Anda di halaman 1dari 403

No.

Rancangan Asli Rancangan Pasal yang diusulkan


DIM
BAB I
1.
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2.
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan adalah keadaan sehat setiap orang, baik secara
fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang
3.
memungkinkannya untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
2. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
4.
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk promotif,
preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif oleh pemerintah
dan/atau masyarakat.
3. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan yang diberikan secara
langsung kepada perseorangan atau masyarakat untuk
5.
memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat
dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, dan/atau
rehabilitatif.
4. Sumber Daya Kesehatan adalah segala bentuk fasilitas,
tenaga, perbekalan kesehatan, sistem informasi, teknologi, dan
6. dana yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan Upaya
Kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan/atau masyarakat.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


5. Tenaga Medis adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kedokteran atau kedokteran gigi serta memiliki
7. sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui
pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi dalam
melaksanakan upaya kesehatan.
6. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki sikap profesional,
8. pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan tinggi,
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
7. Sumber Daya Manusia Kesehatan adalah seseorang yang
bekerja secara aktif di bidang kesehatan, baik yang memiliki
9. pendidikan formal kesehatan maupun tidak yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya
kesehatan.
8. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat dan/atau alat
yang digunakan untuk menyelenggarakan Pelayanan
Kesehatan kepada perseorangan ataupun masyarakat dengan
10.
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


9. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan Kesehatan tingkat
11. pertama yang menyelenggarakan dan mengoordinasikan
pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan/atau paliatif di wilayah kerjanya.
10. Rumah Sakit adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan perseorangan
secara paripurna melalui pelayanan kesehatan promotif,
12.
preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat.
11. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang
membutuhkan tindakan medis segera guna
13.
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih
lanjut.
12. Perbekalan Kesehatan adalah semua bahan dan
14. peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan.
13. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat bahan
15.
alam, kosmetik, suplemen kesehatan, dan obat kuasi.
16. 14. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit, memulihkan Kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh, reagen in vitro dan kalibrator, perangkat lunak,

IKATAN APOTEKER INDONESIA


bahan atau material yang digunakan tunggal atau
kombinasi untuk menghalangi pembuahan, desinfeksi -
5- Alat Kesehatan, dan pengujian in vitro terhadap
spesimen dari tubuh manusia, dan dapat mengandung
obat yang tidak mencapai kerja utama pada tubuh
manusia melalui proses farmakologi, imunologi, atau
metabolisme untuk dapat membantu fungsi atau kerja
yang diinginkan.
15. Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang selanjutnya
disingkat PKRT adalah alat, bahan, dan/atau campuran
17. bahan untuk pemeliharaan dan perawatan yang
berdampak pada kesehatan manusia yang ditujukan
pada penggunaan di rumah tangga.
16. Obat adalah bahan, paduan bahan, produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
18.
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi
untuk manusia.
19. 17. Obat Bahan Alam adalah bahan, ramuan bahan, atau
produk yang berasal dari sumber daya alam berupa
tumbuhan, hewan, jasad renik, mineral, atau campuran
dari bahan tersebut yang telah digunakan secara
turuntemurun atau sudah terbukti berkhasiat dan
aman digunakan untuk pemeliharaan kesehatan,
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
pengobatan, dan/atau pemulihan kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


berdasarkan pembuktian secara empiris dan/atau
ilmiah, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat.
18. Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang
menggunakan bahan baku alam dari Indonesia,
20.
diproduksi di Indonesia, dan khasiatnya dibuktikan
berdasarkan data empiris.
19. Obat Herbal adalah obat yang mengandung bahan aktif Definisi ditambah jadi herbal diperluas tidak hanya dari
yang berasal dari tanaman dan/atau sediaan obat dari “Tanaman: tapi dari “bahan Alam”
tanaman.
21.
Catatan:
Agar sesuai dengan pasal tentang penggolongan Obat dan
obat bahan alam di pasal-pasal di bawahnya
20. Teknologi Kesehatan adalah segala bentuk alat
dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu
22.
menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan
permasalahan kesehatan manusia.
21. Sistem Informasi Kesehatan adalah sistem yang
mengintegrasikan berbagai tahapan pengumpulan data,
pemrosesan, pelaporan, dan penggunaan informasi yang
23. diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
Pelayanan Kesehatan serta mengarahkan tindakan atau
keputusan yang berguna dalam mendukung
pembangunan kesehatan.
24. 22. Telekesehatan adalah pemberian dan fasilitasi layanan
kesehatan yang bersifat nonklinis, termasuk pendidikan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


penyedia dan pasien, layanan informasi kesehatan, dan
layanan mandiri melalui telekomunikasi dan teknologi
komunikasi digital.
23. Telemedisin adalah pemberian dan fasilitasi layanan Usulan penambahan:
kesehatan yang bersifat klinis termasuk asuhan Telefarmasi adalah pemberian dan fasilitasi layanan
medis/klinis dan/atau layanan konsultasi kesehatan kefarmasian yang bersifat klinis termasuk asuhan
melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi medis/klinis dan/atau layanan konsultasi kesehatan
25. digital. melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi digital.

Catatan:
Selain Telekesehatan dan Telemedisin perlu ada Telefarmasi
yang sudah berjalan saat ini misalnya platform apotik online
24. Pasien adalah setiap orang yang memperoleh Pelayanan
26. Kesehatan dari Tenaga Medis dan/atau Tenaga
Kesehatan.
25. Kolegium adalah badan yang dibentuk oleh
perhimpunan ilmu yang bersifat otonom untuk tiap-tiap
27. disiplin ilmu kedokteran, ilmu kedokteran gigi, dan ilmu
kesehatan yang bertugas mengampu cabang disiplin
ilmu tersebut.
26. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah memiliki
28. sertifikat kompetensi, sertifikat profesi, atau telah
mempunyai kualifikasi tertentu lain untuk menjalankan
praktik.
29. 27. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR
adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Tenaga

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


28. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada Tenaga Medis
30.
dan Tenaga Kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk
menjalankan praktik.
29. Usul Penambahan Defenisi Praktik Kefarmasian

Praktik Kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga


kefarmasian yang meliputi produksi termasuk
pemastian mutu, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan, peracikan, dan pendistribusian
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, pengelolaan
dan pelayanan kefarmasian, pelayanan obat atas
resep dter, swamedikasi, pelayanan informasi obat,
pelayanan telefarmasi, serta penelitian dan
pengembangan kefarmasian
30. Wabah Penyakit Menular yang selanjutnya disebut Wabah
adalah kejadian luar biasa penyakit menular yang jumlah kasus
31.
dan/atau kematiannya meningkat dan menyebar dalam skala
luas yang dapat menimbulkan bencana nonalam.
31. Kewaspadaan Wabah adalah serangkaian kegiatan sebagai sikap
32.
tanggap menghadapi kemungkinan terjadinya Wabah.
32. Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB adalah
meningkatnya kejadian, kesakitan, kematian, dan/atau
33. kecacatan akibat penyakit dan masalah kesehatan yang
bermakna secara epidemiologis di suatu daerah pada kurun
waktu tertentu.
34. 33. Pintu Masuk Negara yang selanjutnya disebut Pintu Masuk

IKATAN APOTEKER INDONESIA


adalah tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang,
dan/atau barang dari dan ke luar negeri, baik berbentuk
pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas negara.
34. Badan Karantina Kesehatan Nasional yang selanjutnya disingkat
BKKN adalah lembaga Pemerintah setingkat kementerian yang
35.
memiliki fungsi, tugas, dan wewenang dalam menyelenggarakan
urusan kekarantinaan kesehatan.
35. Petugas Karantina Kesehatan adalah Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan terlatih yang ditunjuk oleh BKKN untuk melakukan
36.
pengawasan dan tindakan penanggulangan terhadap alat
angkut, orang, dan barang di Pintu Masuk
36. Daerah Terjangkit adalah daerah yang secara epidemiologis
37. terdapat penyebaran penyakit dan/atau faktor risiko penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah.
37. Dumen Karantina Kesehatan adalah surat keterangan kesehatan
38. yang dimiliki setiap alat angkut, orang, dan barang yang
memenuhi persyaratan, baik nasional maupun internasional.
38. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan yang seprofesi berdasarkan kesamaan
39. keahlian, aspirasi, kehendak, etika profesi, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan kesehatan.
39. Konsil Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang dibentuk
40. Presiden, yang melaksanakan tugas secara independen, dan
yang terdiri atas konsil setiap kelomp Tenaga Medis.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


40. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga
yang dibentuk Presiden, yang melaksanakan tugas
41.
secara independen, dan yang terdiri atas konsil
setiap kelomp Tenaga Kesehatan.
41. Setiap Orang adalah orang perseorangan, kelomp
42. orang, organisasi masyarakat dan/atau badan usaha
yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.
42. Diusulkan penambahan definisi BPJS pada butir 41/ayat 41
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat
BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan programjaminan sosial.

Referensi: UU BPJS Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial

43 43. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Usulan perubahan ayat 42:
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam yang dibantu oleh Wakil Presiden, menteri dan kepala lembaga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Catatan:
Ditambahkan kata Lembaga negara, agar BPOM dan BRIN
misalnya bisa secara eksplisit masuk sebagai bagian pemerintah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


pusat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


44. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah provinsi
atau kabupaten/kota sebagai unsur penyelenggara
44 pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom.
45. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
45
urusan pemerintahan di bidang Kesehatan.
Pasal 2
Penyelenggaraan Kesehatan berasaskan:
a. perikemanusiaan;
b. keseimbangan;
c. manfaat;
d. ilmiah;
e. pemerataan;
f. etika dan profesionalitas;
g. pelindungan dan keselamatan;
h. penghormatan terhadap hak dan kewajiban;
46 i. keadilan;
j. nondiskriminatif;
k. pertimbagan moral dan nilai-nilai agama;
l. partisipatif;
m. kepentingan umum;
n. keterpaduan;
o. kesadaran hukum;
p. kedaulatan negara;
q. kelestarian lingkungan hidup;
r. kearifan budaya; dan
s. ketertiban dan kepastian hukum.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 3 Tenaga Medis: dihapus
Penyelenggaraan Kesehatan bertujuan:
a. meningkatkan pembudayaan masyarakat hidup sehat;
b. meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan dan
Sumber Daya Kesehatan;
c. meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia yang
efektif dan efisien;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Pelayanan
47 Kesehatan;
e. meningkatkan ketahanan kesehatan dalam menghadapi
KLB atau Wabah;
f. menjamin pendanaan yang selalu tersedia dan transparan,
efektif dan efisien, serta berkeadilan;
g. pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Kesehatan
yang berkelanjutan; dan
h. memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi
Pasien, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan masyarakat.
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN
48
Bagian Kesatu
Hak
49 Pasal 4
(1) Setiap Orang berhak:
a. hidup sehat secara fisik, mental, spiritual, dan sosial;
b. memperoleh Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu,
dan terjangkau agar dapat mewujudkan derajat
Kesehatan yang setinggi-tingginya;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


c. mendapatkan perawatan kesehatan hingga mendapat
kesembuhan;
d. memperoleh akses atas Sumber Daya Kesehatan;
e. secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri Pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya;
f. mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian
derajat Kesehatan;
g. menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap;
h. atas kerahasiaan informasi kesehatan pribadinya;
i. menuntut ganti rugi terhadap seseorang, Tenaga Medis,
Tenaga Kesehatan, tenaga pendukung kesehatan,
dan/atau penyelenggara Kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan dalam Pelayanan Kesehatan
yang diterimanya;
j. mendapatkan informasi dan edukasi tentang Kesehatan
yang seimbang dan bertanggung jawab; dan;
k. memperoleh informasi tentang data Kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun
yang akan diterimanya dari Tenaga Medis dan/atau
Tenaga Kesehatan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Hak secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d dikecualikan untuk Pelayanan Kesehatan yang
50
diperlukan dalam rangka penanggulangan KLB atau
Wabah.
(3) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f tidak berlaku pada:
a. penderita yang penyakitnya dapat secara cepat
51 menular kepada masyarakat secara lebih luas;
b. keadaan KLB atau Wabah;
c. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
d. seseorang yang mengalami gangguan mental berat.
(4) Kerahasiaan informasi kesehatan pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku dalam hal:
a. pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum;
b. penanggulangan KLB/Wabah/bencana;
c. pendidikan dan penelitian;
52
d. upaya pelindungan terhadap bahaya ancaman
keselamatan orang lain secara individual atau
masyarakat;
e. kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan,
penyembuhan, dan perawatan Pasien;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


f. permintaan Pasien sendiri;
g. keperluan administratif, pembayaran asuransi, Usulan penambahan huruf baru:
atau jaminan pembiayaan Kesehatan; dan/atau i. pasien atau keluarga pasien berhak mendapatkan informasi
h. kepentingan lain yang diatur dalam peraturan terkait Pembukaan rahasia informasi Kesehatan pribadi
perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai hak sebagaimana dimaksud
53 pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
54
Kewajiban
Pasal 5
(1) Setiap Orang berkewajiban:
a. mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan
derajat Kesehatan masyarakat yang
setinggitingginya;
b. menghormati hak orang lain dalam upaya
memperoleh lingkungan yang sehat;
55 c. berperilaku hidup sehat dan menghormati hak
Kesehatan orang lain;
d. mematuhi kegiatan penanggulangan KLB atau
Wabah;
e. menjaga dan meningkatkan derajat Kesehatan bagi
orang lain yang menjadi tanggung jawabnya; dan
f. mengikuti program jaminan kesehatan dalam
sistem jaminan sosial nasional.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi:
56 a. Upaya Kesehatan perseorangan;
b. Upaya Kesehatan masyarakat; dan
c. pembangunan berwawasan Kesehatan
(3) Kewajiban turut serta dalam program jaminan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
57
f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB III
58 TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PUSAT DAN
PEMERINTAH DAERAH
Pasal 6
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
59 menyelenggarakan, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang bermutu,
aman, efisien, merata, dan terjangkau oleh
masyarakat.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
60 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 7
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
61 bertanggung jawab meningkatkan dan
mengembangkan Upaya Kesehatan dalam rangka
meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Peningkatan dan pengembangan Upaya Kesehatan
62 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pengkajian dan penelitian.
(3) Pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud
63 pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 8
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
64
jawab menyelenggarakan kegiatan Kewaspadaan Wabah,
penanggulangan Wabah, dan pasca-Wabah.
Pasal 9 Usulan perubahan pasal 9:
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah serta masyarakat
jawab atas ketersediaan lingkungan dan tatanan yang bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan dan tatanan
65 sehat bagi masyarakat. yang sehat bagi masyarakat

Catatan:
Perlu diikut sertakan peran serta masyarakat
Pasal 10
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
66 bertanggung jawab atas ketersediaan Sumber Daya
Kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh
masyarakat.
(2) Untuk menjamin ketersediaan Sumber Daya
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
67 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya dapat memberikan fasilitas
fiskal dan fasilitas non-fiskal.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
Pasal 11
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
68 jawab atas ketersediaan akses terhadap Fasilitas
Pelayanan Kesehatan serta informasi dan edukasi
Kesehatan.
Pasal 12 Usul: tenaga medis dihapus
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab terhadap:
a. pengaturan, pembinaan, pengawasan, serta
peningkatan mutu Tenaga Medis dan Tenaga
69 Kesehatan;
b. perencanaan, pengadaan, serta pendayagunaan
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat; dan
c. pelindungan kepada Pasien, Tenaga Medis, dan Tenaga
Kesehatan.
Pasal 13
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
70
jawab memberdayakan dan mendorong partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan.
Pasal 14
(1) Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tanggung
71 jawabnya harus mengacu pada norma, standar,
prosedur, dan kriteria pembangunan Kesehatan yang
ditetapkan Pemerintah Pusat.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
72
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IV Usul Perubahan bab IV:
73
PENYELENGGARAAN KESEHATAN Penyelenggaraan Upaya Kesehatan
Pasal 15
(1) Untuk mewujudkan derajat Kesehatan yang
setinggitingginya bagi masyarakat, diselenggarakan
74 Upaya Kesehatan dalam bentuk:
a. Upaya Kesehatan perseorangan;
b. Upaya Kesehatan masyarakat; dan
c. Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
(2) Upaya Kesehatan perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditujukan untuk
75
perseorangan dan keluarga yang bersifat promotif,
preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif.
76 (3) Upaya Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b ditujukan untuk kelomp dan
masyarakat yang bersifat promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(4) Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
77 ditujukan untuk memberdayakan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan Kesehatan dengan
mengutamakan pendekatan promotif dan preventif.
Pasal 16
78 (1) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan didukung oleh
Sumber Daya Kesehatan.
(2) Sumber Daya Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. Sumber Daya Manusia Kesehatan;
79 c. Perbekalan Kesehatan;
d. Sistem Informasi Kesehatan;
e. Teknologi Kesehatan;
f. pendanaan Kesehatan; dan
g. sumber daya lain yang diperlukan.
Pasal 17
80 (1)Dalam penyelenggaraan Kesehatan diperlukan
Pengelolaan Kesehatan.
81 (2)Pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat melalui
pengelolaan:
a. administrasi Kesehatan;
b. informasi Kesehatan;
c. Sumber Daya Kesehatan;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


d. Upaya Kesehatan;
e. pendanaan Kesehatan;
f. peran serta dan pemberdayaan masyarakat;
g. penelitian;
h. pengembangan;
i. inovasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang Kesehatan; dan
j. pengaturan hukum Kesehatan yang dilakukan
secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya derajat Kesehatan yang
setinggi-tingginya.
(3)Pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
82 ayat (1) dilakukan secara berjenjang di pusat dan
daerah dalam suatu sistem Kesehatan nasional.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
83 Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Presiden.
BAB V
UPAYA KESEHATAN
84
Bagian Kesatu
Umum

IKATAN APOTEKER INDONESIA


85 Pasal 18 Pasal 18 Ayat (1)
(1)Penyelenggaraan Upaya Kesehatan meliputi: Usul Penambahan huruf:
a. Upaya Kesehatan Perseorangan; “Upaya Kesehatan Mandiri”
b. Upaya Kesehatan Masyarakat;
c. Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat; 1. Berkaitan dengan poin (1), sedemikian hingga pada pasal
d. Kesehatan reproduksi; selanjutnya disisipkan Pasal baru berisi Pasal (x) Ayat (1) “Upaya
e. keluarga berencana; Kesehatan Mandiri merupakan pelayanan Self-care /
f. Kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dan lanjut swamedikasi yang diselenggarakan oleh apoteker disarana
usia; pelayanan praktik kefarmasian.”
g. Kesehatan penyandang disabilitas;
h. mutu gizi; Pasal (x) Ayat 2
i. pelayanan darah; “Pelayanan self-care/ swamedikasi yang dimaksud pada ayat (1)
j. Kesehatan gigi dan mulut; merupakan upaya kesehatan mandiri dibawah asuhan apoteker
k. transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, untuk memberikan pilihan sediaan farmasi yang sesuai dengan
terapi berbasis sel punca dan sel, implan Obat kondisi pasien.”
dan/atau Alat Kesehatan, dan bedah plastik
rekonstruksi dan estetika; Pasal (x) Ayat (3)
l. pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum; “Ketentuan lebih lanjut mengenai sediaan farmasi sebagaimana
m. bedah mayat; dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
n. penanggulangan gangguan penglihatan dan 2. Berkaitan dengan poin (2) yakni pada Pasal (x) Ayat (3) perlu
gangguan pendengaran; dicatat sebagai berikut:
o. Upaya Kesehatan jiwa; Penyerahan Sediaan Farmasi oleh Apoteker memperhatikan:
p. penanggulangan penyakit menular dan tidak a. Tidak kontraindikasi untuk digunakan oleh wanita hamil,
menular; anak dibawah 2 tahun, atau lansia diatas 65 tahun
q. Kesehatan sekolah; b. Upaya Kesehatan Mandiri dengan Sediaan Farmasi yang
r. Kesehatan olahraga; dimaksud, tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit
s. Kesehatan lingkungan; c. Sediaan Farmasi yang dimaksud tidak memerlukan cara atau
alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


t. Kesehatan kerja; d. Sediaan Farmasi yang dimaksud diperlukan untuk masalah
u. Kesehatan matra; kesehatan yang prevalensinya tinggi di Indonesia;
v. Pelayanan Kesehatan pada bencana; e. Sediaan Farmasi yang dimaksud memiliki rasio resiko-manfaat
w.pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi, Alat (risk benefit ratio) yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Upaya Kesehatan Mandiri.
Tangga;
x. pengamanan makanan dan minuman;
y. pengamanan zat adiktif;
z. Pelayanan Kesehatan tradisional; dan/atau
aa. Upaya Kesehatan lainnya.
(2) Upaya Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf y ditetapkan oleh Menteri sesuai
86
dengan perkembangan dan kebutuhan
pembangunan bidang Kesehatan.
Pasal 19
(1) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dilaksanakan
87
secara bertanggung jawab, aman, bermutu, merata,
dan nondiskriminatif.
(2) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan harus
88 memperhatikan fungsi sosial, nilai sosial budaya,
moral, dan etika.
Pasal 20
89 (1) Upaya Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
standar Pelayanan Kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai standar Pelayanan Kesehatan
90 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 21
(1) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dalam bentuk
91
pelayanan kesehatan dapat memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
(2) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pemberian Pelayanan Kesehatan nonklinis berupa
92
Telekesehatan; dan
b. pemberian Pelayanan Kesehatan klinis berupa
Telemedisin.
(3) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan
memenuhi persyaratan paling sedikit berupa:
93
a. sumber daya manusia;
b. sarana, prasarana, peralatan; dan
c. aplikasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
upaya kesehatan yang memanfaatkan teknologi
94
informasi dan komunikasi diatur dalam atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
95
Upaya Kesehatan Perseorangan
Pasal 22
Upaya Kesehatan perseorangan diselenggarakan melalui:
96
a. Pelayanan Kesehatan primer; dan
b. Pelayanan Kesehatan rujukan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 23
(1) Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a
97
diselenggarakan sebagai proses awal Pelayanan Kesehatan perseorangan secara
komprehensif.
(2) Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
pelayanan skrining dan imunisasi penyakit dalam ranah Kesehatan
98
perseorangan, pemantauan tumbuh kembang, diagnostik dini, kuratif, dan
rehabilitatif yang didukung dengan kegiatan Pelayanan Kesehatan rujukan.
(3) Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Tenaga medis dan/atau Tenaga Kesehatan sesuai
99
dengan kompetensi dan kewenangan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat pertama.
(4) Pelayanan Kesehatan primer diselenggarakan berdasarkan kebijakan
100 Pelayanan Kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan
memperhatikan masukan dari Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat.
(5) Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didanai
101 oleh perseorangan penerima Pelayanan Kesehatan atau melalui penjaminan
kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi komersial.
Pasal 24
102 (1) Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b
menyelenggarakan pelayanan spesialistik dan/atau subspesialistik.
(2) Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan sesuai
103
dengan kompetensi dan kewenangan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat lanjut.
104 (3) Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didanai
oleh perseorangan penerima Pelayanan Kesehatan atau melalui penjaminan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi
komersial.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 25
(1) Dalam pengembangan Pelayanan Kesehatan rujukan,
105 Pemerintah Pusat harus mengembangkan pusat
pelayanan unggulan nasional yang berstandar
internasional.
(2) Pengembangan pusat pelayanan unggulan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
106
untuk memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan
dan menghadapi persaingan regional dan global.
Pasal 26
(1) Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan
107 Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 diselenggarakan berkesinambungan melalui
sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan.
(2) Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pembagian dan/atau pelimpahan tugas dan
108
tanggung jawab Pelayanan Kesehatan berdasarkan
kebutuhan medis Pasien dan kemampuan pelayanan
pada setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(3) Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan
109 dilakukan melalui rujukan secara vertikal dan
horizontal.
(4) Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan
110 didukung dengan teknologi informasi dan
komunikasi.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(5) Teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) memuat data dan informasi
111 mutakhir mengenai kemampuan pelayanan setiap
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tergabung dalam
sistem rujukan secara terintegrasi.
(6) Selain memuat data dan informasi mutakhir mengenai
kemampuan pelayanan setiap Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
112 pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
terhadap proses transfer data dan informasi medis
Pasien yang diperlukan untuk proses rujukan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan
113 Pelayanan Kesehatan perseorangan diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 27
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan rujukan di seluruh wilayah
114
Indonesia, termasuk daerah terpencil, perbatasan,
kepulauan, komunitas khusus, lembaga pendidikan
keagamaan dan pesantren, serta daerah yang tidak
diminati swasta.
(2) Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud
115
pada ayat (1) dapat melibatkan masyarakat atau
swasta.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
(3) Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud
116
pada ayat (1) mencakup masyarakat miskin dan
masyarakat rentan.
(4) Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
117
Pendidikan pertama dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Pendidikan lanjut; dan
b. pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia dan
sarana dan prasarana.
(5) Masyarakat atau swasta dapat berpartisipasi untuk
pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
118
Pendidikan pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pendidikan lanjut.
(6) Pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pendidi
pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pendidikan
119 lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk
pemenuhan sumber daya manusia dan sarana dan
prasarana.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(7) Pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pendidikan pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pendidikan lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
harus mempertimbangkan kebutuhan Pelayanan
120
Kesehatan di daerah terpencil, perbatasan, dan
kepulauan, termasuk untuk kebutuhan wahana
Pendidikan pada Pendidikan formal, serta Pendidikan
keagamaan dan pesantren.
(8) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat
membantu pemenuhan sumber daya manusia untuk
121 pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
lanjut di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Bagian Ketiga
122
Upaya Kesehatan Masyarakat
Pasal 28
123 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menyelenggarakan Upaya Kesehatan masyarakat.
(2) Masyarakat dapat menyelenggarakan Upaya Kesehatan
masyarakat bekerja sama dengan Pemerintah Pusat
124
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
125 bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Upaya
Kesehatan masyarakat.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 29
Upaya Kesehatan masyarakat diselenggarakan melalui:
126 a. Pelayanan Kesehatan masyarakat primer;
b. Pelayanan Kesehatan masyarakat sekunder; dan
c. Pelayanan Kesehatan masyarakat tersier.
Pasal 30
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota
127 menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan masyarakat
primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf
a.
(2) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit melalui edukasi, surveilans kesehatan,
128 imunisasi, dan skrining penyakit, pemantauan
tumbuh kembang, serta pelaksanaan program
pemerintah yang berhubungan dengan prioritas
pembangunan Kesehatan.
(3) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
129
didelegasikan kepada Puskesmas dan/atau Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tingkat pertama lainnya.
(4) Puskesmas dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat pertama lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) menyelenggarakan Pelayanan
130
Kesehatan masyarakat primer secara terintegrasi
yang didukung dengan teknologi informasi dan
komunikasi.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(5) Puskesmas berfungsi sebagai koordinator
131 penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
primer.
Pasal 31
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan/atau
132 Pemerintah Daerah provinsi menyelenggarakan
Pelayanan Kesehatan masyarakat sekunder
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b.
(2) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
sekunder oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. perencanaan, pengelolaan, serta monitoring dan
evaluasi program;
133 b. pengelolaan dan distribusi Sumber Daya
Kesehatan di tingkat kabupaten/kota;
c. pemberian fasilitas dalam bentuk pendanaan,
sarana, teknologi, dan sumber daya manusia
Kesehatan; dan d. intervensi Pelayanan Kesehatan
masyarakat yang tidak dapat dilakukan oleh
Puskesmas.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(3) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
sekunder oleh Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. perencanaan, pengelolaan, serta monitoring dan
evaluasi program;
b. pengelolaan dan distribusi Sumber Daya Kesehatan di
134
tingkat provinsi;
c. pemberian fasilitas dalam bentuk pendanaan, sarana,
teknologi, dan sumber daya manusia Kesehatan; dan
d. koordinasi dan supervisi Pelayanan Kesehatan
masyarakat lintas kabupaten/kota di dalam wilayah
provinsi.
Pasal 32
(1) Pemerintah Daerah provinsi menyelenggarakan
135
Pelayanan Kesehatan masyarakat tersier sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 huruf c.
(2) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan masyarakat
tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. pemberian fasilitas dalam bentuk pendanaan, sarana,
136 teknologi, dan sumber daya manusia Kesehatan;
b. penanggulangan Wabah dan bencana;
c. penelitian dan pengembangan Kesehatan; dan
d. asistensi teknis pelaksanaan Pelayanan Kesehatan
masyarakat.
137 (3) Penelitian dan pengembangan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat bekerja sama

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dengan institusi pendidikan dan institusi penelitian.
Pasal 33
Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan masyarakat bertanggung jawab untuk:
a. perencanaan strategis nasional;
b. penetapan kebijakan nasional;
138 c. penetapan standar mutu;
d. perencanaan dan penetapan prioritas riset Pelayanan
Kesehatan masyarakat secara nasional;
e. penelitian dan pengembangan Kesehatan; dan
f. penyediaan Sumber Daya Kesehatan yang bersifat
strategis.
Bagian Keempat
139
Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat
Pasal 34
(1) Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat
merupakan wahana pemberdayaan masyarakat bidang
Kesehatan yang dibentuk atas dasar kebutuhan
140
masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk, dan bersama
masyarakat, serta dapat difasilitasi oleh Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan
sektor lain yang terkait.
(2) Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat dapat
141
berupa pos pelayanan terpadu.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(3) Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat dilakukan
melalui pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan individu, keluarga,
142
kelomp, serta masyarakat dalam rangka menciptakan
kemandirian masyarakat dalam mengorganisasikan
penyelesaian masalah Kesehatan.
(4) Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat sebagaimana
143 dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kader, tenaga
pendamping, dan/atau masyarakat.
Pasal 35
Penyelenggaraan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat
144
dapat didahului dengan bimbingan teknis oleh tenaga pendamping
yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah dan/atau Puskesmas.
Pasal 36
Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan bersumber daya
145 masyarakat, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat
memberikan penghargaan dan/atau insentif kepada kader, tenaga
pendamping, dan/atau masyarakat.
Pasal 37
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
membuka akses informasi dan dialog, menyiapkan masyarakat
146 melalui pembekalan pengetahuan dan keterampilan, memberikan
dukungan sumber daya untuk membangun kemandirian dalam
Upaya Kesehatan, dan mendorong terbentuknya Upaya Kesehatan
bersumber daya masyarakat.
Bagian Kelima
147
Kesehatan Reproduksi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 38
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik,
148 mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau disabilitas yang berkaitan dengan sistem,
fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki dan perempuan.
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah
149
melahirkan;
b. Pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi, dan
kesehatan seksual; dan kesehatan sistem reproduksi.
Pasal 39
Setiap Orang berhak:
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang
sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan
dengan pasangan yang sah;
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari
diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan, yang menghormati
150 nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia
sesuai dengan norma agama;
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin
bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan
dengan norma agama; dan
d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai
kesehatan reproduksi yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 40
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib
menjamin ketersediaan sarana informasi dan Fasilitas
151
Pelayanan Kesehatan dalam penyelenggaraan Kesehatan
reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau
masyarakat, termasuk keluarga berencana.
Pasal 41
(1) Setiap Pelayanan Kesehatan reproduksi yang bersifat
promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif,
152 termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan
secara aman dan sehat dengan memperhatikan
aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi
perempuan.
(2) Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan reproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
153
dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan
154 reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
155
(1) Setiap Orang dilarang melakukan aborsi.
156 (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak
usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa
ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit

IKATAN APOTEKER INDONESIA


genetik berat, dan/atau cacat bawaan, atau yang
tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan.
(3) Aborsi yang dapat dikecualikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 14 (empat belas)
minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh Tenaga Medis yang memiliki kompetensi dan
157 kewenangan;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi
syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Aborsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya
dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau
158 penasihatan pratindakan dan diakhiri dengan
konseling pascatindakan yang dilakukan oleh
konselor yang kompeten dan berwenang.
159 Pasal 43
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib
melindungi dan mencegah perempuan dari tindakan
aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)
sampai dengan ayat (4) yang tidak aman, dan tidak

IKATAN APOTEKER INDONESIA


bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma
agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai aborsi sebagaimana
160
dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
161
Keluarga Berencana
Pasal 45
(1) Pelayanan Kesehatan dalam keluarga berencana
162 dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi
pasangan usia subur untuk membentuk generasi
penerus yang sehat dan cerdas.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab atas ketersediaan Sumber Daya
163 Kesehatan yang diperlukan dalam memberikan
pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu,
dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana
164 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Bagian Ketujuh
165
Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak, Remaja, dan Lanjut Usia
Paragraf 1
166
Kesehatan Ibu
Pasal 46
(1) Upaya Kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga
167 Kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi
yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka
kematian ibu.
(2) Upaya Kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat
168 (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
ketersediaan Sumber Daya Kesehatan yang diperlukan
169
dalam penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan ibu secara
aman, bermutu, dan terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kesehatan
170
ibu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
171 Pasal 47
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
ketentuan:
d. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri
yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari
mana ovum berasal;
e. dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu; dan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


f. pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kehamilan
172 di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
173
Kesehatan Bayi dan Anak
Pasal 48
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif
174 baik secara langsung maupun tidak langsung sejak
dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi
medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga,
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
175
wajib mendukung ibu bayi secara penuh dengan
penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud
176 pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan di ruang
publik.
Pasal 49
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
177
jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin
hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai air susu ibu eksklusif
178 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 50
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
179
jawab untuk memberikan imunisasi lengkap kepada
setiap bayi dan anak.
(3) Setiap bayi dan anak berhak memperoleh imunisasi
180 untuk memberikan pelindungan dari penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian imunisasi
181
dan jenis imunisasi diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 51
(1) Upaya pemeliharaan Kesehatan bayi dan anak harus
182 ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang sehat,
cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan Kesehatan bayi dan anak dilakukan
sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah
183
dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas)
tahun.
(3) Upaya pemeliharaan Kesehatan bayi dan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
184 menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi
orang tua, keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah,
dan Pemerintah Pusat.
185 Pasal 52
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menjamin
setiap anak yang dilahirkan mendapatkan Pelayanan
Kesehatan sesuai dengan standar agar dapat hidup,

IKATAN APOTEKER INDONESIA


tumbuh, dan berkembang secara optimal.
Pasal 53
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar
186
dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan
yang dapat mengganggu Kesehatan bayi dan anak.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban
menjamin terselenggaranya pelindungan bayi dan anak
187
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan
Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 54
188 (1) Pemerintah Pusat menetapkan standar dan/atau kriteria
Kesehatan bayi dan anak.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan
189
moral, nilai sosial budaya, dan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 55
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menyediakan tempat dan sarana lain yang
190
diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan
anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta
mampu bersosialisasi secara sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi sarana
191
pelindungan terhadap risiko Kesehatan agar tidak
membahayakan Kesehatan anak.
192 Paragraf 3

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Kesehatan Remaja
Pasal 56
(1) Upaya pemeliharaan Kesehatan remaja ditujukan untuk
193
mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan
produktif.
(2) Upaya pemeliharaan Kesehatan remaja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), termasuk untuk Kesehatan
reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai
194
gangguan Kesehatan yang dapat menghambat
kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara
sehat.
(3) Upaya pemeliharaan Kesehatan remaja sebagaimana
195 dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Pasal 57
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab melakukan pembinaan dan menjamin agar anak
196
usia sekolah dan remaja dapat memperoleh edukasi,
informasi, dan pelayanan mengenai Kesehatan remaja
agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab.
(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
197 dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai
sosial budaya, dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(3) Pembinaan anak usia sekolah dan remaja harus
ditujukan untuk menyiapkan anak usia sekolah dan
198
remaja menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas,
dan produktif.
Paragraf 4
199
Kesehatan Lanjut Usia
Pasal 58
(1) Upaya pemeliharaan Kesehatan bagi lanjut usia
200
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan
produktif sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab menjamin ketersediaan Fasilitas
201 Pelayanan Kesehatan dan memfasilitasi kelomp
lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan
produktif.
(3) Upaya pemeliharaan Kesehatan bagi lanjut usia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
202
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau
masyarakat.
Bagian Kedelapan
203
Kesehatan Penyandang Disabilitas
Pasal 59
(1) Upaya pemeliharaan Kesehatan penyandang
204
disabilitas ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup
sehat, produktif, dan bermartabat.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab menjamin hak penyandang
disabilitas untuk memperoleh aksesibilitas atas
205
Fasilitas Pelayanan Kesehatan serta memperoleh
kesamaan dan kesempatan mendapatkan Pelayanan
Kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Upaya pemeliharaan Kesehatan bagi penyandang
disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
206
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.
Bagian Kedelapan
207
Mutu Gizi
Pasal 60
(1) Upaya pemenuhan gizi masyarakat ditujukan untuk
208
peningkatan mutu gizi perseorangan dan
masyarakat.
(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui: a. perbaikan pola
konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi
seimbang; b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas
209
fisik, dan Kesehatan; c. peningkatan akses dan mutu
pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu
dan teknologi; dan d. peningkatan sistem
kewaspadaan pangan dan gizi.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
210 tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai
gizi tinggi secara merata dan terjangkau.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
211 jawab menjaga bahan makanan agar memenuhi standar
mutu gizi sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(5) Penyediaan bahan makanan yang mempunyai nilai gizi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara
212
lintas sektor dan antarprovinsi, antarkabupaten, atau
antarkota.
Pasal 61
(1) Upaya pemenuhan gizi dilakukan pada seluruh siklus
213 kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan
lanjut usia dengan prioritas kepada: a. bayi dan balita;
b. remaja perempuan; dan c. ibu hamil dan menyusui.
(2) Pemerintah Pusat bertanggung jawab menetapkan
214 standar angka kecukupan gizi dan standar pelayanan
gizi pada berbagai tingkat pelayanan.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
215 jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga
miskin dan dalam situasi darurat.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
216 jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar
tentang gizi kepada masyarakat.
(5) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
217 melakukan upaya bersama untuk mencapai status gizi
yang baik.
Pasal 62
218 (1) Upaya perbaikan gizi dilakukan melalui surveilans gizi,
pendidikan gizi, tata laksana gizi, dan suplementasi gizi.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Surveilans gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan
terus-menerus terhadap masalah gizi dan indikator
219
pembinaan gizi agar dapat dilakukan respons dan
penanggulangan secara efektif dan efisien terhadap
masalah gizi.
(3) Pendidikan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
220 dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi
dalam rangka menerapkan perilaku gizi seimbang.
(4) Tata laksana gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk
perbaikan atau pemulihan pada gagal tumbuh, berat
221
badan kurang, gizi kurang, gizi buruk, tengkes
(stunting), gizi berlebih, dan defisiensi mikronutrien
serta masalah gizi akibat penyakit.
(5) Suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan untuk memenuhi kecukupan gizi masyarakat
222
dengan prioritas pada bayi dan balita, anak sekolah, ibu
hamil, ibu nifas, remaja perempuan, dan pekerja wanita.
Pasal 63
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
223
jawab melakukan intervensi dalam rangka upaya
pemenuhan perbaikan gizi.
(2) Intervensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi
224
antara kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah,
pemerintah desa, dan pemangku kepentingan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
Pasal 64
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
225 jawab meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya
terhadap peningkatan status gizi.
Bagian Kesembilan
226
Pelayanan Darah
Pasal 65
(1) Pelayanan darah merupakan Upaya Kesehatan yang
227 memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar
dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan
komersial.
(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat
228
dan memenuhi kriteria seleksi pendonor dengan
mengutamakan Kesehatan pendonor.
(3) Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum
229 digunakan untuk pelayanan darah harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk menjaga mutu dan
keamanan darah.
Pasal 66
230 (1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah
dilakukan oleh unit transfusi darah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Unit transfusi darah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,
231 Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
dan/atau organisasi masyarakat yang tugas p dan
fungsinya di bidang kepalangmerahan.
Pasal 67
(1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan,
pengerahan pendonor darah, penyediaan,
232
pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian
darah kepada Pasien untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan Kesehatan.
(2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan
dengan menjaga keselamatan dan Kesehatan
233
penerima darah, Tenaga Medis, dan Tenaga Kesehatan
dari penularan penyakit melalui transfusi darah.
Pasal 68
234 Standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk
pelayanan transfusi darah ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 69
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
235 bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah
yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
236
pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah.
(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa
237
pun.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
Pasal 70
(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan
238
penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan
melalui pengolahan dan produksi.
(2) Pengumpulan darah untuk kepentingan pengolahan
239 dan produksi, termasuk industri fraksionasi plasma
dapat dilakukan dengan persetujuan pendonor.
240 (3) Pemerintah Pusat menetapkan biaya pengolahan darah.
Pasal 71
241 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
242
Kesehatan Gigi dan Mulut
Pasal 72
(1) Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk
243
memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan
masyarakat.
(2) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk
244 peningkatan Kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi,
pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan Kesehatan
gigi.
(3) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut sebagaimana
245 dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
246 (4) Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui unit

