Anda di halaman 1dari 8

UJIAN AKHIR SEMESTER

Kasus 1
Fortynine percent of workers would prefer not to connect with coworkers on Facebook.Social
networking websites can be fun. Staying in touch with old friends or even family is one of the
pleasures of joining. However, what happens when colleagues or even your boss want to
“friend” you? Experts say that you should proceed with caution.
1. What do you think? Is it okay to provide people you know in a professional sense
a “window into your personal life?”
Jawab :
Menurut kami, sebenarnya tidak boleh untuk memberikan celah bagi orang-
orang yang kita kenal secara professional untuk masuk ke kehidupan pribadi kita,
karena harus ada perbedaan yang jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan
professional seseorang. Serta terkadang sharing tentang kehidupan pribadi dengan
orang-orang yang kita kenal secara professional bisa menimbulkan suatu bahaya atau
ancaman, seperti digunakannya informasi pribadi kita untuk hal-hal yang negatif atau
bahkan bisa dijadikan gossip/bahan pembicaraan dengan sesama rekan kerja di
kantor. Oleh karena itu, seseorang seharusnya sebisa mungkin menghindari untuk
membagikan informasi pribadinya kepada orang yang dikenalnya secara professional.

Namun, jika dilihat dengan kondisi sekarang dimana dengan kuatnya pengaruh
teknologi dan media sosial rasanya tidak mungkin untuk dapat benar-benar menutup
rapat-rapat kehidupan pribadi kita dengan rekan kerja atau bahkan atasan kita
ditempat kerja. Disini ada beberapa tips atau cara yeng telah dirangkum oleh Glints
untuk membedakan kehidupan pribadi dengan kehidupan professional, diantaranya
adalah sebagai berikut :
1) Mengenali Batasan Pribadi Diri Sendiri
Sebelum kita bisa benar-benar membedakan kehidupan pribadi dengan
kehidupan profesional, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenali
batasan pribadi yang kita miliki. Batasan pribadi masing-masing individu
berbeda. Oleh karena itu, kamu harus benar-benar mengetahui batasan yang
dirasa cukup untuk dianggap sebagai sesuatu yang bisa kita bagikan ke
lingkungan kerja dan juga hal-hal yang membuat kita lebih nyaman sebagai
kehidupan pribadi kita
Untuk mengenali batasan ini, kita bisa menganalisis apa hal-hal yang
dapat memengaruhi tingkat stress dan menambah pikiran kita. Contohnya,
apakah kita nyaman untuk dihubungi soal pekerjaan di akhir pekan atau
setelah jam pulang kerja? Apakah kita nyaman jika rekan kerja kita
mengetahui kondisi yang terjadi antara diri kita dan keluarga ataupun
pasangan? Setelah kita mengenali batasan pribadi yang kita miliki, kita bisa
mempersiapkan informasi dan jawaban yang nyaman untuk kita berikan ketika
rekan kerja mulai menyentuh kehidupan pribadi kita.

2) Menegaskan Batasan Pribadi Tersebut


Ketika kita merasa percakapan dengan rekan kerja mulai mengarah ke
hal-hal yang tidak membuat kita nyaman, segeralah dengan jelas
komunikasikan bahwa kita lebih memilih untuk tidak membahas hal tersebut.
Jika kita merasa tidak enak, kita bisa melakukannya dengan cara yang sopan.
Akan lebih baik jika dari awal secara jelas kita menunjukkan apa yang kita
rasa nyaman dan tidak, dibandingkan harus terus-terusan merasa terganggu.

