Anda di halaman 1dari 8

JKPTB

Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 10(2) 2022 154

Pertumbuhan dan Efisiensi Penggunaan Energi pada Budidaya Selada


dalam Plant factory dengan Beberapa Perlakuan Fotoperiode

Slamet Widodo1, Fuad Heru Setiawan2, Mohamad Solahudin1, Lilis Sucahyo1


1
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
2
Alumni Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor

email: slamet_ae39@apps.ipb.ac.id

RIWAYAT ARTIKEL
Disubmit 30 Mei 2022 ABSTRAK
Diterima 5 Juli 2022 Cahaya merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
Diterbitkan 26 Agustus 2022 tanaman. Elemen penting dari pencahayaan meliputi kualitas (spektrum cahaya)
dan kuantitas (intensitas dan lama penyinaran/fotoperiode). Penelitian ini
bertujuan untuk mengamati pertumbuhan dan efisiensi penggunaan energi pada
KATA KUNCI selada yang dibudidayakan secara hidroponik dalam plant factory dengan
Efisiensi penggunaan energi; beberapa perlakuan fotoperiode. Selada dibudidayakan secara hidroponik dengan
fotoperiode; plant factory; sistem Deep Flow Technique (DFT) dengan beberapa perlakuan fotoperiode
selada; siklus pencahayaan (terang/gelap) yaitu 24/0 jam, 18/6 jam, dan 12/12 jam. Untuk perlakuan 18/6 jam
sendiri diberikan dalam beberapa siklus terang/gelap berbeda yaitu 18/6 jam (1
siklus), 9/3 jam (2 siklus), 6/2 (3 siklus), dan 3/1 jam (6 siklus). Hasil pengamatan
meunjukkan bahwa perlakuan 24/0 jam menghasilkan pertumbuhan dan hasil
panen yang paling baik di antara perlakuan lainnya pada semua parameter
pertumbuhan yang diamati. Dari efisiensi penggunaan energi, perlakuan 18/6 jam
(1 siklus) dan 6/2 jam (3 siklus) memberikan hasil lebih baik dibandingkan
perlakuan 24/0 jam. Hasil yang diperoleh ini bisa menjadi alternatif strategi
penerapan pencahayaan buatan untuk memperoleh kondisi yang optimum baik
dari sisi pertumbuhan dan efisiensi penggunaan energi.

doi https://doi.org/10.21776/ub.jkptb.2022.010.02.08

1. Pendahuluan
Seiring perkembangan di era revolusi industri 4.0, muncul trend positif dalam adopsi teknologi maju di bidang
pertanian. Salah satunya adalah perkembangan teknologi budidaya tanaman di lingkungan terkendali seperti
greenhouse dan plant factory. Pemanfaatan greenhouse untuk budidaya khususnya komoditas hortikultura
semakin berkembang. Bahkan banyak yang sudah mengadopsi konsep smart greenhouse dimana monitoring
dan pengendalian lingkungan di dalamnya dilakukan secara intensif. Selain itu teknologi budidaya dalam plant
factory atau juga dikenal sebagai budidaya dalam ruangan secara vertikal (vertical indoor farming) juga mulai
berkembang. Banyak riset yang dilakukan baik di perguruan tinggi maupun lembaga penelitian. Bahkan sudah
muncul juga perusahaan rintisan (startup) yang bergerak di bidang ini.
Secara konseptual, plant factory sangat potensial dikembangkan khususnya di kawasan perkotaan (urban area)
dimana kebutuhan pangan terus meningkat seiring penambahan jumlah penduduk, sementara luas lahan
pertanian yang tersedia terus menurun. Sebagai contoh di wilayah DKI Jakarta jumlah penduduk meningkat dari
JKPTB
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 10(2) 2022 155