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pelayanan Kesehatan gigi dan/atau usaha Kesehatan
sekolah.
Bagian Kesebelas
Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh, Terapi
247
Berbasis Sel Punca dan Sel, Implan Obat dan/atau Alat
Kesehatan, dan Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetika
Paragraf 1
248
Umum
Pasal 73
Dalam rangka penyembuhan penyakit dan pemulihan
Kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan/atau
249
jaringan tubuh, terapi berbasis sel punca dan sel, implan
Obat dan/atau Alat Kesehatan, dan bedah plastik
rekonstruksi dan estetika.
Paragraf 2
250
Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh
Pasal 74
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
251
dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan Kesehatan.
(2) Organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana
252 dimaksud pada ayat (1) dilarang dikomersialkan atau
diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 75
(1) Pendonor pada transplantasi organ dan/atau jaringan
253
tubuh terdiri atas: a. pendonor hidup; dan b. pendonor
mati batang otak.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
(2) Pendonor hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a merupakan: a. pendonor yang organ
dan/atau jaringannya diambil pada saat yang
bersangkutan masih hidup atas persetujuan yang
254
bersangkutan; dan b. pendonor yang semasa
hidupnya menyatakan akan mendonorkan organ
dan/atau jaringannya ketika yang bersangkutan
sudah mati.
(3) Pendonor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
255
b tidak memerlukan persetujuan keluarga.
(4) Pendonor mati batang otak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan pendonor yang organ
256 dan/atau jaringannya diambil pada saat yang
bersangkutan telah dinyatakan mati batang otak
oleh Tenaga Medis di Rumah Sakit.
(5) Pengambilan organ dan/atau jaringan sebagaimana
257 dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan
persetujuan keluarga.
Pasal 76
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
258 merupakan tindakan pemindahan organ dan/atau
jaringan tubuh dari pendonor kepada resipien sesuai
dengan kebutuhan medis.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya
259 dapat dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai
keahlian dan kewenangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(3) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan di
260
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 77
Seseorang dinyatakan mati sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 ayat (2) huruf b apabila fungsi sistem
261
jantungsirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah
berhenti secara permanen atau apabila kematian batang
otak telah dapat dibuktikan.
Pasal 78
262 (1) Setiap orang berhak menjadi resipien transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh.
(2) Resipien transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
263
dilakukan berdasarkan kedaruratan medis dan/atau
keberlangsungan hidup.
(3) Penetapan kedaruratan medis dan/atau
keberlangsungan hidup sebagaimana dimaksud pada
264
ayat (2) dilakukan secara adil, transparan, dan
bertanggung jawab.
Pasal 79
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dari
265
pendonor hidup harus memperhatikan Kesehatan
pendonor yang bersangkutan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
dilakukan melalui kegiatan:
a. pendaftaran calon pendonor dan calon resipien di
bank organ dan/atau jaringan melalui Fasilitas
Pelayanan Kesehatan;
b. pemeriksaan kelayakan calon pendonor dilihat
266
dari segi kesehatan, psikologis, dan sosio yuridis;
c. pemeriksaan kecocan antara pendonor dan
resipien organ dan/atau jaringan tubuh; dan
d. operasi transplantasi dan penanganan
pascaoperasi transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh.
Pasal 80
267 (1) Menteri berwenang mengelola pelayanan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
268 (2) Kewenangan pengelolaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan:
a. membentuk sistem informasi transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh;
b. sosialisasi dan peningkatan peran serta
masyarakat sebagai pendonor organ dan/atau
jaringan tubuh demi kepentingan kemanusiaan
dan pemulihan Kesehatan;
c. pengelolaan data pendonor dan resipien organ
dan/atau jaringan tubuh; dan
d. pendidikan dan penelitian yang menunjang
kegiatan pelayanan transplantasi organ dan/atau

IKATAN APOTEKER INDONESIA


jaringan tubuh.
(3) Dalam melaksanakan pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri bekerja sama
269
dengan kementerian/lembaga terkait dan Pemerintah
Daerah.
Pasal 81
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau
270
resipien dapat memberikan penghargaan kepada
pendonor transplantasi organ.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
271 diberikan kepada pendonor dan/atau ahli waris
pendonor.
Pasal 82
(1) Untuk mendukung pelaksanaan peningkatan upaya
272 transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Presiden
membentuk komite transplantasi.
(2) Komite transplantasi sebagaimana dimaksud pada
273 ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(3) Keanggotaan komite transplantasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 19 (sembilan
belas) orang yang berasal dari unsur:
a. 2 (dua) orang yang berasal dari kementerian yang
membidangi urusan pemerintahan di bidang
kesehatan;
b. 12 (dua belas) orang yang berasal dari perwakilan
274 organisasi perhimpunan praktik layanan profesi
Tenaga Medis yang terkait;
c. 2 (dua) orang yang berasal dari perwakilan Rumah
Sakit yang dapat melaksanakan transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh; dan
d. 3 (tiga) orang yang berasal dari toh masyarakat,
toh agama, dan pegiat pelindungan konsumen di
bidang kesehatan.
(4) Masa tugas keanggotaan komite transplantasi
275 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama
3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai komite
276
transplantasi diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
277 transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 sampai dengan
Pasal 81 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
278
Terapi Berbasis Sel dan/atau Sel Punca

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
Pasal 84
(1) Terapi berbasis sel dan/atau sel punca yang berasal dari
279
manusia atau hewan dapat dilakukan apabila terbukti
keamanan dan kemanfaatannya.
(2) Terapi berbasis sel dan/atau sel punca sebagaimana
280 dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk penyembuhan
penyakit dan pemulihan Kesehatan.
(3) Terapi berbasis sel dan/atau sel punca sebagaimana
281
dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk reproduksi.
(4) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
282
berasal dari sel punca embrionik.
Pasal 85
Ketentuan lebih lanjut mengenai terapi berbasis sel dan/atau
283
sel punca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4
284
Implan Obat dan/atau Alat Kesehatan
Pasal 86
(1) Pemasangan implan Obat dan/atau Alat Kesehatan ke
285 dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh Tenaga
Medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta
dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan
pemasangan implan Obat dan/atau Alat Kesehatan
286 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan standar pelayanan, standar profesi, dan standar
prosedur operasional.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Paragraf 5
287
Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetika
Pasal 87
(1) Bedah plastik rekonstruksi dan estetika hanya dapat
288
dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai keahlian
dan kewenangan.
(2) Bedah plastik rekonstruksi dan estetika tidak boleh
bertentangan dengan norma yang berlaku dalam
289 masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah
identitas dengan maksud melawan hukum atau
melakukan kejahatan.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik
rekonstruksi dan estetika sebagaimana dimaksud pada
290
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua Belas
291
Pelayanan Kedokteran untuk Kepentingan Hukum
Pasal 88
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
292
jawab dalam penyelenggaraan pelayanan kedokteran untuk
kepentingan hukum.
(2) Penyelenggaraan pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
293 untuk memperoleh fakta dan temuan yang dapat
digunakan sebagai dasar dalam memberikan keterangan
ahli.
294 (3) Penyelenggaraan pelayanan kedokteran untuk kepentingan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memenuhi
persyaratan.
(4) Permintaan dan tata cara pemberian pelayanan kedokteran
untuk kepentingan hukum sebagaimana dimaksud pada
295
ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 89
(1) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum terdiri
296 atas:
a. pelayanan kedokteran terhadap orang hidup; dan
b. pelayanan kedokteran terhadap orang mati.
(2) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum terhadap
orang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditujukan untuk mengetahui keadaan dan sifat
kecederaan, penyebab kecederaan, adanya
297
kekerasan/hubungan seksual, dampak terhadap
Kesehatan, baik fisik maupun jiwa, kecakapan hukum
seseorang, dan temuan lain yang berhubungan dengan
tindak pidana dan pelakunya.
(3) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum terhadap
orang mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
298 dilakukan terhadap mayat yang kematiannya diduga
merupakan akibat atau berhubungan dengan suatu tindak
pidana atau kepentingan hukum lainnya.
299 (4) Dalam rangka melakukan pelayanan kedokteran untuk
kepentingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dapat dilakukan bedah mayat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan/atau pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan pascakematian (virtual
autopsy).
(5) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4)
300
dilakukan oleh Tenaga Medis sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya.
Pasal 90
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dan administratif
301
kependudukan, setiap orang yang mati harus diupayakan
untuk diketahui sebab kematian dan identitasnya.
(2) Dalam rangka upaya penentuan sebab kematian seseorang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
302 audit kematian termasuk autopsi verbal, bedah mayat
klinis, dan/atau pemeriksaan laboratorium dan pencitraan
pascakematian (virtual autopsy).
(3) Pelaksanaan bedah mayat klinis atau pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan pascakematian (virtual
303
autopsy) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dilakukan dengan persetujuan keluarga.
(4) Dalam rangka upaya penentuan identitas sebagaimana
304 dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan upaya identifikasi
mayat sesuai dengan standar.
305 (5) Dalam hal jasad orang yang mati tidak diketahui identitas
diri dan keluarganya, pelaksanaan upaya penentuan sebab
kematian dapat dilakukan kegiatan penelitian, pendidikan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dan pelatihan, termasuk bedah mayat anatomis secara
terpadu.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 91
Tindakan bedah mayat oleh Tenaga medis harus
306
dilakukan sesuai dengan norma sosial budaya, norma
kesusilaan, dan etika profesi.
Pasal 92
Biaya pemeriksaan Kesehatan terhadap korban tindak
pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan
307 hukum ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah melalui anggaran pendapatan dan
belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
Pasal 93
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kedokteran
308
untuk kepentingan hukum diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga Belas
309
Bedah Mayat
Pasal 94
(1) Pelaksanaan bedah mayat juga dapat dilakukan untuk
310
kepentingan pendidikan dalam bentuk bedah mayat
anatomis.
311 (2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan terhadap: a. mayat yang tidak
dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh
keluarganya; b. mayat yang semasa hidupnya telah
memberikan persetujuan tertulis; atau c. mayat yang
telah disetujui tertulis oleh keluarganya atau yang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


mewakili.
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat
312 (1) ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau
menyimpulkan penyebab kematian.
(4) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa
313
hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat
pasien.
(5) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit
yang membahayakan masyarakat, bedah mayat klinis
314 mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis
dan/atau mengungkap penyebab kematiannya, dan
tidak diperlukan persetujuan.
Pasal 95
(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu
315 kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah
mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di
institusi pendidikan kedokteran.
(2) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
telah diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan
316
keluarganya, dan disimpan paling lama 1 (satu) bulan
sejak kematiannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat
317 anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
318 Bagian Keempat Belas
Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Gangguan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pendengaran

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan
gangguan pendengaran merupakan semua kegiatan
319
yang dilakukan meliputi pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif.
Pasal 96
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud
320
pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pasal 97
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan
321
gangguan penglihatan dan pendengaran diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima Belas
322
Upaya Kesehatan Jiwa
Pasal 98
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab menciptakan kondisi Kesehatan
323
jiwa yang setinggitingginya dan menjamin
ketersediaan, aksesibilitas, mutu, dan pemerataan
Upaya Kesehatan jiwa.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Upaya Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada
324 ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif.
(3) Upaya Kesehatan jiwa diselenggarakan agar Setiap
Orang mencapai Kesehatan jiwa yang menjamin
perkembangan fisik, mental, spiritual, dan sosialnya
325
sehingga dapat menyadari kemampuan sendiri,
mampu mengatasi tekanan, bekerja secara produktif,
dan memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama
326 masyarakat bertanggung jawab menyelenggarakan
Upaya Kesehatan Jiwa.
(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
berkewajiban untuk mengembangkan Upaya
Kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian
327
dari Upaya Kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk
mempermudah akses masyarakat terhadap Pelayanan
Kesehatan jiwa.
328 Pasal 99
Upaya Kesehatan Jiwa diselenggarakan untuk:
a. menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup
yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat,
bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang
dapat mengganggu Kesehatan Jiwa;
b. menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai
potensi kecerdasan;
c. memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Kesehatan Jiwa bagi orang dengan masalah kejiwaan
dan orang dengan gangguan jiwa berdasarkan hak
asasi manusia;
d. memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi,
komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi orang
dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan
jiwa;
e. menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber
daya dalam Upaya Kesehatan Jiwa;
f. meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi; dan
g. memberikan kesempatan kepada orang dengan
masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa
untuk dapat memperoleh haknya sebagai Warga Negara
Indonesia.
Pasal 100
Kesehatan Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
merupakan kondisi seorang individu dapat berkembang
329 secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
330 Pasal 101
(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan
edukasi yang benar mengenai Kesehatan jiwa.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
untuk mencegah terjadinya risiko masalah kejiwaan atau
331 gangguan jiwa serta mencegah terjadinya pelanggaran
hak asasi seseorang yang mengalami masalah kejiwaan
atau gangguan jiwa.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
332 jawab menyediakan layanan informasi dan edukasi
tentang Kesehatan jiwa.
Pasal 102
(1) Upaya Kesehatan Jiwa dilaksanakan oleh Tenaga Medis,
333 Tenaga Kesehatan, serta tenaga lain yang memiliki
keahlian dan kewenangan dengan tetap menghormati hak
asasi Pasien.
(2) Upaya Kesehatan Jiwa dilaksanakan di fasilitas pelayanan
di bidang kesehatan jiwa yang memenuhi syarat dan
334
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 103
(1) Fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan jiwa meliputi:
335 a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
b. Fasilitas Pelayanan di luar sektor Kesehatan dan
fasilitas pelayanan berbasis masyarakat.
336 (2) Fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas
pelayanan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat menyelenggarakan upaya
perawatan orang dengan gangguan jiwa dengan cara
bekerja sama dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


ada di wilayahnya.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(3) Fasilitas Pelayanan di luar sektor Kesehatan dan
Fasilitas Pelayanan berbasis masyarakat sebagaimana
337 dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memiliki izin
dan memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan,
kenyamanan, dan kemudahan.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan
338 terhadap fasilitas pelayanan di luar tindakan
Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis
masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, Tindakan
dan, dan pengawasan fasilitas pelayanan di luar sector
339
Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis
masyarakat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 104
(1) Penatalaksanaan orang dengan gangguan jiwa yang
340 dilakukan secara rawat inap harus mendapatkan
persetujuan tindakan secara tertulis dari orang
dengan gangguan jiwa yang bersangkutan.
341 (2) Dalam hal orang dengan gangguan jiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak cakap dalam
membuat keputusan, persetujuan tindakan dapat
diberikan oleh:
a. Suami atau istri;
b. orang tua;
c. anak atau saudara sekandung yang paling sedikit
berusia 18 (delapan belas) tahun.
d. wali atau pengampu; atau

IKATAN APOTEKER INDONESIA


e. pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan
tindakan perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(3) Dalam hal orang dengan gangguan jiwa dianggap tidak cakap
dan pihak yang memberikan persetujuan tindakan sebagaimana
342 dimaksud pada ayat (2) tidak ada, tindakan medis yang
ditujukan untuk mengatasi kondisi kedaruratan dapat
diberikan tanpa persetujuan.
(4) Penentuan kecakapan orang dengan gangguan jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh dter
343
spesialis kedokteran jiwa atau dter yang memberikan layanan
medis saat itu.
(5) Orang dengan gangguan jiwa yang telah dilakukan
344 penyembuhan berhak menentukan tindakan medis yang akan
dilakukannya.
Pasal 105
(1) Penatalaksanaan terhadap orang dengan gangguan jiwa dengan
cara lain di luar penatalaksanaan oleh Tenaga Medis dan
345
Tenaga Kesehatan hanya dapat dilakukan apabila manfaat dan
keamanannya dapat dipertanggungjawabkan serta tidak
bertentangan dengan norma sosial budaya.
(2) Penatalaksanaan terhadap orang dengan gangguan jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh
346
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar manfaat dan
keamanannya dapat dipertanggungjawabkan.
347 Pasal 106
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
melakukan penanganan terhadap orang dengan gangguan jiwa
yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya
dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau

IKATAN APOTEKER INDONESIA


keamanan umum.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 107
348 (1) Orang dengan gangguan jiwa mempunyai hak yang
sama sebagai warga negara.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan,
349
kecuali tindakan perundang-undangan menyatakan
lain.
(3) Setiap orang dilarang melakukan pemasungan,
penelantaran, kekerasan, dan/atau menyuruh orang
lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran,
350
dan/atau kekerasan terhadap penderita gangguan
jiwa atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi
penderita gangguan jiwa.
Pasal 108
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum, seseorang
351 yang diduga orang dengan gangguan jiwa yang
melakukan tindak pidana harus mendapatkan
pemeriksaan Kesehatan jiwa.
(2) Pemeriksaan Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk:
a. menentukan kemampuan seseorang dalam
352 mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah
dilakukannya; dan/atau
b. menentukan kecakapan hukum seseorang untuk
menjalani proses peradilan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 109
(1) Untuk kepentingan keperdataan, seseorang yang
353 diduga kehilangan kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum harus mendapatkan pemeriksaan
Kesehatan jiwa.
(2) Prosedur penentuan kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
354
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 110
(1) Pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk kepentingan
355
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dan
Pasal 106 dilakukan oleh tim.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai
oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dan dapat
356 melibatkan dokter spesialis lain, dokter umum,
dan/atau psikolog umum, psikolog spesialis, dan
psikolog subspesialis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
357 pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk kepentingan
hukum diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 111
(1) Untuk melaksanakan pekerjaan tertentu atau
358
menduduki jabatan tertentu, wajib dilakukan
pemeriksaan Kesehatan jiwa.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Pemeriksaan Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan sebelum
359
melaksanakan pekerjaan tertentu atau menduduki
jabatan tertentu sesuai dengan kebutuhan.
(3) Dalam hal diperlukan, pemeriksaan Kesehatan jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
360 dilakukan selama dan sesudah melaksanakan
pekerjaan tertentu atau menduduki jabatan tertentu
sesuai dengan kebutuhan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai edoman
pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk kepentingan
361
pekerjaan atau jabatan tertentu diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 112
(1) Pemerintah Pusat bertanggung jawab menyediakan
362 Rumah Sakit dengan pelayanan Kesehatan jiwa yang
berfungsi sebagai pusat rujukan pelayanan
Kesehatan jiwa nasional.
(2) Pemerintah Daerah provinsi bertanggung jawab
363 menyediakan Rumah Sakit dengan unggulan
Pelayanan Kesehatan jiwa.
(3) Pemerintah Pusat dapat membantu Pemerintah
Daerah provinsi dalam mendirikan Rumah Sakit
364
dengan pelayanan Kesehatan jiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 113
(1) Setiap Rumah Sakit dengan pelayanan Kesehatan
365
jiwa wajib menyediakan layanan untuk Pasien
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.
(2) Setiap Rumah Sakit dengan pelayanan Kesehatan
366 jiwa wajib menyediakan ruangan khusus untuk
anak, wanita, dan lanjut usia.
Pasal 114
367 Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan jiwa
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Belas
368
Penanggulangan Penyakit Menular dan Tidak Menular
Paragraf 1
369
Umum
Pasal 115
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
370 masyarakat bertanggung jawab melakukan
penanggulangan penyakit menular dan penyakit
tidak menular.
(2) Penanggulangan penyakit menular dan penyakit
tidak menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui Upaya Kesehatan perseorangan
371
dan Upaya Kesehatan masyarakat yang dilaksanakan
secara terkoordinasi, terpadu, dan
berkesinambungan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


372 Pasal 116
(1) Dalam hal kejadian penyakit menular dan penyakit tidak
menular tertentu menjadi permasalahan kesehatan
masyarakat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menetapkan program penanggulangan penyakit menular
dan penyakit tidak menular tertentu sebagai prioritas
nasional atau daerah.
373 (2) Pemerintah Daerah dalam menetapkan program
penanggulangan penyakit menular dan penyakit tidak
menular tertentu sebagai prioritas daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus berpedoman pada kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
374 (3) Program penanggulangan penyakit menular dan penyakit
tidak menular tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus didukung dengan pengelolaan yang meliputi
penetapan target dan strategi penanggulangan serta
penyediaan sumber daya yang diperlukan.
375 Pasal 117
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama
masyarakat dan pemangku kepentingan terkait bertanggung
jawab untuk melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi
tentang faktor risiko penyakit menular dan penyakit tidak
menular kepada masyarakat berisiko.
376 Pasal 118
(1) Dalam hal penyakit menular dan penyakit tidak menular
berpotensi KLB, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat wajib melakukan upaya penanggulangan KLB.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


377 (2) Upaya penanggulangan KLB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. penyelidikan epidemiologis;
b. pelaksanaan surveilans;
c. pemusnahan penyebab KLB;
d. pencegahan dan pengebalan;
e. promosi kesehatan;
f. komunikasi risiko;
g. penatalaksanaan kasus/penderita;
h. penanganan jenazah akibat KLB; dan
i. upaya penanggulangan lainnya yang diperlukan sesuai
dengan penyebab KLB.
378 Paragraf 2
Penanggulangan Penyakit Menular
379 Pasal 119
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab melakukan penanggulangan penyakit
menular melalui kegiatan pencegahan, pengendalian, dan
pemberantasan penyakit menular serta bertanggung jawab
terhadap akibat yang ditimbulkannya.
380 (2) Penanggulangan penyakit menular sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat dari
tertularnya penyakit untuk menurunkan jumlah yang
sakit, cacat, dan/atau meninggal dunia serta mengurangi
dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular.
381 (3) Kegiatan pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dilaksanakan dengan berbasis wilayah.
382 (4) Dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan, pengendalian,
dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Tenaga Medis dan/atau Tenaga
Kesehatan yang berwenang dapat memeriksa
tempattempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan
sumber penyakit lain.
383 (5) Dalam melaksanakan kegiatan pencegahan, pengendalian,
dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dapat melakukan kerja sama dengan negara lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
384 Pasal 120
(1) Dalam hal terdapat kejadian ikutan paska-pemberian obat
pencegahan masal dan imunisasi dalam penanggulangan
penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119, pembiayaan yang timbul menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau sumber
pembiayaan lain.
385 (2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. audit kausalitas;
b. pelayanan kesehatan; dan
c. santunan terhadap korban.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


386 Pasal 121
(1) Masyarakat, termasuk penderita penyakit menular,
wajib melakukan pencegahan penyebaran penyakit
menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat,
pengendalian faktor risiko Kesehatan, dan
pencegahan penyebaran penyakit menular lainnya.
387 (2) Pencegahan penularan penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.
388 Pasal 122
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan
penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112 dan Pasal 113 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
389 Paragraf 3
Penanggulangan Penyakit Tidak Menular
390 Pasal 123
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat melakukan penanggulangan penyakit
tidak menular melalui kegiatan pencegahan,
pengendalian, dan penanganan penyakit tidak
menular beserta akibat yang ditimbulkannya.
391 (2) Penanggulangan penyakit tidak menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran,
kemauan berperilaku sehat, dan mencegah
terjadinya penyakit tidak menular beserta akibat
yang ditimbulkan, untuk menurunkan jumlah yang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


sakit, disabilitas, dan/atau meninggal dunia, serta
untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi
akibat penyakit tidak menular.
392 Pasal 124
(1) Penanggulangan penyakit tidak menular didukung
dengan kegiatan surveilans faktor risiko, registri
penyakit, dan surveilans kematian.
393 (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan memperoleh informasi yang esensial serta
dapat digunakan untuk pengambilan keputusan
dalam upaya penanggulangan penyakit tidak
menular.
394 (3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kerja sama lintas sektor,
pemangku kepentingan terkait, dan masyarakat,
serta dengan membentuk jejaring, baik nasional
maupun internasional.
395 Pasal 125
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan
penyakit tidak menular sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 123 sampai dengan Pasal 124 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
396 Bagian Ketujuh Belas
Kesehatan Sekolah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


397 Pasal 126
(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk
meningkatkan kemampuan hidup sehat bagi peserta
didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam
rangka mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas serta untuk mewujudkan lingkungan
sekolah yang sehat.
398 (2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diselenggarakan pada satuan pendidikan formal
dan nonformal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
399 (3) Kesehatan sekolah dilaksanakan melalui: a.
pendidikan Kesehatan; b. Pelayanan Kesehatan; dan
c. pembinaan lingkungan sekolah sehat.
400 (4) Dalam rangka pelaksanaan kesehatan sekolah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat didukung
dengan sarana dan prasarana Kesehatan sekolah.
401 (5) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan oleh tenaga pendidik berkolaborasi
dengan Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan
pada Puskesmas atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat pertama lain.
402 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesehatan sekolah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
403 Bagian Kedelapan Belas
Kesehatan Olahraga

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
404 Pasal 127
(1) Upaya Kesehatan olahraga ditujukan untuk
meningkatkan derajat Kesehatan dan kebugaran
jasmani masyarakat melalui aktifitas fisik, latihan
fisik, dan/atau olahraga.
405 (2) Peningkatan derajat Kesehatan dan kebugaran
jasmani masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan upaya dasar dalam
meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga.
406 Pasal 128
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menyelenggarakan Upaya Kesehatan olahraga
yang didukung dengan penyediaan sumber daya yang
dibutuhkan.
407 Bagian Kesembilan Belas
Kesehatan Lingkungan
408 Pasal 129
Upaya Kesehatan lingkungan ditujukan untuk
mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat secara
fisik, kimia, biologi, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang mencapai derajat Kesehatan yang setinggi-
tingginya.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


409 Pasal 130
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat melalui
penyelenggaraan Kesehatan lingkungan.
410 (2) Penyelenggaraan Kesehatan lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya
penyehatan, pengamanan, dan pengendalian.
411 (3) Upaya penyehatan, pengamanan, dan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
untuk memenuhi standar baku mutu Kesehatan
lingkungan dan persyaratan Kesehatan pada media
lingkungan.
412 (4) Kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan pada lingkungan permukiman,
tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan
fasilitas umum.
413 Pasal 131
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Kesehatan lingkungan,
pengelolaan limbah medis yang berasal dari Fasilitas
Pelayanan Kesehatan wajib memenuhi persyaratan
teknis yang ditetapkan oleh Menteri.
414 (2) Pengelolaan limbah medis yang berasal dari Fasilitas
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan
yang memenuhi persyaratan teknis atau bekerja sama
dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
415 Pasal 132
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesehatan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 sampai dengan
Pasal 131 diatur dalam atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
416 Bagian Kedua Puluh
Kesehatan Kerja
417 Pasal 133
(1) Upaya Kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi
pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan
kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
pekerjaan.
418 (2) Upaya Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan di tempat kerja pada sektor formal dan
informal serta di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
419 (3) Upaya Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) berlaku juga untuk pekerjaan di
lingkungan matra.
420 (4) Upaya Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diselenggarakan sesuai dengan standar
Kesehatan kerja yang ditetapkan oleh Menteri.
421 (5) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar Kesehatan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan menjamin
lingkungan kerja yang sehat.
422 (6) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas
kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja dan
penyakit akibat kerja sesuai dengan ketentuan peraturan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


423 Pasal 134
(1) Pemberi kerja wajib menjamin Kesehatan pekerja melalui
upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif serta
wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan Kesehatan
pekerjanya.
424 (2) Pekerja dan setiap orang yang berada di lingkungan tempat
kerja wajib menciptakan dan menjaga lingkungan tempat
kerja yang sehat dan menaati peraturan Kesehatan dan
keselamatan kerja yang berlaku di tempat kerja.
425 (3) Pemberi kerja wajib menanggung biaya atas penyakit
akibat kerja, gangguan kesehatan, dan cedera akibat kerja
yang diderita oleh pekerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
426 (4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
dorongan dan bantuan untuk pelindungan pekerja.
427 Pasal 135
(1) Dalam rangka pengadaan pegawai atau pekerja pada
perusahaan/instansi harus dilakukan pemeriksaan
Kesehatan baik fisik maupun jiwa, dan pemeriksaan
psikologi.
428 (2) Hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam penetapan kelulusan dalam
proses seleksi.
429 (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


430 Pasal 136
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 sampai dengan Pasal
135 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
431 Bagian Kedua Puluh Satu
Kesehatan Matra
432 Pasal 137
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus Upaya Kesehatan
diselenggarakan untuk mewujudkan derajat Kesehatan
yang setinggi-tingginya dalam lingkungan matra yang serba
berubah di lingkungan darat, laut, dan udara.
433 (2) Kesehatan matra sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Kesehatan lapangan;
b. Kesehatan kelautan dan bawah air; dan
c. Kesehatan kedirgantaraan.
434 (3) Penyelenggaraan Kesehatan matra dilaksanakan sesuai
dengan standar dan persyaratan.
435 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesehatan matra diatur
dengan Peraturan Menteri.
436 Bagian Kedua Puluh Dua
Pelayanan Kesehatan pada Bencana
437 Pasal 138
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan
pelaksanaan Pelayanan Kesehatan secara menyeluruh dan
berkesinambungan pada bencana.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


438 (2) Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Pelayanan kesiapsiagaan kesehatan pada prabencana;
b. Pelayanan Kesehatan pada saat tanggap darurat
bencana; dan
c. Pelayanan Kesehatan pada pascabencana termasuk
pemulihan fisik dan mental.
439 (3) Pelayanan Kesehatan pada saat tanggap darurat bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b bertujuan
untuk menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan, dan
memastikan pelayanan kesehatan esensial tetap berjalan
sesuai dengan standar pelayanan minimal pelayanan
kesehatan.
440 (4) Pelayanan Kesehatan pada bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) melibatkan seluruh sumber daya
manusia yang terlatih baik dari Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
441 (5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
pendanaan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
442 (6) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, bantuan
masyarakat, atau sumber lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


443 Pasal 139
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan pada bencana diatur dalam atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
444 Pasal 140
(1) Dalam keadaan darurat, setiap Fasilitas Pelayanan
Kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib
memberikan Pelayanan Kesehatan pada bencana untuk
penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut,
dan kepentingan terbaik bagi Pasien.
445 (2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam memberikan Pelayanan
Kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang menolak Pasien dan/atau meminta uang muka
terlebih dahulu.
446 Pasal 141
Pemerintah menjamin pelindungan hukum bagi setiap orang
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memberikan Pelayanan
Kesehatan pada bencana.
447 Bagian Kedua Puluh Tiga
Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
448 Pasal 142
(1) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, halal, bermutu, dan terjangkau.
449 (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang mengadakan, memproduksi, menyimpan,
mempromosikan, dan mengedarkan Sediaan Farmasi berupa

IKATAN APOTEKER INDONESIA


obat dan bahan obat yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu.
450 (3) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan
mendistribusikan Alat Kesehatan yang tidak memenuhi
standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu.
451 (4) Ketentuan mengenai produksi, pengadaan, penyimpanan,
produksi, promosi, peredaran, dan pelayanan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT harus memenuhi
standar dan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
452 (5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban
membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi
produksi, pengadaan, penyimpanan, promosi, dan peredaran
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT sesuai dengan
kewenangannya.
453 Pasal 143
(1) Setiap orang yang memproduksi, mengadakan, menyimpan,
mengedarkan, dan menggunakan Obat yang mengandung
narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar
dan/atau persyaratan tertentu.
454 (2) Penggunaan Obat yang mengandung narkotika dan
psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep
Tenaga Medis dan dilarang untuk disalahgunakan.
455 (3) Ketentuan mengenai produksi, pengadaan, penyimpanan,

IKATAN APOTEKER INDONESIA


peredaran, serta penggunaan Obat yang mengandung
narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.
456 Pasal 144
Pengamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
yang disebabkan oleh penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan PKRT yang tidak memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu.
457 Pasal 145
(1) Penggunaan Obat dan Obat Bahan Alam harus dilakukan
secara rasional.
458 (2) Penggunaan Alat Kesehatan harus dilakukan secara tepat
guna.
459 (3) Penggunaan Obat, Obat Bahan Alam, dan Alat Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
memperhatikan keselamatan Pasien.
460 Pasal 146
(1) Sediaan Farmasi yang berupa Obat dan bahan baku Obat
harus memenuhi syarat farmakope Indonesia dan/atau
standar lainnya.
461 (2) Sediaan Farmasi yang berupa Obat Bahan Alam harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan berupa farmakope
herbal Indonesia dan/atau standar lainnya.
462 (3) Sediaan Farmasi yang berupa kosmetik harus memenuhi
standar dan/atau persyaratan berupa kodeks kosmetik

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Indonesia dan/atau standar lainnya.
463 (4) Alat Kesehatan dan PKRT harus memenuhi standar
dan/atau persyaratan yang ditentukan.
464 (5) Ketentuan mengenai standar dan/atau persyaratan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan ditetapkan oleh Menteri.
465 (6) Ketentuan mengenai standar dan/atau persyaratan untuk
PKRT dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
466 Pasal 147
(1) Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT harus
memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
467 (2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai
produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
468 (3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berwenang
mencabut perizinan berusaha dan memerintahkan
penarikan dari peredaran Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan PKRT yang telah memperoleh perizinan berusaha yang
terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan,
dan/atau kemanfaatan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


469 (4) Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku bagi usaha jamu gendong, usaha jamu
racikan, dan fasilitas produksi obat penggunaan khusus.
470 (5) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat disita dan dimusnahkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
471 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha terkait
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
472 Pasal 148
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan PKRT diatur dalam Peraturan Pemerintah.
473 Pasal 149
(1) Praktik kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga
kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
474 (2) Praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi produksi termasuk pengendalian mutu,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan
pendistribusian Sedian Farmasi, pengelolaan dan pelayanan
kefarmasian, serta penelitian dan pengembangan
kefarmasian.
475 (3) Ketentuan mengenai praktik/pekerjaan kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
476 Bagian Kedua Puluh Empat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pengamanan Makanan dan Minuman
477 Pasal 150
(1) Setiap Orang yang memproduksi, mengolah, serta
mendistribusikan makanan dan minuman yang dikonsumsi
dan/atau makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa
genetik, wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan
kesehatan.
478 (2) Selain kewajiban memenuhi standar dan/atau persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), makanan dan
minuman yang diproduksi, diolah, didistribusikan, dan
dikonsumsi harus memenuhi ketentuan sebagai produk
halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
479 Pasal 151
(1) Setiap Orang yang memproduksi dan mempromosikan
produk makanan dan minuman dan/atau yang
diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan
teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh
dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya.
480 (2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa perintah
penarikan produk.
481 Pasal 152
(1) Makanan dan minuman untuk dikonsumsi masyarakat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


harus memenuhi standar dan/atau persyaratan Kesehatan.
482 (2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah
memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
483 (3) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan
standar dan/atau persyaratan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan,
didistribusikan, atau diperjualbelikan.
484 (4) Makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang telah diedarkan, didistribusikan, atau
diperjualbelikan harus ditarik dan dimusnahkan.
485 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha terkait
makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
486 Pasal 153
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan,
pendistribusian makanan dan minuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 152.
487 Bagian Kedua Puluh Lima
Pengamanan Zat Adiktif
488 Pasal 154
(1) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif diarahkan
agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
489 (2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
semua bahan atau produk yang bersifat adiktif yang
penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya
dan/atau masyarakat.
490 (3) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa:
a. narkotika;
b. psikotropika;
c. minuman beralkohol;
d. hasil tembakau; dan
e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
491 (4) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan
huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
492 (5) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e
harus memenuhi standar dan/atau persyaratan Kesehatan.
493 (6) Hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
d dapat berupa:
a. sigaret;
b. cerutu;
c. rokok daun;
d. tembakau iris; dan
e. tembakau padat dan cair yang digunakan untuk rokok
elektrik.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


494 (7) Hasil pengolahan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf e dapat berwujud padat, cair, atau wujud
lainnya yang tidak mengandung hasil tembakau.
495 Pasal 155
(1) Hasil tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154
ayat (3) yang digunakan untuk kepentingan medis, herbal,
farmasi, kosmetik, dan aromaterapi diperlakukan secara
khusus.
496 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
497 Pasal 156
Setiap Orang yang memproduksi, memasukkan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan/atau
mengedarkan zat adiktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
154 ayat (6) dan ayat (7) wajib mencantumkan peringatan
Kesehatan.
498 Pasal 157
(1) Kawasan tanpa rokok terdiri atas:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
499 (2) Pemerintah Daerah wajib menetapkan kawasan tanpa r di

IKATAN APOTEKER INDONESIA


wilayahnya.
500 (3) Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat
kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g
wajib menyediakan tempat khusus untuk mer.
501 Pasal 158
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif
dalam bentuk hasil tembakau dan hasil pengolahan zat
adiktif lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat 154 ayat (6)
dan ayat (7) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
502 Bagian Kedua Puluh Enam
Pelayanan Kesehatan Tradisional
503 Pasal 159 Pasal 159
(1) Pelayanan Kesehatan tradisional berdasarkan cara Usul disisipkan pada ayat (1), poin (c) Pelayanan
pengobatannya terdiri atas: Kesehatan Tradisional Empiris
a. Pelayanan Kesehatan tradisional yang menggunakan
keterampilan; dan/atau Berkaitan dengan usulan penambahan poin (c) maka
b. Pelayanan Kesehatan tradisional yang menggunakan pada setelah Pasal 159 Ditambahkan Pasal (y)
ramuan.
Pasal (y) Ayat (1)
“Pelayanan Kesehatan Tradisional Empris adalah
penerapan kesehatan tradisional yang manfaat dan
keamanannya terbukti secara empiris.”

Pasal (y) Ayat (2)


“Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris
berdasarkan kualifikasi SDM dan sarana praktiknya
adalah Penyehat Tradisional Empiris yang memiliki

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Surat Terdaftar Praktik Tradisional (STPT) dan
berpraktik di Panti Sehat.”

