"
"Nah, bisa juga, kan? Kayaknya sih pasti karena banyak kerjaan, Mas.
Makanya jangan pikir macem-macem dulu."
Mas Bagas memang sangat menyukai Adam. Dalam artian sebagai rekan dan
juga adik. Adam adalah pria yang baik, dia bekerja keras dan selalu serius
dalam menghadapi masalah.
Mas Bagas bilang, Adam sekarang adalah cerminan Mas Bagas dulu di masa
muda. Ciri-ciri orang yang bersiap maju dan juga sukses. Dulu, saat Mas
Bagas mengatakan itu padaku, maka aku hanya menanggapinya sambil lalu
saja. Tetapi kini, setelah mengenalnya, aku mulai yakin, bahwa Adam akan
menjadi salah seorang pengacara sukses dan diperhitungkan beberapa tahun
ke depan.
"Jangan nolak yang udah depan mata, Dek. Jalani dulu, yakinkan perasaan,
terus tanya hati, bisa nggak lihat masa depan yang tanpa dia."
Aku bahkan tak tertawa pada ungkapan absurd itu. Ragaku mungkin di sini.
Tapi jiwa melanglang buana mencari ketenangan.
Aku juga ingin menetap, tetapi ada saja halangan yang membuatku enggan
beranjak.
"Mas nggak pengen maksa kamu. Karena Mas sadar, Mas bukan Papa yang
akan nuntut cucu. Mas cuma kakak kamu, Dek. Yang udah siap menjadi wali
nikahmu."
"Kata Papa dulu gini, Dek." Aku menatapnya dengan mata panas berkabut air
mata. "Gas, kalau nanti Lintang udah gede, terus bawa calon ke rumah. Kamu
nggak perlu repot-repot sok garang di depan calonnya. Cukup pandangi aja
dia lima menit, kalau dia memang baik, hatimu pasti tahu itu."
Aku sudah meneteskan air mata. Kerinduan pada sosok orang tua
menyadarkanku bahwa aku adalah seorang yatim piatu sekarang ini.
"Terus Mas ketemu Adam. Ngelihat cara dia natap kamu, Mas tahu apa yang
dibisikan hati, Mas."
Aku bangkit dari tempat tidur dan langsung berlari menyongsong dekapan
kakakku. Menangis di dadanya, aku terisak antara merindukan Mama dan
Papa, juga kebingungan akan hubunganku dengan Adam.
"Adam bisa jadi imam kamu, Dek." Kecupan Mas Bagas terasa di rambutku.
"Dia mungkin bukan laki-laki yang sempurna. Dan nggak ada jaminan kamu
nggak akan nangis suatu saat nanti. Tapi Mas percaya, kalau dia akan
menempatkanmu sebagai prioritas utamanya setelah Tuhan."
Aku pun memercayainya, Mas. Aku pun percaya. Tetapi Dennis tidak, Mas.
Aku ingin bahagia. Tetapi aku menyayangi Dennis, lebih dari apa pun.
"Ya udah, diangkat ya, Sayang. Mas keluar dulu." Setelah mengecup
keningku, Mas Bagas langsung keluar dari kamarku.
***
8. Egois Namanya
Aku hanya mengenakan kaus lengan panjang dan jins biru tua saat
mengiyakan ajakan Adam untuk bertemu sebentar dengannya. Katanya
hanya ingin mengajakku makan sate di di depan komplek saja. Aku tahu
malam ini tak hanya sekadar makan sate, Adam pasti memiliki sesuatu yang
ingin dia sampaikan.
Baru saja aku menuruni tangga, Dennis sudah menungguku di depan pintu
dengan kedua lengan terlipat di dada. Memberi kesan angkuh di wajahnya
yang pucat, aku mengernyitkan kening mencoba mengurai maksudnya.
"Ngapain di depan pintu gitu, Den? Udah malam, masuk angin nanti," ucapku
berjalan ke arahnya.
"Oh, jadi aku yang masuk, sementara kamu yang mau keluar, gitu ya?"
Senyum miringnya tergambar dan aku masih tak mengetahui makna raut itu
sebenarnya. "Kamu juga masuk!" sentaknya tiba-tiba.
"Kamu yang kenapa, Lin?" nadanya masih sama tinggi. "Masuk kamu!"
Aku menggeleng tak mengerti, mencoba meraih salah satu lengannya, Dennis
sudah bereaksi mendorongku ke dalam lagi. "Apa-apaan sih, Den?" protesku
atas sikapnya.
"Masuk kamu! Ngapain cowok itu datang lagi, hah?! Mau pergi kamu sama
dia, iya?!"
"Nggak ada denger-denger!" Ia terlihat kalap dan itu tak bagus untuknya.
"Masuk kamu ke dalem. Nggak perlu ketemu-ketemu dia lagi." Ia mulai
menunjukkan tanda-tanda kemarahan yang tak akan padam sekalipun aku
berjanji atas nama Tuhan.