerasan ini dipicu
oleh tindak penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Antonius Richmond Bawengan, warga
Jakarta yang singgah di Temanggung. Antonius dituduh telah menyebarkan tulisan yang berisi
menghina agama Islam. Akibatnya, banyak umat Islam di Temanggung yang tidak terima dengan
penghinaan ini. Puncaknya terjadi setelah sidang di Pengadilan Negeri Temanggung yang memvonis
5 tahun penjara bagi pelaku penghinaan. Merasa tidak puas dengan putusan hakim, masyarakat
memprotes dengan caranya sendiri. Gedung Pengadilan Negeri dirusak, beberapa motor dan mobil
dibakar termasuk sebuah mobil dalmas Polri serta tiga buah gereja menjadi korban
amukan. Kekerasan, penyiksaan, dan teror terus mewarnai perjalanan kebersamaan kehidupan
masyarakat Indonesia.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 2
Cahyo Christanto _106312007

Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengungkapkan rincian historis dan analisis peristiwa
torture, terrorism, and genocide (untuk selanjutnya akan saya terjemahkanpenyiksaan, terorisme, dan
genosida). Pembahasan mengenai topik ini juga merupakan suatu bidang yang terlalu luas untuk bisa
dieksplorasi secara memadai dalam sebuah karya tulis. Dengan demikian, pembatasan perlu
dilakukan. Oleh karena tulisan ini menjadi bagian dari mata kuliah moral Kristiani, maka secara lebih
khusus, pandangan Gereja akan lebih mendapatkan perhatian. Saya tidak memulai segalanya dari nol
karena dengan pengalaman terlibat dan bersama orang-orang Kamboja generasi ketiga pasca
genosida untuk membangun sebuah rekonsiliasi dan perdamaian, ditambah dengan studi pustaka
mempelajari berbagai gagasan yang telah dicetuskan oleh para ahli, semoga memberikan resonansi
dan refleksi yang memadai.
Uraian dalam tulisan ini akan dibatasi dalam tiga bagian utama yang akan membahas
penyiksaan,terorisme, dan genosida, secara terpisah lebih dahulu. Dalam setiap bagian, penulis akan
menguraikan definisi lalu menunjukkanbeberapa pandangan mengenai hal ini serta apa yang
sebenarnya menjadi pokok persoalannya. Setelah itu kita akan meninjauapa yang dikatakan oleh
Kitab Suci.Lalu, pandangan Gereja yang akan kita gali dari beberapa dokumen akan dibahas untuk
menerangi pokok persoalan dan untuk melihat sejauh mana Gereja bersikap. Pada bagian terakhir
penulis mencoba memberikan beberapa tanggapan pribadi.

3. Penyiksaan, terorisme, dan genosida


3.1.Torture atau Penyiksaan
Ketika masih tinggal di Kamboja, sudah dua kali saya mengunjungi Tuol Sleng. Tuol Sleng
sebelumnya adalah sebuah gedung sekolah menengah atas Chao Ponhea Yat yang diubah fungsinya
dari tahun 1975-1979 oleh rezim Khmer Rouge sebagai tempat untuk menahan, menginterogasi, dan
menyiksa warga yang dianggap berbeda paham dengan pemerintah. Dalam bahasa Khmer, Tuol Sleng
berarti “bukit pepohonan beracun.” Tak kurang dari 20.000 orang tewas setelah ditahan dan disiksa
di tempat ini. Foto-foto korban sebelum dieksekusi dipampangkan dengan jelas di setiap ruangan.
Lukisan-lukisan untuk menggambarkan proses penyiksaan juga terpajang. Alat-alat penyiksaan, sel-
sel penjara ukuran 1.5x1 m2, bercak-bercak darah hitam yang mengering, semuanya dipamerkan
tanpa didramatisasi, bahkan dibiarkan seperti apa adanya. Hanya ada perasaan ngeri setiap kali
berpindah ruangan dan berkeliling kompleks ini. Selama masa kekuasaan rezim Khmer Merah, di
luar penjara Tuol Sleng, diperkirakan lebih dari 1,4 juta jiwa warga Kamboja dibunuh. Beberapa di
antaranya dibunuh di ladang pembantaian seperti salah satunya di Choeung Ek yang berarti “danau
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 3
Cahyo Christanto _106312007

tulang-belulang” atau dikenal sebagai Killing Fields, sekitar 15 kilometer di luar kota Phnom Penh.
Killing fields lain yang pernah saya kunjungi antara lain di propinsi Battambang (ada dua tempat) dan
di propinsi Siem Riep (satu tempat). Dalam kasus ini, penyiksaan dipakai tidak hanya sebagai sarana
interogasi tetapi juga sebagai pemaksaan pengakuan dan pada akhirnya sebagai hukuman menuju
kematian korban.
Di Indonesia sendiri, kita mendengar bahwa kasus penyiksaanuntuk kesekian kalinya
menimpa TKI oleh majikannya, khususnya TKI yang bekerja di Timur Tengah, Malaysia, dan
Singapura. Berita ini begitu memukul rasa kemanusiaan dan harga diri bangsa kita. Penyiksaan yang
dialami mulai dari kekerasan fisik, pemerkosaan, hingga gaji tidak dibayar. Bahkan, banyak dari TKI
yang bunuh diri karena depresi. Semestinya, pemerintah Indonesia belajar dari kejadian-kejadian
sebelumnya, sehingga ada penanganan khusus bagi TKI, terutama perlindungan hukum bagi mereka.
Namun nyatanya, tidak banyak perubahan. Kepedulian pemerintah terhadap TKI sangat rendah
meskipun dengan adanya TKI di luar negeri, pemerintah diuntungkan karena banyak memperoleh
pemasukan devisa.
Mendapati kenyataan tersebut, kita tentu khawatir, penanganan proses hukum kasus
penganiayaan TKI kembali kandas, sebagaimana kasus-kasus kekerasan terhadap TKI sebelumnya.
Banyak kasus tak berakhir pada sanksi pidana terhadap majikan pelaku penyiksaan. Kita tentu
menggugat sikap pemerintah dan aparat penegak hukum di negara-negara penerima TKI, yang
tampaknya tak memiliki komitmen kuat untuk melindungi dan memproses hukum bagi para majikan
yang memperlakukan TKI secara tak adil. Penghormatan atas hak asasi manusia dan penegakan
hukum, jelas tidak pernah dirasakan para TKI. Kasus-kasus penyiksaan dibiarkan larut seiring
perjalanan waktu.
Di tempat lain yaitu di teluk Guantanamo, Kuba, kita mendengar bahwa pada tahun 2002 di
tempat ini didirikan kompleks penjara yang dimaksudkan sebagai “markas” para tersangka terorisme,
yang kebanyakan ditangkap di Afghanistan. Sepertinya, penjara milik AS ini dipakai sebagai bentuk
tindakan balasan terhadap terorisme dan justifikasi atas penyiksaan. Hingga kini terdapat sekitar 500
tahanan, termasuk mereka yang dituduh terlibat Al Qaidah dan tahanan dari perang Irak tahun 2003.
Hasil investigasi Komisi HAM PBB atas penjara Guantanamo menyarankan agar penjara itu ditutup
selamanya dalam tempo secepatnya. Selain karena adanya informasi bahwa situasi di kompleks ini
telah melanggar hukum internasional dan konvensi HAM tentang penyiksaan, komisi HAM juga
mempertanyakan status hukum dan klasifikasi tahanan yang masuk ke Guantanamo2.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 4
Cahyo Christanto _106312007

3.1.1. Definisi Penyiksaan


Sebelum kita dapat berdiskusi lebih jauh tentang penyiksaan, bagaimanapun kita perlu tahu
apakah definisi penyiksaan itu. Jawabannya memang tak semudah yang mungkin kita pikirkan. Akan
tetapi mendefinisikannya secara jelas adalah hal yang krusial. Jika kita tidak sepakat, paling tidak
secara umum tentang definisi penyiksaan, kita juga tidak akan pernah dapat melangkah lebih jauh
membahas moralitas dari penyiksaan. Dengan batasan pembahasan menurut moralitas Kristiani dan
Ajaran Gereja Katolik, membantu kita untuk tidak jatuh dalam diskusi yang terlalu luas.
Menurut Encyclopediaof Ethics,penyiksaan adalah tindakan kekerasan menyakiti dengan sengaja
agar dengan kekerasan ini terjadi penderitaan mental dan atau fisik secara ekstrim terhadap korban.
Hal ini dilakukan terhadap korban sendiri atau berkelompok dengan beraneka tujuan, mulai dari
mengorek informasi, mendapatkan pengakuan, bujukan, ancaman, dan kesenangan3.FranÇoise
Hampson dalam “Torture” mendefinisikan penyiksaan adalah setiap tindakan yang mengakibatkan
rasa sakit atau penderitaan luar biasa, entah fisik atau pun mental, yang secara sengaja ditimpakan
kepada seseorang dengan tujuan mendapatkan suatu informasi. Elemen penting dari penyiksaan
adalah ditimbulkannya penderitaan di luar batas, sedangkan cara-cara pemaksaan dan penyiksaan itu
sendiri adalah sarana untuk mencapai tujuan dan bukanlah tujuan itu sendiri4.Amnesti Internasional
mempertimbangkan bahwa semua bentuk hukuman terhadap tubuh fisik sudah menjadi bagian dari
definisi yang dicantumkan dalam UN Convention against torture5.
Menurut pernyataan UN Convention against torturepada artikel 1 menjelaskan bahwa penyiksaan
berarti tindakan apapun yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan ekstrim, baik
fisikmaupun mental, yang sengaja diberikan kepada seseorang dengan tujuan: (1)mendapatkan
sesuatu darinya atau dari orang ketiga entah itu informasi atau pengakuan, (2) menghukum karena
tindakan yang telah dilakukannya atau orang ketiga, (3)mengintimidasi atau memaksa dia atau orang
ketiga, atau untuk (4)suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi apapun6.
Penyiksaan menurut Stanford Encyclopedia of Philosophy adalah hukuman yang disengaja
terhadap korban yang telah kehilangan otonominya dengan menimbulkan penderitaan fisik secara
ekstrim dengan tujuan tertentu. Penyiksa paling tidak, dengan sengaja menjalankan kontrol atas
tubuh korban. Karena korban tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, sensasi fisik yang diterima, dan
keterlibatan penyiksa, dapat sangat mempengaruhi mental dan kesadaran korban7.Dari sudut
pandang medis dan trauma healing, menurut Jose Quiroga dan James Jaranson8, penyiksaan adalah
pelanggaran paling serius terhadap hak dasar seseorang untuk integritas pribadi dan bentuk
patologis dalam interaksi manusia.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 5
Cahyo Christanto _106312007

3.1.2. Beberapa Pandangan tentang Penyiksaan


3.1.2.1. Menurut Aristoteles
Saya mengutip pandangan Aristoteles dalam Retorika,buku I, bab 15:
“Examination by torture is one form of evidence, to which great weight is often attached because it is in a sense
compulsory. Here again it is not hard to point out the available grounds for magnifying its value, if it happens to
tell in our favour, and arguing that it is the only form of evidence that is infallible; or, on the other hand, for
refuting it if it tells against us and for our opponent, when we may say what is true of torture of every kind
alike, that people under its compulsion tell lies quite as often as they tell the truth, sometimes persistently
refusing to tell the truth, sometimes recklessly making a false charge in order to be let off sooner. We ought to be
able to quote cases, familiar to the judges, in which this sort of thing has actually happened[We must say that
evidence under torture is not trustworthy, the fact being that many men whether thick-witted, tough-skinned, or
stout of heart endure their ordeal nobly, while cowards and timid men are full of boldness till they see the ordeal
of these others: so that no trust can be placed in evidence under torture]”9.
Pandangan Aristoteles ini masih terbatas melihat adanya tindakan penyiksaan dalam kasus-
kasus pengadilan. Ia menunjukkan bahwa tindakan penyiksaan untuk mendatangkan pengakuan
tidak boleh terjadi di pengadilan karena sebagai keterpaksaan akal saja. Aristoteles tidak membahas
lebih jauh tentang tindakan penyiksaan di luar proses pengadilan.

3.1.2.2. Menurut Immanuel Kant


Mewakili pandangan abad ke-18, filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804), menyatakan
bahwa semuaindividu memiliki rasio dan kehendak bebas sehingga mampu mengenali tiga pilar
moralitas yaitu Allah, kebebasan dan keabadian, dan bertindak sesuai dengan tiga pilar tersebut. Kant
mengakui bahwa setiap perbuatan yang dimaksud adalah tujuan dan dipilih ketiganya
ini. Menurut Kant, tidak ada serangkaian keadaan, tidak peduli seberapa besar tingkat keparahan
mereka, yang dapat memaksa seseorang untuk meninggalkan tiga kebajikan moral kecuali dipilih oleh
individu itu sendiri secara sadar. Dengan demikian, izin untuk menghukum seseorang adalah
berdasarkan tindakan yang dilakukan10.
Model pemikiran Kant ini merupakan sebuah bantuan besar untuk memahami bahwa
tindakanpenyiksaan adalah tindakan berdasarkan mind set subyektif yang menyimpang dari prospek
sebuah keadilan obyektif. Kita bisa menyimpulkan bahwa Kant tidak pernah akan mendukung
tortureatau penyiksaan meskipun dengan maksud demi menciptakan keadilan dalam dunia nyata
sekalipun. Dengan demikian, setiap perbuatan yang dilakukan harus menyertakan akuntabilitas
moral dalam tanggung jawab moralitas manusia.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 6
Cahyo Christanto _106312007

