Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Nama : Adinda Violita Ludya

Nim : 2262211102

Kelas : Akuntansi CD

Matkul : Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen : DRS . H Sutisna Djaharudin . MM


DAFTAR ISI

Halaman judul.......................................................................................................................

Kata pengantar......................................................................................................................

Daftar isi ................................................................................................................................

BAB 1 PENJELASAN..................................................................................................................

A. Apa yang dimaksud dengan pasal 37


B. Bagaimana proses terjadinya amandemen uud 1945
Mengapa pada zaman orba uud 1945 susah atau tidak bisa diamandemen.
Apa yang melatarbelakangi, aturan dan yang mengaturnya

BAB2 PEMBAHASAN..........................................................................................................

A. Perubahan uud 1945

BAB 3 PENUTUP.................................................................................................................

KESIMPULAN............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................

ARTIKEL.......................................................................................................................
BAB 1

A. PASAL 37

Pasal 37 UUD 1945 secara umum membahas tentang perubahan UUD. Menurut
pasal 37 UUD 1945 yang berwenang mengubah Undang- undang Dasar adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Dalam pasal tersebut tidak terdapat ketentuan siapa yang dapat
mengajukan usul perubahan Undang-undang Dasar.

Usul perubahan pasal dapat disampaikan dalam sidang MPR. Setiap usulan perubahan
pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang
diusulkan. Usulan perubahan ini wajib disertai dengan alasan.
Perubahan dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang UUD 1945, kecuali pasal yang
mengatur tentang bentuk negara.

Sebelum diubah, Bab tentang Perubahan Undang-Undang Dasar terdiri atas satu
pasal, yaitu Pasal 37 dengan dua ayat, yaitu ayat (1) dan ayat (2). Setelah perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi satu pasal, yaitu Pasal 37
dengan lima ayat, yaitu ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Berikut bunyi Pasal 37 UUD 1945:

(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.****)

(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.****)

(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan


Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.**** )

(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan


persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.****)

(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.**** )
B. Proses Amandemen UUD 1945

Gerakan reformasi yang bergulir pada tahun 1997 – 1998 menuntut reformasi
konstitusional (constitutional reform) karena berpandangan bahwa UUD 1945 “sebelum”
reformasi dipandang tidak cukup mampu untuk mengatur dan menata penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rezim Orde Baru ditumbangkan dan era reformasi dimulai. Tuntutan kaum reformis
adalah penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (good and clean
governance), demokrasi agar ditegakkan, hak-hak asasi manusia harus dihormati, aparatur
korup harus ditindak, kolusi dan nepotisme yang lebih cenderung berpihak kepada segelintir
elit disentral kekuasaan baik di pusat dan daerah harus dikikis habis. Transparansi,
akuntabilitas dan profesionalisme merupakan tuntutan rakyat yang tidak dapat dihalangi.
Pengambilan keputusan sebagai suatu kebijakan publik yang berstandar ganda, tidak berpihak
kepada rakyat harus tetap dikritisi. Kebebasan pers, kemerdekaan berserikat dan
mengeluarkan pendapat lisan maupun tulisan dituntut oleh rakyat tidak sekedar lip service
tapi sungguh-sungguh sebagai suatu kebebasan yang bertanggung jawab.

Reformasi di bidang penyelenggaraan pemerintahan dituntut harus bermakna bagi


rakyat dengan mengikutsertakan seluruh komponen penyelenggara pemerintahan, dan ini
berarti peran serta sektor swasta dan segenap masyarakat sipil (civil society). Rakyat
menuntut, penyelenggaraan pemerintahan di daerah diberikan kewenangan yang bersifat luas,
nyata dan dapat mengatur rumah tangga sendiri (otonom). Sentralisasi harus diakhiri dan
desentralisasi harus diberlakukan di segenap pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota.

Dibidang penegakan demokrasi, pada era Orde Baru benar telah dilaksanakan
pemilihan umum (pemilu) yang langsung, umum, bebas dan rahasia (luber) tetapi jauh sama
sekali dari jujur dan adil (jurdil). Pemilihan umum (pemilu) lebih bersifat formalitas belaka.
Demokrasi, yang secara etimologi berasal dari kata Yunani, “demos” (rakyat) dan “kratos”
(kekuasaan), dengan perkataan lain rakyat yang berkuasa hanyalah slogan. Rakyat berdaulat
yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat lebih “membebek”
kepada penguasa (eksekutif).