Catatan:
Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris belum
tercantum di draft RUU Kesehatan, sementara hal ini
sudah diakomodir pada Permenkes 61 tahun 2016
tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris
dan PMK No.14 Tahun 2021, tentang standar
kegiatan usaha dan produk pada penyelenggaraan
perizinan berusaha berbasis risiko sektor Kesehatan.
Selain itu perlu dipertimbangkan karena para
pengobat tradisional empiris juga telah menjadi salah
satu ujung tombak pelayanan kesehatan tradisional.
504 (2) Pelayanan Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengetahuan,
keahlian, dan/atau nilai yang bersumber dari kearifan lal.
505 (3) Pelayanan Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah agar dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan
norma sosial budaya.
506 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis
Pelayanan Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
507 Pasal 160

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(1) Upaya kesehatan tradisional meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
508 (2) Upaya kesehatan tradisional dapat dilakukan di tempat
praktik mandiri, Pusat kesehatan masyarakat, Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tradisional, Rumah Sakit, dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.
509 Pasal 161
(1) Upaya kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 160 dilakukan melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tradisional griya sehat.
510 (2) Pengelolaan Griya Sehat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh penanggung Jawab atau kepala
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional griya sehat yang
wajib dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan tradisional
yang dibuktikan dengan Surat tanda registrasi (STR).
511 (3) Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab
menyediakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional
griya sehat sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan
tradisional.
512 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tradisional griya sehat diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
513 Pasal 162
(1) Setiap Orang yang melakukan Pelayanan Kesehatan
tradisional yang menggunakan alat dan teknologi wajib
memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

IKATAN APOTEKER INDONESIA


berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
514 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
515 Pasal 163
(1) Masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan
Pelayanan Kesehatan tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
516 (2) Pemerintah mengatur dan mengawasi Pelayanan Kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan pelindungan
masyarakat.
517 BAB VI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN

IKATAN APOTEKER INDONESIA


518 Pasal 164 Usul penambahan Ayat baru
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan memberikan (1b) Fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, dter praktek,
Pelayanan Kesehatan berupa Pelayanan Kesehatan klinik, laboratorium, apotek dan fasilitas kesehatan lainnya
perseorangan dan/atau Pelayanan Kesehatan
masyarakat. Catatan:
usul agar terlebih dahulu didefInisikan fasilitas pelayanan
Kesehatan sebagaimana yang terdapat didalam undang-
undang SJSN dan/atau BPJS, di PP no. 47 tahun 2016
tentang fasilitas pelayanan Kesehatan pasal 4
519 (2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama;
b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut; dan
c. Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang.
520 (3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berdasarkan bentuknya,
terdiri atas:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan statis; dan
b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan bergerak.
521 (4) Fasilitas Pelayanan Kesehatan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan layanan
Kesehatan kepada masyarakat dengan
mengutamakan layanan Kesehatan kuratif,
rehabilitatif, dan/atau paliatif kepada Pasien secara
maksimal sampai diperoleh kesembuhan.
522 (5) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.
523 (6) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
524 Pasal 165
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan primer.
525 (2) Dalam menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan integrasi pelayanan antar-Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
526 (3) Integrasi Pelayanan Kesehatan primer ditujukan
untuk mendukung pelaksanaan program
pemerintah, terutama Pelayanan Kesehatan dalam
bentuk promotif dan preventif.
540 (4) Integrasi Pelayanan Kesehatan perseorangan primer
dapat dilakukan melalui penyelenggaraan program
jaminan kesehatan.
541 Pasal 166
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut
yang meliputi pelayanan spesialistik dan/atau pelayanan
subspesialistik.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
542 Pasal 167
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan Penunjang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (2)
huruf c menyelenggarakan pelayanan kesehatan
yang menunjang pelayanan kesehatan primer dan
pelayanan kesehatan tingkat lanjut.
543 (2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan Penunjang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berdiri
sendiri atau dapat bergabung dengan fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama dan fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat lanjut.
544 Pasal 168
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan
penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
545 Pasal 169 Usul perubahan Ayat
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
dimaksud dalam Pasal 164 dapat memberikan Pasal 164 dapat memberikan Layanan Telekesehatan;
layanan Telekesehatan dan Telemedisin. Telemedisin dan Layanan Telefarmasi
546 (2) Layanan Telekesehatan dan Telemedisin yang Layanan Telekesehatan; Telemedisin dan Layanan Telefarmasi
diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi layanan:
layanan:
a. antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
a. antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan b. dan antara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan
b. antara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan masyarakat
masyarakat.
547 (3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang Usul perubahan Ayat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


menyelenggarakan Layanan Telekesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam menyelenggarakan
Telemedisin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Layanan Teleksehatan; Telemedisin dan Layanan Telefarmasi
dapat bekerja sama dengan Penyelenggara Sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerjasama
Elektronik yang terdaftar sesuai dengan peraturan dengan Penyelenggara Sistem Elektronik yang terdaftar sesuai
perundang-undangan. dengan peraturan perundang-undangan
548 (4) Layanan Telemedisin yang diberikan oleh Fasilitas Usulan perubahan ayat (4):
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada Layanan Telekesehatan yang diberikan oleh fasilitas
ayat (1) dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Kesehatan yang memiliki izin praktik. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki izin praktik.

Usul Penambahan ayat (5):


(5) Layanan Telemedisin yang diberikan oleh fasilitas
pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh tenaga medis yang memiliki izin praktik

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Usulan penambahan ayat
(6) Layanan Telefarmasi yang diberikan oleh fasilitas
pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh apoteker yang memiliki izin praktik
549 (7)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
layanan Telekesehatan dan Telemedisin diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
550 Pasal 170
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib:
a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan
pelayanan, pendidikan, penelitian, dan
pengembangan di bidang Kesehatan;
b. menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien;
c. mengirimkan laporan hasil pelayanan, pendidikan,
penelitian, dan pengembangan kepada Pemerintah
Pusat dengan tembusan kepada Pemerintah
Daerah melalui Sistem Informasi Kesehatan;
d. melakukan upaya pemanfaatan hasil pelayanan,
pendidikan, penelitian, dan pengembangan di
bidang Kesehatan; dan
e. mengintegrasikan pelayanan, pendidikan,
penelitian, dan pengembangan dalam suatu sistem
sebagai upaya mengatasi permasalahan Kesehatan
di daerah.
551 (2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib membuat
standar prosedur operasional dengan mengacu pada

IKATAN APOTEKER INDONESIA


standar Pelayanan Kesehatan.
552 (3) Dalam kondisi KLB atau Wabah, Fasilitas Pelayanan
Kesehatan wajib memberikan Pelayanan Kesehatan
dalam rangka upaya penanggulangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
553 (4) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dilarang mempekerjakan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan yang tidak memiliki izin praktik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
554 Pasal 171
1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau milik
masyarakat wajib memberikan Pelayanan Kesehatan
bagi seseorang yang berada dalam kondisi gawat
darurat untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan terlebih dahulu.
555 2) Dalam kondisi gawat darurat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau milik
masyarakat dilarang menolak Pasien dan/atau
meminta uang muka.
556 Pasal 172 Usul perubahan Ayat (1):
(1) Setiap pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Setiap Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
harus memiliki kompetensi manajemen Kesehatan Tenaga Kesehatan dengan Kualifikasi memiliki kompetensi
yang dibutuhkan. manajemen kesehatan yang dibutuhkan
557 (2) Ketentuan mengenai kompetensi manajemen
Kesehatan yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud

IKATAN APOTEKER INDONESIA


pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
558 Pasal 173
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menerapkan
standar keselamatan Pasien.
559 (2) Standar keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui identifikasi dan
pengelolaan risiko, analisis dan pelaporan, serta
pemecahan masalah dalam rangka mencegah dan
menangani kejadian yang membahayakan
keselamatan Pasien.
560 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar
keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
561 Pasal 174
(1) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
menyimpan rahasia Kesehatan pribadi Pasien.
562 (2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat menolak
mengungkapkan segala informasi kepada publik
yang berkaitan dengan rahasia Kesehatan pribadi
Pasien, kecuali berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
563 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kesehatan
pribadi Pasien diatur dalam Peraturan Menteri.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


564 Pasal 175
(1) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan
peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan secara internal
dan eksternal secara terus-menerus dan
berkesinambungan.
565 (2) Peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan secara internal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengukuran dan pelaporan indikator mutu;
b. pelaporan Insiden Keselamatan Pasien; dan
c. manajemen risiko.
566 (3) Peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan secara Catatan:
eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Akreditasi untuk apotek apakah sudah siap ?
dilakukan melalui:
a. Registrasi;
b. lisensi; dan
c. akreditasi.
567 (4) Pelaksanaan Registrasi, lisensi, dan akreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
dengan berorientasi pada pemenuhan standar mutu,
pembinaan dan peningkatan kualitas layanan, serta
proses yang cepat, terbuka, dan akuntabel.
568 (5) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
dilaksanakan oleh lembaga independen penyelenggara
Akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri.
569 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan mutu
pelayanan Kesehatan secara eksternal sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pemerintah.
570 Pasal 176
(1) Dalam rangka peningkatan akses dan mutu Pelayanan
Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat
mengembangkan:
a. jejaring pengampuan Pelayanan Kesehatan prioritas;
b. kerja sama dua atau lebih Fasilitas Pelayanan
Kesehatan; c. pusat unggulan (centre of excellence);
c. sistem Kesehatan akademik (academic health system);
dan/atau
d. Pelayanan Kesehatan terpadu.
571 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan standar
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
572 Bagian Kedua
Puskesmas
573 Pasal 177
(1) Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan
kesehatan dalam bentuk promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif di wilayah kerjanya.
574 (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Puskesmas memiliki fungsi
penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Primer di wilayah
kerjanya.
575 (3) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Primer
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk
mewujudkan wilayah kerja Puskesmas yang sehat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dengan masyarakat yang:
a. memiliki perilaku hidup sehat;
b. mudah mengakses Pelayanan Kesehatan bermutu;
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
baik individu, keluarga, kelompok, maupun
masyarakat.
576 Pasal 178
(1) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan masyarakat tingkat
pertama dan Upaya Kesehatan Perseorangan tingkat
pertama oleh Puskesmas dilakukan melalui
pengoordinasian Sumber Daya Kesehatan di wilayah
kerja Puskesmas.
577 (2) Puskesmas melakukan pembinaan terhadap Fasilitas Usulan perubahan ayat (2):
Pelayanan Kesehatan tingkat pertama di wilayah Puskesmas melakukan koordinasi terhadap fasilitas
kerjanya serta mengintegrasikan program Puskesmas pelayanan kesehatan tingkat pertama diwilayah
dengan kegiatan Kesehatan oleh masyarakat. kerjanya serta mengintegrasikan program puskesmas
dengan kegiatan kesehatan oleh masyarakat

Catatan:
Pembinaan dari Dinkes TK II
Puskesmas merupakan fasyankes yang berfungsi
penyelenggaraan pelayanan kesehatan bukan
pembinaan fasyankes lain
578 Pasal 179
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
Puskesmas diatur dalam Peraturan Pemerintah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


579 Bagian Ketiga
Rumah Sakit

IKATAN APOTEKER INDONESIA


580 Pasal 180
(1) Rumah Sakit menyelenggarakan fungsi Pelayanan
Kesehatan perseorangan dalam bentuk spesialistik
dan/atau subspesialistik.
581 (2) Selain menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Rumah Sakit dapat menyelenggarakan fungsi
pendidikan dan penelitian di bidang Kesehatan.
582 (3) Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola
Rumah Sakit dan tata kelola klinis yang baik.
583 Pasal 181
(1) Rumah Sakit dapat diselenggarakan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, atau masyarakat.
584 (2) Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah Pusat
berbentuk unit pelaksana teknis atau instansi tertentu
dengan pola pengelolaan badan layanan umum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
585 (3) Rumah sakit yang didirikan oleh Pemerintah Daerah
berbentuk unit organisasi bersifat khusus yang
memberikan layanan secara profesional dengan pola
pengelolaan badan layanan umum daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
586 (4) Rumah Sakit yang didirikan oleh masyarakat harus
berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya
bergerak di bidang perumahsakitan.
587 (5) Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dikecualikan bagi Rumah Sakit yang diselenggarakan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


oleh badan hukum yang bersifat nirlaba.
588 Pasal 182 Usulan perubahan ayat (1):
(1) Struktur Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri Struktur Organisasi Rumah Sakit paling sedikit
atas: Kepala atau Direktur Rumah Sakit, unsur terdiri atas: Kepala atau Direktur Rumah Sakit,
pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang unsur pelayanan medis, unsur kefarmasian, unsur
medis dan nonmedis, komite medis/komite kesehatan, keperawatan, unsur penunjang medis dan
unsur riset, operasional dan teknologi informasi, nonmedis, komite medis/komite kesehatan, unsur
pemasaran, serta administrasi umum dan keuangan. riset, operasional dan teknologi informasi,
pemasaran, serta administrasi umum dan keuangan

Referensi: PP RI 47 th 2021 Tentang


Penyelenggaraan RS
589 (2) Kepala atau Direktur Rumah Sakit sebagaimana Usul: hanya tenaga Kesehatan yang memiliki
dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh: kompetensi manajemen RS
a. Tenaga Medis;
b. Tenaga Kesehatan; atau
c. profesional yang memiliki kompetensi manajemen
rumah sakit.
590 Pasal 183
(1) Rumah Sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit
pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar
Rumah Sakit pendidikan.
591 (2) Rumah Sakit pendidikan sebagaimana dimaksud pada Usul Perubahan ayat (2):
ayat (1) terdiri atas: dimasukkan untuk pendidikan Apoteker, Apoteker
a. Rumah Sakit yang bekerja sama dengan institusi Spesialis
pendidikan di bidang Kesehatan dalam
menyelenggarakan pendidikan dokter/dokter gigi, Catatan:

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dokter/dokter gigi spesialis, dan dokter/dokter gigi Untuk disiplin ilmu kesehatan lain apakah perlu
subspesialis; dan diusulkan? (Farmasi)
b. Rumah Sakit yang secara mandiri menyelenggarakan Pengembangan pendidikan apoteker spesialis
pendidikan profesi dokter/dokter gigi spesialis, dan (fellowship)
dokter/dokter gigi subspesialis.
592 (3) Untuk dapat menyelenggarakan secara mandiri
pendidikan profesi dokter/dokter gigi spesialis dan
dokter/dokter gigi subspesialis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf (b), Rumah Sakit Pendidikan telah
menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Akademik paling
sedikit 5 (lima) tahun sebagai Rumah Sakit Pendidikan
Utama.
593 (4) Untuk dapat membuka program pendidikan/training
profesi dokter/dokter gigi spesialis, dan dokter/dokter
gigi subspesialis, Rumah Sakit Pendidikan harus
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan akreditasi
tertinggi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan
594 (5) Ijazah pendidikan profesi dokter/dokter gigi spesialis,
dan dokter/dokter gigi subspesialis yang
diselenggarakan oleh Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh pimpinan
Rumah Sakit pendidikan dan rektor dari universitas
yang terafiliasi
595 (6) Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
Pendidikan/training profesi dokter/dokter gigi spesialis,
dan dokter/dokter gigi subspesialis dilakukan untuk

IKATAN APOTEKER INDONESIA


penjaminan mutu.
596 (7) Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh lembaga
akreditasi di bidang kedokteran.
597 (8) Rumah Sakit pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus mendapatkan izin dari Pemerintah Pusat
dan bekerja sama dengan kolegium.
598 (9) Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit pendidikan dapat
dibentuk jejaring Rumah Sakit Pendidikan negeri dan
swasta.
599 (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rumah Sakit
pendidikan, penyelenggaraan program pendidikan
dokter/dokter gigi, dokter/dokter gigi spesialis, dan
dokter/dokter gigi subspesialis, ijazah pendidikan,
monitoring dan evaluasi, dan jejaring Rumah Sakit
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (9) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
600 Pasal 184
(1) Rumah Sakit dalam menyelenggarakan fungsi penelitian
dapat membentuk pusat penelitian guna pengembangan
layanan Kesehatan.
601 (2) Dalam menyelenggarakan fungsi penelitian, rumah sakit
harus menyelenggarakan penelitian unggulan dan
translasional.
602 (3) Dalam menyelenggarakan penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), rumah sakit dapat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


melaksanakan pelayanan berbasis penelitian
603 (4) Dalam menyelenggarakan penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), rumah sakit dapat
melaksanakan pelayanan berbasis penelitian.
604 Pasal 185 Usul perubahan: di penjelasan pasal 185 b tentang
Rumah Sakit mempunyai kewajiban: standar pelayanan rumah sakit:
a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan
Rumah Sakit kepada masyarakat; Catatan:
b. memberi Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, Menambahkan standar pelayanan kefarmasian
antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan
kepentingan Pasien sesuai dengan standar pelayanan
Rumah Sakit;
c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada Pasien;
d. berperan aktif dalam memberikan Pelayanan Kesehatan
pada bencana;
e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat
tidak mampu atau miskin;
f. melaksanakan fungsi sosial bagi Kesehatan masyarakat;
g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu
Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan
dalam melayani Pasien;
h. menyelenggarakan rekam medis;
i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak,
antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu,
saranauntuk penyandang disabilitas, ibu menyusui,
anak-anak, dan lanjut usia;
j. merujuk Pasien jika tidak sesuai dengan kompetensi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


layanannya;
k. menolak keinginan Pasien yang bertentangan dengan
standar profesi dan etika serta peraturan
perundangundangan;
l. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai hak dan kewajiban Pasien;
m. menghormati dan melindungi hak-hak Pasien;
n. melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan
penanggulangan bencana;
p. melaksanakan program pemerintah di bidang Kesehatan,
baik secara regional maupun nasional;
q. membuat daftar Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
yang melakukan praktik;
r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah
Sakit (hospital by laws);
s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi
semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan
tugas; dan
t. memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit
sebagai kawasan tanpa r.
605 Pasal 186
Rumah Sakit mempunyai hak:
a. menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya
manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;
b. menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan
remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
mengembangkan pelayanan;
d. menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;
f. mendapatkan pelindungan hukum dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan; dan
g. mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah
Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
606 Pasal 187
(1) Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum
apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau
menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang
komprehensif.
607 (2) Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan
tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.
608 Pasal 188
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap
semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Rumah
Sakit.
609 Pasal 189
(1) Pembiayaan Rumah Sakit dapat bersumber dari
penerimaan Rumah Sakit, anggaran Pemerintah, subsidi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pemerintah, anggaran Pemerintah Daerah, subsidi
Pemerintah Daerah, atau sumber lain yang tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
610 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai subsidi atau bantuan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
611 Pasal 190
(1) Penetapan besaran tarif Rumah Sakit harus berdasarkan
pola tarif nasional dan pagu tarif maksimal.
612 (2) Menteri menetapkan pola tarif nasional berdasarkan
komponen biaya satuan pembiayaan dan dengan
memperhatikan kondisi regional.
613 (3) Gubernur menetapkan pagu tarif maksimal berdasarkan
pola tarif nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang berlaku untuk Rumah Sakit di Provinsi yang
bersangkutan.
614 Pasal 191
Pendapatan Rumah Sakit yang dikelola Pemerintah dan
Pemerintah Daerah digunakan seluruhnya secara langsung
untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat
dijadikan pendapatan negara atau Pemerintah Daerah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


615 Pasal 192
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
Rumah Sakit diatur dalam Peraturan Pemerintah.
616 BAB VII
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
617 Bagian Kesatu
Pengelompan dan Kualifikasi Sumber Daya Manusia
Kesehatan
618 Pasal 193 Usulan perubahan Pasal 193 ayat (1):
(1) Sumber Daya Manusia Kesehatan terdiri atas: Sumber Daya Manusia Kesehatan terdiri atas:
a. Tenaga Medis; a. Tenaga Kesehatan; dan
b. Tenaga Kesehatan; b. Tenaga pendukung atau penunjang kesehatan.
c. Tenaga Kesehatan Tradisional; dan
d. Tenaga pendukung atau penunjang kesehatan.
619 (2) Tenaga Medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dihapus
huruf a dikelompkan ke dalam:
a. dokter; dan
b. dokter gigi.
Usulan perubahan
(2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikelompkan ke dalam:
a. tenaga kedokteran.
b. tenaga kedokteran gigi
c. tenaga psikolog;
d. tenaga keperawatan;
e. tenaga kebidanan;
f. tenaga kefarmasian;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


g. tenaga kesehatan masyarakat;
h. tenaga kesehatan lingkungan;
i. tenaga gizi;
j. tenaga keterapian fisik;
k. tenaga keteknisian medis;
l. tenaga teknik biomedika; dan
m. tenaga Kesehatan tradisional.

Catatan:
Pengganti ayat (5) yang dihapus
620 (3) Jenis Tenaga Medis dokter sebagaimana dimaksud (3) Tenaga kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
pada ayat (2) huruf a terdiri atas dter, dter spesialis, huruf a terdiri atas dokter, dokter spesialis, dan dokter
dan dter subspesialis. subspesialis

Catatan:
Menyesuaikan dengan nomenklature kelomp pada ayat (2)
621 (4) Jenis Tenaga Medis dokter gigi sebagaimana (4) Tenaga kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada
dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas dokter ayat (2) huruf b terdiri atas dokter gigi, dan dokter gigi
gigi, dokter gigi spesialis, dan dokter gigi spesialis, dan dokter gigi subspesialis
subspesialis.
Catatan:
Menyesuaikan dengan nomenklature kelomp pada ayat (2)
622 (5) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat Dihapus
(1) huruf b dikelompkan ke dalam:
a. tenaga psikolog; Catatan:
b. tenaga keperawatan; Diganti dengan ayat (2)
c. tenaga kebidanan;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


d. tenaga kefarmasian;
e. Tenaga Kesehatan masyarakat;
f. Tenaga Kesehatan lingkungan;
g. tenaga gizi;
h. tenaga keterapian fisik;
i. tenaga keteknisian medis; dan
j. tenaga teknik biomedika.
623 (6) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam (5) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelomp
kelomp tenaga psikolog sebagaimana dimaksud pada tenaga psikolog sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ayat (5) huruf a terdiri atas psikolog umum, psikolog huruf c terdiri atas psikolog umum, psikolog spesialis,
spesialis, dan psikolog subspesialis. dan psikolog subspesialis.
624 (7) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam (6) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelomp
kelomp tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat
pada ayat (5) huruf b terdiri atas perawat vasi, (2) huruf d terdiri atas perawat vasi, perawat profesi, dan
perawat profesi, dan perawat spesialis. perawat spesialis.
625 (8) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam (7) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelomp
kelomp tenaga kebidanan sebagaimana dimaksud tenaga kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
pada ayat (5) huruf c terdiri atas bidan vokasi dan huruf e terdiri atas bidan vokasi dan bidan profesi.
bidan profesi.
626 (9) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam (7) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam
kelompok tenaga kefarmasian sebagaimana kelomp tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud
dimaksud pada ayat (5) huruf d terdiri atas pada ayat (2) huruf f terdiri atas tenaga teknis
apoteker, apoteker spesialis, dan tenaga kefarmasian (farmasi vasi), apoteker, dan apoteker
teknis kefarmasian. spesialis.
Catatan:
Tata kalimat dan kualifikasinya disesuaikan dengan Nakes
yang lain, dan subjenisnya diatur lebih lanjut dalam PP

IKATAN APOTEKER INDONESIA


sesuai ketentuan pada Ayat (19)
627 (10) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam (9) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelomp
kelomp Tenaga Kesehatan masyarakat sebagaimana Tenaga Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud
dimaksud pada ayat (5) huruf e antara lain pada ayat (2) huruf g antara lain epidemiolog kesehatan,
tenaga promotor kesehatan, pembimbing kesehatan
epidemiolog kesehatan, tenaga promotor kesehatan,
kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan,
pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi tenaga biostatistika dan kependudukan, tenaga
dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistika dan kesehatan reproduksi dan keluarga, serta ahli kesehatan
kependudukan, tenaga kesehatan reproduksi dan masyarakat.
keluarga, serta ahli kesehatan masyarakat.
628 (11) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk (10) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelomp
dalam kelomp Tenaga Kesehatan lingkungan Tenaga Kesehatan Lingkungan sebagaimana dimaksud
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf f pada ayat (2) huruf h antara lain tenaga sanitasi
antara lain tenaga sanitasi lingkungan, lingkungan, entomolog kesehatan, dan
entomolog kesehatan, dan mikrobiolog mikrobiolog kesehatan.
kesehatan.
Catatan:
Belum ada kualifikasi keahliannya
629 (12) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam (11) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelomp
kelomp tenaga gizi sebagaimana dimaksud pada tenaga gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf i
ayat (5) huruf g antara lain nutrisionis dan antara lain nutrisionis dan dietisien.
dietisien.
630 (13) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam (12) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelomp
kelomp tenaga keterapian fisik sebagaimana tenaga keterapian fisik sebagaimana dimaksud pada
dimaksud pada ayat (5) huruf h antara lain ayat (2) huruf j antara lain fisioterapis, upasi terapis,
fisioterapis, upasi terapis, terapis wicara, dan terapis wicara, dan akupunktur.
akupunktur.
631 (14) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam (13) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelomp

IKATAN APOTEKER INDONESIA


kelomp tenaga keteknisian medis sebagaimana tenaga keteknisian medis sebagaimana dimaksud pada
dimaksud pada ayat (5) huruf i antara lain perekam ayat (2) huruf k antara lain perekam medis dan
medis dan informasi Kesehatan, teknisi informasi Kesehatan, teknisi kardiovaskuler, teknisi
kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, pelayanan darah, optometris, teknisi gigi, penata
optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi anestesi, terapis gigi dan mulut, dan audiologis.
dan mulut, dan audiologis.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


632 (15) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam (14) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelomp
kelomp tenaga teknik biomedika sebagaimana tenaga teknik biomedika sebagaimana dimaksud pada ayat
dimaksud pada ayat (5) huruf j antara lain (2) huruf l antara lain radiografer, elektromedis, ahli
radiografer, elektromedis, ahli teknologi teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, dan ortotik
laboratorium medik, fisikawan medik, dan ortotik prostetik.
prostetik.
633 (16) Tenaga Kesehatan tradisional sebagaimana (15) Jenis Tenaga Kesehatan tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c antara lain Tenaga dimaksud pada ayat (2) huruf m antara lain Tenaga
Kesehatan tradisional ramuan atau jamu, Tenaga Kesehatan tradisional ramuan atau jamu dan tenaga
Kesehatan tradisional, dan pengobat bahan alam. kesehatan keterampilan.
634 (17) Tenaga penunjang atau pendukung kesehatan (16) Tenaga penunjang atau pendukung kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d antara lain
antara lain tenaga administrasi, tenaga keuangan, tenaga administrasi, tenaga keuangan, petugas
petugas pemulasaran jenazah, dan supir ambulan. pemulasaran jenazah, dan supir ambulan.
635 (18) Tenaga penunjang atau pendukung kesehatan (17) Tenaga penunjang atau pendukung kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (17) bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (16) bekerja pada
pada fasilitas pelayanan Kesehatan atau institusi fasilitas pelayanan Kesehatan atau institusi lain di bidang
lain di bidang Kesehatan. Kesehatan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


636 (19) Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi setiap
jenis Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, Tenaga (18) Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi setiap jenis
Kesehatan Tradisional, dan tenaga penunjang atau Tenaga Kesehatan dan tenaga penunjang atau pendukung
pendukung kesehatan sebagaimana dimaksud kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
pada ayat (1) sampai dengan ayat (18) diatur dengan ayat (17) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
dalam Peraturan Pemerintah.
637 Pasal 194 Usulan perubahan Pasal 194 ayat (1)
(1) Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan (1) Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan
dan teknologi di bidang Kesehatan serta kebutuhan teknologi di bidang Kesehatan serta kebutuhan Pelayanan
Pelayanan Kesehatan, Menteri dapat menetapkan: Kesehatan, Menteri dapat menetapkan: jenis Tenaga
e. jenis Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, atau Kesehatan baru, dalam setiap kelomp sebagaimana
Tenaga Kesehatan Tradisional baru dalam setiap dimaksud dalam Pasal 183; dan
kelomp sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183;
dan
f. kelomp Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, atau
Tenaga Kesehatan Tradisional baru.
638 (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus terlebih dahulu dilakukan kajian bersama
dengan konsil, Organisasi Profesi, dan kolegium
dengan mempertimbangkan kebutuhan Pelayanan
Kesehatan di masyarakat dan pemenuhan
kompetensi Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


639 Pasal 195
(1) Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada Pasal 193
ayat (1) huruf a harus memiliki kualifikasi pendidikan
paling rendah pendidikan profesi dokter atau pendidikan
profesi dokter gigi.
640 (2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada Pasal
193 ayat (1) huruf b harus memiliki kualifikasi
pendidikan paling rendah diploma.
641 (3) Tenaga Kesehatan Tradisional sebagaimana
dimaksud pada Pasal 193 ayat (1) huruf c
harus memiliki kualifikasi pendidikan paling
rendah diploma atau keterampilan kesehatan
tradisional yang teruji secara ilmiah
642 Pasal 196
Ketentuan mengenai registrasi dan izin layanan psikolog,
pendidikan dan sertifikasi profesi tenaga psikolog, serta
organisasi himpunan profesi psikologi dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
pendidikan dan layanan psikologi.
643 Bagian Kedua Perencanaan Tenaga medis dihapus
Pasal 197
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban
memenuhi kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
terkait jumlah, jenis, kompetensi, dan distribusi secara
merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan
Kesehatan.
644 Pasal 198 Tenaga medis dihapus

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(1) Menteri menetapkan kebijakan dan menyusun
perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam
rangka memenuhi kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan secara nasional.
645 (2) Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Tenaga medis dihapus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara
berjenjang dimulai dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah
provinsi, sampai dengan Menteri secara nasional dengan
berdasarkan ketersediaan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan serta kebutuhan penyelenggaraan
pembangunan dan Upaya Kesehatan.
646 (3) Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Tenaga medis dihapus
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan terhadap Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan yang melaksanakan pekerjaan
keprofesian sesuai dengan kompetensi dan
kewenangannya yang bekerja di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan atau unit kerja milik
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau
masyarakat.
647 (4) Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Tenaga medis dihapus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan kerja sama dan sinergisme
antarpemangku kepentingan dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi.
648 Pasal 199 Tenaga medis dihapus

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyusun
perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus
memperhatikan:
a. jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
b. penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
c. ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
d. kemampuan pembiayaan;
e. kondisi geografis dan sosial budaya; dan
f. tipologi/jenis penyakit di daerah atau kebutuhan
masyarakat.
649 Pasal 200 Tenaga medis dihapus
Kebijakan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 197 menjadi pedoman bagi setiap institusi pengguna
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, baik Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, maupun swasta dalam
pemenuhan dan pengelolaan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan.
650 Pasal 201 Tenaga medis dihapus
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
651 Bagian Ketiga Tenaga medis dihapus
Pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


652 Pasal 202 Tenaga medis dihapus
(1) Pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan
pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan.
653 (2) Pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Tenaga medis dihapus
dilakukan melalui pendidikan tinggi dengan
memperhatikan:
a. ketersediaan dan persebaran institusi
pendidikan dan/atau program studi pendidikan
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan pada
setiap wilayah;
b. keseimbangan antara kebutuhan
penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan/atau
dinamika kesempatan kerja di dalam dan di luar
negeri;
c. keseimbangan antara kemampuan produksi
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dan
sumber daya yang tersedia;
d. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
dan
e. prioritas pembangunan dan pelayanan
Kesehatan.
654 (3) Pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat
dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


655 Pasal 203 Tenaga medis dihapus
(1) Pendidikan tinggi dalam rangka pengadaan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 201 diselenggarakan
setelah mendapatkan izin yang diterbitkan oleh
menteri yang menyelenggarakan tugas
pemerintahan di bidang pendidikan tinggi.
656 (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah mendapatkan rekomendasi
Menteri.
657 (3) Pembinaan teknis pendidikan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
658 (4) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) merupakan pembinaan teknis keprofesian
untuk mencapai Standar Profesi atau standar
kompetensi.
659 (5) Pembinaan akademik pendidikan tinggi Penjelasan Ayat (4)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Yang dimaksud dengan "pembinaan akademik" antara lain
oleh menteri yang menyelenggarakan tugas berupa pemberian izin penyelenggaraan, kurikulum, sistem
pemerintahan di bidang pendidikan tinggi. penjaminan mutu internal, dan akreditasi unit pengelola
program studi.

Catatan:
Untuk pemastian mutu pengelolaan setiap PT Kesehatan
660 Pasal 204 (1) Pendidikan profesi bidang kesehatan sebagai bagian
(1) Pendidikan profesi bidang kesehatan sebagai dari Pendidikan tinggi dapat diselenggarakan oleh
bagian dari pendidikan tinggi dapat perguruan tinggi dan berkoordinasi dengan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


diselenggarakan oleh perguruan tinggi dan bekerja kementerian yang menyelenggarakan tugas
sama dengan kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi,
tugas pemerintahan di bidang pendidikan tinggi, kementerian yang menyelenggarakan urusan
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, organisasi profesi
pemerintahan di bidang kesehatan, kolegium, terkait, dan/atau pihak lain sesuai dengan ketentuan
dan/atau pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
peraturan perundang-undangan. Catatan:
Bentuk Kerjasama beberda dengan koordinasi serta peran
OP masih strategis untuk membantu tugas pemerintah
661 (2) Selain diselenggarakan oleh perguruan tinggi (2) Selain diselenggarakan oleh perguruan tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendidikan profesi
profesi bidang kesehatan juga dapat bidang kesehatan juga dapat diselenggarakan oleh
diselenggarakan oleh Rumah Sakit pendidikan Rumah Sakit pendidikan bekerja sama dengan perguruan
yang bekerja sama dengan perguruan tinggi, tinggi, dan berkoordinasi dengan kementerian yang
kementerian yang menyelenggarakan tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang
pemerintahan di bidang pendidikan tinggi, pendidikan tinggi, kementerian yang menyelenggarakan
kementerian yang menyelenggarakan urusan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, organisasi
pemerintahan di bidang kesehatan serta kolegium, profesi terkait, dan/atau pihak lain yang terkait sesuai
dan/atau pihak lain yang terkait sesuai dengan dengan kebutuhan.
kebutuhan.
662 (3) Penyelenggaraan pendidikan profesi bidang
kesehatan oleh Rumah Sakit pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
setelah mendapatkan izin dari Menteri setelah
berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang
pendidikan tinggi.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


663 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pendidikan profesi bidang kesehatan yang
diselenggarakan oleh Rumah Sakit pendidikan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Usul penambahan Pasal baru
Pasal 204a
(1) Program spesialis merupakan pendidikan keahlian
lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan bagi
lulusan program profesi yang telah berpengalaman
sebagai profesional untuk mengembangkan bakat dan
kemampuannya menjadi spesialis.
(2) Program spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja
sama dengan kementerian yang menyelenggarakan tugas
pemerintahan di bidang pendidikan tinggi, kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan, organisasi profesi terkait.
(3) Program spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meningkatkan kemampuan spesialisasi dalam cabang
ilmu tertentu.

Catatan:
Belum ada Pasal tersendiri terkait Program spesialis

IKATAN APOTEKER INDONESIA


664 Pasal 205 Tenaga medis dihapus
Dalam penyusunan kurikulum pendidikan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan, penyelenggara
pendidikan tinggi harus mengacu pada standar
nasional pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh
menteri yang menyelenggarakan tugas pemerintahan
di bidang pendidikan tinggi.
665 Pasal 206 Tenaga medis dihapus
(1) Penyelenggaraan pendidikan tinggi harus
memenuhi standar nasional pendidikan Tenaga
Medis atau Tenaga Kesehatan.
666 (2) Standar nasional pendidikan Tenaga Medis atau Tenaga medis dihapus
Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada standar nasional
pendidikan tinggi.
667 (3) Standar nasional pendidikan Tenaga Medis atau Usulan perubahan ayat (3):
Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada Standar nasional pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana
ayat (2) disusun bersama oleh menteri yang dimaksud pada ayat (2) disusun secara bersama oleh
menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
pendidikan tinggi, Menteri, dan kolegium masing- bidang kesehatan, kementerian yang menyelenggarakan
masing Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan. urusan pemerintahan di bidang pendidikan, asosiasi institusi
pendidikan, dan organisasi profesi

Catatan:
Kolegium merupakan organ dibawah Organisasi Profesi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


668 (4) Kolegium setiap Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Yang dimaksud dengan kolegium masing-masing tenaga
bertugas untuk mengembangkan dan mengampu pendidikan adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi
suatu cabang disiplin ilmu kesehatan. untuk setiap cabang disiplin ilmu pendidika yang bertugas
mengampu dan meningkatkan mutu pendidikan cabang disiplin
ilmu tersebut.

