Anda di halaman 1dari 93

1

MODUL PRAKTIKUM METODE PENANGKAPAN IKAN

Tim Instruktur
Kukuh Eko Prihantoko, S.Pi., M.Si.
Bogi Budi Jayanto, S.Pi., M.Si.
Hendrik Anggi Setyawan, S.Pi., M.Si.
Dr. Ir. Herry Boesono, M.Pi

Tim Asisten
Yessica Vita Br Tarigan
Fadhlullah Asyrof Al Ghyffari
Muhammad Rafly Firmansyah
Shinta Listian Ruri
Nadya Khikmatul Oktaviana
Salsa Juanita Prasetyo

Program Studi S1 Perikanan Tangkap


Departemen Perikanan Tangkap
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro
Tahun 2023

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan Modul
Praktikum Metode Penangkapan Ikan dengan baik. Modul praktikum ini
merupakan buku panduan dalam pelaksanaan praktikum yang akan
dilaksanakan oleh mahasiswa/i yang mengikuti mata kuliah Metode
Penangkapan Ikan..
Modul ini disusun secara sistematis yang berisi materi mengenai aspek
yang akan dipelajari dalam praktikum dan hal-hal apa saja yang harus
dilaporkan di akhir praktikum. Untuk memudahkan pemahaman dalam
pelaksanaan praktikum maka akan didampingi oleh Tim Asisten yang
bertugas dalam melaksanakan praktikum sehingga maksud dan tujuan dari
pelaksanaan praktikum ini dapat tersampaikan dan tercapai dengan baik.
Demikianlah, modul praktikum ini disusun. Masukan dan saran yang
membangun dalam pengembangan pembelajaran tentunya sangat penulis
harapkan. Semoga modul praktikum ini dapat bermanfaat bagi Mahasiswa/i
dan menunjang peningkatan kemampuan praktis Mahasiswa/i dalam
pembelajaran.

Semarang, Februari 2023

Tim Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar iii


Daftar Isi iv
Daftar Tabel vii
Daftar Gambar viii
Daftar Lampiran ix

BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 3
1.3. Ruang Lingkup 4
1.4. Metode 5

BAB II. GILL NET 7


2.1. Pengertian 7
2.2. Klasifikasi 8
2.3. Konstruksi 11
2.4. Metode Pengoperasian 12
2.5. Daerah Penangkapan 13
2.6. Hasil Tangkapan 13
2.7. Kajian Teknis 15

BAB III. TRAMMEL NET 19


3.1. Pengertian 19
3.2. Klasifikasi 20
3.3. Konstruksi 21
3.4. Metode Pengoperasian 22
3.5. Daerah Penangkapan 22
3.6. Hasil Tangkapan 23
3.7. Kajian Teknis 23

BAB IV. ARAD 27


4.1. Pengertian 27
4.2. Klasifikasi 27
4.3. Konstruksi 28
4.4. Metode Pengoperasian 30

iv
4.5. Dearah Penangkapan 31
4.6. Hasil Tangkapan 31
4.7. Kajian Teknis 33

BAB V. PERAWAI ATAU LONG LINE 37


5.1. Pengertian 37
5.1.1. Pengertian Perawai 37
5.1.2. Pengertian Tuna Long Line 38
5.2. Klasifikasi 39
5.3. Konstuksi 40
5.3.1. Konstruksi Perawai 40
5.3.2. Konstruksi Tuna Long Line 42
5.4. Metode Pengoperasian 43
5.5. Daerah Penangkapan 44
5.6. Hasil Tangkapan 45
5.7. Kajian Teknis 46

BAB VI. BAGAN TANCAP 49


6.1. Pengertian 49
6.2. Klasifikasi 50
6.3. Konstruksi 51
6.4. Metode Pengoperasian 53
6.5. Cahaya sebagai Atraktor 54
6.5.1. Pengertian Cahaya 54
6.5.2. Jenis Lampu 55
6.5.2.1. Lampu Tradisional 55
6.5.2.2. Lampu Modern 56
6.5.2.3. Menurut Letak dan Sumber 57
6.6. Daerah Penangkapan 59
6.7. Hasil Tangkapan 60

BAB VII. BUBU 62


7.1. Pengertian 62
7.2. Klasifikasi 63
7.3. Konstruksi 63
7.3.1. Konstruksi Bubu Dasar 64
7.3.2. Konstruksi Bubu Lipat 64

v
7.4. Metode Pengoperasian 65
7.5. Daeran Penangkapan Ikan 65
7.6. Hasil Tangkapan 66

BAB VIII. UMPAN 69


8.1. Pengertian Umpan 69
8.2. Macam-macam Umpan 70
8.3. Syarat Umpan 73

BAB IX. ALAT BANTU PENANGKAPAN IKAN 74


9.1. Net Hauler 74
9.2. Line Hauler 76
9.3. Rumpon 77
9.4. Fish Finder 80

BAB X. ALAT TANGKAP RAMAH LINGKUNGAN 83

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Gill Net berdasarkan ISSCFG 9


Tabel 2. Kuisioner Gill Net 18
Tabel 3. Kuisioner Trammel Net 26
Tabel 4. Kuisioner Arad 36
Tabel 5. Kuisioner Rawai 47
Tabel 6. Kuisioner Tuna Longline 48
Tabel 7. Kuisioner Bagan Tancap 61
Tabel 8. Kuisioner Bubu 67
Tabel 9. Kuisioner Bubu Lipat 68

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gill Net Hanyut 7


Gambar 2. Konstruksi Gill Net 11
Gambar 3. Trammel Net 19
Gambar 4. Konstruksi Trammel Net 21
Gambar 5. Arad 27
Gambar 6. Konstruksi Arad 28
Gambar 7. Rawai Dasar 37
Gambar 8. Rawai Tuna 38
Gambar 9. Konstruksi Rawai 40
Gambar 10. Mata Pancing 41
Gambar 11. Konstruksi Branch Line Rawai 41
Gambar 12. Konstruksi Tuna Longline 42
Gambar 13. Bagan Tancap 49
Gambar 14. Konstruksi Bagan Tancap 52
Gambar 15. Bubu 62
Gambar 16. Konstruksi Bubu Dasar 64
Gambar 17. Konstruksi Bubu Lipat 64
Gambar 18. Net Hauler 75
Gambar 19. Line Hauler 77
Gambar 20. Rumpon 78
Gambar 21. Konstruksi Rumpon 79
Gambar 22. Konstruksi Fish Finder 82

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Nilai Modul Praktikum Darat dan Laut Metode


Penangkapan Ikan, 2022 96

ix
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Preferensi masyarakat global terhadap ikan semakin meningkat tajam dari
tahun ke tahun sebanding dengan tingkat pertumbuhan manusia karena ikan
mengandung protein hewani yang tidak mengandung kolesterol dan tidak ada
subtitusinya. Ikan menyediakan protein hewani yang relatif tinggi jumlahnya,
ikan juga mengandung asam lemak tak jenuh serta berbagai macam vitamin dan
mineral yang diperlukan oleh tubuh. Upaya menyediakan ikan dalam jumlah
banyak diperlukan cara penangkapan yang efektif dan efisien. Cara menangkap
ikan harus didasari pengetahuan, karena perikanan harus dimanfaatkan pada
batas yang memberikan dampak dapat ditoleransi ekosistem.
Prinsip metode penangkapan ikan didasarkan pada tingkah laku ikan (fish
behaviour) yang menjadi tujuan penangkapan. Klasifikasi dari metode
penangkapan sangat bergantung pada pengoperasian dan kegunaan untuk
menangkap terget ikan. Dasar dari klasifikasi metode penangkapan adalah
prinsip bagaimana ikan itu ditangkap. Mengacu pada bagaimana ikan itu
ditangkap, pengklasifikasian alat penangkap ikan berdasarkan sifatnya
digolongkan menjadi dua yaitu alat tangkap yang pasif dan aktif. Meningkatkan
jumlah hasil tangkapan tidak akan diperoleh di perairan yang dangkal tapi harus
merambah ke samudera yang luas dengan cara menambah jumlah dan
memperbesar alat penangkapan ikan serta memperbesar ukuran kapal. Selain
itu diperlukan pula mekanisasi, otomatisasi dan bahkan mungkin komputerisasi
di bidang perikanan, yang mana ketiganya didasarkan pada metode
penangkapan ikan.
Penangkapan ikan (fishing) adalah kegiatan menangkap atau
mengumpulkan biota yang hidup dalam perairan, baik perairan laut maupun
perairan umum khususnya untuk ikan laut, karena sampai saat ini belum
banyak ikan yang mampu untuk dibudidayakan. Indonesia merupakan negara
maritim, tak mampu dipungkiri jika potensi kelautan dan perikanan Indonesia
sangat besar. Oleh karena itu kita harus mampu memanfatkannya dengan baik.
Di sisi lain kita juga harus menjaga kelestarian dari laut yang ada di Indonesia.
Alat tangkap terbagi menjadi beberapa klasifikasi. Menurut FAO alat tangkap
terbagi menjadi beberapa jenis, seperti jaring lingkar, pukat, pukat harimau,
penggaruk berperahu, tangkul, jala, dan jaring (net) hal yang tidak dapat kita
kesampingkan adalah pengetahuan kita tentang penentuan Daerah Penangkapan

1
2

Ikan, karena aspek ini sangat menunjang keberhasilan kita dalam menangkap
ikan.
Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 50 tahun 2017 tentang estimasi potensi, jumlah tangkapan yang
diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia menunjukkan bahwa
potensi perikanan di WPP 712 sebesar 1.341.631 ton dengan nilai pemanfaatan
beberapa kategori sumber daya ikan telah melebihi angka 1 yang berarti
termasuk dalam kategori fully exploited, hal tersebut menunjukkan bahwa
kegiatan penangkapan di WPP 712 sudah mencapai overfishing sehingga
penangkapan harus dikurangi. Salah satu penyebab terjadinya upaya
penangkapan berlebih karena tekanan penangkapan yang terjadi di WPP 712
didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap skala kecil.
Kegiatan penangkapan ikan harus dilakukan dengan teknologi yang
memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan, sehingga sumberdaya
tersebut dapat lestari dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Alat
tangkap ramah lingkungan yaitu alat tangkap yang tidak berdampak negatif
terhadap lingkungan, dengan pertimbangan sebagai berikut : (1) Seberapa besar
alat tangkap tersebut merusak dasar perairan; (2) Peluang hilangnya alat
tangkap; (3) Seberapa besar polusi; (4) Dampaknya terhadap keanekaragaman
mahkluk hidup dan target komposisi hasil tangkapan; (5) Adanya hasil
tangkapan sampingan (by catch) serta tertangkapnya ikan-ikan dengan ukuran
dibawah ukuran layak tangkap. Indonesia sebagai salah satu Negara anggota
FAO juga berkewajiban menerapkan kode etik dalam dokumen CCRF untuk
mengelola sumberdaya perikanan (Pramesthy et al., 2020).

1.2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan praktikum Metode Penangkapan Ikan:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan dan mendeskripsikan klasifikasi alat
penangkapan ikan;
2. Mahasiswa mampu melakukan identifikasi dan pengukuran alat penangkapan
ikan serta cara penyajian data alat penangkapan ikan;
3. Mahasiswa mampu membuat gambar desain dan gambar konstruksi alat
penangkapan ikan;
4. Mahasiswa mampu menentukan karakteristik teknis alat penangkapan ikan
melalui perhitungan teknis;
5. Mahasiswa mampu melakukan pengoperasian alat penangkapan ikan sesuai
3

dengan jenis dan karakteristik alat penangkapan ikan;


6. Mahasiswa mampu melakukan identifikasi dan pendataan hasil tangkapan
ikan serta menyajikan komposisi hasil tangkapan ikan sesuai dengan jenis
alat penangkapan ikan yang digunakan;
7. Mahasiswa mampu melakukan identifikasi terhadap faktor- faktor yang
mempengaruhi hasil tangkapan;
8. Mahasiswa mampu melakukan identifikasi dan mengoperasikan alat bantu
penangkapan ikan yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan;
9. Mahasiswa mampu melakukan identifikasi jenis alat penangkapan ikan yang
ramah lingkungan.Mengetahui cara kerja dan fungsi alat bantu penangkapan
seperti Net Hauler, Line Hauler, Rumpon, Fish Finder; dan
10. Mengetahui alat tangkap ramah lingkungan yang dilihat dari metode
penangkapannya.