Dibidang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), pada masa Orde Baru pelanggaran
HAM mencapai puncaknya. Penguasa Orde Baru berpandangan bahwa HAM sebagai paham
liberal yang bertentangan dengan budaya timur. Pelanggaran HAM (mulai dari ringan sampai
berat) terus terjadi. Hak untuk hidup, hak atas kebebasan dari penyiksaan, hak atas kesamaan
di muka pengadilan, hak kebebasan beragama, hak kebebasan berpikir dan menyatakan
pendapat, hak untuk memperoleh pekerjaan, hak atas kondisi kerja yang adil, hak untuk
berserikat, hak atas jaminan sosial, hak di bidang budaya dan lain-lain, pada masa Orde Baru
sangat dikekang dan atau bahkan ditindas.

Hal-hal di atas sebagaimana telah dikemukakan, akhirnya mendorong munculnya


gerakan reformasi untuk mengakhiri dominasi kekuasaan Orde Baru. Era reformasi membuat
perubahan drastis, dimulai pada Sidang Istimewa MPR 1998 sebagai desakan kaum reformis,
yang memutuskan bahwa Pemilu yang telah dijadwalkan tahun 2002 dipercepat menjadi
tahun 1999 dan memutuskan TAP MPR mengenai HAM.

Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu demokratis pertama sesudah pemilu tahun
1955. Isu-isu dari gerakan reformasi sangat diperhatikan oleh lembaga- lembaga negara,
seperti : tuntutan untuk membangun sistem politik check and balance, kebebasan pers,
penghormatan terhadap HAM dan supremasi hukum merupakan agenda yang selalu
dibicarakan untuk dibahas. Bahkan isu peka dan pernah di “tabu” kan untuk dibicarakan
seperti apakah Pembukaan UUD 1945 perlu diubah dengan memasukan tujuh kata : “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sebagaimana rumusan
Piagam Jakarta akan dimasukan kembali dalam pasal 29 UUD 1945! Isu apakah bentuk
negara kesatuan akan dipertahankan atau diganti dengan bentuk negara serikat! Isu-isu
tersebut memperoleh perhatian dan dibahas.

Jakob Tobing yang kala itu menjadi Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I BP MPR
menyatakan bahwa : para Anggota MPR hasil Pemilu 1999 membahas isu-isu peka
sebagaimana tersebut diatas secara terbuka, penuh rasa persaudaraan dan saling menghargai
serta jauh dari niat untuk memaksakan kehendak. Anggota MPR pada akhirnya bersepakat
untuk tetap mempertahankan rumusan asli UUD 1945 secara musyawarah mufakat kecuali
satu hal yaitu keputusan mengenai ditiadakannya keberadan utusan golongan sebagai anggota
MPR yang diangkat yang diputuskan melalui pemungutan suara.

Reformasi konstitusi sebagai perubahan sistem politik, berhasil dikonsolidasikan


seiring kebebasan berpendapat, penghormatan dan penegakan terhadap HAM, supremasi
hukum, sistem politik check and balance, sehingga segenap rakyat dapat menerima dan siap
melanjutkan dinamika politik yang melandasi proses demokratisasi dan kelanjutan reformasi.

Refleksi atas reformasi konstitusi ini harus dicermati, dimaknai, dihayati dan
diedukasi seperti : bentuk negara, sistem pemerintahan, tugas, fungsi dan kewajiban lembaga
negara, agar kehidupan demokrasi yang substansial benar-benar dilaksanakan dengan baik,
penuh kesadaran dalam implementasi terhadap nilai-nilai kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

Istilah amandemen sebenarnya merupakan hak, yaitu hak parlemen untuk mengubah
atau mengusulkan perubahan rancangan undang-undang. Perkembangan selanjutnya muncul
istilah amandemen UUD yang artinya perubahan UUD. Istilah perubahan konstitusi itu
sendiri mencakup dua pengertian (Taufiqurohman Syahuri, 2004), yaitu Amandemen
konstitusiPemabruan konstitusi

Dalam hal pembaruan konstitusi, perubahan yang dilakukan adalah baru secara
keseluruhan. Jadi, yang berlaku adalaha konstitusi yang baru, yang tidak lagi ada kaitannya
dengan konstitusi lama atau asli. System ini dianut oleh negara seperti Belanda, Jerman dan
Prancis.
Amandemen atas UUD 1945 dimaksudkan untuk mengubah dan memperbaharui
konstitusi negara Indonesia agar sesuai dengan prinsip-prinsip negar demokrasi. Dengan
adanya amandemen terhadap UUD 1945 maka konstitusi kita harapkan semakin baik dan
lengkap menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan dan kehidupan kenegaraan yang
demokratis.