3) Gunakan Media Sosial yang Berbeda untuk Tujuan Yang Berbeda


Gunakanlah media sosial yang berbeda untuk tujuan yang berbeda,
sehingga kamu bisa menentukan siapa saja yang bisa menjadi teman kamu di
media sosial. Contohnya, kamu bisa gunakan LinkedIn untuk media sosial
yang dapat memperluas network kamu secara profesional. Di instagram,
mungkin kamu bisa berteman dengan rekan-rekan kerja yang memang kamu
nyaman untun bagikan momen sehari-hari. Dan sedangkan di twitter, kamu
memang membatasi untuk mengekspresikan diri kamu dengan orang-orang
terdekat saja.
Kini, instagrampun sudah dilengkapi dengan fitur yang bisa membuat
kita dengan lebih mudah membatasi siapa saja yang kita izinkan untuk melihat
setiap updatean kita. Dengan fitur close friends, kita bisa menentukan
lingkaran pertemanan yang lebih sempit di media sosial. Kita juga bisa
mengatur orang-orang tertentu untuk tidak melihat status kamu di instagram
story. Dengan begini, kita masih bisa untuk aktif di media sosial dengan
menjaga kehidupan pribadi sekaligus hubungan dengan rekan kerja.
4) Memahami Bahwa Kita Tidak Bisa Benar-Benar Memisahkan Dua
Kehidupan
Pada akhirnya, kehidupan pribadi dan kehidupan profesional kita
sangat bersentuhan. Oleh karena itu, untuk benar-benar sepenuhnya
memisahkan kedua kehidupan tersebut adalah hal yang mustahil. Terlalu
memikirkan dan berusaha terlalu keras untuk memisahkan keduanya justru
bisa berujung kepada stress yang tidak perlu.
Dibandingkan untuk terus berusaha sepenuhnya memisahkan
kehidupan pribadi dan kehidupan profesional, lebih baik untuk menemukan
keseimbangan yang membuat diri kita nyaman. Salah satu caranya dengan
tetap mempertahankan profesionalitas di kehidupan kerja sambil menentukan
batasan pribadi yang realistis. Ketika kita mehamami ini dan mulai
menemukan keseimbangan, maka kita akan mulai mengatur tanggung jawab di
dua kehidupan tersebut.

2. What ethical issues might arise in such a situation


Jawab :
Setiap individu tidak dapat kita percayai baik di tempat kerja maupun di
tempa-tempat lainnya. Banyak masalah etika yang muncul dalam berbagai situasi,
salah satunya disituasi seperti ini. Terhubung dengan rekan kerja di facebook artinya
secara langsung kita berbagi informasi pribadi dengan rekan kerja dan bahkan Atasan.
Masalah yang mungkin terjadi yaitu adanya gossip di tempat kerja tentang informasi
pribadi setiap individu dan orang-orang juga berpotensi untuk menggunakan
informasi pribadi seseorang untuk merusak nama baik, menjatuhkan tingkat/jabatan
seseorang serta senjata untuk mengancam setiap individu, dimana hal tersebut sudah
melanggar etika profesional seseorang.

Berikut dirangkum beberapa cara yang dapat dilakukan perusahaan untuk


mendorong perilaku etis dan membuat program etika yang komperhensif agar dalam
situasi apapun setiap individu perusaan tidak menimbulkan masalah etika yang dapat
menyebabkan menurunnya kualitas perusahaan:

1) Seleksi Karyawan
Proses seleksi (Wawancara, tes, pemeriksaan latar belakang, dan
sebagainya)harus dilihat sebagai kesempatan untuk belajar tentang tingkat
perkembangan moralseseorang, nolai-nilai pribadi, kekuatan ego, dan focus of
control.

2) Kode Etik dan Aturan Pembuatan Keputusan


Ketidakpastian tentang apa yang disebut etis dan tidak dapat menjadi
masalah bagi karyawan. Sebuah kode etik, yakni pernyataan resmi dari nilai-
nilai organisasidan aturan etika yang mengharapkan kepatuhan karyawan
untuk mangikuti, adalah pilihan yang populer untuk mengurangi ambiguitas
itu.

3) Kepemimpinan / Leadership
Melakukan bisnis dengan etika memerlukan komitmen dari manajer
puncak.Kanapa? Karena mereka adalah orang-orang yang menjunjung tinggi
nilai-nilai bersama dan budaya suatu organisasi.

