Bab 2 - 1 PDF
Bab 2 - 1 PDF
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sepsis
a. Definisi
Sepsis adalah sindrom respon sistemik terhadap inflamasi
(systemic inflamatory respon syndrome) yang dibuktikan dengan
adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di
tempat tersebut atau dengan suspek infeksi secara klinis (Wheeler,
2004).
Kriteria diagnosis untuk sepsis adalah infeksi (dugaan atau
terdokumentasi) dengan diikuti beberapa kondisi dari variabel umum,
inflamasi, hemodinamik, disfungsi organ, dan perfusi jaringan.
Variabel umum meliputi: demam (> 38.3°C), hipotermia (suhu inti <
36°C), nadi > 90/menit atau lebih dari 2 SD diatas nilai normal sesuai
umur, takipnea, perubahan status mental, edema signifikan/balans
cairan positif (> 20 mL/kg dalam 24 jam, hiperglikemia (glukosa
plasma > 140 mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa diabetes (Dellinger et al.,
2013).
Variabel inflamasi untuk sepsis meliputi: leukositos
(>12,000/μL), leukopenia (<4000/μL), angka leukosit normal dengan
sel imatur lebih dari 10%, C-reactive protein plasma lebih dari 2 SD di
atas nilai normal, prokalsitonin plasma lebih dari 2 SD diatas nilai
normal (Dellinger et al,. 2013).
Variabel hemodinamik meliputi: hipotensi arterial SBP < 90
mmHg, MAP < 70 mmHg, atau SBP menurun > 40 mmHg pada
dewasa atau kurang dari 2 SD dibawah nilai normal sesuai umur
(Dellinger et al., 2013).
Variabel disfungsi organ terdiri dari hipoksemia arterial
(Pao2/Fio2 < 300), oliguria akut (produksi urin < 0.5 mL/kg/jam
selama setidaknya 2 jam walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan
5
6
yang adekuat), kreatinin meningkat > 0.5 mg/dL atau 44.2 μmol/L,
abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau aPTT > 60 detik), ileus (tidak
adanya bunyi peristaltik usus), trombositopenia (platelet< 100,000/μL),
hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total > 4 mg/dL atau 70 μmol/L).
Selanjutnya variabel perfusi jaringan meliputi: hiperlaktatemia (> 1
mmol/L) dan menurunnya capillary refill atau adanya bercak-bercak
(mottling) (Dellinger et al., 2013).
Sepsis berat adalah sepsis-induced hypotension atau adanya
disfungsi organ yang ditandai oleh beberapa hal diantaranya hipotensi,
laktat diatas batas atas nilai normal, produksi urin < 0.5 mL/kg/jam
selama lebih dari 2 jam walaupun sudah mendapat resusitasi cairan
yang adekuat, injury paru akut dengan Pao2/Fio2 < 250 tanpa adanya
pneumonia sebagai sumber infeksi, injury paru akut dengan Pao2/Fio2
< 200 dengan adanya pneumonia sebagai sumber infeksi, kreatinin >
2.0 mg/dL (176.8 μmol/L), bilirubin > 2 mg/dL (34.2 μmol/L), platelet
< 100,000/μL, koagulopati (INR > 1.5) (Dellinger et al., 2013).
b. Etiologi
Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif (60-70%)
yang menghasilkan berbagai produk yang menstimulasi sel imun. Sel
tersebut akan terpacu mengeluarkan mediator inflamasi. Produk yang
berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS
atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan kompleks utama
membran terluar dari bakteri gram negatif (Hermawan dan Arifin,
2008).
Selain disebabkan oleh endotoksin dapat pula disebabkana oleh
eksotoksin, jamur, virus, dan parasit yang berperan sebagai
superantigen. (Hermawan dan Arifin, 2008).
c. Patogenesis
Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara
produk bakteri yang berupa toksin (Hermawan, 2011).
7
sintesis mRNA untuk gen gen spesifik yang akan mengkode sintesis
mediator pro infllamasi (seperti TNF-α, IL-1β, IL-8, iNOS, COX2 ).
Sitokin yang paling menonjol adalah tumor necrosis factor alpha
(TNF-α), interleukin-1 (IL), dan IL-6. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa dalam menanggapi sepsis, sistem kekebalan
tubuh memulai kaskade sitokin yang ditandai dengan produksi
berurutan TNF-α, IL-1, IL-6 (Pinsky, 2004 ).
Endotoksin gram negatif dapat secara langsung dengan LPS
dan bersama sama dengan antibodi dalam serum darah membentuk
LBP, kemudian akan bereaksi dengan makrofag melalui TLR-4
dengan perantaraan CD 14 selanjutnya melalui sinyal transmembran
makrofag akan mengekspresikan berbagai imunomodulator
(Hermawan, 2011).