9,607,787 orang pada tahun 2010 menjadi 10,557,810 orang pada tahun 2019. Sementara itu luas sawah terus
menurun dari 2,015 hektar pada 2010 menjadi 622.59 hektar pada tahun 2019 [1], [2]. Terlebih menurut
proyeksi pada tahun 2045, populasi dunia akan mencapai 9.5 miliar orang dan 65-70% populasi akan tinggal di
kawasan perkotaan [3]. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sebagian energi maka produksi pertanian saat
ini perlu ditingkatkan sebesar 70 persen. Sebagai contoh, produksi tahunan serealia perlu ditingkatkan
sebanyak 1 miliar ton dan produksi daging perlu ditingkatkan lebih dari 200 juta ton dari kondisi saat ini [4].
Tantangan terbesar pengembangan plant factory adalah biaya investasi dan operasional yang cukup besar.
Komponen utama yang berkontribusi pada besarnya biaya operasional adalah penggunaan listrik untuk
pencahayaan buatan (artificial lighting) yang bisa mencapai sekitar 30% dari total biaya [5]. Oleh Karena itu
banyak riset yang dilakukan untuk menemukan teknologi atau strategi pemberian pencahayaan buatan yang
efisien dalam penggunaan energi namun mampu mempertahankan pertumbuhan tanaman yang optimal.
Cahaya merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Banyak
proses fisiologi tanaman yang dipengaruhi oleh cahaya. Terkait pencahayaan, ada beberapa parameter yang
perlu diperhatikan yaitu kualitas, intensitas, dan lama penyinaran (fotoperiode). Kualitas cahaya berkaitan
dengan spektrum atau panjang gelombang yang dipancarkan oleh sumber cahaya. Beberapa fotoreseptor
diketahui memiliki efisiensi penyerapan cahaya yang tinggi pada spektrum merah dan biru [6]. Meskipun
demikian, ada juga penelitian yang menyebutkan bahwa penambahan cahaya hijau (500 – 600 nm) pada
tanaman selada hingga 24% pada sistem pencahayaan LED merah dan biru dapat meningkatkan pertumbuhan
dan secara visual tampak sebagai tanaman yang lebih estetis dan sehat jika dibandingkan cahaya merah dan
biru saja [7], [8]. Intesitas berkaitan dengan banyaknya cahaya yang diterima per satuan luas yang biasa
dinyatakan dalam Photosynthetic Photon Flux Density (PPFD). Secara umum intensitas cahaya memiliki korelasi
positif terhadap pertumbuhan tanaman, semakin tinggi intensitas cahaya semakin tinggi pula pertumbuhan
tanaman. Sebagai contoh hal ini dapat dilihat pada penelitian terkait pada tanaman kangkung, dan kailan yang
dibudidayakan secara indoor [9], [10]. Namun sampai nilai tertentu penambahan intensitas tidak lagi
memberikan pengaruh signifikan lagi bagi pertumbuhan sebagaimana dilaporkan oleh penelitian pada tanaman
tomat muda [11]. Sementara itu fotoperiode berkaitan dengan lamanya periode penyinaran yang diterima oleh
tanaman. Contoh pengaruh fotoperiode ini dapat dilihat pada penelitian terkait kombinasi lampu flourescence
(merah biru merah - MBM dan biru merah biru - BMB) dan lama penyinaran (3, 9, 15, dan 21 jam/hari) terhadap
pertumbuhan bibit nanas [12]. Dari hasil penelitian, didapatkan hasil bahwa kombinasi sinar merah biru merah
(MBM) dengan penyinaran 21 jam berpengaruh signifikan dan memberikan pertumbuhan terbaik.
Secara umum, sudah cukup banyak penelitian terkait pengaruh jenis lampu, intensitas cahaya dan lama
penyinaran/fotoperiode. Namun penelitian terkait pemberian cahaya dengan durasi tertentu yang dibagi
menjadi beberapa siklus dengan durasi lebih pendek serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan efisiensi
penggunaan cahaya masih cukup terbatas. Penelitian ini mencoba mengamati pertumbuhan dan efisiensi
penggunaan energi pada selada yang dibudidayakan secara hidroponik dalam plant factory dengan beberapa
perlakuan fotoperiode termasuk di dalamnya perlakuan siklus pencahayaan. Diharapkan melalui penelitian ini
akan diperoleh gambaran skenario pemberian pencahayaan buatan yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan
dan perkembangan selada dan di saat yang sama efisien dari sisi penggunaan energi.

