Anda di halaman 1dari 7

1.

RITUAL ADAT KELAHIRAN (LODONG ME)


Seorang bayi yang baru lahir harus menjalani sebuah ritul adat agar kelak bisa tumbuh
sehat dan diharapkan bisa menjadi pribadi yang baik dan berhasil dalam karyanya. Biasanya
setelah 4 hari lahir, maka akan diadakan ritual adat Lodong Me. Sebelum itu sang anak akan
selalu berada di dalam kamar orang tuanya setelah sang ibu melahirkan di Rumah Sakit atau
Puskesmas.
Ritual adat Lodong Me dilaksanakan untuk meminta restu dan mengucap syukur
kepada penguasa langit dan bumi serta para leluhur di mana proses persalinan telah
berlangsung lancar dan bayi bisa lahir dengan selamat. Karena orang tuanya mengalami
kesulitan saat melahirkan maka keluarga berjanji atau bernazar akan memberikan sesajian
atau diistilahkan tukar nyawa dengan menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada
leluhur dan penguasa langit dan bumi. Darah dan daging yang sudah dimasak diletakkan di
dalam tempurung kelapa (korak) bersama nasi. Setelah menbaca doa, sesajian tersebut
diletakkan di depan atau sudut rumah.
Sebelum penyembelihan hewan, akan dilantunkan doa untuk memanggil para leluhur
dan penguasa langit dan bumi untuk hadir makan sirih pinang dan menghisap rokok atau
tembakau. Sirih pinang dan rokok dari tembakau asli yang dilinting dari daun gebang atau
koli disajikan di sebuah wadah. Juga dituangkan arak atau moke di dalam tempurung kelapa.
Setelah itu, baru babi disembelih di depan rumah dan darahnya diambil untuk dioleskan
sedikit di kaki atau tangan sang bayi dan ibunya.
Daging yang sudah dimasak harus dikonsumsi sampai habis dan bila tidak habis maka
bisa disisakan untuk esok harinya dan biasa dinamakan tulang atau daging sisa. Keesokan
paginya baru dilaksanakan Lodong Me. Sebelum matahari terbit, bayi tersebut digendong
oleh tantanya untuk dibawa ke luar kamar dan berdiri persis di depan pintu rumah. Sambil
digendong, tantanya akan berbicara memohon agar sang bayi bisa menjadi orang yang
berbakti kepada orang tua mejadi orang yang sukses di kemudian harinya. Selain itu sang
tanta juga akan memberikan wejangan atau petuah apa yang harus dilakukan dan tidak boleh
dilakukan bila besar nanti termasuk keinginan agar anak tersebut bisa melakukan berbagai
keinginan orang tuanya.

1
2. PERTUNANGAN DAN PERNIKAHAN
Tahapan Persiapan Pernikahan Sikka-Krowe
Tahap pertama disebut panu aho yang berarti merintis jalan. Di sana, keluarga pihak
laki-laki yang disebut tanta/tente atau na’a/a’a dalam bahasa Sikka berhak mencari informasi
lebih jauh tentang si perempuan. Nantinya, tanta akan datang ke rumah orang tua si calon
mempelai dan menyampaikan maksud kedatangannya.
Jika pano ahu ini berhasil, maka proses pertunangan dapat dilanjutkan. Pada tahapan
ini seorang perempuan yang akan dilamar dan menjadi calon mempelai paling tidak harus
melewati upacara dong werung, yakni upacara perkenalan kepada kedua pihak terutama
pihak laki-laki jika perempuan tersebut telah dewasa dan telah siap menjadi seorang istri.
Tahap berikutnya adalah tung urut linong, yaitu upacara pemberian sisir, cermin,
buah-buahan, serta kain kepada pihak perempuan. Pemberian ini menjadi tanda kalau
perempuan ini sudah dipinang oleh seorang laki-laki. Selanjutnya ketika pemberian pihak
laki-laki diterima, maka pihak perempuan juga akan memberi lipa, yaitu sarung laki-laki hasil
tenunan sendiri dan lensu nujing, yaitu sapu tangan jahitan sendiri dengan sulaman khusus di
bagian pinggirnya.

Pembatalan Pertunangan
Di awal pertunangan ini, ikatan pun belum dianggap kuat secara adat, karena bisa saja
di tengah-tengah pertunangan, ada salah satu pihak yang membatalkannya. Jika pembatalan
dilakukan oleh pihak laki-laki, maka dia harus memberikan sejumlah bayaran berupa uang
dan kuda kepada pihak perempuan.
Sebaliknya jika pembatalan dilakukan oleh pihak perempuan, maka sebagai sanksi
adat, pihak laki-laki akan diberikan baju dan lipa oleh pihak perempuan. Pemberian semacam
ini disebut hok waeng atau pemberian penghapus rasa malu.

Pemberian Belis
Setelah tahapan-tahapan tersebut berhasil dilewati, maka tibalah untuk pemberian
belis atau mas kawin ini. Belis atau mas kawin merupakan proses penting dalam pernikahan
adat Sikka-Krowe terutama dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan.
Pada dasarnya, belis menjadi sebuah simbol untuk menjaga kehormatan seorang wanita
sebelum menikah. Nah, seperti sebelumnya proses persiapan pembelisan atau pemberian belis
juga terdiri dari beberapa tahapan.

2
Salah satu tahapannya adalah plage wae ara matang, yaitu duduk bersila dan saling
berhadapan. Di mana, kedua pihak akan duduk bersama untuk membicarakan besarnya belis
pernikahan, termasuk menentukan jenis serta jumlah belis yang diminta atau disebut taser.
Besarnya belis bisa ditentukan oleh beberapa faktor, seperti jenjang pendidikan,
kedudukannya dalam keluarga, latar belakang keluarga, dan lain-lain.
Namun, belis yang diajukan oleh pihak perempuan, bisa ditawar oleh perwakilan
pihak laki-laki yang disebut sebagai delegasi adat hingga mendapatkan kesepakatan.
Tanda kesepakatan pun nantinya diakhiri dengan pemotongan babi yang ditikam atau ditusuk.

Peresmian Pernikahan
Setelah penentuan waktu serta tanggal pernikahan telah disepakati pada waktu taser,
maka kedua pihak akan melakukan persiapan-persiapan menjelang pernikahan.
Peresmian pernikahan atau yang disebut lerong kawit diadakan di rumah keluarga
perempuan. Nantinya ketika pada peresmian pernikahan, kedua pengantin didandani dengan
pakaian adat. Selanjutnya, kedua pengantin berdiri di depan pemimpin upacara atau ata pu’an
yang akan mengambil sedikit nasi, hati babi dan satu luli moke dan memberikannya kepada
pengantin sambil memberikan wejangan dalam bahasa Sikka.
Selesai prosesi itu, maka secara adat, keduanya telah resmi menjadi sepasang suami-
istri. Hubungan pernikahan yang menyatu ini terlukis dalam ungkapan adat “Ea daa ribang
nopok, tinu daa koli tokar”. Pertalian kekerabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung
terus-menerus dengan saling memberi dan menerima sampai turun-temurun.

3
3. RITUAL ADAT KEMATIAN
Loe Unur, Ritual Adat Mengantar Arwah ke Tempat Keabadian di Natarmage, Sikka

Ratusan warga masyarakat Desa Natarmage memenuhi salah satu rumah warga dari
Suku Uran, untuk melaksanakan ritual Loe Unur. Di salah satu lahan kosong yang berada
persis di belakang pemukiman, digelar ritual adat Loe Unur.

Di tengahnya, sebuah tanah lapang diletakkan sebuah kayu bulat pendek menyerupai
lesung padi. Pada awal ritual, yang dipotong adalah hewan babi yang mana jumlahnya ada 20
ekor. 20 ekor hewan babi ini dihitung dari jumlah arwah anggota suku yang akan diritualkan
yakni berjumlah 10 orang dikali 2.

4
Dalam penyembelihan hewan babi, dilakukan oleh keluarga inti dimana wajib babi
yang disembelih harus terlepas antara kepala dan tubuh dalam sekali tebas. Jika babi telah
ditebas. Warga akan menyoraki si pemotong semacam memberi selamat. Kemudian kepala
babi akan dibawa oleh tua adat ke tempat berkumpul para tetua adat dan oleh tua adat,
darahnya akan dipercikkan pada bungkusan kain yag berisi kuku dan rambut dari para
anggota keluarga suku yang meninggal yang akan diritualkan.
Selain menyoraki anggota suku yang menyembelih babi dengan sekali tebas, biasanya
mereka juga saling meninju pada punggung sebagai rasa saling menyemangati.
Usai penyembelihan babi, dilanjutkan dengan kambing. Kambing yang disembelih biasanya
kambing yang dibawa oleh keluarga dan kenalan yang bukan merupakan keluarga inti.

Makna Ritual Adat Loe Unur


Ritual adat Loe Unur tidak bisa ditentukan kapan waktu pelaksanaannya, karena
ditentukan berdasarkan persiapan-persiapan materi dari anggota suku yang akan
melaksanakan. Jika telah siap, maka akan digelar musyawarah adat untuk menentukan waktu
pelaksanaannya. Ritual adat Loe Unur merupakan ritual puncak. Ritual ini diselenggarakan
berawal dari adanya kematian di keluarga anggota suku.
Setelah seseorang meninggal dunia, sebelum dikuburkan maka kuku kaki dan tangan
kanan serta rambut diambil sedikit. Potongan kuku dan rambut ini disimpan di sebuah wadah
lalu diletakkan di dalam rumah. Ketika anggota keluarga merasa sudah mempunyai ternak
dan hasil kebun atau panen yang bagus maka disampaikan kepada kepala suku. Setelah
ditetapkan tanggal dan waktu ritual Loe Unur, maka di persiapkan segala sesuatunya.
Saat ritual Loe Unur, semua kuku dan rambut dari keluarga orang yang meninggal
akan disatukan dan dimasukkan ke dalam wadah (sobe) berbentuk kerucut dari anyaman daun
gebang atau lontar. Kepala suku yang akan menyimpan sobe ini. Dalam kepercayaan warga,

5
arwah dari anggota keluarga yang telah meninggal dipercaya masih berada di sekitar keluarga
yang masih hidup atau masih mengembara. Untuk mengantar arwah menuju tempat
peristirahatan yang abadi, maka keluarga yang masih hidup wajib melaksanakan ritual adat
Loe Unur.
Dalam ritual ini pula, tampak tua adat mengamati limpa dari kambing yang
dikurbankan. Limpa dari kambing ini dari kepala suku akan dilihat garisnya, darahnya, panas
atau dingin atau tanda-tandanya seperti apa. Mereka percaya dengan melihat tanda-tanda
yang tergambar pada limpa kambing kurban, maka dapat memprediksi nasib, peruntungan
dan usaha kebun yang akan dikerjakan ke depan.

Jika telah selesai upacara adat dan dilakukan pemotongan hewan kurban oleh anggota
suku, maka daging kurban yang telah dipotong-potong tersebut, akan diambil sedikit untuk
dipersembahkan atau piong dan selanjutnya akan dibagi-bagi kepada yang hadir. Daging
yang dibagikan itu, biasanya ditaruh dalam daun pohon mune.

6
Selain pembagian daging kurban, ritual adat ini juga diakhiri dengan makan bersama
di tenda panjang yang telah dipersiapkan oleh tuan rumah yang melaksanakan ritual. Tradisi
leluhur berupa ritual adat Loe Unur perlu untuk diwariskan kepada anak cucu ke depan,
mengingat, ritual ini adalah ritual penting dalam siklus kehidupan yang dipercaya oleh
segenap anggota suku. Tujuan inti dari proses pembuatan adat ada dua karena kita menderita,
kerja kebun tidak berhasil dan tidak sehat, maka secara adat kami harus buat adat. Dengan
pelaksanaan adat, mereka percaya segala bidang kehidupan yang akan jalani dapat berhasil.

Anda mungkin juga menyukai