OLEH
Nama : Vena Herlina Harmin
Nim : P07120219084
2B/S.Tr KEPERAWATAN
B. Penyebab/Faktor Risiko
Priyoto (2015) mengemukakan beberapa faktor risiko yang memiliki peluang
sangat besar untuk diabetes melitus, yaitu :
1. Riwayat keluarga
Faktor keluarga atau genetik mempunyai kontribusi yang sangat besar
untuk seseorang terserang penyakit diabetes melitus. Jika kita berasal dari
keluarga menderita penyakit diabetes melitus misalnya salah satu dari
orang tua kita menderita diabetes melitus maka anaknya kemungkinan
untuk menderita lebih besar dibandingkan dari jika dengan kita normal.
2. Obesitas (Indeks Massa Tubuh ≥ 25 kg/m2)
Kegemukan bisa menyebabkan tubuh seseorang mengalami resistensi
terhadap hormone insulin. Sel - sel tubuh bersaing ketat dengan jaringan
lemak untuk menyerap insulin. Akibatnya organ pankreas akan dipacu
untuk memproduksi insulin sebanyak - banyaknya sehingga menjadikan
organ ini menjadi kelelahan dan akhirnya rusak.
3. Usia yang Makin Bertambah
Usia diatas 40 tahun banyak organ-organ vital melemah dan tubuh mulai
mengalami kepekaan terhadap insulin. Bahkan pada wanita yang sudah
mengalami menopause punya kecendrungan untuk lebih tidak peka
terhadap insulin.
4. Kurangnya aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik menjadi faktor cukup besar untuk seseorang
mengalami kegemukan dan melemahkan kerja organ - organ vital seperti
jantung, liver, ginjal dan juga pankreas.
5. Merokok
Asam rokok menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan dan sifatnya
sangat kompleks. Termasuk terhadap resiko seseorang mudah terserang
penyakit diabetes melitus.
6. Ras/etnis
Ada beberapa ras manusia di dunia ini yang punya potensi tinggi untuk
terserang diabetes melitus. Peningkatan pasien diabetes di wilayah Asia
jauh lebih tinggi dibanding benua lainnya. Bahkan diperkirakan lebih dari
60% berasal dari Asia.
7. Riwayat Diabetes Gestational/melahirkan bayi dengan berat lahir > 4 kg
Pada saat hamil, placenta memproduksi hormon yang mengganggu
keseimbangan hormon insulin dan pada kasus tertentu memicu untuk sel
tubuh menjadi resisten terhadap hormon insulin. Kondisi ini biasanya
kembali normal setelah masa kehamilan atau pascamelahirkan. Namun
demikian menjadi sangat berisiko terhadap bayi yang dilahirkan untuk
kedepan mempunyai potensi diabetes melitus.
8. Stres dalam jangka waktu yang lama
Kondisi setress berat bisa mengganggu keseimbangan berbagai hormon
dalam tubuh termasuk hormon insulin. Disamping itu stres bisa memacu
sel - sel tubuh bersifat liar yang berpotensi untuk seseorang terkena
penyakit kanker juga memicu untuk sel - sel tubuh menjadi tidak peka atau
resisten terhadap hormon insulin.
9. Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg)
Mengonsumsi garam yang berlebih memicu untuk seseorang mengidap
penyakit hipertensi yang pada akhirnya berperan dalam meningkatkan
resiko untuk terserang penyakit diabetes melitus apabila tekanan darah
tidak terkontrol.
C. Manifestasi Klinis
Menurut Hadi Purwanto (2016), manifestasi klinis atau tanda/gejala diabetes
melitus adalah sebagai berikut : 1. Poliuria (peningkatan dalam berkemih)
2. Glukosuria (terdapat glukosa dalam urine)
3. Polidipsia (rasa haus akibat kehilangan cairan yang berlebihan)
4. Polifagia (peningkatan selera makan akibat menurunnya simpanan kalori)
5. Penurunan berat badan
6. Kelemahan, keletihan dan mengantuk
7. Malaise
8. Kesemutan pada ekstremitas
9. Infeksi kulit dan pruritus
10. Timbul gejala ketoasidosis & somnolen bila berat
D. Pathway
Hipovelemia
Perfusi
perifer tidak
Nyeri akut
Nyeri
Akut
E. Klasifikasi
1. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 adalah bila tubuh perlu pasokan insulin dari luar, karena
sel-sel beta dari pulau-pulau Langerhans telah mengalami kerusakan,
sehingga pancreas berhenti memproduksi insulin. Kerusakan sel beta
tersebut dapat terjadi sejak kecil ataupun setelah dewasa. Penderitanya
harus mendapatkan suntikan insulin setiap hari selama hidupnya, sehingga
dikenal dengan istilah Insulin - dependent diabetes militus (IDDM) atau
diabetes mellitus yang bergantung pada insulin untuk mengatur
metabolisme gula dalam darah. Dari kondisinya, inilah jenis diabetes yang
paling parah. Hingga saat ini, diabetes tipe 1 masih termasuk dalam
kategori penyakit yang tidak dapat dicegah, termasuk dengan cara diet
atau
olahraga. Pada fase awal kemunculan penyakit ini, kebanyakan penderita
diabetes tipe 1 ini memiliki kesehatan dan berat badan yang cukup baik,
dan respon tubuh terhadap insulin juga masih normal. Penyebab utama
kehilangan sel beta pancreas pada penderita diabetes tipe 1 adalah
kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pancreas.
Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi dalam tubuh
(Sutanto, dalam Suiraoka, 2012).
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes tipe 2 terjadi jika insulin hasl produksi pancreas tidak cukup atau
sel lemak dan otot tubuh menjadi kebal terhadap insulin, sehingga
terjadilah gangguan pengiriman gula ke sel tubuh. Diabetes Tipe 2 ini
merupakan tipe diabetes yang paling umum dijumpai, juga sering disebut
diabetes yang yang dimulai pada masa dewasa, dikenal sebagai NIDDM
( Non-insulin-dependent diabetes mellitus). Jenis diabetes ini mewakili
sekitar 90 persen dari seluruh kasus diabetes (Sutanto, dalam Suiraoka,
2012). Banyak penderita Diabetes Tipe 2 yang tidak mengalami gejala apa
pun atau hanya berupa gejala ringan, yang kemudian berkembang secara
perlahan. Penemuannya sering pada waktu pemeriksaan kesehatan,
misalnya pada saat medical check up untuk perekrutan atau asuransi
kesehatan. Pada saat itulah ditemukan ketidaknormalan pada kadar gula
darahnya (Sutanto, dalam Suiraoka, 2012). Pada diabetes tipe 2, yang
dianggap sebagai pencetus utama adalah faktor obesitas (gemuk
berlebihan). Penyebabnya bukan makanan yang manis-manis, tetapi lebih
disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula
darah dalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% penderita diabetes tipe
2 adalah mereka yang tergolong gemuk. Faktor penyebab lain adalah pola
makan yang salah, proses penuaan, dan stress yang mengakibatan
terjadinya resistensi insulin. Juga mungkin terjadi karena salah gizi
(malnutrisi) selama kehamilan, selama masa anak-anak, dan pada masa
usia dewasa (Sutanto, dalam Suiraoka, 2012).
3. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
Wanita hamil yang belum pernah mengidap diabetes mellitus, tetapi
memiliki angka gula darah cukup tinggi selama kehamilan dapat dikatakan
telah menderita diabetes gestasional. Diabetes tipe ini merupakan
gangguan toleransi glukosa berbagai derajat yang ditemukan pertamakali
pada saat hamil. Pada umumnya DMG menunjukkan adanya gangguan
toleransi glukosa yang relative ringan sehingga jarang memerlukan
pertolongan dokter. Kebanyakan wanita penderita DMG memiliki
homeostatis glukosa relative nomal selama paruh pertama kehamilan
(sekitar usia 5 bulan) dan juga bisa mengalami defisiensi insulin relative
pada paruh kedua, tetapi kadar gula darah biasanya kembali normal setelah
melahirkan (Suiraoka, 2012).
4. Diabetes Tipe Lain
Penyakit DM tipe lainnya dapat berupa DM yang spesifik yang disebabkan
oleh berbagai kondisi seperti kelainan genetic yang spesifik (kerusakan
genetic sel beta pancreas dan kerja insulin), penyakit pada pancreas,
gangguan endokrin lain, infeksi, obat-obatan dan beberapa bentuk lain
yang jarang terjadi (Karyadi, dalam Suiraoka, 2012).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (PERKENI, 2015), diagnosis DM ditegakkan atas dasar
pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah
vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Kriteria Diagnosis DM :
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam.
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik
(glukosuria, poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan).
4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl.
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl.
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
G. Penatalaksanaan
PERKENI (2015), menyebutkan penatalaksanaan diabetes melitus sebagai
berikut:
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistic.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutrama pada mereka
yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu,
dengan jeda antar latihan tidak lebih dari dua hari berturut-turut. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobatic
dengan intensitas sedang (50-7-% denyut jantung maksimal) seperti jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal
dihitung dengan cara = 220 - usia pasien.
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan :
a. Obat Antihiperglikemi Oral.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin : Metformin dan Tiazolidindion
(TZD).
c. Penghambat Absorpsi Glukosa : Penghambat Glukosidase Alfa.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase –IV).
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2).
H. Komplikasi
Komplikasi akibat diabetes melitus dapat bersifat akut atau kronis.
Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa darah seseorang meningkat atau
menurun tajam dalam waktu yang relatif singkat. Kadar glukosa darah bisa
menurun drastis jika penderita menjalani diet yang terlalu ketat. Perubahan
yang besar dan mendadak dapat merugikan. Komplikasi kronis berupa
kelainan pembuluh darah yang akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung,
ginjal, saraf, dan penyakit berat lain (Novitasari, 2012).
1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia
Hipoglikemi adalah suatu keadaan seseorang dengan kadar glukosa
darah di bawah nilai normal. Ada 4 macam keadaan hipoglikemia,
yaitu :
1) Hipoglikemia murni jika kadar glukosa darah kurang dari 50
mg/dl.
2) Reaksi hipoglikemia akibat menurunnya kadar glukosa darah
secara mendadak.
3) Koma hipoglikemia akibat kadar glukosa darah yang sangat
rendah.
4) Hipoglikemia relative jika gejala hipoglikemia terjadi 3-5 jam
setelah makan.
b. Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetic (KAD) adalah suatu keadaan tubuh yang sangat
kekurangan insulin dan sifatnya mendadak. Glukosa darah yang tinggi
tidak dapat memenuhi kebutuhan energi tubuh. Akibatnya,
metabolisme tubuhpun berubah. Kebutuhan energi tubuh terpenuhi
setelah sel lemak pecah dan membentuk senyawa keton. Keton akan
terbawa dalam urine, akibat akhir adalah darah menjadi asam, jaringan
tubuh rusak, tidak sadarkan diri, dan mengalami koma. Penyebab
komplikasi ini umumnya adalah infeksi. Walaupun demikian,
komplikasi ini bisa juga disebabkan lupa suntik insulin, pola makan
yang terlalu bebas, atau stres. Semua itu menyebabkan terjadinya
defisiensi atau kekurangan insulin akut pada metabolisme lemak,
karbohidrat, maupun protein (Novitasari, 2012).
c. Koma Hiperosmoler Non-Ketotik (KHNK)
Koma Hiperosmoler Non-Ketotik (KHNK) adalah keadaan tubuh
tanpa penimbunan lemak sehingga penderita tidak menunjukkan
pernafasan yang cepat dan dalam (kussmaul). Pemeriksaan di
laboratorium menunjukan bahwa kadar glukosa penderita sangat
tinggi, pH darah normal, kadar natrium (Na) tinggi, dan tidak ada
ketonemia (Novitasari, 2012).
2. Komplikasi kronis
a. Penyakit kardiovaskuler
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang umumnya
menyebabkan kematian dan disabilitas pada orang dengan DM.
Penyakit karidovaskuler yang bisa diderita penderita DM seperti
angina, miokard infark, stroke, dan gagal jantung kongestif
(International Diabetes Federation, 2015).
b. Penyakit pada ginjal
Penyakit pada ginjal (nefropati) lebih sering terjadi pada pasien dengan
DM dibandingkan dengan pasien tanpa DM. Hal ini terjadi
dikarenakan kerusakan pembuluh darah kecil di ginjal yang
menyebabkan kerja ginjal kurang efisien atau bahkan gagal ginjal
(International Diabetes Federation, 2015).
c. Penyakit pada mata
Penderita DM memiliki masalah pada mata (retinopati) yang dapat
merusak penglihatan bahkan memicu kebutaan. Retinopati terjadi
karena pembuluh darah yang bertugas menyuplai nutrisi ke retina
diblok dan rusak akibat tingginya glukosa dalam darah, tekanan darah,
serta kolesterol (International Diabetes Federation, 2015).
d. Kerusakan saraf
Ketika glukosa darah dan tekanan darah terlalu tinggi dapat memicu
kerusakan saraf (neuropati). Salah satu area yang paling terpengaruh
akibat neuropati adalah area ekstremitas terutama kaki. Kerusakan
saraf pada area ini dikenal dengan peripheral neuropati yang bica
memicu terjadinya nyeri, perasaan seperti tertusuk, bahkan hilangnya
sensasi di kaki (International Diabetes Federation, 2015).
e. Kaki diabetic
Kaki diabetik terjadi diawali dengan kerusakan saraf dan pembuluh
darah. Penderita DM berisiko 24 kali lebih besar terjadi amputasi
dibanding dengan orang tanpa DM. Hal ini dapat dicegah dengan
melakukan pemeriksaan kaki secara teratur (International Diabetes
Federation, 2015).
1 Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan intervensi Perawatan Sirkulasi Perawatan Sirkulasi
efektif berhubungan keperawatan selama
Observasi Observasi
dengan hiperglikemia.
….x…., diharapkan perfusi 1. Periksa sirkulasi perifer. 1. Untuk mengetahui sirkulasi
perifer meningkat dengan 2. Identifikasi faktor risiko perifer pasien.
kriteria hasil : gangguan sirkulasi. 2. Untuk mengetahui faktor
1. Denyut nadi perifer 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri, risiko gangguan sirkulasi
meningkat. atau bengkak pada ekstremitas. pasien.
2. Penyembuhan luka Terapeutik 3. Untuk mengetahui ada
meningkat. 1. Hindari pemasangan infus atau tidaknya panas, kemerahan,
3. Sensasi meningkat. pengambilan darah di area nyeri, atau bengkak pada
4. Warna kulit pucat keterbatasan perfusi. ekstremitas pasien.
menurun. 2. Hindari pengukuran tekanan Terapeutik
5. Edema perifer menurun. darah pada ekstremitas dengan 1. Untuk mencegah terjadinya
6. Nyeri ekstremitas keterbatasan perfusi. komplikasi.
7. Parastesia menurun.
8. Kelemahan otot menurun. pemasangan tourniquet pada area terjadinya komplikasi.
9. Kram otot menurun. yang cedera. 3. Untuk mencegah terjadinya
10. Bruit femoralis 4. Lakukan pencegahan infeksi. komplikasi.
2 Risiko defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nutrisi Manajemen Nutrisi
dibuktikan dengan keperawatan selama Observasi Observasi
ketidakmampuan ….x…., diharapkan status 1. Identifikasi status nutrisi 1. Untuk mengetahui status
mengabsorbsi nutrien. nutrisi membaik dengan
2. Identifikasi alergi dan nutrisi pasien.
kriteria hasil :
intoleransi makanan. 2. Untuk mengetahui alergi
1. Porsi makanan yang 3. Identifikasi makanan yang dan intoleransi pasien
dihabiskan meningkat. disukai terhadap makanan.
2. Kekuatan otot pengunyah 3. Untuk mengetahui
meningkat. 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan makanan kesukaan pasien
3. Kekuatan otot menelan jenis nutrien. sehingga bisa
meningkat. 5. Identifikasi perlunya penggunaan meningkatkan nafsu makan.
14. Tebal lipatan kulit trisep 6. Berikan suplemen makanan, jika 8. Untuk mengetahui kondisi
membaik. perlu. kesehatan pasien sehingga
15. Membran mukosa 7. Hentikan pemberian makan bisa menentukan diet dan
membaik. melalui selang nasogatrik jika nutrisi yang dibutuhkan.
asupan oral dapat ditoleransi. Terapeutik
Edukasi 1. Untuk menjaga kebersihan
1. Anjurkan posisi duduk, jika dan rasa nyaman pasien.
mampu. 2. Untuk memberikan pasien
2. Ajarkan diet yang keleluasaan dalam
diprogramkan. menentukan pedoman
Kolaborasi dietnya.
4 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
dengan agen pencedera keperawatan selama Observasi Observasi
fisiologis (iskemia). ….x…., diharapkan tingkat 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Untuk mengetahui lokaksi,
nyeri menurun dengan kriteria durasi, frekuensi, kualitas, karakteristik, durasi,
hasil : intensitas nyeri. frekuensi, kualitas,
1. Kemampuan menuntaskan 2. Identifikasi skala nyeri. intensitas nyeri.
aktivitas meningkat. 3. Identifikasi respons nyeri non 2. Untuk mengetahui skala
2. Keluhan nyeri menurun. verbal. nyeri/tingkatan nyeri
3. Meringis menurun. 4. Identifikasi faktor yang pasien.
4. Sikap protektif memperberat dan memperingan 3. Untuk mengetahui respon
menurun. nyeri. nonverbal pasien terhadap
Purwanto, Hadi. 2016. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: Pusdik SDM
Kesehatan
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB
Perkeni
Wijaya, A.S & Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
PPNI