3.1.2.3. Menurut Santo Agustinus


Santo Agustinus dalamThe City Of God menyatakan beberapa hal tentang penyiksaan:
1. “[The accused] is tortured to discover whether he is guilty, so that, though innocent, he suffers most undoubted punishment
for crime that is still doubtful; not because it is proved that he committed it, but because it is not ascertained that he
did not commit it. Thus the ignorance of the judge frequently involves an innocent person in suffering [and even in death,
when the accused falsely confesses a capital crime out of sheer terror of unendurable pain]. . . . If such darkness shrouds
social life, will a wise judge take his seat on the bench or no? Beyond question he will. For human society, which he thinks
it a wickedness to abandon, constrains him and compels him to this duty. . . . These numerous and important evils he does
not consider sins; for the wise judge does these things, not with any intention of doing harm, but because his ignorance
compels him, and because human society claims him as a judge. And if he is compelled to torture and punish the innocent
because his office and his ignorance constrain him, is he a happy as well as a guiltless man?”11.
2. “Even when a city is enjoying the profoundest peace, some men must be sitting in judgment on their fellow men. Even at
their best, what misery and grief they cause! No human judge can read the conscience of the man before him. That is why so
many innocent witnesses are tortured to find what truth there is in the alleged guilt of other men. It is even worse when the
accused man himself is tortured to find out if he be guilty. Here a man still unconvicted must undergo certain suffering for
an uncertain crime –- not because his guilt is known, but because his innocence is unproved. Thus it often happens that the
ignorance of the judge turns into tragedy for the innocent party.There is something still more insufferable –- deplorable
beyond all cleansing with our tears. Often enough, when a judge tries to avoid putting a man to death whose innocence is not
manifest, he has him put to torture, and so it happens, because of woeful lack of evidence, that he both tortures and kills the
blameless man whom he tortured lest he kill him without cause. And if, on Stoic principles, the innocent man chooses to
escape from life rather than endure such tortures any longer, he will confess to a crime he never committed“12.
Agustinus sebenarnyamenyoroti secara spesifik konteks penderitaan yang tak terelakkan dan
ketidakbahagiaan yang hadir dalam kehidupan“The City of God” manusia sebagai akibat dari dosa.
Akan tetapi metode pemulihan martabat manusiawi secara rohani yang dipikirkannya itu
diaplikasikan secara fisik ke dalam praktek hukum kekaisaran. Agustinus melihat penderitaan
terdakwa dalam prosedur hukum Romawi saat itu. Kalimat dalam bab 19 dari buku The City of
Godberikut membuat saya tersentak, “Torture is indeed a thing to be lamented, and, if that were possible, to be
watered with a fountain of tears”13.Menurut saya, kalimat ini adalah bagian paling suram dalamThe City of
Goddan secara etis paling meragukan dalam seluruh karya Agustinus. Meskipun ia kemudian menarik
kembali pernyataanpenyiksaan sebagai hukuman denganmenyatakannya sebagai kebiadaban manusia,
yaitu dengan mengecam, baik hakim maupun undang-undang yang membuat dan melaksanakan
prosedur ini, banyak abad telah berlalu dalam kekerasan dan kegelapan moral sebelum Gereja
Katolik Roma mengakui kesalahan dalam penalaran Agustinus.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 7
Cahyo Christanto _106312007

3.1.2.4.Menurut Santo Thomas Aquinas


Santo Thomas tidak mengatakan apa-apa tentang penyiksaan. Ia mengutip juga Retorika
Aristotelesyang mengatakan bahwa “bukti-bukti di bawah penyiksaan tidak dapat dipercaya, …
sehingga tidak ada kepercayaan dapat ditempatkan dalam bukti di bawah penyiksaan.”Thomas
berpendapat bahwa “sama sekali tidak sah untuk membunuh orang yang tidak bersalah.” Pendapat
ini pun sebenarnya masih ambigu karena orang dapat berspekulasi bahwa jawaban Thomas akan
sama negatifnya. Seperti halnya Aristoteles, bagi Thomas Aquinas, hanya yang bersalahdikenakan
hukuman. Jadi, meskipun hukum Romawi mungkin mengizinkan, saksi tetap tidak boleh
disiksa. Demikian pula untuk mendapatkan pengakuan, penyiksaan tidak boleh dilakukan. Bahkan
jika hakim sendiri yakin akan kesalahan terdakwa, ia tidak harus memperlakukan terdakwa
sebagaimana telah bersalah dan pantas untuk dihukum.
Sangat mungkin bahwa Aquinas tidak menjelaskan secara memadai pertanyaan tentang
penyiksaan, karena Summa Theologiae ditulis sebagai karya untuk menangani isu-isu praktis yang
realistis yang mungkin datang dalam perjalanan karya pastoral mereka pada zaman itu.Namun, tanpa
menyebutkan kata, ia tidak membenarkan penggunaan penyiksaan dalam Inkuisisi gereja waktu itu
yangdidirikan tahun 1232 oleh Paus Gregorius IX14.

3.1.3. Pokok Persoalan


Apakah semua hal di atas adalah hal yang dimaksudkan dengan penyiksaan? Seluruhnya atau
baru sebagian saja? Ketika definisi-definisi dan pandangan-pandangan di atas berusaha menjelaskan
tentang penyiksaan, saya ragu apakah kita semua akan mencapai konsensus dalam menjawab
pertanyaan ini. Persoalannya adalah bukan pada legalitas tindakan-tindakan penyiksaan, tetapi pada
moralitas di dalamnya. Hampir semua definisi berbicara tentang rasa sakit dan penderitaan yang luar
biasa, pelecehan, dan penghinaan dengan asumsi bahwa setiap orang akan setuju dengan penjelasan
ini. Saya tidak mengabaikan penderitaan fisik maupun psikologis yang diakibatkan oleh tindakan
penyiksaan, tetapi saya ingin melihat dari perspektif yang berbeda dengan menanyakan tindakan atau
maksud mana yang telah menyerang atau melukai martabat kita sebagai ciptaan yang diciptakan
menurut citra-Nya? Untuk menjawab ini, saya membutuhkan kerangka moral dan teologi dengan
meninjau Kitab Suci serta Ajaran Gereja untuk menerangi.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 8
Cahyo Christanto _106312007

3.1.4. Menurut Kitab Suci


Kitab Suci mengakui adanya tindakan penyiksaan. Dalam Kejadian 9:6, saya mengutip,
”Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah
membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” Dalam Kitab Matius, Yesus dalam sebuah
perumpamaan berbicara tentang seorang tuan yang marah dan menyerahkan hambanya kepada
algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya (Mat18:34). Ini menjadi semacam kiasan yang
nampaknya mengindikasikan bahwa penggunaan penyiksaan sudah biasa terjadi di penjara saat itu.
Kitab Suci juga mencatat banyak kisah korban-korban penyiksaan: Yesus, Paulus dan Silas (Kis. 16),
nabi Yeremia (Yeremia 20:2, 38:6), dan orang-orang kudus yang tidak disebutkan namanya,”…
Tetapi orang-orang lain membiarkan dirinya disiksa…” (Ibrani 11:35). Dalam setiap kasus, kita
melihat bahwa orang yang saleh adalah korban penyiksaan.
Sekarang kita akan mempertimbangkan penggunaan penyiksaan dalam kaitannya dengan
kebijakan kekaisaran. Dalam Roma dituliskan bahwa Allah telah menunjuk pemerintah sipil dan
orang-orang harus tunduk kepadanya (Roma 13:1-5).“Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk
kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah
menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka
yang berbuat jahat”(ayat 4). Dalam Perjanjian Lama, Allah memanggil para hakim sebagai “allah”,
artinya mereka berwenang untuk memberikan keadilan yang berasal dari Tuhan sendiri(Mzm82:1-
4). Jika mereka gagal dalam tugas, mereka dinilai oleh Tuhan, Hakim dari semua yang hidup (ayat 7-
8). Maka di sini kita melihat bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi yang baik
dan menghukum yang jahat. Metode apakah yang mungkin dijalankan untuk melaksanakan tanggung
jawab tersebut? Berdasarkan perikop Roma 13:4 dan Kejadian 9:6, kita melihat bahwa Kitab Suci
tidak berpendapat apa pun, tidak mengutuk ataupun membenarkan penggunaan penyiksaanoleh
pemerintah. Hanya secara individual dan komunal dengan adanya sepuluh perintah Allah (Kel. 20:1-
17) dan ajaran Yesus untuk saling mengasihi (Mat5:38-42, 22:37-40), mengandung implikasi bahwa
tindakan penyiksaan tidak pernah dibenarkan.

3.1.5. Pandangan Internasional


Konvensi PBB tentang penyiksaan mengatakan bahwa “tidak ada keadaan luar biasa apapun,
apakah itu keadaan perang atau ancaman atau perang, ketidakstabilan politik internal atau keadaan
darurat publik lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.”Konvensi PBB ini, mulai
berlaku pada bulan Juni 1987 setelah diratifikasi oleh dua puluh negara dan disahkan pada bulan
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 9
Cahyo Christanto _106312007

Oktober 1994. Tentu saja, pada tahun 1948, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia juga
mengatakan bahwa “tidak ada yang harus dikenai penyiksaan atau diperlakukan secara kejam,
perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman.” Konvensi Jenewa 1949 menyatakan
melarang bentuk-bentuk “penyiksaan fisik atau mental dan segala bentuk lain dari pemaksaan”
terhadap tahanan perang15.

3.1.6. Menurut Gereja Katolik


Harus diakui bahwa memang sejarah mencatatpernah ada kekejaman di kalangan Gereja
Katolik. Hal ini terjadi ketika Gereja mendapat wewenang mutlak dan hak untuk“membersihkan”
orang-orang yang dianggap bidaah dan diduga melawan doktrin-doktrin Gereja. Akhirnya, Gereja
sendirilah yang melakukan “penyiksaan.”Gereja tampil dengan arogan dan justru tidak berbelas
kasih, suatu hal yang bertolak belakang dengan ajaran Kristus sendiri. Periode kegelapan ini terjadi
dalam kurun waktu 1208-183416. Gereja mulai denganpembersihan terhadap gerakan kelompok
Waldenses (1211), lalu kelompok Albigensis yang menerima kutukan dari Konsili Lateran IV, 1215
yangdisertai dengan tindakan yang kejam sebagai hukuman (1209-1229). Kemudian, Paus Gregorius
IX pada tahun 1232 mendirikan badanInkuisisi yang dipercayakan kepada ordo biarawan Dominikan
dan Fransiskan. Badan inkuisisi memberi mereka hak eksklusif untuk memimpin berbagai sidang
pengadilan inkuisisi, memiliki kekuasaan yang tak terbatas sebagai hakim dan kuasa untuk
mengucilkan, menyiksa, atau mengeksekusi banyak orang yang dituduh menjadi bidaah atau oposisi
terhadap pemerintahan paus,sekecil apapun kecurigaan itu.
Saat ini, lima puluh tahun setelah Konsili Vatikan II, Gereja Katolik sedikit demi sedikit
berbenah dan memperbaiki diri untuk semakin menampakkan wajah Allah yang berbelas kasih.
Maka, martabat manusia mendapatkan perhatian utama dalam ajaran sosial Gereja Katolik pasca
Konsili Vatikan II. Mengapa, kemudian, kita mulai melihat dari dekat apa yang dikatakan Gereja
tentang martabat manusia? Karena dasar sikap Gereja Katolik terhadap praktek penyiksaan adalah
keyakinan bahwa praktek-praktek seperti ini jelas-jelas melanggar martabat yang diberikan oleh
Tuhan sendiri, bukan hanya bagi korban, tetapi bagi mereka yang memaksakan pelaksanaan praktek
ini.
Dasar-dasar bagi martabat manusia memiliki dua alasan utama. Alasan pertama adalah karena
kita diciptakan menurut gambar Allah olehAllah Pencipta kita. Maka gambaran atau citra dari
Allah ditemukan di semua orang-orang yang diciptakan-Nya. Paus Yohanes Paulus II membicarakan
hal ini dalam ensiklikEvangelium Vitae, “Man has been given a sublime dignity, based on the intimate bond
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 10
Cahyo Christanto _106312007

which unites him to his Creator: in man there shines forth a reflection of God himself”(EV34).Alasan kedua,
dalam inkarnasi, Yesus Kristus menjadi satu anggota keluarga manusia. Maka semua manusia
disentuh oleh realitas inkarnasi dengan kehadiran dan penebusan Kristus. Dalam EvangeliumVitae,
Paus Yohanes Paulus II menjelaskanbahwa diri Yesus sebagai persembahan satu-satunya di kayu
salib menjadi sumber kehidupan baru bagi semua orang (EV 33).Yesus memiliki hubungan yang
unik dengan setiap orang yang memungkinkan kita untuk melihat di setiap wajah manusia ada wajah
Kristus (EV 81). Hal ini ditegaskan pula dalam Gaudium et Spes,bahwa semua orang mempunyai jiwa yang
berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal mula yang sama.
Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus
semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang (GS 29).
Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa siksaan yang memakai kekerasan fisik atau psikis
untuk memeras pengakuan, untuk menyiksa yang bersalah, untuk menakut-nakuti penentang atau untuk
memuaskan kedengkian, melawan penghormatan terhadap manusia dan martabatnya (No. 2297).Keadilan sosial
sebagai tujuan bersama dalam masyarakat hanya dapat dicapai apabila keluhuran martabat manusia
dihormati. Pribadi adalah tujuan akhir masyarakat; masyarakat diarahkan kepada pribadi-pribadi(No.
1929). Dalam konteks ini, katekismus senada dengan sebuah kalimat dari Paus Yohanes Paulus II
dalam salah satu ensiklik Sollicitudo Rei Sosialisno. 47 bahwa,… This is what is demanded by the present
moment and above all by the very dignity of the human person, the indestructible image of God the Creator, which is
identical in each one of us.Katekismus juga menambahkan bahwa penghormatan pribadi manusia
mencakup penghormatan terhadap hak-haknya, yang timbul dari martabatnya sebagai makhluk(No
1930).
Jika kita perhatikan bagaimana Katekismus Gereja Katolik menggunakan istilah rasa
“hormat” untuk membahas martabat manusia dan hak asasi manusia, maka hal ini berbicara tentang
transendensi martabat manusia. Dalam ajaran sosial Gereja Katolik, sebuah pengakuan sederhana
dari martabat manusia dalam dirinya sendiri tidak cukup.Sebaliknya, pengakuan ini memiliki
konsekuensi yang mengarahkan untuk saling menghormati dan menghargai bagi kehidupan dan hak-
hak manusia.
Paus Benediktus XVI dalam nasihat apostolik tentang Ekaristi (Sacramentum Caritatis)
menyatakan, “Justru karena misteri yang kita rayakan dalamEkaristi, kita harus mengecam situasi
yang bertentangan dengan martabat manusia, karena Kristus menumpahkan darah-Nya untuk
semua”17. Hal ini tentu tidak mengherankan bahwa pemimpin Gereja Katolik berbicara tentang
penyiksaan. Mengapa? Pertama, karena penyiksaan adalah isu moral bagi Gereja. Kedua, karena
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 11
Cahyo Christanto _106312007

sebagai anggota di dalam dunia yang hidup, Gereja ingin memberikan kontribusi kepada masyarakat
dengan cara yang positif, dengan berbagi wawasan dan nilai-nilai yang berkaitan dengan hal-hal yang
paling mendesak pada zaman ini. Maka jelas bahwa posisi Gereja Katolik adalah menentang dengan
tegas hal dan praktek penyiksaan seperti yang tercantum dalam GS 27,Selain itu apa saja yang
berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku,
pengguguran, eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti
pemenggalan anggota badan, siksaan yang ditimpakan pada jiwa maupun raga, usaha-usaha paksaan psikologis;
apa pun yang melukai martabat manusia,... .