UUD 1945 sebagai konstitusi atau hukum dasar negara Republik Indonesia juag
mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan. Untuk itu perlu dilakukan
perubahan terhadap UUD 1945 yang sejak merdeka sampai masa pemerintahan Presiden
Soeharto belum pernah dilakukan perubahan.

Tentang perubahan undang-undang dasar dinyatakan pada Pasal 37 UUD 1945 sebagai
berikut:

(1) Usul perubahan pasal-pasal undang-undang dasar dapat diagendakan dalam siding Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota
majelis permusyawaratan rakyat.

(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan


Rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.

(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan


persetujuan dekurng-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh
anggota majelis permusyawaratan rakyat.

(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.

a. Amandemen Pertama Terjadi pada Sidang Umum MPR Tahun 1999, disahkan 19 Oktober
1999

MPR dalam sidang umum tahun 1999 mengeluarkan keputusan mengenai UUD 1945 dengan
perubahan yang kemudian dikenal dengan perubahan pertama. Perubahan pertama atas UUD
1945 tersebut diambil dalam suatu putusan majelis pada tanggal 19 Oktober 1999. perubahan
atas UUD 1945 berlaku sejak tanggal ditetapkannya putusan yaitu 19 Oktober 1999.

Pada perubahan pertama ini MPR RI mengubah pasal 5 ayat (1), pasal 7, pasal 9, pasal 13
ayat (2), pasal 14, pasal 15, pasal 17 ayat (2) dan (3), pasal 20 dan pasal 21 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. jadi, pada perubahan pertama, yang
diamandemen sebanyak 9 pasal.

b. Amandemen kedua terjadi pada siding tahunan MPR, disahkan 18 Agustus 2000
MPR dalam sidang tahunan tahun 2000 mengeluarkan putusan mengenai UUD 1945 dengan
perubahan yang kemudian dikenal dengan perubahan kedua. Perubahan kedua atas UUD
1945 tersebut diambil dalam suatu putusan majelis dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
2000.

Pada perubahan kedua MPR RI mengubah dan/atau menambah pasal 18, pasal 18A,pasal
18B, pasal 19, pasal 20 ayatt (5), pasal 20A, pasal 22A, pasal 22B, bab IXA, pasal 25E, bab
X, pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), pasal 27 ayat (3), bab XA, pasal 28A, pasal 28B, pasal
28C,pasal 28D, pasal 28E, pasal 28F, pasal 28G, pasal 28H, pasal 28I, Pasal 28J, bab XII,
pasl 30, bab XV, pasal 36A, pasal 36B dan pasal 36C undang-undang dasar negara republic
Indonesia. tahun 1945.

Jadi pada perubahan kedua yang diamandemen sebanyak 25 pasal.

c. Amandemen ketiga terjadi pada siding tahunan MPR, Disahkan 10 November 2001

MPR dalam sidang tahunan tahun 2001 mengeluarkan putusan mengenai UUD 1945 dengan
perubahan yang kemudian dikenal dengan perubahan ketiga. Perubahan ketiga atas UUD
1945 tersebut diambil dalam suatu jurusan majelis dan ditetapkan berlaku tanggal 9
november 2001.

Pada perubahan ketiga yang diamandemen sebanyak 23 pasal.

d. Amandemen keempat terjadi pada sidang tahunan MPR, disahkan 10Agustus 2002

MPR dalam sidang tahunan tahun 2002 kembali mengeluarkan putusan mengenai UUD 1945
dengan perubahan yang kemudian dikenal dengan perubahan keempat. Perubahan ke empat
atas UUD 1945 tersebut diambil dalam suatu keputusan majelis pada tanggan 10 Agustus
2002.

Pada perubahan keempat ini yang diamandemen sebanyak 13 pasal dan 3 pasal aturan
peralihan dan 2 pasal aturan tambahan.

Dengan cara amandemen ini, UUD 1945 yang asli masih tetap berlaku, hanya beberapa
ketentuan yang sudah diganti dianggap tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah ketentuan-
ketentuan yang baru. Nasakah perubahan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
undang-undang dasar negara republic Indonesia tahun 1945.

Dengan demikian, naskah UUD 1945 kita terdiri atas:

Naskah asli UUD 1945Naskah perubahan pertama UUD 1945Naskah perubahan kedua UUD
1945Naskah perubahan ketiga UUD 1945Naskah perubahan keempat UUD 1945.

Mengapa pada zaman orba uud 1945 susah atau tidak bisa diamandemen.
Undang-Undang Dasar 1945, pada masa Orde Baru, dianggap suatu yang sakral, tidak boleh
disentuh dan diubah atau diamandemen.
Padahal UUD 1945 sendiri, melalui Pasal 37, dimungkinkan untuk diubah atau
diamandemen. Akan tetapi kemungkinan untuk diamandemen itu dicoba untuk dihalang-
halangi oleh Pemerintah Orde Baru. Dalam konteks ini kemudian pemerintah Orde Baru
berusaha menjaga agar Pasal 37 tidak dipergunakan.9 Kalaupun akan dipergunakan maka
dibuat persyaratan sedemikian rupa sehingga sulit untuk dicapai. Dalam upaya untuk
menghalang-halangi amandemen tersebut, pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan
seperangkat aturan untuk memagari agar UUD 1945 tidak diubah. Celakanya yang memagari
itu adalah MPR sendiri yang nota bene memiliki hak untuk mengubahnya.
Perangkat peraturan yang melarang untuk mengubah UUD 1945 adalah Ketetapan MPR No.
I/MPR/1978 pasal 15, yang mengatakan bahwa “Majelis berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan
terhadapnya...”. Ketetapan ini diulangi setiap lima tahun sekali dalam setiap Sidang Umum
MPR, yaitu Ketetapan MPR No. 1 tahun 1983, Ketetapan MPR No. 1 tahun 1988, dan
Ketetapan MPR No. 1 tahun 1993. Selain itu MPR juga membuat Ketetapan No. IV/
MPR/1983 yang berisi tekad untuk tidak melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Dalam
menjabarkan Ketetapan itu, Pemerintah Orde Baru lalu mengeluarkan UU No. 5 tahun 1985
tentang Referendum.10 Semua peraturan atau ketetapan tersebut di atas, pada masa
Reformasi ini dicabut. UUD 1945 tidak lagi dianggap suatu yang sakral, yang tidak bisa
dirubah. Dengan demikian terjadi desakralisasi terhadap UUD 1945. Ini terjadi karena,
memang, UUD 1945 adalah buatan manusia yang pasti terdapat kelemahan dan kekurangan.
Dan memang UUD 1945, yang hanya berisi 37 pasal, sangat pendek dan belum memuat
peraturan-peraturan yang lain yang menjamin demokrasi dan keadilan. Oleh karena itu tidak
heran kemudian, salah satu tuntutan gerakan mahasiswa adalah melakukan amandemen
terhadap UUD 1945. Tuntutan gerakan mahasiswa itu mendapat dukungan dari berbagai
kalangan akademisi, praktisi hukum dan partai-partai politik. Partai politik seperti PAN, PPP,
Golkar, PKB, dan PK mendukung perlunya amandemen terhadap UUD 1945. PDI-P dan
TNI/Polri semula tidak mendukung perlunya amandemen UUD 1945, tetapi dalam
perkembangan kemudian mereka mendukung perlunya amandemen UUD 1945.
lili romli: Format Baru Dewan Perwakilan Rakyat... 205 Menurut Slamet Effendy
Yusuf dan Umar Basalim ada enam alasan mengapa UUD 1945 perlu diamandemen. Keenam
alasan itu adalah dilihat dari persfektif filosofis, historis, sosiologis, yuridis, praktek
kenegaraan, danperspektif materi.11 Perspektif Filosofis. Setiap UUD pada hakekatnya
merupakan upaya untuk
memperoleh kapastian hukum dalam memperoleh keadilan serta pembatasan kekuasaan
terhadap kemungkinan bergeraknya kekuasaan atas naluriahnya sendiri (power tend to
corrupt), yang akhirnya mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Sebagai
upaya pembatasan kekuasaan dan penciptaan sistem checks and ballances, kepastian hukum
dan keadilan, maka setiap UUD terbatas keberlakuannya. Karena keterbatasan itu maka
dalam upaya memenuhi tuntutan zaman perlu dilakukan perubahan terhadap UUD
tersebut. Perspektif Historis. Proses penyusunan UUD 1945 disusun secara cepat dan
kilat. Hal ini terjadi karena kondisi waktu itu yang tidak memungkinkan, yaitu kondisi yang
masih darurat dalam situasi Perang Dunia II, sehingga UUD 1945 belum lengkap dan
sempurna. Dalam konteks itu maka para perumus UUD 1945 sendiri kemudian menyusun
Pasal 2 Aturan Tambahan, yangmengatakan bahwa dalam waktu enam bulan sesudah MPR
dibentuk, MPR bersidang guna menetapkan UUD. Selain itu juga ada Pasal 37 yang
mengatur prosedur perubahan UUD. Perpektif Sosiologis. Pengalaman dua pemerintahan
sebelumnya, yaitu pemerintahan Soekarno dan Soeharto, telah menyimpang, bahkan
bertentangan dari UUD 1945. Kedua rezim tersebut berciri otoriter, sentralistik, dan tertutup.
Hal ini terjadi karena UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar terhadap eksekutif tanpa
check and ballance dari DPR. Perspektif Yuridis. Gagasan dan tindakan perubahan UUD
1945 dijamin secara tegas oleh UUD 1945 sendiri. Hal ini terlihat dalam Pasal 37, yang
mengatakan bahwa “Untuk mengubah UUD menimal 2/3 dari jumlah MPR yang hadir.
Perubahan terhadap UUD diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota MPR yang hadir”. Dengan bunyi Pasal 37 tersebut berarti UUD 1945 sendiri
memberikan jaminan hak yang sangat kuat bagi munculnya gagasan dan perubahan terhadap
UUD 1945. Perspektif Praktek Ketatanegaraan. Dalam praktek kenegaraan sesungguhnya
telah terjadi serangkaian tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perubahan terhadap UUD
1945. Hal ini dapat dilihat dari munculnya Ketetapan MMPR. No. IV tahun 1983 tentang
Referendum. Selain itu juga dapat dilihat dari adanya UU yang memasukkan Kepolisian RI
ke dalam jajaran TNI. 12 Padahal Pasal 10 UUD 1945 menyebutkan bahwa unsur TNI hanya
terdiri dari AD, AU, dan AL, tanpa Kepolisian.Dalam kaitan itu, M. Fazrul Falaakh
mengatakan bahwa sesungguhnya UUD 1945 telah mengalami perubahan berulangkali, yaitu,
antara lain, perluasan penyertaan Utusan Golongan dalam keanggotan MPR, pengaruh faham
parlementer atas fungsi Presiden sebagai Kepala Negara, identifikasi atas cabang-cabang
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tatacara perubahan UUD 1945 (Tap
MPR No. IV/1983), dan tafsir atas konstruksi ketatanegaraan.13 Perspektif Materi. Ditinjau
dari aspek materi, UUD 1945 memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Akibat dari hal
tersebut kemudian, antara lain, memunculkan pemerintahan yang otoriter. Hal ini terjadi
karena UUD 1945 tidak memuat secara tegas dan ketat tentang prinsip-prinsip pembatasan
kekuasaan dan mekanisme check and ballance. M. Mahfud MD mengatakan bahwa di dalam
UUD 1945 (1) tidak ada mekanisme check and ballance; (2) terlalu banyak atribusi
kewenangan terhadap eksekutif; (3) adanya pasal-pasal yang multiinterpretasi; dan (4) terlalu
percaya pada semangat penyelenggara negara yang akan berbuat baik.14 Atas dasar alasan-
alasan di atas kekuatan-kekuatan politik di MPR pada Sidang Umum (SU) MPR tahun 1999,
melakukan perubahan atau amandemen UUD 1945. Amandemen ini kemudian dilanjutkan
pada Sidang Tahunan (ST) MPR 2000, ST 2001, dan ST 2002.