1.3. Ruang Lingkup


Ruang lingkup pelaksanaan praktikum Metode Penangkapan Ikan tahun
2023 adalah :
1. Mahasiswa mempelajari klasifikasi alat penangkapan ikan.
2. Mahasiswa mempelajari metode penangkapan ikan dari berbagai jenis alat
penangkapan ikan.
3. Mahasiswa melakukan pengukuran alat penangkapan ikan untuk menentukan
spesifikasi teknis alat penangkapan ikan dan menyajikan hasil perhitungan
teknisnya.
4. Mahasiswa melakukan pembuatan gambar teknis alat penangkapan ikan yang
terdiri dari Gambar Desain dan Gambar Konstruksi Alat Penangkapan Ikan.
5. Mahasiswa melakukan simulasi operasi penangkapan ikan dengan jenis alat
penangkapan ikan yang terdiri dari Gill Net, Trammel net, Bubu Lipat, arad,
Perawai, Long Line dan Bagan Tancap.
6. Mahasiswa melakukan identifikasi dan pengukuran ikan hasil tangkapan dari
tiap-tiap jenis alat penangkapan ikan yang dioperasikan serta menyajikan
hasil perhitungan komposisi jenis ikan hasil tangkapannya.
7. Mahasiswa melakukan identifikasi dan mengoperasikan alat bantu
penangkapan yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan.
8. Mahasiswa melakukan identifikasi dan menentukan jenis alat penangkapan
ikan yang ramah lingkungan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
4

1.4. Metode
Pelaksanaan praktikum metode penangkapan ikan Tahun 2022
diselenggarakan dengan metode hybrid (kombinasi online dan offline). Kegiatan
praktikum yang dilaksanakan secara online antara lain adalah kegiatan
penyampaian materi-materi praktikum yang bersifat teoritis dan konseptual oleh
Tim Praktikum. Kegiatan praktikum yang dilaksanakan secara offline terdiri dari
kegiatan pengukuran alat penangkapan ikan, pengoperasian alat penangkapan
ikan, identifikasi dan pengukuran ikan hasil tangkapan ikan, dan pengoperasian
alat bantu penangkapan ikan.
Secara teknis, Mahasiswa praktikum akan dibuat penglompokkan
(kelompok praktikum). Setiap kelompok praktikum akan terdiri dari sejumlah
Mahasiswa peserta praktikum. Dalam penyelesaian program praktikum metode
penangkapan ikan, Mahasiswa diharapkan dapat bekerja menyelesaikan materi
praktikum secara berkelompok. Hal ini untuk melatih Mahasiswa praktikum agar
dapat bekerjasama satu sama lain dalam menyelesaian tugas-tugas materi
praktikum.
BAB II. GILL NET

2.1. Pengertian
Jaring insang adalah salah satu dari jenis alat penangkap ikan dari bahan
jaring monofilament atau multifilament yang dibentuk menjadi empat persegi
panjang, pada bagian atasnya dilengkapi dengan pelampung (floats) dan pada
bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (singkers) sehingga
dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat
dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak menghadang biota
perairan. Alat ini banyak digunakan oleh nelayan karena memiliki beberapa
keuntungan, diantaranya adalah mudah dioperasikan dan biayanya relatif murah
ukuran mata jaring yang digunakan pada jaring insang umumnya disesuaikan
dengan ukuran ikan yang menjadi target penangkapan. Hasil tangkapan
diharapkan hanya didominasi oleh ikan-ikan yang ukurannya sesuai dengan
ukuran mata jaring. Sehingga kelestarian sumberdaya ikan akan tetap terjaga
(Rifai et al., 2019)

Gambar 1. Gill Net Hanyut


Sumber: KEPMEN KP No.18 (2021)
Gill net atau sering disebut jaring insang merupakan alat tangkap yang
dibuat dan dirancang secara menjerat ikan melalui insang. Alat tangkap gill net
ini banyak digunakan oleh para nelayan tradisional maupun nelayan modern
dikarenakan alat ini sangat praktis untuk menangkap ikan juga ramah terhadap
lingkungan. Prinsip dasar penangkapan dengan jaring insang ialah cara
menghadang arah renang gerombolan ikan pelagis atau demersal yang menjadi
sasaran tangkap sehingga terjerat pada jaring (Sweking et al., 2018).

5
6
2.2. Klasifikasi
Klasifikasi gill net menurut A. Von Brandt (1984), merupakan gilled gear
karena pada umumnya ikan yang tertangkap pada bagian tutup insangnya dalam
usaha mereka untuk melewati jaring. Syarat yang harus dipenuhi agar ikan-ikan
tertangkap secara terjerat (gilled) pada tubuh jaring, maka bahan yang
dipergunakan sebagai berikut :
1. Benang yang dipergunakan hendaknya yang lembut, mempunyai visibilitas
yang rendah dengan ukuran mata jaring yang homogen, dan tidak kaku
terutama bagian yang ditujukkan untuk ikan yang tertangkap secara terbelit;
2. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan besar badan ikan baik tinggi maupun
diameter tubuh ikan sasaran;
3. Kekuatan rentangan dari tubuh jaring tergantung dan berhubungan dengan
jumlah ikan yang tertangkap, terutama terpuntal. Kekuatan rentangan tubuh
jaring ditentukan oleh buoyancy dari pelampung, berat tubuh jaring, tali-
temali, dan sinking force dari pemberat; dan
4. Warna jaring juga mempengaruhi hasil tangkapan dan pada umumnya dipilih
jenis warna yang tidak dapat terlihat oleh ikan pada saat jaring terpasang.
5. Warna jaring juga mempengaruhi hasil tangkapan dan pada umumnya dipilih
jenis warna yang tidak dapat terlihat oleh ikan pada saat jaring terpasang.
Secara umum berdasarkan International Standard Statistical Clasification
of Fishing Gear (ISSCFG) dalam buku FAO pengklasifikasian gill net dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Gill Net berdasarkan ISSCFG


Penggolongan Singkatan Kode ISSCFG

Jaring insang menetap GNS 07.1.0

Jaring insang hanyut GND 07.2.0

Jaring insang lingkar GNC 07.3.0

Jaring insang berpancang GNI 07.4.0


7
Gill net merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh
nelayan (Pertiwi, et al., 2017). karena gill net adalah salah satu alat tangkap yang
ramah lingkungan. Klasifikasi gill net berdasarkan kedudukan di perairan dibagi
menjadi 3, yaitu :
a. Gill net permukaan (Surface Gill Net)
b. Gill net pertengahan (Midwater Gill Net)
c. Gill net dasar (Bottom Gill Net)

Gill net berdasarkan pengoperasiannya :


a. Drift Gill Net
b. Encircling Gill Net atau Surrounding Gill Net
c. Set Gill Net.
Ukuran hanging ratio juga menjadi faktor yang sangat penting dalam
sebuah konstruksi jaring insang dalam melakukan penangkapan. Hanging ratio
horizontal pada gill net umumnya 0,5, jika hanging ratio lebih kecil dari 0,5
jaring cenderung memuntalkan ikan dan akan menangkap berbagai spesies ikan
yang berbeda, sebaliknya jika hanging ratio lebih biesar 0,5 maka, jaring
cenderung menerat ikan dan lebih selektif.
8
2.3. Konstruksi

1
2
3

7
8
Gambar 2. Konstruksi Gill Net

Konstruksi Gill net secara umum adalah sebagai berikut:

1. Pelampug 5. Badan Jaring


2. Tali Ris Atas 6. Tali Ris Bawah
3. Tali Pelampung 7. Tali Pemberat
4. Serampat Atas 8. Pemberat
9
2.4. Metode Pengoperasian
Cara pengoperasian Gill net adalah sebagai berikut:

1. Kapal dengan alat tangkap Gill net menuju fishing ground

2. Kegiatan penurunan alat tangkap Gill net (setting). Jaring insang


dipasang tegak lurus terhadap arus sehingga mampu menghadang
gerombolan ikan. Pertama yang diturunkan adalah pelampung tanda
sampai terakhir pemberat.

3. Kegiatan perendaman alat tangkap Gill net (immersing). Setelah


jaring terentang sempurna, dilakukan perendaman alat tangkap yang
berguna untuk mendapatkan hasil tangkapan.

4. Kegiatan penarikan alat tangkap Gill net (hauling). Hauling


merupakan proses penarikan jaring sampai ke permukaan (ke atas
kapal). Saat penarikan jaring dilakukan juga penyortiran hasil
tangkapan.
10
2.5. Daerah Penangkapan Ikan
Menurut Permen KP Nomor. 59 Tahun 2020, jaring insang
merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat pasif, dioperasikan
dengan menggunakan ukuran mata jaring 2 hingga ≥ 13 inci dengan
panjang tali ris atas ≤ 500 m hingga 2500 m, dan kapal motor
berukuran ≤ 10 hingga > 30 gross tonnage dan dioperasikan pada jalur
penangkapan ikan IB, II, dan III di WPPNRI 571, WPPNRI 572,
WPPNRI 573, WPPNRI 711, WPPNRI 712, WPPNRI 713, WPPNRI
714, WPPNRI 715, WPPNRI 716, WPPNRI 717, dan WPPNRI 718.
Ciri-ciri daerah operasi Tidak merupakan alur pelayaran
• Tidak merupakan daerah berkarang
• Mempunyai arus yang baik
• Merupakan daerah ruaya ikan

2.6. Hasil Tangkapan


Menurut Hartono et al. (2019), ikan yang didapatkan dari hasil
pengoperasian jaring insang terbagi atas dua kelompok, yaitu jenis ikan
hasil tangkapan utama (HTU) dan sampingan (HTS). Jenis ikan HTU
merupakan ikan-ikan pelagis yang merupakan tujuan penangkapan.
Adapun ikan HTS adalah jenis ikan-ikan yang bukan menjadi tujuan
utama penangkapan dengan jaring insang namun dapat dimanfaatkan.
Kelompok ikan HTU terdiri dari ikan tongkol (Euthynnus affinis),
tenggiri (Scomberomorus commerson), dan talang-talang
(Scomberoides tala). Ikan HTS yang tertangkap adalah kembung
(Rastrelliger kanagurta), alu-alu (Sphyraena barracuda, galang sadap
(Brama orcini), semar (Mene maculata), kwee (Caranax ignobilis),
tentengkek (Seriolina nigrofasciata), dan bawal hitam
(Parastromateus niger). Berikut empat cara tertangkapnya ikan.
11
1. Snagged
Adalah dimana mata jaring mengelilingi
tubuh ikan tepat di belakang mata ikan (pre-
opperculum).

2. Gilled
Adalah dimana ketika mata jaring
mengelilingi ikan tepat di bagian tutup
insang (opperculum).

3. Wedged
Adalah ketika mata jaring mengelilingi
ikan pada bagian belakang tutup insang
(maximum body).

4. Entangled
Adalah ketika ikan tertangkap masuk ke
lebih dari dua mata jaring
12
2.7. Kajian Teknis
a. Hanging Ratio
Menurut Prado dan Dremeire (1996), hanging ratio didefinisikan
sebagai perbandingan antara panjang tali tempat lembaran jaring
dipasang dengan panjang jaring tegang (stretch) yang tergantung pada
tali tersebut. Dengan bentuk rumus sebagai berikut:
𝐿𝑜
E=
𝐿
Keterangan:
E = Hanging Ratio
Lo = Panjang tali ris tempat jaring terpasang (panjang jaring jadi)L
= Panjang jaring dalam keadaan stretch (terenggang penuh)

Hanging ratio apabila digambarkan ke dalam satu mata satumata


jaring perhitungannya adalah sebagai berikut :

Nilai dari hanging ratio apabila akan menemukan bentuk dari satu
jaring. Pada umumnya hanging ratio dari gill net adalah 0,5  0,7.
13
b. Shortening Ratio
Shortening atau pengerutan yaitu beda panjang tubuh jaring
dalam keadaan tegang sempurna (stretch) dengan panjang jaring
setelah diletakkan pada float line ataupun pada sinker line. Nilai dari
shortening dapat dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan:
L = Panjang tali ris tempat lembaran jaring dipasang
Lo = Panjang jaring tegang mendatar

Atau
Nilai Shortening (S) = 1 – E

c. Tinggi Tegang
Tinggi tegang adalah jarak antara float line ke sinker line pada
saat jaring diukur di darat. Perhitungan tinggi tegang dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:

Tinggi tegang = Besarnya mata jaring x

d. Tinggi Jaring
Tinggi jaring merupakan jarak antara float line ke sinker line pada
saat jaring terpasang di perairan.

Perhitungan tinggi jaring dapat dihitung dengan rumus berikut:

Tinggi jaring = Tinggi tegang x 1- E 2


14
e. Luas Jaring
Luas jaring insang bervariasi tegantung target tangkapan,
daerah tangkapan dan kecepatan arus.

Luas jaring (S) = E x 1- E2 x L x H x a2

Keterangan:
E = Hanging ratio
H = Jumlah mata jaring
vertical

L = Jumlah mata jaring


A = Mesh Size
15

Tabel 2. Form Sheet Gill Net


BAB III. TRAMMEL NET

3.1. Pengertian
Trammel net merupakan jaring insang yang dioperasikan di dasar
perairan. Sasaran tangkapan utamanya berbagai jenis organisme demersal,
seperti udang, ikan demersal, kepiting, dan rajungan. Prinsip
pengoperasian Trammel net adalah penyapuan dasar perairan, baik dengan
cara diseret atau dihanyutkan mengikuti arus. Cara diseret dianggap oleh
nelayan lebih efektif karena areal sapuan yang lebih luas dan jumlah
tangkapannya lebih banyak dibandingkan dengan cara operasi kedua
(Rihmi, et al 2017).

Gambar 3. Trammel net


Sumber: KEPMEN KP No.18 (2021)

Trammel net diklasifikasikan kedalam jaring dasar. Trammel


net termasuk jaring dasar. Trammel net ini terdiri dari pelampung,
tali ris atas, pemberat, tali ris bawah, serampat, badan jaring dan
termasuk jaring insang dasar. Trammel net disebut juga jaring
gandrong atau jaring tiga lapis yang dioperasikan pada perairan
pada dasar perairandan permukaan laut (Abdulaziz, 2018).

17
18

3.2. Klasifikasi
Klasifikasi Trammel net adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan International Standard Statistical Clasification of
Fishing Gear (ISSCFG) dalam FAO, Trammel net termasuk kedalam
jaring puntal dengan singkatan GTR kode ISSCFG 07.6.0;
2. Klasifikasi Trammel net menurut A Von Brandt (1984) merupakan
entangled gear;
3. Menurut Klasifikasi Alat Penangkap Ikan Indonesia (KAPI), Trammel
net merupakan jaring insang berlapis (JIBL) dengan kode KAPI
08.4.10.
19
3.3. Konstruksi
Konstruksi Trammel net secara umum adalah sebagai berikut:

1
2
3
4

5
6

7
8
9
10
Gambar 4. Konstruksi Trammel Net

Keterangan:
1. Pelampung 6. Inner
2. Tal Ris Atas 7. Serampat Bawah
3. Tali Serampat 8. Tali Ris Bawah
4. Serampat Atas 9. Tali Pemberat
5. Outer 10. Pemberat
20
3.4. Metode Pengoperasian
Cara pengoperasian Trammel net adalah sebagai berikut:
1. Kapal dengan alat tangkap Trammel net dari fishing base
menuju ke fishing ground;
2. Setting: Kegiatan penurunan alat tangkap Trammel net, dengan cara
menurunkan pelampung tanda hingga penurunan jaring dalam posisi
melintang arus;
3. Immersing: Kegiatan perendaman alat tangkap Trammel net, jaring
dibiarkan hanyut di dasar perairan selama beberapa jam;
4. Hauling: Kegiatan penarikan alat tangkap Trammel net.