2. Metode
2.1. Alat dan Bahan
Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2019 sampai dengan Maret 2020 di fasilitas mini plant factory, Smart
and Precision Agriculture Research Station (SPARS), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan yang digunakan adalah benih selada varietas grand rapids

doi https://doi.org/10.21776/ub.jkptb.2022.010.02.08
JKPTB
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 10(2) 2022 156

(PT. East West Seed Indonesia), nutrisi AB mix (Super Produk, Bogor), net pot, rockwool, dan air. Peralatan yang
digunakan meliputi instalasi hidroponik sistem Deep Flow Technique (DFT), sistem pencahayaan buatan
(artificial lighting) yang dikendalikan dengan timer digital, penggaris untuk mengukur tinggi tanaman, oven
untuk mengeringkan sampel, timbangan analitik untuk mengukur bobot basah dan kering selada, lux meter
untuk mengukur intensitas cahaya, serta EC meter dan pH meter untuk mengukur EC dan pH larutan nutrisi.

2.2. Rancangan Percobaan


Tanaman Selada dibudidayakan pada rak bertingkat secara hidroponik dengan sistem DFT. Nilai EC larutan
nutrisi diberikan secara bertahap yaitu fase awal (1000µs/cm), fase pertengahan (1500 µs/cm), dan fase akhir
(2000 µs/cm). Pencahayaan buatan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan Tubular Lamp white LED
model T5 (Philips) dengan daya 16 watt dan color temperature 6500K. Lima buah lampu dipasang pada setiap
unit perlakuan yang berupa area budidaya berukuran 120 cm x 75 cm. Dari pengukuran menggunakan lux meter
diperoleh rata-rata intensitas cahaya pada setiap tingkat pada kisaran nilai 4700 lux dengan beberapa perlakuan
lama penyinaran (terang/gelap) yaitu 24/0 jam, 18/6 jam, dan 12/12 jam. Untuk perlakuan 18/6 jam sendiri
diberikan dalam beberapa siklus terang/gelap berbeda yaitu 18/6 jam (1 siklus), 9/3 jam (2 siklus), 6/2 (3 siklus),
dan 3/1 jam (6 siklus). Sehingga secara total ada 6 set percobaan yang dilakukan (Gambar 1). Untuk tiap
perlakuan terdapat 24 tanaman yang diamati. Untuk menghindari intervensi antar perlakuan, diberikan sekat
berupa infraboard di tiap level rak dan penutup berupa kain hitam pada sisi samping rak.

Gambar 1. Ilustrasi percobaan budidaya selada dengan beberapa perlakuan fotoperiode

2.3. Pengamatan dan Analisis Data


Parameter pertumbuhan yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, kandungan klorofil, bobot basah dan
bobot kering. Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal tanaman sampai dengan ujung daun tertinggi dari
tanaman tersebut. Pengukuran dilakukan menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm. Jumlah daun
dihitung secara manual dengan mengamati daun sejati (bukan kotiledon) yang sudah terbuka dengan
sempurna. Kandungan klorofil diukur menggunakan SPAD chlorophyll meter (Konica Minolta, Jepang). Bagian
daun yang diamati berasal dari daun yang sudah membuka sempurna pada daun ketiga yang dihitung dari pucuk
daun. Daun ketiga dipilih dikarenakan merupakan bagian daun yang terkena cahaya secara utuh dan tidak
terhalang oleh daun lainnya.
Pengambilan data tinggi tanaman, jumlah daun, dan kandungan klorofil dilakukan setiap lima hari sekali dimulai
dari hari ke-0 sampai dengan hari ke-35 sejak pindah tanam. Di akhir penelitian pada 35 hari setelah tanam

doi https://doi.org/10.21776/ub.jkptb.2022.010.02.08
JKPTB
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 10(2) 2022 157