Hal-hal pokok yang melatarbelakangi amandemen pertama adalah Sistem konstitusi


masih bersifat sarat eksekutif atau executive heavy. Kekuasaan terpusat pada presiden
menyebabkan banyak pelanggaran hak asasi manusia. Masa jabatan presiden yang tidak
terbatas memunculkan otoriterisme. Tidak ada check and balances. Memuat peraturan yang
diskriminatif. Mendelegasikan terlalu banyak aturan konstitusional ke level undang-undang.
Terdapat sejumlah pasal yang bermakna ganda atau multitafsir. Terlalu banyak bergantung
pada keinginan politis dan integritas politisi. Amandemen pertama merupakan salah satu
agenda reformasi pasca jatuhnya pemerintahan orde baru di mana fungsi kekuasaan legislatif
dipegang oleh presiden. Tujuannya adalah memberi payung hukum bagi reformasi dan
berbagai perubahan yang akan terjadi.

Lahirnya Orde Baru dilatarbelakangi oleh pergolakan politik di Indonesia yang terjadi pada
pertengahan 1960-an. Bahkan pasa masa itu disebut sebagai salah satu periode paling penuh
gejolak dalam sejarah modern Indonesia. Penyerahan mandat kekuasaan lewat Supersemar
dilatarbelakangi dengan guncangan pasca-G30S pada 1 Oktober 1965. Demokrasi terpimpin
Soekarno pun melemah akibat tudingan tentara bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI)
merupakan dalang di balik peristiwa pembunuhan tujuh jenderal tersebut. Tuduhan tersebut
tentu memicu amarah dari para pemuda antikomunis. Akhir Oktober 1965, para mahasiswa
membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI, dengan dilindungi oleh para
tentara. Kelompok ini dibuat untuk memprotes Soekarno yang enggan bertindak apa-apa
terkait peristiwa G30S.

BAB 2
UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan atau amandemen. Dikutip dari
buku Super Lengkap UUD 1945 dan Amandemen oleh tim Educenter, tuntutan terhadap
perubahan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh kekuasaan tertinggi yang masih berada di tangan
MPR. Namun pada kenyataannya bukan di tangan rakyat dan kekuasaan presiden-lah yang
sangat besar.

Perubahan UUD dilakukan pada era Reformasi yang berlangsung pada tahun 1999 hingga
2002. Pada waktu itu, perubahan UUD 1945 bertujuan untuk menyempurnakan atau
memperbaiki aturan dasar sesuai kebutuhan bangsa.

Rumusan perubahan:

BAB XVI

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR


Pasal 37

(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang
Majelis Permu-syawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan


Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh
anggota Majelis Permu-syawaratan Rakyat.

(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.

Rumusan naskah asli:

BAB XVI

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR


Pasal 37

(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah


anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.

(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota
yang hadir.

Ketentuan mengenai perubahan Undang-Undang Dasar dimaksudkan untuk meneguhkan


MPR sebagai lembaga negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 memiliki wewenang melakukan perubahan Undang-Undang Dasar.

Di dalam ketentuan itu, Pembukaan tidak termasuk objek perubahan, sedangkan bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat diubah. Adanya ketentuan ini
dimaksudkan untuk mempertegas komitmen bangsa Indonesia terhadap Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk NKRI sekaligus
melestarikan putusan para pendiri negara pada tahun 1945. Rumusan itu juga
menggambarkan sikap konsisten terhadap kesepakatan dasar yang dicapai fraksi-fraksi MPR
sebelum dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Perubahan pasal ini meliputi proses perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang diawali dengan usul perubahan yang harus diajukan
oleh sekurang-kurangnya satu pertiga jumlah anggota MPR; putusan untuk melakukan
perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus
dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota MPR, lebih banyak dari
persyaratan minimal, yaitu empat persembilan jumlah anggota MPR yaitu dua pertiga dikali
dua pertiga sebagaimana diatur pada pasal ini sebelum perubahan.
BAB 3

PENUTUP

Kesimpul

tentang kekuasaan Presiden dalam menjalankan pemerintahan pasca amandemen UUD 1945.
Pada perubahan pertama UUD 1945 tentang kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden
tersebut telah diadakan perubahan yang sangat signifikan. Sebelumnya Presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat diubah
menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Buku uud 1945

ARTIKEL

Baca artikel detikedu, "Pasal 37 UUD 1945, Begini 5 Aturan Perubahan Undang-
Undang Dasar" selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5842641/pasal-
37-uud-1945-begini-5-aturan-perubahan-undang-undang-dasar.

https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=715:civic-education-langkah-berikut-setelah-
perubahan-uud-negara-republik-indonesia-1945&catid=100&Itemid=180

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8572/Andar%20R
%20Komplit.pdf?sequence=1

https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru

Anda mungkin juga menyukai