Catatan:
Tenaga medis dihapus
669 (5) Standar nasional pendidikan Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh pendidikan yang
menyelenggarakan tugas pemerintahan di
bidang pendidikan tinggi setelah
berkoordinasi dengan Menteri.
670 Pasal 207
(1) Dalam rangka penjaminan mutu lulusan,
penyelenggara Pendidikan tinggi hanya dapat
menerima mahasiswa sesuai dengan kuota
nasional.
671 (2) Kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat Tenaga medis dihapus
(1) harus memperhatikan kebutuhan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan dalam Pelayanan
Kesehatan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


672 (3) Kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dalam Pelayanan Kesehatan sebagaimana Tenaga medis dihapus
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
673 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kuota nasional
penerimaan mahasiswa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan
menteri yang menyelenggarakan tugas
pemerintahan di bidang pendidikan tinggi setelah
berkoordinasi dengan Menteri.
674 Pasal 208 (1) Mahasiswa pendidikan vokasi tenaga kesehatan dan
(1) Mahasiswa pendidikan vokasi dan pendidikan pendidikan profesi Tenaga Kesehatan harus mengikuti Uji
profesi Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan Kompetensi secara nasional.
harus mengikuti Uji Kompetensi secara nasional
setelah dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah
profesi.
675 (2) Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(1) diselenggarakan oleh institusi pendidikan diselenggarakan oleh institusi pendidikan Tenaga Kesehatan
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan bekerja bekerja sama dengan Organisasi Profesi.
sama dengan Kolegium.
676 (3) Uji kompetensi sebagaimana dimaksud (3) Mahasiswa pendidikan vokasi tenaga kesehatan dan
pada ayat (2) ditujukan untuk mencapai pendidikan profesi Tenaga Kesehatan yang lulus uji
standar kompetensi Tenaga Medis atau kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh
Tenaga Kesehatan. sertifikat kompetensi.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


677 (4) Pencapaian standar kompetensi Tenaga Medis (4) Pencapaian standar kompetensi Tenaga Kesehatan
atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam
pada ayat (3) diberikan dalam bentuk sertifikat bentuk sertifikat kompetensi yang diterbikan oleh
kompetensi dari Kolegium yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerjasama dengan organisasi
Pemerintah Pusat. profesi.
678 (5) Mahasiswa pendidikan vokasi dan pendidikan (5) Mahasiswa pendidikan vokasi tenaga kesehatan dan
profesi Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang pendidikan profesi tenaga kesehatan yang tidak lulus
tidak lulus dalam uji kompetensi sebagaimana dalam uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
dimaksud pada ayat (3) hanya diberi ijazah profesi. (3) tidak mendapatkan ijazah vokasi /ijazah profesi
679 (6) Mahasiswa Pendidikan vokasi dan Ayat (6) dihapus
Pendidikan profesi Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan yang tidak lulus uji Catatan:
kompetensi sebagaimana dimaksud pada Agar tidak tumpang tindih karena sudah diatur pada ayat (1)
ayat (5) dapat mengikuti uji kompetensi dam ayat (3)
ulang yang diselenggarakan oleh Kolegium
dengan pembiayaan dari Pemerintah Pusat.
680 (7) Dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah (6) Dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah Tenaga
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dinyatakan Kesehatan dinyatakan tidak lulus dalam uji kompetensi
tidak lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (5), sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
Pemerintah Pusat memberikan pendampingan dan memberikan pendampingan dan dukungan kepada
dukungan kepada Kolegium dalam melaksanakan Organisasi Profesi dalam melaksanakan bimbingan uji
bimbingan uji kompetensi bagi Tenaga Medis atau kompetensi.
Tenaga Kesehatan.
681 (8) Standar kompetensi Tenaga Medis atau Tenaga (7) Standar kompetensi Tenaga Kesehatan sebagaimana
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh masing-masing
ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia Organisasi Profesinya.
untuk Tenaga Medis atau Konsil Tenaga

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Kesehatan Indonesia untuk Tenaga Kesehatan. Catatan:
Organisasi Profesi memiliki tanggungjaawab dalam membina
dan mengembangkan kompetensi profesinya.
682 (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan uji kompetensi diatur dengan
peraturan pemerintah.
683 Pasal 209 Tenaga medis dihapus
(1) Dalam rangka percepatan pengadaan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat dapat
memberikan bantuan pendanaan pendidikan
dengan kewajiban Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan melaksanakan masa pengabdian pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk
setelah menyelesaikan pendidikan.
684 (2) Selain bantuan pendanaan pendidikan untuk
tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dalam rangka peningkatan kualifikasi
pendidikan, Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan masyarakat dapat memberikan
bantuan pendanaan pendidikan kepada tenaga
penunjang Kesehatan dengan kewajiban
melaksanakan masa pengabdian.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


685 (3) Bantuan pendanaan pendidikan sebagaimana Tenaga medis dihapus
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pendanaan afirmasi Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan;
b. bantuan pendidikan spesialis-subspesialis;
c. pendanaan sebagian (partial funding); dan d.
bantuan pendanaan pendidikan lainnya.
686 (4) Masa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat Tenaga medis dihapus
(1) dilakukan untuk jangka waktu tertentu dalam
rangka pemenuhan kebutuhan Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan.
687 (5) Masa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diperhitungkan sebagai masa kerja.
688 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan pendanaan
pendidikan dan masa pengabdian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
689 Pasal 210
(1) Dalam hal jumlah dan distribusi Tenaga Kesehatan
masih kurang atau sudah melebihi kebutuhan
berdasarkan perencanaan nasional, Menteri
memberikan rekomendasi penyesuaian laju
pengadaan Tenaga Kesehatan untuk ditindaklanjuti
oleh menteri yang memiliki tugas pemerintahan di
bidang pendidikan tinggi.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


690 (2) Rekomendasi penyesuaian laju pengadaan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a.
pengurangan atau penambahan kuota penerimaan
mahasiswa baru; b. moratorium atau pembukaan
moratorium program studi; dan c. penutupan atau
pembukaan program studi.
691 Pasal 211 Tenaga medis dihapus
Dalam rangka mempercepat pengadaan Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan, memberikan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan selain yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi, memberikan kepastian
hukum bagi lulusan pendidikan tinggi bidang kesehatan yang
diselenggarakan oleh institusi penyelenggara pendidikan
kesehatan selain perguruan tinggi, dan memberikan kepastian
hukum dan kemudahan dalam pembukaan program studi profesi
dan spesialis oleh institusi penyelenggara pendidikan kesehatan
selain perguruan tinggi bagi Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus,
dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan
yang diatur dalam:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301); dan
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Nomor 5336).

IKATAN APOTEKER INDONESIA


692 Pasal 212
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) diubah
sebagai berikut:
693 1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
694 Pasal 19
(1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan dtor yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi dan/atau institusi
penyelenggara pendidikan profesi tertentu.
695 (1) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
696 2. Di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat yakni
ayat (3a) dan ayat (4) Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20
berbunyi sebagai berikut:
697 Pasal 20
(1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut, atau universitas.
698 (2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
699 (3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program
akademik, profesi, dan/atau vasi.
700 (3a) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program
akademik, profesi, dan/atau vasi.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Catatan:
Pasal 20 Ayat (3a)
Jangan hanya terbatas pada profesi dokter, dimana
dapat diselenggarakan oleh RS Pendidikan, perlu
dipikirkan untuk profesi apoteker, keperawatan dan
profesi kesehatan lainnya.
701 (4) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (3a) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
702 3. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga Pasal 21 berbunyi
sebagai berikut:
703 Pasal 21
(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan
dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan
tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sesuai dengan program pendidikan yang
diselenggarakannya.
704 (2) Selain perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemberian gelar profesi dapat diberikan oleh institusi
penyelenggara pendidikan profesi tertentu.
705 (3) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan
yang:
a. bukan merupakan perguruan tinggi dilarang memberikan
gelar akademik, profesi, atau vasi; dan
b. bukan merupakan institusi penyelenggara pendidikan
profesi tertentu dilarang memberikan gelar profesi.
706 (4) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh

IKATAN APOTEKER INDONESIA


lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak
memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
707 (5) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
gelar profesi juga dapat digunakan oleh lulusan dari
institusi penyelenggara Pendidikan profesi tertentu yang
dinyatakan berhak memberikan gelar profesi.
708 (6) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) hanya
dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari
penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
709 (7) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi
persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi atau
institusi penyelenggara pendidikan profesi tertentu yang
melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi administratif berupa penutupan
penyelenggaraan pendidikan.
710 (8) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh
penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan tidak sah.
711 (9) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(8) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
712 1. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 25 diubah sehingga
Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

IKATAN APOTEKER INDONESIA


713 Pasal 25
(1) Perguruan tinggi dan institusi penyelenggara
pendidikan profesi tertentu menetapkan persyaratan
kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi,
atau vasi.
714 (2) Lulusan perguruan tinggi dan institusi penyelenggara
pendidikan profesi tertentu yang karya ilmiahnya
digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi,
atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut
gelarnya.
715 (3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan
pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
716 5. Ketentuan ayat (6) Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50
berbunyi sebagai berikut:
717 Pasal 50
(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan
tanggung jawab Menteri dan menteri lain yang
menyelenggarakan Pendidikan.
718 (2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan
standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional.
719 (3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


bertaraf internasional.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(4) Pemerintah Daerah provinsi melakukan koordinasi
atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan
tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas
720
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah
kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan
menengah.
(5) Pemerintah Daerah provinsi melakukan koordinasi
atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan
tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas
721
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah
kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan
menengah.
(6) Pemerintah Daerah provinsi melakukan koordinasi
atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan
tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas
722
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah
kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan
menengah.
(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
723
(3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


6. Diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 53 disisipkan 1 (satu)
724 ayat yakni ayat (1a), sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
725
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum Pendidikan.
(1a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
726 ayat (1) bagi institusi penyelenggara Pendidikan profesi
tertentu.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada
727 ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan
kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada
728 ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur
729
dengan Undang-Undang tersendiri.
Pasal 213
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik
730
Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5336) diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan angka 2 diubah dan diantara angka 8 dan
731 angka 9 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 8a,
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
732 agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
2. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program diploma,
program sarjana, program magister, program dtor, dan
733 program profesi, serta program spesialis, yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi atau institusi
penyelenggara pendidikan profesi tertentu berdasarkan
kebudayaan bangsa Indonesia.
3. Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang
digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis
734 dengan menggunakan pendekatan tertentu, yang dilandasi
oleh metodologi ilmiah untuk menerangkan gejala alam
dan/atau kemasyarakatan tertentu.
4. Teknologi adalah penerapan dan pemanfaatan berbagai
cabang Ilmu Pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi
735
pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup, serta
peningkatan mutu kehidupan manusia.
5. Humaniora adalah disiplin akademik yang mengkaji nilai
736
intrinsik kemanusiaan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


6. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang
737
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi.
7. Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat PTN
738 adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau
diselenggarakan oleh Pemerintah.
8. Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat PTS
739 adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau
diselenggarakan oleh masyarakat.
8a. Institusi Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu adalah
740 rumah sakit pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan profesi spesialis dan yang lebih tinggi.
9. Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut
Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk
741
menyelenggarakan Pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat.
10. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut
kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk
742 memperoleh informasi, data, dan keterangan yang
berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian suatu
cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
11. Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas
akademika yang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan
743
Teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat
dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
12. Pembelajaran adalah proses interaksi mahasiswa dengan
744
dosen dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
745 13. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik yang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


terdiri atas dosen dan mahasiswa.
14. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan
tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
746 menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
melalui Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada
Masyarakat.
15. Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan
747
Tinggi.
16. Masyarakat adalah kelomp warga negara Indonesia
748 nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan
dalam bidang Pendidikan Tinggi.
17. Program Studi adalah kesatuan kegiatan Pendidikan dan
pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode
749
pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan
akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vasi.
18. Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan
standar yang meliputi standar nasional pendidikan,
750
ditambah dengan standar penelitian, dan standar
pengabdian kepada masyarakat.
19. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
751 kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
752 walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


21. Kementerian adalah perangkat pemerintah yang
753
membidangi urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
22. Kementerian lain adalah perangkat pemerintah yang
754 membidangi urusan pemerintahan di luar bidang
pendidikan.
23. Lembaga selanjutnya Pemerintah disingkat
755 Nonkementerian yang LPNK adalah lembaga Pemerintah
Pusat yang melaksanakan tugas pemerintahan tertentu.
24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
756
pemerintahan di bidang pendidikan.
2. Ketentuan ayat (3) huruf e diubah dan diantara ayat (4)
757 dan ayat (5) Pasal 7 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4a),
sehingga pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
758 (1) Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi.
(2) Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
759
pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan
evaluasi serta pembinaan dan koordinasi.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


760 (3) Tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi meliputi:
b. kebijakan umum dalam pengembangan dan
koordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan
tujuan Pendidikan Tinggi;
c. penetapan kebijakan umum nasional dan
penyusunan rencana pengembangan jangka
panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan
Tinggi yang berkelanjutan;
d. peningkatan penjaminan mutu, relevansi,
keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan,
dan akses Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan;
e. pemantapan dan peningkatan kapasitas
pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber
daya Perguruan Tinggi;
f. pemberian dan pencabutan izin yang berkaitan
dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi kecuali
pendidikan tinggi keagamaan dan Pendidikan
Tinggi bidang kesehatan yang diselenggarakan
oleh Institusi Penyelenggara Pendidikan Tertentu;
g. kebijakan umum dalam penghimpunan dan
pendayagunaan seluruh potensi masyarakat
untuk mengembangkan Pendidikan Tinggi;
h. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau
konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk
merumuskan kebijakan pengembangan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pendidikan Tinggi; dan
i. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau
konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk
merumuskan kebijakan pengembangan
Pendidikan Tinggi; dan
761 (4) Dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi
keagamaan, tanggung jawab, tugas, dan wewenang
dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama.
762 (4a) Dalam hal penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
bidang kesehatan oleh Institusi Penyelenggara
Pendidikan Profesi Tertentu, tanggung jawab, tugas
dan wewenang dilaksanakan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan berkoordinasi dengan Menteri.
763 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab
Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas dan
wewenang Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
764 3. Diantara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 24 disisipkan 1
(satu) ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 24
berbunyi sebagai berikut:
765 Pasal 24
(1) Program profesi merupakan pendidikan keahlian
khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program
sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dan kemampuan memperoleh kecakapan yang
diperlukan dalam dunia kerja.
766 (2) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang
bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain,
LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung
jawab atas mutu layanan profesi.
767 (2a) Selain diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyelenggaraan program profesi dapat
diselenggarakan oleh Institusi Penyelenggara
Pendidikan Profesi Tertentu dan dapat bekerja sama
dengan Perguruan Tinggi, kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan, Kementerian, dan/atau pihak lain
sesuai dengan kebutuhan.
767 (3) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menyiapkan profesional
768 (4) Program profesi wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program
profesi dan/atau lulusan program magister atau
yang sederajat dengan pengalaman kerja paling
singkat 2 (dua) tahun.
769 (5) Lulusan program profesi berhak menggunakan gelar
profesi.
770 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program profesi
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


771 4. Diantara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 25 disisipkan 1
(satu) ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 25
berbunyi sebagai berikut:
772 Pasal 25
(1) Program spesialis merupakan pendidikan keahlian
lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan
bagi lulusan program profesi yang telah
berpengalaman sebagai profesional untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya menjadi
spesialis.
773 (2) Program spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain,
LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung
jawab atas mutu layanan profesi.
774 (2a) Selain diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyelenggaraan program spesialis dapat
diselenggarakan oleh Institusi Penyelenggara
Pendidikan Profesi Tertentu dan dapat bekerja sama
dengan Perguruan Tinggi, kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan, Kementerian, dan/atau pihak lain sesuai
dengan kebutuhan.
775 (3) Program spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meningkatkan kemampuan spesialisasi dalam
cabang ilmu tertentu.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


776 (4) Program spesialis wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program
spesialis dan/atau lulusan program dtor atau yang
sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat 2
(dua) tahun.
777 (5) Lulusan program spesialis berhak menggunakan
gelar spesialis.
778 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program spesialis
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
779 5. Ketentuan ayat (6) Pasal 26 diubah, sehingga Pasal
26 berbunyi sebagai berikut:
780 Pasal 26
(1) Gelar akademik diberikan oleh Perguruan Tinggi
yang menyelenggarakan pendidikan akademik.
781 (2) Gelar akademik terdiri atas:
a. sarjana;
b. magister; dan
c. dtor.
782 (3) Gelar vokasi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan vasi.
783 (4) Gelar vokasi terdiri atas:
a. ahli pratama;
b. ahli muda;
c. ahli madya;
d. sarjana terapan;
e. magister terapan; dan
f. dtor terapan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


784 (5) Gelar profesi diberikan oleh Perguruan Tinggi atau
Institusi Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu
yang menyelenggarakan pendidikan profesi.
785 (6) Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan oleh Perguruan Tinggi atau Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu bersama
dengan Kementerian, Kementerian Lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab
terhadap mutu layanan profesi.
786 (7) Gelar profesi terdiri atas:
a. profesi; dan
b. spesialis.
787 (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar akademik,
gelar vasi, atau gelar profesi diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
788 6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
789 Pasal 28
(1) Gelar akademik, gelar vasi, atau gelar profesi hanya
digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang
dinyatakan berhak memberikan gelar akademik,
gelar vasi, atau gelar profesi.
790 (2) Selain perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pemberian gelar profesi dapat diberikan oleh
institusi penyelenggara pendidikan profesi tertentu.
791 (3) Gelar akademik, gelar vasi, atau gelar profesi hanya
dibenarkan dalam bentuk dan inisial atau singkatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


yang diterima dari Perguruan Tinggi atau institusi
penyelenggara pendidikan profesi tertentu.
792 (4) Gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak
sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan
oleh:
a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang
tidak terakreditasi; dan/atau
b. perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak mengeluarkan
gelar akademik dan gelar vasi.
793 (5) Gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh
Menteri apabila dikeluarkan oleh:
a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang
tidak terakreditasi;
b. bukan penyelenggara Pendidikan profesi tertentu;
dan/atau
c. perseorangan, organisasi, atau lembaga lain yang
tanpa hak mengeluarkan gelar profesi.
794 (6) Gelar akademik dan/atau gelar vokasi dinyatakan
tidak sah dan dicabut oleh Perguruan Tinggi apabila
karya ilmiah yang digunakan untuk memperoleh
gelar akademik dan/atau gelar vokasi terbukti
merupakan hasil jiplakan atau plagiat, atau
dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Perguruan
Tinggi atau institusi penyelenggara pendidikan
profesi tertentu apabila gelar profesi terbukti
merupakan hasil jiplakan atau plagiat.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


795 (7) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang
memberikan gelar akademik, gelar vasi, atau gelar
profesi.
796 (8) Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan
gelar akademik, gelar vasi, dan/atau gelar profesi.
797 7. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
798 Pasal 33
(1) Program pendidikan dilaksanakan melalui Program
Studi.
799 (2) Program Studi memiliki kurikulum dan metode
pembelajaran sesuai dengan program Pendidikan.
800 (3) Program Studi diselenggarakan atas izin Menteri
dan/atau menteri lain yang menyelenggarakan
Pendidikan setelah memenuhi persyaratan minimum
akreditasi.
801 (4) Program Studi dikelola oleh suatu satuan unit
pengelola yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi
atau institusi penyelenggara Pendidikan profesi
tertentu.
802 (5) Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendapatkan akreditasi pada saat memperoleh izin
penyelenggaraan.
803 (6) Program Studi wajib diakreditasi ulang pada saat
jangka waktu akreditasinya berakhir.
804 (7) Program Studi yang tidak diakreditasi ulang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dicabut
izinnya oleh Menteri dan/atau menteri lain yang
menyelenggarakan Pendidikan.
805 (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode
pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemberian izin Program Studi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dan pencabutan izin
Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
diatur dalam Peraturan Menteri atau dan peraturan
menteri lain yang menyelenggarakan pendidikan
profesi tertentu.
806 8. Diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 34 disisipkan 1
(satu) ayat yakni ayat (1a) dan ditambahkan 1 (satu)
ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 34 berbunyi
sebagai berikut:
807 Pasal 34
(1) Program Studi diselenggarakan di kampus utama
Perguruan Tinggi, dan/atau dapat diselenggarakan
di luar kampus utama dalam suatu provinsi atau di
provinsi lain melalui kerja sama dengan Perguruan
Tinggi setempat.
808 (1a) Dalam hal Program Studi dilaksanakan oleh Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu
diselenggarakan di rumah sakit Pendidikan.
809 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
Program Studi di kampus utama Perguruan Tinggi
dan/atau di luar kampus utama sebagaimana

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri
810 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
Program Studi di Institusi Penyelenggara Pendidikan
Profesi Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1a) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
811 9. Ketentuan ayat (1) Pasal 43 diubah, sehingga Pasal
43 berbunyi sebagai berikut:
812 Pasal 43
(1) Sertifikat profesi merupakan pengakuan untuk
melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan
pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi atau Institusi Penyelenggara
Pendidikan Profesi Tertentu bekerja sama dengan
Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau
organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu
layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
813 (2) Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi atau Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu.
814 (3) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang
memberikan sertifikat profesi.
815 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


816 10. Ketentuan ayat (1), ayat (2) huruf a, dan ayat (4)
Pasal 56 diubah sehingga Pasal 56 berbunyi sebagai
berikut:
817 Pasal 56
(1) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi merupakan
kumpulan data penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
seluruh Perguruan Tinggi dan Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu yang
terintegrasi secara nasional.
818 (2) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai sumber
informasi bagi:
a. lembaga akreditasi, untuk melakukan akreditasi
Program Studi, Perguruan Tinggi, dan Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu
b. Pemerintah, untuk melakukan pengaturan,
perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan
evaluasi serta pembinaan dan koordinasi Program
Studi dan Perguruan Tinggi atau Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu; dan
c. Masyarakat, untuk mengetahui kinerja Program
Studi dan Perguruan Tinggi atau Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu.
819 (3) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi dikembangkan
dan dikelola oleh Kementerian atau dikelola oleh
lembaga yang ditunjuk oleh Kementerian.
820 (4) Penyelenggara Perguruan Tinggi dan Institusi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu wajib
menyampaikan data dan informasi penyelenggaraan
Perguruan Tinggi serta memastikan kebenaran dan
ketepatannya.
821 Bagian Keempat
Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
822 Paragraf I
Umum
823 Pasal 214 Tenaga medis dihapus
(1) Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dalam
rangka pemenuhan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196.
824 (2) Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Tenaga medis dihapus
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


825 (3) Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Tenaga medis dihapus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan aspek pemerataan, Penjelasan Ayat (3)
pemanfaatan, dan/atau pengembangan. Yang dimaksud dengan “aspek pemerataan” merupakan
upaya distribusi Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan
melalui proses rekrutmen, seleksi, dan penempatan.

Yang dimaksud dengan “aspek pemanfaatan” merupakan


proses pemberdayaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kompetensi dan kewenangannya.

Yang dimaksud dengan “aspek pengembangan” merupakan


proses pengembangan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kompetensi masing-masing tenaga kesehatan, untuk
meratakan dan meningkatkan kualitas Tenaga Kesehatan.
826 Pasal 215 Tenaga medis dihapus
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib memenuhi
kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Penjelasan Pasal 215 Ayat (1)
untuk Pelayanan Kesehatan dasar di Puskesmas dan Penjelasan Ayat (1)
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama Yang dimaksud dewngan “pelayanan kesehatan dasar”
merupakan seperangkat layanan tingkat pertama yang dapat
lainnya milik Pemerintah Daerah.
diakses secara universal yang mempromosikan kesehatan,
pencegahan penyakit, dan memberikan layanan diagnostik,
kuratif, rehabilitatif, suportif, dan paliatif.

827 (2) Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif atau Tenaga medis dihapus
disinsentif kepada Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dalam pemenuhan kebutuhan
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

IKATAN APOTEKER INDONESIA


828 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif atau
disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


829 Pasal 216 Usul perubahan pasal 216
Pemerintah Daerah bertanggungjawab melakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab
pemenuhan Tenaga Kesehatan untuk pelayanan melakukan pemenuhan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan rujukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kesehatan untuk pelayanan Kesehatan rujukan di Fasilitas
miliknya. Pelayanan Kesehatan miliknya.
830 Paragraf 2 Tenaga medis dihapus
Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di
Dalam Negeri
831 Pasal 217 Tenaga medis dihapus
(1) Dalam rangka pemerataan Pelayanan Kesehatan dan
pemenuhan kebutuhan Pelayanan Kesehatan kepada
masyarakat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah bertanggung jawab melakukan penempatan
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan setelah melalui
proses seleksi.
832 (2) Penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Perubahan huruf a.
oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah pengangkatan sebagai aparatur sipil negara;
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan cara:
a. pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil;
b. pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja;
c. penugasan khusus; atau
d. Pengangkatan pegawai pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang menerapkan pola pengelolaan
keuangan BLU/BLUD.
833 (3) Selain penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Usul perubahan Ayat (3)
Kesehatan dengan cara sebagaimana dimaksud pada (3) Selain penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
ayat (2), Pemerintah Pusat dapat menempatkan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan melalui Pemerintah Pusat dapat menempatkan Tenaga
pengangkatan sebagai anggota TNI/POLRI. Kesehatan melalui pengangkatan sebagai anggota
TNI/POLRI khusus untuk Fasilitas Kesehatan Milik
TNI/POLRI.
834 (4) Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b serta penempatan melalui pengangkatan
sebagai anggota TNl/POLRI sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
835 (5) Penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Tenaga medis dihapus
melalui penugasan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Menteri
berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
dalam negeri dengan memperhatikan kebutuhan
Pelayanan Kesehatan, ketersediaan Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan, dan daerah tertinggal,
perbatasan dan kepulauan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


836 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengangkatan pegawai
pada fasilitas pelayanan kesehatan yang menerapkan pola
pengelolaan keuangan BLU/BLUD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-perundangan.
837 Pasal 218 Tenaga medis dihapus
Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 diikuti
dengan upaya retensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
838 Pasal 219
(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan medis spesialistik,
Pemerintah Pusat, rumah sakit pendidikan, dan institusi
pendidikan dapat mendayagunakan mahasiswa program
pendidikan dter spesialis atau dter gigi spesialis.
839 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan
mahasiswa program pendidikan dter spesialis atau dter
gigi spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam peraturan Menteri.
840 Pasal 220 Tenaga medis dihapus
(1) Dalam rangka pemerataan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan sesuai dengan kebutuhan Pelayanan
Kesehatan, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah dapat memanfaatkan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan lulusan dari perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau masyarakat
untuk mengikuti seleksi penempatan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


841 (2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah lulus Tenaga medis dihapus
seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditempatkan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah untuk
jangka waktu tertentu.
842 (3) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana Tenaga medis dihapus
dimaksud pada ayat (2) atau kepala daerah yang
membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan tersebut
harus mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan
insentif, jaminan keamanan, dan keselamatan kerja
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
843 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Tenaga Tenaga medis dihapus
Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
844 Pasal 221 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang diangkat
oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat
dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten, atau
antarkota karena alasan kebutuhan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan/atau promosi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
845 (2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang diangkat Tenaga medis dihapus
oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat
dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten, atau
antarkota karena alasan kebutuhan Fasilitas Pelayanan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Kesehatan dan/atau promosi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
846 (3) Dalam hal terjadi kekosongan Tenaga Medis dan Tenaga medis dihapus
Tenaga Kesehatan, Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah harus menyediakan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan pengganti untuk menjamin keberlanjutan
Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang bersangkutan.
Usul perubahan Pasal 208 Ayat (3)
(4) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal,
perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah
kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)
dapat memperoleh insentif khusus, jaminan
keamanan, dukungan sarana prasarana dan alat
kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(5) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah


perbatasan, dan kepulauan yang termasuk daerah
tertinggal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)
dapat memperoleh insentif khusus, jaminan
keamanan, dukungan sarana prasarana dan alat
kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
847 (6) Ketentuan lebih Ianjut mengenai pemindahtugasan Tenaga medis dihapus
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dimaksud pada ayat (1) dan Tenaga Kesehatan yang
bertugas di daerah tertinggal, perbatasan, dan
kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
848 Pasal 222 Tenaga medis dihapus
(1) Dalam keadaan tertentu terjadi kekosongan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan milik Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah untuk sementara waktu,
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah harus
menyediakan Tenaga Kesehatan pengganti untuk
menjamin keberlangsungan Pelayanan Kesehatan.
849 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan tenaga
Kesehatan pengganti pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
850 Pasal 223 Tenaga medis dihapus
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat
menetapkan pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan untuk memenuhi kepentingan
pembangunan kesehatan.
851 (2) Selain pola ikatan dinas yang diselenggarakan
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha
atau masyarakat dapat menetapkan pola ikatan dinas
dalam rangka memenuhi kepentingan Pelayanan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Kesehatan di masyarakat.
852 (3) Pelaksanaan pola ikatan dinas oleh badan usaha atau Usul perubahan ayat (3)
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pelaksanaan pola ikatan dinas oleh Pemerintah Pusat
diikuti dengan penempatan calon Tenaga Medis dan dan/atau Pemerintah Daerah, badan usaha atau
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diikuti
Tenaga Kesehatan pada daerah terpencil, daerah
dengan penempatan Tenaga Medis dan Tenaga
tertinggal, perbatasan dan kepulauan, daerah Kesehatan pada daerah terpencil, daerah tertinggal,
bermasalah kesehatan, atau daerah tidak diminati perbatasan dan kepulauan, daerah bermasalah
dalam rangka dukungan pemerataan Tenaga Medis dan kesehatan, atau daerah tidak diminati dalam rangka
Tenaga Kesehatan. dukungan pemerataan dan Tenaga Kesehatan.

853 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi Tenaga medis dihapus
calon Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
854 Paragraf 3
Pendayagunaan Tenaga Cadangan Kesehatan Untuk
Penanganggulangan Kejadian Luar Biasa, Wabah, dan
Darurat Bencana Lainnya
855 Pasal 224
(1) Pemerintah Pusat membentuk tenaga cadangan
Kesehatan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya
manusia Kesehatan dan mendukung ketahanan
Kesehatan.
856 (2) Tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud Tenaga medis dihapus
pada ayat (1) terdiri dari Tenaga Medis, Tenaga
Kesehatan dan non-Tenaga Kesehatan yang
dipersiapkan untuk dimobilisasi pada penanggulangan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


KLB, Wabah, dan darurat bencana lainnya.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


857 (3) Tenaga cadangan kesehatan berupa non-Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berasal dari Tenaga Kesehatan yang sudah
tidak aktif lagi menjalankan praktik Tenaga
Kesehatan dan tenaga lainnya yang telah
mendapatkan pelatihan terkait dengan
penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat bencana
lainnya
858 (4) Tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud (4) Tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
pada ayat (2) dilakukan pengelolaan melalui proses ayat (2) dipersiapkan melalui proses Registrasi,
Registrasi dan kredensial dengan memanfaatkan kredensialing, dan pembinaan peraturan serta mobilisasi
teknologi informasi, pembinaan dan peningkatan pada darurat krisis peraturan, dengan memanfaatkan
kapasitas tenaga cadangan Kesehatan, serta teknologi informasi.
pelaksanaan mobilisasi.
859 Pasal 225 Tenaga cadangan Kesehatan yang ditugaskan oleh
Tenaga cadangan Kesehatan yang ditugaskan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dimaksud dalam Pasal 211 dapat diberikan insentif dan/atau
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 diberikan tunjangan daerah sesuai dengan kemampuan keuangan
insentif dan/atau tunjangan daerah sesuai dengan masing-masing daerah dan berdasarkan ketentuan peraturan
kemampuan keuangan masing-masing daerah dan perundang-undangan.
berdasarkan ketentuan eraturan perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


860 Pasal 226
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan tenaga
cadangan Kesehatan untuk penanggulangan KLB,
Wabah, dan darurat bencana lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 dan Pasal 225 diatur dalam
Peraturan Menteri.
861 Paragraf 4 Tenaga medis dihapus
Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
Warga Negara Indonesia Ke Luar Negeri
862 Pasal 227 Tenaga medis dihapus
(1) Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
warga negara Indonesia ke luar negeri dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan
keseimbangan antara kebutuhan Tenaga Kesehatan
di Indonesia dan peluang kerja bagi Tenaga
Kesehatan warga negara Indonesia di luar negeri.
863 (2) Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
warga negara Indonesia ke luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


864 Paragraf 5
Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri
865 Pasal 228
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga
negara Indonesia lulusan luar negeri yang
akan melaksanakan praktik di Indonesia
harus mengikuti evaluasi kompetensi
866 (2) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Penilaian kelengkapan administrative; dan
b. Penilaian kemampuan praktik
867 (3) Penilaian kemampuan praktik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan setelah
penilaian kelengkapan administrative sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a
868 (4) Dalam rangka penilaian kemampuan praktik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dilakukan penyetaraan kompetensi dan/atau uji
kompetensi
869 (5) Penyetaraan kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) bertujuan untuk memastikan
kesesuaian dengan standar kompetensi tenaga medis
dan tenaga Kesehatan di Indonesia

IKATAN APOTEKER INDONESIA


870 (6) Penyetaraan kompetensi dan/atau uji kompetensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Usul perubahan ayat (6):
Menteri bekerjasama dengan konsil Penyetaraan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilaksanakan oleh Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
871 (5) Hasil uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) berupa:
a. Kompeten; atau
b. Belum kompeten
872 (6) Dalam hal hasil uji kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) huruf a, tenaga medis dan
tenaga Kesehatan warga negara Indonesia lulusan
luar negeri mengikuti adaptasi di fasilitas pelayanan
Kesehatan
873 (7) Dalam hal hasil uji kompetensi dinyatakan belum
kompeten sebagaimana dimaskud pada ayat (7)
huruf b, tenaga medis dan tenaga Kesehatan warga
negara Indonesia lulusan luar negeri mengikuti
penambahan kompetensi melalui program fellowship
atau pelatihan.
874 Pasal 229 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga
negara Indonesia lulusan luar negeri yang
akan mengikuti adaptasi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan harus memiliki STR
adaptasi dan SIP adaptasi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


875 (2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian akhir penilaian praktik Tenaga medis dihapus
dan digunakan dalam upaya pendayagunaan
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
876 (3) STR adaptasi dan SIP adaptasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh
Menteri
877 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan
STR adaptasi dan SIP adaptasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(3) diatur dalam Peraturan Menteri
878 Pasal 230 Tenaga medis dihapus
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229, bagi Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia
lulusan luar negeri yang:
a. merupakan lulusan dari perguruan tinggi atau
institusi pendidikan tertentu di luar negeri;
b. telah praktik paling sedikit 2 (dua) tahun di
luar negeri; atau
c. merupakan ahli dalam bidang unggulan
tertentu dalam Pelayanan Kesehatan yang
dibuktikan dengan sertifikasi kompetensi; dan
akan didayagunakan di Indonesia, dilakukan
evaluasi kompetensi melalui penilaian
portofolio

IKATAN APOTEKER INDONESIA


879 Pasal 231 Tenaga medis dihapus
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
Indonesia lulusan luar negeri yang telah lulus evaluasi
kompetensi dan akan melaksanakan praktik di
Indonesia harus memiliki STR dan SIP sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini
880 Pasal 232
Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kompetensi
dan mekanisme pemberian surat persetujuan diatur
dalam Peraturan Pemerintah
881 Paragraf 6 Tenaga medis dihapus
Pemanfaatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri
882 Pasal 233 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
asing lulusan luar negeri yang melaksanakan
praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi
kompetensi
883 (2) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Penilaian kelengkapan administratif; dan
b.Penilaian kemampuan praktik
884 (3) Penilaian kemampuan praktik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan
setelah penilaian kelengkapan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a

IKATAN APOTEKER INDONESIA


885 (4) Dalam rangka penilaian kemampuan praktik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dilakukan penyetaraan kompetensi dan/atau uji
kompetensi
886 (5) Penyetaraan kompetensi sebagaimana dimaksud Tenaga medis dihapus
pada ayat (4) bertujuan untuk memastikan
kesesuaian dengan standar kompetensi Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan di Indonesia
887 (6) Penyetaraan kompetensi dan/atau uji kompetensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
oleh Menteri bekerjasama dengan konsil
888 (7) Hasil uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) berupa:
a. Kompeten; atau
b. Belum kompeten
889 (8) Dalam hal hasil uji kompetensi dinyatakan
kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
huruf a, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
warga negara asing lulusan luar negeri mengikuti
adaptasi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
890 (9) Dalam hal hasil uji kompetensi dinyatakan
belum kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) huruf b, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
warga negara asing lulusan luar negeri harus
kembali ke negara asalnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan
891 Pasal 234 Tenaga medis dihapus

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
asing lulusan luar negeri yang mengikuti adaptasi
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus memiliki
STR sementara dan SIP
892 (2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Tenaga medis dihapus
merupakan bagian akhir penilaian praktik dan
digunakan dalam upaya pemanfaatan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan
893 (3) STR sementara dan SIP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri
894 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan STR
sementara dan SIP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Menteri
896 Pasal 235 Tenaga medis dihapus
(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 234, bagi Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan
luar negeri:
a. telah praktik sebagai spesialis atau
subspesialis paling sedikit 5 (lima) tahun di luar
negeri; atau
b.merupakan ahli dalam suatu bidang unggulan
tertentu dalam Pelayanan Kesehatan yang
dibuktikan dengan sertifikasi kompetensi dan
telah praktik paling sedikit 5 (lima) tahun di luar
negeri yang akan didayagunakan di Indonesia,

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dilakukan evaluasi kompetensi melalui penilaian
portofolio
897 (2) Ketentuan telah melakukan praktik paling
sedikit 5 (lima) tahun di luar negeri atau ahli
dalam suatu bidang unggulan tertentu dalam
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan dengan surat keterangan atau
dumen lain yang diterbitkan oleh lembaga yang
berwenang di negara yang bersangkutan
898 Pasal 236 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
asing dapat melakukan praktik pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan di Indonesia dalam rangka
investasi atau noninvestasi, dengan ketentuan:
a. terdapat permintaan dari pengguna Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
asing
b.dalam rangka alih teknologi dan ilmu
pengetahuan; dan
c. untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun
berikutnya
899 (2) Permintaan dari pengguna sebagaimana dimaksud Tenaga medis dihapus
pada ayat (1) harus mengutamakan penggunaan
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
Indonesia dan memenuhi standar kompetensi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


900 (3) Ketentuan mengenai Tenaga Medis dan Tenaga Tenaga medis dihapus
Kesehatan warga negara asing yang melakukan
praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di
Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah
901 Pasal 237 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses
evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di
Indonesia wajib memiliki STR sementara dan SIP
902 (2) STR sementara bagi Tenaga Medis dan Tenaga Tenaga medis dihapus
Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri (2) STR sementara bagi Tenaga Kesehatan warga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama negara asing lulusan luar negeri sebagaimana
3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 1
(satu) tahun berikutnya tahun selama memenuhi persyaratan.
903 (3) SIP bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga Tenaga medis dihapus
negara asing lulusan luar negeri berlaku sepanjang
STR sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
masih berlaku
904 Pasal 238 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
asing lulusan luar negeri yang akan menjadi peserta
program pendidikan spesialis di Indonesia wajib
memiliki STR sementara
905 (2) STR sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku selama masa Pendidikan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


906 Pasal 239 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara
asing lulusan luar negeri yang akan memberikan
pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk waktu tertentu,
tidak memerlukan STR sementara
907 (2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Tenaga medis dihapus
asing lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari
Menteri
908 (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan melalui penyelenggara pendidikan dan
pelatihan
910 Pasal 240 Tenaga medis dihapus
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
233 sampai dengan Pasal 239, Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan warga negara asing harus memenuhi
persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan
911 Pasal 241
Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kompetensi,
STR sementara, SIP, dan mekanisme pemberian surat
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233
sampai dengan Pasal 239 diatur dalam Peraturan
Pemerintah
912 Bagian Kelima Tenaga medis dihapus
Pelatihan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam

IKATAN APOTEKER INDONESIA


rangka Penjagaan dan Peningkatan Mutu
913 Pasal 242 Tenaga medis dihapus
(1) Dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilakukan
pelatihan dan kegiatan lain yang mendukung
kesinambungan dalam menjalankan praktik
914 (2) Upaya menjaga dan meningkatkan mutu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh:
a. Menteri;
b.Organisasi Profesi; dan
c. Lembaga pelatihan lain yang diakreditasi oleh
organisasi profesi
915 (3) Upaya menjaga dan meningkatkan mutu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan standar mutu profesi
916 (4) Pelatihan dan kegiatan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat digunakan untuk proses
sertifikasi melalui konversi ke dalam satuan kredit
profesi
917 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan (5)Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelatihan dan kegiatan lain dalam rangka menjaga penyelenggaraan pelatihan dan kegiatan
dan meningkatkan mutu Tenaga Medis dan Tenaga lain dalam rangka menjaga dan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan
diatur dalam Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


