Anda di halaman 1dari 2

“Serangkai Bunga untuk Ibu”

Abstraksi:

Gerai bunga milik Pak Dimas tengah ramai dikunjungi oleh pembeli. Ia pun sibuk
memindahkan ratusan karangan bunga ke atas mobil pikap miliknya.

Orientasi:

Di tengah kesibukannya, seorang bocah laki-laki menghampirinya dan berkata,


"Maaf, Pak, kalau harga karangan bunga yang kecil itu berapa?"

Pak Dimas menghiraukannya untuk beberapa saat, kemudian menjawab, "Lima


puluh ribu, dik", jawabnya.

"Maaf, Pak, apakah ada yang tiga puluh ribu saja?" balas bocah itu.

Kali ini, pak Dimas menatap wajah bocah itu dan tersadar. Tampaknya bocah itu
masih duduk di bangku SD. Pak Dimas kemudian melanjutkan percakapan,

"Untuk siapa bunganya, Dik? Bunganya boleh diambil dengan tiga puluh ribu saja,"
jawabnya sambil tersenyum.

"Terima kasih, Pak, untuk Ibu saya".

"Adik ke sini jalan kaki? Pulangnya ke mana?"

"Ke arah Cimahi, Pak", jawab bocah itu.

"Saya juga kebetulan menuju ke arah sana, kalau mau sekalian bapak antar saja".

Awalnya, bocah itu tampak ragu, namun akhirnya menerima tawaran Pak Dimas.

Pak Dimas lantas berangkat bersama dengan bocah yang membeli satu karangan
bunga tersebut.

"Adik nanti bilang aja berhentinya di mana ya".

"Iya, Pak, sebentar lagi juga sampai". jawab si bocah.

Komplikasi:

Tak lama, dari kejauhan, Pak Dimas melihat kerumunan di dekat gapura
pemakaman umum.
"Inalillahi, sepertinya ada yang sedang dimakamkan, Dik", ucap Pak Mulham
sambil memelankan laju kendaraannya.

Bocah itu tidak menggubrisnya dan malah meminta pak Dimas untuk
menghentikan mobilnya.

"Saya turun di depan, Pak".

Pak Dimas kemudian menepikan mobilnya tepat di depan gapura pemakaman umum
yang telah ia lihat dari kejauhan. Bocah laki-laki itu lalu turun dan mengucapkan
terima kasih kepada Pak Dimas dengan senyum yang menutupi air matanya.

Pak Dimas terdiam sejenak sambil melihat bocah itu memasuki gerbang
pemakaman.

Resolusi:

Ia lantas memutarbalikkan mobilnya dan menancap gas sekencang-kencangnya. Ia


sudah tidak mempedulikan pesanan bunga yang harus diantarkannya. Pikirannya
hanya tertuju pada rumah orang tuanya yang berjarak cukup jauh dari kota itu.

Koda:

Sudah dua tahun lebih Pak Dimas belum sempat pulang untuk menjenguk ibunya.
Melihat peristiwa tadi, ia sadar betapa beruntungnya bahwa ibunya masih diberi
kesehatan, sehingga masih mampu menginjakkan kakinya di dunia ini. Padahal,
bocah laki-laki tadi masih kecil dan kemungkinan besar ibunya pun meninggal di
usia yang jauh lebih belia dibandingkan dengan orang tua Pak Dimas. Terkadang,
apa yang kita miliki baru terasa ketika cerminan pahitnya berdiri di depan kita.

Anda mungkin juga menyukai