Eksotoksin gram positif akan bertindak sebagai superantigen
bakteri yang akan menstimulasi limfosit T tanpa melalui makrofag
ataupun monosit sebagai antigen presenting cell (APC) terlebih
dahulu, superantigen akan mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh
dan dapat menstimulasi berbagai jenis mediator pro inflamasi
termasuk IL-2, IFN, coloni stimulating factor (CFS) yang akan
menstimulasi makrofag yang akan mengeluarkan IL-1, IL-6, TNF-α
dan juga beberapa enzim termasuk kolagenase dan elastase yang
dapat merusak jaringan ikat, molekul prokoagulan yang dapat
menyebabkan koagulasi lokal melalui jalur ekstrinsik dan aktifator
plasminogen dan GM-CSM akan mengaktifkan netrofil dan
komponen C3, C3a dan C5a. Netrofil akan beradhesi dengan sel
sasaran yaitu endotel pembuluh darah, disertai gumpalan darah akibat
endapan fibrin maka fungsi pembuluh darah akan terganggu
(Hermawan dan Arifin, 2008).
d. Jalur sinyal transduksi TLR
Meskipun protein TLR dapat mengenali baik gram positif
dan negatif, LPS lebih sering digunakan untuk menstimuli ketika
9
Gambar 2.2. Fisiologi dari reseptor α-2 agonis (Gertler et al., 2001)
17
d. Mekanisme aksi
Mekanisme aksi deksmedetomidin adalah unik dan berbeda dari
agen-agent yang saat ini digunakan sebagai agen obat penenang,
termasuk klonidine. Aktivasi dari reseptor di sumsum otak dan tulang
belakang menghambat perangsangan neuron, menyebabkan hipotensi,
bradikardia, sedasi, dan analgesia. Tanggapan terhadap aktivasi dari
reseptor di tempat lain termasuk penurunan sekresi air liur, dan
penurunan motilitas usus pada saluran pencernaan, kontraksi otot polos
pembuluh darah, penghambatan pelepasan renin, peningkatan filtrasi
glomerulus, dan peningkatan sekresi natrium dan air di ginjal, penurunan
tekanan intraokular, dan penurunan pelepasan insulin dari pankreas
(Gertler et al., 2001).
Gambar 2.3. Mekanisme Aksi dari reseptor α-2 agonis (Gertler et al., 2001)
Secara umum, aktivasi presinaptik α-2 adrenoseptor yang
menghambat pelepasan norepinefrin, akan mengakhiri penyebaran sinyal
rasa sakit. Aktivasi postsinaptik dari adrenoseptor α-2 dalam sistem saraf
pusat (SSP) menghambat aktivitas simpatik dan dengan demikian dapat
menurunkan tekanan darah dan denyut jantung. Gabungan efek ini dapat
menghasilkan analgesia, sedasi, dan anxiolysis. Deksmedetomidine
menggabungkan semua efek ini, sehingga menghindari beberapa efek
samping dari terapi dengan multiagen (Gertler et al., 2001).
20
4. Klonidin
a. Farmakologi
Klonidin merupakan agonis adrenergik α-2 parsial selektif yang
bekerja secara sentral. Klonidin adalah senyawa imidazole dengan susunan
molekul C9H9Cl2N3. Rumus bangun ditunjukkan sesuai gambar 1.2.
Klonidin merupakan prototip agonis adrenoseptor α-2 dengan
perbandingan α-2: α-1 sebesar 200:11. Obat ini dilisensikan sebagai obat
antihipertensi, migren, analgesi, sedasi, dan ansiolitis. Semua khasiat
klonidin ini ditambah kemampuannya untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik selama periode perioperative menjadikan klonidin sebagai
obat yang sangat berguna dibidang anestesi dan perawatan intensif (Miller,
2015).
secara rutin sebagai adjuvan anestesia dan untuk memenuhi kebutuhan sedasi
postoperatif tanpa depresi pernafasan, telah dibatasi karena waktu paruh yang
panjang mencapai 6-10 jam. Deksmedetomidine mempunyai waktu paruh
hanya 2-3 jam dan lebih poten daripada klonidin (Morgan, 2013).
1) Analgesi
Klonidin tanpa bahan pengawet yang diberikan ke dalam rongga
epidural atau subarachnoid (150-450 mcg) menghasilkan analgesia yang dose-
dependent, tidak seperti opioid, tidak menyebabkan depresi pernafasan, gatal-
gatal, mual dan muntah, atau perlambatan pengosongan lambung. Retensi
urin, yang merupakan komplikasi umum dari opioid epidural, jarang
ditemukan ketika diberikan klonidin epidural untuk analgesi post operatif.