(HST) dilakukan pengukuran bobot tanaman baik dalam kondisi basah dan kering. Bobot yang diukur adalah
bobot total, bobot tajuk dan bobot akar. Sampel kering tanaman diperoleh dengan cara mengeringkan sampel
basah menggunakan oven listrik pada suhu 100 oC selama 8 jam. Sebelum dimasukan ke dalam oven, selada
terlebih dahulu dikering-anginkan di dalam screen house untuk mengurangi kadar air. Pengukuran bobot kering
dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik digital. Selain itu dihitung juga efisiensi penggunaan energi
untuk pencahayaan buatan dengan menghitung bobot tanaman yang dihasilkan per satuan energi listrik yang
digunakan selama periode budidaya (gr/kWh). Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan One-
Way Analysis of Variance (ANOVA) untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap tanaman selada. Apabila hasil
analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata, dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf 5%.

3. Hasil dan Pembahasan


Pada penelitian ini digunakan white LED model T5 yang mudah ditemukan di pasaran dengan harga yang relatif
terjangkau jika dibandingkan dengan lampu growlight yang memang didesain khusus untuk plant factory.
Secara umum pencahayaan yang diberikan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman
dengan cukup baik. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2, terlihat bahwa tanaman selada yang dibudidayakan
dapat tumbuh dengan baik. Dari tampilan fisik seperti tinggi tanaman, jumlah dan lebar daun serta bobot per
tanaman pertumbuhannya setara dengan tanaman sejenis yang dibudidayakan secara hidroponik baik di ruang
terbuka maupun dalam greenhouse.

(a) (b) (c)


Gambar 2. Perkembangan tanaman pada beberapa umur tanam; (a) 0 HST; (b) 15 HST; dan (c) 35 HST

Perkembangan tanaman juga bisa diamati dari Gambar 3 yang menampilkan data time-series tinggi tanaman,
jumlah daun dan kandungan klorofil selama periode budidaya dari 0 – 35 HST. Secara umum terlihat bahwa
tanaman tumbuh secara normal (data tinggi tanaman dan jumlah daun). Namun ada data yang terlihat tidak
normal pada kandungan klorofil yang meningkat di periode 0 – 15 HST selanjutnya secara perlahan menurun
pada periode selanjutnya (15 - 35 HST). Hal ini terjadi karena di fase awal tanaman belum terlalu tinggi, jumlah
daun belum terlalu banyak dan ukuran yang belum terlalu lebar sehingga cahaya dapat diterima oleh tanaman
dengan baik. Hal ini memungkinkan proses pembentukan klorofil berjalan dengan baik. Seiring dengan umur
tanaman yang bertambah, tanaman semakin tinggi, daun semakin banyak dan lebar sehingga terjadi
overlapping atau tumpang tindih antar daun (Gambar 2c.) sehingga ada bagian tanaman yang kurang
mendapatkan cahaya. Hal ini menyebabkan pembentukan klorofil tidak berjalan secara optimum.

doi https://doi.org/10.21776/ub.jkptb.2022.010.02.08
JKPTB
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 10(2) 2022 158

35
30

Tinggi Tanaman (cm)


25
20
15
10
5
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Hari ke-
(a)

24

20
Jumlah Daun (helai)

16

12

0
0 5 10 15 20 25 30 35
Hari ke-

(b)

25
Kandungan Klorofil (SPAD)

20

15

10

0
0 5 10 15 20 25 30 35
Pengamatan hari ke-
24/0 Jam 18/6 Jam 12/12 Jam
9/3 Jam 6/2 Jam 3/1 Jam

(c)

Gambar 3. Perkembangan tanaman selama budidaya; (a) tinggi tanaman; b) jumlah daun; (c) kandungan klorofil

doi https://doi.org/10.21776/ub.jkptb.2022.010.02.08
JKPTB
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 10(2) 2022 159