3.2. Terorisme
Pada tanggal 11 September 2001, dunia dikejutkan oleh serangan para teroris terhadap
gedung WTC Amerika Serikat. Beberapa teori mencoba menganalisis peristiwa ini: analisis pertama
mencoba menjelaskan peristiwa ini sebagai peristiwa yang telah direncanakan oleh pemerintah AS
sendiri. Pendapat ini diungkapkan Judy Wood and Morgan Reynolds (guru besar pada Texas
University, AS) yang menyatakan bahwa belum ada bangunan baja yang ambruk hanya karena
kobaran api18.Pendapat kedua, Michael Meacher (mantan Menteri Lingkungan Inggris, 1997 – 2003)
berpendapat, ”Perang melawan terorisme dijadikan tabir kebohongan guna mencapai tujuan-tujuan
strategis geopolitik AS”19.Pendapat selanjutnya, Steven E. Jones (guru besar fisika pada Birgham
Young University, USA), dalam kertas kerjanya berjudul “Why Indeed Did the WTC Buildings
Collapse?”20melakukan penelitian dari sudut teori fisika mengatakan bahwa kehancuran dahsyat
seperti yang dialami Twin Tower serta gedung WTC 7 hanya mungkin terjadi karena bom-bom yang
sudah dipasang pada bangunan-bangunan tersebut. Analisis kedua mengatakan bahwa pemerintahan
Bush tidak merencanakan tetapi mereka tahu akan terjadi dan tidak melakukan apapun untuk
mencegahnya dan pada kenyataannya telah memungkinkan hal ini terjadi, dan analisis ketiga melihat
bahwa peristiwa ini direncanakan dan dilaksanakan oleh kelompok teroris 17 (14 di antaranya dari
Arab Saudi)21. Lepas dari perdebatan teori-teori ini, teror bom yang meruntuhkan gedung WTC
Amerika telah merenggut tak kurang dari 3000 jiwa.
Di Indonesia sendiri, teror bom buku yang marak dewasa ini dan diarahkan kepada Ulil
Abshar,Japto S. Soerjosoemarno, dan Ahmad Dhani adalah rangkaian teror bom yang seakan tak
pernah selesai semenjak tragedi bom menghantam beberapa kedutaan, gedung Bursa Efek Jakarta,
beberapa kota pada malam Natal tahun 2000. Rentetan peristiwa teror bom di Indonesia sejak tahun
2000 sampai 2009 dapat kita simak secara rinci pada
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 12
Cahyo Christanto _106312007

situs:http://indocashregister.com/2009/07/18/rentetan-serangan-bom-teroris-di-indonesia-2000-
2009/.

3.2.1. Definisi Terorisme


Kata terror berasal dari bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut
tindakan pemerintah pascarevolusi Perancis (1793-1794),yang menggunakan kekerasan secara brutal
dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti
pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti
pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut
tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah22.
Beberapa definisi tentang terorisme, satu diantaranya adalah definisi yang tercantum dalam
pasal 14 ayat 1,The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism
means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any
section of the public in fear”23.Kegiatan terorisme bermaksud membuat orang lain merasa ketakutan
sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Perbuatan
teror dijalankanjika tidak ada upaya lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan sebuah tujuan.
Terorisme adalah senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tak menentu serta
menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memaksa masyarakat atau
kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror.Menurut Leonardo Boff dalam
Fundamentalism, Terrorism and The Future of Humanity24, terorisme adalah usaha-usaha yang membuat
pikiran kita selalu gelisah. Biasanya, terortidak ditujukan secara langsung kepada lawan, akan tetapi
justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin
disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror ini mendapat perhatian yang khusus atau
dapat dikatakan lebih sebagai psy-war25.
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
terorisme. Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak berarti
menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas terorisme tersebut
telah dilakukan sejak pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937, lahir Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism) yang mengartikan
terorisme sebagai Crimes against State26.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 13
Cahyo Christanto _106312007

3.2.2. Pandangan tentang terorisme


3.2.2.1. Pandangan Filsafat
Plato dan Aristoteles memulai apa yang disebut sebagai tradisi hukum kodrat. Hukum kodrat
adalah wawasan Platonis bahwa adalah mungkin bagi seseorang untuk menentukan secara obyektif
apa artinya menjadi baik pada dirinya. Seperti halnya ada standar keunggulan untuk menjadi dokter
dan guru, sehingga dapat diketahui ada standar keunggulan bagi yang lain juga. Masyarakat yang baik
adalah masyarakat di mana orang diperbolehkan untuk memenuhi standar ini.
Baik Plato dan Aristoteles bersikeras bahwa ketidakadilan tidak diizinkan sebagai alat untuk
menghasilkan konsekuensi yang baik. Plato berpendapat (seperti halnya Aristoteles) bahwa ada
beberapa nilai-nilai dasar manusia yang hanya layak dimiliki untuk kepentingan mereka sendiri, dan
bahwa konsekuensi pokok tindakan kejahatan adalah penghancuran diri. Teori yang disebut
konsekuensialisme ini berargumenbahwa orang dengan karakter yang baik adalah juga satu-satunya
orang yang benar-benar bahagia.Mempertahankan karakter tersebut berarti menghindari
ketidakadilan, khususnya, menghindari perangkap pemikiran untuk berbuat jahat. Plato mengerti
bahwa kehidupan seperti ini sulit dicapai, ia sendiri sangat pesimis tentang kemungkinan bentuk
masyarakat yang adil.
Kritik terhadap gagasan konsekuensialisme Plato ini adalah bahwa menilai setiap tindakan
dari konsekuensinya saja. Maka terorisme tidak dianggap salah dalam dirinya sendiri, kecuali jika
memiliki konsekuensi buruk terhadap keadilan dan keseimbangan. Jatuhnya korban tak berdosa tidak
bisa dibela dengan teori ini karena implikasi pendekatan konsekuensialis
adalahbahwa hukuman kepada yang bersalah bisa dibenarkan, bila konsekuensinya baik pada
keseimbangan bersama. Pendekatan konsekuensialisme ini tidak memuat pentingnya moralitas
dalam dirinya sendiri.
Immanuel Kant, pelopor pemikiran deontologis berpendapat bahwa suatu perbuatan dinilai
baik manakala dilakukan atas dasar kewajiban, sebagai perbuatan berdasarkan legalitas, tidak penting
untuk tujuan apa perbuatan itu dilakukan. Ajaran ini menekankan bahwa seharusnya kita melakukan
“kewajiban” karena itu merupakan “kewajiban” kita, dan untuk itu alasan (reason) tidak diperlukan
sehingga perbuatan itu dilakukan. Kritik terhadap pemikiran ini adalah jika penilaian suatu perbuatan
hanya dilakukan berdasarkan kewajiban semata-mata, maka seseorang bisa saja bertindak dengan
mengabaikan “moral” pribadinya, karena ia harus tunduk pada prinsip kewajiban. Perbuatan yang
dilakukan atas prinsip “kewajiban demi kewajiban” juga dapat berarti seseorang harus bertindak
secara buta sesuai dengan aturan yang ketat, tanpa mengkaji konsekuensi langsung yang akan terjadi
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 14
Cahyo Christanto _106312007

dari perbuatan tersebut dalam keadaan khusus, bahkan juga tanpa mempertimbangkan akibat jangka
panjangnya.
Berkaitan dengan penggunaan kekerasan yang berhubungan dengan teror, secara singkat
Immanuel Kant berpendapat, “Everyone may use violent means to compel another to enter into a juridical state of
society”27.Meskipun demikian, kita mungkin setuju bahwa negara dengan ketentuan hukum yang
mewajibkan, memungkinkan kekerasan demi sebuah pertahanan atau pembelaan diri, akan
tetapi melarang penggunaan atau kemungkinan penggunaan kekerasan tentunya jauh lebih baik dan
bermanfaat jika didasarkan pada perjanjian bersama tanpa paksaan. Mereka yang setuju dengan
kemungkinan penggunaan kekerasan, tidak bisa memaksakan sistem ini kepada mereka yang tidak
bisa menerimanya.Kritik lain bagi Kant berhubungan dengan tindakan teror adalah bahwa dia
melihat usaha untuk menghindari adanya kekerasan atau teror hanyalah berdasarkan sebuah
kewajiban atau peraturan saja tanpa menggunakan kesadaran moral pribadi untuk menilai usaha-
usaha menghindari terorisme ini.

3.2.2.2. Pandangan Agustinus Hippo dan Thomas Aquinas


Dalam De Correctione Donatistarum, Agustinus membuat klaim yang luar biasa, dalam memaksa
kaum Donatis melalui penderitaan fisik, untuk kembali kepada Gereja. Hal ini memang belum
menjelaskan mengapa ia menganggap penggunaan tindakan-tindakan teror ini dibenarkan. Mengapa
atauapakah Tuhan sendiri, yang membenarkan untuk memaksa orang-orang Donatis masuk kembali
ke dalam Gereja? Jawaban Agustinus jelas ditujukan sebagai tanggapan kepada orang-orang Donatis
yang menolak kembali, bahkan meskipun sampai matimembakar diri, mereka tetap menolak.
Agustinus berpendapat bahwa lebih baik memaksa mereka dengan cara apapun untuk kembali
kepada Gereja daripada mereka sengsara di dalam api neraka. Dengan kata lain, penggunaan pedang
dalam memaksa bidaah kembali kepadaGereja, dibenarkan28.
Bagi Thomas Aquinas sendiri, ia memang menulis tentang perang yang adil dengan beberapa
asas pendukung dalam Summa Theologica29, akan tetapi secara spesifik ia sendiri tidak pernah
menyinggung tentang penggunaan tindakan kekerasan atau paksaan demi sebuah kebaikan atau
untuk menciptakan kekacauan. Dari syarat-syarat perang adil yang dituliskannya kita hanya bisa
menduga bahwa Thomas tidak akan mendukung terorisme, sebab Thomas amat mementingkan
perlunya perlindungan umum bagi warga negara terhadap suatu serangan.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 15
Cahyo Christanto _106312007

3.2.3. Pokok Persoalan


Terorisme telah dipraktekkan sepanjang sejarah dunia. Sejarawan Yunani Xenophenon (431-
350 SM) menulis tentang efektivitas perang psikologis terhadap musuh. Kaisar Romawi Tiberius(14-
37 M) dan Caligula (37-41M) melakukaneksekusi, pembuangan, danperampasan aset-aset sebagai
sarana mencegah oposisi kekuasaan mereka. Inkuisisi Spanyol menggunakan penangkapan
sewenang-wenang, penyiksaan, dan eksekusi untuk menghukum apa yang dipandang sebagai bidaah
keagamaan.
Penggunaan teror secara terbuka yang dianjurkan oleh Robespierre sebagai sarana untuk
mendorong kebajikan revolusioner selama Revolusi Perancis, yang mengarah ke masa dominasi
politik disebut “Pemerintahan Teror” (1793-1794). Setelah Perang Saudara Amerika (1861-1865),
pemberontak dari Selatan membentuk organisasi teroris bernama Ku Klux Klan untuk mengintimidasi
pendukung Rekonstruksi.
Pada paruh kedua abad ke-19, terorisme diadopsi oleh penganut anarkisme di Eropa Barat,
Rusia, dan Amerika Serikat. Mereka percaya bahwa cara terbaik untuk mempengaruhi perubahan
politik dan sosial revolusioner adalah untuk membunuh orang dalam posisi kekuasaan. Dari tahun
1865-1905, sejumlah raja, presiden, perdana menteri, dan pejabat pemerintah lainnya dibunuh oleh
senjata anarkis atau dengan kata lain terorisme telah dipraktekkan sepanjang sejarah dan di seluruh
dunia30.Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan
strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini
semakin canggih dan bervariasi. Semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan
kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan
keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)31.
Terorisme tidak selalu paralel dengan fundamentalisme. Akan tetapi, berbagai kejadian teror
bom dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis membuat kita semakin
prihatin dan bertanya apakah agama-agama di duniamengajarkan kejahatan, khususnya dalam tindak
kekerasan yang dilakukan terhadap orang lain yang tak bersalah? Sama halnya dengan kemanusiaan
itu sendiri, interpretasi atas apa yang menjadi kehendak Tuhan bisa menjadi absurd dan menggiring
pada tragedi seperti penyaliban Yesus, peristiwa Nazi, Jim Jones David Koresh, konflik Arab-Israel
yang masih terus berlangsung, dan peristiwa 11 September 2001. Bagaimana bisa sesuatu yang
dianggap suci dan memberi berkah pada umat manusia berbalikmenjadi suatu kejahatan?
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 16
Cahyo Christanto _106312007

Berhadapan dengan fundamentalisme yang berujung terorisme, refleksi Charles Kimball,


dalam bukunya When Religion Becomes Evil, amat membantu kita untuk menunjukkan setidaknyaada
lima tanda dari agama yang mulai korup, busuk, atau rusak. Tanda-tanda itu adalah32: (1) Adanya
klaim kebenaran yang absolut, yaitu gagasan bahwa seorang individu atau kelompok memiliki akses
kepada kebenaran mutlak dan yang lain itu sesat dan salah, (2) Adanya ketaatan buta kepada
pemimpin agama, yaitu sebuah sikap yang tidak perlu meragukan lagi kesesuaian dengan seperangkat
aturan, praktek, atau perintah dari pemimpin, (3) Agama mulai rindu atau gandrung akan hadirnya
zaman ideal, lalu bertekad merealisasikannya saat ini dengan kepercayaan bahwa seorang individu
atau kelompok telah dibangkitkan oleh Tuhan untuk mengakhiri zaman ini dan memperkenalkan
zaman baru yang ideal, (4) Agama mulai membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan
membenarkan cara.” Misalnya, ekstrimis yang menggunakan kekerasan untuk mewujudkan
“perdamaian” atau menghapus apa saja yang dianggap jahat secara sepihak, (5) Agama mulai
menyatakan perang suci lalu menggunakan hanya teori perang atau deklarasi perang suci untuk
membenarkan penyerangan individu atau kelompok yang diduga bertentangan dengan agama atau
untuk memurnikan dunia kejahatan.
Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna
terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan dari
yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan
pembunuhan kepala negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity33, sehingga
yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of
Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian sistematik yang diketahui
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada
jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana yang terjadi di Bali tahun 2002 dan
2005.