Klonidin menghasilkan analgesia diperkirakan melalui mekanisme aktivasi
reseptor α-2 postsinaps di substansia gelatinosa dari korda spinalis. Klonidin
dan morfin, ketika digunakan secara bersamaan sebagai analgesia neuroaxial,
tidak menghasilkan toleransi silang (Milne et al., 2011). Hipotensi, sedasi, dan
mulut kering dapat terjadi pada penggunaan klonidin neuroaksial untuk
menghasilkan analgesia. Penambahan klonidin sebesar 1 mcg/kg terhadap
lidokain yang digunakan untuk anestesi regional intravena total akan
meningkatkan analgesia pasca operasi. (Reuben et al., 1999). Penggunaan
klonidin regional intravena sebesar 1 mcg/kg terbukti efektif dalam
mengurangi nyeri yang difasilitasi oleh sistem saraf simpatis. (Reuben et al.,
1999).
2) Medikasi pre anestesi
Pemberian medikasi klonidin per oral (5 mcg/kg) dapat menumpulkan
refeleks takikardi yang berkaitan dengan laringoskopi direk untuk intubasi
trakea, menurunkan ketidakstabilan tekanan darah dan frekuensi nadi,
menurunkan konsentrasi katekolamin plasma, dan menurunkan secara
dramatis kebutuhan zat anestetik inhalasi (MAC) dan obat yang diberikan
intravena. Dosis klonidin yang sama dapat meningkatkan analgesia pasca
operasi yang dihasilkan oleh morfin dan tetrakain intratekal tanpa
meningkatkan intensitas efek samping dari morfin (Aantaa et al., 1997).
24
Ota et al., 1994). Pada laporan yang lain, klonidin oral sebesar 200 mcg
dapat memperpendek onset dari tetrakain untuk memblokade sensorik dan
memperpanjang waktu blokade sensorik dan motorik (Singh et al., 1994).
Namun, premedikasi klonidin meningkatkan risiko bradikardi dan
hipotensi yang bermakna secara klinis. Mekanisme tentang bagaimana
klonidin oral dapat memperpanjang anestesi spinal belum dapat ditentukan
(Liu et al., 1995). Penambahan 0,5mcg/kg klonidin ke dalam larutan yang
mengandung mepivacain 1% dapat memperpanjang durasi blok pleksus
brakialis yang diberikan lewat aksila (Singelyn et al., 1996).
4) Perlindungan terhadap Iskemia Miokard Perioperatif
Klonidin menurunkan iskemia miokard, infark miokard dan
mortalitas yang terjadi pada bedah kardiovaskular. Penurunan mortalitas
secara keseluruhan berkaitan dengan klonidin yang bersifat superior yang
didapatkan dari hasil observasi terhadap pasien yang mendapat beta bloker
(Nishina et al., 2002; Goldmann, 2003). Klonidin yang diberikan pada
pasien dengan risiko penyakit arteri koroner sebesar 0,2 mg per oral atau
transdermal sore hari sebelum operasi atau pada pagi harinya dan
dilanjutkan sampai 4 hari sesudah operasi dapat menurunkan kejadian
inkemia miokard perioperatif dengan efek hemodinamik yang minimal
Klonidin menurunkan kejadian mortalitas post opertif sampai dengan 2
tahun (Wallace et al., 2004).
c. Efek terhadap sistem imun
Sistem saraf simpatis memiliki peranan penting dalam pengaturan
berbagai aktivitas tubuh untuk mempertahankan fisiologi hemoistasis,
termasuk modulasi respon imun terhadap respon internal maupun eksternal.
Inervasi serabut saraf simpatis ditemukan di organ limfoid primer (timus dan
sumsum tulang) dan sekunder (di limfa dan nodus limfatikus). Pengeluaran
neurotransmiter dari axon terminal seperti dopamin, epinefrin dan
norepinefrin, mengatur respon imun melalui ikatan terhadap reseptor pada
permukaan sel imun, menghasilkan peningkatan maupun penekanan imunitas
tergantung dari karakteristik stimulator dan durasinya (Cheng, 2006).
26
kulit. Berat badan mencit dimonitoring secara rutin setiap hari sampai
akhir eksperimen (Fu et al., 2006)
c. Lipopolisakarida (LPS)
Lipopolisakarida adalak kompleks lipid dan polisakarida, serta
merupakan komponen mayor dinding sel bakteri gram negatif. LPS
merupakan endotoksin dan antigen grup spesifik yang penting (antigen O).