918 Pasal 243
(1) Dalam rangka peningkatan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 240 serta percepatan
pemenuhan Dokter subspesialis dan Dokter Gigi
subspesialis, Menteri bersama dengan kolegium
dapat menyelenggarakan program pelatihan atau
fellowship di Rumah Sakit Pendidikan
919 (2) Dokter spesialis dan Dokter Gigi spesialis
sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat mengikuti
rekognisi pembelajaran lampau untuk mendapatkan
gelar subspesialis
Usul penambahan Pasal baru
Pasal 243a
(1) Dalam rangka peningkatan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 228 serta percepatan
pemenuhan Apoteker Spesialis, Menteri dapat
menyelenggarakan program fellowship di
Rumah Sakit pendidikan.
(2) Apoteker Spesialis sebagaimana dimaksud ayat
(1) dapat mengikuti rekognisi pembelajaran
lampau untuk mendapatkan gelar spesialis.
920 Pasal 244 Tenaga medis dihapus
Dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 240 dan Pasal 241, kepala
daerah dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
bertanggung jawab atas pemberian kesempatan yang
sama kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dengan mempertimbangkan penilaian kinerja dan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


perilaku
921 Bagian Keenam
Registrasi dan Perizinan
922 Paragraf 1
Registrasi
923 Pasal 245 Tenaga medis dihapus
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang
menjalankan praktik keprofesian wajib memiliki STR
924 (2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Tenaga medis dihapus
oleh konsil masing-masing kelomp Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan, setelah memenuhi persyaratan
925 (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penjelasan huruf b:
meliputi: Yang dimaksud dengan “sertifikat kompetensi”
a. memiliki ijazah pendidikan di bidang medis atau adalah surat tanda lulus Uji Kompetensi pada
pendidikan vasi, profesi dan spesialis.
Kesehatan
Yang dimaksud dengan “sertifikat profesi” adalah
b.memiliki sertifikat kompetensi atau sertifikat surat tanda lulus pada pendidikan profesi dan
profesi spesialis.
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental
d.memiliki surat pernyataan telah mengucapkan Penjelasan huruf d:
sumpah/janji profesi; dan Pengambilan sumpah tenaga kesehatan dilakukan
oleh Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
e. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan
ketentuan etika profesi
926 (4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b dikecualikan bagi Tenaga Kesehatan dengan
kualifikasi pendidikan akademik
927 (5) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(lima) tahun

IKATAN APOTEKER INDONESIA


928 (6) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat dicabut dan diganti dalam hal Tenaga Tenaga medis dihapus
Medis dan Tenaga Kesehatan:
a. berubah kualifikasi kompetensi/profesi;
dan/atau
b.beralih profesi
929 Pasal 246
STR sebagaimana dimaksud dalam pasal 245
tidak berlaku apabila:
a. yang bersangkutan meninggal dunia;
b. dinonaktifkan atau dicabut atas permintaan c. dicabut oleh Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia atau
yang bersangkutan; konsil masing-masing kelomp Tenaga Kesehatan;
c. dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia
atau konsil masing-masing kelomp Tenaga
Kesehatan;
d. dicabut berdasarkan putusan pengadilan; atau
e. dipidana karena melakukan tindak pidana
kejahatan yang ancaman pidananya paling
singkat 5 (lima) tahun
930 Pasal 247 Tenaga medis dihapus
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
Registrasi, penonaktifan, dan pengaktifan
kembali STR Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
245 dan Pasal 246 diatur dengan Peraturan
Pemerintah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


931 Paragraf 2
Perizinan
932 Pasal 248 Penjelasan ayat (1):
(1) Untuk jenis Tenaga Medis dan Tenaga Yang dimaksud dengan “Tenaga Kesehatan tertentu”
Kesehatan tertentu dalam menjalankan adalah Tenaga Kesehatan yang memberikan Pelayanan
praktik keprofesiannya wajib memiliki izin Kesehatan secara langsung kepada Pasien.
933 (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk SIP
934 (3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Tenaga medis dihapus
diberikan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota tempat Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan menjalankan praktiknya.
935 (4) Dalam pemenuhan percepatan kebutuhan
Pelayanan Kesehatan di daerah terdepan,
terluar, dan tertinggal, SIP sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat diterbitkan oleh
bupati/walikota setelah terpenuhi persyaratan
paling sedikit memiliki STR dan
rekomendasi dari Organisasi Profesi
936 (5) Dalam rangka penerbitan SIP sebagaimana Tenaga medis dihapus
dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah
kabupaten/kota harus menetapkan kuota
untuk setiap jenis Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan dengan memperhatikan kriteria
paling sedikit:
a. ketersediaan dan persebaran Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan pada daerah
tersebut;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


b. rasio jumlah penduduk dengan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan aktif yang
ditetapkan oleh Menteri; dan
c. beban kerja Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan
937 Pasal 249 Usul perubahan pasal 249 ayat (1)
(1) Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud
(1) Untuk mendapatkan SIP sebagaimana
dalam Pasal 234 ayat (2), Tenaga Kesehatan harus
dimaksud dalam Pasal 248 ayat (2), Tenaga memiliki:
Medis dan Tenaga Kesehatan harus a. STR;
mempunyai: b. tempat praktik;
a. STR; c. sertifikat kompetensi;
b. tempat praktik; d. rekomendasi dari organisasi profesi;
c. rekomendasi organisasi profesi; dan e. rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten / Kota setempat.
d. bukti pemenuhan kompetensi
938 (2) SIP masih berlaku sepanjang tempat
praktik masih sesuai dengan yang tercantum
dalam SIP
939 (3)SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang selama memenuhi persyaratan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


940 (4) Persyaratan perpanjangan SIP sebagaimana Usul perubahan ayat (4)
dimaksud pada ayat (3) meliputi: (4) Persyaratan perpanjangan SIP sebagaimana dimaksud
a. STR; pada ayat (3) meliputi:
b. tempat praktik; a. STR;
c. rekomendasi organisasi profesi; dan b. tempat praktik;
d. pemenuhan kecukupan satuan kredit c. pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi;
profesi d. Rekomendasi dari organisasi profesi;
e. rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten / Kota setempat.
941 (5) Pengelolaan pemenuhan kecukupan satuan Usul perubahan ayat (5)
kredit profesi sebagaimana dimaksud pada (5) Pengelolaan pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi
ayat (4) huruf d dilakukan dengan melibatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan
Organisasi Profesi. oleh Organisasi Profesi.
942 (6) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) tidak berlaku apabila:
a. habis masa berlakunya;
b. yang bersangkutan meninggal dunia;
c. STR dicabut atau dinonaktifkan;
d. SIP dicabut oleh penerbit SIP; atau
e. tempat praktik berubah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


943 Pasal 250 Tenaga medis dihapus
Dalam kondisi tertentu, Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan yang memberikan Pelayanan Kesehatan
tidak memerlukan SIP di tempat tersebut
944 Pasal 251
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 sampai
dengan Pasal 250 diatur dalam Peraturan
Pemerintah
945 Pasal 252
(1) Untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan
pelayanan kedokteran, kepala dinas kesehatan
provinsi atas nama Menteri dapat memberikan
surat tugas kepada dokter spesialis atau dokter
gigi spesialis tertentu yang telah memiliki SIP
untuk bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tertentu tanpa memerlukan SIP di tempat
tersebut
946 (2) Pemberian surat tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. terdapat permintaan dari dinas kesehatan
kabupaten/kota berdasarkan kebutuhan;
b. ketiadaan dokter spesialis atau dter gigi
spesialis dengan keahlian dan kompetensi
yang sama pada kabupaten/kota tersebut;
dan
c. dokter spesialis atau dokter gigi spesialis

IKATAN APOTEKER INDONESIA


yang mendapat surat tugas harus telah
memiliki SIP

IKATAN APOTEKER INDONESIA


947 (3) Dalam hal selama jangka waktu keberlakuan
surat tugas telah ada dter spesialis atau dter
gigi spesialis lain dengan keahlian dan
kompetensi yang sama pada daerah tersebut,
surat tugas menjadi tidak berlaku
948 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat
tugas diatur dalam Peraturan Pemerintah
949 Bagian Ketujuh Bagian Ketujuh
Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
Kesehatan Indonesia
950 Paragraf 1
Umum
951 Pasal 253 Usul perubahan pasal 253 ayat (1)
(1) Untuk menjaga mutu dan kompetensi Tenaga Pasal 253
Medis dan Tenaga Kesehatan dalam rangka (1) Untuk menjaga mutu dan kompetensi Tenaga Kesehatan,
melindungi masyarakat, Presiden membentuk: dalam rangka melindungi masyarakat, Menteri
a. Konsil Kedokteran Indonesia bagi kelomp membentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
tenaga medis; dan
b. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia bagi
kelomp Tenaga Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


952 (2) Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Usul perubahan ayat (2)
Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana (2) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dan dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
953 (3) Selain Konsil Kedokteran Indonesia dan Dihapus
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Presiden membentuk konsil tenaga
kesehatan tradisional yang bertanggung jawab
kepada Presiden melalui Menteri
954 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai konsil
tenaga Kesehatan tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah
955 Paragraf 2 Dihapus
Konsil Kedokteran Indonesia
956 Pasal 254 Dihapus
(1) Susunan organisasi konsil kedokteran
Indonesia terdiri dari:
a. Konsil kedokteran; dan
b.Konsil kedokteran gigi
957 (2) Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi Dihapus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masing-masing terdiri atas 3 (tiga) divisi,
yaitu:
a. Divisi Registrasi;
b. Divisi Standar Pendidikan Profesi; dan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


c. Divisi Pembinaan.
958 Pasal 255 Dihapus

(1) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri


atas:
a. pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia
terdiri atas 3 (tiga) orang merangkap
anggota;
b. pimpinan Konsil Kedokteran dan pimpinan
Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1
(satu) orang merangkap anggota; dan
c. pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran
dan Konsil Kedokteran Gigi masing-
masing 1 (satu) orang merangkap anggota
959 (2) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia Dihapus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
kolektif kolegial
960 (3) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia Dihapus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
aadalah penanggung jawab tertinggi
961 Pasal 256 Dihapus

(1) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri


atas seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil
ketua
962 (2) Pimpinan Konsil Kedokteran terdiri atas Dihapus
seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


963 (3) Pimpinan Konsil Kedokteran Gigi terdiri atas Dihapus
seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi
964 Pasal 257 Dihapus
(1) Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia
15 (lima belas) orang yang terdiri atas unsur-
unsur yang berasal dari:
a. organisasi profesi kedokteran sebanyak 2
(dua) orang
b.organisasi profesi kedokteran gigi
sebanyak 2 (dua) orang
c. asosiasi institusi pendidikan kedokteran
sebanyak 1 (satu) orang;
d. asosiasi institusi Pendidikan kedokteran gigi
sebanyak 1 (satu) orang;
e. kolegium kedokteran sebanyak 1 (satu)
orang;
f. kolegium kedokteran gigi sebanyak 1 (satu)
orang;
g. asosiasi rumah sakit pendidikan sebanyak
2 (dua) orang;
h. tokoh masyarakat sebanyak 3 (tiga) orang;
i. kementerian yang menangani urusan
pemerintahan di bidang kesehatan
sebanyak 1 (satu) orang; dan
j. kementerian yang menangani urusan
pemerintahan di bidang pendidikan tinggi
sebanyak 1 (satu) orang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


965 (2) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan Dihapus
keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia
diatur dengan Peraturan Presiden
966 Pasal 258 Dihapus

Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia,


pimpinan Konsil Kedokteran, pimpinan Konsil
Kedokteran Gigi, pimpinan divisi pada Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi dipilih
oleh anggota dan ditetapkan oleh rapat pleno
anggota
967 Pasal 259 Dihapus

(1)Calon anggota Konsil Kedokteran Indonesia


harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. pernah melakukan praktik dokter atau
dokter gigi paling sedikit 10 (sepuluh) tahun
dan memiliki STR bagi yang berprofesi
sebagai dokter atau dokter gigi
f. cakap, jujur, memiliki moral, etika dan
integritas yang tinggi serta memiliki reputasi
yang baik;
g. tidak menjadi pengurus organisasi politik,
Organisasi Profesi, atau kolegium;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


h. tidak menjabat dalam jabatan struktural
baik di pemerintahan maupun di luar
pemerintahan; dan
i. memiliki pengetahuan, keahlian, dan
pengalaman di salah satu bidang yang
terdiri atas:
1) pendidikan kedokteran;
2) perumahsakitan atau Fasilitas Pelayanan
Kesehatan lainnya;
3) mutu pelayanan publik;
4) hukum kesehatan;
5) kebijakan publik; dan/atau
6) sosial budaya
968 (2) Calon anggota Konsil Kedokteran Indonesia Dihapus
yang berasal dari kalangan pemerintah dan
masyarakat dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i
angka 1
969 Pasal 260 Dihapus

(1) Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai


tugas merumuskan kebijakan internal dan
standardisasi pelaksanaan tugas konsil
kedokteran dan konsil kedokteran gigi
970 (2) Pelaksanaan tugas perumusan kebijakan Dihapus
internal Konsil Kedokteran Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


971 (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana Dihapus
dimaksud pada ayat (1) Konsil Kedokteran
Indonesia mempunyai fungsi:
a. menyusun perencanaan pelaksanaan
tugas Konsil Kedokteran Indonesia;
b.melakukan identifikasi dan pengembangan
metodologi dan standardisasi pelaksanaan
tugas konsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi
c. melakukan analisis manajemen risiko
pelaksanaan tugas konsil kedokteran dan
konsil kedokteran gigi;
d.membina konsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi;
e. melakukan koordinasi antarkonsil
kedokteran dan konsil kedokteran gigi;
f. mengelola sumber daya bersama dalam
konsil kedokteran dan konsil kedokteran
gigi;
g. memberikan masukan atau umpan balik
atas hasil pelaksanaan tugas konsil
kedokteran dan konsil kedokteran gigi;
h.menangani perselisihan atau permasalahan
antarkonsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi
i. melakukan pemantauan terhadap
pencapaian target kinerja konsil kedokteran

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dan konsil kedokteran gigi; dan
j. menyusun dan menyampaikan laporan
secara berkala
972 Pasal 261 Dihapus
(1) Konsil kedokteran dan konsil kedokteran gigi
mempunyai tugas melakukan Registrasi dan
pembinaan teknis keprofesian dokter dan
dokter gigi
973 (2) Dalam menjalankan tugas sebagaimana Dihapus
dimaksud pada ayat (1), konsil kedokteran
dan konsil kedokteran gigi mempunyai fungsi:
a. menerbitkan STR dokter dan dokter gigi;
b. mencabut STR dokter dan dokter gigi;
c. melakukan pengelolaan STR;
d. melakukan penonaktifan dan pengaktifan
kembali STR;
e. melakukan pembinaan bersama organisasi
profesi di bidang teknis keprofesian;
f. mengesahkan standar kompetensi profesi
yang disusun oleh Kolegium bersama
Organisasi Profesi;
g. melakukan pendataan tempat praktik
dokter dan dokter gigi berdasarkan SIP;
dan
h. melakukan pendataan pelaksanaan
penjagaan dan peningkatan mutu dokter
dan dokter gigi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


974 (3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana Dihapus
dimaksud pada ayat (2) konsil kedokteran dan
konsil kedokteran gigi wajib menyusun dan
menyampaikan laporan pelaksanaan tugas
secara berkala kepada Konsil Kedokteran
Indonesia
975 (4) Pembinaan teknis keprofesian sebagaimana Dihapus
dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan
sebagai dukungan terhadap pembinaan
dokter dan dokter gigi yang dilaksanakan
oleh Menteri dan/atau organisasi profesi
976 (5) Pendataan tempat praktik dokter dan Dihapus
dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf g dilaksanakan berkoordinasi
dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota
977 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan Dihapus
fungsi konsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi diatur dalam Peraturan
Pemerintah
978 Pasal 262 Dihapus
Menteri berwenang melakukan evaluasi dan
koreksi terhadap STR yang diterbitkan oleh
konsil kedokteran dan konsil kedokteran gigi
979 Pasal 263 Dihapus
Masa bakti keanggotaan Konsil Kedokteran
Indonesia selama 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa

IKATAN APOTEKER INDONESIA


jabatan berikutnya

IKATAN APOTEKER INDONESIA


980 Pasal 264
Pimpinan dan anggota konsil kedokteran Dihapus
Indonesia berhenti atau diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatan;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. meninggal dunia;
d. bertempat tinggal tetap di luar wilayah
Republik Indonesia
e. tidak mampu melakukan tugas selama 10
(sepuluh) hari kerja secara berturut-turut atau
kumulatif selama 28 (dua puluh delapan) hari
kerja dalam 1 (satu) tahun;
f. dipidana karena melakukan tindak pidana
kejahatan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
g. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai
pimpinan dan anggota Konsil Kedokteran
Indonesia; dan/atau
h. tidak cakap dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya
981 Pasal 265 Dihapus
(1) Selain berhenti karena alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 264, pimpinan dan
anggota Konsil Kedokteran Indonesia dapat
diberhentikan sementara karena menjadi
tersangka dan ditahan atas suatu tindak

IKATAN APOTEKER INDONESIA


pidana

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Jangka waktu pemberhentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terhitung sejak dilakukan penahanan
982 Pasal 266 Dihapus
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberhentian anggota Konsil Kedokteran
Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah
983 Pasal 267 Dihapus
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Konsil
Kedokteran Indonesia dibantu oleh sekretariat
yang berkedudukan di bawah pimpinan tinggi
madya pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan
984 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas Dihapus
sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri
985 Paragraf 3
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
986 Pasal 268 Pasal 268
(1) Susunan organisasi Konsil Tenaga Kesehatan (1) Susunan organisasi konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia terdiri atas: Indonesia terdiri atas:
a. 1(satu) orang ketua dan 4 (empat) orang a. Ketua dan wakil ketua, yang masing-masing terdiri
wakil ketua, masing-masing merangkap atas 1 (satu) orang; dan
sebagai anggota; dan b. anggota.
b.anggota

IKATAN APOTEKER INDONESIA


987 (2) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2)Anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
huruf b berasal dari: sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu
a. Perwakilan pemerintah terdiri dari: pimpinan konsil dari setiap kelomp tenaga kesehatan
1) 1 (satu) orang dari unsur kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Kesehatan
2) 1 (satu) orang dari unsur kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan tinggi
b. Pimpinan dari masing-masing konsil Kelomp
tenaga kesehatan sebanyak 2 (dua) orang
c. perwakilan unsur organisasi profesi sebanyak 2
(dua) orang; dan
d. perwakilan masyarakat sebanyak 2 (dua) orang
988 (3) Pimpinan dan anggota konsil Tenaga Kesehatan (3) Ketua dan wakil Ketua konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditunjuk oleh Presiden dengan mempertimbangkan huruf a dipilih oleh dan dari anggota
pengetahuan, pengalaman, dan keahlian di bidang
kesehatan
989 (4) Susunan organisasi dan keanggotaan konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dengan
Peraturan Presiden
990 Pasal 269
(1) Keanggotaan konsil masing-masing Kelomp Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
267 ayat (4) berasal dari unsur organisasi profesi
tenaga Kesehatan, unsur pemerintah, dan toh

IKATAN APOTEKER INDONESIA


masyarakat
991 (2) Keanggotaan konsil masing-masing Kelomp Tenaga
Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri
992 Pasal 270
(1) Calon anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. pernah melakukan praktik Tenaga Kesehatan
paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki
STR bagi yang berprofesi sebagai Tenaga
Kesehatan;
f. cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas
yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik;
g. tidak menjadi pengurus organisasi politik,
Organisasi Profesi, atau kolegium;
h. tidak menjabat dalam jabatan struktural baik
di pemerintahan maupun di luar pemerintahan;
dan
i. memiliki pengetahuan, keahlian, dan
pengalaman di salah satu bidang yang terdiri
atas:
1) pendidikan Tenaga Kesehatan;
2) kerumahsakitan atau Fasilitas Pelayanan
Kesehatan lainnya;
3) mutu pelayanan publik;
4) hukum kesehatan;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


5) kebijakan publik; dan/atau
6) sosial budaya

IKATAN APOTEKER INDONESIA


993 (2) Calon anggota Konsil Tenaga Kesehatan Dihapus
Indonesia yang berasal dari kalangan
pemerintah dan masyarakat dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf i angka 1
994 Pasal 271
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengangkatan dan persyaratan pimpinan dan
anggota konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan
konsil masing-masing kelompok Tenaga
Kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri
995 Pasal 272
Pimpinan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
bersifat kolektif kolegial
996 Pasal 273
(1) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
mempunyai tugas merumuskan kebijakan
internal dan standardisasi pelaksanaan tugas
konsil masing-masing kelompok Tenaga
Kesehatan.
997 (2) Pelaksanaan tugas perumusan kebijakan
internal konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan peraturan perundang- undangan
bidang kesehatan
998 (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), konsil Tenaga

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Kesehatan Indonesia mempunyai fungsi:
a. menyusun perencanaan pelaksanaan
tugas konsil Tenaga Kesehatan Indonesia;
b. melakukan identifikasi dan pengembangan
metodologi dan standardisasi pelaksanaan
tugas konsil masing-masing kelompok
Tenaga Kesehatan;
c. melakukan analisis manajemen risiko
pelaksanaan tugas konsil masing-masing
kelomp Tenaga Kesehatan;
d. membina konsil masing-masing kelompok
Tenaga Kesehatan;
e. melakukan koordinasi antarkonsil masing-
masing kelompok Tenaga Kesehatan
f. mengelola sumber daya bersama dalam
konsil masing-masing kelompok Tenaga
Kesehatan
g. memberikan masukan atau umpan balik
atas hasil pelaksanaan tugas konsil masing-
masing kelomp Tenaga Kesehatan
h. menangani perselisihan atau permasalahan
antarkonsil masing-masing kelomp Tenaga
Kesehatan
i. melakukan pemantauan terhadap
pencapaian target kinerja konsil masing-
masing kelomp Tenaga Kesehatan; dan
j. menyusun dan menyampaikan laporan
secara berkala kepada Menteri

IKATAN APOTEKER INDONESIA


999 Pasal 274
(1) Konsil masing-masing kelomp Tenaga Kesehatan
mempunyai tugas melakukan Registrasi dan
pembinaan teknis keprofesian Tenaga Kesehatan
1000 (2) Dalam menjalankan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), konsil masing-masing
kelomp Tenaga Kesehatan mempunyai fungsi:
a. menerbitkan STR Tenaga Kesehatan atas
nama Menteri;
b. mencabut STR Tenaga Kesehatan dengan
persetujuan Menteri;
c. melakukan pengelolaan STR;
d. melakukan penonaktifan dan pengaktifan
kembali STR;
e. melakukan pembinaan di bidang teknis
keprofesian;
f. menyusun standar kompetensi;
g. melakukan pendataan tempat praktik Tenaga
Kesehatan berdasarkan SIP; dan
h. melakukan pendataan pelaksanaan penjagaan
dan peningkatan mutu Tenaga Kesehatan
1001 (3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) konsil masing-masing
kelomp Tenaga Kesehatan wajib menyusun dan
menyampaikan laporan pelaksanaan tugas
secara berkala kepada konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia
1002 (4) Pembinaan teknis keprofesian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


sebagai dukungan terhadap pembinaan Tenaga
Kesehatan yang dilaksanakan oleh Menteri
1003 (5) Pendataan tempat praktik Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h
dilaksanakan berkoordinasi dengan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota
1004 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan
fungsi Konsil masing-masing kelomp Tenaga
Kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah
1005 Pasal 275
(1) Menteri berwenang melakukan evaluasi dan
koreksi terhadap STR yang diterbitkan oleh
konsil masing- masing Tenaga Kesehatan
1006 (2) Ketentuan mengenai evaluasi dan koreksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah
1007 Pasal 276
Masa bakti keanggotaan konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya
1008 Pasal 277
Pimpinan dan anggota Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia berhenti atau diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatan;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. meninggal dunia;
d. bertempat tinggal tetap di luar wilayah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Republik Indonesia;
e. tidak mampu melakukan tugas selama 10
(sepuluh) hari kerja secara berturut-turut atau
kumulatif selama 28 (dua puluh delapan) hari
kerja dalam 1 (satu) tahun
f. dipidana karena melakukan tindak pidana
kejahatan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai
pimpinan dan anggota Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia; dan/atau
h. tidak cakap dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya
1009 Pasal 278
(1) Selain berhenti karena alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 277, pimpinan dan
anggota konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
dapat diberhentikan sementara karena menjadi
tersangka dan ditahan atas suatu tindak pidana
1010 (2) Jangka waktu pemberhentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung
sejak dilakukan penahanan
1011 Pasal 279
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian
anggota konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur
dalam Peraturan Pemerintah
1012 Pasal 280
(7) Dalam melaksanakan tugasnya konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia dibantu oleh sekretariat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


yang berkedudukan di bawah pimpinan tinggi
madya pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Kesehatan
1013 (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas
sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri
1014 Paragraf 4
Pendanaan
1015 Pasal 281 Pasal 281
Pendanaan untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil Pendanaan untuk pelaksanaan tugas-tugas
Kedokteran Indonesia, konsil Tenaga Kesehatan konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan konsil
masing- masing kelomp Tenaga Kesehatan
Indonesia, konsil kedokteran, konsil kedokteran gigi,
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
dan konsil masing- masing kelomp Tenaga Belanja Negara dan sumber lain sesuai dengan
Kesehatan dibebankan kepada Anggaran ketentuan peraturan perundang-undangan
Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
1016 Bagian Kedelapan
Hak dan Kewajiban
1017 Paragraf 1 Paragraf 1
Hak dan Kewajiban Tenaga Medis dan Tenaga Hak dan Tenaga Kesehatan
Kesehatan
1017 Pasal 282 (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik,
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam berhak:
menjalankan praktik berhak: a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar

IKATAN APOTEKER INDONESIA


melaksanakan tugas sesuai dengan standar kompetensi, kode etik, standar pelayanan profesi,
profesi, standar pelayanan profesi, dan dan standar prosedur operasional;
standar prosedur operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan Catatan:
benar dari Pasien atau keluarganya; Referensi: KMK HK.01.07 / MENKES / 12 / 2023 ttg
c. menerima imbalan jasa/kinerja; Standar Profesi Apoteker
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan,
kesehatan kerja dan keamanan;
e. memperoleh pelindungan atas perlakuan yang
tidak sesuai dengan harkat dan martabat g. menolak keinginan Pasien atau pihak lain yang
bertentangan dengan standar kompetensi, kode
manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai
etik, standar pelayanan, standar prosedur
sosial budaya operasional, atau ketentuan peraturan perundang-
f. mendapatkan kesempatan untuk undangan; dan
mengembangkan profesinya
g. menolak keinginan Pasien atau pihak lain
yang bertentangan dengan standar profesi,
kode etik, standar pelayanan, standar
prosedur operasional, atau ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
h. memperoleh hak lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
1018 (2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat Tenaga medis dihapus
menghentikan Pelayanan Kesehatan apabila
memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan
harkat dan martabat manusia, moral,
kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e

IKATAN APOTEKER INDONESIA


termasuk tindakan kekerasan dan pelecehan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1019 Pasal 283
Tenaga medis dihapus
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam
menjalankan praktik wajib:
a. memberikan Pelayanan Kesehatan sesuai
dengan standar profesi, standar pelayanan
profesi, standar prosedur operasional, dan
etika profesi serta kebutuhan kesehatan
Pasien;
b. memperoleh persetujuan dari Pasien atau
keluarganya atas tindakan yang akan
diberikan;
c. menjaga rahasia kesehatan Pasien;
d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau
dumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan
tindakan yang dilakukan; dan
e. merujuk Pasien ke Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai
kompetensi dan kewenangan yang sesuai
1020 Pasal 284 Tenaga medis dihapus
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang
menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan wajib memberikan pertolongan
pertama kepada Pasien dalam keadaan gawat
darurat dan/atau pada bencana
1021 Paragraf 2
Hak dan Kewajiban Pasien

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1022 Pasal 285
Pasien mempunyai hak:
a. mendapatkan informasi mengenai Peraturan
dirinya
b. mendapatkan penjelasan yang memadai
mengenai Pelayanan Kesehatan yang
diterimanya;
c. mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai
dengan kebutuhan medis, standar profesi, dan
pelayanan yang bermutu;
d. menolak atau menyetujui Peraturan medis;
f. meminta pendapat tenaga Kesehatan, lain; dan
e. mendapatkan akses terhadap informasi yang
terdapat di dalam rekam medis;
f. meminta pendapat Tenaga Medis lain; dan
g. hak lain sesuai dengan Peraturan
perundangan- undangan
1023 Pasal 286 Tenaga medis dihapus
Pasien mempunyai kewajiban:
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur
tentang masalah kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan; dan
d.memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang
diterima

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1024 Pasal 287 Tenaga medis dihapus
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan
kewajiban Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan
Pasien diatur dalam Peraturan Pemerintah
1025 Bagian Kesembilan
Penyelenggaraan Praktik
1026 Paragraf 1
Umum
1027 Pasal 288 Pasal 288
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Tenaga Kesehatan bertanggung jawab moral untuk:
bertanggungjawab moral untuk: a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang
dimiliki;
a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang
b. Meningkatkan kompetensi dengan mengikuti
keilmuan yang dimiliki; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika c. bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi;
profesi; d. mengutamakan kepentingan Pasien dan masyarakat di
c. mengutamakan kepentingan Pasien dan atas kepentingan pribadi atau kelomp.
masyarakat di atas kepentingan pribadi atau
kelomp; dan
d. menambah ilmu pengetahuan dan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi
1028 Pasal 289 Tenaga medis dihapus
(1) Dalam menjalankan praktik, Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan yang memberikan
Pelayanan Kesehatan kepada Pasien harus
melaksanakan upaya terbaik

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1029 (2) Upaya terbaik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan norma,
standar pelayanan, dan standar profesi, serta
kebutuhan Kesehatan pasien
1030 (3) Upaya terbaik sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dihapus
ayat (1) tidak menjamin keberhasilan
Pelayanan Kesehatan yang diberikan
1031 (4) Praktik Tenaga Medis dan Tenaga Tenaga medis dihapus
Kesehatan diselenggarakan berdasarkan
kesepakatan antara Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan dengan Pasien berdasarkan
prinsip kesetaraan dan transparansi
1032 Pasal 290
Dalam keadaan tertentu pelaksanaan praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 dapat
memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1033 Pasal 291 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang
berhalangan menyelenggarakan praktik
harus membuat pemberitahuan atau
menunjuk Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan pengganti
1034 (2) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan Tenaga medis dihapus
pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan yang mempunyai SIP
1035 (3) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan Tenaga medis dihapus
pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memiliki kompetensi dan keahlian
yang sama
1036 (4) Dalam hal Tenaga Medis atau Tenaga (4)Dalam hal Tenaga Kesehatan pengganti tidak memiliki
Kesehatan pengganti tidak memiliki kompetensi yang sama, Tenaga Kesehatan tersebut harus
kompetensi dan keahlian yang sama, Tenaga menginformasikan kepada Pasien yang bersangkutan.
Medis atau Tenaga Kesehatan tersebut harus
menginformasikan kepada Pasien yang
bersangkutan
1037 Pasal 292 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang
menyelenggarakan praktik perseorangan wajib
menginformasikan identitas yang jelas
termasuk nomor SIP dan STR pada tempat
praktik perseorangannya
1038 (2) Dalam hal Tenaga Medis berpraktik di Tenaga medis dihapus

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Fasilitas Pelayanan Kesehatan, pimpinan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
memasang pengumuman daftar nama dan
jadwal praktik Tenaga Medis
1039 (3) Setiap Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan dan Tenaga medis dihapus
pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai
sanksi administratif
1040 (4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. denda administratif; dan/atau
d. pencabutan izin
1041 (5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dikenakan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya
1042 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Menteri

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1043 Pasal 293 Tenaga medis dihapus
(1) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dilarang mendayagunakan Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan yang tidak memiliki
SIP untuk melakukan praktik di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tersebut
1044 (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat Tenaga medis dihapus
(1) dikecualikan bagi Fasilitas Pelayanan
Kesehatan di daerah terpencil, daerah
tertinggal, perbatasan dan kepulauan,
daerah bermasalah kesehatan, atau daerah
yang tidak mempunyai pemerataan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan
1045 Pasal 294
Fasilitas pelayanan kesehatan gawat darurat
dilarang meminta uang muka dan
mendahulukan segala urusan administrasi
sehingga menyebabkan tertundanya pelayanan
kesehatan
1046 Paragraf 2
Kewenangan
1047 Pasal 295 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam
menjalankan praktik harus sesuai dengan
kewenangan profesi yang didasarkan pada
kompetensi yang dimilikinya
1048 (2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang Tenaga medis dihapus

IKATAN APOTEKER INDONESIA


memiliki lebih dari satu jenjang pendidikan
memiliki kewenangan profesi sesuai dengan
lingkup dan tingkat kompetensi dan
kualifikasi tertinggi
1049 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kewenangan profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah
1050 Pasal 296 Tenaga medis dihapus
(1) Dalam keadaan tertentu, Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan dapat memberikan
pelayanan di luar kewenangannya
1051 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
pelayanan di luar kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah
1052 Paragraf 3
Pendelegasian Wewenang
1053 Pasal 297 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat
menerima pendelegasian wewenang untuk
melakukan Pelayanan Kesehatan dengan
kewajiban mempertanggungjawabkan kepada
pendelegasi wewenang
1054 (2) Tanggung jawab hukum pendelegasian
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tetap pada pendelegasi wewenang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1055 (3) Penerima pendelegasian wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mempunyai kompetensi untuk melakukan
tindakan dalam Pelayanan Kesehatan yang
didelegasikan
1056 (4) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diperoleh melalui pelatihan khusus
1057 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pendelegasian wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(3) diatur dalam Peraturan Menteri
1058 Pasal 298 Pasal 298
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat (1) Tenaga keperawatan atau tenaga kebidanan dapat
melaksanakan pelayanan kedokteran melaksanakan pelayanan kedokteran secara
dan/atau pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal:
terbatas dalam hal: a. tidak adanya tenaga medis di suatu wilayah
a. tidak adanya tenaga medis dan/atau tempat Tenaga Kesehatan bertugas;
apoteker di suatu wilayah tempat Tenaga b. kebutuhan program pemerintah; dan/atau KLB,
Kesehatan bertugas; Wabah, dan darurat bencana lainnya
b. kebutuhan program pemerintah; dan/atau
KLB, Wabah, dan darurat bencana lainnya
1059 (2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud Dihapus
pada ayat (1) merupakan tenaga
keperawatan atau tenaga kebidanan untuk
pelayanan kedokteran dan tenaga
kefarmasian selain apoteker untuk
pelayanan kefarmasian