4) Tujuan Kerja dan Penilaian Kinerja


Jika penilaian kinerja hanya fokus pada tujuan ekonomi, pada akhirnya
akan mulai menghalalkan segala cara. Untukmendorong perilaku etis, hasil
dan prosesnya harus dievaluasi. Sebagai contoh,seorang manajer yang
melakukan tinjauan tahunan karyawan mungkin mengevaluasitahap demi
tahap bagaimana keputusan mereka diukur terhadap kode etik perusahaanserta
bagaimana tujuan tersebut dicapai

5) Pelatihan Etika
Semakin banyak organisasi yang menyiapkan seminar, lokakarya, dan
program pelatihan etika yang serupa untuk mendorong perilaku etis. Beberapa
penelitian telahmenunjukan bahwa nilai-nilai dapat dipelajari sejak usia
kanak-kanak. Selain itu,mereka mengutip bukti yang menunjukan bahwa
pengajaran pemecahan masalah etikadapat membuat perbedaan nyata dalam
perilaku etis, bahwa pelatihan telahmeningkatkan tingkat pengembangan
moral individu, dan, jika tidak ada yang lain, pelatihan etika meningkatkan
kesadaran tentang masalah etika dalam bisnis

6) Audit Sosial Independen


Rasa takut tertangkap bisa menjadi pencegah yang penting untuk
perilaku yangtidak etis. Audit sosial yang independen, yang mengevaluasi
keputusan dan praktekmanajemen dalam hal kode etik organisasi,
meningkatkan hal itu. Audit tersebut dapat berupa evaluasi secara teratur atau
mereka dapat terjadi secara acak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu

7) Mekanisme Perlindungan
Karyawan yang mengahadapi dilema akan membutuhkan mekanisme
perlindungan sehingga mereka dapat melakukan apa yang benar tanpa takut
akanteguran. Sebuah organisasi mungkin menunjuk konselor etis bagi
karyawan yangmenghadapi dilema etika. Para penasehat ini mungkin juga
menganjurkan alternatif tindakan etis yang “benar”.

Kasus 2

The Challenge of “Healthy” Fast-Food


Non-GMO, organic, locally sourced . . . these terms are now a common part of our
food vocabulary, although not typically associated with the fast-food industry. Chipotle
entered the fast-food scene in the early 1990s with a seemingly impossible goal of creating a
healthy fast-food alternative.89 Chipotle’s promise of “food with integrity” includes fresh,
locally sourced ingredients and naturally raised meats. They effectively met this promise for
many years, but as the popular fast-food chain has grown to more than 1,500 locations, the
restaurant’s ability to promise such quality while meeting food safety standards has become a
challenge. Attempting to deliver on this promise on a national scale has created a complex
and risky supply chain challenge for the company. Chipotle’s food contamination problems
started with an E. coli outbreak in July of 2015 in Seattle. Next was a norovirus outbreak in
California, followed by salmonella in Minnesota. Other foodborne illnesses emerged among
Chipotle customers in nine more states. Over the course of a few months, more than 500
customers were sick from contaminated food in Chipotle stores across the country. Sales
dropped 30 percent during the outbreak, and several stores closed for an extended period of
time. The company’s stock value dropped, and the company faced several lawsuits from
customers who were sickened at one of the stores.
Most national fast-food restaurant chains control food quality by using a central
source for ingredients, exposing the supply chain to fewer outside elements. Simply put, the
more basic the food chain, the easier it is to control. To keep their fresh food promise,
Chipotle sought to prepare as many foods as possible at the local stores. They also sourced
ingredients locally wherever possible, creating relationships with hundreds of vendors. The
complexity of their food sourcing, coupled with in-store food preparation, is most likely what
caused the food contamination problem. There were no known specific negligent acts on the
part of Chipotle; the problems occurred because offering fresh food on such a large scale
creates a situation where quality control is difficult.
In most cases Chipotle did not know which foods were contaminated, making the fix
even more challenging. In response to the crisis, they have implemented new controls to test
for meat contamination and also changed some food-handling and preparation procedures.
They’ve shifted much of their food preparation to centralized kitchens and started sourcing
ingredients from fewer vendors, much like their fast-food competitors have done for years.
To kick off their new standards, Chipotle closed all of their stores for an afternoon to train
employees consistently on the new food-handling standards. While it seems the company is
moving in the right direction, critics suggest that a company that claims to focus so much on
food quality should have done a better job focusing on food safety.