3.2.4. Teror dalam Kitab Suci


Situasi kepanikan karena teror dan kekerasan dapat kita telusuri dalam Perjanjian Lama
sebagai berikut:
▪ Kitab Kej 35:5,” … Dan kedahsyatan yang dari Allah meliputi kota-kota sekeliling
mereka, sehingga anak-anak Yakub tidak dikejar.”
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 17
Cahyo Christanto _106312007

▪ Kel23:27,“Kengerian terhadap Aku akan Kukirimkan mendahului engkau: Aku akan


mengacaukan semua orang yang kaudatangi, dan Aku akan membuat semua musuhmu
lari membelakangi engkau.”
▪ Ul 2:25,” … Aku mulai mendatangkan ke atas bangsa-bangsa di seluruh kolong langit
keseganan dan ketakutan terhadap kamu, sehingga mereka menggigil dan gemetar karena
engkau… .”
▪ Ul 4:34,“Atau pernahkah suatu allah mencoba datang untuk mengambil baginya suatu
bangsa dari tengah-tengah bangsa yang lain, dengan cobaan-cobaan, tanda-tanda serta
mujizat-mujizat dan peperangan, dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung dan
dengan kedahsyatan-kedahsyatan yang besar, seperti yang dilakukan TUHAN,
Allahmu… .”
▪ Hakim 16:28,”…ingatlah kiranya kepadaku dan buatlah aku kuat, sekali ini saja, ya Allah,
supaya dengan satu pembalasan juga kubalaskan kedua mataku…. .”
▪ Hakim 16:30,”…maka rubuhlah rumah itu menimpa raja-raja kota itu dan seluruh orang
banyak yang ada di dalamnya. Yang mati dibunuhnya pada waktu matinya itu lebih
banyak dari pada yang dibunuhnya pada waktu hidupnya.”
▪ Ul 7:1,” … Ia telah menghalau banyak bangsa dari depanmu, yakni orang Het, orang
Girgasi, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, tujuh
bangsa, yang lebih banyak dan lebih kuat dari padamu.”
▪ Ul 7:2,”… dan TUHAN, Allahmu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga
engkau memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama sekali.
Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau
mengasihani mereka.”

Gambaran Tuhan yang menurut kutipan-kutipan Perjanjian Lama di atas ternyata sarat
dengan teror dan kekerasan. Saya ingin mengingkari teks-teks tersebut karena tidak lagi sesuai untuk
masa kini.Gambaran Tuhan yang penuh kekerasan ini tidak mendukung hidup kebersamaan kita,
bisa saja, usaha-usaha menjalin perdamaian dan kerukunan dengan kelompok yang lain menjadi
berantakan lagi.
Pemikiran Nelson-Pallmeyer34 bisa menerangi kita untuk menjelaskan mengapa dalam teks-
teks suci agama-agama monoteis (Yudaisme, Kristianisme, dan Islam) mencantumkan kekerasan
seperti ini. Kekerasan ini lebih berakar dalam tradisi kekerasan seolah-olah Tuhan sendiri
menghendakinya dan hal ini lalu dianggap benar. Seakan-akan tradisi ini sudah tersurat di dalam inti
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 18
Cahyo Christanto _106312007

teks-teks suci agama. Terhadap pemahaman seakan ada tradisi kekerasan Tuhan ini, otoritas agama
takut mempertanyakannya karena sepertinya akan mengancam kebenaran pesan Tuhan, atau akan
menggoyahkan dasar keimanan. Bahkan sebelum menafsirkan, ruang gerak pemahaman sudah
dibatasi oleh sebuah struktur pemaknaan yang dominan, yaitu kekerasan. Dalam kekerasan agama-
agama, gambaran Tuhan yang menonjol ialah Tuhan sebagai penghukum, penganiaya, pembalas
dendam, pembantai, dan sewenang-wenang. Pemahaman Nelson-Pallmeyer ini selanjutnya akan
diperdalam pada pembahasan berikutnya, yaitu tentang genosida dalam Kitab Suci.

3.2.5. Tanggapan Gereja


Dalam Katekismus Gereja Katolik, kita mendapati kecaman terhadap terorisme sebagai
berikut:
“Penculikan dan penyanderaan menyebarluaskan rasa takut dan melakukan tekanan tidak halal melalui
ancaman atas kurban; mereka tidak dapat dibenarkan menurut moral. Terorisme, yang mengancam, melukai, dan
membunuh secara sewenang-wenang merupakan pelanggaran besar terhadap keadilan dan cinta kasih Kristen.
Siksaan yang memakai kekerasan fisik atau psikis untuk memeras pengakuan, untuk menyiksa yang bersalah,
untuk menakut-nakuti penentang atau untuk memuaskan kedengkian, melawan penghormatan terhadap manusia
dan martabatnya. Kecuali kalau ada alasan-alasan terapi yang kuat, amputasi, pengudungan atau sterilisasi dari
orang-orang yang tidak bersalah, merupakan pelanggaran terhadap hukum susila”(2297).
“Dahulu kala biasanya dipakai juga tindakan-tindakan kejam oleh pemerintah yang sah, untuk
mempertahankan hukum dan ketertiban - sering tanpa celaan oleh gembala-gembala Gereja, yang di dalam
pengadilan mereka sendiri mengambil alih peraturan-peraturan dari hukum Roma dalam hubungan dengan
penyiksaan. Selain dari kejadian-kejadian yang disesalkan itu, Gereja selalu memperjuangkan kelemahlembutan
dan kerahiman; ia melarang para klerus menumpahkan darah. Dalam waktu akhir-akhir ini menyusup pandangan
bahwa tindakan yang begitu kejam itu tidak perlu untuk ketertiban umum dan juga tidak sesuai dengan hak-hak
manusia yang sah, tetapi sebaliknya mengantat kepada kekeliruan yang sangat besar. Orang harus berikhtiar untuk
menghapuskannya. Orang harus berdoa untuk para korban, tetapi juga untuk para penyiksa”(2298).

Paus Yohanes Paulus II mendefinisikan terorisme sebagai adanya niat untuk membunuh
orang dan menghancurkan hak milik tanpa pandang buludan untuk menciptakan kepanikan dan rasa
tidak aman, dan sering dengan melakukan sandera35. Paus melanjutkan dengan menyatakan bahwa
ideologi atau keinginan untuk membangun masyarakat, tidak pernah dapat membenarkan motivasi
teror, ini adalah tindakan yang tidak manusiawi.Terorisme bahkan secara moral sudah salah pada
dirinya (intrinsicly evil), sebab “keputusan dan tindakan seperti itu (teror), yang kadang-kadang
mengakibatkan pembantaian nyata dan penculikan orang tak bersalah yang tidak ada hubungannya
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 19
Cahyo Christanto _106312007

dengan konflik, mengklaim memiliki tujuan dan propaganda demi sebuah kemajuan. Hal ini menjadi
semakin buruk ketika tujuan akhir mereka adalah pembunuhan diri mereka sendiri.”
Dalam majalah Zenit, Paus Yohanes Paulus II berkomentar, “Tanggapan kita terhadap
terorisme juga harus melibatkan berikut ini: kesediaan orang beriman untuk terlibat dalam doa yang
tulus kepada Allah …, kesediaan untuk aktif dalam solidaritas … supaya kita selalu
memeliharakeluhuran moral demi masa depan peradaban itu sendiri. Paus mengatakan
bahwaterorisme harus dikecam dan dikutuk karena penggunaan kekerasan dalam berbagai bentuknya
tidak membuat kemungkinan yang baik bagi penyelesaian konflik atau pembentukan dasar untuk
sebuah masyarakat yang menghormati sesama anggotanya. Paus berpendapat bahwa kekerasan
terorisme menghambat semua kehidupan sosial dan mengurangi hak-hak paling mendasar dari
manusia dan masyarakat untuk mewujudkan perdamaian dan perkembangan integral”36.

3.3. Genocide atau Genosida


Kamboja adalah salah satu negeri yang mengalami masa muram karena perang saudara tahun
1967-1978. Puncaknya ketika rezim komunis Pol Pot dengan Khmer Rouge-nya berkuasa tahun 1975-
1978, dimulailah percobaan radikal untuk menciptakan sebuah utopia negeri agraris yang sebagian
terinspirasi oleh Mao Zedong dengan Revolusi Kebudayaan di Cina37. Pol Pot berusaha untuk
melakukan “lompatan” yang dipaksakan di Kamboja. Dia mulai berusaha untuk “memurnikan”
masyarakat dari pengaruh kapitalisme, budaya barat, kehidupan kota, agama, dan modernitas. Semua
pengaruh asing itu harus dihilangkan untuk mendukung bentuk ekstrim dari sebuah komunisme
negeri petani.
Konsekuensinya adalah semua penduduk kota-kota di Kamboja dievakuasi secara paksa. Di
Phnom Penh, dua juta penduduk diungsikan dengan berjalan kaki ke pedesaan di bawah todongan
senjata. Di sinilah pembantaian dimulai. Kurang lebih sebanyak 20.000 orang meninggal dalam
perjalanan. Jutaan penduduk Kamboja yang terbiasa dengan kehidupan kota dipaksa menjadi buruh
tani di Killing Fields38di mana mereka segera mulai sekarat karena kerja paksa, malnutrisi, dan
penyakit. Program pemurnian Pol Pot ini pun mencakup masyarakat dan budaya. Tak pandang
apakah itu lawan politik, kaum intelektual, seniman, rahib Budha, guru, dan pemuka masyarakat,
semuanya “dibersihkan.” Siapapun yang dicurigai tidak setia kepada Pol Pot termasuk banyak
pemimpin Khmer Rougesendiri, dibunuh. Di penjara Tuol Sleng, sampai 20.000 orang lebih disiksa
untuk memberikan pengakuan palsu melawan rezim. Entah tersangka mengaku atau tidak,
interogasi selalu berakhir dengan kematian. Sementara itu, sasaran etnis yang menjadi target
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 20
Cahyo Christanto _106312007

pembersihan adalah kelompok keturunan Vietnam, Cina, dan Islam-Cham. Pembersihan dilakukan
dengan pengusiran atau menghukum mati39.
Ketika saya berkunjung ke penjara Tuol Sleng, Phnom Penh, kata torture, genocide, and terrorism
yang terlintas dalam pikiran seperti menyatu dan tak bisa dilepaskan satu sama lain. Betul, bahwa
ketiga kata itu bisa berdiri terpisah menunjuk pada tempat dan kepentingannya di mana historisitas
peradaban manusia pun seringkali dibaca sebagai data statistik belaka. Maka statistik bisa
menyebutkan banyak peristiwa selain genocide di Kamboja seperti sebuah repetisi di mana kita bisa
melihat hal serupa pernah terjadi terhadap orang Yahudi, orang Gipsi (Sinti dan Roma) dan
suku bangsa Yahudi oleh kaum Nazi Jerman pada Perang Dunia II, menimpa bangsa Armenia oleh
beberapa kelompok Turki pada akhir Perang Dunia I, dialami suku Hutu dan Tutsi di Rwanda pada
tahun 1994 oleh terutama kaum Hutu, dan masih banyak lagi yang secara khusus akan dibahas pada
bagian berikutnya.
Beberapa film yang berusaha menggambarkan peristiwa genocide adalah The Killling Fields yang
disutradarai Rolland Joffe (1984) dan Year Zero: The Silent Death of CambodiakaryaJohn Pilger (1979),
yang mengisahkan situasi di Kamboja tahun 1975-1978. Filmberikutnya yang cukup fenomenal
adalah Sometimes in Aprilkarya Raoul Peck (2005) dan Hotel Rwandakarya Terry George (2004), kedua
film ini memberikan kisah dan gambaran situasi yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994. Akan
tetapi, kenyataan sebenarnya yang terjadi di lapangan jauh lebih tragis dan kompleks dari apa yang
bisa kita saksikan di film. Genocide yang terjadi di manapun merupakan sebuah cerminan gagalnya
negara menjamin keamanan internal dan perlindungan bagi warga negaranya. Locus genocide menjadi
sebuah failed state yang menjadi ancaman bagi warganegaranya sendiri. Terror, torture, and genocidejuga
memiliki dampak sistemik terhadap stabilitas kawasan negara tetangga dan menyita perhatian dunia
internasional terkait dengan isu moralitas dan Hak Asasi Manusia (HAM).

3.3.1. Definisi
Kamboja adalah salah satu sejarah kelabu genosida dari sekian banyak tempat lain di dunia.
Beberapa tempat terjadinya genosida yang bisa disebutkan di sini adalah:Ukraina, Armenia, Sikh,
Yamomami, Guatemala, Kashmir, Irak, Tamil, Khojali, Bosnia, Penduduk asli Amerika, Kurdish,
Mongol, Nuba, Yahudi-Holocaust, Nanking, Rwanda, dan Darfur40.
Istilah genocide atau genosida tidak dipakai sebelum tahun 1944. Ini adalah istilah yang sangat
khusus mengacu pada kejahatan dan kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok dengan maksud
menghancurkan eksistensi kelompok. Pada tahun 1944, seorang holocaust survivor sekaligus pengacara
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 21
Cahyo Christanto _106312007

Polandia-Yahudi bernama Raphael Lemkin(1900-1959) berusaha menggambarkan kekejaman Nazi


yang berusaha membersihkan orang-orang Yahudi. Ia membentuk katagenocide41 dengan
menggabungkan kata “gens”yang artinya ras, suku, atau bangsadengan kata “caedere” yang artinya
membunuh. Dalam mengusulkan istilah baru, konsep Lemkin tentang kata genocide ini adalah
“berbagairencana aksi terkoordinasi yang ditujukan untuk menghancurkan fondasi penting dari
kehidupan kelompok atau bangsa agar kelompok mengalami kehancuran. Tahun berikutnya,
Pengadilan Militer Internasionalyang diadakan di Nuremberg, Jerman, menjatuhkan hukuman
kepada kelompok Nazi atas dasar kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada waktu itu kata genosida
termasuk dalam surat dakwaan, tetapi sebagai istilah deskriptif, bukan hukum”42.
Menurut Leo Kuper ada empat jenis genosida43: (1)Genosida Endemik, yaitu berlangsungnya
pembunuhan massal terus-menerus seperti yang terjadi di Rusia pada masa Stalin, Jerman pada masa
Nazi, dan Kamboja pada masa Pol Pot. Genosida jenis ini biasanya dipicu oleh gerakan revolusioner
atas dasar sebuah utopia dunia baru. (2) Genosida Etnis, yaitu genosida yang terjadi sebagai akibat
konflik suku atau kelompok. Contohnya terjadi di Rwanda dan Burundi. (3) Genosida Teokrasi,
yaitu genosida yang terjadi di mana agama dan kekuasaan menjadi otoritas dominan dalam sebuah
wilayah. Contohnya adalah rezim Ottoman dan rezim Islam Sudan. (4)Genosida Marjinal, yaitu
genosida yang menimpa kelompok-kelompok minoritas marjinal seperti yang terjadi pada kelompok-
kelompok Indian di Amerika dan kelompok Ache di Paraguay.
Pada Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide44, memberikan definisi
sebagai berikut: genocide means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a
national, ethnical, racial or religious group, as such. Genosida berbeda dengan pembunuhan massal, karena
target pembunuhan massal adalah sejumlah besar orang tanpa memandang suku, atau kelompok
tertentu.
Meskipun para ahli hukum mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, namun masih
ada keraguan dalam menafsirkan definisi hukum dari kalimat yang tercantum dalam Konvensi
Genosida PBB—yaitu “penghancuran secara keseluruhan atau sebagian” kelompok etnis, ras, atau
keagamaan—dapat digunakan dalam melihat kekejian Khmer Rougeterhadap kelompok non-komunis
dan perwira militer yang dikalahkan, pembunuhan kelompok politik di Timor Leste oleh pihak
Indonesia dari tahun 1975 sampai 199945. Kesulitan interpretasi mengenai “kelompok-kelompok
politik” pada akhirnya menjadikan peristiwa pembantaian massal antikomunis di Indonesia tahun
1965-1966 terlupakan46.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 22
Cahyo Christanto _106312007

Kejahatan di Timor Leste yang terjadi selama satu dekade dengan korban sekitar 150.000
orang tewas, dari jumlah total penduduk 650.000 jiwa, dengan jelas memenuhi kriteria-kriteria
sosiologis genosida yang biasa digunakan para ahli untuk membahas fenomena tersebut dan juga
menekankan baik kelompok etnis maupun kelompok politik dapat dipandang sebagai korban
genosida47. Korban yang jatuh di Timor Leste bukan lagi sekedar “sebagian” dari “kelompok
nasional” Timor yang dihancurkan akibat perlawanan terhadap pendudukan tentara Indonesia.
Selain anggota keluarga gerakan Fretilin, kekejian itu juga diarahkan terhadap dua puluh ribu
minoritas etnis keturunan Tionghoa yang tinggal di kota-kota besar di Timor Leste. Pihak militer
Indonesia telah menjadikan kelompok-kelompok itu sebagai target penghancuran karena status etnis
kelompok Tionghoa, bukan yang lainnya. Kekerasan terhadap kelompok minoritas Tionghoa terjadi
lagi pada tragedi Mei 1998 yang menurut Ester Jusuf dkk., dalam bukunya yang berjudul “Kerusuhan
Mei 1998, Fakta, Data & Analisa”, menelan 1.339 jiwa warga Indonesia, termasuk hampir seratus
perempuan Indonesia etnis Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual dan diperkosa, lebih dari
5.723 bangunan, 1948 kendaraan dan 516 fasilitas umum dibakar di beberapa kota besar di
Indonesia48.