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(2) Tenaga teknis kefarmasian dapat melaksanakan
pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal:
a. tidak adanya apoteker di suatu wilayah tempat
Tenaga Kesehatan bertugas;

b. kebutuhan program pemerintah; dan/atau


KLB, Wabah, dan darurat bencana lainnya

1060 (3) Kondisi tidak adanya tenaga medis dan/atau (3)Kondisi tidak adanya tenaga kesehatan dan/atau
apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
(1) huruf a ditetapkan oleh camat a dan ayat (2) huruf a, ditetapkan oleh camat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1061 (4) Pelaksanaan tugas dalam keadaan Usul perubahan ayat (4)
keterbatasan tertentu sebagaimana (4) Pelaksanaan tugas secara terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
Tenaga Kesehatan yang telah mengikuti oleh Tenaga Kesehatan yang dimaksud, yang telah
mengikuti pelatihan kompetensi yang sesuai
pelatihan dengan memperhatikan
kompetensi Tenaga Kesehatan
1062 (5) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan oleh Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah
1063 (6) Dalam menyelenggarakan pelatihan Tenaga medis dihapus
sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah dapat melibatkan Organisasi Profesi
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
terkait
1064 Pasal 299 Usul perubahan pasal 299 ayat (1)
(1) Pelaksanaan pelayanan kedokteran Pasal 299
dan/atau pelayanan kefarmasian secara 1. Pelaksanaan pelayanan kedokteran dan/atau
terbatas untuk kebutuhan program pelayanan kefarmasian secara terbatas untuk
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam kebutuhan program pemerintah sebagaimana
Pasal 298 ayat (1) huruf b dilaksanakan dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) huruf b dan ayat
melalui penugasan Tenaga Medis dan/atau (2) huruf b, dilaksanakan melalui penugasan Tenaga
Tenaga Kesehatan oleh Pemerintah Pusat Kesehatan y a n g d i m a k s u d oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah Pusat atau Pemerintah Daerah
1065 (2) Program pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


perundang-undangan
1066 (3) Pelaksanaan program pemerintah Usul perubahan ayat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3)Pelaksanaan program pemerintah sebagaimana
dilaksanakan oleh Tenaga Medis dan/atau dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Tenaga
Kesehatan yang dimaksud, yang telah mengikuti
Tenaga Kesehatan yang telah mengikuti
pelatihan yang sesuai
pelatihan dengan memperhatikan
kompetensi Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan
1067 (4) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan oleh Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah
1068 Pasal 300
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
praktik Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
diatur dalam Peraturan Menteri
1069 Paragraf 4
Standar Profesi, Standar Pelayanan, dan
Standar Prosedur Operasional
1070 Pasal 301 Tenaga medis dihapus
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan dalam menjalankan praktik
berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional
1071 (2) Standar profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk masing-masing jenis
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


disusun oleh Organisasi Profesi bersama
Kolegium dan ditetapkan oleh konsil
1072 (3) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan
strata Fasilitas Pelayanan Kesehatan
1073 (4) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah
1074 (5) Standar prosedur operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
1075 Pasal 302 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam
menjalankan praktik dapat melakukan
penelitian dan pengembangan
1076 (2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
mendukung pembangunan kesehatan di
bidang ilmu pengetahuan, keahlian,
kebijakan, dan teknologi melalui Upaya
Kesehatan dan sumber daya kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1077 (3) Penelitian dan pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
1078 Paragraf 5
Persetujuan Tindakan Pelayanan Kesehatan
1079 Pasal 303 Pasal 303
(1) Setiap tindakan Pelayanan Kesehatan (1)Setiap tindakan Pelayanan Kesehatan perseorangan
perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga yang dilakukan oleh Tenaga Kedokteran dan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan harus Kedokteran Gigi harus mendapat persetujuan
mendapat persetujuan
1080 (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan setelah Pasien mendapat
penjelasan yang memadai
1081 (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit mencakup:
a. diagnosis;
b. indikasi;
c. tindakan Pelayanan Kesehatan yang
dilakukan dan tujuannya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi;
e. alternatif tindakan lain dan risikonya;
f. risiko bila tindakan tidak dilakukan; dan
g. prognosis setelah memperoleh tindakan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1082 (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan
1083 (5) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) harus diperoleh sebelum
dilakukannya tindakan yang invasif
dan/atau mengandung risiko tinggi
1084 (6) Persetujuan tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
diberikan oleh Pasien yang bersangkutan
1085 (7) Dalam hal Pasien yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak
mampu memberikan persetujuan,
persetujuan tindakan dapat diberikan oleh
yang mewakili
1086 (8) Persetujuan tertulis melakukan tindakan (8)Persetujuan tertulis melakukan tindakan
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) ayat (1) sampai dengan ayat (7) ditandatangani oleh
ditandatangani oleh Pasien atau yang Pasien atau yang mewakili, dan disaksikan oleh
mewakili, dan disaksikan oleh salah seorang salah seorang Tenaga Kedokteran dan Tenaga
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan Kedokteran Gigi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1087 (9) Dalam hal keadaan Pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) tidak cakap dan
memerlukan tindakan segera akan tetapi
tidak ada pihak yang dapat dimintai
persetujuan, maka tidak diperlukan
persetujuan tindakan
1088 (10) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
(9) dilakukan berdasarkan kepentingan dilakukan berdasarkan kepentingan terbaik
terbaik Pasien yang diputuskan oleh Tenaga Pasien yang diputuskan oleh Tenaga Kedokteran
Kesehatan dan Tenaga Kedokteran Gigi
1089 (11) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(10) diinformasikan kepada Pasien setelah
Pasien telah cakap atau yang mewakili telah
hadir
1090 (12) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan
tindakan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (11) diatur dalam
Peraturan Menteri
1091 Pasal 304
(1) Selain mendapatkan penjelasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 303 ayat (3), Pasien
juga mendapatkan penjelasan atas biaya
Pelayanan Kesehatan yang diterimanya
1092 (2) Penjelasan atas biaya Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1093 Pasal 305
(1) Pelayanan Kesehatan masyarakat yang
merupakan program pemerintah tidak
memerlukan persetujuan tindakan
1094 (2) Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tetap harus diinformasikan
kepada masyarakat penerima Pelayanan
Kesehatan tersebut
1095 Paragraf 6
Rekam Medis
1096 Pasal 306 Pasal 306
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang memberikan
yang memberikan Pelayanan Kesehatan Pelayanan Kesehatan perseorangan wajib membuat
perseorangan wajib membuat rekam medis rekam medis/rekam kesehatan
1097 (2) Dalam hal Pelayanan Kesehatan (2)Dalam hal Pelayanan Kesehatan perseorangan
perseorangan sebagaimana dimaksud pada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
ayat (1) dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan selain tempat
Kesehatan selain tempat praktik mandiri, praktik mandiri, penyelenggaraan rekam
penyelenggaraan rekam medis merupakan medis/rekam kesehatan merupakan tanggung
tanggung jawab Fasilitas Pelayanan jawab Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Kesehatan
1098 (3) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada (3)Rekam medis/rekam kesehatan sebagaimana
ayat (1) harus segera dilengkapi setelah dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi
Pasien selesai menerima Pelayanan Kesehatan setelah Pasien selesai menerima Pelayanan
Kesehatan
1099 (4) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi (4)Setiap catatan rekam medis / rekam kesehatan
nama, waktu, dan tanda tangan Tenaga Medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


atau Tenaga Kesehatan yang memberikan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang
pelayanan atau tindakan memberikan pelayanan atau tindakan
1100 (5) Rekam medis Pasien sebagaimana dimaksud (5)Rekam medis/rekam kesehatan Pasien
pada ayat (3) harus disimpan dan dijaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
kerahasiaannya oleh Tenaga Medis, Tenaga disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh Tenaga
Kesehatan dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1101 Pasal 307 Pasal 307
(1) Dumen rekam medis sebagaimana dimaksud (1) Dumen rekam medis / rekam kesehatan
dalam Pasal 306 merupakan milik Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306
Pelayanan Kesehatan merupakan milik Fasilitas Pelayanan Kesehatan
1102 (2) Setiap Pasien berhak untuk mengakses Setiap Pasien berhak untuk mengakses informasi
informasi yang terdapat dalam dumen rekam yang terdapat dalam dumen rekam medis/rekam
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
1103 (3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menjaga Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menjaga
keamanan, keutuhan, kerahasiaan, dan keamanan, keutuhan, kerahasiaan, dan
ketersediaan data yang terdapat dalam ketersediaan data yang terdapat dalam dumen
dumen rekam medis sebagaimana dimaksud rekam medis/rekam kesehatan sebagaimana
pada ayat (1). dimaksud pada ayat (1).
1104 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekam medis Ketentuan lebih lanjut mengenai rekam medis /
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai rekam kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan
Pemerintah Pemerintah
1105 Pasal 308 Tenaga medis dihapus
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang
memberikan Pelayanan Kesehatan di luar
Pelayanan Kesehatan perseorangan wajib
membuat catatan Pelayanan Kesehatan yang
dilakukan sehingga dapat diintegrasikan ke
dalam sistem data pasien
1106 Paragraf 7
Rahasia Kesehatan Pasien
1107 Pasal 309 Tenaga medis dihapus
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan
wajib menyimpan rahasia Kesehatan pribadi
Pasien
1108 (2) Pembukaan rahasia Kesehatan pribadi
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan untuk kepentingan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(4).
1109 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia
Kesehatan pribadi Pasien diatur dalam
Peraturan Pemerintah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1110 Pasal 310 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan wajib
melaporkan kepada aparat penegak hukum jika
dalam pemberian Pelayanan Kesehatan
mengetahui atau menemukan dugaan tindak
pidana
1111 (2) Wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dari rahasia Kesehatan
1112 Paragraf 8
Kendali Mutu dan Kendali Biaya
1113 Pasal 311 Tenaga medis dihapus
(1) Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan wajib
menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya
serta memperhatikan keselamatan Pasien
1114 (2) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan
audit Pelayanan Kesehatan
1115 (3) Kendali mutu dan kendali biaya dalam Fasilitas
Pelayanan Kesehatan merupakan tanggung jawab
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
1116 (4) Pembinaan dan pengawasan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (3) dilaksanakan oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah
1117 Paragraf 9 Tenaga medis dihapus
Perlindungan bagi Tenaga Medis dan Tenaga

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Kesehatan dan Penerima Pelayanan Kesehatan
1118 Pasal 312 Tenaga medis dihapus
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam
menjalankan praktik berhak mendapatkan
pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
1119 Pasal 313
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
merupakan Rumah Sakit membentuk komite medis,
komite keperawatan, atau komite Tenaga Kesehatan
lain sesuai kebutuhan untuk menjaga dan
meningkatkan mutu pemberian Pelayanan Kesehatan
1120 Bagian Kesepuluh
Organisasi Profesi
1121 Pasal 314 Tenaga medis dihapus
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus
membentuk Organisasi Profesi sebagai wadah
untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan
etika profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
1122 (2) Setiap kelomp Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi
Profesi Catatan:
Penjelasan ayat (2)
Dalam membentuk organisasi profesi, semua jenis
spesialis dan subspesialis merupakan bagian dari
profesinya.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1123 (3) Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) membentuk perhimpunan ilmu
1124 (4) Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
1125 Bagian Kesebelas
Kolegium
1126 Pasal 315 Tenaga medis dihapus
(1) Kolegium dibentuk oleh perhimpunan ilmu yang
berperan sebagai pengarah, pembina, dan
penentu kebijakan pendidikan tenaga medis atau
tenaga kesehatan
1127 (2) Kolegium berwenang:
a. menyusun dan mengembangkan standar
pendidikan dan standar kompetensi cabang
disiplin ilmu yang disahkan oleh Konsil;
b. membuat kebijakan dan menyelenggarakan
ujian kompetensi profesi;
c. menerbitkan sertifikat kompetensi profesi;
d. melakukan pembinaan dan pemantauan
penyelenggaraan pendidikan;
e. merekomendasipembukaan program studi
baru kepada Konsil; dan
f. mengevaluasi pelaksanaan pendidikan di
institusi pendidikan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1128 (3) Pengurus Kolegium terdiri atas:
a. guru besar dari masing-masing cabang
disiplin ilmu;
b. kepala departemen/bagian ilmu yang
bersangkutan pada institusi pendidikan;
c. ketua program studi ilmu yang
bersangkutan;
d. ketua perhimpunan ilmu yang
bersangkutan; dan
e. anggota yang diangkat oleh ketua Kolegium
1129 Bagian Kedua Belas Tenaga medis dihapus
Penegakan Disiplin Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan serta Penyelesaian Perselisihan
1130 Paragraf 1 Tenaga medis dihapus
Penegakan Disiplin Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan
1131 Pasal 316 Pasal 316
(1) Dalam menegakkan disiplin profesi Tenaga (1) Dalam menegakkan disiplin profesi Tenaga Kesehatan,
Medis dan Tenaga Kesehatan, Menteri Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia membentuk majelis
membentuk majelis yang dapat bersifat yang bersifat ad hoc.
permanen atau ad hoc
1132 (2) Majelis yang bersifat permanen sebagaimana Dihapus
dimaksud pada ayat (1) memiliki fungsi untuk
penegakan disiplin pada kelomp Tenaga Medis
1133 (3) Majelis yang bersifat ad hoc sebagaimana (2) Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksud pada ayat (1) memiliki fungsi untuk memiliki fungsi untuk penegakan disiplin pada
penegakan disiplin pada kelomp Tenaga kelomp Tenaga Kesehatan
Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1134 Pasal 317
(1) Majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
316 ayat (2) bertanggung jawab kepada
Menteri melalui Konsil Kedokteran Indonesia
1135 (2) Majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2)Majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316
316 ayat (3) bertanggung jawab kepada ayat (1) bertanggung jawab kepada Konsil
Menteri melalui konsil masing-masing kelomp Tenaga Kesehatan Indonesia
Tenaga Kesehatan
1136 Pasal 318 Keanggotaan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
(1) Keanggotaan majelis sebagaimana dimaksud 316 berasal dari kalangan profesi Tenaga Kesehatan yang
dalam Pasal 316 ayat (1) berasal dari kalangan ditunjuk oleh Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia atas
profesi Tenaga Medis dan/atau Tenaga usulan dari Konsil masing-masing Kelomp Tenaga
Kesehatan atas usulan Konsil Kedokteran Kesehatan.
Indonesia dan konsil masing-masing kelomp
Tenaga Kesehatan sesuai kewenangannya
1137 (2) Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas seorang ketua dan paling sedikit 2
(dua) orang anggota
1138 (3) Pengambilan keputusan majelis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
kolektif kolegial

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1139 Pasal 319 Pasal 319
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan,
pengangkatan, masa bakti, dan persyaratan masa bakti, dan persyaratan keanggotaan majelis dalam
keanggotaan majelis dalam penegakan disiplin penegakan disiplin Tenaga Kesehatan ditetapkan oleh
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dalam Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
Peraturan Pemerintah
1140 Pasal 320 Pasal 320
(1) Setiap orang yang mengetahui atau (1) Setiap orang yang mengetahui atau
kepentingannya dirugikan atas tindakan Tenaga kepentingannya dirugikan atas tindakan
Medis atau Tenaga Kesehatan dalam Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
menjalankan Pelayanan Kesehatan mengadukan Pelayanan Kesehatan mengadukan secara
secara tertulis kepada Konsil Kedokteran tertulis kepada Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia atau konsil masing-masing kelomp Indonesia atau konsil dari masing-masing
Tenaga Kesehatan kelomp Tenaga Kesehatan
1141 (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit harus memuat:
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan dan waktu tindakan
dilakukan; dan
c. alasan pengaduan
1142 Pasal 321 Majelis untuk penegakan disiplin Tenaga Kesehatan
(1) Majelis untuk penegakan disiplin Tenaga Medis memeriksa dan memberikan putusan terhadap pengaduan
atau Tenaga Kesehatan memeriksa dan yang berkaitan dengan disiplin Tenaga Kesehatan.
memberikan keputusan terhadap pengaduan yang
berkaitan dengan disiplin Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan
1143 (2) Pemeriksaan majelis terhadap pengaduan dapat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi
1144 Pasal 322 Tenaga medis dihapus
(1) Putusan majelis untuk penegakan disiplin
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan berupa
pernyataan:
a. tidak melanggar disiplin profesi; dan
b.melanggar disiplin profesi
1145 (2) Pelanggaran disiplin profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi sanksi disiplin:
a. Peringatan tertulis;
b.kewajiban mengikuti pendidikan atau
pelatihan di institusi pendidikan tinggi bidang
kesehatan atau Rumah Sakit pendidikan
terdekat yang memiliki kompetensi untuk
melakukan pelatihan tersebut; dan/atau
c. penonaktifan STR untuk sementara waktu

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1146 (3) Putusan majelis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) bersifat mengikat Tenaga Medis, Putusan majelis sebagaimana dimaksud pada ayat
Tenaga Kesehatan, Konsil Kedokteran (2) bersifat mengikat Tenaga Kesehatan dan
Indonesia dan konsil Tenaga Kesehatan konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
Indonesia
1147 (4) Dalam hal Tenaga Medis atau Tenaga Tenaga medis dihapus
Kesehatan sudah melaksanakan sanksi yang
dijatuhkan oleh majelis, kembali penegak
hukum wajib mengutamakan penyelesaian
perselisihan dengan mekanisme keadilan
restoratif
1148 Pasal 323
(1) Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 310 dapat diajukan peninjauan kembali
kepada Menteri
1149 (2) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diajukan apabila
memenuhi:
a. ditemukan bukti baru;
b. kesalahan penerapan pelanggaran disiplin;
atau
c. terdapat dugaan konflik kepentingan
pada diri majelis terhadap yang diperiksa

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1150 Pasal 324
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 324
tugas dan fungsi majelis, tata cara penanganan Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan fungsi
kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara majelis, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan,
pemeriksaan serta pemberian putusan majelis dan tata cara pemeriksaan serta pemberian putusan majelis
dan tata cara peninjauan kembali, dan dan tata cara peninjauan kembali, dan pelaksanaan sanksi
pelaksanaan sanksi disiplin diatur dalam disiplin diatur dalam Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
Peraturan Pemerintah
1151 Pasal 325 Tenaga medis dihapus
Segala pendanaan kegiatan majelis dalam
penegakan disiplin Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
1152 Paragraf 2
Penyelesaian Perselisihan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1153 Pasal 326
Setiap Pasien yang dirugikan akibat kesalahan Tenaga medis dihapus
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dapat
meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
1154 Pasal 327 Tenaga medis dihapus
Dalam hal Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
diduga melakukan kesalahan dalam menjalankan
profesinya yang menyebabkan kerugian kepada
Pasien, perselisihan yang timbul akibat kesalahan
tersebut diselesaikan terlebih dahulu melalui
alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan
1155 Pasal 328 Pasal 328
Pengaduan kepada majelis dalam rangka penegakan Pengaduan kepada Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dalam
disiplin Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dan rangka penegakan disiplin Tenaga Kesehatan serta
penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian perselisihan melalui alternatif penyelesaian
penyelesaian sengketa di luar pengadilan perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 tidak Pasal 327 tidak menghilangkan hak setiap orang untuk
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang
adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke
berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata pengadilan.
ke pengadilan
1156 Bagian Ketiga Belas
Larangan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1157 Pasal 329 Usul perubahan pasal 329
Setiap Orang dilarang: Pasal 329
Setiap orang dilarang:
a. tanpa hak menggunakan identitas berupa
a. menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
gelar atau bentuk lain yang menimbulkan
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang
kesan bagi masyarakat yang bersangkutan
bersangkutan adalah tenaga Kesehatan yang telah memiliki
adalah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
STR dan/atau SIP;
yang telah memiliki STR dan/atau SIP;
b. menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
b. menggunakan alat, metode atau cara lain
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan
dalam memberikan pelayanan kepada
seolah-olah yang bersangkutan adalah tenaga Kesehatan yang
masyarakat yang menimbulkan kesan yang
telah memiliki STR dan/atau SIP; dan
bersangkutan adalah Tenaga Medis atau
c. melakukan praktik seolah-olah sebagai tenaga Kesehatan yang
Tenaga Kesehatan yang telah memiliki STR
telah memiliki STR dan/atau SIP.
dan/atau SIP; dan
c. melakukan praktik sebagai Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan tanpa memiliki STR
dan/atau SIP
1158 BAB VIII
PERBEKALAN KESEHATAN
1159 Pasal 330
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menjamin ketersediaan, pemerataan, dan
keterjangkauan Perbekalan Kesehatan,
terutama Obat esensial dan Obat program
nasional
1160 (2) Dalam menjamin ketersediaan, pemerataan
dan keterjangkauan Perbekalan Kesehatan,
dilaksanakan melalui perencanaan,

IKATAN APOTEKER INDONESIA


penyediaan, dan pendistribusian
1161 (3) Dalam keadaan darurat, Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dapat melakukan
kebijakan khusus untuk pengadaan dan
pemanfaatan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lain
1162 Pasal 331
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
merencanakan kebutuhan Perbekalan
Kesehatan
1163 (2) Perencanaan kebutuhan Perbekalan
Kesehatan oleh Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat
1164 (3) Perencanaan kebutuhan Perbekalan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat menggunakan teknologi informasi
1165 Pasal 332
(1) Pengadaan Perbekalan Kesehatan
mengutamakan produk dalam negeri
1166 (2) Ketentuan mengenai pengadaan Perbekalan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan
1167 Pasal 333

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(1) Pengelolaan Perbekalan Kesehatan dilakukan
agar kebutuhan dasar masyarakat akan
Perbekalan Kesehatan terpenuhi
1168 (2) Pengelolaan Perbekalan Kesehatan yang
berupa Obat esensial, Obat program nasional,
dan Alat Kesehatan dasar tertentu
dilaksanakan dengan memperhatikan
kemanfaatan, harga, dan faktor yang
berkaitan dengan pemerataan
1169 Pasal 334
(1) Pemerintah Pusat menyusun daftar dan
jenis Obat esensial yang harus tersedia bagi
kepentingan masyarakat dalam bentuk daftar
Obat esensial nasional
1170 (2) Daftar Obat esensial nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan
disempurnakan paling lama setiap 2 (dua)
tahun sesuai dengan perkembangan
kebutuhan dan teknologi
1171 (3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menjamin agar Obat esensial nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersedia
secara merata dan terjangkau oleh
masyarakat
1172 (4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menjamin ketersediaan dan keterjangkauan
Perbekalan Kesehatan berupa Obat generik

IKATAN APOTEKER INDONESIA


yang termasuk dalam daftar Obat esensial
nasional, dan Obat program nasional
1173 (5) Pemerintah Pusat berwenang mengendalikan
dan menetapkan harga Obat generik
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
1174 (6) Untuk menjamin ketahanan nasional, Obat
generik International Nonpropertery Name (INN)
yang dipasarkan di Indonesia hanya boleh
dibuat oleh industri farmasi dalam negeri
1175 (7) Industri farmasi dalam negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dapat diberikan
fasilitas/insentif, baik fiskal maupun
nonfiskal
1176 Pasal 335
(1) Untuk menjamin ketersediaan dan
keterjangkauan Obat yang masih dilindungi
paten, dapat dilakukan intervensi berupa:
a. Pelaksanaan paten oleh Pemerintah Pusat;
atau
b.Lisensi wajib
1177 (2) Pelaksanaan paten oleh Pemerintah Pusat
atau lisensi wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan
1178 (3) Setiap distributor Perbekalan Kesehatan
berupa Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
harus menyampaikan laporan kegiatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


pendistribusian kepada Menteri

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1179 Pasal 337 Pasal 337
(1)Obat digolongkan menjadi Obat Ayat (1)
dengan resep dter dan Obat tanpa Disesuaikan menjadi: “Obat digolongkan menjadi obat dengan resep,
resep dokter obat yang diserahkan apoteker dan obat tanpa resep.

Ayat (3)
Dalam keadaan tertentu, apoteker dapat menyerahkan obat keras
tanpa resep dter.

Penjelasan Pasal 337 disesuaikan menjadi:


Pasal 337 Ayat (1)
“Yang dimaksud obat dengan resep adalah narkotika dan obat keras
psikotropika, yang diserahkan oleh apoteker berdasarkan resep.”

“Yang dimaksud obat yang diserahkan apoteker adalah obat yang dapat
diserahkan apoteker berdasarkan kewenangannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”

“Yang dimaksud obat tanpa resep adalah obat yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diserahkan tanpa
resep.”

Pasal 337 Ayat (3) – tambahan-


“Yang dimaksud dengan keadaan terentu adalah berdasarkan
pertimbangan ilmiah, manfaat, sosial, kedaruratan, pembatasan
jumlah, dan hubungan khusus.”

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Catatan:
Penjelasan/ alasan penyesuaian:
Berkaitan dengan poin (1) dimana negara perlu menjamin hak
masyarakat melakukan Upaya Kesehatan Mandiri untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal, namun tetap dalam koridor rasional,
aman dan terjangkau maka diperlukan pendampingan oleh apoteker.
Oleh karena itu, untuk menolong masyarakat memenuhi haknya akan
pelayanan kesehatan, perlu penyesuaian dalam penggolongan obat
sebagaimana di atas.

1180 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai


penggolongan Obat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah
1181 Pasal 338 Usul perubahan pasal 338
(1) Obat bahan alam digolongkan menjadi: (1) Obat bahan alam digolongkan menjadi:
a. Jamu; dan a. Jamu; dan
b. Obat herbal b. Obat herbal terstandar
c. Fitofarmaka
1182 (2) Jamu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. Jamu empiris;
b. Jamu terstandar; dan
c. Jamu fitofarmaka
1183 (3) Obat herbal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Obat herbal terstandar;
b. Obat herbal fitofarmaka; dan
c. Obat herbal impor

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1184 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggolongan Obat Bahan Alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah
1185 BAB IX Usulan penambahan definisi tentang Ketahanan dan
KETAHANAN KEFARMASIAN DAN ALAT Kemandirian bisa di Bab IX atau ditambahkan di Bab I Definisi
KESEHATAN Umum

Ketahanan farmasi adalah kemampuan suatu negara untuk


memastikan pasan obat-obatan yang aman, efektif, dan terjangkau bagi
penduduknya. Ketahanan farmasi (nasional) sangat penting untuk
mengatasi ancaman kesehatan masyarakat, seperti wabah penyakit
atau bencana alam, dan untuk memastikan kesehatan yang optimal
bagi warga negara
Kemandirian farmasi (nasional) adalah kemampuan suatu negara
untuk memenuhi kebutuhan produk farmasi seperti obat-obatan,
vaksin, dan perangkat medis melalui sumber daya dan kapasitas
domestik. Kemandirian farmasi ini membantu negara mengurangi
ketergantungan pada impor dan meningkatkan ketahanan terhadap
gangguan pasan global, fluktuasi harga, dan ancaman kesehatan
masyarakat

Ketahanan Farmasi akan terbentuk salahsatunya dengan


meningkatkan Kemandirian Farmasi, dikarenakan tidak semua obat
dan bahan baku obat bisa dan layak di produksi sendiri di dalam
Negeri, Maka untuk menjamin ketersediaan farmasi dalam rangka
ketahanan Famasi (nasional), diperllukan kolaborasi International dan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


regional

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1186 Pasal 339
Sumber Sediaan Farmasi yang berasal dari alam Usulan perubahan pasal 339:
semesta dan sudah terbukti berkhasiat, halal, Sumber Sediaan Farmasi yang berasal dari alam
dan aman digunakan dalam pencegahan, semesta dan sudah terbukti berkhasiat, halal, dan
pengobatan, dan/atau perawatan, serta aman digunakan dalam pencegahan,
pemeliharaan Kesehatan, tetap harus dijaga pengobatan, dan/atau perawatan, serta
kelestariannya pemeliharaan Kesehatan, tetap harus dijaga
kelestariannya

Catatan:
Usulan istilah alam semesta diganti menjadi Alam saja

Kata “Halal” diusulkan yidak dicantumkan pada UU ini


karena sdh diatur di UU JPH
1187 (1)Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mengolah, memproduksi,
mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan Sediaan
Farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya
1188 (2)Pengolahan, produksi, peredaran,
pengembangan, peningkatan, dan
penggunaan Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan
sesuai dengan ketentuan Peraturan
perundang- undangan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1189 (3)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menjamin pengembangan dan kelestarian Usul perubahan ayat (4)
sumber Sediaan Farmasi yang berasal dari “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
alam semesta ketersedian lahan, pengembangan, kelestarian sumber
Sediaan Farmasi yang berasal dari alam semesta.”

Catatan:
Penjelasan/ alasan sisipan: apabila obat yang berasal dari
bahan alam masuk kedalam Pelayanan Kesehatan Formal
atau masuk sistem JKN maka secara alamiah akan terjadi
peningkatan kebutuhan baik obat serta bahan bakunya.
Hal ini tentu akan diikuti kebutuhan akan ketersediaan
lahan untuk budidaya, belum lagi akan terjadi persaingan
lahan dengan komoditas tanaman lain, sehingga
ketersediaan lahan menjadi faktor utama untuk ketahanan
farmasi nasional
1190 Pasal 340
(1)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
mendorong dan mengarahkan penemuan dan
pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan dengan memanfaatkan potensi
nasional yang tersedia

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1191 (2)Penemuan dan pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk Usul perubahan ayat (2):
Obat, bahan Obat, vaksin, bahan alam yang Penemuan dan pengembangan sebagaimana
berkhasiat Obat, dan Alat Kesehatan dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk Obat,
bahan Obat, vaksin, bahan alam yang berkhasiat
Obat, dan Alat Kesehatan

Catatan:
Diusulkan kata vaksin di hapus saja karena sudah masuk
kategori Obat, supaya konsisten
1192 (3)Penemuan dan pengembangan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan dilakukan
dengan memperhatikan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta kelestarian
lingkungan hidup, sumber daya alam, norma
agama dan kearifan sosial budaya
1193 (4)Penemuan dan pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh
industri farmasi, industri alat kesehatan,
lembaga penelitian, dan lembaga pendidikan
1194 Pasal 341
(1)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menjamin penemuan, pengembangan, dan
pemeliharaan bahan baku Obat Bahan Alam

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1195 (2)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
mendorong pemanfaatan sumber daya alam
guna penemuan dan pengembangan Obat
Bahan Alam dengan tetap memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup dan sosial
budaya
1196 (3)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dalam mendorong pemanfaatan sumber daya
alam guna penemuan dan pengembangan
Obat Bahan Alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus menciptakan iklim usaha
yang sehat bagi masyarakat dan pelaku usaha
1197 (4)Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya
penemuan dan pengembangan, dan
pemeliharaan Obat Bahan Alam diatur
dengan Peraturan Menteri
1198 Pasal 342
Pengembangan Obat Bahan Alam bertujuan
untuk:
a. memanfaatkan sumber daya alam dan
ramuan tradisional secara berkelanjutan
dalam penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan;
b. menjamin pengelolaan potensi alam sehingga
mempunyai daya saing yang tinggi sebagai
sumber ekonomi masyarakat; dan
c. menyediakan keunggulan yang memberikan
multi manfaat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1199 Pasal 343 Usulan perubahan pasal 343:
(1)Untuk mewujudkan kemandirian Sediaan Untuk mewujudkan ketahanan Sediaan Farmasi
Farmasi dan Alat Kesehatan, Pemerintah dan Alat Kesehatan, Pemerintah Pusat dan
Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong Pemerintah Daerah mendorong percepatan
percepatan kemandirian industri Sediaan kemandirian industri Sediaan Farmasi dan Alat
Farmasi dan Alat Kesehatan Kesehatan

Catatan:
Kata Ketahanan lebih tepat dalam hal ini kalau dilihat
definisi diatas
1200 (2)Percepatan kemandirian industri Sediaan Usulan perubahan ayat (2):
Farmasi dan Alat Kesehatan dilakukan Kemandirian Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
melalui pengembangan dan penguatan dilakukan melalui pengembangan dan penguatan tata
industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan kelola rantai pas Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dari
dari hulu hingga hilir secara terintegrasi hulu hingga hilir secara terintegrasi dengan target
dengan target penggunaan dan pemenuhan penggunaan dan pemenuhan Sediaan Farmasi dan Alat
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang Kesehatan yang diproduksi dalam negeri untuk
diproduksi dalam negeri untuk ketahanan ketahanan dan kemajuan Kesehatan nasional
dan kemajuan Kesehatan nasional
Catatan:
Kemandirian tidak hanya tergantung industri farmasi,
tetapi tergantung seluruh rantai pemas farmalkes
1201 (3)Pemenuhan kebutuhan ketahanan Kesehatan
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan secara bertahap sesuai dengan
prioritas nasional
1202 (4)Pengembangan dan penguatan industri
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan:
a. meningkatkan daya saing industri Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan;
b. memberikan dukungan bagi penguasaan
dan pemanfaatan teknologi dan inovasi,
serta riset dan pengembangan dalam bidang
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
c. memproduksi Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan dalam negeri untuk pemenuhan
kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta
meningkatkan kegiatan industri/utilisasi
kapasitas industry
d. memastikan penggunaan bahan baku
Obat produksi dalam negeri oleh industri
farmasi dalam negeri; dan
e. mengoptimalkan peran akademisi, pelaku
usaha, pemerintah, dan masyarakat
1203 Pasal 344
(1)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
mendorong industri Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan dan masyarakat untuk
meningkatkan penggunaan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan dalam negeri
1204 (2)Industri Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa industri Obat
harus memprioritaskan penggunaan bahan
baku Obat produksi dalam negeri
1205 (3)Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
swasta dalam mengadakan Obat harus

IKATAN APOTEKER INDONESIA


memprioritaskan Obat yang menggunakan
bahan baku Obat produksi dalam negeri
1206 Pasal 345
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
melakukan upaya ketahanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan melalui:
a. penerbitan kebijakan dan peraturan
termasuk memberikan insentif pada pelaku
usaha yang ikut berupaya mewujudkan
ketahanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan;
b. pemberian kemudahan dalam pelaksanaan
riset dan transfer teknologi untuk Usulan penambahan poin g:
mendukung ketahanan Sediaan Farmasi pendampingan untuk akses pasar eksport Hal ini akan
dan Alat Kesehatan berupa fasilitasi membantu perusahaan farmasi lal tumbuh dan bersaing
infrastruktur, suprastruktur, anggaran dan
dalam pasar global
regulasi;
c. pemberian dukungan penggunaan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan produksi dalam
negeri dengan memberikan jaminan pasar
yang sehat;
d. pengembangan industri bahan baku dan
pemanfaatan produk bahan bakunya
e. peningkatan penelitian dan pengembangan;
dan
f. percepatan lisensi wajib atau pelaksanaan
paten oleh Pemerintah Pusat dalam kondisi
bencana, KLB atau Wabah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1207 Pasal 346
(1)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
memberikan kemudahan dalam
penyelenggaraan hilirisasi riset nasional
untuk meningkatkan daya saing industri
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
1208 (2)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
membangun ekosistem riset yang terdiri dari
infrastruktur penelitian, kemudahan
perizinan riset dan pendukung riset, dan
sumber daya manusia
1208 (3)Infrastruktur penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibangun oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat
1209 (4)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
memberikan kemudahan perizinan riset dan
pendukung riset sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tanpa mengurangi pelindungan
terhadap nilai-nilai penelitian

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1210 (5)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dapat memberikan dukungan bagi institusi
dan/atau masyarakat yang melakukan
investasi riset kefarmasian dan Alat
Kesehatan
1211 Pasal 347
Ketentuan mengenai percepatan pengembangan
dan ketahanan industri Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan diatur dalam Peraturan
Pemerintah
1212 Pasal 348
(1)Dalam rangka mendukung kemandirian
industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan,
Pemerintah Pusat dapat memberikan prioritas
insentif bagi industri Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan
1213 (2)Prioritas insentif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) termasuk bagi setiap industri
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang
melakukan kegiatan penelitian,
pengembangan dan inovasi di dalam negeri
1214 (3) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) berupa fiskal dan nonfiskal

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1215 (4)Ketentuan mengenai pemberian prioritas
insentif bagi industri Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
1216 BAB X
SISTEM INFORMASI KESEHATAN
1217 Bagian Kesatu
Umum
1218 Pasal 349
(1)Dalam rangka menyelenggarakan Upaya
Kesehatan yang efektif dan efisien
diselenggarakan Sistem Informasi
Kesehatan
1219 (2)Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
oleh:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah;
c. Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
d. masyarakat, baik perseorangan maupun
kelomp
1220 (3)Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
wajib menghubungkan sistem yang
dikelolanya dengan sistem yang
mengintegrasikan seluruh Pelayanan
Kesehatan yang diselenggarakan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
1221 (4)Kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan dapat
memberikan dukungan berupa bantuan
teknis kepada penyelenggara sistem
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan.
1222 Bagian Kedua
Tata Kelola Sistem Informasi Kesehatan
1223 Pasal 350
(1)Penyelenggara SistemInformasi Kesehatan
melaksanakan tata kelola yang mendukung
pelayanan dan pelaporan di bidang Kesehatan
1224 (2)Tata kelola Sistem Informasi Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan rangkaian kegiatan untuk
menjamin mutu dan keandalan sistem
1225 (3)Tata kelola Sistem Informasi Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dituangkan dalam dumen arsitektur Sistem
Informasi Kesehatan
1226 (4)Dumen arsitektur Sistem Informasi Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
meliputi:
a. Proses bisnis;
b. Data dan informasi;
c. Infrastruktur;
d. Aplikasi;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


e. Keamanan; dan
f. layanan
1227 (5)Dumen arsitektur Sistem Informasi Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disusun
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh
Menteri
1228 (6)Selain untuk kepentingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan
Sistem Informasi Kesehatan juga ditujukan
untuk pengembangan sistem informasi di
bidang bioteknologi Kesehatan
1229 (7)Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
wajib melakukan pengelolaan, pemrosesan,
dan/atau penyimpanan Sistem Informasi
Kesehatan dan data informasi Kesehatan di
wilayah Indonesia

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1230 (8) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dapat
melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau
penyimpanan Sistem Informasi Kesehatan dan data
informasi Kesehatan di luar wilayah Indonesia dalam hal
teknologi pengelolaan, pemrosesan, dan/atau
penyimpanan tidak tersedia di dalam negeri.
1231 (9) Pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan
Sistem Informasi Kesehatan dan data informasi
Kesehatan di luar wilayah Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dilakukan atas izin Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
1232 Pasal 351
(1)Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
memastikan keandalan Sistem Informasi Kesehatan
yang meliputi:
a. ketersediaan;
b. keamanan;
c. pemeliharaan; dan
d. integrasi
1233 (2)Keandalan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a. menguji kelaikan sistem;
b. menjaga kerahasiaan data;
c. menentukan kebijakan hak akses data;
d. memiliki sertifikasi keandalan sistem; dan
e. melakukan audit secara berkala
1234 (3)Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib

IKATAN APOTEKER INDONESIA


menerapkan pengamanan untuk memastikan keandalan
sistem
1235 Pasal 352
(1)Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib
menyediakan data dan informasi yang berkualitas dan
terintegrasi
1236 (2)Masyarakat hanya dapat mengakses data yang bersifat
publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai keterbukaan informasi publik
1237 (3)Masyarakat dapat mengakses data Kesehatan dirinya
melalui penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
1238 (4)Pengelolaan data dan informasi Kesehatan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang tata kelola data
1239 Pasal 353 Usul penambahan huruf:
(1)Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib f. penyimpanan
melaksanakan pengelolaan data dan informasi g. pemusnahan
Kesehatan yang meliputi:
a. perencanaan;
Catatan:
b. pengumpulan;
- agar dengan adanya penyimpanan maka
c. pemeriksaan; keamanan pada sisitem informasi kesehatan
d. transfer; dan lebih terjaga
e. pemanfaatan - dengan diaturnya pemusnahan, maka data
data pada sitem inforamsi lebih dapat
terkeloal dengan baik, terutama untuk data
data yang sudah sangat lama
1240 (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

IKATAN APOTEKER INDONESIA


huruf a ditujukan untuk menentukan daftar data dan
informasi yang akan dikumpulkan
1241 (3) Pengumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilaksanakan sesuai dengan hasil perencanaan
data
1242 (4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilaksanakan dalam rangka menjamin kualitas
data dan informasi
1243 (5) Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilaksanakan antar penyelenggara Sistem Informasi
Kesehatan melalui sistem layanan integrasi Kesehatan
milik kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan
1244 (6) Data dan informasi yang dikelola oleh Penyelenggara
Sistem Informasi Kesehatan dapat ditransfer ke luar
wilayah Indonesia untuk tujuan yang spesifik dan
terbatas dengan mendapat izin dari Menteri
1245 (7) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e dilaksanakan untuk:
a. Kesehatan perseorangan;
b. Kesehatan masyarakat;
c. pembangunan Kesehatan; dan
d.pengambilan kebijakan
1246 (8) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dapat
memusnahkan data dan informasi setelah berakhirnya
masa penyimpanan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1247 (9) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
wajib mencatat riwayat pengelolaan data dan
informasi, termasuk pemusnahan
1248 (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
data dan informasi Kesehatan diatur dengan
Peraturan Pemerintah
1249 Pasal 354
(1)Sistem Informasi Kesehatan memuat data dan
informasi yang bersumber dari:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah;
c. badan/lembaga yang menyelenggarakan
program jaminan sosial nasional;
d. badan/lembaga lain yang menyelenggarakan
kegiatan di bidang Kesehatan;
e. kegiatan masyarakat selain Fasilitas
Pelayanan Kesehatan;
f. pelaporan mandiri perseorangan; dan
g. sumber lainnya
1250 (2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas data dan informasi
pribadi dan data dan informasi publik
1251 Pasal 355
(1)Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
wajib menjamin perlindungan data dan
informasi Kesehatan setiap individu
1252 (2)Pengelolaan data dan informasi Kesehatan
yang menggunakan data Kesehatan individu

IKATAN APOTEKER INDONESIA


wajib mendapatkan persetujuan dari pemilik
data
1253 (3)Pemilik data sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berhak:
a. Mendapatkan mendapatkan informasi
mengenai tujuan pengumpulan data
kesehatan individu
b.mengakses dan melakukan perbaikan data
dan informasi melalui penyelenggara Sistem
Informasi Kesehatan
c. meminta penyelenggara Sistem Informasi
Kesehatan mengirimkan datanya ke
penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
lainnya; dan
d.meminta penyelenggara Sistem Informasi
Kesehatan menghapus data yang tidak benar
atas persetujuan pemilik data

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1254 (4)Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), terhadap:
a. data dan informasi Kesehatan yang tidak
dapat ditelusuri identitasnya atau berupa
data agregat; dan/atau
b.data dan informasi Kesehatan untuk
kepentingan umum atau kepentingan lain
yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan
1255 (5)Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
wajib menginformasikan kepada pemilik data
apabila terdapat kegagalan pelindungan data
dan informasi Kesehatan individu
1256 (6)Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
wajib melaporkan kepada penegak hukum
dan lembaga terkait apabila terjadi kegagalan
dan/atau gangguan yang serius dalam
penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan
1257 (7)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan
data dan informasi Kesehatan setiap individu
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
1258 BAB XI
TEKNOLOGI KESEHATAN
1259 Pasal 356
(1)Teknologi Kesehatan diselenggarakan, diteliti,
diproduksi, diedarkan, dikembangkan,