Molekul LPS terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) Lipid A, suatu glikolipid
yang bertangung jawab terhadap aktivitas endotoksik, yang terkait secara
kovalen pada rantai heteropolisakarida yang mempunyai dua bagian; (2)
inti polisakarida yang konstann dalam strain terkait, dan (3) rantai spesifik-
O yang sangat bervariasi. LPS dari E. coli sangat sering menggunakan
mitogen sel B (activator poliklonal) dalam laboratorium imunologi
(Dorland, 2002). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks, dinatakan
sebagai penyebab sepsis terbanyak. Struktur lipid A dalam LPS
bertanggung jawab terhadap reaksi inflamasi jaringan, demam, dan syok.
LPS dapat langsung mengaktifkan system imun seluler dan humoral, yang
dapat menimbulkan septicemia (Hermawan dan Arifin, 2008).
LPS merupakan factor patogenik utama pada sepsis gram negatif,
yang ditandai dengan syok, koagulopati, dan disfungsi multiorgan. Respon
terhadap paparan LPS sistemik menyebabkan meningkatnya produksi
sitokin proinflamasi seperti TNF-α, NFκB, IL-1, IL-8 sebagai media
pertahanan tubuh terhadap benda asing yang memiliki dampak positif dan
negatif. Produksi sitokin proinflamasi dan induksi mediator seluler yang
lebih distal, Platelet Activation Factor (PAF), dan prostaglandin
menyebabkan hipotensi, perfusi organ inadekuat, dan kematian sel yang
berhubungan dengan MODS. Status proinflamasi ini didefinisikan sebagai
SIRS (Brooks et al., 2003).
Produk yang berperan penting terhadap sepsis terutama kandungan
lipid A dalam LPS tersebut. Dalam aliran daral, LPS akan terikat pada
protein yang bersirkulasi kemudian beriteraksi dengan reseptor makrofag,
limfodit, dan monosit serta sel lain pada system retikuloendiotelial. Hal ini
30
Penelitian Sezer terhadap tikus sepsis yang diinduksi dengan LPS juga
memberikan bukti bahwa pemberian deksmedetomidin mampu menurunkan
kerusakan liver karena sepsis, syok, dan penyakit lain yang berhubungan
dengan inflamasi sistemik. Parameter pada penelitian tersebut adalah
kemampuan deksmedetomidin dalam mencegah peningkatan TNF-α pada
pemeriksaan histopatologi hepar (Sezer et al. 2010).
Penelitian pada tikus yang dilakukan Sugita tahun 2003 di bagian
Anestesi, Nippon Medical School juga menyebutkan peran deksmedetomidin
sebagai antiinflamasi yang dapat memperbaiki fungsi renal akibat ischemia
reperfusion injury (Sugita et al. 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Nader et al. di Department Anestesi
dan Patologi Suny Buffalo, New York membuktikan bahwa klonidin
menurunkan kadar TNF-α dalam plasma dan cairan cerebrospinal selama
periode perioperatif sedangkan penelitian di Kanada tahun 2012 yang
dilakukan Kang et al. membuktikan deksmedetomidin juga menurunkan kadar
TNF-α plasma selama peride perioperatif (Nader et al. 2001; Kang et al.
2013).
Penelitian pada tikus sepsis yang dilakukan operasi CLP (Cecal
Ligation and Puncture) yang diberikan deksmedetomidin dengan dosis 5
mcg/kg(dosis rendah), 10 mcg/kg (dosis sedang), 20 mcg/kg (dosis tinggi)
memberikan kesimpulan bahwa pada dosis 10 mcg/kg dan 20 mcg/kg dapat
menghambat ekspresi NF-κB pada jaringan paru sehingga menurunkan
mortalitas dan menurunkan inflamasi pada jaringan paru tikus sepsis tersebut.
NF-κB merupakan faktor transkripsi protein yang berfungsi untuk
meningkatkan transkripsi berbagai gen, termasuk sitokin pro inflamasi TNF-α
(Wu et al. 2013).
32
C. KERANGKA TEORI
Cecal inoculum
LPS
MD2
deksmedetomidin MyD88
IRAKs
makrofag
TRAF 6
IKK
TNF-α ↑↑
sepsis
Keterangan:
: meningkat
: dihambat oleh
: tidak diteliti
: diteliti
33
D. KERANGKA KONSEP
Cecal
inoculum
sepsis
Keterangan :
: menghambat : meningkat sedikit
: mempengaruhi : meningkat sedang
: tidak diteliti : meningkat banyak
: diteliti
E. HIPOTESIS