Anda di halaman 1dari 1

Sari Ratna Dewi

12318024
Teknik Geofisika (TG)
FTTM
Panggilan Kemanusiaan Untuk Generasi Muda
Butet Manurung
Rabu, 23 September 2020
K-05
K-01

Butet Manurung merupakan lulusan antropologi dan merupakan anggota pecinta alam. saat pertama kali memasuki rimba,
banyak hal yang dapat dipelajari olehnya, ia banyak belajar survival disana daripada di komunitas pecinta alamnya, seperti
cara memasang perangkap, dan lain lain. Di Rimba fasilitas umum seperti jembatan sangatlah minim. Untuk orang Rimba ia
merupakan orang yang pongah, tetapi pada saat yang beramaan ia juga berpikir orang Rimba tidaklah pintar, maka dari itu hal
tersebut hanya soal perspektif. Para pendiri Sakola telah mulai aktivitas pada komunitas Orang Rimba sejak 1999. Ide
pendidikan sakola berangkat dari dilema saat mentok tidak dapat mengembangkan proses belajar anak-anak yang bertujuan
mencapai self-deermination (kemampuan menentukan nasib sendiri) karena terbatasi oleh agenda konservasi semata. Lalu
orang Rimba selama 30 tahun terakhir dipenuhi berbagai persoalan ketersinggungan dari hutannya.
Orang rimba sering menyebut sekolah itu dengan istilah sekolah kehidupan, karena pada saat itu ketika orang rimba telah
mampu untuk baca tulis tetapi penggundulan hutan masih terus berlanjut dan hal tersebut membuat orang rimba
bertanya-bertanya dan akhirnya membuat Butet Manurung resign dari pekerjaannya dan berfokus pada pengembangan sakola
rimba. Jika kita datang ke suatu tempat, kita tidak boleh mengambil kesimpulan tanpa observasi terlebih dahulu, karena kita
tidak tahu kondisi aktual pada saat itu.

Sakola rimba hadir di tempat tempat tertentu karena sekolah pada umumnya tidaklah relevan untuk daerah tertentu, karena
mereka memerlukan ilmu yang bisa langsung dipakai saat itu juga sehingga kurikulum nasional pada sekolah formal tidak
sesui dengan potensi sekitar lingkungan tersebut. Sekolah formal tidak mengakomodir cara belajar lokal dan sifat alamiah yang
dinamis di alam bebas, maka dari itu sakola rimba sering kali belajar di alam seperti di pinggir sungai, hutan, dan lain lain.
Banyak siswa sekolah yang dipaksa untuk menyesuaikan aturan aturan sekolah formal yang mana aturan tersebut
sekolah formal juga tidak mengajarkan untuk mengatasi persoalan kehidupan dan perubahan sekitar murid. Contohnya banyak
sekali ilmu yang diajarkan di sekolah formal yang tidak diaplikasikan di kehidupan sehari hari, tidak seperti sakola rimba yang
ilmunya selalu diaplikasikan langsung. Lalu sekolah formal tidak mengakomodasi niai dan kebenaran versi lokal, seperti orang
rimba yang tidak memakai baju dan orang kota memberikan baju kepada orang rimba, padahal bagi orang rimba definisi baju itu
berbeda dengan orang kota, maka dari itu di sekolah formal seirngkali merasa dominan dalam pendidikan padahal hal tersebut
hanya soal pendefinisian dan sudut pandang saja. Sistem pendidikan lokal seperti sistem pendidikan tradisional sudah
kontekstual contohnya seperti di rimba dimana anak rimba sudah hafal banyak mamalia, anak kecil sudah dapat mengetahui
bagaimana cara menghadapi ular berbisa, dan lain lain, hal itulah yang disebut dengan kontekstual sesuai dengan
kebutuhannya. Kita sebagai orang kota sering memandang rendah orang rimba dimana hal tersebut sering kita katakan tidak
normal, maka dari itu orang rimba memiliki definisi sendiri tentang apa itu normal. Cohtohnya orang rimba melihat rumah orang
kota seperti kandang yang mana tempatnya terlalu kecil sedangkan orang yang menempatinya terlalu banyak. lalu orang
Rimba berpendapat bahwa Tuhannya orang kota terlalu baik, mahapengasih, dan mahapenyayang karena seringkali orang
kota dianggap jahat oleh orang Rimba atas kelakuannya sendiri yang suka mengambil lahan atau hmerusak hutan orang
Rimba.

Jika kita ingin datang ke suatu lokasi, kita harus menerapkan huminity atau membumi, kita harus datang membawa pertanyaan
bukan jawaban yang menggurui, datang sebagai murid. Kita juga diusahakan untuk live in dan mempelajari kehidupannya
disana. Orang Indonesia sering kali melakukan voluntering sehingga negara kita sering disebut dengan negara yang ramah,
tapi disisi lain volunteer bukan sebuah piknik atau unjuk diri saja, lebih dari itu volunteer itu melibatkan kehidupan sosial dan
humanity, keinginan yang kuat untuk membantu orang lain. Kita juga harus bisa mengakomodasi kultur dan rutinitas harian.
Metode etnografi memungkinkan kita mendapat 'native point of view' dimana kita biasanya dapat mendefinisikan kembali suatu
hal, seperti apa itu kaya untuk orang rimba, maka dari itu point of view lokal sangat penting untuk diketahui. Materi ajar dalam
sakola rimba haruslah kontekstual yang mana metode tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dalam kehidupan sehari hari.
Lalu perlibatan komunitas dalam seluruh proses pendidikan juga hal yang penting untuk diterapkan pada sakola rimba.
Keberagaman adalah kekuatan. Untuk itu kita dapat menggunakan pendekatan emik (metode tenografi kritis) dalam memahami
keberagaman/sudut pandang lokal. Pahami perbedaan tolak ukur "bahagia/sukses/kemajuan/peradaban" antara standar negara
(atau orang kota) dengan orang desa atau masyarakat adat. Lalu adposi sudut pandang lokal itu sebagai visi dalam gerakan
literasi suatu komunitas. Penyeragaman tolak ukur dan kurikulum, akan menghasilkan penyeragaman kecakapan, yang dapat
mengancam kemandirian komunitas dan ketahanan negara. Penyeragaman akan mengancam pengetahuan dan kecakapan
lokal yang beragam.

Anda mungkin juga menyukai