3.5. Daerah Penangkapan Ikan


Menurut Permen KP Nomor. 59 Tahun 2020, alat tangkap trammel
net biasa dioperasikan pada Jalur Penangkapan Ikan IA, Jalur Penangkapan
Ikan IB, dan Jalur Penangkapan Ikan II di WPPNRI571, WPPNRI 572,
WPPNRI 573, WPPNRI 711, WPPNRI 712, WPPNRI 713, WPPNRI
714, WPPNRI 715, WPPNRI 716, WPPNRI 717, dan WPPNRI 718.
Daerah operasi. Daerah operasi penangkapanalat tangkap trammel net :
• Tidak merupakan alur pelayaran
• Mempunyai arus yang baik
• Merupakan daerah ruaya ikan
21
3.6. Hasil Tangkapan
Menurut Rizal dan Izza (2019), hasil tangkapan utama trammel net
adalah jenis udang dan by-catch berupa ikan-ikan demersal, seperti ikan
pepetek (Leiognathus sp.), gulama (Pseudosciena sp.), beloso (Saurida
tumbil), tenggiri (Scomberomorussp.), dan lain-lain.

3.7. Kajian Teknis


a. Hanging Ratio
Menurut Prado dan Dremeire (1996), hanging ratio didefinisikan
sebagai perbandingan antara panjang tali tempat lembaran jaring dipasang
dengan panjang jaring tegang (stretch) yang tergantung pada tali
tersebut. Dengan bentuk rumus berikut:
𝐿𝑜
E=
𝐿
Keterangan:
E = Hanging Ratio
Lo = Panjang tali ris tempat jaring terpasang (panjang jaring jadi)
L = Panjang jaring dalam keadaan stretch (terenggang penuh)

b
Hanging ratio apabila digambarkan ke dalam satu matajaring
perhitungannya adalah sebagai berikut :
Nilai dari hanging ratio apabila akan menemukan bentuk dari satu jaring.
Pada umumnya hanging ratio dari gill net adalah 0,5 sampai 0,7.
22
b. Shortening Ratio
Shortening atau pengerutan, yaitu beda panjang tubuh jaring dalam
keadaan tegang sempurna (stretch) dengan panjang jaring setelah
diletakkan pada float line ataupun pada sinker line. Nilai dari shortening
dapat dirumuskan sebagai berikut :
Keterangan:

L = Panjang tali ris tempat lembaran jaringdipasang


Lo = Panjang jaring tegang mendatar
Atau

Nilai Shortening (S) = 1 – E

c. Tinggi Tegang
Tinggi tegang adalah jarak antara float line ke sinker line pada saat
jaring diukur di darat. Perhitungan tinggi tegang dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
Tinggi tegang = Besarnya mata jaring x

d. Tinggi Jaring
Tinggi jaring merupakan jarak antara float line ke sinker line pada
saat jaring terpasang di perairan. Perhitungan tinggi jaring dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:

Tinggi jaring = Tinggi tegang x 1-E2


23
e. Luas Jaring
Luas jaring insang bervariasi tegantung target tangkapan,daerah
tangkapan dan kecepatan arus.

Luas jaring (S) = E x 1- E2 x L x H x a2

Keterangan:
E = Hanging ratio
H = Jumlah mata jaring vertikal
L = Jumlah mata jaring
A = Mesh Size
24

Tabel 3. Form Sheet Trammel Net


BAB IV. ARAD

4.1. Pengertian
Jaring arad termasuk ke dalam jenis alat tangkap pukat hela
yaitu alat tangkap yang dioperasikan secara aktif dengan prinsip
dasar mengejar gerombolan ikan pada saat jaring ditarik oleh
perahu. Hasil tangkapan jaring arad dikategorikan hasil tangkapan
utama dan hasil tangkap sampingan. Hasil tangkap sampingan
jaring arad ada yang dimanfaatkan dan ada yang dibuang ke laut
(Septiana et al., 2019).

Gambar 5. Arad
Sumber: KEPMEN KP No.18 (2021)

4.2. Klasifikasi Arad


Berdasarkan International Standard Statistical
Clasification of Fishing Gear (ISSCFG) dalam FAO, arad
termasuk dalamTrawl dasar berpapan dengan singkatan OTB
kode ISSCFG 03.1.2. Menurut A Von Brandt (1984),
arad termasuk kedalam Dragged Gear. Menurut Klasifikasi
Alat Penangkap Ikan Indonesia (KAPI), Arad merupakan
Trawl atau pukat hela.

27
28
4.3. Konstruksi Arad
Konstruksi dari arad adalah sebagai berikut:

Gambar 6. Konstruksi Arad

Keterangan:
1. Otter board 6. Tali ris bawah (Ground rope)
2. Sayap 7. Pelampung
3. Tali ris atas (Head rope) 8. Pemberat
4. Badan jaring 9. Tali selambar
5. Kantong

28
29
Menurut Mahardikha (2008), bagian-bagian alat tangkap
arad adalah sebagai berikut.
1) Kantong jaring (cod end) adalah bagian jaring yang terpendek
danterletak diujung belakang dari jaring arad.
2) Badan jaring (body) adalah bagian jaring yang terletak antara
sayap dan kantong jaring.
3) Sayap (wing) adalah bagian jaring yang terletak diujung depan
dari bagian jaring arad. Sayap pukat terdiri atas sayap atas
(upper wing) dan sayap bawah (lower wing).
4) Papan rentang (otter board) adalah kelengkapan arad yang
terbuat dari papan kayu berbentuk empat persegi panjang yang
dipergunakan sebagai alat pembuka mulut jaring.
5) Tali ris atas (head rope) adalah tali yang dipergunakan untuk
menggantunkan dan menghubungkan kedua sayap jaring
bagian atas melalui mulut bagian atas.
6) Tali ris bawah (ground rope) adalah tali yang dipergunakan
untuk menggantungkan dan menghubungkan kedua sayap
jaring bagian bawah melalui mulut bagian bawah.
7) Tali selambar (warp rope) adalah tali yang berfungsi sebagai
penghela jaring arad di belakang kapal yang sedang berjalan
dan penarik jaring arad keatas geladak kapal.
8) Pelampung (float) digunakan untuk membantu membuka mulut
jaring kearah atas.
9) Pemberat (sinker) berfungsi untuk membuka mulut jaring ke
arah bawah.
10) Tali usus berfungsi untuk menguatkan jaring trawl ketika di
dalam air.
11) Flapper berguna untuk mencegah ikan keluar dari jaring arad.

29
30

4.4. Metode Pengoperasian


Menurut Hakim et al. 2018, alat tangkap arad dioperasikan
melalui tiga tahapan yaitu: tahap setting, tahap dragging, dan tahap
hauling. Alat tangkap arad dioperasikan dengan cara yang sama
dengan cantrang, hanya saja pada saat penarikan dan pengangkatan
jaring arad ke atas kapal dilakukan dalam keadaan kapal berjalan
secara perlahan. Sedangkan cantrang diangkat dan ditarik ke atas
kapal dalam keadaan kapal diam. Deskripsi keempat tahapan
adalah:
1. Penentuan daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang
didasarkan atas pengalaman melaut dan informasi nelayan
lain;
2. Penurunan jaring arad (setting), yang diawali dari bagian
kantong (cod end), kemudian badan jaring (body), sayap
(wings) dan terakhir otter board.
3. Penarikan jaring arad (dragging), yang bertujuan untuk
menyapu dasar perairan sehingga udang dan ikan demersal
dapat keluar dari tempat persembunyian dan masuk kedalam
jaring. Penarikn jaring (dragging) dilakukan dengan cepat
agar udang dan ikan tidakmudah lolos.
4. Pangangkatan jaring arad (hauling), yang dimaksudkan untuk
mengeluarkan hasil tangkapan dari kantong, kemudian hasil
tangkapan yang diperoleh dipilih sesuai dengan jenisnya.

4.5. Daerah Penangkapan Ikan


Menurut Permen KP No. 59 Tahun 2020 Pukat ikan
(termasuk Arad) merupakan API yang bersifat aktif, dioperasikan
dengan menggunakan ukuran mesh size kantong ≥ 2 (lebih dari atau
sama dengan dua) inci dan tali ris atas ≤ 60 m (kurang dari atau
sama dengan enam puluh meter), menggunakan kapal motor
berukuran > 30 (lebih dari tiga puluh) gross tonnage, dan
dioperasikan pada Jalur Penangkapan Ikan III pada zona ekonomi
eksklusif Indonesia di WPPNRI 572, WPPNRI 573, dan WPPNRI
71.

30
31
Ciri daerah penangkapan arad ialah :
• Peraiaran pantai dengan substrat dasar lumpur, pasir atau
lumpurberpasir
• Memiliki kedalaman yang relatif dangkal dengan topografi
dasarrelatif datar
• Tidak merupakan daerah berbatu karang
• Tidak terdapat benda-benda yang mungkin menyangkut ketika
jaring dihela

4.6. Hasil Tangkapan


Menurut Nababan et al. (2020), hasil tangkapan jaring arad
terdiri dari rmpat kelompok yaitu Krustacea, Moluska, Ikan dan
Echinodermata. Krustasea meliputi kepiting (Scilla spp.), udang
krosok (Metapenaeus lysianassa), udang ronggeng (Orastoquila
oratoria), udang windu (Penaeus monodon), udang putih
(Penaeus merguiensis), udang barat (Metapenaeus dobsoni),
udang merah (Parapenaeus sp.), kelompok udang kecil, dan
rajungan kecil. Moluska meliputi cumi-cumi (Loligo sp.), kerang
darah (Anadara granosa), Sotong (Sepiela sp.), kelompok kerang
kecil, keong, dan cumi - cumi kecil. Ikan meliputi barakuda
(Sphyraena jello), bawal putih (pampus argentus), belanak
(Valamugil speigieri), beloso (Saurida tumbil), giligan (Penna
microdon), kembung (Rastrelliger kanagurta), peperek
(Leiognathus sp.), tenggiri (Sromberomus commerson), teri
(Stolephorus indicus), tigawaja (Nibea albifora). Echinodermata
berupa kelompok bintang laut kecil.

31
32
4.7. Kajian Teknis
1. Pendugaan besarnya pembukaan otter board (D)
Ada 2 metode dalam perhitungan pendugaan pembukaan
otterboard :
a. Secara teoritis

D = [ (B-A) x F ] + A

b. Secara matematis
Pendugaan bukaan otter board dilakukan secara
matematis dengan menggunakan persamaan rumus :

A=C
B=D

Keterangan :
A = Panjang tali sampel
B = Bukaan tali sampel
C = Tali cabang
D = Pendugaan bukaan otter board

32
33
2. Pendugaan Besarnya Pembukaan Mulut Jaring Trawl Mendatar (S)

3. Metode Sapuan Dasar (Swept Area Methods)

S=

A= C x HR x V x T

Keterangan rumus :
A : luas area yang disapu
HR : panjang head rope
C : nilai konstanta bukaan mulut jaring saat dioperasikan (0,5)
T : waktu penarikan jaring
V : kecepatan perahu saat menarik jarring

33
34
4. Perhitungan stock density
Metode swept area terutama dengan bottom trawl merupakan
satu-satunya cara yang terbaik untuk menduga besarnya stock
sumberdaya perikanan demersal di perairan tertentu. Dasar
perhitungannya melalui asumsi adanya hubungan langsung antara
CPUE dengan kepadatan stok. CPUE (catch per unit effort), yaitu
hasil tangkapan per-area yang telah dilewati/disapu oleh jaring
trawl (area swept by the gear) selama satu satuan waktu.

Rumus : Sd =
Keterangan :
CPUE : Catch Per Unit Effort (jumlah ikan yang tertangakap per
hauling)
E : escaping factor (0,5)
Sd : stock density (berat atau ekor per satuan
luas)
A : luas area yang disapu

34
35

Tabel 4. Form Sheet Arad

35
36
BAB V. PERAWAI ATAU LONG LINE

5.1. Pengertian
5.1.1. Pengertian Rawai Dasar
Menurut Kepmen-KP No.18 (2021), rawai dasar merupakan pancing
yang terdiri dari tali utama (main line), pelampung dan tali cabang (branch
line) yang dilengkapi mata pancing, dengan pemberat dan atau jangkar,
dioperasikan di dasar perairan dan menetap dengan target tangkapan ikan dasar
yang menggunakan umpan.

Gambar 7. Rawai Dasar


Sumber : Sumber: KEPMEN KP No.18 (2021)

Nelayan Indonesia pada umumnya membawa dan mengoperasikan alat


tangkap rawai tuna sebanyak 100 basket atau 100 unit. Rawai tuna atau tuna
longline merupakan alat penangkap tuna yang efektif dikarenakan
pengoperasian jenis pancing yang dibentuk secara rawai (rangkai) dan
dioperasikan sekaligus. Satu tuna longliner biasanya mengoperasikan 1.000-
2.000 mata pancing untuk sekali turun. Rawai tuna dioperasikan di laut lepas
atau bahkan mencapai perairan samudera. Alat tangkap ini bersifat pasif yaitu
menanti umpan dimakan oleh ikan target. (Firmansyah et al., 2019). Prinsip
dasar pengoperasian rawai dasar adalah menangkap gerombolan ikan dengan
menurunkan tali yang terpasang mata pancing, lalu menggunakan umpan
alami/buatan untuk menarik perhatian ikan, kemudian di lakukan pada dasar
perairan dalam pengoperasiannya.
37
5.1.2. Pengertian tuna long line
Menurut Kepmen-KP No.18 (2021), rawai tuna merupakan rawai
hanyut dengan target tangkapan tuna. Rawai hanyut merupakan pancing yang
terdiri dari tali utama (main line), pelampung dan tali cabang (branch line)
yang dilengkapi mata pancing, yang dioperasikan secara dihanyutkan dengan
target tangkapan ikan pelagis yang menggunakan umpan.