Tabel 1 menampilkan rekap data pengamatan pada akhir periode budidaya pada umur 35 HST. Untuk
kandungan klorofil ditampilkan dua data yaitu nilai maksimum (umur 15 HST) dan nilai saat dipanen (umur 35
HST). Secara umum terlihat bahwa lama penyinaran total (kumulatif) berpengaruh nyata pada seluruh
parameter yang diamati khususnya pada parameter jumlah daun, bobot basah, bobot kering dan kandungan
klorofil (umur 15 HST). Perlakuan 24/0 jam memberikan hasil tertinggi pada semua parameter pertumbuhan
yang diamati, diikuti perlakuan 18/6 jam dan 12/12 jam. Sementara perlakuan siklus pencahayaan dengan lama
penyinaran total yang sama yaitu 18/6 jam (1 siklus), 9/3 jam (2 siklus), 6/2 jam (3 siklus), dan 3/1 jam (6 siklus)
tidak memberikan pengaruh nyata pada hampir semua parameter yang diamati kecuali kandungan klorofil
maksimum (15 HST). Hasil ini sesuai dengan konsep tentang kebutuhan cahaya pada tanaman terkait intensitas
yang biasanya direpresentasikan dengan Photosynthetic Photon Flux Density (PPFD) dan total pencahayaan
harian (Daily Light Integral – DLI). Semakin tinggi PPFD dan DLI yang diberikan semakin tinggi pula pertumbuhan
tanaman.
Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran PPFD yang menjadi dasar penentuan ketercukupan
pencahayaan yang diberikan. Namun dari tampilan fisik dan bobot basah per tanaman terihat bahwa
pencahayaan yang diberikan cukup mendukung pertumbuhan selada. Hampir semua perlakuan mampu
menghasilkan tanaman dengan bobot yang sesuai dengan permintaan pasar yang biasanya berada di kisaran
80-125 gr per tanaman, kecuali pada perlakuan 12/12 jam yang nilainya kurang dari itu. Hal ini juga
mengindikasikan bahwa nilai PPFD dari sistem pencahayaan yang ada relatif rendah sehingga durasi pemberian
cahaya harus diatur lebih panjang.

Tabel 1. Data pengamatan pada akhir periode budidaya tanaman selada pada umur 35 HST

Parameter Pengamatan*
Kandungan
Kandungan Efisiensi
Perlakuan Tinggi Jumlah Berat Berat Klorofil
Klorofil Penggunaan
Tanaman Daun Basah Kering pada 15
pada 35 HST Cahaya
(cm) (helai) (gr) (gr) HST
(unit SPAD) (gr/kWh)
(unit SPAD)
24/0 Jam 31.64b 20.29b 162.73c 4.3581c 20.71e 12.39a 58.12a
18/6 Jam 29.52a 19.37b 133.05b 3.1068ab 16.08b 12.42a 63.36a
12/12 Jam 29.85a 17.50a 73.92a 2.6093a 13.88a 11.27a 52.80a
9/3 Jam 30.25a 19.91b 115.20b 3.3999b 18.46d 12.41a 54.85a
6/2 Jam 30.17a 19.83b 127.69b 3.2759b 18.19cd 11.41a 60.80a
3/1 Jam 30.5ab 20.04b 115.49b 3.4072b 17.20bc 12.54a 55.00a
*Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan
hasil DMRT pada taraf nyata 5%. Angka dengan cetak tebal menunjukkan nilai tertinggi tiap parameter pengamatan.

Dari data bobot basah yang merupakan kriteria utama dalam budidaya sayuran, nilai tertinggi dihasilkan pada
perlakuan 24/0 jam, diikuti 18/6 jam, dan 6/2 jam (3 siklus). Salah satu alasan yang mungkin menyebabkan hal
ini adalah intensitas cahaya yang diberikan relatif rendah sehingga efek positif terlihat pada pemberian
fotoperiode yang lebih panjang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa pemberian
intensitas cahaya tinggi (290 mol·m−2·s−1 PPFD) dengan fotoperiode lebih pendek 6/2 jam (3 siklus)
menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan selada yang baik, sedangkan pertumbuhan pada intensitas
cahaya yang lebih rendah (230 atau 260 mol·m−2·s−1 PPFD) dengan fotoperiode yang lebih panjang yaitu 18/6
jam dan 9/3 jam (2 siklus) menghasilkan pertumbuhan yang baik serta kapasitas fotosintesis yang lebih tinggi

doi https://doi.org/10.21776/ub.jkptb.2022.010.02.08
JKPTB
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 10(2) 2022 160

[13]. Untuk kedepannya, perlu dilakukan kajian lebih lanjut terkait aspek fisiologi tanaman yang bisa secara detil
menjelaskan hasil ini.
Namun jika dilihat dari efisiensi penggunaan cahaya ada hal yang menarik untuk dicermati. Data yang ada
menunjukkan bahwa perlakuan 18/6 jam memberikan hasil terbaik yaitu 63.36 gr/kWh. Nilai ini lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian fotoperiode yang lebih panjang yaitu 24/0 jam dengan nilai efisiensi 58.12
gr/kWh. Bahkan perlakuan perlakuan 6/2 jam (3 siklus) juga memberikan hasil lebih baik daripada 24/0 jam.
Hasil ini mengindikasikan bahwa untuk memperoleh kondisi yang optimum baik dari sisi pertumbuhan dan
efisiensi penggunaan energi penerapan pencahayaan buatan perlu diatur dengan baik terutama dari sisi
intensitas dan lama penyinaran (termasuk siklus pencahayaan). Terkait pengaturan kualitas cahaya secara
praktis terkadang ketersediaan lampu dengan spektrum yang sesuai masih menjadi kendala. Sebagai contoh
dari penelitian ini diketahui bahwa dengan menggunakan tubular lamp white LED yang banyak ditemukan di
pasaran, dengan kerapatan 5 buah lampu (80 Watt) untuk luasan 120 cm x 75 cm, kondisi optimum ini bisa
diperoleh pada pencahayaan fotoperiode 18/6 jam (1 siklus) atau 6/2 jam (3 siklus).

4. Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perlakuan lama pencahayaan total
(kumulatif) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan selada. Penyinaran selama 24/0 jam menghasilkan
pertumbuhan dan hasil panen yang paling baik diantara perlakuan lainnya pada semua parameter pertumbuhan
yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah, bobot kering dan kandungan klorofil diikuti
perlakuan 18/6 jam dan 12/12 jam. Sementara itu perlakuan siklus pencahayaan dengan lama penyinaran total
yang sama yaitu 18/6 jam (1 siklus), 9/3 jam (2 siklus), 6/2 jam (3 siklus), dan 3/1 jam (6 siklus) tidak memberikan
pengaruh nyata pada hamper semua parameter yang diamati kecuali kandungan klorofil maksimum (15 HST).
Dari efisiensi penggunaan energi untuk pencahayaan, data yang ada menunjukkan bahwa perlakuan 18/6 jam
(1 siklus) dan 6/2 jam (3 siklus) memberikan hasil lebih baik dibandingkan perlakuan 24/0 jam. Hasil ini bisa
menjadi salah satu alternatif strategi penerapan pencahayaan buatan untuk memperoleh kondisi yang
optimum baik dari sisi pertumbuhan dan efisiensi penggunaan energi.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah
mendanai penelitian ini yang merupakan bagian dari Hibah Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi
(PTUPT) sesuai dengan perjanjian penugasan pelaksanaan penelitian nomor 3/E1/KP.PTNBH/2019 dan kontrak
nomor 4350/IT3.I.1/PN/2019.