3.3.2. Genosida dalam Kitab Suci


Tidak ada satu kata pun tentang genosida dalam Kitab Suci. Akan tetapi perikop yang
mengisahkan tentang peperangan dan penumpasan antar bangsa dapat kita temukan dalam
Perjanjian Lama. Hampir sama dengan pembahasan pada bagian “teror” dalam Kitab Suci
sebelumnya, bagian ini saya akan mengutipkan beberapa perikop yang mengungkapkan kengerian
kemanusiaan ini:
▪ Kel 23:27, “Kengerian terhadap Aku akan Kukirimkan mendahului engkau: Aku akan
mengacaukan semua orang yang kaudatangi, dan Aku akan membuat semua musuhmu
lari membelakangi engkau.”
▪ Kel 23:28,” Lagi Aku akan melepaskan tabuhan mendahului engkau, sehingga binatang-
binatang itu menghalau orang Hewi, orang Kanaan dan orang Het itu dari depanmu.”
▪ Kel 23:30,“Sedikit demi sedikit Aku akan menghalau mereka dari depanmu, sampai
engkau beranak cucu sedemikian, hingga engkau dapat memiliki negeri itu.
▪ Kel 34:11, Tetapi engkau, berpeganglah pada yang Kuperintahkan kepadamu pada hari
ini. Lihat, Aku akan menghalau dari depanmu orang Amori, orang Kanaan, orang Het,
orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus.”
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 23
Cahyo Christanto _106312007

▪ Imamat 26:7,” Kamu akan mengejar musuhmu, dan mereka akan tewas di hadapanmu
oleh pedang.”
▪ I Sam15:3,“Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada
padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki
maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun
domba, unta maupun keledai.”
Pesan-pesan yang mengerikan kita dapatkan dari gambaran Tuhan sebagai hakim yang
pembalas dan pencemburu. Dia tidak kenal ampun.Kita mendapatkan gambaran Tuhan yang penuh
kuasa dan penuntut balas yang akan menunjukkan bahwa tidak ada Tuhan selain Yahwe, Allah
Israel. Jalan keluar termudah bagi kita untuk menjelaskan hal ini adalah dengan bersikeras
menyatakan bahwa kekerasan dalam Perjanjian Lamatidak ada hubungannya dengan Yesus dan
ajarannya kasihnya. Meskipun dalam Perjanjian Baru, Yesus beberapa kali mengutip tentang
hukuman kekal setelah kematian (Mat 18:9, 23:33). Atau kita dapat mengklaim bahwa
gambaranAllah yang lama telah digantikan oleh Yesus yang berbelas kasih.
Anjuran lain mengatakan bahwa kita tidak bisa begitu saja menafsirkan Kitab Suci secara
harafiah.Merujuk pemikiran Nelson-Pallmeyer, ia menyebutkan bahwa sebenarnya ada masalah yang
lebih mendasar lagi di balik penafsiran, yaitu bahwa kekerasan yang seakan-akan dikehendaki Tuhan
dipakai sebagai alat pembenaran kejahatan, kekerasan, penumpasan, dan balas dendam. Maka kita
bisa saja membaca bahwakekerasan ini diputuskan sendiri oleh bangsa Israel dengan mengklaim
legitimasi ilahi untuk tindakan barbar di belakangnya. Kekerasan yang seakan kehendak Tuhan ini tak
lain adalah proyeksi manusia tentang hukuman dan balas dendam untuk pembenaran kekerasan.
Kekerasan tampil menjadi bagian dari kesucian-Nya sebagai alat penegakan keadilan. Kekerasan
Tuhan tampil sebagai Avatar atau samaran dari bentuk pembebasan dan dalam rangka mengajak
pertobatan. Maka, kebengisan atau kebiadaban dengan sukses telah direduksi menjadi kekerasan
spiritual yang diterima sebagai fungsi korektif dan liberatif. Penggunaan ancaman ilahi terhadap
perilaku yang menyimpang dari hukum sudah dianggap wajar karena demi kebaikan manusia sendiri.
Teologi yang hanya memusatkan acuan pada kekerasan Tuhan seperti ini akan menumbuhkan sistem
keyakinan yang rentan konflik. Pertama, karena usaha mencari kebenaran selalu bersinggungan
dengan kekerasan di mana Tuhan menjadi dalih pembenaran. Kedua, penghancuran atau kekerasan
mendapat legitimasi Kitab Suci. Ketiga, keberhasilan dianggap sebagai anugerah Tuhan, sedangkan
kegagalan atau penderitaan diterima sebagai hukuman Tuhan. Keyakinan macam ini memunculkan
sikap eksklusif, melihat dunia sebagai hitam atau putih, kawan atau lawan, orang pilihan atau
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 24
Cahyo Christanto _106312007

pendosa. Orang lain yang berbeda, entah agama, suku atau ras, pandangan politik atau pandangan
hidupnya harus dipertobatkan, kalau menolak akan dihancurkan.
Maka Nelson-Pallmeyer, selain mengajak untuk mempertanyakan tradisi kekerasan atas nama
Tuhan yang tersurat dalam teks-teks Kitab Suci, juga mengajak untuk membebaskan imajinasi agar
berani berpikir melampaui ketentuan-ketentuan religius, lebih-lebih membebaskan diri dari asumsi
patriarkal. Pencarian jalan keluar dari tema-tema kekerasan (penyiksaan, teror, dan juga genosida) di
dunia ini seharusnya bisa menjadi perekat hidup beragama. Untuk tujuan ini dibutuhkan pemahaman
baru tentang kekuatan ilahi dan manusia49.

3.3.3. Pandangan Filsafat: Pemikiran Levinas


Filsafat sering menyoroti karakteristik individu dan sejarah yang terjadi dalam agama, budaya,
suku, dan bangsa. Filsafat selalu mengajukan kritik dan bertanya tentang realitas, pengetahuan, dan
etika. Dinamika berfilsafat selalu melibatkan eksplorasi apa yang ada, apa yang dapat diketahui, dan
apa yang seharusnya. Jerman telah menghasilkan beberapa filsuf terbesar di dunia, termasuk
Immanuel Kant, GWF Hegel, Friedrich Nietzsche, dan Martin Heidegger. Sayangnya, baik di Jerman
maupun di tempat lain, tidak banyak filsuf yang tergerak untuk melakukan apa yang mereka bisa
untuk memprotes genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meskipun tidak ada definisi sempurna dari genosida, keprihatinan akan genosida telah
memperingatkan beberapa filsuf pasca Holocaust, yaitu Emmanuel Levinas dan Hannah Arendt,
untuk mengklaim bahwa integritas filsafat tergantung pada kemampuannya membawa perubahan
agar genosida berakhir. Kontribusi filsafat yang terbaik demi pencegahan genosida tampaknya dalam
usaha kritik terhadap rasisme, anti-Semitisme, dogmatisme agama, dan tirani serta tentang hak asasi
manusia.
Dalam bukunya, The Origins of Totalitarianism (1951)50, Arendt menunjukkan bagaimana
rasisme, anti-Semitisme, dan totalitarianisme telah tertanam di Eropa tengah dan barat pada akhir
abad kesembilan belas, di saat pemerintah-pemerintah imperialis juga semakin makmur dengan
kemungkinan kekejaman dan pembunuhan massal di tanah koloni mereka. Dalam buku ini ia juga
membahas operasi “kejahatan radikal,” yang dilakukan rezim totaliter terhadap korban di kamp-
kamp kematian. Arendt menyejajarkan sepak terjang Nazi Jerman dan Stalinis Rusia dalam peristiwa
genosida. Hal ini menandakan sebuah diskontinuitas penting dalam gagasan tentang apa artinya
menjadi manusia. Totalitarianisme mempraktekkan apa yang hanya dibayangkan dalam gambar abad
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 25
Cahyo Christanto _106312007

pertengahan tentang neraka penyiksaan. Latar belakang munculnya paham totalitarianisme yang
akan kita bahas selanjutnya, akan ditopang dengan bantuan pemikiran Levinas.
Setelah Descartes, ada kecenderungan berbahaya untuk memisahkan dua fenomena budaya:
humanisme dan rasionalitas. Kita membutuhkan bantuan pemikiran untuk menunjukkan bagaimana
lebih mengharmonisasikan dua fenomena yang disebutkan. Salah satu bantuan yang dapat kita acu
adalah filsafat humanistik Emmanuel Levinas. Pemikiran Levinas menantang tradisi filosofis
rasionalistik barat, yang dampaknya memunculkan usaha untuk meneguhkan identitas budaya baru
Eropa. Jelas hal ini menimbulkan ancaman terhadap identitas budaya asli Eropa karena pengaruh
pemikiran yang membentuk lingkungan budaya dalam keseragaman, kadang-kadang memunculkan
konsekuensi yang tidak diinginkan.
Levinas dilahirkan di Lithuania pada tahun 1902. Pada masa holocaust, ia pernah ditangkap
tahun 1940 dan menghabiskan sisa lima tahun perang di dua kamp tawanan perang. Setelah
dibebaskan, ia kembali ke Lithuania dan menemukan bahwa orangtua dan saudaranya telah dibunuh
oleh Nazi, sementara istrinya, yang telah ditinggalkan di Paris, telah selamat berkat bantuan dari
biarawati Perancis yang menyembunyikannya. Pengalaman inilah yang secara dramatis mengubah
pemikiran Levinas. Sebelum Perang Dunia II, ia hanya mengkritik unsur-unsur pemikiran Eropa
abad ke-20, kemudian ia mulai menyerang tradisi filsafat seluruh Eropa, puncaknya adalah terhadap
pemikiran Heidegger, karena apa yang dia anggap ketidakpedulian terhadap etika dan “totalizing of the
other.” Ia mengkritik ketergantungan buta pada konsep yang luas, seperti konsep “roh” Hegel, atau
“menjadi” Heidegger, yang menggabungkan individu yang tak terhitung jumlahnya untuk sebuah
proses rasional, sehingga meniadakan individualitas mereka. Usaha untuk membuat keseragaman ini
atau “totalizing of the other” diterapkan begitu saja dan menolak memandang realitas dunia dan interaksi
individu. Levinas berpendapat bahwa “tatap muka” realitas ini tidak sama dengan konsepsi abstrak
filsafat barat. Pembahasan tatap muka ini sendiri pun sudah merupakan suatu bidang etika. Maka
“yang lain atau liyan,” adalah karakteristik yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, di mana
tradisi filsafat barat telah mengabaikannya dan bahkan menegasinya sehingga memberikan kontribusi
pada dehumanisasi manusia.
Kehidupan dan pemikiran Levinas amat dipengaruhi oleh trauma genosida Nazi. Tetapi apa
yang unik tentang pemikirannya adalah bahwa ia menolak melihat peristiwa mengerikan ini sebagai
subjek utama pembahasan. Bagi Levinas, penamaan peristiwa ini hanya menjadikannya hewan
peliharaan kita. Pemikiran Levinas sebagai reaksi terhadap fakta holocausttak pernah berhenti dengan
mengajukan pertanyaan penting: Apa artinya menjadi manusia? Maka, dua kata yang tepat untuk
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 26
Cahyo Christanto _106312007

merangkum seluruh filsafat Levinas adalah “menjadi manusia.” Filosofi ini menegaskan bahwa
seluruh rasionalitas, akan menjadi ekstrim dan tidak seimbang tanpa imajinasi, perasaan, indra dan
semangat, tidak peduli dengan dimensi etika kehidupan. Semua hal ini sama saja dengan penolakan
untuk “menjadi manusia,” karena membiarkan diri menjadi sesosok monster. Akar filosofis yaitu ego
dari mana individualisme ekstrim zaman modern muncul, memberi ruang terhadap tumbuhnya
nasionalisme ekstrim. Dalam upaya ini, Levinas mengajukan pernyataan bahwa etika lebih “tua” dari
filsafat dan etika adalah “filsafat pertama,” sebelum datangnya pemikiran rasional, sebagai sesuatu
yang telah tertanam dalam diri manusia.
Pemikiran ini baru, khususnya dalam konteks orang Yahudi yang menjadi korban dalam
holocaust, refleksi filsafat harus mempertanyakan klaim keseragaman atau totalizing of the other, dengan
mengacu pada prioritas etika dan moral. Hal ini menegaskan bahwa setiap orang yang saya jumpai
perlu ditempatkan di luar kategori “total,” karena dengan kategori ini saya hanya memandangnya
sebagai aspek dari sebuah sistem rasional. Pada dasarnya, apa yang dilakukan Levinas adalah
memindahkan potensi bahaya dari kemampuan manusia untuk menyangkal kemerdekaan dan
perbedaan hakiki dari “yang lain” di mana kemampuan ini pun sanggup menghancurkan
kemanusiaan kita sendiri.
Levinas menunjukkan kepada kita cara untuk menjaga manfaat etika universal pencerahan
sambil menghindari bahayanya. Etikanya tidak didasarkan pada keseragaman semacam
universalisme, tetapi pada kebutuhan khusus dan tuntutan dari masing-masing individu yang unik,
setiap “yang lain yang saya temui dalam ruang dan waktu.” Setiap kali saya bertemu dengan yang lain,
mereka menjadi tantangan etis bagi diri saya, sebuah tantangan untuk menjadi siapakah saya sebagai
manusia.