Gambar 8. Rawai Tuna


Sumber: KEPMEN KP No.18 (2021)

Rawai tuna/longline merupakan rangkaian sejumlah pancing yang


umumnya dioperasikan di laut lepas. Bagian utama dari alat rawai
tuna/longline adalah tali utama (main line), tali cabang (branch line), tali
pelampung (buoy line), pelampung (buoy) dan mata pancing (hook). Bahan
utama tali temali rawai tuna/longline yang berbasis di Bitung adalah tali nylon
monofilament. Bahwa satu unit rawai tuna/longline biasanya menggunakan
900–1.200 mata pancing setiap kali tawur (setting). Jenis umpan yang
digunakan umumnya ikan pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella sp.), layang
(Decopterus sp.), kembung (Rastrelliger sp.), bandeng (Chanos chanos) dan
cumi-cumi (Loligo sp) (Darondo, 2020). Prinsip dasar pengoperasian rawai
tuna adalah menangkap gerombolan ikan dengan menurunkan tali yang
terpasang mata pancing, lalu menggunakan umpan alami/buatan untuk menarik
perhatian ikan, kemudian di lakukan dihanyutkan dengan target tangkapan ikan
pelagis dalam pengoperasiannya.
38
5.2. Klasifikasi
Berdasarkan International Standard Statistical Clasification of
Fishing Gear (ISSCFG) dalam FAO, rawai termasuk dalam klasifikasi hook
and liner. Menurut A Von Brandt (1984), rawai termasuk kedalam line
fishing. Menurut Sadhori (1985), ada berbagai macam bentuk rawai yang
secara keseluruhan dapat dikelompokkan dalam berbagai kelompok antara
lain:
a. Berdasarkan letak pemasangannya di perairan :
 Rawai permukaan (surface long line);
 Rawai pertengahan (midwater long line); dan
 Rawai dasar (bottom long line).
b. Berdasarkan susunan mata pancing pada tali utama :
 Rawai tegak (vertikal long line);
 Pancing ladung; dan
 Rawai mendatar (horizontal long line).
c. Berdasarkan jenis-jenis ikan yang banyak tertangkap :
 Rawai Tuna (Tuna longline);
 Rawai Albacore (Albacore longline); dan
 Rawai Cucut (Shark longline).
39
5.3. Konstruksi
5.3.1. Konstruksi perawai

Gambar 9. Konstruksi Rawai (long line)


Sumber: Fuah et al., (2019)

Keterangan :
1. Penggulung;
2. Kili-kili (Swivel);
3. Tali Utama (main line);
4. Tali Cabang (branch line);
5. Mata pancing (hook);
6. Pelampung (float).
40

Gambar 10. Mata Pancing Gambar 11. Konstruksi


Branch Line Rawai
Sumber : Kurnia et al.,
(2016)
41
5.3.2. Konstruksi tuna long line

Gambar 12. Konstruksi Tuna Long Line


Sumber : Purnomo (2015)

Konstruksi tuna long line adalah sebagai berikut:


1. Tali utama (main line), berfungsi sebagai pangkal ikatan tali
cabang
2. Tali cabang (branch line), berfungsi sebagai tali mata pancingyang
terikat pada tali utama
3. Snap, berfungsi untuk menghubungkan tali cabang ke tali utama
42
4. Adapter, berguna sebagai tali penghubung swivel denganarmor
spring
5. Sekiyama, berguna sebagai tali penghubung armor spring yang
berhubungan dengan adapter
6. Wire leader sebagai kawat penghubung swivel, sekiyama
dengan kail tuna
7. Swivel, mempunyai fungsi untuk mencegah tali cabang agartidak
terpuntal ketika pancing menangkap tuna
8. Armor spring, berfungsi untuk menahan saat ikan tuna melawan
9. Klem (lock tip) berguna sebagai pengunci
10. Mata pancing (hook) sebagai tempat tertangkapnya ikan tuna

5.4. Metode Pengoperasian


Pancing rawai dapat dioperasikan pada malam dan siang hari. Pada
malam hari pengoperasian bisa dilakukan sampai dua kali setting, sedangkan
pada siang hari pada umumnya hanya 1 kali setting. Menurut Rahmat dan
Yahya (2020), cara pengoperasian pancing rawai mencakup beberapa
tahapan, sebagai berikut:
1. Tahapan kedua pengoperasian alat tangkap, yaitu pemberat dan
pelampung pertama yang terhubung dengan ujung tali utama diturunkan
terlebih dahulu dilanjutkan dengan proses pemberian ikan umpan pada
mata pancing rawai dan penurunan semua mata pancing pada setiap tali
cabang yang telah dilengkapi dengan ikan umpan. Jenis ikan umpan yang
biasa digunakan adalah jenis ikan umpan segar seperti ikan tembang
Pemasangan ikan umpan pada mata pancing dilakukan oleh 3-4 orang
ABK. Kedalaman daerah penangkapan ikan pancing rawai dasar berkisar
antara 10-40 meter dibawah permukaan laut.
43
2. Pemberat pada bagian tengah kemudian diturunkan dan dilanjutkan
dengan penurunan mata pancing berikutnya.
3. Setelah pancing rawai diturunkan semua kemudian pemberat terakhir
yang terhubung dengan pangkal tali utama dan pelampung diturunkan,
panjang tali dari pelampung sampai pemberat disesuaikan dengan
kedalamannya.
4. Tahapan berikutnya adalah pengangkatan alat tangkap (hauling). Pada
proses pengangkatan pancing rawai, setiap ikan yang tertangkap
kemudian dilepaskan dari mata pancing dan ikan hasil tangkapan tersebut
kemudian disimpan di dalam palkah ikan. Proses hauling bisa berlangsung
selama 2-3 jam. Bila kondisi cuaca kurang baik, maka proses hauling
dihentikan. Hal ini dilakukan agar mata pancing rawai tidak melilit pada
tali
5. Proses penanganan ikan hasil tangkapan. Untuk mempertahankan mutu
ikan hasil tangkapan, ikan yang disimpan di dalam palkah diberi es curah.
Dalam setiap trip penangkapan es balok yang dibawa kira-kira sebanyak
8-14 balok es.

5.5. Daerah Penangkapan Ikan


Menurut Permen KP Nomor. 59 Tahun 2020, rawai merupakan alat
penangkapan ikan yang bersifat pasif dioperasikan dengan jumlah pancing
untuk Rawai Dasar ≤ 10.000 mata pancing sedangkan Rawai Tuna ≤ 2.500
mata pancing, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor yang
berukuran 5 GT sampai 30 GT, dan dioperasikan pada Jalur Penangkapan
Ikan IB dan II di WPPNRI 571, WPPNRI 572, WPPNRI 573, WPPNRI 711,
WPPNRI 712, WPPNRI 713, WPPNRI 714, WPPNRI 715, WPPNRI 716,
WPPNRI 717, dan WPPNRI 718, di luar alur pelayaran. Ciri-ciri daerah
operasipenangkapan alat tangkap perawai/longline :
 Tidak merupakan alur pelayaran
 Mempunyai arus yang baik
 Merupakan daerah ruaya ikan
 Memiliki kedalaman 0-400 m
44
5.6. Hasil Tangkapan
Menurut Andari (2017), biasanya hasil tangkapan longline adalah
ikan-ikan pelagis, seperti Tengiri (Scomberomous Commerson), Tongkol
(Euthynnus sp), Tuna (Thunnus sp), ikan-ikan demersal seperti Kerapu
(Serranidae), Kakap (Lates Calcarifar), Kakap Merah/Bambangan
(Lutjanidae), Baronang (Siganus sp), Lencam (Lethrinus sp) serta ikan-ikan
pelagis kecil seperti: ikan Teri (Stelephorus sp), Tembang
(Sardinellafimbriata), Kembung (Rastrelliger sp), Selar (Caranx sp), Julung-
julung (Hemirhamohussp), Alu-alu (Sphyraena sp), Belanak (Mugil sp).

5.7. Perhitungan Hook Rate


Jumlah ikan hasil tangkapan pancing rawai/perawai (longline) setiap
seratus mata pancing.
45
Tabel 5. Form Sheet Rawai
46
Tabel 6. Form Sheet Tuna Longline
BAB VI. BAGAN TANCAP

6.1. Pengertian
Bagan merupakan salah satu jenis alat tangkap ikan yang dioperasikan
dengan bantuan cahaya lampu. Penggunaan cahaya sebagai alat pengumpul
gerombolan ikan telah dirasakan manfaatnya dan terbukti dapat meningkatkan
hasil tangkapan. Dengan kata lain cahaya adalah salah satu alat bantu pada
beberapa metode penangkapan dan pada prinsipnya dapat digunakan untuk
memikat dan menarik ikan yang mempunyai sifat fototaksis positif untuk
mendatangi cahaya agar dapat di tangkap. (Aufat et al., 2020). Prinsip dasar
pengoperasian bagan tancap adalah mengumpulkan ikan dengan
lampu/atraktor, lalu jaring diangkat dengan katrol kemudian diserok dengan
scop untuk memindahkan hasil tangkapan ke basket.

Gambar 13. Bagan Tancap


(Sumber: KEPMEN KP No.18 2021)

47
48
Bagan tancap merupakan salah satu jarring angkat yang dioperasikan
di perairan pantai pada malam hari dengan menggunakan cahaya lampu
sebagai faktor penarik ikan. Pada kedudukannya, bagan ini tidak dapat
dipindah-pindah dan sekali dipasang (ditanam) berarti berlaku untuk selama
musim penangkapan. Pada hari-hari gelap bulan, lampu dipasang (dinyalakan)
sejak matahari terbenam dan ditempatkan pada jarak ± 1 m di atas
permukaan air. Bila sudah banyak ikan berkumpul, kemudian dilakukan
pengangkatan jaring dan begitu seterusnya diulang-ulang sampai
mendapatkan hasil yang diharapkan.

6.2. Klasifikasi
Menurut A Von Brandt (1984), bagan tancap termasuk dalam lift net.
Metode ini menarik ikan serta berbagai jenis hewan air lainnya diusahakan
untuk berada di atas alat tangkap dan kemudian setelah mereka terkumpul alat
tangkap tersebut diangkat ke atas dengan secepatnya. Menurut Klasifikasi
Alat Penangkap Ikan Indonesia (KAPI), bagan tancap termasuk dalam
klasifikasi jaring angkat atau lift net. Menurut Rohmiyati (2021), bahwa bagan
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu, bagan tancap (stationary lift net)
dan bagan apung (light lift net). Berdasarkan alat pengapungnya bagan dibagi
menjadi tiga golongan yaitu, bagan apung satu perahu (boat lift net), bagan
apung dua perahu dan bagan apung memakai rakit (raft lift net). Perbedaan
antara 3 jenis unit penangkapan bagan adalah:
1. Bagan tancap (stationary lift net)
Bagan yang posisinya tidak dapat dipindah-pindahkan, satu kali
pembuatan berlaku untuk sekali musim penangkapan.
2. Bagan rakit (raft lift net)
Bagan rakit adalah jaring angkat yang dalam pengoperasiannya dapat
dipindah-pindahkan ke tempat yang sekiranya banyak ikan. Sebelah kanan
dan kiri bagian bawah terdapat rakit dari bambu yang berfungsi sebagai
landasan dan sekaligus sebagai alat apung.
49
3. Bagan perahu (boat lift net)
Bagan perahu berbentuk lebih sederhana dibandingkan bagan rakit dan
lebih ringan sehingga memudahkan dalam pemindahannya ketempat yang
dikehendaki. Bagan perahu terbagi atas dua macam, yaitu: bagan yang
menggunakan satu perahu dan bagan yang menggunakan dua perahu. Bagian
depan dan belakang bagan dua perahu dihubungkan oleh dua batang bambu,
sehingga berbentu bujur sangkar. Bambu tersebut berfungsi untuk
menggantung jaring atau waring.

6.3. Konstruksi
Bagan tancap merupakan alat penangkap ikan yang terbuat dari batang
bambu atau kayu yang dirakit membentuk persegi dan ditancapkan diperairan
yang tidak terlalu dalam serta memiliki dasar periran yang berlumpur atau
berpasir. Konstruksi bagan tancap adalah sebagai berikut:

Gambar 14. Konstruksi Bagan Tancap


Sumber: Boesono, (2015)
50

Bagan tancap (lift net stationary) merupakan salah satu alat tangkap
yang dioperasikan pada malam hari. Bangunan bagan terdiri dari susunan
bambu berbentuk empat persegi dengan rincian tiang pancang yang tertancap
kedasar tanah. Ukuran jaring bagan yang digunakan pada bagan ini adalah
lebih kecil dari bangunan bagan berbentuk empat persegi. Bahan jaring
terbuat dari Poly Prophylene (PP) atau sering disebut dengan istilah waring
memiliki ukuran mata jaring (mesh size) 0,3 cm warna hitam. Ada dua
komponen penting pada bagan tancap yaitu bangunan bagan dan rumah
bagan. Bangunan bagan terdiri dari tiang pancang, pelataran bagan dan rumah
bagan. Tiang pancang terbuat dari pohon bambu dan pohon pinang. Pelataran
bagan merupakan susunan dari beberapa bambu sebagai rangka serta papan
sebagai akses jalan menuju rumah bagan (Afriani, 2019).

6.4. Metode Pengoperasian


Bagan tancap dikelompokan sebagai jaring angkat (lift net).
Waktu pengoperasiannya hanya pada malam hari (light fishing)
terutama pada hari gelap bulan dengan menggunakan lampu sebagai
alat bantu penangkapan. Metode pengoperasian alat tangkap bagan adalah
dengan cara menurunkan dan menaikkan jaring secara vertikal (lift net).
Selain itu, jenis lampu dan banyaknya lampu pada suatu bagan juga
memberikan pengaruh yang besar terhadap hasil tangkapan, dimana jenis-
jenis ikan seperti ikan layang merupakan jenis ikan fototaxis positif yaitu
ikan tertarik dengan cahaya, sehingga semakin banyaknya lampu pada suatu
bagan dengan ukuran bagan yang besar, maka hasil tangkapan lebih
melimpah, dibandingkan bagan kecil dengan jumlah lampu sedikit
(Lahumeten et al., 2019).
Pengoperasian unit penangkapan bagan tancap di mulai pada pukul
17.00 WIB. Persiapan yang dilakukan meliputi menyiapkan bahan bakar
minyak, membersihkan bola lampu LED, dan persiapan konsumsi untuk
keperluan perbekalan nelayan terutama konsumsi. Pengoperasian bagan
dimulia dengan menurunkan waring secara perlahanlahan hingga kedalaman
15-20 meter ke dalam bagan tancap. Setelah Waring selesai di turunkan
nelayan mempersiapkan Lampu LED untuk dinyalakan. Proses hauling rata-
rata dilakukan 2-3 jam setelah proses setting. Putaran roller semakin cepat
ketika suda mendekati permukaan air, hal ini bertujuan untuk ikan agar tidak
terkejut dan meloloskan diri dari permukaan air. Langkah terakhir
pengoperasian bagan tancap adalah memindahkan hasil tangkapan yang
51
berbeda di waring ke jaring dengan menggunakan serok. Setelah itu, ikan
yang sudah tertangkap di kelompokkan berdasarkan jenis ikan. Proses
pengoperasian bagan dapat di ulangi hingga 3-4 kali setting setiap malamnya
(Limbong et al. 2020).

6.5. Cahaya Sebagai Atraktor


6.5.1. Pengertian Cahaya
Cahaya lampu merupakan suatu bentuk alat bantu secara optik yang
digunakan untuk menarik dan mengkonsentrasikan ikan. Sejak waktu lama
metode ini telah diketahui secara efektif di perairan air tawar maupun di laut,
untuk menangkap ikan secara individu maupun secara bergerombol.
Kegunaan cahaya lampu dalam metode penangkapan ikan adalah untuk
menarik ikan, serta mengkonsentrasikan dan menjaga agar ikan tetap
terkonsentrasi dan mudah ditangkap (Buwono, 2020).
Cahaya tampak adalah salah satu jenis radiasi elektromagnetik, yang
merupakan bentuk dari energi yang menunjukkan perilaku seperti gelombang
ketika bergerak melalui ruang. Cahaya tampak dapat dipecah menjadi warna
menggunakan prisma yang dapat menghasilkan spectrum cahaya. Cahaya
tampak memiliki panjang gelombang 400-700 nm.
Penggunaan cahaya dapat memudahkan dalam operasi penangkapan
ikan. Tingkah laku ikan kaitannya dalam merespon sumber cahaya yang
sering dimanfaatkan oleh nelayan adalah kecenderungan ikan untuk
berkumpul atau bergerombol di sekitar sumber cahaya. Cahaya lampu
merupakan suatu bentuk alat bantu secara optik yang digunakan untuk
menarik dan mengkonsentrasikan ikan. Kemampuan penglihatan pada setiap
spesies jenis ikan tentunya beragam dan berbeda. Hal ini dikarenakan pada
setiap spesies ikan memiliki dan mempunya batas penglihatan terhadap
sebuah cahaya yang mereka tangkap. Indera penglihatan bagi ikan merupakan
indera yang utama memungkinkan mereka untuk terciptanya pola tingkah
laku terhadap lingkungan (Fiolita et al., 2017).
52
6.5.2. Jenis Lampu
6.5.2.1. Lampu Tradisional
Jenis sumber cahaya yang digunakan nelayan bagan semakin
berkembang sejalan dengan kemajuan jaman. Awalnya nelayan bagan
menggunakan obor dan selanjutnya berganti dengan lampu petromaks.
Menurut Himam dan Mawardi, (2018), nelayan bagan sudah beralih
menggunakan lampu dengan sumber energi listrik untuk menghasilkan
cahaya pemikat ikan.
Sumber cahaya atau lampu yang digunakan nelayan untuk menangkap
ikan pda mulanya masih terbatas pada daerah-daerah tertentu dan hanya
menggunakan peralatan tradisional yang sederhana yaitu:
a. Obor
Obor terbuat dari bambu yang kemudian diisi dengan minyak tanah dan
diberi sumbu pada bagian ujung atasnya. Dahulu alat ini banyak
digunakan untuk penangkapan di daerah Selat Bali, namun sekarang
penggunaannya sulit ditemukan lagi.
b. Lampu Petromaks
Lampu petromaks umumnya memiliki kekuatan cahaya 200 lilin atau
sekitar 200 watt. Di daerah Indonesia bagian timur penggunaan petromaks
jenis kedua biasa dilakukan untuk melakukan penangkapan ikan di
pinggiran pantai dengan cara menombak.
c. Lampu Listrik
Meskipun pemakaian lampu yang bersumber dari tenaga listrik ini lebih
mudah, efektif dan efisien, sebab penempatannya dapat diatur sesuai
dengan keinginan, namun penggunaan lampu listrik bagi nelayan kecil
di Indonesia masih sangat terbatas.

6.5.2.2. Lampu Modern


a. LED (Light Emitting Diode)
Lampu LED adalah lampu penerangan yang berbahan dasar semi-
konduktor dan berbentuk padat. Lampu ini tidak menggunakan gas maupun
zat-zat kimia sebagai sumber cahaya. Lampu LED telah mampu
mengefisienkan konversi energi listrik menjadi cahaya, dengan demikian
sangat sedikit energi listrik yang berubah menjadi panas. Lampu konvensional
seperti lampu bohlam, lampu neon atau lampu merkuri selain memancarkan
cahaya juga panas ke sekitarnya. Teknologi lampu LED terus berkembang
karena dapatmenghemat energi, umur lampu lebih lama, radiasi panas rendah,
53
dan tahan terhadap guncangan.
Lampu LED yang mampu menembus perairan yang lebih dalam
berindikasi juga dapat menarik perhatian ikan yang lebih jauh sehingga dapat
menarik perhatian ikan yang jaraknya jauh dari sumber pencahayaan.
Kemampuan lampu LED yang demikian inilah menyebabkan ikan yang
jaraknya jauh dapat tertarik ke sumber pencahayaan. Kelemahan dari lampu
LED yaitu harganya yang mahal dibanding lampu pijar, TL dan SL, selain itu
mudah rusak apabila dioperasikan pada suhu tinggi. Disamping itu kelebihan
lampu LED (Light Emitting Diode) adalah usia relatif panjang yaitu lebih
dari 30.000 jam. Lampu LED memiliki daya tahan lebih tahan lama dan
hemat energi (Yadudin et al., 2018).
6.5.2.3. Menurut Letak Dan Sumber Cahaya
Dilihat dari tempat penggunaannya dapat dibedakan antara lain
lampu yang dipergunakan di atas permukaan air dan lampu yang
dipergunakan di dalam air. Menurut Ayodhyoa (1974), perbandingan antara
lampu yang dipasang di atas permukaan air dengan lampu yang digunakan di
bawah permukaan air adalah sebagai berikut :
a. Lampu yang dinyalakan di atas permukaan air :
- Memerlukan waktu yang lebih lama untuk menarik ikan berkumpul.
- Kurang efisien dalam penggunaan cahaya, karena sebagian cahaya
akan diserap oleh udara, terpantul oleh permukaan gelombang yang
berubah-ubah dan diserap oleh air sebelum sampai ke suatu kedalaman
yang dimaksud dimana swimming layer ikan tersebut berada.
- Diperlukan waktu yang lama supaya ikan dapat naik ke permukaan air
dan dalam masa penerangan, ikan-ikan tersebut kemungkinan akan
berserak.
- Setelah ikan-ikan berkumpul karena tertarik oleh sumber cahaya dan
berada di permukaan, sulit untuk menjaga ikan tetap tenang, karena
pantulan cahaya pada permukaan air yang terus bergerak.
b. Lampu yang dinyalakan di bawah permukaan air :
- Waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan ikan lebih sedikit.
- Ikan-ikan yang bergerak menuju sumber cahaya dan berkumpul, lebih
tenang dan tidak berserakan, sehingga kemungkinan ikan yang
tertangkap lebih banyak.
- Cahaya yang digunakan lebih efisien, cahaya tidak ada yang memantul
ataupun diserap oleh udara, dengan kata lain cahaya dapat
54
dipergunakan hampir seluruhnya.
- Penggunaan cahaya dapat memudahkan dalam operasi penangkapan
ikan. Tingkah laku ikan kaitannya dalam merespon sumber cahaya
yang sering dimanfaatkan oleh nelayan adalah kecenderungan ikan
untuk berkumpul di sekitar sumber cahaya. Pengaruh cahaya terhadap
warna lampu pada kegiatan light fishing yang menghasilkan tangkapan
paling baik adalah warna kuning dan biru dibandingkan dengan warna
hijau, merah, putih dan orange. Warna cahaya lampu memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap hasil tangkapan. Cahaya lampu
warna biru menghasilkan tangkapan
- Diperlukan waktu yang lama supaya ikan dapat naik ke permukaan air
dan dalam masa penerangan, ikan-ikan tersebut kemungkinan akan
berserak.
- Setelah ikan-ikan berkumpul karena tertarik oleh sumber cahaya dan
berada di permukaan, sulit untuk menjaga ikan tetap tenang, karena
pantulan cahaya pada permukaan air yang terus bergerak.
c. Lampu yang dinyalakan di bawah permukaan air :
- Waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan ikan lebih sedikit.
- Cahaya yang digunakan lebih efisien, cahaya tidak ada yang memantul
ataupun diserap oleh udara, dengan kata lain cahaya dapat
dipergunakan hampir seluruhnya.
- Ikan-ikan yang bergerak menuju sumber cahaya dan berkumpul, lebih
tenang dan tidak berserakan, sehingga kemungkinan ikan yang
tertangkap lebih banyak.
Penggunaan cahaya dapat memudahkan dalam operasi penangkapan
ikan. Tingkah laku ikan kaitannya dalam merespon sumber cahaya yang
sering dimanfaatkan oleh nelayan adalah kecenderungan ikan untuk
berkumpul di sekitar sumber cahaya. Pengaruh cahaya terhadap warna lampu
pada kegiatan light fishing yang menghasilkan tangkapan paling baik adalah
warna kuning dan biru dibandingkan dengan warna hijau, merah, putih dan
orange. Warna cahaya lampu memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
hasil tangkapan. Cahaya lampu warna biru menghasilkan tangkapan yang
tersebar berturut-turut oleh cahaya lampu warna hijau, kuning dan merah.
55
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan penggunaan cahaya lampu
sebagai alat bantu untuk menarik ikan berkumpul di area penangkapan
(catchable area) lalu kemudian menangkapnya. Ikan laut memiliki sensitifitas
yang tinggi terhadap cahaya (Insani et al., 2021).

6.6. Daerah Penangkapan Ikan


Menurut Permen KP Nomor. 59 Tahun 2020, bagan menggunakan
mesh size ≥ 1 mm, panjang ≤ 10 m, dan lebar ≤ 10 m dan alat bantu
penangkapan ikan (ABPI) lampu dengan total daya ≤ 2.000 watt, lalu
dioperasikan pada Jalur Penangkapan Ikan IA dan IB di WPPNRI 571,
WPPNRI 572, WPPNRI 573, WPPNRI 711, WPPNRI 712, WPPNRI 713,
WPPNRI 714, WPPNRI 715, WPPNRI 716, WPPNRI 717, dan WPPNRI
718, di luar alur pelayaran. Daerah operasi penangkapan alat tangkap bagan :
• Tidak merupakan alur pelayaran
• Tidak merupakan daerah berkarang
• Mempunyai arus yang baik
• Merupakan daerah ruaya ikan

6.7. Hasil Tangkapan


Hasil tangkapan bagan tancap dikelompokkan menjadi dua jenis,
yaitu pemakan plankton dan predator. Organisme pemakan plankton, yaitu
rebon (Acetes sp), teri (Stolephorus sp), tembang (S. Fimbriata), bilis (Thryssa
hamiltonii), kembung (Rastrlliger spp), dan selar (Selaroides sp). Plankton
hidup pada perairan yang cukup cahaya untuk berfotosintesis dan
berkembang biak. Keberadaan plankton akan memikat jenis organisme
pemakan plankton untuk mendekati area iluminasi cahaya. Keberadaan ikan-
ikan kecil otomatisakan mengundang jenis-jenis ikan predator berkumpul ikut
tertangkap oleh bagan. Jenis organisme predator yang berburu makanan di
atas jaring. terdiri atas cumi-cumi (Loligo sp), kuwe (Caranx spp), layur
(Trichiurus lepturus), pepetek (Leiognathus sp), cendro (Tylosurus sp.), dan
cawene kuning (Lutjanus mizenkoi) (Satriawan et al. 2017).
56

Tabel 7. Kuisioner Bagan Tancap


Gambar Alat Tangkap

Keterangan
BAB VII. BUBU

7.1. Pengertian
Bubu merupakan alat tangkap yang banyak digunakan untuk
menangkap jenis ikan demersal dan jenis ikan karang. Alat tangkap bubu
ini bersifat pasif sehingga mengandalkan ikan-ikan yang terperangkap
masuk ke dalam bubu. Prinsip dasar bubu adalah menjebak ikan sebagai
tempat berlindung atau karena adanya umpan di dalam bubu sehingga
ikan terperangkap di dalamnya (Iskandar et al., 2021).

Gambar 14. Bubu


Sumber: KEPMEN KP No.18
(2021)

Menurut Putri dan Ilpah (2019), bubu merupakan


perangkap yang memudahkan ikan untuk memasukinya, tetapi sulit
untuk bisa keluar. Bubu umumnya disebut fishing pots atau fishing
basket. Adapun bubu lipat merupakan alat tangkap yang saat ini
popular digunakan oleh nelayan untuk menangkap kepiting.
Alat tangkap ini mulai digunakan oleh nelayan untuk menangkap
rajungan pada awal tahun 2000.

7.2. Klasifikasi
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia
No.PER.02/MEN/2011, bubu termasuk klasifikasi alat tangkap Perangkap
(Traps) kategori stow nets. Trap adalah suatu alat tangkap menetap yang
umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada
57
58
paksaan, tetapi sulit keluar atau lolos, karena dihalangi dengan berbagai
cara. Perangkap memiliki sifat pasif dan dibuat dari anyaman bambu,
anyaman rotan, anyaman kawat, kere bambu, misalnya bubu, sero, cager
yang dibuat dari anyaman bambu.

7.3. Konstruksi
Bentuk bubu bervariasi. ada yang seperti sangkar (cages), silinder
(cylindrical), gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak,
bulat setengah lingkaran, dan lainnya. bahan bubu umumnya dari anyaman
bambu (bamboo`s splittingor-screen). Secara umum, bubu terdiri dari
bagian-bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeh, dan pintu. Secara
umum bagian-bagian dari bubu antara lain:
Badan (body) : berupa rongga, tempat ikan-ikan terkurung.
Mulut (funnel) :berbentuk seperti corong, merupakan pintu ikan dapatmasuk
tidak dapat keluar.
Pintu : bagian tempat pengambilan hasil tangkapan.

7.3.1. Konstruksi Bubu Dasar

Konstruksi Bubu Dasar


Sumber : Boesono et al., (2015)

Keterangan :
1 = Badan Bubu
2 = Pintu Bubu
3 = Mulut Bubu
59

7.3.2. Konstruksi Bubu Lipat

1 2

Gambar 17. Konstruksi Bubu


LipatSumber : Mahiswara, et al.
(2018)

Keterangan:
1. Badan bubu
2. Pintu bubu
3. Mulut bubu
60
7.4. Metode Pengoperasian
Operasi penangkapan dengan bubu dibagi menjadi beberapa
tahapan, yaitu persiapan, penentuan daerah penangkapan (fishing ground),
penurunan alat tangkap (setting), perendaman alat tangkap (soaking), dan
pengangkatan alat tangkap (hauling).
1. Tahap persiapan meliputi: pemeriksaan mesin, pengisian bahan
bakar, dan persiapan alat tangkap bubu yang sudah diberi umpan.
2. Penentuan daerah penangkapan pada lokasi yang telah ditetapkan.
3. Setting alat tangkap bubu, diawali dengan penurunan alat tangkap
yang sudah disiapkan dengan diikat tali dan diberi pemberat agar
tidak terbawa arus lalu diturunkan ke dasar laut.
4. Proses soaking dengan waktu paling cepat 2 hari (48 jam) dan paling
lama selama 4 hari (96 jam).
5. Proses hauling dilakukan juga pengambilan hasil tangkapan.

7.5. Daerah Penangkapan Ikan


Menurut Permen KP Nomor. 59 Tahun 2020, bubu dioperasikan
pada Jalur Penangkapan Ikan IA, Jalur Penangkapan Ikan IB, Jalur
Penangkapan Ikan II dengan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran
≤ 10 GT; Jalur Penangkapan Ikan II dengan kapal kapal motor berukuran >
10 GT; serta Jalur Penangkapan III dengan kapal motor berukuran > 30
GT di seluruh WPPNRI. Daerah penangkapan ikan yang tepat untuk alat
tangkap bubu yaitu:
• Tidak merupakan alur pelayaran
• Merupakan daerah perairan berkarang, bebatuan atau substrat
berlumpur
• Mempunyai arus yang baik
• Merupakan daerah ruaya ikan

7.6. Hasil Tangkapan


Menurut Dirja dan Sutarjo (2019), hasil tangkapan utama alat
tangkap bubu berupa rajungan dan ikan-ikan demersal, sementara hasil
tangkapan sampingan terdiri dari kepiting, ikan, sotong, gurita, dan keong.
61
62
BAB VIII. UMPAN

8.1. Pengertian Umpan


Umpan merupakan makanan yang digunakan untuk menangkap
suatu mangsa. Umpan merupakan makanan yang disukai ikan. Fungsi
umpan itu sendiri yaitu sebagai penarik agar ikan mendekati mata kail.
Jenis umpan berpengaruh terhadap hasil tangkapan, maka umpan harus
memenuhi berbagai persyaratan seperti tahan lama atau tidak mudah
busuk pada waktu di rendam air; warna tubuhnya mengkilat, sehingga
mudah terlihat oleh ikan yang ingin ditangkap; mempunyai bau segar;
harganya segar dan dapat diperoleh dalam jumlah banyak. Umpan pada
umumnya digunakan sebagai alat bantu penangkapan karena
memberikan rangsangan yang dapat diterima oleh reseptor pada ikan,
yaitu penglihatan dan penciuman, diterimanya rangsangan dari umpan
terhadap penglihatan dan penciuman yang merupakan bagian paling
penting untuk mencari makan (Hartini et al., 2021).
Penggunaan umpan pada alat pancing merupakan hal penting
dalam upaya mengoptimalkan hasil tangkapan. Dalam hal ini umpan
terdiri dari tiga jenis yaitu:
1. Umpan alami, biasanya menggunakan ikan yang masih hidup.
2. Umpan tiruan, ialah umpan yang dibentuk menyerupai ikan mangsa.
3. Umpan tipuan biasanya digunakan seperti bulu ayam atau ikan palsu
pada pengoperasian alat tangkap pancing.

8.2. Macam-macam Umpan


a. Umpan alami
Umpan alami merupakan jenis umpan yang menjadi makanan asli
ikan dihabitatnya (baik umpan hidup maupun
umpan mati). Banyak jenis
umpan alami yang dapat
digunakan untuk memancing
seperti udang, umpan cacing laut,
ikan rucah, cumi-cumi, irisan
tongko/irisan ikan jenis lain.

69
70

b. Umpan Tiruan
Umpan tiruan merupakan umpan yang dibuat sedemikian
rupa sehingga memiliki bentuk dan warna yang sama dengan umpan
alami. Umpan tiruan memiliki ciri-ciri yang relatif lebih mahal,
tahan lama, sulit untuk dibuat sendiri. Contoh dari umpan tiruan
diantaranya yaitu:

 Metal Jig
Disebut jig karena umpan ini dimainkan dengan cara dinaik-
turunkan sekaligus digoyangkan secara cepat (jig berasal dari Bahasa
Inggris yang salah satu artinya adalah menari dengan irama cepat).
Bahan yang digunakan biasanya adalah logam dan lebih khusus lagi
adalah timah yang berat jenisnya lebih besar dari besi.

 Konahead
Disebut konahead karena dibuat menyerupai kepala cumi cumi, dan
biasanya digunakan untuk memancing dengan teknik trolling dengan target
ikan tuna atau layaran. Umpan terbuat dari bahan softlure.
71

 Popper
Popper adalah umpan tiruan yang berjalan di permukaan air dan jika
ditarik akan mengeluarkan suara cipratan air. Popper merupakan umpan buatan,
biasanya terbuat dari bahan kayu.

c. Umpan Tipuan
Umpan tipuan merupakan umpan yang dibuat menyerupai bentuk
dan warna dari umpan alami, sehingga dapat mengelabui target
tangkapan. Umapan tipuan memiliki ciri-ciri yang relatif lebih murah,
dapat dibuat sendiri, dan rentan rusak. Contoh umpan tipuan diantaranya
adalah sebagai berikut.

 Spinner
Disebut demikian karena umpan ini dibuat dengan logam/benda
lain yan berputar (spin) sebagai bagian utama daya tariknya. Spinner
dibuat dengan tubuh utama berupa mata kail yang diberi
spoon/blade (logam tipis yang berputar)
dan bulu-bulu. Putaran dari blade
menimbulkan getaran atau dengung
suara yang membuat ikan-ikan tertarik
untuk mendekat dan menyambarnya.

 Spoon Lure
Umpan tipuan yang terbuat dari bahan logam atau metal ini
adalah salah satu jenis umpan tipuan yang sedikit mudah dalam
pembuatannya karena kita hanya bermodalkan sebuah sendok metal
atau logam stainless steel sudah cukup untuk membuat 1 atau 2 jenis
umpan spoon lure. Spoon Lure memiliki
bentuk yang cekung biasanya dipergunakan
untuk memikat perhatian ikan predator
dengan cara pantulan cahaya sekitar
umpan dengan gerakan acak.
72

8.3. Syarat Umpan


Umpan yang baik harus memenuhi syarat berikut:
1. Tahan lama (tidak cepat busuk);
2. Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihatdan
menarik bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan;
3. Mempunyai bau yang spesifik sehingga merangsang ikandatang;
4. Harga terjangkau;
5. Mempunyai ukuran memadai; dan
6. Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
BAB IX. ALAT BANTU PENANGKAPAN

9.1. Net Hauler


Net hauler adalah alat bantu penangkapan ikan pada kapal gill
net. Berdasarkan fungsinya net hauler digunakan utuk menarik jaring
saat hauling. Tenaga penggerak net hauler yang digunakan bersumber
dari motor diesel dan tenaga hidrolik. Net hauler digunakan untuk
membantu penarikan jaring yang telah ditabur di laut agar jaring lebih
ringan ditarik dan mudah ditata kembali di atas geladak. Pada umumnya
kecepatan tarik yang dihasilkan net hauler menggunakan hidrolik
berkisar 0.2-0.4 m/s, sedangkan kecepatan tarik net hauler yang
menggunakan mesin diesel berkisar 0.3-0.5 m/s. Cara pengoperasian net
hauler adalah hanya dengan menarik jaring gill net melalui drum
berbentuk konikal dan jaring insang tidak digulung langsung di dalam
drum penggulung, melainkan bagian jaring yang sudah ditarik di
belakang net hauler kemudian diatur untuk persiapan penurunan jaring
kembali (setting) (Ananda et al., 2012).
Proses hauling menggunakan alat bantu net hauler, hal yang
pertama kali dilakukan, yaitu menghidupkan mesin net hauler, kemudian
tali ris atas dari jaring dibelitkan pada roda net hauler. Selanjutnya
badan jaring ditarik dan disusun di atas kapal. Selain menaikan jaring ke
atas kapal dan melepaskan ikan hasil tangkapan, bagian jaring yang
rusak akan dipisahkan dengan cara menariknya ke bagian 74
arrin/buritan 74 arrin terus melakukan proses hauling hingga semua alat
tangkap naik ke atas kapal. Proses hauling memakan waktu yang tidak
pasti tergantung dengan cuaca, jumlah ikan yang diperoleh, dan keadaan
jaring di perairan (Sarwono et al., 2015).

73
74

Gambar 18. Konstruksi Net Hauler

Keterangan :
1) Rangka gillnet hauler 6) Drum penarik
2) Takeup bearing 7) Kopling
3) Drum penjepit 8) Motor listrik AC
4) Drum penggerak 9) Drum penggarah
5) Rumah bearing 10) Kaki rangka
75
9.2. Line Hauler
Line hauler merupakan mesin penangkapan yang digunakan
untuk menarik tali utama rawai tuna, rawai dasar dan pancing tangan,
serta digunakan untuk menarik tali bubu yang berangkai atau tali yang
bubu tunggal. Jenis alat bantu mesin penangkapan bertenaga hidrolik
yang mempunyai putaran tenaga diperoleh dari suatu tekanan minyak
hidrolik yang berasal dari sistem sirkulasi minyak bertekanan tinggi
yang bekerja pada komponen pada diluar mesin penangkapan sendiri.
Mekanik penggerak yang bekerja pada mesin penangkapan pun tersebut
berupa motor hidrolik (Murtado et al., 2019).
Line hauler pada umumnya digerakkan dengan tenaga elektro
hidrolik, dilengkapi dengan tuas pengatur kecepatan tarik agar
memudahkan penanganan penarikan tali utama, terutama pada saat
menaikkan ikan hasil tangkapan atau saat terjadi kekusutan tali. Line
hauler ditempatkan di geladak kerja hauling (hauling working space).
Kekuatan tarik dari line hauler disesuaikan dengan ukuran besar
kecilnya kapal. Menurut Hargiyatno et al. (2020), Desain dan konstruksi
line hauler, yaitu komponen penggulung tali terdiri dari line spool plate
terbuat dari bahan kuningan (bronze) Ø 225mm, cakram penekan
(pressure idler plate) dari bahan kuningan Ø 110mm dan cakram
penarik tali (line pulling sheave plate) dua buah berbahan kuningan
berlapis karet Ø 70mm dan 100mm. Cakram penggulung (line spool
plate) digerakan oleh motor hidraulik dimana poros keduanya
dihubungkan secara horizontal. Kerengganggan line spool plate dan
line pulling sheave plate dapat diatur sehingga bisa digunakan untuk
menarik dan mengguling tali Ø 1 – 10 mm. Tiang penopang (support
pole/stanchion) mini line hauler terbuat dari pipa baja Ø 70mm dan total
tinggi 850mm. Bobot total unit mini line hauler adalah 80 kg. Motor
hidraulik digerakkan fluida hidraulik yang didorong oleh pompa
hidraulik dan pompa hidraulik digerakkan dengan mesin induk kapal
(main engine) dengan belt pulley.
76

Gambar 19. Line Hauler


9.3. Rumpon
Rumpon merupakan alat bantu pengumpul ikan berbentuk
suatu bangunan yang di tepatkan di dalam perairan, berfungsi sebagai
penarik perhatian ikan-ikan yang sedang bermigrasi, kemudian
terkonsentrasi, pada akhirnya mempermudah operasi penangkapan ikan.
Menurut Permen-KP No. 18 Tahun 2021, rumpon adalah Alat Bantu
Penangkapan Ikan yang menjadi satu kesatuan dengan kapal penangkap
ikan, menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari
benda padat, berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul, yang
dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penangkapan
ikan. Rumpon umumnya dipasang (ditanam) pada kedalaman 30-75 m.
Setelah dipasang kedudukan rumpon ada yang diangkat-angkat, tetapi
ada juga yang bersifat tetap tergantung pemberat yang digunakan.
77

Gambar 20. Rumpon


Sumber : Thahir et al.,
2019

Menurut Saifullah dan Susilawati (2018), pemasangan rumpon


dilakukan bersama-sama dengan nelayan. Pemasangan rumpon
dilakukan di perairan laut lepas, dengan jarak kurah lebih 12 mil dari
pantai. Sebelum melakukan pemasangan, rumpon diberi penanda berupa
pelampung. Pelampung digunakan sebagai penanda letak rumpon,
sehingga memudahkan nelayan untuk melakukan pengecekan lokasi
yang telah dipasang rumpon.
Konstruksi rumpon yang dibuat memliki pelampung
berdiameter 80 cm dan tinggi 30 cm, tali berbahan PE dengan panjang
1.5 m berdiameter 1 cm, badan rumpon terbuat dari rangka bamboo dan
kayu berukuran panjang 80 cm, lebar 50 cm dan tinggi 1.54 m.
Atraktor rumpon yaitu daun sawit panjang 1.9 m berjumlah 5 helai
serta pemberat berbahan semen cor. Secara umum konstruksi rumpon
yang dibuat merupakan hasil pengamatan di lapangan, dengan
memperhatikan kondisi perairan dan jenis spesies. Jenis ikan yang
banyak terdapat di lapangan merupakan ikan yan memiliki tingkah laku
(behaviour) bersembunyi dan berteduh. (Kholis et al., 2022).
78

Gambar 21. Konstruksi Rumpon


Sumber : Kholis et al., 2022

9.4. Fish Finder


Fishfinder adalah alat elektronik yang terdapat di kapal yang
digunakan untuk mengukur kedalaman air laut. Prinsip kerja
“Fishfinder”, yaitu mengukur kedalaman laut berdasarkan pulsa getaran
suara. Fishfinder digunakan untuk mendeteksi gerombolan ikan pada
lokasi yang ditunjukkan pada peta zona potensi ikan. Menurut Ayowa et
al. (2014), sesuai dengan namanya fish finder adalah alat untuk membantu
menentukan posisi gerombolan ikan, kedalamn perairan, suhu serta materi
dasar perairan.
Fish finder berfungsi untuk mendeteksi besarnya gerombolan ikan
pada lokasi yang ditunjukkan pada peta zona potensi ikan. Peralatan
canggih berupa fishfinder dapat memudahkan nelayan mengetahui posisi
ikan. Teknologi ini juga dapat digunakan dalam mengukur dan
menganalisa hampir semua yang terdapat di kolom dan dasar air, aplikasi
teknologi ini untuk berbagai keperluan antara lain adalah deteksi lokasi
bangkai kapal (shipwreck location), estimasi biota laut, mengukur laju
proses sedimentasi (sedimentation velocity), mengukur arus dalam kolom
perairan (internal wave), mengukur kecepatan arus (current speed),
79
mengukur kekeruhan perairan (turbidity) dan kontur dasar laut Menurut
Malik (2018), fish finder dalam perikanan tangkap dapat mempermudah
dalam operasi penangkapan ikan. Fish finder dapat bermanfaat untuk
penghematan waktu dalam pencarian fishing ground yang sesuai.
Pengaplikasian fish finder sistem informasi georafis dalam perikanan
tangkap diharapkan dapat mengurangi biaya operasi dari kapal ikan

Gambar 22. Konstruksi Fish Finder


Sumber : Yahya dan Ilhamdi, 2019

Keterangan:
1. Tombol + dan - 5. Tombol range
2. Tombol brill 6. Tombol range
3. Tombol auto 7. Tombol gain
4. Tombol SIG LEV 8. Tombol mode

Fish finder terdiri dari beberapa bagian, yaitu :


1. Tombol + (plus) dan – (minus) digunakan untuk mengubah
tampilan pada kedalaman awal dan memilih opsi pada menu.
2. Brill berfungsi sebagai pengatur kecerahan perangkat.
3. Auto, untuk menyalakan dan mematikan sinyal deteksi fish finder
secara otomatis.
4. SIG LEV untuk menghilangkan gema intensitas rendah dalam dua
langkah.
80

5. Tombol range mengatur kisaran dasar tampilan.


6. Tombol gain untuk menyesuaikan sensitifitas dari receiver.
7. Tombol mode berfungsi untuk mengaktifkan dan mematikan
perangkat fish finder serta memilih model tampilan fish finder.
Pengoperasian fish finder ini membutuhkan komponen
pendukung kerja lainnya seperti tranducer, transmitter, receiver dan
monitor. Tanpa perangkat pendukung, fish finder tidak dapat berfungsi
semestinya. Hal ini diperkuat oleh Irkhos et al. (2018), bahwa fish finder
ini terdiri dari transducer yang berfungsi sebagai sensor dan monitor
yang berguna untuk menampilkan hasil gambar. Transducer terletak
dibawah kapal, baik ditengah maupun dibelakang. Fungsinya, untuk
mengirimkan sinyal-sinyal sensor ke bawah laut.
Fish finder bekerja dengan menggunakan prinsip kerja SONAR
(Sound and Navigation Ranging). Fish finder membutuhkan komponen
sonar dalam penggunannya, yaitu transmitter, transducer, receiver dan
display. Kerja fish finder dimulai dari transmitter menghasilkan impuls
istrik yang kemudian diubah oleh transducer. Selanjutnya, transducer
menembakan gelombang suara yang kemudian terpantul kembali ssat
menabrak suatu objek (ikan). Gelombang pantul tersebut diterima oleh
receiver, dikuatkan dan kemudian diubah ke informasi listrik ke
transducer. Terakhir, informasi tersebut akan diterjemahkan dalam
bentuk staring data. Hasilnya akan di tampilkan pada display. Gambaran
yang dihasilkan oleh fish finder tidak hanya berupa gerombolan ikan asli
tetapi dapat juga merupakan objek lain seperti sampah.
BAB X. ALAT TANGKAP RAMAH LINGKUNGAN

Menurut Ernaldi et al. (2017), alat tangkap yang ramah


lingkungan memiliki kriteria penting, yaitu: selektivitas tinggi, tidak
membahayakan nelayan, produksi berkualitas dan tidak membahayakan
konsumen. Harapannya adalah nelayan dan semua pihak yang bergerak
di bidang perikanan seluruh perairan Indonesia dapat mematuhi
peraturan dalam mengoperasikan alat tangkap dengan tetap menjaga
lingkungan dan kelestarian sumber daya ikan.
Kriteria alat tangkap ramah lingkungan berdasarkan Food
Agriculture Organization (FAO) dalam (Code of Conduct forResposible
Fisheries- CCRF), FAO menetapkan berbagai kriteria bagi teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan. Sembilan kriteria tersebut adalah
sebagai berikut:

1) Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi


Artinya, alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat
menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan
saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi sub kriteria, yaitu
selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Sub kriteria ini terdiri dari
(yang paling rendah hingga yang paling tinggi):
1. Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda
jauh;
2. Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbedajauh;
3. Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yangkurang
lebih sama; dan
4. Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih
sama.

2) Alat tangkap yang digunakan tidak merusak habitat, tempat


tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya
Ada pembobotan yang digunakan dalam kriteria ini yang
ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan alat
penangkapan. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut (dari yang

81
82
rendah hingga tinggi):
1. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas;
2. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit;
3. Menyebabkan kerusakan sebagian habiat pada wilayah yang
sempit;
4. Aman bagi habitat (tidak merusak habitat).
3) Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan).
Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan karena
bagaimana pun, manusia merupakan bagian yang penting bagi
keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko
diterapkan berdasarkan pada tingkat bahaya dan dampak yang mungkin
dialami oleh nelayan, yaitu (dari rendah hingga tinggi):
1. Alat tangkap dan cara penggunaanya dapat berakibat kematin pada
nelayan;
2. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat
menetap (permanen) pada nelayan;
3. Alat tangkap dan cara penggunaanya dapat berakibat gangguan
Kesehatan yang sifatnya sementara;
4. Alat tangkap aman bagi nelayan.
4) Menghasilkan ikan yang bermutu baik.
Jumlah ikan yang banyak tidak berarti bila ikan-ikan tersebut
dalam kondisi buruk. Dalam menentukan tingkat kualitas ikan
digunakan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya).
Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai berikut:
1. Ikan mati dan busuk;
2. Ikan mati, segar, dan cacat fisik;
3. Ikan mati dan segar; dan
4. Ikan hidup.
5) Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen.
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya
yang mungkin dialami konsumen yang harus menjadi pertimbangan :
1. Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen;
2. Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen;
3. Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen;
4. Aman bagi konsumen.
83
6) Menghasilkan ikan yang bermutu baik.
Jumlah ikan yang banyak tidak berarti bila ikan-ikan tersebut
dalam kondisi buruk. Dalam menentukan tingkat kualitas ikan
digunakan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya).
Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai berikut:
1. Ikan mati dan busuk;
2. Ikan mati, segar, dan cacat fisik;
3. Ikan mati dan segar; dan
4. Ikan hidup.

7) Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen.


Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya
yang mungkin dialami konsumen yang harus menjadi pertimbangan :
1. Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen;
2. Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen;
3. Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen;
4. Aman bagi konsumen.

8) Hasil tangkapan yang terbuang minimum.


Alat tangkap yang tidak selektif, hasil tangkapan yang terbuang
akan meningkat, karena banyaknya jenis non-target yang turut
tertangkap. Hasil tangkapan non target, ada yang bisa dimanfaatkan dan
ada yang tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal
berikut (rendah hingga tinggi):
1. Hasil tangkapan sampingan (by-catch), terdiri dari beberapa jenis
(spesies) yang tidak laku dijual di pasar;
2. Hasil tangkapan sampingan (by-catch), terdiri dari beberapa jenis
dan ada yang laku dijual di pasar;
3. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan
laku dijual di pasar; dan
4. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan
berharga tinggi di pasar.
84
9) Alat tangkap harus memberikan dampak minimumterhadap
keanekaan sumberdaya hayati (biodiversity) Pembobotan
kriteria ini ditetapkan berdasarkan hal berikut.
1. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk
hidup dan merusak habitat;
2. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa
spesies dan merusak habitat;
3. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa
spesies tetapi tidak merusak habitat; dan
4. Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati.

10) Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undangatau


terancam punah
Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi
undang-undang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa:
1. Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat;
2. Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat;
3. Ikan yang dilindungi pernah tertangkap; dan
4. Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap.

11) Diterima secara sosial


Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap akan sangat
tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat.
Suatu alat diterima secara sosial masyarakat bila:
1. Biaya investasi murah,
2. Menguntungkan secara ekonomi,
3. Tidak bertentangan dengan budaya setempat,
4. Tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
Hasil identifikasi alat tangkap ikan ramah lingkungan menurut
petunjuk teknis Dirjen Perikanan Tangkap (2005):
1. Sangat Ramah lingkungan (Memenuhi 9 indikator)
2. Ramah lingkungan (memenuhi 6-8 indikator)
3. Merusak (memenuhi 4-5 indikator)
4. Sangat merusak (memenuhi 0-3 indikator).
DAFTAR PUSTAKA

Andari, A., 2017. Komposisi Hasil Tangkapan Longline di Pelabuhan


Perikanan Nusantara (PPN) Prigi Kabupaten Trenggalek,
Jawa Timur (Doctoral Dissertation, Universitas Brawijaya).

Abdulaziz,H., A. Bambang dan A.D.P. Fitri. 2018. Analisis


Keramahan Lingkungan Alat Tangkap di Kabupaten Demak.
Journal of Fisheries Resources Utilization Management and
Technology. 7(2):89-95.

Afriani, A. 2020. Kajian Hasil Tangkapan Bagan Tancap di Perairan


Poncan Gadang Teluk Tapian Nauli Kota Sibolga Sumatera
Utara. Tapian Nauli: Jurnal Penelitian Terapan Perikanan dan
Kelautan, 2 (2): 104-110.

Ananda, F., Nofrizal, N., dan Irwandy, S. 2012. Study of Fishing


Instruments Used in the Proces of Kurau Fishing at Pambang
Village Bantan Sub District Bengkalis Regency Riau Provice.
Utilization of Fishery/Aquatic, 1-13.

Aufat, A.M., Kadir, I.A. dan Darmawaty, D., 2020. AnalisisKelayakan


Usaha dan Laju Tangkap pada Alat Tangkap Bagan Tangkap
yang Berpangkalan di Kelurahan Dufa-Dufa Kota Ternate.
Hemyscyllium Jurnal, 1(1): 73-82.

Ayowa, Y. T., Bambang, A. N., dan Rosyid, A. 2014. Pengaruh


Kedalaman dan Suhu menggunakan Fish Finder terhadap
Hasil Tangkapan Arad (Small Bottom Trawl) di Perairan
Rembang. Journal of Fisheries Resources Utilization
Management and Technology, 3(4), 130-135.

Buwono, A., Manullang, S. dan Eneste, M.A., 2020. Perhitungan


Kebutuhan Energi Listrik untuk Penerangan pada Kapal Ikan
30 GT dan 10 GT yang Beroperasi di Pantai Selatan Pulau
Jawa. Jurnal Sains dan Teknologi, 10(3): 32-39.

85
86
Boesono. H. 2015. Bahan Ajar Mata Kuliah Metode Penangkapan
Ikan. Universitas Diponegoro. (tidak dipublikasikan).

Boesono, H., Sansan, S., dan Suherman, A. 2016. The Influence


Analysis of Differrently Constructed Folded Traps and Types
of Baits to Catch Crabs [Portunus Pelagicus,c(Linnaeus,
1758)] in Rembang Sea Waters. Jurnal Teknologi, 78(4-2).

Brandt. A. V. 1984. Fish Catching Methods of the World Fishing


News Books Ltd, 23 Rosemount Avenue West by Fleet,
Surrey and 110 Fleet Street. London Ec4.

Budiyawan, D. A., dan Agri, S. 2019. Perancangan Gillnet Hauler


Bertenaga Penggerak Hybrid untuk Kapal 5-10 GT.
FLYWHEEL: Jurnal Teknik Mesin Untirta, 5 (1): 74-82.

Darondo, F. A., Halim, S., dan Wudianto, W. 202). Kelimpahan


Sumberdaya Madidihang (Thunnus Albacares Bonaterre
1788) di Perairan Bitung. Jurnal Sains dan Teknologi, 3(1).

Dirja, D. 2019. Analisis Hasil Tangkapan Rajungan (Portunus


pelagicus) dengan Alat Tangkap Bubu Lipat di Desa
Waruduwur Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon Jawa
Barat. Exchall, 1(1), 15-29.

Ernaldi T. A, B. Argo W, dan T. Dwi H. 2017. Analisis Alat Tangkap


Ramah Lingkungan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Panggung Jepara. Journal of Fisheries Resources Utilization
Management and Technology. 6(4):291-300.

Fachrussyah, Z. C., dan Zaman, M. S. B. 2020. Kontruksi dan


Rancang Bangun Bubu (Fishing Trap) dalam Upaya
Peningkatan Hasil Tangkapan Ikan. JAMBURA: Jurnal
Ilmiah Manajemen dan Bisnis, 3(2), 100-112.

Firdaus, M., Wiharyanto, D., dan Sari, M. 2019. Efektifitas


Penggunaan Umpan pada Bubu Dasar (Bottom Fish Pots)
di
87
Perairan Pulau Bunyu Kalimantan Utara. Jurnal Borneo
Saintek, 2(2), 11-17.

Firmansyah, R.A., Riyantini, I., Suryadi, I.B.B. dan Apriliani, I.M.,


2019. Pengaruh Jumlah Mata Pancing Longline Terhadap
Laju Pancing dan Jumlah Hasil Tangkapan Ikan Tuna Sirip
Kuning (Thunnus albacares) di PPS Nizam Zachman Jakarta.
ALBACORE Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 3(3): 263-272.

Fiolitas, K., A. Razak dan E. Novriyanti. 2017. An Overviewof The


Eye Component (Iris, Lens and Retina) from Mackerel
Female (Rastrelliger brachysoma). Bioscience. 1(1): 30-36.

Fuad, Sukandar dan A. Jauhari. 2016. Pengembangan Lampu Bawah


Air sebagai Alat Bantu Pada Bagan Tancap di Desa Tambak
Lekok Kecamatan Lekok Pasuruan. Jurnal Kelautan. 9 (1) :
711.

Fuah, R.W. and Puspito, G., 2019. Pengaruh Jenis dan Warna Umpan
Buatan Rawai Tegak Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Pelagis
Kecil. ALBACORE Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 3(1):
25-34.

Hakim, L., Wiyono, E. S. dan Wahju, R. I. 2018. Kompetisi Alat


Penangkapan Ikan Skala Kecil di Pelabuhan Perikanan Pantai
Tegalsari. Marine Fisheries: Journal of Marine Fisheries
Technology and Management, 9(1): 111-120.

Hargiyatno, I.T. Widodo, A.A. Wibowo, S. Analisis Teknis Mini Line


Hauler yang Diuji-Coba pada Kapal Pancing Ulur Tuna
Berbasis di Wilayah Penangkapan Ikan Prigi. Jurnal
KelautanNasional. 15(3). Hal 175-182

Hartini S.S., T. Didik., dan Sumaryam. 2021. Pengaruh Penggunaan


Umpan Hidup dan Umpan Palsu pada Alat Tangkap Pancing
Ulur Terhadap Pendapatan Nelayan Desa Sepulu Kecamatan
88
Sepulu Kabupaten Bangkalan Madura. Jurnal Ekonomi dan
Bisnis. 6(2): 101-118

Hartono, A., Puspito, G., dan Mawardi, W. 2019. Uji Coba Lampu
Celup LED pada Jaring Insang sebagai Upaya Meningkatkan
Hasil Tangkapan. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan,
10 (1): 15-26.

Haryono, H., Ahmadin, A. dan Asmunandar, A., 2020. Nelayan


Bagan Tancap di Desa Waetuwoe Kecamatan Lanrisang
1960-2018. Attoriolong Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan
Pendidikan Sejarah, 18(2): 1-12.

Himam, M. I. dan Mawardi, W. 2018. Efektivitas Lampu LED Celup


sebagai Lampu Hauling Effectiveness of Submersible LED
Light as Hauling Lamp on Boat Liftnet. Program Studi
Teknologi Perikanan Laut, Sekolah Pascasarjana IPB. II(1).

Insani, H.M., Mulawarman, M., Hadi, S., Ramadan, F., Lisna, L.,
Darmawi, D., Nelwida, N. and Hariski, M., 2021. Pengaruh
Warna Cahaya Lampu pada Hasil Tangkapan Ikan dengan
Alat Tangkul di Danau Kerinci Kabupaten Kerinci Provinsi
Jambi. SEMAH: Jurnal Pengelolaan Sumberdaya
Perairan, 5(2): 21-35.

Iskandar, D., Bimasakti, Y., Baskoro, M. S., Hariwisudho, S., dan


Iskandar, B. H. 202). Tingkat Keramahan Bubu Ekor Kuning
yang Dioperasikan Nelayan di Perairan Kepulauan
Seribu. Maspari Journal: Marine Science Research, 13(2),
89-104.

Kholis, M.N., Hertati, R. dan Amrullah, M.Y., 2022. Pembuatan


Rumah Ikan (Rumpon) Lubuk Larangan di Dusun Tebat
Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Jurnal Pengabdian
Dharma Laksana, 4(2): 253-260.
89
Lahumeten, F., R. Bawole, R. Salad dan S. S. Suruan. 2019.
Komposisi Jenis-jenis Ikan Layang (Decapterus spp.)
berdasarkan Hasil Tangkapan Nelayan Bagan di Teluk
Doreri, Kabupaten Monokwari, Provinsi Papua Barat.
Journalof Aquaculture and Fish Health, 8 (2): 106-112.

Limbong, I., Rosmasita, R., dan Silalahi, B. P. 2020. Komposisi Hasil


Tangkapan Bagan Tancap di Kelurahan Hajoran, Kabupaten
Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Fisheries: Jurnal Perikanan
dan Ilmu Kelautan, 2 (1): 1-7.

Mahiswara, M., Hufiadi, H., Baihaqi, B., dan Budiarti, T. W. 2018.


Pengaruh Ukuran Mata Jaring Bubu Lipat terhadap Jumlah Dan
Ukuran Hasil Tangkapan Rajungan di Perairan Utara
Lamongan, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, 24(3), 175-185.

Malik, A. A., Nurhapsa, N., dan Tabsir, M. K. 2018. Penggunaan Alat


Bantu pada Kelompok Nelayan Penangkap Ikan Pelagis
Campuran di Kabupaten Barru. DEDIKASI, 20(1).

Murtado, H. Sunarno. Aditya. 2019. Pemasangan Line Hauler pada


Kapal KM Blue Fin 01. Buletin Teknik Litkayasa. 17(2). Hal
57-60

Nababan, B. O., Pi, S., Kusumastanto, T., Adrianto, L. dan Fahrudi,


A. 2020. Analisis Ekonomi Alat Penangkapan Ikan Arad di
Pantai Utara Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan, 15(1): 1-14.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor


59/Permen-KP/2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat
Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia dan Laut Lepas.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor


18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan
Ikan
90
dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta
Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Pramesthy, T. D., Mardiah, R. S., Shalichaty, S. F., Arkham, M. N.,


Haris, R. B. K., Kelana, P. P dan Djunaidi, D. 2020. Analisis
Alat Tangkap Jaring Insang (Gill Net) berdasarkan Kode Etik
Tatalaksana Perikanan Bertanggung Jawab di Perairan Kota
Dumai. Aurelia Journal. 1(2): 103-112.

Putri, D. A., dan Ilpah, I. 2019. Efektifitas Komposisi Hasil


Tangkapan Bubu Lipat (Fish Trap) di Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI) Gebang Mekar Kabupaten Cirebon. Barakuda 45:
Jurnal Ilmu Perikanan dan Kelautan, 1(1), 8-17.

Rahmat, E., dan Yahya, M. F. 2020. Teknik Penangkapan Ikan


Dengan Rawai Dasar dan Informasi Komposisi Jenis Hasil
Tangkapan oleh Nelayan Tarakan (WPP NRI 716-Laut
Sulawesi). Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan
Penangkapan, 17(2): 99-103.

Randi, Z., Hestirianoto, T., dan Pujiyati, S. 2017. Akustik


Dibandingkan dengan Densitas Ikan: Kombinasi Metode
Aktif dan Pasif. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan,
8(2), 187-198.

Rifai, M., N. Rosana., dan M. A. Sofijanto. 2019. Perbandingan


Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Insang Dasar (Bottom Gill
Net) menggunakan Alat Pemanggil Ikan Berbasis Gelombang
Bunyi di Perairan Kenjeran. Jurnal Perikanan dan Ilmu
Kelautan, 1(2): 87-95.

Rihmi, M. K., Gondo. P., dan Ronny. I. W. 2017. Modifikasi


Konstruksi Trammel Net: Upaya untuk Meningkatkan Hasil
Tangkapan. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, 8(2):
169-178.
91
Rizal, A., dan Izza, M. A. 2019. Proporsi Hasil Tangkapan Trammel
Net pada Kedalaman yang Berbeda di Perairan Indramayu.
Jurnal Albacore, 3(3):249-261.

Rohmiyati, R., 2021. Perbedaan Hasil Tangkapan Alat Tangkap


Bagan Apung pada Intensitas Cahaya Lampu yang Berbeda di
Perairan Danau Singkarak Sumatera Barat (Doctoral
Dissertation, Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan).

Saifullah, S. and Susilawati, S., 2018. Teknologi Rumpon untuk


Nelayan Tradisional Di Kecamatan Pemangkat Kabupaten
Sambas. J-DINAMIKA: Jurnal
Pengabdian Masyarakat,
3(1): 51-60.

Sarwono, S., Rengi, P., dan Yani, A. H. 2015. Analysis of the


Composition of the Catch Kurau Gillnet the Use of Different
Mesh Sizes in the Waters Purnama, Dumai Barat District,
Dumai City, Riau Province (Doctoral dissertation, Riau
University), 2 (1): 1-11.

Satriawan, S. E., Gondo, P., dan Roza, Y. 2017. Introduksi High


Power LED pada Perikanan Bagan Tancap. Jurnal Teknologi
Perikanan dan Kelautan, 8 (1): 49-58.

Septiana, E., Saputra, S. W. dan Ghofar, A. 2019. Analisis Hasil


Tangkapan Jaring Arad di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Tambak Lorok, Semarang (Catch Analysis Of Arad Net at the
Fish Landing Base Tambak Lorok, Semarang). Saintek
Perikanan: Indonesian Journal of Fisheries Science and
Technology, 14(2): 100-105.

Suman, A., Satria, F., Nugraha, B., Priatna, A., Amri, K dan
Mahiswara, M. 2018. Status Stok Sumber Daya Ikan Tahun
2016 di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia (WPP NRI) dan Alternatif Pengelolaannya. Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia. 10(2): 107-128.
92
Sweking, S., Najamuddin, A., dan Firlianty, F. 2018. Jenis-jenis Ikan
yang Tertangkap dengan Jaring Insang Tetap (Set Gill Net),
CPUE dan Panjang Baku Ikan di Danau Burung, dan Danau
Hanjalutung di Kelurahan Petuk Ketimpun, Provinsi
Kalimantan Tengah. Agrikan: Jurnal Agribisnis Perikanan, 11
(2): 51-58.

Thahir, M.A., Baskoro, M.S. dan Gazali, M., 2019. Perbandingan


Hasil Tangkapan pada Rumpon Tali Rafia dan Rumpon
Tradisional di Perairan Aceh Barat. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 11(2): 369-376.

Yadudin., M. F. A. Sondita, Zulkarnain, dan F. Purwangka. 2018.


Pengaruh Penggunaan Rumpon Portable dan Jenis Lampu
Setting terhadap Hasil Tangkapan Bagan Tancap di Perairan
Teluk Palabuhanratu Jawa Barat. Albacore. 2(3): 253-262.

Yahya, M. F., dan Ilhamdi, H. 2019. Aspek Operasional Penangkapan


Kapal Bouke Ami yang Berbasis di TPI Muara Angke.
Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan,
16(1), 1-5.
93
Lampiran 1. Nilai Modul Praktikum Darat
dan LautMetode Penangkapan
Ikan, 2022

No. Alat Tangkap Nilai


1 Gill net
2 Trammel net

3 Arad
4 Rawai
5 Bagan

6 Bubu

Total Nilai

Paraf Asisten

( )

Anda mungkin juga menyukai