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dan/atau dimanfaatkan bagi Kesehatan
1260 (2) Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) termasuk perangkat keras dan
perangkat lunak
1261 (3)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
mendorong pemanfaatan produk Teknologi
Kesehatan dalam negeri
1262 (4) Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi standar
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
1263 Pasal 357
(1)Dalam mengembangkan Teknologi
Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 356 dapat dilakukan penelitian dalam
laboratorium, penelitian terhadap manusia,
dan/atau penelitian terhadap hewan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1264 (2)Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memiliki protol penelitian yang
jelas, menggunakan kaidah ilmiah yang bisa
diterima, lulus kaji etik, dan memiliki izin
dari pihak yang berwenang
1265 (3)Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperhatikan manfaat, risiko,
keselamatan manusia, dan kelestarian
lingkungan hidup
1266 (4)Dalam hal penelitian Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap
manusia maka harus mendapat persetujuan
dari pihak yang menjadi subjek penelitian
1267 (5)Penelitian terhadap manusia dilakukan
dengan menghormati hak-hak subjek
penelitian termasuk jaminan tidak
merugikan manusia yang dijadikan subjek
penelitian
1268 (6)Penelitian terhadap hewan harus dijamin
untuk melindungi kelestarian hewan
tersebut serta mencegah dampak buruk
yang tidak langsung bagi kesehatan
manusia
1269 (7)Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


perundang- undangan
1270 Pasal 358
(1)Setiap penelitian dan pengembangan
Teknologi Kesehatan harus
mempertimbangkan potensi risiko dan
manfaatnya terhadap Kesehatan masyarakat
1271 (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian
dan pengembangan Teknologi Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
1272 Pasal 359
(1)Dalam rangka mendukung Pelayanan
Kesehatan, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah mendorong pemanfaatan
teknologi biomedis
1273 (2)Pemanfaatan teknologi biomedis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup teknologi genomik,
transkriptomik, proteomik, dan
metabolomik terkait organisme, jaringan,
sel, dan biomolekul
1274 (3)Pemanfaatan teknologi biomedis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan mulai dari kegiatan pengambilan
spesimen, penyimpanan spesimen jangka
panjang, serta pengelolaan dan pemanfaatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


spesimen dan data terkait, yang ditujukan
untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
Teknologi Kesehatan dan Pelayanan
Kesehatan, termasuk pelayanan kedokteran
presisi (precision medicine).
1275 (4)Pengambilan spesimen, penyimpanan
spesimen jangka panjang, serta pengelolaan
dan pemanfaatan spesimen dan data terkait
wajib mendapatkan persetujuan dari Pasien
dan/atau pendonor
1276 (5)Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), pengelolaan dan
pemanfaatan spesimen dan data terkait tidak
wajib mendapatkan persetujuan dari Pasien
dan/atau pendonor apabila:
a. data yang tidak dapat ditelusuri
identitasnya atau berupa data agregat;
b. data untuk kepentingan penelitian ilmiah
tertentu;
c. data untuk kepentingan hukum;
dan/atau
d. data untuk kepentingan umum
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
1277 Pasal 360
(1)Penyimpanan dan pengelolaan spesimen
harus dilakukan oleh biobank atau
biorepositori

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
1278 (2) Biobank atau biorepository
diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, laboratorium diagnostik, institusi
pendidikan, dan lembaga penelitian dan
pengembangan Kesehatan, baik milik
pemerintah maupun swasta
1279 (3) Penyelenggaraan biobank atau
biorepositori sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus mendapatkan penetapan dari
Menteri
1280 (4) Penyelenggaraan biobank atau biorepositori
wajib menerapkan prinsip:
a. keamanan;
b. kerahasiaan atau privasi;
c. akuntabilitas.
d. kemanfaatan;
e. kepentingan umum;
f. penghormatan terhadap hak asasi
manusia;
g. etika, hukum, dan medikolegal; dan
h.sosial budaya
1281 (5) Penyelenggara biobank atau biorepositori wajib
menyimpan spesimen dan data di dalam
negeri
1282 (6) Penyelenggara biobank atau biorepositori
dapat mengintegrasikan data dan informasi
spesimen dengan Sistem Informasi
Kesehatan yang diselenggarakan oleh

IKATAN APOTEKER INDONESIA


kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan
1283 Pasal 361
(1)Pengalihan dan penggunaan spesimen, data,
dan informasi ke luar wilayah Indonesia
dilakukan dengan memperhatikan prinsip-
prinsip pemeliharaan kekayaan sumber daya
hayati dan genetika Indonesia
1284 (2)Pengalihan dan penggunaan spesimen, data,
dan informasi ke luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan:
a. apabila pemeriksaan spesimen termasuk
genomik belum dapat dilakukan di dalam
negeri; dan/atau
b.untuk tujuan penelitian
1285 (3)Pengalihan dan penggunaan spesimen, data,
dan informasi ke luar wilayah Indonesia
harus dilengkapi Perjanjian Alih
Material/Material Transfer Agreement yang
disusun berdasarkan asas kesetaraan dan
keadilan
1286 Pasal 362
(1)Pengambilan dan pengiriman spesimen
hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan serta dilakukan di

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Fasilitas Pelayanan Kesehatan tertentu
1287 (2)Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
pengambilan dan pengiriman spesimen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
1288 Pasal 363
(1)Setiap orang dilarang melakukan
diskriminasi atas hasil pemeriksaan dan
analisis genetik seseorang
1289 (2)Setiap orang yang melanggar ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikenakan sanksi administratif oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya berupa
pengenaan denda administratif sampai
dengan pencabutan izin
1290 (3)Ketentuan mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1291 Pasal 364
Penggunaan spesimen, data, dan informasi
biomedis oleh industri atau untuk kepentingan
komersial harus mendapatkan izin Menteri
1292 BAB XII
WABAH PENYAKIT MENULAR
1293 Bagian Kesatu
Umum
1294 Pasal 366
(1)Untuk melindungi masyarakat dari Wabah,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
melaksanakan kegiatan Kewaspadaan Wabah,
Penanggulangan Wabah, dan pasca-Wabah
1295 (2)Dalam melaksanakan kegiatan Kewaspadaan
Wabah, Penanggulangan Wabah, dan pasca-
Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dapat membentuk satuan tugas yang
melibatkan unsur Tenaga Medis, Tenaga
Kesehatan, akademisi atau pakar, Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian Republik
Indonesia, lintas sektor, dan toh
masyarakat/agama

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1296 Pasal 367
(1)Pelaksanaan kegiatanKewaspadaan Wabah, Penanggulangan
Wabah, dan pasca-Wabah secara teknis Kesehatan
dikoordinasikan oleh Menteri bekerja sama dengan pimpinan
kementerian/lembaga terkait sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
1297 (2) Pimpinan kementerian/Lembaga terkait wajib
memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan
Kewaspadaan Wabah, Penanggulangan Wabah, dan
pasca wabah
1298 Bagian Kedua
Penetapan Jenis Penyakit yang berpotensi menimbulkan wabah
1299 Pasal 368
(1)Dalam rangka Kewaspadaan wabah ditetapkan jenis
penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
1300 (2)Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan dalam:
a. penyakit menular endemis tertentu
b. penyakit menular baru; dan/atau
c. penyakit menular lama yang muncul kembali
1301 (3)Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan kriteria:
a. penyakit yang disebabkan oleh agen biologi;
b. dapat menular dari manusia ke manusia dan/atau dari
hewan ke manusia;
c. berpotensi menimbulkan sakit yang parah, kecacatan,
dan/atau kematian; dan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


d.berpotensi meningkat dan menyebar secara cepat
1302 (4)Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri
1303 (5)Menteri dapat menetapkan perubahan jenis penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dengan mempertimbangkan perkembangan
epidemiologis penyakit, sosial budaya, keamanan, ekonomi,
dan ilmu pengetahuan dan teknologi
1304 Bagian Ketiga
Kewaspadaan Wabah di Wilayah
1305 Pasal 369
(1)Dalam rangka Kewaspadaan Wabah di wilayah, Pemerintah
Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi harus
melaksanakan kegiatan:
a. pemantauan terhadap terjadinya jenis penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah dan pemetaan faktor
risiko terjadinya Wabah;
b. penanganan terhadap kasus penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah dan faktor risikonya;
c. penetapan Daerah Terjangkit KLB dan Penanggulangan
KLB; dan kesiapsiagaan sumber daya bila sewaktu-waktu
terjadi Wabah
1306 (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara komprehensif dan berkesinambungan
1307 Pasal 370
(1)Bupati/walikota atau gubernur menetapkan atau mencabut
suatu Daerah Terjangkit KLB berdasarkan kriteria

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
1308 (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria KLB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah
1309 Pasal 371
(1)Dalam hal bupati/walikota atau gubernur
menetapkan Daerah Terjangkit KLB, wajib
segera melaksanakan kegiatan penanggulangan
KLB
1310 (2)Pelaksanaan kegiatan penanggulangan KLB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah
1311 Pasal 372
Dalam hal bupati/wali kota dan gubernur tidak
melakukan penetapan KLB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 370 dan/atau tidak melaksanakan
kegiatan penanggulangan KLB sebagaimana
dimaksud Pasal 371 dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
1312 Bagian Keempat
Kewaspadaan Wabah dan Karantina di Pintu Masuk
1313 Paragraf 1
Umum

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1314 Pasal 373
(1)Dalam rangka Kewaspadaan Wabah dan
karantina di Pintu Masuk, Pemerintah Pusat
melaksanakan kegiatan pengamatan
penyakit dan/atau faktor risiko penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah
dan/atau ancaman terhadap ketahanan
nasional di bidang Kesehatan
1315 (2)Dalam melaksanakan kegiatan pengamatan
penyakit dan/atau faktor risiko penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah
dan/atau ancaman terhadap ketahanan
nasional di bidang kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk BKKN
1316 (3)BKKN sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berkedudukan di ibukota negara dan
dapat membentuk kantor perwakilan di
provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai
kebutuhan dan kemampuan anggaran
negara
1317 (4)BKKN dipimpin kepala badan yang
diangkat oleh Presiden
1318 (5) Masa jabatan BKKN sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) selama 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk satu kali
masa jabatan yang sama
1319 (6)Ketentuan lebih lanjut mengenai BKKN

IKATAN APOTEKER INDONESIA


diatur dengan Peraturan Presiden
1320 Pasal 374
(1)Dalam rangka pengamatan penyakit
dan/atau faktor risiko penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah dan/atau
ancaman terhadap ketahanan nasional di
bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 373 ayat (1) dilakukan
pengawasan terhadap alat angkut, orang,
barang dan/atau lingkungan
1321 (2)Pengawasan terhadap alat angkut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap kapal, pesawat udara,
dan kendaraan darat yang melayani
angkutan sipil baik pada saat kedatangan
maupun keberangkatan
1322 (3)Selain terhadap kapal, pesawat udara, dan
kendaraan darat yang melayani angkutan
sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pengawasan juga dilakukan terhadap kapal,
pesawat udara, dan kendaraan darat non
sipil untuk kebutuhan transportasi perang,
pejabat negara, dan/atau tamu negara, yang
pelaksanaannya berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga terkait
1323 (4)Dalam hal ditemukan penyakit dan/atau
faktor risiko penyakit yang berpotensi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


menimbulkan Wabah dan/atau ancaman
terhadap ketahanan nasional di bidang
kesehatan di Pintu Masuk, maka segera
dilakukan tindakan penanggulangan
1324 (5)Tindakan penanggulangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. skrining, rujukan, isolasi atau karantina,
pemberian kekebalan, pemberian
profilaksis, disinfeksi, dan/atau
dekontaminasi terhadap orang sesuai
indikasi
b.disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi,
dan/atau deratisasi terhadap alat angkut
dan Barang; dan/atau
c. tindakan penanggulangan lainnya
1325 (6)Tindakan penanggulangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai
dengan jenis agen penyakit dan cara
penyebarannya
1326 (7)Dalam hal terdapat orang yang tidak
bersedia dilakukan tindakan
penanggulangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), BKKN berwenang
merekomendasikan kepada maskapai
penerbangan, agen pelayaran, atau agen
kendaraan darat untuk menunda
keberangkatan atau mengeluarkan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


rekomendasi kepada pejabat imigrasi untuk
dilakukan penolakan
1327 (8)Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan
penanggulangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sampai dengan ayat (7) diatur
dalam Peraturan Pemerintah
1328 Pasal 375
(1)Dalam hal BKKN mendapatkan informasi
mengenai terjadinya peningkatan penularan
penyakit dan/atau faktor risiko penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah di
negara lain, BKKN harus meningkatkan
kewaspadaan dan melakukan langkah-
langkah yang diperlukan dalam rangka
cegah tangkal penyakit di Pintu Masuk.
1329 (2)Dalam hal Wabah telah menyebar di berbagai
negara, BKKN mengeluarkan peraturan tata
laksana pengawasan dan/atau tindakan
penanggulangan terhadap alat angkut yang
datang dari atau ke luar negeri sesuai
dengan karakteristik penyebab/agen
penyakit dan cara penularannya, termasuk
kemungkinan pembatasan mobilitas orang
dan barang di Pintu Masuk

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1330 (3)Dalam rangka cegah tangkal penyakit di Pintu
Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), BKKN dapat merekomendasikan
penutupan Pintu Masuk kepada Presiden
1331 Paragraf 2
Pengawasan Alat Angkut pada saat Kedatangan
dan Keberangkatan
1332 Pasal 376
Setiap kapal, Pesawat udara, dan kendaraan
darat yang:
a. datang dari atau berangkat ke luar negeri;
atau
b. datang dari Daerah Terjangkit berada dalam
pengawasan BKKN
1333 Pasal 377
(1)Setiap nakhoda, kapten penerbang, atau
pengemudi pada saat kedatangan atau
melewati pos lintas batas negara wajib
menginformasikan apabila terdapat orang
sakit dan/atau meninggal yang diduga kuat
diakibatkan oleh penyakit dan/atau faktor
risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan
Wabah kepada Petugas Karantina Kesehatan
1334 (2)Penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bagi nakhoda atau
kapten penerbang dilakukan dengan
menyerahkan dumen:

IKATAN APOTEKER INDONESIA


a. Deklarasi Kesehatan Maritim (Maritime
Declaration of Health) untuk kapal; atau
b.Deklarasi Kesehatan Penerbangan (Health
Part of the Aircraft General Declaration)
untuk pesawat udara pada saat kedatangan
kepada Petugas Karantina Kesehatan
1335 (3)Nakhoda kapal atau kapten penerbang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilarang menurunkan atau menaikkan orang
dan/atau barang sebelum mendapat surat
persetujuan dari BKKN
1336 Pasal 378
(1)Terhadap kendaraan darat yang terdapat
orang sakit dan/atau meninggal yang diduga
kuat diakibatkan oleh penyakit dan/atau
faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah, Petugas Karantina
Kesehatan berwenang melakukan
pemeriksaan dan tindakan penanggulangan
1337 (2) Ketentuan mengenai kegiatan pemeriksaan
dan tindakan penanggulangan terhadap
kendaraan darat di pos lintas batas negara
diatur melalui perjanjian antara kedua negara
1338 Pasal 379
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan
terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan
darat diatur dalam Peraturan Pemerintah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1339 Paragraf 3
Dumen Karantina Kesehatan
1340 Pasal 380
(1)Setiap alat angkut yang datang dari atau
berangkat ke luar negeri harus dilengkapi
dengan Dumen Karantina Kesehatan
(2)Dumen Karantina Kesehatan sebagaimana
1341 dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan sebagai
alat pengawasan dan pencegahan masuk
dan/atau keluarnya penyakit dan/atau faktor
risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan
Wabah
1342 (3)Dumen Karantina Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. deklarasi kesehatan;
b. surat keterangan bebas karantina (free
pratique);
c. sertifikat sanitasi;
d. sertifikat obat-obatan dan Alat Kesehatan;
e. buku kesehatan untuk kapal; dan
f. surat persetujuan berlayar karantina
kesehatan (port health quarantine clearance)
untuk kapal
1343 (4)Dalam hal alat angkut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membawa:
a. orang sakit, harus dilengkapi dengan surat
keterangan pengangkutan orang sakit;
b. jenazah atau abu jenazah, harus dilengkapi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dengan surat ijin pengangkutan jenazah
atau abu jenazah (human remains transport
certificate), dan surat keterangan kematian
dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
dan/atau
c. bahan berbahaya, harus dilengkapi dengan
sertifikat Kesehatan untuk bahan
berbahaya
1344 (5)Dalam hal alat angkut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang datang dari atau
berangkat ke negara yang mempersyaratkan
sertifikat vaksinasi internasional
(international certificate of vaccination or
prophylaxis), maka setiap penumpang harus
dilengkapi dengan sertifikat vaksinasi
internasional (international certificate of
vaccination or prophylaxis).
1345 (6)Dalam hal diperlukan Dumen Karantina
Kesehatan untuk Obat, makanan, kosmetik,
Alat Kesehatan, dan bahan adiktif
berdasarkan permintaan negara tertentu,
BKKN menerbitkan sertifikat kesehatan atau
surat keterangan tentang Obat, makanan,
kosmetik, Alat Kesehatan, dan bahan adiktif
1346 (7) Dalam hal terdapat perkembangan regulasi
internasional mengenai Dumen Karantina
Kesehatan, Menteri menetapkan penyesuaian

IKATAN APOTEKER INDONESIA


perubahan Dumen Karantina Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai
dengan ayat (6)
1347 Pasal 381
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan,
penerbitan, dan pembatalan Dumen Karantina
Kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah
1348 Bagian Kelima
Daerah Wabah
1349 Pasal 382
(1)Menteri menetapkan atau mencabut
penetapan daerah tertentu sebagai Daerah
Terjangkit Wabah
1350 (2) Untuk menetapkan daerah tertentu sebagai
Daerah Terjangkit Wabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Menteri
mempertimbangkan aspek:
a. etiologi penyakit;
b. situasi kasus dan kematian;
c. kapasitas Pelayanan Kesehatan; dan/atau
kondisi masyarakat
1351 (3)Ketentuan mengenai penetapan dan
pencabutan penetapan Daerah Terjangkit
Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan pemerintah
1352 Pasal 383
Dalam hal Wabah berdampak mengancam dan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


berpotensi mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang menyebabkan
jumlah korban, kerugian ekonomi, cakupan
luas wilayah yang terkena Wabah, dampak sosial
ekonomi yang ditimbulkan, kerusakan
lingkungan, Menteri mengusulkan penetapan
Wabah sebagai bencana nasional nonalam
kepada Presiden
1353 Pasal 384
Dalam hal terjadi situasi Wabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 383, Presiden
menetapkan Wabah sebagai bencana nasional
nonalam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
1354 Bagian Keenam
Penanggulangan Wabah
1355 Pasal 385
Penanggulangan Wabah dilaksanakan segera
setelah penetapan Daerah Terjangkit Wabah
dengan memperhatikan asas kemanusiaan,
sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan
1356 Pasal 386
Penanggulangan Wabah dilakukan melalui
kegiatan:
a. investigasi penyakit;
b. penguatan surveilans;
c. penanganan penderita;
d. pengendalian faktor risiko;

IKATAN APOTEKER INDONESIA


e. penanganan terhadap populasi berisiko;
f. komunikasi risiko; dan/atau
g. tindakan penanggulangan lainnya
1357 Pasal 387
(1)Investigasi penyakit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 386 huruf a dilakukan untuk
mendapatkan informasi tentang etiologi
penyakit, sumber penyakit, dan cara
penularan atau penyebaran penyakit Wabah
1358 (2)Informasi mengenai etiologi penyakit, sumber
penyakit dan cara penularan atau penyebaran
penyakit Wabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan sebagai pertimbangan
dalam menentukan tindakan penanggulangan
1359 Pasal 388
(1)Penguatan surveilans sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 386 huruf b dilakukan
untuk penemuan kasus dan identifikasi
mendalam tentang karakteristik dari
etiologi/agen penyakit dan faktor risikonya
dengan berbasis laboratorium dan/atau
penelitian ilmiah
1360 (2)Surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui kegiatan pengamatan
yang sistematis dan terus menerus tentang
kejadian penyakit dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit untuk memperoleh dan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan penanggulangan penyakit secara
efektif dan efisien
1361 Pasal 389
(1)Penanganan penderita sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 386 huruf c dilakukan
upaya tata laksana penderita sesuai dengan
kebutuhan medis.
1362 (2)Penanganan penderita sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. isolasi;
b.karantina; dan/atau
c. pengobatan dan perawatan
1363 (3)Isolasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan atau tempat lain yang
memungkinkan penderita mendapatkan akses
Pelayanan Kesehatan untuk
mempertahankan kehidupannya

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1364 (4)Karantina sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dapat dilaksanakan di rumah,
rumah sakit, tempat kerja, alat angkut, hotel,
wisma, asrama, dan tempat atau wilayah
lainnya dengan mempertimbangkan aspek
epidemiologi
1365 (5)Karantina sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dapat dilakukan terhadap orang,
barang, dan alat angkut
1366 (6)Pengobatan dan perawatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai
dengan standar dan peraturan perundang-
undangan
1367 (7)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bersama dengan masyarakat bertanggung
jawab memfasilitasi pelaksanaan isolasi atau
karantina
1368 (8) Dalam hal penderita sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) memenuhi kriteria untuk
dilakukan tindakan isolasi atau karantina,
wajib dilakukan isolasi atau karantina guna
mengurangi terjadinya penyebaran penyakit
Wabah
1369 Pasal 390
(1)Pengendalian faktor risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 386 huruf d dilakukan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


untuk memutus rantai penularan penyakit
dari faktor risiko yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan dan perkembangan
teknologi serta karakteristik dari faktor risiko
tersebut, termasuk kemungkinan
pemusnahan faktor risiko dimaksud
1370 (2)Penanganan faktor risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyehatan, pengamanan, dan
pengendalian yang ditujukan untuk
memperbaiki faktor risiko lingkungan
dan/atau memusnahkan agen biologi
penyebab penyakit;
b. pencegahan dan pengendalian infeksi;
dan/atau
c. penanganan jenazah
1371 Pasal 391
(1)Penanganan terhadap populasi berisiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386
huruf e dilakukan untuk mencegah dan
mengurangi risiko penyebaran penyakit

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1372 (2)Penanganan terhadap populasi berisiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemberian kekebalan;
b. pemberian profilaksis; dan/atau
c. pembatasan kegiatan sosial
kemasyarakatan
1373 (3)Pembatasan kegiatan social
kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan;
c. pembatasan kegiatan di tempat atau
fasilitas umum; dan/atau
d. pembatasan kegiatan lainnya
1374 Pasal 392
(1) Komunikasi risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 386 huruf f dilakukan untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat
dan meningkatkan peran masyarakat dalam
upaya penanggulangan Wabah
1375 (2)Komunikasi risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pemberian informasi dan/atau edukasi
kepada masyarakat; dan/atau
b. mobilisasi sosial

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1376 Pasal 393
(1)Dalam hal penanggulangan Wabah diperlukan
sampel dan/atau spesimen untuk konfirmasi
laboratorium, pelaksanaan pengambilan
sampel dan konfirmasi dilakukan pada
laboratorium terdekat yang memiliki
kemampuan
1377 (2)Pelaksanaan konfirmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengutamakan
kedaulatan dan kepentingan nasional,
pemanfaatan untuk masyarakat, dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
1378 (3)Dalam hal konfirmasi laboratorium
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu
dilakukan antarnegara, pelaksanaannya
harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur
mengenai perjanjian pengalihan material
1379 Pasal 394
(1)Kegiatan penanggulangan Wabah
dilaksanakan secara terintegrasi,
komprehensif, dan tepat sasaran dengan
melibatkan kementerian/lembaga terkait dan
Pemerintah Daerah
1380 (2)Dalam penanggulangan Wabah, Pemerintah
Pusat dapat bekerja sama dengan negara lain
atau badan internasional

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1381 Pasal 395
Dalam hal pelaksanaan kegiatan
penanggulangan Wabah mengakibatkan
kerugian harta benda pada masyarakat,
Pemerintah Pusat harus memberikan ganti rugi
1382 Pasal 396
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaankegiatan penanggulangan Wabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385
sampai dengan pasal 395 diatur dengan
Peraturan Pemerintah
1383 Bagian Ketujuh
Kegiatan Pasca-Wabah
1384 Pasal 397
(1)Untuk pemulihan pasca-Wabah dilakukan
kegiatan normalisasi:
a. Pelayanan Kesehatan; dan
b.kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat
1385 (2)Selain pemulihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tetap dilakukan upaya
pencegahan terulangnya Wabah melalui
kegiatan:
a. Penguatan surveilans Kesehatan; dan
b.pengendalian faktor risiko
1386 (3)Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan oleh

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pemerintah Daerah kabupaten/kota,
Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah
Pusat secara terintegrasi, komprehensif,
tepat sasaran, dan berkesinambungan
sesuai dengan kewenangan
1387 (4)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
kegiatan pasca-Wabah diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
1388 Bagian Kedelapan
Pelaporan
1389 Pasal 398
(1)Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan
Pemerintah Daerah provinsi wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan
Kewaspadaan Wabah, kegiatan
penanggulangan Wabah, dan/atau kegiatan
pasca-Wabah kepada Menteri secara berkala
1390 (2)Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit berisi perkembangan situasi
Wabah serta kegiatan penanggulangan yang
dilakukan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1391 Pasal 399
(1) Menteri wajib melaporkan setiap
perkembangan situasi Wabah dan kegiatan
penanggulangan Wabah kepada Presiden
1392 (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri mengumumkan
perkembangan Wabah dengan
memperhatikan dampak sosial, ekonomi,
budaya, politik, dan keamanan yang mungkin
timbul
1393 Bagian Kesembilan
Sumber Daya
1394 Pasal 400
Sumber daya dalam upaya penanggulangan
Wabah meliputi:
a. sumber daya manusia;
b. teknologi;
c. sarana dan prasarana;
d. Perbekalan Kesehatan; dan
e. pendanaan.
1395 Pasal 401
Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 400 huruf a merupakan Tenaga
Medis, Tenaga Kesehatan dan non-Tenaga
Kesehatan sesuai kebutuhan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1396 Pasal 402
(1)Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan wajib ikut
serta dalam kegiatan penanggulangan Wabah
1397 (2)Dalam hal Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat
melakukan mobilisasi tenaga cadangan Kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224
1398 (3)Mobilisasi tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
1399 Pasal 403
(1)Teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 huruf
b berupa penerapan dan pengembangan:
a. teknologi tepat guna;
b. metode uji laboratorium;
c. metode pengobatan;
d. teknologi manajemen informasi dan komunikasi; dan
e. penelitian
1400 (2)Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
diutamakan penelitian berbasis pelayanan
1401 Pasal 404
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
400 huruf c berupa seluruh fasilitas yang diperlukan untuk
mendukung kegiatan Kewaspadaan Wabah,
penanggulangan Wabah, dan pasca-Wabah
1402 Pasal 405
Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Pasal 394 huruf d meliputi Alat Kesehatan, Obat, vaksin,
bahan medis habis pakai, dan bahan/alat pendukung
lainnya yang diperlukan dalam menyelenggarakan kegiatan
Kewaspadaan Wabah, penanggulangan Wabah, dan pasca-
Wabah
1403 Pasal 406
Pendanaan untuk upaya penanggulangan Wabah
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau
sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
1403 Bagian Kesepuluh
Hak, Kewajiban, dan larangan
1404 Paragraf 1
Hak
1405 Pasal 407
Setiap orang yang sakit atau diduga sakit akibat penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah, berhak mendapatkan
Pelayanan Kesehatan yang pembiayaannya ditanggung oleh
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
1406 Pasal 408
(1)Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan
upaya Penanggulangan Wabah berhak atas pelindungan
hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam
melaksanakan tugasnya
1407 (2)Pelindungan hukum dan keamanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk pelindungan yang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


diberikan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dalam melaksanakan kegiatan investigasi dan memasuki
wilayah atau mendapatkan akses kepada masyarakat
tertentu yang diduga terjangkit penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah
1408 (3)Jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk mendapatkan pelindungan diri dari risiko
penularan
1409 Paragraf 2
Kewajiban
1410 Pasal 409
Setiap orang wajib mematuhi semua kegiatan
penanggulangan Wabah yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah
1411 Pasal 410
(1)Setiap orang yang mengetahui adanya orang sakit atau
diduga sakit akibat penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah harus segera melaporkan kepada
aparatur pemerintahan desa/kelurahan dan/atau
Fasilitas Pelayanan Kesehatan terdekat
1412 (2)Aparatur pemerintahan desa/kelurahan dan/atau
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menerima laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau yang
mengetahui adanya orang sakit atau diduga sakit akibat
penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah wajib
melaporkan kepada perangkat daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Kesehatan setempat

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1413 (3)Aparatur pemerintahan desa/kelurahan
dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif
oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah
Pusat sesuai dengan kewenangannya berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. usulan pemberhentian dari jabatannya
1414 (4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah
1415 Pasal 411
Dalam keadaan Wabah seluruh Fasilitas
Pelayanan Kesehatan baik milik Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah maupun swasta
wajib memberikan Pelayanan Kesehatan
terhadap orang sakit atau diduga sakit akibat
penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
1416 Pasal 412
(1)Setiap orang yang mengelola bahan yang
mengandung penyebab dan/atau agen biologi
penyebab penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah wajib memenuhi
standar pengelolaan
1417 (2)Ketentuan mengenai standar pengelolaan
bahan yang mengandung penyebab dan/atau

IKATAN APOTEKER INDONESIA


agen biologi penyebab penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah diatur dalam
Peraturan Pemerintah
1418 Pasal 413
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak
memberikan Pelayanan Kesehatan terhadap
orang sakit atau diduga sakit akibat penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 394, dan
setiap orang yang mengelola bahan yang
mengandung penyebab dan/atau agen biologi
penyebab penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah yang tidak memenuhi
standar pengelolaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 394 dikenakan sanksi
administratif oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. denda administrative

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1419 (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah
1420 Paragraf 3
Larangan
1421 Pasal 414
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan
menyebarluaskan agen biologi penyebab penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah secara
langsung maupun tidak langsung
1422 Pasal 415
Setiap orang dilarang menghalang-halangi
pelaksanaan upaya penanggulangan Wabah
1423 BAB XIII
PENDANAAN KESEHATAN

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1424 Pasal 416 Pasal 416
(1)Pendanaan Kesehatan bertujuan untuk (1) Pendanaan Kesehatan bertujuan untuk mendanai
mendanai pembangunan Kesehatan secara pembangunan Kesehatan secara berkesinambungan
berkesinambungan dengan jumlah yang dengan jumlah yang mencukupi, teralasi secara adil,
mencukupi, teralasi secara adil, dan merata dan termanfaatkan secara berhasil guna dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna, untuk meningkatkan derajat Kesehatan
berdaya guna, untuk meningkatkan derajat masyarakat setinggi-tingginya
Kesehatan masyarakat setinggi-tingginya
1425 (2)Unsur-unsur pendanaan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas sumber pendanaan, alasi, dan
pemanfaatan
1426 (3)Sumber Pendanaan Kesehatan berasal dari
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
masyarakat, dan sumber lain yang sah dan
tidak mengikat
1427 Pasal 417 Ralat: tertulis pasal 410 ayat (1) seharusnya pasal 416 ayat
(1)Pemerintah Pusat melakukan pemantauan (1)
pendanaan kesehatan secara nasional dan
regional untuk menjamin tercapainya tujuan
pendanaan kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 410 ayat (1).
1428 (2)Untuk mendukung pemantauan pendanaan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah Pusat mengembangkan sistem
informasi pendanaan kesehatan yang
merupakan bagian dari sistem informasi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


kesehatan
1429 (3)Sistem informasi pendanaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan seperangkat tatanan yang
terintegrasi meliputi data, informasi,
indikator, dan capaian kinerja pendanaan
Kesehatan yang dikelola secara terpadu
untuk mengarahkan tindakan atau keputusan
dalam pembangunan kesehatan
1430 (4)Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, 1. Apa swasta perlu melaporkan pendanaan?
instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah 2. Apa yang dimaksud wajib melaporkan realisasi belanja
Daerah, BPJS Kesehatan, BPJS Kesehatan dan hasil capaian?
Ketenagakerjaan, badan usaha milik negara, 3. Usul: sebaiknya Lembaga swasta tidak perlu melaporkan
badan usaha milik daerah, lembaga swasta, realisasi belanja dan hasil capaian
dan mitra pembangunan yang menjalankan
fungsi kesehatan wajib melaporkan realisasi
belanja kesehatan dan hasil capaian setiap
tahun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan melalui sistem
informasi pendanaan kesehatan
1431 (5)Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengembangan dan pelaksanaan sistem
informasi pendanaan kesehatan diatur dalam
Peraturan Pemerintah
1432 Pasal 418
(1)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menjamin ketersediaan dana yang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dimanfaatkan untuk seluruh kegiatan:
(1) Upaya Kesehatan masyarakat dengan
prioritas pendekatan promotif, preventif,
kuratif, dan/atau rehabilitative
(2) Upaya Kesehatan termasuk
penanggulangan Kejadian Luar Biasa
dan/atau Wabah
(3) penguatan Sumber Daya Kesehatan
dan pemberdayaan
masyarakat
(4) penguatan pengelolaan Kesehatan
(5) penelitian, pengembangan, dan inovasi
bidang Kesehatan; dan
(6) Program Kesehatan strategis lainnya
1433 (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan
pendanaan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam atau
berdasarkan Peraturan
Pemerintah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1434 Pasal 419
(1)Dalam rangka ketersediaan pendanaan
Upaya Kesehatan, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dapat melakukan
optimalisasi partisipasi masyarakat
1435 (2)Optimalisasi peran masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui kerja sama
pendanaan atau kerja sama operasional
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dan masyarakat
1436 (3)Bentuk dan skema kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah
1437 Pasal 420
(1)Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
provinsi, dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota memprioritaskan
anggaran kesehatan di luar gaji dalam
penyusunan anggaran pendapatan dan
belanja negara dan anggaran pendapatan
dan belanja daerah
1438 (2)Besar anggaran kesehatan Pemerintah Usul minimal 15%
Pusat dialasikan minimal sebesar 10%
(sepuluh persen) dari anggaran
pendapatan dan belanja negara di luar gaji
1439 (3)Besar anggaran kesehatan Pemerintah Usul minimal 15%

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dialasikan minimal 10%
(sepuluh persen) dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah di luar gaji
1440 (4)Penyusunan alasi anggaran Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk mempertimbangkan kecukupan
penyelesaian masalah Kesehatan
berdasarkan beban
penyakit/epidemiologi
1441 (5)Dalam penyusunan anggaran kesehatan
Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat
berwenang untuk mensinkronkan
kebutuhan alasi anggaran untuk kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418
1442 Pasal 421
(1)Dalam rangka upaya peningkatan kinerja
pendanaan kesehatan, Pemerintah Pusat
dapat memberikan insentif atau disinsentif
kepada Pemerintah Daerah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1443 (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif atau
disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
1444 Pasal 422
(1)Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan
dilakukan melalui penyelenggaraan program
jaminan kesehatan nasional yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan
dan/atau asuransi kesehatan komersial
1445 (2)Program jaminan kesehatan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
wajib bagi seluruh penduduk
1446 (3)Asuransi kesehatan komersial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat sukarela
1447 (4)Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan
melalui penyelenggaraan program jaminan
kesehatan nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan
koordinasi antar penyelenggara jaminan
termasuk asuransi kesehatan komersial
1448 Pasal 423
Dalam rangka meningkatkan akses dan mutu
Pelayanan Kesehatan, memberikan kepastian
hukum dalam penyelenggaraan program
jaminan sosial, dan memberikan kepastian
hukum dan kemudahan dalam pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian

IKATAN APOTEKER INDONESIA


penyelenggaraan program jaminan sosial,
Undang-Undang ini mengubah, menghapus,
dan/atau menetapkan beberapa pengaturan
baru beberapa yang diatur dalam:
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4456); dan
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5256).