3.3.4. Persoalan dan Refleksi:Gereja Katolik dan Genosida


Fokus utama ajaran Gereja adalah pribadi manusia yang konkret dan historis. Artinya,
manusia dengan seluruh aspek dan dinamika kehidupannya. Centesimus Annus menjelaskannya dengan
“pribadi manusia sebagaimana ia terlibat dalam jaringan kompleks relasi dalam dunia modern” (CA
art. 54). Kepada manusia ini Gereja bukan hanya mewartakan keselamatan dan penebusan Kristus,
tetapi juga memberikan tawaran bagaimana ia harus menjalani kehidupan dalam relasi dengan
masyarakat dan lingkungannya. Tidak mengherankan bila gagasan tentang manusia memiliki peranan
dan posisi sentral.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 27
Cahyo Christanto _106312007

Pendasaran ajaran ini didasari oleh martabat yang erat melekat pada pribadi manusia.
Gagasan tentang martabat manusia bersumber pada keyakinan bahwa manusia diciptakan menurut
gambar dan kesamaan dengan Allah (bdk. Kej 1:27). Fakta bahwa setiap orang adalah citra Allah
memiliki beberapa konsekuensi penting. Pertama, setiap orang memiliki martabat yang sama, yang
mengalir dari kecitraannya dengan Allah. Martabat itu semata-mata merupakan anugerah Allah.
Maka, selama ia adalah manusia yang diciptakan oleh Allah dan karenanya secitra dengan Allah, ia
punya martabat, derajat, dan hak yang sama dengan manusia lain (bdk. Compendium Ajaran Sosial
Gereja art. 111). Segala perbedaan manusia karena warna kulit, bahasa, agama, kelompok, pangkat,
posisi, identitas, dan sebagainya runtuh dan tidak bisa menjadi kriteria utama dalam menentukan
bagaimana harus bersikap terhadap orang lain.
Konsekuensi kedua, karena secitra dengan Allah, maka pribadi manusia jauh lebih penting
daripada benda dan ciptaan lain (bdk. Compendium Ajaran Sosial Gereja, art. 133). Karena itu,
manusia tidak pernah bisa dan tidak boleh diperlakukan sebagai sarana atau alat. Justru karena
sederajat dalam martabat dan hak, tidak ada manusia yang berhak memperalat manusia lain. Setiap
tindakan memperalat manusia demi kepentingan manusia lain otomatis berarti merendahkan
martabat manusia. Namun, tidak hanya berhenti di situ. Karena manusia adalah citra Allah dan
ciptaanNya yang paling sempurna, tindakan tersebut juga bermakna merendahkan Allah sendiri.
Secara positif, hal itu dapat dirumuskan sebagai “manusia adalah tujuan”.
Berangkat dari prinsip-prinsip ajaran Gereja ini, bersama dengan beberapa dokumen Gereja
yang telah dibahas pada bagian ‘penyiksaan’ dan ‘terorisme’ sebelumnya, dapat menjadi pendasaran
kembali untuk membahas permasalahan genosida sebagai permasalahan yang lebih khusus dari
kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Dokumen-dokumen Gereja yang digunakan (KGK 1929,
1930, 2297, 2298; EV 33,34, 81; GS 27, 29, SRS 47) sebagai acuan sikap dan kesadaran untuk
menumbuhkan budaya kehidupan selalu bisa digali lagi. Dengan pengandaian ini, untuk menghindari
repetisi, dokumen-dokumen sebelumnya yang sudah kita bahas, akan dipertajam dengan latar
belakang ringkas sejarah dan refleksi teologi terhadap peristiwa genosida.
Pembahasan kita tentang Gereja Katolik dan Genosida, mau tak mau melibatkan unsur
sejarah, politik, filsafat, dan teologi di dalamnya. Masalah moral tidak bisa hanya dilihat bagaimana
pandangan resmi Gereja terhadap kasus ini saja. Dinamika Gereja yang hadir dan bergerak dalam
historisitas dan situasi konkrit kemanusiaan menjadikan refleksi-refleksi tentang moral di dalamnya
tak pernah usang digali dan terus mengusik kesadaran hati nurani kita.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 28
Cahyo Christanto _106312007

Isu yang paling signifikan dalam membahas Gereja dalam konteks keprihatinan genosida
adalah perannya sebelum dan selama Holocaust. Dalam peristiwaHolocaust, Gereja berdiri di antara
pihak yang dikenakan beberapa tanggung jawab moral karenadianggap memicu anti-Semitisme
sepanjang sejarah Eropa, atau setidaknya, karena gagal untuk mengecam atau mengutuk kejahatan
atas dasar moral dan spiritual.
Banyak pihak melihat Paus Pius XII (Maria Giuseppe Giovanni Pacelli) sebagai pembela
kemerdekaan Yahudi dalam menghadapi serangan Nazi. Dia menciptakan Komisi Bantuan
Kepausan yang mandatnya adalah memberi bantuan kepada korban Perang Dunia II. Ia juga diyakini
telah membuka Tahta Suci untuk pengungsi Yahudi selama pendudukan Nazi di Roma pada bulan
September 1943.Pius XII diperkirakantelah membantu menyelamatkan sebanyak 1,5 juta pengungsi,
termasuk Yahudi, dengan memberikan mereka kewarganegaraan Vatikan. Pius XII juga bertanggung
jawab untuk melindungi para imam Yahudi saat Nazi menyerang kelompok ini. Selain itu, badan-
badan bantuan Yahudi yang memberi sumbangan besar kepada Gereja Katolik pada akhir perang
telah secara resmi mengakui peran kemanusiaan Paus ini51. Namun demikian, Paus Pius XII juga
dikritik karena gagal mencegah terjadinya genosida selama Perang Dunia II. Banyak yang
berpendapat bahwa sebagai pemimpin spiritual Gereja Katolik selama periode yang penuh gejolak, ia
memiliki kewajiban moral untuk mengadopsi posisi publik yang kuat dan secara eksplisit mengutuk
peristiwa sedang berlangsung di Eropa waktu itu52.
Pembelaan yang sering disodorkan untuk menjelaskan kurangnya pernyataan publik oleh
Vatikan selama Holocaust adalah bahwa Paus tidak menyadari skala tragedi yang sedang terjadi, ia
percaya insiden kekerasan terhadap orang-orang Yahudi yang menjadi sporadis, bukan bagian dari
kebijakan negara yang disengaja ditujukan pada pemusnahan terorganisasi dari sebuah kelompok
etnis dan agama53. Pada tahun 1942,melalui radio siaran malam Natal Paus mengakui bahwa “ratusan
ribu orang yang bukan karena kesalahan mereka sendiri, dan semata-mata karena bangsa atau ras,
telah dijatuhi hukuman mati atau kepunahan progresif,”tetapi ia tidak membuat referensi langsung
yang menyebutkanorang Yahudi sebagai korban. Pembelaan berikutnya adalah anggapan bahwa
posisi Gereja Katolik yang netral. Namun, di sisi lain ada bukti yang jelas bahwa Gereja mengecam
kekejaman yang dilakukan oleh Uni Soviet. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja toh tidak netral
dengan keputusannya.
Usaha rekonsiliasi antara Gereja Katolik dan masyarakat Yahudi juga telah dilakukan. Pada
tahun 1965, Vatikan mengeluarkan dekrit kepausan berjudul Deklarasi tentang Hubungan Gereja
dengan Agama bukan Kristiani (Nostra Aetate). Dokumen ini diumumkan oleh Paus Paulus VI pada
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 29
Cahyo Christanto _106312007

tanggal 28 Oktober 1965, deklarasi ini mengakui pemisahan yang telah ada antara Gereja Katolik dan
komunitas Yahudi sepanjang sejarah. Pada artikel 4 dinyatakan:
Meskipun para pemuka bangsa Yahudi beserta para penganut mereka mendesak kematian Kristus,
namun apa yang telah dijalankan selama Ia menderita sengsara tidak begitu saja dapat dibebankan sebagai
kesalahan pada semua orang Yahudi yang hidup ketika itu atau kepada orang Yahudi zaman sekarang. Walaupun
Gereja itu umat Allah yang baru, namun hendaknya orang-orang Yahudi jangan digambarkan seolah-olah dibuang
oleh Allah atau terkutuk, seakan-akan itu dapat disimpulkan dari Kitab suci. Maka hendaknya semua berusaha,
supaya dalam berkatekese dan mewartakan Sabda Allah jangan mengajarkan apa pun, yang tidak selaras dengan
kebenaran Injil dan semangat Kistus. Selain itu Gereja, yang mengecam segala penganiayaan terhadap siapapun
juga, mengingat pusaka warisannya bersama bangsa Yahudi. Gereja masih menyesalkan kebencian, penganiayaan,
pun juga unjuk-unjuk rasa antisemitisme terhadap bangsa Yahudi, kapan pun dan oleh siapa pun itu dijalankan,
terdorong bukan karena motivasi-motivasi politik, melainkan karena cinta kasih keagamaan menurut Injil.

Peristiwa Holocaustbagi JB. Metz adalah peristiwa krisis formatif dirinya sebagai salah seorang
teolog Jerman. Sebagai seorang remaja yang mengalami masa perang dunia II, Metz bersama para
survivor holocaust,menggugat Tuhan yang seolah-olah cuci tangan dalam penderitaan. Berdasarkan
pengalaman pribadinyaberhadapan dengan penderitaan, Metz mengkritik teologi apatis yang diam
manakala hal ini terjadi. Sebaliknya menurut Metz, kita semua didesak untuk ikut serta mengubah
sejarah kehidupan. Metz menolak pandangan Rahner dan Hans Urs von Balthasar yang melihat
inkarnasi dan penyaliban Yesus sebagai jalan rekonsiliasi penderitaan dan kasih. Tuhan menurut
mereka,telah berpartisipasi dalam penderitaan, maka hal ini juga menjadi bagian dari kondisi
kemanusiaan. Metz tidak setuju dengan teologi ini yang seolah-olah tuli dan laridari kenyataan brutal
yang menimpa orang-orang Yahudi. Metz merintis teologi naratif dengan fokus pada kritik memori
dan menempatkan kisah Yesus sebagai sumber pengharapan54.Berkaitan dengan peristiwa genosida,
teologi Metz berlawanan dengan Jurgen Moltmann. Metz meyakini bahwa kedukaan Yesus tidak
dapat dibandingkan dengan kesedihan dan penderitaan siapapun di Auschwitz, sebab Yesus dengan
kesadarannya memilih penderitaan itu, sedangkan para korban selama Holocaust adalah orang-orang
yang ditekan dan dipaksa. Narasi yang menyoroti penderitaan mengungkapkan kebenaran bahwa
sejarah kita dipenuhi dengan penindasan. Contoh kisah penderitaan yang melekat dalam tradisi iman
Yahudi dan Kristiani tidak bisa diabaikan begitu saja. Maka narasi harus pula dapat menerangkan
analisis penyebab penderitaan.
Pengenangan masa lalu demi kepentingan masa depan dalam konteks dunia yang tidak
sempurna karena cacat dan dosa dapat memunculkan bahaya sebab bagi orang Yahudi dan Kristen,
harapan bagi penebusan dapat dan seharusnya mencetuskan protes melawan penderitaan. Memori,
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 30
Cahyo Christanto _106312007

kemudian, digunakan untuk berperan sebagai fungsi pembebasan untuk narasi-narasi religius, yang
akan membantu manusia saat kini menjadi sadar akan kebebasan manusia setara dengan potensinya
dan kemampuan menentukan dirinya dalam sejarah. Narasi penderitaan dapat menjadi katalisator
dari moral shock yang mengarahkan kita menuju solidaritas bersama para korban dan protes
menentang kejahatan kepada sesama manusia55.
Dalam terang inisiatif Gereja setelah Nostra Aetate dan refleksi teologi Metz, ternyata respon
Gereja terhadap diskriminasi dan genosida yang terjadi di Rwanda tahun 1994, sungguh-sungguh
mengejutkan.Menurut imam yesuit,Jean-Pierre Karegeye, genosida itu secara moral mengerikan
daninilah bentuk kejahatan yang sungguh-sungguhmengabaikan Tuhan, dan karenanya menjadi
bentuk baru dari ateisme. Karegeye mengajukan beberapa pertanyaan penting56, “Bagaimana
mungkin orang Katolik membunuh orang Katolik lainnya? Bagaimana mungkin Orang
KatolikRwanda yang berusaha mewujudkan komitmen iman mereka, telah melakukan kekejaman
sebengis itu? Bagaimana mungkin orang-orang yang tampaknya sederhana dan sopan, memiliki hati
yang kasar dan berani melakukan kejahatan di luar batas? Apakah genosida adalah dosa yang
mengganggu hubungan antara Allah dan para pelaku dalam wacana resmi Gereja
Katolik? Bagaimana kita dapat menjelaskan situasi yang janggal ini ketika para imam yang terlibat
dalam kejahatan genosida masih bisa berjalan-jalan di paroki-paroki di negara-negara Eropa? Dan
mengapa mereka dilindungi oleh Vatikan terhadap setiap proses hukum yang diajukan? Sikap Gereja
Katolik terhadap genosida tampaknya menunjukkan bahwa hirarki nilai-nilai agama tidak sebanding
dengan hirarki standar moral”.
Di Rwanda pada umumnya, kepemimpinan gereja-gereja Kristen, terutama Gereja Katolik,
memainkan peran sentral dalam penciptaan dan kelanjutan ideologi rasis. Gereja-gereja memupuk
dan memelihara sebuah sistem yang diperkenalkan orang Eropa. Banyak blok bangunan ideologi ini,
tetapi beberapa bisa disebutkan di sini:(1) Visi rasis masyarakat Rwanda yang dibawaoleh para
misionaris dan kolonialis yaitu dengan mengembangkan tesis tentang kelompok mana yang datang
pertama dan terakhir untuk menempati negara (mitos Hamitic dan Bantu). (2) Para misionaris dan
kolonialis dengan ketat mengendalikan penelitian sejarah dan antropologi. (3) Penyusunan kembali
komposisi masyarakat Rwanda melalui manipulasi identitas etnis berdasar situasi sosio-politik
prakolonialisme identitas ini berangsur-angsur menjadi rasial. Pada akhirnya, beberapa konsep
menjadi bias, di mana demokrasi menjadi statistik saja, bukan demokrasi lagi tetapi demografis57.
Sebuah ekspresi dari filosofi Kinyarwanda “nyamwinshi rubanda”, yang secara politik berarti
“Hutu yang terbesar”, semakin mendominasi politik Rwanda setelah revolusi tahun 1959 dan
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 31
Cahyo Christanto _106312007

mengabaikan prinsip dasar demokrasi. Awal genosidayang terjadi di Rwanda sejak tahun 1959 itu
dimaksudkan untuk mempertahankan kekuasaan “mayoritas Hutu” dengan membunuh
Tutsi.Otoritas Gereja berkontribusi pada penyebaran teori rasis terutama melalui sekolah-sekolah
dan seminari. Para elit yang memerintah negeri ini pasca kemerdekaan dilatih di sekolah
tersebut.Menurut sejarawan Gereja Paulus Rutayisire58, stereotipe yang digunakan oleh pemerintah
Rwanda Hutudidominasi untuk dehumanisasi Tutsi, juga disebarkan oleh beberapa pendeta
berpengaruh, imam, danuskup sebelum dan sesudah genosida.Gereja Katolik dan kekuasaan kolonial
bersama-sama dalam mengorganisasi kelompok politik rasis seperti Partai untuk Emansipasi Hutu
(Parmehutu).
Apakah Gereja mengambil bagian dalam persiapan ideologis genosida? Jawabannya jelas
tidak. Dasar tuduhan ini adalah jelas bermuatan politik. Tuduhan utama mengenai Gereja adalah
karena mengubah dukungannya dari elit Tutsi pada penciptaan sebuah revolusi yang dipimpin Hutu,
sehingga mayoritas Hutu semakin berkuasa. Kritik sekali lagi terus menimpa Gereja karena dianggap
bertanggung jawab atas hasutan kebencian, melindungi pelaku, dan gagal melindungi mereka yang
mencari perlindungan di dalam tembok. Ada juga orang-orang yang percaya bahwa, sebagai
pemimpin spiritual mayoritas penduduk di Rwanda, Gereja secara moral bertanggung jawab karena
gagal mengambil semua langkah yang tersedia untuk mengakhiri pembunuhan.
Fakta suram historisitas Gereja berhadapan dengan Holocaust dan Rwanda, membuat teolog
Robert Schreiter gelisah dan mengajak kita semakin fokus dalam upaya rekonsiliasi. Menurut
Schreiter beberapa syarat yang amat perlu ditekankan untuk mencapai rekonsiliasi sejati adalah59:
(1).The Church must forbear to advance “cheap reconciliation” by calling on victims to merely forgive and forget.
(2).The Church must accept a mandate to concentrate on restoring the truth and revealing the root causes and
psychopolitical dynamics the led such events as the Rwandan tragedy.
(3). The Church is not to forget its origins by considering reconciliation simply as a managed human process.
Bagi Schreiter, “cheap reconciliation” adalah semacam perjanjian nominal terhadap sejarah
kekerasan yang terjadi, lalu dengan sengaja “mendiamkan” memori atau ingatan, dan melupakannya.
Mendiamkan memori tidak akan mengurangi kekerasan, tetapi hanya menunda ledakannya saja.
Rekonsiliasi tidak hanya berarti berhentinya kekerasan saja dan lebih dari sebuah desakan
pengampunan. Proses rekonsiliasi melibatkan memori, keadilan bagi korban, dan teologi yang
bersumber dari pesan Yesus sendiri. Karena memori berhubungan dengan identitas, ketidakpedulian
terhadap proses pengenangan memiliki implikasi moral yang amat serius. Menyangkal memori pada
akhirnya berarti berpihak kepada pelaku kejahatan. Melupakan begitu saja kematian korban berarti
membunuh mereka lagi.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 32
Cahyo Christanto _106312007

Rekonsiliasi juga bukan hanya berarti mediasi konflik sebagai sarana mencapai konsensus
yang toleran diantara dua pihak. Rekonsiliasi kemudian menjadi sebuah sikap daripada keahlian, yang
telah memiliki kesadaran pengandaian akan hancurnya dunia daripada menjadi sarana untuk
memperbaiki dunia yang rusak, yang memiliki orientasi luas akan terciptanya pemulihan hubungan,
pembangunan komunitas, dan perubahan masyarakat dalam harmoni dan kedamaian. Inilah yang
disebut real and not just superficial reconciliation60menurutScott Appleby.

4. Tanggapan Pribadi
Pengalaman bekerja di Kamboja bersama dengan para land mine survivors bagi saya telah
membangun sebuah atmosfer formasi diri dan komitmen sebagai pribadi “bagi dan bersama” yang
lainuntuk terus memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan rekonsiliasi. Kepekaan saya semakin
diasah dan mendapatkan tempatnya ketika persoalan dasar hidup manusia menjadi kancah aktif
keprihatinan dan keterlibatan setiap orang. Dalam formasi intelektual yang sedang saya jalani, saya
berharap agarkegelisahan, keprihatinan, dan keterlibatan tetap tersalurkan secara dinamis melalui
tulisan.Beberapa hal usulan yang saya sampaikan berikut ini bukanlah hal baru lagi. Menyebutkannya
lagi bagi saya bukanlah pengulangan yang sia-sia karena akan selalu mengingatkan saya akan
komitmen dan panggilan untuk memperjuangkan kehidupan dan martabat kemanusiaan.

a. Interpretasi yang Bertanggung Jawab atas Kitab Suci.

Interpretasi dengan cara seperti yang dilakukan kelompok fundamentalis akan teks-teks
keagamaan mereka, secara ekstrim amat berbahaya karena memicu munculnya kebencian. Gerakan
jihad kaum fundamentalis dengan teror-teror bom yang telah menelan banyak korban tak berdosa
adalah contoh banalitas fundamentalisme. Kitab Suci Kristen sendiri (Perjanjian Pertama dan
Perjanjian Baru), harus dibaca dengan hati-hati jika dalam perikop muncul sebuah peristiwa yang
mengisahkan kebencian, konflik, penyerangan, perbudakan manusia dan subordinasi
perempuan.Teks-teks Perjanjian Lama yang mengisahkan pemusnahan kelompok harus dimengerti
lebih dahulu konteks sejarahnya.
Saya setuju dengan pendapat Nelson-Pallmeyer bahwa konteks sejarah dan budaya Kitab
Suci dan sejarah perkembangan tema-tema teologi harus selalu mengiringi proses interpretasi kita.
Tidak seluruh ucapan dalam Kitab Suci dapat diterapkan semua begitu saja, sebab Kitab Suci
kadang-kadang menggunakan sebagian saja dari situasi sejarah. Kita harus juga teliti agar perikop-
perikop deskriptif tidak diterjemahkan menjadi perikop yang preskriptif (anjuran).
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 33
Cahyo Christanto _106312007

Prinsip universal Kitab Suci adalah manusia sebagai citra Allah, umat perjanjian, Kerajaan
Allah, komunitas kasih, dan sebagainya. Tema-tema ini berkembang dan berpuncak dalam diri
Kristus. Kristus memperkenalkan dunia baru dan sebuah etika yang berlandaskan pada keadilan,
perdamaian, dan rekonsiliasi. Dalam Kristus, yang lama diganti dengan yang baru, belenggu dan
kebencian diganti dengan kebebasan dan cinta. Inilah pesan utama Kitab Suci dan landasan moral
Kristiani.

b. Mengembangkan tanggung jawab moral individu dan toleransi.

Keanggotaan dalam suatu kelompok (massa, suku, bangsa, agama, paham tertentu) juga
memiliki potensi bahaya jika dari anggota tidak pernah mempertanyakan lagi kepercayaan-
kepercayaan, nilai-nilai, kebijakan, dan tindakan-tindakan yang diyakini oleh kelompok. Setiap
anggota harus memiliki keyakinan moral sendiri dalam sebuah kelompok tanpa harus kehilangan
identitas pribadi. Dengan demikian, suatu kelompok harus memiliki pemimpin yang dapat dipercaya.
Dalam Ulangan 17:14-20 dikisahkan bahwa para pemimpin Israel berulang kali diingatkan oleh
rakyat bahwa kekuasaan mereka tidaklah absolut karena harus diletakkan di bawah Allah sebagai
sumber kebenaran hukum. Raja adalah perwakilan Allah di dunia. Menurut Paulus, pemerintah
adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. Maka, bukan
semata-mata hanya moralitas atas dasar kesadaran individu itu penting, tetapi juga moralitas inklusif
yang diterapkan sebagai standar benar atau salah kepada kelompok dari kelas, suku, atau agama yang
berbeda.
Secara moral, amat menarik untuk membaca kembali perikop Yesus menyembuhkan orang
kusta. Yesus tidak takut ketularan, Yesus berani menyentuh orang itu agar kesembuhan dialirkan
kepadanya. Ilustrasi yang lain adalah kisah orang Samaria yang baik hati sebagai teladan sebuah sikap
untuk keluar dari diri dan berani menerobos sekat atau batas yang ada betapapun situasi yang
dihadapi. Kisah-kisah ini adalah perkenalan moralitas baru yang mendalam berdasarkan kasih dan
menjangkau semua orang. Martabat manusia disentuh Yesus dengan kisah yang menginspirasikan
toleransi, perdamaian, dan rekonsiliasi. Apakah saat ini Gereja pun berani berperan penting dalam
meningkatkan toleransi diantara kelompok-kelompok yang berbeda, di tengah maraknya
fundamentalisme dan terorisme?
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 34
Cahyo Christanto _106312007

c. Mempromosikan Penghargaan bagi Kehidupan.

Gereja harus semakin menyadari bahwa jika iman diharapkan semakin berperan, maka
pelestarian budaya, doktrin Gereja, dan teologi haruslah semakin berakar pada sejarah dan situasi
manusia sendiri. Holocaust dan tragedi Rwanda adalah peristiwa sejarah yang menginspirasi Metz,
Schreiter, dan teolog lainnya, melihat bahwa dunia nyata adalah konteks yang harus terus dirujuk
dalam berteologi. Konteks itu adalah kehidupan manusia itu sendiri. Gereja harus selalu bersedia
mengemban mandat untuk mengajarkan penghargaan atas kehidupan. Hal ini sejalan dengan
pandangan Kitab Suci dan ajaran Paus untuk melindungi, melestarikan, dan menjaga kehidupan.
Selain itu, Gereja juga perlu selalu mendukung atmosfer bagi tumbuhnya budaya kehidupan, dengan
anjuran keterlibatan dalam proyek-proyek sosial bersama dengan kelompok yang berbeda demi
pembangunan dan kebaikan bersama. Bersama dengan yang lain, Gereja harus terbuka untuk
membangun sebuah civil society. Harapannya adalah ketika orang semakin sadar karena telah belajar
bagaimana terlibat, menolong, dan membantu yang lain, akan semakin mengurangi kecenderungan
atau potensi timbulnya pemikiran atau tindakan kekerasan yang membahayakan orang lain.



Catatan Akhir

1 Lebih jauh tentang land mine bisa dilihat di http://www.iol.ie/~stangurs/landmines/landmines.htm


2 “PBB: Penjara Guantanamo harus ditutup secepatnya”,
http://www.tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2006/02/14/brk,20060214-73924,id.html
3 A. Fritz, “Terrorism and Torture”,International Journal of Applied Philosophy 17.1 (2001) 105-118.
4H. FranÇoise, “Torture”, dalam Paul Barry Clarke and Andrew Linzey (eds.), Dictionary of Ethics, Theology

and Society. Routledge. London 1996.829.


5 “Amnesty International, Torture Worldwide: An Affront to Human Dignity”, 18 Oktober 2000. 4.

http://www.amnestyusa.org/document.php?id=94A7AB9C08ADC26B85256
6 “Defining Torture”, http://www.irct.org/what-is-torture/defining-torture.aspx
7 “Torture”, First published Tue Feb 7, 2006; substantive revision Mon Jan 17, 2011

http://plato.stanford.edu/entries/torture/
8 J. Quiroga J. Jaranson, “Torture” dalam Reyes G, Elhai JD, Ford JD. The encyclopedia of psychological Trauma.

John Wiley & Son, Inc. 2008.


9 “Aristotel’s Rethoric”, http://www2.iastate.edu/~honeyl/Rhetoric/rhet1-15.html
10 “Immanuel Kant's View of Rational Free Will and Its Implications for Criminal Justice”,

http://www.associatedcontent.com/article/306616/immanuel_kants_view_of_rational_free.html
11 “The City of God, 19: 6 (Of the error of human judgments when the truth is

hidden)”,http://www.rtforum.org/lt/lt119.html
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 35
Cahyo Christanto _106312007

12 “The City of God, 426 AD — Book XIX, Chapter 6. (English translation, Gerald G. Walsh, S.J., Demetrius B.
Zema, S.J., Grace Monahan, O.S.U., Daniel J. Honan.)”,http://leisureguy.wordpress.com/2009/06/15/st-
augustine-on-torture/
13 “John Donne and The Outlawing Torture”, http://www.harpers.org/archive/2007/08/hbc-90000907
14 A. Thomas, Summa Theologica, II, Burns & Oates. London 1947. 10, 8c.
15 “Torture Is A Moral Issue”, www.usccb.org/sdwp/TortureIsAMoralIssueCatholicStudyGuide.pdf. 1-7.
16 K. Eddy. OFM, Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar, Kanisius. Yogyakarta 2003. 162-180.
17
“Sacramentum
Caritatis”,http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/apost_exhortations/documents/hf_ben-
xvi_exh_20070222_sacramentum-caritatis_en.html
18 “Was a beam weapon from the star wars program used to destroy the WTC ?”

http://www.911hoax.com/Wood_Reynolds_Star_Wars_911.asp
19 “This war on terrorism is bog us”, http://www.guardian.co.uk/politics/2003/sep/06/september11.iraq
20 “Y. Professor thinks boms, not plane”, http://www.deseretnews.com/article/635160132/Y-professor-

thinks-bombs-not-planes-toppled-WTC.html
21 “The Top 11 September Conspiracies Theory”, http://www.america.gov/st/webchat-

english/2009/May/20060828133846esnamfuaK0.2676355.html
22 “Reign of Terror”, http://en.wikipedia.org/wiki/Reign_of_Terror
23 “The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, Introduction”,

http://www.jstor.org/pss/1096016
24 B.Leonardo, Fundamentalism, Terrorism and The Future of Humanity, Ashford Color Press. Great Britain

2006.47.
25 H. Virginia. How Terrorism is Wrong: Morality and Political Violence, Univ Press Oxford 2008. 16.
26 “Terorisme”,http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
27 H. Virginia. How Terrorism is Wrong: Morality and Political Violence, 137.
28 “The Theological Justification for Terror”, http://www.thomastalbott.com/terror.html
29 A. Thomas, Summa Theologica, II, 1359-1360.
30 Y.M. Robert, “Fundamentalism and Terrorism”,http://human-nature.com/rmyoung/papers/pap135h.htm
31 A. Matthew, “Terrorism: Dehumanizing People into Targets”, Journal of Dharma 32,I, (2007) 75.
32K. Charles. When Religion Becomes Evil, Harper. San Fransisco 2002. 21-155.
33M. Cherif Bassiouni,”Crimes Against Humanity”, http://www.crimesofwar.org/thebook/crimes-against-

humanity.html
34 N. Pallmeyer, Is Religion Killing Us?, terj. Hatib Rachmawan, Pustaka Kahfi.Yogyakarta 2007, 43-44.
35Yohanes Paulus II, Solicitudo Rei Socialis, 1987, art. 24.
36 “A Theologian looks for the Why of Sept 11”, http://www.zenit.org/article-2786?l=
37 B. Kiernan, The Pol Pot Regime: Race, Power, and Genocide in Cambodia under the Khmer Rouge 1975-79,

Silkworm Books. Chiang Mai 1999, 159-251.


38 C. Hudson, The Killing Fields, Pan Books. London 1984, 11-34.
39P. François, Cambodia: Year Zero, terj. Nancy Amphoux, Holts Rinehart and Winston. New York 1978, 67.
40Sejarah dan peristiwa genosida secara rinci dapat diakses pada http://www.genocide.org/,

http://www.genocidewatch.org/, http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_historical_genocides
41 Raphael Lemkin and the Invention of 'Genocide, http://www.ihr.org/jhr/v02/v02p-19_Martin.html
42 “What is genocide?” http://www.skeptic.ca/American_Genocide.htm
43 L. Kuper, “The Genocidal State: An Overview”, dalam P. L. Van den Berghe (ed.), State Violence and

Ethnicity(Boulder, CO: Colorado University Press, 1990), 19-53.


44 “Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocid, art 2”,

http://www.preventgenocide.org/law/convention/text.htm#II
45R. Clark,“Does the Genocide Convention Go Far Enough?” Ohio Northern Law Journal 321 (1981): 8; B.

Saul,“Was the Conflict in East Timor ‘Genocide’?”Melbourne Journal of International Law 2 (2001): 477–522.
46Robert Cribb, ed., The Indonesian Kilings, 1965–66 , Clayton, Australia. Monash Centre of Southeast Asian

Studies, 1990.
47L. Kuper, Genocide (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1981), 174–75, 186, 241; F. Chalk andK.

Jonassohn, History and Sociology of Genocide (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1990), 408–11; I. W.
Charny, ed., Encyclopedia of Genocide (Oxford: ABC-Clio, 1999), 191–94; James Dunn, “East Timor”, in Genocide, ed.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 36
Cahyo Christanto _106312007

G. Andreopoulos, 171–90 (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1994).


48 “Dialog Tragedi Mei 1998”, http://www.overseasthinktankforindonesia.com/2010/05/24/dialog-tragedi-

kemanusiaan-mei-1998-dari-keterasingan-menjadi-karib/comment-page-1/
49
N. Pallmeyer, Is Religion Killing Us?, 43-44.
50 “Totalitarianism: The Inversion of Politics”, http://memory.loc.gov/ammem/arendthtml/essayb1.html
51 “Pope Pius XII and the Nazis” by John T. Pawlikowski, http://www.religion-

online.org/showarticle.asp?title=2017
52 “Pope Pius XII”, http://www.catholic-forum.com/saints/pope0260.htm
53 “In Defence on Pius XII”, http://www.catholicapologetics.info/apologetics/judaism/dalin.htm
54 J. Metz, “Theology as Theodicy?” dalam J. Matthew Ashley (ed.), A Passion for God: The Mystical-Political

Dimension of Christianity. Paulist Press. New York 1998, 54-71.


55 J. Metz, Faith in History and Society, terj. By David Smith, Seabury Press. New York 1980.
56 “Genocide and the Role of Church in Rwanda”, http://www.newsfromafrica.org/articles/art_10231.html
57 J. D. Donald, “The Holocaust, Genocide, and the Catholic Church” dalam Steven Leonard Jacobs (ed.),

Confronting Genocide, Lexington Books: New York 2009, 255-263.


58 “Genocide and the Role of Church in Rwanda”, http://www.newsfromafrica.org/articles/art_10231.html
59 J. D. Donald, “The Holocaust, Genocide, and the Catholic Church”, 262.
60 J. D. Donald, “The Holocaust, Genocide, and the Catholic Church”, 263.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 37
Cahyo Christanto _106312007

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Aquinas, Thomas,.
1947 Summa Theologica, II, Burns & Oates, London.

Boff, Leonardo,
2006 Fundamentalism, Terrorism and The Future of Humanity, Ashford Color Press,
Great Britain.

Charny, I. W.,
1999 Encyclopedia of Genocide,ABC-Clio, Oxford.

Cribb, Robert,
1990 The Indonesian Kilings, 1965–66, Clayton, Australia. Monash Centre of
Southeast Asian Studies.

Chalk,F and K. Jonassohn,


1990 History and Sociology of Genocide, New Haven, Conn, Yale University Press.

Held, Virginia.
2008 How Terrorism is Wrong: Morality and Political Violence, Univ Press, Oxford.

Hudson, C,
1984 The Killing Fields, Pan Books, London.

Kiernan, Ben,
1999 The Pol Pot Regime: Race, Power, and Genocide in Cambodia under the Khmer
Rouge 1975-79, Silkworm Books. Chiang Mai.

Kimball, Charles.
2002 When Religion Becomes Evil, Harper, San Fransisco.

Kristiyanto, Eddy, OFM,


2003 Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar, Kanisius, Yogyakarta.

Kuper, Leo,
1981 Genocide, New Haven, Conn.: Yale University Press.

Metz, Johannes,
1980 Faith in History and Society, terj. By David Smith, Seabury Press, New York.

1998 Mystical-Political Dimension of Christianity, Paulist Press, New York.


P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 38
Cahyo Christanto _106312007

Ponchoud, François,
1978 Cambodia: Year Zero, terj. Nancy Amphoux, Holts Rinehart and Winston, New
York.

Artikel Buku:
Attumkal, Matthew,
2007 “Terrorism: Dehumanizing People into Targets”, Journal of Dharma 32,I, 73-84.
Clark, R.,
1981 “Does the Genocide Convention Go Far Enough?” Ohio Northern Law Journal
321.

Dietrich, Donald J,
2009 “The Holocaust, Genocide, and the Catholic Church” dalam Steven Leonard
Jacobs (ed.), Confronting Genocide, Lexington Books: New York 2009, 255-265.

Dunn, James,
1994 “East Timor”, in Genocide, ed. G. Andreopoulos, University of Pennsylvania Press,
Philadelphia,171-190.

FranÇoise,H.,
1996 “Torture”, dalam Paul Barry Clarke and Andrew Linzey (eds.), Dictionary of
Ethics, Theology and Society, Routledge, London,829.

Fritz Allhoff.
2001 “Terrorism and Torture”, dalam International Journal of Applied Philosophy 17,1
U. of Calif. Santa Barbara (UCSB).

Kuper, Leo,
1990 “The Genocidal State: An Overview”, dalam P. L. Van den Berghe (ed.), State
Violence and Ethnicity, Colorado University Press, Boulder, CO.
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 39
Cahyo Christanto _106312007

Metz, Johannes,
1980 “Theology as Theodicy?” dalam J. Matthew Ashley (ed.), A Passion for God: The
Metz, Johannes, Faith in History and Society, terj. By David Smith, Seabury
Press, New York.

Ponchoud, François,
1978 Cambodia: Year Zero, terj. Nancy Amphoux, Holts Rinehart and Winston, New
York.

Quiroga, J ; J. Jaranson,
2008 “Torture” dalam Reyes G, Elhai JD, Ford JD,The encyclopedia of psychological
Trauma, John Wiley & Son, Inc.
Saul,B,
2001 “Was the Conflict in East Timor ‘Genocide’?”Melbourne Journal of International
Law 2.

Dokumen Gereja:

Konsili Vatikan II
1965 Nostra Aetate: Declaration on the Relation of the Church to Non-Christian
Religion, art.4 dari
http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-
ii_decl_19651028_nostra-aetate_en.html

1987 Solicitudo Rei Socialis, art. 24 dari


http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/encyclicals/documents/hf_jp-
ii_enc_30121987_sollicitudo-rei-socialis_en.html

1991 Centesimus Annus: The hundredth year, art. 54 dari


www.capp-usa.com/docs/cappwebsum.doc
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 40
Cahyo Christanto _106312007

1993 Gaudium et Spes: Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, art.
27, 29 dalam Dokumen Konsili Vatikan II (terj. R. Hardawiryana, SJ), Dep.
Dokpen KWI, Jakarta.

1995 Evangelium Vitae: the encyclical Pope John Paul II which expresses the position
of the Catholic Church regarding the value and inviolability of human life,
art. 33,34, 81 dari
http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/encyclicals/documents/hf_jp-
ii_enc_25031995_evangelium-vitae_en.html

1997 Catechism of the Catholic Church, art. 1929, 1930, 2297, 2298 dari
http://www.vatican.va/archive/ENG0015/_INDEX.HTM

2004 Compendium of the Social Doctrine of The Church, art. 111, 133 dari
http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/justpeace/documents/rc_p
c_justpeace_doc_20060526_compendio-dott-soc_en.html

2007 Sacramentum Caritatis, dari


http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/apost_exhortations/documents/hf
_ben-xvi_exh_20070222_sacramentum-caritatis_en.html

Internet:

“A Theologian looks for the Why of Sept 11”, dalam


http://www.zenit.org/article-2786?l=, diakses pada 15 Maret 2011, pk. 20.00

“Amnesty International, Torture Worldwide: An Affront to Human Dignity”, dalam


4.http://www.amnestyusa.org/document.php?id=94A7AB9C08ADC26B85256 . 18 Oktober
2000, diakses pada 15 Maret 2011, pk. 20.10

“Aristotel’s Rethoric”, dalam


http://www2.iastate.edu/~honeyl/Rhetoric/rhet1-15.html, diakses pada 15 Maret 2011, pk.
20.15
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 41
Cahyo Christanto _106312007

“Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocid, art 2”,
dalamhttp://www.preventgenocide.org/law/convention/text.htm#II, diakses pada 15 Maret 2011,
pk. 20.26

“Defining Torture”, dalam http://www.irct.org/what-is-torture/defining-torture.aspx ,


diaksespada 15 Maret 2011, pk. 21.00

“Dialog Tragedi Mei 1998”, dalam


http://www.overseasthinktankforindonesia.com/2010/05/24/dialog-tragedi-kemanusiaan-mei-
1998-dari-keterasingan-menjadi-karib/comment-page-1/, diakses pada 16 Maret 2011, pk. 15.00

“Genocide and the Role of Church in Rwanda”, dalam


http://www.newsfromafrica.org/articles/art_10231.html , diakses pada 16 Maret 2011, pk. 15.10

“Immanuel Kant's View of Rational Free Will and Its Implications for Criminal Justice”, dalam
http://www.associatedcontent.com/article/306616/immanuel_kants_view_of_rational_free.htmldi
akses pada 16 Maret 2011, pk. 15.35

“In Defence on Pius XII”, dalam


http://www.catholicapologetics.info/apologetics/judaism/dalin.htm, diaksespada 16 Maret 2011,
pk. 15.50

“John Donne and The Outlawing Torture”, dalam


http://www.harpers.org/archive/2007/08/hbc-90000907, diakses pada 18 Maret 2011, pk. 15.10

“PBB: Penjara Guantanamo harus ditutup secepatnya”, dalam


http://www.tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2006/02/14/brk,20060214-
73924,id.html,diaksespada 18 Maret 2011, pk. 15.10

“Pope Pius XII and the Nazis” by John T. Pawlikowski, dalam


http://www.religion-online.org/showarticle.asp?title=2017, diaksespada 18 Maret 2011,
pk.17.00

“Pope Pius XII”, dalam http://www.catholic-forum.com/saints/pope0260.htm , diakses pada 18


Maret 2011, pk. 17.30

“Reign of Terror”, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Reign_of_Terror, diakses pada 18 Maret


2011, pk. 19.00

“Terorisme”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Terorismediakses pada 20 Maret 2011, pk. 17.00

“The City of God, 19: 6 (Of the error of human judgments when the truth is hidden)”,dalam
http://www.rtforum.org/lt/lt119.html,diakses pada 20 Maret 2011, pk. 18.00

“The City of God, 426 AD — Book XIX, Chapter 6. (English translation, Gerald G. Walsh, S.J.,
Demetrius B. Zema, S.J., Grace Monahan, O.S.U., Daniel J. Honan.)”, dalam
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 42
Cahyo Christanto _106312007

http://leisureguy.wordpress.com/2009/06/15/st-augustine-on-torture/ ,diakses pada 20 Maret


2011, pk. 18.10

“The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, Introduction”, dalam


http://www.jstor.org/pss/1096016 , diakses pada 20 Maret 2011, pk. 18.20

“The Theological Justification for Terror”, dalam http://www.thomastalbott.com/terror.html,


diakses pada 20 Maret 2011, pk. 18.30

“The Top 11 September Conspiracies Theory”, dalam


http://www.america.gov/st/webchat-
english/2009/May/20060828133846esnamfuaK0.2676355.html, diakses pada 20 Maret 2011, pk.
18.35

“This war on terrorism is bog us”, dalam


http://www.guardian.co.uk/politics/2003/sep/06/september11.iraq ,diakses pada 20 Maret 2011,
pk. 20.00

“Torture Is A Moral Issue”, dalam


www.usccb.org/sdwp/TortureIsAMoralIssueCatholicStudyGuide.pdf. diaksespada 23 Maret
2011, pk. 16.00

“Totalitarianism: The Inversion of Politics”, dalam


http://memory.loc.gov/ammem/arendthtml/essayb1.html , diakses pada 23 Maret 2011, pk. 16.10

“Was a beam weapon from the star wars program used to destroy the WTC ?” dalam
http://www.911hoax.com/Wood_Reynolds_Star_Wars_911.asp, diakses 23 Maret 2011, pk.
16.10

“What is genocide?” dalam


http://www.skeptic.ca/American_Genocide.htm, diakses 23 Maret 2011, pk. 16.30

“Y. Professor thinks boms, not plane”, dalam


http://www.deseretnews.com/article/635160132/Y-professor-thinks-bombs-not-planes-toppled-
WTC.html, diakses 23 Maret 2011, pk. 16.45

“Land mine, Living with the Scourge”,dalam


http://www.iol.ie/~stangurs/landmines/landmines.htm, diakses 19 Maret 2011, pk. 21.10

“Crimes Against Humanity”, dalam


http://www.crimesofwar.org/thebook/crimes-against-humanity.html, diakses 19 Maret 2011, pk.
21.30

“Raphael Lemkin and the Invention ofGenocide”, dalam


http://www.ihr.org/jhr/v02/v02p-19_Martin.html, diakses 24 Maret 2011, pk. 15.10
P e n y i k s a a n, t e r o r i s m e, d a n g e n o s i d a 43
Cahyo Christanto _106312007

“Genocide”, dalam
http://www.genocide.org/, http://www.genocidewatch.org/,
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_historical_genocides , diakses 24 Maret 2011, pk. 17.00

“Fundamentalism and Terrorism”, dalam


http://human-nature.com/rmyoung/papers/pap135h.htm, diakses 26 Maret 2011, pk. 21.00

Anda mungkin juga menyukai