DISCUSSION QUESTIONS
1. Why is it important for Chipotle to revise the company’s food-handling
standards?
Jawab :
Chipotle perlu merevisi cara pengendalian makanannya karena sebelumnya
cara pengendalian makanan Chipotle sangat rumit dan kompleks. Akibatnya,
makanan yang mereka hasilkan terkontaminasi dan merugikan pelanggan mereka.
Ketika pelanggan mulai kecewa dan merasa dirugikan, mereka akan meninggalkan
restoran dan tidak akan kembali lagi. Image dan brand Chipotle akan memburuk, nilai
saham akan turun, dan profit akan mengecil bahkan hingga kerugian. Itulah alasan
mengapa penting bagi pihak Chipotle untuk merevisi dan memperbaiki kesalahan dari
sistem penanganan makanan mereka mulai dari cara pengendalian sumber bahan, cara
persiapan pengolahan, cara produksi, dan cara promosinya.

2. Which controls would be more important to Chipotle: feedforward, concurrent,


or feedback? Explain.
Jawab :
Menurut kami, pengendalian/kontrol yang sebaiknya diterapkan adalah
feedfoward yang mana Chipotle dapat mengendalikan masalah sebelum kejadian.
Kontrol feedforward ini berlangsung sebelum aktivitas kerja dilakukan (Robbins &
Coulter, 2018). Misalnya, langkah pengecekan sekaligus pengujian daging ditempat
secara langsung untuk mengetahui kualitasnya sebelum diolah dan disajikan ke
konsumen, mengubah prosedur persiapan dan penanganan serta didukung dengan
quality control atau inspeksi area dapur untuk memeriksa masalah sebelum terjadi.
Sehingga dengan contoh langkah ini nantinya Chipotle berpeluang untuk bisa
menghentikan produk makanannya yang buruk/tidak layak ini sebelum sampai ke
tangan konsumen yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan penyakit atau
masalah kesehatan lainnya.

3. How can Chipotle make sure that employees are following the new foodhandling
standards?
Jawab :
Chipotle dapat memastikan karyawan mengikuti standar penanganan makanan
yang baru dengan terlebih dahulu memastikan bahwa setiap karyawannya telah dilatih
dengan benar. Kemudian, Chipotle dapat menerapkan Concurrent Control, yaitu
pengawasan yang dilakukan saat aktivitas kerja sedang berlangsung.

Perusahaan dapat menugaskan supervisor untuk terus melakukan pengawasan


kinerja karyawan dalam mengikuti standar penanganan makanan yang baru secara
langsung. Jika mereka menemukan sesuatu yang tidak berjalan dengan baik, mereka
dapat segera memperbaikinya saat kegiatan itu sedang berlangsung.

4. What are some measures of organizational performance that Chipotle


management should use?
Jawab :
Terdapat 2 ukuran kinerja organisasi yang harus digunakan oleh manajemen Chiptole
yaitu :
1. Efektivitas Organisasi
Efektivitas organisasi mengukur tentang seberapa tepat tujuan
organisasi dan seberapa baik tujuan-tujuan itu dipenuhi. Hal ini membantu
manjer untuk membuat keputusan pedoman manajerial dalam merancang
strategi dan kegiatan kerja dan dalam mengkoordinasikan pekerjaan karyawan.

2. Peringkat Industry dan Perusahaan


Peringkat industry dan perusahaan diartikan sebagai pengukur kinerja
organisasi mereka. Peringkat ditentukan oleh ukuran kinerja khusus, yang
berbeda untuk setiap daftar. Nantinya para manajer membuat inidikator
seberapa baik kinerja perusahaan mereka dibanding perusahaan lain. Hal
tersebut juga akan memberikan indikasi seberapa banyak karyawan mereka
menikmati bekerja untuk perusahaan mereka. Semakin bahagia karyawan,
semakin baik suasananya. Itu semakin baik suasana semakin baik kinerja
karyawan. Semakin baik karyawan berkinerja, semakin banyak pelanggan
akan datang ke toko mereka, dan semakin baik bisnis mereka.
Beberapa tindakan harus menetapkan standar untuk setiap karyawan di
Chipotle untuk memastikan bahwa mereka mencapai standar ini. Terapkan
perubahan kapan pun diperlukan dan ukur hasilnya seperti standar penanganan
makanan yang baru dan bagaimana hal itu memberikan hasil yang positif.
Pastikan segala sesuatu yang diukur terkait kembali dengan tujuan organisasi
yang menyeluruh. Sesuaikan tindakan sesuai kebutuhan maka Chiptole
semakin hari semakin maju.

REFERENSI:

Management 14E by Stephen P. Robbins, Mary A. Coulter, 2018.

Anda mungkin juga menyukai