Daftar Pustaka
[1] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, “Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Distribusi Persentase
Penduduk Kepadatan Penduduk, Rasio Jenis Kelamin Penduduk Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota
2019-2021,” 2021. https://jakarta.bps.go.id/.
[2] Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik DKI Jakarta, “Produktivitas Padi Sawah di Provinsi DKI
Jakarta,” 2020. https://statistik.jakarta.go.id/produktivitas-padi-sawah-di-provinsi-dki-jakarta/ .
[3] J. Augustyn, “Emerging Science and Technology Trends: 2016-2045: A Synthesis of Leading Forecasts,”
VA, 2016. [Online]. Available: https://apps.dtic.mil/sti/citations/AD1076894.
[4] FAO, Global agriculture towards 2050: High-level Expert Forum on how to feed the world in 2050, 12-13
Oct 2009. 2009.
[5] R. Yokohama, “Energy Consumption and Heat Sources in Plant Factories,” in Plant factory Using Artificial
Light, Amsterdam: Elsevier, 2019.
[6] Minnesota Department of Commerce Division of Energy Resources, LED Lighting in Controlled

doi https://doi.org/10.21776/ub.jkptb.2022.010.02.08
JKPTB
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 10(2) 2022 161

Environment Agriculture Energy Evaluation, Measurement and Validation. Naperville: Outsourced


Innovation, LLC, 2015.
[7] H.-H. Kim, G. D. Goins, R. M. Wheeler, and J. C. Sager, “Green-light supplementation for enhanced lettuce
growth under red- and blue-light-emitting diodes.,” HortScience, vol. 39, no. 7, pp. 1617–1622, Dec.
2004.
[8] H. H. Kim, R. M. Wheeler, J. C. Sager, G. D. Gains, and J. H. Naikane, “EVALUATION OF LETTUCE GROWTH
USING SUPPLEMENTAL GREEN LIGHT WITH RED AND BLUE LIGHT-EMITTING DIODES IN A CONTROLLED
ENVIRONMENT - A REVIEW OF RESEARCH AT KENNEDY SPACE CENTER,” Acta Hortic., no. 711, pp. 111–
120, Jun. 2006, doi: 10.17660/ActaHortic.2006.711.11.
[9] S. Aulia, A. Ansar, and G. M. D. Putra, “PENGARUH INTENSITAS CAHAYA LAMPU DAN LAMA PENYINARAN
TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KANGKUNG (Ipomea reptans Poir) PADA SISTEM HIDROPONIK
INDOOR,” J. Ilm. Rekayasa Pertan. dan Biosist., vol. 7, no. 1, pp. 43–51, Mar. 2019, doi:
10.29303/jrpb.v7i1.100.
[10] E. Susilowati, S. Triyono, and C. Sugianti, “PENGARUH JARAK LAMPU NEON TERHADAP PERTUMBUHAN
TANAMAN KAILAN (Brassica oleraceae) DENGAN SISTEM HIDROPONIK SUMBU DI DALAM RUANGAN,” J.
Tek. Pertan. Lampung, vol. 4, no. 4, pp. 293–304, 2015.
[11] X.-X. Fan, Z.-G. Xu, X.-Y. Liu, C.-M. Tang, L.-W. Wang, and X. Han, “Effects of light intensity on the growth
and leaf development of young tomato plants grown under a combination of red and blue light,” Sci.
Hortic. (Amsterdam)., vol. 153, pp. 50–55, Apr. 2013, doi: 10.1016/j.scienta.2013.01.017.
[12] R. Primadani and M. D. Maghfoer, “Pengaruh Sinar Lampu Flourescent dan Lama Penyinaran Terhadap
Pertumbuhan Bibit Nanas (Ananas comosus (L.) Merr.) cv. ‘Smooth Cayyene,’” J. Produksi Tanam., vol.
6, no. 2, pp. 298–307, 2018.
[13] J. H. Kang, S. KrishnaKumar, S. L. S. Atulba, B. R. Jeong, and S. J. Hwang, “Light intensity and photoperiod
influence the growth and development of hydroponically grown leaf lettuce in a closed-type plant
factory system,” Hortic. Environ. Biotechnol., vol. 54, no. 6, pp. 501–509, Dec. 2013, doi:
10.1007/s13580-013-0109-8.

doi https://doi.org/10.21776/ub.jkptb.2022.010.02.08

Anda mungkin juga menyukai