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1449 Pasal 424
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13
berbunyi sebagai berikut
1450 Pasal 13
(1) Pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya
dan pekerjanya sebagai Peserta kepada
BPJS, sesuai dengan program jaminan sosial
yang diikuti.
1451
(2) Dalam hal Pemberi Kerja tidak melakukan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pekerja berhak untuk mendaftarkan
diri sebagai Peserta atas tanggungan Pemberi
Kerja
1452 2. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga Pasal 19
berbunyi sebagai berikut:
1453 Pasal 19
(1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara
nasional berdasarkan prinsip ekuitas dan
mekanisme asuransi social
1454 (2) Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


tujuan menjamin agar Peserta memperoleh
manfaat pemeliharaan kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan
dasar Kesehatan
1455 (3) Kebutuhan dasar kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan
kebutuhan essensial yang menyangkut
pelayanan kesehatan perseorangan baik
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
sesuai siklus hidup dan epidemiologi tanpa
melihat sosial ekonomi dan penyebab
ganguan kesehatan sepanjang tidak dijamin
dengan program lainnya
1456 (4)Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap
di rumah sakit, peserta diberikan fasilitas
ruang perawatan pada pelayanan rawat inap
berdasarkan kelas rawat inap standar
1457 (5)Ketentuan lebih lanjut mengenai kebutuhan
dasar kesehatan dan layanan kelas rawat inap
standar diatur dalam Peraturan Presiden
1458 3. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1
(satu) pasal yakni Pasal 19A berbunyi sebagai
berikut:
1459 Pasal 19A
(1)Peserta yang mengalami kekerasan atau
kecelakaan tunggal lalu lintas yang
membutuhkan layanan medis dalam rangka

IKATAN APOTEKER INDONESIA


pengobatan berhak mendapat manfaat sesuai
dengan kebutuhan medis
1460 (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Presiden
1461 4.Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga Pasal 22
berbunyi sebagai berikut:
1462 Pasal 22 Usul Perubahan Pasal 22:
(1) Pemerintah Pusat melakukan pengendalian Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
potensi penyalahgunaan pelayanan (moral masyarakat melakukan pengendalian potensi
hazard) dan kendali mutu kendali biaya penyalahgunaan pelayanan (moral hazard) dan
dalam pelayanan kesehatan terhadap peserta, kendali mutu kendali biaya dalam pelayanan
fasilitas kesehatan, dan BPJS Kesehatan kesehatan terhadap peserta, fasilitas kesehatan, dan
BPJS Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1463 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Presiden
1464 5. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga Pasal
23 berbunyi sebagai berikut:
1465 Pasal 23
(1)Manfaat jaminan kerjasama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 diberikan pada
fasilitas kerjasama milik pemerintah atau
swasta yang menjalin kerja sama dengan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
1466 (2) BPJS wajib menerima kerja sama yang
diajukan fasilitas kerjasama yang telah
memiliki perizinan berusaha sesuai dengan
ketentuan kerjasama perundang- undangan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1467 (3) Dalam rangka menjamin akses pelayanan
erjasama kepada peserta, BPJS Kesehatan
atau fasilitas erjasama tidak dapat
memutuskan erjasama secara sepihak
1468 (4) Dalam hal terdapat dugaan pelanggaran dan
akan dilakukan pemutusan kerjasama, BPJS
Kesehatan harus berkoordinasi dengan
Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Kesehatan
1469 (5) BPJS Kesehatan wajib menyediakan informasi
yang mencukupi agar setiap peserta dapat
memilih fasilitas Kesehatan yang sesuai
kebutuhan peserta
1470 (6) Dalam hal di suatu daerah belum tersedia
fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat
guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah
peserta, BPJS wajib memberikan kompensasi
1471 (7) Dalam keadaan darurat, manfaat jaminan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dapat diberikan pada fasilitas kesehatan
yang tidak menjalin kerja sama dengan BPJS

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1472 (8) Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas
tersedianya fasilitas kesehatan yang
memenuhi syarat guna memenuhi
kebutuhan medik masyarakatnya
1473 (9) Ketentuan mengenai kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Pemutusan kerja
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Pemutusan kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dan tanggung
jawab penyediaan fasilitas esehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
1474 6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga Pasal
24 berbunyi sebagai berikut:

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1475 Pasal 24
(1) Pemerintah berwenang menetapkan besaran Usul perubahan Pasal 24:
tarif yang akan dibayarkan kepada fasilitas (1) Pemerintah berwenang menetapkan besaran
Kesehatan tarif yang akan dibayarkan kepada fasilitas
Kesehatan atas kesepakatan bersama pihak
fasilitas kesehatan
1476 (2) Besaran tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan
layanan kesehatan, standar biaya,
regionalisasi, indeks kemahalan daerah dan
inflasi
1477 (3) Besaran tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dievaluasi paling lama 2 (dua) tahun
sekali
1478 (4)Besaran tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dijadikan sebagai dasar oleh BPJS
untuk membayar fasilitas Kesehatan
1479 (5)BPJS wajib membayar fasilitas kesehatan
atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
sejak permintaan pembayaran diterima

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1480 (6)BPJS bersama dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan mengembangkan sistem
kendali mutu dan kendali biaya pelayanan
1481 (7) BPJS berwenang mengembangkan tata cara Usul perubahan poin (7):
pembayaran pelayanan Kesehatan setelah BPJS berwenang mengembangkan tata cara
berkoordinasi dengan kementerian yang pembayaran pelayanan Kesehatan setelah
menyelenggarakan urusan pemerintahan di berkoordinasi dengan kementerian yang
bidang Kesehatan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di Kesehatan dan kementerian yang menyelenggarakan
bidang keuangan negara urusan pemerintahan di bidang keuangan negara atas
kesepakatan penerima pihak fasilitas Kesehatan
1482 (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran
kepada fasilitas penerima diatur dalam
Peraturan Pemerintah
1483 7. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27
berbunyi sebagai berikut:

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1484 Pasal 27
(1)Besaran iuran jaminan penerima untuk
Peserta penerima upah, Peserta bukan
penerima upah, dan Peserta bukan pekerja
ditetapkan berdasarkan persentase tertentu
dari upah atau pendapatan rumah tangga
seseorang
1485 (2)Besaran iuran jaminan kesehatan untuk
Peserta penerima bantuan iuran ditetapkan
sebesar rata- rata besaran iuran per orang
per bulan bagi Peserta penerima upah
1486 (3)Besaran iuran jaminan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau
secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun sekali
1487 (4) Besaran iuran jaminan kesehatan untuk Usul perubahan ayat (4):
Peserta penerima upah ditanggung bersama Besaran iuran jaminan kesehatan untuk Peserta
oleh pekerja dan pemberi kerja penerima upah ditanggung bersama oleh pekerja
dan pemberi kerja

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1488 (5) Besaran iuran jaminan kesehatan untuk
Peserta bukan penerima upah dan Peserta
bukan pekerja ditanggung secara mandiri
atau ditanggung oleh pihak lain
1489 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran
iuran jaminan kesehatan diatur dalam
Peraturan Presiden
1490 Pasal 425
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5256) diubah sebagai berikut:
1491 1. Ketentuan ayat (2) Pasal 7 diubah sehingga
Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1492 Pasal 7
(1) BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 adalah badan hukum publik berdasarkan
Undang-Undang ini
1493 (2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Usul perubahan ayat (2):
bertanggung jawab kepada Presiden melalui: BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
a. menteri yang menyelenggarakan urusan bertanggung jawab kepada Presiden
pemerintahan di bidang kesehatan untuk
BPJS Kesehatan; dan
b.menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan
untuk BPJS Ketenagakerjaan
1494 2. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga Pasal 11
berbunyi sebagai berikut:
1495 Pasal 11 Poin a: tetap
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana Usul:
dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang Poin b. BPJS Kesehatan tidak diperkenankan menempatkan
untuk: dana untuk investasi
a. menagih pembayaran Iuran Poin c; BPJS ketenagakerjaan berwenang menempatkan
b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek
investasi jangka pendek dan jangka panjang dan jangka panjang dengan mempertimbangkan
dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, aspek likuiditas, solvabilitas kehati-hatian,
solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, keamanan dana, dan hasil yang memadai
dan hasil yang memadai
c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan Poin d tetap
atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja
dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


ketentuan peraturan perundang-undangan
jaminan sosial nasional
d. melakukan pembayaran kepada fasilitas
kesehatan sesuai dengan besaran tarif yang
ditetapkan Pemerintah
e. membuat atau menghentikan kerja sama
dengan fasilitas Kesehatan
f. mengenakan sanksi administratif kepada
Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak
memenuhi kewajibannya
g. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi
yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya
dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi
kewajiban lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan; dan
h. melakukan kerja sama dengan pihak lain
dalam rangka penyelenggaraan program
Jaminan Sosial
1496 3. Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga Pasal
13 berbunyi sebagai berikut:

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1497 Pasal 13
(1)Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, BPJS
berkewajiban untuk:
a. menggunakan Nomor Induk Kependudukan
sebagai satu-satunya identitas Peserta
b. mengembangkan aset Dana Jaminan
Sosial dan aset BPJS untuk sebesar-
besarnya kepentingan Peserta
c. menyediakan, memberikan, dan/atau
menerbitkan informasi publik yang berada
di bawah kewenangannya kepada
pemohon informasi publik, selain
informasi yang dikecualikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
d. memberikan Manfaat kepada seluruh
Peserta sesuai dengan Undang-Undang
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
e. memberikan informasi kepada Peserta
mengenai hak dan kewajiban untuk
mengikuti ketentuan yang berlaku
f. memberikan informasi kepada Peserta
mengenai prosedur untuk mendapatkan
hak dan memenuhi kewajibannya
g. memberikan informasi kepada Peserta
mengenai saldo jaminan hari tua dan
pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1

IKATAN APOTEKER INDONESIA


(satu) tahun
h.memberikan informasi kepada Peserta
mengenai besar hak pensiun 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun
i. membentuk cadangan teknis sesuai
dengan standar praktik aktuaria yang lazim
dan berlaku umum
j. melakukan pembukuan sesuai dengan
standar akuntansi yang berlaku dalam
penyelenggaraan Jaminan Sosial
k. melaporkan pelaksanaan setiap program,
termasuk kondisi keuangan, secara berkala
6 (enam) bulan sekali kepada Presiden
dengan tembusan kepada DJSN
1498 (2) Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan
juga berkewajiban untuk:
a. melaksanakan penugasan dari
kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang Kesehatan
b. menghubungkan sistem informasi yang
dikelolanya dengan sistem informasi yang
mengintegrasikan seluruh pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat; dan melakukan
koordinasi mengenai penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan dengan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


kementerian/lembaga terkait
c. melakukan koordinasi mengenai
penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
dengan kementerian/lembaga terkait.
1499 4. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1
(satu) pasal yakni Pasal 13A berbunyi sebagai
berikut:
1500 Pasal 13A
(1)BPJS membayarkan manfaat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf d kepada
Peserta yang menjalani layanan rawat inap
dengan tidak dibatasi oleh jangka waktu
perawatan
1501 (2)BPJS membayarkan manfaat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf d kepada
Peserta yang menjalani rawat jalan, dan/atau
rapat inap untuk semua fasilitas pelayanan
kesehatan tanpa dibatasi oleh kuota layanan
BPJS rumah sakit

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1502 (3)Selain mendapatkan pembayaran manfaat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Peserta berhak mendapatkan semua fasilitas
pengobatan dan tindakan medis yang
diperlukan untuk semua jenis penyakit agar
tercapai kesembuhan.
1503 5. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal
15 berbunyi sebagai berikut:
1504 Pasal 15
(1)Pemberi Kerja wajib mendaftarkan dirinya
dan pekerjanya sebagai Peserta kepada
BPJS, sesuai dengan program jaminan sosial
yang diikuti
1505 (2)Dalam hal Pemberi Kerja tidak melakukan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pekerja berhak untuk mendaftarkan
diri sebagai Peserta atas tanggungan Pemberi
Kerja
1506 (3)Dalam hal Pemberi Kerja belum melakukan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan Pekerja belum mendaftarkan
diri sebagai Peserta sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan terjadi kecelakaan kerja
maka seluruh biaya yang timbul akibat
kecelakaan kerja menjadi tanggung jawab
Pemberi Kerja.
1507 (4)Pemberi Kerja dalam melakukan pendaftaran

IKATAN APOTEKER INDONESIA


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
memberikan data dirinya dan Pekerjanya
berikut anggota keluarganya secara lengkap
dan benar kepada BPJS
1508 6. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1
(satu) pasal yakni Pasal 15A berbunyi sebagai
berikut:
1509 Pasal 15A
Pemberi kerja tidak dapat menghentikan
kepesertaan Pekerja pada BPJS tanpa ada
putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap atau permintaan dari Pekerja itu
sendiri
1510 7. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga Pasal 22
berbunyi sebagai berikut:
1511 Pasal 22
(1)Dewan Pengawas berfungsi melakukan
pengawasan atas pelaksanaan tugas BPJS
1512 (2)Dalam menjalankan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas
bertugas untuk:
a. melakukan pengawasan atas kebijakan
pengelolaan BPJS dan kinerja Direksi
b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan
pengelolaan dan pengembangan Dana
Jaminan Sosial oleh Direksi
c. memberikan saran, nasihat, dan Usul huruf d:

IKATAN APOTEKER INDONESIA


pertimbangan kepada Direksi mengenai menyampaikan laporan pengawasan
kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari
BPJS; dan laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan
d. menyampaikan laporan pengawasan kepada DJSN
penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai
bagian dari laporan BPJS kepada Presiden
melalui menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan
atau menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan, dengan tembusan
kepada DJSN.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1513 (3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Dewan Pengawas
berwenang untuk:
a. menetapkan rencana kerja anggaran
tahunan BPJS;
b. mengusulkan kepada Presiden
penghasilan bagi Dewan Pengawas dan
Direksi;
c. mendapatkan dan/atau meminta laporan
dari Direksi;
d. mengakses data dan informasi mengenai
penyelenggaraan BPJS;
e. melakukan penelaahan terhadap data
dan informasi
mengenai penyelenggaraan BPJS; dan
memberikan saran dan rekomendasi
kepada Presiden mengenai kinerja Direksi
1514 (4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenang Dewan
Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Dewan Pengawas setelah
berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan atau menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan, dan menteri yang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan
1515 8. Ketentuan huruf d ayat (3) Pasal 24 dihapus,
sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
1516 Pasal 24
(1)Direksi berfungsi melaksanakan
penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS
yang menjamin Peserta untuk mendapatkan
Manfaat sesuai dengan haknya
1517 (2)Dalam menjalankan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Direksi bertugas
untuk:
a. melaksanakan pengelolaan BPJS yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi
b.mewakili BPJS di dalam dan di luar
pengadilan; dan
c. menjamin tersedianya fasilitas dan akses
bagi Dewan Pengawas untuk melaksanakan
fungsinya
1518 (3)Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Direksi berwenang
untuk:
a. melaksanakan wewenang BPJS
b.menetapkan struktur organisasi beserta
tugas p dan fungsi, tata kerja organisasi,
dan sistem kepegawaian

IKATAN APOTEKER INDONESIA


c. menyelenggarakan manajemen kepegawaian
BPJS termasuk mengangkat,
memindahkan, dan memberhentikan
pegawai BPJS serta menetapkan
penghasilan pegawai BPJS
d.dihapus
e. menetapkan ketentuan dan tata cara
pengadaan barang dan jasa dalam rangka
penyelenggaraan tugas BPJS dengan
memperhatikan prinsip transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas
f. melakukan pemindahtanganan aset tetap
BPJS paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Dewan Pengawas
g. melakukan pemindahtanganan aset tetap
BPJS lebih dari Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah) dengan persetujuan Presiden; dan
h.melakukan pemindahtanganan aset tetap
BPJS lebih dari Rp500.000.000.000,00
(lima ratus miliar rupiah) dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia
1519 (4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenang Direksi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Direksi
1520 9. Ketentuan ayat (1) Pasal 28 diubah dan di
antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 28
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a)
sehingga pasal 28 berbunyi sebagai berikut:
1521 Pasal 28
(1) Untuk memilih dan menetapkan anggota
Dewan Pengawas dan anggota Direksi,
Menteri Kesehatan atau Menteri
Ketenagakerjaan, bersama Menteri
Keuangan, atas persetujuan Presiden
membentuk panitia seleksi yang bertugas
melaksanakan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini
1522 (2) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua)
orang unsur Pemerintah dan 5 (lima) orang
unsur masyarakat.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1523 (3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
keputusan presiden
1524 10. Ketentuan Pasal 34 diubah, sehingga Pasal
34 berbunyi sebagai berikut:
1525 Pasal 34
(1) Anggota Dewan Pengawas atau anggota
Direksi diberhentikan dari jabatannya
karena:
a. sakit terus-menerus selama 6 (enam)
bulan sehingga tidak dapat menjalankan
tugasnya
b. tidak menjalankan tugasnya sebagai
anggota Dewan Pengawas atau anggota
Direksi secara terus menerus lebih dari 3
(tiga) bulan karena alasan selain
sebagaimana dimaksud pada huruf a
c. merugikan BPJS dan kepentingan Peserta
Jaminan Sosial karena kesalahan
kebijakan yang diambil
d. menjadi terdakwa karena melakukan
tindak pidana
e. melakukan perbuatan tercela
f. tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagai anggota Dewan Pengawas
atau anggota Direksi
g. mengundurkandiri secara tertulis atas
permintaan sendiri; dan/atau
h.tidak cakap dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1526 (2) Ketentuan Lebih lanjut mengenai
pemberhentian anggota Dewan Pengawas
atau anggota Direksi sebagaimana diatur
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Presiden
1527 11. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga Pasal
37 berbunyi sebagai berikut:
1528 Pasal 37 Usul Pasal 37 Ayat (1) menjadi:
(1)BPJS wajib menyampaikan BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas
pertanggungjawaban atas pelaksanaan pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan
tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan
program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada
yang telah diaudit oleh akuntan publik Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling
kepada Presiden melalui menteri yang lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Kesehatan atau menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan, dengan tembusan kepada
DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun
berikutnya.
1529 (2) Bentuk dan isi laporan pengelolaan program
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diusulkan oleh BPJS setelah berkonsultasi
dengan DJSN
1530 (3) Presiden dapat menerima atau menolak

IKATAN APOTEKER INDONESIA


laporan pengelolaan program dan laporan
keuangan tahunan, dan/atau membebaskan
atau tidak membebaskan direksi dan Dewan
Pengawas BPJS dari tanggung jawab hukum
1531 (4) Menteri yang menyelenggaraka urusan Usul Ayat (4) dihapus
pemerintahan di bidang kesehatan atau
Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, dan
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan kajian atas laporan pengelolaan
program dan laporan keuangan tahunan yang
disampaikan oleh BPJS sebelum dilaporkan
kepada Presiden.
1532 (5) Periode laporan pengelolaan program dan
laporan keuangan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimulai dari 1
Januari sampai dengan 31 Desember

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1533 (6) Laporan keuangan BPJS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan
sesuai dengan standar akuntansi keuangan
yang berlaku
1534 (7) Laporan pengelolaan program dan laporan
keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipublikasikan dalam bentuk
ringkasan eksekutif melalui media massa
elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua)
media massa cetak yang memiliki peredaran
luas secara nasional, paling lambat tanggal
31 Juli tahun berikutnya
1535 (8) Bentuk dan isi publikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh
Direksi setelah mendapat persetujuan dari
Dewan Pengawas
1536 (9) Ketentuan mengenai bentuk dan isi laporan
pengelolaan program sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Presiden
1537 BAB XIV
KOMITE KEBIJAKAN SEKTOR KESEHATAN
1538 Bagian Kesatu
Pembentukan
1539 Pasal 426
(1) Komite kebijakan sektor Kesehatan
merupakan wadah koordinasi dan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


komunikasi dalam rangka akselerasi
pembangunan dan memperkuat ketahanan
sistem Kesehatan.
1540 (2) Komite kebijakan sektor Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyelenggarakan pencegahan dan
penanganan berbagai permasalahan
kebijakan di bidang Kesehatan.
1541 (3) Komite kebijakan sektor Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden
1542 (4) Komite kebijakan sektor Kesehatan Usul penambahan huruf h:
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri Ketua Organisasi Profesi Kesehatan sebagai anggota
atas:
a. Menteri sebagai ketua merangkap anggota
b.menteri yang menangani urusan
pemerintahan di bidang keuangan sebagai
anggota
c. menteri yang menangani urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri
sebagai anggota
d.kepala lembaga pemerintahan
nonkementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang
pengawasan Obat dan makanan sebagai
anggota

IKATAN APOTEKER INDONESIA


e. kepala lembaga pemerintahan
nonkementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan
kependudukan dan keluarga berencana
nasional sebagai anggota
f. ketua dewan jaminan sosial nasional
sebagai anggota; dan
g. direktur utama BPJS kesehatan sebagai
anggota
1543 (5) Komite kebijakan sektor Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu
oleh sekretariat yang berkedudukan di
Kementerian Kesehatan
1544 Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
1545 Pasal 427
Komite kebijakan sector Kesehatan bertugas
mengoordinasikan pelaksanaan akselerasi
pembangunan dan memperkuat ketahanan
sistem Kesehatan
1546 Pasal 428
(1)Komite kebijakan sektor Kesehatan
berwenang:
a. melakukan penelaahan terhadap berbagai
informasi dan data yang relevan atau
berpengaruh terhadap proses akselerasi
pembangunan Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


b. menyusun strategi pencapaian dan
prioritas program dan kegiatan
pembangunan Kesehatan
c. menetapkan kriteria dan indikator untuk
penilaian pelaksanaan program dan
kegiatan pembangunan Kesehatan
d. melakukan penilaian terhadap kondisi
stabilitas dan ketahanan sistem Kesehatan
e. menetapkan langkah koordinasi untuk
mencegah krisis kesehatan dan
memperkuat ketahanan sistem Kesehatan
f. merekomendasikan Pemerintah Daerah
melalui menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri untuk
mendukung pelaksanaan akselerasi
pembangunan dan memperkuat ketahanan
sistem Kesehatan; dan
g. melakukan koordinasi peningkatan
program kesehatan masyarakat terutama
yang bersifat promotif dan preventif dalam
rangka akselerasi pembangunan dan
memperkuat ketahanan sistem Kesehatan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1547 (2) Dalam melaksanakan kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Komite kebijakan sektor Kesehatan dapat
melakukan koordinasi kepada
kementerian/lembaga, dan pemangku
kepentingan terkait.
1548 Pasal 429
(1)Komite kebijakan sektor Kesehatan
menyelenggarakan rapat secara berkala atau
sewaktu-waktu
1549 (2)Rapat secara berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan 1
(satu) kali setiap 3 (tiga) bulan
1550 (3)Rapat sewaktu-waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
berdasarkan permintaan anggota Komite
kebijakan sector Kesehatan
1560 Pasal 430
Ketua komite kebijakan sektor Kesehatan
melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada
Presiden paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun atau sewaktu-waktu jika
diperlukan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1561 Pasal 431
Ketentuan lebih lanjut mengenai komite
kebijakan sektor Kesehatan diatur dengan
Peraturan Presiden
1562 BAB XV
PARTISIPASI MASYARAKAT
1563 Pasal 432
(1)Masyarakat berpartisipasi, baik secara
perseorangan maupun terorganisasi
dalam segala bentuk dan tahapan
pembangunan Kesehatan dalam rangka
membantu mempercepat pencapaian
derajat Kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya
1564 (2)Partisipasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup keikutsertaan secara
aktif dan kreatif
1565 BAB XVI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
1566 Bagian Kesatu
Pembinaan
1567 Pasal 433
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
melakukan pembinaan terhadap
masyarakat dan setiap penyelenggaraan
kegiatan yang berhubungan dengan
Sumber Daya Kesehatan dan Upaya

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Kesehatan termasuk Kewaspadaan Wabah
penanggulangan Wabah, dan kegiatan
pasca-Wabah secara terpadu dan
berkesinambungan
1568 Pasal 434
(1)Pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 433 diarahkan untuk:
a. meningkatkan akses dan memenuhi
kebutuhan setiap orang terhadap
Sumber Daya Kesehatan dan Upaya
Kesehatan
b. menggerakkan dan melaksanakan
penyelenggaraan Upaya Kesehatan
c. meningkatkan mutu Pelayanan
Kesehatan serta kemampuan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan; dan
d. melindungi masyarakat terhadap
segala kemungkinan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi Kesehatan
1569 (2)Pembinaan sebagaimana dimaksud pada (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
ayat (1) dilaksanakan melalui: melalui:
a. komunikasi, informasi, edukasi, dan a. gerakan masyarakat hidup sehat
pemberdayaan masyarakat b. pemberdayaan masyarakat
b. sosialisasi dan Advasi c. pendidikan dan pelatihan
c. penguatan kapasitas dan bimbingan
d. penguatan kapasitas dan bimbingan teknis
teknis
d. konsultasi; dan/atau e. sosialisasi dan Advasi
e. pendidikan dan pelatihan f. konsultasi

IKATAN APOTEKER INDONESIA


g. komunikasi, informasi, edukasi

Catatan:
Catatan
Poin a, dasar instruksi presiden No. 1 Tahun 2017

Poin b, dasarnya Permenkes No.8 tahun 2019 tentang


Pemberdayaan Masyarakat

Poin d, e dan f adalah salah satu teknis untuk melaksanakan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1570 Pasal 435
(1)Dalam rangka pembinaan, Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dapat memberikan
penghargaan kepada orang atau badan yang
telah berjasa dalam setiap kegiatan
mewujudkan tujuan pembangunan
Kesehatan, termasuk kegiatan Kewaspadaan
Wabah, penanggulangan Wabah, dan pasca-
Wabah
1571 (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
penghargaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
1572 Bagian Kedua
Pengawasan
1573 Pasal 436
(1)Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya melakukan
pengawasan terhadap masyarakat dan setiap
penyelenggaraan kegiatan yang berhubungan
dengan Sumber Daya Kesehatan dan Upaya
Kesehatan berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
1574 (2)Lingkup pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. ketaatan terhadap ketentuan peraturan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


perundang- undangan termasuk ketaatan
pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat
b.ketaatan terhadap standar profesi,
standar pelayanan, standar prosedur
operasional, etika, dan disiplin profesi
c. dampak Pelayanan Kesehatan oleh Tenaga
Medis atau Tenaga Kesehatan
d.evaluasi penilaian kepuasan pelanggan
e. akuntabilitas dan kelayakan
penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan
Sumber Daya Kesehatan; dan
f. objek pengawasan lain sesuai kebutuhan
1575 (3)Dalam melaksanakan pengawasan,
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
dapat mengikutsertakan organisasi profesi
dan masyarakat
1576 Pasal 437 Usulan penambahan ayat
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah (1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam
dalam melakukan pengawasan sebagaimana melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
dimaksud dalam Pasal 436, dapat mengangkat Pasal 436, dapat mengangkat tenaga pengawas dengan
tenaga pengawas dengan tugas p untuk tugas p untuk melakukan pengawasan terhadap segala
melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu sesuatu yang berhubungan dengan Sumber Daya
yang berhubungan dengan Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan
Kesehatan dan Upaya Kesehatan (2) Tenaga Pengawas yang dimaksud pada ayat (1), akan di
atur dalam Peraturan Pemerintah.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1577 Pasal 438 Substansi
Dapat dimasukkan dalam rancangan Peraturan Pemerintah
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
Terkait Tenaga Pengawas Kesehatan
dimaksud dalam Pasal 437, tenaga pengawas
mempunyai fungsi:
a. memasuki Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dan setiap tempat yang diduga digunakan
dalam kegiatan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh
Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
1578 Pasal 439 Substansi
Setiap orang yang bertanggung jawab atas Dapat dimasukkan dalam rancangan Peraturan Pemerintah
tempat dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga Terkait Tenaga Pengawas Kesehatan
pengawas mempunyai hak untuk menolak
pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang
bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda
pengenal dan surat perintah pemeriksaan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1579 Pasal 440
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya Substansi
dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran Dapat dimasukkan dalam rancangan Peraturan Pemerintah
hukum di bidang Kesehatan, tenaga pengawas Terkait Tenaga Pengawas Kesehatan
wajib melaporkan kepada penyidik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
1580 Pasal 441 Substansi
Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan Dapat dimasukkan dalam rancangan Peraturan Pemerintah
kegiatan yang berhubungan dengan Sumber Daya Terkait Tenaga Pengawas Kesehatan
Kesehatan dan Upaya Kesehatan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
1581 Pasal 442 Substansi
(1)Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Dapat dimasukkan dalam rancangan Peraturan Pemerintah
sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Terkait Tenaga Pengawas Kesehatan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat
mengenakan sanksi administratif terhadap
Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan yang melanggar
ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini
1582 (2)Ketentuan mengenai pengenaan sanksi Substansi
administratif terhadap Tenaga Medis, Tenaga Dapat dimasukkan dalam rancangan Peraturan Pemerintah
Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Terkait Tenaga Pengawas Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dalam Peraturan Pemerintah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1583 BAB XVII
PENYIDIKAN
1584 Pasal 443 Usulan tambahan
(1) Pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Ayat (3) Huruf m.
Republik Indonesia berwenang dan bertanggung meminta bantuan ahli dan atau ahli dari organisasi
jawab melakukan penyidikan tindak pidana di profesi dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
sektor kesehatan berdasarkan Kitab Undang- tindak pidana di bidang Kesehatan
Undang Hukum Acara Pidana
1585 (2) Selain penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan pemerintahan yang
menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan
juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang Kesehatan.
1586 (3) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan dan melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang tindak pidana di bidang
Kesehatan
b. memanggil, memeriksa, menggeledah,
menangkap, atau menahan seseorang yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang
Kesehatan
c. melakukan tindakan pertama di tempat
kejadian
d. melarang setiap orang meninggalkan atau

IKATAN APOTEKER INDONESIA


memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan
e. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau
tersangka dan memeriksa identitas dirinya
f. mencari dan meminta keterangan dan bahan
bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang
Kesehatan
g. menahan, memeriksa, dan menyita surat
dan/atau dumen lain tentang tindak
pidana di bidang Kesehatan
h. memeriksa dan menyita surat, dumen,
dan/atau bahan/barang bukti lainnya dalam
perkara tindak pidana di bidang Kesehatan
i. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu
yang diduga terdapat surat, dumen, atau
benda lain yang ada hubungannya dengan
tindak pidana di bidang Kesehatan
j. mengambil foto dan sidik jari tersangka
k. memanggil seseorang untuk diperiksa dan
didengar keterangannya sebagai tersangka
atau saksi;
l. meminta keterangan dari masyarakat atau
sumber yang berkompeten
m. meminta bantuan ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang Kesehatan
n. menghentikan penyidikan apabila tidak
terdapat cukup bukti yang membuktikan
adanya tindak pidana di bidang Kesehatan;
dan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


o. mengadakan tindakan lain menurut hukum
1587 (4) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
1588 (5) Dalam melaksanakan kewenangan dan
tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), Penyidik pejabat pegawai negeri
sipil berada di bawah koordinasi dan
pengawasan Kepolisian Negara Republik
Indonesia
1589 Pasal 444 Usulan tambahan
(1)Untuk menjadi Penyidik pejabat pegawai negeri Pasal 444 Ayat (1) huruf a.
sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 443 memiliki masa kerja sebagai P egawai Negeri Sipil
ayat (2), harus memenuhi Persyaratan dan di lingkungan pemerintahan yang
kualifikasi sebagai berikut: menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan
a. memiliki masa kerja sebagai pegawai tetap paling singkat 2 (dua) tahun.
di lingkungan pemerintahan yang
menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan
paling singkat 2 (dua) tahun
b.memiliki pangkat paling rendah Penata Muda Usulan Perubahan huruf d:
golongan ruang III/a atau yang sederajat bertugas di bidang teknis operasional penegakan
c. berpendidikan paling rendah sarjana hukum hukum dan atau bidang kesehatan
atau sarjana lain yang setara
d.bertugas di bidang teknis operasional
penegakan hukum
e. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan
dengan surat keterangan dter pada rumah

IKATAN APOTEKER INDONESIA


sakit pemerntah
f. paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun
terakhir dalam setiap unsur penilaian kinerja;
dan
g. mengikuti dan lulus Pendidikan dan pelatihan
di bidang penyidikan yang diselenggarakan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
bekerja sama dengan Pemerintah yang
menyelenggarakan urusan di bidang
Kesehatan
1590 (2)Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi
persyaratan dan kualifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diusulkan sebagai
Penyidik di lingkungan pemerintahan yang
menyelanggarakan urusan di bidang Kesehatan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
1591 Pasal 445
Dalam melakukan penyidikan, penyidik pegawai
negeri sipil berkoordinasi dan bekerja sama dengan
penyidik di lingkungan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan dapat berkoordinasi serta bekerja
sama dengan penyidik di lingkungan Tentara
Nasional Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
1592 Pasal 446
(1)Tindak Pidana yang terjadi di lingkungan rumah
sakit militer dan tenaga medis militer, proses

IKATAN APOTEKER INDONESIA


penyidikan hanya dilakukan oleh penyidik
Tentara Nasional Indonesia

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1593 (2)Dalam hal hasil penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik Tentara Nasional Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditemukan bukti adanya
tindak pidana yang dilakukan oleh tenaga medis sipil,
penyidik TNI melimpahkan penyidikan kepada
Penyidik PPNS dan Penyidik Kepolisian Republik
Indonesia
1594 (3)Dalam hal hasil penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Penyidik Kepolisian
Republik Indonesia. Ditemukan bukti adanya tindak
pidana yang dilakukan oleh tenaga medis militer di
rumah sakit sipil, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan
Penyidik Kepolisian Republik Indonesia melimpahkan
penyidikan kepada Penyidik Tentara Nasional
Indonesia
1595 Pasal 447
Persyaratan, tata cara pengangkatan penyidik pegawai
negeri sipil, dan administrasi penyidikan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan eraturan perundang-undangan
1596 BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA
1597 Pasal 448
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan aborsi
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak kategori VI.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
1598 Pasal 449
Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi
program pemberian air susu ibu eksklusif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2)
dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak kategori IV
1599 Pasal 450
Setiap Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan
darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak kategori V
1600 Pasal 451
Setiap Orang yang dengan sengaja mengkomersialkan
atau memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh
dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak kategori VI.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1601 Pasal 452
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan bedah
plastik rekonstruksi dan estetika bertentangan dengan
norma yang berlaku dalam masyarakat dan bertujuan
untuk mengubah identitas dengan tujuan melawan
hukum atau melakukan kejahatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak kategori VI
1602 Pasal 453
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan
pemasungan, penelantaran, kekerasan, dan/atau
menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan,
penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap penderita
gangguan jiwa atau tindakan lainnya yang melanggar
hak asasi penderita gangguan jiwa, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 107 ayat (3) dipidana denda
kategori VI
1603 Pasal 454
Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat
Kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan
mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (2)
dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
kategori VI

IKATAN APOTEKER INDONESIA


IKATAN APOTEKER INDONESIA
1604 Pasal 455
Setiap Orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan Sediaan
Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang tidak
memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1) dan ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak
kategori VI
1605 Pasal 456 Usulan perubahan pasal 456:
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan untuk melakukan praktik kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1)
Pasal 149 ayat (1) dipidana dengan pidana denda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
paling banyak kategori VI (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak
kategori VI
1606 Pasal 457
(1)Setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi, memasukkan r ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan/atau mengedarkan dengan tidak
mencantumkan peringatan Kesehatan
berbentuk gambar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 156 dipidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
kategori V

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1607 (2)Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
kawasan tanpa r sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 157 dipidana denda paling
banyak kategori III
1608 Pasal 458 Usulan perubahan pasal 458:
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik
Pelayanan Kesehatan tradisional yang Pelayanan Kesehatan tradisional yang menggunakan
menggunakan alat dan teknologi sebagaimana alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) sehingga 162 ayat (1) sehingga mengakibatkan luka berat atau
mengakibatkan kerugian harta benda, luka kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama
berat atau kematian dipidana dengan pidana 3 (tiga) tahun untuk luka berat dan pidana penjara
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling lama 5 (lima) tahun jika mangakibatkan
paling banyak kategori IV kematian denda paling banyak kategori IV
1609 Pasal 459
(1)Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
Tenaga Medis, dan Tenaga Kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap Pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 171 ayat (1) dan (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak kategori
IV
1610 (2)Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tersebut

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
kategori VI
1611 Pasal 460
(1)Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 448 sampai dengan
Pasal 459 ayat (1) dilakukan oleh korporasi,
selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana
denda.
1612 (2)Selain pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) korporasi dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b.pencabutan status badan hukum
1613 Pasal 461
Setiap Orang yang bukan Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan melakukan praktik sebagai
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang
telah memiliki SIP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 252 huruf c dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun
1614 Pasal 462 Usulan perubahan pasal 462 ayat (1):
(1)Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang
Kesehatan yang melakukan kelalaian berat melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan

IKATAN APOTEKER INDONESIA


yang mengakibatkan Pasien luka berat Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling
(tiga) tahun banyak kategori III.

Catatan:
Referensi
UU KUHP No. 1 Tahun 2023
Pasal 474 ayat 2
1615 (2)Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud Usulan perubahan ayat (2):
pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Medis
dipidana dengan pidana penjara paling lama atau Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana
5 (lima) tahun penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori V.

Catatan:
Referensi
UU KUHP No. 1 Tahun 2023
Pasal 474 ayat 2
1616 Pasal 463
Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
warga negara asing yang dengan sengaja
memberikan Pelayanan Kesehatan tanpa
memiliki STR Sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 237 ayat (1) dipidana dengan
pidana denda paling banyak kategori V

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1617 Pasal 464
Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
yang menjalankan praktik tanpa memiliki SIP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat
(1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak kategori V
1618 Pasal 465
(1)Setiap Orang yang dengan sengaja
menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi
masyarakat yang bersangkutan adalah
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang
telah memiliki STR dan/atau SIP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329
huruf a dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak kategori V
1619 (2)Setiap Orang yang dengan sengaja
menggunakan alat, metode atau cara lain
dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang menimbulkan kesan
seolah-olah yang bersangkutan merupakan
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang
telah memiliki STR atau SIP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 329 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak kategori IV

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1620 (3)Setiap Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan yang melakukan praktik sebagai
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan tanpa
memiliki STR dan/atau SIP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 329 huruf c
dipidana dengan pidana denda paling
banyak kategori V
1621 Pasal 466
(1)Setiap orang yang dengan sengaja
mempekerjakan Tenaga Medis dan/atau
Tenaga Kesehatan yang tidak mempunyai
SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak kategori V
1622 (2)Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
korporasi, maka pidana yang dijatuhkan
adalah pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah sepertiga atau
dijatuhi hukuman tambahan berupa
pencabutan izin

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1623 Pasal 467
Nakhoda kapal atau kapten penerbang yang
menurunkan atau menaikkan orang dan/atau
barang sebelum mendapat surat persetujuan dari
BKKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377
ayat (3) dengan maksud menyebarkan penyakit
dan/atau faktor risiko penyakit yang dapat
menimbulkan Wabah dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
denda paling banyak kategori VII
1624 Pasal 468
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan
kegiatan menyebarluaskan agen biologi
penyebab penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 414 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori VII
1625 Pasal 469
Setiap orang yang dengan sengaja
tidak mematuhi pelaksanaan upaya
Penanggulangan Wabah dan/atau dengan sengaja
menghalang-halangi pelaksanaan upaya
Penanggulangan Wabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 415 dipidana dengan pidana denda
paling banyak kategori V

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1626 Pasal 470
(1)Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 468 dan Pasal 469
dilakukan oleh korporasi pertanggungjawaban
pidana dikenakan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya
1627 (2)Korporasi dikenai pertanggungjawaban secara
pidana terhadap suatu perbuatan yang
dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi
jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup
usahanya sebagaimana ditentukan dalam
anggaran dasar atau ketentuan lain yang
berlaku bagi korporasi yang bersangkutan
1628 (3)Pidana dijatuhkan kepada korporasi jika tindak
pidana:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh personel
pengendali korporasi
b.dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud
dan tujuan korporasi
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi
pelaku atau pemberi perintah; dan/atau
d.dilakukan dengan maksud memberikan
manfaat bagi korporasi
1629 (4)Dalam hal tindak pidana dilakukan atau
diperintahkan oleh personel pengendali
korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a atau pengurus korporasi, pidana p yang

IKATAN APOTEKER INDONESIA


dijatuhkan adalah pidana penjara maksimum
dan pidana denda maksimum yang masing-
masing ditambah dengan pidana pemberatan
2/3 (dua pertiga)
1630 (5)Pidana p yang dijatuhkan terhadap korporasi
adalah pidana denda maksimum ditambah
dengan pidana pemberatan 2/3 (dua pertiga)
1631 BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
1632 Pasal 471
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua
peraturan pelaksanaan dari:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3237)
b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301)
c. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4431)

IKATAN APOTEKER INDONESIA


d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4456)
e. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063)
f. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5072);
g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5256);
h. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5336);
i. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5571)
j. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5607);
k. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5612);
l. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6236); dan
m. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Kebidanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6325), dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini dan
belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1633 Pasal 472
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan Konsil Usul perubahan Pasal 472:
Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana
dalam Pasal 253 sampai dengan Pasal 280 harus
dimaksud dalam Pasal 253 sampai dengan Pasal 280
dibentuk paling lama 2 (dua) tahun terhitung
harus dibentuk paling lama 2 (dua) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini diundangkan
sejak Undang-Undang ini diundangkan
1634 Pasal 473 Usul perubahan Pasal 473:
Dalam hal Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Dalam hal Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
dan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 sampai
dimaksud dalam Pasal 250 sampai dengan dengan Pasal 280 belum terbentuk, Konsil Tenaga
Pasal 280 belum terbentuk, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan Konsil Kedokteran
Kesehatan Indonesia dan Konsil Kedokteran Indonesia yang sudah terbentuk sebelum undang-
Indonesia yang sudah terbentuk sebelum undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan
undang-undang ini berlaku tetap menjalankan fungsinya sampai dengan diangkatnya anggota
tugas dan fungsinya sampai dengan konsil Tenaga Kesehatan Indonesia berdasarkan
diangkatnya anggota konsil Tenaga Kesehatan undang-undang ini.
Indonesia dan Konsil Kedokteran Indonesia
berdasarkan undang-undang ini.

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1635 BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
1636 Pasal 474
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3237)
b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4431)
c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063)
d. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072)
e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014
tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 185,

IKATAN APOTEKER INDONESIA


Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5571); dan
f. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
g. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014
tentang Keperawatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 307,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5612)
h. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6236); dan
i. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019
tentang Kebidanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6325), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku

IKATAN APOTEKER INDONESIA


1637 Pasal 475
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Organisasi Profesi yang telah berbadan hukum
sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diakui
keberadaannya sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini dan harus menyesuaikan dengan
ketentuan Undang-Undang ini dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan
1638 Pasal 476
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang- Undang ini diundangkan
1639 Pasal 477
Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan
Undang- Undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat
melalui alat kelengkapan yang menangani urusan di
bidang legislasi paling lambat 3 (tiga) tahun sejak
Undang-Undang ini berlaku
1640 Pasal 478
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

IKATAN APOTEKER INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai