Anda di halaman 1dari 32

KERAJAAN KUTAI

Keywords: Hindu, Hindu pertama, Hindu Syiwa Kalimantan Timur, Mahakam, Muarakaman, Yupa, Kudungga,
Aswawarman, Mulawarman, Wangsakerta, Dharmasetia, bertani dan berdangang, brahmana, asmaweda, menhir,
batu berundak, huruf pallawa, sansekerta.

Kerajaan Kutai merupakan kerajaan Hindu pertama di Indonesia yang berdiri sekitar abad ke-4 Masehi.
Wilayahnya cukup luas yaitu hampir seluruh Kalimantan Timur, bahkan pada zaman keemasannya Kerajaan Kutai
hampir menguasai sebagian wilayah pulau Kalimantan.

Peninggalan Kerajaan Kutai yang penting dan tersohor adalah tujuh buah Prasasti Yupa yang bertuliskan dengan
huruf pallawa dalam bahasa sansekerta. Prasasti ini banyak memberikan cerita tentang sejarah dari keluarga
Kerajaan Kutai. Yupa sendiri merupakan tugu bantu dengan tinggi sekitar 1 meter yang tertanam di atas tanah, mirip
seperti tiang yang berukuran besar

Pada bagian bawah permukaan, terukir tulisan Prasasti Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dipercaya
bahwa maksud orang terdahulu menulis kalimat tersebut adalah untuk memperkenalkan kerajaannya. Selain itu,
Yupa sendiri memiliki fungsi sebagai prasasti, tiang pengikat hewan, serta lambang kebesaran raja.Prasasti Yupa
ditulis dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi dari Prasasti Yupa tersebut diantaranya:

 Kerajaan Kutai diperintah oleh Maharaja Kudungga yang memiliki anak bernama Aswawarman,
sedangkan Aswawarman memiliki 3 anak salah satunya Mulawarman.

 Kudungga merupakan nama asli Indonesia, sedangkan Aswawarman adalah nama India. Sehingga
Aswawarman lah yang membuat wangsakarta (dinasti).

 Agama yang dianut di Kutai yaitu agama Hindu aliran Syiwa yang diduga berasal dari India Selatan

 Secara keseluruhan Prasasti Yupa menceritakan proses upacara persembahan yang dilakukan oleh Raja
Mulawarman.

Adapun isi dari tujuh Yupa yang telah diterjemahkan oleh para ahli adalah sebagai berikut:

 Berisi tentang silsilah raja yang pernah memerintah dan memiliki kekuasaan di Kutai.
 Letak strategis Kerajaan Kutai yang berada pada hilir Sungai Mahakam, yaitu Muara Kaman.
 Tersebarnya agama hindu pada pemerintahan Raja Aswawarman.
 Aswawarman dikatakan sebagai pendiri kerajaan dengan gelarnya “Wangsekerta”.
 Wilayah kerajaan tertulis meliputi keseluruhan wilayah Kalimantan Timur.
 Menceritakan kondisi kehidupan di Kutai yang aman dan sejahtera.
 Menceritakan kebaikan serta kekuasaan Raja Mulawarman yang telah memberikan sumbangan berupa
20.000 ekor sapi kepada para brahmana.

Raja-raja Kerajaan Kutai

1. Raja Kudungga : Siapa Raja Kudungga? Raja Kudungga adalah raja pertama Kerajaan Kutai. Pada awalnya
Raja Kudungga adalah seorang kepala suku tetapi dengan masuknya pengaruh Hindu akhirnya ia
mengubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan sekaligus mengangkat dirinya sebagai raja.

2. Raja Aswawarman : Raja Aswawarman merupakan putra dari Raja Kudungga. Dalam tulisan Prasasti
Yupa diceritakan bahwa Raja Aswawarman adalah seorang raja yang cakap dan kuat. Pada masa
pemerintahannya wilayah kekuasaan Kutai diperluas buktinya dengan adanya upacara asmaweda.
Upacara ini bertujuan untuk mengetahui luas wilayah kekuasaan melalui pelepasan kuda, semakin
jauh telapak kuda ditemukan, maka semakin luas pula wilayah kekuasaannya. Raja Aswawarman juga
dianggap sebagai pendiri keluarga raja atau wangsakarta.

3. Raja Mulawarman Kerajaan Kutai berada di masa kejayaan pada masa pemerintahan Raja
Mulawarman. Hal ini terlihat dari upacara-upacara persembahan yang pernah dilakukan. Kebaikan Raja
Mulawarman terlihat dari pemberian hadiah kepada para brahmana berupa sapi dengan jumlah
banyak.

4. Raja Marawijaya Warman

5. Raja Gajayana Warman

6. Raja Tungga Warman

7. Raja Jayanaga Warman

8. Raja Nalasinga Warman

9. Raja Nala Parana Tungga

10. Raja Gadingga Warman Dewa

11. Raja Indra Warman Dewa

12. Raja Sangga Warman Dewa

13. Raja Candrawarman

14. Raja Sri Langka Dewa

15. Raja Guna Parana Dewa

16. Raja Wijaya Warman

17. Raja Sri Aji Dewa

18. Raja Mulia Putera

19. Raja Nala Pandita

20. Raja Indra Paruta Dewa

21. Raja Dharma Setia

Keadaan Masyarakat Kerajaan Kutai

1. Bidang Sosial dan Budaya

Berdasarkan Prasasti Yupa kehidupan sosial masyarakat Kutai telah berkembang menjadi masyarakat yang memiliki
kebudayaan hasil perpaduan budaya lokal dan budaya dari India.

Hal ini dapat terlihat dari masyarakat yang menguasai bahasa Sansekerta dan dapat menulis menggunakan huruf
Pallawa. Golongan masyarakat ini adalah golongan brahmana.

Raja Mulawarman mempunyai hubungan baik dengan golongan brahmana. Hubungan baik ini dapat menunjukan
bahwa kedudukan brahmana sangat dihormati oleh kalangan kerajaan.

Raja Mulawarman sendiri menganut agama Hindu Syiwa, namun tidak semua yang berada di Kutai beragama Hindu
ada juga yang beragama Buddha.

2. Bidang Ekonomi

Dalam bidang ekonomi Kerajaan Kutai diperkirakan sudah maju dan sejahtera. Hal ini dibuktikan dengan
persembahan kerajaan berupa 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.

Selain beternak, mata pencaharian masyarakat Kutai adalah bertani dan berdagang mengingat letak Kutai berada di
tepi sungai Mahakam. Sungai Mahakam ini diperkirakan digunakan sebagai jalur lalu lintas perdagangan lokal.

Namun diperkirakan juga terjadi hubungan perdagangan internasional yang menggunakan jalur lintasan India, Selat
Malaka, Laut Jawa, Selat Makasar lalu ke Cina atau Filipina.
Runtuhnya Kerajaan Kutai

Diperkirakan penyebab runtuhnya Kerajaan Kutai adalah meninggalnya raja Maharaja Dharma Setia yang merupakan
raja ke-21 Kerajaan Kutai dalam peperangan melawan raja Aji Pangeran Sinum Panji dari Kerajaan Kutai Kertanegara.
Selanjutnya Kerajaan Kutai Kertanegara ini menjadi Kerajaan Islam.

Masa Kejayaan Kerajaan Kutai

Kejayaan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman ditulis dalam Prasasti Yupa. Dalam prasasti tersebut dikatakan
bahwa Mulawarman telah melakukan upacara pengorbanan emas yang jumlahnya sangat banyak. Emas tersebut
dibagikan kepada para rakyatnya, selain itu juga dijadikan sebagai persembahan kepada para dewa.

Selanjutnya masa kejayaan pemerintahan Mulawarman bukan hanya ditandai dari bukti tertulis dalam Prasasti Yupa
saja. Banyak aspek yang mendorong kerajaan tersebut mencapai masa keemasaanya. Adapun jika dilihat dari
beberapa aspek lainnya adalah sebagai berikut:

1. Aspek Sosial

Kehidupan sosial pada kerajaan ini ditandai dengan adanya golongan terdidik yang banyak. Golongan terdidik ini
menguasai bahasa sansekerta serta huruf pallawa. Adapun golongan tersebut adalah golongan brahmana dan
ksatria. Golongan ksatria terdiri dari kerabat Raja Mulawarman pada masa itu.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya upacara pemberkatan seseorang yang memeluk agama hindu. Dimana para
brahmana memakai bahasa sansekerta yang sering digunakan pada prosesi adat tertentu, namun sulit untuk
dipelajari. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pada masa itu, para brahmana memilik intelektual yang tinggi.

2. Aspek Politik

Pada masa pemerintahan Raja Mulawarman, stabilitas politik begitu terjaga. Sistem politik menjadi kekuatan yang
besar pengaruhnya dalam memimpin suatu kerajaan. Hal tersebut juga disebutkan di Prasasti Yupa bahwa Raja
Mulawarman dikatakan menjadi raja yang berkuasa, kuat serta bijaksana.

Secara jelas isi Prasasti Yupa tersebut adalah “Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia mempunyai putra yang
manshur, bernama Sang Aswawarman, ia seperti Sang Ansuman (Dewa Matahari) dengan menumbuhkan keluarga
yang sangat mulia. Sang Aswawarman memiliki putra tiga, seperti api yang suci berjumlah tiga. Yang terkemuka
dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang baik, kuat, dan bijaksana. Sang Mulawarman telah
melakukan kenduri dengan emas yang amat banyak. Karena kenduri itulah tugu batu ini didirikan oleh para
Brahmana.” Dari sinilah kita dapat mengetahui kekuatan politik dari Raja Mulawarman. Begitu kuatnya, hingga
rakyat dan para golongan brahmana pun mendirikan tugu sebagai bukti bahwa dirinya sangat berkuasa pada masa
itu.

3. Aspek Ekonomi

Letak kerajaan yang berada dekat dengan Sungai Mahakam, membuat rakyatnya begitu mudah untuk bercocok
tanam. Hal tersebut menjadi mata pencaharian utama, sedangkan lainnya lebih banyak beternak sapi dan
berdagang. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan tertulis yang mengatakan bahwa Raja Mulawarman
pernah memberikan 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.

Selain itu, Kerajaan Kutai juga menerapkan sistem penarikan hadiah yang harus diberikan kepada raja bagi pedagang
luar yang ingin berdagang di daerah Kutai. Pemberian hadiah biasanya berupa barang yang mahal atau upeti yang
dianggap sebagai pajak. Oleh sebab itu, Kutai mendapatkan banyak pemasukan dari berbagai sumber.

4. Aspek Agama

Kehidupan masyarakat Kutai begitu kental dengan dengan keyakinannya pada leluhur. Terbukti dengan adanya
Prasasti Yupa yang berbentuk seperti tugu batu. Jika dilihat asal usulnya, tugu batu sendiri merupakan peninggalan
nenek moyang pada Zaman Megalitikum.

Kemudian terdapat menhir dan batu berundak, selain itu dalam prasati yupa menyebutkan tempat pemujaan yang
suci bernama Waprakeswara (tempat pemujaan dewa siwa). Oleh sebab itu, diyakini bahwa bahwa Raja sebagai
penganut agama hindu siwa bercampur dengan golongan brahmana. Sedangkan rakyatnya dibebaskan untuk
menganut agama hindu dalam aliran lainnya.

Masa kejayaan tersebut tak berlangsung lama, setelah Raja Mulawarman wafat, Kutai banyak mengalami pergantian
pemimpin. Hingga akhirnya kerajaan ini runtuh, pada masa kepemimpinan Raja Dharma Setia. Telah dikabarkan
bahwa Raja Dharma Setia tewas dibunuh oleh penguasa Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu Pangeran Anum Panji
Mandapa pada abad ke-13 M.

Perlu diketahui bahwa kerajaan Kutai Kartanegara berbeda dengan Kerajaan Kutai yang dipimpin oleh Mulawarman.
Kerajaan Kutai Kartanegara terletak di Tanjung Kute. Kemudian kerajaan inilah yang disebut dalam Kitab
Negarakertagama pada tahun 1365.

Selanjutnya dalam perkembangannya Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi kerajaan islam yang disebut dengan
Kesultanan Kutai Kartanegara. Inilah awal mula keruntuhan Kutai Mulawarman yang disebut juga dengan Kutai
Martadipura. Selanjutnya kekuasaan diambil alih oleh Kesultanan Kutai Kertanegara.

KERAJAAN TARUMANEGARA
Keywords: Hindu, Jayasingawarman, Pulau Jawa, Dharmayawarman, Citarum, Jawa Barat, Bekasi, jayasingapura,
ciaruteun, kebon kopi, jambu, tugu, Muara cianten, pasir awi, lebak, banten, bogor, dki jakarta, telapak kaki
wishnu, telapak kaki gajah, sungai gomati, Punawarman, candrabaga, Linggawarman, bertani.

Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan tertua di Pulau Jawa yang bercorak kebudayaan Hindu. Kerajaan
Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman yang kemudian digantikan oleh putranya yang
bernama Dharmayawarman, Tarumanegara diperkirakan berdiri kurang lebih pada abad ke-5 Masehi.

Kerajaan Tarumanegara berpusat di tepi sungai Citarum, Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan bukan oleh orang lokal,
namun oleh seorang bangsawan asal Salankayana, India yang bernama Maharesi Jayasingawarman. Akibat
kekacauan dan penjajahan yang dilakukan oleh Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada, Jayasingawarman
melarikan diri dan mendirikan kerajaan baru di Nusantara. Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi dan Prasasti Ciaruteun,
Kerajaan Tarumanegara berdiri sekitar abad ke-4 atau ke-5 M.

Kerajaan yang bercorak Hindu ini dibentuk oleh Jayasingawarman pasca ia diterima oleh Raja Dewawarman VIII dari
Kerajaan Salakanagara. Setelah dinikahkan dengan putri Raja Dewawarman VIII, Jayasingawarman kemudian
membuka wilayah kekuasaan baru hingga ke daerah yang kini dikenal sebagai Bekasi dan diberi nama Kerajaan
Taruma pada tahun 358 M. Sejak saat itu, Jayasingawarman berkuasa selama 24 tahun setelahnya atau tepatnya
hingga tahun 382 M.

Setelah mendirikan Kerajaan Tarumanegara, ibu kota Kerajaan Tarumanegara, Jayasingapura, menggantikan pusat
pemerintahan dari kerajaan ayah mertuanya, Kerajaan Salakanagara. Sejak saat itu, Kerajaan Tarumanegara
berkuasa atas kerajaan-kerajaan setempat, sementara Kerajaan Salakanagara hanya menjadi kerajaan daerah biasa
saja.

7Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

1. Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun ditemukan di dekat muara sungai Cisadane, Bogor. Pada prasasti ini terdapat tulisan
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerja terdiri dari 4 baris. Pada prasasti ini juga terdapat cap sepasang
telapak kaki Raja Purnawarman seperti kaki Dewa Wisnu. Dalam Prasasti ini, dapat kita temukan ukiran laba-laba dan
tapak kaki serta puisi yang ditulis dengan huruf Palawa dan dalam bahasa Sanskerta yang berbunyi “Kedua (jejak)
telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang masyur
Purnawarman penguasa Tarumanagara.”

2. Prasasti Kebon Kopi

Prasasti Kebon Kopi ditemukan di kampung Muara Hilir, Kec. Cibungbulang, Kab, Bogor. Pada prasasti ini terdapat
telapak kaki gajah yang disamakan dengan telapak kaki gajah Airawata (gajah tunggangan Dewa Wisnu)

3. Prasasti Jambu

Prasasti ini ditemukan di perkebunan Jambu, sekitar 30 km sebelah barat Kota Bogor. Prasasti yang biasa disebut
Prasasti Jambu ini berisikan sanjungan kebesaran, kegagahan, dan keberanian Raja Purnawarman yang berbunyi,
“Yang termasyhur serta setia kepada tugasnya adalah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang
memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat tembus oleh panah musuh-musuhnya, kepunyaannyalah
kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan
jamuan keberanian (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.”

4. Prasasti Tugu

Prasasti Tugu ditemukan di Desa Tugu dan merupakan prasasti terpenting dan terpanjang. Isinya
tentang beberapa hal antara lain:

 Nama sungai yang terkenal di Punjab ada dua buah yaitu sungai Chandrabaga dan sungai
Gomati.
 Prasasti Tugu tertulis anasir penanggalan walaupaun tidak lengkap dengan tahunnya. Pada
prasasti tersebut tertulis bulan Phalguna dan Caitra (diduga bulan Februari dan April)
 Dalam Prasasti Tugu juga menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan dengan memberikan hadiah
kepada Brahmana berupa 1000 ekor sapi oleh raja.

5. Prasasti Pasir Lebak (Cidanghiyang)

Prasasti Pasir Lebak ditemukan pada tahun 1947 menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta di Kampung
Lebak berisi pujian atas keberanian Raja Purnawarman.

6. Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi ditemukan di lereng selatan bukit Pasir Awi berisi gambar dahan dengan ranting, buah-buahan dan
sepasang telapak kaki. Prasasti Pasir Awi terletak di daerah hutan perbukitan Cipamingkis Kabupaten Bogor. Adapun
letak ketinggian dari prasasti ini kurang lebih 559 mdpl.

7. Prasasti Muara Cianten

Prasasti Muara Cianten ditemukan di sungai Cisadane tertulis dengan aksara ikal yang belum dapat dibaca. Prasasti
muara cianten merupakan salah satu peninggalan prasasti kerajaan Tarumanegara dan terletak di tepi sungai
Cisadane atau lebih tepatnya di dekat Muara Cianten. Adapun alamat lengkapnya, yaitu Kampung Pasirmuara, Desa
Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbuang, Kabupaten Bogor.

Arca

Arca merupakan seni patung yang memiliki tujuan penggunaan untuk peribadatan terhadap dewa-dewi tertentu.
Sepanjang penggalian sejarah Kerajaan Tarumanegara terdapat arca-arca yang ditemukan, antara lain:

1. Arca Rajarsi

2. Arca Wisnu Cibuaya I

3. Arca Wisnu Cibuaya II

Tarumanegara hanya mengalami masa pemerintahan oleh 12 raja saja. Di bawah ini adalah raja-raja yang pernah
memerintah Kerajaan Tarumanegara:

Jayasingawarman adalah pendiri Kerajaan Tarumanegara pada periode 358 – 382 M. Ia merupakan seorang
maharesi berkebangsaan India dari Dinasti Salankayana yang terletak di India. Ia kemudian memutuskan ke
Nusantara karena daerah kekuasaannya diserang dan ditaklukkan oleh Maharaja Samudragupta dari Kemaharajaan
Gupta. Jayasingawarman kemudian menikah dengan putri Raja Dewawarman VIII, Raja Salakanagara, yang ketika itu
berkuasa di sebagian wilayah Jawa Barat.

Pada masa kekuasaan Jayasingawarman, pusat pemerintahan kerajaan beralih dari Rajatapura ke Tarumanegara.
Rajatapura atau biasa disebut Salakanagara (Kota Perak) merupakan ibu kota dari Kerajaan Salakanagara yang
terletak di kawasan Teluk Lada, Kabupaten Pandeglang, Banten.

 Jayasingawarman (358-382 Masehi) : Jayasingawarman adalah pendiri Kerajaan Tarumannegara dan


seorang maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena wilayahnya ditaklukan oleh
Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Madaga. Jayasingawarman merupakan menantu Raja Dewawarman
VIII. Pada masa pemerintahannya pusat pemerintahannya beralih dari Rajataputra (Salakanegara) ke
Tarumanegara.

 Dharmayawarman (382 - 395 Masehi) : Dharmayawarman adalah raja kedua Kerajaan Tarumanegara dan ia
adalah anak dari Jayasingawarman.

 Purnawarman (395 - 434 Masehi) : Purnawarman adalah raja terbesar Kerajaan Tarumanegara, pada masa
pemerintahannya Tarumanegara dapat menguasai wilayah Jawa Barat. Raja Punawarman membangun
ibukota kerajaan baru yang lebih dekat ke pantai pada tahun 397 Masehi, ibukota baru ini kemudian diberi
nama Sundapura. Tarumanegara di bawah kekuasaan Punawarman memiliki 48 raja daerah meliputi dari
Salakanagara (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai wilayah Purwalingga di Jawa Tengah.

 Wisnuwarman (434 - 455 Masehi

 Indrawarman (455 - 515 Masehi)

 Candrawarman (515 - 535 Masehi)

 Suryawarman (535 - 561 Masehi)

 Kertawarman (561 - 628 Masehi)

 Sudhawarman (628 - 639 Masehi)

 Hariyawangsawarman (639 - 640 Masehi)

 Nagajayawarman (640 - 666 Masehi)

 Linggawarman (666 - 669 Masehi)


Kehidupan Politik Kerajaan Tarumanegara

Raja Purnawarman adalah raja yang besar dan tangguh. Kerajaan Tarumanegara mencapai puncak kejayaan pada
masa pemerintahan Raja Purnawarman. Pada masa pemerintahannya rakyat hidup makmur dalam suasana aman
dan tenteram. Raja Purnawarman berhasil membawa Kerajaan Tarumanegara menjadi besar.

Kehidupan Masyarakat Kerajaan Tarumanegara

Berdasarkan sumber prasasti baik yang ditemukan di Jawa Barat maupun berita dari Cina, pada masa itu mata
pencaharian penduduk Kerajaan Taruma Negara adalah perdagangan kulit penyu, cula badak dan perak.

Fa-Hien juga menjelaskan bahwa penganut agama Hindu lebih banyak dibandingkan dengan penganut agama
Buddha.

Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara

Apa penyebab runtuhnya Kerajaan Tarumanegara? Linggawarman, raja Kerajaan Tarumanegara terakhir digantikan
oleh menantunya Tarusbawa pada tahun 669 M. Linggawarman mempunyai 2 orang putri yaitu pertama bernama
Manasih yang menjadi istri Tarusbawa (berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa) dan yang kedua bernama
Sobakancana menjadi istri Dapuntahyang Sri Jayanasa (pendiri kerajaan Sriwijaya).

Secara otomatis tampuk kekuasaan diwariskan kepada menantu dari putri pertama. Karena Pamor Kerajaan
Tarumanegara sudah mulai menurun, Tarusbawa berniat mengembalikan kejayaan zaman Raja Purnawarman yang
berkedudukan di Purasaba (ibukota Sundapura).

Sekitar tahun 670 Tarusbawa mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda, hal ini dijadikan
alasan Wretikandayun dari Kerajaan Galuh untuk memisahkan dari kekuasaan Tarusbawa.

Kerajaan Sriwijaya
Keywords: Buddha, buddha vrajayana, maritim, keduan bukit, Palembang i-tsing, San-fo-ts’I, Sribhoja, Shih-li-fo-
shih, Yavadesh dan Javadeh (sansekerta), Dapunta hyang, Dharmasetu, Samaratungga, balaputradewa, ekspansi
militer, borobudur, Melayu, Kedukan Bukit, talang tuo, kota kapur, karang birahi, talang batu, palas di pasemah,
ligor

 Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau
Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja,
Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti
“bercahaya” dan wijaya berarti “kemenangan”.

         Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing,
menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua mengenai
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran
pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya
serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari
Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.

        Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun 1918
oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient.

Historiografi
        Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan
dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai
tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa
Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca
“Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

         Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa
Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau
San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab
menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya
sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei
yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.

        Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada
di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara
Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan
tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah
berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau
sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan
berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau
Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah
satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola
I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).

Pembentukan dan pertumbuhan


        Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan
dan merupakan negara maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia
Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli
masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini
biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara
langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.
         
         Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun
682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat
bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti
Kota Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian
selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa
telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa
ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang
kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan
maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

         Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua
pusat perdagangan utama di Asia Tenggara . Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi
Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan
banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa
serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah
kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri
imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan
di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya . Menurut catatan, pada
masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di
semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di
sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
       Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak
seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk
memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di
Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

Agama dan Budaya


         Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara
di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan
studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha
asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya
menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang
ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran
Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.

        Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India , pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula
oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari
kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta
kebudayaannya di Nusantara.

        Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara,
tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang
semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

        Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya,
maka raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan
kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim
sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu naskah
surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) berisi permintaan agar khalifah sudi
mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya.

Perdagangan
         Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan
penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi
seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja
Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan
dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
        Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan
luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak
diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

Relasi dengan kekuatan regional


        Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan
diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya,
di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada
bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota
yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

          Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860
mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan
dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya telah membangun
sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I
naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa
Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya
pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada
masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa
Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079,
pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan
nama Yuan Miau Kwan.

Masa keemasan
          Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya
dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis
sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk
menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.

            Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja,
Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya
mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

          Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan
disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji
Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016
menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

Penurunan
         Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi
laut untuk menyerang Sriwijya, berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan
daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu. Selama
beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun
demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa
selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.

          Antara tahun 1079 – 1088, kronik Tionghoa mencatat bahwa San-fo-ts’i masih mengirimkan utusan dari Jambi
dan Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun
1082 mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan
negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga
mengirimankan utusan berikutnya di tahun 1088. Namun akibat invasi Rajendra Chola I, hegemoni Sriwijaya atas
raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai
kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung
Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

           Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan
bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po
(Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i
memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor,
selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan
(Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu
sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung
malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong
(Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).

         Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan
telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan
kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di
kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja
Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa
kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada
prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu
juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan
lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Struktur pemerintahan
         Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari
beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.

          Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil
cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai
kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya .
Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda
merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang
dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang
berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

         Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara
berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).
Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa
Sriwijaya.

Warisan sejarah
         Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat
pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan
kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-
kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan
bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan
identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan. Bagi penduduk Palembang,
keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal
yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang
berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Ada dua jenis sumber sejarah yang menggambarkan keberadaan Kerajaan Sriwijaya, yaitu Sumber berita asing dan
prasasti.

Sumber Berita Asing

1. Berita dari Cina


Dalam perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India, I-Tsing pendeta dari Cina, singgah di Shi-
li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan dan mempelajari paramasastra atau tata bahasa Sanskerta.
Kemudian, bersama guru Buddhis, Sakyakirti, ia menyalin kitab Hastadandasastra ke dalam bahasa Cina.
Kesimpulan I-Tsing mengenai Sriwijaya adalah negara ini telah maju dalam bidang agama Buddha.
2. Berita Arab
menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu Hordadheh mengatakan bahwa Raja Zabag banyak
menghasilkan emas. Setiap tahunnya emas yang dihasilkan seberat 206 kg. Berita lain disebutkan oleh
Alberuni. Ia mengatakan bahwa Zabag lebih dekat dengan Cina daripada India. Negara ini terletak di daerah
yang disebut Swarnadwipa (Pulau Emas) karena banyak menghasilkan emas.

Sumber Prasasti
Selain dari sumber berita asing, keberadaan Kerajaan Sriwijaya juga tercatat pada prasasti-prasasti yang pernah
ditinggalkan, diantaranya:
1. Prasasti Kedukan Bukit (605S/683M) di Palembang. Isinya: Dapunta Hyang mengadakan ekspansi 8 hari
dengan membawa 20.000 tentara, kemudian berhasil menaklukkan dan menguasai beberapa daerah.
Dengan kemenangan itu Sriwijaya menjadi makmur.
2. Prasasti Talang Tuo (606 S/684M) di sebelah barat Palembang. Isinya tentang pembuatan sebuah Taman
Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga untuk kemakmuran semua makhluk.
3. Prasasti Kota Kapur (608 S/686 M) di Bangka.
4. Prasasti Karang Birahi (608 S/686 M) di Jambi. Keduanya berisi permohonan kepada Dewa untuk
keselamatan rakyat dan kerajaan Sriwijaya.
5. Prasasti Talang Batu (tidak berangka tahun) di Palembang. Isinya kutukan-kutukan terhadap mereka yang
melakukan kejahatan dan melanggar perintah raja.
6. Prasasti Palas di Pasemah, Lampung Selatan. Isinya Lampung Selatan telah diduduki oleh Sriwijaya.
7. Prasasti Ligor (679 S/775 M) di tanah genting Kra. Isinya Sriwijaya diperintah oleh Darmaseta.

Raja-raja Sriwijaya

Dari abad ke-7 sampai ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin oleh raja-raja di bawah ini, yaitu:

1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa


2. Sri Indravarman Che-li-to-le-pa-mo
3. Rudra Vikraman Lieou-t’eng-wei-kong
4. Maharaja Wisnu Dharmmatunggadewa     
5. Dharanindra Sanggramadhananjaya
6. Samaragrawira
7. Samaratungga
8. Balaputradewa
9. Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
10. Hie-tche (Haji)
11. Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
12. Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
13. Sumatrabhumi
14. Sangramavijayottungga
15. Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
16. Rajendra II
17. Rajendra III
18. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
19. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
20. Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa

KERAJAAN MELAYU
Keywords: Sumatera, buddha mayahana, minanga, dharmasraya, pagaruyung, swarnadwipa, emas, batanghari,
amogapasa padangroco, adityawarman, grahi, padangroco, suruasou, amogapasa, pagaruyung, kertanegara,
singasari, ekspedisi pamalayu,

A. Letak

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Cina ditulis Ma-La-Yu merupakan sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau
Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang
mengalami naik turun ini dapat di diketahui dimulai pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga, pada abad ke-13 yang
berpusat di Dharmasraya dan diawal abad ke 15 berpusat di Suruasoatau Pagaruyung.

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi yang oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas
yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat
Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya.
Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi
Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu
berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat
prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara
(Singhasari) kepada raja Melayu.

Tujuan ekspedisi Pamalayu adalah untuk 1) memperluas kekuasaan teritori Singasari, dan 2) untuk membendung
pengaruh Kubilai Khan yang kian besar di Asia Tenggara

B.Sumber Berita Cina

- Berita tentang Kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I-tsing atau I Ching
(634-713)dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di negeri Sriwijaya enam bulan lamanya untuk
mempelajari Sabdawidya (tatabahasa Sansekerta). Ketika pulang dari India tahun 685, I-tsing bertahun-tahun tinggal
di Sriwijaya untuk menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. I-tsing kembali ke
Cina dari Sriwijaya tahun 695. Ia menulis dua buah bukunya yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan
(Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan
Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang).

- Menurut catatan I-tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan
dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Melayu.

- Berita lain mengenai Kerajaan Melayu berasal dari T’ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p’u pada tahun 961,
dimana Kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk pertama kalinya, namun setelah
berdirinya Sriwijaya sekitar 670, Kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Cina.

Kitab Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi air.

Geographike Sintaxis karya Ptolemy Pengunaan kata Melayu, telah dikenal sekitar tahun 100-150 yang menyebutkan
maleu-kolon

C.Raja-raja Kerajaan Melayu

1. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1183). Sumber: Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan
Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha
seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Ibukota: Dharmasraya.
2. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. (1286). Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur, pengiriman
Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Dharmasraya. Ibukota: Dharmasraya.
3. Akarendrawarman. (1300). Sumber: Prasasti Suruaso. Ibukota: dharmasraya atau Suruaso.
4. Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa. (1347). Sumber: Arca
Amoghapasa. Ibukota: Suruaso atau Pagarruyung.
5. Ananggawarman. (1375). Sumber: Prasasti Pagaruyung. Ibukota: Pagaruyung.

KERAJAAN KALINGGA
Keywords: Holing, hindu, Dinasti Tang, Prabu Washumurti, Prabu washugeni, Wasudewa, wasumurti, Ratu Shima,
Kalingga Utara, kalingga selatan, Cho-po, Jawa, Tuk mas (pujian mata air), Sojomerjo (silsilah, cikal bakal wangsa
syailendra), candi angin, candi bubrah, jepara, dinasti Tang

Kerajaan Holing (Kalingga) diperkirakan berkembang sekitar pada abad ke-7 Masehi sampai abad ke-9 Masehi dan
merupakan kerajaan bercorak Hindu. Dimanakah letak pusat Kerajaan Kalingga sampai saat ini masih belum dapat
diketahui secara pasti.

Menurut berita dari Cina (dinasti Tang), Kalingga disebut She-Po dan letaknya berada di Pantai Utara Jawa. Pendapat
lain J.L. Moens menyatakan bahwa Kalingga berada di Semenanjung Malaya. Lain lagi pendapat dari W.P. Meyer, ia
menyatakan bahwa Kerajaan Kalingga berada di Jawa Tengah.Kerajaan Kalingga didirikan oleh Prabu Washumurti.
Takhta Prabu Washumurti digantikan oleh salah satu putranya yang bernama Prabu Washugeni.

Prabu Washugeni memiliki dua orang anak, putranya bernama Wasudewa (Kirathasingha) dan putrinya bernama
Wasumurti (Shima). Pada awalnya, takhta Prabu Washugeni digantikan oleh Prabu Kirathasingha, putranya. Namun,
wafatnya Prabu Kirathasingha membuat takhta digantikan oleh suami dari Shima yang bernama Prabu
Kartikeyasingha.

Prabu Karikeyasingha wafat dan Ratu Shima pun menggantikan suaminya tersebut sebagai pemimpin kerajaan. Nah,
bisa dikatakan, kepemimpinan Ratu Shima-lah yang membawa Kerajaan Kalingga ke puncak kejayaannya. Wow!

Menurut legenda, Ratu Shima membuktikan bahwa ia memimpin dengan tegas, tanpa terkecuali kepada putranya
sendiri. Konon, seorang raja dari Timur Tengah berkunjung dan diam-diam meletakkan sekantung emas di jalanan.
Berbulan-bulan, tidak ada yang menyentuh kantung tersebut. Hingga akhirnya, putra dari Ratu Shima tidak sengaja
menyentuh kantung itu dengan kakinya.

Meskipun sang ratu sangat menyayanginya, ia memutuskan untuk memberikan hukuman tanpa pandang bulu
kepada Pangeran Narayana. Atas permohonan dari para pejabat dan keluarga istana, hukuman yang tadinya
hukuman mati diringankan menjadi hukum memotong kaki sang pangeran!

Ratu Shima ditakuti rakyat akan ketegasannya, namun ia juga dicintai oleh rakyatnya. Pasalnya, Ratu Shima
memimpin Kalingga menuju kemakmuran. Ia juga berhasil membawa kerajaan menguasai perdagangan yang
awalnya dikuasai oleh Kerajaan Tarumanegara, lho.

Setelah sang ratu wafat, wilayah kerajaan terbagi dua untuk anak-anaknya: Kalingga Utara dan Kalingga Selatan.
Lalu, tanda-tanda keruntuhan mulai terlihat, terutama karena serangan dari Kerajaan Sriwijaya.

Letak

Terdapat beberapa informasi tentang lokasi Kerajaan Kalingga. Namun, dari argumen-argumen tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kerajaan ini terletak di Pulau Jawa.

Pertama, Prasasti Dinoyo yang menyatakan bahwa kerajaan ini dipindahkan oleh Ki-Yen ke arah timur dan berlanjut
dengan nama Kerajaan Kanjuruhan.

Lalu, J.L. Moens yang menyatakan bahwa kerajaan ini terletak di tepi Selat Malaka, dengan berdasarkan pada
aktivitas ekonomi kerajaan yang berkisar di perdagangan dan pelayaran.

Ada pula berita dari Tiongkok di zaman Dinasti Tang menyebutkan Kalingga dengan nama lain, Cho-Po yang berarti
Jawa.

Sumber sejarah


Prasasti Tuk Mas, ditemukan di lereng sebelah barat Gurung Merapi desa Lebak, Kec Grabag, Kab.
Magelang. Prasasti ini berisi tentang pujian kepada mata air yang keluar dari celah bebatuan bagaikan Sungai
Gangga.
Prasasti Tukmas bertuliskan huruf Pallawa dan menggunakan bahasa Sansekerta.
Prasasti ini bertuliskan tentang mata air yang jernih dan bersih. Sungai yang mengalir dari sumber air
tersebut disamakan dengan Sungai Gangga yang berada di India. Pada Prasasti Tuk Mas juga terdapat
gambar-gambar seperti kendi, kelasangka, trisula, cakra, bunga teratai dan kapak.

Prasasti Sojomerjo bersifat keagamaan Siwais dan ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban,
Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti Sojomerjo bertuliskan huruf Kawi dan berbahasa Melayu Kuno
serta berasal dari kira-kira abad ke-7 M.
Prasasti ini berisi keluarga dari tokoh utama Dapunta Selendra yaitu ayahnya bernama Santanu sedangkan
ibunya bernama Bhadrawati lalu istrinya bernama Sampula. Menurut Prof. Drs. Boechari, Dapunta Selendra
merupakan cikal bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang kemudian berkuasa di Kerajaan Mataram
Hindu.


Candi Angin dan Candi Bubrah
Kedua candi yang terletak di Jepara ini diperkirakan dibangun pada masa awal berdirinya Kerajaan Kalingga.
 Berita dari I-Tsing, pendeta Buddha dari China
Berita Cina dari Dinasti Tang yang menyebutkan adaya Kerajaan Holing yang lokasinya ada di Cho-Po (Jawa).
Ada beberapa berita dari Cina yang menceritakan banyak tentang Kerajaan Kalingga, misalnya catatan
Dinasti Tang, catatan I-Tsing, naskah Wai-Tai-Ta, dan catatan Dinasti Ming.

Raja-raja yang Memerintah Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga diperintah oleh Ratu Shima pada tahun 647 M, Ratu Sima dikenal sebagai ratu yang bertindak adil
dan bijaksana. Ratu Shima merupakan ratu yang sangat tegas, sebagai bukti ketegasan Ratu Shima menghukum
putranya sendiri yang melanggar aturan.

Ratu Shima beragama Hindu aliran Syiwa dan pada masa pemerintahaannya Kerajaan Kalingga mengalamai masa
keemasan.

Dalam naskah Carita Parahyangan, Ratu Shima menikah dengan Mandiminyak (putra mahkota Kerajaan Galuh).
Kemudian Mandiminyak menjadi raja Kedua dari Kerajaan Galuh. Ratu Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha.

Kemudian Sanaha menikah dengan raja ketiga Kerajaan Galuh yang bernama Bratasenawa, dari pernikahan itu
dikaruniai seorang anak bernama Sanjaya.

Setelah Ratu Shima meninggal pada tahun 732 M, Sanjaya akhirnya menjadi Raja Kerajaan Kalingga bagian utara,
yang selanjutnya nama Kerajaan Kalingga utara tersebut disebut dengan Bumi Mataram.

Setelah itu Raja Sanjaya mendirikan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Dinasti Kerajaan adalah sistem
kerajaan dimana pemimpin kerajaan dan penerusnya berasal dari anak cucunya.

Kehidupan Politik dan Ekonomi Kerajaan Kalingga

Kehidupan politik Kerajaan Kalingga, pemerintah tertinggi diserahkan kepada 4 orang maha menteri. Keempat maha
menteri tersebut mengatur penguasaan atas 28 kerajaan kecil yang berada di Jawa Tengah dan kemungkinan juga di
Jawa Timur.

Kehidupan ekonomi Kerajaan Kalingga, dibidang sosial masyarakat hidup dengan teratur, telah mengenal tulisan
serta mengenal ilmu pengetahuan dan astronomi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa K'un-lun.
Dibidang sosial-budaya, masyarakat Kerajaan Kalingga telah mengenal lembaga masyarakat yang memiliki fungsi dan
tugas yang jelas. Hukum dan undang-undang dilaksanakan oleh masyarakat.

Runtuhnya Kerajaan Kalingga

Penyebab runtuhnya Kerajaan Kalingga adalah karena ditaklukan oleh kerajaan lain yaitu Kerajaan Sriwijaya.
Runtuhnya Kerajaan Kalingga (Holing) kira-kira terjadi pada tahun 752 M.

Setelah ditaklukan, Kerajaan Kalingga menjadi bagian dari jaringan perdagangan Hindu bersama Kerajaan
Tarumanegara dan Kerajaan Malayu yang sebelumnya telah ditaklukan Kerajaan Sriwijaya.

KERAJAAN MATARAM KUNO


Keywords: Jawa, Yogyakarta, Kerajaan Medang Jawa Timur, Hindu, Buddha, Sanjaya, syailendra, Isyana, Rakai
Pikatan, Dharmawangsa Teguh, Canggal, Mpu sindok, Rakai Panangkaran, Dyah balitung, Prasasti Canggal (732
M), Prasasti Kalasan (778 M), Prasasti Kelurak (782 M), Prasasti Ratu Boko (856 M), dan Prasasti Mantyasih (907
M),

Awal Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan ini berdiri di bumi Mataram yang terletak di dekat Yogyakarta sejak abad ke-8 hingga menuju ke-11.
Kerajaan ini sering berpindah, sehingga berpengaruh juga pada nama kerajaan ketika berdiri di Mataram sempat
diberi nama Medang I Bhumi Mataram. Total kerajaan ini berpindah-pindah sebanyak tujuh kali hingga sampai ke
Jawa Timur di abad ke-10.

Saat itu dikenal dengan nama Kerajaan Medang, saat itu pendiri kerajaan ini bernama Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya dengan periode berkuasa pada 732-760 masehi. Menariknya selama berdiri, kerajaan Mataram diperintah
oleh dua dinasti yakni dinasti Sanjaya dengan mayoritas beragama Hindu dan dinasti Syailendra dengan agama
Buddha.

Tak seperti pada kerajaan pada umumnya, Mataram saat masih bernama Medang dipimpin kedua dinasti yang justru
sibuk mencari kekuasaan. Hanya sebentar keduanya memerintah bersama, pemerintahan Sanjaya juga memiliki
beberapa pemimpin selain Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, di antaranya seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran,
Sri Maharaja Rakai Pikatan. Dan terakhir adalah Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung, sementara pada dinasti
Syailendra pemimpin pertama adalah Bhanu yang kemudian berlanjut ke Raja Wisnu hingga membuat dinasti
Sanjaya tunduk kepadanya. Bahkan Samaratungga yang merupakan raja terbesar dan terakhir Syailendra juga patuh
kepadanya, begitulah bagaimana proses berdirinya kerajaan mataram.

Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno

Abad ke-9

Dua wangsa bersatu dari perkawinan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang merupakan anak dari Samaratungga
bernama Pramodawardhani. Meskipun rencana pernikahan itu mendapat pertentangan karena tak disetujui
Balaputra Dewa selaku adik dari Pramodawardhani setelah ia merasa terancam oleh keberadaan Rakai Pikatan.

Balaputra kemudian merebut kekuasaan, namun usahanya itu gagal meski pada akhirnya ia kembali menjadi raja
Sriwijaya usai pulang kampung. Rakai pikatan yang sukses memenangi peperangan kemudian mendirikan Candi Loro
Jonggrang dan kini dikenal dengan nama Candi Prambanan yang berada di Sleman.

Abad ke-10

Di abad ini pemerintahan Mataram Kuno berpindah ke Jawa Timur dan diprakarsai oleh Mpu Sindok yang
memindahkan pusat pemerintahan sekaligus kerajaan ke area tersebut. Mpu Sindok merupakan raja pertama dan
tokoh pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur. Namun tidak diketahui secara pasti siapa pengganti Mpu Sindok setelah
itu.

Abad ke-11

Kehancuran Dharmawangsa Teguh akibat dari serangan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalami kegagalan bekerja
sama dengan kerajaan Wurawari. Namun ada yang selamat dari serangan terhadap Dharmawangsa, yakni Airlangga
hingga kemudian dinobatkan sebagai raja di 1.019 masehi serta mampu memperluas wilayah kekuasaan.

Silsilah Kerajaan Mataram Kuno

Menurut prasasti Canggal pada 732 masehi disebutkan bahwa pendiri kerajaan Mataram Kuno adalah Wangsa
Sanjaya. Kemudian dalam prasasti Balitung disebutkan juga beberapa nama raja yang pernah memerintah kerajaan
Mataram kuno. Berikut ini beberapa sosok yang pernah memerintah kerajaan Mataram kuno.

1. Sanjaya
2. Rakai Panangkaran
3. Panunggalan
4. Rakai Watuk
5. Garung
6. Rakai Pikatan
7. Kayuwangi
8. Watuhumalang
9. Balitong

Selain itu ditemukannya prasasti Ligor dan prasasti Klurak yang menyebutkan beberapa raja yang memerintah di
kerajaan Mataram kuno. Di antaranya seperti Bhanu, Wisnu, Indra hingga Samaratungga. Jika dilihat dari aspek
politik dan pemerintahan, kerajaan Mataram Kuno masuk dalam kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha.

Kehidupan Kerajaan Mataram Kuno

Meski banyak pihak berkuasa yang berambisi memiliki kekuasaan penuh di Mataram kuno, namun kehidupan
kerajaan ini dikenal dengan toleransi beragama yang sangat kuat. Penganut Hindu dan Buddha sama-sama hidup
rukun, hal ini terlihat dari banyaknya pembangunan candi-candi yang disebut sebagai peninggalan.

Berdirinya candi-candi Hindu dan Buddha itu tak lepas dari ajaran toleransi yang diajarkan oleh para pemimpin
kerajaan tersebut. Dalam masanya, raja-raja Mataram kuno dan rakyat memiliki perbedaan agama, kondisi yang
disebut sangat biasa serta hal yang lumrah. Hal itu mengajarkan masyarakat dan raja tidak harus memiliki agama
yang sama.

Seperti salah satunya pernikahan antara Pramodhawardhani yang merupakan putri Rakai Garung alias Samaratungga
dari dinasti Syailendra pemeluk agama Buddha. Dinikahkan dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang
memeluk agama Hindu-Syiwa. Rakai Pikatan dan Maharatu Pramowardhani kemudian sama-sama memerintah
Mataram Kuno periode 840-856 masehi.

Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

Berdiri di Jawa Tengah membuat kerajaan Mataram Kuno memiliki peninggalan yang cukup banyak termasuk lewat
prasasti dan candi. Candi memang sangat kental dengan Mataram, mengingat kerajaan ini memiliki masyarakat yang
memeluk agama Hindu-Budha. Lantas apa saja peninggalan tersebut, berikut di antaranya.

1. Candi Hindu
Karena masa pemerintahannya milik dua dinasti yang berkuasa, maka ada banyak peninggalan Kerajaan Mataram
Kuno. Salah satu peninggalan yang masih bisa dilihat hingga kini yaitu Candi.

Terdapat berbagai macam Candi Hindu yang ditinggalkan. Mulai dari Candi Gatotkaca, Candi Arjuna, Candi Bima,
Candi Puntadewa, Candi Semar, hingga Candi Prambanan.

2. Candi Buddha

Tidak hanya Candi bercorak Hindu saja yang masih bisa disaksikan hingga abad ke 21 ini. Sebab, ada juga Candi
dengan corak bangunan Budha. Candi tersebut meliputi, Candi Mendut, Candi Ngawen, Candi Pawon, dan Candi
Borobudur. Candi dengan corak bangunan agama Buddha ini menjadi yang terkenal di Nusantara.

3. Prasasti

Selain candi, sejarah Kerajaan Mataram Kuno juga meninggalkan beberapa prasasti sebagai bukti sejarahnya.
Prasasti ini cukup beragam dan lokasi penemuannya juga berbeda.

Prasasti tersebut meliputi, Prasasti Sojomerto (Abad ke-7), Prasasti Canggal (732 M), Prasasti Kalasan (778 M),
Prasasti Kelurak (782 M), Prasasti Ratu Boko (856 M), dan Prasasti Mantyasih (907 M).

Prasasti Kerajaan Mataram Kuno

1. Prasasti Canggal
Prasasti Canggal menjadi sumber sejarah yang penting karena menceritakan kehidupan awal di Kerajaan
Mataram Kuno.
Dijelaskan bahwa yang menjadi raja awalnya adalah Sanna, yang kemudian digantikan oleh Sanjaya anak dari
Sannaha yang berasal dari Galuh.
2. Prasasti Kalasan
menceritakan tentang Maharaja Tejapurnapana yang berhasil dibujuk untuk membangun bangunan suci.
Bangunan suci yang pertama khusus untuk Dewi Tara, sedangkan bangunan kedua adalah sebuah biara
untuk para biksu (pendeta Buddha)
3. Prasasti Mantyasih
Prasasti ini berisi daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Belitung. Selain itu, di dalamnya juga
memuat bahwa Desa Mantyasih ditetapkan Balitung sebagai desa bebas pajak
4. Prasasti Klurak
Prasasti Kelurak menyebutkan tentang pembangunan rumah suci untuk Manjusri, arca yang berisi
kebijaksanaan Buddha, Dharma, dan Sangha; trinitas sama seperti Brahma, Wisnu, dan Mahesvara.
Penyamaan Manjusri dalam Budhisme dengan Siwa-Wisnu-Brahma dalam Hindu menunjukkan kerja sama
yang erat antara kedua agama.

Candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

1. Candi Bima Candi Arjuna


2. Candi Kalasan
3. Candi Plaosan
4. Candi Prambanan
5. Candi Sewu
6. Candi Mendut
7. Candi Pawon
8. Candi Puntadewa
9. Candi Semar
10. Candi Srikandi
11. Candi Borobudur
Letak Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram kuno memiliki dua periode berdasar lokasi, hal ini berkaitan dengan ibu kota pemerintahannya.
Diawali dari periode Kerajaan Medang yang berada di Jawa Tengah di bawah kepemimpinan Wangsa Sanjaya dan
Syailendra medio 732-929 masehi. Kemudian berlanjut di Jawa Timur yang dipimpin Wangsa Isyana medio 929 -1016
masehi.

Pada 929 mahesi barulah Mataram Kuno berpindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok dan diketahui beberapa faktor
sebagai pendorong perpindahan ini. Mulai dari faktor publik karena seringnya perebutan kekuasaan yang berimbas
pada terancamnya wilayah kerajaan. Kemudian adanya bencana alam, dalam hal ini letusan gunung Merapi.

Ada pula potensi ancaman dari kerajaan lain termasuk kerajaan Sriwijaya dan faktor lain motif agama dan ekonomi.
Keberadaan kerajaan Mataram yang jauh dari pelabuhan membuat Mpu Sindok terpaksa memindahkan lokasi
kerasaan agar dapat bekerja sama dengan kerajaan lain. Hingga lokasi pusat kerajaan ini ada di Yogyakarta.

Tokoh yang Berpengaruh

Jawa Tengah

1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)


2. Rakai Panangkaran (760-780 M)
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra (780-800 M)
4. Rakai Warak alias Samaragrawira (800-820 M)
5. Rakai Garung alias Samaratungga (820-840 M)
6. Rakai Pikatan dan Maharatu Pramodawardhani (840-856 M)
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala (856-882 M)
8. Rakai Watuhumalang (882-899 M)
9. Rakai Watukura Dyah Balitung (898-915 M)
10. Mpu Daksa (915-919 M)
11. Rakai Layang Dyah Tulodong (919-924 M)
12. Rakai Sumba Dyah Wawa (924 M)

Jawa Timur

1. Rakai Hino Sri Isana alias Mpu Sindok (929-947 M)


2. Sri Lokapala dan Ratu Sri Isanatunggawijaya (sejak 947 M)
3. Makutawangsawardhana (hingga 985 M)
4. Dharmawangsa Teguh (985-1007 M)

Kehidupan Masa Lalu di Kerajaan Mataram Kuno

Yang menarik di Mataram Kuno adalah kehidupan sosial karena tidak begitu menerapkan sistem kasta dan mobilitas
sosial bisa terjadi begitu saja. Kehidupan ekonomi awalnya berasal dari bidang pertanian, karena didukung letak
pusat pemerintahan yang strategis karena berada pedalaman dan didukung dengan pembangunan irigasi.

Hingga muncul sistem perdagangan di era pemerintahan Dyah Balitung, diperintahkan pendirian pusat-pusat
perdagangan kegiatan ekonomi masyarakat dari pertanian. Kemudian di bidang kebudayaan, kerajaan Mataram
kuno banyak menghasilkan candi dan prasasti hingga sampai saat ini dinilai sebagai peninggalan berharga nusantara.

Masa Keemasan Kerajaan Mataram Kuno

Raja Sanjaya menjadi Pemimpin yang paling terkenal di Kerajaan Mataram Kuno. Sebab, Raja Sanjaya memiliki sifat
yang bijaksana, adil, arif, dan memiliki pengetahuan luas.

Tak heran jika rakyat dapat hidup dengan makmur, aman dan tenteram. Oleh karena itu, Kerajaan Mataram Kuno
mengalami masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Raja Sanjaya.
Raja Sanjaya banyak membangun berbagai tempat suci, seperti bangunan pemujaan lingga di atas Gunung Wukir
dan lain sebagainya. Bangunan ini dikenal sebagai lambang telah ditaklukkannya raja raja kecil di sekitar Kerajaan
Mataram Kuno.

Menurut catatan sejarah Kerajaan Mataram Kuno, masa keemasan juga diraih pada Raja Besar lainnya yaitu Raja
Balitung.

Pada masa pemerintahan Raja Balitung pada tahun 898 sampai 911 Masehi ini mengalami kemajuan hampir di
semua bidang.

Misalnya saja bidang politik, agama, kebudayaan, dan ekonomi. Raja ini juga membangun Candi Prambanan sebagai
candi yang megah, dan anggun dengan relief menawan di dalamnya.

Nama Periode
Raja/Pemimpin Kepemimpinan Catatan Kepemimpinan

Tercatat dalam Prasasti Canggal (732), Prasasti


Sanjaya 716 M – 746 M Mantyasih (907) dan Prasasti Taji Gunung (910)

Tercatat dalam Prasasti Kalasan (778), Prasasti


Kelurak (782), Prasasti Abhayagiri (792), Prasasti
Mantyasih (907), dan Prasasti Wanua Tengah
Dyah Pancapana 746 M – 784 M (908)

Rakai Panaraban 784 M – 803 M Tercatat dalam Prasasti Wanua Tengah (908)

Dyah Manara 803 M – 827 M Tercatat dalam Prasasti Wanua Tengah (908)

Dyah Gula 827 M – 829 M Tercatat dalam Prasasti Wanua Tengah (908)

Rakai Garuŋ 829 M – 847 M Tercatat dalam Prasasti Wanua Tengah (908)

Tercatat dalam Prasasti Shivagrha (856), Prasasti


Mantyasih (907), dan Prasasti Wanua Tengah
Dyah Saladu 847 M – 855 M (908)

Tercatat dalam Prasasti Shivagrha (856), Prasasti


Salingsingan (880), Prasasti Wuatan Tija (880),
Prasasti Ngabean (882), Prasasti Mantyasih (907),
Dyah Lokapala 855 M – 885 M dan Prasasti Wanua Tengah (908)

Tercatat dalam Prasasti Er Hangat (888) dan


Dyah Tagwas 885 M – 885 M Prasasti Wanua Tengah (908)

Dyah Dewendra 885 M – 887 M Tercatat dalam Prasasti Wanua Tengah (908)
Dyah Bhadra 887 M – 887 M Tercatat dalam Prasasti Wanua Tengah (908)

Dyah Jbang 894 M – 898 M Tercatat dalam Prasasti Wanua Tengah (908)

Tercatat dalam Prasasti Ayam Teas (900), Prasasti


Taji (901), Prasasti Watukura (902), Prasasti Telang
(904), Prasasti Kubu (905), Prasasti Poh (905),
Prasasti Rukam (907), Prasasti Mantyasih (907),
Prasasti Wanua Tengah (908) dan Prasasti Kaladi
Dyah Balitung 898 M – 908 M (909)

Tercatat dalam Prasasti Panggumulan (902),


Prasasti Rumwiga (905), Prasasti Palepangan
Dyah (906), Prasasti Tulangan (910) dan Prasasti Tihang
Daksottama 908 M – 919 M (914)

Tercatat dalam Prasasti Sukabumi (804) dan


Dyah Tulodhong 919 M – 924 M Prasasti Lintakan (919)

Tercatat dalam Prasasti Sukabumi (927), Prasasti


Dyah Wawa 924 M – 929 M Sangguran (928) dan Prasasti Wulakan (928)

Tercatat dalam Prasasti Lintakan (919), Prasasti


Turyyan (929), Prasasti Linggasutan (929), Prasasti
Gulung (929), Prasasti Jru Jru (930), Prasasti
Anjukladang (937) dan Prasasti Wurandungan
Dyah Sindok 929 M – 947 M (944)

Tercatat dalam Prasasti Gedangan (950) dam


Isyanatungga 947 M – 985 M Prasasti Pucangan (1041)

Makutawangsa 985 M – 990 M Tercatat dalam Prasasti Pucangan (1041)

Dharmawangsa 990 M – 1016 M Tercatat dalam Prasasti Pucangan (1041)

Keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno

Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno bermula dari persaingan Rakai Pikatan dari Sanjaya dan Balaputradewa dari
Sailendra yang selanjutnya berkembang menjadi persaingan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya secara turun-
temurun.

Sebetulnya perseteruan kedua kerajaan ini dilatarbelakangi oleh kepentingan politis untuk memegang kawasan Selat
Malaka. Perseteruan itu berlanjut saat Kerajaan Mataram Kuno (Medang) dipimpin oleh Dinasti Isyana, dimana
pasukan Sriwijaya melancarkan serangan ke Jawa. Pertempuran selanjutnya pecah di Anjukladang atau sekitar
Nganjuk (Jawa Timur).
Di masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh, pasukan dari Mataram giliran menyerbu ibu kota Sriwijaya tetapi
dapat dibendung. Akhirnya, pada tahun 1016, ibu kota Mataram kembali digempur oleh pasukan Aji Wurawari dari
Lwaram atau sekutu Sriwijaya dan kali ini serangan tersebut tidak mampu dimentahkan, sehingga istana Mataram
Kuno runtuh dan menewaskan Dharmawangsa. Inilah penanda berakhirnya Kerajaan Mataram Kuno.

KERAJAAN KAHURIPAN (Lanjutan Medang)


Keywords: Airlangga, Sidoarjo, Jawa timur, Kerajaan Medang, Candi belahan, semar jatalungga, kamalgyan, Cane,
pucanga, calcuta, baru, terep, pamwatan.

Kerajaan Kahuripan merupakan lanjutan dari Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur (Kerajaan Medang).
Sejarah berdirinya kerajaan Hindu-Buddha ini tidak terlepas dari peran Raja Airlangga jika dilihat dari berbagai
prasasti peninggalannya.

Lokasi pusat pemerintahan Kerajaan Kahuripan diperkirakan berada di wilayah Sidoarjo atau dekat Surabaya, Jawa
Timur. Berdirinya Kahuripan sebagai sebuah kerajaan tidak terlepas dari berbagai faktor yang terjadi pada sekitar
abad ke-10 Masehi.

Pemimpin masyhur Kerajaan Kahuripan adalah Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramatunggadewa. Airlangga (1009-1042) merupakan pendiri sekaligus raja terakhir sebelum Kerajaan
Kahuripan terbelah.

Latar Belakang Sejarah

Pada abad 10, Kerajaan Mataram Kuno dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Perpindahan tersebut yang
terjadi pada era kepemimpinan Mpu Sindok atau Rakai Hino Sri Isana (929-947 M).

Menurut George Coedes dalam The Indianized States of Southeast Asia (1968), ada beberapa faktor kemungkinan
yang mendorong perpindahan tersebut.

1. Pertama adalah faktor politik, yakni sering terjadinya perebutan kekuasaan yang berimbas terhadap
terancamnya kesatuan wilayah kerajaan ini.
2. Kedua adalah faktor bencana alam, yaitu peristiwa meletusnya Gunung Merapi.
3. Adapun faktor ketiga adalah adanya potensi ancaman dari kerajaan lain, termasuk serangan dari Kerajaan
Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan.
4. Faktor keempat adalah motif ekonomi, termasuk ketiadaan pelabuhan sehingga sulit menjalin kerja sama
dengan kerajaan/bangsa lain, juga mulai kurang produktifnya sawah penghasil padi lantaran tenaga pria
difokuskan untuk membangun candi-candi besar.

Soeroto dalam buku Mataram I (1975) menyebutkan, Kerajaan Mataram Kuno yang juga dikenal dengan nama
Kerajaan Medang ini mencapai masa kejayaan ketika dipimpin oleh Dharmawangsa Teguh (985-1007).

Dharmawangsa Teguh adalah raja keempat Mataram Kuno periode Jawa Timur setelah Mpu Sindok (929-947), Sri
Lokapala dan Ratu Sri Isanatunggawijaya yang memerintah sejak 947, lalu Makutawangsawardhana yang bertakhta
hingga 985 Masehi.

Selain membawa Kerajaan Mataram Kuno alias Medang ke puncak keemasan, Dharmawangsa Teguh juga menjadi
raja terakhir kerajaan yang beribukota di Watan ini.

Tahun 1006, Watan diserang mendadak oleh pasukan Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) ketika sedang
menggelar pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas. Adapun keponakannya yang bernama Airlangga lolos
dalam serangan itu.

Airlangga adalah putra Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni, saudara perempuan Dharmawangsa Teguh,
yang menikah dengan Udayana, Raja Bali. Nantinya, Airlangga melanjutkan kuasa Mataram atau Medang melalui
Kerajaan Kahuripan.

Pengaruh Airlangga
Setelah melarikan diri, Airlangga dan sejumlah pengikutnya bersemayam di Gunung Wanagiri untuk menyepi atau
bersemedi. Tiga tahun berselang, tepatnya pada 1009 M, datang utusan rakyat dan pendeta dari Medang yang
meminta Airlangga untuk melanjutkan takhta Dharmawangsa Teguh.

Disebutkan Muhammad Fikri lewat tulisan berjudul "Pengaruh Airlangga terhadap Kemajuan Kerajaan Medang
Kamulan" dalam Jambura History and Culture Journal (Volume 1, 2019), Airlangga menerima pengukuhan sebagai
raja dengan gelar Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Wilayah
kekuasaannya saat itu masih meliputi daerah Sidoarjo, Pasuruan, dan sebagian Mojokerto saja karena banyak
wilayah taklukan Medang yang melepaskan diri sepeninggal Dharmawangsa Teguh.

Melemahnya Kerajaan Sriwijya pada 1025 membuat Airlangga semakin leluasa memperluas dan memperkuat
pengaruhnya. Beberapa kerajaan di berbagai wilayah pun bisa ditaklukkan.

Tahun 1037, Airlangga membangun istana dan ibu kota baru di Kahuripan (termasuk wilayah Sidoarjo sekarang).
Sejak saat itu, kerajaan yang dipimpin Airlangga lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Banyak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Kahuripan di bawah pimpinan Airlangga, seperti pembangunan
berbagai bangunan, bendungan, pelabuhan, jalan-jalan yang menghubungkan wilayah pesisir dengan ibu kota, dan
masih banyak lagi.

Airlangga juga menggemari seni sastra. Ia meminta Mpu Kanwa, pujangga kerajaan, untuk menyusun kitab Arjuna
Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata.

Akhir Riwayat Kahuripan

Sebelum turun takhta, Airlangga sempat memindahkan ibu kota kerajaan ke Daha (termasuk wilayah Kediri
sekarang). Tahun 1042, Airlangga meletakkan kekuasannya untuk menjadi pertapa.

Airlangga punya dua putra yang bernama Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Ia tidak mau anak-anaknya
berebut takhta. Maka, Airlangga membagi dua wilayah kerajaannya.

Sri Samarawijaya mendapatkan wilayah di bagian barat yang kemudian bernama Kerajaan Kadiri, berpusat di
Daha. Sedangkan wilayah bagian timur diberikan kepada Mapanji Garasakan, yaitu Kerajaan Janggala yang
berpusat di Kahuripan.
Airlangga pun kemudian bertapa menjadi seorang resi atau pendeta hingga akhir hayatnya. Hingga kini, belum
diketahui dengan pasti kapan tepatnya Airlangga wafat.

Peninggalan Kerajaan Kahuripan

1. Candi Belahan, terletak di lereng timur Gunung Penanggungan.

Candi Belahan atau dikenal juga dengan sebutan Petirtaan Belahan atau Sumber Tetek, merupakan petirtaan
bersejarah yang berada di sisi timur Gunung Penanggungan.
Lokasi candi ini di Dusun Belahanjowo, Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.
Situs bersejarah ini dibangun pada masa Kerajaan Medang periode Jawa Timur awal. Sehingga usianya
mencapai 1 milenium atau setara dengan 10 abad.
Pemandian bersejarah ini berbentuk kolam empat persegi yang mendapat pasokan air dari sungai kecil yang
berada di sisi selatan. Dinding sebelah barat dan selatan, tepat di lereng tebing dan dibentuk relung-relung
yang diberi jaladwara, tempat air memancar keluar.
Pada dinding sisi barat terdapat dua relung besar yang mengapit satu relung kecil. Dua relung besar terdapat
dua arca jaladwara, berwujud Dewi Sri dan Dewi Lakshmi. Dari sepasang payudara arca Lakshmi
memancarkan air; inilah yang menyebabkan situs ini disebut sebagai Candi Sumbertetek.
2. Candi Semar Jalatunda, terletak di bagian utara lereng Gunung Penanggungan.

Cagar budaya candi Jalatunda ini tepatnya terletak di bagian utara lereng gunung Penanggungan, desa
Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto Jawa Timur.
Situs candi bersejarah ini dibangun pada tahun 997 Masehi pada masa pemerintahan seorang Raja beragama
Hindu yaitu : Prabu Airlangga.
Situs ini merupakan Petirtaan (tempat bermandi suci) menurut kepercayaan umat Hindu Jawa ini, bangunan
candi ini berbentuk kolam-kolam yang indah dengan air yang teramat jernih, mengalir deras dari lubang-
lubang saluran air petirtaan.
Salah satu keunikan dari pancuran mata air ini adalah tidak pernah kering, dari sejak pertama situs candi ini
didirikan pada tahun 997 Masehi, hingga saat ini kolam-kolam ini masih berisi air.
Bangunan Petirtaan yang berukuran panjang 16.8 m, lebar 13,5 m dan kedalaman sekitar 5,2 m itu, tetaplah
sebagai sumber mata air dengan debit air jernih melimpah-ruah tiada habisnya.
3. Goa Selomangleng, terletak di Kecamatan Mojoroto, Kabupaten Kediri, Jawa Timur
4. Prasasti Kamalgnyan (1037 M).

Prasasti Kamalagyan terletak di Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo.
Prasasti ini terbuat dari bahan lempeng batu andesit besar yang ditegakkan, dengan ukuran lebar 115 cm,
tebal 28 cm dan tinggi 215 cm. Selain prasasti utama dengan ukuran besar, terdapat juga batu kecil di
sampingnya.
Prasasti itu ditulis dengan huruf Jawa Kuno dan dalam bahasa Jawa Kuno. Tulisan yang ditemukan dan bisa
dibaca sebanyak 23 baris.
Prasasti ini termasuk prasasti yang masih ada di tempatnya (in situ), dimana saat ini dilindungi dengan
bangunan joglo berlantai dan beratap.
Situs bersejarah ini menjelaskan tentang pembangunan bendungan di Wringin Sapta yang dilakukan oleh
Raja Erlangga bersama rakyatnya. Bendungan tersebut dibangun untuk menanggulangi banjir yang sering
menerjang beberapa desa maupun tanah perdikan.
Beberapa desa di daerah hilir yang sering banjir diantaranya, Desa Lusun, Panjuwan, Sijanatyesan,
Panjiganting, Talan, Dasapangkah dan dan Desa Pangkaja.
5. Prasasti Pucangan atau Prasasti Calcuta (1042 M).

Prasasti Pucangan merupakan peninggalan Raja Airlangga yang dibuat pada tahun 1042 M atau 963 Saka.
Nama Pucangan diambil dari isi prasasti yang menceritakan adanya perintah membangun pertapaan di
Pucangan, sekitar Gunung Penanggungan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Prasasti Pucangan ditulis dengan dua bahasa, yakni bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno. Pucangan dibuat untuk
menjelaskan tentang peristiwa dan silsilah keluarga kerajaan secara runtut dan berurutan.
Pucangan juga dikenal dengan nama Calcutta Stone, yang saat ini disimpan di Museum India, di Calcutta
India. Saat ini, kondisi prasasti ini kurang terawat dan sejarawan Inggris meminta Pemerintahan Indonesia
melakukan pendekatan kepada Pemerintahan India untuk memulangkan Prasasti Pucangan dan Prasasti
Sanggurah.
6. Prasasti Cane (1021 M).

Prasasti Cane Ini merupakan piagam hadiah dari Raja Erlangga kepada kepala kotamadya Cane, yang dibuat
di atas lapik berupa padma. Situs bersejarah ini ditulis dalam aksara Jawa dan berangka tahun 943 Saka atau
1021 M.
Diceritakan tentang permohonan penduduk desa Cane agar mereka diberi pegangan prasasti berisi perintah
raja yang dibubuhi tanda kerajaan garudamukha.
Cane disebut sebagai prasasti pertama pada masa pemerintahan raja Airlangga, dilihat dari bagian
Sambandha-nya atau bagian alasan prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja, prasasti Cane masuk pada fase
konsolidasi.
Fase dimana pemberian status sima pada Desa Cane disebabkan rasa simpati raja Airlangga kepada
penduduk Desa Cane yang berjuang di garis depan dengan menjadikan desanya sebagai benteng
pertahanan.
7. Prasasti Baru (1030 M).

Pada tahun 1913, ditemukan Prasasti Baru di Simpang Surabaya dalam bentuk batu andesit, kemudian
dipelajari oleh Brandes, tapi tidak diketahui sebelumnya ditemukan di desa apa dan bagaimana bisa sampai
ke Surabaya.
Prasasti Baru ditulis dengan aksara Jawa Kuno dan berangka tahun 956 saka. Diketahui prasasti ini dibangun
pada tahun 1030.
Prasasti ini merupakan piagam hadiah dari Raja Erlangga kepada para kepala kotamadya Baru, yang
memberinya perlindungan dan kesetiaan kepadanya saat perang dengan Pangeran Mahasin.
8. Prasasti Terep (1032 M).

Prasasti Terep dikeluarkan pada tahun 1032, oleh Raja Airlangga. Prasasti Terep menceritakan bahwa raja
telah memberi anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong berkat jasanya saat raja menyingkir dari
Watan Mas ke Patakan.
Rakai Pangkaja Dyah Tumambong berjasa karena telah berdoa dan melakukan puja kepada Bhatari Durga
agar Airlangga memperoleh kemenangan dalam peperangan.
Dia berjanji jika permohonannya terkabul akan mengajukan permohonan pada raja agar Desa Terep, tempat
pertapaan yang digunakan untuk berdoa dan pujanya itu dijadikan sima.
Setelah Airlangga mendapat kemenangan, Airlangga kemudian mewujudkan permohonan Dyah
Tumambong. Pada namanya disematkan gelar Rakai Halu. Sehingga namanya menjadi Rakai Halu Dyah
Tumambong.
9. Petilasan di Sendang Made, Kudu, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
10. Prasasti Pamwatan

Pada tahun 1043 M, Raja Airlangga membuat sebuah prasasti yang dinamakan Prasasti Pamwatan. Tepatnya
prasasti ini dibuat pada 20 November 1042 M.
Situs bersejarah ini ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Dari situs ini dapat diperkirakan bahwa ibu kota
Kahuripan saat itu di Daha, Kediri.
Pamwatan ditemukan di Desa Pamotan, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur.
Akan tetapi, pada tahun 2003, prasasti ini hilang dicuri. Sehingga di tempat berdirinya sekarang hanya ada
duplikasi dari situs ini.
11. Kitab Arjunawiwaha

Di bawah pemerintahan Airlangga, seni sastra turut berkembang. Sebab, Airlangga juga menggemari seni
sastra. Ia meminta Mpu Kanwa, pujangga kerajaan, untuk menyusun kitab Arjuna Wiwaha yang diadaptasi
dari epik Mahabharata.
Karya seni ini menceritakan tokoh Arjuna yang merupakan kekasih para Dewa di Kahyangan. Arjuna mampu
menyelamatkan Kahyangan beserta para penghuninya dari ancaman marabahaya. Kemudian relief cerita ini
dipahatkan pada dinding Candi Tegowangi, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Puncak Kejayaan Kerajaan Kahuripan

Selain menjadi pendiri Kahuripan, Raja Airlangga juga merupakan satu-satunya pemimpin kekuasaan Kerajaan
Kahuripan.

Raja Airlangga juga berhasil membawa Kerajaan Kahuripan masa kemajuan, dapat dilihat dari pesatnya
pembangunan bendungan, pelabuhan, dan jalan. Ia juga meringankan beban pajak rakyatnya yang sering terkena
musibah.

Melemahnya Kerajaan Sriwijya pada 1025 membuat Airlangga semakin leluasa memperluas dan memperkuat
pengaruhnya.

Airlangga menjalani beberapa peperangan, sehingga beberapa kerajaan di berbagai wilayah pun bisa ditaklukkan.
Akan tetapi pada 1032 M, Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat, yaitu
Dyah Tulodong dari Kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur).

Di penghujung tahun 1032 M, Dyah Tulodong berhasil dikalahkan lewat pertempuran sengit. Raja Wurawari pun
dapat ditaklukkan. Hingga pada saat itu seluruh wilayah Jawa Timur dapat dikuasai.
Kemudian pada tahun 1037, Airlangga membangun istana dan ibu kota baru di Kahuripan (termasuk wilayah Sidoarjo
sekarang). Sejak saat itu, kerajaan yang dipimpin Airlangga lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Kerajaan Kahuripan di bawah pimpinan Airlangga banyak mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat,
seperti pembangunan berbagai bangunan, bendungan, pelabuhan, jalan-jalan yang menghubungkan wilayah pesisir
dengan ibu kota, dan masih banyak lagi.

Selain itu, Airlangga juga menggemari seni sastra. Ia meminta Mpu Kanwa, pujangga kerajaan, untuk menyusun kitab
Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata.

Kemunduran Kerajaan Kahuripan

Sebelum mengalami kemunduran, Airlangga sempat memindahkan pusat pemerintahan Kahuripan ke Daha,
merupakan wilayah Kediri.

Berakhirnya masa pemerintahan Raja Airlangga pada 1042, berakhir pula masa pemerintahan Kahuripan. Sebab,
terjadi perebutan kekuasaan, sehingga Airlangga membagi kekuasaan kekuasaannya bagi kedua putranya pada 1045
M.

Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua bagian, bagian barat dan bagian timur. bagian barat diberikan kepada Sri
Samarawijaya yang kemudian dibentuk menjadi kerajaan baru bernama Kerajaan Kediri, berpusat di Daha.
Sedangkan wilayah bagian timur diberikan kepada Mapanji Garasakan, yaitu Kerajaan Janggala yang berpusat di
Kahuripan.
Dan setelah turun tahta, Airlangga memilih menjadi pertapa hingga ia meninggal dunia pada 1049.

KERAJAAN KEDIRI (panjalu) (lanjutan Kahuripan)


Keywords: Hindu, Kadiri, daha, panjalu (kediri), jenggala (kahuripan), daha dahanaputra, kediri, jawa timu,
airlangga, Mpu Barada, Sungai Kawi, gunung brantas, Pamwatan, Sirah keling, Ngantang, Mula manurung, Chu fan
ci, Ling wai ta ta, chou Chu fei

Kerajaan Kediri merupakan Kerajaan bercorak Hindu dan kelanjutan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur. Dalam
catatan sejarah, Kerajaan Kediri juga disebut dengan nama Kerajaan Kadiri, Daha, dan Panjalu. Pusat
pemerintahannya terletak di Daha Dahanaputera, Kediri Jawa Timur.

Berdirinya Kerajaan Kediri ini tidak lepas dari peran Raja Airlangga. Ia membagi daerah kekuasaannya menjadi dua
bagian pada tahun 963 M demi menghindari pertikaian. Dilakukan seorang Brahmana bernama Mpu Barada, Raja
Airlangga membagi wilayah kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (kediri) yang dibatasi oleh sungai
kawi dan gunung brantas.

Kerajaan ini berlangsung dari abad ke 11 hingga 13. Berakhirnya Kerajaan Kediri ini karena kalah melawan
pasukan Singasari yang dipimpin oleh Ken Arok. Selanjutnya Kerajaan ini menjadi wilayah bawahan Singasari
lalu Majapahit.

Kerajaan Kediri bermula dari perintah Raja Airlangga untuk membagi kerajaan menjadi dua bagian pada tahun 1041
Masehi. Pembagian kerajaan dimaksudkan untuk menghindari pertikaian, seperti dikutip dari buku Ensiklopedia
Sejarah Lengkap Indonesia dari Era Klasik sampai Kontemporer oleh Adi Sudirman.

Wilayah kerajaan Raja Airlangga dikenal sebagai Kahuripan. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan Brahmana sakti
bernama Empu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal sebagai Kerajaan Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu
(Kediri). Kerajaan ini dibatasi oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas, seperti dikisahkan dalam prasasti
Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M).
Pada awal masa perkembangan, Kerajaan Kediri tidak banyak diketahui orang. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang
dikeluarkan Kerajaan Jenggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara Jenggala dan Kediri sepeninggal
Raja Airlangga.
Sejarah Kerajaan Kediri atau Panjalu mulai diketahui oleh adanya Prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri
Jayawarsa. Sebelum Sri Jayawarsa, hanya raja Sri Samarawijaya yang diketahui.

Letak kerajaan Kerajaan Kediri yakni di daerah Jawa Timur. Kerajaan Kediri berpusat di Daha, atau sekitar Kota Kediri
sekarang. Pusat Kerajaan Kediri tersebut terletak di tepi Sungai Brantas, yang masa itu sudah menjadi jalur pelayaran
yang ramai.

Sumber Sejarah

Sumber sejarah penting mengenai Kediri berupa sejumlah prasasti yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Mayoritas
prasasti berasal dari abad ke 12. Berikut ini adalah sumber sejarah Kerajaan Kediri, antara lain :

1. Prasasti Pamwatan menyebut nama putera Airlangga yaitu Sri Samawawijaya yang diserahi kepercayaan
sebagai Raja Kediri Pertama.
2. Prasasti Sirah Keling memuat informasi tentang Raja Kediri bernama Sri Jayawarsa.
3. Prasasti Ngantang menginformasikan peristiwa kemenangan Kediri atas Janggala. Prasasti itu memuat
semboyan Panjalu Jayati (Panjalu Menang).
4. Prasasti Mula Malurung memuat daftar nama penguasa Kediri setelah menjadi wilayah bawahan Kerajaan
Singasari.
5. Sumber informasi lainnya berupa dua buah kronik dari Tiongkok yaitu Ling-wai-ta-ta yang ditulis oleh Chou
Chu Fei dan Chu Fan Chi yang ditulis oleh Chao Ju Kua.
6. Kronik Ling-wai-ta-ta memuat informasi tentang kondisi pemerintahan dan masyarakat Kediri. Kronik ini
menyebut juga pada masa itu negeri paling kaya selain Tiongkok adalah Arab, Jawa,dan Sumatera.
7. Kronik Chu-Fan-Chi menginformasikan posisi Kediri sebagai kerajaan besar stabil dengan wilayah sebagian
Jawa dan sejumlah luar Jawa.

Kehidupan Politik

Sejumlah sumber melukiskan Kerajaan Kediri sebagai kerajaan yang kuat secara militer dan ekonomi. Ada beberapa
raja-raja Kediri yang tersohor, antara lain :

1. Sri Samarawijaya, massa pemerintahannya diwarnai perang saudara melawan Janggala.


2. Sri Bameswara, massa pemerintahannya memprioritaskan perhatian kepada rakyat. Misalnya, ia
mengeluarkan kebijakan menjadikan desa pandlegan sebagai wilayah bebas pajak karena jasanya membantu
perjuangan raja.
3. Sri Jayabhaya massa pemerintahannya merupakan massa kejayaan Kediri. Ia mampu mengalahkan Janggala
dan mempersatukan kembali Kerajaan yang pecah sepeninggal Airlangga. Raja ini termasyur dengan ramalan
masa depan Nusantara yang disebut Jongko Joyoboyo.
4. Sri Gandra massa pemerintahannya menandai untuk pertama kali nama hewan dipakai untuk nama depan
pejabat pemerintahan. (prasasti jaring) kebo Salawah, Lembu Agra,. Gajah Kuning, dan Macan Putih,
mejangan puguh, gajah biru
5. Sri Kameswara, massa pemerintahannya direkonsiliasi dengan Janggala melalui pernikahan raja dengan Sri
Kirana.
6. Sri Kertajaya massa pemerintahannya ditandai perseteruan dengan kalangan brahmana dan rahib.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri

Kehidupan ekonomi Kerajaan Kediri dapat diketahui melalui kronik-kronik Cina yang menyebutkan di antaranya
sebagai berikut:

1. Kediri menghasilkan banyak beras


2. Barang-barang dagangan lain yang laku di pasaran, seperti emas, perak, daging, kayu cendana, pinang, dan
gerabah
3. Telah menggunakan uang yang terbuat dari emas sebagai alat pembayaran atau alat tukar
4. Posisi Kerajaan Kediri sangat strategis dalam perdagangan Indonesia Timur dan Indonesia Barat dengan kota
pelabuhannya
5. Pajak rakyat berupa hasil bumi

Kehidupan Sosial Kerajaan Kediri

Masyarakat Kediri tidak menganut sistem kasta, seperti disampaikan dalam kitab Lubdhaka. Dalam kitab tersebut
disampaikan, tinggi rendahnya martabat seseorang tidak ditentukan oleh dasar keturunan dan
kedudukan, tetapi berdasarkan tingkah lakunya.
Masa Kejayaan Kerajaan Kediri

Masa kejayaan Kerajaan Kediri terjadi pada kepemimpinan Jayabaya. Jayabaya dikenal dengan kepemimpinan politik
dan ramalan-ramalannya yang dibukukan dalam Jongko Joyoboyo. Di samping itu, sikap merakyat dan visi Jayabaya
yang jauh ke depan membuatnya dikenang.

Kerajaan Kediri ini berkuasa selama dua abad lamanya dan sempat mencapai puncak kejayaan dibawah
pemerintahan Rqja Jayabaya (1135-1159). Berkembang menjadi kerajaan agraris yang sukses dengan hasil pertanian
di sekitar sungai Brantas yang melimpah.

Selain bercocok tanam, mereka juga melakukan perdagangan emas, perak, kayu cendana, rempah-rempah, dan
pinang yang berperan dalam perdagangan di Asia. Pada massa itu, berkembang pula kebudayaannya terutama di
bidang sastra dengan adanya beberapa peninggalan karya sastra yang terkenal hingga kini.

Runtuhnya Kerajaan Kediri

Runtuhnya Kerajaan Kediri terjadi pada masa kekuasaan Raja Kertajaya, seperti dikisahkan dalam kitab Pararaton
dan Nagarakertagama. Pada tahun 1222, Kertajaya dianggap telah melanggar agama dan memaksa Brahmana
menyembahnya sebagai dewa.

Kaum Brahmana lalu meminta perlindungan Ken Arok. Ken Arok yang bercita-cita memerdekakan Tumapel
kekuasaan Kediri mencetuskan perang antara Kerajaan Kediri dan Tumapel di dekat desa Ganter.

Keberhasilan Ken Arok mengalahkan Kertajaya menandai runtuhnya Kerajaan Kediri yang kemudian menjadi
kekuasaan Tumapel atau Kerajaan Singasari.

Sumber Sejarah Kerajaan Kediri

Sumber sejarah Kerajaan Kediri dikutip dari buku Pasti Bisa Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X oleh Ganesha
Operation:

1. Kronik Cina Chu Fan Chi karangan Chu Ju Kua. Buku Ling Wai Tai Ta karangan Chu Ik Fei juga menerangkan
keberadaan Kerajaan Kediri pada abad ke-12 dan ke-13 M.

2. Prasasti-prasasti Kerajaan Kediri

KERAJAAN SINGASARI
Keywords: tumapel, Kutaraja, Wishnudrharna, kertanegara, Dinasti Yuan, Tu-ma-pan, Ken arok, tunggul ametung,
ken umang, ken dedes, tohjaya, anusapati, wangsa rajasa

Kerajaan Singasari memiliki nama asli Kerajaan Tumapel yang ibu kotanya berada di Kutaraja, penamaan Singasari
berasal dari Raja Wisnuwardhana yang menunjuk anaknya. Bernama Kertanegara, sosok putra mahkota hingga
menjadi nama pusat serta pemerintahan kerajaan Singasari yang lebih terkenal ketimbang nama kerajaannya yakni
Tumapel.

Kejayaan kerajaan Singasari terjadi saat berada di bawah kepemimpinan Kertanegara dan sekaligus menjadi raja
terakhir dari kerajaan ini. Menariknya, rumor beredar bahwa Kertanegara memiliki impian untuk menyatukan
nusantara di bawah naungan kerajaan yang dipimpinnya. Dengan pusat pemerintahan di wilayah Jawa bagian timur.

Sejarah Asal Usul Kerajaan Singasari


Nama Kerajaan Tumapel diketahui berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam prasasti Kudadu, bahkan
kemunculannya juga berada dalam berita Tiongkok dari Dinasti Yuan. Saat itu menggunakan ejaan Tu-ma-pan,
ibukota Tumapel kemudian diperjelas melalui Kakawin Negarakertagama yang bernama Kutaraja dan kali pertama
berdiri di tahun 1222.

Lewat pararaton disebutkan jika Tumapel berasal dari sebuah daerah bawahan Kerajaan Panjalu, Tunggul Ametung
saat itu sebagai pejabat penting raja kerajaan Singosari. Namun meninggal terkena tipu muslihat Ken Arok.
Setelahnya Ken Arok mendeklarasikan dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara
Sang Amurwabhumi.

Ken Arok pun menikahi janda dari Tunggul Ametung dan memiliki anak bernama Anusapati yang merupakan buah
cinta Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Namun Ken Arok tak hanya memiliki satu istri, ia kemudian menikah lagi
dengan Ken Umang dan memiliki anak bernama Tohjaya. Di tahun 1222, Ken Arok berniat melepas Tumapel dari
Kadiri atau Panjalu.

Namun terjadi perseteruan dengan raja kerajaan Kadiri, Kertajaya lewat kaum brahmana yang kemudian bergabung
dengan Ken Arok. Perang pun meletus dan dimenangi oleh Tumapel, menariknya saat berdirinya Tumapel dalam
Negarakertagama tidak menyebutkan nama Ken Arok, justru disebutkan Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang
mengalahkan Kadiri.

Wishnuwardhana mengangkat putra, Kertanegara sebagai putra mahkota dan mengganti nama ibu kota kerajaan
Singasari didirikan oleh dirinya. Nama ini yang kemudian justru terkenal ketimbang Tumapel, begitu pula informasi
yang didapat dari prasasti Mula Malurung yang muncul di tahun 1255 atas perintah Wisnuwardhana yang
menyebabkan rajasa dijuluki Bhatara Syiwa.

Hingga kemudian nama tersebut menjadi gelar anumerta dari Ranggah Rajasa dalam Negarakertagama pendiri awal
kerajaan Singasari disebut sebagai Syiwa. Pararaton bahkan menyebutkan jika Ken Arok lebih dulu mendapat julukan
tersebut sebelum maju dalam peperangan melawan Kadiri.

Silsilah Wangsa Rajasa

Versi Pararaton

Anusapati yang merupakan putra tunggal Tunggul Ametung ingin membalaskan dendam kematian ayahnya terhadap
Ken Arok. Hingga pada akhirnya Ken Arok mati di tangannya, hingga Anusapati berkuasa dan meninggal di tahun
1249 setelah dibunuh Tohjaya. Yang merupakan anak Ken Arok bersama Ken Umang.

Usai Anusapati meninggal, takhta yang dimiliki Tohjaya hanya berlangsung secara singkat setelah digulingkan oleh
Ranggawuni. Ranggawuni inilah yang kemudian disebut Wisnuwardhana dan merupakan anak dari Anusapati,
lingkaran dendam yang terus berlanjut hingga ke anak-anak Ken Arok dan Tunggul Ametung.

Wisnuwardhana pun diangkat menjadi raja, setelahnya melepaskan takhta tersebut kepada Kartanegara. Silsilah raja
Tumapel berikut ini versi Pararaton, Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi (1222-1247), Anusapati (1247-
1249), Tohjaya (1249-1250), Ranggawuni atau Wisnuwardhana (1250-1272) dan Kartanegara (1272-1292).

Versi Kakawin Negarakertagama

Dalam kitab ini tak menyebutkan adanya Tunggul Ametung, Ken Arok, Ken Dedes, Ken Umang hingga Tohjaya dalam
rentetan tragedi pembunuhan berebut kekuasaan di Tumapel. Hanya berisi pujian untuk Hayam Wuruk yang
merupakan raja Majapahit. Peristiwa berdarah leluhur dianggap sebagai aib, hanya Wisnuwardhana dan Kartanegara
saja yang muncul dari prasasti.

Sebagai penguasa Tumapel, Negarakertagama mengalahkan Kadiri yang merupakan Sri Ranggah Rajasa Sang
Girinathaputra. Setelahnya isi yang ada di dalam kitab ini sama dengan yang ada dalam pararaton. Dengan silsilah
berikut ini, Sri Ranggah Rajasa Girinathaputra (1222-1227), Anusapati (1227-1248), Wisnuwardhana (1248-1254) dan
Kartanegara (1254-1292).
Kehidupan Kerajaan Singasari

Politik

Berkembang dengan cepat, hal ini terlihat dari pelaksanaan politik yang ada di dalam maupun di luar. Masa
pemerintahan Kertanegara memiliki politik dengan mengganti pejabat pembantu dalam memperkuat kekuasaan.
Selain itu adanya praktik pernikahan politik dalam memperkuat aspek perang, politik luar juga dilakukan salah
satunya dengan ekspedisi Pamalayu.

Ekonomi

Kerajaan Singasari tergolong strategis dalam menjalankan ekonomi dan terbilang cukup maju, karena letak kerajaan
Singasari di lembah sungai Brantas. Dengan mayoritas mata pencaharian sebagai petani dibantu dengan Sungai
Brantas yang menjadi salah satu lalu lintas perdagangan antardaerah dan wilayah di nusantara.

Sosial

Kehidupan sosial di kerajaan ini pasang surut, setelah tergolong cukup maju di jaman Ken Arok dengan
bergabungnya ke wilayah Tumapel. Namun terabaikan karena kesibukan masing-masing, hingga sampai ke
Wisnuwardhana meski sempat kembali sedikit. Kehidupan sosial Singasari menjadi sangat maju saat dipimpin Raja
Tarumanegara.

Keagamaan

Pada saat itu agama yang berkembang di Kerajaan Singasari adalah Hindu dan Budha, dan memang menjadi agama
pertama di Nusantara. Bahkan saat itu para penganut agama Hindu dan Budha bisa saling hidup berdampingan
tanpa adanya perselisihan yang terjadi. Perselisihan justru terjadi di kalangan pemimpin yang berebut kekuasaan.

Budaya

Banyaknya peninggalan berupa prasasti membuat kehidupan budaya kerajaan Singasari terbilang cukup maju.
Terdapat banyak produk kebudayaan yang dihasilkan, selain prasasti ada pula candi, patung dan yang lainnya. Yang
paling populer adalah patung Ken Dedes, istri Tunggul Ametung yang kemudian diperistri Ken Arok.

Sistem dan Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Singasari

Pusatnya di Jawa bagian Timur dengan sistem pemerintahan yang pernah mengalami masa perkembangan yang
sangat pesat. Sengketa dan perebutan kekuasaan membuat mereka mengalami kemunduran, karena sistem
pemerintahan dan politik yang dilakukan hanya fokus pada pelebaran kekuasaan.

Hal itu tidak bisa dipungkiri mengingat perluasaan kekuasaan dapat memberi kesuksesan tersendiri bagi Kerajaan
Singasari. Menariknya, hal itu bisa dilakukan dengan beberapa contoh seperti penguasaan terhadap wilayah Sunda,
Malaka, Bali dan bahkan Kalimantan juga ikut di dalamnya meski juga muncul kemerosotan.

Penyebab Runtuhnya Kerajaan Singasari

Di era Kertanegara, sebagai raja ia justru sibuk dengan strategi dalam pengembangan kekuasaan melalui sistem
ketahanan laut. Menyebabkan abai dengan pertahanan dari dalam kerajaan itu sendiri, hingga muncul Jayakatwang
yang masih keturunan Kadiri melakukan serangan dari dalam dengan bantuan Wiraraja membuat Singasari diserang
dari dua arah sekaligus.

Dari arah utara dan selatan, serangan dari utara ditujukan untuk mengecoh pasukan yang dipimpin Ardharaja dan
Raden Wijaya. Sementara serangan dari selatan membuat Singasari kewalahan, muncul banyak korban hingga
menjadi akhir dari Kerajaan Singasari. Jayakatwang pun berkuasa dan sukses mendirikan ibukota baru.
Peninggalan Kerajaan Singasari

Candi Singasari

Berada di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang dan terletak di lembah pegunungan Arjuna dan Tengger.
Merupakan tempat untuk dilakukan Dharma terhadap Raja Kertanegara, beberapa orang mengklaim jika candi ini
tak selesai dibangun.

Prasasti Mula Malurung

Berbentuk lempengan tembaga yang muncul di era Kartanegara dan saat itu ia masih berstatus sebagai anak muda.
Prasasti merupakan piagam dalam mengesahkan desa Malurung dan desa Mula, namun peninggalan ini memberi
informasi besar terhadap generasi penerus mereka baik garis lurus keturunan maupun orang luar.

Candi Kidal

Merupakan bentuk penghormatan terakhir untuk Raja Anusapati, setelah tewas dibunuh Tohjaya dan disebut-sebut
sebagai kutukan dari keris Mpu Gandring. Selain itu masih ada banyak peninggalan kerajaan Singasari.

Candi Jago

Prasasti Manjusri

Candi Sumberawan

Arca Dwarapala

Arca Prajnaparamita

Pendiri Kerajaan Singasari Adalah Ken Arok

Berasal dari dua kitab, yakni Pararaton dan Negarakertagama dengan prasasti yang ada disebutkan jika pendiri
kerajaan Singasari adalah Ken Arok. Sosok pejuang yang berasal dari kalangan bawah sukses menggulingkan Tunggul
Ametung dengan cara membunuhnya lewat strategi licik. Seorang yang tadinya memiliki jabatan cukup tinggi namun
dikalahkan dengan hasratnya.

Untuk memiliki istri Tunggul Ametung, yakni Ken Dedes yang cantik dan rupawan nafsu yang membuat Ken Arok
menggunakan keris Mpu Gandring sebagai senjata dalam pembunuhan Tunggul Ametung. Hingga rencananya itu
berhasil, Ken Arok tak hanya mendapatkan Ken Dedes tetapi juga menjadi pemimpin kerajaan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai